Pencarian

Tanda Athena 5

The Heroes Of Olympus 3 Tanda Athena The Mark Of Athena Bagian 5


Mungkin Annabeth saja yang berkhayal, tapi artileri tua itu ,,sepertinya berpendar kemerahan. Dia pun melesat ke sana. Seekor elang menukik ke arahnya, tapi Annabeth menghindar dan terus berlari. Tak ada yang dapat menakutinya seperti laba-laba tadi. Para demigod Romawi telah berhimpun dan tengah menuju ke Argo2, tapi puting beliung mini terbentuk di atas kepala mereka. Walaupun hari itu cerah, guntur menggelegar, sedangkan petir berkilat-kilat di atas orang-orang Romawi. Hujan dan angin mendorong mereka ke belakang. Annabeth tidak berhenti untuk merenungi fenomena itu. Dia sampai di mortir dan menempelkan tangan di moncong senjata tersebut. Pada sumbat yang menyumpal bukaannya, Tanda Athena mulai berpendar---garis-garis yang membentuk gambar burung hantu. "Dalam mortir," ujar Annabeth, "tentu saja." Annabeth mencungkil sumbat dengan jarinya. Tidak berhasil. mengumpat, Annabeth mencabut belatinya. Begitu perunggu langit menyentuh sumbat, sumbat tersebut menciut dan lepas. Annabeth membukanya dan merogoh bagian dalam meriam itu. Jemarinya menyentuh sesuatu yang dingin, mulus, dan Lerbahan logam. Dikeluarkannya piringan kecil perunggu seukuran pisin yang berhiaskan ukiran huruf-huruf serta ilustrasi. Annabeth inemutuskan untuk memeriksanya nanti saja. Dia memasukkan Benda itu ke tas dan membalikkan badan. "Buru-buru"" tanya Reyna. Sang praetor berdiri tiga meter dari sana, mengenakan pakaian tempur lengkap, memegang lembing emas. Kedua anjing logam tnenggeram di kanan-kirinya. Annabeth melirik keseluruhan area tersebut. Mereka praktis berdua saja. Sebagian besar pertarungan telah berpindah mendekati dermaga. Mudah-mudahan teman-temannya sudah berhasil naik ke kapal, tapi mereka harus segera berlayar jika tidak mau disusul. Annabeth harus bergegas. "Reyna," kata Annabeth, "kejadian di Perkemahan Jupiter adalah ulah Gaea. Eidolon, roh yang merasuki " "Simpan penjelasanmu," timpal Reyna, "kau bakal mem-butuhkannya untuk persidangan." Kedua anjing memamerkan gigi-gigi mereka yang tajam dan beringsut ke depan. Kali ini, sepertinya mereka tidak peduli bahwa Annabeth berkata jujur. Annabeth berusaha memikirkan siasat untuk melarikan din. Dia ragu bisa mengalahkan Reyna dalam pertarungan satu lawan satu. Dengan adanya dua anjing logam itu, Annabeth tidak punya kesempatan sama sekali. "Kalau kau biarkan Gaea memecah belah dua kubu kita," kata Annabeth, "para raksasa sudah menang. Mereka akan menghabisi bangsa Romawi, Yunani, dewa-dewi, seluruh dunia fana." "Kau kira aku tidak tahu"" Suara Reyna sekeras besi. "Pilihan apa lagi yang kalian sisakan untukku" Octavian mengendus peluang emas. Dia mengobarkan semangat permusuhan di legiun, dan aku tak bisa menghentikannya. Menyerahlah padaku. Akan kubawa kau ke Roma Baru untuk disidangkan. Persidangan tersebut takkan adil. Kau akan dieksekusi secara menyakitkan. Tetap
i cara tersebut mungkin cukup untuk mencegah kekerasan lebih lanjut. Octavian takkan puas, tentu saja, tapi kurasa aku bisa meyakinkan yang lain agar menahan diri." "Bukan aku biang keladinya!" "Tidak jadi soal!" bentak Reyna, "seseorang harus membayar atas peristiwa yang sudah terjadi. Biar kau saja. Itulah opsi yang lebih baik." Bulu kuduk Annabeth meremang. "Lebih baik daripada apa""
"Gunakan kebijaksanaanmu," kata Reyna, "seandainya kau lolos hari ini, kami takkan mengikuti. Sudah kubilang orang gila pun takkan sudi menyeberangi laut ke negeri kuno. Kalau Octavian tak bisa membalaskan dendam terhadap kapal kalian, dia akan mengalihkan perhatian ke Perkemahan Blasteran. Legiun akan menginjak-injak wilayah kalian. Kami akan menghancurkan dan membumihanguskannya." Bunuh orang-orang Romawi, Annabeth mendengar desakan ibunya. Mereka takkan pernah bisa jadi sekutumu. Annabeth ingin menangis. Perkemahan Blasteran adalah satu-satunya rumah yang pernah dia kenal, dan dalam rangka menunjukkan itikad baik, Annabeth telah memberitahukan lokasi tepatnya kepada Reyna. Dia tidak bisa membiarkan Perkemahan Blasteran jatuh dalam cengkeraman bangsa Romawi sedangkan dirinya malah pergi ke belahan dunia lain. Namun, misi mereka, dan derita yang sudah ditanggungnya demi mendapatkan Percy kembali jika Annabeth tidak pergi ke negeri kuno, semuanya sia-sia belaka. Lagi pula, Tanda Athena tidak mesti berujung pada pembalasan dendam. Jika saja aku bisa menemukan rutenya, kata ibu Annabeth waktu itu, jalan pulang Bagaimana kau akan menggunakan imbalanmu" tanya Aphrodite tadi. Untuk peperangan atau perdamaian" Pasti ada jawaban. Tanda Athena bisa memandu Annabeth menemukan jawaban, jika dia selamat sampai akhir. "Aku mau pergi," katanya kepada Reyna, "aku akan mengikuti Tanda Athena ke Roma." Sang praetor menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tidak tahu apa yang menantimu di sana." "Ya, aku tahu," kata Annabeth, "dendam di antara kubu kita berdua aku bisa menyembuhkannya."
"Dendam di antara kita sudah berumur ribuan tahun. Bagaimana mungkin satu orang bisa menyembuhkannya"" Annabeth berharap kalau saja dia dapat memberikan jawaban memuaskan, menunjuki Reyna diagram 3-D atau skema brilian, tapi dia tak bisa. Dia semata-mata tahu bahwa dia harus mencoba, Dia teringat ekspresi bingung orang yang tersesat di wajah ibunya: Aku harus pulang. "Misi kami harus berhasil," kata Annabeth, "kau bisa mencoba menghentikanku. Jika itu pilihanmu, kita terpaksa bertarung sampai mati. Tetapi kalau kau lepaskan aku,' akan kuusahakan untuk menyelamatkan kedua perkemahan kita. Jika kau hams maju ke Perkemahan Blasteran, setidaknya cobalah mengulur-ulur waktu. Perlambatlah Octavian." Mata Reyna menyipit. "Di antara kita saja, sebagai sesama putri Dewi Perang, kuakui aku menghargai keberanianmu. Tetapi jika kau tinggalkan aku sekarang, kau menjerumuskan pei ke-mahanmu ke dalam kebinasaan." "Jangan remehkan Perkemahan Blasteran." Annabeth me peringatkan. "Kau tak pernah melihat legiun berperang," balas Reyna. Dari dermaga, suara yang tak asing lagi memekik melampaui deru angin: "Bunuh mereka! Bunuh mereka semua!" Octavian ternyata selarnat sesudah tercebur di teluk. Dia berjongkok di balik pengawalnya, menyemangati para demigod Romawi lainnya selagi mereka berjuang mendekati kapal sembari menengadahkan perisai, seolah dengan cara itu badai yang merajalela di sekeliling mereka dapat dihalau. Di geladak Argo II, Percy dan Jason berdiri bersama, pedang mereka disilangkan. Annabeth merinding saat menyadari bahwa kedua pemuda itu tengah menyatukan kekuatan, menyeru lar git dan laut agar menuruti perintah mereka. Air dan angin teraduk-aduk jadi satu. Ombak mengempas tembok benteng dan petir ornyambar-nyambar. Elang raksasa berjatuhan dari angkasa. kereta perang terbang terbakar di air, sedangkan Pak Pelatih hedge memutar busur ke sana-ke mari, asal menembaki burung-burung Romawi yang terbang di atas. "Kau lihat"" kata Reyna getir, "genderang perang sudah ditabuh. Kaum kita tengah berperang." "Tidak kalau aku berhasil," ujar Annabeth. Mimik muka Reyna sama seperti di Perkemah
an Jupiter ketika dia menyadari Jason telah menemukan cewek lain. Karena kewat kesepian, kelewat getir, dan merasa sudah dikhianati reyna sulit memercayai bahwa keadaan bisa membaik. Annabeth menunggunya menyerang. Namun demikian, Reyna melambaikan tangan. Anjing-anjing Ing-am mundur. "Annabeth Chase," katanya, "ketika kita berjumpa kita akan jadi musuh di medan tempur." Sang praetor berputar dan menapaki tembok benteng, diikuti kedua anjing di belakangnya. Annabeth takut kalau-kalau yang barusan cuma tipuan, tapi dia tidak punya waktu untuk bertanya-tanya. Dia langsung lari ke kapal. Angin yang menghajar orang-orang Romawi sepertinya tak memengaruhi dirinya. Annabeth berpacu menembus barisan pendekar Romawi. Octavian berteriak, "Hentikan dia!" Tombak mendesing di samping kupingnya. Argo II sudah inenjauh dari dermaga. Piper berdiri di titian, tangannya terulur. Annabeth melompat dan menggapai tangan Piper. Titian jatuh ke laut, sedangkan mereka berdua terjungkal ke geladak. "Pergi!" teriak Annabeth, "cepat, cepat, cepat!"
Mesin menggemuruh di bawahnya. Dayung mengaduk-aduk air. Jason mengubah arah angin, sedangkan Percy mendatangkan gelombang besar, yang mengangkat kapal hingga lebih tinggi daripada tembok benteng serta mendorongnya ke laut lepas. Pada saat Argo II telah mencapai kecepatan puncak, Benteng Sumter tinggal berupa titik di kejauhan, sedangkan mereka membelah ombak untuk menuju ke negeri kuno.[]
BAB DUA PULUH SATU LEO SETELAH MENDOBRAK MUSEUM PENUH HANTU Konfederasi, leo kira hari ini takkan bertambah buruk. Dia keliru. Mereka tidak menemukan apa-apa di subseksi Perang Saudara ataupun tempat lainnya di museum itu, cuma ada segelintir wisatawan lansia, seorang penjaga keamanan yang tertidur, dan ketika mereka mencoba memeriksa artefak sebatalion zombi herpendar yang berseragam abu-abu. Wacana bahwa Frank mungkin bisa mengontrol roh-roh itu" Ya, ternyata salah besar. Pada saat Piper mengirimkan pesan-Iris utuk memperingatkan mereka tentang serangan Romawi, mereka sudah setengah jalan menuju kapal, soalnya saat itu mereka sedang dikejar-kejar di tengah kota Charleston oleh sekawanan prajurit Konfederasi yang marah. Kemudian percaya, tidak"! Leo hams dijumput oleh Frank si Elang Ramah supaya mereka bisa melawan serombongan orang Romawi. Pasti sudah tersebar kabar bahwa Leo-lah yang nienembaki kota kecil mereka, sebab orang-orang Romawi itu ampaknya gatal sekali ingin membunuhnya.
Namun, tunggu dulu! Masih ada lagi! Pak Pelatih Hedge menembak mereka sehingga jatuh dari langit; Frank melepasl a Leo (itu bukan kecelakaan); dan mereka mendarat darurat di Benteng Sumter. Kini, selagi Argo Hmengarungi ombak, Leo harus mengerahkan seluruh keterampilannya demi menjaga keutuhan kapal. Percy dan Jason agak kelewat mahir mengundang badai besar. Pada satu saat, Annabeth berdiri di samping Leo sambii berteriak untuk melampaui raungan angin: "Percy bilang dia sudah bicara pada Nereid di Pelabuhan Charleston!" "Bagus!" Leo balas berteriak. "Nereid itu bilang kita sebaiknya minta bantuan dari saudara-saudara Chiron." "Maksudnya apa" Kuda Poni Pesta"" Leo tidak pernah bertemu centaurus edan kerabat Chiron, tapi dia sudah mendengar desas-desus mengenai adu pedang-pedangan, lomba minum root beer, dan senapan air yang diisi krim kocok bertekanan tinggi. "Entah," kata Annabeth, "tetapi aku dapat koordinatnya. Bisakah benda ini memproses masukan garis lintang dan garis bujur"" "Peta bintang dan pesanan smoothie juga bisa, kalau kau mau. Tentu saja masukan berupa garis lintang dan garis bujur bisa diproses!" Annabeth menyampaikan angka-angkanya. Leo entail bagaimana berhasil memencet nomor-nomor tersebut sambi memegangi kemudi dengan satu tangan. Titik merah muncul di layar perunggu. "Lokasinya di tengah-tengah Samudra Atlantik," ujar Leo"apa Kuda Poni Pesta punya perahu layar""
Annabeth mengangkat bahu tanpa daya. "Kendalikan saja I.,tpal ini sampai kita sudah jauh dari Charleston. Jason dan Percy Akan mempertahankan kecepatan angin!" "Asyik!" Rasanya seperti berabad-abad, tapi akhirnya laut jadi tenang dan angin berhenti bert
iup. "Valdez," kata Pak Pelatih Hedge dengan lembut, tak biasa-biasanya, "biar kuambil alih kemudi. Kau sudah menyetir selama dua jam." "Dua jam"" "Iya. Kemarikan kemudinya." "Pak Pelatih"" "Iya, Nak"" "Aku tidak bisa melepaskan tangan." Memang benar. Jemari Leo serasa membatu. Matanya perih karena terlalu lama memandangi cakrawala. Lututnya lemas lunglai. Pak Pelatih Hedge berhasil melepaskannya dari kemudi. Leo menoleh ke konsol sekali lagi, menyimak Festus yang mengocehkan dan mendengungkan laporan status. Leo merasa dirinya melupakan sesuatu. Dia menatap panel kemudi sambil memutar otak, tapi tidak ada gunanya. Matanya nyaris tak bisa fokus. "Pasang mata baik-baik, kalau-kalau ada monster." Dia memberi tahu sang pelatih. "Dan operasikan stabilisator yang rusak dengan hati-hati. Dan " "Akan kuurus semuanya." Pak Pelatih Hedge berjanji. Sekarang pergi sana!" Leo mengangguk lelah. Dia terhuyung-huyung melintasi dek, menghampiri kawan-kawannya. Percy dan Jason duduk bersandar ke tiang layar, kepala mereka tertunduk kecapaken. Annabeth dan Piper sedang mencoba meminumkan air kepada mereka.
