Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 14

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14


Bahkan Ki Demang sempat berdesis, "Anak muda itu tentu anak muda yang berilmu tinggi. Menurut ujud kewadagannya, orang yang telah terbunuh itu adalah seorang yang memang hidup di lingkungan dunia olah kanuragan yang keras. diikat pinggangnya terselip pisau-pisau belati kecil yang melingkar di pinggangnya. Sebagian dari pisau-pisau belati itu sudah tidak ada lagi. Agaknya orang itu sudah beberapa kali melemparkan pisau-pisaunya, namun tidak berhasil mengenai anak muda itu, kecuali menggores lengannya."
"Nampaknya memang begitu, Ki Demang. Beberapa orang memang menemukan pisau-pisau yang berserakan."
Hari itu, tubuh orang yang terbunuh itu-pun telah dikuburkan dengan cara yang wajar. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan justru merasa wajib untuk tetap berada di rumah itu, setidak-tidaknya malam itu. Glagah Putih dan Rara Wulan masih mencemaskan jika terjadi sesuatu yang justru akan menimpa Ki. Setraderma.
Namun agaknya Ki. Setraderma justru sudah tidak lagi merasa takut. Ia merasa bahwa umurnya adalah sekedar perpanjangan. Seandainya anak muda yang mengaku bersama adik perempuannya itu tidak menolongnya, maka ia sudah mati terbenam di Kali Pepe.
Peristiwa di rumah Ki. Setraderma itu agaknya telah memperingatkan Ki Demang dan Ki Bekel untuk meningkatkan pengamanan bukan saja di padukuhan itu, tetapi juga di seluruh kademangan.
Hari itu juga Ki Demang telah memanggil semua bebahu. Semua Bekel dan para Jagabaya di padukuhan-padukuhan.
Kepada mereka, Ki Demang itu-pun berkata, "Kita sudah mendapat sentuhan oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Pencurian dan kekerasan yang terjadi beberapa kali, tidak menggugah kesiagaan kita. Tetapi peristiwa yang terjadi di belakang kedai di dekat pasar, serta kekerasan yang terjadi di rumah Ki. Setraderma, rasa-rasanya benar-benar telah membangunkan kita dari kelengahan kita selama ini."
Para Bekel dan bebahu yang hadir mendengarkannya dengan saksama. Seperti Ki Demang, mereka-pun bertanya kepada diri mereka masing-masing, apa yang selama ini telah mereka lakukan untuk menjaga ketenteraman kademangan mereka.
"Kita tidak dapat menggantungkan pengamanan lingkungan ini semata-mata kepada para prajurit. Kita sendiri harus berbuat sesuatu. Jika tidak ada kedua orang pengembara itu, maka kita telah kehilangan salah seorang keluarga kita."
Para Bekel dan para bebahu itu-pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Demang yang kemudian berkata, "Apakah kita laki-laki sepadukuhan tidak dapat melawan empat atau lima orang, meski-pun mereka berilmu tinggi" Ki Bekel, Jagabaya di padukuhan dan para bebahu, juga bukan orang kebanyakan. Mungkin ada pula di antara laki laki sepadukuhan yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Jika tidak, maka beramai-ramai mereka melawan orang-orang yang berniat jahat itu."
Dalam pertemuan itu pula Ki Demang telah memerintahkan para Bekel untuk setiap kali langsung melihat gardu-gardu perondan. Pada saat menjelang wayah sepi bocah, gardu-gardu harus sudah terisi. Kentongan-kentongan harus siap untuk melontarkan isyarat. Tidak hanya di gardu saja, tetapi disetiap rumah harus mempunyai kentongan, meski-pun hanya sebuah kentongan bambu yang kecil. Tetapi suaranya akan dapat menjangkau tetangga-tetangganya serta gardu yang terdekat.
Sejak malam itu, maka padukuhan-padukuhan di seluruh kademangan itu-pun menjadi terasa hidup. Gardu-gardu terisi sejak wayah sepi bocah.
Glagah Putih dan Rara Wulan malam itu masih belum meninggalkan padukuhan itu. Bahkan Ki Bekel telah mengundangnya untuk berada di banjar, berbicara dengan Ki Bekel dan para bebahu.
"Anak muda," berkata Ki Bekel, "jika saja kau bersedia tinggal di padukuhan ini untuk waktu yang sedikit panjang. Kau dapat membantu kami para bebahu untuk memberikan latihan-latihan olah kanuragan. Meski-pun sekedar dasarnya saja, tetapi itu akan sangat berarti bagi kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih-pun berkata, "Sayang sekali, Ki Bekel. Kami tidak dapat tinggal lebih lebih lama lagi. Besok kami harus meneruskan perjalanan kami."
"Sebenarnya kalian akan pergi kemana, ngger?" bertanya Ki Bekel.
"Kami adalah pengembara, Ki Bekel. Kami berjalan mengikuti langkah kaki kami. Kami tidak mempunyai tujuan tertentu."
"Seharusnya kau tidak melakukannya. Mungkin dalam sebulan dua bulan karena keinginan kalian untuk melihat sebelah cakrawala. Tetapi kau tidak dapat melakukannya terlalu lama. Kau harus berhenti, menetap dan menyiapkan masa depan kalian. Dengan mengembara, apa yang kalian harapkan bagi masa depan kalian" Kalian akan hidup seperti sepasang burung. Terbang dari sebatang pohon ke sebatang pohon yang lain. Mungkin dari satu sisi hutan ke sisi yang lain atau ke hutan yang lain. Lalu apa yang kalian dapatkan". Seandainya dalam pengembaraan kalian, kalian mendapatkan banyak pengalaman, apakah arti pengalamanmu itu dalam pengembaraan berikutnya?"
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sudah tentu bahwa mereka tidak ingin mengembara di sepanjang hidupnya.
Namun keduanya tidak dapat berkata berterus terang, bahwa mereka telah mengemban tugas untuk mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki. Saba Lintang.
"Aku minta kalian mempertimbangkannya," berkata Ki Bekel kemudian.
Dengan nada dalam Glagah Putih-pun menjawab, "Ki Bekel. Aku mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Bekel dengan masa depan kami. Kami-pun menyadari, bahwa pada suatu saat kami harus berhenti mengembara jika kami ingin hidup wajar. Kami harus memilih lingkungan sebagai tempat tinggal. Tetapi selagi kami masih sempat, kami masih ingin menambah pengalaman kami. Baru kemudian, jika kami sudah merasa puas, kami akan berhenti mengembara dan tinggal di satu tempat."
"Jika saat itu tiba ngger. Kalian dapat memilih tempat ini sebagai tempat tinggal. Kami akan menyediakan tanah milik padukuhan dan para bebahu tentu setuju, bahwa tanah itu akan kami serahkan kepada kalian berdua. Jika kalian kakak beradik, maka pada saatnya kalian akan membangun keluarga kalian masing-masing disini. Tanah persediaan kami cukup luas. Hutan kami masih sangat panjang."
"Terima kasih Ki Bekel. Kami akan mempertimbangkannya. Kelak jika kami sudah merasa puas dengan pengembaraan kami, kami akan mengingat pesan Ki Bekel itu."
"Yang kami katakan ini bukan sekedar basa-basi, ngger."
"Kami tahu, Ki Bekel. Kami-pun berkata sebenarnya. Kesediaan Ki Bekel menerima kami menjadi keluarga di padukuhan ini sangat kami hargai."
Beberapa orang yang lain, terutama Ki. Sutraderma yang ada di banjar itu pula bersama para bebahu, telah memperkuat pernyataan Ki Bekel itu.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat memenuhinya. Dengan mengucapkan terima kasih, maka kedua orang yang mengaku bernama Warigalit dan Wara Sasi itu-pun justru minta diri. Esok pagi-pagi benar mereka akan meneruskan perjalanan mereka.
Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu tidak dapat menahan mereka. Mereka hanya dapat mengucapkan selamat jalan kepada kedua orang yang mengaku kakak beradik itu.
Menjelang tengah malam, maka Ki Bekel-pun telah membubarkan pertemuan itu. Kedua orang pengembara itu masih perlu beristirahat meski-pun hanya sebentar. Esok pagi mereka akan menempuh sebuah perjalanan lagi.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidur di amben yang besar bersama anak-anak Ki. Setraderma seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum Rara Wulan tertidur, Glagah Putih sempat berbincang, "Apakah di dalam keluarga kita kelak juga akan terdapat sekian banyak anak?"
"Tidak mau," Rara Wulan bersungut.
Glagah Putih tertawa Namun kemudian tertawanya itu larut ketika Rara Wulan berdesis, "Kasihan mbokayu. Sekar Mirah."
"Kenapa?" "Nampaknya mbokayu. Sekar Mirah tidak akan mempunyai anak. Selama ini ia sangat merindukan tangis seorang bayi di dalam rumahnya."
"Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung."
"Tetapi umur mereka merambat terus. Apakah pada usianya yang sekarang ini, mbokayu. Sekar Mirah masih akan dapat mengandung?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab.
"Maaf, kakang," desis Rara Wulan, "aku tidak ingin membuatmu risau. Tetapi sebenarnyalah aku-pun menjadi risau. Kapan kita berhenti mengembara" Kemudian kita hidup sewajarnya sebagaimana sebuah keluarga kecil. Kemudian terdengar tangis seorang bayi. Bayi yang aku lahirkan sendiri dari kandunganku."
Glagah Putih tidak menjawab. Sementara Rara Wulan berkata selanjutnya hampir berbisik di telinga Glagah Putih, "Maaf, kakang. Aku minta maaf lagi. Bukan maksudku mengeluh tentang pengembaraan kita sekarang ini betapa-pun beratnya. Kita akan melanjutkan tugas ini sampai tuntas."
Glagah Putih yang bebaring menelentang itu menatap raguman bambu pada atap rumah Ki. Setraderma. Raguman bambu yang nampaknya rajin sekali. Tali-tali ijuk yang kuat mengikat bambu yang dibelah.
Rara Wulan-pun terdiam. Hanya desah nafasnya sajalah yang terdengar semakin lama semakin teratur.
Ketika kemudian Rara Wulan tertidur, mata Glagah Putih masih tetap terbuka. Dilihatnya dua ekor cicak berkejaran didinding di dekat lampu dlupak yang terletak di ajuk-ajuk disudut ruang.
Hidung Glagah Putih masih mencium bau ontel keluwih yang membara di ujungnya, untuk mengusir nyamuk.
Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih-pun telah tertidur pula.
Namun keduanya tidak tidur terlalu lama. Seperti biasanya, menjelang fajar keduanya telah terbangun untuk berbenah diri.
Namun ketika Rara Wulan pergi ke pakiwan, ternyata Nyi. Setraderma juga sudah terbangun dan sudah berada di dapur. Dua perapian sudah dinyalakannya. Satu untuk menjerang air, sedang yang lain untuk menanak nasi.
Ketika langit menjadi terang, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun sudah bersiap untuk berangkat melanjutkan pengembaraannya. Sementara itu, Nyi. Setraderma-pun sudah selesai pula mempersiapkan makan pagi bagi keduanya.
"Silahkan makan dahulu, adi berdua," Nyi. Setraderma mempersilahkan.
"Anak-anak belum makan," desis Rara Wulan.
"Mereka belum bangun," sahut Nyi. Setraderma, "bukankah kalian yang akan menempuh perjalanan jauh" Bahkan jauh sekali tanpa batas."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.
Ketika mereka kemudian makan nasi hangat dengan sayur kacang panjang yang dipetik di kebun belakang, di amben besar, di sebelah anak-anak yang tidur itu, seorang diantara mereka-pun terbangun. Anak ke. Setraderma yang ketiga.
Sambil mengusap matanya anak itu duduk diantara saudara-saudaranya yang masih tidur.
"Paman dan bibi akan pergi?" bertanya anak itu.
"Dari mana kau tahu?" bertanya ayahnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada lembut Rara Wulan berkata, "Ya ngger. Paman dan bibi akan pergi."
"Kemana?" Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Ke kademangan sebelah, ngger."
"Nanti paman dan bibi kembali?"
Rara Wulan memandang Nyi. Setraderma yang duduk di sebelah Ki. Setraderma. Sambil tersenyum Nyi. Setraderma itu-pun berkata, "Jika persoalannya sudah selesai, bibi akan kembali. Tetapi jika belum, bibi akan menyelesaikan dahulu."
Anak itu mengerutkan dahinya. Hampir diluar sadarnya anak itu-pun bertanya, "Jika orang jahat itu kembali lagi?"
"Tidak," sahut Glagah Putih, "orang itu tidak akan kembali lagi. Seandainya ia kembali, maka Ki Bekel dan tetangga-tetangga akan datang mengusirnya."
Anak itu tidak bertanya lagi. Tetapi nampaknya ia sangat kecewa, bahwa paman dan bibi yang baik itu akan pergi meninggalkan rumah mereka.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak dapat lagi menunda keberangkatan mereka. Setelah makan dan beristirahat sebentar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu-pun minta diri.
Rara Wulan mencium kening anak ketiga yang masih duduk di tempatnya. Kemudian mengusap yang lain yang masih tertidur.
"Anak ini ngompol, mbokayu," desis Rara Wulan ketika ia menyentuh anak Ki. Setraderma yang keenam.
"Sudah tiga malam ia tidak ngompol. Kemarin ia tentu terlalu banyak berlari-larian.
Rara Wulan tersenyum. Tetapi anak yang ngompol itu sama sekali tidak tergerak untuk bangun.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah keluar dari regol halaman rumah Ki. Setraderrna. Kedua orang suami isteri itu mengantar mereka sampai di regol Bahkan anaknya yang ketiga, ternyata sudah turun pula dari amben dan berlari-lari ke regol halaman pula.
"Nanti kembali ya bibi," anak itu berteriak.
Rara Wulan dan Glagah Putih berpaling. Diangkatnya tangannya sambil tersenyum.
Anak itu berdiri termangu-mangu. Bersama ayah dan ibunya ia menatap punggung Glagah Putih dan Rara Wulan yang semakin lama menjadi semakin jauh.
Embun pagi masih menetes dari dedaunan yang basah. Jalan-jalan masih sepi. Di satu dua halaman terdengar suara sapu lidi serta induk ayam yang memanggil anak-anaknya turun dari kandangnya. Sekali-sekali terdengar ayam jantan berkokok disela-sela kotek ayam betina yang saling bekejaran.
Langit-pun semakin menjadi cerah. Burung-burung liar berkicau bersahutan menyambut datangnya hari yang baru kelanjutan hari kemarin.
