Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 14

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 14


Wi Hian meraung kesakitan. Cu Jiang memutuskan tali
pengikatnya dan membuka jalan-darah yang ditutuk Cian
bin koay mo tadi. Bum . . . Lau Wi Hian rubuh dan berguling-guling di
tanah. menggelepar dan meregang . . .
"Engkau mau bilang atau tidak?"
"Tidak . . tahu . . ."
"Baik, akan kucincang tubuhmu," ia mematahkan sebuah
dahan pohon, mengalirkan tenaga-dalam ke dahan itu dan
menghardik: "Orang she Lau, kalau menggunakan pedang, engkau
tentu keenakan. Sekarang aku hendak memakai dahan
pohon itu agar engkau tahu bagaimana rasanya disate itu."
"Aah . . . ," Lau Wi Hian menjerit ngeri ketika dahan
kayu itu menembus bahunya. Ujung dahan itu tak runcing
dan tak rata. Hanya karena disaluri dengan tenaga-dalam
maka dahan itu menjadi sekeras baja. Begitu menyusup ke
dalam daging, sakitnya jangan dikata lagi.
"Bilang! " "Auh . . . kembali lengannya tertusuk ujung dahan.
Darah bercampur dengan tanah dan orang itu sudah tak
seperti manusia lagi wujudnya. Dia meraung-raung seperti
harimau buas. "Kalau tak mau bilang, akan kuhias tubuhmu dengan
seratus lubang tusukan."
"Bu . , nuh saja aku!"
"Tidak seenak itu. bung !"
"Ya. . aku akan bilang . . dan kasihlah aku kematian
yang lebih cepat . ."
"Bilang !" "Be . . nar . . kedua jari tanganku ini . . memang . .
dibabat putus oleh Dewa-pedang. . "
"Berapa banyak orang yang ikut dalam pengeroyokan
itu?" "Ada . . dua puluh orang lebih."
"Siapa pemimpinnya?"
"Ketua . . Gedung Hitam."
"Baik, sekarang terangkan asal usul barisan Ho-thian-tin
itu!" Lau Wi Hian menenangkan napas, tiba" ia menjerit
kalap: "Aku memang harus mati !"
"Tentu," kata Cu Jiang dangau nada dingin. "meskipun
mati sampai seratus kali, juga belum cukup. Lekas bilang,
mengapa engkau mampu membentuk barisan Ho-thian-tin
itu?" "Mengapa eng . . kau menanyakan hal itu?"
"Sudah tentu ada kepentingannya."
"Apakah . . engkau mau memberitahu tentang
kepentinganmu itu?" "Sudahlah, kewajibanmu hanya memberi keterangan
tentang barisan itu."
"Aku . . merasa heran . . mengapa engkau mendesak
pertanyaan itu . ." Cu Jiang menggeram: "Ketahuilah, bahwa ilmu barisan
Mo-thian-tin itu merupakan ilmu simpanan dari sebuah
perguruan. Orang luar tak mungkin mengetahuinya."
Lau Wi Hian berhenti berguling, sepasang matanya yang
merah berdarah memandang Cu Jiang sampai beberapa
saat. "Engkau .. mengapa tahu soal itu?" serunya.
"Kuberitahu yang lebih jelas lagi. Bahwa Ilmu simpanan
itu adalah dari perguruanku."
Biji mata Lau Wi Hian melotot seperti mau keluar,
serunya: "Perguruan . . per . . guruan . . kapan engkau
masuk kedalam perguruanmu?"
Cu Jiang tergetar hatinya. Tiba2 ia teringat sesuatu dan
berseru bengis: "Bukankah engkau murid pertama dari toa-supehku Ih
Se lojin?" "Siapakah engkau . . ,. sebenarnya ?" Lau Wi Hian
makin gemetar. "Kenalkah engkau akan orang yang bernama Yang Wi ?"
"Engkau .... pewaris dari Yang suhu ?"
"Benar." "Cousu yang berada di alam baka, murid berdosa besar
dan dengan ini murid hendak menebus dosa itu . . ."
terdengar jeritan ngeri dari mulut Lau Wi Hian. Mulutnya
menyembur darah dan seketika putuslah jiwanya. Ternyata
dia telah bunuh diri dengan menggigit lidahnya.
Murid murtad, musuh dan suheng ....
Mau tak mau tangan dan kaki Cu Jiang terasa dingin
juga, Dia seolah mengalami impian buruk. Menurut
keterangan dari toa-supeh (paman guru) murid pertama dari
paman gurunya itu pada sepuluh tahun berselang telah
pulang untuk merawat ibunya.
Tiap setahun baru murid itu berkunjung ke gua. Ternyata
dia telah bekerja pada Gedung Hitam dan menjadi sebagai
hu hwat. Setelah mengubur mayat Lau Wi Hian. Cu Jiang
kembali ke puncak di sebelah muka lagi. Di langit timur
sudah menyemburat warna kuning. Empat penjuru puncak
gunung itu penuh bertebaran sosok2 mayat.
Kemudian dia turun dan menuju ke tempel kawanan
iblis itu berkumpul beberapa taat lalu, gembong iblis Jui-
beng-koh berbangkit dan memberi perintah:
"Kita mulai, dibagi empat kelompok menyerbu kedalam
barisan. Kita bertemu di pintu barisan. Perhatikan, setiap
tempat yang terdapat tiang merah, disitu terdapat
pemasangan obat peledak. jangan menyentuhnya !"
Di tempat persembunyiannya, diam2 Cu Jiang bersyukur
dalam hati. Jika tidak mendengar keterangan iblis tua itu
mungkin dia akan tertimpa bencana.
Keempat iblis itu segera lari turun dari puncak. Diam2
Cu Jiang mengikuti mereka. Ia sudah mengerti tentang
susunan barisan Ho Hay tin itu.
Jika menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan ketiga iblis, maka hanya tinggal gembong
iblis Jui-beng-koh yang akan berhadapan dengan ketua
Gedung Hitam. Dan dia akan menyelundup untuk
menolong puteri Tayli. Rupanya serangan yang diincarkan keempat iblis telah
menghasilkan jatuhnya banyak korban dari pihak Gedung
Hitam. Kini mereka dapat leluasa memasuki barisan..
Cuaca pagi makin terang. Lembah yang terjepit diantara
dua buah puncak, merupakan pintu barisan. Setelah saling
memberi isyarat, mereka berempat lalu menyerbu masuk.
Cu Jiang memutuskan untuk mengikuti iblis nomor dua.
Setelah masuk dan membiluk kesebelah kanan ia melihat
disebelah muka tampak seorang tengah memotong jalan.
Orang itu tentulah iblis kedua.
Keempat iblis itu memasuki barisan dengan menurutkan
peta yang dibuat Lau Wi Hian, Sedang Cu Jiang sudah
faham akan barisan itu. Setelah beberapa waktu mengikuti
di belakang. Cu Jiang lalu melesat ke belakang iblis kedua
itu dan membentak: "Tunggu dulu!"
Iblis kedua terkejut dan berpaling. Tetapi sebelum ia
sempat berbuat apa2, Cu Jiang sudah menyabet batang
leher iblis itu hingga jatuh terpisah dari tubuhnya.
Setelah itu dia mengitar lagi untuk mencari iblis keenam
dan iblis ke sembilan. Tanpa banyak membuang tenaga,
dapatlah dia membunuh ketiga Iblis dari gerombolan Sip
pat thian mo itu. Kini tinggal gembongnya yakni iblis tua Jui beng ko. Ia
membobol jalan disebelah kiri dan menyusuri jejak Jui
beng-ko. Barisan itu memang rapat sekali sehingga waktu ketiga
iblis dibunuh Cu Jiang, iblis tua Ju -beng koh tak tahu.
Cu Jiang tiba di bagian mata barisan yang dahulu Ang
Nio Cu mengatakan pernah tersesat. Tempat itu merupakan
tempat persambungan antara barisan bagian dalam dan
barisan bagian luar. Kunci pemecahannya sebatang pohon
siong yang pendek dan tiga gunduk kepingan batu. Asal
mata barisan sudah pecah, seluruh barisan akan berantakan.
Jui-beng-koh lebih dulu tiba disitu. Pada saat dia
mengangkat tangan hendak menghantam pohon siong itu,
tiba2 dari tengah2 tumpukan batu muncul seseorang yang
membawa sebuah bola kecil warna merah. Orang itu terus
melontarkan bola merah itu kepada Jui-beng-koh.
Saat itu Cu Jiangpun muncul: Melihat bola merah
melayang, tanpa disadari dia berseru: "Lekas mundur !"
Mendengar itu Jui-beng-ko pun cepat melayang mundur
sampai beberapa tombak lalu bertiarap.
Bola merah itu dihembus segulung angin keras dan
melayang jatuh ketengah gunduk keping batu, buum ....
Terdengar ledakan dahsyat, pasir dan tanah berhamburan muncrat, batu2 pun hancur berantakan.
Beberapa saat kemudian di tempat ledakan itu telah
berlobang besar. Pohon siong pendek lenyap dan gunduk keping batu
itupun rata, bahkan terdapat pula beberapa daging dan
kutungan anggauta tubuh manusia yang berserakan di
empat penjuru. Suatu pemandangan aneh telah muncul. Begitu ledakan
dahsyat itu sirap. lebih kurang sepuluh tombak disebelah
muka, tampak muncul sebuah poh atau bangunan besar
yang terbuat dari batu, Bentuknya mirip dengan sebuah
benteng. Jui-beng koh berbangkit, sambil membersihkan pakaiannya dari debu. ia memandang Cu Jiang dengan
tajam, serunya : "Engkau siapa?"
"Penyerbu barisan !" sahut Cu Jiang.
"Engkau telah menolong jiwaku."
Cu Jiang tertegun. Sama sekali dia tak berniat hendak
menolong orang itu. Bahkan dia hendak membunuhnya.
Tetapi karena tak sadar tadi dia telah meneriakinya supaya
menyingkir. Dan kini secara tak sengaja, keduanya pun
menjadi kawan setujuan. "Hm, ha. ya kebetulan saja!" sahutnya.
Di pinto poh, golok dan pedang bergemerlapan. Paling
tidak lima puluh orang terbagi menjadi empat lima
kelompok, berjajar-jajar di depan pintu. Mereka terdiri dari
laki perempuan, tua muda.
Jui-beng-koh memandang kian kemari. Rupanya dia
tengah mencari ketiga muridnya. Sementara jago2 dari
Gedung Hitam itupun tegang wajahnya.
Tiba2 Jui beng ko mengacungkan pusakanya, sebuah
genderang kecil, lalu dipukulnya. Serentak terdengar bunyi
genderang meledak sehingga jantung orang2 yang berada
disitu tergetar seperti mau putus.
Tung.. tung, tung . . . Berturut-turut terdengar ledakan dahsyat macam halilintar memecah angkasa. Berpuluh-puluh jago Gedung
Hitam itu kacau balau dan berbondong-bondong mundur ke
dalam gedung. Sesaat genderang berhenti, maka di depan pintu gedung
itupun berserakan lebih dari dua puluh sosok mayat. Mata,
hidung, mulut dan telinga mereka mengalir darah.
Ngeri juga Cu Jiang menyaksikan peristiwa itu. Nyata
Jui-beng-koh memang sakti sekali.
