Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 15

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


Sementara itu Ki Basuri-pun berkata pula, bahkan lebih lantang, "Aku tantang kau Den Bera. Tetapi aku tidak akan berkelahi melawan orang-orang padukuhan ini. Jika mereka menghendaki, aku pergi maka aku dan kawan-kawanku akan pergi. Tetapi jika mereka menghendaki aku tinggal, maka aku akan tinggal apa-pun yang akan terjadi. Aku akan melawan Den Bera dengan orang-orang upahannya. Aku akan melawan Ki Bekel yang telah diikat dengan suap oleh Den Bera."
"Cukup, cukup. Rakyat padukuhan ini akan membunuhmu."
"Tidak. Mereka tahu apa yang baik bagi mereka di masa datang. Aku justru menganjurkan agar Ki Bekel berpihak kepada mereka. Jika tidak, maka ki Bekel akan tersingkir. Bukan saja dari jabatan Ki Bekel, tetapi yang lebih sakit adalah tersingkir dari pergaulan sanak kadang. Mungkin Ki Bekel telah menerima uang yang jauh lebih banyak dari penghasilan Ki Bekel selaku bebahu padukuhan ini. Tetapi uang itu tidak akan dapat Ki Bekel pergunakan untuk membeli sebuah lingkungan yang nyaman, tenang dan damai diantara sanak kadang serta kawan-kawan semasa kecil, yang sama-sama bermain kejar-kejaran di waktu terang bulan."
"Diam, diam," Ki Bekel berteriak.
"Aku ingin mendengar rakyat padukuhan ini berteriak. Apakah aku harus pergi atau tidak. Jika kalian minta aku pergi dan membatalkan rencanaku untuk membeli gula, aku akan pergi. Tetapi jika kalian menginginkan hubungan jual beli itu diteruskan, aku akan tinggal. Aku akan berkelahi melawan siapa saja yang mencoba menghalangi hubunganku dengan kalian."
Ketika Ki Basuri berhenti berbicara, maka suasana-pun menjadi hening. Orang-orang yang berada di halaman itu bagaikan membeku. Lidah Ki Bekel bagaikan menjadi kelu. Ada sesuatu yang terasa bergejolak di dalam dadanya.
Namun sesaat kemudian terdengar Raden Sumunar itu berteriak, "Aku akan membungkammu."
Tetapi demikian mulut orang itu terkatub, terdengar seseorang berteriak, "Jangan pergi Ki Basuri."
Suara itu merupakan sebuah letupan perasaan yang terlahan-tahan. Rakyat padukuhan itu datang bersama Ki Bekel, karena Ki Bekel mengajak mereka. Bahkan Ki Bekel memerintahkan mereka untuk membawa obor dan senjata apa saja yang dapat mereka bawa.
Namun kedatangan mereka ke kebon kosong itu tidak didorong oleh kemauan mereka sendiri. Sebenarnyalah bahwa mereka merasa lebih senang berhubungan dengan Ki Basuri daripada Ki Sumunar.
Tetapi sebelumnya mereka tidak berani mengatakannya. Mereka tahan saja keinginan ini di dalam hati mereka. Bahkan mereka telah datang ke kebon kosong itu dengan senjata di tangan.
Karena itu, ketika jantung mereka diguncang oleh pernyataan Ki Basuri, maka kemauan mereka yang tertahan di dalam dada mereka itu telah meledak.
Ketika seseorang berteriak, agar Ki Basuri tidak pergi, maka seorang yang lain-pun segera berteriak pula, "Ya. Jangan pergi."
Bukan hanya seorang. Ternyata beberapa orang telah berteriak pula, "Jangan pergi. Jangan pergi."
Keringat dingin membasahi punggung Ki Bekel. Sementara itu, Raden Sumunar-pun menjadi sangat tegang.
"Ki Bekel," Raden Sumunar itu menggeram, "Redakan orang-orangmu. Bukankah kau berjanji bahwa mereka akan tunduk kepadamu?"
Nafas Ki Bekel-pun menjadi terengah-engah. Namun ia-pun masih juga mencoba, "Diam. Diam semuanya. Aku yang akan mengambil keputusan."
Tetapi Ki Basuri menyahut, "Dengar suara mereka, Ki Bekel. Itu adalah kata hati mereka. Mereka sudah jemu diperas oleh Raden Sumunar sampai darah mereka hampir kering. Sementara itu kau sama sekali tidak melindunginya. Kau justru ikut menghimpit rakyatmu sendiri yang seharusnya kau lindungi."
"Diam kau, diam."
Tetapi suara Ki Bekel itu tenggelam dalam teriakan-teriakan orang-orang padukuhan itu, "Usir Sumunar. Usir Sumunar."
Bahkan ada pula yang berteriak, "Usir Ki Bekel. Usir Ki Bekel."
Jantung Ki Bekel terasa berdegup semakin cepat. Ia merasa terhimpit oleh janjinya kepada Ki Sumunar yang telah memberinya banyak uang dan barang-barang berharga lainnya. Selama ini ia masih mampu mengendalikan orang-orangnya sehingga Raden Sumunar masih tetap merupakan pembeli tunggal di padukuhannya dengan harga yang ditetapkannya sendiri. Tetapi kedatangan Ki Basuri yang disebutnya Tikus Wirog itu, telah merusakkan segala-galanya. Orang-orang padukuhan itu tiba-tiba saja telah bersikap dan dengan berani menyatakan menentang kepadanya.
"Setan, kau Tikus Wirog," geram Ki Bekel. Tetapi tidak ada orang yang mendengarnya.
Sumunar-pun menjadi bingung. Meski-pun ia hadir bersama beberapa orang upahannya sehingga ia akan dapat menakut-nakuti orang-orang padukuhan itu, tetapi di tempat itu ada Basuri dan orang-orangnya pula. Basuri dan orang-orangnya tentu akan melindungi orang-orang padukuhan itu-pun berteriak semakin keras, "Usir Sumunar. Usir Ki Bekel."
Orang-orang itu tidak saja sekedar berteriak-teriak. Tetapi mereka-pun mulai mengacukan senjata-senjata mereka. Senjata apa saja yang akan mereka bawa. Ada yang membawa tombak. Tetapi ada yang sekedar membawa selarak pintu.
Meski-pun demikian, sikap orang-orang itu membuat Ki Sumunar dan Ki Bekel menjadi ngeri.
Diatas tangga Ki Basuri-pun menjadi tegang. Jika Sumunar kehilangan akalnya, maka ia dapat memerintahkan orang-orang upahannya untuk menyerang orang-orang padukuhan yang tidak terbiasa berkelahi. Meski-pun mereka membawa senjata, tetapi mereka tidak terbiasa mempergunakannya.
Karena itu, maka Ki Basuri itu-pun berteriak, "Jangan ganggu orang-orang padukuhan itu Den Bera. Jika kau ingin berkelahi, lawanlah kami. Kami sudah siap menghadapi kalian."
Sumunar termangu-mangu sejenak. Namun Raden Sumunar itu tidak akan dapat menentang arus. Orang-orang padukuhan itu masih berteriak-teriak, "Usir pemeras. Usir Ki Bekel yang makan suap."
Tubuh Ki Bekel mulai bergetar ketika orang-orang yang berteriak-teriak itu bukan saja mengacu-acukan senjata mereka, tetapi mereka mulai bergerak maju.
Namun Ki Basuri-pun kemudian berkata lantang, "Jangan lakukan apa-apa. Biarlah Sumunar pergi. Jika Ki Bekel ingin pergi, biarlah ia pergi pula. Tetapi jika Ki Bekel ingin tetap tinggal bersama kalian, maka persoalannya dapat dibicarakan kemudian. Kalian dapat mengirimkan orang-orang yang kalian percaya untuk menemui Ki Demang dan memberikan laporan selengkapnya. Biarlah Ki Demang yang mengambil alih persoalannya. Sementara itu, hubungan jual beli diantara kita dapat berlangsung terus."
Orang-orang padukuhan itu-pun berhenti bergerak. Mereka berdiri tegak seperti patung. Di tangan mereka masih tergenggam senjata. Sedangkan beberapa orang diantara mereka memegang obor.
"Sumunar," berkata Ki Basuri kemudian, "jika kau mau pergi, sekarang adalah waktu yang tepat. Sebelum rakyat padukuhan ini berbuat sesuatu atas dirimu dan orang-orang upahanmu. Sedangkan Ki Bekel. Kau dapat memilih. Apakah kau akan pergi di bawah perlindungan Sumunar yang selama ini telah memberikan banyak sekali kesenangan kepadamu, atau kau ingin tetap tinggal di dalam lingkunganmu. Jika kau ingin tinggal, maka kau harus bersedia dihadapkan kepada Ki Demang untuk menilai apakah kau telah menjalankan tugasmu sebagai Bekel padukuhan ini dengan baik atau tidak."
Wajah Ki Bekel menjadi sangat tegang. Sementara itu Sumunar-pun berkata, "Kau berhasil menghasut rakyat padukuhan ini, Wirog. Tetapi kau tidak akan selamanya berada di bawah perlindungan rakyat padukuhan ini."
"Aku sudah memperhitungkannya, Sumunar," sahut Ki Basuri, "aku tahu bahwa kau akan mendendam. Dendammu dapat meledak dimana saja. Disini, di pasar Pandean atau dimana saja kita akan dapat bertemu. Tetapi itu tidak apa-apa. Sudah aku katakan, aku siap menghadapimu."
Sumunar tidak menjawab. Tetapi ia-pun kemudian berkata kepada orang-orang upahannya, "Kita tinggalkan padukuhan ini. Padukuhan tempat tinggal orang-orang dungu dan malas," lalu katanya kepada Ki Bekel, "terserah apa maumu, Ki Bekel. Jika kau ingin ikut bersamaku, aku akan pergi sekarang."
Ki Bekel tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya.
Dalam pada itu, Raden Sumunar tidak menunggu Ki Bekel dapat mengambil keputusan. Ia-pun segera memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu.
Orang-orang padukuhan itu menyibak ketika Sumunar dan orang-orang upahannya lewat. Mereka ternyata menurut perintah Ki Basuri, agar mereka membiarkan Raden Sumunar itu pergi.
Demikian Raden Sumunar dan orang-orangnya hilang di balik regol, maka orang-orang itu-pun segera berpaling kepada Ki Bekel. Seorang di antara mereka-pun berteriak, "Ki Bekel ternyata telah menerima suap."
"Tangkap Ki Bekel," teriak yang lain yang disahut oleh banyak orang, "tangkap Ki Bekel."
Ki Bekel menjadi sangat ketakutan. Orang-orang padukuhan itu kembali mengacu-acukan senjata apa saja yang mereka bawa.
Namun Ki Basuri itu berkata lantang, "Jangan bertindak sendiri. Aku akan membawa Ki Bekel ke banjar. Aku akan menahannya di banjar, sementara kalian boleh pulang. Besok, dua orang diantara kalian akan pergi menghadap Ki Demang, melaporkan apa yang sudah terjadi disini. Biarlah Ki Demang mengambil tindakan."
Orang-orang itu-pun menjadi termangu-mangu. Namun kemudian seorang demi seorang, mereka-pun mulai meninggalkan halaman rumah itu.
"Tinggalkan satu atau dua obor di halaman," berkata Ki Basuri. "Dua orang di antara mereka yang membawa obor berhenti. Ki Basuri-pun memberikan isyarat kepada dua orangnya untuk menerima obor di tangan kedua orang itu."
Sejenak kemudian, maka halaman rumah kosong itu-pun menjadi sepi. Orang-orang padukuhan telah pergi. Yang tinggal adalah Ki Bekel yang berdiri seorang diri. Beberapa langkah daripadanya, sebelah menyebelah berdiri dua orang kawan Ki Basuri yang membawa obor yang ditinggalkan oleh dua orang padukuhan itu.
"Kau telah ditinggalkan rakyatmu sendiri, Ki Bekel," berkata Ki Basuri.
Ki Bekel benar-benar menjadi ketakutan melihat Ki Basuri melangkah mendekatinya diikuti oleh kawan-kawannya.
"Aku minta ampun. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena aku selalu diancam oleh Raden Sumunar."
"Omong kosong. Kau tidak diancamnya, tetapi kau telah disuapnya."
Ki Bekel itu tidak segera menjawab.
"Jawablah tuduhan ini, Ki Bekel. Kau tidak diancamnya. Tetapi kau telah disuapnya."
Ki Bekel itu mengangguk sambil berdesis, "Ya. Aku telah disuapnya. Tetapi aku minta ampun. Jangan sakiti aku."
"Tidak Ki bekel. Jika kami ingin menyakitimu, maka kami tidak akan mencegah orang-orang padukuhan ini melakukannya."
"Sekarang, apa yang akan kalian lakukan. Apakah aku boleh pulang?"
"Jangan pulang Ki Bekel. Kita bersama-sama akan pergi ke banjar seperti yang sudah aku katakan kepada orang-orang padukuhan ini. Dua orang di antara mereka akan menghadap Ki Demang untuk melaporkan, apa yang telah kau lakukan. Kau akan mendapat perlakuan yang adil melalui penelitian yang akan dilakukan oleh Ki Demang dan Ki Jagabaya."
Ki Bekel itu menjadi sedikit tenang. Ia tidak akan dicincang di kebun kosong itu. Jika ia diserahkan kepada Ki Demang, maka Ki Demang tidak akan berbuat semena-mena. Ia mengenal Ki Demang dengan baik. Namun ia-pun mengenal Ki Jagabaya yang garang.
"Nah, Ki Bekel," berkat Ki Basuri, "jangan berbuat aneh-aneh. Kita akan pergi ke banjar."
"Tetapi, tetapi aku tidak melakukannya sendiri."
Ki Basuri melangkah semakin dekat sambil bertanya, "Maksud Ki Bekel?"
"Ada beberapa orang bebahu yang juga menerima suap seperti aku. Aku bekerja sama dengan mereka mengendalikan orang-orang padukuhan ini."
"Besok, katakanlah kepada Ki Demang. Ki Demanglah yang akan memberikan keputusan, siapakah yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah."
Ki Bekel itu menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa orang berdiri disekitarnya, seakan-akan sengaja mengepungnya.
"Marilah, Ki Bekel," berkata Basuri, "kita pergi ke banjar."
Namun sebelum mereka melangkah pergi, Glagah Putih berdesis, "Apakah Ki Basuri mendengar sesuatu di kegelapan?"
Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berdesis, "Pendengaranmu sangat tajam anak muda. Baru sekarang, setelah aku memasang telingaku tajam-tajam, baru aku mendengar gemerisik di kegelapan. Beberapa orang agaknya sedang mendekati kita."
"Tentu Raden Sumunar."
"Kau yakin?" "Aku yakin." Ki Basuri mengangguk-angguk. Sebelum ia berkata sesuatu, sebenarnyalah, beberapa orang telah muncul dari kegelapan. Cahaya obor yang terayun-ayun oleh sentuhan angin malam, dengan lemahnya menggapai wajah-wajah mereka. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, di antara mereka terdapat Raden Sumunar.
Kawan-kawan Ki Basuri-pun bergeser. Sementara itu, Ki Basuri berkata kepada seorang kawannya, "Bawa Ki Bekel kemari. Jaga orang itu agar tidak melarikan diri selama terjadi gejolak. Nampaknya kita tidak dapat menghindari kekerasan."
Orang itu-pun segera mendekati Ki Bekel dan menariknya sambil berkata, "Kemarilah, Ki Bekel. Kau sudah diperingatkan oleh Ki Basuri. Jangan berbuat macam-macam."
Ki Bekel tidak melawan ketika orang itu menariknya ke belakang Ki Basuri dan kawan-kawannya.
Raden Sumunarlah yang kemudian maju mendekati Ki Basuri sambil berkata, "Orang-orang padukuhan telah pergi. Yang ada sekarang tinggal aku dan kau. Tikus Wirog."
"Ki Bekel masih ada di sini. Ia akan menjadi saksi apa yang akan terjadi disini."
"Aku datang untuk menyingkirkan kau dan mengambil Ki Bekel. Ia bertanggung jawab atas kegagalan usahaku disini. Ki Bekel sudah berjanji, bahwa usahaku tidak akan diganggu gugat oleh rakyat padukuhan ini."
"Tidak ada gunanya, Den Bera. Seandainya kau berhasil mengusir aku, namun namamu sudah menjadi terlalu buruk di padukuhan ini."
"Omong kosong. Jika kau sudah aku singkirkan, hidup atau mati, maka aku akan membuat hubungan baru dengan rakyat padukuhan ini. Aku akan sedikit menaikkan harga gula dan kelapa dari harga yang sudah aku tentukan sebelumnya. Rakyat padukuhan ini tentu akan menerimanya dengan senang hati. Mereka akan segera melupakan kau, karena kau belum pernah membuktikan kata-katamu, membayar dengan harga lebih tinggi."
"Aku sudah mengira, bahwa kau tidak akan berhenti sampai sekian. Kau tentu masih akan mencari cara untuk memenangkan persaingan yang tidak sewajarnya ini, kau adalah orang yang sangat licik."
Raden Sumunar tertawa. Katanya, "Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Aku akan tetap menguasai padukuhan ini meski-pun keuntunganku akan menyusut karena aku harus menaikkan harga gula dan kelapa. Tetapi kau tahu, bahwa keuntunganku masih tetap melimpah. Sementara itu, di padukuhan ini akan ada beberapa kuburan yang tidak pernah dikenal keberadaannya, karena tidak ada tanda-tandanya sama sekali."
"Kau ingin dikubur dengan cara seperti itu?" bertanya Ki Basuri.
"Persetan. Kaulah yang akan mati. Bukan aku."
Ki Basurilah yang kemudian tertawa. Katanya, "Den Bera. Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama, kau bawa kawan-kawanmu, sementara itu aku juga membawa kawan-kawanku. Kita masing-masing tidak akan dapat menentukan kematian seseorang, karena itu ada diluar jangkauan kita. Karena itu, sekali lagi aku peringatkan, kenapa kita harus mempergunakan kekerasan. Kenapa kita tidak merundingkannya baik-baik."
"Sudah aku katakan. Aku adalah pembeli tunggal di sini. Aku tidak mau disaingi oleh siapa-pun."
"Keserakahanmu itulah yang akan menghancurkan jalan hidupmu. Bahkan mungkin hidupmu itu sendiri yang akan direnggut dari dirimu."
Raden Sumunar memandang Ki Basuri dengan tajamnya. Dalam keremangan cahaya obor, Raden Sumunar itu memberi isyarat kepada orang-orang upahannya. Suaranya-pun kemudian meninggi, "Hanya ada satu pilihan Wirog. Kau akan kami singkirkan. Jangan menyesal. Orang-orangmu yang menghindari benturan kekerasan akan tetap hidup. Tetapi yang mencoba melawan, akan kami hancurkan sama sekali. Di belakang rumah kosong ini akan terdapat kuburan beberapa orang yang semasa hidupnya terlalu sombong. Tetapi kami tidak akan memberikan pertanda apa-apa diatas kuburan itu."
Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Ia memang harus menghitung-hitung apakah kira-kira yang bakal terjadi, di dalam keremangan cahaya obor ia melihat jumlah orang yang dibawa oleh Raden Sumunar memang lebih banyak dari orang-orangnya. Agaknya Raden sumunar telah berhasil mengumpulkan orang-orang upahannya.
Namun Ki Basuri sudah bertekad untuk menghdapinya. Kawan-kawannya-pun kelihatan telah siap untuk melakukannya, apa-pun yang akan terjadi. Sementara itu, dua orang anak muda telah berada di pihaknya pula. Laki-laki dan perempuan. Bahkan Ki Basuri telah melihat, betapa keduanya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari orang-orangnya. Perempuan muda itu mampu mengalahkan seorang kawannya yang termasuk diandalkannya meski-pun sifat-sifatnya agak kurang menyenangkannya.
Karena itu, maka dengan lantang Ki Basuri itu-pun berkata, "Den Bera. Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kami sudah siap mengahadapi segala kemungkinan. Kau tidak dapat mengandalkan jumlah orangmu yang barangkali lebih banyak. Tetapi kawan-kawanku memiliki banyak kelebihan dari orang-orangmu itu."
"Persetan dengan kesombonganmu. Bersiaplah. Sekali lagi aku peringatkan, siapa yang mencoba melawan, akan kami habisi tanpa ampun. Tetapi yang menyingkir akan tetap hidup. Kalian tidak akan dapat mencari bantuan orang-orang padukuhan. Mungkin kalian dapat berteriak-teriak mengejutkan orang yang mendengar. Tetapi mereka justru akan menjadi ketakutan."
Ki Basuri tidak menjawab lagi. Tetapi ia-pun segera mengembangkan tangannya. Beberapa orang kawannya-pun segera tanggap. Mereka segera menebar serta siap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan yang bergerak keujung. Sementara itu seorang di antara mereka tetap mengawasi Ki Bekel yang berdiri dengan wajah yang pucat. Jika terjadi benturan kekerasan, maka mungkin sekali ia sendiri akan menjadi sasaran. Siapa-pun yang menang, akan dapat menyakitinya. Bahkan mungkin sekali Basuri itu-pun akan melupakan kata-katanya sendiri. Apalagi jika orang itu terluka.
Demikianlah sejenak kemudian kedua belah pihak-pun telah mempersiapkan diri. Orang-orang Raden Sumunar mulai bergerak. Dengan lantang Raden Sumunar itu-pun berkata, "Bunuh Tikus Wirog serta orang-orang yang melawan. Aku akan menaikkan upah kalian sebagaimana aku akan menaikkan harga gula."
Sejenak kemudian, maka orang-orang upahan Raden Sumunar-pun telah mulai menyerang. Ki Basuri dan kawan-kawannya serentak telah bergerak pula. Terdengar dentang senjata yang beradu.
Adalah diluar dugaan ketika seorang diantara mereka yang membawa obor telah melemparkan obornya yang menyala kepunggung sorang pengikut Raden Sumunar yang mulai bertempur selangkah di sebelahnya.
Orang itu tidak mengira sama sekali, bahwa obor minyak itu akan dilemparkan ke punggungnya. Karena itu, maka ia-pun segera berteriak-teriak kesakitan ketika api mulai membakar pakaiannya.
Ternyata orang yang terbakar itu telah menimbulkan kekalutan. Satu dua orang kawannya berusaha membantunya memadamkan nyala api di pakaiannya itu.
Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh kawan-kawan Ki Basuri. Seorang lagi yang memegang obor telah menyerahkan obor itu ketangan orang yang diperintahkan untuk menjaga Ki Bekel. Dengan geram orang itu berkata, "Lihat Ki Bekel. Jika kau mencoba untuk lari, maka aku akan membakarmu seperti orang itu."
Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kulitnya terasa meremang.
Ketika api itu padam, maka orang yang terbakar itu duduk sambil merintih kesakitan. Dibeberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka bakar yang sangat pedih.
Sementara itu, pertempuran menjadi semakin sengit. Dalam kekalutan itu, dua orang pengikut Raden Sumunar telah terluka.
Raden Sumunar yang marah dan mendendam itu dengan serta merta telah menyerang Ki Basuri. Tetapi Ki Basuri yang telah menduga sebelumnya telah siap untuk melawannya.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Semua orang telah terlibat dalam pertempuran itu. Sebenarnyalah bahwa jumlah orang-orang upahan Raden Sumunar lebih banyak. Tetapi seorang telah dilumpuhkan oleh api obor, dua orang telah terluka. Meski-pun luka itu tidak terlalu parah, tetapi darah yang menitik telah menghambat ketangkasannya. Apalagi setelah keringat mulai mengalir membasahi luka-lukanya, maka luka itu-pun terasa menjadi sangat pedih.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah bertempur dengan garangnya. Ketika lawannya segera terdesak, maka seorang yang lain telah membantunya, sehingga Glagah Putih itu-pun bertempur melawan dua orang pengikut Raden Sumunar. Sedangkan Rara Wulan harus bertempur melawan seorang yang masih terhitung muda. Seorang yang mulutnya ternyata angat kotor, sehingga Rara Wulan menjadi sangat muak.
Namun sikap orang itu justru membuat nasibnya terlalu buruk. Rara Wulan yang muak itu-pun dengan cepat telah meningkatkan ilmunya untuk menghentikan perlawanannya.
"Jika pedangku telah mengoyak dadamu, maka mulutmu akan terdiam."
Orang yang tidak segera menyadari dengan siapa ia bertempur itu tertawa. Katanya, "Kau terlalu garang anak manis. Tetapi aku lebih senang kepada perempuan-perempuan yang garang."
Darah Rara Wulan-pun tersirap. Sikap orang itu sudah keterlaluan. Karena itu, maka serangan Rara Wulan-pun datang seperti angin prahara melanda orang yang memuakkan itu.
Orang itu terkejut. Dengan cepat ia berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak. Bahkan kemudian melenting dan berputar sekali di udara.
Tetapi demikian orang itu berdiri tegak, ujung pedang Rara Wulan telah memburunya pula. Hampir saja ujung pedang itu mengoyak dadanya. Dengan senjatanya orang itu masih sempat menepis. Namun pedang Rara Wulan yang bergeser itu berputar melingkar. Dengan cepat pedang itu terjulur menggapai lambung.
Orang yang memuakkan itu berteriak nyaring. Namun kemudian ia-pun mengumpat-umpat lebih kotor lagi.
Kepala Rara Wulan menjadi pening mendengar kata-kata kotor yang menjadi semakin kotor itu. Karena itu, maka dengan cepat pula Rara Wulan berusaha mengakhiri perlawanannya. Agaknya luka di lambungnya itu masih belum menghentikannya.
Dengan demikian maka serangan-serangan Rara Wulan-pun menjadi semakin cepat. Ketika orang itu berteriak mengumpatnya, maka ujung pedang Rara Wulan benar-benar telah menyentuh wajah orang itu. Segores luka telah menyilang di pipinya.
Orang itu-pun berteriak kesakitan. Darah mengucur dengan derasnya menetes kebajunya yang memang sudah bernoda darah.
Rara Wulan tennangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Kau masih saja akan menghina seorang perempuan?"
"Aku bunuh kau," teriak orang itu.
Dengan cepat orang itu meloncat sambil menjulurkan senjata. Namun darah yang telah mengucur dari luka, telah menyusut tenaganya. Karena itu, maka serangannya-pun terasa menjadi semakin lemah.
Rara Wulan dengan tangkasnya menghindari serangan itu bahkan pedangnyalah yang bergerak mendatar menebas ke arah dada.
Orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Pedang Rara Wulan telah meninggalkan luka yang menganga di dadanya.
Sejenak kemudian, maka orang itu-pun telah jatuh menelungkup. Suara erangnya hilang ditelan oleh teriakan-teriakan menggetarkan udara diatas kebun kosong itu
Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun tersadar, bahwa pertempuran masih terjadi dengan serunya. Ketika ia lelihat Glagah Putih harus bertempur melawan dua orang, maka ia-pun segera mendekatinya.
Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat orang yang matanya merah itu meloncat menjauhi lawannya. Namun lawannya tidak membiarkannya. Dengan cepat ia-pun memburunya.
Orang yang matanya merah itu harus berloncatan lagi untuk mengambil jarak. Namun tiba-tiba seorang lawan yang lain telah siap menyergapnya pula.
Rara Wulan menjadi tegang. Orang itu adalah orang yang memuakkan baginya. Namun dalam keadaan yang gawat itu, Rara Wulan menjadi bimbang. Apakah ia harus membiarkannya saja. Menurut perhitungan Rara Wulan, jika tidak ada yang menolong maka orang itu akan mengalami kesulitan. Bahkan mungkin mengancam jiwanya.
Rara Wulan tidak mempunyai banyak waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Pada saat yang paling gawat, maka Rara Wulan telah meloncat maju. Dengan tangkas ia-pun telah menghambat salah seorang dari kedua orang yang siap untuk menyerang bersama-sama.
Orang yang merasa terganggu itu menjadi sangat marah. Dengan lantang ia-pun berkata, "Perempuan iblis. Kau akan menyesali kelancanganmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, orang yang matanya merah, yang sudah menjadi sangat cemas menghadapi dua orang dari arah yang berbeda itu, menarik nafas lega. Ia merasa bahwa ia tentu akan segera menemui kesulitan jika ia harus melawan keduanya. Sementara seorang saja diantara mereka, sudah terasa betapa beratnya.
Namun jantungnya tergetar ketika ia mengetahuinya, bahwa orang yang telah menolongnya itu adalah perempuan yang sebelumnya telah berkelahi melawannya.
Tetapi ia tidak sempat berangan-angan. Ia-pun harus segera memutar senjatanya untuk menghadapi lawannya yang hanya seorang itu.
