Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 21

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 21


usah mengetahui sampai mendasar. Aku memerlukan
bantuanmu apabila keadaan memaksa. Aku tidak akan
melupakan jasamu" "Tetapi kakang belum pernah mengatakan kepadaku,
persoalan apakah yang kau hadapi dengan Pangeran yang kau
sebut-sebut itu?" bertanya salah seorang adik
seperguruannya. Pamotan Galih tertawa. Katanya "Persoalan itu sendiri
bukan persoalan yang besar. Tetapi nanti kau akan
mengetahuinya Yang paling menyakiti hati, sudah tentu sikap
Pangeran itu sendiri. Dan nanti, apabila hari menjadi siang,
Pangeran itu akan datang dengan beberapa orang kawannya.
Aku kurang tahu, apakah mereka ingin mempersoalkan
masalah diantara kami dengan kasar, atau mereka dapat
menyelesaikan dengan baik. Dan akupun t idak tahu, kekuatan
apa sajakah yang dibawanya kemari. Tetapi aku masih yakin,
seandainya aku harus berhadapan sendiri dengan Pangeran
itu, aku akan dengan mudah menguasainya"
"Pangeran itu tentu tidak dengan bodoh memasuki
kandang harimau jika ia tahu kakang mempunyai kekuatan
untuk melawannya jika perlu" jawab adik seperguruannya
yang lain "karena itu kehadirannya tentu sudah
diperhitungkan" "Aku kira ia tidak sempat menghitung-hitung dengan
cermat. Ada persoalan yang telah terjadi atasnya sebelum aku
melihatnya berada di daerah Sepasang Bukit Mati" jawab
Pamotan Galih "karena kehadirannya agaknya memang tidak
terlalu mendebarkan. Namun bagaimanapun juga, kita tidak
boleh kehilangan kewaspadaan"
Kedua adik seperguruannya menarik nafas dalam-dalam.
Mereka menjadi bingung menghadapi kakak seperguruannya
yang pada masa-masa terakhir telah nampak berubah dan
bahkan ia lebih senang menyebut dirinya dengan nama
Pamotan Galih dari nama yang mereka kenal sebelumnya, Ajar
Macan Kuning. Bahkan nama yang lebih dahulu dipakainyapun
sudah hampir tidak pernah diucapkannya. Ajar Cinde Kuning
Namun dengan perubahan yang terjadi itu, apakah ia akan
kembali menyebut dirinya Macan Kuning atau justru dengan
nama lain lagi. Namun kedua adik seperguruan Pamotan Galih itu t idak
dapat ingkar. Bagaimanapun juga ada keterikatan antara
mereka, karena mereka telah menyadap ilmu dari perguruan
yang sama. Meskipun kadang-kadang mereka berbeda
pendirian dan sikap hidup, tetapi Pamotan Galih telah dengan
terus terang minta bantuan mereka, sedangkan kedua adik
seperguruannya itu tahu, bahwa Pamotan Galih adalah orang
yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Jika bukan
karena keadaan yang memaksa, maka ia t idak akan
memerlukan bantuan adik-adik seperguruannya.
Karena itu, maka salah seorang adik seperguruannya
itupun kemudian berkata "Baiklah kakang. Aku akan
membantu kakang meskipun aku belum jelas persoalannya.
Tetapi jika kakang menyebut daerah Sepasang Bukit Mati,
maka aku teringat kepada masalah yang berkembang
sekarang ini. Ada beberapa pihak yang menganggap bahwa di
Sepasang Bukit Mati terdapat pusaka peninggalan seorang
Senapati Majapahit yang tergeser dalam perjalanannya
menyingkir karena ia t idak berhasil mempertahankan Kota
Raja itu" Pamotan Galih mengerutkan keningnya. Namun justru
karena adik seperguruannya telah menyinggung, maka
katanya "Mungkin Pangeran itu berada di daerah Sepasang
Bukit Mati juga dalam hubungan dengan pusaka itu. Tetapi ia
mempunyai satu persoalan khusus dengan aku. Agaknya ia
memang akan menghubungan persoalan ini dengan pusaka
yang kau sebutkan itu"
Kedua adik seperguruannya mengangguk-angguk.
Sementara itu, langit menjadi semakin terang. Karena itu,
maka Pamotan Galih itupun kemudian berkata "Beristirahatlah.
Masih ada waktu. Aku kira menjelang tengah hari mereka baru
akan tiba. Mereka masih akan menempuh perjalanan yang
meskipun tidak terlalu jauh, tetapi kadang-kadang
membingungkan, sehingga mereka akan selalu
memperhatikan setiap jalan simpang"
"Apakah mereka pernah datang kemari?" bertanya salah
seorang adik seperguruan itu.
"Mereka membawa cucuku sebagai penunjuk jalan. Itulah
yang mendebarkan. Tetapi aku harus menyelamatkan anak
itu. Namun agaknya cucuku itu kurang dapat mengingat jalan
yang harus dilaluinya, sehingga perjalanan mereka akan
menjadi sangat lamban"
Kedua saudara seperguruannya itupun menganggukangguk
pula. "Sudahlah" berkata Pamotan Galih "kalian memang perlu
beristirahat" Kedua orang itupun kemudian meninggalkan kakak
seperguruannya. Mereka kembali ke pondok mereka di dalam
lingkungan padepokan itu. Namun agaknya mereka tidak
langsung dapat beristirahat. Dua orang murid yang terbaik
dari salah seorang dianiara keduanya menemui mereka di
serambi. Namun adik seperguruannya Pamotan Galih itu
berkata "Sudahlah. Jangan terlalu banyak memikirkan
peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Nanti aku akan
memberitahukan kepada kalian. Sekarang kita mendapat
kesempatan ist irahat sampai matahari sepenggalah. Beberapa
orang yang akan terlibat dalam persoalan ini baru akan datang
nanti tengah hari" Kedua orang itupun mengangguk-angguk. Namun sebelum
mereka kembali ke bilik masing-masing, salah seorang adik
seperguruan Pamotan Galih itupun berpesan "Katakan kepada
kawan-kawanmu. Kita menunggu"
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan tempat itu.
Namun mereka masih tetap membawa teka-teki yang
menggelisahkan. Dan teka-teki itupun kemudian tersebar
diantara kawan-kawan mereka.
Namun demikian mereka memang masih sempat
beristirahat. Meskipun langit kemudian menjadi terang, tetapi
mereka masih sempat berbaring dipembaringan dan bahkan
tidur beberapa saat. Ketika matahari sepenggalah, barulah
mereka terbangun dan dengan tergesa-gesa membenahi diri.
"Ki Wanda Manyar tidak dapat mengatakan apa yang akan
terjadi sebentar lagi" berkata salah seorang murid adik
seperguruan Pamotan Galih itu.
"Nampaknya Ki Pamotan Galih juga masih belum tahu
dengan pasti" jawab yang lain "Ki Lurah Ragapasa juga selalu
dibayangi oleh keragu-raguan. Menurut Ki Lurah Ragapasa,
ada yang disembunyikan oleh kakak seperguruannya itu"
Keduanya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
berbicara lebih jauh, karena mereka menihat kedua adik
seperguruan Pamotan Galih itu lewat.
Ketika Ki Wanda Manyar dan Ki Ragapasa sampai di depan
sanggar, maka merekapun mendengar kakak seperguruannya
memanggil mereka. Ketiganyapun kemudian berbincang beberapa saat di dalam
Sanggar. Namun agaknya Pamotan Galih telah benar-benar
bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, maka Pangeran Sena Wasesa dan
kelompok kecilnya telah melanjutkan perjalanan. Mereka
masih melihat beberapa tanda yang mendebarkan. Semakin
lama rasa-rasanya menjadi semakin banyak, sehingga dengan
demikian mereka mengira bahwa mereka menjadi sudah
semakin dekat, meskipun Daruwerdi tidak mengatakannya.
Sebenarnyalah Daruwerdi menjadi semakin gelisap. Ia
sadar apa yang bakal dikehendaki oleh kakeknya itu atas
Pangeran Sena Wasesa. Dan ia menyesal, bahwa orang-orang
Sanggar Gading tidak terlalu mudah dikelabui. Jika ia berhasil
maka Pangeran itu tidak perlu berhadapan langsung dengan
gurunya. Jika Pangeran itu dihadapkan kepadanya dengan
tidak berdaya, maka Daruwerdi akan dapat mengekang diri.
Apalagi ibunya selalu berpesan "Jangan sakit i orang itu"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak
dapat ingkar, bahwa ibunyapun menyembunyikan sesuatu
tentang orang yang bernama Pangeran Sena Wasesa itu.
Demikianlah mereka menelusuri daerah yang semakin lama
menjadi semakin datar dan lapang. Mereka t idak lagi berada di
tengah-tengah daerah yang liar. Tetapi mereka sudah berada
di bulak-bulak panjang. Daruwerdi mengenali daerah itu lebih baik dari
sebelumnya. Ia tidak lagi bingung oleh tikungan-tikungan
sempit atau kepopatan pepohonan hutan.
Namun demikian, rasa-rasanya mereka berada di daerah
yang terpisah. Mereka melihat bukit-bukit kecil bagaikan
dinding yang melingkar. Meskipun mereka melihat sawah yang
hijau, namun seolah-olah mereka berada dilempat yang
terasing. "Kita sekarang berada di mana Daruwerdi?" bertanya
Pangeran Sena Wasesa "apakah perjalanan kita masih
panjang?" Daruwerdi masih saja ragu-ragu. Tetapi bukan lagi karena
ia ingin mengingkari tanggung jawab, tetapi justru karena ia
memikirkan, apa yang akan terjadi atas Pangeran itu jika
mereka benar-benar pergi ke padepokannya dan bertemu
dengan gurunya yang juga kakek angkatnya itu.
Tetapi tidak ada jalan untuk menghindar. Mereka sudah
berada di jalan lurus menuju ke mulut gerbang padepokannya.
Karena itu, maka kemudian Katanya "Pangeran.
Sebenarnyalah kita sudah berada di hadapan padepokan kami.
Padepokan kami memang memilih tempat diantara pebukitan,
dan sawah yang terhampar ini adalah sawah yang dikerjakan
oleh para cantrik. Karena itu. maka daerah ini serasa lain
dengan daerah padukuhan-padukuhan lainnya"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Sementara
itu Daruwerdipun berkata selanjutnya "Jika aku menjadi raguragu
dan gelisah, bukanlah karena aku ingin ingkar dari
tanggung jawab. Tetapi jika Pangeran masih mempunyai
sedikit kepercayaan kepadaku, sebenarnyalah aku gelisah
membayangkan sikap guru terhadap Pangeran"
"Apakah kira-kira yang akan dilakukan?" bertanya Pangeran
Sena Wasesa. "Aku kira Pangeran sudah mengetahui. Tidak ada dua atau
tiga orang yang tahu pasti tentang keadaan di daerah
Sepasang Bukit Mati itu selain Pangeran Sena Wasesa"
berkata Daruwerdi. "Menurut dugaan gurumu" potong Pangeran Sena Wasesa.
Kemudian "Tetapi baiklah. Karena itu aku akan menemuinya.
Mengatakan apa yang sebenarnya ada di daerah Sepasang
Bukit Mati itu" Wajah Daruwerdi nampak tegang. Namun kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata "Mudah-mudahan
Pangeran dapat meyakinkannya seperti yang ingin Pangeran
katakan. Tetapi aku kira Pangeran sudah menduga apa yang
akan Pangeran hadapi"
Pangeran itu mengangguk-angguk, la memang melihat
kecemasan yang semakin mencengkam janluug Daruwerdi.
Dan Pangeran ilupun percaya bahwa hal ini bukan satu hal
yang dibuat-buat oleh anak muda itu.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa sudah bertekad bulat.
Karena itu maka katanya "Kita akan melanjutkan perjalanan"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Nampaknya Pangeran memang sudah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Karena itu, sebaiknya kita memang meneruskan perjalanan.
Kita sudah berada sehari semalam lebih di perjalanan. Kita
sudah cukup masak mempertimbangkan segala sesuatu yang
dapat terjadi atas kita"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Di
padanginya Daruwerdi sambil berkata "Kita akan menghadap
gurumu, Daruwerdi. Meskipun aku itahu gurumu adalah orang
yang luar biasa, melampaui setiap orang diantara kita"
Daruwerdi tidak menjawab. Baginya, terbayang sesuatu
yang akan sangat mendebarkan. Tetapi ia tidak akan mampu
mencegahnya. Demikianlah, maka iring-iringan kecil itu menjadi semakin
dekat dengan padepokan Pamotan Galih. Tidak ada lagi yang
membingungkan,Daruwerdi. Jalan sudah menjelujur lurus di
hadapannya. Ketika Daruwerdi memandang regol padepokannya,
jantungnya serasa semakin cepat mengalir. Ia tahu, gurunya
adalah orang yang baik. Tetapi menurut gurunya, menghadapi
Pangeran Sena Wasesa ia harus tegas.
Ada keragu-raguan Daruwerdi atas pengenalannya
terhadap Pangeran itu. Apakah mungkin orang yang memiliki
watak dan sifat seperti Pangeran Sena Wasesa itu telah
dengan semena-mena membunuh seseorang. Bagaimana jika
pembunuhan itu terjadi di peperangan.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu sudah berhenti di
depan regol. Daruwerdi berdiri tegak dengan jantung yang
berdebaran. Namun akhirnya iapun perlahan-lahan
mendorong pintu regol yang hanya sedikit saya terbuka.
Tetapi Daruwerdi terkejut ketika pintu itu terbuka. Ternyata
ia melihat beberapa orang berdiri di pinggir halaman depan
padepokannya. Beberapa orang yang belumdikenalnya.
Sejenak Daruwerdi termangu-mangu. Tetapi ia menjadi
semakin pasti, apa yang akan terjadi.
Daruwerdi yang sudah turun dari kudanya itupun kemudian
menuntun kudanya memasuki padepokannya diiringi oleh
orang-orang yang lain dalam iringan-iringannya. Pangeran
Sena Wasesa yang berada di belakang Daruwerdi memandang
keadaan sekeliling. Dan iapun sadar, bahwa segala
kemungkinan akan dapat terjadi.
Ketika mereka menambatkan kuda-kuda mereka pada
patok-patok yang tersedia, matka seorang cantrik yang sudah
dikenal oleh Daruwerdi berkata "Ki Ajar Pamotan Galih sudah
menunggu" Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun
bertanya Dimana kakek sekarang?"
"Ki Ajar ada di bangsal tengah. Silahkan duduk dipen-dapa
bersama para tamu. Aku aikan menyampaikannya" berkata
cantrik itu.

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daruwerdi mengangguk. Sementara cantrik itu pergi, maka
Daruwerdipun mempersilahkan kawan-kawan seperjalanan
bersamanya dalam iring-iringan kecil itupun naik ke pendapa.
Swasti menahan desis yang sudah hampir terlontar di
bibirnya. Namun ketika ia berjalan ke pendapa, ayahnya
mendekatinya sambil bertanya "Sakit?"
Tetapi Swasti menjawab singkat "Tidak apa-apa"
Ayahnya tersenyum. Anaknya mpmang keras hati. Namun
ia melihat bahwa anaknya menjadi sangat letih selelah
perjalanan berkuda yang cukup panjang.
Sejenak kemudian mereka sudah duduk di pendapa. Swasti
yang gelisah, setiap kali bergeser sejengkal. Agaknya pelana
kuda itu benar-benar telah, menyakitinya, betapapun ia
mempunyai daya lahan tubuh yang kuat.
