Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


Namun ternyata sikap Swandaru itu sangat mencemaskan bagi Ki Ambara. Bagi Ki Ambara, Swandaru adalah alat yang sangat berarti untuk mencapai maksudnya. Dibelakang Swandaru berdiri kekuatan yang besar yang akan dapat membantu Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menghadapi Mataram. Apalagi jika Pandan Wangi berhasil membujuk ayahnya, Ki Gede Menoreh dan melibatkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, ketika Swandaru tidak kunjung datang ke Kajoran, maka Ki Ambara merasa sangat cemas.
" Apa yang sebaiknya aku lakukan, Ki Saba Lintang " " bertanya Ki Ambara.
" Apakah Swandaru masih belum kembali dari Tanah Perdikan?"
" Tentu sudah. Ia tidak akan dapat berlama-lama di Tanah Perdikan."
" Apakah Ki Ambara akan mencoba pergi ke Sangkal Putung ?"
" Aku masih belum tahu. apakah ada sesuatu yang akan mempengaruhinya.
" Sebaiknya Ki Ambara pergi saja ke Sangkal Putung. Ki Ambara membawa kuda yang terbaik. Dibeli atau tidak dibeli. Dengan kehadiran Ki Ambara di Sangkal Putung, mungkin sekali akan dapat mengingatkan Swandaru kepada Wiyati."
Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya " Besok aku akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi Ki Saba Lintang harus bersiap-siap. Jika aku tidak pulang, Ki Saba Lintang harus mengambil aku di Sangkal Putung. Kekuatan yang segera dapat Ki Saba Lintang kumpulkan, serta sergapan yang tiba-tiba, akan dapat menyelamatkan aku Selanjutnya, kita dapat melarikan diri meninggalkan Sangkal Putung dan Kajoran."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya" Baiklah. Aku akan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Malam nanti aku akan mengirimkan isyarat kepada orang-orang kita yang terdekat.
Ki Ambara mengangguk sambil berkata " Baiklah. Hati-hati menghadapi kademangan Sangkal Putung yang memiliki kekuatan yang besar. Meskipun tidak sebesar Tanah Perdikan Menoreh serta tidak memiliki orang-orang berilmu tinggi sebanyak Tanah Perdikan Menoreh. Asal Ki Saba Lintang bertindak cepat, maka pasukan Untara di Jati Anom tidak akan sempat membantu. Asal kita tidak mempertimbangkan untuk menduduki Sangkal Putung, sehingga gerakan itu hanyalah gerakan sekejap untuk mengambil aku dari kademangan itu, maka Ki Saba Lintang akan berhasil.
" Baik. Aku mengerti."
Malam itu, Ki Saba Lintang meninggalkan Kajoran untuk mencari hubungan dengan orang-orang yang berada di sarangnya yang terdekat. Diperintahkannya beberapa orang untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka secukupnya untuk satu gerakan mendadak seandainya Ki Ambara tidak keluar dari Sangkal Putung esok. Dikeesokan harinya, seperti yang direncanakannya, maka Ki Ambara pergi ke Sangkal Putung dengan naik kudanya yang terbaik. Ia menawarkan kudanya itu kepada Swandaru.
Kedatangan Ki Ambara di Sangkal Putung memang mengejutkan Swandaru. Iapun mempersilahkannya naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.
Pandan Wangi yang kemudian mengetahui pula kehadiran Ki Ambara, telah menemui sejenak untuk mengucapkan selamat datang.
" Aku membawa kuda terbaik yang pernah aku miliki, Nyi berkata Ki Ambara
Pandan Wangi tertawa Katanya " Terserah saja kepada kakang Swandaru."
" Jika Nyi Pandan Wangi menghendaki, tentu Ki Swandaru akan membelikannya, berapapun harganya."
Pandan Wangi masih saja tertawa. Namun kemudian katanya " Silahkan Ki Ambara Aku akan pergi ke dapur. Segala sesuatunya terserah kepada kakang Swandaru."
"Silahkan, silahkan Nyi " Ki Ambara mengangguk hormat.
Dalam pada itu, Ki ambara memang tidak berbicara tentang hal-hal lain kecuali menawarkan seekor kuda yang sangat baik. Ia tidak mendahului berbicara tentang perempuan yang diakuinya sebagai cucunya, Wiyati.
Namun ternyata kedatangan Ki Ambara itu telah menyentuh jantung Swandaru. Swandarulah yang lebih dahulu bertanya " Ki Ambara. Bagaimana keadaan Wiyati selama ini ?"
" Cucuku itu baik-baik saja, ngger. Jika ia kadang-kadang merenung dan sulit untuk dapat diajak berbicara itu dapat dimengerti.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak langsung, Ki Ambara memberitahukan kepadanya, bahwa Wiyati menunggu ke: datangannya.
" Tetapi jangan hiraukan. Perempuan seumurnya memang sering mengalami goncangan-goncangan perasaan seperti itu."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi nampak diwajahnya, bahwa hatinya telah tersentuh.
Namun ternyata Ki Ambara justru telah mengalihkan pembicaraannya. Ia kembali berbicara tentang kudanya yang dianggapnya terbaik yang pernah dimilikinya.
Tetapi dengan demikian, justru perasaan Swandaru menjadi semakin bergetar. Baginya, Ki Ambara nampak sebagai seorang tua yang rendah hati.
Ketika kemudian Pandan Wangi keluar lagi ke pringgitan sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan, maka Ki Ambarapun berkata"Sebenarnya tadi pagi aku sudah merasa ragu untuk datang kemari. Aku kira Ki Swandaru berdua masih berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Kami sudah terlalu lama meninggalkan kademangan ini, Ki Ambara " jawab Pandan Wangi " kakang Swandaru terikat oleh kewajiban-kewajibannya, justru karena ayah disini sudah menjadi semakin tua."
" Ya, ya, ngger. Jika bukan angger Swandaru lalu. siapa lagi yang akan membantu Ki Demang menjalankan tugas-tugasnya."
" Itulah sebabnya, bahwa kami tidak dapat berada terlalu lama di Tanah Perdikan."
Pandan Wangi masih ikut menemui Ki Ambara beberapa lama. Namun kemudian Pandan Wangi itupun meninggalkan mereka kembali ke dapur.
Dalam pada itu, Ki Ambara tidak terialu lama berada di kademangan Sangkal Putung. Ia harus segera kembali dan memberi tahu Ki Saba Lintang, bahwa ia justru disambut dengan baik di kademangan Sangkal Putung.
" Maaf Ki Ambara " berkata Swandaru " aku belum dapat memutuskan sekarang, apakah aku akan membeli kuda itu atau tidak."
" Tidak apa-apa, ngger - sahut Ki Ambara dengan sertamerta " aku juga hanya sekedar menawarkan. Selain itu, sudah agak lama kita tidak bertemu, sehingga aku memerlukan untuk datang berkunjung."
"Terima kasih atas kunjungan ini, Ki Ambara." Ki Ambarapun kemudian telah minta diri pula kepada Pandan Wangi. Ketika ia keluar dari pintu regol halaman, Ki Ambara itupun sempat berkata " Nyi. Kami mengharap Nyi Pandan Wangi mengunjungi rumah kami. Bukankah sudah lama Nyi Pandan Wangi tidak melihat-lihat kandang kuda kara'."
Pandan Wangi tertawa. Katanya " Kapan-kapan kami akan mengunjungi Ki Ambara. Yang menarik bukan kandang kuda Ki Ambara. Tetapi kesediaan Ki Ambara menerima kami.
Ki Ambarapun tertawa. Sejenak kemudian, maka Ki Ambara itupun meninggalkan kademangan Sangkal Putung. Dibulak-bulak yang sepi, maka kudanya berpacu dengan cepat Ia harus segera bertemu dengan Ki Saba Lintang. Orang-orang yang telah dipersiapkan harus dikendorkan kembali. Semakin cepat semakin baik. sebelum darah mereka mendidih oleh ketegangan yang mencekam.
Namun dalam pada itu, terjadi perubahan pada Swandaru sepeninggal Ki Ambara. Wajahnya tidak lagi nampak terlalu cerah.
Meskipun Swandaru berusaha untuk tetap nampak gembira, tetapi sentuhan gejolak jiwa terasa bergetar pula didada Pandan Wangi.
Disore hari, Swandaru duduk merenung di serambi gandok. Ia tidak menyadari bahwa Pandan Wangi mendekatinya sambil membawa minuman hangat. Karena itu, Swandaru terkejut ketika Pandan Wangi yang telah berdiri di sebelahnya itu berdesis " Minumannya kakang. Mumpung masih hangat.
" O " Swandaru menjadi gagap.
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Terasa sesuatu menyentuh perasaan halusnya sebagai seorang isteri. Namun Pandan Wangi berusaha untuk meredamnya.
" Minum kakang"desis Pandan Wangi.
" Terima kasih " Swandarupun segera menggapai mangkuknya Katanya " Masih terlalu panas untuk diminum."
Pandan Wangi tersenyum. Katanya " Memang baru saja dituang, kakang."
Swandaru mencoba untuk tersenyum pula
Pandan Wangi yang kemudian duduk di sebelah Swandarupun kemudian berkata"Jika kuda Ki Ambara itu menurut kakang lebih baik dari kuda kakang, sebaiknya kakang membelinya saja."
Swandaru mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya"Ki Ambara memberi harga terlalu tinggi, Pandan Wangi.
" Kakang dapat tukar tambah dengan kuda kakang yang lama. Bukankah kuda itu juga kakang beli dari Ki Ambara?"
Swandaru mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya wajah Pandan Wangi yang bersih. Agaknya Pandan Wangi mengira, bahwa Swandaru masih saja merenungi kuda Ki Ambara yang memang nampak gagah dan tegar.
Dalam pada itu, Pandan Wangipun berkata " Bukankah kakang juga tidak harus menurut saja harga yang ditawarkan oleh Ki Ambara " Kakang dapat saja menawar atas dasar penilaian kakang sendiri."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya" Kapan kita pergi ke rumah Ki Ambara " Aku akan melihat kuda itu sekali lagi. Mungkin membawa dan mencoba untuk satu dua hari."
Pandan Wangi tersenyum. Katanya " Kakang dapat pergi sendiri. Jika kakang menunggu aku, mungkin waktunya akan tertunda-tunda.
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah iapun berkata" Besok aku akan pergi ke Kajoran."
Pandan Wangi pun mengangguk-angguk. Dengan lembut iapun berkata " Pergilah, kakang. Maaf aku tidak dapat ikut. Mungkin pada kesempatan lain."
Sebenarnyalah dikeesokan harinya, Swandaru pergi ke Kajoran. Sebenarnya Swandaru masih saja merasa ragu. Bahkan ia merasa malas waktu kudanya disiapkan di halaman.
Namun akhirnya Swandaru itupun pergi juga ke Kajoran.
Ketika Swandaru mendekati regol halaman rumah Ki Ambara, Swandaru merasa jantungnya berdetak semakin cepat. Keragu-raguan telah mencengkam jantungnya. Ia sadar, sepenuhnya bahwa di rumah Ki Ambara itu terdapat seorang perempuan muda yang telah menjeratnya. Perempuan muda yang telah mempengaruhi jalan pikirannya dan bahkan pandangan hidupnya.
Ada semacam perlawanan di dalam dadanya terhadap niatnya datang menemui Ki Ambara. Pada hari-hari terakhir, ia merasa sangat dekat dengan isteri dan anaknya. Swandaru ingin keadaan itu tidak terusik.
Tetapi disisi lain, disudut hatinya, ia merasa berkewajiban untuk, datang menemui perempuan yang bernama Wiyati itu.
Swandaru tidak dapat mengambil keputusan sampai kudanya berhenti di depan regol halaman rumah Ki Ambara.
Untuk beberapa saat lamanya, Swandaru masih duduk dipunggung kudanya. Namun akhirnya iapun meloncat turun. Seperti dihisap oleh kekuatan yang tidak dikenalnya, Swandaru akhirnya menuntun kudanya memasuki regol halaman rumah Ki Ambara.
Swandaru terkejut ketika ia mendengar suara seorang perempuan menjerit kecil menyebut namanya " Kakang Swandaru.."
Swandaru berpaling. Ia melihat seorang perempuan muda yang berlari ke arahnya.
Jantung Swandaru tergetar. Perempuan itu adalah Wiyati.
Namun tiba-tiba saja Wiyati berhenti selangkah di hadapan Swandaru. Bahkan kepalanyapun menunduk sambil bergeser selangkah surut
" Wiyati " desis Swandaru.
" Maaf, Ki Swandaru. Aku tidak dapat menahan gejolak kegembiraanku melihat kedatangan Ki Swandaru."
" Kenapa kau minta maaf ?"
" Aku tidak yakin, apakah aku berhak melakukannya."
" Sudahlah " Swandarulah yang kemudian membimbing lengan Wiyati dan dibawanya naik ke pendapa.
" Ki Ambara ada ?"
" Ada di dalam Ki Swandaru."
" Aku akan menemuinya."
" Baiklah. Aku akan menyampaikannya."
" Tetapi selain Ki Ambara, aku juga ingin menemuimu." Wiyati memandang Swandaru sekilas. Namun wajahnya kembali menunduk. Ia sama sekali tidak menjawab.
" Sekarang; sampaikan kepada Ki Ambara, bahwa aku ingin menemuinya. Tetapi kaupun harus ikut pula menemui aku nanti."
"Baiklah, Ki Swandaru."
Sesaat kemudian, Wiyatipun telah masuk ke ruang dalam, sementara Swandaru duduk di pringgitan.
Beberapa saat kemudian, Ki Ambarapun telah keluar dari ruang dalam. Dengan ramah iapun menyapa Swandam yang sudah duduk lebih dahulu. Menanyakan keselamatan perjalanannya serta keluarga di Sangkal Putung.
Baru kemudian, Ki Ambara ilupun bertanya " Apakah Nyi Pandan Wangi tidak sempat ikut datang kemari?"
" Pandan Wangi sedang sibuk, Ki Ambara. Mungkin lain kali."
" Aku sangat mengharapkan kedatangannya."
" Aku justru berharap agar Pandan Wangi tidak ikut bersamaku. Apalagi saat ini, setelah aku agak lama tidak berkunjung kemari."
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Swandaru bersikap jujur kepadanya.
Karena itu, maka iapun berkata " Baiklah aku juga berterus terang Ki Swandaru. Selama ini Wiyati menjadi seperti orang bingung."
" Wiyatilah sebenarnya yang mendorong aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Wiyati pula yang mendorong aku mempersoalkan kedudukan kademangan Sangkal Putung untuk dapat ditetapkan menjadi Tanah Perdikan."
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya"Mimpi Wiyati memang ingin melihat Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan meskipun Wiyati hanya akan dapat melihat dari jarak yang jauh.