Sekali lagi Jui beng-koh berpaling ke arah pohon siong
pendek. Tetapi dia tetap tak melihat ke tiga iblis anak
muridnya: "Aneh, " gumamnya.
Cu Jiang tak mau membuang tempo. Agar tidak
diketahui orang siapa dirinya, ia memungut sebatang
pedang dari salah seorang jago Gedung Hitam yang
menggeletak di tanah. Setelah itu dia terus menyerbu
masuk. Jui beng-ko cepat melesat mendahului di muka Cu
Jiang. Diam2 Cu Jiang girang. Biarlah gembong iblis itu
yang membuka jalan. Gedung Hitam sesuai dengan namanya, memang
merupakan sebuah bangunan yang terbuat dari batu hitam
semua sehingga menimbulkan pemandangan yang menyeramkan. Juga halaman yang berada di belakang pintu besar,
ditabur dengan batu hitam. Di sekeliling tepi lapangan
terdapat jajaran rumah2 yang berpintu besi dan jendela
dengan terali besi. Semua berwarna hitam, mirip penjara.
Cu Jiang mengikuti Jui beng koh yang berhenti di tengah
lapangan. Sunyi senyap tak ada seorang pun juga.
"Siaucu, engkau tabu siapa aku ini?" Jui beng koh
berpaling. "Sama dengan aku." sahut Cu Jiang hambar.
"Sama" Apanya yang sama?"
"Bukankah kita sama2 menjadi musuh Gedung Hitam?"
"O, benar. Menilik engkau hanya seorang diri saja dan
mampu menghantam pelor Bi lik tan tadi, engkau tentu
hebat sekali." "Ah, harap jangan memuji."
"Waktu masuk ke dalam barisan, apakah engkau melihat


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketiga anak buahku?"
"Sudah mati semua. "
"Hai" Mati?"
"Ya, mayatnya malang melintang dalam barisan."
"Engkau melihat sendiri?" rambut putih dari iblis tua itu
bertebaran kencang. "Ya." "Bagaimana kematian mereka?"
"Di tangan Toan kiam jan jin."
"Toan kiam jan jin! " teriak Jui bengkok.
"Ya, memang dia. Mukanya bertutup kain, kaki pincang
dan pedangnya kutung."
Jui beng koh menggertakkan gigi: "Aku akan merobek
robek manusia itu!" "Ingat, disini tempat Gedung Hitam, harap jangan lupa
!" Cu Jiang deliki mata.
"Mengapa aku tak melihat bayangannya ?"
"Kalau dia mau, tentu akan muncul."
"Engkau ini.. Jika tak pernah menolong aku ..."
"Ada orang keluar!" cepat Cu Jiang menukas.
Memang saat itu disebelah muka dari pintu salah sebuah
rumah, muncul seorang lelaki tua berjubah hitam dan
mukanya ditutup dengan kain hitam. Dia diiring oleh
empat orang lelaki jubah hitam berwajah seram.
"Hah, hah, apakah ketua Gedung Hitam ?" Jui-beng-koh
tertawa mengekeh. "Benar." sahut lelaki berkerudung kain hitam itu dengan
suara seram. "bukankah anda ini Jui-beng-koh ?"
"Benar !" "Apa maksud kedatangan anda ?"
"Hendak menyampaikan sepatah kata!"
"Kedatangan anda dengan mengadakan pembunuhan
besar-besaran ini hanya perlu hendak menyampaikan
sepatah kata?" "Hm..." Ketua Gedung Hitam terkesiap mendengar jawaban
gembong iblis Jui-beng-koh yang begitu dingin.
"Kata2 itu tentu penting sekali. Aku ingin mendengarnya." katanya.
"Hari ini juga. bubarkan gerombolan Gedung Hitam dan
jangan muncul dalam dunia persilatan lagi!" seru Jui-beng-
koh. "Hanya itu?" "Ya." "Ha, ha, ha ... . anda, eh, Thay-siang kaucu masakan
Gedung Hitam yang begitu termasyhur akan serentak bubar
hanya karena sebuah kata dari engkau tadi?"
"Menurut atau tidak, terserah saja kepadamu."
"Kalau tidak menurut?"
"Dalam beberapa kejap. Gedung Hitam akan menjadi
kota hantu!" Keempat pengiring yang berada di belakang ketua
Gedung Hitam mendengus geram. Tetapi ketua Gedung
Hitam sendiri tertawa lagi.
"Thay-siang kaucu." serunya lantang, "jangan kelewat
tak memandang mata pada orang!"
"Memang kalian tak kuanggap semua!"
"Walaupun Gedung Hitam bukan akhirat, tetapi
keadaannya hampir sama dengan neraka. Bisa masuk, tak
mungkin dapat keluar!" habis berkata tiba2 pintu tertutup.
Jui-beng koh mengerling kearah Cu Jiang, serunya: "Aku
hendak menghancurkan neraka ini."
Saat itu Cu Jiang sedang memperhatikan keadaan tempat
itu. Tetapi selain beberapa bangunan rumah batu yang
kelihatan, ia tak dapat melihat suatu apa lagi. Dia pernah
ditawan dalam penjara batu Gedung Hitam.
Karena menggunakan siasat pura2 jadi orang mati, ia
beruntung dapat lolos. Tetapi bagaimana ia dijebloskan
dalam penjara dan bagaimana ia lolos keluar, semua berada
dalam tempat gelap. Sedikitpun tak berbekas dalam ingatannya. Diam2 ia
gelisah memikirkan cara untuk menolong puteri.
Jui-beng-koh mengangkat senjata genderang dan tangannya yang satupun siap hendak memukul.
"Thaysiang kaucu," ketua Gedung Hitam tertawa sinis,
"seranglah, aku bersedia menerima letusan genderangmu
sampai tiga kali. Tetapi lebih dulu perlu kujelaskan..."
"Apa yang hendak engkau katakan ?" Jui-beng-koh
hentikan tangannya. "Bagaimana kalau aku dapat bertahan menerima tiga kali
pukulan genderangmu?"
"Aku akan mengundurkan diri selama-lamanya dari
dunia persilatan dan perkumpulan Thong-thian-kau akan
kububarkan!" "Apakah kata-katamu itu dapat kupercaya ?"
"Huh, masakan Jui beng ko..."
"Ah, sukar dikata !"
Cu Jiang tahu bagaimana kelicikan ketua Gedung Hitam
itu. Matanya yang berkeliaran dan sikap serta nada
perkataannya yang begitu tenang, jelas menunjukkan bahwa
dia sedang mengulur waktu.
Dan ketua Gedung Hitam itu seorang ahli dalam obat
peledak. Diam2 Cu Jiang meningkatkan kewaspadaan.
Tiba2 ia memperhatikan salah seorang dari pengiring
ketua Gedung Hitam, berpaling ke samping dan memberi
anggukan kepala. "Dung...." Jui-beng ko mulai menghantam genderang.
Cu Jiang loncat menyerbu ke arah rumah batu di tengah.
Gerakan itu mencapai lima tombak.
Dan serempak waktu itu juga, terdengar letusan dahsyat.
Batu2 berhamburan, peron dari bangunan rumah di
lapangan itu hancur lebur.
Ternyata rumah2 itu mempunyai pintu penghubung satu
sama lain. Cu Jiang hampir saja tertimbun, untung dia
sudah waspada dan terus menyusup masuk ke bagian
dalam. Setelah ledakan, berpuluh-puluh anak buah Gedung
Hitam berhamburan ke luar. Lapangan yang berlapis batu
hitam itu sudah hancur lebur penuh dengan lubang2 besar
sampai seluas lima tombak.
Dari jendela rumah, Cu Jiang dapat menyaksikan
pemandangan yang mengerikan itu. Kaki dan tangan Jui
beng-koh sudah hancur dan terkapar dua tombak dari pintu.
Rupanya diapun berusaha hendak meloloskan diri tetapi
terlambat. "Hatur beritahu kepada pohcu, mayat setan kecil itu tak
kelihatan!" terdengar sebuah suara.
"Apa?" "Hanya iblis tua itu yang hancur!"
"Lekas cari dalam rumah!"
"Baik." Berpuluh-puluh anak buah itu segera lari masuk ke
dalam bangunan rumah. Cu Jiang mendapat akal. Dia lari
ke bagian belakang karena orang2 Itu memeriksa bagian
muka. Tetapi dia tak tahu keadaan gedung itu dan terpaksa
hanya lari membabi buta saja.
Beberapa saat dia tiba di sebuah pintu bundar yang
keadaannya beda dengan gedung2 lainnya. Gedung itu
dikelilingi pagar tembok. Di sebelah dalam pintu, bunga2
yang aneh menyiarkan bau harum dan jajaran batu-2
gunung yang sedap dipandang.
Cu Jiang teringat bahwa dalam Gedung Hitam terdapat
apa yang disebut Gedung Terlarang yang tak boleh
sembarangan dimasuki orang. Rupanya gedung itu tentu
Gedung Terlarang. Setelah timbul pemikiran itu, cepat ia menyerbu masuk.
Tetapi belum sempat ia berdiri tegak, empat orang sudah
membentak dan menyerangnya dari kanan kiri.
Cu Jiang menyambut dengan pedang kutung. Terdengar
jeritan ngeri dan dua orangpun rubuh. Kiranya keempat
penyerbunya itu pengawal2 baju hitam.
Jika demikian benarlah dugaannya bahwa rumah gedung
yang hendak dimasukinya itu memang Gedung Terlarang
karena gedung itu khusus dijaga oleh Pengawal Hitam.
Kedua Pengawal Hitam yang lain kesima. Sementara
saat itu dari ruang tengah muncul dua wanita. Cu Jiang
cepat membabat kedua Pengawal Hitam itu. Yang satu
rubuh dan yang satu sempat loncat meloloskan diri keluar
dari pintu dan terus lenyap.
Tung, tung, tung, tung . . , dari halaman Gedung
Terlarang itu segera berdentang-dentang genta peringatan
bahaya. Cu jiang terus lari ke arah kedua perempuan itu. Mereka
menjerit kaget dan lari masuk tetapi Cu Jiang sudah
memburu dan mengarahkan ujung pedang pada salah
seorang dari mereka dan membentak: "Dimana tempat
ditahannya tawanan gadis itu" Lekas bilang !"
Perempuan itu berputar tubuh hendak tetap melarikan
diri tetapi dia segera menjerit karena punggung tertusuk. Cu
Jiang berpaling dan mengancam perempuan yang seorang.
"Lekas bilang !"
Perempuan itu pucat dan gemetar. Dengan suara
tersendat-sendat dia berkata: "Di. .. di.. sini..."
"Tunjukkan ke sana!"
Dengan langkah gontai, perempuan itu pun melangkah
keluar pintu ruang dan berjalan di lorong serambi menuju
ke kamar sebelah timur. Sementara itu terdengar derap orang berlari. Perempuan
itu berpaling, dahinya mengerut kesangsian.
"Lekas !" bentak Cu Jiang seraya lekatkan ujung pedang.
Perempuan itu mengerang kesakitan lalu terhuyung-
huyung melangkah kedepan dan tiba dipintu ruang samping
kanan. Beberapa penjagapun muncul dan terus menyerang Cu
Jiang. Cu Jiang menabas, dua orang rubuh, lainnya jeri..