Hazel dan Frank berdiri di luar jangkauan pendengaran, sedang bertengkar sambil menggerak-gerakkan tangan dan menggeleng- gelengkan kepala. Leo seharusnya tidak senang melihat mereka bertengkar, tapi sebagian dari dirinya merasa begitu. Sebagian yang lain tidak enak hati karena merasa senang. Pertengkaran itu berhenti tiba-tiba ketika Hazel melihat Leo. Semua orang berkumpul di dekat tiang layar. Frank merengut, seolah sedang berusaha keras jadi anjing galak. "Tidak ada tanda-tanda pengejaran," katanya. "Atau daratan," imbuh Hazel. Dia kelihatan agak pucat, meskipun Leo tidak yakin apakah penyebabnya goyangan kapal atau pertengkaran barusan. Leo mengamati kaki langit. Laut di mana-mana. Dia semestinya tidak kaget. Dia telah menghabiskan enam bulan untuk merakit kapal yang dia tahu bakal menyeberangi Samudra Atlantik. Namun, sampai hari ini, pengembaraan ke negeri kun masih terkesan tidak nyata. Leo tak pernah keluar dari Amerika Serikat sebelumnya kecuali waktu terbang ke Quebec sebentar, naik naga. Sekarang mereka berada di tengah Taut lepas, sendirian saja, berlayar ke Mare Nostrum, yang merupakan sarang monster dan raksasa jahat. Bangsa Romawi mungkin takkan mengikuri mereka, tapi mereka juga tak bisa mengandalkan bantuan dari Perkernahan Blasteran. Leo menepuk-nepuk pinggang untuk memastikan sabu perkakasnya masih di sana. Sayangnya tindakan tersebut justru mengingatkannya pada kue keberuntungan pemberian Nemesis, yang tersimpan di dalam salah satu saku. Kau akan selalu jadi orang luar. Suara sang dewi masihi berpusing dalam kepala Leo. Roda ketujuh. Lupakan Nemesis, kata Leo kepada diri sendiri. Berkonsentrasi lah pada hal-hal yang bisa kau perbaiki.
Dia menoleh kepada Annabeth. "Apa kau menemukan peta yang kau inginkan"" Annabeth mengangguk, walaupun dia kelihatan pucat. Leo bertanya-tanya apa kiranya yang Annabeth lihat di Benteng Sumter mpai-sampai dia terlihat begitu terguncang. "Aku masih harus mempelajarinya," kata Annabeth, seolah dia ingin menutup topik tersebut, "seberapa jauhkah kita dari koordinat itu"" "Dengan kecepatan maksimal, kira-kira sejam lagi kita sampai," kata Leo, "kau tahu apa yang kita cari"" "Tidak." Annabeth mengakui. "Percy"" Percy mengangkat kepala. Mata hijaunya kuyu dan kemerahan. "Nereid bilang saudara-saudara Chiron ada di sana, dan mereka pasti ingin dengar tentang akuarium di Atlanta. Aku tidak tahu apa yang dia maksud, tapi ...." Percy terdiam, seolah energinya sudah .ibis untuk bicara segitu saja. "Si Nereid juga memperingatkanku agar berhati-hati. Keto, dewi di akuarium: dia itu induk monster hut. Dia barangkali memang terjebak di Atlanta, tapi dia bisa saja mengutus anak-anaknya untuk mengejar kita. Nereid itu bilang kita sebaiknya siap-siap diserang." "Luar biasa," gerutu Frank. Jason mencoba berdiri. Ide buruk. Piper buru-buru memegangi Cason supaya tidak jatuh, dan pemuda itu pun melorot ke tiang I ayar. "Bisakah kita naikkan kapal ini"" tanya Jason, "kalau kita bisa terbang "Bagus kalau
bisa begitu," kata Leo, "masalahnya, Festus memberitahuku bahwa stabilisator kiri remuk waktu kapal ini rnenyerempet dermaga di Benteng Sumter." "Kami tadi buru-buru," kata Annabeth, "demi menyelamat-kanmu.
"Menyelamatkanku adalah misi mulia." Leo sepakat. "Aku cuma mengatakan, memperbaiki kerusakan bakal butuh waktu, Sampai saat itu, kita tidak bisa terbang ke mana-mana.', Percy meluruskan bahunya dan berjengit. "Aku, sih, tidak keberatan. Di laut, kan enak." "Enak buatmu." Hazel melirik matahari tenggelam yang sudah hampir menyentuh cakrawala. "Kita harus cepat-cepat. Kita melewatkan satu hari lagi, sedangkan jatah waktu Nico tingga tiga hari." "Kita pasti bisa." Leo berjanji. Leo berharap dia sudah dimaafkan karena tidak memercayai adik Hazel (hei, menurut Leo kecurigaan itu masuk akal, kok), tapi dia tidak mau membuka luka lama. "Kita pasti bisa mencapai Roma dalam waktu tiga hari asalkan tidak ada kejadian tak terduga." Frank menggeram. Kelihatannya dia masih berupaya untuk berubah jadi anjing galak. "Apa ada kabar baik"" "Sebenarnya, sih, ada," kata Leo, "menurut Festus, meja terbang kita, Buford, kembali dengan selamat saat kita di Charleston. Jadi, elang-elang itu tidak menangkapnya. Sayangnya, cucian koto bawaan Buford termasuk celanamu hilang." "Celaka!" gerung Frank. Leo menduga umpatan itu sudah sangat kasar berdasarkan standar Frank. Tak diragukan bahwa Frank bakal menyumpah-nyump lagi melontarkan kata-kata seperti runyam dan naasnya aku tapi Percy keburu membungkuk dan mengerang. "Apa dunia baru saja jungkir balik"" tanyanya. Jason menempelkan tangan ke kepala. "Iya, dan berput putar juga. Semuanya kuning. Apa aslinya memang kuning"" Annabeth dan Piper bertukar pandang cemas. "Tenaga kalian terkuras sesudah mendatangkan badai tadi,' kata Piper kepada kedua pemuda itu, "kalian harus istirahat."
Annabeth mengangguk sepakat. "Frank, bisa kau bantu kami membawa mereka ke geladak bawah"" Frank melirik Leo, tak diragukan lagi merasa enggan meninggalkannya berdua saja dengan Hazel. "Tidak apa-apa, Bung," kata Leo, "usahakan saja supaya tidak menjatuhkan mereka selagi turun tangga." Begitu yang lain turun, Hazel dan Leo saling tatap dengan canggung. Mereka sebetulnya bertiga, tapi Pak Pelatih Hedge berada di galangan, sedang menyanyikan lagu tema Pokemon. Sang melatih mengganti lirik Tangkap Semuanya jadi Bunuh Semuanya. leo benar-benar tidak mau tahu apa alasannya. Lagu tersebut tampaknya tidak membantu mengurangi rasa mual Hazel. "Uhh ...." Hazel mencondongkan badan dan memeluk perutnya. Rambut Hazel indah keriting dan cokelat keemasan seperti serutan kayu manis. Rambutnya mengingatkan Leo pada rumah makan di Houston yang menyajikan roti goreng sedap. Gara-gara memikirkan itu, Leo jadi lapar. "Jangan condongkan badanmu." Leo menyarankan. "Jangan pejamkan mata. Kau bakal tambah mual karenanya." "Masa" Apa kau mabuk laut juga"" "Bukan mabuk taut. Tetapi aku mual kalau naik mobil dan ...." Leo menahan diri. Dia hendak mengatakan bicara pada anak perempuan, tapi diputuskannya untuk menyimpan saja informasi itu sendiri. "Mobil"" Hazel menegakkan tubuh dengan susah payah. "Kau bisa mengemudikan kapal dan menerbangkan naga, tapi naik mobil membuatmu mual"" "Aku tahu. Aneh, ya"" Leo mengangkat bahu. "Aku memang lain dari yang lain. Begini, arahkan saja pandangan matamu ke kaki langit. Cakrawala tidak bergerak-gerak. Pasti bisa membantu.
Hazel menarik napas dalam-dalam dan menatap ke kejauhan, Matanya sewarna emas nan cemerlang, seperti piringan tembaga dan perunggu dalam kepala robot Festus. "Baikan"" tanya Leo. "Mungkin sedikit." Hazel kedengarannya bersikap sopa n semata. Dia memicingkan mata ke horizon, tapi Leo punya firasat anak perempuan itu sedang menerka-nerka suasana had Leo, menimbang-nimbang harus berkata apa. "Frank tidak menjatuhkanmu dengan sengaja," kata Hazel, "dia tidak seperti itu. Dia cuma agak ceroboh kadang-kadang." "Ups," kata Leo, menirukan suara Frank Zhang semirip mungkin, "menjatuhkan Leo ke tengah-tengah sepasukan prajurit musuh. Celaka!" Hazel mencoba menahan senyum. Menurut Leo, lebih balk
tersenyum daripada muntah. "Berbaik-baiklah padanya," kata Hazel, "kau dan bola api membuat Frank gugup." "Dia itu bisa berubah jadi gajah! Masa aku membuatnya gugup"" Hazel terus memandangi kaki langit. Dia tidak tampak semual tadi, meskipun Pak Pelatih Hedge masih menyanyikan lagu Pokemon di balik kemudi. "Leo," kata Hazel, "soal kejadian di Great Salt Lake ...." Ini dia, pikir Leo. Leo teringat pertemuan mereka dengan Nemesis sang Dewi Pembalasan. Kue keberuntungan dalam sabuk perkakasnya mulai terasa lebih berat. Kemarin malam, selagi mereka terbang dari Atlanta, Leo berbaring di kabinnya dan memikirkan betapa dia telah membuat Hazel march. Dia memikirkan caranya memperbaiki kesalahan.
Tidak lama lagi, kau akan menghadapi masalah yang tidak dapat kau pecahkan, kata Nemesis, meskipun aku bisa membantumu dengan imbalan tertentu. Leo mengeluarkan kue keberuntungan dari sabuk perkakasnya scmalam dan memutar-mutar kue tersebut di jemarinya, bertanya-tanya imbalan apa yang harus dibayar jika dia membelah kue itu. Mungkin sekaranglah saatnya. "Aku bersedia," kata Leo kepada Hazel, "aku bisa menggunakan kue keberuntungan untuk menemukan adikmu." Hazel kelihatan tercengang. "Apa" Jangan! Maksudku aku tak pernah memintamu berbuat begitu. Tidak setelah perkataan Nemesis mengenai imbalan yang besar. Kita bahkan belum saling kenal!" Komentar belum saling kenal agak menyakitkan, meskipun Leo tabu itu benar. "Jadi, bukan itu yang ingin kau bicarakan"" tanya Leo, "apa kau ingin membicarakan momen bersinggungan-tangan-di-batu" Soalnya " "Bukan!" ujar Hazel cepat-cepat sembari mengipasi wajahnya dengan gaya imut, sebagaimana yang selalu dia lakukan ketika sedang jengah, "bukan, aku memikirkan caramu mengelabui Narcissus dan peri-peri hutan itu ...." "Oh, begitu." Leo melirik lengannya. Tato COWOK KEREN belum pudar seluruhnya. "Sepertinya, sih, ide bagus, waktu itu." "Kau hebat," kata Hazel, "aku sudah merenungkannya, betapa kau mengingatkanku pada " "Sammy," tebak Leo, "kuharap kau mau memberitahuku dia itu siapa." "Dia itu dulunya siapa," ralat Hazel. Udara petang terasa hangar, tapi dia menggigil. "Aku sudah berpikir-pikir aku mungkin bisa menunjukkannya padamu."