Swandaru termangu-mangu, sementara Ki Ambara berkata selanjutnya " Cucukupun mengerti, apa yang sedang angger Swandaru lakukan. Tetapi ketika angger Swandaru pergi ke Tanah Perdikan untuk beberapa hari sehingga tidak dapat datang ke Kajoran, maka Wiyati nampak menjadi sangat kesepian."
" Aku memang tidak dapat segera datang kemari tanpa alasan yang kuat, Ki Ambara " berkata Swandaru.
" Aku mengerti. Wiyatipun mengerti pula. Karena itu, maka aku datang ke Sangkal Putung dengan seekor kuda yang tegar, meskipun aku merasa ragu, apakah aku akan diterima dengan baik. Mungkin telah terjadi perusahaan pada Ki Swandaru setelah kembali dari Tanah Perdikan Menoreh."
" Tidak ada perubahan apa-apa, Ki Ambara. Persoalannya hanya pada kesempatan saja."
" Sokurlah - Ki Ambara mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang apakah angger Swandaru akan berbicara dengan Wiyati ?"
Swandaru mengangguk sambil menjawab" Ya, Ki Ambara."
" Aku akan memanggilnya"
" Tidak usah, Ki Ambara: Aku sudah minta Wiyati duduk pula bersama kita di sini."
Tetapi Ki Ambara justru bangkit sambil berkata " Biarlah ia menemui angger Swandaru. Mungkin ada yang ingin dikatakannya. Sebaiknya aku tidak mengganggunya. Nanti aku akan datang lagi ikut berbicara bersama kalian."
Swandaru tidak dapat menahannya ketika Ki Ambara kemudian melangkah masuk ke ruang dalam untuk memanggil Wiyati.
Beberapa saat kemdian, Wiyati keluar dari ruang dalam sambil membawa minum dan makanan untuk disuguhkan kepada tamuya.
" Duduklah Wiyati " berkata Swandaru.
Wiyati tidak membantah. Diletakkannya saja nampannya disebelahnya, sementara Wiyati duduk sambil menundukkan kepalanya
" Aku minta maaf Wiyati. bahwa agak lama aku tidak mengunjungimu."
" Kenapa Ki Swandaru minta maaf kepadaku ?"
" Kau tentu tahu maksudku. Sejak aku pergi ke Tanah Perdikan, baru sekarang aku dapat datang kemari. Aku memang sedang menunggu kesempatan. Untunglah bahwa Ki Ambara tanggap dan sempat datang ke Sangkal Putung, sehingga aku mempunyai alasan untuk datang kemari."
" Kepergian kakek ke Sangkal Putung kemarin, tidak ada hubungannya dengan aku, kakang."
" Jangan begitu Wiyati. Aku datang untuk minta maaf."
" Bukankah perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh itu merupakan perjalanan yang sangat menyenangkan " Tentu lebih menyenangkan daripada perjalanan pendek ke Kajoran."
" Tetapi bukankah kau tahu bahwa aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh " Sebelum aku berangkat, aku berada di sini sampai jauh malam."
" Apakah aku menyesali kepergian kakang ke Tanah Perdikan Menoreh " " sahut Wiyati " bukankah aku ikut bergembira, bahwa perjalanan kakang berhasil untuk mendapatkan dukungan dari keluarga di Tanah Perdikan Menoreh agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan ?"
Swandaru menarik nafas panjang. Sambil menggelengkan kepalanya Swandarupun berkata " Aku sudah melupakan gagasan untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan."
" Kakang " Wiyati terkejut " kenapa keinginan kakang untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung begitu mudah patah. ?"
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Aku sudah bertemu dengan saudara seperguruanku, kakang Agung Sedayu. Aku berbicara panjang dengan kakang Agung Sedayu dan isterinya, adikku Sekar Mirah. Akhirnya aku dapat mengerti pendapat mereka, bahwa sebaiknya aku mengurungkan niatku untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
" Sayang sekali " desis Wiyati.
" Kenapa ?" "Aku ingin melihat Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Setidak-tidaknya akan dapat ikut merasakan kebanggaan yang sangat besar atas ketetapan itu."
" Aku tidak dapat melakukannya, setidak-tidaknya untuk sementara, Wiyati. Apalagi Panembahan Senapati memang sedang sakit, sehingga perhatian semua orang di istana ditujukan kepada Panembahan Senapati."
Wiyati yang cerdik itu tidak mempersoalkannya lagi. Ia masih mempunyai waktu. Ia yakin, bahwa setelah kunjungannya itu, Swandaru akan datang lagi dan datang lagi seperti sebelum pergi ke Tanah Perdikan.
Karena itu, yang kemudian dibicarakan oleh Wiyati tidak lagi menyangkut kemungkinan Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan. Tetapi Wiyati mulai berusaha untuk merampas kembali perhatian Swandaru. Sekali-sekali Wiyati itu tersenyum. Kemudian bersungut-sungut. Bahkan kemudian Wiyati itu mulai mencubit lengan Swandaru, sehingga akhirnya Swandaru tenggelam lagi dalam suasana yang lain dari kehidupannya di Sangkal Putung bersama anak dan isterinya.
Pada hari itu, Wiyati memang belum banyak berbicara tentang tanah Perdikan. Ketika kemudian Swandaru meninggalkan Kajoran, maaka Ki Ambarapun bertanya kepadanya " Bagaimana dengan niat Swandaru untuk mohon ketetapan agar Sangkal Putung menjadi sebah Tanah Perdikan."
Wiyatipun kemudian mengatakan tentang sikap Swandaru setelah ia pulang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Wajah Ki Ambara menjadi tegang. Dengan kerut dahinya, iapun bertanya"Lalu apa yang kau katakan kepadanya ?"
" Aku belum mengatakan apa-apa, kek."
" Kenapa kau tidak berusaha mendesak, agar Swandaru tetap pada keinginannya untuk mengajukan permohonan agar Tanah Perdikan Sangkal Puutung itu dapat terwujud."
"Jangan tergesa-gesa, kek."
" Maksudmu ?" " Jika aku mendesaknya sekarang, maka Swandaru akan mempertahankan sikapnya. Tetapi jika aku membujuknya perlahan-lahan, mungkin aku akan dapat berhasil."
"Tetapi kita tidak boleh terlambat."
" Apa yang terlambat ?"
" Mumpung Panembahan Senapati sedang sakit. Permohonan Swandaru tentu diabaikan. Bukankah kita ingin Swandaru tetap mengajukan permohonan itu tetapi ditolak."
" Ya. Menurut pendapatku, apakah Panembahan Senapati masih sakit atau kemudian sudah sembuh, permohonan itu tentu akan ditolak. Tetapi aku mohon kakek jangan tergesa-gesa. Percayalah kepadaku."
" Kalau Swandaru. itu tidak datang lagi kemari ?"
Wiyati tersenyum. Katanya " Ia akan datang lagi kemari. Yakinkan itu, kek."
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Baiklah. Aku akan menunggu satu dua hari. Tetapi jika ia tidak datang, aku terpaksa pergi lagi ke Sangkal Putung menawarkan kuda itu lagi."
"Percayalah." Ki Ambara tidak mendesak lagi.
Ternyata Wiyati benar. Ki Ambara yang ragu-ragu itu, kemudian harus meyakini kecerdikan Wiyati.
Seperti yang dikatakan oleh Wiyati, maka selang beberapa hari, Swandaru telah datang lagi ke Kajoran. Disusul dengan kedatangannya berikutnya Semakin lama menjadi semakin sering.
Sebenarnyalah, Swandaru menjadi seperti terbius lagi. Wiyati baginya dapat memberikan suasana yang berbeda dengan suasana di rumahnya.
Pada saat-saat yang demikian itulah, maka Wiyati kembali berbisik di telinga Swandaru tentang Tanah Perdikan.
" Aku sudah memutuskan untuk membatalkan niatku " berkata
Swandaru. " Wiyati tersenyum. Iapun kemudian bertanya " Bagaimana dengan para bebahu " Apakah mereka juga begitu saja membatalkan niat mereka ?"
" Mereka menurut saja apa yang aku katakan "jawab Swandaru "jika aku mengurungkan niatku, merekapun sama sekali tidak berkeberatan."
" Apakah kakang Swnadaru tidak merasa sayang, bahwa gelora di hati para bebahu itu harus diredam. Seperti api yang.telah menyala bagaikan menjilat langit, harus dipadamkan begitu saja" Mereka memang patuh kepada kakang. Tetapi api itu sebenarnya tidak pernah padam di dada mereka."
" Mereka mengerti, Wiyati."
" Kakang tidak boleh sedemikian mudahnya patah ditengah-tengah. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tentu merasa cemburu jika Kademangan Sangkal Putung mendapat ketetapan menjadi Tanah Perdikan pula. Mereka akan merasa disaingi, sehingga karena itu, mereka menyusun alasan-alasan yang nampaknya masuk akal."
" Memang masuk akal Wiyati " sahut Swandaru.
Wiyati adalah seorang perempuan yang cerdik. Jika Swandaru nampak menjadi kesal, maka iapun berhenti. Dialihkan pembicaraannya pada persoalan-persoalan lain yang lebih ringan. Namun yang dengan demikian, ia telah menjerat. Swandaru semakin erat. Wiyati telah berbuat apa saja untuk dapat benar-benar merampas dan menguasai perasaan dan penalaran Swandaru, sehingga dihadapan Wiyati Swandarupun seakan-akan telah berubah menjadi seorang yang semakin lama semakin kehilangan daya penalarannya.
Perlahan-lahan dengan penuh kesabaran, Wiyati masih saja menghembuskan gambaran tentang sebuah Tanah Perdikan yang memiliki kebebasan hampir mutlak.
" Kekuasaan sebenarnya seorang Kepala Tanah Perdikan tidak ubahnya dengan kuasa raja sendiri " berkata Wiyati.
" Tentu tidak, Wiyati " berkata Swandaru " mungkin untuk mengurus diri sendiri. Tetapi masih tetap dalam lingkungan bingkai kuasa seorang raja serta saluran-saluran kuasanya."
" Kakang benar " desis Wiyati. Tanpa menyebut Tanah Perdikan lagi, Wiyati menyandarkan kepalanya didada Swandaru. Katanya " Kakang, mataku mulai terpejam."
" Kau mengantuk " Sedangkan udara panasnya seperti ini ?"
" Panas sekali, kakang. Aku tidak tahan mengenakan baju lurik yang tebal ini.-
Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Dalam pada itu, bagaimanapun juga Swandaru berusaha, namun Pandan Wangi merasakan bahwa telah terjadi perubahan pada suaminya. Kadang-kadang Swandaru itu merenung memandang ke kejauhan di serambi gandok. Namun kadang-kadang Swandaru itu justru bersikap sangat baik kepada Pandan Wangi.
Tetapi seperti sebelum mereka pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Swandaru menjadi sering pergi dengan alasan yang bermacam-macam. Bahkan kadang-kadang sampai jauh malam.
Ketika pada satu senja Pandan Wangi menemukan suaminya sedang merenung sendiri di pringgitan, maka Pandan Wangi itupun duduk menemaninya
Semula Pandan Wangi memang merasa ragu untuk bertanya. Namun akhirnya Pandan Wangi itu memaksa dirinya untuk bertanya " Kakang. Apakah sebenarnya yang kakang renungkan. Setiap kali aku melihat kakang duduk menyendiri sambil merenung. Mula-mula aku mengira bahwa kakang tertarik kepada seekor kuda yang dibawa oleh Ki Ambara. Tetapi ternyata sampai saat ini kakang tidak mengambil kuda itu. Namun nampaknya ada sesuatu yang kakang renungkan."
Swandaru memang menjadi agak sulit untuk menjawab. Tetapi kemudian iapun berdesis " Pandan Wangi. Aku mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada beberapa orang bebahu bahwa permohonan untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan ternyata tidak menguntungkan bagi kademangan ini sendiri."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Jawaban Swandaru itu masuk di akalnya.
" Kakang harus sabar " berkata Pandan Wangi kemudian " sedikit demi sedikit. Mereka sudah terlanjut terjebak terlalu jauh ke dalam mimpi. Karena itu, agak sulit untuk mengangkat mereka kembali ke dalam kehidupannya yang nyata ini." Aku sudah berusaha Pandan Wangi."
"Seperti yang aku katakan, kakang harus sabar." Swandarulah yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya " Aku juga berusaha sejauh dapat aku lakukan, Pandan Wangi. Aku sudah tidak menghitung waktu. Setiap kesempatan aku pergunakan. Kapan saja aku mendengar bahwa beberapa bebahu dan orang-orang kademangan ini yang berpengaruh berkumpul, aku selalu berusaha datang. Siang atau malam atau kapan saja."
"Tetapi kakang tidak usah memaksa diri. Kakang harus memperhatikan kesehatan kakang sendiri."
" Aku mengerti, Pandan Wangi. Aku memang ingin membatasi diri."
Pandan Wangi duduk menemani suaminya beberapa lama. Namun ketika ia mendengar anak laki-Iakinya memanggilnya, maka Pandan Wangipun bangkit berdiri dan masuk ke ruang dalam.
Semula Pandan Wangi mengira bahwa Swandaru malam itu tidak akan pergi. Tetapi justru ketika malam turun, Swandaru itupun telah menyiapkan kudanya
" Kakang akan pergi kemana " " bertanya Pandan Wangi.
" Aku akan pergi ke Karangwetan sebentar Pandan Wangi." Pandan Wangi tidak mencegahnya. Dipandanginya saja Swandaru yang kemudian meloncat ke punggung kudanya.
Demikian Swandaru meninggalkan padukuhan induk, maka terasa jantungnya berdebaran. Ia sudah mulai membohongi Pandan Wangi lagi. Swandarupun sadar, bahwa setiap kebohongan akan disusul oleh kebohongan yang lain. Namun Swandaru tidak mampu mencegahnya.
" Maafkan aku Pandan Wangi " desis Swandaru.
Swandaru itu merasa dirinya seakan-akan telah terpecah. Kadang-kadang Swandaru itu bahkan merasa kehilangan diri sendiri. Ia merasa dirinya dicengkam oleh keinginan yang tidak terlawan, meskipun disudut hatinya, terpercik kesadaran, bahwa ia telah mengambil langkah yang salah.
Jika saja Swandaru itu masih seorang kanak-kanak. Ingin rasanya untuk berteriak sekeras-kerasnya atau menangis sejadi-jadinya untuk mengosongkan beban di dadanya.
Tetapi kuda Swandaru berlari terus menuju ke Kajoran yang memang tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung.
Demikian Swandaru tiba di Kajoran, maka iapun segera tenggelam dalam pusaran yang mengaburkan segala macam penalarannya.
Sementara itu, setiap kali Wiyati masih saja berbisik tentang Tanah Perdikan Sangkal Putung.