Cu Jiang menendang daun pintu. Seorang dara cantik
tengah berdiri kesima di tengah ruang itu. Itulah puteri
Tayli. "Kongcu, apa kenal dengan suaraku?" serunya tegang.
"Bukankah anda ini sausu?" puteri itu terkejut.
Beberapa sambaran angin pedang tiba dan Cu Jiang
berbalik diri membabatnya. Kembali dua orang rubuh.
"Kiongcu, apa engkau dapat berjalan ?"
"Tenagaku . ., dilumpuhkan."
"Lekas, kemari !"
Kiongcu melangkah keluar dari kamar dan terus lari
kepada Cu Jiang. Belasan pengawal sudah siap mengepung
mereka di tengah ruang. Cu Jiang menikung. Yang penting ia harus menyelamatkan putri itu dulu. Dia berada dalam kurungan
barisan, harus dapat mengendalikan nafsu untuk membalas
dendam. Segera ia mengepit tubuh puteri di tangan kiri, ia terus
melangkah dengan pedang di tangan kanan. Baru
selangkah. beberapa orang itu sudah menyerangnya.
Penyerang2 itu menilik pakaiannya dapat di ketahui
bahwa mereka adalah pengawal dari Gedung Terlarang.
Sudah tentu kepandaiannyapun lebih tinggi dari Pengawal
Hitam biasa. Tring, tring, huak. . huak ... tiga batang pedang terpental
ke udara, salah seorang penyerang itu rubuh. Cu Jiang
lanjutkan langkah. Ia membabat jago2 yang mengepung itu.
Empat batang pedang serempak meluncur ke arahnya.
Cu Jiang memutuskan. Untuk meloloskan diri tak ada
lain jalan kecuali harus turun tangan dengan ganas.
Terdengar jeritan ngeri dan dua orang jago Gedung
Hitam menggeletak lagi. Kepungan di tengah ruang itu
bobol tetapi diluar masih terdapat kepungan yang lebih
ketat lagi. Tetapi Cu Jiang sudah nekad. Dia melangkah ke pintu
bundar. Kali ini dering senjata dan jeritan seram makin
hiruk. Separoh dari Jago2 yang mengepungnya itu rubuh,
sedang yang separoh masih tetap menyerang.
Saat itu Cu Jiang sudah tiba di tepi pintu. Diluar pintu
barisan Pengawal Hitam sudah siap menunggu. Andai tidak
memikirkan keselamatan puteri, tentulah saat itu dia sudah
mengamuk sepuas-puasnya. Puteri terkejut dan pucat menyaksikan pertumpahan
darah yang begitu dahsyat. Ia mendekap pinggang Cu Jiang
makin kencang. Diam2 kegagahan Cu Jiang itu telah
bersemi dalam hati puteri.
Rupanya barisan Pengawal Hitam itu gentar juga
menyaksikan kegagahan Cu Jiang. Mereka menyurut
mundur. "Mundur !" tiba2 terdengar bentakan keras dan kawanan
jago Gedung Hitam itupun serempak menyingkir ke
samping sehingga terbuktilah sebuah jalan. Ternyata ketua
Gedung Hitam muncul. Cu Jiang tegang dan sangsi mampukah dalam keadaan
seperti itu ia menghadapi ketua Gedung Hitam" Tetapi
berhadapan dengan musuh besar, bagaimana mungkin ia
takkan mengadu jiwa "
"Lepaskan aku, engkau sukar lolos. Jangan kita berdua
kehilangan jiwa. Pergilah, mereka menghendaki kitab Giok-
kah kim-keng, untuk sementara tentu takkan mencelakai


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku." Kata2 itu membangkitkan keputusan Cu Jiang.
Menyelamatkan puteri adalah yang penting. Ilmu kepandaiannya didapat dari kitab Giok-kah-kim-keng dan
kitab itu merupakan kitab pusaka negeri Tayli. Dia merasa
menerima budi besar dari baginda Toan hongya. Dia harus
membalas budi itu. Satu-satunya keuntungan pada saat itu, dirinya belum
ketahuan lawan, mereka mengira dia seorang jago dari
Thong-thian kau. "Engkau benar2 panjang umur. Tetapi jangan harap
engkau dapat lolos dari Gedung Hitam," seru ketua Gedung
Hitam. "Coba saja." "Apa kedudukanmu dalam Thong-thian-kan?"
"Maaf. soal itu tak dapat kuterangkan."
"Lepaskan nona itu."
"Tidak bisa !" "Apa tujuan mu membawanya ?"
"Kita sama2 setujuan."
"Engkau tahu ... dia siapa?"
"Puteri kerajaan Tayli."
"Sahabat, lepaskan dia dan engkau boleh pergi dari sini
atau kalau membangkang engkau tentu mati."
"Ha, ha, sudah kukatakan, tidak bisa."
"O, kalau begitu engkau kepingin menyusul ketuamu
Thay-siang kaucu itu?"
"Siasat keji, aku tak dapat menghargai."
"Terserah apa saja engkau mau bilang, pokoknya,
engkau tentu mati. ."
"Kalau tidak hidup tentu mati. Hidup itukan hanya
begitu," Cu Jiang tertawa sinis.
"Heh. hah, rupanya nyalimu hebat sekali,"
"Tak perlu memuji."
"Baik akan kulaksanakan keinginanmu itu."
Tring. ketua Gedung Hitam mencabut pedang. Cu
Jiangpun segera kerahkan seluruh semangatnya dan
menghimpun segenap kekuatannya.
Saling bersiap menyerang itu berlangsung cukup lama
sehingga suasana tegang sekali.
"Hait..." tiba2 Cu Jiang menyerang dulu. Dia tak mau
tenaga-dalamnya terhambur sia2.
Terdengar dering senjata yang tajam dan keduanya
mundur selangkah. Rencana Cu Jiang adalah hendak
menyelamatkan puteri. Setelah menempatkan puteri itu
disebelah lengan kiri, dia mulai menyerang lagi.
Ketua Gedung Hitam mampu menangkis. Tetapi setelah
Cu Jiang menyerang yang ketiga kalinya, ketua Gedung
Hitam sempoyongan beberapa langkah ke belakang. Bahu
sebelah kanannya berwarna merah.
Cu Jiang tak mau menghilangkan kesempatan. Dia
menyerang lagi yang keempat kalinya. Ketua Gedung
Hitam menggembor, tangan kiri menghantam dan tangan
kanan yang mencekal pedang-pun menabas ke atas.
Tetapi ternyata serangan Cu Jiang itu hanya gertakan
kosong. setelah sudah terpisah agak jauh dari ketua Gedung
Hitam, Cu Jiang terus gunakan ilmu langkah Gong-gong
poh-hwat untuk melesat ke luar.
"Kejar !" teriak ketua Gedung Hitam yang terus
mendahului loncat. Rombongan anak buah Gedung
Hitampun segera mengikuti.
Saat itu Cu Jiang sudah tiba di lapangan depan.
Rombongan anak buah Gedung Hitampun tiba tetapi Cu
Jiang sudah mempunyai rencana.
Setelah berhasil menghindari serangan dari muka, sekali
loncat ia sudah melesat di bawah pagar tembok lalu enjot
kakinya melambung ke atas tembok.
"Mau lari ke mana engkau!" ketua Gedung Hitam
memburu sampai di tengah lapangan. Tetapi Cu Jiang
sudah loncat turun di luar pagar tembok. Beberapa anak
buah Gedung Hitam yang hendak menghadangnya,
terpaksa harus melarikan diri.
Setelah melintasi dua buah puncak gunung, Cu Jiang tiba
di sebuah lembah, mencari tempat yang bersih, meletakkan
tubuh puteri Tayli lalu menghela napas: "Ah, akhirnya lolos
juga dari sarang harimau. "
Puteri memandang pemuda itu dengan rasa terima kasih.
Lama baru dia membuka mulut: "Jiang ko, aku merepotkan
engkau saja! " Tergetar hati Cu Jiang ketika dipanggil Jiang-ko atau
engkoh Jiang. Ia tertawa: "Kalau kongcu sudah selamat,
aku sudah bersyukur kepada langit dan bumi."
"Apa engkau tak dapat mengganti panggilan kepadaku?"
"Tata susila tak boleh diabaikan."
Setelah mengalami peristiwa penculikan itu rupanya
perangai puteri yang nakal dan periang mulai berobah.
Dengan tersenyum rawan dia menghela napas: "Jiang-ko,
apakah engkau . . . tak mengerti hatiku?"
Sudah tentu Cu Jiang tahu, tetapi dia tak ingin menderita
kepahitan lagi maka dengan nada bersungguh2 dia berkata:
"Kongcu, lebih baik tinggalkan daerah Tionggoan..."
"Maksudku tak lain hanya ingin menikmati keindahan
alam di daerah Tionggoan."
"Tetapi dunia persilatan di Tionggoan itu penuh dengki
peristiwa2 yang berbahaya. Kurang baik bagi Kongcu. "
"Apakah engkau mengusir aku?"
"Ah tidak. Aku berkata dengan maksud baik. Biarlah Ki
Siau Hong dan Ko Kun yang mengantarkan kongcu
kembali ke Tayli." "Dan engkau?" puteri kerutkan dahi.
Cu Jiang tertawa hambar: "Aku seorang persilatan,
setelah urusan tugas dan peribadi sudah selesai, aku hendak
menggantung pedang dan hidup menyepi ..."
"Hidup menyepi" Ah. kata2 mu seperti ucapan orang
tua. Jiang-ko, berapakah usiamu?"
"Kongcu, apa yang kualami dalam kehidupan banyak
sekali ..." "Engkau tak mau kembali ke Tayli lagi?"
"Suhu telah mengatakan, memberi kebebasan kepadaku
untuk bertindak." "Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Cu Jiang tertegun lalu keraskan hati, menjawab:
"Kongcu, aku . . sangat berterima kasih atas kebaikan
budimu ..." "Sudahlah, jangan mengucapkan kata2 yang merendah
begitu." "Ini bukan kata merendah."
"Lanjutkan kata-katamu."
"Aku . . sudah terikat dengan Janji pernikahan."
Seketika berobahlah cahaya wajah puteri itu, serunya
gemetar: "Benarkah itu?"
"Tentu saja benar . ."
"Apa engkau bukan cari alasan untuk menolak aku?"
Cu Jiang mengeluarkan dompet dari bajunya, "Inilah
tanda pengikat pernikahan itu." Puteri kesima. Hatinya
tentu remuk rendam. Beberapa saat kemudian barulah ia
paksakan bersenyum. "Pilihanmu tentu seorang yang jelita sekali dan cerdas..."
"Tidak, hanya seorang gadis biasa," jawab Cu Jiang
penuh rasa haru karena teringat akan nasib Ho Kiong Hwa.
"Aku tak percaya."
"Ah, hal itu memang tak dapat kuhindari," kata Cu
Jiang, "kongcu, bukankah engkau mengatakan tenagamu
telah dilumpuhkan mereka?"
"Ya." "Ijinkanlah aku membukanya."
