Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 7

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7


" Ya. Kitapun akan sangat menghemat tenaga di Jati Anom. Kita tidak akan mengerahkan segenap tenaga yang ada. Sebagian dari kita harus tetap segar sampai kita memasuki pintu gerbang Mataram."
" Kekuatan Untara agaknya terlalu besar, sehingga tidak akan sangat memeras tenaga " desis Swandaru.
Ki Ambara mengangguk-angguk. Ia sudah merencanakan, bahwa pasukan Untara itu harus dihancurkan menjelang sore hari. Pasukannya dan pasukan Sangkal Putung akan sempat beristirahat sejenak sambil makan. Baru kemudian mereka akan menempuh perjalanan panjang ke Mataram. Mereka berharap bahwa tengah malam mereka akan sampai di Mataram langsung mengepung Kotaraja bersama-sama dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang juga sudah harus berada di Mataram menjelang tengah malam. Mereka masih mempunyai waktu sedikit untuk beristirahat dan mengatur diri. Menjelang fajar, baru mereka mempersiapkan diri untuk menyerang pintu gerbang. Pintu gerbang induk dan pintu gerbang samping di ampat penjuru.
Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang segar akan menjadi ujung tombak serangan mereka. Kemudian pasukan yang sudah letih dari para pengawal Sangkal Putung dan pasukan Ki Ambara akan mendukung mereka.
" Tetapi orang-orang berilmu tinggi dari Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh dan dari pasukanku akan tetap berada di paling depan. Aku yakin bahwa mereka masih akan mampu bertempur tanpa berhenti tiga hari tiga malam lagi." berkata Ki Ambara.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis - Tegas yang sangat berat"
" Kita akan bersama-sama memikulnya"berkata Ki Ambara.
Swandaru tersenyum. Katanya " Mataram akan menyesali keangkuhannya."
Ki Ambarapun tersenyum. Namun Ki Ambara itu berkata pula di dalam hatinya " Tersenyum dan tertawalah sekarang Swandaru, selagi kau sempat. Setelah itu kau isterimu, ayahmu, saudara seperguruanmu yang kau tundukkan itu, akan segera menangisi kebodohanmu di saat-saat terakhir hidupmu."
Namun Ki Ambara itu berkata " Apakah Ki Swandaru tidak ingin bertemu dengan Wiyati ?"
" Aku masih sangat memerlukan Pandan Wangi, Ki Ambara. Justru pada saat-saat seperti ini. Jika aku salah langkah, maka akibatnya akan buruk sekali bagi perjuangan ini."
Ki Ambara tersenyum. Katanya " Baiklah. Pada saat pasukan kita menduduki Mataram, Wiyati juga akan berada di Mataram. Ia akan berada di Mataram bersama beberapa orang perempuan pilihan yang harus menyiapkan makan dan perbekalan untuk mendukung perjuangan kita selanjutnya. "
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Sokurlah, Ki Ambara."
- Dengan demikian, maka rencana serangan mereka terhadap pasukan Untara itupun menjadi semakin matang.
Sementara itu, pasukan Mataram yang berada di Jati Anom, tidak luput dari pengamatan para petugas sandi yang dikirim oleh Ki Ambara meskipun mereka harus sangat berhati-hati. Ki Ambara sadar, bahwa petugas sandi Mataram adalah orang-orang yang sangat licin, sehingga sulit bagi para petugas sandi yang dikirim oleh Ki Ambara dapat dengan leluasa melakukan tugas mereka di sekitar Jati Anom.
Namun dari pengamatan para petugas sandi yang dikirim Ki Ambara, ia mendapat laporan, bahwa pasukan Mataram di Jati Anom itu tidak menunjukkan peningkatan kegiatan mereka. Latihan-latihan yang mereka selenggarakan sama sekali tidak lebih keras sebagaimana mereka lakukan sehari-hari. Pasukar yang dipimpin oleh Untara itu sama sekali tidak meningkatkan pengamalan mereka atas lingkungan di sekitarnya. Pintu gerbang baraknya tetap terbuka. Seperti biasanya, pada hari-hari tertentu, dua tiga kali sepekan, pedagang sayur-sayuran, telur, gula kelapa dan bahkan beras memasuki pintu gerbang barak itu dengan leluasa untuk menyerahkan bahan-bahan makan itu.
Bahkan seorang petugas sandi yang dikirim Ki Ambara berhasil menyusup diantara para penjual sayuran yang tidak mengetahui siapakan orang itu sebenarnya, masuk ke dalam barak.
Di barak itu memang tidak nampak persiapan apa-apa. Setelah latihan-latihan yang memang diselenggarakan setiap hari, para prajurit itupun lebih banyak beristirahat di dalam barak. Sekali-sekali sekelompok prajurit berkuda meronda mengelilingi Jati Anom.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Ambara, maka iapun berdesis " Kasihan Untara. Dalam waktu yang dekat, baraknya akan musnah. Kami tidak ingin menawan seorangpun dari antara para prajurit Mataram. Jika mereka mati terbnuh di pertempuran, tidak ada orang yang menyalahkan kami."
Bahkan dua hari menjelang hari yang ditentukan oleh Ki Ambara dan Swandaru, nampaknya rakyat Jati Anom akan menyelenggarakan keramaian Merti Desa. Panen mereka yang baru saja berlangsung nampaknya berhasil dengan baik, sehingga mereka akan merayakan keberhasilan mereka dengan menyelenggarakan keramaian di sawah, di sawah Ki Bekel yang padinya baru saja dipetik.
" Tayub " orang-orang Jati Anom mulai riuh membicarakannya.
Tratagpun sudah mulai dibangun. Di bawah tratag itulah tari tayub akan diselenggarakan. Sebelumnya, para penghuni kademangan Jati Anom akan menyelenggarakan makan kembul di bawah tratag itu juga. Seuap keluarga akan membawa makanan, minuman dan nasi serta lauk pauknya untuk dimakan bersama-sama di tengah-tengah sawah yang baru saja mereka panen dengan hasil yang sangat memuaskan.
Ketika malam keramaian itu tiba, maka sawah yang biasanya gelap gulita di malam hari itu, menjadi terang benderang. Bukan saja lampu on-cor di tengah-tengah arena tayub, tetapi lampu-lampu minyak, oncor jarak dan dlupak minyak kelapa, menyala dimana-mana. Disawah itu bertebaran orang-orang yang berjualan bermacam-macam makanan. Mereka yang biasanya bekerja di sawah, tiba-tiba saja menjadi seorang penjual jenang sungsum dan jenang gempol.
Yang lain menjual nasi pecel dan rempeyek udang.
Malam keramaian itu tidak luput dari perhatian Ki Ambara. Dengan keramaian itu, maka Ki Ambara. menilai, bahwa Utara benar-benar tidak menduga, bahwa esok lusa Jati Anom akan menjadi abu yang berserakkan dihembus angin dari lautan.
Dengan demikian, maka Ki Ambara sudah memasukan, bahwa mereka akan berhasil dengan tidak banyak menemui kesulitan. Pasukan Sangkal Putung dan pasukan Ki Ambara itu akan menyergap dengan tiba-tiba dari arah yang berbeda.
" Sebelum matahari sepenggalah, maka pasukan Untara yang berada di luar barak sudah akan dapat dihancurkan " berkata Ki Ambara.
Seorang kawannya yang ikut menyaksikan tari tayub di tengah-tengah sawah itu tersenyum. Katanya"Agung Sedayu benar-benar seorang yang memegang janji. Seharusnya ia dapat saja mengirimkan seseorang untuk memberi tahu Untara, bahwa baraknya akan diserang."
" Untungnya, Agung Sedayu tidak berbuat demikian " sahut Ki Ambara " Sejak semula aku yakin, bahwa Agung Sedayu tidak akan melanggar janji jika itu sudah diucapkan."
Kawan Ki Ambara itu mengangguk-angguk.
" Marilah, kita pulang " berkata Ki Ambara kemudian.
Tetapi kawannya menggeleng"Nanti dulu, Ki Ambara Aku akan menonton tayub."
" Kau akan turun ke arena untuk ngibing ?"
Orang itu nampak ragu-ragu. Ki Ambaralah yang kemudian berkata " Kau tidak boleh ikut ngibing. Apalagi sambil minum tuak. Jika kau mabuk dan membuka rahasia kita, maka semuanya akan terentakan. Semua yang sudah direncanakan dengan cermat, akan pecah berserakan."
" Aku hanya akan nonton saja, Ki Ambara."
" Baiklah. Aku akan menemanimu sebentar. Aku juga sudah lama tidak menonton tayub."
Kawan Ki Ambara itu tertawa sambil berdesis"Ternyata Ki Ambara tertarik juga nonton tayub."
" Aku akan menjaga agar kau tidak ikut serta ngibing. Aku tahu sifatmu. Jika kau melihat seorang penari tayub yang wajahnya bulat dan kulitnya justru kehitam-hitaman, kau tentu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi."
" Ah, tidak Ki Ambara, aku benci kepada orang berwajah bulat."
" Kau dalang dari sebuah pedukuhan di balik gunung. Dekat balu dan jauh ratu. Karena itu kau mempunyai selera yang aneh."
Orang itu tersinggung. Tetapi ia tidak berani membantah lagi.
Ki Ambarapun terdiam pula. Sementara itu di bawah tratag, tari tayub itu sudah dimulai. Semakin lama menjadi semakin panas. Satu dua orang mulai turun ke arena untuk ikut menari. Bahkan ada diantara mereka yang mulutnya berbahu tuak.
Darah kawan Ki Ambara itu terasa panas di dalam tubuhnya. Namun Ki Ambara itu masih saja berdiri disampingnya.
Karena itu, maka orang ituu hanya dapat melihat para penari tayub itu dari kejauhan.
Sebelum tengah malam, justru pada saat lagu-lagu iringannya menjadi semakin menggelitik, Ki Ambara itu berkata " Marilah kita pulang. Kau sangka diantara para penonton itu tidak ada petugas sandi yang dikirimkan Untara."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah lagi. Ki Ambara sudah memberi kesempatan kepadanya untuk menonton sampai menjelang tengah malam.
Namun keramaian itu semakin memperkuat keyakinan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang, bahwa Untara masih belum tahu, bahwa Jati Anom dan barak pasukannya di intai oleh kekuatan yang besar yang akan dapat menghancurkannya.
Dihari berikutnya, Ki Ambara sendiri berjalan-jalan di Jati Anom. Masih tidak ada tanda-tanda persiapan. Baik oleh para prajurit dari pasukan Untara yang tinggal di dalam barak, maupun yang tinggal di rumah Untara serta di rumah-rumah sekitarnya.
Rumah Untaralah yang akan menjadi sasaran pertama. Rumah itu akan dihancurkan dengan seluruh isinnya, sementara pasukannya yang lain akan mengepung barak."
" Hari terakhir para prajurit Mataram sempat menghirup udara yang sejuk di kaki Gunung Merapi ini " berkata Ki Ambara di dalam hatinya.
Ki Ambara sendiri sudah tidak lagi kembali ke Kajoran. Ia sudah berada diantara pasukan yang kuat di sisi Utara hutan Lemah Cengkar. Bahkan Wiyati dan Ki Saba Lintangpun sudah berada di perkemahan itu pula.
Dalam pada itu, maka pasukan yang dipersiapkan oleh Ki Saba Lintang itupun sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Malam nanti mereka akan bergerak.
Dalam pada itu, para pengawal Sangkal Putungpun telah mengakhiri masa-masa latihan yang berat Mereka tinggal menunggu perintah terakhir, apa yang harus mereka lakukan.
Dalam pada itu, ternyata bukan hanya para pengawal sajalah yang telah menempa diri. Ternyata pada hari-hari terakhir, Pandan Wangipun menjadi semakin sering berada di Sanggarnya. Dikembangkannya sendiri ilmu yang telah dimilikinya. Getar yang bergejolak tajam di dalam dadanya, telah disalurkannya lewat bekal ilmu yang dimilikinya.
Ternyata bahwa gelora yang menyala di dalam dadanya, sebenarnya sejak beberapa tahun sebelumnya telah nampak gejalanya di dalam ungkapan ilmunya. Getar kekutannya dan dipadu dengan tenaga dalamnya, telah memancarkan sentuhan kewadagan. Kemampuan yang tumbuh karena perkembangan ilmunya didasari pada laku yang keras.
Ternyata bahwa Pandan Wangi mampu mematangkan kemampuannya, sehingga getar kewadagan serangan-serangannya mendahului ujud kewadagan itu sendiri.
Ketika Pandan Wangi berada di dalam sanggarnya berdua dengan Swandaru, maka Swandaru sempat terkejut melihat kemampuan Pandan Wangi yang mendebarkan itu. Dengan nada berat iapun berkata " Kau tidak pernah mengatakannya sebelumnya. Pandan Wangi."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah iapun menjawab " Kakang. Sudah lebih dari lima kali aku mengatakan kepada kakang Swandaru. Bahkan aku pernah mohon kakang Swandaru memberikan beberapa petunjuk untuk mengembangkan ilmu yang seakan-akan tumbuh dari perpaduan ilmu yang telah aku miliki dengan laku yang aku tempuh selama ini dengan sangat berhati-hati karena aku tidak mau tersesat. Jika terasa jalan mulai menepi, aku berhenti untuk mengulanginya, sehingga peningkatannya berjalan sangat lamban. Tetapi aku tidak pernah berhenti berusaha kakang."
Swandaru menarik nafas panjang. Dengan wajah yang suram ia berkata"Maafkan aku Pandan Wangi. Selama ini aku merasa diriku seorang yang berilmu sangat tinggi. Tidak ada orang lain yang dapat menyamai apalagi melebihi ilmuku termasuk kakang Agung Sedayu. Namun perbandingan ilmu di Tanah Perdikan itu memberikan arti yang sangat besar bagiku, karena dengan demikian aku sempat menengok kepada diriku sendiri, sehingga aku dapat menyadari, betapa kecilnya aku di dunia olah kanuragan."
" Tidak. Kakang tidak harus merasa dirinya terlalu kecil. Kakang hanya kalah dibandingkan dengan kakang Agung Sedayu. Tetapi ingat, kakang. Kakang Agung Sedayu adalah orang aneh. Karena itu, kakang tidak usah merasa rendah diri untuk turun ke dunia olah kanuragan. Jarang sekali ada orang seperti kakang Agung Sedayu. Baik sifat dan wataknya, maupun tingkat kemampuannya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berdesis " Akupun harus merasa rendah diri dihadapanmu, Pandan Wangi. Selama ini aku telah dibutakan oleh kebanggaanku atas kemampuanku yang ternyata tidak lebih dari hitamnya kuku dibanding dengan kemampuan kakang Agung Sedayu."
" Jangan begitu, kakang. Ilmu kakang masih lebih tinggi dari ilmuku, sehingga kakang tidak harus merasa rendah diri.
