Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 14

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 14


menyerangnya dengan cara yang hampir sama. Dengan kaki
mendatai ia meluncur langsung menghantam tubuh anak
muda Lumban Kulon itu dengan sepenuh kekuatannya
Serangan itu benar-benar telah mengejutkan. Bukan saja
anak muda bertubuh raksasa itu. Tetapi anak-anak muda yang
berkerumun disekitar arena perkelahian itupun terkejut
Bahkan beberapa orang diantara mereka telah terpekik kecil.
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 12 YANG terjadi kemudian, memang seperti yang diduga.
Sekali lagi anak muda bertubuh raksasa itu terlempar. Ia tidak
lagi mampu mempertahankan keseimbangan. Karena itu, ia
tidak saja terhuyung-huyung, tetapi ia benar-benar telah
terbanting jatuh di tanah. Hampir saja kepalanya membentur
padas yang teronggok disebelah pematang.
Beberapa orang yang hampir tertimpa oleh anak muda
bertubuh raksasa itu menyibak. Hampir diluar sadar, beberapa
orang kawannya yang berdiri beberapa langkah saja dari
tempat anak itu terbanting telah dengan serta merta
berloncatan untuk menolongnya.
Tetapi anak muda bertubuh raksasa itu meronta sambil
berteriak "Lepaskan. Aku dapat bangkit sendiri. Aku sama
sekali t idak apa-apa Aku hanya lengah sedikit"
Kawan-kawannya kemudian bergeser surut. Sementara itu,
anak muda bertubuh raksasa itu benar-benar berusaha untuk
melenting berdiri. Tetapi hampir saja ia terjatuh kembali
karena keseimbangannya yang belum mapan. Apalagi terasa
tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.
Anak muda Lumban Wetan tidak memburunya. Ia justru
berdiri menunggu ditengah-tengah arena, seolah-olah sengaja
memberi kesempatan kepada lawannya untuk membenahi diri
Tetapi mata anak muda Lumban Kulon itupun bagaikan
membara ketika ia melibat lawannya berdiri tegak dengan kaki
renggang di tengah-tengah lingkaran anak-anak muda
Lumban Kulon dan sembilan anak-anak muda dari Lumban
Wetan. Dengan suara bergetar ia berkata "Anak tidak tahu
diri. Aku mencoba untuk membuatmu jera tanpa menyakitimu
dengan serangan-serangan yang berarti. Tetapi
kesombonganmu telah menutupi penglihatanmu atas
kemampuanku. Disaat aku lengah sedikit, ternyata kau benarbenar
ingin membunuhku" Anak muda Lumban Wetan itu menjawab "Aku tidak ingin
membunuh siapapun. Aku hanya diajari membunuh binatang
buruan di hutan-hutan oleh pemburu-pemburu itu"
"Persetan" geram anak muda bertubuh raksasa itu "Jika
kau tidak berusaha membunuhku, akulah yang akan
membunuhmu apapun yang akan terjadi. Setiap orang
diseputar arena ini menjadi saksi bahwa aku berkelahi dengan
jujur. Kematianmu sama sekali bukan salahku"
"Jangan berbicara tentang kematian" jawab anak muda
Lumban Wetan itu "Yang aku lakukan hanyalah berdiri disini
bersama sembilan orang kawanku. Apakah hal itu sudah
cukup alasan bagimu untuk membunuh?"
Namun tiba-tiba diantara anak-anak muda Lumban Kulon
terdengar seseorang berteriak "Bungkamsaja mulutnya"
"Bunuh saja" teriak yang lain.
Tetapi seorang dari kesembilan anak muda Lumban Wetan
menyahut "kematian dalam peristiwa seperti ini sama sekali
tidak akan memberikan arti apa-apa"
Anak muda bertubuh raksasa dari Lumban Kulon itu
menggeram. Dengan garang ia berkata "Kalian pengecut
Kalian takut mendengar kemungkinan dari satu perkelahian"
"Bukan takut" jawab anak muda Lumban Wetan "Tetapi
untuk apa kita harus bertaruh nyawa"
"Pengecut. Pengecut. Jika kalian takut mati, pergilah. Kalian
semuanya" teriak anak muda bertubuh raksasa itu.
Tetapi anak muda Lumban Wetan yang melawannya
berkata "Aku tetap pada pendirianku. Aku dan sembilan
kawan-kawanku akan tetap berada disini"
Anak muda Lumban Kulon itupun tiba-tiba telah meloncat
menyerang Tangannya terjulur lurus kedepan mengarah
kening. Namun serangan itu dapat dielakkan. Bahkan anak
muda Lumban Wetan itu berhasil memukul pergelangan
tangan lawannya dengan sisi telapak tangannya.
Rasa-rasanya pergelangan tangannya akan terlepas. Tetapi
anak muda Lumban Kulon itu berusaha untuk tidak
memberikan kesakitan pada pergelangan tangannya itu.
Sejenak kemudian perkelahian itupun telah membakar
arena kecil itu kembali. Serangan demi serangan. Desak
mendesak. Masing-masing berusaha untuk mengalahkan
lawannya. Anak muda Lumban Kulon itu telah berlatih lebih lama dari
anak muda Lumban Wetan yang untuk beberapa saat terhenti
karena anak-anak Lumban Kulon tidak mengijinkan mereka
memasuki bagian dari Lumban yang kemudian disebut
Kabuyutan Lumban Kulon. Tetapi ternyata anak muda Lumban
Wetan itu telah dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Pemburu itu telah memberikan perhatian khusus kepada
sepuluh orang Lumban Wetan yang ditempa setiap hari
dengan cara yang jauh lebih baik dari cara yang dipergunakan
oleh Daruwerdi. Bukan karena ketidak mampuan Daruwerdi,
tetapi karena Daruwerdi tidak bersungguh-sungguh seperti
yang dilakukan oleh Semi.
Karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin seru.
Tangan-tangan mereka semakin sering mengenai tubuh
lawannya. Masing-masing menjadi semakin kehilangan usaha
pengamatan diri setelah seluruh tubuh mereka basah oleh
keringat Namun latihan yang bersungguh-sungguh dari anak muda
Lumban Wetan ternyata mempunyai akibat yang lebih baik
pada pernafasannya dan daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka nampaknya, tenaga anak muda bertubuh
raksasa itulah yang lebih dahulu susut Meskipun demikian, ia
masih tetap garang. Ketika anak muda Lumban Wetan terdesak selangkah
surut, maka anak muda Lumban Kulon itu telah memburunya.
Dengan tenaganya yang kuat, tangannya masih sempat
menjangkau memukul dagu anak muda Lumban Wetan itu.
Demikian kerasnya sehingga kepala anak muda itu terangkat.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dengan cepat tangannya
yang lain telah menyambar perut.
Terdengar keluhan tertahan. Anak muda Lumban Wetan itu
terbungkuk oleh perasaan sakit pada perutnya.
Pada saat itu anak muda bertubuh raksasa itupun
mengangkat tangannya siap menghantam tengkuk anak muda
Lumban Wetan yang sedang kesakitan itu.
Namun ternyata anak muda Lumban Wetan itu masih tetap
menyadari keadaannya. Iapun sadar, bahwa kemungkinan itu
akan dapat dilakukan oleh lawannya, pada saat ia terbungkuk
diluar kehendaknya oleh gerak naluriah karena perasaan sakit.
Karena itu, ia harus bergerak cepat Sebelum tengkuknya
dihantam oleh lawannya. Dengan demikian, maka tiba-tiba saja ia telah menghentak
satu langkah kecil maju. Sikunyalah yang kemudian
menghantam perut lawannya, justru pada saat lawannya
sedang mengangkat tangannya.
Yang terdengar mengaduh kemudian adalah anak muda
bertubuh raksasa itu. Ialah yang kemudian terbungkuk oleh
perasaan sakit diperutnya.
Anak muda Lumban Wetan itu tidak mau terlambat lagi. Ia
tidak mengangkat tangannya dan menghantam tengkuk.
Tetapi ia justru bergeser setapak. Kemudian dengan serta
merta mengangkat lututnya menghantam wajah lawannya
yang sedang terbungkuk itu.
Demikian kerasnya, sehingga anak muda bertubuh raksasa
itu seakan-akan telah terangkat dan jatuh terbanting ditanah.
Anak muda Lumban Wetan itu meloncat memburu. Tetapi
tiba-tiba saja seakan-akan ada sesuatu yang menahannya.
Apalagi ketika terlihat olehnya, darah yang meleleh dari
hidung lawannya. Sekali lawannya berguling di tanah. Selain perasaan sakit
yang menghentak wajahnya, ia masih berusaha menjauhi
lawannya. Dengan sisa tenaganya iapun berusaha untuk
segera bangkit berdiri. Tetapi sekejap ia masih terhuyung-huyung. Perutnya serasa
mual dan wajahnya disengat oleh perasaan sakit dan pedih.
Bahkan rasa-rasanya matanya menjadi kabur dan berkunangkunang.
Namun ia berusaha untuk tetap bertahan, la masih melihat
lawannya berdiri tegak meskipun bibirnya nampak juga
menyeringai menahan sakit pada dagu dan perutnya.
Sesaat keduanya berdiri mematung. Tetapi setiap orang
yang berdiri diseputar arena itu mengetahui dengan pasta,
bahwa keadaan anak muda Lumban Wetan itu jauh lebih baik
dari keadaan anak muda Lumban Kulon yang bertubuh
raksasa. Namun yang dari hidungnya telah meleleh darah
seolah-olah tidak henti-hentinya.
"Gila, kau Gila" Anak muda Lumban Kulon itu menggeram
"Aku bunuh kau semuanya"
Keadaan menjadi tegang. Ketika anak muda bertubuh
raksasa itu berusaha maju selangkah, maka nampaklah
langkahnya yang gontai. Namun ia masih berteriak " Majulah
bersama-sama. Aku akan membunuh kalian"
Lawannya masih berdiri tegak. Bahkan perasaan sakit pada
dagu dan perutnya menjadi berkurang. Dan bahkan hampir
tidak dirasanya lagi. Meskipun demikian ia masih tetap berdiri tegak.
Disekitarnya berdiri anak-anak muda Lumban Kulon yang
tegang pula. Untuk sesaat arena itu justru telah dicengkam oleh
kesepian yang tegang. Setiap dada rasa-rasanya bagaikan
bergejolak oleh perist iwa yang mendebarkan jantung. Dua
orang anak muda berdiri berhadapan dengan sorot yang
menyala. Tetapi orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu,
sebenarnya akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa anak
muda Lumban Kulon yang bertubuh raksasa itu sudah
Hilralahkan oleh anak muda Lumban Wetan.
Sesaat kemudian, Nugatalah yang melangkah memasuki
arena sambil berkata "Luar biasa. Anak Lumban Wetan
berhasil mengalahkan anak Lumban Kulon. Tetapi ketahuilah,
agaknya Lumban Wetan telah melepaskan anak muda
terbaiknya. Sementara Lumban Kulon belum. Karena itu,
marilah kita melihat apakah puncak kemampuan Lumban
Kulon benar-benar kalah dengan puncak kemampuan Lumban
Wetan. Aku menantang siapa yang merasa dirinya paling kuat
di Lumban Wetan" Namun anak muda bertubuh raksasa itu berkata "Aku
belum kalah" "Pergi kau" bentak Nugata.
Anak muda bertubuh raksasa itu menggeram. Tetapi ia
tidak berani membantah anak Ki Buyut Lumban Kulon yang
juga sudah mulai dibakar oleh kemarahan itu.
Anak-anak muda Lumban Wetan itupun menjadi termangumangu.
Yang kemudian berdiri dihadapan mereka ternyata
adalah anak Ki Buyut Lumban Kulon.
"Cepat" geram Nugata "Siapa yang akan maju" Aku t idak
mau melihat kesombongan kalian yang rasa-rasanya
membakar jantung. Betapa sombongnya kalian karena salah
seorang dari kalian telah berhasil mengangkat dada karena
kemenangan yang tidak berarti apa-apa. Bahkan kalian telah
berpura-pura berbelas kasihan kepada lawan yang tidak
berdaya lagi" Anak muda Lumban Wetan yang baru saja berkelahi itu
mengerutkan keningnya Kemudian iapun menyahut "Aku sama
sekali tidak berniat menyombongkan diri. Aku hanya mencoba
membatasi, agar perkelahian, ini tidak menimbulkan akibat
yang lebih parah bagi hubungan kedua Kabuyutan ini"
"Siapa yang mengajarimu berkata demikian" jawab Nugata
"Aku adalah anak Buyut Lumban Kulon. Aku sudah muak
menyaksikan kesombongan anak-anak muda Lumban Wetan.
He, apakah maksud kalian datang kemari hanya bersepuluh"
Bukankah itu sikap sombong yang luar biasa, seakan-akan
kalian ingin mengatakan, bahwa dengan sepuluh orang kalian
akan dapat menggagalkan usaha kami membagi air itu dengan
adil?" "Sama sekali tidak. Kami tidak bermaksud menghalangimu
hanya dengan sepuluh orang. Kami adalah wakil dari kawankawan
kami yang mendapat kepercayaan untuk sekedar
menyaksikan apa yang akan kalian lakukan. Dan apakah yang
kalian sebut adil itu juga adil menurut pendapat kami" jawab
anak Lumban Wetan itu. "Kamilah yang menentukan pembagian air itu" geram
Nugata pula "Sudah kami katakan, kami yang memiliki
bendungan dan sumber air itu, karena keduanya terletak di
Lumban Kulon. Karena itu, apa yang kami lakukan atas
bendungan dan pintu air ini semata-mata atas pertimbangan
belas-kasihan kami kepada Kabuyutan Lumban Wetan yang
kering dan ternyata sangat miskin, sehingga sama sekali tidak
mempunyai sumber-sumber yang akan dapat dijadikan
tumpuan harapan masa datang"
"Sikap itulah yang menjadi dasar pertentangan yang
mungkin akan dapat meluas" sahut anak muda Lumban
Wetan", karena itu, pikirkanlah masak-masak. Kedua
kabuyutan ini mempunyai batang tubuh tunggal pada
mulanya. Jika kemudian batang yang tunggal itu bercabang
dua, bukankah sebaiknya kedua cabang itu akan mengalami
nasib yang sama. Jika keduanya menjadi hijau, biarlah samasama
segar. Jika harus kering biarlah kedua-duanya
mengalaminya" "Itu adalah sikap yang patut disesalkan. Kalian, anak-anak
Lumban Wetan yang putus asa karena kegersangan daerah
kalian, tiba-tiba saja sudah menuntut berlebih-lebihan dari
tetangga yang semula merupakan satu tubuh. Dengan
demikian, jika kalian mulai dengan sikap yang bodoh,
menyakit i hati kami, itu akan sama arti bahwa kalian telah
menyakit i sumber Kebuyutan kami yang tunggal itu" jawab
Nugata "karena itu, mungkin sekali bahwa pada batang tubuh


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tunggal akan tumbuh cabang yang subur dan besar
sementara cabang yang lain kecil dan kerdil. Bahkan mungkin
akan menjadi kering dan patah jatuh di tanah"
"Dan apakah kalian juga bersikap demikian" Membiarkan
tetangga yang merupakan pecahan dari itu kering dan patah?"
bertanya anak muda Lumban Wetan.
