Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 29

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29


Witarsa menggeletakkan giginya Kemarahannya telah membuatnya kehilangan kendali. Dihentakkannya segenap tenaganya, tenaga dalamnya, kemampuannya dan seluruh ilmu yang telah disadapnya. Tetapi agaknya sia-sia saja. Serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu itu berani menangkis serangan-serangannya yang dilambati dengan ilmu puncaknya Sedangkan benturan-benturan yang terjadi sama sekali tidak menggoyahkannya tetapi Witarsa bukannya tidak bertenaga. Serangan-serangannya semakin mantap dan kuat. Tangannya yang bagaikan batu hitam serta kakinya yang menjadi seakan-akan gumpalan besi baja terayun-ayun mengerikan. Sambaran udara yang tergetar karena serangan Witarsa itu menerpa tubuh Agung Sedayu.
Jika saja bukan Agung Sedayu yang mempunyai ilmu kebal, serangan-serangan itu tentu sudah menggoyahkannya. Apalagi Agung Sedayu seakan-akan membiarkan serangan-serangan itu datang beruntun membentur pertahanannya
Witarsa mulai menjadi gelisah. Justru tangan dan kakinyalah yang mulai terasa sakit, benturan-benturan itu mulai menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan ilmu puncaknya yang tertahan oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu serasa terpental berbalik mengenai tubuhnya sendiri.
Semakin lama tenaga Witarsa menjadi semakin menyusut. Apalagi ketika getar jantungnya menjadi semakin cepat.
Dalam pada itu, Agung sedayu masih saja menggelitik Witarsa dengan serangan-serangannya. Ujung-ujung jari Agung Sedayu yang merapat, telah menyentuh lambung Witarsa. Tidak terlalu sakit. Tetapi Witarsa harus meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Ketika ibu jari Agung Sedayu menyentuh jakun Witarsa, maka nafasnya bagaikan terhenti. Sentuhan kecil saja. Tetapi Witarsa merasa lehernya bagaikan tercekik
Kegelisahan, kemarahan dan harga diri yang berlebihan telah membakar isi dada Witarsa. Itulah sebabnya maka serangan-serangannya telah datang bagaikan prahara Namun prahara itu terasa tidak lagi bertenaga Ketika prahara itu membentur batu karang yang tegak berdiri dengan akar-akarnya yang menghunjam bumi, maka justru prahara itu sendiri yang terpental surut
Witarsa terlempar beberapa langkah surut oleh getar balik serangannya sendiri. Tubuhnyapun kemudian terbanting jatuh ditanah. Nafasnya terengah-engah berkejaran di lubang hidungnya.
Witarsa merasa hampir kehabisan tenaga, sementara Agung Sedayu berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum beberapa langkah daripadanya.
Tiba-tiba darah Witarsa itu mendidih. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa seakan-akan ia sama sekali tidak berdaya Agung Sedayu tidak melawannya dalam perbandingan ilmu yang pantas, tetapi Agung Sedayu telah dengan sengaja mempermainkannya.
Karena itu, Witarsa tidak dapat menahan diri lagi. Demikian ia bangkit dengan sisa-sisa tenaganya maka Witarsa itupun telah mengurai cambuknya yang melilit lambung dibawah bajunya.
Agung Sedayu benar-benar terkejut melihatnya. Beberapa langkah ia bergeser mundur.
" Ki Lurah - geram Witarsa - ciri dari murid perguruan Orang Bercambuk adalah kemampuannya bermain cambuk . Sekarang kita akan melihat, apakah benar Ki Lurah juga memiliki kemampuan bermain cambuk sebagaimana seharusnya bagi murid perguruan Orang Bercambuk."
" Witarsa - berkata Agung Sedayu - jangan kehilangan akal. Harus kau sadari, bahwa permainanmu sangat berbahaya."
" Jika ilmumu memang setinggi ilmu guru, maka kau tidak perlu takut, Ki Lurah. Kau akan dapat mempertahankan dirimu. Kau dapat memperlakukan aku sebagaimana kau lakukan sekarang ini.
" Witarsa - berkata Agung Sedayu - cambuk adalah ciri dari perguruan Orang Bercambuk. Kita harus menghormatinya dan tidak mempergunakannya untuk satu permainan yang berbahaya seperti sekarang ini,"
" Bersiaplah, Ki Lurah. Aku tidak mempunyai waktu lagi. Karena itu kau jangan mengulur-ulur waktu. Mungkin kau mengira bahwa guru akan menyusulku dan mencegahku. Dengan demikian kau akan dapat diselamatkan."
" Apa yang akan kau lakukan ?"
" Aku tidak yakin akan ilmu cambukmu."
" Kau sudah gila, Witarsa Kau terlalu cepat mewarisi ilmu dari gurumu. Jiwamu yang masih belum matang telah kehilangan keseimbangan, sehingga kau merasa perlu menantang orang lain untuk memamerkan ilmumu itu."
" Cukup. Urai cambukmu. Kita akan mulai."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah mendekati Sekar Mirah sambil, berdesis - Berhati-hatilah Sekar Mirah. Jika perlu pergunakan tongkatmu. Aku akan mengejutkan orang ini. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya dan orang ini menjadi gila dengan menyerangmu, apa boleh buat."
Sekar Mirah mengangguk. Ia sadar bahwa Witarsa itu berilmu tinggi. Tetapi kematangan ilmu Sekar Mirah tentu masih akan mampu setidak-tidaknya mengimbanginya.
" Apa yang kau pesankan kepada isterimu" Apakah kau sudah mempunyai firasat bahwa kau akan mati?"
Agung Sedayu tidak menjawab; Namun ditrapkannya ilmu meringankan tubuhnya. ,
Bagaikan terbang Agung Sedayu meloncat dan hinggap pada dahan kayu yang patah dan menyilang jalan setapak itu.
Sejenak Witarsa menjadi bingung. Agung Sedayu bergerak begitu cepat. Namun kemudian terdengar suara Agung Sedayu - Aku disini Witarsa"
Jantung Witarsa menggelepar semakin keras didalam dadanya. Namun Witarsa itupun berteriak - Jangan lari, Ki Lurah."
" Kau benar-benar sudah menjadi gila Witarsa - berkata Agung Sedayu lantang.
Witarsa tidak menjawab. Namun diayunkannya cambuknya sendai pancing. Cambuk itu memang tidak meledak memekakkan telinga Namun dengan demikian Agung Sedayu mengerti bahwa ilmu cambuk murid Ki Widura itu sudah sampai pada tataran yang tinggi.
Tetapi tenaga Witarsa sudah jauh susut. Ia tidak lagi berada pada puncak kemampuan ilmu perguruan Orang Bercambuk.
Meskipun demikian, hentakkan cambuk Witarsa itu masih tetap berbahaya.
Tertatih-tatih Witarsa melangkah mendekati Agung Sedayu. Dengan sisa tenaga ia mengayun-ayunkan cambuknya siap untuk dihen-takkannya.
Agung Sedayu yang berdiri di atas dahan kayu yang menyilang itupun telah menggenggam cambuknya. Tangan kanannya memegang tangkai cambuknya sedangkan tangan kirinya memegang ujung juntai cambuknya ita
Ketika Witarsa menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayupun segera memutar cambuknya
Kedua orang murid Ki Widura yang lain menjadi tegang. Merekapun menganggap bahwa Witarsa sudah benar-benar kehilangan kendali.
Jika Agung Sedayu kemudian melayaninya, maka Witarsa tentu akan menjadi ndeg-pengamun-amun.
Ketika Witarsa menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itu melenting tinggi-tinggi dengan beralaskan ilmu meringankan tubuhnya. Berputar diudara dan sekaligus diayunkan cambuknya dengan dilambari ilmunya yang sangat tinggi.
Ujung cambuk Agung Sedayu itu telah mengenai dahan kayu yang lain pada pohon yang berdiri dipinggir jalan. Terdengar suaranya berderak keras sekali. Satu lagi dahan kayu yang besar pada pohon kayu yang tumbuh dipinggir jalan itu patah.,
Witarsa terkejut Bahkan selangkah ia bergeser surut. Dipandanginya dahan yang patah itu terkulai diatas semak-semak di pinggir jalan.
Tetapi Agung Sedayu belum berhenti. Sekali lagi ia melenting. Sekali lagi dahan yang lebih tinggipun patah pula menimpa dahan yang menyilang jalan.
Jantung ketiga orang murid Ki Widura itu bagaikan terlepas dari tangkainya. Mereka seakan-akan tidak dapat mempercayai penglihatnya. Ujung cambuk itu mampu mematahkan dahan kayu yang besar itu sehingga rontok dari pohonnya yang besar yang berdiri angkuh di pinggir jalan.
Tetapi Agung Sedayu masih belum puas. Sekali lagi ia melenting dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Berputar diudara dan hinggap di atas sebongkah batu hitam yang besar yang terletak tidak jauh dari pohon yang sudah kehilangan beberapa dahannya itu.
Sejenak Agung Sedayu berdiri di atas batu itu sambil menengadahkan wajahnya. Namun kemudian Agung Sedayu itupun meloncat dan berputar sekali diudara. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka cambuknyapun menggelepar.
Tidak ada bunyi yang menggelegar seperti guruh dilangit sebagaimana hentakkan cambuk Witarsa. Tetapi akibatnya adalah diluar jangkauan nalar mereka. Bukan saja beberapa dahan patah. Tetapi sebongkah batu hitam yang teronggok di dekat sebatang pohon kayu itu untuk waktu yang sudah bertahun-tahun sehingga ditumbuhi lumut dan sejenis jamur yang melekat pada batu itu sehingga warnanya hijau keputih-putihan, bagaikan meledak dan pecah berserakkan.
Ketika rentuhan percikan batu yang pecah itu sudah berjatuhan di-tanah, maka Agung Sedayupun berdiri tegak sambil memegangi cambuknya dengan kedua belah tangannya.
Witarsa dan kedua orang murid Ki Widura yang lain berdiri dengan tubuh gemetar. Mereka membayangkan, apa yang terjadi atas tubuh Witarsa seandainya ujung cambuk itu dihentakkan kearahnya. Tubuh itu tentu akan menjadi sayatan-sayatan lembut daging dan kulitnya serta ser-pihan-serpihan tulang-tulangnya yang berpatahan.
Sejenak Witarsa bertahan untuk tetap berdiri. Tetapi karena ketegangan, kelelahan serta kehabisan tenaga, maka tubuh Witarsa itupun jatuh berguling.
Kedua orang kawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka seakan-akan masih membeku. Mereka sama sekali tidak berani menggerakkan ujung jari kakinya sekalipun.
Sejenak suasanapun dicengkam oleh kesepian yang tegang. Baru sejenak kemudian terdengar suara Agung Sedayu. - Kenapa kalian berdua diam saja. Lihat apa yang terjadi dengan Witarsa."
Barulah keduanya menyadari, apa yang terjadi atas Witarsa. Karena itu, maka keduanyapun segera bangkit dan dengan tergesa-gesa mendekati Witarsa yang terbaring diam.
Kedua orang adik seperguruan Witarsa itu berjongkok disebelah menyebelah. Mereka meraba leher Witarsa. Ternyata Witarsa masih bernafas.
"Witarsa tidak mati - desis salah seorang dari keduanya. "Rawatlah, kau tahu caranya. Bukankah kau telah mendapat latihan untuk memberikan pertolongan kepada orang yang pingsan?" Kedua orang itu tidak menjawab.
Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukan Witarsa itu lagi. Iapun kemudian berjalan mendekati Sekar Mirah yang berdiri termangu-mangu.
Ketika Agung Sedayu sudah berdiri disampingnya, maka Sekar Mirah itupun bertanya - Kenapa dengan orang itu?"
" Mungkin ia menjadi kelelahan. Dalam ketegangan yang lemah ia terkejut dan dicengkam oleh ketegangan yang sangat, sehingga orang itu menjadi pingsan."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Orang itu tidak akan salah lagi menilai kemampuan kakang sebagaimana kakang Swandaru-"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun Sekar Mirah sambil tersenyum berkata selanjurnya - Kenapa kakang tidak langsung menarik kupingnya atau memutar hidungnya."
Agung Sedayu tersenyum pula. Katanya - Itu sudah cukup. Aku kira ia tidak akan merendahkan orang lain lagi."
"Kakang dapat mengatakannya jika ia sadar agar ia men jadi jera dan tidak melakukannya lagi kepada orang lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian, maka Witarsapun mulai menggeliat. Ketika ia mulai menyadari apa yang telah terjadi, maka iapun segera bangkit dan'dia sambil memandang berkeliling.
" Apakah aku masih hidup?"
"Ya - jawab salah seorang saudara perguruannya. "Ki Lurah tidak membunuhku?"
"Tidak" "Dimana Ki Lurah sekarang"-"
Kedua orang saudara seperguruannya itupun telah memandang ke arah Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdiri, sehingga Witarsapun ikut pula memandang ke arah itu.
Demikian ia melihat Agung Sedayu, maka Witarsapun itupun dengan serta-merta telah bangkit berdiri. Namun tubuhnya ternyata masih sangat lemah karena kehabisan tenaga. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa kedua orang saudara seperguruannya telah menahannya.
"Aku ingin menghadap Ki Lurah - desis Witarsa
Kedua orang saudara seperguruannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian keduanya telah memapah Witarsa mendekati Agung Sedayu yang masih saja berdiri di dekat Sekar Mirah. Namun cambuknya telah dililitkan kembali ke pinggangnya dibawah bajunya.
Ketika Agung Sedayu melihat Witarsa mendekatinya dengan dipapah oleh kedua orang saudara seperguruannya, ia menjadi termangu-mangu juga. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Witarsa yang masihTemah itu.
Namun, demikian Witarsa itu berhenti dua langkah dihadapannya, iapun segera menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Agung Sedayu.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah terkejut karenanya. Sementara itu Witarsapun berkata - Aku mohon ampun. Aku mohon ampun."
