Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 11

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 11


Jlitheng" "Tugasku menjadi semakin berat. Aku harus berusaha
melindunginya selama ia berada di padepokan Sanggar
Gading" jawab Rahu "Tetapi sebentar lagi, Pangeran itu tentu tidak lagi berada
di Sangar Gading" desis Jlitheng.
"Apakah kau mengetahui?" tiba-tiba saja Rahu bertanya.
"Dugaanku. Buat apa ia berada di Sanggar Gading" Apakah
yang diperlukan oleh Yang Mulia timpang itu dari Pangeran
yang sedang sakit?" desis Jlitheng.
"Dugaanmu memang kuat. Kau mempunyai penggraita
yang sangat tajam. Tetapi tentu sekedar dugaan dan
perhitungan. Kau tentu sudah menjelajahi tempat-tempat
yang berhubungan dengan daerah jelajah orang-orang
Sanggar Gading disaal terakhir. Aku sudah memperhitungkan,
bahwa kau tidak secara kebetulan menolong Cempaka
diperjalanan saat itu. Dan akupun sudah menduga, bahwa kau
lelah menjelajahi daerah Sepasang Bukit Mati" sahut Rahu
berbisik. Jlitheng tersenyum. Katanya "Panggraitamulah yang tajam.
Tetapi aku tidak perlu berbohong lagi. justru karena kau
memiliki tanda bulan dan matahari itu. meskipun setelah kita
menganut jalan kita sendiri-sendiri, kita dapat saling
mencurigai. "Terserahlah. Tetapi yang jelas, tugasku menjadi sangat
berat. Jika terjadi sesuatu atas Pangeran itu di Sanggar
Gading, maka aku tidak akan dapat mencuci tangan. Apalagi
jika Pangeran itu diserahkan kepada pihak lain karena
kepentingan yang khusus, sehingga aku akan menjadi
semakin sulit untuk dapat melindunginya" Rahu berhenti
sejenak, lalu "Mudah mudahan Semi dapat mengambil sikap"
"Dimana ia sekarang?" bertanya Jlitheng.
"Ia mengikuti kita. Ia tahu apa yang telah terjadi. Tetapi ia
selalu menunggu isyaratku" jawab Rahu. lalu "Tetapi aku tidak
tahu apakah ia akan dapat mengikuti perkembangan
berikutnya dari Pangeran yang malang itu. Jika Pangeran itu
meninggalkan Sanggar Gading tanpa diketahuinya, maka
mungkin ia akan kehilangan jejnk. Sementara setiap kali aku
selalu meragukan, apakah aku dapat selalu memberikan
keterangan kepadanya, meskipun sampai saat ini, ia dapat
mengikut i segala perkembangan dengan baik"
Jlitheng tidak bertanya lagi. Kesempatan mereka menjadi
semakin kecil untuk dapat berbicara tanpa didengar oleh
orang lain, karena iring-iringan itu sudah mendekati lingkaran
kota. Seperti saat mereka memasuki kota, maka merekapun t idak
melewati gapura, meskipun pada saat-saat tenang gapura itu
tidak selalu diawasi dengan ketat. Namun lebih baik bagi
mereka untuk keluar lewat jalan-jalan setapak.
Demikianlah maka merekapun segera meninggalkan kota
menuju ke sendang Gambir, tempit mereka meninggalkan
kuda kuda mereka, ditunggui oleh orang-orang yang dianggap
tidak begitu berarti dibanding dengan kawan-kawannya yang
lain. Dalam pada itu. Sanggit Rainapun kemudian
mempersilahkan Pangeran yang sedang sakit itu untuk
beristirahat. Katanya "Kita akan menuju tempat tujuan justru
setelah fajar. Tetapi kami mohon maaf Pangeran, agar
Pangeran tidak menimbulkan persoalan bagi kami, maka kami
mohon Pangeran sudi menukar pakaian Pangeran seperti
pakaian kami" Wajah Pangeran itu menegang. Dengan marah ia
menggeram "Kau menghina martabatku. Aku tidak pernah
merasa diriku lebih tinggi dari martabat orang lain, karena
setiap orang mempunyai martabat kemanusiaannya masingmasing
Tetapi yang kau katakan itu benar-benar telah
menyinggung perasaanku"
"Aku mohon maaf. Tetapi tidak ada cara lain yang dapat
kami tempuh Pangeran. Dan karena kami tidak ingin gagal
akan tugas kami, maka kami terpaksa mohon dengan sangat,
agar Pangeran sudi melakukannya" minta Sanggit Raina.
Pangeran yang sedang sakit itu mempunyai pengalaman
yang sangat luas menghadapi berbagai macam orang dengan
sifat-sifatnya. Karena itu, maka iapun segera dapat mengenal
pemimpin sekelompok orang yang telah mengambilnya itu.
Meskipun ia nampaknya tetap ramah dan sopan, tetapi dibalik
senyum dan anggukkan kepalanya penuh hormat itu.
tersimpan api yang setiap saat dapat menyala dan membakar
korbannya. Karena itu. Pangeran tua yang sedang sakit itu tidak dapat
menolak lagi. Betapapun kemarahan membakar jantungnya
namun iapun kemudian terpaksa mengganti bajunya dengan
baju yang tenyata telah disediakan oleh Sanggit Raina.
"Mungkin pakaian yang kami sediakan itu agak terlalu kecil
atau agak terlalu longgar Pangeran, tetapi kami mohon
Pangeran dapat memakainya" berkata Sanggit Raina
Pangeran itu tidak menjawab. Ia tidak membantah lagi.
Dipakainya saja baju yang disediakan oleh Sanggit Raina itu.
betapapun batinya bergejolak
"Pangeran akan mempergunakan kuda kawan kami yang
kami tinggalkan di istana, karena ia tidak akan dapat hidup
lagi. Aku akan menjaga Pangeran disepanjang jalan menuju ke
Padepokan kami. Sementara itu, kawan-kawan kami akan
berpencar. Bersama kita adalah adikku. Cempaka" berkata
Sanggit Raina kemudian. Pangeran itu sama sekali tidak menjawab. Ia tidak dapat
berbuat apapun juga, kecuali memenuhi segala permintaan
orang-orang yang telah membawanya itu.
Namun sekali-kali terdengar Pangeran itu menggeram.
Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka yang
terjadi atasnya benar-benar satu penderitaan.
Tetapi ia tidak dapat menentang keharusan yang terjadi
atasnya. Dan Pangeran itupun tidak dapat menolak, bahwa
kemampuan ilmunya yang tiada taranya, tidak berarti sama
sekali dihadapan Yang Maha Pencipta. Kemampuannya yang
seakan-akan tidak terlawan itu, hanya sebutir debu yang
sangat kecil diluasnya langit dan bumi.
Ketika Yang Maha Pencipta menghendakinya, maka ia
benar-benar tidak dapat mempergunakan ilmunya. Sakit itu
datang tanpa dapat dilawan dengan ilmunya yang bagi
manapun juga. Bahkan berbagai macam obat sudah
dicobanya. Tetapi tubuhnya masih saja terasa panas dan
sangat lemahnya Seandainya ia memaksa diri untuk
mengerahkan ilmunya pada keadaannya, maka justru
tubuhnya sendiri akan dirusakkannya.
"Aku harus menahan diri" berkata Pangeran itu di dalam
hatinya. Ia masih menunggu. Jika keadaannya berangsur baik.
maka pada suatu saat ia mungkin masih akan mendapat
kesempatan untuk mempergunakan ilmunya, melepaskan diri
dari tangan orang-orang yang menyebut dirinya dari Sanggar
Gading. Tetapi sekali-kali terkilas pula keadaan keluarganya yang
ditinggalkannya di istananya. Orang-orang Sanggar Gading itu
akan dapat berbuat sekehendak hati mereka atas keluarganya.
Bahkan mungkin, mereka akan dapat memaksakan kehendak
mereka dengan mengancam anak gadisnya atau isi istananya.
Namun demikian. Pangeran itu tidak dapat menentang
kehendak orang-orang yang membawanya.
Dalam pakaian yang dikenakannya kemudian, Pangeran
yang sedang sakit itu masih sempat beristirahat sejenak.
Betapa tubuhnya terasa sakit dan lemah. Jantung dan isi
dadanya, serasa terbakar. Namun kadang-kadang tubuhnya
terasa membeku sehingga tubuhnya itu bagaikan digoncanggoncang
karena menggigil kedinginan.
Beberapa orang tabib telah mengobatinya. Tetapi
perkembangan keadaannya terasa lambat setali meskipun ada
juga Kemajuannya. Sehingga akhirnya datang sekelompok
orang dari Sanggar Gading yang menangkapnya justru saat ia
tidak dapat melawan. Ketika langit diujung Timur menjadi kemerah-merahan,
maka orang-orang Sanggar Gading itupun kemudian
mempersiapkan diri mereka umuk menempuh perjalanan
kembali ke padepokan mereka. Seperti saat mereka datang,
maka merekapun akan berpencar.
Demikian segala persiapan telah selesai, maka Sanggit
Rainapun memberikan pesan sekali lagi kepada orangorangnya.
Dengan nada berat ia berkata "Kita harus segera
kembali. Tidak seorangpun boleh melakukan perbuatan
apapun diperjalanan. Kita harus menyelamatkan tugas besar
kita kali ini, tanpa menimbulkan persoalan-persoalan yang
dapat mengganggu" Semua orang mendergarkan dengan saksama
"Jika salah seorang dari kalian melanggar perintah ini, dan
justru akan dapat menimbulkan gangguan, maka aku akan
mengabil tindakan langsung terhadap kalian"
Tidak terdengar seorangpun yang berbicara. Bahkan
berbisikpun tidak. Namun dalam pada itu, Rahu melihat sikap yang
mencurigakan pada Nrangsarimpal yang tersenyum-senyuni
sambil menggamit seorang kawannya. Ada semacam kesan
yang kurang baik pada sikap itu. Karena itu, maka Rahu yang
kemudian bergeser ke dekat Cempaka berbisik "Kau lihat sikap
Nrangsarimpat" "Kenapa?" bertanya Cempaka.
"Ia tentu masih ingat kepada gadis yang tinggal di isianti
itu" desis Rahu. "Gila" geram Cempaka.
"Apakah aku boleh bertindak?" bertanya Rahu.
"Jika ia melakukannya. Tetapi awasi orang gila itu" desis
Cempaka tanpa berpaling kcarah Nrangsarimpat, seolah-olah
mereka sedang membicarakan masalah lain yang tidak ada
sangkut pautnya dengan dirinya.
"Tetapi laporkan kepada Sanggit Raina, agar bukan akulah
yang bersalah jika terjadi sesuatu"
"Aku akan bertanggung jawb. Orang itu memang selalu
membuat kisruh Rencana besar ini tidak boleh gagal" geram
Cempaka. Rahu tidak menjawab. Tapun kemudian bersingsut pula di
belakang Cempaka, sementara Sanggit Raina masih
memberikan beberapa pesan, agar setia orang selalu berhatihati
di perjalanan. "Tidak seorangpun boleh tahu. siapakah kalian. Rahasia
kalian akan kalian bawa mati seandainya kalian menjumpai
sesuatu di perjalanan" pesan Sanggit Raina.
Pangeran tua yang sedang sakit itu melihat, betapa
kuatnya ikatan orang-orang Sanggar Gading itu. Karena itu,
maka iapun beranggapan, bahwa ikatan sekelompok orangorang
yang menyebut dirinya warga Sanggar Gading itu tentu
bukan sekedar orang-orang yang melakukan kejahatan untuk
merampok harta benda saja.
Ketika langit menjadi semakin cerah, maka sekelompok
orang-orang Sanggar Gading itupun segera berpencar. Rahu
yang berada diantara mereka bersama Jlitheng telah berbisik
ke telinga anak muda itu. apa yang dilihat dan dikatakannya
kepada Cempaka. "Sudah ada ijin dari Cempaka. Dan ia akan
mempertanggung jawabkan jika terjadi sesuatu. Kita tidak
akan membiarkan perbuatan gilanya itu" desis Rahu.
"Apa kau yakin?" bertanya Jlitheng.
"Kita akan melibat. Jika kita sudah saling berpisah, maka
kita akan melingkar dan kembali memasuki kota. Mungkin
Nrangsarimpat telah melakukan sesuatu yang akan
menyakitkan hati keluarga Pangeran yang malang itu.
Jlitheng mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian
bertanya "Apakah kita tidak akan dikejar batas waktu seperti
saat kita berangkat?"
"Sanggit Raina tidak memberikan batas itu" desis Rahu
kemudian. Demikianlah, seperti yang dikatakan Rahu, maka kedua
orang itupun tidak langsung berpacu kembali ke padepokan
Sanggar Gading. Tetapi Jlitheng dan Rahu itupun kemudian melingkar
kembali menuju ke Kota Raja. Mereka dibebani oleh
kecurigaan atas tingkah laku Nrangsarimpat.
Jarak antara Sendang Gambir dan Kota Raja memang tidak
jauh. Karena itu, maka merekapun segera mendekati pintu
untuk mengendap-endap dan merangkik-rangkak lagi lewat
jalan-jalan setapak. Namun mereka terhenti ketika dari kejauhan mereka
melihat seorang berkuda kearah yang berlawanan. Dengan
nada datar Rahu berdesis "Semi"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Iapun melihat orang yang
disebut adik Rahu itu semakin lama menjadi semakin dekat
Tetapi orang itupun nampaknya heran melihat Rahu dan
Jlitheng kembali. Karena itu justru kudanya berlari semakin
cepat mendekati kedua orang yang sudah berhenti dan
menepi. "Kenapa kalian kembali" bertanya orang itu.
Rahu memandang Jlitheng sejenak. Namun karena Jlitheng
mengangguk kecil, maka Rahupun berkata "Aku curiga kepada
Nrangsarimpat. Pangeran yang sakit itu meninggalkan seorang
gadis di rumahnya. Agaknya Nrangsarimpat telah tertarik
kepada gadis itu seperti ia tertarik hampir kepada setiap orang
perempuan" "Jadi kau akan kembali ke istana itu?" bertanya Semi
"Ya. Jika Nrangsarimpat membawa gadis itu. maka nasib
gadis itu agaknya akan menjadi sangat buruk. Jauh lebih
buruk dari nasib ayahandanya" jawab Rahu.
"Marilah" berkata Semi "Aku ikut bersamamu. Bukankah
tidak ada yang menarik lagi diikuti pada orang-orang Sanggar
Gading itu?" "Tidak" jawab Rahu "Mereka telah berpencar dan kembali
ke padepokan sambil membawa Pangeran itu"
Semipun kemudian mengikuti Rahu dan Jlitheng kembali ke
Kota Raja. Ada semacam perasaan gelisah dibati mereka
karena sikap Nrangsarimpat.
"Kita akan bersikap keras terhadapnya" desis Rahu
kemudian "Aku sudah mendapat ijin Cempaka"
"Apakah harus ada ijin dari orang itu?" bertanya Jlitheng.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setidak-tidaknya kita akan membatasi persoalannya,
karena kita sudah terlanjur membiarkan Pangeran itu dibawa
oleh orang-orang Sanggar Gading ke padepokan" jawab Rahu.
Demikianlah mereka mempercepat kuda mereka. Mereka
tidak membuang waktu lagi sehingga karena itu, maka
merekapun telah pergi langsung menuju ke istana Pangeran
yang telah dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading itu.
