Mata Air Dibayangan Bukit 28
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 28
Jlitheng "karena itu kau tidak usah berteriak-teriak begitu.
Langsung saja kau bunuh lawanmu. Tetapi kenyataan telah
berkata lain dari keinginanmu yang gila itu Raden. Kenyataan
nya mengatakan tentang kelemahanmu dalam pertarungan
antara ilmu yang t inggi. Masih jauh dari ketinggian yang
seharusnya bagi orang-orang yang menjelajahi daerah olah
kanuragan." Kata-kata Jlithcng itu sangat menyakitkan hati Raden
Bramadaru. Sekali lagi ia berusaha untuk mengeluarkan
ilmunya. Namun sekali lagi ia menerima satu kenyataan
bahwa lawannya memang memiliki kemampuan melampaui
kemampuannya. Jlilheng yang sengaja membangkitkan kemarahan
Bramadaru itupun telah bersiap sepenuhnya untuk melawan
kemarahan anak muda itu. Karena itu, ketika serangan
Bramadaru datang membadai. Jlitheng sama sekali tidak
mengalami kesulitan apapun juga.
Bahkan semakin Bramadaru marah, maka seranganserangannyapun
menjadi semakin tidak terarah.
Yang tidak kalah sengitnya adalah pertempuran antara
Daruwerdi dan kepercayaan Ki Ajar Wrahasnit i. Agak berbeda
dengan Jlitheng yang masih selalu dapat mengekang diri
sehingga ujung senjatanya tidak langsung menghunjam ke
jantungnya, maka Daruwerdi berusaha dengan sungguhsungguh
untuk menghancurkan lawannya setelah tawurannya
untuk menyerah ditolak. Kecemasannya tentang Raden Ajeng
Ceplik yang diketahuinya sebagai adiknya itu membuatnya
kehilangan semua pertimbangannya.
Dalam serangan-serangan berikutnya, Daruwerdi benarbenar
telah membatasi kemungkinan gerak lawannya yang
kemudian hanya dapat berloncatan menghindar. Ketika
sebuah goresan lagi melukai lawannya muka Daruwerdi masih
mencoba sekali lagi berkala "Menyerahlah. Kesempatan ini
adalah kesempatan terakhir."
Tetapi yang kemudian terjadi telah membuat Daruwerdi
semakin marah. Orang itu tidak memenuhi tawaran itu, justru
dengan serta merta telah menyerang Daruwerdi dengan
garangnya. Hampir saja ujung senjatanya mengenai mata
sebelah kiri Daruwerdi, sehingga karena itu maka
Daruwerdipun telah dengan tergesa-gesa mengelak. Bahkan
hampir saja Daruwerdi jatuh terperosok kedalam semaksemak
berduri yang banyak bertebaran di padang perdu itu.
Daruwerdi menjadi semakin marah karenanya. Karena itu.
maka serangan berikutnya, telah datang bagaikan badai.
Pedang Daruwerdi berputar semakin cepat. Sekali-sekali
menyerang dengan ayunan mendatar, sekali-sekali mematuk
dan sekali-sekali menebas leher.
Lawannya benar-benar telah terdesak. Sekali lagi sebuah
goresan telah mengoyak tubuhnya. Tepat didada.
Orang itu mengeluh kesakitan. Namun Daruwerdi tidak
menghentikan serangannya. Justru dalam kesempatan itu ia
memburu lawannya. Dalam keadaan yang sulit, maka
Daruwerdi yang marah itu mengayunkan pedangnya
mendatar. Orang itu masih sempat meloncat surut. Tetapi
Daruwerdi dengan cepat memburunya dengan pedang
terjulur. Orang itu berteriak nyaring.
Tetapi suaranya cepat terputus.
Pedang Daruwerdi telah menusuk
langsung kepusat jantung.
Ketika pedang itu ditarik, maka
tubuh lawannya itupun segera
jatuh terjerembab. Diam. Bramadaru mendengar teriakan
orang itu. Sementara itu,
Jlithengpun mengetahui pula akhir
dari pertempuran yang terjadi
antara Daruwerdi dan lawannya,
sehingga hampir diluar sadarnya ia
berkata "Nah. kawanmu sudah diselesaikan Raden. Benarbenar
satu akhir yang pahit."
Bramadaru menggeram. Tetapi ia sadar sepenuhnya, apa
yang akan dapat terjadi atasnya. Jika orang yang menyebut
dirinya Daruwerdi itu kehilangan lawan, maka keadaannya
akan menjadi semakin sulit. Daruwerdi tentu akan bertempur
berpasangan dengan Jlitheng sehingga mungkin sekali ia akan
dapat ditangkap oleh keduanya.
Karena itu, maka Bramadaru harus cepat mengambil satu
keputusan. Ia tidak boleh terlambat.
Dengan demikian, maka t iba-tiba saja dengan sisa
tenaganya, Bramadaru telah menyerang lawannya. Segenap
kemampuannya telah ditumpahkannya. Serangannya datang
cepat dan berbahaya, sehingga Jlitheng terpaksa bergeser
surut. Namun pada kesempatan itu Bramadaru tidak
memburunya. Ketika Jlitheng sudah siap menghadapi segala
kemungkinan, maka tibattba saja Bramadaru justru meloncat
dan sekejap kemudian berlari menyusup diantara gerumbulgerumbul
liar sebelah batang pohon nyamplung yang besar
itu, "Tunggu" panggil Jlitheng.
Tetapi suaranya lenyap menyusup diantara dedaunan.
Sementara itu Bramadaru dengan cepat menyelinap dan
hilang didalamkegelapan. Jlitheng berusaha untuk menyusulnya. Tetapi beberapa
puluh langkah kemudian ia sudah kehilangan jejak. Bramadaru
itu bagaikan lenyap ditelan padang perdu yang luas itu.
Untuk beberapa saat Jlitheng berusaha menemukan
jejaknya. Namun dalam kegelapan malam, tidak banyak yang
dapat dilakukannya. Sementara itu, Daruwerdi yang sudah kehilangan
lawannya, mendekati Raden Ajeng Ceplik yang menggigil
ketakutan. Namun ketika Bramadaru melarikan diri, maka
seakan-akan ia telah terlepas dari satu keadaan yang paling
pahit yang dapat terjadi atas dirinya.
Karena itu, ketika Daruwerdi melangkah mendekatinya,
maka t iba-tiba saja Raden Ajeng Ceplik yang merasa dirinya
telah diselamatkan oleh kedua orang anak muda itu, telah
berjongkok dihadapan Daruwerdi sambil menangis.
"Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya kakangmas"
desis Raden Ajeng Ceplik. Yang pertama-tama terbayang di
angan-angannya adalah bahwa ia tidak dapat menerima anak
muda itu bersama ibunya didalam istananya, sehingga ia
memilih untuk pergi bersama Bramadaru.
"Kenapa kau minta maaf diajeng" sahut Daruwerdi sambil
menarik lengan gadis itu "berdirilah. Kau telah bebas dari
cengkeraman serigala liar itu."
Raden Ajeng Ceplikpun kemudian bangkit. Tetapi
tangannya masih sibuk mengusap air matanya yang mengalir
tidak henti-hentinya. Kengerian masih saja merayapi dadanya,
jika ia mengingat perlakuan Bramadaru yang diharapkannya
untuk dapat memberinya ketenangan justru karena jiwanya
yang bergolak menentang kehadiran Daruwerdi dan ibunya.
Tetapi ternyata ia telah jatuh ketangan seorang anak muda
yang buas sebuah serigala sebagaimana dikatakan oleh
embannya. Sementara itu. Jlithcng yang gagal menemukan Bramadaru
pun telah mendekati keduanya. Dengan nada rendah ia
berkata "Marilah. Kila segera kembali ke istana Raden Ajeng "
"Marilah" jawab Daruwerdi "kita akan segera memberikan
laporan tentang peristiwa ini."
"Kita harus cepat bertindak" berkata Jlitheng kemudian.
Ketiganyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Raden
Ajeng Cepliik yang letih badan dan jiwanya, dibimbing oleh
Daruwerdi meninggalkan tempat yang mengerikan baginya.
Hampir saja mengalami nasib yang paling buruk yang dapat
terjadi atasnya. Ketiganya memerlukan waktu yang cukup panjang. Namun
akhirnya merekapun sampai ke istana Pangeran Sena Wasesa.
"Jangan mengejutkan para penjaga" berkata Jlitheng
"kita memasuki halaman lewat pintu butulan."
Raden Ajeng menjadi berdebar-debar. Pintu itu adalah
pintu yang dipergunakannya untuk keluar dari istana
ayahandanya. "Apakah sebenarnya mereka melihat saat aku keluar?"
pertanyaan itu telah berjangkit dihati Raden Ajeng Ceplik
Namun ia tidak mengucapkannya.
Ternyata bahwa pintu butulan itu tidak diselarak. Karena
itu. maka dengan mudah mereka membuka dan menutup
kembali. Dengan hati-hati mereka memperhatikan para
peronda. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada seorang
perondapun yang mengetahuinya, maka merekapun segera
melintasi halaman dan menuju ke serambi.
"Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui
bahwa diajeng pernah meninggalkan istana ini" berkata
Daruwerdi "sekarang kembalilah ke bilikmu. Tetapi kita harus
segera berbuat sesuatu. Aku akan memberikan laporan
kepada ayahanda sekarang juga "
Raden Ajeng Ceplik termangu-mangu. Namun kemudian
katanya "Terserah kepada kakangmas."
"Masuklah" berkata Daruwerdi "aku akan mengetuk pintu
bilik ayahanda. Mudah-mudahan ayahanda tidak terkejut."
Raden Ajeng Ccplikpun segera kembali kedalam biliknya.
Sementara itu Daruwerdi dan Jlithengpun telah ikut masuk
pula keruang dalam, mereka akan memberanikan diri
mengetuk pintu Pangeran Sena Wisesa untuk memberikan
laporan tentang peristiwa yang menyangkut banyak segi,
bukan saja hubungan antara Raden Ajeng Ceplik dan
Bramadaru, tetapi juga hubungan antara Pangeran Gajahnata
dan Pangeran Sena Wasesa. Bahkan mau tidak mau hal ini
akan menyangkut nama Kangjeng Sultan pula karena kedua
orang yang tentu akan terlibat dalam perselisihan itu adalah
Pangeran. Namun dalam pada itu. selagi keduanya berusaha
mendekati bilik Pangeran Sena Wasesa dengan ragu-ragu,
maka seseorang berdiri didekat regol butulan sambil menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa kedua anak muda yang
telah menyusul Raden Ajeng Ceplik itu telah kembali dengan
selamat tanpa memerlukan bantuan orang lain. Sementara iiu.
maka orang itupun telah melakukan satu permainan yang
memungkinkan hal itu terjadi tanpa menimbulkan keributan di
istana Pangeran Sena Wasesa.
"Jika para peronda menemukan pintu butulan ini t idak
diselarak sebagaimana ditinggalkan oleh Raden Ajeng Ceplik,
maka istana ini tentu sudah menjadi gempar. Para pengawal
tentu akan mencari sebab dan jika mereka menemukan Raden
Ajeng tidak ada dibiliknya, maka semua orang akan menjadi
ribut, sementara Raden Ajeng Ceplik sendiri harus
diselamatkan." "Mereka akan langsung memberikan laporan malam ini"
desis seseorang dari kegelapan. "tetapi agaknya itu memang
lebih baik." "Ya Kiai" jawab orang yang berdiri didekat pintu butulan
"segalanya memang harus cepat diselesaikan."
"Aku akan menunggu didalam bilikku" berkata suara dari
kegelapan itu. Sejenak kemudian menjadi hening. Tidak ada suara lagi
Orang yang berdiri didekat regol itupun lelah hilang pula.
Dalam pada itu. Daruwerdi dan Jlitheng telah
memberanikan diri mengetuk pintu bilik Pangeran Sena
Wasesa. Perlahan sekali tanpa mengejutkan. Namun dalam
pada itu. dibilik Raden Ajeng Ceplik telah terdengar isak
tangisnya yang tertahan-tahan.
"Anak itu menyesali diri" berkata Daruwerdi dan Jlitheng
didalam hatinya. Dalam pada itu. ternyata Pangeran Sena Wasesa terbangun
pula oleh ketukan perlahan-lahan dipintu biliknya. Kemudian
dengan hati yang berdebaran Pangeran itu bangkit. Adalah
mendebarkan bahwa dilarut malam, bahkan menjelang dini
hari, seseorang telah mengetuk pintu biliknya.
"Siapa ?" terdengar Pangeran Sena Wasesa itu bertanya.
"Aku ayahanda" jawab Daruwerdi.
"Daruwerdi ?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Ya. Bersama Jlitheng Ada satu hal yang sangat penting
yang wajib aku laporkan kepada ayahanda" jawab Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa menjadi ragu-ragu. Suaranya
memang suara Daruwerdi. Tetapi kemungkinan-kemungkinan
lain memang dapat terjadi.
Karena itu, maka sebelum membuka pintu. Pangeran Sena
Wasesa telah mengenakan lempeng baja di telapak tangannya
Mungkin benda itu diperlukan jika keadaan tiba-tiba saja telah
menyusutkannya. Ketika pintu terbuka, maka dua orang anak muda berdiri
didepan pintu. Keduanya mengangguk hormat, sementara
Pangeran Sena Wasesa berdiri termangu-mangu.
"Malam-malam begini, kalian telah membangunkan aku ?"
bertanya Pangeran Sena Wasesa.
Kedua anak muda itu belum menjawab, ketika Pangeran itu
mendengar puterinya menangis terisak-isak.
"Kenapa dengan Ceplik ?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Itulah yang ingin kami laporkan" jawab Daruwerdi
"tentang diajeng Ceplik."
"Apa yang telah terjadi ?" bertanya Pangeran Sena Wasesa
dengan tegangnya. "Agaknya lebih baik jika ayahanda menanyakan kepadanya,
apakah yang telah terjadi dengan dirinya" jawab Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa merenung sejenak. Lalu katanya
"Baiklah. Biarlah seseorang memanggilnya."
"Aku akan memanggilnya" berkata Daruwerdi.
Daruwerdi itupun kemudian pergi ke bilik Raden Ajeng
Ceplik. Dengan nada dalam ia berkata "Diajeng. Ayahanda
memanggilmu. Katakan akan apa yang terjadi sebenarnya,
agar ayahanda mengetahui dengan pasti dan dapat
mengambil langkah yang paling baik dalam persoalan ini "
Jantung Raden Ajeng Ceplik menjadi berdebar-debar. Ia
sendiri menjadi bingung untuk berterus terang. Ia dapat saja
mengatakan segala sesuatu tentang Bramadaru. Tetapi
apakah ia akan dapat mengatakan alasan kepergiannya
meninggalkan istana itu bersama Bramadaru karena ia
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolak kehadiran ibu tirinya dan Daruwerdi itu sendiri.
Daruwerdi yang melihat Raden Ajeng Ceplik ragu-ragu
berkata "Diajeng. Jika diajeng tidak mengatakan yang
sebenarnya dan menutup sebagian persoalan ini. maka
ayahda mungkin akan mendapat gambaran yang keliru
sehingga ayahanda akan dapat mengambil satu tindakan yang
seharusnya tidak dilakukannya."
Raden Ajeng Ceplik mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya "Kakangmas, Biarlah aku menghadap
seorang diri. Ada persoalan yang sangat pelik yang ingin aku
katakan kepada ayahanda "
Daruwerdi mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Marilah." Raden Ajeng Ceplik kemudian masuk kedalam bilik
ayahanda sementara Jlitheng telah diminta untuk
meninggalkan ruangan itu. Sehingga didalam bilik itu hanya
terdapat Raden Ajeng Ceplik dan ayahandanya Pangeran Sena
Wasesa. " Sementara keduanya lagi berbincang didalam. maka Rahu
telah memasuki ruangan itu pula dengan diam-diam,
"Di ajeng Ceplik sedang menghadap" berkata Daruwerdi
kepada Rahu. "Baiklah. Mungkin aku akan dapat melengkapi penjelasan,
seandainya Pangeran Sena Wasesa memerlukannya. Setelah
Raden Ajeng Ceplik selesai, kita akan menghadap lagi."
berkata Rahu. "Raden Ajeng ingin menghadap bendiri" berkata
Jlitheng. "Mungkin Raden Ajeng merasa malu kau dengar beberapa
hal tentang hubungannya dengan Braniadaru. Tetapi itu tidak
apa-apa. Kita berharap bahwa ia berkata dengan jujur." desis
Rahu. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun mereka
masih harus menunggu beberapa saat diluar bilik Pangeran
Sena Wasesa. . Dalam pada itu dalam bilik Pangeran Sena Wasesa telah
mendengarkan semua pengakuan Raden. Ajeng Ceplik. Seperti
yang diharapkan oleh Daruwerdi, maka Raden Ajeng Ceplik
memang mengatakan semua persoalan djJalam dirinya. lapun
mengatakan, bahwa ia telah menolak kehadiran ibu tirinya di
dalam hatinya. Karena itu ia memutuskan untuk meninggalkan
rumah itu. "Aku menganggap mereka akan menghantui hidupku"
berkata Raden Ajeng Ceplik "mereka telah menodai ayahanda
kepada ibunda. Tetapi ternyata bahwa anak muda yang
bernama Daruwerdi itu bersama dengan J litheng telah
menolong aku. Membebaskan aku dari kegelapan masa
depanku." Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun gejolak didalam dadanya rasa-rasanya akan
meledakkan jantungnya. Persoalan Raden Ajeng Ceplik
dengan ibu t iri dan kakaknya nampaknya tidak banyak
membakar isi dadanya. Apalagi dengan pengakuan Raden
Ajeng Ceplik tentang Daruwerdi. Rasa-rasanya Raden Ajeng
Ceplik telah menerima kenyataan itu.
Tetapi tingkah laku Bramadaru benar-benar membuat
darahnya bagaikan mendidih.
Karena itu, maka tiba-tiba saja
ia berkata "Aku akan
menyelesaikan persoalan ini
dengan kakangmas Pangeran
Gajahnata sekarang."
"Sekarang ayahanda ?"
bertanya Raden Ajeng Ceplik
"Ya, sekarang. Ini adalah
persoalan orang tua. Bukan saja
persoalan nilai-nilai peradaban,
tetapi juga penghinaan atas
martabat kesatriaaku. Bagiku,
penghinaan yang begini harus
dibayar dengan jiwa. Aku atau kakangmas Gajahnata yang
akan mati." "Ayahanda" tangis Raden Ajeng Ceplik.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa tidak menghiraukannya.
Dengan serta meria ia melangkah kepintu. Dengan serta
merta Pangeran Sena Wasesa itu mendorong pintu biliknya
meskipun Ceplik kemudian telah memeluk kakinya.
"Jangan tahan aku Ceplik. Aku punya harga diri seorang
kesatria. Ia sudah menjamah kesucian isi rumah ini. Karena itu
maka tebusannya adalah sifat kejantanan itu sendiri sampai
tuntas." geramPangeran Sena Wasesa.
Namun dalam pada itu, tiga orang telah menunggu diluar
bilik itu. Rahulah yang kemudian bergeser maju sambil
berkata "Pangeran. Apakah Pangeran berkenan aku
mengatakan sesuatu ?"
"Apa " Kau sudah mengetahui penghinaan ini juga ?"
bertanya. Pangeran Sena Wasesa.
"Hamba mengetahui sebagian besar dari peristiwa ini.
Akulah yang ikut bersama dengan Daruwerdi dan Jlitheng
menyusul Raden Ajeng Ceplik." jawab Rahu.
"Kalau begitu, baiklah aku memberitahukan kepadamu. Aku
akan pergi ke istana kakangmas Gajahnata sekarang juga.
Tingkah laku anak-nya telah menyentuh harga diriku yang
paling dalam. Karena itu, aku atau kakangmas Gajahnata yang
harus mati malam ini. Kecuali jika ia mau menyerahkan
anaknya, Bramadaru." geramPangeran Sena Wasesa.
"Pangeran" berkata Rahu "aku mohon maaf. Tetapi
perkenankanlah aku sedikit memberikan peringatan kepada
Pangeran, justru dalam keadaan marah, Pangeran akan dapat
melupakannya" Rahu berhenti sejenak, lalu "bukankah di
Demak ini ada Kangjeng Sultan. Bukankah persoalan ini dapat
Pangeran ajukan kepada Kangjeng Sultan. Dengan demikian
maka Pangeran tidak akan dituduh melakukan satu tindakan
diluar paugeran hukum dengan mengambil tindakan sendiri.
Pangeran dapat mohon agar persoalan ini segera diselesaikan.
Apalagi persoalannya menyangkut masalah harta benda yang
sudah pernah Pangeran serahkan kepada Kangjeng Sultan dan
yang ternyata masih belum kembali masuk ke Gedung
Perbendaharaan istana."
Pangeran Sena Wasesa menggeram. Dadanya memang
serasa akan meledak oleh kemarahan. Tangis anak gadisnya
tidak dapat meredakan gejolak di dadanya. Namun peringatan
yang diberikan Rahu agaknya dapat membuka hatinya Ia baru
saja mendapat pengampunan dari Kangjeng Sultan. Jika ia
dengan tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan telah
mengambil satu sikap langsung atas sesama seorang
Pangeran, maka kemarahan Kangjeng Sultan akan dapat
terungkap lagi. Karena itu, maka Pangeran Sena Wasesa menarik nafas
dalam-dalam. Seakan-akan ia ingin mengendapkan gejolak
yang menyala didadanya. "Aku mohon, Pangeran" desis Rahu kemudian.
Pangeran Sena Wasesa akhirnya berhasil menguasai
kemarahannya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Raden Ajeng
Ceplik masih duduk bersimpuh berpegangan kedua kakinya.
"Baiklah Ceplik" berkata Pangeran Sena Wasesa "aku t idak
akan pergi sekarang. Rahu berhasil meyakinkan aku, bahwa
tindakan yang tergesa-gesa tidak akan membawa hasil yang
baik. Tetapi besok pagi-pagi benar aku akan menghadap
Sultan. Sementara itu, aku akan memperingatkan para
peronda untuk berhati-hati. Siapa tahu, Bramadaru telah
memberikan laporan yang lain kepada kakangmas Gajahnata,
sehingga agar tidak kedahuluan, maka kakangmas
Gajahnatalah yang akan datang ke rumah ini."
"Biarlah aku saja yang menyampaikan pesan Pangeran
kepada para penjaga" berkata Rahu.
"Mereka tidak akan memperhatikan perintahmu. Kau bukan
pemimpin mereka disini" sahut Pangeran Sena Wasesa.
Rahu mengangguk-angguk. Ia baru sadar, bahwa ia
memang bukan jalur yang mungkin dapat meneruskan
perintah Pangeran Sena Wasesa kepada para pengawal.
Karena itu, maka ketiga orang itupun kemudian minta diri.
Sementara itu, Rahu masih sempat berkata "Tidak seorangpun
diantara para pengawal yang mengetahui apa yang telah
terjadi." Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Ia
memang merasa heran bahwa para pengawal nampaknya
tidak tahu sama sekali bahwa Raden Ajeng Ceplik telah
meninggalkan halaman. "Aku telah menyelarak pintu butulan itu kembali setelah
Raden Ajeng keluar dari halaman ini" berkata Rahu "aku
memang bermaksud mengetahui, apakah yang sebenarnya
ingin dilakukan oleh Raden Bramadaru, karena aku sudah
mendapat beberapa keterangan tentang anak muda itu dari
emban Raden Ajeng Ceplik." berkata Rahu dengan nada datar.
Pangeran Sena Wasesa masih belum pasti, apa saja yang
telah dilakukan oleh Rahu. Tetapi ia mengerti, bahwa hidung
Rahu sebagai petugas sandi telah dimanfaatkan pula untuk
mencium tingkah laku Raden Bramadaru dan anak gadisnya.
Karena itu, hampir diluar sadarnya Pangeran Sena Wasesa
berdesis "Terima kasih Rahu. Kau dan kedua anak muda ini
telah menyelamatkan anak gadisku dari kenistaan yang paling
laknat." "Mudah-mudahan segalanya dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Terutama segera kembalinya harta benda itu
Icdalam Gedung Perbendaharaan istana." Rahu berhenti
sejenak, lalu "silahkan Pangeran turun ke gardu."
Pangeran Sena Wasesa kemudian menyuruh anak gadisnya
untuk kembali kedalam biliknya. Katanya "Tidurlah. Kau telah
terlepas dari mimpi yang mengerikan itu."
Raden Ajeng Ceplikpun kemudian bangkit berdiri dan
melangkah kedalam biliknya. Sementara itu Rahupun
mengikut i Pangeran Sena Wasesa yang turun kehalaman
sambil berkata kepada Daruwerdi dan Jlitheng "Silahkan
kembali ke gandok. Aku akan segera menyusul."