Agung Sedayu melangkah maju. Ditariknya Witarsa pada lengannya agar ia berdiri.
" Aku mohon ampun."
" Sudahlah - berkata Agung Sedayu - jadikan peristiwa ini sebagai satu pengalaman."
Witarsa tidak menjawab, sementara Agung Sedayu berkata selanjurnya - Kematangan ilmumu tidak sejalan dengan kematangan jiwamu. Kau merasa bahwa kau sudah menjadi seorang yang tidak terkalahkan, sehingga kau merasa perlu untuk'memamerkan kelebihanmu kepada orang lain. Kau sengaja mencari lawan untuk membuktikan bahwa ilmumu tidak ada bandingnya. Disamping itu kaupun agakr.ya sering merendahkan orang lain."
Witarsa itu kembali menjatuhkan dirinya pada lututnya sehingga Agung Sedayupun menariknya lagi agar ia berdiri.
" Aku mohon ampun - katanya berulang-ulang - aku tidak akan berbuat sebodoh itu lagi."
" Kau harus selalu ingat, bahwa tidak ada orang yang memiliki ilmu sempurna. Semua orang tentu mempunyai kelemahannya. Yang berilmu tinggi masih ada yang lebih tinggi. Yang ilmunya tidak tertandingi akhirnya akan terkalahkan juga."
Witarsa mengangguk-angguk. Dengan nada dalam iapun berdesis.
" Ya,Ki Lurah."
"Nah kembalilah ke padepokanmu. Pengalaman ini sangat berharga bagimu."
Witarsapun kemudian minta diri. Demikian pula kedua orang saudara seperguruannya.
Ketiganyapun menuntun kudanya, melintas diantara semak-semak karena jalannya tertutup oleh dahan kayu yang menyilang.
Untunglah bahwa jalan itu bukan jalan yang sering dilewati orang kecuali mereka yang akan mencari kayu bakar di hutan. Demikian ketiga orang itu pergi, maka Sekar Mirahpun bertanya -Bagaimana dengan dahan kayu yang menyilang jalan itu kakang?"
" Besok akan ada pencari kayu yang merasa beruntung mendapatkan dahan yang patah itu."
"Tetapi mereka akan merasa keheranan, bahwa tanpa hujan tanpa angin, dahan-dahan itu berpatahan."
"Biarlah menjadi teka-teki bagi mereka."
"Sekarang kita juga akan menyibak semak-semak itu?"
" Kuda-kuda kita masih belum dapat terbang - jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa pula
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah meninggalkan tempat itu pula. Seperti ketiga orang murid Ki Widura, mereka pun harus menyibakkan gerumbul-gerumbul perdu di sebelah jalan sempit itu, karena jalannya justru telah tertutup oleh dahan yang patah.
Beberapa saat kemudian, keduanya pun telah melarikan kuda mereka ke Sangkal Putung. Goresan-goresan kecil karena ranting-ranting batang perdu serta tumbuh-tumbuhan berduri membuat garis-garis putih kemerah-merahan di kulit Sekar Mirah dan Agung Sedayu.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke jalan yang lebih besar. Orang-orang yang tadi berhenti melihatnya bertengkar dengan para murid Ki Widura sudah tidak ada lagi. Agaknya mereka pun telah pergi demikian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi ke arah hutan.
"Witarsa itu memang sudah kehilangan keseimbangan"berkata Agung Sedayu.
" Ia ingin meyakinkan ilmunya. Tetapi ia salah mencari lawan. Sehingga akhirnya, ia harus menyesal. "
" Seharusnya ia tidak mencari lawan siapa pun juga "
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Seharusnya memang demikian. "
Beberapa saat keduanya berkuda di jalan yang langsung menuju ke Sangkal Putung itu. Pohon randu alas dan genderuwo bermata satu telah lewat tanpa mereka sadari. Justru baru kemudian Sekar Mirah bertanya " Di mana genderuwo bermata satu itu" Agung Sedayu tersenyum Katanya"Sudah lewat Aku pun lupa mengangguk hormat. "
Sekar Mirah tertawa. Di luar sadarnya kudanya berlari semakin kencang.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah sampai di Sangkal Putung. Mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi duduk di serambi, demikian mereka memasuki regol halaman.
Sekar Mirah sempat menggamit Agung Sedayu sambil berdesis " Sokurlah. Nampaknya angin pusaran itu sudah berlalu. "
Agung Sedayu pun tertawa pula. Namun mereka justru berjalan ke arah yang lain untuk mengikat kuda-kuda mereka.
Pandan Wangilah yang kemudian berdiri sambil turun ke halaman.
Dengan nada ringan ia pun bertanya " Nampaknya perjalanan kalian menyenangkan. "
"Ya"jawab Sekar Mirah " cukup menyenangkan. " Swandaru yang kemudian juga turun ke halaman pun bertanya "
Apakah kalian bermalam di padepokan " "
"Ya. Nyaman sekali berada di padepokan kecil itu. "
"Marilah. Naiklah"Pandan Wangi mempersilahkan.
"Kami akan pergi ke pakiwan dahulu"desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Ia melihat pakaian Agung Sedayu yang kusut dan kotor. Bahkan basah oleh keringat Tetapi ia tidak bertanya apa-apa.
Keduanya pun kemudian telah pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki, tangan, dan wajah mereka yang basah oleh keringat dan kotor karena debu. Kemudian keduanyapun masuk ke dalam bilik mereka untuk " berganti pakaian.
Baru kemudian, mereka duduk di pringgitan bersama Ki Demang yang mendengar keduanya telah datang.
" Perjalanan yang tidak terlalu panjang. Tetapi panas matahari membuat keringat kami bagaikan terperas. Sementara itu debu yang berhamburan telah melekat di pakaian dan wajah kami yang basah -
Ki Demang pun tertawa. Sementara Swandaru "yang ikut duduk di pringgitan itu pula telah bertanya tentang padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Orang Bercambuk, yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura.
"Keadaannya menjadi semakin baik"jawab Agung Sedayu " tanah garapannya pun menjadi semakin memadai pula. Peternakan menjadi bagian terpenting dari padepokan itu di samping tanah garapan. "
" Sokurlah " Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian"Tetapi bagaimana dengan tataran ilmu para cantriknya "
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab " Cukup baik. Mereka berusaha dengan bersungguh-sungguh. "
" Tetapi seberapa jauh yang dapat mereka sadap dari padepokan itu " Ki Widura sendiri agaknya masih berada pada tataran yang belum cukup tinggi. Lalu bagaimana dengan murid-muridnya "
Paman Widura sudah berusaha sebaik-baiknya.
" Ya. Tentu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak dari kemampuan yang dimilikinya. "
" Ya " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian " Untunglah bahwa paman Widura mempunyai banyak kesempatan untuk meningkatkan ilmunya, sehingga cukup memadai. Dengan demikian murid-muridnya pun mendapat landasan ilmu yang cukup pula "
Swandaru mengangguk-angguk kecil. Katanya " Tetapi sebagai sebuah padepokan peninggalan Orang Bercambuk, apa yang ada sekarang tentu jauh dari memadai. "
" Kita tidak mempunyai pilihan. Aku dan kau tidak akan dapat berada di padepokan itu. "
Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya " Itulah kelemahan kita Tetapi rasa-rasanya pada suatu saat aku ingin melihat seberapa jauh tingkat kemampuan Ki Widura "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Bahkan terasa jantungnya menjadi berdebar-debar. Seandainya sikap Witarsa itu ditujukan kepada Swandaru, mungkin akibatnya akan menjadi parah.
Tetapi Agung Sedayu berharap, seandainya Swandaru pergi ke padepokan, para murid Ki Widura tidak ada lagi yang bersikap seperti Witarsa.
Namun yang dicemaskan oleh Agung Sedayu adalah justru sikap Swandaru terhadap Ki Widura. Agaknya Swandaru masih belum menyadari bahwa kemampuan Ki Widura sudah jauh meningkat dalam umurnya yang semakin tua. Agaknya Swandarumengira bahwa mereka yang seumur Ki Widura tidak akan mampu lagi meningkatkan ilmunya.
"Ilmu paman Widura sekarang, tidak berada di bawah tingkat kemampuan Swandaru"berkata Agung Sedayu diliatinya. Tetapi Agung Sedayu ternyata tidak berani mengatakan kenyataan itu. Jika" ia mengatakannya, maka Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa Swandaru akan pergi menemui Ki Widura dipadepokan kecil itu untuk membuktikannya.
Karena itu, yang kemudian diceriterakan oleh Agung Sedayu lebih banyak tentang perkembangan padepokan itu dibidang-bidang yang lain. Perluasan padepokannya, tanah garapannya serta keaneka-ragaman ke-trampilan yang diberikan kepada para cantrik. Mulai dari kemampuan bertani, berternak, memelihara ikan di belumbang serta di air yang bergerak, kerajinan tangan termasuk pandebesi dan berbagai ketrampilan yang lain.
Ternyata Swandaru merasa senang pula mendengarnya. Iapun membayangkan padepokan di Jati Anom itu sebuah padepokan yang bersuasana sejuk, tenang dan damai. Namun yang didalamnya di tempa beberapa orang cantrik untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan.
" Pada suatu hari aku akan pergi ke padepokan itu " berkata Swandaru.
" Paman Widura sangat mengharapkannya " sahut Agung Sedayu.
"Lain kali aku akan menyisihkan waktu untuk pergi ke padepokan itu."
" jika kau ingin pergi, kakang " berkata Sekar Mirah " mumpung kami masih ada disini. Besok kita dapat pergi sebentar ke Jati Anom bersama mbokayu Pandan Wangi.
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng sambil berkata"Tidak besok pagi, Mirah. Kapan-kapan saja aku akan pergi ke padepokan itu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu mengerti, bahwa sebenarnya Sekar Mirah juga merasa cemas jika Swandaru pergi ke padepokan itu tanpa Agung Sedayu.
Tetapi sudah tentu bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat memaksa kakaknya untuk pergi ke padepokan bersama Agung Sedayu.
Pembicaraan masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian terhenti karena Ki-Demang dan Swandaru akan pergi ke padukuhan sebelah untuk memenuhi undangan Ki Bekel.
Dalam pada itu, menurut penilikan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Swandaru benar-benar telah berubah. Agaknya ia mulai bergairah lagi memikirkan kademangannya setelah untuk beberapa lama tenggelam dalam sebuah mimpi yang sangat buruk.
Ketika hal itu dikatakan oleh Sekar Mirah kepada Pandan Wangi, maka nampaknya Pandan Wangipun sependapat.
" Mudah-mudahan penyakit seperti ia tidak akan kambuh lagi. Akibatnya ternyata menjadi sangat buruk bagi kademangan ini. "
" Bukan saja bagi kademangan ini, mbokayu. Tetapi juga bagi kakang Swandaru sendiri. "
" Kau benar, Mirah. Tetapi akupun tidak dapat mengabaikan pesan ayah di Tanah Perdikan Menoreh, bahwa jika kakang Swandaru terlepas dari kendali keluarga, sebagian adalah karena salahku. Mungkin aku tidak dapat mengikat perhatiannya sepenuhnya. "
Sekar Mirah menepuk bahu Pandan Wangi sambil berdesis"Jangan menyalahkan diri sendiri. Tetapi pesan itu mungkin berguna bagi mbokayu.
" Ayah akan selalu menyalahkan aku. Agaknya ini merupakan ungkapan kekecewaan ayah terhadap ibu yang ditekannya dalam-dalam "di dasar jantungnya"
" Sudahlah"berkata Sekar Mirah kemudian"agaknya segala sesuatunya sudah menjadi baik. Tetapi jika perlu, mbokayu dapat memberitahu kami di Tanah Perdikan Menoreh. Mbokayu tidak usah pergi sendiri. Mbokayu dapat mengirimkan utusan, orang-orang yang dapat dipercaya
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Terima-kasih atas perhatianmu terhadap keluargaku. "
" Kakang Swandaru adalah kakakku. Jika terjadi apa-apa dengan kakang Swandaru, aku juga akan menyesalinya. "
Pandan Wangi memandang Sekar Mirah dengan tajamnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata " Setiap kali aku hanya dapat mengucapkan terima kasih saja, Sekar Mirah. "
Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah merasa keberadaan mereka di Sangkal Putung telah cukup lama. Karena Agung Sedayu mempunyai tanggung-jawab bagi pasukannya, maka ia tidak dapat berlama-lama di Sangkal Putung. Setelah keadaan terasa membaik, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun berniat untuk kembali ke Tanah Perdikan.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Demang setelah mereka makan malam, maka Ki Demang pun berdesis " Demikian tergesa-gesa?"
Dengan nada berat Agung Sedayu menyahut " Aku sudah terlalu lama meninggalkan tugasku, Ki Demang."
" Baiklah, ngger Aku mengucapkan terima-kasih atas kesediaan angger datang ke Sangkal Putung."
"Sekar Mirah sudah lama tidak melihat kampung halamannya" jawab Agung Sedayu.
Sementara itu Swandaru yang ikut makan bersama merekapun berkata"Aku mengucapkan terima kasih, kakang. Juga kepada Sekar Mirah. Dengan cara kalian, kalian telah membangunkan aku dan melepaskan aku dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Aku akan selalu mengingat apa yang telah terjadi."
Mendengar pengakuan Swandaru, di luar sadarnya mata Pandan Wangipun menjadi basah. Tangannyalah yang kemudian sibuk mengusap matanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa."Anaknya yang duduk dipangkuannya memperhatikan mata ibunya. Tetapi anak itupun diam saja."
Keluarga di Sangkal Putung tidak dapat menahan lebih lama lagi kehadiran Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Seperti yang mereka katakan, di keesokan harinya, merekapun meninggalkan kademangan Sangkal Putung yang nampaknya mulai menjadi cena kembali.