"Silahkan duduk" berkata Daruwerdi "Aku akan menghadap
guru di bangsal tengah"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk. Katanya "Silahkan.
Tetapi aku minta, kalian tidak membiarkan kami terlalu lama
menunggu disini" Daruwerdi mengangguk" jawabnya "Baik Pangeran. Aku
akan segera minta kakek menemui Pangeran dan kita
semuanya" Sejenak kemudian Daruwerdipun pergi ke bangsal tengah.
Ia mengerutkan keningnya ketika dilihatnya dua orang
bersama kakeknya berada di bangsal itu.
"Keduanya adalah kakekmu juga" berkata Pamotan Galih
kepada Daruwerdi yang memasuki bangsal itu "Marilah.
Masuklah" Daruwerdipun kemudian duduk bersama kakek dan dua
orang saudara seperguruan kakeknya itu.
"Aku memang mengharap kau segera datang bersama
Pangeran itu" berkata kakeknya.
"Dimana ibu, kakek?" bertanya Daruwerdi. Pamotan Galih
menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ibumu memang
bersamaku. Bukankah orang yang menunggu pondok yang
kau pergunakan di Lumban itu mengatakannya?"
"Ya. Justru karena itu" sahut Daruwerdi "kakek membawa
ibu dengan agak memaksa. Agaknya ibu masih ingin berada di
Lumban" Pamotan Galih tersenyum. Katanya "Ibumu kurang tanggap
terhadap keadaan yang sedang kau hadapi"
"Tetapi kakek tidak berbuat sesuatu atasku. Bahkan kakek
telah membawa ibu pergi" sahut Daruwerdi.
Ki Ajar Pamotan Galih tertawa pendek. Katanya "Jangan
salah mengerti Daruwerdi. Aku melihat apa yang terjadi di
atas bukit" "Kakek melihat beberapa orang yang mungkin akan
melibatkan diri. Tetapi apakah kakek pasti, bahwa mereka
memang akan menolong aku?" bertanya Daruwerdi.
"Perhitunganku tidak pernah salah. Dan kali inipun
perhitunganku t idak salah. Mereka membawamu datang ke
padepokan ini" jawab Ki Ajar Pamotan Galih "coba bayangkan,
jika ibumu masih berada di Lumban, maka kau akan
mengalami kesulitan, karena kau masih harus memikirkan
ibumu. Bagaimana, membawanya menyingkir dari Lumban
yang tentu masih akan tetap panas karena orang-orang dari
kelompok lain yang menganggap bahwa orang-orang Sanggar
Gading akan mampu membawa pusaka yang diperebutkan itu"
"Tetapi aku gagal mempergunakan peti yang kakek berikan
itu" desis Daruwerdi.
"Aku mengerti. Ketika orang gila dari Sanggar Gading itu
mengatakan akan melakukan tayuh terhadap pusaka itu, maka
aku sudah yakin bahwa ia akan melihat yang sebenarnya
tentang pusaka itu" berkata Pamotan Galih.
Wajah Daruwerdi menegang. Namun kemudian iapun
bertanya sekali lagi " Dimana ibuku?"
"Ia berada di tempat yang paling aman. Aku tidak ingin
melihat ibumu menjadi gelisah, ketakutan dan cemas. Karena
itu aku bawa ibumu ke tempat yang tidak akan dapat
diganggu oleh persoalan yang tidak banyak dimengertinya ini"
jawab Ajar Pamotan Galih.
Daruwerdi termangu-mangu sejenak, la tidak begitu
mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh gurunya yang
sekaligus mengambilnya sebagai cucunya itu.
Sementara itu, kakeknya itupun berkata selanjutnya " Disini
kita akan membuat penyelesaian dengan tuntas. Jika aku
semula tidak berhubungan dengan orang-orang Sanggar
Gading, tetapi dengan orang-orang Pusparuri yang sudah
mengenalmu sebelumnya, mungkin persoalannya akan
berbeda. Apalagi dengan orang-orang Gunung Kunir. Diantara
mereka tidak terdapat scorangpun yang mempunyai
kemampuan pengamatan yang tajam seperti orang yang gila
disebut Yang Mulia itu"
"Tetapi bukankah yang penting siapapun yang dapat
menyerahkan Pangeran itu"Jawab Daruwerdi.
"Itulah kesalahanku yang utama. Aku mengira semula
bahwa kau akan tetap berhubungan dengan orang-orang
Pusparuri, orang-orang yang paling kau kenal diantara orangorang
tamak itu. Ternyata kau berhubungan dengan orangorang
Sanggar Gading yang justru berhasil lebih dahulu"
"Ternyata perhitungan kakek sekali-sekali salah" desis
Daruwerdi "Bukankah dalamhal ini kakek keliru?"
"Kekeliruannya tidak terletak padaku. Tetapi pada
keadaanmu, karena aku tidak ingin menyebut kebodohanmu"
jawab kakeknya "Tetapi sudahlah. Bagaimanapun juga kau
telah berhasil membawa Pangeran itu kepadaku"
"Bukan aku membawanya kepada kakek" jawab Daruwerdi
"Pangeran itulah yang membawaku kepada kakek sekarang
ini" Ajar Pamotan Galih tertawa. Katanya "Apapun yang terjadi,
tetapi Pangeran itu sudah memasuki padepokan ini. Nah,
baiklah. Bukankah kau akan minta kepadaku untuk
menemuinya?" "Tentu kakek. Tetapi dimana ibuku. Jika ibu kakek
tempatkan ditempa yang tidak akan dapat diganggu oleh
persoalan apapun juga, apakah aku dapat menemuinya?"
bertanya Daruwerdi. Wajali Pamotan Galih berkerut. Dengan heran ia justru
bertanya "Kenapa tidak" Pertanyaanmu aneh Daruwerdi.
Bukankah wajar sekali jika kau ingin menemui ibumu" Kenapa
kau bertanya begitu?"
Daruwerdi tergagap. Namun ia menjawab juga "Kakek tidak
mengatakannya dimana ibuku berada. Nampaknya kali ani
kakek t idak terbuka lagi bagiku"
"O" Pamotan Galih tersenyum "Jangan salah mengerti
cucuku. Orang-orang tua selalu berhati-hati. Agaknya karena
sikap hati-hatiku itulah yang kau artikan, bahwa aku tidak
terbuka lagi bagimu. Aku tidak berubah Daruwerdi. Aku adalah
kakekku, gurumu dan seorang yang ingin menemukan jalan
bagi masa depanmu yang paling gemilang"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Apapun yang
dikatakan oleh kakeknya, namun juslru telah memberikan
kesan bahwa kakeknya mempunyai sikap yang agak lain.
Sejak kakeknya membawanya ke daerah Sepasang Bukit Mati,
terasa bahwa sesuatu akan terjadi pada diri kakeknya itu.
Namun dalam pada itu, Ajar Pamotan Galih itupun
kemudian berkata "Sudahlah. Kau harus membantuku kali ini.
Aku harap kedua pamanmu itupun akan berbuat seperti yang
kau lakukan. Persoalannya akan menyangkut masa depanmu
yang sangat panjang. Aku sudah tua. Betapapun tinggi ilmu
yang dapat aku sadap, namun aku tidak akan dapat melawan
batas waktuku jika maut datang menjemput. Karena itu,
segalanya akan tertuju kepada hari depanmu" Orang tua itu
berhenti sejenak, lalu "Cucuku. Aku tidak mempunyai
keturunan dalam arti yang sebenarnya. Karena itu, aku
berharap, bahwa kau akan dapat menganggap aku sebagai
kakekmu sendiri sebagaimana aku menganggap bahwa kau
adalah cucuku sendiri"
Daruwerdi tidak menjawab. Dipandanginya orang tua yang
semakin lama tidak menjadi semakin dikenalnya, tetapi justru
semakin asing baginya. "Sekarang, aku akan menemui tamu-tamu kita dipendapa"
berkata Pamotan Galih. Lalu katanya kepada dua orang
saudara seperguruannya "Ikut aku. Aku akan menemui tamutamuku
yang barangkali tidak akan selalu sependapat dengan
keinginanku" "Kakek" potong Daruwerdi "Ternyata yang aku hadapi,
berbeda dengan yang pernah aku bayangkan sebelumnya
tentang Pangeran itu. Nampaknya ia orang baik"
"Tetapi ia memang seorang pembunuh" berkata Ajar
Pamotan Galih "itu harus diperhitungkan"
Daruwerdi menggeleng. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu meskipun ia mengerti serba sedikit apa yang
dihadapinya. Pangeran itu dan segalanya yang tersembunyi
dalam persoalan yang sebenarnya.
Segalanya telah meragukan Daruwerdi. Apa yang didengar,
dinalar dan yang pernah dikatakan oleh gurunya sebelumnya
tentang Pangeran itu. Kepura-puraan, alasan yang dibuatbuat,
pusaka dan harta benda, dan pembunuhan itu sendiri.
Jalur-jalur di batu karang pada bukit gundul itu, yang tidak
mampu dipecahkannya untuk menemukan yarjg dicarinya,
atau jalur-jalur itu memang tidak mempunyai hubungan sama
sekali dengan pusaka yang sedang dicari itu.
Daruwerdi sendiri telah pernah dicengkam oleh nafsu itu
sehingga nalarnya menjadi kabur. Tetapi kemudian peristiwa
yang terakhir telah mengembangkan rasa dan nalarnya
menghadapi persoalan itu Ketika ia siap untuk melakukan segala macam rencananya
di bukit gundul, ia mendapat beberapa petunjuk dari gurunya.
"Apakah guru mengatakan yang sebenarnya atau sekedar
menunjuk alasan saja bagiku untuk membawa Pangeran itu
kepadaku?" bertanya Daruwerdi di dalam hatinya "Atau
sengaja membuat atau bingung?"
Dalam gejolak jiwa Itu, ia tidak lagi dapat melihat dan
mengingat apa yang pernah terjadi, pernah dibisikkan oleh
gurunya dan yang mana yang telah dibuat-buatnya sendiri.
Daruwerdi terhenyak di atas sebuah amben bambu yang
besar. Ketika kemudian gurunya hilang dibalik pintu, maka ia
hanya dapat berdesah, "Apakah ada hubungan antara kematian ayahku dengan
pusaka dan harta benda itu?" bertanya Daruwerdi di dalam
hatinya. Namun kemudian "Tetapi jika benar ada
hubungannya, maka kematian ayahku tentu belum terlalu
lama. Tetapi apakah ayahku seorang t idak meninggal?"
Tetapi Daruwerdi t idak dapat meraba-raba terus di dalam
kekelaman. Pada suatu saat ia harus mengetahui dengan
pasti. Sementara itu, Ki Ajar Pamotan Galih telah keluar dari
bangsal tengah. Demikian ia sampai di pendapa, maka
suasanapun menjadi tegang sekali.
Pangeran Sena Wasesa, Kiai Kanthi dan orang-orang yang
duduk di pendapa itu. memandang orang yang bernama
Pamotan Galih itu dengan jantung yang berdebar-debar.
Orang yang pernah dikenalnya bernama Ajar Cinde Kuning,
tetapi juga bernama Ajar Macan Kuning. Dua nama yang
membawa ciri watak yang sangat berlainan.
Dan kini orang itu bernama Ajar Pamotan Galih.
"Selamat datang di padepokan ini" berkata Ki Ajar Pamotan
Galih sambil duduk bersama dengan dua orang saudara
seperguruannya. Lalu katanya "Aku tidak menyangka, bahwa
kalian sudi datang berkunjung ke padepokan yang jauh, sepi
dan buruk ini" Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, maka Kiai Kanthilah yang menjawab
"Sebenarnyalah bahwa kami mengucapkan terima kasih yang
tidak terhingga, bahwa kami telah mendapat kesempatan
mengunjungi Ki Ajar. Yang menurut cucu Ki Ajar, maka Ki Ajar
bernama Ajar Pamotan Galih. Kami, orang-orang yang jauh
dari kebijaksanaan, sama sekali tidak menyangka bahwa kami
akan mendapat tuntunan dari Ki Ajar dengan ciri-ciri Ki Ajar,
untuk datang menghadap ke padepokan ini"
Ki Ajar Pamotan Galih mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang tua itu sejenak. Kemudian orang tua
itupun tersenyum "Kiai terlalu merendahkan diri. Barangkali
dalam mimpipun aku belumpernah mengenal Kiai"
"Namaku Kanthi. Kiai Kanthi. Aku tinggal di sebuah bukit
didekat padukuhan Lumban. Bukit berhutan yang menjadi
pasangan dari bukit gundul di daerah Sepasang Bukit Mati"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya "Jadi. Kiai juga
berada di daerah Sepasang Bukit Mati?"
"Ya. Tetapi kami sama sekali t idak menghiraukan arti dari
daerah itu. Kami datang ke daerah itu karena daerah kami
yang lama telah dilanda oleh banjir dan tanah longsor.
Sehingga aku harus mengungsi. Adalah diluar sadar kami,
bahwa kami telah sampai di daerah yang bernama Lumban
dan kami telah menemukan sebuah bukit kecil berhutan lebat,
dan bermata air yang besar" jawab Kiai Kanthi.
Tetapi Ajat Pamotan Galih itu tertawa. Katanya "Bagi
orang-orang seperti Kiai ini banjir dan tanah longsor bukan
sesuatu yang nggegirisi. Kemampuan Kiai tentu akan dapat
membuat banjir dan tanah longsor, sehingga daerah
pemukiman Kiai hanyut karenanya. Tetapi sebenarnyalah
bahwa segalanya itu telah Kiai rencanakan dalam
hubungannya dengan daerah Sepasang Bukit Mati"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia
menjawab maka Pamotan Galih telah berkata pula "Baiklah.
Seharusnya aku mempercayai Kiai. Namun akupun wajib
mengucapkan selamat datang kepada seorang Pangeran yang
telah sudi datang ke padepokan ini"
"Terima kasih Ki Ajar" sahut Pangeran Sena Wasesa tetapi
marilah kita berterus terang. Kita berbicara dengan hati
terbuka. Kita adalah orang-orang tua yang t idak perlu lagi
berbasa basi dengan sikap yang pura-pura. Ki Ajar telah
menuntun kami dengan pertanda dan ciri-ciri khusus Ki Ajar
sehingga kami sampai ke padepokan ini Aku yakin, bahwa hal
itu bukannya tanpa maksud"
Ki Ajar Pamotan Galih mengerutkan keningnya. Katanya
"Pangeran adalah orang yang aneh "
"Tidak. Karena disini Ki Ajarlah yang mengambil sikap
mula-mula Ki Ajar mengenal aku, tetapi aku tidak mengenal Ki


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ajar sebagaimana Ki Ajar mengenal aku. Aku hanya mengenal
Ki Ajar dari ciri-ciri yang pernah menggetarkan jantung kota
raja, meskipun dengan nama yang berbeda" berkata Pangeran
Sena Wasesa. "Ya. Aku memang sudah mengenal Pangeran. Adalah lebih
mudah untuk mengenali seorang bangsawan daripada orang
kebanyakan seperti aku" sahut Pamolan Galih "Sebenarnyalah
Pangeran agak berbeda dengan para bangsawan lain yang
lebih senang kepada sikap basa-basi dan kata-kata manis
meskipun hanya warna selapis pada kulitnya"
"Mungkin aku memang agak berbeda. Tetapi marilah, kita
berbicara dengan terbuka, Ki Ajar tidak perlu meragukan
orang-orang yang datang bersama aku, karena mereka adalah
orang-orang yang mempunyai kepentingan seperti aku pula"
berkata Pangeran itu. "Tentu agak berbeda. Orang-orang itu bukan orang-orang
yang bersama Pangeran sejak semula. Karena itu, mereka
mempunyai kepentingan yang berbeda" jawab Pamotan Galih
"Tetapi baiklah. Aku akan berterus terang. Aku akan berbicara
dengan terbuka. Tetapi dengan demikian, akan mempunyai
akibat yang khusus. Bahkan juga terhadap kedua paman
cucuku itu" "Apa maksud Ki Ajar?" bertanya salah seorang paman
Daruwerdi. "Aku mempunyai kepentingan terhadap sesuatu. Karena itu
aku memerlukan Pangeran Sena Wasesa. Aku tidak mau
diganggu oleh siapapun juga sebelum aku yakin akan
kebenaran dari kepentinganku itu" berkata Pamotan Galih.