Namun demikian mereka mendekati istana, maka Rahupun
berdesis Kita akan melibat, apakah mereka sudah datang atau
belum" "Apakah kita akan memasuki istana itu?" bertanya Semi.
"Tidak. Kita akan bertanya kepada penjaga regol itu,
apakah ada orang yang datang ke istana itu mencari seorang"
jawab Rahu. "Apakah mereka justru tidak akan mencurigai kita?""
bertanya Jlitheng. "Kalian tidak perlu akut. Akulah yang akan bertanya" sahut
Semi "Mungkin mereka masih mengenal kalian yang semalam
datang ke istana itu"
"Pergilah" jawab Rahu "Kau orang baru dalam hal ini"
Semipun mendahului kedua orang kawannya. Ia segera
menemui penjaga regol istana itu dan bertanya "Apakah aku
diperkenankan menghadap Pangeran.
Penjaga itu bingung sesaat. Namun yang tertua diantara
mereka menjawab. "Pangeran sedang sakit Ia tidak menerima tamu hari ini
"Itulah" jawab Semi "Aku datang karena Pangeran sedang
sakit. Aku membawa obat untuk Pangeran yang dipesankan
salah seorang abdi di istana ini. Ayahku adalah seorang tabib
yang dikenal baik oleh Pangeran"
Sejenak penjaga regol yang tua itupun ragu-ragu. Namun
kemudian katanya "Apakah orang lain dapat menerimanya
Semi termenung sejenak. Tetapi kemudian ia bertanya "Ki
Sanak, apakah kakakku telah datang kemari?"Siapa?"
"Kakakku. Ia juga harus datang hari ini untuk membawa
obat yang akan menjadi campuran obat yang aku bawa
sekarang" desis Semi.
"Belum ada orang yang datang sepagi ini"
Semi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Jika
demikian, baiklah aku akan menunggu saja. Aku akan
menghadap bersama-sama dengan kakakku itu"
"Terserahlah kepadamu. Tetapi Pangeran berpesan agar
tidak seorangpun yang boleh datang menghadap untuk
keperluan apapun juga" berkata penjaga regol itu.
Semi menarik nafas dalam-dalam Namun iapun kemudian
mohon diri untuk menunggu saudara laki-lakinya di luar
istana. Dalam pada itu, Semipum segera mendapatkan Rahu dan
Jlitheng untuk mengatakan kepada mereka, bahwa belum ada
orang yang datang ke istana itu.
"Ternyata kita datang lebih dahulu" desis Rahu.
"Tetapi mungkin Nrangsarimpat tidak akan kembali ke
istana ini" desis Semi.
"Memang mungkin. Tetapi kita akan menunggu beberapa
saat. Kita akan mencari sebuah kedai di pinggir jalan, dekat
dengan istana itu" berkata Rahu
"Jika mereka datang dari arah yang berbeda?" bertanya
Jlitheng. "Kita akan selalu mengawasi" jawab Rahu. Dengan
demikian, maka ketiga orang itupun berusaha untuk
mendapatkan sebuah kedai yang mungkin t idak terlalu dekat,
tetapi dapat mengawasi regol istana Pangeran yang malang
itu. Selain mereka memang lapar, maka mereka akan dapat
menjaga, agar seseorang tidak melakukan tindakan yang
membuat Pangeran itu semakin menderita.
Tetapi ketiga orang itu tidak dapat makan dengan tenang.
Meskipun demikian, namun akhirnya mereka menjadi kenyang
juga. Untuk beberapa saat mereka masih duduk di dalami kedai
itu. Mereka sempat bertanya, kapan kedai itu mulai dibuka.
"Dini hari" jawab pemilik kedai itu "orang-orang yang pergi
ke pasar dari daerah yang jauh, kadang-kadang telah habis
menjual dagangannya sebelum pagi. Sambil pulang, mereka
sering singgah dikedai ini"
"Siapa yang membeli dagangan mereka di dini hari?"
bertanya Rahu. "Para tengkulak. Mereka membeli hasil sawah dari para
petani. Kemudian mereka menjualnya di pasar itu pula.
Bahkan keuntungan mereka lebih banyak dari uang yang
diterima oleh para petani yang menanam, memetik hasilnya
dan membawanya ke pasar itu" jawab pemilik kedai itu.
Rahu mengangguk-angguk. Katanya "Memang tidak adil.
Tetapi para petani itu telah puas jika dagangannya menjadi
segera laku meskipun dibeli dengan harga yang terhitung
murah" Semi akan menyahut Tetapi diurungkannya, karena tibatiba
saja mereka melihat dua orang penunggang kuda
mendekati regol rumah Pangeran yang telah diambil olehi
Sanggit Raina. Bahkan sejenak kemudian dua orang berkuda
kurnya telah mendekati pula,
"Itukah mereka?" bertanya Semi.
Rahu bergeser selangkah. Kemudian sambil menggeram ia
bangkit "Setan. Ternyata ia benar-benar kembali. Ia berhasil
mempengaruhi beberapa orang kawannya untuk
kepentingannya yang gila itu"
"Apa?" bertanya pemilik kedai itu.
"Bukan apa-apa" jawab Jlitheng.
Rahu kemudian membayar makanan dan minuman yang
telah mereka makan dan mereka minum. Kemudian katanya
kepada pemilik kedai itu "Aku titipkan kuda kimi disini"
"Ada apa sebenarnya?" bertanya pemilik kedai itu.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya menitipkan kuda itu" jawab
Jlitheng "Tetapi jika terjadi sesuatu, aku tidak tahu menahu" pemilik
kedai itu ketakutan. Rahu mempertimbangkannya sejenak. Namun kemudian
katanya "Kita bawa saja kuda kita. Kita ikat pada batangbatang
perdu diluar halaman istana"
Sejenak kemudian, merekapun mendekati regol pula
Ternyata keempat orang berkuda itu telah memasuki regol.
Rahu dan kawan-kawannya tidak tahu, bagaimana cara
mereka masuk. Apakah mereka menipu para penjaga regol,
atau mereka mengancamdengan cara yang licik.
Di luar regol, ketiga orang itu mengikat kuda mereka pada
sebatang pohon perdu di pinggir jalan. Kemudian mereka
dengan hati-hati mendekati regol itu pula.
"Aku akan menghadap Pangeran" desis Semi kepada
penjaga regol. Penjaga regol itu termangu-mangu. Wajahnya penuh dengan
kegelisahan dan gejolak yang menghentak-hentak.
"Baiklah" berkata Semi kemudian "Kami akan berterus
terang. Siapakah empat orang berkuda yang memasuki regol
ini?" Penjaga regol itu menjadi semakin tegang. Namun Semi.
Rahu dan Jlithengpun kemudian mendesak masuk sambil
bertanya sekali lagi "Siapakah mereka" Kenapa mereka kalian
ijinkan masuk" Bukankah sudah kalian katakan, bahwa
Pangeran tidak dapat menerima siapapun juga"
Orang bu tergagap. Sementara seorang kawannyapun
berdiri saja mematung. "Coba katakan" desak Rahu.
"Mereka mempunyai kepentingan khusus" desis penjaga
regol itu. "Katakan. Apakah mereka termasuk kelompok orang-orang
yang semalam datang kemari mengambil Pangeran?" desak
Rahu. Penjaga regol itu menjadi semakin tegang. Dengan suara
tertahan-tahan ia menjawab "Ya. Mereka adalah orang-orang
yang datang semalam. Tapi dari siapa kalian mengetahuinya"
"Itu bukan urusanmu. Tetapi katakan, apakah keperluan
mereka" bertanya Semi.
Penjaga regol itu ragu-ragu.
"Apakah mereka mendapat pesan dari Pangeran agar
mengambil anak gadisnya untuk menyusulnya?" Rahu
bertanya pula. "Ya, ya. Kalian tahu semuanya" suara penjaga itu bergetar.
"Persetan. Kalian telah ditipunya. Pangeran tidak
memerintahkan siapapun untuk mengambil anak gadisnya.
Bukankah kalian harus melindunginya" geramRahu.
"Tetapi jika demikian, maka bukankah nasib Pangeran ada
di dalam bahaya" penjaga regol itu menjadi semakin bingung.
"Siapa yang mengatakannya?" bertanya Jlitheng.
"Orang-orang itu" sahut penjaga rcgol.
"Bagus. Jadi orang itu mengambil gadis itu atas perintah
Pangeran. Jika kalian tidak memberikan, maka Pangeran itu
ada dalam bahaya. Apakah dengan demikian kau tidak tahu
maknanya?" bertanya Jlitheng
"Aku tidak mengerti" jawab penjaga regol itu.
"Dengar. Dengan demikian berarti, bahwa Pangeran ilu
sebenarnya tidak menginginkan anak gadisnya menyusulnya.
Jika ia memerintahkannya itu hanya karena ancaman baginya.
Tetapi itupun tidak benar sama sekali. Sudahlah. Beri kami
kesempatan untuk menyelesaikan persoalan ini. Ketahuilah
kami juga termasuk orang-orang yang dalang semalam.
Karena itu kami tahu segalanya. Orang ilu sama sekali tidak,
datang atas perintah Pangeran, tetapi atas kehendaknya
sendiri. He, apakah kau tidak melihat, bagaimana Pangeran
marah melihat sikap orang itu semalam?"
Penjaga regol itu menjadi semakin tegang. Seorang yang
untuk beberapa saat hanya mematung saja, tiba-tiba berdesis
"Ya, Semalam memang ada seorang yang dengan sangat tidak
tatanan telah mencoba menyentuh puteri"
"Kami akan menemui mereka" berkata Rahu tidak sabar
lagi "kalian tidak usah turut campur. Kami mendapat tugas
dari pimpinan kami untuk membersihkan nama kelompok kami
dari sikap yang kotor itu"
Para penjaga regol ilu saling berpandangan. Namun mereka
seolah-olah telah dicengkam oleh perasaan yang selalu cemas
dan kawatir tentang nasib Pangeran yang sedang sakit dan
yang telah dibawa oleh sekelompok orang yang tidak dikenal
itu. Karena para penjaga itu masih saja termangu-mangu,
maka Rahupun berkata "Kami akan menyelesaikan persoalan
kami. Kami akan berusaha agar puteri itu tidak beranjak dari
istana ini, dan jatuh ke tangan setan alasan itu"
Sebelum para penjaga regol menjawab, maka Rahupun
telah melangkah manuju kepantu butulan yang terbuka, diikuti
oleh Jlitheng dan Semi. Sejenak para penjaga regol itu termangu-mangu. Namun
kemudian yang tertua diantara merekapun berkata "Biarlah
mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka. Akupun
sebenarnya berkeberatan untuk melepaskan puteri ke tangan
orang yang nampaknya sangat licik itu"
Tidak ada yang menjawab Tetapi nampak pada setiap
wajah, ketegangan yang semakin memuncak
Dalam pada itu, Rahu yang tergesa-gesa, segera memasuki
pintu butulan. Ia justru berlari ketika mendengar jerit kecil di
dalam ruangan depan. Giginya gemeretak menahan gejolak di
dalam hati. Tiba-tiba saja Rahu berteriak pada saat ia mendorong pintu
yang menyekat ruang depan dan ruang dalam, sementara itu
suara tertawa terdengar meninggi. "DiamIblis"
Tetapi suara tertawa itupun segera terputus. Serentak
mereka berpaling ke pintu yang berderak
"Rahu" desis Nrangsarimpat yang sedang memegangi
puteri yang berusaha meronta. Sementara embannya
terbaring dilantai Pingsan.
"Nrangsarimpat" geram Rahu yang melangkah maju
setapak demi setapak "Apa yang kau kerjakan itu"
"Itu urusanlku. Kenapa kau kembali?" bertanya
Nrangsarimpat. Senyumnya sama sekali tidak nampak lagi di
bibirnya. "Aku mendapat perintah dari Sanggit Raina lewat Cempaka
untuk melihat, apa yang kau lakukan. Ternyata kau benarbenar
seorang iblis yang Gila" geramRahu.
"Bohong" teriak Nrangsarimpat "Cempaka tidak akan
memerintahkan sesuatu kepadamu bersama orang yang
bukan keluarga kita, meskipun aku tahu. bahwa ia adalah
adikmu" "Ini suatu pendadaran buat adikku, apakah ia dapat
diterima diantara kita atau tidak. Ia akan bertempur tidak usah
di padang perburuhan itu. Tetapi jika kau tidak mau pergi,
maka adikku akan bertempur disini bersama aku dan
Bantaradi" jawab Rahu.
Tetapi Nrangsarimpat tertawa. Ia masih belum melepaskan
puteri yang ketakutan itu. Katanya "Baiklah. Aku akan pergi
bersama puteri ini. Aku akan membawanya ke padepokan.
Mungkin ia diperlukan. Bukan saja aku sendiri. tetapi kawankawanku.
Dan bukankah disana ia akan tinggal bersama
ayahandanya?" "Tidak. Aku tidak mau" teriak puteri itu.
Tetapi Nrangsarimpat tertawa sambil menjawab "Jangan
menjerit terlalu keras puteri. Aku tidak bermaksud buruk
Tetapi aku bermaksud baik. Disini kau terpisah dari ayahanda
mu. Tetapi di padepokanku kau akan tinggal bersamanya,
meskipun hanya pada saat-saat tertentu"
"Cukup" Rahulah yang membentak "Kau jangan menghina
perintah Sanggit Raina. Nrangsarimpat, seandainya aku gagal
menjalankan perintah itu maka kau tentu akan dibunuhnya
juga jika kau bawa gadis itu. Kau seharusnya sudah dapat
membawa sikapnya semalam. Tetapi ketajaman
perhitungannya telah menjatuhkan perintah lewat Cempaka
agar aku datang kembali ke istana ini"
Tetapi Nrangsarimpat masih tertawa Katanya kepada
kawan-kawannya "Jika demikian, gadis ini tidak akan kita
bawa ke padepokan. Aku akan menyediakan sebuah rumah
khusus buatnya. Ia akan menjadi isteriku"
"Aku tidak mau. Aku tidak mau" teriak puteri itu.
Semi yang berdiri dengan tegangnya itu, rasa-rasanya tidak
sabar lagi menunggu pembicaraan yang tidak berkesudahan.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka iapun kemudian melangkah maju sambal berkata "Aku
akan mencoba untuk dapat memasuki padepokan itu. Mungkin
aku harus membunuh untuk membuktikan bahwa aku memiliki
kemampuan untuk berada bersama kakakku di padepokan"
Nrangsarimpat masih saja tertawa. Kalanya kepada kawan
kawannya "He, kenapa kau biarkan anak itu mengigau"
Tiga orang kawan Nrangsarimpapun segera bersiap. Yang
seorang menggeram "Kalian telah mengganggu kami.