Dalam pada itu, ternyata keberangkatan Agung Sedayu dan Sekar Mirah dari Sangkal Putung telah terlihat oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang memang bertugas untuk mengawasi mereka. Ki Saba Lintang telah menempatkan seuap hari sejak fajar, dua orang untuk mengawasi mulut jalan yang membelah padukuhan induk. Menurut perhitungan Ki Saba Lintang, jika Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, mereka tentu akan melalui jalan itu.
Tetapi seperti yang sudah dikatakannya, Ki Saba Lintang tidak akan berbuat sesuatu atas Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Jika Ki Saba Lintang ingin melenyapkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah mereka memerlukan beberapa orang berilmu tinggi. Namun langkah itu tidak akan menguntungkannya. Kematian Agung Sedayu dan Sekar Mirah bukan akhir dari segala-galanya. Tanah Perdikan akan menjadi semakin bersiap. Para prajurit dari Pasukan Khusus tentu juga akan mendendam. Sementara itu, Untara akan dapat kehilangan kendali. Sedangkan Swandaru tentu akan luput dari tangan mereka, karena Swandarupun akan terbakar hatinya pula.
Mataram yang marah akan mengerahkan segala usaha untuk menghancurkannya sampai lumat
Namun, ternyata tidak semua pengikut Ki Saba Lintang berpendapat seperti itu. Beberapa orang berniat melenyapkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan meninggalkan jejak yang menyesatkan. Mereka akan membunuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan jejak sekelompok perampok yang merampok semua bawaan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Pakaian, perhiasan dan senjata yang mereka bawa. Terutama tongkat baja Putih milik Sekar Mirah.
" Ki Saba Lintang terlalu banyak dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan yang tidak masuk akal, sehingga kesempatan yang baik ini akan terlepas begitu saja " berkata seorang yang bertubuh tinggi besar, wajahnya sebagian tertutup oleh berewoknya yang lebat.
" Bukan karena pertimbangan-pertimbangan yang tidak masuk akal. Tetapi Ki Saba Lintang mempunyai perhitungan yang justru berwawasan luas."sahut kawannya yang bertubuh gemuk.
"Omong kosong " bentak orang berewok itu " bukankah kita sudah mengenal Ki Saba Lintang sejak lama " Apa yang sudah dilakukannya sampai saat ini ?"
"Ki Saba Lintang telah menyerang Tanah Perdikan Menoreh."
" Yang dilakukannya tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian. Apa hasilnya ?"
" Ki Saba Lintang menyerang Tanah Perdikan Menoreh dengan kekuatan yang besar sekali. Aku hampir tidak percaya bahwa Ki Saba Lintang berhasil mengumpulkan kekuatan sebesar itu."
"Jika demikian kenapa ia gagal ?"
" Kau tidak ada pada waktu itu. Karena itu, kau dapat berkata seperti itu. Tetapi jika kau melihat sendiri apa yang telah terjadi, maka kau akan mengakui bahwa pengaruh Ki Saba Lintang cukup besar.
" Bukankah itu semuanya omong-kosong " Buktinya Ki Saba Lintang tidak berhasil menguasai Tanah Perdikan Menoreh."
"Ternyata pertahanan Tanah Perdikan Menoreh sangat kuat. Para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mengerahkan kekuatan yang ada. Bahkan ternyata kemudian ada pasukan dari luar Tanah Perdikan yang membantu pertahanan Tanah Perdikan."
"Apapun alasannya, tetapi Ki Saba Lintang telah gagal. Yang didapatnya adalah perempuan itu. Adiknya yang lepas dari tangannya, maka ia telah mendapatkan kakak perempuannya."
"Nyi Yatni maksudmu ?"
"Ya. Hanya itulah yang didapatkannya."
" Sayang kau tidak melihat sendiri. Kenapa waktu itu kau tidak ada diantara pasukan Ki Saba Lintang ?"
" Aku masih berada di di Timur. Aku datang terlambat Seandainya waktu itu aku ada Agung Sedayu barangkali sudah mati. Karena itu, aku sekarang akan membunuhnya. Aku tidak sedungu yang diduga oleh Ki Saba Lintang. Aku akan meninggalkan jejak perampokan, sehingga Agung Sedayu seakan-akan mati dirampok orang."
Kawannya menarik nafas panjang Dengan nada berat iapun berkata " Jika kau ingin mengambil tindakan atas Ki Lurah Agung Sedayu dan isterinya, sebaiknya kau berbicara dahulu dengan Ki Saba Lintang."
" Sementara itu mereka telah sampai di Tanah Perdikan Menoreh."
"Maksudmu?" " Aku akan menyusul mereka. Agaknya mereka tidak tergesa-gesa, sehingga mereka tidak memacu kuda mereka. Aku akan temui mereka di Kali Opak. Aku akan merampok mereka."
" Pikirkan masak-masak."
Orang berewok yang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya"Aku sudah memikirkan masak-masak"
"Terserahlah kepadamu."
Orang yang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya"Kau tidak usah menjadi pusing memikirkan langkah yang aku ambil ini. Aku akan mempertanggung-jawabkannya."
"Jika Ki Saba Lintang marah ?"
Orang bertubuh unggi besar itu tertawa. Katanya"Kau mengenal aku dengan baik. Kaupun mengenal Saba Lintang. Katakan, jika Saba Lintang marah, apa yang akan dilakukannya"
Kawannya itu termangu-mangu sejenak.
Orang yang bertubuh raksasa dengan berewoknya yang lebat serta rambutnya yang bergerai panjang dan berombak berjuntai dari'balik ikat kepalanya itupun berkata " Mumpung Agung Sedayu belum terlalu jajih. Aku akan mengambil jalan pintas dan menunggunya di pinggir Kali Opak."
"Kau akan terlambat."
Orang itu tertawa. Katanya"Tidak. Aku mengenal jalan yang terdekat lewat kaki Gunung Merapi."
Sejenak kemudian, orang bertubuh raksasa itu sudah berpacu diatas punggung kudanya Namun ia tidak sendiri. Lima orang saudara sepergu-' ruannya ikut bersamanya.
Berenam mereka berpacu di jalan pintas. Mereka mulai mengikuti jalan setapak yang menerobos padang perdu dan bahkan menyusuri tepi hutan di kaki Gunung Merapi.
Kawannya yang bertubuh gemux, yang ditinggalkan di Sangkal Putung hanya dapat menarik nafas panjang. Namun iapun segera mencari hubungan dengan kepercayaan Ki Saba Lintang untuk memberikan laporan tentang orang bertubuh raksasa yang memburu Agung Sedayu itu. "Kebo Remeng ?" bertanya kepercayaan Ki Saba Lintang.
"Ya." " Orang itu memang gila. Ki Saba Lintang mengakui bahwa ilmunya memang tinggi. Tetapi ia menurut kehendaknya sendiri saja tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang berkaitan."
" Orang itu sudah berangkat untuk mencegat Agung Sedayu. Ia dan lima orang saudara seperguruannya mengambil jalan pintas dan akan menunggu Agung Sedayu dan Sekar Mirah di Kali Opak."
" Mudah-mudahan-ia terlambat"
" Menurut perhitungannya, ia akan dapat mendahului Agung Sedayu dan Sekar Mirah."
Kepercayaan Ki Saba Lintang itu mengerutkan dahinya, sementara orang yang bertubuh agak gemuk itu berkata " Kebo Remeng akan meninggalkan jejak perampokan. Jika ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, kesannya adalah keduanya mati dibunuh oleh perampok atau penyamun."
Kepercayaan Ki Saba Lintang itu tersenyum, Katanya"Siapapun yang melakukan, kematian Agung Sedayu akan mengguncang Mataram."
Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya"Aku sudah mencoba mencegahnya."
"Baiklah. Aku akan'menemui Ki Saba Lintang. Mudah-mudahan ia masih berada di tempatnya"
"Apakah ia akan pergi?"
"Ya. Aku mendengar rencananya untuk pergi ke sebelah Gunung Kendeng."
"Kau harus cepat-cepat mencarinya. Jika Kebo Remeng berhasil mendahului Agung Sedayu, maka gejolak itu akan terjadi hari ini. Jika Ki Saba Lintang sudah terlanjur berangkat kita harus berusaha menyusulnya dan melaporkan apa yang dilakukan oleh Kebo Remeng."
Kepercayaan Ki Saba Lintang itu mengangguk-angguk. Namun katanya"Aku akan memerintahkan dua orang untuk melihat apa yang terjadi di Kali Opak. Jika Ki Saba Lintang sudah pergi, aku justru akan menunggu laporan dari kedua orang yang pergi ke Kali Opak itu."
Orang yang bertubuh gemuk itupun kemudian berkata " Biarlah aku yang pergi ke Kali Opak. Aku akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Kebo Remeng."
" Berenam dengan suadara-saudara seperguruannya. Kebo Remeng memang berbahaya bagi Agung Sedayu."
" Ya. Kebo Remeng juga bukan orang kebanyakan."
" Pergilah. Bawa seorang kawan, agar kau mempunyai kawan berbincang. Mungkin kau harus mengambil sikap. Jika kau mempunyai seorang kawan, maka kau dapat membuat pertimbangan-pertimbangan bersama."
Orang yang bertubuh gemuk itu mengangguk. Katanya" Aku akan pergi berdua ke Kali Opak di sebelah Barat Prambanan. Agaknya jalan itulah yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu. Jika Kebo Remeng menunggu di tempat lain, mereka tentu tidak akan berhasil mencegat Agung Sedayu dan istrinya. Pergilah. Tetapi apakah kau masih sempat melihat apa yang terjadi atau tidak."
" Aku akan menempuh jalan pintas sebagaimana Kebo Remeng."
Orang bertubuh gemuk itu pun segera menemui seorang kawannya untuk diajak menyusul Kebo Remeng. "Kita lihat, apa yang terjadi."
"Perjalanan sia-sia"berkata kawannya.
"Kenapa?" "Kita hanya akan menemukan mayat Agung Sedayu dan istrinya yang terkapar di tepian."
" Kau yakin ?" " Kebo Remeng adalah seorang yang berilmu tinggi. Kebo Remeng sendiri akan dapat membunuh Agung Sedayu. .Apalagi mereka berenam."
" Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang pilih tanding."
" Siapapun orangnya. Bahkan Panembahan Senapati sendiri tidak akan mampu melawan Kebo Remeng bersama saudara-saudara seperguruannya itu."
"Tetapi kita harus membuktikan, apakah Kebo Remeng benar-benar bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Jika mereka menunggu di tempat yang salah, sampai sebulan pun mereka tidak akan melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah lewat. Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Marilah. Kita lihat apa yang terjadi."
Keduanya pun segera mempersiapkan kuda mereka dan berpacu menyusul Kebo Remeng dan kelima orang saudara seperguruannya
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyusuri jalan yang memang terbiasa mereka lewati. Jalan yang terhitung banyak dilalui orang.
Namun di sepanjang jalan wajah Sekar Mirah tidak nampak ceria Bahkan sekali-sekali Sekar Mirah itu mengusap matanya.
"Sudahlah Mirah"desis Agung Sedayu"kau jangan terlalu memikirkannya. Kita mohon kepada Yang Maha Pencipta, agar kita dikaruniai keturunan. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada kepu-tusan Yang Maha Agung itu. Mungkin kita memang tidak pantas untuk mendapatkan seorang anak. Mungkin karena alasan-alasan lain di luar jangkauan nalar kita, sehingga kita tidak mendapatkan seorang anak. Tetapi bukankah kita tidak berputus-asa " Kita akan berusaha sambil . memohon Kita akan mencoba beberapa jenis obat-obatan yang mungkin akan dapat membantu."
' "Kakang"desis Sekar Mirah. Di luar sadarnya kudanya berlari semakin lamban"sebaiknya kakang menikah lagi."
"He " " Agung Sedayu terkejut, sehingga di luar sadarnya tangannya menarik kendali kudanya
Keduanya pun berhenti. "Selagi masih ada kesempatan kakang. Kakang masih mungkin mendapatkan seorang anak dari istri kakang itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Mirah. Pernikahan bukan permainan untung rugi. Jika kita dikaruniai anak, kita merasa untung. Jika tidak, kita menjadi rugi. Tidak, Mirah. Kita harus mengingat kembali, kenapa kita telah menikah. Pernikahan adalah satu ikatan. Akibat dari ikatan itu harus kita tanggung bersama. Kita harus menerima kenyataan itu. Salah seorang dari kita tidak akan lari."
"Tetapi aku iklas, kakang. Kakang tentu tidak ingin nama kakang terputus sampai sekian. Jika kakang mempunyai anak seperti kakang Swandaru dan seperti kakang Untara, maka nama kakang akan ada yang melanjutkannya. Ada sesuatu yang dapat kakang akan bagi masa depan."
"Jangan berpikir seperti itu, Sekar Mirah. Apa pun yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung atas diri kita, tentulah yang terbaik bagi kita. Karena itu, kita harus menerimanya dengan sabar dan iklhas."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat turun dari kudanya Sehingga dengan demikian, Agung Sedayu pun telah turun pula
" Kakang " desis Sekar Mirah yang berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit dan memandang bentangan sawah yang luas membelakangi jalan"duniaku akan menjadi sangat sempit."
"Jangan hiraukan itu Mirah. Kita harus mensyukuri apa yang dikaruniakan kepada kita"
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Namun Agung Sedayu tidak tergesa-gesa mendesak Sekar Mirah untuk segera melanjutkan perjalanan. Ketika Sekar Mirah duduk di atas tanggul parit, Agung Sedayu pun duduk pula
Beberapa orang yang lewat sempal memperhatikan keduanya. Meskipun Sekar Mirah berpakaian khusus, namun orang-orang dapat mengenalinya sebagai seorang perempuan, sehingga mereka mengira dua orang anak muda yang sedang meningkat dewasa sedang duduk menikmati keberduaan mereka.
Beberapa lama keduanya duduk di tanggul parit. Namun hampir di luar sadarnya Agung Sedayu bangkit dan berpaling ketika ia mendengar derap kuda berlari kencang.
