Api Di Bukit Menoreh 1
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 1
JILID 326 Halaman Hilang 34-35 tdk ada di source djvu
"Sudahlah. Jangan ganggu aku lagi. Aku akan pulang."
"Tunggu. Kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini. Ikut aku. Uangku lebih dari sebangsal.".
" Buat apa uang sebangsal" Belilah perempuan di simpang empat itu kalau ada yang bersedia kau beli. Tetapi aku tidak."
" Jangan keras kepala. Kau akan menyesal."
Wiyati mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata " Aku akan pergi. Jangan ganggu aku lagi, kau dengar" "
" Orang-orangku akan membawamu pulang. "
" Kau akan melakukan kekerasan digadapan banyak orang" Kau lihat ada beberapa orang di kedai ini" Kau lihat pemilik kedai dan pembantu-pembantunya" "
" Sudah aku katakan. Tidak seorangpun dan mereka yang akan bersedia menjadi saksi. Tidak seorangpun diantara mereka yang bersedia hidupnya terancam. Siapapun diantara mereka yang mencoba mencampuri urusanku. mereka akan segera hilang dari lingkungannya. "
" Hilang. " " Ya." " Tetapi mereka tahu, bahwa kaulah sebabnya. "
"Tidak seorangpun dapat membuktikannya "
Wiyati mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Aku sekarang tahu, hagaimana caranya menghadapi kau dan kawan-kawanmu. "
Wajah laki-laki yang bernama Sawung kampak itu mengerutkan dahinya. Dengan ragu iapun bertanya " Apa yang kau ketahui" "
" Untuk dapat pergi dari tempat ini, aku harus mempergunakan kekerasan. Bukankah itu yang kau inginkan" Aku harus memukuli kau dan kedua orang kawanmu sampai pingsan. Lalu aku tinggalkan kalian pergi. Jika terjadi kerusakan di dalam kedai ini. kaulah yang harus menggantinya. "
Sawung kampak justru terdiam. la menjadi agak bingung mendengar kata-kata Wiyati itu. Bahkan mula-mula ia tidak yakin akan pendengarannya itu.
Namun Wiyatipun kemudian mengulanginya " Jangan bingung anak manis. Jika kau memaksa, aku akan memukuli kau dan kedua orang kawanmu sampai wajahmu menjadi pengab. Jelas. "
Sawung Rampak itu berPating kepada kawannya yang nampak garang Dengan nada tinggi iapun bertanya " Apa yang kau dengar sama dengan yang aku dengar" -
"Kedengarannya agak aneh.
Sawung Rampak itupun kemudian bertanya kepada Windu yang wajahnya masih nampak gelap " Apa yang kaudengar" "
"Perempuan ini berkicau "jawab Windu.
Sawung Rampak tertawa Katanya " Tetapi semakin aneh sikap dan kata-katanya, perempuan ini semakin menarik bagiku. Bahkan seandainya perempuan ini sakit syaraf sekalipun, aku ingin membawanya pulang. "
Tetapi Sawung Rampak terkejut. Tiba-tiba jari-jari tangan Wiyati yang lentik itu telah menampar wajah Sawung Rampak sebagaimana Sawung Rampak menampar Windu.
Sawung Rampakpun terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Sawung Rampak itupun telah terduduk diamben bambu yang membujur dibelakangnya.
" Gila perempuan ini " geram Sawung Rampak " ia berani menampar wajahku. "
" Bukankah aku harus menempuh cara ini untuk dapat meninggalkan kedai ini. "
" Kau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesulitan yang berkepanjangan. "
" Tidak. Dengan demikian, aku akan segera dapat pulang. " Sawung Kampak itupun kemudian memerintahkan kawannya yang berwajah garang iiu " Bawa perempuan itu pulang. Ketuk simpul syaratnya sehingga ia tidak berdaya. Naikkan perempuan itu ke punggung kuda. "
" O " Wiyati mengangguk-angguk " jadi kita harus berkelahi" Baiklah. Tetapi tidak di dalam kedai ini. Kita keluar lewat pintu belakang. Dan kita akan berkelahi dibelakang kedai, sehingga tidak akan menjadi tontonan banyak orang. Setidak-tidaknya orang yang menonton perkelahian ini tidak sebanyak jika kita berkelahi di halaman depan. "
" Tutup mulutmu bentak orang berwajah garang " kau tidak akan sempat pergi ke belakang kedai ini. "
Orang berwajah garang itupun kemudian melangkah mendekati Wiyati. Dengan jari-jarinya yang kuat dan keras, orang itu siap melumpuhkan Wiyati.
Tetapi Wiyati tidak mau didahuluinya. Dengan serta-merta gadis itu justru telah menyerang. Tangannya dengan cepat menggapai dada orang berwajah garang itu.
Ternyata sentuhan tangan Wiyati cukup keras untuk mengguncang keseimbangan orang berwajah garang itu, sehingga orang itu terdorong surut dan jatuh menimpa dinding.
Untunglah bahwa tulang-tulang dinding bambu yang terbuat dari kayu gelugu cukup kuat sehingga dinding itu tidak terkoyak karenanya. Tetapi punggung orang itu terasa nyeri karena menimpa tiang kayu gelugu itu.
" Setan betina " geram Sawung Rampak.
Namun Wiyati telah melangkah dengan cepat kepinlu belakang.
" Jangan lari " teriak Sawung Rampak.
" Aku tidak akan lari. Aku tunggu di halaman belakang. " Ketika Wiyati muncul lewat pintu belakang, ternyata halaman belakang kedai itu cukup luas. dibatasi oleh dinding berkeliling yang juga sebagai penyekat dengan halaman kedai-kedai disebelah menyebelah.
Demikian Wiyati turun ke halaman belakang, maka tiga orang laki-laki telah menyusulnya
Beberapa orang yang masih berada di kedai itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat seorang perempuan yang akan berhadapan dengan tiga orang laki-laki. Apalagi seorang diantara mereka adalah Sawung Rampak, sedangkan kedua orang lainnya adalah pengawal-pengawalnya yang garang.
Tetapi Wiyati sendiri sama sekali tidak menjadi gentar. Demikian ketiga orang laki-laki itu turun ke halaman belakang, maka Wiyatipun langsung menantangnya " Marilah. Jika kau benar-benar menginginkan aku. tangkaplah aku dan tawalah aku ke rumahmu, Sawung Rampak. Aku akan melindungi diriku sendiri tanpa menunggu kehadiran suamiku"
" Seberapa tinggi ilmumu, setan betina, kau akan tunduk di bawah telapak kakiku. Kau akan menyembahku dan akan mohon belas kasihanku. "
Wiyati tertawa. Katanya -- Ada dua pilihan bagiku Sawung Rampak. Memukuli kau sampai babak belur atau mati di tempat ini. Jika yang terjadi yang kedua, maka suamiku akan meluluhlantakkan seluruh keluargamu. Semuanya akan ditumpas kelor sampai tapis habis. "
Sikap dan kata-kata Wiyati memang menyentuh jantung Sawung Rampak. Tetapi ketika ia menyadari akan kehadiran kedua orang pengawalnya, maka iapun segera melangkah maju mendekati Wiyati.
Kedua orang pengawalnyapun segera bergeser menjauh kearah yang berbeda.
Namun orang yang berwajah garang itupun kemudian menggeram " Serahkan perempuan ini kepadaku. Aku akan melumpuhkannya dan membawanya pulang. "
Sawung Rampak tidak menjawab. Ia mempercayai kelebihan pengawalnya itu. Orang berwajah garang itu tidak pernah mengecewakannya, la bukan hanya sekali dua kali menculik perempuan yang diinginkannya. Juga perempuan-perempuan yang sudah bersuami. Bahkan orang berwajah garang itupun pernah membuat seorang suami membisu meskipun ia melihat sendiri, bagaimana Sawung Rampak membawa isterinya pergi. "
Bahkan dengan bangga orang itu mengatakannya kepada Wiyati yang siap untuk melawannya.
" Jadi kau pernah melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu sebelumnya" "
" Aku akan melakukannya juga sekarang " geram laki-laki itu.
" Ternyata dugaanku benar. Aku harus membuat perhitungan sampai tuntas, sehingga kau tidak akan pernah dapat melakukannya lagi. -
Orang berwajah garang itupun menggeram. Dengan garangnya iapun mulai menyerang Wiyati
Wiyati memang belum mengetahui tataran kemampuan lawannya. Tetapi ia sudah menduga, bahwa lawannya akan mengandalkan kekuatan tenaganya daripada kemampuan ilmunya
Dalam pada itu pemilik kedai yang menjadi ajang pertengkaran itu menjadi bingung. Jika banyak orang yang mengetahui bahwa terjadi perkelahian di halaman belakang kedainya, maka tentu akan banyak orang yang ingin melihatnya. Karena itu. maka pemilik kedai itupun segera menutup pintu-pintu kedainya. Namun ia tidak menyuruh orang orang yang sudah terlanjur berada di kedainya untuk keluar, karena pemilik kedai itupun memerlukan kawan untuk mengamati perkelahian yang terjadi itu.
Seperti yang diharapkan oleh pemilik kedai itu. maka beberapa orang yang masih berada di dalam kedainya itu tidak segera meninggalkan kedai yang ditutup itu. Tetapi dari dalam kedai. lewat pintu belakang yang terbuka, mereka menyaksikan perkelahian yang terjadi di halaman belakang.
Mereka melihat Wiyati telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga ia tinggal mengenakan pakaian khususnya. Pakaian yang selalu dikenakannya di bawah pakaian perempuannya.
Perkelahian itupun menjadi semakin seru. Tetapi orang berwajah garang itu telah salah menilai Wiyati.
Meskipun orang berwajah garang itu telah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak mampu mendesak perempuan cantik itu. Bahkan serangan-serangan Wiyati mulai mengenai tubuhnya.
Ketika dengan mengerahkan tenaganya, orang berwajah garang itu meloncat dengan menjulurkan tangannya menyerang ke arah dada, Wiyati sambil tersenyum memiringkan tubuhnya sambil melangkah ke samping. Demikian tangan orang berwajah garang itu terjulur, maka Wiyati pun menyerang dengan kakinya. Dengan cepat tubuhnya berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.
Orang berwajah garang itu terkejut ketika tiba-tiba saja kaki Wiyati menyambar keningnya.
Orang berwajah garang itupun terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun dengan susah payah ia bertahan untuk tidak jatuh lierguling.
Tetapi ketika Wiyati kemudian meloncat sambil menjulurkan kakinya mengenai dada orang itu. maka orang itu benar-benar terpelanting jatuh.
Orang itupun berusaha dengan cepat bangkit sambil mengumpat kasar, sementara Wiyati berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Gadis itu sengaja tidak memburunya Dibiarkannya orang berwajah garang itu bangkit berdiri
Namun orang itu harus menyeringai menahan sakit punggung dan dadanya yang bahkan terasa menjadi sesak.
" Iblis betina " geram orang itu " aku akan mencabik-cabik tubuhmu. "
Tetapi Wiyati justru tertawa. Katanya " Tidak. Kau tidak akan berani melakukannya, karena Sawung Kampak justru menginginkan tubuhku. Jika kau mencoba merusaknya, maka kau tentu akan dibunuh oleh Sawung Kampak. "
Orang berwajah garang itu termangu-mangu sejenak. Bahkan iapun kemudian berPating kepada Sawung Kampak. "
" Aku tidak memerlukannya lagi " Sawung Rampak hampir berteriak " meskipun wajahnya cantik, tetapi ia adalah keturunan iblis yang Pating jahat. "
Wiyati tertawa berkepanjangan. Katanya " Kau masih juga pandai merajuk, anak manis. "
Sawung Rampak memang merasa terhina. lapun menjadi tidak tahan lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang Wiyati.
Wiyatipun dengan cepat menghindar. Sementara itu, orang berwajah garang dan bahkan Windupun telah bersiap pula.
Sejenak kemudian, maka perempuan cantik itu harus bertempur melawan liga orang yang garang dan sedang marah. Serangan-serangan mereka dalang susul menyusul seperti gelombang menghantam batu karang yang tegak dipinggir lautan.
Tetapi Wiyati memang sudah bersiap untuk melawan mereka bertiga. Karena itu. maka ia sama tidak menjadi gentar. Dengan tangkasnya gadis itu berloncatan menghindari. Namun tiba-tiba Wiyati meloncat menyerang dengan cepatnya.
Windulah yang kemudian terlempar jatuh. Hampir saja kepalanya membentur bebatuan di bibir sumur. Untunglah, bahwa ia sempat menggeliat. Namun punggungnyalah yang terasa menjadi sangat nyeri
Karena itu. ia harus meloncat surut untuk mendapatkan kesempatan mengatasi kesulitan didalam dirinya.
Namun Wiyatilah yang memburunya. Dengan cepat Wiyati herusaha menyerangnya. Tetapi kedua orang lawannya yang lain telah menyerang bersama-sama pula, sehingga Wiyati terpaksa mengurungkan serangannya justru untuk menghindari serangan kedua lawannya itu.
Dengan demikian, maka Windupun mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keempat orang yang bertempur di halaman belakang kedai itupun telah meningkatkan ilmu mereka. Sawung Rampak yang marah itu telah mencabut kerisnya pula.
" Aku akan membunuhmu perempuan celaka. "
Tetapi Wiyanti sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika Sawung Rampak meloncat sambil menjulurkan kerisnya menusuk ke arah jantung, maka Wiyatipun dengan tangkasnya melenting sambil mengayunkan kakinya.
Sawung Rampak tidak menduga, bahwa ujung kaki Wiyati itu telah mengenai pergelangan tangannya demikian kerasnya, sehingga keris itupun terlepas dari tangannya.
Tetapi Wiyati tidak sempat mencegah Sawung Rampak memungut kembali kerisnya, karena Windu dan orang yang berwajah garang itu telah menyerangnya dengan pedangnya.
" Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, setan betina " Wiyati tidak menjawab. Tetapi di padepokan kecilnya, Wiyati telah dilatih untuk mempergunakan apapun yang ada padanya sebagai senjata. Karena itu, maka Wiyatipun telah mempersiapkan selendangnya yang memang dibuat secara khusus. Pada ujung selendangnya terdapat bandul timah kecil kecil yang membuat selendang itu dapat menjadi senjata yang berbahaya.
Sebenarnyalah Wiyatipun segera memutar selendangnya yang berwarna hijau pupus, yang serasi dengan baju dan kainnya yang berwarna hijau daun.
Dengan demikian pertempuran menjadi semakin keras. Ketiga lawan Wiyatipun telah bersenjata, sementara Wiyati sendiri mempergunakan selendangnya sebagai senjatanya.
" Kalian sendirilah yang mulai dengan mempergunakan senjata " berkata Wiyati " Senjata itulah yang agaknya akan mempercepat berakhirnya perlawanan kalian. -
Sawung Rampak menggeram. Katanya " Kau mulai cemas setan betina "
Tetapi sebelum kalimatnya berakhir. Windu berteriak kesakitan karena ujung selendang Wiyati menyentuh pahanya.
Paha Windu tidak berdarah. Tetapi timah-timah kecil diujung selendang Wiyati terasa seakan-akan meretakkan tulang-tulangnya.
Windu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu Sawung Rampak dan orang berwajah garang itu mencoba menghentakkan serangannya terhadap Wiyati yang masih nampak segar.
Untuk beberapa saat Windu mengusap dada yang terasa nyeri. Baru kemudian terpincang pincang ia kembali memasuki arena.
Dalam pada itu selendang Wiyati berputar semakin cepat. Sehingga tubuh Wiyati itu seakan-akan telah diselubungi oleh kabut tipis yang berwarna kehijau-hijauan.
Dalam pada itu, ketiga orang lawan Wiyatipun dengan garangnya berusaha untuk menembus pertahanan gadis itu. Namun usaha mereka itupun sia-sia. Tidak seorangpun dari ketiganya yang berhasil menyusupkan senjata mereka menembus kabut tipis yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Bahkan semakin lama ujung selendang Wiyatilah yang semakin sering mengenai tubuh ketiga orang lawannya itu.
Windu, orang yang berwajah garang dan Sawung Rampak sendiri, setiap kali merasa disengat oleh perasaan nyeri dan pedih. Bahkan selendang itu menghantam dada Sawung Rampak, rasa-rasanya dadanya itu tertimpa sebongkah batu sebesar anak kerbau.
Sawung Rampak terdorong surut. Nafasnya menjadi terengah-engah. Dengan susah payah Sawung Rampak bertahan, sehingga ia tidak jatuh terlentang karenanya.
Namun selama Sawung Rampak itu mencoba memperbaiki keadaannya dan mengatur pernafasannya sambil berdiri tegak dengan kakinya merenggangi ujung selendang Wiyati telah menyambar lambung Windu. Terdengar Windu itu berdesah kesakitan sambil menekan lambungnya dengan tangan kirinya.
Malang bagi orang berwajah garang. Kebencian Wiyati kepadanya, apalagi setelah Wiyati mendengar sendiri dari mulut orang berwajah garang itu, yang dengan bangga mengatakan bahwa ia pernah menculik perempuan beberapa kali, telah memuncak. Wiyati menjadi muak melihat wajahnya yang garang serta tingkah lakunya yang kasar. Karena itu. dengan satu hentakan yang keras selendang Wiyati telah merenggut senjata orang berwajah garang itu.
Demikian senjatanya terlepas dari tangannya, maka selendang Wiyati telah berputar dengan derasnya, terayun mengenai dada orang berwajah garang itu.
Orang itu terpental dengan kerasnya. Punggungnya menimpa bebatur plataran sumur di belakang kedai itu.
Orang itu berteriak kesakitan. Tulang punggungnya terasa menjadi patah.
Sementara itu, nafas Sawung Rampak telah mulai mengalir wajar. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Wiyati telah meloncat menyerangnya. Dengan cepat selendangnya telah membelit di leher Sawung Rampak yang tidak berhasil menghindarinya.
Dengan kerisnya Sawung Rampak berusaha untuk memotong selendang Wiyati. Tetapi dengan cepat Wiyati menarik selendangnya sehingga tubuh Sawung Rampak justru terputar.
Sawung Rampak benar-benar kehilangan keseimbangan. Sementara itu kaki Wiyati terayun dengan derasnya menghantam kening.
Sawung Rampak tidak sempat berbuat sesuatu. Dengan derasnya ia terpelanting jatuh terbanting di tanah.
Mata Sawung Rampakpun rasa-rasanya menjadi gelap Keningnya terasa sangat sakit. Sementara itu, bagian belakang kepalanya yang membentur tanah berbatu padas membuatnya kemudian tidak sadarkan diri.
Tinggal Windu yang berdiri termangu-mangu. la tidak mempunyai keberanian untuk melawan Wiyati sendiri setelah ia mengetahui tataran kemampuannya. Orang berwajah garang serta Sawung Rampak sudah tidak berdaya
" .Sekarang, tinggal kau sendiri " berkata Wiyati
" Ampun. Aku minta ampun " Windu itupun telah melemparkan senjatanya.
Wiyati menarik nafas dalam-dalam. Orang berwajah garang itu tidak pingsan. Tetapi tidak dapat bangkit berdiri.
Sepantasnya orang itu harus dibunuh agar ia tidak dapat menculik perempuan lagi. "
Dengan suara bergetar Windu itupun berkata " Aku mohon ampun bagi mereka berdua. "
" Bukankah kau tahu, kejahatan apa saja yang telah mereka lakukan. "
Windu mengangguk. " Seharusnya kau tidak minta ampun untuk mereka. -
" Mereka tentu akan menjadi jera. "
Wiyatipun termangu mangu. Namun kemudian iapun berkata Aku tidak akan membunuh mereka. Tetapi jika pada sualu kali aku menjumpai mereka dan kau sekali lagi menculik perempuan, maka aku akan membunuh kalian bertiga. Bahkan keluarga kalian. Suamiku akan datang dengan duapuluh lima orang berilmu tinggi. Seandainya ayah Sawung Rampak dengan uangnya dapat membentengi rumahnya dengan laki-laki sepadukuhan, mereka akan dihancurkannya pula. "
" Siapakah suamimu" " bertanya Windu.
Kau akan menantangnya" "
" Tidak. Tidak. Bukan maksudku. -
" Jadi untuk apa kau bertanya siapakah suamiku. "
" Tidak apa-apa. "
" Suamiku adalah guruku. Nah. bayangkan apa yang dapat dilakukannya. "
" Ya. " Aku akan pergi. Ingat semua kata-kataku. Aku bukan seorang yang mengenal belas kasihan.
Windu tidak menyahut. Dipandanginya saja perempuan cantik itu membenahi pakaiannya. Bahkan ia masih sempat membetulkan sanggulnya.
Ketika melangkah pergi Wiyati masih berpesan kepada Windu- Sawung Rampak hams mengganti kerusakan yang terjadi di kedai itu. Jika ia menolak, maka ia akan mengalami akibat buruk. Besok atau lusa aku akan menemui pemilik kedai itu. "
Sambil mengangguk Windu berkata - Baik. Aku akan mengatakannya kepadanya.
" Mudah-mudahan ia tidak mati " berkata Wiyati.
Windu mengerutkan dahinya. Begitu ringan perempuan itu bersikap. bahkan seandainya Sawung Kampak itu mati.
Ketika Wiyati melangkah pergi. ia sempat berhenti dan berjongkok disamping orang yang berwajah garang yang mengerang kesakitan " Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku tahu caranya untuk meninggalkan kalian. Aku sudah menunjukkan cara itu. Senang atau tidak senang, kalian harus menerimanya. "
Orang berwajah garang itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja menahan sakit di punggungnya
" Jika punggungmu patah, maka untuk selamanya kau tidak akan dapat sesumbar lagi. Kau akan menjadi orang yang lemah dan bergantung kepada orang lain. Kaiena kau tidak akan mampu bekerja apapun untuk menghidupi dirimu sendiri. Bukan niatku mematahkan tulang punggungmu. Tetapi kebetulan itu adalah beban yang harus kau tanggungkan karena kejahatan yang pernah kau lakukan. "
Orang herwajah garang itu menyeringai menahan sakit. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga sakit hatinya.
Sejenak kemudian, maka Wiyatipun telah bangkit berdiri dan meninggalkan orang-orang yang masih berada di halaman belakang kedai itu. Ketika ia naik lewat pintu belakang, maka orang-orang yang berada di kedai itu menyibak.
" Kenapa pintu ditutup" Apakah kalian sengaja menjebak aku agar aku tidak dapat pergi" "
" Tidak. Bukan itu " sahut pemilik kedai dengan serta merta " aku hanya ingin tidak ada orang-orang lain lagi yang masuk kedalam kedai itu untuk menyaksikan perkelahian itu. "
Wiyati mengerutkan dahinya. Katanya" kenapa kau berkeberatan jika banyak orang yang melihat kekalahan Sawung Rampak" "
" Bukan karena itu. Tetapi kedai ini akan penuh dan kerusakan yang timbul akan dapat lebih banyak lagi. "
Wiyati memandang pemilik kedai itu dengan kerut di dahinya. Namun kemudian iapun berkata " Sawung Rampak harus mengganti semua kerusakan di kedai ini. Aku sudah berpesan kepada Windu. Dalam dua atau tiga hari ini aku akan datang lagi untuk melihat apakah Sawung Rampak memenuhi pesanku atau tidak. Jika tidak aku akan memaksanya. Mudah-mudahan ia tidak mati. "
Pemilik kedai itu tidak sempat menjawab. Wiyatipun melangkah kepintu sambil berkata " Buka pintunya. "
Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itu membuka pintu kedainya.
Namun, demikian pintu itu terbuka maka Wiyati yang berdiri di-belakang pintu itupun mengerutkan dahinya. Temyala diluar kedai itu berkerumun beberapa orang yang mengetahui bahwa telah terjadi pertengkaran didalam kedai yang kemudian ditutup itu.
Wiyati tidak menghiraukan mereka. Iapun segera melangkah turun ke jalan dan dengan cepat meninggalkan kedai itu.
Orang-orang yang berkerumun itupun segera menyibak. Sementara itu tanpa berPating Wiyati melangkah meninggalkan kedai itu.
Ketika Wiyati sampai di rumahnya, maka Ki Ambara memperhatikannya dengan kerut di kening. Wiyati yang semula tidak berniat untuk menceritakan apa yang sudah terjadi itu. ternyata tidak dapat menyembunyikannya lagi ketika Ki Ambara memanggilnya.
" Wiyati. Apa yang telah terjadi" " Wiyati menunduk, la tidak segera menjawab.
" Katakan, apa yang telah kau lakukan di pasar itu. Kau pulang tanpa membawa apa-apa. Tetapi aku lihat pakaianmu nampak kusut. "
Wiyati masih menunduk. " Kau berkelahi Wiyati" " bertanya Ki Ambara. Wiyati tidak dapat mengelak. Dengan nada rendah iapun menjawab " Ya, kek. "
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Duduklah. Kau harus menceritakan apa yang terjadi dengan jujur. Kau tidak boleh menyembunyikan apapun yang telah terjadi agar aku dapat mengetahui dengan pasti. "
Wiyati tidak dapat mengelak, la tahu, bahwa Ki Ambara itu mempunyai ketajaman penglihatan dan ketajaman penggaraita sehingga sulit baginya untuk mengelabuhinya.
Karena itu. maka Wiyatipun kemudian bercerita dari awal sampai akhir.
Ki Ambara mendengar cerita Wiyati itu dengan saksama Sekali-sekali Ki Ambara itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk.
Demikian Wiyati selesai bercerita, maka Ki Ambarapun menarik nafas panjang. Katanya " Wiyati, sebaiknya kita tidak membuat persoalan. Persoalan-persoalan kecil itu akan dapat mempengaruhi kerja besar kita dalam keseluruhan.
Wiyati tidak menjawab. Kepalanya justru menjadi semakin menunduk.
" Wiyati. Seharusnya kau menghindari benturan-benturan kekerasan dengan siapapun juga. Jika orang itu mendendam, maka persoalannya akan dapat menjadi- berkepanjangan. Sementara itu tugas pokok kita masih belum pasli akan dapat berhasil dengan lancar sebagaimana kita harapkan.
" Ampun Kek " Wiyati akhirnya menjawab " Aku tidak dapat menghindarinya. Anak muda yang bernama Sawung Rampak itu menyudutkan aku sehingga memaksa aku untuk melawan dengan ke kerasan."
" Kau tentu sengaja ingin menemuinya. Jika kau menolak atau seandainya harus mempergunakan kekerasan, sebaiknya kau tujukan kepada Windu. Kau tidak akan bertemu dengan Sawung Rampak. Bagimu lebih baik menggagalkan usaha Windu membawamu ke Sawung Rampak daripada membebaskan dirimu dari niat Sawung Rampak yang kasar itu. Dengan menggagalkan usaha Windu, kau akan sempat menghilang di keramaian pasar tanpa banyak menimbulkan persoalan. Mungkin beberapa orang menjadi gempar karena Windu tiba-tiba menjadi pingsan misalnya. Justru kegemparan itu merupakan kesempatan bagimu untuk hilang dari pengamatannya "
Wiyati tidak menjawab. " Yang sudah, sudahlah. Tetapi untuk selanjutnya kau harus lebih berhati-hati. Aku anjurkan kau tidak pergi ke pasar itu jika tidak terpaksa sekali. Di sekitar tempat ini tidak hanya ada satu pasar. Tetapi beberapa"
Wiyati mengangguk sambil berdesis " Baik, kek. " Seharusnya kau lebih banyak di rumah. Setiap saat Swandaru akan datang. Sendiri atau bersama isterinya. Kau harus siap menempatkan dirimu. "
" Ya kek " suara Wiyati merendah.
Sebenarnyalah, sejak saat itu, Wiyati jarang sekali keluar rumah. Jika gadis itu keluar rumah, maka kemungkinan ada persoalan lain yang melibatnya di luar kehendak dan perhitungannya Bahkan mungkin akan dapat mempengaruhi rencana besar yang sedang dilaksanakan.
Sementara itu, Swandaru masih saja sering datang berkunjung ke rumah Ki Ambara. Hubungannya dengan Wiyati pun semakin lama menjadi semakin rapat. Sementara itu. Pandan Wangi pun menjadi semakin jarang, bahkan hampir tidak pernah lagi datang ke rumah Ki Ambara
Ketika hubungan antara Swandaru dan Wiyati menjadi semakin jauh seperti yang diharapkan, maka Swandaru harus semakin sering berbohong kepada isterinya. Pandan Wangi akan menjadi heran, dan bahkan akan dapat tidak mempercayainya jika ia terlalu sering minta diri untuk pergi ke rumah Ki Ambara. Karena itu, maka kadang-kadang Swandaru harus membuat ceritera lain. Swandaru mulai membuat ceritera tentang orang-orang yang mengancam kademangannya. Peringatan yang pernah diterimanya, bahwa orang-orang yang mengaku ingin menegakkan kembali perguruan Kedung Jati itu mulai merambah ke Sangkal Putung. telah dipakainya sebagai alasan untuk menjadi sangat sibuk.
Pandan Wangi sama sekali tidak mencurigainya. Ki Demang bahkan minta agar Swandaru lebih ketat mengawasi keadaan.
