Mata Air Dibayangan Bukit 23
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 23
orang terbaik di Lumban Wetan Jlithengpun telah memberikan
pesan-pesannya. Katanya "Kalian harus dapat mengawasi
kelompok kalian. Jangan biarkan seorangpun diantara kalian
kehilangan pegangan di dalam pertempuran ini. Sekali lagi aku
peringatikan, lawan kita adalah iblis-iblis yang tidak
berjantung" Namun ternyata anak-anak Lumban telah mempersiapkan
diri mereka lahir dan batin. Jlitheng bagi mereka adalah
bagaikan saudara sendiri. Air yang mengaliri sebagian dari
sawah-sawah di Lumban, adalah hasil jerih payah Jlitheng dan
orang tua yang membuat gubug di bukit berhutan itu.
Meskipun baru sebagian, tetapi air itu sudah berhasil
meningkatkan tataran hidup orang-orang Lumban.
Semakin dekat iring-iringan orang Lumban itu dengan bukit
gundul, maka merekapun menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka telah melihat orang-orang yang berada di bukit gundul
itu menebar. Berdiri diatas batu-batu padas. Yang lain
bersandar dinding bukit seolah-olah tidak menghiraukan sama
sekali kepada orang-orang yang datang beriringan. Bahkan
ada diantara mereka yang masih tetap duduk bersandar
sebongkah batu padas. Kesiagaan mereka itu telah membuat darah anak-anak
muda Lumban menjadi semakin cepat mengalir.
"Jangan, cemas" berkata Jlitheng kepada anak-anak
Lumban yang ada disekitarnya "Mereka dengan sengaja
berbuat demikian untuk mempengaruhi sikap lawan. Mereka
seolah-olah tidak menghiraukan kehadiran kalian. Namun
sebenarnyalah mereka berdebar-debar juga seperti kita
semuannya" Anak-anak muda Lumban itu mengangguk-angguk. Mereka
mengerti bahwa ada perbedaan pokok diantara mereka
dengan orang-orang yang berada di bukit gundul itu. Orangorang
di bukit gundul itu adalah orang-orang yang
menyerahkan hidupnya dalam libatan kekerasan, sementara
anak-anak Lumban adalah petani-petani yang pada dasarnya
lebih senang hidup tenang dan damai.
Tetapi ternyata bahwa pada suatu saat hati merekapun
telah tersentuh untuk mengangkat senjata menghadapi orangorang
yang kasar itu. Demikianlah, maka iring-iringan itu sudah menjadi semakin
dekat. Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Cinde Kuning
itupun kemudian menghent ikan iring-iringan itu. Dipanggilnya
Jlitheng mendekat. Kemudian katanya "Kita sudah dekat
dengan orang-orang yang mungkin akan dapat bertindak
sangat kasar itu. Aturlah anak-anak muda Lumban. Mereka
harus mulai menebar. Diantara kita yang memiliki sedikit
pengalaman menghadapi orang-orang yang mungkin akan
dapat berbuat kasar itu harus terbagi. Tetapi aku akan berada
di ujung pasukan anak-anak Lumban ini. Mungkin Ajar
Pamotan Galih berada di antara mereka. Mudah-mudahan ia
tidak melarikan diri. Sementara Kiai Kanthi dan Pangeran Sena
Wasesa akan menyesuaikan diri. Namun sebenarnyalah
Pangeran Sena Wasesa akan menjadi sasaran penting dari
mereka, karena agaknya merekapun akan mendengar juga
bahwa sumber keterangan tentang pusaka itu adalah
Pangeran Sena Wasesa"
"Baiklah Ki Ajar" berkata Jlitheng "Kita akan membagi diri.
Namun diantara kita akan berusaha untuk tidak terikat dalam
satu pertempuran disatu tempat"
"Mungkin ada juga manfaatnya" desis Ki Ajar sambil
mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya "Silahkan.
Kita sudah berada dihidung lawan"
Jlithengpun kemudian mengatur anak-anak muda Lumban
bersama Rahu. Semi dan kawannyapun kemudian ikut pula
bersama mereka. Bahkan ternyata Daruwerdi tidak t inggal
diam. Iapun kemudian menempatkan dirinya diantraa anakanak
muda itu pula. "Aku seharusnya memang berada diantara kalian" berkata
Daruwerdi. Demikianlah, anak-anak muda Lumban itu sudah menebar.
Disamping sepuluh anak muda terbaik dari Lumban Wetan dan
Nugata dari Lumban Kulon, maka Jlitheng, Rahu, Semi dan
kawannya. Daruwerdi dan kedua pamannya telah menebar
diantara mereka. Dalam keadaan yang gawat mereka harus
dapat mengambil sikap sehingga anak-anak muda Lumban
tidak akan menjadi korban.
Sementara itu, diujung pasukan, Ki Ajar Cinde Kuning, Kiai
Kanthi dan Pangeran Sena Wasesa mendahului anak-anak
Lumban mendekati bukit gundul itu. Mereka melihat bahwa
orang-orang yang berada di bukit gundul itupun telah
menunggu. Namun sebenarnyalah melihat anak-anak Lumban yang
menebar dengan sigap, orang-orang yang berada di bukit
gundul itu mulai berpikir. Nampaknya memang ada orangorang
yang pantas diperhitungkan diantara anak-anak Lumban
selain tiga orang yang berada diujung pasukan.
Ketika anak-anak Lumban menjadi semakin dekat, maka
Daruwerdi telah mendekati Pangeran Sena Wasesa sambil
berdesis "Kita berhadapan dengan orang-orang Pusparuri"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam,
sementara orang yang menyebut dirinya Ajar Cinde Kuning
itupun berkata "Ternyata Pamotan Galih telah berada diantara
mereka" Sebenarnyalah Ajar Pamotan Galih yang berdiri di sebelah
Kiai Pusparuri seolah-olah telah kehilangan segala gairah citacitanya
yang gagal. Nampaknya ia sudah malas untuk
memulainya lagi dari permulaan. Karena itu, maka ia justru
tidak lagi mempunyai tujuan bagi sikapnya yang kemudian.
Dalam pada itu, kedua kepercayaan Kiai Pusparuri yang
melihat Daruwerdi diantara anak-anak muda Lumban itupun
mengumpat di dalam hati. Namun merekapun mengerti,
Daruwerdi tidak mejanjikan apapun kepada salah satu pihak.
Ia berhubungan dengan segala pihak yang mampu
menyerahkan Pangeran Sena Wasesa.
Tetapi kini Pangeran Sena Wasesa telali datang dengan
sekelompok kekuatan yang akan menghadapi orang-orang
Pusparuri termasuk Daruwerdi itu sendiri.
Ternyata bahwa Kiai Pusparuri yang berdiri disamping Ki
Ajar Pamotan Galih itupun maju beberapa langkah
menyongsong Pangeran Sena Wasesa. Sambil tertawa Kiai
Pusparuri itupun berkata "Selamat datang Pangeran. Mungkin
Pangeran belum mengenal aku. Tetapi kami, orang-orang
Pusparuri telah mengenal Pangeran dengan sebaik-baiknya.
Kami telah mempelajari sikap dan cara hidup Pangeran seharihari.
Namun ternyata kedatangan kami ke istana Pangeran
telah didahului oleh orang-orang Sanggar Gading yang tahu
pasti bahwa Pangeran sedang sakit waktu itu. Meskipun
akhirnya orang-orang Sanggar Gading itu berhasil Pangeran
kelabui" "Sekarang kita sudah bertemu Kiai" jawab Pangeran Sena
Wasesa. "Ya. Sekarang kita sudah bertemu. Tetapi dalam keadaan
yang kurang menguntungkan bagiku" jawab Kiai Pusparuri.
Namun kemudian "Tetapi segalanya adalah karena kelicikan
Daruwerdi yang ternyata tidak secerdik yang aku duga. Segala
rencana yang disusun oleh Ajar Pamotan Galih itu telah gagal.
Dan kini, ingkar atau tidak ingkar, sebenarnyalah bahwa
Pangeranlah yang tahu segala-galanya. Permainan pusaka
palsu Daruwerdi itu hampir menjerat nyawanya"
Jawab Pangeran Sena Wasesa mengejutkan Kiai Pusparuri.
Katanya "Kiai. Sebenarnyalah bahwa aku tahu serba sedikit
tentang pusaka dan harta karun yang sedang diburu oleh
banyak pihak itu. Tetapi karena keterangan mengenai pusaka
dan harta karun itu tidak, jelas, maka yang terjadi adalah
peristiwa-peristiwa pahit yang tidak berarti. Apa yang terjadi
antara orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali
Putih adalah satu contoh orang-orang yang dimusnahkan oleh
ketamakan mereka sendiri"
"Jangan sesorah Pangeran. Aku ingin tahu tentang pusaka
dan harta karun itu" berkata Kiai Pusparuri "terus terang, kami
ingin menangkap Pangeran hidup-hidup. Kemudian memeras
Pangeran untuk mengatakan dimana pusaka dan rta karun
yang tidak ternilai itu. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Diluar
sadarnya ia berpaling. Dipandanginya anak-anak muda
Lumban yang sudah siap. Namun ketika terlintas dalam
tatapan matanya orang-orang Pusparuri yang garang, maka
Pangeran Sena Wasesa itu. mulai dibayangi oleh kecemasan
tentang nasib anak-anak muda Lumban. Pangeran Sena
Wasesa sudah melihat sebagian dari anak-anak Lumban itu
dapat membantu mengalahkan sisa-sisa orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putih. Namun melihat orang-orang
Pusparuri yang segar dan garang itu, ia harus berpikir
beberapa kali lagi. Tetapi jika terpandang olehnya beberapa orang yang
memang memiliki bekal ilmu yang cukup, maka iapun menjadi
agak tenang. "Mudah-mudahan mereka dapat membantu anak anak
Lumban" berkata Pangeran Sena Wasesa didatam hatinya,
karena sebenarnyalah ia merasa ragu-ragu bahwa orangorang
Pusparuri dapat dilunakkan hatinya dengan keteranganketerangannya
saja. "Pangeran" berkata Kiai Pusparuri kemudian "sebaiknya
Pangeran tidak terlalu berpikir tentang kepentingan diri
sendiri. Karena Pangeran ingin menyelamatkan diri, maka
Pangeran telah membawa sekian banyak orang-orang yang
tidak berarti untuk melindungi Pangeran. Tetapi seharusnya
Pangeran dapat mengerti, bahwa usaha itu tidak akan berarti
apa-apa. Jika Pangeran memaksa, maka berarti Pangeran
akan membunuh sekian banyak anak-anak muda yang tidak
tahu apa-apa. Mereka tidak berkepentingan dengan pusaka
dan harta karun itu"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun sebelum ia menjawab. Kiai Kanthilah yang lelah
menjawab "Ki Sanak" Memang kami. orang-orang Lumban
tidak berkepentingan dengan pusaka dan harta karun yang
kalian buru dengan cara apapun juga itu. Tetapi kami tidak
akan dapat tinggal diam melihat ketamakan yang membakar
bukit yang kebetulan berada di daerah Lumban ini"
"Siapakah kau?" bertanya Kiai Pusparuri.
"Aku salah seorang dari penghuni Kabuyutan Lumban"
jawab Kiai Kanthi. "Persetan" geram Kiai Pusparuri "Kau sudah berdiri
diambang liang kuburmu. Jangan ikut campur. Sikarang
pertimbangkan baik-baik Pangeran. Kau menyerah tanpa
korban seorangpun diantara orang-orang Lumban, atau kau
akan membunuh sekian banyak orang dengan meminjam
tangan kami sebelumakhirnya kau sendiri dapat aku tangkap"
"Kiai" berkata Pangeran Sena Wasesa "dengarlah. Meskipun
aku sudah ragu-ragu untuk melakukannya, tetapi sebaiknya
kau mendengarkan barang sejenak Persoalan yang akan aku
katakan, sudah didengar oleh Ki Ajar Pamotan Galih, karena
iapun sedang memburu pusaka dan harta karun seperti yang
kau maksud. Aku memang mengetahui dengan pasti pusaka
dan harta karun itu. Kau t idak usah memaksa aku apalagi
membunuh orang-orang Lumban, aku sudah akan
memberikan keterangan kepadamu"
Kiai Pusparuri berpaling kearah Ki Ajar Pamotan Galih
Tetapi Ki Ajar itu tidak menghiraukannya. Ia masih saja berdiri
tegak memandang anak-anak Lumban yang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa itupun melanjutkan
kata-katanya "Kiai. Aku tidak tahu, darimana Kiai mendengar
tentang pusaka dan harta karun yang disimpan bagi
kepentingan kebangkitan satu pemerintahan yang akan
menggantikan kedudukan Majapahit. Akupun tidak tahu justru
pada saat ini kalian mulai melakukan perburuan di bukit
gundul ini" "Sudahlah Pangeran" potong Kiai Pusparuri "Kita tidak
mempunyai waktu banyak untuk mendengarkan sebuah
dongeng yang dapat menidurkan anak-anak seperti itu. Yang
penting bagiku, menyerah sajalah. Atau. katakan dimana letak
pusaka dan harta karun itu. Pusaka itu akan dapat
memberikan satu kesempatan karena tuahnya untuk menjadi
seorang pemimpin yang disegani, sementara harta kekayaan
yang menyertainya akan menjadi pendukung satu usaha untuk
mendapat kekuasaan" "Aku sudah menduga, bahwa setiap orang yang memburu
pusaka dan harta itu adalah mereka yang menginginkan
jabatan dan kekuasaan. Memang menarik sekali bagi setiap
orang. Kedudukan dan kekuasaan" jawab Pangeran Sena
Wasesa. Kemudian "Tetapi seperti yang sudah aku katakan
kepada Ki Ajar Pamotan Galih, bahwa, kedudukan dan
kekuasaan itu telah berada di tangan orang yang berhak. Aku
sudah menyerahkan semuanya kepada Sultan di Demak.
Akulah yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka dan
harta benda itu, sementara Sultan telah mengutus beberapa
orang petugas khusus untuk mengambilnya dengan rahasia"
Tetapi Kiai Pusparuri tertawa berkepanjangan. Katanya
kepada Ki Ajar Pamotan Galih "Kau percaya kepada dongeng
itu?" Tetapi wajah Ki Ajar itu seolah-olah telah menjadi kosong.
Ia berpaling juga memandang Kiai Pusparuri. Ia menggeleng
dan menjawab pertanyaan Kiai Pusparuri itu. Tetapi seolaholah
tidak ada lagi maksud dari sikapnya. .
"Nah" berkata Kiai Pusparuri yang tidak menghiraukan
sikap Ki Ajar Pamotan Galih "Orang itu menggeleng. Ia juga
menganggap yang Pangeran katakan sebagai satu dongeng.
"Aku tidak berbohong Kiai" berkata Pangeran itu "Tetapi
memang sulit untuk meyakinkan, apakah yang aku katakan ini
benar. Tetapi baiklah. Jika kalian bersedia, aku akan
membawa kalian, maksudku salah seorang yang akan
mewakili seluruh padepokan Pusparuri untuk menghadap dan
mendengar penjelasan dari Sultan sendiri. Atau jika kalian
berkeberatan, aku akan membawa kalian ke tempat pusaka
dan harta karun itu disimpan"
"Semuanya disimpan di bukit gundul di daerah Sepasang
Bukit Mati" potong Kiai Pusparuri "Sudah. Jangan berbelit-belit
Pangeran. Jangan membuat aku kehabisan kesabaran"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam Rasarasanya
memang sulit untuk menjelaskan, bahwa sudah
terlambat untuk memburu pusaka dan harta yang menyertai
pusaka itu. "Kiai" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku tidak
mempunyai cara lain untuk mengatakannya. Tetapi itu adalah
kenyataannya. Tidak ada saksi yang lebih pantas dipercaya
selain Kangjeng Sultan"
"Kau memang cerdik" Tetapi kau t idak semudah itu
mengelabui aku Pangeran" berkata Kiai Pusparuri.
Pangeran Sena Wasesa memandang wajah Kiai Pusparuri
dengan tajamnya, sementara Kiai Pusparuri melanjutkan
"Kangjeng Sultan tentu mempunyai penggraita yang tajam.
Demikian aku menghadap, maka aku akan ditangkapnya.
Seandainya tidak, maka Sultan tentu akan ingkar, karena yang
dilakukan sebagaimana kau katakan, apabila itu benar, adalah
sangat dirahasiakan. Apakah yang dirahasiakan itu akan
dengan mudah dikatakan kepadaku, kepada orang yang tidak
dikenalnya?" "Aku dapat meyakinkannya, bahwa dengan mengatakan
yang sebenarnya, akan terhindar pertumpahan darah yang
tidak berarti" jawab Pangeran Sena Wasesa.
"Sudahlah" berkata Kiai Pusparuri "jika Pangeran ipgin
membunuh anak-anak Lumban itu, baiklah. Kami akan dengan
senang hati menolong Pangeran. Kemudian menurut
perhitungan Pangeran, kamipun akan kehilangan sebagian
dari. Kekuatan kami, sehingga Pangeran akan dengan mudah
mem binasakan kami, sebelum Pangeran akan mengambil
harta yang tidak ternilai harganya yang menyertai pusaka itu
di bukit, gundul ini Pangeran kemudian akan memanfaatkan
tuah pusaka itu untuk merebut kedudukan Sultan di Demak,
dengan harta yang tidak ternilai itu. Pangeran juga
menginginkan kedudukan dan kekuasaan"
Pangeran Sena Wasesa menggeleng lemah. Tetapi ia
sudah, kehilangan harapan untuk mengatasi benturan yang
bakal terjadi. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada Kiai
Kanthi dan orang cacat yang menyebut dirinya Ajar Cinde
Kuning itu. "Nampaknya, orang-orang Pusparuri tidak melihat jalan
lain" berkata orang cacat itu.
"Ya. Kami tidak melihat jalan lain" jawab Kiai Pusparuri.
"Baiklah. Tetapi aku masih ingin bertanya kepada Ki Ajar
Pamotan Galih, apakah ia masih berminat untuk ikut serta
memperebutkan pusaka dan harta benda itu" berkata orang
cacat itu. Ki Ajar Pamotan Galih memandang orang cacat itu dengan
tatapan mata yang redup. Katanya "Aku tidak mempunyai satu
keinginann apapun lagi, kecuali membunuhmu"
"Baiklah" berkata orang cacat itu "seharusnya kau sudah
dapat mengukur dirimu sendiri. Kau tidak akan dapat
melakukannya. Meskipun demikian, sebenarnya aku memang
mempunyai satu kepentingan khusus denganmu. Meskipun
kita tidak akan dapat melepaskan diri dari suasana dalam
keseluruhan peristiwa di bukit gundul ini "
Ajar Parnotan Galih menjadi tegang. Namun dalam pada
itu, suasana itu telah dikoyah oleh suara tertawa. Orang yang
duduk bersandar batu padas itupun tertawa sambil berkata
"Sebenarnya aku senang mendengar kalian berbicara
berkepanjangan. Aku masih sempat duduk sambil mengantuk.
Tetapi semakin lama aku menjadi semakin jemu mendengar
pembica-an yang tidak berujung pangkal. Bahkan mendengar
kepentingan-kepentingan yang lain. Karena itu, jika kita ingin
berkelahi marilah kita berkelahi. Aku sudah tidak kantuk lagi "
Orang itupun tiba-tiba telah bangkit. Sambil melangkah
mendekat ia berkata "Jika kalian telah menghadapi lawan
kalian masing-masing, biarlah aku melawan orang tua yang
sakit-sakitan itu. Bersiaplah, aku akan mulai.
Orang yang malas itu memang mempunyai sikap yang
aneh. Sebelum seorangpun sempat menjawab, ia langsung
mendekati Kiai Kanthi. Sambil bersikap ia berkata "Aku tidak
peduli, apakah kau akan melawan atau tidak. Tetapi aku akan
membunuhmu. Memang nasibmu terlalu buruk, bahwa kau
adalah korban yang pertama. Mungkin tidak berniai berkelahi
atau sekedar ikut-ikutan"
Orang itu ternyata tidak menunggu jawaban. Seperti yang
dikatakannya, maka t iba-tiba lapun telah menyerang Kiai
Kanthi dengan dahsyatnya.
"Orang itu benar-benar Gila" geram Kiai Kanthi di dalam
hatinya. Tetapi ia cukup berhati-hati. Karena itu, maka iapun
sempat menghindari serangan yang pertama itu.
Ternyata Kiai Pusparuri mempunyai sikap tersendiri. Ia
justru tertawa melihat pemalas itu mulai menyerang lawannya
Namun kemudian katanya "Aku setuju dengan pemalas itu.
Kita sudah berdiri menghadapi lawan kita masing-masing. Aku
memang memilih berhadapan dengan Pangeran agar aku
dapat menangkap Pangeran hidup-hidup. Meskipun barangkali
pada satu kesempatan nanti, orang-orangku akan beramairamai
membantuku mengepung arena agar Pangeran tidak
sempal melarikan diri, setelah anak-anak Lumban dibantai
atas keinginan Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Ketika ia
menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya orang-orang
Pusparuri yang semula nampak tidak mengacuhkan kehadiran
anak-anak Lumban itu, telah mulai bergerak.
"Jadi kau tidak percaya kepada keteranganku?" bertanya
Pangeran Sena Wasesa. "Hanya orang-orang yang tidak sehat lagi akalnya akan
mempercayainya" jawab Kiai Pusparuri.
"Baiklah, Kiai" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku adalah
seorang prajurit. Meskipun aku berhadapan dengan orang
yang memiliki nama menggelarkan di tlatah Demak, tetapi aku
tidak akan menyingkir dari kewajiban ini"
"Aku memang sudah menduga Pangeran" berkata Kiai
Pusparuri "Pangeran akan bersikap sebagai seorang prajurit.
Tetapi Pangeran saat ini bukan seorang Senopati perang yang
memiliki pasukan segelar sepapan. Yang datang bersama
Pangeran adalah anak-anak Lumban yang akan mati tanpa arti
karena Pangeran ternyata seorang yang mementingkan diri
sendiri" Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Ia melihat Kiai
Kanthi yang benar-benar telah bertempur, sementara anakanak
Lumbanpun telah mulai bergeser pula, ketika Jlitheng
dan kawan-kawannya yang dianggap oleh anak-anak muda
Lumban memiliki ilmu melampaui kemampuan mereka telah
bregerak pula. Bahkan merekalah yang telah memberikan
tuntunan olah kanuragan kepada anak-anak muda itu.
Jarak antara kedua belah pihakpun menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, maka suasanapun menjadi semakin tegang
pula. Dalam pada itu, orang-orang Pusparuri mulai menunjukkan
sifat-sifat mereka. Beberapa orang yang berloncatan turun
dari batu-batu padas berteriak sambil mengumpat kasar.
Bahkan seorang yang berwajah panjang dengan jambang
yang tebal berteriak "He, siapakah yang ingin aku bantai lebih
dahulu" Sebenarnya aku kasihan melihat tikus-tikus kecil yang
tidak bersalah. Tetapi kesombongan kalian membuat aku
mual" Sebenarnyalah bahwa anak-anak Lumban itu menjadi
berdebar-debar. Bahkan Nugatapun menjadi berdebar-debar
juga sebagaimana sepuluh orang yang dianggap terbaik dari
Lumban Wetan. Namun mereka sudah bertekad untuk
membantu menyingkirkan, dan mungkin mereka memang
harus bertindak lebih jauh lagi terhadap orang-orang Pusparuri
itu. Beberapa orang anak Lumban mengikut i Jlitheng dan Rahu
yang bergeser kesebelah sisi, sementara Semi dan kawannya
ke sisi yang lain. Daruwerdi dan kedua pamannya berada di
tengah, di belakang orang-orang tua yang mendapat
lawannya masing-masing. Sementara Nugata dan anak-anak
Lumban Kulon berada di belakangnya pula.
Sejenak kemudian benturan kedua pasukan itu tidak lagi
dapat dihindari. Orang-orang Pusparuri yang garang mulai
menyerang anak-anak muda Lumban yang masih belum
berpengalaman. Namun mereka sudah bersiap menghadapi
kemungkinan itu. Sebagaimana yang dipesankan, maka mereka menghadapi
tawannya dengan berpasangan. Jumlah mereka cukup banyak
untuk melawan orang-orang Pusparuri. Orang yang berwajah
panjang dan berjambang tebal tiba-tiba saja telah berhadapan
dengan dua orang anak muda yang siap mengacungkari
pedangnya. Orang berwajah panjang itu berhenti. Kemudian terdengar
orang itu tertawa. Katanya "Lucu sekali. Kau berdua ingin
melawan aku, he?" Kedua anak muda Lumban itu tidak menjawab. Seorang
diantara mereka telah menjulurkan senjatanya, sementara
yang lain bergeser menyamping.
Namun kedua anak muda itu terkejut, ketika tiba-tiba saja
orang berwajah panjang itu menghentak sambil memutar
senjatanya. Sebatang tongkat baja.
Hampir berbareng kedua anak-anak muda itu meloncat
menjauh beberapa langkah dengan tergesa-gesa.
Sekali lagi terdengar suara tertawa orang itu meledak.
Tetapi orang itu tidak memburu salah seorang dari kedua
orang anak Lumban yang meloncat berpencar itu. Seperti
menakuti anak-anak orang itu kemudian bergeser sambil
berdesis "Ayo, siapa mati lebih dahulu"
Kedua anak-anak Lumban itu menjadi ragu-ragu Sementara
pertempuranpun telah berkobar semakin merata di kaki bukit
gundul itu. Namun tiba-tiba saja kedua anak Lumban itu terkejut,
ketika Jlitheng hadir diantara mereka. Katanya "Orang ini agak
lain dan kawan-kawannya. Carilah lawan yang lain Aku akan
melawan orang ini" Orang berwajah panjang itu mengerutkan keningnya, la
memang melihat anak muda yang baru ini mempunyai
kelainan dari kedua kawannya yang terdahulu.
Karena itu, maka orang berwajah panjang itu menjadi
semakin berhati-hati. "Kau terlalu sombong untuk menempatkan diri sebagai
lawanku anak muda" berkata orang berwajah panjang itu.
"Tetapi itu lebih baik daripada kau melawan anak-anak
Lumban. Mungkin aku memiliki pengalaman lebih baik dari
mereka sehingga aku akan dapat melayanimu bermain dengan
senjata" Orang berwajah panjang itu mengangguk-angguk. Katanya
"Bagus. Tetapi berhati-hatilah. Aku tidak mempunyai pilihan
lain daripada membunuh semua orang yang menempatkan
dirinya sebagai Iawanku"
"Kita berpendirian sama. Akupun akan membunuh semua
orang yang tidak menghindar dari hadapanku. Karena kau
tidak menghindar atau memanggil orang lain untuk
membantumu, maka salahmu sendiri jika kau mati sebelum
pertempuran ini merata" jawab Jlitheng.
Ternyata kemarahan orang itu tidak dapat tertahankan lagi.
Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang. Bukan sekedar
mengejutkan sebagaimana dilakukan atas anak-anak Lumban.
Tetapi orang itu benar-benar menyapu mendatar dengan
senjatanya. Tongkat baja itu berdesing diatas kepala Jlitheng yang
merendah. Namun Jlitheng segera meloncat surut. Pedang
tipisnya telah beracu lurus siap melawan tongkat baja itu.
Pertempuranpun menjadi kian cepat. Orang bertongkat
baja itu menyerang dengan garang, sementara Jlitheng
dengan cepat mengimbanginya.
Pedang tipis itu di tangan Jlitheng merupakan senjata yang
mengerikan. Pada saat-saat lampau, Jlitheng pernah
mempergunakan senjata lentur. Pernah mempergunakan
golok yang besar dan berat. Bahkan senjata bertangkai
panjang. Namun akhirnya, setelah ia menerima pedang tipis
itu. seakan-akan kemampuannyapun menjadi semakin
meningkat. Ia mampu bergerak dengan cepat. Namun
meskipun pedangnya itu tipis dan ringan, namun dalam
benturan yang kuat sekalipun, pedangnya tidak akan patah,
meskipun melawan tongkat baja yang di dalam genggaman
lawannya itu. Orang berwajah panjang itu mengumpat. Ternyata anak
muda yang disangkanya juga anak Lumban itu memiliki iimu
yan tinggi, yang justru mamu mengimbanginya.
Dalam pada itu, dibagian laimun pertempuran sudah
menyala, Rahu ternyata sempat membebaskan diri dari
seorang lawan yang dapat mengikatnya. Ia sempat bergeser
dari satu lingkaran pertempuran ke lingkaran pertempuran
yang lain Jika ia melihat anak-anak Lumban yang terdesak,
meskipun sudah bertempur berpasangan, maka ia berusaha
untuk menolongnya. Dalam pada itu, ketika Rahu bertempur beberapa langkah
disebelahnya, Jlitheng sempat berkata "Aku akan
menyelesaikan serigala ini. Baru akan aku melihat, apakah
benar orang-orang Pusparuri itu memiliki kelebihan seperti
yang didengar oleh banyak orang"
Orang berwajah panjang itu menggeram. Dihentakkannya
ilmunya untuk mengakhiri perkelahian itu dengan, cepat.
Namun ternyata lawannya memiliki bekal yang cukup untuk
melawannya. Sebenarnyalah orang-orang Pusparuri adalah orang-orang
yang garang. Meskipun Jlitheng sudah berpesan agar anakanak
muda Lumban bertempur berpasangan, namun ternyata
menghadapi orang-orang Pusparuri, anak-anak Lumban itu
merasa terlalu berat. Pada benturan pertama anak-anak
Lumban sudah terdesak. Sehingga betapapun juga jantung
mereka menjadi berdebaran.
