Mata Air Dibayangan Bukit 22
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 22
Namun kemudian Kl Ajar Pamotan Galih nampaknya telah
mempergunakan ilmu hitam yang dianggapnya mempunyai
kemampuan lebih baik dari dasar ilmunya yang sama dengan
lawannya. Sementara lawannyapun telah menunjukkan untuk
memancing ingatan Ki Ajar tentang dirinya, ilmu yang juga
bersifat kasar dan keras, namun seperti yang dikatakannya,
ilmu itu tidak akan dipergunakannya untuk menyelesaikan
pertempuran. Tetapi Ajar Pamotan Galih tidak sempat memperhatikan
apapun juga karena gelora di dalam jantungnya. Ia ingin
membunuh lawannya secepatnya. Itu sajalah yang membara
di dalam dadanya, sehingga karena itu, maka usaha lawannya
untuk memancing ingatannya itupun sama sekali tidak
mempengaruhinya Namun yang justru menjadi semakin jelas melibat bahwa
orang cacat itu mempunyai sumber ilmu dengan mereka
adalah kedua saudara seperguruan Ajar Pamotan Galih itu.
Karena itu, maka mereka semakin lama menjadi semakin
dekat dengan arena. Sementara itu Ajar Pamotan Galih yang merasa semakin
terdesak, tidak lagi dapat menahan gejolak kemarahannya.
Tetapi dihadapan orang-orang yang ada di halaman
padepokannya, ia tidak dapat menunjukkan kelicikannya. Ia
tidak dapat menunjukkan kelicikannya. Ia tidak dapat dengan
serta merta meminta kedua orang saudara seperguruannya
untuk bertempur bersamanya.
Karena itu, untuk memecah perhatian mereka, maka tibatiba
saja Ki Ajar Pamotan Galih itu berteriak "Sekarang sudah
sampai saatnya. Bunuh semua orang yang ada di halaman ini.
Ternyata orang cacat ini adalah salah seorang dari mereka.
Yang harus kalian sisakan untuk tetap hidup adalah Pangeran
Sena Wasesa" Suara Ki Ajar menggelepar di halaman itu. Sebenarnyalah
bahwa suara itu kemudian telah menggerakkan beberapa
orang yang berada disekilar arena. Para cantrik, Putut dan
bahkan orang-orang yang datang bersama kedua adik
seperguruan Ajar Pamotan Galipun diluar sadarnya telah
bergeser pula. Tetapi murid-murid kedua adik seperguruan Ki Ajar itu
menjadi ragu-ragu. Kedua orang adik seperguruan Ki Ajar itu
sendiri masih berdiri tegak di tempatnya.
Karena kedua adik seperguruannya masih belum berbuat
sesuatu, maka Ajar Pamotan Galih itu berteriak semakin keras
"Cepat. Selesaikan mereka. Ragapasa dan Wanda Manyar. He,
apa kerjamu. Jangan menunggu lebih lama lagi. Suruh anakanakmu
menyelesaikan setiap orang asing yang ada di
padepokan kita ini. Kecuali Pangeran itu"
Ragapasa dan Wanda Manyar masih tetap ragu-ragu.
Sementara itu, Rahu, Jlitheng dan bahkan Swasti telah bersiap
siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan
yang paling pahit sekalipun. Namun Kiai Kanthi nampaknya
masih tetap tenang. Agaknya ia melihat keragu-raguan di
wajah kedua adik seperguruan Ajar Pamotan Galih dan
sekaligus menangkap teka-teki yang belum terpecahkan.
Karena itu Kiai Kanthi sempat memperhitungkan, bahwa
kedua orang itu tentu belum akan segera bertindak. Pan tanpa
kedua orang itu, maka orang-orang yang lain tidak akan
banyak berarti. Pangeran Sena Wasesa yang lemah itupun mempunyai
pertimbangan yang serupa dengan Kiai Kanthi. Karena itu,
maka perhatiannyapun masih tetap pada pertempuran antara
Ki Ajar Pamotan Galih dengan lawannya yang cacat itu.
Ternyata bahwa betapapun ki Ajar Pamotan Galih
mengerahkan ilmunya yang keras dan kasar, namun ia justru
menjadi semakin terdesak. Ia sama sekali tidak mempunyai
kesempatan lagi. Beberapa kali ia telah terdorong surut.
Sentuhan tangan orang cacat itu bagaikan sentuhan bara api
di kulitnya. Sementara itu, serangan-serangannya yang garang
bagaikan seekor harimau lapar, sama sekali tidak berarti.
Kuku-kukunya yang mengembang tidak berhasil menyentuh
dan apalagi melukai kulit lawannya.
Ketika sekali lagi ia berteriak, maka teriakan itu justru telah
dikejutkan oleh jawaban Ragapasa "Kakang lihatlah, Siapa
yang sedang kau hadapi. Hampir aku menganggapnya ia
sebagai guru kita sendiri"
"Gila" geram Ki Ajar Pamotan Galih "Kau terlalu bodoh
untuk memperhitungkan umur seseorang. Berapa umurmu
dan berapa umurku sekarang he?"
Ragapasa menarik napas panjang. Tentu orang itu bukan
gurunya. Tetapi yang dilihatnya itu benar-benar mirip.
Sikapnya, ciri-ciri ilmunya dan lontaran-lontaran tenaga dari
dalam dirinya. "Wajahku memang bukan wajah guru. Umurnyapun tentu
bukan umur guru yang tentu sudah sangat tua seandainya ia
masih hidup" desis Ragapasa.
"Guru memang sudah tidak ada lagi" sahut Wanda Manyar
diluar sadarnya. Dalam pada itu, terdengar orang cacat itu berkata "Jangan
terkecoh oleh penglihatanmu. Aku bukan gurumu. Tetapi kau
tentu mengenal orang lain yang memahami ilmu seperti ini,
seperti ilmumu sendiri. Orang itu adalah orang yang pernah
mempelajari ilmu yang kasar dan keras seperti Ajar Pamotan
Galih dan seperti kalian juga. Tetapi yang kemudian
menyadari arti dari hidup ini. He, dari siapa kalian mendengar
kabar kegembiraan dalam hubungan dengan Yang Maha
Pencipta?" "O" Ragapasa meraba keningnya. Sementara Wanda
Manyar berdesis "Teka-teki ini semakin rumit"
Namun akhirnya Rugapasa menjawab "Dari guru"
"Benarkah begitu" Guru memang seorang yang sangat
baik. Tetapi ia tidak sempat berbuat terlalu banyak dalam
persoalan jiwani karena perhatiannya tertumpah pada
penuangan jasmani. Tetapi bukan berarti guru tidak
memperhatikannya. Guru telah mempercayakannya kepada
seseorang" jawab orang cacat itu "seseorang yang juga
pernah mengalami hidup dalamdunia yang kelam"
Kedua orang saudara seperguruan itu saling memandang.
Diluar sadarnya Ki Wanda Manyar menyahut "Ki Ajar Pamotan
Galih" Orang cacat itu sempat tertawa. Nampaknya Ki Ajar
Pamotan Galih benar-benar tidak berdaya menghadapinya.
Orang cacat itu sambil bertempur masih sempat juga
berbicara panjang "Jika kalian menganggap bahwa yang telah
memberikan tuntunan jiwani kepada kalian adalah Ki Ajar
Pamotan Galih, maka bertanyalah kepadanya, apa benar ia
pernah melakukannya"
"Gila" potong Ki Ajar Pamotan Galih "Jangan mengigau
seperti orang kesurupan. Bersiaplah untuk mati"
"Sejak semula kau selalu mengancam. Tetapi kau tidak
dapat berbuat apa-apa" jawab orang cacat itu "Akupun yakin,
bahwa Ki Ragapasa dan Ki Wanda Manyar tidak akan
menjalankan perintahmu. Orang-orang yang datang ke
padepokan ini dengan maksud baik, nampaknya telah kau
jebak dengan rencanamu yang sangat keji"
"Tutup mulutmu" teriak Ki Ajar sambil menyerang dengan
kasarnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak mengenai lawannya.
Bahkan ketika kukunya yang mengembang terayun setapak
disisi orang cacat itu, maka orang cacat itu sempat merendah
sambil mengayunkan kakinya. Ki Ajar Pamotan Galih tidak
sempat mengelak. Ketika kaki itu menyentuh lambungnya, ia
tergetar surut. Namun dengan garangnya pula ia meloncat
menyerang lawannya. Kedua tangannya terbuka dengan jarijari
yang mengembang menerkamdengan buasnya.
Sekali lagi Ki Ajar Pamotan Galih terlempar surut. Justru
serangan lawannyalah yang mengenai dadanya,
Meskipun demikian, Ki Ajar Pamotan Galih seolah-olah tidak
merasakan betapa serangan-serangan lawannya itu dapat
meremukkan tulang-tulangnya. Sambil menyeringai menahan
sakit, Ki Ajar Pamotan Galih meloncat maju dengan terkaman
seekor harimau lapar. Berulang kali, Ki Ajar Pamotan Galih telah dikenai oleh
serangan lawannya. Tetapi sentuhan tangan lawannya yang
cacat itu sama sekali tidak menghentikan perlawanannya.
Bahkan seolah-olah ia telah menemukan satu kekuatan baru,
sehingga serangan-serangan lawannya dapat diabaikannya.
Namun dalam pada itu, Kiai Kanthi, Pangeran Sena Wasesa
dan kedua saudara seperguruan Ajar Pamotan Galih itu
melihat, sebenarnyalah bahwa orang cacat itu memang tidak
ingin langsung mengenai tempat-tempat yang berbahaya.
Meskipun serangan-serangannya hampir seluruhnya berhasil,
tetapi ia tidak dengan sengaja menumbangkan lawannya
dalam keadaan parah. Hal itu telah menimbulkan teka-teki pula. Teka-teki yang
semakin lama menjadi semakin rumit.
Namun akhirnya orang-orang yang berdiri di arena itu
mengerti, bahwa orang cacat itu memang menunggu Ki Ajar
Pamotan Galih kehabisan tenaganya. Dibiarkannya ia
menyerang, dan dikenainya tubuhnya dengan seranganserangan
yang tidak berbahaya. Sebenarnyalah, bahwa beberapa saat kemudian, tenaga Ki
Ajar Pamotan Galihpun menjadi semakin susut. Seluruh
tubuhnya terasa sakit dan nyeri meskipun tidak menumbuhkan
keadaan yang parah. Tidak sehelaipun rambutnya yang rontok
dan tidak sepotongpun tulangnya yang retak. Namun Ki Ajar
Pamotan Galih itu rasa-rasanya sudah kehilangan segenap
tenaganya. Karena itu, dalam keliarannya yang kasar, serangan
serangannya tidak lagi mengarah kesasaran. Bahkan kadangkadang
ia telah terseret oleh lontaran sisa tenaganya sendiri
dan terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.
"Aneh, aneh" Ki Ragapasa tidak percaya kepada
penglihatannya "bagaimana mungkin kakang Ajar Pamotan
Galib, mengalami hal seperti itu. Bagaimana mungkin
seseorang yang memiliki ilmu yang mumpuni telah kehilangan
pengamatan diri" "Mungkin kitalah yang memang sudah menjadi Gila" desis
Ki Wanda Manyar "Mungkin kita bersama-sama sedang
bermimpi terlalu buruk"
Namun dalam pada itu, mereka melihat Ki Ajar Pamotan
Galih terhuyung-huyung beberapa langkah kedepan justru
karena serangannya yang tidak mengenai lawannya.
Dalam itu, nampaknya orang cacat itu sudah jemu dengan
permainannya. Karena itu, maka iapun maju selangkah.
Tangan kanannya menggapai pundak Ki Ajar Pamotan Galih
yang lemah dan tidak mampu lagi untuk melawan kehendak
lawannya yang cacat itu. Sentuhan pada pundak Ki Ajar Pamotan Galih itu benarbenar
telah menghentikan perlawanannya. Sebenarnya Ki Ajar
Pamotan Galih akan mampu mengurai tekanan lawannya yang
seolah-olah telah melumpuhkan sebagian dari tubuhnya.
Namun kelelahan dan kemarahan yang menghentak di
jantungnya, telah membuatnya kehilangan kemampuan untuk
bertahan, sehingga akhirnya Ki Ajar Pamotan Galih itu telah
jatuh pingsan. Beberapa orang murid padepokan itu termangu-mangu.
Tetapi mereka masih melihat Ki Ragapasa dan Ki Wanda
Manyar tidak berbuat apa-apa. Karena itu, maka merekapun
menjadi ragu-ragu. Dalam pada itu, demikian Ki Ajar Pamotan Galih menjadi
pingsan, kedua adik seperguruannya itupun mendekatinya.
Namun dalam pada itu, orang yang cacat itu birkata
"Ragapasa dan Wanda Manyar. Apakab kau mengenal, ciri
jasmani apakah yang terdapat pada saudara tua
seperguruanmu itu?" Kedua orang adik seperguruan Ki Ajar itu termangu-mangu.
Namun akhirnya Ki Wanda Manyar bertanya " Ciri yang
bagaimana yang kau maksud Ki sanak?"
"Ciri untuk mengenalinya"
"Pertanyaanmu aneh. Aku mengenainya sebagaimana aku
mengenal diriku sendiri. Kami berdua adalah adik
seperguruannya. Kami mengenal wajahnya dengan pasti"
jawab Ki Wanda Manyar. "Kau mengenal wajahnya dengan pasti. Tetapi apakab kau
mengenal sifat dan wataknya dengan pasti?" bertanya orang
cacat itu. Kedua adik seperguruan Ki Ajar Pamotan Galih itu
termangu-mangu. Sejenak keduanya memandangi Ki Ajar
yang terbaring diam. "Kau tentu mengetahui, bahwa pada Ki Ajar Cinde Kuning
terdapat bekas luka yang panjang melintang di bagian bawah
punggungnya" berkata orang cacat itu pula.
Kedua adik seperguruannya itupun menjadi termangumangu.
Dengan ragu-ragu Ragapasa berkata "Memang ada
cacat di bawah punggung Ki Ajar Cinde Kuning. Kami
mengetahuinya karena kakang Cinde Kuning pernah
memperlihatkannya kepada kami"
"Apakah bedanya Cinde Kuning dan Pamotan Galih" desis Ki
Wanda Manyar. "Jika cacat itu ada pada Ki Ajar Pamotan Galih, maka
memang t idak ada persoalan lagi dengan Ajar itu, meskipun
sifat-sifatnya agak berbeda dengan sifat-sifat Ki Ajar Cinde
Kuning" berkata orang cacat itu kemudian.
"Tetapi perkembangan itu sudah nampak sejak ia
menyebut dirinya Ki Ajar Macan Kuning" sahut Ki Ragapasa
"Seandainya terjadi perkembangan jiwani sehingga Ki Ajar
Cinde Kuning itu kembali kepada cara hidupnya yang pernah
ditinggalkan, namun aku kira cacat itu tidak akan hilang dari
bagian bawah punggungnya" berkata orang-cacat itu.
"Ya. Tentu demikian" jawab Ki Wanda Manyar.
"Tolong Ki Wanda Manyar" berkata orang cacat itu
"lihatlah. Apakah pada bagian bawah punggung Ki Ajar
Pamotan Galih itu terdapat cacat yang dimaksud"
Ki Wanda Manyar termangu-mangu. Ia menjadi bingung.
Sekilas di pandanginya Ki Ragapasa yang juga menjadi
keheranan. Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa, Kiai Kanthi, Rahu,
Jlitheng dan Swastipun menjadi bingung melihat keadaan itu.
Bahkan Daruwerdi telah bergeser maju sambil berkata "Aku
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mengerti. Orang ini adalah kakek dan guruku, Apakah
maksud Ki Sanak yang sebenarnya?"
"Ya ngger. Orang itu adalah kakek dan gurumu. Tetapi
pada kakek dan sekaligus gurumu itu terdapat sebuah cacat.
Nah, aku ingin melihat, apakah cacat itu ada" jawab orang
cacat itu. Daruwerdi benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia tidak
ingin terlalu lama mengalami kebingungan. Karena itu, maka
iapun segera mendekati Ki Ajar Pamotan Galih yang pingsan.
Perlahan-lahan Daruwerdi menelungkupkan tubuh Ki Ajar
Pamotan Galih dibantu oleh Ki Wanda Manyar dan Ki
Ragapasa. Setelah ikat pinggangnya dikendorkan, maka
merekapun mencoba melihat bagian bawah punggung Ki Ajar
Pamotan Galih. Ki Wanda Manyar dan Ki Ragapasa "tupan terkejut Ia tidak
melihat cacat bekas luka itu. Sementara itu Daruwerdipun
bertanya "Apakah kau tahu pasti Ki Sanak?"
"Anak muda. Bukankah kau juga mengetahui bahwa
dipunggung kakekmu itu terdapat sebuah cacat luka yang
melintang. Bukankah kakekmu pernah berceritera tentang
sebab dari luka itu. Dalam satu pertempuran yang sengit,
lawannya telah menusuk lambungnya. Ia sempat bergeser,
tetapi senjata lawannya telah tergores di punggungnya bagian
bawah. Namun pada saat itu, kakekmu berhasil menghabisi
perlawanannya, sehingga ia masih sempat mengobati lukanya
dengan susah payah, meskipun senjata lawannya beracun.
Tetapi pengobatan itu t idak sempurna, sehingga bekas luka itu
menjadi cacat yang memanjang dan tumbuh sedikit demi
sedikit, sehingga akhirnya cacat itu bagaikan seekor ulat yang
panjang melekat pada bagian bawah punggung kakekmu. Kau
ingat?" bertanya orang cacat itu.
Daruwerdi memandang orang cacat itu sekilas. Ia melihat
cacat di kening dan pada bagian mulutnya, sehingga wajahnya
nampak tidak wajar lagi. "Kenapa kau mengetahui segala-galanya?" bertanya
Daruwerdi. Orang itu tersenyum. Tetapi senyumnya justru nampak
wajahnya menjadi semakin buruk oleh cacatnya.
Tetapi katanya "Nah, sekarang kau melihat, bahwa tidak
ada cacat di bagian bawah punggung kakekmu itu"
Daruwerdi termangun-mangu. Memang t idak mungkin
cacat itu dapat hilang dengan sendirinya tanpa bekas. Karena
itu, maka untuk sejenak ia hanya dapat memandang kedua
seperguruan Ki Ajar itu sambil termangu-mangu.
"Kami juga tidak mengerti" berkata Ki Wanda Manyar
"teka-teki itu menjadi semakin rumit. Semua orang di halaman
ini tentu ikut merasakan, betapa kita dihadapkan pada ketidak
pastian, kebingungan dan perasaan yang sangat risau"
Orang cacat itupun kemudian berkata "Aku akan membantu
kalian untuk memecahkan teka-teki ini. Tetapi baiklah,
bawalah tubuh Ki Ajar Pamotan Galih itu ke dalam biliknya. Ia
baru akan sadar beberapa saat kemudian"
Demikianlah, maka beberapa orang cantrikpun telah
membawa tubuh Ki Ajar yang pingsan itu ke dalam biliknya.
Empat orang cantrik yang mengusung tubulh itu merasa
heran, bahwa Ki Ajar Pamotan Galih yang mereka anggap
tidak mungkin dapat dikalahkan oleh siapapun itu telah
terbujur pingsan hanya oleh seorang yang cacat di wajahnya
dan justru agak bongkok. Dalam pada itu, ketika padepokan itu diselubungi oleh
malam yang gelap. Di pendapa beberapa orang duduk
mengitari orang yang cacat itu. Semua pihak nampaknya tidak
lagi sempat saling bermusuhan. Mereka sedang sibuk
menghadapi teka-teki yang ingin segera dipecahkan.
Ternyata dari seorang cantrik, orang cacat itu mendengar
bahwa ibu Daruwerdi telah disisihkan. Akhirnya setelah cantrik
itu mendapat tekanan dari Daruwerdi, maka iapun telah
mengambil ibu Daruwerdi itu bersama kedua orang paman
Daruwerdi. Sejenak kemudian, maka ibu Daruwerdi itupun telah berada
di pendapa itu pula. Ia tidak dapat menahan titik air matanya
ketika, ia melihat anaknya yang telah kembali dengan selamat.
Namun ia tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali
ketika ia mengetahui bahwa Pangeran Sena Wasesa ada
diantara orang-orang yang duduk di pendapa itu. Namun
demikian perasaan gelisah mencengkam jantungnya, sehingga
ia tidak sempat mengetahui arahnya, dimana Pangeran Sena
Wasesa itu duduk. "Tetapi aku sudah menjadi semakin tua" berkata ibu
Daruwerdi itu di dalam hatinya "Tidak seorangpun yang tidak
mengalami perubahan pada dirinya menjelang umur setua aku
ini" Beberapa orang yang berada di pendapa itupun melihat
hadirnya, seorang perempuan yang berwajah pucat.
Rambutnya mulai ditumbuhi oleh warna putih. Meskipun itu
masih belum terlalu tua, tetaipi ada kesan kepahitan yang
nampak di wajah itu, sehingga memberikan kesan yang
muram. Dalam pada itu, arang-orang yang berada di pendapa itu
rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu. Teka-teki itu harus
segera dipecahkan. "Wanda Manyar" berkata orang cacat itu kemudian kau
adalah saksi yang utama bersama Ragapasa. Baihwa orang
yang menyebut dirinya Ajar Pamotan Galih itu tidak
mempunyai ciri-ciri yang terdapat pada Ki Ajar Cinde Kuning"
"Tetapi hal itu sangat membingungkan kami" jawab Wanda
Manyar "Aku tidak dapat salah lagi. Orang itu ada lah kakang
Cinde Kuning. Meskipun kami bertemu setelah kami samasama
dewasa, tatapi kami telah tinggal di satu perguruan
untuk waktu yang lama. Apalagi kami nampaknya mempunyai
sejarah kehidupan yang serupa. Kami sama-sama pernah
hidup di dalam lingkungan orang-orang hitam. Sebagaimana
nampak dalam tata gerak kakang Ajar Pamotan Galih.
"Tetapi menurut pendapatmu, yang manakah yang akan
nampak lebih jelas di dalam kehidupannya setelah ia berada
satu perguruan dengan kalian. Yang didapatkannya di
perguruannya itu atau bekas-bekas ilmu hitamnya?" bertanya
orang cacat itu. "Itulah yang aneh" desis Ragapasa "seharusnya ilmu dari
perguruan kami itulah yang lebih baik dan lebih tinggi
baginya. Meskipun demikian perubahan-perubahan yang
terjadi sejak ia menyebut dirinya Ajar Macan Kuning memang
sudah agak menggelisahkan kami. meskipan pada saat itu
kami sudah berpisah, karena kami berada di padepokan kami
masing-masing kami bangun setelah kami merasa dewasa
dewasa dalam perguruan itu, sementara umur kami sudah
menjadi semakin tua pula"
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu tentang ciri-ciri yang
hilang itu?" bertanya orang cacat itu pula
Kedua adik seperguruan Ki Ajar itu menarik nafas dalamdalam.
Diluar sadarnya mereka berpaling kepada Daruwerdi.
"Aneh" hanya itulah yang terdengar diucapkan oleh anak
muda yang tidak kalah bingungnya itu.
Dalam pada itu, orang cacat itupun kemudian berkata
"Pangeran. Aku mohon maaf, bahwa telah terjadi sesuatu
yang tentu tidak menyenangkan bagi Pangeran. Sokurlah
bahwa sebelumnya Pangeran memang belum mengenal orang
yang bernama Cinde Kuning"
"Ki Sanak" sahut Pangeran Sena Wasesa "meskipun aku
belum mengenal orang yang bernama Ki Ajar Cinde Kuning,
tetapi aku sudah pernah mendengar namanya. Namun yang
ternyata kemudian adalah jauh berbeda dengan citra Ki Ajar
Cinde Kuning menurut pendengaranku setelah aku
berhadapan sendiri dengan orangnya"
"Apakah Pangeran benar-benar sudah berhadapan dengan
orang yang bernama Ajar Cinde Kuning" Bukankah Pangeran
melihat keraguan kedua saudara seperguruannya itu?"
bertanya orang cacat itu.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu orang itupun berkata kepada Kiai Kanthi
"Bagaimana menurut pendapat Kiai?"
Kiai Kanthi menggelengkan kepalanya. Katanya "Semuanya
terlalu gelap bagiku. Yang pernah aku dengar adalah hanya
namanya. Tetapi yang terjadi di padepokan ini benar-benar
satu teka-teki yang membuat semuanya semakin gelap"
Orang cacat itupun kemudian mengangguk-angguk.
Dipandanginya ibu Daruwerdi yang duduk sambil menunduk
dalam-dalam. Dengan nada yang lembut orang cacat itu
berkata kepadanya "Dengarlah ngger. Bukankah kau anak
angkat orang yang menyebut dirinya Pamotan Galih" Kau
adalah anak angkat yang telah menjadi anak sebagaimana
anak kandung sendiri. Apakah kau masih tetap mengenal Ki
Ajar itu sebagai ayah angkatmu" Saudara-saudara
seperguruannya telah menjadi saksi, bahwa ciri yang terdapat
pada Ki Ajar Cinde Kuning tidak terdapat pada Ajar Pamotan
Galih" Ibu Daruwerdi itu, mengangkat wajahnya. Dipandanginya
orang cacat itu sejenak. Ia merasakan sesuatu yang aneh
pada pendengarannya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya
"Siapakah kau Kiai?"
"Siapakah menurut dugaanmu ngger?" Orang itu justru
bertanya. Ternyata bahwa kelembutan hati seorang perempuan telah
mengungkap satu perasaan yang terselubang. Ibu Daruwerdi
itu pada saat-saat terakhir seolah-olah t idak mengenal lagi
ayah angkatnya Kemudian orang itu mengetahui, bahwa ciriciri
yang terdapat pada Ajar Cinde Kuning tidak terdapat pada
orang yang menyebut dirinya Ajar Pamotan Galih.
Namun dalam pada itu, suara orang cacat itu benar-benar
telah menyentuh perasaannya. Ia merasa pernah mendengar
suara itu. Bahkan ia selalu mendengar nada yang lembut itu.
Yang kemudian seolah-olah berubah pada saat-saat terakhir.
Diluar kehendaknya, maka itu Daruwerdi itu telah
memandang orang cacat Itu dari wajahnya sampai ke ujung
kakinya yang terlipat. Kemudian tiba-tiba saja ia berkata "Kiai,
adik-adik seperguruan Ki Ajar Ciinde Kuning. Tolonglah,
apakah kalian bersedia melihat, apakah ciri-ciri yang tidak
terdapat pada Ki Ajar Pamotan Galih itu justru terdapat pada
orang itu" Kata-kata yang diucapkan dengan serta merta itu justru
telah mengejutkan orang-orang yang berada di pendapa
padepokan itu. Bahkan Daruwerdipun telah beringsut
mendekati ibunya sambil bertanya "Apakah yang ibu
maksudkan?" "O" ibunya memandanginya sejenak. Namun kemudian
katanya Lihatlah. Apakah ada cacat di bawahi punggung orang
itu" Daruwerdi menjadi heran. Dipandanginya ibunya dan orang
cacat itu berganti-ganti. Namun kemudian orang cacat itupun
berkata "Lakukanlah ngger. Kau boleh melihat, apakah ada
cacat itu di bawah punggungku"
Suasana di pendapa itu menjadi tegang. Daruwerdi justru
menjadi termangu-mangu bahkan kebingungan.
Namun ketika ia melihat wajah orang cacat yang seakan
akan memaksanya itu, maka iapun segera bergeser
mendekatinya. Bahkan kedua adik seperguruan Ki Ajar
Pamotan Galih itupun telah mendekat pula.
Dalam pada itu, orang cacat itu telah mengendorkan ikat
pinggangnya. Kemudian membiarkan ketiga orang itu melihat
kearah punggungnya. Wajah mereka menjadi tegang. Mereka melihat cacat itu
melintang di bagian bawah punggung orang cacat itu. Karena
itu, maka seperti orang yang kehilangan akal Daruwerdi
berkata "Tidak mungkin. Tidak mungkin"
Ki Wanda Manyar menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada datar ia berkata "Memang teka-teki yang sangat rumit.
Baiklah. Hanya kau sajalah Ki Sanak yang dapKjt memecahkan
teka-teki ini. Katakanlah Jangan menunggu kita semua
menjadi gila" Orang cacat itu membetulkan ikat pinggangnya. Kemudian
Katanya "Duduklah yang baik. Jika kalian percaya, aku akan
berceritera" Suasana di pendapa itupun kemudian menjadi hening.
Mereka menunggu orang cacat itu memecahkan teka.-teki
yang membingungkan itu, "Hanya seorang saja yang penggraitanya cukup tajam
disini" berkata orang cacat itu "justru seorang perempuan"
Tidak seorangpun yang menyahut. Mereka seolah-olah
tidak sabar lagi menunggu.
"Pangeran serta Ki Sanak yang lain" berkata orang cacat itu
"ceriteraku barangkali tidak menyangkut kalian secara
langsung. Namun akibatnya terasa juga oleh Ki Sanak
semuanya yang terpaksa datang ke padepokan ini. Bahkan
hampir saja terjadi kesulitan pada kalian"
Tidak ada juga yang menyahut Mereka tidak ingin
memperpanjang waktu lagi.
"Ki Sanak. Sebenarnyalah telah terjadi sesuatu yang
memalukan di dalam lingkungan keluargaku. Keluarga Ki Ajar
Cinde Kuning" berkata orang cacat itu "teka-teki ini di mulai
sejak Ki Ajar Cinde Kuning yang sebenarnya tiba-tiba saja
telah berganti orang"
"Apa yang Ki Sanak maksudkan?" bertanya Raga-pasa.
"Sebagaimana kau lihat, orang yang mengaku Ajar
Pamotan Galih, yang sebelumnya pernah memakai nama Ajar
Macan Kuning itu, sama sekali bukan orang yang sebenarnya
dari Ajar Cinde Kuning, Kalian telah melihat, bahwa cacat itu
tidak terdapat di tubuhnya" Orang itu, berhenti sejenak.
Sementara itu Ki Wanda Manyarpun bertanya "Tetapi
bagaimana mungkin cacat itu terdapat di tubuhmu, sementara
wajah Ki Ajar Cinde Kuning telah dimiliki oleh orang yang
menyebut Ki Ajar Pamotan Galih itu?"