Dari kejauhan Agung Sedayu melihat seorang penunggang kuda melarikan kudanya Debu yang kelabu mengepul dibelakang kaki kudanya itu. Sementara itu kudanya berderap dengan cepat, semakin lama semakin dekat
Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu dapat segera mengenalinya sementara orang itupun telah melihat pula Agung Sedayu yang berdiri di atas tanggul pinggir jalan.
Karena itu, maka orang itupun segera menarik kendali kudanya sehingga kudanyapun berhenti tepat dimuka Agung Sedayu. Sabungsari " desis Agung Sedayu.
Sekar Mirah yang mendengar sapa Agung Sedayu itupun telah bangkit berdiri pula
" Ki Lurah Agung Sedayu"Sabungsaripun segera meloncat turun "kenapa Ki Lurah berhenti di sini ?"
" Memberi kesempatan kuda kami beristirahat"jawab Agung Sedayu"
"Bukankah Ki Lurah dari Sangkal Putung ?"
"Ya."

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Apakah kuda Ki Lurah sudah letih ?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya"Agaknya lapak kaki kudaku kurang mapan."
" O " Sabungsari mengangguk-angguk. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Sekar Mirah yang telah mengusap matanya, mencoba untuk tersenyum. Katanya " Kau baru sekarang meninggalkan Mataram?"
Sabungsari tersenyum. Namun wajahnya justru menunduk. Katanya " Ya Nyi Lurah."
" Nampaknya kau kerasan di Mataram, he ?"
"Ah. Sebenarnya aku tidak akan tinggal selama, ini."
" Apa salahnya "
"Tiba-tiba saja aku merasa diriku .menjadi kanak-kanak" Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa. Dengan nada tinggi Agung Sedayu bertanya " Kenapa kau merasa dirimu menjadi kanak-kanak?"
" Ternyata aku sangat dimanjakan. Bahkan kemudian aku telah diajak untuk menemui saudara-suadara yang tinggal di kota dan sekitarnya Diperkenalkannya aku dengan mereka semuanya. Rasa-rasanya aku malu kepada diriku sendiri."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah'tertawa berkepanjangan. Di sela-sela tertawanya Agung Sedayu berkata " Itulah agaknya kau kerasan tinggal di Mataram, sehingga kau hampir lupa bahwa kau harus kembali ke barakmu."
" Rasa-rasanya aku memang menjadi malas kembali ke barak. Aku memang lebih senang tinggal di Mataram daripada di barak prajurit yang gersang itu."
Merekapun tertawa semakin keras.
Namun kemudian, Sabungsaripun berkata " Tetapi ada sesuatu yang aku sampaikan kepada Ki Lurah. Itulah agaknya yang membuat aku memacu kudaku. Aku ingin segera menemui Lurah di perjalanan
"Kau tahu kalau kami pulang hari ini ?"
" Tidak Baru tadi, di Prambanan aku memastikan bahwa Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang hari ini."
" Ada yang memberitahukan kepadamu ?"
" Dengan tidak langsung."
" Siapa?" " Aku belum mengenalnya. Ketika aku berhenti untuk memberi makan dan minum kudaku serta memberi kesempatan untuk beristirahat, aku mendengar seorang yang bertubuh tinggi besar berkata"Kita tunggu disini Agung Sedayu dan isterinya. Kali ini mereka tidak akan luput dari tangan kita."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya"Kenapa mereka menunggu kami ?"
" Aku menduga mereka mempunyai maksud yang kurang baik."
" Berapa orang yang menunggu kami di Prambanan itu ?"
"Sekitar lima atau enam orang. Aku tidak tahu pasti."
" Apa pula maksud mereka ?" desis Agung Sedayu
" Ki Lurah " berkata Sabungsari " nampaknya mereka sangat berbahaya bagi Ki Lurah. Karena itu, jika Ki Lurah tidak berkeberatan, biarlah aku akan kembali sampai di Prambanan menyertai Ki Lurah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya"Siapa pula mereka itu. Mungkin mereka sanak-kadang orang-orang Bendagantungan yang mendendam."
" Siapapun mereka, tetapi nampaknya mereka sangat berbahaya. Karena itu, Ki Lurah hendaknya berhati-hati. Sementara itu, aku akan menyertai Ki Lurah."
Ki Lurah merasa tidak pantas untuk menolak maksud baik Sabungsari. Karena itu, maka iapun berkata " Terimakasih. Tetapi apakah kau tidak justru hilir mudik"
"Bukankah Prambanan tidak terlalu jauh ?"
Agung Sedayupun kemudian berpaling kepada Sekar Mirah sambil berkata"Marilah, Mirah. Agaknya ada sesuatu yang harus kita lakukan dijalan."
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Di tariknya tongkat baja putihnya yang terselip di pelana kudanya, dan diselipkan diikat pinggangnya diarah punggung.
"Marilah"berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak akan menghindar lewat jalan lain.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu berdesis"Kenapa masih saja ada orang yang mencari persoalan. "
" Tentu bukannya tidak ada sebabnya"sahut Sabungsari
" Ya. Apapun sebabnya. "
Sejenak kemudian ketiganyapun telah berada di punggung kudanya. Sabungsari telah mempersilahkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah berkuda di depan, sementara itu, ia mengikutinya saja dari belakang. Tetapi justru karena ia berada di belakang, maka Sabungsari itupun harus berhati-hati.
Beberapa saat kemudian, ketiganyapun telah melarikan kuda mereka. Mereka menyusuri jalan yang termasuk banyak dilalui orang yang bahkan mereka yang menempuh perjalanan jauh.
Karena itu, selain orang yang berjalan kaki, beberapa orang penunggang kudapun lewat. Sedangkan beberapa buah pedati merayap beriringan.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang berjalan didepan mengamati sebelah menyebelah jalan yang akan mereka lalui. Menurut Sabungsari, beberapa orang telah menunggunya. Karena itu, maka orang-orang itu dapat saja menyergapnya dengan tiba-tiba.
Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak melihat beberapa orang yang menunggunya di pinggir jalan. Bahkan ketika mereka sampai di Prambanan, mereka tidak menjumpai sekelompok orang yang menunggu mereka.
" Mudah-mudahan mereka mengurungkan niatnya " desis Agung Sedayu.
"Nampaknya mereka bersungguh-sungguh"desis Sabungsari.
Agung Sedayu tidak menjawab. Beberapa puluh langkah lagi, mereka akan meninggalkan Prambanan.
Namun, demikian mereka melewati sebuah kedai yang terhitung besar, maka tiba-tiba saja beberapa orang di dalam kedai itu telah bangkit berdiri Seorang yang duduk di depan kedai itu berteriak
"Itu mereka " . Sejenak kemudian, maka enam orang serentak berlari ke kuda-kuda mereka yang terikat di sebelah kedai itu. Ketika pemilik kedai itu berteriak minta uang pembayaran makanan dan minuman mereka yang terdengar justru ancaman"Aku bunuh kau jika kau berteriak sekali lagi.
Sejenak kemudian, enam orang penunggang kuda itu telah memacu kudanya menyusul Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
" Siapakah yang berada di belakang mereka" "
" Mungkin seorang penunggang kuda yang kebetulan berada di belakang Ki Lurah. Mereka hanya berkuda searah. "
Mereka tidak berbicara lagi. Kuda mereka berlari semakin kencang, sehingga semakin lama menjadi semakin dekat dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Derap kaki kuda-kuda itupun segera didengar oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat sekelompok orang berkuda mengejar mereka bertiga
" Mereka itulah yang aku katakan " berkata Sabungsari yang berkuda 'di belakang Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Kepada Sekar Mirah iapun berdesis " Berhati-hatilah Mirah. Nampaknya mereka orang-orang yang sangat garang. "
Sekar Mirah mengangguk kecil.
Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun merapat ketika tiga diantara enam orang yang menyusulnya itu mendahului mereka. Namun keduanyapun bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Ketiga orang yang mendahului itupun kemudian memberikan isyarat, agar Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu berhenti.
Tetapi yang berhenti bukan hanya Agung Sedayu dan Sekar Mirah, tetapi juga Sabungsari.
Demikian ketiga orang itu berhenti, maka enam orang yang menyusul mereka itupun segera menempatkan diri.
" Ki Lurah Agung Sedayu" " geram orang yang bertubuh raksasa yang bernama Kebo Remeng itu.
" Ya"jawab Agung Sedayu " siapakah Ki Sanak" "
"Namaku Kebo Remeng "jawab orang bertubuh raksasa itu.
" Apakah maksud Ki Sanak menghentikan aku" "
" Langsung saja, Ki Lurah. Kami akan membunuh Ki Lurah berdua. Tetapi karena kalian tiba-tiba saja bertiga, maka kami akan membunuh semuanya. -
" Kenapa" Apakah kita bermusuhan" "
" Musuhmu banyak sekali, Ki Lurah. Banyak orang yang ingin membunuhmu. "
" Apakah kita pernah mempunyai persoalan" "
Orang yang bernama Kebo Remeng itu tertawa. Katanya " Kau mempunyai persoalan dengan semua orang..Karena itu, sebaiknya kau menyerah saja, agar kau mati dengan tenang. Aku akan memenggal lehermu dengan sekali tebas, sehingga kau tidak akan pernah merasa sakit di saat kematianmu. Tetapi jika kau melawan, maka kau akan sangat menderita di akhir hidupmu. "
" Kenapa kau menjadi begitu garang" "
" Dengar. Aku akan membunuh kalian bertiga Aku tidak tahu, hubungan apakah yang ada antara Ki Lurah dan Nyi Lurah dengan orang ketiga yang berkuda bersama kalian. Tetapi kami tidak mau ada diantara kalian yang hidup"orang itu berhenti sejenak, lalu katanya pula"jejak yang akan kami tinggalkan adalah, kalian telah dirampok orang di Kali Opak."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah berada beberapa puluh langkah saja dari Kali Opak.
Sejenak Agung Sedayu mengamati orang-orang yang menghentikannya Menurut penglihatannya orang-orang itu memang bukan orang kebanyakaan Karena itu, jika mereka benar-benar harus membenturkan ilmu mereka, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari harus berhati-hati
" Ki Sanak - berkata Agung Sedayu - bagaimanapun juga kau tentu mempunyai alasan, kenapa kau akan membunuh kami. Jika kau melakukannya bukan karena kalian benar-benar ingin merampok kami, lalu apa alasan kalian yang sebenarnya"
" Orang-orang seperti kau itu harus dimusnahkan, Ki Lurah. Kau mempunyai kemampuan untuk menindas orang-orang yang bangkit dari lumpur."
"Apakah yang kau maksud bangkit dari lumpur?"
"Kau tidak akan melihat dari sisi kau berdiri. Tetapi sudahlah. Kita tidak usah membicarakan hal itu. Sekarang, kami akan membunuhmu. Kami akan meletakkan mayatmu, mayat isterimu dan seorang kawanmu itu di kali opak Mungkin ada orang yang mengenalmu dan mengabarkan kematianma Tetapi orang-orang itu akan mengatakan bahwa Agung Sedayu yang perkasa mati di rampok orang."
" Sebaiknya kau mengurungkan niatmu. Aku harap kau masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Berbeda dengan para perampok yang sebenarnya yang tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali uang dan benda-benda berharga. Tetapi kau bukan."
" Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Ki Lurah. Aku sudah memutuskan untuk membunuhmu. Selain kau memang harus mati, akupun akan dapat membuktikan bahwa dilingkunganku aku adalah orang yang terbaik"
"Baiklah, jika itu keputusanmu.
" Maksudmu" Kau akan menyerahkan lehermu?"
" Jangan berpura-pura Kebo Remeng. Aku adalah seorang prajurit. Kau tentu tahu sikapku."
"Jangan kau biarkan isterimu menderita di hari kematiannya."
"Isteriku adalah isteri seorang prajurit. Ia tahu, apa yang harus dilakukannya
" Baik. Aku menghargaimu. Sebenarnya akupun merasa lebih puas membunuh orang yang tegar seperti kau daripada membunuh seorang yang merengek-rengek minta ampun.
" Sikap kita sejalan "jawab Agung Sedayu - jika kami harus mati, maka bagi kami, lebih baik mati dengan senjata di tangan daripada mati sambil ngapurancang."
Kebo Remeng mengangguk-angguk. Katanya - Bagus. Kita akan berkelahi. Tetapi tidak di sini. Kita akan memilih tempat ditepian Kali Opak. Kecuali tempatnya lebih lapang, kita tidak akan merasa terganggu oleh orang lewat. Sedangkan kesan perampokanpun akan menjadi lebih tegas, seakan-akan beberapa orang penyamun telah menunggu korbannya ditepian Kali Opak. Tetapi jika kalian menolak, maka bagi kami tidak ada bedanya. Kalian akhirnya juga akan mati.
Namun Agung Sedayupun menjawab - Aku sependapat."
Kebo Remeng mengerutkan dahinya. Sama sekali tidak nampak kecemasan di wajah dan suara Agung Sedayu. Ia nampak tenang saja menghadapi ancaman Kebo Remenng yang bersungguh-sungguh itu.
" Sependapat apa" - Kebo Rentenglah yang justru bertanya.
" Sependapat dengan kau. Kita akan bertempur di tepian Kali Opak."
Kebo Remeng menggeram. Katanya " Kita akan pergi ke tepian. Tetapi jika kalian mencoba untuk melarikan diri, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika tiga orang yang berada di depan itu kemudian pergi ke Kali Opak, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsaripun mengikutinya pula. Di belakang mereka adalah ketiga orang saudara seperguruan Kebo Remeng yang lain.
Beberapa saat kemudian, maka Kebo Remeng dan saudara-saudara seperguruannya telah menuruni tebing Kali Opak yang landai. Kemudian merekapun berbelok ke kanan menyusuri tepian pergi ke balik tikungan. Tetapi mereka tidak berada terlalu jauh dari tempat penyeberangan.