Untunglah bahwa jumlah anak-anak Lumban cukup banyak,
sehingga dalam keadaan terdesak, maka mereka dapat
bergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
tiga orang atau lebih. Meskipun demikian, namun orang-orang Pusparuri itu merasa
bahwa mereka telah mendapatkan permainan yang
mengasikkan. "Pembantaian yang menyenangkan" berkata seorang yang
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjambang panjang "kematian demi kematian akan susul
menyusul. Adalah satu kesombongan yang tidak dapat
dimaafkan dari anak-anak Lumban bahwa kalian telah ikut
campur" Ternyata bahwa satu dua orang anak muda merasa ngeri
menghadapi kenyataan itu. Jika semula hatinya membengkak
karena jiwa pengabdian mereka, namun akhirnya hati itu telah
menguncup oleh kecemasan dan bahkan ketakutan.
Sekali-sekali terdengar orang-orang Pusparuri itu tertawa.
Mengumpat dan bahkan seolah-olah sedang bermain-main.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa di dalam
lingkungan anak-anak Lumban terdapat juga orang-orang
yang mengejutkan lawan mereka. Pada ayunan pedangnya
yang pertama, Daruwerdi telah mendesak lawannya.
Lawannya, saleh seorang kepercayaan Kiai Purparuri yang
mendendamnya, telah berusaha untuk dapat berhadapan
langsung dengan anak muda itu.
"Kau ternyata pembual yang paling gila, Daruwerdi"
berkata Laksita. "Persetan" geram Daruwerdi "Aku sudah mengatakan,
bahwa aku tidak pernah terikat oleh kelompok yang manapun
juga" "Kau masih juga membual" bentak Laksita "Kau kira kami
tidak tahu, apa yang telah terjadi dengan orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih" Setelah mereka saling
menghancurkan, maka kau suguhi mereka dengan kepalsuan
itu" "Mereka adalah orang-orang tamak dan bodoh" berkata
Daruwerdi. "Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian dengan kami"
berkata Laksita "Kami akan menangkap Pangeran itu hiduphidup.
Tetapi hanya Pangeran itu saja. Bukan kau dan bukan
yang lain. Semuanya akan kami bantai di bukit gundul ini,
melengkapi kematian orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
Kendali Putih" Tetapi Daruwerdi menjawab "Kau salah Laksita. Kami
bukan orang yang tidak mempunyai perhitungan"
"O" Laksita tertawa "Kau bawa anak-anak itu kemari
dengan perhitungan yang masak" Alangkah cermatnya
perhitunganmu, atau mungkin perhitungan Pangeran Sena
Wasesa. Jangan menyebut kami tidak berperi-kemanusiaan
jika mereka akan menjadi bangkai di kaki bukit ini
sebagaimana tebangan batang ilalang"
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia
mengedarkan pandangan matanya keseluruh medan yang
sudah menjadi semakin riuh. Pedang beradu pedang, tombak
dan perisai saling berbenturan.
Sebenarnyalah anak-anak Lumban yang berhadapan
dengan orang-orang Pusparuri dalam jumlah yang cukup,
memang agak mendebarkan jantung. Namun demikian, dalam
pasangan-pasangan ternyata bahwa anak-anak Lumban untuk
sementara akan dapat bertahan.
"Jika kami dapat menyelesaikan orang-orang Pusparuri ini
lebih dahulu dari daya tahan anak-anak Lumban, maka kami
akan berhasil" berkata Daruwerdi di dalamhatinya
Sebenarnyalah, bahwa Daruwerdi memang pernah
membunuh dua orang Kendali Putih dalam satu perkelahian.
Sementara kedua orang itu telah mengalahkan dan bahkan
membunuh salah seorang kepercayaan Kiai Pusparuri.
Berdasarkan atas perhitungan itu, maka Daruwerdi yakin,
bahwa ia akan dapat segera menyelesaikan orang Pusparuri
itu. Yang bertempur dibagian lain adalah kedua orang paman
Daruwerdi. Ternyata mereka memiliki kemampuan untuk
bertempur seorang melawan seorang. Sehingga dengan
demikian, maka keduanya telah terikat dalam pertempuran
yang semakin sengit. Semi dan kawannya berusaha untuk tidak terikat dalam
satu perkelahian yang tidak memungkinkan lagi mereka
bergerak. Kedua orang itu berloncatan dari satu lingkaran
pertempuran ke lingkaran pertempuran yang lain sebagaimana
dilakukan oleh Rahu. Ternyata bahwa dengan demikian,
keduanya selalu berhasil menggagalkan setiap usaha orangorang
Pusparuri untuk mengakhiri perlawanan anak-anak
Lumban. Namun pada suatu saat Semi tidak lagi dapat meninggalkan
lawannya yang berhasil melibatnya dalam pertempuran yang
sengit Ternyata orang itu adalah kepercayaan Kiai Pusparuri
yang seorang lagi. Sentika.
"Apakah kau juga anak Lumban?" bertanya kepercayaan
Kiai Pusparuri. "Ya" jawab Semi.
Tetapi kepercayaan Kiai Pusparuri itu tertawa. Katanya
"Jangan menganggap aku terlalu bodoh"
"Tidak. Aku sudah tahu, bahwa pertanyaanmu itu tidak
bermakna, karena kau sudah menyimpan jawaban di dalam
hatimu" desis Semi. "Anak iblis "Orang itu mengumpat. Lalu "Siapa kau
sebenarnya" Pertanyaan itupun tidak berarti. Aku kira kau
benar-benar tidak terlalu bodoh seperti yang kau katakan.
Tetapi dengan pertanyaan itu, ternyata kau benar-benar
seorang yang bodoh" Kemarahan telah menghentak didada kepercayaan Kiai
Pusparuri itu, sehingga iapun kemudian menyerang semakin
garang. Tetapi Semi sudah siap menghadapinya, Ia memiliki
kemampuan seimbang dengan Daruwerdi. Karena itu, maka
iapun telah siap untuk melawan kepercayaan Kiai Pusparuri.
meskipun dengan demikian ia akan terikat pada satu lawan.
Namun kawan Semi masih tetap bertempur dengan caranya.
Kiai Pusparuri masih sempat memperhatikan pertempuran
itu. Sambil tersenyum ia berkata "Kau benar-benar seorang
yang kejam Pangeran. Kau libatkan anak-anak Lumban yang
tidak tahu arti dari persoalan ini"
"Kau dapat berkata apa saja. Tetapi apakah kau berkata
seperti itu juga kepada dirimu sendiri" Apakah kau dapat
berkata kepada dirimu, bahwa akulah yang telah membunuh
anak-anak Lumban itu?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Kenapa tidak" jawab Kiai Pusparuri "justru kaulah yang
harus menilai sikapmu itu. Kau jangan berusaha membohongi
dirimu sendiri" Pangeran Sena Wasesa tidak menyahut lagi. Kedua orang
itu sudah yakin bahwa mereka harus berjuang untuk
mempertahankan sikap masing-masing.
Namun agaknya Kiai Pusparuri terlalu yakin untuk dapat
menguasai Pangeran Sena Wasesa. Ia sadar, bahwa Pangeran
Sena Wasesa adalah seorang Senopati perang. Tetapi menurut
penilaian Kiai Pusparuri, Pangeran itu adalah seorang ahli
dalam perang gelar, dalam perang menurut tata keprajuritan.
Tetapi kemampuan secara pribadi, serta ilmu kanuragan dan
kesaktian, ia merasa memiliki bekal lebih banyak.
Tetapi kedua orang yang memiliki ilmu yang mapan itu
tidak dengan serta merta mengungkap segala kemampuan
dan kekuatan mereka. Bagaimanapun juga, mereka merasa
perlu untuk saling menjajagi. Langkah-langkah pertama kedua
orang itu hanyalah sekedar saling melihat, apa yang akan
dilakukan oleh masing-masing pihak.
Yang mempunyai sikap yang lain lagi adalah orang tua
cacat yang menyebut dirinya Ajar Cinde Kuning. Ia berdiri
menghadapi Ki Ajar Pamotan Galih yang seolah-olah telah
kehilangan segala macam minat dan kehendak untuk berbuat
sesuatu. "Kenapa kau masih diam saja?" bertanya Ajar Cinde
Kuning. Ki Ajar Pamotan Galih memandang Ki Ajar Cinde Kuning
dengan pandangan kosong. Kemudian katanya "Kau merasa
bahwa kau memiliki kelebihan dari aku. Aku sadar, bahwa kau
tentu akan memburu aku kemari. Tetapi kau sudah melibatkan
orang-orang yang tidak tahu menahu dalam persoalan ini"
"Bukan maksudku" jawab orang cacat itu "Tetapi mereka
merasa bertanggung jawab atas peradaban yang berlaku di
daerah mereka. Mereka tidak mau melihat ketamakan,
kedengkian dan apalagi tindakan sewenang-wenang"
"Siapa yang berbuat sewenang-wenang disini" Aku t idak
melihat orang-orang Pusparuri itu berbuat sesuatu atas orangorang
Lumban. Apakah kediaman mereka itu dapat kau sebut
dengan sewenang-wenang?" bertanya Ki Ajar Pamotan Galih
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Bukankah mereka
memburu pusaka dan harta karun itu, sehingga mereka akan
mengorbankan Pangeran Sena Wasesa yang mereka sangka
mengetahui serba sedikit tentang pusaka dan harta karun itu"
Bukankah itu suatu sikap sewenang-wenang dan tidak
berperikemanusiaan" Tetapi lebih dari itu, orang-orang
Lumban merasa wajib menghancurkan orang-orang Pusparuri
sebagaimana mereka menghancurkan orang-orang Kendali
Putih dan orang-orang Sanggar Gading, karena kelompokkelompok
itu adalah kelompok-kelompok yang dapat
menghancurkan kemanusiaan dan peradaban yang sudah
dibangin di daerah Lumban ini.
Ki Ajar Pamotan Galih mengerutkan keningnya.
Dipandanginya tanah yang terhampar disekitar bukit gundul
itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya "Kenapa
kau datang kemari. Apakah kau hanya sekedar ingin
memburuku, atau karena kau juga mempunyai kepentingan -
dengan bukit gundul ini"
"Aku tidak mempunyai kepentingan dengan bukit gundul
ini" jawab orang cacat itu "Jika yang kau maksud adalah
pusaka dan harta benda, maka Pangeran Sena Wasesa sudah
memberitahukan, bahwa sebenarnya pusaka dan harta benda
itu sudah diserahkannya ke Demak. Dan aku percaya kepada
kata-katanya itu. Karena itulah, maka kedatanganku sematamata
karena aku ingin bertemu dengan kau. Karena aku yakin
bahwa kau berada di tempat ini"
"Kenapa kau yakin akan berada disini?" bertanya Ajar
Pamotan Galih, "Hatimu sudah dirampas oleh bukit gundul ini" jawab orang
cacat itu "karena itu, dalam gairah nafsumu yang menyala,
kau terikat kepada bukit ini. Tetapi dalam keadaan berputusasapun
kau terikat kepada bukit ini pula. Mukt i atau mati,
jiwamu kau serahkan kepada bukit gundul yang ternyata tidak
seperti yang kau duga sebelumnya"
Ki Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Kau benar Ki Sanak. Mukti atau mati, aku akan berada di
bukit ini. Meskipun aku tahu, bukit ini milik anak-anak
Lumban" "Nah, bukankah kau mengakui, bahwa kehadiran anakanak
Lumban bukan karena mereka sekedar diperalat oleh
orang lain. Tetapi mereka memang mempunyai tanggung
jawab?" desak Ki Ajar Cinde Kuning.
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab.
Sementara itu, orang cacat itupun kemudian berkata lebih
jauh "Ki Ajar Pamotan Galih. Marilah kita serahkan segala
persoalan antara orang-orang Lumban yang dibantu oleh
beberapa orang yang patut dipercaya itu menyelesaikan
masalah ysng mereka hadapi. Atau, mungkin kau ingin
menyebut sebaliknya. Pangeran Sena Wasesa yang dibantu
oleh orang-orang Lumban menghadapi orang-orang Pusparuri.
Sementara itu kita menyelesaikan persoalan yang kita hadapi
berdua. "Persoalan apa?" bertanya Ki Ajar Pamotan Galih "Kau
tersinggung karena aku melarikan diri, atau karena persoalan
lain" Aku yakin, bahwa kaupun mempunyai sangkut paut
dengan Pangeran Sena Wasesa, karena kau telah berusaha
membebaskannya, justru pada saat ia sudah jatuh ke
tanganku" "Aku mempunyai kepentingan denganmu" jawab orang
cacat itu. "Kau masih mendendam dan ingin membunuhku?"
bertanya Ajar Pamotan Galih.
"Jangan terlalu jauh berangan-angan" jawab orang cacat
itu "Tetapi barangkali akan mempunyai sebuah ceritera yang
menarik untuk kau dengar"
Wajah kosong Ki Ajar terlempar ke arena disekitarnya.
Kemudian katanya "Kau gila. Dalam keadaan seperti ini kau
masih sempat membual?"
"Satu ceritera yang sangat penting bagimu" jawab Ki Ajar
Cinde Kuning. Lalu "Suatu ceritera yang akan dapat
memberikan pemecahan dan barangkali satu menyelesaian
yang baik bagi teka-teka yang selama ini kau buat diantara
orang-orang yang bertualang didunia kanuragan"
Ki Ajar Pamotan Galih memandang orang cacat itu dengan
wajah yang menegang. Dengan nada datar ia kemudian
bertanya "Kau merasa dirimu dapat menguasai dunia
petualangan?" "Setidak-tidaknya bagi dirimu sendiri. Petualanganmu yang
mendekati saat-saat keputus-asaan ini" jawab orang cacat itu.
Nampaknya Ki Ajar Pamotan Galih mulai tertarik juga
kepada keterangan orang cacat itu. Pada saat-saat ia
kehilangan semua yang pernah diimpikannya, orang yang
tidak dikenalnya itu datang dengan membawa satu masalah
baru baginya. Namun sementara itu, Ki Ajar Pamotan Galih masih sempat
menebarkan pandangan matanya. Ia melihat pertempuran
menebar disekitar bukit gundul itu. Anak-anak muda Lumban
bertempur dalam pasangan-pasangan dan bergerombol dalam
beberapa lingkaran arena pertempuran. Sementara itu,
beberapa orang telah bertempur dengan sengitnya, seorang
melawan seorang. Jlitheng masih bertempur dengan orang berwajah panjang.
Ternyata dengan ilmu yang kasar dan keras, orang berwajah
panjang itu memang memiliki kelebihan dalam olah
kanuragan. Tetapi untunglah, bahwa Jlitheng dengan cepat
menempatkan diri sebagai lawannya, sehingga orang itu tidak
sempat melakukan pembantaian atas anak-anak muda
Lumban. Namun dalam pada itu, Jlitheng yang bertempur dengan
mapan, ternyata masih mempunyai harapan untuk mengatasi
lawannya. Selama ia berada di bukit gundul sambil menempa
diri dan bahkan pemberian pedang tipis itu, telah membuatnya
menjadi seorang anak muda yang kuat lahir dan batin.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itulah, maka ketika ia bertemu dengan seorang dari
lingkungan orang-orang Pusparuri yang memiliki kelebihan
dari kawan-kawannya, ia masih sempat menahan kekerasan
dan kekasarannya. Di tempat lain, Daruwerdi harus bertempur dengan seorang
dari dua orang kepercayaan Kiai Pusparuri. Orang yang
sebenarnya dengan licik melibatkan diri dengan satu keinginan
bagi kepentingan diri sendiri.
"Kau harus menebus bualanmu dengan nyawamu" berkata
Laksita. Tetapi Daruwerdi justru menyerangnya dengan semakin
garang. Namun Daruwerdi sempat juga berkata "Kalianlah
yang akan ditelan oleh ketamakan kalian. Kalian telah tertipu
oleh angan-angan yang gila tentang pusaka dan harta benda"
Laksita tertawa. Katanya "Kau tidak perlu berkata seperti
itu sekarang. Kami sudah tahu semuanya dengan gamblang.
Karena itu, kami ingin menangkap Pangeran Sena Wasesa itu
hidup-hidup" Daruwerdi tidak menjawab. Serangannya tiba-tiba menjadi
semakin deras. Datang beruntun seperti banjir bandang.
Ternyata kepercayaan Kiai Pusparuri itu bukan orang yang
lebih baik dari orang berwajah panjang dalam olah kanuragan.
Agaknya Laksita memiliki kelebihan untuk mendekatkan diri
kepada Kiai Pusparuri. Tetapi dalam olah kanuragan, ia segera
merasa betapa beratnya tekanan ilmu Daruwerdi.
Yang bertempur di tempat lain adalah Semi melawan
kepercayaan Kiai Pusparuri yang lain, Sentika. Seperti Laksita,
ia mula-mula merasa memiliki kelebihan untuk melawan
orang-orang yang datang ke bukit gundul itu. Tetapi ternyata
orang yang menyebut dirinya Semi itu memiliki kemampuan
yang tidak teratasi. Namun dalam pada itu, kekasaran orang-orang Pusparuri
memang membuat anak-anak muda Lumban menjadi ngeri.
Nugata yang bertempur diantara kawan-kawannyapun
merasakan betapa kawan-kawannya dicengkam oleh perasaan
cemas menghadapi lawan-lawan mereka meskipun mereka
bertempur berpasangan. Sementara sepuluh orang anak muda
terbaik di Lumban Wetanpun menjadi semakin lama semakin
berdebar-debar menghadapi kenyataan yang kurang
dimengerti sebelumnya. Apalagi kawan-kawannya yang lain. Satu dua orang,
bahkan rasa-rasanya telah menjadi berputus asa dan
kehilangan keberanian untuk berbuat sesuatu.
Namun dalam keadaan yang demikian terdengar suara
Rahu diantara anak-anak muda itu "Jangan menyerah kepada
cara yang licik dan kasar, bahkan buas dan liar. Jika kalian
tidak ingin dibantai dan dicincang di bukit gundul ini. kalian
harus berusaha melindungi diri kalian masing-masing, hanya
mereka yang ingin membunuh diri sajalah yang kehilangan
keberanian untuk melindungi diri masing-masing"
Suara Rahu ternyata bagaikan mengumandang memantul
pada dinding-dinding bukit. Anak-anak muda Lumban yang
mulai dirayapi oleh kengerian tiba-tiba menjadi sadar, bahwa
kelemahan jiwani akan justru semakin mempercepat
kehancuran mereka sendiri.
Sementara itu, di ujung lain terdengar suara kawan Semi
yang bertempur dengan garangnya "Anak-anak Lumban.
Yakinlah akan diri kalian masing-masing, bahwa kalian
mempunyai kelebihan. Setidak-tidaknya jumlah kalian jauh
lebih banyak. Yang kalian hadapi adalah orang-orang yang
hanya mampu berbuat kasar. Tetapi tidak mampu bertempur
dalam arti yang sebenarnya.
Rasa-rasanya anak-anak Lumban yang hampir menjadi
kehilangan akal melihat sikap lawannya, telah dijangkiti lagi
dengan tekad yang sejak semula mendorong mereka datang
ke bukit gundul itu. Karena itu, maka perlawanan merekapun
kemudian menjadi semakin mantap.
Orang-orang Pusparuri mengumpat dengan kasarnya.
Beberapa orang justru telah berteriak-teriak mengucapkan
kata-kata yang sama sekali tidak pantas.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa satu dua
anak-anak muda Lumban mulai dibasahi dengan darah.
Orang-orang Pusparuri itu dengan sengaja telah menunjukkan
betapa mereka dapat berbuat apa saja tanpa batas perasaan
sama sekali. Rahu menjadi cemas. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Ia
melihat darah mulai menitik dari tubuh anak-anak Lumban
Karena itu, ia harus membangkitkan keberanian anak-anak itu
dengan cara yang sama. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah melihat seorang
pengikut Kiai Pusparuri seperti angin pusaran. Dengan
segenap kemampuan yang ada padanya ia menyerang tanpa
memberi kesempatan kepada lawannya untuk
mempertahankan diri. Orang Pusparuri itu sama sekali tidak menduga, bahwa
ternyata lawannya memiliki kemampuan yang tidak terlawan.
Namun tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Senjata
Rahu seakan-akan telah memburunya kemana ia pergi.
Akhirnya, anak-anak muda Lumban mendengar orang itu
mengaduh tertahan. Senjata Rahu benar-benar telah
melukainya. Menyilang didada.
Orang itu terlempar beberapa langkah surut. Kemudian
terjatuh menelentang. Dengan susah payah ia berusaha untuk
bangkit, tetapi luka itu terasa terlalu pedih sementara darah
mengalir bagaikan terperas dari jantungnya.
Orang Pusparuri itu terjatuh lagi. Yang dapat dilakukannya
kemudian adalah merangkak menepi. Mengambil obat dari
kantong ikat pinggangnya dan mencoba mengurangi arus
darahnya yang mengalir dari lukanya.
Rahu tidak memburunya. Ia tidak ingin membunuh orang
yang sudah tidak berdaya, karena ia harus melawan orang lain
yang tiba-tiba saja telah menyerangnya.
Tetapi Rahu sudah siap. Ia ingin menunjukkan kepada dapi
lawan-lawannya. Orang-orang Pusparuri bukan hantu anakanak
muda Lumban yang mulai merasa ngeri menghadang
tidak terkalahkan. Sekali lagi Rahu menghentakkan segenap kemampuannya
yang ada padanya. Sekali lagi lawannya terlempar dengan
luka menganga di lambungnya.
Anak-anak muda Lumban yang sempat melihat
kemenangan-kemenangan itupun menjadi berbesar hati.
Meskipun ada diantara mereka yang telah menitikkan darah,
tetapi ternyata bahwa orang-orang Pusparuri itupun dapat
dilukai oleh salah seorang dari lingkungannya.
Dibagian lain kawan Semipun berbuat serupa. Anak-anak
muda Lumban yang menjadi cemas, bahwa Semi tidak segera
dapat mengatasi lawannya, sementara mereka menganggap
bahwa Semi adalah orang yang memiliki kelebihan jauh diatas
kemampuan mereka. Namun mereka tidak mengetahui,
bahwa lawan Semi adalah salah seorang kepercayaan Kiai
Pusparuri. Sehingga dengan demikian, maka lawan Semi
itupun memiliki kelebihan dari kawan-kawan mereka.
Untuk mengatasi kegelisahan itulah, maka kawan Semipun
telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Ketika ia
berhasil melukai seorang lawannya, maka anak-anak muda
Lumbanpun mulai melihat, bahwa mereka masih mempunyai
kesempatan. Karena itu, maka anak-anak muda Lumban yang hampir
saja kehilangan keberanian mereka untuk bertempur terus,
telah bangkit kembali setelah mereka melihat, bukan saja
anak-anak Lumban yang telah terluka. Tetapi orang-orang
Pusparuripun telah meneteskan darah pula. Apalagi ketika
salah seorang anak muda Lumban yang bertempur bersama
dua orang kawannya, tiba-tiba saja telah berhasil
menggoreskan senjatanya ketubuh lawan sehingga lawannya
itupun telah terluka dan tidak banyak dapat memberikan
perlawanan. Hanya karena seorang kawannya berhasil
membantu dan menolongnya, maka orang Pusparuri itu
sempat melepaskan diri dari maut
Yang bertempur diluar kemampuan pengamatan anak-anak
muda Lumban adalah Kiai Kanthi. Kawannya ternyata juga
seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Orang
malas itu, dalam pertempuran yang seru ternyata telah
mampu mengejutkan Kiai Kanthi dengan kekuatannya yang
sangat besar. Ayunan senjatanya yang aneh, yang tiba-tiba
saja telah berada di dalam genggaman telah mengejutkan Kiai
Kanthi. Tongkat-tongkat baja yang tidak begitu panjang
dikedua tangannya. Semula Kiai Kanthi menduga, bahwa kedua tongkat itu
dihubungkan dengan seutas rantai Tetapi ternyata kedua
tongkat itu terlepas satu sama lain.
Kiai Kanthi yang menyadari, betapa dahsyatnya
kemampuan lawannya, tidak dapat melawan dengan
tangannya. Kekuatan orang itu akan dapat menghancurkan
lengannya, jika senjatanya itu mengenainya. Karena itu, maka
Kiai Kanthipun segera menarik senjatanya pula. Senjata yang
juga tidak cukup panjang dan yang selalu terselip di bawah
kain panjangnya. Dengan sebilah luwuk yang tidak terlalu panjang Kiai Kanthi
melawan sepasang tongkat baja di kedua tangan lawannya.
Namun ternyata bahwa luwuk itu di tangan Kiai Kanthi benarbenar
merupakan senjata yang sangat berbahaya. Luwuk itu
seolah-olah telah berterbangan disekitar tubuh pemalas yang
memiliki ilmu yang tinggi itu.
Namun dalam pada itu, dalam pertempuran yang semakin
sengit, ternyata bahwa pemalas itu masih belum mampu
mengimbangi ilmu Kiai Kanthi ketika Kiai Kanthi sampai
kepuncak kemampuannya. Ternyata orang tua dari lereng
bukit berhutan itu benar-benar memiliki ilmu yang
mengagumkan. Dalam keadaan terdesak, pemalas itu telah menghentakkan
kemampuannya. Dengan teriakan nyaring ia berusaha untuk
menyerang. Sambil memutar kedua batang tongkatnya, maka
dengan kekuatan getar suaranya ia berusaha untuk
mempengaruhi perlawanan Kiai Kanthi.
Tetapi Kiai Kanthi cukup memahami cara yang ditempuh
Sawannya. Bahkan tiba-tiba saja Kiai Kanthi itu telah tertawa.
Suaranya tidak begitu keras. Tetapi suaranya itu telah
menenggelamkan teriakan-teriakan lawannya yang
menggelegar seperti guntur.
Anak-anak Lumban yang mendengar teriakan lawan Kiai
Kanthi itu telah tergetar seluruh isi dada mereka. Seolah-olah
bukit gundul itupun telah terguncang. Namun dengan
benturan suara yang terjadi, maka teriakan-teriakan itu tidak
lagi mampu mengguncang jantung anak-anak muda Lumban.
Suara tertawa Kiai Kanthi yang tidak begitu keras, telah
menjadi perisai dari getaran-getaran yang terlontar dari
teriakan-teriakan kasar pemalas yang bertempur melawan Kiai
Kanthi itu. Bahkan sejenak kemudian, Kiai Kanthipun mulai dengan
sungguh-sungguh menekan lawannya, ketika ia melihat bahwa
anak-anak Lumban benar-benar dalam keadaan bahaya.
Dengan sungguh-sungguh Kiai Kanthi mulai membatasi gerak
lawannya. Sebelum anak-anak Lumban benar-benar
mengalami bencana, maka ia harus sudah dapat
membebaskan diri dari lawannya yang kasar itu.
Untunglah bahwa Rahu dan kawan Semi mampu
membangkitkan gejolak perjuangan yang semakin mantap
diantara anak-anak muda Lumban. Namun kegarangan orangorang
Pusparuripun menjadi semakin menggila.
Mereka dengan sengaja berusaha menakut-nakuti anakanak
muda Lumban. Bagaimanapun juga, anak-anak muda itu
akan ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Kanthi benar-benar telah
berhasil menguasai Kiai Benda, pemalas yang berada di dalam
lingkungan orang-orang Pusparuri. Sebenarnya ia memiliki
ilmu yang melampaui orang-orang kepercayaan Kiai Pusparuri,
tetapi karena sifatnya yang malas dan menurut i kehendak
sendiri, maka ia tidak banyak mendapat kesempatan.
Meskipun demikian orang itu tetap berada di lingkungan
orang-orang Pusparuri, karena Kiai Pusparuri tidak banyak
menegurnya dan membiarkannya berbuat sesuka hati.
Sebenarnyalah Kiai Pusparuri berharap, aga pemalas itu
segera dapat menyelesaikan lawannya, karena Kiai Pusparuri
tahu, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
Namun berhadapan dengan Kiai Kanthi, maka justru
pemalas itulah yang telah terdesak dan bahkan seolah-olah
telah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.
Kiai Pusparuri sendiri yang bertempur melawan Pangeran
Sena Wasesa melihat, betapa pemalas itu selalu terdesak.
Karena itu, maka dalam keadaan yang gawat itu, ia tidak
dapat membiarkan dan memanjakannya. Dengan geram Kiai
Pusparuri berteriak "He, pemalas dungu. Apa yang kau
kerjakan he" Tidur" Lawanmu, orang tua sakit-sakitan itu
sudah waktunya untuk diselesaikan"
Tetapi jawab pemalas itu membuatnya berdebar-debar
"Aku tidak dapat melakukannya. Orang itu memiliki ilmu yang
tinggi. Justru akulah yang sudah terdesak sekarang ini"
"Pemalas Gila" geram Kiai Pusparuri "Jika demikian,
sebentar lagi kau akan dibantai oleh orang tua sakit-sakitan
itu" "Aku akan melawan. Tetapi jika aku tidak mampu, apaboleh
buat" jawab Kiai Benda.
Kiai Pusparuri mengumpat kasar. Tetapi sebenanrnyalah ia
melihat pemalas itu selalu terdesak. Semakin lama nampak
semakin sulit, karena sebenarnyalah Kiai Kanthi adalah
seorang yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya.
Tetapi Kiai Benda ternyata tidak semalas yang diduga
dalam menghadapi kesulitan yang paling gawat. Ia tidak
segera menyerah kepada keadaan dan membiarkan dirinya
digilas oleh lawannya. Namun ia telah berjuang dengan
segenap kemampuan yang ada padanya pada tingkat ilmunya
yang tertinggi. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat berbuat banyak.
Luwuk di tangan Kiai Kanthi itu telah meraba kulitnya.
Betapapun ia melawan dengan tongkat bajanya, namun luwuk
itu seolah-olah memiliki ketajaman penglihatan untuk
menyusup disela-sela perlahannya.
"Setan alas" geram pemalas itu. Namun ia tidak kuasa
membendung ujung senjata Kiai Kanthi. Ketika sekali lagi
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujung luwuk itu menggores kulitnya, pemalas itu berteriak
kasar sambil meloncat mundur.
Tetapi Kiai Kanthi ternyata benar-benar tidak mau
melepaskannya. Dengan cepat. Kiai Kanthipun meloncat
memburu sambil menyerang. Ia tidak mau terlambat
membantu anak-anak Lumban yang mengalami kesulitan.
Tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari libatan ilmu Kiai
Kanthi. Getaran ilmu yang dilontarkan lewat suaranya ternyata
tidak dapat menahan Kiai Kanthi. Bahkan ujung luwuk Kiai
Kanthi telah menyayat kulitnya dan darahpun mengalir dari
lukanya. Hentakan-hentakan terakhir dari pemalas itu, justru
bagaikan memeras darahnya lewat luka-luka di kulitnya.
Semakin banyak darah yang mengalir, maka tubuhnyapun
menjadi semakin lemah. Sehingga karena itu, maka seranganserangan
Kiai Kanthi berikutnya semakin banyak yang
mengenainya. Kiai Kanthipun menyadari, bahwa lawannya sudah tidak
terlalu berbahaya lagi. Namun demikian, ia tidak ingin
menyesal dengan meninggalkannya, karena iblis pemalas itu
akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan. Karena itulah,
maka Kiai Kanthi masih meloncat menjulurkan senjatanya
ketika pemalas itu berusaha menghindar dari pertempuran.
Ternyata senjata Kiai Kanthi itu menyusup diantara tulangtulang
iganya. Memang tidak terlalu dalam dan tidak
menggapai jantung di dalam dadanya. Tetapi luka itu
membuatnya kehilangan keseimbangan. Meskipun ia masih
berusaha, tetapi akhirnya perlahan-lahan ia benar-benar telah
kehilangan keseimbangannya itu.
Kiai Kanthi tertegun sejenak. Dilihatnya orang itu
terhuyung-huyung. Kemudian jatuh terkulai dengan lemahnya.
Sesasat Kiai Kanthi masih melihat tangannya menggapai
sesuatu pada ikat pinggangnya. Dengan gemetar orang itu
mengambil serbuk obat dari sebuah bumbung kecil. Dengan
sisa tenaganya ia berusaha menghamburkan obat itu pada
lukanya disela-sela tulang iga itu. Luka yang paling parah pada
tubuhnya. Kiai Kanthi membiarkannya saja. Ia tahu pasti, meskipun
darahnya kemudian menjadi pampat, tetapi orang itu tidak
akan berdaya lagi. Karena itulah, maka iapun kemudian
memalingkan wajahnya. Dipandanginya seluruh arena
pertempuran. Di perhatikannya Pangeran Sena Wasesa yang
bertempur melawan Kiai Pusparuri. Keduanya memiliki
kelebihan yang menggetarkan.
Namun dalam pada itu, perhatian Kiai Kanthi lebih banyak
tertarik kepada anak-anag muda Lumban yang sedang
bertempur. Karena itu, maka seolah-olah diluar sadarnya. Kiai
Kanthi telah melangkah meninggalkan pemalas yang parah itu,
menuju ke arena pertempuran anak-anak muda Lumban
melawan orang-orang Pusparuri yang garang, liar dan bahkan
buas. "Hampir saja aku terlambat" berkata Kiai Kanthi.
Sementara itu, seorang anak muda telah terlempar dari
arena. Meskipun ia bertempur berpasangan, namun ternyata
keduanya tidak mampu bertahan atas kekasaran lawannya.
Sebuah golok yang besar telah melemparkan pedang anak
muda Lumban. Kemudian sebuah tusukan yang cepat telah
merobek lambungnya. Sementara kawannya berusaha untuk
membantunya, golok itu telah mengarah mendatar, sehingga
ujung golok itu seolah-olah telah menyusup disela-sela gerak
senjata lawannya, mengenai perut, meskipun tidak begitu
dalam. Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia t idak
dapat hanya menonton saja. atau membiarkan mereka
bertempur sebagaimana orang-orang Pusparuri bertempur.
Karena itu. Kiai Kanthipun tidak merasa bersalah, apabila ia
melibatkan diri diantara orang-orang Pusparuri yang
mengamuk dengan liarnya. Kehadiran Kiai Kanthi yang dengan serta merta itu, mulamula
tidak banyak mendapat perhatian. Namun ketika satu
dua orang Pusparuri seolah-olah begitu saja terlempar dari
aiena, barulah mereka memperhatikannya.
Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Baru mereka
menyadari, bahwa orang tua itu adalah orang yang semula
menempatkan diri menjadi lawan Ki Benda, pemalas yang
berilmu mumpuni itu. Dalam pada itu. ternyata Rahupun masih bertempur
dengan garangnya. Jlitheng yang menghadapi orang berwajah
panjang dan bertongkat baja itupun ternyata telah berhasil
menguasainya. Serangan-serangannya tidak lagi mengarah ke
sasaran. Jlitheng berhasil memancing orang itu untuk
mengerahkan tenaganya, sehingga pada saat-saat terakhir,
nafas orang itu hampir terputus karenanya.
Meskipun demikian, dengan hentakkan-hentakkan yang
cepat, orang itu masih saja menyerang Jlitheng dengan
garangnya. Ternyata tongkat baja orang itu tidak banyak
berpengaruh atas senjata Jlitheng yang tipis. Namun Jlitheng
benar-benar menguasai ilmu pedang dengan baik, sehingga
dengan kemampuannya itu, ia justru telah mengusai
permainan senjata lawannya. Ayunan yang garang, keras dan
kuat, yang langsung mengarah ke tqngkuk Jlitheng, telah
terayun dan kehilangan arah hanya oleh sentuhan pendek dari
pedang Jlitheng yang tipis. Bahkan tangan lawannya yang
terseret oleh arus pukulannya yang keras itu. telah
membuatnya kehilangan pengamatan atas gerak senjata
lawannya. Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Pedang
tipis Jlitheng ternyata telah menyentuh lengannya. Sentuhan
yang lemah itu ternyata telah mengoyak daging lawannya
sehingga sebuah luka yang dalam telah menganga. Darah
mengalir dengan derasnya dan kecemasanpun mencengkam
jantungnya. Tidak banyak kesempatan orang berwajah panjang itu.
Jlitheng yang juga melihat kesulitan anak-anak Lumban, telah
mengerahkan kecepatan dan kemampuan ilmu pedangnya
untuk mengakhiri pertempuran itu.
Selagi lawannya belum menyadari sepenuhnya apa yang
terjadi, sekali lagi pedang Jlitheng mengenai tubuh lawannya.
Dada orang itu lelah tergores menyilang.
Kesakitan yang sangat telah menyengat dadanya.
Dorongan sentuhan pedang itu dan usahanya untuk
menghindar namun tidak berhasil, justru telah
melemparkannya jatuh terlentang. Namun karena lukanya
yang parah, maka orang itu tidak sempat bangkii kembali.
Ternyata ia hanya sempat merintih pendek. Kemudian iapun
jatuh pingsan. Jlitheng yang terlepas dari lawannya berwajah panjang
itupun segera menempatkan diri disamping Rahu. Namun
ketika ia melihat dibagian lain anak-anak Lumban itu
mengalami kesulitan, maka iapun telah meninggalkan Rahu
yang bertempur dengan garangnya pula.
Disekitar Daruwerdi yang bertempur melawan Laksita,
kedua pamannya tengah bertempur pula. Sementara Semi
masih terlibat dalam pertempuran melawan Sentika. Namun
kawan Semi itu sempat berada diantara anak-anak muda
Lumban yang mengalami kesulitan.
Kehadiran Jlitheng telah membantu anak-anak muda
Lumban. Dengan pedang tipisnya anak-anak muda itu meloncat
dari seorang lawan ke lawan yang lain untuk
mengurangi tekanan mereka terhadap anak-anak muda
Lumban. Namun dibagian lain, orang-orang Pusparuri itu seolah-olah
telah susut dengan cepatnya. Anak-anak muda Lumban yang
hampir kehilangan kesempatan mulai bangkit dan bertempur
dengan berani "Kiai Kanthi" desis Jlitheng.
Agaknya orang tua itu benar-benar ingin membantu dan
melindungi anak-anak muda Lumban. Meskipun sebenarnyalah
jika pada permulaan pertempuran itu anak-anak muda
Lumban tidak ikut serta, maka orang-orang berilmu itupun
tidak mampu bertahan terhadap orang-orang Pusparuri yang
jumlahnya jauh lebih banyak, namun yang ternyata kemudian
harus turun melawan anak-anak muda Lumban yang
jumlahnya masih lebih banyak lagi dari jumlah mereka.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran itupun
dengan cepat telah berubah. Orang-orang Pusparuri mulai
menjadi cemas. Meskipun mereka berhasil melukai banyak
anak-anak Lumban, tetapi pada saat-saat terakhir, orangorang
Pusparurilah yang telah terlempar dari arena dan jatuh
terbanting di tanah dengan darah yang mencucur dari luka.
Kiai Kanthi, Jlitheng, Rahu dan kawan Semi benar-benar telah
merubah keadaan. Kiai Pusparuri melihat keadaan yang sulit itu. Dengan
hentakk n entakkan ilmunya ia berusaha untuk mempercepat
tugasnya, menguasai Pangeran Sena Wasesa. Namun
sebagaimana dikehendaki, bahwa Kiai Pusparuri ingin
menangkap Pangeran itu hidup-hidup.
Ternyata bahwa Kiai Pusparuri memang seorang yang pilih
tanding. Ia memiliki kelebihan ilmu dari Pangeran Sena
Wasesa. Namun justru kegelisahannya yang membuatnya
kadang-kadang kehilangan kesempatan.
Justru karena itulah, maka seolah-olah Pangeran Sena
Wasesalah yang berhasil mendesaknya. Pangeran itu sama
sekali tidak perlu berusaha untuk tidak melukai, apalagi tidak
membunuh lawannya. Pangeran Sena Wasesa yang
mempergunakan senjata khususnya ditelapak tangan kirinya,
ternyata mempunyai pengaruh yang besar pada usaha Kiai
Pusparuri untuk dapat menangkapnya hidup-hidup.
Sementara itu, orang-orang Pusparuri benar-benar
mengalami kesulitan yang mendesak. Nampaknya Semi telah
menjadi mapan dan berhasil mengimbangi ilmu lawannya.
Daru-werdipun mampu bertahan dalam tataran ilmu yang
setingkat. Sementara Jlitheng, Rahu dan Kiai Kanthi dengan
pasti telah mengurangi jumlah lawan seorang demi seorang
sehingga akhirnya orang-orang Pusparuri itupun tidak lagi
melihat kemungkinan untuk dapat berhasil.
Kiai Pusparuri menggeram dengan marah. Sementara
Pangeran Sena Wasesa sempal berkata "Perhatikan orangorangmu
Kiai. Apakah kau masih berkeras dengan niatmu"
Kiai Pusparuri tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar
merasa salah hitung alas lawannya. Apalagi ketika ia melihat,
bahwa orang-orangnya benar-benar mengalami kesulitan.
Ternyata diantara anak-anak muda Lumban memang terdapat
orang-orang yang memiliki ilmu yang melampaui rata-rata
kemampuan orang-orangnya. Sehingga dengan demikian,
maka orang-orang itu telah mampu membuat lubang-lubang
pada perlawanan orang-orang Pusparuri.
Namun dalam pada itu. Kiai Pusparuri itu masih melihat Ki
Ajar Pamotan Galih masih belum mulai bertempur. Karena itu.
maka iapun berteriak kasar "He, Ajar Pamotan Galih. Apa yang
sebenarnya ingin kau lakukan disini"
Ajar Pamotan Galih sama sekali tidak menjawab. Bahkan
suara itu seolah-olah tidak didengarnya sama sekali. Yang
terdengar pada telinga hatinya, adalah jerit yang memekik dari
dasar hatinya. Dalam pada itu, Jlitheng yang tidak melihat bahaya yang
rawat mengancam anak-anak Lumban setelah beberapa orang
Fusparuri dilumpuhkan, apalagi sejak Kiai Kanthi berada
diantara anak-anak muda itu pula, telah sempat melihat apa
yang terjadi dengan Ki Ajar Pamotan Galih dan Orang cacat
yang menyiapkan diri menjadi lawannya.
Namun yang dilihatnya adalah sesuatu yang sama sekari
diluar dugaannya. Kedua orang itu tidak mengulangi
pertempuran yang pernah terjadi. Tetapi hampir tidak percaya
kepada penglihatannya, Jlitheng menyaksikan Ki Ajar Pamotan
Galih mengusap matanya. Jlitheng yang melangkah mendekat dengan ragu-ragu
melihat, Ki Ajar Pamotan Galih itupun kemudian duduk diatas
sebuah batu padas memandang kekejauhan, sementara orang
cacat yang menyebut dirinya sebagai Ki Ajar Cinde Kuning itu
berdiri di sisinya "Apa yang terjadi Kiai?" bertanya Jlitheng.
Ki Ajar Pamotan Galih berpaling. Dipandanginya Jlitheng
sesaat Tetapi ia tdiak menjawab.
Sementara itu Ki Ajar Cinde Kuning berkata "Kau sudah
mengetahui hubungan kami. Aku sudah mengatakannya"
"Apakah Ki Ajar Pamotan Galih mengakuinya?" bertanya
Jlitheng. Sekali lagi Ki Ajar itu berpaling Dan Jlitheng menjadi semakin
jelas melihat mata orang tua itu menjadi basah.
Sesuatu yang aneh bagi Jlitheng Ki Ajar Pamotan Galih i
tialah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ia
memiliki kelebihan atas Pangeran Sena Wasesa. Bahkan ia
adalah orang yang pernah hidup dalam lingkungan orangorang
kasar dan liar. Namun orang yang demikian itu masih
dapat juga membasahi pelupuknya dengan air mata.
"Pamotan Galih" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "Kini
segalanya telah berakhir. Permainan yang tidak menarik sama
sekali ini sudah dapat diakhiri. Kau sudah melihat wajahmu
sendiri pada dataran air yang bening dan diam. Kau lihat cacat
dan celanya. Kau lihat noda dan belangnya"
Ki Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata "Aku sudah mengaku segalanya. Aku
memang harus bertanggung jawab atas segala peristiwa yang
terjadi di bukit gundul ini. Pembantaian yang terjadi antara
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali" Putih.
Kemudian apa yang kita saksikan sekarang adalah akibat
kesalahanku. Aku tidak ingkar, dan aku akan menanggung
segala hukumannya" "Hukuman apa yang pantas diberikan kepada yang berbuat
kesalahan seperti yang kau lakukan?"nya Ki Ajar Cinde Kuning.
"Aku tidak tahu" jawab Ki Ajar Pamotan Ga eku akan
menyerah hukuman apa saja yang akan diberikan kepadaku.
Aku tidak akan ingkar seandainya aku akan di hukum picis
sekalipun" "Pamotan Galih" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "Sebenarnya
tidak ada hukuman yang berarti jika hukuman itu tidak dapat
menumbuhkan satu kesadaran untuk mengakui kesalahan dan
berjanji di dalam diri sendiri untuk tidak melakukannya lagi"
Ki Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang pertempuran itu. maka ia melihat orang orang
Pusparuri menjadi semakin susut. Beberapa orang yang masih
bertahan harus menghadapi lawan yang jumlahnya semakin
banyak Sementara itu Kiai Pusparuri ternyata tidak semudah
yang diduganya untuk menguasai Pangeran Sena VVasesa.
Apalagi ketika ia melihat Ajar Pamotan Galih justru duduk
diatas batu padas, maka darahnya bagaikan mendidih di
jantungnya. Tetapi dari lingkaran pertempurannya, Kiai
Pusparuri tidak melihat bahwa mata Ki Ajar Pamotan Galih
lelah basah. Ternyata Ki Ajar Cinde Kuning sempat memberikan
bayangan pada angan-angan Ajar Pamotan Galih, hasil dari
segala perbuatannya, termasuk diri Ajar Cinde Kuning itu
sendiri. "Kau adalah saudara bukan saja sekandung, tetapi kau
adalah saudara kembar" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "Tetapi
mata hatimu telah tersumbat oleh keinginan duniawi sehingga
kau telah melupakan yang justru lebih penting dari segalanya,
hidupmu dialam langgeng"
Ki Ajar Pamotan Galih masih memandang keadaan
disekitarnya. Namun lambat laun, kepalanya telah tertunduk.
Sekali lagi ia mengusap matanya yang menjadi basah. Pada
tanah padas di bawah kakinya, seolah-olah ia telah melihat
tingkah lakunya pada masa yang lalu. Puncak dari
kebengisannya adalah usaha pembunuhan atas saudara
kembarnya sendiri. Tetapi ternyata orang yang disangkanya
mati itu masih sempat menolong dirinya sendiri meskipun ia
kemudian menjadi cacat dan wajahnya seakan-akan telah
berubah dari ujudnya yang semula. Tidak seorangpun akan
dapat mengenainya lagi sebagai Ajar Cinde Kuning selain diri
orang itu sendiri. Dan orang itu telah datang kepadanya,
memberikan gambaran yang seolah-olah justru peristiwa itu
sendiri telah terulang kembali.
Bahkan, Ki Ajar Cinde Kuning bukan saja membangunkan
ingatannya, bagaimana ia dengan curang membunuh saudara
kembarnya, tetapi yang lebih pedih dihatinya, adalah justru Ki
Ajar Cinde Kuning mampu membangunkan kembali ingatannya
pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa mereka berdua
bermain bersama. Bergurau dengan riang bersama ayah dan
bundanya. Kemudian tumbuh menjadi remaja yang nampak
memiliki kelebihan dari kawan-kawannya justru karena
kesempatan bagi mereka berdua untuk membangun diri
mereka. Ki Ajar Pamotan Galihpun seolah-olah melihat kembali,
bagaimana mula-mula mereka menempuh jalan yang keluar
dari garis kebenaran. Bagaimana mereka kemudian digelut
oleh jalan kehidupan yang hitam.
Tetapi ternyata Ajar Cinde Kuning berhasil melepaskan
dirinya dari gelapnya jalan kehidupan. Berbeda dengan dirinya
sendiri yang justru terbenam semakin dalam, sehingga sulit
baginya untuk melepaskan diri sebagaimana ditempuh oleh
saudara kembarnya. Dan akhirnya ia sampai pada puncak
kejahatan seorang yang paling jahat. Ia sampai hati
membinasakan saudara sendiri.
Ki Ajar Pamotan Galih terkejut ketika ia mendengar Kiai
Pusparuri berteriak keras sekali "Pamotan Galih Kenapa kau
tidak membunuh dirimu saja agar tidak menyakiti mataku.
Pemalas yang bodoh itu bertempur sampai batas kesetiaannya
kepada cita-citanya. Apa yang kau lakukan disini he?"
Ki Ajar Pamotan Galih t idak mendengarkannya. Sekali lagi
ia menundukkan kepalanya.
"Kau mulai melihat cahaya di dalam hatimu" berkala Ki Ajar
Cinde Kuning "Tidak terlambat bagimu untuk membersihkan
noda-moda yang melekat pada dirimu"
Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih menggeleng lemah. Katanya
"Tanganku telah aku kotori dengan darah saudara kandungku,
bahkan saudara kembarku. Tidak ada air yang dapat
membersihkannya lagi"
"Tentu ada" jawab Ki Ajar Cinde Kuning "air dari pelupuk
matamu akan membersihkannya Bukan saja noda tanganmu
yang kau kotori dengan darah saudaramu, tetapi noda
dihatimupun akan terhapus karenanya. Titik air di pelupuk
matamu adalah pertanda penyesalanmu yang paling dalam,
karena aku tahu, bahwa kau tidak akan menit ikkan air mata
jika kau tidak merasa betapa pedihnya luka dihati. Kau adalah
seorang laki-laki. Karena itu, titik air pelupuk matamu adalah
nilai-nilai dari penyesalanmu"
"Apakah itu sudah cukup?" bertanya Pamotan Galih.
"Tidak ada yang lebih berharga selain penyesalan yang
mendalam sampai ke pusat jantung bagi seorang yang paling
kotor di muka bumi" jawab Ki Ajar Cinde Kuning "karena itu,
maka penyesalanmu itu akan mencuci segala kekotoran di
dalam dirimu lahir dan batin, asal penyesalanmu itu benarbenar
kau persembahkan kepada Yang Maha Kuasa. Yang
menciptakan segala yang ada. Yang mengurniakan akal dan
budi serta memberikan kebebasan memilih jalan hidup
masing-masing bagi ciptaanya yang paling disayanginya, yang
disebut manusia. Namun yang justru paling menentang
kehendaknya dan menyakit i hatiNya"
Ki Ajar Pamotan Galih sama sekali tidak menjawab.
Kepalanya menjadi semakin tunduk. Dan seolah-olah ia
menjadi semakin mengenal diri sendiri, semakin melihat cacat
dan nodanya. Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih sudah bertekad untuk t idak
melarikan diri dari kenyataan yang dihadapinya. Ia akan
mempertanggung jawabkannya. Dan pertanggungan jawab
yang paling berat, sebagaimana ditunjukkan oleh saudara
kembarnya itupun akan dilakukannya. Menyesal sampai ke
dasar hati. Mengakui segala kesalahan dan mohon
pengampunan kepada Yang Maha Penyayang.
Dalam pada itu, Jlitheng yang menyaksikan pembicaraan
antara kedua orang saudara kembar, namun yang wajahnya
sama sekali sudah tidak serupa lagi itu, merasa betapa
dadanya menjadi berdentangan. Seolah-olah ia ikut
merasakan penyesalan yang paling dalam dihati Ajar Pamotan
Galih itu. Namun demikian ia sempat mendengar Kiai Pusparuri
mengumpat-umpat sambil bertempur mengerahkan segenap
kekuatannya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa orang-orang
Pusparuri sudah tidak lagi mempunyai kemungkinan apapun
juga untuk memenangkan pertempuran itu. Betapa liarnya
orang-orang Pusparuri, namun menghadapi jumlah yang
banyak serta beberapa orang yang memiliki kelebihan dari
mereka, ternyata bahwa akhirnya orang-orang Pusparuri itu
benar-benar dapat dilumpuhkan.
Sementara itu, Kiai Pusparuri sendiri masih bertempur
dengan dahsyatnya. Ia mampu mengerahkan ilmu puncaknya
yang melampaui kemampuan daya tahan Pangeran Sena
Wasesa. Apalagi luka Pangeran Sena Wasesa yang nampaknya
sudah sembuh, dalam pertempuran yang dahsyat itu, terasa
menjadi sakit Meskipun demikian, Pangeran itu tetap bertahan dengan
sekuat tenaganya. Sekali-sekali ia masih juga mampu
mendesak lawannya, namun pada kesempatan lain, Pangeran
Sena Wasesa harus meloncat surut sejauh-jauhnya.
Tetapi dalam pada itu. Kiai Pusparuri menjadi sangat
gelisah, ketika dilihatnya Kiai Kanthi berdiri beberapa langkah
dari arena pertempurannya melawan Pangeran Sena Wasesa.
Bahkan kemudian Rahu. Semi dan kawannya telah
mendekatinya pula. Ternyata mereka telah menyelesaikan
kewajiban mereka. Lawan-lawan mereka telah mereka
lumpuhkan sehingga mereka tidak lagi terikat dalam
pertempuran. "Orang-orang Pusparuri telah diselesaikan" desis Kiai Kanthi
"Yang tersisa sudah menyerah kepada anak-anak muda
Lumban" Kiai Pusparuri menggeram. Namun ia memang melihat
kenyataan itu. Namun dalam pada itu, berbeda dengan Semi yang berhasil
melumpuhkan lawannya, ternyata bahwa Daruwerdi tidak
sempat berbuat seperti Semi. Kepercayaan Kiai Pusparuri yang
bertempur melawannya itu, ternyata telah berhasil melarikan
diri. Ia menyusup diantara anak-anak Lumban yang sibuk
mengurusi orang-orang Pusparuri yang menyerah. Kemudian
dengan cepatnya Laksita itu berlari ke balik bebatuan dan
gerumbul-gerumbul perdu di bawah kaki bukit gundul.
Meskipun Daruwerdi berusaha untuk mengejarnya, tetapi
ternyata bahwa Laksita mempunyai kesempatan untuk
melepaskan diri dari tangan Daruwerdi.
Akhirnya Daruwerdi memutuskan untuk t idak mengejar
lawannya. Daruwerdi merasa bahwa ia tidak akan dapat
menangkapnya, karena lawannya mendapat kesempatan lebih
baik dari padanya. Apalagi bebatuan dan gumpalan-gumpalan
padas di bawah bukit gundul itu kadang-kadang menghalangi
penglihatannya dan menjadi tempat lawannya menghilangkan
jejak. "Biarlah ia hidup" berkata Daruwerdi "Tetapi pada satu
kesempatan, ia akan mengalami nasib yang sama seperti
kawan-kawannya. Apalagi orang itu tidak akan dapat berbuat
apa-apa tanpa Kiai Pusparuri"
Karena itulah, maka Daruwerdipun segera melangkah
kembali. Ia melihat beberapa orang anak muda Lumban
mengikut inya. Mereka bermaksud membantu Daruwerdi
mengejar orang yang melarikan diri itu. Tetapi dalam pada itu
Daruwerdi berkata "Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Orang itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga berpengaruh
atas kemampuannya.melarikan diri"
Anak-anak muda Lumban itupun hanya dapat
mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apaapa.
Dalam sekejap, orang yang dikejar Daruwerdi itu seolaholah
memang sudah hilang. Karena itu, maka merekapun segera kembali ke arena.
Namun rasa-rasanya medan itu telah menjadi sepi. Yang
nampak sibuk kemudian adalah anak-anak muda Lumban
membantu tabib yang semula berada di antara orang-orang
Sanggar Gading, namun yang kemudian menyadari, bahwa
tempat itu bukanlah tempatnya yang sebenarnya
Namun akhirnya Daruwerdipun melihat sebuah lingkaran
pertempuran yang dikerumuni oleh beberapa orang. Ternyata
Pangeran Sena Wasesa masih bertempur melawan Kiai
Purparuri. Pertempuran yang sebenarnya mencemaskan,
karena ternyata bahwa kemampuan Kiai Pusparuri memang
selapis lebih t inggi dari Pangeran Sena Wasesa. Hanya dalam
keadaan yang khusus sajalah Pangeran Sena Wasesa, yang
sudah dapat disebut seseorang yang memiliki ilmu yang
mumpuni itu, dapat menang atas lawannya.
Kiai Kanthi yang berdiri dekat dengan arena itu menjadi
sangat gelisah. Sementara itu, yang lainpun berdiri termangumangu
dengan hati yang berdebar-debar.
Dalam pada itu, Ki Ajar Cinde Kuning yang sudah meyakini
bahwa saudara kembarnya itu sempat merenungi dirinya dan
keadaannya, kemudian berkata "Baiklah Pamotan Galih.
Cobalah kau renungi dirimu sendiri. Memang tidak ada batas
keterlambatan untuk mengakui segala kesalahan dan
pertaubatan selagi nafas kita masih mengalir. Karena itu,
lakukanlah. Sementara ini aku akan bertemu dengan Kiai
Pusparuri yang masih bertempur dengan Pangeran Sena
Wasesa. Nampaknya ada sesuatu yang harus
dipertimbangkan. Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab. Kepalanya masih
saja tunduk dalam-dalam. Namun terasa ia memang sedang
merenungi dirinya sendiri. Ia sedang memandang jauh
kedalamdasar jantungnya dan menghunjam ke hatinya.
Sementara itu, Ki Ajar Cinde Kuningpun kemudian
melangkah meninggalkan saudara kembarnya mendekati
arena pertempuran itu. Jlitheng masih berdiri termangu-mangu. Memang ada
kecurigaan bahwa Ki Ajar Pamotan Galih itu akan berbuat
sesuatu. Namun dalam keragu-raguan itu ia justru berdiri saja
seperti orang yang sedang kebingungan.
"Anak muda" tiba-tiba terdengar suara Ki Ajar Pamotan
Galih. Jlitheng memandang Ajar Pamotan Galih yang masih
tertunduk diam, namun bibirnyalah yang bergerak.
"Kemarilah" desis Ki Ajar itu kemudian.
Jlitheng masih bertempur dengan orang berwajah panjang.
Ternyata dengan ilmu yang kasar dan keras, orang berwajah
panjang itu memang memiliki kelebihan dalam olah
kanuragan. Tetapi untunglah, bahwa Jlitheng dengan cepat
menempatkan diri sebagai lawannya, sehingga orang itu tidak
sempat melakukan pembantaian atas anak-anak muda
Lumban. Jlitheng ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia melangkah
maju mendekat meskipun ia harus berhati-hati.
"Anak muda. Orang itu adalah saudara kembarku. Karena
itu, ia bersikap baik terhadapku. Ia berusaha untuk
menenangkan hatiku yang serasa terbakar oleh gejolak
penyesalan yang tidak kunjung ada habisnya" Ki Ajar Pamotan
Galih berhenti sejenak, lalu "Tetapi kau adalah orang lain
bagiku. Mungkin kau membeciku. Tetapi mungkin kau
menaruh belas kasihan. Tetapi coba katakan dengan jujur,
seperti sikapmu yang jujur pada saat kau berada di
padepokanku. Tanpa mengenal takut kau katakan apa yang
ingin kau katakan" "Apa maksudmu Ki Ajar?" bertanya Jlitheng.
"Katakan dengan jujur. Apakah orang seperti aku ini masih
pantas untuk hidup" Apakah orang seperti aku ini masih
pantas untuk mohon pengampunan kepada Yang Maha
Kuasa?" bertanya orang tua itu.
Jlitheng menjadi bingung sesaat Tetapi hampir diluar
sadarnya ia menjawab menirukan jawaban Ki Ajar Cinde
Kuning sebelumnya "Tentu Ki Ajar. Tidak ada batas
keterlambatan, selama nafas masih mengalir dari dalam dada
kita" Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Terima
kasih. Aku percaya kepadamu"
Jlitheng masih termangu-mangu. Namun kemudian Ki Ajar
itu berkata "Tinggalkan aku. Aku sudah puas mendengar
jawabanmu. Aku akan berusaha melakukannya seperti yang
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinasehatkan oleh saudara kembarku itu"
Jlitheng mengangguk-angguk. Ketika Ki Ajar itu
mengangkat wajahnya, seperti sudah dilihatnya, matanya
menjadi basah. Jlithengpun kemudian beringsut menjauhinya. Ketika ia
berpaling, dilihatnya lingkaran pertempuran yang masih belum
terselesaikan. Karena itu, maka iapun kemudian melangkah
meninggalkan Ki Ajar Pamotan Galih menuju ke arena
pertempuran yang dahsyat itu.