"Jika memang tidak ada kemungkinan lain, apaboleh buat"
jawab Nugata. "Dengan demikian, sikapmu sudah pasti" desis anak muda
Lumban Wetan "Dan dengan demikian pula, maka
sebenarnyalah bahwa kami harus berusaha untuk
mempertahankan hidup kami tanpa pengertian siapapun juga.
Karena itu, maka kami akan menjawab dengan tegas bahwa
sungai ini sampai kesumbernya, sama sekali bukan milik
kalian. Bukan milik Lumban Kulon dan bukan milik Lumban
Wetan. Tetapi kedua bukit yang disebut Sepasang Bukit mati
itu dan jalur sungai ini dengan segala macam isinya, adalah
milik kita bersama. Jika satu pihak menyebut, Sepasang Bukit
Mati dan jalur sungai ini adalah miliknya, maka ia sudah
merampas hak orang lain"
"Jangan banyak bicara" bentak Nugata kemudian "Aku
bertanya, siapa yang akan tampil. Panggil orang terbaik dari
Lumban Wetan. Aku akan menunjukkan kepada kalian, tanpa
melanggar sifat kejantanan, karena aku akan berkelahi
seorang melawan seorang bahwa Lumban Kulon memiliki
kekuatan yang jauh melampaui kekuatan yang dapat
dikerahkan oleh anak-anak muda Lumban Wetan. Seandainya
jumlah diantara kita berimbang, maka setiap orang Lumban
Kulon memiliki kemampuan lebih baik dari setiap orang di
Lumban Wetan, kecuali raksasa dungu ini"
Anak muda Lumban Wetan itu tidak segera menjawab.
Tetapi kata-kata itu bagi anak-anak Lumban Kulon sendiri
sangat meragukan, karena bagi mereka, anak muda bertubuh
raksasa itu termasuk salah seorang diantara mereka yang
terkuat. Sejenak suasana dicengkam oleh kediaman yang tegang.
Kesepuluh anak-anak Lumban Wetan yang berada diantara
kerumunan anak-anak Lumban Kulon itu menjadi berdebardebar.
Apakah mereka akan menerima tantangan anak-anak
muda Lumban Kulon itu atau tidak.
"Cepat" teriak Nugata "Siapa yang akan maju"
Namun tiba-tiba terdengar jawaban dari antara anak-anak
muda Lumban Wetan "Kami datang tidak untuk berkelahi.
Kami hanya ingin melihat apakah yang sudah kalian lakukan"
"Aku tidak peduli" geram Nugata.
"Kami memang tidak ingin berkelahi" desis yang lain.
"Jika kalian takut, pergilah. Jangan ganggu kami" berkata
Nugata lantang "atau, kalian ingin berkelahi berpasangan"
Dua, atau tiga orang sekaligus?"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu termangu-mangu.
Rasa-rasanya darah mereka menjadi semakin panas. Anak
muda yang baru saja mengalahkan anak muda bertubuh
raksasa dari Lumban Kulon itupun berkata "jangan membakar
jantung kami. Aku kira apa yang aku lakukan sudah cukup.
Sekarang, biarlah kami berdiri dlsini"
"Tidak" jawab Nugata keras-keras "kalian harus memilih.
Pergi, atau berkelahi"
Darah anak-anak muda Lumban Wetan itu benar-benar
sudah mendidih. Hampir saja mereka kehilangan pengekangan
diri. Namun selagi salah seorang dari mereka hampir saja
meloncat maju karena gejolak hati yang tidak tertahankan,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seseorang "Sudah
cukup. Kau t idak perlu kehilangan akal Nugata"
Nugata berpaling. Semua orang yang berada di tempat
Itupun berpaling. Mereka melihat Daruwerdi berdiri tegak
ketika beberapa orang di depannya menyibak "Sudah cukup"
katanya "Kita sudah melihat satu contoh perkelahian antara
anak muda Lumban Kulon dan anak muda Lumban Wetan"
"Belum cukup" jawab Nugata "Perkelahian ini memberikan
kesan yang salah antara imbangan kekuatan yang ada di
Lumban Kulon dan Lumban Wetan"
"Tidak" jawab Daruwerdi "ingat, yang berkelahi dari antara
anak-anak Lumban Wetan adalah salah satu dari kesepuluh
anak pilihan. Sementara anak Lumban Kulon bukanlah anak
terbaik. Karena itu, perkelahian ini bukan takaran"
"Karena itu, aku ingin memberikan takaran yang benar. Aku
kira aku akan dapat menantang anak terbaik dari Lumban
Wetan" geram Nugata.
Tetapi Daruwerdi tertawa, katanya. "Lakukanlah apa yang
akan kau lakukan atas pintu air itu. Kalian ternyata telah
terpancing untuk melakukan kerja yang tidak berarti sama
sekali, sehingga kerja kalian yang penting itu telah
terbengkelai" Nugata mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata "Kau benar. Tetapi
kesombongan anak-anak Lumban Wetan tidak seharusnya
dibiarkan saja" Tetapi Daruwerdi masih tertawa. Katanya "Waktumu cukup
banyak. Jika pintu air itu sudah selesai, kau dapat melihat, apa
yang dapat dilakukan oleh anak-anak Lumban Wetan.
Bukankah kau tidak berkeberatan, jika mereka hanya melihatlihat
bahwa air sudah melimpah ke tanah persawahan di
Lumban Kulon" Kau tentu tidak akan kehilangan apapun juga.
Air itu akan tetap mengalir dan sawah di Kebuyutan Lumban
Kulon akan tetap menjadi hijau"
Nugata termangu-mangu sejenak. Namun ia masih berdesis
"Mereka telah menyinggung harga diri kami"
Daruwerdi melangkah mendekatinya sambil berkata
"Jangan hiraukan. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa"
Nugata menggeram. Namun kemudian Daruwerdi berkata
"Marilah. Lanjutkan kerjamu"
Nugata tidak menjawab lagi. Iapun kemudian berkata
kepada kawan-kawannya "Jangan hiraukan mereka. Marilah,
kita lanjutkan kerja kita"
Nugatapun kemudian melangkah meninggalkan tempatnya.
Beberapa orang anak-anak muda Lumban Kulon segera
mengikut inya, sementara yang lain masih berdiri termangumangu
sambil memandangi kesepuluh anak-anak muda
Lumban Wetan yang nampaknya sama sekali tidak menjadi
gentar. "Marilah desis Daruwerdi kemudian kepada anak-anak
muda yang masih tertinggal.
Merekapun kemudian dengan langkah-langkah panjang
kembali menyeberangi sungai yang tidak begitu besar di
bawah bendungan. Kemudian merekapun telah mengambil
alat-alat mereka masing-masing
"Kita akan melanjutkan kerja kita seperti yang kita
rencanakan" berkata Nugata "dalam waktu singkat, pintu air
itu harus sudah selesai, sementara saluran induk itupun harus
disesuaikan. Air yang melimpah itu harus tertampung dan
mengalir sampai ke ujung parit yang terkecil"
Demikianlah, anak-anak muda Lumban Kulon itu telah
kembali tenggelam ke dalam kerja. Nampaknya mereka justru
bekerja lebih keras. Kemarahan mereka terhadap anak-anak
muda Lumban Wetan mereka tumpahkan kepada kerja
mereka, untuk membuka pintu air yang mengalirkan air ke
Lumban Kulon lebih lebar lagi.
Kesepuluh anak-anak muda Lumban Wetan masih berada
di tempatnya. Mereka telah berdiri berkelompok. Dengan nada
rendah anak muda yang telah berkelahi melawan anak muda
Lumban Kulon itu berkata "Kita tidak perlu berkecil hati.
Ternyata kita memiliki kemampuan yang cukup untuk
melawan mereka" "Apa yang akan kita lakukan?" bertanya seorang kawannya.
"Kita tidak akan dapat berbicara tentang kekerasan dengan
anak Ki Buyut Lumban Wetan yang memiliki sikap yang jauh
berbeda. Karena itu, kita akan berbicara dengan kedua
pemburu itu, dan barangkah ada baiknya juga kita berbicara
dengan Jlitheng yang telah bekerja paling keras untuk
mengarahkan arus air yang liar diatas bukit itu"
"Kita jangan terlalu mengalah" desis seorang anak muda
yang lain. "Kita memang harus mempertimbangkannya" jawab kawannya
yang baru saja berkelahi itu.
Tetapi anak-anak muda Lumban Wetan itu tidak maumeninggalkan
bendungan itu. Mereka tetap berada di
tempatnya. menunggui anak-anak Lumban Kulon yang sedang
meru-bah pintu air. Betapapun kemarahan menghentak-hentak dihati anakanak
muda Lumban Kulon, namun mereka tidak berani
melanggar pesan Daruwerdi. Jika Daruwerdi menjadi kecewa
dan meninggalkan anak-anak muda Lumban Kulon, maka
mereka akan menjadi semakin kecil, justru karena di Lumban
Wetan ada dua orang pemburu yang bersedia memberikan
latihan-latihan olah kanuragan dan bahkan pernah terjadi
benturan kekuatan dengan Daruwerdi.
"Apakah Daruwerdi takut menghadapi kedua pemburu itu?"
pertanyaan itu timbul di dalam hati anak-anak muda Lumban
Kulon. Namun sebenarnyalah Daruwerdi dengan sengaja
memperpanjang waktu bagi persoalan yang sedang timbul
antara Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Jika persoalan itu
cepat selesai, apapun yang terjadi, maka kedatangan orangorang
Sanggar Gading akan sangat menarik perhatian.
"Hanya sampai akhir pekan ini" berkata Daruwerdi di dalam
hatinya. Tetapi hari-hari yang tidak genap sampai satu pekan itu
terasa lama sekali. Seakan-akan Daruwerdi tidak lagi bersabar
menunggu. Dalam pada itu, ketika matahari kemudian turun, anakanak
Lumban Kulonpun menghentikan kerjanya. Mereka
menunda kerja mereka sampai esok. Sekilas mereka
memandang anak-anak Lumban Wetan yang masih berada di
tempatnya, meskipun mereka kemudian telah duduk diatas
batu-batu padas. "Jangan hiraukan mereka" geram anak muda bertubuh
raksasa " biarlah mereka mendekam disitu sampai tujuh hari
tujuh malam" Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi setiap orang
diantara mereka, rasa-rasanya sedang menahan kemarahan
yang menhentak-hentak dada.
Setelah anak-anak Lumban Kulon itu hilang dibalik gerumbul,
maka anak-anak itupun kemudian bangkit berdiri.
Seorang diantara mereka berkata "Marilah kita lihat, apa yang
telah mereka kerjakan"
Kesepuluh anak-anak muda Lumban Wetan itupun
kemudian melintasi sungai di bawah bendungan dan naik
kebagian Barat sungai yang menjadi sumber sengketa itu.
"Gila" geram anak-anak muda Lumban Wetan itu.
Mereka melihat, bagaimana anak-anak muda Lumban Kulon
mulai dengan kerja mereka. Pintu air yang melimpahkan air ke
Lumban Kulon telah diperlebar. Parit induk yang akan
menampung air itupun sudah mulai dikerjakan.
Dengan demikian, anak-anak Lumban Wetan itu sudah
dapat memperhitungkan, seberapa bagian air yang akan
melimpah ke tanah persawahan di Lumban Kulon dan
seberapa bagian yang akan mengalir ke Lumban Wetan.
"Sawah-sawah kita akan kembali menjadi kering" desis
salah seorang dari anak-anak Lumban Wetan itu.
"Kita memang harus bertindak. Semakin cepat semakin
baik Kita sudah menjajagi kemampuan mereka. Satu dianantara
mereka sudah kita ketahui kekuatannya. Meskipun
menurut Nugata ia bukan anak terbaik di Lumban Kulon,
tetapi ia tentu anak muda yang diperhitungkan. Ternyata ia
adalah orang yang pertama mengambil sikap"
Anak-anak muda Lumban Wetan itupun akhirnya
bersepakat untuk melakukannya. Meskipun demikian mereka
tidak akan meninggalkan Jlitheng dan kedua pemburu yang
telah mengajari mereka dalamolah kanuragan.
Ketika langit menjadi gelap, kesepuluh anak-anak Lumban
Wetan itupun segera bersiap untuk meninggalkan bendungan,
setelah hampir sehari mereka menunggui anak-anak Lumban
Kulon membangun pintu air menurut kehendak mereka
sendiri. Meskipun mereka tidak makan sepanjang hari, tetapi
karena niat mereka yang teguh mereka sama sekali tidak
merasa lapar. Memang mereka merasa haus, tetapi mereka
telah mengambil air disebuah belik kecil di pinggir sungai itu.
"Marilah kita pulang" berkata anak muda yang tertua
diantara mereka kita sudah mempunyai bahan cukup banyak
untuk menentukan sikap"
Kesepuluh anak-anak muda itupun segera bersiap untuk
kembali ke padukuhan mereka.
Tetapi langkah mereka terhenti ketika tiba-tiba dua orang
telah datang mendekati mereka. Dua orang yang sama sekali
tidak mereka kenal. "Luar biasa" desis salah seorang dari kedua orang itu.
Kesepuluh anak-anak itu termangu-mangu sejenak. Namun
salah seorang dari merekapun segera bertanya "Siapakah
kalian berdua he?" "kalian tidak perlu mengenal kami. Kami adalah dua orang
perantau yang sekedar mengikut i langkah kaki tanpa tujuan
dan tanpa kehendak apapun juga dengan perantauan kami
selain ingin melihat tempat-tempat yang belum pernah kami
lihat" Jawab salah seorang dari keduanya.
"Lalu, apa maksud kalian datang kepada kami?" bertanya
anak muda Lumban Wetan itu.
"Tidak apa-apa. Kami hanya mengagumi kalian. Apa yang
telah kalian lakukan benar-benar membuat kami heran. Kami
melihat kalian datang menunggui anak-anak yang membuka
pintu air itu. Kami melihat kalian berkelahi, dan kami melihat
anak-anak itu kembali bekerja" jawab salah seorang dari
kedua orang itu "Tetapi setelah itu kami meninggalkan tempat
kami menyaksikan sikap kalian yang luar biasa itu. Menjelang
senja kami kembali. Ternyata kalian masih tetap berada disini.
Kalian sama sekali tidak meninggalkan tempat ini meskipun
anak-anak membuka pintu air itu mengancam kalian"
"Terima kasih" jawab anak muda yang tertua diantara
anak-anak muda Lumban Wetan itu "kalian memuji kami "


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Sama sekali tidak. Kami sama sekali t idak
bermaksud memuji. Tetapi sikap kalian benar-benar terpuji"
berkata salah seorang dari keduanya " karena itulah maka
justru kami ingin menyatakan kesediaan kami untuk
membantu kalian apabila kalian perlukan"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu terkejut. Mereka t idak
mengenal kedua orang itu. Namun tiba-tiba keduanya telah
menawarkan diri untuk membantu mereka jika diperlukan.
"Apakah keuntungan kalian membantu kami?" tiba-tiba
salah seorang dari anak-anak Lumban Wetan itu bertanya.
"Tidak ada" jawab salah seorang dari keduanya "Kami
hanya tertarik melihat sikap kalian, karena nampaknya kalian
berada dipihak yang benar dalam sengketa air ini"
Anak-anak Lumban Wetan itu menjadi semakin heran.