" Seorang pengawal dengan tidak sengaja melihat lima orang berkuda melintas " berkata Swandaru kepada Ki Demang " orang itu dengan diam-diam menelusuri jejak kelima orang penunggang kuda itu, sehingga akhirnya penyelidikannya itu bermuara di pategalan sebelah Randu Gobang. Pengawal itu terkejut karena ia melihat tidak hanya ada jejak kaki lima ekor kuda. Tetapi lebih banyak lagi. "
" Sepuluh" " bertanya Ki Demang.
" Pengawal itu tidak dapat menyebutkan, berapa ekor kuda kira-kira yang ada di Pategalan itu, karena jejak terlalu banyak. "
Ki Demang mengangguk angguk. Tetapi nampak kecemasan membayang di wajahnya.
Pandan Wangi tidak bertanya lebih jauh. Tetapi kemudian ia justru berkata " Kakang mempunyai tugas yang semakin berat. "
" Ya, Pandan Wangi. Tetapi karena itu sudah tugasku, aku akan melakukannya dengan senang hati. "
Untuk menutupi kebohongannya Swandaru mulai menunjuk dua orang pengawal kepercayaannya untuk membantunya. Keduanya harus memberikan laporan sesuai dengan pesan-pesan Swandaru. Keduanya-pun kadang-kadang diminta untuk menyertai Swandaru mendatangi tempat-tempat yang sangat rawan dan berbahaya. Bertiga mereka berangkat dari kademangan. Namun dua orang pengawal itupun hanya akan berhenti di tengah perjalanan. Mereka hanya akan bersembunyi di rumah mereka masing-masing atau di mana saja menurut kesepakatan mereka dengan Swandaru sehingga Swandaru menjemput mereka lagi setelah Swandaru pulang dari Kajoran.
Namun Swandaru berpesan dengan sangat, agar keduanya tidak membuka rahasianya kepada siapapun juga Kepada isteri dan anak-anak merekapun. keduanya harus merahasiakannya.
"Jika isterimu tahu. maka mulut isterimu itu yang akan mengigau sehingga Pandan Wangi dapat mendengarnya. "
- Aku berjanji. Ki Swandaru. "
- Jika kau erat-erat memegang rahasia ini. kau akan menerima hadiah yang banyak. Tetapi jika rahasia ini sampai merembes kepada orang lain, maka kau tidak akan pernah pulang lagi. "
Kedua orang itu justru tertawa. Seorang diantara merekapun berkata " Jangan cemas. Percayalah kepada kami. Kami masih ingin tinggal lebih lama lagi di Sangkal Putung. "
" Bagus. Kau harus dapat memegang rahasia ini. "
Ternyata bersama kedua orang kepercayaannya itu Swandaru mampu membuat ceritera-ceritera yang memungkinkannya lebih banyak di luar rumah. Bahkan Swandaru telah meningkatkan kesiagaan di kademangannya. Swandaru sendiri hampir setiap malam mengelilingi kademangannya dari ujung sampai ke ujung. Namun kadang-kadang Swandaru itu tidak berada di manapun dikademangan itu. Para pengawal di padukuhan induk mengatakan bahwa Swandaru ada dipadukuhan sebelah. Tetapi para pengawal di padukuhan sebelah menyangka Swandaru ada di padukuhan sebelah. Tetapi para pengawal di padukuhan sebelah menyangka Swandaru berada di padukuhan yang lain.
Sementara itu, Swandaru ternyata berada di rumah Ki Ambara.
Hari ke hari, bahkan bulan ke bulan, Swandaru berhasil mengelabuhi bukan saja Pandan Wangi, tetapi juga ayahnya yang menjadi semakin tua dan bahkan seisi kademangan Sangkal Putung
Ki Ambara merasa bahwa Wiyati sudah berhasil menjerat Swandaru sehingga Swandaru itu akan sulit sekali melepaskan dirinya. Bagi Swandaru, Wiyati adalah segala-galanya. Perempuan itu memang sedikit manja. Tetapi tidak di luar batas kewajaran. Perempuan itu tidak pernah berbuat aneh-aneh. Tidak pernah minta apapun selain kebutuhan-kebutuhan wajar dan sama sekali tidak berlebih-lebihan.
Karena itu, maka Wiyati yang jauh lebih muda dari pandan Wangi itu benar-benar telah menjadi lekat di hati Swandaru.
Dalam keadaan yang demikian, sikap Swandaru terhadap Pandan Wangi sama sekali tidak berubah. Bahkan Swandaru masih saja sangat memperhatikan isterinya. Keduanya nampak menjadi semakin dekat. Setiap kali Swandaru memerlukan berbincang dengan Pandan Wangi tentang tugas-tugasnya yang menjadi semakin berat.
" Aku siap membantu, kakang. Tugas di manapun juga aku siap untuk melaksanakannya. "
" Tugasmu terutama adalah mengasuh anakmu. Hanya dalam keadaan yang Pating gawat, aku akan minta bantuanmu. "
" Kenapa kakang harus menunggu jika keadaan menjadi sangat gawat.'"
" Aku tahu. bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi. Pandan Wangi. Tetapi tidak seharusnya kau melakukan tugas-tugas diluar tugas-tugas pokokmu selama aku masih dapat memecahkannya "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Menurut pengenalannya sejak ia menikah dengan Swandaru, Swandaru memang seorang yang bertanggung jawab. Ia tidak mau membebani Pandan Wangi dengan tugas-tugas yang seharusnya diselesaikannya.
Dengan nada dalam Pandan Wangi itupun berkata " Kakang. Apakah aku dapat duduk berpangku tangan sementara kau bekerja keras untuk kepentingan kademangan ini. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Semuanya masih dalam batas-batas kemungkinan untuk memecahkannya bersama para bebahu dan pengawal. Pandan Wangi. "
Pandan Wangi mengangguk-angguk.
Sementara itu, di Kajoran, Ki Ambara telah memanggil Wiyati dan ki Saba Lintang untuk berbicara di ruang dalam. Dengan sungguh-sungguh Ki Ambara pun berkata " Wiyati. Kau sudah berhasil menyelesaikan langkah pertama dari tugas panjangmu. Kau sudah berhasil menjerat Swandaru sehingga menurut pengamatanku kini. Swandaru benar-benar sudah berada di dalam genggamanmu. Sedikit saja kau merajuk, rasa-rasanya-dunia menjadi kiamat, bagi Swandaru. Tetapi ada yang kaulakukan sudah benar. Kau tidak perlu merajuk. Swandaru lebih senang jika kau bersikap tegar gembira dan sedikil manja, tetapi dalam batas kewajaran. "
" Ya, kek. ~ " Nah, agaknya memang sudah saatnya kau mulai berbicara tentang hubungan antara Mataram dan Sangkal Putung. Tetapi ingat, kau tidak boleh tergesa-gesa. Swandaru adalah seorang yang setia kepada Mataram. Jika sedikit saja kau salah langkah, maka Swandaru akan memilih Mataram dan meninggalkanmu betapa hatinya menjadi hancur.
" Aku mengerti, kek. "
" Jangan bicara tentang dendammu " berkata Ki Saba Lintang " jika lidahmu tergelincir dan kau menyebut dendam di lubuk hatimu.maka gagallah semuanya. "
" Aku mengerti, paman. "
" Nah, kau dapat mulai sedikit demi sedikit.-Jika kau harus maju selangkah lagi, maka aku akan memberimu isyarat. "
" Baik, kek" " Hati-hatilah. Besok atau lusa Swandaru tentu akan datang kemari."
Dengan demikian, maka Wiyatipun telah mempersiapkan diri untuk mulai dengan tahap berikutnya dari perjuangannya untuk menyeret Sangkal Putung ke dalam kubunya untuk menghadapi Mataram.
Nampaknya memang mustahil. Tetapi Ki Saba Lintang dan Ki Ambara akan mencobanya.
" Kita akan mematahkan kemustahilan itu, Ki Ambara berkata Ki Saba Lintang " aku yakin akan kecerdasan Wiyati. Ia tentu akan berbasil. "
Ki Ambara menarik nafas dalam dalam. Katanya " Kita berharap saja. "
" Aku yakin paman " desis Ki Saba Lintang. Sebenarnyalah, ketika Swandaru datang lagi berkunjung ke rumah Ki Ambara, Wiyati mulai mengambil ancang-ancang. Wiyati tidak mulai dengan menghembuskan persoalan yang harus disampaikannya dengan hati-hati kepada Swandaru. Tetapi Wiyati mulai dengan mempererat jeratannya terhadap Swandaru. Dengan mengorbankan apa saja yang dimilikinya, Wiyati bertekad untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnyalah bahwa Swandaru benar-benar telah terbelenggu oleh kecantikan kelembutan dan kehangatan Wiyati yang dianggapnya sebagai cucu Ki Ambara.
Namun Wiyati benar-benar cerdik. Meskipun ia telah berhasil membelenggu Swandaru sehingga tidak mampu mengelak lagi, tetapi Wiyati tidak pernah mempersoalkan kehadiran Pandan Wangi di sisi Swandaru. Wiyati tidak pernah mengungkit keluarga Swandaru di Sangkal Puiung. Jika sekali-sekali Wiyati menyebut nama Pandan Wangi, justru ia sedang menanyakan keselamatannya.
Dengan demikian, maka Swandaru merasa semakin terikat oleh perempuan itu.
Ancang-ancang itulah yang sedang dilakukan oleh Wiyati untuk memasuki tugasnya yang lebih berat.
" Kami menggantungkan harapan kami kepadamu. Wiyati " berkata Ki Ambara.
" Ya. kek. " jawab Wiyati dengan penuh keyakinan. Katanya kemudian " Apapun yang aku katakan sedang, Ki Swandaru tentu mengiakannya. Meskipun demikian, aku memang tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. "
" Kau henar, Wiyati. Lakukan apa yang kau anggap baik untuk kau lakukan. Kita memang tidak tergesa-gesa. Mataram sekarang baru dalam keadaan tenang. Jika gerakan kita sedikit saja nampak dipermukaan. maka dengan cepat kita akan dilindas. " berkata Ki Ambara.
" Ya, kek - " Seterusnya aku harap Ki Saba Lintang juga mengendalikan orang-orangnya. Kita harus bersabar, agar kita tidak justru kehilangan kesempatan. "
" Aku dapat memastikan, bahwa orang-orang tidak akan ada yang bergerak, paman. Kami yakin bahwa kami akan dapat mengendalikan diri. "
Sebenarnyalah, bahwa Mataram benar.-benar dalam keadaan tenang. Tidak ada gejolak yang mengeruhkan suasana. Seakan-akan angin-pun akan memperlambat lajunya jika bertiup di udara Mataram yang tenang.
Namun para pemimpin di Mataram ternyata justru menjadi gelisah. Sikap Panembahan Senapati padu saat-saat terakhir menjadi agak berubah. Panembahan Senapati menjadi lebih banyak menyendiri.
Kadang-kadang Panembahan Senapati duduk di serambi samping sambil merenung sendiri. Ki Patih Mandaraka pun menjadi heran melihat sikap Panembahan Senapati itu.
Setelah berhari-hari sikap Panembahan Senapati tidak berubah, maka Ki Patih Mandaraka pun memberanikan diri untuk menghadap.
" Angger Panembahan " berkata Ki Patih Mandaraka dengan hati-hati " pada saat-saat terakhir, aku melihat perubahan terjadi pada angger Panembahan. "
Panembahan Senapati memandang Ki Patih dengan kerut di dahi. Dengan nada dalam. Panembahan itu justru bertanya " Apa yang berubah, paman " "
" Panembahan menjadi pendiam. Sering menyendiri dan merenung untuk waktu yang lama. "
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Apakah benar begitu, paman, bukankah sikapku selama ini tidak berubah "
" Tetapi kami yang memperhatikan .Sikap Panembahan, nampaknya Panembahan memang berubah. "
Panembahan Senapati menggelengkan kepalanya. Katanya Tidak ada apa-apa, paman. Aku tidak apa-apa."
" Sukurlah, Panembahan. Tetapi menurut penglihatan kami. perubahan itu telah terjadi. "
Panembahan Senapati tertawa. Katanya " Tidak. Tidak ada apa-apa paman. Mungkin aku hanya lelah saja, sehingga kau merasa perlu beristirahat. "
" Mungkin Panembahan. Tetapi justru Mataram sekarang dalam keadaan tenang, angger merasa lelah. "
" Bukankah itu wajar, paman. Ketika kita bekerja keras, kadang-kadang kita lupa. bahwa tubuh kita merasa letih. Tetapi setelah kerja selesai, barulah kita merasakan, betapa letihnya tulang-tulang kita "
" Ya Panembahan. "
" Tetapi aku mengucapkan tenmakasih atas perhatian paman. Mungkin ada sesuatu yang pada suatu saat ingin aku sampaikan kepada paman dan keluarga istana Mataram. "
" Jika Panembahan ingin menjatuhkan perintah, aku menunggu.
" Aku akan mengatakan pada saatnya, paman. Aku harap paman tidak risau. Tidak ada masalah apa-apa yang rumit. "
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, tentu ada sesuatu yang direnungkannya. Tetapi masih belum waktunya disampaikan kepada orang lain. Juga kepada Ki Patih Mandaraka.
Tapi Ki Patih Mandaraku tidak dapat mendesak, la hanya dapat menunggu, bahwa pada suatu saat. Panembahan Senapati itu akan menjatuhkan perintah kepadanya.
Namun semakin lama Panembahan Senapati nampak semakin murung. Bahkan kadang kadang Panembahan Senapati itu nampak pucat dan muram.
Ki Patih tidak dapat berdiam diri dan sekedar menunggu. Sementara Panembahan Senapati tidak juga memberikan perintah apa-apa.
Ki Patih menjadi semakin cemas ketika setiap kali Panembahan Senapati memanggil putera puteranya. Diajaknya berbincang tentang kehidupan mereka sehari-hari. Sama sekali berbeda dengan sikap dan kebiasaan Panembahan Senapati sebelumnya yang hampir setiap kejap, mencurahkan perhatiannya bagi kebesaran Mataram.
Bukan hanya Ki Patih Mandaraka yang menjadi cemas melihat keadaan Panembahan Senapati. Tetapi putra-putranya, adik-adiknya dan kerabat keraton yang lain.
" Panembahan " berkata Ki Patih Mandaraka ketika ia mendapat kesempatan untuk menghadap.
Sebelum Ki Patih melanjutkan pembicaraannya, Panembahan Senapati itupun berkata " Apakah paman masih mencemaskan keadaanku ?"
" Aku mohon maaf, ngger. Mungkin karena aku sudah menjadi semakin tua. Aku menjadi mudah cemas. Mungkin karena aku tidak mengerti atau tidak tanggap terhadap sikap Panembahan karena aku sudah menjadi pikun."
" Tidak. Paman tidak usah mencemaskan aku. Aku tidak apa-apa."
Ki Patih Mandaraka itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya " Panembahan. Apakah Panembahan menjadi risau, bahwa masih ada beberapa daerah di Timur yang belum bersedia menyatukan diri dengan Mataram ?"
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Seperti aku katakan, paman. Aku sudah letih. Aku ingin beristirahat untuk waktu yang panjang sekali."
" Panembahan " Panembahan Senapati masih saja tersenyum. Katanya " Apalagi memang belum saatnya aku bergerak ke Timur. Biarlah kelak cucuku yang akan menyatukan tanah ini dari lautan sampai lautan."
Ki Patih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun akhirnya Panembahan Senapati itupun berkata " Paman. Bukankah sudah saatnya aku menunjuk salah seorang puteraku untuk menjadi Pangeran Pati ?"
Ki Patih Mandaraka lermangu-mangu sejenak. Jantungnya terasa berdebar semakin cepat. Namun Ki Patih tidak bertanya sesuatu. Ia hanya menunggu titah Panembahan Senapati selanjutnya.
" Paman. Aku ingin berbicara dengan Paman Mandaraka dan adi-mas Mangkubumi. Aku minta paman dan adimas Mangkubumi bersedia datang nanti setelah senja"
" Apakah Panembahan akan bertitah tentang Pangeran Pati ?"
" Ya. Bukankah harus ada seseorang yang disiapkan untuk menggantikan aku jika aku sampai pada saatnya dipanggil oleh Yang Malia Agung.'"
Keringat dingin mulai membasahi punggung Ki Patih Mandaraka. la benar-benar mencemaskan keadaan Panembahan Senapati. Ia yakin kalau Panembahan sedang menderita sakit. Tetapi Panembahan Senapati berusaha untuk menyembunyikannya
" Baiklah Panembahan " berkata Ki Patih Mandaraka " aku akan menghadap setelah senja bersama Pangeran Mangkubumi."
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Aku akan menunggu, paman."
Ki Patih Mandarakapun kemudian telah mohon diri. Tetapi Ki Patih tidak langsung pulang ke kepatihan. Tetapi Ki Patih langsung pergi menemui Pangeran Mangkubumi.
" Ada apa paman ?"- bertanya Pangeran Mangkubumi yang melihat wajah Ki Patih yang muram.
" Apakah Pangeran memperhatikan keadaan Panembahan Senapati pada saat-saat terakhir ?"
" Ya. paman. Aku memang memperhatikannya. Tetapi aku tidak berani menanyakannya."
" Aku sudah mencobanya, Pangeran. Aku memberanikan diri untuk bertanya, apa yang sebenarnya merisaukan hati Panembahan. Aku sudah bertanya, apakah Panembahan masih merasa risau karena beberapa daerah di Timur masih belum dapat dipersatukan dengan Mataram. Tetapi ternyata bukan karena itu. Bahkan Panembahan menyalakan, bahwa Panembahan sedang letih."
Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya " Jadi apa yang menyebabkannya menurut paman ?"
"Pangeran. Panembahan Senapati memerintahkan Pangeran untuk menghadap setelah senja."
" Aku sendiri ?"
Ki Patih Mandaraka itupun menggeleng. Katanya " Tidak, ngger Panembahan Senapati memerintahkan aku menyertai angger menghadap Panembahan Senapati setelah senja."
Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah paman. Nanti aku menunggu paman di sini. Kita menghadap bersama-sama."
Ki Patih Mandaraka mengangguk. Katanya kemudian " Sekarang, aku mohon diri. Pangeran."
Demikianlah maka Ki Patih Mandaraka pun meninggalkan ke pangeranan, kembali ke kepatihan.
Namun Ki Patih Mandaraka tidak pernah dapat menyisihkan kegelisahannya menanggapi sikap Panembahan Senapati yang tidak dapat dimengertinya.
Seperti yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka lewat senja, Ki Patih Mandaraka telah berada di rumah Pangeran Mangkubumi. Merekapun kemudian bersama-sama pergi ke istana, menghadap Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah bahwa Panembahan Senapati memang sudah menunggu. Karena itu. maka demikian keduanya datang, merekapun langsung diterimanya.
Panembahan Senapati memang nampak lelih dan pucat. Tetapi senyumnya masih saja nampak di bibirnya.
" Silakan, paman. Silakan adimas Mangkubumi." Keduanya kemudian duduk berdiam diri. Mereka menunggu titah dari Panembahan Senapati.
" Paman dan adimas Mangkubumi " berkata Panembahan Senapati kemudian " seperti yang sudah aku katakan, sudah waktunya sekarang bagiku untuk menetapkan salah seorang puteraku untuk dipersiapkan menggantikan aku. jika aku harus menghadap Yang Maha Agung."
" Ya, kakangmas Panembahan " Pangeran Mangkubumi itu mengangguk dalam-dalam.
" Karena itu, aku berniat mewisuda salah seorang puteraku menjadi Pangeran Pati. Dengan demikian, ia sudah dibebani tanggung-jawab untuk mempersiapkan dirinya menduduki tahta di masa depan."
" Aku sependapat bahwa kakangmas sebaiknya mempersiapkan salah seorang putera kakangmas Panembahan untuk pada saatnya akan menerima warisan tahta Mataram Tetapi apakah kakangmas Panembahan menganggap bahwa hal itu harus segera dilakukan" Apakah tidak sebaiknya kakangmas mengamati putera putera kakangmas dengan saksama, sehingga kakangmas tidak akan menyesal karena kakangmas salah memilih di antara mereka"
" Waktuku tidak banyak lagi!" jawab Panembahan Senapati Namun agaknya Panembahan Senapati itu sendiri terkejut mendengar jawabnya. Dengan serta merta iapun berkata Maksudku, aku sudah cukup lama mengamati mereka. Kecuali tingkah lakunya juga sikapnya. Aku sudah berbicara dengan mereka seorang-seorang. Apalagi paman Patih dan adimas Mangkubumi agaknya sudah mengetahui dengan pasti,. siapakah orangnya yang akan aku tetapkan menjadi Pangeran Pati serta mewisudanya. -
Ki Patih dan Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Mereka memang sudah mengetahui, siapakah yang akan diwisuda karena selama ini salah seorang pulera Panembahan Senapati sudah sering disebut bakal menggantikan kedudukannya.
" Tidak akan mengejutkan siapa-siapa, paman. Tidak akan ada keresahan adimas " berkata Panembahan Senapati selanjutnya " aku hanya ingin semuanya menjadi pasti."
Ki Patih Mandaraka mengangguk samhil berkata " Jika Panembahan sudah yakin, maka terserah kepada kebijaksanaan Panembahan Senapati."
" Paman serta adimas Mangkubumi. Kalianlah yang kelak akan mewisuda Pangeran Pati itu saat mewarisi tahta Mataram."
" Kakangmas." Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Aku akan mewisuda Jolang yang sudah aku tetapkan bergelar Adipati Anom itu untuk menjadi Pangeran Pati. Bukankah tidak akan mengejutkan siapa-siapa " Bukankah setiap orang sudah mengetahui akan hal itu" Meskipun pada saat-saat terakhir aku memang tidak menemukan orang lain."
Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi mengangguk dalam-dalam. Mereka memang tidak terkejut, karena pada hakikatnya Pangeran Jolang memang sudah dipersiapkan. Tetapi bahwa tiba-tiba saja dalam keadaan yang letih dan lemah. Panembahan Senapati ingin dengan resmi mewisuda Pangeran Jolang yang lebih dahulu sudah bergelar Pangeran Adipati Anom menjadi Pangeran Pati.
Dengan demikian, rasa-rasanya memang begitu tiba-tiba dan terasa sangat mendesak dan tergesa-gesa. Bahkan seandainya Panembahan Senapati tidak mewisuda Pangeran Jolang, maka kedudukannyapun sudah hampir pasti pula.
" Ada apa sebenarnya dengan Panembahan Senapati " - pertanyaan itu telah mencuat di hati Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi.
Dengan hati-hati Ki Patih Mandaraka memberanikan diri bertanya " Panembahan, mohon ampun, bahwa keputusan Panembahan terasa agak tergesa-gesa."
Panembahan Senapati mengerutkan dahinya. Wajahnya yang pucat itu nampak menegang. Namun kemudian Panembahan Senapati itu tersenyum lagi sambil berkata " Apakah ada kesan tergesa-gesa " Sudah aku katakan, bahwa aku sudah memikirkannya sejak lama."
-- Benar Panembahan. Tetapi selama ini Panembahan tidak pernah bertitah tentang wisuda itu. Tiba-tiba saja Panembahan ingin menetapkan dan mewisuda wayah Pangeran Adipati Anom.--
Panembahan Senopatipun tidak segera menjawab. Tatapan matanya seakan-akan menerawang ketempat yang sangat jauh.
-- Paman " suaranya merendah " sudah aku katakan, aku sangat letih. Biarlah ada orang yang menggantikan tugasku.--
Sementara itu dengan serta-merta Pangeran Mangkubumipun menyela " Apakah maksud kakangmas Panembahan " --
Hampir tidak terdengan Panembahan Senopatipun menjawab.
Kalian akan segera mengetahuinya. Karena itu, aku minta paman mandaraka segera menyiapkannya.--
Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi saling berpandangan sejenak. Namun wajah merekapun membayangkan kecemasan yang mencekam.
-- Paman. Aku tidak minta diselenggarakan upacara-upacara besar Aku hanya ingin kepastian, bahwa Jolang akan menggantikan kedudukanku tanpa ada hambatan apapun kelak.--
-- Baiklah Panembahan.-- -- Upacara itu dapat diselenggarakan secara sederhana tetapi meyakinkanku.--
-- Baik, Panembahan.-- -- Aku minta paman Mandaraka dan adimas Mangkubumi segera mempersiapkannya. Dalam waktu tiga hari mendatang, Pangeran Jolang akan diwisuda di paseban agung.--
-- Tiga hari mendatang" " Ki Patih Mandaraka terkejut. Sementara Pangeran Mangkubumipun berdesis " Waktunya begitu dekat, kakangmas" --
-- Ya, Bukankah paman Mandaraka dan adima Mangkubumi itu tahu bahwa aku selalu akan menjalankan segala rencana secepatnya. Jangan menunda-nunda pekerjaan yang dapat segera kita lakukan.--
-- Ya, Panembahan " sahut Ki Patih Mandaraka.
-- Nah, paman Mandaraka dan adimas Mangkubumi. Terima kasih atas kesediaan kalian.--
Panembahan Senopati meneruskan kalimatnya dengan sendat.
Tiba-tiba saja wajahnya menjadi sangat pucat. Ditekannya dadanya dengan telapak tangan kanannya sambil memejamkan matanya.
-- Kakangmas Panembahan, kakangmas " Pangeran Mangkubumi dengan cepat menggeser mendekat.
Sambil berlutut dihadapannya. Pangeran Mangkubumi memegangi kedua kaki Panembahan Senopati sambil mengguncangnya. Kecemasan yang sangat telah mencengkam dadanya.
Ki Patih Mandarakapun menjadi sangat gelisah pula. Iapun bergeser mendekat. Namun Panembahan Senopati kemudian membuka matanya sambil berdesis " Aku tidak apa-apa. Adimas jangan terlalu cemas. Aku tidak apa-apa."
-- Tetapi kangmas nampak sangat pucat. Nampaknya sesuatu telah terjadi pada dada kangmas. --
Panembahan Senopati menarik nafas dalam-dalam.
-- Apakah kangmas sudah memanggil tabib istana"
Panembahan Senopati mengangguk. Katanya " Mereka sudah datang. Setiap saat seorang diantara mereka menunggui aku. Sekarangpun ada seorang tabib taua dan tiga tabib muda yang berada diistana ini.
-- Apakah tabib itu perlu dipanggil sekarang"
-- Tidak. Tidak perlu. Aku sudah tidak apa-apa.--
-- Tetapi sebaiknya kakangmas beristirahat. Bahkan ditunggui oleh tabib itu di dalam bilik kakangmas.--
Panembahan Senopati menatik nafas dalam-dalam. Katanya " Adimas tolong bawa aku ke dalam bilikku. --
Pangeran Mangkubumipun kemudian membantu Panembahan Senopati yang berjalan kedalam biliknya, sementara itu Ki Patih Mandaraka telah memerintahkan seorang pelayan dalam untuk memanggil tabib istana yang sedang bertugas di istana itu.
Tabib istana itupun masuk ke dalam bilik Panembahan Senopati setelah Panembahan itu berbaring disebuah pembaringan kayu berukiran sangat rumit, diikuti oleh Ki Patih Mandaraka.
Di tangani oleh tabib istana itu, keadaan Panembahan Senopati nampaknya segera menjadi baik. Kepada Pangeran Mangkubumi dan Ki Patih Mandaraka, Panembahan Senopati itupun berkata " Kalian boleh
xxxxxxxhalaman 34xxxxxxxxxx
Maaf terpotong , Halaman 34 -35 tidak ada di file djvu sumber adbm.
mengambil kesimpulan bahwa sepantasnya Sangkal Putung mendapat kekancingan sebagai Tanah Perdikan.
Tetapi Wiyati benar-benar seorang perempuan yang cerdik. Jika berbagai pertanyaan mulai bergejolak di jantung Swandaru maka semuanya itu akan segeia lenyap jika Wiyati kemudian menyeretnya kedalam biliknya.
Dengan demikian, perlahan-lahan gagasan tentang Tanah Perdikan itu mulai menyusup di hati Swandaru. Kenapa kademangan Sangkal Putung yang besar itu tidak ditetapkan menjadi Tanah Perdikan dengan hak-haknya yang lebih besar untuk menentukan langkah dan sikapnya sendiri.
Tetapi Swandaru tidak dapat dengan serta-merta menelan gagasan itu. Banyak sekali pertimbangan pertimbangan yang akan ikut menentukan.
Namun Wiyati juga tidak pernah mendesak Swandaru untuk segera mengambil sikap. Kemudian seakan-akan melupakannya.
Tetapi dikesempatan itu. Wiyati itupun berkata" Kakang. Aku tahu bahwa jika Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan. maka Tanah Perdikan itu akan diperintah oleh Ki Gede Swandaru dan Nyi Gede Pandan Wangi. Aku tidak akan pernah merasa iri. Aku akan ikut merasa bahagia. Apalagi jika kakang Swandaru tidak melupakan aku, meskipun seandainya aku harus tetap tinggal disini. di rumah kakek.-"
" Kau mulai merajuk. Wiyati.
" Merajuk" Apakah aku pernah merajuk" 'Tidak kakang. Dadaku terbuka. Apa yang aku katakan, adalah apa yang aku pikirkan. Jika aku berkata ikhlas, maka ikhlas lahir dan hatin.
