Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 27

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27


" Sudahlah. Jangan terbenam pada penyesalan dan kekecewaan. Waktu akan-berjalan terus. Jika kita tertegun untuk merenungi masa lampau, maka kita akan ditinggalkan oleh waktu itu. "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ya, ayah."
" Nah, jika kau ingin melihat-lihat, biarlah Prastawa mengantarkanmu. Tetapi bagaimana dengan Nyi Lurah. "
" Biarlah Sekar Mirah ikut bersamaku" desis Pandan Wangi.
" Apakah kita akan berjalan kaki?" bertanya Prastawa "Apakah disini tidak ada tiga ekor kuda "
" Ada mbokayu. Tentu ada "
Sejenak kemudian, tiga ekor sudah dipersiapkan. Pandan Wangi dan Sekar Mirah harus membenahi pakaian mereka. Mereka telah melepas pakaian luar mereka dan mengenakan pakaian khususnya saja.
" Marilah " ajak Pandan Wangi setelah ia dan Sekar Mirah selesai berbenah diri.
Beberapa saat kemudian, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Prastawa melarikan kuda mereka menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang sempat menyapa ketika mereka melihat salah seorang dari ketiga orang itu adalah Pandan Wangi.
Pandan Wangi pun menjawab sapaan orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan ramah. Seorang yang rambutnya sudah ubanan telah menghentikan Pandan Wangi dengan lambaian tangannya.
Pandan Wangi pun menghentikan kudanya pula. Ia pun segera meloncat turun dan mengangguk hormat sambil berdesis "Paman."
" Aku hampir lupa Pandan Wangi. Aku hanya kenal Pastawa dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Namun kemudian aku pun segera tertingat bahwa yang seorang lagi tentu perempuan yang pernah dikenal sebagai Bunga di lereng Bukit Menoreh.
. " Ah paman. Tidak ada orang yang pernah menyebutku seperti itu."
" Kau sendiri tentu tidak menyadari. Tetapi hampir setiap mulut menyebutnya. Apalagi anak-anak muda sebayamu. Namun akhirnya kembang yang kemudian mekar itu telah dipetik pengembara dari Sangkal Putung."
" Ah, paman. Nyi Lurah Sekar Mirah ini adalah adik suamiku."
" Ya. Seolah-olah kau sudah ditukar dengan Nyi Lurah Agung Sedayu Kembang dari Sangkal Putung itulah yang kemudian menghiasi lereng Bukit Menoreh.
" Paman memang senang memuji" desis Nyi Lurah Agung Sedayu. Orang yang sudah ubanan itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya "Kalian akan pergi ke mana?"
. " Sekedar melihat-lihat Tanah Perdikan yang sudah sangat lama aku tinggalkan. Meskipun kadang-kadang aku juga kembali, tetapi kali ini rasa-rasanya aku ingin melihat-lihat Tanah Perdikan yang sudah berkembang dengan pesatnya ini."
"Mampirlah, Aku baru saja mencabut beberapa batang ketela pohon."
" Terima kasih paman " desis Pandan Wangi " lain kali aku akan singgah."
"Lain kali belum tentu aku mencabut beberapa batang ketela pohon."
Pandan Wangi tertawa. Katanya "Aku sendiri yang akan mencabutnya."
Orang tua itu tertawa Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan Prastawa pun tertawa pula
Namun Pandan Wangi tidak dapat singgah di rumah orang tua itu. Dengan nada tinggi Pandan Wangi pun berkata " Maaf paman. Kami akan singgah pada kesempatan lain."
Orang tua itu mengangguk sambil menjawab " Apa boleh buat. Biarlah aku habiskan sendiri beberapa batang ketela pohonku. "
Demikianlah, sejenak kemudian ketiga ekor kuda itu telah berderap lagi di jalan-jalan padukuhan serta bulak-bulak pendek dan panjang, melintasi sungai dan guniuk-gumuk kecil. Pandan Wangi benar-benar ingin melihat Tanah Perdikan yang membentang dari Selatan ke Utara.
Tetapi ketika matahari kemudian mulai bergeser ke Barat, maka Pandan Wangi pun berkata "Kita sudahi perjalanan kita hari ini. Prastawa Marilah kita pulang. Besok kita akan menempuh jalan yang lain dari yang kita lewati sekarang."
Demikianlah mereka bertiga pun melarikan kuda mereka kembali ke padukuhan induk tanah Perdikan Menoreh.
Namun di jalan kembali, Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Sekar Mirah itu sempat berkata " Sekar Mirah. Di antara para penari yang pernah dalang di Sangkal Putung, seorang di antaranya mirip sekali dengan perempuan yang tinggal di rumahmu, yang disebut Nyi Dwani itu."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya "Perempuan itukah yang telah menjerat kakang Swandaru sehingga kakang Swandaru menjadi seorang yang kehilangan keblat itu" -
Pandan Wangi menggeleng. Katanya " Bukan perempuan itu. Perempuan yang lain. Tetapi agaknya perempuan yang mirip dengan Nyi Dwani itu mempunyai pengaruh dan wibawa yang tinggi diantara tledek-tledek yang lain, bahkan seluruh rombongan tari tayub itu. Para pengiring gamelan pun tampaknya begitu menghormatinya"
" Apakah perempuan itu pemilik atau tetua dari rombongan itu sehingga semua orang seakan-akan bergantung kepadanya ?"
" Entahlah. Besok jika kau berada di Sangkal Putung, kau akan melihatnya Mirip sekali, meskipun masih juga dapat dibedakan."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Keinginannya segera sampai ke Sangkal Putung untuk melihat rombongan tayub itu semakin mendesaknya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Pandan Wangi, karena ia tidak ingin mengganggu Pandan Wangi yang sedang beristirahat serta meletakkan segala macam kesibukan lahir dan batinnya.
"Nampaknya perempuan itu juga bukan perempuan kebanyakan. Sekali aku pernah melihat perempuan itu mengenakan pakaian khusus sebagaimana kita kenakan sekarang."
"Untuk apa ia mengenakan pakaian seperti itu?"
"Entahlah. Mungkin sekedar pamer atau sengaja menakut-nakuti banyak orang."
"Untuk menakuti-nakuti mbokayu?"
Pandan Wangi tersenyum. Katanya "Mudah-mudahan. Aku justru berharap demikian."
"Ya. Aku juga berharap demikian."
Pandan Wangi mengerutkan dahinya Dengan nada tinggi Pandan Wangi bertanya " Kenapa kau berharap agar perempuan itu menakut-nakuti aku?"
" Sebagaimana mbokayu juga berharap "jawab Sekar Mirah.
Pandan Wangi tertegun sejenak.' Namun Pandan Wangi itupun kemudian tertawa Sekar Mirahpun tertawa pula Agaknya kedua-duanya sudah saling mengetahui maksud mereka masing-masing.
Tetapi Sekar Mirah itu rasa-rasanya ingin juga menjelaskan jika perempuan itu menakut-nakuti mbokayu dan mbokayu tidak menjadi takut, maka orang itu akan menjadi sangat kecewa.
" Bahkan aku berharap bahwa ia tidak sekedar menjadi kecewa saja" sahut Pandan Wangi.
"Aku mengerti " desis Sekar Mirah.
Ketika keduanya tertawa lagi, Prastawa memperlambat kudanya Sambil berpaling ia bertanya "Kita akan pergi kemana" Kerumah Ki Gede atau ke rumah Ki Lurah Agung sedayu" "
" Bukankah kita membawa kuda dari rumah ayah" " Pandan Wangi justru bertanya
Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya " Apa yang mbokayu dan Nyi Lurah tertawakan" "
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian menjawab " Kenangan masa kanak-kanak, Prastawa. "
Prastawa tidak bertanya lagi. Kudanya berlari tidak terlalu kencang langsung menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan.
Dalam pada itu. Sekar Mirahpun masih sempat bercerita bahwa sekelompok pasukan orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu telah menyusup dan langsung menyerang padukuhan induk.
" Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, sekelompok diantara mereka berusaha langsung menguasai padukuhan induk. Mungkin mereka memperhitungkan, jika Ki Gede dapat ditangkapnya, maka perlawanan Tanah Perdikan akan berhenti. "
"Tetapi bukankah mereka dapat digagalkannya" "
" Pasukan cadangan yang tangguh berhasil menghancurkan, mereka Pasukan cadangan itu telah menghancurkan pasukan lawan yang menyerang Tanah Perdikan ini disisi Selatan. Mereka mendapat kesempatan beristirahat, sementara pasukan cadangan menggantikan kedudukan mereka di medan, sehingga pasukan yang beristirahat itulah yang menjadi pasukan cadangan. Tetapi justru mereka harus menghadapi pasukan khusus yang disusupkan oleh lawan untuk menyerang langsung padukuhan induk Tanah Perdikan. Tetapi ternyata mereka tidak mengecewakan meskipun sebenarnya mereka sedang mepdapat kesempatan untuk beristirahat. Setelah sebelumnya mereka menghancurkan pasukan lawan disisi selatan, mereka telah menghancurkan pasukan yang telah menyusup untuk menyerang langsung pasukan induk itu. "
" Sukurlah " Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan kerut didahi iapun bertanya "Dimana Prastawa itu terluka?"
" Prastawa mendapat tugas untuk memimpin pasukan yang menyerang Tanah Perdikan ini dari sisi Utara "
"Untunglah nyawanya masih dapat diselamatkan " desis Pandan Wangi perlahan-lahan agar Prastawa tidak mendengarnya. "Ya. Yang Maha Agung masih melindunginya. "
"Nampaknya sekarang ia sudah sembuh sama sekali. "
"Agaknya memang demikian. "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja Pandan Wangi memperlambat kudanya untuk mengambil jarak yang lebih panjang. Dengan nada rendah iapun kemudian bertanya kepada Sekar Mirah " Apakah tidak ada usaha Prastawa untuk meningkatkan ilmunya, agar pada saatnya ia sudah memiliki bekal yang cukup" "
" Sebaiknya mbokayulah yang menganjurkan. Selama ini agaknya Prastawa terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga ia tidak sempat untuk memperdalam ilmunya. "
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Agaknya peningkatan ilmu itu sangat penting bagi Prastawa Ia masih terhitung muda, sehingga perkembangan ilmu serta kepribadiannya masih sangat diperlukan. Sementara orang lain berusaha untuk berkembang terus, maka sebaiknya Prastawapun berbuat demikian. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ketika Prastawa berpaling, maka iapun bertanya lantang "He, apakah kalian sudah sangat letih" "
"Panasnya" desis Pandan Wangi.
" Marilah, agar kita lekas sampai di padukuhan, agar kita tidak terpanggang oleh panasnya sinar matahari. "
Pandan Wangi dan Sekar Mirah mempercepat derap kaki kudanya, sehingga mereka berada hanya beberapa langkah saja di belakang Prastawa
Ketika mereka kemudian memasuki halaman rumah Ki Gede, maka keringatpun seakan-akan telah menggelitik perasaan Pandan Wangi. Selalu terbayang di angan-angannya permainan Tayub yang kadang-kadang menjadi kasar. Pandan Wangi membayangkan, kelakuan Swandaru yang semakin tidak terkendali selama ia tidak ada di Sangkal Putung. Sementara itu, bayangan perempuan bukan saja yang telah menggoda Swandaru, tetapi juga perempuan yang mirip dengan Nyi Dwani, yang sering mengenakan pakaian khususnya telah memancing Pandan Wangi untuk segera pulang. Ternyata selama di Tanah Perdikan Menoreh, ia sama sekali tidak dapat menenangkan perasaannya.
Yang agak meringankan beban di hati Pandan Wangi adalah perhatian Sekar Mirah dan Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh terhadap keadaan keluarganya Keduanya telah berjanji untuk mengantarkannya pulang ke Sangkal Putung. Bukan saja mengantarkan pulang, tetapi juga berjanji untuk berbicara dengan Swandaru mengenai kebiasannya yang telah mengganggu keserasian keluarganya itu. Kebiasaan baru yang tidak seharusnya dilakukannya.
Meskipun Pandan Wangi merasa kecewa akan sikap ayahnya, tetapi ia mengganggap pendapat ayahnya benar, bahwa sebaiknya ia tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan. Justru memberi kesempatan kepada Swandaru untuk berbuat semakin tidak terkekang.
Karena itu, maka Pandan Wangipun memutuskan, ia akan berada di Tanah Perdikan tidak lebih dari sepekan.
Pada malam ketiga Pandan Wangi memenuhi keinginan Prastawa untuk bermalam di rumah ayahnya. Prastawa membawa isterinya untuk menemani Pandan Wangi sebagaimana pernah dikatakannya.
Menurut Pandan Wangi, isteri Prastawa adalah seorang perempuan yang baik. Tetapi ia masih terlalu muda untuk membantu membawa beban perasaan Pandan Wangi. Pandan Wangipun sama sekali tidak mengatakan, apa yang sebenarnya telah dialaminya di Sangkal Putung, meskipun Pandan Wangipun tahu, bahwa isteri Prastawa itu tentu sudah mendengar persoalan yang dihadapinya dalam keluarganya.
Sebenarnyalah bahwa isteri Prastawa itu juga sudah mengetahuinya Tetapi karena Pandan Wangi tidak menyinggungnya, isteri Prastawa itupun merasa sangat canggung untuk memulainya.'
Pandan Wangi bermalam dua malam di rumah ayahnya. Pada hari terakhir ia berada di Tanah Perdikan, Pandan Wangi sudah mengatakan kepada ayahnya dan kepada Prastawa bahwa ia akan bermalam dirumah Agung Sedayu.
"Kenapa ?" bertanya Prastawa
" Besok aku akan berangkat pulang. Besok Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu akan mengantarkan aku. Karena itu, maka aku akan berangkat bersama-sama mereka"
"Mbokayu tidak lagi singgah di rumah ini?"
" Tentu. Besok kami akan singgah untuk minta diri kepada ayah."
"Seharusnya malam ini mbokayu tidur di rumah Ki Gede. Besok biarlah Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu singgah menjemput mbokayu disini."
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya " Masih ada yang ingin aku bicarakan dengan Sekar Mirah, Prastawa. "
Prastawa termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Gedepun berkata "Jika malam nanti kau bermalam di rumah Ki Lurah, besok pagi-pagi jangan lupa singgah kemari."