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun merekupun
kemudian menuju ke gandok. Nampaknya Rahu masih akan
menyertai Pangeran Sena Wasesa yang akan memerintahkan
agar para pengawalnya berhati-hati.
"Tetapi ayahanda agaknya tidak akan memberitahukan
persoalan diajeng Ceplik kepada para pengawal" berkata
Daruwerdi. "Ya. Pangeran hanya akan memberikan perintah kepada
mereka untuk bersiaga sebaik-baiknya." jawab Jlitheng
Namun sementara itu, Rahu yang mengikuti Pangeran Sena
Wasesa telah memberikan beberapa keterangan tentang
hubungan antara Bramadaru dan Raden Ajeng Ceplik.
Kedukaan hati gadis itu karena ia merasa cinta ayahandanya
kepada ibundanya dinodai. Dengan sedikit mengurai
persoalan-persoalan yang berhasil diamatinya dari kejauhan
maka ketajaman nalar Rahu mencium langkah-langkah yang
mungkin akan berakibat kurang baik bagi Raden Ajeng Ceplik.
"Kenapa kau t idak mencegah saja hal itu agar t idak terjadi
?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Pangeran" jawab Rahu "aku mohon maaf, bahwa dengan
pertimbangan Kiai Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi, maka hal
ini telah aku lakukan. Aku sengaja memberikan kesempatan
kepada Daruwerdi untuk menolong Raden Ajeng Ceplik.
Bukankah dengan demikian gadis itu merasa, bahwa anak
muda yang disebut kakaknya itu benar-benar telah mampu
menjadi pelindungnya " "
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
hampir lupa kepada persoalan keluarganya itu. Ia hampir lupa
sikap anak gadisnya menghadapi kenyataan yang sangat
pahit. Namun kini ayah dari dua orang anak yang berbeda ibu
itu melihat, bahwa kedua anak itu. telah dapat
mempertautkan hati mereka sebagai saudara.
"Bukankah dengan demikian Raden Ajeng Ccplik juga akan
menerima ibu Raden Daruwerdi itu sebagai ibundanya ?"
bertanya Rahu. Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya
dengan nada sangat dalam "Terima kasih Rahu. Kau bukan
saja seorang yang telah menolong aku dari keterjerumusanku
kemungkinan yang paling buruk atas diriku di saat-saat aku
berada ditangan orang-orang Sanggar Gading, tetapi kau juga
telah menyelamatkan keluargaku dari keretakkan dan bahkan
kehinaan atas anak gadisku itu."
"Yang aku lakukan adalah sekedar kewajiban, Pangeran.
Kewajibanku sebagai seorang petugas sandi di sarang orangorang
Sanggar Gading dan tugas diantara sesama di istana
ini." jawab Rahu. Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Tetapi ia
tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Ketika Pangeran itu
berada didepan regol. maka pengawal yang sedang bertugas
malamitupun segera menyongsongnya.
"Ada perintah Pangeran ?" bertanya pemimpin pengawal.
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menjawab lunak "Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku
hanya merasa terlalu panas didalam."
"O" Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
demikian Pangeran Sena Wasesa berkata "Tetapi berhatihatilah
disisa malam ini. Mungkin udara yang tidak nyaman ini
membuat aku gelisah. Amati setiap sudut dengan baik,
meskipun sebentar lagi hari menjadi pagi."
"Siap Pangeran." jawab pengawal itu.
"Pada saat-saat seperti ini, kita kadang-kadang menjadi
lengah" berkata Rahu.
Pengawal itu mengangguk-angguk kecil. Sejenak kemudian
maka Pangeran Sena Wasesapun kembali kedalam biliknya,
sementara Rahupun menuju ke gandok.
Didalam biliknya Pangeran Sena Wasesa sempat
menganyam angan-angannya. Ia dapat melihat peristiwa itu
dalam keseluruhan. Ia sudah mendengar kisah anak gadisnya
dan iapun telah mendengar keterangan Rahu menurut
penilaiannya atas peristiwa yang terjadi di istana itu.
Ternyata bahwa Raden Ajeng Ceplik sangat berat untuk
menerima kehadiran ibu tirinya yang ternyata telah menyadap
cinta ayahandanya sebelum ayahandanya kawin dengan
ibundanya. Dengan demikian maka seakan-akan ayahandanya
kawin dengan ibundanya itu sama sekali tidak dilandasi oleh
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perasaan cinta. Tetapi Ceplik telah melihat kenyataan lain, bahwa
Daruwerdi telah menyelamatkannya dari kehinaan yang paling
dahsyat. Tanpa pertolongan Daruwerdi dan anak muda yang
lebih senang dipanggil Jlitheng dari pada namanya sendiri itu,
maka mungkin ia akan berada disatu neraka yang sangat
mengerikan, tanpa diketahui oleh ayahandanya, sementara
Bramadaru akan dapat berpura-pura kehilangan pula.
Sedangkan dalam masa-masa tertentu Bramadaru akan
datang kepadanya dengan kebuasan yang menyala didalam
dadanya. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
juga berterima kasih kepada Rahu yang telah mengekangnya
sehingga ia tidak mengambil t indakan sendiri malam itu.
"Sultan akan dapat terungkat kemarahannya jika aku
bertindak sendiri, apalagi harta benda itu masih belum masuk
ke Perbendaharaan. Jika aku membunuh kakangmas
Gajahnata, maka aku akan mendapat hukuman kjrena
kesalahan kakangmas belum dibukt ikan. Tetapi jika aku mati,
pusaka dan harta benda itu akan tidak dikenal tempatnya.
Meskipun serba sedikit aku sudah menyampaikan kepada
Kanjeng Sultan, tetapi tanpa aku, semuanya akan mengalami
kesulitan. " berkata Pangeran Sena Wasesa kepada diri
sendiri. Demikianlah, maka malam itu Pangeran Sena Wasesa telah
mempersiapkan dirinya lahir dan batin untuk menghadapi
persoalannya dengan Pangeran Gajahnata.
Karena itu, maka pagi-pagi benar Pangeran Sena Wasesa.
sudah siap untuk berangkat ke ana Namun ia sadar, bahwa ia
tidak akan segera dapat menghadap Sultan, karena hari masih
terlalu pagi. Namun gejolak perasaannya tidak lagi dapat
dikekangnya untuk segera berangkat.
"Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan untuk
menghadap mendahului waktu yang sudah ditentukan"
berkata Pangeran Sena Wasesa didalam hatinya "Aku
memerlukan berbicara sebelum ada orang lain."
Namun agaknya Pangeran Sena Wasesa memerlukan
seseorang yang akan dapat membantunya menjelaskan
persoalan yang dihadapinya. Menurut pendapat Pangeran
Sena Wasesa, yang paling tepat untuk diajaknya menghadap
adalah Rahu. Rahu sama sekali tidak berkeberatan. Justru ia berterima
kasih atas kepercayaan Pangeran Sena Wasesa yang akan
mengajaknya serta. Seperti yang diduganya. Pangeran Sena Wasesa datang
terlalu pagi diistana. Para pengawal masih berada ditempat
tugas mereka dimalam hari. Sehingga karena itu, maka
kedatangan Pangeran Sena Wasesa itu menimbulkan
beberapa pertanyaan pada para pengawal.
"Memang ada sesuatu yang penting yang harus segera aku
sampaikan kepada Kangjeng Sultan" berkata Pangeran Sena
Wasesa kepada para pengawal.
"Cobalah berhubungan dengan pengawal dalam" seorang
pengawal mempersilahkan "jika Kangjeng Sultan sudah berada
di ruang dalam, maka Pangeran akan dapat di terimanya jika
persoalan yang Pangeran bawa memang pent ing sekali."
Pangeran Sena Wasesapun kemudian menghubungi
pimpinan pengawal dalam untuk menyampaikan
permohonannya menghadap mendahului waktunya.
Permohonan Pangeran Sena Wasesa itu ternyata sangat
menarik perhatian Kangjeng Sultan, justru karena Pangeran
Sena Wasesa mempunyai persoalan khusus tentang pusaka
dan harta benda yang disembunyikannya.
Karena itu, maka Kangjeng Sultan tidak berkeberatan untuk
menerima Pangeran Sena Wasesa menghadap.
"Agaknya ada masalah yang sangat penting" desis
Kangjeng Sultan ketika Pangeran Sena Wasesa dan Rahu yang
bergelar Wira Murti itu menghadap.
"Hamba Kangjeng Sultan" jawab Pangeran Sena Wasesa
"hamba yang menghadap bersama Wira Murti membawa satu
persoalan yang sangat penting. Sebenarnya bukan masalah
pusaka dan harta benda itu secara langsung, namun memang
ada singgungannya dengan pusaka dan harta benda itu,
meskipun atas persoalannya adalah persoalan pribadi."
Kangjeng Sultan memperhatikan keterangan itu dengan
sungguh-sungguh. Sementara itu, maka Pangeran Sena Wasesapun
segera melaporkan segala persoalan yang terjadi di
istananya. Dengan jujur dan sebagaimana sesungguhnya
terjadi. Pangeran Sena Wasesa menceriterakan perasaan anak
gadisnya. Kemudian sikap putera Pangeran Gajahnata
terhadap puterinya. Serta keinginan Pangeran Gajahnata
untuk dapat mempergunakan hubungan antara Bramadaru
dan anak gadisnya untuk memiliki pusaka dan harta benda itu.
"Darimana kakangmas Pangeran mengetahuinya ?"
bertanya Kangjeng Sultan.
"Bramadaru mengatakannya kepada anak gadis hamba,
sementara Wira Murti ini mengintip dari balik semak-semak."
jawab Pangeran Sena Wasesa, yang kemudian juga
menjelaskan usaha Rahu yang bergelar Wira Murti itu untuk
mempertautkan hati anak laki-lakinya dengan anak gadisnya.
Kangjeng Sultanpun kemudian mendapatkan semua
penjelasan dari Pangeran Sena Wasesa dan dari Rahu. Sampai
saatnya Raden Ajeng Ceplik itu kembali kedalam istana
kapangarenan. "Hampir saja hamba kehilangan pengamatan diri" berkata
Pangeran Sena Wasesa pula "untunglah Rahu telah mencegah
hamba untuk tidak pergi ke istana kakangmas Gajahnata
malamitu juga." Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Namun kemudian
Kangjeng Sultan itupun berkata "Baiklah kakangmas
Pangeran. Aku telah mendengar laporanmu. Tetapi aku masih
harus mendengar laporan dari pihak yang lain, agar keputusan
yang akan aku ambil tidak menjadi berat sebelah. Mungkin
aku masih memerlukan beberapa orang saksi. Namun yang
aku harap bahwa aku akan mendapatkan keterangan sehingga
aku dapat mengabarkan peristiwa yang sebenarnya."
"Hamba Kangjeng Sultan. Hamba akan menunggu." jawab
Pangeran Sena Wasesa. Demikianlah, maka Kangjeng Sultanpun telah
memerintahkan dua orang pengawal untuk menghadap
Pangeran Gajahnata. "Kakangmas Gajahnata aku perlukan menghadap sekarang"
pesan Kangjeng Sultan kepada pengawal itu.
Sambil menunggu, maka Kangjeng Sultan masih
menanyakan beberapa hal tentang peristiwa di bawah pohon
nyamplung itu, terutama kepada Rahu yang bergelar Wira
Murti. Bahkan Kangjeng Sultanpun bertanya "Wira Murti.
apakah yang kau lakukan itu tidak justru akan dapat berakibat
sebaliknya. Seandainya Daruwerdi dan Jlitheng yang bergelar
Pangeran Candra Sangkaya itu tidak dapat memenangkan
pertempuran itu. Apakah yang kira-kira akan terjadi " Atau
bahkan mungkin guru Bramadaru atau orang yang
membantunya itu ada disitu pula ?"
"Ampun Kangjeng Sultan. Sebenarnyalah mereka tidak
hanya berdua. Hamba ada pula ditempat itu bersama Kiai
Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. Jika sesuatu yang gawat
terjadi atas keduanya, maka kami sudah siap untuk membantu
mereka." jawab Rahu.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jadi
kalian sudah memperhitungkan dengan cermat ?"
Rahu mengangguk hormat sambil menyahut "Hamba
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya."
Ketika Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Pangeran
Sena Wasesapun mengangguk-angguk pula. Pertanyaannya
tidak sampai sejauh pertanyaan Kangjeng Sultan itu. sehingga
dengan demikian ia menjadi semakin meyakini, bahwa orangorang
yang sedang menjadi tamunya itu benar-benar ingin
berbuat baik terhadapnya dan terhadap keluarganya.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, ternyata
pengawal yang mendapat tugas untuk menghadap Pangeran
Gajahnata telah kembali. Dengan nafas terengah-engah
pengawal itu menghadap Kangjeng Sultan d ruang dalam.
Pangeran Sena Wasesa dan Rahu menjali berdebar-debar
melihat kegelisahan yang membayang diwajah orang itu.
Agaknya Sultanpun demikian pula, sehingga karena itu. maka
Kangjeng Sultan itupun segera bertanya "Bagaimana dengan
Pangeran Gajahnata ?"
"Istana itu sudah kosong tuanku" jawab pengawal itu.
"He" wajah Kangjeng Sultan menjadi tegang "maksudmu
bahwa Pangeran Gajahnata sudah tidak ada diistana-nya lagi
?" "Hamba tuanku. Ada sekelompok pengawal yang
kebingungan di halaman istana. Namun mereka mengatakan,
bahwa Pangeran Gajahnata telah meninggalkan istana tanpa
membawa seorang pengawalpun. Agaknya yang mengawal
Pangeran itu bersama puteranya adalah Ki Ajar Wrahasniti,
guru Raden Bramadaru dengan beberapa orang
kepercayaannya." jawab pengawal itu.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Pangeran Sena Wasesa "Semuanya sudah
jelas sekarang" Pangeran Sena Wasesa menunduk dalam-dalam. Ada
sepercik kekecewaan, bahwa ia tidak sempat membuat
perhitungan dengan Pangeran Gajahnata karena anak lakilakinya
telah menghinakan anak gadisnya, meskipun masih
belumterlanjur terjadi sesuatu yang merupakan bencana.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Sultanpun kemudian
berkata kepada pengawal yang menghadap "Baiklah.
Persoalannya akan aku pelajari untuk mengambil satu langkah
yang paling baik atas peristiwa ini."
Pengawal itupun kemudian mengangguk hormat sambil
menyembah. Baru ketika pengawal itu telah hilang dibalik dinding
ruangan, maka Kangjeng Sultan itupun berkala "Kita dapat
meyakini bahwa peristiwa yang aku dengar ,tu bukan sekedar
ceritera yang berat sebelah. Justru karena Pangeran
Gajahnata meninggalkan istananya, maka aku menjadi
semakin pasti, bahwa mereka telah merasa bersalah sehingga
lebih baik menghindarkan diri daripada harus mengalami
pemeriksaan dan kemudian hukuman."
Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Sementara itu
Kangjeng Sultan berkata seianjutnya "Tetapi kakangmas
Pangeran, aku yakin pula bahwa persoalannya tidak akan
berhenti sampai disini. Kakangmas Gajahnata tentu masih
akan mengambil langkah-langkah yang akan dapat merupakan
ancaman bagi kakangmas Sena Wasesa. "
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Ia menyadari
sepenuhnya sebagaimana dikatakan oleh Kangjeng Sultan di
Demak itu. Namun dalam pada itu. maka Kangjeng Sultanpun
kemudian berkata "Tetapi kakangmas akan dapat memperkuat
pengawalan di istana Kanangmas. Jika diperlukan, maka
kekuatan pengawal itu akan dapat ditambah dengan
pengawalan dari kesatuan keprajuritan di Demak "
"Terima kasih" jawab Pangeran Sena Wasesa "sementara
ini biarlah hamba berusaha menjaga diri sendiri. Hamba
mempunyai beberapa orang pengawal yang dapat hamba
percaya. Bahkan pada saat-saat hamba diambil oleh orangorang
Sanggar Gading, mereka tetap menunjukkan kesetiaan
mereka Apalagi pada saat ini. Tamu-tamu hamba adalah
orang-orang yang memiliki ilmu yang meyakinkan, sementara
mereka telah berbuat sejauh dapat mereka lakukan bagi
kebaikan hamba dan keluarga hamba. Namun apabila pada
satu saat hamba memerlukannya, maka hamba akan
mengatakan nya." Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Ia mengerti
sepenuhnya bahwa tamu-tamu Pangeran Sena Wasesa
memang orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
sehingga karena itu, untuk saat itu. Pangeran Sena Wasesa
memang tidak, memerlukan bantuan bagi pengamanannya.
Namun dalam kesempatan itu, Kangjeng Sultan telah
mengambil satu keputusan pula untuk dengan segera
mengambil pusaka dan harta benda yang pernah diperebutkan
sehingga menelan banyak sekali korban. Apalagi justru
Pangeran Gajahata telah berusaha untuk menguasai pusaka
dan harta benda itu pula caranya sendiri. Untuk sementra
usaha itu memang dapat dianggap gagal. Tetapi mungkin
masih ada cara lain yang dapat dipergunakan.
Akhirnya Kangjeng Sultan memutuskan untuk
memindahkan pusaka dan harta benda itu dengan secara
rahasia. Tidak banyak orang dilingkungan istana sendiri yang
mengetahuinya. Namun dalam pada itu, Kangjeng Sultan telah
mempercayakan pemindahan itu kepada Pangeran Jalayuda.
Pangeran Sena Wasesa sendiri dan beberapa petugas sandi
yang dipimpin oleh Rahu yang bergelar Wira Murti.
"Sabet Kiai Lawang" desis Pangeran Jalayuda,
"Ya" desis Pangeran Sena Wasesa "sipat kandel yang
memiliki perbawa yang sangat besar sehingga orang percaya
bahwa siapa yang memilikinya akan mampu memegang
kekuasaan tertinggi di Demak. Didukung oleh harta benda
yang tiada terhitung jumlahnya, maka seseorang benar-benar
akan dapat berbuat apa saja yang tidak pernah dapat
dibayangkan. " Pangeran Jalayuda mengangguk-angguK. Namun justru
karena itu maka ia telah melakukan tugasnya dengan sangat
berhati-hati. Dalam pada itu, sebagaimana diduga orang, sebenarnyalah
bahwa pusaka dan harta benda itu memang berada di daerah
sepasang Bukit Mati. Tetapi sama sekali tidak berada dibukit
gundul. Justru didekat bukit berhutan, berseberangan dengan
arah air yang dikuasai oleh orang-orang Lumban.
Dalam tugas rahasia itu, telah dikerahkan orang-orang
berilmu tinggi untuk mengawalnya, tetapi yang jumlahnya
tidak terlalu banyak sehingga tidak banyak menarik perhatian.
Untuk mengangkut harta benda itu telah dipergunakan
beberapa pedati yang dikendalikan oleh orang-irang berilmu
itirT Bahkan atas permintaan Pangeran Sena Wasesa, dalam
tugas itu Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning telah ikut pula
bersama dengan kelompok orang-orang berilmu dalam
mengemban tugas yang sangat rahasia itu.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, untuk mengamankan Raden Ajeng Ceplik di
istana Pangeran Sena Wasesa, telah ditugaskan beberapa
orang prajurit terpercaya untuk meronda dan yang selalu berhubungan
dengan para pengawal diluar pengetahuan Raden
Ajeng Ceplik sendiri. Disamping para pengawal dan para
prajurit. Raden Ajeng Ceplik merasa tenang berada dibawah
pengawasan kakaknya Daruwerdi dan seorang anak muda
yang bernama Jlitheng. Bahkan perlahan-lahan, Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk
merubah sikapnya dan menunjukkan kepada kakaknya, bahwa
ia tidak akan mengingkari sama sekali kehadiran ibu
Daruwerdi meskipun ia berasal dari padepokan.
Meskipun tidak dengan serta merta. karena keseganan
yang masih membayangi kedua belah pihak, tetapi hubungan
antara Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin akrab pula
dengan Endang Srini dan Swasti.
Dalam pada itu, menuggu tugas Pangeran Sena Wasesa
serta penyelesaian didalam Gedung Perbendaharaan, maka
para tamunya masih tetap berada di lingkungan istana
kapangeranan. Meskipun waktunya tidak terlalu lama, namun telah
memberi kesempatan segala pihak untuk dapat saling
menyesuaikan diri. Ternyata bahwa tugas yang berat dari Pangeran Jalayuda
dan Pangeran Sena Wasesa itu dapat diselesaikan dengan
selamat. Meskipun pusaka dan harta benda itu berada di
Lumban, namun demikian cermatnya tugas yang dilakukan,
sehingga tidak seorangpun diantara orang-orang Lumban
yang mengetahui, apa yang sudah terjadi di Kabuyutan
mereka. Tetapi agaknya justru penyelesaian di Gedung
Perbendaharaan itulah yang memerlukan waktu yang lebih
lama, Dengan cermat dan hati-hati setiap benda berharga
dihitung dan dicatat diatas rontal disaksikan oleh Pangeran
Jalayuda dan Pangeran Sena Wasesa.
Demikianlah, baru ketika tugas itu sudah selesai, maka
dengan sengaja telah di hembuskan berita, bahwa pusaka dan
harta benda yang diperebutkan itu memang sudah berada di
istana, sehingga dengan demikian, maka pergolakan
berikutnya memperebutkan harta benda dan pusaka itu tidak
akan terjadi lagi. Dengan demikian, maka persoalan yang untuk beberapa
lamanya menyelubungi Pangeran Sena Wasesa, seakan-akan
telah terurai seluruhnya, Rasa-rasanya Pangeran Sena Wasesa
tidak lagi mempunyai hutang kepada siapapun juga. Dengan
demikian, maka rasa-rasanya hidupnyapun menjadi lebih
jernih. Apalagi ketika iapun kemudian menyadari, bahwa puterinya
yang semula menyesali kehadiran ibu tirinya, semakin lama
menjadi semakin dekat pula. Bahkan kemudian, batas antara
keduanyapun seakan-akan telah lenyap.
Ternyata bahwa tingkah laku Bramadaru dapat memberikan
arti yang bermanfaat bagi kedua anaknya. Seandainya
Bramadaru tidak melakukannya, maka masih sulit untuk
mencari jalan agar kedua anaknya dapat berbuat sebagaimana
dua orang saudara. Apalagi dengan ibu tirinya. Tetapi
segalanya kini sudah teratasi.
Namun dalam pada itu, masih ada yang hsrus diselesaikan
oleh Pangeran Sena Wasesa sebagai orang tua. Ia tidak dapat
tinggal diam melihat hubungan antara Daruwerdi dan Swasti.
Bahkan seakan-akan Swasti sudah tidak dapat dipisahkan lagi
dari Endang Srini yang merasa pernah diselamatkan jiwanya
oleh gadis yang garang itu.
"Tidak ada keberatan apapun" berkata Endang Srini kepada
Pangeran Sena Wasesa ketika Pangeran itu bertanya
kepadanya tentang hubungan antara anaknya dengan Swasti.
"anak Kiai Kanthi yang terbiasa hidup dalam kekerasan alam.
Aku berharap bahwa pengalaman orang tuanya akan menjadi
cermin bagi Daruwerdi, bahwa ia akan dapat menjadi seorang
yang benar-benar menerima isterinya sebagaimana adanya,
serta tidak dapat dipaksa oleh siapapun untuk
meninggalkannya kecuali karena keduanya dipisahkan oleh
maut. " "Ya, ya. Aku mengerti" sahut Pangeran Sena Wasesa
sambil mengangguk-anguk. Lalu "Adalah menjadi kewajiban
kita untuk memberikan kesadaran yang demikian kepadanya,
selagi semuanya belum terlanjur "
Endang Srini hanya mengangguk-angguk. Tetapi ia berjanji
didalam dirinya, bahwa ia akan menjelaskan hal itu kepada
anaknya. Swasti adalah anak Kiai Kanthi, seorang penghuni
padepokan yang olehkebanyakan orang disebut tidak
berderajat Tetapi itu bukan berarti bahwa anak gadis itu rJean
dapat diperlakukan sekehendak oleh orang lain yang
kemudian menjadi suaminya, meskipun ia adalah seorang
bangsawan. Demikianlah, maka seakan-akan segalanya memang sudah
selesai. Dengan demikian, maka datang saatnya tamu-tamu
Pangeran Sena Wasesa itu minta diri. Mereka sudah terlalu
lama membuat istana Pangeran Sena Wasesa menjadi terlalu
sibuk. Namun dalam pada itu, sebelum mereka meninggalkan
istana Pangeran Sana Wasesa, maka mereka masih dibawa
sekali lagi mohon diri kepada Kangjeng Suhan. Sebagaimana
mereka datang menghadap, maka merekapun menghadap
pula pada saat mereka akan pergi.