"Baik." Atas pertanyaan, kongcu itu mengatakan bahwa Jalan
darah Jin tok dan Tay-meh tak dapat lancar. Cu Jiang
segera menjulurkan jari dan melakukan tutukan dari jarak
jauh. Cara membuka jalan darah dari jauh itu, hanya beberapa
orang saja di dunia persilatan yang mampu melakukan.
"Sudah, " seru puteri seraya menggeliat.
"Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini!"
"Baik." "Daerah ini dikuasai Gedung Hitam. Mereka tentu telah
menghias daerah ini dengan alat2 yang berbahaya. Maka
terpaksa aku harus membawa kongcu untuk melintas
gunung dan menyeberang sungai."
"Bagus, akupun senang juga."
Demikian keduanya segera berangkat.
"Bagaimana kongcu sampai jatuh ketangan mereka ?"
tanya Cu Jiang. "Ketua Gedung Hitam turun tangan sendiri."
"Oh..." "Kepandaiannya memang menakjubkan sekali. Gerak
langkah yang kupelajari dari paman Nyo, ternyata tak
mampu menghindari dari orang itu."
Sebenarnya Cu Jiang hendak mengatakan bahwa bukan
gerak Gong-gong-poh hwat itu yang salah tetapi karena
tenaga-dalam puteri itu memang masih kurang sehingga tak
dapat mengembangkan ilmu tersebut.
"Ya, kepandaian ketua Gedung Hitam memang hebat
sekali," kata Cu Jiang karena tak mau menyakiti hati puteri.
"dan otaknya memang hebat. Kalau tidak masakan dia
mampu menguasai dunia persilatan Tionggoan selama
belasan tahun." "Dimana toanio ?"
"Kita akan bertemu di jalan terdekat."
Petang hari, mereka tiba di kota pegunungan. Setelah
menempatkan puteri disebuah tempat yang aman, Cu Jiang
masuk kedalam kota, mencari Thian put-thou Ciok Yau Je.
Tokoh itu berada dalam sebuah rumah makan kecil sedang
minum arak. "Adik kecil, mari kita minum arak !" serunya girang
ketika melihat Cu Jiang. "Tidak, usah ada urusan penting."
"Urusan apa ?" "Orang yang kita cari, sudah menunggu diluar kota ini."
"Dia ?" "Ya," "Lalu bagaimana ?"
"Kita belikan makanan dan pakaian, suruh dia
menyamar ..." kata Cu Jiang, "dan apakah bisa
menyediakan kuda ?" "Berapa ekor ?"
"Cukup seekor saja. Nanti akan kuserahkan pengawalannya kepada pengawalnya."
"Baik, engkau tunggu saja disini," kata Thian-put-thou
terus ngacir keluar. Hanya setengah jam kemudian Thian-
put thou sudah muncul lagi dengan membawa sebuah
bungkusan besar: "Makanan dan pakaian disini semua.
Kudanya di luar kota, Berangkatlah dulu, nanti kutunggu
dengan kuda itu." Pada saat itu dua orang imam yang jubahnya tak keruan,
masuk kedalam rumah makan itu dan duduk di pojok. Cu
Jiang seperti kenal dengan mereka. Ketika mengawasi
dengan seksama, ia girang sekati. Kedua imam itu tak lain
adalah Ki Siau Hong dan Ko Kun.
"Lekas berangkat, tunggu apa lagi !" desak Thian put
thou. "Mereka sudah datang."
"Siapa ?" "Orang yang akan mengawal."
"Oh..." Thian-put thou yang cerdas segera dapat
memahami maksud Cu Jiang.
Cu Jiang memberi sandi yang mendapat jawaban dari
kedua imam palsu itu. Karena tak leluasa berbicara, Cu
Jiang mengangguk kepala dan memberi isyarat "aman".
Setelah itu memberi pesan kepada Thian-put-thou
supaya mengadakan kontak dengan kedua imam itu, iapun
terus keluar. Ia kuatir puteri terlalu lama menunggunya.
Alangkah kejutnya ketika tiba ditempat dan tak
mendapatkan puteri berada disitu. Ia terlongong-longong
bingung. "Nak..." tiba2 terdengar sebuah suara yang tak asing bagi
Cu Jiang, serentak dia menyahut: "Apakah toa-nio ?"
Seorang wanita gemuk muncul dari tempat gelap Dia
bukan lain memang Poan toanio, bibi Cu Jiang sendiri.
"Toanio, engkau juga kemari ?"
"Sudah berjumpa dengan kedua imam palsu itu?" kata
Poan toanio. Cu Jiang mengangguk. "Selama dalam perjalanan kami tak menemui rintangan
suatu apa dan kebetulan sekali dapat berjumpa dengan
engkau," kata Poan toanio.
"Toanio, kongcu..."
Poan toanio kerutkan dahi dan berkata dengan nada
sarat: "Nak, ada beberapa pertanyaan yang kuminta engkau
menjawab dengan sungguh."
Cu Jiang terkejut namun ia mempersilakan bibinya
mengatakan. "Engkau anggap kongcu itu cantik tidak."
"Cantik sekali."
"Bagaimana peribadinya ?"
"Periang, lincah, ah, semuanya baik."
"Tetapi mengapa engkau menolaknya?"
Merah wajah Cu Jiang. Ia tertawa rawan.
"Toanio, tit-ji hanya seorang kelana dalam dunia
persilatan . . ."

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitupun suhumu, Gong-gong-cu tetapi dia pun mau
menjabat sebagai Koksu. Mendiang ayahmu bergelar
Dewa-pedang asal keturunanmu tidak rendah, nak."
"Ya, tetapi . . ."
"Mengapa engkau merendahkan dirimu sendiri. Jika
wajahmu belum pulih seperti sekarang, aku memang tak
dapat berkata apa2."
"Toanio belum mendengarkan habis keteranganku . . .
tit-ji sudah terikat perjodohan dengan orang."
Sepasang mata Poan toanio yang besar terbelalak.
"Benarkah itu?"
"Toanio mengapa aku membohongmu ?"
"Engkau tak pernah mengatakan hal itu kepadaku."
"Hal itu terjadi belum berapa lama dan Ang Nio Cu yang
menjadi perantaranya . . ."
"Ang Nio Cu menjadi comblangnya?"
"Ya." "Siapa gadis itu?"
"Seorang gadis yang bernasib malang, namanya Ho
Kiong Hwa." "Hm, Ho Kiong Hwa ..."
"Tetapi toanio, aku tak dapat mengecewakannya..."
"Apa dia pernah melepas budi kepadamu?"
"Tidak, tetapi bagaimanapun aku tak dapat membuangnya . . . " "Mengapa?" Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang
menimpa diri Ho Kiong Hwa yang karena merasa telah
ternoda lalu membatalkan ikatan kawin itu.
"Nak, apakah engkau keberatan untuk membatalkan
ikatan itu?" "Walaupun ke ujung langitpun aku tetap hendak
mencarinya. Sebagai seorang ksatrya, aku tak mau
melanggar janji. Apalagi sebelumnya dia sudah terikat
perjodohan dengan aku."
"Itulah sebabnya maka engkau menolak kongcu?"
"Begitulah." "Hm, memang engkau tak bersalah, tetapi kongcu
hancur hatinya ..." "Akupun mengetahui hal itu."
"Baik, kita sudahi saja pembicaraan tentang hal itu.
Bagaimana keadaan di Gedung Hitam?"
"Barisannya sudah hancur. Karena Thong-thian-kau juga
ikut menggempur, banyak jago2 Gedung Hitam yang mati.
Kekuatan Gedung Hitam sudah lemah."
"Engkau pernah bertempur dengan ketua Gedung
Hitam?" "Ya, tetapi demi menyelamatkan kongcu, terpaksa untuk
sementara kulepaskan dia."
"Bagaimana wajahnya yang aseli?"
"Tetapi masih belum diketahui tetapi kupercaya tak lama
kedoknya tentu akan terbuka."
"Lalu pihak Sip-pat-thian-mo?"
"Hanya tinggal seorang, yakni Hui-thian Sin-mo yang
kemungkinan menjaga di markas besar Thong-thian-kau.
Tugas yang diberikan suhu, boleh dikata hampir selesai."
"Nak, setelah tugasmu selesai, bagaimana kira-kira
rencanamu nanti?" "Lebih dulu mencari Ho Kiong Hwa lalu mengundurkan
diri dan dunia persilatan."
"Tak kembali ke Tayli untuk menjabat Tin-lian ciang-kun
lagi?" "Toanio, tit-ji tak begitu tertarik dengan pangkat."
"Juga kepada diriku ini?"
"Ah, toanio, tit-ji mempunyai rencana?"
"Di gunung Bu-leng san terdapat seorang bu su yang
bernama Ban Ki Hong. Dahulu pernah mendapat pelajaran
ilmu pedang dari mendiang ayah. Dia senang tinggal
mengasingkan diri di gunung itu.
Apabila toanio ingin meninggalkan dunia ramai, tit-ji
bersedia mengantar toanio kesana. Kelak tit-ji tentu akan
merawat toanio sampai tua."
Poan toanio berlinang-linang air mata dan mengangguk
angguk: "Baik . . . baik ..."
"Toanio, kongcu ..."
"Mari ikut aku!"
Cu Jiang mengikuti wanita gemuk itu. Beberapa jenak
kemudian mereka tiba di sebuah tempat yang penuh
gunduk batu tinggi. "Kongcu! Kongcu!" teriak Poan toanio. Tetapi sampai
diulang beberapa kali tak terdengar penyahutan. Cu Jiang
mulai gelisah. Poan toanio segera mencari ke sekeliling tempat itu
tetapi beberapa saat kemudian ia muncul dengan dahi
mengeriput: "Aneh, dia menunggu aku di sini."
Tiba2 ia melihat sesosok tubuh kecil berlari-lari
mendatangi. Cepat ia meneriaki Cu Jiang dan pemuda itu
pun bergegas keluar. "O, dia adalah sahabat tit-ji, Thian-put-thou lo koko !"
serunya gembira. Memang yang datang itu Thian put thou. "Adik kecil,
engkau di sini" Dan ini . . "
"Bibiku Poan toa-nio."
"O, insaf, pencuri tua menghaturkan hormat."
"Ah, terima kasih," Poan toaniopun balas memberi
hormat. Kemudian Thian-put-thou bertanya kepada Cu Jiang:
"Apa engkau hendak mencari kongcu?"
Cu Jiang mengiakan. "Tak perlu engkau cari ..."
"Mengapa?" "Dia sudah pergi."
"Pergi?" Cu Jiang terkejut.
"Ya, dia telah diiring oleh kedua pengawal yang
menyaru sebagai imam itu."
"Ah . . ." Cu Jiang mendesah.
"Dia hanya meninggalkan pesan kepadamu, asam di
gunung, garam di laut, semoga dapat berpadu!"
Cu Jiang mengeluh dalam hati. Dia seperti kehilangan
sesuatu. "Baik. perpisahan begini memang lebih baik."
akhirnya ia menghela napas.
"Ya, tetapi kurang enak juga terhadap Kok-su dan
baginda Toan hongya, " kata Poan toanio.
"Kalau begitu tit-ji akan menyusulnya."
"Buat apa?" Cu Jiang tertegun. Ya, kalau bertemu dengan puteri
Tayli itu apakah yang harus ia katakan. Bukankah kedua
pihak akan sama menderita hatin"
"Nak, tak perlu bersedih. Biarlah urusan itu selesai
sampai disini." Poan toanio menghiburnya.
