Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 8

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


"Aku sependapat dengan Kiai Timbang Laras," berkata Jatha Beri, "kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Ternyata baru aku dan orang-orangku sajalah yang telah bersiap."
Kiai Timbang Laras tidak menjawab lagi. Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu lewat bulak-bulak panjang.
Dalam pada itu, di padepokan Kiai Warangka, Ki Jayaraga pun berkata, "Kiai harus benar-benar bersiap. Beberapa orang di antara mereka adalah orang-orang yang benar-benar liar. Aku tidak percaya bahwa Kiai Timbang Larang sebelumnya pernah berhubungan dengan mereka. Yang menghubungkan Kiai Timbang Laras dengan mereka tentu Ki Jatha Beri. Di bawah pengaruh Ki Jatha Beri segala sesuatunya dapat menjadi rusak."
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menjadi sangat prihatin atas peristiwa ini, Ki Jayaraga. Jika benar mereka datang sepekan lagi, itu berarti bahwa beberapa orang cantrik akan gugur. Sementara itu mereka tidak jelas apakah yang sebenarnya terjadi. Yang mereka tahu, mereka harus bertempur dengan mempertaruhkan nyawa mereka demi padepokannya."
"Orang-orang itu mempunyai banyak pengikut, Kiai. Mereka adalah orang-orang yang namanya telah cacat."
"Aku akan berbicara dengan beberapa orang cantrik tertua di padepokan ini, Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga, Serat Jiwa dan bahkan Glagah Putih serta Ki Resa juga diminta hadir dalam pembicaraan itu. Kiai Warangka juga memanggil Perbatang dan Pinuji untuk ikut mendengarkan pembicaraan antara Kiai Warangka dengan cantrik-cantrik tertuanya.
Perbatang yang mengikuti pembicaraan itu dengan seksama kemudian berkata, "Kiai. Untuk menghindari benturan kekerasan, aku mohon Kiai menyerahkan aku dan Pinuji kepada Kiai Timbang laras. Biarlah kami menjalani hukuman mati. Namun kami tidak akan menyeret beberapa orang lain ke dalam kesulitan."
Tetapi Kiai Warangka menggeleng. katanya, "Tidak Perbatang. Persoalan pokok bukan karena kalian ada di sini. Tetapi karena peti itu. Sementara persoalan-persoalan yang lain telah menyusul, itu sengaja telah disusul oleh Kiai Timbang Laras."
Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pinuji pun berkata, "Kiai. Apakah jika Kiai menyerahkan kami, Kiai Timbang Laras masih tetap akan datang menyerang padepokan ini?"
"Aku kira ia tidak akan mengurungkannya. Peti itu nampaknya sangat penting bagi Timbang Laras. Tetapi justru karena ia datang dengan banyak orang, aku tidak tahu, apakah menurut dugaan Timbang Laras di dalam peti itu berisi harta benda yang sangat banyak sehingga cukup memuaskan jika dibagi untuk sekian banyak orang."
Perbatang dan Pinuji mengangguk-angguk. Tetapi mereka sependapat dengan beberapa orang yang ikut dalam pembicaraan itu. Semuanya itu tidak akan terjadi, jika Ki Jatha Beri tidak berada di padepokan itu.
Akhirnya dalam pembicaraan itu telah diambil keputusan, bahwa Kiai Warangka dan seisi padepokan itu akan mempertahankan padepokan mereka, apapun yang terjadi atas diri mereka.
Perbatang dan Pinuji yang sudah berada di padepokan itu pun juga menyatakan untuk ikut mempertaruhkan diri .bersama para penghuni padepokan itu.
"Jika aku tidak berada di padepokan ini, maka aku sudah tidak akan dapat bertahan hidup. Karena itu, hidup matiku kemudian akan aku peruntukkan bagi padepokan ini."
"Terima kasih," desis Kiai Warangka, "kesediaan kalian akan sangat berarti bagi seisi padepokan ini."
"Tenaga kami di sini tidak lebih dari sejumput garam yang ditaburkan ke dalam laut."
Dengan keputusan bahwa apapun yang terjadi padepokan itu harus dipertahankan, maka kegiatan para cantrik pun segera meningkat. Mereka segera mengamati dinding padepokan. Mereka segera memperbaiki jika ditemukan kelemahan-kelemahan pada dinding itu. Sementara itu, para cantrik pun telah mempersiapkan anak panah dalam jumlah yang tidak terbatas. Demikian pula lembing. Mereka membuat lembing dari jenis pring cendani dengan bedor besi.
Di samping senjata lontar itu, maka para cantrik pun telah mempersiapkan senjata mereka sebaik-baiknya.
Namun dikeesokan harinya, dua orang berkuda telah memacu kuda mereka menuju ke regol padepokan Kiai Warangka. Para petugas di regol yang melihat keduanya segera bersiap. Tetapi karena yang nampak hanya dua orang saja, maka para petugas telah membuka pintu regol. Sementara beberapa orang cantrik telah bersiap-siap di-belakang pintu. Sedangkan dua orang yang lain telah melaporkannya kepada Kiai Warangka yang berada di pendapa.
Dalam pada itu, demikian kedua orang yang memacu kudanya itu memasuki regol halaman padepokan, maka pintu pun telah tertutup kembali.
Demikian kedua orang itu berada di dalam regol, maka keduanya pun segera meloncat turun. Namun masih membayang di wajah mereka, kegelisahan yang mencengkam jantung mereka.
Kiai Warangka yang mendapat laporan tentang kedatangan kedua orang itu pun segera pergi ke pintu gebang. Namun Perbatang dan Pinuji yang juga ingin melihat kedua orang itu pun segera mengikuti Kiai Warangka menemui kedua orang itu.
Ternyata sentuhan pada perasaan kedua orang itu terbukti.
Yang datang itu memang dua orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras.
"Kenapa kalian datang kemari?" bertanya Perbatang tidak sabar. "Kami melarikan diri dari padepokan," jawab seorang dari mereka.
"Kenapa kalian lari kemari?" bertanya Pinuji pula. "Kami memang ingin menemui Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji."
"Darimana kalian tahu bahwa kami berada di sini?" bertanya Perbatang pula.
"Seluruh isi padepokan mengetahui bahwa Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji ada di sini. Kiai Timbang Laras sendiri yang memberitahukan kepada kami. Kiai Timbang Laras telah memerintahkan kepada kami, jika sepekan lagi kami memasuki padepokan ini, maka kami harus membunuh Kakang Perbatang, Kakang Pinuji dan Ki Resa."
"Bagaimana dengan Kiai Warangka?" bertanya Perbatang hampir di luar sadarnya
"Kami harus menangkap Kiai Warangka dan para cantrik yang menyerah. Sedangkan mereka yang melawan, harus dibinasakan."
Wajah Perbatang dan Pinuji menjadi tegang.
"Marilah. Aku persilakan kalian duduk."
Setelah menambatkan kuda mereka pada patok-patok yang tersedia, maka keduanya pun telah dipersilakan naik ke pendapa. Kiai Warangka-lah yang kemudian berkata, "Ki Sanak. Berceritalah apa yang ingin kalian ceritakan kepada Perbatang dan Pinuji."
Salah seorang dari kedua orang itu pun kemudian berkata, "Kiai Timbang Laras dan kawan-kawannya telah menyiapkan sebuah pasukan yang sangat besar. Beberapa orang sahabat Kiai Timbang Laras membawa para pengikutnya. Mereka menyusun kekuatan yang tentu tidak akan terlawan oleh padepokan ini betapa kuat dan besarnya padepokan Kiai Warangka ini."
Kedua orang itu pun kemudian telah memberikan keterangan secara terperinci, kekuatan yang sedang disusun di padepokan Kiai Timbang Laras.
"Bahkan besok atau lusa masih akan datang lagi kelompok-kelompok pengikut sahabat-sahabat Ki Timbang laras."
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apa boleh buat. Apapun yang terjadi, kita tidak akan lari meninggalkan padepokan ini."
"Tetapi jika Kiai Waran gka dan para cantrik tetap berada di padepokan, mereka tentu akan menumpas isi padepokan ini. Mungkin Kiai Timbang Laras tidak akan melakukannya. Tetapi orang-orang yang datang bersamanya tidak akan terkendali lagi."
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kemungkinan itu memang ada. Tetapi setiap jengkal tanah dari padepokan ini harus kita pertahankan, meskipun taruhannya adalah nyawa. Jika kami harus mati karena kami mempertahankan padepokan ini, itu adalah akibat dari hak dan kewajiban kami."
Tetapi Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, "Kiai Warangka. Cara yang lain dapat kita tempuh untuk menyelamatkan padepokan ini tanpa melepaskan hak dan kewajiban."
"Maksud Ki Jayaraga?" bertanya Kiai Warangka.
"Jika Kiai Warangka untuk sementara meninggalkan padepokan ini tetapi dengan janji kepada diri sendiri untuk kembali, maka itu bukan berarti bahwa Kiai Warangka telah melepaskan hak serta mengingkari kewajiban."
Kiai Warangka tersenyum. Tetapi betapa pahitnya senyuman itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku tidak sempat membayangkan, betapa sakitnya meninggalkan padepokan ini hanya karena menghindari kematian."
"Kiai," berkata Ki Jayaraga, "di kalangan keprajuritan pun dikenal cara seperti itu. Satu ketika pasukan segelar sepapan menghindari dari benturan kekuatan. Tetapi pasukan itu akhirnya mendapatkan kemenangan, karena pasukan itu mampu mempergunakan perhitungan waktu dan
"Aku memang bukan seorang prajurit, Ki Jayaraga. Apalagi prajurit yang baik. Mungkin aku terhitung seorang cengeng, yang berpijak sekedar pada perasaannya tanpa pertimbangan nalarnya. Tetapi benar-benar sulit bagiku untuk menyingkir dari padepokan ini karena ingin menyelamatkan diri."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti perasaan Kiai Warangka. Tanah ini sama artinya dengan nyawanya sendiri.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja. Glagah Putih bertanya kepada Perbatang, "Kakang Perbatang, apakah kedua orang ini dapat dipercaya?"
Perbatang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, "Aku percaya kepada mereka."
"Maaf, jika hal ini aku tanyakan kepadamu. Seandainya ia mendengar satu rahasia di antara kita di sini, apakah ia tidak akan lari dan memberitahukannya kepada Kiai Timbang Laras?"
"Tidak," suara Perbatang justru menjadi lebih tegas.
"Baiklah," berkata Glagah Putih kemudian. Orang-orang yang mendengar pertanyaan Glagah Putih itu menjadi heran. Bahkan Ki Jayaraga pun menjadi heran pula.
Namun Glagah Putih segera menjelaskan, "Kiai Warangka. Bukan maksudku memperkecil arti para cantrik yang ada di padepokan ini. Tetapi aku tidak ingin terlepas dari kenyataan serta perhitungan nalar. Bahwa dua buah kekuatan itu dapat diperbandingkan sesuai dengan jumlah serta kemampuan orang-orangnya Menurut keterangan kedua orang cantrik itu, kita mendapat gambaran seberapa besarnya kekuatan Kiai Timbang Laras bersama sahabat-sahabatnya itu."
Tetapi Serat Waja telah memotong, "Aku setuju dengan pendapat bahwa mereka bukan sahabat-sahabat Kakang Timbang Laras. Tetapi mereka adalah sahabat-sahabat Ki Jatha Beri."
"Ya. Aku juga sependapat," sahut Glagah Putih, "namun selebihnya, maka kita harus menghadapi mereka dengan perhitungan atas dasar perbandingan kekuatan itu. Tanpa mempertimbangkannya, maka kita akan terjerumus ke dalam satu keadaan yang tidak wajar dan tidak seimbang. Yang akan terjadi adalah pembantaian. Bukan pertempuran."
Kiai Warangka tertawa pendek. Katanya, "Perhitungan seorang yang memiliki pengetahuan perang yang baik. Tetapi aku pun telah dapat terlepas dari kenyataan tentang padepokan ini. Inilah segala-galanya yang kita miliki. Dengan ini pulalah kami akan bertahan."
"Kiai," betapapun Glagah Putih merasa ragu, namun ia pun akhirnya berkata pula, "aku mempunyai pendapat yang aku tidak tahu, apakah Kiai Warangka setuju atau tidak. Aku memang tidak dapat langsung mencampuri persoalan Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras. Dua orang saudara seperguruan. Karena itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Kiai. Namun yang ingin aku sampaikan kepada Kiai Warangka, apakah Kiai Warangka tidak berkeberatan jika aku akan membawa beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi orang-orang yang dibawa oleh sahabat-sahabat Ki Jatha Beri. Jelasnya, biarlah Ki Jatha Beri juga tidak mencampuri persoalan antara Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras."
Kiai Warangka mengerutkan dahinya. Terjadi sedikit ketegangan di dalam jiwanya Glagah Putih yang muda itu ternyata dapat menawarkan satu pemecahan yang dapat dipertimbangkan. Anak muda itu cukup berhati-hati mengemukakan tawarannya agar tidak menyinggung perasaannya.
Meskipun Glagah Putih itu masih muda tetapi, ia sudah cukup dewasa dengan gagasan serta sikapnya
Namun Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, "Angger Glagah Putih. Angger dapat memilih sikap terbaik bagi padepokan ini. Meskipun yang terjadi tidak akan banyak berbeda, tetapi dasar gagasan angger aku hargai. Tetapi bukankah para pengawal tanah perdikan baru saja kembali dari medan yang berat di Pati. Mereka tentu perlu beristirahat. Apalagi arti dari pertempuran yang terjadi di sini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Pati."
Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Tidak ada bedanya Kiai. Sepanjang kami berjuang untuk tujuan yang baik dan benar menurut keyakinan kami. Menurut pedapatku, tidak seharusnya Jatha Beri melakukan sebagaimana dilakukan sekarang ini. Kehadirannya di padepokan Kiai Timbang Laras telah merenggangkan dan bahkan membuat dua padepokan yang dipimpin oleh dua orang saudara seperguruan menjadi retak. Apapun alasannya, maka padepokan Kiai Timbang Laras harus dipisahkan dari pengaruh Kiai Jatha Beri."
