Pencarian

Jentera Bianglala 1

Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari Bagian 1


KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi
sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah
Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu,
seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (57), penulis yang pernah menghasilkan novel
Ronggeng Dukuh Paruk , hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat
pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas
tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto.
Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah
dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah
melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya
sastranya. Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari
danJentera Bianglala ), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang
orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastraIndonesia . Sesuai tahuntahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalahKubah (novel, 1980),Ronggeng
Dukuh Paruk (novel, 1982)Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984),Jentera
Bianglala (novel, 1985),Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin
(kumpulan cerpen, 1990),Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993),Bekisar
Merah (novel, 1993),Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
1 Bagian Pertama Ketika Dukuh Paruk menjadi karang abang lemah ireng pada awal tahun 1966
hampir semua dari kedua puluh tiga rumah disana menjadi abu. Waktu itu banyak
orang mengira kiamat bagi pedukuhan kecil itu telah tiba. Siapa yang masih ingin
bertahan hidup harus meninggalkan Dukuh Paruk. Karena hampir segala hartabenda, padi, dan gaplek musnah terbakar, bahkan juga kambing dan ayam. Lalu
siapa yang tetap tinggal di atas tumpukan abu dan arang itu boleh memilih cara
kematian masing-masing; melalui busung-lapar atau melalui keracunan ubi gadung
atau singkong beracun. Tetapi Dukuh Paruk sampai kapan pun tetap Dukuh Paruk. Dia sudah cukup
pengalaman dengan kagetiran kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling
bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Dukuh Paruk hidup dalam kesadarannya sendiri
yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali mala petakatempe
bongkrek, dengan kemiskinan langgeng dan dengan kebodohan sepanjang masa.
Memang. Mala petaka kobaran api yang hampir memusnahkan Dukuh Paruk secara
keseluruhan dalam geger politik 1965 itu adalah pengalaman yang paling dahsyat
tergores dalam lintasan hidup Dukuh Paruk. Hari-hari pertama sesudah kebakaran
besar itu adalah hari-hari kebisuan. Setiap keluarga berkumpul, jongkok di bekas
rumah masing-masing hampir tanpa suara kecuali desah panjang dan kadang tangis
kaum perempuan. Mereka tanpa makanan dan tempat tinggal. Malam hari mereka
membuat sudhung, semacam sarang berangka batang singkong yang ditutupi
dengan rumput dan kelaras pisang. Dan kematian akibat lapar segera akan menjadi
kenyataan karena tak seorang pun manusia luar Dukuh Paruk merasa perlu memberi
bantuan kepada puak yang sedang diamuk mala petaka hebat itu. Hanya karena
Dukuh Paruk masih menyimpan singkong yang tumbuh di sekitarnya maka orangorang disana berhasil menyambung hidup.
Kemudian Dukuh Paruk memperoleh napas pertama ketika ternyata Sakarya,
kamitua pedukuhan itu, hanya dua minggu ditahan. Demikian juga Kartareja dan
istrinya serta para penabuh calung seperti Sakum dan dua orang lainnya. Mereka
kemudian hanya diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan.
Tetapi Srintil belum kembali. Ya. Tetapi Srintil belum kembali, itulah aspirasi semua
warga Dukuh Paruk yang tak pernah berani terucapkan. Srintil belum kembali ke
Dukuh Paruk dan entah di mana dia sekarang dan bagaimana pula keadaannya.
Mengapa Srintil belum juga kembali adalah bagian dari kegagapan Dukuh Paruk
dalam hal membaca pesan sejarahnya; sejarah yang telah membawa obor raksasa
dan membuat rumah-rumah disana menjadi abu. Bahkan bukan hanya rumah-rumah
yang musnah, tetapi juga jiwa Dukuh Paruk yang hancur karena kelimbungan ketika
mereka harus mempertanyakan kembali perikeberadaan mereka sendiri dan harus
bagaimanakah mereka sekarang. Sebuah teka-teki yang amat sulit menindih Dukuh
Paruk yang bebal. Lihatlah alis-alis mereka yang selalu berkerenyit, wajah-wajah
runduk dan penuh ketakutan serta gugup ketika menghadapi tatapan mata orang
luar. Dan pasrah. Itulah daya terakhir Dukuh Paruk. Pasrah dalam diam paripurna
sehingga Dukuh Paruk hampir tak mengeluarkan kata-kata, bahkan ketika mereka
secara gotong-royong bergiliran membuat gubuk-gubuk baru. Bambu dipotong-
2 potong dan daun kelapa dianyam sebagai atap dan dinding. Maka pada bulan kedua
gubuk-gubuk kecil sudah berdiri di atas tanah yang masih menyisakan abu dan
arang. Dukuh Paruk kembali mempunyai tempat berlindung dari curah hujan dan
terik matahari. Kemudian dari manakah Dukuh Paruk hendak memulai denyut kehidupannya ketika
kebisuan masih mencekam" Dari tawa anak-anak, dari suara lesung ketika gaplek
ditumbuk atau dari asap yang mengepul di dapur" Tidak. Denyut Dukuh Paruk
dimulai dari percik suara polong orok-orok yang pecah menyebar bijinya ketika
panas matahari menjerang, dari derit batang bambu yang bergesekan ketika angin
lembut bertiup. Dan dari sepasang burung brondol yang sibuk mengangkut rumputrumput kering dari permukaan tanah ke balik kelebatan tandan pinang di atassana .
Atau dari pancuran di bawah pohon bungur itu. Pancuran air yang tidak ingin tahu
akan segala macam bencana yang telah sekian kali menimpa orang-orang yang
biasa bersibak dengan kesejukannya. Pancuran itu terus mengucur, lengkung seperti
kristal hidup, lalu pecah di atas batu pekat berhias lumut di sisi-sisinya. Ribuan tetes
air memercik ke segala arah. Mereka menangkap sinar matahari yang menerobos
dedaunan, membiaskannya dengan sempurna dalam bentuk kabut bianglala.
Bagaimanapun juga Dukuh Paruk ternyata mampu menarik napas pertama
kehidupannya. Perihal kemampuan mempertahankan hidup Dukuh Paruk hanya bisa
disamakan dengan lumut kerak di atas batu cadas. Lumut kerak yang diam dan
seakan mati di musim kemarau. Kering dan mengelupas. Namun dalam kematiannya
lumut kerak menyimpan daya kehidupan. Sporanya terbungkus dalam kista yang
segera mampu memutar daur kehidupannya ketika tetes air pertama atau bahkan
sekadar kelembaban udara menyentuhnya. Dukuh Paruk adalah lumut kerak yang
rupanya diciptakan untuk menunaikan tugas hidup dalam kondisi yang paling
minimal. Dukuh Paruk masih ada meski tanpa senyum apalagi tawa. Dia masih ada
meski dia hampir tidak tahu lagi makna keberadaannya.
Ada sebuah rumah yang tersisa ketika Dukuh Paruk terbakar. Rumah itu kecil dan
hanya di waktu pagi terkena sinar matahari karena terkurung rumpun bambu.
Penghuninya seorang nenek bungkuk dan semua orang Dukuh Paruk boleh jadi
sudah lupa siapa namanya yang asli atau nama suaminya yang sudah lama mati.
Nenek itu selalu dipanggil dengan nama cucunya di belakang: Nenek Rasus.
Sudah beberapa hari Nenek Rasus tidak kuasa lagi turun dari pembaringan. Dan
siapa pun merasa bahwa nenek yang sudah amat renta itu hampir ajal.Ada yang
mengatakan apa yang sedang terjadi pada Nenek Rasus adalah perkara alami;
karena usia yang lanjut maka nenek itu sedang melangkah mendekati hari-hari
akhirnya. Tetapi ada juga yang mengatakan, seharusnya Nenek Rasus masih kuasa
berjalan terbungkuk-bungkuk minta makan kepada sanak-saudara sesama warga
Dukuh Paruk. Yang menyebabkannya ambruk adalah kenyataan bahwa satu-satunya
cucu tidak kunjung muncul, bahkan ketika hari-hari semakin genting.
Selagi masih mampu mengeluarkan suara maka Rasus-lah yang selalu dipanggilpanggil. Dalam gerak mata yang samar Nenek Rasus mengharap seseorang mau
memanggil cucunya pulang. Semua orang menangkap pesan itu, tetapi tak seorang
pun merasa sanggup melaksanakannya. Tidak juga Sakarya, kamitua Dukuh Paruk.
Menghubungi seorang tentara demi nenek yang sedang di tepi ajal sekalipun tak
mungkin dilakukan oleh orang Dukuh Paruk. Suasana yang tidak memungkinkannya.
Suasana hanya memberikan kelonggaran sedikit bagi Dukuh Paruk, yakni sekadar
untuk bernapas dalam diam atau berjalan sambil menundukkan kepala. Dukuh Paruk
setelah menyala seperti obor besar adalah Dukuh Paruk yang dipaksa harus tahu diri
3 dalam segala hal. Pasrah dan tak usah banyak cingcong. Apabila ada seorang
warganya yang mau mati, maka matilah, lalu kuburkan dan habis perkara.
Hanya Nenek Rasus sendiri yang terus berusaha menghubungi cucunya. Mungkin
melalui denyut-denyut terakhir nadinya nenek renta itu memanggil cucunya pulang.
Atau ketika bibir Nenek Rasus kelihatan bergerak-gerak, maka sebenarnya dia
sedang memohon kepada kekuatan adikodrati agar pesannya disampaikan kepada
cucunya yang kini berada entah di mana.
Ketika semua orang merasakan guncangan hebat pada hampir seluruh tatanan
serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta ketidakpastian demikian
mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan hidup berada pada puncak taruhan yang
amat menakutkan. Maka adalah fitrah manusia untuk mendapatkan tempat yang
teduh, tempat jiwa dapat memperoleh kembah ketenangannya. Dan tak usah
dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti itu orang ingin segera memperoleh
kepastian bahwa lembaga tempat dia menyerahkan kesetiaan dasarnya tidak rusak.
Lembaga ini adalah ibu yang selalu bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa
berupa rumpun-rumpun bambu yang menjadi saksi kelahirannya, bisa berupa
pancuran air yang mengucur abadi atau bisa berupa haribaan seorang nenek yang
sudah apek. Atau gabungan kesemuanya yang secara bersama-sama telah menyusui
seorang anak manusia sejak lahir sampai dia mempunyai kesadaran tentang makna
keberadaannya. Merekalah yang paling berhak menerima penyerahan kesetiaan
dasar seorang manusia warga kehidupan.
Bersama dengan kesatuannya, Rasus sedang bertugas di sebuah wilayah di bagian
tenggara Jawa Tengah, hampir dua ratus kilometer jauhnya dari Dukuh Paruk.
Kadang Rasus merasa dirinya adalah seorang cucu durhaka karena sudah empat
tahun dia tidak menjenguk Dukuh Paruk. Sudah sekian lama dia menitipkan seorang
nenek pikun kepada rasa kebersamaan puaknya. Namun rasa bersalah itu selalu
pupus sendiri, entah karena kesibukannya sebagai tentara atau karena Rasus sudah
bertekad membiarkan Dukuh Paruk hidup seperti apa adanya. Dukuh Paruk dengan
sumpah-serapahnya, dengan irama calungnya, dan dengan seorang ronggeng cantik
bernama Srintil. Rasus tidak hendak menyentuh kemandirian tanah airnya yang kini
sudah jauh dan terpencil.
Tetapi geger tahun 1965 serta-merta mengubah sikap Rasus terhadap Dukuh Paruk.
Dalam rongga matanya mulai terbayang jelas sebuah rumah kecil yang hampir
tertutup oleh rumpun bambu. Telinganya mulai mendengar suara anak-anak yang
sedang ramai bermain layang-layang yang terbuat dari daun gadung kering. Atau
dengung kumbang tahi yang menyeberang pekarangan kosong ketika pagi masih
sangat berembun. Makin hari terasa suasana Dukuh Paruk makin memenuhi
kalbunya. Lambaian Dukuh Paruk yang tua menyentak-nyentak hatinya. Dan
sentakan itu jadi terasa semakin kuat manakala Rasus ingat bahwa menurut
selentingan yang sampai kepadanya Dukuh Paruk terbawa-bawa dalam rapat
propaganda. Rasus sungguh berharap dukuhnya tidak mengalami sesuatu yang
4 genting. Namun entah mengapa Rasus tidak berhasil menenangkan dirinya sendiri.
Entah mengapa pula sosok neneknya yang renta dengan keriput wajahnya terlalu
sering muncul dalam ingatan Rasus.
Andaikan Rasus bukan seorang tentara yang kini harus berada dalam sikap siaga
penuh karena negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, pastilah dia akan segera
mengajukan permohonan cuti. Namun keadaan memaksa hak cuti bagi setiap
prajurit dihapuskan entah sampai kapan. Maka untuk mengetahui keadaan tanah
kelahirannya Rasus hanya bisa bertanya melaluisurat . Sersan, dulu Kopral, Pujo
yang pernah sekian lama menjadi sahabat satu kesatuan, kini menjadi komandan
markas perwira urusan teritorial di kecamatan Dawuan. Kepadanyalah Rasus
menulissurat , minta tolong agar dia diberi tahu perikeadaan Dukuh Paruk.
Balasan dari Sersan Pujo demikian cepat dan singkat. Balasan melalui telegram
memberi tahu Rasus bahwa neneknya sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tak
ada kata permintaan agar Rasus segera pulang. Ya. Rasus mengerti pengirim
telegram itu adalah Sersan Pujo. Dia tidak berhak meminta apalagi memerintahkan
apa pun terhadap prajurit yang bukan bawahannya. Rasus menerima dengan segala
kepedihan, bahwa pada suatu saat dan keadaan tertentu maka ajal seorang nenek
harus dianggap kecil;gaya telegram Sersan Pujo itulah buktinya.
Namun Rasus berharap betapapun rawan situasi keamanan saat itu masih ada
tersisa hak kemanusiaan yang bersifat pribadi. Maka dengan membawa telegram
dari Sersan Pujo, Rasus menghadap komandan kesatuannya. Dia minta izin hendak
pergi meninggalkan tugas guna melepas kepergian nenek kandungnya. Izin
diberikan, namun Rasus harus berhadapan dengan wajah gelap komandannya.
Dengan kendaraan pertama yang bisa dihentikannya Rasus berangkat ke Dukuh
Paruk. Pukul empat sore Rasus tiba di Dawuan. Turun dari kendaraan Rasus
dijemput oleh seorang anak buah Sersan Pujo. Rasus diminta singgah dulu di markas
sebelum meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk.
"Aku tahu, kamu ingin secepatnya melihat Nenek. Tetapi sebelum itu berilah aku
kesempatan menunaikan tugasku sendiri yang menyangkut dirimu," kata Sersan
Pujo kepada Rasus. Gaya Sersan Pujo sangat resmi hampir kaku.
"Tentu saja, Sersan. Silakan."
"Pertama, kuminta kamu menanggalkan senjatamu, juga pisau di pinggangmu itu."
5 Rasus memenuhi permintaan Sersan Pujo tanpa kata-kata apa pun. Kemudian
keduanya duduk dalam suasana yang lebih kendur.
"Nenekmu masih hidup hari ini. Kepastian ini kuperoleh dari orang-orang Dukuh
Paruk yang apel kemari tadi pagi."
"Ah, syukur. Yang sangat kukhawatirkan ialah bila sampai aku terlambat. Maka
terima kasih, Sersan. Telegram yang Sersan kirimkan membuat aku sempat
menunggu saat-saat terakhir hidup Nenek."
"Ya. Dan satu pesanku. Kita sama-sama prajurit, maka kita dituntut memiliki
ketabahan. Ketabahan dalam menghadapi apa pun. Kuulangi, ketabahan dalam
menghadapi apa pun!"
Rasus merasa ada pesan tertentu dalam kata-kata Sersan Pujo. Dan barusan dia
mendengar ada orang Dukuh Paruk yang dikenai wajib apel. Rasus ingin mendapat
kejelasan tetapi Sersan Pujo tidak memberinya kesempatan.