"Segalanya sudah disiapkan" berkata Kangjeng Sultan "
akuakan tetap memegang janjiku. Lambat atau cepat, maka
segala-galanya akan kami selesaikan. Sebuah padepokan yang
memadai buat Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi. Air yang
cukup bagi Lumban sesuai dengan keinginan Jlitheng. Dan
diminta atau tidak diminta aku akan menyiapkan sebuah
istana kapangeranan dan akan aku serahkan bersama kekancingan
pengangkatannya sebagai Pangeran. "
Jlitheng hanya menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia
tidak menginginkan apa-apa lagi. la hanya menginginkan agar
Lumban menjadi daerah yang hijau. Air dapat dikendalikan
lebih baik tanpa menghisapnya sampai kering sehingga arus
dibawah tanah itu tidak dapat memberikan apa-apa lagi bagi
daerah jauh di arah bawah.
Tetapi Jlitheng tidak dapat membantah segala titah
Kangjeng Sukan. Demikianlah, maka sampailah pada saatnya para tamu itu
meninggalkan istana. Namun dalam pada itu, setelah di
adakan pembicaraan yang mendalam, maka Endang Srini
telah minta kepada Kiai Kanthi agar Swasti tetap berada di
istana Pangeran Sena Wasesa. Sementara itu agaknya Raden
Ajeng Ceplik juga tidak berkeberatan setelah ia mengetahui,
hubungan yang terjalin antara kakaknya dengan gadis itu.
Dalam pada itu, Rahu yang kembali ke kesatuannya
bersama Semi yang diakunya sebagai adiknya itu, ikut pula
melepaskan mereka yang meninggalkan istana itu.
Pada satu pagi yang cerah, beberapa ekor kuda telah siap
dihalaman. Ternyata bahwa tujuan mereka pertama-tama
memang Luruhan. Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi
seakan-akan hanya menurut saja kemana Jlitheng akan pergi.
Ketika mereka sudah berada di regol. maka Pangeran Sena
Wasesapun berkata kepada Jlitheng "Segala yang dijanjikan
Kangjeng Sultan tentu akan segera dipenuhi."
"Kami tidak tergesa-gesa Pangeran" jawab Jlitheng. Namun
kata-katanya tertegun ketika diluar sadarnya tatapan matanya
bertemu dengan tatapan mata yang bulat bening.
Jlitheng segera melemparkan pandangan matanya kepada
Rahu. Sementara itu. Raden Ajeng Ceplik yang ikut pula
mengantar mereka sampai keregol telah menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Dalam pada itu, hampir diluar sadarnya Pangeran Sena
Wasesapun kemudian berkata kepada Jlitheng "Nah, kau
harus juga minta diri kepada Ambarsari. Kau sudah
menyelamatkannya dua kali. Begitu orang-orang Sanggar
Gading membawa aku, ternyata ada diantara mereka yang
telah kembali dan berusaha mengambil anak gadisku. Kau
ternyata lelah menyelamatkannya dengan membunuh orangorang
Sanggar Gading itu. Kemudian untuk kedua kalinya kau
telah menolongnya ketika ia melarikan diri bersana
Bramadaru. " "Ah" desah Raden Ajeng Ceplik.
Jlitheng menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya keringatnya
mulai membasahi tubuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba saja ia
melihat Daruwerdi yang berdiri disamping ibunya, dan disebelahnya
adalah Swasti yang ikut mengantar ayahnya
sampai keregol pula. Namun akhirnya Jlitheng berhasil menguasai dirinya. Ia
tidak lagi membiarkan dirinya terombang-ambing oleh
perasaannya. Karena itu, sebelum ia meloncat kepunggung
kuda, maka ia masih sempat sekali lagi mohon diri kepada
orang-orang yang mengantarnya sampai ke gerbang. Bahkan
kemudian kepada Raden Ajeng Ceplik ia berdesis lambat "Aku
mohon diri puteri." Raden Ajeng Ambarsari itupun menjawab lambat pula
"Selamat jalan Pangeran."
Wajah Jlitheng menjadi merah. Dengan sendat ia berkata
"Jangan panggil aku demikian Raden Ajeng."
Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Tetapi ketika Jlitheng
memandanginya puteri itu tersenyum.
Jlitheng tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan ia bagaikan
menjadi bingung ketika Rahupun mendekatinya sambil
tersenyum dan berbisik "Kau memang seorang Pangeran.
Bukankah sebentar lagi akan kau terima kekancingannya dan
akan dilakukan wisuda ?"
Jlitheng tidak dapat menjawab. Namun jantungnya terasa
berdebaran. Demikianlah semuanya kemudian telah minta diri. Sejenak
kemudian beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan
istana Pangeran Sena Wasesa. Beberapa orang yang berdiri di
gerbang melambaikan tangannya. Diantara mereka adalah
puteri Ambarsari yang sehari-hari dipanggil Raden Ajeng
Ceplik. Belum lagi mereka meninggalkan gerbang itu beberapa
puluh langkah. Kiai Kanthi telah mulai bergurau "Puteri itu
cantik sekali. Ia lebih berharga dari gadis manapun juga.
Hatinya lembut seperti beledru."
Ki Ajar Cinde Kuning mengangguk-angguk. Sambil
tersenyum pula ia menjawab "Itulah agaknya yang membuat
saudara sepupunya menjadi gila."
Jlitheng sama sekali tidak menyambung. Tetapi ada
sesuatu yang terasa aneh didalam dirinya. Justru pada saatsaat
ia sudah menerima satu kenyataan tentang dirinya.
Daruwerd dan Swasti. Tetapi Jlitheng tidak mau hanyut dalam arus perasaannya
lagi. Dengan palarnya ia berusaha memotong gejolak didalam
hatinya. Ia tidak mau mengalami kesulitan perasaan lagi. Jika
ia merasa satu ikatan baru telah membelit hatinya, maka itu
akan berarti, hatinya akan terluka lagi.
Demikianlah maka merekapun segera memacu kuda
mereka ketika mereka sudah berada di pinggir kota
Merekapun ingin segera sampai ke tujuan mereka. Seperti
saat mereka mohon diri, maka mereka pertama-tama akan
pergi ke Lumban. Bahkan Ki Ajar Cinde Kuning untuk
beberapa saat akan berada di Lumban pula.
"Aku kehilangan seorang cucu" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning "karena itu, kau akan aku paksa untuk menjadi
gantinya." Jlitheng tersenyum. Katanya "Bagaimana jika aku tidak
mau?" "Bukit berhutan di daerah Sepasang Bukit Mati itu akan aku
hancurkan. Airnya akan aku keringkan dan Lumban akan
menjadi padang yang gersang." jawab Ki Ajar Cinde Kuning.
Kiai Kanthi tertawa. Katanya "Kenapa Ki Ajar mengambil
seorang murid dari Lumban" Apakah lebihnya anak Lumban ?"
"Bukan apa-apa. Anak Lumban sudah terbiasa hidup dalam
kemiskinan sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk
berprihatin" jawab Ki Ajar sambil tersenyum.
"Itu tidak adil" Jlitheng menyahut "seharusnya Ki Ajar
bukan memanfaatkan kemiskinan orang-orang Lumban. Tetapi
berusaha untuk menolongnya, merubah cara hidupnya."
Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthipun tertawa. Tetapi
mereka t idak menjawab lagi.
Namun yang dikatakan Jlitheng dalam guraunya itu
bukannya hanya dapat dikatakannya. Di hari-hari berikutnya,
ia telah benar-benar bekerja untuk Lumban.
Ketika ia datang lagi ke Lumban ia telah disambut oleh
anak-anak Lumban bukan saja dari Lumban Wetan, tetapi
juga dari Lumban Kulon. Pengalaman yang terjadi atas anakanak
muda Lumban. benar-benar telah memberikan satu
nafas kehidupan baru. Anak-anak Lumban yang terbagi itu
tidak lagi saling bermusuhan. Tetapi mereka benar-benar
berusaha untuk dapat meningkatkan hidup seluruh Kabuyutan
Lumban tidak pandang Lumban Wetan atau Lumban Kulon.
Dalam pada itu, apa yang dijanjikan Kangjeng Sultanpun
segera menyusut Jlitheng sebagaimana dikehendaki. Kangjeng
Sultan telah mengirimkan beberapa orang yang memiliki
kemampuan untuk mengatur air. Bukan saja beberapa, tetapi
Kangjeng Sultan juga mengirimkan beberapa jenis alat dan
beaya untuk membuat saluran-saluran air yang lebih baik.
Sekaligus membual sebuah padepokan kecil buat Kiai Kunthi.
Sementara itu, Ki Ajar Cinde Kuningpun agaknya lebih
senang tinggal di Lumban "Padepokanku telah dikotori dengan kedengkian dan
ketamakan. Apalagi anak dan cucuku sudah tidak bersamaku
lagi. Karena itu, agaknya aku lebih senang tinggal bersama
Kiai Kanlhi. Disini aku mendapatkan seorang saudara laki-laki
untuk menggantikan saudara kembarku dan seorang cucu"
katanya. "Bagus sekali" sahut Kiai Kanthi "jika demikian, kita akan
bersama-sama membangun daerah ini."
"Biarlah sisa hidup kita ini ada gunanya" berkata Ki Ajar
kemudian. "Ya" iawab Kiai Kanthi "jika kita memilih menyepi, mungkin
akan sangat berarti bagi sisa hidup kita sendiri. Tetapi tidak
memberikan manfaat kepada sesama. Disini kita masih
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu bersama-tama
dengan orang Lumban."
Karena itulah, maka padepokan kecil Kiai Kanthi telah
cilereng bukit berhutan. Tetapi dibawah lereng bukit sebagaicilereng
bukit berhutan. Tetapi dibawah lereng bukit
sebagaimana pernah di rancangnya
Dengan demikian, maka dibawah lereng bukit itu kemudian
terhampur sebuah padepokan. Ketika orang-orang yang
dikirim oleh Kangjeng Sultan telah kembali ke Demak, maka
anak-anak muda Lumbanlah yang membantu
menyempurnakan padepokannya. Diseputar padepokan kecil
itu terdapat ladang dan pategalan yang tidak terlalu luas yang
dikerjakan dan akan menjadi landasan makan Kiai Kanthi dan
Ki Ajar Cinde Kuning serta Jlitheng bahkan kemudian kedua
adik seperguruan Ki Ajar Cinde Kuningpun sering berada di
padepokan itu pula. Meskipun demikian Jlitheng masih saja
mondar-mand'ir antara padepokan itu dan rumah biyungnya
yang tua, yang menyambut kedatangannya kembali dengan
air mata. Demikianlah dari hari kehari, kehidupan di Lumban itu
menjadi semakin mapan. Sawah menjadi bertambah hijau dan
dataran-dataran yang kering telah menjadi sawah. Saluransaluran
air yang dibuat oleh anak-anak muda Lumban dibawah
petunjuk beberapa orang yang memang memiliki pengetahuan
tentang itu, telah membuat tanah di seluruh Lumban menjadi
subur. Penguasaan air dari bukit ian pembagian air didataran
menjadi lebih teratur dan mengarah.
Dengan demikian, maka dari hari kehari, perkembangan
menjadi semakin nyata ditilik dari kesejahteraan hidup orangorang
Lumban. Mereka tidak lagi kekurangan makan
sementara kelebihan dari hasil panen dapat mereka tukarkan
dengan keperluan hidup sehari-hari Bahkan disudut-sudut
pasar telah berdiri pande-pande besi yang dapat membuat
alat-alat pertanian mereka dan memenuhi kebutuhan sendiri.
Lumban tidak perlu lagi membeli dari luar Kabuyutan mereka,
cangkul, parang, sabit dan peralatan-peralatan lain.
Dalam suasana yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Lumban telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang
berkuda. Sebuah iring-iringan kecil yang langsung menuju ke
padepokan di bawah lereng bukit.
Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kantin yang sedang bekerja
disawah terkejut melihat kehadiran mereka. Dengan tergesagesa
mereka menyongsong iring-iringan kecil itu yang terdiri
dari Pangeran Sena Wasesa, Raden Ajeng Ambarsari diikuti
oleh Rahu yang bergelar Wira Murti dan tiga orang pengawal.
"Pangeran mengejutkan kami" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning. "Setelah sekian lamanya tidak melihat Lumban. terasa aku
menjadi rindu Rindu alas sepanjang bukit mati ini, dan rindu
kepada Kabuyutan yang menurut perhitunganku tentu sudah
berubah. Sebenarnyalah Kabuyutan ini memang sudah
berubah." berkata Pangeran Sena Wasesa.
Sementara itu Rahu menyambung "Lumban memang
membuat kita yang pernah tinggal disini menjadi rindu untuk
sekali-sekali melihatnya kembali. Tetapi dimana Jlitheng ?"
"Ia ada di Kabuyutan. Tetapi silahkan naik ke pendapa Aku
akan memanggilnya" jawab Kiai Kanthi.
"Kiai akan pergi ke Lumban ?" bertanya Rahu.
"Tidak, Aku akan memanggilnya dari sini" jawab Kiai
Kanthi. Rahu mengerutkan keningnya. Bahkan ia sempat bergurau
"Dengan Aji pameling ?"
Kiai Kanthi tersenyum. Jawabnya "Ya. Jlitheng telah
mempelajari Aji yang paling baik."
Namun Rahu itupun mengerutkan keningnya ketika ia
melihat Kiai Kanthi mendekati sebuah kentongan Kemudian
dengan nada tertentu, Kiai Kanthi membunyikan kentongan
itu. Sambil menarik nafas Rahu berkata "Itukah Aji pameling
yang dipelajari oleh Jlitheng.?"
"Ya. Ki Ajar Cinde Kuninglah yang kemudian menganggap
Jlitheng sebagai cucunya dan muridnya. Banyak ilmu yang
telah dituangkan kepadanya. D antaranya adalah Aji pameling
itu." Semua orang yang mendengarnya ternyata. Bahwa Raden
Ajeng Ceplikpun tertawa pula.
Ternyata nada itu telah dikenal baik oleh anak-anak muda
Lumban. Karena itu, maka anak-anak muda yang tinggal di
padukuhan terdekat dengan padepokan itu. yang mendengar
suara kentongan telah menyambungnya pula. Demikian
padukuhan berikutnya, sehingga akhirnya suara dalam nada
itu telah didengar pula oleh Jlitheng.
Panggilan itu memang agak menggelisahkan Jlitheng.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia telah pergi ke
padepokan. Namun yang dijumpainya adalah Pangeran Sena Wasesa
dan beberapa orang yang menyertainya Bahkan diantara
mereka terdapat Raden Ajeng Ceplik dan orang yangg pernah
melakukan banyak tugas bersama Rahu
Pertemuan itu adalah pertemuan yang cerah. Pangeran
Sena Wasesa yang merasa sangat berterima kasih kepada Kiai
Ajar Cinde Kuning. Kiai Kanthi, Jlitheng dan beberapa orang
yang bersamanya waktu itu. termasuk kedua saudara Endang
Srini, benar-benar ingin menikmati suasana yang segar di
padepokan itu. "Aku merasa sangat letih akhir-akhir ini" berkata Pangeran
Sena Wasesa "karena itu. aku ingin beristirahat. Aku
tinggalkan Daruwerdi dan ibunya untuik menunggui rumah
bersama Swasti. Jika Kiai Kantihi mengijinkan, maka aku akan
tinggal disini beberapa hari."
"Beberapa hari" ulang Kiai Kanthi didalam hatinya. Ada
seberkas kegembiraan karena Pangeran Sena Wasesa sudi
tinggal di padepokan itu untuk beberapa hari. Tetapi apakah ia
dapat menanggapinya dengan pantas.
Agaknya Pangeran Sena Wasesa melihat kegelisahan
perasaan hati Kiai Kanthi. Karena itu maka katanya "Jangan
memikirkan yang bukan-bukan Kiai. Anakku juga dapat
memasak seperti Swasti. Biarlah ia membantu Kiai di dapur
untuk menjamu kami semuanya. Sementara itu, akupun
sebenarnya ingin pula berburu setelah sekian lamanya
hidupku dicengkam oleh ketegangan. Bukankah di hutan itu
masih banyak terdapat binatang buruan ?"
"Ya. Pangeran" jawab Kiai Kanthi untuk menghilangkan
kesan kegelisahannya "kami masih mensisakan binatang
buruan itu bagi Pangeran."
Pangeran Sena Wasesa tertawa. Katanya "Baiklah. Besek
aku akan berburu." Demikianlah, maka Pangeran Sena Wasesa yang akan
bermalam di padepokan itu telah membuat Kiai Kanthi dan
Jlitheng sibuk. Mereka menyiapkan bilik-bilik yang ada dan
membenahi sebaik-baiknya.
Namun daiam pada itu. sebenarnyalah Pangeran Sena
Wasesa memang mempunyai satu kepentingan khusus dengan
Kiai Kanthi sehubungan dengan persoalan anaknya, Daruwerdi
dan Swasti. Yang kemudian secara khusus telah
dibicarakannya. Seketika padepokan itu mulai diliputi oleh
kegelapan Karena itu maka Daruwerdi tidak diajaknya serta.
Dalam pada itu, sementara ayahandanya berbincang
dengan Kiai Kanthi dan ditunggui pula oleh Ki Ajar Cinde
Kuning, maka Raden Ajeng Ambarsari telah berbincang sendiri
dengan Rahu dan Jlitheng Banyak hal tentang padepokan itu
yang ditanyakan. Juga tentang Kabuyutan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Namun dalam pada itu, ketenangan padepokan kecil itu
justru sedang dalam pengamatan beberapa orang yang
darahnya sedang dibakar oleh dendam. Pada saat-saat
Pangeran Sena Wasesa mulai melupakan persoalannya
dengan Pangeran Gajahnata. maka dendam yang pernah
disebut oleh Kang-jeng Sultan itu telah membakar kedamaian
di daerah Lumban dan padepokan kecil dibawah bukit.
Dua orang berkuda dengan tergesa-gesa telah melaporkan
kepada seorang yang duduk diatas sebuah batu di pinggir
sebuah patcgalan yang sepi "Nampaknya sama sekali tidak
ada sesiagaan di padepokan itu. "
Orang yang duduk di atas batu itupun menganggukangguk.
Katanya "Bagus. Aku akan segera memberitahukan
kepada ayahanda, bahwa kita akan dapat bergerak sekarang.
Bukankah begitu. " "
"Ya Raden. Agaknya kita akan dengan cepat berhasil. Kita
akan mengejutkan mereka kemudian menggilas mereka
dengan serta merta." jawab orang yang berkuda itu.
Orang yang duduk diatas batu itupun meloncat turun.
Kemudian berjalan dengan tergesa-gesa menuju kedalamseriak di pategalan.
"Bagaimana Bramadaru ?"
bertanya seseorang dari dalam gerumbul itu. "Kita dapat melakukannya
sekarang ayahanda" jawab
orang yang datang. Orang yang berada didalam semak itupun kemudian bertanya kepada seorang yang lain "Bagaimana pendapat Ki Ajar Wrahasniti ?"
"Bagiku, kapan saja sergapan itu dapat dilakukan." jawab
Ki Ajar Wrahasniti "menurut laporan dari pengamatan
kepercayaanku. Pangeran Sena Wasesa hanya diiringi oleh
tiga atau ampat pengawal saja. Mungkin dipadepokan itu ada
beberapa orang, termasuk anak muda yang bernama Jlitheng
itu. Tetapi kita cukup kuat untuk menundukkan mereka.
Pangeran tahu. bahwa tidak ada orang yang akan dapat
mengimbangi kemampuan Pangeran kecuali Pangeran Sena
Wasesa sendiri. Bahkan mungkin Pangeran Sena Wasesapun
akan tidak mampu bertahan terlalu lama menghadapi
Pangeran Gajahnata Sementara itu. adik seperguruanku itu
akan menyapu orang-orang padepokan kecil itu. Sementara
siapapun yang tidak dapat dikalahkan oleh Pangeran
Gajahnata dan adik seperguruanku, maka aku akan
menghancurkannya menjadi debu."
"Mereka membawa beberapa orang pengawal" gumam
Bramadaru. "Apa artinya para pengawal itu. Kitapun membawa
beberapa orang pengawal. Kita sudah mempersiapkan diri
untuk melepaskan dendam ini sejak lama. Tiba-tiba datang
laporan, bahwa kesempatan itu datang. Jangan disia-siakan
kesempatan ini. Rasa-rasanya aku ingin segera melihat
padepokan itu menjadi karang abang." berkata Ki Ajar
Wrahasniti. "Bagus" geram Bramadaru "sakit hatiku akan dapat aku
lepaskan. Di padepokan itu ada pula anak muda yang
bernama Jlitheng. yang telah menyakiti hatiku pada saat-saat
aku sangat memerlukan diajeng Ceplik. "
"Agaknva anak muda yang bernama Daruwerdi, yang
ternyata adalah putera Pangeran Sena Wasesa sendiri tidak
bersama dengan mereka" berkata Ki Ajar Wrahasniti "tetapi itu
bukan apa-apa. Kita akan dapat datang ke istana itu dilain
kesempatan setelah tugas kita disini selesai. Istana Pangeran
Sena Wasesa itupun akan menjadi karang abang. Demikian
pula istana yang sedang dipersiapkan bagi seorang Pangeran
yang akan diangkat karena jasa-jasanya. Pangeran Candra
Sangkaya yang saat ini lebih senang menyebut dirinya Jlitheng
itu." Sejenak kemudian, maka Ki Ajar Wrahasnitipun segera
mempersiapkan orang-orangnya. Nampaknya ia tidak mau
gagal, sehingga karena itu, maka ia membawa beberapa
orang yang dianggapnya akan dapat membantunya
menghancurkan Pangeran Sena Wasesa berserta para
pengiringnya. "Sekarang, diajeng Ceplik Itu tidak boleh lepas lagi.
Nasibnya akan menjadi bertambah buruk, justru karena
kesalahan kakaknya itu" geramBramadaru.
"Kau terlalu terikat kepada gadis itu" potong ayahandanya
"kita akan menyelesaikan persoalan yang penting lebih
dahulu. Bukankah semua kegagalan Ini juga disebabkan
karena perhatianmu yang berlebihan terhadap Ceplik.
sehingga kau telah merubah rencana yang seharusnya kita
lakukan dibawah pohon nyamplung itu ?"
"Tidak ayahanda, seandainya diajeng aku serahkan pada
saat itu kepada orang yang bertugas mencegatku, maka
akibatnya akan sama saja, karena rupa-rupanya Daruwerdi
dan Jlitheng sudah mengikuti aku sejak dari istana." jawab
Bramadaru. Gajahnata tidak menjawab lagi. la tidak mau bertengkar.
Kesulitan perasaannya sudah cukup parah. Bahkan sejak ia
meninggalkan istananya rasa-rasanya ia sama sekali tidak
pernah merasa dapat duduk tenang dan dapat tidur nyenyak
barang sekejappun. Sejenak kemudian. Ki Ajar Wrahasniti telah siap dengan
orang-orangnya. Dengan suara bernada berat ia memberikan
beberapa pesan. Orang-orangnya itu harus tahu, bahwa yang
dihadapi adalah orang-orang yang cukup berilmu.
"Serahkan Pangeran Sena Wasesa kepada Pangeran
Gajahnata" berkata Ki Ajar Wrahasniti "kemudian orang yang
paling baik diantara mereka akan aku hadapi langsung.
Sementara itu, yang lain akan dapat kalian musnahkan."
"Serahkan anak muda yang bernama Jlitheng itu
kepadaku." berkata Bramadaru.
"Kau sudah dikalahkannya" desis Pangeran Gajahnata.
"Tidak ayahanda" sahut Bramadaru "saat itu aku
menghindar, karena Daruwerdipun tentu akan ikut
melawanku. Tetapi sebenarnya aku sendiri belum
dikalahkannya. Goresan-goresan kecil ditubuhku itu sama
sekali t idak berarti bagiku." Bramadaru berhenti sejenak.
Namun kemudian ia melanjutkan "Tetapi ada juga baiknya,
berikan seorang kawan kepadaku."
K! Ajar Wiahasniti menarik nafas dalam-dalam. Desisnya
"Sebenarnya aku percaya bahwa Raden akan dapat
mengalahkannya tanpa bantuan orang lain. Tetapi ketegangan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihati Raden memang akan dapat berpengaruh. Karena itu.
aku tidak berkeberatan jika seseorang akan membayangi
Raden dalam pertempuran nanti."
Bramadaru mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa ia memang sudah dikalahkan
oleh anak muda yang bernama Jlitheng seandainya ia tidak
melarikan diri meskipun Daruwerdi tidak datang
membantunya. Demikian, maka sejenak kemudian, orang-orang Ki Ajar
Wrahasniti itupun sudah mulai bergerak. Mereka kemudian
merayap dalam gelapnya malam mendekati padepokan Kiai
Kanthi yang dalam keadaan sehari-hari terasa tenang dan
diliputi udara yang sejuk oleh pepohonan yang memang sudah
ada sebelumpadepokan itu di bangun.