"Kau merendah, Pandan Wangi."
" Tidak, kakang."
" Selama ini semua orang merendah dihadapanku. Kakang Agung Sedayu, kau, Sekar Mirah dan bahkan anak ingusan itu. Glagah Putih."
" Tidak, kakang. Tidak." Pandan Wangi mendekati suaminya kakang tidak boleh merasa rendah diri seperti itu. Besok, di medan pertempuran, Kakang akan menemukan kembali kebanggaan kakang atas ilmu kakang dalam kewajaran."
Swandaru mengangguk. " Nah, kita akan menghentikan latihan-latihan ini kakang. Besok segala sesuatunya harus sudah siap dan bahkan mulai bergerak."
Swandaru mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, ternyata yang telah mengasah ilmunya bukan saja hanya Pandan Wangi. Sekar Mirahpun telah mempertajam ilmunya. Bahkan semua orang yang akan terlibat dalam pertempuran yang bakal terjadi.
" Baiklah. Kita akan beristirahat. Besok kita akan mempersiapkan segala-galanya. Kitapun akan mempertaruhkan semua yang ada di atas bumi Sangkal Putung. Jika kita gagal, maka bukan saja Jati Anom akan menjadi karang abang, tetapi juga Sangkal Putung akan dilindas oleh kekuatan pasukan Ki Ambara yang memang sangat kuat itu.
Demikianlah, Swandaru dan Pandan Wangi itupun telah menghentikan kegiatan mereka di sanggar sebagaimana para pengawal kademangan menghentikan latihan-latihan mereka. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya menjelang benturan kekuatan yang sebenarnya.
Tetapi seorang pemimpin kelompok masih juga bertanya " Untuk apa kita mengadakan latihan jauh lebih berat dari biasanya ?"
" Belum ada perintah. Tetapi nampaknya kita akan menghadapi lawan yang berat."
" Besok agaknya perintah itu baru turun. Mudah-mudahan tidak terlalu mengejutkan."
Tetapi perintah yang datang kemudian tidak menunggu sampai esok. Menjelang senja, maka Swandaru telah memanggil semua pemimpin kelompok pengawal di Sangkal Putung,
" Malam ini kita bergerak " berkata Swandaru " besok menjelang fajar, kita akan mulai menyerang."
Para pemimpin kelompok itu mendengarkan perintah Swandaru dengan seksama. Swandaru- yang didampingi Pandan Wangi itu dengan terperinci telah menguraikan apa yang harus dilakukan oleh para pengawal dari Sangkal Putung itu.
" Yang kita hadapi adalah kekuatan yang besar, yang dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi " berkata Swandaru " tetapi jangan gentar. Kita tidak sendiri."
Para pengawal mendengarkan perintah Swandaru itu dengan saksama Terasa ketegangan mencengkam jantung mereka.
Dugaan merekapun ternyata benar. Mereka akan berhadapan dengan kekuatan yang besar. Dengan orang-orang yang berilmu dan berpengalaman luas. Karena itu, maka Swandaru telah memerintahkan mereka untuk mengasah ilmu mereka pada saat-saat menjelang pertempuran yang mendebarkan itu.
" Jangan mengecewakan. Malam nanti kita bergerak. Kita akan mengepung lawan kita agar tidak seorangpun yang mampu meloloskan diri."
Ketika malam turun, maka para pengawalpun telah dipersiapkan. Terasa bahwa telah terjadi gejolak di kademangan Sangkal Putung. Keluarga para pengawal sudah menduga, bahwa para pengawal itu akan segera turun ke medan perang yang keras. Tetapi mereka tidak mengira, bahwa hal itu akan terjadi dengan cepatnya.
Beberapa orang dengan jantung yang terasa berdenyut semakin cepat telah melepaskan anak laki-laki mereka, suami-suami mereka dan keluarga mereka yang lain. Anak-anak memeluk ayahnya seakan-akan tidak mau melepaskannya lagi.
" Kita tidak mempunyai banyak waktu " berkata Swandaru kepada para pemimpin kelompok.
*** Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Jilid : 331~340 ________________________________________
Jilid 331 SEDIKIT wayah sepi bocah, para pengawal telah berkumpul di sebuah ara-ara perdu yang luas di pinggir sungai yang mengalir membelah kademangan Sangkal Putung. Hanya kebetulan saja, karena sama sekali tidak mereka rencanakan, bulanpun nampak hampir bulat di langit. Sinarnya yang lembut menyelimuti pasukan pengawal Sangkal Putung yang sudah siap untuk berangkat itu.
Tidak ada isyarat apa-apa kecuali aba-aba yang diteriakkan oleh Swandaru, disahut oleh para pemimpin kelompok.
Menjelang wayah sepi uwong, maka pasukan itupun mulai tergerak.
Sementara itu, dari tempat lain, pasukan yang lebih besar dari pasukan pengawal Sangkal Putung itu telah bergerak pula. Pasukan segelar-sepapan dengan segala macam tanda kebesaran. Tunggul, umbul-umbul serta rontek dan kelebet. Di bawah cahaya bulan, maka pasukan itu nampak sebagai seekor naga raksasa yang mengenakan mahkota di kepalanya, bergerak menelusuri jalan bulak yang panjang. Berkelok-kelok menyusup di bawah daun turi yang batangnya tumbuh berjajar di sebelah menyebelah jalan bulak itu.
Beberapa orang berilmu tinggi ada di dalam pasukan itu. Pasukan yang memang dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi kekuatan yang besar yang dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi pula.
Pasukan itu dipimpin langsung oleh Untara. Seorang Senapati perang yang besar yang patut dibanggakan oleh Mataram.
Apalagi bahwa di dalam pasukan itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Selain Untara, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah ada pula didalamnya. Bahkan Ki Jayaraga, Empu Wisanata, Glagah Putih yang diikuti oleh Rara Wulan serta Nyi Dwani yang tidak mau ditinggalkan ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, didalam pasukan Untara itu terdapat pula Sabungsari.
"Kau tidak boleh tergores senjata mestkipun hanya setebal rambut, Sabungsari."
"Kemungkinan yang dapat saja terjadi, Glagah Putih."
"Tetapi kau lain. Bukankah kau akan segera memasuki satu dunia baru " Kau sudah menunda-nunda terlalu lama. Mungkin bagimu sendiri, tidak begitu banyak timbul persoalan. Tetapi bagi seorang perempuan, lain."
"Ah, kau membuat hatiku kuncup. Aku akan minta ijin Ki Tumenggung, bahwa sebaiknya kali ini aku tidak ikut."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun Sabungsari itu justru tertawa.
"Sudahlah. Lihat Rara Wulan itu. Agaknya ia mulai kedinginan. Udara disini memang lebih dingin dari Tanah Perdikan Menoreh dan di Kotaraja."
"Ia tidak boleh terpisah dari mbokayu Sekar Mirah Mbokayu sudah menetapkan syarat Jika Rara Wulan ikut, ia harus tunduk kepada perintah mbokayu Sekar Mirah. Terakhir mereka bertiga harus bersama-sama menghadapi semua gejolak di medan pertempuran yang mungkin akan terasa ganas."
"Bertiga siapa ?"
"Rara Wulan, mbokayu Sekar Mirah dan Nyi Dawani."
"O " Sabungari mengangguk-angguk.
"Ki Jayaraga dan Empu Wisanaia mendapat tugas lain. Dihutan Lemah Cengkar nanti, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata akan bergabung dengan kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi."
Sambungsari mengangguk-angguk. Dibayangkannya apa yang bakal terjadi disisi Utara hutan Lemah Cengkar itu. Pertempuran yang akan terjadi tentu akan merupakan pertempuran yang sangat keras. Orang-orang yang berada di perkemahan di Lemah Cengkar adalah orang-orang yang mendendam.
Pasukan prajurit Mataram di Jati Anom itu telah bergerak melingkar. Mereka akan menghadapi pasukan yang ada di perkemahan justru dari sebelah utara. Sementara itu Swandaru membawa pasukannya melewati sisi Selatan Lemah Cengkar yang berpenghuni meskipun tidak begitu ramai, melalui jalan setapak mendekati perkemahan para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, pasukan Ki Ambara itupun sudah bersiap pula untuk bergerak ke Jati Anom. Sepati yang sudah mereka sepakati, maka pasukan Ki Ambara itu akan menyerang Jati Anom bersama-sama dengan pasukan Swandaru dari Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, seorang pengawas telah berlari-lari menemui Ki Ambara di perkemahannya. Dengan nafas yang terengah-engah pengawas itu memberikan laporan apa yang dilihatnya.
"Katakan dengan jelas " bentak K i Saba Lintang.
"Prajurit Mataram itu justru bergerak ke perkemahan kita."
"Kau menggigau, he ?"
"Aku berkata sebenarnya, Ki Saba Lintang."
"Kau bermimpi."
"Tidak. Kami berdua berada di ujung hutan itu. Kami berdua melihat kedatangan pasukan itu."
"Di mana kawanmu sekarang."
"Ia masih mengamati pasukan itu."
"Gila. Tentu Agung Sedayu sudah berkhianat. Pada saat terakhir ia telah mengirimkan utusannya untuk memberitahukan rencana ini kepada Untara " Ki Ambara menggeram.
"Aku sudah meragukan sejak semula" berkata Ki Saba Lintang.
"Kita siapkan pasukan untuk menghadapinya. Adalah justru kebetulan, kita tidak usah pergi ke Jati Anom. Kita akan menghancurkan mereka disini."
"Bagaimana dengan pasukan Sangkal Putung ?"
"Biarlah mereka menghancurkan sisa-sisa pasukan Umara yang tertinggal di baraknya."
"Tetapi pasukan itu cukup besar. Kita memerlukan pasukan dari Sangkal Putung untuk membantu kita " berkata pengawas itu.
"Untara tentu meninggalkan sebagian dari prajuritnya di baraknya. Uniara tentu tahu juga bahwa Swandaru akan menyerangnya pula."
"Kila akan melihat pasukan yang datang itu."
Ki Ambara dan Ki Saba Lintangpun segera memerintahkan para pemimpin kelompok-kelompok yang ada di dalam pasukannya untuk bersiap sepenuhnya. Mereka akan menghadapi pasukan Untara yang justru datang menyerang keperkemahan itu.
Ki Lurah Wira Sembada justru tersenyum sambil berkata " Apakah kita bertempur di Jati Anom atau disini, sama saja bagi kita. Bahkan jika Untara itu datang kemari, ia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kekuatannya. Sebagian harus ditinggalkannya di Jati Anom."
" Ya. Aku sependapat. Tetapi yang datang itu adalah pasukan yang cukup besar."
" Mereka berjalan di jalan yang sempit sehingga iring-iringan itu nampaknya menjadi sangat panjang."
Ki Lurah Wira Sembada itupun menyahut "Aku mempunyai pengalaman yang luas menghadapi pertempuran-pertempuran yang besar. Kemenangan sebuah pasukan tidak ditentukan hanya dengan jumlah prajurit yang banyak seru" persenjataan yang lengkap. Tetapi juga ditentukan oleh kemampuan orang-orang yang ada didalamnya. Nah, kita percaya kepada kemampuan setiap orang didalam pasukan kita. Kitapun mempunyai beberapa orang berilmu tinggi yang akan dapat menyapu prajurit yang dibawa Untara kemari."
"Ya. Aku sependapat" berkata Ki Ambara
"Marilah kita lihat, dimana mereka menempatkan pasukan mereka."
Para pemimpin dari pasukan.di perkemahan itupun kemudian keluar dari hutan Lemah Cengkar disisi Utara itu untuk melihat pasukan
Mataram yang lelah berada di depan mereka. Pasukan yang besar itu telah menebar di padang perdu disebelah Ulara hutan itu. Ternyata pasukan Untara itu datang dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukannya. Pada induk pasukan yang tepat berada di depan perkemahan itu terdapat beberapa tunggul, rontek, umbul-umbul dan kalebet. Para prajurit itu sempat menanamnya berjajar di padang perdu itu.
"Gila " geram Ki Saba Lintang.
"Jangan segera menjadi cemas " desis Ki Lurah Wira Sembada.
"Aku tidak menjadi cemas. Tetapi Agung Sedayu ternyata sangat licik."
Sementara itu, Ki Ambara yang melihat gelar pasukan Untara di bawah cahaya bulan itu berkata " Untara memang cekatan. Agaknya baru tadi siang Agung Sedayu sempal memberilahu kepada Untara. Tadi pagi aku masih berkeliaran di Jati Anom. Aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda kesiagaan pasukan. Kini tiba-tiba saja pasukan segelar sepapan telah berada di hadapan kita."
Sementara itu, selagi para pemimpin dari pasukan yang ada diperkemahan itu lermangu-mangu, mereka melihat beberapa orang prajurit maju mendekati mereka. Seorang diantara mereka membawa sebuah corong yang dibuat dari kulit.
Ternyata prajurit dengan corong kulit itu adalah Untara sendiri. Dengan mempergunakan corong kulit itupun Untara berkata " He, Ki Saba Lintang. Menyerahlah. Kau tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melawan. Kau sudah dikepung."
Telinga Ki Saba Lintang menjadi merah. Ternyata Untara mengetahui bahwa gerakan itu adalah kepanjangan gerakan Ki Saba Lintang. Karena itu, maka Ki Saba Lintang iiupun melangkah beberapa langkah maju sambil menjawab keras-keras " Kita akan melumatkan pasukan kalian. Jumlah kalian tidak cukup memadai uniuk melawan kami. Kemampuan secara pribadipun para prajurit tidak akan dapat mengimbangi kemampuan kami seorang-seorang. Katakan kepada Untara, bahwa sebaiknya Untaralah yang menyerah."
"Akulah Untara."
"Bagus " teriak Ki Saba Lintang " pasukanmu akan kami hancurkan disini. Sedang pasukanmu yang tersisa di barakmu akan dihancurkan oleh Swandaru. Jangan terkejut jika Swandaru dengan berani akan melawan Mataram. Langkah pertamanya adalah menghancurkan Jati Anom."
" Kami sudah mengepung Sangkal Putung sepeni kami mengepung pasukanmu disini. Swandaru lidak akan mampu bergerak lagi. Besok, demikian fajar menyingsing, Swandaru sudah akan menjadi bandan. Kami akan membawanya ke Mataram sebagai lawanan."
" Jangan berbangga, Untara. Pasukanmu yang mengepung Sangkal Putung akan dihancurkan oleh pasukan pengawal Sangkal Putung yang dipimpin oleh Swandaru. Sementara itu, pasukanmu yang disini akan kami hancurkan pula."
" Kau bermimpi, Ki Saba Lintang. Bangunlah dan hadapi kenyataan ini dengan penalaran yang bening."
" Kaulah yang bermimpi. Kau kira pasukanmu mampu menguasai Sangkal Putung ?"
" Kami sudah membuat perhitungan yang cermat."
" Kamilah yang akan menghancurkan pasukanmu."