"Wajah pada orang itu adalah wajahnya sendiri. Bagaimana
mungkin wajah sesarang dapat berpindah. Ia memang
memiliki wajah yang mirip sekali dengan wajah Ki Ajar Cinde
Kuning" Orang itu berhenti sejenak, lalu "Ia adalah saudara
kembarnya" "Saudara kembar" hampir setiap orang yang mendengarnya
telah mengulangnya" Orang bertubuh cacat itu mengangguk kecil. Katanya "Ya.
Ia adalah saudara kembar Ki Ajar Cinde Kuning"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika demikian, dimanakah Ajar Cinde Kuning yang
sebenarnya" bertanya Ki Ragapasa "Apakah maksud Ki Sanak
menunjukkan luka dibawah punggung itu berarti bahwa Ki
Sanaklah yang sebenarnya Ki Ajar Cinde Kuning"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan
nada dalam"Maksudku memang demikian"
"Tetapi bagaimana mungkin kami dapat mempercayaimu"
desis Ki Wanda Manyar. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apakah
kalian tidak dapat mengenali ilmuku?"
Kedua adik seperguruan Ki Ajar itupun saling
berpandangan. Mereka memang mengenal ilmu orang cacat
itu. Bahkan mereka memandangnya sikap dan laku orang itu
sebagaimana mereka melihat guru mereka. Karena itu, maka
terasa jantung merekapun bagai bergolak.
Dalam pada itu, ibu Daruwerdi dengan nada rendah
berkata "Aku dapat mengenalinya dari sikap dan suaranya.
Orang itu sebenarnyalah adalah bapak Ajar Cinde Kuning"
"Tetapi itu tidak mungkin" sahut Ki Wanda Manyar.
"Ada sebuah ceritera yang panjang" berkata orang cacat
itu. Lalu "Sekali lagi aku mohon maaf kepada mereka yang
datang ke padepokan ini bersama Pangeran Sena Wasesa.
Ceritera ini terutama, tertuju kepada isi padepokan ini"
"Silahkan Ki Sanak" sahut Pangeran Sena Wasesa
"nampaknya ceritera itu akan sangat menarik"
"Baiklah" berkata orang cacat itu "Orang yang kemudian
menyebut Ajar Macan Kuning adalah saudara kembarku"
"Aku belum pernah mendengar ceritera tentang saudara
kembar itu sejak aku menjadi saudara seperguruan Ki Ajar
Cinde Kuning" berkata Ki Ragapasa,
"Ia meninggalkan perguruan ketika ilmunya mulai mapan"
berkata orang cacat itu "Seterusnya aku tidak tahu lagi kabar
beritanya. Ketika Wanda Manyar dan Ragapasa datang ke
padepokan itu, justru setelah kalian gagal merampok orang
yang kemudian kau sebut kakak seperguruanmu itu, saudara
kembarku telah tidak ada di padepokan. Sebagaimana aku
mengaku, bahwa aku berdua pernah juga terlibat dalam dunia
gelap. Tetapi kami berdua telah bertobat dan berguru kepada
seseorang, yang kemudian menjadi guru kalian pula. Tetapi
agaknya penyakit adik kembarku itu kambuh, sehingga ia
telah meninggalkan aku, karena aku menentang
kehendaknya" "Tetapi yang aku jumpai di padepokan itu adalah Ki Ajar
Pamotan Galih itu. Bukan Ki Sanak dalam ujud, maaf, dalam
ujud yang cacat itu" berkata Ki Wanda Manyar.
"Ceriteraku belum selesai" potong orang yang cacat itu.
"Silahkan ayah" minta ibu Daruwerdi.
"Sepeninggal saudara kembarku, maka aku berada di
perguruan itu sendiri. Baru kemudian kalian datang" berkata
orang cacat itu kepada kedua orang itu.
Kedua saudara seperguruan Ki Ajar itu termangu-mangu.
Sementara orang cacat itu berceritera terus "Kita berkumpul
untuk beberapa lama di padepokan itu. Kita berusaha untuk
menyingkir dari dunia kelam yang sudah sama-sama kita
lewati. Nampaknya dengan pasti kita berhasil
meninggalkannya. Aku yang melangkah lebih dahulu
mendapat kepercayaan dari guru untuk membawa kalian
kejala yang lebih baik. Dan kalianpun menanggapinya dengan
ikhlas" Orang itu berhenti sejenak, lalu "Sampai saatnya kita
berpisah. Kita yang telah mendapat bekal yang cukup itupun
berusaha mengembangkan bekal itu sesuai dengan
kemampuan kita masing-masing. Sementara itu, kita telah
membuka padepokan buat hari-hari mendatang dalam
kehidupan yang tenang"
Orang-orang yang mendengarkan menjadi tegang. Yang
diceriterakan masih belum menyentuh hubungan antara kedua
saudara kembar itu. Namun tidak seorangpun yang
memotongnya. Mereka membiarkan orang cacat itu
berceritera terus. "Nah, pada saat yang demikian itulah saudara kembarku itu
agaknya hadir disekitar kehidupanku dengan diam-diam. Ia
berusaha mengetahui seluk beluk kehidupanku. Mungkin ada
satu dua orangnya yang berhasil memasuki padepokanku
sebagai seorang cantrik atau seorang yang membantu kerja
kami sehingga saudara seperguruanku itu mengetahui banyak
hal tentang kehidupanku. Bahkan ia mengetahui saudara-saudara seperguruanku.
Mengetahui bahwa kalian berdua mempunyai ikatan dengan
aku dalam hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Ia
mengetahui bahwa aku telah mengangkat seorang anak
perempuan dan seorang cucu yang tumbuh semakin besar.
Akhirnya hari-hari yang direncanakan itu datang. Dengan
diam-diam pula ia menyingkirkan aku dengan cara yang licik.
Dengan cara yang tidak aku duga-duga sebelumnya. Ketika ia
datang menemui aku dengan tangisnya, aku merasa iba, ia
adalah adikku. Namun diluar dugaan ia telah menyerangku.
Dan akupun lelah dilemparkannya ke dalam jurang yang
sangat dalam, sebelum aku menyadari apa yang terjadi, tanpa
diketahui oleh siapapun" Orang cacat itu terhenti sejenak.
Sambil menahan ludahnya ia berkata "Nah, kalian dapat
melanjutkan ceritera itu sendiri. Aku menjadi cacat. Tetapi
Yang Maha Kuasa ternyata masih memberi kesempatan
kepadaku untuk hidup. Bahkan dalam dunia yang sepi aku
sempat memperdalam ilmuku ketika aku kemudian sembuh.
Adalah kebetulan bahwa aku membawa sedikit obat pada saat
itu. Kemudian dengan pengetahuan yang sedikit, aku berhasil
mengobati diriku sendiri. Semula aku biarkan ia kemudian
hadir sebagai aku didalam padepokanku. Dengan cermat ia
dapat menempatkan dirinya sebagaimana aku sebelumnya.
Ketika aku kemudian berhasil mengamatinya, ternyata ia lebih
banyak berusaha untuk bersembunyi di dalam sanggar sambil
menyesuaikan diri lebih jauh dengan bekal pengenalannya
terutang diriku. Namun bagaimanapun juga, perubahanperubahan
yang terjadi tidak dapat disembunyikannya lagi.
Tetapi dengan licik ia menyebut dirinya dengan nama baru.
Ajar Macan Kuning, ia t inggalkan sebutan Ajar Cinde Kuning"
"Jadi sejak itu, kakek sudah berganti orang?" bertanya
Daruwerdi. Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Ya. Kakekmu sudah berganti orang. Dan agaknya
sifat-sifat yang berbeda itulah yang membuat orang melihat
perbedaan antara Macan Kuning dan Cinde Kuning. Tetapi
orang tidak menduga bahwa orangnyalah yang berganti,
tetapi sifat-sifat Cinde Kuning telah berganti. Sementara itu,
diri yang kami pergunakan sejak kami masih berkumpul masih
tetap aku pakai dan kemudian dipakai oleh saudara kembarku,
meskipun sifat-sifatnya telah berubah. Lingkaran dengan garis
yang memotong ditengah-tengah"
"Alangkah bodohnya kami" desis Daruwerdi kemudian.
"Semula aku tidak berkeberatan bahwa saudara kembarku
itu akan menggantikan kedudukanku. Tetapi semakin lama
aku melihat, bahwa ia tidak lagi dapat di biarkan. Ia telah
membawa cucuku berkelana dan diperkenalkan dengan cara
yang khusus dengan orang-orang yang hidup dalam
lingkungan yang buram. Segalanya disesuaikan dengan
rencana yang perlahan-lahan tetapi dengan masak
direncanakan. Bukit Gundul di daerah Sepasang Bukit Mati, Ia
berhasil mendengar rahasia sebuah pusaka dan harta benda
yang tidak ternilai harganya tersembunyi di sekitar daerah
Sepasang Bukit Mati. Dan ia mendengar rahasia bahwa orang
yang paling mengetahui rahasia itu adalah Pangeran Sena
Wasesa. Setelah ia gagal mencari sendiri di bukit gundul,
maka ia telah membentuk cucuku menjadi seorang yang
mapan untuk tugas yang khusus di sepasang bukit mati itu.
Aku dapat melihat sebagian besar dari segala peristiwa yang
terjadi di bukit gundul itu. Dan selebihnya kalian sudah
mengetahuinya" Orang-orang yang mendengarkan ceritera itu menarik nafas
dalam-dalam. Sementara itu terdengar ibu Daruwerdi terisak
dan tidak dapat menahan air matanya, yang mulai menitik
Dengan suara sendat ia berkata "Itulah sebabnya, aku hampir
tidak dapat mengenali siaft-sifat ayah pada orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Pamotan Galih itu. Meskipun ia
berbuat baik terhadap aku dan anakku, tetapi kadang-kadang
aku melihat kekasaran yang tertahan-tahan"
"Sudahlah ngger" berkata orang cacat itu "semuanya sudah
berlalu. Jika kalian percaya, aku adalah Cinde Kuning"
Wanda Manyar dan Ragapasa mengangguk-angguk kecil.
Namun mereka mulai mempercayai, siapa yang duduk
dihadapannya itu. Perlahan-lahan mereka menjadi semakin
jelas. Kata-katanya. Suaranya dan sikapnya"
"Yang aku ceriterakan adalah ceritera tentang diriku
sendiri" berkata orang cacat yang ternyata adalah Ki Ajar
Cinde Kuning. Lalu "Disamping ceritera itu, aku masih
mempunyai sebuah ceritera lain yang berhubungan dengan
cucuku. Baiklah sementara aku sebut saja ia dengan
Daruwerdi. Nama yang diberikan oleh Pamotan Galih
kepadanya dalam tugas-tugasnya di Bukit Gundul. Tetapi ia
masih mempunyai beberapa nama yang lain"
"Tidak. Tidak ayah" potong ibu Daruwerdi "Tidak ada
ceritera yang lain" Orang cacat itu menggeleng. Katanya "Apa salahnya ngger.
Meskipun bukan aku yang berniat membawanya kemari"
Tetapi perempuan itu menjawab "Ceritera itu sudah tamat.
Tidak ada gunanya lagi diungkat Lebih baik ayah menjelaskan
tentang diri ayah dan apa yang sebaiknya ayah lakukan"
Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, sebelum ia berbuat sesuatu,
seorang murid Ki Ragapasa yang mengawasi orang yang
menyebut dirinya Ajar Pamotan Galih yang masih sangat
lemah di sebuah bilik tertutup telah berlari-lari naik ke
pendapa. "Ada apa?" bertanya Ki Ragapasa.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawabnya gagap "Ki Ajar Pamotan Galih telah melarikan diri"
"He" Orang cacat itu terkejut "Ia berhasil mengatasi
keadaannya. Memang luar biasa. Tetapi apakah tidak
seorangpun yang dapat mencegahnya?"
"Kami berdua mencoba mencegahnya. Tetapi tidak
berhasil. Kawanku yang seorang kini pingsan" berkata murid
Ki Ragapasa itu. Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Memang luar biasa. Ia mempunyai ketahanan
tubuh yang sangat tinggi. Menurut perhitunganku, ia baru
dapat mengatasi keadaannya menjelang pagi. Tetapi ternyata
aku salah hitung. Dan ia telah melarikan diri"
Pangeran Sena Wasesa menjadi tegang. Sambil
megerutkan keningnya ia bertanya "Apakah yang sebaiknya
kita lakukan Ki Ajar" Tentu Ajar Pamotan Galih tidak akan
berdiam diri untuk seterusnya"
"Ya. Ia mempunyai hubungan yang luas dengan orangorang
berilmu hitam" berkata orang cacat itu "agaknya kita
memang harus mengambil sikap"
"Orang itu menganggap bahwa yang dicarinya masih
berada di daerah sekitar Sepasang Bukit Mati" berkata Kiai
Kanthi "Aku kira orang itu akan pergi ke daerah itu"
"Tetapi ia tidak akan menemukan apapun juga. Aku berkata
sebenarnya bahwa semuanya telah berada di Demak" desis
Pangeran Sena Wasesa. "Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih tidak percaya. Dan ia akan
berbuat sesuatu" berkata Kiai Kanthi.
"Masih ada kawan kita di Lumban" t iba-tiba Jlitheng
memotong. "Tetapi tidak cukup untuk menghadapinya" desis Rahu
yang mengerti kemampuan Ki Ajar Galih.
Namun Jlitheng yang telah membentuk Lumban Wetan
menjadi cukup kuat berkata "Setidak-tidaknya ada sepuluh
orang anak muda Lumban Wetan yang dapat membantu"
"Tetapi Ajar Pamotan Galih ternyata sangat licik" berkata
orang cacat itu "Tidak ada pilihan lain. Kita juga harus pergi ke
Sepasang Bukit Mati"
"Seandainya kita biarkan saja ia membongkar bukit gundul
itu, ia tidak akan menemukan apa-apa" berkata Pangeran
Sena Wasesa. "Apakah dengan kegagalannya itu ia t idak akan menjadi
orang yang sangat berbahaya" Jika ia menjadi mata gelap,
maka orang-orang yang tidak bersalah akan menjadi korban"
Sejenak orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi
hening. Namun kemudian Pangeran Sena Wasesa itupun
berkata "Ada juga, baiknya kita pergi ke Bukit Gundul itu"
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di pendapa
itu sependapat untuk pergi ke bukit gundul. Bukan saja karena
mereka ingin menyelamatkan orang-orang yang tidak
bersalah. Tetapi merekapun ingin melihat pertemuan sekali
lagi antara orang cacat yang mengaku Ki Ajar Cinde Kuning itu
dengar Ki Ajar Pamotan Galih. Dengan demikian mereka akan
mendapat kepastian, apakah benar-benar mereka adalah
saudara kembar. Karena yang mereka dengar sebelumnya
adalah pengakuan kedua belah pihak pada kesempatan yang
berbeda. Tetapi mereka tidak akan berangkat malam itu. Besok pagi,
jika fajar menyingsing, mereka akan menyusul Ki Ajar
Pamotan Galih ke daerah Sepasang Bukit Mati.
Tetapi malam itu ibu Daruwerdi berkata "Ayah, jika, ayah
berkenan, apakah aku diperbolehkan ikut serta ke daerah
Sepasang Bukit Mati"
"Sebaiknya kau tinggal di padepokan ini saja ngger" jawab
orang cacat itu "perjalanan ke daerah Sepasang Bukit Mati
adalah perjalanan yang sangat berat"
"Aku pernah pergi ke daerah itu untuk mencari anakku
yang diumpankan oleh Ki Ajar Pamotan Galih" berkata
perempuan itu "kedua, adikku itulah yang mengantarkan aku"
"Ki Ajar Pamotan Galih tidak melarangmu waktu itu?"
bertanya orang cacat itu.
"Tidak. Dibiarkannya aku pergi. Sendiri" jawab perempuan
itu. "Bukankah kau diantar oleh kedua adikmu itu?" bertanya,
orang cacat itu. "Aku berangkat sendiri dari padepokan ini. Baru kemudian
aku singgah ke padukuhan adik-adikku" jawab perempuan itu.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Tentu Ajar
Pamotan Galih memperhitungkan bahwa perempuan, itu tidak
akan pernah sampai ke padukuhan disebelah daerah Sepasang
Bukit Mati itu. Bahkan mungkin Ki Ajar Pamotan Galih justru
membiarkan perempuan itu tidak akan pernah berhasil keluar
dari lingkungan hutan yang buas di perjalanan.
Dalam pada itu, orang cacat itupun mulai memikirkan
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi pada
perempuan itu jika ia ditinggalkan di padepokan. Jika Ki Ajar
Pamotan Galih ternyata tidak pergi ke daerah Sepasang Bukit
Mati sementara perempuan itu ditinggalkannya sendiri, maka
akan mungkin sekali terjadi, bahwa perempuan itu akan
diambil oleh Ki Ajar Pamotan Galih untuk menjadi alat
memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka orang cacat itupun kemudian berkata
"Baiklah ngger jika kau memang ingin pergi bersama kami"
"Terima kasih ayah. Tetapi tanpa ceritera yang pernah ayah
singgung itu" berkata perempuan itu.
Orang cacat itu tidak menjawab. Dipandanginya perempuan
Uu sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalamdalam
sambil berkata "Apa salahnya ceritera itu dimengerti
oleh Pangeran Sena Wasesa"
"Tidak" sahut perempuan itu.
"Jangan mement ingkan dirimu sendiri" jawab orang cacat
itu "ingatlah kepada anakmu"
Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Namun bahwa,
orang cacat itu mengerti tentang ceritera yang nampaknya
tidak akan disimpannya lebih lama lagi itu, membuat
perempuan itu semakin yakin, bahwa orang itu benar-benar Ki
Ajar Cinde Kuning. Meskipun demikian ia berkata "Ayah. Aku tetap memohon,
agar ceritera itu biarlah tersimpan dilubuk hatiku saja untuk
seturusnya" Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
akan mempertimbangkannya. Tetapi aku akan mengambil
keputusan yang berbeda dengan pilihanmu itu"
Perempuan itu tidak menjawab lagi. Segalanya memang
terserah kepada orang cacat itu. Dan ia sendiri tidak akan
dapat menentukan pilihan apapun juga.
Dalam pada itu, ketika cahaya matahari membayang di
langit di dini hari, maka orang-orang di padepokan itupun
sudah siap. Jlitheng yang siap paling cepat bersama Rahu, duduk
sambil berbincang diserambi.
"Kenapa orang cacat itu tidak mengejarnya ketika ia
mendengar laporan bahwa Ki Ajar Pamotan Galih melarikan
diri?" bertanya Jlitheng.
"Ki Ajar Pamotan Galih adalah orang yang luar biasa,
sementara orang yang cacat itu mengaku Ajar Cinde Kuning
itupun orang yang memiliki panggraita yang sangat tajam,
sehingga ia mengerti, bahwa tidak ada gunanya untuk
mengejarnya. Pamotan Galih tentu sudah jauh dan
arahnyapun tidak dimengerti" jawab Rahu,
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Akan
ada pertemuan yang meriah di bukit gundul. Aku kira dari
padepokan-padepokan lainpun tentu akan-mengambil sikap.
Hilangnya Pangeran Sena Wasesa akan merupakan aba-aba
bagi padepokan-padepokan yang bernafsu untuk berebut
pusaka dan harta benda itu"
Rahu mengangguk kecil Tetapi iapun mulai membayangkan
betapa sengitnya pertemuan antara orang-orang tamak di
bukit gundul itu. Yang pernah terjadi adalah bertemunya
kekuatan dari padepokan Sanggar Gading dengan kekuatan
dari Kendali Putih yang membuat keduanya hampir lumpuh,
sehingga gabungan dari kedua kekuatan itu tidak mampu lagi
bertahan melawan orang-orang yang semula tidak
diperhitungkan oleh keduanya.
Sejenak kemudian ternyata orang-orang lainpun sudah siap
pula. Ibu Daruwerdi benar-benar telah bersiap pula untuk ikut
serta bersama kedua adiknya.
Setelah makan pagi, maka orang-orang yang sudah bersiap
menuju ke daerah kecil. Kuda-kuda mereka masih dapat
berderap agak cepat di jalan-jalan datar. Namun akhirnya
mereka sampai juga kejalan yang sulit untuk dilalui. Mereka
harus menembus hutan yang lebat dan pepat. Mereka yang
baru untuk kedua kalinya menempuh jalan itu merasa masih
agak bingung juga. Sementara orang cacat itu mengenal jalan
yang ditempuhnya seperti mengenal halaman rumah sendiri.
Dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih itupun seperti yang
diduganya, telah menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati.
Ketika ia menyadari keadaan dirinya di sebuah bilik
dipadepokannya, maka iapun mengerti, bahwa orang yang
dihadapinya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
yang mustahil dapat dikalahkannya. Iapun memperhitungkan
bahwa orang-orang yang semula akan dibunuhnya, tentu akan
berdiri di pihak orang cacat itu.
Karena itu, sebelum ia dapat mengetahui dengan pasti,
siapakah orang cacat itu, ia telah memilih jalan untuk
melarikan diri daripada ia harus mengalami nasib yang lebih
buruk lagi. Tetapi ketamakannya telah mendorongnya untuk pergi ke
daerah Sepasang Bukit Mati. Meskipun ia juga mempunyai
perhitungan bahwa orang-orang di padepokan itu akan
menyusul juga ke daerah sepasang Bukit Mati.
Dengan kuda yang dapat dirampasnya dari penduduk
terdekat dari padepokannya, maka iapun telah menyelusuri
jalan menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati yang dikiranya
menyimpan sebilah pusaka yang mempunyai psngaruh gaib
terhadap pemiliknya, namun yang terpenting adalah harta
yang tidak ternilai jumlahnya, yang disertakan pada pusaka
itu. Ternyata bahwa Ki Ajar juga menguasai jalan menuju
kesasaran dengan sebaik-baiknya. Bahkan di malam hari ia
tidak berhenti sama sekali. Hanya pada saat-saat tertentu
apabila kudanya, sudah terlalu letih dan haus, maka iapun
berhenti di dekat sebuah parit atau mata air untuk memberi
kesempatan kudanya beristirahat, minum dan makan
rerumputan. Ketika Ki Ajar Pamotan Galih itu kemudian sampai di daerah
Sepasang Bukit Mati dihari berikutnya, maka iapun langsung
pergi ke bukit gundul. Dengan berdebar-debar ia memanjat
naik setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu.
Matahari bersinar terang diatas kepalanya, sementara langit
jernih kebiru-biruan. Dengan tegang Ki Ajar Pamotan Galih memandangi dataran
diatas bukit gundul itu. Dataran yang tidak terlalu luas.
Dilihatnya garis-garis padas yang silang menyilang
Sesaat ia memperhatikan garis-garis itu. Dicarinya kunci
pemecahan, karena ia menduga bahwa garis-garis itu
mempunyai arti tertentu. Kemudian ia sama sekali t idak dapat
menemukan. Garis yang memanjang menyilang dataran itu,
telah diikutinya. Tetapi kedua ujungnya hilang pada retak batu
pada disisi bukit tanpa memberikan petunjuk apapun juga.
Ki Ajar mengumpat ketika ia melihat sebuah lekuk tempat
Daruwerdi menyembunyikan peti dan pusaka palsunya.
Namun sebenarnya ia tidak dapat menemukan apa-apa di atas
bukit itu. Kemarahan dan kekecewaan telah menghentak-hentak di
jantungnya. Setiap kali terdengar ia mengumpat Orang yang
cacat yang tiba-tiba hadir di padepokan.
"Iblis itu berhasil mengganggu aku" geramnya. Sesaat Ki
Ajar itu mencoba mengingat, apakah ia dapat mengenal iblis
berwajah cacat itu. "Ilmunya memang mirip dengan ilmuku" berkata Ki Ajar
Pamotan Galih itu. Iapun telah mencoba mengenang gurunya.
Namun Katanya "Guru tentu tidak akan seumur orang itu"
Untuk beberapa saat ia masih tetap berdiri di atas bukit
gundul itu. Namun akhirnya ia hams melihat satu kenyataan,
bahwa ia tidak akan berhasil mendapatkan sesuatu di bukit
itu. "Tetapi aku yakin, bahwa pusaka ku tersimpan disini.
Mungkin harta benda yang tidak ternilai harganya itu berada
di tempat lain, tetapi pada pusaka itu, atau pada petinya atau
pada rental yang ada bersama pusaka itu, atau pada apapun
juga tentu terdapat petunjuk tentang harta benda yang
tersimpan itu" geramKi Ajar Pamotan Galih.
Dalam pada itu, oleh perasaan kesal dan kecewa. Ki Ajar
itupun kemudian membanting diri, duduk dialas seonggok
padas diatas bukit gundul itu.
Sementara itu, ternyata sekelompok orang telah merayap
mendekati padukuhan Lumban. Sebuah iring-iringan orang
berkuda dengan wajah-wajah yang garang mendekati daerah
Sepasang Bukit Mati. Segala sesuatu yang terjadi diatas bukit gundul itu telah
didengar oleh orang-orang Pusparuri. Ketika mereka sudah
siap untuk bertindak, maka orang-orang Kendali Putih dan
Sanggar Gading yang tersisa dan berhasil melarikan diri pada
saat terakhir terjadi pertempuran di atas bukit Gundul setelah
Yang Mulia melakukan tayuh, telah terjerat oleh orang-orang
Pusparuri yang mengawasi perkembangan keadaan. Dari
mereka orang-orang Pusparuri mengetahui bahwa pusaka
yang sebenarnya masih belumdiketemukan.
Merekapun menyadari, bahwa di sekitar Sepasang Bukit
Mati itu terdapat dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Pangeran Sena Wasesa sendiri yang ternyata tidak sakit, dan
seorang lagi yang berhasil mengalahkan Yang Mulia itu
sendiri. Dengan demikian maka orang-orang Pusparuri harap
menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi orang-orang itu.
"Tetapi jumlah mereka tidak cukup banyak" berkata orangorang
Pusparuri itu. Bagi mereka anak-anak Lumban memang
tidak terlalu merisaukan. Lalu berkata mereka "Orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih sudah
meremukkan diri mereka sendiri sebelum mereka berhadapan
dengan orang-orang yang berada di Lumban. Bahkan
merekapun telah dikelabui oleh Pangeran yang berpura-pura
sakit itu. Meskipun sisa mereka kemudian bergabung, tetapi
kekuatan mereka sudah tidak ada seperlima dari kekuatan
mereka masing-masing. Karena itu, jika kami datang ke
Lumban, maka persoalannya akan berbeda"
"Apakah kita tidak terlambat?" bertanya salah seorang
diantara mereka. Kawannya menggeleng sambil menjawab "Tentu tidak.
Pengamat kita belum melihat seorangpun yang memasuki
daerah Sepasang Bukit Mati, apalagi memanjat bukit gundul
itu" "Tetapi mungkin Pangeran itu sudahi pergi" berkata orang
yang pertama. "Mungkin. Tetapi mungkin ia sedang menyiapkan
sekelompok orang-orangnya untuk mengambil pusaka itu,
atau untuk menyingkirkannya" jawab kawannya "Jika demikian
pengamat kami tentu melihat ia memanjat bukit gundul itu
dan mengamatinya kemana ia pergi. Tetapi sampai saat ini
sama sekali tidak terdapat laporan apapun juga"
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Namun dalam pada itu, iring-iringan itupun kemudian
tertahan oleh seseorang yang memacu kudanya. Dengan
tergesa-gesa orang itu menemui pimpinan orang-orang
Pusparuri itu sambil berkata gagap "Seseorang telah
memanjat naik ke bukit gundul itu"
"Siapa?" bertanya pemimpin padepokan Pusparuri itu.
"Aku tidak tahu. Dua orang kawan kami masih mengawasi
bukit itu. Orang yang memanjat itu, sepeninggalku masih
berada diatas bukit" berkata orang itu.
Pemimpin dari padepokan Pusparuri itu menganggukangguk.
Katanya kemudian "Nampaknya hanya orang yang
sedang menyelidiki bukit itu. Tentu bukan Pangeran Sena
Wasesa yang akan memindahkan pusaka itu"
"Agaknya memang bukan seorang Pangeran" jawab orang
yang memberikan laporan. "Tetapi kita harus segera sampai ke bukit itu" berkata
pemimpin orang-orang Pusparuri itu.
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun telah
mempercepat gerak mereka, sementara orang yang melapor
itu berkata Kami telah menunggu terlalu lama. Aku kira fajar
hari ini kita semuanya sudah berada di bukit itu"
"Kami memang agak terlambat" jawab pemimpinnya
"Tetapi kami telah menempatkan kalian di bukit itu justru
untuk menjaga kemungkinan seperti ini "
Orang itu tidak menyahut lagi. Sementara iring-iringan itu
bergerak semakin cepat menuju ke bukit gundul.
Jarak mereka dengan bukit gundul itu semakin lama
menjadi semakin dekat. Sementara, itu, Ki Ajar Pamotan Galih
masih tetap duduk diatas batu padas sambil merenungi
keadaan di sekitarnya. Bahkan kemudian iapun mulai
merenungi dirinya sendiri,
"Sudah sekian lama aku mengatur rencana ini" berkata
orang itu kepada diri sendiri "namun hasilnya sama sekali
tidak memadai. Dan sekarang aku harus mulai dari permulaan,
sementara Pangeran yang gila itu akan menjadi semakin
berhati-hati" Sekali-sekali Ki Ajar itu menghentakkan tangannya. Namun
yang sudah terjadi itupun tidak akan mungkin dapat
diulanginya kembali. Kegagalan itu sudah terjadi. Bukan
sekedar sebuah mimpi. Dengan lesu Ki Ajar memandang dataran disekitar bukit itu.
Sebagian sudah nampak hijau, tetapi sebagian masih
kekuning-kuningan dan gersang.
Dalam pada itu, iring-iringan orang-orang Pusparuri
menjadi semakin dekat. Mereka berpacu semakin kencang.
Apalagi ketika bukit gundul itu mulai nampak. Maka rasarasanya
perjalanan mereka menjadi terlalu lamban.
Dipaling depan dari iring-iringan itu adalah Kiai Pusparuri
sendiri. Kemudian dua orang kepercayaannya yang terdekat.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling berdiam diri.