Swandaru menarik nafas dalam dalam. Sementara Wiyatipun berkata " Kakang, jika aku tidak ikhlas, maka aku tentu mempersoalkan kedudukan mbokayu Pandan Wangi sejak sekarang. Tetapi jika aku melakukannya, maka aku adalah perempuan yang paling terkutuk didunia ini. Aku mencari kebahagiaan dengan merampas kebahagiaan orang lain. Karena itu, kakang Swandaru, aku justru berharap. Bahwa hubungan kakang Swandaru dengan mbokayu Pandan Wangi tetap baik. Biarlah mbokayu Pandan Wangi tetap merasa bahagia hidup disamping kakang Swandaru. Sementara itu, akupun mendapatkan kebahagiaanku dengan keadaan ini. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dimata Swandaru, Wiyati adalah perempuan yang sangat bijaksana, la memberikan apa saja yang ia miliki kepada Swandaru tanpa terlalu banyak menuntut. Bahkan dengan sadar ia tetap membiarkan Pandan Wangi memiliki kebahagiaannya sendiri.
Namun dengan demikian. Swandaru justru merasa semakin terikat kepada Wiyati. Seorang perempuan muda, cantik dan bijaksana.
Karena itu, maka gagasan untuk menjadikan kademangan Sangkal Putung itu menjadi Tanah Perdikan menjadi semakin tertanam di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Swandaru tidak kehilangan nalarnya. Memang ada dua kemungkinan jika ia mengajukan permohonan untuk menjadikan Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan. Diterima atau ditolak.' Masing-masing mempunyai akibat jiwani sendiri-sendiri baginya dan bagi rakyat Sangkal Putung.
Ternyata gagasan itu mulai merasuk ke dalam jantung Swandaru. Pada satu kesempatan, Swandaru itupun bertanya kepada Ki Demang " Ayah. Apakah syaratnya bagi satu wilayah untuk ditetapkan sebagai Tanah.Perdikan" "
" Apa maksudmu, Swandaru. "
"Tidak ada maksud apa-apa ayah. Aku hanya ingin tahui, kenapa Menoreh itu diakui sebagai Tanah Perdikan. sedangkan yang lain sebuah kademangan. "
" Memang ada bermacam-macam tataran pemerintahan, Swandaru. Pada umumnya, satu daerah dinyatakan menjadi Tanah Perdikan, jika daerah itu mempunyai arti yang sangat tinggi bagi satu negara. Tetapi penilaian itu tergantung kepada raja serta para pemimpin pemerintahan."
"Apakah satu daerah dapat mengajukan permohonan untuk mendapat penilaian apakah daerah itu pantas ditetapkan menjadi Tanah Perdikan atau tidak" "
" Tidak perlu, Swandaru. Satu lingkungan tidak perlu mengajukan permohonan untuk ditetapkan menjadi satu Tanah Perdikan. Jika raja dan para pemimpin pemerintahan menganggap pantas, maka lingkungan itu akan ditetapkan menjadi satu Tanah Perdikan dengan surat kekancingan dan kadang-kadang disertai dengan sebuah prasasti-
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ayahnya yang memiliki pengalaman yang luas dan pengenalan yang mendalam terhadap anaknya itupun bertanya " Swandaru, apakah kau bermimpi kademangan Sangkal Putung ini menjadi sebuah Tanah Perdikan" "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan pandangan matanya menerawang ke tempat yang sangat jauh. "
" Swandaru " berkata ayahnya " sebaiknya singkirkan impianmu itu dari kepalamu. Mungkin kau merasa bahwa Sangkal Putung adalah satu kademangan yang jauh lebih besar dari kademangan-kademangan lain disekitamya. Mungkin kau merasa bahwa Sangkal Putung telah memberikan jasa yang sangat besar kepada Mataram. Tetapi apa yang pernah dilakukan oleh rakyat Sangkal Putung itu masih terlalu kecil artinya bagi Mataram. "
Swandaru mengerutkan dahinya Namun Swandaru tidak bertanya lagi kepada ayahnya -
Tetapi ketika hatinya tergelitik lagi oleh desah nafas Wiyati yang berbisik di telinga tentang Tanah Perdikan, Swandarupun bertanya lagi kepada ayahnya. Ketika ayahnya memberikan jawaban yang sama, maka Swandaru mulai menguraikan jasa yang pernah diberikan oleh Sangkal Putung kepada Mataram sejak Panembahan Senapati bangku dan kemudian memegang kekuasaan di Mataram yang semakin lama menjadi semakin besar."
" Kakang Untara telah diangkat menjadi Tumenggung. Kakang Agung Scdayu kini menjadi seorang Lurah Prajurit yang memimpin prajurit dari pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Lalu, apakah Panembahan Senapati tidak menghitung jasa yang pernah aku berikan kepada Mataram?"
" Yang kau berikan tidak jauh berbeda dengan beberapa kademangan lain. Maksudku beberapa kademangan besar yang memiliki kelebihan. Memang mungkin nama kademangan itu jarang kita dengar. Tetapi kademangan Ganjurpun merupakan kademangan yang besar yang mempunyai jasa yang tidak kalah berarti dari Sangkal Putung. "
" Yang berada di Ganjur adalah pasukan Mataram sebagaimana pasukan kakang Untara di Jati Anom. Mataram tentu tidak akan memperhitungkan kademangan Jati Anom sebagai sebuah kademangan besar yang banyak berjasa bagi Mataram, karena yang bergerak dari Jati Anom adalah pasukan Mataram itu sendiri. -
" Tidak. Kau harus membedakan pasukan Mataram yang ada di Ganjur dengan pasukan pengawal kademangan Ganjur. Pengaruh kehadiran para prajurit itu memang ada. Tetapi bukan prajurit Mataram itu sendiri. "
Swandaru mengerutkan dahinya. Sementara Ki Demang berkata selanjutnya. Seperti saat pasukan Ki Widura ada di sini. Bukankah dibedakan antara pasukan Pajang dihawah pimpinan Ki Widura dengan pasukan pengawal kademangan Sangkal Putung"
" Jadi menurut ayah, jasa kademangan Ganjur tidak kalah besarnya dari jasa kademangan Sangkal Putung"
Ya. Bahkan juga kademangan kademangan di Gunung Kidul
Swandaru menarik nafas dalam dalam.
Sudahlah Swandaru Kita lebih baik tidak berkhayal tentang sebuah Tanah Perdikan. Jika kita sendiri yang memohon, kita akan dapat ditertawakan. Tentu bukan para pemimpin Mataram yang mentertawakan, tetapi beberapa kademangan lain yang mendengarnya. Karena bukan hanya Sangkal Putung yang telah memberikan arti yang sangat tinggi bagi Mataram. Dengan demikian, jika Sangkal Putung akan diberi hak dan wewenang sebagai Tanah Perdikan, maka adilnya, akan bermunculan beberapa puluh Tanah Perdikan di sekitar Mataram. "
Swandaru mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan ayahnya Karena itu, maka Swandaru tidak mendesak lebih jauh lagi.
Tetapi ketika Swandaru memberikan jawaban yang sama kepada Wiyati pada kesempatan lain. ketika Wiyati menyebut-nyebut lagi tentang Tanah Perdikan, maka Wiyati itu tersenyum. Katanya"Aku sudah menduga kakang Swandaru seorang yang rendah hati. Aku sadar bahwa perjuangan kakang Swandaru selama ini dilakukan dengan hati yang bersih. Perjuangan yang merupakan pengabdian murni tanpa pamrih "
Wiyati berhenti sejenak. Lalu " Sebaiknya memang demikian kakang Swandaru. Dengan demikian nama kakang Swandaru akan tetap menjadi kembang lambe di antara para pemimpin di Mataram. "
" Bukan begitu. Wiyati. Tetapi apa yang aku lakukan memang belum berarti apa-apa. "
Bagi kakang Swandaru memang demikian. Bagi orang-orang yang rendah hati, yang menyerahkan diri pada pengabdian murni. "
" Mungkin sebutan itu berlebihan. Tetapi sudahlah, aku memang tidak berkhayal bahwa Sangkal Putung akan menjadi sebuah Tanah Perdikan. "
" Kakang " berkata Wiyati " dari satu sisi. aku sangat mendukung sikap kakang Swandaru yang rendah hati serta berjuang tanpa pamrih. Tetapi bukankah kakang Swandaru mempunyai anak laki-laki" Bukankah orang-orang Sangkal Putung yang pernah memberikan pengorbanan terbesar bagi Mataram juga mempunyai anak atau adik atau keluarga yang lain" Nah, bagi mereka itulah Sangkal Putung di hari mendatang. Jika kedudukan Sangkal Putung meningkat dan kademangan menjadi Tanah Perdikan. maka merekalah yang merasakan hasil perjuangan serta pengorbanan orangtua dan sanak kadang mereka Bukankah itu sama sekali tidak berlebihan" "
Swandaru menarik nafas dalam dalam. Namun Swandaru itupun menggelengkan kepalanya sambil berkata " Kami akan menanamkan pengertian kepada anak-anak kami, kepada sanak kadang kami dan kepada orang orang Sangkal Putung, bahwa yang kami lakukan, juga dilakukan oleh semua orang di Mataram. "
Wiyati tersenyum. Katanya " Aku sangat terharu akan keluhuran budi kakang Swandaru. Perjuangan yang bersih dan ikhlas itu merupakan persembahan yang sangat berharga bagi Mataram. Sikap itu justru merupakan salah satu nilai yang sangat berharga yang tentu dipertimbangkan bagi Mataram untuk menentukan sebuah Tanah Perdikan. "
Swandaru mengerutkan dahinya. Wiyati itu ternyata terlampau pandai bagi seorang perempuan yang hidup dalam lapisan orang kebanyakan, cucu seorang pedagang kuda.
Namun Swandaru tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lebih jauh. Pada saat ia mulai merenungi kelebihan Wiyati. maka Wiyati sudah membenamkan Swandaru ke dalam mimpi yang lain. Bukan mimpi tentang Tanah Perdikan
Meskipun Swandaru tidak mengiakan pendapat Wiyati, namun pendapat itu tetap saja menggelitiknya. Bahkan di luar sadar. Swandaru pernah berbicara dengan seorang bebahu yang sudah setua ayahnya tentang sebuah Tanah Perdikan.
Tanggapan bebagu itu mengejutkan Swandaru. Katanya dengan mata berapi-api -- Gagasan yang bagus sekali, ngger. "
-- Hanya sebuah mimpi saja paman
-Bukan hanya sebuah mimpi, ngger. Kita memang harus mempunyai gegayuhan. Gegayuhan itu tidak akan datang sendiri jika tidak kita perjuangkan. -
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak memperbincangkan lebih lanjut.
Tetapi pada kesempatan lain. Justru orang itulah yang bertanya kepada Swandaru " Bagaimana, ngger" Apakah angger sudah memikirkan lanjutan dan gegayuhan yang pernah angger katakan" "
-Tentang apa. paman"-
-Tentang Tanah Perdikan- " Ah - terasa getar yang tajam di dada Swandaru. Namun Swandaru masih berusaha untuk mempergunakan penalarannya yang bening.
" Kapan kita dapat berbicara dengan sungguh-sungguh" "
" Lupakan saja paman "
Bebahu itu mengerutkan dahinya. Dengan nada heran iapun bertanya " Kenapa kita harus melupakan gagasan yang cemerlang itu" Jika saja Sangkal Putung dapat menjadi sebuah Tanah Perdikan, maka kita akan dapat mengatur rumah tangga kita sendiri. Kademangan ini akan menjadi semakin besar dan semakin sejahtera. Pajak yang kita pungut akan dapat kita pergunakan sesuai dengan kepentingan kita Upeti yang harus kita serahkan kepada Mataram pun menjadi jauh lebih kecil. Bahkan hanya sekedar pertanda. bahwa kita adalah bagian dari Mataram. "
" Tetapi ayah tidak sependapat, Paman. "
" Ki Demang" "
"Ya " " Kenapa" "
" Banyak sekali pertimbangannya " jawab Swandaru. Iapun ke mudian menguraikan keberatan-keberatan Ki Demang untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan.
" Umurku juga sudah setua Ki Demang. Akupun sudah menjadi semakin berhati-haii untuk mengambil langkah. Tetapi ternyata Ki Demang masih lebih hati-hati lagi. "
" Tetapi bagaimana menurut pendapat Paman" Apakah Ganjur dan bahkan beberapa kademangan di Gunung Kidul dan di beberapa tempat yang lain juga berjasa seperti Sangkal Putung terhadap Mataram sehingga jika Sangkal Putung menuntut dan kemudian dipenuhi menjadi sebuah Tanah Perdikan. beberapa kademangan yang lainpun untuk adilnya, juga ditetapkan menjadi Tanah Perdikan sebagaimana Sangkal Putung" "
Bebahu itu tercenung sejenak. Iapun sudah mendengar, bahwa. Ganjur dan beberapa kademangan yang lain. juga melibatkan diri dalam perjuangan yang panjang mempersatukan daerah di Timur dan pesisir Utara dengan Mataram.
" Bukankah benar begitu, Paman" " bertanya Swandaru.
" Angger tentu juga sudah mendengar. Tetapi menurut pendapatku, Sangkal Putung tetap memiliki beberapa kelebihan. Selain itu bukankah angger Agung Sedayu yang berada di Tanah Perdikan Menoreh mempunyai hubungan yang agak dekat dengan Ki Patih Mandaraka dan bahkan Penembahan Senapati sendiri" "
" Maksud Paman" "
" Mungkin angger Agung Sedayu akan dapat menyampaikan keinginan rakyat Sangkal Putung ini kepada Panembahan Senapati atau setidak-tidaknya kepada Ki Patih Mandaraka. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu bebahu itupun berkata " Sementara itu. Nyai Pandan Wangi dapat memohon dukungan kepada ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh. "
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata " Sudahlah, Paman. Jika ayah tidak menyetujui, maka apa yang dapat kita lakukan" "
Bebahu itu TERDIAM. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia menjadi kecewa.
Dalam pada itu. segera tersiar berita di seluruh Mataram, bahwa Panembahan Senapati telah menetapkan seorang Pangeran Pati. Meskipun bukan putera laki-laki tertua, tetapi semua orang memang sudah menduga, bahwa Pangeran Jolang akan ditetapkan menggantikan kedudukan ayahandanya
Namun berita itupun diiringi berita yang lain, yang lebih lirih kedengarannya dan penuh keragu-raguan. bahwa Panembahan Senapati sedang sakit.
Sebenarnyalah bahwa berita itu hanya sekedar memantapkan kedudukan Pangeran Adipati Anom yang memang sudah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan Panembahan Senapati
Meskipun demikian, wisuda itu telap berkesan tergesa-gesa. Apalagi wisuda itu diselenggarakan dengan sederhana, tanpa upacara yang khusus.
Peristiwa itu memperkuat desas desus bahwa Panembahan Senapati memang sedang sakit.
Dalam upacara yang sederhana itu. Ki Giede Menoreh berkesempatan untuk hadir. Demikian pula secara khusus telah diundang pula Ki Lurah Agung Sedayu, sedang Untara sebagai seorang Tumcnggungpun hadir pula dalam wisuda itu.
Namun demikian upacara selesai. Agung Sedayu tidak kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Gede. Tetapi Agung Sedayu masih tinggal di Mataram untuk menemui Ki Patih Mandaraka. karena Ki Patih telah berpesan kepada seorang prajurit untuk disampaikan kepada Agung Sedayu, agar sebelum ia kembali ke Tanah Perdikan, ia menyempatkan diri untuk singgah di ke Patihan.
Ternyata Ki Patihpun telah berpesan kepada para prajurit yang bertugas, untuk menerima dan membawa Agung Sedayu langsung menemuinya.
Karena itu, maka demikian Agung Sedayu datang ke kepatihan bersama dua orang prajurit dari pasukan khusus, segera dipersilahkan masuk ke serambi samping, sementara itu, kedua prajurit yang menyertainya, dipersilahkan menunggu di tempat para prajurit bertugas.
Beberapa saat lamanya. Agung Sedayu duduk menunggu di serambi. Namun Ki Patihpun segera keluar dari ruang dalam untuk menemuinya.
" Aku senang kau dapat singgah. Ki Lurah " berkata Ki Patih sambil duduk menemui Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam sambil berdesis " Apakah ada perintah yang harus aku lakukan, Ki Patih "
Ki Patih tersenyum. Katanya " Ki Lurah. Sebenarnya aku mengemban perintah Panembahan Senapati. Dalam saat-saat terakhir. Panembahan Senapati banyak mengenang masa-masa lampaunya. Sekali-sekali Panembahan Senapati merenung sendiri untuk beberapa lama. Panembahan Senapati tidak mau di temani oleh siapapun juga. Bahkan putera-puteranya. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
" Dalam keadaan yang demikian. Panembahan Senapati terbenam dalam kenangannya atas masa lampaunya. Masa mudanya. Masa-masa Panembahan Senapati mengembara. "
Ki Lurah mengangguk-angguk.
" Dalam keadaan yang demikian, Panembahan Senapati kadang-kadang teringat kepadamu, Ki Lurah. Meskipun sebenarnya, kau pernah bersama-sama Panembahan Senapati mengembara, menjalani laku yang berat "
" Ya, Ki Patih. Meskipun yang aku jalani dan yang aku capai kemudian, tidak ada sekuku ireng dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh Kangjeng Panembahan Senapati. "
" Soalnya bukan itu, Ki Lurah. Dalam kenangan masa lampaunya, nampaknya kau hadir didalamnya. Panembahan Senapati berpesan kepadaku, agar kau dapat hadir di Mataram pada saat ini. Karena itu, kau menjadi salah seorang diantara Lurah prajurit yang sedikit sekali jumlahnya, yang diminta dalang pada saat wisuda itu. "
" Aku sangat berterima-kasih atas kesempatan ini. "
" Bukan hanya itu, Ki Lurah. Malam nanti, kau diperintahkan untuk menghadap secara khusus. Aku akan mengantarkanmu ke istananya. Ki Lurah."
Jantung Agung Sedayu terasa berdegup semakin keras, la merasa mendapat kehormatan untuk diperkenankan menghadap secara khusus. Kesempatan yang tidak pernah diduganya, justru pada saat-saat terjadi peristiwa penting di Mataram.
" Ampun Ki Patih. Aku tidak akan melampaui kesempatan yang sangat berharga ini. Aku akan memerintahkan kedua orang prajurit yang menemani aku diperjalanan untuk mendahului kembali, agar para prajurit di barak, serta keluargaku tidak menunggu-nunggu dengan cemas. "
" Baik. Biarlah mereka kembali. "
Agung Sedayupun kemudian mohon ijin untuk menemui kedua prajuritnya yang menunggu di halaman depan kepatihan bersama-sama para prajurit yang bertugas.
Demikianlah, maka kedua orang prajurit itupiin segera meninggalkan kepatihan, kembali ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Namun Agung Sedayupun telah berpesan pula agar mereka menemui Nyi Lurah atau salah seorang keluarganya, agar mereka memberitahukan bahwa Agung Sedayu bermalam di kepatihan.
Ki Patih Mandaraka memang memerintahkan agar Agung Sedayu bermalam di kepatihan. Jika malam turun, mereka akan bersama-sama pergi ke istana, menghadap Panembahan Senapati.
Ketika langit menjadi gelap, maka Ki Patih dan Ki Lurah Agung Sedayupun tetali bersiap-siap untuk pergi ke istana. Bersama dua orang pengawal, keduanyapun kemudian berkuda menyusuri jalan-jalan kota. Nampak disepanjang jalan oncor dan lampu-lampu minyak yang tergantung di regol-regol halaman rumah, berkedipan ditiup angin lembut.
Suasana memang jauh berbeda dengan suasana di pedesaan yang gelap. Meskipun ada satu dua oncor di regol halaman, namun malam terasa lebih gelap daripada malam hari di Kota Raja.
Dipendapa rumah-rumah yang besar disebelah menyebelah jalan-pun, nampak lampu menyala dengan terangnya.
Disana-sini terdengar suara anak-anak yang bermain meskipun bulan masih belum bulat.
Kedatangan Ki Patih Mandaraka dan Ki Lurah Agung Sedayu diterima oleh Panembahan Senapati diserambi samping.
Beberapa saat Ki Patih dan Ki Lurah menunggu. Kemudian, Panembahan Senapatipun datang dengan langkah-langkah kecil diikuti oleh seorang abdinya yang Paling dipercaya.
Tetapi Panembahan Senapati menolak jika abdi itu akan membantunya berjalan memasuki serambi samping.
Namun Agung Sedayu memang terkejut. Panembahan Senapati itu berbeda sekali dengan Panembahan Senapati tadi pagi dipaseban. saat wisuda Pangeran Pati.
Panembahan Senapati tersenyum ketika ia melihat Agung Sedayu menghadap sambil menundukkan kepalanya dalam dalam-
" Ki Lurah " terdengar suara Panembahan Senapati parau " aku minta maaf, bahwa aku telah menahanmu semalam di Mataram. "
Ki Lurah Agung Sedayu mengangkat wajahnya sambil menyahut " Hamba mengucapkan terima kasih atas kesempatan untuk menghadap malam ini, Panembahan. "
" Tidak ada persoalan yang penting. Aku sudah memberitahukan kepada paman Patih, bahwa aku hanya ingin sekedar bertemu secara khusus dengan Ki Lurah. Bukankah kita pernah menjadi kawan dalam sebuah pengembaraan meskipun tidak terlalu lama. "
" Hamba Panembahan. "
" Tetapi kini tinggal kenangan. Ki Lurah. Kita tidak akan dapat mengulanginya lagi. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian terlempar kedalam satu masa yang pernah dilampauinya. Pada saat-saat ia mengembara bersama Panembahan Senapati dimasa muda. Panembahan Senapati yang pernah menjalani tiga laku yang berat sekali gus.
" Ki Lurah " berkata Penembahan Senapati kemudian " dengan laku yang berat, kita seakan-akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang berada di atas rata-rata kemampuan orang lain, meskipun kita sadari, bahwa setinggi-tinggi awan, masih ada lagi yang lebih tinggi."
Agung Sedayu membungkuk hormat sambil berdesis " Hamba Panembahan."
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya kepada Ki Patih Mandaraka " Paman. Menurut Paman, tidak ada orang yang memiliki ilmu yang paling tinggi. Bukankah begitu paman ?"
-Ya Panembahan. Sebagaimana yang Panembahan katakan, tidak ada batas tertinggi diawang-awang.--
Ya nada suara Panembahan Senapati itupun menurun. Lalu katanya pada Agung Sedayu " Ki Lurah. Selama ini kita tidak pernah puas akan apa yang sudah kita capai. Kita ingin lebih banyak lagi. Ki Lurah yang telah memiliki ilmu yang jarang ada duanya, dengan menghancurkan
xxxxxxx xxxx xxx xxxx tdk jelas xxxxxxxxxx xxxxxxxxxxx xxxxxx
karena dipisahkan xxxxxxxx dapat dihancurkannya dengan sorot matanya. Tetapi itu tidak cukup. Masih banyak lagi yang dipelajarinya, bahkan dengan laku yang berat.
Ki Luarah Agung Sedayu hanya menganggukan kepalanya saja.
-- Kenapa kita tidak dapat puas dengan apa yang dikaruniakan kepada kita sehingga kita masih mencari dan menxxxx"
Itu adalah pertanda kegelisahan jiwa dalam pencaharian sehingga menimbulkan gerak untuk mendapatkan yang lebih baik, yang lebih tinggi dan lebih berarti meskipun tidak ada batas tertinggi diawang-awang sahut ki Patih Mandaraka.
Itulah ciri dari ketidak pastian itu.
-- Berusaha dengan sungguh-sungguh adalah pengejawantahan dari permohonan kepada Nya pula. Namun dengan penuh kesadaran, bahwa berusaha gegayuhan, gagasan-gagasan dan setiap pencapaian dapat berhasil atau tidak berhasil. Kita Harus bersiap menerima kenyataan dari kemungkinan-kemungkinan itu, Panembahan. Karena sebenarnyalah, bahwa kehendak " Nyalah yang akan terjadi.--
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ya, paman. Aku sependapat. Panembahan Senapati berdiam sejenak.
Namun katanya kemudian " Tetapi pada suatu saat, kita sadari, bahwa apa yang telah kita capai itu harus kita lepaskan kembali. --
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Dengan kerut didahi dipandanginya wajah Panembahan Senapati yang pucat itu. Sementara itu Ki Patih Mandaraka berdesis " Apakah maksud Panembahan "--
-- Paman, bukankah umur kita pada umumnya tidak lebih dari seabad. Bahkan kurang dari itu.--
-- Panembahan.-- -- Jika kita esok atau lusa dipanggil, apa yang dapat kita perbuat "
Mohon waktu setahun dua tahun" Atau kita akan melawannya dengan ilmu kita yang sangat tinggi. Tidak, Ki Lurah. Pada saatnya kita akan berhadapan dengan kuasa yang tidak terbatas itu. Bahkan jaug lebih tinggi dari awang-awang yang tingginya tidak terbatas itu."
Ki Lurah Agung Sedayu bergeser setapak. Sementara Panembahan Senapati itupun berkata " Bukankah akhirnya kita harus menyerah."
--Kita memang harus pasrah."
-- ya. Kita harus pasrah. Kita harus berhenti pada batas yang tidak tertembus.
Kecemasan mencekam jantung Ki Lurah Agung Sedayu. Namun tiba-tiba wajah Panembahan Senapati yang pucat itu menjadi merah kembali.
Suara Panembahan Senapatipun meninggi. Katanya " Aku sependapat dengan paman Patih Mandaraka. Kita harus pasrah dan menerima kenyataan, apakah kita berhasil atau tidak berhasil. Tetapi keparahan itu bukan perisai dari kemalasan. Menerima kenyataan bukan kedok bagi keputusasaan.--
Agung sedayu terkejut karena perubahan yang tiba-tiba pada keadaan dan bahkan sikap Panembahan Senapati.
--Ki Lurah"berkata Panembahan Senapati kemudian " kau tidak boleh menjadi lemah atas kenyataan terakhir yang aku hadapi. Lepaskan jika pada saatnya harus kau lepaskan. Ttapi capailah dalam batas kemungkinan dengan kerja keras dan bersungguh-sungguh.--
-- Hamba Panembahan " jawab Ki Lurah Agung Sedayu yang masih agak bingung menanggapi sikap Panembahan Senapati.
Namun kemudian suara Panembahan Senapati itu melemah kembali. Katanya " aku tidak mempunyai kesempatan lagi.--
-- Panembahan " Ki Patih Mandaraka bergeser maju. Katanya " Bukan hak kita mendahului kehendak Yang Maha Agung. Panembahan.--
--Maaf , paman. Aku khilaf. Tetapi apakah aku bersalah jika aku melihat wajahku sendiri dipermukaan air belumbang yang bening dan mengatakan bahwa mataku mulai redup "--
--Tetapi yang redup itu akan dapat menyala kemudian jika dikehendaki-Nya.--
--Aku sudah mendengar suara lembut itu berbisik di telingaku. Waktuku memang tidak akan panjang lagi.
Ki Patih Mandarakapun dengan serta merta menyahut,.Berdoalah, Panembahan. Perasaan itu akan Panembahan singkirkan. Sekali lagi aku memberanikan diri menyatakan, sebaiknya kita tidak mendahului Yang Maha Agung.--
" Firasatnyalah yang telah menggetarkan jantungku. Tetapi baiklah. Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang diriku. Aku hanya ingin berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu bahwa masih banyak kesempatan yang terbuka bagimu. Sebelum sampai pada suatu saat kau harus melepaskan kembali. "
" Hamba Panembahan."
" Masa muda kita memberikan kenangan yang bening dari rangkaian mata rantai kehidupan ini. Aku senang mengenangnya, Ki Lurah "
" Hamba juga selalu mengenangnya. " _
" Kau, mempunyai jalur ceritera yang menarik sekali. Mula-mula kau seorang penakut, sehingga kau menjadi gemetar jika kau lewat didekat pohon yang ditunggui oleh Genderuwo bermata satu, sampai akhirnya kau mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Panembahan Senapati itu tersenyum sambil berkata " Pesanku yang lain. Ki Lurah Kau harus lebih hati-hati menghadapi adik seperguruanmu. "
" Swandaru maksud Panembahan " "
" Ya. " Jantung Ki Lurah Agung Sedayu berdesir. Ia pernah mendapat peringatan yang sama dari seorang yang memiliki ketajaman panggraita serta mendapat kurnia untuk melihat isyarat tentang sesuatu yang akan datang. Ki Waskita.
" Ki Waskita juga pernah melihat isyarat yang muram bagi keluarga Swandaru " berkata Ki Lurah Agung Sedayu di dalam hatinya
Dalam pada itu Panembahan Senapatipun berkata " Ki Lurah. Aku memang tidak mempunyai keperluan apa-apa dengan Ki Lurah kecuali sedikit mengenang masa lalu kita. Sekarang, aku sudah merasa letih. Aku akan beristirahat. Besok Ki Lurah dapat kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi aku minta Ki Lurah bersedia untuk datang apabila aku memanggilmu. "
" Hamba, Panembahan. Hamba akan bersiap setiap saat Panembahan memanggil hamba. "
" Terima Kasih. Ki Patih akan menyampaikan perintah-perintahku kepada Ki Lurah. "
" Hamba Panembahan. -"
" Sekarang, aku perkenankan Ki Lurah dan paman Patih Mandaraka meninggalkan istana, hari sudah malam. Bukankah Ki Lurah bermalam di kepatihan " "
" Hamba Panembahan. Hamba diperkenankan bermalam di kepatihan malam ini.
