Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 28

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 28


Sementara itu, Swandaru telah bertempur lebih sengit Simawana dan saudara seperguruannya semakin lama menjadi semakin garang. Ternyata keduanya yang menyadari kelebihan murid-murid Orang Bercambuk, dengan cepat meningkatkan ilmu mereka, sehingga Swandaru pun harus mengimbanginya.
Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Swandaru lebih banyak membentur serangan-serangan lawan-lawannya daripada menghindarinya. Namun benturan-benturan itu memang membuat kedua lawannya menjadi semakin berhati-hati.
Tetapi Simawana bukannya tidak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi murid Orang Bercambuk. Ternyata tenaga dan kekuatan Simawana cukup besar, sehingga pada setiap benturan yang terjadi, Swandaru merasakan getaran kekuatan lawannya itu. Meskipun saudara seperguruan Simawana tidak sekuat Simawana, tetapi kemampuannya menyesuaikan diri serta kecepatannya bergerak kadang-kadang memaksa Swandaru harus bergeser surut
Meskipun demikian, sekali-sekali Swandaru mengambil kesempatan untuk memperhatikan Agung Sedayu yang bertempur menghadapi tiga orang lawan. Namun Swandaru pun mengerti, bahwa kemampuan mereka bertiga tentu tidak setingkat dengan kemampuan Simawana dan saudara seperguruan yang seorang, yang bertempur berpasangan dengan Simawana itu sendiri.
Tetapi Swandaru tidak ingin Agung Sedayu mengalami kesulitan sehingga tidak dapat mengatasi ketiga orang lawannya.
Dalam pada itu, Simawana yang sudah bertempur telah semakin meningkatkan ilmunya. Ia mengambil keputusan untuk segera mengakhiri perlawanan Swandaru. Agaknya Simawana tidak hanya sekedar mengancam untuk membunuh Swandaru. Tetapi ia benar-benar ingin mematahkan alur perguruan Orang Bercambuk.
Karena itu, maka Simawana itupun segera memberi isyarat kepada saudara-saudara perguruannya agar mereka segera menyelesaikan pertempuran itu.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Tetapi Swandaru yang sejak semula sudah dibakar oleh kemarahannya itu, tidak banyak memberi kesempatan kepada kedua lawannya. Ketika Simawana dan saudara seperguruannya mengerahkan kemampuan mereka, maka Swandaru pun menjadi muak melihat kedua orang lawannya itu.
Karena itu, maka Swandaru pun telah meningkatkan kemampuannya pula, sehingga justru kedua orang itulah yang mengalami kesulitan menghadapinya.
Serangan-serangan Swandaru tidak saja membentur serangan kedua lawannya, tetapi serangan Swandaru mulai berhasil menusuk masuk menembus pertahanan kedua lawannya Saudara seperguruan Simawana itu berteriak nyaring ketika kaki Swandaru mengenai lambungnya. Dengan kasar orang itu mengumpat-umpat sambil meloncat surut mengambil jarak untuk memperbaiki keadaannya.
Namun Swandaru itu memberinya kesempatan. Dengan tangkasnya Swandaru meloncat memburu. Sebelum orang itu berhasil memperbaiki kedudukannya maka serangan Swandaru berikutnya telah mengenai dadanya Swandaru yang meloncat sambil mengayunkan tangannya lurus menggapai lawannya.
Orang itu tidak sempat mengelak. Pukulan itu telah mendorongnya sehingga orang itu kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling di tanah.
Tetapi Swandaru tidak sempat memburunya. Simawana dengan sigapnya telah menyerangnya. Tubuhnya yang berputar telah me-hgayunkan kakinya mendatar menyambar ke arah dada
Tetapi Swandaru sempat mengelak Serangan itu tidak menyentuh sasaran sama sekali. Bahkan sambil menjatuhkah dirinya dan bertumpu pada tangannya kaki Swandaru menyapu kaki Simawana dengan derasnya selagi kaki yang satunya belum mapan berjejak di atas tanah.
Simawana tidak sempat berbuat apa-apa. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terbanting. Namun dengan sigapnya Simawana meloncat bangkit meskipun punggungnya terasa sakit sekali. Swandaru yang sudah bersiap untuk menyerangnya, harus bergeser setapak. Saudara seperguruan Simawana telah menyerangnya dengan garangnya. Tidak lagi dengan tangan dan kakinya. Tetapi dengan sebilah parang.
Swandaru memang tidak sempat menyerang Simawana. Ia harus bergeser lagi menghindar ketika serangan saudara seperguruan Simawana itu datang seperti banjir bandang.
Simawana sendiri yang telah berdiri tegak itu pun telah menarik senjatanya pula Sebuah pedang yang besar dan panjang. Swandarulah yang kemudian meloncat surut mengambil jarak
Dalam pada uu, Simawana dan saudara seperguruannyapun telah melangkah mendekat dengan senjata mereka masing-masing teracu. Swandaru masih berdiri tegak ditempatnya. Bahkan ia sempat melihat Agung Sedayu yang berloncatan diantara ketiga orang lawannya.
" Agaknya ada juga kemajuan pada kakang Agung Sedayu " berkata Swandaru didalam hatinya Ia melihat Agung Sedayu mampu berloncatan sedemikian cepatnya, sehingga ketiga orang lawannya tidak , mampu menyentuhnya Bahkan Agung Sedayulah yang sekali-sekali justru dapat mengenai lawannya.
Dalam pada itu, Swandaru tidak ingin memperpanjang waktu. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Kemudian membantu Agung Sedayu menyelesaikan ketiga orang lawannya pula
Karena itu, ketika kedua orang lawannya mendekatinya dengan mengacu-acukan senjata mereka, maka Swandarupun telah mengurai cambuknya yang membelit tubuhnya di bawah bajunya
Kedua orang lawannya memang menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari betapa berbahayanya cambuk ditangan orang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Karena itu. maka keduanyapun kemudian menjadi sangat hati-hati.
Sementara itu,Swandarupunmelihat bahwa ketiga orang lawan Agung Sedayu juga menarik senjata mereka. Karena itu, maka sebelum Swandaru memutar cambuknya, ia sempat melihat Agung Sedayu juga mengurai cambuknya.
Demikianlah, sejenak kemudian, Swandarupun telah bertempur dengan sengitnya. Cambuknya berputaran, kemudian menghentak sendai pancing.
Agaknya Swandaru tidak ingin berlama-lama. Karena itu, maka sejak ayunan pertama, cambuknya memang tidak meledak.
Namun Simawana dan saudara seperguruannya segera mengalami kesulitan. Getar ayunan cambuk itu terasa menusuk sampai ke jantungnya.
Namun merekapun memiliki ilmu pedang yang sangat baik. Karena dengan mengerahkan kemampuan mereka, keduanya berusaha mengimbangi kemampuan ilmu cambuk Swandaru.
Pertempurannya pun semakin lama menjadi semakin sengit. Simawana menyerang lawannya dengan garangnya, sementara itu saudara seperguruannya tidak kalah berbahayanya. Parangnya berputaran sehingga seakan-akan disekeliling tubuhnya diselimuti oleh kepulan awan yang kelabu gelap.
Ternyata bahwa Swandarupun tidak begitu mudah menyelesaikan pertempuran itu. Namun ujung cambuk Swandaru itu seakan-akan mempunyai mata yang dapat mengintip sela-sela pertahanan lawannya dan kemudian menyusup menyentuh tubuh.
Tetapi kedua lawannyapun berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat mematahkan perlawanan Swandaru. Mereka telah meningkatkan ilmu mereka sampai kepuncak.
Dengan demikian pertempuran menjadi semakin sengit. Serangan-serangan datang silih berganti. Ayunan pedang dan parang menyambar-nyambar. Namun hentakkan cambuk Swandaru membuat jantung lawannya bagaikan terguncang.
Ternyata Simawana dan saudara-saudara seperguruannya masih belum setatanan dengan murid Orang Bercambuk. Ketika ujung cambuknya menjadisemakin garang, maka kedua lawannyapun seakan-akan telah kehilangan kesempatan sama sekali.'
Simawana sendiri menyeringai menahan sakit ketika ujung cambuk Swandaru itu mengoyak lengannya. Kemudian lambung saudara seperguruannyapun telah terluka.
Agaknya kemarahan Swandaru tidak terbendung lagi. Ancaman, caci maki dan hinaan yang dilontarkan oleh Simawana membuat pertimbangan-pertimbangan Swandaru menjadi keruh. Simawana yang yakin akan dapat membunuh Swandaru itu seakan-akan telah menjatuhkan hukuman mati yang tidak terampunkan bagi Swandaru.
Sikapnya itulah yang memanasi serangan-serangan Swandaru yang menjadi semakin garang.
Luka di lengan Simawana dan di lambung saudara seperguruannya membuat gerak mereka mulai terbatas. Darah yang mengalir, pedih yang menggigit, membuat keduanya menjadi cemas.
Namun ternyata serangan Swandaru tidak mereda. Ujung cambuk Swandaru seakan-akan mematuk seperu kepala ular bandotan menyambar pundak Simawana
Simawana terlempar beberapa langkah surut. Namun serangan Swandaru berikutnya terganggu karena saudara seperguruan Simawana itu meloncat sambil mengayunkan parangnya.
Tetapi Swandaru melihat serangan itu. Karena itu, maka Swandarupun segera merendahkan dirinya sambil menghentakkan cambuknya.
Saudara seperguruan Simawana itu mengaduh tertahan. Tubuhnya terlempar kesamping. Dadanyalah yang menganga oleh ujung cambuk Swandaru yang diberinya berkarah baja
Orang itu terjatuh seperti sebatang dahan yang patah dari batangnya. Ketika kemudian sambil berteriak Simawana menyerang dengan menikam ke arah dada Swandaru sempat meloncat kesamping. Pedang itu tidak mengenai sasaran. Namun demikian Simawana memutar tubuhnya, juntai cambuk Swandaru itu melingkar di lehernya. Demikian Swandaru menghentakkan juntai cambuknya, maka Simawana itu terputar dan kemudian jatuh terguling di pasir tepian.
Simawana sama sekali tidak sempat menggeliat. Demikian tubuhnya terguling di tepian, maka jantungnya telah berhenti berdetak.
Ketika Swandaru melihat saudara seperguruan Simawana itu masih bergeser dari tempatnya meskipun dadanya terluka menyilang, maka rasa-rasanya darahnya masih saja mendidih. Namun sebelum ia menghentakkan cambuknya kearah saudara seperguruan Simawana itu, ia sempat berpaling ke arah Agung Sedayu untuk meyakinkan bahwa Agung Sedayu setidak-tidaknya masih mampu bertahan untuk beberapa saat.
Namun Swandaru itu justru terkejut Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Sebelah tangannya menggenggam tangkai cambuknya sedangkan tangannya yang lain memegangi ujung juntainya. Sementara ketiga orang lawannya duduk sambil meletakkan kedua telapak tangan ditengkuknya.
" Kau sudah selesai dengan ketiga orang lawanmu" " bertanya Swandaru.
" Mereka telah menyerah " berkata Agung Sedayu.
" Kenapa tidak kau selesaikan sama sekali. Mereka akan membunuh kita Karena itu, kitapun berhak membunuh mereka. "
"Aku sudah letih. Aku tidak mau menambah perkerjaan lagi. "
" Maksudmu" "
" Jika kita membunuh mereka, maka kita harus membuat lima lubang kubur untuk mereka. Tetapi jika kita biarkan mereka hidup, biarlah mereka mengubur kawan-kawannya yang terbunuh. "
Swandaru mengenal sifat Agung Sedayu yang menurut pendapatnya terlalu lemah. Tetapi ia sependapat, bahwa dengan demikian ia tidak perlu membuat lima buah lubang kubur untuk kelima orang yang telah berniat untuk membunuh mereka.
" Dua orang sudah cukup ?" desis Swandaru kemudian setelah ternyata orang yang terluka dadanya itu juga menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sementara itu, perempuan yang disebut kemanakah Simawana itu berdiri dengan tubuh menggigil. Rasa-rasanya nyawanyapun telah berada diujung ubun-ubunnya. Namun sikap Agung Sedayu sedikit membuat hatinya menjadi sejuk.
" Baiklah " berkata Swandaru kemudian " marilah, kita tinggalkan tempat ini " berkata Swandaru kemudian.
Agung Sedayupun tidak menjawab. Ketika kemudian Swandaru meloncat ke punggung kudanya Agung Sedayupun melakukannya pula
Sebelum mereka meninggalkan tepian, maka Swandaru itupun berkata kepada perempuan yang ketakutan " Jika kau masih menginginkan kematian, bawalah orang lain ke rumahku. Sekarang pamanmu dan seorang saudara seperguruannya. Lain kali kakekmu atau gurumu atau siapapun yang mau kau surukkan ke dalam maut "
Perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan. Menurut pendapatnya, pamannya adalah orang yang tidak terkalahkan. Namun berlima bersama saudara-saudara seperguruannya mereka tidak dapat mengalahkan dua orang murid dari perguruan orang Bercambuk itu.
Sejenak kemudian, maka Swandaru dan Agung Sedayupun telah meninggalkan tepian. Melewati pagar batang pring ori yang rapat, naik keatas tebing dan kemudian menyusuri jalan disebelah pategalan.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai ke jalan yang lebih besar.