" Biarlah ada orang yang akan menemukan mayatmu - berkata Kebo Remeng.
Agung Sedayupun tersenyum. Dengan nada tinggi iapun bertanya -Kenapa?"
" Aku ingin ada orang yang menemukan mayatmu. Mudah-mudahan ada yang mengenalimu sehingga kematianmu dapat diketahui oleh banyak orang!
" Jika kau dan saudara-saudara seperguruanmu yang mati" -bertanya Agung Sedayu.
" Kau gila, Agung Sedayu. Betapapun tinggi ilmumu, tetapi kalian bertiga tidak akan dapat mengalahkan kami berenam. Katakan ilmumu dapat menyentuh langit. Namun kau tidak akan dapat mengalahkan ampat orang diantara kami, sementara dua orang saudara seperguruanku akan membunuh isteri dan kawanmu itu."
" Kau tidak akan dapat menentukan umur seseorang - berkata Agung Sedayu - siapa tahu justru hari ini adalah batas panjang umurmu."
"Persetan kau Agung Sedayu - geram Kebo Remeng.
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ketika tiga orang yang berkuda di depan itu meloncat turun, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsaripun meloncat turun pula. Demikian juga ketiga saudara seperguruan Kebo Remeng yang lain, yang berkuda di belakang Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari.
Merekapun kemudian telah mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu di tepian itu.
" Bersiaplah - geram Kebo Remeng - semakin cepat semakin baik, agar pekerjaanku cepat selesai."
Agung Sedayupun kemudian berbisik di telinga isterinya - Berhati-hatilah. Nampaknya mereka orang-orang berilmu."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Sementara Sabungsaripun segera mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan.
" Agung Sedayu - berkata Kebo Remeng - aku hormati keberanian dan ketenangarimu menghadapi keadaan yang paling gawat sekalipun, bahkan kau tahu bahwa nyawamu akan tercabut dari tubuhmu. Tetapi kau masih nampak tenang dan bahkan sempat pula tersenyum."
"Sudah aku katakan, bahwa bukan kau yang menentukan panjang dan pendeknya umur kami."
" Kau masih juga berusaha menghibur diri pada saat-saat terakhir hidupmu."
" Kaupun tahu apa yang aku katakan. Kaulah yang mencoba menyingkirkan pengakuan itu dari kepalamu. Tetapi kau tidak akan pernah berhasil."
"Cukup - bentak Kebo Remeng - lebih baik menyebut nama ayah ibumu sebelum kematian itu datang."
" Sudahlah - berkata Agung Sedayu kemudian - jangan membual lagi. Kami sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan."-
Kebo Remeng itu menggeram. Kemudian iapun berkata kepada saudara-saudara seperguruannya - Bersiaplah. Kita bunuh mereka bertiga. Sekarang."
Kelima orang saudara seperguruannya serentak bergeser. Dengan isyarat Kebo Remeng mengatur orang-orangnya. Seorang diantara saudara seperguruannya akan menghadapi Sekar Mirah. Dua orang akan berhadapan dengan Sabungsari dan tiga diantara mereka termasuk Kebo Remeng akan menghabisi Agung Sedayu.
Sekar Mirahpun telah bersiap pula. Karena lawannya telah menarik goloknya yang besar, maka Sekar Mirahpun telah menggenggam tongkat baja putihnya Ia tidak ingin mengalami kesulitan dengan golok lawannya yang panjang dan besar itu.
Tetapi ternyata lawannya tidak segera menyerangnya Bahkan sambil tersenyum orang itu berkata- Nyi Lurah. Sebaiknya kau tidak usah mengorbankan nyawamu untuk suamimu yang sombong itu.
Tetapi Sekar Mirah justru bertanya - Apakah aku harus mengorbankan nyawaku."
" Kalau kau keras kepala kau akan mati juga di tepian ini."
" Maksudmu?" " Nyi Lurah. Kau adalah perempuan yang cantik. Seandainya Agung Sedayu mati, banyak laki-laki yang akan bersedia menggantikannya Karena itu jangan bodoh. Jangan ikut mati bersama Agung Sedayu. Jika kau ingin tetap hidup, aku akan menolongmu."
Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya. Namun Sekar Mirahpun kemudian tersenyum sambil berdesis - Kau berkata sebenarnya ?"
"Ya "Aku memang tidak ingin mati sekarang."
"Bagus. Aku akan menanggung keselamatanmu."
" Siapa namamu?"
" Apa itu penting?"
"Tentu - jawab Sekar Mirah."
"Namaku Wisaya."
"Nama yang bagus."
" Nah, katakan. Apa yang kau inginkan selain tetap hidup" Aku akan berbicara dengan kakang Kebo Remeng. Tetapi tentu sesudah ia membunuh Agung Sedayu."
"Tidak ada - jawab Sekar Mirah.
"Tidak ada?" " Ya. Aku hanya ingin tetap hidup. Jika perlu dengan membunuhmu."
" He, apa kau sudah gila" Bagaimana mungkin kau membunuhku" Aku adalah saudara seperguruan Kebo Remeng. Orang orang berilmu tinggi akan tunduk di bawah telapak kakiku. Bagaimana mungkin kau bermimpi untuk membunuhku" - tiba-tiba orang itu tertawa berkepanjangan.
Sekar Mirah membiarkan orang itu tertawa. Namun kemudian iapun bertanya - Apakah kau sudah puas tertawa."
" Lalu, apa?" " Habiskan dahulu tertawamu sebelum kau akan mengalami satu perubahan yang tidak pernah kau harapkan terjadi hari ini. Kematian."
" Persetan kau, Nyi Lurah. Menyerahlah. Aku akan menanggung segala akibatnya jika aku menyelamatkan kau."
" Sudahlah, berhentilah mengigau. Aku sudah siap."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ke'.ika ia berpaling, maka dilihatnya dua orang saudara seperguruannya bertempur melawan kawan Agung Sedayu itu. Sedangkan tiga orang yang lain, termasuk Kebo Remeng, bertempur melawan Agung Sedayu.
Dengan nada tinggi orang itupun berkata - Lihat, sebentar lagi tubuh Ki Lurah itu akan terkapar di pasir tepian. Ia tidak akan dapat mengatasi ketiga orang lawannya. Sebenarnya kakang Kebo Remeng sendiri akan dapat mengakhirinya. Tetapi Kakang Kebo Remeng agaknyE ' jin melumatkan Agung Sedayu sehingga menjadi debu."
" Kakang Agung Sedayu akan dapat bertahan sampai aku melumpuhkanmu. Kemudian, aku akan membantunya, menghentikan perlawanan saudara-saudara seperguruanmu itu."
Orang itu menggeram. Katanya - Ternyata kesombonganmu melebihi suamimu. Bersiaplah. Jika kau keras kepala, maka kaupun akan mati."
Sekar Mirah tidak menjawab. Dipersiapkannya tongkat baja putihnya ketika ia melihat golok lawannya mulai bergetar.
Ketika lawannya mulai menjulurkan goloknya, maka Sekar Mirahpun bergeser setapak. Tongkat baja putihnyapun mulai berputar.
Putaran tongkat baja putih Sekar Mirah itu membuat jantung lawannya berdesir. Terdengar suara angin yang berdesing seperti suara gasing bambu. Kadang-kadang suara itu menghilang. Tetapi tiba-tiba saja bergaung keras.
" Ternyata perempuan ini sangat berbahaya. Itulah sebabnya ia sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi keadaan yang gawat ini -berkata lawan Sekar Mirah itu didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin cepat Lawan Sekar Mirah itu telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia bergerak semakin cepat. Goloknyapun terayun-ayun mengerikan. Menebas dan kemudian terjulur kearah jantung.
Tetapi Sekar Mirah cukup tangkas. Dengan cepat iapun berloncatan menghindar. Namun sekali-sekali Sekar Mirah menangkis serangan lawannya dengan tongkat baja putihnya. Bahkan Sekar Mirahpun telah membenturkan tongkat baja putihnya langsung menahan ayunan golok lawannya.
Lawannya benar-benar terkejut Ternyata perempuan itu bukan saja mampu bergerak cepat Tetapi tenaganyapun cukup besar. Benturan yang terjadi, sama sekali tidak menggovahkannya
Dengan demikian maka orang itupun semakin meningkatkan kemampuannya pula Namun Sekar Mirah masih saja mampu mengimbanginya Bahkan kadang-kadang serangan Sekar Mirah mampu mengejutkan lawannya.
"Perempuan iblis - geram orang itu.
Sekar Mirah tidak menyahut Bahkan hampir saja tongkat baja putihnya menyambar mulut lawannya. Untunglah bahwa pada saatnya lawannya itu masih sempat menarik kepalanya sambil berpaling, sehingga tongkat baja putih Sekar Mirah tidak menyentuh bibirnya.
Tetapi orang itu semakin menyadari, dengan siapa ia berhadapan.
Sebenarnyalah Sekar Mirah yang telah menempa dirinya pada tahap-tahap puncak disaat-saat terakhir, telah membuatnya menjadi seorang yang berilmu tinggi. Dengan penguasaannya yang mantap atas tongkat baja putihnya, sebagaimana Sekar Mirah menguasai bagian dari tubuhnya sendiri. Sekar Mirah telah membuat lawannya menjadi gelisah. Lawannya itu sama sekali tidak menduga, bahwa Sekar Mirah sudah memiliki tataran ilmu yang demikian tinggi.
Meskipun lawannya itu sudah mengetahui, bahwa Sekar Mirah adalah murid Sumangkar serta telah mewarisi tongkat baja putihnya, namun ia tidak mengira bahwa tataran ilmunya telah demikian tingginya
Karena itu, maka orang itu bukan saja harus meningkatkan ilmunya, tetapi ia harus mengerahkan ilmunya untuk mengatasi kemampuan perempuan itu.
Dalam pada itu. Agung Sedayu sendiri tengah berhadapan dengan Kebo Remeng. Ia telah memerintahkan kedua orang saudara seperguruan untuk mendampinginya Tetapi ternyata Kebo Remeng tidak ingin bertempur bertiga melawan Agung Sedayu. Karena itu, maka diperintahkannya kedua orang saudara seperguruannya itu mengamati saja pertempuran itu.
" Jaga agar Agung Sedayu tidak lari dari medan atau bertempur dengan gaya seekor ayam jantan yang licik, yang bertempur sambil berlari-lari berputar-putar di arena. Ia harus bertempur dengan tanggon sampai tarikan nafas terakhirnya Bukankah ia telah memilih sendiri cara kematiannya" Karena itu, ia tidak boleh menghindar.
Agung Sedayulah yang menyahut - Jangan takut aku melarikan diri. Aku akan menikmati kesempatan' ini, bertempur seorang melawan -seorang yang berilmu sangat tinggi." -
"Tuntaskan kesombonganmu di bagian terakhir dari hidupmu, Ki Lurah. Besok orang-orang Mataram akan menyebut namamu dengan nada yang berbeda
Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya - Baiklah. Sekarang, aku sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika kau akan mulai, mulailah."
Kebo Remeng mengerutkan dahinya. Tetapi darahnya terasa menjadi panas. Agung Sedayu itu sama sekali tidak menunjukkan kekhawatirannya untuk menghadapi perang tanding yang menentukan. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu masih nampak tersenyum.
Sejenak kemudian, Kebo Remeng itupun kemudian mulai bergeser sambil menggeram - Bersiaplah untuk mati, Agung Sedayu. Waktumu tinggal sedikit"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah bergeser pula.
. Sejenak kemudian, Kebo Remeng itupun telah mulai menyerang Agung Sedayu. Tangannya terjulur lurus kearah leher. Tetapi serangannya masih belum bertenaga. Sementara Agung Sedayupun hanya bergeser saja selangkah kesamping. Tetapi serangan-serangan berikutnya menjadi semakin cepat. Kebo Remeng mulai berloncatan. Serangan-serangannyapun mulai berbahaya.
Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghadapinya. Karena itu, maka iapun telah berloncatan pula. Semakin cepat Kebo Remeng bergerak, maka Agung Sedayupun menjadi semakin cepat pula.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit pula. Sementara itu kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu berputaran. Meskipun mereka tidak melibatkan diri, tetapi mereka tidak tinggal diam. Bahkan seakan-akan keduanya ikut terlibat pula dalam pertempuran itu.
Namun setiap kali Kebo Remeng berteriak. - Jangan ganggu aku. Aku akan membunuhnya. Aku akan membuktikan bahwa ilmuku lebih tinggi dari ilmu Agung Sedayu.
Setiap kali kedua saudara seperguruannya melangkah surut, menjauhi arena pertempuran. Namun kemudian merekapun mendekat pula untuk mengetahui dengan jelas, apa yang telah terjadi.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Sabungsari berhadapan dengan dua orang saudara seperguruan Kebo Remeng. Dengan cepat mereka telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remengpun berusaha untuk segera membunuh Sabungsari. Tetapi ternyata Sabungsari bukannya orang kebanyakan yang dengan mudah dapat mereka binasakan.
Tetapi dengan tangkasnya Sabungsari bertempur diantara kedua orang lawannya. Sekali-sekali kedua lawannya justru merasa kehilangan lawannya. Namun tiba-tiba saja serangan Sabungsaripun datang membadai.
Namun kedua saudara seperguruan Kebo Remeng itupun memiliki ilmu yang tinggi pula. Mereka mampu bekerja sama dengan mapan, bahkan seakan-akan keduanya digerakkan oleh satu otak saja.
Meskipun demikian, keduanya tidak segera mampu mendesak Sabungsari. Serangan-serangan yang datang dari kedua lawannya, masih mampu dibendungnya. Jika sekali-sekali terjadi benturan, maka terasa oleh kedua lawannya, betapa besarnya tenaga Sabungsari.
Meskipun kedua orang lawannya semakin meningkatkan kemampuan mereka, namun Sabungsari masih tetap saja mampu mengimbanginya. Keduanya masih belum berhasil menembus pertahanan Sabungsari yang sangat rapat
Seorang diantara lawan Sabungsari itupun kemudian menggeram - Ilmu iblis manakah yang kau sadap sehingga kau dapat bertahan beberapa lama melawan kami berdua?"