Ki. Setraderrna, isterinya dan anaknya yang ketiga-pun kemudian masuk kembali ke regol halaman rumahnya menyeberangi halaman depan dan masuk ke ruang dalam.
Sambil naik ke amben besar di ruang dalam itu, anak ketiga Ki. Setraderma bertanya, "Ayah. Apakah paman dan bibi itu saudara ayah atau ibu?"
Ki. Setraderrna menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Kita dan semua orang seharusnya merasa bersaudara."
"Tetapi dengan orang-orang jahat itu?"
"Biarlah mereka yang merasa dirinya tidak bersaudara dengan kita. Bukan kita."
Anak itu mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti maksud ayahnya. Tetapi ia tidak bertanya. Bahkan kemudian ia-pun telah kembali membaringkan dirinya diantara saudara-saudaranya.
"He, kenapa kau tidur lagi?" bertanya ibunya.
Anak itu tidak menyahut. "Matahari sudah hampir terbit. Bangun. Cuci mangkuk yang kotor itu. Biarlah kakakmu mengisi jambangan pakiwan dan menyapu halaman."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berbaring. Tetapi matanya tetap terbuka.
Ketika saudaranya yang kedua terbangun, anak itu-pun berkata, "Paman dan bibi sudah pergi."
"He?" "Paman dan bibi sudah pergi. Baru saja."
Anak yang kedua itu segera bangkit. Ia memang tidak melihat Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kau melihat paman dan bibi itu pergi?"
"Ya." "Bohong." "Aku mengantarnya sampai ke regol bersama ayah dan ibu."
"Kenapa tidak kau bangunkan aku?"
"Aku lupa." Anak itu termenung sejenak. Namun kemudian terdengar suara ibunya, "Bangun. Kerjakan tugas kalian masing-masing."
Ketika anaknya yang pertama bangun, maka yang pertama-tama ditanyakan adalah, "Apakah ayah hari ini juga akan pergi ke kedai?"
Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun ibunya itu-pun kemudian bertanya kepada ayahnya, "Kau akan pergi ke kedai, kang?"
Ki. Setraderma menggeleng. Katanya, "Hari ini tidak. Aku akan berada di rumah. Entahlah, apakah aku masih akan pergi ke kedai atau tidak."
"Aku setuju, kang. Pemilik kedai itu ternyata orang yang licik. Ia sudah melemparkan nasib buruknya kepadamu. Kau telah dijadikan kambing hitam untuk mencari selamat."
Ki. Setraderma mengangguk.
"Semua orang memang berhak mencari selamat. Tetapi tidak dengan mengorbankan orang lain. Karena itu, kang. Biarlah kau untuk sementara di rumah saja. Ketela pohon kita di kebun belakang juga sudah waktunya dicabut. Jagung di pategalan juga sudah cukup tua. Sementara menunggu panen, padi di lumbung, ketela pohon di kebun belakang dan jagung di pategalan, agaknya akan mencukupi, meski-pun kita harus berhemat Mungkin kakang lebih baik membantu kerja tetangga di sawah dan ladang daripada menjadi pelayan kedai. Memang mungkin kerja di kedai lebih ringan. Tidak kepanasan, makan sedikitnya dua kali sehari. Tetapi jika kakang hanya akan menjadi kambing hitam, lebih baik kakang tidak pergi saja."
Ki. Setraderma mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku memang tidak akan pergi."
"Kemarin uwa Parta mencari seseorang yang bersedia memotong pohon nangka di halaman belakang rumahnya kang. Pohon nangka tua itu ditebang untuk dijadikan kerangka rumah. Uwa Parta akan menambah rumahnya satu wuwung lagi. Kecuali kayunya bisa dipakai untuk membuat beberapa tiang, perluasan rumahnya itu akan sampai ke pohon nangka itu pula."
"Baiklah, Nyi. Nanti aku pergi ke rumah uwa Parta. Tetapi untuk menebang pohon nangka sebesar itu, aku memerlukan sedikitnya dua orang kawan lagi. Tetapi kerja sebagai seorang belandong pernah aku lakukan pula sehingga aku sudah cukup berpengalaman."
Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Ki. Setraderma-pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah uwa Parta. Namun sebelum ia turun ke halaman, dua orang telah mendatanginya.
Ternyata pemilik kedai itulah yang datang, sambil membawa sebuah bakul. Bahkan tidak sendiri. Ia datang bersama isterinya.
Keduanya-pun kemudian dipersilahkan duduk ditemui oleh Ki. Setraderma bersama isterinya.
"Aku minta maaf,. Setra," berkata pemilik kedai itu, "aku sungguh-sungguh menyesal telah menjerumuskan kau kedalam kesulitan. Jika tidak ada kedua orang pengembara itu, mungkin kita sudah tidak akan pernah bertemu lagi, sehingga aku akan menyesali kesalahanku itu seumur hidupku."
"Sudahlah kang. Kita lupakan saja apa yang telah terjadi."
"Bagaimana aku dapat melupakan. Aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, sehingga mengancam jiwamu."
"Tetapi bukankah aku tidak apa-apa" Kang. Bukankah mati dan hidup seseorang itu sudah ada yang menentukan" Kita tinggal menjalaninya. Lahir, kemudian mati. Adakah kita dapat merencanakannya."
"Kau benar. Setra," pemilik kedai itu mengangguk-angguk.
Sementara itu isterinya-pun berkata, "Inilah Nyi. Aku membawa sedikit beras dan kebutuhan dapur."
Nyi. Setraderma beringsut sambil berdesis, "Kenapa repot-repot, Nyi."
"Sekedar untuk anak-anak."
"Terima kasih, Nyi. Terima kasih sekali."
"Hanya inilah yang dapat aku bawa, Nyi."
"Itu sudah lebih dari cukup. Kami sekeluarga senang sekali menerima pemberian yang tentu sangat berarti bagi kami sekeluarga."
Isteri pemilik kedai itu tersenyum sambil berkata, "Lain kali, mudah-mudahan kami dapat membawa apa-apa lagi bagi anak-anak. Nyi, aku juga mempunyai banyak anak. Sehingga aku tahu, apa yang dibutuhkan oleh anak-anak itu."
"Terima kasih. Tetapi ini sudah cukup. Lain kali kami tidak usah merepotkan lagi."
"Tidak apa-apa. Kami sama sekali tidak merasa repot."
Nyi. Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat berkata apa-apa lagi, sehingga karena itu, maka ia-pun terdiam.
Yang kemudian berbicara adalah pemilik kedai itu, "Setraderma. Kedatanganku selain untuk menengok keadaanmu sekeluarga serta minta maaf atas sikapku itu, aku juga ingin menyampaikan harapan agar kau masih bersedia bekerja sama dengan kami sekeluarga di kedai itu. Aku berjanji untuk tidak berbuat kesalahan lagi, apalagi yang dapat mencelakakanmu dan mengancam jiwamu."
Ki. Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maaf, kang. Sampai saat ini aku masih belum sempat memikirkan, kapan aku dapat mulai bekerja lagi. Untuk sementara aku ingin beristirahat. Aku ingin benar-benar melupakannya."
"Bukankah kau mengatakan, bahwa kita sebaiknya melupakan saja peristiwa itu."
"Ya. Tetapi yang aku maksudkan, kakang tidak usah merasa bersalah karenanya."
"Mungkin kita memang perlu beristirahat. Aku-pun akan beristirahat untuk beberapa hari. Tetapi aku tetap minta kesediaanmu untuk bersedia bekerja bersama lagi."
"Aku akan memikirkannya, kang."
"Baiklah. Tetapi aku sangat berharap."
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, suami isteri itu-pun minta diri. Pemilik kedai itu masih saja berpesan, agar. Setraderma segera datang ke rumahnya, apabila ia sudah merasa cukup beristirahat.
"Baik, kang. Tetapi aku tidak dapat berjanji, kapan aku akan datang ke rumah kakang."
Sepeninggal pemilik kedai itu, Ki. Setraderma bertanya kepada isterinya, "Kenapa kau terima pemberiannya?"
"Aku juga merasa ragu-ragu, kang. Tetapi bagaimana aku dapat menolak pemberian yang ikhlas itu."
"Kau kira mereka memberikannya dengan ikhlas?"
"Maksudmu?" "Mereka ingin menghapus kesalahannya. Mereka-pun ingin aku bekerja lagi kepada mereka. Agaknya mereka akan kesulitan untuk mencari tenaga baru. Jarang orang yang mau menjadi pelayan sebuah kedai. Jika ada yang bersedia, mereka tidak bekerja dengan rajin dan sepenuh hati. Seorang pelayan kedai juga harus tahu unggah-ungguh dan bersikap baik kepada para tamu."
"Mungkin kakang benar. Tetapi mereka berikan bawaan mereka itu dengan ikhlas. Seandainya ada pamrih seperti yang kakang katakan, itu-pun masih wajar. Mereka tidak mau selalu dibayangi oleh kesalahan yang pernah mereka lakukan. Dengan pemberiannya, mereka akan merasa setidak-tidaknya kesalahan itu telah disusut. Bukankah kita telah berbuat satu kebaikan dengan memperingan beban perasaan seseorang". Sedangkan harapan mereka agar kakang kembali bekerja kepada mereka itu-pun wajar pula. Kakang orang yang tidak banyak menuntut, rajin bekerja dan sudah berpengalaman, sehingga tidak perlu mengajarinya lagi."
Ki. Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia-pun mengangguk-angguk sambil berdesis, "Kau benar, Nyi."
"Tetapi kakang memang harus mempertimbangkan masak-masak, apakah kakang akan menerima tawaran itu atau tidak."
"Aku masih mempunyai waktu, Nyi. Aku tidak tergesa-gesa memberi jawaban."
"Nah, sekarang apakah kakang masih ingin pergi ke rumah uwa Parta."
"Ya, Nyi. Aku akan pergi ke rumah uwa Parta. Aku ingin mencoba, apakah aku masih seorang belandong yang baik setelah untuk beberapa lama aku hanya bersentuhan dengan mangkuk nasi dan minuman seria makanan. Apakah tangan-tanganku masih tetap terampil mengayunkan kapak."
Sejenak kemudian, maka Ki. Setraderma itu-pun telah turun ke jalan di depan rumahnya. Kemudian melangkah menelusuri jalan padukuhan menuju ke rumah uwa Parta.
Dalam pada itu, jauh di luar padukuhan, bahkan sudah diantara, oleh beberapa bulak dan padukuhan, Glagah Putih berjalan bersama Rara Wulan di atas jalan berdebu. Panas matahari semakin lama terasa semakin terik, menyengat tubuh mereka.
Di langit nampak sekelompok gelatik terbang dengan cepat ke Tenggara.
"Padi sudah tua di sana," desis Rara Wulan.
"Ya. Burung gelatik itu seperti diundang berbondong-bondong menuju ke sana."
Rara Wulan memandang sekelompok burung glatik itu sampai hilang ditelan birunya langit.
Keduanya-pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Dipanasnya sinar matahari, maka debu-pun terhambur dihembus angin.
Seorang penunggang kuda melarikan kudanya melintas di jalan yang lengang itu. Penunggangnya memperlambat derap kaki kudanya ketika orang berkuda itu berpapasan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Bahkan kuda itu-pun kemudian berhenti. Tanpa turun dari kudanya, penunggangnya-pun bertanya, "Ki Sanak. Dimanakah letak pasar Banyuanyar?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Baru sesaat kemudian ia-pun menjawab, "Jalan ini akan sampai ke pasar Banyuanyar, Ki Sanak. Kami juga dari Banyuanyar."
"Apakah pasar Banyuanyar itu cukup ramai?"
"Ki Sanak belum pernah pergi ke pasar Banyuanyar?"
"Jika aku pernah pergi ke sana, aku tentu tidak akan bertanya kepadamu."
"O," Glagah Putih mengangguk-angguk, "pertanyaan yang bodoh."
Penunggang kuda itu tidak menyahut. Sementara Glagah Putih-pun berkata pula, "Pasar Banyuanyar cukup ramai di hari pasaran, Ki Sanak. Tetapi di hari-hari lain-pun pasar itu banyak dikunjungi orang."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Untuk apa kalian membawa pedang di lambung?"
Pertanyaan itu memang mengejutkan. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian Rara Wulanlah yang menyahut, "Kami akan menempuh perjalanan jauh, Ki Sanak. Mungkin di sepanjang perjalanan, kami memerlukan pedang."
"Maksudmu, untuk melindungi diri?"
"Ya." Orang berkuda itu tertawa. Katanya, "Kau salah. Pedang kadang-kadang justru mengundang malapetaka."
"Tetapi Ki Sanak juga membawa senjata meski-pun bukan pedang. Tetapi keris yang besar itu sama saja artinya dengan sebilah pedang."
Penunggang kuda itu masih tertawa Katanya, "tetapi aku yakin, bahwa kerisku ini mampu melindungi diriku."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun dengan ragu-ragu ia-pun berkata, "Maksud kami, daripada tidak bersenjata apa-apa. Seandainya kami bertemu dengan orang jahat maka dengan pedang, kami akan melawannya."
"Penjahat itu akan terpancing untuk mempergunakan senjatanya pula. Nah, bukankah pedangmu itu akan dapat memperpendek umurmu. Sebenarnya penjahat itu tidak ingin menyakitimu. Tetapi karena kau berpedang dan bahkan telah berusaha melukainya, maka penjahat itu sengaja atau tidak sengaja dapat membunuhmu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar, Ki Sanak. Tetapi kami merasa lebih tenang berjalan dengan membawa pedang di lambung."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi berhati-hatilah dengan pedang kalian. Jangan terlalu mudah mencabut pedang kalian itu."
"Terima kasih atas peringatanmu, Ki Sanak. Kami dapat mengerti sepenuhnya."
Penunggang kuda itu-pun kemudian menggerakkan kendali kudanya sambil berkata, "Terima kasih, Ki sanak. Aku akan pergi ke pasar Banyuanyar."
Sejenak kemudian kuda itu-pun telah berlari dengan kencangnya menuju ke pasar Banyuanyar.
"Apakah yang akan dilakukannya?" desis Rara Wulan.
"Mudah-mudahan orang itu tidak melakukan kekerasan apapun alasannya," sahut Glagah Putih.
Keduanya-pun kemudian telah melanjutkan perjalanan mereka di bawah teriknya sinar matahari.
Ketika mereka sampai di simpang ampat, mereka melihat seorang perempuan yang sedang memanjat pohon turi untuk mengambil bunganya. Bahkan merambat sampai ke cabang-cabang yang terhitung kecil.
