Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 5

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5


Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Ambara Berkata
" Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu tentu mengenalnya lebih baik daripada kita. Sementara itu, karena kedudukannya, Agung Sedayu mempunyai banyak kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya. Sedangkan Swandaru yang berada di Sangkal Putung hampir tidak pernah mendapat perhatian. Juga tataran ilmunya."
"Jadi Ki Ambara yakin bahwa Swandaru akan dapat memaksa Agung Sedayu tunduk kepada perintahnya ?"
" Aku yakin. Akupun yakin bahwa Agung Sedayu akan bersikap sebagai seorang laki-laki. Baik menghadapi tantangan Swandaru meskipun ia menyadari tataran kemampuannya maupun pertanggungjawabannya atas akibatnya."
" Tetapi Agung Sedayu hanya menguasai sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya Agung Sedayu berhasil menguasai mereka sehingga Pasukan Khusus itu bersedia berdiri dipihaknya, bagaimana dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh ?"
" Pandan Wangi adalah isteri yang setia Jika ayah Pandan Wangi itu tidak berpihak pada Swandaru, Swandaru dapat mengancam untuk menceraikan Pandan Wangi. Tentu Ki Gede tidak mau mengalami aib, bahwa anak perempuannya diusir oleh suaminya karena tidak setia."
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya memang ada harapan untuk memanfaatkan kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian pasukannya sendiri yang terhitung kuat akan bergabung dengan mereka.
" Mataram akan dihimpit dari beberapa arah " desis Ki Saba Lintang.
" Ya. Mataram tidak akan dapat mengharapkan bantuan dari para Adipati yang sementara ini tunduk kepadanya. Jika Mataram pecah, maka merekapun akan membebaskan diri mereka. Baru kemudian kita akan membicarakan mereka."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Kalanya " Baiklah. Aku akan mempersiapkan pasukan. Aku akan mengajari mereka untuk tidak menyebut-nyebut lagi perguruan Kedung Jati. Karena nama perguruan itu akan mengingatkan tanah Perdikan Menoreh kepada pasukan yang pernah menyerang Tanah Perdikan itu."-
Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya " Bersama Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kita akan dapat menguasai Mataram. Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan menjadi masalah dikemudian hari."
" Jangan menganggap mereka seperti pemimpin-pemimpin kelompok yang lain " berkata Ki Saba Lintang " tetapi tentu ada jalan untuk menyingkirkan mereka kelak. Jangan membuat kita menjadi pusing sekarang."
Ki Ambara tertawa. Namun dalam pada itu. yang jarang sekali nampak di Kajoran adalah seorang penjual dawet cendol. Dengan pikulannya yang khusus penjual dawet cendol itu menyusuri jalan-jalan di Kajoran. Menawarkan dawet cendolnya dengan pemanis legen kelapa serta santan air matang.
Wiyati ternyata tertarik untuk membeli dawet cendol itu. Namun ia sempat bertanya " Agaknya baru kali ini kau berjualan disini kek ?"
" Tidak Mas Rara "jawab penjual dawet itu " aku sudah beberapa kali menyusuri jalan-jalan di Kajoran. Tetapi memang jarang. Biasanya dipadukuhan Pengklik itu aku berhenti dibawah pohon beringin dimulut padukuhan. Dawetku jarang sekali tersisa. Namun agaknya hari ini rejekiku kurang baik. Sampai matahari turun, dawetku masih lebih dari separo."
" Kau tinggal dimana, kek " " Wiyati mengerutkan dahinya.
" Di Rawasana. Mas Rara.
" Ya. Rawasana, apakah Mas Rara belum pernah pergi ke Rawasana ?"
Wiyati menggeleng. Sementara itu mangkuknya telah diisi dengan dawet cendol dengan pemanis legen kelapa.
Penjual dawet itupun kemudian minta diri untuk melanjutkan menjajakan dawetnya yang masih banyak.
Namun pada saat matahari turun, dua orang berkuda telah melarikan kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga dan Empu Wisanata.
Tetapi Swandaru telah sampai di Tanah Perdikan lebih dahulu. Swandaru itupun langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh, sementara itu Pandan Wangi masih berada di rumah Agung Sedayu.
" Aku perlu berbicara dengan Pandan Wangi, ayah " berkata Swandaru.
" Baiklah. Biarlah Prastawa menjemputnya."
" Ayah. Aku minta biarlah Prastawa menjemput Pandan Wangi saja. Jika kakang Agung Sedayu ada di rumah, biarlah ia tidak kemari bersama-sama Pandan Wangi. Demikian pula Sekar Mirah."
Jantung Ki Gede menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, dengan sareh Ki Gede itupun bertanya " Apakah ada yang penting dibicarakan ?"
" Ya ayah." " Aku dengar hari ini kau pergi ke Mataram untuk mencabut surat permohonanmu itu."
" Jadi Ki Gede juga sudah mendengar rencana itu ?"
" Ya" " Nanti aku akan membicarakannya dengan Pandan Wangi dan ayah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Biarlah Prastawa memanggilnya. Tetapi bukankah tidak tergesa-gesa. Biarlah angger Swandaru minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan,"
" Aku dapat minum dan makan sambil menunggu, ayah."
Ki Gede menarik nafas panjang. Iapun kemudian bangkit berdiri mencari Prastawa yang kebetulan berada di rumah itu pula.
" Panggil mbokayumu, Pandan Wangi, Prastawa. Kakangmu Swandaru datang kemari."
Kakang Swandaru nampak begitu gelisah, paman."
" Mungkin ada sesuatu yang sangat penting, yang menggelisahkannya.
" Baik. paman. Aku pergi ke rumah kakang Agung Sedayu."
" Tetapi mbokayumu sendiri. Jangan ada yang ikut bersamanya. Kau mengerti maksudku'?"
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya " Nampaknya ada yang gawat."
Ki Gede mengangguk pula. Sejenak kemudian, maka Prastawa itupun sudah melangkah ke rumah Agung Sedayu. Ketika ia sampai ke rumah itu. ternyata Agung Sedayu memang belum kembali dari baraknya.
" Apakah kakang Swandaru sudah dari Mataram " " bertanya Pandan Wangi.
" Entahlah mbokayu. Aku tidak tahu. Nampaknya kakang Swandaru belum mengatakan apa-apa. Ia ingin berbicara dengan mbokayu dan dengan paman. Tetapi setelah mbokayu datang."
Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sekar Mirah dan Rara Wulanpun ikut pula menjadi berdebar-debar.
" Aku minta diri. Sekar Mirah. Rara Wulan " suara Pandan Wangi bergetar.
" Berhati-hatilah menanggapi sikap kakang Swandaru yang sedang bergejolak. Jika perlu, jangan kau sanggah agar tidak terjadi salah paham. Nanti, bersama kakang Agung Sedayu. semuanya dapat dibicarakan dengan baik "jawab Sekar Mirah.
Pandan Wangi mengangguk kecil. Sementara itu Prastawapun telah minta diri pula.
Bersama Prastawa. Pandan Wangi berjalan menyusuri jalan pedukuhan induk. Dengan nada dalam Pandan Wangipun bertanya" Kau bertemu sendiri dengan kakangmu Swandaru "
" Tidak, mbokayu. Pamanlah yang memerintahkan agar aku menjemput mbokayu."
" Kau lihat kakangmu ?"
" Ya" " Apakah ia nampak gelisah, tenang atau bahkan gembira "
" Kakang Swandaru nampak gelisah, mbokayu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Seharusnya hari ini kakangmu Swandaru pergi menghadap di Mataram. Mungkin ia mengalami perlakuan yang telah menyinggung perasaannya."
" Kakang Swandaru memang mudah tersinggung, mbokayu."
" Ya. Kakangmu memang mudah tersinggung."
Dengan jantung yang berdebar-debar. Pandan Wangi memasuki regol rumahnya. Demikian ia melintasi halaman, dilihatnya Swandaru masih duduk di pringgitan bersama Ki Gede.
" Sudah lama kakang datang " " bertanya Pandan Wangi setelah ia duduk bersama dengan suami dan ayahnya.
" Kenapa kau berada di rumah kakang Agung Sedayu " Kenapa kau tidak berada disini ?"
" Disana aku mempunyai kawan berbincang. Disana ada Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedangkan disini aku sendiri."
" Bukankah ada ayah ?"
" Tetapi lain. Aku dapat berbicara lebih terbuka dengan Sekar Mirah daripada dengan ayah. Apalagi yang menyangkut persoalan-persoalan kami sebagai perempuan."
" Baiklah. Yang penting, sekarang, kita akan berbicara. -
" Kakang sudah pergi ke Mataram ?"
"- Belum "jawab Swandaru tegas.
Wajah Pandan Wangi berkerut. Namun ia masih menahan diri. Sementara itu, Ki Gedepun berkata " Sebaiknya kau beristirahat dahulu, Swandaru. Mungkin kau letih. Jika kau sempat beristirahat, maka kau akan menjadi lebih tenang, sehingga persoalan-persoalan yang akan kita bicarakanpun akan nampak menjadi lebih terang."
Swandaru menggelengkan kepalanya sambil berkata " Sebaiknya sekarang saja. ayah. Nanti aku tinggal beristirahat. Malam nanti aku akan bertemu dan berbicara dengan kakang Agung Sedayu.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Iapun mencoba untuk beristirahat lebih dahulu.
"Tidak, Pandan Wangi. Aku ingin semuanya serba cepat.
" Untuk apa kakang tergesa-gesa " Bukankah waktunya masih panjang " Apapun yang ingin kita lakukan, kita tidak dibatasi oleh waktu."
" Tidak Pandan Wangi. Kita harus menyelesaikan secepatnya. Aku sudah terlalu banyak kehilangan waktu. Selama ini kita memang berpikir, bahwa kita tidak tergesa-gesa. Tetapi pikiran itu telah membuat persoalannya menjadi berlarut-larut tidak menentu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Baiklah, jika kakang menghendakinya."
" Aku akan berbicara langsung pada persoalannya."
Pandan wangi tidak memotongnya. Demikian pula Ki Gede. Dibiarkannya saja Swandaru berbicara.
" Aku hari ini memang tidak pergi ke Mataram."
" Pandan Wangi mengerutkan dahinya.
" Aku telah berubah pendirian. Kemarin aku memang berkata kepada kakang Agung Sedayu. bahwa aku akan pergi ke Mataram untuk mencabut surat permohonanku. Tetapi niat itu aku batalkan."
" Kakang tentu punya alasan, kenapa kakang merubah keputusan kakang yang kemarin."
" Semisal orang menyeberangi sungai, aku sudah kepalang basah. Buat apa aku harus kembali " Biarlah sungai itu aku seberangi. Berhasil atau tenggelam ditengah-tengahnya. Namun segala sesuatunya menjadi jelas."
" Maksud kakang " " bertanya Pandan Wangi.
" Aku akan pergi ke Mataram bersama kakang Agung Sedayu dan ayah. Ki Gede Menoreh."-
" Untuk apa " " bertanya Pandan Wangi.
" Aku ingiin mendapat dukungan-langsung dari kakang Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh dihadapan Ki Patih Mandaraka"
" Kakang " suara Pandan Wangipun merendah.
" Ngger Swandaru " berkata Ki Gede " apa artinya kehadiranku di Mataram. Aku tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Ada atau tidak ada aku, keputusan Ki Patih tidak akan berbeda."
" Tentu lain, ayah. Aku tahu, bahwa ayah mempunyai hubungan yang baik dengan Ki Patih. Demikian pula kakang Agung Sedayu."
" Seharusnya kakang tidak melakukannya " berkata Pandan Wangi.
" Pandan Wangi " berkata Swandaru dengan nada yang berat menekan " kau adalah isteriku. Adalah sepantasnya bahwa seorang isteri membantu perjuangan suaminya. Sesuai atau tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri."
" Bukan begitu. kakang. Seorang istri tidak harus membenarkan kata-kata suaminya. Tetapi ia dapat saja memberikan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nuraninya."
Dahi Swandaru nampak berkerut. Dengan nada tinggi ia pun bertanya " Jika sikap kita berbeda ?"
" Aku dapat menyatakan pendapatku. kakang. Jika pedapat kita berbeda, itulah perbedaan diantara kita. Bukankah pendapat kita tidak harus selalu sama."
" Jika aku berkeras dengan pendapatku dan kau berkeras dengan pendapatmu. apa yang akan terjadi ?"
" Bukankah kita dapat berbicara."
" Jika kita tahu bahwa pembicaraan kita tidak akan sampai pada satu titik pertemuan, buat apa kita membuang-buang waktu untuk berbicara."
Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Namun Ki Gedelah yang kemudian berkata " Jangan terjebak ke dalam prasangka yang tidak menguntungkan seperti itu. ngger. Semuanya tentu dapat dicari jalan untuk mempertemukan pendapat yang berbeda."
" Belum tentu. ayah. Kita sekarang akan menghadapi perbedaan pendapat yang sulit untuk dipertemukan. Titik temu itu hanya akan dapat terjadi jika salah satu diantaranya menyingkirkan pendapatnya -
" Nah. sebaiknya kita tidak usah berandai-andai. Sekarang, persoalan apakah yang sedang kau hadapi. Kita akan membicarakannya dengan hati yang dingin."
" Persoalannya sudah kita ketahui bersama, ayah. Aku berniat untuk memohon kepada Mataram agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kaianya " Jika kita berbeda pendapat, marilah kita lihat untung ruginya dari pendapat kita masing-masing. Berdasarkan pertimbangan nalar yang hening, kita cari titik temu yang paling baik."
" Tidak ada tawar-menawar lagi. ayah."
" Bukan tawar-menawar. Tetapi landasan-landasan dari jalan pikiran kita masing-masing. Jika kita dapat memahami landasan jalan pikiran kita masing-masing, maka kita tentu akan menemukan jalan terbaik untuk keluar dari perbedaan pendapat itu."
" Aku sudah beberapa kali mengutarakan landasan jalan pikiranku, kenapa aku harus sampai pada satu langkah yang menentukan untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan.--
Pandan Wangi pun kemudian menyela " Tetapi pada pelaksanaannya, kita tidak dapat sekedar berpegang pada landasan berpikir kita sendiri. Tetapi kita juga harus mencoba mengerti landasan berpikir orang-orang Mataram."
" Kita tidak perlu menduga-duga. Biarlah orang Mataram berpikir menurut landasan pikiran orang Mataram. Kemudian dengan landasan pikiran itu. mereka akan menjawab surat permohonanku."
Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ia pun kemudian teringat pesan Sekar Mirah, bahwa sebaiknya ia tidak usah menyanggah agar tidak terjadi salah paham.
Karena itu. maka Pandan Wangipun memilih untuk diam.
Sementara itu, Swandaru pun berkata selanjutnya " Jika besok aku pergi ke Mataram, maka aku akan mohon ayah dan kakang Agung Sedayu untuk menyertaiku. Tidak untuk menarik surat permohonan itu, tetapi untuk menekan orang-orang Mataram, agar permohonanku itu dipenuhi. Tidak perlu menunggu Panembahan Senapati itu sembuh. Jika harus dikeluarkan surat kekancingan, maka surat kekancingan itu dapat ditandatangani oleh Ki Patih Mandaraka."
" Seharusnya kau tahu kelemahan-kelemahan dari keinginanmu itu, Swandaru. Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak mau melihatnya. Kau desak kami dalam satu pembicaraan yang tergesa-gesa, agar kau sendiri tidak sempat melihat apa yang sebenarnya dapat kau lihat."
Jantung Swandaru rasa-rasanya tersentuh oleh kata-kata Ki Gede. Tetapi ia tidak ingin sempat merenungi kata-kata itu. Karena itu, maka katanya " Sudahlah, ayah. Tidak ada pertimbangan apapun lagi. Besok kita pergi ke Mataram. Sementara itu, aku minta Pandan Wangi mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan buruk karena sikap orang-orang Mataram."
" Maksudmu " "
" Ayah. Permohonanku itu dapat diterima dan dapat ditolak. Apa yang akan kita lakukan jika permohonan kita ditolak " Kita tidak mempunyai pilihan lain. Jika permohonan kita ditolak, maka kita akan memaksakan kehendak kita itu. Jika perlu dengan kekerasan."
" Kakang " suara Pandan Wangi meninggi.
" Kita tidak mempunyai pilihan lain, Pandan Wangi. Kau juga tidak mempunyai pilihan lain kecuali mendukung perjuanganku."
" Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan kau, kakang "
" Apa " Apa yang terjadi atas diriku " Aku mewakili satu batasan waktu bagi kademangan Sangkal Putung. Jika aku tidak berhasil membuat Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan, maka aku akan merasa bersalah bagi anak cucu yang akan hidup di Sangkal Putung kemudian. Apa yang dapat kita tinggalkan bagi anak cucu " Apakah masa hidup kita tidak meninggalkan arti apa-apa bagi anak cucu ?"
" Banyak yang dapat kita tinggalkan bagi anak cucu kita selain ketetapan bahwa Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan, kakang " berkata Pandan Wangi.
" Kita tidak akan membicarakannya. Aku sudah menetapkan bahwa Sangkal Putung harus menjadi Tanah Perdikan.
Wajah Pandan Wangi terasa menjadi panas. Demikian pula telinga Ki Gede Menoreh. Sementara itu Swandarupun berkata selanjutnya " Pandan Wangi, jika kita harus menekan Mataram dengan kekerasan, maka kita harus menyusun rencana dengan sebaik-baiknya Kita tidak akan dapat begitu saja melakukannya. "
" Siapakah yang kau maksud dengan kita ngger " " bertanya Ki Gede " kau dengan Pandan Wangi atau Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh."
" Aku dan Pandan Wangi. Juga Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh."
" Jika yang kau maksud, kau dan Pandan Wangi, maka silahkan kalian membicarakannya. Tetapi jika itu menyangkut Tanah Perdikan Menoreh, maka aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini."
" Aku tahu ayah. Tetapi Pandan Wangi adalah anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh, la satu-satunya anaknya."
" Meskipun Pandan Wangi adalah satu-satunya anakku, tetapi segala keputusan yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh adalah wewenangku."
" Jadi apa artinya Pandan Wangi bagiku, jika ia tidak dapat mendukung perjuanganku " Apa artinya aku mempunyai seorang mertua yang menjadi Kepala Tanah Perdikan jika ia tidak dapat mendukung satu pencapaian cita-cita yang tinggi " Bukankah lebih baik aku tidak mempunyai keluarga di Tanah Perdikan Menoreh ?"
Dada Ki Gede bagaikan diketuk dengan landean tombak. Tetapi sebagai orang tua ia tidak segera mengambil sikap menuruti gejolak perasaannya. Ia masih mengingat kepentingan Pandan Wangi yang pada saat itu mengatupkan giginya rapat rapat.
Ki Gedelah yang kemudian berbicara " Kita menunggu angger Agung Sedayu. Mungkin ki Lurah itu mempunyai pikiran yang lebih jernih dari kita semuanya."
" Baik " berkata Swandaru yang sudah benar benar menjadi seperti orang yang sedang mabuk " aku akan menunggu kakang Agung Sedayu. Tetapi jangan berharap bahwa pendirianku akan berubah "
" Sekarang, biarlah angger Swandaru beristirahat saja dahulu. Mungkin angger Swandaru akan pergi ke pakiwan. Nanti badannya akan segera menjadi segar kembali."
Dalam pada itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi gelisah di rumah, dipanggilnya Glagah Putih untuk menemani mereka berbincang."
" Apa yag sebenarnya telah terjadi dengan kakang Swandaru ?" bertanya Sekar Mirah.
" Glagah Putih dengan ragu-ragu bertanya " Apakah aku diijinkan pergi ke rumah Ki Gede ?"
" Jangan. Kau disini saja. Kita menunggu Ki Jayaraga dan Empu Wisanata."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata " Jika kita di sini saja, kita tidak tahu perkembangan pembicaraan mereka."
" Biarlah nanti kakangmu Agung Sedayu sajalah yang datang kesana. Itupun harus menunggu jika ia dipanggil. Jika tidak, maka kita tidak berhak mencampuri persoalan kakang Swandaru dengan mbokayu Pandan Wangi."
" Tetapi bukankah mbokayu Sekar Mirah pernah mencampurinya _
" Tetapi dalam suatu keadaan yang khusus."
" Jika keadaan seperti itu terulang kembali ?"
Sekar Mirah memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis " Mudah-mudahan tidak." Glagah Putih terdiam.
Baru beberapa saat kemudian. Agung Sedayu datang dari baraknya. Demikian ia melihat Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah Putih menyongsongnya dengan wajah gelisah, maka Agung Sedayu itupun berkata " Ada apa ?"
" Silahkan naik dahulu, kakang " jawab Sekar Mirah. Glagah Putihlah yang menerima kuda Agung Sedayu itu dan membawanya ke kandang.
" Minumlah, kakang " Sekar Mirahpun mempersilahkan setelah menghidangkan semangkuk minuman hangat.
" Apa yang telah terjadi " " bertanya Agung Sedayu.
" Kakang Swandaru telah datang di rumah Ki Gede. Ia memanggil Pandan Wangi untuk menemuinya, tetapi sendiri. Aku, kakang dan yang lain tidak boleh pergi bersama Pandan Wangi;"
" Ada apa lagi dengan adi Swandaru itu " Apakah kedatangannya di Mataram mendapat sambutan yang sangat buruk ?"
" Kita akan pergi kesana kakang."
" Ya." " Tetapi kita harus menunggu dipanggil. Tanpa dipanggil kita tidak dapat datang ke rumah Ki Gede."
" Jika perlu, apa salahnya kita pergi menemui Swandaru."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
" Apakah Ki Jayaraga sudah pulang " " bertanya Agung Sedayu pula.
" Belum." " Kita menunggu keterangannya. Mudah mudahan orang-orang tua itu tidak kelelahan di jalan dan tertidur dibawah pohon yang rindang."
" Ah. Tentu tidak. Mereka tahu, tugas yang mereka emban terhitung tugas yang penting."
" Baiklah. Kita menunggu keduanya sambil menunggu dipanggil oleh Ki Gede.
Beberapa saat mereka masih berbicara. Glagah Putih yang ikut pula duduk bersama mereka juga menunjukkan kecemasannya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Ki Swandaru. Tetapi sikap Swandaru itu benar-benar mendebarkan.
Sampai saatnya senja turun, belum ada utusan dari Ki Gede untuk memanggil Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Karena itu. maka keduanyapun menjadi semakin gelisah. Apakah Swandaru berselisih dengan Pandan Wangi sehingga sampai pada puncaknya atau balikan dengan Ki Gede Menoreh atau apapun mungkin saja dapat terjadi.
Dalam pada itu, ketika hari menjadi gelap, maka dua ekor kuda berderap disepanjang jalan dimuka rumah Agung Sedayu. Keduanya berhenti didepan regol.
" Agaknya Ki Jayaraga dan Empu Wisanata " desis Agung Sedayu. Glagah Putihlah yang membuka pintu pringgiian. Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Jayaraga dan Empu Wisanata.
" Marilah, Ki Jayaraga, marilah Empu " Glagah Putih mempersilahkan."
Keduanyapun mengikat kuda mereka di patok patok yang tersedianya disebelah pendapa. Rasa-rasanya mereka tidak sempat membawa kuda-kuda mereka ke kandang.
Demikian mereka masuk, Sukralah yang kemudian menuntun kuda-kuda itu ke belakang sambil bergeramang " Orang-orang seisi rumah ini menjadi semakin malas. Biasanya mereka langsung membawa kuda-kuda kekandang, sekarang mereka biarkan saja kuda-kuda itu di halaman. Lebih-lebih Jagi Empu Wisanata. Ia meminjam kuda dan tidak mau mengembalikan ke kandang."
Namun dalam pada itu. Ki Jayaraga dan Empu Wisanata sudah duduk diruang dalam bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.
" Apa yang Ki Jayaraga dan Empu Wisanata lihat ?"
Ki Jayaraga berpaling kepada Empu Wisanata, sementara itu Empu Wisanatapun berkata " Silahkan Ki Jayaraga sajalah yang menyampaikannya."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu dan yang lain-lain menunggu dengan jantung yang berdebar-debar.
" Ki Lurah " berkata Ki Jayaraga " apakah aku sebaiknya mengatakan apa adanya ?"
" Ya. Sudah tentu Ki Jayaraga."
" Yang diduga Empu Wisanata ternyata benar " berkata Ki Jayaraga " yang disebut Ki Ambara itu pernah dikenalinya berada di dalam lingkungan kelompok Ki Saba Lintang, la seorang yang sangat berpengaruh dan berilmu tinggi "
" Apakah Ki Ambara itu ikut menyerang Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat yang lalu ?"
Ki Jayaraga menggeleng. Katanya " Tidak. Ki Ambara tidak ada diantara mereka yang datang menyerang Perdikan Menoreh."
" Bagaimana Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Ambara itu termasuk salah seorang yang berada di dalam lingkungan kelompok Ki Saba Lintang ?"
" Aku dapat mengenalinya, Ki Lurah " sahut Empu Wisanata " aku berada di depan rumahnya sebagaimana dikatakan oleh Nyi Pandan Wangi. Aku melihat orang itu. Sementara Ki Jayaraga sempat masuk ke dalam halaman rumahnya."
" Bagaimana Ki Jayaraga dapat masuk ?"
" Ki Jayaraga telah membeli sepikul dawet cendol sekaligus dengan pikulannya."
Yang mendengar jawaban itu sempat juga tersenyum betapapun jantung mereka dicengkam oleh persoalan yang sedang mereka hadapi.
" Ki Lurah " berkata Ki Jayaraga " aku minta Nyi Lurah juga tidak terkejut. Jika hal ini juga aku sampaikan, niatku semata-mata agar Ki Lurah dan Nyi Lurah mendapat gambaran yang utuh tentang angger Swandaru."
" Katakan, ki Jayaraga"justru Sekar Mirahlah yang menyahut.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata " Dirumah itu terdapat seorang perempuan muda yang cantik. Agaknya perempuan itu tidak pernah dilihat oleh Nyi Pandan Wangi."
" Perempuan cantik " - ulang Sekar Mirah yang terkejut sehingga ia beringsut setapak maju.
" Ya. Nyi Lurah. Perempuan cantik itu keluar dari rumah Ki Ambara membeli dawet cendolku. Iapun mengatakan bahwa jarang sekali ada orang berjualan dawet cendol lewat jalan itu. Aku mengambil kesimpulan bahwa perempuan itu tinggal dirumah itu pula. Karena waktu kami yang sempit, maka kami tidak sempat mengetahui, apakah perempuan itu mempunyai hubungan dengan angger Swandaru atau tidak. Tetapi Empu Wisanata sempat melihat angger Swandaru keluar dari rcgol halaman rumah itu."
Keringat dingin mengalir di punggung Sekar Mirah. Dugaan-dugaan, perhitungan dan firasat itu ternyata mengandung kebenaran. Memang ada orang lain yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap Swandaru. Hubungannya dengan pedagang kuda yang namanya dapat diingat oleh Empu Wisanata. telah sedikit membuka kabut yang menyelimuti sikap dan tindakan-tindakan yang diambil oleh Swandaru. Keyakinannya yang terasa rapuh serta kebingungannya menghadapi alasan-alasan yang mendasar dalam setiap pembicaraan tentang Tanah Perdikan. menunjukkan bahwa gagasan itu memang bukan gagasan Swandaru sendiri.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah itupun berkata"Kita pergi ke rumah Ki Gede. Aku akan berbicara dengan kakang Swandaru. "
" Sabarlah Mirah " cegah Agung Sedayu " darah kita tidak boleh terlalu cepat menggelegak. Kita masih belum mengetahui apa yang dikatakan oleh Adi Swandaru itu kepada Pandan Wangi. Kita harus bersabar. Mengamati persoalannya dengan hati yang terang. Jika sebelumnya hati kita sendiri sudah keruh, maka persoalannya akan menjadi semakin kusut. "
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil iapun berkata"Ya, kakang, rasa-rasanya hatiku seperti tersentuh api.
" Itulah yang aku cemaskan " berkata Ki Jayaraga " tetapi aku harus mengatakannya jika kita ingin mendapat gambaran yang utuh, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan angger Swandaru. "
" Bukankah kita harus menunggu seseorang datang memanggil kita?"bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk.
"Di rumah Ki Gedepun kita tidak boleh kehilangan penalaran kita, Mirah. Jika kehadiran seorang perempuan di rumah Ki Ambara itu didengar oleh Pandan Wangi, jantungnya akan terluka parah. Lukanya yang lama akan kambuh kembali ditambah dengan luka barunya yang lebih dalam. Karena itu, maka kitapun harus mengingatnya. Jika tidak perlu, kita tidak akan berbicara tentang perempuan itu di hadapan Pandan Wangi. "
Sekar Mirah masih mengangguk-angguk.