Sabungsari meloncat surut menghindari sambaran tangan salah seorang lawannya. Ketika seorang yang lain meloncat menyerangnya dengan ayunan kakinya kearah perut, Sabungsari bergeser kesamping. Dengan tangannya ia menepis kaki yang terjulur itu. Demikian kerasnya, sehingga orang itu justru berputar setengah lingkaran hampir saja orang itu terjatuh, namun ia berhasil mempertahankan keseimbangan.
Sementara itu, Sabungsari berkata - Kalianlah yang telah menyadap ilmu iblis itu untuk kalian pergunakan menghancurkan tala kehidupan."
Orang itu tidak menjawab. Serangan Sabungsari datang seperu badai.
Tetapi orang yang lainpun.telah menyerang Sabungsari dari arah lambung, sehingga perhatian Sabungsaripun terpecah. Namun dengan cepat Sabungsari berputar. Sekali lagi ia meloncat sambil memutar tubuhnya. Sebelah kakinya terayun deras sekali mengarah keningnya.
Demikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat menghindar. Tetapi ia masih berusaha menangkis dengan kedua belah tangannya
Namun dorongan kekuatan ayunan kaki Sabungsari ternyata telah mengguncang keseimbangan lawannya. Beberapa langkah ia terdorong kesamping, namun kemudian tubuhnya jatuh terbanting ditanah. Tetapi Sabungsari tidak sempat memburunya. Lawannya yang lain meluncur dengan kecepatan tinggi. Kakinya terjulur lurus menyamping mengarah ke dada.
Ternyata Sabungsari juga tidak sempat mengelak. Dengan tergesa-gesa Sabungsari menyilangkan tangan didadanya.
Tetapi serangan lawannya datang demikian derasnya. Ketika benturan terjadi, maka pertahanan Sabungsaripun menjadi goyah. Ia tergetar dan terdorong surut beberapa langkah. Bahkan Sabungsaripun kemudian jatuh berguling ditanah.
Namun dengan cepat ia meloncat bangkit. Sementara itu lawannya yang menyerang dengan kakinya itupun telah tergetar, pula. Tetapi ia tetap tegak pada kedua kakinya
Ketika ia siap untuk menyerang, ternyata Sabungsaripun telah bersiap pula untuk menghadapinya. Sementara lawannya yang seorang lagi telah bersiap pula untuk menyerang.
Pertempuran menjadi semakin sengit. Namun betapapun kedua lawannya mengerahkan segenap kemampuannya, namun mereka tidak segera dapat menundukkan perlawanan Sabungsari.
Sementara itu, Sekar Mirahpun telah bertempur semakin cepat pula.
Seorang lawannya, salah seorang saudara seperguruan Kebo Remeng, ternyata mengalami kesulitan untuk menundukkannya Bahkan setelah orang itu tidak lagi menahan diri. Ia tidak lagi ingin menguasai Sekar Mirah yang dimatanya nampak sebagai seorang perempuan yang cantik.
" Aku sudah memberi kesempatan kepadamu perempuan dungu. Aku akan minta kepada kakang Kebo Remeng untuk memaafkanmu, agar kau tidak ikut dibunuh bersama suamimu. Tetapi kau ternyata keras kepala. Karena itu, maka aku telah merubah keputusanku. Aku akan membunuhmu."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, la tahu bahwa lawannya akan mengerahkan segenap kemampuannya Laki-laki itu tentu tidak mau kalah hanya mempergunakan tongkat baja putih, satu dari dua lambang kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati.
Sebenarnyalah saudara perguruan Kebo Remeng itupun telah mengerahkan kemampuannya. Namun Sekar Mirahpun telah sampai ke puncak ilmunya pula, sehingga pertempuranpun menjadi semakin sengit Keduanya saling menyerang, saling menangkis dan menghindar, sehingga benturan-benturan senjatapun semakin sering terjadi. Golok saudara perguruan Kebo Remeng itu memercikan bunga api dalam setiap benturan dengan tongkat baja putih Sekar Mirah.
Namun semakin lama, saudara seperguruan Kebo Remeng itu semakin menyadari, bahwa Sekar Mirah memang berilmu tinggi. Dengan landasan tenaga dalamnya, maka kekuatan Sekar Mirah telah menjadi berlipat-lipat. Lawannya yang juga mengerahkan tenaga dalamnya, harus mengakui kelebihan Sekar Mirah. Beberapa kali ia terdesak surut. Bahkan tongkat baja putih Sekar Mirah mulai mampu membuka pertahanannya
Kecemasan mulai menggelitik hati saudara seperguruan Kebo Remeng itu. Ketika ia sesaat melihat saudara-saudara seperguruannya, maka semuanya telah terlibat dalam pertempuran. Orang itu memang melihat, bahwa dua orang yang mendampingi Kebo Remeng nampaknya tidak langsung terlibat dalam pertempuran, tetapi nampaknya keduanya terikat pada Kebo Remeng, sehingga mereka tidak dapat meninggalkannya
Semakin lama lawan Sekar Mirah itu semakin mengalami kesulitan. Tetapi ia masih menjaga harga dirinya untuk berteriak minta bantuan kepada saudara-saudara seperguruannya. Lawannya hanyalah seorang perempuan.
Tetapi orang itu akhirnya berteriak juga ketika ujung tongkat baja putih Sekar Mirah menggores dibaruinya
"Iblis betina - orang itu mengumpat - kau melukahi bahuku."
Sekar Mirah justru meloncat surut utuk mengambil jarak. Dengan dahi yang berkerut iapun menjawab " Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Aku tidak mempunyai rencana untuk membunuhmu. Karena iu, jika kau menyerah, maka aku tidak akan membunuhmu.
"Aku harus menyerah kepada seorang perempuan ?"
" Apakah bedanya perempuan atau laki-laki" Jika kau tidak lagi dapat membela dirimu, maka kau akan mempunyai dua pilihan. Menyerah atau mati. Seperti aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai rencana untuk membunuhmu. Karena itu, jika kau menyerah, kau akan tetap hidup."
"Aku belum kalah - geram orang itu - siapakah yang menang dan siapakah yang kalah baru akan terbukti kemudian, setelah pertempuran ini selesai,"
" Kau mengharapkan bantuan saudara-saudaramu?"
"Persetan - geram .orang itu sambil menghentakkan serangannya. Pedangnya menebas mendatar kearah leher.
Tetapi dengan tangkas Sekar Mirah membentur serangan itu. Memutar tongkat baja putihnya, dan kemudian menjulurkannya.
Ujung tongkat baja putih itu menyentuh lambung lawannya. Meskipun sentuhan itu tidak terlalu keras, sehingga lambung lawan Sekar Mirah itu tidak berlubang, tetapi sentuhan itu sakitnya bagikan sampai ke ubun-ubun.
Dengan serta-merta lawan Sekar Mirah itupun meloncat surut untuk mengambil jarak, sementara Sekar Mirah tidak memburunya. Bahkan kemudian Sekar Mirah itupun berdiri tegak dengan tongkat baja putihnya ditangan kanannya, sedang tangan kirinya bertolak pinggang.
": Nah, apakah kau masih akan berkeras untuk melanjutkan pertempuran ini."
Orang itu menggeram. Namun tiba-tiba saja terdengar orang itu bersuit nyaring.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun iapun segera menyadari, bahwa orang itu agaknya telah minta bantuan salah seorang saudara sepeguruannya.
Sekar Mirahpun kemudian telah mengambil keputusan untuk tidak melawan dua orang sekaligus. Mungkin ia akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka yang seorang itu harus dengan cepat dihentikan.
Sebelum suitan itu mendapat tanggapan, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah menyerang dengan garangnya. Tongkat baja putihnya berputaran semakin cepat. Dengan sekuat tenaganya, Sekar Mirah mengayunkan tengkarnya kearah kening lawannya
Tetapi lawannya sempat menghindar dengan merendah, bahkan sekaligus menjulurkan goloknya menyongsong lawannya
Sekar Mirah yang sempat melihat golok yang terjulur itu memiringkan tubuhnya, sehingga golok itu tidak menyentuh kulitnya Namun tongkat Sekar Mirah itu telah melingkar menebas dengan cepat.
Terdengar orang itu mengaduh. Tubuhnya tergetar kesamping. Namun orang itu masih berhasil mempertahankan keseimbangannya.
Tetapi tulang lengannya terasa menjadi retak. Perasaan nyeri yang sangat telah mencengkamnya
Dalam pada itu, seorang saudara seperguruannya yang mendampingi Kebo Remeng, ternyata tertarik oleh isyarat saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah. Isyarat yang dilontarkannya adalah keluhan untuk mendapatkan bantuan.
Tetapi ia agak ragu meninggalkan Kebo Remeng yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itu.
Namun kemudian sambil bertempur Kebo Remeng itupun berteriak. Seorang dari kalian, pergilah kepadanya. Yang seorang diantara kalian tetap mengawasi agar Agung Sedayu tidak melarikan diri.
Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu saling berpandangan sejenak. Agaknya mereka ragu-ragu, siapakah diantara mereka yang akan meninggalkan arena pertempuran itu untuk memberikan bantuan kepada saudara seperguruannya-yang bertempur melawan Sekar Mirahku.
Namun yang lebih tua dan mereka berdua memberikan isyarat agar saudaranya yang lebih muda itu sejalan yang pergi membantu.
" Anak ku memang cengeng" geram saudaranya yang lebih tua selesaikan perempuan itu. Jika ia mati, maka perlawanan Agung Sedayupun akan tidak berarti lagi."
Saudaranya yang lebih muda itu segera meninggalkan lingkaran pertempuran antara Kebo Remeng dan Agung Sedayu.
Jantung orang itu bagaikan terhenti berdenyut, ketika ia melihat saudara seperguruannya terkapar ditepian. Orang itu masih menggeliat dan sekali-sekali berguling sambil menekan dadanya. Darah yang merah mengalir dari luka di dadanya
Ternyata pada saat terakhir, ujung tongkat baja putih Sekar Mirah sempat menggores dada lawannya menyilang sesaat sebelum saudara seperguruannya mengambil keputusan untuk membantunya
"Perempuan yang tidak tahu diri - geram saudara seperguruannya yang baru saja datang untuk membantu - kau telah melakukan kesalahan yang besar sekali dengan melukai saudara seperguruanku."
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan tidak mendengarnya Bahkan iapun bertanya - Kenapa kau terlambat Ki Sanak". Saudara seperguruanmu tidak sempat menunggumu."
" Aku akan membuat perhitungan perempuan iblis'. Tetapi aku tidak akan segera membunuhmu. Kau harus menjadi pengewan-ewan. Justru aku seorang perempuan, maka nasibmu menjadi lebih buruk dari nasib suamimu. Apalagi karena kau sudah melukai saudara seperguruanku."
Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya Dengan nada tinggi Sekar Mirahpun berkata - Sudahlah. Jangan membual saja. Sekarang, apa yang akan kau lakukan" Seorang saudara seperguruanmu sudah tidak berdaya
Tiba-tiba saja orang itu meloncat menyerang. Senjatanya bukan sebuah golok atau pedang. Tetapi orang itu memegang sebuah bindi yang berat Tetapi ditangannya bindi itu seakannakan tidak lebih dari sebatang lidi saja.
Sekar Mirah meloncat menghindari serangan lawannya Sekar Mirah masih ragu untuk membentur kekuatannya. Meskipun menurut perhitungan Sekar Mirah kemampuan orang itu tidak akan terpaut banyak dari saudara seperguruannya, tetapi pilihan senjata yang dipergunakan menunjukkan bahwa orang itu merasa dirinya mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Karena itu; maka Sekar Mirahpun menjadi sangat berhati-hati. Dalam pertempuran selanjutnya, Sekar Mirah memang mencoba menyentuh senjata lawan dengan tongkat baja putihnya. Benturan-benturan kecil yang terjadi, dapat memberikan sedikit gambaran tentang kekuatannya
Tetapi Sekar Mirah tidak tergesa-gesa. Ia menjadi semakin berhati-hati. Ia merasakan bahwa lawannya yang kemudian itu memang memiliki kelebihan dari lawannya yang terdahulu.
Karena itu, maka untuk sementara Sekar Mirah masih menghindari benturan langsung sampai ia yakin bahwa kekuatannya yang dilambari dengan tenaga dalamnya akan mampu menahan kekuatan lawannya
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak saling menyerang, menghindar dan benturan-benturanpun menjadi semakin sering. Sekar mirah menjadi semakin yakin, bahwa ia akan dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan lawannya
Dengan demikian, maka Sekar Mirah menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan semakin berbahaya Tongkat baja putih Sekar Mirah menjadi semakin sering membentur bindi lawannya
Jilid 323 LAWANNYA itupun mulai menjadi gelisah. Kekalahan saudara seperguruannya bukan karena kelengahan atau karena saudara seperguruannya itu meremehkan lawannya. Tetapi ilmu perempuan itu memang lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh saudara seperguruannya.
Karena itu, maka saudara seperguruan Kebo Remeng yang bertempur melawan Sekar Mirah itu menjadi sangat berhati-hati. Ia tidak mau mengalami nasib yang sama seperti saudara seperguruannya yang sudah tidak berdaya karena lukanya yang parah.
Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Sabungsaripun telah mengarahkan kemampuan mereka Mereka berdua juga tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi. Saudara-saudara seperguruan Kebo Remeng itu merasa bahwa kemampuan mereka jarang ada bandingannya Namun tiba-tiba saja di tepi Kali Opak mereka menjumpai seorang lawan yang tidak segera dapat mereka kalahkan. Bahkan mereka bertempur berpasangan.
