Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 8

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


" Tidak, bibi. Aku ingin membunuhnya dengan tanganku. "
" Baik, baik. Lakukanlah. Aku akan memaksanya berlutut untuk menundukkan kepalanya. Kaulah yang akan memenggalnya "
" Aku ikut bertempur bersama bibi. "
Perempuan itu tersenyum. Katanya " Baiklah. Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Perempuan ini sangat berbahaya. "
Pandan Wangi mendengarkan saja pembicaraan itu. Namun jantungnyapun berdebaran. Perempuan yang datang itu agaknya seorang perempuan yang berilmu lebih tinggi dari perempuan muda yang bernama Wiyati itu. "
" Siapa nama perempuan itu" " bertanya perempuan yang disebut bibi itu.
" Pandan Wangi. Suaminya bernama Swandaru. Pengkhianat terbesar yang pernah hidup di bumi Mataram. "
Perempuan itu tertawa. Katanya " Rupa-rupanya kau sangat membencinya "
" Ya Aku membenci pengkhianat sampai keujung rambutku. "
Perempuan yang disebut bibi itupun kemudian melangkah maju sambil berkata " Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Pandan Wangi. Adalah nasibmu yang sangat malang, bahwa kau telah bertemu dan berhadapan dengan aku. "
" Kau siapa?"bertanya Pandan Wangi.
" Aku adalah adik seperguruan dari guru Wiyati. Karena itu ia menganggap aku sebagai bibinya Maksudnya bibi guru.
" Siapa namamu" "
" Kanthil Kuning. "
"Namamu membuat bulu tengkukku meremang. "
" Kenapa" Apakah kau membayangkan bahwa ada hubungan antara bunga kanthil dengan kembang telon bersama kenanga dan mawar?"
" Di belakang rumah tetanggaku ada pohon bunga kanthil". Perempuan itu tertawa. Katanya kemudian " Bersiaplah. Kita akan bertempur. Umurmu tidak akan lebih panjang dari sepenginang lagi. Karena itu sebut nama orang tuamu."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia harus berhadapan dengan dua orang lawan. Seorang diantaranya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain.
Karena itu, maka Pandan Wangipun harus berhati-hati. Ketika ia sempat memperhatikan pertempuran disekitarnya, ia melihat beberapa orang pengawal kademangan Sangkal Putung. Dalam keadaan yang memaksa ia akan dapat berlindung di dalam sengitnya pertempuran serta minta beberapa orang pengawal untuk memisahkan kedua orang lawannya. Namun Pandan Wangi bukan seorang yang berjiwa kecil. Karena itu, maka ia berniat untuk menghadapi lawannya seorang diri.
Beberapa saat kemudian, maka orang yang menyebut dirinya Kanthil Kuning itupun mulai menyerang. Perempuan itu mempergunakan senjata yang agak aneh. Seutas tali sebesar ibu jari kaki yang semula membelit di lambungnya.
Namun Pandan Wangi sudah sering pula berlatih dengan Swandaru yang bersenjata cambuk. Karena itu, maka ujung tali itu tidak terlalu mengejutkannya.
Sementara itu, Wiyati yang merasa mendapatkan seorang kawan, telah menyerang pula sejadi-jadinya. Namun Pandan Wangi masih mampu menghindar dan menangkis serangan-serangan kedua lawannya.
Namun Kanthil Kuning semakin lama telah meningkatkan ilmunya pula. Serangan-serangannya datang seperti angin ribut Susul menyusul.
Sementara Wiyatipun mengganggunya dari segala arah.
Namun sepasang pedang Pandan Wangi berputaran dengan cepat diseputar tubuhnya, seakan-akan telah membuat perisai yang tipis memutari tubuhnya itu.
Serangan-serangan Wiyati selalu membentur tabir tipis itu. Bahkan hampir saja pedang Wiyati terpental dari tangannya.
Kemampuan Wiyati memang belum setinggi Mangesthi yang bertempur melawan Sekar Mirah di depan perkemahan itu. Namun Kanthil Kuning itulah yang menjadi sangat berbahaya bagi Pandan Wangi.
Sementara itu, para prajurit Mataram di Jati Anom telah mengerahkan kemampuan mereka. Gelar yang dipasang masih tetap utuh, meskipun satu dua orang telah gugur. Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin rapat menekan pasukan Ki Saba Lintang. Mereka yang terlalu percaya akan kemampuan seorang-seorang, telah membentur perang gelar yang sangat rapat. Para prajurit itu seolah-olah telah menyatu dalam satu susunan pasukan yang memanjang yang tidak dapat disusupi oleh kilat sekalipun.
Namun dalam pada itu, sambil bertempur Pandan Wangi sempat bertanya kepada Nyi Kanthil Kuning " Bagaimana kau dapat masuk ke medan pertempuran ini ?"
Nyi Kanthil Kuning tertawa. Katanya " Orang-orangmu memang terlalu dungu. Ketika aku berada diantara mereka, tidak seorangpun yang sempat memperhatikan aku, sehingga aku mampu menembus lingkaran pertempuran dan berada di dalamnya."
" Luar biasa. Kau memang licin sekali. Berapa orang dapat kau bunuh selama kau menyusup memasuki arena ini ?"
" Tentu tidak seorangpun. Aku bukan orang-yang dungu seperti orang-orangmu. Jika aku membunuh seorang saja diantara mereka, maka perhatian orang-orangmu segera tertuju kepadaku."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum akan kendali diri Nyi Kanthil Kuning itu, sehingga ia dapat berada di dalam lingkaran pertempuran itu.
Sementara itu sambil meloncat mengambil jarak, Nyi Kanthil Kuning itupun berkata " Tentu saja aku tidak akan dapat menyusup dicelah-celah gelar yang rapat dari para prajurit Mataram itu. Tetapi aku yakin, bahwa disisi ini, pasukan yang kurang serasi ini masih dapat memberikan jalan kepadaku."
Pandan Wangi tidak menjawab. Sementara itu, serangan-serangan nya semakin cepat untuk rrengimbangi serangan kedua lawannya yang datang silih berganti.
Namun Nyi Kanthil Kuning benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Serangan-serangannya sangat berbahaya bagi Pandan Wangi. Apalagi Pandan Wangi masih merasa sangat terganggu oleh Wiyati yang sangat bernafsu untuk membunuhnya.
Pandan Wangi menjadi semakin marah, ketika ia sadar, bahwa Nyi Kanthil Kuning sengaja memancing perhatiannya untuk memberikan kesempatan kepada Wiyati menyerangnya dan bahkan jika mungkin mengakhiri perlawanannya.
Ternyata semakin lama Pandan Wangi merasa semakin sulit menghadapi kedua lawannya. Apalagi ketika Nyi Kanthil Kuning menyerangnya dengan hentakan-hentakan ilmu yang mengejutkan.
Pada saat-saat perhatian Pandan Wangi tertuju kepada Nyi Kanthil Kuning, maka Wiyati selalu mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya Wiyati menyerangnya. Dengan menjulurnya pedangnya Wiyati berusaha menggapai tubuh Pandan Wangi.
Untuk beberapa lama Pandan Wangi masih dapat menghindari dan menangkis serangan-serangan lawannya Namun serangan-serangan itu semakin lama menjadi semakin cepat
Ketika senjata Nyi Kanthil Kuning yang berupa seutas tali sebesar ibu jari kaki itu terjulur mematuk kearah dada, maka Pandan Wangipun meloncat surut. Namun tali itupun kemudian melingkar dan berputar seakan-akan hendak membelit tubuh Pandan Wangi. Dengan tangkasnya Pandan Wangi mengelak sambil menebas tali itu dengan pedangnya Namun tali itu menjadi demikian lemasnya, sehingga tajam pedang Pandan Wangi tidak dapat memutuskannya
Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa lawannya yang bernama Kanthil Kuning itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi serta mempunyai sejenis senjata yang khusus.
Dengan demikian, maka Pandan Wangi harus mengerahkan kemampuannya untuk melawannya.
Dalam pada itu, Wiyati yang mendendamnya, selalu berusaha mempergunakan kesempatan untuk melumpuhkan Pandan Wangi. Wiyati dalam wataknya yang sebenarnya itu, ingin benar-benar membunuh Pandan Wangi dengan tangannya. Sementara itu, Kanthil Kuning yang tanggap akan gejolak perasaan Wiyati, berusaha untuk menarik seluruh perhatian Pandan Wangi, sehingga terbuka kesempatan bagi Wiyati untuk menghentikan perlawanannya.
Karena itu, maka serangan-serangan Kanthil Kuningpun menjadi semakin sengit. Ujung talinya terayun-ayun diseputar Pandan Wangi. Kadang-kadang tali itu terjulur mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.
Pandan Wangipun menjadi semakin sulit. Selagi Pandan Wangi sibuk menghindari ujung tali Kanthil Kuning yang memburunya itu, tiba-tiba saja Wiyati meloncat menyerangnya dari arah lambung.
Pandan Wangi terkejut. Kanthil Kuning dengan tangkas menghentakkan talinya sendhal pancing justru menggiring Pandan Wangi untuk tidak memperhatikan serangan Wiyati.
Pandan Wangi terhenyak sesaat Namun dengan tangkasnya Pandan Wangipun melenting tinggi. Berputar diudara dan ketika ia menjatuhkan dirinya pada kedua kakinya, ia sudah berada di belakang Wiyati.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat menghindari serangan Wiyati sepenuhnya. Ujung senjata Wiyati menggores paha Pandan Wangi memanjang, sehingga paha Pandan Wangi yang sedang meloncat tinggi-tinggi itu telah terluka.
Wajah Pandan Wangi menjadi merah padam. Luka di pahanya telah membuat darahnya bagaikan mendidih. Karena itu, maka dengan tajamnya dipandanginya Wiyati sambil berdesis " Kau licik, anak manis. Baiklah. Aku tidak mempunyai pilihan lain.
Tetapi Kanthil Kuning itu tertawa. Katanya " Jangan merajuk, Pandan Wangi. Pahamu telah terluka Pakaianmupun telah terkoyak. Kau tidak mempunyai harapan lagi. Kenapa tidak kau panggil suamimu."
Tiba-tiba saja terdengar suara Swandaru " Aku disini. Biarlah aku menyelesaikan perempuan ini, Pandan Wangi. Kau mengurus gadis kecil yang kehilngan akal itu."
Wiyati menjadi tegang. Jika bibinya harus bertempur melawan Swandaru, maka ia sudah meyakini dirinya, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Pandan Wangi, meskipun Pandan Wangi sudah terluka.
Namun Pandan Wangi itupun tiba-tiba berkata " Kakang Swandaru. Lepaskan, keduanya. Aku akan menyelesaikan mereka. Kecuali jika aku sudah hampir mati."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sampai hati membiarkan Pandan Wangi bertempur sendiri. Tetapi jika ia memasuki arena itu, maka Pandan Wangi tentu akan tersinggung.
Karena itu. maka Swandaru hanya dapat berdiri dipinggir arena. Bahkan ketika dua orang pengawal Tanah Perdikan mendekatinya, Swandani itu berkata " Biarkan Pandan Wangi mengatasinya sendiri."
" Tetapi Nyi Pandan Wangi sendiri."
" Lindungi saja diluar arena " berkata Swandaru.
Kedua pengawal itu mengetahui maksudnya. Mereka harus mengawasi dan mencegah bila ada orang lain yang mencampurinya.
Dalam pada itu, Nyi Kanthil Kuning agaknya tersinggung perasaannya, bahwa Pandan Wangi tidak memerlukan bantuan suaminya. Karena itu, maka iapun berkata " kau terlalu sombong, Pandan Wangi."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi luka di pahanya telah membuatnya mengambil keputusan, untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya yang dikuasainya dengan sangat baik, karena ilmu itu seakan-akan telah diketemukannya sendiri selagi ia mengembangkan ilmunya, justru setelah gurunya, Ki Sumangkar tidak ada. Dengan berlandaskan pada pengalamannya, unsur-unsur gerak yang menyusup didalam ilmu dari pengaruh ilmu cambuk suaminya, serta daya penalarannya yang finggi, maka Pandan Wangi itu telah menguasai ilmu yang akan sangat mengejutkan lawannya.
Dalam keadaan terdesak, maka ilmu itupun telah ditrapkannya. Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Nyi Kanthil Kuning menjadi semakin garang. Sementara itu Wiyatipun berusaha mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya.
Bahkan Nyi Kanthil Kuning itu telah berkata dengan lantang " Aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri Pandan Wangi. Tetapi Wiyatilah yang akan menggoreskan senjatanya tidak dipahamu, tetapi di wajahmu agar kau kehilangan kecantikanmu. Namun terkahir Wiyati akan menusuk lambungmu dan mengakhiri hidupmu."
Pandan Wangi tidak menjawab. Gejolak dadanya telah menghentakkan ilmunya yang mengejutkannya itu.
Nyi Kanthil Kuning memang terkejut ketika tiba-tiba terasa goresan ujung pedang tipis Pandan Wangi dikulitnya meskipun ia sudah meloncat menghindar.
" Gila. Apa yang terjadi " katanya didalam hatinya.
Namun ketika sekali lagi kulitnya tergores, maka iapun berkata didalam hatinya " Gila Pandan Wangi memiliki ilmu yang jarang ada duanya ini."
Sebenarnyalah Pandan Wangi menjadi semakin garang dengan ilmunya. Kecepatan geraknya telah membuat ujung-ujung senjatanya seakan-akan telah bergerak mendahului ujud kewadagannya
Nyi kanthit Kuning yang memiliki pengalaman yang luas, segera mengenali jenis ilmu yang dimiliki oleh Pandan Wangi itu. Karena itu, maka iapun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia ingin meyakinkan pengenalannya atas ilmu Pandan Wangi itu.
Namun Pandan Wangi tidak memberikan kesempatan. Dengan cepat pula ia memburunya, sementara itu pedangnya bergerak melampaui kecepatan pengamatan Nyi Kanthil Kuning.
Namun agaknya Wiyanti terlambat mengenali ilmu Pandan Wangi. Pada saat Pandan Wangi memburu Nyi Kanthil Kuning yang berusaha mengambil jarak, Wiyati mencoba mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat ia meloncat menyerang Pandan Wangi dari belakang. Senjatanya terayun dengan derasnya langsung kearah tengkuk Pandan Wangi
Namun Pandan Wangi ternyata sempat mengetahuinya bahwa Wiyati telah menyerangnya. Satu hentakan kekuatan telah membuat Wiyati berteriak diluar sadarnya
Namun-teriakan Wiyati itu adalah sebuah tengara bahwa bencana telah menimpanya.