Namun kemudian Kiai Pusparuri itupun berdesis "Bagaimana
menurut pertimbanganmu"
Salah seorang dari kepercayaannya itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya "Kita memang terlalu lambat"
"Tidak" sahut Kiai Pusparuri "ketika kita mendengar bahwa
orang-orang Sanggar Gading telah menangkap Pangeran Sena
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasesa dan membawanya kepada Daruwerdi kita sudah
memerintahkan agar orang-orang kita bergerak. Terutama
yang berada di lingkungan orang-orang Kendali Putih.
Ternyata benturan itu telah terjadi. Orang-orang Kendali Putih
dan orang-orang Sanggar Gading itu telah hancur. Tetapi yang
tidak kita duga bahwa mereka akhirnya dapat bersatu
sehingga kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan
baru. Kita harus mengamati perkembangan keadaan dan tidak
tergesa-gesa bertindak. Mungkin dengan demikian, kita
memang membuat kesan terlalu lamban"
"Mudah-mudahan kita dapat berbuat sesuatu" berkata
kepercayaannya itu. Kiai Pusparuri tidak menyahut. Keduanya berpacu semakin
cepat Sementara kedua orang kepercayaannya yang berkuda
di belakangnya itupun saling berpandangan. Tetapi mereka
tidak mengatakan sesuatu.
Yang terdengar kemudian adalah Kiai Pusparuri
menggeram "Daruwerdi memang gila. Aku sudah curiga sejak
lama. Tetapi kalian selalu mengatakan bahwa anak itu akan
memegang teguh janjinya"
Kedua orang kepercayaannya sama sekali tidak menjawab.
Mereka mengikuti saja Kiai Pusparuri yang berusaha berpacu
semakin cepat. Dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih yang berada di atas
bukit gundul itu mengangkat wajahnya ketika
pendengarannya yang tajam menangkap derap kaki kuda.
Dengan serta tmerta iapun berdiri. Ketika ia melayangkan
pandangan matanya, maka iapun segera melihat, sebuah
iring-iringan mendekati bukit itu.
Ki Ajar Pamotan Galih menjadi berdebar-debar. Namun
iapun kemudian duduk kembali.
"Persetan. Siapapun yang datang" geramnya.
Memang terasa kekecewaan yang mencengkam jantungnya
membuatnya kadang-kadang kehilangan gairah
perjuangannya untuk mendapatkan pusaka dan terlebih-lebih
harta benda yang tidak ternilai harganya itu. Meskipun pada
saat-saat tertentu kedatangannya masih saja mengguncang
jantungnya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak ingin berbuat
sesuatu. Ia akan menghadapi apa saja yang bakal terjadi jika
orang-orang di dalam iringan-iringan itu akan naik keatas
bukit dan barangkali akan berbuat sesuatu atasnya.
"Biarlah alam memilih. Aku harus membunuh atau dibunuh"
geramnya. Dalam pada itu iring-iringan itupun telah sampai ke kaki
bukit gundul, yang merupakan salah satu dari Sepasang Bukit
Mati itu. Dengan tergesa-gesa orang-orang Pusparuri itu
menambatkan kuda-kuda mereka. Seorang diantara para
pengamat yang berada di sekitar bukit itupun kemudian
mendekati- Kiai Pusparuri sambil berkata "Orang itu masih
berada diatas bukit "
"Kau tidak tahu siapa orangnya?" bertanya Kiai Pusparuri,
Pengawas itu menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu"
Kiai Pusparuripun segera memanjat naik diikuti oleh
beberapa pengikutnya bersama dua orang kepercayaannya
yang terdekat Sementara beberapa orang yang lain telah
menunggu di bawah bukit gundul itu.
Beberapa saat lamanya Kiai Pusparuri memanjat Ketika ia
mendekati puncak bukit itu, dilihatnya seseorang duduk di
batu padas. Orang yang tepekur dan seolah-olah sama sekali
tidak menghiraukan kehadirannya.
Kiai Pusparuri tertegun. Ia yakin orang itu mendengar
kehadirannya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berpaling.
"Ki Sanak" sapa Kiai Pusparuri.
Barulah Ki Ajar Pamotan Galih itu mengangkat wajahnya
dan berpaling kearah suara itu.
"Ajar Macan Kuning" desis salah seorang kepercayaan Kiai
Pusparuri. "Hem, kau Laksita" desis Ki Ajar Pamotan Galih.
"Siapa?" bertanya Kiai Pusparuri.
"Orang inilah yang pernah membawa Daruwerdi kepadaku"
jawab kepercayaannya itu "Macan Kuning" desis Kiai Pusparuri.
Ki Ajar Pamotan Galih masih tetap duduk di tempatnya.
Namun iapun kemudian berdesis "Aku tentu berhadapan
dengan Kiai Pusparuri sendiri sekarang ini"
"Ya. Kau benar Ki Ajar Macan Kuning. Aku pernah
mendengar namamu yang menggetarkan setelah Ki Ajar Cinde
Kuning lenyap. Semua orang bertanya-tanya di dalam hati,
kenapa tiba-tiba saja Cinde Kuning telah merubah dirinya
menjadi Macan Kuning" sahut Kiai Pusparuri.
Ajar Pamotan Galih hanya berpaling. Tetapi ia tidik
menjawab. "Sekarang, apa kerjamu disini?" bertanya. Kiai Pusparuri
kemudian. "Merenungi bukit gundul ini" berkata Ajar Pamotan Galih.
"Merenungi kematian orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih?" bertanya Kiai Pusparuri pula "atau
merenungi rencanamu sendiri"
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab. Dipandangnya
lembah di bawahi bukit gunduli itu. Hanya sebagian saja yang
telah menjadi hijau. Tetapi yang lain tetap gersang.
"He" tiba-tiba Kiai Pusparuri bertanya kepada Laksita "Jadi
orang ini yang membawa Daruwerdi kepadamu?"
"Ya" jawab Laksita.
Kiai Pusparuri memandang kepercayaannya itu dengan
tajamnya. Dengan nada tinggi ia bertanya "Jadi kau belum
mengenal anak itu dengan sungguh-sungguh?"
"Sudah" jawab Laksita "Aku sudah lama mengenalnya. Dan
aku sudah mengenalnya dengan sungguh-sungguh"
"Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi bingung?" bertanya Ajar
Pamotan Galih kepada Kiai Pusparuri.
"Aku sudah mengira bahwa anak yang disebut bernama
Daruwerdi itu tentu tidak jujur. Ia sudah berhubungan de
agan banyak pihak, sehingga persoalannya menjadi kacau
seperti sekarang ini" berkata Kiai Pusparuri.
"Tidak ada gunanya kau sesali" berkata Ajar Pamotan Galih
"Jangankan kepadamu, kepada orang yang tidak memberinya
apapun juga. Sedangkan kepadaku, kepada kakeknya.
Daruwerdi telah berkhianat "
"He?" Kiai Pusparuri mengerutkan keningnya. Lalu "Apa
maksudmu?" "Yang terjadi adalah karena kelalaiannya" berkata KI Ajar
Pamotan Galih "bahkan kemudian ia telah menghadapkan aku
kepada orang-orang yang gila itu"
"Dan kau tidak berani menghadapinya?" bertanya Kiai
Pusparuri. Namun kemudian "Dengan pihak mana kau
berhadapan" Sanggar Gading dan Kendali Putih, atau orangorang
Lumban bersama Pangeran Sena Wasesa sendiri?"
"Banyak pihak telah datang ke padepokanku" berkata Ajar
Pamotan Galih "Aku tidak mempunyai kesempatan untuk
melawan mereka. Mereka terlalu banyak, sebagaimana aku
tidak mau berhadapan dengan Pangeran Sena Wasesa itu
dengan langsung. Karena itu, aku memerlukannya lewat
siapapun yang akan dapat menangkapnya dan menukarnya
dengan pusaka yang kalian perebutkan.
"Jangan mengigau seperti itu" berkata Kiai Pusparuri
"sebodoh-bodoh kami, orang-orang Pusparuri, tentu tahu apa
artinya peristiwa yang terjadi di bukit gundul itu. Ternyata
pusaka yang diberikan oleh Daruwerdi adalah pusaka palsu.
Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa justru
Pangeran Sena Wasesa itulah yang akan menjadi sumber
keterangan tentang pusaka itu?"
Ki Ajar Pamotan Galih mengerutkan keningnya Sementara
itu Kiai Pusparuri berkata lebih lanjut "Sejak kami berangkat
menuju ke bukit ini, kami sudah mempunyai perhitungan yang
demikian. Kami memang ingin menemukan Pangeran Sena
Wasesa. Tetapi tidak untuk kami serahkan kepada siapapun
juga. Karena kami hampir meyakininya, bahwa Pangeran itu
justru sangat berarti bagi pusaka itu sendiri"
Ki Ajar Pamotan Galih t idak segera menjawab. Sementara
itu Laksitapun berkata "Ki Ajar. Aku tidak mengira sama sekali,
bahwa permainanmu itu adalah permainan yang terlalu
dangkal. Aku kira kau dengan mempergunakan Daruwerdi,
bermain dengan jujur apapun niat kita. Kita mempunyai
kepentingan yang aku kira membuat kita dapat bekerja
bersama. Tetapi dengan bodoh kau palsukan pusaka itu. Kau
kira kau dapat mengelabui orang lain begitu mudah"
Seandainya bukan orang Sanggar Gading itu, kamipun akan
dapat mengetahuinya dengan tayuh tiga hari tiga malam"
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab. Bahkan seolah-olah
ia tidak mendengarkan kata-kata itu. Dengan wajah yang
kosong dipandanginya alam yang keras disekitar bukit gundul
itu. Dalam pada itu, Kiai Pusparuripun berkata "Sekarang apa
maumu Ki Ajar" Apakah kau akan berusaha mencari pusaka
itu sendiri tanpa Pangeran Sena Wasesa?"
Ki Ajar tidak menjawab. Bahkan berpalingpun tidak.
Namun tiba-tiba saja Ki Ajar Pamotan Galih itu berkata
"Mereka tentu akan segera datang"
"Siapa?" bertanya Laksita.
"Pangeran yang gila itu. Cucuku yang berkhianat dan
orang-orang Lumban yang dungu" berkata Ki Ajar Pamotan
Galih. "Kau mencoba menakut-nakut i aku, agar aku segera pergi"
Dengan demikian usahamu untuk memecahkan teka-teki
tentang pusaka itu dengan memperhatikan segala bentuk dan
garis di atas bukit gundul ini tidak akan terganggu?" berkata
Kiai Pusparuri. "Buat apa aku menakutimu" jawab Ki Ajar Pamotan Galih
"kalau kalian ingin mati, atau ingin pergi, atau ingin apapun
juga, aku tidak berkepentingan sama sekali.
"Jadi apa maksudmu dengan mengatakan bahwa mereka
akan datang?" bertanya Kiai Pusparuri.
"Tidak apa-apa. Hanya sekedar kabar yang pantas kau
ketahui. Kalau kau ingin menangkap Pangeran itu, lakukanlah
jika kau mampu. Jika kau mau lari, larilah mumpung mereka
belumdatang" berkata Ajar itu.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai
Pusparuri. "Mencari pusaka itu" jawab Ki Ajar Pamotan Galih. Kiai
Pusparuri ragu-ragu sejenak. Agaknya Ki Ajar itu mempunyai
bekal serba sedikit keterangan tentang pusaka itu. Karena itu,
maka katanya- kemudian "Baiklah. Jika orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putih dapat bekerja bersama setelah
mereka menghancurkan diri mereka sendiri, apakah kita juga
dapat bekerja bersama?"
"Maksudmu?" bertanya Ki Ajar.
"Kita akan menangkap Pangeran Sena Wasesa. Aku yakin,
bahwa kau tahu pasti, Pangeran itulah yang mengetahui
tentang pusaka yang sedang diperebutkan itu. Jangan ingkar"
jawab Kiai Pusparuri. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Tidak
ada gunanya. Kita tidak akan mampu berbuat apa-apa jika
mereka nanti datang"
"Kau sudah berputus asa?" bertanya Kiai Pusparuri.
Sementara itu Laksitapun berkata "Apakah aku benar-benar
berhadapan dengan Ki Ajar Macan Kuning" Aku tidak pernah
membayangkan, bahwa pada suatu saat Ajar Macan Kuning
akan berputus-asa. Sementara disampingnya terdapat
sepasukan orang-orang yang dapat di percaya
kemampuannya" Seandainya Pangeran Sena Wasesa mampu
menggugurkan bukit gundul ini sekalipun, maka ia tidak akan
dapat menghadapi seluruh pasukan Pusparuri sekarang ini"
Ajar Pamotan Galih t idak menjawab. Kembali ia merenungi
dataran yang merentang disekitar bukit gundul itu. Namun
dalam pada itu ia memang tidak dapat ingkar, betapa kacau
perasaannya. Namun dalam pada itu, orang-orang Pusparuri itu telah
menawarkan satu kerja sama untuk menangkap kembali
Pangeran Sena Wasesa. Ia sadar, bahwa orang-orang
Pusparuri tidak akan terlalu bodoh untuk memberikan
kesempatan kepadanya Ki Ajar itupun sadar, jika usaha itu
berhasil, maka ia tidak akan mendapat apapun juga. Bahkan
mungkin orang-orang Pusparuri itu akan beramai-ramai
mencincangnya, Tetapi dalam pada itu, terpercik dendamnya kepada orang
cacat yang sudah mengalahkannya. Orang itu agaknya akan
datang bersama Pangeran Sena Wasesa dan orang-orang laini
yang datang ke padepokannya.
"Apakah kau sedang merenungi keputusanmu Ki Ajar?"
bertanya Laksita. Ki Ajar menggeram. Katanya "Kau jangan terlalu sombong
hanya karena disini ada Kiai Pusparuri. Kau tahu, bahwa Kiai
Pusparuri itu t idak akan banyak berarti bagiku. Seandainya
aku mau maka kau akan dapat membunuh separo dari orangorang
Pusparuri yang berada disini bersama pimpinan
tertingginya" Tetapi Kiai Pusparuri tertawa. Katanya "Aku percaya bahwa
kau agiknya memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kau
tidak akan dapat banyak berbuat apa-apa. Lebih lebih
dihadapan Pangeran Sena Wasesa. Karena itu, selagi aku
menawarkan kerja sama. Hasilnya kita bagi bersama"
"Aku tahu bahwa itu omong kosong" jawab Ki Ajar
"Kau akan memanfaatkan aku untuk melawan orang-orang
itu. Kemudian kau akan manfaatkan aku untuk melawan
orang-orang itu. Kemudian kau akan menyisihkan aku pula
karena jumlah kalian yang banyak. Tetapi baiklah. Aku
bersedia bekerja bersama orang-orang Pusparuri untuk
bertempur melawan orang-orang itu. Jika kita berhasil, maka
dendamku sudah dapat aku lepaskan. Terserah kepadamu kau
juga ingin membunuh aku, maka Kiai Pusparuri dan separo
orang-orangnya akan membunuh aku, maka Kiai Pusparuri
dan separo orang-orangnya akan mati bersama aku"
-oo0dw0ooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 19 KIAI PUSPARURI mengangguk-angguk. Katanya "Aku tidak
berkeberatan dengan kecurigaanmu. Tetapi yang penting
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagiku adalah menangkap Pangeran Sena Wasesa. Tidak
untuk diserahkan kepadamu atau kepada siapapun Aku
memerlukannya untuk mendengar keterangannya tentang
pusaka itu. Tetapi seandainya kau berkeberatan, akupun tidak
akan memaksamu, karena aku yakin akan kekuatan
pasukanku" Ki Ajar Pamotan Galih merenung sejenak. Namun kemudian
katanya "Aku kira kau akan menyesali kesombonganmu.
Tetapi baiklah. Aku akan bergabung dengan pasukanmu,
apapun yang akan kau lakukan setelah itu"
Kiai Pusparuri tertawa. Tetapi katanya "Baiklah. Aku terima
kau di dalam lingkungan kami. Aku tahu, kau orang yang luar
biasa" "Kita tinggal menunggu beberapa saat saja Mereka akan
segera datang" berkata Ki Ajar Pamotan Galih.
Dalam pada itu, Kiai Pusparuripun segera mengatur orangorangnya.
Mereka harus mengadakan pengawasan disekitar
bukit gundul itu. Bukan saja terhadap kelompok-kelompok lain
yang mungkin akan mencari pusaka itu, tetapi juga
mengamati kedatangan Pangeran Sena Wasesa dengan orangorang
yang menyertainya pergi ke padepokan Ki Ajar Pamotan
Gahh sehingga memaksa Ki Ajar itu untuk pergi.
Namun dalam pada itu, ternyata anak-anak muda Lumban
telah melihat kehadiran mereka. Orang-orang Pusparuri itu
mengabaikan orang-orang yang berada di sawah mereka.
Meskipun mereka tahu bahwa diantara mereka yang melawan
orang-orang Sanggar Gading dan Kendali Putih terdapat anakanak
muda Lumban, namun anak-anak muda Lumban itu
masih belumperlu dicemaskan.
Tetapi sementara itu, anak-anak muda Lumban itupun telah
mempersiapkan diri. Mereka membagi diri menjadi beberapa
kelompok. Kecuali mereka yang harus mengawasi para
tawanan, maka di bawah pimpinan orang-orang yang mereka,
kenal sebagai pemburu itu, mereka mengawasi bukit gundul
itu dari beberapa jurusan. Dengan bersiap-siap di padukuhan
yang berada disebelah menyatelah bukit gundul, anak-anak
muda Lumban itu berhasil mengamati tingkah laku orangorang
Pusparuri" Namun agaknya orang-orang Pusparuri itu tidak akan
meninggalkan bukit gundul. Mereka tetap berada di seputar
kaki bukit itu. Sebagian dari mereka berlindung dari panasnya
matahari di bawah pepohonan di pategalan. Sementara yang
lain berlindung pada bayangan batu-batu padas.
Ketika kemudian matahari condong jauh ke Barat, maka
sebagian besar dari mereka berada di bayangan bukit gundul
itu. Tetapi anak-anak muda Lumban ternyata tidak mengetahui,
bahwa diantara mereka terdapat seseorang yang menyebut
dirinya Ki Ajar Pamotan Galih.
Menurut perhitungan Ki Ajar Pamotan Galih, jika orangorang
yang ditinggalkannya itu dengan segera menyusulnya,
maka mereka akan sampai di Lumban pada hari itu. Tetapi
agaknya orang-orang itu akan berangkat dari padepokannya
setelah pagi hari, sehingga paling cepat esok pagi mereka
baru akan datang. Kiai Pusparuri sama sekali tidak berkeberatan untuk
menunggu. Apalagi hanya satu malam. Seandainya ia harus
menunggu sepekanpun, ia akan melakukannya dengan sabar.
Meskipun demikian, semalam suntuk orang-orang Pusparuri
berjaga-jaga berganti-ganti. Sekelompok dari mereka,
dipimpin langsung oleh dua orang kepercayaan Kiai Pusparuri,
islah mengawasi Ki Ajar Pamotan Galih yang masih tetap
berada dipuncak. Ia sama sekali tidak bersedia beranjak dari
tempatnya. Namun ketika orang-orang Pusparuri memberikan
sekedar makan dan minum, ia tidak menolaknya.
Tetapi malam itu terasa panjangnya. Rasa-rasanya mereka
telah menunggu lebih dari dua tiga malam. Bintang-bintang
yang bergayutan di langit berkeredip dengan malasnya.
Sementara udara malam yang dingin rasa-rasanya bagaikan
menusuk sampai ketulang. Malam itu, Pangeran Serta Wasesa, Kiai Kanthi orang cacat
dan sekelompok kecil orang-orang lain, berhenti tidak terlalu
jauh lagi dari Lumban. Tetapi mereka merasa cukup lama
menempuh perjalanan, sehingga mereka harus berhenti dan
bermalam di perjalanan. Esok pagi mereka akan melanjutkan
perjalanan menuju ke padukuhan Lumban. Matahari sepenggalah
mereka sudah akan sampai di padukuhan itu.
Demikianlah ketika fajar mulai memerah di langit, maka
sekelompok orang yang sedang menuju ke Lumban itu sudah
mempersiapkan diri. Meskipun diantara mereka terdapat
seorang gadlis, itu bukanlah gadis kebanyakan. Tetapi selain
gadis itu terdapat juga ibu Daruwerdi.
Adalah diluar kehendaknya, jika Jlitheng tertegun ketika ia
melihat Daruwerdi sedang berbicara bersungguh-sungguh
dengan Swasti. Meskipun hanya beberapa kalimat, namun
terasa jantung Jlitheng tergetar.
Tetapi Jlitheng t idak menghiraukannya lebih lama lagi. Ia
melihat Swastipun segera meninggalkan Daruwerdi.
Sementara Daruwerdi berdiri termangu-mangu. Ada niatnya
untuk mengikuti gadis itu. Tetapi niatnya diurungkannya.
Sementara Jlithengpun telah bergeser menjauhinya.
"Apa saja yang dibicarakannya" bertanya Jlitheng kepada
diri sendiri. Sebenarnyalah Jlitheng tidak tahu, bahwa ketika kedua
anak muda itu dengan tidak sengaja bertemu pandang,
Daruwerdi diluar sadarnya bertanya, apakah Swasti tidak
merasa terlalu letih. Hanya itu.
Dalam pada itu, ketika langit menjadi terang, iring-iringan
kecil itupun segera melanjutkan perjalanan.
Sebenarnyalah bahwa ibu Daruwerdi itupun telah merasa
sangat letih. Tetapi karena dorongan keinginannya yang
sangat besar, maka iapun berusaha untuk tidak mengeluh.
Kedua adiknya selalu mendampinginya. Bahkan pada saat-saat
tertentu, orang cacat yang mengaku dirinya Ajar Cinde Kuning
itu sendiri telah membantunya.
Perjalanan berikutnya tidak lagi banyak mengalami
hambatan karena buasnya medan yang mereka lalui. Kudakuda
mereka berjalan di tanah datar dan terbuka. Hutan
perdu telah mereka lalui, dan ketika matahari menjadi
semakin tinggi, maka merekapun telah mendekati padukuhan
yang mereka tuju. Lumban.
Jlithenglah yang minta kepada Ki Ajar Cinde Kuning, agar
iring-iringan itu tidak langsung mendekati bukit gundul. Ia
ingin mendengar keterangan yang barangkali ada manfaatnya
dari anak-anak muda Lumban.
"Pergilah mendahului" berkata Ki Ajar Cinde Kuning.
Bersama Rahu, maka Jlithengpun telah mendahului iringiringan
kecil itu. Ia sengaja menjauhi bukit gundul, karena
menurut dugaan mereka, Ki Ajar Pamotan Galih ada disekitar
tempat itu. "Mudah-mudahan ia belum berbuat sesuatu terhadap
orang-orang Lumban" desis Jlitheng.
"Ada beberapa orang yang dapat memimpin anak-anak
muda itu" berkata Rahu.
Jlitheng menggeleng. Jawabnya "Tidak ada gunanya
menghadapi Ajar Pamotan Galih, jika Ajar itu benar-benar
menjadi gila" Langkah kuda Jlitheng tertegun ketika ia melihat beberapa
orang anak muda di sudut padukuhan kecil di ujung
Kabuyutan Lumban Wetan. Apalagi ketika anak-anak muda itu
melihat, bahwa yang datang itu adalah Jlitheng dan Rahu.
"Berhentilah sebentar. Turunlah" minta anak-anak muda
itu. Rahu dan Jlitheng telah menghentikan kuda mereka.
Keduanya segera meloncat turun. Mereka melihat anak-anak
muda Lumban itu nampak gelisah.
"Ada apa?" bertanya Jlitheng.
Salah seorang dari anak-anak muda itupun kemudian minta
agar Rahu dan Jlitheng duduk di gardu sebentar.
"Sekelompok orang-orang yang garang telah datang ka
bukit gundul itu" berkata anak muda itu.
"Dari mana?" bertanya Jlitheng.
Anak-anak muda itu menggeleng. Salah seorang menjawab
"Kami tidak tahu pasti. Tetapi mereka adalah orang-orang
yang nampaknya tidak kalah garangnya dari orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Put ih.
Jlitheng mengangguk-angguk. Ternyata yang akan mereka
hadapi bukan sekedar Ajar Pamotan Galih. Tetapi sekelompok
orang yang tentu dari salah satu perguruan. Mungkin dari
perguruan yang lain. "Bahkan mungkin mereka telah bekerja bersama dengan Ki
Ajar Pamotan Galih" berkata Jlitheng.
"Itu tidak mustahil" sahut Rahu. Lalu katanya "Baiklah.
Tetapi dimana mereka sekarang?"
"Mereka tetap berada di bukit gundul. Mereka t idak
beranjak dari tempat itu, seolah-olah mereka memang sedang
menunggu" berkata anak muda itu.
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia adalah anak muda yang
memiliki pengamatan dan panggraita yang tajam. Karena itu.
katanya "Tidak mustahil bahwa Ajar Pamotan Galih ada
diantara mereka dan mengatakan bahwa sekelompok orang
akan menyusulnya. Diantara mereka terdapat Pangeran Sena
Wasesa. Rahu mengangguk-angguk pula. Katanya "Memang t idak
lagi dapat diungkiri. Tentu ada beberapa pihak yang berhasil
melihat satu kemungkinan dari peristiwa yang telah terjadi.
Seperti kita yang semula tidak mengerti, akhirnya kita melihat
pula, bahwa Ajar Pamotan Galih memang cerdik. Dengan
mengumpankan Daruwerdi ia ingin menguasai Pangeran Sena
Wasesa dan memeras keterangan daripadanya. Sebenarnyalah
yang mengetahui segala sesuatu tentang pusaka itu adalah
Pangeran Sena Wasesa. Agaknya orang-orang di bukit gundul
itupun mengetahui, bahwa sumber keterangan itu ada pada
Pangeran Sena Wasesa. Apalagi jika Ajar Pamoian Galih ada
diantara mereka dan mengatakannya demikian"
"Agaknya Pangeran Sena Wasesapun sedang diburu orang,
sebagaimana mereka memburu pusaka itu, dan ternyata
merekapun mengetahui bahwa disamping pusaka itu masih
terdapat harta benda yang sangat menarik" desis Rahu
"dengan jumlah yang besar, mereka mengharap akan dapat
menguasai Pangeran Sena Wasesa"
"Kita harus segera memberitahukan kepada iring-iringan
itu" berkata Jlitheng. Lalu iapun bertanya kepada anak muda
itu "Apakah orang di bukit itu sering memasuki padukuhan?"
Anak muda itu menggeleng sambil menjawab "Tidak.
Mereka baru sehari berada di bukit itu. Agaknya bekal mereka
masih mencukupi. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan
mereka lakukan jika mereka berada di bukit itu untuk waktu
yang lama" Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Baiklah.
Aku sebenarnya tidak hanya berdua. Ada beberapa orang di
belakangku. Aku akan memberitahukan kepada mereka, agar
mereka berhati-hati" Jlitheng berhenti sejenak, lalu "Apakah
Nugata sudah mengetahui persoalan ini?"
"Ia sudah tahu bahwa ada sekelompok orang berada di
bukit gundul Iapun telah membuat persiapan-persiapan
seperlunya" jawab anak muda itu.
"Bagaimana dengan pemburu itu?" bertanya Jlitheng pula.
"Mereka sudah bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi mereka masih harus mengawasi orangorang
Sanggar Gading dan Kendali Putih yang sempat
tertawan bersama anak-anak muda terpilih" jawab anak muda
itu. Lalu "Meskipun demikian, kami disini sudah mengatur diri
sebaik-baiknya. Meskipun kami menyadari, bahwa
kemampuan kami masih sangat terbatas. Apalagi menghadapi
segerombolan orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tinggi" "Berhati-hatilah. Aku akan segera datang bersama
beberapa orang yang akan dapat bekerja bersama kalian
menghadapi orang-orang di bukit gundul itu" berkata Jlitheng
kemudian. Jlitheng dan Rahupun segera minta diri. Ia harus
melaporkan keadaan daerah Sepasang Bukit Mati itu kepada
orang-orang yang datang bersamanya.
Bersama Rahu ia kembali ke iring-iringan kecil yang
semakin dekat dengan Lumban. Kepada mereka Jlitheng dan
Rahu melaporkan apa yang mereka dengar dari anak-anak
Lumban tentang gerombolan yang berada di bukit gundul itu.
"Sebaiknya kita langsung menuju ke banjar Lumban Wetan"
berkata Jlitheng "Kita akan dapat membuat persiapanpersiapan
lebih terperinci" "Terserahlah mana yang baik menurut pertimbanganmu"
berkata orang cacat yang mengaku dirinya Ki Ajar Cinde
Kuning itu. Demikianlah, maka iring-iringan itupun t idak langsung
mendekati bukit gundul yang ditunggui oleh orang-orang
Pusparuri. Tetapi mereka telah memasuki padukuhan induk
Lumban Wetan dan langsung menuju ke banjar.
Kedatangan mereka memang menarik perhatian orangorang
Lumban yang sudah dicemaskan oleh segerombolan
orang yang berada di bukit gundul. Namun ketika mereka
melihat Jlitheng bersama mereka, maka hati merekapun
menjadi agak tenang. Apalagi ketika Jlitheng berkata kepada
salah seorang laki-laki separo baya "Mereka akan menolong
kita menghadapi orang-orang di bukit gundul itu"
"O, sokurlah Jlitheng. Tetapi siapakah mereka?" bertanya
orang itu. "Mereka orang-orang baik" jawab J litheng
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Ketika ia memandangi
orang-orang dalam iring-iringan itu, maka iapun menganggukangguk
kecil. Ia melihat bahwa di dalam iring-iringan itu
terdapat pula perempuan. Demikian mereka sampai di banjar, maka anak-anak
mudapun menyambut mereka, Jlitheng dan Rahu sudah
dikenal oleh anak-anak muda itu. Demikian pula Daruwerdi,
meskipun anak-anak Lamban Wetan masih merasa ada jarak
di antara mereka. Namun dalam pada itu, mereka tidak dapat menunggu
keadaan menjadi semakin gawat. Karena itu, maka Jlitheng
dan Rahupun segera menghubungi segala pihak.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian, maka Nugata dan para pemburu yang
berada di Lumban itupun telah berkumpul di banjar itu,
setelah mereka menyerahkan para tawanan kepada
sekelompok anak-anak muda terbaik di Kabuyutan Lumban.