Panembahan Senapati itu tersenyum. Katanya " Selamat malam.-
Ki Patih Mandaraka dan Ki Liuah Agung Sedayupun segera mohon diri untuk meninggalkan istana.
Dihari berikutnya, dua orang prajurit dari Pasukan Khusus telah berada di kepatihan pula. Sementara yang direncanakan, maka Ki Lurah Agung Sedayupun minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Diperjalanan pulang, Agung Sedayu masih saja memikirkan keadaan Panembahan Senapati. Ia yakin, bahwa Panembahan Senapati memang sedang sakit. Namun Agung Sedayupun mengenang pula pesan Panembahan Senapati tentang adik seperguruannya.
" Ada apa dengan Swandaru?" pertanyaan itu menggelembung didalam hatinya.
Sebenarnya berita tentang wisuda itu telah terdengar oleh seluruh rakyat Mataram. Hampir setiap orang memperbincangkan, kenapa Panembahan Senapati tergesa-gesa memantapkan kedudukan Pangeran Pati.
" Panembahan Senapati sedang sakit " desis seseorang.
" Apa hubungannya". Kenapa Panembahan tidak menunggu saja setelah sembuh sama sekali, sehingga upacara wisuda itu dapat direncanakan sebaik-baiknya " " bertanya kawannya.
" Tentu aku tidak tahu "
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di Tanah Perdikan Menoreh, berita tentang wisuda yang tersebar itupun menjadi bahan pembicaraan pula. Ki Gede Menoreh, yang menyaksikan wisuda dalam upacara yang terhitung sederhana itu tidak melihat kesan bahwa Panembahan Senapati sedang sakit. Dalam upacara wisuda itu, Panembahan Senapati kelihatan wajar sebagaimana biasanya. Namun Agung Sedayu yang menghadap kemudian, menangkap kesan, bahwa Panembahan Senapati memang sedang sakit.
Di Kajotan. Ki Ambara dan Ki Saba Lintang juga sudah mendengar suara yang hanya terdengar sayup-sayup bahwa Panembahan Senapati sedang sakit.
" Apakah ada hubungannya antara sakitnya Panembahan Senapati dengan wisuda yang tergesa-gesa itu " " desis Ki Ambara.
Ki Saba Lintang menggeleng. Katanya " Entahlah. Tetapi kita harus mengikuti perkembangan keadaan Panembahan Senapati. "
" Kita harus memperingatkan orang-orang kita yang berada di Mataram untuk mengikuti perkembangan keadaan Panembahan Senapati itu. " berkata Ki Ambara.
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya " Wiyati harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan Panembahan Senapati. Kita tidak tahu, apakah yang akan terjadi dalam waktu singkat ini di Mataram. "
" Jika benar Panembahan Senapati sedang sakit, maka keadaan ini akan dapat berakibat baik bagi rencana kita, tetapi dapat pula sebaliknya " sahut Ki Ambara.
" Ya. Mataram akan sibuk dengan keadaan keluarga istana. Perhatian para pemimpin akan tertuju kepada keadaan Panembahan Senapati, sehingga ada peluang untuk bergerak."
" Ya. Tetapi sebaliknya, justru karena keadaan Panembahan Senapati, maka Ki Patih Mandaraka akan mengambil langkah-langkah penting sementara Pangeran Pati itu belum dapat mengambil keputusun apa-apa. Kita tahu, bahwa Ki Patih Mandaraka itu semakin tua menjadi semakin cerdik, la tentu tidak akan melupakan begitu saja peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lalu. Orang orang yang dari berbagai golongan itu berhimpun dibawah kelebet dan umbul-umbul kebangkitan kembali sebuah perguruan yang besar itu, yang ingin mencari tanah untuk berpijak. Pilihannya adalah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi rencana itu gagal sama sekali. "
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Ambarapun berkata " Yang lebih pahit lagi, jika penguasa yang kemudian mengabulkan permohonan kademangan Sangkal Putung untuk menjadi sebuah Tanah Perdikan, jika usaha Wiyati membujuk Swandaru berhasil. "
" Kenapa " "
" Tidak ada alasan untuk membakar kemarahan Swandaru melawan kekuasaan Mataram. "
" Tetapi Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi landasan untuk menuju ke Mataram. "
" Jika Swandaru telah mendapat keputusan dengan pengesahan kademangannya menjadi Tanah Perdikan. maka ia akan berhenti. "
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian " Kita berbicara dengan Wiyati. "
" Tidak perlu. Wiyati tinggal menjalankan perintah kita. "
" Tetapi gagasan-gagasan Wiyati kadang-kadang sangat lincah, sehingga dalam beberapa hal justru mendahului pikiran orang-orang tua.
" Tetapi untuk sementara biarlah ia masih tetap mendorong Swandaru untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung. Jika terjadi perkembangan vang cepat di Mataram, maka kitapun harus cepat menanggapinya
Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang telah memerintahkan beberapa orang petugas sandinya yang berada di Mataram untuk mengikuti dengan saksama perkembangan keadaan Panembahan Senapati. Mereka setiap kali harus memberikan laporan kepada Ki Saba Lintang. Apalagi jika ada berita penting tentang keadaan Panembahan Senapati.
Sementara itu, ternyata hembusan keinginan untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan itu justru sudah menjalar. Mula-mula hanya diautara para bebahu kademangan. Namun kemudian keinginan itupun sampai juga ketelinga beberapa orang Bekel. Ternyata merekapun mendukung gagasan itu. Meningkatkan kedudukan Sangkal Putung dari sebuah kademangan menjadi Tanah Perdikian.
Ki Demang terkejut ketika ia mendengar bahwa gagasan itu telah sampai ke telinga para bekel di padukulian padukuhan. Bahkan para bebahu padukuhan.
Ki Demangpun kemudian telah memanggil Swandaru. Dengan cemas Ki Demang bertanya kepada Swandaru tentang tersebarnya gagasan untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan.
" Ayah " berkata Swandaru kemudian " mulanya aku hanya berbicara tentang satu keinginan. Tidak lebih. "
" Tetapi yang hanya satu keinginan itu sekarang telah menjalar kemana-mana. Beberapa orang justru ingin bahwa keinginan itu akan dapat menjadi kenyataan. Padahal, kita tahu. bahwa Tanah Perdikan hanya satu mimpi saja. Bukankah dengan demikian kau telah membawa orang-orang terpenting di kademangan ini untuk bermimpi bersamamu " "
" Semula, bukan maksudku untuk membuat kademangan ini menjadi demam oleh mimpi itu. "
" Swandaru. Kau harus mengusahakan, agar orang-orang kademangan ini terbangun. "
" Ayah " berkata Swandaru kemudian "mungkin aku memang harus berusaha agar orang-orang padukuhan ini terbangun. Tetapi jalan lain yang dapat aku tempuh adalah bahwa mimpi itu dapat menjadi kenyataan. "
" Bagaimana mungkin, Swandaru. Kau tahu,- bahwa tidak mungkin kademangan ini dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Apalagi sekarang, ada desas-desus bahwa Panembahan Senapati sedang menderita sakit. "
" Bukankah jalannya pemerintahan seharusnya tidak terlalu terpengaruh oleh masalah-masalah pribadi para penguasanya. "
" Bagaimana mungkin, Swandaru. Roda pemerintahan sehari-hari memang harus berjalan terus. Tetapi keputusan-keputusan penting dan mendasar tentu harus menunggu. "
Swandaru menarik nafas panjang, la tahu. bahwa setiap langkah yang akan diambil oleh Mataram, terutama langkah-langkah penting dan mendasar, seperti yang dikatakan oleh ayahnya, ditentukan oleh Panembahan Senapati.
Meskipun demikian, Swandaru itupun berkata " Tetapi kita dapat mencoba, ayah Bukankah hanya sekedar desas-desus bahwa Panembahan Senapati sedang sakit" Mungkin kita tidak perlu mengajukan permohonan itu langsung kepada Panembahan Senapati. Tetapi kita dapat berbicara dengan kakang Agung Sedayu, agar kakang Agung Sedayu menyampaikan keinginan rakyat Sangkal Putung ini kepada Panembahan Senapati, langsung atau lewat Ki Patih Mandaraka. "
" Jika kau mendengarkan pendapatku, Swandaru. Jangan kau lakukan."
" Ayah. Aku memang tidak akan tergesa-gesa melakukannya. Tetapi aku akan menghubungi kakang Agung Sedayu dan minta pendapatnya. Aku akan mengajak Pandan Wangi ke Tanah Perdikan. Biarlah Pandan Wangi memohon kepada ayahnya untuk mempergunakan pengaruhnya terhadap Agung Sedayu. sementara aku akan berbicara dengan Sekar Mirah.
" Kau akan membawa mimpimu ke seberang Kali Praga" Swandaru. akan tidak sependapat dengan gagasanmu itu."
" Tetapi para bebahu selalu mendesakku, agar aku berbuat sesuatu ayah. Sekali lagi aku jelaskan kepada ayah. bahwa aku baru akan mengadakan hubungan dengan kakang Agung Sedayu. Aku ingin mendengar pendapatnya."
" Bagaimana pendapat isterimu?"
" Aku belum pernah membicarakan dengan sungguh-sungguh. Tetapi pendapatnya mirip dengan pendapat ayah. Meskipun demikian Pandan Wangi tidak menolak ketika aku mengajaknya ke Tanah Perdikan "
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Pandan Wangi merasa rindu kepada keluarganya di Tanah Perdikan. la ingin melihat tempatnya bermain semasa kanak-kanak."
" Belum lama ini ia pergi ke Tanah Perdikan."
" Jika mungkin bahkan sepekan sekali.Tetapi mungkin ia menjadi pening mendengar rencanamu. Di Tanah Perdikan Menoreh ia akan mendapat kawan untuk berbincang."
" Ayah. Kami memang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjajagi pendapat Ki Gede dan kakang Agung Sedayu."
Sulit bagi Ki Demang untuk mencegah Swandaru agar menghentikan usahanya untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan. Tetapi Ki Demang yang sudah menjadi semakin tua itu berharap, bahwa Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu akan dapat meredam keinginan Swandaru yang menurut pendapat Ki Demang tidak masuk akal.
Ketika Swandaru sedang tidak berada di rumah, maka Ki Demang pun telah berbicara dengan Pandan Wangi, niat Swandaru untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
" Kakang Swandaru memang mengajak aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh "jawab Pandan Wangi.
" Kau tahu, untuk apa ia pergi?"
Pandan Wangi mengangguk. Katanya " Kakang Swandaru menyebut-nyebut kemungkinan Sangkal Putung ini ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
" Apakah kau sependapat?"
" Ayah " suara Pandan Wangi merendah " aku tidak sampai hati mengecewakan kakang Swandaru. Pada hari-hari terakhir, kakang . Swandaru nampaknya agak murung.-Mungkin ia selalu diganggu oleh keinginannya melihat Sangkal Putung ini menjadi sebuah Tanah Perdikan. Sementara itu para bebahu di kademangan ini justru selalu mendesaknya agar kakang Swandaru berbuat sesuatu.
" Tetapi bukankah Swandaru sendiri yang mulai menghembuskan mimpi tentang Tanah Perdikan itu?"
" Ya, ayah " " Jadi apa yang akan kau lakukan?"
" Aku akan menemani kakang Swandaru ke Tanah Perdikan, jika ia memang akan menemui ayah dan kakang Agung Sedayu."
" Apakah Ki Gede dan angger Agung Sedayu kira-kira akan mendukung maksud Swandaru itu?"
" Pada dasarnya tentu tidak. ayah. Setidak-tidaknya tidak pada waktu dekat. Apalagi Panembahan Senapati kabarnya sedang sakit. Tetapi menurut pendapatku. ayah dan kakang Agung Sedayu juga akan merasa sulit untuk menolak. Tetapi setidak-tidaknya mereka akan menganjurkan untuk menunda sampai Panembahan Senapati menjadi sehat kembali."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya " Aku juga berpendapat demikian. Bahkan sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Swandaru untuk menyampaikan permohonan, apakah ini langsung atau lewat angger Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka. untuk menetapkan Sangkal Putung sebagai Tanah Perdikan. Mataram tentu sudah mempunyai landasan maton untuk menetapkan satu lingkungan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Mungkin karena kedudukan khusus dari lingkungan itu.
mungkin karena kedudukan khusus dari lingkungan itu. mungkin karena lingkungan itu pernah memberikan ani yang sangat tinggi bagi Mataram, mungkin alasan-alasan lain yang justru tumbuh dari penilaian para pemimpin di Mataram. Bukan karena lingkungan itu yang memohon karena merasa berjasa melampaui lingkungan yang lain."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa sikapnyapun sama seperti sikap Ki Demang. Bahkan sebenarnya Pandan Wangipun merasa heran, bahwa suaminya tiba-tiba saja mempunyai gagasan untuk menepuk dada sendiri, seperti seekor ayam jantan yang berkokok di tengah-tengah padang rumput, menuntut agar Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan.
Dugaan Pandan Wangi adalah, bahwa para bebahulah yang telah mempengaruhinya.
" Seharusnya kakang Swandaru berusaha meredam keinginan para bebahu itu. Tetapi justru kakang Swandaru sendiri menjadi begitu bernafsu untuk mengusahakannya " berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
" Namun Pandan Wangi tidak ingin membuat Swandaru menjadi kecewa. Karena itu. Pandan Wangi memang tidak menolak, ketika Swandaru mengajaknya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, untuk mencari dukungan atas gagasan tentang Tanah Perdikan itu.
" Baiklah Pandan Wangi. Kau memang harus ikut ke Tanah Perdikan. Usahakan agar sikap Swandaru tetap terkendali. Jika gagasan itu telah meracuninya, maka ia akan dapat bertingkah-laku tidak sewajarnya
Namun Pandan Wangi memang agak terkejut ketika Pandan Wangi sedang melayani Swandaru makan malam, tiba-tiba saja Swandaru itupun berkata " Besok pagi kita pergi ke Tanah Perdikan, Pandan Wangi"
" Besok pagi" -- bertanya Pandan Wangi dengan dahi yang berkerut.
" Ya. Besok pagi."
" Kenapa begitu tiba-tiba " Aku kira kakang akan pergi tiga ampat hari mendatang. Apakah kakang sudah mempersiapkan segala sesuatunya di kademangan ini karena kakang akan meninggalkannya untuk beberapa hari?"
" Bukankah ayah ada di rurnah ?"
" Ya. Tetapi bukankah selama ini kakang yang melakukan tugasnya sehari-hari " Bukankah biasanya jika kakang akan bepergian untuk beberapa hari, kakang bersiap-siap lebih dahulu satu atau dua hari dengan membagi tugas kepada para bebahu ?"
" Aku sudah melakukannya sejak kemarin."
" Tetapi kakang baru saja mengatakan hari ini. bahwa besok kita akan pergi ke Tanah Perdikan."
" Aku sampai sore tadi memang masih merasa ragu. Tetapi setelah aku bertemu dengan beberapa bebahu, aku mengambil keputusan. bahwa kita akan pergi esok pagi. Para bebahu menganggap, semakin cepat permohonan ini sampai di Mataram akan menjadi semakin baik "
" Atau bahkan sebaliknya."
" Kenapa ?" " Para pemimpin di Mataram sedang prihatin jika benar Panembahan Senapati sedang sakit. Mereka tidak akan sempat memperhatikan permohonan kademangan Sangkal Putung. Atau, dapat lebih, parah lagi. Dalam keadaan yang muram itu, para pemimpin Mataram menolak permohonan itu tanpa pertimbangan yang panjang dan mendalam.
" Itu tidak mungkin, Pandan Wangi. Meskipun Panembahan Senapati sedang sakit, tetapi Mataram harus tetap tegak berdiri pada alas keadilan dan pertimbangan akal yang bening."
" Mereka terdiri dari orang-orang yang dilengkapi dengan akal dan perasaan seperti kita. Kadang-kadang akal mereka terdesak ke belakang karena sesuatu hal. Misalnya karena Panembahan Senapati benar-benar sakit."
" Jjka demikian, maka orang-orang Mataram telah kehilangan landasan kepemimpinan."
" Para pemimpin di Mataram bukannya orang-orang yang kebal tanpa dapat berbuat salah."
" Tidak, Pandan Wangi. Aku masih mempunyai keyakinan, bahwa Mataram tidak akan menjadi kehilangan akal karena Panembahan Senapati sakit."
Pandan Wangi tidak membantah lagi. Ia Udak mau berbantah dengah suaminya. Bagi Pandan Wangi, berangkat esokpun tidak ada persoalan apa-apa. Anaknya sudah dapat ditinggalkannya bersama pemomongnya.
Karena itu, maka katanya " Baiklah, kakang. Kita berangkat esok pagi-pagi "
Namun sebenarnyalah Pandan Wangi tidak tahu. bahwa Swandaru telah didorong oleh Wiyati untuk segera menyampaikan permohonan itu ke Mataram. Wiyati, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang berharap bahwa waktunya memang tidak lepat, sehingga orang-orang Mataram justru akan marah terhadap permohonan itu dan dengan serta-merta menolaknya
Dengan demikian, maka Swandaru akan menjadi marah pula. Tugas Wiyati adalah mengipasinya. Jika kemarahan itu akhirnya meledak, maka Sangkal Putung akan terseret ke dalam pemberontakan yang akan direncanakan oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Yang diharapkan adalah, bahwa Pandan Wangi akan dapat menyeret Tanah Perdikan Menoreh untuk terlibat pula kedalamnya. Tentu saja bahwa gerakan itu tidak akan ada sangkut pautnya dengan gerakan Ki Saba Lintang, karena Ki Amharalah yang akan tampil ke depan.
Ketika niat untuk pergi esok pagi itu disampaikan kepada Ki Demang, maka Ki Demangpun juga bertanya " Begitu tiba-tiba Swandaru ".
" Sebenarnya tidak tiba-tiba, ayah. Aku sudah merencanakan sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi baru sore tadi aku mendapat keputusan setelah aku berbicara dengan para bebahu."
" Jadi para bebahu itu mendesakmu Swandaru ?"
-Tidak ayah. Tetapi tersirat di dalam setiap pembicaraan, bahwa mereka ingin aku berbuat sesuatu. Merekapun tahu, apakah keinginan mereka melihat kademangan Sangkal Putung itu menjadi Tanah Perdikan berhasil atau tidak
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Swandaru. Kedudukan sebuah Tanah Perdikan itu tidak sama yang satu dengan yang lain. Hak dan kewajibannya akan diatur dan ditentukan khusus bagi Tanah Perdikan.
" Aku mengerti ayah."
" Mungkin kademangan ini dapat saja ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Tetapi dapat terjadi hak dan kewajibannya sama sebagaimana kita harapkan."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Permohonan kami bukan satu hal yang mutlak, ayah."
" Sokurlah." Swandarupun kemudian meninggalkan ayahnya yang termangu-mangu untuk mempersiapkan diri. Ternyata Swandaru masih juga memberitahukan kepada Pandan Wangi, bahwa ia masih akan berbicara dengan beberapa orang bebahu.
" Jangan terlalu malam pula kakang. Kakang juga harus beristirahat. Besok kakang akan bangun pagi-pagi untuk menempuh perjalanan yang terhitung panjang."
" Aku tidak lama Pandan Wangi."
Sejenak kemudian, maka terdengar derap kaki kuda meninggalkan halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Swandaru memacu kudanya di malam yang gelap dan sepi.
Tetapi temyata Swandaru tidak sekedar menemui para bebahu Tetapi Swandaru itupun memacu kudanya ke Kajoran.
Wiyati menerima kedatangan Swandaru dengan senyuman yang hangat sehangat minuman yang kemudian dihidangkannya.
" Udara di luar dingin, kakang. Tangan kakang dingin sekali."
" Ya, Wiyati. Udara terasa basah. Tetapi agaknya hujan tidak akan segera turun."
" Tidak kakang. Angin Timur bertiup agak kencang, mendorong mendung ke Barat."
Swandaru memang tidak tergesa-gesa pergi. Ia bahkan tenggelam di bawah pengaruh Wiyati yang berbisik di telinganya tentang sebuah Tanah Perdikan yang sejahtera di bawah pimpinan Swandaru. Seorang yang memiliki kecerdasan dan ketajaman nalar budi, serta seorang yang berkemampuan sangat tinggi.
Ketika terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk di tengah malam, maka Swandaru baru menyadari, bahwa ia tidak berada di rumahnya.
Di Sangkal Putung. Pandan Wangi menunggu dengan gelisah. Sampai lewat tengah malam Pandan Wangi tidak masuk ke dalam biliknya. Bahkan ia duduk di ruang dalam betapapun matanya terasa sangat berat.
Sekali-sekali matanya itupun terpejam sementara Pandan Wangi terlena sekejap. Namun ia segera terkejut dan berusaha membuka matanya lebar-lebar.
Dengan setia Pandan Wangi duduk menunggu. Meskipun di malam yang dingin itu Pandan Wangi dapat saja berbaring di pembaringan sambil berselimut kain panjang, tetapi Pandan Wangi tetap saja duduk menunggu.
" Aku sudah berpesan, agar kakang Swandaru tidak pulang terlalu malam " berkata Pandan Wangi di dalam hatinya " tetapi sampai lewat tengah malam, Swandaru masih belum pulang.
Baru menjelang dinihari. Pandan Wangi yang terkantuk-kantuk itupun dengan cepat bangkit ketika ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya
Demikian Swandaru meloncat turun dari kudanya didepan tangan pendapa, maka pintu pringgitanpun telah terbuka
Swandaru memang terkejut. Ia melihat. Pandan Wangi yang lesu berdiri di pintu.
" Kau belum tidur Pandan Wangi."
" Aku menunggu kakang. Bukankah aku sudah berpesan agar kakang tidak terlalu malam pulang" Kita akan bangun pagi-pagi dan menempuh perjalanan yang cukup panjang.
" Jadi kau juga belum tidur sama sekali ?"
" Belum kakang."
Jantung Swandaru berdebaran. Ia merasa bersalah, bahwa ia pulang sampai dini. Seharusnya ia mendengarkan pesan Pandan Wangi dan pulang sebelum tengah malam.
" Maafkan aku Pandan Wangi " desis Swandaru " pembicaraanku dengan para bebahu berkepanjangan sehingga aku menjadi lupa waktu. Mereka benar-benar berharap, bahwa kademangan ini akan segera ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
Pandan Wangi tidak terlalu banyak bertanya. Seorang pembantu yang mendengar derap kaki kuda memasuki halaman telah membawa kuda itu ke kandangnya.
Swandarupun kemudian segera masuk ke ruang dalam lewat pintu pringgilan. Namun Swandaru itupun langsung pergi ke pakiwan lewat pintu butulan untuk membersihkan dirinya.
Didalam biliknya Swandaru telah berganti pakaian sebelum ia membaringkan diri di pembaringan.-
" Tidurlah Pandan Wangi. Masih ada waktu sedikit. Kita besok dapat berangkat tidak terlalu pagi. Bukanlah kehadiran kita di Tanah Perdikan Menoreh tidak dibatasi oleh waktu."
" Ya. kakang. Tetapi jika kita berangkat pagi-pagi, udara akan terasa segar. Sementara sinar matahari masih belum terasa menggatalkan kulit."
" Tetapi setelah kita menempuh sebagian dari perjalanan kita, maka mataharipun akan naik semakin tinggi."
" Ya, kakang "jawab Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Dibiarkannya Swandaru memejamkan matanya dan tertidur. Sementara Pandan Wangi sendiri tidak segera dapat tidur.
Pandan Wangi masih harus mengusir pertanyaan di kepalanya, kenapa Swandaru harus pulang sampai dini-hari. Bahkan bajunya menjadi basah oleh keringat. Jika ia pergi menemui para bebahu di kademangan, maka biasanya mereka berkumpul di rumah Ki Demang, sehingga Swandaru tidak perlu mempergunakan kudanya.
Pandan Wangi menarik natas dalam-dalam.
Meskipun Pandan Wangi agak sulit untuk tidur, tetapi akhirnya ia tertidur juga meskipun hanya beberapa saat saja, karena langitpun segera dibayangi oleh cahaya fajar.
Namun ternyata Swandaru dan Pandan Wangi tidak berangkat pagi-pagi sekali. Mereka baru siap setelah matahari mulai nampak di atas cakrawala:
Setelah minta diri serta mohon restu maka Swandaru dan Pandan Wangipun segera berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.
Perjalanan ke Menoreh terhitung perjalanan yang cukup panjang. Tetapi Swandaru dan Pandan Wangi sudah terlalu senng menempuh perjalanan itu. sehingga bagi mereka perjalanan itu tidak merupakan perjalanan yang terasa berat.
Dalam pada itu. ketika sekali-sekali kuda Pandan Wangi berian di depan kuda Swandaru. maka Swandaru sempat memandangi isterinya itu. Terasa janiungnya berdesir lembut. Perempuan yang berkuda di depannya itu adalah seorang isieri yang setia. Tetapi justru Swandaru sendirilah yang mengabaikannya.
" Aku telah mengkhianatinya " berkata Swandaru di dalam dirinya " kelika aku tergelincir dan terpikat penari tayub itu. Pandan Wangi telah memaafkan aku. Bahkan Pandan Wangi telah melupakannya dan tidak pernah mengungkitnya kembali. Tetapi kemudian apa yang terjadi sekarang".'"
Swandaru mengerutkan dahinya. Sementara itu kuda Pandan Wangi berderap di atas jalan yang panjang berlari mendahului Swandaru. Namun Pandan Wangipun kemudian mengekang kudanya, sehingga jalan-nyapun semakin lambat. Dengan demikian, keduanyapun kemudian memacu kudanya bersama sama.
Jika cahaya terang menyusup di kepala Swandaru, maka iapun dapat melihat kepada dirinya sendiri. Jalan jalan gelap yang dilaluinya, la dapat melihat noda noda hitam yang melekat pada dirinya. Bahkan Swandarupun sadar sepenuhnya, bahwa ia telah terpelanting ke dalam lemah perzinaan yang kotor.
" Kenapa aku melakukannya".' " pertanyaan itu telah mengguncang isi dadanya.
Tetapi jika Swandaru yang goyah, ternyata memberi kesempatan kepada iblis untuk menyusup menghinggapi pribadinya. Sehingga dalam keadaan yang demikian. Swandaru tidak berdaya menghadapinya. Jika Swandaru itu sudah berhadapan dengan Wiyati. maka iblispun sempat bertahta di hatinya.
Demikianlah, keduanyapun telah memacu kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa kali mereka berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Swandaru dan Pandan Wangi sendiri, juga memerlukan waktu untuk beristirahat sambil meneguk minuman hangat.
Di sebuah kedai yang cukup besar di pinggir jalan, Swandaru dan Pandan Wangi berhenti untuk membeli minuman. Di kedai itu keduanya mendengar seseorang yang bereeritera tentang Panembahan Senapati yang sedang sakit.
Sakitnya memang agak berat " berkata orang itu kepada kawannya.
" Apakah karena itu. Panembahan Senapati dengan tergesa-gesa mewisuda Pangeran Adipati Anoni " - bertanya kawannya itu.
" Mungkin saja. Tetapi mungkin juga ada orang lain yang menekankannya. agar Pangeran itu segera diwisudanya."
" Siapa orangnya yang dapat menekan Panembahan Senapati".'"
" Maksudku, bukan untuk memaksanya. Tetapi menunjukkan kemungkinan terbaik dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Pembicaraan itupun memang berhenti sampai sekian. Orang yang sedang berbincang itupun mengarahkan perhatian mereka kepada minuman dan makanan yang mereka pesan, sehingga keduanyapun tidak lagi berbicara tentang Panembahan Senapati.
Swandarulah yang kemudian berdesis " Agaknya sudah bukan rahasia lagi."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Memang sulit untuk merahasiakannya. Seorang saja diantara para Nayaka Praja yang mengetahuinya, maka berita itu akan tersebar. Mula-mula merambat dengan lambat. Tetapi kemudian seperti nyala api yang membakar padang ilalang ditiup angin."
Swandaru itupun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berdesis " Apakah kita akan singgah di Mataram?"
" Untuk apa?" Pandan Wangi justru bertanya.
Swandaru tersenyum. Katanya " Kita memang tidak mempunyai keperluan khusus di Mataram. Jika kita memang tidak mempunyai keperluan khusus di Mataram. Jika kita singgah ke Mataram, tentu hanya sekedar untuk mendengar kabar tentang Panembahan Senapati itu saja "
" Apakah masih perlu?"
Swandaru menggeleng. Katanya " Tidak. Agaknya memang sudah tidak perlu lagi."
Keduanyapun terdiam ketika beberapa orang bersama-sama masuk ke dalam kedai itu. Agaknya mereka adalah para pedagang yang pulang dari pasar. Dua orang diantara mereka adalah perempuan.
Sejenak kemudian, kedai itupun menjadi sangat nuh. Orang-orang yang baru datang itu berbicara sesuka hati mereka sendiri tanpa menghiraukan orang-orang lain yang sudah ada di dalam kedai itu. Dua orang yang duduk di tengah kedai itupun bahkan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempatnya dan membayar harga makanan dan minuman mereka. Agaknya mereka tidak tahan mendengar suara yang ribut itu. Apalagi melihat dan mendengar suara dua orang perempuan yang ada diantara mereka
Medali Wasiat 13 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Seruling Samber Nyawa 14
JILID 326 Halaman Hilang 34-35 tdk ada di source djvu
"Sudahlah. Jangan ganggu aku lagi. Aku akan pulang."