Pada saat senjata Wiyati terayun dengan derasnya disertai oleh teriakan nyaring, maka Pandan Wangi dengan cepat merendahkan dirinya. Senjata Wiyati itu terayun sejengkal diatas kepala Pandan Wangi. Namun pada saat yang bersamaan pedang Pandan Wangi yang berada di tangan kirinya terjulur lurus mengarah ke lambung.
Wiyati melihat uluran senjata Pandan Wangi. Dengan cepat ia menggeliat menghindarinya
Namun Wiyati itu terkejut sekali. Ujung pedang Pandan Wangi yang menurut penglihatan matanya masih berjarak sejengkal dari lambungnya tiba-tiba saja telah menggapai lambungnya itu.
Karena itu, maka Wiyatipun telah menjerit sambil meloncat jauh-jauh. Namun lambungnya telah terluka. Darah telah mengalir dari lukanya ymg menganga
Nyi Kanthil Kuningpun terkejut. Ia merasa bersalah bahwa ia tidak mernperingatkan Wiyati tentang ilmu lawannya yang mengejutkan itu.
Dengan demikian maka kemarahan Nyi Kanthil Kuning itupun semakin meluap. Sementara itu Wiyati menjadi gemetar. Meskipun Wiyati masih sanggup berdiri, tetapi darah yang mengalir semakin lama menjadi semakin banyak.
Swandaru berdiri termangu-mangu. Ada niatnya untuk mendekati Wiyati. Tetapi sikap itu tentu tidak menguntungkan suasana dalam keseluruhan.
Jantung Pandan Wangi sendiri menjadi tergetar melihat keadaan Wiyati. Meskipun perempuan itu telah melukai pahanya, tetapi ada perasaan iba diliatinya. Perempuan itu masih terlalu muda untuk mengalaminya.
Namun Pandan Wangi tidak mempunyai banyak kesempatan. Nyi Kanthil Kuning yang marah itu telah' menyerangnya sejadi-jadinya. Tali ditangannya itu berputar dan menggeliat, kemudian mematuk dan menebas kearah leher.
Pandan Wangi menjadi sangat berhati-hati. Jika tali itu menjerat lehernya, maka ia tentu akan tercekik jika tali itu dihentakkannya. Sementara itu, pedangnya tidak mampu memotong tali itu, karena setiap sentuhan tajam pedangnya, tali itu rasa-rasanya menjadi begitu lemasnya.
Namun dengan ilmunya yang dikembangkannya sendiri, Pandan Wangi mampu mengatasi kemampuan lawannya.
Dengan demikian, maka Pandan Wangipun semakin mendesak lawannya itu. Tetapi ketika ujung tali lawannya sempat mengenai dadanya, maka Pandan Wangi itu terdorong beberapa langkah surut. Demikian kuatnya hentakkan ujung tali itu di dadanya, sehingga membuat Pandan Wangi kehilangan keseimbangannya
Namun demikian Pandan Wangi itu terjatuh, maka iapun segera berguling beberapa kali. Dengan cepat ia melenting bangkit berdiri.
Pada saat yang bersamaan tali Nyi Kanthil Kuning itu menyambar ke arah leher. Pandan Wangi tidak sempat menghindarinya. Ditangkisnya tali itu dengan pedangnya di tangan kirinya. Namun tali itu justru telah membelit pedang Pandan Wangi.
Nyi Kanthil Kuning telah menghentakkan talinya dengan sekuat tenaganya. Demikian tiba-tiba, sehingga agaknya Pandan Wangi tidak dapat mempertahankannya.
Karena itu, hentakkan tali Nyi Kanthil Kuning itu telah merenggut sebuah pedang tipis dari tangan kiri Pandan Wangi.
Namun agaknya Pandan Wangi telah membuat perhitungan yang tepaf Pada saat pedangnya di tangan kirinya dilepasnya, maka Pandan Wangi telah meloncat dengan cepat sekali sambil menjulurkan pedang di tangan kanannya
Nyi Kanthil Kuning berusaha untuk menghindari. Namun ujung pedang Pandan Wangi telah menggapai tubuhnya mendahului ujud kewadagannya. Karena itu, maka Nyi Kanthil Kuning itu hanya dapat mengeluh tertahan ketika dadanya ditembus oleh ujung pedang Pandan Wangi langsung mengoyak jantungnya.
Nyi Kanthil Kuning itu terlempar selangkah surut. Demikian Pandan Wangi menarik pedangnya, maka Nyi Kanthil Kuning itupun terbanting jatuh ditanah.
Nyi Kanthil Kuning tidak sempat mengerang. Pandan Wangi melangkah mendekatinya. Memungut pedangnya dan berdiri termangu-mangu.
Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang tidak mampu mendekatinya, karena para pengawal Sangkal Putung justru telah mendesaknya
Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat pada Wiyati. Tiga orang pengawal Tanah Perdikan berdiri disebelah menyebelah. Sementara itu pertempuran di sekitarnya masih berlangsung dengan sengitnya
Ternyata Wiyati masih bertahan. Ketik" Pandan Wangi kemudian berjongkok disampingnya, Wiyati itu membuka malanya.
" Wiyati " desis Pandan Wangi.
Wiyati justru tersenyum. Terasa getar jantung Pandan Wangi menghentak dadanya. Wiyati masih sangat muda untuk mati. Meskipun perempuan itu bersikap garang dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, namun rasa-rasanya Pandan Wangi tidak sampai hati untuk membiarkan perempuan yang masih sangat muda itu terbunuh.
" Panggilkan tabib yang ikut didalam pasukan pengawal Tanah Perdikan " perintah Pandan Wangi kepada seorang pengawal yang berdiri termangu-mangu disebelahnya.
Namun Wiyati berdesis "tidak ada gunanya, Nyi. Terima kasih. Agaknya umurku memang tidak cukup panjang. Tetapi rasa-rasanya aku memang sudah waktunya untuk meninggalkan dunia yang samar ini."
Swandaru sudah berdiri pula dibelakang Pandan Wangi. Keringat dingin mengalir membasahi punggungnya ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya kepada Wiyati " Anak manis. Apakah kamu benar-benar mengandung?"
Sejenak Wiyati memandang Pandan Wangi. Namun kemudian dipandanginya Swandaru yang semakin lama menjadi semakin kabur.
Akhirnya Wiyati itupun menggelengkan kepalanya sambil berkata " Tidak Nyi. Orang tua itu benar. Aku memang diminta untuk membantu Ki Ambara memfitnah dengan mengaku sedang mengandung. Dengan demikian, maka jantung Nyi Pandan Wangi diharapkan akan terbelah."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Pandan Wangi mengusap keringat di kening Wiyati " Bertahanlah Wiyati. Kau akan dirawat dengan baik."
Sejenak kemudian, seorang tabib telah menyibak dan berjongkok disebelah Pandan Wangi.
" Siapa ini" Bukankah ia bukan orang Sangkal Putung" bertanya tabib itu.
" Orang Sangkal Putung atau bukan, tetapi tugasmu menyelamatkan nyawa seseorang dalam batas kemampuanmu serta atas perkenan-Nya. Siapapun orang itu."
Tabib itu tidak menjawab. Namun sebelum ia sempat mengobati luka-luka Wiyati yang parah, maka tiba-tiba saja Wiyati menggapai tangan Pandan Wangi. Dipeganginya tangan itu erat-erat.
" Maafkan aku, nyi " suara Wiyati terdengar sangat dalam.
" Wiyati " desis Pandan Wangi " kenapa kau minta maaf kepadaku."
" Aku sudah melukaimu, Nyi."
" Aku melukaimu lebih parah lagi. Kita berada dimedan pertempuran, Wiyati."
" Mungkin aku dapat melupakan itu. Kita saling melukai. Tetapi itu terjadi di peperangan. Namun aku menyesal bahwa aku sudah memfitnah meskipun gagal."
" Sudahlah, Wiyati. Lupakan . Biarlah luka-lukamu diobati." Mata Wiyati menjadi semakin redup.
" Wiyati. Kau masih terlalu muda untuk meninggalkan dunia ini. Bertahanlah."
Tetapi mata Wiyati itupun kemudian terpejam. Ada sesuatu yang ingin diucapkan. Namun Wiyati sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pandan Wangi menundukkan kepalanya Terasa matanya menjadi panas. Dengan jari-jarinya yang gemetar, Pandan Wangi mengusap matanya.
Swandarupun kemudian memegang kedua lengan Pandan Wangi. Ditariknya agar Pandan Wangi itu bangkit berdiri.
Namun tabib yang sudah berada di tempat itu melihat luka di paha Pandan Wangi. Karena itu, maka katanya " Biar luka itu saja aku obati, Nyi."
Pandan Wangi tidak menolak. Dibiarkannya tabib itu menaburkan obat pada luka Pandan Wangi
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Ki Ambara yang sempat melihat sekilas kematian Nyi Kanthil Kuning serta hilangnya Wiyati dari arena pertempuran , menjadi sangat cemas. Sementara itu, ia sendiri tidak mempunyai banyak kesempatan, karena lawannya ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang sudah tidak terikat oleh lawan yang tangguh, bersama-sama Swandaru lelah mengacaukan ketahanan pasukan Ki Ambara yang bertempur dibelakang perkemahannya itu.
Bahkan pasukan Ki Saba Lintang yang bertempur dibagian depan perkemahanpun mendapat tekanan yang sangat berat dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, yang bertempur dalam gelar yang tetap utuh. Bagaimanapun juga usaha pasukan Ki Saba Lintang, namun mereka tidak berhasil memecahkan gelar Mataram itu.
Untara yang memegang kendali pimpinan sepenuhnya memerintahkan lewat para penghubung dan berbagai isyarat untuk bergeser maju terus. Meskipun perlahan-lahan, namun pasukan Mataram di Jati Anom itu memang bergerak maju.
Sementara itu, Glagah Putih masih bertempur melawan Ki Welat Wulung. Orang yang berwajah menyeramkan. Cacat di wajahnya membuatnya nampak semakin garang.
Tetapi setiap kali Welat Wulung itu masih saja tertawa. Ketika orang itu menerkam dada Glagah Putih dengan jari-jarinya yang mengembang, namun ternyata luput, karena Glagah Putih dengan cepat menghindar, orang itu justru tertawa. Katanya " Hampir saja aku dapat membuat lima buah lubang didadamu, Glagah Putih. "
" Hampir. Tetapi kau tidak berhasil. "
" Sebentar lagi. Dadamu akan berlubang. .Darahmu akan menyembur dari setiap lubang di dadamu. Kemudian kau akan jatuh terkulai di tanah karena kehabisan darah, sehingga akhirnya kau akan mati "
" Apakah kau tidak jadi membantingku dan menekan tubuhku dengan lututmu" "
Welat Wulung meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Ternyata Welat Wulung itu tertawa berkepanjangan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak memburunya. Ia menganggap bahwa lawannya yang seorang ini agak aneh. Bahkan kemudian Glagah Putih berkata di dalam hatinya "Apakah ada yang kurang pada orang ini" "
Di sela-sela derai tertawanya iapun berkata " Baik. Baik. Aku akan membunuhmu dengan menekan perutmu dengan lututku, kemudian mencekik lehermu sampai nafasmu terputus. "
" Kau kira aku akan diam saja dan membiarkan leherku kau cekik."
" Aku tidak memaksamu. "
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Bagaimana jika aku memaksamu, memilin tanganmu kebelakang dan mematahkannya "
"Jangan begitu " berkata Welat Wulung " jika aku tidak memaksamu, maka kaupun jangan memaksaku. "
" Baik. Aku tidak akan memaksamu membiarkan tanganmu aku pilin. Tetapi aku akan berusaha melakukannya " berkata Glagah Putih.
Orang itu berhenti tertawa Sambil bergeser maju iapun berkata " Bersiaplah. "
Sekali lagi orang itu menerkam dengan jari-jari tangannya yang mengembang. Namun dengan sigapnya Glagah Putihpun menghindar. Bahkan sambil memutar rubuhnya, Glagah Putih mengayunkan kakinya mendatar.
Hampir saja kaki Glagah Putih menyambar kening. Namun Welat Wulung masih sempat mengelak. Bahkan dengan tangkasnya Welat Wulung meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping.
Glagah Putih tidak sempat mengelak. Karena itu, maka ia memiringkan tubuhnya dan menahan serangan lawannya dengan sikunya dis-amping tubuhnya
Benturan kekuatanpun telah terjadi. Glagah Putih tergetar selangkah surut Namun Welat Wulungpun menyeringai menahan sakit di pergelangan kakinya. Iapun harus meloncat beberapa langkah surut.
Glagah Putih tidak membiarkannya Dengan cepat ia memburunya dan menyerangnya dengan garang.
Welat Wulung tidak tertawa lagi. Serangan-serangan Glagah Putih menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian kaki Glagah Putihpun telah mengenai lambung.
Welat Wulung meloncat mengambil jarak. Glagah Putih yang melihat lawannya menyeringai menahan sakit tidak memburunya
" Kau menyakiti aku, anak muda"desis orang itu.
" Bukankah kita sudah berniat bukan saja saling menyakiti. Tetapi kau atau aku yang akan mati dipertempuran ini. "
" Itulah yang aku benci dari sebuah pertempuran " berkata Welat Wulung.
Glagah Putih terkejut. Dengan ragu-ragu iapun bertanya " Apa yang kau benci" "
" Membunuh atau dibunuh. "
" Bukankah kau juga berniat membunuhku" "
" Ya " "Dan akupun bertekad untuk membunuhmu. "
" Itulah yang aku katakan, bahwa aku benci karenanya Aku juga membenci niatku sendiri untuk membunuhmu. Jika saja kita tidak turun di medan perang, mungkin kita akan dapat berkelakar sepanjang hari. "
" Ya " "Tetapi disini kita harus saling membunuh. He, apakah kau kenal aku sebelumnya" "
Glagah Putih menggelengkan kepalanya.
"Nah. Aku juga belum pernah mengenalmu. Tetapi demikian kita berkenalan, kita sudah siap untuk membunuh atau dibunuh" Itukah ujud pergaulan hidup antara kita yang disebut manusia. "
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran. Apa sebenarnya yang dikehendaki orang ini"
" Apakah ia sedang menjebak aku" " bertanya Glagah Putih di dalam hatinya. Namun iapun kemudian berkata diri sendiri " di sini tidak ada lagi kepercayaan diantara sesama. Saling curiga dan bahkan seperti kata Welat Wulung, masing-masing berusaha untuk membunuh."
Namun Glagah Putih tidak dapat merenung terlalu lama. Welat Wulungpun kemudian berkata nyaring " Marilah kita lakukan apa yang harus kita lakukan disini. Kita adalah bagian dari gejolak yang terjadi di tempat ini. Kita memang sudah ada di dalamnya, sehingga kita tidak akan melepaskan diri dari putaran peristiwa ini. "
Glagah Putih tidak menjawab. Welat Wulunglah yang tiba-tiba telah menyerangnya dengan garangnya.