"Nah, silakan kamu meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk. Jangan lupa, kamu
seorang prajurit." "Baik, Sersan."
Dukuh Paruk sedang menanti seorang anaknya pulang. Penantian yang harus diberi
makna apa karena Dukuh Paruk sesudah menyala menjadi obor besar adalah Dukuh
Paruk yang merenung dan amat gering. Segala sendi kehidupan yang dari generasi
ke generasi telah membentuk pribadi Dukuh Paruk menjadi demikian goyah hampir
runtuh. Dukuh Paruk telah kehilangan rasa percaya diri amat sangat sehingga dia
tidak tahu pasti dengan cara atau sikap bagaimanakah dia menyambut kedatangan
sang anak bila suatu ketika dia muncul.
Dan sang anak sedang berjalan dalam langkah-langkah panjang lurus menuju
kerindangan rumpun bambu di mana dia dilahirkan menjadi warga kehidupan. Makin
mendekati gerumbul Dukuh Paruk langkah Rasus makin cepat. Lalu tiba-tiba dia
6 terjebak dalam kelengangan yang aneh. Rasus berhenti dan menatap ke depan. Di
manakah rumah Sakum yang biasa tampak dari ujung pematang" Juga di manakah
kilau atap seng rumah Kartareja"
Rasus melangkah lagi. Namun kelengangan bahkan makin mencekam. Tidak ada
anak-anak berkeliaran di halaman dan tidak terdengar suara mereka. Oh! Dan Rasus
berdiri beku, dahinya berkerut-kerut. Dia berusaha keras membaca dan meyakini
kenyataan yang tergelar di hadapannya. Rumah-rumah puaknya telah berubah
menjadi gubuk-gubuk kecil tak ubahnya seperti dangau sawah. Oh, Dukuh Paruk,
mengapa engkau rupanya" Mala petaka apa pula yang telah menimpamu selama aku
di rantau" Pada saat pundak Rasus jatuh, sebuah jawaban yang pasti bisa menerangkan
segalanya. Intuisinya bekerja demikian cepat menghubung-hubungkan faktor-faktor
kekinian dengan segala cirinya, dengan segala hukum dialektikanya. Apabila Rasus
teringat pada masa lalu Dukuh Paruk terbawa arus keberingasan propaganda politik
maka segala sesuatu tak usah dipertanyakan lagi. Ya. Kemudian Rasus merasakan
sesuatu yang amat pahit masuk lalu mengental di dasar hatinya.
Kini Rasus melangkah lagi. Mengambang, seakan telapak kakinya tidak menginjak
tanah. Dua orang anak kecil yang tak sengaja melihat kedatangannya lari terbirit,
lalu menerobos pintu gubuk dan bersembunyi dengan wajah pucat. Orang-orang
perempuan mengintip dari celah dinding anyaman daun kelapa. Mereka tidak berani
menampakkan diri bahkan sesudah mereka yakin tentara yang datang adalah Rasus,
saudara mereka sendiri. Ketika Dukuh Paruk merasa sedang berada dalam puncak kehancuran harga diri,
ketika sejarah terasa telah menyingkirkannya ke wilayah aib kehidupan, maka
sesungguhnya Dukuh Paruk sangat berharap pertolongan akan datang dari putra
terbaiknya. Dukuh Paruk ingin menyembunyikan wajah ke balik punggung Rasus
yang sudah jadi tentara. Tetapi tak seorang pun disana yakin akan sikap Rasus;
simpati terhadap Dukuh Paruk yang suatu saat menyala menjadi obor raksasa atau
malah sebaliknya. Dalam keluguannya Dukuh Paruk telah membaca sejarah bahwa
hubungan darah bisa bungkam dan pekak ketika terjadi penjungkirbalikan tata nilai
yang menggegerkan kehidupan.
Lihatlah kaum lelaki dan perempuan yang sedang berkumpul di rumah Nenek Rasus
berdiri membisu ketika meraka melihat putra terbaik itu datang. Ketakutan masih
menjadi warna yang paling menyolok pada wajah-wajah mereka. Rasus sudah
melihat sisa abu dan arang, lalu rumah-rumah liliput dan anak-anak yang lari
ketakutan. Semuanya adalah garis besar jawaban tentang apa yang baru menimpa


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dukuh Paruk. Dan jawaban yang rinci, mendasar, dan lengkap terbaca dengan jelas
pada penampilan orang-orang yang sedang berkumpul disana . Mereka adalah
7 prasasti hidup, monumen tanpa kata, yang mencatat secara amat teliti tentang
perilaku, sejarah yang telah memperlakukan Dukuh Paruk semaunya. Rasus seakan
melihat kobaran api yang telah membakar puaknya pada alis Sakum. Dia seakan
melihat ketakutan dan kepanikan luar biasa pada keriput wajah Sakarya. Dan Rasus
seakan mendengar jerit yang melengking ketika dia melihat air mata kaum
perempuan mulai berjatuhan.
Satu langkah lebih jauh Rasus sudah larut dalam kehancuran puaknya. Dia tak
kuasa lagi menatap wajah Sakarya, Kartareja atau lainnya. Dia tak kuasa lagi
menyaksikan air mata perempuan yang turun membasahi pipi-pipi kurus dan pucat.
Rasus berjalan goyang. Sikap tabah yang dipesankan oleh Sersan Pujo berhasil
menjaga tubuh Rasus tidak roboh. Tetapi Rasus tak berhasil menahan air mata
ketika dia sudah berdiri di samping tubuh neneknya.
"Nek, aku datang. Aku Rasus, Nek."
Dan tubuh lusuh di bawah kain gombal itu tak kuasa memberi tanggapan apa pun.
"Laa ilaaha illallaah."
Kemudian Rasus duduk di tepi balai-balai. Masih terlihat samar denyut urat darah di
sisi leher neneknya. Masih ada gerakan halus di dada. Namun Rasus merasa
neneknya sudah tak mampu lagi berkomunikasi dengan siapa pun. Hayat masih ada
tetapi roh, siapa tahu, telah pergi lebih dahulu.
Diperlukan waktulima atau enam menit bagi Rasus buat menyadari di mana dan
pada keadaan bagaimana dirinya kini berada. Kemudian desah yang berat
menandakan Rasus telah berhasil mengalahkan segala gejolak rasa. Setelah
mengusap wajah neneknya dengan lembut, Rasus berdiri lalu membalikkan badan.
Kini dia kembali menghadapi wajah Dukuh Paruk; wajah penuh pengakuan bersalah,
wajah penuh permohonan maaf kepada kehidupan. Namun Dukuh Paruk harus
mengakui kenyataan, kehidupan hanya mau memberikan maaf melalui sang waktu
yang sering suka mengulur tangan yang begitu panjang. Maka Dukuh Paruk amat
sulit meyakini apakah kehidupan mau memaafkannya. Apabila maaf itu tidak
diperoleh, Dukuh Paruk harus mau hancur dikunyah sejarah. Dan kehancuran itulah
sketsa yang terlukis pada wajah orang-orangnya.
Rasus bukan hanya merekam kehancuran itu. Dia bahkan merasa bersama-sama
puaknya, hancur. Malah Rasus merasa berdiri pada tempat yang lebih sulit; dia anak
8 Dukuh Paruk tetapi dituntut memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada sekadar
kepentingan dan kehidupan puaknya.
Masih belum sepatah kata pun terucap, Rasus bergerak menyalami Sakarya,
Kartareja, dan orang-orang Dukuh Paruk lainnya. Kata-kata yang kemudian keluar
dari mulutnya terdengar berat namun tenang.
"Sedulur-sedulurku semua, apakah kalian selamat?"
Sepi. Tak terdengar suara yang segera menjawab. Orang-orang hanya bisa
menundukkan kepala dan menelan ludah. Orang-orang sedang menikmati sentuhan
lembut yang mengelus jiwa. Sedulur. Rasus tetap menyebut mereka saudara.
Sebutan yang begitu lumrah namun menjadi sangat istimewa bagi sekelompok
manusia sisa kobaran api di Dukuh Paruk. Sakarya terbatuk. Bibirnya bergerakgerak. Namun kata-katanya tak kunjung keluar.
"Ya, Cucuku Wong Bagus," ucap Sakarya akhirnya. "Kami semua, saudara-saudara
sampean, bagaimanapun juga masih mendapat keselamatan."
"Syukurlah, Kek."
"Dan kami sangat senang, akhirnya sampean pulang. Lha, nenek sampean itu.
Untung sampean belum terlambat."
"Ya, Kek." "Sudah belasan hari kami menungguinya, Ah, kukira nenek sampean memang
sudah tua, sangat tua. Lalu, bukankah sampean hendak menunggui Nenek hingga
selesai?" "Ya. Ah, tetapi entahlah, Kek. Aku hanya diberi izin tiga hari."
9 "Jadi kamu hanya mau tinggal tiga hari di sini?" tanya Sakum. Dia berdiri dan
matanya yang keropos berkedip-kedip.
"Hai, Sakum! Tidak pantas ber-kamu kepada seorang tentara."
"Ah, ya. Aku lupa. Seharusnya aku menyebut Pak Tentara. Rasus tentu gagah
sekarang. sampean sudah punya istri, Pak Tentara?"
"Belum, Kang." "Kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Eh, tetapi entah di mana dia sekarang.
sampean tahu di manakah dia sekarang?"
Wajah Rasus menegang dan dia tidak berhasil menyembunyikan keterkejutannya.
Rasus sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan berbicara siapa saja orang
Dukuh Paruk yang pernah ditahan. Sebab segalanya tak terelakkan dan sudah
terjadi. Lagi pula pada mulanya Rasus menyangka semua warga puaknya yang
ditahan telah kembali ke Dukuh Paruk. Kini Rasus tahu Srintil yang demikian lama
punya arti amat penting bagi dirinya justru menjadi satu-satunya orang Dukuh Paruk
yang masih ditahan entah di mana.
"Aku, aku tidak tahu, Kang. Aku tidak tahu di mana sekarang Srintil ditahan," jawab
Rasus sambil menggelengkan kepala.
"Ah, kasihan dia, Pak Tentara. Lalu siapa lagi kalau bukan sampean yang bisa
menolong Srintil. Nah, cari dia, bawa pulang kemari dan jadikan dia istri sampean.
Wah, pantas betul." "Sakum, sudahlah. Yang macam itu bukan urusanmu," potong Sakarya. "Lagi pula
pantaskah kamu bicara macam-macam di dekat Nenek Rasus yang sedang sakit
payah?" Malam hari hampir semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Nenek Rasus dan
sekitarnya. Perihal Nenek Rasus mereka sudah tahu, retapi cucunya yang baru
pulang setelah empat tahun meninggalkan Dukuh Paruk adalah lain. Bukan semata-
10 mata orangnya yang ingin mereka ketahui, karena yang terutama adalah bagaimana
sikap Rasus; masihkah dia memiliki kesetiaan dasar terhadap Dukuh Paruk serta
darah dan daging Ki Secamenggala. Dukuh Paruk yang merasa disingkirkan ke
wilayah paling aib karena dihubung-hubungkan dengan penyebab geger 1965 amat
merindukan pamong baru. Pamong yang bisa dijadikan secuil kebanggaan hidup dan
pengayom. Dan Rasus adalah orang yang paling didambakan bila benar dia masih
memiliki kesetiaan dasar itu. Kini orang-orang Dukuh Paruk ingin membuktikannya.
Rasus menyambut puaknya dengan senyum, dengan mata berseri. Bukan karena
tahu dia sedang diselidiki. Dia gamit pipi anak-anak di gendongan emak masingmasing. Seorang anak malah diambilnya dari gendongan seorang perempuan,
ditimang-timangnya, diciuminya. Rasus mencium masa lalunya, mencium bau Dukuh
Paruk, mencium pangkuan emaknya. Hatinya bergetar oleh rasa keterikatan dan
keprihatinan atas ulah sejarah yang telah membawa obor besar yang telah
membakar Dukuh Paruk, sejarah yang membuat Dukuh Paruk sangat mudah
terkejut meski hanya oleh keresek bunyi bengkarung di atas sampah kering, apalagi
oleh bunyi langkah orang bersepatu. Dukuh Paruk yang kini selalu menunduk bila
menghadapi tatapan mata orang luar, Dukuh Paruk yang serba takut karena sudah
tak secuil pun memiliki rasa percaya diri.
Buat kali pertama sejak tiga bulan berselang terlihat senyum pada wajah-wajah
orang Dukuh Paruk. Kesejukan pertama telah menyentuh hati ketika mereka yakin
Rasus tidak berubah. Dia tetap anak Dukuh Paruk. Dia masih mau menciumi anakanak yang berbau anyir. Pandangan matanya sejuk dan sejati, tidak seperti
pandangan orang-orang luar yang terasa amat menyiksa. Oh, sungguh tidak
terbayangkan kehancuran yang harus dipikul oleh orang Dukuh Paruk apabila Rasus
sama seperti semua orang; memandang Dukuh Paruk seakan tidak layak lagi
menjadi warga kehidupan. Namun senyum Dukuh Paruk belum bisa berkembang menjadi tawa riang. Semua
sadar Rasus dalam keprihatinannya sendiri. Maka orang-orang Dukuh Paruk sudah
puas bila Rasus menyapanya dengan ramah, memanggil mereka dengan sebutan
paman, kakang, bibi atau lainnya. Kemudian mereka membiarkan Rasus kembali ke
dekat tubuh neneknya yang sedang menunggu saat terakhir.
Menjelang tengah hari tinggal beberapa orang lelaki dan perempuan yang masih
tinggal di rumah Nenek Rasus. Rasus duduk menemani Sakarya, Kartareja, dan
Sakum, tetapi lebih sering duduk di tepi balai-balai menunggui neneknya. Dua
perempuan sudah tertidur berimpitan di sebuah lincak. Kartareja memejamkan
matanya sambil menyandar ke belakang. Sakum mendungkup sambil duduk. Hanya
Sakarya yang masih jaga. Mereka kelihatan lusuh karena sudah beberapa malam
menjaga Nenek Rasus. Pada akhirnya Sakarya pun lelap di kursinya.
11 Tiba-tiba cuping hidung Rasus bergerak-gerak. Dia mencium sesuatu; bukan bau
kain gombal neneknya yang sering kali basah, bukan bau asap kemenyan tetapi
sesuatu yang lain. Bau mayat. Rasus mencondongkan muka melihat wajah neneknya
lebih dekat. Masih ada napas. Ya, dari embusan napas yang sangat pelan itu sudah
tercium bau kematian. Kemudian Rasus menoleh kepada Sakarya. Tidur, semuanya
tidur. Hening dan hampa merayap perlahan dan merangkul Rasus dari segala arah.
Rasus merasa dirinya mengapung dalam kekosongan.
Bau mayat. Bau yang berasal dari proses perubahan jaringan organik yang terurai.
Proses itu berjalan amat lambat dan sangat alami. Hayat Nenek Rasus ditakdirkan
berakhir bukan karena kerusakan pada organ-organ tubuhnya, melainkan karena
habisnya kemampuan kerja mekanisme sistem ragawinya. Seperti sebuah mesin
yang akan mati karena kehabisan bahan bakar, perlepasan energi terakhirnya adalah
gerakan-gerakan tersendat dan sporadik. Rasus melihat napas neneknya tiba-tiba
menjadi cepat. Kedua matanya mendadak terbuka penuh, mulutnya ternganga.
Secara keseluruhan wajah Nenek Rasus adalah gambar kengerian dan ketakutan
yang amat sangat. Kemudian suatu gerakan yang berasal dari perut dengan cepat
naik ke dada dan berhenti tiba-tiba di tenggorokan. Nenek Rasus seperti hendak
terbatuk, namun yang terjadi hanyalah muntahan sedikit cairan. Itulah gerakan
terakhir pada jasad yang sudah demikian lusuh. Tak tersisa tenaga sedikit pun buat
menutupkan kelopak mata atau mengatupkan mulut. Hayat telah berjabat tangan
dengan maut. Sebuah sosok keakuan telah larut sempurna dalam keberadaan
semesta. Sebentuk unikum yang mewujud selama lebih dari tujuh puluh tahun di
Dukuh Paruk telah lenyap dan kembali menjadi debu bagian universum. Rohnya
kembali kepada Yang Mahaempunya. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," gumam
Rasus. Diusapnya wajah jasad neneknya agar kelopak matanya tertutup.