"Maksudmu pakai foto"" "Bukan. Ada semacam kilas balik yang terjadi padaku. Sudan lama aku tidak mengalaminya, dan aku tak pernah berusalta mewujudkannya secara sengaja. Tetapi aku pernah mengalami kejadian macam itu bersama Frank sebelumnya. Jadi, kukira Hazel menatap mata Leo lekat-lekat. Leo mulai merasa menggebu-gebu, seperti baru disuntik kopi. Jika Frank pernah mengalami kilas balik bersama Hazel ... entah Leo tidak mau ikut-ikutan, atau diajustru ingin mencoba. Dia tidak yakin yang mana. "Waktu kaubilang kilas balik ...." Leo menelan Judah. "Seperti apa tepatnya" Amankah"" Hazel mengulurkan tangan. "Aku tidak enak memintamu melakukan ini, tapi aku yakin ini penting. Tidak mungkin cuma kebetulan kita bertemu. Jika ini berhasil, mungkin kita akhirnya bisa memahami hubungan kita." Leo melirik ke kemudi. Dia masih dirongrong kecurigaan bahwa dia telah melupakan sesuatu, tapi Pak Pelatih Hedge tampaknya baik-baik saja. Langit di depan cerah. Kelihatannya tak ada yang tidak beres. Lagi pula, kilas balik kedengarannya sebentar saja. Tidak ada ruginya membiarkan sang pelatih pegang kendali beberapa menit saja, kan" "Oke." Leo mengalah. "Tunjukkan padaku." Leo menggamit tangan Hazel, dan dunia pun mengabur.[]
BAB DUA PULUH DUA LEO MEREKA BERDIRI DI PEKARANGAN SEBUAH kompleks bangunan tua, seperti biara. Tembok bata merah dirambati sulur tanaman. Pohon magnolia besar telah meretakkan ubin. Matahari bersinar terik, sedangkan kelembapan udara kira-kira dua ratus persen, malah lebih gerah daripada di Houston. Dari suatu tempat di dekat sana, Leo mencium aroma ikan goreng. Di atas, awan mendung berarak rendah, belang-belang seperti kulit macan. Pekarangan tersebut kira-kira seukuran lapangan basket. Bola futbol kempis teronggok di pojok, di pangkal patung Bunda Maria. Di sisi bangunan, jendela-jendela terbuka. Leo bisa melihat secercah gerakan di dalam, tapi suasana sepi, ter
kesan angker. Dia tidak melihat ada AC. Artinya, di dalam sana pasti panasnya seribu deraj at. "Kita di mana"" tanyanya. "Sekolah lamaku," kata Hazel di sebelahnya, "Akademi St. Agnes untuk Anak-anak Kulit Berwarna dan Indian." "Nama apaan ""
Leo menoleh kepada Hazel dan memekik. Hazel jadi hantu cuma siluet setipis kabut di udara lembap. Leo menunduk dait menyadari bahwa tubuhnya juga telah jadi kabut. Segala sesuatu di sekelilingnya tampak padat dan nyata, tapi dirinya adalah sesosok roh. Gara-gara dirasuki eidolon tiga half lalu, Leo tidak menyukai perasaan itu. Sebelum dia sempat bertanya, bel berbunyi di dalam: bukan bunyi bel listrik modern, melainkan dentang lonceng logam. "Ini kenangan," kata Hazel, "jadi, takkan ada yang m( lihat kita. Lihat, itu kita datang." "Kits"" Dari semua pinto, lusinan anak tumpah ruah ke pekaranga sambil berteriak-teriak dan main sikut. Kebanyakan anak Afrika Amerika, meskipun ada juga segelintir anak berwajah Hispan ik. Yang paling muda seusia murid TK, sedangkan yang paling flit seusia siswa SMA. Leo bisa tahu bahwa aktivitas ini berlangsung di masa lalu, sebab semua anak perempuan memakai rok terusan dan sepatu kulit bergesper. Anak-anak lelaki mengeakan kemeja putih dan celana yang dilengkapi bretel. Banyak yang mengenakan topi ala joki. Sebagian anak membawa bekal. Banyak yang tidak. Pakaian mereka bersih tapi usang. Sejumlah anak memakai celana panjang yang lututnya berlubang atau sepatu yang solnya sudah aus.
Segelintir anak perempuan mulai bermain lompat tali meng-gunakan tali jemuran bekas. Anak-anak lelaki yang lebih besar lempar tangkap bola basket butut. Anak-anak yang membawa bekal duduk, makan-makan, dan mengobrol. Tidak ada yang menghiraukan Hantu Hazel atau Leo. Kemudian, Hazel Hazel dari masa lalu menginjakkan kaki ke pekarangan. Leo mengenalinya tanpa kesulitan, walaupun dia kelihatannya dua tahun lebih muda daripada sekarang. Rambutnya digelung. Matanya yang keemasan bergerak ke sana kemari, icnelaah sepenjuru pekarangan dengan gelisah. Dia mengenakan .rok terusan berwarna gelap, tidak seperti anak-anak perempuan am yang memakai rok putih katun atau pastel motif bunga-bunga. jadi, dia tampak mencolok seperti pelawat dalam acara pernikahan. Hazel mencengkeram kantong bekal dari bahan kanvas dan wrgerak merapat sejajar dinding, seolah-olah berusaha keras lipaya tak diperhatikan. Upayanya tak membuahkan hasil. Seorang anak laki-laki berrseru, "Gadis penyihir!" Anak itu terhuyung-huyung meng-hampiri Hazel, menyudutkannya. Si anak laki-laki mungkin riisia empat belas atau sembilan belas. Susah menentukannya, .cbab dia teramat besar dan tinggi, kemungkinan besar yang paling besar di halaman. Leo menduga dia pernah tidak naik kelas hcberapa kali. Dia mengenakan kemeja kotor sewarna lap oli, celana wol yang sudah tipis (di tengah hawa sepanas ini, rasanya pasti tidak nyaman), dan tidak bersepatu. Barangkali para guru ter lalu takut untuk menyuruh anak ini memakai sepatu, ataubarangkali dia memang tidak punya. "Itu Rufus," kata Hantu Hazel dengan sebal. "Yang benar" Masa namanya Rufus"" kata Leo. "Ayo," kata Hantu Hazel. Dia melayang, mendekati konfrontasi tersebut. Leo mengikuti. Dia belum terbiasa mengapung, tapi Ilia pernah naik otopet dan rasanya mirip-mirip seperti itu. Dia ,,cmata-mata mencondongkan badan ke arah yang ingin dituju Ian melayang ke sana. Rufus si anak besar bermuka gepeng, seakan dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membenturkan wajah ke trotoar. Kambutnya dipangkas cepak di bagian atas. Jadi, pesawat terbang mini bisa saja menggunakannya untuk tempat pendaratan. Rufus menjulurkan tangan. "Bekal."
Hazel dari masa lalu tidak memprotes. Dia menyerat kantong kanvasnya seakan kejadian ini sudah biasa setiap ha Beberapa anak perempuan yang lebih tua mendekat untu menyaksikan keramaian tersebut. Salah satu cekikikan sambil melirik Rufus. "Jangan dimakan." Dia memperingatkan. "Siapa tahu ada racunnya." "Kau benar," ujar Rufus, "apa ini buatan ibumu yang peny Levesque"" "Ibuku bukan penyihir," gumam Hazel. Rufus menjatuhkan kantong dan menginjak-inj
ak menggilas isi kantong di bawah tumitnya yang telanjang. boleti ambil ini kembali. Tetapi, aku mau berlian. Kudengar ibu bisa mendatangkan berlian dari udara kosong. Beri aku berlian
"Aku tidak punya berlian," kata Hazel, "pergi sana." Rufus mengepalkan tinju. Leo sudah pernah memasuki sekolah dan rumah asuh yang brutal sehingga tahu bahwa keadaaii bakal memburuk. Dia ingin turun tangan dan menolong Hazel, tapi dia cuma hantu. Lagi pula, semua ini terjadi berpuluh-pululi tahun lalu. Kemudian, seorang anak lain tergopoh-gopoh ke luar gedung,
menapaki pekarangan yang disinari matahari terang. Leo terkesiap. Anak laki-laki itu persis sekali seperti dia. "Kau lihat"" tanya Hantu Hazel. Leo Palsu setinggi Leo Asli artinya, dia pendek. Dia j tidak bisa diam mengetuk-ngetukkan jemari ke celana, m bersihkan kemeja katun putihnya, membetulkan topi jok rambut cokelatnya yang keriting. (Yang benar saja, pikir I orang-orang pendek semestinya tidak memakai topi joki kec mereka memang joki.) Leo Palsu menyunggingkan senyum yang senantiasa menyambut Leo Asli kapan pun dia bercermi
ekspresi yang membuat guru-guru kontan berteriak, "Jangan macam-macam!" dan menyorongkannya ke kursi di baris depan. Rupanya, Leo Palsu baru dimarahi guru. Dia membawa topi dungu kerucut karton bertuliskan DUNGU. Leo kira yang ,cmacam itu cuma ada di film kartun. Dia mengerti apa sebabnya Leo Palsu tak memakai topi Berpenampilan mirip joki saja sudah cukup buruk. Dengan kerucut itu di kepalanya, dia bakalan menyerupai kurcaci. Sejumlah anak mundur ketika Leo Palsu turun ke lokasi. Yang lain saling sikut dan lari menghampirinya, seolah mereka inengharapkan bakal ada tontonan seru. Sementara itu, Rufus Cepak masih berusaha menggertak Hazel ,igar memberinya berlian, tidak menyadari kedatangan Leo Palsu. "Ayo, Non." Rufus menjulang tinggi di depan Hazel sambil liengepalkan tinju. "Berikan!" Hazel merapatkan diri ke tembok. Tiba-tiba saja tanah di Lakinya terbelah, seperti ranting patah. Sebutir berlian sempurna seukuran kacang mete berkilauan di antara kedua kakinya. "Ha!" Rufus berseru nyaring ketika melihatnya. Dia hendak inenunduk, tapi Hazel menjerit. "Jangan, kumohon!" seakan dia benar-benar mencemaskan kesejahteraan si besar bego. Saat itulah Leo Palsu melenggang ke dekat mereka. Ini dia, pikir Leo. Leo Palsu akan meluncurkan jurus jujitsu ala Pak Pelatih Hedge dan menyelamatkan kaum tertindas. Akan tetapi, Leo Palsu justru menempelkan puncak topi dungu ke mulutnya seperti megafon dan berteriak, "CUT!" Dia mengucapkan kata itu dengan teramat tegas sampai-yampai semua anak lain mematung untuk sementara. Bahkan Rufus pun menegakkan badan dan mundur kebingungan.
Salah seorang bocah lelaki cengengesan sambil bergurm "Sammy Banyak Aksi." Sammy ... Leo bergidik. Anak ini sebenarnya siapa" Sammy/Leo Palsu menerjang Rufus sambil memegangi topi dungu, tampak gusar. "Bukan, bukan, bukan!" Dia mengumuml sambil mengibaskan tangannya yang bebas gila-gilaan kep anak-anak lain, yang telah berkumpul untuk menonton hibu: tersebut. Sammy menoleh kepada Hazel. "Nona Lamarr, dialog Anda seharusnya ...." Sammy menoleh ke sana-kemari dengan jengl "Naskah! Apa dialog Hedy Lamarr"" "Jangan, kumohon! Teganya kauf" seru salah seorang at laki-laki. "Terima kasih!" kata Sammy, "Nona Lamarr, Anda seharusi berkata, Jangan, kumohon! Teganya kau! Dan kau, Clark Gable-Seisi pekarangan tertawa terbahak-bahak. Leo samar-sar tahu bahwa Clark Gable adalah aktor zaman dulu, tapi cuma i Namun demikian, anak-anak itu menganggap Rufus Cepak jadi Clark Gable sangat lucu. "Pak Gable " "Jangan!" pekik salah satu anak perempuan, "Gary Cooper saja
. Tawa makin meriah. Rufus kelihatannya mau meledak. diamengepalkan tinju seperti ingin menonjok seseorang, tapi tidak mungkin menyerang seisi sekolah. Dia jelas-jelas be ditertawakan, tapi otaknya yang lamban tidak bisa menerka rencana Sammy. Leo mengangguk-angguk penuh apresiasi. Sammy memo mirip dirinya. Bertahun-tahun Leo berbuat serupa demi mengha tukang gencet.
"Baiklah!" teriak Sammy tegas, "Pak Cooper, katakan, Tetapi, Sayang, berlian ini milik
ku! Kemudian, rauplah berlian itu seperti ini!" "Sammy, jangan!" protes Hazel, tapi Sammy menyambar batu berharga itu dan menyelipkannya ke saku dengan mulus. Sammy berputar menghadap Rufus. "Emosinya mana" Aku ingin para hadirin pingsan! Hadirin, apakah barusan Pak Cooper membuat Anda sekalian semaput"" "Tidak," sebagian menimpali. "Nah, Anda lihat"" seru Sammy, "baiklah, mulai dari awal!" Dia berteriak ke topi dungunya. "Action!" Rufus mulai pulih dari kebingungannya. Dia melangkah ke arah Sammy dan berkata, "Valdez, biar ku " Bel berdentang. Anak-anak berduyun-duyun ke pintu. Sammy menarik Hazel menjauh sementara anak-anak kecil yang bersikap seolah-olah mereka adalah anak buah Sammy menggiring Rufus sehingga dia terbawa arus murid-murid TK sampai ke dalam. Tidak lama kemudian, Sammy dan Hazel tinggal berdua, mengecualikan para hantu. Sammy meraup bekal Hazel yang gepeng, berlagak mem-bersihkan kantong kanvas, dan menghaturkannya sambil mem-bungkuk dalam-dalam, seolah kantong itu adalah mahkota. "Nona Lamarr." Hazel dari masa lalu mengambil bekalnya yang hancur. Kelihatannya dia hendak menangis, tapi Leo tidak tahu apakah penyebabnya karena perasaan merana atau kagum. "Sammy ... bisa-bisa Rufus menghabisimu." "Ah, dia tahu sebaiknya tak berurusan denganku." Sammy memasang topi dungu di atas topi jokinya. Dia berdiri tegak dan membusungkan dadanya yang ceking. Topi dungu kontan terjatuh.