Orang-orang yang mendengar keterangan itu menjadi
berdebar-debar. Nampaknya Pamotan Galih memang tidak
sedang bermain-main. Selagi orang-orang itu masih termangu-mangu, maka
Pamotan Galih berkata seterusnya "Tetapi jika Pangeran Sena
Wasesa berkata dengan jujur, waktu yang aku perlukan tidak
terlalu panjang" "Apa yang kau maksud Ki Ajar?" bertanya Kiai Kanthi.
"Maaf Ki Sanak" berkata Ki Ajar Pamotan Galih "Aku tidak
berkeberatan untuk berterus terang sebagaimana dikehendaki
oleh Pangeran Sena Wasesa. Namun aku terpaksa mohon
dengan sangat agar semua orang yang kemudian
mendengarkan, tinggal di padepokan ini sampai segalanya
dapat aku selesaikan dengan sebaik-baiknya"
"Tidak" t iba-tiba saja Jlitheng membantah "Tidak
seorangpun mempunyai wewenang yang demikian atasku"
Pamotan Galih mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia tersenyum "Sikapmu menarik anak muda" berkata Pamotan
Galih "sesuai dengan umurmu. Tentu umurmu tidak terpaut
banyak dari cucuku itu. He, dimana cucuku" Panggil anak itu.
Biarlah ia mendengar pembicaraan kita dengan tamu-tamu
kita, karena iapun akan ikut bertanggung jawab"
Salah seorang adik seperguruan Pamotan Galih itupun
kemudian memanggil Daruwerdi yang duduk dengan gelisah
diruang dalam. Namun ia tidak dapat menolak. Karena itu,
maka iapun dengan langkah yang berat telah pergi kepandapa
dan duduk bersama dengan orang-orang yang membuatnya
menjadi bingung. Dalam pada itu, Pamotan Galih sambil tertawa pendek
berkata "Nah, kita akan berbicara dengan terbuka cucuku. Kau
sudah cukup banyak mengetahui, tetapi kaupun harus
mendengarkan pembicaraan ini"
"Aku akan mendengarkan. Tetapi akupun bebas
menentukan sikapku sendiri" berkata Jlitheng pula.
Ki Ajar tertawa pula. Jawabnya "Kau sudah memasuki
padepokanku, Kau t idak dapat ingkar terhadap keputusanku"
Jlitheng masih akan menyahut. Tetapi Rahu telah
menggamitnya, sehingga kata-kata yang sudah sampai
ditenggorokan itupun telah ditelannya kembali.
"Pangeran" berkata Ki Ajar Pamotan Galih "semuanya
memang sudah jelas. Jelas bagiku dan jelas bagi Pangeran.
Sebenarnya tidak ada yang harus aku katakan lagi.
Pangeranlah yang harus mengatakannya kepadaku.
Dimanakah pusaka itu, dan apakah yang harus aku pelajari
kemudian. Jalur-jalur yang akan aku lihat pada peti tempat
pusaka itu, atau pada rontal yang tersendiri, atau guratan air
diatas bukit gundul itu. Pangeran Sena Wasesa mengangguk kecil. Katanya "Kau
benar Ki Ajar. Sebenarnyalah bahwa aku sudah
memperhitungkannya, bahwa aku akan berhadapan dengan
seseorang yang akan bertanya tentang pusaka itu. Sehingga
akupun sudah menduga, bahwa alasan yang sampai kepadaku
pada saat aku ditangkap bahwa aku telah membunuh ayah
cucumu itu hanyalah sekedar dongeng belaka"
"Pangeran" berkata Ajar Pamotan Galih "Jangan berkata
demikian. Pcsoalan pribadi itupun bukan ceritera yang aku
sadap dari angan-angan. Tetapi biarlah kita kesam-pingkan
dahulu masalah pribadi itu. Aku ingin segera mendengar
jawaban Pangeran tentang pusaka yang mempunyai kekuatan
gaib itu?" "Hanya pusaka itu saja?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Jangan seperti anak-anak Pangeran. Persoalannya adalah
sungguh-sungguh. Aku mohon Pangeran menjawabnya
dengan sungguh-sungguh pula" berkata Pamotan Galih.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Ajar Pamotan Galih dengan saksama. Seolaholah
ia ingin melihat, apakah benar seperti yang didengarnya,
bahwa orang ini tidak akan dapat dilawan dalam olah
kanuragan. Orang yang pernah disebut Ajar Cinde Kuning
tetapi juga pernah menamakan diri Ajar Macan Kuning itu
adalah orang yang mumpuni, sepala macam ilmu lahir dan
batin. "Aku tidak sabar lagi Pangeran" berkata Ajar Pamotan Galih
"karena itu, aku mohon Pangeran segera mengatakannya,
sebelum aku akan menjamu Pangeran dan kawan-kawan
Pangeran dengan hidangan dalam bujana yang besar hari ini"
Pangeran itu masih berdiam diri. Karena itu, maka Ajar
Pamotan Galih itupun berkata pula "Tetapi jika Pangeran
ternyata mempunyai sikap lain, maka bujana yang sudah aku
persiapkan akan segera berubah. Bukan saja bujana yang
sudah aku persiapkan akan segera berubah. Bukan saja
ujudnya, tetapi juga maknanya"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya "Ki Ajar. Aku sudah mendengar
sebagaimana kau katakan. Aku sudah menduga, bahwa kau
tentu menganggap bahwa aku adalah satu-satunya orang
yang mengetahui tentang pusaka itu. Karena itu kau coba
mengambil langkah yang paling mudah. Kau umpankan
sebuah pusaka palsu. Siapa yang dapat membawa aku kepada
cucumu, maka ialah yang akan mendapat pusaka yang kau
palsukan itu" "Kenapa hal itu masih juga Pangeran ulang" sahut Ajar
Pamotan Galih "Kita semuanya sudah mengetahuinya. Yang
aku harapkan dari Pangeran sekarang ini adalah pengakuan
Pangeran bahwa Pangeran mengetahui dengan pasti tentang
pusaka itu. Kemudian kita akan bersama-sama pergi ke
daerah Sepasang Bukit Mati. Biarlah orang-orang lain t inggal
disini. Mau atau tidak mau, karena aku mempunyai kekuatan
untuk memaksa mereka tinggal, atau melenyapkan mereka
sama sekali" "Jangan terlalu kasar Ki Ajar" jawab Pangeran itu "Aku tahu
bahwa kau akan dapat melakukannya. Tetapi apakah yang
kau lakukan itu sudah sewajarnya harus demikian?"
"Untuk mendapatkan sesuatu yang besar, maka korban
tidak akan pernah aku perhitungkan. Apalagi korban itu bukan
dari lingkunganku sendiri" berkata Pamotan Galih.
"Ki Ajar" berkata Pangeran Sena Wasesa "dengan siapa
sebenarnya aku berhadapan" Menilik sikap Ki Ajar sekarang,
ternyata aku berhadapan dengan Ki Ajar Pamotan Galih yang
juga Ki Ajar Macan Kuning, bukan Ki Ajar Cinde Kuning"
Terdengar Ki Ajar Pamotan Galih tertawa. Katanya
"Pangeran memang aneh. Sebaiknya Pangeran tidak
menghiraukan nama yang aku pakai. Nama apapun juga, tidak
akan ada bedanya bagi Pangeran"
"Baiklah Ki Ajar. Tetapi ciri yang Ki Ajar tinggalkan itu
memang sudah memberi tahukan kepadaku, bahwa Ki Ajar
memang berwajah rangkap" sahut Pangeran Sena Wasesa.
"Sudahlah" berkata Ki Ajar Pamotan Galih "sekarang,
katakan. Apakah aku harus pergi ke daerah Sepasang Bukit
Mati, atau ke tempat lain. Sementara itu, biarlah kawan-kawan
Pangeran itu tinggal disini sampai aku menyelesaikan
persoalanku dengan Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa menggelengkan kepalanya.
Katanya "Ki Ajar. Sebenarnyalah bahwa kini tidak ada lagi
yang dapat aku katakan kepadamu. Segalanya memang sudah
lampau" "Jangan bergurau Pangeran" desis Ajar Pamotan Galih.
"Karena itulah, maka aku berkeras untuk menemuimu Ki
Ajar. Aku ingin mengatakan hal ini, agar untuk seterusnya Ki
Ajar tidak selalu diganggu oleh keinginan itu" jawab Pangeran
Sena Wasesa. "Ah, sekian lama aku menunggu kedatangan Pangeran. Kini
Pangeran masih juga sempat bergurau" berkata Ajar Pamotan
Galih "dengan menujukkan ciri-ciri itu, serta bahwa aku telah
membawa anak angkatku, serta tuduhan bahwa Pangeran
telah membunuh ayah cucuku, aku yakin bahwa Pangeran
akan datang kemari. Sebaiknya Pangeran berterus terang.
Meskipun Pangeran datang dengan beberapa orang kawan
yang pilih tanding, yang barangkali ada juga niat Pangeran
justru untuk menangkap aku, namun sebaiknya hal itu
Pangeran lupakan saja. Disini terhimpun kekuatan yang tidak
akan dapat Pangeran atasi"
"Ki Ajar" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku memang
tidak akan berahasia lagi. Segalanya sudah lampau. Karena
itu, tidak ada gunanya bagiku untuk ingkar. Aku telah
menyerahkan segalanya kepada Sultan di Demak. Dua orang
petugas khususnya telah datang untuk menyelesaikan segala
masalah. Dan akupun telah meyakinkan langsung, bahwa
Sultan memang sudah menerimanya"
"Jangan berceritera seperti kepada anak-anak" sahut Ajar
Pamotan Galih "Pangeran harus berkata terus terang. Bawa
aku kemana yang seharusnya. Dengan demikian Pangeran
tidak akan mengalami perlakuan kasar disini"
"Aku sudah berterus-terang" desis Pangeran Sena Wasesa "
justru aku memang ingin mengatakan hal itu. Jika kau tidak
percaya, aku dapat mengantarkanmu menghadap Sultan
untuk meyakinkan apa yang telah aku katakan itu?"
"Jangan menganggap aku gila Pangeran" jawab Pamotan
Galih "Jika aku memasuki istana Demak, berarti aku
menyerahkan nyawaku tanpa arti sama sekali. Sebaliknya jika
Pangeran tetap berkeras, maka yang akan terjadi adalah
sebaliknya. Pangeranlah yang akan mati tanpa arti sama sekali
di padapokan ini" "Kau juga menganggap aku anak-anak Ki Ajar" jawab
Pangeran Sena Wasesa "Kau sangka bahwa aku takut mati"
Aku memang percaya bahwa kau dapat membunuhku. Tetapi
aku tidak takut mati"
Wajah Ki Ajar Pamotan Galih menjadi tegang. Sementara
itu Daruwerdipun menjadi berdebar-debar. Wajah kakeknya
itu sangat membuatnya cemas.
Namun dalam pada itu, bukan saja Pamotan Galih yang
terkejut dan bahkan kemudian t idak percaya bahwa yang
dikehendakinya itu sudah berada di tangan Suitan Demak.
Tetapi Jlitheng dan Rahupun telah terkejut pula.
Rahu merasa belum pernah mendengar bahwa Sultan di
Demak telah menerima sebuah pusaka dengan segala
kelengkapannya dari seseorang, siapapun orang itu. Apalagi
dalam hubungannya dengan pusaka dan kkal yang telah
disimpan untuk menumbuhkan kembali satu kekuasaan
kelanjutan dari Majapahit yang runtuh itu.
Namun Rahupun menduga, bahwa Pangeran Sena Wasesa
memang tidak akan dengan mudah mengatakannya jika
memang ia mengetahui. Namun menilik pembicaraan itu,
maka agaknya Pangeran Sena Wasesa memang mengetahui
dengan pasti akan pusaka itu. Sementara Ki Ajar Pamotan
Galihpun yakin, bahwa Pangeran Sena Wasesa
mengetahuinya. Bahkan bagi Ki Ajar, Pangeran itu adalah
satu-satunya orang yang mengetahuinya, sehingga
sebenarnyalah bahwa usaha Daruwerdi menangkap Pangeran
itu adalah dalam hubungannya dengan pusaka yang
diperebutkan lepas dari persoalan pribadi, kematian ayah
Daruwerdi, namun yang menurut Ki Ajar, persoalan pribadi
itupun ada pula diantara mereka.
Jlithengpun menjadi semakin jelas menghadapi persoalan
antara Pangeran Sena Wasesa dan Ajar Pamotan Galih itu. Ia
merasa beruntung dapat mengikuti persoalan itu lebih jauh,
karena ia mengikuti perjalanan Pangeran Sena Wasesa dan
Daruwerdi, meskipun hal itu akan dapat menjeratnya ke dalam
satu bahaya. "Ajar ini tentu memiliki pengamatan yang luas tentang
pusaka itu" berkata Jlitheng di dalam hatinya "Ternyata ia
mengetahui bahwa Pangeran Sena Wasesa adalah satusatunya
atau mungkin juga salah satu dari orang-orang yang
mengetahui dengan pasti masalah pusaka itu. Namun jika
Pangeran itu tetap ingkar, maka akan terjadi kekerasan disini.
Bahkan seandainya Pangeran itu bersedia membawa Ajar itu
menelusuri jejak pusaka itu, disinipun tentu akan terjadi
kekerasan, karena aku dan mungkin juga orang-orang lain,
tidak akan mau dipaksakan menunggu di tempat ini"
Namun demikian untuk beberapa saat Jlitheng masih tetap
menunggu. Sekilasan ia berusaha menatap wajah Rahu, kedua
paman Daruwerdi dan juga Swasti. Tetapi ia t idak menemukan
kesan apapun juga di wajah-wajah yang tegang itu, kecuali
kegelisahan. Hanya Kiai Kanthi sajalah yang tampak tenang. Meskipun
dengan demikian Jlitheng sama sekali tidak tahu, apa yang
tersimpan di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galibpun berkata
"Pangeran, aku mohon Pangeran jangan berkeras hati.
Pangeran tidak memupunyai pilihan sama sekali. Mungkin
Pangeran tidak takut mati, tetapi anak-anak muda itu
sebaiknya masih mengharap hari depan yang lebih baik dari


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari-harinya sekarang. Apalagi mati"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya dengan tenang "Ki Ajar Pamotan Galih.