Di luar sadarnya, ketika sebuah cabang yang diinjak oleh kaki perempuan itu berayun, Rara Wulan berkata, "Yu. Hati-hatilah."
Perempuan yang memanjat itu berpaling. Ketika ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, maka ia-pun berkata, "Kayu turi adalah kayu yang liat. Jangan takut kalau aku akan jatuh. Kerja ini adalah kerjaku sehari-hari."
"Siang-siang begini, mbokayu memetik bunga turi."
"Anakku senang sekali bunga turi yang direbus. Kemudian dimakan dengan sambal gula kelapa. Jika ia tidak berselera untuk makan, maka ia selalu minta aku merebus bunga turi."
"Anak mbokayu itu laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki." "Kenapa ia tidak memanjat sendiri?"
"Memanjat sendiri" Anakku belum genap berumur lima tahun."
"O. Masih terlalu kecil. Tetapi ia sudah menggemari bunga turi dengan sambal."
"Anakku selalu makan dengan sambal. Sambal apa saja. Sambal gula kelapa, sambal terasi, sambal jenggot, sambal lombok goreng, pokoknya sambal apa saja asal pedas."
"Apakah perutnya tidak terganggu?"
Perempuan yang masih berada di dahan pohon turi itu tertawa. Katanya, "Sudah sejak masih merangkak anakku sudah sering makan sambal tanpa terganggu perutnya. Anakku tidak pernah sakit perut karena sambal."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih berdiri di tempatnya sambil memandangi perempuan yang dengan terampil memetik bunga turi di ujung-ujung dahan.
"Kau dapat melakukannya?" bertanya Glagah Putih.
"Aku belum pernah mencoba."
"Kau pernah berlatih diatas sebuah amben yang sudah hampir roboh. Ternyata kau mampu melakukannya tanpa mematahkan kakinya yang sudah rapuh itu."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah bahwa timbul niatnya untuk melakukannya pada kesempatan yang lain.
"Nanti, jika di sebelah padukuhan itu ada pohon turi."
"Pemiliknya akan marah. Dikiranya kau akan mengambil bunganya tanpa seijinnya."
"Apakah pohon turi yang tumbuh diatas tanggul parit itu ada yang punya."
"Tentu saja, Rara. Yang punya adalah pemilik sawah di sebelahnya."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Kecuali jika kita mencoba pada dahan pepohonan di pinggir hutan."
"Kita tidak tahu, apakah dahannya lentur dan liat seperti dahan pohon turi."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Sementara itu, keduanya-pun telah melanjutkan perjalanan mereka.
Terik matahari terasa menyengat tubuh ketika matahari itu justru sudah melintasi puncaknya. Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berjalan menyusuri bulak. Jika mereka melintas dibayangan pepohonan yang rimbun yang tumbuh di pinggir jalan, terasa sejuknya seakan-akan menyusup kulit. Namun kemudian, jika mereka kembali memasuki terik matahari, rasa-rasanya mereka dipanggang diatas bara.
Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang lengang. Yang terdengar adalah suara orang menumbuk padi dalam irama yang ajeg. Sekali-sekali terdengar lenguh lembu dan kokok ayam jantan di halaman.
Rupa-rupanya anak-anak malas keluar rumah untuk bermain di udara yang panas itu.
Di halaman sebuah rumah yang tidak terlalu luas, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat seorang perempuan yang duduk di atas tangga di depan pintu sambil menyuapi mulut anak bayinya dengan paksa. Perempuan itu tidak menghiraukan bayinya yang menjerit-jerit.
"Anak itu," desis Glagah Putih.
"Kebiasaan yang juga sering aku lihat di Tanah Perdikan Menoreh," sahut Rara Wulan, "anak itu disuapi dengan nasi yang dilumatkan dicampur dengan gula kelapa."
"Kenapa ibunya tidak menunggu anak itu diam?"
"Anak itu tidak akan mau makan jika tidak dipaksa."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Bahkan langkah kakinya menjadi semakin cepat agar tangis bayi itu, tidak lagi terdengar keras sekali.
Dekat di ujung jalan didalam padukuhan itu, terdapat sebuah rumah yang lebih besar dari rumah yang lain. Di depan regol terdapat sebuah gentong berisi air bersih. Sebuah siwur tempurung kelapa terletak diatas pontong yang tertutup mangkuk yang terbuat dari tanah liat.
Seorang perempuan tua yang kehausan, telah minum air dari gentong itu.
Ketika mereka keluar dari gerbang padukuhan, maka kembali mereka memasuki teriknya sinar malahan. Demikian panasnya sehingga udara dialas jalan yang membujur panjang itu bagaikan menguap.
"Mudah-mudahan kita menemukan sebuah kedai, meski-pun kedai itu kecil saja," desis Rara Wulan.
"Atau sebaliknya. Meski-pun kedai itu kedai yang besar. Bukankah terbiasa bagi kita untuk masuk kedalam kedai yang kecil?" sahut Glagah Putih.
"Sama saja, kan?" bertanya Rara Wulan.
"Ada bedanya." Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak sempat memikirkan perbedaannya.
Ketika mereka melintasi sebuah bulak yang tidak begitu luas, maka mereka telah memasuki sebuah padukuhan yang lain. Beberapa puluh langkah dari gerbang padukuhan, mereka menjumpai sebuah kedai yang tidak begitu besar. Di kedai itu dijual pula kebutuhan sehari-hari selain makanan dan minuman.
Di sebelah kedai itu terdapat sebuah halaman yang luas. Dua buah pedati nampak berhenti di halaman yang luas itu. Bahkan lembunya telah dilepas dan diikat pada sebatang pohon kelapa yang banyak terdapat di halaman itu.
"Nampaknya halaman itu memang tempat pemberhentian pedati," desis Rara Wulan, "lihat saja bekas rodanya yang membuat lekuk-lekuk di tanah. Jika hujan turun, maka halaman itu akan menjadi halaman yang sangat becek."
"Ya Nampaknya halaman itu memang tempat pemberhentian pedati," sahut Glagah Putih.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya-pun menapak memasuki pintu kedai itu.
Didalam kedai itu ternyata sudah ada beberapa orang yang duduk sambil berbincang. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk, mereka berpaling sejenak. Namun kemudian mereka tidak menghiraukan lagi.
Justru karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan merasa tenang duduk di sudut kedai itu. Mereka duduk di sebuah lincak yang lubang di sebelah geledeg bambu.
"Agak kurang bersih," bisik Rara Wulan.
Glagah Putih memang melihat bahwa pemilik kedai itu agaknya kurang memperhatikan kebersihan kedainya. Di lantai terserak beberapa lembar daun pisang bekas bungkus makanan. Disudut nampak sarang laba-laba yang agaknya sudah cukup lama tidak dibersihkan. Asap yang kehitam-hitaman disekitar perapian dan beberapa kesan lainnya yang menjadikan kedai itu nampak kurang terawat.
Demikian keduanya duduk, maka seorang perempuan yang sudah separo baya mendatangi mereka sambil bertanya, "Minum" Makan?"
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Ketika ia beringsut setapak, Glagah Putih menggamitnya. Bahkan Glagah Putih menjawab, "Ya, bibi."
Perempuan itu tidak bertanya apa-apa lagi. Ia langsung pergi menyampaikan pesan itu kepada pemiliknya.
Dituangkannya minuman dan disenduknya nasi dengan sayur dan lauknya. Kemudian perempuan separo baya itulah yang menghidangkannya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Rara Wulan mengamati minuman yang masih hangat itu dengan kerut di dahi. Demikian pula nasi yang nampaknya sudah dingin.
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih hampir berbisik.
"Aku jadi ragu-ragu," desis Rara Wulan, "nampaknya juga tidak bersih seperti ruang kedainya ini."
"Kau membayangkan yang bukan-bukan, makanlah. Ini masih lebih baik daripada kita menangkap buruan di hutan perdu atau menangkap ikan di sungai, mengasapinya dan kemudian makan sambil duduk di bawah sebatang pohon gayam."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Kita akan makan."
Keduanya-pun kemudian menghirup minuman mereka yang masih hangat Wedang jae.
"Segar juga wedang jaenya," desis Glagah Putih.
"Manis sekali," sahut Rara Wulan.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dipandanginya seisi ruang di kedai itu.
"Kau lihat keranjang-keranjang itu?"
"Ya." "Isinya tentu gula kelapa. Agaknya padukuhan ini menghasilkan banyak sekali gula kelapa."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Disini banyak sekali pohon kelapa. Di halaman sebelah saja ada berapa puluh batang pohon kelapa. Disetiap kebun dan barangkali di padukuhan ini terdapat kebun kelapa pula."
"Sebagian dari pohon kelapa itu agaknya disadap legennya untuk membuat gula kelapa."
"Dan pedati-pedati itu adalah pedati dari para pedagang gula kelapa. Mereka membeli gula kelapa disini dan dibawa ke pasar di daerah yang kekurangan gula kelapa."
"Tidak hanya gula."
"Apalagi?"

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kelapa." Keduanya terdiam. Mereka melihat tiga orang mendorong sebuah keseran yang bermuatan kelapa kering.
"Mungkin pedati-pedati itu akan membawa gula, tetapi mungkin juga kelapa untuk dibuat minyak kelapa."
Keduanya mengangguk-angguk. Untuk sesaat mereka terdiam karena mereka sedang menyuapi mulut mereka.
"Masakannya juga terlalu manis," desis Rara Wulan pula.
"Terlalu manis dan terlalu pedas," desis Glagah Putih yang kepedasan.
Namun keduanya-pun terdiam ketika mereka melihat seorang yang gemuk memasuki kedai itu bersama dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap.
Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut ketika ia melihat orang-orang yang sudah berada didalam kedai itu.
"Kau, Wirog," desis orang yang bertubuh gemuk itu.
Seorang diantara beberapa orang yang sudah duduk dikedai itu-pun bangkit berdiri pula. Nampaknya orang itu juga terkejut. Bahkan beberapa orang yang lain.
"Den Bera," desis orang yang dipanggil Wirog itu.
"Jangan panggil aku Bera. Panggil namaku."
"Bukankah namamu Bera."
"Tidak. Namaku Sumunar."
"He?" "Kenapa?" "Sejak kapan namamu berubah?"
"Ayah dan ibuku memberi nama kepadaku Sumunar, kau dengar. Karena itu, jangan panggil aku Bera."
"Kau juga memanggilku sesuka hatimu."
"Namamu sejak kecil juga Wirog."
"Tidak. Itu sekedar paraban. Namaku Basmi."
"Persetan dengan namamu. Aku sudah terbiasa memanggilmu Wirog."
Orang yang dipanggil Wirog itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun bergumam, "Kau memang aneh. Kau minta dipanggil menurut kehendakmu. Tetapi kau memanggil orang lain sesukamu. Jika kau tetap memanggil parabanku, aku juga akan tetap memanggilmu Den Bera. Raden Bera."
"Persetan kau Wirog. Sekarang katakan, untuk apa kau datang kemari."
"Aku membeli kelapa kering. Aku membuat minyak kelapa di rumah."
"Kau telah melanggar hakku."
"Melanggar hakmu" Hak apa?"
"Sejak beberapa tahun, akulah pembeli tunggal disini. Akulah yang membeli kelapa kering serta gula kelapa dari penghuni padukuhan ini. Tiba-tiba sekarang kau juga muncul disini."
"Darimana kau mendapatkan hak itu, Den Bera. Siapakah yang telah memberikan hak kepadamu untuk menjadi pembeli tunggal di padukuhan ini?"
"Wirog. Kau sudah menyaingi aku di pasar Pandean. Sekarang kau datang kemari untuk menyaingi aku pula."
"Den. Ketahuilah, bahwa aku sama sekali tidak sengaja menyaingimu. Di pasar Pandean aku bertemu dengan seseorang yang tinggal di padukuhan ini. Orang itu menawarkan kelapa dan gula kelapa. Nampaknya harganya-pun sesuai. Karena itu, aku datang kemari."
"Apakah orang itu tidak mengatakan, bahwa aku adalah pembeli tunggal disini?"
"Tidak. Bahkan nampaknya orang itu telah menawarkan kepada orang lain pula. Bukankah dengan demikian berarti bahwa ia tidak ingin kau menjadi pembeli tunggal disini" Dengan demikian, maka ada orang lain untuk memperbardingkan harga."
"Siapa orang itu he?"
Orang yang dipanggil Wirog itu-pun termangu-mangu sejenak. Kemudian ia-pun berkata, "Aku tidak dapat mengatakannya. Nampaknya kau tidak senang ada orang lain yang datang untuk membeli kelapa dan gula kelapa. Jika aku menyebut namanya agaknya orang itu akan dapat mengalami kesulitan."
"Wirog. Jika kau tidak mau menyebut namanya untuk menghindari kesulitan, maka kaulah yang akan mengalami kesulitan."
"Kenapa?" "Aku akan mengusirmu. Jangan kembali lagi kemari. Nampaknya kau berani membeli kelapa dan gula kelapa dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang aku tentukan."
"Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?"
"Dua orang telah menipuku."
"Menipu?" "Mereka mengatakan bahwa kelapa mereka belum tua. Bahkan ada yang tidak berbuah karena dimakan hama. Mereka-pun tidak mempunyai gula pula. Pohon kelapa mereka yang dimakan hama itu, manggarnya telah rusak dan tidak dapat disadap."
"Mungkin mereka tidak berbohong. Apalagi berniat menipumu. Sedangkan kemungkinan yang lain, kau terlalu rendah memasang harga."
"Persetan semuanya itu. Tentu kaulah yang membuat harga-harga naik disini. Seorang yang lain telah minta aku menaikkan harga. Tetapi aku tidak mau. Aku akan membeli dengan harga yang sudah aku tetapkan."
"Agaknya kau terlalu banyak mengambil keuntungan. Dengan harga yang aku pasang, yang barangkali memang lebih tinggi dari hargamu, aku masih mendapat keuntungan yang cukup. Pedati yang aku sewa, aku bayar dengan harga sewa yang pantas. Orang-orang yang membantuku aku upah dengan upah yang pantas pula."
"Wirog. Ingat ini. Aku tidak mau disaingi. Jika kali ini kau sudah terlanjur membayar kelapa dan gula kelapa yang kau beli, bawalah pergi. Tetapi lain kali jangan kembali lagi."
"Den Bera," berkata orang yang dipanggil Wirog itu, "kita dapat berunding. Kita dapat menentukan harga bersama-sama. Tentu saja harga yang pantas, agar kita tidak bersaing. Tetapi jika harga kita terlalu rendah, maka akan ada orang lain lagi yang datang dan berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga kita."