Hazel tertawa. "Kau konyol." "Wah, terima kasih, Nona Lamarr." "Terima kasih kembali, Sayang." Senyum Sammy menghilang. Suasana jadi tidak nyaman. Hazel menatap tanah. "Kau semestinya tak menyentuh berlian itu. Bahaya." "Ah, masa," kata Sammy, "buatku tidak!" Hazel mengamat-amati Sammy dengan waswas, seperti ingin percaya. "Hal-hal buruk bisa saja terjadi. Kau semestinya tidak " "Takkan kujual," kata Sammy, "aku berjanji! Aku akan menyimpannya saja sebagai tangga terima kasihmu." Hazel tersenyum terpaksa. "Kurasa maksudmu tanda terima kasihku." "Itu Kita sebaiknya bergegas. Waktunya adegan selanjut-nya: Hedy Lamarr nyaris mati kebosanan di kelas bahasa Inggris." Sammy mengulurkan siku layaknya pria terhormat, tapi Hazel mendorongnya ke samping sambil main-main. "Terima kasih karena sudah mendampingiku, Sammy." "Nona Lamarr, aku akan selalu mendampingimu!" kata Sammy riang. Keduanya lantas lari ke dalam gedung sekolah. Leo merasa semakin mirip hantu saja. Mungkin dia sesungguhnya adalah eidolon seumur hidupnya, sebab anak yang baru saja dia lihat semestinya adalah Leo betulan. Dia lebih pintar, lebih keren, dan lebih lucu. Dia teramat lihai menggoda Hazel; jelas bahwa dia telah mencuri Kati Hazel karenanya. Pantas saja Hazel memandangi Leo dengan tatapan aneh ketika mereka pertama kali bertemu. Pantas saja Hazel mengucapkan Sammy dengan perasaan sedemikian mendalam. Namun, Leo bukan Sammy, sama seperti Rufus Cepak yang bukan Clark Gable. "Hazel," katanya, "aku aku tidak "
Pelcarangan sekolah terbuyarkan hingga jadi pemandangan berbeda. hazel dan Leo masih berwujud hantu, tapi sekarang mereka Idi ri di depan sebuah rumah bobrok di sebelah saluran air kotor yg ditumbuhi ilalang. Pohon-pohon pisang tumbuh bungkuk halaman. Di undakan, sebuah radio model lama memainkan lusik conjunto, sedangkan di beranda beratap, seorang pria tua king sedang duduk di kursi goyang sambil menerawang ke cakrawala. "Kita di mana"" tanya Hazel. Dia masih berupa kabut, tapi suaranya waswas. "Ini bukan dari kehidupanku!" Leo merasa wujud hantunya menebal jadi lebih nyata. Tempat ini anehnya tampak tidak asing. "Ini Houston." Dia menyadari. "Aku tahu pemandangan ini. man air kotor itu Ini daerah tempat tinggal ibuku dulu, cinpatnya tumbuh besar. Bandara Hobby terletak di sebelah sana." kehidupanmu"" ujar Hazel, "aku tidak mengerti! Bagai-lana "" "Kau tanya aku" Mana kutahu"" tukas Leo. Tiba-tiba sang pria tua bergumam, "Ah, Hazel ...." Bulu kuduk Leo merinding. Tatapan mata sang pria tua masih crtuju ke cakrawala. Bagaimana dia tahu mereka ada di sini" "Kurasa kita kehabisan waktu," lanjut sang pria tua melantur, "mau bagaimana lagi ...." Dia tidak melanjutkan p
erkataannya. Hazel dan Leo diam saja. Pria tua itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia melihat atau mendengar mereka. Terbetik di benak Leo bahwa laki-laki tersebut bicara sendiri. Namun, kalau benar begitu, kenapa dia mengucapkan nama Hazel"
Pria tua itu berkulit keriput dan berambut putih keriting, sedangkan tangannya berbonggol-bonggol, seolah dia telah seumur hidup bekerja di bengkel mesin. Dia memakai kemeja kuning pucat yang bersih tak bernoda, celana panjang kelabu yang dilengkapi bretel, dan sepatu hitam mengilap. Walaupun sudah lanjut usia, matanya tajam dan jernih. Dia duduk dengan gaya kalem, tapi berwibawa. Dia terlihat damai bahkan geli, seolah-olah sedang berpikir, Masa aku bisa hidup sampai selama ini" Keren! Leo lumayan yakin dia tak pernah melihat pria ini sebelumnya. Jadi, kenapa sang pria tua nampak tidak asing" Lalu Leo menyadari bahwa pria tersebut mengetuk-ngetukkan jemarinya ke lengan kursi, tapi ketukannya tidak sembarangan. Dia menggunakan kode Morse, persis seperti ibu Leo dulu dan sang lelaki tua mengetukkan pesan yang sama: Aku sayang kau. Pintu kasa terbuka. Keluarlah seorang wanita muda. Dia mengenakan celana jin dan blus hijau pirus. Rambut hitamnya dipotong pendek sekali. Dia cantik, tapi tidak imut. Lengannya berotot dan tangannya kapalan. Seperti sang pria ma, mata cokelat wanita muda itu berbinar-binar, menampakkan ekspresi geli. Dia mendekap seorang bayi yang dibalut selimut biru. "Lihat, mijo," kata wanita itu kepada si bayi, "ini bisabue mu. Bisabuelo mau menggendongnya"" Ketika Leo mendengar suara sang wanita, dia terisak. Wanita itu ibunya lebih muda daripada yang Leo ingat, tap' masih sangat hidup. Artinya, bayi dalam dekapannya Sang pria tua nyengir lebar. Giginya sempurna, seputih rambutnya. Senyum yang merekah menambah kerut-kerut di wajahnya. "Anak laki-laki! Mi bebito, Leo!" "Leo"" bisik Hazel, "itu itu kau" Apa itu bisabuelo""
Suara Leo tidak bisa keluar. Kakek buyut, dia ingin berkata. Sang pria tua menggendong Leo dalam dekapannya, terkekeh-kekeh senang dan menggelitik dagu si bayi dan Hantu Leo khirnya menyadari apa yang tengah dia lihat. Entah bagaimana, kemampuan Hazel mengunjungi masa lalu menemukan satu peristiwa yang menghubungkan kehidupan mereka berdua titik pertemuan antara garis kehidupan Leo dan hazel. Pria tua ini "Oh, ...." Hazel tampaknya menyadari identitas sang pria tua pada saat bersamaan. Suaranya jadi sangat pelan, nyaris menangis. ohh, Sammy, tidak ...." "Ah, Leo mungil," kata Sammy Valdez, yang sudah berusia uh puluhan. "Kau harus jadi pemeran penggantiku, ya" Itulah milahnya, aku rasa. Sampaikan pesanku padanya. Kuharap aku masih hidup saat waktunya tiba, tapi, ay, kutukan itu takkan mengizinkan!" Hazel terisak-isak. "Gaea Gaea memberitahuku bahwa dia meninggal karena serangan jantung, di tahun enam puluhan. Tetapi ini bukan ini tidak mungkin ...." Sammy Valdez terus berbicara kepada si bayi, sedangkan ibu Leo, Esperanza, menyaksikan sambil tersenyum pedih barangkali agak khawatir karena bisabuelo Leo melantur, agak sedih karena omongannya seperti orang pikun. "Wanita itu, Dona Callida, dia sudah memperingatkanku." Sammy menggeleng-geleng sedih. "Dia bilang bahaya besar yang dihadapi Hazel tidak terjadi semasa aku hidup. Tetapi aku janji akan mendampinginya. Kau harus menyampaikan maafku kepadanya, Leo. Bantu dia jika kau bisa." "Bisabuelo," kata Esperanza, "Bisabuelo pasti capek."
Esperanza mengulurkan lengan untuk mengambil alih si bayi, tapi sang pria tua membuainya sedikit lebih lama. Bayi Leo sepertinya senang-senang saja. "Sampaikan kepadanya aku minta maafkarena sudah menjua I berlian itu, ya"" kata Sammy, "aku mengingkari janji. Ketika dia menghilang di Alaska ... ah, kejadiannya sudah lama sekali, aim akhirnya menggunakan berlian itu, pindah ke Texas sebagaimana yang kuimpi-impikan. Aku membuka bengkel mesin. Berkeluarga! Kehidupanku penuh berkah, tapi Hazel benar. Berlian itu dikutuk. Aku tak pernah berjumpa dengannya lagi." "Oh, Sammy," kata Hazel, "tidak, bukan kutukan yang menjauhkanku. Aku ingin kembali. Aku meninggal!" Sang pri
a tua tampaknya tidak mendengar Hazel. Dia tersenyum kepada si bayi, dan mengecup kepalanya. "Kuberi kau restuku, Leo. Cicit laki-laki pertama! Aku punya firasat kau anak yang istimewa, sama seperti Hazel. Kau bukan bayi biasa, kan" Kau akan menggantikanku. Kau akan bertemu Hazel suatu hari nanti. Sampaikan salamku kepadanya." "Bisabuelo," kata Esperanza, lebih memaksa. "Ya, ya." Sammy terkekeh. "El viejo loco mengoceh terns. Aku letih, Esperanza. Kau benar. Tetapi tidak lama lagi aku akan beristirahat. Aku bersyukur atas kehidupan yang penuh berkah. Besarkan dia baik-baik, nieta." Adegan tersebut mengabur. Leo berdiri di geladak Argo II sambil menggandeng tangan Hazel. Matahari telah terbenam, dan kapal hanya diterangi lentera perunggu. Mata Hazel bengkak karena menangis. Yang mereka saksikan telah membuat keduanya kewalahan. Laut masih menggelora di bawah mereka. Kini, baru pertama kalinya, Leo merasa mereka benar-benar terombang-ambing. "Halo, Hazel Levesque," kata Leo, suaranya parau.
Dagu Hazel bergetar. Dia memutar badan dan membuka mutat untuk bicara, tapi sebelum dia sempat berucap, kapal iloyong ke samping. "Leo!" teriak Pak Pelatih Hedge. Festus mendengungkan tanda bahaya dan mengembuskan lidah api ke langit malam. Bel kapal meraung-raung. "Monster-monster yang kau khawatirkan itu"" teriak Pak Pelatih Hedge, "salah satu dari mereka menemukan kita!"[]
BAB DUA PULUH TIGA LEO LEO PANTAS MENGENAKAN TOPI DUNGU. Kalau pikirannya beres, Leo pasti sudah mengalihkan sistem deteksi kapal dari radar jadi sonar begitu mereka Pelabuhan Charleston. Itulah yang dia lupakan. Leo telah merancang lambung kapal agar beresonansi tiap beberapa detik, mengirimkan gelombang suara yang menembus kabut supaya Festus dapat mendeteksi apabila ada monster di dekat mereka, tapi hanya satu mode yang dapat difungsikan sekali waktu: mode air atau mode udara. Saking kalutnya gara-gara serangan bangsa Romawi, serbuan badai, lalu perbincangan dengan Hazel, Leo jadi lupa. Kini, seekor monster berada tepat di bawah mereka. Kapal doyong ke kanan. Hazel menggenggam tali-temali kapal Hedge berteriak, "Valdez, yang mana tombol untuk meledakan monster" Ambil kendali!" Leo memanjati geladak yang miring dan berhasil mencengkram langkan kiri kapal. Dia bergegas berjalan menyamping
menuju ke kemudi, tapi ketika dia melihat si monster muncul ke permukaan, Leo lupa caranya bergerak. Makhluk itu sepanjang kapal mereka. Di tengah pancaran sinar bulan, wujudnya menyerupai persilangan udang raksasa dan kecoa bercangkang keras merah muda, berekor gepeng mirip lobster, dan berkaki seribu yang menggeliat-geliut tiap kali menyenggol lambung Argo II. Kepalanya menyembul paling akhir wajah merah muda berlendir seperti lele raksasa. Matanya buram dengan pandangan kosong, rahangnya ompong menganga, sedangkan dari lubang hidungnya tersembullah tentakel tebal bulu hidung paling lebat dan menjijikkan yang pernah Leo Iihat seumur hidupnya. Leo teringat acara makan malam spesial hari Jumat bersama ibunya di restoran makanan laut lokal di Houston. Mereka acap kali makan udang dan lele. Kalau membayangkannya sekarang, Leo jadi ingin muntah. "Ayo, Valdez!" teriak Hedge, "pegang kemudi supaya aku bisa mengambil tongkat bisbolku!" "Tongkat bisbol takkan berguna," kata Leo, tapi dia tetap saja naik hingga ke kemudi. Di belakang Leo, teman-temannya yang lain menaiki tangga dengan terburu-buru. Percy berteriak, "Ada a Aaaah! Ada udangsaurus!" Frank lari ke samping Hazel. Anak perempuan itu menceng-keram tali-temali erat-erat, masih linglung sehabis kilas balik, tapi dia memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Si monster menabrak kapal lagi. Lambung kapal berderit. Annabeth, Piper, dan Jason terjungkal ke sisi kanan dan hampir jatuh dari kapal. Leo sampai juga di depan kemudi. Tangannya melesat cepat di panel kendali. Lewat interkom, Festus berkelotak untuk
menyampaikan kebocoran di dek bawah, tapi kapal tersebut sepertinya tidak hendak tenggelam paling tidak belum. Leo menggerakkan tuas dayung. Dayung dapat berubah jadi tombak, yang semestinya cukup untuk mengusir makhluk
itu. Sayangnya, dayung tersebut macet. Si udangsaurus pasti sudah menyenggol dayung sampai selip. Selain itu, karena jarak si monster dekat, peluncur misil tidak bisa dipakai tanpa membuat Argo II terbakar gara-gara amunisi yang terpental. "Kok dia bisa sedekat itu"" teriak Annabeth sambil bertopang pada salah satu perisai di langkan. "Aku tidak tahu!" bentak Hedge. Dia rnenoleh ke sana-kemari untuk mencari pemukulnya, yang telah menggelinding ke seberang a nj ungan. "Aku bodoh!" Leo mengomeli diri sendiri. "Bodoh, bodoh! Aku lupa menyalakan sonar!" Kapal miring semakin jauh ke kanan. Entah monster itu sedang mencoba memeluk mereka, atau dia hendak menjungkirbalikkan mereka. "Sonar"" sergah Hedge, "demi pipa Pan, Valdez! Mungkin kalau kau tidak terlalu sibuk menatap mata Hazel, bergandengan Langan lama sekali " "Apa"" pekik Frank. "Bukan begitu!" prates Hazel. "Sudahlah!" kata Piper, "Jason, bisa kau panggil petir"" Jason bangkit dengan susah payah. "Aku " Dia hanya sanggup menggelengkan kepala. Saat memanggil badai tadi energinya telah terkuras terlalu banyak. Dalam kondisinya sekarang, Leo bahkan ragu cowok malang itu bisa menyulut busi. "Percy!" kata Annabeth, "bisakah kau bicara pada makhluk itu" Apa kau tahu dia itu apa""
Putra Dewa Laut menggelengkan kepala, kentara sekali kebingungan. "Mungkin dia cuma penasaran pada kapal ini. Mungkin " Tentakel-tentakel monster mencambuki dek cepat sekali sampai-sampai Leo tidak sempat berteriak, Awas! Salah satunya menghantam dada Percy dan menjatuhkannya ke tangga. Satu lagi membelit tungkai Piper dan menyeretnya, yang menjerit-jerit, ke arah langkan. Lusinan lainnya mencengkeram tiang layar, melilit busur silang, dan memutuskan tali-temali pengikat layar. "Serangan bulu hidung!" Hedge menyambar tongkat bisbol dan melompat untuk beraksi; tapi pukulannya mental di tentakel-tentakel itu tanpa berdampak apa-apa. Jason menghunus pedangnya. Dia mencoba membebaskan Piper, tapi dia masih lemas. Bilah emas pedangnya tidak kesulitan memotong tentakel itu, tapi tentakel-tentakel lain muncul menggantikan yang putus, lebih cepat daripada kemampuan Jason memotong yang lama. Annabeth mencabut belatinya. Dia lari ke antara sulur-sulur tentakel, menghindar dan menikam target mana pun yang dapat diincarnya. Frank menyiagakan busurnya. Pemuda itu membidik sisi tubuh makhluk itu, menancapkan panah di sela-sela cangkang; tapi si monster tampaknya tidak kesakitan, malah jadi kesal dibuatnya. Ia menggerung, dan menggoyang-goyangkan kapal. Tiang layar berderit seperti mau panah. Mereka butuh senjata api yang lebih kuat, tapi mereka tak bisa menggunakan ketapel. Mereka harus meluncurkan ledakan yang takkan menghancurkan kapal. Namun, bagaimana ..." Mata Leo tertumbuk pada peti perbekalan di samping kaki Hazel.