" Baiklah, jika kau berkeberatan untuk menyerah. Kami masih memberi kesempatan kepadamu sampai fajar menyingsing. Jika kesempatan ini kau sia-siakan, maka akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan disini.-"
" Jika pertumpahan darah itu terjadi disini, Mataramlah yang bertanggung jawab. Kenapa Mataram menolak permohonan Sangkal Putung untuk ditetapkan menjadi sebuah Tanah Perdikan."
" Sangkal Putung memang belum waktunya menjadi Tanah Perdikan, Ki Saba Lintang."
- Ternyata Mataram tidak tahu diri. Pengorbanan yang telah diberikan oleh Sangkal Putung adalah sia-sia saja, sehingga menurut Mataram Sangkal Putung masih belum pantas untuk menjadi Tanah Perdikan. Karena itu, maka Sangkal Putung akan membuktikan bahwa bukan saja pantas untuk menjadi sebuah Tanah Perdikan, tetapi Sangkal Putung justru akan menghancurkan Mataram."
Untara tertawa. Katanya" Baiklah. Kalian masih mempunyai kesempatan untuk memperpanjang mimpi sampai esok pagi saat matahari terbit. Kami akan menunggu."
K i Saba Lintang tidak menjawab. Sementara itu, Untara dan beberapa prajurit pengawalnya telah kembali ke induk pasukannya.
Ki Saba Lintangpun menggeram. Katanya " Agung Sedayu benar-benar telah mengkhianati saudara seperguruannya. Swandaru ternyata juga dikepung. Mudah-mudahan Swandaru dapat mengatasinya dan bahkan menghancurkan pasukan Mataram yang mengepungnya. Pasukan yang mengepung Sangkal Putung tentu bukan pasukan yang kuat. Sebagian besar kekuatan Untara tentu ada disini."
Ki Ambara mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Wiyatipun bertanya " Tetapi bukankah Swandaru tidak terkhianat ?"
" Tidak. Swandaru justru terkepung sekarang. Jika Swandaru terkhianat, aku akan menemuinya."
" Untuk apa ?" " Keluarganyalah yang akan aku hancurkan. Aku akan menemuinya dan mengatakan bahwa aku mengandung. Pandan Wangi tentu tidak akan mau menerima kenyataan itu."
" Tidak. Swandaru tidak berkhianat. Bahkan aku agak mencemaskannya, apakah Swandaru akan dapat bertahan. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat mengirimkan bantuan kepadanya, kecuali setelah kita menghancurkan pasukan Untara yang mengepung perkemahan kita."
Wiyati mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis " Tetapi kita tidak akan dapat sampai ke Mataram esok malam. Kita tidak tahu, apakah pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga telah dikhianatinya. Sehingga justru pasukan khususnya telah menghambat gerakan pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
" Kita akan mengirimkan penghubung berkuda ke Tanah Perdikan."
" Apakah ada yang dapat lolos dari kepungan. Aku kira, Untara-pun telah benar-benar mengepung kita. Bukan sekedar datang dari satu sisi."
" Ya " Ki Ambara mengangguk-angguk" jalan setapak yang menyusup ke hutan itu tentu juga sudah dijaga. Bahkan mungkin orang-orang Untara sudah menebar di hutan itu. Setiap jengkal tanah, setiap batang pohon dan setiap gerumbul liar, telah dijaga dengan ketat oleh pasukan Mataram yang dari Jatim Anom."
" Jadi?" " Besok. Kita akan melihat suasana."
Wiyati menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bangkit sambil berkata " Aku akan beristirahat. Masih ada waktu."
Wiyati seakan-akan tidak menghiraukan lagi, apa yang bakal terjadi. Namun Ki Ambara dan Ki Saba Lintang benar-benar menjadi marah. Semua rencana yang telah disusun menjadi pecah. Mereka tidak tahu pasti, apakah Tanah Perdikan Menoreh akan menepati janji mengepung Mataram atau tidak.
" Ternyata Agung Sedayu bukan seorang laki-laki sebagaimana aku bayangkan. Janjinya kepada Swandaru tidak ditepatinya. Dibiarkannya saudara seperguruannya mengalami kesulitan karena pengkhianatannya " berkata Ki Saba Lintang.
" Tetapi menurut pendapatku, Ki Gede tidak akan. mengambil sikap dengan tergesa-gesa. Ia mempertaruhkan anak perempuannya. Jika ia tidak memenuhi keinginan Swandaru, maka anak perempuannya akan kehilangan kehormatannya. Bahkan mungkin lebih dari sekedar dipulangkan," sahut Ki Ambara.
" Apa maksud Ki Ambara ?"
" Agaknya tergantung keadaan Sangkal Putung esok pagi. Jika Untara benar-benar keadaan Sangkal Putung esok pagi. Jika Untara benar-benar menghancurkan Sangkal Putung, maka Swandaru akan mengambil sikap."
" Jika Swandaru tertangkap ?"
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam.
" Baiklah. Yang penting bagi kita sekarang adalah menghancurkan pasukan Untara. Jika kila sempat melakukannya sebelum dini, kita akan dapat mengirim bantuan kepada Sangkal Putung. Mudah-mudahan Swandaru dapat bertahan sampai lewat tengah malam sehingga Sangkal Putung dapat kita selamatkan."
" Aku kira Swandaru akan dapat bertahan sampai dini. Pasukannya cukup kuat. Pada hari-hari. terakhir, Swandaru telah menyelenggarakan latihan-latihan terakhir, Swandaru telah menyelenggarakan latihan-latihan yang berat. Nampaknya Swandaru telah mengerahkan semua kekuatan yang ada. Bukan hanya para pengawal. Tetapi semua anak-anak muda, bahkan semua laki-laki yang masih pantas untuk maju kemedan pertempuran."
Keduanya terdiam sesaat. Mereka melihat para prajurit Mataram yang menempatkan dirinya. Namun nampaknya sebagian dari merekapun telah beristirahat. Mereka menyempatkan diri untuk berbaring dimana-pun. Di rerumputan, di atas batu-batu padas atau dimana saja, sementara sebagian dari mereka bertugas berjaga-jaga. Sedangkan tunggul, rontek, umbul-umbul dan kalehei masih saja berdiri tegak berjajar seakan-akan meneriakkan kebesaran prajurit Mataram di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara.
Malampun merambat semakin dalam. Orang-orang yang berada di-dalam pasukan Ki Ambarapun berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Mereka tidak jadi berangkat ke Jati Anom. Tetapi kedudukan mereka justru benahan menghadapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom.
Menjelang dini, orang-orang yang bertugas di dapur telah menjadi sibuk. Mereka harus menyediakan makan bagi mereka yang akan bertempur sebelum fajar menyingsing.
Ternyata bahwa kedua belah pihak tidak merencanakan untuk menyerang sebelum fajar. Di dalam kegelapan, mereka akan sulit untuk membedakan kawan dan lawan meskipun jika dipaksakan, mereka tidak akan dapat ingkar untuk bertempur dimalam hari. Tetapi ternyata kedua belah telah menunggu langit menjadi terang.
Namun pasukan Untara agaknya telah siap sebelum cahaya fajar nampak dilangit. Mereka telah selesai makan dan menyiapkan segala sesuatunya. Mereka pun telah berada di dalam kelompok masing-masing, bersiap untuk menyerang.
Pasukan Ki Saba Lintangpun harus menyesuaikan dirinya. Mereka tidak mau menyesali kelambatan mereka jika tiba-tiba saja pasukan Mataram itu menyerang.
Ternyata bahwa Untara memang tidak menunggu matahari terbit. Ketika saatnya menginjak terang tanah, maka terdengar isyarat bagi pasukan yang dipimpin oleh Untara. Bende yang berbunyi untuk pertama kalinya. Bukan hanya bende di induk pasukan, tetapi suara bende itu menjalar dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Sehingga orang-orang yang berada di perkemahan itu yakin, bahwa mereka benar-benar telah dikepung. Bahkan di dalam hutan lemah Cengkarpun terdapat kelompok-kelompok prajurit Mataram. Ternyata bahwa suara bendepun bergaung didalam hutan itu pula.
Isyarat yang pertama itu merupakan perintah bahwa para prajurit untuk meneliti semua kelengkapan yang diperlukan. Bukan hanya busurnya, tetapi juga sejumlah anak panah di dalam endongnya. Mereka yang bersenjata tombakpun menyiapkan pula senjata jarak pendek di lambung. Pisau belali atau keris yang barangkali memberikan keteguhan tekad. Mereka yang membawa perisai dan pedangpun harus benar-benar yakin, bahwa perisainya tidak akan meloncat dari tangannya selagi berada di medan pertempuran.
Beberapa saat kemudian, maka bendepun berbunyi untuk kedua kalinya. Sahut menyahut, menjalar melingkari perkemahan.
Ki Saba Lintang tidak merasa perlu membunyikan isyarat. Setiap orang di dalam pasukannya tahu pasti, bahwa isyarat bunyi bende yang kedua kalinya itu adalah perintah untuk bersiap menyerang.
Semua orang menjadi berdebar-debar. Prajurit yang paling berpen-galamanpun merasa berdebar-debar pula. Pertempuran adalah rimba yang ditumbuhi belukar ujung senjata.
Dalam pada itu, pasukan pengawal Sangkal Putung yang berada di-sisi Selatanpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan.
Swandaru memang berharap, bahwa Ki Ambara dan Wiyati tidak tahu, bahwa pasukannya sudah berada di medan justru untuk melawan mereka. Jika hal itu diketahui sejak awal, maka Ki Ambara dan Wiyati tentu akan berusaha untuk menghancurkannya. Mungkin Ki Ambara akan berusaha untuk menghancurkannya. Mungkin Ki Ambara akan berusaha untuk membuka rahasianya dengan segala cara, sehingga justru pada saat yang sangat gawat itu, terjadi keretakan antara dirinya dan Pandan Wangi.
Kegelisahan Swandaru tentang kemungkinan terjadinya pemerasan itupun telah lenyap bersamaan dengan bunyi bende yang kedua. Tidak ada waktu lagi bagi Ki Ambara dan Wiyati untuk memerasnya, karena sejenak kemudian akan terdengar bunyi bende yang ketiga..
Untara ternyata telah menunggu sejenak. Mungkin Ki Ambara mempunyai pikiran lain, sehingga pertumpahan darah dapat dihindarkan. Namun agaknya Ki Ambara dan Ki Saba Lintang merasa bahwa kekuatannya akan mampu mengalahkan pasukan Untara yang menurut dugaannya terbagi menjadi dua. Mengepung pasukannya di sisi Utara hutan Lemah Cengkar serta mengepung pasukan Swandaru di kademan-gan Sangkal Putung.
Ketika langit menjadi semakin terang, sedikit lewat fajar, maka terdengarlah bende berbunyi untuk ketiga kalinya.
Suara bende itu menjalar bersahutan melingkari perkemahan.
Rontek, umbul-umbul dan kalebet masih tetap berkibar di tempatnya. Namun para prajurit Mataram itu telah mengangkat tunggul-tunggul kebesaran pada kelompoknya masing-masing.
Sejenak kemudian, menjelang matahari terbit, terdengarlah sorak yang membahana. Pasukan Mataram yang berada di Jati Anom dibawah pimpinan Untara itupun mulai bergerak.
Agung Sedayu, Sekar Mirah, Rara Wulan, Nyi Dwani dan Glagah Putih berada di dalam pasukan itu pula. Mereka berada di kelompok khusus di dalam pasukan induk.
Sekar Mirah masih memperingatkan kepada Rara Wulan, agar ia selalu berada di dekatnya.
Rara Wulan mengangguk. " Lawan kita kali ini adalah orang-orang yang kadang-kadang tidak terkendali, Rara."
" Aku mengerti, mbokayu." "
" Aku mengenal watak dan sifat mereka " berkata Nyi Dwarni " "karena aku pernah menjadi bagian dari mereka."
Rara Wulan mengangguk. Sementara itu, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata telah berada di antara pasukan pengawal kademangan Sangkal Putung bersama Swandaru dan Pandan Wagi. Keberadaan kedua orang berilmu tinggi itu, membuat Swandaru dan Pandan Wangi menjadi semakin berbesar hati. Mereka tahu, bahwa didalam pasukan Ki Ambara itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Beberapa orang pemimpin padepokan dan bekas pemimpin.prajurit dari Jipang dan bahkan beberapa orang Pati yang dapat mereka hubungi.
Dalam pada itu, demikian pasukan Mataram bergerak, maka pasukan Ki Ambarapun telah bergerak pula. Ki Saba Lintang merasa tidak perlu lagi menyembunyikan dirinya. Agaknya segala sesuatunya sudah menjadi jelas bagi Untara karena pengkhianatan Agung Sedayu.
Ketika pasukan Mataram itu berlari-lari mendekati perkemahan, maka pasukan Ki Ambarapun telah menyongsong mereka dengan senjata merunduk.
Namun pasukan Ki Ambara tidak hanya menghadapi pasukan yang datang dari arah depan perkemahan mereka. Tetapi mereka sadar, bahwa perkemahan itu sudah dikepung. Karena itu, sebagian dari pasukan Ki Ambara itu sudah disiapkan untuk menghadapi pasukan yang datang dari hutan, dibelakang perkemahan mereka.
Namun mereka sama sekali tidak menduga bahwa pasukan yang berada di belakang perkemahan itu diantaranya adalah pasukan dan kademangan Sangkal Putung, karena Ki Ambara justru mencemaskan kademangan Sangkal Putung yang dikepung oleh Untara.
Dalam pada itu, adalah ciri dari pasukan prajurit Mataram yang terbiasa bertempur dalam gelar yang mapan, telah mendengar isyarat dengan suara bende, bahwa mereka yang berada di depan perkemahan diisyaratkan untuk menyusun gelar Wulan Punanggal. Sementara itu, pasukan yang berada di arah samping harus menyesuaikan diri, menyambung gelar Wulan Punanggal sehingga kepungan itu akan dapat menjadi temu gelang.
Sambil bergerak ke arah perkemahan, maka pasukan yang sudah terlatih itu dengan cepat telah menempatkan diri dalam gelar yang mapan.
Untara sendiri berada di pasukan induk. Agung Sedayu dan Sabungsari menjadi Senapati pengapitnya. Dibelakangnya kelompok khusus yang diantaranya terdiri dari Glagah Pulih, Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan. Sementara itu, dikedua ujung gelar, dua orang Lurah Prajurit terpilih seakan-akan menjadi tanduk bersama kelompoknya. Sedangkan beberapa kelompok yang lain menebar memanjang.
Selain mereka, maka kelompok yang lain lagi tetap berada di sebelah menyebelah perkemahan, sedangkan pasukan Sangkal Putung telah menutup dibagian belakang.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang yang berada di hadapan induk pasukan Mataram, sama sekali tidak terpengaruh oleh tatanan gerak pasukan Mataram yang tersusun menjadi gelar. Orang-orang di dalam pasukan Ki Ambara justru lebih percaya kepada kemampuan mereka seorang-seorang, sehingga mereka sama sekali tidak memerlukan gelar.