Keduanyapun justru berhenti sejenak. Swandaru menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun berkata"Kita pulang ke Sangkal Putung, kakang."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika Swandaru membelokkan kudanya kearah padukuhan induk Sangkal Putung, maka Agung Sedayupun mengikutinya pula ,
" Agaknya ia membatalkan niatnya untuk melakukan penjajagan ilmu"berkata Agung Sedayu didalam hatinya"
Namun sebelum Agung Sedayu bertanya Swandaru yang kemudian menempatkan kudanya disebelah kuda Agung Sedayupun berkata " Kita tidak perlu ke Jati Anom, kakang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya Namun kemudian iapun menyahut" Baiklah. "
" Aku sudah melihat, bahwa ilmu kakang benar-benar sudah meningkat " berkata Swandaru " kakang nampaknya sudah mampu menguasai unsur-unsur gerak yang paling rumit yang tercantum di dalam kitab yang ditinggalkan oleh guru untuk kita Ternyata kakang mampu menguasai ketiga orang saudara seperguruan Simawana itu. "
" Mereka adalah pemula-pemula yang penakut. Dengan cepat mereka menyerah dan melemparkan senjata-senjata mereka "
" Tetapi aku sempat melihat bagaimana kakang dengan tangkas berloncatan diantara ketiga orang lawan kakang. "
Agung Sedayu tersenyum. Katanya"Kau memuji. "
" Aku berkata sebenarnya. Jika kakang menjadi semakin tekun, maka kakang akan mampu mencapai tataran yang lebih tinggi lagi. Seandainya kakang tidak bernafsu untuk mengangkat nama kakang sendiri, tetapi semakin tinggi tingkat kemampuan kita, maka nama perguruan kitapun akan menjadi semakin disegani orang. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Setiap kali ia berbicara dengan Swandaru tentang tataran kemampuan, ia selalu teringat kepada Glagah Putih.
Jantung anak muda itu kadang-kadang serasa hendak terbakar jika ia mendengar bagaimana Swandaru menggurui Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu bukan lagi anak muda yang darahnya masih panas. Apalagi pembawaan Agung Sedayu sendiri memang bukan seorang yang jantungnya cepat membara. Karena itu, Agung Sedayu tidak pernah kehilangan kendali jika Swandaru berbicara mengenai tataran ilmu.
Dalam pada itu, keduanyapun kemudian telah melarikan kuda mereka kembali ke padukuhan induk meskipun tidak terlalu kencang. Keduanya menyusuri jalan bulak yang panjang.
Agung Sedayu yang tidak sempat memperhatikan paru yang membujur dipinggir jalan, mulai memperhatikannya. Ketika ia menyusuri jalan itu disaat ia berangkat, jantungnya tercengkam oleh keinginan Swandaru untuk melakukan penjajagan ilmu. Agung Sedayu agaknya mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan,,apakah ia menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya atau tidak.
Namun bersukurlah ia bahwa niat Swandaru itu dibatalkannya. Sehingga karena itu, Agung Sedayu tidak lagi dicengkam oleh ketegangan.
Karena itu, ia sempat melihat air yang mengalir disepanjang parit itu.
" Untunglah bahwa kesulitan yang dialami oleh Sangkal Putung masih belum terlalu mendasar. Tata kehidupan para petani masih berjalan dengan baik. Parit-parit masih mengalir. Jalan-jalan masih dapat dilalui dengan lancar. Tanaman di sawah masih nampak hijau subur. Palawija di pategalan agaknya justru hampir panen, " berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Meskipun demikian Swandaru harus bekerja keras untuk membangkitkan kembali kebanggaan orang-orang Sangkal Putung atas kademangannya. Atas kegigihannya mempertahankan kademangan itu dari jamahan tangan Macan Kepatihan, yang ingin menjadikan Sangkal Putung sebagai pancadan perjuangan yang masih akan diteruskan sekaligus menjadi sumber bahan pangan yang subur sehingga bersama-sama dengan prajurit Pajang, Sangkal Putung telah berhasil ikut menghancurkan pasukan yang dipimpin oleh Macan Kepatihan itu.
Dalam pada itu, Swandarupun nampak merenung dialas punggung kudanya. Agaknya ia sempat melihat kademangannya dengan hati yang mulai terbuka Ia mulai melihat daun nyiur yang bergayutan di pelepahnya seakan-akan menjadi layu dan menunduk sedih.
"Jangan berputus-asa kademanganku " berkata Swandaru didalam hatinya"aku telah terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Besok kita akan bangkit bersama-sama, mengembalikan citra kademangan Sangkal Putung."
Swandaru memang berjanji kepada dirinya. Kesalahan yang telah dilakukannya, menjadi pelajaran baginya bahwa pada suatu saat seseorang dapat tersesat ke jalan yang tidak diingininya, tetapi yang menarik demikian kuatnya sehingga ia tidak mampu untuk menghindar.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung, Sekar Mirahlah yang berlari-lari lebih dahulu menyongsong mereka turun ke halaman. Kemudian disusul Pandan Wangi yang ragu-ragu berdiri di tangga yang terakhir.
Sekar Mirah itupun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat wajah-wajah kedua orang itu tidak memberikan kesan yang mencemaskan. Namun Sekar Mirah masih juga memperhatikan pakaian mereka yang menjadi kotor dan kusut
Tetapi sebelum Sekar Mirah bertanya, Swandaru sudah lebih dahulu bercerita tentang kelima orang yang mencegat mereka di jalan. "Siapakah mereka itu, kakang ?" bertanya Sekar Mirah. " Kami tidak tahu, kami tidak mengenal mereka-Pemimpinnya mengaku bernama Simawana, orang Bendagantungan."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun Swandaru tidak mengatakan bahwa orang-orang itu ada hubungannya dengan perempuan yang dikalahkan oleh Sekar Mirah. Perempuan yang memimpin rombongan tayub itu.
Sejenak kemudian, Swandaru dan Agung Sedayupun telah naik ke pendapa setelah seseorang menerima kuda-kuda mereka. Sementara itu, Ki Demangpun telah keluar pula dan duduk di pringgitan.
"Kalian darimana saja ?" bertanya Ki Demang.
Swandarjupunkemudiah telah menceriterakan sebagaimana diceriterakannya kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi.
"Jadi keempat orang itu kau biarkan berlalu ?" ,
" Biarlah mereka mengubur kawan-kawannya."
" Aku tidak bermaksud agar kalian membunuh mereka berempat Tetapi membawa mereka kemari, berbicara dan mengetahui latar belakang kehidupan mereka lebih banyak lagi."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu sambil berkata "Tidak terpikirkan oleh kita pada waktu itu, kakang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Kita memang agak khilaf."
"Lain kali, jangan biarkan orang-orang yang berniat buruk itu begitu saja lepas."
"Jika saja kita kembali ketempat itu"desis Swandaru.
Agung Sedayupun mengangguk. Katanya " Dapat kita coba. Jika mereka mengubur kawan-kawan mereka disana, mungkin mereka masih ada."
Tetapi Ki Demang kemudian berkata "Sudahlah. Biarlah mereka pergi dan pulang ke Bendagantungan. Pada kesempatan lain kita pergi ke Bendagantungan dan berbicara dengan Ki Bekel. "
" Simawana sudah lama meninggalkan Bendagantungan dan pergi mengembara"sahut Swandaru.
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya kemudian'" Bahkan mungkin kedatangan Simawana itu pun terasa mengganggu orang-orang Bendagantungan itu sendiri. "
Namun pembicaraan mereka pun kemudian beralih. Sebelum Ki Demang menanyakan sikap Swandaru setelah ia berbicara dengan kakak seperguruannya, maka Swandaru merasa lebih baik mendahuluinya. Katanya " Ayah. Setelah aku melihat keadaan Kademangan ini lebih cermat, serta melihat sikap Sekar Mirah dan pembicaraanku dengan kakang Agung Sedayu, maka aku merasa bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku mohon maaf kepada ayah, kepada Pandan Wangi dan kepada rakyat Sangkal Putung. Aku berjanji untuk memperbaiki segala sesilamnya yang telah aku rusakkan selama ini."
Ki Demang mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi menundukkan kepalanya sambil mengusap air matanya. Sekar Mirah pun duduk termangu-mangu. Matanya terasa menjadi panas.
" Baiklah " berkata Ki Demang " belum terlambat. Masih banyak waktu untuk memperbaiki kesalahan itu."
" Baik ayah. Aku berjanji " berkata Swandaru dengan nada dalam.
Ki Demang tersenyum. Masa-masa suram itu agaknya telah berlalu.
Tetapi satu hal yang tidak diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung. Beberapa pasang mata tengah memperhatikan keadaan Sangkal Putung. Bukan sekedar Simawana, kemanakannya dan serombongan penari tayub. Tetapi satu kekuatan yang lebih besar-dari itu.
Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni serta beberapa orang kepercayaannya, memperhatikan apa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Mereka sengaja datang dan berada di sekitar Sangkal Putung karena mereka tahu bahwa Swandaru adalah kakak Sekar Mirah, salah seorang dari dua orang yang memiliki tongkat baja putih peninggalan perguruan Kedung Jati.
Sejak kekalahannya di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Saba Lintang mulai memperhatikan Sangkal Putung. Macan Kepatihan, salah seorang pemimpin dari perguruan Kedung Jati juga pernah berusaha untuk menjadikan Sangkal Putung sebagai landasan perjuangan mereka sekaligus sebagai lumbung bahan makanan yang tidak akan ada habisnya
Tetapi Ki Saba Lintang pun menyadari, bahwa keadaan sudah berubah. Sangkal Putung sekarang tidak lagi seperti Sangkal Putung beberapa tahun yang lalu. Pasukan Mataram yang ada di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara yang kini sudah diangkat menjadi Tumenggung, jauh lebih kuat dari pasukan Widura dan Untara yang berada di Sangkal Putung pada waktu itu. Dengan cepat Untara akan dapat menggerakkan pasukannya ke Sangkal Putung jika terjadi sesuatu atas kademangan itu.
Karena itu, menguasai Sangkal Putung sekarang tidak akan dapat ditempuh jalan sebagaimana Macan Kepatihan akan menguasai Sangkal Putung pada waktu itu. Bahkan Macan Kepatihan pun waktu itu telah gagal dan bahkan terbunuh di pertempuran.
Ki Saba Lintang pun telah mendapatkan satu pengalaman pahit di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun ia sempat menghimpun kekuatan yang sangat besar dari berbagai lingkungan yang disadarinya tentu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, namun mereka telah gagal menguasai Tanah perdikan Menoreh dengan kekerasan.
Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang tidak akan dapat menguasai Sangkal Putung dengan kekerasan pula
Tetapi Ki Saba Lintang telah mengetahui salah satu kelemahan Swandaru. seorang yang menentukan sekali di Kademangan Sangkal Putung.
Tledek yang cantik. Rombongan penari tayub yang sempat mengacaukan penalaran Swandaru itu memang tidak ada hubungannya dengan Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Saba Lintang mengikuti perkembangannya dengan saksama Ki Saba Lintang pun kemudian mengetahui, bahwa Sekar Mirah dan Agung Sedayu berada di Sangkal Putung.
" Satu kesempatan " berkata seorang yang bertubuh unggi dan berkepala botak.
" Kesempatan apa?"
"Membunuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Merampas tongkat baja putihnya." ,
" Seandainya kita berhasil membunuh keduanya, tentu akan menimbulkan gejolak yang sangat besar. Bukan sajapasukan Untara akan bergerak dan memburu kita kemana pun kita pergi, tetapi seluruh kekuatan di Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh, dan bahkan seluruh kekuatan di Mataram akan bergerak serentak. Apa yang dapat kita lakukan kemudian?"
" Apakah hal serupa tidak terjadi jika kita menduduki Sangkal Putung?"
" Siapa yang akan menduduki Sangkal Putung?"
" Jadi apa yang akan kita lakukan terhadap Sangkal Putung?" bertanya orang berkepala botak itu.
Ki Saba Lintang tertawa. Katanya " Kau memang dungu. Aku percaya akari kekuatan tubuhmu dan tataran kemampuanmu. Tetapi otakmu tidak lebih baik dari otak seorang yang sangat bodoh."
Orang bertubuh tinggi dan berkepala botak itu mengerutkan dahinya sementara Ki Saba Lintang berkata selanjutnya"Kita belum siap untuk menghadapi kekerasan. Ketika kita akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh, kita sudah merasa mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tetapi akhirnya kita gagal. Apalagi sekarang, setelah kekuatan kita terpecah dan tercerai-berai, karena pada dasarnya kita memang bukan merupakan satu keutuhan."
"Jika demikian?"
" Kita akan menguasai Sangkal Putung dengan cara yang lebih rumit dari sebuah pertempuran. Kita harus dapat menundukkan Swandaru tidak dengan kekerasan."
" Maksud Ki Saba Lintang ?"
" Kita harus menemukan seorang penari yang lebih cantik dari penari tayub yang sering menari di Sangkal Putung itu. Kita harus mampu menundukkan hati Swandaru tanpa dapat dirusak oleh Sekar Mirah."
"Besok kita akan melepaskan serombongan tari tayub di Sangkal Putung dengan penari yang sangat cantik."
"Pergunakan otakmu yang kecil itu " bentak Ki Saba Lintang " kita tidak menyusun rencana buat besok atau lusa atau sepekan dua pekan. Kita harus menyusun rencana untuk jangka panjang. Kita tidak
"Jika kita bergerak lambat, mungkin ada rombongan tayub yang lain yang mendahului kita?"
Ki Saba Lintang tertawa. Sementara orang berkepala botak itu berkata selanjutnya"Atau mungkin rombongan yang diusir oleh Sekar Mirah itu akan datang lagi justru dengan penari yang lebih cantik"
Ki Saba Lintang menjawab"Apakah kita akan menemui kesulitan jika kita yang akan membantu Sekar Mirah menghentikan permainan tayub itu?"
Orang yang berkepala botak itu mengangguk-angguk "Nah, kita akan melihat perkembangan selanjutnya. Apa yang akan dilakukan oleh Swandaru. Seandainya kedatanganSekar Mirah dan
Agung Sedayu itu berhasil menghentikan Swandaru, namun kelemahan itu akan dapat kita manfaatkan disaat-saat tenggang waktu beberapa lama"
Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Katanya"Nyi Yatni yang cantik itu akan dapat belajar menari tayub dan berusaha menjerat Swandaru di kemudian hari."
"Rasa-rasanya aku memang ingin mengguncang kepalamu yang botak itu agar otakmu dapat kau pergunakan dengan baik " geram Ki Saba Lintang.
" O, maaf Ki Saba Lintang bukan maksudku agar Ki Saba Lintang menyerahkan Nyi Yatni kepada Swandaru."