"Hazel!" teriaknya, "kotak itu! Buka!" Hazel ragu-ragu, kemudian melihat kotak yang Leo maksud. Labelnya berbunyi PERINGATAN. JANGAN DIBUKA. "Buka!" teriak Leo lagi, "Pak Pelatih! Ambil kemudi! Arahkan kapal ke badan monster itu. Kalau tidak, bisa-bisa kita terbalik." Kaki kambing Hedge yang gesit berjingkat di antara tentakel-tentakel. Sementara itu, tangannya main getok sepenuh hati. Dia melompat ke depan kemudi dan mengambil alih kendali. "Moga-moga kau punya rencana!" teriak sang satir. "Rencana jelek." Leo melaju ke tiang layar. Si monster membenturkan diri ke Argo II. Geladak miring hingga empat puluh lima derajat. Meskipun semua orang berusaha keras, terlalu banyak tentakel yang harus dilawan. Tentakel-tentakel itu tampaknya bisa memanjang sesukanya. Tidak lama lagi Argo II bakal terbelit. Percy belum muncul-muncul dari bawah. Yang lain berjuang mempertahankan nyawa dari serangan bulu hidung. "Frank!" panggil Leo sambil lari menghampiri Hazel, "ulur-ulurlah waktu! Bisakah kau berubah jadi hiu atau semacamnya"" Frank melirik ke samping sambil memberengut; dan tepat saat itu, sebuah tentakel menghantamnya dan menjungkalkannya dari kapal. Hazel menjerit. Dia membuka kotak perbekalan dan hampir menjatuhkan dua labu kaca yang dipegangnya. Leo menangkap kedua labu tersebut. Masing-masing be
rukuran sebesar apel, sedangkan cairan di dalamnya berpendar hijau seram mirip racun. Kacanya terasa hangat saat disentuh. Dada Leo serasa mau meledak karena rasa bersalah. Dia Baru saja mengalihkan perhatian Frank dan barangkali membuat pemuda itu tewas, tapi dia tidak boleh memikirkan itu. Dia harus menyelamatkan kapal ini.
"Ayo!" Dia menyerahkan salah satu labu kepada Hazel. "Kita pasti bisa membunuh monster itu dan menyelamatkan Frank!" Leo harap dirinya tidak bohong. Untuk mencapai langkan kiri, mereka harus mendaki alih-alih berjalan, tapi akhirnya mereka sampai. "Apa ini"" kata Hazel terengah-engah sambil membuai labu kaca. "Api Yunani!" Mata Hazel membelalak. "Apa kau gila" Jika ini pecah, seisi kapal bakal terbakar!" "Mulut labu!" kata Leo, "tuangkan saja isi " Tiba-tiba Leo menabrak Hazel, dan dunia jadi miring. Sementara mereka terangkat ke udara, Leo menyadari bahwa mereka dibelit tentakel. Lengan Leo bebas, tapi dia harus berusaha sekuat tenaga supaya labu api Yunani tidak lepas dari genggamannya. Hazel meronta. Lengan Hazel terjepit, artinya labu yang terjebak di antara mereka bisa pecah kapan saja dan andai itu terjadi, dampaknya bakal buruk untuk kesehatan mereka. Mereka naik tiga meter, enam meter, sembilan meter ke atas si monster. Sekilas Leo melihat teman-temannya yang kewalahan, berteriak-teriak dan menebas bulu hidung sang monster. Dia menyaksikan Pak Pelatih Hedge berjuang supaya kapal tidak terbalik. Lautan gelap, tapi di bawah sinar rembulan Leo seperti melihat benda mengilap terapung di dekat si monster mungkin tubuh Frank Zhang yang sedang tak sadarkan diri. "Leo," sengal Hazel, "aku tak bisa lenganku "Hazel," kata Leo, "apa kau percaya padaku"" "Tidak!" "Aku juga." Leo mengakui. "Waktu makhluk ini menjatuhkan kita, tahan napasmu. Apa pun yang kau lakukan, cobalah lempar labumu sejauh-jauhnya dari kapal."
"Kenapa kenapa dia bakal menjatuhkan kita"" Leo menatap kepala monster. Meski susah, dia tak punya pilihan. Leo mengangkat labu di tangan kirinya. Dia merapatkan tangan kanan ke tentakel dan mendatangkan api ke telapak tangannya api putih membara yang difokuskan di satu titik saja. Panasnya api menarik perhatian si monster. Sekujur tubuh makhluk itu menggeletar hingga ke tentakel saat kulitnya melepuh di bawah sentuhan Leo. Si monster mendongakkan rahangnya, meraung kesakitan, dan Leo pun melemparkan api Yunani langsung ke dalam tenggorokan makhluk tersebut. Di antara percikan air asin yang memedihkan, Leo seperti melihat siluet samar-samar lambung kapal di atas bentuk lonjong gelap yang dikelilingi korona hijau berapi-api, tapi Leo tidak tabu apakah kapal terbakar atau tidak. Dibunuh udang raksasa, pikir Leo getir. Setidaknya Argo II selamat. Semoga teman-temanku baik-baik saja. Penglihatannya mengabur. Paru-parunya sesak. Tepat saat Leo hendak menyerah, sebuah wajah aneh mem-bayang di atasnya pria yang miri.p Chiron, pelatih mereka di Perkemahan Blasteran. Sama seperti Chiron, dia berambut keriting, berjanggut lebat, dan bermata cerdas perpaduan hippie liar dengan profesor kebapakan, hanya saja kulit pria ini berwarna hijau muda seperti kacang panjang. Sang pria mengangkat sebilah belati tanpa bersuara. Ekspresinya muram dan galak, seolah hendak mengatakan: Nah, diam ya. Kalau tidak, aku tak bisa membunuhmu dengan benar. Leo pun pingsan.
Ketika Leo tersadar, dia bertanya-tanya apakah dirinya jadi hantu dalam kilas balik lagi, sebab dia terapung-apung seolah tanpa
bobot. Matanya pelan-pelan menyesuaikan diri terhadap cahaya redup. "Sudah waktunya." Suara Frank bergaung, seakan dia bicara dari balik beberapa lapis plastik. Leo duduk tegak atau lebih tepatnya mengapungkan diri sampai tegak. Dia berada di bawah air, dalam gua seukuran garasi berkapasitas dua mobil. Lumut berpendar menyelimuti langit-langit, membanjiri ruang tersebut dengan binar hijau kebiruan. Lantai dilapisi oleh hamparan bulu babi sehingga kurang nyaman untuk dipijak, alhasil Leo bersyukur dia mengapung. Dia tidak mengerti bagaimana sampai dia bisa bernapas tanpa udara. Frank melayang-layang di dekat sana sambil bersila.
Berkat wajahnya yang tembam dan ekspresinya yang cemberut, dia jadi mirip Buddha yang telah mencapai pencerahan dan malah tidak puas. Satu-satunya pinto gua dihalangi cangkang abalon maha-besar permukaannya dikilaukan warna-warni putih mutiara, merah muda, dan biru pirus. Jika gua ini adalah penjara, paling tidak pintunya keren. "Di mana kita"" tanya Leo, "di mana yang lain"" "Yang lain"" gerutu Frank, "aku tidak tahu. Setahuku hanya kau, aku, dan Hazel yang ada di sini. Manusia kuda-ikan membawa pergi Hazel kira-kira sejam lalu, meninggalkanku denganmu." Dari nada suara Frank, kentara sekali dia tidak menyetujui penempatan tersebut. Dia kelihatannya tidak terluka, tapi Leo menyadari pemuda itu tak lagi membawa busur atau wadah panahnya. Dengan panik, Leo menepuk-nepuk pinggangnya. Sabuk perkakasnya tidak ada. "Mereka menggeledah kita," ujar Frank, "membawa apa saja yang bisa dijadikan senjata." "Siapa"" tuntut Leo, "siapa itu kuda-ikan ""
"Manusia kuda-ikan." Frank mengklarifikasi. Klarifikasinya sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. "Mereka pasti menangkap kita ketika kita jatuh ke laut, kemudian menyeret kita entah ke mana." Leo teringat hal terakhir yang dia lihat sebelum pingsan wajah hijau muda seorang pria berjanggut yang membawa belati. "Monster udang. Argo 2 apa kapal baik-baik saja"" "Aku tidak tahu," kata Frank kecut, "yang lain mungkin sedang kesulitan atau terluka, atau atau lebih parah lagi. Tetapi kurasa kau lebih peduli pada kapalmu daripada teman-teman kita." Leo merasa seakan-akan wajahnya baru menghantam air lagi. "Ucapan bodoh apa "" Kemudian, Leo menyadari apa sebabnya Frank demikian marah: kilas balik. Serangan monster terjadi begitu cepat sampai-sampai Leo hampir lupa. Pak Pelatih Hedge melontarkan komentar tolol mengenai Leo dan Hazel yang bergandengan dan bertatapan. Apalagi tepat sesudah itu, Leo membuat Frank terjungkal dari kapal. Mendadak Leo jadi sulit memandang mata Frank. "Dengar, Bung ... maaf aku menjerumuskan kita ke dalam kekacauan ini. Aku benar-benar mengacau." Dia menarik napas dalam-dalam. Anehnya, rasanya normal, padahal dia berada di bawah air. "Aku dan Hazel bergandengan bukan seperti yang kau kira. Dia menunjukiku kilas balik dari masa lalunya, untuk mencari tahu hubunganku dengan Sammy." Ekspresi marah Frank mulai melunak, digantikan oleh mimik penasaran. "Apa dia apa kalian berhasil"" "Iya," kata Leo, "kurang-lebih, sih. Kami tidak sempat membicarakannya sesudah itu gara-gara si udangsaurus, tapi Sammy itu ternyata kakek buyutku."
Dia memberi tahu Frank apa yang mereka lihat. Dia belu meresapi betapa ganjil pengalamannya tadi, tapi sekarang, selagi menerangkan keras-keras, Leo jadi terheran-heran sendiri. Hazel ternyata naksir bisabuelo-nya, lelaki yang sudah meninggal ketikaa Leo masih bayi. Leo tidak menduga macam-macam sebelumnya, tapi dia samar-samar teringat sejumlah kerabat yang sudah berumur memanggil kakeknya Sam Junior. Artinya Sam Senior adalah Sammy, bisabuelo Leo. Pada suatu saat, Tia Callida De wi Hera sendiri malah pernah bicara dengan Sammy, menghibur dan memperlihatkannya masa depan. Dengan kata lain, Hera telah membentuk kehidupan Leo bergenerasi-generasi sebelum dia dilahirkan. Kalau saja Hazel tetap tinggal di tahun 1940-an, kalau saja dia menikahi Sammy, Leo mungkin bakal jadi cicitnya. "Ya, ampun," kata Leo ketika selesai bercerita, "aku jadi mual. Tetapi aku bersumpah demi Sungai Styx, itulah yang kami liha Frank menampakkan raut muka persis seperti kepala lele si udang saurus mata kosong membelalak dan mulut menganga. "Hazel ... Hazel suka pada kakek buyutmu" Itukah sebabnya dia suka padamu"" "Frank, aku tahu ceritaku aneh. Percayalah padaku. Tetapi aku tidak suka pada Hazel bukan suka yang seperti itu. Aku tidal keluh si laba-laba, "melebihi yang bisa kubuat dalam waktu
setahun." Itulah yang diharapkan Annabeth. Dia telah memperhitungkan massa dan ukuran sesuai dengan asumsi tersebut. "Kau harus melepas jejaring yang menutupi patung," kata Annabeth, "gunakan benangnya." Arachne sepertinya keberatan, tapi Annabeth melambai ke Athena Parthenon seol
ah benda itu tidaklah berarti. "Mana yang lebih penting menutupi patung tua itu atau membuktikan bahwa karya senimulah yang terbaik" Tentu saja, kau harus sangat berhati-hati. Kau harus menyisakan jejaring yang memadai untuk menahan ruangan ini. Kalau menurutmu itu terlalu susah " "Aku tidak berkata begitu!" "Oke. Hanya saja ... Athena bilang anyaman bangun ruang ini mustahil diciptakan penenun mana pun, bahkan dirinya. Jadi, kalau menurutmu kau tidak bisa " "Athena bilang begitu"" "Iya.