"Waktu kembali ke Tionggoan, keempat pengawal itu
ikut. Tetapi kini mereka hanya tinggal dua yang pulang.
Bukankah suhu dan baginda akan kecewa kepada tit-ji ?"
Poan toanio menghela napas dan mengatakan bahwa
kedua jago yang telah mengorbankan jiwa untuk kerajaan
Tayli itu, kelak tentu akan mendapat penghargaan."
"Sudahlah, Jangan bersedih akan peristiwa yang telah
lalu. Sekarang bagaimana langkahmu ?" tanya Poan toanio.
"Menyerbu Gedung Hitam lagi !"
"Tidak menunggu Ang Nio Cu ?" Thian-put-thou garuk2
kepala. "Dikuatirkan ketua Gedung Hitam itu akan meloloskan
diri, tentu sukar untuk mencarinya !" kata Cu Jiang, "lo-
koko. .." "Mau menghalang diriku lagi, ya ?" Thian-put-thou deliki
mata. "Ih, bukan begitu."
"Lalu bagaimana ?"
"Langkahku kali ini adalah untuk membalas dendam
keluargaku." "Tak menghendaki bantuan orang ?" Thian-put-thou
menukas. "Ai, lo-koko .. ."
"Si tua ini hanya melihat saja, tidak ikut turun tangan,
bagaimana?" Apa boleh buat, Cu Jiang hanya dapat tertawa meringis.
"Baiklah kalau begitu."
Demikian ketiga orang itu segara lari menuju ke gunung
lagi. Tiba di daerah markas Gedung Hitam, sudah hampir
fajar hari. Karena sudah faham jalannya, maka Cu Jiang
membawa Poan toanio dan Thian put thou ke puncak yang
di datangi dulu. "Toanio, dari sini lebih kurang seperempat jam lagi. kita
akan tiba di Gedung Hitam! Mumpung musuh belum
bersiap-siap, kita terus menyerangnya saja!"
"Baik," sahut kedua kawannya.
Kali ini Cu Jiang memang hendak datang secara terang-
terangan. Dia menanggalkan kedok kulit muka dan berganti
dalam pakaian seperti seorang pelajar. Pedang kutung
diselipkan di pinggang. Kini dia benar2 kembali seperti Cu
Jiang dahulu atau si pelajar baju putih.
Tiba2 saat itu di lereng puncak yang terpaut sebuah
jurang, seperti tampak berpuluh bayangan orang sedang
bergerak. "Toanio, lo koko, apakah melihat apa yang berada di
lereng puncak itu?" Thian put thou memandang ke puncak itu:
"O, orang, paling sedikit sepuluh."
"Api !" tiba2 Poan toanio menunjuk ke arah markas
Gedung Hitam. Cu Jiang berpaling. Memang benar Gedung Hitam yang
besar dan luas itu sedang dimakan api.
"Jangan2 mereka membakar sarangnya sendiri?" kata
Thian put-thou. Cu Jiang seperti disadarkan. Orang2 dilereng puncak
sebelah muka itu, mungkin ....
"Aku hendak mencegat mereka!" ia terus loncat dan
menghilang dalam kabut. Poan toanio pun mengajak Thian-
put-thou menyusul. Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat, setelah
melintasi lembah, naik gunung turun gunung, dalam
beberapa waktu dapatlah Cu Jiang tiba di tempat orang2
tadi. Agar jangan membikin kaget mereka, ia sengaja
memutar dari samping dan naik ke puncak. Tetapi orang2
itu ternyata sudah tak ada.
Saat itu cuaca makin terang tetapi kabut di puncak
gunung masih meremang, pandang mata Cu Jiang
mengelilingi puncak itu tetapi tetap tak dapat menemukan
apa2. Gedung Hitam sudah dibumi hanguskan dan tentulah
ketuanya sudah pergi. Thong-thian-kaupun sudah tak
mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang Gedung
Hitam. Poan toanio dan Thian-put-thou tiba.
"Bagaimana?" seru thian-put-thou.
"Mereka menghilang!"
"Mungkin kita salah siasat " tiba2 Poan toanio berkata.
"Bagaimana?" "Sebenarnya kita langsung menyerbu ke Gedung Hitam,
mungkin masih dapat membekuk seorang atau dua orang
anak buahnya dan dapat kita korek keterangan. Sekarang
sudah terlambat." "Sosok2 bayangan tadi memang mencurigakan."
"Mungkin sosok yang memusuhi Gedung Hitam."
Cu Jiang menghela napas. Menilik gelagatnya jelas ketua
Gedung Hitam sudah melarikan diri entah kemana.
Tengah ketiga orang itu termenung-menung kehilangan
langkah, tiba2 sesosok bayangan orang yang aneh, muncul
dari hutan jauh disebelah muka. Orang itu seperti mengepit
seseorang. Tanpa bicara apa-2, Cu Jiang terus loncat memburu.
Ketika dekat, ia terkejut sekali. Ternyata orang itu tak lain
adalah Ang Nio Cu dan yang dikempitnya adalah Cukat
Beng Cu, puteri dari Cukat Giok yang kemudian waktu
menjadi anak dari ketua Gadung Hitam berganti nama Ki
Ing. Menurut perhitungan tak mungkin Cukat Bsog Cu itu
dapat sembuh sedemikian cepatnya, kecuali tokoh aneh Kui
jiu-sinjin mempercepat pengobatannya.
Diam2 Cu Jiang mengikuti. Ilmu meringankan tubuh
dari Ang Nio Cu memang hebat sekali. Jika bukan Cu
Jiang, tentu sukar untuk mengikuti.
Berlari beberapa waktu, mereka tiba ditepi puncak. Dari
tempat itu melihat sebuah puncak jauh disebelah muka
Puncak gunung itu dikelilingi oleh lekuk2 lembah yang
lebat. Ketika memandang kearah puncak itu seketika darah Cu
Jiangpnn bergelora. Belasan sosok tubuh yang menghilang
tadi ternyata sedang berjalan melintasi celah2 gunung.
Ang Nio Cu berhenti, turunkan Cukat Beng Cu dan
berbisik: "Apakah disini ?"
"Ya, benar," Cukat Beng Cu mengangguk.
"Kulihat ada orang yang berlari disini . ."
"Apa yang siau-moay duga memang tak salah," sahut
Cukat Beng Cu. Ia membahasakan dirinya sebagai siau-
moay atau adik. "Celaka mengapa Toan-kiam Jan jin tak kelihatan
bayangannya ?" "Taci, kalau engkau seorang diri apakah tidak terlalu
berbahaya.. ." "Demi membalas dendam suhuku, aku

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak menghiraukan apa2 lagi!"
Mendengar itu Cu Jiang seperti mengetahui sesuatu.
Tetapi pada saat dia hendak muncul, Ang No Cu sudah
menyambar Cukat Beng Cu dan terus dibawa lari lagi.
Cu Jiang terpaksa mengikuti Bayangan orang yang
tampak berjalan di celah gunung tadi, tiba2 lenyap. Cu
Jiang terpaksa hentikan langkah. Tetapi Ang Nio Cu tetap
maju, bahkan rupanya ia sengaja berjalan ditengah celah
gunung itu. Tiba2 timbul pikiran Cu Jiang. Jika dia mengitari gedung
itu tentulah dia akan dapat menemukan rombongan orang
tadi. Dan kalau dia berhati-hati bersembunyi dibalik batu
atau pohon, tentulah mereka takkan mengetahui.
Segera ia lakukan hal itu. Saat itu Ang Nio Cu tiba
ditempat dimana rombongan orang tadi menghilang. Ang
Nio Cu berhenti disitu. Cu Jiangpun segera bersembunyi
dibalik segunduk batu besar, terpisah tiga tombak dari
tempat Ang Nio Cu. "Ang Nio Cu sengaja datang hendak bertemu!" seru Ang
Nio Cu dengan nyaring tetapi tak ada penyahutan.
Sekali lagi Ang Nio Cn mengulangi: "Jika tak mau
menampakkan diri, aku terpaksa akan menghancurkan
sandera ini!" Sandiwara " Apakah ketua Gedung Hitam bersembunyi
disitu " Waktu Cu Jiang dan Thian-put thou tak berkutik
menghadapi ancaman wakil ketua Gedung Hitam yang
hendak meledakkan obat pasang, tiba2 Cukat Beng Cu
muncul dan minta tali penarik bahan peledak itu dari
tangan Li Ing Bo, wakil ketua Gedung Hitam.
Ternyata dia meneriaki Cu Jiang dan Thian put-thou
supaya lari dan tidak mau menarik tali itu. Li lng Bo marah
lalu melepaskan pukulan beracun yang hampir saja
menewaskan jiwanya. Dengan tindakan itu tentulah Cukat
Beng Cu sudah tahu asal-usul dirinya. Pikir Cu Jiang.
Sekarang Ang Nio Cu membawanya ketempat itu,
mungkin mereka berdua sedang menggunakan apa yang
disebut Gok-ji ki atau siasat Menyakiti-diri.
Tetapi bukankah wakil ketua Gedung Hitam Li Ing Bo
itu sudah tahu penghianatannya " Apakah siasat Gok-Ji ki
itu akan berhasil. Merenung hal itu, Cu Jiang gelisah.
"Heh, heh, heh, heh..." terdengar suara orang tertawa
mengekek sinis. Beberapa sosok tubuh dari arah lain,
muncul berlarian mendatangi. Yang paling depan adalah
ketua Gedung Hitam sendiri, dibelakangnya diiring oleh
dua orang pengawal Gedung Terlarang.
Melihat musuh muncul, darah Cu Jiang mendidih, hawa
pembunuh meluap-luap. "Ang Nio Cu." seru ketua Gedung Hitam, "hebat juga
engkau dapat menemukan tempat rahasia disini. . ."
"Thian maha pemurah!" tukas Ang Nio Cu.
"Bebaskan dia!"
"Boleh, tetapi ada syaratnya !"
"Syarat bagaimana?"
"Engkau harus bertempur, lawan aku satu lawan satu,
Iain orang tak boleh membantu."
"Hi, ha. ha, ha . . . Ang Nio Cu, tak ada lain hal yang
lebih bagus dari syarat yang engkau ajukan itu!"
"Masih ada lagi," kata Ang Nio Cu, "budak perempuan
ini telah kututuk jalan darahnya dengan ilmu tutuk yang
istimewa. Jangan engkau coba2 bertindak licik untuk
merebutnya. Kecuali aku, tak mungkin lain orang mampu membuka
jalan darahnya yang tertutuk itu. Jika tak kubuka, dalam
waktu sejam, dia tentu mati!"
"Engkau pintar sekali ..."
"Bagimu masih tak terhitung apa2."
"Ang Nio Cu, kalau engkau mati, bukankah putriku yang
tersayang itu akan ikut mati juga ?"
"Hal itu tergantung dari rejekimu !"
"Baik, mari kita mulai."
"Suruh anakbuahmu itu mundur agak jauh."
"Kalian mundur," ketua Gedung Hitampun memberi
perintah dan kedua pengiringnyapun segera mundur sejauh
lima tombak. Ang Nio Cu juga loncat mundur dua tombak untuk
meletakkan Cukat Beng Cu di kaki puncak. Dan secara
kebetulan tepat di depan Cu Jiang bersembunyi.