Meski-pun demikian sebuah pertanyaan telah sempat mengusik jantungnya, "Dimana lawan perempuan itu" Bukankah ia telah berhadapan dengan seorang pengikut Sumunar."
Pertanyaan itu-pun tidak sempat dicari jawabnya. Lawannya tiba-tiba saja telah menyerangnya dengan garangnya.
Tetapi orang bermata merah itu masih mampu melindungi dirinya sendiri. Untunglah bahwa orang lain yang telah mengambil salah seorang dari kedua orang yang hampir saja bersama-sama lurus dihadapinya.
Dalam pada itu, Glagah Putih-pun berloncatan dengan tangkasnya. Kedua orang lawannya tidak juga mampu menundukkannya. Bahkan keduanya kadang-kadang menjadi bingung karena tiba-tiba saja Glagah Putih telah berada di tempat yang tidak terduga.
Ketika ujung pedang Glagah Putih sempat menyentuh seorang lawannya, maka Glagah Putih-pun bertanya kepada orang yang meloncat menjauhinya itu, "Berapa harga nyawamu yang dibeli oleh Sumunar itu?"
Orang itu tidak menjawab. Sementara itu, kawannya telah meloncat menyerang dengan senjata terjulur.
Glagah Putih menangkis serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil mengayunkan pedangnya serta menggeram, "Aku baru bertanya kepada kawanmu."
Orang itu meloncat surut. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi Glagah Putih memburunya. Pedangnya yang terjulur-pun telah menyentuh bahu orang itu.
Orang itu mengaduh tertahan. Namun Glagah Putih-pun berkata, "Lawanmu belum menjawab pertanyaanku."
Luka itu memang terasa pedih. Namun dengan garangnya kedua orang lawan Glagah Putih itu menyerang bersama-sama.
Glagah Putih melenting tinggi, sekali berputar di udara, kemudian sebuah ayunan yang deras telah menyambar salah seorang lawannya. Demikian cepatnya sehingga lawannya itu tidak sempat menghindar atau menangkisnya.
Terdengar orang itu berteriak. Kemudian mengumpat kasar. Sementara itu kawannya-pun telah meloncat sambil menjulurkan senjatanya.
Namun sambil merendahkan dirinya, Glagah Putih menebas dengan cepatnya.
Orang itu menggeliat. Ia tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Lambungnya telah terkoyak oleh pedang Glagah Putih.
Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian orang itu-pun jatuh terbanting ditanah.
Kawannya yang juga sudah terluka tertegun sejenak. Sekali lagi ia mendengar suara Glagah Putih, "Berapa harga nyawamu yang dibeli oleh Sumunar."
Orang itu bergeser surut. Meski-pun senjatanya masih bergetar, tetapi ia tidak segera menyerang.
"Kawanmu sudah tidak berdaya," berkata Glagah Putih, "ia sudah menjual nyawanya kepada Sumunar. Bahkan mungkin belum dibayar, sehingga ia belum dapat menikmati harga nyawanya. Nah, sekarang terserah kepadamu. Apakah kau juga akan mati atau sebaiknya kau pergi saja dari arena ini. Kau sudah terluka. Lukamu akan mengalirkan darah terlalu banyak. Tenagamu akan segera terperas habis sehingga kau menjadi tidak berdaya sama sekali."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya arena pertempuran di kebun kosong itu. Beberapa orang telah terbaring di tanah. Orang yang sebagian tubuhnya terbakar itu mengerang kesakitan.
Dalam pada itu, Sumunar masih bertempur melawan Ki Basuri. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga pertempuran itu-pun menjadi semakin lama semakin sengit.
Bergantian keduanya harus berloncatan mengambil jarak. Bergantian mereka saling mendesak. Bahkan senjata-senjata mereka telah mulai menyentuh tubuh lawan.
Sementara itu, kawan-kawan Ki Basuri-pun harus mengerahkan kemampuan mereka untuk tetap dapat bertahan. Seorang diantara mereka telah terbaring karena ia harus bertempur melawan dua orang lawan. Namun sebelum orang itu rebah di tanah, ia sudah berhasil melukai seorang diantara kedua lawannya di pundaknya.
Orang itu menggeram marah. Luka di pundaknya itu terasa sangat pedih. Darah yang hangat terasa mengalir di tubuhnya.
Ketika ia melihat lawannya yang terbaring itu masih bergerak, maka ia-pun berkata dengan geramnya, "Aku cincang kau sampai lumat."
Dengan gigi yang gemeretak oleh kemarahan yang membakar jantungnya, orang itu mengangkat senjatanya. Sebuah tongkat besi yang berwarna hitam kelam. Jika besi itu mengenai kepala lawannya yang sudah tidak berdaya itu, maka tulang kepalanya akan dapat pecah berkeping-keping.
Tetapi orang itu terkejut. Tiba-tiba saja tongkatnya membentur senuah pedang. Bahkan dengan cepai pedang itu berputar, sehingga tangkai itu bagaikan direnggut dari tangannya.
Sejenak kemudian, maka tongkat besi itu-pun telah terlempar beberapa langkah dari kakinya.
Selangkah ia bergeser surut. Kawannya yang bertempur bersamanya menghadapi orang yang terbaring itu, meloncat maju sambil mengacungkan senjata. Sebilah golok yang besar.
"Kau juga akan mati seperti orang itu," geram orang bersenjata golok itu.
"Ada bedanya," ternyata yang telah membentur tongkat besi itu adalah Glagah Putih, "kawanmu sekarang sudah tidak bersenjata. Bahkan sudah terluka. Sebentar lagi, kawanmu itulah yang akan mati jika ia memaksa bertempur terus. Darahnya akan mengalir seperti diperas dari tubuhnya. Kau tahu, orang yang kehabisan darah akan mati."
"Persetan," geram orang yang bersenjata golok itu, "ia akan dapat mengambil tongkatnya. Kemudian kami berdua akan membantai kau disini. Kau harus mengalami perlakuan yang lebih buruk dari kawanmu yang telah terbaring itu."
"Perlakuan buruk apa yang kau maksud?"
"Kau harus mati."
Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Aku tadi bertanya kepada kawanmu, berapa harga nyawanya yang dibeli oleh Sumunar."
"Persetan kau," orang yang bersenjata golok itu tidak mau mendengarnya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang Glagah Putih, sementara itu, kawannya yang lain mencoba memungut senjatanya.
Glagah Putih memang tidak berusaha menghalangi orang yang memungut tongkat besinya itu. Namun demikian orang itu berhasil menggenggam tongkatnya, maka golok di tangan kawannya itulah yang telah terlempar jatuh. Glagah Putih telah membentur golok yang terayun ke arah kepalanya itu. Ia sengaja tidak menghindarinya, tetapi menangkisnya dan melemparkan senjata itu dari tangan lawannya.
Sebelum orang itu sempat bergeser menjauh, maka pedang Glagah Putih telah terayun mendatar, menyentuh pinggang orang yang kehilangan goloknya. Memang tidak begitu dalam. Tetapi dari luka itu, darahnya telah mengalir pula.
Orang yang membawa tongkat besinya, yang sudah siap untuk meloncat menyerang, justru telah tertegun. Ia tidak dapat mengingkari kenyataannya, bahwa lawannya itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Sekali lagi aku ingin bertanya kepada kalian, berapa harga nyawa kalian yang dibeli oleh Sumunar?"
"Aku bunuh kau," geram orang yang bersenjata tongkat besi dan yang sudah terluka di pundaknya itu.
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Seorang diantara kalian tadi memilih untuk menghindar dari pertempuran ini. Aku katakan kepadanya, jika ia mati di pertempuran ini, maka ia tidak akan pernah dapat menikmati upah yang akan diberikan oleh Sumunar kepadanya. Tetapi jika ia pergi, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk hidup. Belum tentu Sumunar akan dapat mencarinya dan menghukumnya karena telah berkhianat. Karena bagaimana-pun juga, hidup akan lebih berharga daripada mati bagimu."
"Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku."
"Aku tidak menakut-nakutimu. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan yang kau hadapi."
Orang itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu, orang yang goloknya terlepas telah dengan diam-diam memungut goloknya. Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika Glagah Putih berkata. Senjata kalian tidak akan mampu menghentikan pedangku. Karena itu, sekali lagi aku peringatkan, pergilah. Berapa-pun banyaknya uang yang dijanjikan oleh Sumunar tidak akan sepadan dengan harga nyawamu. Seandainya kau takut bahwa Sumunar akan membunuhmu, berarti bahwa hidupmu masih bersambung beberapa lama lagi. Kecuali jika Sumunar mati dalam pertempuran ini, maka hidup kalian tidak akan terancam lagi."
Keduanya tidak menjawab. Tetapi keduanya tidak menyerang lagi. Sementara itu, darah masih menitik dari luka di tubuh mereka."
"Pergilah. Atau aku benar-benar membunuhmu."
Kedua orang itu bagaikan membeku di tempatnya. Sementara itu, Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan mereka lagi. Glagah Putih itu-pun melangkah untuk mencari lawan yang lain.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak memburu Glagah Putih.
Ketika Glagah Putih mendekati Rara Wulan, maka Rara Wulan hampir saja mengakhiri pertempuran. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu dekat di sebelahnya.
"Kau dapat membunuhnya jika kau mau," desis Glagah Putih.
"Apa maksudmu, kakang?"
"Sebelum orang itu mati, aku ingin bertanya kepadanya, berapa harga nyawanya yang dibeli oleh Sumunar?"
Lawan Glagah Putih yang sudah berputus-asa itu termangu-ungu sejenak. Namun beberapa saat kemudian, setelah mereka berbicara beberapa lama, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun melepaskan orang itu.
"Pergilah. Nyawamu pasti lebih berharga dari apa-pun yang akan diberikan Sumunar kepadamu."
Orang itu tidak menjawab. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah meninggalkannya.
Dalam pada itu, maka Sumunar harus mengerahkan tenaganya untuk bertempur melawan Ki Basuri. Demikian pula Ki Basuri. Ia terus meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak.
Ternyata bahwa kemampuan keduanya seimbang. Kadang-kadang Ki Basurilah yang terdesak sehingga harus berloncatan menjauh. Namun kemudian Sumunarlah yang harus melenting menghindari serangan-serangan Ki Basuri yang membadai.
Sementara itu, orang-orang upahan Raden Sumunar-pun telah menjadi semakin menyusut. Meski-pun kawan-kawan Ki Basuripun telah berkurang, namun Ki Basuri mempunyai kesempatan yang lebih baik dari Raden Sumunar.
Namun yang tidak pernah dibayangkan itu telah terjadi. Ketika Ki Basuri berhasil mendesak lawannya, sehingga Raden Sumunar itu harus meloncat mengambil jarak, tiba-tiba saja dari balik sebatang pohon nangka yang tumbuh di kebun kosong itu, seorang yang telah terluka pinggangnya meloncat sambil mengayunkan sebilah keris. Dengan tanpa peringatan apa-pun keris itu telah menggores di lambung Raden Sumunar. Ketika Raden Sumunar berpaling, maka ia-pun terkejut. Dilihatnya seorang dari orang-orang upahannya berdiri dengan keris di tangan. Kemudian dengan geram orang itu telah menghujamkan kerisnya di dada Raden Sumunar.
"Kau Geger?" suara Raden Sumunar terputus.
Sejenak kemudian, Raden Sumunar itu-pun telah rebah di tanah. Masih terdengar suara erangannya. Namun kemudian terdiam.
Ki Basuri-pun terkejut pula. Bahkan sejenak ia menjadi bingung menanggapi peristiwa itu.
Orang upahan yang telah membunuh Raden Sumunar itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun melangkah mendekati Ki Basuri sambil berkata, "Ampun Ki Basuri. Aku sudah memutuskan untuk membunuh Raden Sumunar."
"Kenapa kau melakukannya?" bertanya Ki Basuri.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku sudah muak terhadap Raden Sumunar yang tamak itu."
"Sejak kapan kau merasa muak?"
"Sejak beberapa hari yang lalu."
"Omong kosong. Tadi kau masih bertempur di pihaknya."
"Tetapi aku tidak bersungguh-sungguh."
"Jika kau tidak bersungguh-sungguh, maka kau tentu tidak akan terluka."
Orang itu menjadi bingung. Namun kemudian katanya, "Aku memang ingin membantu Ki Basuri. Aku ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan keinginanku membantu itu."
"Kau bohong. Kau tentu mempunyai kepentingan lain. Tanpa bantuanmu, aku sudah akan dapat menyelesaikan Sumunar dan orang-orangnya termasuk kau."
"Tetapi aku tidak mau lagi menghambakan diri kepadanya."
"Itu terserah kepadamu. Tetapi aku tidak senang melihat sikapmu. Kau telah mengkhianati orang yang selama ini memberi upah kepadamu. Selama ini kau telah tunduk kepadanya, dan bahkan menjilat telapak kakinya. Tetapi tiba-tiba saja kau telah berkhianat."
"Aku ingin mengabdikan diriku kepadamu."
"Bohong," teriak seorang yang berjanggut lebat. Tiba-tiba saja pedangnya telah menusuk punggung orang itu sampai menembus jantungnya.
Ketika orang berjanggut lebat itu menarik pedangnya, maka orang yang telah mengkhianati Sumunar itu-pun jatuh di tanah.
"Jika orang itu ikut kita, maka pada suatu saat ia-pun akan mengkhianati kita."
"Kenapa orang itu kau bunuh?" bertanya Ki Basuri.
"Aku muak melihat pengkhianatannya. Seorang pengkhianat, apa-pun yang dikhianati, harus dibunuh."
"Kau terlalu terburu-buru. Sebenarnya kita dapat berbicara agak lama dengan orang itu, nanti setelah pertempuran ini selesai. Kitapun sebenarnya tidak perlu membunuhnya."
"Jika kita tidak membunuhnya, maka kitalah yang akan dibunuh."
Tetapi Ki Basuri membentak, "Akulah pemimpin disini. Aku tidak mau kau berbuat lancang seperti itu lagi."
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, pertempuran sudah selesai. Ada beberapa orang pengikut Sumunar yang terbunuh. Yang lain, agaknya telah melarikan diri. Ada di antara mereka yang sengaja dibiarkan pergi oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ki Basuri berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh Sumunar yang terbaring diam. Luka di lambung dan dadanya masih mengalirkan darah.
Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi, besar, yang rambutnya diurai di bawah ikat kepalanya melangkah mendekati tubuh Sumunar yang terbaring diam. Tanpa berkata apa-apa, maka ia-pun segera berjongkok. Dicobanya untuk melepas kamus yang dipakai Raden Sumunar. Kamus yang timangnya berlapis emas itu tentu harganya sangat mahal.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Ki Basuri.
"Timang ini tentu mahal. Daripada harus dibawa keliang kubur, aku ingin mengambilnya."
"Biarkan timang itu berada di tempatnya."
"Kenapa?" "Kau tidak boleh mengambilnya. Itu bukan hakmu."
"Yang berhak sudah mati."
"Biarlah dibawa mati."
"Kau aneh, Ki Basuri."
"Tidak. Aku tidak mengijinkan kau mengambil yang bukan hakmu."
"Kita dapat memanfaatkannya. Tidak hanya timang ini saja. Jika kau akan mengambil yang lain, ambillah."
"Sekali lagi aku peringatkan, jangan ambil apa-pun juga dari orang itu, atau aku akan memaksamu."
Orang bertubuh tinggi besar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dilepaskannya kamus yang sudah hampir dilepasnya dari lambung pemiliknya itu. Sambil menghentakkan tangannya ia berkata, "Aku bukan orang yang hatinya putih seperti kapas. Kau ambil aku dari lorong gelap untuk bekerja bersamamu."
"Karena itu, ikuti perintahku. "
Orang itu memandang Ki Basuri dengan tajamnya. Namun kemudian ia-pun melangkah surut.
Yang kemudian berdiri dengan tubuh yang menggigil adalah Ki Bekel. Basurilah yang kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata, "Panggil para bebahu."
"Untuk apa?" "Panggil para bebahu sekarang. Dua orang kawanku akan mengikutimu. Jika kau mencoba melarikan diri, maka kedua orang kawanku itu akan berteriak. Kau tahu akibatnya Orang-orang padukuhan ini akan keluar mengejarmu seperti mengejar tupai."
Ki Bekel yang gemetar itu tidak sempat membantah. Dua orang kawan Ki Basuri itu telah mendapat perintah untuk menyertainya.
"Kita kumpulkan orang-orang yang terbunuh itu," berkata Ki Basuri kemudian.
Kawan-kawannya tidak membantah. Bahkan Glagah Putih-pun ikut pula mengusung orang-orang yang terbunuh, dan meletakkannya di pendapa rumah yang kosong itu. Demikian pula mereka yang terluka, apalagi yang sangat parah.
Baru setelah selesai, Ki Basuri-pun berkata, "Kita dapat beristirahat sambil menunggu Ki Bekel dan para bebahu. Nanti kita bersama-sama pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Agaknya sumur di kebun kosong ini sudah lama tidak dipergunakan, sehingga airnya tentu sudah menjadi kotor."
Ampat kawan Ki Basuri-pun telah terluka. Dua di antaranya parah. Bahkan yang seorang, benar-benar dalam keadaan yang gawat. Ki Basuri telah membubuhkan obat yang untuk sementara dapat membendung arus darahnya sambil menunggu seorang tabib yang baik.
Sementara itu, kawan-kawan Ki Basuri-pun duduk menebar di kebun kosong itu. Ada yang duduk di tangga pendapa. Ada yang duduk di serambi dan bahkan ada yang duduk di atas lincak bambu tua yang sudah mulai lapuk.
Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ujung tangga pendapa, agak terpisah dari beberapa orang yang lain, yang duduk di tangga itu pula.
"Apakah kita akan mengikuti perkembangan persoalan ini seterusnya, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Tidak. Nanti kita akan meneruskan perjalanan. Biarlah Ki Basuri menyelesaikan persoalannya dengan Ki Bekel. Raden Sumunar sudah tidak ada, sehingga persoalannya tinggal ada pada Ki Basuri dan Ki Bekel. Bahkan agaknya Ki Basuri berhasil mempengaruhi rakyat padukuhan ini, sehingga Ki Bekel tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Hampir berbisik Rara Wulan-pun bertanya, "Apakah menurut pendapat kakang, untuk selanjutnya tidak akan ada persoalan" Apakah kakang percaya bahwa Ki Basuri akan bersikap lebih baik dari Raden Sumunar" Maksudku, setelah Raden Sumunar tidak ada, Ki Basuri tidak akan menggantikannya dengan kadar kerakusan yang sama?"
"Mudah-mudahan tidak, Rara. Meski-pun demikian, banyak hal di luar dugaan dapat terjadi. Tetapi mudah-mudahan tidak. Pada suatu saat kita akan kembali untuk melihat, apakah Ki Basuri akan berbuat lebih baik atau tidak. Jika tidak, maka menjadi kewajiban kita untuk memperingatkannya."
Sementara itu, api obor yang tinggal sebuah itu-pun telah padam. Kebun kosong itu menjadi gelap pekat. Namun setelah mata mereka terbiasa berada di kegelapan, maka akhirnya mereka-pun remang-remang dapat juga melihat, apa yang ada di hadapan mereka. Sementara itu, pandangan mata Glagah Putih dan Rara Wulan yang terlatih, masih mampu juga menembus kegelapan itu pada jarak yang agak jauh.
Malam-pun menjadi semakin sepi. Di antara derik cengkerik dan bilalang, terdengar juga erang mereka yang kesakitan oleh luka-luka di tubuh mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di tangga itu menjadi berdebar-debar ketika melihat seseorang mendatanginya. Ternyata adalah orang yang bermata merah itu.
Rara Wulan yang hampir saja bangkit berdiri telah digamit oleh Glagah Putih sambil berdesis, "Tunggu. Mungkin orang itu hanya ingin berterima kasih kepadamu. Bukankah kau telah menyelamatkannya. Bahkan mungkin orang itu akan minta maaf atas kelancangannya."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian orang yang datang itu-pun telah berdiri dihadapan Rara Wulan. Betapa-pun ketegangan mencengkam, namun Rara Wulan masih menahan diri. Ia tetap tidak beranjak dari tempat duduknya.
Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian orang itu-pun berkata sambil mengangkat dadanya, "Aku telah membunuh lawanku."
"O," Glagah Putih mengangguk, sementara Rata Wulan masih saja tetap membeku.
"Jika golokku telah aku cabut dari wrangkanya, maka itu pertanda bahwa akan ada jiwa yang melayang."
"O," Glagah Putih mengangguk-angguk lagi.
Orang bermata merah itu berkata pula, "Tetapi jika tidak terpaksa sekali, aku tidak pernah mencabut golokku."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih saja mengangguk-angguk.
"Apakah kau juga berhasil membunuh lawanmu?"
Ketika Glagah Putih akan menjawab, orang itu memotongnya, "Aku bertanya kepada adikmu."
"O," Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Rara Wulan-pun menjawab pendek, "Tidak."
"Jadi kenapa dengan lawanmu?"
"Lari.'' "O, Ternyata ilmumu cukup memadai. Aku datang untuk mengucapkan terima kasih."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, orang yang matanya merah itu-pun berkata, "Kau telah mengurangi bebanku ketika aku harus bertempur melawan dua orang sekaligas. Jika kau tidak datang membantuku, mungkin aku masih terus bertempur lebih lama lagi. Aku akan membutuhkan waktu lebih banyak untuk membunuh keduanya."
Rara Wulan bergeser setapak, tetapi Glagah Putih menggamitnya.
Sementara itu, orang bermata merah itu-pun berkata pula, "Kedatanganmu telah mempersingkat dan memperingan pekerjaanku. Tetapi lebih dari itu, aku akan mengucapkan terima kasih atas perhatianmu padaku. Aku minta maaf, bahwa kita harus berkelahi sebelum Ki Bekel itu datang. Tetapi kemudian baru aku sadari bahwa kau sangat memperhatikan aku. Mungkin caramu saja yang tidak aku mengerti sehingga aku menjadi salah paham. Sekarang, aku minta kita melupakan kesalah pahaman itu. Aku tidak akan menyia-nyiakan perhatianmu atasku."
Jantung Rara Wulan berdegup semakin cepat. Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dengan wajah yang tegang.
Glagah Putih-pun bangkit berdiri pula. Namun ia justru mencoba menahan Rara Wulan.
Namun demikian Rara Wulan itu-pun menggeram, "Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura lagi," berkata orang itu, "aku tentu sangat menarik bagimu, sehingga kau memberanikan diri untuk mengambil seorang dari kedua lawanku. Kau sebenarnya tidak perlu melakukannya, karena aku akan segera dapat menyelesaikan mereka. Tetapi aku tidak mau membuatmu kecewa. Justru karena kau sudah sangat memperhatikan aku."
Rara Wulan tidak dapat menahan diri. Tiba-tiba ia mengulangi lagi, memukul wajah orang itu.
Orang itu menyeringai menahan sakit. Tetapi ia mencoba menahan rasa sakitnya. Bahkan ia-pun kemudian tertawa sambil berkata, "Cara ini memang sangat menarik. Jarang sekali perempuan yang menyatakan perasaannya dengan cara ini."
Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar suara Ki Basuri, "Jadi kau masih juga berbuat gila?"
Orang bermata merah itu berpaling. Dengan nada tinggi ia-pun berkata, "Satu cara yang aneh untuk menyatakan perasaannya, Ki Basuri. Perempuan ini sangat memperhatikan keselamatanku. Ia telah melibatkan diri langsung melawan salah seorang yang sedang mengeroyokku. Yang sekarang kita perlukan adalah kejujurannya. Ia tidak perlu berpura-pura terlalu lama."
"Aku peringatkan kau, jangan ganggu perempuan itu."
"Aku tidak mengganggunya. Aku hanya memberi jalan kepadanya agar hatinya terbuka. Agar ia dapat menyatakan perasaannya tanpa ada hambatan. Tanpa malu dan segan."
"Kau sudah gila," geram Ki Basuri sambil melangkah mendekat, "sekali lagi aku peringatkan agar kau tidak mengganggunya. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka aku tidak akan ikut campur lagi. Kedua orang kakak beradik itu akan membantaimu. Kau harus mengakui kenyataan, bahwa sebelum Ki Bekel datang, kau hampir aja kehilangan harga dirimu karena kau dikalahkan oleh seorang perempuan. Jika sekarang kesalahan itu kau ulangi, maka harga dirimu akan benar-benar diinjak-injak. Bahkan mungkin tubuhmu. Kepalamu. Karena kau akan menjadi mayat."
Orang bermata merah itu tertawa. Katanya, "Aku setuju, bahwa Ki Basuri tidak akan ikut campur lagi. Apa yang akan terjadi, biarlah terjadi. Aku yakin, bahwa perempuan itu hanya sekedar mencari jalan untuk menyatakan perasaannya. Itu jika ia jujur."
"Baik," berkata Ki Basuri, "lakukan apa yang ingin kau lakukan."
Namun tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi besar, yang gagal mengambil timang Raden Sumunar yang terbunuh itu melangkah mendekat sambil berkata, "Jika Ki Basuri tidak ikut campur, maka aku akan menjaga agar persoalannya menjadi adil. Biarlah perempuan itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku akan menjaga agar kakaknya tidak ikut campur. Jika kakaknya ikut campur, maka dua akan dilawan dengan dua. Aku-pun akan ikut campur pula. Aku juga akan membela adikku."
"Baik. Itu terserah saja kepadamu. Aku memang tidak akan ikut, campur. Orang yang lain-pun tidak akan ikut campur. Siapa yang akan turun dan berpihak, maka akulah lawannya."
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. Katanya, "Nah, kau dengar itu anak muda. Kau tidak dapat membantu adik perempuanmu, karena dengan demikian, maka kau telah mengundang aku untuk ikut campur."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian menjawab, "Sebenarnya aku memang tidak ingin ikut campur. Tetapi menyenangkan sekali membuat persoalan denganmu. Tetapi biarlah adikku menyelesaikan persoalannya. Baru kemudian aku akan ikut campur."
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu mengerutkan dahinya. Ia merasa heran, bahwa laki-laki muda itu tidak menjadi gentar. Bahkan seakan-akan telah menantang untuk melawannya.
"Sayang aku tidak dapat melihat apa yang telah kau lakukan dalaim pertempuran melawan para pengikut Sumunar, sehingga aku tidak dapat menilai kemampuanmu. Cahaya obor itu tidak cukup terang menggapai seluruh arena pertempuran."
"Nanti kita akan saling menjajagi," jawab Glagah Putih.
Orang bertubuh tinggi tegap itu justru menjadi termangu-mangu. Pengembara itu agaknya justru sangat meremehkannya.
Namun orang bertubuh tinggi besar itu masih menahan diri. Orang yang bermata merah itulah yang kemudian berkata kepada Rara Wulan. "Nah, kau dengar. Ki Basuri tidak akan ikut campur lagi. Orang-orang itu-pun tidak akan ikut campur. Karena itu bersikaplah jujur. Kau sangat memerhatikan aku. Dan tentu memerlukan aku."
Rara Wulan menjadi sangat marah. Katanya, "Bersiaplah. Aku tidak mau disebut licik."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Mengoyak mulutmu."
Orang itu tertawa pula. Katanya, "Jika itu caramu untuk menyatakan isi hatimu, baiklah. Aku akan melayanimu."
Rara Wulan-pun segera bergeser. Demikian pula orang yang matanya merah itu. Sedangkan beberapa orang lain mengerumuni mereka dengan wajah yang tegang.
Dalam keremangan malam mereka melihat perempuan muda itu mulai menyerang. Dengan tangkasnya orang bermata merah itu bergeser untuk mengelakkan diri.
Rara Wulan memang belum bersungguh-sungguh. Ia baru memancing lawannya.
Baru sejenak kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang semakin cepat. Rara Wulan yang marah itu menyerang dengan garangnya.
Meski-pun demikian, Rara Wulan itu tidak kehilangan nalarnya Ia masih tetap mempergunakan otaknya untuk menghadapi orang bermata merah itu.
Diluar arena, Glagah Putih-pun tiba-tiba saja bertanya kepada orang yang bertubuh tinggi besar itu, "Apakah orang yang berkelahi melawan adikku itu memang adikmu?"
"Ya." "Kalian sangat berbeda. Agaknya kau lahir dimusim basah, sedang adikmu lahir dimusim paceklik."
"Lihat, adikmu akan segera tunduk kepada kemauan adikku. Seharusnya adikmu berkata dengan jujur, bahwa ia menginginkan adikku."
"Apakah begitu?"