"Kita akan mengepung padepokan itu" berkata Ki Ajar
Wrahasniti "tidak boleh seorangpun diantara mereka yang
lolos." "Kita memasuki padepokan itu" berkata Pangeran
Cajahnata "aku akan langsung menemui adimas Pangeran
Sena Wasesa. Aku ingin membuat perhitungan dengan orang
itu." "Baik Pangeran. Kita akan melalui gerbang didepan,
sementara yang lain akan meloncati dinding dan memasuki
padepokan lewat segala arah." sahut Ki Ajar. Lalu katanya
"Aku akan memberikan pertanda jika saatnya sudah tiba. Aku
akan membunyikan isyarat burung kedasih. Dua orang di arah
lain akan menyambung isyarat itu sehingga semuanya akan
dapat mendengarnya."
Para pengikut Ki Ajar itu mendengarkan dengan saksama.
Sambil mengangguk-angguk merekapun kemudian menerima
perintah untuk mulai menebar.
Ki Ajar Wrahasniti dan Pangeran Gajahnata sudah berada
didepan pintu gerbang halaman padepokan yang tidak
tertutup rapat. Sebuah lampu minyak menyala di bagian
dalam, namun tidak dapat menerangi seluruh halaman depan
padepokan yang cukup luas. Sementara Bramadaru sudah
bersiap pula untuk meloncat dari samping apabila isyarat itu
sudah diberikan. Ki Ajar masih menunggu sejenak sambil memperhatikan
suasana. Nampaknya padepokan itu sepi-sepi saja. Ketika Ki
Ajar membuka pintu yang tidak diselarak itu. maka dilihatnya
beberapa orang masih duduk dipendapa.
Agaknya setelah Pangeran Sena Wasesa selesai berbicara
tentang Daruwerdi dan Swasti. yang kedua-keduanya tidak
diajak bersama mereka ke padepokan itu. maka yang lainpun
telah dipersilahkan untuk duduk-duduk dipendapa pula.
"Sekarang Pangeran ?" bertanya Ki Ajar.
"Ya. Agaknya adimas Sena Wasesa duduk dipendapa itu
dengan beberapa orang yang kurang aku kenal" sahut
Pangeran Gajahnata. "Jangan hiraukan mereka" sahut Ki Ajar Wrahasniti "orangorangku
akan menghancurkan mereka. Mungkin mereka juga
termasuk orang-orang berilmu yang menurut pendengaran
kita telah membantu Pangeran Sena Wasesa. tetapi aku tidak
yakin bahwa mereka memiliki kemampuan seperti Pangeran
Sena Wasesa sendiri."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ajar itupun justru
telah bergeser sedikit menjauh. Sambil meletakkan kedua
tangannya disebelah mulutnya, maka mulailah terdengar
suara burung kedasih Malam memang sudah menjadi semakin dalam. Suara
burung kedasih itu terdengar ngelangut diantara desir angin
yang lemah. Semua orang-orang yang berada dipendapa sama sekali
tidak memperhatikan suara burung kedasih itu. Namun ketika
diarah lain juga terdengar suara burung yang sama, maka Ki
Ajar Cinde Kuning mulai tertarik kepada suara itu.
"Kiai" desis Ki Ajar Cinde Kuning "apakah Kiai mendengar
suara burung kedasih itu ?"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Namun agaknya ia sudah
mulai tertarik pula kepada suara burung itu, sebagaimana
Pangeran Sena Wasesa. "Aku mendengarnya Ki Ajar. Justru sangat menarik" desis
Kiai Kanthi. Belum lagi Kiai Kanthi melanjutkan kata-katanya, maka
Pangeran Sena Wasesa itupun berdesis "Dimana Ceplik ?"
"la berada didalam bilik yang sudah disediakan Pangeran."
jawab Rahu. "Panggil anak itu kemari. Cepat" desis Pangeran yang
menjadi gelisah itu. Rahupun dapat menanggapi persoalannya. Karena itu,
maka iapun dengan cepat telah pergi ke ruang dalam. Pintu
bilik yang diperuntukkan bagi Raden Ajeng Ambarsari sudah
tertutup. Namun Rahupun telah mengetuknya "Puteri.
Ayahanda memanggil. Apakah puteri sudah tidur?"
Raden Ajeng Ceplik terkejut. Dengan serta merta iapun
bangkit sambil bertanya "Dimana ayahanda sekarang?"
"Dipendapa. Ada sesuatu yang penting." jawab Rahu.
Raden Ajeng Ceplik itu masih berbenah diri sejenak,
sedangkan Rahu menjadi gelisah.
Sementara itu, maka Jlithengpun telah diperintahkan untuk
memberitahukan kepada para pengawal yang berada digandok
untuk bersiap. "Suara burung kedasih itu sangat menarik perhatian
Pangeran" berkata Jlitheng
Ketiga pengawal itupun kemudian mempersiapkan dirinya.
Senjata merekapun telah melekat dilambung untuk
menanggapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Sementara itu, Jlithengpun telah berbenah diri pula.
Pedang tipisnya telah digantungkannya pada ikat
pinggangnya. Ketika ia kembali ke pendapa, maka dilihatnya
Rahu bersama Raden Ajeng Ceplik telah hadir pula.
"Ayahanda memanggil aku ?" bertanya Raden Ajeng Ceplik.
"Ya Ceplik" jawab Pangeran Sena Wasesa "aku menjadi
curiga mendengar suara burung kedasih itu."
"Kenapa " Apakah ayahanda percaya bahwa suara burung
itu merupakan isyarat kematian ?" bertanya Ambarsari.
"Jika suara itu benar-benar suara burung, aku tidak percaya
Ceplik. Tetapi yang kami dengar agaknya bukan suara burung
yang sebenarnya." jawab ayahandanya.
Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang. Dengan suara
sendat ia bertanya "Jadi suara apakah itu ayahanda?"
"Karena itu maka kau telah aku panggil. Kau jangan berada
ditempat yang terpisah dari kami." berkata ayahandanya.
Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Tetapi jantungnya
serasa berdetak semakin cepat.
Dalam pada itu, suara burung kedasih itu sudah didengar
oleh semua pengikut Ki Ajar Wrahasniti. Karena itu, maka
merekapun segera mulai bergerak. Beberapa orang telah
meloncat dinding halaman dari bagian belakang. Yang lain dari
samping termasuk Bramadaru. Namun demikian ia memasuki
padepokan, maka iapun segera melihat, seorang gadis berada
di pendapa, diantara orang-orang yang masih saja berkumpul.
Sementara itu, Pangeran Gajahnata dan Ki Ajar
Wrahasnitipun telah memasuki halaman lewat regol. Dengan
langkah yang pasti keduanya telah menuju ke pendapa.
Orang-orang yang berada di pendapa itupun telah berdiri
tegak. Raden Ajeng Ceplik memang menjadi cemas.
Sementara itu, ayahandanya berkata "Pergilah kesudut. Kami
akan menahan mereka."
Raden Ajeng Ceplikpun bergeser kesudut. Sementara itu
ayahanda telah bergeser pula mengikutinya.
Ketika beberapa orang yang memasuki padepokan itu lewat
belakang tidak menemukan orang lain dipadepokan itu, maka
merekapun telah mencari diruang dalam. Tetapi untunglah
bahwa Raden Ajeng Cepflik telah berada bersama
ayahandanya dipendapa, sehingga ruang dalam itu memang
sudah kosong. Yang membentur kekuatan dihalaman padepokan itu
adalah beberapa orang yang melewati gandok. Tiba-tiba saja
mereka telah bertemu dengan tiga orang pengawal yang siap
menghadapi mereka dengan senjata terhunus.
Orang-orang Ki Ajar Wrahasniti justru surut selangkah.
Mereka masih belum bertindak langsung terhadap ketiga
orang bersenjata itu, karena mereka masih belum mendapat
perintah berikutnya. Dalam pada itu, Pangeran Gajahnata yang mendekati
tangga pendapa telah berkata dengan lantang "He, agaknya
aku berhasil menemukan adimas disini."
Pangeran Sena Wasesa telah bersiap sepenuhnya
menghadapi segala kemungkinan. Beberapa orang yang ada di
pendapa telah memencar pula disebelah menyebelah
Pangeran Sena Wasesa untuk melindungi Raden Ajeng Ceplik.
"Selamat datang di padepokan ini kakangmas" desis
Pangeran Sena Wasesa. "Aku tidak memerlukan basa basi itu adimas. Persoalan
diantara kita sudah jelas. Kau telah merusak hari depan anakl
ku sehingga ia kehilangan pegangan untuk melangkah
menyongsong cita-citanya."
"Aku tidak tahu maksud kakangmas. Seharusnya akulah
yang menuntut agar kakangmas menyerahkan Bramadaru
yang telah menghinakan martabat kewanitaan anak gadisku.
Hampir saja Bramadaru berhasil menghancurkan hidup
Ambarsari. " "Satu fitnah yang paling keji. Aku tahu bahwa anakku akan
diperlakukan seperti itu. Aku tahu bahwa apa yang sampai
kepada Kangjeng Sultan tentu berlawanan dengan kenyataan
yang dialami oleh anakku. Dan aku tahu bahwa Kangjeng
Sultan akan percaya begitu saja fitnah yang tidak beralasan
itu" geram Pangeran Gajahnata.
"Aku tahu sekarang" desis Pangeran Sena Wasesa
"kakangmas tidak mau didahului. Karena itu, maka kakangmas
telah menyerang kami sekeluarga lebih dahulu, seolah-olah
kami telah memfitnah. Tetapi apa saja yang kakangmas
katakan, ada beberapa orang saksi yang akan dapat
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk anak
perempuanku itu." "Ia bukan saksi yang sah. Ia akan dapat mengatakan apa
yang kau pesankan adimas." bantah Pangeran Gajahnata
"tetapi baiklah kita tidak usah berbantah. Aku menuntut atas
kehinaan yang kami alami sehingga kami harus meninggalkan
istana kami." "Seharusnya Pangeran tidak usah pergi" Rahu telah
memotong pembicaraan itu "jika Pangeran tidak merasa
bersalah. Pangeran tentu akan tetap berada didalam istana
bersama Raden Bramadaru."
"Tutup mulutmu" geram Pangeran Gajatnata "kau tidak
usah mencampuri persoalan ini. Aku akan menuntut harga
diriku dengan taruhan nyawa. Kita akan bertempur sampai
kita akan melihat, siapa saja yang berhasil keluar dari
padepokan ini dalamkeadaan hidup."
Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab lagi. Ia sadar
bahwa ia harus menghadapi dengan kekerasan. Karena itu,
maka iapun telah memberikan isyarat kepada seisi padepokan
itu untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Ki Ajar Wrahasnitilah yang kemudian
melangkah maju sambil berkata "Ki Sanak, menghuni
padepokan ini. Jika kalian tidak melibatkan diri, kami akan
memberi kesempatan Ki Sanak untuk meninggalkan tempat
ini." Yang menjawab adalah Kiai Kanthi "Pangeran Sena Wasesa
adalah tamu kami, isi padepokan ini. Karena itu,
keselamatannya adalah juga keselamatan kami."
"Bagus" Ki Ajar Wrahasnitipun kemudian berteriak lantang
"kita hancurkan seisi padepokan ini."
Dengan demikian maka orang-orangnya telah bergerak
dengan serentak. Namun dalam pada itu, tiga orang pengawal
Pangeran Sena Wasesapun telah bergerak pula.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit.
Sebagaimana dikehendaki, maka Pangeran Gajahnata telah
bertempur melawan Pangeran Sena Wasesa.
Dalam kesibukan pertempuran itu, tiba-tiba saja Bramadaru
telah menyusup disela-sela dentang senjata langsung
meloncat kearah Raden Ajeng Ceplik Ia ingin mempergunakan
gadis itu untuk memaksa ayahandanya menyerah.
Namun ketika ia berhasil menangkap tangan Raden Ajeng
Ceplik yang menjerit-jerit, tiba-tiba saja terasa kening Raden
Bramadaru bagaikan tertimpa segumpal batu. Sejenak
matanya berkunang-kunang. Namun iapun segera menyadari
keadaannya. Ternyata seorang anak muda tengah menarik
Raden Ajeng Ceplik dan menempatkannya di sebelah pintu
pringgitan. "Jlitheng" geram Raden
Bramadaru. Jlitheng tidak menjawab. Sementara Raden Ajeng Ceplik
berdiri dengan gemetar. "Aku memang ingin bertemu
dengan kau lagi" berkata
Bramadaru dengan wajah yang
tegang. Jlitheng masih tetap berdiam
diri. Namun ia sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian keduanya
sudah bertempur dengan sengitnya. Namun yang pernah
terjadi, telah terulang lagi. Bramadaru memang t idak dapat
mengimbangi kemampuan Jlitheng.
Dalam pada itu, adik seperguruan Ki Ajar Wrahasniti yang
merasa memiliki kelebihan dari kebanyakan orang telah
menyerang Kiai Kanthi yang dianggapnya sebagai pemilik
padepokan itu. Dengan ilmunya yang tinggi ia berusaha
memaksa Kiai Kanthi untuk tunduk kepadanya. Namun orang
itu terkejut. Ternyata bahwa Kiai Kanthi memang bukan orang
kebanyakan pula. Sementara itu. yang masih belum bertempur adalah Ki Ajar
Wrahasniti sendiri. Ia menyaksikan orang-orang yang
bertempur dengan sengitnya. Dihadapan tiga orang pengawal
Pangeran Sena Wasesapun telah memutar pedang mereka
seperti baling-baling. Sementara itu. beberapa orang telah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi keheranan melihat seorang tua yang cacat telah
mengacaukan perhatian mereka.
Empat orang pengikut Ki Ajar Wrahasniti benar-benar
menjadi bingung menghadapi Ki Ajar Cinde Kuning, yang
dianggapnya sebagai seorang tua cacat yang lemah. Namun
ternyata orang itu dapat berbuat sesuatu yang bagi mereka
tidak masuk akal. Hampir pada saat yang bersamaan keempat orang yang
bertempur berpasangan itu telah terlempar dan jatuh
terlentang. Namun orang tua itu membiarkan saja mereka
berusaha untuk bangkit dan kemudian mengepungnya
kembali. "Orang aneh" berkata Ki Ajar Wrahasniti yang segera
menyadari bahwa orang itu sebenarnya memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Karena itu, maka iapun segera
mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
"Ki Sanak" berkata Ki Ajar Wrahasniti "agaknya anak-anak
itu memang bukan lawanmu."
"Jadi bagaimana ?" bertanya Ki Ajar Cinde Kuning.
"Agaknya akulah yang harus melawanmu" berkata Ki Ajar
Wrahasniti. "Lalu, bagaimana dengan keempat orang ini ?" bertanya Ki
Ajar Cinde Kuning. "Biarlah ia membantu menghancurkan kawan-kawanmu.
Anak muda yang menyebut dirinya Jlitheng itu memang harus
mati. Pangeran Sena Wasesa harus mati dan pemimpin
padepokan inipun harus mati." jawab Ki Ajar Wrahasniti.
"Jangan curang" berkata Ki Cinde Kuning "mereka telah
mempunyai lawan mereka masing-masing."
"Persetan" geram Ki Ajar Wrahasniti "kalian semuanya akan
mati dengan cara apapun juga."
Ki Ajar Cinde Kuning mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya "Mereka tidak boleh mengganggu pertempuran ini."
Ki Ajar Wrahasniti sama sekali tidak menghiraukannya,
iapun kemudian melocat mendekat sambil berteriak "lepaskan
lawanmu. Biar aku yang membunuhnya."
Tetapi yang terjadi adalah satu hal yang sangat
mengejutkan. Keempat orang yang sudah bersiap
meninggalkan orang cacat itu tiba-tiba telah terdorong dengan
kekuatan yang luar biasa. Serentak mereka jatuh terlentang.
Kepala membentur lantai sehingga tiga diantara mereka
menjadi pingsan, sedangkan seorang lagi punggungnya
bagaikan menjadi patah "Gila" geram Ki Ajar Wrahasniti yang menyerang Ki Ajar
Cinde Kuning dengan dahsyatnya. Tetapi dalam benturanbenturan
pertama sudah terasa, bahwa orang cacat itu
memang bukan tandingnya. Sementara "tu. adik, seperguruan Ajar Wrahasniti yang
bertempur melawan Kiai Kanthipun tidak banyak dapat
berbuat, sehingga dengan demikian ia terus-menerus telah
terdesak. Dalam pada itu hanya Pangeran Gajahnata sajalah yang
mampu mengimbangi ihnu Pangeran Sena Wasesa. Keduanya
adalah Senapati besar yang memiliki kemampuan dan ilmu
yang tinggi. Namun, suasananya agak berbeda bagi mereka yang
bertempur di halaman. Tiga orang pengawal itu harus
bertempur melawan lima orang, sehingga dengan demikian,
maka mereka-pun mulai mengalami kesulitan.
Karena itu, tanpa memperhatikan keadaan di pendapa yang
hampir seluruhnya dikuasai, apalagi ketika Rahu yang
melawan tiga orang dapat mendesak lawannya sehingga turun
kehalaman, telah teringat cara yang dipergunakan oleh Kiai
Kanthi memanggil Jlitheng. Justru sadar akan kemungkinan
yang dapat mempengaruhi seluruh pertempuran itu, maka
tiba-tiba salah seorang diantara ketiga orang itu berdesis
"Bertahanlah untuk sejenak."
Orang itu tidak menunggu jawaban. Tiba-tiba saja ia telah
meloncat kearah kentongan. Sejenak kemudian telah bergema
nada titir yang memecah kesenyapan malam.
Titir itu benar-benar mengejutkan seisi Kabuyutan Lumban
Ketika padukuhan yang pertama dan kedua menyambung
suara titir itu, maka anak-anak muda yang meronda yang
langsung mengenali suara kentongan itu, segera berlari-lari ke
padepokan kecil. Jika tidak ada sesuatu yang gawat, maka
tidak akan mungkin padepokan yang dihuni oleh orang-orang
berilmu itu akan membunyikan isyarat dengan nada titir.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka padepokan itu
benar-benar sudah dikepung Sejenak kemudian, kepungan
itupun merapat dan berpuluh-puluh anak muda segera
memasuki halaman. Suasana menjadi semakin gaduh. Obor telah menyala
dimana-mana, sehingga padepokan itu menjadi terang.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada
itu, Rahulah yang pertama-tama berteriak kepada lawanlawannya
"Tidak ada kesempatan apapun bagi kalian."
Pangeran Gajahnata menggeram. Tetapi ia tidak dapat
mengabaikan kenyataan itu. Pangeran Gajahnata melihat
bahwa Bramadaru telah terdesak. Bahkan kemudian darah
telah mulai menitik dari tubuhnya. Sementara itu Ki Ajar
Wrahasnitipun telah menemukan seorang lawan yang tidak
mungkin dapat diimbanginya.
Betapa penyesalan telah bergejolak didalam diri Pangeran
Gajahnata. Namun ia menghadapi satu keadaan yang tidak
dapat diingkarinya lagi. Jantungnya bagikan terlepas ketika ia mendengar
Bramadaru menjerit tertahan. Luka yang panjang telah
tergores di-dadanya meskipun t idak terlalu dalam.
Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Gajahnata
sebelum anaknya terbunuh oleh anak muda yang bernama
Jlitheng dan bergelar Pangeran Candra Sangkaya yang
bersenjata pedang yang tipis itu. kecuali menghentikan
pertempuran. Sambil meloncat mundur Pangeran Gajahnatapun berdesis
"Baiklah Kami menyerah."
"Tidak" teriak Bramadaru. Tetapi suaranya terputus.
Sebuah goresan telah melukai lambungnya.
Sementara itu anak-anak muda Lumban dengan segala
macam senjata telah merayap semakin mendekat pendapa.
Bahkan beberapa diantara mereka telah berdiri di pinggir
arena pertempuran antara para pengawal di halaman.
Ki Ajar Wrahasniti sendiri tidak mencegah penyerahan itu,
karena iapun tidak akan mampu berbuat apa-apa. Apalagi
mereka tidak akan dapat mengabaikan puluhan anak-anak
muda yang berada dihalaman.
Maka pertempuran itupun kemudian berakhir sebelum jatuh
seorang korbanpun yang terbunuh, meskipun ada diantara
mereka yang luka-luka. Dengan demikian, maka merekapun telah diperlakukan
sebagai tawanan, meskipun Pangeran Gajahnata mendapat
perlakuan yang khusus. Tangannya tidak diikat dengan tampar
atau janget, tetapi sehelai kain sekedar di sangkutkan saja di
pundaknya sebagai pertanda bahwa ia adalah seorang
tawanan meskipun ia seorang bangsawan.
"Maaf Pangeran" desis Rahu "kami tidak mempunyai cinde
sehelaipun disini." Pangeran Gajahnata hanya dapat menggeram.
Satu pengalaman baru telah terjadi didalam hidup Jlitheng
setelah pertempuran itu. Dihari berikutnya, ketika Pangeran
Sena Wasesa bersiap untuk kembali ke Demak dan menitipkan
para tawanan di padepokan itu sampai saatnya prajurit Demak
mengambil mereka, maka terdengar Raden Ajeng Ceplik
berbisik "Datanglah ke Demak. Kau lebih baik tinggal disana.
Istanamu sudah hampir siap."
Diluar sadarnya Jlitheng menjawab "Aku tidak akan dapat
tinggal seorang diri dalam istana yang besar itu "
Namun sambil tersenyum Raden Ajeng Ambarsari itu
berkata "Aku akan mengawanimu."
Wajah Jlitheng menjadi merah. Namun jantungnya terasa
bagaikan mengembang. Tetapi Raden Ajeng Ceplik itu benar-benar telah
menghidupkan kembali gairah didalam hati Jlitheng
menentang masa depannya. Ketika iring-iringan Pangeran
Sena Wasesa meninggalkan padepokan, karena Pangeran itu
telah memperpendek kunjungannya dan membatalkan niatnya
untuk berburu berhubung dengan peristiwa yang tidak diduga
sebelumnya itu. Raden Ajeng Ceplik masih selalu berpaling
dan melambaikan tangannya.
Jlitheng terkejut ketika ia mendengar suara berbisik diampjignya
"Kau adalah cucuku. Aku akan menjadi ganti orang
tuamu jika kau memerlukan aku datang menghadap Pangeran
Sena Wasesa." "Ah" Jlitheng hanya berdesah.
Ki Ajar Cinde Kuning tersenyum. Bahkan Kiai Kanthi-pun
tersenyum pula. Kiai Kanthi ternyata merasakan satu
kebahagiaan setelah ia mengetahui bahwa ada sesuatu
terselip dihati Jlitheng terhadap Raden Ajeng Ambarsari dan
demikian pula sebaliknya. Ia merasa bersalah ketika Swasti
ternyata lebih dekat dengan Daruwerdi daripada dengan anak
muda yang bergelar Candra Sangkaya itu.
Tetapi untuk beberapa saat Jlitheng masih tetap berada di
Lumban. Meskipun istananya telah hampir siap, namun ia
masih tetap menghayati kehidupan di Kabuyutan itu. Setiap
pagi ia sudah bergulat dengan lumpur dan tanaman disawah
Bahkan kadang-kadang untuk waktu yang lama ia berada diatas
bukit berhutan untuk merenungi mata air yang mengalir
dengan derasnya. Mata air yang kemudian sudah dapat
dikendalikan dan bermanfaat bagi kehidupan di Kahuyutan
Lumban. Namun dalam pada itu, Jlitheng bukan saja menjadi orang
yang sangat berarti bagi Lumban. tetapi ia juga merupakan
seorang murid yang dibanggakan oleh gurunya. Ki Ajar Cinde
Kuning. Meskipun demikian, waktunya tidak dihabiskannya didalam
Sanggar, karena agaknya lumpur dan air tetap merupakan
bagian dari hidupnya sehari-hari.
Demikianlah air dari atas bukit itu kemudian menjadi
semakin teratur mengalir menuruni tebing dan memencar
menusuk kekedalaman tanah persawahan di Lumban yang
menjadi semakin subur. "Jika aku harus meninggalkan Kabuyutan ini, maka aku
telah melihat tanah ini menjadi hijau" berkata Jlitheng didalam
hatinya. Sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat mengingkari gejolak
perasaan didalam dirinya, bahwa ia tidak akan pernah
melupakan Raden Ajeng Ceplik untuk seterusnya.
Dan ternyata bahwa Jlitheng telah menyongsong hari-hari
yang berbahagia. TAMAT. Kutipan dan penyiaran lesan/tertulis harus seijin penulis,
Pedang Ular Merah 5 Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata Naga Sasra Dan Sabuk Inten 19
Jlitheng "karena itu kau tidak usah berteriak-teriak begitu.