"Tentu ayah. Besok aku tentu singgah."
Sebenarnyalah, malam sebelum Pandan Wangi pulang ke Sangkal Putung, ia bermalam di rumah Sekar Mirah. Memang ada beberapa hal yang mereka bicarakan sebelum mereka akan menemui Swandaru di Sangkal Putung."
Hari itu, Agung Sedayu sudah memberitahukan prajurit di baraknya, bahwa ia akan pergi ke Sangkal Putung untuk beberapa hari. Agung Sedayu sudah menunjuk seorang kepercayaannya untuk memegang pimpinan di barak itu selama ia pergi. Sementara itu, dua orang prajuritnya telah diperintahkannya untuk memberi laporan ke Mataram akan kepergiannya serta tentang orang yang telah ditunjuknya untuk memimpin barak itu untuk sementara.
Malam sebelum Agung Sedayu dan Sekar Mirah berangkat mengantar Pandan Wangi, Ki Lurah itupun telah memberikan beberapa pesan kepada Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Empu Wisanata, Juga kepada Rara Wulan dan Nyi Dwani.
(Bersambung ke Jilid 321)
Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Jilid : 321 - 330 ________________________________________
Jilid 321 SEMENTARA itu, Agung Sedayupun telah bertanya kepada Sabungsari, apakah ia akan kembali ke Jati Anom atau untuk sementara masih akan berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Sabungsari nampak menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun berkata "Ki Lurah. Aku akan singgah di Mataram."
" Bagus " sahut Agung Sedayu " aku hampir menanyakannya."
" Aku mohon Ki Lurah menyampaikannya kepada Ki Tumenggung Untara, bahwa aku masih mohon waktu beberapa hari."
"Ya Aku akan singgah di Jati Anom."
" Untuk apa kau singgah, di Mataram ?" bertanya Pandan Wangi.
Sabungsari termangu-mangu. Namun sambil tersenyum Sekar Mirah menjawab "Ada sesuatu yang sangat menarik bagi Sabungsari di Mataram."
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Sementara Rara Wulanpun berkata " Jangan kau biarkan waktu merayap terus, kakang Sabungsari."
Sabungsari hanya tersenyum saja.
Namun akhirnya Pandan Wangipun tanggap juga. Katanya "O, jika demikian, kau memang harus singgah di Mataram."
Dalam pada itu, Ki Jayaragapun berdesis "Rumah ini akan menjadi sangat lengang."
"Kami akan segera kembali" sahut Agung Sedayu.
"Tetapi angger Sabungsari tidak akan segera kembali kemari setelah Ki Wijil dan Nyi Wijil meninggalkan rumah ini pula.".
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya "Kita tidak dapat mengharap Sabungsari segera kembali. Ia mempunyai persoalannya "sendiri yang harus diselesaikannya."
Glagah Putih tertawa. Katanya " Aku besok ikut kau saja ke Mataram."
Sabungsari hanya tersenyum-senyum saja. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk menjawabnya, sehingga Sabungsari merasa lebih baik untuk berdiam diri saja. "
Malam itu, Pandan Wangi masuk kedalam biliknya sebelum tengah malam. Sementara Glagah Putih dan Sabungsari duduk di serambi gandok. Rasa-rasanya mata mereka belum mengantuk, sementara udara didalam bilik mereka terasa panas sekali.
Di tengah malam Sukra ikiit duduk bersama mereka. Namun seperti biasanya anak itu bersungut-sungut. " Bagaimana aku dapat memiliki ilmu kanuragan yang baik jika segala-galanya selalu tersendat. "
"Kau harus berlatih dengan teratur" sahut Glagah Putih.
"Bagaimana dapat teratur. Kau memberikan latihan-latihan seingatmu saja Atau disela-sela kesibukanmu. Itu kalau kau tidak letih. "
"Jangan menunggu aku. Ada atau tidak ada aku, kau harus berlatih teratur. Kau sendiri menentukan waktunya. Sejak senja setelah kau menyalakan lampu dan memenuhi kewajibanmu. Kemudian berhenti untuk beristirahat sampai wayah sepi uwong. Baru kemudian dilanjutkan beberapa saat lagi sampai kau merasa letih."
"Jadi aku harus terlatih sendiri" "
"Ya Sudah berapa kali aku katakan. "
"Kemampuanku tidak akan meningkat. "
"Tentu meningkat Latihan-latihan itu akan membuatmu mematangkan unsur-unsur gerak yang sudah kau miliki. Meningkatkan daya dan penguasaan tubuh. Di kesempatan lain, aku akan memberikan beberapa petunjuk tentang unsur-unsur baru didalam olah kanuragan untuk meningkatkan ilmumu. Asal kau lakukan dengan selalu mengingat petunjuk-petunjukku, sendirianpun kau akan menjadi semakin meningkat."
Sukra termangu-mahgu. Namun kemudian katanya " Baiklah. .Aku akan berlatih dengan teratur, meskipun sendiri; Sejak besok malam. "
" Bukankah kau tidak lagi turun ke sungai" "
"Untuk sementara tidak. Aku pinjamkan pliridanku kepada seo-' rang kawanku. Bukan hanya membuka di sore hari dan menutup di dini hari. Tetapi ia juga harus memelihara dengan baik. "
" Bagus " Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Besok jika tidak ada tugas yang mendadak, aku akan berada di sanggar bersamamu."
" Kau selalu berkata begitu. Jika tidak ada tugas yang mendadak."
Glagah Putih tidak sempat menjawab. Sukrapun kemudian telah . meninggalkannya dan menghilang disudut gandok.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Sabungsaripun berkata " Anak itu mempunyai kemauan yang besar sekali, Glagah Putih. "
" Ya. Mudah-mudahan ia dapat menguasai ilmu dengan baik.
* Tetapi sifatnyapun harus mendukungnya, sehingga ilmu yang dimiliki itu akan berarti bagi orang banyak.",
" Anak itu lugu dan jujur. Tergantung bagaimana kau mengarahkannya"
"Hidupku sendiri tidak selalu terarah. "
" Tetapi bukankah kau pernah merasa diarahkan oleh guru-gurumu" Ki Lurah Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga" "
Glagah Putih mengangguk. " Nah, apakah nanti yang akan terjadi pada Sukra, namun kau berkewajiban untuk mengarahkannya. "
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Keduanya kemudian berhenti berbincang ketika mereka mendengar suara kentongan dengan irama dara muluk. Glagah Putihlah yang kemudian berkata " Beristirahatlah. Besok kau akan ke Mataram. Kau harus nampak segar dan riang. Jangan mengantuk. "
Sabungsari tersenyum. Katanya " Baiklah. Mataku juga sudah mulai merasa mengantuk. "
Sabungsari dan Glagah Putihpun kemudian masuk kedalam bilik masing-masing. Nyala lampu minyak didalam bilik masing-masingpun telah diperkecil.
Sejenak kemudian Glagah Putihpun telah tertidur. Namun justru Sabungsarilah yang tidak segera dapat memejamkan matanya.
Namun didini hari, Sabungsaripun telah terlena beberapa lama.
Menjelang fajar, seisi rumah itu sudah terbangun. Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari telah bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan rumah itu.
Setelah makan pagi, saat matahari terbit, maka merekapun telah turun ke halaman.
Agung Sedayu sekali lagi memberikan pesan-pesannya kepada orang-orang yang tinggal di rumah itu. Demikian pula Sekar Mirah.ia masih memberikan beberapa pesan kepada Rara Wulan dan Nyi Dwani. Mereka harus selalu berusaha untuk mengetahui perkembangan keadaan. Setiap kali mereka harus bertanya kepadaGlagah Putih.
Sedangkan Glagah Putih setiap hari harus berhubungan dengan Prastawa untuk dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di Tanah Perdikan itu.
" Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang gawat di Tanah Perdikan ini "berkata Agung Sedayu kemudian. Namun iapun berkata selanjurnya "tetapi disini masih ada Ki Jayaraga, Empu Wisanata yang akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk jika terjadi sesuatu. "
Tetapi Ki Jayaragapun berdesis sambil tersenyum " Aku akan mengatasi dengan segera jika rumput-rumput liar tumbuh.diantara batang-batang padi di sawah bersama Empu Wisanata."
Namun Sabungsari sempat juga berdesis "Ki Jayaraga tidak usah mempergunakan Aji Sigar Bumi untuk menyingkirkan rumput-rumput liarku."
Ki Jayaraga tertawa, yang lainpun tertawa pula.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari yang akan pergi ke Mataram itupun telah berangkat. Kuda-kuda mereka berlari tidak terlalu kencang. Debu yang tipis mengepul di belakang kaki-kaki kuda itu.
Beberapa saat kemudian kuda-kuda itupun telah keluar dari padukuhan induk Dihadapan mereka terhampar bulak yang luas. Sawah yang hijau itu terbentang sampai ke cakrawala. Di sana-sini nampak padukuhan-padukuhan tersembul bagaikan pulau-pulau kecil dihamparan lautan yang tenang. Riak-riak kecil mengalir oleh sentuhan angin yang lembut nampak seperti gelombang kecil yang beriringan menuju ke pantai.
Tidak banyak yang dibicarakan oleh keempat orang berkuda di tengah-tengah bulak itu. Pandan Wangi masih saja mengagumi Tanah Perdikannya yang sudah agak lama ditinggalkannya. Meskipun Pandan Wangi juga sering datang menengok ayah serta sanak kadang serta melihat-lihat Tanah Perdikannya itu, tetapi ia tidak mengamatinya dengan sungguh-sungguh seperti waktu itu.
Seperti Kademangan Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh juga mengalami kemajuan yang pesat Tetapi setelah hatinya terluka, maka rasa-rasanya kerinduannya kepada Tanah Perdikan dan sanak ladangnya terasa semakin menyala diliatinya.
Sekar Mirah yang berkuda disebelahnya tidak terlalu sering mengganggunya. Dibiarkannya Pandan Wangi mengagumi kampung halamannya, tempat ia dilahirkan.
Di belakang mereka, Agung Sedayu berkuda bersama Sabungsari. Keduanyapun tidak terlalu banyak berbincang. Agung Sedayu tidak ingin mengganggu angan-angan Sabungsari yang tentu sudah mendahului wadagnya sampai di Mataram,
Ketika matahari naik semakin tinggi, maka merekapun telah sampai jalur jalan yang langsung menuju ketempat penyeberangan. Jalan yang terhitung ramai, karena jalan itu menghubungkan Mataram dan daerah sebelah Barat yang mulai tumbuh.
Beberapa orang berkudapun sering lewat jalan itu, terutama para pedagang yang banyak menjelajahi daerah yang jauh.
Beberapa kafi merekapun mendahului kelompok-kelompok orang yang menuntun kuda beban, membawa barang-barang dagangannya
Jalan itu dari hari ke hari memang menjadi semakin ramai, sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan hidup di Mataram dan lingkungannya. Beberapa pedati penuh membawa hasil bumi, sedangkan pedati yang lain, yang menempuh jalan sebaliknya membawa hasil kerajinan tangan serta pekerjaan besi, seperti alat-alat pertanian dan sebagainya. Sedangkan beberapa ekor kuda beban yang dituntun oleh pemiliknya membawa kain lurik yang dikumpulkan dari para penenun yang tersebar.
Beberapa saat kemudian, keempat orang penunggang kuda dari Tanah Perdikan itu telah sampai ke tepian Kali Praga. Mereka harus menunggu dengan sabar giliran mereka menyeberang dengan rakit yang hilir mudik dari tepi Barat ke tepi sebelah Timur Kali Praga dan sebaliknya.
Namun beberapa orang diantara mereka ternyata tidak sabar menunggu. Beberapa orang anak muda nampak mulai gelisah.
Ketika dua buah rakit dari tepi sebelah Timur merapat ke sisi sebelah Barat, sementara beberapa orang yang telah menunggu lebih dahulu akan naik, maka anak-anak muda yang tidak sabar itu telah mendorong mereka dan berloncatan naik ke rakit.
Beberapa orang menjadi marah.. Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya.
Namun yang terjadi kemudian adalah dituar dugaan anak-anak muda itu. Dua orang yang seharusnya telah lebih dahulu naik ke rakit itu menjadi marah. Mereka tidak membiarkan diri mereka didorong-dorong ketika mereka akan naik ke alas rakit.
Ketika seorang anak muda mendorong salah seorang dari kedua orang itu, maka tiba-tiba saja anak muda itu telah terlempar dan terpelanting jatuh dengan kerasnya sehingga anak muda itu telah berteriak kesakitan.
Kawan-kawannyapun terkejut Beberapa orang yang sudah naik ke atas rakitpun berloncatan turun. Sementara dua orang diantara mereka berlari-larian menolong kawan mereka yang kesakitan itu. Tetapi kedua orang yang seharusnya lebih dahulu naik ke atas rakit itupun telah menjadi marah pula, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu justru telah menyerang anak-anak muda yang mengepungnya.
Anak-anak muda itupun segera beramai-ramai mengeroyok kedua orang yang marah itu. Tetapi seorang demi seorang mereka terpelanting jatuh sambil mengaduh kesakitan.
Orang-orang yang sedang menunggu gilirannya di tepian itupun telah menjauh.. Mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian itu, karena dengan demikian akan dapat terjadi salah paham.
Ternyata beberapa orang anak muda itu sama sekali tidak berdaya melawan kedua orang yang marah itu. Ada dianiara mereka yang melarikan diri. Tetapi ada yang tidak mampu lagi beringsut dari tempatnya. Bahkan untuk bangkit dan dudukpun punggungnya terasa sakit.
Kedua orang yang marah itu tidak mengejar anak-anak muda yang lari. Kepada mereka yang tidak segera dapat bangkit itu, seorang diantara kedua orang itu berkata "Kalian bukan orang-orang yang mempunyai kedudukan khusus di tanah ini, anak-anak muda. Seharusnya kalian menghormati tatanan yang berlaku dalam kehidupan serta pergaulan diantara sesama.
Anak-anak muda yang kesakitan itu tidak menjawab. Sementara kedua orang itupun berkata kepada orang-orang yang berdiri termangu-mangu "Marilah. Siapa yang sudah seharusnya naik. naiklah. "
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya kedua rakit itupun segera menjadi penuh. Dua orang yang berkelahi itupun telah berada diatas rakit dan sejenak kemudian bergerak menyegerang ke tepian disebelah Umur.