"Kakang," Serat Waja pun menyela, "jika para pengawal tanah perdikan tidak berkeberatan serta diizinkan oleh penguasa Tanah Perdikan Menoreh, maka seharusnya Kakang berterima kasih atas kesediaan Glagah Putih. Dengan demikian, maka Kakang akan mendapat kesempatan untuk menyelsaikan persoalan Kakang dengan Kakang Timbang Laras."
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam Katanya, "Apakah sudah sepantasnya jika persoalan yang timbul di padepokan ini harus menyeret para pengawal Tanah Perdikan Menoreh?"
"Dalam hal ini aku melihat bahwa persoalannya bukan persoalan murni yang timbul antara dua orang saudara seperguruan. Tetapi justru karena hadirnya Ki Jatha Beri."
"Tetapi apakah kehadiran beberapa kelompok pengawal tanah perdikan tidak menimbulkan persoalan dengan orang-orang Kronggahan?"
"Biarlah salah seorang dari kita menemui Ki Bekel Ki Kronggahan, Agar tidak menyinggung kuasanya atas tanah ini."
Ki Warangka memang, tidak segera mengambil keputusan. Ia masih menimbang-nimbang apakah memang pantas baginya untuk melibatkan Tanah Perdikan Menoreh ke dalam persoalannya.
Namun dalam pada itu, Kiai Warangka pun telah memerintahkan Cantrik-cantriknya untuk mengadakan pengamatan di sekeliling padepokan.
Tetapi ternyata Serat Waja menyetujuinya pula. Sementara itu, Ki Jayaraga berkata, "Kiai. Menurut pedapatku, ini merupakan satu gagasan yang baik. Biarlah Tanah Perdikan Menoreh menceggah Ki Jatha Beri mencampuri persoalan yang timbul antara dua orang bersaudara."
Akhirnya Kiai Warangka itu pun berkata, "Baiklah. Aku mengucapkan terima kasih kepadamu, Ngger. Namun segala sesuatunya bergantung kepada Ki Gede Menoreh. Apakah Ki Gede menginzinkan pasukannya pergi ke padepokan ini atau tidak."
"Aku adalah salah seorang dari pengawal tanah perdikan, meskipun aku tidak lahir dan dibesarkan di tanah perdikan itu," berkata Galah Putih kemudian.
Dengan persetujuan Kiai Warangka, maka Glagah Putih pun berniat untuk segera kembali ke tanah perdikan dan berbenah diri. Waktunya sangat sempit. Ia tidak boleh terlambat datang ke padepokan itu.
Maka segala rencana pun telah disusun. Dua orang cantrik tertua yang sudah sering berhubungan dengan Ki Bekel di Krongganan harus menghubungi Ki Bekel. Mereka memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi di padepokan. Mereka juga memberitahukan bahwa sebuah pasukan kecil dari tanah perdikan akan datang.
Ternyata Ki Bekel juga menaruh perhatian yang besar terhadap keadaan di padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh Ki Bekel itu bertanya, "Apa yang dapat kami bantu, ngger?"
"Terima kasih, Ki Bekel. Kami tidak ingin melibarkan padukuhan ini. Kami hanya mohon agar hal ini dirahasiakan."
"Baik, Baik Ngger. Percayalah."
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah berpacu di atas punggung kuda. Dengan demikian, maka mereka akan dapat menghemat waktu. Namun dalam pada itu, Kiai Warangka pun telah memerintahkan cantrik-cantriknya untuk mengadakan pengamatan di sekeliling padepokan. Jika mereka melihat orang-orang yang mencurigakan berkeliaran, mereka harus ditangkap.
Ketika Glagah Putih memberitahukan rencananya kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu harus dapat menarik nafas panjang. Ia sendiri masih belum pulih sepenuhnya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak dapat membantu rencana Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayu setuju, seandainya Ki Gede tidak berkeberatan.
"Temuilah Prastawa. Ajak Prastawa menghadap Ki Gede."
Glagah Putih memang bergerak dengan cepat.
Ternyata segala sesuatunya berjalan lancar. Dengan alasan yang kuat, Glagah Putih berhasil meyakinkan Prastawa dan Ki Gede, sehingga kedua-duanya menyetujui rencana Glagah Putih untuk membawa pasukan kecil ke padepokan Kiai Warangka.
Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu tidak sampai hati melepas para pengawal begitu saja, meskipun Agung Sedayu mengetahui, betapa kemampuan para pengawal tanah perdikan cukup tinggi. Namun ia pun telah minta Glagah Putih untuk menemui seorang kepercayaan Agung Sedayu di barak pasukan khususnya.
"Aku membayangkan betapa kerasnya orang-orang yang bakal berkumpul di padepokan Kiai Timbang Laras itu. Menurut perhitungan, batas sasaran mereka bukan sekedar padepokan Kiai Warangka," berkata Agung Sedayu, "tetapi padepokan Kiai Warangka hanya akan mereka jadikan landasan dari gerak selanjutnya. Semua alasan yang dikatakan oleh Kiai Timbang Laras yang telah terpengaruh oleh Ki Jatha Beri itu semuanya hanya sebuah tirai yang menutupi rencana panjang mereka."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, "Alangkah pendeknya penalaranku. Aku tidak berpikir sejauh itu."
Ki Jayaraga pun tersenyum. Katanya, "Aku tidak pernah mengatakannya meskipun aku telah memikirkannya."
Glagah Putih memandang Ki Jayaraga dengan sorot mata yang membayangkan keherannanya. Bahkan kemudian Glagah Putih pun bertanya, "Kenapa Ki Jayaraga tidak mengatakannya?"
Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa.
Karena itu, maka Glagah Putih yang kemudian bergumam, "Aku tahu. Ki Jayaraga ingin mengetahui seberapa panjangnya penalaranku. Ternyata aku telah mengecewakan."
"Tidak Glagah Putih," sahut Ki Jayaraga, "tetapi perhatianmu telah tertuju kepada bagaimana mencari jalan keluar bagi padepokan Kiai Warangka, sehingga kau tidak memikirkan hal-hal yang lain. Tetapi bahwa kau mempunyai gagasan yang harus sangat dihargai. Seandainya kau mengatakan bahwa tanah perdikan siap membantu padepokan Kiai Warangka akan berbeda. Meskipun apa yang akan terjadi nanti hampir tidak ada bedanya."
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia mengakui kebenaran kata-kata gurunya itu, karena sebenarnya pikirannya tertuju pada cara untuk menyelamatkan padepokan Kiai Warangka tanpa menyinggung perasaannya. Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka padepokan itu tentu sekedar landasan untuk satu pencapaian yang lebih besar lagi. Seberapapun banyaknya harta-benda yang disimpan dalam peti tembaga itu, tentu tidak akan memberikan kepuasan kepada sekian banyak orang yang akan ikut bersama Kiai Timbang Laras memasuki padepokan Kiai Warangka, seandainya peti itu menjadi tujuan akhir.
Karena itu pulalah, maka Glagah Putih telah pergi ke barak pasukan Khusus di tanah perdikan itu.
"Baiklah," berkata seorang yang dipercaya oleh Agung Sedayu untuk mewakilinya memimpin padepokan itu selama kesehatannya belum pulih sepenuhnya, "besok, sebelum senja, dua kelompok prajurit dari pasukan khusus sudah akan berada di banjar padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih segera tahu artinya. Orang itu menyetujui mengirimkan dua kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Agung Sedayu telah ikut mencegah Rara Wulan yang semula ingin ikut ke padepokan Kiai Warangka. Betapa inginnya gadis itu pergi bersama Glagah Putih meskipun ia tahu, bahwa mungkin sekali akan terjadi benturan kekerasan di padepokan itu.
"Kita masih belum mendapatkan kepastian tentang lawan yang akan dihadapi, Rara Wulan," berkata Agung Sedayu, "selebihnya dari sisi pandang yang lain, kau memang kurang pantas pergi ke padepokan itu bersama Glagah Putih."
"Di sini aku juga tinggal bersama kakang Glagah Putih," jawab Rara Wulan."
"Di sini setiap orang sudah mengenal Glagah Putih. Setiap orang sudah mengenal aku dan mbakayumu Sekar Mirah. Dan setiap orang sudah mengenalmu. Tetapi para cantrik di padepokan itu tentu akan merasa heran, bahwa kau berada di sana."
Rara Wulan tidak membantah lagi. Ia tahu, bahwa Agung Sedayu akan tetap mencegahnya meskipun ia memaksa.
Demikianlah, maka di hari berikutnya, menjelang senja semua pasukan telah dipersiapkan. Beberapa kelompok pengawal tanah perdikan dan dua kelompok prajurit dari pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Pasukan itu sebagaimana telah dibicarakan dengan Kiai Warangka akan datang di malam hari. Seandainya orang-orang Ki Jata Beri melihatnya kedatangan itu, mereka tidak akan dengan mudah dapat menilai kekuatan yang akan memasuki padepokan Kiai Warangka itu.
Namun dalam pada itu, para cantrik padepokan Kiai Warangka juga telah mengadakan pengamatan khusus di sekitar padepokan. Mereka harus membersihkan lingkungan itu dari para pengikut Ki Jatha Beri.
Demikianlah, maka pada hari yang keempat, lewat tengah malam para pengawal tanah perdikan dan prajurit dari pasukan khusus yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan itu telah berada di padepokan Kiai Warangka. Mereka langsung mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan di hari berikutnya. Waktu yang sepekan yang dikatakan oleh Kiai Timbang Laras akan dapat berarti bahwa Kiai Timbang Laras itu akan datang tepat pada hari kelima, tetapi juga mungkin pada hari berikutnya.
Tetapi ketika matahari naik, mereka tidak melihat gerakan apapun juga di luar padepokan, maka seisi padepokan itu memperhitungkan, bahwa Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri akan datang di hari berikutnya.
Sebenarnyalah bahwa kekuatan yang berkumpul di padepokan Kiai Timbang Laras juga sudah siap untuk melakukan serangan. Tetapi menurut pertimbangan para pemimpinnya, pada hari kelima itu akan mereka pergunakan untuk mendekati padepokan Kiai Warangka. Di malam hari mereka akan mengatur landasan serangan yang akan mereka lakukan menjelang fajar.
Hari itu, Kiai Warangka masih sempat berbincang dengan para pemimpin padepokan itu dan para pemimpin kelompok pengawal tanah perdikan serta prajurit dari pasukan khusus yang datang ke padepokan itu. Ketika Glagah Putih mengemukakan pendapat Agung Sedayu, maka Kiai Warangka pun langsung menyetujuinya.
"Aku sependapat, Ngger," Kiai Warangka mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, "Ki Jatha Beri dan kawan-kawannya tentu mempunyai jangkauan yang sangat jauh. Dari padepokan ini, mereka akan merambat sampai ke pebukitan. Kemudian meloncati pebukitan menguasai Tanah Perdikan Menoreh. Dari Tanah Perdikan Menoreh, mereka mulai mengintip Mataram dai sekitarnya. Nampaknya mereka akan membuka hubungan yang luas dengan kekuasaan yang ada di luar Mataram untuk menghimpit Mataram dan melenyapkannya."
Kiai Warangka tersenyum. Katanya, "Sebuah mimpi buruk. Tetapi jika hal ini terjadi bersamaan dengan perang antara Mataram dan Pati, apakah memang ada hubungannya?"
Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, "Tentu belum dapat diketahui. Tetapi seandainya Kangjeng Adipati Pragola yang tidak tertangkap itu berusaha untuk bangkit, tentu tidak akan mempergunakan cara seperti ini."
"Mungkin Ki Jatha Beri akan membuat landasan untuk menguasai lingkungan ini dari sisi yang lain," berkata Kiai Warangka, "mereka akan menguasai daerah ini sebagai hutan perburuan, sehingga tidak akan ada kelompok lain yang berani memasuki lingkungan ini untuk berburu. Termasuk daerah di sekitar padepokan ini, Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, tetapi di luar Kota Raja. Meskipun lambat laun, mereka akan dapat mengembangkan kekuasaan mereka."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Berbagai kemungkinan memang dapat terjadi. Tetapi sudah tentu bukan sekedar menguasai padepokan ini. Karena itu, maka Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit Mataram ikut merasa berkepentingan."
Selagi perbincangan itu masih berlangsung, dua orang cantrik telah menghadap Ki Warangka. Mereka adalah dua orang cantrik yang mendapat tugas untuk mengawasi lingkungan di luar padepokan.
Seorang di antara mereka berkata, "Kami sudah melihat, pasukan Kiai Timbang Laras datang. Pasukan itu memang besar. Dari bukit kecil itu, kami melihat iring-iringan yang panjang."
"Mereka tidak akan langsung menyerang," berkata Kiai Warangka, "mereka akan menyerang esok pagi menjelang fajar."
"Baiklah," berkata Kiai Warangka, "Kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bantuan dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari barak pasukan khusus akan sangat berarti bagi kami di sini."
Perbatang dan Pinuji pun berusaha untuk menyesuaikan diri. Demikian pula Ki Resa. Di padepokan itu ia merasa mempunyai banyak teman untuk melawan Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri yang selalu memburunya.
Kiai Warangka pun kemudian segera menegaskan kembali segala pesan yang telah diberikan kepada para pemimpin di padepokannya, para cantrik dan putul.
Cantrik yang mengawasi keadaan yang datang kemudian, telah memberikan laporan yang sama pula. Bahkan mereka sempat melihat pasukan itu dipecah menjadi beberapa bagian yang saling memisahkan diri. Nampaknya mereka akan mengepung padepokan Kiai Warangka itu dari segala arah.
Namun Kiai Warangka memang sudah memperhitungkannya. Bahkan Kiai Warangka telah menarik semua kekuatannya ke padepokan induk. Bahkan ternak dan binatang peliharaan yang lain pun telah dibawa ke padepokan induk.