Bahwa aku sudah dengan susah payah menelusuri jalan
menuju ke Padepokan ini adalah karena aku memang ingin
mengatakan kepadamu, agar usaha untuk memburu pusaka
itu dihentikan. Aku akan mengatakan kepada siapapun juga di
seluruh daerah kekuasaan Demak, bahwa memburu pusaka
itu tidak akan ada gunanya karena pusaka itu sudah kembali
keper-bendaharaan pusaka istana Demak. Semua teka-teki
disekitar pusaka itu telah dipecahkan oleh para ahli, termasuk
aku sendiri, karena aku tidak ingkar bahwa akulah yang paling
banyak mengetahui. Karena itu, aku harap kau percaya Ki
Ajar. Seandainya sampai saat ini, pusaka itu masih belum
kembali ke Demak, maka mungkin aku sudah berubah pikiran.
Mungkin aku tidak akan dengan suka-rela menyerahkannya
karena kesetiaanku dan rasa pengabdianku kepada Demak"
"Jangan omong kosong Pangeran" t iba-tiba Ki Ajar
memotong "Aku menunggu Pangeran untuk waktu yang lama.
Balikan aku sudah memasang jerat untuk mengambil
Pangeran tanpa memasuki istana Pangeran yang tentu dijaga
kuat oleh para pengawal khusus justru karena Pangeran
adalah orang yang mengetahui tentang pusaka dan harta
benda yang tidak terhitung jumlahnya itu. Sekarang disini
Pangeran ingin membual dan seolah-olah Pangeran sama
sekali t idak mengerti sesuatu tentang pusaka itu"
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 18 "Aku tidak ingkar. Aku mengakui bahwa aku tahu" sahut
Pangeran itu "Tetapi semuanya sudah berlalu. Nah selanjutnya
terserah kepadamu Ajar Pamotan Galih yang juga disebut Ajar
Macan Kuning. Apapun yang ingin kau lakukan lakukanlah.
Aku sudah mengaku bahwa aku tidak akan dapat menandingi
ilmumu. Adalah sia-sia jika aku melawanmu"
"Setan alas" Ajar Pamotan Galih menjadi sangat marah
"Aku akan memaksa berbicara. Di halaman terdapat banyak
orang yang memiliki ilmu tinggi. Kedua adik seperguruanku ini
memiliki ilmu hampir seperti aku sendiri. Nah, apa katamu"
Kau akan memamerkan ilmu orang-orang yang tidak berarti
yang kau bawa kemari itu?"
"Sudah aku katakan. Aku tidak akan melawan. Jika kau
ingin membunuh aku, kau tentu dapat melakukannya. Tetapi
jangan orang-orang lain yang tidak tahu artinya sama sekali"
berkata Pangeran Sena Wasesa itu. Lalu "Namun aku sudah
merasa bahwa tugasku selesai atas pusaka dan harta benda
itu, karena semuanya telah kembali ke istana, dan
dipergunakan sesuai dengan pesan yang aku terima, bahwa
pusaka dan harta itu harus dipergunakan bagi perkembangan
negeri ini sebagaimana kejayaan Majapahit pada masa lalu itu.
Meskipun Demak belum setingkat dengan Majapahit, tetapi
usaha untuk itu selalu dilakukan"
Ki Ajar Pamotan Galih, nampaknya sudah kehilangan
kesabarannya. Wajahnya menjadi merah padam, sementara
orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi berdebardebar.
Tiba-tiba saja mereka mendengar seolah-olah Ki Ajar
itu menggeram sebagaimana seekor harimau yang sedang
marah. "Aku pasti sekarang" berkata Pangeran itu di dalam Hatinya
"Aku berhadapan dengan Ajar Macan Kuning"
Tetapi Ajar itu menggeram dan membentak dengan
garangnya "Persetan dengan nama-nama yang kau sebut. Kau
membuat aku marah Pangeran. Seperti yang aku katakan, aku
sudah menyiapkan sebuah bujana yang besar. Tetapi karena
sikap Pangeran, maka bujana itu akan berubah bentuknya dan
maknanya. Aku akan memaksa Pangeran berbicara dengan
caraku. Mungkin Pangeran akan dapat bertahan terhadap
segala macam siksaan yang aku lakukan disini. Tetapi aku
mempunyai cara sendiri. Aku akan membunuh setiap orang
yang datang bersama Pangeran sampai pada suatu saat
Pangeran mengatakan di mana pusaka itu disembunyikan"
"Gila" geram Pangeran itu "Kau benar-benar tidak
mempunyai jantung dan hati manusia"
"Aku tidak peduli" jawab Ajar Pamotan Galih "Aku akan
menangkap kalian seorang demi seorang. Yang kemudian
akan aku bunuh dihadapanmu"
"Biadab" geram Jlitheng "Kau sangka bahwa kami akan
menyerahkan hidup kami tanpa berbuat sesuatu"
Kemarahan Ajar Macan Kuning memantul dimatanya.
Katanya "Kau adalah orang yang pertama akan mati"
"Aku tidak peduli " bentuk Jlitheng hampir berteriak.
Sementara itu Rahupun berkata "Pangeran, Apabila telah
pasti, bahwa kita akan bertempur, apalagi yang harus
ditunggu. Adalah akibat yang wajar dari tugas kita, bahwa
pada suatu saat kita akan membentur satu keadaan yang
tidak teratasi, sehingga mungkin kita akan terjerat oleh satu
peristiwa yang mengerikan yang menimpa diri kita. Tetapi
jangan ingkar, bahwa kita adalah laki-laki"
"Kau yang kedua" teriak Ajar Pamotan Galih.
"Ki Ajar" berkata Pangeran itu kemudian "Aku tahu, disini
ada orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui
kemampuanku. Tetapi sebagaimana kau lihat, bahwa kami
tidak akan menyerahkan kematian kami dengan sia-sia"
"Pangeran harus mengambil sikap" berkata Rahu
"nampaknya Pangeran sudah berubah. Diatas bukit di daerah
Sepasang Bukit Mati, Pangeran mengejutkan kami, karena
Pangeran yang kami sangka sedang sakit sebagaimana saat
Pangeran diambil, ternyata Pangeran dapat menyelesaikan
salah seorang yang paling garang dari lawan-lawan kita.
Sekarang, disini seolah-olah Pangeran tidak menentukan sikap
apapun juga selain menirukan apa yang kami katakan"
Pangeran itu justru tersenyum. Katanya "Aku sudah tahu
dengan pasti kemampuan Ajar Macan Kuning ini. Tetapi
baiklah. Aku Sependapat, bahwa kita akan mati sebagaimana
kita adalah laki-laki. Bukankah begitu Kiai Kanthi?""
"Aku sudah bersiap sejak semula Pangeran. Bahkan di
sepanjang jalan aku sudah memikirkan kemungkinan ini"
jawab Kiai Kanthi "karena itu, jika Ajar Pamotan Galih yang
juga bergelar Macan Kuning, dan yang sudah benar-benar
kehilangan sifat dan wataknya sebagai Ajar Cinde Kuning,
ingin memaksakan kehendaknya, apaboleh buat. Semula aku
masih mengharap bahwa ia dapat mengerti apa yang
Pangeran katakan. Tetapi nampaknya tidak sama sekali"
Namun dalam pada itu, ternyata Ajar Pamotan Galih itupun
tertawa pula. Katanya "Rencanaku memang sudah berubah.
Semula aku memang hanya, ingin bertemu dengan Pangeran
seorang diri. Dengan cara yang ditempuh oleh Daruwerdi,
maka kesempatanku akan lebih banyak untuk mengorek
pengakuannya. Tetapi iblis dari Sanggar Gading itu telahl
merusak rencanaku. Ia menahan cucuku pada saat ia
melakukan tayuh, sehingga anak itu tidak sempat membawa
Pangeran itu pergi Dan sekarang, Pangeran datang dengan
beberapa orang yang barangkali dianggap pilih tanding.
Karena itu Pangeran menganggap bahwa ia sudah mempunyai
kekuatan cukup untuk mengelakkan diri dari pengetahuannya
tentang pusaka dan kelengkapannya" Ajar Pamotan Galih itu
berhenti sejenak. Namun kemudian katanya "Tetapi Pangeran
tidak akan berhasil Aku akan tetap, berhadapan dengan
Pangeran seorang dengan seorang. Aku tetap ingin
mendengar pengakuan Pangeran tentang pusaka itu.
Sementara itu, biarlah adik-adikku menyisihkan orang-orang
yang datang bersama Pangeran itu, sehingga Pangeran akan
tetap sendiri. Aku tidak peduli, apakah yang lain akan dapat
bertahan untuk tetap hidup, atau karena kemarahan yang
tidak terkendali adik-adikku akan membunuh mereka"
Pangeran Sena Wasesa menjadi ragu-ragu. Jika benar
demikian, maka orang-orang yang tidak langsung terlibat ke
dalam persoalan pusaka itu akan ikut menjadi korban, karena
Pangeran Sena Wasesa percaya, menilik pengamatannya yang
tajam, bahwa orang-orang yang ada di padepokan itu akan
dapat menarik batas antara dirinya dengan orang-orang yang
datang bersamanya. Meskipun ia yakin bahwa Kiai Kanthi dan
orang-orang lain itu tidak akan memperhitungkan keselamatan
diri, tetapi sebaiknya mereka tidak menjadi korban dari
masalah yang menyangkut diri Pangeran itu.
Karena itu, maka tiba-tiba Pangeran itu berkata "Ki Ajar.
Baiklah. Persoalannya memang menyangkut persoalan antara
Ki Ajar dan Aku, Bukankah sejak semula Ki Ajar ingin
berhadapan dengan aku sendiri" Karena itu baiklah, kita
menganggap bahwa orang-orang lain itu t idak ada. Yang ada
disini adalah aku dan Ki Ajar. Nah, apa yang Ki Ajar
kehendaki" Perang tanding, atau Ki Ajar akan membunuhku"
Atau apa?" "Persetan" geram Ki Ajar "Aku perlu keterangan itu"
"Sudah aku katakan. Tidak ada yang dapat aku katakan
selain yang sudah aku katakan. Apapun yang akan kau
lakukan" jawab Pangeran itu tegas.
Ki Ajarpun kemudian tidak sabar lagi. Karena itu, maka
katanya "Aku memang memerlukan Pangeran seorang diri.
Aku memang akan menantangmu berperang tanding"
"Aku terima tantanganmu Ki Ajar" jawab Pangeran
itu. Tetapi dengan taruhan" berkata Ki Ajar "Jika kau kalah, kau
harus mengatakan yang sesungguhnya tentang pusaka itu"
Pangeran itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya
"Baiklah. Aku akan mengatakan yang sesungguhnya"
"Kekalahan akan ditandai dengan ketidak mampuan lagi
untuk melawan" berkata Ki Ajar.
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya "Aku
menerima ketentuan itu. Tetapi dengan syarat, bahwa orang
lain yang bersamaku tidak akan terlibat dalam persoalan ini"
Namun dalam pada itu, Rahupun berkata "Pangeran benarbenar
aneh. Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiran Pangeran.
Jika Pangeran sudah tahu, bahwa orang itu memiliki ilmu yang
tidak terlawan, kenapa Pangeran memilih perang tanding" Aku
tahu, Pangeran ingin menyelamatkan kami. Tetapi bahwa
kami telah datang ke tempat ini, sebenarnyalah bahwa kami
sudah siap menghadapi segala kemungkinan"
"Aku sudah terlanjur menerima tantangannya" jawab
Pangeran itu "Marilah Ki Ajar. Kita akan berperang tanding"
Lalu katanya kepada orang-orang yang datang bersamanya
"Aku harap kalian tidak menggangguku"
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Iapun menjadi bingung
menghadapi sikap Pangeran Sena Wasesa. Namun ia mencoba
untuk menyesuaikan diri. Ia ingin melihat perang tanding itu.
Mungkin Pangeran Sena Wasesa mempunyai satu pegangan
terakhir untuk dapat melawan orang yang menyebut dirinya
Ajar Pamotan Galih, meskipun bagi Kiai Kanthi hal itu tidak
akan banyak gunanya. Jika orang yang menyebut dirinya Ajar
Pamotan Galih itu kalah, maka ia tidak akan menghormati
persetujuan yang sudah dibuatnya.
Namun Kiai Kanthi ingin mengikuti perkembangan keadaan
yang tidak banyak dimengertinya itu. Bahkan kemudian Ki Ajar
itu berkata kepada adik seperguruannya "Siapkan arena.
Amati orang-orang yang datang bersama Pangeran ini. Aku
tidak mau diganggu oleh siapapun juga"
Demikianlah, maka orang-orang yang ada di pendapa
itupun kemudian turun ke halaman. Daruwerdi mengikuti
perkembangan itu dengan hati yang berdebar-debar.
Pangeran ttu telah menunjukkan kemampuannya yang tinggi
di atas bukit berhutan. Meskipun ternyata ia telah terluka.
Tetapi menurut Pangeran itu sendiri ia telah berhasil
mengatasi luka-lukanya dan tidak membekas sama sekali.
Namun demikian Daruwerdipun tidak dapat ingkar, bahwa ia
tahu, kakek angkatnya dan sekaligus gurunya itu adalah orang
yang luar biasa. Dalam pada itu, maka orang-orang yang sejak semula telah
berada di halaman itupun telah menebar. Mereka mengerti,
bahwa mereka harus mengamati orang-orang yang datang
bersama Pangeran Sena Wasesa, agar tidak seorangpun
meninggalkan tempat itu. Sementara itu kedua adik
seperguruan Ki Ajar itupun telah mengawasi Kiai Kanthi yang
menurut perhitungan mereka, adalah orang yang memiliki
kelebihan tertinggi disamping Pangeran itu sendiri.
Sejenak kemudian, Ki Ajar telah bersiap menghadapi
Pangeran Sena Wasesa. Keduanya sama sekali tidak
memerlukan senjata apapun dalam perang tanding itu. Selain
karena mereka percaya akan kemampuan masing-masing,
sebenarnyalah Ki Ajar memang tidak ingin membunuh
Pangeran yang masih akan diperas keterangannya itu,
"Pangeran berjanji, jika aku menang, maka kau akan
mengatakan yang sebenarnya tentang pusaka itu" geram Ajar
Pamotan Galih. Pangeran Sena Wasesa memandang Ki Ajar Pamotan Galih
dengan jantung yang berdebar-debar. Ada sesuatu yang asing
di dalam hatinya. Ia memang belum mengenal Ki Ajar
Pamotan Galih yang pernah disebut Ki Ajar Cinde Kuning atau
Ki Ajar Macan Kuning. Namun seolah-olah ia telah meragukan
sesuatu yang dilakukan oleh Ki Ajar itu, sehingga karena itu,
maka sikapnyapun seolah-olah tidak pasti.
Tetapi ketika keduanya sudah turun di arena, maka
Pangeran Sena Wasesa tidak lagi dapat berbuat tanpa
kepastian. Ketika ia sudah berhadapan dengan Ki Ajar dalam
perang tanding, maka yang dilakukan itu harus dilakukannya
dengan sungguh-sungguh. Pangeran Sena Wasesa mengetahui bahwa Ki Ajar Macan
Kuning adalah orang yang luar biasa. Yang menurut
pendengarannya mempunyai ilmu yang tidak terlawan. Orangorang
yang memiliki nama yang menggetarkan, ternyata tidak
dapat mengimbangi kemampuan Ki Ajar Cinde Kuning,
maupun setelah disebut Ki Ajar Macan Kuning.