Dianlara mereka yang berada di induk pasukan Ki Ambara adalah Ki Lurah Wira Sembada disamping beberapa orang berilmu tinggi lainnya. Para pemimpin perguruan dan padepokan yang berhasil dipengaruhi oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Sementara itu, sebagian dari para pengikut Ki Saba Lintang. Sementara itu, sebagian dari para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di dalam pasukan itu adalah orang-orang yang mendendam karena kekalahan mereka di Tanah Perdikan Menoreh.
Seorang yang berjanggut putih tetapi rambutnya justru masih hitam, yang berada di belakang Ki Ambara berkata" Aku justru ingin bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu iui."
" Ia tidak terada di sini" berkata seorang yang bertubuh raksasa, yang nampaknya masih lebih muda dari orang berjanggut putih itu.
" Kenapa ?" " Ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia sedang sibuk menghalangi Ki Gede Menoreh mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Mataram esok."
" Mungkin pula ia berada disini " sahut Ki Lurah Wira Sembada " tetapi jika ia berada di sini, akulah yang akan menghadapinya. Aku ingin membuat perbandingan, manakah yang lebih baik, prajurit Demak atau prajurit Mataram."
" Kau sudah terlalu tua menghadapinya. Meskipun kau dapat menahan ujudmu untuk tetap nampak lebih muda dari umurmu yang sebenarnya, tetapi kau sudah rapuh. Tulang-tulangmu sudah tidak keras lagi. Bahkan darah di nadimu sudah tidak mengalir teratur.
Tetapi Ki Lurah Wira Sembada tertawa. Katanya " Ki Garangan Seta. Janggutmu sudah putih meskipun rambutmu masih hitam. Itu pertanda bahwa kau terlalu banyak bicara daripada berpikir."
Tetapi orang yang dipanggil Garangan Seta itu tidak sempat menjawab. Gelar pasukan Mataram sudah ada didepan hidung mereka. Karena itu, maka merekapun telah memusatkan perhatian mereka kepada pasukan lawan.
Demikian kedua pasukan itu berbenturan, maka teriakan-teriakan menjadi semakin gemuruh. Untuk menghentakkan ayunan senjata mereka, maka beberapa orang telah berteriak nyaring.
Sementara itu, kedua orang Lurah prajurit yang berada diujung sayap gelar pasukan Mataram, masih sempat memerintahkan para prajuritnya yang bersenjata busur dan anak panah untuk menyerang menjelang terjadi benturan.
Serangan busur dan anak panah itu ternyata dapat menghambat gerak para pengikut Ki Saba Lintang. Bahkan sebelum benturan terjadi, beberapa orang telah terjatuh karena dadanya ditembus oleh anak panah.
Seorang yang berkumis tebal, telah jatuh tersungkur ketika anak panah mengenai bahunya. Dua orang kawannya berusaha untuk menolongnya dan membawanya menepi. Disandarkannya orang itu pada sebatang pohon yang tumbuh di padang perdu.
" Anak iblis orang-orang Mataram " teriaknya.
" Tenanglah. Duduk sajalah disini. Biarlah nanti orang lain datang menolongmu. Kami harus segera maju ke medan perang."
" Bawa aku ke medan."
" Kau terluka."
" Aku belum sempat berperang. Cabut anak panah ini.
" Biarlah orang yang berpengetahuan tentang obat-obatan nanti mengobatimu."
" Cabut anak panah itu, tolong."
" Kau akan kesakitan."
" Tidak apa-apa. Aku ingin bertempur."
Kedua orang kawannya saling berpandangan. Sementara orang itu berteriak " pertempuran baru saja dimulai. Aku belum sempat membunuh orang Mataram."
Karena kedua kawannya berdiam diri, orang berkumis tebal itu berteriak " Cabut anak panah ini, atau aku bunuh kalian berdua."
" Setan kau " geram kawannya dalam keadaan yang gawat, kau masih juga mengancam."
Tetapi kawannya yang lain berkata " Baik. Tetapi jangan salahkan aku jika darahmu memancar dari luka."
"Persetan" Kawannya memegang anak panah itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan tangannya itupun menjadi gemetar.
" Cepat. Jika kau tidak berani mencabut anak panah itu, kau bukan laki-laki."
Orang itu memalingkangkan wajahnya. Sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, ditariknya anak panah yang menancap di bahu orang berkumis tebal itu.
Darahpun mengalir dengan derasnya. Namun orang berkumis tebal itu mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong bajunya. "Tolong, taburkan obatku ini."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawannyapun membuka bajunya dan kawannya yang lain menaburkan serbuk yang ada di dalam bumbung kecil itu.
Orang berkumis tebal itu menyeringai menahan pedih. Namun arus darahnya perlahan-lahan menyusut, sehingga akhirnya menjadi pampaL
" Darahmu yang mengalir dari lukamu sudah menyusut. Tunggu sampai pampat sama sekali. Kami berdua harus segera pergi ke medan pertempuran yang sudah menyala."
" Pergilah. Aku akan segera menyusul."
Kedua orang yang telah menolong orang berkumis tebal itu segera meninggalkannya menuju ke medan. Sementara orang berkumis, tebal itu masih duduk bersandar sebatang pohon. Namun lukanya itu sudah mulai pampat
Ternyata bukan hanya ia sendiri yang telah terluka oleh anak panah yang dilontarkan oleh para prajurit Mataram. Beberapa orang telah dibawa menepi. Bahkan ada diantara mereka yang tidak dapat ditolong lagi. Anak panah itu menancap di dadanya langsung menusuk jantung.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuranpun telah berkobar dengan sengitnya. Prajurit Mataram tetap bertempur dalam gelar yang mapan. Sementara lawannya memancing untuk terlibat dalam perang brubuh yang berbaur. Namun ternyata para prajurit Mataram yang terlatih tetap terikat dalam gelar Wulan Punanggal.
Namun di sisi kiri dan kanan perkemahan, pasukan Mataram memang tidak memasang gelar utuh. Namun mereka tetap bertempur dalam keterikatan diantara mereka.
Dalam pada itu, pasukan Ki Ambara yang harus menahan gerak maju pasukan yang menyerang dari belakang, tidak mengira bahwa lawan mereka terlalu kuat. Meskipun kemudian benturan telah terjadi, tetapi para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang itu tidak tahu, bahwa lawan mereka adalah pasukan dari Sangkal Putung yang dipimpin langsung oleh Swandaru.
Dengan demikian, maka pasukan Ki Ambara itupun segera terdesak, sehingga pemimpin-pemimpin kelompok yang harus menahan arus pasukan dari belakang itu mengirimkan penghubung untuk minta bantuan dari pasukan induk.
" Jadi mereka juga menempatkan pasukan yang kuat di arah belakang perkemahan ?"
" Ya"jawab penghubung itu " bahkan sangat kuat, dipimpin oleh beberapa orang berilmu tinggi. Diantaranya adalah seorang perempuan."
" Seorang perempuan ?"
"Ya." " Apakah perempuan itu bersenjata tongkat baja putih, dengan di dampingi oleh Ki Lurah Agung Sedayu ?"
"Tongkat baja putih seperti apa ?" bertanya penghubung itu.
" Seperti tongkat Ki Saba Lintang."
" Tidak. Perempuan itu bersenjata sepasang pedang tipis di sepasang tangannya."
Namun sebelum Ki Ambara mengambil keputusan, seorang penghubung yang lain datang berlari-lari menemui Ki Ambara pula. Dengan nafas terengah-engah penghubung itu berkata " Ki Ambara. Ternyata pasukan yang berada di arah belakang adalah pasukan dari Sangkal Putung."
Ki Ambara terkejut sekali, seperti disengat lebah ditengkuknya. Dengan nada tinggi ia mengulangi " Pasukan Sangkal Putung katamu ?"
" Ya." " Kau jangan mengigau."
" Aku berkata sebenarnya. Bahkan dipimpin langsung oleh Ki Swandaru." .
" Gila. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Swandaru dan Agung Sedayu ?"
'" Pasukan kita telah terdesak. Agaknya pasukan dari Sangkal Putung itu terlalu kuat untuk ditahan gerak majunya."
Wajah Ki Ambara menjadi merah. Kepada Ki Saba Lintang iapun berkata " Terserah kepada Ki Saba Lintang untuk memimpin induk pasukan. Aku akan melihat, apakah benar pasukan yang berada di belakang perkemahan ini adalah pasukan dari Sangkal Putung yang dipimpin langsung oleh Swandaru sendiri."
" Baik, Ki Ambara."
" Cari Wiyati. Aku akan menemui Swandaru bersama Wiyati. Perempuan yang bersenjata pedang rangkap ituu tentu Pandan Wangi, isteri Swandaru yang menurut pendengaranku juga memiliki ilmu yang tinggi."
Sejenak kemudian, bersama Wiyati, Ki Ambara pergi ke bagian belakang perkemahannya. Dengan nada tinggi Wiyatipun berkata " Aku akan menghadapi isteri kakang Swandaru itu."
Demikianlah dengan tergesa-gesa Ki Ambara dan Wiyati bersama sekelompok orang yang justru datang dari satu perguruan untuk membantu pasukan yang berada di bagian belakang perkemahan.
Ketika Ki Ambara dan Wiyati serta Ki Ajar Mawanti bersama murid-muridnya sampai di arena pertempuran di bagian belakang perkemahan, maka Ki Ambara memang meyakini bahwa pasukan yang kuat itu adalah pasukan Sangkal Putung.
" Kita akan mencari Swandaru " berkata Ki Ambara kepada Wiyati dan Ki Ajar Mawanti.
Ki Ambara tidak memerlukan waktu terlalu lama. Ketika ia melihat gejolak yang keras di dalam pasukannya yang berada di bagian belakang perkemahan itu, maka iapun segera menduga, bahwa para pemimpin pasukan yang datang dari Sangkal Putung itu berada di sana.
Sebenarnyalah, ketika Ki Ambara, Wiyati dan Ki Ajar Mawanti memasuki lingkaran yang bergejolak dengan keras itu, mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi bertempur melawan sekelompok orang dari pasukan yang bertugas dibagian belakang perkemahan itu.
Dengan nada yang bagaikan membara Ki Ambara menyibak orang-orang sambil berteriak "Minggir. Biarlah pengkhianat ini aku hadapi."
Para pengikut Ki Ambara itupun segera menyibak. Mereka menebar dan bertempur melawan para pengawal Sangkal Putung yang menyerang mereka dengan garang. Sementara itu, murid-murid Ki Ajar Mawantipun telah menebar pula.
Kedatangan murid-murid Ki Ajar Mawanti memberi kesempatan kepada para pengikut Ki Ambara untuk bernafas. Sedangkan laju pasukan Sangkal Putungpun telah tertahan pula.
Swandaru yang melihat kedatangan Ki Ambara dengan wajah merah membara sempat tersenyum dan berkata " Selamat bertemu kembali Ki Ambara."
" Pengkhianat kau Swandaru " geram Ki Ambara dengan suara bergetar " ternyata kau adalah orang yang paling licik yang aku kenal."
" Maaf Ki Ambara. Aku tidak dapat berbuat lain. Untuk menghadapi kelicikanmu, akupun harus menempuh jalan serupa. Jika aku tidak melakukannya, maka akulah yang akan terjebak."
" Kau telah mempermainkan kepercayaanku kepadamu untuk menempuh jalan ke Mataram. Aku mendukungmu karena kau ingin merebut kekuasaan Panembahan Senapati yang juga berasal dari orang kebanyakan itu. Tetapi inilah yang telah terjadi."
" Jangan menyesal, Ki Ambara. Aku dan kakang Agung Sedayu adalah bagian dari Mataram itu."
" Bukan hanya itu " teriak Ki Ambara " kau juga telah mempermainkan cucuku, Wiyati."
" Cucumu ?" bertanya Swandaru.
" Ya. Dengar apa yang dikatakannya ?"
" Cucumu siapa ?" bertanya Swandaru.
" Kau tidak usah berpura-pura kakang" Wiyatipun segera melangkah maju " aku sedang mengandung sekarang. Tetapi aku sengaja memasuki arena pertempuran ini. Jika aku mari, maka bayimupun akan mati."
Terasa jantung Swandaru bergejolak. Tetapi iapun segera menyadari dengan siapa ia berhadapan. Mulut Ki Ambara dan Wiyati yang beracun itu benar-benar tidak dapat dipercaya. Karena itu, maka Swandaru benar-benar tidak lagi merasa segan untuk melakukan hal yang sama. Apalagi disebelahnya ada Pandan Wangi.
Sebenarnyalah bahwa jantung Pandan Wanagi bagaikan berhenti berdetak. Ia tidak bersiap mendengar pengakuan seorang perempuan yang sudah mengandung benih dari suaminya itu."
Namun tiba-tiba Swandaru bertanya kepada perempuan itu " Siapa kau ?"
Wiyatilah yang terkejut. Dengan geram iapun berkata " Kau bukan saja licik kakang Swandaru. Kau ternyata pengecut yang terkutuk. Kenapa kau masih dapat bertanya, siapa aku ?"
" Jadi, kau ingin aku mengiakan saja ceriteramu " Siapakah yang licik dan pengecut " Kau mencoba untuk mempergunakan cara yang tidak terbiasa didalam pertempuran untuk mempengaruhi ketahanan jiwani lawan-lawanmu."
" Setan kau Swandaru"geram Ki Ambara.
Wiyatilah yang tiba-tiba berteriak seperti kicau burung, betet yang mengalir sulit untuk disisipi "Dengar Pandan Wangi. Selama ini diluar pengetahuanmu, suamimu selalu datang ke rumah kakek bukan untuk berbicara tentang kuda. Tetapi ia datang karena aku ada dirumah kakek. Ia memikatku dan berjanji untuk menikahiku. Ia berjanji untuk menjadikan aku isterinya yang akan bersama-sama memerintah sebuah Tanah Perdikan yang bernama Sangkal Putung. Tetapi kau dengar apa yang dikatakannya itu ?"
Namun dengan kerasnya Swandaru berteriak "Perempuan tidak tahu malu. Jika kau benar pernah berhubungan dengan aku, kau tidak akan meneriakkannya dihadapan banyak orang. Kau tidak akan menemui aku di medan pertempuran seperti ini. Karena itu hanya akan mempermalukanmu. Kau tentu hanya seorang pelaku yang didalangi oleh Ki Ambara. Alangkah rendah budimu. Kau korbankan cucumu untuk mendapat kemenangan dengan cara yang jauh lebih licik dari caraku mengelabuimu."
"Pandan Wangi"teriak Wiyati pula"kau dan aku sama-sama perempuan. Kau tentu dapat merasakan betapa perihnya hatiku diperlakukan seperti ini oleh kakang Swandaru."