"Ya. Tetapi adikmu tidak jujur. Ia menempuh cara yang tidak lazim. Namun ia tentu akan segera mengalah, sehingga kekalahannya itu menjadi alasan baginya untuk menuruti kemauan adikku."
Tiba-tiba saja Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ceritera yang menarik. Tetapi aku tahu sifat dan watak adikku. Apalagi di rumah seorang laki-laki muda yang tampan telah menunggunya. Jauh lebih tampan dari adikmu itu."
Orang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia-pun berkata, "Kau bohong. Jika benar, maka adikmu tidak akan ikut kau mengembara. Ia akan tinggal bersama laki-laki itu. Mereka akan segera menikah dan membangun sebuah keluarga."
"Itu maumu. Tetapi adikku mempunyai pertimbangan lain. Adikku lebih senang pergi mengembara untuk mendapatkan pengalaman sebelum menikah. Calon suaminya-pun tidak berkeberatan. Dititipkannya adikku itu kepadaku dalam pengembaraan ini. Karena itu, maka aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Aku-pun bertanggung jawab bahwa adikku itu akan kembali kepada calon suaminya itu. Nah, kau tentu tahu maksudku."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Maksudmu, bahwa kau akan ikut campur?"
"Jika adikku dalam bahaya."
"Aku sudah mengatakan kepadamu, bahwa jika kau ikut campur, maka aku-pun akan ikut campur pula."
"Tidak ada masalah. Silahkan. Bahkan seandainya adikku memenangkan perkelahian itu, aku juga akan ikut campur agar kau juga ikut campur."
"Apa sebenarnya maksudmu" Katakan saja bahwa kau menantangku."
"Ya. Seperti itulah."
"Gila kau pengembara yang malang. Kau ingin membunuh dirimu sendiri?"
Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Lihat, Perkelahian yang tadi terulang. Adikmu terdesak. Sebentar lagi ia akan kehilangan kesempatan."
Sebenarnyalah, sambil memutar tubuhnya, kaki Rara Wulan terayun mendatar mengenai dada lawannya. Demikian kerasnya sehingga lawannya itu telah terpelanting jatuh.
Orang itu mengumpat. Demikian ia bangkit, maka di tangannya telah tergenggam goloknya yang besar.
"Nah, perkelahian yang tadi, sampai ke babak ini ketika Ki Bekel dan Sumunar itu datang. Sekarang, perkelahian itu akan dilanjutkan lagi."
Orang bertubuh tinggi kekar itu menjadi berdebar-debar. Ia-pun teringat apa yang terjadi sebelumnya. Orang yang matanya merah yang disebut sebagai adiknya itu telah terdesak. Bahkan setelah itu menggenggam goloknya, ia sama sekali tidak berhasil menguasai lawannya yang tidak lebih dari seorang perempuan itu.
Kini perkelahian itu terulang kembali. Ketika orang itu mulai memutar goloknya yang besar, Rara Wulan telah mencabut pedangnya pula.
Namun ilmu Rara Wulan memang lebih tinggi dari orang yang bermata merah itu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, selelah terjadi beberapa kali benturan, ujung pedang Rara Wulan-pun sempat menggapai pinggang lawannya.
Orang bermata merah itu mengaduh tertahan. Ternyata Rara Wulan benar-benar telah melukainya. Perempuan itu agaknya tidak sekedar main-main lagi.
Orang bermata merah itu menjadi sangat marah. Beberapa langkah ia meloncat menjauh. Kemudian dengan ancang-ancang yang cukup orang itu berlari sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Bahkan kemudian terdengar ia berteriak nyaring. Pajang bergaung di kegelapan malam.
Rara Wulan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dalam kegelapan malam dipandangnya golok yang terangkat itu tajam-tajam.
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika dibiarkannya saja, maka orang bermata merah itu tentu akan mati. Rara Wulan tahu berhasil menangkis serangan itu dengan benturan yang keras, sehingga golok orang bermata merah itu akan terpelanting jatuh. Kemudian berputar, pedang Rara Wulan akan terayun mendatar menyambar dada orang bermata merah itu.
Tetapi Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan untuk menahan serangan orang yang matanya merah itu.
Karena itu, satu-satunya jalan untuk mencegahnya adalah membuat golok itu terpelanting dari tangan orang yang matanya merah itu, sehingga ia mengurungkan serangannya.
Glagah Putih tidak sempat berpikir panjang. Dalam keremangan malam, maka Glagah Putih itu-pun mengangkat tangannya. Kedua telapak tangannya menghadap langsung ke arah golok yang besar yang terangkat tinggi-tinggi itu.
Seleret sinar bagaikan memancar dari telapak tangan Glagah Putih menyambar golok orang yang sedang berlari sambil tenarik menyerang Rara Wulan itu.
Serangan itu sangat mengejutkan. Bukan saja orang yang memegang golok yang besar itu. Tetapi orang-orang yang menyaksikannya terkejut pula.
Golok yang besar itu bagaikan direnggut dengan serta merta dari tangan orang yang bermata merah itu. Demikian kuat dan tiba-tiba, sehingga orang bermata merah itu-pun telah terpelanting jatuh. Telapak tangannya serasa telah terbakar. Sementara tubuhnya yang terbanting jatuh itu terasa nyeri. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.
Rara Wulan-pun terkejut. Namun ia-pun segera menyadari apa yang telah terjadi. Karena itu, maka ia-pun segera berlari mendekati Glagah Putih sambil berkata lantang, "Kakang. Kenapa kau menghalangiku. Aku sudah siap menerima serangannya. Aku tentu dapat melemparkan goloknya dan dengan satu ayunan pedang, aku akan dapat mengoyak dadanya."
"Itulah yang aku cegah, Wara."
"Kenapa kau harus mencegahnya. Orang itu sangat memuakkan. Aku benar-benar ingin membunuhnya."
"Kematiannya tidak memberikan kebanggaan apa-apa kepadamu. Juga tidak memberikan kepuasan di hatimu. Orang itu tidak pantas mengotori pedangmu. Biarlah ia hidup. Biarlah ia menikmati kekalahannya."
Rara Wulan tiba-tiba menangis. Diletakkannya wajahnya di dada Glagah Putih yang memeluknya.
"Aku menjadi sangat muak."
"Sudahlah." Sementara itu, bukan saja orang-orangnya. Tetapi Ki Basuri sendiri sangat mengagumi kemampuan ilmu Glagah Putih. Jarang sekali orang yang mampu melakukannya. Jika serangan itu ditujukan langsung kedada orang bermata merah itu, maka ia-pun akan segera tersungkur. Mati.
Orang yang bertubuh tinggi besar dan mengaku kakak orang yang matanya merah itu-pun jantungnya berdegup keras sekali. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu mempunyai ilmu yang demikian tinggi. Sehingga menurut dugaannya, ia seorang diri akan dapat membunuh semua orang yang bekerja untuk Ki Basuri itu termasuk Ki Basuri sendiri.
"Maaf, Ki Basuri," berkata Glagah Putih kemudian setelah tangis Rara Wulan mereda, "aku tidak ingin adikku ini membunuh. Jika aku tidak melakukannya, maka orang itu tentu akan menjadi mayat. Dadanya akan terbelah dan isinya akan menghambur keluar."
Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku mengerti. yang kau lakukan adalah diluar kemampuan jangkauan pengetahuan kami tentang olah kanuragan."
Kepada orang bertubuh tinggi besar itu Glagah Putih-pun berkata, terserah kepadamu. Aku terpaksa benar-benar ikut campur. Semula tidak bersungguh-sungguh untuk mencampuri persoalan antara adikku dan adikmu. Tetapi ketika keadaan menjadi sangat gawat bagi adikmu, aku tidak dapat tinggal diam. Sekarang, apakah kau tetap pada pendirianmu, jika aku mencampuri perselisihan antara adikku dan adikmu, kau-pun akan ikut campur."
"Tidak, Ki Sanak. Tidak. Aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang tidak dapat aku mengerti."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih atas kesediaanmu untuk tidak ikut campur. Sekarang, tolong adikmu. Ia tidak apa-apa. Ia hanya terkejut dan barangkali karena ia terpelanting jatuh, ada urat-uratnya yang terkilir.
Orang itu mengangguk sambil berkata, "Terima kasih atas kesediaanmu menghindarkan adikku dari kematian yang sia-sia. Aku juga minta maaf atas tingkah lakunya. Ia memang seorang yang sulit untuk mengendalikan perasaan jika ia melihat seorang perempuan yang cantik."
"Ajari adikmu menghormati seorang perempuan. Pada kesempatan lain, mungkin adikmu benar-benar akan mati di tangan seorang perempuan."
"Ya. Aku akan memperingatkannya. Mudah-mudahan ia mau mendengarkannya."
"Sekarang, lihat adikmu."
Orang bertubuh besar itu-pun kemudian melangkah mendekati orang yang matanya merah, yang masih terbaring di tanah. Tulang dipunggungnya serasa patah ketika ia terpelanting jatuh.
Glagah Putih-pun kemudian membimbing Rara Wulan ke tangga rumah kosong itu. Mereka-pun kemudian duduk kembali di tangga. Sekali-sekali Rara Wulan masih mengusap matanya yang basah.
Ki Basuri-pun duduk pula di sebelahnya. Sementara itu, beberapa orang yang lain, telah kembali duduk di tempat mereka duduk semula. Kecuali orang yang bertubuh tinggi besar, yang masih mengurusi orang yang disebut sebagai adiknya itu.
"Kita menunggu Ki Bekel," berkata Ki Basuri kepada kawan-kawannya.
Ki Basuri yang duduk di sebelah Glagah Putih itu-pun kemudian bertanya, "Siapa kau sebenarnya, anak muda."
"Namaku Warigalit. Adikku ini bernama Wara Sasi."
"Ilmumu luar biasa. Ketika kau bertempur, kau sengaja menyembunyikannya. Kau tentu tidak ingin ilmumu itu dikenali orang lain. Apalagi mereka yang mewakili sebuah perguruan. Tetapi pada saat yang gawat, untuk menghindari kematian, kau terpaksa mempergunakannya justru untuk menyelamatkan sebuah nyawa. Bukan sebaliknya."
"Sudahlah," desis Glagah Putih.
"Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan kagumku kepadamu."
"Bukan apa-apa."
"Selama ini aku merasa sebagai seorang yang berjiwa besar, yang mengemban tugas untuk mengentaskan orang-orang yang terhimpit disini. Aku kira aku adalah seorang yang paling berbudi. Ternyata di hadapanmu, aku bukan apa-apa."
"Tugas apakah yang kau emban?"
"Guruku selalu berpesan, agar aku berbuat sesuatu untuk membela yang lemah dan terhimpit keadaan tanpa dapat melawan seperti orang-orang di padukuhan ini. Karena itulah aku datang untuk menyaingi Sumunar yang memeras keringat orang-orang yang miskin dan tidak berdaya."
"Kau sudah menyingkirkan Sumunar."
"Sementara itu, aku juga tidak mengingkari kenyataan hidup. Aku membuat perhitungan mapan. Bahwa gula yang aku beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang dipasang Sumunar, aku masih mendapat keuntungan."
"Kau berhasil dipandang dari beberapa sudut."
"Aku mengira bahwa aku adalah orang yang paling berbangga dengan keberhasilanku. Tetapi ternyata aku keliru. Kau membuat kebanggaanku pudar."
"Aku minta maaf."
"Tidak. Bukan itu maksudku. Aku bermaksud untuk memperingatkan diriku sendiri. Kebanggaan yang berlebihan adalah awal dari ketakaburan. Aku justru sangat berterima kasih kepadamu."
"Tetapi ada satu hal yang aku kurang memahami langkahmu."
"Apa anak muda."
"Kawan-kawanmu. Menurut penglihatanku, mereka bukan orang-orang yang mempunyai garis perasaan dan penalaran seperti langkahmu."
"Kau benar. Mereka adalah bekas pencuri, perampok dan berandal.
"Kenapa kau memilih mereka untuk mendukung perjuanganmu. Biarlah aku menyebutnya sebagai satu perjuangan. Apakah mereka justru tidak menghambatmu?"
"Aku memang dapat mengambil saudara-saudara seperguruanku. Atau mengajak kawan-kawanku yang bersih dan tidak bercacat. Tetapi aku sengaja berada di antara mereka. Orang-orang yang jiwanya sakit. Aku ingin mengajak mereka memasuki dunia yang baru, yang barangkali tidak dikenalnya sebelumnya."
"Luar biasa." "Tidak luar biasa. Guruku berpesan kepadaku, agar aku berada di antara mereka yang membutuhkan aku. Jika aku berada di antara orang-orang yang berhati lurus, keberadaanku tidak akan banyak berarti. Tanpa aku mereka sudah menemukan jalan yang benar. Tetapi di antara orang-orang yang sakit jiwanya, keberadaanku akan sangat berarti. Tentu aku tidak dapat mengatakan, bahwa aku pasti berhasil. Seperti seorang tabib yang mengobati orang sakit. Mungkin sembuh. Tetapi ada kemungkinan sakitnya tidak dapat disembuhkan atau bahkan menjadi parah. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah berusaha."
"Kau telah mendapat terang dihatimu. Yang kau lakukan jauh lebih berarti daripada yang aku lakukan."
"Kau masih sangat muda. Tetapi kau sudah dapai mengambil keputusan yang sangat tinggi nilainya. Menyelamatkan nyawa seseorang yang kau benci. Bahkan dengan menghadirkan sesuatu yang sebelumnya sengaja kau sembunyikan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Sebentar lagi Ki Bekel dan para bebahu akan datang. Bukankah kau akan menyerahkan orang-orang yang terbunuh kepada mereka" Kemudian minta kesediaan Ki Bekel untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti bagi rakyatnya?"
"Ya. Bersama para bebahu."
"Baiklah. Tunggulah Ki Bekel dan para bebahu itu. Kami berdua minta diri. Kami akan meneruskan perjalanan kami."
"Malam-malam begini?"
"Apakah ada bedanya, siang atau malam bagi para pengembara yang berada di perjalanan?"
Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sekali waktu, singgahlah di rumahku atau diperguruanku."
"Apakah nama perguruanmu?"
"Cahya Yekti." "Cahya Yekti," ulang Glagah Putih.
"Ya. Aku berharap kalian berdua singgah pada kesempatan lain."
"Kau sudah tidak berada di perguruanmu."
"Rumahku tidak begitu jauh. Para cantrik yang masih berada di perguruan akan dengan senang hati mengantarkanmu."
"Dimana letak perguruanmu itu?"
