Pencarian

Burung Merak 5

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 5


tuk menyukai musik dan seni sejak masih balita.
Ayahku juga pandai bermain piano. Sambil main pia-
no, beliau suka menyanyi. Aku sering diajaknya ikut
menyanyi." "Sungguh seorang ayah yang bijak. Nah, ini lagu-
nya. Kuputar sekarang, atau...?"
"Besok!" Ana menjelingkan matanya. "Tentu saja se-
karang." Wibisono tertawa kecut. "Kau sering betul membuatku merasa gemas," sahut-
nya sambil menyetel lagu yang diinginkan Ana.
Seperti tadi, Ana tidak ingin menanggapi perkataan
Wibisono. Bahkan tidak berapa lama kemudian dipe-
jamkannya matanya, menikmati lagu-lagu indah yang
berkumandang lembut di dalam mobil itu. Sesekali ia
ikut menggumamkan lagunya. Tetapi lama-lama, ia
mulai terkantuk-kantuk dan akhirnya tertidur tanpa
http://pustaka-indo.blogspot.com289
disadarinya. Belakangan ini fisik dan mentalnya me-
mang terlalu dikuras. Banyak hal baru yang harus
dipelajarinya dan ada banyak pekerjaan yang harus
ditanganinya. Terutama menghadapi edisi tahunan
yang padat isi dan upaya agar majalah mereka bisa
menyajikan sesuatu yang lain dari lainnya.
Lama tidak mendengar suara Ana, Wibisono meli-
riknya, ingin tahu apa yang sedang dilakukannya.
Ketika melihat betapa nyenyak tidur gadis itu, mau
tak mau ia tersenyum. Tidak bohong kalau Ana tadi
mengatakan lelah. Dari cara tidurnya, dia sudah bisa
melihat hal itu. Karenanya Wibisono membiarkannya.
Bahkan ada semacam kelembutan saat melihat wajah
Ana yang damai dan bibirnya yang sedikit terbuka
itu. Cahaya lampu dari luar yang menimpa wajah itu
menunjukkan kejelitaannya yang nyata. Tanpa polesan
apa pun kecuali seulas sentuhan lipstik.
Dengan hati-hati agar jangan sampai membangun-
kan gadis itu, Wibisono mengendarai mobilnya de-
ngan menghindari tempat-tempat yang ramai. Sesam-
pai di kawasan Ancol, dia tidak mengarahkan
mobilnya ke pasar Seni seperti rencananya semula,
tetapi ke tepi laut dan memarkir di tempat yang tak
jauh dari bibir pantai. Tempat itu tak banyak pengun-
jungnya. Beberapa motor juga terparkir di dekat situ.
Pengemudi dan yang diboncengkan duduk berdam-
pingan dengan mesra di bangku batu, sambil menatap
laut. Merasakan mobil berhenti, Ana terbangun. Dengan
menegakkan tubuh dan memanjangkan lehernya, ga-
http://pustaka-indo.blogspot.com290
dis itu memandang keluar jendela dengan agak bi-
ngung. "Eh... kenapa kaubawa aku ke sini...?" bentaknya
setelah mengenali tempat itu.
"Jangan marah dulu, Ana. Aku hanya ingin supaya
kau puas tidur dulu baru kemudian kita mencari ma-
kanan enak di Pasar Seni. Tentunya tidak mungkin
kan aku berjalan-jalan di Pasar Seni dengan gadis sebe-
sar dirimu tertidur dalam gendonganku?"
Mendengar pembelaan diri Wibisono yang masuk
akal, mau tak mau Ana tersenyum geli.
"Tetapi kau kan bisa membangunkanku."
"Terus terang aku tidak tega. Tidurmu nyenyak seka-
li," sahut Wibisono terus terang.
"Kan sudah kubilang, aku capek. Berada dalam mo-
bil yang nyaman, dininabobo dengan lagu-lagu indah
pula, tewaslah aku dalam sekejap," senyum Ana.
"Kau suka naik mobil seperti ini?" Wibisono me-
mancing lagi. "Tentu saja suka. Kalau kau sering naik kendaraan
umum yang pengap dan bolak-balik berhenti menaik-
turunkan penumpang, duduk di dalam mobil pribadi
yang sejuk dan nyaman begini, tentu saja kau akan
menjawab yang sama seperti aku. Apalagi kalau mobil-
nya semewah dan selengkap ini."
"Apakah kau menyukai hal-hal atau benda-benda
yang membuat kita merasa nyaman?" Wibisono me-
mancing lagi. "Ya, aku suka. Aku ini kan masih manusia normal."
"Tentunya kau tahu bahwa barang-barang yang
http://pustaka-indo.blogspot.com291
memberi kita rasa nyaman, mahal harganya. Mewah
pula." Ana mengerutkan dahinya. "Kau bicara soal kenyamanan atau kemewahan sih?"
tanyanya. "Kedua-duanya. Bukankah kedua hal itu merupakan
saudara kembar." "Wah, kau salah. Kenyamanan tidak selalu identik
dengan kemahalan. Apalagi kemewahan. Kalau aku
disuruh memakai pakaian penuh bertaburan payet,
bahannya indah dilihat tetapi tak enak dipakai, aduh,
aku lebih baik menyerah. Sebaliknya, gaun rumahku
yang sudah pudar, aku suka sekali. Sejuk dan sangat
enak dipakai. Nah, kenyamanan dan kemewahan kan
tidak sama?" "Kalau contohmu pakaian, tentu saja tak sama.
Tetapi kalau itu rumah, kendaraan, peralatan rumah
tangga, bermacam jenis hiburan, uang, dan semacam-
nya, tentu beda. Kan lebih nyaman tidur di kamar
yang luas dan ber-AC daripada di kamar yang sempit
dan panas?" "Ya, tentu saja."
"Jadi kau menyukainya?"
"Aku tadi menjawab apa?" Ana membalikkan per-
tanyaan. "Karena kau manusia normal, ya tentu saja menyukai-
nya. Begitu kan jawabanmu tadi."
"Itu karena aku tidak menyamakan kenyamanan de-
ngan kemewahan." http://pustaka-indo.blogspot.com292
"Lalu apa jawabanmu kalau kenyamanan yang
kumaksud seperti contoh-contoh yang kukatakan
tadi?" "Jawabku, itu tergantung pada keadaan."
"Tergantung keadaan yang bagaimana?"
"Keadaan yang macam-macam. Kondisi kesehatan,
keuangan, perasaan, dan lain sebagainya."
"Contoh konkretnya?"
"Tergantung kesehatan, misalnya. Bisa beli mobil
mewah tetapi sakit-sakitan dan tak boleh bepergian,
ya mana rasa nyamannya, kan" Tentang tergantung
perasaan. Kalau hati sedang sedih biarpun di depan
kita ada banyak hiburan dan makanan lezat, semua
itu tidak menarik hati. Lalu tentang tergantung
keuangan, itu sudah jelas. Dalam hal ini yang penting
adalah sikap kompromis. Keinginan yang tidak mung-
kin tergapai sebaiknya dihilangkan saja. Kan ada
kenyamanan lain yang masih bisa diupayakan. Seperti
misalnya kerukunan, kasih sayang dalam keluarga,
saling mendukung, dan lain sebagainya. Eh, kenapa
sih kau menanyakan hal-hal semacam itu seperti tidak
ada pembicaraan lain."
"Cuma sekadar bertanya sebab biasanya perempuan
suka hidup mewah dan nyaman..."
"Kukira bukan hanya perempuan saja. Setiap orang
pasti menyukainya. Begitu juga aku," Ana merebut
pembicaraan. "Tetapi hal itu jangan dijadikan tujuan
utama dalam hidup ini. Bisa beli, ya disyukuri. Tidak
bisa, ya tidak ada apa-apa. Enak kan jadinya."
"Tetapi kalau kau kan masih punya harapan. Siapa
http://pustaka-indo.blogspot.com293
tahu suamimu kaya-raya dan bisa memberimu apa
saja yang kauinginkan."
"Wibi, dengar baik-baik perkataanku, ya. Aku pu-
nya dua sanggahan atas apa yang kaukatakan tadi.
Pertama, aku bukan perempuan yang suka menaruh
harapanku pada orang lain, termasuk suamiku nanti.
Kalau aku ingin hidup mewah misalnya, aku akan
mengupayakan dengan hasil keringatku sendiri. Aku
punya harga diri untuk tidak menggantungkan diri
pada siapa pun. Termasuk suamiku kelak. Kedua, ka-
lau aku menikah dengan seseorang kelak, hendaklah
orang itu benar-benar kucintai dan dia mencintaiku.