Kedua orang itu mengaku tidak berkepentingan dan tidak
mempunyai keuntungan apapun juga. Tetapi sikap mereka,
ternyata telah sangat menarik perhatian anak-anak muda
Lumban Wetan. "Kedua pemburu itu datang dengan tiba-tiba" berkata
anak-anak muda Lamban Wetan di dalam hati "Mereka
membantu kami dan bahkan bersedia mengajar kami dalam
olah kanuragan. Sekarang, dua orang lagi datang kepada kami
dengan kesediaan untuk membantu pula"
Namun anak-anak muda Lumban Wetan melihat, meskipun
dalam keremangan ujung malam, bahwa wajah dan sikap
kedua orang itu agak berbeda dengan sikap dan wajah dari
kedua orang pemburu yang telah berada di Kabuyutan mereka
untuk beberapa lamanya. "Ki Sanak" tiba-tiba orang tertua dari kesepuluh anak-anak
muda Lumban Wetan itu bertanya "Jika kami ingin
menyatakan permohonan kami, misalnya, dalam keadaan
yang tidak teratasi karena Daruwerdi langsung melibatkan diri,
dimana kami dapat menjumpai kalian?"
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun]
salah seorang dari mereka berkata "Jangan mencari kami.
Mungkin kami berada di lereng bukit itu, tetapi mungkin
berada di bukit gundul atau dimanapun yang menarik hati
kami. Kamilah yang akan membayangi persoalan yang timbul
diantara kalian" "Tetapi, bagaimana cara kami, jika kami memerlukan
kalian" bertanya anak muda Lumban Wetan itu.
"Dalam benturan yang tidak terelakkan, aku akan berada
disekitar tempat itu. Kalian dapat memberikan isyarat
kepadaku jika kalian memerlukan. Pakailah sebuah kentongan
kecil. Dan aku akan tanggap jika kentongan itu kalian
bunyikan" berkata salah seorang dari keduanya.
Anak-anak muda Lumban Wetan itu termangu-mangu.
Yang tertua diantara merekapun minta diri untuk segera
kembali ke padukuhan mereka.
Dibanjar, peristiwa yang terjadi di bendungan itu telah
menjadi bahan pembicaraan. Banjar di induk padukuhan dari
Kabuyutan Lumban Wetan itu "penuh dengan anak-anak
muda. Bukan saja anak-anak muda dari induk padukuhan di
Kabuyutan Lumban Wetan. Tetapi juga dari padukuhanpadukuhan
yang lain. Rasa-rasanya banjar itu akan meledak oleh kemarahan
yang bergetar di hati anak-anak muda Lumban Wetan. Mereka
merasa bahwa mereka sudah cukup sabar dan menahan diri.
Tetapi anak-anak muda Lumban Kulon justru telah
memanfaatkan kesabaran anak-anak muda Lumban Wetan itu
untuk memaksakan kehendak mereka dengan, merombak
pintu air yang telah ada sehingga pintu air yang melimpahkan
air ke Lumban Kulon menjadi jauh lebih lebar.
Dalam pada itu, yang menarik perhatian Semi dan
kawannya adalah justru hadirnya dua orang yang tidak dikenal
itu. Dua orang yang telah menawarkan keinginan mereka
untuk membantu. Bahkan Rahu yang berada di banjar itu
pula, telah mendengarkan ceritera anak-anak Lumban Wetan
itu dengan hati yang berdebar-debar.
"Siapa mereka?" desis Semi ke telinga kawannya.
"Kita harus berusaha untuk mengetahuinya" sahut
kawannya "Tetapi keduanya tentu bukan kawan-kawan Rahu.
Semi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menunjukkan sikap yang dapat memberikan kesan khusus
kepada anak-anak muda Lumban Wetan itu. Meskipun
merekapun mengerti, bahwa Semi agaknya telah tertarik
kepada ceritera tentang kedua orang itu.
Ketika Semi kemudian sempat berbicara dengan kawannya
dan Rahu, maka iapun berkata "Kedua orang itu harus
mendapat perhatian tersendiri. Mungkin keduanya adalah
orang-orang dari padepokan lain. Mungkin Kendali Putih atau
orang-orang Gunung Kunir. MeTeka tidak boleh mengacaukan
hubungan Daruwerdi dengan orang-orang Sanggar Gading
meskipun bagi Daruwerdi, siapapun yang dapat memenuhi
tuntutannya tidak akan mendapat pelayanan yang berbeda"
"Kita harus dapat menyerahkan Pangeran itu, dan
kemudian menerima pusaka yang telah dijanjikan. Baru
kemudian kita akan mengambil sikap" berkata Rahu.
Dengan demikian, kehadiran kedua orang itu rasa-rasanya
telah menambah beban orang-orang yang telah mendahului
berada di daerah Sepasang Bukit Mati itu.
"Tetapi jika keduanya dikirim oleh salah satu pihak dengan
pengertian yang lengkap tentang saat-saat peiiyerahai
Pangeran itu kepada Daruwerdi, maka kemungkinan yang
gawat akan dapat terjadi" berkata Semi.
"Sebaiknya kita benar-benar mempersiapkan tempat ini"
berkata Rahu "Kita harus berbicara dengan Jlitheng"
Diluar pengetahuan anak-anak muda Lumban Wetan, maka
Jlithengpun telah bertemu dengan Rahu. Tetapi Jlitheng justru
telah tertarik pula kepada berita tentang dua orang yang telah
hadir di daerah Lumban "Aku belum mengetahuinya" desis Jlitheng "Tetapi
kehadiran orang-orang yang demikian itu bukannya yang
pertama di daerah ini. Sejak orang Kendali Putih bertemu dan
saling membunuh dengan orang Pusparuri di daerah ini, maka
orang-orang yang tidak dikenal memang sering datang ke
daerah ini dengan maksud-maksud tertentu, yang tentu saja
ada hubungannya dengan kehadiran Daruwerdi disini"
"Mungkin kau akan mendapat kesempatan pertama untuk
mengetahui tentang kedua orang itu" desis Rahu.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun katanya "Aku
akan berusaha. Tetapi kalianpun harus berbuat sesuatu"
"Ya. Sudah tentu" desis Rahu. .
"Selebihnya, kau jangan menganggap untuk seterusnya
Daruwerdi hanya akan hadir disini seorang diri" gumam
Jlitheng kemudian. "Sudah kami perhitungkan" jawab Rahu. Lalu "Tetapi
kaupun harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang dapat dilakukan oleh segala pihak. Termasuk kakek
dUereng bukit itu" Jlitheng tersenyum. Katanya "Apa yang kau ketahui tentang
kakek di lereng bukit itu" Ia terlalu sibuk dengan mata air
yang ditungguinya" Tetapi Rahu menyahut "Terserah atas penilaianmu, Mata
air, bukit, atau gadis itu"
Dalam pada itu, selagi Lumban diributkan oles sikap anakanak
Lumban Kulon tentang air yang justru telan berhasil
dikendalikan di atas bukit berhutan lebat, maka di Padepokan
Sanggar Gading, terjadi pula kesibukan tersendiri.
Cempaka yang telah kembali dari daerah Sepasang Bukit
Mati telah melaporkan pertemuannya dengan Daruwerdi
kepada kakaknya. "Kita harus menemukan sikap tersendiri" berkata Sanggit
Raina "karena diluar perhitungan kita. Yang Mulia akan turun
sendiri langsung menyerahkan Pangeran Sena Wa-sesa
kepada Daruwerdi" Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Semuanya
harus kita pertimbangkan sebaik-baiknya. Jika kita ingin
merampas pusaka itu dengan kekerasan, apakah kita akan
mampu berhadapan dengan Yang Mulia"
"Itulah yang harus kita perhitungkan" desis Sanggit Raina
"Tetapi kita harus merampas pusaka itu. Pusaka itu akan
dapat memberikan sejuta kemungkinan bagi kita. Sebenarnya
pusaka itu tidak akan banyak berarti lagi bagi Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading. Ia sudah tidak mempunyai hari
depan lagi, karena umumya sudah lanjut. Jika ia mendapat
pusaka itu, maka ia hanya akan menikmatinya untuk waktu
yang terlalu pendek, dan sama sekali tidak seimbang dengan
kebesaran pusaka itu sendiri"
"Mungkin keturunan atau siapapun yang akan menjadi
pewarisnyalah yang akan menikmatinya" desis Cempaka.
"Tidak ada orang lain" jawab Sanggit Raina "Tetapi baiklah
kita berhati-hati. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita ketahui"
"Tetapi terlalu sulit untuk mengambil pusaka itu dari
tangannya" desis Cempaka kemudian dengan nada rendah
Seolah-olah ia sudah tidak berpengharapan lagi untuk dapat
memiliki pusaka yang sedang diperebutkan itu.
"Jangan cemas. Kita dapat menempuh segala cara. Kasar
atau halus. Beradu dada atau dari punggung. Nilai pusaka itu
cukup besar dibandingkan dengan cara apapun juga. Juga
dengan tidak mengingat harga diri dan nilai-nilai kejantanan"
sahut Sanggit Raina. "Kita akan berbuat curang?" bertanya Cempaka.
"Niat kita memang sudah dilambari dengan kecurangan.
Bukankah kita berbuat dengan landasan yang tidak jujur" Jika
kita jujur, kita tidak akan berniat untuk memiliki pusaka itu"
berkata Sanggit Raina "Tetapi kita tidak berbuat demikian. Kita
sudah berniat berbuat curang dengan memiliki pusaka itu. Apa
salahnya jika kita juga mempergunakan cara yang curang
pula" Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian
"Apapun yang akan kau lakukan, aku akan melakukannya
pula" "Siapkan racun yang paling baik. Kita akan
mempergunakannya lewat cara apapun juga. Ujung senjata,
ujung duri, atau makanan" berkata Sanggit Rain "Jika kita
berhasil, akulah yang akan mengusai seluruh pengikutnya.
Aku merasa, pengaruhku cukup besar atas mereka"
Cempaka mengangguk-angguk Katanya "Baiklah. Aku akan
mempersiapkannya. Sementara Rahu aku tinggalkan di daerah
Sepasang Bukit Mati untuk meyakinkan, bahwa kedatangan
kami tidak akan diganggu oleh orang-orang dari kelompok
yang lain, yang tentu sudah mendengar bahwa Pangeran Sena
Wasesa itu hilang dari istananya"
"Baiklah" berkata Sanggit Raina "Tetapi kemungkinan itu
tidak hanya dapat terjadi di daerah Sepasang Bukit Mati.
Tetapi orang Pusparuri, orang-orang Kendali Putih atau orangorang
dari kelompok yang lain akan dapat menghambat
perjalanan kita jauh-jauh sebelum kita memasuki daerah
Sepasang Bukit Mati itu"
Cempaka mengangguk-angguk. Kita sudah siap. Apapun
yang akan kita hadapi"
"Jangan terlalu berbangga dengan kekuatan kita" sahut
Sanggit Raina "Jika orang Pusparuri, Kendali Putih atau orangorang
Gunung Kunir sudah berani menghentikan kita
diperjalanan ke daerah Sepasang Bukit Mati, itu berarti
mereka sudah siap menghadapi kekuatan kita, karena kita
tidak dapat menutup mata, bahwa mereka tentu sudah
mendapat keterangan serba sedikit tentang kekuatan kita"
"Jadi?" bertanya Cempaka.
"Kita akan mengambil jalan yang sama sekali tidak diduga
oleh siapapun" jawab Sanggit Raina.
Cempaka mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa cara
itu adalah cara yang paling baik.
Ketika Sanggit Raina menghadap Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading bersama Cempaka untuk menyampaikan laporan
tentang daerah Sepasang Bukit Mati, maka Yang Mulia itu
berkata "Kita akan berangkat esok pagi. Aku setuju dengan
pendapatmu. Kita akan menempuh jalan yang tidak terduga
sama sekali, meskipun jaraknya menjadi lebih jauh. Bukan
karena kita ketakutan menghadapi siapapun juga, tetapi bagi
kita lebih baik sampai kepada anak itu bersama Pangeran
Sena Wasesa yang selamat daripada kita akan membawanya
dalam keadaan yang lebih buruk, jika kita bertemu dengan
kelompok lain yang mungkin menjadi kasar, buas dan liar
karena putus asa" Dengan demikian, maka persiapan terakhir telah dilakukan.
Menjelang malam. Sanggit Raina telah menghadap Pangeran
Sena Wasesa di biliknya yang dijaga kuat.
Pangeran yang masih dalam keadaan sakit itu berbaring di
dalam bilik yang tidak terlalu tuas, diatas amben pring wulung
yang berwarna kelam. "Pangeran" berkata Sanggit Raina "Kita akan menempuh
sebuah perjalanan yang panjang"
Pangeran itu memandang Sanggit Raina dengan
pandangan yang sayup. "Maaf Pangeran" berkata Sanggit Raina " semuanya ini
terjadi atas Pangeran, karena satu permintaan. Bukan karena
niat kami. Tetapi sebenarnyalah Pangeran tidak usah
mencemaskan nasib keluarga kecil Pangeran yang Pangeran
tinggalkan di istana "Apa maksudmu?" bertanya Pangeran itu dengan suara
parau. "Seperti yang sudah Pangeran ketahui, bahwa kami sudah
membunuh kawan kami sendiri yang mencoba menodai
kejujuran sikap kami"
Pangeran yang sedang sakit itu menarik nafas dalam-dalam
Ia memang sudah mendengar serba sedikit, apa yang telah
terjadi di istananya, sepeninggalnya. Namun itu sama sekali
bukan satu kepastian, bahwa setelah itu tidak akan pernah
terjadi apapun juga dengan puteri yang ditinggalkannya di
istananya. Tetapi Pangeran itu tidak mengatakannya. Betapapun
jantungnya bergejolak, tetapi wajahnya nampaknya tetap
tenang dalam kekerasannya.
Sanggit Raina mengamatinya sejenak. Kemudian katanya
selanjutnya " Menurut Yang Mulia, besok kita akan pergi ke
daerah yang disebut Sepasang Bukit Mati. Kita akan bertemu
dengan seseorang anak muda yang memerlukan Pangeran.
Pangeran Sana Wasesa mengerutkan keningnya. Kemudian


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya "Siapakah nama anak muda itu, dan apakah
kepentingannya?" "Namanya Daruwerdi" jawab Sanggit Raina "sedangkan
kepentingannya tidak kami ketahui dengan pasti. Tetapi
bahwa yang kami lakukan ini ada hubungannya dengan
sebuah pusaka yang disimpan oleh anak muda yang bernama
Daruwedi itu" Wajah Pangeran Sena Wasesa telah menegang. Bahkan per
lahan-lahan iapun kemudian bangkit dan duduk di bibir
ambennya "Aku tidak kenal nama itu. Tetapi pusaka apa yang
kalian maksud?" "Pusaka yang sangat berharga bagi kami" jawab Sanggit
Raina "Tetapi biarlah kita tidak berbicara tentang pusaka itu.
Ketahuilah Pangeran, justru karena besok pagi kita akan
berangkat. Anak muda yang bernama Daruwerdi itu minta
agar kami membawa Pangeran kepadanya jika kami ingin
memiliki pusaka yang sangat berharga itu"
"Ya, pusaka apa?" bentak Pangeran Sena Wasesa.