Diangkatnya rahang yang kini terpaut pada sepasang urat mati agar terkatup.
Selimut kain diangkat schingga menutup seluruh jasad. Lalu Rasus berdiri
termenung, bersedakap. Hening merangkulnya semakin erat. Dan mengapa Rasus
baru merasakan kesadaran yang amat dalam" Sadar akan hubungan ajaib dan
penuh rahasia antara jasad dirinya dengan jasad yang terbujur di hadapannya. Satu
mata rantai yang membentuk garis keturunan telah sirna dan mata rantai berikut
adalah diri Rasus sendiri. Denyut jantung seorang nenek telah berhenti, tetapi
denyut keturunan yang menjalin kehidupan terus berlanjut. Rasus amat sadar
denyut itu kini makin terasa dalam dadanya. Keharuan terusik dan air mata Rasus
meleleh. Waktu satu atau dua menit yang telah membawa Rasus ke tepi kesadaran
keakuannya terasa demikian lama. Ketika telinganya menangkap suara burung
celepuk Rasus merasa telah kembali ke alam keseharian. Sunyi. Di depannya mayat
Nenek yang tertutup kain dari kaki hingga ke kepala. Di belakangnya dua orang
perempuan tua tidur berimpitan dalam satu lincak. Disana Sakarya, Kartareja, dan
Sakum terlena di tempat duduk masing-masing.Ada kunang-kunang masuk, terbang
sekeliling ruang.Ada keresek tikus busuk di samping rumah. Burung celepuk kembali
mengumandangkan suaranya. Sakarya terjaga, mengusap waiah dengan kedua
telapak tangan, lalu ditatapnya Rasus yang sedang berdiri khusyuk. Dahi Sakarya
berkerut karena hatinya menangkap makna suasana.
12 "Bagaimana?" tanya Sakarya sambil bangkit.
"Ya, Kek. Nenek sudah bagus. Baru saja," jawab Rasus tenang.
"Oh, sampean tidak membangunkan aku?"
"Kejadiannya amat cepat, Kek. Sudahlah. Nenek sudah bagus."
Sakarya menunduk dan pundaknya jatuh. Perlahan-lahan dia mendekat ke balaibalai. Khidmat, dibukanya kain penutup hingga tampak wajah mendiang Nenek
Rasus. Buat kesekian kali Sakarya menatap citra kematian pada wajah tanpa hayat
dan tanpa roh. Sama-sama tanpa roh, namun monumen yang terbuat dari jaringan
organik memang tidak sama dengan tubuh yang sedang tidur. Mayat adalah
visualisasi proses terlepasnya nama dari kedirian, bahkan proses runtuhnya
sebentuk fungsi keberadaan. Dan Sakarya hanya bisa menghayati kematian dalam
sebuah kidung yang selalu ditembangkan bila ada warga Dukuh Paruk meninggal.
Wenang sami ngawruhana pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Yen mati
ngendi parane. Saengga manuk mabur, mesat saking kurunganeki. Ngendi parane
benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesanjan mangsa wurunga yen
mulih. Maring nagri kamulyan.
Rasus belum pernah memikirkan secara sungguh-sungguh ajaran yang terkandung
dalam kidung itu. Namun setidaknya Rasus bisa menangkap adanya wawasan yang
masih sumir rentang hakikat kematian.Ada kalimat dalam kidung itu yang
mengatakan, manusia hidup, tak urung bakal tiada, dan bahwa akhir perjalanan
setiap manusia adalah nagri kamulyan, rahmat Ilahi. Entah sistem nilai mana yang
dijadikan referensi oleh Sakarya buat menghayati kandungan kidungnya. Anehnya
Rasus merasa sumber referensi yang digunakan oleh Sakarya sesungguhnya adalah
sistem nilai yang kini benar-benar dianutnya. Sistem nilai itu punya diktum tentang
kematian; sesungguhnya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan jua
semuanya bakal kembali. Keesokan hari ketika setiap renik embun larut kembali dalam udara, semua warga
Dukuh Paruk berjalan mengiring jasad Nenek Rasus ke makamnya. Tak seorang pun
tertinggal, semua berada dalam barisan panjang mengikuti lorong yang naik ke bukit
pekuburan Dukuh Paruk. Mereka adalah semut yang beriringan dalam diam.
Kematian Nerick kasus adalah dukacita pertama sesudah mala petaka kobaran api
13 yang membakar Dukuh Paruk empat bulan sebelumnya; kematian yang makin
mempererat ikatan puak. Dalam kehancuran martabat yang luar biasa Dukuh Paruk
hanya bisa melakukan upaya amat pasif dan primitif untuk mempertahankan
keberadaannya sebagai warga kehidupan. Dan orang yang tidak mengerti akan
kehancuran jiwa Dukuh Paruk boleh jadi mengatakan bahwa iring-iringan yang
sedang menaiki bukit pekuburan Dukuh Paruk itu adalah barisan orang yang sedih
karena kematian seorang kerabatnya. Orang yang tidak tahu nestapa Dukuh Paruk
tidak bisa mengerti bahwa mereka yang sedang mengiring mayat adalah orangorang yang membawa keprihatinan mendalam dan hanya bisa dihibur dengan cara
memperkokoh buhul kesetiaan dasar, membuktikan kebersamaan dalam nestapa
dan dukacita. Kematian Nenek Rasus adalah kesempatan pertama buat
menggambarkan tangis Dukuh Paruk, tangis yang tak mungkin cukup diwakilkan
kepada sedu-sedan dan air mata.
Selesai pemakaman orang-orang menuruni bukit pekuburan, masih dalam kebisuan.
Hanya Rasus dan Sakarya yang masih tinggal. Keduanya masih jongkok menghadapi
gundukan tanah yang menimbun jasad Nenek Rasus. Sepi sekaii sehingga terdengar
jelas suara burung-burung, suara butir buah beringin yang jatuh menimpa daun, dan
suara kumbang yang terbang hinggap pada bunga kamboja. Rasus meremas tanah
yang renyah dan Sakarya seperti sedang menanti kesempatan buat mengatakan
sesuatu. "Nenek sampean ini beberapa tahun lebih muda daripadaku," kata Sakarya
akhirnya. "Jadi aku yang lebih tua. Maka aku merasa umurku juga akan berakhir
tidak lama lagi." Rasus mengangkat muka. "Cucuku, aku juga sama dengan nenekmu yang ingin ditunggui cucu ketika ajal
tiba. Tetapi aku tidak yakin apakah Srintil bisa pulang manakala aku mati. Inilah
beban berat yang selalu kupikirkan siang dan malam. Apakah sampean bisa
menolongku, Cucuku Wong Bagus?"
Rasus tergagap. Ditatapnya wajah Sakarya lalu menunduk lagi.
"Menolong bagaimana, Kek?"
"Yah, sesungguhnya berat aku mengatakannya. Aku ingin minta bantuanmu
mengusahakan Srintil cepat kembali. Ah, tidak. Aku mengerti itu tidak mungkin.
14 Tetapi setidaknya, maukah sampean mencari tahu di manakah Srintil kini berada"
Oh, cucuku. Betapa aku ingin tahu keadaan Srintil. Apabila dia masih hidup maka di
mana dan bagaimana keadaannya sekarang. Apabila dia sudah meninggal maka di
manakah kuburnya." Urat tenggorokan Rasus terasa mengerut. Keperihan Dukuh Paruk memang
disebabkan oleh dua luka, kedua-duanya ikut terasakan sepenuhnya oleh Rasus.
Luka pertama adalah rudapaksa hebat yang telah membakar Dukuh Paruk hampir
habis dan kenisbian sejarah yang memandang Dukuh Paruk adalah sisi aib
kehidupan. Luka kedua adalah kenyataan Srintil belum kembali. Srintil yang
memanggul sekian banyak simbol Dukuh Paruk masih terbenam dalam
ketidakpastian. Dan ketidakpastian Srintil tidak bisa lain kecuali dirasakan oleh
puaknya sebagai ketidakpastian Dukuh Paruk sendiri. Rasus sadar sepenuhnya
bahwa ketidakpastian lebih mengerikan daripada mala petakatempe bongkrek yang
telah beberapa kali menimpa Dukuh Paruk, atau lebih mengerikan daripada kobaran
api besar yang telah menghanguskan Dukuh Paruk empat bulan berselang.
Tenggorokan Rasus mengerut lagi.
"Bagaimana, Cucuku?"
"Oh, ya. Akan kuusahakan sebisa-bisanya. Tetapi tak ada jaminan usahaku mencari
keterangan di mana Srintil berada akan berhasil. Kakek tahu, keadaan masih sangat


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genting." Sakarya mengosongkan parunya dalam desah panjang.Ada percik kegembiraan
pada wajahnya. "Ya, asal sampean mau berusaha sudah cukup membuatku merasa besar hati. Lalu
ada lagi yang ingin kusampaikan padamu."
"Apa lagi, Kek."
"Ini amat rahasia dan hanya sampean yang boleh tahu. Tentang perhiasan emas
milik Srintil yang berhasil kuselamatkan. Apakah sampean mau menyimpan
kemudian nanti memberikannya kepada Srintil bila dia sudah kembali?"
"Banyak?" 15 "Banyak. Lebih dari dua ratus gram."
"Oh, maaf. Aku merasa tidak berhak menyimpannya. Di manakah harta itu
sekarang?" "Disimpan oleh istriku."
"Nah, biarkan harta itu tetap disana . Aku cukup mengetahuinya saja."
"Aku khawatir karena kami berdua sudah tua. Bagaimana nanti bila kami mati
sedangkan sampean tidak di sini?"
"Kalau begitu simpanlah dia di suatu tempat yang hanya kita berdua tahu."
"Oh, ya. Baiklah. Harta Srintil itu akan kutanam dekat nisan makam Eyang
Secamenggala. Kukira disana aman."
"Baik, Kek. Akan kujaga sebaik-baiknya amanat ini."
Kerut-kerut di wajah Sakarya mengendur. Diperhatikannya dengan saksama Rasus
yang bangkit dan berjalan ke arah sebatang pohon kamboja. Dipatahkannya dahan
sebatang lain ditanammya dekat nisan makam neneknya. Satu pohon kamboja akan
tumbuh dan menjadi saksi bahwa tanah Dukuh Paruk telah menerima kembali
segumpal saripatinya: jasad Nenek Rasus.
Dalam perjalanan pulang Rasus sungguh tidak ingin berbicara apa pun karena
ungkapan dengan kata mana saja takkan sanggup mewakili perasaannya. Kenyataan
bahwa dia telah melihat tanah airnya yang kecil berubah menjadi pedukuhan dengan
rumah-rumah liliput, orang-orang sepuak bahkan anak-anak yang tak mampu lagi
tersenyum, neneknya yang baru saja dikubur, dan Srintil. Masih hidup atau sudah
matikah dia dan di manakah adanya" Semua ini meresahkan Dukuh Paruk,
meresahkan Sakarya dan amat meresahkan Rasus.
16 Dan keresahan itu makin terasa berat ketika Rasus harus berangkat lagi
meninggalkan Dukuh Paruk. Berat, bukan hanya karena sesungguhnya Rasus tidak
bisa menunaikan tugas dari puaknya untuk memperoleh keterangan tentang Srintil.
Kedudukannya sebagai anggota tentara yang justru menyulitkan pelaksanaan tugas
seperti itu, lagi-lagi karena keangkuhan kenisbian sejarah. Berat, terutama karena
Rasus percaya harapan Dukuh Paruk kini hanya berada pada dirinya.
Maka Rasus tidak merasa perlu menyembunyikan air mata ketika dia melihat lelaki,
perempuan, dan anak-anak Dukuh Paruk berhimpun untuk melepas keberangkatannya. Wajah-wajah yang mati dan tatapan mata yang hampa adalah
hibaan yang amat memelas bagi secuil harapan kiranya Dukuh Paruk masih
dianggap berhak menghirup udara kehidupan, menenggak air kehidupan, dan
menapakkan kaki di bumi kehidupan. Rasus sekali lagi berangkat meninggalkan
tanah airnya yang kecil. Kali ini dia tak kuasa tersenyum, dahinya berkerut, dan
hatinya buntu. Bagian Kedua Ketika baru dipasang atap-atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa itu hijau
tua warnanya. Baru sehari terkena sinar matahari dia sudah berubah menjadi sedikit
kelabu dan kerapatan anyamannya mengendur. Warnanya berubah lagi menjadi
cokelat dan rapuh. Siang hari orang-orang Dukuh Paruk dapat melihat langit dari
dalam gubuk masing-masing. Malam hari anak-anak menghitung bintang sambil
tiduran. Musim hujan tiba. Sakarya menganjurkan orang-orang Dukuh Paruk melapisi atapatap gubuk mereka dengan ilalang buat mengedap air hujan. Ilalang adalah atap
yang sebenarnya. Dia menyerap panas ketika matahari terik. Sebaliknya, dia
menyimpan kehangatan ketika udara di luar dingin dan kering. Tidur di atas pelupuh
bambu di bawah atap ilalang adalah kenyamanan alarm yang tak mungkin
terlupakan oleh setiap anak Dukuh Paruk.
Kemarau datang menggantikan musim hujan. Hilang dan datang lagi. Atap ilalang
yang menyelimuti orang-orang Dukuh Paruk sudah berusia lebih dari dua tahun,
mulai lapuk.Ada dua ekor burung brondol jantan dan betina rajin sekali melolon
helai-helai atap ilalang gubuk Sakum untuk dibuat sarang di atas pohon. Dan Dukuh
Paruk masih hidup.Ada rumput, entah mengapa, tumbuh di atas atap ilalang rumah
Sakum. Akar rumput itu pelan dan pasti memakan atap ilalang itu. Tetapi Sakum
17 yang keropos kedua matanya tetap hidup karena Dukuh Paruk bertahan hidup.
Apabila Sakum belum berpikir hendak memperbaiki atap gubuknya, orang lain tidak
demikian. Sakarya malah sudah memperbesar gubuknya, kini bertiang delapan.
Dindingnya diganti dengan anyaman bambu, ada jeruji di bagian depan juga dari
bambu. Dukuh Paruk merambat perlahan seperti akar ilalang menyelusuri celah
cadas. Meski tak ada lagi tembang ronggeng atau irama calung namun sudah
terdengar tawa anak-anak ketika mereka berebut biji ketapang. Biji yang keras
mereka pecahkan, isinya putih dan gurih.
Meski orang Dukuh Paruk masih sangat mudah terkejut bila melihat laki-laki
bersepatu dan masih belum berani beradu pandang dengan orang-orang luar; Dukuh
Paruk secara moral masih dituntut mengaku bersalah, namun anak-anak disana
tetap anak-anak. Mereka lebih cepat lupa akan kobaran api yang membakar gubukgubuk mereka beberapa saat sesudah geger 1965. Lihatlah anak-anak itu yang
sedang berkeliaran di pekarangan-pekarangan kosong mencari apa saja yang bisa
dimakan; umbi-umbian, jantung pisang atau buah katilayu. Gangsir dan orong-orong
digali dari tanah, pohon salam dipanjat agar mereka dapat mengulum kulit buahnya
yang masak, sarang burung, bahkan sarang semut diambil telurnya. Dengan cara
mereka sendiri anak-anak Dukuh Paruk bertahan dan bertahan.
Adaseorang anak perempuan yang tidak bisa bebas mengikuti teman-temannya
berkeliaran di pekarangan-pekarangan kosong karena dia harus menjaga dua
adiknya yang masih kecil-kecil. Anak perempuan itu duduk bersama kedua adiknya
di tepi dukuh. Suatu ketika matanya menatap jauh ke seberang sawah luas yang
mengelilingi Dukuh Paruk. Anak perempuan itu melihat sebuah sosok yang bergerak
cepat sepanjang pematang. Makin dekat, makin dekat. Kemudian anak itu bisa
memastikan yang sedang berjalan setengah berlari itu adalah seorang perempuan.