"Tunggu. Kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini. Ikut aku. Uangku lebih dari sebangsal.".
" Buat apa uang sebangsal" Belilah perempuan di simpang empat itu kalau ada yang bersedia kau beli. Tetapi aku tidak."
" Jangan keras kepala. Kau akan menyesal."
Wiyati mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata " Aku akan pergi. Jangan ganggu aku lagi, kau dengar" "
" Orang-orangku akan membawamu pulang. "
" Kau akan melakukan kekerasan digadapan banyak orang" Kau lihat ada beberapa orang di kedai ini" Kau lihat pemilik kedai dan pembantu-pembantunya" "
" Sudah aku katakan. Tidak seorangpun dan mereka yang akan bersedia menjadi saksi. Tidak seorangpun diantara mereka yang bersedia hidupnya terancam. Siapapun diantara mereka yang mencoba mencampuri urusanku. mereka akan segera hilang dari lingkungannya. "
" Hilang. " " Ya." " Tetapi mereka tahu, bahwa kaulah sebabnya. "
"Tidak seorangpun dapat membuktikannya "
Wiyati mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Aku sekarang tahu, hagaimana caranya menghadapi kau dan kawan-kawanmu. "
Wajah laki-laki yang bernama Sawung kampak itu mengerutkan dahinya. Dengan ragu iapun bertanya " Apa yang kau ketahui" "
" Untuk dapat pergi dari tempat ini, aku harus mempergunakan kekerasan. Bukankah itu yang kau inginkan" Aku harus memukuli kau dan kedua orang kawanmu sampai pingsan. Lalu aku tinggalkan kalian pergi. Jika terjadi kerusakan di dalam kedai ini. kaulah yang harus menggantinya. "
Sawung kampak justru terdiam. la menjadi agak bingung mendengar kata-kata Wiyati itu. Bahkan mula-mula ia tidak yakin akan pendengarannya itu.
Namun Wiyatipun kemudian mengulanginya " Jangan bingung anak manis. Jika kau memaksa, aku akan memukuli kau dan kedua orang kawanmu sampai wajahmu menjadi pengab. Jelas. "
Sawung Rampak itu berPating kepada kawannya yang nampak garang Dengan nada tinggi iapun bertanya " Apa yang kau dengar sama dengan yang aku dengar" -
"Kedengarannya agak aneh.
Sawung Rampak itupun kemudian bertanya kepada Windu yang wajahnya masih nampak gelap " Apa yang kaudengar" "
"Perempuan ini berkicau "jawab Windu.
Sawung Rampak tertawa Katanya " Tetapi semakin aneh sikap dan kata-katanya, perempuan ini semakin menarik bagiku. Bahkan seandainya perempuan ini sakit syaraf sekalipun, aku ingin membawanya pulang. "
Tetapi Sawung Rampak terkejut. Tiba-tiba jari-jari tangan Wiyati yang lentik itu telah menampar wajah Sawung Rampak sebagaimana Sawung Rampak menampar Windu.
Sawung Rampakpun terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Sawung Rampak itupun telah terduduk diamben bambu yang membujur dibelakangnya.
" Gila perempuan ini " geram Sawung Rampak " ia berani menampar wajahku. "
" Bukankah aku harus menempuh cara ini untuk dapat meninggalkan kedai ini. "
" Kau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesulitan yang berkepanjangan. "
" Tidak. Dengan demikian, aku akan segera dapat pulang. " Sawung Kampak itupun kemudian memerintahkan kawannya yang berwajah garang iiu " Bawa perempuan itu pulang. Ketuk simpul syaratnya sehingga ia tidak berdaya. Naikkan perempuan itu ke punggung kuda. "
" O " Wiyati mengangguk-angguk " jadi kita harus berkelahi" Baiklah. Tetapi tidak di dalam kedai ini. Kita keluar lewat pintu belakang. Dan kita akan berkelahi dibelakang kedai, sehingga tidak akan menjadi tontonan banyak orang. Setidak-tidaknya orang yang menonton perkelahian ini tidak sebanyak jika kita berkelahi di halaman depan. "
" Tutup mulutmu bentak orang berwajah garang " kau tidak akan sempat pergi ke belakang kedai ini. "
Orang berwajah garang itupun kemudian melangkah mendekati Wiyati. Dengan jari-jarinya yang kuat dan keras, orang itu siap melumpuhkan Wiyati.
Tetapi Wiyati tidak mau didahuluinya. Dengan serta-merta gadis itu justru telah menyerang. Tangannya dengan cepat menggapai dada orang berwajah garang itu.
Ternyata sentuhan tangan Wiyati cukup keras untuk mengguncang keseimbangan orang berwajah garang itu, sehingga orang itu terdorong surut dan jatuh menimpa dinding.
Untunglah bahwa tulang-tulang dinding bambu yang terbuat dari kayu gelugu cukup kuat sehingga dinding itu tidak terkoyak karenanya. Tetapi punggung orang itu terasa nyeri karena menimpa tiang kayu gelugu itu.
" Setan betina " geram Sawung Rampak.
Namun Wiyati telah melangkah dengan cepat kepinlu belakang.
" Jangan lari " teriak Sawung Rampak.
" Aku tidak akan lari. Aku tunggu di halaman belakang. " Ketika Wiyati muncul lewat pintu belakang, ternyata halaman belakang kedai itu cukup luas. dibatasi oleh dinding berkeliling yang juga sebagai penyekat dengan halaman kedai-kedai disebelah menyebelah.
Demikian Wiyati turun ke halaman belakang, maka tiga orang laki-laki telah menyusulnya
Beberapa orang yang masih berada di kedai itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat seorang perempuan yang akan berhadapan dengan tiga orang laki-laki. Apalagi seorang diantara mereka adalah Sawung Rampak, sedangkan kedua orang lainnya adalah pengawal-pengawalnya yang garang.
Tetapi Wiyati sendiri sama sekali tidak menjadi gentar. Demikian ketiga orang laki-laki itu turun ke halaman belakang, maka Wiyatipun langsung menantangnya " Marilah. Jika kau benar-benar menginginkan aku. tangkaplah aku dan tawalah aku ke rumahmu, Sawung Rampak. Aku akan melindungi diriku sendiri tanpa menunggu kehadiran suamiku"
" Seberapa tinggi ilmumu, setan betina, kau akan tunduk di bawah telapak kakiku. Kau akan menyembahku dan akan mohon belas kasihanku. "
Wiyati tertawa. Katanya -- Ada dua pilihan bagiku Sawung Rampak. Memukuli kau sampai babak belur atau mati di tempat ini. Jika yang terjadi yang kedua, maka suamiku akan meluluhlantakkan seluruh keluargamu. Semuanya akan ditumpas kelor sampai tapis habis. "
Sikap dan kata-kata Wiyati memang menyentuh jantung Sawung Rampak. Tetapi ketika ia menyadari akan kehadiran kedua orang pengawalnya, maka iapun segera melangkah maju mendekati Wiyati.
Kedua orang pengawalnyapun segera bergeser menjauh kearah yang berbeda.
Namun orang yang berwajah garang itupun kemudian menggeram " Serahkan perempuan ini kepadaku. Aku akan melumpuhkannya dan membawanya pulang. "
Sawung Rampak tidak menjawab. Ia mempercayai kelebihan pengawalnya itu. Orang berwajah garang itu tidak pernah mengecewakannya, la bukan hanya sekali dua kali menculik perempuan yang diinginkannya. Juga perempuan-perempuan yang sudah bersuami. Bahkan orang berwajah garang itupun pernah membuat seorang suami membisu meskipun ia melihat sendiri, bagaimana Sawung Rampak membawa isterinya pergi. "
Bahkan dengan bangga orang itu mengatakannya kepada Wiyati yang siap untuk melawannya.
" Jadi kau pernah melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu sebelumnya" "
" Aku akan melakukannya juga sekarang " geram laki-laki itu.
" Ternyata dugaanku benar. Aku harus membuat perhitungan sampai tuntas, sehingga kau tidak akan pernah dapat melakukannya lagi. -
Orang berwajah garang itupun menggeram. Dengan garangnya iapun mulai menyerang Wiyati
Wiyati memang belum mengetahui tataran kemampuan lawannya. Tetapi ia sudah menduga, bahwa lawannya akan mengandalkan kekuatan tenaganya daripada kemampuan ilmunya
Dalam pada itu pemilik kedai yang menjadi ajang pertengkaran itu menjadi bingung. Jika banyak orang yang mengetahui bahwa terjadi perkelahian di halaman belakang kedainya, maka tentu akan banyak orang yang ingin melihatnya. Karena itu. maka pemilik kedai itupun segera menutup pintu-pintu kedainya. Namun ia tidak menyuruh orang orang yang sudah terlanjur berada di kedainya untuk keluar, karena pemilik kedai itupun memerlukan kawan untuk mengamati perkelahian yang terjadi itu.
Seperti yang diharapkan oleh pemilik kedai itu. maka beberapa orang yang masih berada di dalam kedainya itu tidak segera meninggalkan kedai yang ditutup itu. Tetapi dari dalam kedai. lewat pintu belakang yang terbuka, mereka menyaksikan perkelahian yang terjadi di halaman belakang.
Mereka melihat Wiyati telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga ia tinggal mengenakan pakaian khususnya. Pakaian yang selalu dikenakannya di bawah pakaian perempuannya.
Perkelahian itupun menjadi semakin seru. Tetapi orang berwajah garang itu telah salah menilai Wiyati.
Meskipun orang berwajah garang itu telah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak mampu mendesak perempuan cantik itu. Bahkan serangan-serangan Wiyati mulai mengenai tubuhnya.
Ketika dengan mengerahkan tenaganya, orang berwajah garang itu meloncat dengan menjulurkan tangannya menyerang ke arah dada, Wiyati sambil tersenyum memiringkan tubuhnya sambil melangkah ke samping. Demikian tangan orang berwajah garang itu terjulur, maka Wiyati pun menyerang dengan kakinya. Dengan cepat tubuhnya berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.
Orang berwajah garang itu terkejut ketika tiba-tiba saja kaki Wiyati menyambar keningnya.
Orang berwajah garang itupun terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun dengan susah payah ia bertahan untuk tidak jatuh lierguling.
Tetapi ketika Wiyati kemudian meloncat sambil menjulurkan kakinya mengenai dada orang itu. maka orang itu benar-benar terpelanting jatuh.
Orang itupun berusaha dengan cepat bangkit sambil mengumpat kasar, sementara Wiyati berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Gadis itu sengaja tidak memburunya Dibiarkannya orang berwajah garang itu bangkit berdiri
Namun orang itu harus menyeringai menahan sakit punggung dan dadanya yang bahkan terasa menjadi sesak.
" Iblis betina " geram orang itu " aku akan mencabik-cabik tubuhmu. "
Tetapi Wiyati justru tertawa. Katanya " Tidak. Kau tidak akan berani melakukannya, karena Sawung Kampak justru menginginkan tubuhku. Jika kau mencoba merusaknya, maka kau tentu akan dibunuh oleh Sawung Kampak. "
Orang berwajah garang itu termangu-mangu sejenak. Bahkan iapun kemudian berPating kepada Sawung Kampak. "
" Aku tidak memerlukannya lagi " Sawung Rampak hampir berteriak " meskipun wajahnya cantik, tetapi ia adalah keturunan iblis yang Pating jahat. "
Wiyati tertawa berkepanjangan. Katanya " Kau masih juga pandai merajuk, anak manis. "
Sawung Rampak memang merasa terhina. lapun menjadi tidak tahan lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang Wiyati.
Wiyatipun dengan cepat menghindar. Sementara itu, orang berwajah garang dan bahkan Windupun telah bersiap pula.
Sejenak kemudian, maka perempuan cantik itu harus bertempur melawan liga orang yang garang dan sedang marah. Serangan-serangan mereka dalang susul menyusul seperti gelombang menghantam batu karang yang tegak dipinggir lautan.
Tetapi Wiyati memang sudah bersiap untuk melawan mereka bertiga. Karena itu. maka ia sama tidak menjadi gentar. Dengan tangkasnya gadis itu berloncatan menghindari. Namun tiba-tiba Wiyati meloncat menyerang dengan cepatnya.
Windulah yang kemudian terlempar jatuh. Hampir saja kepalanya membentur bebatuan di bibir sumur. Untunglah, bahwa ia sempat menggeliat. Namun punggungnyalah yang terasa menjadi sangat nyeri
Karena itu. ia harus meloncat surut untuk mendapatkan kesempatan mengatasi kesulitan didalam dirinya.
Namun Wiyatilah yang memburunya. Dengan cepat Wiyati herusaha menyerangnya. Tetapi kedua orang lawannya yang lain telah menyerang bersama-sama pula, sehingga Wiyati terpaksa mengurungkan serangannya justru untuk menghindari serangan kedua lawannya itu.
Dengan demikian, maka Windupun mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keempat orang yang bertempur di halaman belakang kedai itupun telah meningkatkan ilmu mereka. Sawung Rampak yang marah itu telah mencabut kerisnya pula.
" Aku akan membunuhmu perempuan celaka. "
Tetapi Wiyanti sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika Sawung Rampak meloncat sambil menjulurkan kerisnya menusuk ke arah jantung, maka Wiyatipun dengan tangkasnya melenting sambil mengayunkan kakinya.
Sawung Rampak tidak menduga, bahwa ujung kaki Wiyati itu telah mengenai pergelangan tangannya demikian kerasnya, sehingga keris itupun terlepas dari tangannya.
Tetapi Wiyati tidak sempat mencegah Sawung Rampak memungut kembali kerisnya, karena Windu dan orang yang berwajah garang itu telah menyerangnya dengan pedangnya.
" Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, setan betina " Wiyati tidak menjawab. Tetapi di padepokan kecilnya, Wiyati telah dilatih untuk mempergunakan apapun yang ada padanya sebagai senjata. Karena itu, maka Wiyatipun telah mempersiapkan selendangnya yang memang dibuat secara khusus. Pada ujung selendangnya terdapat bandul timah kecil kecil yang membuat selendang itu dapat menjadi senjata yang berbahaya.
Sebenarnyalah Wiyatipun segera memutar selendangnya yang berwarna hijau pupus, yang serasi dengan baju dan kainnya yang berwarna hijau daun.
Dengan demikian pertempuran menjadi semakin keras. Ketiga lawan Wiyatipun telah bersenjata, sementara Wiyati sendiri mempergunakan selendangnya sebagai senjatanya.
" Kalian sendirilah yang mulai dengan mempergunakan senjata " berkata Wiyati " Senjata itulah yang agaknya akan mempercepat berakhirnya perlawanan kalian. -
Sawung Rampak menggeram. Katanya " Kau mulai cemas setan betina "
Tetapi sebelum kalimatnya berakhir. Windu berteriak kesakitan karena ujung selendang Wiyati menyentuh pahanya.
Paha Windu tidak berdarah. Tetapi timah-timah kecil diujung selendang Wiyati terasa seakan-akan meretakkan tulang-tulangnya.
Windu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu Sawung Rampak dan orang berwajah garang itu mencoba menghentakkan serangannya terhadap Wiyati yang masih nampak segar.
Untuk beberapa saat Windu mengusap dada yang terasa nyeri. Baru kemudian terpincang pincang ia kembali memasuki arena.
Dalam pada itu selendang Wiyati berputar semakin cepat. Sehingga tubuh Wiyati itu seakan-akan telah diselubungi oleh kabut tipis yang berwarna kehijau-hijauan.
Dalam pada itu, ketiga orang lawan Wiyatipun dengan garangnya berusaha untuk menembus pertahanan gadis itu. Namun usaha mereka itupun sia-sia. Tidak seorangpun dari ketiganya yang berhasil menyusupkan senjata mereka menembus kabut tipis yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Bahkan semakin lama ujung selendang Wiyatilah yang semakin sering mengenai tubuh ketiga orang lawannya itu.
Windu, orang yang berwajah garang dan Sawung Rampak sendiri, setiap kali merasa disengat oleh perasaan nyeri dan pedih. Bahkan selendang itu menghantam dada Sawung Rampak, rasa-rasanya dadanya itu tertimpa sebongkah batu sebesar anak kerbau.
Sawung Rampak terdorong surut. Nafasnya menjadi terengah-engah. Dengan susah payah Sawung Rampak bertahan, sehingga ia tidak jatuh terlentang karenanya.
Namun selama Sawung Rampak itu mencoba memperbaiki keadaannya dan mengatur pernafasannya sambil berdiri tegak dengan kakinya merenggangi ujung selendang Wiyati telah menyambar lambung Windu. Terdengar Windu itu berdesah kesakitan sambil menekan lambungnya dengan tangan kirinya.
Malang bagi orang berwajah garang. Kebencian Wiyati kepadanya, apalagi setelah Wiyati mendengar sendiri dari mulut orang berwajah garang itu, yang dengan bangga mengatakan bahwa ia pernah menculik perempuan beberapa kali, telah memuncak. Wiyati menjadi muak melihat wajahnya yang garang serta tingkah lakunya yang kasar. Karena itu. dengan satu hentakan yang keras selendang Wiyati telah merenggut senjata orang berwajah garang itu.
Demikian senjatanya terlepas dari tangannya, maka selendang Wiyati telah berputar dengan derasnya, terayun mengenai dada orang berwajah garang itu.
Orang itu terpental dengan kerasnya. Punggungnya menimpa bebatur plataran sumur di belakang kedai itu.
Orang itu berteriak kesakitan. Tulang punggungnya terasa menjadi patah.
Sementara itu, nafas Sawung Rampak telah mulai mengalir wajar. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Wiyati telah meloncat menyerangnya. Dengan cepat selendangnya telah membelit di leher Sawung Rampak yang tidak berhasil menghindarinya.
Dengan kerisnya Sawung Rampak berusaha untuk memotong selendang Wiyati. Tetapi dengan cepat Wiyati menarik selendangnya sehingga tubuh Sawung Rampak justru terputar.
Sawung Rampak benar-benar kehilangan keseimbangan. Sementara itu kaki Wiyati terayun dengan derasnya menghantam kening.
Sawung Rampak tidak sempat berbuat sesuatu. Dengan derasnya ia terpelanting jatuh terbanting di tanah.
Mata Sawung Rampakpun rasa-rasanya menjadi gelap Keningnya terasa sangat sakit. Sementara itu, bagian belakang kepalanya yang membentur tanah berbatu padas membuatnya kemudian tidak sadarkan diri.
Tinggal Windu yang berdiri termangu-mangu. la tidak mempunyai keberanian untuk melawan Wiyati sendiri setelah ia mengetahui tataran kemampuannya. Orang berwajah garang serta Sawung Rampak sudah tidak berdaya
" .Sekarang, tinggal kau sendiri " berkata Wiyati
" Ampun. Aku minta ampun " Windu itupun telah melemparkan senjatanya.
Wiyati menarik nafas dalam-dalam. Orang berwajah garang itu tidak pingsan. Tetapi tidak dapat bangkit berdiri.
Sepantasnya orang itu harus dibunuh agar ia tidak dapat menculik perempuan lagi. "
Dengan suara bergetar Windu itupun berkata " Aku mohon ampun bagi mereka berdua. "
" Bukankah kau tahu, kejahatan apa saja yang telah mereka lakukan. "
Windu mengangguk. " Seharusnya kau tidak minta ampun untuk mereka. -
" Mereka tentu akan menjadi jera. "
Wiyatipun termangu mangu. Namun kemudian iapun berkata Aku tidak akan membunuh mereka. Tetapi jika pada sualu kali aku menjumpai mereka dan kau sekali lagi menculik perempuan, maka aku akan membunuh kalian bertiga. Bahkan keluarga kalian. Suamiku akan datang dengan duapuluh lima orang berilmu tinggi. Seandainya ayah Sawung Rampak dengan uangnya dapat membentengi rumahnya dengan laki-laki sepadukuhan, mereka akan dihancurkannya pula. "
" Siapakah suamimu" " bertanya Windu.
Kau akan menantangnya" "
" Tidak. Tidak. Bukan maksudku. -
" Jadi untuk apa kau bertanya siapakah suamiku. "
" Tidak apa-apa. "
" Suamiku adalah guruku. Nah. bayangkan apa yang dapat dilakukannya. "
" Ya. " Aku akan pergi. Ingat semua kata-kataku. Aku bukan seorang yang mengenal belas kasihan.
Windu tidak menyahut. Dipandanginya saja perempuan cantik itu membenahi pakaiannya. Bahkan ia masih sempat membetulkan sanggulnya.
Ketika melangkah pergi Wiyati masih berpesan kepada Windu- Sawung Rampak hams mengganti kerusakan yang terjadi di kedai itu. Jika ia menolak, maka ia akan mengalami akibat buruk. Besok atau lusa aku akan menemui pemilik kedai itu. "
Sambil mengangguk Windu berkata - Baik. Aku akan mengatakannya kepadanya.
" Mudah-mudahan ia tidak mati " berkata Wiyati.
Windu mengerutkan dahinya. Begitu ringan perempuan itu bersikap. bahkan seandainya Sawung Kampak itu mati.
Ketika Wiyati melangkah pergi. ia sempat berhenti dan berjongkok disamping orang yang berwajah garang yang mengerang kesakitan " Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku tahu caranya untuk meninggalkan kalian. Aku sudah menunjukkan cara itu. Senang atau tidak senang, kalian harus menerimanya. "
Orang berwajah garang itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja menahan sakit di punggungnya
" Jika punggungmu patah, maka untuk selamanya kau tidak akan dapat sesumbar lagi. Kau akan menjadi orang yang lemah dan bergantung kepada orang lain. Kaiena kau tidak akan mampu bekerja apapun untuk menghidupi dirimu sendiri. Bukan niatku mematahkan tulang punggungmu. Tetapi kebetulan itu adalah beban yang harus kau tanggungkan karena kejahatan yang pernah kau lakukan. "
Orang herwajah garang itu menyeringai menahan sakit. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga sakit hatinya.
Sejenak kemudian, maka Wiyatipun telah bangkit berdiri dan meninggalkan orang-orang yang masih berada di halaman belakang kedai itu. Ketika ia naik lewat pintu belakang, maka orang-orang yang berada di kedai itu menyibak.
" Kenapa pintu ditutup" Apakah kalian sengaja menjebak aku agar aku tidak dapat pergi" "
" Tidak. Bukan itu " sahut pemilik kedai dengan serta merta " aku hanya ingin tidak ada orang-orang lain lagi yang masuk kedalam kedai itu untuk menyaksikan perkelahian itu. "
Wiyati mengerutkan dahinya. Katanya" kenapa kau berkeberatan jika banyak orang yang melihat kekalahan Sawung Rampak" "
" Bukan karena itu. Tetapi kedai ini akan penuh dan kerusakan yang timbul akan dapat lebih banyak lagi. "
Wiyati memandang pemilik kedai itu dengan kerut di dahinya. Namun kemudian iapun berkata " Sawung Rampak harus mengganti semua kerusakan di kedai ini. Aku sudah berpesan kepada Windu. Dalam dua atau tiga hari ini aku akan datang lagi untuk melihat apakah Sawung Rampak memenuhi pesanku atau tidak. Jika tidak aku akan memaksanya. Mudah-mudahan ia tidak mati. "
Pemilik kedai itu tidak sempat menjawab. Wiyatipun melangkah kepintu sambil berkata " Buka pintunya. "
Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itu membuka pintu kedainya.
Namun, demikian pintu itu terbuka maka Wiyati yang berdiri di-belakang pintu itupun mengerutkan dahinya. Temyala diluar kedai itu berkerumun beberapa orang yang mengetahui bahwa telah terjadi pertengkaran didalam kedai yang kemudian ditutup itu.
Wiyati tidak menghiraukan mereka. Iapun segera melangkah turun ke jalan dan dengan cepat meninggalkan kedai itu.
Orang-orang yang berkerumun itupun segera menyibak. Sementara itu tanpa berPating Wiyati melangkah meninggalkan kedai itu.
Ketika Wiyati sampai di rumahnya, maka Ki Ambara memperhatikannya dengan kerut di kening. Wiyati yang semula tidak berniat untuk menceritakan apa yang sudah terjadi itu. ternyata tidak dapat menyembunyikannya lagi ketika Ki Ambara memanggilnya.
" Wiyati. Apa yang telah terjadi" " Wiyati menunduk, la tidak segera menjawab.
" Katakan, apa yang telah kau lakukan di pasar itu. Kau pulang tanpa membawa apa-apa. Tetapi aku lihat pakaianmu nampak kusut. "
Wiyati masih menunduk. " Kau berkelahi Wiyati" " bertanya Ki Ambara. Wiyati tidak dapat mengelak. Dengan nada rendah iapun menjawab " Ya, kek. "
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Duduklah. Kau harus menceritakan apa yang terjadi dengan jujur. Kau tidak boleh menyembunyikan apapun yang telah terjadi agar aku dapat mengetahui dengan pasti. "
Wiyati tidak dapat mengelak, la tahu, bahwa Ki Ambara itu mempunyai ketajaman penglihatan dan ketajaman penggaraita sehingga sulit baginya untuk mengelabuhinya.
Karena itu. maka Wiyatipun kemudian bercerita dari awal sampai akhir.
Ki Ambara mendengar cerita Wiyati itu dengan saksama Sekali-sekali Ki Ambara itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk.
Demikian Wiyati selesai bercerita, maka Ki Ambarapun menarik nafas panjang. Katanya " Wiyati, sebaiknya kita tidak membuat persoalan. Persoalan-persoalan kecil itu akan dapat mempengaruhi kerja besar kita dalam keseluruhan.
Wiyati tidak menjawab. Kepalanya justru menjadi semakin menunduk.
" Wiyati. Seharusnya kau menghindari benturan-benturan kekerasan dengan siapapun juga. Jika orang itu mendendam, maka persoalannya akan dapat menjadi- berkepanjangan. Sementara itu tugas pokok kita masih belum pasli akan dapat berhasil dengan lancar sebagaimana kita harapkan.
" Ampun Kek " Wiyati akhirnya menjawab " Aku tidak dapat menghindarinya. Anak muda yang bernama Sawung Rampak itu menyudutkan aku sehingga memaksa aku untuk melawan dengan ke kerasan."
" Kau tentu sengaja ingin menemuinya. Jika kau menolak atau seandainya harus mempergunakan kekerasan, sebaiknya kau tujukan kepada Windu. Kau tidak akan bertemu dengan Sawung Rampak. Bagimu lebih baik menggagalkan usaha Windu membawamu ke Sawung Rampak daripada membebaskan dirimu dari niat Sawung Rampak yang kasar itu. Dengan menggagalkan usaha Windu, kau akan sempat menghilang di keramaian pasar tanpa banyak menimbulkan persoalan. Mungkin beberapa orang menjadi gempar karena Windu tiba-tiba menjadi pingsan misalnya. Justru kegemparan itu merupakan kesempatan bagimu untuk hilang dari pengamatannya "
Wiyati tidak menjawab. " Yang sudah, sudahlah. Tetapi untuk selanjutnya kau harus lebih berhati-hati. Aku anjurkan kau tidak pergi ke pasar itu jika tidak terpaksa sekali. Di sekitar tempat ini tidak hanya ada satu pasar. Tetapi beberapa"
Wiyati mengangguk sambil berdesis " Baik, kek. " Seharusnya kau lebih banyak di rumah. Setiap saat Swandaru akan datang. Sendiri atau bersama isterinya. Kau harus siap menempatkan dirimu. "
" Ya kek " suara Wiyati merendah.
Sebenarnyalah, sejak saat itu, Wiyati jarang sekali keluar rumah. Jika gadis itu keluar rumah, maka kemungkinan ada persoalan lain yang melibatnya di luar kehendak dan perhitungannya Bahkan mungkin akan dapat mempengaruhi rencana besar yang sedang dilaksanakan.
Sementara itu, Swandaru masih saja sering datang berkunjung ke rumah Ki Ambara. Hubungannya dengan Wiyati pun semakin lama menjadi semakin rapat. Sementara itu. Pandan Wangi pun menjadi semakin jarang, bahkan hampir tidak pernah lagi datang ke rumah Ki Ambara
Ketika hubungan antara Swandaru dan Wiyati menjadi semakin jauh seperti yang diharapkan, maka Swandaru harus semakin sering berbohong kepada isterinya. Pandan Wangi akan menjadi heran, dan bahkan akan dapat tidak mempercayainya jika ia terlalu sering minta diri untuk pergi ke rumah Ki Ambara. Karena itu, maka kadang-kadang Swandaru harus membuat ceritera lain. Swandaru mulai membuat ceritera tentang orang-orang yang mengancam kademangannya. Peringatan yang pernah diterimanya, bahwa orang-orang yang mengaku ingin menegakkan kembali perguruan Kedung Jati itu mulai merambah ke Sangkal Putung. telah dipakainya sebagai alasan untuk menjadi sangat sibuk.
Pandan Wangi sama sekali tidak mencurigainya. Ki Demang bahkan minta agar Swandaru lebih ketat mengawasi keadaan.