Pemuda itu kerutkan dahi. Dia tahu mungkin Ang Nio
Cu tak dapat menandingi kesaktian ketua Gedung Hitam.
Bukankah tindakannya itu berbahaya sekali " Dendam tak
terbalas, dirinyapun mungkin binasa sendiri.
Ang Nio Cu kembali maju lagi. Dia membawa pedang
Cu Jiang yang tempo hari dijadikan barang tanda pengikut
perjodohan dengan Ho Kiong Hwa, Ketua Gedung Hitam
juga mencabut pedang. Setelah saling menatap beberapa
saat, mereka lalu mulai bergerak.
Ilmu pedang Ang Nio Cu memiliki gaya aneh dan
dahsyat dari sumber perguruan agama. Begitu bertempur,
keduanya sukar dilerai lagi.
Cu Jiang mengikuti pertempuran itu dengan penuh
perhatian. Dia tahu bahwa Ang Nio Cu mempunyai
dendam darah yang hebat dengan ketua Gedung Hitam.
Diam2 Cu Jiang menimang, jika dia keluar dan
menggantikan Ang Nio Cu tentu tak punya kesempatan lagi
untuk melampiaskan dendam kesumatnya.
Tetapi kalau tak turun tangan, Ang Nio Cu tentu tak
dapat membunuh ketua Gedung Hitam itu.
Pertempuran berjalan makin seru dan menakjubkan.
Sekonyong-konyong dua sosok tubuh diam2 telah
menyelinap ke tempat Cukat Beng Cu dan terus ulurkan
tangan hendak menyambar nona itu.
Cu Jiang terkejut. Cepat dia menjulurkan jari untuk
memancarkan ilmu Jari-sakti kepada kedua orang itu.
Tetapi sebelum ia sempat melakukannya. tiba2 kedua orang
itu mengerang terus rubuh, Cu Jiang diam2 menghela napas
longgar. Kiranya Ang Nio Cu sudah menyiapkan langkah untuk
menghadapi perbuatan musuh yang hendak mengganggu
Cukat Beng Cu. Tetapi saat itu Ang Nio Cu sudah mulai terdesak oleh
pedang ketua Gedung Hitam. Dengan mati-matian Ang
Nio Cu harus bertahan diri walaupun dengan pontang-
panting. "Huak..." terdengar mulut Ang Nio Cu menguak dan
tubuhnya sempoyongan. "Berhenti!" saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi
dan terus melayang keluar.
"Adik !" teriak Ang Nio Cu girang sekali.
Ketua Gedung Hitam mundur tiga langkah seraya
berseru gemetar : "Toan-kiam-jan-jin !"
Sepasang mata Cu Jiang memancar hawa pembunuhan,
gerahamnya bergemerutuk. "Tua bangka, dengarkan yang jelas, aku bernama Cu
Jiang putera tunggal dari Dewa pedang Cu Beng Ko!"
Kembali ketua Gedung Hitam mundur dua langkah
dengan wajah terkejut. Cu Jiang menghampiri maju dan
terus mencabut pedang kutung dari pinggangnya.
Ketua Gedung Hitam memandang Cukat Beng Cu
dengan mata penuh kemarahan, serunya:
"Budak hina, engkau berani mengkhianati aku?"
"Bangsat tua, aku hendak menyayat-nyayat daging
tubuhmu. Sekarang, bukalah kedok mukamu !" teriak Cu
Jiang. Mata ketua Gedung Hitam berkeliaran ke samping tetapi
Cu Jiang segera menghardik:
"Jahanam, Jangan coba2 cari akal busuk, jangan harap
engkau dapat lolos!"
Cukat Beng Cu berbangkit terus lari kesisi Ang Nio Cu.
Ketua Gedung Hitam mendengus geram. Ia terus
mainkan pedang menyerang Cu Jiang. Serangannya itu
dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Tampaknya dia
bernapsu sekali dirangsang kegugupan.
Cu Jiang membentak lalu memainkan ilmu pedang It-
kiam-tui-hun ajaran mendiang ayahnya.
Begitu terjadi benturan, terdengarlah suitan nyaring di
udara dan ketua Gedung Hitam itu terus hendak berputar
tubuh. Tetapi Cu Jiang sudah menjagai hal itu. Dia loncat
membayangi dengan ujung pedang kutung sehingga ketua
Gedung Hitam itu terpaksa berbalik tubuh lagi untuk
melayaninya. Rupanya kedua belah pihak sangat bernafsu sekali untuk
membunuh lawan. Setiap jurus yang dilancarkan selalu
jurus2 maut yang dahsyat.
Terdengar bentakan nyaring campur erang tertahan dan
tubuh ketua Gedung Hitampun berlumur warna merah. Dia
sempoyongan. Cu Jiang tak mau memberi ampun lagi. Ia
menyerang dengan sebuah Jurus ilmupedang It-kiam-tui-
hun. Tring, tring.... Ketua Gedung Hitam mundur lagi beberapa langkah
tetapi ia masih dapat menangkis serangan maut lawan.
Cu Jiang makin kalap. Bagai harimau haus darah, dia
terus menyerang lagi. Terdengar erang pelahan dan tubuh
ketua Gedung Hitaaa bertambah luka baru pula.
"Aku hendak menghias mayatmu dengan seribu
tusukan." seru Cu Jiang.
"Hm. . . .!" ketua Gedung Hitam menggembor dan balas
menyerang seperti orang kalap. Delapan buah jurus yang
aneh dan ganas, disertai dengan seluruh tenaganya,
dilancarkan dengan hebat, Cu Jiang sibuk juga menangkis
dan terdesak mundur dua langkah.
Jika dia menggunakan ilmu pedang Thian-te-kau-thay
dari kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, ketua Gedung Hitam
tentu tak mampu bertahan sampai lima Jurus. Tetapi karena
hendak membalas dendam maka ia tetap mempergunakan
ilmu pedang ajaran ayahnya. Itulah sebabnya maka ketua
Gedung Hitam mampu balas menyerang.
Delapan jurus yang dilancarkan ketua Gedung Hitam
telah selesai. Kini Cu Jiang mulai balas menyerang. Dia
tetap menggunakan ilmu pedang It-kiam-tui-hun.
Tring . . . terdengar pekik kejut dan pedang ketua
Gedung Hitam itupun mencelat ke udara. Cu Jiang julurkan
pedang buntung lurus ke muka. Mengarah dada lawan.
Ketua Gedung Hitam ketakutan dan mundur tetapi Cu
Jiang tetap mendesak maju.
Suasana gelanggang pertempuran diliputi hawa pembunuhan. Tak ada seorangpun pihak Gedung Hitam
yang tampak. Mungkin karena melihat gelagat buruk
mereka sudah bersembunyi.
Setelah terus menerus mundur, akhirnya ketua Gedung
Hitam tertutup jalan oleh segunduk batu besar.
"Hiaaat . . . !" sekali pedang menggurat, Cu Jiang
berteriak kaget. Ia memang mencongkel kedok muka ketua
Gedung Hitam. Tetapi begitu wajah aseli dari lawan terlihat
jelas ia sendiri terkejut bukan kepalang. Kiranya ketua
Gedung Hitam itu tak lain adalah Bulim seng-hud atau
Buddha hidup Sebun Ong. Buddha hidup yang begitu diagungkan sebagai tokoh
yang berhati mulia, ternyata seorang biang durjana yang
selama berpuluh puluh tahun telah meneror dunia
persilatan. Hampir Cu Jiang tak percaya apa yang
dilihatnya. Rahasia besar dalam dunia persilatan kini telah
tersingkap. Tiong goan tay hiap Cukat Giok benar. Yang
merampas isteri dan puterinya memang Sebun Ong.
Cu Jiang teringat bahwa ketika menghembuskan napas
yang terakhir, toa suhengnya Ho Bun Cai pernah
mengucapkan kata "Sebun Ong" . Tetapi Cu Jiang tak
menyadari hal itu. "Sebun Ong, belasan tahun engkau dapat mengelabuhi
mata dunia persilatan. Tetapi akhirnya Thian menghukummu juga, ha, ha, ha ... . "
Cukat Beng cu berbalik diri. Rupanya ia tak sampai hati
melihat keadaan ayah tirinya yang selama ini memperlakukan ia dengan baik. Ia belum tahu akan nasib
ayahnya sendiri. "Budak, aku menyerah, bunuhlah !" seru Sebun Ong
dengan menarik napas. "Sebun Ong, mengapa engkau memusuhi ayahku?"
"Dia tak layak mendapat gelar Dewa-pedang."
"Engkau . . . jahanam tua, hanya karena merasa iri saja,
sampai hati untuk membunuh seluruh keluargaku. Engkau
bukan manusia ..." "Bunuhlah aku!"
"Tidak begitu cepat engkau harus mati, crat ..." pedang
buntung menusuk bahu kiri Sebun Ong, darah mengucur
deras, "ini untuk Cukat Giok lo cianpwe!"
Cret . . . kembali ujung pedang menusuk tembus bahu
kanan. "Dan ini untuk Toa suhengku Ho Bun Cai . . ! "
Sebun Ong berobah menjadi manusia darah. Ia terkulai
tetapi Cu Jiang mencengkeram dada dan mengangkatnya:
"Jahanam, mengapa dulu2 engkau tak mau bertobat!"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau . . engkau . . keji sekali . ."
"Dan yang ini adalah untuk arwah keluargaku . . . cret! "
pedang itupun menembus ulu hati Sebun Ong. Seketika dia
terkulai putus nyawanya. Cu Jiang lalu berlutut menghadap ke barat.
"Ayah, mama, adikkku, paman Liok...aku telah
membalas dendam dan hendak menghancurkan kepala
musuh..." Ang Nio Cu maju mencegahnya: "Adik Jiang orang yang
mati, sudah himpas dosanya. Dia sudah menerima buah
dari pberbuatannya!"
Cu Jiang menurut. Memandang ke segenap penjuru, ia
berkata: "Sisanya tentu masih..."
"Tempat ini merupakan sarang rahasia dari Gedung
Hitam yang penuh lorong2 berbahaya. Mereka tentu sudah
melarikan diri..." tiba2 Cukat Beng Cu menyela.
"O, nona Cukat, aku masih ada sesuatu yang belum
sempat kuberitahu kepadamu."
Sambil menggigit gigi, nona itu berkata: "Waktu
mamaku mati karena racun, diapun sudah menerangkan
sedikit . ." "Tentang ayah nona?"
"Ayah sudah meninggal dunia."
"Tidak, beliau masih hidup!"
"Ayah masih hidup?" seketika gemetarlah tubuh Cukat
Beng Cu. Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang
dialaminya bersama Cukat Giok, serta soal dompet yang
diserahkan kepada mama Cukat Beng Cu. Nona itu
menangis tersedu-sedu. Tiba2 dia berputar tubuh dan ayunkan tangan ke mayat
Se bun Ong. Tetapi setengah jalan, dihentikan lagi: "Ah,
sudahlah ..." "Nona, inilah barang titipan ayah nona yang telah
diberikan kepadamu," kata Cu Jiang seraya menyerahkan
dompet dari Cukat Giok. Dengan tangan gemetar, Cukat
Beng Cu menyambutinya. Kemudian Cu Jiang bertanya kepada Ang Nio Cu
mengapa dapat muncul lebih pagi di gunung Keng-san itu.