Agung Sedayu, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Sabungsari berdiri termangu-mangu. Mereka memang menyesali tingkah laku anak-anak muda itu. Tetapi sudah tentu tidak semua anak-anak muda bertingkah laku seperti mereka. Kedua orang yang marah itupun masih terhitung muda, meskipun agak lebih tua dibandingkan dengan lawan-lawan mereka."
" Mereka memang memerlukan sedikit peringatan " desis Sabungsari.
Agung Sedayu mengangguk Sementara itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsaripun melangkah lebih menepi. Jika ada rakit lagi yang datang, maka mereka mendapat giliran untuk menumpang.
Tetapi mereka masih harus menunggu dua buah rakit yang masih sedang mulai meluncur ke Barat.
Dalam pada itu, anak-anak muda yang melarikan diri itupun telah kembali lagi. Mereka segera menolong kawan-kawan mereka yang kesakitan. Sedikit demi sedikit rasa sakit itupun menjadi berkurang.
Sekar Mirah yang memperhatikan beberapa orang anak muda yang kesakitan itupun berdesis "Kasihan juga mereka Anak-anak nakal itu pada suatu saat telah terantuk batu yang cukup keras. Mudah-mudahan tidak terulang Jagi. "
Tetapi baru saja Sekar Mirah berhenti berbicara, tiba-tiba anak-anak muda itu melangkah mendekat Ternyata mereka tidak menjadi jera. Dengan lantang seorang diantara mereka berkata "Minggir kalian. Kami akan naik lebih dahulu. Kami harus mengejar kedua orang yang tidak tahu diri itu. "
Sikap sekelompok anak-anak muda itu memang mengejutkan. Orang-orang yang ada di tepian itu tidak mengira, bahwa mereka sama sekali tidak mengingat apa yang baru saja terjadi.
Namun orang-orang di tepian itu tidak mau bertengkar. Karena itu, mereka membiarkan anak-anak muda itu untuk naik kerakit lebih dahulu jika kedua rakit yang sedang menyeberang itu sampai di tepian sebelah Barat
Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsaripun merasa lebih baik sedikit mengalah. Di belakang dua rakit itupun telah meluncur pula sebuah rakit yang lain.
"Hari pasaran di seberang"desis seorang perempuan yang juga akan menyeberang " karena itu penyeberangan ini menjadi ramai."
Namun yang tidak diduga-duga telah terjadi. Beberapa dari antara anak-anak muda itupun mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Mereka mengamati keduanya seperti mereka mengamati seekor kuda
" He, bukankah kalian perempuan" "
Pandan Wangi dan Sekar Mirah memang merasa tersinggung. Tetapi mereka tidak segera mengambil sikap. Sementara itu Agung Se-dayulah yang menjawab " Ya, anak-anak muda. Keduanya adalah perempuan."
" Menarik sekali. Perempuan-perempuan cantik dengan pakaian laki-laki Kenapa kalian berpakaian seperti ini" "
"Hanya kebiasaan saja" jawab Agung Sedayu pula
" Aku tidak bertanya kepadamu. Aku bertanya kepada perempuan-perempuan ini. "
" Memang hanya satu kebiasaan saja, Ki Sanak" jawab Sekar Mirah.
" Nah, kalian berdua dapat naik rakit bersama kami Biarlah kedua orang kawanmu menyusul kemudian. Tinggalkan saja kuda kalian. Kawan-kawanmulah yang akan membawanya. Bukankah kalian nanti akan bertemu diseberang."
" Terimakasih, Ki Sanak" jawab Sekar Mirah " kami akan naik rakit kemudian bersama dengan suami-suami kami. "
Anak-anak muda itu memandang Agung Sedayu dan Sabungsari berganti-ganti. Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar melangkah mendekati Agung Sedayu sambil berdesis "Jadi kau suami salah saru dari perempuan itu?"
"Ya, Ki Sanak" Anak muda itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian memandang Sabungsari dan bertanya "Kau juga ?"
"Ya, Ki Sanak" jawab Sabungsari yang tanggap pada keadaan.
" Biarlah isteri-isteri kalian naik rakit bersama kami. Itu rakitnya sudah mendekati tepian. Kalian dengan membawa kuda-kuda kalian, menyusul di rakit yang kemudian."
"Terserah kepada isten-isteri kami itu, Ki Sanak. Apakah mereka bersedia atau tidak."
"Tidak" sahut Sekar Mirah dengan serta-merta
" Nah, kau dengar. Isteri-isteri kami berkeberatan. Sebaliknya, biarlah kami naik rakit yang kemudian. Kami tidak tergesa-gesa."
" Kami akan membawa kedua orang perempuan itu. Kami tidak minta persetujuannya dan tidak minta persetujuan kalian berdua."
"Jangan memaksa" desis Pandan Wangi. Hatinya memang lagi berguncang. Sikap anak-anak muda itu membuatnya sangat tersinggung
Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu tertawa. Katanya "Kami berniat membawa kalian bersama kami dalam dua rakit Seorang dirakit yang satu, seorang lagi dirakit yang lain. Kalian akan merasa senang bersama kami. Kalian dapat merasakan kegembiraan anak-anak muda yang tegar. Bukan laki-laki kuyu dan lusuh seperti kedua orang suami kalian itu."
"Jangan ganggu kami, Ki Sanak" geram Pandan Wangi.
"Kalian tentu tidak berkeberatan."
"Kami sangat berkeberatan."
" Kami akan memaksa. Jika suami-suami kalian mencoba untuk menghalangi, maka kami akan membunuh mereka." .
Sekar Mirah memandang seberang. Di lihatnya di kejauhan orang-orang yang naik rakit ke seberang sudah hampir sampai. Dengan nada tinggi iapun berkata "Kedua orang yang baru saja menghajar kalian itu melihat apa yang kalian lakukan. Mereka akan menunggu kalian diseberang dan kalian tidak akan diampuni lagi."
Beberapa orang diantara anak-anak muda itu tertawa Seorang diantara mereka berkata"Mereka tidak akan pernah dapat menemukan kami dan juga kalian berdua"
"Apa maksudmu ?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku tidak mau basa-basi. Kami ingin membawa kalian pergi ke tempat tinggal kami. Mau tidak mau. Jika suami-suami kalian berkeberatan, mereka akan kami bunuh di muka hidung kalian."
Tetapi Sekar Mirah maupun Pandan Wangi sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan dengan mengangkat wajahnya Sekar Mirah bertanya"Siapakah kalian sebenarnya?"
" Persetan dengan pertanyaanmu. Siapapun kami tidak ada bedanya bagi kalian."
" Maaf, anak-anak muda Kami tidak dapat ikut dengan kalian. Seandainya kami tidak bersuamipun kami menganggap bahwa kalian masih terlalu kanak-kanak bagi kami. Barangkali adikku yang bungsu seumur kalian."
" Diam" bentak orang yang bertubuh tinggi besar " ikut kami atau kami akan memaksa kalian."
"Terserah kepada suami-suami kami "jawab Sekar Mirah.
Tetapi Agung Sedayu menjawab sambil tertawa "Terserah kepada kalian, apakah kalian mau dibawa atau tidak."
" Jadi kami harus menentukan sikap sendiri ?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya" jawab Agung Sedayu.
Anak-anak muda itu memang menjadi bingung ketika mereka melihat Agung Sedayu justru menggamit Sabungsari dan mengajaknya duduk di pasir tepian, didekat kuda-kuda mereka
"Gila Apakah kalian gila ?" bentak anak muda itu. Tetapi Agung Sedayu menjawab " Kalian berurusan langsung dengan kedua orang perempuan itu. Aku tidak peduli. Mungkin kalian memang sudah merencanakan permainan ini, sehingga kalian sengaja menjemput kedua orang perempuan itu sepengetahuan mereka. Kami tidak mau berkelahi dan menjadi korban, karena hal itu sudah kalian rencanakan sebelumnya"
" Gila Apakah kalian laki-laki gila yang membiarkan isteri-isteri kalian dibawa orang."
" Buat apa kami harus mengorbankan nyawa kami, jika kalian dan perempuan-perempuan itu sudah membuat janji."
" Tidak. Tidak. Kami tidak membuat janji. Kami akan menculik isteri-isteri kalian dengan paksa Sebagai laki-laki kalian harus mempertahankannya"
" Persetan. Berurusanlah langsung dengan perempuan-perempuan itu." -
Wajah anak-anak muda itu nampak menjadi sangat tegang. Mereka justru menjadi bingung menghadapi sikap Agung Sedayu dan. Sabungsari, yang benar-benar tidak mempedulikan kedua orang perempuan yang akan diculik oleh beberapa orang anak muda itu.
Namun anak muda yang bertubuh tinggi besar itu berkata " Aku tidak peduli dengan kalian. Kami akan membawa perempuan ini."
Orang-orang yang ada di tepian itu menjadi sangat tegang. Ada diantara mereka yang keheran-heranan melihat sikap kedua laki-laki yang mengaku suami-suami dari kedua orang perempuan itu. Ada yang justru marah. Tetapi ada yang dapat memaklumi, bahwa apapun yang mereka lakukan tidak akan menolong. Jumlah anak-anak muda itu terlalu banyak. Sekitar delapan atau sembilan orang selain yang masih kesakitan karena perkelahian yang terjadi sebelumnya.
Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang berani ikut campur, karena anak-anak muda itu akan dapat menjadi liar.
Sementara itu, Agung Sedayu dan Sabungsari masih saja tidak menghiraukan kedua orang perempuan yang akan diculik oleh anak-anak muda itu. Bahkan merekapun justru bertanya. "Kenapa tidak segera kalian lakukan " Sudah aku katakan, berurusanlah dengan kedua perempuan itu langsung. Jangan hiraukan kami. "
" Baik. Baik " teriak anak muda yang bertubuh besar dan tinggi itu.
Kepada kawan-kawannya anak muda itu berkata " Marilah. Bawa keduanya. "
Tetapi ketika anak-anak muda itu mulai bergerak, Sekar Mirahpun berkata " Pergi. Jangan ganggu kami. "
" Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan kata-katamu " sahut anak muda yang bertubuh tinggi dan besar itu sambil menangkap pergelangan tangan Sekar Mirah yang berdiri lebih dekat daripada Pandan Wangi. Sementara anak muda yang lainpun berusaha untuk menjangkau lengan Pandan Wangi.
Sementara itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mengerti maksud Agung Sedayu, sudah jemu melihat tingkah laku anak-anak muda itu. Karena itu, demikian tubuh mereka disentuh, maka dua orang anak muda telah terlempar jatuh.
Anak muda yang bertubuh besar dan tinggi di terpelanting diatas pasir tepian. Betapa sakit tulang punggungnya. Tetapi iapun segera berusaha untuk bangkit berdiri. Demikian pula seorang anak muda yang lain yang berusaha menarik Pandan Wangi.
Anak-anak muda itu baru menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perempuan yang tidak sebagaimana perempuan kebanyakan. Apalagi ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangilah yang justru mulai menyerang.
Perkelahianpun telah terjadi lagi. Anak-anak muda itu melawan dua orang perempuan.
Tetapi anak-anak muda itu tidak mempunyai kesempatan lagi. Kedua orang perempuan itu justru berkelahi lebih keras dan lebih garang dari kedua orang laki-laki yang berkelahi melawan mereka sebelumnya.
Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak berkelahi beradu punggung. Tetapi keduanya telah meloncat saling menjauhi dan justru berada dituar kelompok anak-anak muda itu, sehingga meskipun lawannya hanya dua orang, anak-anak muda itu merasa seakan-akan mereka telah terkepung oleh sekelompok orang sehingga tidak dapat ditembusnya.
Jika menghadapi dua orang laki-laki yang telah naik ke rakit itu, sebagian diantara mereka sempat melarikan diri, tetapi melawan kedua orang perempuan, tidak seorangpun diantara mereka yang dapat lolos. Satu demi satu merekapun jatuh terbanting ditepian berpasir. Seorang menelungkup sambil memegangi perutnya yang terasa menjadi sangat nyeri. Seorang yang lain, memegangi dadanya yang bagaikan dihimpit oleh segumpal batu padas sebesar kerbau. Ada yang tulang punggung serasa patah, sedangkan yang lain berguling-guling kesakitan karena keningnya tersentuh tangan lawannya.
Anak muda yang bertubuh besar dan tinggi itupun sudah tidak, mampu lagi untuk bangkit Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang. Telinganya bagaikan bergaung menghentak-hentak kepalanya. Sementara tulang pahanya bagaikan patah.
Akhirnya yang tersisapun berteriak-teriak minta ampun. Dua orang yang masih dapat berdiri tegak justru menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Sekar Mirah sementara seorang yang lain menyembah Pandan Wangi sambil berkata memelas " Ampun. Aku minta ampun. "
Pandan Wangi menggenggam rambut anak muda itu. Rambutnya yang lebat yang sudah tidak lagi tertutup oleh ikat kepalanya yang terlepas. Sambil menarik rambut itu iapun berkata " Kau membuat kita menjadi tontonan disini. Kami menjadi sangat malu karenanya. Tetapi seharusnya kalian lebih malu lagi dari pada kami. "
" Kami mohon ampun. "
" Tetapi lihat. Semua orang merubung kita. Persetan dengan kalian. Kami akan menyeberang. "
Pandan Wangipun kemudian berkata kepada Sekar Mirah " Marilah. Rakit itu sudah kosong. Kita jangan terlalu lama menjadi tontonan disini. "
Agung Sedayu dan Sabungsari sudah tidak duduk lagi di atas pasir tepian. Tetapi mereka sudah mendahului menuntun kuda mereka kerakit yang sudah merapat.
Sekar Mirah dan Pandan Wangipun segera menyusul mereka, meninggalkan anak-anak muda yang kesakitan di tepian.
" Sulit untuk membuat mereka jera " desis Sekar Mirah. Tetapi ketika Pandan Wangi berpaling, iapun berdesis " Lihat..."
Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Sabungsaripun berpaling. Mereka melihat ampat orang prajurit berkuda mendekati tepian. Agung Sedayu segera mengenali mereka meskipun tidak seorang-seorang. Tetapi menilik pakaian mereka, maka mereka adalah para prajurit dari pasukan khusus yang sedang meronda
" Mereka akan menangani anak-anak nakal itu " desis Agung Sedayu yang justru mempercepat langkahnya " biarlah mereka tidak mengetahui bahwa aku ada disini. "


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian maka keempat orang itupun sudah berada di atas rakit Demikian rakit itu mulai bergerak, maka para prajurit berkuda itu sudah turun dari kuda mereka didekat anak-anak muda yang sebagian masih kesakitan.
Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari masih melihat para prajurit itu mengumpulkan anak-anak muda itu. Agaknya seseorang telah memberikan laporan tentang anak-anak nakal itu ketika berpapasan dengan para prajurit yang sedang meronda. Bahkan mereka masih juga melihat beberapa anak muda itu menunjuk kearah rakit yang meluncur ke tepian disebelah Timur.
"Mereka agaknya memberitahukan kepada para prajurit bahwa kita telah menyeberang."desis Sekar Mirah.
"Tetapi mereka tidak akan dapat mengenali aku" jawab Agung Sedayu yang dengan sengaja duduk dibalik kudanya
"Tetapi mereka mengenali kuda kakang."sahut Sekar Mirah.
"Kudaku dibayang-bayangi oleh kuda Sabungsari. "
Sekar Mirah tersenyum. Namun iapun kemudian berkata "Kenapa kakang justru membiarkan kami berkelahi dan menjadi tontonan orang-orang ditepian " "
" Seharusnya anak-anak itu merasa bahwa mereka bukan apa-apa Mereka dapat dikalahkan oleh perempuan yang akan mereka ganggu. Mereka agaknya sama sekali tidak menjadi jera dikalahkan oleh dua orang laki-laki sebelumnya"
Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Jadi seharusnya perempuan itu kalah dari laki-laki. "
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia justru bertanya kepada Sabungsari "Apakah begitu " "
Sabungsaripun tersenyum pula. Katanya " Entahlah. Aku tidak tahu."
Pandan Wangi hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.
Sementara itu, rakit yang mereka tumpangi itupun sudah semakin dekat dengan tepian disebelah Timur. Beberapa orang yang berada di tepian disebelah Timur sudah bersiap-siap untuk naik ke rakit itu, apabila para penumpangnya sudah turun.
Ketika Sabungsari sempat memandang ke tepian disebelah Barat, ia masih melihat para prajurit telah membawa beberapa orang anak muda itu bersama dengan mereka
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsaripun telah turun dari rakit. Mereka menuntun kuda mereka ditepian berpasir, sementara orang-orang yang menunggu telah naik ke atas rakit itu.
" Berapa kali tukang satang itu harus membawa rakitnya hilir mudik" desis Sabungsari.
" Mereka adalah orang-orang yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya" sahut Agung Sedayu.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya " Itupun kadang-kadang mereka masih harus makan tidak genap tiga kali sehari."
" Jika mereka hanya menyadarkan kehidupan mereka dari kerja itu. Tetapi ada diantara mereka yang mempunyai sawah meskipun tidak terlalu luas.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itupun telah meloncat kepunggung kudanya dan melanjutkan perjalanan mereka
" Sabungsari " berkata Agung Sedayu kemudian " aku tidak dapat menemanimu singgah di Mataram. Aku akan langsung pergi ke Sangkal Putung."
"Baiklah, Ki Lurah " sahut Sabungsari "tetapi jika ada waktu aku minta tolong, barangkali Ki Lurah bersedia singgah di Jati Anom. Sampaikan kepada Ki Tumenggung Untara, bahwa aku sedang dalam perjalanan kembali ke Jati Anom. "
" Baik. Baik. Aku akan singgah meskipun tidak bermalam. Aku juga ingin bertemu dengan paman Widura. "
"Terima-kasih"desis Sabungsari kemudian.
Namun untuk beberapa saat Sabungsari masih bersama Agung Sedayu. Tetapi kemudian Sabungsari harus memisahkan diri. "Selamat jalan"desis Sabungsari.
" Selamat jalan " Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjawab hampir berbareng. Namun Sekar Mirahpun masih berkata pula"Semoga segala sesuatunya berjalan lancar. "
Sabungsari tersenyum. Katanya"Terima-kasih, Nyi Lurah. -"
Demikianlah, maka Sabungsaripun telah mengambil jalan simpang yang langsung menuju ke Mataram, sementara yang lain melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Sangkal Putung.
Ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi mendekati Kali Opak, maka merekapun telah berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat, sementara ketiganyapun telah duduk pula disebuah kedai yang terletak di pinggir jalan.
Selagi mereka bertiga minum dan makan, tiba-tiba saja Sekar Mirah berdesis " Apakah setiap malam kakang Swandaru mengadakan tayub" "
"Hampir setiap malam " jawab Pandan Wangi
" Jika demikian, nanti kita memasuki Sangkal Putung setelah, gelap.
"Untuk apa ?" bertanya Agung Sedayu.
" Setelah pertunjukan tayub itu dimulai, seandainya malam nanti kakang Swandaru benar-benar menyelenggarakan pertunjukan itu.
Agung Sedayu dan Pandan Wangi masih belum tahu apakah maksud Sekar Mirah. Namun Sekar Mirahpun kemudian menjelaskannya, sehingga keduanya mengangguk-angguk.
Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Jika kita sampai di Sangkal Putung masih belum gelap, maka kita akan menunggu. "
Demikianlah, setelah beberapa saat lamanya mereka berada di kedai itu, maka setelah membayar harga makanan dan minuman, merekapun telah meninggalkan kedai itu
Namun perjalanan selanjutnya menjadi lebih lamban. Sekar Mirah ingin sampai di Sangkal Putung setelah gelap.
Ketika mereka mendekati Sangkal Putung, maka merekapun sengaja telah berhenti di pinggir sebuah pategalan yang agaknya baru saja dipanen. Pategalan yang ditanami jagung disela-sela beberapa pohon buah-buahan.
Rasa-rasanya mereka terlalu lama menunggu senja memasuki malam. Langit yang kemerah-merahan memancarkan cahaya layung yang tajam.
Tetapi merekapun telah memenuhi keinginan Sekar Mirah.
Beberapa saat kemudian, mataharipun benar-benar telah tenggelam. Malam turun. Namun Sekar Mirah itupun berkata " Biasanya tayub itu mulai di wayah sepi bocah. "
" Tetapi di wayah sepi bocah itu, bocah-bocah di Sangkal Putung yang sudah mulai terbiasa nonton tayub, justru keluar dari dalam rumahnya "desis Pandan Wangi.
" Orang-orang tua mereka tidak mencegahnya " " bertanya Agung Sedaya
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Orang tua mereka tidak mampu lagi mencegah mereka Apalagi jika orang tua itu adalah salah seorang yang juga gemar ikut dalam tayuban itu.
Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Katanya " Apapun caranya tetapi tayub itu harus dihentikan. "
Pandan Wangi tidak menyahut Meskipun ia sependapat dengan Sekar Mirah, Tetapi Pandan Wangi merasa tidak mempunyai jalan untuk dapat melakukannya
Ketiga orang itu merasa sangat lama menunggu. Namun akhirnya merekapun telah bergerak perlahan-lahan menuju ke kademangan Sangkal Putung.
Ketika mereka memasuki Kademangan, maka malam sudah menjadi semakin gelap. Tidak ada lagi orang yang berkeliaran di jalan-jalan. Bahkan ketika mereka memasuki padukuhan, terasa padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi. Gardu-gardu tidak lagi terisi oleh anak-anak muda yang meronda
Sebagian dari anak-anak muda itu telah terhisap ketempat tayuban diselenggarakan, sedangkan sebagian lagi menjadi kecewa dan tidak mau tahu, apa yang terjadi di kademangannya.
"Jika ada pencuri berhasil masuk kedalam rumah dan mengambil barang-barang di rumah itu, adalah salah pemilik rumah itu sendiri. Mereka tentu kurang berhati-hati, sehingga memberi kesempatan kepada pencuri itu untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh pemilik rumah itu."
Ketika sikap anak-anak muda itu dikatakan oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi semakin menyesali sikap Swandaru.
" Ketika seorang kaya dipadukuhan sebelah dirampok beberapa pekan yang lalu, tidak seorangpun datang membantunya. Suara kentongan yang sempat dibunyikan oleh keluarga itu tidak mendapat tanggapan sebagaimana seharusnya. Beberapa orang bebahu yang mendengar kentongan itu memang datang ke rumah itu bersama beberapa orang saja. Tetapi mereka terlambat Para perampok itu sudah pergi membawa barang-barang hasil rampokannya dan membiarkan suami isteri pemilik rumah itu terbaring di ruang dalam dengan luka yang parah di tubuh mereka. Seorang pembantu di rumah itu, justru terbunuh. Sedang anak laki-laki pemilik rumah itu sempat lolos setelah beberapa saat lamanya bersembunyi di kandang. Anak itu memang tidak berada di rumah. Ia baru datang dari sungai membuka pliridan. Demikian ia tahu bahwa rumahnya dirampok, maka iapun langsung bersembunyi di kandang lembu. Ketika perampok itu kemudian juga mengambil lembu itu, ia sudah lari ke dalam gelap dan bersembunyi di balik semak-semak. "
" Sangkal Putung telah benar-benar menjadi kacau. " desis' Sekar Mirah.
Seperti yang mereka rencanakan, maka setelah wayah sepi bocah, maka ketiga orang itupun mendekati padukuhan induk kademangan Sangkal Putung.
"Nah, kalian dengar suara gamelan itu " " desis Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk. Sayup-sayup mereka sudah mendengar gamelan yang mengiringi tayub yang agaknya diselenggarakan di tengah-tengah padukuhan induk.
" Ki Demang di saat-saat terakhir tidak memperkenankan tayub itu diselenggarakan di halaman rumah kami " berkata Pandan Wangi.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Pandan Wangi sudah mengatakannya sebelumnya bahwa tayub itu akhirnya diselenggarakan di rumah seorang kawan akrab Swandaru yang juga sedang disekap oleh pengaruh gelap tayub itu.
" Marilah " berkata Sekar Mirah, akulah yang akan melakukannya
Sejenak kemudian, mereka bertiga telah memasuki padukuhan induk. Suasananya memang sangat berubah. Gardu di mulut jalan induk sama sekali tidak terisi. Lampunyapun di gerbang padukuhan seperti juga oncor yang menggertakkan giginya Kudanya berlari terdepan meskipun tidak terlalu kencang.
"Marilah kita masuk "berkata Sekar Mirah ketika mereka sampai diregol halaman yang luas, yang nampak terang dan ramai dikunjungi orang yang ingin ikut bergembira dengan tari tayub atau sekedar menonton dan membeli kacang rebus.
Beberapa orang menyibak ketika mereka melihat tiga orang penunggang kuda memasuki halaman itu tanpa turun dari kudanya. Bahkan seorang diantaranya langsung menuju ke arena tari tayub yang sudah mulai meskipun masih belum memasuki irama yang panas. Namun beberapa orang mulurnya sudah mulai berbau tuak
Sekar Mirah yang marah itu langsung memasuki arena permainan tayub di halaman yang luas itu tanpa turun dari kudanya Para penabuh terkejut dan para penaripun lari keluar dari arena Tanpa mengekang diri, kuda Sekar Mirah telah membuat arena itu berserakan.
Beberapa orang yang baru menikmati irama yang menyentuh perasaan itu menjadi marah. Apalagi mereka yang sudah mulai terganggu kesadarannya oleh tuak
" Setan " teriak seorang anak muda yang masih mengalungkan selendang di lehernya "siapa kau yang berani mengganggu kesenangan"
"Buka matamu, siapa aku"sahut Sekar Mirah lantang. Orang-orang yang marah itu mulai memperhatikan perempuan di atas punggung kuda itu dengan seksama. Seorang diantara merekapun berdesis "Sekar Mirah."
"Ya Sekar Mirah."
Seorang yang lain tiba-tiba bertanya "Dimana Swandaru ?"
" Swandaru baru pergi sebentar menjemput Nimas Peletik Kuning."
Jantung Sekar Mirah berdesir mendengarkannya. Karena itu, hampir berteriak Sekar Mirah berkata " Persetan dengan Peletik Kuning. Bawa pergi gamelan itu atau aku akan menghancurkannya."
Namun tiba-tiba saja seorang perempuan yang mengenakan pakaian khusus sebagaimana dikatakan oleh Pandan Wangi melangkah mendekati Sekar Mirah. Sambil bertolak pinggang perempuan itupun berdesis " Kau siapa he, yang telah berani mengacaukan tontonan yang diselenggarakan oleh kakang Swandaru."
" Perempuan jalang, siapa namamu ?"
"Turun dari kudamu, atau aku akan menyeretmu."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tiba-tiba saja kakinya telah menghentak dada perempuan itu sehingga perempuan itu pelanting jatuh.
Namun dengan sigapnya ia melenting berdiri.
Sekar Mirahpun telah meloncat turun pula dan kudanya dan melepaskan kendali kudanya, sehingga kudanya berjalan sendiri menepi.
Agung Sedayulah yang kemudian menangkap kendali kuda itu.
" Perempuan itulah yang aku katakan mirip Nyi Dwani " desis Pandan Wangi " sebenarnya sudah lama aku ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu, tetapi seteiap kali aku masih mempertimbangkan sikap kakang Swandaru. Jika kakang Swandaru berpihak kepadanya, maka habislah sudah namaku di Sangkal Putung ini"
" Kau sudah bersikap benar, Pandan Wangi, kau memang harus menjaga namamu."'
Sementara itu, kedua orang perempuan itu telah saling berhadapan. Perempuan yang berusaha menghentikan Sekar Mirah itu agaknya pemimpin dari rombongan itu Justru seorang perempuan.
Orang-orang yang berada di halaman rumah itu telah bergeser menjauh.
Agung Sedayu termangu-mangu. Perempuan itu memang mirip dengan Nyi Dwani. Semula, sebelum Agung Sedayu melihatnya, ia menyangka bahwa mungkin sekali orang itu adalah Nyi Yatni. Tetapi ternyata bukan. Agaknya kemiripan wajah itu hanyalah kebetulan dan tidak mempunyai hubungan apa-apa.
" Kau telah membawa bencana bagi kademangan ini " geram Sekar Mirah.