" Seorang pengawal dengan tidak sengaja melihat lima orang berkuda melintas " berkata Swandaru kepada Ki Demang " orang itu dengan diam-diam menelusuri jejak kelima orang penunggang kuda itu, sehingga akhirnya penyelidikannya itu bermuara di pategalan sebelah Randu Gobang. Pengawal itu terkejut karena ia melihat tidak hanya ada jejak kaki lima ekor kuda. Tetapi lebih banyak lagi. "
" Sepuluh" " bertanya Ki Demang.
" Pengawal itu tidak dapat menyebutkan, berapa ekor kuda kira-kira yang ada di Pategalan itu, karena jejak terlalu banyak. "
Ki Demang mengangguk angguk. Tetapi nampak kecemasan membayang di wajahnya.
Pandan Wangi tidak bertanya lebih jauh. Tetapi kemudian ia justru berkata " Kakang mempunyai tugas yang semakin berat. "
" Ya, Pandan Wangi. Tetapi karena itu sudah tugasku, aku akan melakukannya dengan senang hati. "
Untuk menutupi kebohongannya Swandaru mulai menunjuk dua orang pengawal kepercayaannya untuk membantunya. Keduanya harus memberikan laporan sesuai dengan pesan-pesan Swandaru. Keduanya-pun kadang-kadang diminta untuk menyertai Swandaru mendatangi tempat-tempat yang sangat rawan dan berbahaya. Bertiga mereka berangkat dari kademangan. Namun dua orang pengawal itupun hanya akan berhenti di tengah perjalanan. Mereka hanya akan bersembunyi di rumah mereka masing-masing atau di mana saja menurut kesepakatan mereka dengan Swandaru sehingga Swandaru menjemput mereka lagi setelah Swandaru pulang dari Kajoran.
Namun Swandaru berpesan dengan sangat, agar keduanya tidak membuka rahasianya kepada siapapun juga Kepada isteri dan anak-anak merekapun. keduanya harus merahasiakannya.
"Jika isterimu tahu. maka mulut isterimu itu yang akan mengigau sehingga Pandan Wangi dapat mendengarnya. "
- Aku berjanji. Ki Swandaru. "
- Jika kau erat-erat memegang rahasia ini. kau akan menerima hadiah yang banyak. Tetapi jika rahasia ini sampai merembes kepada orang lain, maka kau tidak akan pernah pulang lagi. "
Kedua orang itu justru tertawa. Seorang diantara merekapun berkata " Jangan cemas. Percayalah kepada kami. Kami masih ingin tinggal lebih lama lagi di Sangkal Putung. "
" Bagus. Kau harus dapat memegang rahasia ini. "
Ternyata bersama kedua orang kepercayaannya itu Swandaru mampu membuat ceritera-ceritera yang memungkinkannya lebih banyak di luar rumah. Bahkan Swandaru telah meningkatkan kesiagaan di kademangannya. Swandaru sendiri hampir setiap malam mengelilingi kademangannya dari ujung sampai ke ujung. Namun kadang-kadang Swandaru itu tidak berada di manapun dikademangan itu. Para pengawal di padukuhan induk mengatakan bahwa Swandaru ada dipadukuhan sebelah. Tetapi para pengawal di padukuhan sebelah menyangka Swandaru ada di padukuhan sebelah. Tetapi para pengawal di padukuhan sebelah menyangka Swandaru berada di padukuhan yang lain.
Sementara itu, Swandaru ternyata berada di rumah Ki Ambara.
Hari ke hari, bahkan bulan ke bulan, Swandaru berhasil mengelabuhi bukan saja Pandan Wangi, tetapi juga ayahnya yang menjadi semakin tua dan bahkan seisi kademangan Sangkal Putung
Ki Ambara merasa bahwa Wiyati sudah berhasil menjerat Swandaru sehingga Swandaru itu akan sulit sekali melepaskan dirinya. Bagi Swandaru, Wiyati adalah segala-galanya. Perempuan itu memang sedikit manja. Tetapi tidak di luar batas kewajaran. Perempuan itu tidak pernah berbuat aneh-aneh. Tidak pernah minta apapun selain kebutuhan-kebutuhan wajar dan sama sekali tidak berlebih-lebihan.
Karena itu, maka Wiyati yang jauh lebih muda dari pandan Wangi itu benar-benar telah menjadi lekat di hati Swandaru.
Dalam keadaan yang demikian, sikap Swandaru terhadap Pandan Wangi sama sekali tidak berubah. Bahkan Swandaru masih saja sangat memperhatikan isterinya. Keduanya nampak menjadi semakin dekat. Setiap kali Swandaru memerlukan berbincang dengan Pandan Wangi tentang tugas-tugasnya yang menjadi semakin berat.
" Aku siap membantu, kakang. Tugas di manapun juga aku siap untuk melaksanakannya. "
" Tugasmu terutama adalah mengasuh anakmu. Hanya dalam keadaan yang Pating gawat, aku akan minta bantuanmu. "
" Kenapa kakang harus menunggu jika keadaan menjadi sangat gawat.'"
" Aku tahu. bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi. Pandan Wangi. Tetapi tidak seharusnya kau melakukan tugas-tugas diluar tugas-tugas pokokmu selama aku masih dapat memecahkannya "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Menurut pengenalannya sejak ia menikah dengan Swandaru, Swandaru memang seorang yang bertanggung jawab. Ia tidak mau membebani Pandan Wangi dengan tugas-tugas yang seharusnya diselesaikannya.
Dengan nada dalam Pandan Wangi itupun berkata " Kakang. Apakah aku dapat duduk berpangku tangan sementara kau bekerja keras untuk kepentingan kademangan ini. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Semuanya masih dalam batas-batas kemungkinan untuk memecahkannya bersama para bebahu dan pengawal. Pandan Wangi. "
Pandan Wangi mengangguk-angguk.
Sementara itu, di Kajoran, Ki Ambara telah memanggil Wiyati dan ki Saba Lintang untuk berbicara di ruang dalam. Dengan sungguh-sungguh Ki Ambara pun berkata " Wiyati. Kau sudah berhasil menyelesaikan langkah pertama dari tugas panjangmu. Kau sudah berhasil menjerat Swandaru sehingga menurut pengamatanku kini. Swandaru benar-benar sudah berada di dalam genggamanmu. Sedikit saja kau merajuk, rasa-rasanya-dunia menjadi kiamat, bagi Swandaru. Tetapi ada yang kaulakukan sudah benar. Kau tidak perlu merajuk. Swandaru lebih senang jika kau bersikap tegar gembira dan sedikil manja, tetapi dalam batas kewajaran. "
" Ya, kek. ~ " Nah, agaknya memang sudah saatnya kau mulai berbicara tentang hubungan antara Mataram dan Sangkal Putung. Tetapi ingat, kau tidak boleh tergesa-gesa. Swandaru adalah seorang yang setia kepada Mataram. Jika sedikit saja kau salah langkah, maka Swandaru akan memilih Mataram dan meninggalkanmu betapa hatinya menjadi hancur.
" Aku mengerti, kek. "
" Jangan bicara tentang dendammu " berkata Ki Saba Lintang " jika lidahmu tergelincir dan kau menyebut dendam di lubuk hatimu.maka gagallah semuanya. "
" Aku mengerti, paman. "
" Nah, kau dapat mulai sedikit demi sedikit.-Jika kau harus maju selangkah lagi, maka aku akan memberimu isyarat. "
" Baik, kek" " Hati-hatilah. Besok atau lusa Swandaru tentu akan datang kemari."
Dengan demikian, maka Wiyatipun telah mempersiapkan diri untuk mulai dengan tahap berikutnya dari perjuangannya untuk menyeret Sangkal Putung ke dalam kubunya untuk menghadapi Mataram.
Nampaknya memang mustahil. Tetapi Ki Saba Lintang dan Ki Ambara akan mencobanya.
" Kita akan mematahkan kemustahilan itu, Ki Ambara berkata Ki Saba Lintang " aku yakin akan kecerdasan Wiyati. Ia tentu akan berbasil. "
Ki Ambara menarik nafas dalam dalam. Katanya " Kita berharap saja. "
" Aku yakin paman " desis Ki Saba Lintang. Sebenarnyalah, ketika Swandaru datang lagi berkunjung ke rumah Ki Ambara, Wiyati mulai mengambil ancang-ancang. Wiyati tidak mulai dengan menghembuskan persoalan yang harus disampaikannya dengan hati-hati kepada Swandaru. Tetapi Wiyati mulai dengan mempererat jeratannya terhadap Swandaru. Dengan mengorbankan apa saja yang dimilikinya, Wiyati bertekad untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnyalah bahwa Swandaru benar-benar telah terbelenggu oleh kecantikan kelembutan dan kehangatan Wiyati yang dianggapnya sebagai cucu Ki Ambara.
Namun Wiyati benar-benar cerdik. Meskipun ia telah berhasil membelenggu Swandaru sehingga tidak mampu mengelak lagi, tetapi Wiyati tidak pernah mempersoalkan kehadiran Pandan Wangi di sisi Swandaru. Wiyati tidak pernah mengungkit keluarga Swandaru di Sangkal Puiung. Jika sekali-sekali Wiyati menyebut nama Pandan Wangi, justru ia sedang menanyakan keselamatannya.
Dengan demikian, maka Swandaru merasa semakin terikat oleh perempuan itu.
Ancang-ancang itulah yang sedang dilakukan oleh Wiyati untuk memasuki tugasnya yang lebih berat.
" Kami menggantungkan harapan kami kepadamu. Wiyati " berkata Ki Ambara.
" Ya. kek. " jawab Wiyati dengan penuh keyakinan. Katanya kemudian " Apapun yang aku katakan sedang, Ki Swandaru tentu mengiakannya. Meskipun demikian, aku memang tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. "
" Kau henar, Wiyati. Lakukan apa yang kau anggap baik untuk kau lakukan. Kita memang tidak tergesa-gesa. Mataram sekarang baru dalam keadaan tenang. Jika gerakan kita sedikit saja nampak dipermukaan. maka dengan cepat kita akan dilindas. " berkata Ki Ambara.
" Ya, kek - " Seterusnya aku harap Ki Saba Lintang juga mengendalikan orang-orangnya. Kita harus bersabar, agar kita tidak justru kehilangan kesempatan. "
" Aku dapat memastikan, bahwa orang-orang tidak akan ada yang bergerak, paman. Kami yakin bahwa kami akan dapat mengendalikan diri. "
Sebenarnyalah, bahwa Mataram benar.-benar dalam keadaan tenang. Tidak ada gejolak yang mengeruhkan suasana. Seakan-akan angin-pun akan memperlambat lajunya jika bertiup di udara Mataram yang tenang.
Namun para pemimpin di Mataram ternyata justru menjadi gelisah. Sikap Panembahan Senapati padu saat-saat terakhir menjadi agak berubah. Panembahan Senapati menjadi lebih banyak menyendiri.
Kadang-kadang Panembahan Senapati duduk di serambi samping sambil merenung sendiri. Ki Patih Mandaraka pun menjadi heran melihat sikap Panembahan Senapati itu.
Setelah berhari-hari sikap Panembahan Senapati tidak berubah, maka Ki Patih Mandaraka pun memberanikan diri untuk menghadap.
" Angger Panembahan " berkata Ki Patih Mandaraka dengan hati-hati " pada saat-saat terakhir, aku melihat perubahan terjadi pada angger Panembahan. "
Panembahan Senapati memandang Ki Patih dengan kerut di dahi. Dengan nada dalam. Panembahan itu justru bertanya " Apa yang berubah, paman " "
" Panembahan menjadi pendiam. Sering menyendiri dan merenung untuk waktu yang lama. "
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Apakah benar begitu, paman, bukankah sikapku selama ini tidak berubah "
" Tetapi kami yang memperhatikan .Sikap Panembahan, nampaknya Panembahan memang berubah. "
Panembahan Senapati menggelengkan kepalanya. Katanya Tidak ada apa-apa, paman. Aku tidak apa-apa."
" Sukurlah, Panembahan. Tetapi menurut penglihatan kami. perubahan itu telah terjadi. "
Panembahan Senapati tertawa. Katanya " Tidak. Tidak ada apa-apa paman. Mungkin aku hanya lelah saja, sehingga kau merasa perlu beristirahat. "
" Mungkin Panembahan. Tetapi justru Mataram sekarang dalam keadaan tenang, angger merasa lelah. "
" Bukankah itu wajar, paman. Ketika kita bekerja keras, kadang-kadang kita lupa. bahwa tubuh kita merasa letih. Tetapi setelah kerja selesai, barulah kita merasakan, betapa letihnya tulang-tulang kita "
" Ya Panembahan. "
" Tetapi aku mengucapkan tenmakasih atas perhatian paman. Mungkin ada sesuatu yang pada suatu saat ingin aku sampaikan kepada paman dan keluarga istana Mataram. "
" Jika Panembahan ingin menjatuhkan perintah, aku menunggu.
" Aku akan mengatakan pada saatnya, paman. Aku harap paman tidak risau. Tidak ada masalah apa-apa yang rumit. "
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, tentu ada sesuatu yang direnungkannya. Tetapi masih belum waktunya disampaikan kepada orang lain. Juga kepada Ki Patih Mandaraka.
Tapi Ki Patih Mandaraku tidak dapat mendesak, la hanya dapat menunggu, bahwa pada suatu saat. Panembahan Senapati itu akan menjatuhkan perintah kepadanya.
Namun semakin lama Panembahan Senapati nampak semakin murung. Bahkan kadang kadang Panembahan Senapati itu nampak pucat dan muram.
Ki Patih tidak dapat berdiam diri dan sekedar menunggu. Sementara Panembahan Senapati tidak juga memberikan perintah apa-apa.
Ki Patih menjadi semakin cemas ketika setiap kali Panembahan Senapati memanggil putera puteranya. Diajaknya berbincang tentang kehidupan mereka sehari-hari. Sama sekali berbeda dengan sikap dan kebiasaan Panembahan Senapati sebelumnya yang hampir setiap kejap, mencurahkan perhatiannya bagi kebesaran Mataram.
Bukan hanya Ki Patih Mandaraka yang menjadi cemas melihat keadaan Panembahan Senapati. Tetapi putra-putranya, adik-adiknya dan kerabat keraton yang lain.
" Panembahan " berkata Ki Patih Mandaraka ketika ia mendapat kesempatan untuk menghadap.
Sebelum Ki Patih melanjutkan pembicaraannya, Panembahan Senapati itupun berkata " Apakah paman masih mencemaskan keadaanku ?"
" Aku mohon maaf, ngger. Mungkin karena aku sudah menjadi semakin tua. Aku menjadi mudah cemas. Mungkin karena aku tidak mengerti atau tidak tanggap terhadap sikap Panembahan karena aku sudah menjadi pikun."
" Tidak. Paman tidak usah mencemaskan aku. Aku tidak apa-apa."
Ki Patih Mandaraka itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya " Panembahan. Apakah Panembahan menjadi risau, bahwa masih ada beberapa daerah di Timur yang belum bersedia menyatukan diri dengan Mataram ?"
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Seperti aku katakan, paman. Aku sudah letih. Aku ingin beristirahat untuk waktu yang panjang sekali."
" Panembahan " Panembahan Senapati masih saja tersenyum. Katanya " Apalagi memang belum saatnya aku bergerak ke Timur. Biarlah kelak cucuku yang akan menyatukan tanah ini dari lautan sampai lautan."
Ki Patih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun akhirnya Panembahan Senapati itupun berkata " Paman. Bukankah sudah saatnya aku menunjuk salah seorang puteraku untuk menjadi Pangeran Pati ?"
Ki Patih Mandaraka lermangu-mangu sejenak. Jantungnya terasa berdebar semakin cepat. Namun Ki Patih tidak bertanya sesuatu. Ia hanya menunggu titah Panembahan Senapati selanjutnya.
" Paman. Aku ingin berbicara dengan Paman Mandaraka dan adi-mas Mangkubumi. Aku minta paman dan adimas Mangkubumi bersedia datang nanti setelah senja"
" Apakah Panembahan akan bertitah tentang Pangeran Pati ?"
" Ya. Bukankah harus ada seseorang yang disiapkan untuk menggantikan aku jika aku sampai pada saatnya dipanggil oleh Yang Malia Agung.'"
Keringat dingin mulai membasahi punggung Ki Patih Mandaraka. la benar-benar mencemaskan keadaan Panembahan Senapati. Ia yakin kalau Panembahan sedang menderita sakit. Tetapi Panembahan Senapati berusaha untuk menyembunyikannya
" Baiklah Panembahan " berkata Ki Patih Mandaraka " aku akan menghadap setelah senja bersama Pangeran Mangkubumi."
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Aku akan menunggu, paman."
Ki Patih Mandarakapun kemudian telah mohon diri. Tetapi Ki Patih tidak langsung pulang ke kepatihan. Tetapi Ki Patih langsung pergi menemui Pangeran Mangkubumi.
" Ada apa paman ?"- bertanya Pangeran Mangkubumi yang melihat wajah Ki Patih yang muram.
" Apakah Pangeran memperhatikan keadaan Panembahan Senapati pada saat-saat terakhir ?"
" Ya. paman. Aku memang memperhatikannya. Tetapi aku tidak berani menanyakannya."
" Aku sudah mencobanya, Pangeran. Aku memberanikan diri untuk bertanya, apa yang sebenarnya merisaukan hati Panembahan. Aku sudah bertanya, apakah Panembahan masih merasa risau karena beberapa daerah di Timur masih belum dapat dipersatukan dengan Mataram. Tetapi ternyata bukan karena itu. Bahkan Panembahan menyalakan, bahwa Panembahan sedang letih."
Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya " Jadi apa yang menyebabkannya menurut paman ?"
"Pangeran. Panembahan Senapati memerintahkan Pangeran untuk menghadap setelah senja."
" Aku sendiri ?"
Ki Patih Mandaraka itupun menggeleng. Katanya " Tidak, ngger Panembahan Senapati memerintahkan aku menyertai angger menghadap Panembahan Senapati setelah senja."
Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah paman. Nanti aku menunggu paman di sini. Kita menghadap bersama-sama."
Ki Patih Mandaraka mengangguk. Katanya kemudian " Sekarang, aku mohon diri. Pangeran."
Demikianlah maka Ki Patih Mandaraka pun meninggalkan ke pangeranan, kembali ke kepatihan.
Namun Ki Patih Mandaraka tidak pernah dapat menyisihkan kegelisahannya menanggapi sikap Panembahan Senapati yang tidak dapat dimengertinya.
Seperti yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka lewat senja, Ki Patih Mandaraka telah berada di rumah Pangeran Mangkubumi. Merekapun kemudian bersama-sama pergi ke istana, menghadap Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah bahwa Panembahan Senapati memang sudah menunggu. Karena itu. maka demikian keduanya datang, merekapun langsung diterimanya.
Panembahan Senapati memang nampak lelih dan pucat. Tetapi senyumnya masih saja nampak di bibirnya.
" Silakan, paman. Silakan adimas Mangkubumi." Keduanya kemudian duduk berdiam diri. Mereka menunggu titah dari Panembahan Senapati.
" Paman dan adimas Mangkubumi " berkata Panembahan Senapati kemudian " seperti yang sudah aku katakan, sudah waktunya sekarang bagiku untuk menetapkan salah seorang puteraku untuk dipersiapkan menggantikan aku. jika aku harus menghadap Yang Maha Agung."
" Ya, kakangmas Panembahan " Pangeran Mangkubumi itu mengangguk dalam-dalam.
" Karena itu, aku berniat mewisuda salah seorang puteraku menjadi Pangeran Pati. Dengan demikian, ia sudah dibebani tanggung-jawab untuk mempersiapkan dirinya menduduki tahta di masa depan."
" Aku sependapat bahwa kakangmas sebaiknya mempersiapkan salah seorang putera kakangmas Panembahan untuk pada saatnya akan menerima warisan tahta Mataram Tetapi apakah kakangmas Panembahan menganggap bahwa hal itu harus segera dilakukan" Apakah tidak sebaiknya kakangmas mengamati putera putera kakangmas dengan saksama, sehingga kakangmas tidak akan menyesal karena kakangmas salah memilih di antara mereka"
" Waktuku tidak banyak lagi!" jawab Panembahan Senapati Namun agaknya Panembahan Senapati itu sendiri terkejut mendengar jawabnya. Dengan serta merta iapun berkata Maksudku, aku sudah cukup lama mengamati mereka. Kecuali tingkah lakunya juga sikapnya. Aku sudah berbicara dengan mereka seorang-seorang. Apalagi paman Patih dan adimas Mangkubumi agaknya sudah mengetahui dengan pasti,. siapakah orangnya yang akan aku tetapkan menjadi Pangeran Pati serta mewisudanya. -
Ki Patih dan Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Mereka memang sudah mengetahui, siapakah yang akan diwisuda karena selama ini salah seorang pulera Panembahan Senapati sudah sering disebut bakal menggantikan kedudukannya.
" Tidak akan mengejutkan siapa-siapa, paman. Tidak akan ada keresahan adimas " berkata Panembahan Senapati selanjutnya " aku hanya ingin semuanya menjadi pasti."
Ki Patih Mandaraka mengangguk samhil berkata " Jika Panembahan sudah yakin, maka terserah kepada kebijaksanaan Panembahan Senapati."
" Paman serta adimas Mangkubumi. Kalianlah yang kelak akan mewisuda Pangeran Pati itu saat mewarisi tahta Mataram."
" Kakangmas." Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Aku akan mewisuda Jolang yang sudah aku tetapkan bergelar Adipati Anom itu untuk menjadi Pangeran Pati. Bukankah tidak akan mengejutkan siapa-siapa " Bukankah setiap orang sudah mengetahui akan hal itu" Meskipun pada saat-saat terakhir aku memang tidak menemukan orang lain."
Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi mengangguk dalam-dalam. Mereka memang tidak terkejut, karena pada hakikatnya Pangeran Jolang memang sudah dipersiapkan. Tetapi bahwa tiba-tiba saja dalam keadaan yang letih dan lemah. Panembahan Senapati ingin dengan resmi mewisuda Pangeran Jolang yang lebih dahulu sudah bergelar Pangeran Adipati Anom menjadi Pangeran Pati.
Dengan demikian, rasa-rasanya memang begitu tiba-tiba dan terasa sangat mendesak dan tergesa-gesa. Bahkan seandainya Panembahan Senapati tidak mewisuda Pangeran Jolang, maka kedudukannyapun sudah hampir pasti pula.
" Ada apa sebenarnya dengan Panembahan Senapati " - pertanyaan itu telah mencuat di hati Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi.
Dengan hati-hati Ki Patih Mandaraka memberanikan diri bertanya " Panembahan, mohon ampun, bahwa keputusan Panembahan terasa agak tergesa-gesa."
Panembahan Senapati mengerutkan dahinya. Wajahnya yang pucat itu nampak menegang. Namun kemudian Panembahan Senapati itu tersenyum lagi sambil berkata " Apakah ada kesan tergesa-gesa " Sudah aku katakan, bahwa aku sudah memikirkannya sejak lama."
-- Benar Panembahan. Tetapi selama ini Panembahan tidak pernah bertitah tentang wisuda itu. Tiba-tiba saja Panembahan ingin menetapkan dan mewisuda wayah Pangeran Adipati Anom.--
Panembahan Senopatipun tidak segera menjawab. Tatapan matanya seakan-akan menerawang ketempat yang sangat jauh.
-- Paman " suaranya merendah " sudah aku katakan, aku sangat letih. Biarlah ada orang yang menggantikan tugasku.--
Sementara itu dengan serta-merta Pangeran Mangkubumipun menyela " Apakah maksud kakangmas Panembahan " --
Hampir tidak terdengan Panembahan Senopatipun menjawab.
Kalian akan segera mengetahuinya. Karena itu, aku minta paman mandaraka segera menyiapkannya.--
Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi saling berpandangan sejenak. Namun wajah merekapun membayangkan kecemasan yang mencekam.
-- Paman. Aku tidak minta diselenggarakan upacara-upacara besar Aku hanya ingin kepastian, bahwa Jolang akan menggantikan kedudukanku tanpa ada hambatan apapun kelak.--
-- Baiklah Panembahan.-- -- Upacara itu dapat diselenggarakan secara sederhana tetapi meyakinkanku.--
-- Baik, Panembahan.-- -- Aku minta paman Mandaraka dan adimas Mangkubumi segera mempersiapkannya. Dalam waktu tiga hari mendatang, Pangeran Jolang akan diwisuda di paseban agung.--
-- Tiga hari mendatang" " Ki Patih Mandaraka terkejut. Sementara Pangeran Mangkubumipun berdesis " Waktunya begitu dekat, kakangmas" --
-- Ya, Bukankah paman Mandaraka dan adima Mangkubumi itu tahu bahwa aku selalu akan menjalankan segala rencana secepatnya. Jangan menunda-nunda pekerjaan yang dapat segera kita lakukan.--
-- Ya, Panembahan " sahut Ki Patih Mandaraka.
-- Nah, paman Mandaraka dan adimas Mangkubumi. Terima kasih atas kesediaan kalian.--
Panembahan Senopati meneruskan kalimatnya dengan sendat.
Tiba-tiba saja wajahnya menjadi sangat pucat. Ditekannya dadanya dengan telapak tangan kanannya sambil memejamkan matanya.
-- Kakangmas Panembahan, kakangmas " Pangeran Mangkubumi dengan cepat menggeser mendekat.
Sambil berlutut dihadapannya. Pangeran Mangkubumi memegangi kedua kaki Panembahan Senopati sambil mengguncangnya. Kecemasan yang sangat telah mencengkam dadanya.
Ki Patih Mandarakapun menjadi sangat gelisah pula. Iapun bergeser mendekat. Namun Panembahan Senopati kemudian membuka matanya sambil berdesis " Aku tidak apa-apa. Adimas jangan terlalu cemas. Aku tidak apa-apa."
-- Tetapi kangmas nampak sangat pucat. Nampaknya sesuatu telah terjadi pada dada kangmas. --
Panembahan Senopati menarik nafas dalam-dalam.
-- Apakah kangmas sudah memanggil tabib istana"
Panembahan Senopati mengangguk. Katanya " Mereka sudah datang. Setiap saat seorang diantara mereka menunggui aku. Sekarangpun ada seorang tabib taua dan tiga tabib muda yang berada diistana ini.
-- Apakah tabib itu perlu dipanggil sekarang"
-- Tidak. Tidak perlu. Aku sudah tidak apa-apa.--
-- Tetapi sebaiknya kakangmas beristirahat. Bahkan ditunggui oleh tabib itu di dalam bilik kakangmas.--
Panembahan Senopati menatik nafas dalam-dalam. Katanya " Adimas tolong bawa aku ke dalam bilikku. --
Pangeran Mangkubumipun kemudian membantu Panembahan Senopati yang berjalan kedalam biliknya, sementara itu Ki Patih Mandaraka telah memerintahkan seorang pelayan dalam untuk memanggil tabib istana yang sedang bertugas di istana itu.
Tabib istana itupun masuk ke dalam bilik Panembahan Senopati setelah Panembahan itu berbaring disebuah pembaringan kayu berukiran sangat rumit, diikuti oleh Ki Patih Mandaraka.
Di tangani oleh tabib istana itu, keadaan Panembahan Senopati nampaknya segera menjadi baik. Kepada Pangeran Mangkubumi dan Ki Patih Mandaraka, Panembahan Senopati itupun berkata " Kalian boleh
xxxxxxxhalaman 34xxxxxxxxxx
Maaf terpotong , Halaman 34 -35 tidak ada di file djvu sumber adbm.
mengambil kesimpulan bahwa sepantasnya Sangkal Putung mendapat kekancingan sebagai Tanah Perdikan.
Tetapi Wiyati benar-benar seorang perempuan yang cerdik. Jika berbagai pertanyaan mulai bergejolak di jantung Swandaru maka semuanya itu akan segeia lenyap jika Wiyati kemudian menyeretnya kedalam biliknya.
Dengan demikian, perlahan-lahan gagasan tentang Tanah Perdikan itu mulai menyusup di hati Swandaru. Kenapa kademangan Sangkal Putung yang besar itu tidak ditetapkan menjadi Tanah Perdikan dengan hak-haknya yang lebih besar untuk menentukan langkah dan sikapnya sendiri.
Tetapi Swandaru tidak dapat dengan serta-merta menelan gagasan itu. Banyak sekali pertimbangan pertimbangan yang akan ikut menentukan.
Namun Wiyati juga tidak pernah mendesak Swandaru untuk segera mengambil sikap. Kemudian seakan-akan melupakannya.
Tetapi dikesempatan itu. Wiyati itupun berkata" Kakang. Aku tahu bahwa jika Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan. maka Tanah Perdikan itu akan diperintah oleh Ki Gede Swandaru dan Nyi Gede Pandan Wangi. Aku tidak akan pernah merasa iri. Aku akan ikut merasa bahagia. Apalagi jika kakang Swandaru tidak melupakan aku, meskipun seandainya aku harus tetap tinggal disini. di rumah kakek.-"
" Kau mulai merajuk. Wiyati.
" Merajuk" Apakah aku pernah merajuk" 'Tidak kakang. Dadaku terbuka. Apa yang aku katakan, adalah apa yang aku pikirkan. Jika aku berkata ikhlas, maka ikhlas lahir dan hatin.