" Nah, sekarang kita tinggal menunggu. Kapan kita dipanggil oleh Ki Gede. " berkata Agung Sedayu kemudian.
Tetapi ternyata yang datang kemudian bukan Prastawa atau seorang pengawal yang bertugas di rumah Ki Gede. Yang datang kemudian justru Swandaru dan Pandan Wangi diiringi oleh Prastawa yang nampak tegang.
" Marilah, silahkan Adi Swandaru, Pandan Wangi dan Prastawa. Marilah duduk di Pringgitan " Agung Sedayu yang menyongsong mereka sampai di halaman mempersilahkan.
" Terima kasih, kakang " sahut Swandaru. Namun nada suaranya terdengar mengambang.
Sejenak kemudian, Swandaru, Pandan Wangi dan Prastawa itu sudah duduk di Pringgitan ditemui oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sedangkan yang lain masih tetap duduk di ruang dalam.
"Kenapa mereka tidak dipersilahkan duduk di sini pula, kakang "berkata Swandaru.
" Biarlah mereka di dalam bersama Ki Jayaraga, Adi"jawab Agung Sedayu.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya lampu minyak yang sudah menyala di atas ajug-ajug.
Angin berhembus semilir. Namun punggung baju Swandaru telah menjadi basah oleh keringat,
" Aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede jika aku dipanggil. Demikian pula Sekar Mirah yang sudah tidak sabar lagi. Ternyata malah kau yang datang kemari, Adi.
" Akulah yang mempunyai keperluan. Karena itu, akulah yang datang kemari. "
" Aku merasa gelisah sejak Pandan Wangi kau panggil tadi kakang. Tetapi aku masih harus menunggu kakang Agung Sedayu. "
" Aku memang hanya ingin berbicara dengan Pandan Wangi lebih dahulu, Sekar Mirah. Setelah pembicaraanku dengan Pandan Wangi mendapat kesepakatan, maka aku baru akan berbicara dengan kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. "
"Nampaknya ada yang sangat penting, Adi Swandaru. " "Jangan berpura-pura tidak tahu, kakang"sahut Swandaru.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih juga tersenyum sambil berdesis"Aku tidak berpura-pura, adi. Aku memang tidak tahu, apakah masih ada yang penting yang harus dibicarakan. Menurut dugaanku, setelah kau tadi pergi ke Mataram dan mencabut surat permohonanmu, maka tidak ada lagi masalah yang membuatmu gelisah."
"Aku tidak pergi ke Mataram." "He" Kenapa" "
" Aku mengambil keputusan lain, kakang. Aku telah membatalkan niatku untuk menarik kembali surat permohonan itu. "
Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementara Sekar Mirah nampak menjadi gelisah sekali. Rasa-rasanya Sekar Mirah ingin membiarkan gejolak perasaan meloncat keluar. Tetapi ia berusaha untuk tidak mendahului suaminya.
"Kenapa pendirianmu berubah lagi, adi Swandaru. "
"Aku sudah kepalang basah kakang. Rasa-rasanya aku bukan laki-laki jika aku datang menghadap para pemimpin di Mataram untuk menarik surat permohonan itu. "
" Adi Swandaru. Kenapa kau berpikir bahwa menarik surat permohonan itu dapat dianggap bukan laki-laki. "
" Aku sudah memutuskan untuk tidak menarik surat permohonanku itu. "
" Adi. Kita dapat menilai ulang. Apakah untung ruginya jika kau mengajukan permohonan untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan. "
" Tidak, kakang. Aku sudah memutuskan untuk tidak membicarakannya lagi. Aku datang ke Tanah Perdikan untuk mengajak kakang Agung Sedayu dan Ki Gede untuk pergi ke Mataram. Aku minta kakang Agung Sedayu dan Ki Gede memperkuat tuntutanku, agar Sangkal Putung dijadikan sebuah Tanah Perdikan.
Sekar Mirah yang mendengar jawaban Swandaru itu beringsut sejengkal, namun Agung Sedayu dengan cepat mendahuluinya " Adi Swandaru. Jika kau ingin mengajak aku dan Ki Gede Menoreh pergi ke Mataram, apakah kau kira kedatangan kami itu akan berpengaruh terhadap para pemimpin di Mataram ?"
" Tentu, kakang. Aku tahu, bahwa kakang Agung Sedayu dan Ki Gede mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pemimpin di Mataram."
" Seandainya kami mempunyai pengaruh yang besar, apakah kau kira, para pemimpin itu berani mengambil keputusan?"
"Tentu, kenapa tidak" Jangan berbicara lagi tentang Panembahan Senapati yang sakit. Yang sakit biarlah sakit Persoalan Sangkal Putung harus berjalan terus."
" Adi Swandaru. Apakah Ki Gede sudah mengambil keputusan untuk pergi ke Mataram?"
" Tergantung kepadamu kakang. Jika kau bersedia, maka Ki Gedepun akan bersedia."
" Tempi bukankah kita sudah sepakat, bahwa kau akan menarik surat permohonanmu."
"Jangan melingkar"lingkar begitu, kakang. Sudah aku katakan, aku tidak mau berbicara lagi tentang surat itu. Niatku sudah bulat. Pergi ke Mataram bersama Ki Gede dan kakang Agung Sedayu."
Tiba"tiba saja Sekar Mirah yang tidak tahan lagi bertanya" Siapakah yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu, kakang."
Swandaru terkejut sekali mendengar pertanyaan Sekar Mirah. Namun kemudian dengan tegas iapun berkata"yang mendorongku adalah rakyat Sangkal Putung. Terutama bagi masa depan. Mereka harus mendapat tempat yang lebih baik dari sekarang."
" Apakah dengan meningkatkan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan itu satu"satunya cara untuk memberikan peninggalan yang berarti bagi masa depan?"
" Sudah. Sudah. Aku tidak akan berbicara apa"apa. Besok kita pergi ke Mataram."
Sekar Mirah masih ingin menjawab. Tetapi Agung Scdayupun mendahuluinya"Adi Swandaru. Seandainya, sekali lagi, seandainya aku dan Ki Gede bersedia berangkat, tetapi jawaban Mataram justru tidak, apa yang akan kita lakukan?"
"Itu tidak adil. Mataram harus mengakui pengabdian dan bahkan pengorbanan yang pernah kami berikan. Korban harta, benda dan jiwa."
"Apapun pendapat kita, tetapi jika Mataram tetap tidak mau " Meskipun mereka kita sebut tidak adil, tidak tahu diri dan segala macam sifat dengki, mereka tetap pada sikap mereka ?"
Wajah Swandaru menjadi merah. Sambil menggeretakkan giginya iapun berkata"Kakang. Aku sudah kepalang basah. Aku sudah menetapkan bahwa Sangkal Putung harus menjadi Tanah Perdikan . Jika Mataram tidak mau menetapkan Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan, maka biarlah aku sendiri yang menetapkan. Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan."
"Kalau Mataram tidak mau mengakuinya?"
"Akulah yang akan menentukan apakah Mataram akan mengakuinya atau tidak."
"Kakang " suara Sekar Mirah meninggi"apa maksudmu?"
"Jika Mataram menolak, aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku akan datang ke Mataram dan memaksa para pemimpin Mataram mengakui atau mengusir mereka sehingga akulah yang berhak untuk menentukan, mengakui atau tidak mengakui."
"Kakang " Sekar Mirah bahkan hampir berteriak"apakah kau berkata sebenarnya?"
"Aku berkata sebenarnya Sekar Mirah. Aku datang untuk membuat satu pembicaraan. Juga jika Mataram menolak."
"Kakang akan memberontak ?"
"Apa boleh buat."
"Kakang akan menyeret Ki Gede, kakang Agung Sedayu dan ayah, Demang Sangkal Putung?"
"Ya. Aku sudah menghimpun kekuatan yang cukup. Jika Tanah Perdikan Menoreh dan Ki Lurah Agung Sedayu bersama pasukannya mendukung aku, maka Mataram tidak lebih dari sebuah ranti kecil yang tinggal memijatnya."
"Kakang, apakah kakang masih waras?" Sekar Mirah berteriak lebih keras.
Swandaru menjadi sangat tegang. Dipandanginya Sekar Mirah dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Katanya" kau tahu, siapa aku Mirah?"
" Ya. Kau anak Demang Sangkal Putung."
"Siapa yang dilahirkan lebih tua diantara kita " Dan siapakah yang dilahirkan menjadi laki"laki?"
"Persoalannya bukan siapa yang lebih tua dan siapakah yang laki"laki. Tetapi siapakah yang masih waras dan siapakah yang sudah tidak waras lagi."
"Sekar Mirah " bentak Swandaru " kau jangan membuat aku marah."
Sekar Mirah masih akan menjawab. Tetapi Agung Sedayu telah memotongnya"Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara. Bukankah kita bukan kanak"kanak yang berebut kemiri dalam permainan jirak yang kacau " "
Sekar Mirah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia mencoba menahan dirinya, meskipun dadanya justru terasa sakit.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Pandan Wangi tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun perempuan yang perkasa, yang selalu membawa pedang rangkap di lambung kiri dan kanannya jika ia berada dipunggung kuda yang berlari kencang di bulak-bulak persawahan itu mengusap matanya yang basah.
" Adi Swandaru " berkata Agung Sedayu kemudian, la masih tetap dapat menguasai dirinya, sehingga kata-katanyapun tidak terasa melonjak-lonjak " marilah kita berbicara dengan baik. Apapun yang bergejolak didalam jantung kita, tetapi kita bukan anak-anak lagi. Kita adalah orang-orang yang sudah mendekati masa surut menjelang senja. Apakah pantas jika kita berbicara dengan wajah yang merah dan dengan darah yang mendidih didalam dada kita masing-masing"
" Kau selalu berkata begitu " potong Swandaru " sekarang sudah bukan waktunya lagi, kakang. Jangan mencoba menghembuskan tembang-tembang merdu seperti seorang perempuan sedang menidurkan anaknya. Jika jantung kita bergejolak, biarlah bergejolak. Kita harus bersikap jujur terhadap diri kita sendiri. "
" Adi Swandaru. Apakah kau juga jujur terhadap dirimu sendiri" Tidak biasanya pendirianmu rapuh seperti sekarang ini. Kau adalah seorang yang berpegang pada keyakinan yang teguh. Tetapi tidak sekarang ini. Hatimu nampak begitu lemah dan tidak berpijak pada alas pendirian yang kuat. Setiap kali pendirianmu berpaling. Berapa kali kau berubah pendirian. Itu satu pertanda, bahwa gagasan tentang Tanah Perdikan itu tidak datang dari dirimu sendiri. "
" Jangan terlalu banyak berbicara, kakang. Suaramu membuat telingaku sakit. Kau tidak mempunyai pilihan lain kecuali mendukung permohonanku kepada para pemimpin di Mataram. "
Tetapi Agung Sedayu justru tertawa. Katanya " Kau jangan memaksa dirimu sendiri. Aku tahu, bahwa kau tidak mau mendengar pendapat orang lain karena nuranimu sendiri sependapat dengan pendapat Ki Gede, pendapatku, pendapat Sekar Mirah dan pendapat Pandan Wangi."
" Cukup. Cukup, kakang Agung Sedayu. Sekarang jawab pertanyaanku. Besok kau mau pergi ke Mataram atau tidak. "
Jawab Agung Sedayu menggetarkan jantung Swandaru. Biasanya Agung Sedayu tidak pernah berkata setegas itu. Namun saat itu Agung Sedayu menjawab singkat " Tidak. Aku tidak mau pergi ke Mataram bersamamu untuk kepentingan yang tidak masuk akal itu. "
Sejenak Swandaru tercenung. Dipandanginya Agung Sedayu dengan sorot mata yang menyala. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali jalan terakhir yang harus ditempuhnya. Menantang Agung Sedayu untuk mengadu kemampuan ilmu.
" Kakang Agung Sedayu " berkata Swandaru Kau adalah saudara tuaku. Tetapi kau tidak pantas untuk dihormati. Kau tidak mendukung perjuangan adik seperguruanmu, tetapi kau justru menghalanginya. Jika demikian, buat apa aku mempunyai saudara seperguruan kau. kakang. "
" Terserah kepadamu, adi. Bagiku, kau adalah adik seperguruanku. Aku tidak akan pernah memutuskan hubungan itu. Meskipun kau tidak menganggap lagi aku sebagai saudara tua seperguruanmu, namun aku tidak akan dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kita bersama-sama telah berguru kepada Kiai Gringsing yang telah dipanggil kembali menghadap yang Maha Agung. "
" Jika kau saudara tua seperguruanku, kau tentu mempunyai kelebihan dari aku. "
" Tidak selalu, adi Swandaru. Tidak selalu yang tua mempunyai kelebihan. Yang mudapun dapat saja mempunyai kelebihan. -
" Kakang. Marilah kita tentukan, siapakah yang pantas menjadi saudara tua diantara kita. Jika kau menikah dengan adikku, maka setiap orang akan mengatakan, bahwa kau adalah adik iparku. Tetapi karena kau mengaku bahwa kau saudara tua seperguruanku, maka akupun menganggapmu sebagai saudara tua. Tetapi sekarang, marilah kita lihat, siapakah yang ilmunya lebih tinggi diantara kita. Yang ilmunya lebih tinggi itulah yang pantas disebut saudara tua.
" Maksudmu?" " Aku lantang kau kakang. Siapa yang kalah, harus tunduk kepada yang menang. Jika aku kalah, apapun yang kau perintahkan akan aku lakukan. Tetapi jika kau yang kalah, maka kau harus tunduk kepadaku. Kau harus melakukan semua perintahku.-
Pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak begitu besar itu bagaikan bergetar. Agung Sedayu yang sudah menduga arah kata-kata dan sikap Swandaru, masih juga terkejut mendengar tantangan itu.