Sebelum Swandaru menjawab, tiba-tiba saja Empu Wisanatapun melangkah maju sambil berkata kepada Ki Ambara " Kau telah mempergunakan cara ini pula kali ini. Kau masih mengenali aku " Beberapa tahun yang lalu, kau juga mempergunakan cara seperti ini untuk menundukkan Resi Reja Salam yang bertempur bersama isterinya yang berilmu tinggi, Nyi Reja Salam. Kau berhasil, sehingga Nyi Reja Salam meninggalkan medan karena marah. Sepeninggal Nyi Reja Salam, kau berhasil membunuh Ki Rejo Salam karena Ki Rejo Salam harus melawan ampat orang laki-laki licik seperti kau."
Wajah Ki Ambara menjadi sangat tegang. Hampir diluar sadarnya iapun berdesis " Aku pernah mengenalmu."
" Tentu. Kita pernah berada di dalam satu pasukan dibawah pimpinan Ki Saba Lintang. Ternyata sampai sekarang kau masih menjadi pengikut Ki Saba Lintang."
" Kau memfitnah aku."
" Tidak. Aku berkata sebenarnya. Kau tentu berusaha untuk memeras Nyi Pandan Wangi sekarang. Setidak-tidaknya untuk meretakkan hubungan mereka agar pasukan Sangkal Putung menjadi lemah. Tetapi kau keliru, Ki Ambara. Nyi Pandan Wangi bukan Nyi Reja Salam yang meskipun berilmu tinggi, tetapi penalarannya sangat dangkal "
Kemarahan Ki Ambara bagaikan membakar ubun-ubun, sehingga tiba-tiba saja ia berteriak keras sekali. Suaranya melingkar-lingkar bagaikan mengguncang udara di atas medan.
" Kau ternyata lebih gila dari Swandaru. Kau siapa he ?"
" Kau benar-benar tidak ingat kepadaku ?"
" Katakan, siapa namamu."
" Namaku Wisanata. Orang memanggilku Empu Wisanata."
Ki Ambara termenung sejenak. Katanya " Aku ingat nama itu. Tetapi mulutmu memercikkan bisa ular bandhotan hitam yang paling tajam."
" Ki Ambara. Sayang, Nyi Dwani tidak ada di sini. Jika saja ia ada disini, maka ia akan dapat berceritera panjang tentang caramu yang licik dan kotor itu. Karena waktu kau berhadapan dengan Ki Reja Salam, Nyi Dwanilah yang berperan sebagai Wiyati sekarang ini. Nyi Dwanilah yang harus berkata kepada Ki Reja Salam dihadapan isterinya, bahwa ia sudah mengandung."
" Setan kau, iblis " teriak Ki Ambara yang mengumpat sejadi-jadinya. Namun Empu Wisanatapun berkata selanjurnya " Untung aku ada disini sekarang Ki Ambara Jika tidak, mungkin kau akan berhasil sebagaimana kau menipu Ki Reja Salam dan isterinya."
Ki Ambara tidak tahan lagi mendengar kata-kata Empu Wisanata. Tiba-tiba saja iapun meloncat menyerang dengan garangnya.
Namun Empu Wisanata telah bersiap sepenuhnya Karena itu, ketika Ki Ambara meloncat menerkamnya, Empu Wisanatapun segera mengelak, sehingga serangan Ki Ambara justru hampir saja mengenai Ki Jayaraga.
" Tinggalkan orang ini, Empu. Biarlah aku mengurusnya " berkata Ki Jayaraga.
Ki Ambara tidak bertanya lagi. Kata-kata Ki Jayaraga itu membuat telinganya bagaikan terbakar. Karena itu, maka Ki Ambarapun telah menyerang Ki Jayaraga pula.
Ki Ajar Mawanti tertawa melihat sikap Ki Ambara. Katanya " Sabarlah sedikit Ki Ambara. Jika kau terseret arus perasaanmu, kau tidak akan dapat menilai lawanmu dengan baik. Hadapilah orang yang akan mengurusmu itu. Biarlah aku tangkap Empu Wisanata hidup-hidup. Nampaknya menyenangkan untuk berbincang-bincang panjang dengan orang itu."
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam, peringatan Ki Ajar Mawanti itu agak mengendapkan gejolak di dadanya. Karena itu, maka iapun berkata " Baiklah. Aku tidak ingin bertempur dengan penalaran yang kabur. Ia terlalu pandai mengaduk perasaan, sehingga aku memang hampir kehilangan penalaran."
" Ia tidak akan dapat berbuat demikian terhadapku."
" Menarik sekali " desis Ki Jayaraga " nah, jika kau.sudah tenang kembali dan penalaranmu pulih, marilah, kita akan bertempur. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. "
Ki Ambara memandang Ki Jayaraga dengan tajamnya. Sementara itu, Ki Jayaragapun berkata " Kita belum pernah saling mengenal. Kau tentu belum pernah melihat aku, dan akupun belum pernah melihatmu."
" Bersiaplah " geram Ki Ambara
Tetapi Ki Jayaraga seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya selanjurnya " Kecuali jika kau ikut Ki Saba Lintang menyerang Tanah Padikan. Mungkin sepintas kau pernah melihat aku."
" Tutup mulutmu."
" Jangan marah. Kau akan kehilangan penalaranmu lagi. Bukankah kawanmu sudah memperingatkanm u ?"
Ki Ambara tidak mendengarkannya lagi. Iapun segera bergeser mendekat Tetapi ia tidak lagi menyerang membabi buta karena kemarahannya yang seakan-akan membakar otaknya.
Dalam pada itu, Ki Ajar Mawantilah yang telah menghadapi Empu Wisanata. Sambil tertawa Ki Ajar Mawanti itu berkata " Kau pandai membakar hatinya. Ki Ambara memang seorang yang jantungnya mudah menyala. Dan kau telah berhasil menyalakannya."
Empu Wisanata tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap sepenuhnya menghadapi Ki Ajar Mawanti.
Dalam pada itu, Wiyati yang marah itu mengusap matanya.
Demikian kemarahan bergejolak di dadanya, sehingga ia tidak menyadarinya bahwa matanya menjadi merah dan basah.
" Pandan Wangi " geram Wiyati " aku tidak berhasil membakar kecemburuanmu karena iblis tua itu. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghancurkan perasaan Swandaru. Aku akan membunuhmu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga sebagai seorang perempuan hatinya tergetar pula. Apalagi jika ia mengingat bahwa Swandaru terlalu sering pergi ke rumah Ki Ambara. Bahkan Swandaru selalu pulang malam dengan alasan apapun juga. Namun ia tidak mau terseret oleh arus perasaannya. Dihadapinya Wiyati dengan hati yang mengendap.
" Bersiaplah untuk mati, Pandan Wangi. Meskipun aku pernah mendengar bahwa kau berkemampuan tinggi, namun kau tidak akan dapat mengalahkan aku."
Pandan Wangi tersenyum sambil berdesis" Kau cantik sekali, Wiyati "
" Tutup mulutmu " geram Wiyati.
"Jangan terlalu garang. Seharusnya kau bersikap luruh untuk melengkapi kecantikanmu yang nampak sendu."
Wiyati tidak menyahut lagi. Namun terasa betapa mengendapnya perasaan Pandan Wangi. Rasa-rasanya Wiyati tidak akan mampu mengatasi wibawanya yang terasa sangat menekan perasaannya.
Namun pertempuran yang terjadi disekitarnya, telah menyulut lagi api di jantungnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Wiyati itu menengadahkan wajahnya. Pedangnya telah bergetar ditangannya.
Dengan nada berat dan datar Wiyati itupun berkata " Bersiaplah Pandan Wangi. Kau atau aku yang akan mati disini."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika Wiyati menjulurkan pedangnya, pedang Pandan Wangipun bersilang di depan dadanya.
Keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran. Keduanya memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka pertempuran diantara merekapun semakin lama menjadi semakin sengit.
Pedang Wiyati berputaran dengan cepatnya. Namun serangan-serangannya tidak segera mampu menembus pertahanan Pandan Wangi yang rapat. Sepasang pedang ditangannya seakan-akan telah memagari tubuhnya dengan rapat. Setiap serangan Wiyati selalu membentur putaran palang Pandan wangi.
Disisi lain, Empu Wisatapun telah bertempur pula melawan Ki Ajar Mawanti. Keduanya adalah orang-orang yang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi, tetapi keduanya adalah orang-orang yang berpengalaman luas.
Sementara itu, Ki Ambara yang darahnya bagaikan mendidih di dalam tubuhnya, segera meningkatkan serangan-serangannya terhadap Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga yang benar-benar sudah siap menghadapinya, telah mengimbanginya. Beapapun Ki Ambara berusaha menekan dengan serangan-serangan yang cepat, namun Ki Jayaraga sama sekali tidak terdesak. Bahkan serangan-serangan Ki Jayaragapun sekali-sekali justru telah mengejutkan Ki Ambara.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi antara kedua pasukan indukpun menjadi semakin panas pula. Namun sebagaimana Swandaru yang tidak mengikat diri pada seorang lawan sehingga berkesempatan untuk menilai seluruh pasukan dari Sangkal Putung, maka Untarapun berusaha untuk membebaskan diri pula. Kedua orang Senapati pengapit-nyalah yang telah menahan orang-orang yang berniat untuk langsung berhadapan dengan Untara.
Namun Agung Sedayu yang bertempur menghadapi beberapa orang lawan terkejut ketika ia mendengar namanya dipanggil.
" Agung Sedayu. Kau mengamuk seperti banteng terluka." Agung Sedayu bergeser surut. Dahinya berkerut ketika ia melihat seseorang yang menyibak lawan-lawannya.
" Ki Lurah Wira Sembada"desis Agung Sedayu.
Ki Lurah Wira Sembada yang mendekatinya tertawa. Katanya " Ternyata kau adalah seorang pengkhianat yang tabah sehingga kau berani datang ke medan ini."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Sambil melangkah mendekat iapun bertanya"Aku tidak tahu maksudmu "
" Setelah kau khianati Ki Ambara, kau masih juga berani memasuki medan ini."
" Apakah aku berkhianat ?"
" Jadi kau tidak merasa berkhianat " Bahkan ternyata saudara seperguruanmu juga berkhianat. Dengan licik Swandaru telah mengelabui Ki Ambara. Untara, seorang Senapati perang Mataram yang namanya dikenal diseluruh Pajang, Demak, Pati dan bahkan seluruh tlatah Bang Wetan itu telah berbuat licik pula."
" Apa yang dilakukan oleh kakang Untara ?"
" Senapati besar itu mengatakan bahwa Sangkal Putung telah dikepungnya. Tetapi ternyata bahwa para pengawal Sangkal Putung justru ikut menyerang perkemahan ini."
Agung Sedayu tertawa. Katanya " Kau juga seorang Lurah prajurit seperti aku. Kau tentu mengenal gelar dom sumuruping banyu."
" Itu bukan gelar perang. Tetapi cara yang ditempuh oleh mereka yang tidak yakin akan kekuatannya sendiri."
" Begitukah yang dilakukan oleh Ki Ambara ?"
Ki Lurah Wira Sembada itu tertawa. Katanya " Ya. Ki Ambara memang tidak yakin akan kekuatannya untuk melawan Mataram. Iapun mempergunakan cara itu. Dom sumuruping banyu. Ia sempat menusuk punggung Swandaru dengan jarumnya itu. Tetapi akhirnya yang terjadi adalah sebaliknya. Kau dan Swandaru adalah dua orang saudara seperguruan yang dapat bekerja sama dengan sangat rapi untuk menjebak Ki Ambara."
" Karena itu, seharusnya Ki Ambara menyerah saja." Namun Ki Lurah Wira Sembada itu tertawa semakin keras.
Katanya"Kau memang lucu Agung Sedayu. Kenapa Ki Ambara harus menyerah " Kekuatannya yang ada disini jauh lebih besar dari kekuatan pasukanmu meskipun sudah bergabung dengan pasukan pengawal dari Sangkal Putung. Gabungan dari kekuatan mereka yang berkhianat terhadap kepercayaan sahabatnya tidak akan dapat mengimbangi kekuatan yang dikhianatinya."
" Itukah menurut pengamatanmu, Ki Lurah "
" Ya. Dan sekarang adalah urusan kita sendiri. Aku sudah mengatakan, bahwa aku ingin membuat perbandingan, siapakah yang lebih baik. Prajurit Demak atau prajurit Mataram."
" Tetapi kau sudah terlalu tua untuk bertempur melawan aku, Ki Lurah Wira Sembada. Bukankah umurmu jauh lebih tua dari ujudmu " Mungkin hanya wajahmu sajalah yang masih nampak lebih muda dari umurmu. Tetapi lihat kulitmu yang sudah berkerut seperti kulit jeruk purut"
Ternyata Ki Lurah Wira Sembada justru tertawa Sambil memandangi kulit tubuhnya, ia berkata " Pandangan matamu tajam sekali Ki Lurah Agung Sedayu. Kau melihat keriput di kulitku. Tetapi keriput kulitku inipun belum sedalam keriput orang-orang lain yang sudah seumurku.
" Ya. Aku percaya, Ki Lurah. Namun bagaimanapun juga, kau sudah terlalu tua."
Ki Lurah Wira Sembada masih tertawa. Katanya " Jangan risaukan. Kemampuanku masih utuh. Masih sebagaimana aku menjadi Lurah prajurit di Demak. Bahkan semakin tua, pengalaman dan pengetahuanku menjadi semakin luas."
" Aku percaya, Ki Lurah."
" Nah, sekarang kita akan menakar kemampuan. Manakah yang lebih baik diantara kita."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun segera mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya,
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Wira Sembadapun bergeser selangkah maju. Kemudian menyamping. Dengan hati-hati ia meloncat sambil mengayunkan tangannya.
Namun Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkasnya Agung Sedayu meloncat surut. Namun kemudian iapun segera meloncat sambil menjulurkan kakinya.
Tetapi serangannya tidak menyentuh lawannya.
Namun keduanya bergerak semakin lama semakin cepat Mereka-pun telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing, sehingga pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Sementara itu, Ki Saba Lintangpun telah turun ke arena. Yang kebetulan menyongsongnya adalah Senapati pengapit yang seorang lagi, Sabungsari.
Ki Saba Lintang yang marah itu tidak mengatakan sesuatu. Ketika ia melihat seseorang sengaja datang untuk menyongsongnya, maka ia-pun segera menyerangnya.
Tongkat baja putihnya berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali mematuk dengan garangnya mengarah ke dada.
Tetapi Sabungsari cukup tangkas. Kakinya berloncatan dengan cepatnya menghindari serangan-serangan lawannya. Namun tiba-tiba saja Sabungsarilah yang meloncat menyerang.
Ketika kedua Senapati pengapit Utara bergeser menjauh, maka Glagah Putih telah bergerak maju. Namun langkahnya terhenti ketika di-nadapannya berdiri seorang yang berwajah cacat.