Swandaru menarik nafas dalam dalam. Sementara Wiyatipun berkata " Kakang, jika aku tidak ikhlas, maka aku tentu mempersoalkan kedudukan mbokayu Pandan Wangi sejak sekarang. Tetapi jika aku melakukannya, maka aku adalah perempuan yang paling terkutuk didunia ini. Aku mencari kebahagiaan dengan merampas kebahagiaan orang lain. Karena itu, kakang Swandaru, aku justru berharap. Bahwa hubungan kakang Swandaru dengan mbokayu Pandan Wangi tetap baik. Biarlah mbokayu Pandan Wangi tetap merasa bahagia hidup disamping kakang Swandaru. Sementara itu, akupun mendapatkan kebahagiaanku dengan keadaan ini. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dimata Swandaru, Wiyati adalah perempuan yang sangat bijaksana, la memberikan apa saja yang ia miliki kepada Swandaru tanpa terlalu banyak menuntut. Bahkan dengan sadar ia tetap membiarkan Pandan Wangi memiliki kebahagiaannya sendiri.
Namun dengan demikian. Swandaru justru merasa semakin terikat kepada Wiyati. Seorang perempuan muda, cantik dan bijaksana.
Karena itu, maka gagasan untuk menjadikan kademangan Sangkal Putung itu menjadi Tanah Perdikan menjadi semakin tertanam di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Swandaru tidak kehilangan nalarnya. Memang ada dua kemungkinan jika ia mengajukan permohonan untuk menjadikan Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan. Diterima atau ditolak.' Masing-masing mempunyai akibat jiwani sendiri-sendiri baginya dan bagi rakyat Sangkal Putung.
Ternyata gagasan itu mulai merasuk ke dalam jantung Swandaru. Pada satu kesempatan, Swandaru itupun bertanya kepada Ki Demang " Ayah. Apakah syaratnya bagi satu wilayah untuk ditetapkan sebagai Tanah.Perdikan" "
" Apa maksudmu, Swandaru. "
"Tidak ada maksud apa-apa ayah. Aku hanya ingin tahui, kenapa Menoreh itu diakui sebagai Tanah Perdikan. sedangkan yang lain sebuah kademangan. "
" Memang ada bermacam-macam tataran pemerintahan, Swandaru. Pada umumnya, satu daerah dinyatakan menjadi Tanah Perdikan, jika daerah itu mempunyai arti yang sangat tinggi bagi satu negara. Tetapi penilaian itu tergantung kepada raja serta para pemimpin pemerintahan."
"Apakah satu daerah dapat mengajukan permohonan untuk mendapat penilaian apakah daerah itu pantas ditetapkan menjadi Tanah Perdikan atau tidak" "
" Tidak perlu, Swandaru. Satu lingkungan tidak perlu mengajukan permohonan untuk ditetapkan menjadi satu Tanah Perdikan. Jika raja dan para pemimpin pemerintahan menganggap pantas, maka lingkungan itu akan ditetapkan menjadi satu Tanah Perdikan dengan surat kekancingan dan kadang-kadang disertai dengan sebuah prasasti-
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ayahnya yang memiliki pengalaman yang luas dan pengenalan yang mendalam terhadap anaknya itupun bertanya " Swandaru, apakah kau bermimpi kademangan Sangkal Putung ini menjadi sebuah Tanah Perdikan" "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan pandangan matanya menerawang ke tempat yang sangat jauh. "
" Swandaru " berkata ayahnya " sebaiknya singkirkan impianmu itu dari kepalamu. Mungkin kau merasa bahwa Sangkal Putung adalah satu kademangan yang jauh lebih besar dari kademangan-kademangan lain disekitamya. Mungkin kau merasa bahwa Sangkal Putung telah memberikan jasa yang sangat besar kepada Mataram. Tetapi apa yang pernah dilakukan oleh rakyat Sangkal Putung itu masih terlalu kecil artinya bagi Mataram. "
Swandaru mengerutkan dahinya Namun Swandaru tidak bertanya lagi kepada ayahnya -
Tetapi ketika hatinya tergelitik lagi oleh desah nafas Wiyati yang berbisik di telinga tentang Tanah Perdikan, Swandarupun bertanya lagi kepada ayahnya. Ketika ayahnya memberikan jawaban yang sama, maka Swandaru mulai menguraikan jasa yang pernah diberikan oleh Sangkal Putung kepada Mataram sejak Panembahan Senapati bangku dan kemudian memegang kekuasaan di Mataram yang semakin lama menjadi semakin besar."
" Kakang Untara telah diangkat menjadi Tumenggung. Kakang Agung Scdayu kini menjadi seorang Lurah Prajurit yang memimpin prajurit dari pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Lalu, apakah Panembahan Senapati tidak menghitung jasa yang pernah aku berikan kepada Mataram?"
" Yang kau berikan tidak jauh berbeda dengan beberapa kademangan lain. Maksudku beberapa kademangan besar yang memiliki kelebihan. Memang mungkin nama kademangan itu jarang kita dengar. Tetapi kademangan Ganjurpun merupakan kademangan yang besar yang mempunyai jasa yang tidak kalah berarti dari Sangkal Putung. "
" Yang berada di Ganjur adalah pasukan Mataram sebagaimana pasukan kakang Untara di Jati Anom. Mataram tentu tidak akan memperhitungkan kademangan Jati Anom sebagai sebuah kademangan besar yang banyak berjasa bagi Mataram, karena yang bergerak dari Jati Anom adalah pasukan Mataram itu sendiri. -
" Tidak. Kau harus membedakan pasukan Mataram yang ada di Ganjur dengan pasukan pengawal kademangan Ganjur. Pengaruh kehadiran para prajurit itu memang ada. Tetapi bukan prajurit Mataram itu sendiri. "
Swandaru mengerutkan dahinya. Sementara Ki Demang berkata selanjutnya. Seperti saat pasukan Ki Widura ada di sini. Bukankah dibedakan antara pasukan Pajang dihawah pimpinan Ki Widura dengan pasukan pengawal kademangan Sangkal Putung"
" Jadi menurut ayah, jasa kademangan Ganjur tidak kalah besarnya dari jasa kademangan Sangkal Putung"
Ya. Bahkan juga kademangan kademangan di Gunung Kidul
Swandaru menarik nafas dalam dalam.
Sudahlah Swandaru Kita lebih baik tidak berkhayal tentang sebuah Tanah Perdikan. Jika kita sendiri yang memohon, kita akan dapat ditertawakan. Tentu bukan para pemimpin Mataram yang mentertawakan, tetapi beberapa kademangan lain yang mendengarnya. Karena bukan hanya Sangkal Putung yang telah memberikan arti yang sangat tinggi bagi Mataram. Dengan demikian, jika Sangkal Putung akan diberi hak dan wewenang sebagai Tanah Perdikan, maka adilnya, akan bermunculan beberapa puluh Tanah Perdikan di sekitar Mataram. "
Swandaru mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan ayahnya Karena itu, maka Swandaru tidak mendesak lebih jauh lagi.
Tetapi ketika Swandaru memberikan jawaban yang sama kepada Wiyati pada kesempatan lain. ketika Wiyati menyebut-nyebut lagi tentang Tanah Perdikan, maka Wiyati itu tersenyum. Katanya"Aku sudah menduga kakang Swandaru seorang yang rendah hati. Aku sadar bahwa perjuangan kakang Swandaru selama ini dilakukan dengan hati yang bersih. Perjuangan yang merupakan pengabdian murni tanpa pamrih "
Wiyati berhenti sejenak. Lalu " Sebaiknya memang demikian kakang Swandaru. Dengan demikian nama kakang Swandaru akan tetap menjadi kembang lambe di antara para pemimpin di Mataram. "
" Bukan begitu. Wiyati. Tetapi apa yang aku lakukan memang belum berarti apa-apa. "
Bagi kakang Swandaru memang demikian. Bagi orang-orang yang rendah hati, yang menyerahkan diri pada pengabdian murni. "
" Mungkin sebutan itu berlebihan. Tetapi sudahlah, aku memang tidak berkhayal bahwa Sangkal Putung akan menjadi sebuah Tanah Perdikan. "
" Kakang " berkata Wiyati " dari satu sisi. aku sangat mendukung sikap kakang Swandaru yang rendah hati serta berjuang tanpa pamrih. Tetapi bukankah kakang Swandaru mempunyai anak laki-laki" Bukankah orang-orang Sangkal Putung yang pernah memberikan pengorbanan terbesar bagi Mataram juga mempunyai anak atau adik atau keluarga yang lain" Nah, bagi mereka itulah Sangkal Putung di hari mendatang. Jika kedudukan Sangkal Putung meningkat dan kademangan menjadi Tanah Perdikan. maka merekalah yang merasakan hasil perjuangan serta pengorbanan orangtua dan sanak kadang mereka Bukankah itu sama sekali tidak berlebihan" "
Swandaru menarik nafas dalam dalam. Namun Swandaru itupun menggelengkan kepalanya sambil berkata " Kami akan menanamkan pengertian kepada anak-anak kami, kepada sanak kadang kami dan kepada orang orang Sangkal Putung, bahwa yang kami lakukan, juga dilakukan oleh semua orang di Mataram. "
Wiyati tersenyum. Katanya " Aku sangat terharu akan keluhuran budi kakang Swandaru. Perjuangan yang bersih dan ikhlas itu merupakan persembahan yang sangat berharga bagi Mataram. Sikap itu justru merupakan salah satu nilai yang sangat berharga yang tentu dipertimbangkan bagi Mataram untuk menentukan sebuah Tanah Perdikan. "
Swandaru mengerutkan dahinya. Wiyati itu ternyata terlampau pandai bagi seorang perempuan yang hidup dalam lapisan orang kebanyakan, cucu seorang pedagang kuda.
Namun Swandaru tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lebih jauh. Pada saat ia mulai merenungi kelebihan Wiyati. maka Wiyati sudah membenamkan Swandaru ke dalam mimpi yang lain. Bukan mimpi tentang Tanah Perdikan
Meskipun Swandaru tidak mengiakan pendapat Wiyati, namun pendapat itu tetap saja menggelitiknya. Bahkan di luar sadar. Swandaru pernah berbicara dengan seorang bebahu yang sudah setua ayahnya tentang sebuah Tanah Perdikan.
Tanggapan bebagu itu mengejutkan Swandaru. Katanya dengan mata berapi-api -- Gagasan yang bagus sekali, ngger. "
-- Hanya sebuah mimpi saja paman
-Bukan hanya sebuah mimpi, ngger. Kita memang harus mempunyai gegayuhan. Gegayuhan itu tidak akan datang sendiri jika tidak kita perjuangkan. -
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak memperbincangkan lebih lanjut.
Tetapi pada kesempatan lain. Justru orang itulah yang bertanya kepada Swandaru " Bagaimana, ngger" Apakah angger sudah memikirkan lanjutan dan gegayuhan yang pernah angger katakan" "
-Tentang apa. paman"-
-Tentang Tanah Perdikan- " Ah - terasa getar yang tajam di dada Swandaru. Namun Swandaru masih berusaha untuk mempergunakan penalarannya yang bening.
" Kapan kita dapat berbicara dengan sungguh-sungguh" "
" Lupakan saja paman "
Bebahu itu mengerutkan dahinya. Dengan nada heran iapun bertanya " Kenapa kita harus melupakan gagasan yang cemerlang itu" Jika saja Sangkal Putung dapat menjadi sebuah Tanah Perdikan, maka kita akan dapat mengatur rumah tangga kita sendiri. Kademangan ini akan menjadi semakin besar dan semakin sejahtera. Pajak yang kita pungut akan dapat kita pergunakan sesuai dengan kepentingan kita Upeti yang harus kita serahkan kepada Mataram pun menjadi jauh lebih kecil. Bahkan hanya sekedar pertanda. bahwa kita adalah bagian dari Mataram. "
" Tetapi ayah tidak sependapat, Paman. "
" Ki Demang" "
"Ya " " Kenapa" "
" Banyak sekali pertimbangannya " jawab Swandaru. Iapun ke mudian menguraikan keberatan-keberatan Ki Demang untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan.
" Umurku juga sudah setua Ki Demang. Akupun sudah menjadi semakin berhati-haii untuk mengambil langkah. Tetapi ternyata Ki Demang masih lebih hati-hati lagi. "
" Tetapi bagaimana menurut pendapat Paman" Apakah Ganjur dan bahkan beberapa kademangan di Gunung Kidul dan di beberapa tempat yang lain juga berjasa seperti Sangkal Putung terhadap Mataram sehingga jika Sangkal Putung menuntut dan kemudian dipenuhi menjadi sebuah Tanah Perdikan. beberapa kademangan yang lainpun untuk adilnya, juga ditetapkan menjadi Tanah Perdikan sebagaimana Sangkal Putung" "
Bebahu itu tercenung sejenak. Iapun sudah mendengar, bahwa. Ganjur dan beberapa kademangan yang lain. juga melibatkan diri dalam perjuangan yang panjang mempersatukan daerah di Timur dan pesisir Utara dengan Mataram.
" Bukankah benar begitu, Paman" " bertanya Swandaru.
" Angger tentu juga sudah mendengar. Tetapi menurut pendapatku, Sangkal Putung tetap memiliki beberapa kelebihan. Selain itu bukankah angger Agung Sedayu yang berada di Tanah Perdikan Menoreh mempunyai hubungan yang agak dekat dengan Ki Patih Mandaraka dan bahkan Penembahan Senapati sendiri" "
" Maksud Paman" "
" Mungkin angger Agung Sedayu akan dapat menyampaikan keinginan rakyat Sangkal Putung ini kepada Panembahan Senapati atau setidak-tidaknya kepada Ki Patih Mandaraka. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu bebahu itupun berkata " Sementara itu. Nyai Pandan Wangi dapat memohon dukungan kepada ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh. "
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata " Sudahlah, Paman. Jika ayah tidak menyetujui, maka apa yang dapat kita lakukan" "
Bebahu itu TERDIAM. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia menjadi kecewa.
Dalam pada itu. segera tersiar berita di seluruh Mataram, bahwa Panembahan Senapati telah menetapkan seorang Pangeran Pati. Meskipun bukan putera laki-laki tertua, tetapi semua orang memang sudah menduga, bahwa Pangeran Jolang akan ditetapkan menggantikan kedudukan ayahandanya
Namun berita itupun diiringi berita yang lain, yang lebih lirih kedengarannya dan penuh keragu-raguan. bahwa Panembahan Senapati sedang sakit.
Sebenarnyalah bahwa berita itu hanya sekedar memantapkan kedudukan Pangeran Adipati Anom yang memang sudah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan Panembahan Senapati
Meskipun demikian, wisuda itu telap berkesan tergesa-gesa. Apalagi wisuda itu diselenggarakan dengan sederhana, tanpa upacara yang khusus.
Peristiwa itu memperkuat desas desus bahwa Panembahan Senapati memang sedang sakit.
Dalam upacara yang sederhana itu. Ki Giede Menoreh berkesempatan untuk hadir. Demikian pula secara khusus telah diundang pula Ki Lurah Agung Sedayu, sedang Untara sebagai seorang Tumcnggungpun hadir pula dalam wisuda itu.
Namun demikian upacara selesai. Agung Sedayu tidak kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Gede. Tetapi Agung Sedayu masih tinggal di Mataram untuk menemui Ki Patih Mandaraka. karena Ki Patih telah berpesan kepada seorang prajurit untuk disampaikan kepada Agung Sedayu, agar sebelum ia kembali ke Tanah Perdikan, ia menyempatkan diri untuk singgah di ke Patihan.
Ternyata Ki Patihpun telah berpesan kepada para prajurit yang bertugas, untuk menerima dan membawa Agung Sedayu langsung menemuinya.
Karena itu, maka demikian Agung Sedayu datang ke kepatihan bersama dua orang prajurit dari pasukan khusus, segera dipersilahkan masuk ke serambi samping, sementara itu, kedua prajurit yang menyertainya, dipersilahkan menunggu di tempat para prajurit bertugas.
Beberapa saat lamanya. Agung Sedayu duduk menunggu di serambi. Namun Ki Patihpun segera keluar dari ruang dalam untuk menemuinya.
" Aku senang kau dapat singgah. Ki Lurah " berkata Ki Patih sambil duduk menemui Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam sambil berdesis " Apakah ada perintah yang harus aku lakukan, Ki Patih "
Ki Patih tersenyum. Katanya " Ki Lurah. Sebenarnya aku mengemban perintah Panembahan Senapati. Dalam saat-saat terakhir. Panembahan Senapati banyak mengenang masa-masa lampaunya. Sekali-sekali Panembahan Senapati merenung sendiri untuk beberapa lama. Panembahan Senapati tidak mau di temani oleh siapapun juga. Bahkan putera-puteranya. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
" Dalam keadaan yang demikian. Panembahan Senapati terbenam dalam kenangannya atas masa lampaunya. Masa mudanya. Masa-masa Panembahan Senapati mengembara. "
Ki Lurah mengangguk-angguk.
" Dalam keadaan yang demikian, Panembahan Senapati kadang-kadang teringat kepadamu, Ki Lurah. Meskipun sebenarnya, kau pernah bersama-sama Panembahan Senapati mengembara, menjalani laku yang berat "
" Ya, Ki Patih. Meskipun yang aku jalani dan yang aku capai kemudian, tidak ada sekuku ireng dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh Kangjeng Panembahan Senapati. "
" Soalnya bukan itu, Ki Lurah. Dalam kenangan masa lampaunya, nampaknya kau hadir didalamnya. Panembahan Senapati berpesan kepadaku, agar kau dapat hadir di Mataram pada saat ini. Karena itu, kau menjadi salah seorang diantara Lurah prajurit yang sedikit sekali jumlahnya, yang diminta dalang pada saat wisuda itu. "
" Aku sangat berterima-kasih atas kesempatan ini. "
" Bukan hanya itu, Ki Lurah. Malam nanti, kau diperintahkan untuk menghadap secara khusus. Aku akan mengantarkanmu ke istananya. Ki Lurah."
Jantung Agung Sedayu terasa berdegup semakin keras, la merasa mendapat kehormatan untuk diperkenankan menghadap secara khusus. Kesempatan yang tidak pernah diduganya, justru pada saat-saat terjadi peristiwa penting di Mataram.
" Ampun Ki Patih. Aku tidak akan melampaui kesempatan yang sangat berharga ini. Aku akan memerintahkan kedua orang prajurit yang menemani aku diperjalanan untuk mendahului kembali, agar para prajurit di barak, serta keluargaku tidak menunggu-nunggu dengan cemas. "
" Baik. Biarlah mereka kembali. "
Agung Sedayupun kemudian mohon ijin untuk menemui kedua prajuritnya yang menunggu di halaman depan kepatihan bersama-sama para prajurit yang bertugas.
Demikianlah, maka kedua orang prajurit itupiin segera meninggalkan kepatihan, kembali ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Namun Agung Sedayupun telah berpesan pula agar mereka menemui Nyi Lurah atau salah seorang keluarganya, agar mereka memberitahukan bahwa Agung Sedayu bermalam di kepatihan.
Ki Patih Mandaraka memang memerintahkan agar Agung Sedayu bermalam di kepatihan. Jika malam turun, mereka akan bersama-sama pergi ke istana, menghadap Panembahan Senapati.
Ketika langit menjadi gelap, maka Ki Patih dan Ki Lurah Agung Sedayupun tetali bersiap-siap untuk pergi ke istana. Bersama dua orang pengawal, keduanyapun kemudian berkuda menyusuri jalan-jalan kota. Nampak disepanjang jalan oncor dan lampu-lampu minyak yang tergantung di regol-regol halaman rumah, berkedipan ditiup angin lembut.
Suasana memang jauh berbeda dengan suasana di pedesaan yang gelap. Meskipun ada satu dua oncor di regol halaman, namun malam terasa lebih gelap daripada malam hari di Kota Raja.
Dipendapa rumah-rumah yang besar disebelah menyebelah jalan-pun, nampak lampu menyala dengan terangnya.
Disana-sini terdengar suara anak-anak yang bermain meskipun bulan masih belum bulat.
Kedatangan Ki Patih Mandaraka dan Ki Lurah Agung Sedayu diterima oleh Panembahan Senapati diserambi samping.
Beberapa saat Ki Patih dan Ki Lurah menunggu. Kemudian, Panembahan Senapatipun datang dengan langkah-langkah kecil diikuti oleh seorang abdinya yang Paling dipercaya.
Tetapi Panembahan Senapati menolak jika abdi itu akan membantunya berjalan memasuki serambi samping.
Namun Agung Sedayu memang terkejut. Panembahan Senapati itu berbeda sekali dengan Panembahan Senapati tadi pagi dipaseban. saat wisuda Pangeran Pati.
Panembahan Senapati tersenyum ketika ia melihat Agung Sedayu menghadap sambil menundukkan kepalanya dalam dalam-
" Ki Lurah " terdengar suara Panembahan Senapati parau " aku minta maaf, bahwa aku telah menahanmu semalam di Mataram. "
Ki Lurah Agung Sedayu mengangkat wajahnya sambil menyahut " Hamba mengucapkan terima kasih atas kesempatan untuk menghadap malam ini, Panembahan. "
" Tidak ada persoalan yang penting. Aku sudah memberitahukan kepada paman Patih, bahwa aku hanya ingin sekedar bertemu secara khusus dengan Ki Lurah. Bukankah kita pernah menjadi kawan dalam sebuah pengembaraan meskipun tidak terlalu lama. "
" Hamba Panembahan. "
" Tetapi kini tinggal kenangan. Ki Lurah. Kita tidak akan dapat mengulanginya lagi. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian terlempar kedalam satu masa yang pernah dilampauinya. Pada saat-saat ia mengembara bersama Panembahan Senapati dimasa muda. Panembahan Senapati yang pernah menjalani tiga laku yang berat sekali gus.
" Ki Lurah " berkata Penembahan Senapati kemudian " dengan laku yang berat, kita seakan-akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang berada di atas rata-rata kemampuan orang lain, meskipun kita sadari, bahwa setinggi-tinggi awan, masih ada lagi yang lebih tinggi."
Agung Sedayu membungkuk hormat sambil berdesis " Hamba Panembahan."
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya kepada Ki Patih Mandaraka " Paman. Menurut Paman, tidak ada orang yang memiliki ilmu yang paling tinggi. Bukankah begitu paman ?"
-Ya Panembahan. Sebagaimana yang Panembahan katakan, tidak ada batas tertinggi diawang-awang.--
Ya nada suara Panembahan Senapati itupun menurun. Lalu katanya pada Agung Sedayu " Ki Lurah. Selama ini kita tidak pernah puas akan apa yang sudah kita capai. Kita ingin lebih banyak lagi. Ki Lurah yang telah memiliki ilmu yang jarang ada duanya, dengan menghancurkan
xxxxxxx xxxx xxx xxxx tdk jelas xxxxxxxxxx xxxxxxxxxxx xxxxxx
karena dipisahkan xxxxxxxx dapat dihancurkannya dengan sorot matanya. Tetapi itu tidak cukup. Masih banyak lagi yang dipelajarinya, bahkan dengan laku yang berat.
Ki Luarah Agung Sedayu hanya menganggukan kepalanya saja.
-- Kenapa kita tidak dapat puas dengan apa yang dikaruniakan kepada kita sehingga kita masih mencari dan menxxxx"
Itu adalah pertanda kegelisahan jiwa dalam pencaharian sehingga menimbulkan gerak untuk mendapatkan yang lebih baik, yang lebih tinggi dan lebih berarti meskipun tidak ada batas tertinggi diawang-awang sahut ki Patih Mandaraka.
Itulah ciri dari ketidak pastian itu.
-- Berusaha dengan sungguh-sungguh adalah pengejawantahan dari permohonan kepada Nya pula. Namun dengan penuh kesadaran, bahwa berusaha gegayuhan, gagasan-gagasan dan setiap pencapaian dapat berhasil atau tidak berhasil. Kita Harus bersiap menerima kenyataan dari kemungkinan-kemungkinan itu, Panembahan. Karena sebenarnyalah, bahwa kehendak " Nyalah yang akan terjadi.--
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ya, paman. Aku sependapat. Panembahan Senapati berdiam sejenak.
Namun katanya kemudian " Tetapi pada suatu saat, kita sadari, bahwa apa yang telah kita capai itu harus kita lepaskan kembali. --
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Dengan kerut didahi dipandanginya wajah Panembahan Senapati yang pucat itu. Sementara itu Ki Patih Mandaraka berdesis " Apakah maksud Panembahan "--
-- Paman, bukankah umur kita pada umumnya tidak lebih dari seabad. Bahkan kurang dari itu.--
-- Panembahan.-- -- Jika kita esok atau lusa dipanggil, apa yang dapat kita perbuat "
Mohon waktu setahun dua tahun" Atau kita akan melawannya dengan ilmu kita yang sangat tinggi. Tidak, Ki Lurah. Pada saatnya kita akan berhadapan dengan kuasa yang tidak terbatas itu. Bahkan jaug lebih tinggi dari awang-awang yang tingginya tidak terbatas itu."
Ki Lurah Agung Sedayu bergeser setapak. Sementara Panembahan Senapati itupun berkata " Bukankah akhirnya kita harus menyerah."
--Kita memang harus pasrah."
-- ya. Kita harus pasrah. Kita harus berhenti pada batas yang tidak tertembus.
Kecemasan mencekam jantung Ki Lurah Agung Sedayu. Namun tiba-tiba wajah Panembahan Senapati yang pucat itu menjadi merah kembali.
Suara Panembahan Senapatipun meninggi. Katanya " Aku sependapat dengan paman Patih Mandaraka. Kita harus pasrah dan menerima kenyataan, apakah kita berhasil atau tidak berhasil. Tetapi keparahan itu bukan perisai dari kemalasan. Menerima kenyataan bukan kedok bagi keputusasaan.--
Agung sedayu terkejut karena perubahan yang tiba-tiba pada keadaan dan bahkan sikap Panembahan Senapati.
--Ki Lurah"berkata Panembahan Senapati kemudian " kau tidak boleh menjadi lemah atas kenyataan terakhir yang aku hadapi. Lepaskan jika pada saatnya harus kau lepaskan. Ttapi capailah dalam batas kemungkinan dengan kerja keras dan bersungguh-sungguh.--
-- Hamba Panembahan " jawab Ki Lurah Agung Sedayu yang masih agak bingung menanggapi sikap Panembahan Senapati.
Namun kemudian suara Panembahan Senapati itu melemah kembali. Katanya " aku tidak mempunyai kesempatan lagi.--
-- Panembahan " Ki Patih Mandaraka bergeser maju. Katanya " Bukan hak kita mendahului kehendak Yang Maha Agung. Panembahan.--
--Maaf , paman. Aku khilaf. Tetapi apakah aku bersalah jika aku melihat wajahku sendiri dipermukaan air belumbang yang bening dan mengatakan bahwa mataku mulai redup "--
--Tetapi yang redup itu akan dapat menyala kemudian jika dikehendaki-Nya.--
--Aku sudah mendengar suara lembut itu berbisik di telingaku. Waktuku memang tidak akan panjang lagi.
Ki Patih Mandarakapun dengan serta merta menyahut,.Berdoalah, Panembahan. Perasaan itu akan Panembahan singkirkan. Sekali lagi aku memberanikan diri menyatakan, sebaiknya kita tidak mendahului Yang Maha Agung.--
" Firasatnyalah yang telah menggetarkan jantungku. Tetapi baiklah. Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang diriku. Aku hanya ingin berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu bahwa masih banyak kesempatan yang terbuka bagimu. Sebelum sampai pada suatu saat kau harus melepaskan kembali. "
" Hamba Panembahan."
" Masa muda kita memberikan kenangan yang bening dari rangkaian mata rantai kehidupan ini. Aku senang mengenangnya, Ki Lurah "
" Hamba juga selalu mengenangnya. " _
" Kau, mempunyai jalur ceritera yang menarik sekali. Mula-mula kau seorang penakut, sehingga kau menjadi gemetar jika kau lewat didekat pohon yang ditunggui oleh Genderuwo bermata satu, sampai akhirnya kau mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Panembahan Senapati itu tersenyum sambil berkata " Pesanku yang lain. Ki Lurah Kau harus lebih hati-hati menghadapi adik seperguruanmu. "
" Swandaru maksud Panembahan " "
" Ya. " Jantung Ki Lurah Agung Sedayu berdesir. Ia pernah mendapat peringatan yang sama dari seorang yang memiliki ketajaman panggraita serta mendapat kurnia untuk melihat isyarat tentang sesuatu yang akan datang. Ki Waskita.
" Ki Waskita juga pernah melihat isyarat yang muram bagi keluarga Swandaru " berkata Ki Lurah Agung Sedayu di dalam hatinya
Dalam pada itu Panembahan Senapatipun berkata " Ki Lurah. Aku memang tidak mempunyai keperluan apa-apa dengan Ki Lurah kecuali sedikit mengenang masa lalu kita. Sekarang, aku sudah merasa letih. Aku akan beristirahat. Besok Ki Lurah dapat kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi aku minta Ki Lurah bersedia untuk datang apabila aku memanggilmu. "
" Hamba, Panembahan. Hamba akan bersiap setiap saat Panembahan memanggil hamba. "
" Terima Kasih. Ki Patih akan menyampaikan perintah-perintahku kepada Ki Lurah. "
" Hamba Panembahan. -"
" Sekarang, aku perkenankan Ki Lurah dan paman Patih Mandaraka meninggalkan istana, hari sudah malam. Bukankah Ki Lurah bermalam di kepatihan " "
" Hamba Panembahan. Hamba diperkenankan bermalam di kepatihan malam ini.