Namun Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran diantara merekapun segera berlangsung semakin sengit.
Meskipun demikian, Glagah Putih sekali-sekali masih sempat melihat apa yang terjadi dengan Rara Wulan. Rara Wulanpun masih bertempur dengan sengitnya melawan seorang gadis yang umurnya tidak jauh terpaut dari umur Rara Wulan. Namun seperti Rara Wulan, gadis itupun merupakan gadis yang tangkas. Yang bertempur dengan garangnya
Tetapi Rara Wulan telah menempa dirinya pula. Gadis itu telah berlatih dengan keras dibawah tuntunan Sekar Mirah dan kadang-kadang Glagah Putih dan bahkan Agung Sedayu sendiri telah turun ke sanggar.
Karena itu, maka Rara Wulanpun mampu mengimbangi tataran kemampuan lawannya
Diputaran pertempuran yang lain, Sekar Mirah masih bertempur dengan serunya melawan Mangesthi yang telah mengetrapkan ilmu pamungkasnya. Ujung tombak pendeknya yang tiba-tiba saja seolah-olah menjadi lebih dari satu. Ujung-ujung tombak itu bergetar dengan cepat menyerang kearah tubuh Sekar Mirah.
Mula-mula Sekar Mirah memang menjadi bingung. Tetapi pemusatan nalar budinya, sangat membantunya Dengan ketajaman penglihatan batin serta panggraitanya yang terlatih, maka setiap kali Sekar Mirahpun dapat mengenali ujung tombak yang sebenarnya dari tombak lawannya itu.
Meskipun demikian, perlawanan Sekar Mirah sempat dipengaruhi oleh lawannya itu, sehingga pertahanannya terkuak. Sekar Mirah meloncat surut untuk mengambil jarak, ketika terasa ujung tombak Mangesthi menyentuh bahunya.
Segores tipis luka telah tergurat di bahunya.
Sekar Mirah berdesis menahan pedih. Darahpun mulai mengembun dari luka itu.
Jantung Sekar Mirahpun menjadi semakin panas. Lawannya masih terlalu muda. Tetapi ia telah mampu melukainya.
Karena itu, maka Sekar Mirah memang tidak ada pilihan lain. Jika ia tidak menghentakkan ilmunya, maka luka akan menggores lagi ditabuhnya. Bahkan mungkin dikeningnya atau bahkan di lehernya, sehingga selesailah perlawanannya
Karena itu, maka Sekar Mirah yang memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari lawannya itupun segera menghentakkan kemampuannya pula. Ditingkatkannya tenaga dalamnya, serta dipertajam penglihatan mata batinnya, sehingga Sekar Mirah itu mampu mengenali dengan cepat ujung tombak yang sebenarnya dari lawannya yang masih sangat muda itu.
Sebenarnyalah bahwa ilmu Mangesthi adalah ilmu yang rumit. Namun ternyata bahwa ilmunya itu masih belum mampu untuk menundukkan lawannya, isteri Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Serangan-serangan Sekar Mirahpun menjadi semakin cepat pula Ilmu Mangesthi tidak lagi mampu mengelabuhi penglihatan Sekar Mirah serta membuatnya menjadi bingung. Tetapi dengan mapan Sekar Mirah mengatasi serangan-serangan ujung tombak Mangesthi yang sangat berbahaya itu.
Benturan-benturan yang terjadi, justru telah menyulitkan kedudukan Mangesthi. Tongkat baja putih Sekar Mirah terayun semakin cepat didorong oleh tenaga yang semakin kuat
Mangesthi akhirnya kembali terdesak. Ilmu pamungkasnya ternyata tidak mampu mengakhiri perlawanan Sekar Mirah.
Meskipun demikian, Mangesthi tidak berputus-asa. Dikerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk mengatasi lawannya.
Tetapi Mangesthi harus melihat kenyataan, bahwa kemampuannya masih tetap berada di bawah kemampuan Sekar Mirah.
Sementara itu, Sekar Mirah yang telah terluka itu harus mengerahkan kemampuannya pula. Perlahan-lahan ia mampu mendesak lawannya. Meskipun sekali-sekali ujung tombak Mangesthi itu masih sangat berbahaya baginya.
" Menyerahlah " berkata Sekar Mirah.
Mangesthi meloncat surut. Sekar Mirah memburunya. Tetapi ia tidak segera menyerang. Sekali lagi Sekar Mirah itu berkata " Menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan. "
Tetapi Mangesthi tidak menjawab. Ujung tombaknya yang merunduk itu masih bergetar.
" Masih ada kesempatan bagimu"berkata Sekar Mirah.
Namun tidak diduga sama sekali oleh Sekar Mirah. Tiba-tiba saja Mangesthi itu meloncat menyerang. Ujung tombaknya segera bergetar, sehingga seakan-akan tiba buah ujung tombak menyerang bersama-sama
Sekar Mirah terkejut Dengan cepat ia meloncat surut Iapun segera berusaha mengenali ujung tombak yang sebenarnya dari ketiga ujung tombak yang nampak dimata wadagnya
Ketika Sekar Mirah, dapat mengenali ujung tombak yang sebenarnya dari senjata lawannya yang bergetar itu, ujung tombak itu sudah terlalu dekat dengan tubuhnya
Dengan cepat Sekar Mirah berusaha menangkis serangan itu dengan menepis tombak itu ke samping sambil memiringkan tubuhnya Namun ujung tombak itu masih juga menyentuh lengannya.
Baju Sekar Mirah terkoyak. Bahkan kulitnyapun telah tergores pula. Darahpun segera menitik dari luka-lukanya Kemarahan Sekar Mirahpun telah membakar jantung di dadanya. Karena itu, demikian ia menjadi mapan, serangannyapun datang bagaikan angin prahara.
Serangan-serangan itu sangat membingungkan Mangesthi. Ia seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk membalas menyerang. Bahkan ketika ia mencoba untuk menyongsong serangan Sekar Mirah dengan ujung tombaknya maka dengan keras sekali tongkat Sekar Mirah menyambar landean tombak Mangesthi.
Tombak pendek Mangesthi adalah tombak yang baik. Tombak andalan dari perguruannya. Karena itu, betapapun kerasnya pukulan Sekar Mirah, tombak itu tidak dapat dipatahkannya
Tetapi tangan Mangesthilah yang ternyata tidak mampu menahan derasnya ayunan tongkat Sekar Mirah. Kekuatan yang sangat besar itu telah melemparkan tombak pendek Mangesthi dari tangannya sehingga terjatuh beberapa langkah dari padanya
Ketika Mangesthi berusaha untuk meloncat dan meraih tombaknya, maka Sekar Mirah segera meloncat menghalangi. Dengan cepat tongkat baja Sekar Mirah itu berhasil mematuk ulu hati Mangesthi sehingga Mangesthi itu terbungkuk sambil memegangi bagian bawah dadanya
Kesempatan untuk menghantam tengkuk Mangesthi dengan tongkat baja putih itupun terbuka. Sekar Mirah dengan cepat mengangkat tongkatnya. Namun ketika tongkat itu hampir terayun, sesuatu telah bergetar di dada Sekar Mirah. Seperti Pandan Wangi, ia menganggap bahwa lawannya itu masih terlalu muda untuk mati. Karena itu, maka niatnya diurungkannya. Tongkat tidak jadi terayun menghantam tengkuk Mangesthi. Jika saja hal itu dilakukan, maka tulang di leher Mangesthi tentu akan patah.
Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Untunglah bahwa tongkatnya yang mematuk Mangesthi justru pangkalnya, pada ujud tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan. Jika saja yang mengenainya adalah bagian ujungnya, mungkin tongkat itu sudah melubangi kulitnya
Sekar Mirah itu justru menjadi tegang ketika ia melihat Mangesthi itu terjatuh menelungkup. Tangannya masih memegang bagian bawah dadanya di arah ulu hatinya
Ketika tubuh itu ditelentangkan, ternyata Mangesthi itu menjadi pingsan.
Ketika dua orang prajurit Mataram di Sangkal Putung mendekatinya, maka Sekar Mirah itupun berkata " Serahkan anak ini kepada tabib yang bertugas di medan. Kemudian bawa ia sebagai seorang tawanan ke belakang garis pertempuran. Ia adalah tawananku."
" Baik Nyi Lurah."
Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Dipandangnya kedua orang prajurit yang membawa Mangesthi itu ke belakang gaio pertempuran.
Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah teringat kepada Rara Wulan yang sedang bertempur pula. Karena itu, maka Sekar Mirah itupun segera bergeser dari tempatnya
Dalam pada itu, Rara Wulan masih bertempur dengan sengitnya melawan Janti. Seorang perempuan muda yang tangguh. Tombak pendeknya berputaran dengan cepatnya seperti baling-baling. Sekali-sekali tombak itu terjulur lurus mengarah ke dada Rara Wulan. Namun dengan tangkasnya Rara Wulan meloncat menghindar atau menangkis dengan pedangnya. Bahkan serangan-serangan Janti itu selalu dibalas dengan serangan pula
Ternyata keduanya cukup tangkas, sehingga sulit untuk menebak, siapakah yang akan unggul dalam pertempuran itu.
Namun agaknya Janti sempat melihat sekilas, Mangesthi diusung ke belakang garis pertempuran. Tidak oleh kawan-kawannya, tetapi oleh dua orang prajurit Mataram.
Jantung Janti berdebar semakin cepat Perempuan itu menjadi cemas, apakah Mangesthi itu sudah mati atau masih hidup, tetapi jatuh ke-tangan lawan.
Namun justru karena itu, maka Janti itupun telah meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak. Serangan-serangannya datang bertubi-tubi seperti banjir.
Tetapi Rara Wulan sudah bertekad untuk membuktikan kepada Sekar Mirah, bahwa ia bukannya sekedar anak bawang di medan pertempuran. Karena itu, maka Rara Wulanpun telah mengerahkan kemampuannya pula. Pedangnya menyambar-nyambar dengan garangnya Sekali-sekali membentur landean tombak pendek lawannya. Sekali-sekali menepis, namun kemudian pedangnya menggeliat dan terjulur menggapai kearah lambung.
Namun Janti masih sempat meloncat menepi. Tombaknya berputar dengan cepat kemudian terayun mendatar menyambar kearah kening.
Dengan cepat, melampaui kecepatan ujung tombak yang terayun itu, Rara Wulan merendahkan diri pada lututnya. Pedangnya dengan cepat terjulur lurus.
Janti terkejut Ujung pedang Rara Wulan telah mengoyak bajunya. Bahkan kulitnyapun terasa pedih. Agaknya ujung pedang itu telah tergores di kulitnya pula.
Jantipun terhuyung-huyung surut Rara Wulan telah siap untuk memburunya. Namun tiba-tiba dua orang anak muda telah siap melindungi Janti yang telah terluka.
Rara Wulan tertegun. Sementara itu, seorang dari kedua orang anak muda itu berkata "Kau akan mati di pertempuran ini gadis manis. "
" Siapakah kalian berdua ?" bertanya Rara Wulan.
" Kami terlambat menyelamatkan Mangesthi karena prajurit Mataram memagari arena. Tetapi sekarang, kami berhasil menerobos masuk kedalam lingkungan pertempuran ini. "
Rara Wulan menggeretakkan giginya. Sekali lagi ia bertanya " Siapakah kalian " "
" Kami adalah cantrik dari sebuah perguruan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang. Ayah Mangesthi. "
" Bagus " berkata Rara Wulan " marilah. Aku akan menghadapi kalian bertiga "
" Kau terlalu sombong gadis kecil. Tetapi kau akan mati selagi kau masih sangat muda. "
Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Rara Wulanpun meloncat menyerang dengan garangnya.
Kedua orang anak muda itupun berloncat memencar. Janti yang berdiri diantara mereka berdua segera merundukkan tombaknya. Meskipun tubuhnya telah tergores luka, namun ia masih mampu memutar tombaknya dengan cepat.
Namun kedua orang anak muda yang berloncat memencar itu telah siap untuk meloncat menyerang Rara Wulan dari dua arah justru pada saat perhatian Rara Wulan tertuju kepada Janti.
Tetapi seorang dari kedua anak muda itu terkejut. Terdengar ia berteriak mengumpat ketika tiba-tiba saja tombaknya terlepas dari tangannya. Janti dan anak muda yang lain dan bahkan Rara Wulanpun berpaling kearahnya. Sementara itu, anak muda itu justru meloncat menjauh.
Jantung merekapun menjadi berdebaran ketika mereka melihat Sekar Mirah berdiri tegak. Tangan kirinya memegang tongkat baju putihnya, sedangkan tangan kanannya memegang tombak anak muda yang sudah siap menyerang Rara Wulan.
" Jangan begitu " berkata-Sekar Mirah " itu namanya licik. "
" Kenapa " " bertanya anak muda itu " kita berada di medan pertempuran. Janti tidak sedang berperang tanding dengan lawannya, sehingga karena itu, ia tidak harus menghadapi Iawanya seorang diri. "
" Kau benar anak muda " Sekar Mirah mengangguk-angguk " terimalah tombakmu kembali. "
Anak muda itu terkejut. Sekar Mirah justru melemparkan tombak pendek anak muda itu kembali kepadanya.
Dengan heran anak muda itu menangkap tombak yang dilemparkan kembali kepadanya itu. Dengan suara yang bergetar iapun bertanya "apa maksudmu " "
" Kau akan dapat bertempur kembali. Bukankah Rara Wulan tidak sedang berperang tanding dengan Janti yang sudah terluka itu " "
" Lalu?" " Seperti juga Janti, Rara Wulanpun dapat bertempur bersama-sama. Tidak hanya bersama aku seorang diri, tetapi aku dapat memberikan isyarat kepada beberapa orang untuk datang dan membantuku membantai kalian bertiga "
Ketiga orang itu berdiri termangu-mangu. Namun Sekar Mirah pun kemudian berkata " Tetapi aku tidak akan memanggil mereka. Cukup kami berdua Aku dan Rara Wulan. "
Anak muda yang seorang lagipun menggeram. Katanya "Kau juga sebrang perempuan yang sombong. Kau kira kau ini siapa, he " Agaknya kau belum mengenal para cantrik dan mentok dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang. "
" Siapapun gurumu, namun ternyata kawanmu yang bernama Janti itu tidak dapat mengimbangi kemampuan Rara Wulan.
"Persetan dengan kau. Jangan menyesal jika kau akan mati. "
Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi iapun berdesis " Hati-hatilah. Rara"
Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya menghadapi lawannya. Sementara itu. Sekar Mirah tidak membiarkan Rara Wulan bertempur sendiri. Ketika ketiga orang cantrik dan mentrik dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang itu memencar, keduanya justru saling mendekat Rara Wulan dan Sekar Mirah itu berdiri hampir saling membelakangi.