Sementara itu, para cantrik pun telah mempersiapkan arena yang cukup untuk bertempur jika orang-orang yang menyerang padepokan itu berhasil memasuki padepokan. Mereka akan memanfaatkan medan yang mereka kenal dengan baik itu untuk menjebak lawan-lawan mereka.
Latihan-latihan telah mereka lakukan dengan sebaik-baiknya. Sementara itu itu, para pengawal tanah perdikan dan para prajurit dari pasukan khusus akan menyesuaikan diri.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras itu telah berada di sekitar padepokan. Nampaknya dengan sengaja mereka menunjukkan kekuatan mereka. Mereka telah menempatkan kelompok-kelompok pasukannya di sekeliling padepokan, sehingga padepokan itu benar-benar telah terkepung.
Kiai Warangka, Ki Jayaraga, Glagah Putih, Ki Resa dan para pemimpin kelompok para pengawal tanah perdikan serta prajurit dari pasukan khusus serta para putut dari padepokan itu telah naik pula ke parggungan yang memanjang di belakang dinding di sebelah-menyebelah pintu gerbang.
Dalam pada itu, beberapa orang berkuda telah mendekati regol padepokan. Di antara mereka adalah Kiai Timbang Laras, Ki Jatha Beri dan beberapa orang yang nampak keras dan garang. Bahkan Jayaraga terkejut ketika ia melihat seorang yang berkumis dan berjanggut putih. Bahkan alisnya pun telah menjadi putih pula.
Sambil duduk di atas kudanya, ia membawa sebuah tongkat yang tidak terlalu panjang. Tongkat dengan lukisan seekor ular naga yang membelit sebatang kayu.
"Naga Dakgrama," desis Ki Jayaraga.
Kiai Warangka yang mendengar nama itu berpaling. Dengan nada rendah ia bertanya, "Yang mana?"
"Orang yang berkumis, berjanggut dan alisnya sudah putih. Membawa tongkat yang tidak terlalu panjang dan di pundaknya di sangkutkan sehelai kain berwarna merah. Di bawah ikat kepalanya, rambutnya yang nampak sedikit tergerai juga sudah memutih seperti kumis
janggutnya." "Jadi orang itu juga ikut serta," desis Kiai Warangka.
Ki Jayaraga mengangguk kecil. Dengan kerut di kening ia bertanya, "Apakah Kiai Warangka belum pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya?"
"Belum Ki Jayaraga," jawab Kiai Warangka, "tetapi aku pernah mendengar namanya."
"Orang itu termasuk orang yang tidak berjantung. Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat, orang itu akan sampai di daerah ini."
"Aku menjadi kasihan kepada Timbang Laras," berkata Kiai Warangka, "Kenapa ia telah terjebak ke dalam satu kumpulan orang-orang seperti itu?"
"Sehingga Kakang Timbang Laras telah melupakan saudara seperguruannya sendiri."
Kiai Warangka mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat menjawab.
Sementara itu, orang-orang berkuda yang mendekati regol padepokan itu pun mulai berbicara. Yang mula-mula berbicara adalah Kiai Timbang Laras, "Kakang. Kau lihat! bahwa aku tidak datang sendiri."
Kiai Warangka yang berada di atas panggungan di belakang dinding padepokan di sebelah regol itu pun menyahut, "Ya, Timbang Laras. Aku melihat, kau datang bersama beberapa orang kawan-kawanmu. Banyak sekali."
"Nah, Kakang," berkata Timbang Laras pula, "kau tidak mempunyai pilihan lain. Serahkan padepokanmu ini kepada kami!"
"Untuk apa, Timbang Laras" Bukankah kau sudah mempunyai padepokan sendiri?"
"Aku akan mengaduk seluruh padepokan ini untuk menemukan peti itu."
Tetapi Serat Waja nampaknya tidak sabar lagi. ia pun segera menyahut, "Apa artinya peti itu bagi sekian banyak orang, Kakang" Apa kau kira isinya akan dapat kalian bagi rata kepada semua orang dalam nilai uang sekeping-sekeping?"
"Kau tidak usah ikut campur Serat Waja!" bentak Timbang Laras.
"Kenapa" Kau dan Kakang Warangka adalah saudara seperguruanku pula."
Belum lagi Kiai Timbang Laras menjawab, Jatha Beri telah berteriak, "Buat apa berbicara dengan mereka. Tidak akan ada gunanya."
"Kita membuang-buang waktu saja," geram seorang yang bertubuh gemuk dan membawa sebuah kapak yang besar, "biarlah aku memecahkan pintu gerbangnya sekarang meskipun baru besok kita akan memasuki padepokan ini."
"Buat apa tergesa-gesa?" berkata orang yang disebut Naga Dakgrama,
"Aku masih letih sekarang. Aku ingin beristirahat. Jika aku bersedia datang kemari itu semata-mata karena aku ingin memperkenalkan diri. Mungkin orang-orang padepokan ini belum pernah melihat ujud orang yang bergelar Naga Dakgrama."
Ki Jayaraga dengan sengaja berdiri di belakang, sehingga tidak nampak dari depan regol padepokan itu. Ia sengaja menghindar agar Naga Dakgrama tidak melihatnya.
"Seperti Jatha Beri, ia akan terkejut melihat aku di sini. Meskipun mungkin Jatha Beri, sudah memberitahukan kepadanya, tetapi jika tiba-tiba besok kami akan berhadapan, maka tentu akan sangat menarik baginya."
Kiai Warangka tersenyum sambil berkata, "Jadi, Ki Jayaraga sudah memilih lawan?"
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin satu kebetulan kami harus bertemu di sini."
Kiai Warangka tidak menjawab. Sementara Kiai Timbang Laras pun berkata, "Kakang. Kami memang hanya sekedar ingin memperkenalkan diri. Besok pagi-pagi, sebelum fajar, kami akan datang lagi. Kakang tentu sudah tahu, seberapa banyak orang yang datang bersama kami. Nah, apakah Kakang masih merasa mungkin untuk akan tetap mempertahankan padepokan ini, itu sama sekali bukan karena Kakang seorang pemberani. Bukan pula karena Kakang seorang laki-laki sejati, karena seorang laki-laki sejati tidak akan hanyut dibawa arus perasaannya. Tetapi penalarannya akan ikut menentukan sikapnya. Nah, jika Kakang tetap bertahan, maka akan berarti bahwa Kakang dan para cantrik padepokan ini akan membunuh diri."
"Terima kasih atas peringatanmu. Timbang Laras. Ternyata masih juga tersisa ikatan persaudaraan di antara kita. Masih ada sisa belas kasihanmu, sehingga kau telah memperingatkan kami, seisi padepokan ini untuk menghindarkan diri dari kematian. Tetapi sayang, Timbang Laras, bahwa aku tidak dapat memenuhinya. Aku akan mempertahankan padepokan ini apapun yang terjadi. Persoalan padepokan ini adalah persoalan antara aku dan kau. Antara dua orang saudara seperguruan. Aku tidak ingin orang lain ikut campur. Aku tidak ingin Jatha Beri atau Naga Dakrama atau siapa pun yang lain mencampuri persoalan antara aku dan adik seperguruanku."
Namun tiba-tiba orang yang bertubuh gemuk dan membawa kapak itu tertawa. Katanya, "Kau memang bodoh Warangka. Mau tidak mau, itu harus terjadi. Kau tidak akan dapat memilih. Kau akan berhadapan dengan kami semuanya."
Kiai Warangka itu pun menyahut, "Aku minta kalian tahu diri. Aku minta Timbang Laras juga menghargai padepokan ini yang aku warisi dari guru yang membesarkan aku dan kau Timbang Laras."
Orang-orang yang ada di depan regol itu tertawa. Jatha Beri pun kemudian berteriak, "Jangan merajuk, Kiai Warangka. Jangan menjual belas kasihan seperti itu. Kau kira adik seperguruanmu mau mendengarnya."
"Aku tidak merajuk, Kisanak. Tetapi baiklah. Kita akan bertemu besok. Aku kira kalian tidak sabar lagi akan berusaha memasuki padepokanku hari ini?"
"Sudahlah, Kiai Timbang Laras.," berkata Ki Jatha Beri, "saudara seperguruanmu sudah mulai mengigau. Biarlah besok ia mengakhiri igauannya itu."
Suara tertawa meledak di antara orang-orang yang berada di depan regol itu. Glagah Putih hampir saja kehilangan kesabaran. Tetapi ketika ia bergerak, maka Ki Jayaraga menggamitnya sambil berdesis, "Biarkan mereka pergi."
Orang-orang berkuda itu memang pergi. Tetapi tidak terlalu jauh. Para pengikut mereka pun sudah menebar di sekeliling padepokan itu.
"Jumlah mereka memang terlalu banyak untuk dihadapi oleh seisi padepokan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Timbang Laras, jika seisi padepokan itu akan bertahan, maka mereka akan dapat dibinasakan."
"Tetapi seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih. Biarlah Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras menyelesaikan persoalan mereka sendiri."
"Besok pagi, para pendatang itu akan menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan lawan yang lain," berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Malam itu, sebelum beristirahat, Glagah Putih sempat memberikan pesan-pesan terakhirnya kepada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Para pengawal yang memiliki kemampuan prajurit dan mempunyai pengalaman yang luas. Mereka memiliki kemampuan secara pribadi, tetapi mereka juga memiliki kemampuan bertempur dalam kelompok-kelompok mereka, bahkan perang gelar sekali pun. Apalagi para prajurit dari pasukan khusus yang ditempa dalam barak yang khusus pula. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang dapat bertempur menghadapi segala jenis lawan.
"Nah, sekarang beristirahatlah. Kalian harus menyimpan tenaga kalian. Besok, kalian akan bertempur mempertaruhkan hidup dan mati kalian. Tetapi malam ini kalian sempat berdoa, semoga Yang Maha Agung melindungi kalian yang berjuang untuk kebaikan."
Seperti para pengawal dan prajurit, maka Glagah Putih pun beristirahat pula bersama mereka. Demikian pula para pemimpin padepokan itu serta para cantrik dan putut. Meskipun demikian, para petugas yang berada di panggungan tidak lengah sama sekali. Mereka mengawasi keadaan di sekitar padepokan yang memang terbuka. Yang terbentang di seputar padepokan adalah padang perdu yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar dan rerumputan.
Para cantrik yang bertugas, melihat orang-orang yang mengepung padepokan itu membuat perapian. Sebagian dari mereka juga mulai berbaring. Namun yang lain telah menyiapkan tangga-tangga bambu, tali-tali yang terbuat dari ijuk dan jangkar-jangkar besi. Alat-alat yang memang terbiasa dipergunakan oleh pasukan yang ingin memasuki lingkungan berdinding.
Sementara itu, para cantrik yang berada di sebelah menyebelah regol menduga, bahwa pintu regol tidak akan dibuka dengan cara yang wajar. Tidak dengan sepotong kayu yang besar dan panjang. Tetapi orang-orang berilmu tinggi akan memecahkan pintu regol dengan ilmu mereka. Terutama orang yang bersenjata kapak sangat besar itu. Nampaknya ia merasa mampu memecahkan pintu regol dengan sekali ayun.
Tetapi semuanya itu sudah diperhitungkan. Para cantrik memang sudah mempersiapkan arena yang cukup luas di halaman depan. Kemudian di samping dan di antara bangunan-bangunan yang ada. Para cantrik akan memanfaatkan medan untuk menjebak lawan-lawan mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sejak di halaman depan akan berusaha menekan para pengikut orang-orang yang datang bergabung dengan Kiai Timbang Laras, sementara para cantrik akan memilih lawan di antara para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang cantrik yang telah berada di tempat itu akan memberikan isyarat, di kelompok yang mana mereka berada.
"Mudah-mudahan mereka tidak berbaur," berkata Perbatang kepada Serat Waja sebelum Perbatang beristirahat
"Itulah yang aku cemaskan. Jatha Beri dan kawan-kawannya memang terlalu licik. Tetapi seandainya demikian, apa boleh buat. Para pengawal tanah perdikan akan dapat menyesuaikan diri. Jumlah mereka pun cukup banyak. Lebih banyak yang aku duga. Apalagi di antara mereka terdapat dua kelompok prajurit dan pasukan khusus yang tidak diragukan lagi kemampuannya."
Perbatang mengangguk-angguk. Namun dengan pandangan kosong ia pun berdesis, "Kasihan saudara-saudaraku yang pernah berguru kepada Kiai Timbang Laras dengan sungguh-sungguh. Akhir dari laku yang mereka jalani ternyata sangat buruk. Mudah-mudahan besok mereka dapat dipisahkan dari orang-orang gila yang datang bersama mereka."
"Seandainya mereka berbaur, bukankah kalian dapat mengenali ilmu mereka" Seandainya mereka berbaur dan tanpa mengenakan ciri-ciri khusus, maka satu-satunya cara untuk mengenali mereka adalah pada tatanan gerak dan ilmu mereka."
Perbatang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku akan mengatakan kepada saudara-saudaraku di perguruan ini. Kami sendiri yang memang berasal dari perguruan Kiai Timbang Laras akan langsung dapat mengenali mereka."
Ilmu kita sebenarnya bersumber dari perguruan yang sama. Karena itu, maka saudara-saudara kita dari perguruan Kakang Warangka tentu akan dapat mengenalinya pula dengan cepat. Demikian pula sebaliknya."
"Jika saja racun yang ditaburkan oleh Jatha Beri itu masih belum terlalu dalam merasuk ke dalam tulang sungsum saudara-saudara kita itu."
Dengan nada dalam Serat Waja berkata, "Bagaimanapun juga kita memang harus berhati-hati. Kita memang tidak tahu, apakah mereka masih merasa mempunyai ikatan dengan kita atau tidak."
Perbatang menundukkan kepalanya. Satu pilihan yang sangat sulit.
Meskipun demikian, Perbatang dan Serat Waja memang memberikan beberapa pesan kepada para cantrik dan putut, agar mereka mencoba memisahkan tanggapan mereka terhadap para murid dari perguruan Kiai Timbang Laras dan para pendatang.
"Tetapi jika mereka sama berbahayanya, apa boleh buat," berkata Serat Waja.