"Aku tidak mau. Sekali lagi aku ingatkan, jangan kembali. Orang lain-pun tidak akan aku perbolehkan datang kemari untuk membeli kelapa dan gula kelapa."
"Den. Kenapa kau melarangku datang kamari?"
"Sudah aku katakan. Aku tidak mau disaingi."
"Caramu tidak dapat dibenarkan, Den Bera. Jika kau menjadi pembeli tunggal, maka kau dapat menentukan harga semaumu. Sementara kau mendapat untung yang berlebihan, orang-orang padukuhan ini mengeluh karena harga yang kau tentukan tanpa ada perbandingan, terlalu rendah. Sebaiknya, marilah kita berdagang bersama-sama. Kau dan aku sama-sama mencari keuntungan tanpa mencekik penghuni padukuhan ini."
"Wirog. Kau telah meracuni ketenangan hidup orang-orang padukuhan ini. Kedatanganmu akan dapat menimbulkan gejolak yang mengguncang ketenteraman dan kedamaian di padukuhan ini. Karena itu, pergilah dan sekali lagi aku peringatkan, jangan kembali lagi. Jika kau kembali, maka selanjutnya kau tidak akan pernah dapat keluar lagi dan padukuhan ini."
"Kau mengancam aku. Den Bera?"
Orang gemuk yang diikuti oleh kedua orang pengawalnya yang tinggi dan besar itu mengerutkan dahinya. Kemudian dipandangnya orang yang dipanggilnya Wirog itu dengan tajamnya. Katanya dengan suara bergetar, "Ya. Aku mengancammu. Karena itu, pergilah. Selambat-lambatnya nanti saat senja turun. Jika malam nanti aku masih melihat kau disini maka aku akan membunuhmu. Aku tidak mau jalan perdaganganku kau rusak disini sebagaimana di pasar Pandean."
"Den Bera. Kau jangan mengancam aku seperti itu. Itu tidak ada gunanya. Sebaiknya kita bicarakan saja apa yang baik kami lakukan. Kita dapat merundingkan harga yang pantas. Kita dapat membagi dagangan yang dapat diambil dari padukuhan ini."
"Tidak, kau dengar. Sekali lagi aku peringatkan. Aku tidak mau melihatmu lagi lewat senja. Kau harus pergi. Aku tahu, bahwa nanti pedatimu akan datang untuk mengambil dagangan yang sudah berhasil kau kumpulkan. Bawa semuanya yang sudah terlanjur kau beli itu. Tetapi jangan kembali."
"Kau benar. Nanti di sore hari dua pedatiku akan datang kemari. Tetapi aku tidak akan pergi meski-pun senja turun. Malam ini aku akan bermalam disini. Baru esok, didini hari kedua pedatiku itu akan meninggalkan padukuhan ini langsung ke pasar. Sambilegi yang besok jatuh pada hari pasaran."
"Setan kau Wirog. Renungkan kata-kataku. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka kau akan menyesal seumur hidupmu. Kau tidak akan pernah pulang kepada keluargamu."
Wirog tidak menghiraukan lagi. Ia-pun telah duduk kembali di antara beberapa orang kawannya. Sementara itu orang yang dipanggilnya Den Bera namun mengaku bernama Sumunar itu menghentakkan tangannya sambil menggeram, "Kau telah meremehkan aku, Wirog. Kau akan menyesal."
Orang yang dipanggilnya Wirog itu menyahut, "Kita mempunyai hak yang sama disini, Den Bera. Bahkan kalau ada orang lain lagi datang, ia-pun mempunyai hak yang sama pula."
Orang yang dipanggil Den Bera itu menggeram. Namun kemudian ia-pun memberi isyarat kepada kedua orang pengawalnya untuk meninggalkan kedai itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk disudut kedai itu mengikuti pembicaraan kedua orang itu dengan tegang. Namun, ketika orang gemuk itu pergi, rasa-rasanya dada mereka-pun menjadi lapang.
"Tetapi persoalannya masih belum selesai," berkata Rara Wulan hampir berbisik.
"Ya, "Glagah Putih mengangguk-angguk, "benturan kekerasan masih saja dapat terjadi. Hanya tertunda untuk sementara."
Sambil meneguk minumannya Rara Wulan memandangi orang yang disebut Wirog dan kawan-kawannya. Ia-pun menggamit Glagah Putih yang sedang sibuk menghabiskan nasinya. Beberapa saat ia berhenti makan ketika terjadi pembicaraan yang tegang itu.
Glagah Putih-pun mengangkat wajahnya. Ia-pun melihat orang-orang itu bangkit berdiri.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Wirog itu mendekati mereka. Selangkah dari Glagah Putih orang itu berhenti. Sambil tersenyum ia-pun berkata, "Jangan cemas, anak muda. Kau melihat perselisihan yang terjadi" Tetapi itu semata-mata masalahku dengan Raden Sumunar yang lebih sering disebut Den Bera, yang memanggil aku seenak perutnya sendiri."
Glagah Putih-pun menyahut, "Ya paman. Tetapi aku ikut menjadi tegang."
Orang yang dipanggil Wirog itu-pun tersenyum. Katanya kemudian, "Namaku Basuri. Aku lebih senang kau memanggilku paman Basuri daripada paman Wirog. Kau tentu tahu, bahwa Wirog adalah sejenis tikus yang besarnya sama dengan tupai. Bahkan ada yang lebih besar. Tentu saja Sumunar itu bermaksud merendahkan aku dengan panggilannya itu."
"Ya paman." "Nah, jika kau sudah selesai, sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini, agar kau tidak ikut tersentuh persoalan yang seharusnya terbatas sekali. Antara aku dan Raden Sumunar yang ingin menjadi pembeli tunggal di padukuhan ini."
Dalam pada itu terdengar suara seorang perempuan, namun cukup tegas, "Jangan berselisih di kedaiku. Apalagi berkelahi disini. Beberapa hari yang lalu ada orang yang berkelahi di kedai ini. Sebuah lincakku rusak. Beberapa buah mangkuk pecah. Tidak ada yang merasa wajib mengganti kerusakan itu."
"Tidak, yu," jawab Basuri, "aku akan pergi. Jika aku harus berkelahi, aku akan berkelahi di halaman sebelah yang cukup luas."
Basuri dan beberapa orang kawannya-pun kemudian meninggalkan kedai itu. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum selesai, karena beberapa kali mereka harus berhenti makan."
Pemilik kedai itu, seorang perempuan yang juga sudah separo baya sebagaimana pelayannya itu-pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Kalian cari apa disini anak-anak muda. Cari penyakit?"
"Kami hanya sekedar lewat, bibi."
Orang itu mencibirkan bibirnya. Katanya, "Banyak orang gila disini. Orang gemuk yang mengaku bernama Sumunar itu-pun orang gila pula."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Glagah Putih bertanya, "Kenapa, bi?"
"Ia memang pembeli tunggal selama ini. Ia menentukan harga sekehendaknya sendiri. Keuntungannya lebih besar dari pendapatan orang-orang padukuhan ini, yang mempunyai tanah, menanam dan memelihara pohon kelapa itu."
"Sedangkan orang yang dipanggil Wirog itu?"
"Ia orang baru bagi kami. Aku belum tahu, apakah ia juga gila atau tidak. Tetapi menilik kata-katanya, ia agaknya lebih waras daripada Sumunar itu. Tetapi entahlah kelak jika ia berhasil menyingkirkan Sumunar. Apakah ia juga akan menjadi gila seperti Sumunar."
"Kenapa orang-orang padukuhan ini membiarkan hasil kebunnya dibeli oleh Sumunar dengan harga yang murah, bibi?" bertanya Rara Wulan.
"Orang-orang padukuhan ini tidak mempunyai pilihan. Tidak ada orang lain yang mau membelinya. Kedatangan orang yang disebut Wirog itu mungkin dapat membawa angin baru. Tetapi nampaknya umur Wirog itu-pun hanya akan sampai malam nanti."
"Kenapa?" "Sebelum Wirog juga pernah ada orang yang datang untuk membeli kelapa dan gula Sumunar juga menemuinya dan memperingatkannya sebagaimana kepada Wirog itu tadi. Tetapi orang itu tidak mau mendengarnya. Ternyata menjelang pagi, orang menemukan mayatnya dan tiga orang pengawalnya di mulut lorong."
"Sumunar yang membunuhnya?"
"Ya. Kau lihat ia membawa orang-orang upahan yang ganas. Yang dibawanya kemari hanya dua orang. Tetapi ia dapat mendatangkan orang berapa saja yang ia kehendaki."
"Jika demikian, orang itu benar-benar gila."
"Karena itu, pergilah. Kau jangan berada di padukuhan ini terlalu lama. Kau akan dapat tersentuh oleh keributan yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Mungkin malam nanti. Tetapi dapat saja terjadi tanpa menunggu malam."
"Tetapi waktu yang diberikan oleh Sumunar kepada Basuri itu sampai batas senja."
"Bunyi mulut orang itu dapat berubah-ubah setiap saat."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Kalau kau sudah selesai, pergilah," berkata orang itu pula.
"Baik, baik, bibi."
Glagah Putih-pun kemudian membayar harga makanan dan minuman yang dipesannya. Kemudian mereka berdua-pun minta diri.
Tetapi sebelum mereka meninggalkan kedai itu, mereka melihat tiga orang dengan tergesa-gesa memasuki kedai itu sambil bertanya lantang, "Dimana monyet itu, he?"
Perempuan, pemilik kedai itu menyahut, "Aku tidak memelihara monyet disini."
"He, dimana orang-orang itu" Kau sembunyikan?"
"Siapa" Kau cari siapa Ki Bekel?"
"Orang itu, yang bernama Wirog."
"Aku tidak tahu. Aku bukan pemomongnya."
"Jika kau menyembunyikannya, aku robohkan kedaimu."
"Buat apa aku menyembunyikannya. Aku bukan selir gelapnya."
"Jika kau melihat orang itu, katakan bahwa Ki Bekel mencarinya. Kehadirannya di padukuhan ini tidak disukai. Orang itu adalah orang jahat yang hanya akan mendatangkan malapetaka saja."
"Apakah orang itu orang jahat?"
"Kau meragukannya?"
"Aku hanya bertanya."
Orang yang ternyata Ki Bekel dan bebahu padukuhan itu-pun segera meninggalkan kedai itu pula.
"Nah, kau lihat" Para bebahu padukuhan ini-pun orang-orang gila pula. Mereka telah makan suap Sumunar itu telah menyuap mereka sehingga mereka berbuat apa saja bagi kepentingan Sumunar. Balikan menindas rakyatnya sendiri."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Pergilah. He, kenapa kalian berdua membawa pedang" Perempuan itu-pun membawa pedang pula?"
"Kami adalah pengembara. Kami menempuh perjalanan yang panjang. Banyak kemungkinan terjadi di sepanjang jalan."
Seperti yang pernah didengarnya, perempuan itu berkata, "Pedangmu dapat mengundang malapetaka."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat menanggalkan pedang mereka. Terutama Rara Wulan. Dalam keadaan yang gawat, pedang itu akan sangat berarti baginya.
Keduanya-pun kemudian telah keluar dari kedai itu. Beberapa langkah mereka berjalan melewati halaman yang luas. Dua buah pedati masih berada di halaman yang luas itu.
Ketika ia berpaling, dilihainya pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu memandangi mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan yang lengang. Dua orang anak laki-laki bermain benthik di pinggir jalan. Mereka sama sekali tidak menghiraukan Glagah Putih dan Rara Wulan yang lewat. Mereka berhenti sebentar, kemudian mereka telah mulai lagi.
"Apakah kita akan meninggalkan padukuhan ini?" bertanya Glagah Putih.
Rara Wulan termangu-mangu. Ia mengerti maksud Glagah Putih di balik pertanyaan itu. Agaknya Glagah Putih tertarik untuk mengetahui apa yang bakal terjadi di padukuhan itu.
"Terserah saja kepadamu, kakang," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Dipandanginya Rara Wulan dengan kerut di dahinya. Katanya, "Aku ingin mendengar pendapatmu, Rara."
"Bukankah kau ingin tinggal sampai malam nanti?"
"Ya," Glagah Putih mengangguk.
"Aku tidak berkeberatan."
"Sayangnya, perasaanku telah berpihak, Rara."
"Maksudmu?" "Mendengar pembicaraan orang yang menyebut dirinya bernama Sumunar dan orang yang dipanggilnya Wirog, serta pendapat pemilik kedai dan kehadiran Ki Bekel, aku justru ingin berpihak kepada paman Basuri meski-pun ada juga sedikit keragu-raguan, karena aku belum tahu benar sifat dan watak paman Basuri itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya Sumunar memang seorang yang tamak. Siapa-pun paman Basuri, namun dalam persoalan ini, agaknya ia berada di pihak yang benar. Meski-pun mungkin saja di balik sikapnya itu, tersembunyi pamrih yang barangkali justru lebih jahat dari Sumunar."
"Jadi kau sependapat jika kita berpihak kepadanya?"
"Ya. Jika kelak ternyata ia juga menyimpan pamrih yang buruk, kita dapat mengambil sikap yang lain."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi kita tidak tahu, bagaimana caranya kita menempatkan diri kita."
"Kita ikuti saja perkembangan keadaan di padukuhan ini. Jika benturan antara Sumunar dan pengikutnya melawan Basuri dan orang-orangnya, kita akan terjun."
"Nampaknya Sumunar memang lebih kuat dibanding dengan Basuri. Mungkin orang-orang Sumunar-pun lebih kuat pula dan bahkan lebih banyak."
Glagah Putih tidak menjawab. Mereka berjalan saja menyusuri jalan itu. Di tikungan ia bertemu dengan dua orang yang memikul keranjang berisi gula kelapa.
"Dibawa kemana, kakang?" bertanya Glagah Putih.
Kedua orang itu berhenti. Sementara Glagah Putih bertanya lagi, "Gula ini untuk Sumunar atau untuk Basuri?"
Keduanya saling berpandangan. Sementara Rara Wulan-pun berkata, "Kami bukan pengikut keduanya, Ki Sanak. Bahkan kami datang untuk melihat kemungkinan bahwa kami-pun dapat membeli gula dan kelapa di padukuhan ini.
Baru seorang di antara keduanya menjawab, "Gula ini milik kakang Basuri, Ki Sanak."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan lenanya, "Apakah Ki Basuri memberikan harga yang lebih baik dari Ki Sumunar?"
"Ya, Ki Sanak. Raden Sumunar selalu memaksakan harga menurut keinginannya. Sementara Ki Basuri mau membayar lebih tinggi. Tetapi hal ini akan dapat menimbulkan persoalan."