Langsung saja kau bunuh lawanmu. Tetapi kenyataan telah
berkata lain dari keinginanmu yang gila itu Raden. Kenyataan
nya mengatakan tentang kelemahanmu dalam pertarungan
antara ilmu yang t inggi. Masih jauh dari ketinggian yang
seharusnya bagi orang-orang yang menjelajahi daerah olah
kanuragan." Kata-kata Jlithcng itu sangat menyakitkan hati Raden
Bramadaru. Sekali lagi ia berusaha untuk mengeluarkan
ilmunya. Namun sekali lagi ia menerima satu kenyataan
bahwa lawannya memang memiliki kemampuan melampaui
kemampuannya. Jlilheng yang sengaja membangkitkan kemarahan
Bramadaru itupun telah bersiap sepenuhnya untuk melawan
kemarahan anak muda itu. Karena itu, ketika serangan
Bramadaru datang membadai. Jlitheng sama sekali tidak
mengalami kesulitan apapun juga.
Bahkan semakin Bramadaru marah, maka seranganserangannyapun
menjadi semakin tidak terarah.
Yang tidak kalah sengitnya adalah pertempuran antara
Daruwerdi dan kepercayaan Ki Ajar Wrahasnit i. Agak berbeda
dengan Jlitheng yang masih selalu dapat mengekang diri
sehingga ujung senjatanya tidak langsung menghunjam ke
jantungnya, maka Daruwerdi berusaha dengan sungguhsungguh
untuk menghancurkan lawannya setelah tawurannya
untuk menyerah ditolak. Kecemasannya tentang Raden Ajeng
Ceplik yang diketahuinya sebagai adiknya itu membuatnya
kehilangan semua pertimbangannya.
Dalam serangan-serangan berikutnya, Daruwerdi benarbenar
telah membatasi kemungkinan gerak lawannya yang
kemudian hanya dapat berloncatan menghindar. Ketika
sebuah goresan lagi melukai lawannya muka Daruwerdi masih
mencoba sekali lagi berkala "Menyerahlah. Kesempatan ini
adalah kesempatan terakhir."
Tetapi yang kemudian terjadi telah membuat Daruwerdi
semakin marah. Orang itu tidak memenuhi tawaran itu, justru
dengan serta merta telah menyerang Daruwerdi dengan
garangnya. Hampir saja ujung senjatanya mengenai mata
sebelah kiri Daruwerdi, sehingga karena itu maka
Daruwerdipun telah dengan tergesa-gesa mengelak. Bahkan
hampir saja Daruwerdi jatuh terperosok kedalam semaksemak
berduri yang banyak bertebaran di padang perdu itu.
Daruwerdi menjadi semakin marah karenanya. Karena itu.
maka serangan berikutnya, telah datang bagaikan badai.
Pedang Daruwerdi berputar semakin cepat. Sekali-sekali
menyerang dengan ayunan mendatar, sekali-sekali mematuk
dan sekali-sekali menebas leher.
Lawannya benar-benar telah terdesak. Sekali lagi sebuah
goresan telah mengoyak tubuhnya. Tepat didada.
Orang itu mengeluh kesakitan. Namun Daruwerdi tidak
menghentikan serangannya. Justru dalam kesempatan itu ia
memburu lawannya. Dalam keadaan yang sulit, maka
Daruwerdi yang marah itu mengayunkan pedangnya
mendatar. Orang itu masih sempat meloncat surut. Tetapi
Daruwerdi dengan cepat memburunya dengan pedang
terjulur. Orang itu berteriak nyaring.
Tetapi suaranya cepat terputus.
Pedang Daruwerdi telah menusuk
langsung kepusat jantung.
Ketika pedang itu ditarik, maka
tubuh lawannya itupun segera
jatuh terjerembab. Diam. Bramadaru mendengar teriakan
orang itu. Sementara itu,
Jlithengpun mengetahui pula akhir
dari pertempuran yang terjadi
antara Daruwerdi dan lawannya,
sehingga hampir diluar sadarnya ia
berkata "Nah. kawanmu sudah diselesaikan Raden. Benarbenar
satu akhir yang pahit."
Bramadaru menggeram. Tetapi ia sadar sepenuhnya, apa
yang akan dapat terjadi atasnya. Jika orang yang menyebut
dirinya Daruwerdi itu kehilangan lawan, maka keadaannya
akan menjadi semakin sulit. Daruwerdi tentu akan bertempur
berpasangan dengan Jlitheng sehingga mungkin sekali ia akan
dapat ditangkap oleh keduanya.
Karena itu, maka Bramadaru harus cepat mengambil satu
keputusan. Ia tidak boleh terlambat.
Dengan demikian, maka t iba-tiba saja dengan sisa
tenaganya, Bramadaru telah menyerang lawannya. Segenap
kemampuannya telah ditumpahkannya. Serangannya datang
cepat dan berbahaya, sehingga Jlitheng terpaksa bergeser
surut. Namun pada kesempatan itu Bramadaru tidak
memburunya. Ketika Jlitheng sudah siap menghadapi segala
kemungkinan, maka tibattba saja Bramadaru justru meloncat
dan sekejap kemudian berlari menyusup diantara gerumbulgerumbul
liar sebelah batang pohon nyamplung yang besar
itu, "Tunggu" panggil Jlitheng.
Tetapi suaranya lenyap menyusup diantara dedaunan.
Sementara itu Bramadaru dengan cepat menyelinap dan
hilang didalamkegelapan. Jlitheng berusaha untuk menyusulnya. Tetapi beberapa
puluh langkah kemudian ia sudah kehilangan jejak. Bramadaru
itu bagaikan lenyap ditelan padang perdu yang luas itu.
Untuk beberapa saat Jlitheng berusaha menemukan
jejaknya. Namun dalam kegelapan malam, tidak banyak yang
dapat dilakukannya. Sementara itu, Daruwerdi yang sudah kehilangan
lawannya, mendekati Raden Ajeng Ceplik yang menggigil
ketakutan. Namun ketika Bramadaru melarikan diri, maka
seakan-akan ia telah terlepas dari satu keadaan yang paling
pahit yang dapat terjadi atas dirinya.
Karena itu, ketika Daruwerdi melangkah mendekatinya,
maka t iba-tiba saja Raden Ajeng Ceplik yang merasa dirinya
telah diselamatkan oleh kedua orang anak muda itu, telah
berjongkok dihadapan Daruwerdi sambil menangis.
"Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya kakangmas"
desis Raden Ajeng Ceplik. Yang pertama-tama terbayang di
angan-angannya adalah bahwa ia tidak dapat menerima anak
muda itu bersama ibunya didalam istananya, sehingga ia
memilih untuk pergi bersama Bramadaru.
"Kenapa kau minta maaf diajeng" sahut Daruwerdi sambil
menarik lengan gadis itu "berdirilah. Kau telah bebas dari
cengkeraman serigala liar itu."
Raden Ajeng Ceplikpun kemudian bangkit. Tetapi
tangannya masih sibuk mengusap air matanya yang mengalir
tidak henti-hentinya. Kengerian masih saja merayapi dadanya,
jika ia mengingat perlakuan Bramadaru yang diharapkannya
untuk dapat memberinya ketenangan justru karena jiwanya
yang bergolak menentang kehadiran Daruwerdi dan ibunya.
Tetapi ternyata ia telah jatuh ketangan seorang anak muda
yang buas sebuah serigala sebagaimana dikatakan oleh
embannya. Sementara itu. Jlithcng yang gagal menemukan Bramadaru
pun telah mendekati keduanya. Dengan nada rendah ia
berkata "Marilah. Kila segera kembali ke istana Raden Ajeng "
"Marilah" jawab Daruwerdi "kita akan segera memberikan
laporan tentang peristiwa ini."
"Kita harus cepat bertindak" berkata Jlitheng kemudian.
Ketiganyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Raden
Ajeng Cepliik yang letih badan dan jiwanya, dibimbing oleh
Daruwerdi meninggalkan tempat yang mengerikan baginya.
Hampir saja mengalami nasib yang paling buruk yang dapat
terjadi atasnya. Ketiganya memerlukan waktu yang cukup panjang. Namun
akhirnya merekapun sampai ke istana Pangeran Sena Wasesa.
"Jangan mengejutkan para penjaga" berkata Jlitheng
"kita memasuki halaman lewat pintu butulan."
Raden Ajeng menjadi berdebar-debar. Pintu itu adalah
pintu yang dipergunakannya untuk keluar dari istana
ayahandanya. "Apakah sebenarnya mereka melihat saat aku keluar?"
pertanyaan itu telah berjangkit dihati Raden Ajeng Ceplik
Namun ia tidak mengucapkannya.
Ternyata bahwa pintu butulan itu tidak diselarak. Karena
itu. maka dengan mudah mereka membuka dan menutup
kembali. Dengan hati-hati mereka memperhatikan para
peronda. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada seorang
perondapun yang mengetahuinya, maka merekapun segera
melintasi halaman dan menuju ke serambi.
"Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui
bahwa diajeng pernah meninggalkan istana ini" berkata
Daruwerdi "sekarang kembalilah ke bilikmu. Tetapi kita harus
segera berbuat sesuatu. Aku akan memberikan laporan
kepada ayahanda sekarang juga "
Raden Ajeng Ceplik termangu-mangu. Namun kemudian
katanya "Terserah kepada kakangmas."
"Masuklah" berkata Daruwerdi "aku akan mengetuk pintu
bilik ayahanda. Mudah-mudahan ayahanda tidak terkejut."
Raden Ajeng Ccplikpun segera kembali kedalam biliknya.
Sementara itu Daruwerdi dan Jlithengpun telah ikut masuk
pula keruang dalam, mereka akan memberanikan diri
mengetuk pintu Pangeran Sena Wisesa untuk memberikan
laporan tentang peristiwa yang menyangkut banyak segi,
bukan saja hubungan antara Raden Ajeng Ceplik dan
Bramadaru, tetapi juga hubungan antara Pangeran Gajahnata
dan Pangeran Sena Wasesa. Bahkan mau tidak mau hal ini
akan menyangkut nama Kangjeng Sultan pula karena kedua
orang yang tentu akan terlibat dalam perselisihan itu adalah
Pangeran. Namun dalam pada itu. selagi keduanya berusaha
mendekati bilik Pangeran Sena Wasesa dengan ragu-ragu,
maka seseorang berdiri didekat regol butulan sambil menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa kedua anak muda yang
telah menyusul Raden Ajeng Ceplik itu telah kembali dengan
selamat tanpa memerlukan bantuan orang lain. Sementara iiu.
maka orang itupun telah melakukan satu permainan yang
memungkinkan hal itu terjadi tanpa menimbulkan keributan di
istana Pangeran Sena Wasesa.
"Jika para peronda menemukan pintu butulan ini t idak
diselarak sebagaimana ditinggalkan oleh Raden Ajeng Ceplik,
maka istana ini tentu sudah menjadi gempar. Para pengawal
tentu akan mencari sebab dan jika mereka menemukan Raden
Ajeng tidak ada dibiliknya, maka semua orang akan menjadi
ribut, sementara Raden Ajeng Ceplik sendiri harus
diselamatkan." "Mereka akan langsung memberikan laporan malam ini"
desis seseorang dari kegelapan. "tetapi agaknya itu memang
lebih baik." "Ya Kiai" jawab orang yang berdiri didekat pintu butulan
"segalanya memang harus cepat diselesaikan."
"Aku akan menunggu didalam bilikku" berkata suara dari
kegelapan itu. Sejenak kemudian menjadi hening. Tidak ada suara lagi
Orang yang berdiri didekat regol itupun lelah hilang pula.
Dalam pada itu. Daruwerdi dan Jlitheng telah
memberanikan diri mengetuk pintu bilik Pangeran Sena
Wasesa. Perlahan sekali tanpa mengejutkan. Namun dalam
pada itu. dibilik Raden Ajeng Ceplik telah terdengar isak
tangisnya yang tertahan-tahan.
"Anak itu menyesali diri" berkata Daruwerdi dan Jlitheng
didalam hatinya. Dalam pada itu. ternyata Pangeran Sena Wasesa terbangun
pula oleh ketukan perlahan-lahan dipintu biliknya. Kemudian
dengan hati yang berdebaran Pangeran itu bangkit. Adalah
mendebarkan bahwa dilarut malam, bahkan menjelang dini
hari, seseorang telah mengetuk pintu biliknya.
"Siapa ?" terdengar Pangeran Sena Wasesa itu bertanya.
"Aku ayahanda" jawab Daruwerdi.
"Daruwerdi ?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Ya. Bersama Jlitheng Ada satu hal yang sangat penting
yang wajib aku laporkan kepada ayahanda" jawab Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa menjadi ragu-ragu. Suaranya
memang suara Daruwerdi. Tetapi kemungkinan-kemungkinan
lain memang dapat terjadi.
Karena itu, maka sebelum membuka pintu. Pangeran Sena
Wasesa telah mengenakan lempeng baja di telapak tangannya
Mungkin benda itu diperlukan jika keadaan tiba-tiba saja telah
menyusutkannya. Ketika pintu terbuka, maka dua orang anak muda berdiri
didepan pintu. Keduanya mengangguk hormat, sementara
Pangeran Sena Wasesa berdiri termangu-mangu.
"Malam-malam begini, kalian telah membangunkan aku ?"
bertanya Pangeran Sena Wasesa.
Kedua anak muda itu belum menjawab, ketika Pangeran itu
mendengar puterinya menangis terisak-isak.
"Kenapa dengan Ceplik ?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Itulah yang ingin kami laporkan" jawab Daruwerdi
"tentang diajeng Ceplik."
"Apa yang telah terjadi ?" bertanya Pangeran Sena Wasesa
dengan tegangnya. "Agaknya lebih baik jika ayahanda menanyakan kepadanya,
apakah yang telah terjadi dengan dirinya" jawab Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa merenung sejenak. Lalu katanya
"Baiklah. Biarlah seseorang memanggilnya."
"Aku akan memanggilnya" berkata Daruwerdi.
Daruwerdi itupun kemudian pergi ke bilik Raden Ajeng
Ceplik. Dengan nada dalam ia berkata "Diajeng. Ayahanda
memanggilmu. Katakan akan apa yang terjadi sebenarnya,
agar ayahanda mengetahui dengan pasti dan dapat
mengambil langkah yang paling baik dalam persoalan ini "
Jantung Raden Ajeng Ceplik menjadi berdebar-debar. Ia
sendiri menjadi bingung untuk berterus terang. Ia dapat saja
mengatakan segala sesuatu tentang Bramadaru. Tetapi
apakah ia akan dapat mengatakan alasan kepergiannya
meninggalkan istana itu bersama Bramadaru karena ia
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolak kehadiran ibu tirinya dan Daruwerdi itu sendiri.
Daruwerdi yang melihat Raden Ajeng Ceplik ragu-ragu
berkata "Diajeng. Jika diajeng tidak mengatakan yang
sebenarnya dan menutup sebagian persoalan ini. maka
ayahda mungkin akan mendapat gambaran yang keliru
sehingga ayahanda akan dapat mengambil satu tindakan yang
seharusnya tidak dilakukannya."
Raden Ajeng Ceplik mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya "Kakangmas, Biarlah aku menghadap
seorang diri. Ada persoalan yang sangat pelik yang ingin aku
katakan kepada ayahanda "
Daruwerdi mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Marilah." Raden Ajeng Ceplik kemudian masuk kedalam bilik
ayahanda sementara Jlitheng telah diminta untuk
meninggalkan ruangan itu. Sehingga didalam bilik itu hanya
terdapat Raden Ajeng Ceplik dan ayahandanya Pangeran Sena
Wasesa. " Sementara keduanya lagi berbincang didalam. maka Rahu
telah memasuki ruangan itu pula dengan diam-diam,
"Di ajeng Ceplik sedang menghadap" berkata Daruwerdi
kepada Rahu. "Baiklah. Mungkin aku akan dapat melengkapi penjelasan,
seandainya Pangeran Sena Wasesa memerlukannya. Setelah
Raden Ajeng Ceplik selesai, kita akan menghadap lagi."
berkata Rahu. "Raden Ajeng ingin menghadap bendiri" berkata
Jlitheng. "Mungkin Raden Ajeng merasa malu kau dengar beberapa
hal tentang hubungannya dengan Braniadaru. Tetapi itu tidak
apa-apa. Kita berharap bahwa ia berkata dengan jujur." desis
Rahu. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun mereka
masih harus menunggu beberapa saat diluar bilik Pangeran
Sena Wasesa. . Dalam pada itu dalam bilik Pangeran Sena Wasesa telah
mendengarkan semua pengakuan Raden. Ajeng Ceplik. Seperti
yang diharapkan oleh Daruwerdi, maka Raden Ajeng Ceplik
memang mengatakan semua persoalan djJalam dirinya. lapun
mengatakan, bahwa ia telah menolak kehadiran ibu tirinya di
dalam hatinya. Karena itu ia memutuskan untuk meninggalkan
rumah itu. "Aku menganggap mereka akan menghantui hidupku"
berkata Raden Ajeng Ceplik "mereka telah menodai ayahanda
kepada ibunda. Tetapi ternyata bahwa anak muda yang
bernama Daruwerdi itu bersama dengan J litheng telah
menolong aku. Membebaskan aku dari kegelapan masa
depanku." Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun gejolak didalam dadanya rasa-rasanya akan
meledakkan jantungnya. Persoalan Raden Ajeng Ceplik
dengan ibu t iri dan kakaknya nampaknya tidak banyak
membakar isi dadanya. Apalagi dengan pengakuan Raden
Ajeng Ceplik tentang Daruwerdi. Rasa-rasanya Raden Ajeng
Ceplik telah menerima kenyataan itu.
Tetapi tingkah laku Bramadaru benar-benar membuat
darahnya bagaikan mendidih.
Karena itu, maka tiba-tiba saja
ia berkata "Aku akan
menyelesaikan persoalan ini
dengan kakangmas Pangeran
Gajahnata sekarang."
"Sekarang ayahanda ?"
bertanya Raden Ajeng Ceplik
"Ya, sekarang. Ini adalah
persoalan orang tua. Bukan saja
persoalan nilai-nilai peradaban,
tetapi juga penghinaan atas
martabat kesatriaaku. Bagiku,
penghinaan yang begini harus
dibayar dengan jiwa. Aku atau kakangmas Gajahnata yang
akan mati." "Ayahanda" tangis Raden Ajeng Ceplik.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa tidak menghiraukannya.
Dengan serta meria ia melangkah kepintu. Dengan serta
merta Pangeran Sena Wasesa itu mendorong pintu biliknya
meskipun Ceplik kemudian telah memeluk kakinya.
"Jangan tahan aku Ceplik. Aku punya harga diri seorang
kesatria. Ia sudah menjamah kesucian isi rumah ini. Karena itu
maka tebusannya adalah sifat kejantanan itu sendiri sampai
tuntas." geramPangeran Sena Wasesa.
Namun dalam pada itu, tiga orang telah menunggu diluar
bilik itu. Rahulah yang kemudian bergeser maju sambil
berkata "Pangeran. Apakah Pangeran berkenan aku
mengatakan sesuatu ?"
"Apa " Kau sudah mengetahui penghinaan ini juga ?"
bertanya. Pangeran Sena Wasesa.
"Hamba mengetahui sebagian besar dari peristiwa ini.
Akulah yang ikut bersama dengan Daruwerdi dan Jlitheng
menyusul Raden Ajeng Ceplik." jawab Rahu.
"Kalau begitu, baiklah aku memberitahukan kepadamu. Aku
akan pergi ke istana kakangmas Gajahnata sekarang juga.
Tingkah laku anak-nya telah menyentuh harga diriku yang
paling dalam. Karena itu, aku atau kakangmas Gajahnata yang
harus mati malam ini. Kecuali jika ia mau menyerahkan
anaknya, Bramadaru." geramPangeran Sena Wasesa.
"Pangeran" berkata Rahu "aku mohon maaf. Tetapi
perkenankanlah aku sedikit memberikan peringatan kepada
Pangeran, justru dalam keadaan marah, Pangeran akan dapat
melupakannya" Rahu berhenti sejenak, lalu "bukankah di
Demak ini ada Kangjeng Sultan. Bukankah persoalan ini dapat
Pangeran ajukan kepada Kangjeng Sultan. Dengan demikian
maka Pangeran tidak akan dituduh melakukan satu tindakan
diluar paugeran hukum dengan mengambil tindakan sendiri.
Pangeran dapat mohon agar persoalan ini segera diselesaikan.
Apalagi persoalannya menyangkut masalah harta benda yang
sudah pernah Pangeran serahkan kepada Kangjeng Sultan dan
yang ternyata masih belum kembali masuk ke Gedung
Perbendaharaan istana."
Pangeran Sena Wasesa menggeram. Dadanya memang
serasa akan meledak oleh kemarahan. Tangis anak gadisnya
tidak dapat meredakan gejolak di dadanya. Namun peringatan
yang diberikan Rahu agaknya dapat membuka hatinya Ia baru
saja mendapat pengampunan dari Kangjeng Sultan. Jika ia
dengan tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan telah
mengambil satu sikap langsung atas sesama seorang
Pangeran, maka kemarahan Kangjeng Sultan akan dapat
terungkap lagi. Karena itu, maka Pangeran Sena Wasesa menarik nafas
dalam-dalam. Seakan-akan ia ingin mengendapkan gejolak
yang menyala didadanya. "Aku mohon, Pangeran" desis Rahu kemudian.
Pangeran Sena Wasesa akhirnya berhasil menguasai
kemarahannya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Raden Ajeng
Ceplik masih duduk bersimpuh berpegangan kedua kakinya.
"Baiklah Ceplik" berkata Pangeran Sena Wasesa "aku t idak
akan pergi sekarang. Rahu berhasil meyakinkan aku, bahwa
tindakan yang tergesa-gesa tidak akan membawa hasil yang
baik. Tetapi besok pagi-pagi benar aku akan menghadap
Sultan. Sementara itu, aku akan memperingatkan para
peronda untuk berhati-hati. Siapa tahu, Bramadaru telah
memberikan laporan yang lain kepada kakangmas Gajahnata,
sehingga agar tidak kedahuluan, maka kakangmas
Gajahnatalah yang akan datang ke rumah ini."
"Biarlah aku saja yang menyampaikan pesan Pangeran
kepada para penjaga" berkata Rahu.
"Mereka tidak akan memperhatikan perintahmu. Kau bukan
pemimpin mereka disini" sahut Pangeran Sena Wasesa.
Rahu mengangguk-angguk. Ia baru sadar, bahwa ia
memang bukan jalur yang mungkin dapat meneruskan
perintah Pangeran Sena Wasesa kepada para pengawal.
Karena itu, maka ketiga orang itupun kemudian minta diri.
Sementara itu, Rahu masih sempat berkata "Tidak seorangpun
diantara para pengawal yang mengetahui apa yang telah
terjadi." Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Ia
memang merasa heran bahwa para pengawal nampaknya
tidak tahu sama sekali bahwa Raden Ajeng Ceplik telah
meninggalkan halaman. "Aku telah menyelarak pintu butulan itu kembali setelah
Raden Ajeng keluar dari halaman ini" berkata Rahu "aku
memang bermaksud mengetahui, apakah yang sebenarnya
ingin dilakukan oleh Raden Bramadaru, karena aku sudah
mendapat beberapa keterangan tentang anak muda itu dari
emban Raden Ajeng Ceplik." berkata Rahu dengan nada datar.
Pangeran Sena Wasesa masih belum pasti, apa saja yang
telah dilakukan oleh Rahu. Tetapi ia mengerti, bahwa hidung
Rahu sebagai petugas sandi telah dimanfaatkan pula untuk
mencium tingkah laku Raden Bramadaru dan anak gadisnya.
Karena itu, hampir diluar sadarnya Pangeran Sena Wasesa
berdesis "Terima kasih Rahu. Kau dan kedua anak muda ini
telah menyelamatkan anak gadisku dari kenistaan yang paling
laknat." "Mudah-mudahan segalanya dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Terutama segera kembalinya harta benda itu
Icdalam Gedung Perbendaharaan istana." Rahu berhenti
sejenak, lalu "silahkan Pangeran turun ke gardu."
Pangeran Sena Wasesa kemudian menyuruh anak gadisnya
untuk kembali kedalam biliknya. Katanya "Tidurlah. Kau telah
terlepas dari mimpi yang mengerikan itu."
Raden Ajeng Ceplikpun kemudian bangkit berdiri dan
melangkah kedalam biliknya. Sementara itu Rahupun
mengikut i Pangeran Sena Wasesa yang turun kehalaman
sambil berkata kepada Daruwerdi dan Jlitheng "Silahkan
kembali ke gandok. Aku akan segera menyusul."