"Jangan membentak. Aku t idak dapat mengatakannya
kepada Pangeran. Tetapi demikian kami menyerahkan
Pangeran, pusaka itu akan jatuh ke tangan kami" jawab
Sanggit Raina, lalu "Baiklah Pangeran merenungi malam ini,
apakah benar yang dikatakan oleh anak muda itu, bahwa
Pangeran pernah membunuh ayahnya. Jika Pangeran tidak
mengenal nama Daruwerdi itu, maka tentu Pangeran dapat
mengingat orang -orang penting yang pernah Pangeran
bunuh" Pangeran yang sedang sakit itu mengerutkan keninggnya.
Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berguman
"Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang
terjadi atasku. Dan aku tidak dapat mengingat, bahwa aku
kira aku t idak akan dapat mengingatkan lagi seorang demi
seorang. "Maaf Pangeran, aku tidak dapat membantu ingatan
Pangeran karena aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Yang
kami lakukan adalah sekedar memenuhi permintaan
Daruwerdi. Aku memerlukan sekali pusaka itu, sementara
Daruwerdi memerlukan sekali Pangeran dengan sikap apapun
juga yang tidak kami pertimbangkan"
Pangeran yang sedang sakit itu telah berbaring lagi. Direnunginya
atap rumah yang tidak terlalu bersih itu. Seolaholah
ia sedang menelusurinya merayap kemasa lampau.
Dalam pada itu, terdengar Sanggit Raina berkata "Silahkan
beristirahat sebaik-baiknya Pangeran. Nampaknya keadaan
Pangeran sudah berangsur baik. Besok kita akan menuju ke
daerah Sepasang Bukit Mati. Kita akan menempuh perjalanan
yang tidak terbiasa dilalui orang yang menuju ke daerah
sekitar Sepasang Bukit Mati. Kita akan menyusup di antara
rimbunnya pepohonan hutan, agar perjalanan kita tidak
menarik perhatian orang lain. Karena itu, mungkin perjalanan
itu akan terasa sangat berat"
Pangeran Sena Wasesa sama sekali t idak menyahut.
"Perlu juga aku sampaikan, Pangeran. Mungkin
diperjalanan kita akan menjumpai bukan saja rintangan alam
disepanjang jalan, tetapi mungkin ada kelompok lain yang
ingin menguasai Pangeran, Juga atas permintaan Daruwerdi,
karena Pangeran yang masih dalam keadaan sakit itu
berbaring di dalam bilik yang tidak terlalu luas, diatas amben
pring wulung yang berwarna kelam.
"Pangeran"berkata Sanggit Raina "kita akan menempuh
sebuah perjalanan yang panjang"
Pangeran itu memandang Sanggit Raina dengan
pandangan yang sayup. "Ia akan menukar Pangeran dengan pusaka yang
diperebutkan itu, siapapun yang menyerahkan Pangeran"
berkata Sanggit Raina lebih lanjut "nampaknya kepergian
Pangeran dari istana sudah bukan rahasia lagi, meskipun
mungkin tidak di ketahui siapakah yang telah membawa
Pangeran" Pangeran Sena Wasesa .masih tetap mematung, seolaholah
ia tidak menghiraukan sama sekali kata-kata Sanggit
Raina. Namun demikian hatinya yang bergelora bagaikan telah
memukul-mukul dadanya. Ketika kemudian Sanggit Raina meninggalkannya, maka
iapun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan Pangeran
yang sedang sakit itupun bangkit dari pembaringannya. Berdiri
tegak sambil mengembangkan tangannya.
Selangkah ia maju ke pintu biliknya. Ketika telinganya yang
tajam tidak lagi mendengar sesuatu, maka iapun menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak Pangeran yang dianggap masih dalam keadaan
sakit itu berdiri diam sambil memperhatikan keadaan
disekitarnya. Ketika ia yakin bahwa t idak ada seorangpun
didekat dinding biliknya, kecuali para penjaga yang berada
beberapa langkah mengitari bilik itu, maka iapun mulai
menggerak-gerakkan tubuhnya. Perlahan-lahan. Namun
dengan demikian ia berharap bahwa otot dan syarafnya tidak
terlanjur menjadi beku karenanya.
"Aku harus meyakini, bahwa tenagaku akan segera pulih
kembali" berkata Pangeran itu di dalamhatinya.
Sekilas terbersit satu keinginan untuk menghindarkan diri
dari penyerahan yang sangat menyakitkan hati itu. Meskipun
Pangeran itu sadar, bahwa yang disebut Yang Mulia
Panembahan Wuku Gading itu tentu memiliki kelebihan dari
pengikut-pengikutnya, namun jika ia menginginkan, ia tentu
akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Ia yakin
tidak akan ada seorangpun yang akan dapat mengejarnya,
kecuali mungkin sekali Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
itu. Namun jika keadaan. memaksa, maka iapun akan berani
mempertaruhkan nyawanya melawan Yang Mulia itu.
diluar padepokan, sehingga tidak ada orang lain yang akan
ikut campur. Namun kadang-kadang timbul pula keinginannya untuk
mengetahui, siapakah sebenarnya orang yang mengingininya
itu. Orang yang menuduhnya, pernah membunuh ayahnya itu.
Beberapa saat lamanya, Pangeran yang dianggap masih
sakit itu berada di dalam keragu-raguan. Namun akhirnya ia
berketetapan untuk tidak meninggalkan padepokan Sanggar
Gading dan ikut bersama mereka untuk diserahkan kepada
seseorang yang menghendakinya, dan bahkan akan
menukarnya dengan pusaka yang sangat berharga.
Dengan demikian, maka Pangeran itupun berusaha untuk
memulihkan kekuatannya. Maka apapun yang diserahkan
kepadanya, dimakannya sebanyak-banyaknya. Mungkin orangorang
Sanggar Gadingpun mengetahui bahwa keadaannya
sudah berangsur baik. Namun ia masih dapat berpura-pura
bahwa tenaganya masih terlampau lemah.
"Aku berusaha untuk meningkatkan kemampuan tenagaku
yang hampir habis sama sekali" berkata Pangeran itu kepada
seorang yang bertugas menyerahkan makan malamnya
"karena itu, aku memang ingin makan sebanyak-banyaknya
meskipun mulutku terasa sangat pahit Aku berharap bahwa
perjalanan yang akan aku lakukan besok, tidak akan
membuatku pingsan dan bahkan mati diperjalanan"
"Apakah Pangeran masih ingin makan lebih banyak lagi?"
bertanya orang itu. "Berikan aku pisang dan makanan apapun yang ada untuk
malamnanti" berkata Pangeran itu.
"Baiklah. Aku akan mengambil lagi"
Meskipun demikian, Pangeran iuipun kembali lagi berbaring
di pembaringannya. Baru ketika orang itu sudah melangkah
menjauh maka Pangeran itupun bangkit dan menutup
pintunya rapat-rapat, agar ia dapat bebas bergerak di dalam
biliknya. Disaat orang itu kembali membawa makanan dan pisang,
maka Pangeran yang memiliki pendengaran yang sangat
tajam itupun telah mendengarnya, sehingga ketika pintu
berderit, maka Pangeran itu sudah berbaring lagi diamben
bambunya. Namun malam itu, pangeran Sena Wasesa seolah-olah
tidak sempat tidur. Ia hanya dapat tertidur sejenak, menjelang
pagi Meskipun demikian, yang sejenak itu telah dapat
menyegarkan tubuhnya Pagi-pagi benar, orang-orang Sanggar Gading sudah
bersiap-siap untuk melakukan perjalanan yang panjang.
Sanggit Rainalah yang memasuki bilik Pangeran Sena Wasesa
yang sudah terbangun, namun masih berbaring
dipembaringannya "Pangeran" berkata Sanggit Raina "Kita akan melakukan
perjalanan itu hari ini. Marilah, barangkali Pangeran akan
mandi atau akan membersihkan diri sebelum kita berangkat"
Pangeran itu menggeleng. Katanya "Aku tidak perlu mandi
atau membersihkan diri. Jika aku akan kalian bawa.
kemanapun juga, terserah kepada kalian"
Sanggit Raina menarik nafas dalam-dalam. Ketika
terpandang olehnya pisang dan makanan, iapun berkata
"Untuk apa pisang dan makanan itu Pangeran?"
"Biarlah tubuhku menjadi terasa sedikit kuat. Aku akan
membawanya untuk bekal diperjalanan" jawab Pangeran itu
"Sebenarnya itu tidak perlu. Kami sudah membawanya
Tetapi jika Pangeran akan membawanya terserah kepada
Pangeran" Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Namun dengan
demikian ia sudah berhasil memberikan kesan, betapa ia ingin
memulihkan kekuatannya yang masih sangat lemah serta
kegelisahannya menghadapi satu masa yang tidak menentu
Tetapi sebenarnyalah bahwa Pangeran itu sudah
menyiapkan diri. menghadapi segala peristiwa dengan hati
yang mapan. Iapun sudah yakin bahwa kemampuannya
sebagian besar tentu sudah pulih kembali. Hatinya yang
terguncang oleh peristiwa yang sangat menyakitkan
perasaannya itulah yang justru membuatnya semakin cepat
sembuh. Apalagi Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
memang memberinya juga obat sesuai dengan
pengetahuannya, agar Pangeran itu tidak mati sebelum
sempat diserahkan kepada Daruwerdi.
Namun ternyata bahwa Pangeran itu justru telah menjadi
sembuh sama sekali. Bahkan tenaganyapun sudah dapat
dikatakan pulih. Dengan bekal itulah, maka Pangeran Sena
Wasesa telah bertekad untuk bertemu dengan orang yang
memerluivannya untuk ditukar dengan pusaka yang dianggap
oleh orang-orang Sanggar Gading memiliki kekuatan yang
.ajaib. Karena Pangeran yang dianggap sedang sakit itu tdak
bangkit dari pembaringannya, mata Sanggit Raina sudah
memerintahkan seseorang untuk memberikan makan paginya.
Dengan demikian, maka orang-orang Sanggar Gading itupun
akan segera berangkat menuju ke daerah Sepasang Bukit
Mati. "Maaf Pangeran" berkata Sanggit Raina "bagaimanapun
keadaan Pangeran, kami harus berangkat pagi ini"
Pangeran itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi iapun
tidak melawan ketika Sanggit Raina memapahnya keluar
biliknya. Seekor kuda telah menunggunya. Dengan hati-hati Sanggit
Raina dibantu oleh Cempaka telah membawa Pangeran itu
mendekat kuda yang dipersiapkan baginya.
"Kau akan dibantu oleh seseorang Pangeran" berkata
Sanggit Raina" mungkin Pangeran masih sangat lemah.
"Tidak" bentak Pangeran itu " dapat bencuda en-diri
meskipun kita akan pergi keujung bumi. Aku adalah seorang
Pangeran dan seorang Senapati perang. Kau kira aku tidak
dapat naik seokor kuda kerdil seperti ini"
"Bukan maksudku Pangeran. Tetapi justru karena keadaan
tubuh Pangeran yang masih angat lemah itulah" sahut Sanggit
Raina. "Aku tidak peduli Aku akan berkuda sendiri" geram
Pangeran itu. "Berkudalah sendiri" Cempaka yang menjadi tidak sabar
"apakah kau akan mencoba melarikan diri?"
Pangeran itulah menggeretakan giginya memandang
Cempaka. Katanya "Kau anak muda yang tidak tahu adat"
Cempaka masih akan menjawab. Tetapi Sanggit Raina
mencegahnya. Katanya kemudian "Marilah, silahkan naik"
Bagaimanapun juga. Sanggit Raina dan Cempaka masih
harus membantu Pangeran yang dianggap masih terlalu lemah
itu. Bahkan dua kali Pangeran Sena Wasesa gagal
melontarkan kakinya keatas punggung kuda itu, sehingga
Sanggit Raina dan Cempaka terpaksa mendorongnya.
Pangeran Sena Wasesa itu berpaling ketika ia mendengar
suara tertawa. Ternyata Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading yang sudah duduk diatas punggung kudanya,
memandanginya sambil tertawa. Katanya "Hati-hatilah
Pangeran" Terdengar Pangeran yang dianggap sedang sakit itu meng
geretakkan giginya sambil menggeram "Ingat Panembahan.
Pada suatu saat, aku akan datang kembali menghancurkan
Pada suatu saat, aku akan datang kembali menghancurkan
padepokanmu ini" Tetapi Panembahan itu tertawa semakin keras. Katanya
"Sudahlah. Jangan mengada-ada. Aku tidak tahu. nasib
apakah yang akan Pangeran alami setelah Pangeran aku
serahkan kepada anak gila di daerah Sepasang Bukit Mati itu.
Mung kin Pangeran akan mengalami nasib yang baik. Tetapi
mungkin pula sebaliknya"
Pangeran itu memotong dengan keras "Aku akan
membunuh anak itu" "Terserahlah" berkata Panembahan itu "Tetapi Pangeran
harus ingat keadaan Pangeran itu. Jika aku memberikan obat
selama ini, maksudku sekedar mempertahankan hidup
Pangeran, sehingga aku akan dapat menyerahkan Pangeran
hidup-hidup seperti yang diminta oleh anak di Sepasang Bukit
Mati itu" Pangeran Sena Wasesa menggeram. Tetapi ia t idak berbuat
apa-apa. Disebelah menyebelahnya dan disekitar Panembahan
itu terdapat beberapa orang yang akan dapat berbuat sesuatu
jika ia menyerangnya. Dalam pada itu, maka Panembahan Wukir Gading itupun
kemudian berkata "Kita akan berangkat. Kita akan memilih


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan seperti yang sudah kita sepakati. Aku akan berada di
belakang Pangeran yang akan didampingi oleh Sanggit Ralna.
agar aku dapat mengawasinya"
Pangeran itu menggeram, tetapi ia tidak menjawab. Semen
tara itu Yang Mulia itu berkata selanjutnya "Kita tidak akan
menempuh perjalanan ini dalam satu kelompok yang besar.
Tetapi kita akan beriringan dengan jarak yang cukup,
meskipun dari setiap kelompok kecil akan dapat didengar
isyarat jika diperlukan" ia berhenti sejenak, lalu "ingat. Ada
beberapa pihak yang menginginkan pusaka itu, sehingga ada
beberapa pihak pula yang menginginkan Ppngeran ini"
"Aku akan membunuh mereka" potong Pangeran itu
lantang. Namun kemudian iapun terbatuk-batuk sambil
memegangi dadanya. "Sudahlah Pangeran. Betapapun tinggi ilmu yang Pangeran
miliki, tetapi Pangeran tidak akan dapat melawan penyakit
yang menyerang Pangeran dari diri Pangeran sendiri" berkata
Yang Mulia Panembahan Wukir Gading sambil tertawa pula.
Lalu katanya "Marilah. Kita akan berangkat"
Demikianlah, orang-orang dari Sanggar Gading itupun
kemudian mulai meninggalkan padepokannya. Sekelompok
kecil demi sekelompok kecil yang terdiri dari tiga atau ampat
orang. Namun jarak diantara kelompok itu masih dapat dicapai
oleh suara isyarat. Ditengah-tengah kelompok-kelompok kecil itu, Yang Mulia
mempersilahkan Pangeran Sena Wasesa. mengikut i tujuan
yang sudah ditentukannya.
