Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 27

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 27


itu. Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian bangkit dan meninggalkan serambi itu ketika lampu
kemudian dinyalakan. Ketika Raden Ajeng Ceplik itu kemudian menyediakan
makan malam ayahandanya, serta para tamunya maka ia
masih saja membayangkan keperkasaan gadis yang bernama
Swasti itu. Tetapi tiba-tiba lewat juga diangan-angannya
seorang anak muda yang lain, Daruwerdi. Anak muda yang
juga jarang disebut-sebut oleh ayahandanya, kecuali
namanya. Anak muda ini mempunyai ujud dan sikap yang berlainan
dengan anak muda yang bernama Jlitheng, yang lebih
sederhana, namun yang ternyata telah mendapat anugerah
derajat Kapangeranan. Bahkan ketika malam turun dan Raden Ajeng Ceplik telah
berada di pembaringannya, ia masih saja memikirkan tamutamu
ayahandanya, Jika sebelumnya ia tidak pernah berpikir
tentang anak muda yang bernama Jlitheng itu, maka setelah
Rahu bertanya kepadanya, apakah ia mengenal anak muda
itu, ternyata ia justru mulai memperhatikannya.
Namun sekali-sekali muncul pula di dalam angan-angannya,
saudara sepupunya, Bramadaru. Seorang anak muda periang,
ramah dan sopan. Memang jauh berbeda dalam ujud
lahiriahnya. Pakaian Bramadaru sudah menunjukkan bahwa ia
adalah seorang bangsawan.
Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa juga merenungi
dirinya sendiri dan keadaan anak-anaknya. Ia sudah
mengambil satu keputusan, bahwa ia akan mengatakan besok
kepada anak gadisnya, bahwa ia mempunyai seorang ibu tiri
dan seorang saudara laki-laki.
Demikianlah, maka dihari berikutnya,. Pangeran Sena
Wasesa telah bersiap-siap untuk memanggil puterinya. Sekali
lagi dalam kegelisahan ia menyatakan maksudnya itu kepada
Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. lapun telah mencari
kesempatan untuk bertemu dengan Endang Srini.
"Aku memerlukan dukungan jiwani" berkata Pangeran Sena
Wasesa. Pangeran Sena Wasesa tidak mau terganggu lagi oleh
kehadiran Bramadaru, meskipun ia tidak akan melarang anak
muda itu tetap datang berkunjung setelah ia mendengar
beberapa keterangan tentang dirinya, karena hal itu masih
harus dibuktikan kebenarannya.
Ketika Raden Ajeng Ceplik sudah selesai dengan tugasnya,
mengatur makan pagi bagi tamu-tamunya, maka dengan hati
yang berdebar-debar, Pangeran Sena Wasesa telah
memanggil puterinya ke ruang dalam.
Raden Ajeng Ceplik menjadi berdebar-debar pula. Yang
terpikir olehnya, ayahnya tentu akan bertanya tentang
Bramadaru, karena kemarin embannya tentu telah
mengatakannya tentang hubungannya dengan anak muda itu.
Tetapi seperti embannya mengatakan, maka puteri itupun
akan berkata terus terang tentang yang sebenarnya terjadi.
Untuk memulai dengan satu pembicaraan yang
bersungguh-sungguh Pangeran Sena Wasesa ternyata
memang bertanya tentang hubungan Raden Ajeng Ceplik
dengan Bramadaru. Apakah Bramadaru memang sudah
pernah menyatakan sesuatu kepadanya.
Raden Ajeng Ceplik sudah bertekad untuk berkata berterus
terang. Karena itu, maka yang dikatakannya sama sekali tidak
berbeda dengan yang dikatakan oleh embannya.
"Ceplik" berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian "Kau
memang perlu berhati-hati. Kau t idak boleh percaya begitu
saja dengan kata-kata embanmu. Meskipun embanmu berniat
baik, tetapi mungkin emban itulah yang mendapatkan
keterangan yang salah. Tetapi kaupun tidak boleh
mengabaikan keterangan itu tanpa menghiraukannya, sama
sekali" Raden Ajeng Ceplik hanya menundukkan kepalanya saja.
"Kau sudah cukup dewasa" berkata Pangeran Sena Wasesa
kemudian. Lalu "Kau sudah dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Namun karena kau mempunyai
orang tua, maka segala sesuatunya harus dibicarakan dengan
orang tua" Raden Ajeng Ceplik masih tetap menunduk. Namun ia
mendapat kesan bahwa sebenarnya ayahandanya tidak
menolak seandainya ia sendiri menerima Bramadaru itu hadir
di dalam perjalanan hidupnya.
Meskipun demikian Raden Ajeng Ceplik tiba-tiba saja
berkata dalam nada yang dalam "Ayahanda, sebenarnya aku
masih harus berpikir beberapa kali. Kehadiran kakangmas
Bramadaru selama ini aku terima tidak lebih sebagai
saudaraku sendiri. Ketika tiba-tiba ia menyatakan isi hatinya,
maka aku sama sekali belumsulit untuk menjawabnya"
"Bagus Ceplik" jawab Pangeran Sana Wasesa "Kau memang
harus membuat pertimbangan sebaik-baiknya. Sementara itu
akupun tidak akan tinggal diam. Aku ingin mendengar dari
beberapa pihak tentang kehidupan Bramadaru yang
sebenarnya" Kembali Raden Ajeng Ceplik menundukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya hubungan yang
sungguh-sungguh antara Pangeran Sena Wasesa dan
puterinya sudah terjalin. Karena itu, maka Pangeran Sena
Wasesapun kemudian ingin mulai dengan persoalan yang
sebenarnya. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar,
namun akhirnya iapun berkata "Ceplik Sebenarnya ada
masalah yang sangat penting yang ingin aku bicarakan. Sama
pentingnya dengan usahamu untuk menilai kakangmasmu
Bramadaru" Raden Ajeng Ceplik menjadi berdebar-debar. Apalagi yang
akan dikatakan oleh ayahandanya.
Semula hatinya sudah menjadi mapan ketika ia sudah
bertekad untuk berkata berterus terang seperti yang dilakukan
oleh embannya. Tetapi tiba-tiba saja masih ada persoalan lain
yang tidak kalah pentingnya dengan persoalannya yang
membuatnya gelisah itu. Dalam pada itu, maka dengan hati-hati Pangeran Sena
Wasesa mulai berbicara tentang dirinya sendiri. Tentang
keluarganya dan kemudian tentang Raden Ajeng Ceplik itu
sendiri. Raden Ajeng Ceplik menjadi gelisah. Ia tidak mengerti
kenapa ayahnya telah menceriterakan tentang beberapa hal
yang sudah diketahuinya. Namun, justru dengan demikian
Raden Ajeng Ceplik itu menjadi semakin gelisah.
"Ceplik" berkata Pangeran Sena Wasesa selanjutnya seperti
yang aku katakan tadi, bahwa kau agaknya memang sudah
dewasa. Kau sudah dapat menimbang satu persoalan dari
beberapa segi. Mungkin kau harus merenunginya untuk satu
dua hari. Namun kadang-kadang seseorang harus menerima
satu kenyataan yang sudah tidak dapat dirubah lagi"
Raden Ajeng Ceplik menjadi bertambah gelisah. Sementara
itu ayahanda berkata selanjutnya "Ceplik ada hal yang dapat
kita bicarakan, ada yang dapat kita rencanakan, ada yang
dapat kita tolak. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan pada
satu hal yang hanya dapat kita terima sebagai satu
kenyataan" Denyut jantung Raden Ajeng Ceplik serasa menjadi
semakin cepat. Dalam pada itu Pangeran Sena Wasesapun kemudian berkata
"Ceplik. Aku ingin, berkata berterus terang kepadamu. Yang
kau ketahui tentang ayahandamu seperti yang aku katakan
tadi, adalah kurang lengkap. Sekarang, sesudah kau dewasa,
maka kau perlu mengetahui serba sedikit tentang
ayahandamu sebelum kau dilahirkan"
Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang Sementara itu,
maka Pangeran Sena Wasesapun kemudian telah
menceriterakan apa yang pernah dialami dan dilakukannya
sebelum Pangeran Sena Wasesa kawin dengan ibunda Raden
Ajeng Ceplik. Dengan suara sendat, akhirnya Pangeran itu berkata
"Jelasnya anakku, kau bukanlah anak tunggal. Kau memang
satu-satunya anak yang dilahirkan oleh ibumu. Tetapi seperti
yang aku katakan, aku tidak dapat menentang perist iwa yang
memang sudah terjadi. Aku berharap bahwa kaupun akan
dapat menerima persoalan ini dengan sikap dewasa"
Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi merah padam. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa sebelum ayahandanya kawin
dengan ibundanya, ayahandanya itu sudah mempunyai
seorang isteri, dan bahkan menurut pengakuan ayahanda itu,
dalam perkawinan itu telah lahir seorang anak laki-laki.
Betapa dada Raden Ajeng Ceplik bagaikan retak. Ia tidak
menyangka bahwa kehidupan yang manis antara ayahandanya
dan ibundanya disaat masih hidup, sebenarnya adalah
kehidupan semu, karena cinta kasih ayahandanya kepada
ibundanya telah ternoda. Telah ada perempuan lain yang
pernah tinggal di hati ayahandanya itu, justru sebelum
ayahandanya kawin dengan ibundanya.
Sejenak Raden Ajeng Ceplik itu terdiam. Namun ternyata
puteri itu t idak lagi dapat menahan hatinya. Tiba-tiba saja
tangisnya telah meledak. "Ceplik" ayahandanya menjadi berdebar-debar. Didekatinya
anak gadisnya yang menangis itu. Kemudian sambil membelai
rambutnya ia berkata "Itu sudah terjadi sejak lama Ceplik. Kau
dapat menanggapinya dengan sikap dewasamu. Kau tidak
dapat berbuat apa-apa tentang kenyataan ini kecuali
menerimanya sebagai satu hal yang telah terjadi. Yang perlu
kau ketahui Ceplik, ibundamu telah mengetahui hal ini.
Ibundamu dapat menerimanya dengan hati yang lapang
karena segala sesuatunya kami bicarakan dengan sebaikbaiknya
pada saat itu" Raden Ajeng Ceplik masih saja menangis. Ia belum pernah
mendengar hal itu dari ibundanya. Dengan nalar dewasanya
Raden Ajeng Ceplik menyadari, bahwa ibundanya tentu tidak
akan pernah mengatakannya hal itu. Bahkan seandainya
sekarang ibundanya itu masih ada.
"Baiklah aku minta maaf kepadamu" berkata Pangeran
Sena Wasesa, tetapi kenyataan ini tidak akan dapat
dihapuskan. Hal ini sudah terjadi. Kita memang dapat
menyesali langkah-langkah yang pernah kita buat dalam
kehidupan ini. Tetapi penyesalan itupun harus kita imbangi
dengan penalaran. Pada suatu saat, maka kita harus terhenti
pada satu sikap yang paling wajar menghadapi kenyataan itu
sendiri" Raden Ajeng Ceplik masih tetap berdiam diri. Tangisnya
masih menekan di dadanya. Isaknya bagaikan membuat
nafasnya tersendat-sendat.
Tetapi setiap kali ia mendengar ayahandanya berkata
"Semuanya itu sudah terjadi Ceplik"
Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam ketika
nafasnya terasa bagaikan tersumbat.
Ketika isak puteri itu mulai mereda, maka Pangeran Sena
Wasesapun telah mengatakan pula, bahwa perempuan yang
dikatakan itu, kini telah berada di istana itu pula.
"Ia tidak akan menggantikan kedudukan ibundamu. Tetapi
ia akan dapat membantumu apabila kau perlukan. Perempuan
itu dengan rendah hati merasa, bahwa ia adalah seorang
perempuan padukuhan yang tidak sepatutnya untuk berada di
lingkungan para bangsawan. Namun apabila kau dapat
menerimanya, maka ia akan sangat berterima kasih" berkata
Pangeran Sena Wasesa "namun dalam pada itu, betapapun
juga rendah martabatnya, ia telah memperanakkan seorang
anak laki-laki. Anak itu adalah anakku. Dengan demikian maka
ia adalah saudaramu. Saudaramu yang lahir lebih dahulu dari
padamu, sehingga dengan demikian ia adalah saudara tuamu"
Raden Ajeng Ceplik masih terisak. Kenyataan itu terlalu
berat membebani perasaannya. Nalarnya memang dapat
mengatakan sebagaimana dikatakan oleh ayahandanya.
Kenyataan itu sudah terjadi sehingga ia tidak akan mampu
menolaknya. Tetapi ia tidak dapat memaksa perasaannya
untuk segera menerima hal itu dengan ikhlas. Karena itu,
maka terasa betapa didadanya telah terjadi gejolak yang
menyesakkan. Pangeran Sena Wasesapun menjadi gelisah melihat sikap
puterinya. Karena itu, untuk memberikan gambaran tentang
perempuan yang dikatakannya, tentang sifat dan wataknya,
maka Pangeran Sena Wasesa telah berceritera banyak.
Bahkan kemudian Pangeran Sena Wasesapun telah
menceriterakan pula tentang seluruh persoalan yang
dihadapinya termasuk pusaka dan harta benda yang telah
diserahkannya kepada Kangjeng Sultan.
"Ceplik, tanpa perempuan itu, aku sekarang masih dibebani
oleh ketamakan itu. Aku masih dicengkam oleh kenistaan
karena aku telah menyembunyikan barang-barang yang bukan
milikku. Sekarang, semuanya itu telah terlepas dari tanggung
jawabku. Semuanya sudah kembali kepada Kangjeng Sultan
telah membebaskan aku dari segala tuntutan" suara Pangeran
Sena Wasesa menjadi sendat.
Tetapi yang terjadi adalah sebalikmya. Justru karena
pengakuan itu, perasaan Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin
terluka. Selama itu ia menyangka bahwa ayahandanya adalah
orang yang terbaik yang dikenalnya. Orang yang bersih dan
tidak bercacat. Namun tiba-tiba puteri itu langsung
dihadapkan kepada dua cacat sekaligus. Bahwa ayahandanya
telah menodai cintanya kepada ibundanya, sedangkan yang
lain, ternyata pernah menyembunyikan harta benda yang
bukan miliknya. Karena itu, maka tiba-tiba tangis puteri itupun justru
semakin menyesakkan dadanya.
Pangeran Sena Wasesa menjadi bingung menghadapi
puterinya. Karena itu maka untuk beberapa saat iapun hanya
duduk merenungi puterinya yang sedang terisak.
Namun akhirnya Pangeran Sena Wasesa itu telah
memanggil emban pemomong Raden Ajeng Ceplik. Ketika
emban itu memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Raden Ajeng
Ceplik telah memeluknya, sementara tangisnya telah
melonjak. "Puteri" desis embannya itu "Sudahlah. Jangan menangis
seperti itu" Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian Katanya "Emban, mendekatlah. Kau adalah
pemomong Ambarsari sejak ia masih kanak-kanak. Karena itu,
maka kau sudah aku anggap keluarga sendiri Cobalah, kau
bantu aku menjernihkan hati puteriku"
Emban itupun mengangguk hormat sambil menyembah.
Dengan cemas ia bertanya "Ampun Pangeran, apakah hamba
diperkenankan untuk mengetahui apakah sebabnya, maka
puteri Ambarsari telah mengalami kepedihan hati seperti ini.
Apakah persoalan seperti yang hamba sampaikan kepada
Pangeran kemarin atau persoalan yang lain?"