Tak peduli dia itu kaya atau tidak. Soal kau mau per-
caya perkataanku ini atau tidak, itu urusanmu."
"Hebat," komentar Wibisono. Tetapi di dalam hati-
nya ia menertawai dan mengumpat Ana. Munafik,
pandai bicara. Dengan mata kepalanya sendiri waktu
itu ia melihat Ana berada di dalam mobil mewah ber-
sama laki-laki yang berbeda hanya dalam waktu tak
sampai dua puluh empat jam lamanya.
"Tulus atau tidak kata "hebat"-mu itu aku tidak pe-
duli. Bukan urusanku."
Wibisono terdiam. Perasaannya tersentuh. Ana bica-
ra apa adanya. Apakah gadis itu mengetahui pikiran
negatif yang ada di kepalanya ini"
"Eh... jangan diam saja. Katamu kita mau makan.
Kok kita masih berada di sini, dekat-dekat orang pa-
caran pula." "Oke, nanti kita cari makan di Pasar Seni. Tetapi
sekarang aku masih senang di sini menyaksikan laut
http://pustaka-indo.blogspot.com294
dan langit penuh bintang. Dan juga bulan yang ma-
sih berbentuk sabit."
"Senangnya apa sih?"
"Senangnya, bisa berduaan denganmu. Mesra, ak-
rab dan intim sehingga kesepianku agak terobati."
"Idih, kita kan tidak pacaran. Jangan melantur,
Wibi." "Pacaran atau tidak, yang jelas kita pernah begitu
mesra, bukan" Terus terang saja dalam suasana romantis
begini, aku ingin mengulangi kemesraan itu lagi?"
"Bersikaplah sopan, Wibi," Ana menegur dengan ce-
pat. Dia tidak ingin terpengaruh suasana seperti yang
dialami Wibisono. "Aku cukup bertingkah laku sopan lho, Ana. Apa-
nya yang kauanggap tak sopan?"
"Bicaramu itu."
"Aku kan cuma mengatakan apa yang kuinginkan.
Daripada hanya kusimpan sendiri di dalam hati, kan?"
"Kau tak pernah kehabisan kata-kata," Ana mengge-
rutu. "Kau juga begitu. Kita sama." Wibisono menyeri-
ngai. "Sialan." "Hei, jangan mengumpat di depan laut. Pamali. Ada
hukumannya lho." "Jangan mengada-ada, Wibi. Hukuman apa pula
itu?" Wibisono menanggapi perkataan Ana dengan meng-
geserkan tubuhnya, mendekat ke arah gadis itu. Meli-
http://pustaka-indo.blogspot.com295
hat itu Ana langsung beringsut menjauh. Tetapi Wibi-
sono terus mendesaknya. "Jangan macam-macam, Wibi."
"Ini bukan macam-macam. Aku cuma mau menun-
jukkan hukuman bagi mereka yang suka mengumpat
di depan laut." "Wibi, kuperingatkan sekali lagi. Jangan macam-
macam!" Ana membentak Dia tak boleh lengah. Kede-
katan di antara mereka begitu nyata terasakan. Lengan
laki-laki itu seperti melekat ke lengannya. Dadanya
sudah mulai berdebar-debar.
"Aku juga mau mengatakan sekali lagi bahwa aku
tidak melakukan macam-macam, Ana." Suara Wibi-
sono terdengar menggoda namun mesra. "Hanya satu
macam saja kok. Yaitu mendekatkan diriku ke dirimu
supaya terasa mesra."
"Kau gila." "Memang," jawab Wibisono kalem. "Karena kau te-
lah membuatku jadi gila."
Tidak menyangka mendapat jawaban itu, Ana ter-
diam. Tetapi keadaan itu dipakai oleh Wibisono. Ta-
ngannya menghela dagu gadis itu dan dengan gerakan
secepat kilat, bibir indah di dekatnya itu diciumnya
dengan mesra dan intim. Ana tidak menyangka Wibisono bisa segesit itu. Ia
terperangah beberapa saat lamanya. Saat ia sadar dan
berniat merenggut tubuhnya, keadaan sudah terlambat
untuk diperbaiki. Perlakuan Wibisono yang begitu
mesra, ciuman-ciumannya yang menggoda pada bibir,
leher dan bahunya, lalu pelukan tangannya yang ha-
http://pustaka-indo.blogspot.com296
ngat dan penuh keintiman itu telah telanjur membu-
yarkan apa pun pikiran waras Ana. Saat itu ia hanya
bisa berpikir tentang satu hal saja, yaitu kemesraan
dan keintiman yang diselimutkan Wibisono padanya
itu terasa begitu menggairahkan. Seandainya harus
berkata jujur, ia tidak boleh mengelakkan kenyataan
bahwa kemesraan itu begitu memukau dan bahkan
terasa indah. Maka tangannya begitu saja terulur
membalas pelukan Wibisono dan dengan bibirnya
yang mulai nakal, ia ikut-ikutan mengecupi leher
laki-laki itu sehingga pemiliknya melenguh lembut.
Rasanya lama sekali Ana terlena, tanpa ia sendiri
menyadarinya. Tetapi ketika akhirnya Wibisono meng-
angkat wajahnya dan menghentikan ciuman-ciuman-
nya, barulah ia tersadar. Ia merasa betapa panas wajah-
nya. Lekas-lekas ia beringsut menjauhi laki-laki itu dan


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuang pandang matanya jauh-jauh ke tengah laut.
Dadanya masih turun-naik. Sementara itu dengan
matanya yang gemerlap tanpa dia sendiri menyadari-
nya, Wibisono menatap wajah Ana yang kemerahan.
"Mesra, kan...?" bisiknya dengan nada menggoda.
Suaranya terdengar parau.
Ana diam saja. Bergerak saja pun dia tidak berani.
Pandang matanya lurus menatap ke arah permukaan
laut yang gelap, tak berani melihat ke arah Wibisono.
Tetapi laki-laki itu masih menangkap tarikan napasnya
yang pendek-pendek, bukti bahwa gadis itu masih
merasakan sensasi atas kemesraan yang mereka untai
bersama tadi. http://pustaka-indo.blogspot.com297
"Hm... kau seperti gadis belasan tahun yang baru
sekali dicium pemuda," goda Wibisono lagi.
Bibir Ana terbuka, hampir saja menjawab perkataan
Wibisono dengan mengatakan bahwa meskipun ia
sudah dewasa namun pengalamannya bergaul akrab
dengan laki-laki memang sama seperti gadis belasan
tahun yang baru saja meningkat masa remaja. Masih
hijau pengalaman. Persis seperti apa yang dikatakan
Wibisono. Tetapi karena tahu itu tidak ada gunanya,
cepat-cepat ia mengatupkan kembali mulutnya.
Wibisono sempat melihat itu.
"Megap-megap seperti ikan maskoki," godanya.
"Kenapa" Ada yang tak jadi kaukatakan?"
"Ya. Tetapi kupikir-pikir, sebaiknya aku tidak perlu
mengatakannya. Sampai kapan pun, tidak," Ana men-
jawab ketus. Wibisono tertawa kecil. "Memang di saat-saat mesra seperti ini, kata-kata
apa pun tidak diperlukan," godanya lagi.
Mendengar itu, Ana menahan napas beberapa saat
lamanya. Menjengkelkan sekali laki-laki ini, pikirnya
dengan geram. "Wibisono, berbicaralah yang sopan dan silakan
duduk menjauh dariku. Aku tahu kau sedang kese-
pian, tetapi jangan aku yang kaujadikan tempat pelam-
piasan," katanya kemudian.
"Aku tidak melepaskan rasa kesepianku padamu.
Lagi pula aku sudah tidak merasa kesepian lagi. Ma-
lam ini aku mulai sadar bahwa kita berdua ini meru-
pakan pasangan serasi. Ada banyak kecocokan di
http://pustaka-indo.blogspot.com298
antara kita berdua," sahut Wibisono. "Nah, maukah
kau menjadi kekasihku, Ana?"
Ana kaget, tidak menyangka Wibisono bisa berkata
seperti itu. Tanpa kata-kata pendahuluan yang manis
didengar seperti yang sering dibacanya di buku-buku
novel atau di layar televisi. Jadi pasti bukan sesuatu
yang keluar dari lubuk hatinya.