Karena Swandaru nampaknya masih belum bergeser dari sikapnya tentang Tanah Perdikan Sangkal Putung, maka Wiyati mulai mengguncang perasaan Swandaru. Dalam keadaan yang larut oleh bius yang dihembuskan dari kehangatan sikap Wiyati, kadang-kadang Wiyati mulai menghindar.
" Wiyati " suara Swandarupun bergetar.
Seperti menghadapi anak-anak yang sedang kehausan, Wiyati berbicara tentang Tanah Perdikan Sangkal Putung.
Memang perlahan-lahan. Tetapi di dalam diri Swandaru itu telah tumbuh kembali keinginannya untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan.
" Kakang harus meyakinkan orang-orang Menoreh, bahwa Tanah Perdikan Sangkal Putung tidak akan menyaingi Tanah Perdikan Menoreh.
Swandaru yang seakan-akan telah jatuh di bawah pengaruh Wiyati itu tidak dapat mengelak. Gagasan-gagasan.Wiyati itu seakan-akan terpahat di jantungnya.
" Wiyati benar. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, bahkan Sekar Mirah, memang menjadi cemburu jika aku kelak menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. " berkata Swandaru didalam hatinya.
Ditelinga Swandaru, Wiyati berkata " Yakinkan mereka. Terlebih lagi Sekar Mirah, adik kakang Swandaru itu. Bahkan iapun akan terangkat pula namanya, jika Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikann. Bukan sebaliknya, ia justru menjadi iri hati."
Swandaru mengangguk-angguk. Mulutnya bagaikan terbungkam. Seperti anak-anak yang mendengar dongeng neneknya, Swandaru hanya mempunyai kesempatan untuk mendengarkan. Sekali-sekali bertanya. Kemudian mengangguk-angguk setelah mendengarkan satu dua kalintat jawaban.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja rakyat Mataram benar-benar diguncang oleh berita, bahwa Panembahan Senapati benar-benar sakit. Bahkan sudah menjadi semakin parah, sehingga seisi istana menjadi cemas, bahwa tidak akan ada seorang tabibpun yang akan dapat mengohatinya.
Namun kemudian, para pejabat diistana masih tetap mengusahakan kesembuhan Panembahan Senapati.
Keadaan Panembahan Senapati itu tidak luput dari perhatian Ki Ambara. Kepada Wiyati Ki Ambara itupun berkata " Kita harus tanggap akan keadaan ini, Wiyati."
" Ya,kek." " Dorong Swandaru agar Swandaru segera mengajukan permohonan penetapan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan."
Wiyati mengangguk. Katanya " Tidak sulit untuk memaksa kakang Swandaru melakukannya. Tetapi agaknya ia masih saja terikat dengan Tanah Perdikan Menoreh."
" Jika Swandaru kecewa, maka kita akan memanfaatkannya. Mudah-mudahan Pandan Wangi dapat mendukung kekecewaan suaminya dan membujuk ayahnya di tanah Perdikan."
" Jika hal itu terjadi, apakah kita sendiri sudah siap, kek ?"
" Kita akan mempersiapkan diri. Ki Saba Lintang akan mempersiapkan pasukan yang besar, namun bergerak dibawah Tanah. Jika waktunya tiba, maka yang pertama-tama harus digilas adalah pasukan Untara di Jati Anom. Sementara itu, kita berharap bahwa Sekar Mirah akan dapat mempengaruhi suaminya, sehingga pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh akan berpihak kepada kekuatan yang dapat dihimpun oleh Tanah perdikan Menoreh. Sebagian kekuatan kita akan berada di Tanah Perdikan Menoreh yang bersama-sama dengan kekuatan yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, akan menyergap Mataram dari sisi Barat Kemudian pasukan dari Sangkal Putung setelah menghancurkan kekuatan Untara di Jati Anom akan menyerang Mataram dari arah Timur. Kita akan memotong pasukan Mataram yang berada di Ganjur dan menghancurkannya sebelum memasuki Kota Raja.
" Apakah kekuatan dari Pati, Demak, Jipang dan saudara-saudara kita di sebelah Utara Gunung Kendeng dalam waktu dekat sudah akan berada di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh ?"
" Apakah kau yakin, bahwa Swandaru akan mengambil keputusan dalam waktu dekat " Jika permohonan itu diserahkan kepada Panembahan Senapati, bukankah diperlukan waktu untuk menunggu jawabannya " Baru atas dasar jawaban itulah Swandaru akan bergerak. Kita harus berpikir ulang jika permohonan itu justru dkabulkan oleh Panembahan Senapati yang sakitnya menjadi semakin keras."
" Aku yakin, Panembahana Senapati atau para pejabat di Mataram yang menangani surat itu akan menjadi marah."
" Kaupun harus yakin, bahwa kapanpun pasukan itu diperlukan, pasukan itu sudah akan berada di tempat masing-masing. Tetapi yang penting adalah sikap Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu."
Wiyati mengangguk-angguk. Katanya" Baiklah. Aku akan men--dorong Swandaru untuk segera mengajukan permohonan iiu kc Mataram. Tetapi jangan sampai timbul salah paham dengan Tanah Perdikan Menoreh, karena kita memerlukan dukungan kekuatan di Tanah Perdikan Menoreh lewat Pandan Wangi.
Sebenarnyalah, bahwa dalam waktu dekat, sikap Swandaru sudah berubah lagi. Tiba-tiba saja ia menjadi semakin mantap untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan.
Ki Demang Sangkal Putung dan Pandan Wangi masih berusaha mencegahnya. Namun Swandaru telah memberikan berbagai macam alasan untuk memperkuat sikapnya. Bahwa Sangkal Putung harus menjadi Tanah Perdikan.
-" Selagi Panembahan Senapati masih ada " berkala Swandaru " Jika Panembahan Senapati itu wafat, maka penggantinya tidak akan dapat mengenali pengabdian yang telah diberikan Sangkal Putung kepada Mataram."
" Kakang " berkata Pandan Wangi " bukankah kakang sependapat dengan Sekar Mirah, bahwa pengabdian yang diberikan oleh Sangkal Putung itu tanpa pamrih. -
" Pada saat kami melakukannya, kami memang tidak mempunyai pamrih apapun. Tetapi jika dengan demikian Mataram menjadi semakin besar, apakah kita tidak dapat ikut menikmati kebesarannya" Bukan apa apa. Hanya sekedar ketetapan bahwa Sangkal Putung akan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
Dengan nada dalam Ki Demangpun berkata " Swandaru. Apa yang kau inginkan sebenarnya " Jika Mataram menjadi besar, bukankah kita dapat ikut berbangga atas kebesarannya. Kesejahteraan Mataram akan tercermin juga di kademangan Sangkal Putung ini. Tanpa menjadi tanah Perdikan, Sangkal Putung sudah menjadi daerah yang kesejahteraannya selalu meningkat. Kau sendiri pernah mengatakan, bahwa kesejahteraan rakyat Sangkal Putung tidak kalah dengan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah yang memberikan kepuasan bagi seorang pimpinan adalah, jika rakyatnya hidup sejahtera dan bahagia ?"
" Apakah itu cukup, ayah " Bukankah kadang-kadang kita juga berpikir tentang harga diri" Tentang derajad dan pangkat" Bukan hanya semat?"
" Aku sependapat Swandaru. Tetapi kita juga harus merenungi cara kita mempertahankan harga diri, mendapatkan derajad dan pangkat. Bukankah kita tidak dapat membenarkan cara apapun tanpa menghiraukan nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan kehidupan kita sekarang?"
" Jika kita terlalu dibebani berbagai macam pertimbangan, keseganan dsn keberatan, maka kita tidak akan dapat melakukan apapun juga."
" Apakah kita akan dapat melepaskan diri dan beban itu" Apakah kita dapat berbuat apa saja tanpa dibebani pertimbangan, keseganan dan keberatan-keberatan berdasarkan nilai-nilai tatanan dalam lingkaran pergaulan luas ini ?"
" Ayah " berkata Swandaru kemudian " adalah kewajiban kita untuk memperjuangkan masa depan kampung halaman kita. Agar kita tidak dikutuk oleh anak cucu kita, karena kita udak berbuat apa-apa untuk meningkatkan kedudukan kampung halaman kita ini."
" Meskipun demikian, aku minta kau mempertimbangkannya sekali lagi, Swandaru. Ketika kau pulang dari Tanah Perdikan Menoreh, kau membawa pertimbangan-pertimbangan yang cerah di dalam hatimu. Ketika kau meletakkan keinginanmu untuk mengajukan permohonan agar kademangan ini ditetapkan menjadi Tanah Perdikan, kau nampak menjadi ceria, justru kau telah meletakkan beban yang memberati perasaanmu."
"Ternyata itu justru satu kemunduran, ayah. Aku memang seorang yang lemah. Yang mudah patah menghadapi tantangan-tantangan. Namun ketika hal itu aku sadari, maka hatiku menjadi kukuh kembali. Aku akan tetap mengajukan permohonan atas nama rakyat kademangan Sangkal Putung, agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi Tanah Perdikan."
"Swandaru. Kenapa tidak kau sukuri saja kumia yang melimpah bagi kita semuanya di kademangan ini " Jika kau sempat mengingat masa kecilmu, tanah ini tidak banyak memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun karena kita sudah menunjukkan usaha yang bersungguh-sungguh dengan kerja keras, maka sebagaimana kita lihat sekarang, pada kademangan ini telah dikumiakan-Nya kesejahteraan yang semakin tinggi." "'
" Bukankah dengan demikian kumia itu tidak datang dengan sendirinya, ayah " Bukankah kita harus bekerja keras sebagai lantaran turunnya kumia itu " Nah, kita sekarang tidak boleh berhenti berusaha. Setelah itu mensukuri kurnia ini, maka kita wajib berusaha untuk meningkatkan tanah yang dipercayakan kepada kita ini kedudukannya semakin meningkat.
" Kakang " berkata Pandan Wangi kemudian " tetapi bagaimanapun juga kita harus mengingat keadaan Panembahan Senapati sekarang. Jika kakang mencemaskan kelangsungan kuasa Panembahan Senapati sehingga penggantinya tidak akan mengetahui dan tidak akan mampu menilai pengabdian yang telah kakang berikan, apakah dalam keadaan sakit yang parah Panembahan Senapati akan dapat melakukannya?"
" Bukankah ada orang lain yang dapat menyampaikan pertimbangan-pertimbangan bagi Panembahan Senapati " Orang-orang yang pengenalannya atas kademangan ini sama dengan Panembahan Senapati, se hingga Panembahan Senapati tinggal mengiakannya " Jika yang berkuasa kemudian adalah penggantinya yang masih muda itu, maka kuasanya itu dapat mencegah orang-orang yang sebenarnya menyetujui permohonan kami."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ki Demangpun merasa bihwa sulit baginya untuk mencegah niat Swandaru yang bagi Ki Demang, kurang pada tempatnya itu.
Dalam pada itu, Swandarupun bahkan berkata " Pandan Wangi Aku akan mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan memberitahukan bahwa aku telah mengirimkan surat permohonan kepada Kangjeng Panembahan Senapati. Aku akan minta agar kakang Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh mendukung permohonanku. Jika mereka sempat bertemu dengan para pembesar di Mataram, terutama kakang Agung Sedayu, akan mengharap agar kakang Agung Sedayu membantu mempengaruhi pendapat mereka."
" Bukankah kakang Agung Sedayu sudah menyatakan pendapat-nya sejalan dengan pendapat Sekar Mirah " "jawab Pandan Wangi.
" Tetapi jika permohonan itu sudah aku sampaikan, maka aku berharap mereka akan bersikap lain."
" Kakang " desis Pandan Wangi " aku mohon kakang mempertimbangkannya sekali lagi."
Tetapi Swandaru menggelengkan kepalanya. Katanya " Aku sudah memikirkan masak-masak, Pandan Wangi."
Pandan Wangi hanya dapat memandang Ki Demang dengan wajah yang gelisah. Apalagi ketika kemudian Swandaru itupun berkata " Pandan Wangi. Aku akan minta bantuanmu."
" Bantuan apa kakang ?"
" Sudah aku katakan, bahwa aku akan mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memberitahkan, bahwa aku sudah mengajukan surat permohonan kepada Kangjeng Panembahan Senapati untuk menetapkan kademangan Sangkal Putung sebagai Tanah Perdikan Menoreh, dengan keterangan, apa saja yang pernah kita lakukan untuk mendukung kebesaran Mataram. Aku akan minta Ki Gede Menoreh untuk mendukung permohonan kami itu. Terutama Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu. Jika perlu aku minta kakang Agung Sedayu datang menghadap Ki Patih Mandaraka, agar Ki Patih bersedia mempengaruhi Kangjeng Panembahan Senapati."
" Kakang, bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Kita tentu tidak akan dapat mengharap bahwa kakang Agung Sedayu menemui Ki Patih. Kemudian minta agar Ki Patih menghadap Kangjeng Panembahan Senapati yang sedang sakit."
" Apakah keberatan mereka " Bukankah kakang Agung Sedayu sering pergi ke Mataram " Dan bukankah Ki Patih Mandaraka juga menghadap Kangjeng Panembahan Senapati setiap hari."
" Kita tidak dapat seakan-akan memerintah mereka uniuk kepentingan kita."
" Aku tidak memerintah mereka. Tetapi apa keberatan mereka jika mereka melakukannya ?"
"Jika Ki Patih Mandaraka justru tidak setuju dengan permohonan kakang."
" Ki Patih tahu benar pengabdian yang telah kita berikan bagi Mataram. Ki Patih tentu akan setuju. Iapun akan bersedia untuk mempengaruhi Kangjeng Panembahan Senapati."
Pandan Wangi menjadi bingung. Dipandanginya suaminya dengan tajamnya. Ia ingin melihat, bayangan apakah yang ada dimata suaminya, sehingga penalarannya seakan-akan tidak berjalan wajar.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat melihat, bahwa dikepala Swandaru itu bertengger seorang perempuan muda yang cantik dan cerdik, Wiyati.
" Pandan Wangi " berkata Swandaru " Aku perlu bantuanmu, agar kau bersedia pergi ke Tanah Perdikan. Kita akan berangkat bersama-sama. Aku pergi ke Mataram dan kau langsung pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin aku akan mendapat jawaban segera. Tetapi mungkin aku harus menunggu. Bahkan mungkin aku harus kembali lebih dahulu ke Sangkal Putung sebelum aku mendapatkan jawabnya karena Mataram memerlukan waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam hal yang demikian itulah, aku berharap agar kakang Agung Sedayu segera saja pergi menemui Ki Patih Mandaraka. Kakang Agung Sedayupun harus minta pula agar Ki Patih segera menyampaikan pertimbangannya kepada Panembahan Senapati."
" Swandaru " berkata Ki Demang " bagaimana mungkin kau dapat berkata bahwa Ki Lurah Agung Sedayu harus segera pergi menemui Ki Patih, kemudian Ki Patih harus segera menghadap Kangjeng Panembahan Senapati. Apakah hakmu mengharuskan mereka segera melaksanakan keinginanmu."