Kalianpun telah mengaku mendapat perintah dari Sanggit
Raina. Maka untuk menghapus kesombongan kalian, maka
IcalLan akan kumi. bunuh disini"
"Jadi kalian tidak mau mendengarkan peringatan kami"
potong Rahu. Nrangsarimpatlah yang kemudian berkata kepada kawankawannya
"kalian menunggu apa lagi" Lakukanlah. Bunuhlah
mereka Puteri ini kelak tidak akan meronta-ronta lagi jika ia
sudah melihat istana ayahku. Aku juga seorang bangsawan
seperti gadis ini. Bahkan seandainya Rahu mengetahuinya, ia
akan menyembah aku sepuluh kali setiap ia berbicara satu
kalimat" Rahu tidak menjawab lagi. Tapun kemudian melangkah
maju pula sambil mempersiapkan diri. Sementara Jlithengpun
telah memencar, la berdiri menyudut sambil memperhatikan
keadaan yang menjadi semakin tegang.
Ternyata Nrangsarimpat benar-benar seorang yang
sombong. Ja sama sekali tidak melepaskan puteri itu. Agaknya
ia percaya kepada tiga orang kawan-kawannya. karena lawan
merekapun hanya tiga orang.
"Bunuh mereka. Biarlah aku bersama gadis ini. Kelak kalian
akan mendapat hadiah ganda daripadaku. Selain karena kalian
membantu aku mendapatkan puteri ini, kalian juga telah
membantu aku menyingkirkan kutu-kutu kecil itu. Perhiasan
setelah dinding istanakupun telah berlebihan bagi upah kalian
itu" berkata Nrangsarimpat.
Ketiga orang kawannya kupon, segera berpencar pula
menghadapi tga orang yang mereka anggap telah
mengganggu maksud mereka mengambil puteri itu.
Rahu menggeram mendengar kata-kata dan melihat sikap
Nrangsarimpat. Ternyata orang itu telah merendahkannya dan
menganggapnya tidak pantas untuk dilayani, sehingga dengan
demikian, Nrangsarimpat telah mempercayakannya kepada
kawan-kawannya. Semi yang jantungnya bagaikan terbakar, melangkah
mendekati orang yang berdiri disebelah Nrangsarimpat sambil
bertolak pinggang. Ia tidak berkata sesuatu lagi. Namun iapun
telah bersiap untuk menyerangnya.
Orang yang bertolak pinggang itu bergeser. Namun ia
masih sempat tersenyum sambil berkata "Adikmu memang
sombong Rahu" Rahu tidak menjawab, karena ia melihat Semi telah
meloncat menyerang orang yang masih saja tersenyum itu.
Orang itu tertawa Ia sempat mengelak sambil berkata
"Sebuah serangan yang manis. Tetapi kita akan berkelahi.
Tidak sekedar menari di pendapa istana Pangeran ini"
Semi mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian
menarik nafas dalam-dalam. Sikap lawannya justru
membuatnya berbesar hati. Pada serangan yang pertama, ia
memang tidak bersungguh-sungguh. Tetapi nampaknya
lawannya menilai lain, meskipun ia agak menghinanya
Nrangsarimpat yang masih memegangi puteri yang
ketakutan itu bergeser menepi. Ketika puteri itu meronta
sekali lagi. Nrangsarimpat tertawa sambil berkata "Jangan
membuat aku marah dalam keadaan ini puteri. Kau terlalu
cantik untuk dicubit jika kau nakal. Tetapi jika kau masih saja
meronta, aku akan mendukungmu seperti mendukung anakanak
yang sedang merengek"
Rahu mengeram. Tetapi seseorang telah berdiri
dihadapannya. Orang yang dikenalnya dengan baik dalam
kehidupannya di Sanggar Gading.
"Kau sudah dibius oleh kegilaan Nrangsarimpat" berkata
Rahu. "Jangan merajuk Rahu. Aku memang berdiri di pihaknya. Ia
memiliki uang untuk mengupah aku. Dan ia akan memilki
permainan yang mengasyikkan, yang barangkali pada suatu
saat aku akan diperbolehkan meminjamnya"
"Kau gila. Ternyata kau tidak tunduk lagi kepada perintah
Sanggit Raina. Ia memerintahkan agar kita semuanya tidak
memancing persoalan yang manapun juga, yang dapat
mengganggu kerja besar kita" geramRahu.
"Jangan banyak bicara lagi. Karena kau sudah mencampuri
persoalan ini, maka agar kami tidak mendapat hukuman dari
Sanggit Raina dan Yang Mulya dari Sanggar Gadang, maka
kalian bertiga akan mat i. Dengan demikian tidak akan ada
saksi dan tidak akan ada orang yang akan menyampaikan
masalah ini kepada mereka"
Rahu tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap. Namun
agaknya lawannyapun bertindak cepat. Justru ia telah
meloncat menyerang Rahu yang terpaksa menghindar
selangkah surut. Jlithengpun kemudian t idak menunggu lagi. Sementara itu.
seorang yang telah siap menghadapinya, segera bergeser
mendekatinya sambal berkata "Kau ternyata hanya
mempunyai kesempatan yang sangat pendek tinggal bersama
kami di padepokan Sanggar Gading. Kau akan mati bersama
Rahu orang yang menjadi sangat sombong hanya karena ia
dapat mendekati dan mendapat sedikit kepercayaan dari
Cempaka, adik Sanggit Raina. Tetapi Rahu itu akan mati
bersama adiknya pula disini"
Jlitheng tidak menjawab. Iapun kemudian bersiap ketika
lawannya mulai menggerakkan tangannya dan bergeser
semakin dekat. "Aku ingin melihat, apakah kau mampu juga bertempur
meskipun kau sudah pernah menunjukkan kemampuanmu di
padang perburuan. Tetapi yang kau hadapi adalah cecurutcecurut
kecil yang tidak berarti" berkata lawannya sambil
tertawa. Jlitheng mengatupkan giginya. Namun tiba-tiba saja
berkata "Aku sudah pernah membunuh celurut-celurut kecil.
Tetapi apakah kau bukan sebangsa tikus piti?"
Orang itu tertawa. Katanya "Kau sempat bergurau
menjelang matimu. Bagus. Kau akan mati sambil tersenyum
mengenang gurauanmu sendiri, itu lebih baik dari pada mati
sambil menagis" Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun ia masih juga
berkata "Apakah kau sedang berusaha menyelebungi
kecemasanmu dengan berkicau t idak menentu"
Tiba-tiba wajah orang itu menjadi tegang. Katanya "Gila.
Kau ternyata tidak kalah sombongnya dengan Rahu"
Jlitheng tidak menjawab. Dalam ruang yang tidak terlalu luas
itu segera terjadi tiga lingkaran pertempuran. Sementara itu
Nrangsarimpat yang masih saja memegangi gadis itu.
bergeser semakin lama menepi. Dengan penuh perhatian ia
mengingkari pertempuran yang semakin lama menjadi
semakin meningkat. Sementara itu beberapa orang pengawal istana itu menjadi
kebingungan. Mereka tahu pasti bahwa pertempuran memang
sedang terjadi diruang dalam. Namun mereka tidak
mengetahui apa yang sebaiknya harus mereka lakukan.
"Selagi mereka bertempur, apakah tidak sebaiknya kita
melaporkan segala peristiwa yang terjadi kepada prajurit
Demak?" berkata salah seorang pengawal.
"Apakah dengan demikian tidak akan membahayakan jiwa
Pangeran" Jika orang-orangnya yang berada disini tidak
kembali pada saat-saat yang ditentukan, maka tentu akan
timbul kecurigaan. Sasaran mereka adalah Pangeran" sahut
yang lain. "Tetapi mereka saling bertempur" desis yang lain lagi.
"Menurut keterangan mereka, dan aku agaknya percaya,
bahwa yang datang kemudian itulah yang membawa tugas
dari pimpinan mereka untuk mencegah tingkah laku kawannya
yang tidak menguntungkan bagi kelompok mereka. Semalam
tanda-tanda itu sudah nampak" berkata seorang pengawal
yang melihat tingkah laku Nrangsarimpat semalam.
Namun para pengawal itu masih tetap ragu-ragu. Sehingga
akhirnya yang tertua diantara mereka berkata "Kita hanya
dapat menunggu. Jika kita salah langkah, taruhannya mahal
sekali. Pangeran akan menjadi banten kebodohan kita. Tetapi
jika kita tidak berbuat sesuatu, mungkin itupum kesalahan
pula, karena kita tidak berusaha membebaskan Pangeran"
Para pengawal itu termangu-mangu. Memang mereka
merasa apa yang mereka lakukan selalu salah. Namun
akhirnya mereka memutuskan untuk berbuat dengan sangat
berhati-hati. Dalam pada itu. di dalam istana itu pertempuran masih
berlangsung dengan sengitnya. Para pengawal yang
kebingungan itu kemudian beringsut untuk berusaha dapat
mengikut i perkelahian itu meskipun dori jarak yang agak jauh.
Meskipun demikian mereka masih sempat mengatur agar dua
orang diantara mereka tetap berada di regol. Untuk sementara
mereka memang harus menunggu. Meskipun sebenarnya
mereka telah siap mengorbankan apapun yang ada pada
mereka, tetapi pertimbangan keselamatan Pangeran itulah
yang menjadi perhatian utama bagi mereka.
Sementara itu, Rahu, Jlitheng dan Semi masih bertempur
dengan sengitnya. Ternyata orang-orang Sanggar Gading
yang memang orang-orang yang terpilih. Hanya mereka yang
memiliki kelebihan sajalah yang dapat memasuki dan diterima
menjadi keluarga dari padepokan yang tertutup dan wingit itu,
semuanya disebut murid dari pimpinan tertinggi padepokan
itu. sengaja atau tidak sengaja.
Meskipun demikian, ternyata masih ada juga unda-usuk
dari setiap murid di Sanggar Gading. Meskipun mereka adalah
orang-orang terpilih, tetapi kemampuan dan ilmu mereka
mempunyai tataran yang tidak sama. Karena itulah, maka
akhirnya Rahu, orang yang dipercaya oleh Cempaka itu dapat
mengatasi lawannya Dengan kecepatannya bergerak, akhirnya
ia dapat membuat lawannya kebingungan.
Dalam pada itu, Jlitheng, anggauta termuda dari Sanggar
Gading itupun ternyata memiliki kelebihan dari lawannya.
Bekal yang dipersiapkan cukup cermat sebelum ia memasuki
Sanggar hantu itu, segera nampak gunanya. Dengan pasti
"apun akhirnya berhasil menekan lawannya sehingga pada
suatu saat, lawannya benar benar berada dalam kesulitan.
Dilingkaran pertempuran yang lain. Semi harus
mengerahkan segenap kemampuannya. Lawannya benarbenar
seorang yang kuat dan tangguh. Tenaganya bagaikan
tenaga raksasa. Namun Semi adalah petugas sandi seperti
juga Rahu. Itulah sebabnya, maka iapun mampu bertahan
menghadapi serangan lawannya yang kuat dan tangkas.
Nrangsarimpat memperhatikan pertempuran itu dengan
saksama. Akhirnya ia menyadari, bahwa ia tidak akan dapat
tetap berdiam diri menonton saja pertempuran itu. Karena itu,
maka sambil menggeretakan giginya ia menggeram "Ternyata
kalian benar-benar tidak pantas diampuni. Aku tidak akan
menyesal jika saudara-saudaraku dari Sanggar Gading harus
dikorbankan karena tingkahnya sendiri"
Rahu menggeretakkan giginya. Tetapi iapun tidak menutup
perkembangan, bahwa jika Nrangsarimpat segera terjun ke
pertempuran, maka tugas mereka menjadi berat.
Sekilas ia sempat memperhatikan Semi dan Jlitheng. Ia
menganggap bahwa Semi tidak, perlu dicemaskan, karena ia
mengetahui kemampuannya. Asal saja Nrangsarimpat tidak
turun menghadapinya pula berpasangan dengan lawan yang
sudah ada. Namun yang menjadi perhatiannya kemudian
adalah anak muda yang dikenalnya bernama Bantaradi dan
yang ternyata mengaku sebagai putera seorang Senapati
Agung di Majapahit pada saat runtuhnya.
Rahu yang memiliki pengamatan yang rajam itu tidak dapat
mengingkari penglihatannya, bahwa ia memang melibat
beberapa unsur gerak Pangeran Surya Sangkaya ada pada
tata gerak anak muda yang dikenal bernama Bantaradi dan
yang menyebut dirinya bernama Candra Sangkaya itu.
"Anak muda yang luar biasa" berkata Rahu di dalam
dirinya. Namun dalam pada itu, ia harus menggertakkan giginya
ketika ia melihat Nrangsarimpat tidak mau menahan diri lagi.
Ketika ia melihat kawan-kawannya mulai terdesak, maka iapun
berkata "Puteri, aku tidak dapat menunggui tanpa berbuat
sesuatu dan hanya bergandengan tangan saja denganmu"
"Pergi, pergi lepaskan aku" teriak puteri itu.
"Jangan meronta. Lebih baik kau tidur saja sejenak. Aku
harus melibatkan diri dalamperkelahian yang gila ini"
Puteri itu meronta, tetapi Nrangsarimpat segera memegang
tengkuknya. Dengan keahlian yang ada padanya ia telah
memijit urat pada tengkuk puteri itu, sehingga puteri itupun
menjadi tidak sadarkan diri, seolah-olah tertidur sangat
nyenyaknya. "Tidur sajalah sayang" guman Nrangsarinrpat. Namun
terdengar Semi menggeram "Kau sajalah yang mati"
Nrangsarimpat tertawa. Katanya "Jangan mengumpat.
Puteri itu tertidur nyenyak, sehingga ia tidak akan menjadi
ketakutan melihat tubuh-tubuh yang akan terbantai disini"
Semi tidak menjawab. Tatapi ia mulai menghentakkan
kekuatannya mendesak lawannya
Nrangsarimpat maju selangkah. Ia melihat pertempuran itu
dengan saksama. Kemudian katanya "Aku akan memilih
lawanku. Aku akan bertempur berpasangan melawan Rahu,
orang yang merasa dirinya memiliki kelebihan dari kawankawannya
di padepokan Sanggar Gading. Kau harus mati lebih
dahulu. Kemudian anak baru yang malang itu dan kemudian
adikmu pula. Tidak seorangpun yang boleh tetap hidup agar
tidak ada kesaksian yang sampai ke telinga Sanggit Raina.
Rahu menggeram. Ia sadar, untuk melawan dua orang
sekaligus akan mengalami kesulitan. Tetapi ia tidak boleh
ingkar apapun yang akan terjadi. Namun iapun tidak akan
berputus-asa karenanya. Ia akan menghentakkan segenap
kemampuannya menghadapi keduanya dengan hati yang
tatag. Selangkah demi selangkah Nrangsarimpat melangkah maju.
Sementara itu. Rahu berusaha sekuat-kuatnya untuk


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlemah pertahanan lawannya justru sesaat sebelum
Nrangsarimpat memasuki arena.
Dalam ruang yang tidak begitu luas itu, suasananya
menjadi semakin panas ketika Nrangsarimpat mulai
menyingsingkan kain panjangnya dan menyangkutkan pada
kerisnya. Sementara sambil menggeretakkan giginya ia
mendekati Rahu yang sedang bertempur dengan sengitnya.
"Kita tidak akan bermain-main lagi" berkata Nrangsarimpat.