Jalannya begitu tergesa sehingga kelihatan perempuan itu beberapa kali jatuh, lalu
bangun dan berlari lagi. Kainnya diangkat tinggi-tinggi, badannya condong ke depan
dan tangannya setengah terentang untuk memperoleh keseimbangan. Anak
perempuan itu masih terlalu muda untuk mengingat siapa gerangan yang datang.
Namun ketika jarak antara pendatang itu tinggal satu petak sawah, anak perempuan
itu tahu yang sedang berlari adalah dia yang pernah dikenalnya di Dukuh Paruk.
Srintil hampir kehabisan napas. Ketika langkah pertamanya menginjak tanah Dukuh
Paruk ambruklah dia. Tas kecil yang berisi pakaian satu atau dua lembar, terlempar
ke samping. Srintil tertelungkup mencium tanah. Jeritnya serta-merta menghentikan
semua gerakan anak-anak yang sedang berkeliaran. Mereka terpaku memandang
seorang perempuan yang sedang berusaha merangkul tanah sambil menangis.
Sekejap kemudian muncul beberapa orang lelaki dan perempuan. Nyai Sakarya yang
paling pertama sadar akan apa yang dilihatnya. Dia berlari kemudian menubruk
Srintil yang masih terkulai di tanah.
"Oalah, Gusti Pengeran! Gusti, Gusti. Srintil pulang. Srintil, Cucuku Wong Ayu!
Engkau masih hidup" Eman, eman, Cucuku. Engkau masih hidup?"
18 Srintil yang lunglai digeluti oteh tiga orang perempuan sambil menangis. Dia
kemudian dipapah karena tak mampu lagi berjalan sendiri. Namun Srintil kembali
menjerit ketika dari balik genangan air matanya dia melihat Dukuh Paruk sudah
sangat berubah. Dan tangisnya makin menjadi-jadi manakala Srintil membenamkan
wajahnya ke pangkuan neneknya, Nyai Sakarya.
Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah
air mata. Srintil sudah kembali setelah sekian tahun menjadi sumber ketidakpastian
yang memanggang semua orang Dukuh Paruk. Srintil sudah kembali. Sebuah jimat
telah berada kembali ke pangkuan ibunya. Dukuh Paruk lega. Dan sekaligus berduka
karena kepulangan Srintil tidak bisa tidak telah membuka kembali nestapa lama
ketika ujung pedang menuding Dukuh Paruk bersangkut-paut dengan penyebab
mala petaka 1965. Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa seakan tidak
boleh lagi ikut merasa memiliki matahari, bumi, dan langit" Nestapa apa namanya
ketika Dukuh Paruk merasa segala cicak dan tokek ikut mencibir dan
menertawakannya" Dan nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk hanya merasa
sebagai tinja kehidupan" Tinja yang harus ada pada diri orang paling bermartabat
sekalipun, namun tinja sendiri jauh dari segala martabat.
Semua warga puak berkumpul di rumah Sakarya. Semua ingin melihat dan
meyakinkan diri dengan pasti bahwa kerabat yang paling mereka hargakan sudah
datang dari antah-berantah. Namun tumpahan segala perasaan hanyalah kebisuan.
Dan sedu-sedan perempuan, kebingungan anak-anak. Selebihnya, diam. Hanya
Sakarya yang berjalan berputar-putar sambil menggendong tangan. Baginya
kepulangan Srintil mempunyai nilai khas; kekhawatirannya akan mati tanpa
ditunggui oleh seorang cucu kesayangan kini lenyap.
Srintil duduk rapat dengan tubuh neneknya. Dengan mata sembab dipandangnya
seluruh kerabat seorang demi seorang. Ketika melihat Goder berdiri bergayutan
pada tangan Tampi, wajah Stintil berubah. Matanya bersinar, mata seorang ibu
sejati yang telah sekian lama terpaksa berpisah dengan anaknya dan kini keduanya
berhadap-hadapan. Tetapi Goder tak mampu membaca makna sinar mata seorang
yang sudah lama tidak dilihatnya. Goder menyembunyikan diri di balik tubuh Tampi.
Bahkan dia menangis keras-keras ketika Srintil membopongnya, mendekapnya kuatkuat dan menciuminya. Beberapa orang perempuan menundukkan kepala, tidak tega
melihat kerinduan Srintil ditampik oleh Goder.
Sejak hari pertama kemunculan Srintil di tengah kaum kerabat Dukuh Paruk,
banyak orang ingin tahu pengalamannya selama dua tahun lebih dia lenyap dari
tengah pergaulan umum. Tidak sedikit orang yang ingin mengerti pengalaman Srintil
dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam atau dari detik ke detik. Orang ingin tahu
barangkali ada sesuatu yang luar biasa dalam pengalaman Srintil itu. Hasrat yang
19 tidak aneh karena pada setiap diri terkandung kadar kecenderungan menyukai halhal sensasi. Atau demi tujuan yang lebih nyata, keobyektifan sebuah biografi
misalnya, orang menginginkan catatan lengkap dan jujur tentang pengalaman
Srintil. Kemudian, mungkinkah kiranya seorang penyusun riwayat hidup yang paling unggul
sekalipun mampu menyelesaikan pekerjaannya bila yang harus dia susun adalah
biografi Srintil" Karena pertama, tak seorang pun bersedia memberi keterangan di
mana dan bagaimana Srintil selama masa dua tahun lebih itu. Kedua, Srintil sudah
mengunci dirinya pada satu tekad bulat bahwa dia tidak akan berkata apa pun dan
kepada siapa pun tentang pengalamannya. Ketiga, sebenarnya orang bisa berharap
pada suatu ketika kelak Srintil menerbitkan sebuah memoar. Namun harapan ini
pasti sia-sia karena Srintil sama sekali buta huruf.
Maka orang akhirnya harus percaya akan keperkasaan sang waktu, akan
kecanggihan isi perutnya yang mampu menyimpan segala rahasia sejarah. Tetapi
akan ada orang mengatakan, menyerah kepada kunci waktu adalah kelemahan dan
keputusasaan yang harus dibuang jauh. Orang-orang semacam ini tetap tidak puas
apabila rekaman sejarah Srintil sepanjang dua tahun terhapus percuma dan hanya
direlakan menjadi bagian rahasia sejarah. Sejarah adalah sejarah. Kedudukan
sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan
hidup bisa dibina, baik dengan sejarah tentang kepahlawanan dan budi luhur
maupun dengan sejarah tentang pengkhianatan dan kebejatan manusia.
Atau sejarah sesungguhnya tak pernah berhenti membuat catatan. Apabila sejarah
tidak membuat catatan dalam prasasti atau lembaran kertas maka dia membuatnya
di tempat lain. Tentang riwayat hidup seorang manusia misalnya, maka sejarah
pertama-tama mencatatnya pada kepribadian si manusia itu sendiri. Pengalamanpengalaman yang lembut dan santai mungkin tidak tercatat dalam garis-garis
kehidupan secara nyata. Namun pengalaman-pengalaman yang keras dan getir tentu
akan tergores dalam-dalam pada jiwa, pada sikap dan perilaku, dan tak mustahil
akan mengubah sama sekali kepribadian seseorang.
Misalnya, mengapa Srintil segera lari kocar-kacir sesaat dia diturunkan dari sebuah
jip di mulut pematang pamang yang menuju Dukuh Paruk. Tanpa sekali pun
menoleh ke belakang Srintil terus berlari seperti pipit dikejar alap-alap, jatuhbangun, jatuh dan bangun lagi. Dan Srintil ambruk tertiarap ketika kakinya
menginjak kembali bumi Dukuh Paruk.
Dan mengapa Srintil pada hari-hari pertama kepulangannya hanya bisa diam dan
diam. Mengapa pula Srintil kelihatan amat lelah dan wajahnya kelihatan jauh lebih
tua dari usianya yang baru dua puluh tiga tahun. Demikian. Namun pada pekan
kedua Srintil kelihatan keluar rumah. Masih lesu. Jalannya lambat dan selalu
20 menatap bumi. Srintil bergerak ke arah rumah Tampi. Sesudah perasaannya
mengendap tiba-tiba berkecamuk rasa rindu kepada Goder. Tidak sekali pun Srintil
pernah berpikir bahwa Goder bukan anaknya meski bocah yang sudah berusia empat
tahun itu lahir dari rahim Tampi.
Tetapi Goder sudah pangling akan Srintil. Dia menyuruk ke selangkangan Tampi
ketika Srintil hendak menyentuh badannya. Srintil tidak berputus asa, terus merayu
dan mengajuk. Dan Goder tetap menghindar. Akhirnya Srintil bangkit mengusap air
mata. "Tampi, apakah kamu mengajari Goder membenciku?" kata Srintil sambil mengisak.
"Oalah, jenganten. Tidak, sekali-kali tidak," ujar Tampi dengan rasa pekewuh yang
sangat. Dan Srintil terus menangis, menutup muka dengan kedua tangannya. Isaknya
tertahan-tahan. Adalah Srintil sendiri atau boleh jadi orang-orang seperti dia yang
merasakan betapa nelangsa manakala uluran tangan dan kasih sayangnya ditampik
oleh seorang bocah. Kelakuan Goder membuat Srintil amat mudah bertanya,
"Betulkah aku telah menjadi orang yang demikian tak berharga hingga seorang
bocah pun tak mau menerima uluran tanganku?"
"Mak, kenapa dia menangis, Mak?" kata Goder tiba-tiba.
"Karena kamu nakal. Kamu tak mau dibopongnya," jawab Tampi.
"Siapa dia, Mak?"
"Oalah, Anakku! Dia juga emakmu. Emakmu ada dua, aku dan dia."
Mata Goder membulat. Bening dan tanpa berkedip ditatapnya Srintil yang masih
menangis. 21 "Betul dia emakku juga?"
"Betul." "Mengapa tidak pernah datang kemari?"
"Dia baru pulang dari bepergian."
"Jauh?" "Jauh sekali." "Sekarang dia membawa oleh-oleh?"
"Oh, aku lupa, Nak," ujar Srintil. Suaranya parau. "Tetapi aku punya uang. Engkau
ingin apa, Nak?" Goder kelihatan ragu. Sekali lagi matanya yang bening menatap Srintil. Dua pasang
mata, satu bening dan satu letih serta kuyu saling tatap mencari makna. Dengan
kebeningannya mata Goder menangkap kesejatian, satu hal yang amat peka dalam
jiwa seorang bocah. Atau karena tetes-tetes air susu yang pernah dicecap Goder dari
dada perempuan di hadapannya maka tali jiwa antara keduanya segera tersambung
kembali. Batas keterasingan terkikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya Goder
tidak merasa ada kejanggalan lagi bahwa perempuan yang baru pulang dari jauh
adalah emaknya juga. Sementara Srintil melihat dalam kedua bola mata Goder sebuah dunia yang putihbersih, jauh lebih putih dan bersih daripada dunianya sendiri, dunia orang dewasa di
mana dia mewujud. Srintil merasa telah menempuh perjalanan hidup yang amat
meletihkan jiwa dan raganya dan buntu pada sebuah tanda tanya besar. Srintil ingin
mengundurkan diri dari kenyataan, dan mata Goder itu.Ada dunia jernih dan teduh
disana . Dengan penuh kecewa dan rasa iri Srintil mengakui dunia yang kelihatan
pada mata Goder bukan miliknya. Namun bukankah tiada alangan baginya numpang
berteduh barang sejenak, numpang mengaso dari keletihan yang amat sangat"
22 Tiada alangan, karena mata Goder akhirnya bersinar memancarkan keramahan.
Pintu dunianya terbuka bagi seorang perempuan yang pernah menyusuinya dan kini
amat mendambakan tempat secuil buat bernaung.
"Kamu minta apa, Nak?" ulang Srintil sambil tersenyum, senyum yang pertama
sejak kepulangannya dari keterasingan. Didekatinya Goder, kemudian Srintil jongkok
hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah bocah itu.
"Aku ingin anu. Apa ya, Mak?" Goder menoleh kepada Tampi.
"Nah, terserah. Kamu mau apa?"
"Aku ingin ondol-ondol."
"Hanya itu" Bagaimana dengan gembus?"
"Ya, gembus juga. Apa uangmu banyak?"


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Banyak," jawab Srintil pasti.
"Kalau begitu aku ingin beli balon."
"Baik, Nak. Sekarang mari kita pulang. Uangku di rumah."
Srintil mengembangkan kedua tangannya. Dua atau tiga detik Srintil merasa benarbenar hidup kembali ketika dia melihat Goder bangkir dan berlari ke dalam
pelukannya. Oh, betapa sejuk rasanya; sebuah dunia kecil namun pernah makna
kemanusiaan. Dan dunia kecil itu sungguh berada dalam rangkulan Srintil. Dipeluk,
dibopong kemudian dibawa pulang dalam langkah-langkah yang mantap. Ketika
Srintil melintas ada bunga waru lepas dari tangkai, menggulir jatuh tanpa bunyi.
Serba kuning, kecuali pangkal kelopaknya yang merah tua.Ada ayam betina
23 mengiring anak-anaknya, ada celeret melesat dari pohon ke pohon. Dan Srintil terus
berjalan. Goder lekat di dadanya.
Seorang yang sedang hanyut dalam gelombang badai dan terapung-apung dalam
situasi yang tidak dapat dikenalinya, telah berhasil meraih sehelai papan buat
sekadar mengapung. Srintil sudah berhasil meraih harapan bahwa dirinya akan bisa
bertahan dari tarikan kenisbian zaman yang akan membuatnya menjadi kerak
kehidupan. Hari-hari dalam dunia seorang bocah berusia empat tahun adalah saat
pertama buat Srintil menikmati ceria kecambah manusia. Srintil menjual sebuah
gelang emas buat keperluan sehari-hari dan buat Goder. Banyak orang bertanya,
mengapa Srintil sangat memanjakan anak Tampi itu. Dan Srintil tidak peduli.
Sebaliknya Srintil bertanya dalam hati, mengapa orang-orang tidak tahu bahwa
dirinya harus rela kehilangan apa saja demi tempat berteduh yang amat dia
dambakan. Dan mengapa orang-orang tidak tahu bahwa tempat yang teduh itu
hanya bisa dia temui pada cahaya mata seorang anak yang tertawa riang. Hanya
tawa riang Goder yang mampu membuat Srintil lupa akan penggal sejarah amat
getir yang baru dilaluinya.
Berita kepulangan Srintil sudah merambat sampai ke pasar Dawuan melalui celoteh
Nyai Kartareja. Orang-orang di pasar itu kemudian melihat buktinya ketika suatu
pagi Srintil muncul disana sambil membopong Goder. Seperti sedang menghadapi
sesuatu yang luar biasa orang-orang pasar menyambut kedatangan Srintil dengan
perhatian penuh. Tetapi mereka diam. Pertingkahan zaman kala itu memberi norma
baru; penampilan yang antusias ketika berhadapan dengan seorang yang baru
pulang dari keterasingan adalah tidak sesuai dengan selera suasana. Dan Srintil-lah
yang peka terhadap selera suasana di sekitarnya. Maka dia sesungguhnya tidak
sekali-kali hendak masuk ke pasar Dawuan bila bukan karena Goder merajuk minta
jajan. Bahkan Srintil tidak sekali-kali hendak keluar dari Dukuh Paruk kalau bukan
kewajiban melapor ke Dawuan sekali seminggu.
Lalu mengapa tak ada orang yang cukup awas terhadap bibir Srintil yang bergetar,
tungkai yang bergetar, ketika dia berada di tengah pasar" Mungkin pula tak ada
orang mengerti bahwa Srintil merasa tatapan mata orang-orang sekelilingnya seperti
serpih bambu yang menusuk jantungnya. Dan apakah Babah Gemuk itu bisa
merasakan nestapa dalam jiwa Srintil ketika dia membuka seloroh"
"E, kamu longgeng Dukuh Paluk, bukan" E, kamu lama sekali tidak kelihatan. Kamu
tetap cantik. Na, aku ada banyak balang bagus. Mau tas, sandal atau hailnet?"
"Tidak, Bah. Terimakasih," jawab Srintil sedingin keringat di kuduknya.