Pangeran Sena Wasesa memang menjadi semakin
terdesak. Sementara itu Kiai Kanthi berdiri dekat di batas
arena. Bahkan kemudian orang cacat yang bernama Ki Ajar
Cinde Kuning itupun telah berada di lingkaran pertempuran itu
pula. Ki Ajar itu mengangguk-angguk, lapun melihat, bahwa sulit
sekali bagi Pangeran Sena Wasesa untuk memenangkan
perang tanding melawan Kiai Pusparuri itu.
Dalam pada itu Rahupun berkata lantang "Kiai Pusparuri.
Kau sudah tidak mempunyai kesempatan apapun juga.
Menyerahlah" "Persetan" geramnya "Aku akan membunuh Pangeran ini.
Aku menganggap bahwa ia sudah tidak berguna lagi. Akupun
tidak lagi menginginkan pusaka dan harta benda itu. Aku
hanya ingin membunuhnya"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Pada wajah Kiai
Pusparuri memang sudah tidak nampak lagi nafsunya untuk
mendapatkan pangkat, derajad dan semat. Yang memancar
pada sorot matanya adalah dendam semata-mata.
Kegagalannya mendapatkan pusaka dan kegagalannya dalam
usahanya yang terakhir itu telah membuatnya menjadi
kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan demikian maka
yang dilakukannya kemudian t idak lebih dari satu tindakan
dalam keputus-asaan. Namun demikian, tidak dapat diingkari, bahwa Kiai
Pusparuri memang mempunyai kelebihan dari Pangeran Sena
Wasesa. Karena itu, maka dalam puncak ilmunya dilambari
dengan pertimbangan yang tidak mapan lagi, maka Kiai
Pusparuri memang sangat berbahaya bagi Pangeran Sena
Wasesa. Sementara itu, selagi orang-orang di bukit gundul itu
memperhatikan dengan tegang, pertempuran antara Kiai
Pusparuri dengan Pangeran Sena Wasesa, maka salah seorang
kepercayaan Kiai Pusparuri yang terlepas dari tangan
Daruwerdi tengah berhenti sejenak di sebuah pategalan.
Nafasnya terasa memburu dikerongkongan setelah ia
mengerahkan segenap tenaganya untuk melepaskan diri dari
tangan Daruwerdi. Ia termasuk satu diantara kawankawannya
yang sedikit sekali mendapat kesempatan untuk
melepaskan diri dari tangan lawannya. Jika ada satu dua
orang yang lain, yang dapat melarikan diri dari anak-anak
muda Lumban, namun mereka telah berlari bercerai berai
mencari jalan hidup masing-masing.
Laksita yang terengah-engah itu berdiri bersandar sebatang
pohon di pategalan yang sepi. Pandangan matanya menyapu
dedaunan yang kekuning-kuningan disekitarnya. Tanah yang
gersang dan pepohonan yang seolah-olah kehausan.
Betapa sakit hati kepercayaan Kiai Pusparuri yang ternyata
tidak mampu mengimbangi kemampuan Daruwerdi, sehingga
melarikan diri dari arena.
Namun tiba-tiba terbersit satu pikiran yang mula-mula
asing bagi kepercayaan Kiai Pusparuri itu. Tetapi semakin
lama pikiran itu nampaknya menjadi semakin jelas.
Tiba-tiba orang itu menggertakkan giginya. Katanya di
dalam hati "Persetan dengan bukit gundul. Aku kira pusaka itu
tentu sudah disembunyikan oleh Daruwerdi di pondokannya.
Ia sengaja menipu Kiai Pusparuri. Ia ingin memanfaatkan
siapapun juga untuk menangkap Pangeran itu. Kepada orang
yang berhasil menangkap itu telah disediakannya barang palsu
seperti yang dijanjikannya. Dengan demikian, ia akan dapat
melepaskan dendamnya yang agaknya telah disimpannya
untuk waktu yang lama kepada Pangeran itu. Memang
mungkin, Pangeran itulah sebenarnya sumber keterangan
tentang pusaka yang sedang diperebutkan. Tetapi mungkin
karena dendam yang menyala dihati Daruwerdi. Sementara itu
pusaka itu sendiri telah disimpannya baik-baik di dalam
rumahnya. Atau kalau tidak, rumah itu harus dijadikan debu"
Karena itulah, maka Laksita itupun telah berniat untuk
singgah di rumah Daruwerdi, karena ia menyangka pusaka itu
sudah berada di sana. Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
menggeram "Aku akan melihat, apakah iblis kecil itu dapat
menyembunyikan kelicikannya terhadap Laksita"
Dengan demikian maka akhirnya Laksita itupun telah
meninggalkan pategalan itu dengan tergesa-gesa menuju ke
padukuhan Lumban. Ia ternyata masih meragukan kesimpulan
Kiai Pusparuri dan keterangan dari Pangeran Sena Wasesa
sendiri, bahwa ia adalah satu-satu orang yang mengetahui
tentang pusaka itu dan mengakui telah menyerahkan
segalanya kepada Sultan Demak.
Dipengaruhi oleh kekalutan hatinya atas kekalahan orangorang
Pusparuri, serta dendam yang menghentak-hentak
dadanya karena beberapa orang kawannya telah menjadi
korban terbunuh, luka-luka parah atau tertangkap, maka
Laksita itupun dengan wajah yang menyala memasuki
padukuhan Lamban. Ketika di mulut lorong, ia bertemu dengan beberapa orang
anak muda Lumban, yang justru adalah Lumban Wetan, maka
dengan garangnya ia membentak "Tunjukkan rumah
Daruwerdi" Anak-anak muda yang jumlahnya sedikit yang mendapat
tugas untuk menjaga padukuhan itu berusaha untuk
menghentikannya di gardu, karena menilik sikap dan tingkah
lakunya, Laksita pantas dicurigai
Tetapi ternyata sikap anak-anak Lumban itu membuatnya
semakin marah. Ketika anak-anak itu memaksanya untuk
masuk ke dalam gardu, maka tidak ada lagi yang dapat
mengekangnya. Dalam waktu yang sekejap, beberapa dari
anak-anak muda Lumban itu telah terlempar jatuh. Bahkan
satuf dua orang menjadi pingsan karenanya.
"Anak-anak Gila" Laksita yang menjadi liar itu berteriak
"kawan-kawanmu telah dibantai di bukit gundul"
Tidak seorangpun yang masih berani berbuat sesuatu.
Karena itu, merekapun tidak dapat berbuat apa-apa ketika
Laksita itupun kemudian berlari menyusuri jalan pedukuhan,
setelah ia menghentakkan kentongan yang ada di gardu itu
dan memecahnya dengan menghantamkan kentongan dari
bambu petung itu ke sebatang pohon kelapa.
"Kita lapor ke banjar" desis salah seorang anak muda itu.
"Ia menuju ke arah banjar" desis yang lain.
"Marilah. Seandainya ia tidak memasuki banjar, kita akan
melapor. Sementara kawan yang lain biarlah merawat kawankawan
kita yang pingsan atau terluka. Bagaimanapun juga,
kita harus berusaha mengatasinya. Ia hanya seorang diri"
berkata salah seorang dari anak muda itu.
Dua diantara anak-anak muda itupun kemudian berlari-lari
ke banjar. Mereka mengambil jalan memintas, meloncati
pagar-pagar halaman dan melintasi kebun-kebun.
Namun ternyata bahwa orang yang mengerikan itu mampu
berlari cepat. Ketika anak-anak muda itu muncul disebe-lah
banjar, orang yang mereka ikuti itu telah berdiri termangumangu
di muka regol banjar, sehingga menarik perhatian
beberapa anak muda yang bertugas di banjar.
Karena itulah, maka dua orang anak muda yang bertugas di
banjar itupun kemudian mendekatinya. Dengan curiga salah
seorang dari mereka bertanya "Siapakah yang kau cari Ki
Sanak?" Laksita memandang kedua orang anak muda itu sorot mata
yang mendebarkan. Apalagi kemudian ia menggeram
"Tunjukkan kepadaku, dimana rumah Daruwerdi"
Kedua orang anak muda itu menjadi semakin curiga. Salah
seorang kemudian bertanya "Apa keperluanmu dengan
Daruwerdi?" "Persetan. Dimana rumah Daruwerdi?" bentak orang itu.
Kedua orang anak muda itu menjadi semakin curiga. Justru
karena itu, maka salah seorang diantaranya menjawab
"Katakan, apa keperluanmu"
"Jawab, atau aku remukkan kepalamu" bentak orang itu.
Kedua anak muda itupun segera melihat, bahwa orang itu
tentu orang yang berbahaya. Merekapun kemudian menduga,
bahwa orang itu tentu salah seorang dari mereka yang berada
di bukit gundul. Namun dalam pada itu, dua orang yang semula berada di
gardu tidak sampai hati membiarkan kedua orang kawannya
itu mengalami cidera. Karena itu, maka katanya tiba-tiba
sambil meloncat dari balik dinding "hati-hatilah. Ia sangat
berbahaya" Orang itu berpaling. Dilihatnya dua orang anak muda yang
semula berada di gardu. Tetapi ia tidak segera berbuat
sesuatu. Bahkan ia masih bertanya "Tunjukkan rumah
Daruwerdi. Atau kalian ingin mati disini?"
"Hati-hati" sekali lagi anak muda yang datang dari gardu itu
berkata. Beberapa orang yang berada di halaman agaknya tertarik
mendengar keributan itu. Beberapa orang telah keluar dari
halaman. Namun sekali lagi anak-anak muda yang datang dari
gardu itu memperingatkan "Orang itu sangat berbahaya"
"Nah, kau dengar"
Orang itu justru menyahut "Aku sangat berbahaya. Karena
itu, tujukkan saja, dimana rumah Daruwerdi"
Beberapa orang anak mudapun segera memencar dan
berusaha untuk mengepungnya. Namun dengan demikian
mereka telah membuat Laksita yang hampir gila itu menjadi
semakin marah. "Aku bertanya, dimana rumah Daruwerdi. Apakah yang
akan kalian lakukan" Bunuh diri?" bentak Laksita.
Anak-anak muda itu t idak menjawab. Namun mereka telah
menjadi semakin ketat menggepung orang itu.
Laksita yang marah itu tidak berpikir lebih panjang lagi.
Tiba-tiba saja ia telah menyerang anak-anak muda itu.
Yang terjadi memang tidak terduga. Anak-anak itu tidak
sempat berbuat banyak. Mereka segera terlempar dari
lingkaran yang mengitari orang yang bernama Laksita itu.
Dengan kemarahan yang meluap, Laksita justru memasuki
regol banjar itu. Beberapa anak muda yang sempat bangkit
menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga, mereka tidak
dapat membiarkan orang itu berbuat sesuka hatinya.
Dua orang yang datang dari gerdu itupun kemudian
bergabung dengan kawan-kawannya. Namun sebenarnyalah
mereka tidak banyak dapat berbuat. Kawan-kawan mereka
yang memiliki kemampuan lebih baik telah pergi ke bukit
gundul. Meskipun demikian, anak-anak muda itupun kemudian
mengikut i Laksita yang memasuki regol. Bahkan nampaknya ia
menjadi semakin liar. Dengan mata yang menyala, disapunya
segenap halaman itu dengan pandangannya. Ketika tiba-tiba
ia melihat pendapa banjar, iapun telah berlari-lari mendekati
tangga. Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban itupun
mengikut inya meskipun dengan jantung yang berdegup
semakin keras. Tetapi tiba-tiba saja orang itu berhenti. Sekali lagi dengan
cepat ia menyerang anak-anak muda itu. Beberapa orang lagi
terlempar jatuh, sementara yang lain bergeser mundur.
"Anak-anak gila. Jika kalian tidak menyadari keadaan diri
kalian, maka aku akan segera membunuh. Tetapi dimana
rumah Daruwerdi" teriak orang itu.
Sebenarnyalah di pendapa banjar itu duduk dua orang
perempuan. Ketika mereka melihat kehadiran orang itu, maka
merekapun menjadi tegang. Apalagi ketika mereka mendengar
orang itu bertanya tentang Daruwerdi.
Namun nampaknya anak-anak muda itu tidak mau
menjawab. Karena itu kemarahan Laksita nampaknya sudah
tidak terbendung lagi. Dengan kasarnya tiba-tiba saja ia
menangkap seorang diantara anak-anak muda itu.
Mencekiknya sambil bertanya "Jawab, dimana rumah
Daruwerdi, atau aku akan mencekik lehermu sampai patah"
Mulut orang yang dicekiknya itu terbuka. Tetapi suaranya
tidak terdengar sama sekali.
Dalam pada itu, kawan-kawannya tidak sampai hati
membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, maka beberapa orang
diantara mereka telah memberanikan diri menyerang
bersama-sama Tetapi seperti yang pernah terjadi. Mereka telah terlempar
jatuh. Bahkan lebih keras lagi. Satu dua diantara mereka telah
terlempar sampai lima enam langkah. Punggung mereka
serasa akan patah, sehingga mereka tidak segera dapat
bangkit lagi. Sekali lagi orang itu menangkap orang yang lain setelah
melepaskan orang yang pertama, yang justru menjadi
pingsan. Tetapi Laksita tidak mencekiknya. Dipeganginya
rambut anak itu sambil berteriak "Dimana rumah Daruwerdi"
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ternyata Laksita yang
marah itu tidak mempunyai belas kasihan lagi. Kepala anak
muda itu telah dibenturkan di tanah sambil membentak
"Sebut, atau kepalamu akan remuk"
Kesakitan yang sangat telah membuat orang itu kehilangan
akal. Hampir diluar sadarnya ia berkata "Itu ibunya. Di
pendapa" Laksita melepaskan rambut orang itu. Kemudian iapun
berdiri tegak sambil memandang perempuan yang berada di
pendapa dengan tubuh bergetar.
"Jadi kau ibu Daruwerdi he?" geramnya.
Ibu Daruwerdi itu benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak
tahu, apa yang harus dikatakannya.
Sementara itu anak-anak muda yang berada di halaman
banjar itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bahaya
yang gawat bagi perempuan yang berada di banjar. Beberapa
arang diantara mereka memandangi anak muda yang telah
terlanjur mengatakan bahwa perempuan itu adalah ibu
Daruwerdi.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda yang telah menyebut bahwa perempuan itu
adalah ibu Daruwerdi merasa menyesal sekali. Baru kemudian
ia sadar akibat yang dapat terjadi pada perempuan itu Tetapi
ia sudah terlanjur mengatakannya
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 20 DALAM pada itu, maka Laksita itupun kemudian dengan
wajah yang buas menggeram "He, perempuan celaka. Kenapa
kau berada disini" Nasibmu memang kurang baik. Tetapi jika
kau menunjukkan dimana tempat tinggal Daruwerdi selama ia
berada di Lumban, maka aku akan membuat beberapa
pertimbangan" Ibu Daruwerdi yang gemetar itu tidak segera menjawab.
Sementara Laksita itupun kemudian membentak "Cepat
katakan. Atau tunjukkan. Ia tentu tidak t inggal di banjar ini"
Ibu Daruwerdi itu bagaikan terbungkam. Apalagi ketika ia
melihat Laksita melangkah naik tangga pendapa. Dengan
garangnya ia menggeram "Kau harus mengenal aku. Aku tidak
mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali memaksa
seseorang untuk melakukan perintahku. Tunjukkan, dimana
tempat tinggal Daruwerdi"
Perempuan itu benar-benar telah menggigil. Sementara itu,
anak-anak muda yang berada di halaman banjar itu tidak
sampai hati membiarkan ibu Daruwerdi itu mengalami
bencana. Karena itu, betapapun juga mereka merasa betapa
kecilnya diri mereka dihadapan orang itu, namun anak muda
yang tertua diantara mereka telah memberanikan diri berkata
"Ki Sanak. Jangan kau sentuh perempuan itu. Jika kau ingin
mengetahui tempat tinggal Daruwerdi, marilah. Aku akan
mengantarkanmu" Laksita memandang anak muda itu sejenak. Namun
kemudian iapun tertawa. Suaranya bagaikan suara iblis yang
menguak gelapnya tanah pekuburan.
"Terlambat anak muda. Aku sudah menemukan orang yang
tepat untuk menunjukkan tempat itu. Aku tahu, karena
kekalutan ini ia mengungsi di banjar ini. Tetapi ia tentu tahu
dimana Daruwerdi menyembunyikan pusaka yang sebenarnya,
Bukan yang palsu seperti yang diberikannya kepada orangorang
Sanggar Gading. Ibu Daruwerdi menjadi semakin menggigil. Namun
sementara itu, dua orang anak muda bergeser mendekat.
Seorang diantara mereka berkata "Kami akan mencegah
meskipun kami tahu akibat yang dapat terjadi atas kami"
"Anak gila. Apa yang akan kau lakukan?" bentak orang itu.
Namun justru dua orang lagi telah mendekat. Bahkan
kemudian diikuti oleh tiga orang yang lain.
"O, anak-anak yang tidak tahu diri. Aku peringatkan sekali
lagi. Sampai saat ini aku masih belum membunuh. Tetapi jika
kalian berlaku bodoh dan gila, aku benar-benar akan
membunuh" Orang itu hampir berteriak.
Tetapi anak muda yang tertua itu menjawab "Ki Sanak.
Tidak seorangpum yang ingin mati. Akupun tidak. Tetapi aku
tidak dapat melihat kau berbuat semena-mena. Perempuan
yang memang ibu Daruwerdi itu tidak akan mengerti apa yang
dilakukan oleh anaknya. Ia tidak tinggal di Lumban. Ia datang
pada hari-hari terakhir dari peristiwa yang telah mengguncang
Kabuyutan ini. Meskipun kabuyutan kami kering, tandus dan
miskin, tetapi kami merasa damai sebelumnya. Dan sekarang
kedamaian itu sudah rusak karena orang-orang yang tamak
seperti orang-orang Sanggar Gading, Kendali Putih dan orangorang
lain yang senafas dengan mereka"
"Diam "Orang itu berteriak "Aku t idak peduli. Tetapi
selangkah lagi kau mendekat, kematianmu menjadi semakin
cepat. Apakah kau kira jika aku sudah membunuh semua
anak-anak muda ini, aku tidak akan dapat memaksa
perempuan itu untuk menunjukkan rumah anak laki-lakinya"
"Lakukan setelah kami tidak melihat apa yang terjadi"
jawab anak muda itu. "Gila. Kau memang gila teriak Laksita. Lalu "J ika memang
demikian, apaboleh buat"
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja perhatian mereka
tertarik oleh suara seorang perempuan. Perempuan yang
berada disebelah ibu Daruwerdi "Lepaskan orang itu. Ia akan
benar-benar membunuh"
Anak-anak muda terkejut Laksitapun terkejut.
Sementara itu, seorang gadis yang semula duduk di
sebelah ibu Daruwerdi itupun membenahi dirinya. Sambil
melangkah maju ia berkata "Biarkan saja apa yang akan
dilakukan" Anak-anak muda itupun termangu-mangu. Tetapi mereka
sudah mendengar bahwa gadis yang bernama Swasti itu telah
ikut pula bertempur melawan orang-orang Sanggar Gading
dan Kendali Putih. Apalagi merekapun melihat, ketika Swasti
kemudian berdiri, di lambungnya ternyata tergantung sehelai
pedang. "He, siapa kau?" bertanya Laksita.
"Siapapun aku, tetapi aku harus mencegah tingkah lakumu.
Anak-anak muda itu mungkin dapat kau abaikan dan bahkan
mungkin kau benar-benar dapat membunuh mereka
semuanya" jawab Swasti "Tetapi disini ada aku. Karena itu,
maka aku adalah orang pertama yang akan melawanmu"
"Persetan. Kau berani berhadapan dengan orang
Pusparuri?" geram Laksita.
Swasti merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat, bahwa
ia pernah berhadapan dengan dua orang yang mengaku
orang-orang Pusparuri. Kini ia berhadapan lagi dengan orang
Pusparuri. Namun agaknya orang ini nampak lebih
meyakinkan. Meskipun demikian Swasti sama sekali tidak gentar. Karena
itu maka katanya "Kita akan melihat, apakah aku berhasil
mengalahkan orang-orang Pusparuri atau tidak. Tetapi
seandainya aku tidak mampu melawanmu seorang diri, disini
ada beberapa orang anak muda yang akan dapat
membantuku. Laksita menggeram. Ia benar-benar merasa terhina, bahwa
seorang gadis telah bertekad untuk melawannya meskipun
gadis itu bersenjata. Karena itu dengan garang ia berkata
"Anak gila, kau lihat, tidak seorangpun diantara anak-anak
muda ini yang berani bertingkah seperti yang kau lakukan"
"Aku memang lain dari mereka" berkata Swasti
"Sebenarnya aku tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak
berniat untuk mengganggu ibu Daruwerdi. Sebenarnyalah
bahwa ia memang tidak mengerti apa-apa tentang anaknya
dan apa yang dilakukannya. Jika kau mengurungkan niatmu
untuk mengganggunya, maka akupun tidak akan-berbuat apaapa"
"Kau menjadi semakin sombong anak manis. Aku akan
berbuat seperti yang dikehendaki. Jangan halangi aku" Orang
itu hampir berteriak. Tetapi Swasti tidak bergeser sama sekali. Bahkan ia
kemudian berkata "Sebaiknya aku memaksamu untuk pergi
atau menangkapmu sama sekali"
Wajah orang itu menjadi merah padam. Sementara anakanak
muda di banjar itupun menjadi semakin berdebar-debar.
Betapapun juga dimata mereka, Swassiti adalah seorang gadis
meskipun mereka pernah mendengar apa yang dilakukan
gadis itu berhadapan dengan orang-orang Sanggar Gading
dan Kendali Put ih. Dalam pada itu Laksitapun agaknya tidak mau terlibat
dalam pembicaraan yang berkepanjangan. Karena itu, maka
katanya "Aku memperingatkanmu untuk yang terakhir kalinya.
Pergi atau aku akan membunuhmu"
"Sudah aku katakan, aku akan mencegah tingkah lakumu
yang sewenang-wenang" jawab Swasti.
Laksita tidak dapat menahan diri lagi. Namun sebelum ia
bertindak Swasti telah mendahuluinya berkata "Jangan
bertempur disini. Kita akan mendapat tempat yang lebih
lapang di halaman banjar ini. Biarlah anak-anak muda Lumban
menyaksikan, apakah yang dapat kau lakukan. Seperti yang
aku katakan, jika aku tidak mampu melawanmu, biarlah anakTiraikasih
anak muda itu membantuku. Kau tidak akan dapat melawan
musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya, meskipun
kemampuannya dapat kau abaikan"
Laksita menggeram. Namun, Swasti tiba-tiba saja
medangkah maju, sehingga Laksitapun kemudian meloncat
turun kehalaman sambil mengumpat "Anak iblis. Kau sangka
permainanmu itu berhasil menggetarkan jantungku"
Swasti memandang wajah Laksita sesaat Wajah itu nampak
garang, meskipun tidak sekotor wajah orang-orang yang
parah di hadapinya. . Tetapi Swasti tidak sempat menilai lebih lama lagi. Laksita
yang ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya itu tiba-tiba
telah menggenggam senjata di tangannya. Katanya "Aku akan
membunuhmu, meskipun kau seorang gadis. Kemudian aku
akan membunuh semua orang yang mencoba menghalangi
aku" Swastipun segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau
kehilangan kesempatan pertama. Karena itu, ketika ia melihat
lawannya bersenjata, maka iapun telah menggenggam
pedangnya. Dalam pada itu, ibu Daruwerdi benar-benar menggigil
ketakutan. Ada niatnya untuk mencegah Swasti, Tetapi
tubuhnya rasa-rasanya telah membeku.
Tetapi ketika ia melihat dari tempatnya, Swasti dan orang
yang datang itu sudah saling menggerakkan senjatanya, tibatiba
saja seolah-olah tumbuh kekuatan yang tidak
dimengertinya di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia telah bangkit
dan berlari kearah gadis yang sudah siap untuk bertempur itu.
"Swasti, Ngger, Swasti" panggilnya "Cukup. Jangan kau
lakukan. Biarlah aku menurut apa yang dikehendakinya"
"Jangan mendekat" teriak Swasti. Untunglah anak-anak
muda Lumban berhasil mencegahnya.
"Jangan mendekat bibi" berkata Swasti kemudian "Orang
itu terlalu licik, Ia akan dapat mempergunakan bibi sebagai
perisai untuk memaksakan kehendaknya. Biarlah aku mencoba
menyelesaikan masalah ini. Sementara aku parsilahkan bibi
menunggu" "Kau akan melihat kepala gadis ini terpenggal" geram
Laksita. "Jangan" minta ibu Daruwerdi
"Aku tidak peduli" jawab Laksita.
Sebelum ibu Daruwerdi itu berkata, Swasti telati
mendahului "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi"
Anak-anak muda Lumban itupun kemudian membimbing
perempuan itu menepi. Dipersilahkan ibu Daruwerdi itu duduk
di tangga pendapa banjar Kabuyutan Lumban.
Sejenak kemudian Laksita yang telah kehabisan kesabaran
itu, mulai menggerakkan senjatanya, sementara Swasti
bergeser selangkah surut Namun iapun kemudian
mengacukan senjatanya pula. Sambil berdesis ia mulai
menggerakkan ujung pedangnya.
Laksita yang garang itu mulai menyerang dengan ayunan
mendatar. Namun Swasti masih belum berbuat banyak. Ia
hanya bergeser selangkah surut
Tetapi Laksita. agaknya telah meloncat memburunya. Tibatiba
saja senjatanya terayun keras sekali menyambar pundak
Swasti. Namun Swasti yang sudah bersiaga itu sempat
memiringkan tubuhnya, sehingga serangan lawannya tidak
menyentuhnya. Dalam pada itu, Swasti tidak membiarkan dirinya hanya
menjadi sasaran serangan lawannya. Sejenak kemudian maka
iapun mulai memutar pedangnya. Meskipun ia masih berusaha
menjajagi kemampuan lawannya namun ia telah mulai
menjulurkan pedangnya untuk menyerang.
Sejenak kemudian bertempuran itupun menjadi semakin
seru. Laksita yang marah tidak lagi mengekang diri. Seranganserangannya
datang beruntun. Namun Swasti selalu berhasil
mengelakkannya.. Meskipun demikian, ternyata bahwa kemudian Swasti t idak
selalu sempat mengelak. Karena itu, maka pada suatu saat, ia
harus menangkis serangan lawannya yang datang membadai.
Tetapi Swasti masih selalu berhati-hati. Ia tidak ingin
langsung membenturkan senjatanya menangkis serangan
lawannya yang belumdiketahui dengan pasti kekuatannya.
Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebardebar.
Mereka melihat bahwa Laksita semakin lama menjadi
semakin keras dan kasar. Namun merekapun melihat Swasti
semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Kakinya
seolah-olah menjadi semakin ringan, sementara pedangnya
berputaran seperti baling-baling.
Meskipun demikian anak-anak muda Lumban itu menjadi
cemas. Bagaimanapun juga mereka belum mendapat
gambaran yang pasti tentang kemampuan Swasti. Mungkin
gadis itu memang memiliki dasar-dasar ilmu kanuragan. Tetapi
berhadapan dengan orang yang kasar itu, apakah ia akan
mungkin dapat mengimbanginya.
Karena itu, maka anak-anak muda itupun selalu bersiaga
diseputar arena. Meskipun mereka menyadari, bahwa diri
mereka masing-masing sama sekali tidak berarti dibanding
dengan orang- yang garang itu, tetapi mereka tidak akan
dapat membiarkan bencana akan terjadi pada gadis itu tanpa
pembelaan sama sekali. Apalagi kesulitan dan kegagalan gadis
itu akan berarti kesulitan yang gawat pula bagi ibu Daruwerdi.
Namun ternyata bahwa Swasti memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Di mata anak-anak muda Lumban yang sulit
untuk mengikut i pertempuran itu, Swasti masih tetap mampu
bertahan. Bahwa kadang-kadang ia berhasil mendesak
lawannya, sehingga laki-laki yang kasar itu harus berloncatan
surut beberapa langkah. Sebenarnyalah Swasti masih mampu mengimbangi
lawannya yang bertempur semakin kasar. Ketika Laksita
menyadari, bahwa gadis itu memang seorang gadis yang
memiliki ilmu yang mampu melawannya, maka oleh dorongan
kemarahannya yang memuncak. Laksita telah mengerahkan
segenap, kemampuannya. Pertempuran itu kemudian semakin menjadi sengit.
Keduanya ternyata memiliki bekal yang cukup, sehingga
keduanya harus bertempur dengan mengerahkan segenap
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuannya dan berhati-hati.
Namun ternyata Laksita yang marah serta kegagalan
orang-orang Pusparuri di kaki bukit gundul, membuatnya
kehilangan pertimbangan yang mapan. Gejolak perasaannya
lebih menguasai dirinya daripada nalarnya. Karena itulah,
maka yang nampak pada tata geraknya adalah kekasaran dan
keliarannya yang menjadi semakin jelas. Tetapi justru karena
itu, maka ia menjadi kurang berhati-hati. Laksita tidak sempat
mengamati tata geraknya sendiri.
Swasti yang kadang-kadang cepat juga terpengaruh oleh
perasaannya itu, ternyata masih mampu mengurai keadaan.
Ia masih sempat melihat, apa yang dilakukan oleh lawannya
dan apa yang dialami pada getaran perasaannya. Justru
karena itu, maka iapun kemudian mempergunakan keadaan
lawannya untuk mengatasinya.