" Kami berada di sini atas ijin anak Ki Demang Sangkal Putung sendiri "jawab perempuan itu.
"Tetapi apakah kalian mendapat ijin dari Ki Demang ?"
" Apakah bedanya " Anak Ki Demang itulah yang memegang pimpinan pemerintahan disini."
"Omong kosong "jawab Pandan Wangi.
Perempuan itu berpaling, ia melihat Pandan Wangi dalam gelap berdiri sebelah Agung Sedayu. Dengan geram orang itu berdesis " Nyi Pandan Wangi"
Pandan Wangi melangkah mendekat sambil berkata "Kewenangan di kademangan ini masih tetap berada di tangan Ki Demang."
" Perempuan yang sakit hati " desis perempuan yang berdiri berhadapan dengan Sekar Mirah itu "jangan kau sesali jika suamimu berpaling darimu."
" Cukup " Sekar Mirahlah yang berteriak " apakah kau pemimpin kelompok perempuan jalang ini?"
" Siapa kau" Mulutmu setajam duri kemarung."
" Aku anak Ki Demang Sangkal Putung."
Wajah perempuan itu menjadi tegang. Katanya "Jadi kau saudara perempuan Swandaru ?"
"Ya Aku berhak mengusir kalian dari kademangan ini."
" Hakmu tidak sama dengan hak Ki Swandaru. Ia anak laki-laki Ki Demang, sedangkan kau anak perempuan."
" Aku tidak peduli. Bawa orang-orangmu pergi, atau aku akan mengusirmu seperti mengusir anjing liar."
"Jika kakakmu datang, ia akan marah kepadamu."
"Aku tidak peduli."
Tetapi perempuan itu justru menaruh tangannya dipinggang sambil berdesis "Aku berada disini atas permintaan Ki Swandaru. Aku hanya akan pergi jika Ki Swandaru yang mengusirku pergi."
"Persetan dengan kau " geram Sekar Mirah yang kehilangan kesabarannya. Dengan lantang ia berkata " bersiaplah. Aku akan mengusirmu dengan kekerasan."
Ternyata perempuan itu tidak takut. Iapun segera mempersiapkan dirinya menghadapi Sekar Mirah yang menjadi sangat marah.
Ketika Pandan Wangi melangkah lagi mendekat, Agung Sedayu menggamitnya sambil berdesis " Biarlah Sekar Mirah menyelesaikannya."
Sebenarnyalah kemarahan Pandan Wangi telah sampai di ubun-ubun. Sebenarnya ia ingin menghadapi perempuan itu. Tetapi nalarnya masih dapat mengendalikannya. Jika saja Swandaru berpihak kepada perempuan itu, maka namanya akan menjadi semakin tidak berharga di-mata rombongan penari itu."
Dalam pada itu, maka Sekar Mirah sudah mulai meloncat menyerang. Namun dengan tangkas perempuan itu mengelak. Perempuan itu meloncat selangkah kesamping.
Tetapi Sekar Mirah tidak melepaskannya. Sesekali ia berputar dengan kaki terayun menyamping.
Perempuan itupun telah melenting pula surut. Tetapi ia tidak mau menjadi sasaran-sasaran Sekar Mirah terus-menerus. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera meloncat menyerang.
Sekar Mirah melihat serangan itu. Tetapi kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga dengan sengaja ia tidak menghindar. Tetapi Sekar Mirah merendahkan sedikit tubuhnya pada lulurnya. Dengan sikunya ia membentur serangan kaki perempuan itu.
Perempuan itu terkejut. Benturan itu telah mendorongnya selangkah surut, sementara Sekar Mirah hanya sedikit bergetar ditempat-nya.
Dengan demikian, Sekar Mirah mampu menduga, seberapa besar tenaga perempuan itu dan seberapa tinggi kemampuannya.
Serangan-serangan Sekar Mirahpun kemudian datang seperti badai. Susul-menyusul tidak henti-hentinya
Perempuan itupun semakin terdesak. Namun perempuan itupun telah meningkatkan kemampuannya ketataran yang lebih tinggi.
Tetapi ketika ia berusaha mendesak Sekar Mirah, maka Sekar Mirahpun telah berada ditingkat yang lebih tinggi, sehingga serangan-serangannya bagaikan membentur dinding besi.
Perempuan itupun semakin lama semakin terdesak. Serangan-serangan Sekar Mirah mulai mengenai tubuhnya. Perempuan itu mengaduh tertahan ketika kaki Sekar Mirah mengenai lambungnya.
Ketika perempuan itu meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak, maka keduanya justru menjadi semakin sulit. Ketika tangannya berhasil mengenai kening Sekar Mirah, sehingga Sekar Mirah harus meloncat mengambil jarak, maka jantung Sekar Mirah yang panas itu menjadi bagaikan membara.
Serangan-serangan Sekar Mirahpun menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Tangannya dengan derasnya menghantam pundaknya sehingga perempuan itu terdorong surut. Demikian ia berusaha memperbaiki kedudukannya, maka kaki Sekar Mirahlah yang telah menghantam dadanya.
Perempuan itu terlempar jatuh. Dengan tangkasnya ia berputar beberapa kali. Sambil menahan sakit, perempuan itu mencoba melenting berdiri.
Namun demikian ia bangkit, Sekar Mirah bagaikan terbang meluncur dengan kaki terjulur lurus menyamping.
Perempuan itu tidak sempat mengelak dan tidak pula dapat menangkisnya. Karena itu, maka sekali lagi ia terlempar jatuh. Bahkan keadaannya menjadi lebih buruk dari sebelumnya Tubuhnya bagaikan terbanting seperti sebatang pohon pisang yang ditebang.
Terdengar perempuan itu mengeluh kesakitan. Tetapi perempuan itu masih juga berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia berdiri, Sekar Mirah telah meraih bajunya dan menariknya sambil mengguncangkannya Satu pukulan yang telak mengenai dagu perempuan itu sehingga wajahnyapun terangkat keatas.
Ketika Sekar Mirah melepaskan tangannya, maka perempuan itupun jatuh terguling. Tubuhnya menimpa gendang yang ditinggalkan oleh penabuhnya
Perempuan itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi iapun segera terjatuh kembali.
Tidak seorangpun yang berani datang untuk menolongnya Perempuan yang menyebut dirinya anak Ki Demang Sangkal Putung itu ternyata seorang perempuan yang garang dan berilmu tinggi. Perempuan yang memimpin rombongan itu, yang mereka banggakan ilmunya tidak mampu mengimbangi kemampuan Sekar Mirah.
" Siapa lagi yang akan mencoba melawan perintahku " berkata Sekar Mirah lantang.
Tidak seorangpun yang menjawab.
"Bawa barang-barang ini pergi dari kademangan ini. Selama aku disini, aku tidak mau melihat kalian berkeliaran disini. "
Orang-orang itu masih berdiri termangu-mangu di kejauhan.
Namun sekali lagi Sekar Mirah berteriak "Cepat, bawa semuanya pergi atau aku hancurkan disini. "
Beberapa orangpun melangkah dengan ragu-ragu mendekati gamelan yang berserakan.
Namun sebelum mereka membawa gamelan itu pergi, maka seekor kuda yang tegar memasuki halaman rumah itu. Swandaru duduk di punggung kuda bersama seorang perempuan, salah seorang penari yang tercantik, yang telah membuat nalar Swandaru tergelincir.
Darah Pandan Wangi tersirap. Bahkan Agung Sedayupun menge-tupkan giginya rapat-rapat.
"Apa yang terjadi ?"bertanya Swandaru sambil menghentikan kudanya Setelah ia meloncat turun, maka dibantunya perempuan yang berkuda bersamanya itu turun pula
" Apa yang terjadi " " Swandaru itu berteriak.
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara itu perempuan yang datang bersama Swandaru itupun ketakutan. Namun dengan demikian, ia bahkan selalu berpegang lengan Swandaru.
Sekar Mirahlah maju selangkah demi selangkah mendekati Swandaru yang memandanginya dengan wajalryang tegang.
" Sekar Mirah" desis Swandaru.
" Ya " " Kapan kau datang Sekar Mirah " Apakah kau yang melakukan ini?"
" Ya " " Kenapa?" " Sangat memuakkan. Sungguh memuakkan. Perempuan itu juga memuakkan " berkata Sekar Mirah sambil menunjuk perempuan yang terbaring diam didekat gendang yang tergolek di tanah " lebih-lebih perempuan yang datang bersamamu itu. Perempuan yang tidak tahu diri. Yang tidak menghargai kaumnya sendiri. "
" Sekar Mirah " potong Swandaru " apa yang kau maksudkan?"
" Perempuan yang telah menjual harga dirinya itu. Dan kenapa kau dapat kehilangan akalmu dan mengorbankan hidup dan tatanan kehidupan di Sangkal Putung. "
" Diam, kau Sekar Mirah. Kau tidak usah turut campur masalah-masalah yang timbul di Sangkal Putung. "
"Aku anak Demang Sangkal Putung. "
" Tetapi kau anak perempuan. Aku adalah anak laki-laki. Aku yang mempunyai wewenang atas kademangan ini. "
" Tidak sekarang. Ayah sekarang masih hidup. Ayahlah yang berhak menentukan."
" Ayah tidak berbuat sebagaimana kau lakukan. "
" Ayah sudah tua. Kaulah tumpuan harapannya. Tetapi apa yang kau lakukan sekarang dengan perempuan-perempuan yang tidak mempunyai harga diri itu " "
" Mereka adalah penari. Kau sama sekali tidak menghargai nilai-nilai yang dapat dibawakannya di dalam tarian mereka. "
" Aku hargai mereka yang mendalami keindahan tari. Bahkan aku tidak pernah menolak kehadiran tari tayub di Tanah Perdikan Menoreh, sebagaimana disini dahulu. Tetapi tidak dengan penari-penari seperti perempuan-perempuan yang tidak mempunyai harga diri itu. "
"Diam kau Sekar Mirah."
" Perempuan-perempuan yang membiusmu sehingga kau kehilangan dirimu sendiri. "
Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan geram ia berkata "Jika saja kau bukan seorang perempuan. He, dimana suamimu Sekar Mirah. Kenapa ia tidak datang untuk menemui aku disini."
Jantung Agung Sedayu berdebaran. Agaknya Swandaru masih belum melihatnya. Tetapi ia tidak akan dapat bersembunyi terus. Pada suatu saat, Swandaru tentu akan melihatnya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian melangkah maju sambil menyahut "Aku disini, Swandaru. "
Swandaru berpaling. Ia melihat Agung Sedayu dan Pandan Wangi dalam keremangan cahaya oncor yang berayun ditiup angin malam.
. " O, jadi kau disitu kakang. Ternyata Pandan Wangi telah membawa kalian kemari. "
Agung Sedayu melangkah maju, sementara Swandarupun berteriak.
" Kenapa bukan kau yang melakukan " Kenapa harus seorang perempuan" "
" Sekar Mirah adalah salah seorang keluarga kademangan ini. "
Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya Dengan lantang iapun berkata "Meskipun ia keluarga Sangkal Putung, tetapi ia tidak berhak berbuat seperti itu. "
" Kau juga tidak berhak berbuat sebagaimana kau lakukan, kakang."
"Kenapa?" "Kau bukan Demang disini. Kelak kau akan mewarisinya Tetapi tidak sekarang."
" Diam kau Mirah. Aku akan berurusan dengan suamimu. Kami sama-sama laki-laki (hal 6020)
"Apa bedanya laki-laki dan perempuan"geram Sekar Mirah" kau lihat Apa yang dilakukan oleh laki-laki dalam rombongan itu"
" Cukup " bentak Swandaru " Nah, kakang Agung Sedayu. Kau jangan bersembunyi dibelakang perempuan. Marilah, kita akan berbicara sebagai laki-laki. "
Sekar Mirah menjadi tegang. Ia tahu pasti, bahwa kemampuan Swandaru yang sebenarnya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu, Hanya karena Swandaru salah menilai dirinya, maka ia merasa bahwa Agung Sedayu masih belum mampu menyusulnya Karena itu, maka Swandaru justru telah membiarkan kitab yang ditinggalkan oleh gurunya Kiai Gringsing, berada di tangan Agung Sedaya
Agung Sedayu memang seorang yang sabar. Tetapi kesabarannya tentu ada batasnya.
Orang-orang yang berada di halaman itu menjadi tegang. Pandan Wangipun menjadi tegang pula Pandan Wangipun meyakini, bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi dari Swandaru. Bahkan jaraknya tentu tidak hanya selapis. Karena itu, jika terjadi benturan diantara mereka, maka Swandaru akan mengalami kesulitan. Mungkin Agung Sedayu akan dapat mengendalikan dirinya. Namun jika Agung Sedayu lepas kendali, maka Swandaru akan dapat benar-benar menjadi lumat
Suasana di halaman itupun menjadi sangat tegang. Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya Dengan susah payah Agung Sedayu berusaha mengekang perasaannya
Namun dalam suasana yang tegang itu, tiga orang telah memasuki halaman itu dengan tergesa-gesa. Seorang diantaranya adalah Ki Demang Sangkal Putung.
" Sekar Mirah"Ki Demang hampir berteriak.
Sekar Mirahpun berlari-lari kecil mendekati ayahnya menyambut dan menciumnya.
" Seseorang memberitahukan kepadaku, bahwa kau telah datang bersama suamimu dan Pandan Wangi. "
"Ya, ayah." Agung Sedayu dan Pandan Wangipun kemudian melangkah maju mendekati Ki Demang. Keduanya mengangguk hormat.
" Marilah. Aku minta kalian pulang. Kita akan berbicara dirumah. Tidak disini. Kita tidak akan menggantikan para penari tayub menjadi tontonan yang barangkali lebih menarik. "
"Baik ayah "jawab Sekar Mirah:
"Swandaru, kita pulang. "
"Tetapi..." "Pulang." "Nanti, aku menyusul ayah. "
Tiba-tiba saja Ki Demang membentak keras. " Pulang. Dengar perintahku."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Sekali-sekali ia berpaling kepada perempuan yang dijemputnya. Namun ketika ia akan berbicara Ki Demang membentaknya sekali lagi lebih keras "Kau dengar perintahku Swandaru" Aku siapa?"
Swandaru tidak menjawab lagi. Ia belum pernah melihat ayahnya demikian marahnya sehingga membentaknya sekeras itu.