Karena itulah, maka pertempuran yang dahsyat itupun
segera ditandai dengan dentang senjata dan perakan bunga
api di udara. Namun sebenarnyalah Nrangsarimpat adalah seorang yang
trampil trengginas. Apalagi berdua berpasangan melawan
Rahu. Betapapun juga namun ternyata Rahupun segera mulai
terdesak. "Tempat ini tidak menguntungkan buatmu Rahu" berkata
Nrangsarimpat "di tempat yang lebih luas, mungkin kau dapat
berloncatan dengan langkah-langkah panjang untuk
menghindari serangan-serangan kami berdua. Tetapi di
tempat yang sempit ini, kesempatanmu terlalu kecil untuk
dapat memperpanjang umur"
Rahu tidak menjawab. Terdengar ia menggeram sambil
menghentakkan kemampuannya.
Yang terdengar kemudian adalah justru suara tertawa
Nrangsarimpat. Sambil menyerang ia berkala "Jangan
memaksa diri. Sebentar kemudian kau akan kehabisan tenaga.
Lehih baik kau mati tertusuk pedang dalam pertempuran
daripada kau terjatuh kehabisan nalas, kemudian dengan
perlahan-lahan aku menikamkan pedang dipusat jantungmu"
"Setan" Rahu mengumpat. Tetapi yang dikatakan oleh
Nrangsarimpat itu justru memberinya peringatan, agar ia
memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Tetapi betapapun juga, Rahu benar-benar semakin tersudut
ke dalam kesulitan. Jika ada perbedaan tingkat dan tataran
ilmu bagi orang-orang terbaik di Sanggar Gading, maka akan
sulit bagi seseorang melawan dua orang sekaligus. Apalagi
yang seorang diantaranya adalah Ntangsarimpat.
Dalam pada itu maka t iba-tiba saja terdengar
Nrangsarimpat berteriak "Sekarang, jangan beri kesempatan
terlalu lama. Gadis itu memerlukan pembebasan dari t idurnya
yang nyenyak. Karena itu, terpaksa kita akan membunuh
segera" Keduanya bergerak semakin cepat. Dengan loncatan yang
cepat, kedua lawan Rahu itu berhasil mengurungnya di sudut
ruangan, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Rahu untuk
menembusnya. "Apakah kau mempunyai pesan?" tiba-tiba Nrangsarimpat
bertanya. Rahu tidak menjawab. Tetapi dengan cermat ia
melawan serangan-serangan lawannya. Namun pada saat
terakhir, Nrangsarimpat agaknya benar-benar tidak ingin
memberinya kesempatan lagi Dengan wajah yang garang ia
mengacukan senjatanya sambil berdesis "Saatnya telah tiba.
Betapapun tinggi ilmumu, kau akan mati disini"
Rahu berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dengan
ketajaman tatapan matanya ia berusaha untuk dapat
mengamati kedua ujung senjata lawannya. Setiap kali senjata
itu dapat bergerak mematuknya. Dan ia tidak akan
membiarkan dirinya terluka arang keranjang dan mati di istana
itu tanpa berusaha sampai kemungkinan terakhir.
Yang sama sekali tidak diduga oleh lawan-lawannya pada
saat yang demikian itu, justru Rahu telah menghentak dengan
kecepatan yang sangat tinggi, meloncat menyerang. Bukan
Nrasarimpat, tetapi kawannya yang memiliki tingkat ilmu yang
selapis di bawahnya. Gerak Rahu benar-benar mengejutkannya. Karena itu,
maka lawannya yang tidak menyangka sama sekali telah
menjadi kehilangan kesempatan untuk mengelak. Namun ia
masih berusaha untuk menangkis serangan Rahu yang sangat
tiba-tiba itu. Meskipun demikian, ia tidak berhasil sepenuhnya
melepaskan diri dari sentuhan ujung senjata Rahu. Karena
itulah maka terdengar ia menyeringai ketika senjata Rahu
menyentuh pundaknya dan meninggalkan luka yang
menganga. "Gila kau Rahu " Nrangsarimpatlah yang berteriak sambil
meloncat menyerang. Tetapi Rahu memang sudah memperhitungkan. Karena itu
dengan cepat ia meloncat surut sambil menangkis serangan
lawannya. Dalam pada itu, orang yang terluka itu untuk sesaat berdiri
termangu-mangu. Ketika tangan kirinya meraba lukanya,
maka terasa darahnya yang hangat membasahi jari-jarinya.
Dengan nada berat ia menggeram "Kau memang harus
dicincang Rahu" Namun Rahu sudah bersiap menghadapi segala
kemungkinan mendatang. Luka itu tentu mengurangi
kecepatan bergerak tangannya. Dan Rahu berharap bahwa
dengan demikian, ia akan dapat berusaha memperpanjang
perlawanannya. Tetapi sekali lagi Rahu harus tersudut. Meskipun darah
telah menitik dari luka, tetapi lawannya masih tetap garang
dan bahkan menjadi liar. Pada saat-saat yang gawat itu. Rahu masih tetap
menyadari keadaannya. Ia harus tetap pada sikap dan laku
sebagai seorang laki-laki dengan senjata di tangan.
Setapak demi setapak Nrangsarimpat bergeser. Demikian
pula lawannya yang sudah terluka itu. Mereka tidak mau
mengalami peristiwa itu sekali lagi,
Rahu benar-benar mengalami kesulitan. Tetapi ia sudah
bertekad untuk membunuh salah seorang dari keduanya,
seandainya iapun harus mati.
Terasa dentang jantung Rahu seolah-olah menjadi semakin
keras. Tangannya bergelar siap untuk berbuat sesuatu.
Seandainya kedua senjata lawannya terjulur bersama-sama,
maka ia sudah siap untuk mengambil satu sikap untuk mati
dengan membawa korban bersamanya,
Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja terdengar
pekik tertahan. Hampir diluar sadarnya, orang-orang yang
berada di dalami ruangan itu berpaling.
Yang mereka lihat adalah, lawan Jlitheng yang terhuyunghuyung.
Meskipun ia masih berusaha untuk berdiri tegak,
namun akhirnya tubuhnyapun terbanting jatuh di lantai
menelungkup. Jlitheng berdiri tegak dengan pedang tipisnya yang merah
oleh darah. Ternyata ia telah menyelesaikan pertempuran itu.
Untuk sesaat ia masih menyaksikan lawannya bergerak.
Ternyata bahwa ia masih hidup, meskipun sudah tidak mampu
berbuat apapun lagi karena luka-lukanya.
"Kau adalah salah seorang murid Sanggar Gading" tiba-tiba
terdengar Rahu berdesis. Jlitheng menggeretakkan giginya. Sesaat kemudian iapun
telah tegak dengan senjatanya menyilang di muka dadanya.
Ternyata Rahu telah menghentakkannya dari gejolak
perasaannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata "Aku akan
mengambil seorang dari lawan Rahu. Kematian adalah akibat
yang wajar pada perkelahian seperti ini. Kawanmu itu akan
mati, dan kalian semuanya juga akan mati"
Nrangsarimpat menggeram. Namun ia tidak sempat
berbuat sesuatu terhadap Jlitheng. karena tiba-tiba saja Rahu
telah meloncat menyerangnya.
"Gila" teriak Nrangsarimpat "dengan tingkah laku Bantaradi
itu, jangan kau kira bahwa kau akan dapat membebaskan
dirimu" Rahu tidak menyahut. Ia melihat Jlitheng telah bersiap pula
menghadapi kawan Nrangsarimpat yang telah menitikkan
darah dari lukanya. Kawan Nrangsarimpat itu menggeletakkan giginya. Ia
menyadari apa yang bakal terjadi. Ia harus melawan orang
yang dikenalnya bernama Bantaradi. yang sudah berhasil
menjatuhkan seorang kawannya.
Sejenak kemudaan, maka Jlitheng berhasil memancing
lawannya itu mengambil jarak dari Rahu yang harus
berhadapan dengan Nrangsarimpat seorang diri.
Nrangsarimpat yang marah itu tidak menunggu lebih lama
lagi Iapun segera meloncat menyerang, selagi Rahu belum
beringsut terlalu jauh dari sudut ruangan. Ia masih akan
berusaha untuk menyudutkan Rahu sehingga ia tidak
mempunyai keleluasaan bergerak, meskipun Nrangsarimpat
bertempur seorang diri. Rahu memang terdorong surut. Tetapi ia tidak lagi terlalu
tegang menghadapi seorang lawannya. Ia masih sempat
memperhatikan keadaan sekitarnya. Ternyata bahwa Jlitheng
telah memaksa lawannya untuk bergeser semakin jauh dari
Nrangsarimpat. Sementara itu, Semi bertempur dengan serunya pula.
Ternyata lawannya memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi
Semi yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang itu juga
memiliki tenaga raksasa. Dengan demikian, maka benturanbenturan
kekuatan diantara mereka seolah-olah membuat
seisi istana itu bergetar. Dentang senjata keduanya yang
beradu seolah-olah telah mengguncang tiang dan dinding
yang berdiri tegak dengan kokohnya.
Untuk beberapa saat kekuatan mereka berdua nampak
seimbang. Namun kemudian ternyata bahwa kekuatan Semi
telah berhasil mendesak lawannya meskipun perlahan-lahan.
Yang segera mengalami kesulitan adalah lawan Jlitheng,
Pedang tapis Jlitheng ternyata mampu membuat lawannya
berloncatan kebingungan. Setiap kali ia meloncat surut
mengambil jarak, kemudian berputar dan beringsut sambil
memperbaiki kedudukannya.
Ternyata darah yang mengalir dari lukanya memang mulai
mengganggunya. Karena itu, maka tenaganya tidak lagi
mampu mengimbangi kecepatan getar pedang tipis Jlitheng.
Sejenak kemudian, ketika Nrangsarimpat berteriak sambil
meloncat menyerang, terdengar lawan Jlitheng itu mengeluh
pendek. Sekail lagi tubuhnya tersayat oleh senjata. Kali ini
adalah senjata Jlitheng yang dikenalnya bernama Bantaradi.
"Anak iblis" Orang itu mengumpat. Namun umpatannya
tidak mampui memampatkan darahnya. Bahkan semakin lama
semakin banyak. Titikan-titikan darah itu sudah mulai
memerah dilantai yang mengkilap.
Nrangsarimpat yang bertempur melawan Rahu seorang
lawan seorang melihat kedua kawannya mulai terdesak.
Karena itu, maka iapun menghentakkan kemampuannya untuk
memaksa Rahu segera tidak berdaya.
Tetapi ternyata bahwa dugaannya tentang orang yang
bernama Rahu dan menyebut dirinya Iblis bertangan Petir itu
keliru. Jika Rahu mendapat kepercayaan dari Cempaka,
menurut dugaan Nrangsarimpat hanyalah karena Rahu
bersedia merendahkan dirinya dan dapat melayani segala
kehendak Cempaka. Namun ternyata bahwa Rahu benarbenar
seorang iblis yang bertangan petir. Tangannya mampu
bergerak dengan kecepatan yang sulit diperhitungkan.
Kadang-kadang Nrangsarimpat justru menjadi kehilangan
pengamatan sehingga ia terpaksa berloncatan surut.
Dalam pada itu, Rahu tidak lagi dicemaskan oleh
kemungkinan, bahwa ia akan tersudut. Ia melihat, bahwa
Jlitheng tentu akan dapat memenangkan pertempuran
melawan orang yang telah terluka itu, sementara Semipun
nampaknya benar-benar sudah mapan dan perlahan-lahan
namun pasti mulai menguasai lawannya, meskipun kadangkadang
lawannya masih nampak sangat garang. Tetapi
kekuatan Semi yang bertubuh raksasa itupun benar-benar
dapat dibanggakan. Yang harus dikerjakan oleh Rahu kemudian adalah
mengalahkan Nrangsarimpat yang sombong dan kasar,
meskipun nampaknya ia adalah seorang yang lembut dan
peramah. Tetapi sikapnya terhadap puteri yang dibuatnya
bagaikan tertidur itu benar-benar mencemaskan Rahu, yang
bukan saja orang Sanggar Gading, tetapi ia adalah petugas
sandi yang memang wajib melindungi setiap orang dari
tangan-tangan kejahatan. Tetapi terlebih-lebih dari itu, Rahu benar-benar telah
menjadi muak terhadap Nrangsarimpat. Karena itu, maka
ketika ia pasti, bahwa kedua orang kawannyapun akan
berhasil mengalahkan lawannya, maka iapun telah
memusatkan usahanya untuk dengan segera melumpuhkan
orang yang bernama Nrangsarimpat itu. Seorang murid
Sanggar Gading yang sangat memuakkannya karena sikapnya.
Dibalik keramahan dan kelembutan sikapnya yang selapis itu.
ternyata tersembunyi hati iblisnya yang berbulu ijuk.
Rahu yang sudah mengenal Nrangsarimpat dengan baik itu
telah memutuskan di dalam hatinya, bahwa tingkah laku
Nrangsarimpat tidak akan dapat berubah sepanjang ia masih
dapat menghirup udara. Karena itu, cara satu-satunya untuk
menghentikan tingkah lakunya bagi keselamatan banyak
orang hanyalah dengan membunuhnya.
Karena itu, maka Rahupun kemudian telah mengerahkan
segenap kemampuannya. Ia tidak akan memberi kesempatan
lagi kepada Nrangsarimpat yang semula menganggap Rahu
hanyalah sekedar seorang penjilat di kaki Cempaka, adik
Sanggit Raina, sehingga ia mendapat kepercayaan dari
padanya. Namun yang ternyata kemudian, bahwa kemampuan Rahu
benar-benar telah mencemaskannya, sehingga ia kemudian
telah terdesak karenanya.
"Apakah orang ini sudah kerasukan Iblis dari alas neraka"
Nrangsarimpat menggeram di dalam hatinya. Namun
sebenarnyalah bahwa ia telah menjadi semakin terdesak
seperti juga kedua orang kawannya yang lain, sementara
seorang kawannya telah terbaring dilantai tanpa bergerak lagi
dalam genangan darah yang merah kehitam-hitaman.
Demakianlah pertempuran yang sengit itu sudah mulai
jelas, apakah bakal terjadi. Nrangsarimpat sama seka tidak
tertawa lagi. Bahkan wajahnya yang tegang itu bagaikan
membara oleh kemarahan yang membakar jantung.
Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu melawan
badai kemarahan Rahu yang sudah memuncak pula. Senjata
Rahu semakin lama semakin terasa terbang semakin dekat
pada kulitnya. Setiap senjata itu berdesing, terasa sentuhan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin menyapu tubuhnya. Namun ketika Rahu semakin mendesaknya, yang
menyentuh tubuh Nrangsarimpat bukan sekedar desir angin
ayunan senjatanya, tetapi kemudian Nrangsarimpat itupun
berdesis ketika segores luka menyobek kulitnya
"Gila" geramnya.
"Tidak ada jalan lain yang dapat kau tempuh, kecuali
kematian. Aku sudah cukup memberimu kesempatan Tetapi
kau sama sekali t idak menghiraukan. Karena itu, maka tidak
ada pilihan bagiku kecuali melaksanakan perintah Sanggit
Rama lewat Cempaka dengan sebaik-baiknya"
"Persetan kau penjilat" teriak Nrangsarimpat.