"Wibi, jangan main-main dan hentikan candamu
itu," gerutunya. "Aku tidak main-main dan aku juga tidak sedang
bercanda. Aku serius karena saat ini aku sedang tidak
mempunyai kekasih. Bagiku, kau sungguh sangat
menarik. Cantik jelita dan menyenangkan," sahut
Wibisono. "Mau ya jadi kekasihku?"
"Permintaanmu lucu. Seperti anak kecil minta dibe-
ri permen," Ana menggerutu lagi.
"Sudah kukatakan, aku tidak main-main. Aku
ingin menjadi kekasihmu," desak Wibisono.
"Untuk sementara, sebelum kau mendapatkan gadis
idaman yang sesungguhnya, kan" Hm... laki-laki seper-
ti dirimu jarang sekali yang bisa berpikir serius menge-
nai makna berpacaran."
"Begitu" Apakah itu pengalamanmu bergaul dengan
kaum laki-laki?" Wibisono mulai menyerang.
"Bukan masalah pengalaman, Wibi. Tetapi firasatku
yang bilang," Ana berkata dengan tegas dan sungguh-
sungguh. Untuk beberapa detik Wibisono terperangah, mera-
sa ditelanjangi. "Lalu bagaimana dengan pengalaman pribadimu
http://pustaka-indo.blogspot.com299
dalam hal berpacaran" Apakah ada yang bisa kaujadi-
kan pelajaran dan menjadi cermin di masa menda-
tang?" tanyanya kemudian, tak mau kalah.
"Apa yang kauketahui tentang pengalamanku, he?"
Ana melotot. Jangan mencoba mengungkit-ungkit se-
suatu yang bukan urusanmu."
"Sudahlah, aku tak mau kita jadi bertengkar karena
hal-hal yang tak penting. Nah, aku masih belum men-
dengar jawabanmu. Maukah kau menjadi kekasihku,
Ana?" "Tidak." "Tidak mau?" "Betul. Aku tidak akan berpacaran dengan sese-
orang kalau tidak ada kemantapan di hati. Apalagi
tidak ada cinta di antara kita."
"Oke, aku bisa menerima alasanmu. Nah, bagaima-
na kalau kita menjalin keakraban sebagai teman?"
"Asal tidak sering ketemu, bolehlah. Tetapi kalau
itu ada kaitannya dengan seringnya kita bertemu atau
pergi-pergi ke suatu tempat, aku keberatan."
"Kenapa?" "Kau tak perlu tahu. Itu urusanku."
"Tetapi aku tahu jawabannya."
"Apa?" "Aku tak mau mengatakannya karena belum pasti.
Perlu pembuktian dulu."
Ana menoleh dan menatap Wibisono. Mata laki-
laki itu berpijar. "Agak seriuslah, Wibi. Jangan mengada-ada. Lagi
pula apa yang harus dibuktikan sih?"
http://pustaka-indo.blogspot.com300
"Ini yang perlu dibuktikan...."
Sebelum Ana memahami apa yang dimaksud
Wibisono, tahu-tahu saja laki-laki itu telah memeluk
dan langsung menciumnya lagi dengan gerakan yang
sangat gesit sehingga tak mungkin dia bisa menghin-
darinya. Terlebih karena ia tidak menyangka Wibisono
akan berbuat seperti itu. Maka begitu menyadarinya,
Ana bermaksud mendorong dada laki-laki itu dan lalu
merenggutkan tubuh dari pelukannya.
Namun sebelum Ana melakukannya, tiba-tiba ia
merasa ciuman Wibisono terasa begitu lembut, manis
dan sangat mesra. Berbeda dari ciumannya tadi, yang
meskipun juga mesra namun penuh dengan gelora
asmara. Bahkan terasa oleh Ana elusan tangan laki-
laki itu penuh perasaan dan tak henti-hentinya meng-
elusi pipi, rambut, dan lehernya dengan gerakan halus
dan jari berputar-putar lembut di permukaan kulitnya
yang justru membuatnya lebih terlena daripada tadi.
Seakan ada kasih sayang yang begitu mendalam, kasih
sayang yang hangat, sesuatu yang selalu dirindukannya
semenjak ibunya meninggalkan dirinya, lebih dua pu-
luh tahun lalu, saat ia masih kecil. Maka tanpa kesa-
daran penuh, Ana membalas kemesraan Wibisono
dengan kemesraan dan kelembutan yang serupa.
Saat Ana mulai tenggelam dalam pesona yang sema-
kin terasa intens, tiba-tiba saja Wibisono melepaskan
pelukan dan ciuman-ciumannya. Seperti tak terduga-
nya sergapan kemesraan yang memerangkap Ana tadi,
cara Wibisono menghentikan kemesraan itu pun sama
mengagetkannya. Kepala Ana terasa seperti gasing ber-
http://pustaka-indo.blogspot.com301
putar, bingung tak tentu arah yang harus diikutinya.
Persis seperti orang buta yang tiba-tiba dilepas pegang-
an tangannya. Dengan tubuh gemetar, ia memegang
erat-erat tas yang ada di sampingnya.
"Nah, inilah jawaban yang sudah bisa kutebak.
Kau tidak ingin sering bertemu denganku, apalagi
kuajak pergi, karena takut tak bisa menguasai diri jika
aku memesraimu," terdengar oleh Ana, Wibisono ber-
kata di dekatnya. Meskipun suaranya terdengar serak,
namun masih tertangkap oleh telinganya, nada keme-
nangan di suara laki-laki itu.
Ana tidak bisa segera menjawab. Wibisono telah
mengatakan dengan tepat apa masalahnya. Karenanya
dengan pipi yang merona, ia mencoba untuk membe-
la diri sedapat-dapatnya.
"Aduh, Wibi, jangan ge-er dan sombong. Kaupikir
dirimu begitu hebat?" katanya dengan suara yang juga
parau. "Menurutmu aku ini ge-er dan sombong" Padahal
menurutku, kaulah yang ge-er dan sombong seperti
burung merak. Tak mau mengakui kenyataan. Tetapi
kalau kauanggap aku ini sombong berarti kita berdua
sombong. Nah, tambah lagi kan jumlah kecocokan di
antara kita. Maka ayolah, jadilah kekasihku."
Ana menarik napas panjang. Sepanjang yang per-
nah didengar, dilihat di film ataupun teve serta yang
dibacanya dalam buku-buku roman, tak ada awal per-
cintaan yang dimulai dengan ucapan seperti yang
dikatakan oleh Wibisono itu. Gaya pacaran apa itu"
"Tidak, Wibi. Aku tidak mau. Kita tadi sudah sepa-
http://pustaka-indo.blogspot.com302
kat untuk menjalin hubungan sebagai teman akrab
dan bukannya sebagai sepasang kekasih, kan?"
"Tetapi kenapa kaubalas kemesraanku?"
"Aku... aku... tadi terpengaruh perlakuanmu...."
Wajah Ana mulai merah padam lagi. Malu sekali rasa-
nya. "Tetapi itu bukan berarti aku bersedia menjadi
kekasihmu." "Hmm... apakah sudah ada laki-laki lain?"
"Tidak." "Kalau begitu, apa keberatanmu menjadi kekasih-
ku?" "Aku tak bisa mengatakannya. Pokoknya aku tak
mau menjadi kekasihmu sampai kapan pun. Titik."
"Baik, akan kita lihat nanti...."
"Kau mengancamku?" Ana menoleh ke arah
Wibisono sambil beringsut menjauh.
"Tidak. Aku hanya ingin membuktikan kenyataan
yang akan terjadi. Lihat saja nanti." Sambil berkata
begitu Wibisono memutar kunci starter mobilnya.
"Nah, ayo kita mencari makanan. Perutku sudah lapar
sekali." "Aku tidak lapar. Aku ingin pulang."
"Kalau begitu, kau bisa duduk menemaniku ma-
kan, lalu kita cari sesuatu di Pasar Seni untuk oleh-
oleh ibumu. Beliau tadi mengetahui kalau kita akan
pergi ke Pasar Seni."
"Tidak usah." "Terserah kau mau bilang apa, aku yang akan mem-
beli oleh-oleh buat ibumu. Di Pasar Seni ada banyak
http://pustaka-indo.blogspot.com303
barang kerajinan yang bagus-bagus. Aku yakin beliau
akan senang." Ana malas membantah Wibisono. Bahkan dia diam
saja ketika akhirnya laki-laki itu mengarahkan mobil-
nya ke Pasar Seni dan memarkirnya tepat di dekat
rumah makan. Ketika mereka turun, aroma ikan ba-
kar bercampur sate yang sedang dipanggang langsung
saja menyerbu hidung mereka. Maka Ana pun lupa
bahwa dia tadi telah menolak untuk diajak makan.