24 "Na, kamu tidak pupulan, ya! Haya, olang cantik tidak pupulan. Nanti cantikya ilang.
Na, aku ada pupul olangHong Kong punya.Ada gincu olang Jepang punya. Haya.
Mulah-mulah. Nanti aku mau tidul di Dukuh Paluk. He-he-he."
Babah Gemuk bergerak hendak menggamit pundak Srintil. Namun tidak jadi karena
dia melihat Srintil mendadak berdiri menjadi patung. Matanya menatap dingin,
kemudian berlalu menuju arah yang dituntut Goder.
Orang-orang pasar, terutama para perempuan, memperhatikan perubahan pada
penampilan Srintil. Sanggulnya rendah, sanggul perempuan kebanyakan, sehingga
tengkuknya tersembunyi. Dulu Srintil selalu menyanggul rambutnya tinggi-tinggi
sehingga tengkuknya, salah satu hiasan kecantikannya, seakan ditawarkan kepada
siapa saja yang melihatnya. Kebayanya menutup jauh di bawah pinggul dan kainnya
komborgaya perempuan petani. Tidak ketat dan ketika melangkah betis Srintil tetap
tersembunyi di balik kainnya. Dan perubahan yang paling mengesankan orang-orang
pasar Dawuan adalah perilaku Srintil. Matanya selalu menghindar dari tatapan orang
yang melihatnya. Wajahnya kaku, sungguh-sungguh tanpa senyum.
Srintil berada dalam pasar Dawuan hanya sepanjang waktu yang diperlukan untuk
membeli jajanan buat Goder. Sekian pasang mata terus mengikutinya ketika Srintil
berjalan meninggalkan pasar. Seorang perempuan penjual sirih mendesah, seakan
ada beban berat di hatinya.
"Tadi, aku ingin memberi dia sirih dan pinang," kata penjual sirih tadi kepada
perempuan lain di sebelihnya, "kulihat bibir Srintil sangat pucat. Sehelai daun sirih
akan membuat bibirnya semringah, dan itu pantas baginya."
"Lho. Lalu mengapa sampean tidak melakukannya?"
"Entahlah, Mbakyu. Padahal dulu aku selalu melakukannya bila Srintil datang ke
sini. Sekarang aku jadi takut salah."
"Bila itu alasan sampean, aku pun sama. Sebenarnya aku ingin juga bertanya
sekadar tentang keselamatannya. Tetapi ya itu, entah mengapa aku tidak berani.
Bibirku terasa berat. Ah, entahlah."
25 "Dan, Mbakyu. Kita lihat orang-orang lelaki juga tak ada yang bersuara kecuali
Babah Gemuk. Mereka tidak seperti biasa, banyak seloroh dan celoteh bila Srintil
datang. Kok jadi begini, ya?"
"Anu, jadi sampean merasa kasihan kepada Srintil?"
Yang ditanya mengerutkan kening. Jawaban yang kemudian diucapkannya adalah
suara lirih dan tertahan di rongga mulut.
"Bagaimana ya, Mbakyu" Apa tidak salah bila kita merasa kasihan kepada orang
seperti Srintil?" "Wah, aku tidak tahu. Ya, barangkali begini. Bagi perempuan yang suaminya pernah
menggendak Srintil maka masalahnya menjadi bersahaja; perempuan semacam itu
pasti merasa tidak perlu bersikap kasihan terhadap Srintil. Itu layak. Lalu... Ah,
sudahlah." Tiba-tiba kedua perempuan itu menjadi sibuk dengan dagangan masing-masing.
Mantri pasar lewat mengedarkan karcis kontribusi. Perempuan pedagang sirih buruburu membuka kocek, lalu menyerahkan sehelai uang kepada mantri dan menerima
karcis berwarna kuning. Pasar Dawuan kembali sibuk. Tetapi orang-orang disana
mencatat pagi itu telah datang seseorang yang dulu selalu membawa suasana
bergairah dan kini muncul kembali dengan kecompang-campingan jiwa yang
tergambar jelas dari segala perilakunya. Demikian compang-camping citra diri Srintil
sehingga orang pasar Dawuan atau siapa saja tidak mampu mengambil sikap yang
jujur dan wajar terhadap dia yang baru pulang dari keterasingan itu.-bp-
*** Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh.
Dan Dukuh Paruk tiga tahun sesudah dilanda kobaran api adalah tempat terpencil
yang kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung dan tembang
ronggeng. Makam Ki Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan
kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak terawat. Suara calung, tembang
ronggeng serta pemujaan terhadap makam Ki Secamenggala adatah urusan-urusan
26 yang sedang tidak cocok dengan selera kenisbian sejarah. Dukuh Paruk hanya diam
menerima perlakuan sejarah. Dan boleh jadi hanya Sakarya yang diam-diam berani
mengunjungi cungkup makam di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk itu.
Tetapi Sakarya telah merasakan kekalahan hidup yang pasti. Dia merasa peran
hidupnya sudah mandul, tanpa arti. Apalah arti perwujudannya apabila Dukuh Paruk
tidak lagi memukul calung, tidak lagi menyanyikan lagu-lagu ronggeng karena
kedua-duanya akan mengungkit kebencian terhadap Dukuh Paruk. Kedua-duanya
tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan yang sedang menghendaki Dukuh Paruk
mengaku bersalah karena dianggap ikut berperan dalam keonaran sejarah. Sebagai
pihak yang dianggap mempunyai kesalahan historis yang tidak kepalang maka
Dukuh Paruk tidak boleh tertawa. Dukuh Paruk mesti diam dan merunduk.
Dukuh Paruk tak lagi memerlukan seorang kamitua dalam arti yang sudah
mentradisi, demikian pikir Sakarya setiap kali dia termenung di bawah beringin
dekat cungkup makam Ki Secamenggala. Makin sering termenung makin kuat
keyakinan demikian. Dan tanpa terasa keyakinan itu menggerogoti semangat
hidupnya. Suatu hari Sakarya meletakkan sebuah batu di samping cungkup.
Kemudian kepada Kartareja dikatakan bahwa di bawah batu itulah nanti dia harus
dikubur. Sakarya telah mengundang sugesti bagi kematiannya sendiri. Maut
menjemputnya tidak lama kemudian. Sakarya meninggal dalam kekalahan. Dan
hanya satu hal yang mungkin dapat membesarkan hati orang tua itu, yakni
kenyataan Srintil berada di dekatnya ketika dia meregang nyawa.
Kematian Sakarya membuat Dukuh Paruk makin lusuh dan ringkih. Dan Srintil
kehilangan payung yang meski telah cabik-cabik tetapi dialah satu-satunya tempat
bernaung. Dalam ketiadaan tempat bernaung itu maka kehadiran Goder dalam hidup
Srintil menjadi jauh lebih bermakna. Karena Goder menawarkan dunia lain, dunia
anak-anak yang teduh dan sejati; jernih, tanpa pamrih, tanpa keserakahan nafsu
dan berahi. Dalam mata Goder Srintil tak melihat sedikit pun sisa keonaran sejarah
1965, tak ada tuduhan atau tuntutan apa pun yang ditujukan kepadanya. Goder
tidak pernah menghina Srintil dengan lirikan mata atau cibiran bibir. Bagi Srintil,
Goder adalah dunia yang mau menerimanya secara utuh dan jujur, maka Srintil
amat kerasan tinggal disana .
Lihatlah Srintil yang mulai tertawa karena melihat Goder gagal menangkap capung,
dan wajah Srintil yang berseri-seri karena melihat Goder berani menghadapi ayam
betina yang galak. Jiwa yang sudah mampu tersenyum dan tertawa adalah jiwa yang
mulai menangkap makna kebetahan hidup. Lambat-laun Srintil mulai menangkap
kembali bobot kehidupan yang bisa menjadi benih nilai-diri.Lima atau enam bulan
sejak kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup, kulitnya mulai
hidup, dan wajahnya mulai hidup. Satu demi satu kepahitan pengalaman sejarahnya
terdesak ke alam bawah sadar. Dan meski kegetiran itu tetap menjadi cacat
potensial, namun ternyata citra kesegaran raganya mulai bangkit seperti kerakap
terkena hujan. 27 Usianya hampir genap dua puluh tiga tahun. Watak alam terlalu perkasa sehingga
betapapun hebat tragedi yang baru dialami Srintil, citra kemudaannya masih banyak
tersisa. Lalu mengapa ada satu sisi dalam kehidupan ini yang tidak peduli terhadap
nestapa seseorang" Bahkan mengapa Srintil sendiri tidak merasa, kesegaran dirinya
sedang dinanti seseorang.
Suatu pagi Nyai Kartareja berangkat meninggalkan Dukuh Paruk dengan tujuan
yang hanya dia sendiri tahu. Di pasar Dawuan Nyai Kartareja naik andong yang akan
berangkat ke Wanakeling. Ketika matahari tergelincir, Nyai Kartareja sampai di
rumah yang dituju. Tuan rumah baru pulang dari tempat kerja dan sedang berbicara
dengan anak gadisnya. Melihat kedatangan Nyai Kartareja, laki-laki setengah baya
itu menyuruh anak gadisnya menyingkir.
"Oh, orang Dukuh Paruk," sambut Marsusi dengan wajah gembira. "Mari masuk."
"Terima kasih. Ah, sampean sudah kelihatan senang begitu. Belum tentu aku
membawa kabar baik, bukan?"
"Kalau bukan kabar baik, mengapa jauh-jauh sampean datang kemari?"
"Wah, aku mengaku kalah."
"Begitulah seharusnya. Nah, sekarang katakan. Tetapi lirih saja."
"Apa yang harus kukatakan bila sampean sudah mengerti arti kedatanganku?"
"Jadi Srintil sudah kelihatan seperti biasa," ujar Marsusi entah untuk siapa.
"Masalahnya kukira, tinggal kapan sampean pergi kesana ."
28 "Kesana " Apakah sampean mengira aku akan pergi ke Dukuh Paruk?"
"Apa salahnya, Pak. Sekarang sampean sudah jadi duda. Kukira tidak aneh, seorang
duda pergi menemui seorang perempuan yang masih hidup sendiri."
"Ya. Tetapi zaman apakah sekarang ini" Tidak, Nyai. Aku ingin bertemu Srintil di
luar Dukuh Paruk. Dan kuminta Nyailah yang mengaturnya. Terserah di mana, asal
tidak di Dukuh Paruk."
"Wah, berat. Berat, Pak."
"Tetapi aku percaya sampean bisa. Dan lihat disana , Nyai."
Marsusi menunjuk ke halaman.Ada sepeda motor, bukan sebuah Harley Davidson
sisa zaman perang, melainkan sebuah Vespa baru.
"Katakan kepada Srintil, bila dia mau motor itu akan menjadi miliknya. Dan aku
tidak main-main." Nyai Kartareja mengerutkan kening, kagum mendengar ucapan Marsusi. Pantas,
sejak mendengar kepulangan Srintil laki-laki dari perkebunan Wanakeling ini secara
teratur meminta keterangan tentang keadaan Srintil, pikir Nyai Kartareja.
"Pak Marsusi, sampean sendiri sudah berkata zaman apakah sekarang ini. Aku tidak
bisa sebebas dulu lagi. Aku merasa tidak sanggup membawa Srintil keluar dari
Dukuh Paruk." "Lho! Jadi dari jauh datang kemari sampean hanya ingin melapor bahwa Srintil
sudah bisa tertawa dan badannya sudah segar kembali?"
"Oh, tidak hanya itu. Aku juga akan berusaha membujuk Srintil agar dia mau
menuruti kemauan sampean. Pokoknya aku bersedia membantu apa saja asal bukan
membawa Srintil ke luar Dukuh Paruk. Aku tidak sanggup."
29 "Tetapi aku tak mungkin pergi ke dukuhmu, Nyai. Tak mungkin."
"Ah, ya. Aku ingat. Tiap-tiap tanggal satu dan tanggallima belas Srintil pergi lapordiri ke Dawuan. Kukira itulah satu-satunya kesempatan bagi sampean menjumpai
Srintil di luar Dukuh Paruk. Bagaimana?"
Marsusi tidak menjawab. Namun dari wajahnya terlihat pertanda bahwa kebuntuan
di hatinya mulai mencair. Dan tangannya kelihatan ringan saja ketika dia
memberikan sejumlah uang kepada Nyai Kartareja yang kemudian minta diri.
Ketika terjadi kebakaran besar di Dukuh Paruk banyak pepohonan terjerang
kobaran api, lalu meranggas dan mati.Ada sebatang pohon pinang di belakang
rumah Srintil yang mampu bertahan hidup setelah merana beberapa bulan lamanya.
Pelepah-pelepah yang merah terbakar sudah luruh diganti dengan pelepah baru yang
hijau dan segar. Kelopak baru merekah menumpahkan mayang seperti pamor putih
terurai. Mayang yang lebih tua telah berubah menjadi tandan yang runduk penuh
buah pinang. Dari balik kelebatan tandan pinang itu terdengar keresek dua burung
kecil yang sedang membangun sarang. Lembar demi lembar daun ilalang yang dicuri
dari atap gubuk orang Dukuh Paruk disusun menjadi sebuah dunia kecil yang
bersembunyi di ketinggian pohon pinang.
Kesibukan sepasang burung kecil itu kadang diselingi oleh sedikit heboh di antara
keduanya. Mereka berkejaran dan kawin. Kadang keduanya terbang jauh melintasi
sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk buat mencari biji padi-padian.
Pulang kembali dengan tembolok penuh tenaga untuk melanjutkan kegiatan mereka
hingga datang mambang petang.
Tingkah sepasang burung kecil itu sudah beberapa hari menjadi perhatian Srintil.
Sambil mengawal Goder bermain Srintil terlalu sering menatap ke atas pohon
pinang, memperhatikan sebuah dunia kecil yang damai dan berdaulat; dunia tanpa
pengalaman pahit, tanpa ketakutan dan kekhawatiran. Oh, tidak. Sore itu Srintil
melihat seekor burung gagak hinggap di atas pohon pinangnya. Burung yang hitam
dan besar itu mengobrak-abrik sarang burung kecil karena ingin menjarah telur atau
anaknya. Si burung kecil menghindar dan hanya bisa melihat dari jauh dunianya
dihancurleburkan. Srintil tergagap dan bangkit hendak menyusul Goder. Tetapi di
sampingnya telah berdiri Nyai Kartareja.
"E, lha.Ada apa, jenganten" Kok terkejut?"
"Ah, anu. Tidak ada apa-apa, Nyai. Aku mau menyusul Goder."
"Dia sedang asyik bermain baling-baling. Biarlah dia. Aku ingin bicara, Penting.
30 Srintil menatap Nyai Kartareja dengan mata membulat. Rasa was-was tergambar
jelas di wajahnya. "Penting?" "Ya. Penting." "Tetapi tanggal satu yang lalu aku pergi melapor ke Dawuan. Tanggallima belas
nanti pasti aku akan pergi lagi. Yang itu takkan kulupakan. Pasti, Nyai."
"E, lha. Yang hendak kusampaikan kepada sampean ini bukan masalah wajib lapor."
"Jadi aku tidak salah" Bukan tentang kesalahanku?"
"Bukan. Bukan!"
Nyai Kartareja memberi kesempatan kepada Srintil menata kembali napasnya yang
terengah-engah. Perempuan tua itu cukup bersabar menanti sampai darah yang
mendadak lenyap kembali mengisi kulit wajah Srintil. Dan rasa trenyuh tidak
terhindarkan karena Nyai Kartareja menyadari betapa ringkih keadaan jiwa Srintil;
dia menjadi demikian gugup hanya karena akan disampaikan kepadanya sesuatu
yang penting. "Anu, jenganten. Wong aku mau bercerita tentang nasib sendiri. Sejak dulu aku
memang sengsara. Tetapi tidak seperti sekarang ini. Dulu, terus terang, aku bisa
nunut sampean. Sekarang, jenganten, bagiku soal makan saja adalah perkara yang
tidak pasti. Maka aku mempunyai usul, bagaimana bila sampean memberi
kesempatan kembali kepadaku, kesempatan numpang penghidupan."