"Bodoh, dungu. Bukan karena itu. Aku sama sekali tidak mencemaskan Nyi Yatni akan lari daripadaku. Apalagi jika ia menari tayub untuk satu tugas yang sangat penting."
"Jadi." '" Yatni sudah dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Jika ada diantara mereka yang berada di Kademangan ini, maka mereka akan segera mengetahui rencana kita seluruhnya"
Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk pula Katanya " Jadi, kau harus mendapatkan penari yang masih belum dikenal?"
" Tentu saja Dan itu sama sekali bukan satu pekerjaan yang sulit"
"Penari yang cantik?"
"Tentu. Tidak seperu kakak dan adik perempuanmu itu." Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia ber desis " Apakah Nyi Yatni tidak menjadi cemburu terhadap penari cantik itu."
"Aku ingin menampar mulutmu dan mengguncang otak udangmu. Kenapa Yatni menjadi cemburu. Penari cantik itu tidak diperuntukkan bagiku. Tetapi bagi Swandaru."
Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Ki Saba Lintang memang tidak tergesa-gesa Pengalamannya yang pahit dengan kegagalannya di Tanah Perdikan Menoreh, merupakan kekang bagi langkah-langkahnya berikutnya Ternyata bahwa ia tidak selalu harus mempergunakan kekerasan.
Jika rencananya berhasil, menjerat Swandaru, maka Swandaru harus dibujuknya, agar dapat menjadi bagian dari kekuatannya. Jika ia berhasil, maka kekuatan kademangan Sangkal Putung yang besar itu akan sangat berarti baginya. Dan lebih dari itu, Swandaru adalah kakak kandung Sekar Mirah."
Tetapi Ki Saba Lintang memang harus bersabar. Ia harus melangkah dengan hati-hati Jika Swandaru ku luput, maka ia harus mencari jalan lain yang barangkali akan lebih sulit lagi
Yang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh oleh Ki Saba Lintang adalah kekuatan Untara di Jati Anom. Kekuatan itu cukup besar. Tetapi menurut perhitungan Ki Saba Lintang, kekuatan Untara masih belum sebesar kekuatan gabungan Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit -dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Ki Saba Iintangpun harus memperhatikan kekuatan lain yang dapat digerakkan oleh Mataram. Mungkin Pajang. Tetapi Ki Saba lintang dapat membuat kekuatan bayangan di sekitar Pajang, sehingga Pajang tidak akan mengirimkan pasukannya keluar, karena Pajang sendiri merasa harus dirinya sendiri.
" Rintangan utamanya adalah Pandan Wangi " desis Ki Saba Lintang.
Orang berkepala botak itupun menyahut meskipun agak ragu " Apakah Pandan Wangi tidak dapat disingkirkan saja?"
" Jika terpaksa, kita akan sampai pada langkah itu.Tetapi kita harus mencari cara yang terbaik, sehingga Swandaru Jidak menjadi liar karenanya, sehingga sulit untuk dikendalikan."
" Dengan tledek cantik "
Ki Saba Lintang tertawa Katanya- apakah kau mulai dapat mempergunakan otakmu ".
Orang berkepala botak itu menjadi bingung. Apakah yang dikatakan itu itu dianggap benar atau salah oleh Ki Saba Lintang.
Dengan demikian, maka Ki Saba Lintangpun memperhatikan Sangkal Putung dengan lebih saksama. Ia telah menunjuk beberapa orang pengikutnya yang memiliki kecerdasan yang dapat meyakinkannya untuk mengamati dan menilai kademangan Sangkal Putung, bahkan sampai sisi kehidupan Swandaru dan Pandan Wangi.
"Bukan aku otak udang-berkata Ki Saba Lintang ketika orang berkepala botak itu menawarkan diri.
Tetapi orang itu terdiam ketika Ki Saba lintang dengan tegas menolaknya
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di Sangkal Putung untuk beberapa hari. Kerja Sekar Mirah sehari-hari adalah bermain dengan anak Swandaru yang tumbuh dengan cepat. Badannya kuat dan tegar. Suara tertawanya lepas bebas tanpa terkekang, demikian pula jika ia ingin menangis. Suaranya meninggi menggetarkan udara diseki tarnya.
Jika kemudian anak Swandaru itu kembali kepangkuan ibunya, maka sekar Mirahpun duduk merenung di dalam biliknya, la mulai menyesali dirinya sendiri. Kenapa ia masih belum dapat memberikan seorang anakpun kepada Agung Sedayu.
Jika Sekar Mirah mendengar langkah seseorang mendekati pintu biliknya dengan tergesa -gesa ia mengusap matanya yang basah, kemudian bangkit berdiri dan membenahi pakaian dan rambutnya yang kusut.
Jika yang datang itu Agung sedayu dan membuka pintu biliknya, Sekar Mirahpun menemuinya sambil tersenyum.
Tetapi perasaan sepi yang menghimpit jantung Sekar Mirah itu tidak dapat luput dari perhatian Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu juga mempunyai perasaan .yang sama dengan Sekar Mirah. Betapa sepinya keluarganya tanpa seorang anakpun. Meskipun Agung Sedayu sudah mengisi rumahnya dengan beberapa orang, tetapi kehadiran mereka tetap tidak dapat menggantikan kehadiran seorang anak.
Tetapi karena Agung Sedayu seorang laki-laki yang dapat menenggelamkan diri dalam kesibukan keseharian, maka beban kesepiannya itu dirasakannya tidak seberat beban Sekar Mirah.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah berada di Sangkal Putung, maka keduanyapun ingin mempergunakan sebagian waktunya untuk pergi ke Jati Anom. Mereka ingin menemui Untara dan Ki Widura yang berada di sebuah padepokan kecil disebelah Jati Anom.
Ketika hal itu disampaikannya kepada Swandaru. maka Swandarupun berkata "apakah aku perlu mempersiapkan pengawal "
" Tidak. Tidak adi Swandaru. Bukankah lingkungan ini merunakan lingkungan yang tenang dan aman?"
Swandaru mengangguk. Katanya - Selama ini memang demikian. Tetapi siapa tahu, bahwa Simawana bukan orang pertama. Mungkin gurunya atau saudaranya seperguruannya yang lebih tua atau sahabat-sahabatnya"
"Mudah-mudahan tidak." Demikianlah. Agung Sedayupun telah minta diri kepada Ki Demang dan keluarga di Sangkal Putung untuk pergi ke Jati Anom.
" Apakah kalian akan bermalam di Jati Anom " - bertanya Ki Demang.
" Mungkin, Ki demang. Tetapi hanya semalam, kami ingin bermalam di padepokan kecil peninggalan guru. "
Ki Demang tersenyum, katanya " Berhati-hatilah. Lingkungan ini memang terasa tenang. Tetapi mungkin saja gejolak akan timbul dengan peristiwa yang baru saja terjadi dengan orang-orang Bendagantungan itu, karena aku belum sempat pergi ke Bendagantungan untuk menjernihkan suasana. "
" Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa, Ki Demang " desis Agung Sedayu.
Demikianlah sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun sudah melintasi bulak-bulak pendek dan panjang menuju ke Jati Anom. Kuda mereka berlari membelok di tikungan yang menurun namun kemudian memanjat naik di Macanan.
Namun Agung Sedayu sempat tersenyum jika ia teringat kepada sebatang pohon randu alas dan genderuwo bermata satu.
Betapa menakutkannya bagi Agung Sedayu dimasa remajanya.
Kuda Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun berlari terus. Merekapun melintas dengan cepat di Dukuh Pakuwon.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah berniat untuk mengunjungi Untara lebih dahulu di Jati Anom, baru kemudian mengunjungi pamannya, Widura. Tidak di Banyu Asri, tetapi di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing.
Beberapa saat kemudian merekapun telah melintasi Sendang . Gabus, sehingga beberapa saat lagi, mereka akan sampai di rumah Untara. Rumah yang masih saja dipergunakan untuk barak pasukan Mataram yang berada di Jati Anom. Di belakang rumah Untara telah dibangun barak yang lebih besar dan memenuhi syarat. Namun sebagian rumah Untara masih saja dipergunakan.
Kedatangan Agung Sedayu dan Sekar Mirah disambut gembira oleh isteri Untara. Dipereilahkannya keduanya naik kependapa, sementara Nyi Tumenggung minta seorang pembantunya berada dihalaman untuk memanggil Untara yang sedang berada di barak.
Sejenak kemudian, maka Untarapun telah datang, berempat mereka duduk di pringgitan.
Pembicaraan diantara merekapun segera menjadi riuh dan akrab... Untara dan isterinya segera mempertanyakan keselamatan mereka dan keluarga yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh.
"Bagaimana dengan Glagah Putih" "
"Baik, kakang - jawab Agung Sedayu.
"Apakah anak itu masih senang berkeliaran saja?" Pertanyaan seperti itu pernah didengarnya dahulu ketika Agung Sedayu masih belum menyatakan dirinya menjadi seorang prajurit.
" Anak itu baru mempersiapkan dirinya - berkata Agung Sedayu kemudian.
" Anak itu tidak boleh terlalu lama membiarkan dirinya terkatung-katung. Ia tidak boleh memanjakan kesenangannya mondar-mandir kesana-kemari tanpa pegangan."
"Anak itu. membantu Prastawa memimpin para pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
" Apakah itu mempunyai arti bagi masa depan Glagah Putih sendiri" Ia harus memikirkan masa depannya. Mungkin sekarang ia merasa senang bermain-main dengan para pengawal. Barangkali Glagah Putih merasa bangga dianggap sebagai salah seorang pelatih oleh para pengawal Tanah Perdikan. Tetapi bagaimana dengan masa depan Glagah Putih itu sendiri. Pada suatu saat ia harus menjalani satu kehidupan keluarga. Bukankah Glagah Putih tidak akan dapat hidup dengan sekedar kebanggaan" Keluarganya tentu memerlukan satu kehidupan yang wajar. Makan, pakaian dan keperluan-keperluan lainnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nasehat itu dahulu selalu ditujukan kepadanya
" Aku mengerti kakang "-jawab Agung Sedayu.
"Nasihati anak itu. Ia harus meninggalkan masa remajanya serta kesenangan-kesenangannya untuk hari ini. Ia harus'mulai memikirkan masa depannya Masa yang panjang bagi dirinya dan keluarganya kelak."
" Ya kakang"jawab Agung Sedayu.
Namun pembicaraan merekapun kemudian telah menebar kepersoalan-persoalan yang lain. Bahkan Nyi Untara itupun kemudian mulai berbicara tentang anaknya yang sangat nakal.
" Dimana anak itu sekarang" " bertanya Sekar Mirah.
Nyi Untara itupun kemudian memanggil seorang pembantunya dan minta agar pembantunya itu memanggil anaknya
Kehadiran anak Untara itu seakan-akan membuat luka di hati Sekar Mirah menjadi semakin dalam. Anak Untara adalah seorang anak yang nampak cerdas. Dipandanginya Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan tajamnya Matanya nampak berkitat-kitat di wajahnya yang cerah.
Ketika ayah dan ibunya memperkenalkan paman dan bibinya maka tanpa ragu-ragu anak itu melangkah mendekat sambil mengulurkan tangannya.
Ketika Agung Sedayu menyambut tangan anak itu, dahinyapun berkerut, tangan anak itu dengan mantap menggenggam tangan Agung Sedayu, Kemudian berganti menggenggam tangan Sekar Mirah dengan erat sambil tersenyum.
Untuk beberapa lama anak itu diminta oleh ayahnya untuk duduk' menemui paman dan bibinya. Namun anak itu segera nampak gelisah.
"Anak ini tidak betah duduk"berkata ibunya
Anak itu memandang ibu dan ayahnya berganti-ganti dengan matanya yang seakan-akan bercahaya ku.
" Baiklah. Bermainlah. Tetapi jangan jauh-jauh. "
Sejenak kemudian anak itupun sudah menghambur di halaman dan hilang disudut gandok kanan.
" Ia memang pendiam " berkata ibunya " tetapi ia tidak dapat berhenti bergerak. Ada saja yang dilakukannya-sejak ia bangun pagi-pagi sampai menjelang tidur di wayah sepi bocah. "
" Ia seorang anak yang kuat"berkata Agung Sedayu." "Makannya banyak sekali " berkata Untara sambil tertawa Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun tertawa pula
Namun sebenarnyalah, Sekar Mirah harus menahan gejolak perasaannya. Anak-anak itu akan menjadi perekat yang sangat kuat bagi sebuah keluarga.
Dalam pada itu, maka Nyi Untara pun telah mengajak Sekar Mirah untuk masuk keruang dalam, sementara Untara membawa Agung Sedayu ke baraknya untuk diperkenalkan dengan beberapa orang perwira didalam pasukannya.
Ada beberapa orang Rangga dan Lurah di dalam pasukan Untara itu. Mereka menyambut kedatangan Agung Sedayu dengan hangat. Sebagian dari mereka sudah pernah mendengar nama Agung Sedayu sebagai seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan sebagian dari mereka memang sudah mengenal sebelumnya saat-saat Agung Sedayu singgah di rumah kakaknya Untara.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada beberapa lama di rumah Untara Nyi Untara telah mempersilahkan mereka makan bersama Untara dan Nyi Untara ikut pula
" Bukankah kalian akan bermalam " " bertanya Untara selagi mereka makan.
" Kami akan mengunjungi paman Widura di padepokan, kakang "jawab Agung Sedaya
"Kalian akan bermalam disana" "
" Ya, Kakang." "Kenapa tidak disini saja?"bertanya Nyi Untara Agung Sedayu tersenyum. Katanya" Aku ingin berada semalam di padepokan peninggalan guru. "
" Berapa malam kau akan bermalam ?"bertanya Untara
" Semalam saja kakang. Besok kami akan kembali ke Sangkal Putung."
"Kapan kau kembali ke Tanah Perdikan Menoreh " "
"Dua tiga hari lagi."