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun merekupun
kemudian menuju ke gandok. Nampaknya Rahu masih akan
menyertai Pangeran Sena Wasesa yang akan memerintahkan
agar para pengawalnya berhati-hati.
"Tetapi ayahanda agaknya tidak akan memberitahukan
persoalan diajeng Ceplik kepada para pengawal" berkata
Daruwerdi. "Ya. Pangeran hanya akan memberikan perintah kepada
mereka untuk bersiaga sebaik-baiknya." jawab Jlitheng
Namun sementara itu, Rahu yang mengikuti Pangeran Sena
Wasesa telah memberikan beberapa keterangan tentang
hubungan antara Bramadaru dan Raden Ajeng Ceplik.
Kedukaan hati gadis itu karena ia merasa cinta ayahandanya
kepada ibundanya dinodai. Dengan sedikit mengurai
persoalan-persoalan yang berhasil diamatinya dari kejauhan
maka ketajaman nalar Rahu mencium langkah-langkah yang
mungkin akan berakibat kurang baik bagi Raden Ajeng Ceplik.
"Kenapa kau t idak mencegah saja hal itu agar t idak terjadi
?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Pangeran" jawab Rahu "aku mohon maaf, bahwa dengan
pertimbangan Kiai Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi, maka hal
ini telah aku lakukan. Aku sengaja memberikan kesempatan
kepada Daruwerdi untuk menolong Raden Ajeng Ceplik.
Bukankah dengan demikian gadis itu merasa, bahwa anak
muda yang disebut kakaknya itu benar-benar telah mampu
menjadi pelindungnya " "
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
hampir lupa kepada persoalan keluarganya itu. Ia hampir lupa
sikap anak gadisnya menghadapi kenyataan yang sangat
pahit. Namun kini ayah dari dua orang anak yang berbeda ibu
itu melihat, bahwa kedua anak itu. telah dapat
mempertautkan hati mereka sebagai saudara.
"Bukankah dengan demikian Raden Ajeng Ccplik juga akan
menerima ibu Raden Daruwerdi itu sebagai ibundanya ?"
bertanya Rahu. Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya
dengan nada sangat dalam "Terima kasih Rahu. Kau bukan
saja seorang yang telah menolong aku dari keterjerumusanku
kemungkinan yang paling buruk atas diriku di saat-saat aku
berada ditangan orang-orang Sanggar Gading, tetapi kau juga
telah menyelamatkan keluargaku dari keretakkan dan bahkan
kehinaan atas anak gadisku itu."
"Yang aku lakukan adalah sekedar kewajiban, Pangeran.
Kewajibanku sebagai seorang petugas sandi di sarang orangorang
Sanggar Gading dan tugas diantara sesama di istana
ini." jawab Rahu. Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Tetapi ia
tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Ketika Pangeran itu
berada didepan regol. maka pengawal yang sedang bertugas
malamitupun segera menyongsongnya.
"Ada perintah Pangeran ?" bertanya pemimpin pengawal.
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menjawab lunak "Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku
hanya merasa terlalu panas didalam."
"O" Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
demikian Pangeran Sena Wasesa berkata "Tetapi berhatihatilah
disisa malam ini. Mungkin udara yang tidak nyaman ini
membuat aku gelisah. Amati setiap sudut dengan baik,
meskipun sebentar lagi hari menjadi pagi."
"Siap Pangeran." jawab pengawal itu.
"Pada saat-saat seperti ini, kita kadang-kadang menjadi
lengah" berkata Rahu.
Pengawal itu mengangguk-angguk kecil. Sejenak kemudian
maka Pangeran Sena Wasesapun kembali kedalam biliknya,
sementara Rahupun menuju ke gandok.
Didalam biliknya Pangeran Sena Wasesa sempat
menganyam angan-angannya. Ia dapat melihat peristiwa itu
dalam keseluruhan. Ia sudah mendengar kisah anak gadisnya
dan iapun telah mendengar keterangan Rahu menurut
penilaiannya atas peristiwa yang terjadi di istana itu.
Ternyata bahwa Raden Ajeng Ceplik sangat berat untuk
menerima kehadiran ibu tirinya yang ternyata telah menyadap
cinta ayahandanya sebelum ayahandanya kawin dengan
ibundanya. Dengan demikian maka seakan-akan ayahandanya
kawin dengan ibundanya itu sama sekali tidak dilandasi oleh
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perasaan cinta. Tetapi Ceplik telah melihat kenyataan lain, bahwa
Daruwerdi telah menyelamatkannya dari kehinaan yang paling
dahsyat. Tanpa pertolongan Daruwerdi dan anak muda yang
lebih senang dipanggil Jlitheng dari pada namanya sendiri itu,
maka mungkin ia akan berada disatu neraka yang sangat
mengerikan, tanpa diketahui oleh ayahandanya, sementara
Bramadaru akan dapat berpura-pura kehilangan pula.
Sedangkan dalam masa-masa tertentu Bramadaru akan
datang kepadanya dengan kebuasan yang menyala didalam
dadanya. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
juga berterima kasih kepada Rahu yang telah mengekangnya
sehingga ia tidak mengambil t indakan sendiri malam itu.
"Sultan akan dapat terungkat kemarahannya jika aku
bertindak sendiri, apalagi harta benda itu masih belum masuk
ke Perbendaharaan. Jika aku membunuh kakangmas
Gajahnata, maka aku akan mendapat hukuman kjrena
kesalahan kakangmas belum dibukt ikan. Tetapi jika aku mati,
pusaka dan harta benda itu akan tidak dikenal tempatnya.
Meskipun serba sedikit aku sudah menyampaikan kepada
Kanjeng Sultan, tetapi tanpa aku, semuanya akan mengalami
kesulitan. " berkata Pangeran Sena Wasesa kepada diri
sendiri. Demikianlah, maka malam itu Pangeran Sena Wasesa telah
mempersiapkan dirinya lahir dan batin untuk menghadapi
persoalannya dengan Pangeran Gajahnata.
Karena itu, maka pagi-pagi benar Pangeran Sena Wasesa.
sudah siap untuk berangkat ke ana Namun ia sadar, bahwa ia
tidak akan segera dapat menghadap Sultan, karena hari masih
terlalu pagi. Namun gejolak perasaannya tidak lagi dapat
dikekangnya untuk segera berangkat.
"Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan untuk
menghadap mendahului waktu yang sudah ditentukan"
berkata Pangeran Sena Wasesa didalam hatinya "Aku
memerlukan berbicara sebelum ada orang lain."
Namun agaknya Pangeran Sena Wasesa memerlukan
seseorang yang akan dapat membantunya menjelaskan
persoalan yang dihadapinya. Menurut pendapat Pangeran
Sena Wasesa, yang paling tepat untuk diajaknya menghadap
adalah Rahu. Rahu sama sekali tidak berkeberatan. Justru ia berterima
kasih atas kepercayaan Pangeran Sena Wasesa yang akan
mengajaknya serta. Seperti yang diduganya. Pangeran Sena Wasesa datang
terlalu pagi diistana. Para pengawal masih berada ditempat
tugas mereka dimalam hari. Sehingga karena itu, maka
kedatangan Pangeran Sena Wasesa itu menimbulkan
beberapa pertanyaan pada para pengawal.
"Memang ada sesuatu yang penting yang harus segera aku
sampaikan kepada Kangjeng Sultan" berkata Pangeran Sena
Wasesa kepada para pengawal.
"Cobalah berhubungan dengan pengawal dalam" seorang
pengawal mempersilahkan "jika Kangjeng Sultan sudah berada
di ruang dalam, maka Pangeran akan dapat di terimanya jika
persoalan yang Pangeran bawa memang pent ing sekali."
Pangeran Sena Wasesapun kemudian menghubungi
pimpinan pengawal dalam untuk menyampaikan
permohonannya menghadap mendahului waktunya.
Permohonan Pangeran Sena Wasesa itu ternyata sangat
menarik perhatian Kangjeng Sultan, justru karena Pangeran
Sena Wasesa mempunyai persoalan khusus tentang pusaka
dan harta benda yang disembunyikannya.
Karena itu, maka Kangjeng Sultan tidak berkeberatan untuk
menerima Pangeran Sena Wasesa menghadap.
"Agaknya ada masalah yang sangat penting" desis
Kangjeng Sultan ketika Pangeran Sena Wasesa dan Rahu yang
bergelar Wira Murti itu menghadap.
"Hamba Kangjeng Sultan" jawab Pangeran Sena Wasesa
"hamba yang menghadap bersama Wira Murti membawa satu
persoalan yang sangat penting. Sebenarnya bukan masalah
pusaka dan harta benda itu secara langsung, namun memang
ada singgungannya dengan pusaka dan harta benda itu,
meskipun atas persoalannya adalah persoalan pribadi."
Kangjeng Sultan memperhatikan keterangan itu dengan
sungguh-sungguh. Sementara itu, maka Pangeran Sena Wasesapun
segera melaporkan segala persoalan yang terjadi di
istananya. Dengan jujur dan sebagaimana sesungguhnya
terjadi. Pangeran Sena Wasesa menceriterakan perasaan anak
gadisnya. Kemudian sikap putera Pangeran Gajahnata
terhadap puterinya. Serta keinginan Pangeran Gajahnata
untuk dapat mempergunakan hubungan antara Bramadaru
dan anak gadisnya untuk memiliki pusaka dan harta benda itu.
"Darimana kakangmas Pangeran mengetahuinya ?"
bertanya Kangjeng Sultan.
"Bramadaru mengatakannya kepada anak gadis hamba,
sementara Wira Murti ini mengintip dari balik semak-semak."
jawab Pangeran Sena Wasesa, yang kemudian juga
menjelaskan usaha Rahu yang bergelar Wira Murti itu untuk
mempertautkan hati anak laki-lakinya dengan anak gadisnya.
Kangjeng Sultanpun kemudian mendapatkan semua
penjelasan dari Pangeran Sena Wasesa dan dari Rahu. Sampai
saatnya Raden Ajeng Ceplik itu kembali kedalam istana
kapangarenan. "Hampir saja hamba kehilangan pengamatan diri" berkata
Pangeran Sena Wasesa pula "untunglah Rahu telah mencegah
hamba untuk tidak pergi ke istana kakangmas Gajahnata
malamitu juga." Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Namun kemudian
Kangjeng Sultan itupun berkata "Baiklah kakangmas
Pangeran. Aku telah mendengar laporanmu. Tetapi aku masih
harus mendengar laporan dari pihak yang lain, agar keputusan
yang akan aku ambil tidak menjadi berat sebelah. Mungkin
aku masih memerlukan beberapa orang saksi. Namun yang
aku harap bahwa aku akan mendapatkan keterangan sehingga
aku dapat mengabarkan peristiwa yang sebenarnya."
"Hamba Kangjeng Sultan. Hamba akan menunggu." jawab
Pangeran Sena Wasesa. Demikianlah, maka Kangjeng Sultanpun telah
memerintahkan dua orang pengawal untuk menghadap
Pangeran Gajahnata. "Kakangmas Gajahnata aku perlukan menghadap sekarang"
pesan Kangjeng Sultan kepada pengawal itu.
Sambil menunggu, maka Kangjeng Sultan masih
menanyakan beberapa hal tentang peristiwa di bawah pohon
nyamplung itu, terutama kepada Rahu yang bergelar Wira
Murti. Bahkan Kangjeng Sultanpun bertanya "Wira Murti.
apakah yang kau lakukan itu tidak justru akan dapat berakibat
sebaliknya. Seandainya Daruwerdi dan Jlitheng yang bergelar
Pangeran Candra Sangkaya itu tidak dapat memenangkan
pertempuran itu. Apakah yang kira-kira akan terjadi " Atau
bahkan mungkin guru Bramadaru atau orang yang
membantunya itu ada disitu pula ?"
"Ampun Kangjeng Sultan. Sebenarnyalah mereka tidak
hanya berdua. Hamba ada pula ditempat itu bersama Kiai
Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. Jika sesuatu yang gawat
terjadi atas keduanya, maka kami sudah siap untuk membantu
mereka." jawab Rahu.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jadi
kalian sudah memperhitungkan dengan cermat ?"
Rahu mengangguk hormat sambil menyahut "Hamba
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya."
Ketika Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Pangeran
Sena Wasesapun mengangguk-angguk pula. Pertanyaannya
tidak sampai sejauh pertanyaan Kangjeng Sultan itu. sehingga
dengan demikian ia menjadi semakin meyakini, bahwa orangorang
yang sedang menjadi tamunya itu benar-benar ingin
berbuat baik terhadapnya dan terhadap keluarganya.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, ternyata
pengawal yang mendapat tugas untuk menghadap Pangeran
Gajahnata telah kembali. Dengan nafas terengah-engah
pengawal itu menghadap Kangjeng Sultan d ruang dalam.
Pangeran Sena Wasesa dan Rahu menjali berdebar-debar
melihat kegelisahan yang membayang diwajah orang itu.
Agaknya Sultanpun demikian pula, sehingga karena itu. maka
Kangjeng Sultan itupun segera bertanya "Bagaimana dengan
Pangeran Gajahnata ?"
"Istana itu sudah kosong tuanku" jawab pengawal itu.
"He" wajah Kangjeng Sultan menjadi tegang "maksudmu
bahwa Pangeran Gajahnata sudah tidak ada diistana-nya lagi
?" "Hamba tuanku. Ada sekelompok pengawal yang
kebingungan di halaman istana. Namun mereka mengatakan,
bahwa Pangeran Gajahnata telah meninggalkan istana tanpa
membawa seorang pengawalpun. Agaknya yang mengawal
Pangeran itu bersama puteranya adalah Ki Ajar Wrahasniti,
guru Raden Bramadaru dengan beberapa orang
kepercayaannya." jawab pengawal itu.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Pangeran Sena Wasesa "Semuanya sudah
jelas sekarang" Pangeran Sena Wasesa menunduk dalam-dalam. Ada
sepercik kekecewaan, bahwa ia tidak sempat membuat
perhitungan dengan Pangeran Gajahnata karena anak lakilakinya
telah menghinakan anak gadisnya, meskipun masih
belumterlanjur terjadi sesuatu yang merupakan bencana.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Sultanpun kemudian
berkata kepada pengawal yang menghadap "Baiklah.
Persoalannya akan aku pelajari untuk mengambil satu langkah
yang paling baik atas peristiwa ini."
Pengawal itupun kemudian mengangguk hormat sambil
menyembah. Baru ketika pengawal itu telah hilang dibalik dinding
ruangan, maka Kangjeng Sultan itupun berkala "Kita dapat
meyakini bahwa peristiwa yang aku dengar ,tu bukan sekedar
ceritera yang berat sebelah. Justru karena Pangeran
Gajahnata meninggalkan istananya, maka aku menjadi
semakin pasti, bahwa mereka telah merasa bersalah sehingga
lebih baik menghindarkan diri daripada harus mengalami
pemeriksaan dan kemudian hukuman."
Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Sementara itu
Kangjeng Sultan berkata seianjutnya "Tetapi kakangmas
Pangeran, aku yakin pula bahwa persoalannya tidak akan
berhenti sampai disini. Kakangmas Gajahnata tentu masih
akan mengambil langkah-langkah yang akan dapat merupakan
ancaman bagi kakangmas Sena Wasesa. "
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Ia menyadari
sepenuhnya sebagaimana dikatakan oleh Kangjeng Sultan di
Demak itu. Namun dalam pada itu. maka Kangjeng Sultanpun
kemudian berkata "Tetapi kakangmas akan dapat memperkuat
pengawalan di istana Kanangmas. Jika diperlukan, maka
kekuatan pengawal itu akan dapat ditambah dengan
pengawalan dari kesatuan keprajuritan di Demak "
"Terima kasih" jawab Pangeran Sena Wasesa "sementara
ini biarlah hamba berusaha menjaga diri sendiri. Hamba
mempunyai beberapa orang pengawal yang dapat hamba
percaya. Bahkan pada saat-saat hamba diambil oleh orangorang
Sanggar Gading, mereka tetap menunjukkan kesetiaan
mereka Apalagi pada saat ini. Tamu-tamu hamba adalah
orang-orang yang memiliki ilmu yang meyakinkan, sementara
mereka telah berbuat sejauh dapat mereka lakukan bagi
kebaikan hamba dan keluarga hamba. Namun apabila pada
satu saat hamba memerlukannya, maka hamba akan
mengatakan nya." Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Ia mengerti
sepenuhnya bahwa tamu-tamu Pangeran Sena Wasesa
memang orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
sehingga karena itu, untuk saat itu. Pangeran Sena Wasesa
memang tidak, memerlukan bantuan bagi pengamanannya.
Namun dalam kesempatan itu, Kangjeng Sultan telah
mengambil satu keputusan pula untuk dengan segera
mengambil pusaka dan harta benda yang pernah diperebutkan
sehingga menelan banyak sekali korban. Apalagi justru
Pangeran Gajahata telah berusaha untuk menguasai pusaka
dan harta benda itu pula caranya sendiri. Untuk sementra
usaha itu memang dapat dianggap gagal. Tetapi mungkin
masih ada cara lain yang dapat dipergunakan.
Akhirnya Kangjeng Sultan memutuskan untuk
memindahkan pusaka dan harta benda itu dengan secara
rahasia. Tidak banyak orang dilingkungan istana sendiri yang
mengetahuinya. Namun dalam pada itu, Kangjeng Sultan telah
mempercayakan pemindahan itu kepada Pangeran Jalayuda.
Pangeran Sena Wasesa sendiri dan beberapa petugas sandi
yang dipimpin oleh Rahu yang bergelar Wira Murti.
"Sabet Kiai Lawang" desis Pangeran Jalayuda,
"Ya" desis Pangeran Sena Wasesa "sipat kandel yang
memiliki perbawa yang sangat besar sehingga orang percaya
bahwa siapa yang memilikinya akan mampu memegang
kekuasaan tertinggi di Demak. Didukung oleh harta benda
yang tiada terhitung jumlahnya, maka seseorang benar-benar
akan dapat berbuat apa saja yang tidak pernah dapat
dibayangkan. " Pangeran Jalayuda mengangguk-angguK. Namun justru
karena itu maka ia telah melakukan tugasnya dengan sangat
berhati-hati. Dalam pada itu, sebagaimana diduga orang, sebenarnyalah
bahwa pusaka dan harta benda itu memang berada di daerah
sepasang Bukit Mati. Tetapi sama sekali tidak berada dibukit
gundul. Justru didekat bukit berhutan, berseberangan dengan
arah air yang dikuasai oleh orang-orang Lumban.
Dalam tugas rahasia itu, telah dikerahkan orang-orang
berilmu tinggi untuk mengawalnya, tetapi yang jumlahnya
tidak terlalu banyak sehingga tidak banyak menarik perhatian.
Untuk mengangkut harta benda itu telah dipergunakan
beberapa pedati yang dikendalikan oleh orang-irang berilmu
itirT Bahkan atas permintaan Pangeran Sena Wasesa, dalam
tugas itu Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning telah ikut pula
bersama dengan kelompok orang-orang berilmu dalam
mengemban tugas yang sangat rahasia itu.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, untuk mengamankan Raden Ajeng Ceplik di
istana Pangeran Sena Wasesa, telah ditugaskan beberapa
orang prajurit terpercaya untuk meronda dan yang selalu berhubungan
dengan para pengawal diluar pengetahuan Raden
Ajeng Ceplik sendiri. Disamping para pengawal dan para
prajurit. Raden Ajeng Ceplik merasa tenang berada dibawah
pengawasan kakaknya Daruwerdi dan seorang anak muda
yang bernama Jlitheng. Bahkan perlahan-lahan, Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk
merubah sikapnya dan menunjukkan kepada kakaknya, bahwa
ia tidak akan mengingkari sama sekali kehadiran ibu
Daruwerdi meskipun ia berasal dari padepokan.
Meskipun tidak dengan serta merta. karena keseganan
yang masih membayangi kedua belah pihak, tetapi hubungan
antara Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin akrab pula
dengan Endang Srini dan Swasti.
Dalam pada itu, menuggu tugas Pangeran Sena Wasesa
serta penyelesaian didalam Gedung Perbendaharaan, maka
para tamunya masih tetap berada di lingkungan istana
kapangeranan. Meskipun waktunya tidak terlalu lama, namun telah
memberi kesempatan segala pihak untuk dapat saling
menyesuaikan diri. Ternyata bahwa tugas yang berat dari Pangeran Jalayuda
dan Pangeran Sena Wasesa itu dapat diselesaikan dengan
selamat. Meskipun pusaka dan harta benda itu berada di
Lumban, namun demikian cermatnya tugas yang dilakukan,
sehingga tidak seorangpun diantara orang-orang Lumban
yang mengetahui, apa yang sudah terjadi di Kabuyutan
mereka. Tetapi agaknya justru penyelesaian di Gedung
Perbendaharaan itulah yang memerlukan waktu yang lebih
lama, Dengan cermat dan hati-hati setiap benda berharga
dihitung dan dicatat diatas rontal disaksikan oleh Pangeran
Jalayuda dan Pangeran Sena Wasesa.
Demikianlah, baru ketika tugas itu sudah selesai, maka
dengan sengaja telah di hembuskan berita, bahwa pusaka dan
harta benda yang diperebutkan itu memang sudah berada di
istana, sehingga dengan demikian, maka pergolakan
berikutnya memperebutkan harta benda dan pusaka itu tidak
akan terjadi lagi. Dengan demikian, maka persoalan yang untuk beberapa
lamanya menyelubungi Pangeran Sena Wasesa, seakan-akan
telah terurai seluruhnya, Rasa-rasanya Pangeran Sena Wasesa
tidak lagi mempunyai hutang kepada siapapun juga. Dengan
demikian, maka rasa-rasanya hidupnyapun menjadi lebih
jernih. Apalagi ketika iapun kemudian menyadari, bahwa puterinya
yang semula menyesali kehadiran ibu tirinya, semakin lama
menjadi semakin dekat pula. Bahkan kemudian, batas antara
keduanyapun seakan-akan telah lenyap.
Ternyata bahwa tingkah laku Bramadaru dapat memberikan
arti yang bermanfaat bagi kedua anaknya. Seandainya
Bramadaru tidak melakukannya, maka masih sulit untuk
mencari jalan agar kedua anaknya dapat berbuat sebagaimana
dua orang saudara. Apalagi dengan ibu tirinya. Tetapi
segalanya kini sudah teratasi.
Namun dalam pada itu, masih ada yang hsrus diselesaikan
oleh Pangeran Sena Wasesa sebagai orang tua. Ia tidak dapat
tinggal diam melihat hubungan antara Daruwerdi dan Swasti.
Bahkan seakan-akan Swasti sudah tidak dapat dipisahkan lagi
dari Endang Srini yang merasa pernah diselamatkan jiwanya
oleh gadis yang garang itu.
"Tidak ada keberatan apapun" berkata Endang Srini kepada
Pangeran Sena Wasesa ketika Pangeran itu bertanya
kepadanya tentang hubungan antara anaknya dengan Swasti.
"anak Kiai Kanthi yang terbiasa hidup dalam kekerasan alam.
Aku berharap bahwa pengalaman orang tuanya akan menjadi
cermin bagi Daruwerdi, bahwa ia akan dapat menjadi seorang
yang benar-benar menerima isterinya sebagaimana adanya,
serta tidak dapat dipaksa oleh siapapun untuk
meninggalkannya kecuali karena keduanya dipisahkan oleh
maut. " "Ya, ya. Aku mengerti" sahut Pangeran Sena Wasesa
sambil mengangguk-anguk. Lalu "Adalah menjadi kewajiban
kita untuk memberikan kesadaran yang demikian kepadanya,
selagi semuanya belum terlanjur "
Endang Srini hanya mengangguk-angguk. Tetapi ia berjanji
didalam dirinya, bahwa ia akan menjelaskan hal itu kepada
anaknya. Swasti adalah anak Kiai Kanthi, seorang penghuni
padepokan yang olehkebanyakan orang disebut tidak
berderajat Tetapi itu bukan berarti bahwa anak gadis itu rJean
dapat diperlakukan sekehendak oleh orang lain yang
kemudian menjadi suaminya, meskipun ia adalah seorang
bangsawan. Demikianlah, maka seakan-akan segalanya memang sudah
selesai. Dengan demikian, maka datang saatnya tamu-tamu
Pangeran Sena Wasesa itu minta diri. Mereka sudah terlalu
lama membuat istana Pangeran Sena Wasesa menjadi terlalu
sibuk. Namun dalam pada itu, sebelum mereka meninggalkan
istana Pangeran Sana Wasesa, maka mereka masih dibawa
sekali lagi mohon diri kepada Kangjeng Suhan. Sebagaimana
mereka datang menghadap, maka merekapun menghadap
pula pada saat mereka akan pergi.