- -Ayah; sudah aku katakan, apakah keberatan mereka " Sedangkan persoalan ini sangat penting bagi kami, rakyat Sangkal Putung. Mereka harus mengerti, bahwa mereka melakukannya bagi rakyat sekademangan Sangkal Putung."
" Ki Patih Mandaraka tidak hanya mempunyai kewajiban memenuhi keinginanmu atas nama rakyat Sangkal Putung. Tetapi Ki Patih Mandaraka memikirkan kepentingan rakyat seluruh Mataram. Memikirkan rakyat di satu wilayah yang luas sekali, beratus kali lipat dari Sangkal Putung."
Swandaru mengerutkan dahinya. Sejenak ia merenungi kata-kata ayahnya. Sementara itu ayahnyapun berkata " Kau tidak dapat memandang Mataram dari sudut kepentinganmu, seolah-olah kau adalah pusar peputaran dunia Mataram, sehingga semua orang harus memperhatikanmu, melakukan keinginanmu tanpa menghiraukan kepentingan-kepentingan lain yang jauh lebih besar dari sekedar kepentingan rakyat Sangkal Putung."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Agaknya jantungnya dapat disentuh oleh kata-kata ayahnya itu. Meskipun demikian, iapun masih berkata " Baiklah ayah. Aku juga menghormati kepentingan-kepentingan lain itu. Namun aku minta kakang Agung Sedayu memperhatikan pula permintaanku dan memenuhinya demikian ada-kesempatan. Demikian pula agar kakang Agung Sedayu memohon kepada Ki Patih Mandaraka, untuk memperhatikan permohonan kami."
Pernyataan Swandaru yang lebih lunak itu sedikit melegakan perasaan Ki Demang dan Pandan Wangi. Mereka masih berharap bahwa nalar Swandaru menjadi semakin berkembang dan melihat kenyataan yang terjadi di Mataram.
Tetapi agaknya Swandaru tidak akan bergeser lebih mundur lagi. Ia sudah berketetapan hati untuk pergi ke Mataram bersama-sama dengan keberangkatan Pandan Wangi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadap ayahnya dan menemui Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Dihan berikutnya, Swandarupun telah menyiapkan surat yang akan diserahkan kepada kangjeng Panembahan Senapati di Mataram. Kepada Ki Demang dan Pandan Wangi, Swandaru berkata, bahwa ia akan menunjukkan surat itu kepada para bebahu lebih dahulu. Apakah surat itu sudah pantas atau belum.
Namun sebenarnyalah bahwa Swandaru telah pergi ke Kajoran. Wiyatilah yang menyusun surat yang akan dibawa ke Mataram itu atas dasar pikiran dan gagasan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Meskipun Swandarulah yang menulisnya. Surat itulah yang kemudian ditunjukkan kepada Ki Demang dan kepada Pandan Wangi.
" Surat itu aku buat berdasarkan pikiran, gagasan dan penimbangan beberapa orang bebahu, sehingga isinya benar-benar mewakili pikiran, gagasan dan pendapat rakyat kademangan ini."
Ki Demang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Surat itu memang ditulis dengan susunan kalimat yang rapi dan manis. Namun isinya tetap saja kurang mapan menurut pendapat Ki Demang dan Pandan Wangi- -


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Swandaru itupun berkata." Besok kita berangkat. Aku akan pergi ke Mataram bersama dua orang bebahu. Kau akan langsung pergi ke Tanah Perdikan bersama dua orang pengawal pilihan yang tidak akan mengecewakan bila kau menjumpai hambatan di perjalanan.
Pandan Wangi tidak menolak. Ia memang merasa bahwa ia adalah orang terbaik untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dengan tugas yang hampir tidak masuk di akalnya itu.
" Tidak ada orang lain yang pantas melakukannya " berkata Pandan Wangi kepada Ki Demang ketika mereka berbicara berdua.
" Kenapa " " bertanya Ki Demang.
" Akulah orang Sangkal Putung yang paling mengenal Ki Gede Menoreh, Sekar Mirah serta kakang Agung Sedayu selain kakang Swandaru sendiri."
"Tetapi agaknya penalaran Swandaru baru kabur."
" Tidak ada seorangpun yang dapat mengurungkan maksudnya. Ketika kami pulang dari Tanah Perdikan beberapa waktu yang lalu, aku merasa bahwa sepercik cahaya berhasil menerangi hatinnya. Pendapat Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu dapat dimengertinya. Namun, tiba-tiba keinginannya itu tumbuh kembali."
" Kau curiga bahwa ada seseorang yang mempengaruhinya "-
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Ki Demang sendirilah yang menjawab."Mungkin diantara para bebahu. Besok, setelah kalian berangkat, aku akan berbicara dengan para bebahu. Pandan Wangi mengangguk sambil menjawab " Mudah-mudahan ayah mendapatkan beberapa petunjuk meskipun sudah agak terlambat Namun bukan berarti bahwa keterangan yang ayah dapatkan itu tidak ada gunanya." Ki Demang mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian " Beristirahatlah. Besok kau akan menempuh perjalanan panjang."
" Aku akan menunggu kakang Swandaru
" Tidak usah, Pandan Wangi. Suamimu agaknya tidak akan segera pulang. Tetapi sambil tersenyum Pandan Wangipun berkata " Aku tentu tidak akan dapat tidur, ayah." Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi tidak segera pergi ke biliknya. Meskipun malam sudah menjadi semakin larut, serta Ki Demang dan seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Lewat tengah malam, Swandaru baru pulang. Ketika ia melihat Pandan Wangi membuka pintu dengan matanya yang masih bening, iapun bertanya" Kau belum tidur, Pandan Wangi."
" Belum kakang."
" Seharusnya kau beristirahat karena besok kau akan menempuh perjalanan jauh."
" Aku tidak dapat tidur mendekur didalam bilikku yang hangat sementara kakang Swandaru sibuk mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan kepergian kakang esok. Kakang Swandaru masih hilir mudik di udara malam yang dingin sepanjang jalan kademangan dalam tugas kakang bagi kademangan ini."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya tersengat oleh kesetiaan isterinya, sementara ia baru saja pulang dari rumah seorang perempuan muda di Kajoran. Wiyati memang lebih mudah dari Pandan Wangi. Lebih segar, sedikit manja. Tetapi apakah bobot kesetiaan Wiyati dapat menyamai bobol kesetiaan Pandan Wangi " Bahkan Wiyati dapat menerimanya selagi ia masih terikat dalam perkawinan dengan seorang perempuan, itu sudah merupakan cacat bagi Wiyati.
Swandaru melangkah sambil menundukkan kepalanya, sementara Pandan Wangi menutup pintu bulan dan menyelarakkan kembali.
Dengan lesu Swandarupun duduk di ruang dalam Sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa.
" Kau kenapa kakang ?"
Swandaru mengangkat wajahnya. Dahinyapun berkerut. Baru kemudian iapun menjawab " Aku tidak apa-apa, Pandan Wangi.
" Kakang nampak gelisah."
" Ya " Swandaru termangu-mangu sejenak. Disadarinya bahwa untuk menutupi sebuah kebohongan, ia harus berbohong pula"para bebahu sudah tidak sabar lagi.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah, iapun berkata " Kakang jangan terlampau menuruti keinginan mereka, tanpa mengukur kekuatan dan ketahanan tubuh kakang. Jika kakang menjadi terlampau letih dan bahkan sakit, maka segala-galanya justru akan tertunda."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu iapun berkata " Aku tidak dapat mengingkari kewajibanku."
" Kewajiban yang mana yang kakang ingkari " Kakang besok akan pergi ke Mataram. Jika kakang besok berangkat, bukankah kakang tidak ingkar akan kewajiban kakang " Haruskah kakang berbincang sampai jauh malam " Apakah itu juga menjadi bagian tugas kakang yang harus kakang lakukan sebelum kakang berangkat ke Mataram esok pagi"-
Swandaru termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab.
Pandan Wangi udak mendesaknya. Iapun kemudian berkata " Nah, sekarang, kakang harus beristirahat. Bukan hanya aku yang harus beristirahat."
Swandaru mengangguk. Demikianlah, maka keduanyapun telah masuk ke dalam bilik mereka. Tetapi keduanya tidak segera dapat memejamkan mata mereka meskipun mereka saling berdiam diri.
Baru didini hari keduanya sempat memejamkan mata mereka Tetapi hanya sebentar, karena beberapa saat kemudian, maka meretfa harus sudah bangun lagi.
Ketika langit menjadi cerah, menjelang matahari terbit, maka dua orang bebahu maka dua orang bebahu yang akan pergi bersama Swandaru ke Mataram seiia dua orang pengawal terpilih yang akan mengawal Pandan Wangi ke Tanah Perdikan Menoreh telah bersiap.
Swandaru, Pandan Wangi dan mereka yang akan menyertai mereka pergi, segera minta diri kepada Ki Demang di Sangkal Putung yang sudah menjadi semakin tua.
" Hati-hatilah. Tidak hanya disepanjang jalan. Tetapi juga di Mataram dan di Tanah Perdikan Menoreh Kalian tidak hanya sekedar berkunjung. Tetapi kalian mengemban tugas kalian masing-masing."
" Ya, ayah " Jawab, Swandaru sambil mengangguk dalam-dalam.
Pandan Wangipun Kemudian mencium tangan ayah mertuanya sambil berdesis " Doa restu ayah yang aku mohon."
" Aku akan selalu berdoa untukmu, Pandan Wangi. Kau adalah seorang perempuan panutan di Sangkal Putung "
" Pujian itu terlalu tinggi bagiku ayah."
" Menurut pendapatku, sebutan itu tepat bagimu."
" Terima kasih, ayah."
Swandaru yang mendengar pujian ayahnya terhadap Pandan Wan-gi menjadi berdebar-debar. Perasaan bersalah yang tersimpan didalam dadanya, serasa telah terungkit.
" Apakah ayah sengaja menyindir aku " Apakah ayah tahu, bahwa disamping Pandan Wangi masih ada perempuan lain didalam hidupnya?"
Terasa wajah Swandaru menjadi panas. Karena itu, maka iapun kemudian berdesis " Marilah kita berangkat, Pandan Wangi.
Demikianlah, sejenak kemudian, Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah meninggalkan kademangan Sangkal Putung. Mereka melarikan kuda mereka tidak terlalu kencang.
Hari masih pagi. Matahari baru saja terbit diujung Timur. Diwajah langit yang bersih, selembar awan yang tipis mengalir perlahan ke Utara.
Swandaru dan Pandan Wangi menyusuri jalan diantara kotak-kotak sawah yang terbentang luas dari cakrawala sampai ke cakrawala, diselingi oleh padukuhan-padukuhan yang berpencar seperti pulau-pulau kecil yang tersembul dipermukaan laut yang tenang. Namun jauh di kaki gunung, nampak hutan yang lebat membujur panjang.
Tidak banyak yang mereka bicarakan di sepanjang jalan. Swandaru masih memberikan pesan-pesan kepada Pandan Wangi, apakah yang harus dikatakan dan dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh.
" Kita tidak boleh dipengaruhi lagi oleh jalan pikiran Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu. Mungkin kita memang berbeda sikap. Tetapi Sangkal Putung telah mengambil keputusan."
" Baik, kakang "jawab Pandan Wangi. Ia tidak mempunyai pilihan lain dari jawaban itu.
" Tetapi aku tidak boleh bersikap kasar terhadap Ki Gede, terhadap Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu. Kau harus dengan sabar meyakinkan mereka seandainya mereka tetap pada pikiran-pikiran mereka yang terdahulu. Bagaimanapun juga kita perlu dukungan dari Ki Gede terutama kakang Agung Sedayu yang mempunyai hubungan yang rapat dengan Mataram. Sokurlah jika kakang Agung Sedayu sendiri sempat langsung berbicara dengan Kangjeng Panembahan Senapati yang sedang sakit itu."
*** JILID 328 "BAIK, kakang "Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berjalan lancar."
"Semoga kakang."
Iring-iringan itupun meluncur semakin cepat. Mereka sempat memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat sejenak di pinggir Kali Opak. Namun kemudian kuda-kuda merekapun segera berlari kembali melanjutkan perjalanan.
Lewat Candi Sari, Cupu Watu dan Sambisari mereka menyusuri jalan di pinggir Alas Tambakbaya yang tidak lagi menjadi ruas jalan yang sangat ditakuti disiang apalagi di malam hari. Jalan itu menjadi semakin ramai sejalan dengan perkembangan Mataram yang menjadi semakin besar.
"Pandan Wangi " berkata Swandaru kemudian " sebentar lagi kita akan berpisah. Hati-hatilah di jalan, meskipun aku percaya kepadamu, kepada kemampuan dan ilmumu serta kedua orang pengawalku yang terpercaya. Banyak kemungkinan dapat terjadi di jalan yang masih cukup panjang."
"Ya, kakang." "Jika kau harus singgah di kedai karena kedua orang pengawal-mu itu haus, pilihlah kedai yang baik, justru yang besar. Biasanya gejolak di dalam kedai terjadi justru di kedai-kedai yang tanggung. Tidak kecil, tetapi tidak juga cukup besar."
" Ya, kakang." " Sebentar lagi aku akan mengambil jalan simpang yang menuju ke Mataram."
" Apakah dari Mataram kakang tidak berniat langsung pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?"
" Tidak, Pandan Wangi. Aku harus segera kembali. Para bebahu tentu menunggu hasil perjalananku."
" Baiklah, kakang. Jika demikian aku tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan."
" Kau tidak perlu tergesa-gesa, Pandan Wangi. Kau harus berhasil meyakinkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu kau harus bersabar. Karena itu, pergunakan waktu secukupnya. Dua hari, tiga hari atau sepekan. Meskipun lambat, tetapi kau harus berhasil. Jangan memburu waktu namun justru mementahkan segala macam persoalan yang sudah matang di kademangan Sangkal Putung.
" Ya, kakang " Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi sebenarnyalah jantungnya bergejolak. Kata hatinya meronta-ronta menyesakkan dadanya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya.
Namun justru karena itu, maka terasa nafasnya menjadi sesak. Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, Swandaru memberi isyarat agar iring-iringan itu berhenti.
" Pandan Wangi " berkata Swandaru " aku akan mengambil jalan ke kiri. Kau akan berjalan terus dengan sikap yang teguh. Ingat, bahwa kelak kau akan menjadi seorang perempuan yang paling dihormati di Sangkal Putung. Jika aku berhasil, maka kau akan dihormati tidak hanya oleh rakyat sekademangan. Tetapi juga oleh kademangan-kademangan yang lain, karena kau bukan saja Nyi Demang Sangkal Putung, tetapi kau adalah Nyi Gede Swandaru di Sangkal Putung"
Pandan Wangi tersenyum. Tetapi hatinya terasa pedih seperti disayat dengan sembilu.