Untara mengangguk-angguk. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun sudah berceritera pula tentang Swandaru yang telah tergelincir serta dendam orang-orang Bendagantungan. "
" Mudah-mudahan tidak terjadi gejolak setelah orang Bendagantungan itu terbunuh. "
Untara mengangguk-angguk. Katanya " Untunglah kalian cepat bertindak, sehingga adi Swandaru tidak tersesat terlalu jauh. Semakin jauh adi Swandaru tersesat, akan menjadi semakin sulit untuk menariknya kembali ke jalan yang lurus. "
" Ya, Kakang " desis Sekar Mirah " Kami juga ingin, menitipkan Sangkal Putung kepada kakang. Jika hal itu terjadi lagi, kami mohon kakang tidak segan-segan memberi peringatan."
Untara menarik nafas panjang. Katanya " Mungkin aku dapat memberinya peringatan. Tetapi sepanjang persoalannya menyangkut persoalan pribadi dan keluarga, sulit bagiku untuk dapat langsung mencampurinya. Mungkin aku dapat membantu mengirimkan orang untuk memberitahukan kepada adi Sekar Mirah dan Agung Sedayu yang tentu akan dapat langsung mencampuri persoalannya sebagaimana sekarang ini. Baru jika kemudian ternyata akibat dari perbuatan adi Swandaru itu menyentuh ketenangan hidup masyarakat serta menimbulkan keresahan, aku dapat berbuat sesuatu. "
" Terima kasih, kakang " sahut Sekar Mirah. Aku kira itu sudah cukup. Kesediaan kakang untuk memberitahukan jika timbul persoalan serupa dengan kakang Swandaru akan sangat berarti.bagi kami. Kali ini mbokayu Pandan Wangi dapat langsung menghubungi kami. Tetapi belum tentu hal serupa dapat dilakukan jika sekali lagi kakang Swandaru tergelincir. "
" Mudah-mudahan tidak terjadi lagi atas adi Swandaru"berkata Nyi Untara seakan-akan kepada diri sendiri.
" Mudah-mudahan, mbokayu " sahut Agung Sedayu " tetapi nampaknya adi Swandaru benar-benar menyesali perbuatannya. "
" Mudah-mudahan"Untara menganguk-angguk. Demikianlah, setelah mereka makan dan beristirahat sebentar di
pendapa, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun minta diri untuk mengunjungi pamannya, Widura di padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing. Untara dan isterinya melepas keduanya sampai ke regol halaman.
Anak Untara pun ikut pula bersama ayah dan ibunya. Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah siap naik ke punggung kuda. anak itu mendekati mereka sambil mengeluarkan tangannya.
" Selamat jalan, paman. Selamat jalan, bibi. " Sekar Mirah mencium anak itu dipipinya
Pada saat itulah tiba-tiba saja Nyi Tumenggung itupun berdesis " Ia akan dikumiai seorang adik"
Sekar Mirah terkejut. Matanya bersinar sesaat. Hampir dituar sadarnya ia bertanya"Ia akan mempunyai seorang adik " "
Nyi Untara tersenyum sambil mengangguk.
" O " mata Sekar Mirah pun berkaca-kaca. Tiba-tiba saja ia memeluk Nyi Untara Betapapun Sekar Mirah bertahan, namun terdengar ia terisak.
" Aku mengucapkan selamat, mbokayu, Kurnia itu masih belum melimpah kepada keluargaku "
Sebuah penyesalan menyelinap dihati Nyi Untara. Ia telah terlanjur memberitahukan bahwa ia mulai mengandung lagi. Seharusnya ia tahu, bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah sangat merindukan seorang anak
Tetapi hal itu sudah terlanjur diucapkan sehingga Sekar Mirah tidak dapat menahan keluhannya, bahwa ia masih belum dikumiai seorang anakpun.
Namun sejenak kemudian, Sekar Mirah telah mengeringkan matanya. Bahkan sambil tersenyum iapun berdesis " Maafkan aku mbokayu. Mungkin aku memang terlalu cengeng. "
" Aku yang harus minta maaf, adi. "
" Kami mohon diri, mbokayu. "
Namun sebelum mereka beranjak Agung Sedayupun berkata" Kakang. Aku mendapat pesan dari Sabungsari, bahwa ia sedang berada di perjalanan kembali ke barak. Kami berangkat bersama-sama dari Tanah Perdikan. Tetapi Sabungsari singgah satu dua hari di Mataram. Jika sampai hari ini belum sampai di sini, mungkin masih ada persoalan yang dibicarakan di Mataram."
" Untuk apa ia singgah di Mataram" Siapakah yang ditemuinya di sana?"
" Satu keperluan pribadi yang terbengkelai selama ini. "
" O " Untarapun tersenyum sambil mengangguk-angguk " seharusnya Sabungsari segera menyelesaikannya. "
Agung Sedayupun tersenyum pula. Namun kemudian iapun sekali lagi minta diri.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun telah meninggalkan rumah Untara. Sekar Mirah masih berpaling dan melambaikan tangannya. Untara, isteri dan anaknyapun telah melambaikan tangan mereka pula.
Diperjalanan Sekar Mirah lebih banyak berdiam diri sambil menunduk. Kaki kudanya berderap tidak terlalu cepat menyusuri jalan menurun landai di kaki Gunung Merapi.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun beberapa saat kemudian Agung Sedayupun berkata"Kita sudah mendekati regol padepokan kecil yang ditinggal oleh guru. "
Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Di depannya jalan yang panjang membujur ke Utara. Tidak jauh di hadapan mereka terdapat sebuah padepokan kecil yang dibangun oleh gurunya.
Kedatangan Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang mengejutkan Ki Widura yang ada di padepokan. Ia memang jarang sekali meninggalkan padepokan jika tidak ada-kepentingan yang mendesak sekali.
" Marilah, Agung Sedayu. Marilah Sekar Mirah " Ki Widura itupun mempersilahkan.
Merekapun kemudian duduk di pendapa bangunan induk padepokan kecil itu.
Widurapun telah menanyakan keselamatan perjalanan Agung Sedayu dan Sekar Mirah serta keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.
"Apakah kalian langsung datang kemari dari Tanah Perdikan?" bertanya Ki Widura kemudian.
" Tidak, paman. Kami bermalam di Sangkal Putung. Baru saja kami singgah di rumah kakang Utara. "
Widura mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya'"
" Semuanya baik, paman. Hanya sedikit ada masalah di Sangkal Putung"Jawab Agung Sedayu.
Agung Sedayupun kemudian menceritakan serba sedikit, peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Tentang Swandaru dan tentang orang-orang Bendagantungan.
Widura mengangguk-angguk. Sementara Agung. Sedayupun berkata " Orang-orang Bendagantungan itu menyebut kami murid-murid Orang Bercambuk. Aku khawatir, bahwa mereka akan berpaling kepada padepokan ini kelak "
' Widura menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata" Jangan terlalu kau cemaskan, Agung Sedayu. Di sini kami sudah mulai mengemasi diri. Ada beberapa orang yang sudah dapat diandalkan untuk melindungi padepokan ini "
" Sokurlah paman. "
"Jika saja kau mempunyai waktu untuk melihat mereka"
" Aku akan bermalam disini malam ini paman."
" Bagus"sahut Widura dengan serta-merta"malam nanti kau akan dapat melihat, lima orang cantrik utama dari perguruan ini disam-ping cantrik-cantrik yang lain. "
Jilid 322 " TERIMA kasih paman. "
Dalam pada itu, setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan yang dihidangkan, Widurapun telah mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk melihat-lihat keadaan padepokan kecil itu.
Ternyata Ki Widura tidak saja memelihara padepokan peninggalan Kiai Gringsing itu. Tetapi Ki Widura juga telah mengembangkannya. Padepokan itu menjadi semakin luas. Bangunannyapun menjadi semakin lengkap. Ki Demang memberikan beberapa petak tanah untuk menjadi tanah pertanian, serta mengijinkan Ki Widura membuka ujung hutan yang subur untuk menjadi ladang baru yang digarap oleh para cantrik. Ara-ara yang luas ditumbuhi oleh rerumputan yang hijau.
Widura sengaja mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah berkeliling di atas punggung kuda untuk dapat melihat padepokan itu seluruhnya
" Satu kebanggaan tersendiri, paman " desis Agung Sedayu.
" Kau dan Swandaru setiap kali harus datang untuk melihat perkembangan padepokan ini"berkata Ki Widura.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Wajahnya nampak menjadi cerah seperti cerahnya langit waktu itu. Beberapa kelompok ternak nampak dilepas di padang rumput yang luas, sementara suara air gemericik mengalir di parit dipinggir jalan itu menuju ke kotak-kotak sawah yang subur.
" Kami mengucapkan terima-kasih atas kesungguhan paman mengembangkan padepokan kecil ini. "
"Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku" "
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
" Ki Demang Jati Anom sangat baik kepada kami. Mungkin Ki Demang mengerti, bahwa aku adalah paman Untara. Tetapi Ki Demang pun telah memanfaatkan para cantrik untuk membimbing anak-anak muda kademangan ini untuk menggarap sawah dengan cara yang baik. Untuk berternak dan memelihara ikan di kolam-kolam air diam dan air mengalir. Kerajinan tangan dan kerja yang lain yang berarti bagi mereka. Bahkan ada beberapa orang anak muda yang memang berada di padepokan ini sebagai cantrik. Dua orang diantara mereka termasuk pada lima orang cantrik terbaik disini. "
Agung Sedayu yang masih mengangguk-angguk itu menyahut " Sokurlah paman. Mudah-mudahan padepokan ini berkembang terus, meskipun kita tidak usah bermimpi padepokan ini menjadi sebuah padepokan yang besar."
" Aku memang udak ingin mengembangkan padepokan ini menjadi padepokan yang besar. Aku ingin padepokan ini tetap sebuah padepokan kecil tetapi bobotnya sajalah yang harus dipertahankan, meskipun mustahil untuk mempertahankan bobot kepemimpinan Kiai Gringsing. "
" Guru memang seorang yang sulit untuk ditandingi. Tetapi ternyata paman mempunyai kelebihan pada sisi yang lain. "
Tetapi Widura menggeleng sambil tertawa. Katanya " Aku tidak akan dapat mempunyai kelebihan pada sisi apapun dari Kiai Gringsing. Tetapi aku berusaha sebaik-baiknya untuk menjadikan padepokan ini berarti. Bukan saja bagi para cantriknya, tetapi juga bagi para penghuni di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian cantrik padepokan kita tidak terpisah dari kehidupan orang banyak dalam susunan kewajaran sesama
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pandangan pamannya atas lingkungannya sangat menarik
Beberapa lama mereka berkuda mengelilingi satu lingkungan yang luas dari padepokan kecil yang berkembang itu.
Hubungan Ki Widura dan para penghuni kademangan itupun ternyata sangat akrab pula. Setiap kali bertemu dengan orang-orang lewat, Ki Widura saling menyapa dengan akrabnya.
Beberapa saat kemudian, Ki Widura mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke padepokan setelah mereka melihat sawah, pategalan, padang rumput dan kolam-kolam ikan yang mendukung padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura itu.
Ketika mereka sampai di padepokan dan setelah beristirahat sejenak sambil minum dan berbincang di pendapa, Ki Widurapun telah menunjukkan bilik bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
" BeristirahaUah " berkata Ki Widura " aku berharap bahwa kalian tidak hanya bermalam satu malam disini. "
Agung Sedayu hanya tersenyum saja Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada didalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka, maka Agung Sedayu itupun berdesis " Jika saja tempat ini sangat menarik bagimu, bukankah kita dapat bermalam dua malam disini" "
Sekar Mirah mengangguk. Katanya " Jika masih ada yang ingin kakang lihat, aku sama sekali tidak berkeberatan. "
Seperti dikatakan oleh Ki Widura, setelah mereka makan malam dan duduk-duduk di peringgitan sejenak, maka merekapun telah pergi ke sanggar terbuka dibagian belakang dari padepokan itu. Beberapa buah oncor menyala disekitar sanggar yang mempunyai peralatan yang lengkap itu. Dari bambu titian sampai ke tali untuk berayun. Arena berpasir dan berbatu-batu padas. Segala jenis senjata, termasuk senjata lontar.
Kepada para cantriknya Ki Widura itupun berkata " Nah, kita akan menunjukkan kepada murid utama Kiai Gringsing, Orang Bercambuk yang mendirikan padepokan ini, apa saja yang sudah kita capai selama ini. "
Para cantrik yang duduk disekitar sanggar itu mendengarkan kata-kata Ki Widura dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Ki Widura berkata selanjutnya. "Tidak ada niat sama sekali untuk menyombongkan diri, karena ilmu yang dimiliki oleh murid utama Kiai Gringsing ini tidak akan terjangkau oleh kita semuanya. Tetapi apa yang akan kita tunjukkan kepadanya adalah semacam pertanggung-jawaban kita yang menghuni padepokan ini. Siang tadi aku telah menunjukkan lingkungan padepokan ini. Bangunan-bangunan yang ada. Sawah, pategalan, padang pengembalaan, kolam-kolam ikan serta segala jenis ternak dan binatang peliharaan kita. Nah, sekarang kita akan menunjukkan padepokan ini dari para cantrik pemula sampai kepada lima orang cantrik paling tua di padepokan ini. "
Para cantrik itupun mengangguk-angguk. Seakan-akan mereka ingin menyatakan kesediaan mereka melakukan perintah gurunya itu.
Tetapi sejak sebelumnya, Ki Widura telah menunjuk beberapa orang yang akan mewakili kawan-kawannya yang lain.
Sejenak kemudian, maka seperti yang telah direncanakan oleh Widura, maka seorang demi seorang telah tampil di tengah-tengah sanggar. Dari tataran pemula diteruskan oleh tataran-tataran berikutnya. Sehingga akhirnya tampil cantrik-cantrik yang disebut oleh Widura sebagai cantrik tertua.