Namun sebelum Agung Sedayu menjawab. Tiba-tiba seorang anak muda muncul di halaman rumah itu. Sambil bertolak pinggang anak muda itu berkata " Jangan kau tantang kakang Agung Sedayu. Tantanglah aku. Glagah Putih. Jika aku kalah aku akan terkapar mati di halaman ini. Tetapi jika kau kalah, maka kau akan aku ampuni. "
Dengan serta-merta orang-orang yang duduk di pringgitan itu bangkit berdiri. Sementara itu, Ki Jayaraga telah berlari-lari mendekati Glagah Putih. Namun sebelum Ki Jayaraga mencapainya Glagah Putih itu telah menghentakkan kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Ki Jayaraga. Kaki kanannya telah menghentak diatas tanah di halaman rumah Agung Sedayu itu.
Glagah Putih telah menghentakkan segala kekuatan dan kemampuan ilmunya. Hentakkan itu benar-benar mengejutkan. Gejolak didada Glagah Putih telah tertumpah tersalur menghentak bumi, sehingga rasa-rasanya bumi diseputar rumah Agung Sedayu itupun bergetar.
Ternyata Swandaru terkejut juga melihat dan merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu dan betapa tinggi ilmunya. Namun Swandaru yang sangat yakin akan kemampuan diri itupun berteriak pula " Kau anak yang masih ingusan. Tarik kembali kata-katamu atau aku benar-benar akan membunuhmu."
" Aku tidak akan menarik kata-kataku. Aku tantang kau Swandaru Geni yang sombong, yang tidak tahu diri"
" Bagus. Aku akan membunuhmu malam ini. Besok aku akan menantang kakang Agung Sedayu."
Ki Jayaraga yang sudah berdiri disamping Glagah Putih memegangi pundak anak muda itu sambil berkata " Kau tidak boleh berbuat seperti itu, Glagah Putih."
"Aku muak mendengar kata-katanya yang penuh dengan kesombongan, yang selalu menganggap kakang Agung Sedayu bodoh, malas, lambat dan apa lagi. Sekarang biarlah dibuktikan, siapakah yang bodoh, yang malas dan yang lambat itu."
" Tetapi kau tidak boleh mencampuri persoalan antara kakangmu Agung Sedayu dan Ki Swandaru. Mereka adalah saudara seperguruan, sehingga biarlah mereka menyelesaikan persoalan mereka sendiri."
"Terakhir aku dan ayah Widura juga sudah diakui sebagai murid utama Kiai Gringsing. Itu berarti bahwa aku juga saudara seperguruan kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru. Karena itu pula maka aku dapal ikut campur dalam persoalan yang timbul diantara murid-murid utama dari perguruan orang bercambuk."
"Jangan dicegah " berkata Swandaru " anak itu tidak pantas untuk tetap menjadi murid dari perguruan orang bercambuk. Karena itu, aku harus menyingkirkannya. Aku akan menerima tantangannya itu sekarang."
Pendapa dan halaman rumah Agung Sedayu itu menjadi tegang, Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak dapat membiarkan Swandaru berperang tanding dengan Glagah Putih. Meskipun belum pasti, karena masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi didalam dunia olah kanuragan, namun menurut perhitungan Agung Sedayu, sulit bagi Swandaru untuk dapat mengalahkan Glagah Putih. Sementara itu kemudaan Glagah Putih akan sangat berbahaya bagi Swandaru sebagaimana gejolak didalam dada Swandarupun akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih.
Karena itu, maka Agung Sedayu itu tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mencegah agar Swandaru dan Glagah Putih tidak berbenturan didalam perang tanding.
Sekar Mirah dan Pandan Wangipun menjadi sangat cemas. Hentakkan kaki Glagah Putih yang marah itu telah memberikan isyarat kepada mereka, bahwa ilmu anak muda itu cukup tinggi. Anak muda yang sering bermain-main dengan Raden Rangga, yang diakui sebagai salah satu murid utama Kiai Gringsing, penempaan diri serta mesu raga tanpa ada jemu-jemunya itu, telah menyimpan kekuatan serta tenaga dalam yang sangat besar.
Dengan cemas Sekar Mirahpun berkisar mendekati Agung Sedayu sambil berdesis"Kakang. Tolong, kakang. Jangan biarkan benturan ini terjadi"
Agung Sedayu tidak sempat berpikir panjang. Ia sendiri sama sekali tidak bermimpi untuk membenturkan ilmunya dengan Swandaru. Tetapi untuk mencegah benturan ilmu antara Swandaru dan Glagah Putih, maka Agung Sedayu itupun kemudian berkata lantang " Adi Swandaru. Kau masih terikat dengan tantanganmu kepadaku. Aku belum menjawab tantangan itu, kau tidak boleh menerima tantangan orang lain."
Wajah Swandaru menjadi tegang. Sementara itu, Glagah Putihpun berkata lantang " Tidak kakang. Aku akan mewakili kakang dalam perang tanding ini"
" Glagah Putih " potong Ki Jayaraga " kau harus mendengarkan kata-katanya. Ia adalah kakak sepupumu. Ia juga gurumu. Kaupun harus mendengar kata-kataku jika kau masih menganggap bahwa aku adalah seorang dari gurumu."
" Anak itu tidak patut menjilat ludahnya kembali Ia sudah menantang aku. Karena itu, iapun harus menghadapi aku dalam perang tanding."
" Adi Swandaru " sahut Agung Sedayu " kaupun sudah menantang aku lebih dahulu. Karena itu, kau harus menghadapi aku lebih dahulu. Glagah Putih mungkin saja dapat menyebut dirinya mewakili aku. Tetapi ia bukan Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah yang kau perlukan antara lain kekuatan prajurit dari Pasukan Khusus itu disamping pengawal Tanah Perdikan ini?"
"Ya." " Karena itu, kau harus melawan aku lebih dahulu. Aku terima syaratmu. Jika aku kalah, maka aku akan tunduk kepadamu, termasuk pasukan yang berada dibawah kekuasaanku. Sementara itu, menurut katamu, jika aku bersedia membantumu, Ki Gede Menorehpun akan bersedia pula melakukannya. Tetapi jika aku menang, maka kaulah yang harus tunduk kepadaku.
Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya Matanyapun kemudian menyala. Sambil tersenyum iapun berkata"Bagus, bagus kakang. Kita akan memperbandingkan ilmu kita Yang kalah akan tunduk kepada yang menang. Aku setuju bahwa kita akan melakukannya lebih dahulu. Baru kemudian, aku akan membungkam mulut anak itu agar ia tahu. dimana ia harus berdiri."
" Tidak " Glagah Putih menyahut " kita akan melakukannya lebih dahulu."
" Tidak, Glagah Putih. Bukan kau."
" Aku tahu. Kakang Agung Sedayu hanya ingin mencegah agar tidak terjadi benturan kekuatan antara aku dan kakang Swandaru."
Ki Jayaragalah yang kemudian menyela " Dengarkan kata-kata kakakmu. Glagah Putih."
" Kakang tidak akan pernah menerima tantangan seperti ini. Selama ini kakang Agung Sedayu selalu mengekang diri. Jika kakang Agung Sedayu harus berkelahi melawan kakang Swandaru, ia tentu akan mengalah."
" Sekarang tidak " bentak Ki Jayaraga " taruhannya terlalu besar untuk mengalah, Glagah Putih."
" Sebelumnya. Biarlah kakang Swandaru menakar kemampuan diri untuk menghadapi kemampuan kakang Agung Sedayu."
" Ternyata apa yang dikatakan oleh kakangmu Agung Sedayu benar."
" Apa, guru ?" " Kau masih terlalu muda untuk mewarisi ilmu puncak Sigar Bumi. Secara wadag kau memang mampu menampung beban yang timbul karena ilmu itu. Tetapi secara jiwani kau memang belum masak untuk memilikinya"
" Guru " desis Glagah Putih.
" Kau tidak dapat berbuat lain kecuali mendengarkan perintah kakangmu Agung Sedayu yang juga gurumu."
Glagah Putih terdiam. Tetapi terdengar dadanya berdentangan semakin cepat.
Namun dalam pada itu, Swandarupun berkata " Aku akan tetap menjajagi kemampuanmu. Tetapi setelah aku selesai dengan kakang Agung Sedayu. Meskipun dunia ini mencegahmu, tidak sepatutnya kau urungkan tantanganmu."
" Guru " berkata Glagah Putih " guru dengar kata-katanya ?"
" Tetapi kau harus menunggu."
Swandaru menggeretakkan giginya. Sementara itu. Swandarupun berkata" Sekarang kau akan pulang ke rumah Ki Gede. Besok pagi, kita akan bertemu, kakang. Aku menunggumu di Pancuran Watu Item. Kau boleh membawa saksi siapapun juga. Aku juga boleh membawa saksi seberapa aku inginkan.
Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Sambil melangkah iapun berkata " Marilah Pandan Wangi, kita pulang."
Pandan Wangi seakan-akan telah kehilangan pribadinya. Ia berpaling memandang Sekar Mirah dengan mata yang berkaca-kaca. Namun Pandan Wangi itupun kemudian melangkah mengikuti suaminya.
Sejenak kemudian. Swandaru dan Pandan Wangi telah hilang di balik regol halaman rumah Agung Sedayu. Sementara itu beberapa orang yang berada di pendapa dan di halaman masih juga berdiri dengan tegang. Namun kemudian Agung Sedayupun kemudian berdesis.
" Marilah, kita kembali ke ruang dalam."
Glagah Putih masih berdiri dengan tegang di halaman. Ki Jayaragalah yang kemudian menarik lengannya sambil berkata"Marilah. Kita duduk di ruang dalam.-"
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kakinya melangkah naik ke Pendapa, melintasi pringgitan masuk ke ruang dalam.
" Aku tidak mempunyai pilihan " desis Agung Sedayu.
" Aku mengerti kakang."
" Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat terkendali." Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia harus berusaha untuk menahan diri.
" Besok aku akan pergi ke Pancuran Watu Item. Pagi-pagi aku akan pergi ke barak. Pada saat matahari sepenggalah aku sudah berada di rumah lagi. Kita akan bersama-sama pergi ke Pancuran Watu Item."
Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Empu Wisanata yang masih berada di rumah itupun bertanya " Apakah kami besok boleh hadir ?"
" Maksud Empu Wisanata ?"
" Aku dan Dwani."
" Silahkan Empu."
Empu Wisanatapun kemudian minta diri meninggalkan rumah Agung Sedayu itu.
Sekar Mirah masih saja merasa tegang. Ia tahu apa yang akan terjadi. Meskipun demikian, kemungkinan lainpun dapat juga terjadi. Betapapun sabarnya Agung Sedayu, namun pada suatu saat Agung Sedayupun dapat menjadi marah.
Namun Sekar Mirah merasa bersukur bahwa Swandaru tidak berbenturan langsung dengan Glagah Putih. Jika hal itu terjadi, maka ia tidak dapat membayangkan, siapakah yang akan terkapar di halaman rumah itu. Kedua-duanya tentu tidak akan mengekang diri lagi. Sementara itu, meskipun masih muda namun Sekar Mirah tahu, bahwa tataran ilmu Glagah Putihpun sudah sangat tinggi.
Demikian Swandaru dan Pandan Wangi sampai di rumah Ki Gede, maka Ki Gedepun menyongsong mereka dan mempersilakan mereka duduk. Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar melihat mata Pandan wangi yang berkaca-kaca.
Swandarulah yang menceriterakan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Agung Sedayu.
" Besok kami akan bertemu di Pancuran Watu Item. "
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam.
" Besok aku minta ayah pergi ke Pancuran Watu Item untuk menjadi saksi apa yang akan terjadi, agar kakang Agung Sedayu tidak mengingkari janjinya. "
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kenapa kalian harus membenturkan ilmu kalian " Apakah tidak ada cara lain untuk mencari pemecahan " "
" Sudah tidak ada jalan lain, ayah. Tetapi cara ini cukup adil. Siapakah yang akan menang, ialah yang akan dipatuhi. "
Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Swandarupun berkata selanjutnya " Sejak besok, Agung Sedayu itu bukan lagi saudara tuaku seperguruan. Ia harus mengakui kelebihanku. Tetapi akan terlambat bagi Agung Sedayu untuk menyesali kemalasannya, sehingga aku dapat melampaui kemampuannya. "
Ki Gede meragukan pendapat Swandaru itu. Ia tahu, bahwa Agung Sedayu berilmu sangat tinggi. Tetapi kemungkinan lain akan dapat terjadi.
Beberapa saat kemudian, maka Swandarupun berkata kepada Ki Gede " Aku akan beristirahat ayah. Aku harus menjaga kemapanan tubuhku. Besok aku akan menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa kemalasan dan keseganannya meningkatkan ilmunya, berakibat buruk bagi dirinya. "
Ki Gedepun mengangguk sambil menjawab " Baiklah. Beristirahatlah. "
Setelah mencuci kakinya di pakiwan serta berganti pakaian, Swandarupun membaringkan dirinya. Sambil tersenyum iapun berkata kepada Pandan Wangi " Pandan Wangi, kau besok akan menyaksikan, bahwa akulah yang pantas menjadi saudara tertua bagi murid-murid utama Kiai Gringsing. Besokpun aku akan menyatakan kuasaku sebagai saudara tua bagi Glagah Putih yang telah berani menantangku. "
" Apa yang akan kau lakukan atas anak itu. kakang " " bertanya Pandan Wangi dengan suara bergetar.
" Anak itu harus mohon maaf kepadaku. Jika ia berkeras kepala, maka aku tidak akan segan-segan menghukumnya dengan hukuman yang paling berat. "
" Apakah maksud kakang dengan hukuman yang paling berat. "
" Aku tidak akan segan-segan membunuhnya. "
" Kakang. Glagah Putih adalah adik sepupu kakang Agung Sedayu. Jika kau membunuhnya, hubunganmu dengan kakang Agung Sedayu akan dapat menjadi patah arang. "
" Jangankan sepupu Agung Sedayu. Jika besok Agung Sedayu mengingkari janji, maka aku tidak akan segan-segan membunuhnya. "
" Jika kakang Agung Sedayu juga bersikap demikian ?"
"Tidak ada salahnya. Bagiku lebih baik tanpa Agung Sedayu jika ia tidak mau membantuku. "
Pandan Wangi terdiam. " Sekarang, aku akan tidur " berkata Swandaru kemudian.
Pandan Wangi masih saja berdiam diri. Ketika ia memandang wajah Swandaru yang telah memejamkan matanya. Pandan Wangi itu melihat seleret senyum dibibir Swandaru.
Namun Pandan Wangi itupun berdoa, agar Agung Sedayu masih tetap sebagaimana Agung Sedayu yang dikenalnya. Jika Agung Sedayu kehilangan kendali. Pandan Wangi tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Swandaru.