"Penjilat atau bukan penjilat, tetapi kau harus mati" Rahu
juga menggeram. Nrangsarimpat memang menjadi semakin cemas betapapun
kemarahannya menjadi semakin memuncak Ia tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa darah telah menit ik dari
lukanya Dan bahkan kemudian Rahu telah mendesaknya
semakin-dahsyat. Betapa Nrangsarimpat berusaha untuk menyelamatkan
diriinya, namun akhirnya ia terdorong surut dengan nafas
yang terengah-engah ketika sekali lagi senjata Rahu
menyentuhnya. Tetapi Rahu tidak membiarkannya berusaha memperbaiki
kedudukannya. Dengan tangkasnya ia memburu. Pedangnya
terjulur lurus ke dada lawannya Tetapi Nrangsarimpat masih
berusaha menangkis serangan itu. Ketika terjadi benturan
senjata, ternyata tenaga Nrangsarimpat benar-benar telah
jauh menjadi susut. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Rahu. Dengan pasti
ia bergeser kedepan, memutar senjatanya, dan ketika ia sekali
lagi menyerang, maka senjatanya benar-benar telah merobek
lambung lawannya Nrangsarimpat terdorong sekali lagi. Wajahnya yang merah
menjadi semakin merah. Tetapi sejenak kemudian wajah itu
menjadi putih pucat. Kakinya tidak lagi dapat berdiri tegak,
sementara senjatanya semakin lama menjadi semakin
menunduk. Tetapi dalam pada itu ia masih berteriak dengan suara
bergetar "Anak setan, penjilat kau Rahu. Aku cincang kau
menjadi sayatan tulang dan daging"
Rahu tidak menjawab. Dipandanginya saja Nrangsarimpat
yang kemudian jatuh tersungkur. Masih terdengar umpatan
kasar dari mulutnya meskipun semakin lambat.
Rahu menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian
Nrangsarimpat itu terdiam. Tarikan nafasnya yang terakhir
menandai akhir hidupnya dengan beberapa goresan luka di
tubuhnya. Kematian Nrangsarimpat membuat kawan-kawannya
menjadi berputus asa. Mereka merasa, bahwa mereka tidak
akan dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan hidupnya.
Merekapun merasa bahwa mereka tidak akan sempat
melarikan diri setelah dua orang diantara mereka terbunuh.
Apalagi mengharapkan pengampunan Rahu yang sedang
dibakar oleh kemarahan. Karena itu, maka kedua orang itupun kemudian telah
mengamuk seperti orang yang kehilangan nalarnya. Mereka
tidak lagi mempunyai pertimbangan lain, kecuali menuntaskan
perlawanannya sampai merekapun akan terbunuh pula.
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh J litheng dan Semi,
Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali menghentikan
kegilaan lawan-lawan mereka. Karena itulah, maka berturutTiraikasih
turut. Semi dan Jlithengpun telah mengakhiri perlawanan
orang-orang Sanggar Gading itu dengan menembus tubuh
mereka dengan senjata. Sejenak ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar
hanyalah desah nafas yang memburu. Ternyata bahwa Rahu
dan kawan-kawannya berhasil menyelesaikan pertempuran itu
tanpa memberiku taruhan, selain goresan-goresan kecil pada
tubuh mereka. Tetapi goresan-goresan itu sama sekali tidak
berarti sementara titik darahpun segera menjadi pampat oleh
taburan obat yang mereka bawa.
"Apa yang akan kita lakukan kemudian" desis Semi.
"Panggil salah seorang pengawal" berkata Rahu.
Semipun kemudian turun lewat pintu butulan dengan
senjatanya yang merah oleh darah.
Para pengawal yang termangu-mangu terkejut melihat
Semi turun dengan senjata telanjang. Dengan serta merta,
para pengawal itupun kemudian mempersiapkan diri.
Tetapi Semi yang tertegunpun kemudian berkata "Satu
atau dua orang diantara kalian, masuklah. Kami ingin
berbicara Kami telah membunuh beberapa kawan kami yang
melanggar perintah pimpinan kami"
Para pengawal itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dua
orang diantara mereka telah mengikuti Semi memasuki ruang
dalam. Para pengawal itu tertegun. Mereka benar-benar melihat
empat sosok mayat yang terkapar di lantai. Namun kedua
pengawal itupun kemudian menggeram ketika mereka melihat
puteri Pangeran itu telah menggenggam hulu pedangnya.
"Tidak" jawab Rahu "Nrangsarimpat yang terbunuh itulah
yang telah membuatnya tidur. Tetapi ia selamat"
Selagi kedua pengawal itu termangu-mangu, Rahu telah
melangkah mendekatinya Kemudian iapun berkata kepada
kedua pengawal itu "Bawa puteri ke bilik yang lain. Aku akan
membuatnya sadar. Tetapi jika puteri melihat mayat yang
terbujur lintang itu, ia akan menjadi ketakutan dan mungkin
kejutan yang sangat akan mempengaruhi kesadarannya"
Kedua pengawal itu masih termangu-mangu. Namun
akhirnya merekapun mengangkat puteri itu dan membawanya
ke bilik disebelah, dan kemudian embannya pula.
Para pengawal itupun menjadi tegang ketika mereka
melihat Rahu mulai meraba tubuh puteri itu. Perlahan-lahan
pada tengkuknya. Kemudian tepat pada simpul syaraf
kesadarannya, Rahu menekannya perlahan-lahan untuk
membuka sentuhan Nrangsarimpat yang telah membuat puteri
itu tertidur. Ternyata usaha Rahu berhasil. Perlahan-lahan puteri itu
membuka matanya, hampir bersamaan dengan embannya
yang tersadar dari pingsannya pua.
Yang nampak kemudian adalah bayangan-bayangan yang
kabur. Namun kemudian bayangan itu menjadi semakin jelas.
Hampir saja ia berteriak ketika ia melihat wajah yang garang
yang tidak dikenalnya seolah-olah akan menerkamnya.
"Jangan takut puteri" terdengar seseorang berkata.
Puteri itu mengusap matanya. Wajah-wajah itu menjadi
semakin jelas. Ternyata yang dilihatnya kemudian adalah dua
orang pengawal istana yang sudah dikenalnya baik-baik.
Sementara itu, ia melihat pula orang-orang yang telah
bertempur di ruang sebelah sebelum ia tidak ingat apa-apa
lagi yang terjadi atas dirinya.
Rahu memandang puteri itu sambil menarik nafas dalam
dalam. Kemudian katanya kepada para pengawal "Jagalah
baik baik. Aku telah mengorbankan beberapa kawanku yang
akan melanggar perintah pimpinanku. Jika pada saat yang lain
datang pula beberapa orang dengan alasan orang itu berbuat
bagi kepentingan mereka sendiri, dan kau dapat
membayangkan, apa yang terjadi atas puteri itu jika ia jatuh
ke tangan kawan-kawanku"
Kedua pengawal itu termangu-mangu, sementara emban
yang telah sadar itupun merangkak mendekati puteri yang
masih terbaring. "Puteri" desisnya.
Puteri itupun memandanginya sejenak. Kemudian iapun
bangkit sambil beritanya "Bagaimana dengan kau biyung?"
"Bagaimana dengan puteri?"embannya itu ganti bertanya,
"Ia tidak mengalami sesuatu" Rahulah yang menjawab lalu
katanya, kepada para pengawal "Aku terpaksa segera
meninggalkan tempat ini. Aku harus menyusul kawankawanku
yang mungkin sudah terlalu jauh. Selenggarakan
mayat-mayat itu. Sebaiknya tidak ada orang lain yang
mengetahui. Pesankan kepada seisi istana ini agar
keselamatan Pangeran t idak terganggu"
"Jadi bagaimana kami harus mengubur kawan-kawanmu
tanpa diketahui orang lain" bertanya salah seorang pengawal.
"Kuburlah di kebun belakang. Pada saatnya mereka akan
dipindahkan ke tempat yang lain. Atau barangkali kau
mempunyai cara yang lain untuk membawa mayat-mayat itu
ke kuburan tanpa diketahui oleh orang lain" berkata Rahu
lebih lanjut. Para pengawal itu termangu-mangu. Namun Rahupun
berkata "Aku percaya bahwa kalian akan dapat
menyelesaikannya. Kami tidak mempunyai waktu cukup untuk
melakukannya. Sekali lagi aku berpesan, jaga puteri itu baikbaik"
Para pengawal itu termangu-mangu. Namun ada semacam
sentuhan yang aneh dihati mereka. Di lingkungan orang-orang
yang garang dan kasar, masih ada juga yang berusaha untuk
berbuat atas dasar peradaban manusia.
Sejenak kemudian, maka Rahu, Jlitheng dan Semipun
segera berkemas. Mereka masih sempat minta diri kepada
puteri dan para pengawal. Sambil turun dari pintu butulan
Rahu masih berpesan "Jangan biarkan puteri melihat mayatmayat
itu. Biarlah ia untuk sementara tetap di dalam biliknya"
Demikianlah, maka Rahu, Jlitheng dan Semi segera
meninggalkan istana itu setelah mereka berhasil
menyelamatkan puteri. Rahu tidak perlu gelisah atas
kelambatannya, karena yang dilakukannya sudah diketahui
oleh Cempaka yang akan mempertanggung jawabkannya.
Sementara itu, di istana yang mereka t inggalkan, para
pengawal menjadi sibuk. Mereka berusaha agar puteri tetap
berada di dalam biliknya sementara para pengawal berbincang
apa yang sebaiknya mereka lakukan bagi mayat-mayat yang
terkapar di lantai. "Kita akan membawanya ke kuburan. Tidak baik untuk
dikubur di kebun belakang" desis salah seorang dari para
pengawal. "Tetapi bukankah dengan demikian kerja kita akan
diketahui orang sehingga kita tidak akan dapat
merahasiakannya lagi?" desis pengawal yang lain.
"Kita bawa dengan kereta tertutup malam nanti. Kita
jugalah yang menggali kubur dan menguburkannya tanpa
minta bantuan orang lain jawab pengawal yang pertama, lalu
"Bukankah kawan kita cukup untuk melakukannya" Kita
beritahu paman pekatik, gamel dan juru taman. Justru kita
pesan kepada mereka dan keluarga mereka, agar mereka
tidak mengatakan apapun juga tentang peristiwa ini bagi
keselamatan Pangeran"
Sejenak para pengawal itu berpikir. Akhirnya, mereka tidak
berkeberatan untuk melakukannya. Karena itulah maka
mereka segera memanggil beberapa orang termasuk para
pelayan yang melayani kereta.
Dalam pada itu, selagi para pengawal bersiap-siap
membawa mayat-mayat itu untuk menguburkannya maka
Rahu, Jlitheng dan Semi telah berpacu semakin jauh.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Jlitheng berkata
"Rahu. aku mempunyai pikiran lain dengan diriku sendiri"
"Kenapa?" bertanya Rahu.
"Aku tidak akan kembali ke Sanggar Gading. Aku akan
kembali ke daerah Sepasang Bukit Mati. Bukankah pada
saatnya Pangeran itu akan dibawa ke daerah itu" Aku kira
serba sedikit kaupun telah mengetahuinya" berkata Jlitheng
kemudian. "Tetapi apa kataku, jika Cempaka bertanya tentang kau?"
Rahu menjadi termangu-mangu.
"Jika benar kau sudah mendapat ijin Cempaka untuk
menyelesaikan Nrangsarimpat, maka katakan saja, bahwa aku
telah terbunuh pula dalam pertempuran ini, sehingga dengan
demikian, maka kau tidak akan mempertanggung-jawabkan
aku lagi, karena aku tahu, bahwa kau tentu mendapat tugas
untuk mengawasi aku pula" Jawab Jlitheng.
Rahu menjadi ragu-ragu. Dipandanginya Jlitheng dengan
saksama, seolah-olah ia ingin meyakinkan, dengan siapa ia
berhadapan. "Apakah kau masih meragukan aku?" bertanya Jlitheng.
"Tidak. Aku tidak meragukan lagi, bahwa kau adalah
Candra Songkaya. Tetapi dalam perkembangan keadaan
mungkin kau dan aku mempunyai landasan berpijak yang
berbeda, desis Rahu. "Dan kau curiga, bahwa aku akan membuka rahasiamu"
berkata Jlitheng. Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Sebagaimana
aku menganggap bahwa Senapati Agung yang bernama Surya
Sangkaya adalah seorang yang memiliki kelebihan, bukan saja
pada kanuragan, tetapi juga pada budinya maka akupun
berharap bahwa kau juga memiliki kelebihan budi dari orang
kebanyakan" "Maksudmu?" bertanya Jlitheng
"Kau akan berpijak pada jalan kebenaran. Juga tentang
Pangeran yang malang itu" sahut Rahu "apapun hubungannya
Pangeran yang malang itu dengan orang-orang Sanggar
Gading dan daerah Sepasang Bukit Mati, namun aku
mempunyai tugas untuk melindunginya. Jika kau lebih dahulu
pergi ke Bukit Mati maka kau akan dapat menempatkan
dirimu. Atau barangkali kau mempunyai kepentingan sendiri?"
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 10 "Aku akan berada di daerah Sepesang Bukit Mati itu" jawab
Jlitheng "Aku akan melihat, apakah yang akan terjadi dengan
Pangeran yang aku yakin akan dibawa ke daerah itu"
"Kau tentu mengenal dan mempunyai kepentingan dengan
Sepasamg Bukit Mati pula, seperti juga orang-orang Sanggar
Gading. Tetapi kau tentu tidak seperfi orang-orang Sanggar
Gading, bahwa kau akan dapat mengorbankan orang lain
tanpa alasan yang tidak terelakkan" berkata Rahu "Dan
agaknya aku percaya kepadamu"
"Terima kasih. Jika demikian. Kita akan berpisah. Mudahmudahan
kau tetap mendapat kepercayaan Cempaka,
sehingga kau akan datang pula ke daerah Bukit Mati,


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerahkan Pangeran itu. Mudah-mudahan kita akan dapat
bekerja bersama lagi, bagamianapun bentuknya" berkat
Jlitheng. Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia terpaling
kepada Semi, nampak ketegangan pada wajah anak muda itu.
Namun kemudian Rahu berkata "Kita dapat mempercayainya.
Aku percaya bahwa Bantaradi adalah Candra Sungkaya, Dan
aku percaya, bahwa ia tidak menyimpang dari jejer seorang
kesatria keturunen Majapahit"
Semi mengangguk-angguk. Katanya "Kita akan bertemu di
daerah Sepasang Bukit Mati. Marilah kita akan hadir dalam
ujud yang berba-beda, tetapi kita akan melibat apa yang akan
terjadi di daerah itu. Akupun sudah mendengar beberapa hal
tentang keterlibatan beberapa orang di daerah itu. Dan
akupun harus mempersiapkan diri untuk mengamati tingkah
laku orang-orang dari padepokan-padepokan lain. mungkin
orang-orang Pusparuri, mungkin orang-orang Gunung Kunir
atau pihak manapun juga. Jika pada suatu saat, Pangeran
yang malang itu sampai jatuh ke tangan pihak lain, maka
keadaan kita akan menjadi semakin, sulit. Tetapi menurut
pengamatanku, agaknya Sanggar Gading adalah kelompok
yang terkuat diantara kelompok-kelompok yang lain"
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
bertanya "Apakah tidak ada petugas-petugas sandi di
lingkungan mereka?" "Kadang-kadang sulit untuk menempatkan seseorang
diantara sekelompok orang yang mempunyai lingkungan
tersendiri. Kita harus menunggu kesempatan. Pada suatu saat
secara kebetulan kesempatan itu datang sendiri. Tanpa unsur
kebetulan, kita harus bekerja keras dan mungkin memerlukan
waktu yang sangat lama" jawab Rahu.