Wibisono tersenyum di dalam hatinya. Memang perut
mereka sedang kosong-kosongnya dan minta segera
diisi. Selesai makan, mereka jalan bersisian melihat-lihat
kios-kios yang menjajakan bermacam jenis pernak-per-
nik kerajinan dan karya seni. Kerikuhan yang tadi
sempat menguasai hati Ana, mulai menghilang. De-
ngan senang hati dia membelikan tempat serbet kertas
dan tatakan gelas terbuat dari anyaman tikar. Untuk
dirinya sendiri, ia membeli sepasang penahan buku
terbuat dari kayu berukir agar deretan buku-buku
yang diletakkan di atas meja tulisnya jangan sampai
roboh karena tertahan benda tersebut.
"Kau mau kubelikan kalung batu alam itu?"
"Tidak." "Mau apa dong?"
"Tidak mau apa pun yang kaubeli dengan uangmu.
Tadi, kau sudah mentraktir aku makan malam. Aku
bukan orang yang serakah."
"Aku tidak mengatakan begitu. Bagaimana kalau
aku membeli pajangan kayu cendana itu untuk ibu-
http://pustaka-indo.blogspot.com304
mu" Lihat. Ukirannya halus sekali. Sepertinya dari
Bali." "Terima kasih," Ana menyela bicara Wibisono. "Se-
baiknya kau tidak usah mengeluarkan uang untuk
oleh-oleh buat ibuku. Aku sudah membelikannya."
"Terserah kau mau bilang apa tetapi aku ingin
membelikan sesuatu untuk ibumu sebagai oleh-oleh.
Jangan melarangku." "Tidak perlu, Wibi. Jangan mengambil hati ibuku
seperti kau mengambil hati Mama. Beli saja sesuatu
untuk ibumu." "Ibuku sedang menjenguk Wawan di Ungaran."
"Kalau begitu beli saja untuk adikmu atau kekasih-
mu barangkali.?" "Adikku biasa memilih benda seni sendiri. Dibeli-
kan belum tentu cocok seleranya. Sedangkan kekasih-
ku sudah membeli sendiri. Tempat serbet kertas dan
tatakan gelas untuk ibunya. Untuk dirinya, dia telah
membeli penahan buku dari kayu ukiran yang..."
"Ah, sialan kau. Sejak kapan aku menjadi kekasih-


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu?" Ana mengomel panjang-pendek. "Kau selalu
membuatku kesal." "Kan tadi aku sudah bilang, lihat saja nanti bukti-
nya." "Kau juga suka menggombal," Ana menambah
gerutuannya sambil mengerucutkan bibirnya.
Wibisono tertawa mendengar umpatan Ana.
"Lihat tuh, ada beberapa pasang mata melihat cara-
mu menggerutu. Mereka pasti menyangka aku sedang
diomeli istriku." http://pustaka-indo.blogspot.com305
"Jangan ngarang."
"Lihat saja sendiri orang-orang yang sedang duduk
di bangku itu, kalau tak percaya."
Ana melayangkan pandangannya ke arah yang dika-
takan oleh Wibisono. Memang ada beberapa pasang
mata sedang memperhatikan mereka berdua. Mengeta-
hui itu, dia merasa malu. Padahal yang mereka perha-
tikan bukan seperti yang dikatakan oleh Wibisono.
Mereka sedang mengagumi pasangan yang begitu sera-
si, yang lelaki gagah dan ganteng dan yang perem-
puan cantik jelita. "Ayo ah, kita pulang," desahnya, mulai salah ting-
kah. "Sudah malam, aku mengantuk berat nih. Besok
aku harus bekerja." Wibisono tersenyum, meliriknya.
"Baik. Aku tahu kau memang kurang tidur bela-
kangan ini," katanya kemudian.
"Sok tahu kau."
Wibisono tersenyum lagi mendengar gerutuan Ana.
Kemudian dengan sengaja ia melingkarkan lengannya
ke bahu Ana. Dia tahu, di bawah tatapan orang ba-
nyak tak mungkin Ana menolak keintiman yang
diperlihatkannya. http://pustaka-indo.blogspot.com306
ANA terbangun dengan rasa nyeri di kepalanya. Ber-
denyut-denyut rasanya. Ia mendengar suara ketukan
di pintu kamarnya. "Ana" sudah siang," terdengar suara ibu tirinya,
menyusuli ketukan di pintunya.
Ana memejamkan matanya kembali sambil meng-
usir denyutan nyeri di kepalanya.
"Ana?" ulang suara di muka kamarnya itu.
"Ya, Bu?" Dengan perasaan terpaksa Ana menjawab
panggilan ibunya. Perempuan itu tidak tahu bahwa ia
sedang sakit kepala. Sesuai permintaan Ana, ibu tiri-
nya selalu membangunkannya jika jam enam lewat
dia belum keluar dari kamar.
"Ibu sudah membangunkanmu lho...."
"Ya, Bu. Terima kasih."
Suara langkah kaki yang menjauh menyebabkan
Sembilan http://pustaka-indo.blogspot.com307
Ana berusaha membuka pelupuk matanya. Tetapi sa-
kit kepala itu masih juga belum hilang.
Ana yakin, sakit kepala yang dideritanya itu ada
kaitannya dengan tidurnya yang tak nyenyak tadi ma-
lam. Pikirannya begitu resah dan terbebani rasa bersa-
lah atas apa yang telah dilakukannya bersama Wibisono
di tepi laut, kemarin petang. Mulai dari ciuman-cium-
annya yang memabukkan sampai pada permintaan
laki-laki itu agar ia menjadi kekasihnya.
Huh, kekasih. Tidak ingatkah laki-laki itu bahwa
hubungan mereka berdua hanyalah sebagai dua pe-
numpang kapal berbeda yang hanya kebetulan saja
berpapasan di tengah laut" Melambaikan tangan sam-
bil tersenyum, selesai. Lalu kapal masing-masing me-
lanjutkan perjalanan dengan jarak yang semakin jauh
dan semakin jauh. Tetapi kenapa sekarang lelaki itu
mau menjadikannya sebagai kekasih"
Namun apa pun alasannya, Ana tahu dari firasat-
nya, Wibisono tidak serius. Laki-laki itu tidak pernah
menghargainya sudah sejak awal perkenalan mereka.
Tampaknya ia menganggap posisi atau apa pun nama-
nya, tidak setara dengan dirinya. Kalimat-kalimat
yang dilontarkannya pun jarang sekali yang enak di-
dengar. Dengan perkataan lain, keinginannya untuk
menjadikannya kekasih hanya sebagai hiburan, sebagai
pengisi kesepian hatinya saja. Tak lebih dari itu.
Kesimpulan yang semakin membulat itulah yang
menyebabkan Ana tak bisa tidur hampir semalam sun-
tuk lamanya. Berbagai macam perasaan mengaduk-
aduk dan mengharu-biru hatinya. Mulai rasa bersalah,
http://pustaka-indo.blogspot.com308
terhina, sampai rasa amarah. Ironisnya, amarah itu juga
ditujukan kepada dirinya sendiri karena telah memberi
kesempatan kepada Wibisono untuk mencium dan
mendekatinya. Padahal, begitu pulang dari Ungaran,
dia sudah menentukan suatu keputusan yang tak boleh
diganggu gugat, yaitu tidak akan lagi berhubungan de-
ngan Wibisono dalam bentuk apa pun. Bertemu lagi
pun tidak perlu. Urusannya di Ungaran, telah selesai.
Dia akan kembali pada kehidupan lamanya di Jakarta
dan menjalani hidup kesehariannya yang tenang dan
damai sebagaimana biasanya. Tetapi siapa sangka laki-
laki itu malah menjemputnya di Stasiun Gambir. Sial-
an. Sialan, Wibisono. Kau telah menghilangkan kete-
nangan hidupku. Kau telah membuat kepalaku sakit
luar biasa. Begitu kata Ana dalam hati sambil memijit-
mijit lembut kepalanya yang masih terasa nyeri.
Tetapi Ana tidak mau menyerah kalah pada keada-
an. Dia harus berangkat ke kantor. Besok deadline.
Semua naskah sudah harus dicermatinya. Maka dico-
banya duduk, lalu menarik napas panjang beberapa
kali untuk mengusir rasa sakit di kepalanya itu de-
ngan cara memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya.
Dengan tekad seperti itulah akhirnya Ana mampu
bangkit dari tempat tidurnya.