Berbeda dengan Swandaru yang segera tertidur, Agung Sedayu justru menjadi sulit untuk tidur. Bertarung untuk membuat perbandingan ilmu dengan adik seperguruannya yang akan terjadi esok pagi itu, sangat menggelisahkannya Memang ada beberapa kemungkinan dapal terjadi.
Namun Agung Sedayu tidak dapat meremehkan Swandaru yang memang telah memiliki kemampan ilmu cambuk sampai ke puncak.
Menurut gelarnya. Agung Sedayu memang memiliki beberapa kelebihan. Tetapi dapat saja terjadi hal-hal diluar dugaan.
" Tidurlah kakang " desis Sekar Mirah " kakang perlu beristirahat. Bukankah kakang besok harus bangun pagi-pagi, pergi ke barak lebih dahulu, baru pergi ke Pancuran Watu Item " "
Agung Sedayu mengangguk. " Kakang " desis Sekar Mirah " aku yang memintakan maaf bagi kakang Swandaru. Jika besok benturan ilmu itu terjadi, aku mohon kakang masih dapat memaafkannya "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Swandaru adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, Sekar Mirah. Ia mewarisi puncak kemampuan ilmu dari perguruan orang bercambuk. "
" Tetapi akupun tahu, bahwa kakang juga mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Kakang sudah lebih dahulu menguasai puncak ilmu perguruan orang bercambuk. Bedanya, kakang swandaru dengan sengaja menunjukkan bahwa ia telah menguasai puncak ilmu itu. sementara kakang justru sengaja menyamarkannya. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
" Tidurlah kakang " berkata Sekar Mirah selanjutnya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian memejamkan matanya.
Agung Sedayu bangun pagi-pagi sekali. Ia pergi ke baraknya lebih pagi dari biasanya. Ia hanya memberitahukan, bahwa hari itu ia mempunyai keperluan yang penting, sehingga ia tidak dapat berada di barak seperti biasanya.
" Besok ?"bertanya seorang pembantunya.
" Mudah-mudahan besok aku dapat datang. "
" Kenapa mudah-mudahan, Ki Lurah " bertanya pembantunya yang lain.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya"Tidak apa-apa. " Sementara itu, Glagah Putih menunggu kedatangan Agung Sedayu itu dengan gelisah. Sebenarnyalah bahwa ia ingin sekali dapat bertemu langsung dengan Swandaru yang sangat sombong itu. Sudah cukup lama ia menahan diri. Setiap kali ia mendengar Swandaru menilai Agung Sedayu, darahnya serasa mendidih didalam dadanya.
Ketika matahari naik, maka Agung Sedayu, sudah berada di rumahnya lagi. Bersama Sekar Mirah, Agung Sedayupun pergi ke Pancuran Watu Item.
"- Kalian dapat segera menyusul. Tetapi jangan menarik perhatian, agar tidak ada orang lain yang juga pergi ke Pancuran Watu Item untuk melihat perbandingan ilmu ini. Sebenarnyalah aku merasa malu. "
Berkuda Sekar Mirah dan Agung Sedayupun pergi ke Pancuran Watu Item dilereng pebukitan. Tempat itu memang sepi. Hampir tidak ada orang yang sampai ketempat itu.
Sebuah dataran yang agak luas membentang didekat pancuran yang disebut Pancuran watu Item, karena air yang mengalir dari pencuran itu jatuh di atas sebuah batu hitam yang besar, yang karena sudah berpuluh tahun ditimpa air dari pancuran itu, maka batu itupun telah menjadi berlekuk agak dalam.
Ketika Agung Sedayu sampai ke tempat itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berada di tempat itu pula bersama Ki Gede Menoreh, Prastawa dan dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan.
" Aku kira kau tidak datang, Ki Lurah " berkata Swandaru.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya " Sebutan itu terdengar janggal di telingaku adi Swandaru."
" Aku sudah memutuskan bahwa sejak hari ini aku tidak akan memanggilmu kakang."
" Kenapa " " bertanya Agung Sedayu.
" Kau akan memanggilku Kakang. Kau akan tunduk kepadaku karena aku adalah orang pertama dari murid-murid utama dari perguruan orang bercambuk. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Empu Wisanata dan Nyi Dwani telah datang pula hampir berbareng dengan Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga.
" Ki Lurah " berkata Swandaru kemudian " apakah kau sudah siap untuk memasuki arena " "
" Sudah adi Swandaru "jawab Agung Sedayu.
Swandaru tertawa. Katanya" Kau masih dapat memanggil aku adi sekarang. Aku tidak berkeberatan, Ki Lurah, Tetapi sebentar lagi semuanya akan berubah. "
Agung Sedayu masih saja berdiam diri.
" Semua orang yang ada disini akan menjadi saksi, siapakah diantara kami yang memiliki ilmu lebih tinggi. Seperti yang kita sepakati semalam, jika kau menang Ki Lurah, maka aku akan tunduk kepadamu. Tetapi jika aku yang menang, maka kau akan tunduk kepadaku. Kau harus ikut bersama aku dan Ki Gede ke Mataram untuk menekan para pemimpin di Mataram agar mereka menyetujui permohonanku, menjadi Sangkal Putung sebuah Tanah Perdikan. Jika ternyata Mataram tidak mau juga menyetujui permohonanku, maka Mataram akan kita jepit dari dua arah. Dari Timur dan dari Barat. Disamping kekuatan yang ada di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka beberapa perguruan yang besar akan bergabung bersama kita. "
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab.
" Marilah, Ki Lurah. Kita mempersiapkan diri.
Agung Sedayu mengangguk. Katanya " Aku sudah siap. " Suasanapun menjadi tegang. Agung Sedayu dan Swandarupun melangkah ke tengah-tengah tanah yang cukup lapang di dekat Pancuran Watu Item itu.
" Ki Lurah, kau akan menyesali kemalasanmu. Bahkan sampai sekarang kitab peninggalan guru kita masih ada padamu. Tetapi kau sama sekali tidak memanfaatkannya. Setiap kali kau bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi, maka kau mengalami luka parah. Hanya karena kebetulan saja kau selamat sampai sekarang. Tetapi kali ini, kemalasanmu itu akan membuatmu mengalami perubahan besar dalam susunan keluarga murid utama Kiai Gringsing. Jika saja guru menyaksikan perbandingan ilmu kali ini, maka guru akan menjadi sangat kecewa kepadamu, Ki Lurah. "
" Aku tidak malas adi Swandaru "jawab Agung Sedayu " aku sudah berusaha. Tetapi bukankah kemampuan seseorang itu terbatas sehingga betapapun aku berusaha, tetapi hasilnya seperti yang akan kita lihat sekarang ini. "
Swandaru tertawa. Katanya" Jika Ki Lurah sudah merasa, apakah perbandingan ilmu ini perlu kita lanjutkan atau tidak " Jika Ki Lurah menyatakan kesediaannya tunduk kepadaku, maka akupun tidak berkeberatan untuk mengurungkan perbandingan ilmu ini. "
" Tidak, adi Swandaru " berkata Agung Sedayu " kita tidak akan mengurungkannya. Apapun yang terjadi, kita semuanya akan menjadi saksi.-
Swandaru mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tertawa iapun berkata - Baiklah . Ki Lurah. Kau sendirilah yang akan mempermalukan dirimu sendiri. Kau akan berlutut dihadapanku untuk mengaku bahwa akulah yang tertua diantara murid utama Kiai Gringsing. Untuk selanjutnya kau akan-tunduk kepada perintahku."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Agung Sedayu itupun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi Swandaru.
Meskipun Agung Sedayu dapat menduga, seberapa tinggi kemampuan Swandaru, tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merendahkannya. Agung Sedayu menganggap bahwa segala kemungkinan dapat saja terjadi di arena olah kanuragan.
" Ki Lurah - Swandaru itupun berkata lantang - Aku akan menunjuk Ki Gede sebagai saksi utama dan pelerai dalam pertarungan ini. Kau dapat menunjuk seorang diantara para saksimu untuk mendampingi Ki Gede.
" Aku percaya kepada ki Gede - berkata Agung Sedayu - Aku kira Ki Gede sendiri sudah cukup. Yang lain akan menjadi saksi apa yang akan terjadi nanti."
"Bagus. Jika Demikian, bersiaplah."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia telah ditunjuk untuk menjadi saksi utama dan pelerai dalam pertarungan itu.
Dengan hati yang berat, maka Ki Gedepun melangkah maju dan berdiri lebih dekat dengan arena pertarungan antara dua orang saudara seperguruan itu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri berhadapan. Beberapa langkah dari mereka berdua, Ki Gede berdiri termangu-mangu.
" Ki Lurah - berkata Swandaru - aku akan mulai dari tataran yang terhitung rendah. Aku akan meningkatkan ilmuku tataran demi tataran sehingga akhirnya aku tahu pada tataran manakah batas kemampuan Ki Lurah."
Swandaru telah sering menyinggung perasaan Agung Sedayu. Tetapi kata-katanya ini benar-benar telah menusuk jantungnya seperti ujung duri kemarung.
" Baiklah, adi Swandaru - berkata Agung Sedayu - aku tidak akan melakukan sebagaimana kau lakukan. Jika aku langsung sampai pada tataran puncak ilmu Orang Bercambuk, jangan salahkan aku."
Swandaru tertawa. Katanya - Tentu tidak, Ki Lurah. Kau bebas melepaskan ilmumu pada tingkat yang kau kehendaki dan kau kuasai. Bahkan ilmu yang kau sadap dari siapapun. Juga yang kau warisi dari para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus jika kau pernah mendapat latihan khusus pada saat kau diangkat untuk menjabat kedudukanmu yang sekarang.
" Baik, adi Swandaru . Pada saat aku tidak dapat mengelak lagi seperti sekarang ini, maka aku akan mencoba untuk mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan, tenaga dalam dan ilmuku untuk mempertahankan namaku serta menghindarkan diri dari keharuanku tunduk kepada semua perintahmu."-
Swandaru tertawa sambil berkata - Keinginan, niat dan harapan saja tidak cukup Ki Lurah. Dalam perbandingan ilmu, maka yang terpenting adalah penguasaan ilmu itu sendiri."
" Aku mengerti, adi Swandaru."
" Bersiaplah - lalu Swandaru itu berkata kepada Ki Gede aku akan mulai Ki Gede."
" Baik - desis Ki Gede - mulailah"
Lalu katanya kepada Agung Sedayu - Bersiaplah Ki Lurah. Agung Sedayupun menyahut - Aku sudah siap, Ki Gede. Demikianlah, maka kedua orang saudara seperguruan itu mulai bergeser. Mereka mulai mencari kesempatan untuk menyerang.
Agung Sedayu yang tidak mau meremehkan lawannya itu benar-benar telah bersiap sejak awal. Diterapkannya Ilmu Kebalnya untuk melindungi dirinya dari kemungkinan buruk pada awal pertarungan itu.
Dalam pada itu. orang-orang yang berada di Pancuran Watu Item itu menjadi tegang. Mereka akan menyaksikan pertarungan ilmu yang sangat tinggi dari dua orang saudara seperguruan.
Glagah Putih telah menggeretakkan giginya. Ia menjadi tidak telaten melihat sikap Agung Sedayu. Ia ingin Agung Sedayu itu memberikan pukulan yang menentukan pada awal pertarungan untuk menunjukkan tatarannya yang sebenarnya dimata Swandaru.
Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya. Ia menunggu Swandaru mulai menyerang. Ia ingin melihat, ditataran yang manakah Swandaru itu akan mulai.
Sejenak kemudian Swandaru mulai menyerang. Seperti yang dikatakannya, maka Swandaru akan mulai dari tataran yang terhitung rendah. Dengan semakin meningkatkan ilmunya, Swandaru akan dapat mengerti, pada tataran yang manakah puncak kemampuan Agung Sedayu itu.
Ketika Swandaru itu mulai, maka Agung Sedayu benar-benar merasa tersinggung. Ia tidak pernah merasa direndahkan oleh adik seperguruannya itu sebagaimana saat itu. Swandaru mulai dari tataran awal dari ilmu perguruan Orang Bercambuk.
" Kau boleh meremehkan aku - berkata Agung Sedayu didalam hatinya - tetapi tidak serendah itu."
Karena itu. maka Agung Sedayupun berniat untuk mengajari Swandaru untuk sedikit menghargainya.
Demikianlah , maka sejenak kemudian penarungan itupun sudah benar-benar mulai, meskipun pada tataran mula sekali. Namun nampaknya Agung Sedayu tidak pernah berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan Swandaru.
Karena itu, maka serangan-serangan Swandaru itupun dengan mudah dapat mengenai sasarannya. Beberapa kali serangan Swandaru mengenai Agung Sedayu, justru pada saat Swandaru baru mulai pada tataran awal dari ilmunya.
Swandaru sendiri merasa heran. Betapapun rendahnya ilmu Agung Sedayu. tetapi ia tentu sudah berada diatas tataran itu.
Swandaru itupun mulai berpikir. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu.
Beberapa kali tangan Swandaru sempat mengenai Agung Sedayu, justru ditempat-tempat yang berbahaya. Ketika Swandaru mengayunkan tangannya mendatar, maka tangannya itu langsung menyambar kening.
Ayunan tangan Swandaru itu cukup keras membentur kening Agung Sedayu. Namun ternyata Agung Sedayu itu sama sekali tidak terguncang. Ia bahkan masih saja melangkah maju mendekati Swandaru.
Dengan tangkasnya Swandarupun menyerang Agung Sedayu dengan kakinya. Serangan yang keras itu tepat mengenai perut Agung Sedayu.
Agung Sedayu itu sama sekali tidak berusaha untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Dibiarkannya kaki Swandaru itu mengenai perutnya.
Namun benturan kaki Swandaru yang mengenai perutnya itu sama sekali tidak menggoyahkannya. Bahkan Agung Sedayu justru melangkah maju, maka Swandaru itupun bergeser surut.