Demikianlah, malam itu para cantrik, para pengawal tanah perdikan dan para prajurit dari pasukan khusus dapat beristirahat tanpa terganggu. Yang bertugas pun dapat bergantian sesuai dengan ketentuan. Tidak ada tanda-tanda yang menarik perhatian mereka, karena agaknya orang-orang yang mengepung padepokan itu pun memerlukan waktu untuk beristirahat pula.
Namun di dini hari, beberapa orang petugas khusus sudah mulai melakukan tugas mereka. Perapian mulai menyala dan air pun mulai dijerang.
Meskipun demikian, Perbatang dan Serat Waja memang memberi-kan beberapa pesan kepada para cantrik dan putut, agar mereka mencoba memisahkan tanggapan mereka terhadap para murid dari perguruan Kiai Timbang Laras dan para pendatang.
Baru kemudian, para cantrik, putut, pengawal tanah perdikan dan para prajurit dari pasukan khusus itu pun terbangun. Mereka pun segera berbenah diri. Beberapa buah sumur yang ada di padepokan yang terhitung luas itu pun telah ditimba airnya. Bergantian mereka mandi atau sekedar mencuci muka. Yang tidak telaten menunggu pakiwan yang berisi dua atau tiga orang, mereka langsung menyiram tubuh mereka di plataran sumur.
Tetapi mereka yang malas, hanya sekedar membasahi tangan mereka untuk mengusap wajah-wajah mereka saja.
Seorang cantrik muda yang hanya mencuci mukanya saja berdesis,
"Nanti, jika pertempuran sudah selesai, aku akan mandi keramas."
"Kau kira perang tentu selesai hari ini?"
"Entahlah. Jika perang baru selesai esok, biarlah aku mandi esok. Atau bahkan mungkin aku harus mandi dengan darah."
"Jangan berkata begitu," desis kawannya, "berdoalah. Doa kita akan didengar-Nya, meskipun keputusan akhir ada di tangan-Nya pula."
Cantrik muda itu tersenyum katanya, "Ya, tentu kita akan berdoa. Kau kira aku akan membiarkan hidupku direngut orang?"
Kawannya tidak menjawab. Tetapi kawannya yang sudah selesai mandi itu pun kemudian berpakaian sambil Berkata, "Akhirnya kita selesai berbareng meskipun kau tidak mandi."
"Kau tidak berhenti berbicara, sehingga aku tidak sempat beranjak dari plataran sumur ini."
Demikianlah, sejenak kemudian para cantrik, para pengawal dan para prajurit yang tidak mengenakan pakaian keprajuritannya pun sudah siap. Mereka sudah minum minuman hangat dan makan sekenyang-kenyangannya. Jika pertempuran berlangsung sehari penuh dan mereka tidak sempat makan lagi, tenaga mereka tidak boleh terkuras habis sebelum matahari merendah.
Para cantrik yang bertugas berjaga-jaga pun, melihat di kejauhan orang-orang yang mengepung padepokan itu pun sudah bersiap pula. Para petugas di dapur pun telah lebih dahulu sibuk. Kemudian yang lain pun telah bersiap-siap pula. Di antara mereka telah mempersiapkan peralatan yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding dan memasuki halaman padepokan.
Ketika seorang putut yang tidak sabar mengusulkan agar pasukan yang ada di dalam padepokan itu justru yang keluar mendahului menyerang, maka Kiai Warangka pun berkata, "Kita akan menunggu. Jika mereka berhasil memasuki padepokan ini, kita pun sudah siap. Tetapi untuk memasuki padepokan ini, mereka sudah harus mengorbankan banyak orang, sehingga kekuatan mereka tentu sudah menyusut meskipun mungkin hanya sebagian kecil. Sementara itu, di dalam lingkungan padepokan ini, kita dapat memanfaatkan medan yang sudah kita kenal dengan baik. Bukankah kita sudah mempersiapkan jebakan-jebakan bagi mereka. Nah sebelum matahari terbenam, kita harus sudah dapat mengusir mereka keluar lagi dari padepokan ini. Kita tidak tahu, apakah di hari berikutnya mereka akan mengulangi serahannya atau tidak."
Putut itu mengangguk-angguk. Tetapi darah mudanya serasa telah mendidih ketika ia melihat orang-orang yang mengepung padepokan itu dengan sikap yang yakin telah siap untuk menyerang seakan-akan mereka telah memastikan diri akan menang.
Menjelang fajar, maka segalanya sudah dipersiapkan. Orang-orang yang mengepung padepokan itu pun sudah siap pula, sementara para cantrik pun sudah siap berada di panggungan dengan busur dan anak panah. Sebagian dengan lembing-lembing pering cendani yang siap dilontarkan.
Namun sebagian yang lain telah siap di tempat-tempat yang telah disediakan. Di seputar halaman depan padepokan. Halaman samping dan belakang. Di antara dinding-dinding bangunan serta mempersiapkan jebakan-jebakan. Jika orang-orang yang menyerang padepokan itu memecahkan pintu regol, yang menurut perhitungan tidak akan terlalu sulit dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi, maka pasukan yang memasuki padepokan itu harus dengan cepat mengalir dan melebar ke seluruh lingkungan padepokan. Namun mereka akan menebar pula di tempat-tempat yang khusus memang diharapkan untuk segera mereka datangi.
Mereka diharapkan untuk memasuki longkangan-longkangan yang berpintu rahasia. Jika sekelompok di antara para penyerang itu memasuki longkangan yang telah dipersiapkan, maka pintu di ujung longkangan itu akan ditutup, sehingga kesannya memang bukan sekedar pintu tertutup. Tetapi longkangan itu seakan-akan tidak pernah ada, sehingga para penyerang itu akan mengalir ke longkangan yang lain. Dengan jenis pintu yang sama, maka longkangan itu pun dapat tertutup pula, sementara longkangan yang lain lagi akan terbuka. Sementara itu, para cantrik, putut dan pengawal tanah perdikan telah siap di setiap longkangan untuk menyambut mereka. Sedangkan para prajurit dari pasukan khusus, dengan sebagian pengawal dan cantrik serta putut, akan menunggu di tempat-tempat terbuka di dalam lingkungan padepokan itu. Para prajurit dari pasukan khusus yang terlatih dengan baik untuk menghadapi lawan siapa pun juga itu, akan langsung menyongsong para penyerang yang memasuki pintu gerbang. Beberapa orang cantrik yang ditugaskan berada di antara mereka, di antaranya adalah para cantrik yang melarikan diri dari padepokan Kiai Timbang Laras yang telah disamarkan, akan memberikan petunjuk, yang manakah di antara para penyerang itu murid dari padepokan Kiai Timbang Laras dan yang mana yang bukan. Namun dalam keadaan yang paling gawat, maka pengamatan itu tentu tidak akan terlalu cermat.
Sejenak kemudian, maka para cantrik yang berada di atas panggungan telah memberikan isyarat, bahwa lawan mereka telah mulai bergerak.
Kiai Warangka, Serat Waja dan Glagah Putih telah naik ke-panggungan pula. Sementara Ki Jayaraga. Ki Resa serta Perbatang dan Pinuji berada di halaman depan padepokan.
Beberapa orang berkuda yang kemarin telah mendekati pintu gerbang, telah mendahului pasukan yang mulai bergerak itu. Seperti kemarin, beberapa orang itu telah mendekati pintu gerbang. Kiai Timbang Laras yang berada di antara mereka pun telah berteriak, "Kakang Warangka. Aku datang untuk menghancurkan padepokan ini, jika Kakang tidak segera pergi meninggalkannya. Pasukan kami cukup kuat untuk menumpas seisi padepokan ini dalam waktu dekat. Sebelum matahari sampai di puncak langit, maka pekerjaan kami tentu sudah selesai. Selebihnya tinggal menyingkirkan tubuh yang terbaring membeku yang berserakan di mana-mana."
"Lakukanlah, Timbang Laras. Tetapi seperti sudah aku katakan kemarin, bahwa persoalan yang sebenarnya adalah persoalan antara aku dan kau, adik seperguruanku. Karena itu, maka biarlah orang lain tidak mencampurinya."
"Kau masih saja merajuk Kiai Warangka," teriak Ki Jatha Beri, "kau lihat kami sudah ada di sini. Kami akan ikut memasuki padepokan, menghancurkan semua yang melawan kehadiran kami.
"Kami masih memberi kesempatan hidup bagi mereka yang menyerah," teriak Kiai Timbang Laras pula.
Tetapi Ki Jatha Beri dengan cepat menyambung, "Tetapi mereka akan menjadi budak-budak kami sepanjang hidup mereka."
Kiai Warangka pun menjawab dengan tenang meskipun suaranya cukup lantang, "Ki Jatha Beri, maaf bahwa aku dan para cantrik tidak akan sempat melayani kalian karena kesibukan kami untuk melayani adik seperguruanku itu. Biarlah aku serahkan kepada orang lain yang sudah siap melayani kedatangan kalian, sehingga barangkali pekerjaan kalian tidak akan selesai sebelum tengah hari. Atau bahkah sampai senja sekalipun. Tetapi jika kalian merasa jemu dengan pekerjaan kalian yang tidak terselesaikan itu, maka kalian akan dapat meninggalkan padepokan ini melalui pintu gerbang yang aku yakin, akan kalian pecahkan itu."
"Aku hanya ingin memberi kepuasan. Jika karena kesibukan kami, kami tidak dapat menghiraukan kedatangan kalian, maka kalian tentu akan sengat kecewa. Karena itu, biarlah orang lain yang melakukannya."
"Kakang, apakah Kakang akan berbuat licik?" teriak Kiai Timbang Laras.
"Tidak. Aku akan menyambutmu dengan baik, Timbang Laras. Aku hanya ingin memperingatkan, bahwa orang lain sebaiknya tidak ikut campur dalam persoalan di antara kita. Itu saja."
"Setan k au! Apa yang akan kau lakukan?" teriak Ki Jatha Beri.
Kiai Timbang Laras pun menggeram. Katanya, "Jika kau berbuat licik, Kakang. Maka akibatnya akan sangat buruk bagi padepokan ini."
"Apakah kita akan mempersoalkan pengertian licik sehari penuh, sehingga rencanamu akan tertunda sampai esok?"
Kiai Timbang Laras menggeretakkan giginya. Dengan lantang ia pun berteriak, "Bersiaplah! Kita akan segera mulai."
Namun Kiai Warangka justru tertawa sambil menjawab, "Aku sudah siap sejak sepekan yang lalu."
Dua orang di antara orang-orang berkuda itu pun segera memacu kudanya kembali ke pasukan induknya. Sementara itu, orang yang berkepala botak dan mebawa kapak yang besar itu segera mendekati pintu gerbang.
Dalam pada itu, maka Kiai Warangka pun kemudian menyadari, bahwa perang telah dimulai. Ketika kedua orang berkuda itu sampai di induk pasukannya, maka sejenak kemudian telah terdengar lengking panah sendaren yang lepas ke udara.
Bukan saja orang-orang yang datang menyerang itu sajalah yang mengerti, bahwa suara panah sendaren itu berarti perintah untuk mulai menyerang. Tetapi orang-orang yang berada di dalam lingkungan padepokan itu pun mengerti pula. Karena itu, maka orang-orang yang ada di dalam padepokan itu pun segera bersiap sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengepung padepokan itu pun segera berlari-lari mendekat. Jumlah mereka memang cukup banyak, karena mereka terdiri dari beberapa perguruan dan kelompok-kelompok yang mempunyai jumlah pengikut yang besar pula.
Dengan demikian, maka serangan atas padepokan itu datang dari beberapa penjuru. Namun para pemimpin mereka agaknya memang memusatkan kekuatan terbesar pada sisi depan dari padepokan itu.
Dengan isyarat yang terdengar itu, maka Kiai Warangka pun telah menjatuhkan perintah pula kepada para cantrik yang ada di panggungan untuk melepaskan senjata mereka.
Namun orang yang bersenjata kapak yang besar itu sudah sampai di pintu gerbang. Seorang yang lain telah melindunginya dari serangan anak panah dari para cantrik dari atas panggungan. Tetapi justru karena orang berkepala botak dan bersenjata kapak itu melekat pada pintu gerbang yang di atasnya beratap, maka agak sulit untuk langsung membidiknya.
Sementara itu, maka orang berkapak itu segera mengayunkan kapaknya. Ternyata kekuatan orang itu memang luar biasa. Ketika kapaknya mengenai pintu gerbang padepokan, maka seakan-akan seluruh padepokan itu bergetar.
Tetapi Kiai Warangka memang tidak terlalu menekankan kepada penyelamatan pintu gerbang itu, justru karena para cantrik telah bersiap untuk bertempur di dalam padepokan. Kiai Warangka pun memperhitungkan bahwa orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak akan berusaha untuk menimbulkan kerusakan, apalagi membakar bangunan-bangunan yang ada, justru karena mereka menginginkan untuk menjadikan padepokan itu landasan dari gerak mereka selanjutnya.
Demikianlah, maka setiap ayunan kapak orang yang berkepala botak itu, dinding padepokan itu telah terguncang, sementara padepokan itu sendiri bagaikan bergetar.
"Luar biasa!" geram Glagah Putih. Namun Glagah Putih itu pun segera berdiri menuruni tangga panggungan itu.
"Kau akan ke mana, Ngger?" bertanya Kiai Warangka.
Glagah Putih yang sudah berada di tengah-tengah tangga panggungan itu berhenti sambil menjawab, "Orang berkapak itu sangat menarik."
Kiai Warangka menarik nafas panjang. Ia menyadari, bahwa agaknya Glagah Putih akan mempersiapkan diri untuk menghadapi orang yang memiliki tenaga sangat besar itu.
Dalam pada itu, maka Kiai Warangka pun kemudian berkata kepada Serat Waja, "Kau sajalah yang memimpin perlawanan dari panggungan ini. Aku akan turun. Jika Kakangmu Timbang Laras memasuki padepokan ini, biarlah aku yang menyongsongnya.. "
"Biar aku sajalah, Kakang," Sahut Serat Waja, "sudah lama aku berpisah dengan Kakang Timbang Laras. Aku ingin mencoba, apakah Kakang Timbang Laras sudah-mendapat kemajuan."