Di kantor, sesudah mengedit beberapa artikel de-
ngan kepala yang masih berdenyut-denyut, Ana mera-
sa kekuatannya semakin lama semakin terkuras. Kepa-
lanya semakin berdenyut-denyut. Bahkan muncul rasa
mual yang menekan perutnya. Ia ingin muntah se-
http://pustaka-indo.blogspot.com309
hingga akhirnya dia tidak tahan lagi. Direbahkannya
kepalanya ke atas meja. "Kenapa, Ana?" Farida, rekan sekerjanya, menegur-
nya. "Sakit, ya?"
"Ya, kepalaku sakit sekali. Semalam aku hanya tidur
sekitar tiga jam saja," sahut Ana tersendat-sendat kare-
na sakit kepalanya terus saja mengganggunya.
"Perlu obat sakit kepala" Kalau mau, kuambilkan."
"He, jangan sembarangan minum obat," Pak
Sukandar yang kebetulan lewat di dekat mereka, me-
nyela pembicaraan. "Obat sakit kepala biasa yang ringan kok, Pak,"
Farida yang menjawab. "Sejak kapan sakitnya, Ana?"
"Sejak bangun tidur, Pak. Bapak punya obat sakit
kepala apa?" tanya Ana sambil mengernyitkan dahi,
menahan rasa sakit. "Sudah saya katakan, jangan makan obat sembarang-
an. Sakit kepala kan ada banyak penyebabnya. Kalau
kau memang kurang tidur, sebaiknya tidurlah dan
istirahatkan dirimu, lahir dan batin. Kalau setelah tidur
masih sakit, pergilah ke dokter. Itu yang paling aman.
Nah, sekarang tidurlah dulu di ruang istirahat, Ana."
"Saya ingin pulang..." Belum selesai dia bicara, isi
perutnya memberontak. Lekas-lekas ia berlari ke ka-
mar kecil dan memuntahkan seluruh sarapan paginya
di sana. Ketika kembali ke mejanya, wajahnya tampak pucat
dan keringat bermanik-manik di dahi, di bawah hi-
http://pustaka-indo.blogspot.com310
dung, dan di atas dagunya. Melihat itu Pak Sukandar
menyuruhnya pulang. "Dalam kondisi begini kau toh tidak bisa melaku-
kan apa pun di sini. Memang sebaiknya kau beristira-
hat di rumah saja." Ana mengiyakan. Untungnya selama dua setengah
jam pagi tadi, dia sudah mengerjakan sebagian besar
pekerjaannya. Kalau nanti di rumah keadaannya lebih
baik, dia bisa mengerjakan sisanya. Rasanya masih
bisa terkejar sebelum deadline tiba. Apalagi Farida pas-
ti akan membantunya. "Naik apa, Ana?" Pak Sukandar bertanya dengan
rasa prihatin saat melihat Ana mengemasi barangnya
dengan dahi mengernyit. "Saya akan naik taksi, Pak."
"Berani sendirian."
"Harus berani."
"Sudahlah, sebaiknya kuantar kau sampai rumah
karena kebetulan aku harus mengurus sesuatu ke per-
cetakan. Ayo," katanya.
Tawaran itu melegakan hati Ana karena sebenarnya
dia juga tidak tenang pulang sendirian dalam kondisi
seperti itu. Perutnya masih saja terasa mual dan kepa-
lanya seperti dijepit besi. Sakit dan berdenyut-denyut.
Maka begitulah, tak lama kemudian Ana sudah ber-
ada di dalam mobil Pak Sukandar, meluncur ke jalan
raya menuju ke rumahnya. Malang, di dalam perjalan-
an itu mobil yang mereka tumpangi berpapasan de-
ngan mobil Wibisono yang saat itu sedang pergi ber-
sama Kresno untuk menyelesaikan urusan bisnis
http://pustaka-indo.blogspot.com311
mereka. Sungguh suatu kebetulan yang sangat tidak
menyenangkan. Menyaksikan Ana sedang bersama laki-laki yang
berusia jauh di atasnya, hati Wibisono langsung saja
teraduk-aduk. Jengkel, sebal, merasa dilecehkan, ma-
rah, dan bermacam perasaan lainnya. Baru semalam
mereka pergi berduaan. Dasar perempuan murahan,
munafik, sok alim, perempuan yang bisa-bisanya ber-
akting sebagai gadis hijau yang belum berpengalaman.
Diminta menjadi kekasihnya, tidak mau. Padahal..."
Meskipun tidak terlihat jelas, tetapi Wibisono ma-
sih sempat melihat betapa santainya gadis itu, duduk
dengan menyandarkan kepala. Manja sekali kelihatan-
nya. Benar-benar memalukan.
"Eh, Mas, kenapa kau tiba-tiba bersungut-sungut
sendiri, tak jelas apa yang kaugumamkan?" Kresno
yang memegang kemudi bertanya pada sang kakak.
"Ada apa?" "Perutku lapar...," Wibisono tak mau mengatakan
terus terang apa yang sedang berkecamuk di hatinya.
Menurut dia, semestinya Ana tidak pergi begitu saja
dengan laki-laki lain setelah semalam mereka berdua
jalan bersama dan sempat berpeluk mesra. Apalagi
dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi paman-
nya. Semestinya" Wibisono disodok pertanyaan yang te-
rasa mengganjal hatinya. Siapa yang mengharuskannya"
Ah, Wibisono sendiri tak mampu menjawab pertanya-
an tendensius seperti itu. Memangnya Ana itu siapa"
http://pustaka-indo.blogspot.com312
Pacarnya, istrinya atau siapa" Kalau bukan apa-apanya,
kenapa dia merasa seperti sedang dikhianati"
Justru karena itulah aku tidak mengatakan terus
terang kepada Kresno bahwa hatinya sedang diamuk
amarah karena melihat Ana pergi dengan laki-laki
lain. Dia sadar, perasaan itu sudah terlalu jauh mele-
wati kewajaran. Karenanya Kresno tidak boleh tahu.
Adiknya itu pasti akan menertawakan dan mencela-
nya. Tetapi seperti beberapa minggu yang lalu, sejak
mata Wibisono melihat Ana bersama laki-laki lain
menjelang siang tadi, emosinya menjadi labil kembali.
Sediki-sedikit, marah. Ada yang tak berkenan di hati-
nya, menggerutu panjang pendek. Maka seperti waktu
itu, Kresno juga menegurnya saat mendengar suara
Wibisono agak keras sewaktu menjawab langganan
yang komplain atas keterlambatan penerimaan barang-
nya. "Orang itu tidak mau tahu kalau ada perbaikan
beberapa jembatan yang mengakibatkan kemacetan di
jalur Pantura," gerutunya sambil meletakkan gagang
telepon. "Tetapi kau kan bisa mengatakannya dengan lebih
sabar, Mas. Kau sendiri yang bilang, langganan adalah
raja." "Kalau begitu kenapa bukan kau saja tadi yang
mengurusi orang itu?" Wibisono menjawab dengan
menggerutu. "Kau seperti orang yang baru saja ditolak cinta sih.
Jangan emosional begitu ah. Yulia tadi mengeluh pada
http://pustaka-indo.blogspot.com313
Nanik, tak tahan menghadapimu," sahut Kresno de-
ngan sabar. "Kalau dia minta keluar, apakah kau bisa
mencari gadis yang secekatan dan secerdas dia" Belum
lagi kalau dia membujuk Nanik juga keluar. Mereka
berdua sudah bisa kita lepas dan jalan sendiri. Kalau
orang baru, kita masih harus mengajari dan belum
tentu sebaik mereka, kerjanya."
Wibisono tidak menjawab. Tetapi otot-otot yang
bersembulan di pelipisnya memberitahu Kresno bahwa
sang kakak mencerna apa yang tadi dikatakannya.
Mudah-mudahan Wibisono mau mengubah sikap bu-
ruknya itu. Dia lalu mengubah topik pembicaraan.
"Mas, semenjak pulang dari Ungaran, Ibu tidak
lagi tampak terlalu sedih. Ada kesibukan baru, menja-


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hit baju-baju untuk anak-anak Mas Wawan," kata-
nya. "Aduh, syukurlah. Hobinya menjahit dan mende-
sain pakaian bisa tersalurkan melalui kasih sayangnya
terhadap cucu." "Tetapi kalau beliau melihatmu suka marah-marah
tak menentu seperti beberapa hari ini, pasti hatinya
akan sedih lagi," jawab Kresno dengan sikap serius.