Namun sebenarnyalah bahwa Sabungsaripun harus mengerahkan kemampuannya pula Melawan dua orang sudara seperguruan Kebo Remeng, Sabungsari merasakan sebagai beban yang sangat berat
Tetapi Sabungsari mempunyai bakal yang cukup. Ilmunya yang semakin tinggi telah menempatkannya dapat tataran orang-orang yang pilih tanding.
Dengan demikian pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sabungsari berloncatan dengan kecepatan yang sangat yang sangat tinggi untuk mengimbangi lawannya yang bertempur berpasangan.
Dalam keadaan yang semakin berat, maka Sabungsari kemudian telah menarik pedangnya Dengan ilmu pedang yang tinggi, Sabungsari menahan serangan-serangan kedua lawannya.
Tetapi kedua orang lawannyapun telah menarik senjata mereka pula. Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng ini ternyata mempergunakan senjata yang berbeda pula dengan saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah.
Keduanya bersenjata pedang yang putih berkitat-kitat. Ternyata ilmu pedang keduanyapun cukup tinggi, sehingga Sabungsari harus meningkatkan ilmu pedangnya sampai ke puncak.
Namun kemudian ternyata bahwa kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itupun mengalami kesulitan untuk segera mengalahkan Sabungsari. Bahkan kemampuan ilmu pedang Sabungsari mulai mampu menguak pertahanan kedua orang lawannya.
Tetapi bukan berarti bahwa ujung-ujung pedang lawannya itu tidak dapat menembus pertahanan Sabungsari sama sekali.
Ketika tubuh mereka yang bertempur itu menjadi basah oleh keringat sehingga seakan-akan mereka baru saja mencelupkan diri di dalam aliran Kali Opak, maka Ujung-ujung senjata mereka mulai menyentuh kulit lawan, sehingga pakaian mereka tidak saja basah oleh keringat, tetapi juga basah karena darah mereka yang mulai menitik dari luka.
Sabungsari harus meloncat beberapa langkah surut ketika pedang salah seorang lawannya menyentuh lengannya. Tetapi ketika lawannya itu memburunya dan menebas dengan pedangnya kearah leher, Sabungsari sempat merendah. Namun tangannya yang menggenggam pedang terjulur menggapai menyentuh lambung. Lawannya itu meloncat surut Tetapi lawannya yang lain mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaganya mengarah kearah dadanya
Tetapi Sabungsari dengan tangkasnya meloncat surut. Sementara itu lawannya yang lain lagi telah menyerangnya pula dengan tebasan mendatar.
Sabungsari tidak menghindar. Dengan tangkasnya ia menangkis serangan itu. Ditepisnya pedang lawannya itu kesamping. Namun dengan cepat ia memutar pedangnya dan terjulur lurus kearah dada.
Lawannya melihat serangan itu. Tetapi ia terhambat menggeliat, sehingga ujung pedang itu telah melukai bahunya.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi pada saat yang bersamaan, lawan Sabungsari yang lainpun telah menyerangnya pula. Sabungsari dengan tergesa-gesa meloncat menghindar. Namun goresan kecil telah menggores dilambungnya Bajunya yang terkoyakpun kemudian telah menjadi merah oleh titik-titik darah yang mengembun di lukanya itu.
Ternyata kedua saudara seperguruan Kebo Remeng itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka ingin segera mengakhiri pertempuran itu. Karena ita maka merekapun segera mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka merekapun segera meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.
Dalam keadaan yang paling gawat, maka seorang diantara keduanya telah memberikan isyarat, sehingga kedua orang itu telah berloncatan mengambil jarak.
Sabungsari yang telah terluka dan menitikkan darah itu segera menyadari bahwa kedua lawannya tentu akan segera sarnpai pada puncak ilmunya
Sebenarnyalah bahwa kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah mengambil keputusan untuk menyudahi Sabungsari. Karena itu, maka merekapun akan segera merambah ke ilmu pamungkas mereka
Sabungsari yang menyadari bahwa keadaan mereka menjadi sangat gawat, maka iapun telah mempersiapkan dirinya menghadap segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, kedua ora saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah menyarungkan pedang mereka. Sebelum Sabungsari sempat menyarungkan pedang pula, maka serangan yang sangat gawat itu telah datang.
Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah melontarkan semacam butiran-butiran pasir dengan genggaman tangannya kearah tubuh Sabungsari yang diambilnya dari sebuah kampil yang terselip diikat pingganya dibawah bajunya
Sabungsari memang terkejut mendapat serangan yang disadari tentu sangat berbahaya itu. Taburan butiran-butiran yang seperti pasir itu menebar menghambur kearah tubuh Sabungsari dari dua arah.
Sabungsaripun berusaha untuk menghindar karena ia tidak dapat menangkis serangan itu dengan putaran pedangnya.
Karena itu, maka Sabungsaripun segera meloncat tinggi-tinggi. Berputar diudara dan hinggap di tanah dengan kedua kakinya.
Tetapi serangan dari kedua lawannyapun telah datang lagi, sehingga Sabungsari harus sekali lagi meloncat menghindar-sambil mengambil jarak.
"Jangan lari " teriak salah seorang lawannya.
Tetapi Sabungsari tidak melarikan din. Ketika kedua lawannya memburunya dan siap untuk melontarkan serangannya, Sabungsaripun telah bersiap pula. Tiba-tiba dari matanya memancar sorot yang meluncur menghantam salah seorang dari dari kedua orang lawannya.
Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan. Pada saat ia mengangkat tangannya, maka sorot yang seakan-akan meluncur dari mata Sabungsari itu telah menusuk dadanya.
Orang itu mengaduh tertahan. Rasa-rasanya isi dadanya telah meledak, orang itu terpental beberapa langkah surut. Tangannya yang menggenggam senjata itupun terkulai disisi tubuhnya yang berguling di tepian.
Namun pada saat yang hampir bersamaan, saudara seperguruannya telah berhasil melontarkan butiran-butiran seperti butir-butir pasir itu.
Sabungsari yang sedang menyerang lawannya dengan sorot matanya itu memang agak terlambat menghindar, sehingga ia tidak dapat menghindar sepenuhnya. Sebagian butiran-butiran yang terhambur itu menyentuh tubuhnya.
Ternyata panas yang amat sangat telah menyengat. Ternyata butiran-butiran seperti pasir itu panasnya melampaui panasnya api. Tetapi panas itu tidak menyengat tangan saudara-saudara seperguruan Kebo Remeng itu sendiri.
Sabungsari yang menghindar dengan menjatuhkan dinnya itupun berguling dengan cepat menjauh. Namun ia sadari bahwa lawannya tentu akan memburunya. Karena itu, sambil meningkatkan daya tahan tubuhnya, tanpa sempat bangkit berdiri, Sabungsari telah menyerang lawannya dengan sorot matanya.
Lawannya tidak mengira bahwa hal itu mampu dilakukan oleh Sabungsari yang masih terbaring. Karena itu, maka lawannya itu terlambat menyadari, bahwa serangan Sabungsari itu meluncur mengarah ke tubuhnya.
Orang itupun terlempar beberapa langkah surut. Senjata rahasianya masih belum sempat ditaburkannya kearah Sabungsari
Teriakan nyaring telah menggetarkan tepian Kali Opak. Orang yang terjatuh itu tidak sempat menggeliat lagi. Demikian suaranya lenyap dari tepian, maka tubuhnyapun telah terdiam pula.
Sabungsaripun segera meloncat bangkit. Namun tiba-tiba saja terasa tubuh menjadi gemetar. Panas yang melampaui panasnya bara itu seakan-akan telah merambat perlahan-lahan lewat pembuluh-pembuluh darahnya.
Sabungsaripun kemudian telah duduk kembali. Ia sadar, semakin banyak ia bergerak, maka racun yang berada dibutiran-butiran yang panasnya melampaui bara itu akan semakin cepat menjalar.
Sambil menyeringai menahan kesakitan di tubuhnya, Sabungsari telah mengambil sebutir obat penangkal racun. Sabungsari tidak tahu, apakah obat penangkalnya dapat menangkal racun yang mengandung panas itu
Ketika sebutir obat penangkal racun itu ditelannya, maka seluruh tubuhnya menjadi semakin gemetar. Namun kemudian panas di pembuluh darahnya itu terasa seakan-akan berhenti menjalar.
Agaknya obat penangkal racun yang ditelan oleh Sabungsari itu berpengaruh juga meskipun tidak sepenuhnya berhasil menangkal panasnya racun itu.
Sabungsari yang duduk di pasir tepian itupun kemudian menyilangkan tangannya didadanya. Dipusatkannya nalar budinya, sambil mengatur pernafasan dan meningkatkan tenaga dalamnya sampai ke puncak, untuk mengatasi rasa panas, sakit dan nyeri di tubuhnya.
Dalam pada itu, Kebo Remeng terkejut melihat kedua saudara seperguruannya dihancurkan oleh Sabungsari. Sedangkan yang seorang lagi, tidak mampu melawan dan mengatasi ilmu Nyi Lurah.
Karena itu, maka Kebo Remeng itupun meloncat mundur sambil berteriak kepada saudara seperguruannya yang seorang lagi, yang masih menungguinya bertempur melawan Agung Sedayu"Bunuh orahg yang sedang mengatasi rasa sakitnya itu. Ia tidak akan mampu memberikan perlawanan yang berarti. "
" Licik sekali " sahut Agung Sedayu " itu bukan sikap seorang laki-laki. "
" Persetan. Lakukan, cepat sebelum orang itu berhasil mengatasi kesulitan didalam tubuhnya itu. "
Saudara seperguruan Kebo Remeng memang menjadi ragu-ragu. Apakah ia pantas menyerang seseorang yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.
Tetapi Kebo Remeng berteriak sekali lagi " Lakukan sekarang. Jangan ragu-ragu. Orang itu harus mati lebih dahulu sebelum Agung Sedayu dan isterinya itu.
Saudara seperguruan Kebo Remeng itu memang tidak dapat berbuat lain
Dengan tangkasnya iapun segera meloncat. Kematian dua orang saudara seperguruannya oleh orang yang sedang terluka dibagian dalam tubuhnya itu telah membakar jantungnya pula. Juga kekalahan salah seorang saudara seperguruannya oleh isteri Agung Sedayu itu.
Bahkan saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah itu belum sempat mempergunakan ilmu pamungkasnya.
" Orang itu terlalu meremehkan lawannnya, sehingga ia menjadi lengah " berkata saudara seperguruan Kebo Remeng itu didalam hatinya.
Tetapi kematian saudara-saudara seperguruannya memang pantas ditebus dengan kematian pula Bahkan selagi ia tidak berdaya.
Namun Agung Sedayu tidak membiarkannya. Iapun menyadari, bahwa keadaan Sabungsari masih belum memungkinkannya memberikan perlawanan yang memadai atas saudara seperguruan Kebo Remeng itu. Tanpa senjata rahasianya itupun saudara seperguruan Kebo Remeng itu akan dengan mudah membunuh Sabungsari. Dengan ayunan pedang menebas leher, maka kepala Sabungsari akan terlepas.
Sabungsari yang baru memusatkan nalar budinya, tidak menyadari bahaya yang mengancamnya Jika sesuatu akan terjadi pada dirinya maka hal itu akan terjadi.
Tetapi yang mengejutkannya itupun telah terjadi. Demikian saudara seperguruan Kebo Remeng itu meloncat berlari kearah Sabungsari, dengan.mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, Agung Sedayupun meloncat pula. Satu loncatan panjang dengan satu putaran diudara memotong arah saudara seperguruan Kebo Remeng.
Demikian kaki Agung Sedayu menginjak pasir tepian, maka tiba-tiba saja tangannyapun mengayunkan cambuknya yang telah diurainya.
Cambuk itu tidak meledak. Tetapi sentuhannya pada paha saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah melumpuhkannya. Daging di kedua parianya telah terkoyak. Seperti sebatang dahan kayu yang patah, orang itu roboh jatuh di tanah. Terdengar orang itu berdesah kesakitan. Darah mengalir dari luka dikedua pahanya, menembus kainnya yang terkoyak.
Namun Agung Sedayu masih sempat berkata " Kau tentu membawa obat bagi lukamu itu. Obatilah, agar arus darahnya berkurang. Jika tidak, maka kau akan mati kehabisan darah. "
Tetapi Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan lain. Kebo Remeng yang marah telah memburunya. Dua pisau belati pendek meluncur mengarah ke tubuh Agung Sedayu.
Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindarinya. Dua buah pisau belati itu tidak mengenainya
"Anak iblis"berkata Kebo Remeng sambil meloncat mendekat.
Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya
Kebo Remeng yang marah itupun telah menggenggam dua batang tongkat baja di kedua tangannya Tongkat baja putih, tetapi yang ujudnya berbeda dari tongkat baja putih Sekar Mirah yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati.
" Kau memang luar biasa Agung Sedayu. Aku tidak mengira bahwa ilmumu setinggi itu. Lebih tinggi dari yang kuduga. Tetapi semakin tinggi ilmumu, aku akan menjadi semakin bangga, karena namaku akan menjadi semakin dikenal oleh banyak orang. "
" Namamu memang akan banyak dikenal, Kebo Remeng. Tetapi untuk itu, kau jangan menjadikan aku sebagai landasannya karena aku tentu akan mempertahankan diri. "
" Persetan kau Agung Sedayu. Kau, isterimu dan kawanmu telah membunuh dan melukai saudara-saudara seperguruanku. Karena itu, kau akan menerima hukuman yang pantas. Hukuman mati. "
" Sejak semula kau sudah berniat membunuhku. Tetapi, sejak semula akupun telah mempertahankan diri untuk melindungi nyawaku. Karena aku tidak mau mati muda. "
Kebo Remeng tidak menyahut. Tetapi kedua tongkat baja putihnyapun segera terayun-ayun mengerikan.
Ketika Agung Sedayu mengayunkan cambuknya, maka Kebo Remeng itu telah menahan juntai cambuk Agung Sedayu dengan tongkatnya. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu melilit tongkat baja itu, maka telah terjadi tarik-menarik antara keduanya. Ternyata kekuatan Kebo Remengpun dapat dibanggakan. Agung Sedayu tidak berhasil merampas tongkat baja itu.