Meskipun demikian, Pangeran Sena Wasesa bukan orang
yang tidak berilmu. Kecuali itu, iapun adalah seorang laki-laki
yang jantan yang tidak mudah menyerah kepada keadaan
sebelum ia berusaha dengan sepenuh kemampuannya.
Demikian pula menghadapi Ajar Pamotan Galih. Meskipun
Pangeran Sena Wasesa mengetahui bahwa kemampuan orang
itu melampaui kemampuannya, namun ia sudah bersiap untuk
bertempur dengan segenap ilmu yang ada padanya.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Kanthi dan orang-orang yang datang bersamanya di
padepokan itu sudah mendapat kesan dari sikap dan
pembicaraan Pangeran Sena Wasesa, bahwa Pangeran Sena
Wasesa mengakui kelebihan Ajar Pamotan Galih. Namun
demikian merekapun mengerti, bahwa Pangeran Sena Wasesa
memiliki ilmu yang tinggi pula.
Sejenak kemudian kedua orang diarena perang tanding itu
sudah bersiap. Sementara itu, orang-orang padepokan itupun
tidak kehilangan kewaspadaan. Kedua adik seperguruan
Pamotan Galih itupun selalu memperhatikan orang-orang yang
dengan tegang menyaksikan pertempuran yang segera terjadi
di halaman padepokan itu.
Ki Ajar Pamotan Galihlah yang mulai dengan serangan
pertamanya. Tetapi sebagaimana sering terjadi, serangan
yang pertama tidak banyak menentukan.
Namun serangan-itupun segera disusul dengan seranganserangan
berikutnya beruntun dengan sengitnya.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa sudahi siap menghadapinya.
Dengan tangkasnya ia selalu berhasil menghindari seranganserangan
itu. Bahkan kemudian iapun mendapat kesempatan
untuk membalas serangan-serangan itu dengan serangan
pula. Demikianlah maka di halaman itupun segera terjadi
pertempuran yang semakin dahsyat, Dua orang yang meniliki
ilmu yang tinggi, melampaui ilmu kebanyakan.
Kiai Kanthi yang mempunyai penglihatan yang tajam,
memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Wajahnya
nampak menjadi tegang, sementara jantungnya menjadi
berdebaran. Untuk beberapa saat, menurut penilaian Kiai Kanthi,
Pangeran Sena Wasesa masih mampu mengimbangi ilmu Ki
Ajar Pamotan Galih. Kadang-kadang Ki Ajar Pamotan Galihpun
terkejut mendapat serangan Pangeran Sena Wasesa yang
tiba-tiba dan tidak diperhitungkannya lebih dahulu.
Jlitheng, Rahu, Swasti, Daruwerdi dan kedua pamannya
serta orang-orang yang berada di halaman itupun mengikuti
perang tanding itu dengan seksama. Tetapi mereka tidak
segera dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang
mereka lihat, keduanya telah terlihat dalam satu putaran
kecepatan yang sulit untuk dimengerti. Meskipun merekapun
berbekal ilmu kanuragan, tetapi agaknya kedua orang itu
seakan-akan tanpa ancang-ancang telah sampai pada puncak
ilmu mereka yang tinggi. Sekali-sekali Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Ia melihat
justru Pangeran Sena Wasesa berhasil mendesak lawannya.
Namun kemudian Ki Ajar itulah yang telah mendorong
lawannya beberapa langkah surut
Nampaknya Pangeran Sena Wasesa masih berusaha untuk
menghindari benturan-benturan yang langsung. Meskipun
kadang-kadang Pangeran Sena Wasesa harus menangkis
serangan lawannya, tetapi ia selalu berusaha untuk
membentur tenaga lawannya menyamping.
"Apakah Ki Ajar memang sedang mempermainkan
Pangeran Sena Wasesa" bertanya Kiai Kanthi kepada diri
sendiri. Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Desak mendesak dan dorong mendorong Pangeran
Sena Wasesa ternyata telah berjuang sekuat tenaganya, agar
ia tidak segera jatuh tanpa dapat berbuat sesuatu lagi
menghadapi lawannya. Ternyata bahwa arena pertempuran di halaman itupun
semakin lama semakin mengembang. Tidak ada gawar yang
membatasi arena perang tanding itu, sehingga keduanya
dapat mengambil tempat seberapa mereka perlukan. Kadangkadang
salah seorang dari mereka yang sedang terdesak telah
meloncat jauh-jauh. Kemudian dengan serta tnerta ia telah
meloncat menyerang dengan cepatnya.
Dalam pada itu, bukannya Kiai Kanthi sajalah yang
termangu-mangu memandangi pertempuran itu. Dalam pada
itu, sebenarnyalah Pangeran Sena Wasesa juga dihinggapi
oleh satu perasaan aneh. "Apakah Ki Ajar Pamotan Galih hanya bermain-main"
berkata Pangeran, Sena Wasesa kepada diri sendiri.
Karena itu maka akhirnya Pangeran Sena Wasesa sengaja
mengerahkan segenap kemampuan ilmunya. Ia ingin segera
mengetahui bayangan dari akhir pertempuran itu. Agaknya Ki
Ajar belum melepaskan segenap ilmunya. Apalagi ilmu
pamungkasnya. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
semakin cepat. Serangan dibalas dengan serangan. Bahwa
benturan-benturanpun menjadi semakin sering, meskipun
Pangeran Sena Wasesa masih tetap menghindari dari
benturan yang langsung. Semakin cepat pertempuran itu, maka keduanya menjadi
semakin garang. Kelengahan-kelengahan mulai terjadi,
sehingga serangan-seranganpun mulai menyentuh tubuh
lawan. Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa menjadi semakin
heran. Ia masih saja mampu mengimbangi ilmu Ki Ajar
Pamotan Galilh yang disangkanya memiliki ilmu yang tidak ada
bandingnya. Justru karena itu, ia menjadi semakin berusaha
untuk melindungi dirinya sendiri. Meskipun kadang-kadang
tersirat dihatinya "Ki Ajar ini hanya ingin memeras tenaganya,
sehingga akhirnya aku akan jatuh dengan sendirinya dan tidak
dapat melawannya lagi"
Tetapi saat-saat yang demikian itu ternyata tidak segera
terjadi. Bahkan kadang-kadang Pangeran itu melihat, Ki Ajar
benar-benar terdesak Namun ketika tenaga Pangeran Sena Wasesa menjadi
semakin surut maka mulailah nampak, bahwa daya tahan Ki
Ajar Pamotan Galih ternyata lebih baik dari Pangeran Sena
Wasesa. Justru dalam keadaan, yang demikian, maka
serangan-serangan Ajar Pamotan Galih itu menjadi semakin
garang. Dengan mengerahkan tenaganya, Pangeran Sena Wasesa
masih tetap berjuang melawan Ki Ajar Pamotan Galih. Bahkan
ia masih tetap mampu menghindari serangan beruntun yang
datang bagaikan amuk badai. Ketika tangan Ajar Pamotan
Galih t idak menyentuh sasaran, maka dengan satu putaran
Ajar Pamotan Galih mengayunkan kakinya mendatar. Tetapi
Pangeran Sena Wasesa dengan tangkas masih sempat
menghindar. Namun hampir diluar pengamatannya, Ki Ajar
Pamotan Galih itu telah meloncat menerkam dengan
garangnya langsung kearah dada.
Pangeran Sena Wasesa melihat serangan itu. Tidak ada
kesempatan lagi untuk meloncat. Karena itu, maka iapun
memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu
menyamping. Namun demikian, serangan Ajar Pamotan Galih itu masih
menyentuh pundaknya, sehingga Pangeran Sena Wasesa itu
terdorong surut Terasa betapa pundaknya menjadi pedih. Serangan itu
sebenarnya tidak terlalu keras, karena Pangeran Sena Wasesa
sempat mengambil jarak. Tetapi yang tidak terlalu keras itu,
terasa betapa sakitnya. Namun sementara itu, ternyata Ajar Pamotan Galihpun
terkejut ketika ia melihat dari pundak itu mengalir darah.
Serangannya itu bukan seratngan yang dapat melukai kulit
lawannya, meskipun mungkin memecahkan tulangnya.
Pangeran Sena Wasesa mundur, setapak. Dengan
tangannya ia meraba pundaknya. Darah.
"Kulitmu terlalu cengang Pangeran" berkata Ki Ajar
Pamotan Galih "Bukan maksudku melukaimu. Tetapi kau tidak
mempunyai daya tahan yang cukup. Apakah jadinya, jika aku
pada suatu saat melepaskan ilmu Pamungkasku" berkata Ki
Ajar Pamotan Galih itu. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Hampir diluar sadarnya ia berkata "Luka ini sudah dapat aku
atasi sebelumnya. Atas bantuan tabib di puncak bukit kecil itu.
Tetapi seranganmu tepat mengenai luka itu lagi, sehingga
kembali mengalirkan darah"
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Iapun mengerti, di
puncak bukit itu Pangeran Sena Wasesa telah dilukai oleh
Eyang Rangga. Ternyata luka yang sudah sembuh itu masih
tetap membekas. Jaringan kulit di bekas luka itu masih terlalu
muda sehingga serangan Ki Ajar Pamotan Galih itu telah
mengoyahnya lagi. Dalam pada itu, maka Ki Ajar, Pamotan Galih itupun
tertawa sambil berkata "Nah Pangeran. Apapun yang terjadi,
apakah luka itu telah ada dipundak Pangeran sejak semula,
atau karena sentuhan tanganku, namun adalah satu
kenyataan bahwa Pangeran telah menit ikkan darah. Aku
yakin, bahwa darah itu akan semakin banyak mengalir.
Akhirnya Pangeran akan jatuh terkapar dan tidak berdaya"
"Aku akan bertempur terus Ki Ajar" jawab Pangeran Sena
Wasesa "Ternyata kemampuan Ki Ajar tidak segarang yang
aku duga. Aku kira dalam dua tiga, benturan, aku sudah tidak
berhasil melawan. Tetapi ternyata aku masih tetap dapat
mengimbangi kemampuan Ki Ajar"
"Aku belum sampai kepuncak ilmuku Pangeran. Aku masih
sanggup melepaskan ilmuku pada tingkat tertinggi. Dengan
demikian, aku khawatir bahwa Pangeran justru akan terbunuh
karenanya" jawab Ki Ajar.
"Aku juga masih mampu melepaskan ilmu pemungkasku"
jawab Pangeran "sebaiknya kita akan mencobanya. Mungkin
aku memang akan mati. Tetapi itu tidak berarti apa-apa
bagiku. Sudah aku katakan, aku tidak takut mati"
"Aku tidak mau rahasia tentang pusaka dan rerangkennya
itu akan kau bawa mati" berkata Ajar Pamotan Galih "karena
itu, aku akan berperang pada janji. Apalagi Pangeran adalah
seorang kesatria yang teguh memegang janji. Jika Pangeran
kalah, maka Pangeran harus mengatakan apa yang
sebenarnya" "Itu tidak adil" tiba-tiba saja Jlitheng berteriak "Pangeran
sudah terluka. Sebaiknya perang tanding itu dilakukan dalam
keadaan yang wajar pada kedua belah pihak"
"Kau gila anak muda" desis Ki Ajar Pamotan Galih "J ika kau
terlalu banyak berbicara, maka kau akan dibungkam untuk
selama-lamanya" "Aku tidak peduli" sahut Jlitheng.
"Ia menentukan kesediaannya dalam keadaannya. Karena
itu, kau tidak dapat mengganggu gugat lagi" geram Ki Ajar
Pamotan Galih. Lalu t iba-tiba ia menjadi garang dan berkata
"Mari Pangeran. Aku akan membuatmu lumpuh dan
memaksamu untuk berbicara. Aku mempunyai seribu macam
cara untuk memaksa seseorang berbicara betapapun keras
hatinya" Pangeran Sena Wasesapun ternyata telah bersiap. Ia tidak
menghiraukan lagi darah yang mengalir dipundaknya. Dengan
lantang ia menjawab "Aku sudah siap"
Keduanya telah berhadapan lagi dengan tegangnya. Ki Ajar
Pamotan Galih nampak menjadi lebih garang. Namun
Pangeran Sena Wasesa yang teriuka itupun menjadi semakin
bersungguh-sungguh. Ia sama sekali tidak menghiraukan
darah yang mengalir dan keadaan disekitarnya. Tiba-tiba saja
ia telah didorong oleh satu keinginan untuk melawan Ajar,
Pamotan Galih. "Agaknya aku sudah terpengaruh oleh anggapanku bahwa
Ajar ini mempunyai kemampuan yang tidak terkalahkan"
berkata Pangeran itu di dalam hatinya.
Justru karena itu, Pangeran Sena Wasesa ingin
memperbaiki kesannya tentang Ki Ajar Pamotan Galih.
Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih bukan orang yang memiliki
kemampuan raksasa seperti yang diduganya.
"Jika sejak semula aku t idak terpengaruh oleh anggapanku
bahwa aku tidak akan mampu berbuat apa-apa sama sekali
dihadapannya, maka agaknya aku akan dapat berbuat lebih
banyak" berkata Pangeran itu pula di dalam hatinya,
sementara ia telah mengerahkan segenap kemampuannya
untuk melawan. Namun dalam pada itu, darah yang mengalir dari lukanya,
bagaikan di peras ketika ia bertempur semakin sengit.
Sementara itu, Ajar Pamotan Galih telah dengan sengaja
mengarahkan serangan-serangannya kepada puncak yang
terluka itu. Bagimanapun juga, ternyata luka itu telah
mempengaruhinya. Karena itu, maka semakin lama
perlawanan Pangeran Sena Wasesapun menjadi semakin
lemah. Apalagi ternyata daya tahan Ajar Pamotan Galih
memang mengagumkan. Setelah mereka bertempur dalam
waktu yang cukup lama, maka seakan-akan kemampuan Ajar
Pamotan Galih itu sama sekali tidak menjadi susut.
Kiai Kantihi memperhatikan perkelahian itu dengan jantung
yang berdebaran. Ia sudah melihat, bahwa Pangeran Sena
Wasesa tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
"Bahkan seandainya Pangeran tidak terluka, agaknya
Pangeran memang tidak akan dapat mengalahkannya" berkata
Kiai Kanthi di dalam hatinya. Orang tua itu melihat, meskipun
Ajar Pamotan Galih tidak mempunyai kelebihan yang
mengejutkan sebagaimana diduganya, karena seolah-olah
Pangeran Sena Wasesa sendiri sudah mengetahuinya, namun
daya tahan orang itu memang luar biasa. Meskipun ia harus
mengerahkan segenap tenaganya dan melepaskan tenaga cajdangannya
sampai tuntas untuk memaksa Pangeran Sena
Wasesa menyerah, namun ia masih tetap bertempur sesegar
saat ia baru mulai. Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa telah benar-benar
menjadi semakin terdesak. Serangan Ki Ajar yang beruntun
mengarah kepundaknya dapat dihindarinya. Namun ketika ia
bergeser sambil berputar, tiba-tiba saja Ajar Pamotan Galih
telah melingkar sambil menyerang dengan tumitnya
menyamping mengarah lambung. Pangeran Sena Wasesa
dengan tergesa-gesa melangkah surut. Tetapi ia sadar,
serangan berikutnya akan menyusul. Karena itu, ia segera
bersiap untuk menghindar. Tetapi serangan Ki Ajar justru
diarahkan kepada kakinya. Sambil merendah dan bretopang
pada satu tangannya di tanah, Ajar Pamotan Galih berusaha
menghantam lutut Pangeran Sena Wasesa. Namun Pangeran
itu masih mampu bergerak cepat. Ia melangkah kesamping.