"Sudahlah, jangan menguliahku lagi. Aku tahu apa
yang harus kulakukan."
"Tetapi aku tetap ingin mengingatkanmu. Hati-hati
dengan permainanmu. Kalau yang kaumainkan itu
api, jangan sampai tubuhmu terbakar. Kalau yang
kaumainkan itu air, jangan sampai tubuhmu basah
kuyup. Dan kalau..."
"Cukup, Kresno!" Wibisono membentak. "Sudah
http://pustaka-indo.blogspot.com314
kukatakan, aku tahu apa yang harus kulakukan dan
otakku masih bisa kupergunakan dengan baik."
Usai bicara seperti itu, Wibisono keluar dengan
langkah lebar-lebar dan membanting pintunya. Kresno
yang masih berada di ruangan mengangkat bahunya
tinggi-tinggi. Dugaannya semakin kuat, sang kakak
sudah mulai masuk ke dalam perangkap yang dibuat-
nya sendiri. "Mudah-mudahan dia segera sadar dan mampu
melepaskan diri dari jerat buatannya sendiri," gumam-
nya pada dirinya sendiri.
Sekeluarnya dari ruangan Wibisono bergegas menu-
ju garasi. Tak lama kemudian dia sudah berada di ja-
lan raya, berputar-putar tanpa tujuan sampai akhirnya
membiarkan perasaannya menuntun dirinya menuju
ke rumah Ana. Saat itu cuaca mulai redup. Sebentar
lagi senja turun. Ketika Wibisono tiba, Deni yang membukakan
pintu untuknya. Ibunya sedang ke rumah sakit, menje-
nguk tetangga yang baru dioperasi, bersama beberapa
warga RT lainnya. "Mbak Ana ada?" Wibisono langsung melemparkan
pertanyaan begitu Deni menyuruhnya duduk.
"Ada. Tetapi sedang sakit...."
"Sakit?" Huh, sakit apa" Tadi dia melihat Ana ber-
ada di dalam mobil bersama laki-laki paro baya.
"Sakit kepala hebat, Mas."
"Sakit sungguhan?"
Deni tersenyum. http://pustaka-indo.blogspot.com315
"Tentu saja sakit sungguhan. Masa pura-pura sih.
Tadi saya yang mengantar dia ke dokter."
Wibisono melihat wajah yang polos dan pandangan
mata yang jujur. Hm, pasti Ana kecapekan. Ya beker-
ja, ya pacaran. "Sekarang ada di mana?" tanyanya kemudian.
"Di kamarnya. Sedang tiduran."
"Tetapi bisa bangun menemui tamu, kan" Tolong
katakan padanya, aku datang...."
"Mbak Ana tidak bisa bangun, Mas. Tadi siang ada
temannya datang tetapi dia tidak bisa keluar mene-
muinya. Jadi tamunya yang masuk ke kamarnya," sa-
hut Deni. "Ibumu membolehkan?" Hati Wibisono terasa pa-
nas. Kalau orang lain boleh masuk ke kamarnya,
seharusnya dia juga boleh. Bukan cuma disuruh du-
duk di teras begini. "Kenapa tidak boleh, Mas" Mbak Fitri sudah biasa
keluar-masuk di rumah ini."
Amarah di dada Wibisono mengempis seketika,
seperti balon terbuka buhulan ikatannya. Ah, dia ter-
lalu curiga. Disangkanya teman yang diceritakan Deni
itu laki-laki yang siang tadi pergi bersamanya.
"Karena aku tak mungkin masuk ke kamarnya, to-
longlah, Den, suruh kakakmu keluar. Mungkin seka-
rang pusingnya sudah hilang setelah minum obat,"
desak Wibisono. Deni mengiyakan. Tetapi Ana tidak mau keluar
kamar meskipun sakit kepalanya sudah jauh berkurang
dibanding ketika masih di kantor tadi.
http://pustaka-indo.blogspot.com316
"Katakan kepadanya, aku tidak bisa bangun dari
tempat tidur." "Aku sudah bilang begitu kepadanya, Mbak."
"Pokoknya aku tidak mau turun dari tempat tidur
sampai waktu makan malam nanti. Jadi suruhlah dia
pulang." "Baik." Deni mengangguk.
Tetapi beberapa menit kemudian, pemuda itu kem-
bali lagi ke kamar sang kakak.
"Dia tidak mau pulang, Mbak. Mau menunggumu
sampai kau keluar untuk makan malam nanti."
"Eh, kau bilang kalau aku akan keluar kamar pada
waktu makan malam nanti?"
"Ya. Kan begitu katamu tadi, Mbak."
"Ya, ampun, Den. Kata-kata itu kan untukmu. Bu-
kan untuk dia. Wah, payah kamu. Aku tidak ingin
menemuinya!" "Oh, begitu...."
"Laki-laki itu memang sering nekat."
"Jadi kau akan menemuinya?"
"Tidak." "Lalu...?" Deni melebarkan pelupuk matanya.
"Biar saja dia menunggu sampai tua. Aku tak akan
menemuinya. Tetapi kalau kau mau menemaninya,
terserah. Pokoknya, aku tidak mau. Siapa suruh dia
datang ke sini." Deni mengangguk, lalu keluar dari kamar Ana. Dia
yakin, ada sesuatu di antara kedua orang itu. Entah
apa, yang jelas dia akan membantu kakaknya sejauh
yang bisa dilakukannya. Sepanjang yang diketahuinya,
http://pustaka-indo.blogspot.com317
Ana memiliki prinsip yang begitu kuat untuk tidak
melakukan sesuatu yang salah.
Sementara itu karena merasa yakin Wibisono pasti
akan pulang begitu mengetahui dia tidak akan mene-
muinya, maka begitu Deni keluar dari kamarnya, Ana
mencoba untuk tidur lagi. Tetapi ternyata keinginan
itu tak bisa direalisasikan. Rasanya baru tidur seben-
tar, ibu tirinya masuk ke kamarnya.
"Ana, kepalamu masih sakit?" tanya sang ibu tiri.
"Masih. Tetapi sudah jauh berkurang daripada tadi.
Lumayan tadi saya bisa tidur dua jam lebih. Sudah
begitu, obatnya manjur."
"Bisa bangun, kan?"
"Bisa. Nanti saya akan makan bersama-sama Ibu
dan Deni." Jawaban yang wajar karena ketika makan
siang tadi, dia melakukannya di atas tempat tidur.
"Kalau bisa bangun, kenapa kaubiarkan Nak
Wibisono di teras sendirian" Keluarlah sebentar,
Ana." "Wibisono masih di sini?"
"Ya, masih. Katanya dia sudah menunggumu di
sini selama satu jam lebih dan membiarkanmu tidur
dulu. Nah, temuilah dia biarpun cuma sebentar. Ka-
sihan, jauh-jauh dia datang ke sini. Jadilah nyonya
rumah yang baik, Ana. Keluarlah meski cuma untuk
mengatakan sepatah atau dua patah kata saja. Sesudah
itu kau bisa kembali ke kamarmu lagi."
Suara ibu tirinya terdengar tegas dan mengandung
teguran yang mengingatkan Ana pada aturan main
pergaulan. Dengan rasa terpaksa dia menurut. Ditu-
http://pustaka-indo.blogspot.com318
karnya pakaian tidurnya dengan baju rumah dan disi-
sirnya rambutnya. Dia tidak mau memakai bedak.
Apalagi lipstik. Biar sajalah kelihatan jelek, pikirnya.
Tidak tahu dia bahwa dalam keadaan seperti itu
kecantikan alaminya justru tampak begitu menonjol
dan itulah yang dilihat oleh Wibisono saat Ana keluar
menemuinya. Tidak banyak orang yang sedang sakit
namun kecantikannya masih bisa meraih perhatian
orang, seperti gadis itu.
Ana yang tidak tahu tamunya sedang mengagumi-
nya, langsung menyemburkan kejengkelannya.
"Kau nekat betul sih. Kan Deni sudah mengatakan
bahwa aku sakit. Kalau bukan disuruh Ibu, aku malas
keluar menemuimu. Kepalaku masih berdenyut-de-
nyut." "Sesakit apa pun apakah kau tidak bisa menghargai
orang yang datang jauh-jauh untuk berjumpa dengan-
mu?" "Tetapi bagaimana sebaliknya" Apakah kau meng-
hormati orang yang betul-betul dalam kondisi harus
istirahat karena sakit?" Ana ganti menyembur.
"Kau tidak akan sakit kalau bisa menjaga diri-
mu." "Sok tahu, kau. Memangnya aku kenapa?"