" Kita berpisah di sini, Pandan Wangi."
Pandan Wangi memandang Swandaru dengan kerut di dahi. Namun kemudian iapun berdesis " Kau juga harus berhati-hati, kakang."
" Kita akan berhati-hati di tugas kita masing-masing."
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanyapun berpisah. Swandaru pergi ke Mataram bersama dua orang bebahu sementara Pandan Wangi melarikan kudanya ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dua orang pengawal pilihan.
Tidak banyak yang dikatakan oleh Pandan Wangi di sepanjang jalan, sementara matahari terasa menjadi semakin membakar kulit.
Meskipun Pandan Wangi diiringi oleh dua orang pengawalnya, serta sekali-sekali bertemu pula dengan orang-orang, berkuda selain mereka yang berjalan kaki, tetapi terasa hati Pandan Wangi itu bagaikan terlepas sendiri. Sepi dalam perjalanannya yang panjang.
Sekali-sekali Pandan Wangi menengadahkan wajahnya. Terasa matanya menjadi panas dan hidungnya menjadi gatal. Tetapi Pandan Wangi tidak ingin menangis.
Selama ini Pandan Wangi bukannya perempuan yang manja. Ia adalah perempuan yang percaya akan dirinya sendiri. Ilmunyapun cukup tinggi. Ia tidak merasa sangat tergantung kepada suaminya.
Tetapi ketika suaminya memacu kudanya menempuh jalan yang berbeda, maka rasa-rasanya Pandan Wangi berada di sebuah gurun yang gersang seorang diri mengemban kewajiban yang terasa sangat berat membebaninya.
Diluar sadarnya, Pandan Wangi mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya.
" Kenapa kakang Swandaru itu telah berubah " " pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul direlung hatinya.
Swandaru itu tidak lagi mau mendengarkan pendapatnya, bahkan pendapat Ki Demang Sangkal Putung, ayah Swandaru yang sangat dihormatinya.
" Apa yang terjadi dengan kakang Swandaru " " bertanya Pandan Wangi kepada dirinya sendiri " ia tidak lagi seperti kakang Swandaru sebelumnya. Ia jarang berada di rumah. Hanya sekali-sekali sempat makan bersama dan berbincang sedikit. Kalimat-kalimatnya menjadi pendek dan sekedar di permukaan. Kakang Swandaru tidak lagi sering bergurau dengan anaknya yang tumbuh semakin besar."
Pandan Wangi merasa nafasnya menjadi semakin sesak. Tetapi ia tidak menarik kendali kudanya. Kudanya masih saja berlari kencang menuju Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika keringat terasa membasahi punggungnya. Pandan Wangi sempat mengingat kedua orang pengawalnya yang tentu juga merasa haus. Karena itu, maka iapun memperlambat kudanya dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawalnya yang berkuda dibclakangnya untuk mendekat disebelahnya.
" Kita akan berhenti sebentar"berkata Pandan Wangi.
" Untuk apa Nyi " Apakah ada sesuatu yang harus kita lakukan segera" "
" Ya." "Apa Nyi." " Memberi kesempatan kuda kita beristirahat. Mungkin kuda-kuda kita haus. Tetapi mungkin kita sendiri juga haus. "
"O " pengawalnya mengangguk-angguk " terserah saja kepada Nyi Swandaru. "
Ketiganyapun kemudian telah berhenti di sebuah kedai yang cukup besar. Beberapa orang telah berada di dalam kedai itu. Sekelompok laki-laki yang duduk ditengah-tengah kedai itu berpaling memandang Pandan Wangi dan dua orang pengawalnya yang masuk dan kemudian duduk disudut.
" Seorang diantara mereka bertiga adalah perempuan " desis salah seorang laki-laki yang duduk ditengah kedai itu.
"Ya. Cantik lagi. Wajahnya yang terbakar panas matahari membuatnya menjadi seorang perempuan yang nampak matang. "
Kawan-kawannya tertawa. Pandan Wangi dan kedua orang pengawalnya sempat berpaling. , Mereka sadar, bahwa beberapa orang laki-laki itu sedang memandangi Pandan Wangi. Bahkan mereka agaknya sedang membicarakan dan mentertawakannya pula.
Pandan Wangi menundukkan wajahnya. Ia sudah menuruti pesan suaminya untuk memilih kedai yang besar. Tetapi agaknya masih saja ada orang-orang yang tertarik kepada kehadirannya.
Tetapi Pandan Wangi mencoba untuk tidak menghiraukannya. Ia-pun kemudian memesan minuman dan makanan bagi dirinya sendiri serla kedua orang pengawalnya.
Ketika makanan dan minuman yang dipesannya sudah dihidangkan, maka sekali lagi jantung Pandan Wangi telah diusik oleh kesepian yang mencengkam. Ketika ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh sebelumnya, ia singgah disebuah kedai bersama suaminya. Meskipun Pandan Wangi memiliki kemampuan yang tinggi, tetapi ia merasa tenang berada disisi suaminya.
Kini ia merasa seakan-akan berada didalam kedai itu sendiri. Meskipun ada dua orang pengawalnya, namun kehadiran mereka hanya sekedar kebersamaan kewadagan. Tetapi hati Pandan Wangi tetap saja merasa sendiri.
Ketika Pandan Wangi menghirup minuman hangat, maka rasa-rasanya hambar sekali. Apalagi ketika ia mulai menyuapi mulutnya dengan makanan yang dipesannya.
Pandan Wangi ternyata tidak dapat menghabiskan makan yang dipesannya. Kedua pengawalnya yang semula tidak memperhatikannya kemudian melihat bahwa Pandan Wangi berhenti makan meskipun makan yang dipesannya itu baru sedikit sekali dimakannya.
"Kenapa Nyi " " bertanya pengawalnya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Seleraku telah hilang. "
" Kenapa" "
"Orang-orang itu sangat menggangguku. "
"Jika demikian, aku usir saja mereka. "
" Jangan. Jangan " cegah Pandan Wangi dengan serta merta "-kita tidak dapat berbuat semena-mena. Ini adalah kedai yang terbuka untuk siapa saja. "
"Tetapi mereka mengganggu kita. "
"Tidak. Mereka tidak sengaja mengganggu kita.-
Kedua orang pengawal itupun saling berpandangan sejenak. Namun Pandan Wangipun berkata " Makanlah. Jangan terpengaruh aku.
Kedua pengawalnya mengangguk. Merekapun kemudian melanjutkan makan mereka sampai butir nasi yang terakhir.
"Jika kalian ingin lagi, mintalah. "
Kedua pengawalnya tertawa. Seorang diantara mereka berkata " Nanti lambungku sakit jika aku terlalu kenyang, sementara kudaku lari kencang. "
Pandan Wangipun tersenyum.
Namun mereka bertiga diluar sadar telah berpaling lagi ketika mereka mendengar beberapa orang laki-laki itu tertawa.
Namun sekali lagi Pandan Wangi berkata kepada para pengawalnya "Jangan berbuat apa-apa. "
" Jika saja Ki Swandaru ada disini. "
" Kakang Swandaru juga tidak akan berbuat apa-apa. " Pengawal itupun terdiam.
Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi dan kedua pengawalnya-pun telah bangkit berdiri. Setelah membayar harga makanan dan minuman mereka, maka keliganyapun keluar dari kedai itu.
Mereka masih mendengar beberapa orang laki-laki itu tertawa. Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya.
Beberapa saat kemudian, Pandan Wangi dan kedua orang pengawalnya telah memacu kuda mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi suara tertawa beberapa laki-laki itu masih saja terngiang. Mereka seakan-akan mentertawakannya, bahwa ia tidak pergi bersama suaminya. Tetapi suaminya telah mempercayakannya kepada orang lain menempuh perjalanan jauh.
" Apa kerja suaminya " pertanyaan itu mencuat dari dasar jantungnya.
Pandan Wangi mencoba mengerti, bahwa suaminya sedang mengemban tugas yang sangat penting menurut pendapat suaminya itu.
" Sekar Mirah juga terlalu sering sendiri, karena kakang Agung Sedayu harus melaksanakan tugas dimana-mana " berkata Pandan Wangi didalam hatinya, untuk meyakinkan dirinya, bahwa sendiri termasuk kewajibannya karena suaminyapun mengemban tugas yang sangat penting. .
Ketika Pandan Wangi itu memandang jalan yang akan dilaluinya, maka rasa-rasanya jalan ilu sangat panjang. Sementara panas matahari menjadi semakin terik. Ia tidak merasakan lagi kehadiran kedua orang pengawalnya. Bahkan ia tidak mendengar lagi derap kaki kuda mereka.
Pandan Wangi itu menengadahkan wajahnya kelangit. Dilihatnya awan putih yang tipis mengambang jauh discbclah Barai.
Jalan itu tiba-tiba terasa asing bagi Pandan Wangi. Ngarai yang panjang itu terasa semakin sepi.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi itu memohon didalam hatinya " Yang Maha Agung. Bimbinglah aku. Aku tidak dapat jalan sendiri. "
Pandan Wangi terkejut ketika seorang pengawalnya melarikan kudanya merapat sambil berdesis"Nyi. Apakah kita terlalu tergesa-gesa"
"Kenapa" "
" Nyi Swandaru memacu kuda kencang sekali. Kuda kami tidak sebaik kuda Nyi Swandaru. Jika Nyi Swandaru berpacu lebih cepat lagi, maka kami akan segera tertinggal. "
Pandan Wangi baru menyadari bahwa kudanya berlari semakin lama semakin cepat. Karena itu, maka iapun mulai menarik kekangnya perlahan-lahan, sehingga kudanya berlari semakin lama semakin lambat. Bahkan kemudian berhenti sama sekali.
"Nyi " desis seorang diantara kedua pengawalnya " bukankah Nyi Swandaru tidak apa-apa " "
" Tidak. Aku tidak apa-apa "jawab Pandan Wangi sambil memandang jalan yang terbentang dihadapannya.
Kedua pengawalnya itu nampak ragu-ragu. Tetapi mereka tidak berkata apa-apa lagi.
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Jalan yang panjang itu tidak lagi terasa asing baginya. Ia tahu, bahwa setelah mereka melewati padukuhan diseberang bulak yang luas itu, terdapat sebuah bulak sempit langsung sampai ke tepian Kali Praga yang berpasir.
Sekali lagi Pandan Wangi menengadahkan wajahnya ke langit-Lalu katanya " Marilah. Kita melanjutkan perjalanan. Kiia sudah hampir sampai di tepian Kali Praga. "
" Ya Nyi." " Kuda ini kadang-kadang memang ingin berpacu.
Kedua pengawalnya mengangguk-angguk.
Ketiga orang itupun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Pandan Wangi mengendalikan kudanya dengan penuh kesadaran, sehingga kudanya tidak berlari semakin lama semakin kencang.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke tepian. Mereka harus menunggu sebuah rakit yang masih berada di tengah-tengah sungai, karena rakit yang mulai bergerak menyeberang sudah penuh dengan penumpang yang datang lebih dahulu.
Tetapi mereka tidak menunggu terlalu lama. Rakit itupun segera merapat dan Pandan Wangi serta kedua orang pengawalnyapun segera naik.
Ketika mereka turun disebelah Barat Kali Praga, maka Pandan Wangipun menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang sejuk sekali menghirup udara di Tanah Perdikan Menoreh.
" Kita sudah sampai di Tanah Perdikan Menoreh " desis Pandan Wangi " meskipun untuk sampai ke padukuhan induk, kita masih memerlukan beberapa waktu lagi. "
Kedua pengawalnyapun mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata " Tanah Perdikan Menoreh adalah sebuah Tanah Perdikan yang terhitung besar Nyi. "
" Ya. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh juga selalu sibuk dengan kerjsa seperti orang-orang Sangkal Putung. "
" Sangkal Putung akan menjadi semakin sejahtera jika sudah menjadi sebuah Tanah Perdikan seperti Menoreh " berkata salah seorang pengawalnya.
Pandan Wangi menarik nafas panjang. Agaknya keinginan untuk meningkatkan kedudukan Sangkal Putung itu sudah merasuk kedalam hati rakyatnya
Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun berkuda menyusuri jalan-jalan bulak di Tanah Perdikan Menoreh menuju padukuhan induk.
Kedatangan Pandan Wangi telah mengejutkan Ki Gede Menoreh. Belum lama Pandan Wangi dan Swandaru datang berkunjung. Kemudian tiba-tiba saja Pandan Wangi telah datang kembali, tetapi tidak dengan suaminya.
" Mari, marilah Pandan Wangi " Ki Gede mempersilahkan dengan dada yang berdebaran.
Pandan Wangi memaksa bibirnya untuk tersenyum. Diserahkannya kudanya kepada seorang pembantu di rumah ayahnya dan dituntunnya langsung kebelakang. Sementara kedua orang pengawalnya menambatkan kuda mereka di patok yang telah disediakan disebelah pendapa.
Pandan Wangipun telah mengajak kedua orang pengawalnya untuk naik kependapa dan duduk di pringgitan bersamanya ditemui oleh ayahnya.
" Kedatanganmu membuat jantungku berdebar-debar, Pandan Wangi. Belum lama kau baru saja datang ke Tanah Perdikan ini bersama suamimu. Sekarang kau datang lagi tanpa suamimu."
Pandan Wangi tertawa. Katanya " Tidak ada apa-apa ayah. Aku memang membawa pesan suamiku. Tetapi tidak terlalu penting, sehingga ayah tidak usah menjadi gelisah."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Sokurlah jika tidak ada persoalan apa-apa. Orang tua kadang-kadang memang terlalu cepat menjadi cemas."
Pandan Wangi tertawa. Sambil memandang kedua pengawalnya berganti-ganti Pandan Wangipun berkata"Nah, kalian tentu sering juga mencemaskan anak-anak kalian."
" Ya. Nyi." " Sekarangpun kadang-kadang aku merasa sangat cemas jika anakku bermain sendiri di halaman.
Kedua orang pengawalnyapun tertawa.
Sejenak kemudian, kepada Pandan Wang! dan kedua orang pengawalnya telah dihidangkan minuman dan makanan. Sementara itu Ki Gede tidak memaksa Pandan Wangi untuk mengatakan keperluannya, meskipun Pandan Wangi mengatakan bahwa ia telah membawa pesan suaminya.
"Jika sampai waktunya, Pandan Wangi akan mengatakannya " berkata Ki Gede didalam hatinya " bahkan Ki Gedepun juga menduga bahwa pesan itu tidak perlu didengar oleh kedua orang pengawalnya
Karena itu, yang kemudian mereka bicarakan adalah keselamatan masing-masing. Keselamatan perjalanan Pandan Wangi dan kedua orang pengawalnya serta keselamatan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun kemudian Pandan Wangipun telah bangkit sambil berkata kepada ayahnya"Aku akan pergi kebelakang ayah."