Pangeran Sena Wasesapun kemudian dengan terus terang
menceriterakan tentang hadirnya seorang perempuan dan
anak laki-laki yang sebenarnya adalah isteri dan anaknya.
"Emban" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku kira kau
tentu sudah mengetahuinya atau setidak-tidaknya
mendengarnya. Kau sudah mengabdi di istana ini berpuluh
tahun yang lalu. Meskipun barangkali kau belum psrnato
bertemu dengan perempuan itu, tetapi pada saat aku kawin
dengan ibunda Ambarsari, kau tentu mendengar apa yang
sebenarnya pernah terjadi dengan diriku waktu itu"
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Persoalannya
ternyata bukan persoalan yang menyangkut Raden
Bramadaru. Tetapi menyangkut persoalan yang sudah lama
sekali terjadi pada Pangeran Sena Wasesa itu sendiri.
Demikianlah, maka emban itupun kemudian telah
membimbing puteri Ambarsari itu meninggalkan ruang dalam.
Dengan lembut emban itu berusaha untuk menenangkan hati
momongannya. Namun hati puteri itu telah terluka. Puteri yang sehariharinya
dipanggil Raden Ajeng Ceplik itu merasa betapa
sakitnya setelah ia membentur pada satu kenyataan tentang
ayahandanya. Ternyata ayahandanya bukan seorang yang
bersih seperti kapas sebagaimana di sangkanya. Ternyata hati
ayahandanya sudah ternoda. Cintanya ternoda dan
ketulusannya mengabdi kepada Demak juga telah ternoda.
"Noda itu tidak akan dapat dibersihkan dengan cara apapun
juga" berkata Puteri itu di dalamhatinya.
Dalam pada itu, embannya telah menungguinya sambil
berusaha untuk menghiburnya. Namun Raden Ajeng Ceplik itu
justru berkata "Kau ternyata tidak pernah bersikap jujur
kepadaku emban. Kenapa kau tidak pernah mengatakan serba
sedikit tentang ayahanda yang sebenarnya. Kau tidak pernah
menyebut nama seorang perempuan yang pernah menjadi
isteri ayahanda itu sebehim ayahanda kawin dengan ibunda"
"Puteri" jawab embannya "Bukan maksud hamba untuk
tidak jujur terhadap puteri. Tetapi menurut hamba hal itu
sama sekali t idak perlu puteri ketahui untuk seterusnya,
persoalan itu tidak akan terungkapkan. Namun ternyata
dugaan itu salah. Pada suatu saat hal itu telah puteri ketahui"
"Ayahanda sendiri yang telah memberitahukannya" jawab
Raden Ajeng Ceplik disela-sela tangisnya.
"Puteri, jika ayahanda mengatakannya, maka aku kira
maksud ayahanda adalah justru untuk bersikap sejujurjujurnya
terhadap puteri. Ayahanda tidak akan
menyembunyikan sesuatu lagi. Mungkin hal itu juga
disebabkan karena ibunda puteri telah tidak ada lagi" jawab
emban litu. Namun tangis Raden Ajeng Ceplik itu tidak mereda. Sakit di
hatinya justru terasa semakin pedih.
Dengan telaten emban itu berusaha untuk selalu
menghiburnya dengan berbagai macam cara. Bagaimanapun
juga emban itu merasa wajib untuk berusaha
menenangkannya. Dalam pada itu, maka Pangeran Sena Wasesa telah
menemui Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. Dengan wajah
yang muram ia menceriterakan keadaan puterinya. Bahkan
ternyata kemudian sehari penuh puteri itu tidak keluar dari
dalam biliknya. Menangis.
"Apakah Kiai dapat membantu?" bertanya Pangeran Sena
Wasesa. Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi tidak dapat berbuat
lain kecuali mencobanya. Ketika senja turun. maka keduanya
telah menghadap puteri Ambarsari di dalam biliknya diantar
oleh Pangeran Sena Wasesa sendiri.
"Ceplik" berkata Pangeran Sena Wasesa "cobalah kau tahan
perasaanmu sedikit. Lihat, dua orang tamu kita datang untuk
menengokmu" Bagaimanapun juga kehadiran orang lain itu berpengaruh
juga kepada tangis Raden Ajeng Ceplik. Dengan susah payah
Raden Ajeng Ceplik berusaha menahan tangisnya. Namun
dengan demikian, nafasnya justru terasa menjadi seset
Dengan hati-hati kedua orang tua itu mencoba memberikan
nasehat-nasehatnya, Mereka kadang-kadang mengambil kias
dan perlambang. Kadang-kadang mereka memberikan secara
wantah contoh-contoh tentang kehidupan dan kenyataan.
Kedua orang tua itu memberikan arah tentang keseimbangan
antara penalaran dan perasaan.
Namun dalam pada itu, keduanyapun mengerti, betapa
pedihnya perasaan Raden Ajeng Ceplik itu menerima satu
kenyataan yang sangat pahit. Umurnya yang sedang
menginjak dewasa bagi seorang gadis merupakan umur yang
paling sulit. Gejolak jiwani yang terjadi pada umur-umur
seperti Raden Ajeng Ceplik merupakan masa-masa yang
paling mudah tersentuh. Meskipun demikian, nampaknya nasehat kedua orang itu
meredakan gejolak perasaan Raden Ajeng Ceplik.
Tangisnyapun mereda dan isaknya tidak lagi menyesakkan
pernafasannya. "Beristirahatlah puteri" berkata Ki Ajar Cinde Kuning "puteri
perlu ketenangan berpikir. Mudah-mudahan dalam ketenangan
itu puteri mampu menerawang gejala dari kehidupan ini"
Raden Ajeng Ceplik itu mengangguk. Sementara itu Kiai
Kanthipiun, berkata "Puteri. Kadang-kadang kita memang sulit
untuk menerima satu kenyataan. Bahkan kadang-kadang kita
tidak mengerti, kenapa hal itu harus terjadi, justru atas diri
kita. Dalam keadaan yang paling sulit dan gelap maka puteri
dapat lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Tahu.
Dengan demikian maka semoga puteri mendapat terang
daripadanya" Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Tetapi kepalanya
menjadi semakin tertunduk Sekali-sekali tangannya masih
mengusap matanya yang basah. Sementara itu embannya
yang setia duduk bersimpuh di sudut ruangan.
Sebagaimana sehari Raden Ajeng Ceplik tidak keluar dari
ruangan itu, maka embannyapun tidak beranjak pula dari bilik
itu. Ketika keadaan Raden Ajeng Ceplik nampaknya sudah
menjadi agak tenang, maka Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai
Kanthipun telah mohon diri kembali ke gandok.
"Mungkin aku masih akan minta tolong lagi" berkata
Pangeran Sena Wasesa ketika mereka berada diserambi.
"Yang dapat kami lakukan adalah sekedar memberikan
petunjuk dan pitutur" jawab Ki Ajar Cinde Kuning.
Demikianlah, malam itu Raden Ajeng Ceplik t idak
menangis. Tetapi puteri itu sama sekali tidak mau makan.
Setelah embannya mengantarkannya ke pakiwan, maka puteri
itupun segera membaringkan dirinya di pembaringan.
Meskipun nampaknya puteri itu mejamkan matanya, tetapi
sebenarnyalah ia tidak tidur. Angan-angannya sedang
menjelajahi segi-segi kehidupan yang sedang dijalaninya. Ia
memang mencoba mempergunakan nalarnya sebagaimana di
katakan oleh kedua orang tua itu. Namun ternyata bahwa
yang dilakukan oleh Raden Ajeng Ceplik bukannya yang
dimaksud oleh kedua orang tua itu.
Raden Ajeng Ceplik memang berniat melihat hadirnya
seorang perempuan yang ternyata adalah isteri ayahandanya
dan seorang anak laki-lakinya yang juga saudara tuanya
sebagai Satu kenyataan. Puteri itupun kemudian sadar, bahwa
ia memang tidak dapat menolaknya. Perempuan dengan
saudara laki-lakinya yang sebelumnya belum dikenalnya itu
biarlah tinggal di istana itu bersama dengan ayahnya.
Namun langkah yang dipilih oleh Raden Ajeng Ceplik itulah
yang lain dengan yang dikehendaki oleh ayahnya maupun
orang-orang tua yang telah menasehatinya. Ternyata Raden.
Ajeng Ceplik itu telah mempertimbangkan, lebih baik dirinya
sendiri sajalah yang meninggalkan istana itu.
Tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah " Kemana?"
Raden Ajeng Ceplik tidak mempunyai sanak kadang yang
dikenalnya tinggal di Kota Raja. Mereka adalah para
bangsawan termasuk Raden Bramadaru.
Hampir semalam Raden Ajeng Ceplik menimbang-nimbang
apa yang sebaiknya dilakukan. Namun ketika menjelang dini
hari. tubuh Raden Ajeng Ceplik menjadi sangat letih. Tanpa
disadarinya, maka Raden Ajeng Ceplik itupun kemudian telah
tertidur. Di lantai, pada sehelai tikar, embannyapun telah
tertidur pula. Agaknya emban itupun merasa terlalu letih
badan dan jiwanya. Pagi-pagi Raden Ajeng Ceplik sudah terbangun. Emban itu
mengantarkannya ke pakiwan. Kemudian menungguinya lagi
di dalam bilik. Raden Ajeng Ceplik pagi itu tidak menjamu
tamu-tamunya seperti biasanya. Ta masih tetap berada di
dalam biliknya. Bahkan makan paginyapun telah dibawa ke
dalam bilik itu pula. Namun Raden Ajeng Ceplik hanya makan
terlalu sedikit. Pangeran Sena Wasesa dan embannya menjadi cemas
melihat keadaan gadis itu. Tetapi Pangeran Sena Wasesa tidak
mengatakannya kepada Endang Srini. Ia hanya mengatakan
bahwa Raden Ajeng Ceplik nampak terkejut. Karena itu, maka
ia memerlukan ketenangan di dalambiliknya.
"Pangeran" berkata Endang Srini "Jika puteri tidak bersedia
menerima aku, aku sama sekali tidak akan merasa sakit hati.
Aku dapat berada dimana saja. Aku tidak akan memohon apaapa
yang tidak masuk akal. Semua yang terjadi telah aku
terima dengan ikhlas"
"Tidak Srini" jawab Pangeran Sena Wasesa "pada saatnya
anakku itu akan menjadi tenang. Kemarin Kiai Kanthi dan Ki
Ajar Cinde Kuning telah menasehatinya. Agaknya anakku
dapat mengerti sehingga mudah-mudahan untuk selanjutnya
tidak ada persoalan lagi"
Endang Srini tidak menjawab. Tetapi kegelisahan hati
Raden Ajeng Ceplik rasa.-rasanya dapat dirasakannya pula.
Apalagi karena Raden Ajeng Ceplik selalu berada di dalam
biliknya saja. Dalam pada itu, ketika matahari naik kelangit, menjelang
tengah hari, maka Raden Bramadaru telah mengunjungi istana
Pangeran Sena Wasesa. Ia terkejut ketika seorang abdi
mengatakan bahwa Raden Ajeng Ceplik nampaknya sedang
sakit, karena ia selalu berada di dalambiliknya.
"Katakan, bahwa aku ingin bertemu" berkata Raden
Bramadaru. Abdi itupun kemudian memberanikan diri menemui emban
pemomong Raden Ajeng Srini dan mengatakan bahwa Raden
Bramadaru ingin bertemu dengan Raden Ajeng Srini.
Emban itu termangu-mangu sejenak. Ia sendiri tidak begitu
senang terhadap Raden Bramadaru karena ia sudah
mendengar serba sedikit tentang anak muda itu.
Namun, akhirnya emban itu mempertimbangkan keadaan
Raden Ajeng Ceplik yang sedang dibayangi oleh kegelisahan.
Mungkin kehadiran Raden Bramadaru dapat membuat puteri
itu agak tenang dan dapat menilai keadaan dengan lebih
wajar. "Tentang hubungannya dengan Raden Bramadaru, pada
saat lain aku masih mempunyai kesempatan untuk
memberikan beberapa pendapat" berkata emban itu di dalam
hatinya. Karena itu, maka emban itupun tidak memberitahukan
kepada Raden Ajeng Ceplik bahwa Raden Bramadaru ingin
menemuinya seperti yang sudah sering dilakukannya.
Namun sikap Raden Ajeng Ceplik mengejutkan. Dengan
serta merta puteri itupun membenahi pakaiannya. Kemudian
mengusap matanya yang basah dan dengan tergesa-gesa
keluar ke serambi. "Diajeng" Raden Bramadaru terkejut "Apakah kau sakit?"
Raden Ajeng Ceplik mencoba untuk tersenyum. Namun
senyumnya terasa sangat hambar.
"Aku tidak apa-apa kakangmas" jawab Raden Ajeng Ceplik.
Raden Bramadaru menjadi berdebar-debar. Seperti Raden
Ajeng Ceplik sendiri ketika ia dipanggil ayahandanya, maka
persoalan yang pertama-tama terbersit dihati Bramadaru
adalah persoalan hubungannya dengan puteri itu.
Karena itu maka dengan ragu-ragu Raden Bramadaru
bertanya "Apakah yang sebenarnya terjadi diajeng. Seorang
abdi istana ini mengatakan bahwa kau sedang sakit. Tetapi
aku kira kau tidak sedang sakit. Tetapi ada sesuatu yang
membuatmu gelisah dan cemas. Apakah parnanda Pangeran
Sena Wasesa mempersoalkan hubungan kita?"
"Tidak kakangmas, tidak" jawab Raden Ajeng Ceplik
dengan serta merta "ayahanda sama sekali tidak berkeberatan
terhadap kunjungan kakangmas Bramadaru, Ayahandapun
tidak mempersoalkannya"
"Tetapi apakah sebenarnya yang telah terjadi atas dirimu?"
bertanya Raden Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik tidak segera menjawab. Tetapi iapun
kemudian bangkit sambil berkata "Aku ambilkan minuman
hangat untuk kakangmas"
Raden Bramadaru tidak mencegahnya. Namun ketika
Raden Ajeng Ceplik meninggalkannya, ia mulai merenungi
keadaan gadis itu. Tentu ada satu masalah yang pelik telah
mengganggu perasaan gadis itu.
Sejenak kemudian Raden Ajeng Ceplik telah kembali sambil
membawa semangkuk minuman panas.
Ketika Raden Ajeng Ceplik duduk kembali diserambi itu,
maka Bramadarupun telah bertanya sekali lagi, kenapa Raden
Ajeng Ceplik nampak seperti orang sakit.
"Agaknya kau telah menangis semalam-malaman" bertanya
Bramadaru "wajahmu nampak letih dan kuyu"
Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
"Aku memang menangis. Tetapi kemarin. Semalam aku tidak
sempat tidur oleh kegelisahan"
"Kenapa diajeng" Apakah pamanda Pangeran marah" Atau


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh sebab lain?" bertanya Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik menundukkan kepalanya. Teringat juga
keterangan yang diberikan oleh embannya tentang
Bramadaru. Namun kesan itu sama sekali tidak dilihatnya.
Bramadaru adalah seorang anak muda yang ramah, gembira
dan sopan. Apalagi ia adalah saudara sepupunya, sehingga
menurut pendapat Raden Ajeng Ceplik, Bramadaru bukan
seorang laki-laki yang perlu dijauhi.
Apalagi karena kejengkelan Raden Ajeng Ceplik kepada
embannya, yang sama sekali tidak pernah mengatakan
sesuatu tentang ayahandanya yang telah pernah kawin
sebelum mengawini ibundanya. Dan perempuan itu kuai
ternyata telah berada di istana itu.
Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa yang melihat
puterinya telah keluar dari biliknya dan berada diserambi
menemui Bramadaru, hatinya agak menjadi tenang. Meskipun
anak gadisnya harus berhati-hati menghadapi Bramadaru,
namun jika Bramadaru dapat menjernihkan hati puterinya,
maka kehadirannya di istana itu akan diterimanya dengan
pernyataan terima kasih. Sementara itu, Raden Ajeng Ceplik sendiri masih saja
dicengkam keragu-raguan untuk mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi atas dirinya. Ia sadar, bahwa persoalan itu
adalah persoalan keluarganya. Persoalan yang tidak perlu di
katakan kepada orang lain diluar lingkungan keluarganya
sendiri. Namun Bramadaru yang sudah terlalu sering datang
kepadanya, juga pada saat-saat ayahandanya hilang dan
dirinya merasa sendiri, rasa-rasanya anak muda itu sudah
menjadi keluarganya pula. Bahkan Bramadaru akan dapat
menjadi tempat ia mengadukan nasibnya serta minta
pertimbangannya untuk memecahkan persoalan yang telah
menimbulkan goncangan perasaannya itu.
Untuk beberapa saat Raden Ajeng Ceplik masih tetap
berdiam diri Namun di dalam dadanya telah terjadi gejolakgejolak
yang membuat nafasnya menjadi sesak. Bahkan
semakin lama persoalan itu mulai menusuk kembali seperti
tajamnya sembilu di ulu hatinya.
"Apakah persoalanmu harus kau rahasiakan diajeng?" tibatiba
saja Bramadaru bertanya. Pertanyaan itu mengejutkan Raden Ajeng Ceplik. Bahkan
seolah-olah telah memancing kepahitan yang
disembunyikannya untuk beberapa saat. Sehingga karena itu,
maka diluar sadarnya, maka matanya telah menjadi basah.
Namun akhirnya, Raden Ajeng Ceplik yang sudah sangat
biasa bergaul dengan Bramadaru tidak lagi dapat
mempertahankan desakan di dalam dadanya untuk
mendapatkan tempat yang dapat menampung beban
yangterasa terlampau berat untuk dipikulnya sendiri.
Dengan demikian, maka sambil menitikkan air mata, Raden
Ajeng Ceplik itupun mulai berbicara tentang keadaan dirinya.
Perlahan-lahan agar embannya yang selalu mengawasinya itu
tidak mendengarkannya. Bramadaru mendengarkan keluhan Raden Ajeng Ceplik itu
dengan sungguh-sungguh. Dari kata-kata yang pertama
mengalir beruntun disela-sela isaknya yang mulai
menyesakkan dadanya. Bramadaru menjadi-berdebar mendengarkan keluhan
Raden Ajeng Ceplik. Semula ia menjadi kasihan juga kepada
gadis itu. Gadis yang dikenalnya dengan baik, dan bahkan adik
sepupunya. Tertebih-lebih lagi, ia pernah menyatakan bahwa
ia ingin mempertautkan hidupnya dengan gadis itu, meskipun
bagi Bramadaru hal itu sekedar merupakan salah satu tugas
yang dibebankan oleh gurunya.
Tetapi lambat laun, perasaan Bramadaru itu telah berubah.
Ia tidak saja merasa kasihan kepada Raden Ajeng Ceplik tetapi
ia sendiri menjadi gelisah. Ternyata Raden Ajeng Ceplik bukan
anak satu-satunya Pangeran Sena Wasesa. Bahkan Raden
Ajeng Ceplik mempunyai seorang saudara laki-laki yang justru
lahir lebih dahulu dari Raden Ajeng Ceplik itu sendiri.
Dengan cepat Bramadaru menghubungkan persoalan itu
dengan persoalannya sendiri. Jika ia memilih Raden Ajeng
Ceplik dari antara segala gadis yang dikenalnya, persoalannya
adalah terletak kepada kemungkinan untuk mendapatkan
seluruh warisan Pangeran Sena Wasesa. Termasuk harta
benda dan pusaka yang sedang diperebutkan oleh banyak
pihak. Bahkan telah merampas korban jiwa yang tidak
terhitung jumlahnya, karena gurunya telah menceriterakan,
bagaimana kelompok-kelompok yang ingin memiliki harta
benda yang tidak ternilai harganya itu saling berbenturan dan
saling menghancurkan. Karena itu, maka di dalam, dada Bramadaru sendiri telah
terjadi pergolakan, sehingga perhatiannya terhadap persoalan
Raden Ajeng Ceplikpun telah berkurang.
Meskipun demikian, ternyata bahwa Bramadaru adalah
seorang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri.
Bagaimanapun juga kegelisahan itu terjadi pada dirinya
sendiri, namun ia berhasil memaksa dirinya untuk tetap
seolah-olah memperhatikan semua yang dikatakan oleh Raden
Ajeng Ceplik meskipun sudak tidak menarik lagi baginya.
Bramadaru menarik nafas dalam-dalam ketika Raden Ajeng
Ceplik mengakhiri ceriteranya. Bahkan sambil terisak Raden
Ajeng itu berkata "Kenyataan itu terlalu pahit bagiku
kakangmas", Bramadaru mengangguk-angguk. Sesaat kemudian iapun
berdesis "Ya diajeng. Aku dapat merasakan, betapa pahitnya
kenyataan yang harus diajeng hadapi. Tetapi yang aku kurang
mengerti, kenapa hal itu masih dilakukan oleh pamanda Sena
Wasesa. Sebenarnya pamanda dapat melupakannya karena
persoalan itu sebenarnya telah dapat dianggap selesai
beberapa belas tahun yang lalu.
Raden Ajeng Ceplik mengangguk. Katanya "Agaknya
memang demikian. Seandainya ayahanda tidak bertemu lagi
dengan perempuan itu, maka agaknya ayahanda tidak akan
terkenang lagi peristiwa yang telah terjadi itu"
"Dimana pamanda bertemu lagi dengan perempuan itu?"
bertanya Bramadaru. "Di perjalanan, pada saat ayahanda diambil orang" jawab
Raden Ajeng Ceplik. Bramadaru mengangguk-angguk. Namun hatinya
bergejolak. Meskipun anak laki-laki pamannya itu lahir dari
seorang ibu yang derajadnya tidak sama dengan derajad ibu
Raden Ajeng Ceplik, namun anak itu tentu berhak pula untuk
menerima warisan. "Anak itu akan dapat menjadi penghalang" berkata
Bramadaru di dalam batinya.
Sesaat Bramadaru itu termenung. Menurut dugaan Raden
Ajeng Ceplik, Bramadaru telah ikut merasakan kepahitan
kenyataan yang harus diterimanya itu. Namun, sebenarnyalah
Bramadaru sedang memikirkan kehadiran orang lain yang
ternyata juga berhak atas warisan Pangeran Sena Wasesa.
"Tetapi anak itu akan dapat dibunuh saja" berkata
Bramadaru di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Raden Bramadaru terkejut ketika Raden
Ajeng Ceplik bertanya "Bagaimana menurut pendapatmu
kakangmas?" Bramadaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena
persoalan itu harus dihadapinya dengan sungguh-sungguh
maka Katanya "Diajeng, persoalanmu memang terlalu rumit"
"Bagaimana pendapat kakangmas jika aku meninggalkan
istana ini saja?" bertanya Raden Ajeng Ceplik.
Sekali lagi Bramadaru terkejut. Jiika Raden Ajeng Ceplik itu
pergi, maka ada beberapa kemungkinan. Tetapi salah satu
kemungkinan adalah, bahwa Pangeran Sena Wasesa justru
tidak mencarinya, sehingga dengan demikian, .maka warisan
itu seluruhnya akan jatuh ke tangan anak laki-laki Pangeran
Sena Wasesa. Karena itu, maka sekali lagi terdengar Bramadaru berdesis
"Kesalahan terbesar terletak pada pamanda Pangeran Sena
Wasesa. Kenapa pamanda tidak menghindari saja pertemuan
dengan perempuan itu. Seandainya pamanda harus bertemu,
maka pamanda dapat saja menyatakan, bahwa tidak ada
hubungan apapun dengan perempuan itu. Sehingga dengan
demikian pamanda tidak usah membawanya kemari dan yang
ternyata menumbuhkan persoalan baru bagi keluarga ini"
Dalam pada itu, Raden Ajeng Ceplikpun menyahut "Karena
perempuan itu sudah terlanjur dibawa kemari, akulah yang
akan pergi" "Jangan. Jangan pergi diajeng. Itu bukan penyelesaian
yang paling baik" dengan serta meria Bramadaru
mencegahnya "Kau harus tetap disini. Jika harus ada yang
pergi, maka biarlah perempuan dan anak laki-lakinya itu saja
yang pergi" Tetapi Raden Ajeng Ceplik menggeleng. Katanya
"Ayahanda tidak akan membiarkannya pergi. Jika mereka yang
pergi ayahanda akan mencarinya ke ujung bumi sekalipun.
Tetapi jika aku yang harus meninggalkan istana ini, maka
tidak akan ada keberatan apapun bagi slapapun"
"Kenapa diajeng menganggap bahwa orang itu lebih
penting dari diajeng sendiri?"
Raden Ajeng Ceplik merenung sejenak. Namun akhirnya
iapun berceritera tentang perempuan itu dan anak laki-lakinya
dalam hubungannya dengan harta benda dan pusaka yang
pernah disimpan oleh ayahandanya.
"Kedua orang ibu dan anak itu telah membantu
menyelamatkan ayahanda yang menurut istilah ayadanda,
lahir dan batin. Ujud lahiriahnya anak laki-laki perempuan itu
ikut membebaskannya dari tangan orang-orang yang telah
menculiknya. Sedangkan secara batiniah perempuan itu telah
membuat ayahanda menyadari segala kekurangannya.
Perempuan itu telah dengan lembut memberikan satu
kesadaran kepada ayahanda, bahwa ia harus mengembalikan
pusaka dan harta benda itu kepada Kangjeng Sultan"
Jantung Bramadaru berdentang semakin keras. Bahkan
rasa-rasanya seisi dadanya telah terguncang mendengar
keterangan Raden Ajeng Ceplik tentang pusaka dan harta
benda itu. Hampir diluar sadarnya Bramadaru bertanya "Jadi pamanda
telah menyerahkan kembali pusaka dan harta benda itu?"
"Ya kakangmas. Pusaka dan harta benda itu telah diterima
kembali oleh Kangjeng Sultan. Dengan demikian maka pusaka
dan harta benda itu tidak lagi menjadi beban ayahanda" jawab
Raden Ajeng Ceplik. Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh Bramadaru.
Ternyata usahanya untuk mendekati Raden Ajeng Ceplik dan
kemudian mengawininya sudah tidak ada gunanya lagi. Raden
Ajeng Ceplik bukan anak tunggal. Karena itu, maka warisan
Pangeran Sena Was"sa, tidak akan jatuh ke tangannya
seluruhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar bahwa
Pangeran Sena Wasesa telah menyerahkan kembali pusaka
dan harta benda itu. Untuk beberapa saat Bramadaru tidak dapat menjawab. Ia
duduk sambil menudukkan kepalanya. Mimpinya seakan-akan
bagaikan embun yang terkena panas matahari. Menguap
tanpa bekas. "Aku harus dengan cepat menyampaikan hal ini kepada
ayahanda Pangeran Gajahnata dan guru Ki Ajar Wrahasniti"
berkata Bramadaru di dalam hatinya "Aku harus mendapat
perintah-perintah terakhir. Apakah aku harus meninggalkan
perempuan cengeng ini, atau ada perintah yang lain yang
harus aku lakukan?" Sementara itu Raden Ajeng Ceplrkpun berdiam diri untuk
beberapa saat. Ia merasa bahwa dengan sungguh-sungguh
Bramadaru telah ikut memikirkan keadaannya. Karena itu,
maka rasa-rasanya pada saat terakhir, hanya Bramadaru
sajalah orang yang paling mengerti tentang kesulitannya.
Karena itu, maka Raden Ajeng Ceplik itu telah melupakan
semua pesan embannya tentang Bramadaru. Bahkan rasarasanya
ia telah menumpukan semua harapannya kepada
anak muda itu. Anak muda yang pernah menyatakan untuk
mengikat hubungan batin yang lebih mendalam dengan
dirinya. Namun sementara itu, Bramadaru menjadi kehilangan
penalaran. Apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan.
Ternyata semua yang diharapkan pada gadis itu telah tidak
ada lagi. "Aku harus mendapat petunjuk dari ayahanda dan guru"
berkata Bramadaru di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun kemudian memutuskan untuk minta
diri. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat dengan serta
merta meninggalkan gadis itu begitu saja.
Bramadaru menjadi berdebar-debar ketika tibat-tiba saja
Raden Ajeng itu berkata "Kakangmas Bramadaru. Bagiku,
jalan satu-satunya adalah meninggalkan istana ini. Aku tidak
akan dapat menolak atau memohon kepada ayahanda tentang
apapun juga atas perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Ayahanda sudah mengatakan kepadaku, bahwa aku hanya
dapat menerima kenyataan ini. Sementara ketika dua orang
tamu ayahanda memberikan beberapa petunjuk, akupun
menjadi semakin yakin, bahwa kenyataan ini tidak dapat
dirubah lagi dengan cara apapun juga. Karena itu, yang paling
mungkin aku lakukan adalah berbuat sesuatu atas diriku
sendiri. Maka sebaiknya aku meninggalkan istana ini saja.
Biariah aku ikut kemana kakangmas pergi"
Jantung Bramadaru berdentang semakin cepat. Namun
anak muda itu harus memecahkan persoalan yang
dihadapinya saat itu. Bagaimana caranya untuk minta diri agar
ia dapat segera berbicara dengan ayahandanya dan gurunya.
Namun akhirnya Bramadaru itupun menemukan akal juga.
Dengan cerdik ia berkata "Diajeng. Baiklah aku ikut
memikirkannya, apa yang sebaiknya diajeng lakukan. Justru
untuk itu, agar semuanya dapat aku lakukan dengan yakin,
maka biarlah aku bertemu dengan ayahanda Gajahnata.
Mungkin aku akan dapat memohon segalanya dipercepat.
Dengan demikian diajeng tidak semata-mata meninggalkan
istana ini. Jika ayahanda Gajahnata setuju segalanya
dipercepat, diantara kita tidak akan t imbul persoalan.
Maksudku diantara keluargamu dan keluargaku. Berbeda
dengan jika aku membawa diajeng begitu saja. Meskipun
demikian segalanya akan aku pikirkan kemudian setelah aku


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara dengan ayahanda. Jika ayahanda Gajahnata
berkeberatan, mungkin aku sependapat dengan diajeng untuk
meninggalkan istana ini dengan diam-diam"
Raden Ajeng Ceplik mengangguk-angguk. Katanya
"Segalanya terserah kepada kakangmas Bramadaru"
"Karena itu, sebaiknya aku mohon diri. Biarlah segalanya
dapat segera kita selesaikan dengan cepat" berkata
Bramadaru kemudian. Dengan demikian maka Bramadaru itupun segera bangkit.
Raden Ajeng Ceplik mengantarkannya sampai ke tangga.
Namun dalam pada itu, diluar sadarnya, Bramadaru telah
berpaling. Dilihatnya Raden Ajeng Ceplik, itu sekilas. Sudah
berpuluh kali Bramadaru memandang wajah dan tubuh Raden
Ajeng Ceplik. Namun rasa-rasanya saat itu ia telah melihatnya
dengan jelas, segala lekuk tubuh gadis itu. Kulitnya yang
kuning dan tubuhnya yang semampai. Wajahnya meskipun
muram, namun gadis itu memang sangat cantik.