"Jika timbul persoalan, kepada siapa kalian berpihak?"
"Kami tidak dapat berpihak kepada siapa-pun juga. Mereka mempunyai orang-orang upahan yang dapat mencekik leher kami. Kami terpaksa berpihak kepada yang menang."
"Tetapi sekarang kau jual gulamu kepada Ki Basuri."
"Selagi belum ada yang menang dan yang kalah."
"Baik. Baik. Tetapi gula itu akan kalian bawa ke mana" Kehalaman yang luas dekat kedai di sebelah pintu gerbang padukuhan itu?"
"Tidak, Ki Sanak. Aku akan membawa ke sebelah kebun kosong di dekat simpang tiga itu. Di sana nanti pedati Ki Basuri akan datang mengambilnya."
"Disana juga ada tempat pemberhentian pedati?"
"Bukan tempat pemberhentian pedati. Tetapi halaman yang agaknya disewa oleh Ki Basuri."
"Apakah Ki Basuri ada disana?"
"Ya. Ia menunggu kami."
"Kami akan menemui Ki Basuri. Mungkin kami dapat membicarakan harga yang sebaik-baiknya."
"Ki Basuri dapat mendengarkan pendapat orang lain. Tetapi Ki Sumunar tidak."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun mengangguk-angguk. Namun kemudian Glagah Putih-pun berkata, "Kami ikut bersama kalian. Kami ingin berbicara dengan Ki Basuri."
Kedua orang yang memikul gula kelapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Terserah saja kepada Ki Sanak. Tetapi aku tidak mengajak Ki Sanak bersama kami."
Nampaknya kedua orang itu-pun cukup berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, mereka tidak mau dianggap bersalah.
Demikianlah sejenak kemudian, maka kedua orang itu-pun segera melanjutkan perjalanan. Glagah Putih dan Rara Wulan mengikuti mereka beberapa langkah di belakang.
Namun tiba-tiba dua orang yang bertubuh kekar dan berwajah garang telah menghentikan kedua orang yang memikul gula kelapa itu. Dengan kasar seorang di antara mereka membentak, "He, kau bawa kemana gula kelapa ini, he?"
"Kami melayani Ki Basuri, Ki Sanak."
Kedua orang itu membelalakkan matanya, dengan geram seorang diantara mereka membentak, "Kalian budak-budak Tikus Wirog itu, he?"
"Tentu bukan budaknya. Tetapi kami menjual gula kami kepada kakang Basuri. Kakang Basuri membeli gula kami dengan harga yang lebih mahal dari Ki Sumunar."
"Diam," orang itu membentak, "kau tidak boleh menjual gula kepada orang lain selain kepada Ki Sumunar."
"Kenapa" Jika ada orang yang mau membeli gula kami dengan harga yang lebih baik, bukankah aku berhak menjualnya kepada mereka."
"Kau jangan mencari persoalan, Ki Sanak," geram orang itu, "Ki Sumunar adalah pembeli tunggal di daerah ini."
Kedua orang yang membawa gula itu termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu akan dapat berbuat kasar. Sementara itu, tidak ada seorang-pun dari kawan-kawan Ki Basuri yang nampak. Padahal ketika Basuri minta keduanya mengantar gulanya ke tempat pengumpulan gula itu, Ki Basuri berjanji untuk melindunginya. Tetapi pada saat memerlukan, tidak seorang dari para pengikut Ki Basuri yang nampak.
Ketika kedua orang yang membawa gula itu sedang termangu-mangu, maka seorang diantara kedua orang berwajah garang itu berkata, "Bawa gula kelapa itu ke halaman di dekat kedai itu."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan hanya berdiri saja termangu-mangu memperhatikan pembicaraan itu.
Adalah diluar dugaan ketika kedua orang yang membawa gula itu justru bertanya kepada Glagah Putih, "Ki Sanak. Bagaimana menurut pendapatmu?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun justru bertanya, "Apa maksudmu?"
"Apakah aku harus membawa gula ini kepada Ki Sumunar atau kepada Ki Basuri?"
Ternyata jawab Glagah Putih mengejutkan kedua orang yang membawa gula itu, tetapi juga mengejutkan kedua orang yang bertubuh kekar itu.
"Jangan bawa kepada keduanya," berkata Glagah Putih, "bawa kepadaku. Aku akan membeli gulamu seharga yang dijanjikan oleh Ki Basuri."
"Kau?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang membawa gula itu.
"Ya," jawab Glagah Putih. "Aku membeli gulamu dengan harga yang lebih baik dari harga yang ditentukan Ki Sumunar dan kelebihanku dari Basuri, kami akan melindungi kalian berdua dari keganasan orang-orang Ki Sumunar ini."
"Kau siapa anak iblis?" geram salah seorang dari para pengikut Ki Sumunar itu.
"Aku juga seorang pedagang gula dan kelapa. Namaku Warigalit dan ini adikku, namanya Wara Sasi."
"Apakah kau tidak mendengar, bahwa di padukuhan ini, bahkan dibeberapa padukuhan yang lain, Ki Sumunar adalah pembeli tunggal?"
"Kau bekerja pada Ki Sumunar?"
"Ya." "Sudahlah, jangan ikut campur. Katakan saja kepada Ki Sumunar bahwa ada orang lain yang ingin membeli gula dan kelapa, selain Ki Basuri."
"Apakah kau sudah gila. Aku adalah kepercayaan Ki Sumunar."
"Berapa kau di upah oleh Ki Sumunar" Apakah upah bagimu itu sudah seimbang dengan taruhan yang kau berikan?"
"Aku akan mengoyak mulutmu."
"Dengar dahulu, Ki Sanak. Aku bermaksud baik," berkata Glagah Putih kemudian, "jika upahmu pantas, maka kau memang harus melakukan semua tugasmu, bahkan dengan mempertaruhkan nyawamu. Tetapi jika upahmu tidak cukup kau belikan pakaian dan mainan bagi anakmu, apa pula artinya kau pertaruhkan nyawamu" Jika kau mati, apakah Den Bera itu mau mencukupi semua kebutuhan anak-anakmu itu" Pikirkan Ki Sanak, sebelum kau menyesal."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka menggeram, "Jika kau berbicara lagi, aku benar-benar akan mengoyak mulutmu."
Tetapi Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Jika kau marah kepada dirimu sendiri, jangan ditimpakan kepada orang lain. Berapa kau jual nyawamu he" Barangkali aku dapat membelinya. Aku bayar kau lebih tinggi dari upah yang diberikan oleh Sumunar, kemudian aku penggal kepalamu disini" Bukankah itu lebih baik daripada kau aku bunuh sekarang ini, sementara kau belum menerima upahmu dari Sumunar."
Orang bertubuh kekar itu tidak tahan lagi mendengar kata-kata Glagah Putih. Tiba-tiba saja seorang diantara mereka telah meloncat menyerang.
Tetapi Glagah Putih sudah menunggu serangan itu. Karena itu, ketika tangan orang itu terayun ke arah keningnya, dengan cepat Glagah Putih menangkapnya. Dengan satu putaran, maka tubuh orang itu terpelanting diatas pundak Glagah Putih dan jatuh terbanting di tanah. Demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit berdiri.
Kawannya sudah siap untuk meloncat menyerang Glagah Putih. Tetapi ketika ia melihat Glagah Putih dengan mudah membanting kawannya sehingga tidak dapat segera bangkit, maka orang itu-pun segera memindahkan sasaran serangannya. Ia tidak menyerang Glagah Putih, tetapi orang itu-pun dengan garangnya menyerang Rara Wulan.
Sambil menggeram orang itu meloncat menerkam ke arah leher Rara Wulan. Namun ternyata Rara Wulan tidak membiarkan jari-jari tangan orang itu mencekik lehernya. Dengan cepat ia meloncat kesamping. Kemudian dengan satu putaran kakinya terayun mendatar menyambar punggung orang itu.
Orang itu-pun terdorong beberapa langkah. Kemudian jatuh terjerembab. Kepalanya telah membentur dinding halaman, sehingga terasa sekelilingnya menjadi berputar.
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih-pun berkata kepada kedua orang yang membawa gula itu, "Marilah. Kita berjalan terus."
"Kemana?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang membawa gula itu.
"Menemui Basuri."
"Kau akan menantang mereka?"
"Tidak." Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka-pun kemudian berkata, "Kau tadi mengatakan, bahwa kau akan membeli gulaku."
"Kita menemui Basuri sekarang," sahut Glagah Putih.
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka-pun segera mengangkat keranjangnya kembali dan berjalan dengan cepat ke tempat Basuri mengumpulkan gula.
Ketika mereka sampai di sebuah halaman yang juga termasuk luas, mereka melihat dua buah pedati telah menunggu.
Basuri dan dua orang kawannya melihat kedatangan kedua orang yang membawa gula bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan serta merta mereka-pun segera bangkit berdiri. Kedua orang itu adalah kedua orang yang ditemuinya di kedai.
"Ada apa anak muda?" bertanya Basuri.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Lalu katanya kepada kedua orang yang membawa gula itu, "Katakan, apa yang telah terjadi. Jangan ditambah dan jangan dikurangi."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka-pun kemudian menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
Basuri mengerutkan dahinya. Kemudian dengan nada berat ia-pun berkata, "Jadi kau juga ingin membeli gula" Kami sama sekali tidak berkeberatan, Ki Sanak. Kami hanya ingin mengusulkan, agar kita dapat membicarakan harga yang pantas. Penghasil gula tidak merasa dirugikan, kita-pun akan mendapat untung sepantasnya."
"Kami tidak akan membeli gula atau kelapa, paman Basuri," jawab Glagah putih.
"Jadi?" "Kami tidak mempunyai uang. Kami hanya ingin membantu paman Basuri. Kami memang berpura-pura akan membeli gula, agar kedua orang itu marah. Dengan demikian, maka ada alasan bagiku untuk membuat mereka jera."
"Bagaimana dengan mereka" Aku tidak mengerti, bagaimana kalian dapat mengalahkan mereka."
"Kami membuat mereka marah, sehingga mereka kehilangan kendali."
"Dimana mereka sekarang?"
"Kami tinggalkan mereka. Tetapi dalam waktu yang tidak lama, mereka akan segera dapat bangkit. Mereka tentu akan melaporkan peristiwa itu kepada Sumunar."
Buku 337 "Ya. Sumunar akan datang kemari untuk membunuhku tetapi aku sudah siap menerima kedatangan mereka. Namun dengan perstiwa yang baru saja terjadi, aku tidak tahu, apakah sumunar akan memanggil orang-orangnya yang lain. Mungkin ia merasa bahwa ia harus berhadapan dengan dua orang tengkulak yang akan mengganggu kehadirannya disini.
"Paman," berkata Glagah Putih, "apakah paman telah berjanji untuk melindungi orang-orang yang menjual gula kepada paman?"
"Ya. Jika mereka mendapat perlakuan buruk dari Sumunar."
"Tetapi kedua orang ini tidak mendapat perlindungan sama kali. Hampir saja mereka menjadi korban jika mereka tidak mau membawa gula mereka kepada Sumunar."
"Aku tidak tahu bahwa mereka akan datang. Seharusnya mereka memberitahu kepadaku. Aku akan mengirimkan orang-orangku untuk mengawalnya."
"Kami tidak mengira, bahwa kami akan bertemu dengan orang-orang upahan Raden Sumunar."
"Seharusnya kau memberitahukan kepada kami lebih dahulu," berkata Basuri.
Kedua orang itu tidak menjawab.
Sementara itu, Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Paman. Aku ingin menyatakan. Jika paman setuju, aku akan berpihak kepada paman."
"Berpihak kepadaku?"
"Ya. Dalam perselisihan antara paman dan Raden Sumunar."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata, "Kami tidak sedang bermain jethungan, anak muda."
Dahi Glagah Putih berkerut. Dengan nada berat ia-pun bertanya, "Maksud paman?"
"Dalam keadaan yang mendesak, Sumunar tentu benar-benar akan membunuh."
"Aku mengerti."
"Anak-anak muda. Pergi sajalah. Sebaiknya kalian tidak melibatkan diri."
"Aku sudah terlanjur terlibat. Bukankah kedua orang yang membawa gula bagi paman Basuri itu sudah menceriterakan apa yang telah kami lakukan?"
Basuri mengerutkan dahinya. Kedua orang muda itu telah menunjukkan, bahwa mereka memiliki bekal untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Tetapi mungkin sekedar kebetulan saja, karena kedua orang pengikut Sumunar itu sangat meremehkan mereka.
"Anak muda," berkata Basuri, "Aku berterima kasih atas kesediaanmu berpihak kepadaku. Tetapi aku tidak mau kau mengalami kesulitan karena persoalanku dengan Sumunar. Karena itu, sebaiknya kau menghindari kesulitan yang akan dapat menjeratmu."
"Aku mengerti, paman. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku telah terlibat. Keterlibatanku bukan satu kebetulan. Sebenarnyalah aku merasakan bahwa Raden Sumunar sudah menyinggung rasa keadilanku. Rakyat padukuhan ini telah menjadi korban ketamakannya."
"Kau ingin menjadi pahlawan?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Paman Basuri. Aku hanya ingin mencari kepuasan. Jika aku dapat membantu menghentikan ketamakan serta kebengisan Sumunar aku akan merasa sangat puas. Apalagi jika kemudian aku yakini bahwa rakyat padukuhan ini mendapat kesempatan yang lebih baik untuk memasarkan hasil keringat mereka. Bukankah paman Basuri juga berniat memberi ke sempatan serupa kepada penghuni padukuhan ini, bahkan secara langsung dengan membeli hasil jerih payah penghuni padukuhan ini dengan harga yang lebih baik" Kenapa hal itu paman lakukan?"
"Aku mempunyai pamrih. Meski-pun aku membeli dengan harga yang lebih mahal dari Raden Sumunar, tetapi aku masih tetap berharap untuk mendapatkan laba yang pantas. Karena itu, aku akan berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu. Sedangkan kau" Apa yang kau harapkan" Bahkan dengan mempertaruhkan nyawamu?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Apakah setiap langkah kita, harus kita perhitungkan berdasarkan pamrih?"
Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah memperingatkanmu."
"Terima kasih, paman. Aku tidak peduli apakah aku akan menjadi seorang pahlawan, atau sekedar orang yang mencari pujian atau sekedar petualangan, tetapi jika paman Basuri tidak berkeberatan, aku ingin bergabung. Kami merasa tidak akan dapat melakukannya sendiri."