" Pergilah. Biarlah gandok sebelah kanan itu nanti dibersihkan. Biarlah Ki Sanak berdua ini beristirahat di gandok itu."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, kedua orang pengawal Pandan Wangi itupun telah dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah kanan.
" Kita akan berada di sini beberapa hari " berkata Pandan Wangi kepada kedua pengawalnya itu.
Sejak mereka berangkat, kedua pengawalnya itupun sudah mengetahuinya, bahwa mereka tidak akan segera pulang. Mereka akan bermalam di Tanah Perdikan, mungkin dua malam, mungkin tiga malam, bahkan mungkin sepekan.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang sudah mendapat pesan dari Swandaru agar tidak tergesa-gesa, tidak segera mengatakan pesan itu kepada Ki Gede. Sementara Ki Gedepun tidak merasa perlu untuk tergesa-gesa bertanya, meskipun sebenarnya Ki Gede ingin segera tahu, pesan apa yang telah dibawa oleh Pandan Wangi, sehingga Pandan Wangi harus pergi sendiri ke Tanah Perdikan Menoreh, hanya diiringi oleh dua orang pengawalnya saja.
Ketika malam turun, maka seorang pembantu Ki Gede telah menghidangkan makan malam kedua pengawal Pandan Wangi itu di serambi samping.
Pandan Wangi sendiri sempat menunggui sejenak. Namun kemudian Pandan Wangi itupun berkata " Silahkan. Jangan malu. Makanlah seperti di rumah sendiri."
Kedua pengawalnya tersenyum. Seorang diantara mereka berkata "Terima kasih Nyi. Nyi Pandan Wangi sendiri tidak makan."
"Ayah minta aku makan bersamanya."
"O"pengawal itu mengangguk-angguk."
Ketika kemudian Pandan Wangi meninggalkan mereka, ternyata keduanya merasa lebih bebas untuk makan seperti di rumah sendiri.
Dalam pada itu, seperti yang dikatakannya, Pandan Wangi duduk di ruang dalam bersama ayahnya menghadapi makan malamnya.
" Makanlah " berkata ayah Pandan Wangi.
" Ya, ayah." "Bagaimana dengan kedua orang pcegawalmu ?" "Mereka makan di serambi."
" Apakah masakan di Tanah Perdikan ini sesuai dengan lidah mereka ?"
"Tentu sesuai ayah. Tidak ada yang berbeda."
"Sokurlah " berkata ayahnya kemudian.
Pada saat mereka makan, Ki Gede sama sekali tidak menyinggung tentang pesan yang dibawa oleh Pandan Wangi, la tidak ingin merusak selera makan anaknya seandainya pesan yang dibawanya iiu mengandung sedikit gejolak.
Baru kemudian, setelah mereka selesai makan, serta mangkuk-mangkuk, ceting, tenong dan parabol yang lain telah disingkirkan, serta tikar tempat duduk mereka sudah dibersihkan, tanpa ditanya, Pandan Wangi itupun berkata " Ayah. Aku memang membawa, sedikit pesan dari kakang Swandaru."
" Pesan apa ?" bertanya Ki Gede.
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ayahnya dengan kerut di dahi. Namun Pandan Wangi itupun kemudian menundukkan kepalanya sambil berkata - Sebenarnya aku tidak sampai hati mengatakan kepada ayah. Tetapi jika aku tidak menyampaikannya, maka kakang Swandaru akan menjadi sangat kecewa.
" Kenapa kau tidak sampai hati, Pandan Wangi katakan apa yang harus kau katakan kepadaku."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Gedepun menjadi berdebar-debar.
"Jika kau tidak mengatakannya, Pandan Wangi, maka aku justru akan menjadi selalu gelisah."
"Maaf, ayah. Aku tidak ingin menggelisahkan ayah."
"Jika demikian, katakan pesan suamimu itu, bagaimanapun bunyinya dan apapun maksudnya.
Pandan Wangi justru menjadi semakin bimbang. Namun seperti kata ayahnya, jika ia tidak segera mengatakannya, ayahnya tentu akan menjadi selalu gelisah.
"Ayah - berkata Pandan Wangi kemudian - sebenarnyalah bahwa aku membawa pesan kakang Swandaru."
Ki Gede tidak menyahut Tetapi ia menunggu Pandan Wangi berbicara lebih lanjut
" Pesan kakang Swandaru sebenarnya tidak masuk akal. Tetapi aku harus mengatakannya.
"Katakan," " Ayah. Kakang Swandaru telah mengusulkan kepada Kangjeng Panembahan Senapati, agar kademangan Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
" He"- Ki Gede memang terkejut Bahkan hampir tidak percaya kepada pendengarannya.
" Yang kau maksud Swandaru mohon kepada Kangjeng Panembahan Senapati agar Sangkal Putung dijadikan sebuah Tanah Perdikan" -Ya, ayah."
"Dan permohonan itu sudah disampaikan ke Mataram
" Sudah ayah. Tadi pagi aku dan kakang Swandaru berangkat bersama-sama dari rumah. Tetapi kakang Swandaru langsung pergi ke Mataram. Sedang aku pergi menghadap ayah."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun Ki Gede itu kemudian justru menundukkan wajahnya.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Mereka mengikuti arus perasaan mereka masing-masing.
Baru beberapa saat kemudian Pandan Wangipun berkata - Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya, ayah."
"Sayang. Aku tidak tahu sebelumnya."
" Siapapun tidak akan didengarnya. Ki Demang di Sangkal Putung juga tidak"
" Swandaru memang tidak harus dicegah. Tetapi ia harus mendapat pertimbangan yang masuk di akalnya, bahwa bukan seharusnya ia mengajukan permohonan agar kademangan Sangkal Putung ditingkatkan menjadi sebuah Tanah Perdikan,
" Ayah - berkata Pandan Wangi - ketika aku dalang kemari bersama kakang Swandaru beberapa waktu yang lalu, sebenarnyalah bahwa kami memang ingin mohon pertimbangan, apakah Sangkal Putung pantas untuk menjadi sebuah Tanah Perdikan."
"Kenapa kalian tidak mengatakannya" Jika pada waktu itu kalian menyampaikannya kepadaku, maka aku akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mungkin dapat mengurungkan niat Swandaru."
"Pada waktu itu, Kakang Swandaru sudah menyampaikan keinginannya itu kepada Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ternyata keduanya berhasil meredam niat kakang Swandaru. Keduanya berhasil meyakinkan kakang Swandaru, bahwa keinginannya itu bukanlah keinginan yang wajar. Jika hal itu didasarkan kepada pengabdian yang sangat besar yang diberikan oleh Sangkal Putung, maka akan dapat diambil kesimpulan, bahwa pengabdian yang diberikan oleh Sangkal Putung itu adalah pengabdian yang mengandung pamrih."
"Aku sependapat dengan Ki Lurah dan Nyi Lurah.
" Kakang Swandarupun dapat mengerti. Karena itu, maka kakang Swandaru menyatakan untuk membatalkan niatnya. Bahkan kakang Swandaru merasa malu dengan keinginannya itu. Meskipun ia tidak berterus-terang, tetapi sikap dan kata-katanya menunjukkan hal itu. Karena itu, maka kakang Swandaru membatalkan pula niatnya untuk minta pertimbangan kepada ayah."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Tetapi kenapa tiba-tiba Swandaru berubah lagi sikapnya?"
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya - Aku tidak tahu, ayah. Rasa-rasanya memang ada pengaruh yang sangat kuat yang mengendalikan sikap, tingkah laku dan bahkan keputusan-keputusan yang diambil oleh kakang Swandaru. Aku dan bahkan Ki Demang Sangkal Putung tidak lagi mampu menggoyahkan niatnya itu."
" Apakah kau pernah bertanya kepada suamimu, siapakah yang mendorongnya untuk melakukannya?"
" Menurut kakang Swandaru, para bebahu Sangkal Putung atas nama rakyat Sangkal Putung selalu mendesaknya. Mereka tidak sabar lagi. Rasa-rasanya mereka tidak dapat menunggu sampai esok pagi.
" Kau pernah berbicara dengan salah seorang dari mereka" - Pandan Wangi menggeleng. Katanya - Belum ayah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata -Pandan Wangi. Ada baiknya kau tahu, bebahu yang manakah yang memaksa Swandaru untuk segera pergi ke Mataram. Tentu bukan semua bebahu. Jika dapat kau ketahui, maka kau setidak-tidaknya akan dapat menilai, apakah latar belakang dari tindakannya itu. Apakah ia benar-benar merindukan sebuah Tanah Perdikan atau ada alasan lain sehingga ia seakan-akan memaksa Swandaru untuk pergi ke Mataram segera. Bahkan melakukan satu langkah yang tidak masuk akal.
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Sambil mengingat-ingat iapun berkata - Seingatku, Ki Demang Sangkal Putungpun berniat untuk berbicara dengan para bebahu. Mungkin Ki Demang juga ingin mengetahui, siapakah yang telah mendorong kakang Swandaru sehingga kakang Swandaru sampai pada satu langkah yang tidak sewajarnya itu."
" Mudah-mudahan Ki Demang dapat menemukannya - Ki Gedepun mengangguk-angguk.
" Mudah-mudahan ayah - suara Pandan Wangi menjadi semakin lemah.
. " Sudahlah - berkata Ki Gede - jangan terlalu kau risaukan. Pada saatnya Swandaru tentu akan menemukan jalan kembali ke akal sehatnya.
Pandan Wangi mengangguk kecil. Namun kemudian katanya -Ayah. Kecuali aku harus memberitahukan permohonan kakang Swandaru kepada Kangjeng Panembahan Senapati, kakang Swandaru juga mohon dukungan dari Tanah Perdikan Menoreh."
" Dukungan" Apa maksudnya" Apakah aku juga harus menghadap Kangjeng Sultan dan menyatakan dukungan Tanah Perdikan Menoreh terhadap permohonan kademangan Sangkal Putung itu?"
" Itu adalah salah satu cara yang dimaksud oleh kakang Swandaru. Tetapi mungkin Kangjeng Panembahan Senapati justru memanggil ayah dan bertanya apakah Tanah Perdikan Menoreh setuju atau tidak atas permohonan kademangan Sangkal Putung itu."
" Itupun mustahil. Kangjeng Panembahan Senapati tidak akan memanggil aku untuk membicarakannya. Aku hanya seorang Kepala Tanah Perdikan yang tidak berarti apa-apa bagi Mataram."
" Menurut penalaran kakang Swandaru, ayah adalah mertua kakang Swandaru, anak Demang Sangkal Putung."
" Tetapi aku adalah orang yang jauh dari istana Mataram. Bukan saja jarak Tanah Perdikan ini dari istana. Tetapi aku bukan orang yang sering diminta pendapatnya oleh Kangjeng Panembahan Senapati. Bahkan untuk satu persoalan panembahan Senapati tidak akan pernah ingat kepadaku. Apalagi minta pertimbangan-pertimbangan."
" Aku mengerti, ayah. Tetapi agaknya kakang Swandaru mempunyai perhitungan lain. Mungkin Kakang Swandaru menganggap bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah menunjukkan pengabdian yang besar terhadap Mataram. Sementara itu Ki Gede mempunyai pengalaman yang luas tentang pemerintahan atas sebuah Tanah Perdikan. Kecuali itu, seperti yang aku katakan, Ki Gede adalah mertua kakang Swandaru yang atas nama rakyat Sangkal Putung mohon agar Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pandan Wangipun berkata - Selain kepada ayah, kakang Swandarupun minta agar aku berbicara lagi dengan kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Meskipun pada pertemuan antara kakang Swjdndaru dengan kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah terdahulu, kakang Swandaru menyadari kekeliruannya, namun sekarang aku diminta oleh kakang Swandaru untuk minta dukungan kepada kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Kakang Swandaru tahu, bahwa kakang Agung Sedayu sering dipanggil menghadap Ki Patih Mandaraka, bahkan oleh Panembahan Senapati sendiri dalam keperluan yang khusus. Kakang Swandaru berharap agar kakang Agung Sedayu dapat menyampaikan kepada Ki Patih Mandaraka dukungannya itu. Selanjutnya Kakang Swandaru berharap bahwa Ki Patih Mandaraka akan meneruskannya kepada Kangjeng Panembahan Senapati."
" Mimpi suamimu menjadi semakin ngelantur. Tetapi agaknya Swandaru akan kecewa. Apalagi sekarang Panembahan Senapati sedang sakit. Bagaimana mungkin Panembahan Senapati dapat mengambil keputusan terhadap kademangan Sangkal Putung. Karena untuk menetapkan satu lingkungan menjadi sebuah Tanah Perdikan itu diperlukan pertimbangan dari berbagai sudut. Selain itu, adalah jarang sekali, bahkan aku belum pernah mengetahui, sebuah Tanah Perdikan yang ditetapkan atas permohonan lingkungan itu sendiri."
Pandan Wangi tidak menyahut Ia hanya menundukkan kepalanya saja.
" Nah, Pandan Wangi. Seperti aku katakan tadi. Kau jangan terlalu risau karena sikap suamimu itu. Beristirahatlah. Sebaiknya besok kau temui Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
" Ya, ayah. Besok aku akan pergi ke rumahnya."
" Sekarang tidurlah. Kedua orang pengawalmu sudah berada di-dalam biliknya di gandok."
"Ya, ayah." Pandan Wangi itupun kemudian bangkit dan pergi ke biliknya. Tetapi meskipun Pandan Wangi itu membaringkan dirinya dipem-baringan, namun ia tidak segera dapat memejamkan matanya.
Bahkan bagi Pandan Wangi, malam terasa terlampau panjang.
Baru lewat tengah malam, Pandan Wangi terlena beberapa saat.
Pagi-pagi benar seperti kebiasaannya di Sangkal Putung, Pandan Wangi sudah bangun.
Tetapi Pandan Wangi tidak tergesa-gesa pergi ke rumah Agung Sedayu. Ia ingin menemui Sekar Mirah justru setelah Agung Sedayu berangkat ke barak.
" Apakah kau tidak ingin menemui Ki Lurah " Meskipun kau tidak akan sempat berbicara tentang pesan Swandaru, tetapi dengan demikian, Ki Lurah tahu, bahwa kau ada disini."
" Nanti saja ayah. Aku tidak ingin mengganggunya. Jika aku datang pagi-pagi, mungkin ia akan pergi lebih siang dari kebiasaannya. Biarlah aku menemui Sekar Mirah saja lebih dahulu."
"Kau baru akan bertemu Ki Lurah sore nanti."
"Aku tidak tergesa-gesu, ayah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Kau dapat menemuinya sore nanti."
" Aku akan pergi ke rumah Sekar Mirah nanti di saat matahari naik sepenggalah. Tetapi aku tidak akan pulang lebih dahulu dan kembali lagi menemui kakang Agung Sedayu.
"Jadi kau akan menunggu sampai Ki Lurah pulang ?"