"Sebenarnya kita dapat membiarkannya menunggu di bukit
itu" berkata Pangeran Sena Wasesa "Mereka akan menjadi
jemu dan mengambil sikap yang mungkin menguntungkan kita
semuanya" Jlitheng mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia
bertanya "Apakah maksud Pangeran?"
"Kita menunggu perkembangan keadaan" jawab Pangeran
Sena Wasesa "Jika mereka menyadari bahwa mereka akan
sia-sia dan kemudian meninggalkan tempat itu, bukankah kita
tidak perlu mengusirnya dengan kekerasan?"
Namun dalam pada itu. Kiai Kanthi menyahut "Ada dua
kemungkinan Pangeran. Mereka akan pergi, atau mereka akan
berbuat sesuatu yang dapat semakin menggetarkan jantung
rakyat Lumban" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Kemungkinan itu memang ada. Mereka ingin melepaskan
kejemuan mereka kepada rakyat Lumban"
"Selebihnya" potong Ki Ajar Cinde Kuning "Aku menduga
bahwa Pamotan Galih ada di bukit itu pula. Mungkin suatu
kebetulan mereka bertemu untuk tujuan yang sama, tetapi
mungkin pula mereka memang sudah berhubungan
sebelumnya " Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk Lalu Katanya
"Terserahlah. Yang manakah yang baik kita lakukan. Tetapi
melibatkan anak-anak muda Lumban masih harus
diperhitungkan sebaik-baiknya. Yang berada di bukit itu
adalah segerombolan orang-orang besar dan buas yang sama
sekali t idak memperhitungkan nyawa sesama"
"Kita memang harus mempersiapkannya sebaik-baiknya"
berkata Jlitheng "salah satu cara adalah mempergunakan
tenaga sebanyak-banyaknya sehingga anak-anak muda
Lumban dapat menghadapi lawannya berpasangan.
Bagaimanapun juga, anak-anak Lumban pernah belajar
menggenggam pedang. Dengan demikian maka jika mereka
sempat berpasangan, maka kemungkinan yang paling buruk
akan dapat dikurangi"
"Salah satu cara" sahut Kiai Kanthi "disamping itu, maka
kita yang merasa diri kita memiliki bekal serba sedikit harus
memencar diri diantara anak-anak muda Itu"
"Baiklah" berkata Nugata "Aku akan mengatur anak anak
muda kita" Dengan cepat Nugata dan Jlitheng telah berusaha untuk
mengatur anak-anak muda di Lumban. Keduanya telah pergi
ke Lumban Kulon pula untuk mengumpulkan anak-anak muda
yang telah pernah berlatih kanuragan. Meskipun mereka
belum benar-benar memiliki kemampuan yang cukup, tetapi
seperti yang dikatakan Jlitheng, mereka akan bertempur
berpasangan. "Kalian harus bersiap di padukuhan kalian masing-masing"
berkata Jlitheng "pada saatnya, kita akan berkumpul dan pergi
ke bukit gundul. Kami tidak memaksa semua orang harus ikut
serta, tetapi hanya mereka yang merasa dirinya cukup berani
menghadapi sikap orang-orang kasar. Mereka yang telah
menyertai kami melawan orang-orang Kendali Putih dan
Sanggar Gading akan dapat mengatakan, betapa buas dan
liarnya mereka itu. Orang-orang yang berada di bukit gundul
itu aku kira tidak akan berselisih banyak dengan mereka"
Tetapi anak-anak muda Lumban Kulon ternyata telah
menyatakan diri seluruhnya untuk ikut serta pergi ke bukit
gundul. "Bagus" berkata Nugata "Jika demikian, kalian tinggal
menunggu isyarat. Kami akan berkumpul di pategalan kering
di sebelah patok batas Kabuyutan. Kemudian bersama-sama
kita akan pergi ke bukit gundul sebagaimana prajurit pergi ke
medan perang" Terasa dada anak-anak muda itu berdebaran, Sementara
Jlitheng dan Nugata itupun kemudian meninggalkan mereka
untuk pergi ke padukuhan-padukuhan yang lain.
Seperti yang dilakukan di Lumban Kulon maka demikian
pula yang mereka lakukan di Lumban Wetan. Sepuluh orang
terbaik di Lumban Wetan akan memimpin kelompok-kelompok
anak-anak muda Lumban Wetan. Mereka akan mengatur
kawan-kawannya agar anak-anak Lumban Wetan itu tidak
menjadi umpan kebuasan orang-orang yang berada di bukit
gundul itu. Namun dalam pada itu, Jlitheng bersama Semi dan
kawannya telah mengatur dan mempersiapkan pula orangorang
yang akan mengawasi para tawanan, karena diantara
mereka terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tinggi. Namun mereka telah terikat dengan tali yang tidak
akan dapat mereka putuskan, karena diantara serat-serat tali
itu terdapat beberapa helai janget.
Dalam pada itu, setelah selesai dengan mengelilingi
padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Lumban Kulon dan
Lumban Wetan, maka Jlitheng dan Nugata telah berada
diantara orang-orang tua yang berada di banjar. Mereka mulai
dengan bersungguh-sungguh membicarakan rencana untuk
menghadapi orang-orang yang berada di bukit gundul itu.
Namun dalam pada itu. orang-orang di bukit gundul itupun
mulai menjadi gelisah. Mereka menunggu kehadiran orangorang
yang disebut oleh Ki Ajar Pamotan Galih akan segera
datang ke bukit itu. Tetapi ternyata mereka masih belum
datang. Sementara itu. orang-orang yang berada di bukit gundul itu
masih juga berusaha untuk memecahkan teka-teki yang
tersimpan di bukit itu Ki Ajar Pamotan Galih yang berada di
puncak bukit itu masih selalu memperhatikan segala lekuk dan
garis batu-batu padas yang terdapat di bukit gundul itu.
Namun setiap kali ia hanya dapat menggelengkan
kepalanya saja. Sementara itu Kiai Pusparuri yang berjalan
mengitari bukit itupun memperhatikan setiap keadaan yang
menarik perhatian. Diperiksanya setiap lekuk, batu-batu yang
menjorok dan keadaan-keadaan yang khusus di sekitar bukit
itu. Tetapi seperti Ki Ajar Pamotan Galih, ia tidak menemukan
petunjuk apapun juga. "Apakah Pangeran itu sudah berada kembali di Demak"
berkata Pusparuri di dalam hatinya "namun jika demikian,
maka yang tersimpan di bukit gundul ini tidak akan
terungkapkan. Usaha Pamotan Galih untuk mempergunakan
Daruwerdi telah gagal"
Kiai Pusparuri itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya pula di dalam hatinya "Tentu Pangeran itu tidak akan
memberitahukan kepada siapapun juga. Tentu ia sendiri ingin
memilikinya. Adalah gila jika ia mengatakan, telah
menyerahkan rahasia itu kepada siapapun juga, meskipun
kepada Kangjeng Sultan di Demak sekalipun. Karena
nampaknya Pangeran itu juga seorang yang julig"
Tetapi bagaimanapun juga, Kiai Pusparuri yang datang
dengan pengikutnya yang kuat itu tidak tergesa-gesa. Ia
merasa menghadapi siapapun juga. Dan iapun menduga,
bahwa Pangeran Sena Wasesa tidak akan melaporkannya ke
Demak dan membawa prajurit segelar sepapan sementara
menghadapi padepokan-padepokan atau gerombolangerombolan
yang lain. Kiai Pusparuri merasa terlalu yakin akan
dirinya. Meskipun demikian, Kiai Pusparuri itupun memanjat bukit
gundul itu untuk menemui Ki Ajar Pamotan Galih dan bertanya
"Apakah perhitunganmu benar ki Ajar?"
"Aku menganggap demikian" berkata Ki Ajar Pamotan Galih
"sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, mereka
tentu akan sekali lagi melihat bukit gundul itu, jika kau
memang ingin menantangnya, letakkan orang-orang di
padang terbuka disekitar bukit ini untuk mengundang mereka
mendekati bukit. Karena mungkin sekali mereka langsung
memasuki padukuhan Lumban dan beristirahat di Kabuyutan
itu" "Orang-orang Lumban akan mengatakan kepada mereka,
bahwa aku ada disini" berkata Kiai Pusparuri "Aku datang tidak
dengan sembunyi-sembunyi"
"Jika demikian tunggulah. Aku mempunyai keyakinan,
mereka akan datang" berkata Ki Ajar.
Kiai Pusparuri mengangguk-angguk. Sambil memperhatikan
keadaan disekelilingnya, garis-garis retak batu-batu padas dan
apapun yang terasa menarik perhatiannya, iapun melangkah
menuruni bukit gundul itu.
Sementara itu, ternyata anak-anak muda Lumban sudah
siap. Mereka telah berkumpul di banjar padukuhan masingmasing,
lengkap dengan senjata mereka. Dengan petunjuk
pemimpin-pemimpin kelompok masing-masing, mereka
mengatur dengan siapa akan berpasangan. Apa yang harus
mereka lakukan dalam keadaan yang gawat dan isyaratisyarat
apa yang wajib mereka mengerti.
Di Banjar, orang-orang yang datang dari padepokan Ajar
Pamotan Galih itupun telah menyusun diri. Jika Ki Ajar
Pamotan Galih ada di bukit itu, maka Ajar Cinde Kuning akan
langsung menemuinya untuk memberikan penjelasan.
Sementara Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kattthi akan
mengamati seluruh pertempuran itu, khususnya menghadapi
orang-orang terpenting dari mereka yang sudah bersiap di
bukit itu. Selain mereka, maka Rahu, Jlitheng, Semi dan
kawannya, Daruwerdi dan kedua pamannya akan ikut bersama
mereka. Namun dalam pada itu, orang cacat yang menyebut dirinya
Ki Ajar Cinde Kuning itu berkata kepada Kiai Kanthi "Kiai,
apalagi tidak berkeberatan, apakah Kiai sependapat, apabila
anak gadis Kiai itu dapat menemani anak perempuanku, ibu
Daruwerdi" Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya
wajah anak gadisnya. Ia mengerti bahwa anak itu tentu lebih
senang berada di pertempuran. Namun demikian ia masih
ingin berusaha untuk memintanya memenuhi keinginan Ajar
Cinde Kuning itu. "Swasti" berkata Kiai Kanthi "Aku kira ada baiknya. Bukan
karena kau tidak akan dapat menyesuaikan diri di peperangan.
Tetapi kemungkinan-kemungkinan lain dapat terjadi di banjar
ini, sehingga ibu angger Daruwerdi itu memerlukan seorang
kawan yang dapat membantunya mengatasi kesulitan jika
sewaktu-waktu kesulitan itu datang"
Swasti mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
menjawab, ibu Daruwerdi itu berkata "Aku mohon ngger"
Swasti memandang perempuan itu dengan kerut di
keningnya. Namun ia melihat permintaan yang sungguhsungguh
itu memancar di sorot mata ibu Daruwerdi.
Karena itu, seolah-olah diluar sadarnya, gadis itu
mengangguk lemah. "Bagus" desis Kiai Kanthi "Kau tinggal di banjar bersama
beberapa pengawal. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
disini. Tetapi apabila kesulitan itu datang, maka kau
mempunyai lebih banyak pengalaman dari para pengawal dari
Lumban itu" Sekali lagi Swasti mengangguk.
Demikianlah, ketika segala sesuatunya sudah dipersiapkan,
maka Kiai Kanthi dan Pangeran Sena Wasesapun sepakat
untuk segera pergi ke bukit gundul.
"Baiklah" berkata orang cacat yang menyebut dirinya Ajar
Cinde Kuning "semakin cepat memang semakin baik"
"Aku akan memberi penjelasan kepada orang-orang yang
ada di bukit itu, bahwa tidak ada gunanya lagi bagi mereka
untuk mencari pusaka dan apalagi harta benda di bukit itu.
Aku sudah menyerahkannya kepada yang berhak. Demak.
Karena sebenarnyalah yang mereka cari di bukit gundul itu
sejak semula tidak berada di bukit itu" berkata Pangeran Sena
Wasesa. Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Jika demikian,
bagaimana mungkin setiap orang menganggap bahwa yang
mereka cari berada di bukit gundul yang jauh itu, di daerah
Sepasang Bukit Mati. Tetapi Kiai Kanthi tidak menanyakannya. Pada saatnya ia
tentu akan mengerti pula.
Dalami pada itu, maka orang-orang yang berada di banjar
itupun segera mempersiapkan diri. Ketika mereka kemudian
meninggalkan banjar, beberapa orang anak muda yang siap
dengan senjata masing-masing telah mengikutinya" Di mulut
lorong, beberapa orang anak muda telah berkumpul pula,
sehingga dengan demikian, maka iring-iringan itu menjadi
semakin panjang. "Aku berjanji untuk memberikan isyarat" berkata Jlitheng
"Anak-anak muda akan keluar dari padukuhan masing-masing
dan berkumpul disebelah patok batas Kabuyutan. Kita akan
bersama-sama pergi ke bukit gundul"
"Isyarat apa?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Alat yang kami miliki adalah kentongan" jawab Jlitheng.
Pangeran Sena Wasesa memandang orang cacat itu sekilas.
Sementara orang itu berkata "Baiklah. Berikan isyarat itu.
Mudah-mudahan isyarat itu mempengaruhi kegarangan orang
orang yang berada di bukit gundul itu. Suara kentongan yang
akan berbunyi disetiap padukuhan tentu akan merupakan
sentuhan-sentuhan di dalam jantung mereka. Bagaimanapun
juga suara kentongan yang bergema di daerah sekitar
Sepasang Bukit Mati ini t idak akan mereka abaikan"
Karena itu, maka atas persetujuan bersama, Jlithengpun
pergi ke gardu di ujung lorong. Sejenak kemudian, telah
terdengar suara kentongan yang bergema di seluruh
padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Kedua orang Buyut yang sudah tua itu tidak berbuat
sesuatu sebagaimana dipesankan oleh anak-anak muda
"Biarlah Ki Buyut tetap berada di rumah. Kami, anak-anak
mudalah yang akan ikut serta menyelesaikan persoalan yang
sebenarnya bukan masalah orang-orang Lumban"
Suara kentongan yang memenuhi Kabuyutan Lumban
Wetan dan Lumban Kulon itu telah melontarkan perintah
kepada anak-anak muda untuk keluar dari padukuhan masingmasing.
Seperti yang di setujui bersama, mereka berkumpul di
pategalan kering, disebelah patok batas Kabuyutan.
Namun dalam perjalanan ke bukit gundul Pangeran Sena
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasesa masih berkata "Aku masih tetap ingin menjelaskan,
sehingga jika mungkin pertempuran yang tidak perlu sama
sekali akan dapat dihindarkan"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan
Pangeran, sehingga anak-anak muda itu tidak harus
menyerahkan korban diantara mereka. Karena sebenarnyalah
yang mereka perlukan adalah hijaunya tanaman d isa wah dan
pategalan. Mereka sama sekali t idak berkepentingan dengan
apa yang sedang diperebutkan ini"
Pangeran itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang
cacat yang menyebut dirinya Ajar Cinde Kuning itupun berkata
"Aku sependapat Pangeran. Jika Pangeran berhasil, akupun
ingin menyelesaikan persoalanku dengan Pamotan Galih
sebagai dua orang bersaudara. Apalagi bersaudara kembar"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Namun
bagaimanapun juga, di dalam setiap hati tersimpan keraguraguan.
Apakah orang-orang yang berada di bukit gundul itu
akan dapat mengerti keterangan yang akan diberikan oleh
Pangeran Sena Wasesa. Dalam pada itu, ternyata suara kentongan yang terlontar
dari padukuhan-padukuhan itu terdengar jelas dari bukit
gundul. Mereka yang berada di bukit gundul itu seolah-olah
telah mendengar sorak yang gemuruh dari setiap padukuhan
di Kabuyutan Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Ajar Pamotan Galih yang berada di atas bukit itu
mengangkat wajahnya. Sambil memandang kesekelilingnya ia
bergumam kepada diri sendiri "Orang-orang Lumban yang
tidak tahu diri. Mereka akan salah menilai jika orang-orang
Pusparuri ini dianggapnya berkekuatan tidak lebih dari orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih yang
sudah saling menumpas di pategalan. Jika mereka kali ini
datang ke bukit ini, maka mereka akan segera dibantai oleh
orang-orang Purparuri yang tidak kalah garangnya dari orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih"
Namun dalam pada itu, Ajar Pamotan Galih masih belum
memperhitungkan bahwa anak-anak Lumban akan keluar
hampir seluruhnya, dan akan bertempur berpasangan. Dalam
jumlah yang berlipat ganda, maka anak-anak muda Lumban
itu tentu akan dapat mempertahankan dirinya.
Di bawah bukit gundul itu, Kiai Pusparuri yang sudah
menunggu terlalu lama menjadi berdebar-debar. Kepada
kepercayaannya ia bertanya "Yang akan datang itu, apakah
orang-orang yang memang kami harapkan, atau cucurutcucurut
dari Lumban itu saja"
"Entahlah" sahut salah seorang kepercayaannya "Tetapi
kentongan itu agaknya telah menggemparkan Lumban. Jika
Lumban menganggap bahwa mereka akan dapat
menyelesaikan persoalan ini, maka aku kira mereka akan
menjadi sangat kecewa"
"Hanya akan membuang-buang waktu saja" berkata Kiai
Pusparuri "kadang-kadang timbul juga belas kasihan kepada
orang-orang yang dungu dan sombong. Mereka salah
mengartikan nilai diri sendiri. Tetapi kadang-kadang timbul
juga kejengkelan yang tidak terkendali melihat sikap orangorang
yang demikian, sehingga memaksa diri untuk membuat
mereka segera menjadi jera"
"Kiai" bertanya kepercayaannya "Apakah yang akan kita
lakukan jika orang-orang Lumban itu benar-benar datang
kemari" "Usir mereka" berkata Kiai Pusparuri "Tetapi ingat. Mungkin
mereka akan datang bersama dengan orang-orang yang
disebut oleh Pamotan Galih, termasuk Pangeran Sena Wasesa"
"Jika demikian, kita akan bersiaga sepenuhnya" berkata
kepercayaannya "Jika kita lengah, dan ternyata yang datang
itu adalah orang-orang yang disebut oleh Ajar Pamotan Galih
bersama orang-orang Lumban, maka kitalah yang akan
menyesal" "Bagus" berkata Kiai Pusparuri "Aku akan menghubungi
Ajar Pamotan Galih "
Kedua orang kepercayaan Kiai Pusparuri itupun segera
menyiapkan orang-orangnya. Dengan segan seorang
pengikutnya berkata "Hanya anak-anak yang bermain-main
kentongan. Jika mereka datang, kita akan segera
menghalaunya" "Jangan lengah" berkata kepercayaan Kiai Pusparuri itu
"Yang datang bukan saja anak-anak Lumban"
Pengikut Kiai Pusparuri itu mengerutkan keningnya.
Dengan ragu-ragu ia bertanya "Dari mana kau tahu bahwa
yang akan datang selain anak-anak Lumban adalah orangorang
yang dimaksud oleh Ajar Pamotan Galih"
"Kemungkinan itu memang ada" jawab kepercayaan Kiai
Pusparuri itu "karena itu, kita harus bersiaga sepenuhnya"
Orang-orang Pusparuri itu mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah mereka menganggap bahwa orang-orang
Lumban tidak akan berarti apa-apa. Merekapun pernah
mendepgar bahwa orang-orang Lumban ikut bertempur pada
saat terakhir melawan orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih. Tetapi setelah orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih saling menghancurkan diri
mereka masipg-masing. Meskipun demikian, kepercayaan Kiai Pusparuri itu berkeras
untuk memerintahkan kepada para pengikut Kiai Pusparuri
untuk bersiaga sepenuhnya. Mereka telah diatur di tempattempat
yang paling baik untuk menghadapi lawan yang bakal
datang. Sementara itu, Kiai Pusparuri yang menemui Ajar Pamotan
Galih bertanya "Apakah kau akan menunggu mereka di
puncak bukit gundul ini?"
"Aku akan menunggu disini" gumam Ki Ajar Pamotan Galih.
"Itu tidak mungkin" berkata Kiai Pusparuri "Orang-orangku
akan bertempur di bawah. Tidak menguntungkan bagi kita
semuanya jika kita menunggu mereka memanjat sampai
kepuncak. Kita akan membiarkan orang-orang itu mulai
memanjat pada kaki bukit ini. Namun pada saat itu pula
mereka akan kita usir. Tetapi jika diantara mereka terdapat
orang-orang yang kau maksud, maka mereka akan kita
binasakan, kecuali Pangeran Sena Wasesa. Aku
memerlukannya, sebagaimana kau memerlukan orang itu"
Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Pandangan
matanya menyapu dataran disekitarnya. Namun ia masih
belum melihat apapun juga mendekati bukit gundul itu. Tetapi
iapun yakin, bahwa suara kentongan itu bukan sekedar suara
kentongan untuk mengusir tupai di pohon-pohon kelapa.
"Aku akan berada bersama kalian" berkata Ki Ajar Pamotan
Galih "Aku ingin bertemu dengan Pangeran Sena Wasesa.
Tetapi jika orang cacat itu datang pula bersamanya, maka kita
harus mempunyai perhitungan lain"
"Aku hanya berkepentingan dengan Pangeran Sena
Wasesa" berkata Kiai Pusparuri.
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab lagi. Rasa-rasanya
iapun memang sudah kehilangan segala harapannya. Tetapi ia
masih akan tetap berusaha sampai batas kemungkinan yang
terakhir, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Berhasil atau
tidak berhasil rasa-rasanya tidak lagi banyak dipersoal-,kan di
dalam hatinya, yang semakin lama menjadi semakin membeku
dalam kekerasannya. Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih itupun
berkata "Aku akan turun. Jika yang datang bukan orang yang
kita harapkan, aku tidak akan ikut campur"
Kiai Pusparuri tidak menghiraukannya, Iapun kemudian
melangkah dialas batu-batu padas. Sekali-sekali ia masih
memperhatikan retak-retak yang membujur lintang, seolaholah
merupakan tanda-tanda yang dibuat oleh seseorang.
Dalam pada itu, para pengikut Kiai Pusparuri sudah
menyiapkan diri dengan segan. Pada umumnya mereka
mengang- gap bahwa orang-orang Lumban yang sombong
akan berusaha untuk mengusir mereka dari bukit gundul itu.
"Mereka menganggap bahwa mereka akan dapat
mengulangi sebagaimana mereka lakukan atas orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Put ih yang sudah
saling membinasakan itu. Apalagi diantara orang-orang
Lumban terdapat orang-orang berilmu tinggi yang menurut
Ajar Pamotan Galih telah pergi ke padepokannya" gumam
salah seorang dari mereka.
"Tetapi yang pergi itulah yang dikatakannya akan kembali"
sahut kawannya, "Kita tumpas saja mereka" sahut yang lain "memuakkan.
Kenapa mereka mengganggu kita yang sedang menikmati
segarnya udara di daerah Sepasang Bukit Mati ini"
"Kau gila" berkata seorang yang lain "justru kita mengharap
mereka datang. Jika tidak, kita harus mencari Pangeran Sena
Wasesa. Jika ia berlindung diantara para prajurit Demak, maka
persoalannya akan bertambah rumit"
Kawannya tertawa. Katanya "Seolah-olah kau tahu pasti
apa yang sedang bergejolak di daerah Sepasang Bukit Mati
ini" "Kita semuanya tidak tahu apa-apa" sahut orang yang
setengah tidur bersandar pada sebongkah batu padas. Kita
hanya tahu membunuh orang-orang yang harus kita bunuh,
siapapun mereka" Beberapa orang yang lainpun telah tertawa pula. Seorang
berwajah garang berdesis "Daruwerdipun harus kita bunuh"
Yang lain t idak menyahut lagi. Seolah-olah mereka tidak
menghiraukan apa yang akan terjadi, meskipun suara
kentongan itu telah menyentuh perasaan mereka pula.
Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban semakin lama
menjadi semakin dekat dengan bukit gundul itu. Yang berada
di paling depan adalah orang Cacat yang menyebut dirinya
Ajar Cinde Kuning, Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kanthi.
Kemudian diikuti oleh Daruwerdi dan kedua pamannya.
Dibelakangnya Rahu, Jlitheng, Semi dan seorang kawannya.
Sementara Nugata berada diantara anak-anak muda Lumban
Kulon. Diantara anak-anak muda Lumban Wetan terdapat
sepuluh orang yang mendapat latihan-latihan khusus dalam
olah kanuragan. Ternyata bahwa iring-iringan itu menjadi cukup panjang.
Sebagaimana telah di anjurkan, maka setiap anak muda telah
berjalan bersama dengan kawan yang akan bertempur
bersama. Akhirnya, orang-orang Pusparuri telah melihat kehadiran
anak-anak muda Lumban itu. Dua orang pengawas telah
memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, bahwa lawan
mereka telah datang. Beberapa orang telah meloncat naik keatas batu-batu
padas yang berbongkah-bongkah sekedar untuk melihat iringiringan
yang mendekat Seorang diantara mereka berkata "Seperti itik yang
digembalakan. Mereka berjalan beriringan dalam satu barisan
yang panjang" "Tetapi lihat, mereka yang berada di depan adalah orangorang
yang berilmu" sahut kawannya.
Yang lain tertawa. Katanya "Disini ada orang-orang yang
akan dapat melawan mereka. Kiai Pusparuri, Ki Lurah yang
dua orang itu, Ki Benda yang pemalas itu. Dan mungkin orang
yang berada di atas bukit yang disebut Ajar Pamotan Galih itu"
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu Kiai
Pusparuri dan Ki Ajar telah turun pula. Ketika Kiai Pusparuri
melihat seseorang yang masih saja duduk bersandar
sebongkah batu dengan mata terpejam, tetapi mulutnya
masih saja mengunyah makanan, maka dengan kakinya Kiai
Pusparuri menyepak kaki orang Itu.
"Pemalas" geramnya "Kau mau tidur saja dasitu?" Orang itu
menggeliat. Katanya "Aku tahu segala-galanya. Bukankah
mereka masih dalam perjalanan. Aku masih sempat tidur
sekejap" "Bagaimana jika kepalamu dibelah dengan pedang anak
Lumban itu" desis Kiai Pusparuri.
Orang itu tertawa berkepanjangan. Sambil bangkit ia
berkata "Kau membuat aku kehilangan kantukku. He, dimana
dua orang kepercayaanmu itu" Kenapa kau t idak berbicara
saja dengan mereka tanpa mengganggu aku"
"Mereka sedang menyiapkan orang-orang kita" sahut Kiai
Pusparuri "lalu bagaimana dengan kau?"
Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian memandang
kekejauhan. Lamat-lamat ia melihat sebuah iring-iringan
mendekat. "Persetan" katanya "Aku akan duduk. Mereka masih
memerlukan waktu untuk mendekati bukit ini. Kemudian kalian
masih akan berbicara berkepanjangan. Saling menantang,
saling menyombongkan diri dan saling menakuti-nakuti Nah,
bukankah aku masih sempat tidur barang sekejap?"
Orang itu tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian duduk
lagi bersandar sebongkah batu padas. Namun t iba-tiba ia
berteriak "He, dimana ketela rebusku. Siapa yang mencuri
he?" "Sudah kau kunyah semua" jawab seorang pengikut yang
lain. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada
Kiai Pusparuri "Temui orang-orang itu. Ajak bicara sedikit
panjang" "Anak iblis" geram Kiai Pusparuri sambil meninggalkan
orang itu. Dalam pada Itu, bersama Ki Ajar Pamotan Galih, maka Kiai
Pusparuri berada d antara para pengikutnya menunggu
kehadiran orang-orang Lumban yang memang masih agak
jauh. Sementara itu, kedua kepercayaan Kiai Pusparuri itupun
telah mengatur segala-galanya.
Orang-orang Pusparuri itu menebar di kaki bukit gundul itu.
Sebagian dari mereka masih tetap menganggap bahwa orangorang
Lumban itu terlalu bodoh dan sombong. Seandainya ada
orang-orang berilmu diantara mereka seperti yang dikatakan
oleh Ajar Pamotan Galih, namun orang-orang Lumban sendiri
tidak akan berarti apa-apa selain menyerahkan diri untuk
dibantai di bukit gundul itu.
Dalam pada itu, Jlitheng dan Rahu yang sudah mendengar
tentang orang-orang yang berada di bukit gundul itu dari
mereka yang melihat sendiri dari pategalan dapat
memperhitungkan keadaan dengan cermat. Namun
sebenarnyalah mereka cukup cemas akan nasib anak-anak
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda Lumban. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah
berbicara agak panjang dengan Nugata diperjalanan. Dengan
jumlah yang banyak dan kerja sama yang baik, mudahmudahan
kegarangan orang-orang di-bukit gundul itu dapat
diatasi "Aku, Rahu, Semi dan kawannya akan berada diseluruh
arena itu" berkata Jlitheng "Aku akan berusaha untuk tidak
terikat dalam satu perkelahian yang tidak memungkinkan aku
menilik pertempuran itu secara keseluruhan"
"Bagaimana dengan Daruwerdi?" bertanya Nugata.
"Ia telah dibebani satu persoalan di dalam perasaannya
sehingga biarlah ia memilih menurut caranya" jawab Jlitheng.
"Kenapa sebenarnya dengan anak muda itu" Ternyata
bahwa ia telah melakukan sesuatu yang bersifat rahasia sekali
di bukit gundul itu" berkata Nugata.