"Gila" geram Bramadaru "gadis itu memang sangat
menarik. Tetapi tidak ada gunanya lagi aku mempersulit diri
untuk mengawininya, meskipun rasa-rasanya ingin juga
membawanya" Sejenak kemudian, Bramadaru yang kecewa itu telah
meninggalkan istana Pangeran Sena Wasesa. Namun dengan
demikian justru telah tumbuh perasaan dendam kepada
keluarga itu. Keluarga yang telah melenyapkan segala macam
impian dan harapannya. Sementara itu sifat-sifatnya yang
selama pergaulannya dengan Raden Ajeng Ceplik telah
ditekannya untuk tidak muncul sehingga yang nampak oleh
gadis itu adalah sifat-sifat yang baik semata-mata, tiba-tiba
telah melonjak sampai ke kepala.
Dengan tergesa-gesa Bramadaru kembali ke istana
ayahandanya. Dengan tergesa-gesa pula ia melaporkan apa
yang telah terjadi dan apa yang telah didengarnya di istana
Pangeran Sena Wasesa. Pangeran Gajahnata menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Ki Ajar Wrahasniti "Aku juga sudah
mendengar apa yang dikatakan oleh Bramadaru tentang
pusaka. Meskipun hanya baru satu dua orang di istana Demak,
namun seakan-akan Kangjeng Sultan justru telah mengakui
bahwa pusaka dan harta benda itu telah kembali ke
perbendaharaan" "Aneh" berkata Ki Ajar Wrahasniti "Apakah Pangeran Sena
Wasesa sudah gila. Seandainya pusaka dan harta-benda itu
benar-benar telah kembali, apakah Pangeran Gajahnata, tidak
melihat atau mendengar, harta benda yang tidak ternilai itu
dibawa masuk ke dalamruang perbendaharaan?"
"Aku tidak tahu pasti, apakah harta, benda dan pusaka itu
benar-benar telah dibawa masuk atau sekedar untuk
mengamankannya saja" jawab Pangeran Gajahnata "Tetapi
yang hampir pasti adalah bahwa Kangjeng Sultan sudah
mengetahuinya langsung dari adimas Pangeran Sena Wasesa.
"Aku masih belum yakin" berkata Ki Ajar Wrahasniti "aku
harus menemukan satu cara yang baik untuk memastikannya"
"Tetapi pamanda Pangeran Sena Wasesa telah mengatakan
hal itu kepada diajeng Ceplik. Bahkan hal itu dilakukan
sehubungan dengan kehadiran perempuan yang dikatakan
sebagai isterinya dan seorang anak laki-lakinya itu"
Ki Ajar Wrahasniti menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya "Jika demikian gadis itu. tidak ada artinya lagi bagimu
ngger. Kita harus mencari cara lain untuk mendapatkan harta
benda dan pusaka itu jika masih belum masuk ke dalam bilik
perbendaharaan" "Apakah kita akan dapat menemukannya?" bertanya
Pangeran Gajahnata. Ki Ajar Wrahasniti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya "Kita akan berusaha. Kita akan selalu
berusaha" Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Tetapi baginya
jalan sudah menjadi terlalu gelap. Meskipun demikian ia tidak
ingin mengecewakan Ki Ajar Wrahasniti, sehingga karena Itu,
maka, iapun tidak membantahnya.
Namun sementara itu Bramadarupun bertanya "Lalu,
bagaimana dengan diajeng Ceplik" Apakah kita tidak akan
memerlukannya lagi untuk kepentingan ini?"
"Tidak" jawab gurunya "Anak itu tidak berarti apa-apa lagi.
Apalagi jika pusaka dan harta benda itu benar-benar sudah
kembali ke perbendaharaan istana"
"Jika belum, apakah diajeng Ceplik masih akan ada
artinya?" bertanya Bramadaru.
Ki Ajar Wrahasniti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berdesis "Mungkin masih ada antinya"
"Untuk apa?" bertanya Pangeran Gajahnata.
"Puteri itu dapat kita ambil. Kita akan mengembalikan
puteri itu, tetapi untuk ditukar dengan keterangan tentang
pusaka dan harta benda. Jika Pangeran Sena Wasesa bersedia
menunjukkannya, maka kita akan dapat mendahului Kangjeng
Sultan Demak untuk mengambilnya" berkata Ki Ajar
Wrahasniti. "Tidak ada gunanya" jawab Pangeran Gajahnata "adimas
Pangeran Sena Wasesa akan dapat melaporkan apa yang
terjadi itu kepada Kangjeng Sultan kelak jika kita sudah
mengembalikan Ceplik, sementara Ceplikpun akan dapat
mengatakan siapakah yang telah mengambilnya"
Tetapi Wrahasniti tertawa. Katanya "Puteri itu mengenal
angger Bramadaru. Puteri itu akan mengenal pula Pangeran
Gajahnata. Tetapi ia tidak, akan mengenal orang lain. Dan aku
akan memerintahkan orang lain itu untuk mengambilnya.
Orang yang asing sama sekali bagi para bangsawan di Demak.
Kemudian, setelah Pangeran mendapat keterangan dari
Pangeran Sena Wasesa tentang tempat harta benda itu
disembunyikan dan sudah dibuktikan kebenarannya, maka
Pangeran Sena Wasesa itu akan dapat dihapuskan saja dari
sederetan bangsawan di Demak. Dengan demikian, maka
semua jejak akan terhapus"
Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia berdesis "Tetapi apakah aku akan sampai hati
melakukannya. Adimas Sena Wasesa adalah saudaraku. Dan
gadis itu adalah kemanakanku"
"Pusaka dan harta benda itu nilanya jauh lebih besar dari
Pangeran Sena Wasesa dan Raden Ajeng Ceplik. Karena itu,
maka beberapa kelompok dari berbagai padepokan telah
mengorbankan begitu banyak orang untuk menemukannya.
Namun ternyata mereka gagal. Jika kita kemudian hanya
mengorbankan dua orang saja, apakah artinya yang dua
orang itu" berkata Ki Ajar Wrahasniti.
Dalam pada itu Bramadarupun berkata "Aku sependapat
dengan guru, ayahanda. Jika ayahanda memberi ijin
kepadaku, maka aku akan melakukannya. Aku akan
mengambil diajeng keluar dari istana pamanda Sena Wasesa.
Kemudian datang orang asing itu dan berpura-pura merampas
diajeng. Dengan demikian, maka ia t idak akan menuduhku
seandainya pada satu saat ia akan tetap hidup"
Pangeran Gajahnata hanya mengangguk-angguk saja. Jika
itu sudah menjadi kebulatan niat antara anaknya dan gurunya,
maka ia t idak akan mencegahnya.
Demikianlah, akhirnya segala sesuatunya telah dibicarakan
antara Ki Ajar Wrahasniti dengan Bramadaru. Sehingga
akhirnya keduanya telah menemukan kesepakatan.
"Adalah kebetulan sekali, bahwa diajeng Ceplik minta
kepadaku untuk membawanya pergi" berkata Bramadaru.
Keduanyapun kemudian menetapkan dimana hal itu akan
dilakukan dan kapan sebaiknya.
Bramadarupun kemudian minta diri sambil berkata "Aku
akan menemui diajeng Ceplik. Aku akan minta kepadanya
untuk keluar dari halaman istana. Aku menunggunya di pintu
butulan yang tidak terjaga. Semuanya akan dapat berjalan
dengan lancar. Dan sebaiknya aku lakukan menjelang tengah
malam" Gurunya sependapat, sehingga Bramadarupun kemudian
minta diri untuk menemui Raden Ajeng Ceplik
Di istana Pangeran Sena Wasesa, Bramadaru disambut
dengan penuh harapan oleh Raden Ajeng Ceplik. Sementara
itu, emban pemomongnya menjadi cemas melihat kehadiran
Bramadaru yang seakan-akan hilir mudik dihari itu. Tetapi
emban itu tidak dapat berbuat apapun juga, selain mencari
kesempatan untuk memperingatkan Raden Ajeng Ceplik
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas
dirinya. Seperti yang sudah dibicarakannya dengan gurunya, maka
Bramadarupun kemudian menyatakan kesediaannya untuk
pergi bersama Raden Ajeng Ceplik.
"Ayahanda Gajahnata tidak dapat mempercepat persoalan
diantara kita. Tetapi ayahanda bersedia melindungi jika kita
memang ingin melarikan diri. Tetapi cara yang kita tempuh
harus sedemikian cermatnya, sehingga tidak seorangpun yang
mengetahui, bahwa kita telah pergi bersama-sama kecuali
ayahanda Gajahnata" berkata Bramadaru perlahan-lahan
sekali sehingga hanya dapat didengar oleh Raden Ajeng Ceplik
saja. "Aku serahkan segalanya kepadamu kakangmas
Bramadaru" desis Raden Ajeng Ceplik.
Dengan teliti Bramadaru memberikan pesan kepada adik
sepupunya agar mereka tidak akan mengalami kesulitan.
Katanya "Jika kepergian kita diketahui oleh pamanda Sena
Wasesa, maka mungkin sekali pamanda akan menghukumku"
"Ayahanda tidak akan memperdulikanku lagi" berkata
Raden Ajeng Ceplik "kemanapun aku pergi agaknya ayahanda
tidak lagi mempersoalkan. Kembali atau tidak kembali, karena
ayahanda telah mendapat ganti yang lebih lengkap. Seorang
isteri dengan seorang anak laki-laki yang mampu
menolongnya. Jadi, apakah artinya aku seorang perempuan
yang tidak mampu berbuat apa-apa ketika segerombolan
orang datang menculik ayahanda dari istana ini, selain jatuh
pingsan" "Mungkin memang demikian diajeng. Tetapi mungkin juga,
pamanda merasa tersinggung karenanya meskipun tidak
menghiraukan diajeng lagi. Karena itu, kita memang harus
berhati-hati" berkata Bramadaru.
Iapun kemudian memberikan petunjuk, bahwa lewat
tengah malam Raden Ajeng Ceplik harus keluar dari pintu
butulan yang tidak dijaga.
"Bukankah diajeng dapat melakukannya?" bertanya
Bramadaru. "Ya kakangmas. Disebelah gandok ada sebuah pintu
butulan yang dalam keadaan biasa tidak dijaga. Tetapi pintu
gandok itu di selarak dengan kuat dari dalam" jawab Raden
Ajeng Ceplik. "Diajeng dapat membukanya?" bertanya Bramadaru pula.
"Tentu. Aku dapat membukanya dan aku dapat keluar dari
pintu itu" jawab Raden Ajeng Ceplik.
"Baiklah. Jadi aku akan menunggu di luar pintu butulan di
sebelah gandok kiri. Bukankah begitu?" bertanya Bramadaru.
"Ya kakangmas. Mudah-mudahan para tamu ayahanda itu
sudah tertidur nyenyak" jawab Raden Ajeng Ceplik.
"Mereka tidak berkepentingan. Mereka tidak akan
menghiraukan kita. Mereka tidak akan berbuat apa-apa"
berkata Bramadaru. Demikianlah ketika semua pembicaraan telah masak,
Bramadaru itupun minta diri meninggalkan istana itu. Sekali
lagi ia memberikan beberapa pesan, agar Raden Ajeng Ceplik
tidak salah langkah. Sepeninggal Bramadaru, Raden Ajeng Ceplik menarik nafas
dalam-dalam. Seolah-olah ia telah mendapatkan jalan keluar
dari kesulitannya. Jika ia keluar dari istana itu, maka ia tidak
akan merasa lagi tersiksa.
Justru karena itu, maka rasa-rasanya hari menjadi sangat
lamban. Matahari seakan-akan tidak bergerak di tempatnya.
Namun akhirnya malampun turun juga. Perlahan-lahan
matahari terbenamdibalik gunung.
Emban pemomong Raden Ajeng Ceplik itu menjadi heran
karena di sore itu Raden Ajeng Ceplik tidak nampak terlalu
sedih seperti sebelumnya. Bahkan Raden Ajeng Ceplik itu telah
mulai memperhatikan dirinya lagi. Berbenah diri dan sedikit
berhias. "Mudah-mudahan puteri dapat segera wajar kembali"
berkata emban itu di dalami hatinya. Tetapi bagaimanapun
juga ia menjadi kecewa jika yang dapat memulihkan
kegembiraan Raden Ajeng Ceplik itu adalah Raden Bramadaru.
"Ia akan menuntut terlalu banyak" berkata emban itu di
dalam hatinya pula" bahkan puteri akan melupakan semua
pesan-pesanku sehingga ia akan jatuh ke dalam satu keadaan
yang tidak akan kalah pahitnya dari kenyataan yang
dihadapinya sekarang. Bahkan jauh lebih pahit"
Tetapi emban itu masih belum berbuat apa-apa. Jika
dengan demikian keadaan puteri menjadi suram kembali, ia
akan menanggung akibatnya pula.
Dalam pada itu, setelah makan malam, puteri itupun duduk
sesaat diserambi. Meskipun udara malam mulai dingin, tetapi
puteri itu t idak menghiraukannya.
Bahkan dengan telit i diamatinya gandok yang disediakan
bagi para tamu ayahandanya. Dipaling depan adalah sebuah
ruang yang tidak terlalu luas. Kemudian bilik yang
dipergunakan oleh para tamunya laki-laki. Sebuah longkangan
kecil di belakang membatasinya dengan bilik yang
dipegunakan oleh dua orang perempuan. Yang tua diantara
mereka tentu yang dimaksud oleh ayahandanya. Endang Srini
yang sebenarnya adalah ibu tirinya.
"Ia begitu angkuh. Sama sekali tidak mau berkenalan
dengan aku seperti juga perempuan yang muda, yang katanya
memiliki kemampuan seorang laki-laki. Apa lagi jika nanti
perempuan itu sudah dinyatakan dengan resmi oleh
ayahanda, bahwa perempuan itu adalah isteri Pangeran Sena
Wasesa. Maka ia tentu akan lebih menghina aku lagi. Bahkan
mungkin ia tidak akan memberi aku kesempatan apapun juga.
sehingga aku akan tersisih. Karena itu, lebih baik aku pergi.
Aku tidak mau melihat perempuan itu menyakiti hatiku.
Apalagi anaknya, laki-laki. Ia merasa lebih tua dari aku, dan
seorang laki-laki pula yang telah mampu menolong ayahanda
dari kesulitan" berkata Raden Ajeng Ceplik di dalamhatinya.
Ternyata gandok itu segera menjadi sepi. Pintu-pintupun


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah tertutup. Tidak seorangpun lagi yang berada diserambi
setelah mereka makan malam.
"Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu aku malam
nanti" berkata Raden Ajeng Ceplik itu di dalamhatinya.
Dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin malam,
maka emban pemomong Raden Ajeng Ceplik itupun dengan
hati-hati telah mempersilahkan puteri itu masuk ke dalam.
"Malam terlalu dingin puteri" berkata embannya itu.
Puteri itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
memang memerlukan kesejukan bibi. Malam terasa segar dan
aku sama sekali t idak merasa dingin"
"Tetapi sebaiknya puteri masuk ke dalam. Angin malam
dapat membuat puteri sakit " sahut embannya.