Seorang demi seorang kelima orang cantrik tertua itu telah menunjukkan kemampuan mereka. Mereka telah menunjukkan unsur-unsur gerak dari ilmu yang mereka kuasai. Ilmu yang diturunkan oleh pemimpin padepokan kecil itu. Ki Widura.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah memperhatikan sejak dari cantrik pemula sampai kepada cantrik yang disebut tertua itu dengan saksama. Apalagi ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah melihat bagaimana kelima orang cantrik tertua itu menunjukkan kemampuan mereka.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah menggeleng-gelengkan kepala mereka. Ternyata padepokan kecil itu sudah menjadi sangat maju. Bukan saja gelar kewadagan padepokan itu. Tetapi isi dari padepokan itupun ternyata sangat mengagumkan.
Terutama pada kelima cantrik itu Agung Sedayu melihat unsur dari ilmu sebagaimana diturunkan oleh Ki Sadewa. Tetapi juga nampak unsur-unsur lain yang luluh kedalamnya. Semuanya itu dirangkum dalam bingkai ilmu dari perguruan Orang Bercambuk itu sendiri.
Di telinga Sekar Mirah, Agung Sedayupun berdesis " Jika murid-muridnya mempunyai kemampuan sedemikian tingginya, maka kemampuan paman Widurapun tentu sudah meningkat dengan pesat. Paman mencapai tataran puncak dari ilmunya justru pada usianya yang sudah menjadi semakin tua. "
" Paman memang agak terlambat "
Namun Agung Sedayupun kemudian berkata " Agaknya untuk meningkatkan ilmu tidak akan pernah terlambat
" Ya, kakang " Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dalam pada itu, seorang dari kelima orang cantrik tertua itu, telah menunjukkan kemampuannya mempergunakan senjata. Sebuah tombak pendek.
Demikian tinggi penguasaannya atas senjatanya, sehingga senjatanya itu seolah-olah merupakan bagian dari anggauta badannya.
Kemudian seorang yang lain telah memperlihatkan ketrampi-lannya mempergunakan senjata yang lain. Demikian pula orang ketiga dan keempat Namun ketika orang kelima turun ke tengah-tengah sanggar, maka senjata yang dibawanya adalah sebuah cambuk sebagaimana cambuk Agung Sedayu.
" Padepokan ini adalah padepokan yang dibangun oleh Orang Bercambuk. Karena itu, senjata yang paling diandalkan dari murid-murid di perguruan ini adalah cambuk sebagaimana senjata utama Orang Bercambuk itu. " berkata Widura.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun jantung merekapun menjadi berdebaran.
Demikian orang itu berada di tengah-tengah sanggar terbuka itu, maka cambuknyapun segera mulai menggelepar. Suaranya meledak bagaikan lidah api yang menyambar di langit.
Dengan tangkasnya orang itu berloncatan sambil memutar cambuknya. Dengan cepat orang itu menggeliat sambil mengay unkan tangannya.
Sekali lagi suara cambuk itu menggelegar.
Ki Widura mengikuti gerak cantriknya dengan seksama.
Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Setelah mempertunjukkan berbagai macam unsur gerak sampai ke unsur gerak yang paling rumit dengan kecepatan yang tinggi, maka orang itupun telah melenting dan berputar diudara. Ketika kakinya kemudian melekat diatas tanah, maka kaki itu seakan-akan telah menghunjam dalam-dalam ke perut bumi.
Setelah memusatkan nalar budinya sekejap, maka orang itu telah mengangkat cambuknya. Ketika cambuk itu terayun dan dihentakkan sendai pancing, maka cambuk itu sama sekali tidak meledak. Bahkan hampir tidak terdengar suaranya sama sekali.
Tetapi dalam pada itu, udara di sanggar itupun telah tergetar. Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun segera mengetahui, bahwa orang itu telah berada dalam tataran yang tinggi dari ilmu Orang Bercambuk.
" Luar biasa " desis Agung Sedayu. Di dalam hati iapun berkata " Jika demikian, maka kemampuan paman Widura sudah dapat diperbandingkan dengan kemampuan adi Swandaru. Murid utama paman Widura ternyata telah menguasai ilmu pada tataran yang tinggi pula. "
Ketika cantrik itu selesai mempertunjukkan tataran ilmu yang sudah dikuasainya, maka hampir dituar sadarnya Agung Sedayu bangkit berdiri. Mengangguk hormat kepada cantrik itu, kemudian kepada Ki Widura yang juga bangkit berdiri.
" Aku mengucapkan selamat, paman. "
" Tentu belum apa-apa dibandingkan dengan kemampuan murid utama Orang Bercambuk itu sendiri. "
" Jika para cantrik itu mampu mencapai tataran ilmu yang tinggi itu, maka tentu dapat diduga, betapa tinggi kemampuan gurunya."
" Jangan memuji, Agung Sedayu. Yang aku lakukan adalah sekedar mengembangkan apa yang aku tahu. "
" Beberapa keturunan ilmu itu telah luluh paman. Tetapi seperti itulah memang yang dikehendaki oleh guru. "
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu berkata " Dengan demikian, maka ilmu dari padepokan Orang Bercambuk akan berkembang. "
Ki Widura mengangguk sambil berkata " Terima-kasih atas penghargaanmu itu, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kami tidak mengecewakanmu untuk selanjutnya. "
" Tentu tidak paman. Aku senang sekali. Jika adi Swandaru melihat perkembangan ini, iapun akan berbangga pula. "
" Baiklah, Agung Sedayu. Mungkin kau masih belum terlalu letih untuk melihat, bagaimana para cantrik padepokan ini mempergunakan alat-alat yang ada ini untuk melatih ketrampilan mereka dalam kehidupan sehari-hari. "
" Tentu paman. Kami sama sekali belum letih. Bukankah kami hanya duduk saja menonton. "
Demikian beberapa saat kemudian, para cantrikpun telah memperlihatkan ketrampilan mereka. Meniti balok. Bambu yang lentur dan kemudian meniti tampar ijuk. Mereka mempertunjukkan ketrampilan memanjat, menggelantung dan berayun pada tali-tali yang terjulur. Mereka mempertunjukkan bagaimana mereka dalam kelompok-kelompok memanjat dinding yang terjal. Meloncat dan berputar diudara. Dan masih banyak lagi yang dapat dilihat oleh Agung Sedayu. Semuanya itu bukan saja menunjukkan betapa tangan dan kaki para cantrik menjadi trampil. Tetapi juga dapat menjadi alas penguasaan ilmu mereka
Agung Sedayu dan Sekar Mirah benar-benar mengagumi kegigihan Ki Widura yang sudah menjadi semakin tua itu. Namun ternyata Ki Widura justru telah mematangkan ilmunya.
Begitu asiknya Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyaksikan kemampuan para cantrik dari padepokan kecil itu, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa tengah malam telah jauh terlampaui. Bahkan kokok ayam jantan untuk kedua kalinya telah terdengar.
Malam telah bergerak memasuki dini hari.
Widuralah yang kemudian menghentikan pertunjukan ketrampilan para cantrik itu. Dengan nada dalam iapun berkata "Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tidak sepatutnya aku memaksa kalian untuk duduk disini dalam keadaan letih. Beristirahatlah. Hanya itulah permainan buruk yang dapat aku perlihatkan kepada kalian."
" Paman terlalu merendahkan diri. " berkata Agung Sedayu.
" Bukan merendah diri. Tetapi di hadapanmu, murid Utama Orang Bercambuk, aku harus mengakui, betapa dangkalnya ilmuku dan apalagi para cantrik. "
Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Sementara Sekar Mirahpun berkata " Sangat mengagumkan, paman. "
Demikianlah, maka Ki Widurapun telah mengantarkan Agung Sedayu ke bangunan induk padepokan itu. Keduanyapun langsung pergi ke biliknya untuk beristirahat.
Namun sebelum mereka masuk kedalam bilik mereka, Agung Sedayupun sempat berkata "Paman. Apakah paman besok bersedia berada disanggar tertutup" "
" Tentu. Tentu Agung Sedayu. Aku justru berharap. "
Agung Sedayu tersenyum. Namun kemudian iapun mengangkat hormat dan masuk kedalam biliknya.
Didalam biliknya Sekar Mirahpun bertanya " Untuk apa kau minta paman besok masuk ke sanggar tertutup?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Aku ingin melihat, apakah masih ada kesempatan untuk mendorong paman serba sedikit agar ilmunya menjadi bertambah mapan. Tentu saja dalam waktu dekat dan sangat pendek aku tidak dapat berbuat apa-apa, selain sekedar menunjukkan jalan. Biarlah kemudian paman sendiri yang mencarinya. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun telah berbaring dipembaringan.
Ketika Agung Sedayu yang kemudian juga berbaring masih membayangkan bagaimana para cantrik menunjukkan hasil yang mereka peroleh selama mereka berada di padepokan itu, sedangkan Sekar Mirah justru mulai membayangkan anak Pandan Wangi dan anak Untara. Mereka adalah anak laki-laki yang dapat diharapkan bagi masa depan. Tetapi Sekar Mirah sendiri tidak mempunyai seorang anakpun.
Namun akhirnya keduanyapun dapat tidur lelap di dinihari. Ketika fajar menyingsing, keduanya sudah bangun. Meskipun mereka hanya tertidur sebentar, tetapi mereka tidak nampak lelah.
Bahkan keduanyapun telah sibuk pula sebagaimana para cantrik. Sekar Mirah telah berada didapur bersama mereka yang menyiapkan minuman hangat serta makan pagi. Sementara Agung Sedayu telah berada di sumur untuk mengisi pakiwan.
Ketika seorang cantrik mencegahnya dan minta Agung Sedayu memberikan timbanya, maka Agung Sedayupun berkata " Aku sudah terbiasa melakukannya sejak aku masih berada di padepokan ini. "
Seperti yang diminta oleh Agung Sedayu, maka menjelang matahari naik sepenggalah, Widura, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berada di sanggar tertutup. Dengan nada rendah Agung Sedayupun berkata " Aku mohon maaf, paman. Aku -ama sekali tidak bermaksud apa-apa. Tetapi sebagai murid utama perguruan Orang Bercambuk aku ingin melihat, paman sekarang berada dimana dalam tataran kemampuan para murid Utama perguruan Orang Bercambuk."
Ki Widura yang sudah menjadi semakin tua itu ia sekali tidak merasa tersinggung. Juga sebagai seorang paman. Ia sadar, bahwa didalam urutan murid perguruan Orang Bercamouk, Agung Sedayu adalah yang tertua.
Karena itu, maka Widura telah menempatkan dirinya sebagai adik seperguruan Agung Sedayu, sehingga Widurapun telah siap melakukan segala perintah Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka Widurapun telah hadiri di tengah-tengah arena tertutup. Iapun segera mempersiapkan diri sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh Agung Sedayu.
Agung Sedayu sendiri berdiri beberapa langkah di hadapan Widura. Ketika Widura memandanginya. Maka Agung Sedayupun telah menganggukkan kepalanya sambil berdesis"Mulailah paman. "
Widurapun segera mulai. Sejak mengatur pernafasan, memanaskan urat-urat nadinya, melemaskan otot-ototnya, sehingga gerakan dasar. Kemudian meningkat pada tataran berikutnya, semakin lama semakin tinggi, sehingga akhirnya sampai pada gerakan-gerakan yang paling rumit
Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari Widura menyaksikan Widura yang berloncatan itu dengan saksama. Kepekaan seorang murid utama dari Orang Bercambuk membuat Agung Sedayu merasakan sentuhan-sentuhan angin yang bergetar akibat ayunan tangan dan kaki Widura, sehingga Agung Sedayu dapat menjajagi tingkat kemampuan pamannya itu.
Ternyata seperti yang diturunkannya kepada Para cantrik, yang nampak pada unsur-unsur gerak Ki Widura, tidaklah murni keturunan dari ilmu orang bercambuk. Tetapi pemgaruh itu tidak membuat ilmu Ki Widura itu menjadi cacat. Tetapi ilmu Ki Widura justru nampak menjadi semakin lengkap. Celah-celah yang lemah telah diisi dengan padat, sehingga seakan-akan sama sekali tidak ada cacarnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu yang ilmunya sudah benar-benar masak itu masih melihat, kemungkinan-kemungkinan yang terbuka untuk meningkatkan tataran ilmu Ki Widura
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak memutuskan ungkapan ilmu Ki Widura itu sampai pada saat terakhir, saat Ki Widura menunjukkan kemampuannya bermain dengan senjata Puncak dari permainan Ki Widura adalah ilmu cambuk yang sudah dikuasai oleh Ki Widura.
Jika murid-murid Ki Widura itu sudah sampai pada tataran yang tinggi dari ilmu cambuk yang diturunkan oleh Kiai Gringsing dilengkapi oleh pengaruh yang mapan, maka ilmu Ki Widura ternyata benar-benar mengagumkan. Meskipun masih belum mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu sendiri, namun Ki Widura benar-benar telah sampai ke puncaknya
Bahkan Agung Sedayu mulai meragukan, siapakah yang ilmunya lebih tinggi. Ki Widura atau Swandaru yang terlena oleh kesalahannya menilai kemampuan saudara-saudara seperguruannya. Termasuk Ki Widura dan Glagah Putih.
Beberapa saat kemudian, maka Widurapun telah sampai di puncak permainannya. Ketika permainan cambuknya berakhir maka Ki Widurapun telah mengendapkan ungkapan kekuatan dan tenaga dalamnya. Mengendorkan urat-uratnya dan mengatur pernafasannya, sehingga segala sesuatunya kembali kepada kewajarannya.
Demikian Ki Widura selesai, maka Agung Sedayupun mengangguk hormat, sementara Ki Widurapun telah melakukan hal yang sama.
" Aku mohon petunjuk " berkata Widura yang menempatkan diri sebagai adik seperguruan Agung Sedayu.
Agung Sedayupun kemudian melangkah maju sambil berkata " Paman telah berada di tataran tertinggi dari ilmu Orang Bercambuk yang justru paman lengkapi dengan unsur-unsur dari ilmu yang lain, sehingga ilmu yang paman kuasai itu menjadi lengkap. "
Ki Widura tidak menyahut. Ia masih menunggu petunjuk-petunjuk yang tentu akan diberikan oleh Agung Sedayu.