"Segalanya sudah disiapkan" berkata Kangjeng Sultan "
akuakan tetap memegang janjiku. Lambat atau cepat, maka
segala-galanya akan kami selesaikan. Sebuah padepokan yang
memadai buat Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi. Air yang
cukup bagi Lumban sesuai dengan keinginan Jlitheng. Dan
diminta atau tidak diminta aku akan menyiapkan sebuah
istana kapangeranan dan akan aku serahkan bersama kekancingan
pengangkatannya sebagai Pangeran. "
Jlitheng hanya menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia
tidak menginginkan apa-apa lagi. la hanya menginginkan agar
Lumban menjadi daerah yang hijau. Air dapat dikendalikan
lebih baik tanpa menghisapnya sampai kering sehingga arus
dibawah tanah itu tidak dapat memberikan apa-apa lagi bagi
daerah jauh di arah bawah.
Tetapi Jlitheng tidak dapat membantah segala titah
Kangjeng Sukan. Demikianlah, maka sampailah pada saatnya para tamu itu
meninggalkan istana. Namun dalam pada itu, setelah di
adakan pembicaraan yang mendalam, maka Endang Srini
telah minta kepada Kiai Kanthi agar Swasti tetap berada di
istana Pangeran Sena Wasesa. Sementara itu agaknya Raden
Ajeng Ceplik juga tidak berkeberatan setelah ia mengetahui,
hubungan yang terjalin antara kakaknya dengan gadis itu.
Dalam pada itu, Rahu yang kembali ke kesatuannya
bersama Semi yang diakunya sebagai adiknya itu, ikut pula
melepaskan mereka yang meninggalkan istana itu.
Pada satu pagi yang cerah, beberapa ekor kuda telah siap
dihalaman. Ternyata bahwa tujuan mereka pertama-tama
memang Luruhan. Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi
seakan-akan hanya menurut saja kemana Jlitheng akan pergi.
Ketika mereka sudah berada di regol. maka Pangeran Sena
Wasesapun berkata kepada Jlitheng "Segala yang dijanjikan
Kangjeng Sultan tentu akan segera dipenuhi."
"Kami tidak tergesa-gesa Pangeran" jawab Jlitheng. Namun
kata-katanya tertegun ketika diluar sadarnya tatapan matanya
bertemu dengan tatapan mata yang bulat bening.
Jlitheng segera melemparkan pandangan matanya kepada
Rahu. Sementara itu. Raden Ajeng Ceplik yang ikut pula
mengantar mereka sampai keregol telah menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Dalam pada itu, hampir diluar sadarnya Pangeran Sena
Wasesapun kemudian berkata kepada Jlitheng "Nah, kau
harus juga minta diri kepada Ambarsari. Kau sudah
menyelamatkannya dua kali. Begitu orang-orang Sanggar
Gading membawa aku, ternyata ada diantara mereka yang
telah kembali dan berusaha mengambil anak gadisku. Kau
ternyata lelah menyelamatkannya dengan membunuh orangorang
Sanggar Gading itu. Kemudian untuk kedua kalinya kau
telah menolongnya ketika ia melarikan diri bersana
Bramadaru. " "Ah" desah Raden Ajeng Ceplik.
Jlitheng menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya keringatnya
mulai membasahi tubuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba saja ia
melihat Daruwerdi yang berdiri disamping ibunya, dan disebelahnya
adalah Swasti yang ikut mengantar ayahnya
sampai keregol pula. Namun akhirnya Jlitheng berhasil menguasai dirinya. Ia
tidak lagi membiarkan dirinya terombang-ambing oleh
perasaannya. Karena itu, sebelum ia meloncat kepunggung
kuda, maka ia masih sempat sekali lagi mohon diri kepada
orang-orang yang mengantarnya sampai ke gerbang. Bahkan
kemudian kepada Raden Ajeng Ceplik ia berdesis lambat "Aku
mohon diri puteri." Raden Ajeng Ambarsari itupun menjawab lambat pula
"Selamat jalan Pangeran."
Wajah Jlitheng menjadi merah. Dengan sendat ia berkata
"Jangan panggil aku demikian Raden Ajeng."
Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Tetapi ketika Jlitheng
memandanginya puteri itu tersenyum.
Jlitheng tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan ia bagaikan
menjadi bingung ketika Rahupun mendekatinya sambil
tersenyum dan berbisik "Kau memang seorang Pangeran.
Bukankah sebentar lagi akan kau terima kekancingannya dan
akan dilakukan wisuda ?"
Jlitheng tidak dapat menjawab. Namun jantungnya terasa
berdebaran. Demikianlah semuanya kemudian telah minta diri. Sejenak
kemudian beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan
istana Pangeran Sena Wasesa. Beberapa orang yang berdiri di
gerbang melambaikan tangannya. Diantara mereka adalah
puteri Ambarsari yang sehari-hari dipanggil Raden Ajeng
Ceplik. Belum lagi mereka meninggalkan gerbang itu beberapa
puluh langkah. Kiai Kanthi telah mulai bergurau "Puteri itu
cantik sekali. Ia lebih berharga dari gadis manapun juga.
Hatinya lembut seperti beledru."
Ki Ajar Cinde Kuning mengangguk-angguk. Sambil
tersenyum pula ia menjawab "Itulah agaknya yang membuat
saudara sepupunya menjadi gila."
Jlitheng sama sekali tidak menyambung. Tetapi ada
sesuatu yang terasa aneh didalam dirinya. Justru pada saatsaat
ia sudah menerima satu kenyataan tentang dirinya.
Daruwerd dan Swasti. Tetapi Jlitheng tidak mau hanyut dalam arus perasaannya
lagi. Dengan palarnya ia berusaha memotong gejolak didalam
hatinya. Ia tidak mau mengalami kesulitan perasaan lagi. Jika
ia merasa satu ikatan baru telah membelit hatinya, maka itu
akan berarti, hatinya akan terluka lagi.
Demikianlah maka merekapun segera memacu kuda
mereka ketika mereka sudah berada di pinggir kota
Merekapun ingin segera sampai ke tujuan mereka. Seperti
saat mereka mohon diri, maka mereka pertama-tama akan
pergi ke Lumban. Bahkan Ki Ajar Cinde Kuning untuk
beberapa saat akan berada di Lumban pula.
"Aku kehilangan seorang cucu" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning "karena itu, kau akan aku paksa untuk menjadi
gantinya." Jlitheng tersenyum. Katanya "Bagaimana jika aku tidak
mau?" "Bukit berhutan di daerah Sepasang Bukit Mati itu akan aku
hancurkan. Airnya akan aku keringkan dan Lumban akan
menjadi padang yang gersang." jawab Ki Ajar Cinde Kuning.
Kiai Kanthi tertawa. Katanya "Kenapa Ki Ajar mengambil
seorang murid dari Lumban" Apakah lebihnya anak Lumban ?"
"Bukan apa-apa. Anak Lumban sudah terbiasa hidup dalam
kemiskinan sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk
berprihatin" jawab Ki Ajar sambil tersenyum.
"Itu tidak adil" Jlitheng menyahut "seharusnya Ki Ajar
bukan memanfaatkan kemiskinan orang-orang Lumban. Tetapi
berusaha untuk menolongnya, merubah cara hidupnya."
Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthipun tertawa. Tetapi
mereka t idak menjawab lagi.
Namun yang dikatakan Jlitheng dalam guraunya itu
bukannya hanya dapat dikatakannya. Di hari-hari berikutnya,
ia telah benar-benar bekerja untuk Lumban.
Ketika ia datang lagi ke Lumban ia telah disambut oleh
anak-anak Lumban bukan saja dari Lumban Wetan, tetapi
juga dari Lumban Kulon. Pengalaman yang terjadi atas anakanak
muda Lumban. benar-benar telah memberikan satu
nafas kehidupan baru. Anak-anak Lumban yang terbagi itu
tidak lagi saling bermusuhan. Tetapi mereka benar-benar
berusaha untuk dapat meningkatkan hidup seluruh Kabuyutan
Lumban tidak pandang Lumban Wetan atau Lumban Kulon.
Dalam pada itu, apa yang dijanjikan Kangjeng Sultanpun
segera menyusut Jlitheng sebagaimana dikehendaki. Kangjeng
Sultan telah mengirimkan beberapa orang yang memiliki
kemampuan untuk mengatur air. Bukan saja beberapa, tetapi
Kangjeng Sultan juga mengirimkan beberapa jenis alat dan
beaya untuk membuat saluran-saluran air yang lebih baik.
Sekaligus membual sebuah padepokan kecil buat Kiai Kunthi.
Sementara itu, Ki Ajar Cinde Kuningpun agaknya lebih
senang tinggal di Lumban "Padepokanku telah dikotori dengan kedengkian dan
ketamakan. Apalagi anak dan cucuku sudah tidak bersamaku
lagi. Karena itu, agaknya aku lebih senang tinggal bersama
Kiai Kanlhi. Disini aku mendapatkan seorang saudara laki-laki
untuk menggantikan saudara kembarku dan seorang cucu"
katanya. "Bagus sekali" sahut Kiai Kanthi "jika demikian, kita akan
bersama-sama membangun daerah ini."
"Biarlah sisa hidup kita ini ada gunanya" berkata Ki Ajar
kemudian. "Ya" iawab Kiai Kanthi "jika kita memilih menyepi, mungkin
akan sangat berarti bagi sisa hidup kita sendiri. Tetapi tidak
memberikan manfaat kepada sesama. Disini kita masih
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu bersama-tama
dengan orang Lumban."
Karena itulah, maka padepokan kecil Kiai Kanthi telah
cilereng bukit berhutan. Tetapi dibawah lereng bukit sebagaicilereng
bukit berhutan. Tetapi dibawah lereng bukit
sebagaimana pernah di rancangnya
Dengan demikian, maka dibawah lereng bukit itu kemudian
terhampur sebuah padepokan. Ketika orang-orang yang
dikirim oleh Kangjeng Sultan telah kembali ke Demak, maka
anak-anak muda Lumbanlah yang membantu
menyempurnakan padepokannya. Diseputar padepokan kecil
itu terdapat ladang dan pategalan yang tidak terlalu luas yang
dikerjakan dan akan menjadi landasan makan Kiai Kanthi dan
Ki Ajar Cinde Kuning serta Jlitheng bahkan kemudian kedua
adik seperguruan Ki Ajar Cinde Kuningpun sering berada di
padepokan itu pula. Meskipun demikian Jlitheng masih saja
mondar-mand'ir antara padepokan itu dan rumah biyungnya
yang tua, yang menyambut kedatangannya kembali dengan
air mata. Demikianlah dari hari kehari, kehidupan di Lumban itu
menjadi semakin mapan. Sawah menjadi bertambah hijau dan
dataran-dataran yang kering telah menjadi sawah. Saluransaluran
air yang dibuat oleh anak-anak muda Lumban dibawah
petunjuk beberapa orang yang memang memiliki pengetahuan
tentang itu, telah membuat tanah di seluruh Lumban menjadi
subur. Penguasaan air dari bukit ian pembagian air didataran
menjadi lebih teratur dan mengarah.
Dengan demikian, maka dari hari kehari, perkembangan
menjadi semakin nyata ditilik dari kesejahteraan hidup orangorang
Lumban. Mereka tidak lagi kekurangan makan
sementara kelebihan dari hasil panen dapat mereka tukarkan
dengan keperluan hidup sehari-hari Bahkan disudut-sudut
pasar telah berdiri pande-pande besi yang dapat membuat
alat-alat pertanian mereka dan memenuhi kebutuhan sendiri.
Lumban tidak perlu lagi membeli dari luar Kabuyutan mereka,
cangkul, parang, sabit dan peralatan-peralatan lain.
Dalam suasana yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Lumban telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang
berkuda. Sebuah iring-iringan kecil yang langsung menuju ke
padepokan di bawah lereng bukit.
Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kantin yang sedang bekerja
disawah terkejut melihat kehadiran mereka. Dengan tergesagesa
mereka menyongsong iring-iringan kecil itu yang terdiri
dari Pangeran Sena Wasesa, Raden Ajeng Ambarsari diikuti
oleh Rahu yang bergelar Wira Murti dan tiga orang pengawal.
"Pangeran mengejutkan kami" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning. "Setelah sekian lamanya tidak melihat Lumban. terasa aku
menjadi rindu Rindu alas sepanjang bukit mati ini, dan rindu
kepada Kabuyutan yang menurut perhitunganku tentu sudah
berubah. Sebenarnyalah Kabuyutan ini memang sudah
berubah." berkata Pangeran Sena Wasesa.
Sementara itu Rahu menyambung "Lumban memang
membuat kita yang pernah tinggal disini menjadi rindu untuk
sekali-sekali melihatnya kembali. Tetapi dimana Jlitheng ?"
"Ia ada di Kabuyutan. Tetapi silahkan naik ke pendapa Aku
akan memanggilnya" jawab Kiai Kanthi.
"Kiai akan pergi ke Lumban ?" bertanya Rahu.
"Tidak, Aku akan memanggilnya dari sini" jawab Kiai
Kanthi. Rahu mengerutkan keningnya. Bahkan ia sempat bergurau
"Dengan Aji pameling ?"
Kiai Kanthi tersenyum. Jawabnya "Ya. Jlitheng telah
mempelajari Aji yang paling baik."
Namun Rahu itupun mengerutkan keningnya ketika ia
melihat Kiai Kanthi mendekati sebuah kentongan Kemudian
dengan nada tertentu, Kiai Kanthi membunyikan kentongan
itu. Sambil menarik nafas Rahu berkata "Itukah Aji pameling
yang dipelajari oleh Jlitheng.?"
"Ya. Ki Ajar Cinde Kuninglah yang kemudian menganggap
Jlitheng sebagai cucunya dan muridnya. Banyak ilmu yang
telah dituangkan kepadanya. D antaranya adalah Aji pameling
itu." Semua orang yang mendengarnya ternyata. Bahwa Raden
Ajeng Ceplikpun tertawa pula.
Ternyata nada itu telah dikenal baik oleh anak-anak muda
Lumban. Karena itu, maka anak-anak muda yang tinggal di
padukuhan terdekat dengan padepokan itu. yang mendengar
suara kentongan telah menyambungnya pula. Demikian
padukuhan berikutnya, sehingga akhirnya suara dalam nada
itu telah didengar pula oleh Jlitheng.
Panggilan itu memang agak menggelisahkan Jlitheng.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia telah pergi ke
padepokan. Namun yang dijumpainya adalah Pangeran Sena Wasesa
dan beberapa orang yang menyertainya Bahkan diantara
mereka terdapat Raden Ajeng Ceplik dan orang yangg pernah
melakukan banyak tugas bersama Rahu
Pertemuan itu adalah pertemuan yang cerah. Pangeran
Sena Wasesa yang merasa sangat berterima kasih kepada Kiai
Ajar Cinde Kuning. Kiai Kanthi, Jlitheng dan beberapa orang
yang bersamanya waktu itu. termasuk kedua saudara Endang
Srini, benar-benar ingin menikmati suasana yang segar di
padepokan itu. "Aku merasa sangat letih akhir-akhir ini" berkata Pangeran
Sena Wasesa "karena itu. aku ingin beristirahat. Aku
tinggalkan Daruwerdi dan ibunya untuik menunggui rumah
bersama Swasti. Jika Kiai Kantihi mengijinkan, maka aku akan
tinggal disini beberapa hari."
"Beberapa hari" ulang Kiai Kanthi didalam hatinya. Ada
seberkas kegembiraan karena Pangeran Sena Wasesa sudi
tinggal di padepokan itu untuk beberapa hari. Tetapi apakah ia
dapat menanggapinya dengan pantas.
Agaknya Pangeran Sena Wasesa melihat kegelisahan
perasaan hati Kiai Kanthi. Karena itu maka katanya "Jangan
memikirkan yang bukan-bukan Kiai. Anakku juga dapat
memasak seperti Swasti. Biarlah ia membantu Kiai di dapur
untuk menjamu kami semuanya. Sementara itu, akupun
sebenarnya ingin pula berburu setelah sekian lamanya
hidupku dicengkam oleh ketegangan. Bukankah di hutan itu
masih banyak terdapat binatang buruan ?"
"Ya. Pangeran" jawab Kiai Kanthi untuk menghilangkan
kesan kegelisahannya "kami masih mensisakan binatang
buruan itu bagi Pangeran."
Pangeran Sena Wasesa tertawa. Katanya "Baiklah. Besek
aku akan berburu." Demikianlah, maka Pangeran Sena Wasesa yang akan
bermalam di padepokan itu telah membuat Kiai Kanthi dan
Jlitheng sibuk. Mereka menyiapkan bilik-bilik yang ada dan
membenahi sebaik-baiknya.
Namun daiam pada itu. sebenarnyalah Pangeran Sena
Wasesa memang mempunyai satu kepentingan khusus dengan
Kiai Kanthi sehubungan dengan persoalan anaknya, Daruwerdi
dan Swasti. Yang kemudian secara khusus telah
dibicarakannya. Seketika padepokan itu mulai diliputi oleh
kegelapan Karena itu maka Daruwerdi tidak diajaknya serta.
Dalam pada itu, sementara ayahandanya berbincang
dengan Kiai Kanthi dan ditunggui pula oleh Ki Ajar Cinde
Kuning, maka Raden Ajeng Ambarsari telah berbincang sendiri
dengan Rahu dan Jlitheng Banyak hal tentang padepokan itu
yang ditanyakan. Juga tentang Kabuyutan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Namun dalam pada itu, ketenangan padepokan kecil itu
justru sedang dalam pengamatan beberapa orang yang
darahnya sedang dibakar oleh dendam. Pada saat-saat
Pangeran Sena Wasesa mulai melupakan persoalannya
dengan Pangeran Gajahnata. maka dendam yang pernah
disebut oleh Kang-jeng Sultan itu telah membakar kedamaian
di daerah Lumban dan padepokan kecil dibawah bukit.
Dua orang berkuda dengan tergesa-gesa telah melaporkan
kepada seorang yang duduk diatas sebuah batu di pinggir
sebuah patcgalan yang sepi "Nampaknya sama sekali tidak
ada sesiagaan di padepokan itu. "
Orang yang duduk di atas batu itupun menganggukangguk.
Katanya "Bagus. Aku akan segera memberitahukan
kepada ayahanda, bahwa kita akan dapat bergerak sekarang.
Bukankah begitu. " "
"Ya Raden. Agaknya kita akan dengan cepat berhasil. Kita
akan mengejutkan mereka kemudian menggilas mereka
dengan serta merta." jawab orang yang berkuda itu.
Orang yang duduk diatas batu itupun meloncat turun.
Kemudian berjalan dengan tergesa-gesa menuju kedalamseriak di pategalan.
"Bagaimana Bramadaru ?"
bertanya seseorang dari dalam gerumbul itu. "Kita dapat melakukannya
sekarang ayahanda" jawab
orang yang datang. Orang yang berada didalam semak itupun kemudian bertanya kepada seorang yang lain "Bagaimana pendapat Ki Ajar Wrahasniti ?"
"Bagiku, kapan saja sergapan itu dapat dilakukan." jawab
Ki Ajar Wrahasniti "menurut laporan dari pengamatan
kepercayaanku. Pangeran Sena Wasesa hanya diiringi oleh
tiga atau ampat pengawal saja. Mungkin dipadepokan itu ada
beberapa orang, termasuk anak muda yang bernama Jlitheng
itu. Tetapi kita cukup kuat untuk menundukkan mereka.
Pangeran tahu. bahwa tidak ada orang yang akan dapat
mengimbangi kemampuan Pangeran kecuali Pangeran Sena
Wasesa sendiri. Bahkan mungkin Pangeran Sena Wasesapun
akan tidak mampu bertahan terlalu lama menghadapi
Pangeran Gajahnata Sementara itu. adik seperguruanku itu
akan menyapu orang-orang padepokan kecil itu. Sementara
siapapun yang tidak dapat dikalahkan oleh Pangeran
Gajahnata dan adik seperguruanku, maka aku akan
menghancurkannya menjadi debu."
"Mereka membawa beberapa orang pengawal" gumam
Bramadaru. "Apa artinya para pengawal itu. Kitapun membawa
beberapa orang pengawal. Kita sudah mempersiapkan diri
untuk melepaskan dendam ini sejak lama. Tiba-tiba datang
laporan, bahwa kesempatan itu datang. Jangan disia-siakan
kesempatan ini. Rasa-rasanya aku ingin segera melihat
padepokan itu menjadi karang abang." berkata Ki Ajar
Wrahasniti. "Bagus" geram Bramadaru "sakit hatiku akan dapat aku
lepaskan. Di padepokan itu ada pula anak muda yang
bernama Jlitheng. yang telah menyakiti hatiku pada saat-saat
aku sangat memerlukan diajeng Ceplik. "
"Agaknva anak muda yang bernama Daruwerdi, yang
ternyata adalah putera Pangeran Sena Wasesa sendiri tidak
bersama dengan mereka" berkata Ki Ajar Wrahasniti "tetapi itu
bukan apa-apa. Kita akan dapat datang ke istana itu dilain
kesempatan setelah tugas kita disini selesai. Istana Pangeran
Sena Wasesa itupun akan menjadi karang abang. Demikian
pula istana yang sedang dipersiapkan bagi seorang Pangeran
yang akan diangkat karena jasa-jasanya. Pangeran Candra
Sangkaya yang saat ini lebih senang menyebut dirinya Jlitheng
itu." Sejenak kemudian, maka Ki Ajar Wrahasnitipun segera
mempersiapkan orang-orangnya. Nampaknya ia tidak mau
gagal, sehingga karena itu, maka ia membawa beberapa
orang yang dianggapnya akan dapat membantunya
menghancurkan Pangeran Sena Wasesa berserta para
pengiringnya. "Sekarang, diajeng Ceplik Itu tidak boleh lepas lagi.
Nasibnya akan menjadi bertambah buruk, justru karena
kesalahan kakaknya itu" geramBramadaru.
"Kau terlalu terikat kepada gadis itu" potong ayahandanya
"kita akan menyelesaikan persoalan yang penting lebih
dahulu. Bukankah semua kegagalan Ini juga disebabkan
karena perhatianmu yang berlebihan terhadap Ceplik.
sehingga kau telah merubah rencana yang seharusnya kita
lakukan dibawah pohon nyamplung itu ?"
"Tidak ayahanda, seandainya diajeng aku serahkan pada
saat itu kepada orang yang bertugas mencegatku, maka
akibatnya akan sama saja, karena rupa-rupanya Daruwerdi
dan Jlitheng sudah mengikuti aku sejak dari istana." jawab
Bramadaru. Gajahnata tidak menjawab lagi. la tidak mau bertengkar.
Kesulitan perasaannya sudah cukup parah. Bahkan sejak ia
meninggalkan istananya rasa-rasanya ia sama sekali tidak
pernah merasa dapat duduk tenang dan dapat tidur nyenyak
barang sekejappun. Sejenak kemudian. Ki Ajar Wrahasniti telah siap dengan
orang-orangnya. Dengan suara bernada berat ia memberikan
beberapa pesan. Orang-orangnya itu harus tahu, bahwa yang
dihadapi adalah orang-orang yang cukup berilmu.
"Serahkan Pangeran Sena Wasesa kepada Pangeran
Gajahnata" berkata Ki Ajar Wrahasniti "kemudian orang yang
paling baik diantara mereka akan aku hadapi langsung.
Sementara itu, yang lain akan dapat kalian musnahkan."
"Serahkan anak muda yang bernama Jlitheng itu
kepadaku." berkata Bramadaru.
"Kau sudah dikalahkannya" desis Pangeran Gajahnata.
"Tidak ayahanda" sahut Bramadaru "saat itu aku
menghindar, karena Daruwerdipun tentu akan ikut
melawanku. Tetapi sebenarnya aku sendiri belum
dikalahkannya. Goresan-goresan kecil ditubuhku itu sama
sekali t idak berarti bagiku." Bramadaru berhenti sejenak.
Namun kemudian ia melanjutkan "Tetapi ada juga baiknya,
berikan seorang kawan kepadaku."
K! Ajar Wiahasniti menarik nafas dalam-dalam. Desisnya
"Sebenarnya aku percaya bahwa Raden akan dapat
mengalahkannya tanpa bantuan orang lain. Tetapi ketegangan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihati Raden memang akan dapat berpengaruh. Karena itu.
aku tidak berkeberatan jika seseorang akan membayangi
Raden dalam pertempuran nanti."
Bramadaru mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa ia memang sudah dikalahkan
oleh anak muda yang bernama Jlitheng seandainya ia tidak
melarikan diri meskipun Daruwerdi tidak datang
membantunya. Demikian, maka sejenak kemudian, orang-orang Ki Ajar
Wrahasniti itupun sudah mulai bergerak. Mereka kemudian
merayap dalam gelapnya malam mendekati padepokan Kiai
Kanthi yang dalam keadaan sehari-hari terasa tenang dan
diliputi udara yang sejuk oleh pepohonan yang memang sudah
ada sebelumpadepokan itu di bangun.