"Konyol! Aku bisa melakukannya!"
"Hebat! Tetapi kau harus mulai sekarang juga, sebelum bangsa Olympia memilih pajangan karya seniman lain."
Arachne menggeram. "Kalau kau menipuku, Gadis Kecil "
"Kau bisa menawanku di sini." Annabeth mengingatkannya. "Lagi pula, aku toh tidak bisa ke mana-mana. Begitu patung tersebut rampung, kau pasti setuju bahwa inilah karya terbaik yang pernali kau buat. Jika tidak, aku bersedia mati."
Arachne ragu-ragu. Kakinya yang berduri teramat dekat. Dia bisa saja menyula Annabeth dengan sekali tebas.
"Baildah," kata si laba-laba,
satu tantangan terakhir melawan diriku sendiri!"
Arachne memanjati sarangnya dan mulai mengurai anyaman yang menyelubungi Athena Parthenos. []
BAB LIMA PULUH ANNABETH ANNABETH LUPA WAKTU. Dia bisa merasakan bahwa ambrosia yang tadi dimakannya mulai memulihkan kakinya, tapi nyerinya masih tak terperi sampai ke lehernya yang berdenyut-denyut. Di dinding, laba-laba kecil merangkak ke sana-sini dalam kegelapan, seakan tengah menanti perintah majikan mereka. Ribuan laba-laba bergemeresik di balik tapestri, membuat tenunan pemandangan bergerak-gerak bagai ditiup angin.
Annabeth duduk di lantai rapuh dan berusaha menyimpan kekuatannya. Selagi Arachne tidak memerhatikan, Annabeth berupaya mengirimkan sinyal lewat iaptop Daedalus untuk menghubungi teman-temannya, tapi tentu saja dia tidak beruntung. Dia pun tak punya kegiatan selain menonton dengan takjub sementara Arachne bekerja, kedelapan kakinya bekerja dengan kecepatan yang menghipnotis, pelan-pelan mengurai benang-benang yang menyelimuti patung.
Berkat gaunnya yang keemasan serta wajah gadingnya yang cemerlang, Athena Parthenos malah tampak lebih menakutkan
Arachne mulai menenun. Kerjanya lambat, mengubah helaian benang jadi lembaran kain. Ruangan tersebut berguncang. Retakan di kaki Annabeth melebar. Jika Arachne menyadari hal tersebut, dia tampaknya tidak peduli. Annabeth mempertimbangkan untuk mendorong si laba-laba ke dalam lubang, tapi dia mengesampingkan ide itu. Lubang di lantai tidak cukup besar. Lagi pula, andaikan lantai ambruk, Arachne mungkin bisa saja menggelantung dari benang dan meloloskan diri, sedangkan Annabeth dan patung kuno bakal terperosok ke Tartarus. Lambat laun Arachne merampungkan lembar-lembar anyam-an dan menenunnya jadi saw. Keterampilannya tak bercela. Mau tak mau, Annabeth terkesan. Lagi-lagi dia merasakan secercah keraguan terhadap ibunya. Bagaimana kalau Arachne memang 1 ebih mahir menenun daripada Athena" Namun, intinya bukan keahlian Arachne. Dia dihukum karena sombong dan lancang. Tak peduli sehebat apa diri kita, kita tidak boleh menghina para dewa. Mestinya kita ingat bahwa selalu ada yang lebih hebat daripada kita, yaitu bangsa Olympia. Oleh sebab itu, kita tak boleh besar kepala. Walau begitu dijadikan monster laba-laba abadi gara-gara menyombong sepertinya merupakan hukuman yang terlalu berat. Arachne bekerja semakin cepat, menyatukan lembar-lembar anyaman. Tidak lama kemudian, bangun ruang tersebut sudah jadi. Di kaki patung, terhampar sebuah tabung yang ditenun dari lima lembar anyaman, diameternya satu setengah meter dan panjangnya tiga meter. Permukaan tabung itu berkilau seperti cangkang abalon, tapi Annabeth tak merasakan keindahannya. Kreasi itu semata-mata bernilai fungsional: sebuah jebakan. Benda itu hanya indah jika ampuh sebagai jebakan.
Arachne menoleh kepada Annabeth sambil tersenyum lapar. "Beres! Nah, sekarang imbalanku! Buktikan kepadaku bahwa kau bisa mewujudkan janjimu." Annabeth mengamat-amati jebakan itu. Dia mengerutkan kening dan berjalan mengelilingi tabung tersebut
, memeriksa anyaman dari tiap sudut. Lalu, setelah berjongkok dengan Kati-hati supaya tidak menyakiti kakinya yang patah, Annabeth merangkak ke dalam silinder itu. Dia sudah menghitung di kepalanya. Jika perhitungan Annabeth keliru, kandaslah rencananya. Namun, Annabeth merangkak di dalam terowongan itu tanpa menyentuh sisi-sisinya. Jejalin benangnya memang lengket, tapi masih bisa dilewati. Annabeth keluar dari ujung satunya lagi dan meng-gelengkan kepala. "Ada cacatnya," kata Annabeth. "Apa"!" pekik Arachne, "mustahil! Aku mengikuti instruksi-mu " "Di dalam," ujar Annabeth, "masuk dan lihatlah sendiri. Tepat di tengah-tengah anyamannya cacat." Mulut Arachne berbusa-busa. Annabeth takut dia terlalu memaksa, dan si laba-laba bakal mencaploknya. Bisa-bisa Annabeth bernasib seperti tulang belulang di sarang laba-laba. Namun demikian, Arachne justru menjejakkan kedelapan kakinya dengan gaya merajuk. "Aku tidak melakukan kesalahan." "Oh, cuma kesalahan kecil, kok," kata Annabeth, "kemung-kinan besar kau bisa memperbaikinya. Tetapi aku tidak mau menunjukkan apa-apa pada dewa-dewi kecuali karya terbaikmu. Begini, masuklah dan periksa saja. Kalau kau bisa membetulkannya, maka akan kita tunjukkan kreasi ini pada bangsa Olympia. Kau akan jadi seniman paling terkenal sepanjang masa. Mereka barangkali bakal memecat Sembilan Mousai dan mempekerjakanmu untuk
memonitor seluruh cabang kesenian. Dewi Arachne ya, aku takkan terkejut." "Dewi ...." Napas Arachne tercekat. "Ya, ya. Akan kuperbaiki cacat tersebut." Dia menyembulkan kepala ke dalam terowongan. "Di mana"" "Tepat di tengah," desak Annabeth, "terus saja. Mungkin agak kesempitan buatmu." "Aku tidak apa-apa!" Arachne membentak, dan menggeliut ke dalam. Sebagaimana yang diharapkan Annabeth, perut si laba-laba muat di dalam, tapi pas-pasan sekali. Sementara dia mendesak ke dalam, anyaman tersebut mengembang untuk mengakomodasi badannya. Masuklah seluruh tubuh Arachne, sampai ke kelenjar-kelenjarnya. "Aku tidak melihat ada cacat!" Dia mengumumkan. "Masa"" tanya Annabeth, "wah, aneh. Keluarlah. Biar kulihat lagi." Saat penentuan. Arachne menggeliut, berusaha mundur. Jejalin terowongan menyempit di sekeliling Arachne dan mengekangnya. Dia mencoba menggeliut ke depan, tapi perangkap tersebut sudah menempel ke abdomennya. Dia tidak bisa keluar lewat depan juga. Annabeth takut kalau-kalau kaki berduri si laba-laba bakal melubangi anyaman benang, tapi kaki Arachne terimpit rapat-rapat ke tubuhnya sehingga nyaris tak dapat digerakkan. "Apa apa ini"" teriak Arachne, "aku tersangkut!" "Ah," kata Annabeth, "aku lupa memberitahumu. Karya seni ini disebut Chinese Handcuff. Versi yang lebih besar, setidaknya. Kunamai kreasi ini Chinese Spidercuff." erat-erat."Pengkhianatan!" Arachne meronta-ronta, berguling-guling, dan menggeliung, tapi perangkap tersebut mengungkungnya erat-
"Perkara bertahan hidup," koreksi Annabeth, "kau toh bakal membunuhku pada akhirnya, entah aku menolongmu atau tidak. Betul, kan"" "Tentu saja! Kau anak Athena." Perangkap berhenti bergerak. "Maksudku tidak, tentu tidak! Aku menjunjung janjiku." "He-eh." Annabeth melangkah mundur sementara anyaman silindris itu mulai bergoyang-goyang lagi. "Biasanya jebakan ini terbuat dari anyaman bambu, tapi benang laba-laba malah lebih bagus. Anyamannya akan mengekangmu erat-erat. Selain itu, bahannya yang kuat tidak mudah koyak. Kau sekali pun takkan sanggup mengoyaknya." "Gahhhh!" Arachne berguling-guling dan meronta, tapi Annabeth menyingkir. Walaupun pergelangan kakinya patah, dia tidak kesulitan menghindari borgol jari raksasa. 'Akan kuhabisi kau!" Arachne bersumpah. "Maksudku tidak, aku akan berbaik-baik padamu jika kau mengeluarkanku." "Akan kusimpan tenagaku kalau aku jadi kau." Annabeth menarik napas dalam-dalam, untuk pertama kalinya merasa rileks sesudah berjam-jam. "Akan kupanggil teman-temanku." "Kau kau akan memanggil mereka untuk memamerkan karya seniku"" tanya Arachne penuh harap. Annabeth menelaah ruangan tersebut. Pasti ada cara untuk mengirimkan pesan-Iris ke Argo II. Masih ada sisa air di botol Annabeth, tapi bagaim
ana caranya menghasilkan cahaya serta kabut yang mencukupi untuk menciptakan pelangi di gua gelap" Arachne mulai berguling-guling lagi. "Kau memanggil teman-temanmu untuk membunuhku!" jeritnya, "aku takkan mati! Tidak seperti ini!" "Tenang," ujar Annabeth, "akan kami biarkan kau hidup. Kami hanya menginginkan patung." "Patung""
"Ya." Annabeth seharusnya tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi rasa takutnya berganti jadi amarah dan kekesalan. "Karya seni yang akan kupajang paling mencolok di Gunung Olympus" Bukan karyamu. Athena Parthenos pantas berada di sana tepat di tengah-tengah taman dewata." "Jangan! Jangan, tidak cocok!" "Tidak sekarang, kok," kata Annabeth, "pertama-tama akan kami bawa serta patung ini ke Yunani. Sebuah ramalan memberi tahu kami bahwa patung ini punya kekuatan untuk membantu mengalahkan para raksasa. Setelah itu ya, kami tidak bisa mengembalikannya ke Parthenon. Bisa heboh jadinya. Athena Parthenos akan lebih aman di Gunung Olympus. Patung ini akan mempersatukan anak-anak Athena dan mendamaikan bangsa Romawi serta Yunani. Terima kasih sudah menjaganya berabad-abad ini. Kau sudah berjasa besar bagi Athena." Arachne menjerit dan meronta. Sehelai benang memancar dari kelenjarnya dan menempel ke selembar tapestri di dinding. Arachne mengempiskan perutnya dan merobek-robek tenunan itu dengan membabi buta. Dia terus berguling, menyemprotkan benang sembarangan, menggulingkan tungku magis dan mencabuti ubin dari lantai. Ruangan berguncang. Tapestri mulai terbakar. "Hentikan!" Annabeth terpincang-pincang untuk menghindari benang laba-laba. "Kau akan meruntuhkan seisi ruangan dan menewaskan kita berdua!" "Lebih baik begitu daripada melihatmu menang!" pekik Arachne, "anak-anakku! Bantu aku!" Mduh, gawat. Annabeth berharap aura patung bakal menghalau laba-laba kecil, tapi Arachne terus menjerit-jerit, meminta bantuan mereka. Annabeth mempertimbangkan untuk membunuh laba-laba betina itu guna membungkamnya. Akan lebih mudah
untuk menggunakan pisaunya sekarang. Namun, dia enggan membunuh monster yang tak berdaya, bahkan Arachne. Lagi pula, jika Annabeth menghunjam anyaman tersebut, bisa-bisa jebakan itu terburai. Siapa tahu Arachne malah bisa membebaskan diri sebelum Annabeth sempat menghabisinya. Semua pemikiran ini datang terlambat. Laba-laba berduyun-duyun, hendak memasuki ruangan. Patung Athena berpendar semakin terang. Para laba-laba kentara sekali tak mau mendekat, tapi mereka beringsut maju, seakan tengah mengerahkan keberanian. Ibu mereka menjerit-jerit minta tolong. Pada akhirnya mereka bakal menghambur masuk, membuat Annabeth kewalahan. "Arachne, hentikan!" teriak Annabeth, "akan Entah bagaimana, Arachne berputar dalam kurungannya, mengarahkan abdomen ke tempat suara Annabeth berasal. Sehelai benang menghantam dada Annabeth bagaikan sarung petinju kelas berat. Annabeth terjatuh, sekujur tungkainya dirambati rasa nyeri. Annabeth mencabik-cabik benang laba-laba dengan belati semen-tara Arachne menariknya mendekati capit yang terbuka-tutup. Annabeth berhasil memotong benang dan merangkak menjauh, tapi laba-laba kecil mengepungnya. Dia menyadari upaya terbaiknya tidaklah cukup. Dia takkan bisa keluar dari sini. Anak-anak Arachne akan membunuhnya di kaki patung ibunya. Percy, pikir Annabeth. Maafkan aku. Tepat saat itu, ruangan mendecit, kemudian langit-langit gua remuk berkeping-keping disertai pancaran cahaya menyilaukan.[]
BAB LIMA PULUH SATU ANNABETH ANNABETH SUDAH PERNAH MENYAKSIKAN HAL-HAL aneh, tapi tapi dia tak pernah melihat hujan mobil. Saat atap gua itu runtuh, sinar matahari membutakannya. Sekilas dia melihat Argo 2 melayang di atas. Pasti kapal itu meng-gunakan ketapel untuk meledakkan langit-langit kuil sampai bolong. Bongkahan aspal sebesar pintu garasi terjerumus ke ruangan beserta enam atau tujuh mobil buatan Itali. Salah satu bakal menimpa Athena Parthenos, kalau saja patung itu tidak memancarkan aura terang yang berfungsi sebagai semacam medan pelindung. Terpentallah mobil itu. Sayangnya, mobil tersebut meluncur tepat ke arah Annabeth. Dia melompat ke samping, membuat kakinya yang cedera
terkilir. Gelombang rasa nyeri hampir membuat Annabeth pingsan, tapi dia masih sempat menelentang dan melihat Fiat 500 merah cerah yang membentur perangkap Arachne, melubangi lantai gua, dan menghilang beserta Chinese Spidercuff.