Sambil mengangguk-angguk Swandarupun berkata " Aku tahu, Ki Lurah. Kau ingin menunjukkan betapa besarnya daya tahan tubuhmu, Serangan-seranganku sama sekali tidak menggoyahkanmu. "
" Nampaknya kau belum benar-benar mulai adi Swandaru. Aku masih menunggu kapan kau akan mulai. "
Swandaru mengeretakkan giginya. Katanya dengan nada geram " Kau jangan mencoba meremehkan aku, Ki Lurah. Aku memang belum mulai. "
" Bukankah aku juga mengatakan bahwa kau masih belum mulai" Nah, aku sudah siap jika kau benar-benar ingin mulai. Meskipun barangkali aku malas untuk meningkatkan ilmuku, tetapi tentu aku sudah melewati tataran awal. "
Swandaru tiba-tiba saja tertawa. Katanya " Kau tersinggung Ki Lurah. "
" Tidak. Karena ilmumu pada tataran awal ini sama sekali tidak menyakiti kulitku. "
Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya, sementara Agung Sedayupun berkata " Agaknya justru kaulah yang tersinggung adi Swandaru. "
Swandaru tidak menjawab. Namun iapun segera mempersiapkan diri.
Agung Sedayu melihat sorot mata Swandaru yang menyala itu. Iapun segera mempersiapkan dirinya pula. Swandaru tentu tidak akan sekedar bermain-main lagi.
Sejenak kemudian Swandarupun mulai menyerang. Serangannya terasa lebih mantap dan lebih cepat. Namun Agung Sedayu masih merasakan betapa Swandaru itu merendahkannya. Meskipun Swandaru sudah meningkatkan tataran ilmunya, namun Agung Sedayu masih merasa dirinya sangat diremehkan.
Pada pertarungan berikutnya. Agung Sedayu tidak saja mengetrapkan ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu benar-benar ingin mengajarinya agar Swandaru tidak terlalu meremehkannya.
Karena itu maka ketika Swandaru mulai menyerangnya lagi, Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu yang sama pada tataran yang lebih tinggi, telah mendahuluinya. Seperti angin pusaran Agung Sedayu melanda Swandaru.
Swandaru terkejut. Tetapi ia terlambat. Serangan Agung Sedayu telah mengenai dadanya.
Justru Swandarulah yang telah tergoncang. Pada saat Swandaru masih berada pada tataran yang lebih rendah.
Wajah Swandaru menjadi merah membara ketika ia harus berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya, la merasa telah direndahkan oleh Agung Sedayu sehingga pertahanannya berguncang.
Karena itu, dengan lantang iapun berkata " Ki Lurah. Agaknya kau benar-benar tidak tahu diri. Baik. Baik. Aku tidak akan merunut sampai dimana tataran kemampuanmu. Jika kemudian serangan-seranganku menghancurkanmu, itu adalah tanggung jawabmu. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah Swandaru yang marah itu telah meningkatkan ilmunya pada tataran yang jauh lebih tinggi. Ia benar-benar ingin mempermalukan Agung Sedayu dihadapan para saksi yang ada di Pancuran Watu Item itu.
Sejenak kemudian, maka serangan Swandarupun sudah menjadi jauh berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya. Serangannya itupun menjadi jauh lebih cepat, lebih mantap dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar.
Tetapi Agung Sedayupun sudah siap sepenuhnya. Seberapapun Swandaru berdiri pada tataran ilmunya, Agung Sedayu tidak akan mengecewakannya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara dua orang saudara seperguruan dari perguruan Orang Bercambuk itupun segera meningkat menjadi semakin sengit Mereka tidak lagi bertempur pada tataran awal ilmu mereka, tetapi mereka bertempur pada tataran yang jauh lebih tinggi.
Swandaru yang agak kegemuk-gemukan itu berloncatan menyambar-nyambar. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Hembusan angin yang tergetar oleh ayunan tangannya terhempas ke tubuh Agung Sedayu.
Agung Sedayupun bergerak dengan cepatnya. Ia sudah bertekad untuk mengajari adik seperguruannya itu agar menghormatinya. Karena itu. maka Agung Sedayupun selain mengetrapkan ilmu kebalnya telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh.
Dengan demikian, Swandaru yang telah berada pada tataran yang tinggi itupun kadang-kadang telah kehilangan lawannya yang bergerak sangat cepat. Berdasarkan atas alas ilmunya pada tataran yang semakin tinggi, serta didukung oleh tenaga dalamnya yang besar, - ternyata Swandaru sulit untuk mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu yang berada pada tataran yang sama, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat besar serta ilmunya meringankan tubuh. "
Jantung Swandaru mulai bergejolak. Namun Swandaru masih belum berada pada puncak ilmunya yang diwarisinya dari Kiai Gringsing itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan pertarungan yang semakin seru itu menjadi semakin tegang. Terutama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga Swandaru itu adalah suami Pandan Wangi dan kakak Sekar Mirah.
Namun keduanya sadar, bahwa Swandaru benar-benar harus ditaklukkan.
Sementara itu Glagah Putihpun berpendapat, bahwa Swandaru harus dipaksa untuk mengakui, bahwa ia benar-benar kalah. Ia harus melihat kenyataan bahwa ilmu Agung Sedayu itu lebih tinggi dari ilmu Swandaru, sehingga kemenangan Agung Sedayu bukanlah semata-mata karena kebetulan.
Dalam pada itu, pertempuran itupun berlangsung semakin sengit. Swandaru yang menyerang Agung Sedayu dengan hentakan-hentakan yang kuat, cepat dan keras, sama sekali tidak berhasil mendesak Agung Sedayu yang memiliki kecepatan gerak yang sangat tinggi serta daya tahan yang dibentengi dengan ilmu kebal.
Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu sengaja membiarkan serangan Swandaru mengenainya, justru karena Agung Sedayu mengetahui bahwa Swandaru masih belum sampai kepuncak ilmunya. Agung Sedayu tahu, bahwa pada tataran itu, kekuatan tenaga Swandaru yang didukung oleh tenaga dalamnya, masih belum mampu mengoyak ilmu kebalnya.
Yang menyaksikan pertempuran itu terkejut ketika Agung Sedayu tidak mampu menangkis atau mengelakkan serangan kaki Swandaru yang mengarah ke dadanya, sehingga serangan itu benar-benar telah membentur dada Agung Sedayu.
Namun Glagah Putihpun menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata serangan itu tidak menggetarkan pertahanan Agung Sedayu. Bahkan serangan yang mengenai dada Agung Sedayu itu seakan-akan sama sekali tidak terasa.
Swandarupun menggeram. Ia mulai membuat penilaian ulang terhadap kemampuan Agung Sedayu.
Menurut perhitungannya, pada tataran itu, serangannya sudah mampu mengguncang pertahanan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu akan kehilangan, keseimbangannya atau terdorong beberapa langkah surut.
Namun ternyata pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak goyah.
" Darimana Agung Sedayu memiliki daya tahan yang demikian tingginya" " bertanya Swandaru didalam hatinya. Menurut penglihatan Swandaru, setiap kali Agung Sedayu bertempur menghadapi orang berilmu tinggi, ia selalu terluka parah. Namun demikian, ternyata serangannya masih belum menggoyahkannya.
Sejenak kemudian pertempuranpun menjadi semakin seru. Swandaru telah meningkatkan ilmu lebih tinggi lagi. Serangannya menjadi semakin bertenaga dan semakin cepat.
Namun serangan-serangan itu masih belum mampu menundukkan Agung Sedayu. Agung Sedayu masih belum terpelanting jatuh sehingga tidak bangkit lagi. Bahkan serangan-serangannya yang tepat mengenai sasarannya, sama sekali tidak menggoyahkan pertahanannya.
Bahkan kemudian ketika Swandaru menyerang Agung Sedayu dengan meloncat mendekat sambil menjulurkan tangannya mengarah ke dada. Agung Sedayu telah membentur serangan itu dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
Yang terjadi adalah benturan dua kekuatan. Namun yang justru tergetar surut adalah Swandaru.
" Gila " geram Swandaru didalam hatinya " apakah Agung Sedayu sedang kerasukan iblis?"-
Sementara itu, Agung Sedayu berdiri tegak, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Swandaru yang tergetar surut tidak segera menyerangnya. Dipandanginya Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai keujung ubun-ubunnya. Namun tiba-tiba Swandaru mendapatkan kesimpulan yang mendebarkan jantungnya.
Nampak kerut di dahi Swandaru yang sedang termangu-mangu itu. Di dalam hatinya ia bertanya " Apakah Ki Lurah Agung Sedayu itu memiliki ilmu kebal" Tetapi dari mana ia mendapatkannya" "
Sementara itu Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada Swandaru untuk merenungi apa yang dihadapinya.
Ternyata dugaan Swandaru bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal itu telah membuat jantung Swandaru itu bagaikan membara. Sehingga dengan demikian, maka Swandarupun tidak lagi menahan diri dengan ilmunya.
" Aku harus memecahkan ilmu kebal itu " geram Swandaru didalam hatinya "jika kemudian Agung Sedayu itu akan terluka parah dibagian dalam tubuhnya, sama sekali bukan tanggung jawabku. "
Swandaru tidak lagi mengingat, bahwa ia memerlukan Agung Sedayu untuk diajaknya pergi ke Mataram. Yang kemudian bergetar diliatinya adalah melumpuhkan Agung Sedayu yang ternyata memiliki kemampuan lebih tinggi dari yang diduganya.
" Ilmu kebal itu tidak berarti lagi bagi puncak ilmuku " berkata Swandaru didalam hatinya.
Sebenarnyalah Swandaru telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.
Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar melihat Swandaru itu berdiri tegak dengan kaki renggang sedikit merendah pada lututnya. Kedua tangannya perlahan-lahan terjulur lurus kedepan dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada lawannya. Kemudian kedua telapak tangannya yang terbuka itu berputar menghadap keatas sementara sikunya ditariknya kebelakang. Perlahan-lahan kedua telapak tangan Swandarupun menutup sehingga tangannyapun mengepal disamping tubuhnya sebelah-menyebelah.
Agung Sedayu yang menyadari bahwa Swandaru telah sampai kepuncak ilmunya, telah melakukannya pula. Tetapi Agung Sedayu yang berdiri tegak dan sedikit merendah itu justru menyilangkan kedua tangannya didada dengan telapak tangan terbuka.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menjadi semakin tegang. Mereka semuanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Bahkan Rara Wulanpun tahu pasti, bahwa mereka telah sampai ke puncak ilmu mereka.
Dua orang yang menyadap ilmu dari sumber yang sama telah saling berhadapan dalam puncak ilmu mereka. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang sangat luas.
Demikianlah, maka sejenak kemudian. Swandarupun telah meloncat menyerang dengan garangnya. Sambaran anginnya seakan-akan telah menggetarkan udara di sekitar Pancuran Watu Item. Pepohonan telah bergoyang dan dedaunanpun terguncang. Daun-daun yang telah menguning dan tidak mampu lagi berpegangan pada tangkainya telah terlepas dan jatuh berhamburan.
Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya.
Ketika serangan Swandaru itu datang bagaikan angin pusaran. Agung Sedayu tidak lagi membiarkan serangan-serangan itu mengenai tubuhnya. Agung Sedayu sadar, bahwa pada puncak ilmunya, maka kemampuan Swandaru akan dapat mengguncang ilmu kebalnya. Bahkan memecahkannya.
Karena itu. dengan ilmu meringankan tubuhnya. Agung Sedayu bergerak dengan cepat menghindari serangan Swandaru itu.
Namun Swandaru tidak melepaskannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan garang. Dikerahkannya segenap ilmu .dan tenaga dalamnya untuk mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Namun Swandaru harus melihat kenyataan itu. Ternyata Swandaru mulai digelitik oleh perasaan herannya, bahwa Agung Sedayu masih mampu mengimbangi ilmunya yang telah sampai ke puncak.
Sementara keduanya saling menyerang dan menghindar, maka benturan-benturan ilmupun tidak dapat dielakkan lagi. Agung Sedayu yang berusaha agar ilmu kebalnya tidak tertembus, telah meningkatkannya sampai kepuncak pula.
Meskipun demikian, ketika Agung Sedayu mencoba dengan sengaja membentur serangan Swandaru, terasa bahwa ilmu kebalnya telah terguncang. Namun sementara itu. Swandaru telah tergetar beberapa langkah surut.
" Gila " geram Swandaru hampir diluar sadarnya. Ia telah berada di puncak ilmunya. Namun ternyata bahwa justru dalam benturan ilmu itu, dirinyalah yang terdorong surut.
" Apa yang sebenarnya terjadi" " bertanya Swandaru di dalam hatinya.
Apalagi ketika ia melihat bahwa Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya itu, seakan akan tidak merasakan akibat benturan yang terjadi itu. sementara Swandaru merasa isi dadanya bagaikan terguncang, serta nafasnya tertahan beberapa saat.
Bahkan Swandaru itu masih merasakan seakan-akan udara menjadi panas sehingga keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya.
Sebenarnya Agung Sedayu yang telah meningkatkan ilmu kebalnya itu, telah mempengaruhi udara disekitarnya yang sekan-akan menjadi semakin panas. Getaran yang memancar dari dalam dirinya pada saat-saat ia mengerahkan ilmu kebalnya, seakan-akan telah memanasi udara disekitarnya.
" Ada apa sebenarnya di Pancuran Watu Item ini" " bertanya Swandaru didalam hatinya.
Sebenarnya, sebagai seorang yang berilmu tinggi, Swandaru tentu akan segera dapat mengenali ilmu lawannya jika saja Swandaru tidak terlalu merendahkan Agung Sedayu. Swandaru sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu memiliki berbagai macam ilmu yang mendebarkan jantung.
Namun akhirnya Swandaru itupun menggeram didalam hatinya " Tentu ilmu kebal Agung Sedayu itulah yang membangunkan panas disekitarnya itu. Dari mana anak cengeng itu mewarisi berbagai macam ilmu?"
Namun dengan demikian, maka Swandaru benar-benar telah mengetrapkan segenap kemampuannya. Iapun harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi udara panas diseputar tubuh Agung Sedayu. Meskipun daya tahan Swandaru itu tidak akan mampu mengimbangi ilmu kebal Agung Sedayu, namun dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya. Swandaru masih dapat bertahan menghadapi panasnya udara disekitar tubuh Agung Sedayu. Serangan-serangannya masih tetap berbahaya. Namun jika terjadi benturan diantara mereka, ternyata Swandarulah yang tergetar, bahkan kadang-kadang terdorong surut.
Beberapa kali Swandaru mengumpat. Ia tidak mengira, bahwa yang akan terjadi sebagaimana yang terjadi itu. Swandaru sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mampu mengimbanginya meskipun ia sudah sampai pada puncak ilmunya.