Dengan tangkasnya Swasti memancing kekasaran
lawannya. Dengan demikian Swasti mengharap, bahwa
Misteri Di Bukit Ular Emas 2 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Pedang 3 Dimensi 1
orang terbaik di Lumban Wetan Jlithengpun telah memberikan
pesan-pesannya. Katanya "Kalian harus dapat mengawasi
kelompok kalian. Jangan biarkan seorangpun diantara kalian
kehilangan pegangan di dalam pertempuran ini. Sekali lagi aku
peringatikan, lawan kita adalah iblis-iblis yang tidak
berjantung" Namun ternyata anak-anak Lumban telah mempersiapkan
diri mereka lahir dan batin. Jlitheng bagi mereka adalah
bagaikan saudara sendiri. Air yang mengaliri sebagian dari
sawah-sawah di Lumban, adalah hasil jerih payah Jlitheng dan
orang tua yang membuat gubug di bukit berhutan itu.
Meskipun baru sebagian, tetapi air itu sudah berhasil
meningkatkan tataran hidup orang-orang Lumban.
Semakin dekat iring-iringan orang Lumban itu dengan bukit
gundul, maka merekapun menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka telah melihat orang-orang yang berada di bukit gundul
itu menebar. Berdiri diatas batu-batu padas. Yang lain
bersandar dinding bukit seolah-olah tidak menghiraukan sama
sekali kepada orang-orang yang datang beriringan. Bahkan
ada diantara mereka yang masih tetap duduk bersandar
sebongkah batu padas. Kesiagaan mereka itu telah membuat darah anak-anak
muda Lumban menjadi semakin cepat mengalir.
"Jangan, cemas" berkata Jlitheng kepada anak-anak
Lumban yang ada disekitarnya "Mereka dengan sengaja
berbuat demikian untuk mempengaruhi sikap lawan. Mereka
seolah-olah tidak menghiraukan kehadiran kalian. Namun
sebenarnyalah mereka berdebar-debar juga seperti kita
semuannya" Anak-anak muda Lumban itu mengangguk-angguk. Mereka
mengerti bahwa ada perbedaan pokok diantara mereka
dengan orang-orang yang berada di bukit gundul itu. Orangorang
di bukit gundul itu adalah orang-orang yang
menyerahkan hidupnya dalam libatan kekerasan, sementara
anak-anak Lumban adalah petani-petani yang pada dasarnya
lebih senang hidup tenang dan damai.
Tetapi ternyata bahwa pada suatu saat hati merekapun
telah tersentuh untuk mengangkat senjata menghadapi orangorang
yang kasar itu. Demikianlah, maka iring-iringan itu sudah menjadi semakin
dekat. Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Cinde Kuning
itupun kemudian menghent ikan iring-iringan itu. Dipanggilnya
Jlitheng mendekat. Kemudian katanya "Kita sudah dekat
dengan orang-orang yang mungkin akan dapat bertindak
sangat kasar itu. Aturlah anak-anak muda Lumban. Mereka
harus mulai menebar. Diantara kita yang memiliki sedikit
pengalaman menghadapi orang-orang yang mungkin akan
dapat berbuat kasar itu harus terbagi. Tetapi aku akan berada
di ujung pasukan anak-anak Lumban ini. Mungkin Ajar
Pamotan Galih berada di antara mereka. Mudah-mudahan ia
tidak melarikan diri. Sementara Kiai Kanthi dan Pangeran Sena
Wasesa akan menyesuaikan diri. Namun sebenarnyalah
Pangeran Sena Wasesa akan menjadi sasaran penting dari
mereka, karena agaknya merekapun akan mendengar juga
bahwa sumber keterangan tentang pusaka itu adalah
Pangeran Sena Wasesa"
"Baiklah Ki Ajar" berkata Jlitheng "Kita akan membagi diri.
Namun diantara kita akan berusaha untuk tidak terikat dalam
satu pertempuran disatu tempat"
"Mungkin ada juga manfaatnya" desis Ki Ajar sambil
mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya "Silahkan.
Kita sudah berada dihidung lawan"
Jlithengpun kemudian mengatur anak-anak muda Lumban
bersama Rahu. Semi dan kawannyapun kemudian ikut pula
bersama mereka. Bahkan ternyata Daruwerdi tidak t inggal
diam. Iapun kemudian menempatkan dirinya diantraa anakanak
muda itu pula. "Aku seharusnya memang berada diantara kalian" berkata
Daruwerdi. Demikianlah, anak-anak muda Lumban itu sudah menebar.
Disamping sepuluh anak muda terbaik dari Lumban Wetan dan
Nugata dari Lumban Kulon, maka Jlitheng, Rahu, Semi dan
kawannya. Daruwerdi dan kedua pamannya telah menebar
diantara mereka. Dalam keadaan yang gawat mereka harus
dapat mengambil sikap sehingga anak-anak muda Lumban
tidak akan menjadi korban.
Sementara itu, diujung pasukan, Ki Ajar Cinde Kuning, Kiai
Kanthi dan Pangeran Sena Wasesa mendahului anak-anak
Lumban mendekati bukit gundul itu. Mereka melihat bahwa
orang-orang yang berada di bukit gundul itupun telah
menunggu. Namun sebenarnyalah melihat anak-anak Lumban yang
menebar dengan sigap, orang-orang yang berada di bukit
gundul itu mulai berpikir. Nampaknya memang ada orangorang
yang pantas diperhitungkan diantara anak-anak Lumban
selain tiga orang yang berada diujung pasukan.
Ketika anak-anak Lumban menjadi semakin dekat, maka
Daruwerdi telah mendekati Pangeran Sena Wasesa sambil
berdesis "Kita berhadapan dengan orang-orang Pusparuri"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam,
sementara orang yang menyebut dirinya Ajar Cinde Kuning
itupun berkata "Ternyata Pamotan Galih telah berada diantara
mereka" Sebenarnyalah Ajar Pamotan Galih yang berdiri di sebelah
Kiai Pusparuri seolah-olah telah kehilangan segala gairah citacitanya
yang gagal. Nampaknya ia sudah malas untuk
memulainya lagi dari permulaan. Karena itu, maka ia justru
tidak lagi mempunyai tujuan bagi sikapnya yang kemudian.
Dalam pada itu, kedua kepercayaan Kiai Pusparuri yang
melihat Daruwerdi diantara anak-anak muda Lumban itupun
mengumpat di dalam hati. Namun merekapun mengerti,
Daruwerdi tidak mejanjikan apapun kepada salah satu pihak.
Ia berhubungan dengan segala pihak yang mampu
menyerahkan Pangeran Sena Wasesa.
Tetapi kini Pangeran Sena Wasesa telali datang dengan
sekelompok kekuatan yang akan menghadapi orang-orang
Pusparuri termasuk Daruwerdi itu sendiri.
Ternyata bahwa Kiai Pusparuri yang berdiri disamping Ki
Ajar Pamotan Galih itupun maju beberapa langkah
menyongsong Pangeran Sena Wasesa. Sambil tertawa Kiai
Pusparuri itupun berkata "Selamat datang Pangeran. Mungkin
Pangeran belum mengenal aku. Tetapi kami, orang-orang
Pusparuri telah mengenal Pangeran dengan sebaik-baiknya.
Kami telah mempelajari sikap dan cara hidup Pangeran seharihari.
Namun ternyata kedatangan kami ke istana Pangeran
telah didahului oleh orang-orang Sanggar Gading yang tahu
pasti bahwa Pangeran sedang sakit waktu itu. Meskipun
akhirnya orang-orang Sanggar Gading itu berhasil Pangeran
kelabui" "Sekarang kita sudah bertemu Kiai" jawab Pangeran Sena
Wasesa. "Ya. Sekarang kita sudah bertemu. Tetapi dalam keadaan
yang kurang menguntungkan bagiku" jawab Kiai Pusparuri.
Namun kemudian "Tetapi segalanya adalah karena kelicikan
Daruwerdi yang ternyata tidak secerdik yang aku duga. Segala
rencana yang disusun oleh Ajar Pamotan Galih itu telah gagal.
Dan kini, ingkar atau tidak ingkar, sebenarnyalah bahwa
Pangeranlah yang tahu segala-galanya. Permainan pusaka
palsu Daruwerdi itu hampir menjerat nyawanya"
Jawab Pangeran Sena Wasesa mengejutkan Kiai Pusparuri.
Katanya "Kiai. Sebenarnyalah bahwa aku tahu serba sedikit
tentang pusaka dan harta karun yang sedang diburu oleh
banyak pihak itu. Tetapi karena keterangan mengenai pusaka
dan harta karun itu tidak, jelas, maka yang terjadi adalah
peristiwa-peristiwa pahit yang tidak berarti. Apa yang terjadi
antara orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali
Putih adalah satu contoh orang-orang yang dimusnahkan oleh
ketamakan mereka sendiri"
"Jangan sesorah Pangeran. Aku ingin tahu tentang pusaka
dan harta karun itu" berkata Kiai Pusparuri "terus terang, kami
ingin menangkap Pangeran hidup-hidup. Kemudian memeras
Pangeran untuk mengatakan dimana pusaka dan rta karun
yang tidak ternilai itu. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Diluar
sadarnya ia berpaling. Dipandanginya anak-anak muda
Lumban yang sudah siap. Namun ketika terlintas dalam
tatapan matanya orang-orang Pusparuri yang garang, maka
Pangeran Sena Wasesa itu. mulai dibayangi oleh kecemasan
tentang nasib anak-anak muda Lumban. Pangeran Sena
Wasesa sudah melihat sebagian dari anak-anak Lumban itu
dapat membantu mengalahkan sisa-sisa orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putih. Namun melihat orang-orang
Pusparuri yang segar dan garang itu, ia harus berpikir
beberapa kali lagi. Tetapi jika terpandang olehnya beberapa orang yang
memang memiliki bekal ilmu yang cukup, maka iapun menjadi
agak tenang. "Mudah-mudahan mereka dapat membantu anak anak
Lumban" berkata Pangeran Sena Wasesa didatam hatinya,
karena sebenarnyalah ia merasa ragu-ragu bahwa orangorang
Pusparuri dapat dilunakkan hatinya dengan keteranganketerangannya
saja. "Pangeran" berkata Kiai Pusparuri kemudian "sebaiknya
Pangeran tidak terlalu berpikir tentang kepentingan diri
sendiri. Karena Pangeran ingin menyelamatkan diri, maka
Pangeran telah membawa sekian banyak orang-orang yang
tidak berarti untuk melindungi Pangeran. Tetapi seharusnya
Pangeran dapat mengerti, bahwa usaha itu tidak akan berarti
apa-apa. Jika Pangeran memaksa, maka berarti Pangeran
akan membunuh sekian banyak anak-anak muda yang tidak
tahu apa-apa. Mereka tidak berkepentingan dengan pusaka
dan harta karun itu"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun sebelum ia menjawab. Kiai Kanthilah yang lelah
menjawab "Ki Sanak" Memang kami. orang-orang Lumban
tidak berkepentingan dengan pusaka dan harta karun yang
kalian buru dengan cara apapun juga itu. Tetapi kami tidak
akan dapat tinggal diam melihat ketamakan yang membakar
bukit yang kebetulan berada di daerah Lumban ini"
"Siapakah kau?" bertanya Kiai Pusparuri.
"Aku salah seorang dari penghuni Kabuyutan Lumban"
jawab Kiai Kanthi. "Persetan" geram Kiai Pusparuri "Kau sudah berdiri
diambang liang kuburmu. Jangan ikut campur. Sikarang
pertimbangkan baik-baik Pangeran. Kau menyerah tanpa
korban seorangpun diantara orang-orang Lumban, atau kau
akan membunuh sekian banyak orang dengan meminjam
tangan kami sebelumakhirnya kau sendiri dapat aku tangkap"
"Kiai" berkata Pangeran Sena Wasesa "dengarlah. Meskipun
aku sudah ragu-ragu untuk melakukannya, tetapi sebaiknya
kau mendengarkan barang sejenak Persoalan yang akan aku
katakan, sudah didengar oleh Ki Ajar Pamotan Galih, karena
iapun sedang memburu pusaka dan harta karun seperti yang
kau maksud. Aku memang mengetahui dengan pasti pusaka
dan harta karun itu. Kau t idak usah memaksa aku apalagi
membunuh orang-orang Lumban, aku sudah akan
memberikan keterangan kepadamu"
Kiai Pusparuri berpaling kearah Ki Ajar Pamotan Galih
Tetapi Ki Ajar itu tidak menghiraukannya. Ia masih saja berdiri
tegak memandang anak-anak Lumban yang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa itupun melanjutkan
kata-katanya "Kiai. Aku tidak tahu, darimana Kiai mendengar
tentang pusaka dan harta karun yang disimpan bagi
kepentingan kebangkitan satu pemerintahan yang akan
menggantikan kedudukan Majapahit. Akupun tidak tahu justru
pada saat ini kalian mulai melakukan perburuan di bukit
gundul ini" "Sudahlah Pangeran" potong Kiai Pusparuri "Kita tidak
mempunyai waktu banyak untuk mendengarkan sebuah
dongeng yang dapat menidurkan anak-anak seperti itu. Yang
penting bagiku, menyerah sajalah. Atau. katakan dimana letak
pusaka dan harta karun itu. Pusaka itu akan dapat
memberikan satu kesempatan karena tuahnya untuk menjadi
seorang pemimpin yang disegani, sementara harta kekayaan
yang menyertainya akan menjadi pendukung satu usaha untuk
mendapat kekuasaan" "Aku sudah menduga, bahwa setiap orang yang memburu
pusaka dan harta itu adalah mereka yang menginginkan
jabatan dan kekuasaan. Memang menarik sekali bagi setiap
orang. Kedudukan dan kekuasaan" jawab Pangeran Sena
Wasesa. Kemudian "Tetapi seperti yang sudah aku katakan
kepada Ki Ajar Pamotan Galih, bahwa, kedudukan dan
kekuasaan itu telah berada di tangan orang yang berhak. Aku
sudah menyerahkan semuanya kepada Sultan di Demak.
Akulah yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka dan
harta benda itu, sementara Sultan telah mengutus beberapa
orang petugas khusus untuk mengambilnya dengan rahasia"
Tetapi Kiai Pusparuri tertawa berkepanjangan. Katanya
kepada Ki Ajar Pamotan Galih "Kau percaya kepada dongeng
itu?" Tetapi wajah Ki Ajar itu seolah-olah telah menjadi kosong.
Ia berpaling juga memandang Kiai Pusparuri. Ia menggeleng
dan menjawab pertanyaan Kiai Pusparuri itu. Tetapi seolaholah
tidak ada lagi maksud dari sikapnya. .
"Nah" berkata Kiai Pusparuri yang tidak menghiraukan
sikap Ki Ajar Pamotan Galih "Orang itu menggeleng. Ia juga
menganggap yang Pangeran katakan sebagai satu dongeng.
"Aku tidak berbohong Kiai" berkata Pangeran itu "Tetapi
memang sulit untuk meyakinkan, apakah yang aku katakan ini
benar. Tetapi baiklah. Jika kalian bersedia, aku akan
membawa kalian, maksudku salah seorang yang akan
mewakili seluruh padepokan Pusparuri untuk menghadap dan
mendengar penjelasan dari Sultan sendiri. Atau jika kalian
berkeberatan, aku akan membawa kalian ke tempat pusaka
dan harta karun itu disimpan"
"Semuanya disimpan di bukit gundul di daerah Sepasang
Bukit Mati" potong Kiai Pusparuri "Sudah. Jangan berbelit-belit
Pangeran. Jangan membuat aku kehabisan kesabaran"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam Rasarasanya
memang sulit untuk menjelaskan, bahwa sudah
terlambat untuk memburu pusaka dan harta yang menyertai
pusaka itu. "Kiai" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku tidak
mempunyai cara lain untuk mengatakannya. Tetapi itu adalah
kenyataannya. Tidak ada saksi yang lebih pantas dipercaya
selain Kangjeng Sultan"
"Kau memang cerdik" Tetapi kau t idak semudah itu
mengelabui aku Pangeran" berkata Kiai Pusparuri.
Pangeran Sena Wasesa memandang wajah Kiai Pusparuri
dengan tajamnya, sementara Kiai Pusparuri melanjutkan
"Kangjeng Sultan tentu mempunyai penggraita yang tajam.
Demikian aku menghadap, maka aku akan ditangkapnya.
Seandainya tidak, maka Sultan tentu akan ingkar, karena yang
dilakukan sebagaimana kau katakan, apabila itu benar, adalah
sangat dirahasiakan. Apakah yang dirahasiakan itu akan
dengan mudah dikatakan kepadaku, kepada orang yang tidak
dikenalnya?" "Aku dapat meyakinkannya, bahwa dengan mengatakan
yang sebenarnya, akan terhindar pertumpahan darah yang
tidak berarti" jawab Pangeran Sena Wasesa.
"Sudahlah" berkata Kiai Pusparuri "jika Pangeran ipgin
membunuh anak-anak Lumban itu, baiklah. Kami akan dengan
senang hati menolong Pangeran. Kemudian menurut
perhitungan Pangeran, kamipun akan kehilangan sebagian
dari. Kekuatan kami, sehingga Pangeran akan dengan mudah
mem binasakan kami, sebelum Pangeran akan mengambil
harta yang tidak ternilai harganya yang menyertai pusaka itu
di bukit, gundul ini Pangeran kemudian akan memanfaatkan
tuah pusaka itu untuk merebut kedudukan Sultan di Demak,
dengan harta yang tidak ternilai itu. Pangeran juga
menginginkan kedudukan dan kekuasaan"
Pangeran Sena Wasesa menggeleng lemah. Tetapi ia
sudah, kehilangan harapan untuk mengatasi benturan yang
bakal terjadi. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada Kiai
Kanthi dan orang cacat yang menyebut dirinya Ajar Cinde
Kuning itu. "Nampaknya, orang-orang Pusparuri tidak melihat jalan
lain" berkata orang cacat itu.
"Ya. Kami tidak melihat jalan lain" jawab Kiai Pusparuri.
"Baiklah. Tetapi aku masih ingin bertanya kepada Ki Ajar
Pamotan Galih, apakah ia masih berminat untuk ikut serta
memperebutkan pusaka dan harta benda itu" berkata orang
cacat itu. Ki Ajar Pamotan Galih memandang orang cacat itu dengan
tatapan mata yang redup. Katanya "Aku tidak mempunyai satu
keinginann apapun lagi, kecuali membunuhmu"
"Baiklah" berkata orang cacat itu "seharusnya kau sudah
dapat mengukur dirimu sendiri. Kau tidak akan dapat
melakukannya. Meskipun demikian, sebenarnya aku memang
mempunyai satu kepentingan khusus denganmu. Meskipun
kita tidak akan dapat melepaskan diri dari suasana dalam
keseluruhan peristiwa di bukit gundul ini "
Ajar Parnotan Galih menjadi tegang. Namun dalam pada
itu, suasana itu telah dikoyah oleh suara tertawa. Orang yang
duduk bersandar batu padas itupun tertawa sambil berkata
"Sebenarnya aku senang mendengar kalian berbicara
berkepanjangan. Aku masih sempat duduk sambil mengantuk.
Tetapi semakin lama aku menjadi semakin jemu mendengar
pembica-an yang tidak berujung pangkal. Bahkan mendengar
kepentingan-kepentingan yang lain. Karena itu, jika kita ingin
berkelahi marilah kita berkelahi. Aku sudah tidak kantuk lagi "
Orang itupun tiba-tiba telah bangkit. Sambil melangkah
mendekat ia berkata "Jika kalian telah menghadapi lawan
kalian masing-masing, biarlah aku melawan orang tua yang
sakit-sakitan itu. Bersiaplah, aku akan mulai.
Orang yang malas itu memang mempunyai sikap yang
aneh. Sebelum seorangpun sempat menjawab, ia langsung
mendekati Kiai Kanthi. Sambil bersikap ia berkata "Aku tidak
peduli, apakah kau akan melawan atau tidak. Tetapi aku akan
membunuhmu. Memang nasibmu terlalu buruk, bahwa kau
adalah korban yang pertama. Mungkin tidak berniai berkelahi
atau sekedar ikut-ikutan"
Orang itu ternyata tidak menunggu jawaban. Seperti yang
dikatakannya, maka t iba-tiba lapun telah menyerang Kiai
Kanthi dengan dahsyatnya.
"Orang itu benar-benar Gila" geram Kiai Kanthi di dalam
hatinya. Tetapi ia cukup berhati-hati. Karena itu, maka iapun
sempat menghindari serangan yang pertama itu.
Ternyata Kiai Pusparuri mempunyai sikap tersendiri. Ia
justru tertawa melihat pemalas itu mulai menyerang lawannya
Namun kemudian katanya "Aku setuju dengan pemalas itu.
Kita sudah berdiri menghadapi lawan kita masing-masing. Aku
memang memilih berhadapan dengan Pangeran agar aku
dapat menangkap Pangeran hidup-hidup. Meskipun barangkali
pada satu kesempatan nanti, orang-orangku akan beramairamai
membantuku mengepung arena agar Pangeran tidak
sempal melarikan diri, setelah anak-anak Lumban dibantai
atas keinginan Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Ketika ia
menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya orang-orang
Pusparuri yang semula nampak tidak mengacuhkan kehadiran
anak-anak Lumban itu, telah mulai bergerak.
"Jadi kau tidak percaya kepada keteranganku?" bertanya
Pangeran Sena Wasesa. "Hanya orang-orang yang tidak sehat lagi akalnya akan
mempercayainya" jawab Kiai Pusparuri.
"Baiklah, Kiai" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku adalah
seorang prajurit. Meskipun aku berhadapan dengan orang
yang memiliki nama menggelarkan di tlatah Demak, tetapi aku
tidak akan menyingkir dari kewajiban ini"
"Aku memang sudah menduga Pangeran" berkata Kiai
Pusparuri "Pangeran akan bersikap sebagai seorang prajurit.
Tetapi Pangeran saat ini bukan seorang Senopati perang yang
memiliki pasukan segelar sepapan. Yang datang bersama
Pangeran adalah anak-anak Lumban yang akan mati tanpa arti
karena Pangeran ternyata seorang yang mementingkan diri
sendiri" Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Ia melihat Kiai
Kanthi yang benar-benar telah bertempur, sementara anakanak
Lumbanpun telah mulai bergeser pula, ketika Jlitheng
dan kawan-kawannya yang dianggap oleh anak-anak muda
Lumban memiliki ilmu melampaui kemampuan mereka telah
bregerak pula. Bahkan merekalah yang telah memberikan
tuntunan olah kanuragan kepada anak-anak muda itu.
Jarak antara kedua belah pihakpun menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, maka suasanapun menjadi semakin tegang
pula. Dalam pada itu, orang-orang Pusparuri mulai menunjukkan
sifat-sifat mereka. Beberapa orang yang berloncatan turun
dari batu-batu padas berteriak sambil mengumpat kasar.
Bahkan seorang yang berwajah panjang dengan jambang
yang tebal berteriak "He, siapakah yang ingin aku bantai lebih
dahulu" Sebenarnya aku kasihan melihat tikus-tikus kecil yang
tidak bersalah. Tetapi kesombongan kalian membuat aku
mual" Sebenarnyalah bahwa anak-anak Lumban itu menjadi
berdebar-debar. Bahkan Nugatapun menjadi berdebar-debar
juga sebagaimana sepuluh orang yang dianggap terbaik dari
Lumban Wetan. Namun mereka sudah bertekad untuk
membantu menyingkirkan, dan mungkin mereka memang
harus bertindak lebih jauh lagi terhadap orang-orang Pusparuri
itu. Beberapa orang anak Lumban mengikut i Jlitheng dan Rahu
yang bergeser kesebelah sisi, sementara Semi dan kawannya
ke sisi yang lain. Daruwerdi dan kedua pamannya berada di
tengah, di belakang orang-orang tua yang mendapat
lawannya masing-masing. Sementara Nugata dan anak-anak
Lumban Kulon berada di belakangnya pula.
Sejenak kemudian benturan kedua pasukan itu tidak lagi
dapat dihindari. Orang-orang Pusparuri yang garang mulai
menyerang anak-anak muda Lumban yang masih belum
berpengalaman. Namun mereka sudah bersiap menghadapi
kemungkinan itu. Sebagaimana yang dipesankan, maka mereka menghadapi
tawannya dengan berpasangan. Jumlah mereka cukup banyak
untuk melawan orang-orang Pusparuri. Orang yang berwajah
panjang dan berjambang tebal tiba-tiba saja telah berhadapan
dengan dua orang anak muda yang siap mengacungkari
pedangnya. Orang berwajah panjang itu berhenti. Kemudian terdengar
orang itu tertawa. Katanya "Lucu sekali. Kau berdua ingin
melawan aku, he?" Kedua anak muda Lumban itu tidak menjawab. Seorang
diantara mereka telah menjulurkan senjatanya, sementara
yang lain bergeser menyamping.
Namun kedua anak muda itu terkejut, ketika tiba-tiba saja
orang berwajah panjang itu menghentak sambil memutar
senjatanya. Sebatang tongkat baja.
Hampir berbareng kedua anak-anak muda itu meloncat
menjauh beberapa langkah dengan tergesa-gesa.
Sekali lagi terdengar suara tertawa orang itu meledak.
Tetapi orang itu tidak memburu salah seorang dari kedua
orang anak Lumban yang meloncat berpencar itu. Seperti
menakuti anak-anak orang itu kemudian bergeser sambil
berdesis "Ayo, siapa mati lebih dahulu"
Kedua anak-anak Lumban itu menjadi ragu-ragu Sementara
pertempuranpun telah berkobar semakin merata di kaki bukit
gundul itu. Namun tiba-tiba saja kedua anak Lumban itu terkejut,
ketika Jlitheng hadir diantara mereka. Katanya "Orang ini agak
lain dan kawan-kawannya. Carilah lawan yang lain Aku akan
melawan orang ini" Orang berwajah panjang itu mengerutkan keningnya, la
memang melihat anak muda yang baru ini mempunyai
kelainan dari kedua kawannya yang terdahulu.
Karena itu, maka orang berwajah panjang itu menjadi
semakin berhati-hati. "Kau terlalu sombong untuk menempatkan diri sebagai
lawanku anak muda" berkata orang berwajah panjang itu.
"Tetapi itu lebih baik daripada kau melawan anak-anak
Lumban. Mungkin aku memiliki pengalaman lebih baik dari
mereka sehingga aku akan dapat melayanimu bermain dengan
senjata" Orang berwajah panjang itu mengangguk-angguk. Katanya
"Bagus. Tetapi berhati-hatilah. Aku tidak mempunyai pilihan
lain daripada membunuh semua orang yang menempatkan
dirinya sebagai Iawanku"
"Kita berpendirian sama. Akupun akan membunuh semua
orang yang tidak menghindar dari hadapanku. Karena kau
tidak menghindar atau memanggil orang lain untuk
membantumu, maka salahmu sendiri jika kau mati sebelum
pertempuran ini merata" jawab Jlitheng.
Ternyata kemarahan orang itu tidak dapat tertahankan lagi.
Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang. Bukan sekedar
mengejutkan sebagaimana dilakukan atas anak-anak Lumban.
Tetapi orang itu benar-benar menyapu mendatar dengan
senjatanya. Tongkat baja itu berdesing diatas kepala Jlitheng yang
merendah. Namun Jlitheng segera meloncat surut. Pedang
tipisnya telah beracu lurus siap melawan tongkat baja itu.
Pertempuranpun menjadi kian cepat. Orang bertongkat
baja itu menyerang dengan garang, sementara Jlitheng
dengan cepat mengimbanginya.
Pedang tipis itu di tangan Jlitheng merupakan senjata yang
mengerikan. Pada saat-saat lampau, Jlitheng pernah
mempergunakan senjata lentur. Pernah mempergunakan
golok yang besar dan berat. Bahkan senjata bertangkai
panjang. Namun akhirnya, setelah ia menerima pedang tipis
itu. seakan-akan kemampuannyapun menjadi semakin
meningkat. Ia mampu bergerak dengan cepat. Namun
meskipun pedangnya itu tipis dan ringan, namun dalam
benturan yang kuat sekalipun, pedangnya tidak akan patah,
meskipun melawan tongkat baja yang di dalam genggaman
lawannya itu. Orang berwajah panjang itu mengumpat. Ternyata anak
muda yang disangkanya juga anak Lumban itu memiliki iimu
yan tinggi, yang justru mamu mengimbanginya.
Dalam pada itu, dibagian laimun pertempuran sudah
menyala, Rahu ternyata sempat membebaskan diri dari
seorang lawan yang dapat mengikatnya. Ia sempat bergeser
dari satu lingkaran pertempuran ke lingkaran pertempuran
yang lain Jika ia melihat anak-anak Lumban yang terdesak,
meskipun sudah bertempur berpasangan, maka ia berusaha
untuk menolongnya. Dalam pada itu, ketika Rahu bertempur beberapa langkah
disebelahnya, Jlitheng sempat berkata "Aku akan
menyelesaikan serigala ini. Baru akan aku melihat, apakah
benar orang-orang Pusparuri itu memiliki kelebihan seperti
yang didengar oleh banyak orang"
Orang berwajah panjang itu menggeram. Dihentakkannya
ilmunya untuk mengakhiri perkelahian itu dengan, cepat.
Namun ternyata lawannya memiliki bekal yang cukup untuk
melawannya. Sebenarnyalah orang-orang Pusparuri adalah orang-orang
yang garang. Meskipun Jlitheng sudah berpesan agar anakanak
muda Lumban bertempur berpasangan, namun ternyata
menghadapi orang-orang Pusparuri, anak-anak Lumban itu
merasa terlalu berat. Pada benturan pertama anak-anak
Lumban sudah terdesak. Sehingga betapapun juga jantung
mereka menjadi berdebaran.
Untunglah bahwa jumlah anak-anak Lumban cukup banyak,
sehingga dalam keadaan terdesak, maka mereka dapat
bergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
tiga orang atau lebih. Meskipun demikian, namun orang-orang Pusparuri itu merasa
bahwa mereka telah mendapatkan permainan yang
mengasikkan. "Pembantaian yang menyenangkan" berkata seorang yang
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjambang panjang "kematian demi kematian akan susul
menyusul. Adalah satu kesombongan yang tidak dapat
dimaafkan dari anak-anak Lumban bahwa kalian telah ikut
campur" Ternyata bahwa satu dua orang anak muda merasa ngeri
menghadapi kenyataan itu. Jika semula hatinya membengkak
karena jiwa pengabdian mereka, namun akhirnya hati itu telah
menguncup oleh kecemasan dan bahkan ketakutan.