"Sudah tahu pekerjaanmu banyak, kenapa masih
juga jalan-jalan pada jam kerja...?"
"Jalan-jalan...?" Ana mengerutkan dahinya.
"Ya. Menjelang siang tadi aku melihatmu berpacar-
an." "Kau gila." Mata Ana menyala-nyala. "Kau benar-
http://pustaka-indo.blogspot.com319
benar telah menghinaku dan ngawur sekali. Kapan
aku pacaran?" "Kan sudah kukatakan tadi, menjelang siang hari
ini. Aku melihatmu di dalam mobil bersama laki-laki
setengah baya. Kau tampak begitu manja, menyandar-
kan kepala dengan sikap amat santai. Nah, apakah
aku ngawur?" Ana megap-megap menahan amarah. Rupanya
Wibisono melihatnya berada di dalam mobil Pak
Sukandar ketika atasannya tadi mengantarkannya pu-
lang karena sakit. Untuk beberapa detik lamanya Ana
berkutat di dalam pikirannya sampai akhirnya ia me-
mutuskan untuk tidak membantah dugaan Wibisono.
Laki-laki itu sudah menjatuhkan penilaian rendah ter-
hadap dirinya gara-gara dia saudara kandung Evi dan
Ika. Sungguh picik pemikirannya. Jadi percuma saja
membela diri. Lagi pula, buat apa" Hanya membuang-
buang waktu saja dan tak ada faedahnya sama sekali.
Merasa dirinya terlalu berharga untuk "dicuci"
Wibisono, Ana tak hendak menjelaskan kenyataan
sebenarnya. Biarlah laki-laki itu mau berpikir apa ten-
tang dirinya, dia tak peduli. Bukan urusannya. Me-
mangnya siapa dia" Melihat Ana terdiam, Wibisono tersenyum mi-
ring. "Kau tak bisa membela diri, kan?" katanya, merasa
menang. "Tak ada yang perlu kubela, Wibi. Andaikata pun
apa yang kaulihat itu benar seperti dugaanmu dan
andaikata pula aku berpacaran sampai kepalaku copot
http://pustaka-indo.blogspot.com320
dan bukan cuma sakit kepala begini, itu bukan urus-
anmu," sahut Ana dengan perasaan jengkel yang tak
disembunyikannya. "Siapa bilang bukan urusanku" Kau kan belum
menjawab dengan pasti, permintaanku untuk menjadi-
kanmu sebagai kekasih?"
"Aku tidak tahu apakah telingamu yang tuli atau-
kah daya ingatmu yang parah. Kemarin malam aku
sudah menjawab dengan suatu kepastian, aku tidak
mau menjadi kekasihmu."
"Aku tidak tuli dan daya ingatanku masih kuat.
Memang aku mendengar jawaban "tidak" darimu. Teta-
pi kenyataan yang kudapatkan sangat berbeda dengan
kata "tidak" yang kauucapkan itu."
"Di mana letak perbedaannya?"
"Meskipun kau mengatakan tak mau menjadi keka-
sihku, tetapi setiap kali kau kupeluk dan kucium, ti-
dak ada penolakan darimu. Bahkan begitu pasrah,
seperti kucing manja dalam pelukan dan pangkuan
tuannya." Wajah Ana langsung memerah begitu mendengar
kata-kata Wibisono yang sangat terus-terang itu. Beta-
papun menyebalkannya, tetapi perkataan laki-laki itu
benar. Dan itu membuatnya merasa amat malu. Se-
mentara itu Wibisono malah terpesona saat melihat
rona merah berlama-lama di pipi Ana yang semula
tampak pucat. Gadis itu sungguh sangat cantik di
bawah siraman lampu teras. Untuk beberapa saat
lamanya laki-laki itu membiarkan dirinya mengagumi
keindahan yang ada di hadapannya itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com321
"Wibi, aku tak mau mendengar lagi kata-kata tak
senonoh yang baru saja kauucapkan tadi," terdengar
oleh Wibisono Ana berkata lagi dengan tersipu-sipu.
Sekali lagi untuk beberapa saat lamanya Wibisono
terseret pesona Ana. Gadis yang pacarnya berganti-
ganti itu masih bisa tersipu-sipu seperti itu. Benar-
benar gadis misterius. "Baik. Nah, kembali ke persoalan kita, aku datang
ke sini untuk sekali lagi menanyakan kesediaanmu
menjadi kekasihku." "Sudah beberapa kali aku menjawab dengan kata
"tidak". Apakah itu kurang jelas?"
"Tetapi seperti kataku tadi, jawaban "tidak"-mu itu
bertolak belakang dengan sikapmu. Jadi bagaimana
mungkin aku bisa memercyai perkataanmu. Itu alasan
yang pertama. Kedua, kalau orang lain yang usianya
setengah baya bisa menjadi kekasihmu, kenapa aku


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak" Padahal aku yakin, dia pasti sudah berkeluarga
sementara aku masih bujangan. Daripada melukai hati
perempuan lain kan lebih baik berpacaran saja dengan-
ku." Pipi Ana yang mulai memucat lagi, kini mulai
merona merah kembali. Tetapi kalau tadi disebabkan
rasa malu, kini karena amarah. Bicara Wibisono sung-
guh keterlaluan, Ana merasa terhina karenanya.
"Cara berpikirmu pendek dan kerdil. Tetapi terse-
rah saja apa yang kaupikirkan tentang diriku, yang
pasti sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan
diriku menjadi kekasihmu"," katanya kemudian de-
http://pustaka-indo.blogspot.com322
ngan agak terbata. Namun tatap matanya begitu ta-
jam, menusuk bola mata Wibisono.
Laki-laki itu tertegun. Ia sempat menangkap sinar
mata terluka terpancar dari mata gadis itu. Rasanya
aneh bahwa perkataannya tadi bisa melukai hati pe-
rempuan-perempuan sejenis Ana.
Sejenis Ana" Jenis yang bagaimana" Pertanyaan
yang tiba-tiba melintasi pikirannya itu membuat
Wibisono bingung dengan tiba-tiba. Ingatannya mela-
yang pada Evi dan Ika. Kedua kakak-beradik itu sa-
ngat menyukai kemewahan, berfoya dan berpesta
pora, hidup serbamudah, serba-menyenangkan. Demi
semua itu keduanya rela meninggalkan kuliahnya. Di
muka umum, keduanya selalu tampil gemerlapan de-
ngan rias wajah yang prima. Tetapi Ana"
Dia selalu berusaha untuk bersekolah setinggi
mungkin kendati keinginannya untuk mengambil ge-
lar sarjana strata dua terganjal oleh biaya. Tetapi tam-
paknya gadis itu mempunyai harga diri yang tinggi,
tak mau menerima bantuan ibu kandungnya yang
kaya. Dia hidup apa adanya. Naik kendaraan umum
pun tidak keberatan. Dia suka bekerja keras dan men-
cintai pekerjaan yang dipilihnya. Singkat kata, tampak-
nya Ana berbeda daripada Evi dan Ika. Tetapi dari
beberapa kejadian yang kebetulan dipergokinya, Ana
mau juga dibawa laki-laki kaya kendati laki-laki itu
setua ayahnya. Tetapi sulit baginya untuk menjawab
pertanyaan apakah Ana termasuk jenis perempuan
pengejar laki-laki berharta" Melihat kehidupannya
yang sederhana bersama ibu dan adik tirinya, rasanya
http://pustaka-indo.blogspot.com323
Ana bukan perempuan materialistis. Atau jangan-ja-
ngan, Ana termasuk perempuan petualang cinta sam-
bil sejenak menikmati kemewahan" Entahlah. Semua-
nya masih merupakan misteri baginya.
Namun apa pun itu tampaknya ia harus lebih was-
pada terhadap Ana justru karena kemisteriusannya itu.
Ana pandai menyembunyikan kenyataan sebenarnya.
Berbeda dengan Evi dan Ika.
"Ah, sudahlah...." Akhirnya Wibisono lelah sendiri
memikirkan gadis yang ada di hadapannya itu.
"Apanya yang sudahlah...?"
"Pembicaraan yang tak ada ujung-pangkalnya ini,"
sahut Wibisono. "Membuang-buang energi saja."
"Akhirnya isi bicaramu masuk akal. Nah, karena
tidak ada hal yang penting, maaf kalau aku berterus
terang ingin segera bisa merebahkan kepalaku kem-
bali. Aku masih sakit."