Raden Ajeng Ceplik tidak mau membuat embannya menjadi
curiga. Karena itu, maka iapun kemudian bangkit dan masuk
ke bilik tidurnya. Setelah minum beberapa teguk, maka Raden Ajeng Ceplik
itupun kemudian membaringkan dirinya sambil berkata "Bibi,
jangan hiraukan aku lagi. Aku sudah tidak apa-apa. Aku
mengerti apa yang dikatakan oleh ayahanda dan apa yang
dikatakan oleh tamu-tamu ayahanda. Jika kau ingin tidur di
bilikmu sendiri, tidurlah disana. Tetapi besok pagi-pagi jangan
lupa membangunkan aku seperti kebiasaanmu. Aku harus
menyediakan minuman bagi tamu-tamu ayahanda"
Emban itu.menarik nafas dalam-dalam. Agaknya hati Raden
Ajeng Ceplik benar-benar sudah menjadi tenang. Namun
kembali emban itu merasa kecewa jika ketenangan itu
diperolehnya dari Raden Bramadaru, karena emban itu
percaya, bahwa Raden Bramadaru sering melakukan tindak
yang dapat menodai nama baik seorang gadis, bermodalkan
ketampanan wajahnya dan, kemampuannya berpura-pura
menghadapi gadis-gadis itu.
Sepeninggal embannya, Raden Ajeng Ceplikpun segera
berbenah diri. Ia tidak akan membawa pakaian kecuali yang
dipakainya dan selembar kain panjang. Tetapi Raden Ajeng
Ceplik telah menyiapkan semua perhiasannya yang
diletakkannya di dalam. sebuah peti kecil. Hanya peti kecil itu
sajalah yang akan dibawa oleh Raden Ajeng Ceplik. Perhiasan
itu akan dapat dijualnya jika ia memerlukan uang selama ia
berada di dalam tempat persembunyiannya, sampai saatnya ia
benar-benar dapat diterima oleh keluarga Pangeran Gajahnata
dengan cara apapun juga. Atau meskipun ia harus pergi jauhjauh
dari Kota Raja bersama Raden Bramadaru.
Demikianlah, malampun menjadi semakin malam. Ketika
ayam jantan terdengar berkokok, maka Raden Ajeng
Ceplikpun telah mempersiapkan diri.
"Sebentar lagi. aku harus meninggalkan istana ini. Istana
yang sudah aku huni lebih dari tujuhbelas tahun" berkata
Raden Ajeng Ceplik itu di dalamhatinya.
Demikianlah, ketika Raden Ajeng itu merasa bahwa malam
telah melampaui pertengahannya, maka iapun dengan sangat
berhati-hati telah keluar dari biliknya. Dengan sangat berhatihati
pula Raden Ajeng Ceplik telah membuka pintu samping
dan keluar ke serambi. Malam terasa sangat sepi. Di regol depan beberapa orang
masih terkantuk-kantuk dan bertahan untuk t idak tertidur.
Mereka tidak akan membiarkan peristiwa hilangnya Pangeran
Sena Wasesa itu terulang lagi, Namun dalam keadaan sehat,
maka Pangeran Sena Wasesa adalah orang yang sulit untuk
dikuasai oleh siapapun juga. Bahkan, justru karena di gandok
ada beberapa orang tamu yang memiliki ilmu yang tinggi,
maka para penjaga itu seakan-akan telah memastikan bahwa
malamitu tidak akan terjadi sesuatu di istana itu.
Namun dalam pada itu, Raden Ajeng Ceplik telah turun dari
tangga serambi istananya, menyelusuri dinding rumah ke arah
belakang. Kemudian dengan sangat hati-hati Raden Ajeng
Ceplik itupun melintasi longkangan dan berhenti di bawah
sebatang pohon kanthil di halaman samping.
Dalam keadaan yang biasa, Raden Ajeng Cepilk tidak akan
berani turun ke halaman. Bahkan untuk pergi ke pakiwanpun
Raden Ajeng Ceplik sering membangunkan embannya yang
tidur dibilik belakang. Dalam pada itu, ketika Raden Ajeng Ceplik yakin, bahwa
tidak ada orang yang melihatnya, maka iapun telah berlari-lari
kecil menuju ke pintu butulan yang diselarak. Dengan sangat
hati-hati pula, maka Raden Ajeng Ceplik itupun telah
mengangkat selarak yang berat itu. Sejenak kemudian, maka
pintu butulan itupun telah terbuka.
Demikian Raden Ajeng Ceplik melangkah keluar, maka
terdengar suara lambat di sebelah "Diajeng Ceplik?"
Raden Ajeng Ceplik tertegun, Iapun menarik nafas dalamdalam
ketika ia melihat Bramadaru muncul di dalami
kegelapan, sambil berdesis "Ini aku diajeng"
"O, sokurlah kakangmas. Aku sudah cemas, bahwa
kakangmas tidak akan datang" jawab Raden Ajeng Ceplik
dengan berbisik. "Kenapa tidak" Bukankah aku bukan pembual" Aku
melakukan apa yang aku katakan. Aku memegang setiap janji
yang aku ucapkan" jawab Bramadaru.
"Terima kasih kakangmas" desis Raden Ajeng Ceplik.
"Nah. Jangan terlalu lama. Mari, kita tidak mempunyai
banyak waktu. Jika para peronda itu nanti mengelilingi
halaman istana dan mereka menemukan pintu butulan itu
terbuka, maka kita akan mengalami kesulitan" berkata
Bramadaru kemudian. Demikianlah, maka Bramadarupun kemudian membawa
Raden Ajeng Ceplik berjalan menyusuri dinding istana. Namun
kemudian merekapun memasuki sebuah jalan sempit dan
mulai menjauhi istana itu.
Raden Ajeng Ceplik masih berpaling. Ada satu perasaan
yang tergetar dihatinya. Ia sama sekali tidak menyangka
bahwa pada satu saat ia harus meninggalkan istana itu
dengan cara yang aneh. Dengan cara yang tidak sewajarnya.
Tetapi Raden Ajeng Ceplik telah memilih cara itu.
Namun dalam pada, itu, demikian Raden Ajeng Ceplik dan
bramadaru meninggalkan pintu butulan itu, dua orang penjaga
regol telah bersiap-siap untuk meronda berkeliling.
"Mari" berkata yang seorang "Kau hanya menguap saja.
Bagaimanapun juga, kita tidak boleh lengah"
Kawannya bangkit berdiri. Tetapi ia masih menggeliat dan
menguap sekali lagi. "Saat-saat begini, justru sadt yang paling baik untuk
mengantuk" jawab kawannya yang menggeliat itu.
"Mengantuk atau tidur?" bertanya yang lain.
"Mengantuk. Bukan tidur. Jika kita tidur, maka kita tidak
akan dapat merasakan lagi. Tetapi jika kita duduk terkantukTiraikasih
kantuk sambil bersandar disudut dinding, alangkah nikmatnya.
Sesaat kita terlena, sesaat kita tersandar" jawab kawannya.
"Ah, kau memang pemalas" geram yang lain "Mari kita
akan meronda" Demikianlah kedua orang itupun kemudian memandi
tombak-tombak mereka. Perlahan-lahan mereka melangkah
berkeliling. Mereka menyusuri dinding halaman. Dengan
cermat mereka memperhatikan setiap sudut. Bahkan gandok
yang berisi para tamu itupun tidak terlepas dari pengamatan
mereka. Beberapa langkah kemudian, maka merekapun mulai
memasuki bayangan sebatang pohon kanthil. Mereka tertegun
ketika mereka melihat pintu butulan. Bahkan keduanyapun
kemudian telah melangkah mendekati.
Namun ternyata pintu butulan itu masih tertutup rapat.
Selaraknya masih terpasang dengan kuat. Tidak ada bekas
apapun juga yang pantas mereka curigai.
"Tidak ada apa-apa" desis yang seorang" "pintu itu masih
tertutup rapat" "Siapa yang akan membuka pintu itu dumalam hari?"
bertanya kawannya. Yang lain tidak menyahut. Namun kemudian keduanyapun
melangkah menjauh meneruskan tugas mereka mengelilingi
seluruh halaman. Maka dengan demikian, tidak seorangpun dari para
pengawal yang mengetahui bahwa Raden Ajeng Cepik telah
meninggalkan istana bersama Bramadaru. Dan tidak
seorangpun dari mereka yang pernah mengetahui bahwa
regol butulan itu pernah terbuka.
Sementara itu, Raden Ajeng Ceplik dan Bramadaru telah
melintasi beberapa halaman rumah disebelah istana Pangeran
Sena Wasesa. Semakin lama mereka berjalan semakin jauh.
Bahkan merekapun berjalan semakin cepat, agar mereka tidak
dapat dilacak lagi oleh para petugas di istana Pangeran Sena
Wasesa seandainya ada diantara mereka yang
mengetahuinya. Disepanjang jalan, keduanya tidak terlalu banyak berbicara.
Raden Bramadaru telah membimbing Raden Ajeng Ceplik dan
kadang-kadang menariknya untuk berjalan lebih cepat.
"Marilah diajeng. Jika para pengawal menemukan pintu
butulan itu terbuka, maka mereka akan menyadari, bahwa kau
tidak ada di dalam bilikmu" berkata Raden Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Ia berusaha untuk
berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya. Bahkan karena ia
tidak ingin mengalami kesulitan jika para pengawal sempat
menyusulnya, maka dengan tidak segan-segan Raden Ajeng
Ceplik itu telah menyingsingkan kain panjangnya sampai ke
lutut. Demikianlah keduanya menjadi semakin jauh dari istana
Pangeran Sena Wasesa, Mereka kemudian memasuki daerah
yang sepi dan tidak banyak dihuni orang. Bahkan semakin
lama mereka menjadi semakin jauh masuk ke daerah yang
ditumbuhi oleh batang-batang perdu disela-sela pategalan.
"Kita kemana kakangmas?" bertanya Raden Ajeng Ceplik.
"Semakin jauh semakin baik diajeng" jawab Bramadaru.
"Apakah kakangmas sudah menentukan tujuan?" bertanya
Raden Ajeng Ceplik. "Kita akan pergi kesebuah padukuhan diseberang hutan
perdu. Aku mempunyai seorang pekatik yang tinggal di
padukuhan itu. Sedikit diluar Kota Raja. Ayahanda sudah
memerintahkan pekatik itu untuk menyiapkan tempat bagimu"
Jawab Bramadaru. Raden Ajeng Ceplik tidak bertanya lagi. Ia menurut saja
ketika Bramadaru membimbingnya memasuki hutan perdu.
Dalam, pada itu, perjalanan itupun menjadi semakin sulit
Sehingga Raden Ajeng Ceplik harus menyingsingkan kain
panjangnya lebih tinggi lagi, agar tidak tersangkut-sangkut
pepohonan perdu. Tanpa berprasangka apapun juga, ia
mengikut saja kemana Bramadaru membawanya.
Sebenarnyalah Bramadaru membawa Raden Ajeng Ceplik
ke tempat yang memang sudah ditentukan. Tetapi tidak di
rumah seorang pekatik seperti yang dikatakan oleh
Bramadaru. Mereka berdua menuju ke tempat yang sudah
ditentukan bersama dengan gurunya. Sebagaimana telah
disepakati, di tempat itu sudah menunggu seorang yang
ditugaskan oleh Ki Ajar Wrahasniti untuk merampas Raden
Ajeng Ceplik dan membawanya ke tempat yang tersembunyi.
Dengan demikian, maka mereka akan dapat memaksa
Pangeran Sena Wasesa untuk menunjukkan dimana ia
menyimpan pusaka dan harta benda yang tidak ternilai
harganya itu. -ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 23 Tamat BRAMADARU menjadi berdebar-debar ketika mereka
menjadi semakin dekat dengan tempat yang sudah
ditentukan. Rasa-rasanya sebuah tugas yang berat harus
dilakukan. Namun diluar kehendaknya ketika Raden Ajeng Ceplik
kakinya tersangkut pada sebatang akar kayu dan hampir saja
jatuh terjerembab, maka dengan serta merta Bramadarupun
telah menangkapnya, sehingga Raden Ajeng Ceplik itu jatuh
ketangannya. Diluar kehendaknya pula t iba-tiba saja Bramadaru merasa
gadis cantik itu berpegangan pinggangnya.
"O" desis Raden Ajeng Ceplik "kakiku tersandung "
Bramadaru masih memegangi tubuh Raden Ajeng Ceplik
Rasa-rasanya tubuh itu begitu hangatnya. Tubuh seorang
gadis cantik yang berjalan di hutan perdu sehingga harus
menyingsingkan kain panjangnya.
Tiba-tiba saja darah Bramadaru mulai bergejolak Sifat dan
kebiasaannya menghadapi gadis-gadis cantik telah menembus
lapisan kesadarannya sehingga sulit untuk dikuasainya lagi.
"Gadis ini sudah tidak ada gunanya lagi" berkata anak
muda itu didalam hatinya "karena itu, kau akan dapat
memperlakukan apa saja menurut kehendakku. Aku tidak
peduli, apakah yang akan dilakukan oleh Pangeran Seria Wasesa
terhadap anak perempuannya ini. Bahkan anak ini akan
dapat aku bungkam untuk selamanya, atau disembunyikan ditempat
tertentu justru karena kecantikannya dan aku
memerlukannya. Dengan demikian maka pamanda Sana
Wasesa tidak akan mengetahui apa yang pernah terjadi
atasnya." Karena itu, maka tiba-tiba saja Bramadaru justru
memeluknya semakin erat, sehingga Raden Ajeng Ceplik itu
menjadi sulit untuk bernafas.
"Kakangmas" desis Raden Ajeng Ceplik "apa yang kau
lakukan?" Perlahan-lahan Bramadaru melepaskan gadis itu. Kemudian
dipandanginya sebatang pohon nyamplung yang nampak
beberapa puluh langkah di hadapannya. Di bawah pohon itu
telah siap seseorang yang akan merebut gadis cantik itu.
"Supaya orang itu tidak menggangguku, aku akan
menemuinya saja" berkata Bramadaru didalamhatinya.
Dengan demikian, maka Bramadaru itupun telah
membimbing Raden Ajeng Ceplik untuk maju lagi beberapa
puluh langkah mendekati sebatang pohon nyamplung yang
besar itu. Namun terasa oleh Raden Ajeng Ceplik ada perubahan
sikap kakak sepupunya itu. la memegang tangannya semakin
erat. Setiap kali Bramadaru itu memandanginya seperti belum
pernah melihatnya. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah mendekati


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon nyamplung yang besar itu. Pohon yang nampak
kehitaman didalamgelapnya malam.
Ternyata Raden Ajeng Ceplik menjadi agak ketakutan untuk
melewati bayangan pohon nyamplung yang besar itu,
sehingga karena itu, maka langkahnyaipun tertegun.
Bramadaru menariknya perlahan-lahan. Namun gadis itu
berdesis "Aku takut kakangmas."
Bramadaru mengerutkan keningnya. Desisnya "Kenapa
takut?" Raden Ajeng Ceplik tidak segera menjawab. Dipandanginya
pohon nyamplung yang besar berdaun rimbun. Didalam
keremangan malam nampaknya seperti sesosok raksasa yang
berambut gimbal siap untuk menerkamnya.
"Marilah" Bramadaru menarik tangan Raden Ajeng Ceplik
"jangan menunggu sampai orang-orang yang mengejar kita
menemukan kita disini."
"Tetapi pohon itu" desis Raden Ajeng Ceplik.
"Kenapa dengan pohon itu " Marilah. Pohon itu tidak apiopa.
Pohon nyamplung itu tidak akan menelan kita."
Bramadaru hampir kehilangan kesabaran.