Bahkan kemudian dengan serta merta, la telah membalas


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan ku, dengan serangan ganda. Kakinya sempat
menghantam betis lawannya dengan kerasnya, kemudian
ketika kaki lawannya itu terdorong kesamping, Pangeran Sena
Wasesa langsung menyerang dada. Tetapi serangannya
ternyata gagal, karena Ki Ajar sempat berguling Dengan cepat
ia melinting dan demikian kakinya tegak diatas tanah, maka
kedua tangannya telah menyerang beruntun. Langsung
mengarah ke pundak yang berdarah itu.
Pangeran Sena Wasesa sempat menghindari serangan yang
pertama dengan bergeser surut setapak. Tetapi kecepatan
serangan kedua tidak dapat diimbanginya. Karena itu, sekali
lagi tangan Ki Ajar Pamotan Galih yang dilambari dengan
tenaga cadangannya itu telah menghantam pundak yang
memang sudah berdarah Itu.
Serangan Ajar Pamotan Galih itu cukup keras. Sementara
itu perasaan sakit memang telah mencengkam pundak itu.
maka serangan itu benar-benar telah mendorongnya sehingga
hampir saja Pangeran Sena Wasesa itu kehilangan
keseimbangannya. Tetapi ia masih tangkas untuk memperbaiki
keseimbangannya. Namun demikian ia berhasil berdiri tegak
maka Ki Ajar Pamotan Galih itu telah menyerangnya dengan
kecepatan yang luar biasa. Seolah-olah Ajar tua itu telah
terbang menukik dengan kakinya yang, terjulur mendatar
mengarah dada. Demikian cepat dan kerasnya, sehingga
Pangeran Sena Wasesa tidak sempat lagi untuk mengelak.
Karena itu, maka ia telah memiringkan tubuhnya dan
berusaha melawan serangan itu dengan lengannya.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Pangeran Sena
Wasesa telah terdorong beberapa langkah surut. Namun,
meskipun ia berhasil untuk bertahan dan tidak terlempar
jatuh, tetapi justru lengan yang dengan tergesa-gesa telah
dipergunakannya untuk menyelamatkan dadanya itu adalah
lengannya pada pundaknya yang terluka. Sehingga karena
itulah, maka darah yang telah mengalir dari luka itu, benarbenar
bagaikan dihentakkan mengalir dengan derasnya.
Pangeran Sena Wasesa melangkah surut. Dengan cemas ia
meyaksikan arus darahnya yang semakin membanjir.
Dalam pada itu, Ajar Pamotan Galih itupun tertawa
berkepanjangan. Dengan Jantang iapun kemudian berkata
"Nah, Pangaeran. Apakah Pangeran masih ingin melawan"
Agaknya kemampuan Pangeran telah terhisap oleh darah yang
mengalir dari luka itu. Sebenarnyalah aku mengagumi
kemampuan Pangeran yang hampir dapat mengimbangi
kemampuanku. Tetapi ternyata bahwa Pangeran tidak akan
bertahan lebih lama lagi. Karena itu, sebaiknya Pangeran
mengakui saja kekailahan ini. Dengan demikian maka
segalanya akan berjalan lancar. Ajak aku kemana saja yang
menurut Pangeran akan dapat menyelesaikan persoalan kita"
Wajah Pangeran Sana Wasesa menjadi tegang. Namun
ternyata sikap Ajar Pamotan Galih itu membuatnya
tersinggung, sehingga harga dirinya sebagai seorang
kesatriapun telah terungkat. Dengan suara bergetar menahan
gejolak perasaannya, maka Pangeran itu berkata "Aku sudah
basah olehi darah Ki Ajar. Tetapi aku belum sampai pada
batas perjanjian kita. Sebagai seorang kesatria aku akan
menghormat i setiap perjanjian. Tetapi sebagai seorang
kesatria, maka akupun pantang menyerah. Aku akan
bertempur sampai ternyata aku tidak mampu lagi melawan.
Atau bahkan mati" "Sudah aku katakan aku tidak akan membunuhmu" berkata
Ajar Pamotan Galih. "Jika demikian, akulah yang akan membunuhmu" geram
Pangeran Sena Wasesa. Tetapi Ajar Pamotan Galih yang melihat kemungkinan
untuk menang menjadi semakin besar itupun tertawa. Darah
yang mengalir dipundak Pangeran Sena Wasesa telah
membasahi seluruh tubuhnya. Katanya di sela-sela suara
tertawanya yang sengaja di perdengarkan "Pangeran. Apakah
kau bukan seorang laki-laki jantan yang sanggup dan berani
menatap kenyataan" Kau tidak akan menang. Itu satu
kenyataan. Bukankah kau melihat kenyataan itu"
"Aku melihat Ki Ajar" jawab Pangeran Sena Wasesa "Tetapi
aku adalah laki-laki yang pantang menyerah. Sudah aku
katakan, dan kau sudah mendengarnya"
"Jangan keras kepala Pangemn" sahut Ki Ajar.
Pangeran Sana Wasesa tidak menjawab. Tetapi ia telah
mengerahkan sisa tenaganya untuk bertempur semakin seru.
Keadaan Pangeran itu memang sangat mencemaskan. Kiai
Kanthi menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa. Jika ia berbuat sesuatu, maka mungkin Pangeran
Sena Wasesapun telah tersinggung pula. Karena itu, maka
rasa-rasanya kaki Kiai Kanthi itupun menjadi bergetar oleh
kegelisahan yang tertahan di dalami dadanya tanpa
menemukan pemecahan. Dalam pada itu, kegelisahan itu bukan saja telah
mencengkam Kiai Kanthi. Anak-anak muda yang menyaksikan
pertempuran itupun menjadi cemas. Jlitheng dan Daruwerdi
menjadi tegang. Swasti diluar sadarnya telah mendesak
ayahnya selangkah maju tanpa berpaling dari pertempuran
itu. Rahu tegak sambil menggeram. Sementara itu kedua
paman Daruwerdipun bagaikan berdiri diatas bara.
Namun dalam pada itu, ternyata kedua adik seperguruan Ki
Ajar Pamotan Galih itupun menjadi cemas melihat keadaan
Pangeran itu. Sebenarnyalah keduanya masih sangat raguragu
menghadapi sikap saudara seperguruannya. Mereka tidak
tahu pasti, apakah yang telah dilakukan oleh saudara
seperguruannya itu, yang bertentangan dengan sikap yang
pernah dilihatnya sebelumnya.
Sebagai orang yang sudah lama merambah jalur jalan
orang-orang yang berilmu maka darah bukan lagi menjadi
persoalan perasaan mereka. Apalagi pada suatu masa mereka
adalah orang-orang yang hidup dalam dunia yang hitam.
Namun ketika pada suatu saat mereka mulai di hayati oleh
pertimbangan-pertimbangan tentang sikap hidup mereka,
maka yang disaksikannya itu membuat mereka menjadi
berdebar debar. Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih justru telah
mengerahkan segenap kemampuan dan kecepatannya
bergerak untuk memancing agar Pangeran Sena Wasesa
mengerahkan segenap kekuatannya pula, sehingga dengan
demikian, maka ia akan segera kehabisan tenaga karena
darahnya yang mengalir semakin banyak.
Sebenarnyalah, betapapun Pangeran Sena Wasesa
berjuang untuk mengatasi susutnya tenaga, namun ia
memang tidak mampu melawan kenyataan yang terjadi pada
dirinya. Tenaganya benar-benar semakin terkuras habis
sejalan dengan darahnya yang tidak henti-hentinya mengalir,
dari lukanya. Dalam pada itu, selagi keadaan Pangeran Sena Wasesa
menjadi semakin gawat, nampaknya Jlitheng tidak dapat
menahan hati lagi. Dengan sertai meria ia berkata kepada
Rahu "He, apa kerjamu selama ini" Kau biarkan hal ini terjadi"
Rahu menahan gejolak parasaannya. Katanya "Yang
membuat aku bimbang, adalah kesediaan Pangeran untuk
berperang tanding" Jlitheng menggertakkan giginya. Namun dalam pada itu,
ketika ia melihat Pangeran Sena Wasesa yang menjadi
semakin lemah terdorong jatuh, maka iapun segera meloncat
ke arena. "Tidak adil" teriaknya "Pangeran sudah terluka. Perang
tanding hanya adil jika keduanya adalah keadaan yang wajar"
Wajah Ki Ajar Pamotan Galih menjadi merah padam.
Setelah ia mengalami perlawanan yang sangat berat, bahkan
telah memaksanya untuk mengerahkan segenap
kemampuannya, maka kehadiran anak muda itu membuatnya
sangat marah. Dalam pada itu terdengar suara Pangeran Sena Wasesa
"Jlitheng. Tinggalkan arena. Aku tidak dapat mengingkari
segala perjanjian yang sudah aku buat. Tetapi, tidak dapat
melawan lagi menurut pengertianku adalah kematian"
"Sejenak perang tanding ini dimulai, sudah dapat dinilai
tidak sah. Pangeran berada dalam keadaan luka" jawab
Jlitheng. "Ia tidak menyatakan keberatannya" potong Ajar Pamotan
Galih yang marah. Bahkan katanya kemudian "atau kau akan
ikut campur dan bersama-sama melawan aku?"
"Aku akan menggantikannya" jawab Jlitheng.
"Kau jangan gila Jlitheng" teriak Pangeran Sena Wasesa
yang berusaha untuk bangkit betapapun lemahnya"
Kau harus tahu diri dengan siapa kau berhadapan. Jangan
cemaskan keadaan orang lain, tetapi kau kemudian justru
membunuh diri. Sebuah kematian sudah cukup. Biarlah aku
mati karena tugas hidupku memang sudah selesai"
"Aku tidak mengerti" jawab Jlitheng "Apakah mungkin
seseorang menganggap tugas hidupnya sudah selesai.
Menurut pengertianku, apalagi bagi seorang kesatria, tugas
hidup itu tidak akan selesai selama masih ada kelaliman di
muka bumi ini" "Cukup" bentak Ki Ajar Pamotan Galih "majulah bersamasama.
Aku akan membunuh kalian berdua, dan apa bila
Pangeran benar-benar tidak mau berbicara tentang pusaka itu,
maka semua orang akan aku bunuh seorang demi seorang.
"Licik" geram Pangeran Sena Wasesa "Kita teruskan perang
tanding ini" "Tidak perlu" potong Jlitheng "perang tanding ini t idak
dapat dianggap sah" Wajar Ajar Pamotan Galih menjadi bagaikan menyala.
Sementara itu Jlitheng tidak mau beringsut dari tempatnya.
Sedangkan orang-orang yang berada diseputar arena itu
menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya Rahupun melangkah
maju. Katanya "Pangeran. Aku masih tetap dalam tugasku.
Apapun yang akan terjadi atas diriku".
"Jangan bodoh" teriak Pangeran itu "kalian akan melakukan
satu kesalahan yang tidak akan berarti apa-apa"
Tetapi Rahu dan Jlitheng nampaknya memang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan, apapun yang akan terjadi
atas diri mereka. Dalam pada itu. Ajar Pamotan Galih menjadi semakin
marah melihat kedua orang yang dengan berani
menentangnya. Bahkan menurut pertimbangan Ajar Pamotan
Galih, diantara mereka masih terdapat seorang tua yang tentu
memiliki ilmu yang mapan pula.
Karena itu maka Ajar Pamotan Galih itupun kemudian
berkata kepada kedua adik seperguruannya "Singkirkan
mereka. Jika mereka melawan kalian dapat memaksanya"
Kedua orang adik seperguruan Ajar Pamotan Galih ku
termangu-mangu. Mereka memang melihat beberapa
persoalan yang menjadi teka-teki. Menurut penilaian mereka,
kakak seperguruannya adalah seorang yang memiliki ilmu
yang sukar ada bandingnya. Namun dalam pertempuran itu,
meskipun lawannya juga seorang pilih tanding, namun
agaknya Ajar Pamotan Galih itu sendiri harus mengerahkan
kemampuannya untuk mengatasi Pangeran yang luka itu.
"Tetapi menilik unsur dan ciri-ciri tata geraknya, orang itu
benar-benar bersumber dari perguruan kami" berkata saudara
seperguruannya ku kepada diri sendiri" Meskipun telah terjadi
perkembangan yang agak jauh"
Dalam keragu-raguan itu, terdengar sekali lagi Ajar
Pamotan Galih itu berteriak "Singkirkan mereka. Kalian
dengar" Jika mereka melawan, bunuh saja orang-orang gila
itu. Aku tidak memerlukannya"
Beberapa orang di seputar arena itu mulai bergerak.
Namun justru kedua saudara seperguruannya ku masih tetap
dicengkam oleh keragu-raguan.
Tetapi akhirnya merekapun telah bergerak pula. Selangkah
demi selangkah dengan sorot mata penuh kebimbangan.
"Kenapa kalian ragu-ragu he?" bentak Ki Ajar Pamotan
Galih. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Daruwerdi telah meloncat
pula sambil berkata "Kakek. Tindakan kakek memang tidak
adil" "Daruwerdi" desis Ki Ajar Pamotan Galih "Kenapa kau tibatiba
menjadi orang bingung. Semuanya ini untuk
kepentinganmu. Kau adalah cucuku seperti cucuku sendiri.
Segalanya aku lakukan bagi hari depanmu. Menepilah. Aku
akan menyelesaikan tugas ini"
"Tidak kakek. Aku menolak cara yang kakek pergunakan"
berkata Daruwerdi "apakah kakek tidak mempunyai cara lain
selain kekerasan seperti itu" Seandainya kakek memberi
kesempatan aku memilih, maka aku akan memilih agar kakek
mengurungkan niat kakek daripada mendapat sebilah pusaka,
harta benda dan apapun yang tidak aku ketahui manfaatnya
dengan pasti. Apakah ada pengaruh gaib dari pusaka itu yang
akan membuat aku menjadi seorang pemimpin kelak, atau
sebenarnya karena harta benda yang tidak ternilai harganya
itu akan dapat membuat aku berbahagia"
"Daruwerdi, bukankah kita sudah sepakat sebelumnya
Bukankah kita sudah mengatur segaa sesuatunya. Bahkan jika
orang Sanggar Gading itu tidak memiliki pengamatan tayub
yang tajam, kau sendiri akan anggap menyelesaikan. Nah, jika
waktu itu Pangeran ini sudah ada di tanganmu tanpa aku. apa
yang akan kau lakukan?" bertanya Ajar Pamotan Galih.
Jika saat itu, Yang Mulia dari Sanggar Gading itu tidak
merubah segala macam acara yang telah ditentukan, agaknya
Daruwerdi memang akan menentukan sikap yang sudah di
putuskannya. Katanya "Aku akan mengikatnya dengan jerat
rangkap ganda dan cinde berserat baja sehingga tidak dapat
diputuskannya dengan ilmu apapun juga. Kemudian
memukulinya sehingga ia mengatakan di mana pusaka itu
disimpan. Aku tidak akan mempunyai belas kasihan terhadap
seseorang yang telah membunuh ayahku"
"Nah, kenapa kau tidak melakukannya sekarang" Bahkan
kau mencegah aku melakukan kekerasan" bertanya Ki Ajar
Pamotan Galih. "Aku memang sudah berubah sikap kakek. Sejak aku
meragukan sifat dan watak Pangeran itu. Ia sama sekali tidak
mendendamku. Bahkan ia telah membantu membebaskan aku
dari kemarahan Yang Mulia pemimpin tertinggi Sanggar


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gading" "Persetan" geram Ki Ajar Pamotan Galih "kalian sudah
menjadi cengeng. Cepat, lakukan yang aku perintahkan.