Karena itu, maka Swandarupun tidak dapat menolak. Iapun kemudian berjalan pulang. Kepada seorang anak muda iapun berbisik."Antar perempuan itu pulang. "
Sejenak kemudian, Ki Demang, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Swandaru telah duduk di pringgitan rumah Ki Demang.
Ki Demang masih sempat menanyakan keselamatan perjalanan Agung Sedayu dan mereka yang bersamanya. Juga keselamatan Ki Gede Menoreh dan keluarganya serta kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan.
Baru kemudian Ki Demangpun berkata " Suasana seperti ini sudah berlangsung beberapa lama. "
"Apakah tidak ada akibat apa-apa bagi kademangan ini, ayah. " bertanya Sekar Mirah.
" Tentu ada. Akibat buruk Buruk bagi kademangan Sangkal Putung dan buruk bagi keluarga kita."
" Sebenarnya akibat itu tidak ada, ayah"sahut Swandaru " hanya orang-orang tertentu sajalah yang membesar-besarkannya. Aku justru ingin membuktikan, bahwa tidak akan ada akibat apa-apa jika beberapa orang itu berhenti menghasut. "
" Kau menuduh aku menghasut"
"Tidak. Bukan ayah. "
" Siapa yang kau maksud. Akulah yang mengatakan bahwa ada akibat buruk dengan tari tayub yang menyimpang dari kewajiban. Tari yang biasanya diselenggarakan di sawah untuk menanggapi panenan yang berhasil itu, apa jadinya sekarang."
Wajah Swandaru menjadi tegang. Dipandanginya Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Pandan Wangi berganti-ganti. Dengan nada tinggi Swandaru itupun berkata " Semua itu adalah akibat rasa cemburu yang berlebihan pada Pandan Wangi. Jika aku menari bersama para tledek, bukankah itu hanya terjadi di arena. Setelah pertunjukan selesai, maka merekapun pulang dan akupun pulang. Lalu ada apa"
" Lalu apa yang kau lakukan tadi" Pantaskah itu kau lakukan di hadapan orang-orang dan terutama anak-anak muda Sangkal Putung dan sekitarnya?"
" Biasanya bukan aku yang melakukan. Tetapi karena tadi tidak ada orang, maka aku terpaksa menjemput salah seorang penari. Tetapi akupun hanya menjemputnya saja. Kemudian segala sesuatunya tidak ada apa-apa lagi. "
" Aku tidak percaya "jawab Sekar Mirah.
" Tentu Pandan Wangi yang bercerita kepadamu. Cerita yang dilebih-lebihkan, seakan-akan aku tidak lagi dapat mengendalikan diri. "
" Kenapa kau selalu menyalahkan Pandan Wangi " sahut Ki Demang " ia memang lebih banyak diam daripada membantah kata-katamu, karena tidak akan ada gunanya. Tetapi jangan kau kira bahwa aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang yang mulutnya berbau tuak itu."
"Ayah juga sudah dipengaruhinya "
" Tidak ada yang mempengaruhinya Aku melihat sendiri. Selama ini aku masih berharap bahwa kau akan menyadari kesalahanmu, Ketika isterimu minta ijin menengok Tanah Perdikan, aku setuju. Aku berharap bahwa kepergiannya merupakan satu peringauin bagimu. Tetapi ternyata yang terjadi sebaliknya. Selama isterimu pergi, kau bahkan merasa mendapat peluang untuk menjadi semakin gila. "
"Ayah." "Kau bukan contoh yang baik bagi anak-anak muda kademangan ini. Aku minta kau mulai besok meneliti akibat dari tari-tarian yang tidak sewajarnya itu. Kau tanyakan kepada orang-orang tua, kepada anak-anak muda dan kepada perempuan-perempuan yang hatinya terguncang karena suaminya tenggelam dalam tari-tarian yang berbau tuak itu. "
Swandaru mengerutkan dahinya
" Kau tanyakan kepada adikmu, kepada isterimu, kepada Agung Sedayu dan terutama kepada dirimu sendiri. Apa yang kau dapatkan dengan tingkah lakumu itu. Sangkal Putung yang sejak bangkit melawan Macan Kepatihan dianggap sebagai kademangan teladan di daerah ini. Tetapi bertanyalah kepada mereka, apa anggapan mereka sekarang terhadap kademangan ini. "
"Kecemasan yang berlebih-lebihan"berkata Swandaru.
" Apakah yang aku katakan itu berlebihan" Manakah pasukan pengawalmu yang gagah berani itu" Siapakah pemimpin-pemimpinnya yang masih mampu mengendalikan pasukan" Jika malam ini segerombolan kecil merampok menyerang kademangan ini, apa yang dapat dilakukan oleh para pengawal yang mabuk, sementara beberapa orang anak muda yang lain menjadi tidak peduli" Lihatlah gardu-gardu di kademangan ini" Apakah yang terisi seperti beberapa waktu yang lalu. "
" Jika anak-anak menjadi malas, ayah jangan menyalahkan aku "
"Jadi, aku harus menyalahkan siapa" Menyalahkan aku sendiri" Juga menyalahkan Pandan Wangi karena Pandan Wangi kau anggap terlalu cemburu?"
Swandaru tidak menjawab. " Sudah lama aku ingin berbicara dengan kau seperti ini Swandaru. Tetapi rasa-rasanya belum ada kesempatan. Kedatangan adikmu dengan caranya yang khusus telah membuka kesempatan ini. Jangan menyalahkan adikmu dan jangan menyalahkan isterimu lagi. Apalagi Ki Lurah Agung Sedayu. "
Swandaru masih berdiam diri.
" Aku minta kau nanti berbicara dengan angger Agung Sedayu. Ingat, ia kakak seperguruanmu. Mungkin angger Agung Sedayu dapat mengingatkan beberapa pesan Kiai Gringsing yang dapat mengekang tingkah lakumu. "
Swandaru masih tegap saja berdiam diri.
"Nah, Sekarang, biarlah Agung Sedayu dan Sekar Mirah, beristirahat"
"Aku masih akan berbicara dengan kau Swandaru " berkata Ki Demang kemudian.
Swandaru hanya beringsut saja. Tetapi ia tidak meninggalkan ayahnya.
Ketika kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah masuk ke dalam bersama Pandan Wangi yang akan mengantarkah kebilik mereka, maka Swandaru masih duduk dipringgitan bersama ayahnya.
*"Cobalah kau menilai apa yang sudah kau lakukan, Swandaru. Peringatan-peringatan yang sudah aku berikan sebelumnya tidak kau hiraukan. Aku berharap kali ini hatimu tersentuh olebsikap adikmu. Besok berbicaralah dengan Agung Sedayu. "
Swandaru mengangguk kecil.
" Untuk selanjutnya, tari-tarian harus dihentikan. " Swandaru mengangkat wajahnya Namun wajah itu tertunduk kembali.
Sementara itu Ki Demang berkata Iebih lanjut "Tari-tarian nu terbukti telah menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat kademangan Sangkal Putung. Bahkan telah menimbulkan keributan."
Sekali lagi Swandaru mengangkat wajahnya Namun wajah itu kembali tunduk pula
"Nah, sekarang beristirahatlah. Besok temui dan bicara dengan saudara seperguruanmu itu."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian beringsut dan meninggalkan ayahnya duduk sendiri.
Tetapi Swandaru tidak pergi ke bilik tidurnya. Ia justru keluar regol halaman dan pergi ke tempat rombongan tayub urung menampilkan tari tayub itu
Ia masih dapat menemui beberapa orang yang duduk-duduk di-tangga pendapa. Sedangkan oncomya masih menyala di halaman. Namun gamelan dan para penabuh dan penarinya sudah tidak nampak lagi
Swandaru duduk disebelah seorang yang bertubuh tinggi ramping dan berkumis tipis.
"Kau belum pulang ?"
Orang itu menarik nafas panjang. Katanya " Tidak. Buat apa aku pulang?"
"Isterimu tidak menunggumu ?"
" Isteriku pergi sejak bulan yang lalu."
"Karena kau sering menari tayub ?"
"Tidak Justru sebelumnya Ia dibawa oleh seorang laki-laki muda yang waktu itu berlagak seperti seorang kaya"
"Ia benar-benar kaya ?"
"Tidak Setelah semua perhiasan isteriku yang dibawanya habis dan setelah semua uangnya kering, isteriku ditinggalkannya begitu saja. Ia sekarang pulang kerumah orang tuanya Ia malu pulang ke rumah."
" Kau tidak menyusulnya ?"
"Pernah sekali aku kerumah orang tuanya Tetapi isteriku tidak mau menemui aku."
"Kenapa?" " Malu atau takut atau alasan-alasan yang lain. Mungkin ia mengira bahwa aku akan membunuhnya. Tetapi akupun kemudian membunuh rasa sepiku dengan memasuki gelanggang tayub dan menghirup tuak."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian telah bangkit dan melangkah mendekati seorang kawannya yang sebaya umurnya. Iapun kemudian duduk pula disampingnya
" Kau tidak pulang ?" bertanya Swandaru.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada tinggi iapun menyahut " Aku tidak mau hidupku dibakar didalam neraka itu siang dan malam."
"Kenapa ?" bertanya Swandaru pula.
"Isteriku bukan perempuan."
"Maksudmu?" ,
" Ia lebih sesuai disebut serigala betina. Garang, licik, rakus dan segala macam sifat buruk bersatu didalam dirinya."


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah sebelum kau menikah dengan isterimu, kau tidak tahu sifat perempuan itu ?"
" Bukan kemauanku sendiri. Orang tuakulah yang telah memilih jodoh untukku."
"Kau tidak berhasil menjinakkannya ?"
"Kangjeng Sinuhunpun tidak akan dapat menjinakkannya"
"Kau pernah menghubungi orang tuanya ?"
" Aku telah mencobanya. Tetapi ketika kedua orang tuanya datang kerumahku untuk mencoba melunakkan hatinya, maka api neraka itu berkobar lebih panas lagi. Isteriku melempar ayahnya sendiri dengan mangkuk dan berteriak-teriak mengusir ibunya"
"Apakah ia perempuan gila?"
" Kau tahu bahwa isteriku tidak gila ?"
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melangkah ke regol, ia berbicara dengan seorang yang berdiri termangu-mangu.
" Apa yang kau tunggu ?"
" Aku kecewa sekali, bahwa tayub itu batal malam ini."
" Kenapa " Kau tidak kehilangan uang malam ini."
" Aku sudah siap untuk menari dengan Renik. Bahkan bukan hanya menari. Aku sudah berjanji mengantarkannya pulang. Menurut Renik, suaminya sedang pergi malam ini dan baru tiga hari lagi akan pulang"
" Apa dirumahnya tidak ada orang lain ?"
" Ada ayahnya. Yang memukul gong itu. Ia tidak akan mengganggu."
" Suami Renik tidak akan pergi kemana-mana "
" Renik sendiri yang mengatakannya."
" Ya. Ia hanya menyingkir untuk memberimu kesempatan."
"Gila" Swandaru mendekatinya iapun kemudian bertanya "Kenapa kau tidak pulang saja."
" Aku tidak mau membeku dirumah."
" Kenapa ?" " Isteriku dingin seperti sebatang pohon pisang. Jika ia menjatuhkan dirinya dipembaringan, iapun langsung mendengkur "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu berkata selanjurnya."Sekali-sekali aku juga ingin mengurangi beban yang harus aku pikul. Tetapi jika aku mencoba berbagi rasa dengan isteriku, sebelum aku sampai kepersoalan yang membebani perasaan itu, ia sudah bermimpi. Apalagi menanggapi, memberikan pertimbangan atau bahkan memberikan semangat kepadaku. Karena itu, maka aku harus mengusung beban perasaanku itu sendiri. Isteriku tidak pernah mau tahu kesulitan-kesulitanku."
" Itukah sebabnya maka isterimu dapat menjadi gemuk, sementara kau menjadi kurus-kering?"
"Mungkin." " Isterimu tahu kau sering menari, tayup dan pergi kerumah Renik?"
" Isteriku tidak peduli. Sesudah makan sampai kenyang lewat senja, ia akan tertidur sampai matahari terbit."
Swandaru tidak bertanya lagi. Ketika ia naik kependapa dan mengetuk pintu pringgitan, maka pemilik rumah itupun keluar dengan mata yang separo terpejam. " Kau sudah tidur ?"
Orang itu mengangguk. "Isterimu juga sudah tidur?" Orang itu mengangguk lagi.
"Selamat malam " berkata orang itu. Meskipun ia masih belum menutup pintunya tetapi orang itu sudah memberi isyarat untuk kembali tidur lagi.
Swandarupun kemudian berjalan dengan langkah gontai meninggalkan pintu rumah itu. Kemudian turun ke jalan. Tetapi orang yang kehilangan Renik itu sudah tidak ada di regol lagi.
Sambil berjalan pulang, Swandaru sempat memperhatikan dirinya sendiri. Beberapa orang pergi ke arena tayub karena mereka dikecewakan oleh isterinya
Tiba-tiba Swandaru itupun bertanya " Bagaimana dengan isteriku ?"
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Isteri Swandaru adalah seorang perempuan yang baik. Setia dan mengerti keadaan suaminya Jika Swandaru bertugas di malam hari, isterinya selalu menungguinya sampai ia pulang. Menyediakan minuman hangat dan jika ada keluhan-keluhan, isterinya selalu ikut menanggung dengan sungguh-sungguh. Isterinya bersedia ikut menanggung beban yang diasungnya Baik karena tugas-tugasnya yang rumit, maupun karena hubungannya yang kurang serasi dengan kawan-kawannya
Isterinya bukan pemarah. Ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya apalagi pergi dengan laki-laki lain. Isterinyapun tidak pula sebeku batang pisang yang diletakkan di pembaringan.
" Jadi kenapa aku pergi dari rumah ke tengah-tengah arena tari tayub " Bahkan lebih dari itu. Menjadi tergila-gila kepada tledek yang tidak jelas latar belakang kehidupannya Orang-orang lain mempunyai alasannya masing-masing. Tetapi apakah alasanku ?"