" Satu hal yang menakjubkan"berkata Agung Sedayu kemudian "perguruan Orang Bercambuk hanya menunjukkan jalannya. Tetapi semuanya itu paman cari sendiri dengan ketekunan dan kecerdasan yang luar biasa. Apalagi dalam keadaan paman sekarang yang umumnya sudah menjadi semakin tua. "
Ki Widura masih tetap berdiam diri. Sementara Agung Sedayu berkata selanjurnya"Meskipun demikian, bukan berarti bahwa paman sudah tidak lagi mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu paman, jika paman kehendaki, setelah umur paman menjadi semakin tua."
" Aku tidak pernah menghiraukan umurku, Agung Sedayu. "
" Baiklah, paman. Aku ingin menunjukkan jalan yang dapat paman tempuh. Selebihnya aku yakin, paman akan dapat mencarinya sendiri.
Widura mengerutkan dahinya, sementara Agung Sedayupun melangkah maju.
"Paman. Kita akan berlatih bersama. "
Widura mengerutkan dahinya Namun Agung Sedayu berkata selanjutnya "simpanlah cambuk paman. "
Widurapun kemudian telah menggantungkan cambuknya di dinding sanggar. Sejenak kemudian, Ki Widura itu telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu.
" Aku tidak akan mulai dari landasan dasarnya. Darah paman sudah panas. Aku hanya akan sekedar memanaskan tubuhku serta membangkitkan getar ilmuku. Selanjurnya kita akan langsung berada pada tataran tertinggi sebagaimana paman tunjukkan pada bagian akhir permainan paman."
Ki Widura menganggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu tentu akan memberikan perunjuk-petunjuk khusus dengan caranya Karena itu, maka untuk menanggapinya dengan tepat, Ki Widurapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun berkata " Marilah paman. Aku mohon paman dapat melihat dan menangkap arah permainan kita Selanjurnya paman akan dapat mencarinya sendiri."
Ki Widura mengangguk sambil berdesis"Aku sudah bersiap." Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanyapun telah terlibat dalam latihan yang rumit. Pada permulaannya, Agung Sedayu lebih banyak berloncatan sekedar untuk memanaskan darahnya. Namun demikian, unsur-unsur geraknya semakin lama menjadi semakin rumit. Sehingga ketika keringatnya mulai membasahi punggung bajunya, maka Agung Sedayupun seakan-akan telah menjadi bersungguh-sungguh.
Untuk menanggapinya maka Ki Widurapun telah mengerahkan kemampuannya pula. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka Widurapun telah menggapai tataran tertinggi dari ilmu yang telah disadapnya dari perguruan Orang Bercambuk. Tetapi unsur-unsurnya telah dilengkapi oleh unsur-unsur gerak yang diturunkan oleh perguruan lain yang pernah disadapnya pula
Namun sebenarnyalah bahwa ilmu Agung Sedayu sendiri juga bukan ilmu yang mumi dari perguruan Orang Bercambuk. Hal itu sudah diketahui oleh gurunya. Bahkan gurunyalah yang menganjurkannya untuk melengkapi ilmunya dengan ilmu yang manapun yang watak dan sifatnya sesuai tanpa menimbulkan benturan-benturan di dalam dirinya
Beberapa saat lamanya Agung Sedayu dan Ki Widura seakan-akan sedang bertempur dalam puncak ilmu meraka Beberapa kali Ki Widura terdesak, tergetar dan bahkan terdorong surut. Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang bahkan melemparkan Ki Widura sehingga hampir saja menimpa tiang-tiang penyangga alat-alat latihan di dalam sanggar.
Namun sebenarnyalah bahwa Ki Widura tidak sekedar bertempur untuk memenangkannya. Tetapi dengan cermat ia mengamati unsur gerak lawannya yang sangat rumit.
Sekar Mirah yang menyaksikan latihan bersama itu menjadi berdebar-debar. Meskipun Sekar Mirah sendiri berilmu tinggi, tetapi sulit baginya untuk membedakan, bahwa Agung Sedayu dan Ki Widura itu tidak sedang bertempur bersungguh-sungguh. Bahkan Sekar Mirah itu sempat menjadi cemas, bahwa keduanya mulai kehilangan kendali sehingga mereka terjerumus kedalam pertempuran yang sesungguhnya.
Apalagi ketika ia melihat Ki Widura semakin sering dikenai serangan-serangan Agung Sedayu sehingga setiap kali Ki Widura itu terlempar jatuh dan harus meloncat berdiri dan bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Namun akhirnya Sekar Mirah itu menarik nafas dalam-dalam. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin lamban. Bahkan kemudian Agung Sedayupun telah memberikan isyarat, bahwa latihan itupun sudah berakhir.
Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar mengendorkan urat-urat dan syaraf mereka, mengatur pernafasan dan mengendapkan tenaga yang terangkat
Akhirnya keduanyapun berhenti bergerak. Agung Sedayu mengangguk hormat Demikian pula Ki Widura.
" Maaf, paman"berkata Agung Sedayu kemudian"mungkin permainan ini merupakan permainan yang terlalu keras bagi paman"
Ki Widura tersenyum. Pernafasannya sudah menjadi teratur kembali Namun masih terasa aliran nafas itu masih terlalu cepai
" Paman " berkata Agung Sedayu kemudian " Aku hanya ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan yang masih harus paman perhatikan. Paman harus menemukan perlindungannya sehingga tidak mudah menjadi titik sasaran dalam pertempuran yang sebenarnya terjadi. Paman tentu tidak akan mengalami kesulitan. Selain itu, maka pamanpun akan menemukan tumpuhan-tumpuhan baru untuk melontarkan kemampuan tertinggi dari ilmu yang telah paman kuasai."
" Terima kasih Agung Sedayu. Aku mengerti maksudmu. Aku merasakan beberapa daun pintu telah kau buka, sehingga aku akan dapat memasukinya. Apakah aku akan sampai di dalam atau tidak, itu tergantung kepada landasan kemampuanku. Jika terjadi kegagalan, sama sekali bukan salahmu. Kecuali jika kau dapat berada di padepokan ini sedikitnya setengah tahun. Dan itu adalah mustahil"
Agung Sedayu tertawa. Katanya " Tanpa aku, paman akan berhasil. Bahkan mungkin paman memerlukan waktu yang lebih pendek Aku yakin."
"Mudah-mudahan aku mampu melakukannya"
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk hormat sambil berkata "
Aku mohon maaf, paman. Mungkin aku telah melanggar unggah-ungguh, bahwa aku berani menggurui paman."
" Bukankah itu sudah sewajarnya terjadi " Jangan hiraukan umurku. Jangan hiraukan pertalian darah diantara kita."
"Ya paman." " Umur bagiku bukan alasan untuk bermalas-malas. Menuntut ilmu tidak harus berhenti karena umurku selagi masih mampu melakukannya"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata - Terima kasih atas pengertian paman."
"Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Agung Sedayu."
Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berada di dalam sanggar, Agung Sedayu dan Ki Widura masih berbincang tentang berbagai kemungkinan. Sekali-sekali keduanya berdiri dan mencoba mengetrapkan unsur-unsur gerak yang mereka perbincangkan.
Akhirnya Agung Sedayu itu pun berkata - Sudahlah paman. Aku kira kita sudah cukup lama berada di dalam sanggar.
" Baiklah Agung Sedayu. Sekali lagi aku mengucapkan terima-kasih. Sepeninggalmu, aku akan berusaha untuk dapat mengisi kekurangan-kekurangan yang telah kau tunjukkan "
"Paman tentu akan berhasil."
" Mudah-mudahan. Tetapi aku tentu memerlukan waktu yang panjang."
" Aku berharap bahwa murid-murid utama yang sekarang, akan mampu meningkatkan ilmu mereka pula, sehingga perguruan Orang Bercambuk justru akan menjadi semakin mekar."
" Kami berharap bahwa sekali-sekali kau sempat datang, Agung-Sedayu."
" Akan aku usahakan, paman."
"Aku tahu, bahwa tugasmu cukup banyak. Tetapi kau tentu akan dapat menyisihkan waktu barang dua tiga hari untuk berada di padepokan kami."
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah keluar dari sanggar tertutup. Beberapa orang cantrik berharap-harap cemas. Mereka memang berharap bahwa dengan demikian, mereka pun akan mendapat perakan hasil pertemuan antara ki Widura dan Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Ki Widura masih minta Agung Sedayu untuk bermalam semalam lagi. Dengan ragu-ragu Ki Widura pun berkata " Agung Sedayu. Aku minta maaf kepadamu. Ada satu dua orang cantrik dari perguruan ini yang benar-benar belum mengenalmu. Sementara itu, terus terang ada seorang diantara murid utama yang hatinya telah terbakar oleh keberhasilannya dan membuatnya menjadi terlalu sombong. Aku tidak akan menyebutkan, siapakah orang itu. Tetapi aku mohon, malam nanti, kau dapat meyakinkan mereka, bahwa kau adalah murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa kecil sambil berkata "Biar sajalah paman. Aku tidak ingin memaksa para cantik, maupun murid utama itu mempercayai kemampuanku. Swandaru juga tidak dapat menilai kemampuanku dengan benar. Aku tidak berkeberatan."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku sudah mengira, bahwa kau akan bersikap demikian. Tetapi aku menganggap perlu bahwa kau bersedia melakukannya. Bukan untuk kepentinganmu Agung Sedayu. Tetapi untuk sedikit memberi peringatan kepada orang itu. Ia harus dibenturkan pada satu kenyataan yang dapat langsung menggores jiwanya."
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya " tidak Paman. Orang itu tentu percaya kepada paman. Juga percaya kepada apa yang paman katakan. Antara lain adalah tentang aku."
Ki Widura menarik nafas panjang. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata"Orang itu bukannya tidak percaya, kakang tetapi orang itu sekedar ingin membuktikan."
Tetapi Agung Sedayu menyahut " Aku tidak merasa perlu membuktikannya Sekar Mirah. Pada saatnya ia akan menyadarinya " Kakang " berkata Sekar Mirah kemudian " apa yang dapat kakang lakukan terhadap kakang Swandaru sekarang" Justru karena kakang tidak mau menghentikan mimpinya selagi ia bara saja tertidur. Sekarang, kakang sudah terlambat. Sementara itu, kakang Swandaru menjadi semakin jauh meninggalkan kenyataan. Ia merasa dirinya mempunyai kemampuan lebih tinggi dari kakang. Jika pada suatu saat ia menyadarinya dengan cara yang tidak bijaksana, maka harga dirinya akan hancur sama sekali"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya"Aku memang bersalah. Tetapi kedudukan adi Swandaru berbeda dengan kedudukan para cantrik di padepokan ini."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Ki Widura yang mengenal sifat dan watak Agung Sedayu tidak dapat memaksanya. Katanya kemudian " Baiklah, Agung Sedayu. Aku mengerti keberatanmu. Karena itu, jika perlu, biarlah aku saja akan meyakinkannya."
Agung Sedayu tersenyum sambil berkata " Maaf, paman. Aku tidak merasa perlu melakukannya. Mungkin pada kesempatan lain."
"Tetapi bukankah malam nanti kau masih akan bermalam di sini meskipun hanya semalam"
Agung Sedayu mengangguk. Katanya " Ya , paman. Aku akan bermalam di sini."
Sebenarnyalah malam itu, Agung Sedayu masih bermalam di padepokan kecil peninggalan Orang Bercambuk itu.
Ternyata bahwa seperti yang dikatakan oleh Ki Widura, seorang di antara murid utama, telah menghadap Ki Widura. Sambil mengangguk hormat, orang itu pun berkata"Guru. Aku mohon guru dapat menyampaikannya. Aku mohon maaf, bahwa aku ingin meyakinkan tingkat ilmu Ki Lurah Agung Sedayu."
Ki Widurapun menank nafas dalam-dalam. Katanya - Kau telah mempermalukan aku dihadapan murid utama Orang Bercambuk itu.
"Kenapa, guru?"
" Aku sudah mengatakan kepadanya, meskipun kau belum minta kepadaku. Aku sudah mendengar niatmu dan bahkan satu dua orang cantik yang lebih muda."
"Terima kasih guru."
"Tetapi jawabnya adalah jawaban seorang murid Orang Bercambuk sejati."
" Apa jawabnya?"
"Ki Lurah Agung Sedayu merasa tidak perlu melakukannya."
Murid Ki Widura itu mengerutkan dahinya. Katanya - Kenapa Ki Lurah tidak mau melakukannya.
"Ia tak merasa perlu meyakinkan siapapun yang meragukannya."
Murid Ki Widura itu tertegun sejenak. Namun kemudian katanya -Guru. Apakah hal itu tidak semakin meragukan" Ki Lurah telah mengelak dari tanggungjawabnya.
"Tanggungjawab apa"
" Ia harus mempertanggungjawabkan tataran .kemampuan dari murid satu perguruan."
."Siapa yang mengatakan, bahwa seseorang orang harus mempertanggungjawabkan tataran kemampuannya?"
"Lalu beban apa yang harus dipikul oleh saudara tua dalam satu perguruan" Sebagai murid tertua, Ki Lurah harus dapat menunjukkan kelebihannya kepada murid-murid yang lebih muda."
" Tidak ada keharusan semacam itu. Bahkan tidak ada tanggungjawab yang membebani seorang murid yang lebih- tua bahwa ia harus memiliki kelebihan dari yang lebih muda, Bahkan tidak ada keharusan bahwa ilmu dari seorang guru lebih tinggi dari muridnya. Apalagi dalam perguruan Orang Bercambuk yang terbuka. Mungkin sekali seorang murid memiliki ilmu yang akhirnya lebih tinggi dari gurunya. Dan itu sangat diharapkan dalam perguruan ini, karena dengan demikian, bobot dan perguruan Orang Bercambuk akan semakin meningkat. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilepaskan, yaitu tanggungjawab jiwani selaku murid perguruan ini."
Dahi murid Ki Widura itu berkerut. Katanya - Guru. Bukan aku yang menjadi kecewa. Tetapi para murid dari perguruan ini."