Namun Swandaru masih belum yakin. Dengan garangnya Swandaru itupun menyerang Agung Sedayu. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan cepatnya. Menyambar-nyambar dengan cepatnya.
Swandaru ingin dengan cepat menguasai Agung Sedayu. Memecahkan ilmu kebalnya dan memaksa Agung Sedayu menyerah dan mengakui kekalahannya jika dadanya tidak pecah oleh serangannya
Tetapi Swandaru harus menghadapi kenyataan yang lain. Agung Sedayu itu ternyata menjadi seperti angin yang bertiup dari segala arah menampar tubuhnya.
Beberapa kali. Agung Sedayu mampu menembus pertahanannya. Bahkan nampaknya Agung Sedayu dengan sengaja menyakiti Swandaru. Sudah lama Swandaru sama sekali tidak menaruh hormat kepadanya sebagai saudara tua seperguruannya. Karena itu, menurut pendapat Agung Sedayu, sudah tiba waktunya, bahkan Swandaru sendirilah yang menetapkannya, untuk memaksa Swandaru mengakui, bahwa Agung Sedayu adalah murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk.
Agung Sedayu yang melengkapi ilmunya dengan ilmu meringankan tubuhnya, menjadikan serangan-serangan Agung Sedayu sulit untuk dibendung. Beberapa kali serangan Agung Sedayu mengenai tubuh Swandaru. Bahkan menggoncangkan keseimbangannya.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jantung Swandaru menjadi semakin berdebaran. Swandaru sendiri seakan-akan telah terlibat dalam pusaran angin yang kencang.
Namun Swandaru yang memiliki pengalaman yang luas itu tidak membiarkan dirinya dikungkung oleh pusaran angin yang terasa semakin lama semakin panas. Dengan penglihatannya yang sangat tajam ia melihat bayangan lawannya yang berputaran itu. Karena itu. maka dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya. Swandaru meloncat membentur putaran gerak Agung Sedayu itu.
Namun Agung Sedayupun melihat pula ancang-ancang Swandaru itu. sehingga Agung Sedayupun telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuannya.
Benturan ilmu yang dahsyatpun telah terjadi. Agung Sedayu yang membentur kekuatan dan kemampuan Swandaru telah terguncang. Ia bergeser selangkah surut. Terasa dadanya memang tergetar. Ilmu puncak Swandaru benar-benar telah menggoyahkan ilmu kebalnya yang kuat.
Karena itu. maka dada Agung Sedayu memang terasa menjadi sesak.
Namun dalam pada itu. Swandaru telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terbanting ditanah. Ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Sehingga karena itu. maka Swandaru itupun telah terkapar, tersuruk kedalam tanah berdebu.
Terasa tulang-tulang Swandaru menjadi bagaikan berpatahan. Dadanya serasa terhimpit oleh bukit padas. Matanya menjadi berkunang-kunang.
Kenyataan itu terasa sangat pahit bagi Swandaru. Ia sama sekali tidak mau menerimanya. Karena itu, maka iapun berusaha untuk segera meloncat bangkit.
Tetapi terasa kepala Swandaru itu sangat pening. Hampir saja Swandaru itu terjatuh kembali. Namun.gejolak perasaannya yang membaralah yang membuat Swandaru itu berdiri tegak ditempatnya. Matanya menjadi bagaikan menyala, sementara darah didalam tubuhnya telah mendidih.
Di beberapa tempat kulitnya memang terkelupas. Tetapi Swandaru sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan tulang-tulangnya yang sakit, perutnya yang mual dan nafasnya yang terengah engah.
" Kau benar-benar tidak tahu diri, Agung Sedayu " geram Swandara dengan suaranya yang bergetar.
Agung Sedayu berdiri tegak dengan dada tengadah. Sikapnya di mata Swandaru jauh berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Agung Sedayu sama sekali tidak nampak sebagai seorang laki-laki yang penuh kebingungan. Selalu cemas dan dibayangi oleh kelemahannya dibandingkan dengan kebesaran namanya.
Yang dilihat Swandaru pada waktu itu adalah seorang laki-laki yang perkasa. Berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya, memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala.
Terasa jantung Swandaru tergetar. Namun ketika ia melihat beberapa orang yang berdiri disekitar arena, apalagi ketika ia melihat Ki Gede Menoreh yang memandangingnya dengan kerut di dahi. maka darah Swandaru itu telah menggelegak lagi.
Ia tidak mau menerima kenyataan, bahwa Agung Sedayu itu ternyata memiliki puncak kemampuan ilmu yang seimbang dengan puncak kemampuannya.
Sementara itu. orang-orang yang berdiri disekitar arena itu menjadi semakin tegang. Mereka berharap bahwa pertarungan itu dapat diakhiri. Mereka berharap bahwa Swandaru mengakui kelebihan Agung Sedayu dan tetap menganggapnya sebagai saudara tuanya.
Namun jantung merekapun terguncang. Bahkan Pandan Wangipun terpekik kecil ketika ia melihat Swandaru mengurai cambuknya. Cambuk, senjata andalan dari murid-murid Kiai Gringsing.
" Kakang " Pandan Wangipun berlari ke arah suaminya. Dipeluknya Swandaru sambil berkata" Kakang. Jangan terlalu jauh. Agaknya kakang sudah dapat mengambil kesimpulan dari perbandingan ilmu sampai disini."
" Tidak "jawab Swandaru sambil mendorong Pandan Wangi perlahan-lahan "jangan cemas Pandan Wangi. Aku akan menundukkan Ki Lurah Agung Sedayu sehingga ia mengakui kemenanganku."
" Tetapi cambuk itu sangat berbahaya kakang."
" Ini adalah ciri senjata perguruan Orang Bercambuk. Tanpa senjata ini. maka tidak ada kekhususan apa-apa pada murid-murid Kiai Gringsing."
" Tetapi dengan cambuk ini. yang tidak kita harapkan akan dapat terjadi."
" Itu adalah akibat yang wajar, Pandan Wangi. Minggirlah."-Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya. Tiba-tiba saja Swandaru menghentakkan cambuknya. Suaranya meledak bagaikan mengguncangkan perbukitan.
Nairiun ketika kemudian Swandaru mengulanginya, hentakkan cambuk itu tidak lagi berbunyi. Namun getarannya terasa mengguncang isi dada.
" Bersiaplah. Ki Lurah " berkata Swandaru dengan suara yang bergetar " kita tuntaskan perbandingan ilmu ini. Kita harus yakin, siapakah diantara kita yang terbaik."
Tidak seperti biasanya. Sambil mengurai cambuknya pula Agung Sedayupun menjawab " Baik. Aku setuju, bahwa kita harus yakin, siapakah yang terbaik diantara kita."
Jantung Sekar Mirah serasa berdentangan semakin cepat. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu agaknya sudah sampai kepuncak kesabarannya. Ia tidak lagi dapat menahan diri setelah bertahun-tahun selalu direndahkan oleh Swandaru. Namun bagaimanapun juga Swandaru adalah kakak kandungnya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia menjadi cemas juga melihat kesungguhan Agung Sedayu. Tanpa ragu-ragu Agung Sedayu itupun telah menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya, sedangkan tangan kirinya memegangi ujung juntainya.
Ki Gede Menoreh- yang melihat kedua orang itu sudah menggenggam senjata telah bergeser surut. Ia tidak mau menjadi korban dari benturan ilmu dari dua orang saudara seperguruan itu.
" Bersiaplah, Ki Lurah " geram Swandaru "jaga dirimu baik-baik. Keselamatanmu adalah tanggung-jawabmu sendiri."
. " Baik. Aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatanku. Sebaliknya, jaga dirimu. Aku sudah muak dengan kesombonganmu."
Kata-kata itu bagaikan bara api yang menyentuh telinga Swandaru. Namun sebelum ia menjawab. Agung Sedayu itupun berkata " Kita akan membuktikan! siapakah diantara kita yang lebih malas, yang tidak menghormati kitab peninggalan guru atau sebutan apapun. Sebenarnyalah bahwa sebelum aku menyimpan kitab guru, aku sudah sampai pada tataran ini. Aku tidak ingin menyinggung perasaanmu jika hal itu aku katakan pada waktu itu, karena kau masih saja menganggap aku terlalu lambat. Tetapi sekarang aku akan berkata jujur. Bahwa ilmuku sudah jauh lebih maju dari ilmumu."
Darah Swandaru bagaikan mendidih dijantungnya yang membara. Demikian marahnya, sehingga mulutnya justru sulit untuk mengatakan sesuatu. Yang dilakukan Swandaru adalah sekali lagi menghentakkan cambuknya.
Agung Sedayupun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka Swandarupun mulai bergeser sambil memutar cambuknya. Ketika Agung Sedayu juga bergeser setapak, maka Swandarupun segera meloncat sambil menghentakkan cambuknya mengarah ke lambung. Namun dengan ilmu meringankan tubuhnya, kecepatan ujung cambuk Swandaru tidak mampu menyusul kecepatan gerak Agung Sedayu.
Namun Swandaru benar-benar menguasai cambuknya. Juntai cambuknya itu seakan-akan telah menggeliat, terayun mendatar menyambar ke arah leher.
Tetapi sekali lagi ujung cambuk itu tidak menyentuh sasaran.
Sementara itu, ujung Cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menyambar tubuh Swandaru. Namun Swandaru masih sempat meloncat surut. Ketika Agung Sedayu mengulangi serangannya, Swandaru meloncat selangkah kesamping. Namun tiba-tiba saja Swandaru itu meloncat mendekat sambil mengayunkan cambuknya.
Tetapi cambuk itu sama sekali tidak menyentuh Agung Sedayu yang dengan tangkasnya menghindar. .
Demikianlah, maka pertempuran antara dua orang yang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan, mengayunkan cambuknya mendatar, menghentak sendai pancing dan kadang-kadang menebas mengerikan.
Namun semakin lama Swandaru menjadi semakin tertinggal oleh kecepatan gerak Agung Sedayu. Ujung cambuk Agung Sedayu itu rasa-rasanya menghentak semakin dekat dengan tubuhnya.
Namun Swandaru yang telah sampai ke puncak ilmu dari perguruan Orang Bercambuk serta pengalaman yang sangat luas, masih mampu untuk melindungi dirinya sehingga serangan-serangan Agung Sedayu masih belum menyentuhnya
Namun ujung cambuk Swandaru sendiri, masih juga belum mampu menyentuh tubuh Agung Sedayu.
Yang menyaksikan pertarungan yang semakin sengit itu menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka mampu membaca apakah yang sebenarnya telah terjadi diarena. Mereka mampu melihat lebih terang serta mengerti dengan jelas apa yang tengah terjadi di arena daripada mereka yang terlibat dalam pertempuran itu sendiri.
Dalam pada itu, ketika ujung cambuk Swandaru berhasil menyentuh ujung kaki Agung Sedayu, terasa bahwa kekuatan ilmu Swandaru memang mampu menggetarkan ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun kulit Agung Sedayu tidak terluka, namun terasa sentuhan itu demikian pedihnya sampai ke tulang.
Namun ketika kemudian ujung cambuk Agung Sedayu yang berhasil menyentuh kulit lengan Swandaru, maka bukan saja baju Swandaru yang terkoyak, tetapi kulitnyapun telah tergores pula, sehingga luka yang menyilang telah menganga.
Swandaru yang kesakitan meloncat surut. Tetapi Swandaru tidak mengaduh sama sekali. Swandaru itu hanya berdesah tertahan sambil mengusap lukanya dengan telapak tangannya.
Namun Swandaru itu terkejut. Telapak tangannya itupun menjadi merah karenanya.
" Iblis laknat"geram Swandaru " kau telah melukai kulitku. Kau akan menyesal karenanya. Aku akan membalasnya sepuluh kali lipat.-
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Pandan Wangi telah menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Terdengar ia memanggil. Namun hanya dirinya sendirilah yang mendengarnya.
" Kakang Swandaru. "
Namun yang menjadi cemas bukan saja Pandan Wangi. Sekar Mirahpun menjadi tegang. Kemarahannya kepada kakak kandungnya itu hampir tidak dapat dikekangnya sebelumnya. Namun ketika ia melihat lengan Swandaru terluka, maka iapun menjadi sangat cemas. Agaknya kali ini Agung Sedayu benar-benar ingin mengajari adik seperguruannya agar menghormatinya. Namun betapapun sabarnya seseorang, mungkin sekali pada suatu saat ia kehilangan kesabarannya karena sudah sampai ke batas.
Demikianlah ujung cambuk Agung Sedayu rasa-rasanya bagaikan memburu.
Ketika Swandaru mengayunkan cambuknya mendatar mengarah ke leher Agung Sedayu. dengan tangkasnya Agung Sedayu merendah. Cambuk itu terayun diatas kepala Agung Sedayu. Namun pada saat yang bersamaan. Agung Sedayu telah siap menyerang lambung Swandaru.
Yang berada di luar arena pertempuran mampu melihat gerak tangan Agung Sedayu. justru pada saat Swandaru berusaha menguasai cambuknya. Sekar Mirah menutup mulutnya dengan telapak tangannya, sementara Glagah Putih, mengatupkan giginya rapat-rapat. Jika Agung Sedayu benar-benar mengayunkan cambuknya dengan sepenuh tenaga, maka perut Swandaru tentu akan terkoyak.
Pandan Wangi yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya, tiba-tiba saja terpekik " Kakang. "
Agung Sedayu terkejut. Ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Ia memang tidak ingin mengoyak perut Swandaru tanpa mengekang diri. Ia hanya ingin menggores perut yang semakin gemuk itu dengan sentuhan ujung cambuknya saja.
Namun pekik Pandan Wangi telah menghentikan geraknya sama sekali. Bahkan Agung Sedayu sempat berpaling kearah Pandan Wangi yang wajahnya menjadi pucat pasi.
Namun yang tidak terduga itu terjadi. Yang sekejap itu ternyata telah dipergunakan dengan baik oleh Swandaru. Pada saat Agung Sedayu berpaling, maka cambuk Swandarupun menghentak sendal pancing.
Terdengar Agung Sedayu berdesah tertahan. Ujung cambuk Swandarulah yang justru menggapai tubuh Agung Sedayu.
Ternyata Agung Sedayu terlambat menghindar. Ujung cambuk Swandarulah yang telah mengenai lambung Agung Sedayu.