Kiai Warangka tersenyum. Katanya, "Akulah yang ditantangnya. Biarlah aku melayaninya."
Serat Waja tidak dapat mencegahnya. Ketika Kiai Warangka kemudian turun dari panggungan, maka Serat Waja pun segera mengamati orang-orang yang datang menyerang itu tanpa menghiraukan lagi orang berkepala botak yang berusaha memecahkan pintu regol.
Demikian, orang-orang yang menyerang itu memasuki jarak jangkau serangan anak panah, maka Serat Waja segera memerintahkan untuk melepaskan anak panah sebanyak dapat mereka lontarkan.
Anak panah itu memang menghambat gerak maju orang-orang yang datang menyerang itu. Namun sambil berteriak-teriak mereka mengacu-acukan senjata mereka. Sebagian mereka membawa perisai untuk melindungi diri. Tetapi yang lain mampu menepis serangan anak panah itu dengan senjata mereka.
Namun di samping itu, beberapa orang telah jatuh pula. Mereka bahkan telah terinjak-injak oleh kawan-kawannya yang berlari-lari mendekati dinding padepokan.
Beberapa orang di antara mereka membawa tangga-tangga bambu. Yang lain membawa tali dan jangkar. Sementara itu, orang berkapak itu masih berusaha untuk memecahkan pintu gerbang yang terbuat dari kayu.
Ketika orang-orang yang berlari-lari mendekati dinding itu menjadi semakin dekat, maka para cantrik yang berada dipanggungan telah melemparkan lembing-lembing yang dibuat dari pering cendani berbedor besi yang tajam, sehingga memerlukan tenaga yang lebih besar untuk menepisnya. Sementara itu, anak panah masih saja meluncur seperti hujan.
Dalam pada itu, bukan hanya di sisi depan sajalah, para penyerang berusaha untuk meloncati dinding dengan tangga dan tali. Tapi mereka yang menyerang lewat samping pun telah melakukannya pula.
Tetapi ternyata tidak terlalu mudah bagi mereka untuk melakukannya. Para cantrik yang berada di panggungan di belakang dinding padepokan itu telah mendorong ujung-ujung tangga itu sehingga tangga-tangga itu roboh.
Tetapi para penyerang itu berusaha terus. Dilindungi oleh anak panah yang meluncur seperti hujan untuk mengimbangi serangan anak-anak panah yang datang dari balik dinding.
Namun kedudukan para cantrik yang berada di balik dinding itu lebih menguntungkan. Mereka berada di tempat yang lebih tinggi. Sebagian tubuh mereka terlindung oleh dinding itu sendiri.
Dalam pada itu, maka orang berkepala botak yang berusaha memecah pintu itu ternyata tidak lagi bekerja sendiri. Beberapa orang pengikutnya yang juga bersenjata kapak telah membantunya berusaha memecahkan pintu gerbang itu.
Ternyata memecahkan pintu gerbang yang kokoh itu tidak semudah yang dibayangkan oleh orang berkepala botak itu. Meskipun demikian, maka perlahan-lahan pintu gerbang itu pun menjadi retak dan kemudian mulai pecah.
Sementara itu, matahari sudah menjadi semakin tinggi. Tetapi masih belum sampai ke tengah hari.
Demikian mereka melihat pintu gerbang itu mulai pecah, maka orang-orang menyerang padepokan itu bersorak semakin gemuruh. Mereka berteriak-teriak dengan keras dengan mengucapkan kata-kata kasar.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menurut pendapat mereka, pecahnya pintu gerbang akan sama artinya dengan pecahnya pertahanan para cantrk dari padepokan Kiai Warangka itu.
Namun sebelum pintu gerbang itu benar-benar pecah, Serat Waja berteriak bukan saja dengan kemampuan wadagnya, namun dengan dorongan ilmunya sehingga suaranya bagaikan menggetarkan udara di atas padepokan itu dan sekitarnya, "Kakang Timbang Laras! Jika pintu itu pecah, dan kau memasuki padepokan itu, maka seperti yang dikatakan oleh Kakang Warangka, bahwa orang-orang lain tidak akan dapat mencampuri persoalan antara kau dan Kakang Warangka."
Jantung Timbang Laras menjadi berdebar-debar mendengar suara Serat Waja yang mengatasi gemuruhnya sorak-sorai pasukan yang menyerang padepokan itu. Namun Timbang Laras itu pun menjawab dengan landasan ilmu yang sama, "Sudah aku katakan, Serat Waja. Kau tidak usah ikut campur! Atau kau sekedar ingin memamerkan ilmumu yang sudah berkembang demikian jauh?"
"Aku hanya ingin memperingatkanmu Kakang. Juga orang-orang yang datang bersamamu. Jika mereka ingin masuk, biarlah mereka dipersilakan masuk. Tetapi mereka tidak akan disambut orang kakang Warangka, karena kakang Warangka tidak ingin berurusan dengan mereka."
"Tentu Jayaraga yang gila itu. Biarlah aku akan menghancurkannya. Ia sudah banyak merusak lingkunganku," teriak Ki Jata Beri.
Tetapi Serat Waja tertawa. Suara tertawanya seakan-akan melingkar-lingkar menghentak-hentak di setiap dada. Katanya, "Antara lain adalah Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga sudah menyiapkan sambutan yang meriah bagi kalian."
"Setan kau, Serat Waja! Jangan terlalu bangga dengan ilmumu itu!" teriak Timbang Laras.
"Tidak, Kakang. Sekali lagi aku katakan, aku hanya ingin memperingatkanmu."
"Cukup! Aku tidak memerlukan nasihatmu."
Serat Waja tidak sempat menjawab. Orang-orang yang menyerang padepokan itu bersorak meledak bagaikan meruntuhkan langit. Pintu gerbang itu benar-benar telah pecah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang yang berjejal di depan pintu gerbang itu pun segera mengalir memasuki padepokan. Sementara itu dari sisi-sisi yang lain mereka sama sekali tidak berhasil memasuki padepokan dengan meloncat dinding.
Dengan demikian, maka seperti yang diperhitungkan sebelumnya, orang-orang yang memasuki padepokan itu tentu akan segera mengalir ke lingkungan yang sudah dipersiapkan.
Sementara itu, para prajurit dari pasukan khusus yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun telah bersiap sepenuhnya. Namun di sisi lain, sengaja pertahanannya diperlemah, sehingga pertahanan itu akan segera terbuka. Para penyerang itu pun akan segera digiring ke jebakan-jebakan yang sudah dipersiapkan dengan baik.
Demikianlah, maka segera terjadi pertempuran yang sengit. Kiai Timbang Laras dari para pemimpin dari pasukan penyerang itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan pasukan yang sangat kuat.
Demikian kedua pasukan itu berbenturan, maka segera terasa betapa para prajurit dari pasukan khusus itu membelah pasukan penyerang dengan tajamnya. Demikian benturan terjadi, maka para penyerang itu merasa telah membentur pertahanan yang sangat kuat. Bahkan dalam waktu sekejap, korban pun mulai jatuh.
Tetapi di tempat lain, para penyerang itu bersorak dengan riuhnya. Mereka berhasil memecahkan pertahanan para cantrik padepokan itu. Demikian mereka menyibak, maka para penyerang itu pun segera menusuk langsung memasuki Iongkangan-longkangan di padepokan itu.
Namun demikian mereka mulai masuk, maka mereka segera merasa betapa medan menjadi sangat rumit.
Tiba-tiba saja pintu-pintu bangunan di sebelah menyebelah longkangan itu pun terbuka. Anak panah dengan derasnya meluncur dari setiap pintu. Namun demikian perhatian mereka tertuju ke pintu-pintu itu, maka mereka telah dijepit dari arah yang berlawanan.
Para penyerang itu baru menyadari bahwa mereka telah terjebak. Karena itu, maka mereka pun segera menghentakkan kekuatan dan kemampuan mereka untuk melepaskan diri dari jebakan yang mendebarkan itu.
Tetapi medan itu pun terasa bagaikan padang barang yang panasnya seperti neraka. Dalam longkangan yang tidak terlalu luas, mereka mendapat serangan dari segala jurusan.
Tetapi para penyerang itu mengira bahwa keadaan itu tidak akan bertahan terlalu lama Mereka mempunyai banyak kawan yang memasuki padepokan itu, sehingga dalam waktu singkat padepokan itu tentu sudah akan dapat dihancurkan.
Glagah Putih pun segera bergeser mendekat. Di tangannya sudah tergenggam pedang panjangnya, sementara kapak yang besar di tangan orang berkepala botak itu sudah mulai terayun-ayun.
"Sebentar lagi, kami akan menginjak kepala kalian," teriak salah seorang pemimpin kelompok dari orang-orang yang terjebak itu. Lalu katanya pula, "Seisi padepokan ini sudah kami kuasai."
Tidak ada yang menjawab. Namun keadaan orang-orang yang terjebak di longkangan itu menjadi semakin sulit, sementara di ujung longkangan pintu telah tertutup, sehingga longkangan itu tidak akan segera dapat diketahui adanya. Jika ada kelompok-kelompok yang mengalir, maka mereka akan segera terjebak di longkangan-longkangan yang lain.
Sementara itu, di halaman, pertempuran telah menjadi semakin seru. Para prajurit dari pasukan khusus telah mendapat petunjuk, ciri-ciri para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Namun memang sulit untuk memilahkan mereka, karena mereka telah berbaur dengan para pengikut Jalha Beri, Naga Dakgrama dan yang lain-lain.
Demikian pula para pengawal tanah perdikan. Mereka ternyata sulit sekali untuk memilih lawan. Sehingga karena itu, maka mereka melawan siapa pun yang telah menyerang mereka.
Tetapi Kiai Timbang Laras memang benar-benar terkejut melihat perlawanan di dalam padepokan yang luas itu. Demikian banyak orang yang berada di dalam padepokan. Jauh lebih banyak dari yang diperkirakan.
Namun Kiai Timbang Laras pun segera mengetahui, bahwa yang berada di dalam padepokan itu bukan saja para cantrik dan putut. Tetapi mereka tentu datang dari luar padepokan.
Sahabat-sahabat Jalha Beri pun mulai mengumpat-umpat. Mereka telah mendapat keterangan yang berbeda dari kenyataan yang mereka hadapi. Ternyata jumlah lawan lebih banyak dari yang mereka gambarkan sebelumnya.
Tetapi mereka sudah berada dibenturan kekuatan itu, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur habis-habisan. Jika mereka ragu-ragu atau bahkan gelisah, maka mereka tentu akan segera digilas oleh lawan mereka yang jumlahnya agaknya lebih banyak dari jumlah mereka.
Tetapi kawan-kawan Jatha Beri itu merasa bahwa para pengikutnya mempunyai pengalaman yang lebih luas dari sekedar para cantrik yang terbiasa berada di padepokan saja. Meskipun para cantrik juga mendapat latihan olah kanuragan di samping pengetahuan-pengetahuan yang lain, tetapi para cantrik tidak mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi para pengikut mereka, meskipun jumlah para cantrik lebih banyak.
Kiai Timbang Laras, Jatha Beri dan kawan-kawannya tidak tahu bahwa yang ada di padepokan itu adalah dua kelompok prajurit dari pasukan khusus dan para pengawal tanah perdikan yang berkepentingan dengan gerakan Ki Jatha Beri untuk membuat landasan kekuatan di padepokan Kiai Warangka itu.
Dalam pada itu, para pemimpin dari pasukan yang menyerang itu pun tidak sekedar menonton para pengikutnya bertempur. Tetapi mereka pun telah melibatkan diri pula. Apalagi ketika mereka melihat kelompok-kelompok orang yang memiliki kemampuan bertempur yang tinggi.
Orang berkapak dan berkepala botak itu melihat, sekelompok orang yang memiliki kemampuan yang membuatnya gelisah. Para pengikutnya yang dianggapnya berpengalaman sangat luas itu, ternyata telah mengalami kesulitan menghadapi mereka. Karena itu, maka orang itu pun langsung memasuki arena dengan kapaknya yang besar itu.
Tetapi Glagah Putih yang selalu mengamatinya telah datang menyongsongnya.
Orang berkapak itu termangu-mangu melihat anak muda itu. Karena itu, maka ia pun segera bertanya, "He, anak muda. Apa-maksudmu menyongsong aku?"
"Kita berada di medan perang, Ki Sanak," jawab Glagah Putih.
"Kau akan melawan aku?" bertanya orang berkapak itu.
"Pertanyaan yang aneh. Bersiaplah, kita akan bertempur," berkata Glagah Putih.
Tetapi orang berkapak itu masih merasa heran. Tetapi kemudian ia menjadi marah dan menggeram, "Apakah kau sedang membunuh diri?"
"Kita tidak mempunyai banyak waktu untuk berbincang."
"Baiklah. Aku akan segera membelah kepalamu."
Glagah Putih pun segera bergeser mendekat. Di tangannya sudah tergenggam pedang panjangnya, sementara kapak yang besar di tangan orang berkepala botak itu sudah mulai terayun-ayun.
Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar melihat kapak yang besar itu. Kapak yang telah memecahkan pintu gerbang. Namun ternyata tidak dengan sekali ayun dan bahkan kemudian dibantu oleh beberapa orang kawan-kawannya yang juga bersenjata kapak.
Sejenak kemudian kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran di antara para pengikut orang-orang berkapak itu dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit dari pasukan khusus. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin garang. Ketika tubuh mereka telah menjadi basah oleh keringat, maka darah mereka pun menjadi semakin panas. Tenaga dan kemampuan pun menjadi semakin terungkap.
Kapak orang yang berkepala botak itu terayun-ayun mengerikan. Tenaganya yang besar membuatnya sama semakin tidak terasa berat untuk memutar kapaknya dengan satu tangannya.