"Kau akan mengetahui dengan gamblang kemudian" jawab
Jlitheng "namun aku berharap bahwa kedua pamannya yang
juga memiliki ilmu yang cukup itu akan bersedia berbuat
seperti yang akan kami lakukan. Memang mungkin salah
seorang dari kami harus bertempur sampai selesai. Tetapi
kami akan mengambil satu kemungkinan yang paling baik bagi
anak-anak Lumban" Nugata mengangguk-angguk Sementara kepada sepuluh
Minggat 3 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Singa Jantan Dari Cina 1
Namun kemudian Kl Ajar Pamotan Galih nampaknya telah
mempergunakan ilmu hitam yang dianggapnya mempunyai
kemampuan lebih baik dari dasar ilmunya yang sama dengan
lawannya. Sementara lawannyapun telah menunjukkan untuk
memancing ingatan Ki Ajar tentang dirinya, ilmu yang juga
bersifat kasar dan keras, namun seperti yang dikatakannya,
ilmu itu tidak akan dipergunakannya untuk menyelesaikan
pertempuran. Tetapi Ajar Pamotan Galih tidak sempat memperhatikan
apapun juga karena gelora di dalam jantungnya. Ia ingin
membunuh lawannya secepatnya. Itu sajalah yang membara
di dalam dadanya, sehingga karena itu, maka usaha lawannya
untuk memancing ingatannya itupun sama sekali tidak
mempengaruhinya Namun yang justru menjadi semakin jelas melibat bahwa
orang cacat itu mempunyai sumber ilmu dengan mereka
adalah kedua saudara seperguruan Ajar Pamotan Galih itu.
Karena itu, maka mereka semakin lama menjadi semakin
dekat dengan arena. Sementara itu Ajar Pamotan Galih yang merasa semakin
terdesak, tidak lagi dapat menahan gejolak kemarahannya.
Tetapi dihadapan orang-orang yang ada di halaman
padepokannya, ia tidak dapat menunjukkan kelicikannya. Ia
tidak dapat menunjukkan kelicikannya. Ia tidak dapat dengan
serta merta meminta kedua orang saudara seperguruannya
untuk bertempur bersamanya.
Karena itu, untuk memecah perhatian mereka, maka tibatiba
saja Ki Ajar Pamotan Galih itu berteriak "Sekarang sudah
sampai saatnya. Bunuh semua orang yang ada di halaman ini.
Ternyata orang cacat ini adalah salah seorang dari mereka.
Yang harus kalian sisakan untuk tetap hidup adalah Pangeran
Sena Wasesa" Suara Ki Ajar menggelepar di halaman itu. Sebenarnyalah
bahwa suara itu kemudian telah menggerakkan beberapa
orang yang berada disekilar arena. Para cantrik, Putut dan
bahkan orang-orang yang datang bersama kedua adik
seperguruan Ajar Pamotan Galipun diluar sadarnya telah
bergeser pula. Tetapi murid-murid kedua adik seperguruan Ki Ajar itu
menjadi ragu-ragu. Kedua orang adik seperguruan Ki Ajar itu
sendiri masih berdiri tegak di tempatnya.
Karena kedua adik seperguruannya masih belum berbuat
sesuatu, maka Ajar Pamotan Galih itu berteriak semakin keras
"Cepat. Selesaikan mereka. Ragapasa dan Wanda Manyar. He,
apa kerjamu. Jangan menunggu lebih lama lagi. Suruh anakanakmu
menyelesaikan setiap orang asing yang ada di
padepokan kita ini. Kecuali Pangeran itu"
Ragapasa dan Wanda Manyar masih tetap ragu-ragu.
Sementara itu, Rahu, Jlitheng dan bahkan Swasti telah bersiap
siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan
yang paling pahit sekalipun. Namun Kiai Kanthi nampaknya
masih tetap tenang. Agaknya ia melihat keragu-raguan di
wajah kedua adik seperguruan Ajar Pamotan Galih dan
sekaligus menangkap teka-teki yang belum terpecahkan.
Karena itu Kiai Kanthi sempat memperhitungkan, bahwa
kedua orang itu tentu belum akan segera bertindak. Pan tanpa
kedua orang itu, maka orang-orang yang lain tidak akan
banyak berarti. Pangeran Sena Wasesa yang lemah itupun mempunyai
pertimbangan yang serupa dengan Kiai Kanthi. Karena itu,
maka perhatiannyapun masih tetap pada pertempuran antara
Ki Ajar Pamotan Galih dengan lawannya yang cacat itu.
Ternyata bahwa betapapun ki Ajar Pamotan Galih
mengerahkan ilmunya yang keras dan kasar, namun ia justru
menjadi semakin terdesak. Ia sama sekali tidak mempunyai
kesempatan lagi. Beberapa kali ia telah terdorong surut.
Sentuhan tangan orang cacat itu bagaikan sentuhan bara api
di kulitnya. Sementara itu, serangan-serangannya yang garang
bagaikan seekor harimau lapar, sama sekali tidak berarti.
Kuku-kukunya yang mengembang tidak berhasil menyentuh
dan apalagi melukai kulit lawannya.
Ketika sekali lagi ia berteriak, maka teriakan itu justru telah
dikejutkan oleh jawaban Ragapasa "Kakang lihatlah, Siapa
yang sedang kau hadapi. Hampir aku menganggapnya ia
sebagai guru kita sendiri"
"Gila" geram Ki Ajar Pamotan Galih "Kau terlalu bodoh
untuk memperhitungkan umur seseorang. Berapa umurmu
dan berapa umurku sekarang he?"
Ragapasa menarik napas panjang. Tentu orang itu bukan
gurunya. Tetapi yang dilihatnya itu benar-benar mirip.
Sikapnya, ciri-ciri ilmunya dan lontaran-lontaran tenaga dari
dalam dirinya. "Wajahku memang bukan wajah guru. Umurnyapun tentu
bukan umur guru yang tentu sudah sangat tua seandainya ia
masih hidup" desis Ragapasa.
"Guru memang sudah tidak ada lagi" sahut Wanda Manyar
diluar sadarnya. Dalam pada itu, terdengar orang cacat itu berkata "Jangan
terkecoh oleh penglihatanmu. Aku bukan gurumu. Tetapi kau
tentu mengenal orang lain yang memahami ilmu seperti ini,
seperti ilmumu sendiri. Orang itu adalah orang yang pernah
mempelajari ilmu yang kasar dan keras seperti Ajar Pamotan
Galih dan seperti kalian juga. Tetapi yang kemudian
menyadari arti dari hidup ini. He, dari siapa kalian mendengar
kabar kegembiraan dalam hubungan dengan Yang Maha
Pencipta?" "O" Ragapasa meraba keningnya. Sementara Wanda
Manyar berdesis "Teka-teki ini semakin rumit"
Namun akhirnya Rugapasa menjawab "Dari guru"
"Benarkah begitu" Guru memang seorang yang sangat
baik. Tetapi ia tidak sempat berbuat terlalu banyak dalam
persoalan jiwani karena perhatiannya tertumpah pada
penuangan jasmani. Tetapi bukan berarti guru tidak
memperhatikannya. Guru telah mempercayakannya kepada
seseorang" jawab orang cacat itu "seseorang yang juga
pernah mengalami hidup dalamdunia yang kelam"
Kedua orang saudara seperguruan itu saling memandang.
Diluar sadarnya Ki Wanda Manyar menyahut "Ki Ajar Pamotan
Galih" Orang cacat itu sempat tertawa. Nampaknya Ki Ajar
Pamotan Galih benar-benar tidak berdaya menghadapinya.
Orang cacat itu sambil bertempur masih sempat juga
berbicara panjang "Jika kalian menganggap bahwa yang telah
memberikan tuntunan jiwani kepada kalian adalah Ki Ajar
Pamotan Galih, maka bertanyalah kepadanya, apa benar ia
pernah melakukannya"
"Gila" potong Ki Ajar Pamotan Galih "Jangan mengigau
seperti orang kesurupan. Bersiaplah untuk mati"
"Sejak semula kau selalu mengancam. Tetapi kau tidak
dapat berbuat apa-apa" jawab orang cacat itu "Akupun yakin,
bahwa Ki Ragapasa dan Ki Wanda Manyar tidak akan
menjalankan perintahmu. Orang-orang yang datang ke
padepokan ini dengan maksud baik, nampaknya telah kau
jebak dengan rencanamu yang sangat keji"
"Tutup mulutmu" teriak Ki Ajar sambil menyerang dengan
kasarnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak mengenai lawannya.
Bahkan ketika kukunya yang mengembang terayun setapak
disisi orang cacat itu, maka orang cacat itu sempat merendah
sambil mengayunkan kakinya. Ki Ajar Pamotan Galih tidak
sempat mengelak. Ketika kaki itu menyentuh lambungnya, ia
tergetar surut. Namun dengan garangnya pula ia meloncat
menyerang lawannya. Kedua tangannya terbuka dengan jarijari
yang mengembang menerkamdengan buasnya.
Sekali lagi Ki Ajar Pamotan Galih terlempar surut. Justru
serangan lawannyalah yang mengenai dadanya,
Meskipun demikian, Ki Ajar Pamotan Galih seolah-olah tidak
merasakan betapa serangan-serangan lawannya itu dapat
meremukkan tulang-tulangnya. Sambil menyeringai menahan
sakit, Ki Ajar Pamotan Galih meloncat maju dengan terkaman
seekor harimau lapar. Berulang kali, Ki Ajar Pamotan Galih telah dikenai oleh
serangan lawannya. Tetapi sentuhan tangan lawannya yang
cacat itu sama sekali tidak menghentikan perlawanannya.
Bahkan seolah-olah ia telah menemukan satu kekuatan baru,
sehingga serangan-serangan lawannya dapat diabaikannya.
Namun dalam pada itu, Kiai Kanthi, Pangeran Sena Wasesa
dan kedua saudara seperguruan Ajar Pamotan Galih itu
melihat, sebenarnyalah bahwa orang cacat itu memang tidak
ingin langsung mengenai tempat-tempat yang berbahaya.
Meskipun serangan-serangannya hampir seluruhnya berhasil,
tetapi ia tidak dengan sengaja menumbangkan lawannya
dalam keadaan parah. Hal itu telah menimbulkan teka-teki pula. Teka-teki yang
semakin lama menjadi semakin rumit.
Namun akhirnya orang-orang yang berdiri di arena itu
mengerti, bahwa orang cacat itu memang menunggu Ki Ajar
Pamotan Galih kehabisan tenaganya. Dibiarkannya ia
menyerang, dan dikenainya tubuhnya dengan seranganserangan
yang tidak berbahaya. Sebenarnyalah, bahwa beberapa saat kemudian, tenaga Ki
Ajar Pamotan Galihpun menjadi semakin susut. Seluruh
tubuhnya terasa sakit dan nyeri meskipun tidak menumbuhkan
keadaan yang parah. Tidak sehelaipun rambutnya yang rontok
dan tidak sepotongpun tulangnya yang retak. Namun Ki Ajar
Pamotan Galih itu rasa-rasanya sudah kehilangan segenap
tenaganya. Karena itu, dalam keliarannya yang kasar, serangan
serangannya tidak lagi mengarah kesasaran. Bahkan kadangkadang
ia telah terseret oleh lontaran sisa tenaganya sendiri
dan terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.
"Aneh, aneh" Ki Ragapasa tidak percaya kepada
penglihatannya "bagaimana mungkin kakang Ajar Pamotan
Galib, mengalami hal seperti itu. Bagaimana mungkin
seseorang yang memiliki ilmu yang mumpuni telah kehilangan
pengamatan diri" "Mungkin kitalah yang memang sudah menjadi Gila" desis
Ki Wanda Manyar "Mungkin kita bersama-sama sedang
bermimpi terlalu buruk"
Namun dalam pada itu, mereka melihat Ki Ajar Pamotan
Galih terhuyung-huyung beberapa langkah kedepan justru
karena serangannya yang tidak mengenai lawannya.
Dalam itu, nampaknya orang cacat itu sudah jemu dengan
permainannya. Karena itu, maka iapun maju selangkah.
Tangan kanannya menggapai pundak Ki Ajar Pamotan Galih
yang lemah dan tidak mampu lagi untuk melawan kehendak
lawannya yang cacat itu. Sentuhan pada pundak Ki Ajar Pamotan Galih itu benarbenar
telah menghentikan perlawanannya. Sebenarnya Ki Ajar
Pamotan Galih akan mampu mengurai tekanan lawannya yang
seolah-olah telah melumpuhkan sebagian dari tubuhnya.
Namun kelelahan dan kemarahan yang menghentak di
jantungnya, telah membuatnya kehilangan kemampuan untuk
bertahan, sehingga akhirnya Ki Ajar Pamotan Galih itu telah
jatuh pingsan. Beberapa orang murid padepokan itu termangu-mangu.
Tetapi mereka masih melihat Ki Ragapasa dan Ki Wanda
Manyar tidak berbuat apa-apa. Karena itu, maka merekapun
menjadi ragu-ragu. Dalam pada itu, demikian Ki Ajar Pamotan Galih menjadi
pingsan, kedua adik seperguruannya itupun mendekatinya.
Namun dalam pada itu, orang yang cacat itu birkata
"Ragapasa dan Wanda Manyar. Apakab kau mengenal, ciri
jasmani apakah yang terdapat pada saudara tua
seperguruanmu itu?" Kedua orang adik seperguruan Ki Ajar itu termangu-mangu.
Namun akhirnya Ki Wanda Manyar bertanya " Ciri yang
bagaimana yang kau maksud Ki sanak?"
"Ciri untuk mengenalinya"
"Pertanyaanmu aneh. Aku mengenainya sebagaimana aku
mengenal diriku sendiri. Kami berdua adalah adik
seperguruannya. Kami mengenal wajahnya dengan pasti"
jawab Ki Wanda Manyar. "Kau mengenal wajahnya dengan pasti. Tetapi apakab kau
mengenal sifat dan wataknya dengan pasti?" bertanya orang
cacat itu. Kedua adik seperguruan Ki Ajar Pamotan Galih itu
termangu-mangu. Sejenak keduanya memandangi Ki Ajar
yang terbaring diam. "Kau tentu mengetahui, bahwa pada Ki Ajar Cinde Kuning
terdapat bekas luka yang panjang melintang di bagian bawah
punggungnya" berkata orang cacat itu pula.
Kedua adik seperguruannya itupun menjadi termangumangu.
Dengan ragu-ragu Ragapasa berkata "Memang ada
cacat di bawah punggung Ki Ajar Cinde Kuning. Kami
mengetahuinya karena kakang Cinde Kuning pernah
memperlihatkannya kepada kami"
"Apakah bedanya Cinde Kuning dan Pamotan Galih" desis Ki
Wanda Manyar. "Jika cacat itu ada pada Ki Ajar Pamotan Galih, maka
memang t idak ada persoalan lagi dengan Ajar itu, meskipun
sifat-sifatnya agak berbeda dengan sifat-sifat Ki Ajar Cinde
Kuning" berkata orang cacat itu kemudian.
"Tetapi perkembangan itu sudah nampak sejak ia
menyebut dirinya Ki Ajar Macan Kuning" sahut Ki Ragapasa
"Seandainya terjadi perkembangan jiwani sehingga Ki Ajar
Cinde Kuning itu kembali kepada cara hidupnya yang pernah
ditinggalkan, namun aku kira cacat itu tidak akan hilang dari
bagian bawah punggungnya" berkata orang-cacat itu.
"Ya. Tentu demikian" jawab Ki Wanda Manyar.
"Tolong Ki Wanda Manyar" berkata orang cacat itu
"lihatlah. Apakah pada bagian bawah punggung Ki Ajar
Pamotan Galih itu terdapat cacat yang dimaksud"
Ki Wanda Manyar termangu-mangu. Ia menjadi bingung.
Sekilas di pandanginya Ki Ragapasa yang juga menjadi
keheranan. Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa, Kiai Kanthi, Rahu,
Jlitheng dan Swastipun menjadi bingung melihat keadaan itu.
Bahkan Daruwerdi telah bergeser maju sambil berkata "Aku
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mengerti. Orang ini adalah kakek dan guruku, Apakah
maksud Ki Sanak yang sebenarnya?"
"Ya ngger. Orang itu adalah kakek dan gurumu. Tetapi
pada kakek dan sekaligus gurumu itu terdapat sebuah cacat.
Nah, aku ingin melihat, apakah cacat itu ada" jawab orang
cacat itu. Daruwerdi benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia tidak
ingin terlalu lama mengalami kebingungan. Karena itu, maka
iapun segera mendekati Ki Ajar Pamotan Galih yang pingsan.
Perlahan-lahan Daruwerdi menelungkupkan tubuh Ki Ajar
Pamotan Galih dibantu oleh Ki Wanda Manyar dan Ki
Ragapasa. Setelah ikat pinggangnya dikendorkan, maka
merekapun mencoba melihat bagian bawah punggung Ki Ajar
Pamotan Galih. Ki Wanda Manyar dan Ki Ragapasa "tupan terkejut Ia tidak
melihat cacat bekas luka itu. Sementara itu Daruwerdipun
bertanya "Apakah kau tahu pasti Ki Sanak?"
"Anak muda. Bukankah kau juga mengetahui bahwa
dipunggung kakekmu itu terdapat sebuah cacat luka yang
melintang. Bukankah kakekmu pernah berceritera tentang
sebab dari luka itu. Dalam satu pertempuran yang sengit,
lawannya telah menusuk lambungnya. Ia sempat bergeser,
tetapi senjata lawannya telah tergores di punggungnya bagian
bawah. Namun pada saat itu, kakekmu berhasil menghabisi
perlawanannya, sehingga ia masih sempat mengobati lukanya
dengan susah payah, meskipun senjata lawannya beracun.
Tetapi pengobatan itu t idak sempurna, sehingga bekas luka itu
menjadi cacat yang memanjang dan tumbuh sedikit demi
sedikit, sehingga akhirnya cacat itu bagaikan seekor ulat yang
panjang melekat pada bagian bawah punggung kakekmu. Kau
ingat?" bertanya orang cacat itu.
Daruwerdi memandang orang cacat itu sekilas. Ia melihat
cacat di kening dan pada bagian mulutnya, sehingga wajahnya
nampak tidak wajar lagi. "Kenapa kau mengetahui segala-galanya?" bertanya
Daruwerdi. Orang itu tersenyum. Tetapi senyumnya justru nampak
wajahnya menjadi semakin buruk oleh cacatnya.
Tetapi katanya "Nah, sekarang kau melihat, bahwa tidak
ada cacat di bagian bawah punggung kakekmu itu"
Daruwerdi termangun-mangu. Memang t idak mungkin
cacat itu dapat hilang dengan sendirinya tanpa bekas. Karena
itu, maka untuk sejenak ia hanya dapat memandang kedua
seperguruan Ki Ajar itu sambil termangu-mangu.
"Kami juga tidak mengerti" berkata Ki Wanda Manyar
"teka-teki itu menjadi semakin rumit. Semua orang di halaman
ini tentu ikut merasakan, betapa kita dihadapkan pada ketidak
pastian, kebingungan dan perasaan yang sangat risau"
Orang cacat itupun kemudian berkata "Aku akan membantu
kalian untuk memecahkan teka-teki ini. Tetapi baiklah,
bawalah tubuh Ki Ajar Pamotan Galih itu ke dalam biliknya. Ia
baru akan sadar beberapa saat kemudian"
Demikianlah, maka beberapa orang cantrikpun telah
membawa tubuh Ki Ajar yang pingsan itu ke dalam biliknya.
Empat orang cantrik yang mengusung tubulh itu merasa
heran, bahwa Ki Ajar Pamotan Galih yang mereka anggap
tidak mungkin dapat dikalahkan oleh siapapun itu telah
terbujur pingsan hanya oleh seorang yang cacat di wajahnya
dan justru agak bongkok. Dalam pada itu, ketika padepokan itu diselubungi oleh
malam yang gelap. Di pendapa beberapa orang duduk
mengitari orang yang cacat itu. Semua pihak nampaknya tidak
lagi sempat saling bermusuhan. Mereka sedang sibuk
menghadapi teka-teki yang ingin segera dipecahkan.
Ternyata dari seorang cantrik, orang cacat itu mendengar
bahwa ibu Daruwerdi telah disisihkan. Akhirnya setelah cantrik
itu mendapat tekanan dari Daruwerdi, maka iapun telah
mengambil ibu Daruwerdi itu bersama kedua orang paman
Daruwerdi. Sejenak kemudian, maka ibu Daruwerdi itupun telah berada
di pendapa itu pula. Ia tidak dapat menahan titik air matanya
ketika, ia melihat anaknya yang telah kembali dengan selamat.
Namun ia tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali
ketika ia mengetahui bahwa Pangeran Sena Wasesa ada
diantara orang-orang yang duduk di pendapa itu. Namun
demikian perasaan gelisah mencengkam jantungnya, sehingga
ia tidak sempat mengetahui arahnya, dimana Pangeran Sena
Wasesa itu duduk. "Tetapi aku sudah menjadi semakin tua" berkata ibu
Daruwerdi itu di dalam hatinya "Tidak seorangpun yang tidak
mengalami perubahan pada dirinya menjelang umur setua aku
ini" Beberapa orang yang berada di pendapa itupun melihat
hadirnya, seorang perempuan yang berwajah pucat.
Rambutnya mulai ditumbuhi oleh warna putih. Meskipun itu
masih belum terlalu tua, tetaipi ada kesan kepahitan yang
nampak di wajah itu, sehingga memberikan kesan yang
muram. Dalam pada itu, arang-orang yang berada di pendapa itu
rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu. Teka-teki itu harus
segera dipecahkan. "Wanda Manyar" berkata orang cacat itu kemudian kau
adalah saksi yang utama bersama Ragapasa. Baihwa orang
yang menyebut dirinya Ajar Pamotan Galih itu tidak
mempunyai ciri-ciri yang terdapat pada Ki Ajar Cinde Kuning"
"Tetapi hal itu sangat membingungkan kami" jawab Wanda
Manyar "Aku tidak dapat salah lagi. Orang itu ada lah kakang
Cinde Kuning. Meskipun kami bertemu setelah kami samasama
dewasa, tatapi kami telah tinggal di satu perguruan
untuk waktu yang lama. Apalagi kami nampaknya mempunyai
sejarah kehidupan yang serupa. Kami sama-sama pernah
hidup di dalam lingkungan orang-orang hitam. Sebagaimana
nampak dalam tata gerak kakang Ajar Pamotan Galih.
"Tetapi menurut pendapatmu, yang manakah yang akan
nampak lebih jelas di dalam kehidupannya setelah ia berada
satu perguruan dengan kalian. Yang didapatkannya di
perguruannya itu atau bekas-bekas ilmu hitamnya?" bertanya
orang cacat itu. "Itulah yang aneh" desis Ragapasa "seharusnya ilmu dari
perguruan kami itulah yang lebih baik dan lebih tinggi
baginya. Meskipun demikian perubahan-perubahan yang
terjadi sejak ia menyebut dirinya Ajar Macan Kuning memang
sudah agak menggelisahkan kami. meskipan pada saat itu
kami sudah berpisah, karena kami berada di padepokan kami
masing-masing kami bangun setelah kami merasa dewasa
dewasa dalam perguruan itu, sementara umur kami sudah
menjadi semakin tua pula"
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu tentang ciri-ciri yang
hilang itu?" bertanya orang cacat itu pula
Kedua adik seperguruan Ki Ajar itu menarik nafas dalamdalam.
Diluar sadarnya mereka berpaling kepada Daruwerdi.
"Aneh" hanya itulah yang terdengar diucapkan oleh anak
muda yang tidak kalah bingungnya itu.
Dalam pada itu, orang cacat itupun kemudian berkata
"Pangeran. Aku mohon maaf, bahwa telah terjadi sesuatu
yang tentu tidak menyenangkan bagi Pangeran. Sokurlah
bahwa sebelumnya Pangeran memang belum mengenal orang
yang bernama Cinde Kuning"
"Ki Sanak" sahut Pangeran Sena Wasesa "meskipun aku
belum mengenal orang yang bernama Ki Ajar Cinde Kuning,
tetapi aku sudah pernah mendengar namanya. Namun yang
ternyata kemudian adalah jauh berbeda dengan citra Ki Ajar
Cinde Kuning menurut pendengaranku setelah aku
berhadapan sendiri dengan orangnya"
"Apakah Pangeran benar-benar sudah berhadapan dengan
orang yang bernama Ajar Cinde Kuning" Bukankah Pangeran
melihat keraguan kedua saudara seperguruannya itu?"
bertanya orang cacat itu.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu orang itupun berkata kepada Kiai Kanthi
"Bagaimana menurut pendapat Kiai?"
Kiai Kanthi menggelengkan kepalanya. Katanya "Semuanya
terlalu gelap bagiku. Yang pernah aku dengar adalah hanya
namanya. Tetapi yang terjadi di padepokan ini benar-benar
satu teka-teki yang membuat semuanya semakin gelap"
Orang cacat itupun kemudian mengangguk-angguk.
Dipandanginya ibu Daruwerdi yang duduk sambil menunduk
dalam-dalam. Dengan nada yang lembut orang cacat itu
berkata kepadanya "Dengarlah ngger. Bukankah kau anak
angkat orang yang menyebut dirinya Pamotan Galih" Kau
adalah anak angkat yang telah menjadi anak sebagaimana
anak kandung sendiri. Apakah kau masih tetap mengenal Ki
Ajar itu sebagai ayah angkatmu" Saudara-saudara
seperguruannya telah menjadi saksi, bahwa ciri yang terdapat
pada Ki Ajar Cinde Kuning tidak terdapat pada Ajar Pamotan
Galih" Ibu Daruwerdi itu, mengangkat wajahnya. Dipandanginya
orang cacat itu sejenak. Ia merasakan sesuatu yang aneh
pada pendengarannya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya
"Siapakah kau Kiai?"
"Siapakah menurut dugaanmu ngger?" Orang itu justru
bertanya. Ternyata bahwa kelembutan hati seorang perempuan telah
mengungkap satu perasaan yang terselubang. Ibu Daruwerdi
itu pada saat-saat terakhir seolah-olah t idak mengenal lagi
ayah angkatnya Kemudian orang itu mengetahui, bahwa ciriciri
yang terdapat pada Ajar Cinde Kuning tidak terdapat pada
orang yang menyebut dirinya Ajar Pamotan Galih.
Namun dalam pada itu, suara orang cacat itu benar-benar
telah menyentuh perasaannya. Ia merasa pernah mendengar
suara itu. Bahkan ia selalu mendengar nada yang lembut itu.
Yang kemudian seolah-olah berubah pada saat-saat terakhir.
Diluar kehendaknya, maka itu Daruwerdi itu telah
memandang orang cacat Itu dari wajahnya sampai ke ujung
kakinya yang terlipat. Kemudian tiba-tiba saja ia berkata "Kiai,
adik-adik seperguruan Ki Ajar Ciinde Kuning. Tolonglah,
apakah kalian bersedia melihat, apakah ciri-ciri yang tidak
terdapat pada Ki Ajar Pamotan Galih itu justru terdapat pada
orang itu" Kata-kata yang diucapkan dengan serta merta itu justru
telah mengejutkan orang-orang yang berada di pendapa
padepokan itu. Bahkan Daruwerdipun telah beringsut
mendekati ibunya sambil bertanya "Apakah yang ibu
maksudkan?" "O" ibunya memandanginya sejenak. Namun kemudian
katanya Lihatlah. Apakah ada cacat di bawahi punggung orang
itu" Daruwerdi menjadi heran. Dipandanginya ibunya dan orang
cacat itu berganti-ganti. Namun kemudian orang cacat itupun
berkata "Lakukanlah ngger. Kau boleh melihat, apakah ada
cacat itu di bawah punggungku"
Suasana di pendapa itu menjadi tegang. Daruwerdi justru
menjadi termangu-mangu bahkan kebingungan.
Namun ketika ia melihat wajah orang cacat yang seakan
akan memaksanya itu, maka iapun segera bergeser
mendekatinya. Bahkan kedua adik seperguruan Ki Ajar
Pamotan Galih itupun telah mendekat pula.
Dalam pada itu, orang cacat itu telah mengendorkan ikat
pinggangnya. Kemudian membiarkan ketiga orang itu melihat
kearah punggungnya. Wajah mereka menjadi tegang. Mereka melihat cacat itu
melintang di bagian bawah punggung orang cacat itu. Karena
itu, maka seperti orang yang kehilangan akal Daruwerdi
berkata "Tidak mungkin. Tidak mungkin"
Ki Wanda Manyar menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada datar ia berkata "Memang teka-teki yang sangat rumit.
Baiklah. Hanya kau sajalah Ki Sanak yang dapKjt memecahkan
teka-teki ini. Katakanlah Jangan menunggu kita semua
menjadi gila" Orang cacat itu membetulkan ikat pinggangnya. Kemudian
Katanya "Duduklah yang baik. Jika kalian percaya, aku akan
berceritera" Suasana di pendapa itupun kemudian menjadi hening.
Mereka menunggu orang cacat itu memecahkan teka.-teki
yang membingungkan itu, "Hanya seorang saja yang penggraitanya cukup tajam
disini" berkata orang cacat itu "justru seorang perempuan"
Tidak seorangpun yang menyahut. Mereka seolah-olah
tidak sabar lagi menunggu.
"Pangeran serta Ki Sanak yang lain" berkata orang cacat itu
"ceriteraku barangkali tidak menyangkut kalian secara
langsung. Namun akibatnya terasa juga oleh Ki Sanak
semuanya yang terpaksa datang ke padepokan ini. Bahkan
hampir saja terjadi kesulitan pada kalian"
Tidak ada juga yang menyahut Mereka tidak ingin
memperpanjang waktu lagi.
"Ki Sanak. Sebenarnyalah telah terjadi sesuatu yang
memalukan di dalam lingkungan keluargaku. Keluarga Ki Ajar
Cinde Kuning" berkata orang cacat itu "teka-teki ini di mulai
sejak Ki Ajar Cinde Kuning yang sebenarnya tiba-tiba saja
telah berganti orang"
"Apa yang Ki Sanak maksudkan?" bertanya Raga-pasa.
"Sebagaimana kau lihat, orang yang mengaku Ajar
Pamotan Galih, yang sebelumnya pernah memakai nama Ajar
Macan Kuning itu, sama sekali bukan orang yang sebenarnya
dari Ajar Cinde Kuning, Kalian telah melihat, bahwa cacat itu
tidak terdapat di tubuhnya" Orang itu, berhenti sejenak.
Sementara itu Ki Wanda Manyarpun bertanya "Tetapi
bagaimana mungkin cacat itu terdapat di tubuhmu, sementara
wajah Ki Ajar Cinde Kuning telah dimiliki oleh orang yang
menyebut Ki Ajar Pamotan Galih itu?"