Seperti yang dikatakan oleh Panembahan Wukir Gading,
maka Sanggar Raini berkuda disebelah Pangeran Sena
Wasesa. sedang di belakangnya Panembahan Wukir Gading
berkuda bersama Cempaka. Maka dengan kekuatan penuh orang-orang Sanggar Gading
itu membawa Pangeran Sena Wasesa ke daerah Sepasang
Bukit Mati. Dengan sadar mereka memperhitungkan kekuatan
pihak-pihak yang mungkin akan mengganggu perjalanan itu.
Hanya beberapa orang yang kurang berarti sajalah yang
tinggal di padepokan mereka untuk mengawasi dan
menunggu isi padepokan itu.
Namun demikian satu dua orang yang tinggal itu tetap
masih harus mengawasi padang perburuan yang menjadi
tempat pendadaran yang bengis bagi orang-orang yang akan
memasuki, sengaja atau tidak sengaja daerah yang dikuasai
oleh Yang Mulia Panembahan Wukir Guding.
Lepas dari padepokan, dan setelah mereka melintasi
padang kematan yang berwarna gersang, maka iring-iringan
itu langsung memasuki jalan yang sudah mereka rencanakan.
Orang-orang Sanggar Gading yang memiliki naluri kekerasan
yang kejam sejak mereka memasuki padepokan itu. sama
sekali tidak gentar menghadapi siapapun juga dari kelompok
yang manapun juga. Tetapi mereka berusaha untuk
menghindari benturan kekuatan sebelum mereka sampai ke
daerah Sepasang Bukit Mati, agar Pangeran yang mereka
bawa itu tidak mengalami sesuatu yang Dan dapat dipakai
alasan oleh Daruwerdi untuk merubah perjanjian yang telah
disepakati. Sementara orang-orang Sanggar Gading berangkat dari
padepokannya menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati. maka
anak-anak muda Lumban Kulon telah sibuk melanjutkan kerja
mereka membuka pintu air dan menyesuaikan parit induk
yang akan menampung air. "Anak-anak Lumban Wetan yang gila itu tidak datang lagi
hari ini" berkata salah seorang dari anak-anak muda Lumban
Kulon. "Mereka harus berhati-hati. Mungkin mereka menjadi ngeri
mcngngat kehadran mereka kemarin. Agaknya mereka
kemarin datang tanpa pertimbangan nalar sama sekali. Jika
saat itu. anak-anak muda Lumban Kulon kehilangan
kesabaran, maka mereka akan menjadi pupuk disini.
Untunglah kita maih dapat menahan dri. sehingga yang terjadi
betapapun menyakitkan liati kami, masih dapat kami
tahankan" sahut yang lain.
Dengan tanpa kehadiran anak-anak muda Lumban Wetan,
maka rasa-rasanya anak-anak muda Lumban Kulon itu dapat
bekerja lebih baik dan lebih cepat. Mereka tidak perlu setiap
kali menengok kesebelah sungai, memandangi anak-anak
Lumban Wetan yang seolah-olah mengawasi kerja mereka
dengan sorot mata yang memancarkan panasnya hati mereka.
Namun sebenarnyalah anak-anak Lamban Kulon tidak
mengetahui, bahwa anak-anak Lumban Wetan telah
menyiapkan rencana mereka sendiri. Merekapun telah
kehilangan kesabaran. Apalagi setelah salah seorang dari
anak-anak muda Lumban Wetan itu berhasil menjajagi
kemampuan anak-anak muda Lumban Kulon.
"Meskipun yang telah berkelahi itu satu dari sepuluh anak
muda terbaik di Lumban Wetan, namun sebenarnyalah anakanak
muda Lumban Wetan yang lainpun kemampuannya tidak
terpaut banyak dari yang sepuluh itu. Apalagi mereka yang
dengan sungguh-sungguh mempergunakan setiap waktu
luangnya" berkata anak muda tertua dari kesepuluh anak
muda itu Sementara itu J litheng menjadi gelisah. Ia sudah t idak
berhasil lagi menahan kemarahan anak-anak Lumban Wetan.
Bahkan, Jlitheng merasa jika ia memaksakan kehendaknya
terhadap anak-anak Lumban Wetan agar mereka menahan diri
lebih lama lagi, maka mereka tentu akan mempunyai
prasangka buruk terhadap Jlitheng.
Dalam kegelisahannya itu, diluar sadarnya, Jlitheng telah
mendaki lereng bukit dan menemui Kiai Kanthi untuk
menyampaikan persoalan yang sedang berkembang di
Kabuyutan Lumban yang telah terbagi menjadi Lumban Wetan
dan Lumban Kulon itu. "Aku tidak mengira, bahwa perkembangan dari
pengendalian air itu menjadi demikian buruknya" berkata Kiai
Kanthi. "Anak-anak Lumban Wetan sudah tidak dapat ditahan lagi"
berkata Jlitheng. "Apableh buat" berkata Kiai Kanthi "Jika persoalannya telah
berkembang semakin buruk, maka orang-orang yang kini
berada di Lumban Wetan harus berani bertindak. Tidak raguragu
lagi. Anak-anak Lumban Kulon berbuat demikian karena
mereka memiliki satu kepercayaan, bahwa mereka memiliki
kelebihan dari anak-anak Lumban Wetan. Jika orang-orang
yang berada di Lumban Wetan itu membiarkan anak-anak
muda kedua Kabuyutan itu menyelesaikan masalah mereka
dengan cara mereka sendiri, mungkin akan jatuh korban yang
tidak terduga sebelumnya. Anak-anak muda itu akan dibakar
oleh kemarahan yang tidak terkendali. Dengan kemampuan
olah kanuragan yang mereka miliki dan hampir seimbang itu,
maka mereka akan saling menikam dan tanpa pertimbangan,
mereka akan saling membunuh"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Semuanya itu tiba-tiba
saja terbayang dirongga matanya. Dengan nada rendah ia
bertanya "Jadi, apakah yang sebaiknya kami lakukan"
"Kalian dapat bertindak langsung kepada sumber
kebanggaan anak-anak Lumban Kulon" berkata Kiai Kanthi.
"Daruwerdi?" bertanya Jlitheng.
"Ya. Kalian harus dapat memaksa Daruwerdi menghent ikan
permusuhan ini" jawab Kiai Kanthi.
Wajah Jlitheng justru menegang sejenak. Kemudian
dengan ragu-ragu ia berkata "Tetapi jika demikian, satu
masalah yang besar akan tersangkut pula"
Kiai Kanthi termangu-mangu sejenak. Terdengar ia berdesis
lambat "Semuanya saling berkatan Tetapi nampaknya
Daruwerdi dengan sengaja telah menumbuhkan persoalan
antara anak-anak muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan,
agar jika timbul persoalan yang menyangkut dirinya dan
kepentingan pribadinya, maka hal itu tidak akan terlalu banyak
menarik perhatian" "Kiai" berkata Jlitheng "masalah yang akan terjadi
menyangkut kepentingan Daruwerdi itu memang sudah
hampir terjadi. Menurut keterangan yang aku terima, orangorang
yang akan menyerahkan seorang Pangeran sesuai
dengan permintaan Daruwerdi itu akan dilakukan pada akhir
pekan. Dan kitapun hampir sampai kebatas waktu itu. Hari
terakhir dari pekan ini. Kemudian orang-orang Sanggar Gading
akan datang membawa seorang Pangeran. Sementara dua
orang yang tidak dikenal sudah berada di daerah ini pula"
"Berbuatlah lebih cepat" berkata Kiai Kanthi "Jangan raguragu
lagi. Lakukanlah atas sumber kebanggaan anak-anak
Lumban Kulon, sebelum hari terakhir itu tiba. Dengan
demikian, kalian akan dapat mengikut i peristiwa dihari terakhir
itu dengan lebih saksama"
"Kami akan mencoba Kiai. Tetapi apakah kami akan dapat
melakukannya" Kita masih harus memperhitungkan segala
kemungkinan. Yang terjadi diantara kami sendiri, dan yang
terjadi diseputar Daruwerdi" jawab Jlitheng.
"Aku akan mengikuti perkembangan keadaan dengan
saksama. Meskipun aku tidak akan dapat banyak berbuat,
tetapi mungkin aku dapat membantumu dalam saat-saat yang
kau perlukan" berkata Kiai Kanthi kemudian.
"Terima kasih Kiai" sahut Jlitheng "Aku minta diri. Setiap
saat aku akan datang"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Ia masih memberikan
sedikit pesan tentang kemungkinan yang paling pahit jika
Daruwerdi berkeras hati. "Jangan kau patahkan kemungkinannya untuk menerima
Pangeran itu. Jika terjadi sesuatu atasnya, sehingga ia tidak
dapat menerima Pangeran itu, mungkin akan terjadi
Perubahan perkembangan keadaan dari yang sudah kalian
perhitungkan, sehingga keadaan yang tidak menentu itu akan
dapat menyulitkan kalian sendiri"
"Terima kasih Kiai" jawab Jlitheng sambil melangkah
meninggalkan gubug Kiai Kantthi.
Namun dalam pada itu, sepeninggal Jlitheng terdengar
suara seorang gadis dari balik dinding bambu "Ayah tidak adil"
"Kau mendengarkannya Swasti?" bertanya ayahnya.
"Ya. Dan ayah telah menyalahkan anak-anak muda Lumban
Kulon dan bahkan memberikan petunjuk agar anak Lumban
Wetan itu langsung menghadapi Daruwerdi. Apa ayah yakin
bahwa Daruwerdi bersalah dan perlu mendapat perlakuan
yang demikian?" bertanya Swasti.
"Aku mengikuti perkembangan keadaan di dua Kabuyutan
yang semula hanya tunggal itu Swasti. Disamping anak Ki
Buyut Lumban Kulon yang keras kepala, maka di Lumban
Kulon telah timbul satu kebanggaan dari yang berlebih-lebihan
karena mereka menganggap bahwa kemampuan yang mereka
miliki melampaui kemampuan anak-anak muda Lumban
Wetan. Merasa lebih itulah yang telah mendorong mereka
untuk melakukan satu pekerjaan yang tidak terpuji. Mereka
berusaha memaksakan kehendaknya atas Lumban Wetan.
Padahal yang mereka lakukan itu menyangkut nasib bukan
saja anak-anak muda Lumban Wetan sekarang, tetapi nasib
anak cucu mereka" "Tetapi Daruwerdi tidak bersalah. Ia hanya memenuhi
permintaan anak-anak Lumban Kulon, dan bahkan dahulu
anak-anak Lumban Wetanpun ikut pala berlatih bersama
mereka" berkata Swasti.
Tetapi perkembangan hubungan antara kedua Kabuyutan
itu kemudian telah berusaha. Ketamakan mulai menjalari hati
anak-anak Lumban Kulon yang dialasi dengan satu
kebanggaan, bahwa mereka akan dapat memaksakan
kehendak mereka atas anak-anak muda Lumban Wetan"
Swasti yang kemudian duduk diamben bambu bersama
ayahnya itupun masih juga menjawab "Ayah terlalu
terpengaruh olah anak muda yang mengaku putera seorang
bangsawan tinggi itu. Dengan demikian di dalam pandangan
ayah, maka apa yang dikatakan oleh anak itu selalu benar,
sementara ayah sejak semula telah dihinggapi perasaan tidak
senang terhadap Daruwerdi. karena ayah menganggapnya
seorang anak muda yang sombong"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia menjadi
cemas bahwa anaknya telah dipengaruhi oleh kedewasaan
seorang gadis menghadapi anak-anak muda. Tetapi anak-anak
muda itu tidak terlalu dikenalnya. Yang dilihat oleh Swasti
hanyalah ujud-ujud lahiriahnya saja. Ia tidak mengetahui
tabiat dan watak anak-anak muda yang dikenalnya sepintas
itu. "Mungkin ia masih dipengaruhi oleh sifat-sifat Jlitheng yang
terlalu banyak ingin tahu tentang keadaan keluarga kecil ini,
dan bahkan Swasti pernah menjajagi kemampuan anak muda
yang bernama Jlitheng itu" berkata Kiai Kanthi di dalam
hatinya. Tetapi Kiai Kanthi t idak mengungkapkan dugaannya itu
dihadapan anak gadisnya. Jika terjadi salah paham, gadis
yang nakal itu akan dapat berbuat sesuatu yang akan
menambah kecemasannya. "Mudah-mudahan dugaanku salah" berkata Kiai Kanthi di
dalam hatinya. Namun demikian, ia tidak dapat begitu saja mengabaikan
sikap anak gadisnya. Bahkan untuk menenangkan hatinya ia
berkata kepada diri sendiri "Tentu tidak ada perasaan apa-apa
antara anak gadisku dengan Daruwerdi. Jika timbul sepercik
perasaan yang tumbuh dari kedewasaannya, maka ia justru
akan menjadi malu dan merasa sangat berat untuk sekedar
menyebut namanya saja"
Dalam pada itu, maka kedua ayah beranak itu untuk
sejenak justru hanya saling berdiam diri saja. Nampaknya
mereka sedang bermain bersama angan-angan masingmasing.
Sementara itu Jlithengpun telah berada kembali
dipadukuhannya. Diluar pengamatan kawan-kawannya ia telah
membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi itu
dengan Rahu, Semi dan seorang kawannya.
"Aku sependapat" berkata Semi "Kita akan datang
kepadanya untuk memaksa agar ia tidak berbuat sesuatu jika
anak-anak Lumban Wetan mengambil sikap terliadap anakanak
Lumban Kulon" "Bagaimana jika ia berkeberatan?" bertanya kawan Semi.
"Kita akan mengancamnya untuk bertindak kasar seperti
yang dilakukannya tanpa ampun. Ia tentu akan
mempertimbangkan, justru saat akhir pekan sudah dekat.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daruwerdi tentu akan mementingkan masalah yang lebih
besar itu daripada masalah anak-anak muda Lumban Kulon
dan Lumban Wetan" jawab Semi.
"Jadi, apakah akan kita biarkan saja anak muda Lumban
Kulon itu berkelahi melawan anak-anak muda Lumban
Wetan?" desis Rahu "bukankah dengan demikian akan terjadi
pembunuhan dan pembantaian yang tidak terkendali antara
dua kelompok anak muda yang sedang marah?"
"Kita akan ikut campur" sahut Jlitheng "maksudku, tentu
bukan aku. Tetapi Semi. Tanpa Daruwerdi, maka anak
Lumban Kulon akan mudah dikendalikan"
"Jadi, apa yang baik menurut pertimbanganmu?" bertanya
Rahu. "Seorang melawan Seorang, seperti yang ditawarkan oleh
Nugata desis Jlitheng. "Bagus. Anak muda Lumban Wetan mempunyai seorang
yang meyakinkan untuk mewakili mereka" sahut Rahu
"Maksudmu Jlitheng?" bertanya Semi.