"Kalian adalah orang-orang yang aneh?"
"Mungkin paman. Tetapi bukankah setiap orang menginginkan untuk mendapatkan kepuasan". Sudah aku katakan, jika kami dapat membantu menghentikan ketamakan Raden Sumunar dan sedikit membantu meningkatkan penghasilan penghuni padukuhan ini, aku akan mendapatkan kepuasan."
Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terserahlah kepadamu. Tetapi aku sudah mencoba memperingatkanmu."
"Terima kasih atas kesempatan ini, paman. Sudah aku katakan bahwa kami tidak dapat melakukannya sendiri. Karena itu, kami ingin menumpang kepentingan paman, karena menurut pertimbanganku, yang paman lakukan disini lebih baik dari yang dilakukan oleh Raden Sumunar."
"Jika setelah Raden Sumunar tersingkir, aku juga melakukan sebagaimana dilakukan oleh Raden Sumunar?"
"Aku akan bergabung dengan kekuatan lain yang akan menyingkirkan paman Basuri."
Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun tersenyum sambil berkata, "Baiklah, anak muda. Jika tekadmu sudah bulat, maka terserah saja kepada kalian."
Glagah Putih berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, "Kita akan berada disini."
Rara Wulan-pun mengangguk. Katanya, "Terserah saja kepada kakang."
Dalam pada itu, kedua orang yang membawa gula untuk diserahkan kepada Basuri itu-pun berkata, "Bagaimana dengan kami berdua, Ki Sanak. Apakah kami akan mendapat perlindungan di rumah kami?"
Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Katanya, "Aku tidak mempunyai orang cukup untuk melindungi kalian yang tersebar. Jika kalian bersedia, tinggallah disini. Malam nanti persoalannya akan tuntas. Sumunar tentu akan datang kemari. Benturan itu tidak akan dapat dihindari. Tetapi itu akan menjadi lebih baik, karena persoalannya tidak lagi berkepanjangan."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka-pun bertanya, "Apakah tidak ada orang lain yang menyerahkan gulanya kemari?"
"Aku berharap, bahwa mereka akan melakukannya esok pagi," jawab Ki Basuri, "mudah-mudahan mereka mendengar apa yang telah terjadi atas kalian."
Orang itu mengangguk-angguk pula.
Namun Glagah Putihlah yang bertanya, "Jika ada orang yang datang dan memberitahukan kepada paman Basuri bahwa mereka akan membawa pulanya kemari sekarang ini?"
"Keadaan berkembang ke arah yang lebih buruk, anak muda. Aku akan menasehatkan agar mereka tidak membawanya sekarang."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Basuri itu-pun kemudian berkata, "Masuklah. Orang-orang yang bersedia bekerja bersamaku ada di dalam."
Kedua orang yang membawa gula itu-pun dengan ragu-ragu masuk ke dalam. Keduanya terkejut. Di ruang dalam rumah itu ternyata terdapat berapa orang yang sebagian duduk dan yang lain berbaring diatas tikar pandan yang dibentangkan dilantai.
Orang-orang itu memandang kedua orang itu dengan kerut di dahi. Seorang diantara mereka berkata, "Duduklah, Ki Sanak. Siapakah kalian berdua?"
Kedua orang itu-pun kemudian duduk disudut. Dengan ragu-ragu seorang diantara mereka berkata, "Aku membawa gula bagi Ki Basuri."
"O," orang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berdiri termangu-mangu. Dipandanginya halaman yang luas itu berkeliling. Nampaknya halaman rumah itu tidak terlalu sering dibersihkan. Disana sini teronggok dedaunan kering yang runtuh dari tangkainya.
Rumah yang berdiri agak ke belakang itu-pun agaknya bukan rumah yang terawat dengan baik. Selain agak kotor, dindingnya sudah ada yang mulai rapuh.
Perlahan sekali Glagah Putih berdesis, "Agaknya rumah itu tidak berpenghuni."
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk, "kedua orang penjual gula itu menyebut tempat ini sebagai kebun kosong."
Glagah Putih masih saja memandangi lingkungan disekilarnya. Ia pendapat, bahwa rumah pekarangan dan kebunnya tentu untuk beberapa lama sudah menjadi kosong.
"Rumah ini sudah agak lama kosong, anak muda," berkata Basuri yang agaknya mengetahui, apa yang sedang diamati oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
Glagah Putih memang agak terkejut. Sambil berpaling ia-pun berdesis, "Ya Kedua orang penjual gula itu juga mengatakan, bahwa ia akan membawa gulanya kekebon kosong."
"Rumah ini adalah rumah saudara iparku. Rumah ini sudah ditinggalkannya sejak beberapa bulan yang lalu. Meski-pun rumah ini dititipkan kepada seseorang, namun orang itu agaknya terlalu malas untuk membersihkannya. Bahkan tulang-tulang rumah itu di bagian belakang sudah menjadi lapuk."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Basuri itu-pun berkata, "Tetapi itu lebih baik daripada aku menyewa rumah seseorang, karena orang itu akan dapat diancam oleh Raden Sumunar."
"Ya," Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang masuklah," berkata Basuri, "di dalam ada beberapa orang kawanku yang aku minta pertolongan mereka untuk merebut daerah ini dari. Sumunar. Mudah-mudahan memberikan arti meski-pun kecil sekali bagi kesejahteraan mereka yang berjerih payah di padukuhan ini. Tetapi aku tidak akan ingkar, bahwa aku adalah seorang pedagang yang mencari keuntungan."
"Aku tahu, paman."
"Masuklah." Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja ragu-ragu.
"Marilah. Aku antar kalian masuk," berkata Basuri yang kemudian berpaling kepada kedua orang kawannya sambil berkata, "Awasi keadaan. Aku akan membawa keduanya masuk ke dalam."
Seperti kedua orang yang membawa gula itu, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun agak terkejut melihat beberapa orang yang berada di dalam rumah itu.
"Ternyata Ki Basuri sudah benar-benar bersiap," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Ki Basuri-pun kemudian memperkenalkan kedua orang yang dibawanya masuk itu kepada kawan-kawannya. Dua orang yang bersedia bekerja bersamanya melawan Raden Sumunar.
"Siapakah mereka, Ki Basuri," berkata seorang dianiara mereka.
"Bertanyalah langsung kepada keduanya," sahut Ki Basuri sambil tersenyum.
Sebelum ada yang bertanya, Glagah puuh-pun berkata, "Namaku Warigalit. Ini adikku, Wara Sasi."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Sedangkan seorang yang lain-pun bertanya, "Siapakah yang membawa kalian kemari" Apakah kalian bukan orang-orang yang diselundupkan oleh Sumunar?"
Kami adalah dua orang pengembara. Kami ingin bergabung dengan paman Basuri untuk menyingkirkan Sumunar."
"Apakah kau yakin akan niat baiknya?" bertanya seorang yang lain lagi.
"Aku mempercayainya," berkata Ki Basuri, "aku menangkap kejujuran pada kata-kata serta sorot matanya."
"Baiklah," berkata seorang yang bertubuh sedang kekurus-kurusan. Wajahnya nampak pucat sementara matanya agak kemerah-merahan, "tetapi jika mereka berdua berkhianat, maka mereka akan berurusan dengan aku. Terutama perempuan itu."
Rara Wulan memandang orang itu sekilas. Ada kesan yang kurang menyenangkan pada wajah, sikap dan kata-kata orang itu. Namun Rata Wulan tidak berkata sepatuh kata-pun.
Yang menjawab adalah Ki Basuri, "Kalian tidak usah mengancam. Jika mereka berbuat sesuatu yang merugikan, akulah yang bertanggungjawab."
"Kau terlalu lunak menghadapi persoalan."
"Sudahlah. Kau tahu bahwa aku dapat menjadi lunak. Tetapi aku juga dapat berbuat lebih keras daripada batu hitam."
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun tidak berkata apa-apa lagi.
Meski-pun demikian, orang itu telah membuat Rara Wulan gelisah. Rasa-rasanya orang itu selalu memandanginya. Setiap kali Rara Wulan berpaling kepadanya, orang itu sedang mengamatinya dengan tatapan mata yang mendebarkan jantung.
Sejenak kemudian, Basuri-pun melangkah keluar sambil berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Duduklah. Jika kalian memang mau bergabung dengan kami, maka kalian akan berada diantara kawan-kawan ini."
"Baik, paman," jawab Glagah Putih.
Sejenak kemudian, maka Basuri-pun telah hilang di balik pintu yang berderit ketika daunnya terbuka dan tertutup kembali.
Demikian Ki Basuri hilang di balik pintu, maka orang yang kekurus-kurusan dan bermata merah itu-pun berkata, "Namaku, Mawekas. Siapa nama kalian berdua?"
"Aku sudah menyebut namaku dan nama adikku."
"Ulangi." "Namaku Warigalit. Ia adikku. Namanya Wara Sasi."
"Aku akan memanggilnya Sasi. Nama yang manis." Rara Wulan berdesah. Namun ia tidak berkata apa-apa.
Sejenak kemudian, ruangan itu menjadi sepi. Orang-orang yang ada di dalam ruangan itu nampaknya sedang sibuk berangan-angan. Mungkin tentang Sumunar yang mengancam mereka. Mungkin tentang harga gula yang ditetapkan oleh Basuri. Tetapi mungkin juga tentang perempuan muda yang ada diantara mereka.
Namun kediaman itu telah dipecahkan oleh suara ribut diluar. Terdengar seorang berkata lantang, "Siapakah diantara kalian yang bernama Basuri?"
Sebelum terdengar jawaban terdengar suara itu lagi, "Yang lebih dikenal dengan nama Wirog."
Ki Basuri melangkah maju. Katanya, "Namaku Basuri, Ki Sanak. Kau. Siapa?"
"Kau benar-benar orang yang tidak mengenal unggah-ungguh. Kau telah memasuki wilayahku tanpa minta ijinku."
Basuri terrnangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Aku minta maaf. Tetapi aku berbicara dengan siapa?"
"Aku Bekel disini," jawab orang itu yang ternyata adalah ki Bekel.
"Maaf Ki Bekel. Ki Bekel benar. Aku datang kemari tanpa minta ijin lebih dahulu. Untuk itu aku minta maaf. Menurut pendapatku, karena aku datang hanya sekedar untuk membeli gula dari beberapa orang, di antaranya seorang yang sudah kau kenal, aku tidak perlu melaporkan diri. Aku hanya akan berada disini sehari dan semalam. Besok aku sudah akan pergi."
"Tidak. Aku tidak senang dengan kehadiranmu yang tidak mengenal sopan-santun itu. Kau telah menyinggung harga diriku sebagai penguasa di daerah ini."
"Jika aku dianggap bersalah, aku sudah menyatakan kesedianku untuk minta maaf. Kehadiranku disini tidak lebih dan tidak kurang hanyalah untuk membeli gula dan barangkali kelapa. Itu-pun kami tidak mendapat sebanyak yang kami harapkan. Hanya ada beberapa orang yang menyatakan kesediaannya menjual gula dan kelapa kepadaku. Bahkan sampai saat ini gula dan kelapa itu belum dapat terkumpul."
"Itu pertanda bahwa kau tidak dikehendaki datang ke tempat ini."
"Ki Bekel," berkata Ki Basuri, "baiklah aku menyatakan kepada Ki Bekel, bahwa kedatanganku ini memberi rejeki lebih kepada rakyat Ki Bekel. Aku bersedia membeli gula dan kelapa dengan harga yang lebih tinggi dari Raden Sumunar. Bahkan mungkin jika ada orang lain lagi yang datang, ada persaingan harga yang menguntungkan para penghasil gula kelapa itu. Selama ini Raden Sumunar adalah pembeli tunggal. Ia dapat menetapkan harga menurut kehendaknya sendiri. Sementara itu jerih payah penghasil gula sama sekali tidak dihargai."
"Omong kosong. Kau dapat berkata begitu sekarang. Tetapi kelak, kau akan lebih keras mencekik leher rakyatku. Karena itu, pergilah. Aku tidak mau melihat mukamu lagi."
"Ki Bekel. Aku mohon Ki Bekel berpandangan sedikit luas. Sebaiknya Ki Bekel memikirkan kesejahteraan rakyat Ki Bekel."
"Jangan menggurui aku. Sekarang pergilah."
"Jangan begitu, Ki Bekel."
"Pergilah sebelum aku menjadi marah."
"Jangan marah. Pikirkan dahulu sebelum bertindak. Siapakah yang lebih pantas Ki Bekel usir. Aku atau Raden Sumunar. Atau sebaiknya Ki Bekel diam saja. Biarlah rakyat Ki Bekel menentukan sendiri, kepada siapa mereka akan menjual gula dan kelapanya. Atau Ki Bekel memanggil kami. Maksudku aku dan Raden Sumunar serta beberapa orang penghasil gula untuk membicarakan bersama-sama."
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada bebahu yang menyertainya, ia melihat wajah-wajah yang kosong memandanginya.
"Kita harus bertindak," teriak Ki Bekel.
Para bebahu itu terkejut. Seorang diantara mereka dengan serta merta menyahut, "Ya. Kita harus bertindak."
"Wirog," geram Ki Bekel, "aku beri waktu kau sampai malam turun. Jika sampai malam turun kau tidak juga pergi, maka kami, seisi padukuhan ini akan mengusirmu dengan kekerasan."
"Ki Bekel," berkata Ki Basuri, "berapa keping kau menerima uang dari Raden Sumunar, sehingga kau menjadi begitu garang" Seharusnya kau lindingi rakyatmu yang diperlakukan semena-mena oleh Raden Sumunar. Kalau perlu, kau sendiri pergi ke pasar-pasar yang lebih besar dari pasar Pandean untuk mengetahui harga yang wajar. Kalau perlu kau sendiri atau sekelompok orang yang kau tunjuk, pergi dengan membawa gula dan kelapa ke pasar-pasar itu dan menjualnya dengan harga yang jauh lebih baik dari harga yang dibayar oleh Sumunar.
"Tutup mulutmu," bentak Ki Bekel, "sekarang pergilah. Aku beri waktu sampai malam turun. Jangan banyak berbicara."
Ki Bekel tidak menunggu jawaban. Ia-pun memberi isyarat kepada para bebahu untuk pergi meninggalkan Basuri dan kedua orang kawannya.
Sepeninggal Ki Bekel, maka Basuri-pun berdesis, "Inilah yang terjadi."
"Ya," sahut seorang diantara kedua orang kawannya.
"Apakah kita akan bertahan tidak meninggalkan padukuhan ini sampai malam nanti," bertanya yang seorang lagi.