"Wajah pada orang itu adalah wajahnya sendiri. Bagaimana
mungkin wajah sesarang dapat berpindah. Ia memang
memiliki wajah yang mirip sekali dengan wajah Ki Ajar Cinde
Kuning" Orang itu berhenti sejenak, lalu "Ia adalah saudara
kembarnya" "Saudara kembar" hampir setiap orang yang mendengarnya
telah mengulangnya" Orang bertubuh cacat itu mengangguk kecil. Katanya "Ya.
Ia adalah saudara kembar Ki Ajar Cinde Kuning"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika demikian, dimanakah Ajar Cinde Kuning yang
sebenarnya" bertanya Ki Ragapasa "Apakah maksud Ki Sanak
menunjukkan luka dibawah punggung itu berarti bahwa Ki
Sanaklah yang sebenarnya Ki Ajar Cinde Kuning"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan
nada dalam"Maksudku memang demikian"
"Tetapi bagaimana mungkin kami dapat mempercayaimu"
desis Ki Wanda Manyar. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apakah
kalian tidak dapat mengenali ilmuku?"
Kedua adik seperguruan Ki Ajar itupun saling
berpandangan. Mereka memang mengenal ilmu orang cacat
itu. Bahkan mereka memandangnya sikap dan laku orang itu
sebagaimana mereka melihat guru mereka. Karena itu, maka
terasa jantung merekapun bagai bergolak.
Dalam pada itu, ibu Daruwerdi dengan nada rendah
berkata "Aku dapat mengenalinya dari sikap dan suaranya.
Orang itu sebenarnyalah adalah bapak Ajar Cinde Kuning"
"Tetapi itu tidak mungkin" sahut Ki Wanda Manyar.
"Ada sebuah ceritera yang panjang" berkata orang cacat
itu. Lalu "Sekali lagi aku mohon maaf kepada mereka yang
datang ke padepokan ini bersama Pangeran Sena Wasesa.
Ceritera ini terutama, tertuju kepada isi padepokan ini"
"Silahkan Ki Sanak" sahut Pangeran Sena Wasesa
"nampaknya ceritera itu akan sangat menarik"
"Baiklah" berkata orang cacat itu "Orang yang kemudian
menyebut Ajar Macan Kuning adalah saudara kembarku"
"Aku belum pernah mendengar ceritera tentang saudara
kembar itu sejak aku menjadi saudara seperguruan Ki Ajar
Cinde Kuning" berkata Ki Ragapasa,
"Ia meninggalkan perguruan ketika ilmunya mulai mapan"
berkata orang cacat itu "Seterusnya aku tidak tahu lagi kabar
beritanya. Ketika Wanda Manyar dan Ragapasa datang ke
padepokan itu, justru setelah kalian gagal merampok orang
yang kemudian kau sebut kakak seperguruanmu itu, saudara
kembarku telah tidak ada di padepokan. Sebagaimana aku
mengaku, bahwa aku berdua pernah juga terlibat dalam dunia
gelap. Tetapi kami berdua telah bertobat dan berguru kepada
seseorang, yang kemudian menjadi guru kalian pula. Tetapi
agaknya penyakit adik kembarku itu kambuh, sehingga ia
telah meninggalkan aku, karena aku menentang
kehendaknya" "Tetapi yang aku jumpai di padepokan itu adalah Ki Ajar
Pamotan Galih itu. Bukan Ki Sanak dalam ujud, maaf, dalam
ujud yang cacat itu" berkata Ki Wanda Manyar.
"Ceriteraku belum selesai" potong orang yang cacat itu.
"Silahkan ayah" minta ibu Daruwerdi.
"Sepeninggal saudara kembarku, maka aku berada di
perguruan itu sendiri. Baru kemudian kalian datang" berkata
orang cacat itu kepada kedua orang itu.
Kedua saudara seperguruan Ki Ajar itu termangu-mangu.
Sementara orang cacat itu berceritera terus "Kita berkumpul
untuk beberapa lama di padepokan itu. Kita berusaha untuk
menyingkir dari dunia kelam yang sudah sama-sama kita
lewati. Nampaknya dengan pasti kita berhasil
meninggalkannya. Aku yang melangkah lebih dahulu
mendapat kepercayaan dari guru untuk membawa kalian
kejala yang lebih baik. Dan kalianpun menanggapinya dengan
ikhlas" Orang itu berhenti sejenak, lalu "Sampai saatnya kita
berpisah. Kita yang telah mendapat bekal yang cukup itupun
berusaha mengembangkan bekal itu sesuai dengan
kemampuan kita masing-masing. Sementara itu, kita telah
membuka padepokan buat hari-hari mendatang dalam
kehidupan yang tenang"
Orang-orang yang mendengarkan menjadi tegang. Yang
diceriterakan masih belum menyentuh hubungan antara kedua
saudara kembar itu. Namun tidak seorangpun yang
memotongnya. Mereka membiarkan orang cacat itu
berceritera terus. "Nah, pada saat yang demikian itulah saudara kembarku itu
agaknya hadir disekitar kehidupanku dengan diam-diam. Ia
berusaha mengetahui seluk beluk kehidupanku. Mungkin ada
satu dua orangnya yang berhasil memasuki padepokanku
sebagai seorang cantrik atau seorang yang membantu kerja
kami sehingga saudara seperguruanku itu mengetahui banyak
hal tentang kehidupanku. Bahkan ia mengetahui saudara-saudara seperguruanku.
Mengetahui bahwa kalian berdua mempunyai ikatan dengan
aku dalam hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Ia
mengetahui bahwa aku telah mengangkat seorang anak
perempuan dan seorang cucu yang tumbuh semakin besar.
Akhirnya hari-hari yang direncanakan itu datang. Dengan
diam-diam pula ia menyingkirkan aku dengan cara yang licik.
Dengan cara yang tidak aku duga-duga sebelumnya. Ketika ia
datang menemui aku dengan tangisnya, aku merasa iba, ia
adalah adikku. Namun diluar dugaan ia telah menyerangku.
Dan akupun lelah dilemparkannya ke dalam jurang yang
sangat dalam, sebelum aku menyadari apa yang terjadi, tanpa
diketahui oleh siapapun" Orang cacat itu terhenti sejenak.
Sambil menahan ludahnya ia berkata "Nah, kalian dapat
melanjutkan ceritera itu sendiri. Aku menjadi cacat. Tetapi
Yang Maha Kuasa ternyata masih memberi kesempatan
kepadaku untuk hidup. Bahkan dalam dunia yang sepi aku
sempat memperdalam ilmuku ketika aku kemudian sembuh.
Adalah kebetulan bahwa aku membawa sedikit obat pada saat
itu. Kemudian dengan pengetahuan yang sedikit, aku berhasil
mengobati diriku sendiri. Semula aku biarkan ia kemudian
hadir sebagai aku didalam padepokanku. Dengan cermat ia
dapat menempatkan dirinya sebagaimana aku sebelumnya.
Ketika aku kemudian berhasil mengamatinya, ternyata ia lebih
banyak berusaha untuk bersembunyi di dalam sanggar sambil
menyesuaikan diri lebih jauh dengan bekal pengenalannya
terutang diriku. Namun bagaimanapun juga, perubahanperubahan
yang terjadi tidak dapat disembunyikannya lagi.
Tetapi dengan licik ia menyebut dirinya dengan nama baru.
Ajar Macan Kuning, ia t inggalkan sebutan Ajar Cinde Kuning"
"Jadi sejak itu, kakek sudah berganti orang?" bertanya
Daruwerdi. Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Ya. Kakekmu sudah berganti orang. Dan agaknya
sifat-sifat yang berbeda itulah yang membuat orang melihat
perbedaan antara Macan Kuning dan Cinde Kuning. Tetapi
orang tidak menduga bahwa orangnyalah yang berganti,
tetapi sifat-sifat Cinde Kuning telah berganti. Sementara itu,
diri yang kami pergunakan sejak kami masih berkumpul masih
tetap aku pakai dan kemudian dipakai oleh saudara kembarku,
meskipun sifat-sifatnya telah berubah. Lingkaran dengan garis
yang memotong ditengah-tengah"
"Alangkah bodohnya kami" desis Daruwerdi kemudian.
"Semula aku tidak berkeberatan bahwa saudara kembarku
itu akan menggantikan kedudukanku. Tetapi semakin lama
aku melihat, bahwa ia tidak lagi dapat di biarkan. Ia telah
membawa cucuku berkelana dan diperkenalkan dengan cara
yang khusus dengan orang-orang yang hidup dalam
lingkungan yang buram. Segalanya disesuaikan dengan
rencana yang perlahan-lahan tetapi dengan masak
direncanakan. Bukit Gundul di daerah Sepasang Bukit Mati, Ia
berhasil mendengar rahasia sebuah pusaka dan harta benda
yang tidak ternilai harganya tersembunyi di sekitar daerah
Sepasang Bukit Mati. Dan ia mendengar rahasia bahwa orang
yang paling mengetahui rahasia itu adalah Pangeran Sena
Wasesa. Setelah ia gagal mencari sendiri di bukit gundul,
maka ia telah membentuk cucuku menjadi seorang yang
mapan untuk tugas yang khusus di sepasang bukit mati itu.
Aku dapat melihat sebagian besar dari segala peristiwa yang
terjadi di bukit gundul itu. Dan selebihnya kalian sudah
mengetahuinya" Orang-orang yang mendengarkan ceritera itu menarik nafas
dalam-dalam. Sementara itu terdengar ibu Daruwerdi terisak
dan tidak dapat menahan air matanya, yang mulai menitik
Dengan suara sendat ia berkata "Itulah sebabnya, aku hampir
tidak dapat mengenali siaft-sifat ayah pada orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Pamotan Galih itu. Meskipun ia
berbuat baik terhadap aku dan anakku, tetapi kadang-kadang
aku melihat kekasaran yang tertahan-tahan"
"Sudahlah ngger" berkata orang cacat itu "semuanya sudah
berlalu. Jika kalian percaya, aku adalah Cinde Kuning"
Wanda Manyar dan Ragapasa mengangguk-angguk kecil.
Namun mereka mulai mempercayai, siapa yang duduk
dihadapannya itu. Perlahan-lahan mereka menjadi semakin
jelas. Kata-katanya. Suaranya dan sikapnya"
"Yang aku ceriterakan adalah ceritera tentang diriku
sendiri" berkata orang cacat yang ternyata adalah Ki Ajar
Cinde Kuning. Lalu "Disamping ceritera itu, aku masih
mempunyai sebuah ceritera lain yang berhubungan dengan
cucuku. Baiklah sementara aku sebut saja ia dengan
Daruwerdi. Nama yang diberikan oleh Pamotan Galih
kepadanya dalam tugas-tugasnya di Bukit Gundul. Tetapi ia
masih mempunyai beberapa nama yang lain"
"Tidak. Tidak ayah" potong ibu Daruwerdi "Tidak ada
ceritera yang lain" Orang cacat itu menggeleng. Katanya "Apa salahnya ngger.
Meskipun bukan aku yang berniat membawanya kemari"
Tetapi perempuan itu menjawab "Ceritera itu sudah tamat.
Tidak ada gunanya lagi diungkat Lebih baik ayah menjelaskan
tentang diri ayah dan apa yang sebaiknya ayah lakukan"
Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, sebelum ia berbuat sesuatu,
seorang murid Ki Ragapasa yang mengawasi orang yang
menyebut dirinya Ajar Pamotan Galih yang masih sangat
lemah di sebuah bilik tertutup telah berlari-lari naik ke
pendapa. "Ada apa?" bertanya Ki Ragapasa.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawabnya gagap "Ki Ajar Pamotan Galih telah melarikan diri"
"He" Orang cacat itu terkejut "Ia berhasil mengatasi
keadaannya. Memang luar biasa. Tetapi apakah tidak
seorangpun yang dapat mencegahnya?"
"Kami berdua mencoba mencegahnya. Tetapi tidak
berhasil. Kawanku yang seorang kini pingsan" berkata murid
Ki Ragapasa itu. Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Memang luar biasa. Ia mempunyai ketahanan
tubuh yang sangat tinggi. Menurut perhitunganku, ia baru
dapat mengatasi keadaannya menjelang pagi. Tetapi ternyata
aku salah hitung. Dan ia telah melarikan diri"
Pangeran Sena Wasesa menjadi tegang. Sambil
megerutkan keningnya ia bertanya "Apakah yang sebaiknya
kita lakukan Ki Ajar" Tentu Ajar Pamotan Galih tidak akan
berdiam diri untuk seterusnya"
"Ya. Ia mempunyai hubungan yang luas dengan orangorang
berilmu hitam" berkata orang cacat itu "agaknya kita
memang harus mengambil sikap"
"Orang itu menganggap bahwa yang dicarinya masih
berada di daerah sekitar Sepasang Bukit Mati" berkata Kiai
Kanthi "Aku kira orang itu akan pergi ke daerah itu"
"Tetapi ia tidak akan menemukan apapun juga. Aku berkata
sebenarnya bahwa semuanya telah berada di Demak" desis
Pangeran Sena Wasesa. "Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih tidak percaya. Dan ia akan
berbuat sesuatu" berkata Kiai Kanthi.
"Masih ada kawan kita di Lumban" t iba-tiba Jlitheng
memotong. "Tetapi tidak cukup untuk menghadapinya" desis Rahu
yang mengerti kemampuan Ki Ajar Galih.
Namun Jlitheng yang telah membentuk Lumban Wetan
menjadi cukup kuat berkata "Setidak-tidaknya ada sepuluh
orang anak muda Lumban Wetan yang dapat membantu"
"Tetapi Ajar Pamotan Galih ternyata sangat licik" berkata
orang cacat itu "Tidak ada pilihan lain. Kita juga harus pergi ke
Sepasang Bukit Mati"
"Seandainya kita biarkan saja ia membongkar bukit gundul
itu, ia tidak akan menemukan apa-apa" berkata Pangeran
Sena Wasesa. "Apakah dengan kegagalannya itu ia t idak akan menjadi
orang yang sangat berbahaya" Jika ia menjadi mata gelap,
maka orang-orang yang tidak bersalah akan menjadi korban"
Sejenak orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi
hening. Namun kemudian Pangeran Sena Wasesa itupun
berkata "Ada juga, baiknya kita pergi ke Bukit Gundul itu"
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di pendapa
itu sependapat untuk pergi ke bukit gundul. Bukan saja karena
mereka ingin menyelamatkan orang-orang yang tidak
bersalah. Tetapi merekapun ingin melihat pertemuan sekali
lagi antara orang cacat yang mengaku Ki Ajar Cinde Kuning itu
dengar Ki Ajar Pamotan Galih. Dengan demikian mereka akan
mendapat kepastian, apakah benar-benar mereka adalah
saudara kembar. Karena yang mereka dengar sebelumnya
adalah pengakuan kedua belah pihak pada kesempatan yang
berbeda. Tetapi mereka tidak akan berangkat malam itu. Besok pagi,
jika fajar menyingsing, mereka akan menyusul Ki Ajar
Pamotan Galih ke daerah Sepasang Bukit Mati.
Tetapi malam itu ibu Daruwerdi berkata "Ayah, jika, ayah
berkenan, apakah aku diperbolehkan ikut serta ke daerah
Sepasang Bukit Mati"
"Sebaiknya kau tinggal di padepokan ini saja ngger" jawab
orang cacat itu "perjalanan ke daerah Sepasang Bukit Mati
adalah perjalanan yang sangat berat"
"Aku pernah pergi ke daerah itu untuk mencari anakku
yang diumpankan oleh Ki Ajar Pamotan Galih" berkata
perempuan itu "kedua, adikku itulah yang mengantarkan aku"
"Ki Ajar Pamotan Galih tidak melarangmu waktu itu?"
bertanya orang cacat itu.
"Tidak. Dibiarkannya aku pergi. Sendiri" jawab perempuan
itu. "Bukankah kau diantar oleh kedua adikmu itu?" bertanya,
orang cacat itu. "Aku berangkat sendiri dari padepokan ini. Baru kemudian
aku singgah ke padukuhan adik-adikku" jawab perempuan itu.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Tentu Ajar
Pamotan Galih memperhitungkan bahwa perempuan, itu tidak
akan pernah sampai ke padukuhan disebelah daerah Sepasang
Bukit Mati itu. Bahkan mungkin Ki Ajar Pamotan Galih justru
membiarkan perempuan itu tidak akan pernah berhasil keluar
dari lingkungan hutan yang buas di perjalanan.
Dalam pada itu, orang cacat itupun mulai memikirkan
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi pada
perempuan itu jika ia ditinggalkan di padepokan. Jika Ki Ajar
Pamotan Galih ternyata tidak pergi ke daerah Sepasang Bukit
Mati sementara perempuan itu ditinggalkannya sendiri, maka
akan mungkin sekali terjadi, bahwa perempuan itu akan
diambil oleh Ki Ajar Pamotan Galih untuk menjadi alat
memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka orang cacat itupun kemudian berkata
"Baiklah ngger jika kau memang ingin pergi bersama kami"
"Terima kasih ayah. Tetapi tanpa ceritera yang pernah ayah
singgung itu" berkata perempuan itu.
Orang cacat itu tidak menjawab. Dipandanginya perempuan
Uu sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalamdalam
sambil berkata "Apa salahnya ceritera itu dimengerti
oleh Pangeran Sena Wasesa"
"Tidak" sahut perempuan itu.
"Jangan mement ingkan dirimu sendiri" jawab orang cacat
itu "ingatlah kepada anakmu"
Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Namun bahwa,
orang cacat itu mengerti tentang ceritera yang nampaknya
tidak akan disimpannya lebih lama lagi itu, membuat
perempuan itu semakin yakin, bahwa orang itu benar-benar Ki
Ajar Cinde Kuning. Meskipun demikian ia berkata "Ayah. Aku tetap memohon,
agar ceritera itu biarlah tersimpan dilubuk hatiku saja untuk
seturusnya" Orang cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
akan mempertimbangkannya. Tetapi aku akan mengambil
keputusan yang berbeda dengan pilihanmu itu"
Perempuan itu tidak menjawab lagi. Segalanya memang
terserah kepada orang cacat itu. Dan ia sendiri tidak akan
dapat menentukan pilihan apapun juga.
Dalam pada itu, ketika cahaya matahari membayang di
langit di dini hari, maka orang-orang di padepokan itupun
sudah siap. Jlitheng yang siap paling cepat bersama Rahu, duduk
sambil berbincang diserambi.
"Kenapa orang cacat itu tidak mengejarnya ketika ia
mendengar laporan bahwa Ki Ajar Pamotan Galih melarikan
diri?" bertanya Jlitheng.
"Ki Ajar Pamotan Galih adalah orang yang luar biasa,
sementara orang yang cacat itu mengaku Ajar Cinde Kuning
itupun orang yang memiliki panggraita yang sangat tajam,
sehingga ia mengerti, bahwa tidak ada gunanya untuk
mengejarnya. Pamotan Galih tentu sudah jauh dan
arahnyapun tidak dimengerti" jawab Rahu,
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Akan
ada pertemuan yang meriah di bukit gundul. Aku kira dari
padepokan-padepokan lainpun tentu akan-mengambil sikap.
Hilangnya Pangeran Sena Wasesa akan merupakan aba-aba
bagi padepokan-padepokan yang bernafsu untuk berebut
pusaka dan harta benda itu"
Rahu mengangguk kecil Tetapi iapun mulai membayangkan
betapa sengitnya pertemuan antara orang-orang tamak di
bukit gundul itu. Yang pernah terjadi adalah bertemunya
kekuatan dari padepokan Sanggar Gading dengan kekuatan
dari Kendali Putih yang membuat keduanya hampir lumpuh,
sehingga gabungan dari kedua kekuatan itu tidak mampu lagi
bertahan melawan orang-orang yang semula tidak
diperhitungkan oleh keduanya.
Sejenak kemudian ternyata orang-orang lainpun sudah siap
pula. Ibu Daruwerdi benar-benar telah bersiap pula untuk ikut
serta bersama kedua adiknya.
Setelah makan pagi, maka orang-orang yang sudah bersiap
menuju ke daerah kecil. Kuda-kuda mereka masih dapat
berderap agak cepat di jalan-jalan datar. Namun akhirnya
mereka sampai juga kejalan yang sulit untuk dilalui. Mereka
harus menembus hutan yang lebat dan pepat. Mereka yang
baru untuk kedua kalinya menempuh jalan itu merasa masih
agak bingung juga. Sementara orang cacat itu mengenal jalan
yang ditempuhnya seperti mengenal halaman rumah sendiri.
Dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih itupun seperti yang
diduganya, telah menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati.
Ketika ia menyadari keadaan dirinya di sebuah bilik
dipadepokannya, maka iapun mengerti, bahwa orang yang
dihadapinya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
yang mustahil dapat dikalahkannya. Iapun memperhitungkan
bahwa orang-orang yang semula akan dibunuhnya, tentu akan
berdiri di pihak orang cacat itu.
Karena itu, sebelum ia dapat mengetahui dengan pasti,
siapakah orang cacat itu, ia telah memilih jalan untuk
melarikan diri daripada ia harus mengalami nasib yang lebih
buruk lagi. Tetapi ketamakannya telah mendorongnya untuk pergi ke
daerah Sepasang Bukit Mati. Meskipun ia juga mempunyai
perhitungan bahwa orang-orang di padepokan itu akan
menyusul juga ke daerah sepasang Bukit Mati.
Dengan kuda yang dapat dirampasnya dari penduduk
terdekat dari padepokannya, maka iapun telah menyelusuri
jalan menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati yang dikiranya
menyimpan sebilah pusaka yang mempunyai psngaruh gaib
terhadap pemiliknya, namun yang terpenting adalah harta
yang tidak ternilai jumlahnya, yang disertakan pada pusaka
itu. Ternyata bahwa Ki Ajar juga menguasai jalan menuju
kesasaran dengan sebaik-baiknya. Bahkan di malam hari ia
tidak berhenti sama sekali. Hanya pada saat-saat tertentu
apabila kudanya, sudah terlalu letih dan haus, maka iapun
berhenti di dekat sebuah parit atau mata air untuk memberi
kesempatan kudanya beristirahat, minum dan makan
rerumputan. Ketika Ki Ajar Pamotan Galih itu kemudian sampai di daerah
Sepasang Bukit Mati dihari berikutnya, maka iapun langsung
pergi ke bukit gundul. Dengan berdebar-debar ia memanjat
naik setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu.
Matahari bersinar terang diatas kepalanya, sementara langit
jernih kebiru-biruan. Dengan tegang Ki Ajar Pamotan Galih memandangi dataran
diatas bukit gundul itu. Dataran yang tidak terlalu luas.
Dilihatnya garis-garis padas yang silang menyilang
Sesaat ia memperhatikan garis-garis itu. Dicarinya kunci
pemecahan, karena ia menduga bahwa garis-garis itu
mempunyai arti tertentu. Kemudian ia sama sekali t idak dapat
menemukan. Garis yang memanjang menyilang dataran itu,
telah diikutinya. Tetapi kedua ujungnya hilang pada retak batu
pada disisi bukit tanpa memberikan petunjuk apapun juga.
Ki Ajar mengumpat ketika ia melihat sebuah lekuk tempat
Daruwerdi menyembunyikan peti dan pusaka palsunya.
Namun sebenarnya ia tidak dapat menemukan apa-apa di atas
bukit itu. Kemarahan dan kekecewaan telah menghentak-hentak di
jantungnya. Setiap kali terdengar ia mengumpat Orang yang
cacat yang tiba-tiba hadir di padepokan.
"Iblis itu berhasil mengganggu aku" geramnya. Sesaat Ki
Ajar itu mencoba mengingat, apakah ia dapat mengenal iblis
berwajah cacat itu. "Ilmunya memang mirip dengan ilmuku" berkata Ki Ajar
Pamotan Galih itu. Iapun telah mencoba mengenang gurunya.
Namun Katanya "Guru tentu tidak akan seumur orang itu"
Untuk beberapa saat ia masih tetap berdiri di atas bukit
gundul itu. Namun akhirnya ia hams melihat satu kenyataan,
bahwa ia tidak akan berhasil mendapatkan sesuatu di bukit
itu. "Tetapi aku yakin, bahwa pusaka ku tersimpan disini.
Mungkin harta benda yang tidak ternilai harganya itu berada
di tempat lain, tetapi pada pusaka itu, atau pada petinya atau
pada rental yang ada bersama pusaka itu, atau pada apapun
juga tentu terdapat petunjuk tentang harta benda yang
tersimpan itu" geramKi Ajar Pamotan Galih.
Dalam pada itu, oleh perasaan kesal dan kecewa. Ki Ajar
itupun kemudian membanting diri, duduk dialas seonggok
padas diatas bukit gundul itu.
Sementara itu, ternyata sekelompok orang telah merayap
mendekati padukuhan Lumban. Sebuah iring-iringan orang
berkuda dengan wajah-wajah yang garang mendekati daerah
Sepasang Bukit Mati. Segala sesuatu yang terjadi diatas bukit gundul itu telah
didengar oleh orang-orang Pusparuri. Ketika mereka sudah
siap untuk bertindak, maka orang-orang Kendali Putih dan
Sanggar Gading yang tersisa dan berhasil melarikan diri pada
saat terakhir terjadi pertempuran di atas bukit Gundul setelah
Yang Mulia melakukan tayuh, telah terjerat oleh orang-orang
Pusparuri yang mengawasi perkembangan keadaan. Dari
mereka orang-orang Pusparuri mengetahui bahwa pusaka
yang sebenarnya masih belumdiketemukan.
Merekapun menyadari, bahwa di sekitar Sepasang Bukit
Mati itu terdapat dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Pangeran Sena Wasesa sendiri yang ternyata tidak sakit, dan
seorang lagi yang berhasil mengalahkan Yang Mulia itu
sendiri. Dengan demikian maka orang-orang Pusparuri harap
menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi orang-orang itu.
"Tetapi jumlah mereka tidak cukup banyak" berkata orangorang
Pusparuri itu. Bagi mereka anak-anak Lumban memang
tidak terlalu merisaukan. Lalu berkata mereka "Orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih sudah
meremukkan diri mereka sendiri sebelum mereka berhadapan
dengan orang-orang yang berada di Lumban. Bahkan
merekapun telah dikelabui oleh Pangeran yang berpura-pura
sakit itu. Meskipun sisa mereka kemudian bergabung, tetapi
kekuatan mereka sudah tidak ada seperlima dari kekuatan
mereka masing-masing. Karena itu, jika kami datang ke
Lumban, maka persoalannya akan berbeda"
"Apakah kita tidak terlambat?" bertanya salah seorang
diantara mereka. Kawannya menggeleng sambil menjawab "Tentu tidak.
Pengamat kita belum melihat seorangpun yang memasuki
daerah Sepasang Bukit Mati, apalagi memanjat bukit gundul
itu" "Tetapi mungkin Pangeran itu sudahi pergi" berkata orang
yang pertama. "Mungkin. Tetapi mungkin ia sedang menyiapkan
sekelompok orang-orangnya untuk mengambil pusaka itu,
atau untuk menyingkirkannya" jawab kawannya "Jika demikian
pengamat kami tentu melihat ia memanjat bukit gundul itu
dan mengamatinya kemana ia pergi. Tetapi sampai saat ini
sama sekali tidak terdapat laporan apapun juga"
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Namun dalam pada itu, iring-iringan itupun kemudian
tertahan oleh seseorang yang memacu kudanya. Dengan
tergesa-gesa orang itu menemui pimpinan orang-orang
Pusparuri itu sambil berkata gagap "Seseorang telah
memanjat naik ke bukit gundul itu"
"Siapa?" bertanya pemimpin padepokan Pusparuri itu.
"Aku tidak tahu. Dua orang kawan kami masih mengawasi
bukit itu. Orang yang memanjat itu, sepeninggalku masih
berada diatas bukit" berkata orang itu.
Pemimpin dari padepokan Pusparuri itu menganggukangguk.
Katanya kemudian "Nampaknya hanya orang yang
sedang menyelidiki bukit itu. Tentu bukan Pangeran Sena
Wasesa yang akan memindahkan pusaka itu"
"Agaknya memang bukan seorang Pangeran" jawab orang
yang memberikan laporan. "Tetapi kita harus segera sampai ke bukit itu" berkata
pemimpin orang-orang Pusparuri itu.
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun telah
mempercepat gerak mereka, sementara orang yang melapor
itu berkata Kami telah menunggu terlalu lama. Aku kira fajar
hari ini kita semuanya sudah berada di bukit itu"
"Kami memang agak terlambat" jawab pemimpinnya
"Tetapi kami telah menempatkan kalian di bukit itu justru
untuk menjaga kemungkinan seperti ini "
Orang itu tidak menyahut lagi. Sementara iring-iringan itu
bergerak semakin cepat menuju ke bukit gundul.
Jarak mereka dengan bukit gundul itu semakin lama
menjadi semakin dekat. Sementara, itu, Ki Ajar Pamotan Galih
masih tetap duduk diatas batu padas sambil merenungi
keadaan di sekitarnya. Bahkan kemudian iapun mulai
merenungi dirinya sendiri,
"Sudah sekian lama aku mengatur rencana ini" berkata
orang itu kepada diri sendiri "namun hasilnya sama sekali
tidak memadai. Dan sekarang aku harus mulai dari permulaan,
sementara Pangeran yang gila itu akan menjadi semakin
berhati-hati" Sekali-sekali Ki Ajar itu menghentakkan tangannya. Namun
yang sudah terjadi itupun tidak akan mungkin dapat
diulanginya kembali. Kegagalan itu sudah terjadi. Bukan
sekedar sebuah mimpi. Dengan lesu Ki Ajar memandang dataran disekitar bukit itu.
Sebagian sudah nampak hijau, tetapi sebagian masih
kekuning-kuningan dan gersang.
Dalam pada itu, iring-iringan orang-orang Pusparuri
menjadi semakin dekat. Mereka berpacu semakin kencang.
Apalagi ketika bukit gundul itu mulai nampak. Maka rasarasanya
perjalanan mereka menjadi terlalu lamban.
Dipaling depan dari iring-iringan itu adalah Kiai Pusparuri
sendiri. Kemudian dua orang kepercayaannya yang terdekat.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling berdiam diri.