Sekali-sekali terdengar orang-orang Pusparuri itu tertawa.
Mengumpat dan bahkan seolah-olah sedang bermain-main.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa di dalam
lingkungan anak-anak Lumban terdapat juga orang-orang
yang mengejutkan lawan mereka. Pada ayunan pedangnya
yang pertama, Daruwerdi telah mendesak lawannya.
Lawannya, saleh seorang kepercayaan Kiai Purparuri yang
mendendamnya, telah berusaha untuk dapat berhadapan
langsung dengan anak muda itu.
"Kau ternyata pembual yang paling gila, Daruwerdi"
berkata Laksita. "Persetan" geram Daruwerdi "Aku sudah mengatakan,
bahwa aku tidak pernah terikat oleh kelompok yang manapun
juga" "Kau masih juga membual" bentak Laksita "Kau kira kami
tidak tahu, apa yang telah terjadi dengan orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih" Setelah mereka saling
menghancurkan, maka kau suguhi mereka dengan kepalsuan
itu" "Mereka adalah orang-orang tamak dan bodoh" berkata
Daruwerdi. "Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian dengan kami"
berkata Laksita "Kami akan menangkap Pangeran itu hiduphidup.
Tetapi hanya Pangeran itu saja. Bukan kau dan bukan
yang lain. Semuanya akan kami bantai di bukit gundul ini,
melengkapi kematian orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
Kendali Putih" Tetapi Daruwerdi menjawab "Kau salah Laksita. Kami
bukan orang yang tidak mempunyai perhitungan"
"O" Laksita tertawa "Kau bawa anak-anak itu kemari
dengan perhitungan yang masak" Alangkah cermatnya
perhitunganmu, atau mungkin perhitungan Pangeran Sena
Wasesa. Jangan menyebut kami tidak berperi-kemanusiaan
jika mereka akan menjadi bangkai di kaki bukit ini
sebagaimana tebangan batang ilalang"
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia
mengedarkan pandangan matanya keseluruh medan yang
sudah menjadi semakin riuh. Pedang beradu pedang, tombak
dan perisai saling berbenturan.
Sebenarnyalah anak-anak Lumban yang berhadapan
dengan orang-orang Pusparuri dalam jumlah yang cukup,
memang agak mendebarkan jantung. Namun demikian, dalam
pasangan-pasangan ternyata bahwa anak-anak Lumban untuk
sementara akan dapat bertahan.
"Jika kami dapat menyelesaikan orang-orang Pusparuri ini
lebih dahulu dari daya tahan anak-anak Lumban, maka kami
akan berhasil" berkata Daruwerdi di dalamhatinya
Sebenarnyalah, bahwa Daruwerdi memang pernah
membunuh dua orang Kendali Putih dalam satu perkelahian.
Sementara kedua orang itu telah mengalahkan dan bahkan
membunuh salah seorang kepercayaan Kiai Pusparuri.
Berdasarkan atas perhitungan itu, maka Daruwerdi yakin,
bahwa ia akan dapat segera menyelesaikan orang Pusparuri
itu. Yang bertempur dibagian lain adalah kedua orang paman
Daruwerdi. Ternyata mereka memiliki kemampuan untuk
bertempur seorang melawan seorang. Sehingga dengan
demikian, maka keduanya telah terikat dalam pertempuran
yang semakin sengit. Semi dan kawannya berusaha untuk tidak terikat dalam
satu perkelahian yang tidak memungkinkan lagi mereka
bergerak. Kedua orang itu berloncatan dari satu lingkaran
pertempuran ke lingkaran pertempuran yang lain sebagaimana
dilakukan oleh Rahu. Ternyata bahwa dengan demikian,
keduanya selalu berhasil menggagalkan setiap usaha orangorang
Pusparuri untuk mengakhiri perlawanan anak-anak
Lumban. Namun pada suatu saat Semi tidak lagi dapat meninggalkan
lawannya yang berhasil melibatnya dalam pertempuran yang
sengit Ternyata orang itu adalah kepercayaan Kiai Pusparuri
yang seorang lagi. Sentika.
"Apakah kau juga anak Lumban?" bertanya kepercayaan
Kiai Pusparuri. "Ya" jawab Semi.
Tetapi kepercayaan Kiai Pusparuri itu tertawa. Katanya
"Jangan menganggap aku terlalu bodoh"
"Tidak. Aku sudah tahu, bahwa pertanyaanmu itu tidak
bermakna, karena kau sudah menyimpan jawaban di dalam
hatimu" desis Semi. "Anak iblis "Orang itu mengumpat. Lalu "Siapa kau
sebenarnya" Pertanyaan itupun tidak berarti. Aku kira kau
benar-benar tidak terlalu bodoh seperti yang kau katakan.
Tetapi dengan pertanyaan itu, ternyata kau benar-benar
seorang yang bodoh" Kemarahan telah menghentak didada kepercayaan Kiai
Pusparuri itu, sehingga iapun kemudian menyerang semakin
garang. Tetapi Semi sudah siap menghadapinya, Ia memiliki
kemampuan seimbang dengan Daruwerdi. Karena itu, maka
iapun telah siap untuk melawan kepercayaan Kiai Pusparuri.
meskipun dengan demikian ia akan terikat pada satu lawan.
Namun kawan Semi masih tetap bertempur dengan caranya.
Kiai Pusparuri masih sempat memperhatikan pertempuran
itu. Sambil tersenyum ia berkata "Kau benar-benar seorang
yang kejam Pangeran. Kau libatkan anak-anak Lumban yang
tidak tahu arti dari persoalan ini"
"Kau dapat berkata apa saja. Tetapi apakah kau berkata
seperti itu juga kepada dirimu sendiri" Apakah kau dapat
berkata kepada dirimu, bahwa akulah yang telah membunuh
anak-anak Lumban itu?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Kenapa tidak" jawab Kiai Pusparuri "justru kaulah yang
harus menilai sikapmu itu. Kau jangan berusaha membohongi
dirimu sendiri" Pangeran Sena Wasesa tidak menyahut lagi. Kedua orang
itu sudah yakin bahwa mereka harus berjuang untuk
mempertahankan sikap masing-masing.
Namun agaknya Kiai Pusparuri terlalu yakin untuk dapat
menguasai Pangeran Sena Wasesa. Ia sadar, bahwa Pangeran
Sena Wasesa adalah seorang Senopati perang. Tetapi menurut
penilaian Kiai Pusparuri, Pangeran itu adalah seorang ahli
dalam perang gelar, dalam perang menurut tata keprajuritan.
Tetapi kemampuan secara pribadi, serta ilmu kanuragan dan
kesaktian, ia merasa memiliki bekal lebih banyak.
Tetapi kedua orang yang memiliki ilmu yang mapan itu
tidak dengan serta merta mengungkap segala kemampuan
dan kekuatan mereka. Bagaimanapun juga, mereka merasa
perlu untuk saling menjajagi. Langkah-langkah pertama kedua
orang itu hanyalah sekedar saling melihat, apa yang akan
dilakukan oleh masing-masing pihak.
Yang mempunyai sikap yang lain lagi adalah orang tua
cacat yang menyebut dirinya Ajar Cinde Kuning. Ia berdiri
menghadapi Ki Ajar Pamotan Galih yang seolah-olah telah
kehilangan segala macam minat dan kehendak untuk berbuat
sesuatu. "Kenapa kau masih diam saja?" bertanya Ajar Cinde
Kuning. Ki Ajar Pamotan Galih memandang Ki Ajar Cinde Kuning
dengan pandangan kosong. Kemudian katanya "Kau merasa
bahwa kau memiliki kelebihan dari aku. Aku sadar, bahwa kau
tentu akan memburu aku kemari. Tetapi kau sudah melibatkan
orang-orang yang tidak tahu menahu dalam persoalan ini"
"Bukan maksudku" jawab orang cacat itu "Tetapi mereka
merasa bertanggung jawab atas peradaban yang berlaku di
daerah mereka. Mereka tidak mau melihat ketamakan,
kedengkian dan apalagi tindakan sewenang-wenang"
"Siapa yang berbuat sewenang-wenang disini" Aku t idak
melihat orang-orang Pusparuri itu berbuat sesuatu atas orangorang
Lumban. Apakah kediaman mereka itu dapat kau sebut
dengan sewenang-wenang?" bertanya Ki Ajar Pamotan Galih
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Bukankah mereka
memburu pusaka dan harta karun itu, sehingga mereka akan
mengorbankan Pangeran Sena Wasesa yang mereka sangka
mengetahui serba sedikit tentang pusaka dan harta karun itu"
Bukankah itu suatu sikap sewenang-wenang dan tidak
berperikemanusiaan" Tetapi lebih dari itu, orang-orang
Lumban merasa wajib menghancurkan orang-orang Pusparuri
sebagaimana mereka menghancurkan orang-orang Kendali
Putih dan orang-orang Sanggar Gading, karena kelompokkelompok
itu adalah kelompok-kelompok yang dapat
menghancurkan kemanusiaan dan peradaban yang sudah
dibangin di daerah Lumban ini.
Ki Ajar Pamotan Galih mengerutkan keningnya.
Dipandanginya tanah yang terhampar disekitar bukit gundul
itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya "Kenapa
kau datang kemari. Apakah kau hanya sekedar ingin
memburuku, atau karena kau juga mempunyai kepentingan -
dengan bukit gundul ini"
"Aku tidak mempunyai kepentingan dengan bukit gundul
ini" jawab orang cacat itu "Jika yang kau maksud adalah
pusaka dan harta benda, maka Pangeran Sena Wasesa sudah
memberitahukan, bahwa sebenarnya pusaka dan harta benda
itu sudah diserahkannya ke Demak. Dan aku percaya kepada
kata-katanya itu. Karena itulah, maka kedatanganku sematamata
karena aku ingin bertemu dengan kau. Karena aku yakin
bahwa kau berada di tempat ini"
"Kenapa kau yakin akan berada disini?" bertanya Ajar
Pamotan Galih, "Hatimu sudah dirampas oleh bukit gundul ini" jawab orang
cacat itu "karena itu, dalam gairah nafsumu yang menyala,
kau terikat kepada bukit ini. Tetapi dalam keadaan berputusasapun
kau terikat kepada bukit ini pula. Mukt i atau mati,
jiwamu kau serahkan kepada bukit gundul yang ternyata tidak
seperti yang kau duga sebelumnya"
Ki Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Kau benar Ki Sanak. Mukti atau mati, aku akan berada di
bukit ini. Meskipun aku tahu, bukit ini milik anak-anak
Lumban" "Nah, bukankah kau mengakui, bahwa kehadiran anakanak
Lumban bukan karena mereka sekedar diperalat oleh
orang lain. Tetapi mereka memang mempunyai tanggung
jawab?" desak Ki Ajar Cinde Kuning.
Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab.
Sementara itu, orang cacat itupun kemudian berkata lebih
jauh "Ki Ajar Pamotan Galih. Marilah kita serahkan segala
persoalan antara orang-orang Lumban yang dibantu oleh
beberapa orang yang patut dipercaya itu menyelesaikan
masalah ysng mereka hadapi. Atau, mungkin kau ingin
menyebut sebaliknya. Pangeran Sena Wasesa yang dibantu
oleh orang-orang Lumban menghadapi orang-orang Pusparuri.
Sementara itu kita menyelesaikan persoalan yang kita hadapi
berdua. "Persoalan apa?" bertanya Ki Ajar Pamotan Galih "Kau
tersinggung karena aku melarikan diri, atau karena persoalan
lain" Aku yakin, bahwa kaupun mempunyai sangkut paut
dengan Pangeran Sena Wasesa, karena kau telah berusaha
membebaskannya, justru pada saat ia sudah jatuh ke
tanganku" "Aku mempunyai kepentingan denganmu" jawab orang
cacat itu. "Kau masih mendendam dan ingin membunuhku?"
bertanya Ajar Pamotan Galih.
"Jangan terlalu jauh berangan-angan" jawab orang cacat
itu "Tetapi barangkali akan mempunyai sebuah ceritera yang
menarik untuk kau dengar"
Wajah kosong Ki Ajar terlempar ke arena disekitarnya.
Kemudian katanya "Kau gila. Dalam keadaan seperti ini kau
masih sempat membual?"
"Satu ceritera yang sangat penting bagimu" jawab Ki Ajar
Cinde Kuning. Lalu "Suatu ceritera yang akan dapat
memberikan pemecahan dan barangkali satu menyelesaian
yang baik bagi teka-teka yang selama ini kau buat diantara
orang-orang yang bertualang didunia kanuragan"
Ki Ajar Pamotan Galih memandang orang cacat itu dengan
wajah yang menegang. Dengan nada datar ia kemudian
bertanya "Kau merasa dirimu dapat menguasai dunia
petualangan?" "Setidak-tidaknya bagi dirimu sendiri. Petualanganmu yang
mendekati saat-saat keputus-asaan ini" jawab orang cacat itu.
Nampaknya Ki Ajar Pamotan Galih mulai tertarik juga
kepada keterangan orang cacat itu. Pada saat-saat ia
kehilangan semua yang pernah diimpikannya, orang yang
tidak dikenalnya itu datang dengan membawa satu masalah
baru baginya. Namun sementara itu, Ki Ajar Pamotan Galih masih sempat
menebarkan pandangan matanya. Ia melihat pertempuran
menebar disekitar bukit gundul itu. Anak-anak muda Lumban
bertempur dalam pasangan-pasangan dan bergerombol dalam
beberapa lingkaran arena pertempuran. Sementara itu,
beberapa orang telah bertempur dengan sengitnya, seorang
melawan seorang. Jlitheng masih bertempur dengan orang berwajah panjang.
Ternyata dengan ilmu yang kasar dan keras, orang berwajah
panjang itu memang memiliki kelebihan dalam olah
kanuragan. Tetapi untunglah, bahwa Jlitheng dengan cepat
menempatkan diri sebagai lawannya, sehingga orang itu tidak
sempat melakukan pembantaian atas anak-anak muda
Lumban. Namun dalam pada itu, Jlitheng yang bertempur dengan
mapan, ternyata masih mempunyai harapan untuk mengatasi
lawannya. Selama ia berada di bukit gundul sambil menempa
diri dan bahkan pemberian pedang tipis itu, telah membuatnya
menjadi seorang anak muda yang kuat lahir dan batin.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itulah, maka ketika ia bertemu dengan seorang dari
lingkungan orang-orang Pusparuri yang memiliki kelebihan
dari kawan-kawannya, ia masih sempat menahan kekerasan
dan kekasarannya. Di tempat lain, Daruwerdi harus bertempur dengan seorang
dari dua orang kepercayaan Kiai Pusparuri. Orang yang
sebenarnya dengan licik melibatkan diri dengan satu keinginan
bagi kepentingan diri sendiri.
"Kau harus menebus bualanmu dengan nyawamu" berkata
Laksita. Tetapi Daruwerdi justru menyerangnya dengan semakin
garang. Namun Daruwerdi sempat juga berkata "Kalianlah
yang akan ditelan oleh ketamakan kalian. Kalian telah tertipu
oleh angan-angan yang gila tentang pusaka dan harta benda"
Laksita tertawa. Katanya "Kau tidak perlu berkata seperti
itu sekarang. Kami sudah tahu semuanya dengan gamblang.
Karena itu, kami ingin menangkap Pangeran Sena Wasesa itu
hidup-hidup" Daruwerdi tidak menjawab. Serangannya tiba-tiba menjadi
semakin deras. Datang beruntun seperti banjir bandang.
Ternyata kepercayaan Kiai Pusparuri itu bukan orang yang
lebih baik dari orang berwajah panjang dalam olah kanuragan.
Agaknya Laksita memiliki kelebihan untuk mendekatkan diri
kepada Kiai Pusparuri. Tetapi dalam olah kanuragan, ia segera
merasa betapa beratnya tekanan ilmu Daruwerdi.
Yang bertempur di tempat lain adalah Semi melawan
kepercayaan Kiai Pusparuri yang lain, Sentika. Seperti Laksita,
ia mula-mula merasa memiliki kelebihan untuk melawan
orang-orang yang datang ke bukit gundul itu. Tetapi ternyata
orang yang menyebut dirinya Semi itu memiliki kemampuan
yang tidak teratasi. Namun dalam pada itu, kekasaran orang-orang Pusparuri
memang membuat anak-anak muda Lumban menjadi ngeri.
Nugata yang bertempur diantara kawan-kawannyapun
merasakan betapa kawan-kawannya dicengkam oleh perasaan
cemas menghadapi lawan-lawan mereka meskipun mereka
bertempur berpasangan. Sementara sepuluh orang anak muda
terbaik di Lumban Wetanpun menjadi semakin lama semakin
berdebar-debar menghadapi kenyataan yang kurang
dimengerti sebelumnya. Apalagi kawan-kawannya yang lain. Satu dua orang,
bahkan rasa-rasanya telah menjadi berputus asa dan
kehilangan keberanian untuk berbuat sesuatu.
Namun dalam keadaan yang demikian terdengar suara
Rahu diantara anak-anak muda itu "Jangan menyerah kepada
cara yang licik dan kasar, bahkan buas dan liar. Jika kalian
tidak ingin dibantai dan dicincang di bukit gundul ini. kalian
harus berusaha melindungi diri kalian masing-masing, hanya
mereka yang ingin membunuh diri sajalah yang kehilangan
keberanian untuk melindungi diri masing-masing"
Suara Rahu ternyata bagaikan mengumandang memantul
pada dinding-dinding bukit. Anak-anak muda Lumban yang
mulai dirayapi oleh kengerian tiba-tiba menjadi sadar, bahwa
kelemahan jiwani akan justru semakin mempercepat
kehancuran mereka sendiri.
Sementara itu, di ujung lain terdengar suara kawan Semi
yang bertempur dengan garangnya "Anak-anak Lumban.
Yakinlah akan diri kalian masing-masing, bahwa kalian
mempunyai kelebihan. Setidak-tidaknya jumlah kalian jauh
lebih banyak. Yang kalian hadapi adalah orang-orang yang
hanya mampu berbuat kasar. Tetapi tidak mampu bertempur
dalam arti yang sebenarnya.
Rasa-rasanya anak-anak Lumban yang hampir menjadi
kehilangan akal melihat sikap lawannya, telah dijangkiti lagi
dengan tekad yang sejak semula mendorong mereka datang
ke bukit gundul itu. Karena itu, maka perlawanan merekapun
kemudian menjadi semakin mantap.
Orang-orang Pusparuri mengumpat dengan kasarnya.
Beberapa orang justru telah berteriak-teriak mengucapkan
kata-kata yang sama sekali tidak pantas.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa satu dua
anak-anak muda Lumban mulai dibasahi dengan darah.
Orang-orang Pusparuri itu dengan sengaja telah menunjukkan
betapa mereka dapat berbuat apa saja tanpa batas perasaan
sama sekali. Rahu menjadi cemas. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Ia
melihat darah mulai menitik dari tubuh anak-anak Lumban
Karena itu, ia harus membangkitkan keberanian anak-anak itu
dengan cara yang sama. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah melihat seorang
pengikut Kiai Pusparuri seperti angin pusaran. Dengan
segenap kemampuan yang ada padanya ia menyerang tanpa
memberi kesempatan kepada lawannya untuk
mempertahankan diri. Orang Pusparuri itu sama sekali tidak menduga, bahwa
ternyata lawannya memiliki kemampuan yang tidak terlawan.
Namun tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Senjata
Rahu seakan-akan telah memburunya kemana ia pergi.
Akhirnya, anak-anak muda Lumban mendengar orang itu
mengaduh tertahan. Senjata Rahu benar-benar telah
melukainya. Menyilang didada.
Orang itu terlempar beberapa langkah surut. Kemudian
terjatuh menelentang. Dengan susah payah ia berusaha untuk
bangkit, tetapi luka itu terasa terlalu pedih sementara darah
mengalir bagaikan terperas dari jantungnya.
Orang Pusparuri itu terjatuh lagi. Yang dapat dilakukannya
kemudian adalah merangkak menepi. Mengambil obat dari
kantong ikat pinggangnya dan mencoba mengurangi arus
darahnya yang mengalir dari lukanya.
Rahu tidak memburunya. Ia tidak ingin membunuh orang
yang sudah tidak berdaya, karena ia harus melawan orang lain
yang tiba-tiba saja telah menyerangnya.
Tetapi Rahu sudah siap. Ia ingin menunjukkan kepada dapi
lawan-lawannya. Orang-orang Pusparuri bukan hantu anakanak
muda Lumban yang mulai merasa ngeri menghadang
tidak terkalahkan. Sekali lagi Rahu menghentakkan segenap kemampuannya
yang ada padanya. Sekali lagi lawannya terlempar dengan
luka menganga di lambungnya.
Anak-anak muda Lumban yang sempat melihat
kemenangan-kemenangan itupun menjadi berbesar hati.
Meskipun ada diantara mereka yang telah menitikkan darah,
tetapi ternyata bahwa orang-orang Pusparuri itupun dapat
dilukai oleh salah seorang dari lingkungannya.
Dibagian lain kawan Semipun berbuat serupa. Anak-anak
muda Lumban yang menjadi cemas, bahwa Semi tidak segera
dapat mengatasi lawannya, sementara mereka menganggap
bahwa Semi adalah orang yang memiliki kelebihan jauh diatas
kemampuan mereka. Namun mereka tidak mengetahui,
bahwa lawan Semi adalah salah seorang kepercayaan Kiai
Pusparuri. Sehingga dengan demikian, maka lawan Semi
itupun memiliki kelebihan dari kawan-kawan mereka.
Untuk mengatasi kegelisahan itulah, maka kawan Semipun
telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Ketika ia
berhasil melukai seorang lawannya, maka anak-anak muda
Lumbanpun mulai melihat, bahwa mereka masih mempunyai
kesempatan. Karena itu, maka anak-anak muda Lumban yang hampir
saja kehilangan keberanian mereka untuk bertempur terus,
telah bangkit kembali setelah mereka melihat, bukan saja
anak-anak Lumban yang telah terluka. Tetapi orang-orang
Pusparuripun telah meneteskan darah pula. Apalagi ketika
salah seorang anak muda Lumban yang bertempur bersama
dua orang kawannya, tiba-tiba saja telah berhasil
menggoreskan senjatanya ketubuh lawan sehingga lawannya
itupun telah terluka dan tidak banyak dapat memberikan
perlawanan. Hanya karena seorang kawannya berhasil
membantu dan menolongnya, maka orang Pusparuri itu
sempat melepaskan diri dari maut
Yang bertempur diluar kemampuan pengamatan anak-anak
muda Lumban adalah Kiai Kanthi. Kawannya ternyata juga
seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Orang
malas itu, dalam pertempuran yang seru ternyata telah
mampu mengejutkan Kiai Kanthi dengan kekuatannya yang
sangat besar. Ayunan senjatanya yang aneh, yang tiba-tiba
saja telah berada di dalam genggaman telah mengejutkan Kiai
Kanthi. Tongkat-tongkat baja yang tidak begitu panjang
dikedua tangannya. Semula Kiai Kanthi menduga, bahwa kedua tongkat itu
dihubungkan dengan seutas rantai Tetapi ternyata kedua
tongkat itu terlepas satu sama lain.
Kiai Kanthi yang menyadari, betapa dahsyatnya
kemampuan lawannya, tidak dapat melawan dengan
tangannya. Kekuatan orang itu akan dapat menghancurkan
lengannya, jika senjatanya itu mengenainya. Karena itu, maka
Kiai Kanthipun segera menarik senjatanya pula. Senjata yang
juga tidak cukup panjang dan yang selalu terselip di bawah
kain panjangnya. Dengan sebilah luwuk yang tidak terlalu panjang Kiai Kanthi
melawan sepasang tongkat baja di kedua tangan lawannya.
Namun ternyata bahwa luwuk itu di tangan Kiai Kanthi benarbenar
merupakan senjata yang sangat berbahaya. Luwuk itu
seolah-olah telah berterbangan disekitar tubuh pemalas yang
memiliki ilmu yang tinggi itu.
Namun dalam pada itu, dalam pertempuran yang semakin
sengit, ternyata bahwa pemalas itu masih belum mampu
mengimbangi ilmu Kiai Kanthi ketika Kiai Kanthi sampai
kepuncak kemampuannya. Ternyata orang tua dari lereng
bukit berhutan itu benar-benar memiliki ilmu yang
mengagumkan. Dalam keadaan terdesak, pemalas itu telah menghentakkan
kemampuannya. Dengan teriakan nyaring ia berusaha untuk
menyerang. Sambil memutar kedua batang tongkatnya, maka
dengan kekuatan getar suaranya ia berusaha untuk
mempengaruhi perlawanan Kiai Kanthi.
Tetapi Kiai Kanthi cukup memahami cara yang ditempuh
Sawannya. Bahkan tiba-tiba saja Kiai Kanthi itu telah tertawa.
Suaranya tidak begitu keras. Tetapi suaranya itu telah
menenggelamkan teriakan-teriakan lawannya yang
menggelegar seperti guntur.
Anak-anak Lumban yang mendengar teriakan lawan Kiai
Kanthi itu telah tergetar seluruh isi dada mereka. Seolah-olah
bukit gundul itupun telah terguncang. Namun dengan
benturan suara yang terjadi, maka teriakan-teriakan itu tidak
lagi mampu mengguncang jantung anak-anak muda Lumban.
Suara tertawa Kiai Kanthi yang tidak begitu keras, telah
menjadi perisai dari getaran-getaran yang terlontar dari
teriakan-teriakan kasar pemalas yang bertempur melawan Kiai
Kanthi itu. Bahkan sejenak kemudian, Kiai Kanthipun mulai dengan
sungguh-sungguh menekan lawannya, ketika ia melihat bahwa
anak-anak Lumban benar-benar dalam keadaan bahaya.
Dengan sungguh-sungguh Kiai Kanthi mulai membatasi gerak
lawannya. Sebelum anak-anak Lumban benar-benar
mengalami bencana, maka ia harus sudah dapat
membebaskan diri dari lawannya yang kasar itu.
Untunglah bahwa Rahu dan kawan Semi mampu
membangkitkan gejolak perjuangan yang semakin mantap
diantara anak-anak muda Lumban. Namun kegarangan orangorang
Pusparuripun menjadi semakin menggila.
Mereka dengan sengaja berusaha menakut-nakuti anakanak
muda Lumban. Bagaimanapun juga, anak-anak muda itu
akan ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Kanthi benar-benar telah
berhasil menguasai Kiai Benda, pemalas yang berada di dalam
lingkungan orang-orang Pusparuri. Sebenarnya ia memiliki
ilmu yang melampaui orang-orang kepercayaan Kiai Pusparuri,
tetapi karena sifatnya yang malas dan menurut i kehendak
sendiri, maka ia tidak banyak mendapat kesempatan.
Meskipun demikian orang itu tetap berada di lingkungan
orang-orang Pusparuri, karena Kiai Pusparuri tidak banyak
menegurnya dan membiarkannya berbuat sesuka hati.
Sebenarnyalah Kiai Pusparuri berharap, aga pemalas itu
segera dapat menyelesaikan lawannya, karena Kiai Pusparuri
tahu, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
Namun berhadapan dengan Kiai Kanthi, maka justru
pemalas itulah yang telah terdesak dan bahkan seolah-olah
telah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.
Kiai Pusparuri sendiri yang bertempur melawan Pangeran
Sena Wasesa melihat, betapa pemalas itu selalu terdesak.
Karena itu, maka dalam keadaan yang gawat itu, ia tidak
dapat membiarkan dan memanjakannya. Dengan geram Kiai
Pusparuri berteriak "He, pemalas dungu. Apa yang kau
kerjakan he" Tidur" Lawanmu, orang tua sakit-sakitan itu
sudah waktunya untuk diselesaikan"
Tetapi jawab pemalas itu membuatnya berdebar-debar
"Aku tidak dapat melakukannya. Orang itu memiliki ilmu yang
tinggi. Justru akulah yang sudah terdesak sekarang ini"
"Pemalas Gila" geram Kiai Pusparuri "Jika demikian,
sebentar lagi kau akan dibantai oleh orang tua sakit-sakitan
itu" "Aku akan melawan. Tetapi jika aku tidak mampu, apaboleh
buat" jawab Kiai Benda.
Kiai Pusparuri mengumpat kasar. Tetapi sebenanrnyalah ia
melihat pemalas itu selalu terdesak. Semakin lama nampak
semakin sulit, karena sebenarnyalah Kiai Kanthi adalah
seorang yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya.
Tetapi Kiai Benda ternyata tidak semalas yang diduga
dalam menghadapi kesulitan yang paling gawat. Ia tidak
segera menyerah kepada keadaan dan membiarkan dirinya
digilas oleh lawannya. Namun ia telah berjuang dengan
segenap kemampuan yang ada padanya pada tingkat ilmunya
yang tertinggi. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat berbuat banyak.
Luwuk di tangan Kiai Kanthi itu telah meraba kulitnya.
Betapapun ia melawan dengan tongkat bajanya, namun luwuk
itu seolah-olah memiliki ketajaman penglihatan untuk
menyusup disela-sela perlahannya.
"Setan alas" geram pemalas itu. Namun ia tidak kuasa
membendung ujung senjata Kiai Kanthi. Ketika sekali lagi
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujung luwuk itu menggores kulitnya, pemalas itu berteriak
kasar sambil meloncat mundur.
Tetapi Kiai Kanthi ternyata benar-benar tidak mau
melepaskannya. Dengan cepat. Kiai Kanthipun meloncat
memburu sambil menyerang. Ia tidak mau terlambat
membantu anak-anak Lumban yang mengalami kesulitan.
Tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari libatan ilmu Kiai
Kanthi. Getaran ilmu yang dilontarkan lewat suaranya ternyata
tidak dapat menahan Kiai Kanthi. Bahkan ujung luwuk Kiai
Kanthi telah menyayat kulitnya dan darahpun mengalir dari
lukanya. Hentakan-hentakan terakhir dari pemalas itu, justru
bagaikan memeras darahnya lewat luka-luka di kulitnya.
Semakin banyak darah yang mengalir, maka tubuhnyapun
menjadi semakin lemah. Sehingga karena itu, maka seranganserangan
Kiai Kanthi berikutnya semakin banyak yang
mengenainya. Kiai Kanthipun menyadari, bahwa lawannya sudah tidak
terlalu berbahaya lagi. Namun demikian, ia tidak ingin
menyesal dengan meninggalkannya, karena iblis pemalas itu
akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan. Karena itulah,
maka Kiai Kanthi masih meloncat menjulurkan senjatanya
ketika pemalas itu berusaha menghindar dari pertempuran.
Ternyata senjata Kiai Kanthi itu menyusup diantara tulangtulang
iganya. Memang tidak terlalu dalam dan tidak
menggapai jantung di dalam dadanya. Tetapi luka itu
membuatnya kehilangan keseimbangan. Meskipun ia masih
berusaha, tetapi akhirnya perlahan-lahan ia benar-benar telah
kehilangan keseimbangannya itu.
Kiai Kanthi tertegun sejenak. Dilihatnya orang itu
terhuyung-huyung. Kemudian jatuh terkulai dengan lemahnya.
Sesasat Kiai Kanthi masih melihat tangannya menggapai
sesuatu pada ikat pinggangnya. Dengan gemetar orang itu
mengambil serbuk obat dari sebuah bumbung kecil. Dengan
sisa tenaganya ia berusaha menghamburkan obat itu pada
lukanya disela-sela tulang iga itu. Luka yang paling parah pada
tubuhnya. Kiai Kanthi membiarkannya saja. Ia tahu pasti, meskipun
darahnya kemudian menjadi pampat, tetapi orang itu tidak
akan berdaya lagi. Karena itulah, maka iapun kemudian
memalingkan wajahnya. Dipandanginya seluruh arena
pertempuran. Di perhatikannya Pangeran Sena Wasesa yang
bertempur melawan Kiai Pusparuri. Keduanya memiliki
kelebihan yang menggetarkan.
Namun dalam pada itu, perhatian Kiai Kanthi lebih banyak
tertarik kepada anak-anag muda Lumban yang sedang
bertempur. Karena itu, maka seolah-olah diluar sadarnya. Kiai
Kanthi telah melangkah meninggalkan pemalas yang parah itu,
menuju ke arena pertempuran anak-anak muda Lumban
melawan orang-orang Pusparuri yang garang, liar dan bahkan
buas. "Hampir saja aku terlambat" berkata Kiai Kanthi.
Sementara itu, seorang anak muda telah terlempar dari
arena. Meskipun ia bertempur berpasangan, namun ternyata
keduanya tidak mampu bertahan atas kekasaran lawannya.
Sebuah golok yang besar telah melemparkan pedang anak
muda Lumban. Kemudian sebuah tusukan yang cepat telah
merobek lambungnya. Sementara kawannya berusaha untuk
membantunya, golok itu telah mengarah mendatar, sehingga
ujung golok itu seolah-olah telah menyusup disela-sela gerak
senjata lawannya, mengenai perut, meskipun tidak begitu
dalam. Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia t idak
dapat hanya menonton saja. atau membiarkan mereka
bertempur sebagaimana orang-orang Pusparuri bertempur.
Karena itu. Kiai Kanthipun tidak merasa bersalah, apabila ia
melibatkan diri diantara orang-orang Pusparuri yang
mengamuk dengan liarnya. Kehadiran Kiai Kanthi yang dengan serta merta itu, mulamula
tidak banyak mendapat perhatian. Namun ketika satu
dua orang Pusparuri seolah-olah begitu saja terlempar dari
aiena, barulah mereka memperhatikannya.
Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Baru mereka
menyadari, bahwa orang tua itu adalah orang yang semula
menempatkan diri menjadi lawan Ki Benda, pemalas yang
berilmu mumpuni itu. Dalam pada itu. ternyata Rahupun masih bertempur
dengan garangnya. Jlitheng yang menghadapi orang berwajah
panjang dan bertongkat baja itupun ternyata telah berhasil
menguasainya. Serangan-serangannya tidak lagi mengarah ke
sasaran. Jlitheng berhasil memancing orang itu untuk
mengerahkan tenaganya, sehingga pada saat-saat terakhir,
nafas orang itu hampir terputus karenanya.
Meskipun demikian, dengan hentakkan-hentakkan yang
cepat, orang itu masih saja menyerang Jlitheng dengan
garangnya. Ternyata tongkat baja orang itu tidak banyak
berpengaruh atas senjata Jlitheng yang tipis. Namun Jlitheng
benar-benar menguasai ilmu pedang dengan baik, sehingga
dengan kemampuannya itu, ia justru telah mengusai
permainan senjata lawannya. Ayunan yang garang, keras dan
kuat, yang langsung mengarah ke tqngkuk Jlitheng, telah
terayun dan kehilangan arah hanya oleh sentuhan pendek dari
pedang Jlitheng yang tipis. Bahkan tangan lawannya yang
terseret oleh arus pukulannya yang keras itu. telah
membuatnya kehilangan pengamatan atas gerak senjata
lawannya. Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Pedang
tipis Jlitheng ternyata telah menyentuh lengannya. Sentuhan
yang lemah itu ternyata telah mengoyak daging lawannya
sehingga sebuah luka yang dalam telah menganga. Darah
mengalir dengan derasnya dan kecemasanpun mencengkam
jantungnya. Tidak banyak kesempatan orang berwajah panjang itu.
Jlitheng yang juga melihat kesulitan anak-anak Lumban, telah
mengerahkan kecepatan dan kemampuan ilmu pedangnya
untuk mengakhiri pertempuran itu.
Selagi lawannya belum menyadari sepenuhnya apa yang
terjadi, sekali lagi pedang Jlitheng mengenai tubuh lawannya.
Dada orang itu lelah tergores menyilang.
Kesakitan yang sangat telah menyengat dadanya.
Dorongan sentuhan pedang itu dan usahanya untuk
menghindar namun tidak berhasil, justru telah
melemparkannya jatuh terlentang. Namun karena lukanya
yang parah, maka orang itu tidak sempat bangkii kembali.
Ternyata ia hanya sempat merintih pendek. Kemudian iapun
jatuh pingsan. Jlitheng yang terlepas dari lawannya berwajah panjang
itupun segera menempatkan diri disamping Rahu. Namun
ketika ia melihat dibagian lain anak-anak Lumban itu
mengalami kesulitan, maka iapun telah meninggalkan Rahu
yang bertempur dengan garangnya pula.
Disekitar Daruwerdi yang bertempur melawan Laksita,
kedua pamannya tengah bertempur pula. Sementara Semi
masih terlibat dalam pertempuran melawan Sentika. Namun
kawan Semi itu sempat berada diantara anak-anak muda
Lumban yang mengalami kesulitan.
Kehadiran Jlitheng telah membantu anak-anak muda
Lumban. Dengan pedang tipisnya anak-anak muda itu meloncat
dari seorang lawan ke lawan yang lain untuk
mengurangi tekanan mereka terhadap anak-anak muda
Lumban. Namun dibagian lain, orang-orang Pusparuri itu seolah-olah
telah susut dengan cepatnya. Anak-anak muda Lumban yang
hampir kehilangan kesempatan mulai bangkit dan bertempur
dengan berani "Kiai Kanthi" desis Jlitheng.
Agaknya orang tua itu benar-benar ingin membantu dan
melindungi anak-anak muda Lumban. Meskipun sebenarnyalah
jika pada permulaan pertempuran itu anak-anak muda
Lumban tidak ikut serta, maka orang-orang berilmu itupun
tidak mampu bertahan terhadap orang-orang Pusparuri yang
jumlahnya jauh lebih banyak, namun yang ternyata kemudian
harus turun melawan anak-anak muda Lumban yang
jumlahnya masih lebih banyak lagi dari jumlah mereka.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran itupun
dengan cepat telah berubah. Orang-orang Pusparuri mulai
menjadi cemas. Meskipun mereka berhasil melukai banyak
anak-anak Lumban, tetapi pada saat-saat terakhir, orangorang
Pusparurilah yang telah terlempar dari arena dan jatuh
terbanting di tanah dengan darah yang mencucur dari luka.
Kiai Kanthi, Jlitheng, Rahu dan kawan Semi benar-benar telah
merubah keadaan. Kiai Pusparuri melihat keadaan yang sulit itu. Dengan
hentakk n entakkan ilmunya ia berusaha untuk mempercepat
tugasnya, menguasai Pangeran Sena Wasesa. Namun
sebagaimana dikehendaki, bahwa Kiai Pusparuri ingin
menangkap Pangeran itu hidup-hidup.
Ternyata bahwa Kiai Pusparuri memang seorang yang pilih
tanding. Ia memiliki kelebihan ilmu dari Pangeran Sena
Wasesa. Namun justru kegelisahannya yang membuatnya
kadang-kadang kehilangan kesempatan.
Justru karena itulah, maka seolah-olah Pangeran Sena
Wasesalah yang berhasil mendesaknya. Pangeran itu sama
sekali tidak perlu berusaha untuk tidak melukai, apalagi tidak
membunuh lawannya. Pangeran Sena Wasesa yang
mempergunakan senjata khususnya ditelapak tangan kirinya,
ternyata mempunyai pengaruh yang besar pada usaha Kiai
Pusparuri untuk dapat menangkapnya hidup-hidup.
Sementara itu, orang-orang Pusparuri benar-benar
mengalami kesulitan yang mendesak. Nampaknya Semi telah
menjadi mapan dan berhasil mengimbangi ilmu lawannya.
Daru-werdipun mampu bertahan dalam tataran ilmu yang
setingkat. Sementara Jlitheng, Rahu dan Kiai Kanthi dengan
pasti telah mengurangi jumlah lawan seorang demi seorang
sehingga akhirnya orang-orang Pusparuri itupun tidak lagi
melihat kemungkinan untuk dapat berhasil.
Kiai Pusparuri menggeram dengan marah. Sementara
Pangeran Sena Wasesa sempal berkata "Perhatikan orangorangmu
Kiai. Apakah kau masih berkeras dengan niatmu"
Kiai Pusparuri tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar
merasa salah hitung alas lawannya. Apalagi ketika ia melihat,
bahwa orang-orangnya benar-benar mengalami kesulitan.
Ternyata diantara anak-anak muda Lumban memang terdapat
orang-orang yang memiliki ilmu yang melampaui rata-rata
kemampuan orang-orangnya. Sehingga dengan demikian,
maka orang-orang itu telah mampu membuat lubang-lubang
pada perlawanan orang-orang Pusparuri.
Namun dalam pada itu. Kiai Pusparuri itu masih melihat Ki
Ajar Pamotan Galih masih belum mulai bertempur. Karena itu.
maka iapun berteriak kasar "He, Ajar Pamotan Galih. Apa yang
sebenarnya ingin kau lakukan disini"
Ajar Pamotan Galih sama sekali tidak menjawab. Bahkan
suara itu seolah-olah tidak didengarnya sama sekali. Yang
terdengar pada telinga hatinya, adalah jerit yang memekik dari
dasar hatinya. Dalam pada itu, Jlitheng yang tidak melihat bahaya yang
rawat mengancam anak-anak Lumban setelah beberapa orang
Fusparuri dilumpuhkan, apalagi sejak Kiai Kanthi berada
diantara anak-anak muda itu pula, telah sempat melihat apa
yang terjadi dengan Ki Ajar Pamotan Galih dan Orang cacat
yang menyiapkan diri menjadi lawannya.
Namun yang dilihatnya adalah sesuatu yang sama sekari
diluar dugaannya. Kedua orang itu tidak mengulangi
pertempuran yang pernah terjadi. Tetapi hampir tidak percaya
kepada penglihatannya, Jlitheng menyaksikan Ki Ajar Pamotan
Galih mengusap matanya. Jlitheng yang melangkah mendekat dengan ragu-ragu
melihat, Ki Ajar Pamotan Galih itupun kemudian duduk diatas
sebuah batu padas memandang kekejauhan, sementara orang
cacat yang menyebut dirinya sebagai Ki Ajar Cinde Kuning itu
berdiri di sisinya "Apa yang terjadi Kiai?" bertanya Jlitheng.
Ki Ajar Pamotan Galih berpaling. Dipandanginya Jlitheng
sesaat Tetapi ia tdiak menjawab.
Sementara itu Ki Ajar Cinde Kuning berkata "Kau sudah
mengetahui hubungan kami. Aku sudah mengatakannya"
"Apakah Ki Ajar Pamotan Galih mengakuinya?" bertanya
Jlitheng. Sekali lagi Ki Ajar itu berpaling Dan Jlitheng menjadi semakin
jelas melihat mata orang tua itu menjadi basah.
Sesuatu yang aneh bagi Jlitheng Ki Ajar Pamotan Galih i
tialah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ia
memiliki kelebihan atas Pangeran Sena Wasesa. Bahkan ia
adalah orang yang pernah hidup dalam lingkungan orangorang
kasar dan liar. Namun orang yang demikian itu masih
dapat juga membasahi pelupuknya dengan air mata.
"Pamotan Galih" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "Kini
segalanya telah berakhir. Permainan yang tidak menarik sama
sekali ini sudah dapat diakhiri. Kau sudah melihat wajahmu
sendiri pada dataran air yang bening dan diam. Kau lihat cacat
dan celanya. Kau lihat noda dan belangnya"
Ki Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata "Aku sudah mengaku segalanya. Aku
memang harus bertanggung jawab atas segala peristiwa yang
terjadi di bukit gundul ini. Pembantaian yang terjadi antara
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali" Putih.
Kemudian apa yang kita saksikan sekarang adalah akibat
kesalahanku. Aku tidak ingkar, dan aku akan menanggung
segala hukumannya" "Hukuman apa yang pantas diberikan kepada yang berbuat
kesalahan seperti yang kau lakukan?"nya Ki Ajar Cinde Kuning.
"Aku tidak tahu" jawab Ki Ajar Pamotan Ga eku akan
menyerah hukuman apa saja yang akan diberikan kepadaku.
Aku tidak akan ingkar seandainya aku akan di hukum picis
sekalipun" "Pamotan Galih" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "Sebenarnya
tidak ada hukuman yang berarti jika hukuman itu tidak dapat
menumbuhkan satu kesadaran untuk mengakui kesalahan dan
berjanji di dalam diri sendiri untuk tidak melakukannya lagi"
Ki Ajar Pamotan Galih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang pertempuran itu. maka ia melihat orang orang
Pusparuri menjadi semakin susut. Beberapa orang yang masih
bertahan harus menghadapi lawan yang jumlahnya semakin
banyak Sementara itu Kiai Pusparuri ternyata tidak semudah
yang diduganya untuk menguasai Pangeran Sena VVasesa.
Apalagi ketika ia melihat Ajar Pamotan Galih justru duduk
diatas batu padas, maka darahnya bagaikan mendidih di
jantungnya. Tetapi dari lingkaran pertempurannya, Kiai
Pusparuri tidak melihat bahwa mata Ki Ajar Pamotan Galih
lelah basah. Ternyata Ki Ajar Cinde Kuning sempat memberikan
bayangan pada angan-angan Ajar Pamotan Galih, hasil dari
segala perbuatannya, termasuk diri Ajar Cinde Kuning itu
sendiri. "Kau adalah saudara bukan saja sekandung, tetapi kau
adalah saudara kembar" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "Tetapi
mata hatimu telah tersumbat oleh keinginan duniawi sehingga
kau telah melupakan yang justru lebih penting dari segalanya,
hidupmu dialam langgeng"
Ki Ajar Pamotan Galih masih memandang keadaan
disekitarnya. Namun lambat laun, kepalanya telah tertunduk.
Sekali lagi ia mengusap matanya yang menjadi basah. Pada
tanah padas di bawah kakinya, seolah-olah ia telah melihat
tingkah lakunya pada masa yang lalu. Puncak dari
kebengisannya adalah usaha pembunuhan atas saudara
kembarnya sendiri. Tetapi ternyata orang yang disangkanya
mati itu masih sempat menolong dirinya sendiri meskipun ia
kemudian menjadi cacat dan wajahnya seakan-akan telah
berubah dari ujudnya yang semula. Tidak seorangpun akan
dapat mengenainya lagi sebagai Ajar Cinde Kuning selain diri
orang itu sendiri. Dan orang itu telah datang kepadanya,
memberikan gambaran yang seolah-olah justru peristiwa itu
sendiri telah terulang kembali.
Bahkan, Ki Ajar Cinde Kuning bukan saja membangunkan
ingatannya, bagaimana ia dengan curang membunuh saudara
kembarnya, tetapi yang lebih pedih dihatinya, adalah justru Ki
Ajar Cinde Kuning mampu membangunkan kembali ingatannya
pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa mereka berdua
bermain bersama. Bergurau dengan riang bersama ayah dan
bundanya. Kemudian tumbuh menjadi remaja yang nampak
memiliki kelebihan dari kawan-kawannya justru karena
kesempatan bagi mereka berdua untuk membangun diri
mereka. Ki Ajar Pamotan Galihpun seolah-olah melihat kembali,
bagaimana mula-mula mereka menempuh jalan yang keluar
dari garis kebenaran. Bagaimana mereka kemudian digelut
oleh jalan kehidupan yang hitam.
Tetapi ternyata Ajar Cinde Kuning berhasil melepaskan
dirinya dari gelapnya jalan kehidupan. Berbeda dengan dirinya
sendiri yang justru terbenam semakin dalam, sehingga sulit
baginya untuk melepaskan diri sebagaimana ditempuh oleh
saudara kembarnya. Dan akhirnya ia sampai pada puncak
kejahatan seorang yang paling jahat. Ia sampai hati
membinasakan saudara sendiri.
Ki Ajar Pamotan Galih terkejut ketika ia mendengar Kiai
Pusparuri berteriak keras sekali "Pamotan Galih Kenapa kau
tidak membunuh dirimu saja agar tidak menyakiti mataku.
Pemalas yang bodoh itu bertempur sampai batas kesetiaannya
kepada cita-citanya. Apa yang kau lakukan disini he?"
Ki Ajar Pamotan Galih t idak mendengarkannya. Sekali lagi
ia menundukkan kepalanya.
"Kau mulai melihat cahaya di dalam hatimu" berkala Ki Ajar
Cinde Kuning "Tidak terlambat bagimu untuk membersihkan
noda-moda yang melekat pada dirimu"
Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih menggeleng lemah. Katanya
"Tanganku telah aku kotori dengan darah saudara kandungku,
bahkan saudara kembarku. Tidak ada air yang dapat
membersihkannya lagi"
"Tentu ada" jawab Ki Ajar Cinde Kuning "air dari pelupuk
matamu akan membersihkannya Bukan saja noda tanganmu
yang kau kotori dengan darah saudaramu, tetapi noda
dihatimupun akan terhapus karenanya. Titik air di pelupuk
matamu adalah pertanda penyesalanmu yang paling dalam,
karena aku tahu, bahwa kau tidak akan menit ikkan air mata
jika kau tidak merasa betapa pedihnya luka dihati. Kau adalah
seorang laki-laki. Karena itu, titik air pelupuk matamu adalah
nilai-nilai dari penyesalanmu"
"Apakah itu sudah cukup?" bertanya Pamotan Galih.
"Tidak ada yang lebih berharga selain penyesalan yang
mendalam sampai ke pusat jantung bagi seorang yang paling
kotor di muka bumi" jawab Ki Ajar Cinde Kuning "karena itu,
maka penyesalanmu itu akan mencuci segala kekotoran di
dalam dirimu lahir dan batin, asal penyesalanmu itu benarbenar
kau persembahkan kepada Yang Maha Kuasa. Yang
menciptakan segala yang ada. Yang mengurniakan akal dan
budi serta memberikan kebebasan memilih jalan hidup
masing-masing bagi ciptaanya yang paling disayanginya, yang
disebut manusia. Namun yang justru paling menentang
kehendaknya dan menyakit i hatiNya"
Ki Ajar Pamotan Galih sama sekali tidak menjawab.
Kepalanya menjadi semakin tunduk. Dan seolah-olah ia
menjadi semakin mengenal diri sendiri, semakin melihat cacat
dan nodanya. Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih sudah bertekad untuk t idak
melarikan diri dari kenyataan yang dihadapinya. Ia akan
mempertanggung jawabkannya. Dan pertanggungan jawab
yang paling berat, sebagaimana ditunjukkan oleh saudara
kembarnya itupun akan dilakukannya. Menyesal sampai ke
dasar hati. Mengakui segala kesalahan dan mohon
pengampunan kepada Yang Maha Penyayang.
Dalam pada itu, Jlitheng yang menyaksikan pembicaraan
antara kedua orang saudara kembar, namun yang wajahnya
sama sekali sudah tidak serupa lagi itu, merasa betapa
dadanya menjadi berdentangan. Seolah-olah ia ikut
merasakan penyesalan yang paling dalam dihati Ajar Pamotan
Galih itu. Namun demikian ia sempat mendengar Kiai Pusparuri
mengumpat-umpat sambil bertempur mengerahkan segenap
kekuatannya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa orang-orang
Pusparuri sudah tidak lagi mempunyai kemungkinan apapun
juga untuk memenangkan pertempuran itu. Betapa liarnya
orang-orang Pusparuri, namun menghadapi jumlah yang
banyak serta beberapa orang yang memiliki kelebihan dari
mereka, ternyata bahwa akhirnya orang-orang Pusparuri itu
benar-benar dapat dilumpuhkan.
Sementara itu, Kiai Pusparuri sendiri masih bertempur
dengan dahsyatnya. Ia mampu mengerahkan ilmu puncaknya
yang melampaui kemampuan daya tahan Pangeran Sena
Wasesa. Apalagi luka Pangeran Sena Wasesa yang nampaknya
sudah sembuh, dalam pertempuran yang dahsyat itu, terasa
menjadi sakit Meskipun demikian, Pangeran itu tetap bertahan dengan
sekuat tenaganya. Sekali-sekali ia masih juga mampu
mendesak lawannya, namun pada kesempatan lain, Pangeran
Sena Wasesa harus meloncat surut sejauh-jauhnya.
Tetapi dalam pada itu. Kiai Pusparuri menjadi sangat
gelisah, ketika dilihatnya Kiai Kanthi berdiri beberapa langkah
dari arena pertempurannya melawan Pangeran Sena Wasesa.
Bahkan kemudian Rahu. Semi dan kawannya telah
mendekatinya pula. Ternyata mereka telah menyelesaikan
kewajiban mereka. Lawan-lawan mereka telah mereka
lumpuhkan sehingga mereka tidak lagi terikat dalam
pertempuran. "Orang-orang Pusparuri telah diselesaikan" desis Kiai Kanthi
"Yang tersisa sudah menyerah kepada anak-anak muda
Lumban" Kiai Pusparuri menggeram. Namun ia memang melihat
kenyataan itu. Namun dalam pada itu, berbeda dengan Semi yang berhasil
melumpuhkan lawannya, ternyata bahwa Daruwerdi tidak
sempat berbuat seperti Semi. Kepercayaan Kiai Pusparuri yang
bertempur melawannya itu, ternyata telah berhasil melarikan
diri. Ia menyusup diantara anak-anak Lumban yang sibuk
mengurusi orang-orang Pusparuri yang menyerah. Kemudian
dengan cepatnya Laksita itu berlari ke balik bebatuan dan
gerumbul-gerumbul perdu di bawah kaki bukit gundul.
Meskipun Daruwerdi berusaha untuk mengejarnya, tetapi
ternyata bahwa Laksita mempunyai kesempatan untuk
melepaskan diri dari tangan Daruwerdi.
Akhirnya Daruwerdi memutuskan untuk t idak mengejar
lawannya. Daruwerdi merasa bahwa ia tidak akan dapat
menangkapnya, karena lawannya mendapat kesempatan lebih
baik dari padanya. Apalagi bebatuan dan gumpalan-gumpalan
padas di bawah bukit gundul itu kadang-kadang menghalangi
penglihatannya dan menjadi tempat lawannya menghilangkan
jejak. "Biarlah ia hidup" berkata Daruwerdi "Tetapi pada satu
kesempatan, ia akan mengalami nasib yang sama seperti
kawan-kawannya. Apalagi orang itu tidak akan dapat berbuat
apa-apa tanpa Kiai Pusparuri"
Karena itulah, maka Daruwerdipun segera melangkah
kembali. Ia melihat beberapa orang anak muda Lumban
mengikut inya. Mereka bermaksud membantu Daruwerdi
mengejar orang yang melarikan diri itu. Tetapi dalam pada itu
Daruwerdi berkata "Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Orang itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga berpengaruh
atas kemampuannya.melarikan diri"
Anak-anak muda Lumban itupun hanya dapat
mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apaapa.
Dalam sekejap, orang yang dikejar Daruwerdi itu seolaholah
memang sudah hilang. Karena itu, maka merekapun segera kembali ke arena.
Namun rasa-rasanya medan itu telah menjadi sepi. Yang
nampak sibuk kemudian adalah anak-anak muda Lumban
membantu tabib yang semula berada di antara orang-orang
Sanggar Gading, namun yang kemudian menyadari, bahwa
tempat itu bukanlah tempatnya yang sebenarnya
Namun akhirnya Daruwerdipun melihat sebuah lingkaran
pertempuran yang dikerumuni oleh beberapa orang. Ternyata
Pangeran Sena Wasesa masih bertempur melawan Kiai
Purparuri. Pertempuran yang sebenarnya mencemaskan,
karena ternyata bahwa kemampuan Kiai Pusparuri memang
selapis lebih t inggi dari Pangeran Sena Wasesa. Hanya dalam
keadaan yang khusus sajalah Pangeran Sena Wasesa, yang
sudah dapat disebut seseorang yang memiliki ilmu yang
mumpuni itu, dapat menang atas lawannya.
Kiai Kanthi yang berdiri dekat dengan arena itu menjadi
sangat gelisah. Sementara itu, yang lainpun berdiri termangumangu
dengan hati yang berdebar-debar.
Dalam pada itu, Ki Ajar Cinde Kuning yang sudah meyakini
bahwa saudara kembarnya itu sempat merenungi dirinya dan
keadaannya, kemudian berkata "Baiklah Pamotan Galih.
Cobalah kau renungi dirimu sendiri. Memang tidak ada batas
keterlambatan untuk mengakui segala kesalahan dan
pertaubatan selagi nafas kita masih mengalir. Karena itu,
lakukanlah. Sementara ini aku akan bertemu dengan Kiai
Pusparuri yang masih bertempur dengan Pangeran Sena
Wasesa. Nampaknya ada sesuatu yang harus
dipertimbangkan. Ki Ajar Pamotan Galih tidak menjawab. Kepalanya masih
saja tunduk dalam-dalam. Namun terasa ia memang sedang
merenungi dirinya sendiri. Ia sedang memandang jauh
kedalamdasar jantungnya dan menghunjam ke hatinya.
Sementara itu, Ki Ajar Cinde Kuningpun kemudian
melangkah meninggalkan saudara kembarnya mendekati
arena pertempuran itu. Jlitheng masih berdiri termangu-mangu. Memang ada
kecurigaan bahwa Ki Ajar Pamotan Galih itu akan berbuat
sesuatu. Namun dalam keragu-raguan itu ia justru berdiri saja
seperti orang yang sedang kebingungan.
"Anak muda" tiba-tiba terdengar suara Ki Ajar Pamotan
Galih. Jlitheng memandang Ajar Pamotan Galih yang masih
tertunduk diam, namun bibirnyalah yang bergerak.
"Kemarilah" desis Ki Ajar itu kemudian.
Jlitheng masih bertempur dengan orang berwajah panjang.
Ternyata dengan ilmu yang kasar dan keras, orang berwajah
panjang itu memang memiliki kelebihan dalam olah
kanuragan. Tetapi untunglah, bahwa Jlitheng dengan cepat
menempatkan diri sebagai lawannya, sehingga orang itu tidak
sempat melakukan pembantaian atas anak-anak muda
Lumban. Jlitheng ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia melangkah
maju mendekat meskipun ia harus berhati-hati.
"Anak muda. Orang itu adalah saudara kembarku. Karena
itu, ia bersikap baik terhadapku. Ia berusaha untuk
menenangkan hatiku yang serasa terbakar oleh gejolak
penyesalan yang tidak kunjung ada habisnya" Ki Ajar Pamotan
Galih berhenti sejenak, lalu "Tetapi kau adalah orang lain
bagiku. Mungkin kau membeciku. Tetapi mungkin kau
menaruh belas kasihan. Tetapi coba katakan dengan jujur,
seperti sikapmu yang jujur pada saat kau berada di
padepokanku. Tanpa mengenal takut kau katakan apa yang
ingin kau katakan" "Apa maksudmu Ki Ajar?" bertanya Jlitheng.
"Katakan dengan jujur. Apakah orang seperti aku ini masih
pantas untuk hidup" Apakah orang seperti aku ini masih
pantas untuk mohon pengampunan kepada Yang Maha
Kuasa?" bertanya orang tua itu.
Jlitheng menjadi bingung sesaat Tetapi hampir diluar
sadarnya ia menjawab menirukan jawaban Ki Ajar Cinde
Kuning sebelumnya "Tentu Ki Ajar. Tidak ada batas
keterlambatan, selama nafas masih mengalir dari dalam dada
kita" Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Terima
kasih. Aku percaya kepadamu"
Jlitheng masih termangu-mangu. Namun kemudian Ki Ajar
itu berkata "Tinggalkan aku. Aku sudah puas mendengar
jawabanmu. Aku akan berusaha melakukannya seperti yang
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinasehatkan oleh saudara kembarku itu"
Jlitheng mengangguk-angguk. Ketika Ki Ajar itu
mengangkat wajahnya, seperti sudah dilihatnya, matanya
menjadi basah. Jlithengpun kemudian beringsut menjauhinya. Ketika ia
berpaling, dilihatnya lingkaran pertempuran yang masih belum
terselesaikan. Karena itu, maka iapun kemudian melangkah
meninggalkan Ki Ajar Pamotan Galih menuju ke arena
pertempuran yang dahsyat itu.