"Di sebuah bukit kecil di kademangan Karangreja. Tidak terlalu sulit mencarinya. Tetapi perguruanku adalah sebuah perguruan kecil. Tentu jauh lebih kecil dari perguruanmu."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun ia hanya mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan mereka meski-pun di malam hari. Mereka akan berhenti dan beristirahat di tempat terbuka. Mungkin di padang perdu, mungkin di bulak persawahan. Atau di pategalan."
Ki Basuri dan beberapa orang kawannya mencoba menahannya agar Glagah Putih dan Rara Wulan tetap bersama mereka. Setidak-tidaknya sampai esok pagi. Tetapi Glagah Putih itu-pun berkata, "Terima kasih, saudara-saudaraku. Kami akan melanjutkan perjalanan malam ini."
"Dimana kalian akan bermalam" Disini ada rumah kosong. Meski-pun barangkali kotor karena sudah lama tidak dipergunakan, tetapi masih lebih baik daripada bermalam di pinggir hutan."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Kami dapat tidur di mana saja, tetapi malam ini kami ingin melanjutkan perjalanan. Seandainya kami menjadi sangat letih, maka kami-pun dapat tidur dimana saja."
"Baiklah anak muda. Jaga adikmu baik-baik. Mudah-mudahan tidak ada hambatan di perjalanan kalian," berkata Ki Basuri.
"Terima kasih. Semoga usaha paman Basuri-pun dapat berjalan dengan lancar. Sementara itu rakyat padukuhan ini-pun akan mendapat penghasilan yang lebih baik."
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berketetapan hati. Mereka-pun kemudian meninggalkan Ki Basuri dan kawan-kawannya untuk menempuh perjalanan panjang.
"Apakah karena orang yang mengganggu adikmu itu kalian tergesa-gesa meninggalkan kami."
"Tidak, Ki Sanak. Seandainya karena itu, maka kami akan dapat mengatasi."
"Maksudku, agar adikmu tidak usah membunuh lagi."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Selamat malam. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi."
"Selamat malam Ki Sanak," berkata Rara Wulan pula.
Demikianlah keduanya-pun meninggalkan kebun kosong itu. Mereka menyusuri jalan padukuhan yang sudah sepi. Keduanya tahu, bahwa malam itu Ki Bekel sedang memanggil para bebahu untuk pergi ke kebun kosong itu. Namun orang-orang lain kecuali para bebahu tidak terusik di pembaringannya.
Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka berjalan menembus gelapnya malam memasuki sebuah bulak yang panjang.
Pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu-pun rasa-rasanya seperti sedang tertidur nyenyak. Tidak ada semilirnya angin yang mengusik. Dikejauhan terdengar suara burung hantu yang ngelangut.
"Dinginnya malam ini, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya." "Meski-pun bajuku masih basah oleh keringat. Tetapi titik-titik embun ini menandai dinginnya malam."
"Kita akan mencari tempat untuk bermalam. Kita dapat tidur di gubug kecil di tengah-tengah sawah."
Tetapi jangan terlalu dekat. Kita berjalan tiga atau empat bulak lebih dahulu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, Tetapi aku kira kita tidak akan bertemu dengan orang-orang yang melarikan diri itu lagi. Merekalah yang akan menjauhi padukuhan itu sejauh-jauhnya."
"Mungkin ada orang-orang padukuhan itu yang mempunyai sawah agak jauh dari padukuhannya. Mungkin membeli, mungkin warisan dari paman atau kakeknya yang tinggal di padukuhan yang lain."
Dengan demikian, maka di malam yang dingin itu, keduanya masih berjalan beberapa lama. Di dini hari mereka menemukan sebuah gubug yang berada tidak jauh dari jalan yang mereka lewati.
Demikian mereka sampai di dekat gubung itu, Glagah Putih-pun berkata, " Kita dapat beristirahat sebentar, Rara."
Rara Wulan mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Tetapi bukankah orang yang mempunyai gubug itu tidak akan marah?"
"Kenapa marah" Kita tidak berbuat apa-apa. Kita hanya singgah dan beristirahat sebentar sampai fajar. Tanaman di sawah itu-pun bukan tanaman yang buahnya dapat dicuri sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan, bahwa kita adalah pencuri. Apalagi gubug ini terletak tidak jauh dari jalan sehingga kita hanya meniti pematang beberapa langkah saja."
"Kakang belum pernah mendengar orang mencuri padi di sawah bukankah hal itu pernah juga terjadi meski-pun jarang sekali?"
"Tetapi padi itu masih baru bunting. Aku kira tidak ada orang akan mencuri padi bunting."
"Tetapi kakang tadi mengatakan, bahwa tanaman di sawah itu bukan tanaman yang buahnya dapat dicuri."
Glagah Putih menarik nafas. Katanya, "Mungkin aku salah memilih kalimat. Tetapi begitulah maksudku."
Rara wulan mencibirkan bibirnya. Namun sebelum ia menyahut, Glagah Putih berdesis, "Marilah. Kita numpang beristirahat sebentar."
Keduanya-pun kemudian meniti pematang beberapa langkah. Kemudian mereka-pun naik ke gubug itu.
Ketika keduanya membaringkan tubuhnya di gubug itu terasa silirnya angin malam mengusap tubuh mereka. Sebenarnyalah bahwa mereka lelah dan kantuk, sehingga sejenak kemudian Rara Wulan telah tertidur.
Namun Glagah Putih justru telah duduk di bibir gubug kecil itu. di pandanginya langit yang bertabur bintang yang berkeredipan seperti taburan permata diatas permadani yang biru kehitam-hitaman.
Dengan melihat bintang gubug penceng, Glagah Putih mengetahui arah Selatan, sehingga Glagah Putih merasa bahwa ia tidak bingung. Ia mengenali arah dengan benar.
Beberapa lama Rara Wulan tertidur nyenyak. Ketika terasa hembusan angin yang agak lebih deras, maka Glagah Putih merasa, bahwa fajar akan segera datang.
Diluar sadarnya, Glagah Putih-pun menengadahkan wajahnya ke cakrawala di arah Timur. Langit memang mulai menjadi kemerah-merahan.
Namun Glagah Putih itu-pun terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang. Ketika ia berpaling, dilihatnya seseorang yang masih terhitung muda turun dan meniti pematang pergi ke gubug itu sambil memanggul cangkul.
Glagah Putih-pun segera menggamit Rara Wulan yang segera telah terbangun pula.
"Ada orang kemari, Rara. Agaknya pemilik sawah ini yang baru saja membuka air dari parit untuk mengairi batang padinya yang sedang bunting."
Ketika orang menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera turun dan berdiri di pematang.
Orang itu terkejut, sehingga langkahnya terhenti.
"Maaf, paman. Barangkali kami mengejutkan paman."
"Siapakah kalian berdua, he?"
"Kami adalah pengembara yang menyusuri jalan-jalan panjang tanpa tujuan."
"Lalu apa yang kalian lakukan digubugku itu?"
"Kami sekedar menumpang beristirahat. Kami merasa sangat letih dan kami-pun tidur di dalam gubug itu agar tubuh kami tidak basah oleh embun malam."
"Bohong. Kau kotori gubugku, sawahku dan padiku yang sedang bunting?"
"Tidak, paman. Kami hanya sekedar beristirahat dan tidur saja."
"Omong kosong. Kalian akan membuat bumiku cengkar" Tanamanku akan layu dan padi yang bunting itu akan keguguran. Kering dan kemudian mati."
"Benar paman. Kami hanya tidur saja. Itu-pun hanya sebentar. Kami naik ke gubug paman setelah lewat tengah malam."
"Bohong. Kau telah menodai sawahku. Kau harus ditangkap dan dibawa menghadap Ki Bekel. Kau tidak dapat pergi begitu saja. Tanah ini harus diruwat agar tidak menjadi tanah yang terkutuk karena perbuatan kalian."
"Kami tidak berbuat apa-apa, paman. Kami hanya tidur saja."
"Persetan dengan kebohonganmu, ikut aku pergi ke rumah Ki Bekel. Jika kalian menolak, aku pecahkan kepalamu dengan cangkulku ini."
"Tetapi ... " "Diam. Ayo jalan."
Jangan begitu, paman. Paman harus mendengar penjelasanku. Perempuan ini adalah adikku. Apa yang akan aku perbuat dengan adikku?"
"Aku tidak percaya. Sekarang ikut aku."
"Paman ... " "Diam." Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu turun kedalam kotak sawahnya sambil berkata, "Jalan di depan. Aku berjalan di belakang. Ingat, jika kalian berbuat yang aneh-aneh, aku cangkul kepalamu."
Rara Wulan dan Glagah Putih tidak dapat berbuat lain. Keduanya-pun kemudian melangkah menyusuri pematang. Rara Wulan di depan, kemudian Glagah Putih di belakangnya. Di paling belakang adalah pemilik sawah yang membawa cangkul itu.
Ketika keduanya kemudian naik ke jalan yang melintas di tengah bulak itu, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata kepada Rara Wulan, "Kita jauhi orang itu. Kau kekiri aku ke kanan dengan loncatan panjang."
Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itu meloncat. Rara Wulan ke kiri dan Glagah Putih ke kanan.
Orang yang membawa cangkul itu terkejut. Tiba-tiba saja kedua orang yang digiringnya itu bagaikan melenting ke arah yang berbeda. Karena itu, maka orang itu menjadi termangu-mangu kebingungan.
"Setan kalian, he" Kalian jangan mencoba melarikan diri."
"Paman," berkata GlagahPutih, "kita berada di tempat yang lebih luas. Karena itu, kita dapat beradu kecepatan berlari. Aku berlari ke kanan dan adikku itu ke kiri. Paman dapat mengejar salah seorang diantara kami. Tetapi paman tidak akan dapat menangkap. Kami dapat berlari jauh lebih cepat dari paman."
Orang itu menggeram sambil berkata, "Licik. Kalian adalah orang-orang yang licik."
"Karena itu, sebaiknya paman mendegarkan keterangan kami. Kami adalah kakak beradik, sehingga tuduhan paman sama sekali tidak benar."
"Persetan. Jika kalian berlari ke arah yang berbeda, maka aku akan mengejar adikmu. Betapa-pun cepatnya berlari, tetapi ia tidak lebih dari seorang perempuan."
"Paman salah. Meski-pun ia seorang perempuan, tetapi ia dapat lari jauh lebih cepat dari paman. Karena itu, sebaiknya paman tidak usah berusaha menangkap kami berdua."
"Persetan. Sawahku akan menjadi sawah yang cengkar. Tanahku harus diruwat. Karena itu, kalian harus ditangkap dan dibawa menghadap Ki Bekel.
Kalau kami ditangkap dan dibawa menghadap Ki Bekel, apa yang akan dilakukan oleh Ki Bekel terhadap kami" Jika kami dihukum mati sekali-pun, apakah itu berarti bahwa kami dapat membantu beaya meruwat tanah itu?"
"Apa-pun yang akan dilakukan terhadap kalian, tetapi tentu memerlukan kehadiran kalian. Mungkin Ki Bekel dapat menentukan hukuman apakah yang harus kalian jalani, yang nilainya sama dengan meruwat tanah itu. Mungkin kalian berdua akan di hukum di tengah-tengah sawah milikku sebagai satu cara untuk meruwat tanah itu."
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "jika kami sudah berbuat dosa diatas tanah Ki Sanak, maka biarlah kamilah yang menjalani Kutukan itu. Bukan paman atau tanah paman yang akan menerima akibatnya. Tetapi aku minta paman percaya, bahwa kami tidak berbuat dosa yang dapat mengotori tanah, Ki Sanak. Jika Ki Sanak tidak percaya kepada kami, maka kami akan mempertahankan harga diri kami. Karena jika kami harus menjalani hukuman atas kesalahan yang tidak pernah kami lakukan maka kami tentu akan berkeberatan."
"Aku tidak peduli, apakah kalian akan berkeberatan atau tidak. Biarlah Ki Bekel yang akan mengadilinya."
"Kami tidak mau. Kami tidak akan pergi ke padukuhan menghadap Ki Bekel," berkata Glagah Putih kemudian dengan tegas.
Orang yang membawa cangkul itu menjadi sangat marah. Katanya, "Kalian telah melakukan satu perbuatan yang terkutuk. Sekarang kalian menolak untuk menghadap Ki Bekel."
"Ya. Kami menolak."
"Aku akan memaksa kalian."
"Ki Sanak. Kau lihat kami bersenjata. Jika Ki Sanak memaksa, maka kami akan melawan."
Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Namun ia melihat Glagah Putih tiba-tiba saja telah mencabut pedangnya.
Meski-pun agak ragu, namun Rara Wulan-pun telah mencabut pedangnya pula.
"Nah, Ki Sanak. Kau bersenjata cangkul, dan kami berdua masing-masing bersenjata pedang. Kami adalah orang-orang yang terbiasa berkeliaran dan menyamun orang-orang yang lewat bulak-bulak panjang. Karena itu, lihat jika kau dapat melihat. Pedangku yang membekas darah kering. Sudah berapa banyak orang yang aku bunuh karena mereka menolak memberikan harta benda yang dibawanya. Ki Sanak sekarang tidak membawa harta benda yang dapat kami rampas kecuali membawa sebuah cangkul yang tidak berharga. Tetapi jika Ki Sanak berbuat bodoh, maka nyawa Ki Sanak akan melayang di bulak panjang ini. Kami tidak peduli bahwa Ki Sanak tidak membawa apa-pun. Tetapi Ki Sanak telah menyinggung harga diri kami."
Orang yang membawa cangkul itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih melangkah perlahan-lahan mendekatinya sambil menggerakkan ujung pedangnya.
"Lihat caraku membawa pedang. Kau tentu dapat melihat, bahwa aku sudah terbiasa menebas leher seseorang sampai putus. Nah, sekarang berlututlah. Aku akan membunuhmu. Kau tidak akan pernah melihat tanahmu yang kau anggap telah ternoda. Tetapi bahwa aku berada digubugmu, karena aku menunggu korbanku lewat. Tidak untuk menodai tanahmu."
Orang itu berdiri termangu-mangu. Tangannya masih menggenggam langkai cangkulnya. Namun laki-laki muda dan perempuan muda itu melangkah mendekatinya sambil mengacukan pedangnya. Sikapnya yang tenang dan meyakinkan itu membuat laki-laki yang membawa cangkul itu justru menjadi berdebar-debar.
"Apakah kau akan melawan" Jika kau melawan, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi."