Swandaru menggeretakkan giginya. Pemilik rumah yang halamannya disewa untuk menyelenggarakan tari setiap kali itu tidak pernah turun ke arena tari. la datang untuk menerima uang sewa halaman rumahnya yang cukup banyak Kemudian masuk kembali kedalam rumahnya menyelarak pintu biliknya bersama istrinya.
Ada semacam penyesalan menyelinap didadanya. Tiba-tiba saja adik perempuannya datang dan memporak-porandakan arena tarinya. Menghajar perempuan yang memimpin kelompok tayub itu. Perempuan yang sangat ditakuti karena dianggap berilmu tinggi. Tetapi berhadapan dengan Sekar Mirah, ia tidak berdaya sama sekali.
Tetapi bagaimanapun juga, Swandaru tidak harus menjatuhkan diri dan memeluk kaki kakak seperguruannya mohon belas kasihannya.
" Ilmuku jauh lebih tinggi dari ilmu kakak seperguruanku itu " berkata Swandaru di dalam hatinya"Tetapi kenapa ia berani datang kemari bersama Sekar Mirah dalam keadaan seperti ini " Apakah dengan mempelajari kitab yang aku berikan ada padanya, ia merasa bahwa ilmunya sudah dapat menyamai ilmuku ?"
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja Swandaru mencoba untuk mengalihkan penyesalannya alas tingkah lakunya itu. justru pada kemungkinan untuk menjajagi ilmu kakak seperguruannya.
" Besok aku akan berbicara dengan kakang Agung Sedayu. Aku akan mengakui kesalahanku. Tetapi kakang Agung Sedayupun harus dengan resmi mengakui kelebihanku. Jika perlu dengan melakukan penjajagan ilmu."
Dengan demikian, Swandaru berharap bahwa ia tidak akan terlalu menanggung malu karena kesalahan yang pernah dilakukan itu.
Ketika Swandaru sampai dirumah, rumahnya nampak lengang sekali. Lampu minyak di pendapa terayun oleh hembusan angin yang semilir.
Tidak ada anak-anak muda seperti beberapa saat yang lalu duduk-duduk dan bergurau di gardu didekat regol halaman rumahnya Bahkan lampu minyak di gardu itu tidak dinyalakannya sama sekali.
Padukuhan induk kademangan Sangkal Putung itu terasa sangat sepi.
Swandaru termangu-mangu sejenak. Ia sendiri merasa heran. Kenapa baru sekarang ia merasakan kesepian itu. Kenapa baru ketika adik perempuannya datang mengacaukan permainannya, ia menyadari bahwa tayuban yang diselenggarakan itu, berakibat buruk.
"Dimana-mana ada tayub" berkata Swandaru didalam hatinya tetapi kenapa hanya disini yang berakibat buruk " "
Namun Swandarupun segera menemukan jawabnya. Bahkan tayub dimana-mana hanya diselenggarakan untuk keperluan tertentu. Satu atau dua malam. Setelah itu, tidak lagi. Mungkin setahun atau selengah tahun lagi.
Tetapi di Sangkal Putung itu kemudian diselenggarakan tayuban hampir setiap malam. Mula-mula di rumahnya. Kemudian Ki Demang melarangnya, sehingga tempat untuk menari tayub itupun berpindah di halaman rumah kawannya. Tetapi pengaruh buruknya ternyata telah terasa diseluruh kademangan.
" Apakah di padukuhan-padukuhan lain suasananya juga seperti ini ?"bertanya Swandaru kepada diri sendiri.
Malam itu Swandaru sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Namun pagi-pagi ketika semuanya sudah bangun, Swandarupun telah berbenah diri pula.
Seperti yang diinginkan oleh Ki Demang, pagi itu Swandaru akan berbicara dengan Agung Sedayu, Namun Swandaru tidak ingin berbicara dirumahnya. Karena itu, maka Swandaru itupun berkata. " Kakang. Sebaiknya kita berbicara di tempat lain. Tidak disini. Disini terlalu sibuk. Tetapi banyak orang, sehingga kita akan dapat berbicara dengan tenang."
"Terserah saja kepadamu, adi Swandaru."
" Marilah, kita pergi'keluar.
Agung Sedayu tidak menolak. Namun yang menjadi tegang adalah Sekar Mirah dan Pandan Wangi.
"Kakang Agung Sedayu" bisik Sekar Mirah " longgarkan hatimu. Jika kakang Swandaru berbuat salah, akulah yang mohon maaf baginya"
"Ada apa Mirah ?"bertanya Agung Sedayu.
Mata Sekar Mirah tiba-tiba justru berkaca-kaca. Katanya " Aku tahu, bahwa kakang Swandaru merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu yang kau miliki kakang. Jika dalam pembicaraan nanti, kakang Swandaru mencoba memamerkan kelebihannya, maka aku dapat membayangkan akibatnya."
Agung Sedayu tersenyum, Katanya " Bukankah aku selalu berusaha mengendalikan diri.
" Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya Jika kakang Agung Sedayu sudah sampai ke balas, apapula yang akan terjadi. "
"Jangan cemas, Sekar Mirah, Penalaranku masih utuh. Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian, maka Swandaru dan Agung Sedayupun telah melarikan kudanya meninggalkan padukuhan induk. Keduanya menelusuri jalan bulak yang panjang.
" Kita pergi ke mana, adi ?"bertanya Agung Sedayu.
" Aku tidak mempunyai tujuan, kakang. "
"Jadi?" " Kita berbicara sambil membiarkan kuda kita berjalan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Swandarulah yang kemudian berkata " Tentu tidak banyak yang akan kita bicarakan Kakang tentu akan mendukung pendapat Sekar Mirah, Pandan Wangi dan ayah, bahwa tari tayub itu harus dilarang."
" Bukan begitu, Swandaru, Bukan tari itulah yang dilarang. Tetapi bagaimana tayub itu dilaksanakan."
" Aku mengerti. Aku bukan anak-anak lagi. Begitulah yang aku maksudkan."
" Ya. Itulah yang ingin aku sampaikan kepadamu. Aku tidak perlu mengatakan akibat-akibatnya karena aku tidak melihat sendiri. Tetapi hal ini sudah dikatakan oleh Ki Demang."
" Jadi kesimpulannya, kau tentu akan minta aku menghentikan penyelenggaraan tari tayub itu di Sangkal Putung."
"Ya " "Terima kasih. Aku sama sekali tidak berkeberatan, kakang. Aku akui kebenaran pendapat ayah. Aku akui, bahwa kemarahan Sekar Mirah dapat dimengerti. Demikian pula kecemburuan Pandani Wangi. Karena itu, aku sudah memutuskan bahwa penyelenggaraan tari tayub sebagaimana yang diselenggarakan di Sangkal Putung akhir-akhir ini akan dihentikan.
"Terima kasih atas pengertianmu itu Swandaru. Ki Demang tentu akan bergembira sekali. Demikian pula Pandan Wangi dan Sekai Mirah."
"Baik, Mereka tentu akan bergembira. Kakang tentu juga merasa gembira."
"Ya" tetapi nampak kerung Agung Sedayu berkerut
" Marilah kita sudahi pembicaraan tentang tayub di Sangkal Putung itu."
" Baiklah. Aku juga tidak berkepentingan untuk berbicara panjang lebar. Akupun tidak dapat mengucapkan pesan-pesan guru dalam hubungannya dengan persoalan ini sebagaimana diharapkan oleh Ki Demang."
" Itu memang tidak perlu, kakang. Yang kakang ingat tentang pesan guru, tentu tidak lebih banyak dari yang aku ingat."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar, adi Swandaru."
Swandarupun menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali ia berpaling kepada kakak seperguruannya itu. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam.
" Kakang " berkata Swandaru kemudian " apakah kitab yang aku tinggalkan kepada kakang itu berarti bagi kakang?"
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada dalam iapun menjawab "Tentu adi Swandaru. Kitab itu sangat berarti bagiku. Bagi kita berdua."
" Maksudku, apakah kakang sudah berhasil meningkatkan ilmu kakang sampai ketataran yang seharusnya. Seharusnya sejak beberapa waktu yang lalu kitab itu berada padaku. Tetapi aku sengaja membiarkan kitab itu tetap di tanganmu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya. Kitab itu sangat berarti bagiku. Meskipun setapak demi setapak, ilmuku memang meningkat. "
" Sokurlah. Selama ini aku menjadi agak prihatin tentang kemajuan ilmu kakang. Yang semula menarik perhatian guru kita adalah kakang. Namun aku telah mendapat kesempatan untuk ikut berguru bersama kakang. Seharusnya kakanglah yang lebih banyak mewarisi ilmu yang ditinggalkan guru didalam kitab itu. "
"Aku memang berusaha. "
" Tidak. Kakang tidak berusaha. Bahkan sejak sebelum guru meninggal, aku telah berhasil melampaui kemampuan kakang. Apalagi setelah guru meninggal. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil.
"Tentu tidak pantas dan akan meninggalkan unggah-ungguh jika pada suatu saat nanti akulah yang akan menggurui kakang Agung Sedayu dalam olah kanuragan."
Jantung Agung Sedayu mulai berdebaran. Terngiang kata-kata Sekar Mirah " Kakang. Longgarkan hatimu. Jika kakang Swandaru berbuat salah, akulah yang mohon maaf baginya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Kakang"berkata Swandaru selanjurnya "apakah tidak ingin meningkatkan ilmu kakang dengan langkah-langkah yang lebih panjang daripada setapak demi setapak "
" Itulah yang mampu aku lakukan, Swandaru."jawab Agung Sedayu.
" Kakang. Terus terang, aku ingin tahu seberapa jauh kakang sudah menyusul aku. "
Agung Sedayu mengangkat wajahnya Dipandanginya langit yang biru bersih. Selembar awan yang tipis seakan-akan tersangkut di lereng Gunung Merapi.
Dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru berkuda menelusuri jalan yang panjang. Adalah dituar kehendak mereka, bahwa mereka menuju ke Jati Anom. .
Sementara itu, Agung Sedayu seakan-akan masih mendengar Sekar Mirah berkata " Sesabar-sabar orang, tentu ada batasnya. Jika kakang Agung Sedayu sudah sampai ke batas, apapula yang akan terjadi."
Tetapi saat itu Agung Sedayu menjawab " Jangan cemas, Sekar Mirah. Penalaranku masih utuh."
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandarupun berkata " Kakang, bukankah paman Widura masih berada di padepokan?"
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab " Ya. Seharusnya memang demikian. "
" Kita akan pergi ke padepokan. Biarlah paman Widura menjadi saksi."
"Saksi apa?" " Aku ingin melihat, sampai dimana kemampuan kakang Agung Sedayu menyusul ilmuku setelah kitab guru aku biarkan berada di tangan kakang Agung Sedayu. "
Dada Agung Sedayu memang terasa bergetar, Justru karena itu, ia tidak segera dapat menjawab pula.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dicengkam oleh keragu-raguan, mereka dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda yang berlari mengikuti arah perjalanan mereka. '
Swandaru yang berpaling berdesis " Siapakah mereka" "
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Katanya "Entahlah. " Agung Sedayulah yang mula-mula menepi. Kemudian Swandarupun mengikutinya pula untuk memberi jalan kepada beberapa orang berkuda itu untuk mendahalui.
Beberapa orang berkuda itu memang mendahului Swandaru dan Agung Sedayu. Namun jantung kedua orang itu berdesir ketika mereka melihat perempuan yang telah dikalahkan oleh Sekar Mirah itu ada di antara mereka
Belum lagi Agung Sedayu dan Swandaru sempat berbicara tentang mereka, orang-orang berkuda itu telah memperlambat kuda mereka dan bahkan kemudian berhenti. Mereka segera memutar kuda mereka menghadap Agung Sedayu dan Swandaru.
"Perempuan itu ternyata isteri laki-laki itu " berkata perempuan yang telah dikalahkan oleh Sekar Mirah itu. Bahkan katanya pula"Juga adik dari Swandaru. "
Seorang yang berkumis berjanggut putih pendek dan jarang, tertawa. Katanya" Sepasang murid orang bercambuk."
" Kau siapa" " bertanya Swandaru. "
Orang berjanggut putih dan jarang itupun menjawab"Namaku Simawana. Aku lahir di Bendagantungan. Tetapi aku seorang pengembara yang menjelajahi tanah ini. Justru pada saat aku pulang menengok keluargaku yang tertinggal di Bendagantungan, aku di tangisi kemenakanku yang semalam kau sia-siakan. "
"Tetapi perempuan itu bukan orang Bendagantungan. "
"Ia juga berasal dari Bendagantungan."
"Tetapi bukan aku yang menyia-nyiakan. "
"Memang bukan kau yang menyakitinya. Ia juga seorang perempuan yang perkasa. Tetapi karena ia mempunyai seorang suami dan kakak laki-laki, maka aku datang menemui kalian lebih dahulu. Sebenarnya aku tadi akan pergi ke rumah Ki Demang. Tetapi aku diberi tahu bahwa kalian berdua menempuh perjalanan, keluar dari kademangan. Agaknya kalian akan pergi ke Jati Anom. Karena itu, maka aku telah menyusul kalian."
"Sekarang apa maksudmu?"bertanya Swandaru.
" Aku ingin bertanya kepada kalian berdua. Dengan siapa aku harus berurusan. Justru karena aku dan beberapa orang kawanku adalah laki-laki. Apakah aku harus langsung berurusan dengan suami dan kakaknya. Karena kemenakanku itu datang ke Sangkal Putung karena diundang. Bukan karena kehendaknya sendiri. Dan yang mengundang adalah kau, Swandaru. Seharusnya kaulah yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kemenakanku itu. Tetapi ternyata kau tidak berbuat apa-apa karena perempuan yang menyakiti kemenakanku itu adalah adikmu. Bukankah wajar jika hal ini aku tanyakan kepadamu" "
Wajah Swandaru menjadi tegang. Memang ia menjadi agak sulit menghadapi keadaan itu. Namun ia tidak akan dapat membiarkan adiknya dihakimi oleh orang yang menyebut dirinya Simawana itu, karena Swandaru menyadari, jika adiknya jatuh ketangan orang itu, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali.
Berbeda dengan Swandaru, Agung Sedayu sudah mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan Sekar Mirah menjadi korban. Bahkan seandainya jika Swandaru menyalahkannya pula, maka ia tidak akan mempedulikannya lagi
Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia ingin memberi kesempatan Swandaru mengambil sikap. Baru kemudian ia akan menyatakan keputusannya itu.