Ketika ketiga orang lawannya itu bergerak memutar, maka Rara Wulan dan Sekar Mirah benar-benar berdiri beradu punggung.
Sejenak kemudian, ketiga oran itupun telah mulai menyerang berganti-ganti. Meskipun sudah terluka, tetapi Janti masih tetap garang. Serangan-serangannya tidak kalah berbahayanya dengan kedua orang anak muda yang bertempur bersamanya.
Tetapi betapapun mereka menyerang, namun serangan-serangan mereka tidak pernah berhasil. Bersama Sekar Mirah, maka Rara Wulanpun menjadi semakin mapan. Ilmu dan kemampuannya seakan-akan justru meningkat
Ketiga orang lawan merekapun telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Tetapi serangan-serangan mereka seakan-akan tetap saja tidak berarti.
Serangan-serangan mereka selalu membentur pertahanan Sekar Mirah dan Rara Wulan yang menjadi semakin rapat
Sementara itu, para prajurit Mataram di Jati Anom yang dipimpin langsung oleh Untara itupun semakin mendesak lawan mereka. Gelar pasukan Untara itu masih tetap utuh. Setiap orang dengan cepat menyesuaikan diri, jika ada diantara mereka yang gugur, sehingga gelar Wulan Punanggal tidak pernah terkuak, sehingga mampu disusup oleh lawan.
Kedua senapati pengapit dalam gelar itu, bertempur dengan garangnya. Mereka menahan orang-orang berilmu tinggi yang ingin memecahkan gelar pasukan Mataram atau angin langsung menghadapi Senapati prajurit di Jati Anom.
Ki Saba Lintang yang marah itupun berteriak-kenapa kau tidak mau minggir. Aku ingin bertemu dengan Untara langsung. Aku ingin membunuhnya, kemudian menghancurkan pasukannya"
"Jangan berteriak-teriak, Ki Saba Lintang. Kau adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Sepantasnya gejolak jantungmu itu sudah mengendap."
Ki Saba Lintang tidak menjawab. Tetapi iapun segera meloncat sambil rnempermainkan tongkat baja putihnya mengarah ke kepala Sabungsari.
Namun Sabungsari masin mampu mengdak Bahkan dengan pedangnya ia menepis tongkat baja putih Ki Saba Lintang, sehingga ayunan tongkat baja putih itu tidak menyentuh kulitnya. Bahkan dengan cepat Sabungsari telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi serangannya itu tidak mengenai tubuh lawannya. Dengan cepat Ki Saba Lintang meloncat menghindar. Bahkan dengan satu putaran, tongkatnya menebas kearah dada. Tetapi Sabungsaripun mampu mengelak. Dengan tangkasnya ia meloncat surut, sehingga serangan Ki Saba Lintang itu tidak mengenai sasarannya.
Demikianlah keduanya semakin meningkatkan ilmu mereka merambat menuju puncak
Para pemimpin dari kedua belah pihak yang lainpun semakin meningkatkan ilmu mereka pula Ki Ambara yang dianggap memiliki ilmu mumpuni, ternyata terbentur pada seorang yang ilmunya sangat tinggi pula. Ternyata Ki Ambara berhadapan dengan orang yang sulit ditundukkannya.
Ki Ambara tenyata salah perhitungan. Ia mengira bahwa hanya Agung Sedayu sajalah yang perlu diperhitungkan diantara orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika ia mendapat laporan tentang pertempuran sebelumnya yang terjadi di Tanah Perdikan maka Ki Ambara justru sempat marah. Ia menduga bahwa orang-orang yang berada dipihak Ki Saba Lintang waktu itu bukan orang yang sepatutnya terpilih untuk menjadi salah seorang pemimpin didalam pasukan Ki Saba Lintang itu.
Tetapi kini ia benar-benar berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar. Menilik pakaiannya, maka lawannya itu tentu bukan prajurit Mataram. Ia juga belum pernah nampak berada di Sangkal Putung. Karena itu, maka Ki Ambara menduga bahwa lawannya itu adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi lawannya itu memang telah menyebut pertempuran di tanah Perdikan Menoreh.
"Tentu Agung Sedayu tidak datang sendiri ke Sangkal Putung " berkata Ki Ambara didalam hatinya " tentu ada beberapa orang berilmu tinggi yang dibawanya selain para Senapati dan Swandaru beserta isterinya."
Ki Ambara itu menggeram. Wiyati merupakan satu pukulan yang sangat berat baginya Anak yang dikatakan sebagai cucunya itu rasanya benar seperti cucunya sendiri. Ia berharap bahwa Wiyati akan dapat bertahan, apalagi setelah seorang perempuan yang berilmu tinggi membantunya. Namun ternyata kedua-duanya telah dibunuh oleh Pandan Wangi.
-ooo0dw0ooo- Jilid 332 Namun ketika Ki Ambara bertekad untuk segera membalas kematian Wiyanti, ternyata bahwa lawannya bukan seorang yang mudah dikalahkannya.
Ketika Ki Ambara.meningkatkan ilmunya, maka Ki Jayaragapun telah melakukan hal yang sama. Dengan demikian maka Ki Jayaraga masih saja tetap mampu mengimbangi kemampuan Ki Ambara.
Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi yang tidak terikat lagi dalam pertempuran melawan orang yang berilmu tinggi, telah banyak menghentikan perlawanan para pengikut Ki Saba Lintang. Beberapa orang laki-laki yang berwajah garang, mencoba bersama-sama menyerang Swandaru dan Pandan Wangi. Namun mereka tidak berhasil menyingkirkan kedua orang itu dari arena
Seorang diantara mereka yang bertubuh raksasa bertempur dengan bindi yang besar ditangannya. Namun bindi yang besar itu kadang-kadang justru menjadi kebingungan untuk melawan pedang tipis Pandan Wangi. Apalagi cambuk Swandaru yang masih saja menghentak-hentak dengan bunyi yang memekakkan telinga. Nampaknya Swandaru tidak tergesa-gesa meningkatkan ilmunya sampai tataran yang tinggi, sehingga hentakkan cambuknya tidak lagi menggelegar seperti suara guruh di saat udan salah mangsa.
Namun suara cambuk Swandaru yang gemuruh dan bahkan hampir memekakkan telinga itu nampaknya berhasil membuat para pengikut Ki Ambara itu menjadi sangat gelisah.
"Jangan takut kepada suara cambuk itu" teriak Ki Ambara "suara cambuk itu tidak lebih menggetarkan jantung dari suara cambuk para gembala di padang rumput. Jika iring-iringan gembala itu akan menyimpang, maka para gembalanya telah menghentakkan cambuk mereka, sehingga suaranya memekakkan telinga."
Swandaru juga mendengarnya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Bagi para pengikut Ki Ambara, maka hentakan-hentakan yang meledak-ledak itu mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada cambuk itu tidak meledak sama sekali. Jarang para pengikut Ki Ambara yang dapat menilai ledakan cambuk itu selain suaranya yang mengguntur.
Swandaru sendiri memang tidak ingin membunuhi lawan-lawannya. Jika ia meningkatkan ilmunya, maka sentuhan ujung cambuknya akan dapat mengelupas kulit daging sampai ke tulang. Tetapi jika cambuknya justru meledak-ledak, maka ujungnya hanya mampu mengoyak kulit dan menimbulkan luka dipermukaan.
Dalam pada itu, maka kecemasan mulai merambah jantung Ki Ambara sepeninggal Wiyati dan Nyi Kanthil Kuning. Tidak ada yang dapat menahan Pandan Wangi dan bahkan Swandaru.
Karena itu, maka Ki Ambara itupun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan lawannya yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi tidak seperti yang dikehendaki.
Demikian pula Ki Ajar Mawanti yang telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya melawan Empu Wisanata. Ternyata bahwa Ajar Mawantipun tidak mampu menyelesaikan tugasnya Empu Wisanata ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi pula
Dalam pada itu, baik di arah depan maupun di arah belakang perkemahan, pasukan Ki Saba Lintang menjadi semakin terjepit Orang-orang berilmu tinggi yang ada di dalam pasukannya, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan lawan-lawan mereka Bahkan para prajurit yang dipimpin Untara itu semakin lama menjadi semakin mendesak, sehingga ruang gerak pasukan Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itu menjadi semakin sempit
Dalam pertempuran yang terjadi diantara pepohonan hutan disisi utara Lemah Cengkar itu, maka Empu Wisanata berhasil mendesak dan mengusai lawannya, Ki Ajar Mawanti. Ilmu Rog-rog asem yang dilontarkan oleh Ki Ajar Mawanti tidak dapat menghancurkan pertahanan Empu Wisanata. Getaran yang timbul dari ilmu Rog-rog Asem yang ternyata belum sempat dimatangkannya itu, tidak banyak mempengaruhi pertahanan Empu Wisanata.
Bahkan serangan-serangan Empu Wisanata yang seperti angin prahara dilambari ilmunya yang tinggi, telah membuat perlawanan Ki Ajar Mawanti terguncang guncang.
Ternyata bahwa Ki Ajar Mawanti bukan orang yang tangguh. Dalam keadaan yang rumit Ki Ajar Mawanti telah berbuat sangat licik Dengan isyarat ia memanggil orang-orangnya sepadepokan. Demikian mereka bergeser dan mencari kesempatan untuk mendekatinya, maka Ki Ajar Mawanti segera memerintahkan mereka untuk mengeroyok Empu Wisanata.
Orang-orang itu tidak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Merekapun dengan serta-merta telah melibat Empu Wisanata tanpa malu-malu.
Empu Wisanata segera mengalami kesulitan. Dengan cepat ia berusaha untuk meloncat surut mengambil jarak. Bahkan masuk kedalam pasukan yang sedang berbenturan.
Beberapa orang pengawal yang melihat kelicikan itu, segera memburu pula. Mereka yang meninggalkan oleh lawan-lawannya dan berusaha untuk menerobos masuk dan mengeroyok Empu Wisanata, telah memburu pula
Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata sangat merugikan Empu Wisanata Ia tidak sempat menghindari semua serangan yang datang itu. Meskipun Empu Wisanata dengan tangkasnya berloncatan, namun beberapa ujung senjata sempat menyentuh kulitnya
Tiga orang lawan terlempar dari arena. Mereka tidak sempat mengerang. Luka yang dalam menyilang didada mereka
Sementara itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan telah berada di sekitarnya.
Namun Empu Wisanata menjadi kecewa Dalam keadaan yang rumit, ia tidak sempat melihat, kemana Ki Ajar Mawanti melarikan diri.
Pusaran pertempuran diseputar Empu Wisanata telah terlihat oleh Swandaru dan Pandan Wangi. Dengan cepat merekapun bergerak mendekatinya. Namun ketika mereka sudah berada di tempat itu, maka Ki Ajar Mawanti sudah tidak ada diarena.
"Licik " desis Pandan Wangi.
" Ya. Licik sekali " sahut Swandaru.
Dalam pada itu, para pengawalpun telah berhasil menghalau para pengikut Ki Ajar Mawanti, sehingga Empu Wisanata telah menjadi bebas kembali.
Namun ternyata beberapa buah luka telah tergores di tubuhnya
Tetapi Empu Wisanata masih sempat menahan diri. Ia tidak mengamuk diantara para pengikut Ki Ajar Mawanti. Bahkan Empu Wisanata justru berusaha menahan dirinya.
"Luka Empu harus diobati " berkata Swandaru.
Empu Wisanata mengangguk. Justru setelah lawan-lawannya dihalau dari sekitarnya maka Empu Wisanata itu menyadari, bahwa luka-lukanya termasuk cukup parah.
" Beristirahatlah Empu"desis Swandaru.
Beberapa orang lelah memapah Empu Wisanata kebelakang garis perang.
Demikian Ki Ajar Mawanti lenyap dari medan, maka keseimbangan pertempuran segera menjadi berat sebelah. Ki Ambara ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Jayaraga. Sementara itu, para pengikumya yang berada dibagian belakang perkemahan menjadi semakin tertekan dan kehilangan kesempatan.
Ki Ambara melihat keadaan itu. Ia tidak lagi berpengharapan untuk dapat bertahan.
Karena itu, maka iapun segera memerintahkan seorang penghubung dengan isyarat rahasia untuk menghubungi Ki Saba Lintang.
Ki Jayaraga tidak tahu maksud isyarat itu. Tetapi Ki Jayaraga tahu pasti, bahwa Ki Ambara akan mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelamatkan pasukannya yang masih tersisa
Karena itu, maka ki Jayaragalah yang kemudian berusaha untuk menjaga agar Ki Ambara tidak sempat melarikan dirinya.
Seperti yang diduga oleh Ki Jayaraga, maka penghubung itupun segera mencari Ki Saba Lintang yang bertempur diarah depan perkemahan melawan salah seorang Senopati Pengapit dari gelar pasukan Mataram di Jati Anom yang semakin menekan.
Teriakan-teriakan yang tidak dimengerti oleh orang lain telah didengar oleh Ki Saba Lintang yang juga sudah menyadari betapa sulitnya untuk dapat tetap bertahan.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaragapun berkata "Ki Ambara Apakah kau sedang memerintahkan orang-orangmu untuk melarikan diri dari medan" Mungkin satu dua diantara mereka berhasil lepas dari tangan para pengawal dan para prajurit. Tetapi sebagian besar dari mereka akan tertangkap. Karena itu, kenapa kau tidak memerintahkan pasukanmu untuk menyerah saja?"
Ki Ambara tidak menjawab. Tiba-tiba saja Ki Ambara itu meloncat menyerang dengan garangnya. Namun Ki Jayaraga dengan tangkasnya menghindarinya.
Ki Ambara justru tidak lagi menggenggam senjata. Tetapi serangan-serangan justru menjadi semakin dahsyat. Agaknya Ki Ambara lebih percaya kepada ilmunya daripada kepada senjatanya.
Angin yang tajam tiba-tiba saja menyambar-nyambar tubuh Ki Jayaraga. Sentuhan getaran angin itu terasa sangat pedih di kulitnya. Semakin lama serangan itu menjadi semakin tajam, sehingga Ki Jayaraga itu menduga, bahwa pada saatnya angin yang terlontar dari ilmu Ki Ambara itu akan dapat melukainya
Ki Ambara masih saja berloncatan. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat seakan-akan melemparkan benda-benda kecil yang tidak kasat mata. Namun yang melibat Ki Jayaraga adalah getar angin yang sangat tajam.
Ki Jayaraga pun kemudian meningkatkan daya tahan tubuhnya. Ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan ilmu yang sangat tinggi dan jarang sekali ditemui lagi.