Orang itu mulai menjadi gemetar.
"Kalau kau melawan, maka aku tidak akan membunuhmu. Tetapi kau akan terkapar di jalan ini. Kau akan tetap hidup, namun dengan nasib yang sangat buruk, karena kau akan menjadi cacat mutlak."
Tiba-tiba saja orang itu melemparkan cangkulnya. Ia-pun kemudian berlutut dengan tubuh yang gemetar.
"Jangan perlakukan aku seperti itu, Ki Sanak, aku mohon maaf. Aku tidak akan membawamu kepada Ki Bekel."
"Bukan karena kau tidak akan membawa kami kepada Ki Bekel. Kau akan melakukannya. Kau akan membawa kami kepada Ki Bekel, tetapi kau tidak mampu melakukannya. Tetapi aku berpegang pada niatmu yang buruk itu, maka kau harus mati atau mengalami nasib buruk. "
"Ampun Ki Sanak. Aku mohon maaf. Jangan bunuh aku. Aku masih menanggung sembilan orang anak. Seorang isteri, dua orang tua dan seorang mertua. Jika aku mati atau cacat, siapakah yang akan mencari makan untuk mereka."
"Apakah aku harus peduli dengan anak-anakmu, dengan orang tua dan mertuamu dan siapa lagi yang ada di rumahmu" Kaulah yang menentukan lebih dahulu untuk menyengsarakan aku."
"Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun."
"Semuanya akan berlangsung dengan cepat. Kau tinggal menundukkan kepalamu saja. Sebelum kau sadari apa yang telah terjadi maka lehermu sudah putus. Kau tidak tahu lagi, apa yang terjadi atas dirimu."
"Jangan, jangan. Aku mohon ampun."
Orang itu membungkuk sampai dahinya menyentuh tanah. Bahkan orang itu menangis sambil berkata, "Ampuni aku. Aku mengaku bersalah. Aku percaya bahwa kalian tidak menodai tanahku. Akulah yang salah. Karena itu ampuni aku. Anak-anakku tentu akan mati juga jika aku tidak dapat mencari makan lagi bagi mereka."
Orang itu menjadi semakin ketakutan. Laki-laki dan perempuan muda itu sama sekali tidak menjawab. Beberapakali laki-laki yang membungkus sampai dahinya menyentuh tanah itu masih menangis mohon ampun.
Tetapi tidak terdengar jawaban sama sekali. Angin di saat-saat fajar menyingsing terasa dinginnya sampai mengusap tulang.
Sementara itu, laki-laki itu masih saja membungkuk mencium tanah.
Namun akhirnya laki-laki itu-pun menjadi sangat gelisah, ia merasakan betapa lehernya menjadi sangat dingin. Bahkan ia sudah membayangkan pedang anak muda iui terangkat dan terayun kelehernya.
"Jangan jangan. Kasihanilah aku," teriak orang itu.
Sisa malam itu terasa hening. Tidak terdengar suara apa-pun juga. Bahkan desah nafas-pun tidak.
Orang yang membungkuk sampai mencium tanah itu menjadi semakin gelisah. Namun kediaman di sekitarnya itu, membuat orang itu memberanikan diri sedikit mengangkat kepalanya. Ia mencoba melihat sekitarnya. Ia tidak melihat kaki kedua orang yang membawa pedang itu
Semakin lama kepalanya terangkat semakin tinggi, sehingga akhirnya orang itu-pun bangkit dan duduk ditempatnya.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langit sudah menjadi merah. Ia tidak melihat seorang-pun di sekitarnya. Kedua orang yang membawa pedang itu sudah tidak kelihatan sama sekali.
Dalam keremangan fajar ia mencoba mengedarkan pandangan matanya keseluruhan bulak itu. Mungkin ia masih melihat sesuatu yang bergerak. Atau mungkin batang padi atau daun lembayung yang tumbuh merambat pada lanjaraannya di pematang.
Tetapi orang itu tidak melihat apa-apa sama sekali selain hijaunya tanaman di sawah.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun segera bangkit berdiri dan berlari kencang-kencang menuju ke padukuhan.
Demikian orang itu berlari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun menarik nafas panjang. Mereka muncul dari balik sebatang pohon cangkring tua yang besar, yang tumbuh tidak jauh dari tempat orang yang membawa cangkul itu berjongkok dan mencium tanah.
"Kau siksa perasaannya, kakang. Kasihan orang itu."
"Aku tidak bermaksud begitu. Rara."
"Tetapi kau perolok-olokkan orang itu, sehingga ia menjadi sangat ketakutan."
Aku menyesal, sudahlah. Tetapi kita sudah berhasil menghindar tanpa harus melakukan kekerasan."
"Kau kira yang kau lakukan bukan kekerasan, meski-pun bukan wadagnya?"
Sudahlah. Aku mengaku bersalah. Sebaliknya sekarang kita pergi. Mungkin orang itu mengadu kepada Ki Bekel atau Ki Jagabaya dan sengaja mengajak tetangga-tetangga kembali kemari."
Rara Wulan tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang mengangguk kecil.
Demikianlah, maka keduanya-pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan orang membawa cangkul dan berlari ketakutan itu.
Ketika orang itu sampai di padukuhan, padukuhan itu sudah terbangun. Beberapa orang perempuan sudah sibuk menyapu halaman. Sedang, suaminya sibuk menimba air untuk mengisi jambangan.
Ketika laki-laki yang berlari dari sawah itu memasuki padukuhan, maka ia-pun bertemu dengan tetangganya, seorang laki-laki yang lebih muda yang justru akan berangkat ke sawah.
"Ada sepasang hantu di sawah," berkata orang yang berlari dari sawah itu dengan nafas terengah-engah.
"Hantu?" bertanya tetangganya yang lebih muda.
"Ya. Hantu. Laki-laki dan perempuan. Mereka mengancam akan membunuhku. Namun tiba-tiba keduanya lenyap begitu saja."
"Ah. Kau tentu tertidur di gubugmu. Lalu bermimpi."
"Tidak. Aku sama sekali tidak tidur. Aku baru berjalan menuju gubugku."
"Tentu kau tidak ingat, apa yang terjadi."
"Sungguh. Aku bersumpah bahwa aku tidak udur. Aku melihat sepasang hantu itu."
Orang yang tinggal di sebelah jalan, yang sedang menyapu halaman, mendengar pembicaraan itu. Ia-pun segera memanggil suaminya, "Apa yang sedang mereka bicarakan itu kakang. Mereka menyebut hantu di sawah."
Bersama suaminya perempuan itu keluar dari regol halaman dan ikut mendengarkan laki-laki yang berlari-lari dari sawahnya itu bercerita.
Namun kemudian tetangganya di sebelah yang lain keluar pula dan mendengarkan pula apa yang dibicarakan oleh tetangganya dipinggir jalan itu.
Bahkan kemudian beberapa orang yang lain telah berdatangan pula untuk mendengar cerita tentang hantu yang dilihat oleh orang yang baru datang sambil berlari-lari dari sawahnya itu.
"Mari. Kita lihat," tiba-tiba seseorang berkata.
"Hantu itu sudah tidak ada. Mereka lenyap begitu saja seperti ditelan bumi."
"Mungkin keduanya bukan hantu. Mungkin sekarang keduanya kembali tidur di gubugmu," berkata seorang tetangga yang lain.
"Tidak. Mereka sudah tidak berada digubugku."
"Kau yakin?" Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Ya. Aku yakin."
Meski-pun demikian beberapa orang laki-laki telah memutuskan untuk pergi ke sawah melihat apakah yang disebut dua sosok hantu itu masih sudah tidak ada di sawah.
Lima orang laki-laki bersama orang yang bercerita tentang hantu itu telah pergi kebulak. Mereka berjalan cepat, bahkan berlari-lari kecil. Mereka berharap bahwa kedua sosok yang disebut hantu itu masih mereka ketemukan tidur digubug di tengah bulak itu.
Namun ketika mereka sampai digubug itu, mereka tidak menemukan apa-apa. Pemilik sawah itu dengan nada tinggi berkata, "Nah, kalian percaya bahwa kedua sosok hantu itu telah lenyap?"
"Mereka pergi ketika kau sedang mengangguk sampai dahimu menyentuh tanah."
"Jika mereka pergi, berlari sekali-pun, aku tentu masih sempat melihatnya. Kau lihat, jalan bulak ini terhitung lurus. Baru beberapa puluh patok terdapat tikungan itu."
Tetangga-tetangganya mengangguk-angguk. Namun kemudian seorang yang rambutnya mulai ubanan berkata, "Jika benar keduanya sosok hantu yang tidur di gubugmu, maka padi yang sedang bunting itu akan menghasilkan buah yang jauh lebih banyak dari biasanya. Bulir padimu itu lebih besar dari bulir padi kebanyakan."
"Kenapa?" "Kau pernah mendengar dongeng tentang seorang yang bernama Arok. Seorang anak petani yang kemudian menjadi seorang raja yang besar."
Tetangga-tetangganya menggeleng. Orang itu berkata, "Kalian memang orang bodoh yang tidak tahu apa-apa."
"Ya. Kami akui. Tetapi bagaimana dengan dongeng itu?"
"Waktu ibu Ken Arok itu pergi ke sawah, maka ia telah didatangi oleh seorang dewa di sawah itu pula. Perempuan itu kemudian hamil. Ketika anak itu lahir, maka anak itu dinamai Ken Arok."
"Lalu apa hubungannya dengan bulir-bulir padi yang besar dan jauh lebih banyak dari biasanya?"
"Kacang yang ditanam di sawah, di tempat perempuan itu telah didatangi oleh dewa itu, berubah jauh lebih lebat dan lebih besar dari biasanya, juga dari kacang di kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelahnya.
"Benar begitu?" bertanya orang yang merasa telah melihat hantu itu.
"Menurut dongeng itu benar. Tetapi bukankah kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya?"
Pemilik gubug itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Mudah-mudahan terjadi seperti yang kau katakan. Tetapi aku telah membuat mereka marah. Mungkin yang terjadi adalah sebaliknya."
"Belum tentu. Hantu itu dapat saja marah. Tetapi sawahmu akan tetap menjadi sawah yang sangat subur."
Buku 338 PEMILIK sawah itu-pun termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berdesis, "Mudah-mudahan."
Orang yang pergi ke sawah itu-pun kemudian meninggalkan tempat itu, kecuali pemilik sawah itu sendiri. Sedang seorang yang lain, yang ketika ditemui oleh pemilik sawah itu sudah bersiap pergi ke sawahnya. Langsung pula pergi ke sawahnya yang tidak terlalu jauh lagi.
Namun peristiwa itu menjadi pembicaraan ramai di padukuhan. Berita tentang sepasang hantu itu-pun segera tersebar. Banyak orang yang menganggap bahwa kehadiran sepasang hantu itu benar-benar telah terjadi."
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin jauh dari gubug yang telah menimbulkan keributan itu. Mereka telah melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan ketika matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya terasa menjadi semakin tajam menusuk kulit.
Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus dipanasnya sinar matahari. Setiap kali mereka memasuki bayangan dedaunan yang rimbun dari pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan, maka terasa betapa kesejukan mengusap tubuh mereka.
Demikian pula ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang besar. Padukuhan yang nampaknya tenang. Anak-anak bermain dengan riangnya di jalan-jalan padukuhan. Mereka tidak merasa betapa panasnya udara.
Di depan beberapa regol halaman rumah terdapat gentong berisi air bersih yang memang disediakan bagi para pejalan kaki yang kehausan.
"Kita sekarang kemana kakang?"
"Bukankah tujuan kita tidak pernah berubah" Kita pergi ke Wirasari di seberang Kali Lusi."
"Masih jauh?" Glagah Putih mengangguk. "Perjalanan kita selama ini tersendat kakang. Ada-ada saja yang menghambat."
"Sejak semula kita berniat untuk tidak mencampuri urusan orang lain agar perjalanan kita rancak. Tetapi kadang-kadang kita tidak dapat menutup mata, jika kita bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan rasa keadilan kita."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Apakah Ki Saba Lintang masih berada di Wirasari?"
"Kita tidak tahu, Rara. Tetapi kita akan mencoba mencarinya di Wirasari."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Ketika kemudian mereka keluar dari padukuhan itu, maka rasa-rasanya permukaan jalan di hadapan mereka itu menguap. Udara nampak bergetar seperti uap air yang mendidih.
Demikianlah mereka berdua menempuh perjalanan yang berat. Sekali-sekali mereka berhenti di kedai untuk makan dan minum. Di sore hari mereka berendam di air sungai, selagi masih ada cahaya matahari yang dapat mengeringkan pakaian mereka yang mereka cuci.
Rasa-rasanya tidak ada lagi hambatan di perjalanan mereka. Ketika malam turun, mereka bermalam di banjar sebuah pedukuhan kecil yang tanahnya nampak kering dan tandus. Meski-pun demikian, para penghuni padukuhan itu ternyata adalah orang-orang yang ramah.
Di tengah malam, Glagah Putih dan Rara Wulan telah dipersilahkan makan ketela rebus bersama-sama dengan para peronda yang terdiri dari lima orang laki-laki. Seorang diantara mereka adalah Ki Jagabaya padukuhan itu sendiri.
"Padukuhan kami justru tidak pernah mengalami gangguan apa-apa, anak muda," berkata Ki Jagabaya.
Namun seorang yang duduk sambil memeluk lutut-pun berkata, "Karena padukuhan kita miskin. Ki Jagabaya. Tidak ada pencuri yang berminat memasuki padukuhan ini. Apalagi sekelompok perampok."
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sekali-sekali mengiyakannya.
Setelah makan ketela rebus, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun dipersilahkan tidur di serambi. Di atas sebuah amben bambu yang agak besar, yang diatasnya dibentangkan tikar pandan yang putih.
"Sebagian dari perempuan di padukuhan ini membuat tikar pandan," berkata Ki Jagabaya, "di lereng bukit sebelah, banyak terdapat pohon pandan yang dapat diambil daunnya, di sisir dan kemudian direbus dengan air leri. Setelah kering, dihaluskan, baru kemudian dianyam."
"Disini juga dibuat keba besar dan kecil," berkata seorang anak muda yang ikut meronda.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Dengan nada dalam Rara Wulan-pun berkata, "Buatannya halus, Ki Jagabaya."