"Jangan aku" Jlithenglah yang menyahut "Tetapi Semi akan
menujuk seorang yang paling baik dari sepuluh orang terbaik
dari anak-anak Lumban Wetan"
Semi mengerutkan keningnya. Katanya "Aku belum
mengetahui kemampuan yang sebenarnya dari anak Ki Buyut
Lumban Kulon itu" Tidak akan terpaut banyak dari anak muda
bertubuh raksasa itu" berkata Jlitheng "karena itu, jika belum
kau menganggap bahwa anak muda yang berkelahi di
bendungan itu bukan yang terbaik dari sepuluh orang kawankawannya,
maka kau akan dapat menunjuk seorang yang
paling baik dari mereka. Akhirnya mereka bersepakat. Dan merekapun telah
menentukan satu sikap, bahwa mereka harus memaksa
Daruwerdi untuk tidak mendorong anak-anak Lumban Kulon
untuk membusungkan dada mereka dan berusaha
memaksakan kehendak mereka atas anak-anak Lumban
Wetan. Dengan demikian, maka anak-anak muda Lumban
Wetanpun segera ditemui oleh Semi, terutama sepuluh orang
terbaik. Dengan seksama Semi memilih seorang diantara
mereka, untuk pada satu saat berhadapan dengan Nugata.
anak laki-laki Ki Buyut di Lumban Kulon. "Apa yang harus kita
lakukan?" bertanya anak-anak muda Lumban Wetan.
"Biarkan anak-anak muda Lumban Kulon hari ini
meneruskan kerja mereka" berkata Semi.
"Dan kita membiarkan masa depan dari Kabuyutan kita
tenggelam?" sahut salah seorang dari anak-anak muda
Lumban Wetan itu "Bukankah dengan demikian anak cucu kita
kelak akan mengutuk kita, bahwa kita dalam satu tataran
keturunan darah Lumban Wetan, sama sekali tidak berbuat
sesuatu melihat orang lain, yang meskipun semula mereka
adalah cabang dari keturunan yang sama, telah memperkosa
hak kita Bahkan secara adil harus diingat, bahwa Jlitheng dan
orang tua di lereng bukit itulah yang telah mengendalikan air,
sehingga kita akan dapat memanfaatkannya disini. Dan
Jlitheng adalah anak muda dari Lumban Wetan"
Sementara itu yang lain menyahut "Dan setiap orang yang
dengan jujur melihat, siapakah yang telah bekerja untuk
mengendalikan air itu. Memecah batu-batu karang, menimbuni
lereng-lereng yang terjal dan mengarahkan arus air itu.
Tenaga kitalah yang melakukannya. Anak-anak Lumban
Wetan. Meskipun ada juga satu dan sebanyak-banyaknya dua
orang dari Lumban Kulon, tetapi perbandingan itu ama sekali
tidak berarti apa-apa"
Semi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Baiklah.
Kita tidak akan tinggal diam. Kita memang akan berbuat
sesuatu" "Apa yang akan kita lakukan" Dan kapan?" bertanya
beberapa orang hampir bersamaan.
Semi memandang J litheng sejenak. Tetapi ia sadar, bahwa
dihadapan kawan-kawannya Jlitheng tidak akan menentukan
apapun juga Karena itu, maka Semipun berkata "Bersiapsiaplah.
Kita akan melakukannya dalam waktu yang singkat"
"Berapa panjangnya waktu yang singkat itu" geram salah
seorang anak muda Lumban Wetan itu.
Semi menarik nafas dalam-dalam. Lalu Katanya "Kali ini aku
memakai takaran waktu seperti kalian. Kita benar-benar akan
berbuat sesuatu dalam waktu singkat"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu masih tetap
memancarkan keragu-raguan pada sorot mata mereka.
Namun Semipun berkata" Bersiaplah. Setiap saat, kita akan
berbuat sesuatu" "Tetapi sekarang anak-anak Lumban Kulon berada
dibendungan. Mereka membuka pintu air semakin lebar dan
mereka menyesuaikan parit induk mereka" seorang anak.
muda hampir berteriak. "Kita akan berbuat seperti yang mereka lakukan. Malam
nanti" jawab Semi. "Malam nanti?" hampir berbareng anak-anak muda Lumban
Wetan itu bertanya. "Ya. Malam nanti. Karena itu bersiaplah" jawab Semi
Sesuatu bergejolak dihati anak-anak muda Lumban Wetan.
Rasa-rasanya mereka tidak sabar menunggu malam nanti.
Karena itu, salah seorang dari mereka berkata "Kenapa tidak
sekarang?" Semi mengerutkan keningnya Pertanyaan itu sudah
diduganya. Karena itu maka iapun menjawab "Masih ada yang
perlu diperhitungkan. Jika aku menentukan malam nanti,
berarti aku sudah memperhitungkan waktu yang sekejap
sekalipun" Anak-anak muda Lumban Wetan itu tidak menjawab.
Tetapi terasa darah mereka mulai bergetar.
"Sekarang pulanglah dan beristirahatlah sebaik-baiknya.
Mudahmudahan kalian tidak usah berbuat terlalu banyak
malamnanti" berkata Semi.
Anak-anak muda itupun segera meninggalkan Semi dan
kawan-kawannya. Namun mereka tidak segera pulang dan
beristirahat di rumah masing-masing. Tetapi mereka telah
bergerombol di sudut-sudut desa, di simpang tiga dan di
gardhu-gardhu dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka masih
memperbincangkan, apa kira-kira yang akan terjadi dengan
mereka dan anak-anak Lumban Kulon"
"Kami tidak perlu gentar" desis salah seorang dari mereka
"meskipun anak-anak Lumban Kulon berlatih lebih lama. tetapi
mereka t idak mempergunakan seluruh hari didaIamsepekan"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Bahkan salah
seorang dari mereka berkata "Aku akan berlatih sekarang"
Tetapi seorang anak muda yang lebih tua berkata "Tidak
banyak gunanya. Bahkan kau akan kehabisan tenaga jika
malam nanti terpaksa terjadi sesuatu yang haru kita hadapi
dengan tenaga dan kemampuan"
Demikianlah, anak-anak Lumban Wetan dengan gelisah
menunggu langit menjadi merah dan kemudian menjadi
keiam. Tetapi rasa-rasanya waktu berjalan terlalu lamban,
sementara anak-anak Lumban Kulon telah berhasil membuka
pintu air dan menyesuaikan parit induk semakin lebar.
Sehari itu, anak-anak muda Lumban "Kulon dapat bekerja
tanpa diganggu oleh tatapan mata kemarahan anak-anak
Lumban Wetan. Karena itu, maka merekapun sempat
bergurau sambil menikmati kemenangan mereka, bahwa pintu
air yang melimpahkan air ketanah persawahan di Lumban
Kulon akan menjadi jauh lebih lebar dari pintu air yang
menghadap ke Lumban Wetan.
"Mereka sudah jera" berkata salah seorang dari anak-anak
muda Lumban Kulon. "Mereka mulai menyadari, bahwa kami bersungguhsungguh"
desis yang lain. Kawan-kawannya tertawa mendengar percakapan itu.
Merekapun berbangga bahwa pada tataran mereka, Lumban
Kulon telah berhasil berbuat sesuatu yang akan sangat berarti
bagi padukuhan mereka. Air.
Ketika senja turun, maka anak-anak muda itupun mulai
berkemas. Beberapa orang telah mengumpulkan alat-alat
yang mereka pergunakan untuk membawa bekal dan makan
mereka selama bekerja. Sementara yang lain telah
membersihkan diri dibendungan sambil mencuci alat-alat yang
mereka pergunakan. Dengan hati yang puas, mereka meninggalkan bendungan
itu. Nugata yang ada diantara mereka berkata "Kita tidak akan
menemui hambatan apapun lagi. Besok kita akan melanjutkan
kerja kita dengan kegembiraan, sehingga dengan demikian
maka kerja kita tidak akan terasa berat. Kerja kta yang besar
ini akan dapat kita selesaikan dengan baik. karena yang kita
kerjakan ini sebenarnya jauh lebih besar dari apa yang pernah
dilakukan orang dengan mengarahkan arus air di bukit itu,
karena kerja itu dapat dilakukan oleh anak-anak yang baru
pandai merangkak sekalipun"
Anak-anak Lumban Kulon menyambutnya dengan teriakan
panjang. Mereka bersorak atas keberhasilan mereka.
Namun satu dua orang anak muda diantara mereka
bertanya di dalam hati "Apakah benar yang dikatakan oleh
Nugata itu?" Dan diantara mereka justru anak muda yang pernah ikut
membantu Jlitheng, bekerja di lereng bukit kecil itu. berusaha
dengan tekun dan hati-hati, untuk menguasai air yang
sebelumnya tertumpah tanpa arti ke dalam luweng-luweng
yang sangat dalam, kemudian mengalir dengan derasnya di
bawah tanah berpadas. Tetapi dalam gejolak yang demikian, jarang seseorang
berani menentang, arus yang deras diseputarnya. Anak muda
yang semula ikut membantu Jlitheng dan mengetahui
persoalan yang sebenarnya itupun tidak berbuat demikian. Ia
menghanyutkan diri ke dalam arus yang kencang, betapapun
ia dibayangi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh dari
dalam dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, maka anak
muda itu telah terdorong untuk berbuat sesuatu yang tidak
sesuai dengan kebenaran kata nuraninya sendiri. Namun
dengan sadar ia menempatkan diri ke dalam satu kedudukan
yang dapat memberikan keselamatan kepadanya, meskipun ia
harus memungkiri perasaannya sendiri.
Sementara anak-anak Lumban Kulon pulang ke Kabuyutan
mereka dengan membawa kemenangan, maka anak-anak
Lumban Wetan mulai bersiap-siap untuk mengambil satu
sikap. Semi yang berada diantara anak-anak muda Lumban
Wetan itupun memberikan beberapa petunjuk apa yang harus
mereka lakukan. Betapapun perasaan mereka berbicara,
namun mereka harus tetap dapat menahan diri.
"Anak-anak muda Lumban Kulon bukan musuh bagi kalian"
berkata Semi. "Tetapi mereka telah melanggar hak kami" hampir
berbareng beberapa orang anak muda Lumban Wetan
menyahut. "Seperti kebiasaan dalam satu keluarga, kadang-kadang
kakak beradik sering bertengkar" Jawab Semi "Tetapi
perselisihan diantara saudara sedarah, tidak akan menuntut
korban yang berlebihan"
"Tetapi mereka tidak bersikap sebagai seorang saudara.
Apalagi saudara kandung. Mereka bersikap seperti musuh
bebuyutan yang serakah dan tamak" geram salah seorang dari
anak-anak muda Lumban Wetan.
"Mungkin" jawab Semi "Tetapi itu satu kekhilafan, pada
suatu saat akan mereka sadari. Bahwa nilai persaudaraan
diantara sesama akan jauh lebih tinggi dari nilai apapun yang
berujud lahiriah. Juga lebih tinggi dari arus air yang sudah
dapat diarahkan itu"
"Itu adalah pikiran orang-orang sehat" jawab yang lain
"Tetapi anak-anak Lumban Kulon berpikir lain"
"Tetapi anak-anak Lumban Wetan tetap mempunyai nalar
yang sehat" potong Semi dengan serta merta.
Anak-anak Lumban Wetan itupun terdiam. Bagaimanapun
juga mereka masih ingin disebut bernalar sehat. Karena itu.
maka mereka tidak membantah lagi.
"Biarlah orang lain kehilangan akal sehatnya" berkata Semi
selanjutnya "Tetapi tidak pada kita. Dan kita akan tetap
berpegang pada martabat kemanusiaan kita"
Tetapi seorang anak muda yang tidak sabar lagi berkata
"Baiklah. Tetapi apa yang akan kita kerjakan sekarang?"
Semi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Kita pergi
kebendungan. Kita berbuat seperti yang dilakukan oleh anakanak
Lumban Kulon. Kita akan membuka pintu air itu selebar
pintu air yang menghadap ke tanah persawahan di Lumban
Kulon" Dengan serta merta anak-anak muda Lumban Wetan itu
bersorak. Rasa-rasanya mereka telah tersentuh oleh satu
isyarat untuk berbuat sesuatu sebagai seorang laki-laki di
Kabuyutannya yang tercinta.
Demikianlah, maka anak-anak muda Lumban Wetan itu
bersiap. Sebagian dari mereka justru menjadi kurang senang
mendengar pesan Semi yang bagi mereka terasa terlalu
banyak. Namun merekapun menyadari bahwa mereka tidak
akan dapat berbuat sesuatu tanpa Semi, justru karena di
Lumban Kulon ada Daruwerdi.
Ketika semuanya telah siap, alat-alat dan bekal, maka
merekapun segera berangkat. Seperti yang diminta oleh Semi,
maka anak-anak muda Lumban Wetan itu sebagian telah
membawa obor untuk menerangi bendungan dan tebing
sungai. Ternyata bahwa Semipun telah berpesan seperti yang
dipesan oleh Daruwerdi. Anak-anak muda Lumban Wetan
tidak dibenarkan membawa senjata.
Meskipun beberapa orang diantara anak-anak muda itu
menjadi kecewa, namun mereka tidak dapat pula menolak
pesan itu. Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan telah
meninggalkan padukuhan diujung Kabuyutan Lumban Wetan.
Di malam hari. iring-iringan anak muda yang sebagian
diantara mereka membawa obor itu. nampaknya seperti
sederet ke-mamang yang berterbangan mencari mangsa.
Tetapi iring-iringan itu tdak banyak menarik perhatian.
Sebagian besar dari orang-i ing Lumban Wetan maupun
Lumban Kulon sudah berada di dalam rumahnya. Bahkan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagian dari mereka telah tertidur nyenyak.
Demikian anak-anak muda Lumban Wetan itu sampai ke
bendungan, maka merekapun segera menancapkan tangkai
obor mereka yang panjang. Dengan kemauan yang bergejolak
di dalam jantung, maka merekapun segera melakukan seperti
yang dilakukan oleh anak-anak muda Lumban Kulon. Bahkan
anak-anak Lumban Wetan itu telah menutup pintu air yang
melimpahkan air ke tanah persawahan di Lumban Kulon
seperti yang dilakukan oleh anak-anak muda Lumban Kulon
selama mereka mengerjakan pintu air dan saluran induk.
Dalam pada itu. selagi anak muda Lumban Wetan sibuk
dengan pintu air. Daruwerdi keluar dari sebuah padukuhan
yang terpisah dari padukuhan Lumban Wetan dan Lumban
Kulon, meskipun tidak begitu jauh.
Namun tiba-tiba saja Daruwerdi telah menghentakkan tali
kekang kudanya, sehingga kudanya itupun berpacu lebih
cepat, kembali ke padukuhan Lumban.
Ketika Daruwerdi memasuki Kabuyutan Lumban Kulon ia
terkejut. Rasa-rasanya Kabuyutan itu terlampau sepi. Gardugardu
yang dalam saat-saat terakhir banyak berisi anak-anak
muda, nampaknya kosong saja.
"Kemana anak-anak ini " gumanya,
Bahkan semakin dalam ia memasuki Kabuyutan Lumban
Kulon, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Anak-anak
muda Lumban Kulon seakan-akan habis dihisap bumi.