Pangeran Sena Wasesa memang menjadi semakin
terdesak. Sementara itu Kiai Kanthi berdiri dekat di batas
arena. Bahkan kemudian orang cacat yang bernama Ki Ajar
Cinde Kuning itupun telah berada di lingkaran pertempuran itu
pula. Ki Ajar itu mengangguk-angguk, lapun melihat, bahwa sulit
sekali bagi Pangeran Sena Wasesa untuk memenangkan
perang tanding melawan Kiai Pusparuri itu.
Dalam pada itu Rahupun berkata lantang "Kiai Pusparuri.
Kau sudah tidak mempunyai kesempatan apapun juga.
Menyerahlah" "Persetan" geramnya "Aku akan membunuh Pangeran ini.
Aku menganggap bahwa ia sudah tidak berguna lagi. Akupun
tidak lagi menginginkan pusaka dan harta benda itu. Aku
hanya ingin membunuhnya"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Pada wajah Kiai
Pusparuri memang sudah tidak nampak lagi nafsunya untuk
mendapatkan pangkat, derajad dan semat. Yang memancar
pada sorot matanya adalah dendam semata-mata.
Kegagalannya mendapatkan pusaka dan kegagalannya dalam
usahanya yang terakhir itu telah membuatnya menjadi
kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan demikian maka
yang dilakukannya kemudian t idak lebih dari satu tindakan
dalam keputus-asaan. Namun demikian, tidak dapat diingkari, bahwa Kiai
Pusparuri memang mempunyai kelebihan dari Pangeran Sena
Wasesa. Karena itu, maka dalam puncak ilmunya dilambari
dengan pertimbangan yang tidak mapan lagi, maka Kiai
Pusparuri memang sangat berbahaya bagi Pangeran Sena
Wasesa. Sementara itu, selagi orang-orang di bukit gundul itu
memperhatikan dengan tegang, pertempuran antara Kiai
Pusparuri dengan Pangeran Sena Wasesa, maka salah seorang
kepercayaan Kiai Pusparuri yang terlepas dari tangan
Daruwerdi tengah berhenti sejenak di sebuah pategalan.
Nafasnya terasa memburu dikerongkongan setelah ia
mengerahkan segenap tenaganya untuk melepaskan diri dari
tangan Daruwerdi. Ia termasuk satu diantara kawankawannya
yang sedikit sekali mendapat kesempatan untuk
melepaskan diri dari tangan lawannya. Jika ada satu dua
orang yang lain, yang dapat melarikan diri dari anak-anak
muda Lumban, namun mereka telah berlari bercerai berai
mencari jalan hidup masing-masing.
Laksita yang terengah-engah itu berdiri bersandar sebatang
pohon di pategalan yang sepi. Pandangan matanya menyapu
dedaunan yang kekuning-kuningan disekitarnya. Tanah yang
gersang dan pepohonan yang seolah-olah kehausan.
Betapa sakit hati kepercayaan Kiai Pusparuri yang ternyata
tidak mampu mengimbangi kemampuan Daruwerdi, sehingga
melarikan diri dari arena.
Namun tiba-tiba terbersit satu pikiran yang mula-mula
asing bagi kepercayaan Kiai Pusparuri itu. Tetapi semakin
lama pikiran itu nampaknya menjadi semakin jelas.
Tiba-tiba orang itu menggertakkan giginya. Katanya di
dalam hati "Persetan dengan bukit gundul. Aku kira pusaka itu
tentu sudah disembunyikan oleh Daruwerdi di pondokannya.
Ia sengaja menipu Kiai Pusparuri. Ia ingin memanfaatkan
siapapun juga untuk menangkap Pangeran itu. Kepada orang
yang berhasil menangkap itu telah disediakannya barang palsu
seperti yang dijanjikannya. Dengan demikian, ia akan dapat
melepaskan dendamnya yang agaknya telah disimpannya
untuk waktu yang lama kepada Pangeran itu. Memang
mungkin, Pangeran itulah sebenarnya sumber keterangan
tentang pusaka yang sedang diperebutkan. Tetapi mungkin
karena dendam yang menyala dihati Daruwerdi. Sementara itu
pusaka itu sendiri telah disimpannya baik-baik di dalam
rumahnya. Atau kalau tidak, rumah itu harus dijadikan debu"
Karena itulah, maka Laksita itupun telah berniat untuk
singgah di rumah Daruwerdi, karena ia menyangka pusaka itu
sudah berada di sana. Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
menggeram "Aku akan melihat, apakah iblis kecil itu dapat
menyembunyikan kelicikannya terhadap Laksita"
Dengan demikian maka akhirnya Laksita itupun telah
meninggalkan pategalan itu dengan tergesa-gesa menuju ke
padukuhan Lumban. Ia ternyata masih meragukan kesimpulan
Kiai Pusparuri dan keterangan dari Pangeran Sena Wasesa
sendiri, bahwa ia adalah satu-satu orang yang mengetahui
tentang pusaka itu dan mengakui telah menyerahkan
segalanya kepada Sultan Demak.
Dipengaruhi oleh kekalutan hatinya atas kekalahan orangorang
Pusparuri, serta dendam yang menghentak-hentak
dadanya karena beberapa orang kawannya telah menjadi
korban terbunuh, luka-luka parah atau tertangkap, maka
Laksita itupun dengan wajah yang menyala memasuki
padukuhan Lamban. Ketika di mulut lorong, ia bertemu dengan beberapa orang
anak muda Lumban, yang justru adalah Lumban Wetan, maka
dengan garangnya ia membentak "Tunjukkan rumah
Daruwerdi" Anak-anak muda yang jumlahnya sedikit yang mendapat
tugas untuk menjaga padukuhan itu berusaha untuk
menghentikannya di gardu, karena menilik sikap dan tingkah
lakunya, Laksita pantas dicurigai
Tetapi ternyata sikap anak-anak Lumban itu membuatnya
semakin marah. Ketika anak-anak itu memaksanya untuk
masuk ke dalam gardu, maka tidak ada lagi yang dapat
mengekangnya. Dalam waktu yang sekejap, beberapa dari
anak-anak muda Lumban itu telah terlempar jatuh. Bahkan
satuf dua orang menjadi pingsan karenanya.
"Anak-anak Gila" Laksita yang menjadi liar itu berteriak
"kawan-kawanmu telah dibantai di bukit gundul"
Tidak seorangpun yang masih berani berbuat sesuatu.
Karena itu, merekapun tidak dapat berbuat apa-apa ketika
Laksita itupun kemudian berlari menyusuri jalan pedukuhan,
setelah ia menghentakkan kentongan yang ada di gardu itu
dan memecahnya dengan menghantamkan kentongan dari
bambu petung itu ke sebatang pohon kelapa.
"Kita lapor ke banjar" desis salah seorang anak muda itu.
"Ia menuju ke arah banjar" desis yang lain.
"Marilah. Seandainya ia tidak memasuki banjar, kita akan
melapor. Sementara kawan yang lain biarlah merawat kawankawan
kita yang pingsan atau terluka. Bagaimanapun juga,
kita harus berusaha mengatasinya. Ia hanya seorang diri"
berkata salah seorang dari anak muda itu.
Dua diantara anak-anak muda itupun kemudian berlari-lari
ke banjar. Mereka mengambil jalan memintas, meloncati
pagar-pagar halaman dan melintasi kebun-kebun.
Namun ternyata bahwa orang yang mengerikan itu mampu
berlari cepat. Ketika anak-anak muda itu muncul disebe-lah
banjar, orang yang mereka ikuti itu telah berdiri termangumangu
di muka regol banjar, sehingga menarik perhatian
beberapa anak muda yang bertugas di banjar.
Karena itulah, maka dua orang anak muda yang bertugas di
banjar itupun kemudian mendekatinya. Dengan curiga salah
seorang dari mereka bertanya "Siapakah yang kau cari Ki
Sanak?" Laksita memandang kedua orang anak muda itu sorot mata
yang mendebarkan. Apalagi kemudian ia menggeram
"Tunjukkan kepadaku, dimana rumah Daruwerdi"
Kedua orang anak muda itu menjadi semakin curiga. Salah
seorang kemudian bertanya "Apa keperluanmu dengan
Daruwerdi?" "Persetan. Dimana rumah Daruwerdi?" bentak orang itu.
Kedua orang anak muda itu menjadi semakin curiga. Justru
karena itu, maka salah seorang diantaranya menjawab
"Katakan, apa keperluanmu"
"Jawab, atau aku remukkan kepalamu" bentak orang itu.
Kedua anak muda itupun segera melihat, bahwa orang itu
tentu orang yang berbahaya. Merekapun kemudian menduga,
bahwa orang itu tentu salah seorang dari mereka yang berada
di bukit gundul. Namun dalam pada itu, dua orang yang semula berada di
gardu tidak sampai hati membiarkan kedua orang kawannya
itu mengalami cidera. Karena itu, maka katanya tiba-tiba
sambil meloncat dari balik dinding "hati-hatilah. Ia sangat
berbahaya" Orang itu berpaling. Dilihatnya dua orang anak muda yang
semula berada di gardu. Tetapi ia tidak segera berbuat
sesuatu. Bahkan ia masih bertanya "Tunjukkan rumah
Daruwerdi. Atau kalian ingin mati disini?"
"Hati-hati" sekali lagi anak muda yang datang dari gardu itu
berkata. Beberapa orang yang berada di halaman agaknya tertarik
mendengar keributan itu. Beberapa orang telah keluar dari
halaman. Namun sekali lagi anak-anak muda yang datang dari
gardu itu memperingatkan "Orang itu sangat berbahaya"
"Nah, kau dengar"
Orang itu justru menyahut "Aku sangat berbahaya. Karena
itu, tujukkan saja, dimana rumah Daruwerdi"
Beberapa orang anak mudapun segera memencar dan
berusaha untuk mengepungnya. Namun dengan demikian
mereka telah membuat Laksita yang hampir gila itu menjadi
semakin marah. "Aku bertanya, dimana rumah Daruwerdi. Apakah yang
akan kalian lakukan" Bunuh diri?" bentak Laksita.
Anak-anak muda itu t idak menjawab. Namun mereka telah
menjadi semakin ketat menggepung orang itu.
Laksita yang marah itu tidak berpikir lebih panjang lagi.
Tiba-tiba saja ia telah menyerang anak-anak muda itu.
Yang terjadi memang tidak terduga. Anak-anak itu tidak
sempat berbuat banyak. Mereka segera terlempar dari
lingkaran yang mengitari orang yang bernama Laksita itu.
Dengan kemarahan yang meluap, Laksita justru memasuki
regol banjar itu. Beberapa anak muda yang sempat bangkit
menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga, mereka tidak
dapat membiarkan orang itu berbuat sesuka hatinya.
Dua orang yang datang dari gerdu itupun kemudian
bergabung dengan kawan-kawannya. Namun sebenarnyalah
mereka tidak banyak dapat berbuat. Kawan-kawan mereka
yang memiliki kemampuan lebih baik telah pergi ke bukit
gundul. Meskipun demikian, anak-anak muda itupun kemudian
mengikut i Laksita yang memasuki regol. Bahkan nampaknya ia
menjadi semakin liar. Dengan mata yang menyala, disapunya
segenap halaman itu dengan pandangannya. Ketika tiba-tiba
ia melihat pendapa banjar, iapun telah berlari-lari mendekati
tangga. Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban itupun
mengikut inya meskipun dengan jantung yang berdegup
semakin keras. Tetapi tiba-tiba saja orang itu berhenti. Sekali lagi dengan
cepat ia menyerang anak-anak muda itu. Beberapa orang lagi
terlempar jatuh, sementara yang lain bergeser mundur.
"Anak-anak gila. Jika kalian tidak menyadari keadaan diri
kalian, maka aku akan segera membunuh. Tetapi dimana
rumah Daruwerdi" teriak orang itu.
Sebenarnyalah di pendapa banjar itu duduk dua orang
perempuan. Ketika mereka melihat kehadiran orang itu, maka
merekapun menjadi tegang. Apalagi ketika mereka mendengar
orang itu bertanya tentang Daruwerdi.
Namun nampaknya anak-anak muda itu tidak mau
menjawab. Karena itu kemarahan Laksita nampaknya sudah
tidak terbendung lagi. Dengan kasarnya tiba-tiba saja ia
menangkap seorang diantara anak-anak muda itu.
Mencekiknya sambil bertanya "Jawab, dimana rumah
Daruwerdi, atau aku akan mencekik lehermu sampai patah"
Mulut orang yang dicekiknya itu terbuka. Tetapi suaranya
tidak terdengar sama sekali.
Dalam pada itu, kawan-kawannya tidak sampai hati
membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, maka beberapa orang
diantara mereka telah memberanikan diri menyerang
bersama-sama Tetapi seperti yang pernah terjadi. Mereka telah terlempar
jatuh. Bahkan lebih keras lagi. Satu dua diantara mereka telah
terlempar sampai lima enam langkah. Punggung mereka
serasa akan patah, sehingga mereka tidak segera dapat
bangkit lagi. Sekali lagi orang itu menangkap orang yang lain setelah
melepaskan orang yang pertama, yang justru menjadi
pingsan. Tetapi Laksita tidak mencekiknya. Dipeganginya
rambut anak itu sambil berteriak "Dimana rumah Daruwerdi"
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ternyata Laksita yang
marah itu tidak mempunyai belas kasihan lagi. Kepala anak
muda itu telah dibenturkan di tanah sambil membentak
"Sebut, atau kepalamu akan remuk"
Kesakitan yang sangat telah membuat orang itu kehilangan
akal. Hampir diluar sadarnya ia berkata "Itu ibunya. Di
pendapa" Laksita melepaskan rambut orang itu. Kemudian iapun
berdiri tegak sambil memandang perempuan yang berada di
pendapa dengan tubuh bergetar.
"Jadi kau ibu Daruwerdi he?" geramnya.
Ibu Daruwerdi itu benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak
tahu, apa yang harus dikatakannya.
Sementara itu anak-anak muda yang berada di halaman
banjar itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bahaya
yang gawat bagi perempuan yang berada di banjar. Beberapa
arang diantara mereka memandangi anak muda yang telah
terlanjur mengatakan bahwa perempuan itu adalah ibu
Daruwerdi.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda yang telah menyebut bahwa perempuan itu
adalah ibu Daruwerdi merasa menyesal sekali. Baru kemudian
ia sadar akibat yang dapat terjadi pada perempuan itu Tetapi
ia sudah terlanjur mengatakannya
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 20 DALAM pada itu, maka Laksita itupun kemudian dengan
wajah yang buas menggeram "He, perempuan celaka. Kenapa
kau berada disini" Nasibmu memang kurang baik. Tetapi jika
kau menunjukkan dimana tempat tinggal Daruwerdi selama ia
berada di Lumban, maka aku akan membuat beberapa
pertimbangan" Ibu Daruwerdi yang gemetar itu tidak segera menjawab.
Sementara Laksita itupun kemudian membentak "Cepat
katakan. Atau tunjukkan. Ia tentu tidak t inggal di banjar ini"
Ibu Daruwerdi itu bagaikan terbungkam. Apalagi ketika ia
melihat Laksita melangkah naik tangga pendapa. Dengan
garangnya ia menggeram "Kau harus mengenal aku. Aku tidak
mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali memaksa
seseorang untuk melakukan perintahku. Tunjukkan, dimana
tempat tinggal Daruwerdi"
Perempuan itu benar-benar telah menggigil. Sementara itu,
anak-anak muda yang berada di halaman banjar itu tidak
sampai hati membiarkan ibu Daruwerdi itu mengalami
bencana. Karena itu, betapapun juga mereka merasa betapa
kecilnya diri mereka dihadapan orang itu, namun anak muda
yang tertua diantara mereka telah memberanikan diri berkata
"Ki Sanak. Jangan kau sentuh perempuan itu. Jika kau ingin
mengetahui tempat tinggal Daruwerdi, marilah. Aku akan
mengantarkanmu" Laksita memandang anak muda itu sejenak. Namun
kemudian iapun tertawa. Suaranya bagaikan suara iblis yang
menguak gelapnya tanah pekuburan.
"Terlambat anak muda. Aku sudah menemukan orang yang
tepat untuk menunjukkan tempat itu. Aku tahu, karena
kekalutan ini ia mengungsi di banjar ini. Tetapi ia tentu tahu
dimana Daruwerdi menyembunyikan pusaka yang sebenarnya,
Bukan yang palsu seperti yang diberikannya kepada orangorang
Sanggar Gading. Ibu Daruwerdi menjadi semakin menggigil. Namun
sementara itu, dua orang anak muda bergeser mendekat.
Seorang diantara mereka berkata "Kami akan mencegah
meskipun kami tahu akibat yang dapat terjadi atas kami"
"Anak gila. Apa yang akan kau lakukan?" bentak orang itu.
Namun justru dua orang lagi telah mendekat. Bahkan
kemudian diikuti oleh tiga orang yang lain.
"O, anak-anak yang tidak tahu diri. Aku peringatkan sekali
lagi. Sampai saat ini aku masih belum membunuh. Tetapi jika
kalian berlaku bodoh dan gila, aku benar-benar akan
membunuh" Orang itu hampir berteriak.
Tetapi anak muda yang tertua itu menjawab "Ki Sanak.
Tidak seorangpum yang ingin mati. Akupun tidak. Tetapi aku
tidak dapat melihat kau berbuat semena-mena. Perempuan
yang memang ibu Daruwerdi itu tidak akan mengerti apa yang
dilakukan oleh anaknya. Ia tidak tinggal di Lumban. Ia datang
pada hari-hari terakhir dari peristiwa yang telah mengguncang
Kabuyutan ini. Meskipun kabuyutan kami kering, tandus dan
miskin, tetapi kami merasa damai sebelumnya. Dan sekarang
kedamaian itu sudah rusak karena orang-orang yang tamak
seperti orang-orang Sanggar Gading, Kendali Putih dan orangorang
lain yang senafas dengan mereka"
"Diam "Orang itu berteriak "Aku t idak peduli. Tetapi
selangkah lagi kau mendekat, kematianmu menjadi semakin
cepat. Apakah kau kira jika aku sudah membunuh semua
anak-anak muda ini, aku tidak akan dapat memaksa
perempuan itu untuk menunjukkan rumah anak laki-lakinya"
"Lakukan setelah kami tidak melihat apa yang terjadi"
jawab anak muda itu. "Gila. Kau memang gila teriak Laksita. Lalu "J ika memang
demikian, apaboleh buat"
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja perhatian mereka
tertarik oleh suara seorang perempuan. Perempuan yang
berada disebelah ibu Daruwerdi "Lepaskan orang itu. Ia akan
benar-benar membunuh"
Anak-anak muda terkejut Laksitapun terkejut.
Sementara itu, seorang gadis yang semula duduk di
sebelah ibu Daruwerdi itupun membenahi dirinya. Sambil
melangkah maju ia berkata "Biarkan saja apa yang akan
dilakukan" Anak-anak muda itupun termangu-mangu. Tetapi mereka
sudah mendengar bahwa gadis yang bernama Swasti itu telah
ikut pula bertempur melawan orang-orang Sanggar Gading
dan Kendali Putih. Apalagi merekapun melihat, ketika Swasti
kemudian berdiri, di lambungnya ternyata tergantung sehelai
pedang. "He, siapa kau?" bertanya Laksita.
"Siapapun aku, tetapi aku harus mencegah tingkah lakumu.
Anak-anak muda itu mungkin dapat kau abaikan dan bahkan
mungkin kau benar-benar dapat membunuh mereka
semuanya" jawab Swasti "Tetapi disini ada aku. Karena itu,
maka aku adalah orang pertama yang akan melawanmu"
"Persetan. Kau berani berhadapan dengan orang
Pusparuri?" geram Laksita.
Swasti merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat, bahwa
ia pernah berhadapan dengan dua orang yang mengaku
orang-orang Pusparuri. Kini ia berhadapan lagi dengan orang
Pusparuri. Namun agaknya orang ini nampak lebih
meyakinkan. Meskipun demikian Swasti sama sekali tidak gentar. Karena
itu maka katanya "Kita akan melihat, apakah aku berhasil
mengalahkan orang-orang Pusparuri atau tidak. Tetapi
seandainya aku tidak mampu melawanmu seorang diri, disini
ada beberapa orang anak muda yang akan dapat
membantuku. Laksita menggeram. Ia benar-benar merasa terhina, bahwa
seorang gadis telah bertekad untuk melawannya meskipun
gadis itu bersenjata. Karena itu dengan garang ia berkata
"Anak gila, kau lihat, tidak seorangpun diantara anak-anak
muda ini yang berani bertingkah seperti yang kau lakukan"
"Aku memang lain dari mereka" berkata Swasti
"Sebenarnya aku tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak
berniat untuk mengganggu ibu Daruwerdi. Sebenarnyalah
bahwa ia memang tidak mengerti apa-apa tentang anaknya
dan apa yang dilakukannya. Jika kau mengurungkan niatmu
untuk mengganggunya, maka akupun tidak akan-berbuat apaapa"
"Kau menjadi semakin sombong anak manis. Aku akan
berbuat seperti yang dikehendaki. Jangan halangi aku" Orang
itu hampir berteriak. Tetapi Swasti tidak bergeser sama sekali. Bahkan ia
kemudian berkata "Sebaiknya aku memaksamu untuk pergi
atau menangkapmu sama sekali"
Wajah orang itu menjadi merah padam. Sementara anakanak
muda di banjar itupun menjadi semakin berdebar-debar.
Betapapun juga dimata mereka, Swassiti adalah seorang gadis
meskipun mereka pernah mendengar apa yang dilakukan
gadis itu berhadapan dengan orang-orang Sanggar Gading
dan Kendali Put ih. Dalam pada itu Laksitapun agaknya tidak mau terlibat
dalam pembicaraan yang berkepanjangan. Karena itu, maka
katanya "Aku memperingatkanmu untuk yang terakhir kalinya.
Pergi atau aku akan membunuhmu"
"Sudah aku katakan, aku akan mencegah tingkah lakumu
yang sewenang-wenang" jawab Swasti.
Laksita tidak dapat menahan diri lagi. Namun sebelum ia
bertindak Swasti telah mendahuluinya berkata "Jangan
bertempur disini. Kita akan mendapat tempat yang lebih
lapang di halaman banjar ini. Biarlah anak-anak muda Lumban
menyaksikan, apakah yang dapat kau lakukan. Seperti yang
aku katakan, jika aku tidak mampu melawanmu, biarlah anakTiraikasih
anak muda itu membantuku. Kau tidak akan dapat melawan
musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya, meskipun
kemampuannya dapat kau abaikan"
Laksita menggeram. Namun, Swasti tiba-tiba saja
medangkah maju, sehingga Laksitapun kemudian meloncat
turun kehalaman sambil mengumpat "Anak iblis. Kau sangka
permainanmu itu berhasil menggetarkan jantungku"
Swasti memandang wajah Laksita sesaat Wajah itu nampak
garang, meskipun tidak sekotor wajah orang-orang yang
parah di hadapinya. . Tetapi Swasti tidak sempat menilai lebih lama lagi. Laksita
yang ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya itu tiba-tiba
telah menggenggam senjata di tangannya. Katanya "Aku akan
membunuhmu, meskipun kau seorang gadis. Kemudian aku
akan membunuh semua orang yang mencoba menghalangi
aku" Swastipun segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau
kehilangan kesempatan pertama. Karena itu, ketika ia melihat
lawannya bersenjata, maka iapun telah menggenggam
pedangnya. Dalam pada itu, ibu Daruwerdi benar-benar menggigil
ketakutan. Ada niatnya untuk mencegah Swasti, Tetapi
tubuhnya rasa-rasanya telah membeku.
Tetapi ketika ia melihat dari tempatnya, Swasti dan orang
yang datang itu sudah saling menggerakkan senjatanya, tibatiba
saja seolah-olah tumbuh kekuatan yang tidak
dimengertinya di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia telah bangkit
dan berlari kearah gadis yang sudah siap untuk bertempur itu.
"Swasti, Ngger, Swasti" panggilnya "Cukup. Jangan kau
lakukan. Biarlah aku menurut apa yang dikehendakinya"
"Jangan mendekat" teriak Swasti. Untunglah anak-anak
muda Lumban berhasil mencegahnya.
"Jangan mendekat bibi" berkata Swasti kemudian "Orang
itu terlalu licik, Ia akan dapat mempergunakan bibi sebagai
perisai untuk memaksakan kehendaknya. Biarlah aku mencoba
menyelesaikan masalah ini. Sementara aku parsilahkan bibi
menunggu" "Kau akan melihat kepala gadis ini terpenggal" geram
Laksita. "Jangan" minta ibu Daruwerdi
"Aku tidak peduli" jawab Laksita.
Sebelum ibu Daruwerdi itu berkata, Swasti telati
mendahului "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi"
Anak-anak muda Lumban itupun kemudian membimbing
perempuan itu menepi. Dipersilahkan ibu Daruwerdi itu duduk
di tangga pendapa banjar Kabuyutan Lumban.
Sejenak kemudian Laksita yang telah kehabisan kesabaran
itu, mulai menggerakkan senjatanya, sementara Swasti
bergeser selangkah surut Namun iapun kemudian
mengacukan senjatanya pula. Sambil berdesis ia mulai
menggerakkan ujung pedangnya.
Laksita yang garang itu mulai menyerang dengan ayunan
mendatar. Namun Swasti masih belum berbuat banyak. Ia
hanya bergeser selangkah surut
Tetapi Laksita. agaknya telah meloncat memburunya. Tibatiba
saja senjatanya terayun keras sekali menyambar pundak
Swasti. Namun Swasti yang sudah bersiaga itu sempat
memiringkan tubuhnya, sehingga serangan lawannya tidak
menyentuhnya. Dalam pada itu, Swasti tidak membiarkan dirinya hanya
menjadi sasaran serangan lawannya. Sejenak kemudian maka
iapun mulai memutar pedangnya. Meskipun ia masih berusaha
menjajagi kemampuan lawannya namun ia telah mulai
menjulurkan pedangnya untuk menyerang.
Sejenak kemudian bertempuran itupun menjadi semakin
seru. Laksita yang marah tidak lagi mengekang diri. Seranganserangannya
datang beruntun. Namun Swasti selalu berhasil
mengelakkannya.. Meskipun demikian, ternyata bahwa kemudian Swasti t idak
selalu sempat mengelak. Karena itu, maka pada suatu saat, ia
harus menangkis serangan lawannya yang datang membadai.
Tetapi Swasti masih selalu berhati-hati. Ia tidak ingin
langsung membenturkan senjatanya menangkis serangan
lawannya yang belumdiketahui dengan pasti kekuatannya.
Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebardebar.
Mereka melihat bahwa Laksita semakin lama menjadi
semakin keras dan kasar. Namun merekapun melihat Swasti
semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Kakinya
seolah-olah menjadi semakin ringan, sementara pedangnya
berputaran seperti baling-baling.
Meskipun demikian anak-anak muda Lumban itu menjadi
cemas. Bagaimanapun juga mereka belum mendapat
gambaran yang pasti tentang kemampuan Swasti. Mungkin
gadis itu memang memiliki dasar-dasar ilmu kanuragan. Tetapi
berhadapan dengan orang yang kasar itu, apakah ia akan
mungkin dapat mengimbanginya.
Karena itu, maka anak-anak muda itupun selalu bersiaga
diseputar arena. Meskipun mereka menyadari, bahwa diri
mereka masing-masing sama sekali tidak berarti dibanding
dengan orang- yang garang itu, tetapi mereka tidak akan
dapat membiarkan bencana akan terjadi pada gadis itu tanpa
pembelaan sama sekali. Apalagi kesulitan dan kegagalan gadis
itu akan berarti kesulitan yang gawat pula bagi ibu Daruwerdi.
Namun ternyata bahwa Swasti memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Di mata anak-anak muda Lumban yang sulit
untuk mengikut i pertempuran itu, Swasti masih tetap mampu
bertahan. Bahwa kadang-kadang ia berhasil mendesak
lawannya, sehingga laki-laki yang kasar itu harus berloncatan
surut beberapa langkah. Sebenarnyalah Swasti masih mampu mengimbangi
lawannya yang bertempur semakin kasar. Ketika Laksita
menyadari, bahwa gadis itu memang seorang gadis yang
memiliki ilmu yang mampu melawannya, maka oleh dorongan
kemarahannya yang memuncak. Laksita telah mengerahkan
segenap, kemampuannya. Pertempuran itu kemudian semakin menjadi sengit.
Keduanya ternyata memiliki bekal yang cukup, sehingga
keduanya harus bertempur dengan mengerahkan segenap
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuannya dan berhati-hati.
Namun ternyata Laksita yang marah serta kegagalan
orang-orang Pusparuri di kaki bukit gundul, membuatnya
kehilangan pertimbangan yang mapan. Gejolak perasaannya
lebih menguasai dirinya daripada nalarnya. Karena itulah,
maka yang nampak pada tata geraknya adalah kekasaran dan
keliarannya yang menjadi semakin jelas. Tetapi justru karena
itu, maka ia menjadi kurang berhati-hati. Laksita tidak sempat
mengamati tata geraknya sendiri.
Swasti yang kadang-kadang cepat juga terpengaruh oleh
perasaannya itu, ternyata masih mampu mengurai keadaan.
Ia masih sempat melihat, apa yang dilakukan oleh lawannya
dan apa yang dialami pada getaran perasaannya. Justru
karena itu, maka iapun kemudian mempergunakan keadaan
lawannya untuk mengatasinya.
Dengan tangkasnya Swasti memancing kekasaran
lawannya. Dengan demikian Swasti mengharap, bahwa
Misteri Di Bukit Ular Emas 2 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Pedang 3 Dimensi 1