"Numpang?" kata Srintil setelah menatap Nyai Kartareja lama dan dalam.
"Numpang penghidupan" Bagaimana mungkin karena aku sendiri tidak mempunyai
penghasilan apa pun?"
"Ah, jenganten, bagaimana juga sampean tidak sama dengan aku. sampean masih
muda. Dan siapa bilang sampean tidak cantik" Di mana saja, pada zaman apa saja,
perempuan cantik tidak sama dengan perempuan yang buruk, bukan?"


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti dulu, Nyai. sampean mau berkata apa sebenarnya?"
"Begini, jenganten. Tadi sampean berkata bahwa sampean tidak mempunyai
penghasilan apa pun. Maka bagaimana bila sampean berbuat sesuatu agar sampean
kembali mempunyai penghasilan seperti dulu. Persoalannya mudah bagi sampean,
tinggal mau atau tidak."
"Nyai, katakan dengan jelas."
"Baiklah. Kemarin aku bertemu dengan seseorang yang sangat berharap bisa
sekadar melepaskan kepusingan hidup bersama sampean. Marsusi, jenganten.
sampean masih ingat Marsusi, bukan"
Ada segumpal kabut yang tiba-tiba membuat pandangan mata Srintil baur.Ada
orong-orong yang masuk ke dalam telinganya lalu berbunyi sekeras-kerasnya. Darah
kembali lenyap dari wajah anak Dukuh Paruk itu. Bibirnya yang pucat bergetar.
Bintik keringat serta-merta muncul di permukaan kulitnya. Dada Srintil turun-naik
menahan pergulatan rasa di dalamnya, antara murka dan penyesalan yang dalam,
antara pilu dan kemarahan. Wajah Srintil berubah cepat antara pucat-pasi dan rona
kemerahan. 31 "Oalah, Gusti Pengeran," tangis Srintil dalam ratap tertahan. "Nyai, kamu ini
kebangeten! Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu" Kamu tidak membaca
zaman" Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang" Oalah, Gusti..."
"Eh, sabar dulu, jenganten . Dengar dulu kata-kataku! Siapa bilang ada orang yang
tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau
mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk
yang hanya bisa nunut sampean?"
"Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung
kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang.
Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu
hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai.
Cukup!" "Nanti dulu, jenganten. Marsusi sekarang sudah menjadi duda. Dan dia bersedia
memberimu sebuah Vespa bila sampean mau. Siapa tahu Marsusi bermaksud
mengambil sampean menjadi istrinya. Pikirlah dengan tenang, jenganten."
"Tidak, Nyai. Kamu tahu. Aku juga tahu siapa Marsusi. Dan kamu masih percaya
ada laki-laki yang mau mengawini perempuan bekas tahanan?"
"E, lha, baiklah kalau begitu. Tetapi renungkan, jenganten. Marsusi atau laki-laki
mana saja tidak salah bila dia bermaksud mengawini sampean atau sekadar
bersenang-senang. Semua orang tahu siapa sampean, bukan?"
"Oalah, Nyai, mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala
kesalahan hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak
banyak tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak
mereka sukai samalah artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang
akan kutanggung bila aku dianggap kembali berbuat salah?"
Nyai Kartareja diam, menutup bibirnya rapat-rapat lalu berjalan meninggalkan
Srintil yang masih sibuk mengusap air mata.Ada erosi yang terasa menggerus
kesuburan yang mulai bersemi di hati Srintil. Pupus hijau hendak dipatahkan oleh
tangan orang Dukuh Paruk sendiri. Srintil memperhatikan Nyai Kartareja dengan
pandangan mata masygul dan kecewa, amat kecewa.
Oh, Nyai Kartareja. Ketika muda kamu pun pernah menjadi ronggeng seperti diriku,
konon. Bedanya dulu engkau seorang ronggeng bobor, tidak laku. Namun mestinya
kamu seperti aku, mengenal kelelakian telanjang sejak kita baru mendapat haid
yang pertama. Dan aku sudah mengerti laki-lak
i Dukuh Paruk, laki-laki luar Dukuh
Paruk, bahkan laki-laki di tempat keterasingan. Kita sudah sama-sama tahu apa dan
bagaimana kelelakian itu. Kini aku dan jiwaku sedang bertanya, apakah kepahitan
hidup yang harus kutanggung bukan karena justru aku mengenal terlalu banyak segi
kelelakian" Apakah bukan karena aku merasa menjadi duta keperempuanan
sehingga aku merasa harus melayani segala kepentingan kelelakian sampai kepada
arti yang paling primitif sekalipun" Bukankah karena diriku yang ronggeng, maka
sejarah telah membawaku ke puncak ketiadaan makna hidup di tempat terasing"
Oh, Nyai Kartareja. Rupanya kamu tidak sedikitpun terusik oleh sekian banyak
pertanyaan itu. Kamu bebal. Atau kamu memang tidak peduli akan keperihanku
32 sehingga kamu tega mendatangkan perkara kelelakian telanjang ke hadapanku"
Nyai Kartareja, kamu kebangeten. Oalah, Gusti...
"Mak menangis" Mengapa Emak menangis?"
Suara jernih itu datang dari arah samping belakang. Srintil menoleh setelah
berupaya menghapus sisa tangisnya. Kemudian dilihatnya wajah Goder yang
mengandung segudang pertanyaan.
"Emak menangis"Ada yang nakal, ya?"
"Oh, tidak, Nak. Emak tidak menangis."
"Tetapi Emak menangis. Siapa yang nakal?"
Oh, sepasang bola mata yang bening! Mestikah aku berkata kepadamu, mestikah
kukotori kejernihanmu dengan pengakuan bahwa bagiku kehidupan ini penuh
kenakalan" Tidak. Duniamu terlalu bersih dan aku tidak akan memperkenalkan
kenakalan-kenakalan hidup kepadamu karena aku sangat berkepentingan dengan
kesejatianmu agar aku boleh berlindung di dalamnya.
Srintil berusaha keras menahan tangisnya lalu mengangkat Goder ke dalam
dekapannya. Pintu bambu berderit, Srintil dan Goder lenyap di baliknya. Gubuk
ilalang itu kemudian senyap, senyap sekali meski di dalamnya ada dua dunia yang
sangat berbeda. *** Bila sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk sedang memberi harapan
panenan yang baik maka siapa mengira di tengah lautan padi menguning itu
tersimpan ironi yang sudah turun-temurun. Dukuh Paruk tak pernah ikut panen
karena hanya satu-dua orang disana yang mempunyai sawah, itu pun tak seberapa
luas. Setiap musim panen Dukuh Paruk hanya ikut embret, memburuh menuai padi.
Dan anak-anak Dukuh Paruk tidak tahu bahwa seharusnya mereka bertanya
mengapa orang tua mereka melarat seumur-umur, tidak mempunyai sawah barang
secuil. Anak-anak tidak mengerti apa-apa. Mereka hanya tahu musim panen selalu
membawa suasana semringah. Adalah kesemringahan yang khas ketika anak-anak
perempuan Dukuh Paruk pergi ke sawah mengambil batang padi yang tidak bernas
lalu membuat puput. Seruling batang padi yang diberi sistem megafon dari daun
kelapa mampu menciptakan kemerduan yang unik. Nadanya bergelombang demikian
rupa sehingga amat mudah berbaur dalam desau angin ketika menyapu pepohonan.
Iramanya yang tidak mengenal keteraturan tangga nada justru mudah
menyatukannya dengan ombak lautan padi yang menggelar hamparan warna dari
kuning tua, kuning keemasan dan hijau lembut.
Ketika gadis-gadis lain sudah berkenalan dengan permainan buatan pabrik,
perawan-perawan kecil Dukuh Paruk tetap akrab dengan ilo-ilo gontho, puput.
Mereka tahu suara yang terbaik dihasilkan oleh batang padi wulung. Mereka juga
tahu bila menginginkan suara yang lebih nyaring maka puput harus direndam
sebentar di dalam air. Dan bila ditiup menentang arus angin, suara puput jadi
muncul tenggelam seperti bulan hilang-tampak di balik awan.
Seorang lelaki sedang berdiri di bawah pohon di pinggir jalan yang menuju pasar
Dawuan. Darisana dia dapat melihat dengan jelas sosok Dukuh Paruk. Dia juga
dapat mendengar suara puput yang sampai ke telinganya bersama kicau burung
branjangan dan ciplak. Branjangan berhenti pada titik yang tetap di angkasa, dan
kicaunya adalah tiruan yang sempurna suara segala jenis burung yang
33 dinyanyikannya berganti-ganti. Dia bisa berjam-jam tetap di langit sambil terus
ngoceh. Hanya bahaya alap-alap yang mampu mengusik branjangan dari tempatnya.
Sementara ciplak terbang berputar-putar dan berkicau hanya karena ingin menarik
perhatian betinanya. Dia akan menukik tajam bila betinanya sudah memberi tahu di
mana dia berada. Tidak jelas apakah lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu menaruh minat
terhadap alunan suara puput yang ditiup oleh seorang gadis kecil di Dukuh Paruk"
Atau, apakah dia terkesan oleh kemeriahan angkasa di atas hamparan padi
menguning" Yang pasti Marsusi tak henti-hentinya memperhatikan titik singgung
pematang panjang dengan tepian Dukuh Paruk. Dia sedang menanti Srintil keluar
untuk pergi melapor ke Dawuan. Dan keberadaan Marsusi di bawah pohon itu adalah
bagian dari keputusan yang telah diambilnya melalui pergulatan jiwa yang seru.
Marsusi sadar betul akan selera kenisbian sejarah kontemporer yang akan
menuding dengan keji lelaki mana saja yang bermaksud menjalin hubungan dengan
seorang perempuan bekas tahanan. Marsusi mengerti niat bermanis-manis dengan
Srintil akan mengundang risiko dari yang paling ringan berupa cibiran masyarakat
sampai yang paling berat berupa goyahnya status sebagai orang penting dalam
dinas perkebunan di Wanakeling. Soalnya, Marsusi sungguh rela dikatakan seperti
perjaka tanggung yang merasa amat sulit melupakan anak Dukuh Paruk yang selalu
berpacak gulu sambil melirik dan tersenyum dalam angannya. Dan kenyataan bahwa
dia kini seorang duda benar-benar membuat kenangan itu tumbuh subur.
Maka dua hari berselang Marsusi mengambil keputusan yang berani. Didatanginya
petugas yang biasa mencatat pelaporan Srintil. Bukan di kantor melainkan di
rumahnya. Pada dasarnya mereka sudah saling kenal karena keduanya sama-sama
orang kantoran. Lagi pula siapa orangnya di Dawuan yang tidak mengenal Marsusi
karena dia termasuk orang pertama yang mampu memiliki sepeda motor di wilayah
kecamatan itu. "Njanur gunung, Pak Marsusi, tumben sampean mau menyempatkan diri datang ke
rumahku," kata Darman, si petugas. "Mau menawarkan pohon-pohon karet tua yang
mau sampean tebang" Kalau demikian, percayalah, aku tidak punya uang."
"E, kalau sampean memang memerlukan kayu bakar, jangan khawatir. Besok akan
saya kirim satu truk," jawab Marsusi penuh kesungguhan.
"Ah, tidak. Aku cuma berolok-olok."
"Namun aku tidak menganggap sampean berolok-olok. Besok akan saya kirim kayu
bakar satu truk dan gratis."
34 "Lho, aku cuma main-main."
"Terserah, tetapi aku bersungguh-sungguh."
"Wah, apa boleh buat."
"Nah, lebih baik begitu. Karena aku pun amat memerlukan bantuan sampean. Kalau
tidak, mungkin aku tidak berada di sini sekarang."
"Begitu" Lalu apa kiranya yang bisa kuberikan kepada Pak Marsusi?"
Suasana yang cair dan akrab sudah lahir tanpa susah-payah. Tetapi Marsusi tidak
segera menjawab pertanyaan Darman. Dikeluarkannya rokok untuk tuan rumah dan
untuk dirinya sendiri. Asap segera mengepul seakan menjadi bukti bahwa suasana
benar-benar sudah siap menjadi saksi pembicaraan antara kedua lelaki itu.
"Begini, Mas Darman. Aku memerlukan sedikit keterangan tentang Srintil," kata
Marsusi dengan suara rendah.
"Srintil?" tanya Darman. Kepalanya condong ke depan dan matanya membulat.
"Betul, Mas. Sampai kapankah kiranya Srintil dikenai wajib lapor?"
"Wah, nanti dulu. Mengapa sampean bertanya tentang Srintil?"
"Terus terang, ini berhubungan dengan keadaanku yang sudah menjadi duda."
"Ah, ya. Lalu mengapa Srintil?"
35 Kata-kata Darman putus dan berlanjut hanya di dalam hatinya; selagi semua orang
bekerja keras menghapus jejak koneksitas dengan orang-orang yang terlibat
peristiwa 1965, mengapa Marsusi berbuat sebaliknya"
"Mas Darman, sesungguhnya aku malu berterus terang. Tetapi bagaimana ya, aku
benar-benar tidak bisa melupakannya."
"Baik, Pak Marsusi. Asal sampean camkan, situasinya bisa berkembang demikian
rupa sehingga dapat menyulitkan diriku."
"Oh, aku sadar betul, Mas Darman. Akan kujaga sekuat tenaga agar segala akibat
tindakanku, akulah yang menanggung, aku seorang. Sekarang katakan, kapan
kiranya Srintil bebas dari kewajiban melapor."
"Biasanya sesudah lepas masa satu tahun. Saat ini Srintil baru melewati masa enam
bulan. sampean mau mengawininya?"
"Sangat mungkin. Dan masa selama enam bulan ini aku bisa mengamati
perkembangan. Nah, Mas Darman, sekarang sampean sudah tahu. Maka harap
maklum bila suatu ketika sampean melihat aku melakukan pendekatan tertentu
terhadap anak Dukuh Paruk itu."
"Ya. Namun ingat..."
"Oh, itu pasti. Akan kujaga nama dan martabar sampean sebaik-baiknya. Dalam
satu segi aku tidak rela dikatakan sudah tua. Sungguh! Tetapi dalam hal menjaga
rahasia orang, apalagi dia yang sudah bersedia membantuku, percayalah, aku
memang sudah tua." Maka, demikian. Dua hari kemudian Marsusi berdiri di bawah pohon di tepi jalan
besar yang menuju pasar Dawuan. Marsusi mengambil sikap demikian rupa sehingga
sekilas akan terlihat dia sedang menikmati harapan panen dari sawah yang demikian
luas. Namun andaikan burung-burung branjangan mempunyai tingkat kesadaran
seperti manusia maka mereka akan melihat Marsusi yang gelisah. Marsusi yang
terlampau sering membuang puntung rokok yang masih panjang untuk diganti
36 dengan yang baru. Dan Marsusi merasa telah berdiri satu tahun meski sebenarnya
dia belum seperempat jam disana .
Kemudian sebuah titik hitam yang bergerak di tepi Dukuh Paruk membuat Marsusi
merasa lega. Titik itu berjalan sepanjang pematang ke arah jalan besar, makin dekat
ke tempat Marsusi berdiri. Kian dekat sosok itu makin nyata, dia seorang
perempuan. Dan bila ada seorang perempuan yang berkulit bersih keluar dari Dukuh
Paruk maka dialah Srintil.
Marsusi kelihatan agak gelisah. Tetapi wajahnya terang dan senyumnya terlukis
samar. Srintil muncul tanpa embel-embel seorang anak kecil. Hal ini tidak bisa
terjadi apabila Nyai Kartareja tidak melakukan tugas yang diberikan Marsusi
kepadanya. Belalang dan capung beterbangan di hadapan Srintil yang terus
melangkah, dan setengah badannya tenggelam dalam lautan padi. Burung ciplak
berteriak-teriak dan terbang berputar-putar. Dia khawatir akan nasib betinanya yang
sedang mengerami telur dalam sarangnya tak jauh dari pematang yang dilalui
Srintil.Ada hahayaman terkejut lalu melesat menjauh. Namun dalam kegugupannya
burung yang berwarna cokelat itu sempat membuang kotorannya sambil terbang.