" Kau mau kemana anak muda ?" bertanya orang itu,
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada berat iapun justru bertanya pula " Siapakah yang kita cari disini?"
Orang berwajah cacat itu tertawa. Suaranya yang parau itu terasa menghentak-hentak dada Glagah Putih. Katanya " Agaknya kau seorang yang seneng berkelekar, he" Baiklah. Kita bertemu disini. Kita dapat menjadi pasangan bermain yang menyenangkan."
" Mungkin, Ki Sanak. Tetapi siapakah namamu?"
"Namaku" Kau masih ingin mengenal nama seseorang yang kau temui di medan?"
" Ya." " Namaku Welat Wulung. Nah, sekarang sebut pula namamu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Namaku Glagah Putih."
" Ternyata kau adalah anak muda yang sangat berani. Seumurmu, kau telah dengan tatag memasuki arena yang keras seperti ini. Kaupun telah berani menengadahkan wajahmu dihadapan Welat Wulung."
" Aku belum pernah mengenalmu. Mungkin kelak jika aku sudah mengetahui tingkat ilmumu, aku akan menjadi gemetar ketakutan."
Welat Wulung yang wajahnya cacat itu tertawa berkepanjangan. Katanya " Kau lucu sekali. Jika saja aku tidak menjumpaimu di medan pertempuran, aku senang mengajakmu berbincang. Kau tentu pandai juga bercerita. Ceriteramu lentu ceritera-ceritera lucu. Kadang-kadang aku merasa hidup ini mulai menjemukan. Aku kadang-kadang tidak lagi tertarik untuk membunuh. Tetapi aku menyenangi ceritera-ceritera lucu itu."
" Jika kau menjadi jemu membunuh, kenapa kau datang juga ke medan ini?"
" Sudah aku katakan, kadang-kadang aku menjadi jemu berada di medan pertempuran. Aku merasa jemu membunuh orang. Tetapi jika keinginanku membunuh itu sudah mulai menggelegak lagi, maka keinginanku itu tidak akan dapat ditahan-tahan lagi.
" Dan sekarang?"
" Sayang. Jantungku telah terbakar oleh keinginan untuk membunuhmu. Kemudian membunuh Untara. Jika Agung Sedayu belum terbunuh, akulah yang akan membunuhnya."
" Jika kau mati lebih dahulu?"
" Pertanyaanmu juga lucu. Pertanyaan yang menyenangkan. Jika aku mati lebih dahulu maka aku akan datang kepadamu dimalam Jumat Kliwon. Aku akan mencekikmu. Tetapi aku akan memelihara kau tetap hidup, agar setiap Jumat Kliwon aku mempunyai permainan yang menyenangkan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Orang yang dihadapi itu terasa aneh. Wajahnya yang seram sama sekali tidak sejalan dengan tingkah lakunya. Ia banyak tertawa dan nampaknya senang pula berkelakar."
Tetapi tiba-tiba saja orang itu berkata " Tetapi bukan waktunya untuk tertawa berkepanjangan sekarang. Bukankah kita akan bertempur?"
Glagah Putih mengangguk. Katanya " Ya. Kita akan bertempur."
" Bersiaplah. Kita akan bertempur tanpa senjata. Aku akan menyimpan golokku. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Membantingmu dan menindih perutmu dengan lututku Jari-jari di kedua tanganku akan mencekikmu. Kau tentu berusaha untuk membebaskan diri. Kau berusaha untuk mengangkat tanganku. Tetapi kau tidak berhasil. Lututkupun semakin menekan perutmu sehingga kau akan kehilangan segala harapan. Nafasmu akan terputus di kerongkonganmu dan kau akan mati -
" Begitu mudahnya ?"
" Itu rencanaku. Jika ternyata kau mempunyai rencana lain. terserah kepadamu. Mungkin rencanaku yang akan terjadi. Mungkin rencanamu."
Glagah Pulihpun tertawa. Orang itu memang aneh. Katanya "Bagaimana jika aku saja yang menangkap pergelangan sebelah tanganmu. Aku pilin tanganmu kebelakang. Kemudian aku tekan sehingga kau terbungkuk " Pada saat tanganmu patah, aku hantam tengkukmu dengan sisi telapak tanganku, sehingga tulang lehermu patah dan kau akan mati."
Orang itu justru tertawa terbahak-bahak. Katanya " Baik. Marilah kita mencoba, apakah kita dapat melaksanakan rencana kita masing-masing."
Glagah Putin tertawa pula.
Namun sejenak kemudian Welat Wulung itupun sudah bergerak sambil menjulurkan tangannya menggapai wajah Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih bergeser kesamping sehingga tangan Welat Wulung tidak menyentuhnya.
" Ayo, anak muda. Aku sudah mulai. Aku yang akan menindih' perutmu dengan lutut, atau kau akan memilin tanganku hingga patah."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun mulai berloncatan menghindari serangan-serangan Welat Wulung.
Welat Wulung bertempur dengan tangkasnya. Tetapi sekali-sekali suara tertawanya masih saja meledak. Meskipun Welat Wulung mulai meningkatkan kemampuannya, tetapi sama sekali tidak nampak gejolak kebenciannya.
Dengan demikian, maka sikap Glagah Putih terhadap lawannya yang ujudnya menyeramkan inipun agak berbeda. Ia tidak terlalu bersungguh-sungguh. Meskipun demikian, Glagah Putih tidak menjadi lengah. Ia sadar sepenuhnya, bahwa kemungkinan lain dapat saja terjadi.
Mungkin orang itu dengan sengaja membuat lawannya menjadi lengah, sehingga tiba-tiba saja Welat Wulung itu memukul tepat di ulu hati.
Namun bagaimanapun juga pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Meskipun Welat Wulung masih sua tertawa, tetapi serangan-serangannya ternyata sangat berbahaya. Tubuhnya sangat lentur, sehingga ia mampu bergerak dan menggeliat dengan cepat dengan arah yang sulit ditebak.
Dengan demikian, maka Glagah Pulih harus menjadi sangat berhati-hati. Latihan-latihan yang berat, serta pengalamannya yang luas, membuatnya mampu mengimbangi lingkal ilmu Wciai Wulung yang semakin ditingkatkan.
" He, kau anak muda"berkata Welat Wulung itu ketika ia gagal menghantam dada Glagah Putih dengan telapak tangannya -" kau membuat jantungku berdenyut semakin cepat. Dari mana kau mewarisi ilmumu itu, he "-
" Tentu dari guru-guruku "jawab Glagah Putih.
" Guru-gurumu " Kau mempunyai berapa orang guru ?"
" Ada bebarapa. Bahkan orang orang yang pernah bertempur melawankupun ada yang aku anggap sebagai guruku, karena dan mereka aku dapat menyadap ilmu untuk melengkapi ilmuku."
" Tetapi bagaimana kau dapat membuat ilmumu utuh ?"
"Aku harus menyaringnya Bahkan aku juga dapat menyadap ilmumu sekarang ini."
" Dan kau juga menganggap aku sebagai gurumu ?"
" Ya " Welat Wulung tertawa terbahak-bahak Katanya ladi kau sekarang sedang berusaha membunuh gurumu " Jika demikian, maka pada kesempatan yang lain, kaupun akan membunuh guru-gurumu yang lain.
" Aku sekedar membela diri."
" Omong kosong. Kaulah yang menemui aku di medan ini Jangan ingkar."
" Tetapi tadi kau belum menjadi guruku."
Orang itu tertawa berkepanjangan sehingga perutnya terguncang-guncang. Katanya disela-sela tertawanya " kau jangan licik. Kau dengan sengaja membuat lelucon disini. Namun tiba-tiba kau akan menerkam pergelangan tanganku: Kemudian kau pilin sampai patah,"
" Karena itu berhati-hatilah."
Orang itu berhenti tertawa. Dikerutkan dahinya. Namun ternyata ia masih saja tersenyum-senyum sendiri."
" Awas. Aku mulai bersungguh-sungguh " berkata Glagah Putih. Welat Wulungpun meloncat kesamping menghindari serangan Glagah Putih. Namun serangan-serangan Glagah Putih datang susul menyusul, sehingga Welat Wulung tidak sempat lagi untuk tertawa.
Meskipun demikian, Glagah Putih masih saja mempunyai perasaan lain kepada orang yang berwajah cacat dan menyeramkan itu.
Dalam pada itu, pertempuran diseluruh medanpun menjadi semakin sengit. Meskipun para pengikut Ki Saba Lintang bertempur dengan mengandalkan kemampuan mereka seorang-seorang, namun pasukan Mataram yang dipimpin oleh Untara itu masih tetap dalam gelar mereka yang utuh. Kedua sayapnya bergerak perlahan-lahan maju menekan lawan dikedua sisi. Sementara itu, para prajurit yang memang bertugas di sisi kanan dan kiri dari kepungan yang temu gelang itupun bergeser setapak demi setapak.
Tetapi perlawanan para pengikut Ki Saba Lintangpun menjadi semakin garang pula. Para murid beberapa perguruan yang sempat terbujuk dan kemudian terhisap ke dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itupun bertempur dengan sengitnya pula. Beberapa orang di-antara mereka justru terjun ke medan pertempuran untuk menguji kemampuan ilmu mereka setelah mereka berguru beberapa tahun.
Namun ada diantara mereka yang bernasib malang. Sasaran untuk menguji kemampuan mereka ternyata bukan yang seharusnya. Mereka langsung berhadapan dengan pai a prajurit yang sudah terlatih dan berpengalaman. Mereka bertempur dalam satu ikatan gelar yang lebih mementingkan kerja sama diantara mereka
Dengan demikian, maka beberapa orang diantara mereka, tidak sempat membanggakan ilmu mereka. Para murid dari beberapa perguruan itu bagaikan dilemparkan langsung ke dalam api pertempuran yang menyala mengapai langit
Namun saudara-saudara perguruan mereka yang lebih berpengalaman berusaha untuk memberikan ruang gerak kepada mereka.
Dengan demikian, maju pertempuran disisi utara hutan Iemah Cengkar itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Sementara itu, panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit
Keringatpun mulai mengalir membasi tubuh mereka yang sedang bertempur itu. Bukan saja keringat, darahpun mulai mengalir pula menitik di atas bumi.
Dalam pada itu, Nyi Dwani yang bertempuur bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mendesak lawan mereka. Sekelompok orang bersama-sama melawan Sekar Mirah yang bersenjata tongkat baja putih seperu senjata pemimpin mereka, Ki Saba Lintang.
Namun Nyi Dwani terkejut ketika tiba-tiba saja dihadapannya berdiri kakak perempuannya, Ny Yatni.
" Dwani " Yatni berdiri sambil tersenyum. Ditangannya tergenggam pedang yang berkilat-kilat disentuh cahaya matahari.
" Mbokayu " desis Nyi Dwani dengan wajah yang tegang.
" Kau akan menyesal, kenapa kau tidak membunuhku pada saat kau berhasil mengalahkan aku dalam perang tanding itu. Sekarang kita bertemu di medan pertempuran. Kita akan mengulangi lagi, perang tanding yang akan menentukan hidup dan mati"
"Jangan mbokayu. Pilihlah lawan yang lain."
"Kau pernah memenangkan perang tanding itu, Dwani. Kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk menebus kekalahanku. Jika kau bunuh aku pada waktu itu, maka kau tidak perlu menghadapi aku dalam perang tanding lagi, Dwiani"
" Pilihlah lawan yang lain, mbokayu."
Nyi Yatni tertawa. Katanya " Darimana kau tahu bahwa aku sudah mematangkan ilmuku Dwani, sehingga kau tidak akan memenangkan perang tanding jika terulang lagi."
" Bukan tentang menang dan kalah, mbokayu. Tetapi apakah kita dilahirkan untuk bertengkar dan bahkan saling membunuh ?"
Nyi Yatni tertawa berkepanjangan. Katanya " Kau menjadi ketakutan Dwani. Kasihan sekali tetapi sudah suratan nasibmu,-bahwa kau akan mati disini."
Sebelum Nyi Dwani menjawab, tiba-tiba saja Rara Wulan melangkah maju mendesak Nyi Dwani sambil berkata lantang " Serahkan kepadaku Nyi Dwani."
" Rara - - Nyi Dwani terkejut "jangan."
" Biarlah aku menghadapinya, Nyi Dwani. Aku bukan sanak dan bukan kadangnya. Tidak akan ada hambatan apapun di dalam diriku untuk mengakhiri perlawanannya."
" Tetapi jangan Rara" cegah Nyi Dwani.
" Berilah aku kesempatan" sahut Rara Wulan. Namun Nyi Dwani menggeleng.
" Kau ingin mati di medan pertempuran ini anak manis " geram Nyi Yatni yang menjadi marah sekali terhadap Rara Wulan.
" Akulah yang akan membunuhmu " sahut Rara Wulan.
" Baik. Aku lantang kalian berdua untuk melawanku bersama-sama" berkata Nyi Yatni.
" Rara, jangan "
Tetapi nampaknya Rara Wulan tidak menghiraukannya. Namun ketika Rara Wulan melangkah maju, seseorang menarik lengannya sambil berkata "Rara. Mundurlah."
Rara Wulan berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri di belakangnya.
" Beri aku kesempatan mbokayu " minta Rara Wulan. Tetapi Sekar Mirah menggeleng sambil menjawab " Tidak Rara."
" Aku sudah berada di medan. Siapapun yang aku hadapi, tidak menjadi soal."
" Ingat Rara. Kau boleh ikut ke medan, tetapi kau harus tunduk kepada perintahku. Sekarang aku perintahkan kau meninggalkan pertempuran itu. Biarlah Nyi Dwani menyelesaikannya."
Wajah Rara Wulan menegang. Namun ia tidak dapat membantah perintah Sekar Mirah.
Namun dengan demikian, Nyi Yatni tidak mau melepaskan adik perempuannya. Dengan lantang itupun berkata " Nah, Dwani. Orang-orang Mataram itu telah melepaskanmu. Itu berarti bahwa kau sudah direlakan untuk mati."
Namun Sekar Mirah yang masih mendengar kata-kata itu berkata " Tidak. Aku yakin, bahwa Nyi Dwani akan dapat melindungi dirinya sendiri."
Tetapi Nyi Yatni itu tertawa. Katanya " Apalagi disiang hari. Dwani menyandarkan ilmunya pada cahaya bulan. Tanpa cahaya bulan, Dwani bukan apa-apa."
" Kau salah Nyi Yatni. Cahaya matahari mempunyai kekuatan jauh lebih besar dari cahaya bulan. Nyi Dwani telah berhasil menyadap kekuatan panasnya matahari untuk membakar tenaga yang tersimpan di dalam tubuhnya sehingga terurai. Akibatnya, tenaga dalamnya akan menjadi berlipat-lipat."