Namun Glagah Putih dengan tangkas menghadapinya. Kakinya berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya pun berputar semakin cepat pula melindungi tubuhnya. Tetapi sekali-sekali pedang itu pun menebas mendatar atau terjulur lurus menusuk ke arah jantung.
Tetapi tidak mudah menggapai tubuh orang berkepala botak itu. Ia pun mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi, meskipun tubuhnya agak gemuk tetapi ternyata ia pun bertempur dengan tangkas pula.
Sementara Glagah Putih bertempur melawan orang berkapak, maka pertempuran pun menjalar semakin jauh. Ki Naga Dakgrama memang terkejut ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ki Jayaraga. Dengan nada tinggi ia berteriak, "He, jadi biangnya bajak laut ini ada di sini juga."
"Apakah Jatha Andhapan tidak mengatakan kepadamu?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ia memang sudah mengatakan kepadaku. Tetapi demikian aku bertemu langsung dengan biangnya bajak laut ini, aku memang menjadi berdebar-debar."
"Kenapa kau tidak lari saja?" bertanya Ki Jayaraga.
Naga Dakgrama tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau masih saja suka bergurau. Tetapi sekarang kita mempunyai cara lain untuk bergurau."
"Aku mengerti," jawab Jayaraga, "Marilah! Kita akan bermain. Aku memang sudah menunggumu. Aku berniat untuk memisahkanmu dari Kiai Timbang Laras. Biarlah Kiai Timbang Laras menyelesaikan persoalannya dengan kakak seperguruannya."
Naga Dakgrama mengerutkan dahinya. Katanya, "Jadi kau dan Warangka sudah merencanakan jebakan yang licik itu?"
Ki Jayaraga-lah yang tertawa. katanya, "Kau juga masih saja senang berkelakar. Tetapi istilahmu menarik sekali. Kau sebut sebuah jebakan. Padahal kau dan kawan-kawanmulah yang memaksa untuk masuk ke padepokan ini. Bahkan dengan memecahkan pintu."
Naga Dakgrama itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita memang dapat menyebut menurut sudut padang kita masing-masing. Setelah rambut kita putih dan kulit kita berkerut, kita akan menakar kemampuan kita masing-masing. Aku tahu bahwa ilmumu tentu sudah jauh meningkat, tetapi jangan mengira bahwa ilmuku mandeg di tengah jalan."
"Tentu tidak. Orang-orang seperti kau tentu selalu berusaha untuk menambah ilmu," sahut Ki Jayaraga. Namun tiba-tiba Ki Jayaraga itu bertanya, "Dakgrama, apa sebenarnya alasanmu dan kawan-kawanmu ingin menguasai padepokan ini?"
"Tidak apa-apa," jawab Naga Dakgrama, "kami datang bersama Kiai Timbang Laras. Nah, Kiai Timbang Laraslah yang berkepentingan dengan kakak seperguruannya."
"Jangan berbohong! Kita sudah sama-sama berambut putih."
Ki Naga Dakgrama tertawa lagi. Katanya, "Aku sudah tahu bahwa kau memang jauh ke depan. Baiklah. Aku akan berterus terang. Kami memang ingin memiliki landasan yang kokoh di daerah selatan ini. Kami sudah mengira bahwa Pati akan kalah. Mataram akan menguasai Pati. Tetapi kami tidak akan membiarkannya Mataram dengan kokohnya mencengkeram Pati. Pati harus bangkit. Karena itu, kami akan menarik perhatian Mataram ke arah ini, sehingga Pati mempunyai kesempatan menyusun tenaga."
"Jangan mengigau!" desis Ki Jayaraga, "Kenapa kau tidak berkata sebenarnya" Kenapa kau bahkan menyangkut-pautkan kedudukan Pati di hadapan Mataram?"
"Kau tidak percaya?" bertanya Ki Naga Dakgrama.
"Aku tidak percaya. Sebaiknya kau katak yang sebenarnya tanpa menyangkut-pautkan nama Pati atau tegasnya tanpa menimpakan tanggung jawab dari tingkah-lakumu kepada Pati."
Naga Dakgrama mengerutkan dahinya. Namun demikian katanya, "Baiklah. Aku akan berkata sebenarnya."
"Katakan. Bukankah kau tidak akan dirugikan" Atau bahwa jika persoalannya menarik, aku akan dapat bergabung bersama kalian."
"Setan tua!" Naga Dakgrama itu tertawa pula berkepanjangan, "Dengarlah. Kau tidak usah membujukku seperti membujuk anak-anak."
Naga Dakgrama itu berhenti sejenak. Lalu katanya, "Kami ingin menguasai daerah ini sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan menjadikan daerah ini sampai ke batas Kali Praga di sisi timur dan ke barat seluruh daerah Jabanrangkah melintasi kali Bagawanta. Kali Jali dan bahkan Kali Luk Ula hingga tanpa batas, menjadi daerah perburuan kami. Namun lambat laun jika kaki kami sudah tertanam dan mengakar sampai ke perut bumi, maka kami bukan lagi sekedar mencari daerah perburuan. Tetapi kami akan menanamkan kekuasaan kami di daerah ini, yang bagi Mataram akan menjadi jauh lebih berbahaya dari Pati."
Ki Jayaraga-lah yang kemudian tertawa. Katanya, "Kenapa kau terpengaruh juga oleh pikiran yang kekanak-kanakan seperti itu" Kau anggap apa Panembahan Senapati di Mataram dan Kangjeng Adipati Pragola di Pati" Kau kira kau dapat menyusun kekuatan melampaui Mataram, Naga Dakgrama"-----------------------------------------------------------------
-------------jika kau tidak dapat membuat perhitungan yang matang untuk
menghadapi Mataram. Kau harus tahu apa yang telah terjadi di Prambanan. Kemudian di Pati yang baru saja selesai. Apa pula yang kau andalkan, bahwa suatu saat kau akan lebih berbahaya dari Kangjeng Adipati Pragola di Pati"'
"Jangan merendahkan aku dan kawan-kawanku, kau dan barangkali murid-muridmu memang hanya terbiasa merampok atau merompak di laut. Kalian tidak pernah mengadakan gerakan yang lebih mendasar di satu lingkungan tertentu."
"Baiklah, Naga>Dagrama. Bersiaplah selagi kau sempat. ---------- kau akan mengalami kepahitan yang sangat."
---------(tidak bisa dibaca) ada Glagah Putih, anak muda yang baru pulang dari medan pertempuran di Pati yang ilmunya sulit diimbangi. Di padepokan ini ada Serat Waja, adik seperguruan Kiai Timbang Laras sendiri yang tentu juga akan memisahkan saudara-saudara seperguruannya dengan orang lain. Di padepokan ini ada juga Ki Resa. He. bukankah Kiai Timbang Laras dan Jatha Beri sedang mengejar-ngejar Ki Resa" Ia tentu dengan senang hati akan menemui Ki Jatha Beri."
"Ternyata Kiai Warangka juga licik seperti adik seperguruannya. He, bukankah kau sependapat jika disebut Timbang Laras itu licik?"
"Aku sependapat. Tetapi kenapa kau termasuk salah satu alat bagi kelicikannya?"
Naga Dakgrama tertawa lagi. Katanya, "Siapakah yang diperalat" Kami atau Timbang Laras" Hem dengar. Timbang Laras sekarang sedang tergila-gila kepada seorang perempuan yang diaku sebagai adik Jatha Beri. Jatha Beri memang pintar. Dengan jerat perempuan itu, Timbang Laras benar-benar menjadi seperti seekor kerbau yang dicocok hidung. Nah, kami ikut pula naik ke punggung kerbau yang berlari-lari di bawah kendali Jatha Beri itu."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi dengan cara itu, Jatha Beri berhasil memegang kendali di padepokan Kiai Timbang Laras?"
Naga Dakgrama tertawa semakin keras. Katanya, "Aku percaya bahwa Kiai Timbang Laras memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kelemahan jiwaninya telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan, karena ia harus bertempur melawan saudara seperguruannya."
"Terima kasih atas keteranganmu, Naga Dakgrama. Sekarang, apakah kita akan bertempur atau kau akan melarikan diri saja?"
"Sudahlah. Jangan bergurau terus. Sebentar kita akan mati. Kau atau aku."
"Aku memilih kau sajalah yang mati," kata Ki Jayaraga. Naga Dakgrama mengumpat Tetapi ia masih saja tertawa.
Demikianlah, sejenak kemudian, kedua orang tua itu pun telah bersiap. Ki Jayaraga dan Ki Naga Dakgrama adalah orang-orang tua yang berilmu tinggi. Ilmu mereka benar-benar sudah matang, sehingga pertempuran antara keduanya adalah pertempuran antara ilmu yang jarang ada duanya.
Dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan tertegun ketika ia bertemu dengan Serat Waja yang juga masih terhitung muda dibanding dengan orang itu. Namun orang itu langsung mengenalinya Dengan lantang, maka ia pun telah menyapanya, "Serat Waja. Kenapa kau tidak memihak Timbang Laras" Kenapa kau memihak Warangka" Bukankah kedua-duanya adalah saudara seperguruanmu?"
Dengan tenang Serat Waja menjawab, "Kakang Timbang Laras telah mempunyai banyak kawan. Karena itu, biarlah aku membantu memilahkan orang-orang yang berdatangan ini, sehingga persoalannya akan dikembalikan kepada persoalan yang sewajarnya Persoalan antara Kakang Warangka dan Kakang Timbang Laras."
"Maksudmu?" bertanya Jelanthir.
"Kalau kau ingin ikut campur, maka kau akan berhadapan dengan aku. Bukankah Kakang Warangka telah mengatakan, bahwa ia tidak mau dicampuri orang lain" Ia ingin menyelesaikan persoalan antara saudara seperguruan ini tanpa campur tangan siapa pun juga."
"Kau kira kau akan dapat mencegah aku?" bertanya Jelanthir.
"Kenapa tidak" Aku sudah siap untuk mengusir siapa pun yang mau mencampuri persoalan kedua orang saudara seperguruanku itu."
"Menyingkirlah sebelum kau mati!"
Serat Waja tertawa pendek. Katanya, "Jangan mengancam begitu. Tidak ada gunanya. Kita sudah sama-sama dewasa dan memang sudah siap untuk memasuki medan."
Jelanthir menggertakkan giginya. Dengan geram ia berkata, "Kau memang demit yang licik. Baiklah. Kiai Warangka tidak akan dapat menyalahkan aku jika aku membunuhmu."
"Kakang tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Ia juga tidak akan menyalahkan aku jika aku membunuhmu."
Jelanthir tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil berteriak, "Kaulah yang pertama-tama akan mati."
Serat Waja tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menghindari serangan itu. Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya berputar. Dengan cepat Serat Wajah telah membalas menyerang.
Dengan demikian maka kedua orang itu segera terlihat dalam pertempuran yang sengit. Serat Waja yang masih terhitung muda dibandingkan dengan lawannya itu justru telah menyerang dengan garangnya. Sementara itu Jelanthir berusaha untuk menghindar. Tetapi dalam setiap kesempatan, Jelanthir itu pun tidak melepaskannya
Dengan demikian, maka pertempuran di antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Benturan-benturan pun segera terjadi. Namun keduanya memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi.
Dalam pada itu, pertempuran di halaman padepokan itu pun semakin menjalar ke mana-mana. Tetapi tidak seperti mimpi-mimpi para pemimpin gerombolan yang datang bersama Kiai Timbang Laras. Ternyata pertahanan di padepokan itu demikian kuatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran.
Jika semula mereka mengira bahwa demikian pintu gerbang dipecahkan, maka seisi padepokan akan segera dimusnahkan, ternyata sama sekali tidak terjadi. Bahkan mereka seakan-akan merasa terhimpit oleh kekuatan yang besar, yang tersebar di seluruh padepokan.
Beberapa orang sudah terjebak di dalam longkangan-longkangan sedangkan yang lain, menjadi kebingungan karena keadaan medan yang kusut.
Namun di tempat-tempat terbuka, mereka mendapat perlawanan yang sangat kuat. Apalagi mereka yang kebetulan berhadapan dengan para prajurit dari pasukan khusus yang ada di padepokan itu pula. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berpengalaman luas pun dengan keras telah menekan gerombolan-gerombolan yang menyerang padepokan itu.
Ki Jatha Beri yang marah itu pun bertempur dengan garangnya. Dengan ilmunya tinggi, ia menyapu menyibak kelompok-kelompok yang mencoba menahannya. Satu dua orang terlempar jatuh. Menyeringai menahan sakit. Bahkan ada di antara mereka yang tulang-tulangnya serasa patah, sehingga tidak mampu lagi untuk bangkit sendiri.
Namun tiba-tiba saja Ki Jatha Beri itu terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggilnya, "Ki Jatha Beri. Kau mengamuk seperti seekor harimau yang terluka. Sayang, kau hanya dapat menakut-nakuti anak-anak."
Ki Jatha Beri berpaling. Ketika ia melihat Ki Resa, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Ki Resa. Nah, aku temukan kau di sini. Cepat, kemari. Aku memerlukanmu."
Ki Resa memang melangkah mendekat Sementara Ki Jatha Beri kemudian membentak, "Berjongkok! Mohon ampun kepadaku, supaya hukumanmu menjadi lebih ringan. Supaya aku tidak menyeretmu di belakang kaki kuda. Jika kau mohon ampun, maka aku akan memenggal lehermu sehingga kau tidak menderita berkepanjangan."
Ki Resa masih berdiam diri sementara Ki Jatha Beri berkata selanjutnya, "Tetapi jika kau menolak, kau akan mengalami kesulitan di saat kematianmu."
Namun tiba-tiba Ki Resa tertawa. katanya, "Kau kira kau dapat memerintah aku?"
"Setan kau! Aku memberimu kesempatan yang terakhir."
"Aku tidak akan pernah mempergunakan kesempatan yang kau berikan, Jatha Beri. Tetapi aku justru bertanya kepadamu, apakah kau sudah menyebut nama ayah dan ibumu" Sebentar lagi, aku akan mengantarmu ke ambang pintu kematian "
"Kau berani membantah aku?"