Jlitheng mengangpuk-angguk. Tetapi ia masih bertanya
"Jadi, apakah kalian berhasil menempatkan orang itu atau
tidak?" Rahu menarik nafas dalam-dalam. Namun Semilah yang
menjawab "Kita masih berusaha. Tetapi kita belum berhasil.
Kesalahan kita adalah, bahwa kita hanya menganggap
Sanggar Gading sajalah lingkungan, yang berbahaya. Karena
itu, maka pusat perhatian kita ada pada Sanggar Gading. Dan
Sanggar Gadinglah lingkungan yang pertama-tama kami
masuki" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia masih merasa ada
jarak antara dirinya dan Rahu serta Semi. Tetapi ia dapat
mengerti, karena bagaimanapun juga, tentu ada rahasia, yang
tidak dapat mereka katakan"
Sejenak kemudian, maka Jlithengpun minta diri kepada
keduanya. Ia ingin memisahkan diri, untuk mendahului
kembali ke daerah berbukit gundul dan daerah berbukit kecil
yang ditumbuhi oleh hutan yang lebat dan masih dihuni oleh
binatang-binatang buas. "Berhati-hatilah" pesan Rahu "mungkin kedatanganmu akan
menarik perhatian setelah kau pergi untuk waktu yang agak
lama" "Belum terlalu lama. Mudah-mudahan aku dapat diterima
seperti saat aku pergi tanpa prasangka dan curiga" jawalb
Jlitheng. "Tugas kita masih banyak. Apa yang akan terjadi, dan apa
yang telah dilakukan oleh Pangeran itu, merupakan beban
yang harus kita uraikan" berkata Rahu kemudian "Selamat
jalan. Mudah-mudahan kita semuanya selamat dan dapat
menunaikan tugas kita masing-masing dengan sebaik-baiknya"
Jlithengpun kemudian memisahkan diri. Ia sadar, bahwa
kepentingannya itu akan merupakan beban tersendiri bagi
Rahu. Mungkin Rahu akan dicurigai. Mungkin bahkan akan
mendapat perlakukan yang tidak menyenangkan. Tetapi
mungkin pula tidak, karena Cempaka tetap mempercayainya,
sehingga ia mendapat kesempatan untuk selalu mengawasi
keadaan Pangeran yang malang itu.
Namun tiba-tiba Jlitheng berkata di dalam hatinya "Tetapi
apakah mungkin bahwa Pangeran itu benar-benar pernah
melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan orang lain,
atau hal serupa itu?"
Namun Jlitheng tidak dapat mencari jawabnya. Ia masih
harus banyak mengamati keadaan di daerah Bukit Gundul itu.
Untuk beberapa saat Jlitheng berpacu seorang diri. Ia
mengambil jalan yang tidak terlalu ramai, agar ia tidak
bertemu dengan orang-orang yang mungkin mengenalnya
sebagai Jlitheng, anak padepokan yang bodoh dani lemah.
Sementara ia menyadari, bahwa tugasnya akan menjadi
semakin berat, karena agaknya orang-orang Sanggar Gading
akan segera menghubungi Daruwerdi untuk menyerahkan
Pangeran yang akan ditukar dengan pusaka yang menjadi
rebutan beberapa pihak itu.
Karena itu maka Jlitheng tidak singgah ke rumah Sri
Panular. Ia tidak ingin terlambat. Meskipun mungkin
perjalanannya hanya tertunda satu hari, tetapi jika Sanggit
Raina bertindak cepat, ia akan dapat terlambat.
Apalagi Jlitheng tidak dapat datang ke padukuhannya
langsung diatas seekor kuda. Jika ia berbuat demikian,
persoalannya akan dapat merubah sikap Daruwerdi.
Karena itu, Jlitheng masih akan melakukan seperti yang
dilakukannya dengan baik. Yang sudah terlalu banyak
membantunya. Ia akan singgah di rumah seorang saudagar
yang dikenalnya dengan haik. Yang sudah terlalu banyak,
membantunya dan memberikan pertolongan kepadanya.
Kemudian ia masih harus singgah pula di tempat yang hanya
dikenalnya tanpa pernah disentuh orang lain. Ia harus
menyimpan pakaiannya dan senjata-senjatanya.
Tetapi Jlitheng mulai bimbang dengan keadaan yang
semakin panas di daerah Sepadang Bukit Mati itu. Jika ia
terpisah dari senjata-senjatanya, maka untuk mengatasi
peristiwa yang tiba-tiba, ia akan mengalami kesulitan.
"Apakah aku harus berlari-lari mengambil pedang dan
paser-paser itu lebih dahulu, sementara peristiwa yang terjadi
telah terjadi" berkata Jlitheng di dalam hatinya.
"Aku akan membawa senjataku pulang dan
menyembunyikannya sebaik-baiknya" berkata Jlitheng kciada
diri sendiri. Seperti yang direncanakan, maka Jlithengpun telah singgah
di rumah seorang saudagar yang mengenalnya dengan baik.
Iapun kemudian menitipkan kudanya dan seperti biasanya, ia
selalu mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang
ditawarkan kepadanya. "Pada suatu saat, aku tentu memerlukan bantuan paman"
berkata Jlitheng kepada saudagar itu,
Jlitheng yang kemudian berjalan kala kembali ke
padukuhannya, telah memilih waktu yang sebaik-baiknya. Ia
memperhitungkan saat yang tepat, sehingga ia akan
memasuki padukuhannya menjelang dini hari. la akan
membawa senjatanya bersamanya dan menyembunyikan di
rumahnya. Setiap saat senjata itu akan dipergunakannya.
Karena itu, maka Jlitheng tidak perlu terlalu tergesa-gesa
berjalan ke padukuhan Lumban. Namun ia merasa bahwa ia
harus tetap berhati-hati. ia tidak ingin bertemu dengan
seorang pun. Ia akan langsung pulang dan tidur di kandang
sampai saatnya biyungnya bangun dan terkejut melihat ia
telah datang, dalam keadaan seperti saat ia berangkat.
Sementara itu, di Sanggar Gading, Rahu telah dipanggil
oleh Sanggit Raina bersama Cempaka, la harus
mempertanggung jawabkan bahwa orang yang berada di
bawah pengawasannya tidak kembali lagi ke Sanggar Gading
justru dalamsaat yang paling gawat.
"Kita t idak boleh terlambat" berkata Sanggit Raina "Kita
akan segera berangkat ke Sepasang Bukit Mati itu untuk
bertemu dengan Daruwerdi. Berita hilangnya Pangeran itu
tentu belum tersebar luas, sehingga orang-orang dari
padepokan yang lain belum sempat memutuskan untuk
mengambil satu sikap yang tepat. Tetapi pada saat semacam
ini seorang diantara kita telah pergi"
"Tidak hanya seorang" jawab Rahu "Tetapi lima orang"
Sanggit Raina mengerutkan keningnya. Dipandanginya
Cempaka sekilas. Dan sebelum Sanggit Raina bertanya
sesuatu, Cempaka sudah mendahuluinya "Aku yakin bahwa
Nrangsarimpat tidak akan berkhianat dalam arti yang khusus.
Ia tidak lagi lari dari Sanggar Gading dan menjerumuskan
Sanggar Gading ke dalam kesulitan. Tetapi aku belum yakin
terhadap Bantaradi" "Aku sudah mengemukakan persoalannya" berkata Rahu.
"Aku juga sudah mengatakannya kepada kakang Sanggit
Raina. Tetapi kau harus langsung melaporkannya
selengkapnya, juga sehubungan dengan Bantaradi yang tidak
datang bersamamu" sahut Cempaka.
Rahu menarik nafas panjang. Kemudian iapun mulai
melaporkan segala sesuatu tentang terbunuhnya
Nrangsarimpat. Ia sudah mendapat ijin dan akan
dipertanggung jawabkan oleh Cempaka apabila terjadi
sesuatu. Ternyata bahwa lima orang diantara mereka yang
bertempur telah terbunuh.
"Kau hanya berdua?" bertanya Saardt Raina.
"Ya bersama Bantaradi. Aku tidak mengira bahwa
Nrangsarimpat ternyata membawa tiga orang kawannya. Aku
kira ia akan datang sendiri dan membawa puteri itu" jawab
Rahu. "Anak yang malang" desis Cempaka "Ternyata Bantaradi
adalah murid yang paling singkat tinggal di Sanggar Gading.
Ia telah berhasil melampaui padang perburuaan. Tetapi ia
terbunuh dalam tugas yang sebenarnya bukan tugas pokok
kita" "Ia anak yang luar biasa. Ia mati bersama dua orang
lawannya. Dan aku terpaksa membunuh dua orang yang lain"
desis Rahu. Sanggit Raina mengangguk-angguk. Katanya "Kita terpaksa
mengorbankan lima orang yang terbaik diantara kita. Tetapi
jika tidak demikian, mungkin tingkah laku Nrangsarimpat akan
dapat merusak seluruh rencana kita"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak
dihadapkan pada kesulitan yang gawat karena ia tidak datang
bersama Bantaradi. Agaknya kematian Nrangsarimpat, yang
termasuk seorang murid terbaik itu tidak membuatnya ia
terlalu kecewa. "Kita bersiap sekarang" berkata Sanggit Raina.
"Sekarang?" bertanya Cempaka.
"Apalagi yang kita tunggu" Orang-orang Pusparuri atau
kelompok-kelompok yang lain?" bertanya Sanggit Raina pula.
Cempaka tidak menjawab. Ia memang menyadari, bahwa
segalanya harus berjalan cepat. Dan balikan Cempakapun
menyadari, bahwa yang akan dilakukannya bersama Sanggit
Raina adalah suatu langkah rahasia. Bukan saja bagi
kelompok-kelompok lain, tetapi bagi kelompok Sanggar
Gading sendiri. "Siapakah yang akan turut pergi ke bukit gundul itu?"
bertanya Cempaka tiba-tiba.
"Jangan terlalu banyak. Kita akan pergi bersama beberapa
orang, untuk melindungi Pangeran itu di perjalanan. Tetapi
hanya dua orang sajalah yang akan ikut mendekati bukit
gundul itu" berkata Sanggit Raina.
Cempaka mengangguk-angguk. Meskipun tidak dikatakan,
tetapi ia tahu benar rencana kakak kandungnya itu. Berdua
mereka harus dapat melakukan tugas besar, Tugas besar bagi
Sanggar Gading, namun juga tugas besar bagi mereka sendiri.
Karena itulah, maka Cempakapun segera mempersiapkan
segala sesuatu. Mereka akan segera menempuh sebuah
perjalanan lain untuk membawa Pangeran yang sedang sakit
itu ke Bukit Gundul di padukuhan Lumban.
Sementara itu Rahupun menjadi berdebar-debar. Meskipun
ia mengerti sebagian rencana Cempaka atas Pangeran itu
untuk membawanya ke Bukit Gundul, di Lumban, namun ia
tidak mengetahui rencana Cempaka seluruhnya, di daerah
Sepasang Bukit Mati. Namun sudah dapat diharapkan bahwa Pangeran yang
sedang sakit itu tentu akan menjadi semacam korban bagi
satu kepentingan. Tetapi bagaimana dan cara yang akan
dipakai oleh Cempaka itulah yang harus diperhatikannya.
Sementara Sanggar Gading sedang mempersiapkan diri
menghadapi tugasnya, dan Sanggit Raina yang menghadap
langsung pemimpin tertinggi Sanggar Gading, Rahupun
mempersiapkan rencananya. Ia tahu pasti bahwa Semi dan
seorang kawannya yang akan ditunjukkan, telah bersiap pula
untuk mendahului perjalanan orang-orang Sanggar Gading,
sementara anak muda yang dikenalnya sebagai putra
Pangeran Surya Sangkayapun akan berada di tempat yang
gawat itu. Namun Rahu itupun menjadi berdebar-debar ketikan tibatiba
saja Cempaka menariknya dengan wajah yang tegang,
katanya "Kita harus menghadap Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading sekarang"
"Apakah ada sesuatu yang gawat atau perubahan dari
segala rencana yang sudah tersusun?" bertanya Rahu.
"Tidak ada yang tahu. Sikapnya kali ini mengejutkan. Juga
kakang Sanggit Raina t idak mengetahui" jawab Cempaka.
Sikap Yang Mula itu benar-benar membuat Rahu menjadi
cemas. Jika ada perubahan sikap Yang Mulia itu, maka ia akan
menemui kesulitan. Bahkan mungkin akan membawa
Pangeran yang malang itu ke dalam keadaan yang sangat
pahit. "Semi tidak akan membawa pasukan" berkata Rahu di
dalam hatinya "agar nasib Pangeran yang malang itu tidak
menjadi sangat buruk. Tetapi jika ada sikap yang lain dari
Yarg Mulia Panembahan Wukor Gading, maka tidak akan ada
kesempatan untuk memberitahuku kepadanya"
Dengan hati yang berdebar-debar, maka, Rahupun
memasuki sanggar bersama beberapa orang yang telah
dipanggil pula oleh Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
Sejenak mereka menunggu. Kehadiran Yang Mula membuat
jantung Rahu seolah-olah berdetak lebih cepat.
Agak berbeda dengan sikapnya yang nampak pada harihari
yang lewat. Yang Mulia nampak bersungguh-sungguh dan
tegang. Dengan suara yang lantang ia berkata "Aku sendiri
akan mengantarkan Pangeran itu ke Sepasang Bukit Mati"
Wajah Rahu menjadi semakin tegang. Adalah diluar


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dugaan, bahwa Yang Mulia itu akan pergi secara pribadi.
Biasanya ia mempercayakan segala tugas-tugas yang penting
dan berat di medan, kepada Sanggit Raina yang masih muda.
Cempaka dan Sanggit Raina sendiri terkejut mendengar
keputusan itu. Seperti Rahu merekapun tidak menduga bahwa
Yang Mulia akan mengambil keputusan yang demikian.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya
dapat mendengarkan keterangan Yang Mulia Penembahan
Wukir Gading itu selanjutnya "Perjalanan ke Sepasang Bukit
Mati adalah perjalanan yang tidak terlalu panjang, tetapi
terlalu berat. Apalagi kita akan membawa seorang Pangeran
yang sedang sakit. Jika aku kali ini akan pergi bersama kalian
bukan karena aku tidak percaya lagi kepada kalian. Tetapi
justru karena aku menyadari, bahwa tugas ini adalah tugas
yang sangat berat Aku tidak dapat sekedar duduk merenung
sambil makan dan minum di padepokan, sementara anakanakku
berjuang menempuh bahaya yang setiap saat dapat
menyita nyawanya" Cempaka dan Sanggit Raina saling berpandangan sejenak.