Demikian ujung cambuk itu terurai, maka Kebo Remengpun segera meloncat mendekati Agung Sedayu. Tongkatnya terayun deras sekali mengarah ke kening Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sempat menghindar dengan merendahkan diri. Bersamaan dengan itu, ujung cambuk Agung Sedayupun telah menyambar kearah kaki Kebo Remeng.
Tetapi Kebo Remeng berhasil meloncat menghindarinya, sehingga > ujung cambuk itu tidak menyentuhnya.
Dengan demikian pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin sengit Keduanya memiliki kemampuan yang sangat tinggi serta menguasai senjata masing-masing dengan sangat baik
Yang masih bertempur di sisi lain adalah Sekar Mirah. Sekar Mirah merasa beruntung, bahwa ia telah dengan cepat menghentikan perlawanan seorang saudara seperguruan Kebo Remeng. Jika ia harus bertempur melawan dua orang saudara seperguruan Kebo Remeng, maka Sekar Mirah tentu akan mengalami kesulitan.
Meskipun demikian, Sekar Mirah sempat melihat senjata rahasia saudara-saudara seperguruan Kebo Remeng yang sangat berbahaya itu. Karena itu, ia harus sangat berhati-hati menghadapi senjata itu.
Untuk menghindari kemungkinan yang buruk, maka Sekar Mirah harus berusaha menghentikan serangan senjata yang mengerikan itu sejak awal. Jika orang itu tidak berkesempatan menggenggam senjata rahasianya yang disimpannya dalam kampil yang terkait di ikat pinggangnya di bawah bajunya, maka orang itu tidak akan pernah sempat menyerangnya.
Dengan demikian, maka Sekar Mirah berusaha bertempur pada jarak jangkau baja putihnya. Ia tidak pernah memberi kesempatan lawannya mengambil jarak. Setiap kali lawannya meloncat menjauhinya untuk mengambil jarak, maka Sekar Mirah selalu memburunya Bahkan dengan serangan-serangan yang berbahaya
Dengan demikian, maka lawannya memang mengalami kesulitan untuk mempergunakan senjata rahasianya. Tetapi ia masih mempunyai senjata yang lain.
Dengan ilmu yang tinggi orang itu melawan kegarangan tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Benturan-benturan pun semakin sering terjadi. Meskipun seorang perempuan, namun dilandasi tenaga dalamnya yang tinggi. Sekar Mirah mampu mengimbangi kekuatan lawannya itu.
Bahkan kemampuan Sekar Mirah yang tinggi, telah memaksa lawannya setiap kali terdesak. Tetapi lawannya tidak pernah sempat mengambil jarak dari Sekar Mirah.
Ketika orang itu mencoba memaksa mencoba mengambil senjata rahasianya dari lemparnya dengan memindahkan senjatanya ke tangan kirinya maka tongkat baja putih Sekar Mirah sempat menggores lengannya
Dengan demikian, maka lawan Sekar Mirah itu tidak berani lagi mengendorkan perlawanannya, karena tongkat baja putih itu akan menyentuh bukan saja lengannya tetapi keningnya atau tengkuknya atau bagian-bagian lain yang berbahaya
Sebenarnyalah, tekanan-tekanan yang semakin berat telah menggelisahkan lawan Sekar Mirah itu. Betapa garangnya saudara seperguruan Kebo Remeng itu namun menghadapi Sekar Mirah seorang melawan seorang, ternyata bahwa ia segera mengalami kesulitan.
Tongkat baja putih Sekar Mirah telah berhasil menyentuh lambungnya pundaknya kakinya dan bahkan perutnya Ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu tidak selalu menggores dan melukainya Kadang-kadang sentuhan pada ujungnya memang dapat mengoyak kulit. Tetapi pukulan pada batang tongkat itu terasa meremukkan tulang.
Semakin lama orang itu benar-benar mengalami kesulitan. Sementara itu, ia seakan-akan tidak mempunyai kesempatan memisahkan diri dari Sekar Mirah.
Betapapun orang itu berusaha, tetapi ia tidak pernah dapat berhasil; sehingga orang itu seakan-akan menjadi kehilangan akal.
Dalam keadaan yang tidak terkendali, orang itu memaksa diri untuk dapat mengambil senjata rahasianya. Sekali lagi ia memindahkan senjatanya pada tangan kirinya, sementara tangan kanannya berusaha untuk mengambil segenggam butiran senjata rahasianya.
Tetapi sebelum ia berhasil, maka tongkat baja putih Sekar Mirah telah mengenai lengannya. Tidak begitu keras karena orang itu sempat meloncat menjauh, tetapi tulang lengannya itu serasa telah retak.
Yang dilakukan orang itu kemudian adalah memaksa diri. Ia tidak akan dapat menunggu kesempatan. Karena itu, apapun yang akan terjadi, harus ditempuhnya. Mungkin ia harus mati bersama-sama dengan perempuan itu.
Maka orang itu tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan yang rumit. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sejauh-jauhnya sambil memungut segenggam butiran senjata rahasianya.
Namun Sekar Mirah tidak melepaskannya. Dengan sigapnya ia memburunya. Untuk menutup jarak, Sekar Mirah telah menjulurkan tongkatnya ke arah dada.
Ujung tongkat itu memang mendorong saudara seperguruan Kebo Remeng yang sedang meloncat itu. Tubuhnya terdorong dan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian orang itu kehilangan keseimbangannya yang jatuh terguling.
Namun orang itu tidak menghiraukan dirinya lagi. Dibiarkannya, tubuhnya jatuh terlentang di pasir tepian seperti sebatang pisang yang ditebang.
Ketika Sekar Mirah meloncat mendekat, maka orang itu telah berhasil memungut segenggam senjata rahasianya dan langsung melontarkannya kepada Sekar Mirah.
Sekar Mirah terkejut. Tetapi ia masih mempunyai kesempatan. Dengan cepat ia meloncat tinggi-tinggi, berputar di udara dan kemudian jatuh beberapa langkah dari orang itu pada kedua kakinya.
Tetapi lawannya berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu. Dengan cepat ia memungut senjata rahasianya lagi dan siap dihamburkannya ke arah Sekar Mirah.
Sekar Mirah tidak mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Yang dilakukannya adalah memungut pasir tepian segenggam dan dilontarkannya ke arah lawannya sambil menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh.
Senjata rahasia yang terhambur itu telah berbenturan dengan segenggam pasir yang ditaburkannya oleh Sekar Mirah.
Tetapi tenaga yang melontarkannya berbeda. Betapapun besar tenaga Sekar Mirah yang dilambati oleh tenaga dalamnya, namun masih belum seimbang dengan tenaga yang dilambari dengan ilmu pamungkas saudara seperguruan-Kebo Remeng itu. Untunglah bahwa Sekar Mirah telah berguling menjauh, sehingga serangan saudara seperguruan Kebo Remeng itu tidak mengarah ke sasaran yang sudah bergeser dari tempatnya. Namun demikian, ada juga butiran-butiran senjata rahasia yang mengenai lengan Sekar Mirah
Sekar Mirah berdesis menahan panas yang menyengat. Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit.
Namun dalam pada itu, pasir yang dilontarkan oleh Sekar Mirah, ternyata ada juga yang terhambur ke wajah lawannya dan menusuk mata. Karena itu, maka mata saudara seperguruan Kebo Remeng itu terasa sangat pedih. Adalah diluar sadarnya, bahwa orang itupun kemudian telah memejamkan matanya dan menggosok-gosoknya dengan tangannya.
Sekar Mirah melihat kesempatan itu. Betapapun lengannya terasa panas dan nyeri, namun Sekar Mirah itupun segera meloncat bangkit.
Tanpa menghiraukan rasa sakitnya, maka Sekar Mirah itu dengan cepat menyerang lawannya yang masih memejamkan matanya.
Saudara seperguruan Kebo Remeng yang berilmu tinggi itu menyadari kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya Tetapi ia terlambat bertindak. Tongkat baja putih Sekar Mirah segera terayun kearah kening.
Ketajaman pendengaran lawannya memang mendengar desing senjata Sekar Mirah yang terayun. Betapa pedih matanya, ia mencoba untuk membukanya
Dengan pandangan mata yang kabur ia melihat Sekar Mirah mengayunkan tongkat baja putih. Karena itu, ia masih mencoba untuk menangkisnya dengan senjatanya.
Tetapi perlawanan itu tidak banyak berarti. Meskipun arah tongkat baja putih Sekar Mirah bergeser, namun tongkat baja putih itu masih mengenai pundaknya.
Tulang-tulang di pundak saudara seperguruan Kebo Remeng itu benar-benar menjadi retak. Perasaan sakit yang sangat telah mencengkamnya. Keseimbangannyapun menjadi goyah, sehingga orang itupun kemudian terhuyung-huyung jatuh di tepian.
Sekar Mirah yang menjadi sangat cemas dengan senjata rahasia lawannya itu, masih menebas dengan tongkat baja putihnya sekali lagi menghantam lengan tangan yang satu lagi.
Orang itu berteriak nyaring oleh kemarahan, kecewa dan kesakitan yang amat sangat. Namun kemudian tubuhnya terbaring ditepian itu.
Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Namun, demikian lawannya tidak berdaya, maka perasaan panas yang menyengat tubuhnya itu terasa semakin tajam.
Saudara seperguruan Kebo Remeng itupun terbaring diam. Pingsan.
Yang kemudian masih bertempur adalah Kebo Remeng sendiri melawan Agung Sedayu. Keduanya telah mengerahkan kemampuannya semakin tinggi. Sepasang tongkat baja ditangan Kebo Remeng menjadi semakin berbahaya
Seperti Sabungsari, Sekar Mirahpun telah menelan sebutir obat menangkal racun.
Perasaan panas itu memang berkurang. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Sekar Mirah seakan-akan telah mendesak racun yang berada didalam pembuluh darahnya, keluar.
Butiran-butiran sepanas bara yang beracun itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Tetapi baik Sabungsari maupun Sekar Mirah telah berhasil menangkalnya
Sabungsarilah yang lebih dahulu menjadi semakin baik Iapun kemudian bangkit berdiri. Mencoba menggerakkan anggauta badannya yang sudah terasa semakin baik. Sendi-sendinya yang semula hampir menjadi kejang, telah menjadi lemas kembali.
Sejenak dipandanginya Agung Sedayu dan Kebo Remeng yang sedang bertempur. Agaknya keadaan Agung Sedayu tidak membahayakannya. Karena itu, maka Sabungsari masih sempat mendekati Sekar Mirah yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya, mengatur pernafasannya dan menekan racun yang berada di dalam darahnya untuk keluar.
Sebagaimana Sabungsari, maka darah yang pekatpun kemudian terdesak keluar sehingga yang mengalir adalah darah yang merah segar. Dengan demikian seperti Sabungsari, maka yang ditaburkan dilukanya adalah serbuk obat bagi luka-lukanya
Sabungsari membiarkan Sekar Mirah mengatasi kesulitan didalam dirinya dengan duduk ditepian. Sabungsari sendiri kemudian melangkah mendekati arena pertempuran.
Sambil bertempur Kebo Remengpun berteriak " Jika kau berani melibatkan diri, maka racun didalam tubuhmu akan semakin cepat membunuhmu. "
Tetapi Sabungsaripun menjawab " Racunmu sudah tidak berbahaya lagi bagiku, apapun yang aku lakukan. Panas apinyapun sudah tidak terasa lagi. Karena itu, seandainya aku melibatkan diri dalam pertempuran itu, tidak ada lagi yang akan menghambatku. Tetapi aku tidak melakukannya. Aku ingin tahu, Seberapa jauh kemampuan orang yang akan menyingkirkan Agung Sedayu. "
" Persetan " geram orang itu " setelah membunuh Agung Sedayu, aku tentu akan membunuhmu. Kemudian membunuh perempuan yang licik itu. "
Sabungsari tidak menjawab. Diamatinya pertempuran antara Agung Sedayu dan Kebo Remeng itu dengan saksama.'
Semula Sabungsari menduga, bahwa Agung Sedayu sengaja mengulur waktu. Ia ingin menghentikan perlawanan saudara tua dari keenam saudara seperguruan itu terakhir kali.
Tetapi ternyata dugaan Sabungsari itu salah. Agung Sedayu tidak sengaja menghentikan perlawanan saudara tertua dari sekelompok saudara seperguruanku terakhir Apalagi mengingat keadaan Sekar Mirah yang sukurlah dapat mengatasi kesulitannya. Juga keadaan Sabungsari sendiri yang dapat berakibat buruk.
Namun sebenarnyalah Kebo Remeng adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari saudara-saudara seperguruannya. Kecuali waktunya berguru jauh lebih panjang, pengalamannyapun jauh lebih banyak.
Karena itu, untuk mengakhiri perlawanan Kebo Remeng, Agung Sedayupun harus mengerahkan kemampuannya.
Sebenarnyalah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya meringankan tubuh serta ilmu kebalnya selain ilmu cambuknya yang jarang ada bandingannya. Tetapi lawannyapun memiliki ilmu yang sangat tinggi. Permainan tongkat baja putihnya sangat berbahaya bagi lawannya. '
Seperti Agung Sedayu, ternyata Kebo Remeng juga memiliki kemampuan bergerak sangat cepat. Tubuhnya nampak sangat ringan, seakan-akan tidak berbobot. Agaknya Kebo Remeng juga mempunyai kemampuan meringankan tubuh seperti Agung Sedayu.
Namun ketika sentuhan tongkat baja putih-nya menyetuh tubuh Agung Sedayu, maka orang itu menggeram " Iblis kau Agung Sedayu. Kau memiliki juga ilmu kebal."
'Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya kemudian seakan-akan tidak dapat mengenai sasaran karena tertahan oleh lapisan yang tidak kasat mata.
Bangau Sakti 43 Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Petualang Asmara 18
^