Seperti yang diduga maka sentuhan-sentuhan angin itu semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan kulitnya mulai terluka seperti terkena sentuhan duri.
Ki Jayaraga tidak mempunyai pilihan lain. Maka dengan tangkasnya, ia melenting tinggi, berputar diudara untuk menghindari serangan-serangan yang lebih parah. Demikian ia berdiri tegak selangkah didepan lawannya, maka tangannyapun segera terayun dengan derasnya, dilampiri dengan ilmu andalannya Sigar Bumi.
Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga Ki Ambara tidak sempat menghindarinya. Dengan kedua tangannya yang bersilang didepan wajahnya ia mencoba untuk menangkis serangan itu.
Tetapi ilmu Ki Jayaraga yang disebutnya Sigar Bumi itu ternyata mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Ki Ambara yang menjadi kepercayaan Ki Saba Lintang itu, tidak mampu untuk menahan gempuran Aji Sigar Bumi.
Ki Ambara itu terdorong beberapa langkah surut Matanya menjadi berkunang-kunang. Dunia rasa-rasanya berputar semakin lama semakin cepat.
Ingatan Ki Ambarapun menjadi kabur. Ia tidak lagi dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga karena itu, maka iapun telah terjatuh di tanah.
Para pengawal Sangkal Putung yang menyaksikan bersorak, Ki Ambara ternyata tidak mampu mengimbangi tataran ilmu Ki Jayaraga.
Dengan demikian, maka pasukan Ki Ambara yang berada di bagian belakang perkemahannya itu telah kehilangan sandaran. Karena itu, maka mereka telah pecah berlarian untuk bergabung dengan kawan-kawan mereka yang berada dibagian depan perkemahan itu.
Medan pertempuran itupun menjadi bergejolak. Sementara itu, para pengawal Sangkal Putung berusaha memburu mereka.
Gejolak itupun telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Saba Lintang dan para pengikutnya. Guncangan-guncangan yang terjadi, memungkinkan beberapa orang justru menyelinap diantara para pengikutnya tanpa menghiraukan pengorbanan yang harus diberikan oleh para pengikutnya itu.
Sabungsari menjadi sangat marah ketika Ki Saba Lintang tiba-tiba saja menghilang. Ia masih sempat melihat Ki Saha Lintang itu menyelinap. Dengan kemampuannya yang tinggi, maka Sabungsari telah menyerang Ki Saba Lintang itu dengan sorot matanya. Namun demikian serangan itu meluncur, Ki Saba Lintang sudah berada dibelakang seorang pengikutnya. Yang terdengar adalah teriakan pengikutnya itu. Namun segera suara teriakannya berhenti.
Sabungsari tidak dapat memburunya. Ketika beberapa orang menyerangnya, ia memang berhasil menguakkannya
Kemarahan yang membakar jantungnya, menyebabkan beberapa orang yang berusaha menahannya terbunuh. Bahkan Sabungsari telah berusaha menyibak jalan dengan sorot dari matanya.
Namun akhirnya Sabungsari menyadari, bahwa yang dilakukannya itu akan dapat menimbulkan banyak kemauan. Sementara itu, Ki Saba Lintang belum tentu dapat diketemukannya. Karena itu, maka Sabungsaripun telah menghentikan usahanya. Ia tidak lagi mengaduk medan untuk menemukan Ki Saba Lintang. Pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu memungkinkan Ki Saba Lintang luput dari kejaran penglihatan Sabungsari.
Dengan demikian, keadaan pasukan dari para pengikut Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itu menjadi semakin kacau. Mereka sudah kehilangan tali pengikat untuk mempersatukan pasukan yang sudah goyah itu.
Meskipun demikian, Welat Wulung masih saja bertempur dengan garangnya. Ketika ia merasa terdesak, maka Welat Wulung itupun telah sampai ke puncak kemampuannya Dipergunakannya senjata rahasianya yang jarang sekali keluar dari kantong ikat pinggangnya.
Glagah Putih melihat, Welat Wulung itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Iapun segera teringat kepada Aji Pacar Wutah. Karena itu, maka Glagah Putihpun segera menahan diri untuk tidak dengan tergesa-gesa menyerangnya.
Namun ternyata Welat Wulung tidak mengetrapkan senjata rahasianya yang disebut Pacar Wutah. Tetapi dari mulutnya telah meluncur benda yang berwarna kemerah-merahan. Tidak terlalu besar. Sedikit lebih kecil dari biji melinjo. Tetapi ujudnya bulat penuh.
Glagah Putih terkejut Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan itu. Namun demikian ia berdiri tegak, maka dari mulut Welat Wulung telah meluncur lagi benda serupa. Tetapi tidak kemerah-mera-han. Warnanya agak coklat kehitam-hitaman.
Glagah Putih masih belum tahu jenis senjata rahasia lawannya. Namun dua orang prajurit Mataram telah berteriak nyaring. Namun suaranya segera terdiam.
"Licik, kau Glagah Putih"geram Welat Wulung"seharusnya kau tidak menghindar, sehingga aku tidak perlu membunuh orang yang tidak setatanan ilmunya dengan ilmuku."
" Itu perbuatan gila"jawab Glagah Putih"kau kira aku sudah ingin mati " Kaulah yang harus berhati-hati."
Welat Wulung tertawa. Tetapi suaranya seakan-akan tertahan-tahan. Agaknya dimulutnya masih terdapat beberapa buah benda yang menjadi senjata rahasianya itu.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak mau kehilangan waktu. Pada saat itu pula, iapun telah mengctrapkan ilmunya pula. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan Welat Wulung.
Namun Welat Wulung telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan serta-merta ia telah menghembuskan senjata rahasia dari mulutnya sebagaimana seorang yang sedang menyumpit.
Glagah Putih melenting tinggi, sehingga senjata rahasia yang berwarna kehijau-hijauan itu tidak mengenainya Namun demikian kaki Glagah Putih menyentuh tanah, maka tubuhnyapun telah terdorong surut. Sesuatu telah menyengat pundaknya. Sebutir senjata rahasia yang berwarna kehitam-hitaman telah menyambarnya.
Namun ketika senjata rahasia berikutnya hampir saja menyambar dahinya, Glagah Putih telah menjatuhkan dirinya. Namun bersamaan dengan itu, sambil masih berbaring di tanah, Glagah Putih telah menjulurkan kedua tangannya mengarah ke tubuh Welat Wulung yang sudah siap untuk menyerangnya lagi.
Welat Wulung terkejut. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih memiliki kemampuan untuk menyerangnya dengan cara yang menggetarkan jantung.
Welat Wulung memang berusaha untuk menghindar. Namun serangan Glagah Putih itu masih saja juga mengenai lambungnya
Welat Wulung terlempar beberapa langkah surut. Ia terbanting jatuh di tanah yang lembab. Lambungnya serasa bagaikan terbakar.
Namun ternyata orang itu mempunyai daya tahan yang sangat tinggi. Tertatih-tatih Welat Wulung itu bangkit berdiri. Namun pada saat yang bersamaan Glagah Putihpun telah berdiri pula.
Namun pada saat Glagah Putih menghentakkan ilmunya, darah bagaikan menyembur dari lukanya. Dari sebuah lubang kecil yang agaknya cukup dalam.
Meskipun demikian, Glagah Putih sudah siap untuk melontarkan ilmunya pula, meskipun darah akan memancar sampai titik yang terakhir.
Tetapi Welat Wulung yang berdiri tertatih-tatih itu akhirnya berjongkok sambil mengangkat tangannya. Katanya dengan suara sendat " Aku menyerah anak muda. Kau menang. Aku akan membuang semua senjata rahasiaku."
Tanpa diminta Welat Wulung itupun telah memuntahkan senjata rahasia yang masih beberapa butir dimulutnya Bulatan-bulatan yang beraneka ragam. Ada yang merah, ada yang biru, ada yang ungu.
Tetapi Glagah Putih tidak segera mempercayainya. Mungkin masih ada satu yang tersisa. Yang satu itu tentu akan dapat melubangi dahinya
" Aku bersumpah anak muda" Welat Wulung menjadi semakin lemah
Welat Wuiungpun kemudian telah terduduk. Sementara itu, Glagah Putih masih mencoba mempertahankan keseimbangannya meskipun darahnya masih saja mengalir dari lukanya yang kecil tapi dalam. Untunglah bahwa luka yang dalam itu tidak berada di arah jantung. Seandainya senjata rahasia itu mengenai dada Glagah Putih diarah jantung, mungkin senjata rahasia itu sudah bersarang di jantungnya.
Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan sudah berada disebelah Glagah Putih. Merekapun kemudian membantu Glagah Putih dan membawanya duduk bersandar di sebatang pohon.
Tetapi kawan-kawan Welat Wulung yang sudah terdesak, tidak berhasil menyelamatkan Welat Wulung yang terluka parah, karena para prajurit Matarampun segera mengelilinginya.
Ternyata Welat Wulung tidak berbohong. Ia sudah menumpahkan semua senjata rahasia dari mulutnya.
Dalam pada itu, seorang tabib yang ikut dalam pasukan Untara itupun segera menangani Glagah Putih. Ia berusaha setidak-tidaknya memampatkan darah yang masih saja mengalir.
Namun usahanya tidak segera berhasil. Darah Glagah Putih masih saja mengalir dari lubang lukanya yang dalam.
Sementara itu, keadaan Welat Wulungpun menjadi semakin parah. Namun ia masih bertanya "Bagaimana keadaan anak muda yang terluka itu " "
" Untuk apa kau bertanya " " bentak seorang lurah prajurit.
" Jangan berprasangka buruk. Aku ingin membantu melepaskannya dari kesulitan. "
" Katakan. " " Adakah tabib yang baik yang berada di medan " " Lurah prajurit itupun segera berlari menyampaikan pertanyaan Welat Wulung itu kepada Sekar Mirah.
Tabib yang merawat Glagah Putih itupun segera bangkit dan mengikuti lurah prajurit itu.
" Aku bukan tabib yang baik. Tetapi aku akan berusaha " berkata tabib itu.
Welat Wulungpun kemudian berkata " Pergunakan sisa senjata rahasia yang aku muntahkan dari mulutku untuk menghisap senjata rahasia yang ada di dalam tubuh anak muda itu. "
" Kau berkata dengan jujur " "
" Nyawaku sudah diujung rambut. Aku tidak ingin membuat dosa baru. "
Tabib itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun ingin mencoba meskipun dengan sangat berhati-hati.
Diambilnya tiga butir senjata rahasia yang tidak sempat dipergunakan oleh Welat Wulung. "
" Senjata rahasia itu aku buat dari batu akik " berkata Welat
Wulung dengan sendat. Tabib itu memperhatkan butiran-butiran bulat yang beraneka warna itu. Menurut penglihatan tabib itu, senjata rahasia itu memang dibuat dari batu akik.
Dengan hati-hati tabib itu meletakkan sebutir senjata rahasia itu diluka Glagah Putih.
Terasa luka itu menjadi nyeri. Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit.
Namun senjata rahasia yang ada didalam tubuh Glagah Putih tidak juga mau keluar.
Baru kemudian lurah prajurit yang mengawasi Welat Wulung itu datang lagi menemui tabib itu. Katanya " Jika sebutir dari batu akik itu tidak dapat mengisap keluar senjata rahasia yang ada di dalam, pergunakan dua bersusun atau bahkan ketiga-tiganya. "
Tabib itu memang mencobanya. Dua batu akik yang bulat itu diletakkan dituka Glagah Putih bersusun. Terdengar Glagah Putih Mengaduh.
" Bagaimana " " bertanya tabib itu.
" Ada yang bergerak didalam Sakit sekali. "
Tabib itupun kemudian memilin ujung baju Glagah Putih, katanya " Gigitlah " lalu katanya kepada para prajurit yang ada disekitarnya " pegangi tangan dan kakinya. "
" Kiai " berkata Rara Wulan " kau yakin kalau batu akik itu ikan menolong atau sebaliknya " "
" Nampaknya begitu, ngger. Aku justru yakin. "
" Kau bertanggung jawab atas keselamatan kakang Glagah Putih " berkata Rara Wulan selanjutnya.
Tabib itu tidak menjawab. Namun kemudian diletakkannya ketiga batu akik yang bulat itu bersusun di luka Glagah Putih.
Glagah Putih meronta. Beberapa orang prajurit yang memegangi tangan dan kakinya hampir saja terlempar. Namun tabib itupun berkata " senjata rahasia itu sudah terhisap keluar "
Sebenarnyalah ketika tabib itu menyingkirkan ketiga batu akik yang dipergunakannya untuk menghisap senjata rahasia yang sudah berada didalam tubuh Glagah Putih, ia melihat senjata rahasia itu sudah berada dirnulut lubang lukanya.
Dengan hati-hati tabib itu menekan disamping lubang luka itu, sehingga senjata rahasia itu akhirnya keluar dari lubang luka.
Darah masih mengalir. Tetapi setelah senjata rahasia itu keluar, maka taburan obat luka dari tabib itu telah menghambat arus darah dilubang luka itu, sehingga perlahan-lahan menjadi pampat.
Ketika Keadaan Glagah Putih membaik, maka perhatian Sekar Mirahpun berpindah. Ditinggalkannya Rara Wulan yang menunggui Glagah Putih yang masih dirawat oleh tabib dari kesatuan Mataram di Jati Anom,
Sementara itu, para prajurit Mataram di Jati Anom sudah semakin menguasai medan. Gerakan-gerakan yang terjadi semata-mata usaha untuk menyelamatkan diri dari beberapa orang pemimpin yang masih tersisa dengan mengorbankan murid-muridnya atau para pengikutnya
Dalam pada itu, Sekar Mirah melihat Untara yang berdiri termangu-mangu menunggui Agung Sedayu yang sedang bertempur. Karena itu, maka dengan serta-merta Sekar Mirahpun mendekat pula
" Ki Lurah " berkata Agung Sedayu " pertempuran sudah hampir selesai. Kau harus segera mengambil keputusan " "
Ki Lurah Wira Sembada yang masih bertempur dengan garangnya itu tersenyum Katanya "Bukankah kita tidak terpengaruh oleh pertempuran di sekitar Kita " Aku datang untuk membuat perbandingan ilmu antara prajurit Demak dan Mataram sekarang ini. Biar saja pertempuran berakhir. Kita akan menyelesaikan niat kita untuk membuat perbandingan tataran ilmu itu. Kecuali jika Ki Lurah Agung Sedayu merasa perlu untuk mendapat bantuan dari orang lain. "
" Bukan begitu maksudku, Ki Lurah Wira Sembada. Tetapi apakah masih ada gunanya kita bertempur sekarang ini. "
" Ingat tujuan kita sejuk semula Kita membuat perbandingan kemampuan antara seorang lurah prajurit Demak dan seorang Lurah prajurit Mataram. Kita tidak usah menghiraukan keadaan disekeliling kita "
Agung Sedayu tidak dapat mengelak. Ketika serangan-serangan Ki Lurah Wira Sembada menjadi semakin, keras, maka Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmunya pula sehingga kedua-duanya telah mengerahkan kemampuan mereka.