Saat Arachne terjun bebas, dia menjerit bagaikan kereta api barang yang hendak tabrakan; tapi teriakannya kian lirih dalam sekejap. Di sekitar Annabeth, puing-puing yang berjatuhan menubruk lantai, melubanginya di sana-sini. Athena Parthenos tetap tak terusik, meskipun marmer di bawah landasannya sudah retak-retak. Sarang laba-laba menempel di sekujur tubuh Annabeth. Annabeth menelusuri benang laba-laba lengket yang terjulur dari lengan dan kakinya bagai tali boneka Marionette. Entah bagaimana, badannya tak tertimpa puing-puing sama sekali. Annabeth ingin memercayai bahwa patung itu telah melindunginya, walaupun dia curiga bahwa dirinya hanya beruntung. Pasukan laba-laba telah menghilang. Entah mereka kabur ke kegelapan atau jatuh ke dalam jurang. Sementara cahaya matahari membanjiri gua, tapestri Arachne di Binding menyerpih jadi debu. Annabeth tak tahan nrielihatnya terutama tapestri yang menggambarkan dirinya dan Percy. Namun, segalanya terlupakan ketika Annabeth mendengar suara Percy dari atas: "Annabeth!" "Di sini!" isak Annabeth. Seluruh rasa takut seolah meninggalkannya seiring satu teriakan nyaring itu. Saat Argo II turun, Annabeth melihat Percy mencondongkan badan ke batik langkan kapal. Senyum Percy lebih memesona daripada tapestri many pun yang pernah Annabeth lihat. Ruangan itu terus berguncang, tapi Annabeth masih bisa berdiri. Lantai di kakinya sementara ini tampak stabil. Tas punggung Annabeth hilang, begitu pula laptop Daedalus. Pisau perunggu Annabeth, yang sudah dimilikinya sejak dia berumur tujuh tahun, juga lenyap barangkali jatuh ke dalam lubang. Namun, Annabeth tidak peduli. Dia masih hidup.
Annabeth beringsut ke tepi lubang menganga yang dihasilkan Fiat 500. Dinding batu bergerigi terjatuh juga ke dalam kegelapan sejauh mata memandang. Tubir sempit menjorok di sana-sini, tapi Annabeth lihat tidak ada apa-apa di atasnya cuma helaian benang laba-laba yang terkulai layu bagaikan kertas krep hiasan Natal. Annabeth bertanya-tanya apakah perkataan Arachne mengenai jurang itu memang benar. Apakah si laba-laba telah terperosok ke Tartarus" Annabeth berusaha merasa puas saat memikirkan hal itu, tapi dia justru sedih. Arachne memang menciptakan karya yang indah. Dia sudah menderita selama berabad-abad. Kini tapestrinya yang terakhir luluh lantak. Setelah semua itu, terperosok ke Tartarus sepertinya merupakan nasib yang terlalu tragis. Annabeth samar-samar menyadari bahwa Argo II tengah mengapung kira-kira dua belas meter dari lantai. Tangga tali telah diulurkan ke bawah, tapi Annabeth malah berdiri sambil bengong dan menatap ke kegelapan. Kemudian, tiba-tiba Percy muncul di sampingnya, menggamit jemari Annabeth. Percy memandu Annabeth dengan lembut menjauhi lubang dan merangkulnya. Annabeth merapatkan wajahnya ke dada Percy dan menangis terisak-isak. "Tidak apa-apa," ajar Percy, "kita bersama lagi." Percy tidak mengucapkan kau tidak apa-apa atau kita masih hidup. Selepas cobaan berat yang mereka lalui setahun terakhir ini, Percy tahu yang terpenting adalah mereka bersama lagi. Annabeth bersyukur Percy berkata begitu. Teman-teman Annabeth dan Percy berkumpul mengelilingi mereka. Nico di Angelo ada di sana, tapi pikiran Annabeth demikian ruwet sampai-sampai dia tidak merasa kaget. Sepertinya wajar saja bahwa Nico bersama mereka.
"Kakimu." Piper berlutut di sebelah Annabeth dan memeriksa bebat plastik bergelembung. "Oh, Annabeth, apa yang terjadi"" Annabeth mulai menjelaskan. Bicara memang susah, tapi semakin dia bercerita, kata-kata keluar semakin mudah. Percy tidak melepaskan tangannya, sehingga membuat Annabeth lebih percaya diri. Seusai Annabeth bercerita, teman-temannya melongo karena takjub. "Demi bangsa Olympia," kata Jason, "kau melakukan semua itu seorang diri. Selagi patah pergelangan kaki." "Ralat sebagian selagi patah pergelangan kaki." Percy nyengir. "Kau mengelabui A
rachne sehingga menenun perangkapnya sendiri" Aku tahu kau panjang akal, tapi demi Hera Mahaagung Annabeth, kau berhasil. Anak-anak Athena selama bergenerasi-generasi sudah mencoba dan gagal. Kau menemukan Athena Parthenos!" Semua orang menatap patung tersebut. "Mau kita apakan patung itu"" tanya Frank, "besar sekali ukurannya." "Kita harus membawa serta patung itu ke Yunani," kata Annabeth, "patung itu punya kekuatan. Entah bagaimana, dia bisa membantu kita mengalahkan para raksasa." " Tulang raksasa tegak kemilau dan pucat," kutip Hazel, " dimenangkan dengan rasa sakit Bari penjara yang ditenun." Dipan-dangnya Annabeth dengan kagum. "Penjara yang ditenun itu adalah hasil tenunan Arachne. Kau berhasil mengelabuinya." Dengan susah payah, pikir Annabeth. Leo mengangkat Langan. Dia membentuk bingkai foto mengelilingi Athena Parthenos dengan jari-jarinya, seperti sedang mengukur. "Harus diatur-atur, sih, tapi menurutku patung itu bisa dimasukkan lewat lewat tingkap di istal. Kalau tidak seluruhnya
muat, barangkali aku harus membungkus kakinya dengan bendera atau apalah." Annabeth bergidik. Dia membayangkan Athena Parthenos mencuat dari trireme mereka, landasannya ditempeli tanda berbunyi: HATI-HATI! BARANG PECAH BELAH! Kemudian, Annabeth teringat larik terdahulu ramalan itu: Kembar bendung napas sang malaikat, pemegang kunci maut nan abadi. "Bagaimana dengan kalian"" tanyanya, "apa yang terjadi pada kedua raksasa itu"" Percy bercerita kepada Annabeth tentang proses penyelamatan Nico, kemunculan Bacchus, dan pertarungan melawan raksasa kembar di Koloseum. Nico tidak banyak bicara. Cowok malang itu seperti baru tersesat di gurun pasir selama enam minggu. Percy menjelaskan temuan Nico tentang Pintu Ajal, yang harus ditutup dari kedua sisinya. Meskipun cahaya matahari tumpah ruah dari atas, kabar Percy membuat gua itu terkesan gelap lagi. "jadi, sisi fana Pintu Ajal terletak di Epirus," kata Annabeth, "paling tidak kita bisa mencapai tempat itu." Nico meringis. "Tetapi masalahnya di sisi yang sebelah lagi. Tartarus." Kata itu seolah bergema di ruangan. Lubang di bawah mereka menyemburkan udara dingin. Saat itulah Annabeth yakin seyakin-yakinnya. Jurang tersebut memang terhubung langsung dengan Dunia Bawah. Percy pasti merasakannya juga. Dia menuntun Annabeth semakin jauh dari tepi lubang. Benang laba-laba berkibar-kibar dari lengan dan tungkai Annabeth seperti gaun pengantin. Annabeth berharap belatinya masih ada, supaya dia bisa menebas sampah itu. Dia hampir meminta Percy menghunuskan Riptide, tapi sebelum Annabeth sempat mengutarakan permintaan, Percy
keburu berkata, "Bacchus bilang perjalananku bakal lebih berat daripada yang kuperkirakan. Entah apa maksud " Ruangan menggemuruh. Athena Parthenos doyong ke samping. Kepalanya tersangkut untaian benang penyangga buatan Arachne, tapi fondasi marmer di bawah landasannya remuk-remuk. Rasa mual menyumbat dada Annabeth. Jika patung tersebut jatuh ke jurang, semua kerja kerasnya bakal sia-sia belaka. Misi mereka akan gagal. "Amankan!" sera Annabeth. Teman-temannya langsung paham. "Zhang!" teriak Leo, "antarkan aku ke kemudi, cepat! Pak Pelatih di atas sana sendirian." Frank bertransformasi jadi elang raksasa, kemudian mereka berdua membubung ke kapal. Jason merangkul Piper. Pemuda itu menoleh kepada Percy. "Sampai nanti." Dia memanggil angin dan melejit ke udara. "Lantai ini takkan bertahan!" Hazel memperingatkan. "Kita 4 sebaiknya buru-buru naik tangga." Gumpalan debu dan sarang laba-laba mengepul dari lubang-lubang di lantai. Kabel penyangga dari benang laba-laba bergetar seperti senar gitar mahabesar dan mulai putus. Hazel meloncat ke ujung tangga tali dan memberi Nico isyarat agar mengikuti, tapi kondisi Nico tidak memungkinkannya berlari. Percy menggenggam tangan Annabeth semakin erat. "Semuanya bakal baik-baik saja," gumamnya. Saat mendongak, Annabeth melihat tambang-tambang ber-mata kait yang diluncurkan dari Argo II membelit patung. Salah satu menjerat leher Athena seperti laso. Leo meneriakkan perintah dari kemudi sementara Jason dan Frank terbang secepat kilat dari tamb
ang ke tambang, mencoba mengeratkan cengkeraman tali.
Nico baru sampai di tangga ketika rasa sakitnan menusuk menjalari kaki Annabeth yang cedera. Annabeth terkesiap, langkahnya tertahan. "Ada apa"" tanpa Percy. Annabeth berusaha mendekati tangga sambil terpincang-pincang. Kenapa dia malah bergerak mundur" Kaki Annabeth ambruk dan dia pun terjerembap. "Mata kakinya!" teriak Hazel dari tangga, "potong! Potong!" Pikiran Annabeth kabur karena kesakitan. Potong mata kakinya" Rupanya Percy juga tidak menyadari maksud Hazel. Lalu sesuatu mengenyakkan Annabeth ke belakang dan menyeretnya ke arah lubang. Percy menerjang. Dia mencengkeram lengan Annabeth, tapi momentum tarikan membawa serta tubuhnya juga. "Tolong mereka!" teriak Hazel. Annabeth melihat Nico terseok-seok menghampiri mereka, sedangkan Hazel mencoba melepaskan pedang kavalerinya yang tersangkut tangga tali. Kawan-kawan mereka yang lain masih sibuk mengurusi patung, dan teriakan Hazel tidak terdengar di balik riuh rendah dan gemuruh gua. Annabeth terisak saat dia terantuk pinggiran lubang. Tungkai-nya menjuntai ke lubang. Terlambat sudah, baru sekarang Annabeth menyadari apa yang terjadi: dia terbelit benang laba-laba. Dia seharusnya memotong jalinan benang sesegera mungkin. Dia kira yang membelitnya hanya sehelai benang lepas, tapi karena seluruh permukaan lantai tertutup sarang laba-laba, Annabeth tidak menyadari bahwa salah satu benang itu membelit kakinya dan ujung benang yang satu lagi telah terperosok ke dalam lubang. Ujung benang tersebut tersangkut sesuatu yang berat dalam kegelapan di bawah situ, sesuatu yang menarik Annabeth ke dalam sana.