Ki Basuri menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia-pun berdesis, "Bukankah kita sudah bersiap untuk tetap tinggal."
"Terserah kepadamu," sahut kawannya itu.
Ki Basuri memang menjadi bimbang. Dengan nada ragu ia-pun berkata, "Pada dasarnya, Sumunar harus menyadari bahwa ia telah berbuat semena-mena, tetapi apakah kita akan menentang kekuasaan Ki Bekel di padukuhan ini" Agaknya Ki Bekel telah dipengaruhi oleh Sumunar sehingga apa yang dilakukannya semata-mata untuk kepentingan Sumunar.
Kedua orang kawannya termangu-mangu sejenak. Baru kemudian seorang diantara mereka-pun berkata, "Apakah kita menjadi ketakutan?"
"Bukan ketakutan," sahut Ki Basuri, "tetapi aku berpikir, jika orang-orang di padukuhan im dapat digerakkan oleh Ki Bekel untuk menangkap kita dan memperlakukan kita tidak sewajarnya, apakah yang akan kita lakukan?"
"Kita mempunyai kemampuan jauh lebih baik dari orang-orang padukuhan ini. Berapa-pun jumlah mereka, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap kita."
"Aku tahu. Tetapi bukankah dengan demikian akan terjadi benturan kekerasan" Yang akan kita hadapi bukan saja para pengikut Sumunar, tetapi orang-orang padukuhan yang justru harus diselamatkan dari ketamakan Sumunar. Tetapi agaknya merekalah yang akan disurukkan ke dalam benturan kekerasan itu. Mungkin dua tiga orang akan menjadi korban. Jika yang terjadi seperti itu, siapakah yang harus bertanggung jawab?"
Kedua orang itu-pun terdiam. Nampaknya Ki Basuri benar-benar berada dalam keragu-raguan.
Dalam pada itu, seorang diantara mereka yang berada di dalam rumah di kebun kosong itu-pun bangkit berdiri dan melangkah keluar. Dengan nada tinggi ia-pun bertanya, "Apakah Basuri menjadi ragu-ragu?"
Ki Basuri tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Aku mendengar pembicaraan Ki Basuri dengan Ki Bekel. Kemudian pembicaraan kalian bertiga. Kita sudah terlanjur sampai disini. Kenapa kita harus ragu-ragu."
Sebelum Ki Basuri menjawab, orang yang wajahnya pucat dan matanya kemerah-rnerah itu-pun telah melangkah keluar pula sambil berkata, "Kita tidak boleh ragu-ragu meski-pun kita harus menghadapi orang sepadukuhan. Siapa yang tidak mau minggir akan kita habisi."
"Itulah yang tidak aku inginkan," jawab Basuri, "kita datang mencari dagangan. Untuk mendapatkannya, kita mencoba untuk bersaing dengan Ki Sumunar, sekaligus mencoba membantu rakyat padukuhan ini untuk menaikkan pendapatannya. Tetapi sebelum kita dapat memberikan apa-apa kepada mereka, kita sudah mulai membunuh mereka. Apakah dengan demikian kita akan mendapat dagangan dari mereka" Kecuali jika kita mempergunakan kekerasan. Dan itu akan sama saja artinya dengan apabila kita merampok mereka."
Kawan-kawannya terdiam. Beberapa orang yang lain yang muncul dari rumah itu-pun tidak ada yang menyahut. Semuanya berdiri berderet bagaikan membeku.
Yang terakhir keluar dari ruang dalam rumah itu adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Kepada Ki Basuri Glagah Putih-pun berkata, "Paman. Kita akan menunggu sampai Ki Bekel itu datang kemari."
"Kau juga akan melawan rakyat yang menurut katamu akan kau selamatkan dari ketamakan Sumunar" Atau kau ingin bergabung bersamaku untuk mendapatkan imbalan bagi jerih payahmu" Jika demikian, maka kau benar-benar seorang petualang yang tidak berjantung."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Rara Wulan yang merasa tersinggung oleh kata-kata Ki Basuri itu-pun berkata, "Jika demikian, sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, kakang. Bukankah kakang tidak ingin bertualang tanpa jantung" Bukankah kita mempunyai dasar yang kokoh di setiap langkah kita?"
"Aku akan menjelaskannya," desis Glagah Putih.
"Apa yang akan kau jelaskan?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Sabarlah."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih-pun berkata kepada Ki Basuri, "Paman. Menurut pendapatku sebaiknya paman menunggu kedatangan Ki Bekel. Menurut pendapatku Raden Sumunar tentu akan ikut datang pula."
"Jika yang datang Sumunar dan orang-orangnya, anak muda. Kami akan menghadapinya. Kami sudah siap apa-pun yang akan terjadi. Tetapi jika Ki Bekel membawa orang-orang padukuhan ini, apakah kita akan melawan" Mungkin kita tidak akan dapat mereka tundukkan. Tetapi berapa orang yang akan mati?"
"Kau terlalu baik hati. Ki Basuri," berkata orang yang bermata merah, "jika mereka menyerang kita, bukan salah kita jika kita melawan."
"Tetapi rakyat padukuhan ini tidak tahu apa yang mereka lakukan."
"Karena itu, paman," berkata Glagah Putih, "biarkan mereka datang. Biarlah Ki Bekel membawa orang-orang padukuhan ini, sekaligus Sumunar dan orang-orangnya."
"Aku tidak dapat melihat orang-orang yang tidak tahu apa-apa itu dibantai disini. Justru karena kita datang ke padukuhan ini."
"Siapa yang akan membantai mereka" Bukankah paman juga menginginkan pertemuan antara paman, Raden Sumunar dan rakyat padukuhan ini dihawah penilikan Ki Bekel?"
Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun tersenyum sambil berkata, "Kau benar anak muda. Ternyata kau cerdas sekali. Aku setuju dengan pendapatmu."
"Apa yang dimaksudkan" Apakah berbeda dengan yang aku katakan?"
"Apa bedanya. Tetapi baiklah kita menunggu."
Orang bermata merah itu mengerutkan dahinya. Namun ia-pun tidak berkata apa-apa lagi.
Dengan berbagai macam pertanyaan di hati, kawan-kawan Ki Basuri itu menunggu. Mereka tidak tahu pasti, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Basuri sebagaimana dikatakan oleh anak muda yang mengaku bernama Warigalit itu.
Perlahan-lahan waktu-pun berjalan terus seiring dengan gerak matahari di langit. Ketika senja turun, maka Ki Basuri dan kawan-kawannya menjadi tegang. Mereka tidak lagi masuk ke dalam rumah yang menjadi gelap. Tidak seorangpun diantara mereka yang berniat menyalakan lampu.
Diantara mereka yang bertebaran di halaman adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya duduk di atas tangga rumah kosong itu.
Orang yang bermata merah, yang semula duduk di atas amben panjang di serambi yang terbuka di sisi kanan rumah itu, bangkit berdiri dan melangkah mendekati Rara Wulan.
"Terlalu banyak nyamuk disini."
"Aku tidak merasa digigit nyamuk," jawab Rara Wulan
"Masuklah. Duduk sajalah di dalam," berkata orang itu.
"Terimna kasih. Bukankah di dalam gelap sekali?"
"Aku akan menyalakan oncor jarak."
"Terima kasih. Biarlah aku disini saja."
"Kau takut duduk di dalam sendirian?"
"Jika aku duduk di dalam, aku akan mengajak kakakku ini."
"Marilah, aku temani kau duduk di dalam. Jika kakakmu ingin duduk disini, biar saja ia duduk disini."
Rasa-rasanya Rara Wulan ingin menampar mulut orang itu. tetapi ia masih berusaha menahan diri.
"Marilah." "Terima kasih," jawab Rara Wulan.
Orang itu terdiam sejenak. Namaun kemudian sambil duduk disebelah Rara Wulan orang itu berkata, "Kau tidak mandi?"
"Tidak," jawab Rara Wulan.
"Di belakang ada pakiwan jika kau mau mandi. Nanti biarlah aku yang mengisi jambangannya. Jika kau takut mandi sendiri di belakang yang gelap aku akan menungguimu."
Rara Wulan tidak tahan lagi. Tetapi ia tidak menampar mulut orang itu. Tetapi Rara Wulan bangkit dari tempat duduknya dan berpindah di sisi Glagah Putih yang lain.
"Kenapa kau pergi?" bertanya orang itu.
Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Katanya, "Kau sangat menjemukan."
Orang itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan berkata, "Kau menyinggung perasaanku."
"Kau tidak merasa bahwa kau lebih dahulu menyinggung perasaanku?"
Tiba-tiba saja orang itu tertawa. Katanya, "Perempuan cantik memang mudah sekali tersinggung."
"Aku minta kau diam," geram Rara Wulan yang sudah kehabisan kesabaran.
Tetapi orang itu masih saja tertawa meski-pun tertahan-tahan.
"Kau garang juga anak manis."
Rara Wulan mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan kemarahannya. Namun ketika orang bermata merah itu sekali lagi duduk disebelahnya dan bahkan mulai mendesaknya, Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja bangkit. Tangannya-pun dengan serta-merta telah terayun menampar pipi orang itu, sehingga orang itu mengaduh tertahan.
"Kau berani memukul aku, he?" geram orang itu.
"Kau sangat memuakkan. Apakah kau tidak dapat berlaku sopan?"
"Kau belum tahu, siapa aku."
"Aku tidak peduli, siapa kau."
Keributan itu ternyata telah memanggil beberapa orang yang lain. Sejenak kemudian, termasuk Ki Basuri telah mengerumuninya. "Ada apa?" bertanya Ki Basuri.
"Perempuan itu telah berani menampar wajahku," geram orang bermata merah itu.
Ketika Basuri terpaling kepada Rara Wukin, maka Rara Wulan-pun berkata, "Orang itu sangat memuakkan. Ia mencoba menggangguku. Aku sudah berusaha untuk menahan diri. Tetapi ia masih saja bertingkah laku kasar."
Glagah Putih yang kemudian berdiri di sebelah Rara Wulan-pun berkata, "Ya. Laki-laki itu telah mengganggu adikku."
"Kenapa hal itu kau lakukan?" bertanya Ki Basuri.
"Aku berniat baik."
"Jika aku belum mengenalmu, mungkin aku akan mempercayaimu. Tetapi aku kenal kau sejak lama. Kau memang sering mengganggu perempuan."
"Kenapa aku tidak boleh mengganggunya" Seorang perempuan yang bertualang seperti perempuan itu, tentu bukan perempuan baik-baik."
Rara Wulan benar-benar menjadi sangat marah. Sehingga di luar sadarnya, maka sekali lagi tanganya terayun. Tidak sekedar menampar wajah orang bermata merah itu, tetapi Rara Wulan benar-benar memukul mulut orang itu.
Pukulan Rara Wulan cukup keras sehingga orang itu terhuyung-huyung. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Namun ia berhasil untuk tetap berdiri.
Tetapi orang itu-pun menjadi sangat marah pula. Dengan garangnya ia-pun berkata, "Aku tidak mau berkelahi dengan perempuan. Ayo, aku tantang kakaknya. Jika ia memang laki-laki, kita selesaikan persoalan ini dengan cara seorang laki-laki. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya kepada Ki Basuri, "Bagaimana menurut paman" Apakah persoalan ini harus diselesaikan dengan cara yang dikehendakinya itu?"
"Kita sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi persoalan yang lebih besar."
"Tetapi perempuan itu sudah menghinaku. Aku murid utama dari perguruan Marga Semi, tidak mau menerima perlakuan seperti ini."
"Jangan sebut-sebut nama perguruanmu. Kau kira gurumu akan berbangga melihat muridnya berkelahi karena kelakuannya yang tidak pantas terhadap seorang perempuan?"
"Aku berhak berbuat seperti itu terhadap seorang perempuan petualang seperti perempuan itu. Aku memang tidak akan melakukannya terhadap seorang perempuan baik-baik."
Rara Wulan hampir saja meloncat menyerang. tetapi Glagah Putih telah menahannya. Namun Glagah Putih itu-pun berkata, "Baiklah. Jika kau merasa dihinakan, kau memang dapat menuntut adik perempuanku. tetapi persoalannya adalah persoalan antara kau dan adik perempuanku, maka kalianlah yang harus menyelesaikan. Bukan aku. Aku hanya akan menjadi saksi saja sebagaimana paman Basuri dan orang-orang yang lain. Jika itu yang kau kehendaki, maka segera lakukanlah sebelum Ki Bekel dan Raden Sumunar itu datang.
"Aku tidak ingin melawan seorang perempuan. Aku mempunyai harga diri. Aku tantang kau berkelahi."
"Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan kau."
Orang itu masih akan menjawab. Tetapi Rara Wulan telah memotongnya, "Bersiaplah. Kau mau atau tidak mau, aku akan menyerangmu. Aku akan mengoyakkan mulutmu yang kotor itu."
Orang bermata merah, yang mengaku murid utama dari perguruan Marga Semi itu-pun menggeram. Namun kemudian ia-pun berkata, "Kau sendiri yang mencari perkara. Semua orang menjadi saksi, bahwa bukan akulah yang menantangmu."
"Tetapi kau sudah merendahkan aku sebagai seorang perempuan. Aku ingin membuktikan, bahwa kau tidak lebih baik dari seorang perempuan dalam olah kanurgan."
"Kau sombong sekali."
"Kau memuakkan sekali."
Orang bermata merah itu melangkah maju. Katanya, "Jika terjadi sesuatu atas dirimu, bukan salahku."
"Salahmu. Kau telah menghinaku."
"Persetan kau perempuan yang tidak tahu diri."
Rara Wulan benar-benar sudah mempersiapkan diri. Ketika laki-laki bermata merah itu maju selangkah lagi, maka diluar dugaan tiba-tiba saja Rara Wulan meluncur dengan kaki terjulur lurus mengarah kedada.
Orang itu terkejut sekali, ia tidak lagi sempat mengelakkan serangan itu.
Yang dapat dilakukannya adalah melindungi dadanya dengan kedua belah tangannya yang disilangkan di dadanya.
Namun serangan Rara Wulan itu terlalu keras. Kakinya yang terjulur membentur kedua tangan lawannya yang bersilang, sehingga tangannya itu telah menekankan dadanya.
Orang bermata merah itu terhuyung-huyung selangkah surut. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya. Namun Rara Wulan meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar mengenai kening lawannya itu.
Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya terlempar dengan kerasnya terbanting di tanah.