Sementara Yang Mulia itu meneruskan "Yang tidak kalah
gawatnya adalah sikap kelompok-kelompok yang selama ini
memusuhi kita, karena merekapun mempunyai kepentintingan
yang sama. Jadi kalian bertemu dengan orang-orang Kendali
Putih, orang-orang Pusparuri atau kelompok-kelompok yang
lain yang ingin merampas Pangeran itu dari tangan kalian,
maka seharusnya aku berada di tenga-tengah kalian. Jika
pemimpin tertinggi merekapun menyertai anak-anaknya, maka
aku akan berdosa kepada kalian, jika aku tetap duduk
termenung di padapokan ini, karena bagaimanapun juga maka
ilmu kalian adalah ilmu yang permulaan sekali bagi para
pemimpin kelompok yang telah mencapai tingkat yang hampir
sempurna. Sanggit Raina memadang Yang Mulia Panembahan itu
dengan wajah semakin tegang. Ia tidak pernah mendengar
Yang Mulia itu mengatakan, betapa rendahnya tingkat ihnu
kanuragan bagi orang-orang Sanggar Gading.
Rahu yang duduk diam sepertil patung, sempat berkata di
dalam batinya "Alasan yang dikemukakan oleh Yang Mulia, itu
nampaknya wajar sekali. Bahkan telah menunjukkan sikap
kebapaan dari Yang Mulia Panembahan Wukir Gading, yang
tidak sampai hati melepaskan anak-anaknya menempuh
perjalanan yang sangat berbahaya"
Namun demikian kepergian Yang, Mulia itu tentu membawa
akibat yang lain bagi setiap, rencana yang ada dikepaia
mereka yang ikut serta dalam kelompok itu dengan tujuan dan
kepentingan mereka masing-masing. Sementara setiap
orangpun tidak akan terlepas dari satu keyakinan bahwa orang
yang menyebut dirinya Yang Mulia itu tentu memiliki ilmu
yang dapat diandalkan. Ketika Yang Mulia itu kemudian memberikan beberapa
penjelasan yang lain, maka rasa-rasanya dada Sanggit Raina
dan Cempaka menjadi semakin sesak. Rencana mereka bagi
diri mereka berdua menjadi kabur. Tetapi agaknya keduanya
tidak akan menyerah kepada perubahan keadaan, Mereka
masih tetap berpegang pada tujuan, meskipun jalan yang
harus mereka tempuh akan menjadi semakin panjang,
semakin sulit dan rumpil.
Tetapi dihadapan sidang yang menentukan perjalanan
menuju ke Bukt it Gundul itu Sanggat Raina dan Cempaka
tidak memberikan tanggapan yang dapat menumbuhkan
persoalan tersendiri. Mereka memaksa diri untuk menerima
segala perintah Yang Mulia yang akan memimpin langsung
perjalanan ke Bukit Gundul, menyerahkan Pangeran yang
malang itu kepada seseorang yang sanggup menukarnya
dengan sebuah pusaka yang sangat berharga.
"Aku harus membiasakannya dengan Cempaka sesudah
sidang ini" berkata Sanggit Raina di dalamhatinya.
Demikianlah, maka Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
itu telah menentukan, bahwa ia akan pergi bersama beberapa
orang pengawal terpercaya. Sanggit Raina, Cempaka dan
Rahu termasuk orang-orang yang akan dibawanya serta.
"Masih ada kemungkinan pahit di perjalanan" berkata Yang
Mulia "karena itu kalian harus bersiap menghadapi
kemungkinan keadaan yang gawat di perjalanan. Bersiaplah
dengan senjata yang paling baik. Mungking hanya separo dari
kata akan sampai ke bukit mati, sedangkan yang separo akan
mati di perjalanan. Kita mungkin, harus berhadapan Angan
orang-orang Pusparuri, orang-orang Kendal Putih atau orangorang
dari kelompok yang lain. Berita hilangnya Pangeran itu
tentu tidak akan dapat tertahan untuk waktu yang lama di
dalam dlinding istana kepangeranan. Berita itu tentu akan
menembus gerbang betapapun rapatnya sehingga akhirnya
akan sampai juga kepada orang-orang dari kelompok yang
lain, yang juga menginginkan pusaka itu. Sementara itu,
agaknya orang yang sekarang menguasai pusaka itu akan
menuntut imbalan yang sama seperti yang dimintanya kepada
kita. Dengan demikian maka nilai Pangeran yang sakit-sakitan
itu akan sama dengan nilai pusaka itu sendiri"
Dada Sanggit Raina dan Cempaka menjadi semakin
bergejolak. Tetapi mereka t idak dapat berbuat sesuatu di
dalam bidang itu. Rasa-rasanya sidang itu berlangsung sedemikian lamanya,
sehingga Sanggit Raina dan Cempaka menjadi lebih letih
sekali. Kepala mereka justru menjadi pening. Mereka ingin
pertemuan itu segera selesai, sehingga mereka berdua dapat
membicarakan apa yang sebaiknya akan mereka lakukan.
Tetapi akhirnya sidang itupun selesai juga. Demikian
Yang.Mulia meninggalkan sidang, maka Sumpit Raina dan
Cempakapun segera memisahkan diri dari kawan-kawannya.
Mereka ingin berbicara tentang rencana Yang Mulia untuk
pergi sendiri ke daerah Sepasang Bukit Mati itu.
"Kita akan mengalami kesulitan" berkata Sanggit Raina.
"Pusaka itu akan diterima langsung oleh Yang Mulia
sehingga kita tidak akan mendapatkan sesuatu dari padanya"
berkata Sanggit Raina "lalu apakah artinya kita selama ini
berada di sanggar ini, sebagai budak yang tidak berarti apaapa"
namun kemudian la berkata "Tetapi tentu masih ada
cara. Lambat atau cepat, pusaka itu akan jatuh ke tanganku.
Bukan hanya pusaka itu, tetapi dalam artinya yang lebih luas
daripada tuahnya saja"
Cempaka menganguk-angguk. Tetapi kemudian ia bertanya
"Apa yang dapat kita lakukan kakang" Apakah kita akan dapat
mengimbangi kemampuan Yang Mulia. Apalagi jika para
pengawal yang lain akan berpihak kepadanya"
"Jangan bodoh. Kita akan memperhitungkan setiap
keadaan yang akan berkembang kemudian" jawab Sanggit
Raina "Yang Mulia itupun manusia juga seperti kita yang
terdiri dari tulang dan daging. Betapapun tinggi ilmunya, pada
suatu saat, ia akan dapat kita cari kelemahannya"
Cempaka mengangguk-angguk. Namun aapun kemudian
berdesis "Mudah-mudahan kelemahan itu dapat kita temukan
sehingga kita tidak akan sia-sia berada di Sanggar Gading
untuk waiktu yang lama"
"Tetapi berhati-hatilah. Jika benar perhitungan Yang Mula,
bahwa diantara kita yang akan sampai ke daerah Sepasang
Bukit Mati itu hanya separo saja, hendaknya dari yang separo
itu terdapat kita berdua"
"Aku akan berhati-hati kakang" jawab Cempaka "ada
beberapa orang yang kemampuannya tidak melampaui
kemampuanku. Mereka tentu akan menjadi korban-korban
yang pertama. Selebihnya, jumlah orang-orang yang memiliki
kemampuan yang tinggi pada padepokan Pusparuri dan
Kendali Putih memang tidak terlalu banyak. Tetapi kita masih
belum mendapat keterangan yang pasti tentang orang-orang
Gunung Kunir" "Bawalah, senjata yang dapat diandalkan. Mudah-mudahan
Rahupun tetap dapat kita perjaya. Sayang, Bantaradi terbunuh
ketika ia berkelahi melawan Nrangsarimpat dan kawankawannya.
Nampaknya ia termasuk anak muda yang memiliki
kemampuan yang cukup dan kurang pandai mempergunakan
otaknya, sehingga orang-orang seperti Bantaradi itu akan
dapat menjadi kawan yang sangat baik" desis Sanggit Raina.
"Ya. Ia termasuk anak muda yang menuruti perasaannya
saja tanpa pertimbangan akal yang mapan. Sejak ia
melibatkan diri dalam perkelahian yang tidak dimengertinya,
maka aku sudah tertarik kepadanya. Tetapi akupun sudah
menilai bahwa orang-orang yang demikian umurnya tidak
akan cukup panjang. Ia akan melibatkan diri ke dalam
kesulitan yang akan dapat membunuhnya meskipun
sebenarnya ia dapat menghindarnya. Seandainya ia tidak
tertarik kepada persoalan. Nrangsarimpat yang memang
bukan tanggung jawabnya, ia tentu tidak akan terbunuh.
Tetapi ia benar-benar tidak dapat mengekang diri untuk
berkelahi melawan siapa saja" desis Cempaka.
"Berhati-hatilah Cempaka" berkata kakaknya "Ternyata kita
masih harus mengatasi banyak kesulitan. Tetapi kita tidak
akan berputus asa, karena taruhannyapun memadai
Seandainya harus kita perebutkan dengan mengorbankan
nyawa kita sekalipun, maka kita tidak akan menyesal sama
sekali "Aku mengerti ikakang. Dan akupun akan berusaha tidak
mati tanpa arti, seandainya kita bertemu dengan orang-orang
Kendali Put ih, atau orang-orang manapun juga yang akan
mengambil Pangeran itu, atau kemudian mengambil pusaka
itu seandainya mereka memilih jalan itu" geram Cempaka.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa bagaimanapun juga
orang-orang di istana Panganan yang malang itu berusaha
untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, dengan
harapan bahwa keselamatan Pangeran itu tidak terancam,
namun heran tentang bilangnya Pangeran itupun telah
menembus dinding halaman dan terdengar oleh orang-orang
diluar istana kepangeranan itu.
Bahkan berita itupun semakin lama menjadi semakin
meluas, meskipun sebagian dari mereka yang mendengar
masih ragu-ragu. Akhirnya berita itu didengar oleh seorang Senapati Prajurit
Demak sehingga demikian seseorang berkata kepadanya
bahwa ada berita tentang hilangnya seorang Pangeran, maka
serta merta iapun meloncat ke punggung kuda dan berpacu ke
istana Pangeran yang malang itu.
Kedatangannya membuat para pengawal terkejut. Tetapi
karena mereka mengenal Senapati itu, maka mereka tidak
dapat menolak ketika senapati Itu memaksa untuk memasuki
istananya. Di ruang dalam ia bertemu dengar puteri yang berduka itu.
Dua orang pengawalnya duduk sambil menunduk di belakang
puteri yang wajahnya selalu basah.
"Katakan, apa yang telah terjadi sebenarnya puteri" desis
Senapati itu. Puteri yang berduka itu ragu-ragu.
"Jangan ragu-ragu. Mungkin puteri telah mendapat
ancaman. Tetapi puteri tahu siapa aku. Aku mempunyai
kewajiban menjaga keselamatan setiap rakyat Demak, karena
itu memang kewajiban setiap prajurit. Apalagi berita yang
mungkin kau maksud untuk menyimpannya saja di dalam
lingkungan istana ini telah menembus keluar, sehingga justru
karena pendengaran orang-orang Demak yang tidak
bersumber dari yang benar-benar mengetahui halitu, berita
tentang hilangnya ayahanda puteri menjadi simpang siur.
Bahkan mungkin ada yang dapat merugikan keselamatan
Pangeran" Puteri itu masih ragu-ragu. Tetapi ia memang mengenal
dengan baik. Senapati yang datang kepadanya untuk
menawarkan perlindungan itu adalah Senapati yang dekat
dengan ayahnya. "Paman" berkata puteri iu kemudian "Tetapi apakah
dengan deimikian jiwa ayah tidak terancam"
"Tetapi kita harus berbuat sesuatu puteri. Kita tidak dapat
membiarkan ayahanda puteri hilang tanpa berbuat sesuatu"
jawab Senapati itu. Lalu "Kita tidak mempunyai jalan lain. Jika
kita diam saja, maka Pangeran itu akan hilang seperti asap
dihembus agin. Tetapi jika kita berbuat sesuatu, kita masih
mempunyai dua kemungkinan. Pangeran akan tetap hilang,
atau kita akan dapat menemukannya sekaligus
menghancurkan segerombolan orang yang ingin berbuat
jahat, yang tentu tidak hanya kepada ayahanda puteri sendiri.
Mungkin dikesempatan lain ia akan berbuat jahat pula kepada
orang-orang lain" Puteri iltu masih nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia
bertanya kepada pengawalnya "Apakah yang sebaiknya aku
lakukan paman?" Pengawalnya itupun menjawab "Puteri. Berita tentang
hilangnya ayahanda puteri agaknya memang sudah didengar
oleh satu dua orang di luar istana ini. Namun yang kemudian
meluas dalam ujud dan bentuk yang berbada-beda. Agaknya
memang ada baiknya jika berita yang sebenarnya didengar
oleh seorang Senopati prajurit Demak, sehingga akan dapat
dinilai dengan pasti, apa yang telah terjadi"
Puteri itupun kemudian tidak menyembunyikan keadaan
ayahandanya keadaannya. Kepada Senapati iltu ia
mengatakan apa yang diketahui dan apa yang didengarnya.
Bahkah iapun menceriterakan pula apa yang terjadi kemudian
atas dirinya. Senapati itu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata "Tentu bukan sekelompok penjahat kebanyakan,
seperti sekelompok penyamun yang mencegat korbannya di
bulak-bulak panjang. Bukan pula sekelompok perampok yang
sekedar mencari pendok dan timang emas"
"Mereka sama sekali tidak mengambil apapun dari istana
ini" berkata salah seorang pengawalnya.
"Ya" sabut Senapati itu "apakah setelah terjadi peristiwa
berikutnya. Agaknya kelompok itu mempunyai ikatan
paugeran yang kuat. Ternyata bahwa pelanggaran yang
dilakukan oleh beberapa orang dari mereka berakibat maut"
"Ya" sahut sahut seorang pengawal itu "hukuman itu
dilakukan tanpa ragu-ragu"
Senapati itupun kemudian berkata "Maaf puteri aku
terpaksa membawa masalah ini ke dalam lingkungan yang
lebih luas. Mungkin pimpinan keprajuritan Demak mengambul
satu sikap"

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi jangan membuat sesuatu yang dapat mengancam
jiwa ayahanda" Puteri itu mulai menyeka air matanya yang sudah mulai
mengembang di pelupuk matanya.
"Kami akan mempertimbangkan segala kemungkinan. Dan
kamipun akan melakukan yang paling baik yang dapat kami
pilih diantara beberapa kemingkinan yang ada" jawab
Senapati itu "Tetapi sudah barang tentu bahwa kami tidak
akan dapat berdiamdiri"
"Jika paman akan mencari, kemana atau gerombolan
manakah yang dapat paman duga membawa ayahanda?"
bertanya puteri itu. "Memang tidak begitu mudah untuk mengetahui puteri.
Tetapi kami akan mulai melaksanakannya, itu akan jauh lebih
baik daripada kami harus menunggu" jawab Senapati itu.
Puteri itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang
buram menjadi buram. Tetapi puteri itu kemudian berdesis lambat "Semuanya
terserah kepada paman. Tetapi aku mohon, hendaknya paman
dapat menyelamatkan jiwa ayahanda"
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tentu,
Kami prajurit Demak akan berusaha sejauh dapat kami
lalukan. Percayalah kepada kami puteri"
Setitik alir mata telah mengalir di pipi puteri yang berduka
itu. Tetapi dia kemudian berkata "Aku percaya kepada paman"
Senapati ltupun kemudian mohon diri, ia mendapat
beberapa petunjuk yang semakin jelas langsung dari mereka
yang menyaksikan peristiwa itu.