"Tidak," gumam Percy, secercah kesadaran terbetik di matanya, "pedangku Namun, dia tak bisa meraih Riptide tanpa melepaskan lengan Annabeth, sedangkan Annabeth sudah kehabisan tenaga. Annabeth terjerumus ke dalam lubang. Percy jatuh bersamanya. Tubuh Annabeth membentur sesuatu. Dia pasti sempat pingsan sebentar karena kesakitan. Ketika Annabeth bisa melihat lagi, dia sadar dirinya tengah menggelantung di tengah-tengah lubang. Percy berhasil mencengkeram sebuah tubir yang berjarak kira-kira empat setengah meter dari permukaan lubang. Percy berpegangan dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya lagi memeluk pinggang Annabeth, tapi tarikan kaki Annabeth yang sebelah terlalu kuat. Tiada jalan untuk kabur, kata sebuah suara dalam kegelapan di bawah. Aku masuk Tartarus, makes kau juga ikut. Annabeth tidak yakin apakah dia benar-benar mendengar suara Arachne ataukah dia hanya berkhayal. Lubang berguncang. Percy-lah satu-satunya yang menahan Annabeth sehingga tidak jatuh. Percy setengah mati memegangi tubir seukuran rak buku. Nico mencondongkan badan ke tepi jurang sambil meng-ulurkan tangan, tapi dia terlalu jauh sehingga tak dapat membantu. Hazel berteriak-teriak memanggil yang lain, tapi meskipun mereka mendengarnya di balik keributan tersebut, mereka takkan sempat menolong. Kaki Annabeth serasa copot dari tubuhnya. Rasa sakit membanjiri sekujur tubuhnya. Energi Dunia Bawah menarik-narik Annabeth seperti gaya gravitasi. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Annabeth tahu dia sudah terlalu jauh di bawah sehingga tak terselamatkan lagi.
"Percy, lepaskan aku," kata Annabeth parau, "kau tak bisa menarikku ke atas." Wajah Annabeth pucat pasi kepayahan. Annabeth bisa melihat di mata Percy bahwa tiada harapan lagi. "Tidak akan," kata Percy. Dia menengadah ke arah Nico, empat setengah meter di atas. "Sisi yang sebelah lagi, Nico! Akan kami temui kalian di sana. Mengerti"" Mata Nico membelalak. "Tetapi " "Pandu mereka ke sana!" teriak Percy, "berjanjilah padaku!" "Aku aku j anji ." Di bawah mereka, suara itu tertawa dalam kegelapan. Pengorbanan. Tumbril indah untuk membangunkan sang dewi. Percy mendekap pinggang Annabeth semakin kencang. Wajah Percy tirus, lecet-lecet, dan berdarah, sedangkan rambutnya kotor terkena jaring laba-laba, tapi ketika dia bertemu pandang dengan Annabeth, Annabeth merasa Percy belum pernah tampak setampan itu. "Kita akan terus bersama-sama," janji Percy, "kau takkan jauh-jauh dariku. Takkan pernah la
gi." Baru saat itulah Annabeth memahami apa yang akan terjadi. Tak ada jalan untuk kembali. Jatuh secara sangat menyakitkan. "Asalkan kita terus bersama," ujar Annabeth. Dia mendengar Nico dan Hazel menjerit-jerit minta tolong. Dia melihat sinar matahari jauh di atas sana mungkin kali terakhir dia melihat cahaya matahari. Kemudian, Percy melepaskan pegangannya di tubir kecil itu, dan sambil bergandengan tangan, dia dan Annabeth terjun bersama-sama ke dalam kegelapan tak berdasar.[]
BAB LIMA PULUH DUA LEO LEO MASIH TERGUNCANG. Segalanya terjadi begitu cepat. Mereka telah mengamankan Athena Parthenos dengan tambang tepat saat lantai runtuh dan pilaf penyangga terakhir dari benang laba-laba putus. Jason dan Frank menukik ke bawah untuk menyelamatkan yang lain, tapi mereka hanya menemukan Nico dan Hazel yang menggelantung di tangga tali. Percy dan Annabeth sudah tidak ada. Lubang menuju Tartarus telah terkubur di bawah beberapa ton reruntuhan. Leo mengeluarkan Argo IIdari gua beberapa detik sebelum seisi tempat itu amblas beserta lapangan parkir. Argo Hkini terparkir di bukit yang menghadap ke kota. Jason, Hazel, dan Frank telah kembali ke lokasi bencana, berharap dapat menggali puing-puing dan mencari cara untuk menyelamatkan Percy dan Annabeth, tapi mereka pulang ke kapal dalam keadaan patah semangat. Gua itu semata-mata sudah lenyap. Lokasi kejadian diramaikan polisi dan regu penyelamat. Tak ada manusia biasa yang terluka, tapi orang-orang Itali pasti garuk-garuk kepala selama berbulan-bulan, bertanya-tanya bagaimana ceritanya
sampai sebuah lubang isap mahabesar terbuka di tengah lapangan parkir dan menelan lusinan mobil bagus. Linglung karena sedih, Leo dan yang lain menaikkan Athena Parthenos ke dalam palka dengan hati-hati, menggunakan mesin derek kapal dengan bantuan dari Frank Zhang, gajah paruh waktu. Athena Parthenos pas-pasan sekali dalam palka, meskipun Leo tidak punya gambaran hendak mereka apakan patung tersebut. Pak Pelatih Hedge terlalu nelangsa sehingga tak kuasa mem-bantu. Dia mondar-mandir di geladak sambil berurai air mata, menarik-narik janggut kambingnya, menampar-nampar sisi kepalanya, dan berkomat-kamit, "Aku seharusnya menyelamatkan mereka! Aku seharusnya meledakkan ini-itu lebih banyak lagi!" Akhirnya Leo menyuruh sang satir turun ke dek bawah dan memastikan bahwa sudah aman untuk lepas landas. Tidak ada gunanya dia memukuli din sendiri. Keenam demigod berkumpul di anjungan dan menatap kepulan debu yang masih membubung dari lokasi amblasnya gua di kejauhan. Leo menempelkan tangan ke bola mekanis Archimedes, yang sekarang bertengger di kemudi, siap dipasang. Dia semestinya antusias. Inilah penemuan terpenting dalam hidup Leo bahkan lebih penting daripada Bunker Sembilan. Apabila Leo mampu memecahkan isi perkamen Archimedes, dia bisa melakukan hal-hal luar biasa. Meski dia tidak berani berharap, Leo mungkin raja bisa merakit disket perigendali baru untuk teman naganya. Walau begitu, imbalan yang harus dibayar terlalu tinggi. Leo nyaris bisa mendengar Nemesis tertawa. Sudah kubilang kita bisa berbisnis, Leo Valdez. Leo telah membelah kue keberuntungan. Dia sudah men-dapatkan kode akses untuk mengaktfikan bola serta menyelamatkan
Hazel dan Frank. Namun, Percy dan Annabeth jadi korban karenanya. Leo yakin akan hal itu. "Ini salahku," kata Leo penuh nestapa. Yang lain memandanginya sambil bengong. Cuma Hazel yang tampaknya mengerti. Dialah yang ikut dengan Leo ke Great Salt Lake. "Tidak." Hazel bersikeras. "Tidak, ini salah Gaea. Tak ada hubungannya denganmu." Leo ingin memercayai perkataan Hazel, tapi dia tak bisa. Di awal perjalanan mereka, Leo sudah berulah: menembaki Roma Baru. Sesampainya di Roma Lama, Leo membelah kue dan membayar imbalan yang lebih berat daripada sebuah bola mata. "Leo, dengarkan aku." Hazel menggenggam tangannya. "Aku takkan membiarkanmu menyalahkan diri sendiri. Tak boleh kubiarkan kau seperti itu, apalagi setelah setelah Sammy ...." Hazel tercekat, tapi Leo tahu maksudnya. Bisabuelo Leo menyalahkan diri sendiri atas hilangnya Hazel. Sammy menjalani kehidupan yang penuh berk
ah, tapi dia menemui ajal sembari meyakini bahwa dia membelanjakan berlian terkutuk sehingga mencelakai anak perempuan yang dicintainya. Leo tidak mau membuat Hazel bersusah hati lagi, tapi ini lain. Kesuksesan sejati menuntut pengorbanan. Leo telah memilih untuk membelah kue tersebut. Percy dan Annabeth kemudian terperosok ke dalam Tartarus. Keduanya pasti bukan kebetulan. Nico di Angelo terseok-seok sambil bertumpu pada pedang hitamnya. "Leo, mereka belum mati. Jika sudah, aku pasti bisa merasakannya." "Bagaimana kau bisa yakin"" tanya Leo, "kalau benar lubang itu menuju ke kau tahu bagaimana kau bisa merasakan keber-adaan mereka sejauh itu""
Nico dan Hazel bertukar pandang, mungkin membandingkan radar maut Hades/Pluto mereka. Leo bergidik. Baginya Hazel tak seperti anak Dunia Bawah, tapi Nico di Angelo cowok itu seram. "Kami tidak bisa yakin seratus persen." Hazel mengakui. "Tetapi menurutku Nico benar. Percy dan Annabeth masih hidup sampai sekarang, paling tidak." Jason menggebrak langkan. "Aku seharusnya memerhatikan. Aku bisa saja terbang ke bawah dan menyelamatkan mereka." "Aku juga," ramp Frank. Cowok besar itu kelihatannya hampir menangis. Piper meletakkan tangannya di punggung Jason. "Ini bukan salah kalian berdua juga. Kalian tadi sibuk menyelamatkan patung
itu. "Dia benar," timpal Nico, "sekali pun lubang itu tak terkubur, kalian tidak bisa terbang ke dalamnya tanpa tertarik ke bawah. Akulah satu-satunya yang pernah memasuki Tartarus. Mustahil menggambarkan seperti apa tempat itu. Begitu kita mendekat, Tartarus mengisap kita ke dalam. Aku tidak bisa apa-apa di sana." Frank menyedot ingus. "Kalau begitu, Percy dan Annabeth tidak bisa apa-apa juga"" Nico memutar-mutar cincin tengkorak peraknya. "Percy adalah demigod terkuat yang pernah kutemui. Kalian jangan tersinggung ya, tapi itulah yang sebenarnya. Kalau ada yang bisa bertahan hidup di sana, Percy-lah orangnya, terutama jika Annabeth berada di sisinya. Mudah-mudahan mereka bisa me-nemukan jalan di Tartarus." Jason menoleh. "Jalan menuju Pintu Ajal, maksudmu. Tetapi kau bilang Pintu Ajal dijaga oleh anak buah Gaea yang paling perkasa. Bagaimana mungkin dua demigod bisa "" "Entahlah." Nico mengakui. "Tetapi Percy menyuruhku me-nuntun kalian ke Epirus, ke sisi fana pintu itu. Dia berencana
menemui kita di sana. Kalau kita bisa bertahan hidup di Gerha Hades, mem enangi pertarungan melawan pasukan Gaea, maka siapa tahu kita bisa bekerja sama dengan Percy dan Annabeth serta menyegel pintu itu dari kedua sisi." "Juga mengeluarkan Percy dan Annabeth dengan selamat"" tanya Leo. "Mungkin." Leo tidak suka cara Nico mengucapkan itu, seolah dia masih menyembunyikan sesuatu. Lagi pula, Leo paham soal gembok dan kunci. Jika Pintu Ajal harus disegel dari kedua sisinya, bagaimana bisa mereka melakukan itu kecuali ada yang tetap tinggal di Dunia Bawah, terperangkap" Nico menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu bagaimana mereka akan melakukan itu, tapi Percy dan Annabeth pasti bisa. Mereka akan mengarungi Tartarus dan menemukan Pintu Ajal. Ketika saat itu tiba, kita harus sudah siap." "Tidak akan mudah," ujar Hazel, "Gaea akan mengerahkan segalanya demi mencegah kita mencapai Epirus." "Bukan hal bare, kan"!" desah Jason. Piper mengangguk. "Kim tidak punya pilihan. Jika ingin mencegah para raksasa membangunkan Gaea, kita harus menyegel Pintu Ajal terlebih dahulu. Kalau tidak, pasukannya takkan mad-mad. Dan kita harus bergegas. Bangsa Romawi sudah berada di New York. Tidak lama lagi, mereka akan menyerbu Perkemahan Blasteran." Leo menegakkan badan. "Kim pasti bisa." Semua orang memerhatikannya. "Bola mekanis Archimedes bisa meningkatkan kinerja kapal ini," kata Leo, berharap dirinya benar, "aku akan mempelajari perkamen kuno yang kita dapat. Pasti ada segala jenis senjata yang
bisa kubuat. Kita akan menghajar pasukan Gaea dengan amunisi anyar yang menyakitkan." Di haluan, Festus mengertakkan rahang dan menyemburkan napas api dengan berani. Jason menyunggingkan senyum. Dia menepuk bahu Leo. "Kedengarannya seperti rencana bagus, Laksamana. Kau mau memastikan rutenya"" Me
reka cuma bercanda, memanggilnya Laksamana, tapi sekali ini Leo menerima gelar tersebut. Ini kapalnya. Sudah jauh-jauh begini, dia tidak sudi dihentikan. Mereka akan menemukan Gerha Hades. Mereka akan mengambil alih Pintu Ajal. Sumpah demi dewa-dewi, jika Leo harus mendesain derek yang cukup panjang untuk meraup Percy dan Annabeth dari Tartarus, maka itulah yang akan dia lakukan. Nemesis ingin menghabisi Gaea" Leo akan mewujudkan keinginannya dengan senang hati. Akan dibuatnya Gaea menyesal karena sudah macam-macam terhadap Leo Valdez. "Iya." Untuk terakhir kalinya, Leo menatap pemandangan kota Roma yang semerah darah karena dibanjiri sinar matahari terbenam. "Festus, kembangkan layar. Ada teman-teman yang harus kita selamatkan."[]
=======SELESAI======= Baca kelanjutannya di: The Heroes of Olympus 3: The House of Hades
==================== Thanks to. Kumpulan novel online bahasa Indonesia on facebook.
Edited by. Echi. Ebook maker by. Echi. Follow and Visit: https://desyrindah.blogspot.com
http://desyrindah.wordpress.com
echi.potterhead@facebook.com
http://twitter.com/driechi
============== Ebook ini tidak untuk diperjual belikan. Saya hanya berniat untuk berbagi. Beli koleksi aslinya yaa ;)))
============= Pendekar Pedang Bayangan 2 Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan Dewi Kelelawar 1
^