Kalian telah membuat aku kehilangan kesabaran. Bunuh
semua orang yang menentang perintahku dan menghalangi
niatku" Halaman padepokan itu menjadi semakin tegang. Sejenak
mereka seakan-akan telah membeku. Perintah itu merupakan
keputusan yang pasti tidak akan dapat berubah lagi.
Namun dalam pada itu, tidak ada pilihan lain dari Kiai
Kanthi untuk mempersiapkan diri. Swastipun telah meraba
hulu senjatanya, sementara kedua paman Daruwerdi yang
kebingungan itupun itelah dipaksa untuk bersiap. Sikap
Daruwerdi membuat mereka semakin kehilangan arah dan
pegangan. Namun akhirnya, mereka tidak mau berpikir lagi.
Mereka harus melindungi Daruwerdi, kemanakannya itu,
dimanapun ia berdiri. Dalam suasana yang tidak menentu itu, tiba-tiba saja
halaman padepokan itu telah digetarkan oleh suara tertawa
nyaring. Tidak terlalu keras, tetapi rasa-rasanya menusuk
sampai kepusat jantung. Sejenak orang-orang dihalaman itu menjadi bingung
Namun orang-orang tuapun segera mengetahui arah suara itu.
Ternyata merekapun kemudian melihat di atas sebatang
dahan pada pohon pacar yang tua duduk seorang dalam
pakaian yang kumal dan kotor. Wajahnya tidak lagi nampak
wajar oleh cacad di kening dan ujung bibir.
"Anak setan" geram Ki Ajar Pamotan Galih "Siapakah orang
gila yang duduk disitu?"
Orang itu masilh tetap tertawa, sementara orang-orang lain
menjadi bingung dan bimbang. Tidak seorangpun yang tahu,
kapan orang itu datang, sehingga tiba-tiba saja ia sudah
berada di atas sebatang dahan di pohon pacar tua yang besar
dan rimbun itu. "Tentu orang berilmu sangat tinggi" berkata setiap orang di
dalam hatinya. Sementara itu, maka orang itupun berkata "Yang pertama
harus dilakukan adalah memampatkan darah dari luka
Pangeran. Semakin lama darah itu akan semakin banyak
mengalir, sehingga pada suatu saat Pangeran akan kehilangan
sebagian besar dari darah Pangeran. Pangeran tentu tahu,
akibat apa yang dapat terjadi"
Pangeran Sena Wasesa memang sudah menjadi semakin
lemah. Selain karena ia sudah mengerahkan segenap
kekuatannya, iapun itelah kehilangan banyak darah dari
tubuhnya. Meskipun demikian, Pangeran Sena Wasesa itu sama sekali
tidak berniat untuk menyerah, sebelum ia bertempur sampai
tuntas. Karena itu, maka katanya kemudian "Kewajibanku belum
selesai" "Jangan berpikir seperti itu Pangeran" jawab orang yang
duduk diatas sebatang dahan pohon pacar yang tua itu
"Pangeran dapat berbuat demikian jika luka itu terjadi pada
saat perang tanding ini berlangsung. Tetapi bukankah
Pangeran sudah terluka sejak perang tanding ini belum
dimulai" "Tetapi ia sudah menerima tantangan perang tanding itu
dalam keadaannya" geram Ajar Pamotan Galih, yang
kemudian berkata "Tetapi siapakah kau he" Apakah kau
memang dengan sengaja ingin ikut campur dalam persoalan
ini?" Orang itu tertawa. Tubuhnya nampak ringan sekali ketika ia
meluncur turun dari dahan pohon pacar itu. Namun ketika ia
melangkah mendekat, maka ternyata bahwa punggungnya
agak bongkok meskipun hanya sedikit.
"Ki Ajar Pamotan Galih" berkata orang itu "Sebenarnya
perang tanding ini tidak akan ada artinya sama sekadi"
"Kami. sudah membuat perjanjian" berkata Ajar Pamotan
Galih. "Jika kau menang Pangeran akan mengatakan yang
sebenarnya tentang pusaka dan harta karun yang kau
inginkan itu" Yang kau katakan seolah-olah semuanya itu kau
siapkan bagi hari depan cucumu itu?" bertanya orang yang
berwajah cacat dan punggungnya agak bongkok itu.
"Ya. Pusaka itu mempunyai pengaruh gaib sehingga cucuku
itu kelak akan dapat menjadi seorang pemimpin" jawab Ajar
Pamotan Galih. "Dan harta benda yang menyertai pusaka itu akan dapat
dipergunakan untuk menyusun hari depannya yang bahagia"
sambung orang yang cacat itu.
"Ya" jawab Ki Ajar Pamotan Galih. Namun kemudian
katanya "Tetapi apa kepentinganmu dengan persoalan kami
pengembara yang kotor. Apakah kau ingin mendapat sesuap,
nasi karena tingkah lakumu itu?"
"Tidak adil" teriaknya "Pangeran sudah terluka. Perang
tanding hanya adil jika keduanya adalah keadaan yang wajar"
Wajah Ki Ajar Pamotan Galih menjadi merah padam.
Setelah ia mengalami perlawanan yang sangat berat, bahkan
telah memaksanya untuk mengerahkan segenap
kemampuannya, maka kehadiran anak muda itu membuatnya
sangat marah. "Tidak, tidak Ki Ajar. Aku dapat makan apa saja yang aku
ketemukan. Selama ini aku makan akar pepohonan dan madu
tawon. Ternyata aku tetap sehat seperti yang kau lihat"
berkata orang itu. Lalu "Tetapi itu tidak penting. Sebaiknya
kau hentikan tingkah lakumu yang memuakkan itu"
"Persetan" geram Ki Ajar Pamotan Galih. Lalu katanya
kepada kedua adik seperguruannya "usir orang itu"
"Tunggu" berkata orang cacat itu "Aku ingin memberikan
obat ini kepada Pangeran Sena Wasesa. Mungkin Pangeran
sendiri juga sudah mempunyai obat yang baik. Tetapi aku kira,
obatku ini akan lebih cepat memampatkan darah"
Orang itu kemudian sama sekali tidak menghiraukan Ki Ajar
Pamotan Galih yang justru menjadi termangu-mangu. Sambil
memberikan sebumbung kecil obat ia berkata kepada Rahu
dan Jlitheng "Tolong, bantu Pangeran itu. Biarlah orang ini aku
selesaikannya" Seperti kena pesona yang tidak dapat mereka hindari,
maka kedua orang itupun kemudian mendekati Pangeran
Serta Wasesa yang menerima bumbung berisi obat itu hampir
diluar sadarnya. "Cepat" berkata Ki Ajar Pamotan Galib kemudian "usir
orang itu atau bunuh sama sekali. Ia sudah mengigau tentang
pusaka, tentang harta benda, seolah-olah ia mengetahui apa
yang dikatakannya" Kedua adik seperguruan Ki Ajar Pamotan Galih itu
termangu-mangu. Namun kemudian orang yang berpakaian
kumal seperti seorang pengembara itu berkata "Baiklah Ragapasa
dan Wanda Manyar. Jika kalian memang mendapat tugas
untuk itu, cobalah, lakukanlah atasku"
Kedua orang itu terkejut. Hampir diluar kehendaknya, Ki
Wanda Manyar bertanya "Kau mengenal kami berdua?"
"Kenapa tidak" Aku mengenal kau berdua dengan baik.
Dan barangkali kalian bertanya, darimana aku mengenal
kalian?" sahut orang itu.
Kedua orang itu temangu-mangu. Namun Ki Ajar Pamotan
Galih telah membentaknya "Cepat. Selesaikan saja orang itu"
"Baiklah" berkata pengembara itu "biarlah kedua orang ini
melawan aku. Tetapi aku minta "kau memperhatikan apa yang
akan terjadi" "Kau memberi kesempatan Pangeran itu mengobati lukalukanya?"
bertanya Ki Ajar Pamotan Galih.
"Apa kau berkeberatan?" bertanya pengembara itu.
"Baik " Ajar Pamotan Galih hampir berteriak "biarlah
Pangeran itu mengobati luka-lukanya. Aku akan memberi
kesempatan kepadanya. Sekarang aku ingin melihat, apa yang
dapat dilakukan oleh pengembara ini" Lalu katanya kepada
kedua orang adik seperguruannya "usir, atau bunuh sama
sekali" Kedua adik seperguruan itu masih tetap ragu-ragu. Namun
pengembara itupun kemudian berkata "Marilah Raga-pasa dan
Wanda Manyar. Aku memang ingin menunjukkan kepadamu,
apa yang dapat aku lakukan"
Kedua orang itu seolah-olah tidak lagi mengerti apa yang
dilakukannya. Tetapi keduanya telah maju kearena.
Kiai Kanthi memperhatikan orang yang baru datang itu
dengan saksama. Ia memang belum pernah melihat orang
yang cacat seperti itu. Namun adalah sangat menarik bahwa
orang itu telah menantang kedua orang adik seperguruan Ajar
Pamotan Galuh. "Orang itu akan menghadapi kedua-duanya" berkata Kiai
Kanthi di dalamhatinya. Karena kedua adik seperguruan Ki Ajar itu masih tetap
ragu-ragu, maka orang itu berkata "Jangan ragu-ragu. Aku
akan memulai. Melawan atau tidak melawan"
Pengembara yang membuat teka-teki di padepokan itu
menjadi semakin rumit itupun tiba-tiba telah meloncat
menyerang. Ia benar-benar telah memukul pundak Ki
Ragapasa yang ragu-ragu. Namun pukulan itu telah
mendorongnya selangkah surut
Ki Ragapasa menyeringai menahan sakit. Sementara itu,
orang itu telah menyerang Ki Wanda Manyar pula. Namun
nampaknya Ki Wanda Manyar telah bersiaga, sehingga iapun
sempat mengelak. "Orang ini sangat aneh" desis kedua orang itu didalam
hatinya. Namun keduanya tidak dapat tinggal diam. Orang itu sudah
menyerang dan sentuhan di pundak Ki Ragapasa telah
membuat pundak itu menjadi sakit.
"Tetapi orang itu agaknya tidak ingin berbuat lebih banyak
dari sakit itu" berkata Ki Ragapasa kepada diri sendiri "Jika ia
mau, maka aku kira ia dapat lebih banyak berbuat daripada
membuat pundak ini sakit"
Namun dalam pada itu, kedua orang adik seperguruan Ajar
Pamotan Galih itu tidak sempat berpikir lebih banyak lagi.
Orang yang cacat itu telah menyerangnya dengan cepatnya.
Meskipun ia agak bongkok tetapi ia dapat bergerak dengan
cekatan, seolah-olah ia tidak dalam keadaan cacat.
Tetapi dalam pada itu, terdengar Ajar Pamotan Galih
tertawa sambil berkata "Orang itu hanya dapat meloncatloncat
seperti kera kepanasan. Tetapi karena tingkah lakunya,
maka cepat selesaikan saja agar orang itu tidak mengganggu"
Dalam pada itu, kedua orang yang sedang bertempur
melawan pengembara itupun melihat, seolah-olah orang itu
hanya bergerak tanpa kemampuan menguasai tata gerak
sama sekali Namun ternyata ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Ketika Ragapasa menyerangnya, demikian tangannya
menyentuh tubuh orang itu, ia mendengar orang itu berdesis
"Kau benar-benar tidak mengenal aku?"
Ki Ragapasa mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia
bergeser surut, pengembara itu memburunya dan dengan sisi
telapak tangannya ia menghantam lambung.
Ki Ragapasa terkejut. Lambungnya memang merasa sakit.
Sementara itu Ki Wanda Manyarpun telah berusaha
menyerang orang itu pula dari samping.
Dalam pada itu, orang itupun berdesis pula " Cobalah
mengingat siapakah aku"
Ki Wanda Manyar yang sudah siap untuk memukul tengkuk
orang itupun telah tertahan. Tetapi tangannya masih juga
menyentuh tengkuk itu meskipun tidak menimbulkan akibat
apapun juga. Orang-orang yang melihat perkelahian itu merasa bahwa
ada sesuatu yang tidak wajar. Kiai Kanthi yang memiliki
pengamatan yang tajam justru menjadi heran. Pertempuran
itu sama sekali tidak mencermikan pertempuran antara orangorang
yang berilmu tinggi. Apalagi Ki Ajar Pamotan Galih sendiri. Dengan lantang
iapun kemudian berkata "Jangan terpengaruh oleh perasaan
belas kasihan. Bunuh saja orang itu Kau kira bahwa orang itu
pada suatu saat tidak akan berbahaya bagi kalian. Ia telah
memancing kalian dengan tingkah lakunya yang kegila-gilaan
itu. Namun pada suatu saat, perut kalianlah yang akan
berlubang karenanya"
Kedua adik seperguruannya itupun kemudian bergeser
surut. Tetapi kata-kata orang bertubuh bongkok dan berwajah
cacat itu berkesan dihati mereka, sehingga untuk beberapa
saat keduanya telah berusaha untuk mengingat, dengan siapa
ia berhadapan. Namun mereka t idak segera dapat mengenali orang itu.
Sementara orang itu telah menyerang mereka pula. Sehingga
dengan demikian, maka merekapun harus berusaha untuk
menghindar. Meskipun kemudian terjadi sentuhan-sentuhan, tetapi sama
sekali t idak berakibat apapun juga bagi kedua saudara
seperguruan Ki Ajar Pamotan Galih itu.
"Hentikan permainan gila itu" tiba-tiba Ki Ajar itu berteriak
"Jika kalian terpengaruh oleh sikap orang itu, maka biarlah
aku saja membunuhnya. Pengembara itu meloncat mundur. Lalu Katanya "Itu lebih
baik Ki Ajar. Cobalah, kau sajalah yang membunuh aku. Kedua
saudara seperguruanmu ini agaknya terlalu berbelas kasihan
kepadaku. Mereka tidak bertempur dengan sungguh-sungguh
Mereka hanya menyentuh tubuhku yang cacat ini seperti
menyentuh dan membelai untuk kanak-kanak"
"Tutup mulutmu" bentak Ki Ajar Pamotan Galih yang tidak
sabar "Iblis seperti kau ini memang harus dimusnakan"
"Ah. Kau nampak garang sekali Ki Ajar" berkata orang itu
"hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi. Dahulu kau tidak
segarang sekarang ini. Memang aku tahu, sebelumnya kau
adalah iblis yang paling garang di daerah Selatan negeri ini.
Tetapi rasa-rasanya kau sudah berubah"
"Setan alas" bentak Ki Ajar "Jangan berbicara tentang
sesuatu yang tidak k" ketahui"
"Aku tahu" jawab orang ku "Aku mengenal Ki Ajar dengan
baik. Aku mengenal Ki Ajar Cinde Kuning. Aku mengenal Ki
Ajar Macan Kuning, yang mulai berubah menjadi lain dari Ajar
Cinde Kuning, dan kemudian nama itu berubah lagi menjadi Ki
Ajar Pamotan Galih yang menginginkan pusaka yang kau


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangka tersembunyi di daerah Sepasang Bukit Mati. Kau ajari
cucumu itu untuk menculik Pangeran Sena Wasesa yang
ternyata adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang
pusaka ku dan lebih-lebih lagi adalah harta benda yang tidak
ternilai harganya" "Cukup "Ki Ajar Pamotan Galih kupun melangkah maju. Ia
tidak memikirkan lagi siapakah yang berdiri dihadapannya.