Orang-orang yang menyaksikan ketangkasan Rara Wulan terkejut. Mereka tidak mengira, bahwa Rara Wulan akan mampu bergerak dengan cepatnya serta dengan tenaganya yang demikian kuatnya.
Orang yang bermata merah itu mencoba untuk segera bangkit. Sambil menyeringai kesakitan orang itu tertatih-tatih berdiri.
Rara Wulan berdiri beberapa langkah dari orang itu. Meski-pun orang itu berada di dalam jarak jangkau serangan kakinya, namun Rara Wulan tidak segera melenting menyerangnya. Dibiarkannya orang itu memperbaiki kedudukannya sambil berkata, "Aku beri kesempatan kau untuk bernafas. Terserah kepadamu, apakah kita akan berkelahi terus, atau tidak."
"Anak iblis kau. Perempuan binal," geram orang itu disela-sela nafasnya yang terengah-engah, "kau mencuri kesempatan dengan licik."
"Tidak. Kita sudah sama-sama bersiap untuk berkelahi. Tetapi mampuanmu memang tidak berarti apa-apa."
Orang itu menggeram. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya.
Dengan garangnya orang itu-pun kemudian meloncat sambil menjulurkan tangannya menggapai leher Rara Wulan. Namun Rara Wulan bergeser selangkah kesamping. Tangannya dengan cepat terayun ke arah tengkuk.
Tetapi lawannya sempat merendah menghindari serangan Rara Wulan itu. Bahkan kemudian dengan cepat tangannya terjulur lurus ke pinggang.
Rara Wulan menangkis serangan itu. Kemudian dengan tangkasnya kakinya terayun menghantam dagu orang bermata merah itu.
Demikian cepatnya serangan Rara Wulan sehingga orang itu tidak sempat mengelak. Tendangan Rara Wulan itu mengenai dagunya sehingga kepala orang itu terangkat. Giginya terkatup dengan kerasnya, sehingga sebuah diantaranya telah terlepas. Darah-pun mengalir dari mulutnya.
Orang itu menjadi semakin kesakitan. Karena itu, maka orang bermata merah yang menjadi sangat marah itu telah mencabut goloknya yang besar sambil menggeram, "Aku bunuh kau setan betina."
Rara Wulan mundur selangkah. Sementara itu Glagah Putih yang menjadi cemas-pun berkata, "Cukup Ki Sanak. Jangan mempergunakan senjata. Sedikit lewat senja seperti ini, banyak iblis yang berkeliaran. Ujung senjata akan menjadi sangat berbahaya."
"Persetan," geram orang itu, "jika kau takut adikmu mati, aku tantang kau."
"Siapa-pun yang berkelahi dengan senjata, akan sangat berbahaya bagi kedua belah pihak."
"Persetan. Aku harus menyelesaikan perkelahian ini dengan tuntas. Perempuan itu telah menghinaku. Harga diri hanya dapat ditegakkan kembali dengan darah dan nyawanya."
"Aku sudah mencoba mencegahnya," desis Glagah Putih.
Dalam pada itu, maka Ki Basuri-pun berkata, "Sudahlah. Kita menunggu Ki Bekel."
"Tidak. Belum cukup. Aku tidak mau membiarkan kesan seakan-akan aku telah dikalahkannya. Aku tidak kalah. Dan ini akan aku buktikan."
Ternyata Ki Basuri-pun tidak berhasil mencegah perkelahian itu menyala lagi. Ketika orang itu mulai memutar goloknya, maka Rara Wulan telah mencabut pedangnya pula.
Keduanya-pun mulai bergeser saling mendekati. Orang bermata merah itu tidak mau didahului lagi oleh Rara Wulan. Karena itu, ia-pun segera meloncat maju. Diayunkannya goloknya dengan derasnya langsung mengarah ke dahi Rara Wulan.
Rara Wulan yang sudah menjajagi kemampuan dan kekuatan lawannya sengaja tidak mengelak. Dengan menyilangkan pedangnya di depan wajahnya Rara Wulan menangkis serangan itu.
Terjadi benturan yang keras. Bunga api-pun telah mempercik memecahkan kegelapan yang mulai menyelimuti padukuhan itu.
Ternyata bahwa golok di tangan orang bermata merah itu telah goyah. Telapak tangannya terasa sangat pedih. Hampir saja golok itu terlepas dari tangannya.
Dengan cepat orang itu meloncat surut. Di luar sadarnya mulutnya mengumpat kasar. Tangan kirinya kemudian telah membantu memegangi hulu goloknya itu.
Rara Wulan tidak memburu lawannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati lawannya dengan pedang teracu.
Orang bermata merah itu masih memegangi goloknya yang besar dengan kedua belah tangannya. Ketika Rara Wulan maju selangkah lagi, maka orang itu-pun menggeram, "Aku benar-benar akan membunuhmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Ia memandang dengan tajamnya golok lawannya yang bergetar.
Orang-orang yang mengerumuninya menjadi sangat tegang. Ki Basuri justru telah menahan nafasnya, ia tidak mencemaskan perempuan yang bersenjata pedang itu. Tetapi ia justru mencemaskan orang yang matanya merah itu.
Ki Basuri yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, mempunyai kesempatan lebih besar untuk melihat perbandingan ilmu antara keduanya. Berbeda dengan orang yang terlibat langsung dalam perkelahian itu, apalagi dibekali dengan kesombongan dan harga diri, maka lawan Rara Wulan masih belum mengakui kenyataan bahwa perempuan itu memiliki ilmu lebih tinggi dari dirinya.
Namun ketegangan itu-pun dipecahkan oleh kehadiran sekelompok orang yang memasuki halaman rumah itu. Bahkan beberapa orang telah berteriak-teriak dengan kasar, "Pergi kau Tikus Wirog. Pergi kau dari halaman rumahku."
Ki Basuri dan orang-orang yang sedang dalam ketegangan itu terkejut. Mereka menyadari, bahwa yang datang itu tentu Ki Bekel bersama Raden Sumunar dan bahkan mungkin orang-orang padukuhan yang tidak dapat menolak perintah Ki Bekel.
"Hentikan perselisihan yang tidak ada gunanya ini," geram Ki Basuri, "sudah aku katakan, kita menghadapi persoalan yang lebih besar."
Orang yang bermata merah itu termangu-mangu sejenak. Kehadiran Ki Bekel telah menyelamatkan namanya, sehingga ia masih belum dinyatakan kalah dari seorang perempuan. Sementara itu, Glagah Putih-pun telah menggamit Rara Wulan sambil berdesis, "Sarungkan pedangmu supaya tidak terjadi salah paham dengan orang-orang yang datang itu."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun menyarungkan pedangnya sebagaimana diminta oleh Glagah Putih.
Orang bermata merah yang juga mendengar kata-kata Glagah Putih serta melihat Rara Wulan menyarungkan pedangnya, telah menyarungkan goloknya pula.
Sementara itu, orang-orang yang datang itu telah memasuki halaman. Beberapa orang bahkan membawa obor. Beberapa orang masih saja berteriak, "Pergi kau Wirog. Jangan mencuri gula dan kelapa kami."
Ki Basuri berdiri bagaikan membeku. Ketegangan yang lain telah mencengkam jantungnya. Demikian pula kawan-kawannya yang berdiri di sekitarnya.
Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Bukankah kesempatan ini yang paman tunggu?"
Basuri bagaikan terbangun dari mimpi buruknya. Sambil mengangguk ia-pun berkata, "Ya. Aku menunggu kesempatan ini. Marilah, kita temui mereka. Tetapi ingat, kita tidak akan berkelahi melawan orang-orang padukuhan ini."
Kawan-kawan Basuri itu tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Tetapi mereka-pun kemudian menyadarkan persoalan itu seluruhnya kepada Basuri. Apa yang dikatakannya, kawan-kawannya itu tinggal melakukannya saja.
Sejenak kemudian, maka Basuri dan kawan-kawannya-pun telah berdiri di tangga rumah yang kosong dan gelap itu. Nyala obor yang dibawa oleh orang-orang yang terdatangan itu telah menerangi kebon kosong itu. Sinarnya yang bergoyang disentuh angin telah menyapu wajah-wajah tegang dari mereka yang berdiri di tangga.
Ternyata yang berdiri dipaling depan adalah Ki Bekel dan para bebahu. Diantara mereka terdapat Raden Sumunar. Dibelakangnya adalah orang-orang upahan yang dibawa oleh Raden Sumunar itu.
Baru kemudian berdiri dengan tegang dan tatapan mata kosong, orang-orang padukuhan.
Ketika Ki Basuri sudah berdiri di tangga rumah kosong dan gelap itu, maka Ki Bekel-pun berkata, "Kau Tikus Wirog yang tidak tahu diri. Aku sudah mengusirmu dari padukuhan ini. Tetapi kau masih berada disini sampai malam turun. Seharusnya kau ditangkap dan dihukum karena kau telah melanggar perintahku, Bekel yang berkuasa di padukuhan ini. Tetapi aku masih mempunyai rasa perikemanusiaan yang tinggi. Karena itu, maka aku masih memberi kesempatan kepadamu untuk meninggalkan padukuhan ini sekarang."
Ki Basuri tidak segera menjawab. Dipandangnya orang-orang yang berada di halaman yang kotor itu, seakan-akan ia ingin melihat setiap wajah dari orang-orang itu.
Dalam pada itu. ternyata Raden Sumunarlah yang berbicara lebih dahulu, "Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya Wirog."
Basuri menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada berat ia-pun bertanya, "Apa salahku, Ki Bekel" Hanya karena aku datang dan berada di padukuhan ini tanpa memberitahukan kepada Ki Bekel, maka aku harus diusir" Bukankah aku sudah minta maaf atas kekhilafan itu?"
"Begitu mudahnya sebuah kesalahan dihapus dengan permintaan maaf" Seandainya demikian, baiklah. Aku maafkan kau. Namun seterusnya tinggalkan padukuhan ini."
"Ki Bekel. Sudah aku katakan, bahwa aku datang ke padukuhan ini untuk berdagang. Aku ingin membeli gula kelapa dan apabila ada juga kelapa kering. Apakah Ki Bekel tidak membenarkannya?"
"Sebaiknya kau tidak melakukannya. Untuk menghindari persaingan yang kasar, maka biarlah Raden Sumunar menjadi pembeli tunggal di padukuhan ini."
Sebelum Ki Basuri menjawab, Raden Sumunar itupun berkata lantang, "Wirog. Jangan banyak bicara. Sebaiknya kau pergi sebelum Ki Bekel dan orang-orang padukuhan ini marah, kau akan mengalami kesulitan yang mungkin tidak akan dapat kau atasi. Bahkan mungkin kau tidak akan pernah dapat keluar dari padukuhan ini, karena kau akan dikubur disini."
"Kau mengancam, Den Bera."
"Diam. Sebut namaku."
"Kau juga tidak mau menyebut namaku."
"Persetan dengan namamu. Aku peringakan sekali lagi. Pergilah. Rakyat pedukuhan ini tidak mau melihat wajahmu lagi."
Apakah benar begitu?"
"Mereka ada disini sekarang. Lihat, mereka tidak hanya membawa obor. Tetapi mereka membawa senjata."
"Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan."
"Cukup," potong Ki Bekel, "Pergilah."
"Baik. Aku akan pergi. Tetapi sebelumnya aku akan memberitahukan kepada rakyatmu, bahwa aku bersedia membeli gula mereka dengan harga yang wajar. Harga itu lebih tinggi dari harga yang dibayar oleh Den Bera. Selisihnya memang agak banyak. Dengan harga itu aku masih mempunyai keuntungan yang cukup. Sehingga dengan demikian aku lalui, seberapa besarnya Den Bera mendapat keuntungan. Jauh lebih tinggi dari uang yang diterima oleh para penghasil gula itu sendiri. Sementara mereka adalah orang yang mempunyai tanah dimana pohon kelapa itu tumbuh. Mereka adalah orang yang setiap hari memanjat pohon kelapa itu batang demi batang. Mereka yang mengolah legen menjadi gula dengan memanggang diri di depan perapian. Mereka yang mencetak gula itu dan kemudian menempatkannya di dalam keranjang-keranjang yang siap di pasarkan. Sementara itu Den Bera duduk-duduk sambil minum minuman hangat akan mendapat penghasilan yang jauh lebih besar. Ki Bekel, tidaklah Ki Bekel ingin mengadakan perubahan?"
"Cukup," teriak Raden Sumunar, "jangan berbicara apa-apa lagi agar aku tidak menyumbat mulutmu dengan hulu pedang."
"Aku tidak berbicara kepadamu, Den Bera. Aku akan berbicara kepada orang-orang padukuhan ini. Apakah mereka tidak menginginkan perubahan apa-pun dalam kehidupan mereka?" Ki Basuri itu-pun kemudian berbicara kepada orang-orang yang berada di halaman itu, "He, saudara-saudaraku. Aku bukan orang yang bekerja tanpa pamrih. Sudah aku katakan, aku ingin mendapat dagangan gula kelapa, karena gula kelapa akan memberikan keuntungan yang cukup padaku. Tetapi apakah aku sampai hati melihat ketidak adilan ini berlangsung lebih lama lagi" Kita sama-sama membutuhkan penghasilan yang wajar. Karena aku juga pernah mengalami hidup dalam kesulitan, maka aku dapat mengerti, betapa sakitnya diperas seperti yang kalian alami sekarang ini."
"Diam kau, Tikus Wirog. Kau jangan mencoba menghasut orang-orang padukuhan yang lugu dan hidup dalam suasana yang tenang dan damai. Kau jangan menimbulkan pergolakan disini, agar kau tidak kami cincang di kebon kosong ini," berkata Ki Bekel dengan suara lantang.
"Sayang Ki Bekel. Aku tidak akan diam. Aku ingin mendengar jawaban dari rakyat padukuhan ini. Apakah mereka tidak ingin mendapat uang lebih banyak dari hasil jerih payah mereka" Aku bukan orang yang baik hati. Aku adalah pedagang yang mencari untung. Tetapi dengan keuntungan yang wajar aku akan dapat tidur nyenyak semalam-malaman. Tetapi dengan memeras orang-orang yang lemah, maka aku akan selalu dibayangi oleh mimpi buruk."
"Aku akan membunuhmu," teriak Ki Sumunar.
Beberapa orang yang berdiri di belakangnya tiba-tiba saja telah bergerak. Namun bersamaan dengan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah turun pula dari tangga. Beberapa orang kawan Ki Basuri yang melihat keduanya bergerak, telah bergeser pula mendekati Ki Basuri yang masih berdiri di tangga.
Pedang Kiri Pedang Kanan 17 Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Iblis Penghela Kereta 3
^