"Terserah kepada kalian. Tetapi aku ingin kau menjawab dengan jujur pertanyaanku."
Murid Ki Widura itu termangu-mangu sejenak
" Kau yakin atau tidak terhadap ilmuku."
"Tentu guru." "Apakah kau masih juga merasa perlu untuk meyakinkan ilmuku?"
"Tentu tidak guru."
"Kau benar-benar percaya kepadaku?"
" Ya, guru. " Jika demikian kau akan dapat meyakinkan dirimu tentang Ki Lurah Agung Sedayu, bahwa kemampuannya masih jauh diatas kemampuanku. Aku masih pantas berguru kepadanya. Untuk mencapai tataran kemampuan Agung Sedayu, maka sisa umurku tidak akan cukup, meskipun umurku akan mencapai lebih dari seratus tahun."
Murid Ki Widura itu terdiam. Tetapi Ki Widura dapat menangkap percikan perasaannya. Muridnya itu menjadi kecewa karena Agung Sedayu tidak bersedia menunjukkan kelebihannya kepadanya
"Nah, katakan kepada saudara-saudaramu."
Murid Ki Widura itupun mengangguk dalam-dalam. Tetapi seperti yang diduga oleh Ki Widura, orang itu benar-benar merasa kecewa
Ki Widura tidak ingin menyembunyikan kekecewaan seorang muridnya itu kepada Agung Sedayu. Disore hari, ketika Widura duduk di pendapat bangunan induk padepokan kecilnya bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hal itu telah disampaikannya
Agung Sedayu tersenyum. Katanya - Hal itu wajar sekali, paman. Dari telur sepetarangan, akan menetas anak ayam yang bulunya dapat berbeda
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Dua orang murid utama Kiai Gringsing itupun mempunyai sifat dan watak yang berbeda. Bahkan mereka seakan akan berdiri dijalan simpang dan memilih jalan yang berbeda.
" Karena itu, paman - berkata Agung Sedayu kemudian biarkan saja murid paman itu menjadi kecewa, asal ia tidak kecewa terhadap paman. Terhadap gurunya. Jika murid itu telah menjadi kecewa terhadap gurunya, maka.kewajiban paman untuk meyakinkan, bahwa ilmunya masih jauh dibawah tataran ilmu gurunya.
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Memang jarang sekali orang yang bersikap seperti Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak berkeberatan terhadap orang lain yang meragukan ilmu dan kemampuannya.
" Jika saja aku menjadi Agung Sedayu - berkata Ki Widura didalam hatinya - aku akan meyakinkan itu sehingga ia menjadi jera. Tetapi itulah bedanya aku dan Agung Sedayu. Jiwaku terlalu kerdil dibandingkan dengan Agung Sedayu yang dadanya selapang lautan.
Malam itu Agung Sedayu masih bermalam di padepokan kecil. Ia memang merasakan sikap beberapa orang cantrik yang kecewa. Bahkan Agung Sedayupun mengerti, bahwa ada satu dua cantrik yang menganggap Ki Widura telah melindunginya.
Ki Widura dianggap dengan sengaja menyembunyikan kelemahan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu terpaksa memenuhi keinginan beberapa orang cantrik itu, maka akan nampak, bahwa sebenarnya Ki Lurah Agung Sedayu itu tidak sebesar namanya yang semarak di lingkungan perguruan orang bercambuk itu. Tetapi Agung Sedayu benar-benar tidak berkeberatan terhadap anggapan itu. Agung Sedayu tetap berpendapat, bahwa ia tidak perlu berbuat sesuatu untuk meyakinkan para cantrik, bahwa Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Pada malam terakhir itu, Agung Sedayu dan Ki Widura sempat berbincang panjang tentang ilmu dari perguruan orang bercambuk. Agung Sedayu masih sempat memberikan petunjuk-petunjuk kepada Ki Widura, apa yang sebaiknya dilakukannya.
Lewat tengah malam, pembicaraan mereka baru berakhir. Ki Widura merasa mendapat bahan banyak sekali bukan saja bagi perkembangan ilmunya sendiri, tetapi juga bagi padepokannya.
Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berada di dalam biliknya, Sekar Mirah masih juga sempat berkata " Kakang. Apakah kakang benar-benar tidak ingin memberikan sedikit kepuasan kepada para cantrik yang sangat mengharapkan dapat melihat kelebihan kakang"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Sudahlah Sekar Mirah, kita akan segera tidur. Besok kita akan kembali ke Sangkal Putung. "
Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas panjang.
Ternyata Agung Sedayu dapat tidur lebih dahulu dari Sekar Mirah. Sekar Mirah masih saja memikirkan betapa kecewanya beberapa orang cantrik terhadap sikap Agung Sedayu.
Namun akhirnya Sekar Mirahpun dapat tertidur juga didini hari.
Menjelang fajar, keduanya sudah bangun. Merekapun segera bersiap-siap untuk kembali ke Sangkal Putung.
"Mumpung belum panas, paman " desis Agung Sedayu.
" Perjalanan kalian tidak terlalu panjang. Kenapa kalian tergesa-gesa berangkat. Seandainya kalian berangkat di tengah haripun, keringat kalian tidak bakal kering diperjalanan. "
Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya tersenyum saja. Namun demikian, mereka memang tidak dapat segera berangkat. Ki Widura minta mereka berangkat setelah mereka makan pagi.
" Kalian tidak akan dikejar oleh waktu. Kapan saja kalian berangkat, kalian tidak akan pernah terlambat. "
Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa. Namun setelah makan pagi dan beristirahat sejenak, maka keduanyapun benar-benar minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung.
" Tenma-kasih atas kunjunganmu, Agung Sedayu " berkata Ki Widura ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah benar-benar akan berangkat "salamku buat angger Swandaru, Sekar Mirah. "
"Akan aku sampaikan paman " sahut Sekar Mirah.
"Salam buat Ki Demang dan seisi kademangan. "
"Ya, paman." " Kadang-kadang aku merasa sangat rindu untuk berada di Sangkal Putung barang satu dua hari. Tetapi barangkali aku memang terlalu malas. "
"Ayah tentu akan mempertanyakan paman. "
"Lain kali aku benar-benar berniat, perjalanan inr hanya memerlukan waktu beberapa lama. "
" Ayah akan senang sekali menerima kunjungan paman. " Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Agung.Sedayu dan Sekar Mirahpun meninggalkan padepokan kecil iiu. Para cantrik ikut melepas mereka di halaman padepokan.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun telah melarikan kuda mereka sepanjang jalan menuju ke Sangkal Putung. Mereka menempuh jalan sebagaimana jalan yang mereka lalui ketika mereka pergi ke Jati Anom.
Hari masih pagi. Matahari baru saja terbit, sehingga sinarnya masih terasa lembut menyentuh kulit.
Titik-titik embun masih bergayutan diujung dedaunan. Satu-satu menetes, jatuh di tanah.
Didahan-dahan pepohonan burung-burung liar berkicau bersahutan, menyambut datangnya hari yang baru.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang memang tidak tergesa-gesa itu melarikan kuda mereka tidak terlalu cepat. Sekali-sekali kuda-kuda itu menengadahkan kepala mereka. Namun kemudian kuda-kuda itupun kembali menunduk sambil berlari menyusuri jalan ke Sangkal Putung
Di sepanjang jalan Agung Sedayu dan Sekar Mirah sempat mem-bicarakan-lingkungan itu pada saat Macan Kepatihan berusaha merebut Sangkal Putung untuk dijadikan alas perjuangan mereka.
Agung Sedayu tertawa sendiri jika ia mengingat betapa takutnya berkuda di malam hari sendiri dari Dukuh Pakuwon menuju ke Sangkal Putung.
"Ada apa, kakang?"bertanya Sekar Mirah.
" Genderuwo bermata satu " desis Agung Sedayu sambil tertawa pula.
Sekar Mirah yang pernah mendengar ceritera tentang Genderuwo bermata satu dari Agung Sedayu sendiri, serta bagaimana Agung Sedayu itu ketakutan, ikut tertawa pula.
Demikianlah, sambil berbincang disepanjang jalan, merekapun kemudian telah sampai ketikuhgan yang menurun, tidak terlalu jauh dari sebuah hutan yang membentang.
"Jika tempat ini disebut Macanan, tentu ada sebabnya"berkata Agung Sedayu.
" Mungkin sering ada harimau berkeliaran didaerah ini " sahut Sekar Mirah.
" Diantaranya harimau putih."desis Agung Sedayu.
" Semakin ramai jalan ini, harimau itu menjadi semakin jarang datang kemari. "
"Ya. Tetapi tempat ini masih saja disebut Macanan " Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Namun keduanya terkejut ketika dari jalan simpang dialas tikungan yang menurun dan kemudian menanjak lagi itu muncul tiga orang berkuda
Agung Sedayu dan Sekar Mirah segera menarik kendali kudanya Sementara seorang diantara ketiga orang berkuda itu mengangguk hormat sambil berdesis"Selamat pagi, Ki Lurah Agung Sedayu "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diamatinya orang itu dengan saksama. Kemudian dengan nada rendah iapun berdesis " Witarsa "


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ya Ki Lurah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketiga orang berkuda itu adalah murid padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura Tetapi kedua orang yang lain, Agung Sedayu masih belum mengenal namanya
"Keduanya adalah adik seperguruanku, Ki Lurah. "
"Ya " " Kami minta maaf, Ki Lurah. Bahkan kami telah menghentikan perjalanan Ki Lurah disini. "
" Ada apa" Ada pesan khusus dari paman Widura yang lupa dikatakan kepada kami" "
" Tidak, Ki Lurah. Kami justru menyusul Ki Lurah dengan memotong jalan tanpa sepengetahuan guru. "
"O "jantung Agung Sedayu terasa mulai berdebaran.
"Kami menyusul Ki Lurah sekedar untuk memuaskan hatiku serta beberapa orang cantrik yang merasa sangat kecewa terhadap sikap Ki Lurah. "
" Kenapa mereka menjadi kecewa" "
"Nama Ki Lurah telah kami kenal dengan baik. Kebesaran nama Ki Lurah selalu disebut-sebut oleh guru sebagai contoh dari seorang murid perguruan Orang Bercambuk yang berhasil. Tetapi Ki Lurah segan untuk menunjukkan keberhasilan itu kepada kami. "
" Apa yang perlu ditunjukkan" "
" Nama besar Ki Lurah serta kelebihan Ki Lurah dalam olah kanuragan. "
" Tidak ada nama besar itu. Tidak pula ada kelebihan apa-apa. Justru aku kagum melihat kemampuan kalian ketika kalian menunjukkan kemampuan kalian di sanggar. "
" Tidak, Ki Lurah. Menurut guru, Ki Lurah memiliki ilmu yang sangat tinggi. "
" Kau percaya kepada gurumu" "
" Tentu. " " Jika demikian, apalagi yang perlu ditunjukkan jika kau percaya kepada gurumu. "
Wajah orang itu menegang. Dengan nada tinggi Witarsa itupun berkata"Kami ingin meyakinkannya, Ki Lurah."
"Tidak ada yang perlu diyakinkannya. "
" Tegasnya, kami ingin membuktikan tingkat kemampuan Ki Lurah. Seberapa tinggi ilmu yang dimaksud oleh guru itu. "
Agung Sedayu tersenyum sambil menggeleng. Katanya " Tidak ada yang perlu dibuktikan "
Wajah Witarsa menjadi semakin tegang. Dengan suara yang bergetar iapun berkata " Ki Lurah telah menghina kami. Mungkin kami memang tidak berarti apa-apa dimata Ki Lurah. Mungkin Ki Lurah menganggap kami tidak akan mengerti, tataran ilmu Ki Lurah yang melampaui tingginya awan di langit Namun kami mempunyai harga diri pula, Ki Lurah. Terus terang, kami meragukan kemampuan Ki Lurah sebelum kami dapat membuktikannya. "
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian " Sudah aku katakan kepada paman Widura, bahwa aku tidak berkeberatan seandainya ada orang yang meragukan kemampuanku. Bahkan tidak percaya sama sekali dan menganggap ceritera tentang ilmuku itu omong kosong. "
Agung Sedayu memandang berkeliling. Ada beberapa orang lewat yang berhenti. Mereka tertarik kepada pembicaraannya dengan ketiga orang berkuda itu. Semakin lama semakin banyak.
"Kita akan menjadi tontonan. Sudahlah. Jangan memaksa.
" Aku akan memaksa. Jika Ki Lurah tidak ingin menjadi tontonan, kita pergi ke pinggir hutan itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Sekar Mirah berkata"Jangan mengulangi kesalahan kakang sebagaimana kakang lakukan terhadap kakang Swandaru. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Namun Sekar Mirah telah mendesaknya " Kakang Kita pergi ke pinggir hutan itu. Apapun yang akan kakang lakukan. Semakin lama memang semakin banyak orang yang menonton pertunjukan ini.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " kita pergi ke pinggir hutan."
Agung Sedayu tidak menunggu. Iapun kemudian telah menggerakkan kendali kudanya
Bersama Sekar Mirah keduanya pergi ke pinggir hutan. Sementara itu ketiga orang yang menghentikannya telah mengikutinya pula.
Beberapa saat kemudian, ketika Agung Sedayu sudah sampai di pinggir hutan, maka iapun menghentikan kudanya. Bersama Sekar Mirah Agung Sedayu menunggu ketiga orang yang menyusulnya
" Kakang tidak perlu menyembunyikan kemampuan kakang.
Disegala medan kakang telah menunjukkan kelebihan kakang. Apapula perlunya kakang menyembunyikan terhadap murid-murid perguruan Orang Bercambuk " Jika dalam urutan murid Utama Kiai Gringsing kakang lebih tua dari kanak-kanak di mata kakang. Kanak-kanan yang sudah berani menantang orang yang jauh lebih tua, di dalam hal ini adalah dalam tataran oleh kanuragan, harus mendapat sedikit peringatan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk " Kau benar Sekar Mirah. Anak-anak itu harus mendapat sedikd peringatan agar tidak merasa dirinya terlalu besar."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya"Kakang dapat sedikit menarik telinga mereka agar selanjutnya tidak nakal lagi."