Namun ternyata Swandaru itupun berkata' " Ki Simawana. Pertengkaran yang terjadi antara adik perempuan dengan perempuan itu sudah terjadi. Keduanya adalah perempuan, sehingga perkelahian yang terjadi kemudian adalah adil. "
"Pendapatku berbeda Swandaru. Aku tuntut tanggung jawabmu. Serahkan adik perempuanmu kepadaku. Jika suaminya berkeberatan. bukankah kau dapat mengatasinya" "
Telinga Agung Sedayu menjadi merah. Terngiang kata-kata Sekar Mirah "Sesabar-sabarnya orang tentu ada batasnya. "
Tetapi ternyata Swandaru itupun menjawab " aku belum gila, Simawana Selama ini aku memang hampir menjadi gila. Tetapi belum sepenuhnya, sehingga sudah tentu aku tidak menyerahkan adik perempuanku ketanganmu. Kecuali jika kita bertindak adil. Kita biarkan adik perempuanku dan kemenakanmu itu berperang tanding. "
Simawana tertawa. Katanya " Kau tahu, bahwa adikmu sudah mengalahkan kemenakanku. Seandainya dilakukan perang tanding, maka akan sama artinya, kemenakanku itu membunuh diri atau mengesahkan pembunuhan yang akan dilakukan oleh adik perempuanmu itu."
"Jika demikian, maka sebaiknya kalian berurusan dengan aku, kakaknya dan suaminya. "
Simawana tertawa Katanya "Aku sudah menduga bahwa kalian akan mengambil alih persoalannya Nah, jika demikian. Marilah kita selesaikan persoalan kita sekarang. Jangan menyesal jika kalian berdua tidak akan pernah pulang lagi di Sangkal Putung. Selama ini kemenakanku masih menghormati kau Swandaru, karena kau memberinya uang cukup banyak lewat seorang tledeknya. Tetapi oleh kedatangan adik perempuanmu yang garang itu, segalanya tentu akan berubah. Ayahmu juga menjadi semakin keras. Nah, karena itu, maka kemenakan perempuanku itu tidak memerlukan kau lagi. Jika kau mati, ia tidak akan ikut bersedih."
" Persetan kau Simawana Kau jangan menyesal dengan kelancanganmu itu. "
Simawana tertawa Katanya "Aku tahu, kalian berdua murid dari orang Bercambuk itu. Tetapi kami berlima adalah lima orang saudara seperguruan yang akan memutuskan jalur perguruan orang Bercambuk itu sebelum kalian sempat membina satu atau dua murid utama kalian. Sementara itu kemenakan perempuan kami akan dapat menyaksikan bagaimana kalian bersujud dihadapanku untuk mohon ampun. Tetapi jika kita sudha mulai bertempur, maka permohonan ampun itu sudah terlambat Kecuali jika kalian lakukan sekarang. "
Swandaru benar-benar menjadi marah. Katanya " Ki Simawana Ancamanmu membuat aku semakin bernafsu menginjak kepalamu. "
" Gila " Ki Simawana itu hampir berteriak. Namun katanya kemudian "kita tidak akan bertempur di tengah jalan. Kita tidak mau diganggu oleh orang-orang lewat Apalagi orang yang telah mengenal satu dua diantara kita."
Swandaru memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada . berat Swandaru bertanya"Jadi, apa maksudmu " "
" Kita turun ke tepian. Disebelah petegalan itu ada sebuah sungai. Kita selesaikan persoalan kita di tepian yang jarang dikunjungi orang.
"Kami tidak berkeberatan"jawab Swandaru.
Ki Simawana itupun kemudian telah memberi isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk pergi ke tepian. Perempuan yang memimpin kelompok tari tayub itupun ikut bersama mereka.
" Bukankah kau sependapat, kakang ?"bertanya Swandaru.
" Ya. Aku sependapat Kita tidak akan dapat menyerahkan Sekar Mirah."
" Bagus. Kita akan menghadapi mereka apapun yang terjadi. Sekar Mirah tidak boleh jatuh ketangan mereka."
Kedua orang itupun kemudian mengikuti Ki Simawana yang berbelok memasuki jalan kecil menuju ke pategalan yang berada di pinggir sungai. Merekapun kemudian menuruni sebuah tebing yang tidak terlalu terjal, menyusup dibelakang pagar pategalan yang terdiri dari sederet pring ori yang tumbuh rapat dengan ranting-rantingnya yang saling berkait rapat.
Enam orang berkuda, seorang diantara perempuan itupun segera berloncatan turun dari kuda mereka. Merekapun mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan perdu di tepian.
Swandaru dan Agung Sedayu yang telah berada ditepian itupun telah turun pula dari kuda-kuda mereka serta mengikat kuda mereka pada batang-batang perdu pula. .
Kelima orang suadar seperguruan itupun kemudian telah bersiap, bahkan perempuan itupun telah bersiap-siap pula. Agaknya jika perlu, iapun ingin memasuki arena pertempuran untuk melepaskan dendamnya karena ia telah disakiti oleh'Sekar Mirah.
" Bersiaplah murid-murid Orang Bercambuk."
Agung sedayu dan Swandarupun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak akan bertempur berpasangan. Tetapi keduanya justru telah mengambil jarak.
Kelima orang sudara seperguruan itupun juga telah berpencar. Sedangkan perempuan yang dikalahkan Sekar Mirah itu agaknya masih belum akan langsung melibatkan diri.
" Swandaru " berkata Simawana " sekarang adalah kesempatanmu yang terakhir untuk berjongkok dan minta maaf kepadaku dan kepada kemanakanku itu. Kemudian kau ambil Sekar Miralvdan kau serahkan kepadaku. Dengan demikian kau akan dapat selamat. Tetapi jika kita sudah terlanjur terlibat dalam pertemuran maka kau tidak akan pernah mendapatkan pengampunan lagi. Kau berdua akan mati di tepian ini, sementara itu, kamipun masih akan tetap mengambil Sekar Mirah dan membawanya ke Bendagatungan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya."
" Kademangan ini adalah Kademangan Sangkal Pulung. Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Pulung. Kau kira begitu mudahnya kau mengambil Sekar Mirah ?"
" Apa sulitnya mengambil Sekar Mirah " Apakah sekarang ada anak-anak muda Sangkal Putung yang berani menghalangi kami berlima " Mungkin ada satu dua yang masih mempunyai sisa keberaniannya. Tetapi demikian, seorang diantara mereka terbabat oleh pedang kami, maka yang lain tentu akan segera melarikan diri."
Wajah Swandaru menjadi panas. Demikian rendahnya penilaian yang terdapat kekuatan kademangan Sangkal Putung sekarang ini: Bahkan Simawana itupun masih berkata selanjutnya "Apalagi jika orang-orang Sangkal Pulung nanti menemukan mayat kalian berdua yang akan kami lemparkan ke pintu gerbang padukuhan induk"
" Tutup mulutmu, Simawana Kita akan melihat, siapakah yang hidupnya akan berakhir di tepian ini."
Ki Simawana tertawa pula, sehingga jantung Swandaru rasa-rasanya hampir meledak.
Tetapi Agung Sedayu yang lebih banyak diam itupun berkata " tertawalah sepuas-puasnya, Simawana selagi kau masih sempat. Hari ini adalah hari terakhir bagimu untuk tertawa. Besok, bahkan nanti kau tidak akan pernah tertawa lagi. Ada dua kemungkinan dapat terjadi padamu. Kau akan mati, atau karena belas kasihan kami, kau akan melihat kenyataan, bahwa kalian berlima tidak akan dapat mengalahkan kami berdua. Apalagi jika kalian tahu, bahwa kami adalah murid-murid Orang Bercambuk."
" Ternyata kau seorang pendiam yang sombong " geram Simawana"apa lebihnya murid-murid Orang Bercambuk.
" Bersiaplah. Kalian akan segera mengetahuinya." Simawana menggeram. Swandaru yang jantungnya hampir meledak itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Agung Sedayu masih tetap tenang menghadapi ancaman dan bahkan hinaan Simawana. Sikap Agung Sedayu itu merupakan peringatan baginya untuk tidak cepat hanyut dalam arus perasaannya. Kemarahan seseorang yang berlebihan dan tidak terkendali, hanya akan membuat penalarannya menjadi baur.
" Ada juga lebihnya kakang Agung Sedayu ini " berkata Swandaru didalam hatinya.
. Dalam pada itu, Simawana segera menempatkan diri. Sikap Agung Sedayu yang tenang tetapi dianggapnya sombong itu telah menarik perhatiannya.
Tetapi ternyata Simawana tidak sempat memilih lawan. Swandaru-lah yang kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata -Simawana Marilah kita memastikan, siapakah yang akan mati ditepian ini."
Simawana mengerutkan dahinya Katanya"Siapakah yang lebih tua diantara kalian didalam perguruan Orang Bercambuk" "
" Kenapa kau bertanya siapakah yang lebih tua" "
" Aku ingin sebuah permainan yang menarik. "
" Kenapa kau tidak bertanya siapakah yang ilmunya lebih tinggi diantara kami berdua?"
"Apakah aku harus bertanya begitu?"
"Akupun tidak akan menjawabnya Tetapi kau harus berhadapan dengan aku. Karena peristiwanya terjadi di Sangkal Putung, maka aku adalah anak Demang Sangkal Putung. "
" Murid-murid orang Bercambuk memang sombong. Baiklah Swandaru. Kematianmu akan membuat Sangkal Putung mencari keturunan baru untuk diangkat menjadi Demang, karena kau anak lelaki satu-satunya akan mati. Adikmupun akan kami ambil dari kademangan dan untuk memotong jalur keturunanmu, anakmu juga akan aku ambil. "
" Ternyata kau adalah orang yang sangat jahat. Seandainya kau tetap hidup, maka Sangkal Putung untuk seterusnya tidak akan menjadi tenang."
" Wawasanmu tajam bagi masa depan, Swandaru. Kau benar. Sangkal Pulung tidak akan tentram untuk selanjutnya karena Sangkal Putung telah menghancurkan kesempatan kemenakanku mencari nafkah dengan caranya. "
Swandaru tidak berbicara lagi. Tetapi iapun melangkah semakin mendekati Simawana;
Sementara itu Agung Sedayupun sudah bergeser semakin menjauh. Ia memang tidak memilih lawan. Siapapun yang harus dihadapi akan dihadapinya
Ternyata Swandaru tidak hanya berdiri berhadapan dengan Simawana Seorang saudara seperguruan Simawana yang berdiri beberapa langkah daripadanya telah menghadap kearah Swandaru pula sedangkan tiga orang yang lain telah mendekati Agung Sedayu dari arah yang berlainan. Sementara itu, kemanakan Simawana masih berdiri beberapa langkah di luar arena
Sejenak kemudian, maka Swandarulah yang justru telah mulai menyerang. Kakinya terjulur kearah dada Simawana. Tetapi Simawana bergeser surut selangkah, sementara saudara seperguruan Simawana itulah yang telah meloncat sambil mengayunkan tangannya menyambar kearah kening Swandaru.
Tetapi Swandarupun cepat mengelak, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya
Demikianlah kedua belah pihakpun bergerak .semakin lama semakin cepat Serangan-serangan Simawana dan saudara seperguruannya datang silih berganti.
Tetapi Swandaru tidak segera mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Bukan sekedar mengelakkan serangan-serangan lawannya. Tetapi Swandarupun sekali-sekali telah menyerang lawannya pula.
Agaknya keduanya masih saling menjajagi. Meskipun demikian kedua belah pihak telah mulai meningkatkan ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun sudah mulai bertempur pula melawan ketiga orang lawannya. Serangan demi serangan datang beruntun. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami kesulitan pada tataran pertama pertempuran itu.
Baru kemudian ketika ketiga orang lawan Agung Sedayu meningkatkan ilmu mereka, maka Agung Sedayupun harus menjadi semakin berhati-hati
Dengan demikian maka pertempuran semakin lama menjadi semakin meningkat pula. Serangan-seranganpun menjadi semakin cepat
Salah seorang saudara seperguruan Simawana yang bertempur melawan Agung Sedayu itupun menggeram"Jika kau menyerah, maka aku akan membunuhmu dengan cara yang terbaik. Tetapi jika kau mencoba untuk melawan, maka kau akan menyesal disaat-saat terakhir dari hidupmu. Kau akan mati dengan cara yang paling tidak kau sukai"
Tetapi Agung Sedayupun tertawa. Katanya"Jika aku bertempur melawan kalian, maka aku masih mempunyai kemungkinan hidup. Mungkin akulah yang akan membunuh kalian bertiga. Tetapi jika aku menyerah, maka aku tidak mempunyai kesempatan sama sekail Karena itu, maka aku akan melawan sampai kemungkinan terakhir atau membunuh kalian bertiga."
" Kau memang sombong sekali Kami akan menangkapmu hidup-hidup dan mengikat dibelakang kuda kami. Kami akan menyeretmu disepanjang tebing berbatu-batu padas itu. "
" Aku juga dapat memperlakukan kalian seperti itu. Aku dapat mengikat kalian dibelakang kuda kalian masing-masing. Kuda kalian akan lari dengan liar tanpa tujuan membawa tubuh kalian terseret di-belakangnya."
Saudara-saudara seperguruan Simawana itu menggeram. Bahkan seorang diantara mereka berteriak " Aku akan mengoyak mulutmu sampai ketelinga agar kau dapat berbicara lebih keras lagi "
Tetapi Agung Sedayu justru tertawa:
Sikap Agung Sedayu itu membuat ketiga orang lawannya semakin marah. Karena itu, maka mereka pun segera meningkatkan kemampuan mereka.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengalami kesulitan. Kakinya berloncatan dengan cepat menghindari serangan-serangan ketiga orang lawannya yang datang beruntun.
Namun kemudian benturan-benturan kecil pun telah terjadi. Sekali-sekali Agung Sedayu harus menangkis serangan yang datang bersamaan. Kadang-kadang Agung Sedayu harus menghindar sekaligus menangkis serangan dari ketiga orang lawannya yang menyerang bersama-sama.
Pusaka Negeri Tayli 14 Wiro Sableng 102 Bola Bola Iblis Misteri Serigala Berkaki Tiga 1
^