Srintil dan Marsusi tinggal terpisah dalam jarak satu petak sawah. Sementara
Marsusi sudah mengenal secara pasti siapa yang datang, Srintil belum
memperhatikan secara saksama lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu.
Srintil baru dapat membaca suasana dengan jelas setelah langkahnya hampir
mencapai jalan besar. Lalu tiba-tiba Srintil berhenti. Diperhatikannya dengan
perasaan cemas Marsusi yang bergerak mendekat ke mulut pematang.
"Ah, kamu agak terlambat. Pak Darman sudah lama menunggu. Aku dimintanya
menjemputmu agar cepat. Ayolah."
Srintil berdiri seperti tonggak di tengah hamparan
padi kuning yang mengombak. Mulutnya terbuka, kulit dahinya berkerut demi
ketegangan jiwa yang mulai terasa. Wajah Srintil kelihatan makin keruh ketika
Marsusi maju lagi beberapa langkah sambil melambaikan tangan.
"Ayolah, kamu sudah terlambat. Kamu kugonceng supaya cepat."
"Aku... aku akan berjalan sendiri, Pak," jawab Srintil terbata.
37 "Eh, jangan menolak perintah karena hal itu tidak baik bagimu. Apalagi bila nanti
kamu sampai terlambat. Ayolah."
Adalah semua orang Dukuh Paruk termasuk Srintil; mereka tidak tahu apa-apa
tentang sistem atau jalinan birokrasi kekuasaan. Dalam wawasan mereka semua
priayi adalah sama, yakni tangan kekuasaan. Setiap priayi boleh datang atas nama
kekuasaan tak peduli mereka adalah hansip, mantri pasar, opas kecamatan atau
seorang pejabat dinas perkebunan negara seperti Marsusi. Dan ketika kekuasaan
menjadi aspek yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat, orang Dukuh
Paruk seperti Srintil tidak mungkin mengerti perbedaan antara polisi, tentara atau
pejabat perkebunan. Semuanya adalah tangan kekuasaan dan Srintil tidak mungkin
bersikap lain kecuali tunduk dan pasrah. Apalagi dalam kata-kata Marsusi terselip
nada ancaman. Maka Srintil perlahan-lahan dan gamang mulai bergerak. Sambil
menatap kakinya yang basah oleh sisa-sisa embun pagi di rumput pematang Srintil
berjalan mengikuti Marsusi. Motor dihidupkan, kemudian Srintil mendapat tawaran
yang amat ramah. "Naiklah." Srintil menarik napas panjang sebelum akhirnya dia mengalah terhadap tawaran
Marsusi. Duduknya tegar dan janggal karena Srintil tidak terbiasa membonceng
sepeda motor. Atau karena hatinya tetap tidak mau berdekatan dengan Marsusi.
Jarak dua kilometer sampai ke kantor instansi di mana Srintil harus melapor setiap
dua minggu hanya ditempuh dalam beberapa menit. Namun Srintil merasa telah
menempuh masa berbulan-bulan lamanya. Dalam masa itu dia melihat orang-orang
yang terperangah dan bertanya, "Srintil sudah mulai berani pelesiran" Apakah Srintil
tidak khawatir akan diciduk kembali?"
Ketika lewat di depan pasar Dawuan Srintil melihat 'kehidupan bebas' tercengang.
Kehidupan bebas seakan tersinggung pada titiknya yang paling peka. Mereka yang
menghendaki Srintil tetap melata dan meratap sebagai pengakuan bersalah terhadap
kehidupan, terkejut dan terperangah melihat Srintil bergoncengan dengan seorang


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki. Melalui tatapan mata yang tajam mereka menilai sikap Srintil sebagai
perilaku sembrono, tidak tahu diri. Srintil telah berbuat sesuatu yang menantang
selera kenisbian sejarah.
Atau, apakah Srintil tahu siksaan hebat pada jiwanya hanya disebabkan oleh
dramatisasi yang dilakukan oleh hatinya sendiri" Memang, orang belum lupa
38 bagaimana Srintil menjadi ratu panggung dalam rapat-rapat propaganda yang
menyebabkan khalayak mabuk, lalu mereka menyerbu sawah dan merojeng padi,
tak peduli entah milik siapa. Orang juga tidak lupa bahwa pada beberapa peristiwa
perojengan padi telah jatuh korban, beberapa petani pemilik sawah jatuh terkapar
dalam upaya mempertahankan milik sah mereka. Srintil tidak mungkin
membebaskan diri dari keterlibatan moral dalam peristiwa semacam itu. Dan
puncaknya adalah usaha penjungkirbalikan secara total seluruh tatanan kehidupan
oleh orang-orang seperti Bakar pada bulan September 1965. Padahal setiap orang
sudah mencatat dengan guratan yang dalam bahwa Bakar yang telah mati diamuk
masa itu demikian menyatu dengan ronggeng Dukuh Paruk pada tahun-tahun
menjelang 1965. Kemudian, apakah sejarah hanya bertingkah melalui panglima tunggalnya yang
bernama kekuasaan" Mestinya, tidak. Tetapi Srintil tidak akan pernah mampu tahu.
Dia tidak tahu, selain mempunyai panglima, sejarah juga punya nurani yang seperti
demikian adanya, tidak pernah muncul dalam bentuk hura-hura, tidak resmiresmian, tetapi kukuh duduk dan tak pernah berhenti bertembang tentang
keberimbangan hidup. Tembang nurani sejarah mungkin tampil sebagai tangis
seorang bayi yang merengek dan merajuk, mengapa tetek emaknya kempis.
Mungkin juga muncul sebagai air mata beberapa perempuan di pasar Dawuan yang
trenyuh ketika melihat keberuntungan Srintil yang diberi beban terlalu berat bila
dibanding dengan keringkihan pundaknya. Nurani sejarah bisa juga menampakkan
diri sebagai falsafah orang-orang bersahaja yang suka berkata, "Aja dumeh maring
wong sing lagi kanggonan luput," jangan bersikap sia-sia terhadap mereka yang
sedang terjebak dalam kesalahan.
Tidak. Srintil tidak akan punya kesadaran sampai kesana . Srintil merasa hanya
punya satu kesadaran bahwa pakem hidup yang harus dijalaninya ialah peran dalam
sisi aib kehidupan. Sampai kapan, Srintil tidak tahu. Rahasianya mungkin terletak
pada arah obah-mosiking zaman, perkembangan sang waktu sendiri. Maka ketika
sang waktu menuntutnya memikul beban sejarah, Srintil hanya pasrah. Bagi anak
Dukuh Paruk ini beban sejarah ialah keharusan melata-lata di hadapan 'martabat
kehidupan', menyesali diri secara habis-habisan, jangan sekali-kali berjalan dengan
meluruskan leher, serta lihat-lihatlah apakah kehidupan berkenan memberi izin bila
sesekali Srintil ingin tersenyum.
Sejak dibebaskan dari tahanan enam bulan yang lalu Srintil sudah sebelas kali
memhuat cap jempol di hadapan Darman. Sudah sekian kali pula dia berhadapan
langsung dengan wajah penguasa sejarahnya. Namun setiap kali datang melaporkan
diri selalu saja ruas-ruas tulang kakinya gemetar. Padahal orang-orang seperti
Darman bukan mesin, tentu saja.
Selorohnya mulai muncul. Dan ketika menuntun tangan Srintil membubuhkan cap
jempol, tangan Darman tidak pernah jujur. Kecuali hari itu ketika Srintil datang
bersama Marsusi, sikap Darman sungguh resmi. Mungkin karena Marsusi benar-
39 benar melaksanakan kata-katanya, mengirim satu truk kayu bakar ke rumah
Darman. Selesai dengan urusan cap jempol, Srintil minta diri. Caranya, Srintil menekuk lutut
dalam-dalam di hadapan para petugas dengan wajah yang sungguh-sungguh
menghinakan diri. Kemudian Srintil melangkah ke luar dan Marsusi menghentikannya. "Nanti dulu. Kamu akan kuantar sampai ke tempat semula."
"Terima kasih, Pak. Aku biasa pulang seorang diri."
"Ah, lebih baik ikut Pak Marsusi," sela Darman. "Silakan. Membonceng Vespa baru
pasti enak. Ya,kan ?"
Srintil bingung seperti munyuk dirubung orang. Kemudian demi anu atau demi satu
truk kayu bakar maka Dirman mengambil kata putus,
"Bila aku yang menyuruh kamu membonceng Pak Marsusi, apakah kamu masih
menolak juga?" Wajah yang bingung itu serta-merta berubah menjadi topeng yang penuh garisgaris ketakutan. Srintil terpaku dan hanya bergerak karena kemudian Darman
memberi perintah dengan goyangan dagunya. Sementara Marsusi berjalan sebagai
prajurit yang menang perang. Sebuah adegan yang berulang, Srintil duduk kaku di
jok belakang motor Marsusi. Ketika motor sudah berjalan tubuh Srintil menjadi
bagian yang terpisah dari sesuatu yang bergerak. Punggungnya condong ke
belakang dan kedua tangannya bertumpu seperti orang yang akan mencari posisi
duduk tetapi tak pernah mantap. Pandangan mata Srintil tertuju ke bawah sehingga
dunia dirasakannya lari ke belakang dengan cepat.
Sejak meninggalkan halaman kantor Darman, Marsusi masih tetap pada tujuan
yang sudah direncanakannya. Dia sudah menemukan tempat di belakang pasar
Dawuan, tempat dari mana arus informasi kepentingan-kepentingan asusila
terpusat. Marsusi sudah mempunyai ketetapan di tempat itu dia akan berbicara
dengan Srintil. Marsusi akan meminta semuanya dengan menanggung segala risiko.
Atau Marsusi akan meminta sedikit saja, namun rela memberi banyak.
40 Namun ketika perjalanan hampir mencapai sebuah simpang tiga ada pikiran baru
yang membuat Marsusi mengambil keputusan mendadak. Dibelokkannya motornya
ke kiri, masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan karet Wanakeling.
Ketika 'barang' yang sangat diinginkannya sudah berada di tangan, mengapa tidak
langsung membawanya pulang ke rumah" pikir Marsusi.
Srintil yang sejak semula mengira hendak diantar sampai ke ujung pematang yang
menuju Dukuh Paruk, langsung merasa adanya penyimpangan. Mulutnya bergerakgerak, namun kata-katanya tak kunjung keluar.
"Mau... mau... mau ke mana, Pak?"
"Ah, tenanglah. Kita mau pulang."
"Pulang ke mana?"
"Ke Wanakeling. Lho, ke mana lagi?"
"Pak..." "Tenanglah. Aku bukan tukang culik. Kita ke Wanakeling dulu. Nanti kamu kuantar
kembali ke Dukuh Paruk."
"Aku... aku tidak mau, Pak. Aku ingin segera pulang."
"Dengarlah. Aku ingin berbicara kepadamu dan ini bukan perkara main-main. Nyai
Kartareja pernah berkata sesuatu kepadamu, bukan?"
"Tetapi aku tidak mau."
41 Srintil menghentak-hentak dalam duduknya sehingga motor baru itu oleng.
"Berhenti, Pak! Aku mau turun di sini. Berhenti, Pak!"
"Eh, jangan goyah. Nanti jatuh."
"Aku tidak mau ikut sampean. Berhenti, Pak!"
"Nanti dulu. Kamu belum mendengar apa yang hendak kusampaikjn padamu."
Beberapa kali Srintil berusaha terjun. Namun setiap kali diurungkannya; batu-batu
di atas jalan pegunungan itu bergerak seperti mata gergaji besar yang akan
menggorok apa saja yang jatuh ke permukaannya. Akhirnya Srintil pasrah. Duh,
Gusti, apa lagi yang akan kutanggung"
Jalan pegunungan itu kini menembus hutan jati. Pepohonan berdiri tegar dan
tumbuh rapat, dan kelihatan angkuh terhadap pohon-pohon kecil di bawahnya.
Cabang-cabangnya tumbuh ke segala arah untuk menangkap semua sinar matahari
dan membiarkan pakis-pakisan hanya hidup dalam sinar temaram sepanjang hari.
Kepongahan. Relung-relung pakis itu hidup di bawah kepongahan pohon-pohon
besar. Lalu mengapa acap terjadi sebuah hasrat besar atau rencana besar tidak mencapai
tujuan hanya karena sebuah perkara kecil yang tidak pernah masuk hitungan"
Seorang prajurit perkasa bisa mati di tengah peperangan bukan karena peluru
lawan, melainkan oleh gigitan ular yang kelihatan demikian lemah. Dan hasrat
Marsusi untuk membawa Srintil ke Wanakeling gagal hanya karena kecerobohannya
mengendalikan sepeda motor. Ketika melewati ruas jalan yang sangat rusak motor
baru itu kelihatan melompat-lompat dalam kecepatan yang berubah-ubah secara
dramatik. Pada suatu saat yang amat singkat pantat Srintil terangkat karena
guncangan, dan pada saat yang amat singkat itu Marsusi menarik gas. Motor
melesat dan Srintil sejenak mengapung di udara. Sesuatu yang sejak semula
terpisah jadi benar-benar berpisah. Pantat Srintil tidak jatuh kembali ke atas jok
melainkan terhempas ke permukaan jalan. Tubuh Srintil terbanting dan bergulingguling, sementara Marsusi terus melaju karena tidak tahu sesuatu telah terjadi di
belakangnya. 42 Mula-mula Srintil marasa ribuan batang pohon jati berputar cepat mengelilingi
kepalanya. Putaran itu makin melambat dan akhirnya berhenti tinggal menjadi sosok
hutan yang bergoyang. Srintil menoleh ke kiri dan masih melihat di kejauhan
Marsusi dan motornya menghilang di balik tanjakan. Srintil berusaha bangkit dan
kakinya terasa sakit. Ketika dilihat, ada luka berdarah pada mata kaki serta lutut
kirinya. Di telapak tangan ada kerikil kecil menancap. Dan darah menitik ketika
kerikil itu terlepas. Perih.
Setelah berhasil mengembalikan ketenangannya Srintil melangkah ke pinggir. Tak
terlihat seorang manusia pun di jalan kecil yang menembus hutan jati itu. Namun
yang pasti Srintil sadar harus menggunakan kesempatan kebebasan yang tak
sengaja telah diperolehnya. Nalurinya mengajarkan, Marsusi akan segera berbalik
dan mencari Srintil begitu dia tahu jok belakang motornya telah kosong. Namun
dengan kaki yang terasa amat sakit Srintil tidak mungkin segera berjalan pulang ke
Dukuh Paruk. Apabila hal itu dilakukannya, bahkan misalnya dengan kaki yang
sehat, Marsusi pasti akan bisa menyusulnya.
Maka Srintil berjalan terpincang-pincang menjauhi jalan, dan di suatu tempat dia
melihat lorong setapak yang masuk ke hutan jati. Lorong itu pastilah jalan para
pencari kayu karena Srintil sudah mendengar suara mereka. Tak lama kemudian
kelihatan dua perjaka tanggung menuruni bukit membawa sepikul kayu bakar.
Seorang lagi di belakang mereka memikul dua gulung daun jati. Ketika berpapasan
mereka berhenti dan memandang Srintil dengan heran. Di antara para pencari kayu
atau daun jati ada beberapa perempuan. Tetapi ketiga perjaka tanggung itu belum
sekali pun pernah melihat Srintil berada di tengah hutan jati.
"Eh, rasanya aku pernah mengenal perempuan itu. Tetapi siapa, ya?"
"Aku ingat. Dia ronggeng Srintil. Mula-mula aku pangling. Tetapi akhirnya aku kenal
dengan pasti. Dia orang Dukuh Paruk yang dulu sering meronggeng."
"Oh, ya! Aku jadi ingat sekarang. Tetapi mau ke mana dia" Dan mengapa jalannya
terpincang-pincang?"
"Benar. Kukira dia memang ronggeng Srintil. Maka, ayo kita ikuti dia. Kayu bakar
dan daun jati bisa kita tinggal sebentar di sini. Mari, kita lihat pertunjukan yang
menarik!" 43 "He, kamu ngomong apa" Apa Srintil mau meronggeng di tengah hutan?"