Nyi yatni mengerutkan dahinya. Keterangan Sekar Mirah itu membuat jantungnya berdebaran.
Tetapi Nyi Dwani sendiri juga terkejut. Semula ia tidak mengerti, apa yang dimaksud oleh Sekar Mirah. Namun kemudian Nyi Dwani itu menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah berusaha untuk mengimbangi sentuhan jiwani atas dirinya. Jika kakak perempuannya itu berusaha melemahkan ketahanan jiwaninya dengan menyebut bahwa kemampuannya bersandar kepada cahaya bulan, maka Sekar Mirah mengatakan, bahwa dirinya sudah menemukan sumber kekuatan yang lebih besar. Cahaya matahari.
Meskipun yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu tidak lebih dari gertakan semata, namun ternyata bahwa Nyi Yatni terpengaruh pula olehnya.
" Perempuan itu bohong Dwani. Kau hanya yakin bahwa cahaya bulanlah yang dapat meningkatkan kemampuanmu."
" Kita sudah beberapa saat berpisah, mbokayu. Kau tidak dapat mengikuti perkembangan ilmuku " sahut Nyi Dwani " tetapi kenapa kita harus bertengkar ?"
" Jangan mengigau lagi. Bersiaplah Aku akan membunuhmu "
Nyi Dwani tidak mempunyai kesempatan lagi. Kakak perempuannya itupun telah meloncat menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus mengarah ke dada tanpa ragu-ragu."
" Mbokyaku " desis Nyi Dwani.
Tetapi kakak perempuannya tidak menghiraukannya. Pedangnya yang terjulur tanpa menyentuh tubuh lawannya itu berputar, kemudian menebas mendatar.
Nyi Dwani itupun meloncat surut. Namun kakak perempuannya itu memburunya. Diayunkannya pedangnya mengarah ke leher Nyi Dwani. Tetapi dengan tangkasnya Nyi Dwani menghindarinya.
Ketika sekali lagi Nyi Yatni mengayunkan pedangnya ke arah bahu Nyi Dwani, maka Nyi Dwani tidak menghindarinya, tetapi ditangkisnya serangan itu dengan pedangnya pula.
Ketika terjadi benturan, maka Nyi Yatni terkejut.. Meskipun dilangit tidak ada bulan, tetapi tenaga Nyi Dwani rasa-rasanya justru menjadi semakin kuat.
" Apakah benar yang dikatakan Nyi Lurah Sekar Mirah, bahwa sinar matahari itu telah mampu diserapnya untuk membakar' tenaganya yang tersimpan di dalam dirinya ?"
Nyi Yatni yang terkejut itu meloncat surut. Agaknya Nyi Dwani tanggap, bahwa Nyi Yatni terkejut karena benturan yang telah terjadi itu. Karena itu maka Nyi Dwani tidak memburunya. Sambil tersenyum, iapun berkata " Kau yakini kata-kata Nyi Lurah, mbokayu. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah bertempur. Kita dapat memisahkan diri dari pertempuran ini, dan bersikap sebagai dua orang bersaudara kandung."
" Jika kau pasrah akan kekalahanmu, Dwani. Tundukkan kepalamu. Aku akan memenggalnya. Aku malu mempunyai seorang adik seorang pengkhianat."
" Aku tidak berniat berkhianat, mbokayu."
" Cukup. Kita akan bertempur. Jangan banyak bicara lagi." Nyi Dwani memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Iapun kemudian harus berloncatan menghindari serangan-serangan kakak perempuannya yang datang seperti badai. Agaknya Nyi Yatni benar-benar ingin membunuhnya. Tidak ada lagi sentuban ikatan saudara kandung yang tersisa, Yang nampak pada sikap dan kata-katanya adalah justru kebenciannya
Sambil menyerang sejadi-jadinya, Nyi Yatnipun berkata" Aku sudah berubah Dwani. Kau tentu terkejut melihat perkembangan ilmuku."
Sambil menghindari serangan-serangan kakak perempuannya, Nyi Dwanipun berkata " Aku juga sudah berubah, mbokayu."
Sekar Mirah masih sempat memperhatikan pertempuran antara dua orang kakak beradik itu beberapa saat Namun kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus bertempur melawan orang-orang yang menyerang mereka dengan garangnya
Namun Sekar Mirah terkejut ketika tiba-tiba seorang perempuan muda berdiri dihadapannya. Seorang perempuan cantik yang bersenjata senatang tombak pendek.
" Kau tentu Nyi Lurah Agung Sedayu " berkata perempuan muda itu
" Ya, Ki Sanak. Kau siapa ?"
Namaku Mangesthi, Nyi Lurah. Aku adalah anak Ki Sekar Tawang, seorang pemimpin padepokan kecil dipadukuhan Tengaran.
" O " Sekar Mirah mengangguk-angguk " apa hubunganmu dengan Ki Saba Lintang sehingga kau turun ke medan pertempuran"


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mangesthi memandang Nyi Lurah dengan tajamnya Dengan nadj tinggi iapun, berkata " Kami sama-sama merasa dikhianati oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Dan bahkan kemudian baru kita ketahui, bahwa Swandarupun telah berkhianat pula."
"Agaknya banyak yang kau ketahui, Mangesthi."
"Aku tahu segala-galanya, Nyi Lurah " jawab Mangesthi " nah, sekarang aku datang untuk membuat perhitungan. Sebentar lagi, Ki Lurah akan menyesali pengkhianatannya, karena ia harus berhadapan dengan Ki Lurah Wira Sembada. Seorang Lurah prajurit Demak yang mampu menahan ketuaannya. Betapapun tinggi ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia akan segera dibinasakan oleh Ki Lurah Wirasembada"
"Lalu, apa \ ang akan kau lakukan ?"
"Pertanyaan aneh. Nyi Lurah. Kita berada di medan pertempuran."
Sebelum Sekar Mirah menjawab. Rara Wulan melangkah maju. Namun Sekar Mirahpun segera menggamitnya. Katanva " Tunggu, Rara."
Dahi Rara Wulan berkerut dengan kecewa ia bertanya "Apakah aku hanya boleh menonton pertempuran ini "
Mangesthi tersenyum. Diamatinya Rara Wulan sambil berdesis " Tidak anak manis. Kau akan segera mendapatkan lawan. -
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Mangesthi itupun kemudian mengankat tombaknya,
Terdengar seseorang bersuit nyaring. Seorang gadis yang lain tiba-tiba saja muncul dari antara para pengikut Ki Saba Lintang.
" Kau memanggil aku " " bertanya gadis itu kepada Mangesthi.
" Ya. Tahan perempuan itu agar tidak menggangguku. Aku akan membuat perhitungan dengan Nyi Lurah Agung Sedayu. Suaminya adalah seorang pengkhianat besar, sehingga isterinyapun harus ikut menanggung dosanya."
Gadis itu memandang Rara Wulan sejenak. Matanya yang bulat menyorotkan gejolak di dalam dadanya. Sedang wajahnya nampak seakan-akan merah membara.
Gadis itu juga bersenjata sebatang tombak pendek seperti Mangesthi. Namun Sekar Mirah dapat mengenalinya, bahwa ilmu gadis itu masih belum setingkat dengan Mangesti
Ketikai ia berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu memandanginya seakan-akan bertanya, apakah ia diijinkan untuk menghadapi gadis bersenjata tombakpendek itu.
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian mengangguk mengiakan. Namun bagaimanapun juga ia harus mempertanggung-jawabkannya. Sementara itu, ia sadar, bahwa lawannya yang bernama Mangesthi itu tentu memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa Sekar Mirah sendiri akan mengalami kesulitan.
Tetapi Sekar Mirah sudah berusaha sebaik-baiknya. Menjelang saat-saat ia turun ke medan yang keras itu, ia sudah mengasah ilmunya sehingga menjadi semakin tajam. Demikian pula Rara Wulan dan bahkan Nyi Dwani.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah merasa bersiap sepenuhnya, meskipun ia tidak boleh meremehkan lawannya.
Gadis bersenjata tombak itupun segera bergeser mendekati Rara Wulan . Dengan pendek iapun bertanya" Siapa namamu ?"
Rara Wulanpun menjawab dengan singkat pula " Rara Wulan. Siapa kau ?"
"Janti " gadis itu merundukkan tombaknya. Dengan serta merta maka Janti itupun segera meloncat menyerang.
Rara Wulan memang agak terkejut karenanya. Namun ia masih sempat mengelak. Ketika Janti berusaha memburunya dengan menjulurkan tombaknya, maka Rara Wulan telah menepis ujung tombak itu dengan pedangnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Dalam sekilas, Sekar Mirah melihat, bahwa Rara Wulan tidak akan segera mengalami kesulitan.
" Mudah-mudahan perempuan itu ilmunya masih dapat diimbangi oleh Rara Wulan. Bahkan seandainya perempuan itu meningkatkan ilmunya sampai ke puncak " berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Dalam pada itu Mangesthipun sambil tersenyum berkata " Gadis itu adalah kawanku bermain. Mudah-mudahan kawanmu itu tidak mengecewakan. Sebelum kawanmu itu nanti mati, hendaknya ia dapat memberikan perlawanan yang memadai."
Sekar Mirahpun tertawa pendek. Katanya " Bagaimana dengan kau sendiri ?"
" Aku juga berharap, Nyi Lurah tidak terlalu mudah mati." Sekar Mirah itu tertawa semakin panjang. Katanya " Kau nampaknya terlalu yakin akan kemampuanmu. Baiklah. Kita akan menguji, siapakah yang terbaik diantara kita"
Keduanyapun kemudian segera menyiapkan diri. Ketika Sekar Mirah memutar tongkat baja putihnya, sehingga meninggalkan seleret tabir putih, Mangesthi mengerutkan dahinya. Ia sudah mendengar bahwa Sekar Mirah adalah salah seorang dari mereka yang memiliki tongkat baja putih, lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Tongkat sebagaimana dimiliki oleh Ki Saba Lintang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mangesthi telah mulai menjulurkan ujung tombaknya. Sekar Mirah bergeser ke samping sambil menyentuh landean tombak itu dengan tongkat baja putihnya sehingga arah ujung tombak itu bergeser.
Namun tombak itu dengan cepat berputar. Tiba-tiba saja tombak itu menebas mendatar.
Sekar Mirahpun mulai berloncatan Dengan tangkas pula ia menghindari serangan-serangan lawannya yang dengan cepat datang susul menyusul.
Namun sekali-sekali Sekar Mirahpun telah membenturkan tongkat baja putihnya untuk menjajagi kekuatan tenaga dalam serta kemampuan lawannya. Meskipun Sekar Mirah sadar, bahwa Mangesthi itu masih belum mengerahkan kekuatan dan kemampuannya sampai ke puncak, namun Sekar Mirah mulai dapat menduga tataran ilmu gadis itu.
Ternyata menurut pengamatan Sekar Mirah, Mangesthi adalah gadis yang berbahaya. Gadis itu memiliki kemampuan yang tinggi serta tenaga yang besar.
Namun Mangesthi telah tergetar pula. Bukan hanya tangannya, tetapi jantungnya. Mangesthi merasakan sentuhan tongkat baja putih di-tangan Sekar Mirah itu mengalirkan tenaga yang sangat kuat. Sementara itu Mangesthi sadar pula, bahwa Sekar Mirahpun masih belum mengerahkan tenaga dan kemampuannya.
Tetapi Mangesthi terlalu yakin akan ilmunya Ia sudah menempa diri dalam latihan-latihan yang sangat berat Karena itu, menurut pendapat Mangesthi, maka bekalnya sudah lebih dari cukup untuk turun ke medan perang.
Mangesthi sempat mengingat, saat-saat ia meninggalkan padepokannya.
" Pergilah Mangesthi."
" Ayah akan menjadi kesepian."
" Tetapi aku merasa tidak adil dengan mengurungmu di padepokan sementara-jiwamu ingin lepas terbang seperti bumi mengitari bumi ini.-
" Aku mohon restu, ayah."
" Sebagai seorang perempuan, kau sudah memiliki bekal yang cukup. Kemampuanmu melampaui kemampuan para prajurit laki-laki. Daya tahan tubuhmu, tenaga dalammu dan segala-galanya kau memmiki kelebihan. Karena itu, kau dapat mengujinya di medan pertempuran."
Mangesthi terkejut justru karena Sekar Mirah berdiri dengan kaki renggang sambil memegang pangkal dan ujung tongkat baja putihnya dengan kedua tangannya.
"Kenapa kau berhenti bertempur " " bertanya Mangesthi.
" Bukan aku yang berhenti Tetapi kau. Lain kali berhati-hatilah. Jika kau alihkan perhatianmu pada persoalan yang lain, apalagi satu kenangan atau angan-angan, maka kau akan mengalami kesulitan. Kau adalah seorang perempuan, aku tidak tahu apakah kau seorang gadis atau bukan yang berilmu tinggi. Kau tempa dirimu di dalam sanggar di bawah bimbingan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan andaikata gurumu itu ayahmu. Tapi kau adalah orang baru di dalam dunia olah kanuragan Kau masih belum memiliki cukup pengalaman. Bahkan kau seorang perenung yang sebenarnya sangat berbahaya bagi mereka yang turun di gelanggang pertempuran."
Mangesthi memandang Sekar Mirah dengan kerut dahinya. Dengan ragu-ragu iapun bertanya"Apakah kau sebenarnya sudah mendapat kesempatan untuk membunuhku ?"
Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Perang tidak sama artinya dengan pembunuhan, meskipun di dalam perang itu terjadi pembunuhan serta perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang sangat keji."
" Kau maksudkan, bahwa jika kau mau kau sudah dapat membunuhku, begitu ?"
Sekar Mirah justru tertawa Tetapi iapun menggeleng. Katanya " Tidak bukan begitu. Tetapi setidak-tidaknya aku tidak terlalu mudah mati."
Mangesthimenarik nafas dalam-dalam. Katanya " Baik. Aku berhutang satu angka. Aku akan membebaskanmu pada kesempatan membunuhmu yang pertama Sesudah itu, aku tidak mempunyai hutang lagi kepadamu. Pada kesempatan kedua, aku benar benar akan membunuhmu."
" Kita tidak usah saling mengancam. Mangesthi."
Mangesthi mengangguk Katanya "Baik. Sekarang bersiaplah. Kita akan melanjutkan pertempuran."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi iapun segera mempersiapkan
Sejenak kemudian. Mangesthipm telah menyerang dengan sengitnya. Kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Tombak pendeknya terayun-ayun mendebarkan jantung. Bahkan satu ketika tombak itu terjulur lurus kedepan. Ujungnya yang tajam runcing, seolah-olah memburu tubuh Sekar Mirah yang berusaha untuk menghindar.