Karena Radon Ajeng Ceplik masih ragu-ragu, maka
Bramadarupun menariknya sambil berkata "Jangan membuat
kesulitan. Kita akan bcnalan cepat melintasi pohon itu.
Selanjutnya kita akan segera sampat ketempat yang kita tuju
dengan aman." Raden Ajeng Ceplik tidak dapat membantah. Apalagi ketika
tiba-tiba saja Bramadaru berkata "Atau kau memilih aku
tinggalkan sendiri disini " Mungkin seekor harimau akan
datang menyergapmu atau mungkin sesosok hantu yang turun
dari pohon nyamplung itu."
"O. Jangan" Raden Ajeng Ceplik menjadi sangat ketakutan.
"Karena itu. marilah. Kita harus cepat-cepat menyingkir
untuk menghindarkan diri dari kemungkinan yang lebih buruk
jika pamanda mengetahui apa yang terjadi." berkata
Bramadaru sambil menarik Raden Ajeng Ceplik
Raden Ajeng Ceplik tidak membantah. Iapun kemudian
mengikut saja kemana Bramadaru membawanya. Bahkan
semakin dekat dengan pohon nyamplung yang besar itu,
Raden Ajeng Ceplik justru semakin melekat kepada kakak
sepupunya. Kegelapan yang kelam dibawah pohon nyamplung
itu membuat Raden Ajeng Ceplik menjadi gemetar.
Namun tiba-tiba saja Bramadaru berhenti justru dibawah
pohon nyamplung yang menakutkan itu. Sejenak Raden Ajeng
Ceplik bagaikan membeku. Namun ketakutan yang sangat
membuatnya menjadi gemetar. Bahkan diluar sadarnya.
Raden Ajeng itu telah memeluk kakak sepupunya.
Darah Bramadaru bagaikan menggelegak. Gadis itu sangat
cantik dan hangat. Seperti gadis-gadis cantik yang lain, maka
Raden Ajeng Ceplik itu membuat jantung Bramadaru berdetak
semakin cepat. Meskipun gadis itu adalah adik sepupunya,
namun kegelapan benar-benar telah mencengkamnya,
sehingga nalarnya telah menjadi gelap pula, seperti gelapnya
malamdi-bawah pohon nyamplung itu.
Meskipun demikian Bramadaru masih menunggu orang
yang mendapat tugas untuk mencegatnya. Jika tiba-tiba saja
orang itu datang, maka orang itu hanya akan
mengganggunya. Karena itu, ia akan menunggu dan berterus
terang kepadanya, apa yang akan dilakukannya atas gadis itu.
Gadis cantik yang sudah tidak berarti apa-apa lagi baginya. Ia
akan dapat memperlakukan gadis itu sekehendak hatinya,
sementara itu orang lain akan dapat memeras Pangeran Sana
Wasesa. "Tidak ada keharusan untuk menyerahkan gadis ini kembali
kepada pamanda Pangeran Sena Wasesa" berkata Bramadaru
didalam hatinya "jika pamanda telah menunjukkan harta
benda dan pusaka itu, maka segala-galanya telah selesai.
Persoalan gadis inipun selesai pula. Dan pamanda tidak akan
tahu untuk selamanya, siapakah yang pernah membawanya
pergi dari istananya."
Dalam pada itu. Raden Ajeng Caplikpun menjadi semakin
gemetar. Dengan suara sendat ia berkata "Marilah
kakangmas, kita bergeser keluar dari bayangan pohon ini."
"Jangan takut" jawab Bramadaru "tidak ada yang akan
mengganggu kita disini."
"Bukankah kakangmas akan membawa aku ketempat yang
sudah ditentukan " Dirumah pekatik di padukuhan sebelah ?"
ajak Raden Ajeng Ceplik yang ketakutan "dan bukankah kita
harus dengan cepat berlalu agar tidak ada orang yang dapat
menyusul kita." "Tidak ada orang yang akan mencari kita dibawah pohon
nyamplung ini" jawab Bramadaru.
"Baru saja kakangmas mengatakan, mungkin ada orang
yang akan menyusul kita" desis Raden Ajeng Ceplik.
"Mungkin dapat terjadi ditempat terbuka itu. Tetapi tidak
disini " jawab Bramadaru pula.
Raden Ajeng Ceplik tidak membantah lagi. Tetapi ia masih
tetap gemetar. Apalagi ketika diluar sadarnya ia
menengadahkan wajahnya memandang batang nyamplung
yang panjang bagaikan menusuk sampai jantung langit
Namun dalam pada itu, dalam keheningan malam yang
kelam, tiba-tiba terdengar suara tertawa dari balik batang
nyamplung yang besar itu. Suara tertawa perlahan-lahan.
Namun kemudian menjadi semakin keras.
Darah Raden Ajeng Ceplik bagaikan berhenti mengalir.
Tiba-tiba saja sesosok tubuh meloncat dari balik batang
nyamplung yang besar itu. Namun tidak begitu jelas bagi
Raden Ajeng Ceplik yang ketakutan.
Sambil memejamkan matanya Raden Ajeng Ceplik memeluk
kakak sepupunya semakin erat. Nafasnya menjadi terengahengah
oleh ketakutan yang tidak tertahankan.
Bramadaru sama sekali tidak terkejut. Ia memang
menunggu orang yang akan mencegatnya dibawah pohon
nyamplung itu. Orang yang menurut rencana akan merampas
Raden Ajeng Ceplik dan membawanya pergi. Sementara itu,
pemerasan akan dapat segera dilakukan, sebelum Pangeran
Sena Wasesa menyerahkan pusaka dan harta bendanya itu
kembali ke Gedung Perbendaharaan istana meskipun ia sudah
melaporkannya kepada Kangjeng Sultan.
"Ada juga orang yang tersesat dibawah pohon nyamplung
ini" geram bayangan yang meloncat dari balik pohon
nyamplung itu. Namun orang itulah yang kemudian terkejut oleh jawaban
Bramadaru "Aku telah merubah rencana semula. Kau tidak
perlu merampasnya dari tanganku."
Bayangan itu termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir
diluar sadarnya ia bertanya "Jadi apa yang harus aku
lakukan?" "Kau tidak usah mengambilnya dari tanganku. Aku akan
mengurusnya sendiri." jawab Bramadaru.
"Tetapi apa yang harus aku katakan kepada Ki Ajar
Wrahasniti" bertanya bayangan itu.
"Katakan kepadanya, bahwa aku telah memilih jalan lain.
Aku akan mengurus anak ini. Kemudian terserah kepada guru.
apa yang akan dilakukannya dengan pamanda Pangeran Sena
Wasesa. Tetapi guru akan tetap dapat mempergunakan anak
ini untuk mengancampamanda Pangeran " jawab Bramadaru.
Bayangan itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian
"Ya. Aku mengerti maksud Raden. Ki Ajar Wrahasniti atau
orang yang ditugaskan akan tetap melakukan sebagaimana
direncanakan. Tetapi bukankah Raden bermaksud mengingkari
setelah semuanya berada ditangan Ki Ajar Wrahasniti?"
"Mengingkari apa?" bertanya Bramadaru.
"Gadis itu t idak akan kembali kepada ayahandanya" gumam
bayangan itu. "Ya. Ia tidak akan dapat mengatakan tentang keadaannya
untuk selamanya." jawab Bramadaru.
Dalam pada itu, Raden Ajeng Ceplik menjadi bingung
mendengarkan pembicaraan itu. Namun tiba-tiba puteri itu
teringat kepada pesan embannya tentang Raden Bramadaru.
Karena itu, maka jantungnya menjadi bergelora. Ia tidak lagi
dicengkam oleh ketakutan tentang pohon nyamplung yang
besar itu. Tetapi pembicaraan antara Bramadaru dengan
bayangan yang tidak jelas itu membuatnya benar-benar
menggigil Perlahan-lahan Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk
melepaskan Raden Bramadaru. Kemudian berusaha untuk
mempergunakan nalarnya yang semula telah menjadi kabur.
Dan ia mendengar Bramadaru itu berkata "Nah, sekarang
tinggalkan kami berdua. Aku akan menyelesaikan persoalanku
sendiri " "Kakangmas" tiba-tiba saja Raden Ajeng Ceplik berdesis
"apa artinya pembicaraan kakangmas dengan orang itu?"
"Sudahlah diajeng" jawab Raden Bramadaru "jangan
hiraukan orang itu. Kita dapat menyusun rencana kita sendiri."
"Apa maksudmu kakangmas ?" bertanya Raden Ajeng
Ceplik. "Bukankah kau akan ikut bersamaku " Marilah. Jangan
hiraukan orang lain" berkata Radon Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik termangu-mangu. Namun iapun
terkejut ketika Raden Bramadaru itupun kemudian berkata
kepada orang yang tidak nampak jelas oleh Raden Ajeng
Ceplik itu "Sudahlah. Tinggalkan. Aku memerlukan gadis itu
sekarang." "O" orang itu terkejut. Lalu katanya "Jadi aku harus
mengatakan segalanya sebagaimana adanya ?"
"Aku tidak berkeberatan" jawab Bramadaru "katakan
seperti yang aku maksudkan."
"Baiklah" desis orang itu "tetapi semua tanggung jawab ada
di tangan Raden." "Aku bertanggung jawab." jawab Raden Bramadaru.
Sejenak keadaan menjadi sepi. Namun didalam dada
Raden Ajeng Cepik telah terjadi gelora yang maha dahsyat Ia
mulai menilai Raden Bramadaru dengan tajam.
"Kakangmas" desis Raden Ajeng Ceplik kemudian sambil
melangkah surut "apakah yang akan kakangmas lakukan ?"
Tetapi Bramadaru justru tertawa. Katanya "Kau akan pergi
kemana ". Di padang perdu ini masih berkeliaran beberapa
ekor harimau. Tetapi yang lebih buruk lagi adalah jika kau
bertemu dengan sejenis hantu yang merindukan perempuan
cantik. Genderuwo." "O" terasa bulu diseluruh tubuh Raden Ajeng Ceplik
meremang. Ketakutannya terhadap pohon nyamplung itu
bagaikan tumbuh kembali. Tetapi rasa-rasanya ia sudah
berhadapan dongan hantu yang turun dari pohon yang besar
itu dan kemudian berdiri di hadapannya.
Raden Ajeng Ceplik tidak dapat melihat wajah Bramadaru
dengan jelas. Tetapi rasa-rasanya wajah itu membayangkan
wajah hantu yang sangat menakutkan pula.
Apalagi ketika tiba-tiba saja Bramadaru itu tertawa.
Suaranya benar-benar bagaikan suara hantu yang haus darah
Raden Ajeng Ceplik bergeser beberapa langkah surut.
Wajahnya menjadi pucat dan nafasnya tereneah-engah.
Sementara itu Bramadaru masih saja tertawa sambil
melangkah maju. Katanya "Sudahlah diajeng. Jangan
membuang waktu. Kau tidak akan mendapat kesempatan
untuk memilih apa yang harus kau lakukan sekarang. Kau
hanya dapat menerima keadaan ini tanpa mengeluh .
Semuanya akan terjadi sesuai dengan keinginanku."
"Tetapi, tetapi bukankah kakangmas adalah kakak
sepupuku ". Lebih dari itu, bukankah kakangmas mencintaiku
?" kata-kata itu meluncur tanpa dikehendakinya sendiri.
Bramadaru masih saja tertawa. Disela-sela suara
tertawanya itu terdengar ia berkata "Aku bukan mencintaimu.
Tetapi aku menginginkanmu. Kau memang cantik. Tetapi kau
tidak lagi cukup berharga untuk dijadikan seorang isteri."
"Kakangmas" Raden Ajeng, Ceplik hampir saja menjerit.
"Menjeritlah diajeng" berkata Raden Bramadaru "tidak akan
ada orang yang mendengarnya. Tempat ini adalah tempat
yang tidak pernah didatangi oleh seseorang. Apalagi di malam
hari seperti ini." "Tetapi, bukankah kau pernah mengatakannya ?" suara
Raden Ajeng Ceplik mulai diwarnai oleh keputusasaan.
"Ya, waktu itu ketika aku menganggap kau adalah gadis
yang cantik dan berharga. Ketika aku menganggap bahwa kau
adalah seorang gadis anak tunggal pamanda Pangeran Sena
Wasesa. Karena sebenarnya yang aku inginkan sama sekali
bukan kau untuk menjadi seorang isteri. Tetapi karena
pamanda Pangeran Sena Wasesa memiliki pusaka dan harta
benda yang tidak ternilai harganya. Tetapi pusaka dan harta
benda ini sudah dilaporkan Kangjeng Sultan dan kaupun
bukan anak tunggal yang akan menjadi satu-satunya pewaris
semua kekayaan pamanda itu. Karena itu, aku tidak
memerlukan kau lagi untuk menjadi seorang isteri."
Wajah Raden Ajeng Ceplik yang pucat itu menjadi semakin
pucat. Dengan nada tinggi ia berkata "Jika demikian Kenapa
kakangmas masih juga membawa aku keluar malam ini dan
bahkan sampai ketempat ini "."
"Jangan bodoh diajeng. Kau sudah dewasa untuk mengerti.
Apa yang aku inginkan darimu. Tidak untuk menjadi seorang
isteri, karena aku memang masih belum ingin kawin. Tetapi
kecantikanmu tidak dapat aku lewatkan begitu saja. Karena
itu. aku telah membawamu kemari. Kemudian kau akan aku
sembunyikan ditempat yang tidak akan dapat diketahui oleh
pamanda Pangeran Sena Wasesa. Tempat yang dapat aku
datangi setiap saat sampai saatnya aku menjadi jemu." suara
tertawa Bramadarupun meninggi. "Sementara itu.
kepergianmu akan dapat menjadi alat untuk memeras
pamanda Pangeran." Tidak ada harapan sama sekali dari Raden Ajeng Ceplik
untuk dapat keluar dari tangan hantu yang sangat mengerikan
itu. Lebih mengerikan dari hantu yang mungkin ada di batang
pohon nyamplung yang besar itu.
Namun dalam pada itu, Raden Bramadaru tiba-tiba saja
sekali lagi membentak kepada bayangan yang masih saja
berada dibawah lindungan kegelapan rimbunnya pohon
nyamplung itu "He, kenapa kau masih ada disitu. Cepat, pergi
dan sampaikan kepada guru bahwa tugasmu sudah selesai.
Biarlah guru atau orang yang ditugaskan menghubungi
pamanda Pangeran Sena Wasesa. minta agar gadis ini ditebus
dengan pusaka dan harta benda yang masih belum terlanjur


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikembalikan ke Gedung Perbendaharaan Istana Demak itu."
"O" orang itu tergagap. Tetapi ia masih dapat menjawab
"aku terpukau oleh peristiwa ini. Aku kira, aku akan dapat
membantu Raden disini."
"Gila. Aku sobek mulutmu" geram Raden Bramadaru.
Tetapi, bayangan itu justru tertawa. Katanya "Baiklah. Aku
akan meninggalkan tempat ini."
"Cepat, sebelum aku kehilangan kesabaran." geram Raden
Bramadaru. Orang itu memang bergeser surut. Tetapi ia berhenti lagi
disebelah batang nyamplung yang besar. Sementara itu Raden
Bramadaru melangkah mendekati Raden Ajeng Ceplik yang
gemetar. "Tidak ada pilihan lain" berkata Raden Bramadaru "lebih
baik kau tidak mengingkari kenyataan ini agar penderitaanmu
tidak menjadi semakin sakit. Sakit pada tubuhmu dan sakit
pada hatimu." Raden Ajeng Ceplik hanya mampu bergeser mundur
beberapa langkah. Namun tiba-tiba saja tubuhnya telah
berada didepan sebuah semak-semak yang berduri sehingga
ia tidak dapat bergeser surut lagi.