"Apakah mereka sudah menjadi malas dan tidak
seorangpun yang keluar dari rumah mereka" gumam
Daruwerdi. Namun dalam pada itu, ia terkejut ketika ia melihat dua
orang berdiri disimpang tiga, disamping sebuah gardu yang
kosong. Apalagi ketika Daruwerdi menyadari, bahwa yang
berdiri di simpang t iga itu adalah pemburu yang berada di
Lumban Wetan dan Rahu, kawan Cempaka dari Sanggar
Gading. Dengan jantung yang berdebar-debar Daruwerdipun turun
dari kudanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Kenapa kalian
berada disini?" "Aku memang sedang menunggumu Daruwerdi" berkata
Semi. "Apakah kalian sudah saling mengenal?" bertanya
Daruwerdi kemudian. "Kami saling berkenalan kami bersama-sama berada di
banjar. Maksudku Banjar Kabuyutan Lumban Wetan di
padukuhan induk. Dan kamipun sepakat, bahwa kami akan
menemuimu untuk memberi peringatan kepadamu"
"Peringatan apa?" bertanya Daruwerdi.
"Kami mempunyai kepentingan yang sama "Rahulah yang
menjawab "Pemburu ini tidak mau terjadi kekacauan antara
anak-anak Lumban Wetan dan Lumban Kulon, sehingga dapat
menimbulkan keadaan yang memburuk. Jika terjadi benturan
kekerasan diantara mereka, maka akibatnya akan sangat
parah bagi kedua Kabuyutan ini. Sementara akupun tidak mau
terjadi keributan disini. Justru pada saat-saat akhir pekan"
"Aku tidak tahu, apa urusannya dengan akhir pekan"
sambung Semi "Tetapi benturan kekerasan dalam jumlah yang
banyak, akan dapat menimbulkan akibat yang sangat memelas
bagi kedua Kabuyutan yang semula bersumber dari aliran
darah yang sama" Daruwerdi menjadi tegang. Dengan nada datar ia bertanya
"Lalu apa yang kau kehendaki dari aku?"
"Kau dapat mencegah hai itu terjadi. Secepatnya. Jika kau
terlambat, maka tidak akan ada gunanya lagi" berkata Semi.
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Daruwerdi pula.
"Ke bendungan. Cegah anak-anak Lumban Kulon memulai
dengan kekerasan" jawab Semi.
"Ke bendungan" Jadi anak-anak muda Lumban Kulon
sekarang berada dibendungan?"
Semi memandang Rahu sekilas. Kemudian jawabnya "Ya.
Belum terlalu lama" "Apa yang telah terjadi dibendungan?" bertanya Daruweri
seterusnya. "Kita harus segera berangkat. Jangan terlambat" desis
Rahu. "Bagaimana jika aku t idak bersedia. Biarlah anak-anak
muda Lumban Kulon dan anak-anak muda Lumban Wetan
menyelesaikan masalah mereka sendiri" berkata Daruwerdi.
"Aku akan menunda perjanjian yang telah buat" berkata
Rahu tiba-tiba "Aku melaporkan, bahwa keadaan di Kabuyutan
di daerah Sepasang Bukit Mati ini tidak memungkinkan"
"Apa yang akan kalian tunda?" bertanya Semi.
"Bukan urusanmu" jawab Rahu "Kita batasi kepentingan
bersama kita. Namun yang menyangkut anak-anak muda yang
saling bertengkar itu"
"Gila" geram Daruwerdi "Apa yang kalian harapkan dari
padaku. Bagaimana jika anak-anak muda itu tidak
menghiraukan nasehatku"
"Kita akan mencobanya. Aku ingin melihat kau
melakukannya dengan bersungguh-sungguh, atau malam ini
aku harus melaporkan apa yang terjadi disini" sahut Rahu.
"Jangan mencoba menakut-nakut i aku. Aku tidak peduli,
apapun yang akan kau lakukan" jawab Daruwerdi
"Betapapun keras hatimu" Semilah yang berkata kemudian
"Apakah kau akan membiarkan anak-anak muda itu saling
membantai" Jika demikian, maka akupun akan melakukannya.
Aku sudah pernah menjajagi kemampuanmu. Dan aku
mempunyai seorang kawan yang memiliki ilmu yang
seimbang, dengan ilmuku. Apa boleh buat. Kami berdua,
tanpa berbicara tentang harga diri, akan dapat membantaimu"
"Aku memerlukan orang ini" potong Rahu
"Aku tidak peduli" sahut Semi.
Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Ia harus
mempertimbangkan semuanya. Ia tidak dapat mengingkari
kenyataan, bahwa ia tidak dapat mengalahkan pemburu itu.
Jika ia benar-benar akan datang bersama kawannya, maka ia
tentu tidak akan dapat melawannya. Sementara itu, ia sudah
hampir sampai pada babak terakhir dari sebuah permainan
yang paling gawat yang pernah dilakukannya, dengan
menerima penyerahan seorang Pangeran yang akan
ditukarnya dengan sebilah pusaka.
"Daruwerdi" berkata Semi "Kita harus membatasi
kemungkinan yang parah yang dapat terjadi antara anak-anak
muda Lumban Wetan dan Lumban Kulon"
"Apakah kau sudah menemukan satu cara?" bertanya
Daruwerdi. "Jika anak-anak Lumban Kulon ingin memaksakan
perkelahian, maka perkelahian itu dapat diwakili. Satu lawan
satu. Dan kaupun akan dapat memaksa mereka untuk
menerima keadaan itu" berkata Semi.
"Jika mereka memaksa untuk turun seluruhnya kearah
perkelahian itu?" bertanya Daruwerdi.
"Terserah, bagaimana caramu untuk mencegahnya. Kau
tahu, kami dapat berbuat sesuatu atasmu, ada atau tidak ada
hubungannya dengan persoalanmu dan orang ini, yang kalian
sebut-sebut dengan persoalan yang akan terjadi diakhir
pekan" Daruwerdi menahan nafasnya sebagaimana ia menahan
kemarahan yang terasa mulai menjalari urat darahnya. Tetapi
ia masih harus tetap menyadari dirinya. Di akhir pekan, yang
akan dapat berarti esok pagi, ia akan menerima apa yang
dimintanya. Selambat-lambatnya esok malam. Jika ia terlibat
ke dalam yang tidak ada sangkut pautnya dengan usaha
besarnya itu, justru hanya karena tingkah laku anak-anak
muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan, maka apa yang
dilakukannya itu justru akan sia-sia.
Tetapi sikap pemburu itu benar-benar menyakitkan hatinya.
Seolah-olah ia dapat mengancamnya dan memaksakan
kehendaknya. Namun ia harus tetap menahan diri. Yang dikatakan di
dalam hatinya dalam gejolak kemarahannya itu adalah "Jika
aku sudah selesai dengan persoalan besarku, aku ingin
membuat perhitungan yang tuntas dengan pemburu gila ini"
"Jangan dengan sengaja memperpanjang waktu" geram
Semi kemudian "Jika kita terlambat, dan anak-anak itu sudah
berkelai dibendungan, maka semuanya akan hancur. Lumban
Wetan, Lumban Kulon, Bendungan disungai itu, dan
barangkali juga kau dan aku"
Daruwerdi tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah
gemeretak giginya. "Pergilah lebih dahulu dengan kudamu" berkata Semi
"kehadiranmu tentu lebih menentukan dari kehadiranku,
karena anak-anak Lumban Kulonlah yang selalu memaksakan
kehendaknya atas anak-anak Lumban Wetan. Aku akan segera
menyusul" Daruwerdi tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
meloncat ke punggung kudanya. Namun ketika kudanya mulai
melangkah ia berkala "Jangan kau sangka bahwa aku akan
selalu memenuhi permintaanmu. Jika aku tidak mengingat
anak-anak Lumban yang saling bertentangan ini. maka aku
justru ingin menyobek mulutmu"
Semilah yang kemudian tidak menjawab. Ia sadar,
kemarahan yang hampir meledak telah membakar jantung
Daruwerdi. Namun karena keadaannya dalam hubungannya
dengan orang-orang Sanggar Gading, maka ia terpaksa
memenuhi permintaan Semi.
Sejenak kemudian terdengar kaki kuda Daruwerdi itu
berderap kembali dijalan padukuhan. Semakin lama semakin
eepat menuju kebendungan. Sementara Itu Rahu dan
Semipun telah menuju kebendungan pula, melalui pematang
dan jalan-jalan memintas.
Sebenarnyalah, bahwa obor anak-anak Lumban Wetan
telah terlihat oleh satu dua orang anak-anak muda Lumban
Kulon, itu, maka merekapun segera berkumpul dan
menyiapkan kawan-kawannya untuk pergi kebendungan.
Semula mereka memang mencari Daruwerdi untuk diminta
pertimbangannya. Tetapi ternyata Daruwerdi tidak ada
dipondokannya. Setelah beberapa saat mereka mencari dan
tidak menemukannya, maka Nugatalah yang mengambil
keputusan untuk datang kebendungan
Kemarahan anak-anak Lumban Kulon itupun segera
memuncak ketika mereka melihat anak-anak Lumban Wetan
telah membuka pintu air mereka pula seperti yang dilakukan
oleh anak-anak Lumban Kulon.
Karena itu, maka dengan suara lantang Nugata itupun
segera berteriak "He, anak-anak Lumban Wetan. Apakah
kalian sudah menjadi gila, sehingga kalian tidak tahu lagi apa
yang kalian lakukan?"
Tetapi Nugata terkejut ketika yang menjawab adalah justru
salah seorang dari kedua pemburu yang ada di Lumban Wetan
"Nugata. aku sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi
kesabaran anak-anak muda Lumban Wetan sudah sampai
kebatasnya. Yang kalian lakukan sudah terlalu jauh menusuk
perasaan saudara-saudaramu dari Lumban Wetan, sehingga
akhirnya mereka tidak dapat menahan diri lagi"
"Jangan memutar balikkan keadaan" bantah Nugata "Tentu
bukan karena kemauan anak-anak Lumban Wetan. Mereka
menyadari kelemahannya. Jika mereka melakukannya, tentu
karena desakanmu atau kawanmu, pemburu yang seorang lagi
itu. Meskipun ia tidak nampak hadir disini, tetapi ia tentu
terlibat dalampersoalan ini"
"Kau salah mengerti" jawab kawan Semi itu "bertanyalah
kepada anak-anak Lumban Wetan. Mereka ada disini
semuanya" "Ya" tiba-tiba saja salah seorang anak muda Lumban.
Wetan menyahut "Kami memang tidak dapat ditahan lagi oleh
siapapun juga. Kesabaran kami sudah sampai kepuncak ubunubun"
"Persetan" Nugatapun berteriak "Apakah kalian menyadari,
apa yang dapat terjadi atas kalian dengan tingkah laku kalian
itu?" "Kami sadar, seperti kalianpun menyadari apa yang kalian
lakukan jawab anak muda Lumban Wetan itu.
"Sudahlah" berkata pemburu kawan Semi itu "Jangan
terlalu dirisaukan. Kau sudah melakukannya. Sekarang giliran
anak anak muda Lumban Wetan melakukannya. Bukankah itu
sudah wajar?" "Itu satu pelanggaran" jawab Nugata hampir berteriak
"kalian tidak berhak berbuat apa-apa atas bendungan ini.
Bendungan ini berada di Lumban Kulon, seperti sumber air di
bukit itu. Kamilah yang berhak menentukan. Bukan kalian,
orang-orang Lumban Wetan. Jika kami sudah berbelas kasihan
untuk memberikan air sekadarnya, itu harus kalian terima
dengan ucapan terima kasih"
"Jangan begitu" jawab pemburu itu "anggap sajalah bahwa
Lumban Wetan dan Lumban Kulon masih tetap satu. Biarlah
Lumban Wetan menjadi hijau seperti Lumban Kulon. Biarlah
anak-anak Lumban Wetan termasuk anak-anak Lumban Kulon
kelak berusaha agar air itu menjadi semakin besar dan
melimpah kesawah-sawah yang semakin luas. Aku kira
Jlitheng akan dapat melakukannya"
"Aku tidak peduli. Kau sangka hanya Jlitheng saja yang
dapat melakukannya?" Nugata menjadi semakin marah.
"Tetapi bukankah kita semuanya tidak akan dapat
mengingkari kenyataan yang sama-sama kita ketahui"
Siapakah yang telah berbuat atas air di bukit itu" Siapa pula
yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan bendungan
ini?" "Apa pedulimu" bentak Nugata semakin keras "sekarang,
biarlah kami menyelesaikan persoalan kami dengan anak-anak
Lumban Wetan. Aku akan menuntut agar mereka
mengembalikan pintu air seperti semula, sebelum mereka
merusaknya" Namun yang terdengar adalah jawaban dari seorang anak
muda Lumban Wetan "Kami akan memulihkannya,
sebagaimana kalian lakukan"
Darah Nugata bagaikan memercik lewat sorot matanya.
Selangkah ia maju. Hampir saja ia berteriak kepada kawankawannya
agar mereka menyerang anak-anak Lumban Wetan.
Namun kawan Semi yang mengetahui perasaan Nugata itu
mendahului "Jangan kehilangan akal Nugata. Jangan dengan
tergesa-gesa memerintahkan kawan-kawanmu untuk
menyerang. Perkelahian memang dapat terjadi. seluruh anakanak


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lumban Kulon melawan seluruh anak-anak Lumban
Wetan. Tetapi apa kau sangka perkelahian itu akan dapat
menjadi penyelesaian yang baik" Semua anak-anak muda
Lumban akan cedera sampai orang yang terakhir. Mungkin
justru akan ada korban yang jatuh. Atau lebih tegasnya lagi,
akan ada diantara kalian yang terbunuh. Mati. Sedangkan
kalian masih terlalu muda untuk mati"
Wajah Nugata semakin menegang. Sementara pemburu itu
berkata lebih lanjut "Sementara dendam itu masih akan tetap
menyala di hati kalian. Jika diantara kalian yang cidera itu
kemudian sembuh, maka pertentangan dan perkelahian akan
dapat timbul lagi setiap saat. Sementara pekerjaan yang kalian
lakukan atas bendungan ini akan terbengkelai"
Sejenak Nugata memperhatikan kata-kata itu dan mencoba
untuk mencernakannya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia
berteriak pula "Jangan coba untuk menahan kami, anak-anak
muda Lumban Kulon. Kami akan mempertahankan hak kami
atas sungai, bendungan, bukit dan air. Apapun yang akan
terjadi, kami akan melakukannya"
"Tunggu" desis pemburu itu. Ia berhenti sejenak. Kemudian
sambil maju setapak mendekati Nugata ia berkata perlahanlahan
"Jangan memaksa aku untuk bertindak lebih jauh
Nugata. Aku akan dengan senang hati melibatkan diri"
"Aku tidak peduli" ternyata Nugata tidak menahan suaranya
yang lantang "Aku akan memberitahukannya kepada
Daruwerdi. Jika ada orang lain yang ikut campur, maka
Daruwerdipun tentu akan ikut campur pula"
Tetapi pemburu itu tertawa. Katanya "Apa artinya
Daruwerdi seorang diri. Ia tidak akan menang atas kawanku.