Namun demikian, bagian yang didapat oleh Senapati itu
masih terlalu sedikit untuk langsung dapat mengetahui,
dimanakah Pangeran yang hilang itu berada. Meskipun
demikian, bukan berarti bahwa prajurit Demak dapat mencuci
tangan dan membiarkan hal itu berlalu tanpa berbuat sesuatu.
Karena itulah, maka Demak telah menugaskan beberapa
orang petugas sandi untuk mencari jejak hilangnya Pangeran
yang malang itu. Namun demikian, persoalan hilangnya Pangeran itupun
masih diusahakanoleh para petugas yang menangani agar
persoalannya masih tetap terbatas pada orang-orang tertentu
saja. Dalam pada itu, para petugas sandi Demak, yang kemudian
memencar ke beberapa tempat, dengan sungguh-sungguh
telah berusaha mencari jejak Pangeran yang hilang itu.
Namun nampaknya kerja mereka adalah kerja yang tidak akan
dapat mereka selesaikan dalamwaktu yang dekat.
Para pemimpin dari pertugas sandi di Demak, telah
berusaha mencari nama-nama petugasnya yang telah
mendapat perintah bekerja di luar lingkungan, untuk
mendapat sumber keterangan tentang Pangeran yang hilang
itu. Namun sampai demikian jauh, agaknya semuanya masih
serba gelap bagi para prajurit Demak.
Sementara, itu, Jlitheng telah berada kembali ke dalam
lingkungannya. Ia telah berada kembali diantara anak-anak
muda di padukuhan Lumban. Dengan gati-gati dia telah
membuat cerita perjalanannya selama ia tidak berada di
padukuhannya. Dalam pada itu, agaknya kawan-kawannya tidak
mencurigainya. Mereka percaya kepada cerita yang telah
dibuat oleh Jlitheng tentang dirinya. Karena anak-anak muda
itu sama sekali tidak pernah membayangkan persoalanpersoalan
yang rumit yang pernah dialami oleh Jlitheng dalam
perjalanannya. Namun Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika pada saat ia
duduk sendiri. Daruwerdi telah datang mendekatinya.
"Jlitheng" desis Daruwerdi yang kemudian duduk di
sebelahnya, di atas batu padas di pinggir padukuhan "Kau
belum menceriterakan, apakah perjalananmu berhasil?"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berdesis
"Persoalan ini adalah persoalan yang sangat pribadi,
Daruwerdi" Daruwerdi tertawa. Katanya "Dahulu kau juga berkata
demikian. Tetapi aku sebagai seorang kawan yang dekat,
tentu ingin mendengar, apakah kau merasa bahagia?"
"Mungkin demikian, Daruwerdi, tetapi mungkin tidak"
jawab Jlitheng. "Bagaimana?" desak Daruwerdi.
Jlitheng menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan ia
merasa ragu-ragu, apakah Daruwerdi bertanya sebenarnya,
atau ia justru mulai mencurigainya.
Namun demikian Jlitheng menjawab "Aku tidak dapat
mengatakannya Daruwerdi. Setiap kali akan hanya dapat
mengatakan bahwa persoalanya adalah persoalan keluarga.
Persoalan yang terbatas sekali"
Daruwerdi tertawa. Tetapi iapun kemudian berdiri sambil
menepuk bahu Jlitheng sambil berkata "Cobalah melihat
dirimu, keadaanmu dan masa depanmu sebelum kau terlanjur
menginjakkan kakimu ke jenjang perkawinan"
Jlitheng tidak menyahut. Tetapi demikian Daruwerdi
meninggalkannya, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
"Mudah-mudahan ia tidak mencurigai aku" desis Jlitheng
yang memandang langkah Daruwerdi yang hilang di balik
tikungan. Jlitheng kemudian segera bangkit. Tiba-tiba saja ia inggin
pergi ke bukit untuk menemui seseorang yang telah lama
tidak dijumpainya. Tetapi rasa-rasanya ia masih ragu-ragu. Ia
belum menemukan satu kepastian, apakah yang sebaiknya
dikatakan apabila ia bertemu dengan seorang tua yang tinggal
di dalam gubugnya di bukit berhutan itu.
Tetapi ada semacam kerinduan yang tidak dapat
ditahankannya lagi. Meskipun orang tua itu bukan apa-apa
baginya, tetapi ia sudah banyak memberikan petunjuk
kepadanya. Sejenak Jlitheng memandang padukuhannya. Ia tidak
melihat kawan-kawannya. Agaknya kawan-kawannya masih
belum ingin menggangunya, karena mereka mangetahui
bahwa ia baru saja pulang dari perjalanan yang menurut
ceritera yang disampaikan kepada kawan-kawannya adalah
perjalanan yang panjang sekali, dan hanya ditempuhnya
dengan berjalan kaki. Ternyata Jlitheng tidak dapat menahan diri lagi. Meskipun
ia akan menemui kesulitan untuk membuat ceritera yang
harus berbeda dengan ceritera-ceritera yang disampaikan
kepada kawan-kawannya. Sejenak kemudian maka Jlithengpun segera berjalan
bergegas ke bukit yang nampak hijau segar oleh hutan yang
tertutup diatasnya. Namun agaknya ia ingin juga. menyelusuri
sungai yang telah digarapnya, sehingga airnya tidak lagi hanya
setinggi mata kaki. Disepanjang perjalanannya ke bukit itu, Jlitheng sempat
memperhatikan, bahwa parit telah menjadi semakin terawat.
Airpun telah mengalir meskipun masih belum terlalu deras.
"Lumban akan menjadi hijau" desisnya.
Namun ketika ia mulai memasuki lereng bukit berhutan itu,
langkahnya tertegun. Ia menjadi ragu-ragu lagi. Apakah yang
akan dikatakannya kepada orang tua itu. Apakah ia akan
berterus teranng. Atau ia harus mengarang ceritera yang lain.
Jlitheng termangu-mangu Katanya di dalam hati
"Seandainya aku mengatakan yang tidak sebenarnya maka
jika peristiwa berikutnya akan terjadi disini, apakah hal itu
tidak akan menyinggung perasaannya" Apakah orang tua yang
telah berbuat banyak kepadaku itu, tidak akan merasa bahwa
ia sama sekali tidak mendapat kepercayaanku?"
Jlitheng yang menjadi bimbang itu kemudian duduk diatas
sebuah batu. Ia tidak dapat bertanya kepada siapapun juga.
apakah yang sebaiknya dilakukannya. Mengatakan seluruhnya,
sebagian atau tidak sama sekali.
Tetapi sebenarnyalah Jlitheng tidak dapat memberikan
kepercayaan sepenuhnya kepada orang tua itu. Ia sudah
melihat, betapa peliknya persoalan yang menyangkut pusaka
yang diperebutkan itu. Iapun melhat, betapa seorang
Pangeran telah dipaksa meninggalkan istananya dalam
keadaan sakit karena pusaka itu pula. Ia mengetahui
beberapa gerombolan yang saling berebutan. Yang satu
mungkin sekali akan membentur yang lain.
"Apakah orang tua itu benar-benar tidak mempunyai
sangkut paut dengan pusaka yang hilang itu" desis Jlitheng
dalam hatinya. Namun selagi Jlitheng menrenungi kemungkinan yang akan
dilakukan apabila ia bertemu dengan Kiai Kanthi, maka tibatiba
saja ia telah dikejutkan oleh desir lembut di belakangnya.
Karena pengaruh perjalanannya. maka desir yang lembut
itu telah mendorongnya untuk meloncat bangkit dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar
suara lembut" "Kau sudah kembali, ngger?"
Ternyata yang datang, itu adalah Kyai Kanthi. Dan karena
itu maka Jlitheng menjadi berdebar-debar. Ia belum
menemukan sikap yang paling baik menghadapi orang tua itu
tiba-tiba saja ia sudah dihadapkan kepadanya.
Kiai Kanthi kemudian duduk di sebuah batu padas dan
bahkan mempersilahkan anak muda itu duduk pula "Silahkan
ngger. Silahkan duduk"
Jlitheng tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian duduk di
sebelah Kiai Kanthi dengan hati yang berdebar-debar.
"Kenapa kau duduk sendiri disini ngger?" tiba-tiba saja Kiai
Kanthi bertanya. Dan ternyata pertanyaan itu telah
membingungkan Jlitheng. Karena beberapa saat Jlitheng tidak menjawab, maka Kiai
Kanthi itupun bertanya pula " Apakah kau sudah lupa jalan
pulangmu?" "Ah" Jlitheng berdesah. Tetapi iapun kemudian tertawa.
Namun wajah Jlitheng menjadi kemerah-merahan ketika ia
mendengar Kiai Kanthi berkata "Agaknya kau sedang
memikirkan, ceritera apakah yang akan kau sampaikan
kepadaku tentang perjalananmu"
Sesaat Jlitheng justru terbungkam. Namun kemudian
Katanya "Mungkin memang demikian Kiai. Aku tidak tahu apa
yang sebaiknya aku katakan kepala Kiai"
"Karena sebaigan dari ceritera itu masih belum sempat kau
susun" potong Kiai Kanthi sambi tertawa. Namun orang tua
itupun kemudian berkata "Angger, Aku tahu bahwa apa yang
kau lakukan tidak perlu diketahui oleh banyak orang. Akupun
tahu bahwa kau sedang melakukan satu tugas yang penting,
meskipun mungkin tugas itu kau bebankan sendiri diatas
pundak, karena tanggung jawabmu atas hubungan antara
sesama. Karena itu, marilah datang ke gubugku. Aku tidak
akan bertanya tentang perjalananmu, kecuali pada bagianbagian
yang akan kau ceriterakan sendiri, yang tidak akan
mengganggu tugasmu untuk seterusnya"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Maaf Kiai.
Aku memang sedang dirisaukan oleh persoalan yang tidak
akan dapat aku katakan, kepada Kiai, tetapi aku menjadi
cemas, bahwa Kiai akan kecewa, atau bahkan marah
kepadaku, tidak mempercayai Kiai sama sekal"
"Keterbukaanmu membuat orang lain menghargai sikapmu,
ngger. Aku. tidak akan marah, karena aku tahu bahwa yang
kau lakukan adalah hal yang sangat wajar dan memang
seharusnya, kau lakukan. Siapapun yang berada dalam
keadaan seperti keadaanmu sekarang, tentu akan berbuat
seperti itu pula" berkata Kiai Kanthi
Jlitheng mengangguk-angguk kecil. Desisnya "Aku minta
maaf Kiai" "Kenapa kau harus minta maaf" Kau sama sekal t idak
bersalah. Dan akupun tidak memancing keterangan yang
sebenarnya tidak ingin kau katakan dengan cara apapun"
jawab Kiai Kanthi. Jlitheng mengangguk-angguk pula. Katanya "Terima kasih
atas pengertian itu Kiai. Dengan demikian aku tidak dibebani
lagi oleh kebingungan, apa yang akan aku katakan kepada Kiai
Kanthi, jika aku bertemu. Itulah sebabnya maka baru
sekarang aku datang"
"Tentu kau juga baru datang. Jika sekarang kau
mengunjungiku, maka itu berarti bahwa perhatianmu atasku
cukup besar" jawab Kiai Kanthi, lalu "sekarang, marilah. Kita
pergi ke gubug yang kita buat bersama-sama itu?"
"Apakah selama ini belum ada kemajuan apapun juga di
padukuhan Lumban dan pada padepokan Kiai" bertanya
Jlitheng. "Bukankah parit-parit telah menjadi semakin baik. Dalam
waktu beberapi hari apa yang dapat kita lakukan?" Kiai Kanthi
bertanya. "Ya" desis Jlitheng. Sebenarnyalah bahwa diapun tidak
cukup lama pergi untuk suatu kesempatan yang cukup bagi
perubahan di padukuhannya.
Demikianlah, maka keduanyapun pergi ke gubug Kiai
Kanthi yang masih belum mengalami perubahan, kecuali
halamannya menjadi bertambah bersih dan beberapa perabot
rumah agaknya telah dibuatnya sendiri.
Di pintu gubug itu, Jlitheng melihat Swasti yang bangkit
dan beringsut dari ruangan dalam. Tetapi langkahnya terhenti
ketika ayahnya berkata "Swasti, angger Jlitheng telah datang.
Swasti menundukkan kepalanya. Dari sela-sela bibirnya
terdengar sapanya pendek "Selamat datang"
"Terima kasih Swasti" sabut Jlitheng" bukankah kau juga
selamat selama ini?"
Swasti tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk kecil.
"Jika kau akan ke dapur, pergilah ke dapur" berkara
ayahnya kemudaan "rebuslah air, dan barangkali kau
mempunyai setandan pisang raja yang telah masak, Rebus
pulalah" "Jangan terlalu sibuk karena kedatanganku" potong Jlitheng
"Tidak. Setiap hari ia juga melakukannya" jawab Kiai
Kanthi. Sepeninggal Swasti maka, Jlithengpun duduk di amben
bambu yang panjang. Kiai Kanthi yang duduk disampingnya
berkata "Nampaknya air itu memberikan harapan yang besar
bagi rakyat Lumban. Mereka merasa bahwa sawah mereka
akan menjadi sawah yang subur, yang akan dapat


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan hasil panen padi dua kali setahun. Terutama
pada jalur utama parit yang telah diperbaiki itu"
"Ya Kiai. Jika benar-benar dapat terjadi demikian, maka
Lumban akan berubah hijau sepanjang tahun" jawab Jlitheng.
"Tetapi ada masalah baru yang kemudian timbul, ngger"
desis Kiai Kanthi. "Masalah baru" Apakah ada hubungannya dengan hijaunya
Lumban?" "Ya, Karena parit dan air. Maka agaknya timbul persoalan
pada orang-orang Lumban Kulon dan Lamban Wetan" desis
Kiai Kanthi. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Persoalan
inilah yang sejak pertama kita cemaskan. Apakah Ki Buyut
Lumban Kulon dan Lumban Wetan yang nampaknya rukun
dan baik itu akan sampai hati berselisih karena air"
"Sumbernya bukan pada Ki Buyut Lumban Kulon dan
Wetan" sahut Kiai Kanthi
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu
iapun kemudian bertanya "Apakah Daruwerdi?"
Tetapi Kiai Kanthi menggeleng. Jawabnya "Bukan ngger.
Bukan Daruwerdi. Ia nampaknya tidak mengacuhkan sama
sekali air yang mengalir di parit-parit itu"
"Siapa?" bertanya Jlitheng.
"Agaknya anak laki-laki kedua Buyut itu mempunyai sifat
yang berbeda. Mereka ternyata tidak mewarisi kerukunan
ayah mereka" desis Kiai Kanthi.
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia sudah mengenal kedua
anak muda itu. Dan agaknya mereka mempunyai sifat dan
kebiasaan tersendiri sehingga mereka tidak dapat serukun
ayah-ayah mereka. "Anak-anak muda Lumban Wetan dan Lumban Kulon akan
berusaha untuk tetap memelihara kerukunan itu" berkata
Jlitheng "Mereka tentu mengakui bahwa aku adalah salah
seorang dari mereka yang telah mengarahkan air di bukit itu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang-orang Lumban
Wetan dan Lumban Kulon"
"Mudah-mudahan ngger. Tetapi jika kau tidak bekerja
cepat, maka perpecahan itu akan kian menjalar" tetapi tibatiba
Sang Petaka 1 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Badai Laut Selatan 8
^