"Kita akan mengepung padepokan itu" berkata Ki Ajar
Wrahasniti "tidak boleh seorangpun diantara mereka yang
lolos." "Kita memasuki padepokan itu" berkata Pangeran
Cajahnata "aku akan langsung menemui adimas Pangeran
Sena Wasesa. Aku ingin membuat perhitungan dengan orang
itu." "Baik Pangeran. Kita akan melalui gerbang didepan,
sementara yang lain akan meloncati dinding dan memasuki
padepokan lewat segala arah." sahut Ki Ajar. Lalu katanya
"Aku akan memberikan pertanda jika saatnya sudah tiba. Aku
akan membunyikan isyarat burung kedasih. Dua orang di arah
lain akan menyambung isyarat itu sehingga semuanya akan
dapat mendengarnya."
Para pengikut Ki Ajar itu mendengarkan dengan saksama.
Sambil mengangguk-angguk merekapun kemudian menerima
perintah untuk mulai menebar.
Ki Ajar Wrahasniti dan Pangeran Gajahnata sudah berada
didepan pintu gerbang halaman padepokan yang tidak
tertutup rapat. Sebuah lampu minyak menyala di bagian
dalam, namun tidak dapat menerangi seluruh halaman depan
padepokan yang cukup luas. Sementara Bramadaru sudah
bersiap pula untuk meloncat dari samping apabila isyarat itu
sudah diberikan. Ki Ajar masih menunggu sejenak sambil memperhatikan
suasana. Nampaknya padepokan itu sepi-sepi saja. Ketika Ki
Ajar membuka pintu yang tidak diselarak itu. maka dilihatnya
beberapa orang masih duduk dipendapa.
Agaknya setelah Pangeran Sena Wasesa selesai berbicara
tentang Daruwerdi dan Swasti. yang kedua-keduanya tidak
diajak bersama mereka ke padepokan itu. maka yang lainpun
telah dipersilahkan untuk duduk-duduk dipendapa pula.
"Sekarang Pangeran ?" bertanya Ki Ajar.
"Ya. Agaknya adimas Sena Wasesa duduk dipendapa itu
dengan beberapa orang yang kurang aku kenal" sahut
Pangeran Gajahnata. "Jangan hiraukan mereka" sahut Ki Ajar Wrahasniti "orangorangku
akan menghancurkan mereka. Mungkin mereka juga
termasuk orang-orang berilmu yang menurut pendengaran
kita telah membantu Pangeran Sena Wasesa. tetapi aku tidak
yakin bahwa mereka memiliki kemampuan seperti Pangeran
Sena Wasesa sendiri."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ajar itupun justru
telah bergeser sedikit menjauh. Sambil meletakkan kedua
tangannya disebelah mulutnya, maka mulailah terdengar
suara burung kedasih Malam memang sudah menjadi semakin dalam. Suara
burung kedasih itu terdengar ngelangut diantara desir angin
yang lemah. Semua orang-orang yang berada dipendapa sama sekali
tidak memperhatikan suara burung kedasih itu. Namun ketika
diarah lain juga terdengar suara burung yang sama, maka Ki
Ajar Cinde Kuning mulai tertarik kepada suara itu.
"Kiai" desis Ki Ajar Cinde Kuning "apakah Kiai mendengar
suara burung kedasih itu ?"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Namun agaknya ia sudah
mulai tertarik pula kepada suara burung itu, sebagaimana
Pangeran Sena Wasesa. "Aku mendengarnya Ki Ajar. Justru sangat menarik" desis
Kiai Kanthi. Belum lagi Kiai Kanthi melanjutkan kata-katanya, maka
Pangeran Sena Wasesa itupun berdesis "Dimana Ceplik ?"
"la berada didalam bilik yang sudah disediakan Pangeran."
jawab Rahu. "Panggil anak itu kemari. Cepat" desis Pangeran yang
menjadi gelisah itu. Rahupun dapat menanggapi persoalannya. Karena itu,
maka iapun dengan cepat telah pergi ke ruang dalam. Pintu
bilik yang diperuntukkan bagi Raden Ajeng Ambarsari sudah
tertutup. Namun Rahupun telah mengetuknya "Puteri.
Ayahanda memanggil. Apakah puteri sudah tidur?"
Raden Ajeng Ceplik terkejut. Dengan serta merta iapun
bangkit sambil bertanya "Dimana ayahanda sekarang?"
"Dipendapa. Ada sesuatu yang penting." jawab Rahu.
Raden Ajeng Ceplik itu masih berbenah diri sejenak,
sedangkan Rahu menjadi gelisah.
Sementara itu, maka Jlithengpun telah diperintahkan untuk
memberitahukan kepada para pengawal yang berada digandok
untuk bersiap. "Suara burung kedasih itu sangat menarik perhatian
Pangeran" berkata Jlitheng
Ketiga pengawal itupun kemudian mempersiapkan dirinya.
Senjata merekapun telah melekat dilambung untuk
menanggapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Sementara itu, Jlithengpun telah berbenah diri pula.
Pedang tipisnya telah digantungkannya pada ikat
pinggangnya. Ketika ia kembali ke pendapa, maka dilihatnya
Rahu bersama Raden Ajeng Ceplik telah hadir pula.
"Ayahanda memanggil aku ?" bertanya Raden Ajeng Ceplik.
"Ya Ceplik" jawab Pangeran Sena Wasesa "aku menjadi
curiga mendengar suara burung kedasih itu."
"Kenapa " Apakah ayahanda percaya bahwa suara burung
itu merupakan isyarat kematian ?" bertanya Ambarsari.
"Jika suara itu benar-benar suara burung, aku tidak percaya
Ceplik. Tetapi yang kami dengar agaknya bukan suara burung
yang sebenarnya." jawab ayahandanya.
Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang. Dengan suara
sendat ia bertanya "Jadi suara apakah itu ayahanda?"
"Karena itu maka kau telah aku panggil. Kau jangan berada
ditempat yang terpisah dari kami." berkata ayahandanya.
Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Tetapi jantungnya
serasa berdetak semakin cepat.
Dalam pada itu, suara burung kedasih itu sudah didengar
oleh semua pengikut Ki Ajar Wrahasniti. Karena itu, maka
merekapun segera mulai bergerak. Beberapa orang telah
meloncat dinding halaman dari bagian belakang. Yang lain dari
samping termasuk Bramadaru. Namun demikian ia memasuki
padepokan, maka iapun segera melihat, seorang gadis berada
di pendapa, diantara orang-orang yang masih saja berkumpul.
Sementara itu, Pangeran Gajahnata dan Ki Ajar
Wrahasnitipun telah memasuki halaman lewat regol. Dengan
langkah yang pasti keduanya telah menuju ke pendapa.
Orang-orang yang berada di pendapa itupun telah berdiri
tegak. Raden Ajeng Ceplik memang menjadi cemas.
Sementara itu, ayahandanya berkata "Pergilah kesudut. Kami
akan menahan mereka."
Raden Ajeng Ceplikpun bergeser kesudut. Sementara itu
ayahanda telah bergeser pula mengikutinya.
Ketika beberapa orang yang memasuki padepokan itu lewat
belakang tidak menemukan orang lain dipadepokan itu, maka
merekapun telah mencari diruang dalam. Tetapi untunglah
bahwa Raden Ajeng Cepflik telah berada bersama
ayahandanya dipendapa, sehingga ruang dalam itu memang
sudah kosong. Yang membentur kekuatan dihalaman padepokan itu
adalah beberapa orang yang melewati gandok. Tiba-tiba saja
mereka telah bertemu dengan tiga orang pengawal yang siap
menghadapi mereka dengan senjata terhunus.
Orang-orang Ki Ajar Wrahasniti justru surut selangkah.
Mereka masih belum bertindak langsung terhadap ketiga
orang bersenjata itu, karena mereka masih belum mendapat
perintah berikutnya. Dalam pada itu, Pangeran Gajahnata yang mendekati
tangga pendapa telah berkata dengan lantang "He, agaknya
aku berhasil menemukan adimas disini."
Pangeran Sena Wasesa telah bersiap sepenuhnya
menghadapi segala kemungkinan. Beberapa orang yang ada di
pendapa telah memencar pula disebelah menyebelah
Pangeran Sena Wasesa untuk melindungi Raden Ajeng Ceplik.
"Selamat datang di padepokan ini kakangmas" desis
Pangeran Sena Wasesa. "Aku tidak memerlukan basa basi itu adimas. Persoalan
diantara kita sudah jelas. Kau telah merusak hari depan anakl
ku sehingga ia kehilangan pegangan untuk melangkah
menyongsong cita-citanya."
"Aku tidak tahu maksud kakangmas. Seharusnya akulah
yang menuntut agar kakangmas menyerahkan Bramadaru
yang telah menghinakan martabat kewanitaan anak gadisku.
Hampir saja Bramadaru berhasil menghancurkan hidup
Ambarsari. " "Satu fitnah yang paling keji. Aku tahu bahwa anakku akan
diperlakukan seperti itu. Aku tahu bahwa apa yang sampai
kepada Kangjeng Sultan tentu berlawanan dengan kenyataan
yang dialami oleh anakku. Dan aku tahu bahwa Kangjeng
Sultan akan percaya begitu saja fitnah yang tidak beralasan
itu" geram Pangeran Gajahnata.
"Aku tahu sekarang" desis Pangeran Sena Wasesa
"kakangmas tidak mau didahului. Karena itu, maka kakangmas
telah menyerang kami sekeluarga lebih dahulu, seolah-olah
kami telah memfitnah. Tetapi apa saja yang kakangmas
katakan, ada beberapa orang saksi yang akan dapat
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk anak
perempuanku itu." "Ia bukan saksi yang sah. Ia akan dapat mengatakan apa
yang kau pesankan adimas." bantah Pangeran Gajahnata
"tetapi baiklah kita tidak usah berbantah. Aku menuntut atas
kehinaan yang kami alami sehingga kami harus meninggalkan
istana kami." "Seharusnya Pangeran tidak usah pergi" Rahu telah
memotong pembicaraan itu "jika Pangeran tidak merasa
bersalah. Pangeran tentu akan tetap berada didalam istana
bersama Raden Bramadaru."
"Tutup mulutmu" geram Pangeran Gajatnata "kau tidak
usah mencampuri persoalan ini. Aku akan menuntut harga
diriku dengan taruhan nyawa. Kita akan bertempur sampai
kita akan melihat, siapa saja yang berhasil keluar dari
padepokan ini dalamkeadaan hidup."
Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab lagi. Ia sadar
bahwa ia harus menghadapi dengan kekerasan. Karena itu,
maka iapun telah memberikan isyarat kepada seisi padepokan
itu untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Ki Ajar Wrahasnitilah yang kemudian
melangkah maju sambil berkata "Ki Sanak, menghuni
padepokan ini. Jika kalian tidak melibatkan diri, kami akan
memberi kesempatan Ki Sanak untuk meninggalkan tempat
ini." Yang menjawab adalah Kiai Kanthi "Pangeran Sena Wasesa
adalah tamu kami, isi padepokan ini. Karena itu,
keselamatannya adalah juga keselamatan kami."
"Bagus" Ki Ajar Wrahasnitipun kemudian berteriak lantang
"kita hancurkan seisi padepokan ini."
Dengan demikian maka orang-orangnya telah bergerak
dengan serentak. Namun dalam pada itu, tiga orang pengawal
Pangeran Sena Wasesapun telah bergerak pula.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit.
Sebagaimana dikehendaki, maka Pangeran Gajahnata telah
bertempur melawan Pangeran Sena Wasesa.
Dalam kesibukan pertempuran itu, tiba-tiba saja Bramadaru
telah menyusup disela-sela dentang senjata langsung
meloncat kearah Raden Ajeng Ceplik Ia ingin mempergunakan
gadis itu untuk memaksa ayahandanya menyerah.
Namun ketika ia berhasil menangkap tangan Raden Ajeng
Ceplik yang menjerit-jerit, tiba-tiba saja terasa kening Raden
Bramadaru bagaikan tertimpa segumpal batu. Sejenak
matanya berkunang-kunang. Namun iapun segera menyadari
keadaannya. Ternyata seorang anak muda tengah menarik
Raden Ajeng Ceplik dan menempatkannya di sebelah pintu
pringgitan. "Jlitheng" geram Raden
Bramadaru. Jlitheng tidak menjawab. Sementara Raden Ajeng Ceplik
berdiri dengan gemetar. "Aku memang ingin bertemu
dengan kau lagi" berkata
Bramadaru dengan wajah yang
tegang. Jlitheng masih tetap berdiam
diri. Namun ia sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian keduanya
sudah bertempur dengan sengitnya. Namun yang pernah
terjadi, telah terulang lagi. Bramadaru memang t idak dapat
mengimbangi kemampuan Jlitheng.
Dalam pada itu, adik seperguruan Ki Ajar Wrahasniti yang
merasa memiliki kelebihan dari kebanyakan orang telah
menyerang Kiai Kanthi yang dianggapnya sebagai pemilik
padepokan itu. Dengan ilmunya yang tinggi ia berusaha
memaksa Kiai Kanthi untuk tunduk kepadanya. Namun orang
itu terkejut. Ternyata bahwa Kiai Kanthi memang bukan orang
kebanyakan pula. Sementara itu. yang masih belum bertempur adalah Ki Ajar
Wrahasniti sendiri. Ia menyaksikan orang-orang yang
bertempur dengan sengitnya. Dihadapan tiga orang pengawal
Pangeran Sena Wasesapun telah memutar pedang mereka
seperti baling-baling. Sementara itu. beberapa orang telah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi keheranan melihat seorang tua yang cacat telah
mengacaukan perhatian mereka.
Empat orang pengikut Ki Ajar Wrahasniti benar-benar
menjadi bingung menghadapi Ki Ajar Cinde Kuning, yang
dianggapnya sebagai seorang tua cacat yang lemah. Namun
ternyata orang itu dapat berbuat sesuatu yang bagi mereka
tidak masuk akal. Hampir pada saat yang bersamaan keempat orang yang
bertempur berpasangan itu telah terlempar dan jatuh
terlentang. Namun orang tua itu membiarkan saja mereka
berusaha untuk bangkit dan kemudian mengepungnya
kembali. "Orang aneh" berkata Ki Ajar Wrahasniti yang segera
menyadari bahwa orang itu sebenarnya memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Karena itu, maka iapun segera
mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
"Ki Sanak" berkata Ki Ajar Wrahasniti "agaknya anak-anak
itu memang bukan lawanmu."
"Jadi bagaimana ?" bertanya Ki Ajar Cinde Kuning.
"Agaknya akulah yang harus melawanmu" berkata Ki Ajar
Wrahasniti. "Lalu, bagaimana dengan keempat orang ini ?" bertanya Ki
Ajar Cinde Kuning. "Biarlah ia membantu menghancurkan kawan-kawanmu.
Anak muda yang menyebut dirinya Jlitheng itu memang harus
mati. Pangeran Sena Wasesa harus mati dan pemimpin
padepokan inipun harus mati." jawab Ki Ajar Wrahasniti.
"Jangan curang" berkata Ki Cinde Kuning "mereka telah
mempunyai lawan mereka masing-masing."
"Persetan" geram Ki Ajar Wrahasniti "kalian semuanya akan
mati dengan cara apapun juga."
Ki Ajar Cinde Kuning mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya "Mereka tidak boleh mengganggu pertempuran ini."
Ki Ajar Wrahasniti sama sekali tidak menghiraukannya,
iapun kemudian melocat mendekat sambil berteriak "lepaskan
lawanmu. Biar aku yang membunuhnya."
Tetapi yang terjadi adalah satu hal yang sangat
mengejutkan. Keempat orang yang sudah bersiap
meninggalkan orang cacat itu tiba-tiba telah terdorong dengan
kekuatan yang luar biasa. Serentak mereka jatuh terlentang.
Kepala membentur lantai sehingga tiga diantara mereka
menjadi pingsan, sedangkan seorang lagi punggungnya
bagaikan menjadi patah "Gila" geram Ki Ajar Wrahasniti yang menyerang Ki Ajar
Cinde Kuning dengan dahsyatnya. Tetapi dalam benturanbenturan
pertama sudah terasa, bahwa orang cacat itu
memang bukan tandingnya. Sementara "tu. adik, seperguruan Ajar Wrahasniti yang
bertempur melawan Kiai Kanthipun tidak banyak dapat
berbuat, sehingga dengan demikian ia terus-menerus telah
terdesak. Dalam pada itu hanya Pangeran Gajahnata sajalah yang
mampu mengimbangi ihnu Pangeran Sena Wasesa. Keduanya
adalah Senapati besar yang memiliki kemampuan dan ilmu
yang tinggi. Namun, suasananya agak berbeda bagi mereka yang
bertempur di halaman. Tiga orang pengawal itu harus
bertempur melawan lima orang, sehingga dengan demikian,
maka mereka-pun mulai mengalami kesulitan.
Karena itu, tanpa memperhatikan keadaan di pendapa yang
hampir seluruhnya dikuasai, apalagi ketika Rahu yang
melawan tiga orang dapat mendesak lawannya sehingga turun
kehalaman, telah teringat cara yang dipergunakan oleh Kiai
Kanthi memanggil Jlitheng. Justru sadar akan kemungkinan
yang dapat mempengaruhi seluruh pertempuran itu, maka
tiba-tiba salah seorang diantara ketiga orang itu berdesis
"Bertahanlah untuk sejenak."
Orang itu tidak menunggu jawaban. Tiba-tiba saja ia telah
meloncat kearah kentongan. Sejenak kemudian telah bergema
nada titir yang memecah kesenyapan malam.
Titir itu benar-benar mengejutkan seisi Kabuyutan Lumban
Ketika padukuhan yang pertama dan kedua menyambung
suara titir itu, maka anak-anak muda yang meronda yang
langsung mengenali suara kentongan itu, segera berlari-lari ke
padepokan kecil. Jika tidak ada sesuatu yang gawat, maka
tidak akan mungkin padepokan yang dihuni oleh orang-orang
berilmu itu akan membunyikan isyarat dengan nada titir.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka padepokan itu
benar-benar sudah dikepung Sejenak kemudian, kepungan
itupun merapat dan berpuluh-puluh anak muda segera
memasuki halaman. Suasana menjadi semakin gaduh. Obor telah menyala
dimana-mana, sehingga padepokan itu menjadi terang.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada
itu, Rahulah yang pertama-tama berteriak kepada lawanlawannya
"Tidak ada kesempatan apapun bagi kalian."
Pangeran Gajahnata menggeram. Tetapi ia tidak dapat
mengabaikan kenyataan itu. Pangeran Gajahnata melihat
bahwa Bramadaru telah terdesak. Bahkan kemudian darah
telah mulai menitik dari tubuhnya. Sementara itu Ki Ajar
Wrahasnitipun telah menemukan seorang lawan yang tidak
mungkin dapat diimbanginya.
Betapa penyesalan telah bergejolak didalam diri Pangeran
Gajahnata. Namun ia menghadapi satu keadaan yang tidak
dapat diingkarinya lagi. Jantungnya bagikan terlepas ketika ia mendengar
Bramadaru menjerit tertahan. Luka yang panjang telah
tergores di-dadanya meskipun t idak terlalu dalam.
Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Gajahnata
sebelum anaknya terbunuh oleh anak muda yang bernama
Jlitheng dan bergelar Pangeran Candra Sangkaya yang
bersenjata pedang yang tipis itu. kecuali menghentikan
pertempuran. Sambil meloncat mundur Pangeran Gajahnatapun berdesis
"Baiklah Kami menyerah."
"Tidak" teriak Bramadaru. Tetapi suaranya terputus.
Sebuah goresan telah melukai lambungnya.
Sementara itu anak-anak muda Lumban dengan segala
macam senjata telah merayap semakin mendekat pendapa.
Bahkan beberapa diantara mereka telah berdiri di pinggir
arena pertempuran antara para pengawal di halaman.
Ki Ajar Wrahasniti sendiri tidak mencegah penyerahan itu,
karena iapun tidak akan mampu berbuat apa-apa. Apalagi
mereka tidak akan dapat mengabaikan puluhan anak-anak
muda yang berada dihalaman.
Maka pertempuran itupun kemudian berakhir sebelum jatuh
seorang korbanpun yang terbunuh, meskipun ada diantara
mereka yang luka-luka. Dengan demikian, maka merekapun telah diperlakukan
sebagai tawanan, meskipun Pangeran Gajahnata mendapat
perlakuan yang khusus. Tangannya tidak diikat dengan tampar
atau janget, tetapi sehelai kain sekedar di sangkutkan saja di
pundaknya sebagai pertanda bahwa ia adalah seorang
tawanan meskipun ia seorang bangsawan.
"Maaf Pangeran" desis Rahu "kami tidak mempunyai cinde
sehelaipun disini." Pangeran Gajahnata hanya dapat menggeram.
Satu pengalaman baru telah terjadi didalam hidup Jlitheng
setelah pertempuran itu. Dihari berikutnya, ketika Pangeran
Sena Wasesa bersiap untuk kembali ke Demak dan menitipkan
para tawanan di padepokan itu sampai saatnya prajurit Demak
mengambil mereka, maka terdengar Raden Ajeng Ceplik
berbisik "Datanglah ke Demak. Kau lebih baik tinggal disana.
Istanamu sudah hampir siap."
Diluar sadarnya Jlitheng menjawab "Aku tidak akan dapat
tinggal seorang diri dalam istana yang besar itu "
Namun sambil tersenyum Raden Ajeng Ambarsari itu
berkata "Aku akan mengawanimu."
Wajah Jlitheng menjadi merah. Namun jantungnya terasa
bagaikan mengembang. Tetapi Raden Ajeng Ceplik itu benar-benar telah
menghidupkan kembali gairah didalam hati Jlitheng
menentang masa depannya. Ketika iring-iringan Pangeran
Sena Wasesa meninggalkan padepokan, karena Pangeran itu
telah memperpendek kunjungannya dan membatalkan niatnya
untuk berburu berhubung dengan peristiwa yang tidak diduga
sebelumnya itu. Raden Ajeng Ceplik masih selalu berpaling
dan melambaikan tangannya.
Jlitheng terkejut ketika ia mendengar suara berbisik diampjignya
"Kau adalah cucuku. Aku akan menjadi ganti orang
tuamu jika kau memerlukan aku datang menghadap Pangeran
Sena Wasesa." "Ah" Jlitheng hanya berdesah.
Ki Ajar Cinde Kuning tersenyum. Bahkan Kiai Kanthi-pun
tersenyum pula. Kiai Kanthi ternyata merasakan satu
kebahagiaan setelah ia mengetahui bahwa ada sesuatu
terselip dihati Jlitheng terhadap Raden Ajeng Ambarsari dan
demikian pula sebaliknya. Ia merasa bersalah ketika Swasti
ternyata lebih dekat dengan Daruwerdi daripada dengan anak
muda yang bergelar Candra Sangkaya itu.
Tetapi untuk beberapa saat Jlitheng masih tetap berada di
Lumban. Meskipun istananya telah hampir siap, namun ia
masih tetap menghayati kehidupan di Kabuyutan itu. Setiap
pagi ia sudah bergulat dengan lumpur dan tanaman disawah
Bahkan kadang-kadang untuk waktu yang lama ia berada diatas
bukit berhutan untuk merenungi mata air yang mengalir
dengan derasnya. Mata air yang kemudian sudah dapat
dikendalikan dan bermanfaat bagi kehidupan di Kahuyutan
Lumban. Namun dalam pada itu, Jlitheng bukan saja menjadi orang
yang sangat berarti bagi Lumban. tetapi ia juga merupakan
seorang murid yang dibanggakan oleh gurunya. Ki Ajar Cinde
Kuning. Meskipun demikian, waktunya tidak dihabiskannya didalam
Sanggar, karena agaknya lumpur dan air tetap merupakan
bagian dari hidupnya sehari-hari.
Demikianlah air dari atas bukit itu kemudian menjadi
semakin teratur mengalir menuruni tebing dan memencar
menusuk kekedalaman tanah persawahan di Lumban yang
menjadi semakin subur. "Jika aku harus meninggalkan Kabuyutan ini, maka aku
telah melihat tanah ini menjadi hijau" berkata Jlitheng didalam
hatinya. Sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat mengingkari gejolak
perasaan didalam dirinya, bahwa ia tidak akan pernah
melupakan Raden Ajeng Ceplik untuk seterusnya.
Dan ternyata bahwa Jlitheng telah menyongsong hari-hari
yang berbahagia. TAMAT. Kutipan dan penyiaran lesan/tertulis harus seijin penulis,
Pedang Ular Merah 5 Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata Naga Sasra Dan Sabuk Inten 19