"Tidak ada gunanya. Hanya menunda waktu satu dua kejap
yang dapat membuat aku semakin liar." geram Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik menjadi putus asa. Namun ia masih
juga berteriak "Kakangmas, ayahanda akan mengambil
tindakan atas perbuatan kakangmas ini. Mungkin kakangmas
akan dibunuhnya kelak."
"Pamanda Pangeran Sena Wasesa tidak mengetahui
siapakah yang membawamu pergi. Besok pagi aku akan
menghadap paman dan bertanya tentang kau, diajeng. Aku
akan berpura-pura terkejut ketika pamanda mengatakan
bahwa kau tidak ada diistana."
Suara tertawa Raden Bramadaru itu bagaikan meledak.
Semakin lama semakin keras.
Sementara itu, tubuh Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin
menggigil. Gadis itu benar-benar menjadi berputus-asa.
Semua pesan embannya terngiang kembali ditelinganya. Dan
iapun menjadi sangat menyesal bahwa ia tidak menghiraukan
pesan embannya itu. sehingga akhirnya ia terperosok dalam
keadaan yang jauh lebih buruk daripada menerima ibu tiri dan
saudara laki-laki didalam istananya.
"Seandainya hatiku tidak bergejolak sehingga nalarku t idak
terkendali" sesal Raden Ajeng Ceplik. Tetapi sesal itu tidak
berguna lagi menghadapi sikap iblis yang mengerikan itu.
Dalam pada itu, Raden Bramadarupun berdesis "Kemarilah
anak manis. Kemarilah. Jangan memaksa aku datang
kepadamu." "Tidak" teriak Raden Ajeng Ceplik.
Tetapi suara tertawa itu masih terdengar, disamping katakatanya
"cepatlah sedikit."
Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin menggigil.
Akhirnya ketakutan ku tidak
tertahankan lagi, sehingga
gadis itu jatuh terduduk tanpa menghiraukan duri semak-semak yang tergores
ditubuhnya. Bramadarulah yang kemudian melangkah mendekati sambil menggeremang "Kau memaksa aku berbuat lebih
kasar diajeng. Aku dapat menyeretmu kebawah pohon nyamplung itu." Tetapi ketika Bramadaru hampir menggapai tubuh Raden
Ajeng Ceplik, tiba-tiba saja terdengar suara gemerisik. Ketika
Bramadaru berpaling dalam kegelapan ia masih melihat ujud
orang yang telah diusirnya.
"Gila. Kau masih disitu" bentaknya.
Tetapi suara gemerisik itu ternyata terdengar diarah lain.
Bahkan tiba-tiba saja Bramadaru mendengar suara orang
mendeham hanya beberapa langkah saja daripadanya.
"Raden" terdengar suara "jika kau menganggap bahwa
tempat ini tidak pernah didatangi orang ternyata kau salah.
Aku berada ditempat ini dan melihat apa yang kau lakukan."
"Gila" teriak Bramadaru. Kemudian terdengar umpatannya
kasar. Lalu iapun bertanya "Siapa kau ?"
Sesosok bayangan muncul dari balik semak-semak
"Siapa kau he?" Bramadaru mengulangi pertanyaannya.
"Aku berkewajiban untuk menyelamatkan gadis itu" jawab
orang yang baru datang itu.
"Siapa kau ?" Bramadaru berteriak semakin keras.
"Aku adalah saudara laki-laki gadis itu. Aku juga putera
Pangeran Sena Wasesa meskipun dari ibu yang berbeda.
Tetapi aku merasa wajib menolong adikku." jawab orang itu.
"Gila Siapa kau he" Siapa?" Bramadru menjerit-jerit oleh
kemarahan yang menghentak-hentak didadanya.
"Orang memanggilku Daruwerdi." jawab orang itu.
Tiba-tiba saja secercah harapan telah terbit kembali dihati
Raden Ajeng Ceplik. Orang itu mengaku saudara lakilakinya.
Kakaknya sendiri. Kemarahan Raden Bramadaru tidak tertahankan lagi. Gadis
cantik yang sudah ada ditangannya itu tidak boleh terlepas
lagi. Namun tiba-tiba saja ada orang yang datang untuk
merebutnya. Sementara itu. Raden Ajeng Ceplikpun menjadi termangumangu.
Rasa-rasanya ia berdiri di ujung jalan simpang. Ia
telah menolak kehadiran anak muda yang menurut keterangan
ayahnya adalah saudaranya sendiri meskipun tidak seibu.
Tetapi tiba-tiba anak muda itu kini datang untuk
melepaskannya dari tangan iblis yang dikiranya adalah
seorang yang akan dapat melepaskannya dari himpitan
perasaannya justru karena kehadiran anak muda yang
disebutnya sebagai kakaknya itu bersama ibu tirinya.
Namun dalam keadaan yang paling gawat itu. maka ia t idak
mempunyai pilihan lain. Ia harus menyerahkan dirinya kepada
perlindungan anak muda yang menyatakan dirinya sebagai
kakaknya itu. Dalam pada itu, Raden Bramadaru yang marah tiba-tiba
saja membentak "He, anak yang tidak tahu diri. Apakah kau
dengan sengaja ingin membunuh dirimu ?"
"Tidak. Gadis itu adalah adikku. Bukankah sudah
sewajarnya jika aku berusaha untuk menyelamatkannya "
Memang aku tahu bahwa kaupun adalah kakak sepupunya.
Tetapi hati iblismu itu telah membuat matamu menjadi buta.
Kau tidak melihat lagi, siapakah gadis yang akan kau jadikan
korbanmu itu." Daruwerdi yang bukan seorang yang dapat
bertingkah laku lembut itupun telah membentak pula.
"Persetan" tiba-tiba Bramadaru berpaling kepada orang
yang berdiri di dekat pohon nyamplung itu "untunglah bahwa
kau belum beranjak dari tempatmu, meskipun barangkali
kaupun mempunyai maksud buruk. Tetapi ternyata sekarang
ada tugas untukmu. Singkirkan anak bengal ini. Jangan beri
kesempatan ia meninggalkan tempat ini, karena ia akan
menjadi sangat berbahaya, karena ia akan dapat melaporkan
peristiwa ini kepada pamanda Pangeran Sena Wasesa."
"Jadi maksud Raden, anak itu harus dibunuh ?" bertanya
orang yang berada di dekat batang nyamplung yang besar itu.
"Ya. Jika kau memang kepercayaan guru. maka kau tentu
akan dapat melakukannya" geramRaden Bramadaru
Orang itu tertawa. Katanya "Jangankan membunuh anak
itu. Orang yang disebut gegedugpun akan aku lumatkan
kepalanya." "Lakukan. Aku akan mengurus gadis yang keras kepala ini.
Jika aku menjadi kasar adalah karena salahnya sendiri."
berkata Raden Bramadaru sambil menghentakkan tangannya.
Orang yang berada disebelah batang pohon nyamplung
yang besar itupun kemudian bergeser mendekati Daruwerdi.
Namun Daruwerdipun segera mempersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan yang akan dapat terjadi atas dirinya.
Dalam pada itu. Raden Ajeng Ceplik yang mulai dirayapi
oleh harapan tentang keselamatannya, kembali menjadi putus
asa. Namun ketika Bramadaru melangkah mendekatinya,
gadis itu hampir menjerit "Tolong aku kakangmas."
Darah Daruwerdi tersirap. Tetapi demikian ia meloncat
mendekati Raden Ajeng Ceplik, orang yang semula berdiri didekat
batang pohon nyamplung itupun telah berlari kearahnya
sambil langsung menyerang.
Daruwerdi terpaksa meloncat menghindarinya. Tetapi orang
itu tidak melepaskannya. Sekali lagi ia menyerang sehingga
Daruwerdi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
menolong Raden Ajeng Ceplik.
"Gila" geram Daruwerdi "tetapi bagaimanapun juga tingkah
laku kalian harus dihentikan."
"Tutup mulutmu" bentak lawan Daruwerdi "kau harus
dibungkam untuk selamanya. Kau harus mati disini. Jika tidak,
maka kau akan menebarkan racun di istana Demak."
"Kau akan mati lebih dahulu. Kemudian bangsawan yang
tidak tahu diri itupun akan aku bunuh disini" geramDaruwerdi.
Tetapi Daruwerdi tidak banyak mendapat kesempatan
untuk menolong adik perempuannya. Ia harus mengerahkan
kemampuannya untuk bertempur melawan orang yang telah
menyerangnya, yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Dalam keadaan yang putus asa Raden Ajeng Cepiik menjadi
lemas. Anak muda yang sebenarnya adalah kakak sepupunya
itu melangkah semakin dekat.
"Kau membuat aku menjadi buas. Anak yang menyebut
kakakmu itu justru telah membuat semakin menderita di
dalam tanganku. Aku tidak peduli apa yang terjadi. Aku hanya
menginginkanmu." geram Raden Bramadaru. Lalu katanya
"Kakakmu itu akan segera diselesaikan oleh kepercayaan guru
itu. Dan semuanya akan berlangsung dengan cara yang lebih
buruk lagi bagimu." Raden Ajeng Caplik tidak dapat berbuat apapun lagi.
Tubuhnya yang menggigil menjadi semakin gemetar.
Ketika tangan Bramadaru menggapainya, gadis itu
menjerit. Tetapi ia tidak dapat melawan ketika dengan kasar
Bramadaru menyeretnya kebawah pohon nyamplung.
"Semuanya akan terjadi dibawah hidung kakakmu yang
merasa dirinya menjadi pahlawan" geram Bramadaru.
"Tidak Tidak" Raden Ajeng Cepiik menjerit-jerit. Tetapi ia
tidak dapat melepaskan diri dari tangan Bramadaru yang
kasar. Darah Daruwerdi bagaikan mendidih. Tetapi libatan ilmu
lawannya benar-benar membutuhkan segenap perhatiannya,
jika ia lengah dan kemudian ia tidak berhasil mengalahkan
orang itu, maka nasib adik perempuannya akan menjadi
semakin buruk. Karena itu, maka yang dilakukannya adalah justru
bertempur dengan segenap kemampuannya, dan dengan
sangat hati-hati Ia harus mengalahkan lawannya secepatcepatnya
sebelum terlambat. Karena agaknya Bramadaru
benar-benar lelah menjadi gila Namun Daruwerdi agaknya
memang tidak sendirian. Tetapi lawan Daruwerdi memiliki kemampuan yang tinggi
pula Ia tidak membiarkan dirinya digilas oleh kemampuan
Daruwerdi. Karena itu. maka iapun telah bertempur dengan
segenap ilmu yang ada padanya.
Sementara keduanya bertempur dengan sengitnya.
Bramadaru telah melemparkan Raden Ajeng Ceplik sehingga
jatuh berguling dibawah pohon nyampluneg yang besar itu.
Dengan kasar ia berkata "Kau tidak akan dapat berbuat apaTiraikasih
apa gadis liar. Kau harus tunduk kepadaku. Lakukan semua
perintahku." Raden Ajeng Ceplik menjerit sekuat-kuatnya. Tetapi Bramadaru
berkata "Menjeritlah sampai lehermu putus. Tidak ada
orang yang akan mendengarnya kecuali kakakmu yang
sebentar lagi akan mat i."
Raden Ajeng Ceplik masih menjerit dengan kerasnya.
Namun suaranya bagaikan lenyap ditelan desah daun
nyamplung yang bergeser ditiup angin malam.
Namun dalam pada itu. sekali lagi Bramadaru terkejut.
Tiba-tiba saja seseorang telah meloncat dari balik pohon
ryamplung seperti yang dilakukan oleh kepercayaan Ki Ajar
Wrahasniti. Tetapi orang itu t idak dapat segera dikenalinya.
Tetapi orang itu kemudian telah membuat darah
Bramadaru semakin mendidih ketika orang itu kemudian
berkata "Raden, akulah yang mendengarnya kecuali
Daruwerdi." "Anak iblis. Siapa lagi kau he ?" teriak Bramadaru.
"Sudah kau sebut. Aku adalah anak iblis yang tinggal di
pohon nyamplung ini" jawab orang itu.
"Gila. Sebut namamu. Jangan berusaha untuk
mempengaruhi aku" Bramadaru itu masih berteriak oleh
kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya.
"Baiklah" jawab orang itu "namaku Jlitheng. Aku salah
seorang kawan Daruwerdi."
"Setan alas" Bramadaru mengumpat semakin kasar.
Tetapi dalam pada itu, Jlithengpun berkata "Jangan berbuat
aneh-aneh Raden. Kau harus mengetahui bahwa apa yang kau
lakukan ini sudah bukan lagi rahasia. Kami yang berada
diistana Kapangeranan sudah mengetahui. Maksudku Istana
Pangeran Sena Wasesa. "
"Bohong. Kau ingin menakut-nakuti aku he ?" geram
Bramadaru. "Tidak. Tetapi sebenarnya kami sudah mengetahui
Ternyata kami berhasil mengikutimu. Jika kami tidak
mengetahui, mana mungkin kami ada disini sekarang ini"
jawab Jlitheng. Keringat dingin mengalir diseluruh tubuh Raden Bramadaru.
Tetapi ia masih menjawab "Persetan. Tetapi kalian berdua
harus mati. Mungkin kebetulan kalian melihat aku membawa
diajeng Ceplik, lalu kalian mengikutinya sebelum kalian sempat
melaporkan hal ini kepada pamanda."
"Memang secara kebetulan kami melihatnya. Tetapi
seorang diantara kami telah melaporkannya" jawab J litheng.
Lalu "Karena itu, menyerah sajalah Raden. Mungkin ada cara
yang lebih baik untuk menyelasaikan persoalan ini. karena


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya masih belum terlanjur terjadi"
Tetapi Bramadaru tidak mau mendengarnya. Bahkan tibatiba
saja ia sudah mencabut senjatanya. Katanya "Kau harus
mati anak gila." Jlitheng melangkah surut. Ia tidak dapat bertempur terlalu
dekat dengan Raden Ajeng Ceplik yang masih saja terbaring
dengan lemahnya. Jika Bramadaru benar-benar menjadi liar.
maka nasib Raden Ajeng Ceplik tentu ada dalam bahaya.
Ketika Bramadaru melihat Jlitheng melangkah menjauh,
maka tiba-tiba saja iapun menyerang sambil berteriak "Jangan
lari. Kau tidak akan dapat pergi dari tempat ini. Kau akan mati
terkapar dibawah pohon nyamplung ini."
Jlitheng tidak menjawab. Dengan tangkasnya ia
menghindari serangan senjata Raden Bramadaru itu. Namun
ia masih mengambil jarak dari Raden Ajeng Ceplik.
Baru beberapa langkah kemudian, maka Jlithengpun telah
mencabut pedang tipisnya pula. Ia tidak ingin mengalami satu
keadaan yang pahit karena kelengahan. Bahkan jika demikian,
maka nasib Raden Ajeng CeplLkpun menjadi semakin buruk.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itupun telah
bertempur dengan pedang masing-masing. Bramadaru adalah murid Ki
Ajar Wrahasniti. Karena itu,
maka iapun memiliki kemampuan yang tinggi. Sebagaimana gurunya yang memiliki nama yang besar,
maka Bramadarupun memiliki
bekal yang cukup untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain. Tetapi yang
dilawannya adalah Jlitheng.