Ki Resa tertawa berkepanjangan Katanya, "Kita sekarang berdiri pada tataran yang sama. Kita mempunyai kesempatan yang sama. Kau dapat membunuh aku, tetapi aku jaga dapat membunuhmu. Kau dapat membentak aku, aku pun dapat membentakmu. Kau dapat berlindung di belakang orang-orangmu, aku pun dapat melakukannya pula."
"Kau pengkhianat!" geram Ki Jatha Beri, "Baik. Jika kau berlindung dipadepokan ini, maka akhirnya kau akan mati juga."
"Cacing akan menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi aku, Ki Jatha Beri "
Ki Jatha Beri yang menjadi sangat marah itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Ki Resa itu pun telah mempersiapkan diri dengan baik. Karena itu, dengan tangkas pula ia mengelak, sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran.
Namun Ki Jatha Beri yang marah itu pun segera mengulangi serangannya pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata Ki Resa mampu memberikan perlawanan yang seimbang. Ia bukan seorang yang harus berjongkok untuk mohon ampun. Tetapi ia benar-benar berdiri pada tataran yang sederajat dengan Ki Jatha Beri. Bahkan sekali-sekali Ki Resa mampu mengejutkan lawannya.
Jahta Beri menjadi semakin marah. Ki Resa bukan saja orang yang diburunya, tetapi juga orang yang kini berani menghinanya, menentang perintahnya dan bahkan melawannya.
Namun Jatha Beri harus melihat kenyataan. Ia tidak dapat segera mengalahkan Ki Resa. Meskipun Jatha Beri sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi, namun Ki Resa itu juga mampu melakukannya, sehingga kemampuan mereka berdua masih saja seimbang.
"Iblis manakah yang telah membantumu Resa?" Jatha Beri menggeram.
Tetapi Ki Resa menjawab, "Kaulah yang sudah berdiri di atas sifat dan watak iblis itu. He, kenapa kau mampu mempengaruhi Kiai Timbang Laras sehingga kehilangan kepribadiannya"'"
"Itu bukan persoalanmu," geram Jatha Beri sambil meloncat menyerang. Namun Ki Resa dengan cepat mengelak. Bahkan Ki Resa yang bergeser menyamping itu telah memutar tubuhnya. Dengan cepat tangannya terjulur lurus ke arah dada.
Tetapi Jatha Beri sempat meloncat surut. Ketika Ki Resa mencoba memburunya, maka kaki Jatha Beri-lah yang terjulur menyongsongnya. Ki Resa dengan cepat menggeliat. Tubuhnya berputar dengan cepat. Kakinya yang terayun tiba-tiba saja telah mengarah ke dada Jatha Beri.
Jatha Beri terkejut Tetapi kedua lengannya itu berhasil menangkis serangan itu, sehingga satu benturan kekuatan telah terjadi.
Sekali lagi Jatha Beri terkejut. Ternyata kekuatan Ki Resa cukup besar untuk menggetarkan pertahanannya. Bahkan keseimbangannya pun sempat menjadi goyah.
Hampir saja Jatha Beri jatuh berguling. Tetapi dengan tangkasnya, Jatha Beri meloncat mengambil jarak. Ki Resa tidak memburunya Seakan-akan sengaja memberi kesempatan kepada Jatha Beri untuk memperbaiki kedudukannya.
Bahkan Ki Resa itu sempat berdiri bertolak pinggang sambil tertawa.
"Hati-hatilah Ki Jatha Beri," berkata Ki Resa, "orang yang sudah seumur kita itu kadang-kadang memang sudah tidak dapat bersikap dengan mapan. Unsur kewadagan kita sudah mulai melemah. Betapapun tinggi ilmu kita, bahkan sampai menyentuh langit sekali pun, tetapi jika keadaan wadag kita sudah tidak mendukungnya, maka ilmu itu tidak akan ada gunanya lagi."
"Cukup!" bentak Jatha Beri.
Ki Resa justru tertawa. Katanya, "Jangan marah. Kita berada di medan pertempuran. Sebentar lagi akulah yang akan berteriak kepadamu, berjongkoklah dan minta ampun kepadaku."
"Setan kau!" "Kau tidak akan dapat melakukannya lagi. Kau hanya dapat berteriak kepadaku jika berada dalam lingkunganmu, di antara para peng-ikutmu, atau di padepokan Kiai Timbang Laras yang telah berhasil kau pengaruhi."
Kemarahan Jatha Beri benar-benar telah membakar jantungnya. Karena itu, maka ia pun segera menghentakkan ilmunya, melanda Ki Resa seperti banjir bandang. Tetapi Ki Resa telah siap menghadapinya. Ia pun telah menghentakkan ilmunya pula sehingga Ki Resa masih mampu mengimbangi lawannya.
Sementara itu, pertempuran telah berkobar di mana-mana. Orang-orang yang menyerang padepokan itu semula mengira bahwa mereka tidak akan mendapat banyak perlawanan. Ketika mereka menembus sampai ke tengah-tengah padepokan, mereka mengira bahwa mereka memang tidak mendapat perlawanan yang berarti. Namun kemudian ternyata bahwa lawan ada di mana-mana.
Hal itu mereka sadari setelah mereka berada jauh di tengah-tengah lawan itu sendiri.
Meskipun demikian, berberapa kelompok di antara mereka yang menyerang padepokan itu masih mengira bahwa mereka tidak banyak menemui perlawanan. Demikian mereka memasuki padepokan itu. Mereka langsung menembus tengah-tengah padepokan itu menusuk jauh ke jantungnya. Mereka tertegun ketika mereka melihat halaman di tengah-tengah padepokan itu telah dipagari dengan batang-batang bambu yang hampir rapat. Di dalamnya terdapat lembu dan kerbau. Bahkan sekelompok kuda yang besar dan tegar dalam lingkungan pagar terpisah.
Orang-orang itu menjadi gembira. Mereka merasa menemukan satu padang perburuan yang penuh dengan binatang yang sudah terikat. Mereka tinggal memungutnya berapa saja mereka inginkan.
"Kita akan menjadi gemuk jika kita berada sepekan di sini," berteriak salah seorang dari mereka.
Tetapi sebelum yang lain menyahut, mereka mulai membelalakkan mata mereka. Dari longkangan-longkangan di sekitar halaman tengah padepokan itu, muncul kelompok-kelompok dengan senjata teracu di tangan.
"Setan!" geram seorang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang tebal, "Hancurkan mereka!"
"Menyerahlah!" berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal tanah perdikan, "Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membebaskan diri."
"Iblis kau! Kau kira kami siapa dan kau siapa" Kami datang untuk menghancurkan kalian."
"Sayang. Kalian telah menyurukkan diri ke dalam malapetaka. Menyerahlah. Kami akan memberi kesempatan kalian untuk hidup."
Tetapi orang berjambang tebal itu berteriak lantang, "Bunuh mereka!"
Pertempuran segera meledak. Tetapi para pengawal tanah perdikan cukup berhati-hati. Mereka menjaga agar tidak seorang pun di antara orang-orang yang menyerang itu merusak pagar. Jika hal itu terjadi, maka binatang-binatang itu akan berlari-larian dan bahkan dapat mengacaukan pertempuran.
Karena itu, atas perintah yang melompat dari mulut-kemulut, para pengawal tanah perdikan telah memancing lawan mereka. Ketika pertempuran terjadi maka para pengawal itu bergerak mundur menjauhi pagar bambu di halaman tengah padepokan itu. Demikian terdapat jarak, maka kelompok yang lain segera mengisinya, sehingga para penyerang itu tidak lagi dapat merusak pagar itu.
Dari sisi lain, sekelompok cantrik justru sempat mencegat para penyerang, sehingga mereka tidak pernah sampai ke pagar bambu yang di dalamnya berisi beberapa ekor lembu dan kerbau, sedangkan di sebelahnya terdapat beberapa ekor kuda yang. besar dan tegar terkurung dalam lingkungan tersendiri.
Dalam pertempuran yang semakin seru itu, maka sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Warangka itu telah bertemu dengan sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Namun para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras menjadi bimbang ketika mereka melihat Perbatang dan Pinuji ada di antara mereka. Bahkan ada pula cantrik yang lain telah berada bersama keduanya.
"Pengkhianat!" teriak seorang putut dari padepokan Kiai Timbang Laras, "Kenapa Kakang Perbatang dan Pinuji ada di antara mereka?"
"Seharusnya kau sudah tahu jawabnya," sahut Perbatang.
"Aku tidak tahu. Yang aku tahu, bahwa kau telah berkhianat karena kau telah memihak kepada musuh," geram putut itu.
Perbatang tertawa. katanya, "Tidak seorang pun akan membiarkan dirinya dibantai selagi masih ada kesempatan untuk menghindar. He, apakah yang kau lakukan ketika kau melihat saudara-saudaramu dikurung dalam bilik yang pengap menunggu hukuman yang sangat mengerikan yang akan dijatuhkan kepada mereka oleh orang lain yang tiba-tiba berkuasa di padepokan kita" Apakah kalian sama sekali tidak tersentuh, melihat aku dan Pinuji menunggu dengan hati yang kecut, orang yang bernama Jatha Beri itu mau menghukum mati kami berdua" Kiai Timbang Laras sama sekali tidak lagi melindungi kami. Saudara-saudaraku membiarkan aku diperlakukan tidak adil dan bahkan ada yang bersorak kegirangan di dalam hati. Buat apa aku tetap berada di dalam padepokan seperti itu" Di sini aku mendapat perlindungan. Di sini aku mendapat banyak kawan yang justru sehati menghadapi perlakuan yang tidak adil. Nah, bukan salahku jika aku menyeberang."
Seorang yang bertubuh tinggi, dan berwajah kasar tiba-tiba telah menyerang Panuji. Orang itu pun datang dan antara para pengikut Jatha Beri yang tiba-tiba mendapat kepercayaan di padepokan Kiai Timbang Laras.
Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras terdiam. Pertempuran pun seakan-akan telah mereda pula.
Namun tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, "He, kenapa kalian menjadi bingung. Hancurkan para penghuni padepokan ini yang melawan. Kalianlah yang akan berkuasa di sini."
Seorang yang bertubuh gemuk muncul di antara mereka. Seorang yang berwajah garang. Perbatang mengenal orang itu. Ia memang orang padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi semula orang itu adalah pengikut Ki Jatha Beri yang tiba-tiba saja telah mendapat kekuasaan di padepokan Kiai Timbang Laras.
Ketika orang itu melihat Perbatang, maka katanya, "Oh, jadi pengkhianat itu ada di sini."
"Kau kecewa bahwa kau tidak mendapat kesempatan untuk ikut membantaiku seandainya aku tidak melarikan diri?"
"Iblis kau!" geram orang itu.
Perbatang tertawa. Katanya, "Kau tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin di lingkungan kami. Kau hanya pantas menjadi pemimpin di antara sekelompok perampok, penyamun atau perampok. Tetapi tidak di padepokan Kiai Timbang Laras."
"Persetan dengan mulut pengkhianat geram orang itu.
Perbatang masih tertawa. Katanya, "Disini aku mendapat tempat. Aku menemukan saudara-saudara yang sebenarnya. Ilmu kami pun bersumber dari mata air yang sama, sehingga kami dengan cepat dapat menyesuaikan diri. Tetapi kau bukan dari antara kami. Kau adalah pendatang yang tiba-tiba saja mendapat tempat yang terlalu baik, karena sebelumnya kalian bersarang di hutan-hutan dan lereng-lereng gunung. Jika kita mulai bertempur, maka ilmumu adalah ilmu yang asing. Yang kasar dan tidak berwatak."
"Cukup!" teriak orang itu, "Aku akan mengoyak mulutmu."
Perbatang tidak berkata apapun lagi. Namun Pinuji-lah yang berteriak, "Marilah, saudara-saudaraku. Kita akan bertempur dengan orang-orang yang berilmu iblis. Tetapi kita yakin, bahwa ilmu yang kita miliki adalah ilmu yang bersih. Karena itu jangan dikotori dengan nafsu-nafsu hitam."
Seorang yang bertubuh tinggi dan berwajah kasar tiba-tiba telah menyerang Pinuji. Orang itu pun datang dari antara para pengikut Jatha Beri yang tiba-tiba mendapat kepercayaan di padepokan Kiai Timbang Laras.
Tetapi Pinuji cukup tangkas. Dengan cepat ia bergeser. Namun tiba-tiba ia pun telah membalas menyerang.
Namun orang itu pun segera menggenggam senjatanya. Sebuah golok yang panjang. Namun Pinuji pun telah memegang pedangnya pula.
Sejenak kemudian, maka Pinuji pun telah terlibat dalam pertempuran melawan orang bertubuh tinggi dan bersenjata golok itu.
Orang itu bertempur dengan garangnya. Serangan-serangannya datang membadai. Goloknya yang panjang berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali menebas dan pada kesempatan lain terjulur lurus.
Namun serangan-serangan itu tidak pernah menyentuh sasaran. Pinuji dengan tangkas pula menghindari atau menangkis serangan-serangan itu, sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan sekali-sekali Pinuji telah membalas menyerang pula.
Namun benturan-benturan yang terjadi telah mengejutkan orang bertubuh tinggi itu. Ternyata Pinuji mempunyai kekuatan yang cukup besar, bahkan sekali-sekali tangan orang bertubuh tinggi itu terasa pedih jika benturan yang terjadi telah menggetarkan senjata di dalam genggamannya.
Dalam pada itu, Perbatang pun telah terlibat dalam pertempuran pula melawan orang yang bertubuh gemuk. Orang itu bersenjata sepotong tongkat baja yang tidak terlalu panjang. Pada pangkal tongkat itu terdapat sebuah bulatan baja putih.
Perbatang yang bersenjata sebilah pedang, bertempur dengan tangkasnya pula. Dengan cepat kakinya berloncatan, sementara pedangnya berputaran dengan cepat sehingga sebuah gumpalan yang berwarna keputih-putihan seakan-akan telah melindungi tubuhnya.