Tetapi Sekar Mirah tidak selalu berusaha menghindar.sekali-sekali tongkatnya menebas dengan keras sehingga arah serangan Mangesthipun bergeser
Ternyata Mangesthi memang masih memerlukah pengalaman lebih banyak untuk menghadapi Sekar Mirah. Serangan-serangannya tidak pemah dapat menyentuh tubuhnya Tetapi sebaliknya, tongkat Sekar Mirah telah beberapa kali menyentuh tubuh Mangesthi.
Mangesthi terdorong beberapa langkah surut ketika tongkat baja putih Sekar Mirah berhasil menyeruak pertahanan Mangesthi dan mendorong bahunya.
Mangesthi hampir saja kehilangan keseimbangan. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri tegak
Sekar Mirah melihat kesempatan terbuka pada saat Mangesthi belum sempat memperbaiki kedudukannya. Namun melihat perempuan yang masih muda itu, hati Sekar Mirah telah terkekang Ia tidak sampai hati untuk meloncat sambil menayunkan tongkat baja putihnya mengarah ke dahinya
Karena itu, Sekar Mirah tidak memburunya Meskipun ia meloncat mendekat, namun tongkatnya tidak menghantam kening,
Perlahan-Iahan Sekar Mirah meletakan tongkatnya diatas bahu Mangesthi sambil berkata " "Anak manis. Kau adalah harapan bagi masa depan padepokanmu. Jika kau adalah anak pemimpin padepokan itu, maka kau akan mewarisinya, kecuali jika kau mempunyai seorang saudara laki-laki."
Mangesthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata geram " Jangan terlalu dekat Nyi Lurah. Aku dapat menusuk perutmu dengan tombak pendekku. "
Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Kau dapat saja berusaha menusuk perutku. Tetapi kau tidak akan berhasil. Aku dapat menangkis serangan tombakmu. Aku juga dapat meloncat menghindarinya. "
" Kau terlalu merendahkan aku, Nyi Lurah. "
" Tidak. Aku mengagumimu, Mangesthi. Pada umurmu yang masih muda itu, kau sudah memiliki kemampuan yang demikian tinggi. Mungkin dasar ilmumu tidak kalah dari ilmuku. Tetapi aku sudah jauh lebih tua dari umurmu, sehingga pengalamanku sudah jauh lebih banyak dari pengalamanmu."
Mangesthi memandang Nyi Lurah dengan tajamnya. Kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata " Nyi Lurah. Jangan berusaha melunakkan hatiku. Kita bertemu di medan pertempuran. Kita akan menyelesaikan persoalan kita dengan cara yang pantas bagi dua orang lawan yang bertemu di medan. "
Sebelum Sekar Mirah menjawab, tombak Mangesthi sudah merunduk. Sejenak kemudian ujung tombak itu mematuk kearah perut Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah memang tangkas. Dengan cepat ia bergeser menyamping, sehingga ujung tombaknya tidak menyentuh kulit Sekar Mirah.
Dengan cepat, Mangesthi mengayunkan tombaknya, menebas mendatar menyambar kearah dada. Namun dengan cepat pula Sekar Mirah membentur landean tombak itu dengan tongkat baja putihnya.
Benturan yang keras telah terjadi. Namun sekali lagi Mangesthi harus melangkah surut. Terasa tangannya menjadi panas. Bahkan kulit telapak tangannya terasa terkelupas.
Tetapi Mangesthi tidak menyerah. Dihentakkannya ilmu yang diwarisinya dari ayahnya. Tombaknyapun segera bergerak menyambarnyambar. Berputar, mematuk dan menikam ke arah dada. Namun ujung tombak itu sama sekali tidak pernah mengenai sasarannya. Bahkan semakin sering terjadi benturan-benturan senjata, maka telapak tangan Mangesthi menjadi semakin sakit.
Dalam pada itu, tongkat baja putih Sekar Mirahlah yang sering mengenai tubuh Mangesthi. Beberapa kali Mangesthi terdorong surut dan bahkan beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangannya.
Hati Mangesthi itu justru menjadi semakin panas. Ia merasa dipermainkan oleh Nyi Lurah Agung Sedayu. Seolah-olah ia masih terlalu kanak-kanak di dalam olah kanuragan.
Karena itu, maka Mangesthi itupun telah sampai kepada batas pengendalian diri. Ia juga sudah dibekali oleh ayahnya dengan ilmu pamungkas yang sangat berbahaya, yang hanya dipergunakan dalam keadaan yang memaksa.
Dalam menghadapi Sekar Mirah, Mangesthi merasa bahwa ia sudah tidak lagi dapat berbuat banyak tanpa ilmu pamungkas yang telah diwarisinya dari ayahnya.
Karena itu, maka Mangesthi itupun telah meloncat mengambil jarak. Tombaknyapun berdiri tegak di depan dadanya. Satu tangannya menggenggam landean hampir pada pangkalnya; yang lain menahan lan-dean itu di tengah-tengah dengan telapak tangannya
Sekar Mirah yang hampir saja meloncat memburunya terkejut. Ia melibat sikap Mangesthi itu dengan jantung yang berdebaran.
Karena itu, maka Sekar Mirah tidak memburunya Ia justru meloncat selangkah surut. Diamatinya Mangesthi yang sedang mempersiapkan dirinya untuk menghentakkan ilmu puncaknya
Sekar Mirah tidak mau kehilangan kesempatan. Ia adalah isteri Agung Sedayu yang sudah berpuluh kali melakukan latihan-latihan bersama. Murid Sumangkar itupun telah melengkapi ilmu dengan pengalaman yang sangat luas pula.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah mempersiapkan dirinya pula untuk menghadapi puncak ilmu lawannya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka tombak Mangesthi itupun mulai bergetar. Ketika tombak itu kemudian merunduk maka jantung
Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar.
Ujung tombak Mangesthi yang bergetar itu, seakan-akan telah berubah menjadi tiga ujung tombak yang bergetar bersama-sama.
Sekar Mirah bergeser selangkah kesamping. Ia sadar, bahwa ujung tombak itu tetap saja satu sebagaimana semula. Tetapi ilmu yang tinggi telah membuat getaran tombak itu seakan-akan menjadi ujud kewadagan. Tiga buah mata tombak.
Sekar Mirah harus berusaha dengan kemampuan ketajaman penggraitanya untuk tetap mengenali ujung tombak yang sebenarnya, dari tombak pendek di tangan Mangesthi itu.
Meskipun demikian, kadang-kadang Sekar Mirah terkejut oleh serangan-serangan Mangesthi yang memang agak membingungkannya.
Dalam pada itu, pertempuran menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan dan kekuatan mereka. Para pemimpin dan orang-orang yang berilmu tinggi telah menemukan lawan mereka masing-masing. Sedang yang lain harus menghadapi kelompok-kelompok untuk menahan kegarangannya.
Dalam pada itu, panaspun semakin lama menjadi semakin terik. Bukan saja panasnya matahari bagaikan membakar kulit, tetapi juga panasnya darah yang mendidih dibakar oleh kemarahan dan kebencian.
Beberapa orang justru telah terbaring diam di arena. Kawan-kawan mereka berusaha mengangkat mereka dan membawanya kebelakang garis pertempuran.
Diarah belakang perkemahan, pasukan Ki Ambara berusaha untuk menghalau serangan-serangan para pengawal dari Sangkal Putung. Dengan dendam yang sengaja dinyalakan oleh para pimpinan kelompok mereka dengan menyebut bahwa Swandaru telah berkhianat, maka para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang itu bertempur dengan kekuatan yang menghentak-hentak. Bahkan sebagian dari mereka bertempur sambil berteriak-teriak. Meneriakkan nama Swandaru yang berkhianat.
Namun teriakan-teriakan itu telah membakar kemarahan para pengawal dari Sangkal Putung. Setelah mengasah diri beberapa lama, maka kemampuan merekapun rasa-rasanya menjadi semakin tajam.
Dengan demikian, maka usaha para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang untuk mengusir mereka tidak dapat berlangsung dengan lancar. Bahkan sekali-sekali justru para pengawal Sangkal Putunglah yang telah mendesak mereka.
Dengan demikian maka garis pertempuran diarah belakang perkemahan pasukan Ki Ambara itu bagaikan terguncang-guncang. Sekali garis pertempuran itu bergeser ke dalam. Sekali-sekali keluar.
Namun di beberapa tempat pertempuran seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya. Orang-orang berilmu tinggi yang telah bertemu dipertempuran membuat lingkaran tersendiri yang seakan-akan tidak terjamah oleh para pengawal mereka.
Wiyati yang sangat marah menyerang Pandan Wangi sejadi-jadinya. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali terdengar teriakannya nyaring meninggi. Bahkan sekali-sekali Wiyati itu menjerit untuk mengurangi tekanan kebencian didalam dadanya.
Pandan Wangi yang sudah mengendap ternyata tidak terbawa oleh irama gerak lawannya yang gelisah, marah dan dendam. Dengan tenang Pandan Wangi mengimbangi kegarangan Wiyati. Bahkan semakin lama serangan-serangan Wiyati bukan saja semakin keras, tetapi juga nampak semakin kasar.
Swandaru bertempur tidak terlalu jauh dari Pandan Wangi sehingga ia sekali-sekali sempat melihat apa yang terjadi dengan Pandan Wangi dan Wiyati.
Setiap kali jantung Swandarupun berdesir. Ternyata bahwa Wiyati di medan pertempuran itu bukan Wiyati yang lembut dan manja. Tetapi Wiyati adalah seorang perempuan yang keras dan bahkan agak kasar.
Swandarupun menjadi semakin yakin, bahwa ia telah berhadapan dengan permainan yang rumit. Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa bersalah, karena iapun telah berpura-pura pula. Permainannya hanya sekedar mengimbangi permainan licik Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.
Wiyati yang dilihatnya dipertempuran, berbeda sama sekali dengan Wiyati yang sering ditemuinya di rumah Ki Ambara Wajahnya dimata Swandaru tidak lagi nampak bening. Tetapi wajahnya menjadi keras seperti batu padas.
Namun betapapun juga Wiyati mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak dapat mengimbangi ilmu Pandan Wangi. Bahkan ketika Wiyati sampai ke ilmu puncaknya, ia tetap saja tidak dapat memecahkan pertahanan Pandan Wangi.
Pakaian Wiyati telah basah oleh keringat. Di padepokannya ia sudah ditempa dengan keras. Namun ternyata bahwa di medan pertempuran yang sebenarnya, ada beberapa hal yang masih harus dipelajarinya.
Pandan Wangi yang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang luas, bukan sekedar kawan berlatih. Unsur-unsur geraknya kadang-kadang sama sekali tidak diduga-duganya, sehingga Wiyati menjadi bingung.
Dengan demikian, maka Wiyalipun menjadi semakin terdesak. Bahkan ketika ujung pedang Pandan Wangi dengan cepat menyeruak pertahanan Wiyati, maka segores luka yang tipis telah tergurat di bahunya.
Wiyati meloncat mundur. Wajahnya menjadi merah padam. Sedangkan giginya gemeretak oleh kemarahan yang terasa menghentak-hentak jantung.
Pandan Wangi tidak memburunya. Sambil berdiri tegak dengan sepasang pedang bersilang didadanya, Pandan Wangipun berkata " Kau tidak mempunyai banyak kesempatan, Wiyati. Menyerahlah. Kita dapat berbicara kemudian.
Tetapi Wiyati itupun menyahut"Pantang aku menyerah, Pandan Wangi. Aku benar-benar akan membunuhmu. "
Pandan Wangi memandang Wiyati dengan tajamnya. Wiyati yang sudah tergores senjata Pandan Wangi itupun telah bersiap untuk menyerangnya.
" Kenapa kau ingin membunuhku, Wiyati" "
Wiyati yang sudah tidak dapat berpikir bening itu tidak dapat mempergunakan kesempatan itu untuk membakar hati Pandan Wangi. Bahkan dengan geram iapun berkata " Swandaru telah berkhianat Ia harus dibunuh. Kaupun harus dibunuh pula."
" Tugas ini bukan tugasmu, Wiyati. Jika kita benar-benar ingin saling membunuh, maka akulah yang akan membunuhmu. "
" Kau terlalu sombong. Kau akan menyesali kesombonganmu."
Pandan Wangi tidak sempat menjawab. Wiyatipun menyerangnya seperti arus prahara.
Hentakan-hentakan ilmu Wiyati ternyata sempat menekan Pandan Wangi sesaat. Wiyati yang sudah sampai pada ilmu puncaknya itu, cukup berbahaya. Hampir saja senjata Wiyati mengoyak lambung Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih sempat dengan cepat bergeser. Namun ujung pedang Wiyati sempat mengoyakkan baju Pandan Wangi.
" Sekejap lagi, perutmulah yang akan aku koyakkan. "
Pandan Wangi tidak menyahut. Ia harus menangkis serangan-serangan Wiyati yang datang membadai.
Pandan Wangi yang menyadari kedudukannya, tidak membiarkan lawannya mendesaknya. Karena itu, maka Pandan Wangipun segera meningkatkan ilmunya pula
Dengan demikian, maka Wiyati benar-benar berada dalam kesulitan. Sekali lagi ujung senjata Pandan Wangi menggores lengan Wiyati.
" Wiyati " berkata Pandan Wangi yang tidak memburu lawannya, ketika lawannya meloncat surut "jika kau tidak menyerah, maka ujung pedangku akan dapat menggores wajahmu yang cantik itu. "
"Persetan dengan kau Pandan Wangi " geram Wiyati. Namun tiba-tiba seorang perempuan telah hadir pula di medan pertempuran itu. Seorang perempuan yang telah separo baya
"Jangan cemas Wiyati " berkata perempuan separo baya itu. "Bibi"desis Wiyati.
" Aku datang atas ijin gurumu. Aku marah kepadanya, karena kau yang masih sangat muda sudah dibebani tugas yang berat. Aku sudah menduga bahwa didalam pertempuran ini kau akan menghadapi lawan yang berat. "
"Aku akan membunuhnya bibi. "
Perempuan itu memandang Pandan Wangi dengan saksama. Lalu katanya "Baru kemarin dulu aku datang. Gurumu memberi tahu bahwa kau berada disini untuk menyerang dan menghancurkan pasukan Mataram di Jati Anom. Tetapi yang terjadi ternyata lain. "
" Ya, bibi." " Sekarang, kau temui lawan yang berilmu tinggi. Sebenarnya tingkat ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu yang telah kau sadap dari gurumu. Tetapi kau sama sekali belum berpengalaman. Sementara itu, lawanmu itu sudah mempunyai pengalaman yang agaknya cukup luas. Siapakah perempuan itu" "
" Isteri Swandaru. Pengkhianat yang, sangat curang, licik dan tidak tahu diri. "
Perempuan separo baya itu tertawa Katanya " Sudahlah. Jangan hanyut dalam arus perasaanmu. Kau akan kehilangan kendali atas ilmumu. Sekarang, biarlah aku menyelesaikan pertempuran ini. "
Rahasia Si Badju Perak 8 Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana Meraba Matahari 9
^