Meskipun Agung Sedayu berlindung dibalik ilmu kebalnya, namun ujung cambuk Swandaru itu telah mengoyak bajunya. Segores luka yang tipis telah benar-benar menggores kulit Agung Sedayu. Betapapun tipisnya, namun darah telah mengalir dari luka yang tipis itu.
Pandan Wangi. Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani hampir berbareng menjerit. Sementara itu, keberhasilan itu justru telah mendorong Swandaru untuk tidak memberi kesempatan kepada Agung Sedayu. Demikian Agung Sedayu meloncat surut, maka Swandarupun telah memburunya.
Sambil memburu Agung Sedayu, maka ujung cambuk Swandaru telah mematuk dengan garangnya. Agung Sedayu berusaha menggeliat, namun ujung cambuk itu masih juga mengenai pinggangnya.
Namun ketika kemudian Swandaru melecut Agung Sedayu kearah dadanya, maka Agung Sedayu itu melenting tinggi. Sekali berputar diudara. Kemudian Agung Sedayu menyentuh tanah dengan kedua kakinya.
Swandaru benar-benar tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat ia meloncat memburunya. Tetapi dengan ilmu meringankan tubuhnya, maka Agung Sedayu yang menahan sakit di pinggangnya itu bergerak lebih cepat, sehingga iapun berada diluar jangkauan serangan Swandaru.
Ketika Swandaru siap menyerangnya, maka Agung Sedayupun sudah siap menghadapinya.
Tetapi justru karena itu, Swandarupun tertegun sejenak. Namun kemudian iapun berkata lantang - Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Ki Lurah.-
Agung Sedayu memandang Swandaru dengan kerut didahi. Swandarupun telah terluka pula. Sementara itu darah masih mengalir dari luka di lambung dan pinggangnya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya Swandaru dengan tajamnya.
Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas melihat sikap Agung Sedayu. Pandangan matanya yang tajam itu dapat menjadi sangat berbahaya bagi Swandaru.
Dalam pada itu. Swandaru itupun berkata - Mumpung kau masih mempunyai kesempatan, kau harus segera mengambil keputusan."
Tetapi Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Bahkan setapak demi setapak ia melangkah maju.
Swandarupun menggeram. Ia melihat darah membasahi pakaian Agung Sedayu. Tetapi ilmu kebalnya mampu memperingan luka akibat sentuhan ujung cambuk Swandaru.
Agung Sedayu yang sudah terluka itu merasakan getar yang semakin keras bergejolak di dalam dadanya. Sementara itu, sambil menggeram Swandarupun telah memutar cambuknya kembali.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah menyala kembali. Swandaru benar-benar tidak lagi berusaha mengekang diri. Ia tidak peduli, akibat apapun yang akan terjadi pada Agung Sedayu.
Ki Gede Menoreh berdiri semakin jauh dari arena. Ujung cambuk yang menyambar-nyambar itu sangat berbahaya baginya. Jika ujung salah satu dari kedua cambuk itu menyentuh kulitnya, maka kulit dan dagingnya tentu akan terkoyak sampai ketulang.
Agung Sedayu yang kecewa atas sikap Swandaru yang menyerang justru pada saat-saat perhatiannya berpaling dari arena itu, membuat kesabaran Agung Sedayu itu semakin terkikis.
Dengan demikian, dialasi dengan ilmu kebalnya serta ilmu meringankan tubuhnya Agung Sedayu kemudian bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diimbangi oleh Swandaru. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu berputar semakin cepat, maka Swandarupun menjadi semakin terdesak.
Namun seberapa jauh Agung Sedayu kehilangan kesabarannya, ia masih tetap menyadari, bahwa ia berhadapan dengan adik seperguruannya.-
Karena itu. bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih dapat menguasai gejolak perasaannya.
Meskipun demikian, serangan-serangan Agung Sedayu yang datang seperti prahara itu membuat Swandaru menjadi semakin sulit. Setiap kali Swandaru harus meloncat surut. Arena pertempuran itu rasa-rasanya telah dipenuhi dengan ujung cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menggapai sasarannya.
Swandaru berdesah tertahan ketika ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh pundaknya. Luka yang timbul karena sentuhan cambuk itu telah mengalirkan darah.
Swandaru itupun mengumpat di dalam hati. Rasa-rasanya ruang geraknya benar-benar telah tertutup. Kemanapun ia bergerak, terasa ujung cambuk Agung Sedayu itu memburunya.
Karena itu maka Swandaru telah meloncat untuk mengambil jarak. Ia harus membebaskan diri dari libatan cambuk Agung Sedayu, baru kemudian ia mulai menyerang setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Ketika Swandaru berloncatan menjauhinya, Agung Sedayu sengaja tidak memburunya. Demikian Swandaru berdiri tegak beberapa langkah dihadapan tebing bukit tidak terlalu jauh dari pancuran air yang jatuh keatas sebuah batu hitam yang besar, maka Agung Sedayupun berdiri tegak sambil memegangi cambuknya dengan kedua belah tangannya.
Melihat sikap Agung Sedayu. Sekar Mirah terkejut. Hampir saja ia menjerit memanggil. Namun ketika ia teringat apa yang terjadi ketika Pandan Wangi berteriak, maka Sekar Mirah itupun telah menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya.
Namun terasa jantungnya bergejolak dengan kerasnya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dengan sikapnya itu. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan menyerang dengan sorot dari matanya itu. tentu akan dapat melumatkan Swandaru apabila ia benar-benar melakukannya.
Sementara itu. Swandaru yang telah berhasil mengambil jarak dari Agung Sedayu itu telah bersiap untuk segera menyerangnya. Cambuknya telah mulai bergetar ditangannya.
Sekar Mirah masih menutup mulutnya dengan tangannya. Meskipun demikian. Sekar Mirah itupun berdesis meskipun hanya didengarnya sendiri - Ampuni kakang Swandaru, kakang.
Namun ketika Swandaru itu mulai bergerak, siap meloncat menyerang dengan cambuknya, tiba-tiba saja dari mata Agung Sedayu telah meluncur seleret sinar yang terbang secepat tatit.
Sekar Mirah memalingkan wajahnya. Tangannya tidak saja menutup mulutnya, tetapi kedua telapak tangannya itu menutupi wajahnya.
Orang-orang yang berdiri disekitar arena itupun diam mematung. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung mereka. Bahkan nafas Glagah Putih itupun bagaikan terhenti di kerongkongan.
Namun merekapun terkejut ketika mereka mendengar suara gemuruh. Gumpalan padas di tebing dibelakang Swandaru itupun tiba-tiba telah runtuh, hampir saja menimpa Swandaru, sehingga Swandaru yang terkejut itupun bergeser beberapa langkah menjauhi tebing padas yang berguguran itu.
Sejenak Swandaru tercenung. Terasa dadanya bergejolak. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Swandaru memang melihat dari mata Agung Sedayu memancar semacam cahaya yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi diatas kepalanya. Kemudian tebing padas dibelakang itupun berguguran.
*** JILID 330 Halaman Hilang 28-29 tdk ada di source djvu
NAMUN Swandaru tidak mau menyerah kepada kenyataan itu. Ia justru melihat Agung Sedayu menjadi lengah. Karena itu, maka Swandarupun telah meloncat sambil mengayunkan cambuknya.
Swandaru sempat melihat Agung Sedayu meloncat. Namun tiba-tiba saja Swandaru itu berdiri bagaikan membeku. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia melihat bukan hanya seorang Agung Sedayu yang meloncat menghindar. Tetapi tiga orang Agung Sedayu.
Kepala Swandaru menjadi pening. Tebing padas yang berguguran dibelakang itu telah membuat jantungnya hampir terlepas. Dan kini ia melihat tiga orang Agung Sedayu bergerak saling menjauhi yang satu dengan yang lain.
Swandaru sadar, bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat menjadi tiga. Ilmunya yang tinggi yang telah membuatnya menjadi bingung.
Pada saat Swandaru termangu-mangu, maka tiga orang Agung Sedayu itupun telah menyerang bersama-sama.
Swandaru yakin, bahwa dengan ketajaman penglihatan mata hatinya ia akan dapat melihat, yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya. Namun ia tidak mempunyai kesempatan. Ketiga sosok Agung Sedayu itupun segera berloncatan, berputar diudara, berlari saling menyilang dan gerakan-gerakan lain yang telah membingungkannya.
Namun tiba-tiba saja terasa betisnya disengat oleh rasa nyeri yang luar biasa. Ternyata ujung cambuk Agung Sedayu telah menyobek kulit dan dagingnya.
Swandaru yang bagaikan membeku itu benar-benar kebingungan. Sebelum ia dapat menentukan, apa yang harus dilakukan, tiba-tiba pergelangan tangannya telah dipatuk oleh ujung cambuk Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyadari apa yang sedang terjadi, maka sekali lagi cambuk salahsatu dari sosok Agung Sedayu itu menghentak.
Swandaru menjadi seperti kanak-kanak yang terlibat dalam pusaran angin yang besar. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Tubuhnya menjadi terumbang-ambing serta berguncang-guncang. Pusat dan kebingungannya adalah ketika tiba-tiba saja cambuknya bagaikan dihisap oleh kekuatan yang tidak dapat dilawannya.
Demikian cambuknya terlepas dari tangannya, maka yang nampak berdiri dihadapannya adalah satu sosok saja Agung Sedayu yang menggenggam dua buah cambuk di kedua tangannya.
Sejenak Swandaru memandang kakak seperguruannya itu dengan mata yang terbelalak. Ia telah melihat apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Ilmu kebal ilmu meringankan tubuh, sorot matanya yang mampu menggugurkan tebing, ilmunya yang dapat membuat lawan kebingungan dengan hadirnya tiga sosok ujudnya dan tentu saja banyak lagi.
Swandarupun menyadari, bahwa Agung Sedayu masih berusaha untuk menahan dirinya. Ia tidak langsung melumatkan tubuhnya dengan sorot matanya. Tetapi Agung Sedayu itu hanya mengugurkan tebing di-belakangnya.
Gejolak perasaan Swandaru itupun dibumbui pula oleh perasaan nyeri, pedih dan sakit pada luka-luka di tubuhnya.
Karena itu, maka pada puncak gejolak perasaan didalam dadanya, maka Swandaru itupun telah berlutut dihadapan Agung Sedayu sambil berdesis - Kakang, aku minta ampun."
Agung Sedayu masih berdiri tegak ditempatnya. Wajahnya nampak berbeda dengan wajahnya yang setiap kali di lihat oleh Swandaru. Agung Sedayu dimata Swandaru tidak lagi seorang yang mengecewakan karena dianggapnya tidak mampu menggapai tataran puncak ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Bukan pula orang yang sikapnya mengambang yang malas yang tidak mampu pendirian yang teguh. Bahkan seorang yang malas yang tidak mampu mewarisi ilmu dengan tuntas.
Tetapi dimata Swandaru yang terluka cukup parah itu, Agung Sedayu pada waktu itu. tidak ubahnya dengan Kiai Gringsing itu sendiri. Bahkan ia telah melihat apa yang belum pernah dilihatnya pada gurunya itu semasa hidupnya.
Sejenak Pancuran Watu Item dan sekitarnya itu telah dicengkam oleh keheningan. Bahkan dedaunan pun seakan-akan tidak lagi bergoyang disentuh angin . Yang terdengar adalah suara pancuran air yang jatuh pada sebuah batu hitam.
Namun keheningan itu kemudian dipecahkan oleh desah Pandan Wangi yang kemudian berlari kearah Swandaru yang masih berlutut. Darah masih mengalir dari luka-luka ditubuhnya.
" Kakang - Pandan Wangipun telah berlutut pula.
Swandaru tersenyum melihat Pandan Wangi berlari mendekatinya. Namun tiba-tiba saja matanya menjadi buram. Penglihatannya semakin kabur, seakan-akan segala-galanya menjadi kekuning-kuningan.
" Kakang - Pandan Wangipun kemudian memeluk Swandaru yang menjadi sangat lemah.
Ki Gede dan Glagah Putihpun segera mendekatinya pula. Dibantunya Pandan Wangi meletakkan tubuh Swandaru itu berbaring di atas tanah yang berdebu.
Sekar Mirahpun berlari pula mendekati Agung Sedayu yang masih berdiri tegak. Dengan suara bergetar iapun bertanya - Kau baik-baik saja kakang?"
" Aku tidak apa-apa, Mirah. Lihat keadaan kakakmu."
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya. Namun yang dilihatnya adalah Agung Sedayu yang tersenyum.
Sambil menepuk bahu Sekar Mirah, Agung Sedayupun berkata -Lukaku tidak seberapa Mirah."
Sekar Mirah mengangguk. Ia pernah melihat keadaan Agung Sedayu lebih parah dari luka-lukanya pada waktu itu.
Sekali lagi Agung Sedayu berkata - Marilah kita lihat keadaan Swandaru."
Keduanyapun kemudian mendekati Swandaru yang lelah dikerumuni oleh mereka yang berada di Pancuran Watu Item itu.
" Ki Jayaraga - berkata Agung Sedayu - aku membawa obat bagi luka-lukanya untuk sementara, sebelum adi Swandaru mendapat pengobatan yang lebih baik."
Ki Jayaraga mengangguk. Katanya - Biarlah aku taburkan obat itu keluka-luka angger Swandaru."
Wajah Swandaru yang terbaring itu menjadi semakin pucat. Pandan Wangi yang menunggui dengan mata yang basah itupun menjadi gelisah pula.
Dengan hati-hati Ki Jayaraga telah menaburkan obat di luka-luka yang masih saja berdarah. Terasa betapa panas dan pedihnya, sehingga Swandaru itupun menggeliat. Namun sesaat kemudian, Swandaru itupun terdiam. Pingsan
Agung Sedayu yang juga terluka itupun berjongkok disisi Swandaru. Bersama dengan Ki Jayaraga, Ki Gede dan Empu Wisanata, Agung Sedayu mengobati seluruh luka-luka ditubuh Swandaru. Sehingga untuk itu, maka tubuh Swandaru itupun harus diputar, sekali menelentang, kemudian menelungkup.
" Kakang Swandaru - desah Pandan Wangi. Matanya menjadi semakin basah melihat keadaan Swandaru. Namun Ki Jayaragapun berkata dengan nada dalam - Keadaannya akan segera menjadi baik. Nyi."
Iblis Pemanggil Roh 2 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Omerta 4
^