Ternyata orang bertubuh gemuk itu benar-benar memiliki kekuatan yang sangat besar. Ketika pedang Perbatang menyentuh tongkat baja orang yang bertubuh gemuk itu, maka Perbatang menyadari bahwa lawannya itu memang memiliki kekuatan yang besar.
Namun dengan demikian Perbatang dapat menempatkan dirinya. Ia harus mampu membuat perhitungan sebaik-baiknya menghadapi ayunan tongkat baja yang berat itu.
Dengan demikian maka Perbatang harus mengembangkan unsur-unsur geraknya. Ia tidak akan membenturkan pedangnya langsung melawan tongkat baja itu, karena jika benturan yang keras terjadi, maka mata pedangnya akan dapat rempak atau bahkan pedangnya akan dapat patah.
Dengan demikian, maka Perbatang harus berhati-hati. Ia menjadi lebih banyak menghindar daripada menangkis serangan lawannya yang garang.
Tetapi itu bukan berarti bahwa Perbatang segera terdesak. Ia memang beberapa kali berloncatan mundur. Tetapi setiap kali ia berdiri dengan sikap yang mapan, menunggu serangan lawannya. Bahkan dengan kesempatan tertentu, Perbatang pun dengan cepat meloncat menyerang lawannya.
Apalagi ketika kemudian Perbatang menemukan kelemahan lawannya yang gemuk itu. Meskipun kekuatannya sangat besar, tetapi ia ternyata agak lamban. Karena itu, Perbatang harus berusaha untuk mengatasi kekuatan lawannya dengan kecepatan geraknya. Jika ia tidak mampu melampaui kecepatan gerak lawannya, maka ia tidak akan memenangkan pertempuran itu. Tulang tengkoraknya akan retak dihantam tongkat baja lawannya yang memiliki kekuatan yang tinggi itu.
Dengan demikian, maka Perbatang pun telah m engerahkan kemampuannya untuk meningkatkan kecepatan geraknya.
Sebenarnyalah bahwa kecepatan gerak Perbatang telah membingungkan orang bertubuh gemuk itu. Meskipun ia memiliki kekuatan yang sangat besar, tetapi kadang-kadang ia merasa kehilangan lawannya, sehingga ia harus meloncat mengambil jarak.
Dengan demikian maka pertempuran antara orang bertubuh gemuk yang kekuatannya sangat besar itu melawan Perbatang yang memiliki ketangkasan dan kecepatan gerak melampaui lawannya, menjadi semakin sengit Keduanya memiliki kelebihan mereka masing-masing, tetapi juga kekurangan.
Namun agaknya Perbatang lebih cerdik dari lawannya. Otak Perbatang ikut menentukan sikapnya, sementara orang bertubuh gemuk itu bertempur sekedar mengandalkan tenaganya
Sementara itu, Kiai Timbang Laras benar-benar menjadi berdebar-debar melihat medan dalam keseluruhan. Yang dihadapinya jauh berbeda dengan yang diperhitungkan sebelumnya Ia mengira bahwa ia datang bersama pasukan yang jauh lebih besar dari isi padepokan itu. Namun ternyata yang mereka hadapi adalah lawan yang kuat dan tangguh.
"Apakah sejak semula Perbatang dan Pinuji sudah berniat untuk berkhianat?" geram Kiai Timbang laras, karena berdasarkan laporan Perbatang dan Pinuji yang berada di padepokan Kiai Warangka bersama Ki Resa untuk mencari peti tembaga itu, padepokan Kiai Warangka tidak memiliki kekuatan yang cukup besar.
Namun tiba-tiba Kiai Timbang Laras menyadari, bahwa tentu ada kekuatan lain yang ikut campur dengan alasan untuk mengembalikan persoalan yang timbul antara Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras.
Dalam pada itu, Kiai Timbang Laras menyaksikan, betapa para cantriknya menjadi ragu-ragu melawan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, sementara para cantrik Kiai Warangka masih juga mengekang diri. Kiai Timbang Laras juga melihat, betapa para cantrik yang semula adalah para pengikut Kiai Jatha Beri berusaha untuk melecut saudara-saudarannya untuk bertempur dengan sungguh-sungguh.
Kiai Timbang Laras mengumpat ketika ia melihat Perbatang dan Pinuji bertempur bersama para cantrik dari padepokan Kiai Warangka
"Pengkhianat!" geramnya kemudian.
Dengan geram Kiai Timbang Laras telah memasuki arena pertempuran yang sengit di antara para cantrik dari padepokannya termasuk para pengikut Jatha Beri dengan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, namun yang di dalamnya terdapat pula para pengawal tanah perdikan dan beberapa orang prajurit dari pasukan khusus. Atas petunjuk para cantrik, mereka berusaha untuk dapat berhadapan dengan para pengikut Jatha Beri yang berada di antara para cantrik daru padepokan Kiai
Warangka, sehingga mereka tidak sempat terlalu banyak mencampuri persoalan antara kedua padepokan yang dipimpin oleh dua orang saudara
Dalam pada itu. Kiai Timbang Laras telah menjadi semakin dekat dengan Perbatang dan Pinuji yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Dengan geram Kiai Timbang Laras itu pun kemudian berkata lantang, "He, kalian perjghianat yang tidak tahu diri. Ke manapun kalian bersembunyi, akhirnya aku dapat menemukan kalian juga."
"Kami mencari perlindungan di sini, Kiai."
"Kenapa kau cari perlindungan di sini?" bertanya Kiai Timbang Laras.
"Aku tidak mendapat perlindungan lagi di padepokan Kiai," jawab Perbatang. Namun ia harus berloncatan menghindari serangan lawannya
Sementara itu, Kiai Timbang Laras pun berteriak, "Siapa yang tidak mendapat perlindungan di padepokanku " Kau dan Panuji yang telah membunuh saudara sendiri "
"Kalau mereka saudaraku, mereka tentu tidak akan membunuhku sehingga aku dan Pinuji harus mempertahankan diri."
"Cukup! Sekarang aku sendirilah yang akan membunuhmu. Jangan menyesali nasibmu yang buruk itu."
"Aku tidak akan menyesal seandainya Kiai berhasil membunuh aku sekarang. Itu wajar sekali. Tetapi aku tidak dibunuh oleh para pedatang di padepokan yang tiba-tiba saja merasa berkuasa melampaui orang-orang yang telah lama mengabdikan diri."
"Aku akan membungkam mulutmu!" geram Kiai Timbang Laras.
Tetapi ketika Kiai Timbang Laras meloncat mendekati Perbatang, maka tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berkata, "Kau akan melawan murid-muridmu sendiri Timbang Laras. Ingat, sebuas-buasnya seekor harimau, ia tidak akan menelan anaknya sendiri."
Kiai Timbang Laras tertegun. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kiai Warangka berdiri tegak di antara para cantriknya yang seakan-akan melindunginya.
"Kakang Warangka."
Kiai Warangka melangkah mendekat Sambil tersenyum ia berkata, "Timbang Laras. Sudah aku katakan, bahwa kita akan menyelesaikan perp-soalan di antara kita. Aku tidak mau orang lain mencampuri persoalan ini."
"Kau curang, Kakang. Kau mencari bantuan dari luar padepokanmu."
"Tidak. Aku tidak mencari bantuan. Aku hanya minta sahabat-sahabatku untuk mencegah orang lain ikut mencampuri persoalan di antara kita. Biarlah mereka mencegah Jatha Beri, Naga Dakgrama dan orang-orang lain yang datang bersamamu untuk tidak melibatkan diri ke dalam persoalan di antara kita."
Ki Timbang Laras menggeram. Katanya, "Apapun yang kau lakukan, Kakang. Kau tidak akan berhasil menyelamatkan padepokan ini. Kami akan berhasil menyapu bersih seisi padepokan ini siapa pun mereka."
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Timbang Laras. Kau lihat apa yang telah terjadi sebenarnya."
Kiai Timbang Laras memang menjadi gelisah. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia benar-benar harus berhadapan dengan Kiai Warangka.
Keduanya adalah saudara seperguruan. Tetapi Kiai Warangka, baik umurnya maupun ilmunya, lebih tua dari Kiai Timbang Laras. Karena itu, maka Kiai Timbang Laras memang harus berpikir ulang untuk langsung berhadapan dengan Kiai Warangka. Semula ia mengira bahwa salah seorang dari orang-orang berilmu tinggi yang ada di padepokannya akan sempat bertempur dan mengalahkan Kiai Warangka. Tetapi ternyata mereka telah menghadapi lawan masing-masing.
Tetapi Kiai Timbang Laras masih tetap berpengharapan. Jika salah seorang dari mereka dengan cepat dapat menyelesaikan lawan mereka, maka orang itu akan segera dapat membantunya.
Naga Dakgrama adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Kiai Timbang Laras berharap bahwa ia dengan cepat dapat membinasakan lawannya, siapa pun lawannya itu. Dengan demikian, maka Naga Dakgrama itu akan segera dapat datang membantunya untuk bersama-sama menghentikan perlawanan Kiai Warangka.
Dalam kebimbangan terdengar Kiai Warangka berkata, "Marilah Timbang Laras. Jika kau pilih cara ini untuk menyelesaikan persoalan di antara kita, biarlah aku melayanimu."
Kiai Timbang Laras menggeram. Namun kemudian ia pun berkata, "Kakang. Kau sudah menjadi semakin tua. Wadagmu tentu sudah mulai rapuh. Bagaimanapun juga kemudaanku akan memberikan banyak pengaruh dalam pertempuran di antara kita."
Kiai Warangka tertawa. Katanya, "Berapakah selisih umur kita sebenarnya?"
Kiai Timbang Laras termangu-mangu sejenak. Namun sebenarnyalah selisih umurnya dengan Kiai Warangka tidak begitu banyak. Kiai Warangka hanya lebih tua beberapa tahun saja, sehingga keadaan wadagnya pun tidak jauh berbeda dengan keadaannya sendiri.
Demikianlah, keduanya pun segera bersiap. Mereka adalah saudara seperguruan. Mereka mengenal ilmu masing-masing dengan baik. Meskipun keduanya berusaha mengembangkan ilmu dasar mereka dengan cara dan berdasarkan atas pengalaman serta pengenalan mereka terhadap lingkungan mereka masing-masing, namun pada dasarnya mereka berdiri di atas landasan yang sama.
Tetapi Kiai Warangka-yang lebih tua umur dan tataran ilmunya, memiliki beberapa kelebihan dari Kiai Timbang Laras. Meskipun demikian, jika Kiai Warangka itu berbuat kesalahan sedikit saja, maka akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk baginya.
Dengan hati-hati Kiai Timbang Laras mulai bergeser, Ketika ia mulai menyerang, maka Kiai Warangka pun mulai bergerak ke samping pula. Namun ketika tiba-tiba Kiai Timbang Laras menyarangnya seperti badai, Kiai Warangka memang terkejut sehingga ia harus meloncat surut untuk mengambil jarak.
Tetapi Kiai Timbang Laras tidak memberinya kesempatan. Dengan garangnya Kiai Timbang Laras memburunya dan menyerang dengan cepat.
Pertempuran segera meningkat. Kau Timbang Laras sengaja mengejutkan Kiai Warangka. Serangan-serangannya datang beruntun dengan hentakan-hentakan ilmu yang tinggi.
Kiai Warangka memang melihat warna-warna lain yang mencuat dalam ilmu saudara seperguruannya. Tetapi pengalamannya yang luas seperti ketekunannya di sanggar untuk mengembangkan ilmunya, membuat Kiai Warangka akhirnya dapat mengatasinya Serangan-serangan yang mengejutkan dari Kiai Timbang Laras tidak lagi berhasil mengguncang pertahanan Kiai Warangka. Bahkan sebaliknya, Kiai Warangka-lah yang mulai menyerang dengan cepatnya.
Namun kedua orang saudara seperguruan itu benar-benar mumpuni. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit
Di sekitarnya para cantrik pun bertempur dengan garangnya pula. Mereka pun bersumber dari landasan ilmu yang sama Meskipun ilmu mereka berkembang di padepokan yang berbeda, namun dasar-dasar ilmu mereka dapat saling mereka kenali
Karena itu, maka para cantrik itu pun masih saja dibayangi oleh kebimbangan. Apalagi karena Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang lainnya yang semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras telah bertempur di pihak Kiai Warangka.
Tetapi Kiai Timbang Laras sendiri telah bertempur tanpa mengekang diri. Ketika keringatnya mulai membasahi kulitnya, maka Kiai Timbang Laras menjadi semakin garang. Ia memang berusaha untuk sama sekali tidak mengingat lagi, siapakah yang dihadapinya. Kiai Timbang Laras tidak lagi mau mengenali unsur-unsur gerak Kiai Warangka yang dapat mengingatknya, bahwa lawannya itu adalah saudara seperguruannya.
Dengan demikian, maka Kiai Timbang Laras telah bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya
Tetapi Kiai Warangka tidak kehilangan akal. Ia tetap berusaha mengenali saudara seperguruannya, mengenali ilmunya dan dengan sadar menghadapinya dalam satu pertempuran yang garang dan keras.
Sementara itu, pertempuran memang telah menebar ke seluruh padepokan. Orang-orang yang datang menyerang padepokan itu sudah berada di dalam padepokan melalui pintu gerbang utama dan pintu-pintu gerbang butulan yang telah dibuka dari dalam. Namun para cantrik dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di panggungan pun semuanya telah turun dan melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit.
Orang-orang yang menyerang padepokan itu telah bertempuran dengan keras dan kasar sebagaimana pengalaman mereka bertahun-tahun dalam petualangan mereka. Menurut perhitungan mereka, para cantrik tidak akan mampu bertahan sampai lewat tengah hari, karena para cantrik yang belum banyak berpengalaman itu, akan segera kehilangan kesempatan untuk bertahan. Mereka tidak akan kuat, baik secara wadag maupun tekad, untuk menghadapi tekanan yang keras dan kasar itu.
Makam Bunga Mawar 34 Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram Jentera Bianglala 1
^