"Tolol! Kamu rupanya lupa akan munyuk-munyuk jantan di atas pohon jati besar
dekat jurangsana ." "Ah, ya. Munyuk-munyuk itu menjadi cabul bila meihat orang perempuan. Dan kini
yang akan mereka lihat adalah Srintil yang cantik. Ayo, kita naik lagi."
"Bila kalian anak munyuk maka kalian senang melihat ulah konyol munyuk-munyuk
di pohon jati itu. Silakan, Anak munyuk. Aku sendiri mau pulang."
Cincong antara ketiga perjaka tanggung itu ternyata hanya menghasilkan gelak
yang panjang. Mereka meneruskan perjalanan menuruni bukit dan ingatan mereka
tetap pada munyuk yang cengar-cengir, munyuk yang menggeram dan membuat
gerakan-gerakan yang amat tidak senonoh. Ulah munyuk-munyuk itu bagi para
pencari kayu menjadi bukti akan kebenaran dongeng sensasional bahwa suatu ketika
pernah terjadi perkosaan antarjenis. Sekelompok bangkokan, munyuk besar,
beramai-ramai menjagal seorang perempuan lalu menggagahinya. Dan bagi orangorang bersahaja seperti para pencari kayu itu, tiadalah beda antara dongeng dan
kisah nyata. Kedua-duanya menyatu sebagai kebenaran dalam mitos yang sulit
diganggu gugat. Srintil merasa heran ketika menyadari dirinya sedang duduk tanpa teman di tengah
hutan jati. Namun kebisuan alam cepat membawa Srintil kembali mengenal suasana
di luar dan di dalam dirinya sendiri. Di sekelilingnya adalah pohon-pohon besar yang
sejenis, jati. Dan di bawah pohon-pohon besar itu tumbuh sekian banyak
tetumbuhan kecil yang tak terhitung jumlahnya, dari lumut yang menyelimuti batu
dan kulit kayu hingga berbagai jenis paku-pakuan yang menutup lereng-lereng
jurang. Dari tanaman perdu dan gelagah sampai tumbuhan merambat yang sulurnya
membuat jalinan ruwet, seruwet akar-akaran yang merayap di permukaan dan yang
menghunjam tanah. Ketika angin bertiup jutaan daun jati saling bergesek membuat deru yang berirama.
Semuanya bergoyang. Tetapi pada ketika itulah Srintil menangkap makna
kebersamaan yang amat mengagumkan. Kebersamaan yang berimbang, yang
mungkin sudah mulai disusun sejak ribuan juta tahun yang lalu. Setiap sulur muda
tidak gagal meraih ruang hidup meski harus menembus jalinan sesama yang
demikian canggih, setiap ujung akar tidak gagal mencapai tanah.Ada beringin kecil
tumbuh di atas batang pohon yang lapuk. Dan roh kebersamaan memberi
44 kesempatan sehingga akar beringin kecil bisa merayap mencapai tanah. Dedaunan
tersusun demikian rupa sehingga sinar matahari atau biasnya menjamah rata.
Angin kembali bertiup, kini disertai bunyi daun-daun yang luruh. Kerotok suara
burung pelatuk dari kejauhan. Dan suara seorang pencari kayu yang terdengar
sayup. Srintil menegakkan kepala. Itu suara tembang seorang amatiran yang
menirukan kutut manggung. Entah mengapa Srintil merasa tersentak. Bukan karena
dia juga hafal lirik lagu itu, bukan pula suara si pencari kayu demikian jelek dan
acak-acakan, tetapi karena tiba-tiba Srintil merasa ada sesuatu yang sangat menarik
berkaitan dengan keresahan jiwanya.
Gending Kutut Manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah
demikian halus, penuh selera estetik dan jelas sekali lahir dari wawasan tentang
kehidupan yang mendasar. Kutut manggung adalah penghayatan atas naluri
keprimitifan berahi dalam tertib nilai tertentu sehingga terjadi beda antara berahi
manusia dan berahi munyuk. Dia bertanggung jawab dan memiliki arah yang pasti
yakni garis perhubungan antara manusia dan selera Penguasa Alam. Dia halus
sehingga hanya orang dewasa tertentu bisa mengerti apa yang dimaksudwis wayahe
lingsir wengi, perkutute arsa muni atau perkutute njaluk ngombe. Kutut manggung
adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan perempuan dalam
wawasan tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri, dan
bahwa motivasi perhubungan ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning
bangsa manusia yakni keselarasan hidup.
Namun wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek
'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi yang tertib
itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada anggunge memanas ati,
yakni pergombalan yang merangsang hati. Juga dalam senggakan kutut manggung
ada warna kemesraan, namun dalamgaya euphemisme sehingga wilayah kecabulan
tak perlu terjamah. Dalam pengertian yang tidak begitu mendalam Srintil mengerti penghayatan berahi
menurut persepsi kutut manggung karena Nyai Kartareja pernah mengatakannya.
Nyai Kartareja berbuat demikian untuk mengajari Srintil tentang perbedaan antara
penghayatan berahi menurut versi kutut manggung dan versi ronggeng. Dulu Srintil
sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng adalah lebih unggul karena
tiadanya tertib susila sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian secara
umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu. Karenanya dulu Srintil
yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada menjadi seorang
perempuan somahan. Namun penghayatan dan aktuasi berahigaya ronggeng yang
longgar, kasar, dan mentah tidak mengarah kepada keselarasan hidup. Bahkan
ternyata peronggengan telah membawa Srintil ke rumah tahanan selama dua tahun.
Selama itu Srintil kehilangan kediriannya hampir secara mutlak, dan setelah bebas
jiwanya masih terkerangkeng entah sampai kapan. Kerangkeng yang hanya mungkin
terkuak apabila Srintil bisa membuktikan dirinya bukan lagi duta keperempuanan
45 bagi kelelakian yang umum dan telanjang, melainkan duta keperempuanan bagi
seorang lelaki tertentu yakni suami.
Potongan-potongan lirik Gending Kutut Manggung masih terdengar, baur dalam
desau angin dan suara burung-burung. Srintil tidak lagi menegakkan kepala. Dia
menunduk, pikirannya penuh dengan khayalan indah tentang seorang perempuan
yang mendapat sebutan ibu rumah tangga, seorang perempuan yang rela dan sadar
hanya mengikatkan diri kepada seorang lelaki. Indah, karena Srintil sungguh tidak
mendengar ada seorang perempuan yang mengalami kepahitan dalam penjara
karena dia memilih peran hidup sebagai ibu rumah tangga. Indah, karena Srintil
belum pernah mendengar cerita tentang perempuan yang tersisih menjadi aib
kehidupan karena dia menjadi istri seorang lelaki.


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srintil mengangkat muka dan jauh disana kelihatan olehnya pucuk daun aren yang
baru mekar. Kuning muda, dan kesegarannya terlihat kontras dengan warna
sekelilingnya.Ada alap-alap terbang mengitari pohon aren itu, barangkali sedang
mengintai mangsa yang bersembunyi. Mata Srintil mengikuti alap-alap yang terus
berputar. Lama-lama matanya hanya menangkap pandangan yang serba samar,
sampai muncul sebuah bayangan yang jelas. Rasus. Mengapa kira-kira dua belas
tahun yang lalu ketika masih sangat muda, Rasus sudah tidak setuju aku menjadi
ronggeng" Mungkin Rasus hanya ingin membela kepentingan pribadi. Tetapi
mungkinkah pikiran Rasus itu adalah duta nurani kehidupan karena ronggeng Dukuh
Paruk sesungguhnya tidak selaras dengan maksud tertinggi kehidupan" Tiba-tiba
Srintil menutup wajah dengan tangan karena jawaban atas pertanyaannya sendiri
adalah rekaman amat pahit pengalaman selama dalam tahanan, perilaku kenisbian
sejarah yang telah meruntuhkan bangunan kediriannya, perilaku para pengejawantah kewenangan yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya.
Adaseberkas sinar matahari menerobos kerimbunan hutan jati dan jatuh ke tubuh
Srintil. Pepohonan sudah membentuk bayangan di timur, dan Srintil ingin pulang.
Orang Dukuh Paruk pasti sudah cemas karena mengira dirinya ditahan kembali.
Goder tentu menangis karena jajan yang ditunggunya tidak kunjung tiba. Tetapi
Srintil tidak yakin apakah dalam perjalanan pulang nanti takkan berjumpa Marsusi.
Dan kakinya terasa nyeri, padahal Srintil terpisah tujuh kilometer dari Dukuh Paruk.
Srintil bangkit, berjalan menuruni lorong setapak menuju jalan pegunungan yang
membelah hutan jati. Dia tidak tahu pasti apa yang bakal dialaminya sebelum
sampai ke Dukuh Paruk. Mungkin akan bertemu kembali dengan Marsusi atau akan
tergeletak tak kuat berjalan. Yang jelas Srintil mendadak berhenti ketika dia baru
mencapai satu turunan. Di depansana ada seorang lelaki yang sedang menaruh
sepeda motor di bawah bayangan pohon, kemudian berdiri bertolak pinggang dan
matanya menyapu tepian hutan jati. Marsusi telah mendapat keterangan dari tiga
orang pencari kayu tentang jalan yang harus ditempuh untuk menemukan tempat di
mana Srintil berada. Perburuan segera bermula karena Marsusi melihat sosok yang
bergerak tergesa-gesa dan menjauh.
46 Suasana hutan jati merangsang naluri primitif tentang perburuan. Jantung Marsusi
berdenyut keras dan menimbulkan semangat binatang jantan raja rimba. Wajahnya
berubah beringas dan keringat dengan cepat membasahi kulitnya. Meskipun bibir
Marsusi tersenyum tipis tetapi pandangan matanya keras. Langkahnya perkasa
diiringi suara daun kering arau bekicot yang terinjak sepatu kanvas. Dan Marsusi
adalah laki-laki yang amat berpengalaman berjalan di hutan.
Sejak mengetahui Srintil lenyap dari jok belakang motornya, berbagai perasaan
memusingkan kepala Marsusi. Yang pertama terbayangkan oleh Marsusi adalah
Srintil yang terjatuh dan cedera berat. Ini kecerobohan yang memalukan dan sedikitbanyak bertentangan dengan citra keperwiraan seorang lelaki, sekaligus
mempersulit kedudukan Marsusi sendiri. Namun Marsusi merasa tidak bisa berbuat
lain kecuali menemukan kembali Srintil dengan segera buat meralat
kecerobohannya, tanpa sedikit pun niat hendak mengubah niat semula.
Namun ternyata yang dihadapinya adalah lain. Tiga perjaka tanggung itu memberi
kesaksian bahwa Srintil tidak cedera berat, hanya jalannya jadi pincang. Dan
kenyataan lain, Srintil menghindar. Lalu mengapa orang harus heran tentang hati
yang semula mengandung penyesalan dan rasa tanggung jawab tiba-tiba berubah
menjadi liar. Andaikan Srintil tidak lari menjauh, sesungguhnya Marsusi akan
bersikap lembut dan siap dengan segudang permintaan maaf. Tetapi karena Srintil
menghindar maka dalam sekejap Marsusi berubah menjadi pemburu yang sangat
bergairah karena sudah melihat mangsanya bergerak.
"Srintil! Tunggu. Mau ke mana, kau?"
Meski luka di kakinya terasa amat sakit karena tergesek belukar Srintil terus maju,
kemudian melingkar ke kanan menuruni tebing menuju jalan.Ada petunjuk dari
antah-berantah yang mengajari Srintil bahwa dia tidak mungkin bergerak lebih cepat
dari Marsusi dan sesaat lagi dia bakal tersusul. Petunjuk itu juga mengatakan bahwa
tak ada sesuatu yang bisa mencegah apa pun niat Marsusi kecuali langit dan
matahari. Maka Srintil harus berusaha sekuat tenaga mencapai tempat terbuka
sebelum Marsusi menangkapnya. Jalan pegunungan!
Sementara itu Marsusi yang sudah berubah sepenuhnya menjadi seorang pemburu,
makin bergelora karena Srintil tidak mengacuhkan panggilannya. Harga dirinya
tersinggung, dan segala hasratnya menjadi demikian sederhana; menguasai Srintil
dalam kesunyian hutan jati, kemudian persoalannya menjadi sederhana pula. Tetapi
Marsusi membuat kekeliruan. Disangkanya Srintil akan bergerak lebih jauh masuk ke
dalam hutan. Maka Marsusi terus menaiki lorong setapak dengan harapan bisa
47 memotong lintasan pelarian buruannya. Dari ketinggian tertentu Marsusi berhenti
untuk mengamati situasi perburuan. Dan terkejut setelah menyadari goyangangoyangan semak yang diretas Srintil bergerak mendekati jalan. Marsusi berbalik
menuruni lorong tetapi terlambat, jarak yang memisahkan dirinya dengan Srintil
sudah terlalu jauh. Ketika mencapai jalan pegunungan Srintil sudah kehabisan tenaga. Rasa sakit sudah
tidak tertanggung sehingga Srintil jatuh terduduk tepat di tengah jalan. Langit dan
matahari menyaksikan tangisnya. Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut
dan mata kaki Srintil bertambah parah. Darah mengalir lebih banyak.
Marsusi muncul dua menit kemudian. Seorang pemburu telah melumpuhkan
mangsanya. Bangga karena merasa menang membuat langkah Marsusi kelihatan
gagah. Namun kebanggaan itu sirna secara mendadak ketika Marsusi melihat dari
dekat sosok buruannya. Srintil duduk bersimpuh di tengah jalan menghadap
matahari yang sudah condong di barat. Kainnya cabik-cabik dan dibiarkan tersingkap
sampai ke pahanya. Hasrat kebinatangan Marsusi sempat tepercik namun segera
padam karena ada darah mengalir dari dua luka di kaki Srintil.
Siapa melumpuhkan siapa" Marsusi telah melumpuhkan Srintil atau Marsusi telah
dilumpuhkan oleh kadar kemanusiaannya sendiri" Atau menurut moral perburuan
sendiri, seorang pemburu sejati pasti akan kehilangan keberingasan bila menghadapi
binatang buruan yang lumpuh dan merintih-rintih menahan sakit. Dan tetes-tetes
darah itu mulai membentuk genangan di atas batu.
Marsusi tertegun. Ombak yang bergelora telah berubah menjadi riak-riak kecil
namun tetap tidak bisa tenang. Kemudian Marsusi melihat sekeliling, mungkin
karena tak ingin kegagapannya disaksikan orang. Lengang. Kecuali seekor burung
tlimukan yang melintas cepat menyeberang udara terbuka lalu lenyap di tebing
jurang. Suara angin dan suara burung prenjak yang sedang berkejaran. Wajah
Marsusi kusut dan kendur. Darah itu. Marsusi mengeluarkan sapu tangan. Dia sangat
ingin memberikan jasa membersihkan luka di kaki Srintil. Tetapi Srintil beringsut
menjauh lalu membersihkan sendiri darahnya dengan ujung kain.
"Srintil, mari. Kamu kuantar pulang ke Dukuh Paruk," kata Marsusi dengan suara
tenggorokan. Setengah menit menunggu jawaban Srintil terasa amat lama.
"Tidak. Aku akan tetap duduk di sini. Berbuatlah sesuatu kepadaku di sini mumpung
langit dan matahari menyaksikan sampean, Pak Marsusi..."
48 Srintil melihat seseorang mengendarai sepeda datang dari barat, dan Marsusi pasti
tidak melihat karena membelakangi.
"Pak Marsusi, sampean lihat sendiri kakiku luka. Dan seluruh badanku terasa sakit.
Aku sudah tidak bisa berbuat sesuatu meskipun misalnya sampean sangat
menghendakinya." "Ya, ya. Maka mari pulang. Kamu tidak mungkin berjalan sendiri."
"Pak Marsusi, aku minta sampean membiarkan aku pulang sendiri."
Laki-laki pengendara sepeda yang membawa dua gulung daun jati pada bagasinya
Misteri Arca Singa 2 Penumpang Ke Frankfurt Passenger To Frankfurt Karya Agatha Christie Pedang Golok Yang Menggetarkan 16
^