" Ya, ayah."

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Gedepun mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah. Kau dapat berbicara lebih dahulu dengan Nyi Lurah."
Sebenarnyalah, Pandan Wangi menunggu sampai matahari naik. Baru kemudian ia minta diri kepada ayahnya untuk pergi ke rumah Agung Sedayu.
" Apakah kedua orang pengawal dari Sangkal Putung itu akan kau ajak ?"
"Tidak, ayah. Biarlah ia berada di sini."
Ketika kemudian Pandan Wangi pergi, maka iapun berpesan kepada kedua pengawalnya, agar mereka menunggu saja di rumah Ki Gede.
Kedua pengawalnya mengangguk. Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka merasa gelisah juga. Mereka tidak terbiasa duduk berdiam diri sehari suntuk.
Tetapi mereka tidak dapat membantah.
Ketika sinar matahari telah terasa gatal dikulit, Pandan Wangipun pergi seorang diri ke rumah Sekar Mirah. Disepanjang jalan Pandan Wangi sempat merenungi niat suaminya yang tidak masuk akal itu. Semakin lama jantungnya terasa semakin berdebaran. Bahkan Pandan Wangi itupun mulai bertanya-tanya " Siapakah yang telah menggerakkan hati kakang Swandaru, sehingga ia melangkah sedemikian jauhnya dari garis penalaran?"
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat menemukan jawabnya. Bahkan ia menjadi semakin berdebaran. Dicobanya untuk mengingat para bebahu seorang demi seorang. Siapakah yang kira-kira telah menjerumuskan Swandaru kedalam langkah yang tidak sewajarnya itu.
Tetapi Pandan Wangi tidak menemukannya. Menurut pengenalannya, para bebahu di Sangkal Putung bukanlah orang-orang yang berpendirian dan bersikap keras. Mungkin mereka setuju dan bahkan menginginkan Sangkal Putung mendapat tingkat kedudukan yang lebih tinggi. Tetapi rasa-rasanya tidak ada diantara mereka yang berani mendorong Swandaru untuk pergi ke Mataram.
Kedua orang bebahu yang pergi bersama Swandaru ke Matarampun bukan jenis orang-orang yang berpijak pada keinginan yang berlebihan. Mereka cenderung untuk bersikap lunak menanggapi persoalan-persoalan yang berkembang di kademangan mereka.
"Lalu siapa?" Pandan Wangi mencoba menelusuri orang-orang yang dekat dengan Swandaru. Ia mencoba untuk mengingat sifat dan watak beberapa orang Demang di kademangan-kademangan yang lebih kecil dari kademangan Sangkal Putung. Para Demang itu bukan pula orang-orang yang dipacu oleh keinginan-keinginan yang melonjak-lonjak.
" Lalu siapa ?" pertanyaan itu berulang kali melintas di kepalanya
Pandan Wangi mengerutkan dahinya, ketika ia teringat seseorang yang dikenal dekat dengan Swandaru. Terlalu dekat. Orang itu adalah Ki Ambara.
Tetapi tidak mungkin. Ia adalah seorang pedagang kuda. Ia tidak mempunyai kepentingan lain dari mendapat keuntungan dari kuda-kudanya yang dibeli oleh Swandaru.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan-pertanyaan yang membelit jantungnya itu membuat nafasnya menjadi sesak. Bahkan Pandan Wangi menjadi sangat bersedih bahwa suaminya telah menempuh jalan yang tidak sepantasnya.
Pandan Wangi yang merenung itu terkejut ketika seorang perempuan menyapanya Pandan Wangi mencoba untuk menjawabnya dengan ramah. Dengan senyum dibibir dan dengan jawaban-jawaban yang ceria.
Tetapi demikian orang itu beranjak pergi, maka wajah Pandan Wangipun kembali menjadi buram.
Ketika ia sampai di depan regol halaman rumah Agung Sedayu, terasa hatinya seperti di tusuk dengan duri. Pedih sekali.
Dengan agak ragu Pandan Wangi memasuki rcgol halaman rumah Agung Sedayu. Yang mula-mula dilihatnya adalah seorang laki-laki remaja yang berada di rumah itu pula. Sukra.
" Nyi"suara Sukra terputus.
" Apakah Nyi Lurah ada ?" bertanya Pandan Wangi.
" Ada Nyi. Ada. Silahkan duduk di prmggitan. Aku akan memanggilnya.
Ketika Sukra masuk ke longkangan lewat pintu seketeng, maka Pandan Wangipun segera naik ke pendapa. Iapun kemudian duduk dipringgitan seorang diri. Beberapa saat ia menunggu Sekar Mirah keluar dari ruang dalam.
" Aku merasa iri " berkata Pandan Wangi didalam hatinya " Sekar Mirah dapat menikmati hidup yang tenang. Suaminya seorang yang menempatkan diri pada jalur jalan yang memberikan kebanggaan bagi kehidupan keluarganya. "
Tiba-tiba mata Pandan Wangi itu menjadi basah. Ia tidak menyesal telah memilih Swandaru menjadi suaminya. Tetapi ia menyesal kenapa tingkah laku suaminya telah membuatnya sangat gelisah. Bukan untuk yang pertama kali. Tetapi kali ini Pandan Wangi benar-benar merasa tersudut ke dalam satu kehidupan yang penuh dengan gejolak. "
Pandan Wangi itu mengusap matanya.
Namun tiba-tiba saja pintu pringgitan terbuka. Sekar Mirah berdiri di pintu dengan wajah yang cerah.
"Pandan Wangi "
Pandan Wangi yang terkejut itu berusaha untuk menghapus kesan di wajahnya. Dengan serta-merta iapun bangkit. Dipaksanya bibirnya tersenyum sambil berdesis " Sekar Mirah. "
Namun suaranya tidak seceria Sekar Mirah. Bahkan terasa suaranya itu tersangkut di kerongkongan.
Betapapun Pandan Wangi berusaha menghapus kesan pahit di wajahnya, namun Sekar Mirahpun sempat menangkapnya. Sehingga karena itu, maka dahi Sekar Mirah itupun telah berkerut.
Ternyata Pandan Wangi yang mencoba bertahan itu, tidak lagi mampu menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja ia berlari memeluk Sekar Mirah.
"Apa yang terjadi Pandan Wangi " " desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi tidak dapat segera menjawab. Tangisnyalah yang kemudian meledak. Air matanya mengalir dengan deras membasahi bahu Sekar Mirah.
Sekar Mirah tidak mempersilahkan Pandan Wangi duduk di pringgitan. Tetapi Sekar Mirahpun kemudian membimbingnya masuk ke ruang dalam.
" Tenanglah Pandan Wangi. Duduklah. Katakan, apa yang teluh terjadi. Mungkin akan dapat sedikit memperingan beban yang harus kau pikul."
Pandan Wangi pun kemudian duduk diruang dajam bersama Sekar Mirah. Dengan lembut Sekar Mirah itu pun bertanya " Ada apa Pandan Wangi. Nampaknya ada sesuatu yang menggores dan meninggalkan luka di hatimu."
Pandan Wangi mencoba menenangkan hatinya. Beberapa kali ia mengusap air matanya. Tetapi air mata itu masih saja mengalir dari pelupuknya.
Namun disela-sela isaknya Pandan Wangi itupun berkata " Aku menjadi semakin tidak mengerti tentang suamiku, Sekar Mirah. "
" Kenapa " Apa yang terjadi dengan kakang Swandaru " "
" Sekar Mirah. Kakang Swandaru tidak benar-benar membatalkan niatnya untuk mengajukan permohonan kepada Mataram, agar Kademangan Sangkal Putung ditetapkan menjadi Tanah Perdikan.
" He " Sekar Mirah memang terkejut Apalagi Pandan Wangi menyampaikannya dengan serta-merta. Katanya kemudian " Bukankah kakang Swandaru telah bersedia menarik kembali gagasannya untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung dijadikan sebuah Tanah Perdikan" "
" Ya " Pandan Wangi mengangguk " dalam satu dua hari, kakang Swandaru juga kelihatan tenang. Ia tidak lagi nampak sibuk dan gelisah, justru karena ia sudah meletakkan niatnya itu. Namun tiba-tiba niat itu telah tumbuh lagi. Demikian tiba-tiba dan bahkan menjadi lebih subur dari yang pernah dipatahkannya itu. "
"Kenapa" "
"Nampaknya ada yang telah mempengaruhinya. Demikian kuatnya pengaruh itu, sehingga kakang Swandaru telah kehilangan akal sehatnya."
"Lalu kau tinggalkan kakang Swandaru " "
" Tidak, Sekar Mirah. Aku tidak meninggalkannya dalam keadaan yang rawan itu. Tetapi kakang Swandarulah yang memerintahkan aku untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh. "
"Atas perintah kakang Swandaru " "
" Ya. Kakang Swandaru minta aku menghubungi ayah dan kakang Agung Sedayu. "
"Untuk apa" "
" Kakang Swandaru perlu dukungan. Kakang Swandaru memerintahkan aku untuk minta Ki Gede mendukung jika saja Panembahan Senapati minta pendapatnya. Sementara itu, kakang Swandaru minta agar kakang Agung Sedayu bersedia pergi Ke Mataram menghadap Ki Patih Mandaraka atau bahkan Panembahan Senapati sendiri untuk menyatakan dukungannya terhadap permohonan kakang Swandaru. "
"O "Pandan Wangi berdesah " tentu ada yang telah mempengaruhinya. "
" Ya. Tetapi siapa " Aku tidak yakin jika para bebahu mempunyai pengaruh begini besar terhadap kakang Swandaru. "
" Apakah kau tidak dapat menduganya " "
Pandan Wangi menggeleng. Katanya " Tidak Sekar Mirah. Namun Ki Demang akan berusaha mencari orang yang telah mempengaruhinya itu selama aku dan kakang Swandaru pergi. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya - Mudah-mudahan ayah berhasil. Jika ayah berhasil, mungkin sekali ayah akan dapat meredakan gejolak perasaan kakang Swandaru lewat orang yang telah mempengaruhinya itu."
" Mudah-mudahan, Sekar Mirah. Tetapi mungkin Ki Demang akan mengalami kesulitan. Mungkin sekali orang yang telah menanamkan pengaruh yang sangat besar pada kakang Swandaru itu akan bersembunyi."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Sudahlah, Kita akan memikirkannya nanti jika kakang Agung Sedayu kembali. Sekarang, tenangkan hatimu disini. Silahkan duduk. Aku akan pergi ke dapur sebentar."
" Aku akan ikut bersamamu ke dapur. Apakah Rara Wulan ada?"
" Rara Wulan sedang pergi ke pasar, Tetapi sudah agak lama. Ia tentu akan segera kembali."
" Glagah Putih dan Ki Jayaraga?"
" Mereka pergi ke sawah. Agaknya Glagah Putih sedang mempunyai waktu luang, sehingga ia sempat membantu Ki Jayaraga
Pandan Wangi tidak mau ditinggal diruang dalam seorang diri. Iapun kemudian ikut pergi ke dapur. Bahkan kemudian membantu kesibukan Sekar Mirah di dapur.
Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan pulang dari pasar sambil menggendong sebuah bakul kecil dan menjinjing sebuah kreneng.
"Mbokayu Pandan Wangi - sapa Rara Wulan dengan wajah yang ceria
Pandan Wangipun menyambutnya dengan wajah yang sudah nampak lebih tenang. Sambil tertawa iapun berkata - Begitu banyak kau berbelanja Rara."
" Untuk sepekan sekaligus. Aku pergi ke pasar hanya dihari pasaran. Kecuali ada keperluan yang mendesak."
" Kau semakin cantik Rara"
" Ah, Mbokayu itu ada-ada saja. Mbokayulah yang semakin cantik."
Pandan Wangi tertawa Rara Wulan pun kemudian telah meletakkan bakul dan kreneng yang dibawanya
Sementara itu, Sekar Mirah telah selesai menuang minuman dan menyuguhkannya kepada Pandan Wangi.
" Aku taruh minumanmu di ruang dalam, Pandan Wangi."
"Tidak. Tidak usah. Biar disini saja Aku akan tetap berada di dapur. Aku akan ikut memasak. Kau akan memasak apa, Rara?"
Rara Wulan tertawa pendek. Katanya - Silahkan mbokayu duduk diruang dalam."
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya - Biar aku disini saja. Jika aku berada di ruang dalam, aku akan duduk sendiri. Jika Sekar Mirah menemui aku diruang dalam, maka kaulah yang akan sendiri."
Rara Wulah tertawa. Pandan Wangi memang tidak pergi ke ruang dalam. Ia tetap berada di dapur, membantu Sekar Mirah dan Rara Wulan masak. Mereka juga menyiapkan makan dan minum bagi Glagah Putih dan Ki Jayaraga yang sedang bekerja disawah.
Menjelang matahari sampai ke puncak, Sekar Mirah telah selesai menyiapkan makan dan minum yang akan dibawa kesawah. Nasi, sayur dan lauknya serta gendi berisi air minum.
Sukralah yang membawa bakul diatas kepalanya dan menjinjing gendi dengan tangan kanannya.
Baru kemudian setelah Sukra berangkat, Sekar Mirah telah menyiapkan makan bagi Pandan Wangi, dirinya sendiri dan Rara Wulan. Sedikit lewat tengah hari, setelah makan siang, merekapun duduk berbincang diruang dalam beberapa lama.
Namun kemudian Sekar Mirahpun berkata - Beristirahatlah, Pandan Wangi. Aku dan Rara Wulan akan menyingkirkan mangkuk-mangkuk kotor ini?"
" Kenapa aku harus beristirahat" Bukankah aku tidak letih sama sekali.
"Tetapi kedudukan mbokayu sekarang adalah tamu. Sebagai seorang tamu mbokayu harus mendapat perlakuan khusus." Pandan Wangi tertawa, Sekar Mirahpun tertawa pula Namun kemudian Pandan Wangi telah ikut pergi ke dapur lagi, membantu kerja Sekar Mirah dan Rara Wulan. Mencuci mangkuk yang kotor dan merebus air untuk membuat minuman baru. Beberapa saat lagi, jika matahari menjadi semakin rendah, maka Agung Sedayu akan kembali dari baraknya.
Ketika Rara Wulan sedang mengambil seonggok kayu bakar di luar, maka Pandan Wangi berdesis - Apakah kakang Agung Sedayu tidak akan marah jika aku berterus-terang menyampaikan pesan kakang Swandaru?"
" Katakan saja, Pandan Wangi. Apapun pendapatnya, namun kakang Agung Sedayu tidak akan marah. Apalagi kepadamu, karena kau hanya sekedar melakukah perintah suamimu."