Seorang anak muda yang memiliki bukan saja bekal
ilmu, tetapi juga pengalaman
yang jauh lebih banyak dari
Bramadaru. Betapapun banyaknya pengetahuan dan betapapun tingginya ilmu
Bramadaru, namun menghadapi Jlitheng segera terasa bahwa
ia berhadapan dengan lawan yang berat.
Demikianlah kedua anak muda itu telah bertempur dengan
sengitnya. Keduanya memiliki kemampuan bermain pedang
yang luar biasa. Dalam bayangan kegelapan dibawah pohon
nyamplung itu, keduanya merasa bahwa mereka harus sangat
berhati-hati. Tetapi justru karena kemarahan didalam dada Raden
Bramadaru bagaikan meledak, maka anak muda itu telah
melibat lawannya langsung kepuncak kemampuan. Bramadaru
telah menekan Jlitheng dengan sekuat tenaganya, karena ia
ingin pertempuran itu cepat selesai. Ia masih mempunyai
persoalannya sendiri dengan Raden Ajeng Ceplik yang telah
terganggu oleh hadirnya anak-anak muda dari lingkungan
istana Pangeran Sena Wasesa itu.
Dalam pada itu, kepercayaan Ki Ajar Wrahasnitipun telah
bertempur dengan garangnya pula menyerang Daruwerdi.
Tetapi seperti Jlitheng, Daruwerdi mempunyai ilmu yang
nggegi-risi dan mempunyai pengalaman yang luar biasa pula.
Sehingga dengan demikian, maka kepercayaan Ki Ajar
Wrahasniti itupun seakan-akan telah membentur kekuatan
yang sulit diatasinya. Raden Ajeng Ceplik yang melihat kehadiran seorang lagi
dan kemudian bertempur melawan Bramadaru, merasa
hadirnya harapan lagi didalam dirinya. Ia merasa sangat
berterima kasih kepada anak muda yang ternyata adalah
kakaknya sendiri. Kemudian hadirnya seorang lagi yang
menyebut dirinya bernama Jlitheng. Seorang anak muda yang
dikenalnya sebagai salah seorang tamu ayahandanya. Bahkan
anak muda yang telah menyelamatkannya pada saat sebagian
orang-orang yang pernah mengambil ayahnya datang kembali
untuk mengambilnya pula. Dan kini anak muda itu datang lagi untuk
menyelamatkannya. Perlahan-lahan Raden Ajeng Ceplik itupun bangkit. Dalam
kegelapan ia melihat dua lingkaran pertempuran. Dan
meskipun Raden Ajeng Ceplik itu tidak dapat melihat dengan
jelas di dalam keremangan malam hari, namun Raden Ajeng
Ceplik itu mengetahui bahwa yang bertempur melawan
Bramadaru itu adalah orang yang menyebut dirinya Jlitheng,
namun yang sudah diketahuinya bahwa sebenarnya ia adalah
Raden Candra Sangkaya yang mendapat gelar kehormatan
Kapangeranan dari Kangjeng Sultan karena jasa anak muda ku
dan jasa orang tuanya, sedangkan yang berada dilingkaran
pertempuran yang lain adalah Daruwerdi, yang sebenarnya
adalah kakaknya seayah, melawan kawan Raden Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik tidak tahu, apakah kedua orang yang
berusaha menyelamatkannya itu akan dapat memenangkan
pertempuran. Sehingga karena itu ada niatnya untuk
melarikan diri. Tetapi ketika terpandang olehnya hutan perdu
yang gelap dan luas, maka niatnya itupun telah diurungkan.
Karena itu, maka akhirnya Raden Ajeng Ceplik itupun
menjadi pasrah. Yang dilakukannya kemudian adalah berdoa,
semoga Yang Maha Kasih akan melindunginya.
Sementara itu pertempuran diantara anak-anak muda
itupun menjadi semakin sengit. Bramadaru dan Jlitheng telah
terlibat dalam pertempuran bersenjata. Demikian pula
Daruwerdi dan kepercayaan Ki Ajar Wrahasniti itu.
Dalam kegelapan malam kengerian telah mencengkam
jantung Raden Ajeng Ceplik jika ia melihat bunga api yang
berloncatan jika terjadi benturan senjata antara mereka yang
sedang bertempur itu. Sedangkan gadis itu sama sekali tidak
dapat membayangkan, siapakah yang akan memenangkan
pertempuran itu. Karena itulah maka ketegangan telah mencengkam
perasaannya. Dalam doanya ia mengharap agar anak muda
yang sebenarnya adalah kakaknya, serta anak muda yang
menyebut dirinya Jlitheng itu dapat memenangkan
pertempuran itu. Dalam pada itu, Bramadaru yang marah itu telah melibat
Jlitheng dalam pertempuran yang semakin sengit. Senjatanya
berputaran didalam kegelapan. Sebagai murid Ki Ajar Wrahasniti,
maka Bramadaru memiliki ilmu pedang yang
nggegirisi. Tetapi Jlithengpun mampu bermain pedang dengan sangat
baik. Apalagi dengan pedang tipisnya. Pedang yang ringan
tetapi memiliki kemampuan dan kekuatan melampaui pedang
kebanyakan. Karena itu, Jlitheng sama sekali tidak gentar untuk
membenturkan pedangnya. Tetapi pedang yang ringan itu
akan cepat menggeliat dan mematuk lawannya.
Dalam pada itu Daruwerdipun telah mengerahkan segenap
kemampuannya pula. Dengan pengalaman yang luas, maka
Daruwordi segera dapat mengimbangi ilmu lawannya yang
keras dan cepat. Sambil berloncatan diantara gerumbul-gerumbul perdu
yang kadang berduri Daruwerdi dan lawannya telah saling
menyerang. Desgan pedang terjulur kepercayaan Ki Ajar Wrahasniti
itu meloncat sambil berteriak nyaring. Suaranya
menggetarkan udara malam dipadang perdu yang luas itu
serta seakan-akan telah menggetarkan daun-daun dibatang
pohon nyamplung yang besar itu.
Namun ternyata Daruwerdi tidak kalah tangkasnya. Dengan
bergeser menyamping ia menghindari serangan lawannya.
Bahkan dengan segenap kekuatannya ia telah memukul
pedang lawannya. Hampir saja pedang itu terlepas dari tangan kepercayaan Ki
Ajar Wrahasniti itu. Namun orang itu masih beruntung. Ia
masih mampu menahan senjatanya itu sehingga tidak
terloncat jatuh. Dalam pada itu, Daruwerdi mempergunakan kesempatan
itu untuk mendesak lawannya. Ketika lawannya sedang
memperbaiki keadaannya, maka Daruwerdilah yang kemudian
menyerang. Tetapi lawannya masih sempat meloncat
beberapa langkah surut. Daruwerdi tidak melepaskan lawannya. Iapun segera
memburunya dengan serangan beruntun. Tetapi kepercayaan
Ki Ajar Wrahasnit i itu masih sempat melepaskan diri dan
bahkan kemudian berhasil memperbaiki keadaan dan siap
untuk bertempur dengan kemampuannya sepenuhnya.
Dalam pada itu, Jlitheng yang bersenjata pedang tipis
itupun bertempur dengan serunya. Namun baik Jlitheng
maupun lawannya benar-benar dicengkam oleh ketegangan.
Malam rasa-rasanya bertambah kelam di bawah bayangan
pohon nyamplung raksasa itu. Dengan demikian keduanya
benar-benar harus mempergunakan pengamatan inderanya
dengan sungguh-sungguh. Tetapi karena Jlitheng sengaja memancing lawannya untuk
bertempur sambil menjauhi Raden Ajeng Ceplik, maka
akhirnja keduanyapun telah keluar dari bayangan rimbunnya
daun pohon nyamplung yang besar itu.
Betapapun kemarahan Bramadaru, namun berhadapan
dengan Jlitheng anak muda itu t idak banyak dapat berbuat.
Jlitheng memiliki beberapa kelebihan. Selain pada dasarnya
pedang tipisnya memang ringan namun kuat, kecepatan
gerak-nyapun melampaui kecepatan gerak lawannya.
Karena itu, maka Jlitheng dalam beberapa saat kemudian
berhasil mendesak lawannya. Ia tidak lagi berusaha menarik
Bramadaru keluar dari bayangan pohon nyamplung itu. Tetapi
Jlitheng kemudian bergeser membelakangi pohon nyamplung
itu dan mendesak lawannya menjadi semakin jauh.
Pertempuran di kedua lingkaran itu memang menjadi
semakin seru. Tetapi beberapa saat kemudian ternyata bahwa
Bramadaru benar-benar telah terdesak. Dengan pedang
tipisnya Jlitheng mampu membuat lawannya kadang-kadang
menjadi bingung. Apalagi kemarahan yang menghentakhentak
di dalam dada Bramadaru membuatnya kurang
berhati-hati karena dorongan perasaannya yng menggelegak.
Perlahan-lahan Jlitheng akhirnya benar-benar mampu
menguasai lawannya. Kemampuan bermain pedang Raden,
Bramadaru seakan-akan telah terkurung oleh putaran
pedang tipis Jlitheng yang mendebarkan. Serangan
Jlithengpun seakan-akan telah datang dari segala arah,
seakan-akan Jlitheng itu lelah berubah menjadi ampat orang
yang berdiri diempat kiblat dengan pedang yang berputaran.
"Ilmu iblis manakah yang diserap oleh anak gila ini" geram
Bramadaru didalamhatinya.
Meskipun demikian Bramadaru yang marah itu tidak segera
melihat dan mengakui kenyataan yang dihadapinya. Ia masih
saja bertempur dengan kemarahan yang menghentak-hentak
didalamdadanya. Ternyata bukan hanya Bramadaru yang mengalami
kesulitan. Kepercayaan Ki Ajar Wrahasniti yang terlalu percaya
akan kemampuannya ilupun akhirnya telah terdesak. Daruwordipun
telah bertempur dengan keras. Meskipun ia tidak
berteriak-teriak seperti lawannya, tetapi hentakan-hentakan
serangannya kadang-kadang sangat mengejutkan lawannya.
Sekali-sekali Daruwerdi memang harus meloncat surut
Tetapi seakan-akan ia sekedar membuat ancang-ancang.
Karena sekejap kemudian dengan tiba-tiba saja ilmunya telah
di hentakannya melibat lawannya yang kebingungan.
Tiba-tiba saja kepercayaan Ki Ajar Wrahasniti itu telah
berdesah tertahan. Namun yang terdengar kemudian adalah
umpatan yang paling kasar.
Dengan loncatan panjang orang itu mejauhi Daruwerdi.
Terasa ujung pedang Daruwerdi itu tergores di pundaknya.
"Gila" teriaknya "kau melukai aku ?"
Daruwerdi memang merasakan pada tangannya, bahwa
ujung pedangnya telah berhasil menyentuh lawannya. Karena
itu maka teriakan lawannya itu telah meyakinkannya, bahwa ia
benar-benar telah berhasil melukainya.
Karena itu, maka dengan nada datar ia berkata
"Menyerahlah. Kita akan mengadakan penyelesaian sebaikbaiknya.
Mungkin Pangeran Sena Wasesa dan Pangeran
Gajahnata akan menemukan jalan yang dapat ditempuh dalam
persoalan yang gawat ini."
"Tutup mulutmu" geram orang itu "kau sangka aku ini siapa
" Aku tidak akan mengenal menyerah selama aku masih
mampu menggerakkan pedangku."
"Kau sudah terluka. Jika darah itu semakin banyak
mengalir, maka kau benar-benar akan tidak mampu lagi
mengelakkan senjatamu itu" sahut Daruwerdi.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Dengan kasar dan
bahkan liar orang itu menyerang.
Namun Daruwerdipun menjadi keras. Meskipun ia masih
tetap memperhatikan paugeran dalam olah kanuragan, namun
serangan-serangannya menjadi semakin garang sehingga
lawan-nyapun menjadi semakin terdesak.
Sekali lagi ketika Daruwerdi menjulurkan pedangnya
mendatar, disela-sela ayunan senjata lawannya, maka orang
itu mengumpat sambil mengadub Ujung pedang Daruwerdi
kemudian telah mengenai lambungnya. Meskipun tidak begitu
dalam, tetapi luka itupun telah memuntahkan darah segarnya.
Bramadaru yang bertempur diarah lain mendengar
kepercayaan gurunya itu mengumpat-umpat sambil mengeluh.
Dengan demikian maka iapun mengerti, bahwa orang itu telah
terluka. Kemarahanpun semakin menghentak didadanya. Karena itu
maka iapun bertempur semakin garang. Pedangnya berputar
semakin cepat. Terayun mendatar, menusuk dan kemudian
menyambar kearah kening. Tetapi tidak segorespun yang
berhasil mengenai kulit lawannya.
Bahkan dalam pada itu ujung pedang Jlithenglah yang
bagaikan sengat seribu kumbang mengitari tubuh Bramadaru.
Ketika terasa sambarang angin pada kulitnya karena ayunan
pedang tipis lawannya, rasa-rasanya kulit Bramadaru itu
meremang. Namun bagaimanapun juga Bramadaru tidak dapat
mengingkari kenyataan. Jlitheng itu memiliki ketangkasan
yang tidak dapat diimbanginya. Ujung pedang tipis itu
bergerak terlalu cepat sehingga pedang Bramadaru tidak


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat menangkis ketika ujung pedang tipis itu mulai meraba
kulitnya. Orang itu masih sempat meloncat surut. Tetapi Daruwerdi
dengan cepat memburunya dengan pedang terjulur.
Orang itu berteriak nyaring. Tetapi suaranya cepat
terputus. Ketika pedang itu ditarik, maka tubuh lawannya itu-pun
segera jatuh ter "erembab.Diani. Mata Air 23 31
Tetapi ujung pedang itu belum benar-benar melukainya.
Jika darahnya mulai mengembun karena luka-lukanya, maka
luka-luka itu sama sekali tidak berarti.
Bramadaru masih mampu bertempur dengan cepat dan
ayunan-ayunan pedang yang menggetarkan jantung. Tetapi
bagi lawannya yang mampu bergerak cepat itu, seranganserangannya
tidak banyak memberikan arti. Bahkan semakin
lama sentuhan-sentuhan senjata lawannya semakin sering
mengenai kulitnya. Hanya goresan-goresan kecil yang kemudian terdapat pada
tubuhnya. Tetapi semakin lama semakin banyak.
Dalam pada itu, maka Jlithengpun kemudian berkata
"Raden, apakah Raden tidak mempertimbangkan satu
penyelesaian lain dari meneruskan pertempuran ini "."
"Tutup mulutmu" geram Bramadaru "kau sangka bahwa
kau, sudah berhasil dengan permainanmu itu " Sebentar lagi
kau akan mat i oleh pedangku dan mayatmu akan menjadi
mangsa burung pemakan bangkai yang bersarang di pohon
nyamplung ini. Tidak seorangpun yang mengetahui tentang
perbuatanku dan tentang mayatmu."
"Sudah aku katakan, seisi istana tentu sudah tahu apa yang
kau lakukan Pangeran." jawab Jlitheng "bahkan mungkin
sekarang ini sekelompok pengawal istana Pangeran Sena
Wasesa telah menyusul kami. Karena itu pertimbangkan baikbaik."
"Kau gila" geram Raden Bramadaru "aku akan membunuh
orang yang berusaha menghalangi rencanaku. Menghalangi
kesenanganku siapapun orang itu."
"Aku tidak sedang minta kau ampuni. Raden" jawab
Kembaran Ketiga 2 Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Dewi Penyebar Maut I I I 2
^