Namun nampaknya Ki Lurah Wira Sembada masih tetap tenang. Ia memang tidak menghiraukan apakah pasukan Ki Saba Lintang sudah tidak berdaya sama sekali atau tidak. Bahkan kemudian ketika pasukan itu benar-benar sudah digulung oleh para prajurit Mataram di Jati Anom serta para pengawal Sangkal Putung.
" Beri kami kesempatan" berkata Ki Lurah Wira Sembada Ternyata kata-kata itu diulang oleh Ki Lurah Agung Sedayu "Biarlah. Beri kami kesempatan. "
Yang terjadi kemudian adalah sebuah arena yang luas. Beberapa orang pemimpin dari para prajurit Mataram di Jati Anom, kemudian Swandaru dan Pandan Wangi serta Ki Jayaraga yang telah sampai ke tempat itu pula. Sekar Mirah dan bahkan Glagah Putih yang dibantu oleh Rara Wulan dan seorang prajurit, berada di lingkungan yang memutari arena pertempuran antara dua orang Lurah Prajurit, dari masa pemerintahan yang berbeda.
Ternyata Ki Lurah Wira Sembada adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia mampu mengimbangi setiap tataran ilmu Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu mengetrapkan ilmu kebalnya, maka Ki Lurah Wira Sembada juga mengetrapkan ilmu kebalnya pula. Ketika kemudian Agung Sedayu mempergunakan ilmunya untuk membuat tubuhnya seakan-akan tidak berbobot, maka Ki Lurah Wira Sembada juga mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya.
Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat tegang. Keduanya kadang-kadang tergetar surut. Namun kadang-kadang Ki Lurah Agung Sedayulah yang terdorong beberapa langkah. Namun kemudian, Ki Lurah Wira Sembadalah yang terdesak mundur.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya pertempuran itu akan dapat berlangsung lama sekali. Mungkin pada saat matahari terbenam nanti, keduanya masih akan bertempur terus.
Namun hampir berbareng keduanya tiba-tiba meloncat surut mengambil jarak. Keduanya membuat gerakan yang hampir serupa pula.
" Jauhi arena " teriak Ki Jayaraga yang tahu benar, apa yang akan terjadi.
Sebenarnyalah bahwa keduanya telah sampai kepada puncak ilmu mereka. Hampir berbareng pula keduanya melepaskan ilrnu yang sama. Dari sepasang mata mereka masing-masing telah meluncur sinar yang bagaikan memancar meluncur dengan derasnya
Yang menyaksikan pertempuran itu terkejut Mereka menyaksikan keduanya berloncatan mengindar. Namun demikian mereka tegak berdiri; maka serangan itupun telah meluncur pula. Berganti-ganti.
Tetapi kecepatan gerak keduanya memungkinkan keduanya melepaskan diri dari sentuhan serangan itu.
Namun agaknya keduanya harus bekerja terlalu keras untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan sorot mata dari kedua belah pihak. Karena itu, untuk mengurangi bebannya, maka tiba-tiba saja Ki Lurah Wira Sembada yang melenting tinggi itu, telah berubah seakan-akan menjadi tiga orang. Dengan demikian, maka ada waktu baginya selama lawannya menentukan, yang manakah yang harus mendapat serangannya.
Tetapi pada saat yang bersamaan pula, Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmunya, kakang kawah adi ari-ari, sehingga tubuhnya seakan-akan telah berubah menjadi tiga orang.
" Gila, kau Ki Lurah Agung Sedayu. Ternyata kau mampu mengimbangi ilmu seorang Lurah prajurit pada masa kejayaan Demak."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipersiapkannya segala kemampuannya untuk menghadapi Ki Lurah Wira Sembada yang nampaknya telah menimbun berbagai macam ilmu di dalam dirinya.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit Kedua belah pihak memiliki tingkat kemampuan yang seimbang. Bukan hanya pada jenis ilmunya, tetapi juga pada bobotnya
Serangan-serangan yang datang meluncur dengan cepat Namun justru karena ujud mereka yang rangkap tiga, maka setiap kali masing-masing harus menilai, yang manakah lawan mereka yang harus menjadi pusat sasaran serangan-serangan mereka
Dalam pada itu, betapapun cepat mereka bergerak, tetapi serangan-serangan mereka yang meluncur dengan cepat lewat sorot mata masing-masing, sempat juga menyentuh kulit.
Dalam pada itu, nampaknya Ki Lurah Wira Sembada tidak lagi telaten dengan permainannya Tiba-tiba saja ia meloncat surut mengambil jarak. Ujudnya yang tinggal satu itupun berdiri tegak sambil berkata " Menjemukan sekali Ki Lurah Agung Sedayu. Luka-luka kecil ini membuat kulitku terasa pedih. Namun rasa-rasanya pertempuran dengan cara ini sama sekali tidak memuaskan."
Ki Lurah Agung Sedayupun telah kembali ke dalam ujudnya yang satu. Dengan suara yang berat iapun menyahut "Lalu, apa maksudmu ?"
" Kita akan berhadapan dengan tanggon. Aku akan mempergunakan senjataku. Jika kau tidak membawa senjata, pinjamlah senjata siapapun yang kau yakini akan dapat melindungi dirimu sendiri."
Ki Lurah Wira Sembada tidak menunggu lagi. Iapun segera mengurai seutas rantai yang membelit lambungnya Rantai baja hitam.
Agung sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Lurah Wira Sembadapun berkata "Nah, cepat. Usahakan senjata apapun agar aku tidak merasa curang karena mempergunakan senjata melawanmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Iapun segera mengurai senjatanya pula. Cambuknya yang membelit lambung di bawah bajunya.
Ki Lurah Wira Sembada terkejut Hampir di luar sadarnya ia berdesis "Cambuk itu. Kaukah yang sekarang mewarisinya ?"
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun menjawab " Jika yang kau maksud perguruan Orang Bercambuk, salah seorang pewarisnya adalah aku."
" Bagus " berkata Ki Lurah Wira Sembada " aku ingin tahu, kau berada di tataran yang mana?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun menghentakkan cambuknya sendal pancing. Suaranya menggelegar seperti ledakkan guruh di langit
Ki Lurah Wira Sembada tiba-tiba saja tertawa berkepanjangan sambil berkata " Itukah tataran kemampuanmu yang mengaku mewarisi cambuk dari perguruan Orang Bercambuk ?"
Namun demikian mulut Ki Lurah Wira Sembada itu terkatub, Agung Sedayu sekali lagi menghentakkan cambuknya. Sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Namun terasa bagi mereka yang berilmu tinggi, betapa getar kemampuan yang sangat tinggi menyusup kedalam dada.
"Kau mempermainkan aku, Ki Lurah Agung Sedayu."
" Sama sekali tidak."
" Aku sudah terlanjur mentertawakan kemampuan ilmu cambukmu. Ternyata aku keliru. Bukankah kau sengaja mempermalukan aku?"
"Jika demikian, aku minta maaf."
Ki Lurah Wira Sembada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "Sikapmu itu sangat menarik, Ki Lurah. Jika saja kita dapat bersama-sama dalam satu kesatuan. Kita berdua akan dapat membersihkan lawan yang betapapun kuatnya dan darimanapun datangnya"
" Itu sikap yang berlebihan, Ki Lurah Wira Sembada"
" Ya Sikap sombong dan tinggi hati."
" Sekarang, apa yang akan kita lakukan ?" Ki Lurah Wira Sembada itu termangu-mangu.
Dalam pada itu, orang-orang yang berdiri diseputar arena menjadi semakin tegang. Swandaru berdiri dengan jantung yang berdebaran. Kenapa sebelumnya ia tidak pernah melihat Agung Sedayu bertempur seperti itu. Jika saja ia pernah melihatnya, maka ia tidak akan pernah merendahkannya dan menganggap saudara tua seperguruannya itu malas dan tidak mau memperdalam ilmunya. Bahkan Swandaru sering mengguruinya dengan sikap yang sangat dungu,
" Kenapa kakang Agung Sedayu selalu mengiakan saja ?" pertanyaan itu telah bergejolak di dalam dadanya
Kalau saja ia tidak sedang dalam tugas yang sama-sama diemban waktu itu, ia tentu sudah menyembunyikan wajahnya di rumahnya
Dalam pada itu, Ki Lurah Wira Sembada dan Ki Lurah Agung Sedayupun sudah mempersiapkan diri sepenuhnya dengan senjata masing-masing.-Suasana yang tegang itupun nenjadi semakin mencengkam.
Ketika rantai baja hitam Ki Lurah Wira Sembada mulai bergetar, maka Agung Sedayupun mulai menggerakkan ujung juntai cambuknya.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah menyala kembali. Rantai baja hitam di tangan Ki Lurah Wira Sembada itupun terayun-ayun mengerikan. Sementara cambuk Agung Sedayupun berputaran pula.
Nampaknya keduanya memang lebih mantap bertempur dengan mempergunakan senjata andalan masing-masing. Mereka saling menyerang, saling menghindar dan sekali-sekali terdengar desah .perlahan. Ujung-ujung senjata mereka itupun sempat juga menyentuh meskipun segores kecil kulit mereka, sehingga darahpun mulai mengembun. Jika saja keduanya tidak melapisi diri mereka dengan ilmu kebal, maka luka-luka telah menganga di tubuh mereka
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi pening. Mereka melihat dua bayangan yang berputaran. Kadang-kadang bagaikan bekerjaran. Saling mendesak. Namun kemudian masing-masing meloncat surut mengambil jarak.
Semakin lama Swandarupun merasa semakin kecil. Betapa ia pernah menganggap bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu saudara tua seperguruannya itu.
Sementara itu, getar hentakkan senjata mereka telah menggetarkan pepohonan. Merontokkan daun-daunnya. Bahkan mematahkan dahan-dahannya yang tersentuh ayunan senjata kedua orang Lurah prajurit yang sedang bertempur dalam puncak ilmu mereka
Pertempuran itu memang berlangsung lama. Keduanya telah terluka di beberapa tempat. Hanya karena perlindungan ilmu kebal masing-masing, maka kulit daging mereka tidak terkelupas sampai ketulang.
Namun ketika matahari menjadi semakin rendah, Ki Lurah Wira Sembadapun telah meloncat mengambil jarak. Diangkatnya sebelah tangannya sambil berkata " Tunggu. Tunggu Agung Sedayu."
Agung Sedayu masih sempat mengendalikan dirinya. Iapun kemudian berhenti menyerang dan berdiri tegak beberapa langkah dihadapan Ki Lurah Wira Sembada. Namun Agung Sedayu masih tetap berhati-hati. Mungkin Ki Lurah Wira Sembada itu menyerangnya dengan tiba-tiba.
Namun ternyata Ki Lurah itupun bertanya kepada Agung Sedayu " Ini hari apa Agung Sedayu?"
Agung Sedayu masih harus mengingat-ingat. Namun terdengar seseorang diluar arena berkata " Hari Rabo."
" Rabo apa?" "Rabo Pon." " Jadi kita bertempur mulai Selasa Pahing, Ki Lurah Agung Sedayu."
" Ya, Ki Lurah. Kita sekarang sudah berada di penghujung hari Rabo Pon setelah lewat tengah hari."
Ki Lurah Wira Sembada menarik nafas dalam-dalam. Katanya Kau benar Ki Lurah. Aku sudah terlalu tua untuk melawanmu. Kau adalah 4 bibit yang masih segar, yang masih mempunyai masa depan yang panjang."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu'sejenak. Dipandangnya Ki Lurah Wira Sembada yang telah menjadi Lurah prajurit sejak Demak masih berdiri.
Tiba-tiba Agung Sedayu melihat perubahan yang terjadi pada Ki Lurah Wira Sembada. Ki Lurah itu menjadi terengah-engah. Nafasnya bagaikan akan terputus kerongkongan.
" Apakah mataku menjadi kabur " " bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sesaat sebelumnya ia melihat Ki Lurah Wira Sembada itu bertempur dengan tegarnya. Meloncat-loncat, melenting tinggi, berputar diudara sambil memutar rantai baja hitamnya.
Namun tiba-tiba saja Ki Lurah Wira Sembada itu menjadi seperti seorang kakek tua yang baru saja berlari-lari diburu anjing.
" Ki Lurah Agung Sedayu " berkata Ki Lurah Wira Sembada "kemarilah. Mendekatlah."
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia melangkah mendekat ketika Ki Lurah Wira Sembada kemudian terduduk sambil melepaskan rantai baja hitamnya
" Ya Ki Lurah"desis Agung Sedayu.
" Ternyata kau seorang Lurah Prajurit yang luar biasa. Ilmumu mampu mengimbangi ilmuku. Bahkan ternyata selisih umur kita lebih memaksa aku harus tunduk kepadamu."
" Maksud Ki Lurah."
" Aku menyerah."
" Baiklah, Ki Lurah. Ki Lurah akan diperlakukan dengan baik oleh para prajurit Mataram."
Tetapi disela-sela nafasnya yang terengah-engah Ki Lurah Wira Sembada berkata "Perlakukan aku wajar-wajar saja Sebagaimana seorang prajurit yang gugur di pertempuran."
"Tetapi Ki Lurah tidak gugur."
" Nafasku sudah akan putus. Selain itu waktuku memang sudah sampai. Aku mampu mempertahankan ujudku untuk tetap nampak muda Tetapi aku tidak dapat mempertahankan umurku yang merambat semakin tua Sekarang waktunya memang sudah sampai, Ki Lurah. Tolong, berikan tanganmu kepadaku."
"Untuk apa Ki Lurah."
" Yakinkan dirimu, bahwa aku bermaksud baik."
Agung Sedayu masih saja ragu-ragu, sehingga Ki Lurah Wira Sembada itupun berkata sekali lagi " Berikan telapak tanganmu, Ki Lurah."
Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Sementara itu, Ki Lurah Wira Sembada yang terduduk itu nampak menjadi semakin lemah.
Dengan sorot matanya yang menjadi sayu, Ki Lurah Wira Sembada itu memandang Agung Sedayu dengan penuh harap. Katanya " Ki Lurah. Jangan sia-siakan permintaanku yang terakhir. Ulurkan telapak tanganmu."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat menolak. Iapun melangkah mendekat Diulurkannya tangannya menjangkau tangan Ki Lurah Wira Sembada yang dengan susah payah diangkatnya.