" Tetapi kakang Agung Sedayu tentu akan menjadi sangat kecewa terhadap kakang Swandaru. Beberapa saat yang lalu, kakang Swandaru telah menerima pendapatmu dan pendapat kakang Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja sikapnya telah berubah lagi. Apalagi kakang Swandaru berani minta kakang Agung Sedayu pergi ke Mataram.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya- Kakang Agung Sedayu tentu akan menjadi sangat kecewa. Akupun merasa kecewa sekali terhadap sikap kakang Swandaru. Tetapi aku dan kakang Agung Sedayu tidak akan dapat marah kepadamu."
Pandan Wangi tidak menjawab. Sementara itu Rara Wulan membawa masuk seikat kayu bakar yang telah kering.
Dengan demikian maka pembicaraan merekapun segera beralih. Mereka tidak lagi berbicara tentang sikap Swandaru. Tetapi mereka telah berbicara tentang perkembangan lingkungan masing-masing.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Agung Sedayupun seperti biasanya melarikan kudanya dari baraknya pulang ke rumahnya. Ketika Agung Sedayu memasuki halaman rumahnya, maka Sukralah yang datang menyongsongnya.
"Ada tamu, Ki Lurah -berkata Sukra.
" Siapa" - bertanya Agung Sedayu.
"Nyi Pandan Wangi dari Sangkal Putung."
" Pandan Wangi - Agung Sedayu menjadi heran - dengan siapa?"
"Sendiri" "Sendiri" - Agung Sedayu menjadi semakin heran. "Dimana tamu itu sekarang?" "Di dapur, Ki Lurah." "Didapur"-
Temyata Sukra tidak perlu menjawab. Dari pintu pringgitan Pandan Wangi muncul diikuti oleh Sekar Mirah."
- Pandan Wangi - desis Agung Sedayu.
"Ya, kakang - jawab Pandan Wangi dengan nada rendah.
Namun Pandan Wangi tidak ingin menunjukkan kelemahannya sebagai selorang perempuan kepada Agung Sedayu. Karena itu Pandan Wangi berusaha untuk menyingkirkan keresahan didalam hatinya. Sekali-sekali nampak ia tersenyum ketika Agung Sedayu naik tangga pendapa rumahnya. Namun pada saat yang lain, wajahnya itu nampak menjadi buram.
Sejenak kemudian, merekapun telah duduk di pringgitan. Agung Sedayu tidak langsung masuk ke ruang dalam dan berganti pakaian. Tetapi Agung Sedayu langsung menemui Pandan Wangi, karena menurut dugaan Agung Sedayu, bahwa Pandan Wangi datang sendiri ke Tanah Perdikan Menoreh itu tentu ada persoalan yang penting, bahkan mungkin gawat
Karena itu, maka Agung Sedayupun langsung duduk menemui tamunya dari Sangkal Putung itu.
Sejenak kemudian, maka Rara Wulanpun telah keluar dari pintu pringgitan pula sambil membawa minuman hangat bagi tamunya dan bagi Agung Sedayu beserta Sekar Mirah.
"Marilah, duduklah disini - ajak Pandan Wangi. Tetapi Rara Wulan tersenyum sambil menjawab - Terima kasih mbokayu. Aku masih punya kerja didapur."
Pandan Wangi tersenyum. Gadis itu memang dapat menempatkan dirinya Ia tahu bahwa tidak sepantasnya ia ikut duduk dan berbincang bersama mereka tentang persoalan-persoalan yang agaknya penting.
Demikian Rara Wulan itu meninggalkan pringgitan, maka Agung Sedayupun bertanya -kapan kau datang Pandan Wangi."
" Kemarin kakang. Aku tidak dapat langsung menemui kakang dan Sekar Mirah."
. "Kau Sendiri?"
" Bersama dua orang pengawal kademangan Sangkal Putung -suara Pandan Wangi merendah.
"Tidak bersama suamimu?" "Tidak kakang."
"Kenapa?" ' " Aku justru membawa pesan kakang Swandaru. Kemarin aku
berangkat bersama kakang Swandaru dari Sangkal Putung. Namun
kakang Swandaru langsung pergi ke Mataram."
" Ke Mataram" Untuk apa?"
Keringat dingin mulai membasahi punggung Pandan Wangi. Namun ia tidak dapat mengingkari tugas yang dibebankan oleh suaminya kepadanya.
Karena itu maka Pandan Wangipun kemudian menyampaikan semua pesan Swandaru bagi Agung Sedayu. Bahkan Pandan Wangipun juga mengatakan bahwa Swandaru juga berpesan kepada Ki Gede agar berusaha dapat ikut mendukung keinginan Swandaru.
Agung Sedayu mendengarkan kata-kata Pandan Wangi dengan jantung yang berdebaran. Suara Pandan Wangipun makin lama menjadi sayup. Namun Pandan Wangi berusaha untuk dapat berbicara dengan jelas.
Dcmikian Pandan Wangi selesai menyampaikan pesan Swandaru, maka dengan suara bergetar iapun berkata-Kakang. Aku tidak tahu, apakah yang harus aku lakukan. Aku menjadi bingung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu dengan suara bergetar Pandan Wangi bertanya - Kakang marah kepadaku?"
"Tidak. Kenapa aku marah kepadamu?" "Kepada kakang Swandaru?"
" Aku tidak dapat marah kepada adi Swandaru, Pandan Wangi. Tetapi aku menjadi cemas. Bahwa langkah adi Swandaru itu akan dapat menimbulkan persoalan dikemudian hari. Mungkin akan menyulitkannya."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya.
Sementara itu, Agung Sedayupun bertanya pula"Pandan Wangi. Bukankah ketika kau dan adi Swandaru dalang kemari beberapa saat yang lalu, adi Swandaru sudah menyatakan, bahwa ia akan membatalkan niatnya itu?"
" Ya, kakang. Bahkan ketika kami sampai di Sangkal Putung, kakang Swandaru nampak menjadi lebih ceria Seakan-akan beban yang memberati hatinya telah diletakkannya."
"Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia mengulangi niatnya itu ?"
" Aku tidak tahu, kakang. Ki Demang di Sangkal Putung juga tidak tahu."
" Aku tidak dapat membayangkan, apa yang terjadi dengan adi Swandaru di Mataram. Siapa pula yang ditemuinya untuk membicarakan keinginannya itu. Apakah adi Swandaru diterima dengan baik atau justru tidak dapat diterima oleh para pemimpin di Mataram karena mereka sedang memusatkan segala perhatian mereka kepada Kangjeng Panembahan Senapati yang sedang sakit keras."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kakang Swandaru memang tidak banyak mengenal para pemimpin di Mataram. Tetapi kakang Swandaru pernah menyebut-nyebut, bahwa ia mengenal dengan baik Ki Tumenggung Wirayuda."
"Ki Tumenggung Wirayuda adalah orang yang baik. Mudah-mudahan adi Swandaru dapat bertemu dengan Ki Tumenggung."
" Apakah Ki Tumenggung Wirayuda itu dapat membantu kakang Swandaru."
" Mungkin Ki Tumenggung dapat membantu. Tetapi sangat terbatas. Mungkin Ki Tumenggung Wirayuda dapat mempertemukan adi Swandaru dengan Ki Patih Mandaraka. Namun Ki Tumenggung tidak akan dapat membantu menentukan keputusan yang akan diambil."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu bertanya sebagaimana beberapa orang yang telah dihubunginya lebih dahulu bertanya " Apakah ada orang yang telah mempengaruhinya?"
Pertanyaan itu membuat Pandan Wangi semakin yakin, bahwa memang ada orang yang mempengaruhinya. Tetapi siapa "
" Tentu ada orang yang telah mempengaruhinya. Bahkan pengaruh itu demikian besarnya, sehingga membuat kakang Swandaru seakan-akan kehilangan sikap pribadinya."
"Kita harus menemukan orang itu " berkata Agung Sedayu.
" Ki Demang juga akan mencarinya"
" Baiklah Pandan Wangi. Jika demikian, besok aku akan pergi ke Mataram. Mudah-mudahan adi Swandaru masih berada di Mataram."
" Mudah-mudahan kakang. Tetapi ia sampai di Mataram kemarin, karena kami, maksudku aku dan kakang Swandaru, berangkat bersama-sama dari Sangkal Putung."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Besok aku akan berangkat pagi-pagi sekali. Seandainya adi Swandaru sudah kembali ke Sangkal Putung, aku masih dapat mengikuti jejak persoalannya di Mataram.
"Terima-kasih, kakang."
" Tetapi aku tidak dapat menjanjikan apa-apa. Aku masih belum tahu sama sekali tanggapan para pemimpin Mataram atas permohonan adi Swandaru. Tetapi mudah-mudahan sebagian besar dari mereka masih belum mengetahuinya."
" Apapun yang dapat kakang lakukan, kami mengucapkan terima kasih."
" Satu langkah yang dapat menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Mudah-mudahan akibat yang baik bagi adi Swandaru dan bagi Sangkal Putung.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, bahwa Agung Sedayu sendiri tidak melihat kemungkinan sebagaimana diharapkannya itu. Kedatangan Swandaru di Mataram pada saat Panembahan Senapati sedang sakit keras, apalagi untuk mengajukan permohonan yang sulit dimengerti, agaknya tidak akan dapat menimbulkan akibat sebagaimana diharapkan.
Sebenarnyalah pada saat itu, Swandaru telah meninggalkan Mataram. Ketika Swandaru sampai di Mataram bersama dua orang bebahu, Swandaru memang menemui Ki Tumenggung Wirayuda.
Ki Tumenggung terkejut sekali ketika ia mendengar dari Swandaru yang menyatakan keperluannya datang di Mataram.
" Jadi Ki Swandaru mengajukan permohonan atas nama rakyat Sangkal Putung agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan sebagaimana Tanah Perdikan Menoreh ?"
" Ya, Ki Tumenggung"jawab Swandaru.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sementara Swandaru yang melihat dan merasakan tanggapan Ki Tumenggung yang meragukan itupun bertanya"Apakah permohonan itu salah atau melanggar paugeran."
"Memang tidak, Ki Swandaru. Permohonan adalah permohonan. Sama sekali tidak melanggar paugeran. Sedangkan dikabulkan atau tidak, itu tergantung sekali kepada pihak yang lain."
" Ya, Ki Tumenggung. Karena itu, maka kami, rakyat Sangkal Putung memberanikan diri mengajukan permohonan kepada Kangjeng Panembahan Senapati."
" Tetapi bukankah rakyat Sangkal Putung sudah mendengar bahwa Panembahan Senapati sedang sakit keras " Tidak seorangpun yang dapat menghadap kecuali orang-orang tertentu yang sudah mendapat perkenan Panembahan Senapati sendiri."
"Maksud Ki Tumenggung, bahwa aku tidak akan diperkenankan untuk menghadap?"
Ki Tumenggung Wirayudapun mengangguk sambil menjawab -Ya. Sudah tentu Ki Swandaru tidak diperkenankan untuk menghadap. Seandainya Ki Swandaru mendapat ijin untuk menghadap, maka tidak ada sepatah katapun yang akan dapat dibicarakan."
Swandaru menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun bertanya - Jadi, dengan siapa aku dapat berbicara" Siapa pula yang berhak menentukan, apakah permohonan kami akan diterima atau tidak?"
" Aku belum tahu, siapakah yang akan membicarakan surat Ki Swandaru dan siapa pula yang berhak mengambil keputusan. Seandainya keputusan itu dapat ditetapkan, siapa pula yang berhak membuat kekancingan dan kemudian menanda-tanganinya "
" Bukankah banyak pembesar di Mataram yang dapat menjalankan tugas Panembahan Senapati?"
"Banyak. Tetapi dalam keterbatasan."
" Jadi haruskah persoalan-persoalan penting menunggu karena Panembahan Senapati sedang sakit?"
"Ya - " Bukankah itu berarti bahwa pemerintahan di Mataram terhenti?"
-- Tidak. Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari berjalan terus. Hanya persoalan-persoalan yang penting dan mendasar sajalah yang harus menunggu."
Wajah Swandaru menjadi tegang. Dengan nada dalam iapun berkata - Tetapi aku mohon Ki Tumenggung. Hendaknya ada seseorang yang berani mengambil keputusan tentang permohonan kami itu."
" Aku akan membawa surat permohonanmu itu kepada Ki Patih Mandaraka."
" Aku sendiri akan menghadap bersama Ki Tumenggung."
" Aku akan menyampaikannya, apakah Ki Swandaru dapat menghadap atau tidak."
" Apakah mungkin Ki Patih tidak bersedia menerima aku menghadap?"
"Tergantung kesibukan dan keadaan Ki Patih."
" Ki Tumenggung. Aku datang dari jauh untuk bertemu dan berbicara dengan para pejabat di Mataram.
"Tetapi para pejabat itu harus menentukan waktu, kapan ia dapat menerima tamu yang ingin menghadap. Kita tidak dapat begitu saja dengan serta-merta datang menemui para pejabat itu."
" Aku tahu, Ki Tumenggung. Maksudku, bahwa orang-orang yang datang dari jauh itulah hendaknya yang mendapat kesempatan pertama"
"Tidak Ki Swandaru - jawab Ki Wirayuda - yang diterima lebih
dahulu adalah mereka yang dianggap mempunyai persoalan yang sangat
penting dan mendesak. " Jika demikian, aku berhak untuk menghadap lebih dahulu. Persoalanku sangat penting dan mendesak."
" Tidak. Ki Swandaru. Persoalan Ki Swandaru tidak penting dan tidak mendesak bagi Mataram. Seandainya permohonan Sangkal Putung itu disetujui, maka pelaksanaannya sama sekali tidak mendesak. Dapat dilaksanakan sepekan mendatang, sebulan, setahun, atau bahkan beberapa tahun lagi.
Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi Ki Wirayuda seakan-akan tidak menghiraukannya. Bahkan iapun berkata - Terserah kepada Ki Swandaru,. Apakah Ki Swandaru akan pulang ke Sangkal Putung atau akan menunggu kemungkinan untuk menghadap Ki Patih di Mataram." "Jika aku harus menunggu, kapan aku dapat menghadap?"
" Aku belum dapat mengatakannya, Ki Swandaru. Ada bertimbun persoalan penting yang harus dipecahkan. Karena itu persoalan-persoalan yang tidak mendesak akan ditelaah kemudian."
Jantung Swandaru terasa menjadi pedih. Ki Tumenggung itu menganggap bahwa persoalan yang dibawa oleh Swandaru itu bukan persoalan yang penting, yang harus ditempatkan pada urutan pertama.
Darah Swandara terasa mulai menjadi panas. Karena itu, maka iapun berkata -jika demikian aku akan pulang ke Sangkal Putung."
Dengan ringan Ki Tumenggung itupun menjawab - Silahkan." Swandaru mengumpat didalam hatinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya - Jadi, apakah yang harus aku lakukan kemudian" Menunggu atau aku harus datang kemari lagi atau langkah-langkah lain lagi?"
Raja Tengkorak 1 The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri Tanda Athena 5
^