Namun kemudian Kiai Pusparuri itupun berdesis "Bagaimana
menurut pertimbanganmu"
Salah seorang dari kepercayaannya itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya "Kita memang terlalu lambat"
"Tidak" sahut Kiai Pusparuri "ketika kita mendengar bahwa
orang-orang Sanggar Gading telah menangkap Pangeran Sena
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasesa dan membawanya kepada Daruwerdi kita sudah
memerintahkan agar orang-orang kita bergerak. Terutama
yang berada di lingkungan orang-orang Kendali Putih.
Ternyata benturan itu telah terjadi. Orang-orang Kendali Putih
dan orang-orang Sanggar Gading itu telah hancur. Tetapi yang
tidak kita duga bahwa mereka akhirnya dapat bersatu
sehingga kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan
baru. Kita harus mengamati perkembangan keadaan dan tidak
tergesa-gesa bertindak. Mungkin dengan demikian, kita
memang membuat kesan terlalu lamban"
"Mudah-mudahan kita dapat berbuat sesuatu" berkata
kepercayaannya itu. Kiai Pusparuri tidak menyahut. Keduanya berpacu semakin
cepat Sementara kedua orang kepercayaannya yang berkuda
di belakangnya itupun saling berpandangan. Tetapi mereka
tidak mengatakan sesuatu.
Yang terdengar kemudian adalah Kiai Pusparuri
menggeram "Daruwerdi memang gila. Aku sudah curiga sejak
lama. Tetapi kalian selalu mengatakan bahwa anak itu akan
memegang teguh janjinya"
Kedua orang kepercayaannya sama sekali tidak menjawab.
Mereka mengikuti saja Kiai Pusparuri yang berusaha berpacu
semakin cepat. Dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih yang berada di atas
bukit gundul itu mengangkat wajahnya ketika
pendengarannya yang tajam menangkap derap kaki kuda.
Dengan serta tmerta iapun berdiri. Ketika ia melayangkan
pandangan matanya, maka iapun segera melihat, sebuah
iring-iringan mendekati bukit itu.
Ki Ajar Pamotan Galih menjadi berdebar-debar. Namun
iapun kemudian duduk kembali.
"Persetan. Siapapun yang datang" geramnya.
Memang terasa kekecewaan yang mencengkam jantungnya
membuatnya kadang-kadang kehilangan gairah
perjuangannya untuk mendapatkan pusaka dan terlebih-lebih
harta benda yang tidak ternilai harganya itu. Meskipun pada
saat-saat tertentu kedatangannya masih saja mengguncang
jantungnya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak ingin berbuat
sesuatu. Ia akan menghadapi apa saja yang bakal terjadi jika
orang-orang di dalam iringan-iringan itu akan naik keatas
bukit dan barangkali akan berbuat sesuatu atasnya.
"Biarlah alam memilih. Aku harus membunuh atau dibunuh"
geramnya. Dalam pada itu iring-iringan itupun telah sampai ke kaki
bukit gundul, yang merupakan salah satu dari Sepasang Bukit
Mati itu. Dengan tergesa-gesa orang-orang Pusparuri itu
menambatkan kuda-kuda mereka. Seorang diantara para
pengamat yang berada di sekitar bukit itupun kemudian
mendekati- Kiai Pusparuri sambil berkata "Orang itu masih
berada diatas bukit "
"Kau tidak tahu siapa orangnya?" bertanya Kiai Pusparuri,
Pengawas itu menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu"
Kiai Pusparuripun segera memanjat naik diikuti oleh
beberapa pengikutnya bersama dua orang kepercayaannya
yang terdekat Sementara beberapa orang yang lain telah
menunggu di bawah bukit gundul itu.
Beberapa saat lamanya Kiai Pusparuri memanjat Ketika ia
mendekati puncak bukit itu, dilihatnya seseorang duduk di
batu padas. Orang yang tepekur dan seolah-olah sama sekali
tidak menghiraukan kehadirannya.
Kiai Pusparuri tertegun. Ia yakin orang itu mendengar
kehadirannya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berpaling.
"Ki Sanak" sapa Kiai Pusparuri.
Barulah Ki Ajar Pamotan Galih itu mengangkat wajahnya
dan berpaling kearah suara itu.
"Ajar Macan Kuning" desis salah seorang kepercayaan Kiai
Pusparuri. "Hem, kau Laksita" desis Ki Ajar Pamotan Galih.
"Siapa?" bertanya Kiai Pusparuri.
"Orang inilah yang pernah membawa Daruwerdi kepadaku"
jawab kepercayaannya itu "Macan Kuning" desis Kiai Pusparuri.
Ki Ajar Pamotan Galih masih tetap duduk di tempatnya.
Namun iapun kemudian berdesis "Aku tentu berhadapan
dengan Kiai Pusparuri sendiri sekarang ini"
"Ya. Kau benar Ki Ajar Macan Kuning. Aku pernah
mendengar namamu yang menggetarkan setelah Ki Ajar Cinde
Kuning lenyap. Semua orang bertanya-tanya di dalam hati,
kenapa tiba-tiba saja Cinde Kuning telah merubah dirinya
menjadi Macan Kuning" sahut Kiai Pusparuri.
Ajar Pamotan Galih hanya berpaling. Tetapi ia tidik
menjawab. "Sekarang, apa kerjamu disini?" bertanya. Kiai Pusparuri
kemudian. "Merenungi bukit gundul ini" berkata Ajar Pamotan Galih.
"Merenungi kematian orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih?" bertanya Kiai Pusparuri pula "atau
merenungi rencanamu sendiri"
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab. Dipandangnya
lembah di bawahi bukit gunduli itu. Hanya sebagian saja yang
telah menjadi hijau. Tetapi yang lain tetap gersang.
"He" tiba-tiba Kiai Pusparuri bertanya kepada Laksita "Jadi
orang ini yang membawa Daruwerdi kepadamu?"
"Ya" jawab Laksita.
Kiai Pusparuri memandang kepercayaannya itu dengan
tajamnya. Dengan nada tinggi ia bertanya "Jadi kau belum
mengenal anak itu dengan sungguh-sungguh?"
"Sudah" jawab Laksita "Aku sudah lama mengenalnya. Dan
aku sudah mengenalnya dengan sungguh-sungguh"
"Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi bingung?" bertanya Ajar
Pamotan Galih kepada Kiai Pusparuri.
"Aku sudah mengira bahwa anak yang disebut bernama
Daruwerdi itu tentu tidak jujur. Ia sudah berhubungan de
agan banyak pihak, sehingga persoalannya menjadi kacau
seperti sekarang ini" berkata Kiai Pusparuri.
"Tidak ada gunanya kau sesali" berkata Ajar Pamotan Galih
"Jangankan kepadamu, kepada orang yang tidak memberinya
apapun juga. Sedangkan kepadaku, kepada kakeknya.
Daruwerdi telah berkhianat "
"He?" Kiai Pusparuri mengerutkan keningnya. Lalu "Apa
maksudmu?" "Yang terjadi adalah karena kelalaiannya" berkata KI Ajar
Pamotan Galih "bahkan kemudian ia telah menghadapkan aku
kepada orang-orang yang gila itu"
"Dan kau tidak berani menghadapinya?" bertanya Kiai
Pusparuri. Namun kemudian "Dengan pihak mana kau
berhadapan" Sanggar Gading dan Kendali Putih, atau orangorang
Lumban bersama Pangeran Sena Wasesa sendiri?"
"Banyak pihak telah datang ke padepokanku" berkata Ajar
Pamotan Galih "Aku tidak mempunyai kesempatan untuk
melawan mereka. Mereka terlalu banyak, sebagaimana aku
tidak mau berhadapan dengan Pangeran Sena Wasesa itu
dengan langsung. Karena itu, aku memerlukannya lewat
siapapun yang akan dapat menangkapnya dan menukarnya
dengan pusaka yang kalian perebutkan.
"Jangan mengigau seperti itu" berkata Kiai Pusparuri
"sebodoh-bodoh kami, orang-orang Pusparuri, tentu tahu apa
artinya peristiwa yang terjadi di bukit gundul itu. Ternyata
pusaka yang diberikan oleh Daruwerdi adalah pusaka palsu.
Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa justru
Pangeran Sena Wasesa itulah yang akan menjadi sumber
keterangan tentang pusaka itu?"
Ki Ajar Pamotan Galih mengerutkan keningnya Sementara
itu Kiai Pusparuri berkata lebih lanjut "Sejak kami berangkat
menuju ke bukit ini, kami sudah mempunyai perhitungan yang
demikian. Kami memang ingin menemukan Pangeran Sena
Wasesa. Tetapi tidak untuk kami serahkan kepada siapapun
juga. Karena kami hampir meyakininya, bahwa Pangeran itu
justru sangat berarti bagi pusaka itu sendiri"
Ki Ajar Pamotan Galih t idak segera menjawab. Sementara
itu Laksitapun berkata "Ki Ajar. Aku tidak mengira sama sekali,
bahwa permainanmu itu adalah permainan yang terlalu
dangkal. Aku kira kau dengan mempergunakan Daruwerdi,
bermain dengan jujur apapun niat kita. Kita mempunyai
kepentingan yang aku kira membuat kita dapat bekerja
bersama. Tetapi dengan bodoh kau palsukan pusaka itu. Kau
kira kau dapat mengelabui orang lain begitu mudah"
Seandainya bukan orang Sanggar Gading itu, kamipun akan
dapat mengetahuinya dengan tayuh tiga hari tiga malam"
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab. Bahkan seolah-olah
ia tidak mendengarkan kata-kata itu. Dengan wajah yang
kosong dipandanginya alam yang keras disekitar bukit gundul
itu. Dalam pada itu, Kiai Pusparuripun berkata "Sekarang apa
maumu Ki Ajar" Apakah kau akan berusaha mencari pusaka
itu sendiri tanpa Pangeran Sena Wasesa?"
Ki Ajar tidak menjawab. Bahkan berpalingpun tidak.
Namun tiba-tiba saja Ki Ajar Pamotan Galih itu berkata
"Mereka tentu akan segera datang"
"Siapa?" bertanya Laksita.
"Pangeran yang gila itu. Cucuku yang berkhianat dan
orang-orang Lumban yang dungu" berkata Ki Ajar Pamotan
Galih. "Kau mencoba menakut-nakut i aku, agar aku segera pergi"
Dengan demikian usahamu untuk memecahkan teka-teki
tentang pusaka itu dengan memperhatikan segala bentuk dan
garis di atas bukit gundul ini tidak akan terganggu?" berkata
Kiai Pusparuri. "Buat apa aku menakutimu" jawab Ki Ajar Pamotan Galih
"kalau kalian ingin mati, atau ingin pergi, atau ingin apapun
juga, aku tidak berkepentingan sama sekali.
"Jadi apa maksudmu dengan mengatakan bahwa mereka
akan datang?" bertanya Kiai Pusparuri.
"Tidak apa-apa. Hanya sekedar kabar yang pantas kau
ketahui. Kalau kau ingin menangkap Pangeran itu, lakukanlah
jika kau mampu. Jika kau mau lari, larilah mumpung mereka
belumdatang" berkata Ajar itu.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai
Pusparuri. "Mencari pusaka itu" jawab Ki Ajar Pamotan Galih. Kiai
Pusparuri ragu-ragu sejenak. Agaknya Ki Ajar itu mempunyai
bekal serba sedikit keterangan tentang pusaka itu. Karena itu,
maka katanya- kemudian "Baiklah. Jika orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putih dapat bekerja bersama setelah
mereka menghancurkan diri mereka sendiri, apakah kita juga
dapat bekerja bersama?"
"Maksudmu?" bertanya Ki Ajar.
"Kita akan menangkap Pangeran Sena Wasesa. Aku yakin,
bahwa kau tahu pasti, Pangeran itulah yang mengetahui
tentang pusaka yang sedang diperebutkan itu. Jangan ingkar"
jawab Kiai Pusparuri. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Tidak
ada gunanya. Kita tidak akan mampu berbuat apa-apa jika
mereka nanti datang"
"Kau sudah berputus asa?" bertanya Kiai Pusparuri.
Sementara itu Laksitapun berkata "Apakah aku benar-benar
berhadapan dengan Ki Ajar Macan Kuning" Aku tidak pernah
membayangkan, bahwa pada suatu saat Ajar Macan Kuning
akan berputus-asa. Sementara disampingnya terdapat
sepasukan orang-orang yang dapat di percaya
kemampuannya" Seandainya Pangeran Sena Wasesa mampu
menggugurkan bukit gundul ini sekalipun, maka ia tidak akan
dapat menghadapi seluruh pasukan Pusparuri sekarang ini"
Ajar Pamotan Galih t idak menjawab. Kembali ia merenungi
dataran yang merentang disekitar bukit gundul itu. Namun
dalam pada itu ia memang tidak dapat ingkar, betapa kacau
perasaannya. Namun dalam pada itu, orang-orang Pusparuri itu telah
menawarkan satu kerja sama untuk menangkap kembali
Pangeran Sena Wasesa. Ia sadar, bahwa orang-orang
Pusparuri tidak akan terlalu bodoh untuk memberikan
kesempatan kepadanya Ki Ajar itupun sadar, jika usaha itu
berhasil, maka ia tidak akan mendapat apapun juga. Bahkan
mungkin orang-orang Pusparuri itu akan beramai-ramai
mencincangnya, Tetapi dalam pada itu, terpercik dendamnya kepada orang
cacat yang sudah mengalahkannya. Orang itu agaknya akan
datang bersama Pangeran Sena Wasesa dan orang-orang laini
yang datang ke padepokannya.
"Apakah kau sedang merenungi keputusanmu Ki Ajar?"
bertanya Laksita. Ki Ajar menggeram. Katanya "Kau jangan terlalu sombong
hanya karena disini ada Kiai Pusparuri. Kau tahu, bahwa Kiai
Pusparuri itu t idak akan banyak berarti bagiku. Seandainya
aku mau maka kau akan dapat membunuh separo dari orangorang
Pusparuri yang berada disini bersama pimpinan
tertingginya" Tetapi Kiai Pusparuri tertawa. Katanya "Aku percaya bahwa
kau agiknya memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kau
tidak akan dapat banyak berbuat apa-apa. Lebih lebih
dihadapan Pangeran Sena Wasesa. Karena itu, selagi aku
menawarkan kerja sama. Hasilnya kita bagi bersama"
"Aku tahu bahwa itu omong kosong" jawab Ki Ajar
"Kau akan memanfaatkan aku untuk melawan orang-orang
itu. Kemudian kau akan manfaatkan aku untuk melawan
orang-orang itu. Kemudian kau akan menyisihkan aku pula
karena jumlah kalian yang banyak. Tetapi baiklah. Aku
bersedia bekerja bersama orang-orang Pusparuri untuk
bertempur melawan orang-orang itu. Jika kita berhasil, maka
dendamku sudah dapat aku lepaskan. Terserah kepadamu kau
juga ingin membunuh aku, maka Kiai Pusparuri dan separo
orang-orangnya akan membunuh aku, maka Kiai Pusparuri
dan separo orang-orangnya akan mati bersama aku"
-oo0dw0ooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 19 KIAI PUSPARURI mengangguk-angguk. Katanya "Aku tidak
berkeberatan dengan kecurigaanmu. Tetapi yang penting
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagiku adalah menangkap Pangeran Sena Wasesa. Tidak
untuk diserahkan kepadamu atau kepada siapapun Aku
memerlukannya untuk mendengar keterangannya tentang
pusaka itu. Tetapi seandainya kau berkeberatan, akupun tidak
akan memaksamu, karena aku yakin akan kekuatan
pasukanku" Ki Ajar Pamotan Galih merenung sejenak. Namun kemudian
katanya "Aku kira kau akan menyesali kesombonganmu.
Tetapi baiklah. Aku akan bergabung dengan pasukanmu,
apapun yang akan kau lakukan setelah itu"
Kiai Pusparuri tertawa. Tetapi katanya "Baiklah. Aku terima
kau di dalam lingkungan kami. Aku tahu, kau orang yang luar
biasa" "Kita tinggal menunggu beberapa saat saja Mereka akan
segera datang" berkata Ki Ajar Pamotan Galih.
Dalam pada itu, Kiai Pusparuripun segera mengatur orangorangnya.
Mereka harus mengadakan pengawasan disekitar
bukit gundul itu. Bukan saja terhadap kelompok-kelompok lain
yang mungkin akan mencari pusaka itu, tetapi juga
mengamati kedatangan Pangeran Sena Wasesa dengan orangorang
yang menyertainya pergi ke padepokan Ki Ajar Pamotan
Gahh sehingga memaksa Ki Ajar itu untuk pergi.
Namun dalam pada itu, ternyata anak-anak muda Lumban
telah melihat kehadiran mereka. Orang-orang Pusparuri itu
mengabaikan orang-orang yang berada di sawah mereka.
Meskipun mereka tahu bahwa diantara mereka yang melawan
orang-orang Sanggar Gading dan Kendali Putih terdapat anakanak
muda Lumban, namun anak-anak muda Lumban itu
masih belumperlu dicemaskan.
Tetapi sementara itu, anak-anak muda Lumban itupun telah
mempersiapkan diri. Mereka membagi diri menjadi beberapa
kelompok. Kecuali mereka yang harus mengawasi para
tawanan, maka di bawah pimpinan orang-orang yang mereka,
kenal sebagai pemburu itu, mereka mengawasi bukit gundul
itu dari beberapa jurusan. Dengan bersiap-siap di padukuhan
yang berada disebelah menyatelah bukit gundul, anak-anak
muda Lumban itu berhasil mengamati tingkah laku orangorang
Pusparuri" Namun agaknya orang-orang Pusparuri itu tidak akan
meninggalkan bukit gundul. Mereka tetap berada di seputar
kaki bukit itu. Sebagian dari mereka berlindung dari panasnya
matahari di bawah pepohonan di pategalan. Sementara yang
lain berlindung pada bayangan batu-batu padas.
Ketika kemudian matahari condong jauh ke Barat, maka
sebagian besar dari mereka berada di bayangan bukit gundul
itu. Tetapi anak-anak muda Lumban ternyata tidak mengetahui,
bahwa diantara mereka terdapat seseorang yang menyebut
dirinya Ki Ajar Pamotan Galih.
Menurut perhitungan Ki Ajar Pamotan Galih, jika orangorang
yang ditinggalkannya itu dengan segera menyusulnya,
maka mereka akan sampai di Lumban pada hari itu. Tetapi
agaknya orang-orang itu akan berangkat dari padepokannya
setelah pagi hari, sehingga paling cepat esok pagi mereka
baru akan datang. Kiai Pusparuri sama sekali tidak berkeberatan untuk
menunggu. Apalagi hanya satu malam. Seandainya ia harus
menunggu sepekanpun, ia akan melakukannya dengan sabar.
Meskipun demikian, semalam suntuk orang-orang Pusparuri
berjaga-jaga berganti-ganti. Sekelompok dari mereka,
dipimpin langsung oleh dua orang kepercayaan Kiai Pusparuri,
islah mengawasi Ki Ajar Pamotan Galih yang masih tetap
berada dipuncak. Ia sama sekali tidak bersedia beranjak dari
tempatnya. Namun ketika orang-orang Pusparuri memberikan
sekedar makan dan minum, ia tidak menolaknya.
Tetapi malam itu terasa panjangnya. Rasa-rasanya mereka
telah menunggu lebih dari dua tiga malam. Bintang-bintang
yang bergayutan di langit berkeredip dengan malasnya.
Sementara udara malam yang dingin rasa-rasanya bagaikan
menusuk sampai ketulang. Malam itu, Pangeran Serta Wasesa, Kiai Kanthi orang cacat
dan sekelompok kecil orang-orang lain, berhenti tidak terlalu
jauh lagi dari Lumban. Tetapi mereka merasa cukup lama
menempuh perjalanan, sehingga mereka harus berhenti dan
bermalam di perjalanan. Esok pagi mereka akan melanjutkan
perjalanan menuju ke padukuhan Lumban. Matahari sepenggalah
mereka sudah akan sampai di padukuhan itu.
Demikianlah ketika fajar mulai memerah di langit, maka
sekelompok orang yang sedang menuju ke Lumban itu sudah
mempersiapkan diri. Meskipun diantara mereka terdapat
seorang gadlis, itu bukanlah gadis kebanyakan. Tetapi selain
gadis itu terdapat juga ibu Daruwerdi.
Adalah diluar kehendaknya, jika Jlitheng tertegun ketika ia
melihat Daruwerdi sedang berbicara bersungguh-sungguh
dengan Swasti. Meskipun hanya beberapa kalimat, namun
terasa jantung Jlitheng tergetar.
Tetapi Jlitheng t idak menghiraukannya lebih lama lagi. Ia
melihat Swastipun segera meninggalkan Daruwerdi.
Sementara Daruwerdi berdiri termangu-mangu. Ada niatnya
untuk mengikuti gadis itu. Tetapi niatnya diurungkannya.
Sementara Jlithengpun telah bergeser menjauhinya.
"Apa saja yang dibicarakannya" bertanya Jlitheng kepada
diri sendiri. Sebenarnyalah Jlitheng tidak tahu, bahwa ketika kedua
anak muda itu dengan tidak sengaja bertemu pandang,
Daruwerdi diluar sadarnya bertanya, apakah Swasti tidak
merasa terlalu letih. Hanya itu.
Dalam pada itu, ketika langit menjadi terang, iring-iringan
kecil itupun segera melanjutkan perjalanan.
Sebenarnyalah bahwa ibu Daruwerdi itupun telah merasa
sangat letih. Tetapi karena dorongan keinginannya yang
sangat besar, maka iapun berusaha untuk tidak mengeluh.
Kedua adiknya selalu mendampinginya. Bahkan pada saat-saat
tertentu, orang cacat yang mengaku dirinya Ajar Cinde Kuning
itu sendiri telah membantunya.
Perjalanan berikutnya tidak lagi banyak mengalami
hambatan karena buasnya medan yang mereka lalui. Kudakuda
mereka berjalan di tanah datar dan terbuka. Hutan
perdu telah mereka lalui, dan ketika matahari menjadi
semakin tinggi, maka merekapun telah mendekati padukuhan
yang mereka tuju. Lumban.
Jlithenglah yang minta kepada Ki Ajar Cinde Kuning, agar
iring-iringan itu tidak langsung mendekati bukit gundul. Ia
ingin mendengar keterangan yang barangkali ada manfaatnya
dari anak-anak muda Lumban.
"Pergilah mendahului" berkata Ki Ajar Cinde Kuning.
Bersama Rahu, maka Jlithengpun telah mendahului iringiringan
kecil itu. Ia sengaja menjauhi bukit gundul, karena
menurut dugaan mereka, Ki Ajar Pamotan Galih ada disekitar
tempat itu. "Mudah-mudahan ia belum berbuat sesuatu terhadap
orang-orang Lumban" desis Jlitheng.
"Ada beberapa orang yang dapat memimpin anak-anak
muda itu" berkata Rahu.
Jlitheng menggeleng. Jawabnya "Tidak ada gunanya
menghadapi Ajar Pamotan Galih, jika Ajar itu benar-benar
menjadi gila" Langkah kuda Jlitheng tertegun ketika ia melihat beberapa
orang anak muda di sudut padukuhan kecil di ujung
Kabuyutan Lumban Wetan. Apalagi ketika anak-anak muda itu
melihat, bahwa yang datang itu adalah Jlitheng dan Rahu.
"Berhentilah sebentar. Turunlah" minta anak-anak muda
itu. Rahu dan Jlitheng telah menghentikan kuda mereka.
Keduanya segera meloncat turun. Mereka melihat anak-anak
muda Lumban itu nampak gelisah.
"Ada apa?" bertanya Jlitheng.
Salah seorang dari anak-anak muda itupun kemudian minta
agar Rahu dan Jlitheng duduk di gardu sebentar.
"Sekelompok orang-orang yang garang telah datang ka
bukit gundul itu" berkata anak muda itu.
"Dari mana?" bertanya Jlitheng.
Anak-anak muda itu menggeleng. Salah seorang menjawab
"Kami tidak tahu pasti. Tetapi mereka adalah orang-orang
yang nampaknya tidak kalah garangnya dari orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Put ih.
Jlitheng mengangguk-angguk. Ternyata yang akan mereka
hadapi bukan sekedar Ajar Pamotan Galih. Tetapi sekelompok
orang yang tentu dari salah satu perguruan. Mungkin dari
perguruan yang lain. "Bahkan mungkin mereka telah bekerja bersama dengan Ki
Ajar Pamotan Galih" berkata Jlitheng.
"Itu tidak mustahil" sahut Rahu. Lalu katanya "Baiklah.
Tetapi dimana mereka sekarang?"
"Mereka tetap berada di bukit gundul. Mereka t idak
beranjak dari tempat itu, seolah-olah mereka memang sedang
menunggu" berkata anak muda itu.
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia adalah anak muda yang
memiliki pengamatan dan panggraita yang tajam. Karena itu.
katanya "Tidak mustahil bahwa Ajar Pamotan Galih ada
diantara mereka dan mengatakan bahwa sekelompok orang
akan menyusulnya. Diantara mereka terdapat Pangeran Sena
Wasesa. Rahu mengangguk-angguk pula. Katanya "Memang t idak
lagi dapat diungkiri. Tentu ada beberapa pihak yang berhasil
melihat satu kemungkinan dari peristiwa yang telah terjadi.
Seperti kita yang semula tidak mengerti, akhirnya kita melihat
pula, bahwa Ajar Pamotan Galih memang cerdik. Dengan
mengumpankan Daruwerdi ia ingin menguasai Pangeran Sena
Wasesa dan memeras keterangan daripadanya. Sebenarnyalah
yang mengetahui segala sesuatu tentang pusaka itu adalah
Pangeran Sena Wasesa. Agaknya orang-orang di bukit gundul
itupun mengetahui, bahwa sumber keterangan itu ada pada
Pangeran Sena Wasesa. Apalagi jika Ajar Pamoian Galih ada
diantara mereka dan mengatakannya demikian"
"Agaknya Pangeran Sena Wasesapun sedang diburu orang,
sebagaimana mereka memburu pusaka itu, dan ternyata
merekapun mengetahui bahwa disamping pusaka itu masih
terdapat harta benda yang sangat menarik" desis Rahu
"dengan jumlah yang besar, mereka mengharap akan dapat
menguasai Pangeran Sena Wasesa"
"Kita harus segera memberitahukan kepada iring-iringan
itu" berkata Jlitheng. Lalu iapun bertanya kepada anak muda
itu "Apakah orang di bukit itu sering memasuki padukuhan?"
Anak muda itu menggeleng sambil menjawab "Tidak.
Mereka baru sehari berada di bukit itu. Agaknya bekal mereka
masih mencukupi. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan
mereka lakukan jika mereka berada di bukit itu untuk waktu
yang lama" Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Baiklah.
Aku sebenarnya tidak hanya berdua. Ada beberapa orang di
belakangku. Aku akan memberitahukan kepada mereka, agar
mereka berhati-hati" Jlitheng berhenti sejenak, lalu "Apakah
Nugata sudah mengetahui persoalan ini?"
"Ia sudah tahu bahwa ada sekelompok orang berada di
bukit gundul Iapun telah membuat persiapan-persiapan
seperlunya" jawab anak muda itu.
"Bagaimana dengan pemburu itu?" bertanya Jlitheng pula.
"Mereka sudah bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi mereka masih harus mengawasi orangorang
Sanggar Gading dan Kendali Putih yang sempat
tertawan bersama anak-anak muda terpilih" jawab anak muda
itu. Lalu "Meskipun demikian, kami disini sudah mengatur diri
sebaik-baiknya. Meskipun kami menyadari, bahwa
kemampuan kami masih sangat terbatas. Apalagi menghadapi
segerombolan orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tinggi" "Berhati-hatilah. Aku akan segera datang bersama
beberapa orang yang akan dapat bekerja bersama kalian
menghadapi orang-orang di bukit gundul itu" berkata Jlitheng
kemudian. Jlitheng dan Rahupun segera minta diri. Ia harus
melaporkan keadaan daerah Sepasang Bukit Mati itu kepada
orang-orang yang datang bersamanya.
Bersama Rahu ia kembali ke iring-iringan kecil yang
semakin dekat dengan Lumban. Kepada mereka Jlitheng dan
Rahu melaporkan apa yang mereka dengar dari anak-anak
Lumban tentang gerombolan yang berada di bukit gundul itu.
"Sebaiknya kita langsung menuju ke banjar Lumban Wetan"
berkata Jlitheng "Kita akan dapat membuat persiapanpersiapan
lebih terperinci" "Terserahlah mana yang baik menurut pertimbanganmu"
berkata orang cacat yang mengaku dirinya Ki Ajar Cinde
Kuning itu. Demikianlah, maka iring-iringan itupun t idak langsung
mendekati bukit gundul yang ditunggui oleh orang-orang
Pusparuri. Tetapi mereka telah memasuki padukuhan induk
Lumban Wetan dan langsung menuju ke banjar.
Kedatangan mereka memang menarik perhatian orangorang
Lumban yang sudah dicemaskan oleh segerombolan
orang yang berada di bukit gundul. Namun ketika mereka
melihat Jlitheng bersama mereka, maka hati merekapun
menjadi agak tenang. Apalagi ketika Jlitheng berkata kepada
salah seorang laki-laki separo baya "Mereka akan menolong
kita menghadapi orang-orang di bukit gundul itu"
"O, sokurlah Jlitheng. Tetapi siapakah mereka?" bertanya
orang itu. "Mereka orang-orang baik" jawab J litheng
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Ketika ia memandangi
orang-orang dalam iring-iringan itu, maka iapun menganggukangguk
kecil. Ia melihat bahwa di dalam iring-iringan itu
terdapat pula perempuan. Demikian mereka sampai di banjar, maka anak-anak
mudapun menyambut mereka, Jlitheng dan Rahu sudah
dikenal oleh anak-anak muda itu. Demikian pula Daruwerdi,
meskipun anak-anak Lamban Wetan masih merasa ada jarak
di antara mereka. Namun dalam pada itu, mereka tidak dapat menunggu
keadaan menjadi semakin gawat. Karena itu, maka Jlitheng
dan Rahupun segera menghubungi segala pihak.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian, maka Nugata dan para pemburu yang
berada di Lumban itupun telah berkumpul di banjar itu,
setelah mereka menyerahkan para tawanan kepada
sekelompok anak-anak muda terbaik di Kabuyutan Lumban.