Tiba-tiba saja Ki Jayaraga dan Sekar Mirah bergeser mendekat. Demikian pula beberapa orang yang lain. Mereka masih saja cunga, bahwa lawan Agung Sedayu itu akan berbuat curang.
Dalam pada itu, demikian tangan Agung Sedayu menjangkau tangan Ki Lurah Wira Sembada, terasa getaran yang kuat serasa mengalir dari tubuh yang lemah itu ke tubuh Agung Sedayu. Dari urat-urat darah Ki Lurah Wira Sembada ke urat-urat darah Ki Lurah Agung Sedayu.
Hampir di luar sadarnya ketika Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian duduk di sebelah Ki Lurah Wira Sembada yang masih memegangi tangan Ki Lurah Agung Sedayu.
" Semoga yang tersisa dalam hidupku ini dapat mengalir dan menyatu bersamamu, Ki Lurah. Semoga dengan demikian, tataran ilmumu akan menjadi semakin bertambah mantap. Ada beberapa persamaan diantara kita. Yang sama itulah yang akan bertimbun di dalam dirimu. Kau akan menjadi orang yang memiliki ilmu linuwih, Ki Lurah."
Suara Ki Lurah Wira Sembada menjadi semakin lemah. Pegangan tangannyapun menjadi semakin lemah pula.
" Apa yang telah terjadi, Ki Lurah. Baru saja kau masih tegar berloncatan di medan. Tiba-tiba kau menjadi begitu lemah."
Ketika Ki Lurah Wira Sembada mengangkat wajahnya, Agung Sedayu terkejut Wajah itu nampak pucat dan cekung. Matanya redup dan sama sekali tidak bercahaya. Kerut-kerut didahi dan di pipinya nampak seakan-akan menjadi semakin dalam.
" Ki Lurah." Ki Lurah itu tersenyum. Katanya " Aku menjalani laku berbulan-bulan untuk dapat mempertahankan ujud kewadangganku. Aku mendapatkan beberapa jenis dedaunan dan akar-akaran yang dapat menjadi obat yang diusapkan di kulitku dan yang harus aku minum. Tetapi obat-obatan itu hanya sekedar berpengaruh pada ujud lahiriahku. Obat-obatan itu tidak dapat memperpanjang umurku. Hari ini, umurku itu sudah sampai pada batas waktu yang ditentukan."
"Ki Lurah"desis Agung Sedayu.
" Aku titipkan yang tersisa dari hidupku. Aku tahu, bahwa kau akan mempergunakan ilmumu untuk tujuan yang baik. Untuk satu pengabdian yang bercita-cita tinggi."
Tiba-tiba pegangan tangan Ki Lurah Wira Sembada itu terlepas. Dengan sigapnya Agung Sedayu bergeser. Ditahannya kepala ki Lurah Wira Sembada dengan lengannya.
" Ki Lurah " desis Agung Sedayu.
Ki Lurah yang mulai memejamkan matanya itu berusaha untuk membuka kembali. Tiba-tiba saja bibirnya tersenyum. Katanya " Aku sudah puas bahwa diakhir hayatku, aku dapat bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu."
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Ki Lurah Wira Sembada itu menutup kembali matanya untuk selama-lamanya Agung Sedayupun kemudian meletakkan kepala Ki Lurah Wira Sembada. Ketika ia bangkit berdiri, dilihatnya beberapa orang mengerumuninya. Diantara mereka adalah Sekar Mirah dan Swandaru.
" Kau tidak apa-apa, kakang ?" bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya "Tidak, Mirah. Aku tidak apa-apa."
" Kita mengucap sokur, kakang."
" Ya Kita mengucap sokur."
Namun pada tubuh Agung Sedayu terdapat beberapa goresan luka yang perlu diobatinya
" Selenggarakan tubuh Ki Lurah Wira Sembada ini dengan baik " berkata Agung Sedayu kepada seorang pemimpin kelompok prajurit Mataram di Jati Anom.
Demikianlah, maka beberapa orang pemimpin yang letih dan terluka, baik dari Jati Anom maupun dari Sangkal Putung telah dikumpulkan diperkemahan pasukan Ki Ambara yang sudah dibersihkan dan dijaga dengan ketat
Namun Sekar Mirah dan Rara Wulanpun kemudian telah menemukan Nyi Dwani yang duduk sambil menangisi sesosok mayat yang terbujur dihadapannya. Sementara pakaian Nyi Dwani sendiri telah dibasahi oleh darahnya.
" Nyi " Sekar Mirah berjongkok disebelahnya " kenapa " Kau terluka parah."
Nyi Dwani menggeleng. Sambil menunjuk sosok mayat dihadapannya iapun berkata " Mbokayu Yatni."
" Nyi Yatni?" Sambil mengusap matanya yang basah, Nyi Dwani mengangguk.
" Siapakah yang membunuhnya ?" bertanya Sekar Mirah.
Nyi Dwani berusaha untuk menahan tangisnya. Tetapi isaknya justru terasa menyesakkan dadanya
Dengan patah-patah iapun menjawab " Aku. Aku telah membunuh saudaraku sendiri."
Tiba-tiba seorang perempuan yang lain telah berjongkok pula disebelahnya. Pandan Wangi.
Dengan suara yang dalam, Pandan Wangi itupun berkata. "Itu adalah pepesten, Nyi. Aku juga pernah melakukannya diluar kehendakku sendiri."
Nyi Dwani mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dengan tajamnya, seakan-akan ingin melihat apa yang ada dibalik bola matanya


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tangis Nyi Dwani mereda Ketika kemudian Sekar Mirah menarik lengannya, maka Nyi Dwanipun bangkit berdiri.
" Kau juga terluka, Nyi " berkata Sekar Mirah.
Nyi Dwani memandang pakaiannya yang bernoda darah. Pedangnya yang telah dilemparkannya ke tanah, demikian ia menusuk jantung kakak perempuannya.
" Pedangmu, Nyi."
" Pedang itu telah menghunjam dijantung saudara kandungku."
" Kau tentu masih memerlukannya."
Nyi Dwani tidak menolak ketika kemudian Pandan Wangi memungut pedang itu dan menyarungkannya ke sarungnya yang masih tergantung di lambung Nyi Dwani.
Sejenak kemudian, maka para pemimpin dari Jati Anom dan Sangkal Putung itupun telah berada di perkemahan yang sangat sederhana. Tetapi memenuhi kebutuhan. Beberapa orang prajurit dan pengawal masih sibuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sedangkan yang lain mengurusi para tawanan serta mengawasi para tawanan yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan meninggal di pertempuran.
Bahkan sampai matahari terbenam, mereka masih sibuk di bekas medan pertempuran. Beberapa orang mempergunakan obor belarak dan oncor biji jarak.
Ketika menjelang tengah malam, mereka berbincang di perkemahan yang ditinggalkan oleh Ki Saba Lintang itu, maka Untarapun berkata kepada Agung Sedayu " Kau harus segera kembali ke Tanah Perdikan, Agung Sedayu. Ki Saba Lintang tahu, bahwa Tanah Perdikan kini sedang kosong. Yang tinggal hanyalah Ki Gede dan pasukan khususmu. Jika ada satu dua orang berilmu tinggi yang tinggal didalam pasukan Ki Saba Lintang, mereka akan dapat melepaskan dendamnya di Tanah Perdikan Menoreh dengan cara yang khusus karena mereka tidak akan berani menyerang Tanah Perdikan itu dengan terbuka Mereka tahu, bagaimana juga, pasukan khususmu dan para pengawal Tanah Perdikan merupakan paduan kekuatan yang cukup besar. Tetapi mereka dapat menyusup dengan licik dan mengancam keselamatan Ki gede."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Baik, kakang. Besok aku akan kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi biarlah Sekar Mirah menemui ayahnya. Demikian pula yang lain, akan pergi bersama kami."
" Bukan maksudku besok pagi. Mungkin besok lusa atau hari l)enkutnya Glagah Putih tentu memerlukan waktu. Agaknya iapun ingin bertemu dengan ayahnya di padepokan. Paman tentu segera mendengar "pa yang telah terjadi disini."
" Mungkin Glagah Putih dapat aku tinggalkan untuk sementara di padepokan."
" Tidak, kakang " sahut Glagah Putih " aku akan ikut pulang. Besok keadaanku sudah akan membaik."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang juga terluka. Namun ia tidak mengatakan apa-apa.
Menjelang dini hari, maka merekapun telah dipersilahkan untuk beristirahat di tempat yang sangat sederhana. Tetapi merekapun sudah terbiasa untuk berada di sembarang tempat, sehingga meskipun hanya selembar ketepe dari daun kelapa, namun bagi mereka itu sudah cukup untuk alas tidur.
Namun sebagian para prajurit dan pengawal masih saja sibuk. Yang lain bertugas dan bersiap-siap, mungkin para pengikut Ki Saba Lintang masih akan ada yang dengan licik mencoba menyusup ke dalam perkemahan itu.
Namun malam itu tidak terjadi sesuatu. Mereka yang tidur, di perkemahan dapat tidur nyenyak meskipun tidak terlalu lama.
Dihari berikutnya, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk mengunjungi Ki Widura. Obat yang kemudian diberikan oleh Agung Sedayu, ternyata sangat membantu keadaan Glagah Putih.
Ki Widura hanya dapat mengucap sokur, bahwa segala sesuatunya sudah dapat diatasi dengan baik.
" Adi Swandaru dan isterinya belum dapat ikut bersama kami sekarang, paman " berkata Agung Sedayu " adi Swandaru masih sibuk. Pada kesempatan lain, ia akan datang mengunjungi paman."
" Baiklah, Agung Sedayu. Adikmu Swandaru tidak akan pergi kemana-mana. Karena itu kapan-kapan ia akan mempunyai waktu luang."
" Besok kami akan kembali Tanah Perdikan, paman " berkata Agung Sedayu.
" Begitu tergesa-gesa ?"
" Kakang Untara mengisyaratkan agar aku segera berada di Tanah Perdikan Menoreh yang kosong sekarang ini."
Ki Widura mengangguk-angguk.
" Sebenarnya hari ini aku akan berangkat ke Tanah Perdikan. Tetapi aku masih harus menghadap paman sementara Sekar Mirah harus minta diri kepada ayahnya di Sangkal Putung."
Pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. Namun cukup memadai bagi Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Merekapun sempat bertemu dan berbiancang dengan para cantrik di padepokan itu.
Hari itu Untara memberi kesempatan kepada mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk berada di Sangkal Putung. Bahkan Swandaru dan Pandan Wangipun telah dipersilahkan untuk kembali pula.
" Biarlah para prajurit menyelesaikan tugas mereka disini " berkata Untara " Hari ini kalian sempat beristirahat. Esok kalian akan menempuh perjalanan panjang. Apalagi bagi mereka yang terluka."
Sebenarnyalah sehari itu, mereka beristirahat di Sangkal Putung. Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Glagah Putih tidak bersedia ditinggalkan di Sangkal Putung. Meskipun mereka terluka, tetapi mereka merasa sanggup untuk menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh asal mereka tidak berpacu dengan waktu.
" Besok kita berangkat pagi-pagi sekali " berkata Agung Sedayu " selagi udara masih segar."
Di Sangkal Putung, mereka yang terluka mendapat perawatan sebaik-baiknya. Bukan saja obat bagi luka-luka mereka. Tetapi mereka juga minum obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka, agar mereka tidak menjadi sangat latih diperjalanan esok.
Seperti yang direncanakan, maka sebelum matahari terbit, semuanya sudah siap untuk berangkat. Ternyata Untarapun menyempatkan diri untuk hadir di Sangkal Putung, melepas kepergian beberapa orang yang akan kembali ke Tanah Perdikan setelah menunaikan kewajiban mereka yang mendebarkan di sisi Utara hutan Lemah Cengkar.
Sebelum berangkat, dalam kesempatan tersendiri, Swandaru telah mengakui segala perbuatannya kepada Agung Sedayu. Hampir saja ia terjerumus kedalam jurang kenistaan yang paling dalam. Bukan saja di-hadapan Mataram dan dihadapan saudara tuanya, tetapi lebih dari itu, di-liadapan Penciptanya
" Mereka memanfaatkan kelemahanmu, adi Swandaru"berkata Agung Sedayu.
" Ya, kakang." " Ingat itu. Kau tidak boleh terperosok kedalam lubang yang sama"
" Aku mengerti, kakang."
Hari itu, sebelum matahari terbit, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka dilepas diregol padukuhan induk oleh Ki Demang, Swandaru, Pandan Wangi, Untara, Sabungsari dan beberapa orang pemimpin yang lain.
" Kalian tidak usah berpacu disepanjang jalan. Tidak ada yang akan memberikan hadiah kepada yang menang. Kalian harus ingat kepada mereka yang terluka " berkata Untara.
" Keadaanku sudah berangsur baik, kakang " sahut Glagah Putih.
Untara tersenyum. Katanya " Salamku kepada Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh."
Iring-iringan itu memang tidak terlalu cepat bergerak. Kuda-kuda mereka berlari-lari kecil menyusuri jalan-jalan bulak. Rerumputan yang tumbuh di tanggul parit masih basah oleh embun yang turun di dini hari.
Disepanjang jalan mereka sempat mendengar kicau burung-burung liar yang bertengger di pepohonan, menyongsong terbitnya matahari.
Iring-iringan kecil itu melintas di beberapa padukuhan yang masih kelihatan sepi. Namun beberapa orang telah turun ke jalan untuk pergi ke pasar. Yang lain nampak menyapu halaman, sedang disana-sini terdengar senggot timba yang berderit.
Perjalanan iring-iringan beberapa orang berkuda itu memang cukup panjang. Sementara itu, Agung Sedayu berniat untuk singgah di Mataram, sekaligus memberikan laporan, apa yang telah terjadi disisi Utara hutan Lemah Cengkar tidak terlalu jauh dari Jati Anom itu, meskipun Agung Sedayupun yakin, bahwa Untara tentu sudah mengirimkan penghubung untuk menyampaikan laporan itu.
" Kesempatan beristirahat bagi mereka yang terluka " berkata Agung Sedaayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin jauh dari Sangkal Putung. Matahari yang kemudian terbit, perlahan-lahan telah memanjat langit. Semakin lama semakin tinggi.
Keringat mulai mengalir di tubuh orang-orang yang menunggang kuda itu. Terasa panasnya matahari semakin menyengat kulit.
Ketika mereka sampai ke Kali Opak, arus Kali Opak tidak terlalu deras, sehingga mereka dapat langsung menyeberang dengan hati-hati.
Pada saat-saat tertentu Kali Opak tidak dapat diseberangi. Mereka harus mempergunakan rakit bambu untuk menyeberang. Tetapi pada saat-saat yang lain mereka dapat menyeberanginya begitu saja.