"Luka adik Beng Cu sembuh lebih cepat dari waktunya.
Kami segera menuju kemari. Mata2 Gedung Hitam
mengatakan kepada adik Beng Cu bahwa wakil ketua Li lng
Bo telah mati dibunuh orang Thong thian-kau. Maka ketua
itu tak tahu tentang perbuatan adik Beng Cu yang berpaling
haluan. Pada saat kami tiba, ternyata markas Gedung
Hitam sudah hancur. Dan dari seorang anak buah, adik
Beng Cu tahu kalau tempat ini merupakan tempat
persembunyian rahasia dari ketua Gedung Hitam . . ."
"Oh, maka taci lalu menggunakan siasat Gok-ji-ki untuk
memikat supaya Sebun Ong keluar !"
"Ya, tetapi aku salah..."
"Mengapa?" "Tak tahu kekuatan diri sehingga apabila engkau tak
muncul, akibatnya tentu sukar dibayangkan!"
"Ah, itu karena Sebun Ong memang sudah sampai
umurnya mati!" Tiba2 dua sosok bayangan berlari mendatangi. Ternyata
keduanya adalah Poan toanio dan Thian put thou.
Lebih dulu Cu Jiang memperkenalkan Ang Nio Cu dan
Cukat Beng Cu kepada bibinya.
"Ho, sungguh tak kira kalau ketua Gedung Hitam itu
ternyata Sebun Ong !" seru Thian-put-thou.
Dengan berlinang-linang. Poan toanio berkata: "Nak,
kini arwah ayah bundamu, adik-adikmu dan kawan2 yang
telah mati dengan penasaran tentu akan terhibur di alam
baka!" Tiba2 Cu Jiang memperhatikan bahwa pada waktu
Cukat Beng Cu membuka dompet dari ayahnya, nona itu
tampak terlongong-longong.
"Nona Cukat !" tak terasa Cu Jiang berseru menegurnya.
Cukat Beng Cu tundukkan kapala. Mulutnya mendesis
lalu berpaling ke samping memandang Ang Nio Cu.
Cu Jiang mengikuti dengan pandang mata.Di lihatnya di
tangan nooa itu terdapat sebuah kumala yang berwarna
hijau kehitam-hitaman. Di bawah batu kumala itu terdapat
pula secarik kertas yang berisi beberapa tulisan.
"Apakah itu bukan Lencana Hitam ?" diluar kesadaran,
mulut Cu Jiang mendesir. Cukat Beng Cu memandang Cu Jiang dengan pandang
mata yang aneh, Kemudian ia mengeluarkan sebutir
kumala dari bajunya lalu diletakkan di sisi kumala tadi. Ah,
benar2 sepasang batu kumala hitam yang baik bentuk dan
warnanya seperti pinang dibelah dua.
"Apakah artinya itu ?" Cu Jiang berseru heran.
Wajah nona itu nampak pilu.
"Kedua untai kumala ini sebenarnya merupakan
sepasang. Ayah dan ibu masing2 menyimpan satu.Milik
mendiang, ibu telah diserahkan kepadaku." sampai disini ia
hentikan kata-katanya. Wajahnya mengerut tegang, entah mengandung perasaan marah atau dendam, kemudian melanjutkan pula:
"Kemudian kumala yang menjadi milikku itu, kujadikan
sebagai tanda diriku dan disebut Hek-hu. Hanya... begitulah
!" "O, benar." kini Cu Jiang menyadari. "waktu nona
memberikan kumala itu kepadaku, kecuali dalam lingkungan anak buah Gedung Hitam, diluar memang tak
ada pengaruhnya apa2. Kiranya karena hal itu..."
"Cu siangkong, tadi engkau mengatakan bahwa ayahku
telah dicelakai Sebun Ong?"
"Keterangan itu menurut cerita ayah nona sendiri."
"Aku.... ingin bertemu dengan ayahku !"
"Lembah rahasia itu hanya mempunyai sebuah jalan.
Dan pada musim kemarau barulah dapat mencapai ke
tempat itu. Aku bersedia mengantar nona ke sana. ."
"Kapan ?" "Setelah kubasmi iblis yang terakhir dari gerombolan Sip-
pat thian-mo itu !" "Iblis yang mana ?" Poan toanio menyela.
"Iblis ke satu yang disebut Hui-thian Sin-mo..."
"Tak perlu engkau buang tenaga!"
"Kenapa ?" "Iblis kesatu sama2 hancur binasa dengan wakil ketua
Gedung Hitam Li Ing Bo. Hui-thian Sin-mo mati akibat
bahan pasang yang diledakkan Li Ing Bo tetapi Li Ing
Bopun akhirnya mampus karena dibunuh biang iblis Jui-
beng-koh." "Ah...." Cu Jiang menghela napas longgar, Kini tugasnya
ialah selesai. Musuh besar telah dl-tumpas, tak ada lagi
yang harus diresahkan. Tiba2 la teringat akan nasib Ho
Kiong Hwa, calon isterinya itu.
Saat itu Ang Nio Cu mengambil surat dari tangan Cukat
Beng Cu setelah membaca dia berseru: "Bagus, adik Beng
Cu, akulah yang akan mengaturnya."
Cukat Beng Cu tertawa tersipu-sipu lalu tundukkan
kapala. Sudah tentu sekalian orang heran melihat kasak-
kusuk kedua orang itu. Ang Nio Cu beralih memandang Cu Jiang.
"Adik Jiang, sekali lagi aku hendak menjodohkan
engkau." "Apa" Taci mengatakan apa?" Jiang terbeliak.
"Akan menjadi comblangmu !"
Poan toanio dan lain2, memandang heran ke-arah
wanita yang mukanya selalu ditutup dingin kain selubung
itu. "Aku benar-2 tak mengerti !" seru Ca Jiang.
"Bacalah sendiri," seru Ang Nio Cu seraya menyerahkan
kertas itu kepada Cu Jiang. Cu Jiang menyambuti dan
membacanya. Serentak merahlah wajah anak muda itu.
Hatinya mendebur keras dan mulut ternganga tak dapat
berkata sepatahpun jua. Ternyata surat itu berbunyi, minta kepada Beng Cu akan
menikah dengan orang yang menyampaikan pesan dari
ayahnya itu. Memang bagi Beng Cu itu merupakan suatu perintah
dari ayahnya. Tetapi sebenarnya, sebelum peristiwa itu
terjadi, diapun sudah jatuh hati kepada pemuda itu. Sudah
tentu peristiwa itu merupakan suatu kebenaran yang tak
terduga-duga sama sekali.
"Adik Jiang, bagaimana maksud mu?" desak Ang Nio
Cu. Dengan wajah merah. Cu Jiang menyahut tergagap
"Taci. engkau tentu tahu sendiri . . . jangan mengolok-olok
aku !" "Siapa sih yang mengolok-olok engkau ?"
"Ho Kiong Hwa, adalah taci yang menjodohkan."
"Benar, tetapi peristiwa itu sudah lampau."
"Pernikahan bukan seperti mainan kanak2. Aku Cu
Jiang, takkan menjadi seorang manusia yang mengecewakan hati orang...."
"Ho Kiong Hwa sendiri yang memutuskan tali
perjodohan itu, bukan salahmu."
"Tidak!" "Apakah adik Beng Cu tak layak menjadi pasangan
hidupmu?" Mendengar ucapan itu barulah Poan toanio dan yang
lain2 tahu duduk persoalannya.
"Taci .... engkau sungguh .... keterlaluan!" teriak Cu
Jiaug. "Sudah tentu adik Beng Cu tak dapat berkata apa2.
Disamping hal itu merupakan perintah ayahnya, pun
bagaimana dulu hubungannya dengan engkau, dia sudah
memberitahu kepadaku. Pelajar baju putih, lencana Kumala
Hitam sebagai saksi!"
Memandang ke arah Beng Cu yang tundukkan kepala.
Cu Jiang mengusap keringat pada dahinya dan berseru
rawan: " Memang Ho Kiong Hwa malang sekali nasibnya.
Tetapi ke ujung langitpun, aku tetap akan mencarinya."
"Dalam kehidupan yang sekarang ini, tak mungkin dia
mau menemui engkau! " kata Ang Nio Cu dengan rawan.
"Tetapi aku tetap akan mencarinya!"
"Hatinya keras sekali, jangan mendesak dia ke arah jalan
buntu . . ." "Taci, jangan lupa, engkaulah yang jadi comblangnya!"
"Adik Jiang, aku takkan lupa."
"Kalau begitu, seharusnya taci bantu menyelesaikan soal
itu." "Itu sudah takdir, kita manusia tak berdaya merobahnya." Tiba2 Beng Cu mengangkat muka dan dengan mata
berkaca-kaca, dia berseru: "Taci, tali perjodohan itu
memang sudah digariskan oleh takdir. Harap jangan
membicarakan lagi soal ini."
"Nona Cukat, harap nona suka memaklumi kesukaranku." seru Cu Jiang.
"Tak mungkin aku dapat memaklumi. Engkau hanya
melaksanakan apa yang dipesan ayah dan akupun
menghaturkan terima kasih kepadamu Ya, memang,
bermula .... aku pernah jatuh hati kepada pelajar baju putih
itu. Tetapi peristiwa itu sudah lampau Cu sauhiap, engkau
bukan pelajar baju putih yang dahulu. Pelajar baju putih
yanbg dahulu juga bukan Toan-kiam-jan-jin yang sekarang
ini..." Nada nona itu mengandung getar2 isak. Dan Cu Jiang
pun bungkam tak dapat menyahut.
"Adik Beng Cu, serahkan semua ini kepadaku." Ang Nio
Cu menepuk bahu Cukat Beng Cu dan menghiburnya.
"Soal ini memang menyangkut perasaan dukacita." kata
Poan toanio, "nasib yang menimpa Ho Kiong Hwa sungguh
menyedihkan sekali sehingga dia melarikan diri karena
putus asa. Disamping menunjukkan sifatnya yang suci, pun
dia tentu menderita luka hati yang dalam sekali . . ."
"Ku kira juga begitu, jangan menambahkan luka hati
pada nona yang bernasib malang itu!" seru Thian put-thou.
"Nah, bagaimana pendapat taci" " seru Cu Jiang.
Tetapi Ang Nio Cu tetap berkeras: " Soal diri Ho Kiong
Hwa, aku yang bertanggung jawab!"
Cukat Beng Cu tertawa rawan:
"Sudahlah, harap kalian jangan bertengkar tentang hal
ini. Aku sendiri memang juga bernasib malang. Belasan
tahun aku menganggap seorang bangsat sebagai ayahku
yang tersayang. Budi kebaikan saudara-2 selama ini, akan
kubawa seumur hidup dan sekarang aku hendak mohon diri
. . ." "Jangan pergi!" seru Ang Nio Cu.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Jiang benar2 serba salah. Beberapa saat kemudian
baru dia dapat berkata: "Nona Cukat, kalau hendak menemui ayah nona, harus
kuantar." Nona itu memandang Cu Jiang lalu berkata: "Cukup
sauhiap mengatakan letak tempat dan jalannya, aku tentu
dapat mencarinya sendiri!"