Sementara aku akan dapat berbuat apa saja atas kalian. Aku
akan berada diantara anak-anak muda Lumban Wetan. Satusatu
aku akan dapat membuat anak-anak Lumban Kulon
pingsan" Hati Nugata tergetar pula. Tetapi ketika ia berpaling, dan
dilihat jumlah kawan-kawanya yang cukup banyak, maka
hatinya telah melonjak lagi. Sekilas dilayangkan
pandangannya kearah anak-anak muda Lumban Wetan yang
berhenti bekerja, meskipun mereka masih tetap berdiri di
tempat masing-masing. Sebagian besar diseberang. Beberapa
orang diatas bendungan dan ada satu dua berada diujung
bendungan hampir disebelah Barat sungai termasuk pemburu
kawan Semi itu. "Sudahlah Nugata" berkata pemburu itu "biarlah anak-anak
Lumban Kulon tidak mengganggu apa yang dilakukan oleh
anak-anak Lumban Wetan, seperti juga sebaliknya. Bukankah
anak-anak muda Lumban Wetan sama sekali tidak
mengganggumu hari ini. Jika kemarin ada beberapa orang
anak yang menuggui kerja kalian dan itu kalian anggap
mengganggu, maka hari ini mereka tidak lagi berbuat
demikian" Terdengar gigi Nugata gemeretak menahan kemarahan
yang menghentak dadanya. Namun ia masih dicengkam oleh
keragu-raguan. Iapun mengerti, bahwa Daruwerdi tidak dapat
mengalahkan pemburu yang seorang lagi.
Tetapi sudah barang tentu bahwa Nugata tidak akan dapat
menerima penghinaan itu. Sekali lagi ia mencoba menimbangnimbang.
Namun iapun kemudian menggeram "Jika kami
terpaksa mempergunakan kekerasan, maka yang bertanggung
jawab adalah anak-anak muda Lumban Wetan. Jika mereka
tidak melakukan perbuatan yang bodoh itu, maka tidak akan
terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan penyesalan diantara
kita. Sementara kau, pendatang yang telah menghasut anakanak
muda Lumban Wetan jangan kau anggap bahwa kami
tidak dapat berbuat apa-apa atasmu. Meskipun kau memiliki
ilmu yang tinggi, namun kau tidak akan mampu melawan lima
anak muda Lumban Kulon yang terbaik. Jangan menyesal
bahwa kalian anak muda itu tidak dapat mengekang dirinya
dan memperlakukan kau tidak seperti yang kau inginkan"
Pemburu itu termangu-mangu. Nampaknya Nugata benarbenar
telah tidak dapat menahan diri lagi. Pemburu itu sama
sekali tidak menjadi cemas bahwa ia harus berkelahi melawan
lima atau sepuluh orang sekaligus. Tetapi iapun masih
berharap bahwa kekerasan dapat dihindarkan.
Karena itu, setiap kali ia masih berusaha memperpanjang
waktu sambil menunggu Semi dan Rahu yang sedang mencari
Daruwerdi untuk membantu meredakan keadaan.
"Cepat ambil sikap" bentak Nugata "sebelum aku
meneriakkan aba-aba"
"Kenapa kau tidak berteriak sekarang" tiba-tiba seorang
anak muda Lumban Wetan menyahut. Nampaknya anak-anak
muda Lumban Wetanpun sudah tidak dapat menahan hatinya
lagi. "Tunggu" pemburu itulah yang mencegah. Ia benar-benar
menjadi cemas bahwa ia tidak akan dapat menahan kedua
belah pihak sambil menunggu Daruwerdi seperti yang
dipesankan oleh Semi dan Rahu. Sementara Jlitheng yang
berada diantara anak-anak muda Lumban Wetanpun tidak
dapat berbuat apa-apa. "Kenapa harus menunggu?" bertanya anak muda justru
dari Lumban Wetan. Dalam pada itu, tiba-tiba mereka yang berada dibendungan
itu telah dikejutkan oleh derap seekor kuda. Karena itu, maka
merekapun menjadi berdebar-debar. Namun kemudian, anakanak
Lumban Kulon tiba-tiba saja telah bersorak ketika
mereka melihat Daruwerdilah yang datang dengan tergesagesa.
Dengan jantung yang berdebar-debar Daruwerdi melihat
anak-anak muda Lumban Wetan dan anak-anak muda Lumban
Kulon sudah siap untuk berkelahi. Anak-anak muda Lumban
Wetan telah bergeser mendekati bendungan. Mereka sudah
siap berloncatan melintasi sungai, lewat bendungan atau
melalui jalan setapak menuruni tebing yang tidak begitu tinggi
di bawah bendungan. Yang semakin mendebarkan jantung Daruwerdi adalah
bahwa anak-anak Lumban Kulon ternyata telah membawa
senjata, sementara anak-anak Lumban Wetanpun telah siap
menghadapi. Meskipun agaknya mereka t idak bersenjata
khusus untuk berkelahi, namun mereka telah menggenggam
alat-alat mereka yang mirip dengan senjata. Parang, linggis,
tangkai obor yang panjang dan masih menyala, serta
beberapa macamperalatan yang lain.
Jika perkelahian itu terjadi, maka tentu seperti yang
dikatakan oleh Semi dan Rahu, bahwa korban akan berjatuhan
tanpa arti sama sekali. "Kami telah siap" berkata Nugata lantang sambil mendekati
Daruwerdi " berilah kami perintah. Kami akan menghancurkan
bendungan itu sama sekali dan anak-anak Lumban Wetan
apabila mereka ingin mencegah kami"
"Kami sudah siap" yang lainpun telah berteriak pula.
Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Ia melihat pemburu
kawan Semi itu telah menunggunya.
"Aku berusaha untuk mencegahnya" berkata pemburu itu
kepada Daruwerdi. Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak Lumban
Kulon itu ternyata telah menumpukan harapannya kepadanya.
Namun, ia tidak akan dapat membiarkan perkelahian itu
terjadi. Pembantaian diantara anak-anak muda yang sedang
dibakar oleh kemarahan, sementara mereka adalah anak
muda dari keturunan darah yang satu pada mulanya.
"Agak berbeda dengan pertempuran antara Sanggar
Gading dan orang Pusparuri" berkata Daruwerdi di dalam
hatinya "Jika mereka yang akan bertempur sampai orang
terakhir, aku tidak peduli. Itu memang sudah menjadi tekad
mereka. Tetapi anak-anak muda ini?"
Karena itu, maka Daruwerdi yang sudah turun dari kudanya
itu tiba-tiba berkata lantang, sehingga terutama anak-anak
muda Lumban Kulon menjadi terkejut karenanya "Tidak ada
gunanya kalian berkelahi"
Nugata justru mematung sejenak. Namun kemudian iapun
bertanya "Apa maksudmu?"
"Kalian tidak perlu berkelahi" ulang Daruwerdi.
"Jadi" Apakah kami harus membiarkan anak-anak Lumban
Wetan telah melanggar hak kami" Mereka dengan sangat
tidak tahu diri telah merubah pintu air yang telah kami berikan
kepada mereka" jawab Nugata.
"Nugata" berkata Daruwerdi kemudian "perkelahian yang
demikian tidak akan ada artinya. Kalian dan kawan-kawan
kalian akan mengalami peristiwa yang sangat mengerikan.
Bendungan ini akan menjadi merah oleh darah anak-anak
muda yang masih memiliki masa depan yang jauh lebih baik
dari keadaan kalian sekarang"
"Aku tidak mengerti" berkata Nugata "Jadi, apakah kami
harus membiarkan saja anak-anak Lumban Wetan berbuat
sesuka hatinya?" "Apakah kau tetap tidak rela?" bertanya Daruwerdi.
"Tentu" jawab Nugata.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya Nugata dalam keremangan cahaya obor yang
dibawa oleh anak-anak Lumban Wetan itu.
Dalam pada itu, setiap hati telah dicengkam oleh
ketegangan. Anak-anak muda dari Lumban Kulon dan Lumban
Wetan itu terdiam mematung betapapun jantung mereka
bergejolak. Selagi mereka diam dalam ketegangan, dan orang yang
berjalan tergesa-gesa telah mendekati bendungan itu.
Kedatangan mereka telah membuat anak-anak muda Lumban
Kulon semakin berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah
pemburu yang seorang lagi bersama Rahu, seorang yang telah
berada dibanjar Kabuyutan Lumban Wetan pula.
Nugata yang sudah dibakar oleh kemarahan yang
memuncak itu menjadi semakin marah. Tetapi iapun tidak
dapat mengabaikan kehadiran keduanya, terutama pemburu
yang seorang itu. Daruwerdi sama sekali tidak terkejut melihat kehadirannya.
Ia sudah tahu, seperti yang sudah dikatakan oleh Semi, bahwa
kedua orang itu akan segera menyusul kebendungan.
Dalam pada itu, maka Daruwerdipun berkata kepada
Nugata dan anak-anak muda Lumban Kulon "Dengarlah. Aku
tidak berkeberatan kalian menentukan sikap kalian masingmasing.
Jika kalian ingin berkelahi, berkelahilah. Aku percaya,
bahwa didorong oleh kemudaan kalian, dan keinginan kalian
untuk menunjukkan kejantanan kalian, maka kalian telah
bertekad untuk berkelahi. Jika kalian menang, maka kalian
akan pulang dengan penuh kebanggaan sebagaimana seorang
prajurit yang menang perang. Sementara yang kalah akan
menjadi berprihatin dan dipanggang oleh api dendam, kalian
akan berusaha dengan cara apapun juga untuk menebus
kekalahan itu. Demikian berturut-turut, sehingga akan sampai
orang yang terakhir. Di Kabuyutan kalian akan terdapat
kuburan seluas padukuhan-padukuhan kalian itu, dimana
terkubur pahlawan-pahlawan Kabuyutan yang telah berjuang
untuk kesejahteraan, mempertahankan hak dan harapan bagi
hari depan. Namun sementara itu, bendungan ini akan
terbengkelai. Sawah-sawah akan tetap kering, dan ayah serta
ibu yang kalian tinggalkan akan menjadi kelaparan"
Waiah anak-anak muda itu menjadi semakin tegang.
Mereka tidak begitu mengerti arah pembicaraan Daruwerdi,
Namun mereka tersentuh oleh ucapan-ucapannya tentang
kuburan seluas Kabuyutan itu sendiri
Dalam kediaman itu terdengar Daruwerdi berkata "Karena
itu, marilah kita mengambil satu cara yang tidak akan
mengarah kepada peristiwa yang mengerikan itu. Kita akan
melihat, siapakah orang terbaik di Lumban Kulon, dan
siapakah orang terbaik di Lumban Wetan. Merekalah yang
akan mewakili kawan-kawannya, berkelahi di bendungan ini"
Kedua kelompok anak-anak muda itupun terdiam. Wajah
wajah mereka masih tetap menegang.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Nugata bertanya
"Apakah artinya perkelahian itu bagi bendungan ini.
Bagaimana jika anak Lumban Kulon yang menang, dan
bagaimana jika anak muda Lumban Wetan"
"Bukankah kalian sedang mempertahankan satu sikap?"
bertanya Daruwerdi "Jika anak Lumban Kulon yang menang,
maka sikap dan pendiriannyalah yang berlaku. Tetapi jika
anak-anak muda Lumban Wetan yang menang, maka sikap
dan pendirian mereka yang akan berlaku. Sementara itu kita
semuanya sudah mengetahui sikap apakah yang kalian ambil
sehingga sikap itulah yang akan dipertaruhkan. Bukan sikap
lain yang akan dapat berkembang tanpa batas"
Nugata termangu-mangu. Dipandanginya Daruwerdi,
pemburu-pemburu itu berganti-ganti, dan seorang lagi yang
berada di Lumban Wetan. Ternyata bukan saja Nugata yang termangu-mangu. Juga
anak-anak Lumban Wetan menjadi bimbang. Taruhannya
terlalu besar. Jika mereka kalah, maka pintu air itu akan tetap
tidak berimbang. Pintu air yang membawa air ke Lumban
Kulon akan tetap menjadi jauh lebih lebar dari pintu air yang
mengalirkan air ketanah persawahan di Lumban Wetan.
Bukan saja anak-anak Lumban Wetan yang menjadi
bimbang. Tetapi ternyata Rahu, Semi dan kawannyapun raguragu,
apakah anak Lumban Wetan ada yang dapat
mengalahkan Nugata, karena merekapun yakin, bahwa
Nugatalah yang akan memasuki arena sayembara tanding itu.
Karena itu, maka tiba-tiba Semipun berkata untuk
mendapat satu keyakinan dan kepastian bahwa keadilan akan
berlaku "Yang akan terjadi adalah sayembara tanding
berantai" Daruwerdi mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu
mengerti maksud Semi. Namun kemudian Semi menjelaskan
"Jika seseorang, apakah ia dari Lumban Wetan atau dari
Lumban Kulon telah kalah, maka selelah beristirahat sejenak,
maka seorang yang lain, yang. merasa memiliki kemampuan
dapat tampil kearena melawan yang menang. Tetapi jika
sudah tidak ada seorangpun yang merasa memiliki
kemampuan itu. maka yang menang terakhirlah yang
dianggap dapat menentukan. Untuk menghindari kecurangan,
kemenangan yang tidak wajar karena kelelahan, maka
seorang dari Lumban Wetan atau Lumban Kulon yang menang
tiga kali berturut-turut, maka ia dianggap telah memenangkan
sayembara tanding ini"
Daruwerdi menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak mengerti


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pasti maksud pemburu itu. Namun karena
persoalannya telah berkisar baginya, bahwa ia telah terpaksa
melakukan itu karena tekanan Semi dan Rahu, yang
menghubungkan masalahnya dengan akhir pekan seperti yang
dijanjikan oleh orang-orang Sanggar Gading, maka ia tidak
terlalu banyak mempersoalkannya. Karena itu, maka iapun
sama sekali tidak mengajukan keberatan apa-apa.
Rahupun segera mengetahui maksud Semi. Rahu tahu.
bahwa di Lumban Wetan ada Jlitheng. Dalam keadaan
terpaksa, jika keadilan menuntut untuk ditegakkan, maka mau
tidak mau Jlitheng harus tampil dan memenangkan
perkelahian melawan anak Lumban Kulon yang manapun juga.
Jlitheng yang mengikut i pembicaraan itu diantara anakanak
muda Lumban Wetanpun menarik nafas dalam-dalam.
Iapun mengerti maksud Semi. Dan iapun tidak akan ingkar,
jika keadilan memang menuntut kepadanya untuk berbuat
sesuatu. Sebenarnyalah bahwa iapun mencemaskan
sayembara tanding itu, jika benar-benar Nugata tidak
terkalahkan oleh kawan-kawannya dari Lumban Wetan,
karena Jlitheng yang telah berbuat terlalu banyak itu akan
melepaskan air kearah yang tidak sewajarnya.
Namun demikian, Jlitheng itu berkata di dalam hatinya
"Mudah-mudahan hal itu tidak perlu. Aku akan kehilangan
sebagian dari ruang gerakku. Mungkin Daruwerdi menjadi
curiga, meskipun ia t idak akan banyak mendapat kesempatan
bergerak, karena ia sudah akan segera sampai kepada akhir
pekan yang baginya sangat penting itu"
Tetapi ternyata tanggapan Nugata diluar dugaan Ia sama
sekali tidak berkeberatan Menurut perhitungannya, di Lumban
Wetan hanya ada sepuluh orang anak muda yang memiliki
ilmu kenuragan yang sudah pantas untuk dipasang dalam
arena sayembara tanding. Dan nampaknya iapun merasa,
bahwa ia akan dapat mengalahkan sepuluh orang anak muda
itu berturut-turut. Apalagi jika hanya tiga orang. Karena itu.
maka dengan keyakinan yang besar, dan bahkan dengan satu
Kemelut Di Majapahit 4 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Bencana Pedang Asmara 1
^