Beberapa ratus patok dari Kali Opak, iring-iringan itupun berhenti disebuah kedai yang cukup besar. Mereka juga memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat, meskipun kuda-kuda mereka untuk ter^tirahat, meskipun kuda-kuda itu tidak berlari kencang.
Kehadiran mereka, beberapa orang bersama-sama kedalam kedai itu agaknya memang menarik perhatian beberapa orang. Tetapi karena mereka yang datang bersama-sama itu bersikap biasa-biasa saja, maka orang-orang yang lebih dahulu berada di kedai itupun tidak menghiraukan mereka lagi.
Sekar Mirahlah yang kemudian memesan minum dan makan bagi mereka.
Beberapa saat lamanya mereka beristirahat. Kuda-kuda merekapun mendapat minum dan makan pula. Baru setelah mereka tidak lagi merasa haus dan lapar, maka merekapun minta diri kepada pemilik kedai itu.
Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Glagah Putih sudah nampak lebih baik. Bahkan Glagah Putih rasa-rasanya tidak lagi selang terluka. Meskipun lubang di pundaknya itu masih terasa sakit, tetapi sudah menjadi jauh lebih baik dari saat sebuah batu akik menembus masuk kedalamnya,
" Batu akik itu aku simpan dengan baik " berkata Glagah Putih " bukan hanya yang mengenai tubuhku. Tetapi semuanya yang aku dapatkan."
Rara Wulan tersenyum. Katanya " Kau akan menjadi pedagang batu akik."
Ketika mereka mengambil kuda-kuda mereka, seorang anak muda dengan pakaian yang terhitung bagus, menunggui kuda Glagah Putih. Demikian Glagah Putih mendekati kudanya, anak muda itu bertanya.
" Apakah kuda ini kudamu ?"
" Ya"jawab Glagah Putih."
" Bagus sekali."
" Terima kasih " Glagah Putih membungkuk hormat.
" Apakah kudamu itu boleh aku beli ?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Sayang, Ki Sanak. Kuda ini hadiah dari seorang tua yang sangat aku hormati."
" Kau dapat menyebut berapa saja harganya" Glagah Putih menggeleng. Katanya"Maaf Ki Sanak."
Anak muda itu nampak kecewa. Namun kemudian ia bergeser surut.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah meninggalkan kedai itu. Seperti sebelumnya, mereka tidak berpacu terlalu kencang. Mungkin bagi Glagah Putih, tidak lagi terlalu banyak menyulitkannya. Tetapi mungkin lain bagi Empu Wisanata dan Nyi Dwani.
Diperjalanan itu Rara Wulanpun sempat bertanya kepada Sekar Mirah " Bagaimana dengan Mangesthi, mbokayu ?"
" Aku serahkan kepada Pandan Wangi. Biarlah Pandan Wangi menanganinya. Kasihan, ia masih terlalu muda. Hari depannya masih panjang "
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat anak muda yang melihat-lihat kuda Glagah Putih itu menyusul mereka bersama tiga orang berwajah garang. Beberapa puluh langkah mereka mendahului. Namun kemudian merekapun berhenti dan berbalik menghadap kearah iring-iringan itu.
" Ah, anak ini " desis Ki Jayaraga " apa tidak ada kerja yang lebih baik selain mengganggu orang."
Ternyata ketiga orang yang menyertai anak muda yang mengenakan pakaian yang baik itu juga masih terhitung muda.
Iring-iringan itu terpaksa berhenti. Agung Sedayu yang berkuda di-paling depan menghentikan kudanya beberapa langkah didepan kuda anak muda yang mengenakan pakaian yang baik dan tentu harganya mahal.
Disela-sela bajunya nampak timangnya terbuat dari emas yang ditrctes dengan permata.
" Maaf, aku mengganggu perjalanan kalian " berkata anak muda itu.
" Apa maksudmu, Ki Sanak ?" bertanya Agung Sedayu.
" Aku masih mengajukan tawaran untuk membeli kuda anak muda itu."
" Bukankah sudah dijawab, bahwa kuda itu tidak dijual."
" Tentu ada harganya" berkata anak muda yang berpakaian mahal itu " berapapun kau sebut harganya, aku akan membayarnya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya kemudian " Anak muda Kuda itu adalah kuda pemberian. Adalah tidak pantas bahwa hadiah dari seorang tua yang dihormati itu dijual."
" Anak itu tidak bemiat menjualnya. Tetapi akulah yang berniat membelinya"
" Maaf anak muda. Dengan menyesal, kami tidak dapat menyerahkannya"
" Bukankah jika kuda itu aku beli akan lebih baik daripada jika kuda itu aku ambil begitu saja ?"
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Rasa-rasanya dadanya sudah menjadi jenuh oleh perselisihan-perselisihan, apalagi perselisihan yang tidak berarti seperti itu.
"Nah, pikirkan baik-baik."
" Jangan memaksa anak muda. Bukankah aku tidak sendiri. Aku tahu bahwa kau mengajak tiga orang kawanmu untuk memaksakan kehendakmu. Tetapi bukankah iring-iringan kami juga terdiri dari beberapa orang."
Anak muda itu tertawa. Katanya " Apa arti kalian dan kawan-kawan kalian bagi kami."
" Tetapi siapakah sebenarnya anak muda ini ?"
"Pertanyaan yang bagus. Mungkin akan dapat membuka hatimu. Aku adalah anak Ki Panji Secapraja yang tinggal di Sambisari. Nah, jika ayahku tahu, bahwa kalian telah menentang kehendakku, maka kalian akan menyesal sepanjang umurmu."-
"Jadi kau anak Ki Panji Secapraja ?"
" Kau mengenal ayahku ?"
" Belum. Anak muda. Tetapi akan lebih baik jika kau katakan saja kepada ayahmu, bahwa kau gagal merampas seekor kuda anak muda yang sedang lewat"
Wajah anak muda itu menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat menekan ia bertanya"Jadi kau benar-benar akan melawan ?"
" Bukan melawan. Tetapi aku tidak dapat membiarkan kau merampas milik seseorang."
" Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku akan membelinya"
"Tetapi kuda itu tidak dijual."
" Baik. Jika demikian aku memang harus merampasnya. Tetapi aku tidak perlu menyampaikan kepada ayah. Apa yang dapat aku lakukan sendiri, akan aku lakukan."
" Anak muda. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku adalah seorang prajurit. Karena itu, aku ingin memperingatkan kepadamu, bahwa jangan kau lakukan."
" Setiap orang dapat mengaku dirinya prajurit"
Agung Sedayupun menyingkapkan baju dan memperlihatkan timang yang dikenakannya. Katanya " Meskipun aku tidak mengenakan pakaian seorang prajurit, tetapi jika kau anak seorang Panji, kau tentu dapat mengenali bentuk timang seperti ini. Ayahmupun tentu sering mengenakannya pula"
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Katanya "Persetan dengan kau."
"Aku seorang lurah prajurit. Bersamaku adalah para petugas sandi yang sedang menjalankan tugasnya. Jika kau memaksa diri untuk mencoba merampas kuda anak muda itu, maka meskipun kau berempat kami akan mampu mengalahkan kalian karena kami adalah orang-orang terlatih."
Wajah anak muda itu menjadi tegang. Namun dengan geram ia berkata "Jika kau memang tanggon. Tunggu disini. Aku akan memberitahukan kepada ayahku."
" Bagus. Aku akan menunggu."
"Jika kau hanya seorang Lurah Prajurit maka dengan wewenang dan kuasa ayahku dfdaerah ini, kau akan dibuatnya menjadi jera"
" Aku akan menunggu anak muda, tetapi jangan terlalu lama. Katakan kepada Ki Panji Secapraja, bahwa seorang Lurah prajurit sedang menunggunya untuk melaporkan tindakan anaknya yang tidak terpuji."
"Persetan kau Ki Lurah" geram anak muda itu. Kemudian anak muda itupun berpaling kepada ketiga orang kawannya "Cegah mereka meninggalkan tempat ini.. Aku akan memanggil ayah."
Demikian anak muda itu memacu kudanya, Sekar Mirahpun berdesis " Baru saja kita beristirahat. Sekarang kita harus beristirahat lagi."
Bahkan Sekar Mirahpun telah meloncat turun dari kudanya. Demikian pula Rara Wulan dan bahkan Glagah Putih dan yang lain-lain. Empu Wisanata dan Nyi Dwanipun telah turun pula dan duduk di tanggul parit, dipinggir jalan.
Ketiga orang anak muda yang mengawasi mereka, memang merasa heran, bahwa diantara mereka sama sekali tidak nampak kegelisahan. Mereka duduk-duduk dan berbincang-bincang seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Namun dengan demikian ada baiknya juga bagi ketiga orang itu. Orang-orang yang lewat tidak menaruh perhatian berlebihan. Mereka hanya berpaling sesaat, melihat beberapa orang berkuda sedang beristirahat dan duduk-duduk dipinggir jalan.
Dalam pada itu, anak muda yang mengaku anak Ki Panji Secapraja itupun memacu kudanya pulang. Demikian ia memasuki halaman rumahnya, maka iapun segera meloncat turun. Dengan tergesa-gesa seorang abdi telah menyongsongnya dan menerima kudanya yang diserahkan kepadanya
" Ayah ada di rumah ?" bertanya anak muda itu.
" Ada Raden." Anak muda itupun segera meloncat naik pendapa rumahnya melintasi pringgitan dan langsung masuk ke ruang dalam.
" Ayah, ayah" anak muda itu berteriak.
" Ada apa " " jawab ayahnya yang duduk diserambi sambil minum minuman hangat setelah makan siang."
" Ayah ditantang oleh seorang lurah prajurit,"
" He. Duduklah. Bicaralah yang mapan. Jangan tergesa-gesa."
" Ayah ditantang seorang lurah prajurit Aku tidak berbohong ayah."
" Kenapa, apa sebabnya'.'"
" Aku menginginkan kudanya Tetapi ia tidak memberikannya Ia mengaku seorang lurah prajurit. Ketika aku mengatakan bahwa ayahku seorang Panji, ia bahkan menantang."
" Menantang bagaimana ?"
" Ia sama sekali tidak merasa takut, meskipun aku anak seorang Panji."
" Tetapi kau bermaksud merampas kudanya ?"
" Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan membelinya. Kuda itu juga bukan kuda lurah prajurit itu sendiri, tetapi seorang anak muda yang kebetulan berkuda bersamanya"
" Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa kau tidak sepantasnya berbuat seperti itu. Jika ia berkeberatan, kau tidak boleh memaksanya."
" Itu tidak penting ayah. Yang penting lurah prajurit itu sudah berani menentang kuasa ayah disini."
" Siapa nama lurah prajurit itu ?"
Anak muda itu menggeleng. Katanya " Aku tidak bertanya, ayah."
Ki Panji Secapraja itupun menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kau tentu telah membuat ulah lagi."
" Bagaimanapun juga bukankah tidak pantas jika seorang lurah prajurit berani menantang seorang Panji."
Ki Panji masih duduk ditempatnya Sementara itu Nyi Panji telah datang pula sambil bertanya "Ada apa ?"
" Seorang lurah prajurit yang lewat telah menantang kuasa yang disini."
" Lurah prajurit " Apakah ia gila ?"
" Aku sudah memberitahukan kepada ayah."
" Kau diam saja Ki Panji ?"
" Anakmu tentu sudah membuat perkara."
" Tetapi ia hanya seorang lurah ayah."
" Ki panji " berkata Nyi Panji" jika kebiasaan .seperti itu tidak diselesaikan dengan tuntas, akan menjadi kebiasaan bahwa seorang lurah prajurit berani menantang seorang Panji yang mendapat wewenang disatu daerah tertentu, seperti di Sambisari dan sekitarnya ini."
Ki Panji masih tetap duduk ditempatnya
" Ki Panji " desak isterinya " Ki Panji akan membiarkannya " Dengan demikian nama Ki Panji akan tercemar. Jika lurah prajurit itu pergi ke Mataram, maka ia akan berceritera bahwa Ki Panji Secapraja tidak berani bertindak atas dirinya, hanya seorang lurah prajurit."
Akhirnya Ki Panji bangkit juga berdiri. Sambil membenahi pakaiannya iapun berkata " Aku akan bertemu lurah prajurit itu. Tetapi aku juga akan mengusut persoalannya, kenapa ia menantang aku. Tentu ada sebabnya Hanya jika ternyata lurah prajurit itu bersalah, aku akan bertindak atasnya."
Ki Panjipun kemudian telah memungut kerisnya dan menyelipkannya di punggungnya. Namun kemudian digapainya pula tombak pendeknya
Ketika ia berdiri di tangga pendapa maka iapun memerintahkan dua orang pengawalnya untuk menyertainya
Anak Ki Panji itu tersenyum. Ia akan melihat seorang lurah prajurit dihajar oleh ayahnya seperti beberapa pekan sebelumnya, karena lurah prajurit itu berani menentang kuasanya
Sejenak kemudian, Ki Panji, anak laki-lakinya dan dua orang pengawalnya berpacu menyusuri jalan sidatan menuju ke jalan utama yang menuju ke Mataram.
Dari kejauhan anak laki-lakinya itupun berkata " Itulah ayah. Mereka"
" Siapa mereka ?"
" Lurah prajurit dan beberapa orang yang katanya petugas sandi dari Mataram."
" Petugas sandi ?"
" Mereka dapat saja berbohong, ayah. Ada beberapa orang perempuan bersama mereka. Ada orang tua ada anak muda Tidak ada seorangpun yang menunjukkan sikap seorang prajurit. Apalagi prajurit dalam tugas sandi. Hanya seorang saja yang dapat menunjukkan timang keprajuritan seperti milik ayah."
Ki Panji mengerutkan dahinya Dipercepatnya derap kaki kudanya, sehingga beberapa saat kemudian Ki Panji telah sampai di jalan yang lebih besar yang menuju ke Mataram.
Dilihatnya tiga orang yang tentu pengawal anak laki-lakinya masih duduk dialas punggung kuda, sedangkan beberapa orang duduk di atas tanggul parit
Ki Panji menghentikan kudanya. Sambil menjinjing tombak pendeknya Ki Panjipun bertanya "Siapa diantara kalian yang mengaku lurah prajurit."
Agung Sedayu yang berdiri di pinggir jalan itupun melangkah maju sambil berkata "Aku, Ki Panji Secapraja."
Ki Panji Secapraja terkejut. Ia memang seorang lurah prajurit Ki Secapraja mengenal lurah yang satu itu. Lurah prajurit yang diserahi memimpin pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Jawaban Answer 3 Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular Kisah Membunuh Naga 34
^