"Kami harus membuat hasil kerajinan sebaik-baiknya. Sebagian dari hidup kami, tergantung kepada kerajinan tangan, karena kami tidak dapat mengandalkan sawah dan petegalan kami yang lebih sering kering daripada basah."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
"Sekarang, tidurlah," berkata Ki Jagabaya kemudian, "jika kami masih saja berceritera, maka kalian tidak akan sempat beristirahat."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian ditinggalkan oleh Ki Jagabaya di serambi. Mereka berdua-pun segera membaringkan diri di amben yang besar itu.
"Kau tidur dahulu, Rara," Glagah Putih-pun berbisik.
"Bangunkan aku jika kau ingin tidur," desis Rara Wulan.
"Ya. Nanti aku bangunkan kau."
Sesaat kemudian, Rara Wulan yang letih itu-pun segera tertidur sementara Glagah Putih tetap terjaga meski-pun tubuhnya berbaring di pembaringan.
Rara Wulan dapat tidur nyenyak sampai di ujung dini. Baru kemudian Glagah Putih yang juga menjadi sangat mengantuk itu membangunkannya.
"Aku akan tidur sebentar, Rara. Bagaimana-pun juga diantara kita harus ada yang terjaga."
Rara Wulan masih tetap berbaring. Diusapnya matanya. Sebenarnya bahwa ia masih mengantuk. Tetapi ia-pun ingin memberi kesempatan Glagah Putih untuk tidur.
Di pendapat banjar itu masih terdengar para peronda berbincang-bincang untuk menahan kantuk. Suara Ki Jagabaya-pun masih jelas terdengar.
Agaknya karena padukuhan itu ternyata aman, maka para peronda tidak merasa perlu untuk berkeliling di tengah malam. Mereka tidak perlu membuat gardu-gardu khusus, sehingga mereka menempatkan para peronda di banjar padukuhan.
Glagah Putih sempat tidur beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, maka Glagah Putih-pun sudah terbangun.
Ketika Rara Wulan kemudian pergi ke pakiwan, maka Glagah Putih-pun menimba air untuk mengisi jambangan itu pula sampai penuh.
Dalam pada itu, para peronda-pun telah tidak ada lagi dibanjar. Ki Jagabaya juga sudah pulang. Tetapi ia berpesan kepada penunggu banjar itu untuk membuat minuman hangat bagi kedua orang yang sedang menginap di banjar itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian minta diri sambil mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan hati penghuni padukuhan itu, yang telah menerima mereka berdua dengan sangat baik serta mengijinkan mereka menginap di padukuhan itu.
Ketika matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah keluar dari padukuhan itu. Ia melihat tiga orang perempuan yang juga keluar dari regol padukuhan.
"Kemana mereka?" desis Rara Wulan.
"Ke pasar. Kau melihat mereka menggendong bakul di punggung."
"Dimana pasarnya?"
"Aku tidak tahu," jawab Glagah Putih.
"Aku akan bertanya kepada mereka, jika mereka benar-benar pergi ke pasar, kita akan pergi bersama mereka."
Glagah Putih mengangguk. Sebenarnya mereka-pun mendekati ketiga orang perempuan yang menggendong bakul di punggungnya itu. Dengan hati-hati Rara Wulan-pun bertanya, "Maaf, Nyi. Apakah kalian bertiga akan pergi ke pasar?"
Ketiganya memandang Rara Wulan dengan tajamnya. Bahkan langkah mereka-pun telah terhenti pula.
"Kau orang asing disini?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Ya, Nyi. Kami adalah pengembara yang baru pertama kali melalui padukuhan ini."
Ketiga orang perempuan itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka-pun berkata, "Maaf. Siapakah nama kalian berdua?"
"Namaku Wara Sasi, Nyi. Ini kakakku, Warigalit."
"Nama yang bagus," perempuan itu menyahut. Lalu katanya pula, "Tetapi kami tidak akan pergi kepasar. Pasarnya jauh dari padukuhan ini. Kami, biasanya pergi kepasar kadang-kadang sepekan sekali. Bahkan kadang-kadang dua pekan sekali. Kami membeli kebutuhan dapur, terutama garam, untuk dua pekan atau lebih. Pasar yang jauh itu hanya ramai setiap hari pasaran."
"Sekarang bukan hari pasaran itu?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Sekarang bukan hari pasaran."
"Jadi kalian bertiga akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke lereng bukit untuk mencari daun pandan, Kami sudah hampir kehabisan. Kemarin kami mendapat pesanan tikar pandan dua lapis sebanyak sepuluh lembar dari padukuhan sebelah. Nampaknya Ki Bekel padukuhan sebelah akan mengadakan perhelatan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih, Nyi. Kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan."
"Semalam kalian tidur dimana" Sepagi ini kalian sudah ada disini" Apakah semalam kalian berjalan tanpa berhenti?"
"Semalam kami bermalam di banjar padukuhan ini, Nyi. Kebetulan Ki Jagabaya sedang mendapat giliran ronda semalam."
"Jadi semalam kalian ada di banjar?"
"Ya, Nyi." "Sekarang kalian akan pergi kemana?"
"Kami akan meneruskan pengembaraan kami."
Ketiga orang perempuan itu mengangguk-angguk.
"Sudahlah, Nyi. Kami mendahului."
"Silahkan Wara Sasi dan Warigalit."
Rara Wulan dan Glagah Putih-pun kemudian berjalan mendahului ketiga orang perempuan yang akan mencari daun pandan itu.
Mereka mulai memasuki satu lingkungan yang nampaknya tidak begitu bersahabat terhadap penghuni beberapa padukuhan yang tersebar. Tanahnya nampak kering dan tandus dan berwarna keputihan. Agaknya tanah itu mengandung kapur. Dikejauhan nampak hutan yang tidak terlalu lebat. Pepohonan yang tidak begitu subur, sedangkan daunnya nampak agak ke kuning-kuningan, nampak disela-sela bukit-bukit kecil yang kering.
Rara Wulan memandang alam yang dihadapinya dengan kerut di kening. Mereka berdua akan menempuh perjalanan di lingkungan yang keras itu. Menyusuri jalan yang semakin sempit yang menghubungkan padukuhan-padukuhan kecil dengan penghuni yang tidak terlalu banyak.
"Kenapa mereka masih juga bertahan tinggal di tempat yang tandus seperti ini, kakang?" bertanya RaraWulan.
"Mungkin mereka segan untuk meninggalkan tanah peninggalan leluhur mereka. Mereka merasa dilahirkan dan dibesarkan di tempat itu, sehingga rasa-rasanya sangat berat untuk pergi."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Masih juga ada kotak-kotak sawah dan pategalan di sekitar padukuhan-padukuhan kecil itu. Tetapi sawah itu-pun tentu bukan sawah, yang subur."
"Ya," sahut Glagah Putih sambil mengedarkan pandangan matanya ke bukit-bukit kecil yang berserakan. Hutan dengan pepohonan yang daunnya agak kekuning-kuningan, yang seakan-akan terselip-selip diantara pebukitan.
Keduanya-pun berjalan terus menyusuri jalan yan panjang yang terbentang di hadapan mereka. Jalan yang juga menuju ke sela-sela bukit-bukit kecil yang berwarna keputih-putihan.
"Kita akan melintasi daerah berbukit-bukit itu kakang?" bertanya Rara Wulan kemudian.
"Ya, Rara. Kita akan pergi ke seberang Pegunungan Kendeng."
"Agaknya kita tidak akan segera menjumpai padukuhan lagi?"
"Mungkin kita akan menempuh perjalanan panjang diantara bukit dan relung-relung yang mendalam. Daerah yang tidak berpenghuni dan bahkan kita akan melintasi daerah yang keras dan gundul."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, sinar matahari telah terasa semakin terik. Rasa-rasanya lingkungan yang kering itu telah terpanggang oleh panasnya cahaya matahari yang melewati puncaknya.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan melintas mengikuti jalan selapak diantara bukit-bukit kecil itu, rasa-rasanya dunia menjadi begitu sepinya. Seakan-akan didunia yang kering dan tandus itu hanya ada mereka berdua saja yang berjalan bermandi keringat dipanasnya sinar matahari.
"Apakah perjalanan ini terasa terlalu berat bagimu, Rara?" bertanya Glagah Putih yang melihat wajah isterinya menjadi kemerah-merahan.
Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas. Namun ia-pun kemudian tersenyum sambil menggeleng, "Tidak, kakang. Aku sudah berniat untuk ikut bersama kakang. Tidak ada yang berat, apa-pun yang harus aku lakukan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Seharusnya aku tidak menyeretmu ke dalam tugas yang berat ini."
Rara Wulan-pun kemudian berpegang lengan Glagah Putih ketika mereka berjalan di jalan setapak yang menanjak naik ke sebuah gumuk kecil, "Bukan kau yang menyeret aku ke dalam tugas ini, kakang. Tetapi aku memang ingin mempunyai pengalaman yang lebih luas. Bukankah menarik perjalanan tamasya kita sebagai pengantin baru?"
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun tersenyum sambil menjawab, "Ya. Tamasya kita memang sangat menarik."
Namun langkah mereka-pun terhenti. Di depan mereka melintas dengan cepat, seekor ular bandotan yang besar.
"Kakang," Rara Wulan berpegangan lengan Glagah Putih semakin erat.
"Agaknya disini memang banyak ular."
"Aku memang takut terhadap ular sekecil apa-pun. Lebih baik bertemu seekor harimau daripada seekor ular kecil yang tiba-tiba mematuk tumit."
"Hati-hatilah," pesan Glagah Putih kemudian.
Namun beberapa langkah lagi, dari balik gerumbul alang-alang seekor ular dakgrama yang lehernya merah juga melintas menyeberang jalan setapak itu.
Glagah Putih-pun kemudian berhenti sambil berkata, "Kita perlu melindungi diri kita dari bisa gigitan ular itu, Rara."
Rara Wulan-pun berhenti pula. Ia tahu bahwa Glagah Putih membawa obat untuk melawan racun.
Dari kampil yang tersangkut diikat pinggangnya, Glagah Putih mengambil sebuah bumbung kecil. Didalam bumbung itu ia menyimpan butiran-butiran reramuan yang dapat melindungi darah-darahnya selama sekitar sehari semalam.
Dengan menelan butiran reramuan itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan merasa tenang melangkah di rumpun-rumput perdu dan batang ilalang yang terdapat di sepanjang jalan setapak yang nampaknya memang jarang sekali dilalui orang.
Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat kulit. Tanah yang berbatu kapur itu telah menyilaukan pandangan mereka. Debu yang dihembus angin membuat mata Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi pedih.
Namun mereka berdua berjalan terus. Meski-pun mereka belum tahu dengan pasti, jalan yang harus mereka lalui, tetapi mereka yakin, bahwa mereka akan dapat melintas sampai ke sebelah Utara Gunung Kendeng, menyeberangi Kali Lusi, kemudian sampai ke Wirasari.
Namun ternyata jalan yang harus mereka tempuh adalah jalan yang rumit. Mereka harus melintasi punggung-punggung bukit, lurah dan lembah-lembah sempit yang berdinding batu kapur.
Sekali-sekali Glagah Putih memandang wajah Rara Wulan yang kemerah-merahan. Perjalanan itu tentu terasa sangat berat. Tetapi Rara Wulan tidak mengeluh sama sekali. Ia sendirilah yang memaksa untuk ikut Glagah Putih mengemban tugas yang berat itu.
Ketika keduanya berada di lorong sempit, yang diapit oleh lereng dua buah bukit, tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Debu yang kelabu keputih-putihan berterbangan menghambur ke lorong sempit itu, sehingga lorong itu seakan-akan telah tertutup oleh kabut tebal.
Glagah Putih menutup hidung dan mulutnya dengan ujung kain panjangnya sambil memperingatkan agar Rara Wulan-pun berbuat demikian pula.
Namun debu itu mengepul semakin lama semakin banyak, seperti sengaja ditaburkan dari punggung bukit di sebelah menyebelah lorong sempit itu.
Akhirnya Glagah Putih mengambil kesimpulan, bahwa debu yang menyerupai kabut itu tidak bertaburan tiba-tiba dan secara kebetulan pada saat ia dan isterinya lewat.
Karena itu, maka Glagah Putih, dengan ketajaman penglihatannya, tiba-tiba memperhatikan, dari mana debu itu paling banyak menghambur.
Sementara itu, debu yang menyerupai kabut itu semakin lama menjadi semakin pekat, sehingga nafas Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tersengal-sengal meski-pun mereka dengan ujung kain panjang mereka.
Akhirnya Glagah Putih-pun menemukannya arah yang dicarinya. Sebelum udara menjadi gelap. Diperhatikannya arah itu dengan saksama. Kemudian dipusatkannya nalar budinya. Dengan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya, maka Glagah Putih-pun menghentakkan tangannya dengan kedua telapak tangannya yang terbuka mengarah ke sasaran yang sudah ditemukannya itu.
Terdengar teriakan nyaring disusul oleh gelegar yang keras. Batu-batu kapur-pun berguguran beberapa langkah di depan Glagah Putih dan Rara Wulan, sementara itu seorang telah terlempar, terpelanting jatuh bersama bebatuan yang berguguran itu.
Getaran yang keras telah mengguncang lembah sempit yang diapit oleh dinding batu kapur itu. Sementara kabut yang semakin tebal itu sesaat justru menjadi semakin pekat karena guguran batu-batu kapur dari atas tebing. Namun sejenak kemudian getaran yang kuat dilembah itu seolah-olah telah menghembus kabut yang kelabu keputih-putihan itu, sehingga hanyut bagaikan disapu oleh angin yang kencang.
Sejenak kemudian, lembah yang buram itu-pun menjadi terang. Cahaya matahari kembali memancar sampai kedasar lembah sempit itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Mereka melihat setumpuk batu kapur menutup jalan setapak di lembah sempit itu. Diatasnya terbaring seorang yang tidak mereka kenal. Darahnya mengalir dari pelipis dan bagian tubuhnya yang lain yang terluka.
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu memandang sosok tubuh itu.
Namun ternyata diatas tebing masih ada dua sosok lagi yang berdiri sambil bertolak pinggang. Dua sosok tubuh yang tinggi dan besar. Seorang berkumis lebat melintang diatas mulutnya. Yang seorang lagi justru berkepala botak. Ikat kepalanya tidak dikenakannya dengan baik, sehingga oleh cahaya matahari kepalanya itu berkilat-kilat.
"Kalian telah membunuh seorang kawanku," geram orang yang berkumis melintang.
Penghianat Budiman 2 Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang Kesatria Baju Putih 6
^