"Adik Jiang, bagaimana keputusanmu?" Ang Nio Cu
mendesak. "Maaf, aku tak dapat menurut perintah taci, " kata Cu
Jiang. Ang Nio Cu memandang Cu Jiang dengan dengan
pandang aneh, penuh dengan arti dan penuh pula dengan
berbagai luap perasaan hati. Tiada seorangpun yang dapat
menebak bagaimana isi hati wanita misterius ini.
Lama, lama sekarli baru dia kedtengaran berkataq
dengan nada rarwan memilukan:
"Adik Jiang, apabila Ho Kiong Hwa tak berada dalam
dunia fana ini?" Seketika wajah Cu Jiang berobah tegang, serunya tegas:
"Mengapa taci mengatakan begitu?"
"Aku hanya mengatakan saja."
"Tetapi mengapa taci berkata begitu, tentulah ada
sebabnya?" "Jawablah, janganlah hiraukan lain2 sebab lagi!"
Cu Jiang menggerinyit gigi dan berkata dengan tandas.
"Jika dia benar2 mati, akupun akan mencari jenasahnya!" "Kalau ketemu lalu apa yang hendak engkau lakukan?"
"Akan kutanam dan aku akan menjaga makamnya
selama hidupku." Singkat kata2 itu tetapi artinya cukup menyatakan
bagaimana keras dan setia hati Cu Jiang terhadap rasa cinta
itu. Sekalian orang itu tergetar hatinya mendengar
pernyataan pemuda itu. Cukat Beng Cu tertawa rawan:
"Cu sauhiap, aku sangat menghormati engkau. Aku
gembira sekali karena kenal dengan engkau dan
bersahabat," serinya.
"Adik Jiang, Ho Kiong Hwa tentu tidak menghendaki
begitu," seru Ang Nio Cu dengan gemetar.
"Seharusnya dia tak perlu memberi pengorbanan begitu
besar." kata Cu Jiang.
"Dia ibarat., . bunga yang sudah terpetik . ." kata2 yang
terakhir itu diucapkan Ang Nio Cu dengan berbisik.
"Aku tak menghiraukan, soal itu bukan kesalahannya,
hanya nasib buruk yang membuatnya menderita!"
"Mengapa nona Ang berkeras hendak melaksanakan hal
itu ?" tiba2 Poan toanio menegur.
Terpaksa Poan toanio menyebut nona Ang, karena ia tak
tahu nama dan she yang sesungguhnya dari Ang Nio Cu.
Demikian pula raut dan wajahnya. Hanya karena Ang Nio
Cu itu berbahasa taci adik kepada Cu Jiang, iapun
menyebutnya dengan kata "nona Ang".
"Pernah apakah nona itu dengan engkau, nona Ang "!"
Poan toanio mendesak lagi.
"Hampir sama orangnya. Kepalanya dua, tetapi jiwanya
satu." "Kata2 dan tindakan nona, sungguh sukar dirobah ..."
Tiba2 Cu Jiang berkata dengan wajah serius: "Toanio,
kuminta pembicaraan itu selesai sampai disini saja."
"Adik Jiang," seru Ang Nio Cu, "yang dikata tidak
berbakti itu ada tiga hal. Tidak punya keturunan termasuk
salah satu. Engkau harus menikah."
"Arwah ayah bunda di alam baka, tentu dapat
mengampuni diriku yang tidak berbakti ini." sahut Cu
Jiang. "Apakah engkau benar2 tak mau merobah pendirianmu
?" "Tidak !" "Apakah engkau tetap hendak bertemu dengan Ho Kiong
Hwa?" Tergetar hati Cu Jiang mendengar pertanyaan itu. Dia
benar2 pusing dikacau ucapan Ang Nio Cu yang dibolak-
balik berulang kali. Ia hanya nyalangkan mata dan
memandang Ang Nio Cu tanpa berkata sepatah kata.
Bahkan Cukat Beng Cu, Poan toanio dan Thian-put-thou
juga tertegun. "Adik Jiang, jawablah !" sekali lagi Ang Nio Cu
mendesak. "Tidak hanya ingin saja." seru Cu Jiang penuh
ketegangan. "bahkan aku bersumpah, takkan berhenti
berusaha sebelum dapat mencarinya !"
"Aku dapat memberitahunya supaya bertemu dengan
engkau. . ." "Sungguh?" teriak Cu Jiang.
"Kapankah aku pernah bohong kepadamu."
Karena dicengkam ketegangan, Cu Jiang sampai
gemetar. "Taci, dia ... sebenarnya berada dimana ?" serunya.
Dengan ketenangan yang rawan. Ang Nio Cu menjawab:
"Jangan tanyakan dulu dia berada di mana. Untuk
berjumpa dengan dia, hanya ada syaratnya !"
"Bagaimana syaratnya !"
"Engkau harus meluluskan perjodohanmu dengan nona
Beng Cu !" Poan toanio dan Thian-pui-thou menghela napas. Wajah
merekapun berobah cahayanya.
Dahi Cu Jiang tampak berkerenyut keras.
"Sekalipun Cu sauhiap meluluskan, aku pun tak mau.
Aku tak menghendaki diriku menjadi seorang yang tak
kenal kebajikan." "Jangan ikut bicara!" Ang Nio Cu deliki mata kepada
Beng Cu. Benak Cu Jiang benar2 kacau balau.
"Taci, jangan menyiksa diriku, aku tak kuat menderitanya putus asa."
"Sama sekali aku tak bermaksud hendak menyiksamu,"
kata Ang Nio Cu dengan dingin, "adik Jiang, asmara murni
memang demikian." "Aku tak percaya !"
"Mau bukti?" "Ya." "Tetapi engkau mau meluluskan soal pernikahanmu
dengan Beng Cu atau tidak?"
"Tidak dapat." "Hm, kalau begitu dalam hidupmu sekarang ini engkau
takkan berjumpa dengan Ho Kiong Hwa untuk selama-
lamanya !" "Tidak ! Aku pasti akan mencarinya... tetapi aku tak
dapat melalaikan hal itu. Taci, engkau sungguh kejam !"
Airmata Cu Jiang berderai-derai membasahi kedua
pipinya. Suasana di tempat itu tenggelam dalam kesunyian yang
lengang. Kesunyian yang menghimpit dada dan menekan
perasaan. Beberapa waktu kemudian baru Ang Nio Cn berkata
pula dengan nada yang berbeda:
"Adik Jiang, aku mau mengalah selangkah. Tetapi
setelah engkau bertemu dengan Kiong Hwa, diapun akan
mengajukan permintaan kepadamu. Apakah engkau mau
meluluskan ?" Saat itu pikiran Cu Jiang sudah kacau. Tanpa banyak
pertimbangan lagi dia terus berseru:
"Baik, dia dimana.. . ."
"Disini !" Sekalian orang mencurah pandang kepada Ang Nio Cu.
Tampak Ang Nio Cu dengan tangan gemetar mulai
menyingkap kain merah yang menutup wajahnya...
"Hai !" Serempak orang2 itu menjerit kaget, Cu Jiang terhuyung-
huyung mundur beberapa langkah. Serasa bumi yang
dipijaknya itu amblong. Langit ambruk, dunia berputar-putar keras sehingga
tubuhnyapun hendak terjungkal roboh.
Ang Nio Cu . . . ternyata juga Ho Kiong Hwa calon
mempelai Cu Jiang. Peristiwa itu benar2 diluar dugaan
orang. Ang Nio Cu sendiri yang berkeras menjadi comblang
untuk menjodohkan Cu Jiang dengan Ho Kiong Hwa.
Tetapi kemudian dia sendiri juga yang memutuskan tali
perjodohan itu. Kemudian dia juga berkeras untuk
melangsungkan perjodohan antara Cu Jiang dengan Cukat
Beng Cu. Tidakkah kesemuanya itu mengejutkan hati Cu Jiang
sehingga dia seperti disambar petir rasanya.
"Engkau . . . engkau . . . Kiong Hwa ..." Cu Jiang
menuding kearah Ang Nio Cu dan berseru tergagap-gagap.
Ang Nio Cu atau Ho Kiong Hwa tertawa rawan. Dua
butir airmata mengembang pada kedua matanya. Tetapi dia
sudah bersiap-siap dan dengan sekuat tenaga dapat
menahan segala gejolak perasaannya.
"Adik Jiang, bukankah tadi engkau sudah meluluskan,
begitu bertemu dengan aku, engkau harus menurut
perkataanku?" "Ya ... . aku memang berjanji begitu." kata Cu Jiang
setengah berbisik. "Jika begitu, kuminta engkau mau melangsungkan
perjodohan dengan adik Beng Cu!"
"Tidak! Tidak bisa, matipun aku tak dapat melakukan
hal itu!" teriak Cu Jiang.
Mendengar itu pucatlah wajah Cukat Beng Cu. Ia
mengerang pelahan lalu ayunkan tubuh melesat pergi.
"Hai. nona Cukat, hendak ke manakah engkau" " teriak
Poan toanio seraya lari mengejar.
Melihat itu Ho Kiong Hwa berseru tajam:
"Jika engkau tak mau meluluskan hal itu, jangan harap
engkau dapat bertemu dengan aku untuk selama-lamanya . .
." Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir itu Ho
Kiong Hwa atau Ang Nio Cupun sudah melayang beberapa
tombak dengan gerak yang mengejutkan sekali. Hanya
dalam beberapa loncatan saja, dia sudah berada di puncak
dan menghilang kedalam hutan.
"Aya, celaka nih. Yang satu ngacir, yang satu lari . . ."
teriak Thian-put-thou terus lari mengejar Ho Kiong Hwa.
Kini yang tinggal di tempat itu hanya Cu Jiang seorang.
Kaki tangannya serasa lunglai. Pikirannya kosong
melompong. Dia kehilangan diri. Beberapa waktu kemudian baru
terdengar mulutnya mengigau:
"Walaupun dunia ini teramat luas, aku tetap akan
mencarinya ..." Perlahan-lahan dia ayunkan langkah. Tak tahu ke mana
ia harus pergi. Ia membiarkan kakinya berjalan membawa
raganya. Ia rasakan saat itu amat letih. Sejak bertahun-tahun ia
selalu dikejar-kejar oleh peristiwa yang malang, menelan
berbagai penderitaan lahir dan batin, terjerat datam jaring2
asmara dan melakukan pertempuran2 maut.
Kini setelah semua peristiwa itu telah usai dia masih
harus menghadapi penyelesaian soal perjodohan yang
rumit. Ia dapat merasakan derita hati yang dialami Ang Nio Cu
alias Ho Kiong Hwa. Dia harus menghibur dan
menerimanya sebagai isteri yang tercinta.
"Dapatkah cinta itu dibagi?" teringat pula urusan
perjodohannya dengan Cukat Beng Cu.
"Tetapi Kiong Hwa begitu tulus ikhlas. Jika aku menolak
Beng Cu, Kiong Hwapun tak mau menjadi isteriku.
Memang aneh pendiriannya. Tetapi dia berhati mulia, ah..."
Cu Jiang menghela napas. 0-Tamat-0 Pendekar Pedang Akhirat 1 Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung Perawan Sumur Api 2
^