Agung Sedayupun kemudian telah turun dari kudanya. Katanya" Aku akan memberi mereka peringatan. Tetapi bukan berarti aku harus berkelahi dengan anak-anak."
"Mereka telah menantang kakang."
" Aku akan menunjukkan permainan yang barangkali menarik bagi mereka"
Sekar Mirah justru tertawa. Katanya " Aku sependapat dengan kakang Berkelahi melawan anak-anak memang akan dapat ditertawakan orang. Tetapi memberi mereka permainan, agaknya lebih sesuai bagi mereka."
Demikianlah Agung Sedayupun berdiri di tengah jalan setapak yang menuju ke hutan yang memanjang. Hutan yang dahulu. Yang sudah berada di tempat itu sejak Agung Sedayu masih remaja. Agaknya perluasan tanah pertanian masih belum merambah sampai ke hutan itu.
Beberapa puluh patok didepan, Agung Sedayu melihat ketiga orang berkuda yang menyusulnya
Agung Sedayu memang sudah bertekad untuk melayani murid-murid Widura itu tidak dengan memperbandingkan langsung ilmunya Tetapi Agung Sedayu akan membuat kejutan-kejutan yang dapat membuat murid-murid Widura itu membuat penilaian tentang dirinya sebagaimana mereka kehendaki.
Karena itu. Agung Sedayupun telah memusatkan nalar budinya Dengan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya Agung Sedayu telah menikam sebatang dahan yang besar pada sebatang pohon kayu yang tumbuh di pinggir jalan yang menuju ke hutan itu.
Terdengar suaranya berderak. Daunnya yang rimbun terayun sejenak. Namun kemudian dahan itupun patah dan jatuh ke jalan.
Ketiga ekor kuda yang ditumpangi oleh ketiga murid Ki Widura itupun terkejut Ketiganya mengangkat kaki depannya sambil meringkik.
Seorang dari ketiga orang murid Ki Widura itu terlempar jatuh.
Sedangkan kedua orang yang lain dengan sudah payah berusaha mengendalikan kuda-kuda mereka.
Baru beberapa saat kemudian kuda-kuda itu menjadi tenang, sementara yang terjatuh bangkit kembali meskipun punggungnya terasa sakit
Ketiga orang yang jantungnya masih berdebaran itu terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri di atas dahan yang patah itu sambil berkata"Berhati-hatilah."
Telinga murid-murid Ki Widura itu terasa panas. Namun sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, mereka menjadi semakin terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu yang lain menyusup disela-sela daun yang rimbun dari dahan yang patah itu. Demikian ia berdiri tegak, maka iapun berkata " Seharusnya kau belajar naik kuda dua tiga bulan lagi di padepokan."
Jantung ketiga orang itu bergetar. Mereka mulai mempertanyakan, kenapa dahan itu patah. Daun kenapa tiba-tiba saja mereka melihat dua orang Agung Sedayu.
Tetapi mereka semakin terkejut ketika mereka melihat seorang lagi Agung Sedayu meloncati tanggul parit. Terdengar suara tertawanya berkepanjangan. Disela-sela derai tertawanya terdengar Agung Sedayu bertanya"apa yang telah terjadi."
Kedua orang yang masih berada di punggung kudanya itupun meloncat turun. Tetapi mereka kebingungan sehingga tidak seorangpun diantara mereka yang menjawab.
Selagi ketiga masih dicengkam oleh ketegangan, maka Agung Sedayu yang berdiri di atas dahan kayu yang patah itu berkata " Marilah, kita tunggu mereka di pinggir hutan."
Sejenak kemudian, kedua orang Agung Sedayu yang lainpun telah berloncatan di atas dahan kayu yang patah itu. Ketiga-tiganya segera hilang dibalik rimbunnya daun di dahan kayu yang patah itu.
Ketiga orang murid Ki Widura itu saling berpandangan sejenak. Mereka baru sempat menilai apa yang telah terjadi.
Tidak ada hujan dan tidak ada angin, apalagi prahara, dahan kayu yang besar itu telah patah. Untung saja tidak tepat menimpa kepala mereka, sehingga mereka tidak terbaring diam di bawah dahan kayu yang besar itu.
" Kenapa dahan itu tiba-tiba saja patah - desis seorang diantara mereka.
Namun seorang yang lain berdesis - Apakah kalian melihat Ki Lurah Agung Sedayu berdiri di atas dahan yang patah itu ?"
" Ya - sahut kawannya Namun dengan wajah yang tegang kawan itu berkata selanjurnya - Tetapi aku melihat Ki Lurah yang lain lagi.
" Ada tiga - terdengar suaranya bergetar.
Witarsa berdiri termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis - Kita pergi ke belakang dahan kayu ini. Kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Apakah benar jumlahnya ada tiga atau kita sajalah yang bermimpi atau satu permainan sihir yang dapat mengelabui mata kita."
Ketiga orang itupun kemudian menuntun kuda mereka, turun menyibak gerumbul-gerumbul perdu melingkari pohon besar yang dahannya patah itu.
Semak-semak yang rimbun itu telah mengotori pakaian mereka. Ranting-ranting patah dan duri telah menggores kulit mereka
Namun akhirnya mereka naik kembali ke jalan yang terputus oleh dahan yang patah dan menyilang itu.
Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdiri sambil memegangi kendali kuda mereka.
" Apakah niat kita akan kita lanjutkan, kakang Witarsa" bertanya seorang diantara mereka
Seorang yang lainpun berdesis - Ilmunya jauh dituar jangkauan kita kakang."
Witarsa- termangu-mangu. Namun akhirnya iapun berkata -Mungkin Ki Lurah mempunyai kemampuan ilmu sihir. Tetapi aku belum yakin akan kemampuannya dalam olah kanuragan."
" Apakah dahan yang menyilang jalan ini juga sekedar penglihatan kita karena ilmu sihir atau bentuk-bentuk semu?"
" Aku mengerti. Tetapi aku akan meyakinkan kemampuannya dalam olah kanuragan."
Kedua orang adik seperguruan Witarsa itu terdiam. Mereka hanya mengikuti saja Witarsa yang menuntun kudanya melangkah mendekati Agung Sedayu.
Sementara itu Agung Sedayupun berdesis - Mereka memang menjadi ragu-ragu. Tetapi agaknya Witarsa memang keras kepala.
Sekar Mirah tersenyum. Katanya - Ya. Karena itu, tarik kupingnya sampai anak itu menyeringai kesakitan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Witarsa yang berjalan sambil menuntun kudanya di-paling depan telah berdiri beberapa langkah di depan Agung Sedayu. Dengan nada rendah ia berkata - Ki Lurah ternyata memiliki juga kemampuan ilmu sihir yang mengagumkan. Ki Lurah dapat mematahkan dahan kayu itu atau sekedar penglihatan kami saja sebagaimana kami melihat ada tiga orang Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang sejak semula tidak ingin melayani tantangan Witarsa itu ternyata benar-benar tersinggung. Sementara itu Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis - Apakah kakang akan membiarkan saja anggapan yang keliru itu ?"
Agung Sedayu'termangu-mangu sejenak. Sementara Witarsa pun berkata - Yang ingin kami ketahui adalah tataran kemampuan olah kanuragan Ki Lurah. Bukan kemampuan sihir dan penglihatan semu."
" Witarsa - berkata Agung Sedayu - aku sudah mencoba menunjukkan kepadamu agar kau menjadi puas. Permainan itu sudah mewakili kemampuanku dalam olah kanuragan."
"Aku ingin melihat langsung kemampuan Ki Lurah."
" Kau keras kepala, Witarsa - desis Agung Sedayu.
" Aku hanya mempercayai apa yang sudah aku buktikan.
"Tetapi jika kita mulai dengan membenturkan ilmu kita langsung kau jangan menyesal, Witarsa.
Jantung Witarsa memang terasa berdesir. Agaknya Agung Sedayu mulai menjadi marah. Tetapi Witarsa memang bertekad untuk menjajagi kemampuan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, murid tertua diantara murid Utama Orang Bercambuk.
"'Witarsa - berkata Agung Sedayu kemudian - kau memang terlalu cepat maju didalam olah kanuragan, Kau sudah menguasai dasar-dasar ilmu dari perguruan Orang Bercambuk, sehingga kau tinggal mengembangkannya saja. Aku percaya, bahwa dengan demikian kau termasuk salah seorang murid paman Widura yang pantas dibanggakan. Tetapi kemajuanmu dalam olah kanuragan itu tidak dibarengi dengan mengendapnya batinmu, sehingga kau telah kehilangan keseimbangan. Seharusnya kau sadari, bahwa kau tidak pantas untuk menilai ilmuku. Aku yang dalam tataran perguruan Orang Bercambuk lebih tua dari guru--mu. Dengan kata lain, meskipun dapat diterima sebagai sikap yang sombong, ilmuku lebih tinggi dari ilmu gurumu."
" Itulah yang ingin aku ketahui, Ki Lurah. Bukankah belum tentu saudara yang lebih tua dalam satu perguruan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari saudaranya yang lebih muda" Ki Widura telah berhasil menyusun ilmu yang lebih lengkap dari dasar ilmu Orang Bercambuk saja."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun menjawab - Mungkin ilmu paman Widuraa dapat melampaui ilmuku. Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa ilmumu dengan sendirinya lebih tinggi dari ilmuku ?"
" Bukankah hal itu mungkin saja ?"
" Witarsa. Sebenarnya aku tidak berkeberatan seandainya kau menganggap bahwa ilmuku lebih rendah dari ilmumu. Tetapi kenapa kau telah memaksaku untuk membuat pertandingan langsung?"
" Bersiaplah, Ki Lurah."
" Kakang - berkata Sekar Mirah - kakang tidak mempunyai pilihan."
Agung Sedayupun kemudian mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Demikian pula Sekar Mirah.
Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berhadapan dengan Witarsa, murid Ki Widura. Agung Sedayu merasa dirinya berdiri berhadapan dengan anak-anak yang baru tumbuh, namun yang sudah menantangnya berkelahi.
Sebenarnyalah Witarsa itu mulai bergeser. Ia sudah siap untuk menyerang. Sementara Agung Sedayupun segera menyesuaikan dirinya.
Agung Sedayu masih ragu-ragu. Apakah ia akan membiarkan Witarsa berhenti karena kelelahan, atau ia harus dengan cepat menghentikannya agar perbedaan tataran ilmu mereka segera nampak.
Namun akhirnya Agung Sedayu memilih untuk membiarkan Witarsa berhenti dengan sendirinya jika ia kehabisan tenaga.
Sejenak kemudian Witarsapun telah mulai menyerang. Mula-mula gerakannya terasa sangat lamban, sementara Agung Sedayu hanya mengimbanginya
Namun gerak Witarsa itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan Witarsa telah mulai menunjukkan unsur-unsur gerak yang menjadi kebanggaan perguruan Orang Bercambuk dibawah pimpinan Widura.
Agung Sedayu telah melihat, bagaimana Witarsa dan ampat orang murid Utama Ki Widura mempertunjukkan kemampuan mereka Karena itu, maka Agung Sedayu sudah dapat menduga-duga, apa saja yang dapat dilakukan oleh Witarsa
Demikianlah serangan-serangan Witarsa menjadi semakin cepat. Namun serangan-serangan itu tidak pernah dapat menyentuh sasarannya. Agung Sedayu yang seolah-olah hanya bergeser dengan gerak-gerak yang sederhana, namun ternyata ia mampu menghindarkan diri dari sentuhan serangannya.
Darah Witarsa mulai menjadi panas. Ia merasakan betapa Agung Sedayu sengaja membiarkannya menyerang tanpa membalas sama sekali sehingga tenaganya seakan-akan telah terperas sia-sia.
"Orang ini memang sombong sekali - berkata Witarsa didalam hatinya - ia merasa sebagai murid tertua Kiai Gringsing sehingga ia memandang rendah kepada murid-muridnya yang lain.
Dengan geram Witarsapun telah meningkatkah ilmunya ketataran yang lebih tinggi. Ia ingin memaksa Agung Sedayu untuk bersungguh-sungguh.
Tetapi usaha Witarsa itu sia-sia Agung Sedayu masih saja belum bersungguh-sungguh.
Akhirnya Witarsa tidak dapat menahan diri lagi. Ditingkatkannya ilmunya sampai ke puncak.
" Apa boleh buat- berkata Witarsa didalam hatinya - jika ia memang memiliki ilmu lebih tinggi dari guru, maka ia tentu akan mampu menyelamatkan dirinya. Tetapi jika demikian ia tersentuh puncak ilmuku ia terluka dibagian dalam tubuhnya, maka itu adalah akibat dari kesombongannya sendiri."
Dengan demikian, maka Witarsapun seakan-akan telah berubah. Setelah Witarsa sampai ke puncak ilmunya, maka geraknya menjadi terasa berat Ayunan tangannya bagaikan ayunan batu hitam. Sedangkan serangan kakinya bagaikan lontaran sebongkah besi baja.
Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia tahu, bahwa Witarsa sudah berada pada puncak kemampuannya.
Namun justru karena itu, Agung Sedayupun berusaha memeras tenaga orang itu semakin banyak.
Serangan-serangan yang sangat berbahaya itu dihadapi Agung Se-dayudengan hati-hati. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, sehingga seandainya serangan Witarsa sempat menyentuhnya, serangan itu tidak akan menyakitinya
Ternyata Agung Sedayu tidak merubah niatnya untuk membiarkan Witarsa mengerahkan kemampuannya sehingga tenaganya terkuras habis. Jika serangan-serangan Witarsa mengendor, maka Agung Sedayu sengaja menggelitiknya Disentuhnya tubuh Witarsa dengan serangan-serangan yang tidak berbahaya tetapi justru ditempat-tempat yang paling lemah
Ksatria Puteri Dan Bintang 3 Sleep With The Devil Karya Santhy Agatha Death Dujour 5
^