Panembahan Senapati itu tersenyum. Katanya " Selamat malam.-
Ki Patih Mandaraka dan Ki Liuah Agung Sedayupun segera mohon diri untuk meninggalkan istana.
Dihari berikutnya, dua orang prajurit dari Pasukan Khusus telah berada di kepatihan pula. Sementara yang direncanakan, maka Ki Lurah Agung Sedayupun minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Diperjalanan pulang, Agung Sedayu masih saja memikirkan keadaan Panembahan Senapati. Ia yakin, bahwa Panembahan Senapati memang sedang sakit. Namun Agung Sedayupun mengenang pula pesan Panembahan Senapati tentang adik seperguruannya.
" Ada apa dengan Swandaru?" pertanyaan itu menggelembung didalam hatinya.
Sebenarnya berita tentang wisuda itu telah terdengar oleh seluruh rakyat Mataram. Hampir setiap orang memperbincangkan, kenapa Panembahan Senapati tergesa-gesa memantapkan kedudukan Pangeran Pati.
" Panembahan Senapati sedang sakit " desis seseorang.
" Apa hubungannya". Kenapa Panembahan tidak menunggu saja setelah sembuh sama sekali, sehingga upacara wisuda itu dapat direncanakan sebaik-baiknya " " bertanya kawannya.
" Tentu aku tidak tahu "
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di Tanah Perdikan Menoreh, berita tentang wisuda yang tersebar itupun menjadi bahan pembicaraan pula. Ki Gede Menoreh, yang menyaksikan wisuda dalam upacara yang terhitung sederhana itu tidak melihat kesan bahwa Panembahan Senapati sedang sakit. Dalam upacara wisuda itu, Panembahan Senapati kelihatan wajar sebagaimana biasanya. Namun Agung Sedayu yang menghadap kemudian, menangkap kesan, bahwa Panembahan Senapati memang sedang sakit.
Di Kajotan. Ki Ambara dan Ki Saba Lintang juga sudah mendengar suara yang hanya terdengar sayup-sayup bahwa Panembahan Senapati sedang sakit.
" Apakah ada hubungannya antara sakitnya Panembahan Senapati dengan wisuda yang tergesa-gesa itu " " desis Ki Ambara.
Ki Saba Lintang menggeleng. Katanya " Entahlah. Tetapi kita harus mengikuti perkembangan keadaan Panembahan Senapati. "
" Kita harus memperingatkan orang-orang kita yang berada di Mataram untuk mengikuti perkembangan keadaan Panembahan Senapati itu. " berkata Ki Ambara.
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya " Wiyati harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan Panembahan Senapati. Kita tidak tahu, apakah yang akan terjadi dalam waktu singkat ini di Mataram. "
" Jika benar Panembahan Senapati sedang sakit, maka keadaan ini akan dapat berakibat baik bagi rencana kita, tetapi dapat pula sebaliknya " sahut Ki Ambara.
" Ya. Mataram akan sibuk dengan keadaan keluarga istana. Perhatian para pemimpin akan tertuju kepada keadaan Panembahan Senapati, sehingga ada peluang untuk bergerak."
" Ya. Tetapi sebaliknya, justru karena keadaan Panembahan Senapati, maka Ki Patih Mandaraka akan mengambil langkah-langkah penting sementara Pangeran Pati itu belum dapat mengambil keputusun apa-apa. Kita tahu, bahwa Ki Patih Mandaraka itu semakin tua menjadi semakin cerdik, la tentu tidak akan melupakan begitu saja peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lalu. Orang orang yang dari berbagai golongan itu berhimpun dibawah kelebet dan umbul-umbul kebangkitan kembali sebuah perguruan yang besar itu, yang ingin mencari tanah untuk berpijak. Pilihannya adalah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi rencana itu gagal sama sekali. "
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Ambarapun berkata " Yang lebih pahit lagi, jika penguasa yang kemudian mengabulkan permohonan kademangan Sangkal Putung untuk menjadi sebuah Tanah Perdikan, jika usaha Wiyati membujuk Swandaru berhasil. "
" Kenapa " "
" Tidak ada alasan untuk membakar kemarahan Swandaru melawan kekuasaan Mataram. "
" Tetapi Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi landasan untuk menuju ke Mataram. "
" Jika Swandaru telah mendapat keputusan dengan pengesahan kademangannya menjadi Tanah Perdikan. maka ia akan berhenti. "
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian " Kita berbicara dengan Wiyati. "
" Tidak perlu. Wiyati tinggal menjalankan perintah kita. "
" Tetapi gagasan-gagasan Wiyati kadang-kadang sangat lincah, sehingga dalam beberapa hal justru mendahului pikiran orang-orang tua.
" Tetapi untuk sementara biarlah ia masih tetap mendorong Swandaru untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung. Jika terjadi perkembangan vang cepat di Mataram, maka kitapun harus cepat menanggapinya
Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang telah memerintahkan beberapa orang petugas sandinya yang berada di Mataram untuk mengikuti dengan saksama perkembangan keadaan Panembahan Senapati. Mereka setiap kali harus memberikan laporan kepada Ki Saba Lintang. Apalagi jika ada berita penting tentang keadaan Panembahan Senapati.
Sementara itu, ternyata hembusan keinginan untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan itu justru sudah menjalar. Mula-mula hanya diautara para bebahu kademangan. Namun kemudian keinginan itupun sampai juga ketelinga beberapa orang Bekel. Ternyata merekapun mendukung gagasan itu. Meningkatkan kedudukan Sangkal Putung dari sebuah kademangan menjadi Tanah Perdikian.
Ki Demang terkejut ketika ia mendengar bahwa gagasan itu telah sampai ke telinga para bekel di padukulian padukuhan. Bahkan para bebahu padukuhan.
Ki Demangpun kemudian telah memanggil Swandaru. Dengan cemas Ki Demang bertanya kepada Swandaru tentang tersebarnya gagasan untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan.
" Ayah " berkata Swandaru kemudian " mulanya aku hanya berbicara tentang satu keinginan. Tidak lebih. "
" Tetapi yang hanya satu keinginan itu sekarang telah menjalar kemana-mana. Beberapa orang justru ingin bahwa keinginan itu akan dapat menjadi kenyataan. Padahal, kita tahu. bahwa Tanah Perdikan hanya satu mimpi saja. Bukankah dengan demikian kau telah membawa orang-orang terpenting di kademangan ini untuk bermimpi bersamamu " "
" Semula, bukan maksudku untuk membuat kademangan ini menjadi demam oleh mimpi itu. "
" Swandaru. Kau harus mengusahakan, agar orang-orang kademangan ini terbangun. "
" Ayah " berkata Swandaru kemudian "mungkin aku memang harus berusaha agar orang-orang padukuhan ini terbangun. Tetapi jalan lain yang dapat aku tempuh adalah bahwa mimpi itu dapat menjadi kenyataan. "
" Bagaimana mungkin, Swandaru. Kau tahu,- bahwa tidak mungkin kademangan ini dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Apalagi sekarang, ada desas-desus bahwa Panembahan Senapati sedang menderita sakit. "
" Bukankah jalannya pemerintahan seharusnya tidak terlalu terpengaruh oleh masalah-masalah pribadi para penguasanya. "
" Bagaimana mungkin, Swandaru. Roda pemerintahan sehari-hari memang harus berjalan terus. Tetapi keputusan-keputusan penting dan mendasar tentu harus menunggu. "
Swandaru menarik nafas panjang, la tahu. bahwa setiap langkah yang akan diambil oleh Mataram, terutama langkah-langkah penting dan mendasar, seperti yang dikatakan oleh ayahnya, ditentukan oleh Panembahan Senapati.
Meskipun demikian, Swandaru itupun berkata " Tetapi kita dapat mencoba, ayah Bukankah hanya sekedar desas-desus bahwa Panembahan Senapati sedang sakit" Mungkin kita tidak perlu mengajukan permohonan itu langsung kepada Panembahan Senapati. Tetapi kita dapat berbicara dengan kakang Agung Sedayu, agar kakang Agung Sedayu menyampaikan keinginan rakyat Sangkal Putung ini kepada Panembahan Senapati, langsung atau lewat Ki Patih Mandaraka. "
" Jika kau mendengarkan pendapatku, Swandaru. Jangan kau lakukan."
" Ayah. Aku memang tidak akan tergesa-gesa melakukannya. Tetapi aku akan menghubungi kakang Agung Sedayu dan minta pendapatnya. Aku akan mengajak Pandan Wangi ke Tanah Perdikan. Biarlah Pandan Wangi memohon kepada ayahnya untuk mempergunakan pengaruhnya terhadap Agung Sedayu. sementara aku akan berbicara dengan Sekar Mirah.
" Kau akan membawa mimpimu ke seberang Kali Praga" Swandaru. akan tidak sependapat dengan gagasanmu itu."
" Tetapi para bebahu selalu mendesakku, agar aku berbuat sesuatu ayah. Sekali lagi aku jelaskan kepada ayah. bahwa aku baru akan mengadakan hubungan dengan kakang Agung Sedayu. Aku ingin mendengar pendapatnya."
" Bagaimana pendapat isterimu?"
" Aku belum pernah membicarakan dengan sungguh-sungguh. Tetapi pendapatnya mirip dengan pendapat ayah. Meskipun demikian Pandan Wangi tidak menolak ketika aku mengajaknya ke Tanah Perdikan "
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Pandan Wangi merasa rindu kepada keluarganya di Tanah Perdikan. la ingin melihat tempatnya bermain semasa kanak-kanak."
" Belum lama ini ia pergi ke Tanah Perdikan."
" Jika mungkin bahkan sepekan sekali.Tetapi mungkin ia menjadi pening mendengar rencanamu. Di Tanah Perdikan Menoreh ia akan mendapat kawan untuk berbincang."
" Ayah. Kami memang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjajagi pendapat Ki Gede dan kakang Agung Sedayu."
Sulit bagi Ki Demang untuk mencegah Swandaru agar menghentikan usahanya untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan. Tetapi Ki Demang yang sudah menjadi semakin tua itu berharap, bahwa Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu akan dapat meredam keinginan Swandaru yang menurut pendapat Ki Demang tidak masuk akal.
Ketika Swandaru sedang tidak berada di rumah, maka Ki Demang pun telah berbicara dengan Pandan Wangi, niat Swandaru untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
" Kakang Swandaru memang mengajak aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh "jawab Pandan Wangi.
" Kau tahu, untuk apa ia pergi?"
Pandan Wangi mengangguk. Katanya " Kakang Swandaru menyebut-nyebut kemungkinan Sangkal Putung ini ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
" Apakah kau sependapat?"
" Ayah " suara Pandan Wangi merendah " aku tidak sampai hati mengecewakan kakang Swandaru. Pada hari-hari terakhir, kakang . Swandaru nampaknya agak murung.-Mungkin ia selalu diganggu oleh keinginannya melihat Sangkal Putung ini menjadi sebuah Tanah Perdikan. Sementara itu para bebahu di kademangan ini justru selalu mendesaknya agar kakang Swandaru berbuat sesuatu.
" Tetapi bukankah Swandaru sendiri yang mulai menghembuskan mimpi tentang Tanah Perdikan itu?"
" Ya, ayah " " Jadi apa yang akan kau lakukan?"
" Aku akan menemani kakang Swandaru ke Tanah Perdikan, jika ia memang akan menemui ayah dan kakang Agung Sedayu."
" Apakah Ki Gede dan angger Agung Sedayu kira-kira akan mendukung maksud Swandaru itu?"
" Pada dasarnya tentu tidak. ayah. Setidak-tidaknya tidak pada waktu dekat. Apalagi Panembahan Senapati kabarnya sedang sakit. Tetapi menurut pendapatku. ayah dan kakang Agung Sedayu juga akan merasa sulit untuk menolak. Tetapi setidak-tidaknya mereka akan menganjurkan untuk menunda sampai Panembahan Senapati menjadi sehat kembali."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya " Aku juga berpendapat demikian. Bahkan sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Swandaru untuk menyampaikan permohonan, apakah ini langsung atau lewat angger Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka. untuk menetapkan Sangkal Putung sebagai Tanah Perdikan. Mataram tentu sudah mempunyai landasan maton untuk menetapkan satu lingkungan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Mungkin karena kedudukan khusus dari lingkungan itu.
mungkin karena kedudukan khusus dari lingkungan itu. mungkin karena lingkungan itu pernah memberikan ani yang sangat tinggi bagi Mataram, mungkin alasan-alasan lain yang justru tumbuh dari penilaian para pemimpin di Mataram. Bukan karena lingkungan itu yang memohon karena merasa berjasa melampaui lingkungan yang lain."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa sikapnyapun sama seperti sikap Ki Demang. Bahkan sebenarnya Pandan Wangipun merasa heran, bahwa suaminya tiba-tiba saja mempunyai gagasan untuk menepuk dada sendiri, seperti seekor ayam jantan yang berkokok di tengah-tengah padang rumput, menuntut agar Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan.
Dugaan Pandan Wangi adalah, bahwa para bebahulah yang telah mempengaruhinya.
" Seharusnya kakang Swandaru berusaha meredam keinginan para bebahu itu. Tetapi justru kakang Swandaru sendiri menjadi begitu bernafsu untuk mengusahakannya " berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
" Namun Pandan Wangi tidak ingin membuat Swandaru menjadi kecewa. Karena itu. Pandan Wangi memang tidak menolak, ketika Swandaru mengajaknya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, untuk mencari dukungan atas gagasan tentang Tanah Perdikan itu.
" Baiklah Pandan Wangi. Kau memang harus ikut ke Tanah Perdikan. Usahakan agar sikap Swandaru tetap terkendali. Jika gagasan itu telah meracuninya, maka ia akan dapat bertingkah-laku tidak sewajarnya
Namun Pandan Wangi memang agak terkejut ketika Pandan Wangi sedang melayani Swandaru makan malam, tiba-tiba saja Swandaru itupun berkata " Besok pagi kita pergi ke Tanah Perdikan, Pandan Wangi"
" Besok pagi" -- bertanya Pandan Wangi dengan dahi yang berkerut.
" Ya. Besok pagi."
" Kenapa begitu tiba-tiba " Aku kira kakang akan pergi tiga ampat hari mendatang. Apakah kakang sudah mempersiapkan segala sesuatunya di kademangan ini karena kakang akan meninggalkannya untuk beberapa hari?"
" Bukankah ayah ada di rurnah ?"
" Ya. Tetapi bukankah selama ini kakang yang melakukan tugasnya sehari-hari " Bukankah biasanya jika kakang akan bepergian untuk beberapa hari, kakang bersiap-siap lebih dahulu satu atau dua hari dengan membagi tugas kepada para bebahu ?"
" Aku sudah melakukannya sejak kemarin."
" Tetapi kakang baru saja mengatakan hari ini. bahwa besok kita akan pergi ke Tanah Perdikan."
" Aku sampai sore tadi memang masih merasa ragu. Tetapi setelah aku bertemu dengan beberapa bebahu, aku mengambil keputusan. bahwa kita akan pergi esok pagi. Para bebahu menganggap, semakin cepat permohonan ini sampai di Mataram akan menjadi semakin baik "
" Atau bahkan sebaliknya."
" Kenapa ?" " Para pemimpin di Mataram sedang prihatin jika benar Panembahan Senapati sedang sakit. Mereka tidak akan sempat memperhatikan permohonan kademangan Sangkal Putung. Atau, dapat lebih, parah lagi. Dalam keadaan yang muram itu, para pemimpin Mataram menolak permohonan itu tanpa pertimbangan yang panjang dan mendalam.
" Itu tidak mungkin, Pandan Wangi. Meskipun Panembahan Senapati sedang sakit, tetapi Mataram harus tetap tegak berdiri pada alas keadilan dan pertimbangan akal yang bening."
" Mereka terdiri dari orang-orang yang dilengkapi dengan akal dan perasaan seperti kita. Kadang-kadang akal mereka terdesak ke belakang karena sesuatu hal. Misalnya karena Panembahan Senapati benar-benar sakit."
" Jjka demikian, maka orang-orang Mataram telah kehilangan landasan kepemimpinan."
" Para pemimpin di Mataram bukannya orang-orang yang kebal tanpa dapat berbuat salah."
" Tidak, Pandan Wangi. Aku masih mempunyai keyakinan, bahwa Mataram tidak akan menjadi kehilangan akal karena Panembahan Senapati sakit."
Pandan Wangi tidak membantah lagi. Ia Udak mau berbantah dengah suaminya. Bagi Pandan Wangi, berangkat esokpun tidak ada persoalan apa-apa. Anaknya sudah dapat ditinggalkannya bersama pemomongnya.
Karena itu, maka katanya " Baiklah, kakang. Kita berangkat esok pagi-pagi "
Namun sebenarnyalah Pandan Wangi tidak tahu. bahwa Swandaru telah didorong oleh Wiyati untuk segera menyampaikan permohonan itu ke Mataram. Wiyati, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang berharap bahwa waktunya memang tidak lepat, sehingga orang-orang Mataram justru akan marah terhadap permohonan itu dan dengan serta-merta menolaknya
Dengan demikian, maka Swandaru akan menjadi marah pula. Tugas Wiyati adalah mengipasinya. Jika kemarahan itu akhirnya meledak, maka Sangkal Putung akan terseret ke dalam pemberontakan yang akan direncanakan oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Yang diharapkan adalah, bahwa Pandan Wangi akan dapat menyeret Tanah Perdikan Menoreh untuk terlibat pula kedalamnya. Tentu saja bahwa gerakan itu tidak akan ada sangkut pautnya dengan gerakan Ki Saba Lintang, karena Ki Amharalah yang akan tampil ke depan.
Ketika niat untuk pergi esok pagi itu disampaikan kepada Ki Demang, maka Ki Demangpun juga bertanya " Begitu tiba-tiba Swandaru ".
" Sebenarnya tidak tiba-tiba, ayah. Aku sudah merencanakan sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi baru sore tadi aku mendapat keputusan setelah aku berbicara dengan para bebahu."
" Jadi para bebahu itu mendesakmu Swandaru ?"
-Tidak ayah. Tetapi tersirat di dalam setiap pembicaraan, bahwa mereka ingin aku berbuat sesuatu. Merekapun tahu, apakah keinginan mereka melihat kademangan Sangkal Putung itu menjadi Tanah Perdikan berhasil atau tidak
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Swandaru. Kedudukan sebuah Tanah Perdikan itu tidak sama yang satu dengan yang lain. Hak dan kewajibannya akan diatur dan ditentukan khusus bagi Tanah Perdikan.
" Aku mengerti ayah."
" Mungkin kademangan ini dapat saja ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Tetapi dapat terjadi hak dan kewajibannya sama sebagaimana kita harapkan."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Permohonan kami bukan satu hal yang mutlak, ayah."
" Sokurlah." Swandarupun kemudian meninggalkan ayahnya yang termangu-mangu untuk mempersiapkan diri. Ternyata Swandaru masih juga memberitahukan kepada Pandan Wangi, bahwa ia masih akan berbicara dengan beberapa orang bebahu.
" Jangan terlalu malam pula kakang. Kakang juga harus beristirahat. Besok kakang akan bangun pagi-pagi untuk menempuh perjalanan yang terhitung panjang."
" Aku tidak lama Pandan Wangi."
Sejenak kemudian, maka terdengar derap kaki kuda meninggalkan halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Swandaru memacu kudanya di malam yang gelap dan sepi.
Tetapi temyata Swandaru tidak sekedar menemui para bebahu Tetapi Swandaru itupun memacu kudanya ke Kajoran.
Wiyati menerima kedatangan Swandaru dengan senyuman yang hangat sehangat minuman yang kemudian dihidangkannya.
" Udara di luar dingin, kakang. Tangan kakang dingin sekali."
" Ya, Wiyati. Udara terasa basah. Tetapi agaknya hujan tidak akan segera turun."
" Tidak kakang. Angin Timur bertiup agak kencang, mendorong mendung ke Barat."
Swandaru memang tidak tergesa-gesa pergi. Ia bahkan tenggelam di bawah pengaruh Wiyati yang berbisik di telinganya tentang sebuah Tanah Perdikan yang sejahtera di bawah pimpinan Swandaru. Seorang yang memiliki kecerdasan dan ketajaman nalar budi, serta seorang yang berkemampuan sangat tinggi.
Ketika terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk di tengah malam, maka Swandaru baru menyadari, bahwa ia tidak berada di rumahnya.
Di Sangkal Putung. Pandan Wangi menunggu dengan gelisah. Sampai lewat tengah malam Pandan Wangi tidak masuk ke dalam biliknya. Bahkan ia duduk di ruang dalam betapapun matanya terasa sangat berat.
Sekali-sekali matanya itupun terpejam sementara Pandan Wangi terlena sekejap. Namun ia segera terkejut dan berusaha membuka matanya lebar-lebar.
Dengan setia Pandan Wangi duduk menunggu. Meskipun di malam yang dingin itu Pandan Wangi dapat saja berbaring di pembaringan sambil berselimut kain panjang, tetapi Pandan Wangi tetap saja duduk menunggu.
" Aku sudah berpesan, agar kakang Swandaru tidak pulang terlalu malam " berkata Pandan Wangi di dalam hatinya " tetapi sampai lewat tengah malam, Swandaru masih belum pulang.
Baru menjelang dinihari. Pandan Wangi yang terkantuk-kantuk itupun dengan cepat bangkit ketika ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya
Demikian Swandaru meloncat turun dari kudanya didepan tangan pendapa, maka pintu pringgitanpun telah terbuka
Swandaru memang terkejut. Ia melihat. Pandan Wangi yang lesu berdiri di pintu.
" Kau belum tidur Pandan Wangi."
" Aku menunggu kakang. Bukankah aku sudah berpesan agar kakang tidak terlalu malam pulang" Kita akan bangun pagi-pagi dan menempuh perjalanan yang cukup panjang.
" Jadi kau juga belum tidur sama sekali ?"
" Belum kakang."
Jantung Swandaru berdebaran. Ia merasa bersalah, bahwa ia pulang sampai dini. Seharusnya ia mendengarkan pesan Pandan Wangi dan pulang sebelum tengah malam.
" Maafkan aku Pandan Wangi " desis Swandaru " pembicaraanku dengan para bebahu berkepanjangan sehingga aku menjadi lupa waktu. Mereka benar-benar berharap, bahwa kademangan ini akan segera ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
Pandan Wangi tidak terlalu banyak bertanya. Seorang pembantu yang mendengar derap kaki kuda memasuki halaman telah membawa kuda itu ke kandangnya.
Swandarupun kemudian segera masuk ke ruang dalam lewat pintu pringgilan. Namun Swandaru itupun langsung pergi ke pakiwan lewat pintu butulan untuk membersihkan dirinya.
Didalam biliknya Swandaru telah berganti pakaian sebelum ia membaringkan diri di pembaringan.-
" Tidurlah Pandan Wangi. Masih ada waktu sedikit. Kita besok dapat berangkat tidak terlalu pagi. Bukanlah kehadiran kita di Tanah Perdikan Menoreh tidak dibatasi oleh waktu."
" Ya. kakang. Tetapi jika kita berangkat pagi-pagi, udara akan terasa segar. Sementara sinar matahari masih belum terasa menggatalkan kulit."
" Tetapi setelah kita menempuh sebagian dari perjalanan kita, maka mataharipun akan naik semakin tinggi."
" Ya, kakang "jawab Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Dibiarkannya Swandaru memejamkan matanya dan tertidur. Sementara Pandan Wangi sendiri tidak segera dapat tidur.
Pandan Wangi masih harus mengusir pertanyaan di kepalanya, kenapa Swandaru harus pulang sampai dini-hari. Bahkan bajunya menjadi basah oleh keringat. Jika ia pergi menemui para bebahu di kademangan, maka biasanya mereka berkumpul di rumah Ki Demang, sehingga Swandaru tidak perlu mempergunakan kudanya.
Pandan Wangi menarik natas dalam-dalam.
Meskipun Pandan Wangi agak sulit untuk tidur, tetapi akhirnya ia tertidur juga meskipun hanya beberapa saat saja, karena langitpun segera dibayangi oleh cahaya fajar.
Namun ternyata Swandaru dan Pandan Wangi tidak berangkat pagi-pagi sekali. Mereka baru siap setelah matahari mulai nampak di atas cakrawala:
Setelah minta diri serta mohon restu maka Swandaru dan Pandan Wangipun segera berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.
Perjalanan ke Menoreh terhitung perjalanan yang cukup panjang. Tetapi Swandaru dan Pandan Wangi sudah terlalu senng menempuh perjalanan itu. sehingga bagi mereka perjalanan itu tidak merupakan perjalanan yang terasa berat.
Dalam pada itu. ketika sekali-sekali kuda Pandan Wangi berian di depan kuda Swandaru. maka Swandaru sempat memandangi isterinya itu. Terasa janiungnya berdesir lembut. Perempuan yang berkuda di depannya itu adalah seorang isieri yang setia. Tetapi justru Swandaru sendirilah yang mengabaikannya.
" Aku telah mengkhianatinya " berkata Swandaru di dalam dirinya " kelika aku tergelincir dan terpikat penari tayub itu. Pandan Wangi telah memaafkan aku. Bahkan Pandan Wangi telah melupakannya dan tidak pernah mengungkitnya kembali. Tetapi kemudian apa yang terjadi sekarang".'"
Swandaru mengerutkan dahinya. Sementara itu kuda Pandan Wangi berderap di atas jalan yang panjang berlari mendahului Swandaru. Namun Pandan Wangipun kemudian mengekang kudanya, sehingga jalan-nyapun semakin lambat. Dengan demikian, keduanyapun kemudian memacu kudanya bersama sama.
Jika cahaya terang menyusup di kepala Swandaru, maka iapun dapat melihat kepada dirinya sendiri. Jalan jalan gelap yang dilaluinya, la dapat melihat noda noda hitam yang melekat pada dirinya. Bahkan Swandarupun sadar sepenuhnya, bahwa ia telah terpelanting ke dalam lemah perzinaan yang kotor.
" Kenapa aku melakukannya".' " pertanyaan itu telah mengguncang isi dadanya.
Tetapi jika Swandaru yang goyah, ternyata memberi kesempatan kepada iblis untuk menyusup menghinggapi pribadinya. Sehingga dalam keadaan yang demikian. Swandaru tidak berdaya menghadapinya. Jika Swandaru itu sudah berhadapan dengan Wiyati. maka iblispun sempat bertahta di hatinya.
Demikianlah, keduanyapun telah memacu kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa kali mereka berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Swandaru dan Pandan Wangi sendiri, juga memerlukan waktu untuk beristirahat sambil meneguk minuman hangat.
Di sebuah kedai yang cukup besar di pinggir jalan, Swandaru dan Pandan Wangi berhenti untuk membeli minuman. Di kedai itu keduanya mendengar seseorang yang bereeritera tentang Panembahan Senapati yang sedang sakit.
Sakitnya memang agak berat " berkata orang itu kepada kawannya.
" Apakah karena itu. Panembahan Senapati dengan tergesa-gesa mewisuda Pangeran Adipati Anoni " - bertanya kawannya itu.
" Mungkin saja. Tetapi mungkin juga ada orang lain yang menekankannya. agar Pangeran itu segera diwisudanya."
" Siapa orangnya yang dapat menekan Panembahan Senapati".'"
" Maksudku, bukan untuk memaksanya. Tetapi menunjukkan kemungkinan terbaik dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Pembicaraan itupun memang berhenti sampai sekian. Orang yang sedang berbincang itupun mengarahkan perhatian mereka kepada minuman dan makanan yang mereka pesan, sehingga keduanyapun tidak lagi berbicara tentang Panembahan Senapati.
Swandarulah yang kemudian berdesis " Agaknya sudah bukan rahasia lagi."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Memang sulit untuk merahasiakannya. Seorang saja diantara para Nayaka Praja yang mengetahuinya, maka berita itu akan tersebar. Mula-mula merambat dengan lambat. Tetapi kemudian seperti nyala api yang membakar padang ilalang ditiup angin."
Swandaru itupun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berdesis " Apakah kita akan singgah di Mataram?"
" Untuk apa?" Pandan Wangi justru bertanya.
Swandaru tersenyum. Katanya " Kita memang tidak mempunyai keperluan khusus di Mataram. Jika kita memang tidak mempunyai keperluan khusus di Mataram. Jika kita singgah ke Mataram, tentu hanya sekedar untuk mendengar kabar tentang Panembahan Senapati itu saja "
" Apakah masih perlu?"
Swandaru menggeleng. Katanya " Tidak. Agaknya memang sudah tidak perlu lagi."
Keduanyapun terdiam ketika beberapa orang bersama-sama masuk ke dalam kedai itu. Agaknya mereka adalah para pedagang yang pulang dari pasar. Dua orang diantara mereka adalah perempuan.
Sejenak kemudian, kedai itupun menjadi sangat nuh. Orang-orang yang baru datang itu berbicara sesuka hati mereka sendiri tanpa menghiraukan orang-orang lain yang sudah ada di dalam kedai itu. Dua orang yang duduk di tengah kedai itupun bahkan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempatnya dan membayar harga makanan dan minuman mereka. Agaknya mereka tidak tahan mendengar suara yang ribut itu. Apalagi melihat dan mendengar suara dua orang perempuan yang ada diantara mereka
Medali Wasiat 13 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Seruling Samber Nyawa 14