Namun ia masih berkata kepada kedua saudara
seperguruannya "Jaga orang-orang yang ada di halaman ini,
terutama Pangeran Sena Wasesa. Jangan biarkan mereka
pergi" "Apa yang akan kakang lakukan?" bertanya Raga-pasa.
"Aku akan membunuh orang ini" jawab Ajar Pamotan Galih.
Pangeran Sena Wasesa termangu-mangu. Ada niatnya
untuk mengatakan bahwa ia masih dalam satu keadaan
berperang tanding. Belum ada yang dinyatakan kalah atau
menang. Namun keadaan yang dihadapinya itu telah
mempesonanya, sehingga ia tidak berbuat sesuatu ketika
kedua orang itu berhadapan. Ki Ajar Pamotan Galih dengan
orang yang cacat dan punggungnya agak bongkok itu.
"Sebelum kau mat i, apakah ada yang ingin kau katakan?"
geramAjar Pamotan Galih. Orang yang cacat itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian jawabnya "Tidak ada yang ingin aku katakan lagi
Sekarang, jika kau ingin berbuat sesuatu, lakukanlah. Aku
sudah siap. Biarlah orang-orang yang berada disini menjadi
saksi" Ki Ajar Pamotan Galih tidak sabar lagi. Dengan geramnya ia
berdesis "Aku ingin cepat membunuhmu. Kemudian
menyelesaikan persoalanku dengan Pangeran Sena Wasesa"
"Aku tidak ingin mati" tiba-tiba saja pengembara itu
menjawab "Aku ingin tahu, apa yang dapat kau selesaikan
dengan Pangeran Sena Wasesa itu"
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia
meloncat menyerang sambil berteriak nyaring. Suara
teriakannya itu bagaikan mengguncang setiap isi dada.
Kiai Kanthi bergeser selangkah kesamping diikuti oleh anak
gadisnya. Pertempuran yang kemudian terjadi memang sangat
menarik perhatiannya. Sebagai seorang yang memiliki
pengalaman yang luas, maka sentuhan pada jantungnya telah
menarik perhatiannya untuk memperhatikan pertempuran itu
dengan saksama sampai kepada unsur-unsurnya.
Pangeran Sena Wasesa mengikuti perkembangan keadaan
itu dengan jantung yang berdebaran. Namun bagaikan orang
terbangun dari mimpi ia berpaling ketika Rahu berkata
"Apapun yang terjadi Pangeran. Sebaiknya Pangeran
mengobati luka Pangeran"
Pangeran itu ragu-ragu. Ia belum mengenal pengembara
Uu, Karena itu, Pangeran itupun tidak yakin bahwa obat itu
akan menolongnya. Tetapi Pangeran itu terkejut ketika pengembara itu sambil
menghindari serangan Ki Ajar Pamotan Galih berkata "Jangan
bimbang Pangeran. Darah itu sudah terlalu banyak mengalir
dari tubuh Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa sendiri tidak mengerti, kenapa
kepercayaannya kepada pengembara itu telah tumbuh. Karena
itu. maka untuk sesaat ia menepi dan dibantu oleh Rahu dan
Jlitheng, Pangeran Sena Wasesa telah mengobati lukalukanya.
Adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja Daruwerdi
telah berjongkok disampingnya sambil berdesis "Aku mohon
maaf Pangeran" Pangeran Sena Wasesa memandangi anak muda itu.
Kemudian dengan kerut di dahi ia bertanya "Kenapa?"
"Akulah yang menyebabkan Pangeran terperosok dalam
keadaan yang berlarut-larut ini. Apalagi setelah aku
menyadari, bahwa Pangeran tidak sendiri. Maksudku, keluarga
Pangeran" Pangeran Sena Wasesa tersenyum. Katanya "Sudahlah.
Sekarang kita sudah terjerat ke dalam keadaan seperti ini. Aku
ingin melihat apa yang terjadi"
Daruwerdi beringsut surut. Ketika Rahu dan Jlitheng
memandangi wajahnya, maka nampak penyesalan yang dalam
pada sorot matanya. Namun segalanya memang sudah terjadi.
Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Sena Wasesa. Mereka
sudah terjerat dalamsatu keadaan.
Dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih telah menyerang
dengan garangnya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan
pertempuran itu. Ia tidak lagi menghiraukan apapun juga dan
sama sekali tidak lagi mengendalikan diri. Ia benar-benar ingin
membunuh orang itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
sehingga ia tidak akan merasa terganggu lagi, jika ia ingin
berbicara lebih jauh dengan Pangeran Sena Wasesa.
Namun ternyata bahwa Ajar Pamotan Galih tidak dapat
melakukannya sebagaimana yang dikehendakinya. Meskipun
ia sudah menghentakkan kemampuannya, ternyata bahwa
pengembara yang sedikit bongkok itu mampu mengimbangi
kekuatannya dan bahkan kecepatannya bergerak.
Dalam pada itu, Kiai Kanthi memperhatikan pertempuran
itu dengan saksama. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya
pada pertempuran itu. Meskipun keduanya bertempur dengan
caranya masing-masing, tetapi Kiai Kanthi melihat kadangkadang
keduanya memiliki unsur yang bersamaan. Sikap jari
tangan mereka hampir daiam keseluruhan gerak mirip sekali
Langkah kaki, terutama dalam keadaan yang tergesa-gesa dan
perlindungan terhadap dada yang rapat sekali.
Bukan saja Kiai Kanthi yang menjadi sangat tertarik.
Pangeran Sena Wasesa yang memperhatikan pertempuran itu
dengan saksamapun telah melihat pula beberapa kesamaan
unsur gerak pada keduanya.
Namun dalam pada itu, yang paling banyak memperhatikan
persamaan itu adalah kedua adik seperguruan Ajar Pamotan
Galih. Bahkan demikian tajamnya mereka memperhatikan
persamaan-persamaan itu, sehingga keduanya seakan-akan
telah melupakan segala-galanya. Mereka tidak menghiraukan
lagi Kiai Kanthi, Pangeran Sena Wasesa, Rahu, Jlitheng dan
anak gadis Kiai Kanthi. Apalagi Daruwerdi dan kedua
pamannya. Dalam pada itu pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin meningkat. Ki Ajar Pamotan Galih yang tidak segera
dapat menyelesaikan lawannya itupun menggeram.
Kemarahannya telah melonjak sampai ke ubun-ubunnya.
Pangeran Sena Wasesa, seorang Senapati perang itu dapat
dikalahkannya Sementara itu seorang dalam pakaian kusut,
bertubuh cacat, telah mampu mengimbangi ilmunya.
Justru karena gejolak perasaannya, maka Ki Ajar Pamotan
Galih tidak sempat menghiraukan sikap dan tandang
lawannya. Meskipun demikian terasa oleh Ajar Pamotan Galih,
bahwa orang cacat itu seolah-olah mampu membaca tatageraknya,
sehingga setiap kali orang itu dapat mendahului dan
memotongnya. Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih yang
semakin marah itu semakin kehilangan pengamatan diri.
Demikian mendesak keinginannya untuk segera
menyelesaikan pertempuran itu, dan justru karena orang cacat
itu mampu mengimbanginya, maka tata gerak Ajar Pamotan
Galih itupun semakin lama menjadi semakin keras. Bahkan
dalam dorongan kemarahannya, maka tata geraknya menjadi
semakin kasar. Diluar sadarnya, muncullah unsur-unsur gerak
yang kadang-kadang mendekati kekasaran gerak orang-orang
yang berilmu hitam. Jari-jari tangannya yang mengembang
rapat mulai berubah. Jari-jarinya kadang-kadang telah
mengembang seperti jari-jari seekor harimau. Bahkan dalam
ketiadaan sadar, sekali-sekali terdengar Ki Ajar itu menggeram
mirip geramseekor harimau yang lapar.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Orang bertubuh dan berwajah cacat itu ternyata mampu
mengimbangi kemampuan Ki Ajar Pamotan Galih. Bahkan
ketika Ki Ajar itu benar-benar tidak lagi mampu mengamati
ilmunya dan bertempur semakin kasar, maka lawannya sama
sekali t idak nampak kebingungan.
Agak berbeda dengan Pangeran Sena Wasesa yang telah
terluka. Selain karena kekasaran lawannya, darahnya telah
mengalir pula dari lukanya, sehingga perlawanannya menjadi
tidak seimbang. Tetapi orang cacat itu justru telah
meningkatkan ilmunya setiap ikali Ki Ajar Pamotan Galih
menjadi semakin garang. "Marilah Ki Ajar" berkata orang itu "tuntaskan segala
macam ilmumu. Menurut pendengaranku, orang yang disebut
Ki Ajar Cinde Kuning adalah seorang yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Namun nama itu menjadi mulai pudar ketika
namamu beralih menjadi Ajar Macan Kuning. Mungkin nama
Cinde Kuning kurang memadai bagimu sehingga kau telah
memilih nama lain lagi. Ki Ajar Pamotan Galih"
"Diam" geram Ki Ajar Pamotan Galih "Aku akan menyobek
mulutmu yang terlalu banyak berbicara itu"
"Lakukanlah jika kau mampu" jawab orang itu.
Kemarahan Ki Ajar Pamotan Galih menjadi semakin
meledak-ledak. Ilmunya menjadi semakin kasar dan semakin
bergeser dari sikap dan gerak yang semula banyak
mempunyai persamaan dengan lawannya Bahkan akhirnya
tata geraknya telah berubah sama sekali. Kekasaran yang
belum nampak selagi orang itu bertempur melawan Pangeran
Sena Wasesa" "Begitulah caranya mengerahkan segenap
kemampuannya?" Kiai Kanthi di dalam hatinya.
Sementara itu Pangeran Sena Wasesa berdesis "Betapupun
tinggi ilmunya, tetapi ternyata aku tidak dapat
menghormat inya. Semula aku mengira bahwa ilmunya adalah
ilmu yang matang. Ternyata ilmunya yang dikagumi itu adalah
ilmu hitam" Sedangkan sebuah pertanyaan telah bergejolak di
dalam hatinya "Ternyata yang mengagumkan itu adalah
ilmunya sebagai Ki Ajar Cinde Kuning. Jika aku mengerti sejak
semula aku sama sekali tidak akan menaruh hormat
kepadanya" Dalam pada itu pertempuran diantara kedua orang itupun
semakin sengit pula Betapa keras dan liarnya Ajar Pamotan
Galih yang berusaha memenangkan pertempuran itu. Namun
ternyata ihnu lawannyapun meningkat terus, seolah-olah tidak
terbatas. Kemampuannya benar-benar kemampuan yang
tinggi dalam ilmu yang bersih. Orang bertubuh cacat itu sama
sekali t idak terpenjaruh oleh sikap lawannya yang memiliki
ilmu hitam. Bahkan kemudian katanya "Ki Ajar. Aku juga mampu
bertempur seperti yang Ki Ajar lakukan. Tetaoi itu sudah lama
lampau bagiku. Namun agaT kau dapat sedikit mengenali aku,
maka aku ingin memperlihatkannya. Tetapi tidak untuk
menyelesaikan pertempuran ini"
Kata-kata itu sangat menyakitkan hati. Namun
sebenarnyalah. Tiba-tiba orang cacat itu telah berubah. Dalam
sekejap, ia telah meninggalkan ilmunya yang bersih. Sambil
menggeram keras sekali maka iapan bertempur dengan
buasnya, sebuas Ajar Pamotan Galih.
Pertempuran itu menjadi berubah sama sekali. Keduanya
menjadi garang dan buas. Masing-masing menggeram dan
berteriak dengan kasarnya.
"Permainan yang Gila" desis Kiai Kanthi. Jantungnya
menjadi semakin berdebaran. Seolah-olah ia sudah
dihadapkan pada satu pertunjukkan yang sangat mengerikan.
Rasa-rasanya ia sedang melihat dua ekor binatang buas
sedang berlaga memperebutkan mangsanya dihutan yang
lebat pepat. Namun seperti yang dikatakannya, orang bertubuh cacat itu
tidak menyelesaikan pertempuran itu dengan cara yang kasar
itu. Ternyata agak berbeda dengan Ki Ajar Pamotan Galih
yang benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka
lawannya masih menyadari keadaannya sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian, maka iapun telah meruhah caranya,
kembali kepada cara yang semula. Bertempur dengan
kemampuan ilmu yang wajar dan bersih.
Tetapi dengan demikian, maka nampaklah, betapa ia yakin
akan kemampuannya. Dengan suara lantang maka orang
cacat itupun berakta "Nah, Ki Ajar. Bukankah aku juga dapat
bertempur dengan caramu" Dengan demikian kau akan dapat
lebih mudah mengenaliku jika kau masih menipu nyai ingatan
yang jernih" "Persetan, siapapun kau, maka kau akan aku binasakan"
geram Ki Ajar yang menyerang dengan garangnya. Jari-jarinya
mengembang siap menerkam lawannya, sebagaimana seekor
harimau yang buas. Sementara itu, kedua orang adik seperguruan Pamotan
Galih itupun termangu-mangu. Tetapi keduanya dapat
mengenali ilmu lawan Ajar Pamotan Galih itu. Namun
keduanya justru menjadi bingung. Salah seorang diantara
mereka berbisik "Apa masih ada orang lain dalam jajaran
perguruan ini?" "Aku belumpernah mendengar" jawab yang lain "Tetapi hal
itupun mungkin sekali. Kita datang di satu perguruan bukan
pada saat kita masih anak-anak. Tetapi kita datang setelah
kita dewasa. Mungkin sekali sebelum kita datang, ada orang
lain yang pernah meninggalkan perguruan itu"
"Kita memang dihadapkan pada satu teka-teki yang sulit
untuk dimengerti" berkata saudara seperguruannya.
Dengan demikian keduanya menjadi bertambah, bingung
untuk mengambil sikap. Yang dihadapinya benar-benar satu
peristiwa yang sulit untuk dapat diurai dan diarahkan kepada
satu kesimpulan. Sementara itu pertempuran itupun masih berlangsung
terus. Tetapi semakin lama semakin jelas, bahwa orang
bertubuh dan berwajah cacat itu semakin menguasai keadaan.
Meskipun ia tidak lagi bertempur dengan kasar dan buas,
tetapi justru nampak semakin bersih, tetapi penuh dengan
kekuatan-kekuatan yang terlontar dari ilmu yang benar-benar
telah mapan. "Aku kira, aku tidak salah lagi" desis adik seperguruan Ajar
Pamotan Galih "Orang ini memiliki dasar ilmu seperti kita.
Seperti Ki Ajar Pamotan Galih. Tetapi jauh lebih mapan dan
mumpuni. Namun yang membuat kepala kita pening, justru
dalam keadaan yang paling gawat. Ajar itu bersikap aneh dan
mengecewakan dengan ilmunya yang kasar dan buas.
Sebenarnyalah bahwa halaman padepokan itu telah


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dicengkam oleh ketegangan yang semakin menyesakkan
dada. Setiap orang memperhatikan pertempuran itu dengan
pertanyaan yang bergejolak di dalam hati
Orang-orang tua di sekitar arena pertempuran itu telah
mengetahui, bahwa keduanya memiliki dasar ilmu yang sama.
Berantem Gaya Baru 1 Siapa Ayahku Karya Azizah Attamimi Sakit Hati Seorang Wanita 6
^