"Sebenarnya kita dapat membiarkannya menunggu di bukit
itu" berkata Pangeran Sena Wasesa "Mereka akan menjadi
jemu dan mengambil sikap yang mungkin menguntungkan kita
semuanya" Jlitheng mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia
bertanya "Apakah maksud Pangeran?"
"Kita menunggu perkembangan keadaan" jawab Pangeran
Sena Wasesa "Jika mereka menyadari bahwa mereka akan
sia-sia dan kemudian meninggalkan tempat itu, bukankah kita
tidak perlu mengusirnya dengan kekerasan?"
Namun dalam pada itu. Kiai Kanthi menyahut "Ada dua
kemungkinan Pangeran. Mereka akan pergi, atau mereka akan
berbuat sesuatu yang dapat semakin menggetarkan jantung
rakyat Lumban" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Kemungkinan itu memang ada. Mereka ingin melepaskan
kejemuan mereka kepada rakyat Lumban"
"Selebihnya" potong Ki Ajar Cinde Kuning "Aku menduga
bahwa Pamotan Galih ada di bukit itu pula. Mungkin suatu
kebetulan mereka bertemu untuk tujuan yang sama, tetapi
mungkin pula mereka memang sudah berhubungan
sebelumnya " Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk Lalu Katanya
"Terserahlah. Yang manakah yang baik kita lakukan. Tetapi
melibatkan anak-anak muda Lumban masih harus
diperhitungkan sebaik-baiknya. Yang berada di bukit itu
adalah segerombolan orang-orang besar dan buas yang sama
sekali t idak memperhitungkan nyawa sesama"
"Kita memang harus mempersiapkannya sebaik-baiknya"
berkata Jlitheng "salah satu cara adalah mempergunakan
tenaga sebanyak-banyaknya sehingga anak-anak muda
Lumban dapat menghadapi lawannya berpasangan.
Bagaimanapun juga, anak-anak Lumban pernah belajar
menggenggam pedang. Dengan demikian maka jika mereka
sempat berpasangan, maka kemungkinan yang paling buruk
akan dapat dikurangi"
"Salah satu cara" sahut Kiai Kanthi "disamping itu, maka
kita yang merasa diri kita memiliki bekal serba sedikit harus
memencar diri diantara anak-anak muda Itu"
"Baiklah" berkata Nugata "Aku akan mengatur anak anak
muda kita" Dengan cepat Nugata dan Jlitheng telah berusaha untuk
mengatur anak-anak muda di Lumban. Keduanya telah pergi
ke Lumban Kulon pula untuk mengumpulkan anak-anak muda
yang telah pernah berlatih kanuragan. Meskipun mereka
belum benar-benar memiliki kemampuan yang cukup, tetapi
seperti yang dikatakan Jlitheng, mereka akan bertempur
berpasangan. "Kalian harus bersiap di padukuhan kalian masing-masing"
berkata Jlitheng "pada saatnya, kita akan berkumpul dan pergi
ke bukit gundul. Kami tidak memaksa semua orang harus ikut
serta, tetapi hanya mereka yang merasa dirinya cukup berani
menghadapi sikap orang-orang kasar. Mereka yang telah
menyertai kami melawan orang-orang Kendali Putih dan
Sanggar Gading akan dapat mengatakan, betapa buas dan
liarnya mereka itu. Orang-orang yang berada di bukit gundul
itu aku kira tidak akan berselisih banyak dengan mereka"
Tetapi anak-anak muda Lumban Kulon ternyata telah
menyatakan diri seluruhnya untuk ikut serta pergi ke bukit
gundul. "Bagus" berkata Nugata "Jika demikian, kalian tinggal
menunggu isyarat. Kami akan berkumpul di pategalan kering
di sebelah patok batas Kabuyutan. Kemudian bersama-sama
kita akan pergi ke bukit gundul sebagaimana prajurit pergi ke
medan perang" Terasa dada anak-anak muda itu berdebaran, Sementara
Jlitheng dan Nugata itupun kemudian meninggalkan mereka
untuk pergi ke padukuhan-padukuhan yang lain.
Seperti yang dilakukan di Lumban Kulon maka demikian
pula yang mereka lakukan di Lumban Wetan. Sepuluh orang
terbaik di Lumban Wetan akan memimpin kelompok-kelompok
anak-anak muda Lumban Wetan. Mereka akan mengatur
kawan-kawannya agar anak-anak Lumban Wetan itu tidak
menjadi umpan kebuasan orang-orang yang berada di bukit
gundul itu. Namun dalam pada itu, Jlitheng bersama Semi dan
kawannya telah mengatur dan mempersiapkan pula orangorang
yang akan mengawasi para tawanan, karena diantara
mereka terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tinggi. Namun mereka telah terikat dengan tali yang tidak
akan dapat mereka putuskan, karena diantara serat-serat tali
itu terdapat beberapa helai janget.
Dalam pada itu, setelah selesai dengan mengelilingi
padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Lumban Kulon dan
Lumban Wetan, maka Jlitheng dan Nugata telah berada
diantara orang-orang tua yang berada di banjar. Mereka mulai
dengan bersungguh-sungguh membicarakan rencana untuk
menghadapi orang-orang yang berada di bukit gundul itu.
Namun dalam pada itu. orang-orang di bukit gundul itupun
mulai menjadi gelisah. Mereka menunggu kehadiran orangorang
yang disebut oleh Ki Ajar Pamotan Galih akan segera
datang ke bukit itu. Tetapi ternyata mereka masih belum
datang. Sementara itu. orang-orang yang berada di bukit gundul itu
masih juga berusaha untuk memecahkan teka-teki yang
tersimpan di bukit itu Ki Ajar Pamotan Galih yang berada di
puncak bukit itu masih selalu memperhatikan segala lekuk dan
garis batu-batu padas yang terdapat di bukit gundul itu.
Namun setiap kali ia hanya dapat menggelengkan
kepalanya saja. Sementara itu Kiai Pusparuri yang berjalan
mengitari bukit itupun memperhatikan setiap keadaan yang
menarik perhatian. Diperiksanya setiap lekuk, batu-batu yang
menjorok dan keadaan-keadaan yang khusus di sekitar bukit
itu. Tetapi seperti Ki Ajar Pamotan Galih, ia tidak menemukan
petunjuk apapun juga. "Apakah Pangeran itu sudah berada kembali di Demak"
berkata Pusparuri di dalam hatinya "namun jika demikian,
maka yang tersimpan di bukit gundul ini tidak akan
terungkapkan. Usaha Pamotan Galih untuk mempergunakan
Daruwerdi telah gagal"
Kiai Pusparuri itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya pula di dalam hatinya "Tentu Pangeran itu tidak akan
memberitahukan kepada siapapun juga. Tentu ia sendiri ingin
memilikinya. Adalah gila jika ia mengatakan, telah
menyerahkan rahasia itu kepada siapapun juga, meskipun
kepada Kangjeng Sultan di Demak sekalipun. Karena
nampaknya Pangeran itu juga seorang yang julig"
Tetapi bagaimanapun juga, Kiai Pusparuri yang datang
dengan pengikutnya yang kuat itu tidak tergesa-gesa. Ia
merasa menghadapi siapapun juga. Dan iapun menduga,
bahwa Pangeran Sena Wasesa tidak akan melaporkannya ke
Demak dan membawa prajurit segelar sepapan sementara
menghadapi padepokan-padepokan atau gerombolangerombolan
yang lain. Kiai Pusparuri merasa terlalu yakin akan
dirinya. Meskipun demikian, Kiai Pusparuri itupun memanjat bukit
gundul itu untuk menemui Ki Ajar Pamotan Galih dan bertanya
"Apakah perhitunganmu benar ki Ajar?"
"Aku menganggap demikian" berkata Ki Ajar Pamotan Galih
"sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, mereka
tentu akan sekali lagi melihat bukit gundul itu, jika kau
memang ingin menantangnya, letakkan orang-orang di
padang terbuka disekitar bukit ini untuk mengundang mereka
mendekati bukit. Karena mungkin sekali mereka langsung
memasuki padukuhan Lumban dan beristirahat di Kabuyutan
itu" "Orang-orang Lumban akan mengatakan kepada mereka,
bahwa aku ada disini" berkata Kiai Pusparuri "Aku datang tidak
dengan sembunyi-sembunyi"
"Jika demikian tunggulah. Aku mempunyai keyakinan,
mereka akan datang" berkata Ki Ajar.
Kiai Pusparuri mengangguk-angguk. Sambil memperhatikan
keadaan disekelilingnya, garis-garis retak batu-batu padas dan
apapun yang terasa menarik perhatiannya, iapun melangkah
menuruni bukit gundul itu.
Sementara itu, ternyata anak-anak muda Lumban sudah
siap. Mereka telah berkumpul di banjar padukuhan masingmasing,
lengkap dengan senjata mereka. Dengan petunjuk
pemimpin-pemimpin kelompok masing-masing, mereka
mengatur dengan siapa akan berpasangan. Apa yang harus
mereka lakukan dalam keadaan yang gawat dan isyaratisyarat
apa yang wajib mereka mengerti.
Di Banjar, orang-orang yang datang dari padepokan Ajar
Pamotan Galih itupun telah menyusun diri. Jika Ki Ajar
Pamotan Galih ada di bukit itu, maka Ajar Cinde Kuning akan
langsung menemuinya untuk memberikan penjelasan.
Sementara Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kattthi akan
mengamati seluruh pertempuran itu, khususnya menghadapi
orang-orang terpenting dari mereka yang sudah bersiap di
bukit itu. Selain mereka, maka Rahu, Jlitheng, Semi dan
kawannya, Daruwerdi dan kedua pamannya akan ikut bersama
mereka. Namun dalam pada itu, orang cacat yang menyebut dirinya
Ki Ajar Cinde Kuning itu berkata kepada Kiai Kanthi "Kiai,
apalagi tidak berkeberatan, apakah Kiai sependapat, apabila
anak gadis Kiai itu dapat menemani anak perempuanku, ibu
Daruwerdi" Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya
wajah anak gadisnya. Ia mengerti bahwa anak itu tentu lebih
senang berada di pertempuran. Namun demikian ia masih
ingin berusaha untuk memintanya memenuhi keinginan Ajar
Cinde Kuning itu. "Swasti" berkata Kiai Kanthi "Aku kira ada baiknya. Bukan
karena kau tidak akan dapat menyesuaikan diri di peperangan.
Tetapi kemungkinan-kemungkinan lain dapat terjadi di banjar
ini, sehingga ibu angger Daruwerdi itu memerlukan seorang
kawan yang dapat membantunya mengatasi kesulitan jika
sewaktu-waktu kesulitan itu datang"
Swasti mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
menjawab, ibu Daruwerdi itu berkata "Aku mohon ngger"
Swasti memandang perempuan itu dengan kerut di
keningnya. Namun ia melihat permintaan yang sungguhsungguh
itu memancar di sorot mata ibu Daruwerdi.
Karena itu, seolah-olah diluar sadarnya, gadis itu
mengangguk lemah. "Bagus" desis Kiai Kanthi "Kau tinggal di banjar bersama
beberapa pengawal. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
disini. Tetapi apabila kesulitan itu datang, maka kau
mempunyai lebih banyak pengalaman dari para pengawal dari
Lumban itu" Sekali lagi Swasti mengangguk.
Demikianlah, ketika segala sesuatunya sudah dipersiapkan,
maka Kiai Kanthi dan Pangeran Sena Wasesapun sepakat
untuk segera pergi ke bukit gundul.
"Baiklah" berkata orang cacat yang menyebut dirinya Ajar
Cinde Kuning "semakin cepat memang semakin baik"
"Aku akan memberi penjelasan kepada orang-orang yang
ada di bukit itu, bahwa tidak ada gunanya lagi bagi mereka
untuk mencari pusaka dan apalagi harta benda di bukit itu.
Aku sudah menyerahkannya kepada yang berhak. Demak.
Karena sebenarnyalah yang mereka cari di bukit gundul itu
sejak semula tidak berada di bukit itu" berkata Pangeran Sena
Wasesa. Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Jika demikian,
bagaimana mungkin setiap orang menganggap bahwa yang
mereka cari berada di bukit gundul yang jauh itu, di daerah
Sepasang Bukit Mati. Tetapi Kiai Kanthi tidak menanyakannya. Pada saatnya ia
tentu akan mengerti pula.
Dalami pada itu, maka orang-orang yang berada di banjar
itupun segera mempersiapkan diri. Ketika mereka kemudian
meninggalkan banjar, beberapa orang anak muda yang siap
dengan senjata masing-masing telah mengikutinya" Di mulut
lorong, beberapa orang anak muda telah berkumpul pula,
sehingga dengan demikian, maka iring-iringan itu menjadi
semakin panjang. "Aku berjanji untuk memberikan isyarat" berkata Jlitheng
"Anak-anak muda akan keluar dari padukuhan masing-masing
dan berkumpul disebelah patok batas Kabuyutan. Kita akan
bersama-sama pergi ke bukit gundul"
"Isyarat apa?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Alat yang kami miliki adalah kentongan" jawab Jlitheng.
Pangeran Sena Wasesa memandang orang cacat itu sekilas.
Sementara orang itu berkata "Baiklah. Berikan isyarat itu.
Mudah-mudahan isyarat itu mempengaruhi kegarangan orang
orang yang berada di bukit gundul itu. Suara kentongan yang
akan berbunyi disetiap padukuhan tentu akan merupakan
sentuhan-sentuhan di dalam jantung mereka. Bagaimanapun
juga suara kentongan yang bergema di daerah sekitar
Sepasang Bukit Mati ini t idak akan mereka abaikan"
Karena itu, maka atas persetujuan bersama, Jlithengpun
pergi ke gardu di ujung lorong. Sejenak kemudian, telah
terdengar suara kentongan yang bergema di seluruh
padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Kedua orang Buyut yang sudah tua itu tidak berbuat
sesuatu sebagaimana dipesankan oleh anak-anak muda
"Biarlah Ki Buyut tetap berada di rumah. Kami, anak-anak
mudalah yang akan ikut serta menyelesaikan persoalan yang
sebenarnya bukan masalah orang-orang Lumban"
Suara kentongan yang memenuhi Kabuyutan Lumban
Wetan dan Lumban Kulon itu telah melontarkan perintah
kepada anak-anak muda untuk keluar dari padukuhan masingmasing.
Seperti yang di setujui bersama, mereka berkumpul di
pategalan kering, disebelah patok batas Kabuyutan.
Namun dalam perjalanan ke bukit gundul Pangeran Sena
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasesa masih berkata "Aku masih tetap ingin menjelaskan,
sehingga jika mungkin pertempuran yang tidak perlu sama
sekali akan dapat dihindarkan"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan
Pangeran, sehingga anak-anak muda itu tidak harus
menyerahkan korban diantara mereka. Karena sebenarnyalah
yang mereka perlukan adalah hijaunya tanaman d isa wah dan
pategalan. Mereka sama sekali t idak berkepentingan dengan
apa yang sedang diperebutkan ini"
Pangeran itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang
cacat yang menyebut dirinya Ajar Cinde Kuning itupun berkata
"Aku sependapat Pangeran. Jika Pangeran berhasil, akupun
ingin menyelesaikan persoalanku dengan Pamotan Galih
sebagai dua orang bersaudara. Apalagi bersaudara kembar"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Namun
bagaimanapun juga, di dalam setiap hati tersimpan keraguraguan.
Apakah orang-orang yang berada di bukit gundul itu
akan dapat mengerti keterangan yang akan diberikan oleh
Pangeran Sena Wasesa. Dalam pada itu, ternyata suara kentongan yang terlontar
dari padukuhan-padukuhan itu terdengar jelas dari bukit
gundul. Mereka yang berada di bukit gundul itu seolah-olah
telah mendengar sorak yang gemuruh dari setiap padukuhan
di Kabuyutan Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Ajar Pamotan Galih yang berada di atas bukit itu
mengangkat wajahnya. Sambil memandang kesekelilingnya ia
bergumam kepada diri sendiri "Orang-orang Lumban yang
tidak tahu diri. Mereka akan salah menilai jika orang-orang
Pusparuri ini dianggapnya berkekuatan tidak lebih dari orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih yang
sudah saling menumpas di pategalan. Jika mereka kali ini
datang ke bukit ini, maka mereka akan segera dibantai oleh
orang-orang Purparuri yang tidak kalah garangnya dari orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih"
Namun dalam pada itu, Ajar Pamotan Galih masih belum
memperhitungkan bahwa anak-anak Lumban akan keluar
hampir seluruhnya, dan akan bertempur berpasangan. Dalam
jumlah yang berlipat ganda, maka anak-anak muda Lumban
itu tentu akan dapat mempertahankan dirinya.
Di bawah bukit gundul itu, Kiai Pusparuri yang sudah
menunggu terlalu lama menjadi berdebar-debar. Kepada
kepercayaannya ia bertanya "Yang akan datang itu, apakah
orang-orang yang memang kami harapkan, atau cucurutcucurut
dari Lumban itu saja"
"Entahlah" sahut salah seorang kepercayaannya "Tetapi
kentongan itu agaknya telah menggemparkan Lumban. Jika
Lumban menganggap bahwa mereka akan dapat
menyelesaikan persoalan ini, maka aku kira mereka akan
menjadi sangat kecewa"
"Hanya akan membuang-buang waktu saja" berkata Kiai
Pusparuri "kadang-kadang timbul juga belas kasihan kepada
orang-orang yang dungu dan sombong. Mereka salah
mengartikan nilai diri sendiri. Tetapi kadang-kadang timbul
juga kejengkelan yang tidak terkendali melihat sikap orangorang
yang demikian, sehingga memaksa diri untuk membuat
mereka segera menjadi jera"
"Kiai" bertanya kepercayaannya "Apakah yang akan kita
lakukan jika orang-orang Lumban itu benar-benar datang
kemari" "Usir mereka" berkata Kiai Pusparuri "Tetapi ingat. Mungkin
mereka akan datang bersama dengan orang-orang yang
disebut oleh Pamotan Galih, termasuk Pangeran Sena Wasesa"
"Jika demikian, kita akan bersiaga sepenuhnya" berkata
kepercayaannya "Jika kita lengah, dan ternyata yang datang
itu adalah orang-orang yang disebut oleh Ajar Pamotan Galih
bersama orang-orang Lumban, maka kitalah yang akan
menyesal" "Bagus" berkata Kiai Pusparuri "Aku akan menghubungi
Ajar Pamotan Galih "
Kedua orang kepercayaan Kiai Pusparuri itupun segera
menyiapkan orang-orangnya. Dengan segan seorang
pengikutnya berkata "Hanya anak-anak yang bermain-main
kentongan. Jika mereka datang, kita akan segera
menghalaunya" "Jangan lengah" berkata kepercayaan Kiai Pusparuri itu
"Yang datang bukan saja anak-anak Lumban"
Pengikut Kiai Pusparuri itu mengerutkan keningnya.
Dengan ragu-ragu ia bertanya "Dari mana kau tahu bahwa
yang akan datang selain anak-anak Lumban adalah orangorang
yang dimaksud oleh Ajar Pamotan Galih"
"Kemungkinan itu memang ada" jawab kepercayaan Kiai
Pusparuri itu "karena itu, kita harus bersiaga sepenuhnya"
Orang-orang Pusparuri itu mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah mereka menganggap bahwa orang-orang
Lumban tidak akan berarti apa-apa. Merekapun pernah
mendepgar bahwa orang-orang Lumban ikut bertempur pada
saat terakhir melawan orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih. Tetapi setelah orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih saling menghancurkan diri
mereka masipg-masing. Meskipun demikian, kepercayaan Kiai Pusparuri itu berkeras
untuk memerintahkan kepada para pengikut Kiai Pusparuri
untuk bersiaga sepenuhnya. Mereka telah diatur di tempattempat
yang paling baik untuk menghadapi lawan yang bakal
datang. Sementara itu, Kiai Pusparuri yang menemui Ajar Pamotan
Galih bertanya "Apakah kau akan menunggu mereka di
puncak bukit gundul ini?"
"Aku akan menunggu disini" gumam Ki Ajar Pamotan Galih.
"Itu tidak mungkin" berkata Kiai Pusparuri "Orang-orangku
akan bertempur di bawah. Tidak menguntungkan bagi kita
semuanya jika kita menunggu mereka memanjat sampai
kepuncak. Kita akan membiarkan orang-orang itu mulai
memanjat pada kaki bukit ini. Namun pada saat itu pula
mereka akan kita usir. Tetapi jika diantara mereka terdapat
orang-orang yang kau maksud, maka mereka akan kita
binasakan, kecuali Pangeran Sena Wasesa. Aku
memerlukannya, sebagaimana kau memerlukan orang itu"
Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Pandangan
matanya menyapu dataran disekitarnya. Namun ia masih
belum melihat apapun juga mendekati bukit gundul itu. Tetapi
iapun yakin, bahwa suara kentongan itu bukan sekedar suara
kentongan untuk mengusir tupai di pohon-pohon kelapa.
"Aku akan berada bersama kalian" berkata Ki Ajar Pamotan
Galih "Aku ingin bertemu dengan Pangeran Sena Wasesa.
Tetapi jika orang cacat itu datang pula bersamanya, maka kita
harus mempunyai perhitungan lain"
"Aku hanya berkepentingan dengan Pangeran Sena
Wasesa" berkata Kiai Pusparuri.
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab lagi. Rasa-rasanya
iapun memang sudah kehilangan segala harapannya. Tetapi ia
masih akan tetap berusaha sampai batas kemungkinan yang
terakhir, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Berhasil atau
tidak berhasil rasa-rasanya tidak lagi banyak dipersoal-,kan di
dalam hatinya, yang semakin lama menjadi semakin membeku
dalam kekerasannya. Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pamotan Galih itupun
berkata "Aku akan turun. Jika yang datang bukan orang yang
kita harapkan, aku tidak akan ikut campur"
Kiai Pusparuri tidak menghiraukannya, Iapun kemudian
melangkah dialas batu-batu padas. Sekali-sekali ia masih
memperhatikan retak-retak yang membujur lintang, seolaholah
merupakan tanda-tanda yang dibuat oleh seseorang.
Dalam pada itu, para pengikut Kiai Pusparuri sudah
menyiapkan diri dengan segan. Pada umumnya mereka
mengang- gap bahwa orang-orang Lumban yang sombong
akan berusaha untuk mengusir mereka dari bukit gundul itu.
"Mereka menganggap bahwa mereka akan dapat
mengulangi sebagaimana mereka lakukan atas orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Put ih yang sudah
saling membinasakan itu. Apalagi diantara orang-orang
Lumban terdapat orang-orang berilmu tinggi yang menurut
Ajar Pamotan Galih telah pergi ke padepokannya" gumam
salah seorang dari mereka.
"Tetapi yang pergi itulah yang dikatakannya akan kembali"
sahut kawannya, "Kita tumpas saja mereka" sahut yang lain "memuakkan.
Kenapa mereka mengganggu kita yang sedang menikmati
segarnya udara di daerah Sepasang Bukit Mati ini"
"Kau gila" berkata seorang yang lain "justru kita mengharap
mereka datang. Jika tidak, kita harus mencari Pangeran Sena
Wasesa. Jika ia berlindung diantara para prajurit Demak, maka
persoalannya akan bertambah rumit"
Kawannya tertawa. Katanya "Seolah-olah kau tahu pasti
apa yang sedang bergejolak di daerah Sepasang Bukit Mati
ini" "Kita semuanya tidak tahu apa-apa" sahut orang yang
setengah tidur bersandar pada sebongkah batu padas. Kita
hanya tahu membunuh orang-orang yang harus kita bunuh,
siapapun mereka" Beberapa orang yang lainpun telah tertawa pula. Seorang
berwajah garang berdesis "Daruwerdipun harus kita bunuh"
Yang lain t idak menyahut lagi. Seolah-olah mereka tidak
menghiraukan apa yang akan terjadi, meskipun suara
kentongan itu telah menyentuh perasaan mereka pula.
Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban semakin lama
menjadi semakin dekat dengan bukit gundul itu. Yang berada
di paling depan adalah orang Cacat yang menyebut dirinya
Ajar Cinde Kuning, Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kanthi.
Kemudian diikuti oleh Daruwerdi dan kedua pamannya.
Dibelakangnya Rahu, Jlitheng, Semi dan seorang kawannya.
Sementara Nugata berada diantara anak-anak muda Lumban
Kulon. Diantara anak-anak muda Lumban Wetan terdapat
sepuluh orang yang mendapat latihan-latihan khusus dalam
olah kanuragan. Ternyata bahwa iring-iringan itu menjadi cukup panjang.
Sebagaimana telah di anjurkan, maka setiap anak muda telah
berjalan bersama dengan kawan yang akan bertempur
bersama. Akhirnya, orang-orang Pusparuri telah melihat kehadiran
anak-anak muda Lumban itu. Dua orang pengawas telah
memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, bahwa lawan
mereka telah datang. Beberapa orang telah meloncat naik keatas batu-batu
padas yang berbongkah-bongkah sekedar untuk melihat iringiringan
yang mendekat Seorang diantara mereka berkata "Seperti itik yang
digembalakan. Mereka berjalan beriringan dalam satu barisan
yang panjang" "Tetapi lihat, mereka yang berada di depan adalah orangorang
yang berilmu" sahut kawannya.
Yang lain tertawa. Katanya "Disini ada orang-orang yang
akan dapat melawan mereka. Kiai Pusparuri, Ki Lurah yang
dua orang itu, Ki Benda yang pemalas itu. Dan mungkin orang
yang berada di atas bukit yang disebut Ajar Pamotan Galih itu"
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu Kiai
Pusparuri dan Ki Ajar telah turun pula. Ketika Kiai Pusparuri
melihat seseorang yang masih saja duduk bersandar
sebongkah batu dengan mata terpejam, tetapi mulutnya
masih saja mengunyah makanan, maka dengan kakinya Kiai
Pusparuri menyepak kaki orang Itu.
"Pemalas" geramnya "Kau mau tidur saja dasitu?" Orang itu
menggeliat. Katanya "Aku tahu segala-galanya. Bukankah
mereka masih dalam perjalanan. Aku masih sempat tidur
sekejap" "Bagaimana jika kepalamu dibelah dengan pedang anak
Lumban itu" desis Kiai Pusparuri.
Orang itu tertawa berkepanjangan. Sambil bangkit ia
berkata "Kau membuat aku kehilangan kantukku. He, dimana
dua orang kepercayaanmu itu" Kenapa kau t idak berbicara
saja dengan mereka tanpa mengganggu aku"
"Mereka sedang menyiapkan orang-orang kita" sahut Kiai
Pusparuri "lalu bagaimana dengan kau?"
Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian memandang
kekejauhan. Lamat-lamat ia melihat sebuah iring-iringan
mendekat. "Persetan" katanya "Aku akan duduk. Mereka masih
memerlukan waktu untuk mendekati bukit ini. Kemudian kalian
masih akan berbicara berkepanjangan. Saling menantang,
saling menyombongkan diri dan saling menakuti-nakuti Nah,
bukankah aku masih sempat tidur barang sekejap?"
Orang itu tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian duduk
lagi bersandar sebongkah batu padas. Namun t iba-tiba ia
berteriak "He, dimana ketela rebusku. Siapa yang mencuri
he?" "Sudah kau kunyah semua" jawab seorang pengikut yang
lain. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada
Kiai Pusparuri "Temui orang-orang itu. Ajak bicara sedikit
panjang" "Anak iblis" geram Kiai Pusparuri sambil meninggalkan
orang itu. Dalam pada Itu, bersama Ki Ajar Pamotan Galih, maka Kiai
Pusparuri berada d antara para pengikutnya menunggu
kehadiran orang-orang Lumban yang memang masih agak
jauh. Sementara itu, kedua kepercayaan Kiai Pusparuri itupun
telah mengatur segala-galanya.
Orang-orang Pusparuri itu menebar di kaki bukit gundul itu.
Sebagian dari mereka masih tetap menganggap bahwa orangorang
Lumban itu terlalu bodoh dan sombong. Seandainya ada
orang-orang berilmu diantara mereka seperti yang dikatakan
oleh Ajar Pamotan Galih, namun orang-orang Lumban sendiri
tidak akan berarti apa-apa selain menyerahkan diri untuk
dibantai di bukit gundul itu.
Dalam pada itu, Jlitheng dan Rahu yang sudah mendengar
tentang orang-orang yang berada di bukit gundul itu dari
mereka yang melihat sendiri dari pategalan dapat
memperhitungkan keadaan dengan cermat. Namun
sebenarnyalah mereka cukup cemas akan nasib anak-anak
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda Lumban. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah
berbicara agak panjang dengan Nugata diperjalanan. Dengan
jumlah yang banyak dan kerja sama yang baik, mudahmudahan
kegarangan orang-orang di-bukit gundul itu dapat
diatasi "Aku, Rahu, Semi dan kawannya akan berada diseluruh
arena itu" berkata Jlitheng "Aku akan berusaha untuk tidak
terikat dalam satu perkelahian yang tidak memungkinkan aku
menilik pertempuran itu secara keseluruhan"
"Bagaimana dengan Daruwerdi?" bertanya Nugata.
"Ia telah dibebani satu persoalan di dalam perasaannya
sehingga biarlah ia memilih menurut caranya" jawab Jlitheng.
"Kenapa sebenarnya dengan anak muda itu" Ternyata
bahwa ia telah melakukan sesuatu yang bersifat rahasia sekali
di bukit gundul itu" berkata Nugata.
"Kau akan mengetahui dengan gamblang kemudian" jawab
Jlitheng "namun aku berharap bahwa kedua pamannya yang
juga memiliki ilmu yang cukup itu akan bersedia berbuat
seperti yang akan kami lakukan. Memang mungkin salah
seorang dari kami harus bertempur sampai selesai. Tetapi
kami akan mengambil satu kemungkinan yang paling baik bagi
anak-anak Lumban" Nugata mengangguk-angguk Sementara kepada sepuluh
Minggat 3 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Singa Jantan Dari Cina 1