"Oke. Tetapi tolong pikirkan sekali lagi apa yang
kuharapkan darimu, Ana. Jadilah kekasihku."
"Ah, kau. Harus berapa puluh kali lagi aku menja-
wabnya sih" Kau belum pikun, kan?" Ana menggeru-
tu. "Alasannya apa?"
"Pertama, aku tak ingin menjadi alat pelipur rasa
kesepianmu. Kedua, aku bukan batu pengganjal ban.
Kalau mobilnya sudah bisa berjalan lancar dan tidak
ada kemungkinan merosot, ganjal itu dibuang. Ketiga,
aku tidak mencintaimu. Keempat, aku tidak suka
membuang-buang waktu yang tak ada manfaatnya de-
ngan berpacaran denganmu," jawab Ana. "Dan masih
http://pustaka-indo.blogspot.com324
ada banyak lagi alasan lainnya. Tetapi kalau itu kuka-
takan kepadamu, kau pasti tersinggung. Dan aku malas
berbantah kata denganmu. Kepalaku masih sakit."
"Aku tak yakin dengan jawaban "tidak"-mu itu."
"Kau harus yakin. Aku tidak main-main. Jadi cari-
lah gadis lain." "Aku hanya mau denganmu saja, Ana."
"Aku tidak mau, Wibi. Dan aku betul-betul yakin,
kau pun sebenarnya tidak bersungguh-sungguh de-
ngan keinginanmu itu. Jelek-jelek begini, aku punya
firasat tajam." Wibisono tertegun sesaat lamanya. Sejujurnya, dia
memang hanya ingin menjadikan Ana sebagai kekasih,
sampai dia menemukan seorang gadis yang akan dija-
dikannya sebagai istri, gadis yang terhormat dan ber-
moral tinggi. Dan itu pasti bukan Ana. Tetapi mana
mau laki-laki itu mengakuinya.
"Firasatmu bisa saja salah. Aku benar-benar ingin
menjadikanmu kekasih."
Ana tersenyum di dalam hati. Dia tahu isi hati
Wibisono. Penilaian laki-laki itu terhadap dirinya sa-
ngat rendah. Jadi andaikata menjadi kekasihnya sam-
pai bertahun-tahun lamanya sekalipun, pasti dia tak
akan dijadikan sebagai istrinya. Hm, siapa sudi"
"Kau tak usah bertahan dengan keinginanmu itu,
Wibi. Aku tahu siapa dirimu. Dan aku tahu siapa
diriku. Tak mungkin kita bisa menjadi kekasih.
Mengenai hal itu tak usah diperdebatkan lagi karena
tidak akan ada titik temunya. Apalagi aku tidak akan
mengubah jawabanku." Ana berkata sambil bangkit
http://pustaka-indo.blogspot.com325
dari tempat duduknya. Sikapnya tampak anggun.
"Maaf, aku ingin beristirahat. Pulanglah."
Keangkuhan burung merak itu menyilaukan
Wibisono. Kesabarannya lenyap dan kesadarannya
menghilang. Ketika Ana melintas di dekatnya, tangan
gadis itu diraihnya dengan sentakan sehingga terdu-
duk di atas pangkuannya. Wibisono berani berbuat
begitu karena tempat duduknya di teras itu teraling
pilar dan tanaman merambat yang menyembunyikan-
nya dari penglihatan orang di jalanan andaikata orang
itu menoleh ke arah mereka.
Dari pengalamannya beberapa kali bersama Ana,
Wibisono tak mau memberi kesempatan pada gadis
itu untuk menolak pelukan dan ciuman mesranya.
Dan dia tidak salah perhitungan. Ana langsung pasrah
begitu merasakan kemesraan dan elusan ujung-ujung
jarinya yang menelusuri leher, pipi, dan bahunya de-
ngan gerakan berputar-putar lembut, menggoda. Bah-
kan dalam kondisi terlena seperti itu, lengannya lang-
sung saja melingkari leher Wibisono dan memainkan
jemarinya di belakang kuduk laki-laki itu. Maka lupa-
lah sudah niat Wibisono untuk menjerat gadis itu. Ia
sendiri mulai tenggelam di dalam lubang perangkap
yang dibuatnya sendiri. Untung saja telinganya men-
dengar suara batuk orang lewat di kejauhan.
"Cukup, Ana. Aku sudah tahu jawaban apa yang
sesungguhnya ada di lubuk hatimu," katanya dengan
suara parau. "Seribu kali kau bilang mengatakan tidak
mau menjadi kekasihku tetapi seribu kali pula tubuh-
mu mengingkari perkataanmu itu."
http://pustaka-indo.blogspot.com326
Ana meloncat dari pangkuan Wibisono dengan ge-
rakan limbung. Cepat-cepat dia berpegang pada pilar
di dekatnya agar jangan sampai tubuhnya jatuh terpe-
lanting ke lantai. Kepalanya terasa semakin berdenyut-
denyut dan kakinya gemetar. Wajahnya tampak pucat.
Melihat itu Wibisono sadar, dia telah bersikap keterla-
luan terhadap gadis yang sedang kurang sehat itu.
"Sebaiknya kau segera beristirahat, Ana. Pembicara-
an ini akan kita lanjutkan kapan-kapan saja kalau kau
sudah lebih sehat," katanya sambil berdiri. "Aku akan
pulang. Panggilkan ibumu, aku akan pamit."
Ana menarik napas panjang, mengusir rasa tak
enak di kepala dan hatinya akibat ciuman mesra mere-
ka tadi. Bibirnya yang terasa panas akibat dikulum
Wibisono tadi, bergetar. "Kurasa... tidak ada kapan-kapan lagi karena tak
ada yang masih perlu dibicarakan," sahutnya dengan
suara bergetar akibat menahan tangis. "Apa pun
kenyataannya, rasiokulah yang harus kuikuti. Dan
rasioku mengatakan, aku tidak boleh menerimamu
sebagai kekasih. Titik. Oleh sebab itu apa pun yang
ada di dalam pikiranmu, hentikan itu, sebab mulai
sekarang, aku tak ingin lagi bertemu denganmu."
Usai berkata seperti itu, Ana langsung masuk ke
dalam kamarnya setelah mengatakan pada ibu tirinya,
Wibisono mau pamit. Ketika akhirnya ia mendengar
suara mobil distarter dan terdengar derumnya yang
lembut meninggalkan tepi jalan di muka rumahnya,
air mata yang ditahan-tahannya sejak tadi meluncur
turun. http://pustaka-indo.blogspot.com327
Hatinya amat sedih. Sekarang dia bisa memastikan,
ia memang mencintai Wibisono. Laki-laki yang justru
tak layak menjadi orang terdekat dalam hidupnya itu.
Laki-laki yang tak tahu betapa masih murninya dia.
http://pustaka-indo.blogspot.com328
PADA mulanya, segala yang diinginkan Ana, berjalan
dengan tersendat-sendat. Setiap Wibisono datang men-
cari Ana di rumahnya, setiap itu pula ia berusaha mati-
matian menghindar dari perjumpaan dengan laki-laki
itu. Dengan diam-diam dan dibantu oleh pembantu
rumah tangga, ia keluar dari pintu belakang yang
menembus ke jalan di samping rumah untuk kemu-
dian pergi entah ke mana pun kakinya membawa.
Beruntung, rumahnya berada di sudut jalan sehingga
ada dua pintu untuk keluar dari rumahnya.
Terkadang, dia main ke rumah Dini, teman seper-
mainannya sejak kecil. Rumah orangtuanya tidak jauh
dari rumah Ana. Atau ke rumah Rita, bekas teman
sekampusnya yang kini sudah menjadi ibu dua anak
yang masih kecil. Pokoknya, asal tidak bertemu muka
dengan Wibisono. Sepuluh http://pustaka-indo.blogspot.com329
Ya, ia memang tidak mau lagi bertemu dengan
Wibisono semenjak dirinya tahu bahwa ia memang
betul-betul sudah jatuh cinta kepada laki-laki itu. De-
ngan tidak lagi melihat orang yang dicintainya itu, ia
berharap perasaannya akan mengikis sedikit demi se-
dikit dan lalu lenyap tak berbekas. Dengan tidak
bertemu lagi dengan Wibisono, Ana juga berharap
laki-laki itu tidak tahu bahwa ia mencintainya. Cinta
telah membuat hatinya lemah dan mudah terlena oleh
rayuan laki-laki itu. Tetapi dia lupa bahwa Wibisono termasuk orang
yang tidak mudah menyerah. Apalagi di sepanjang
pengalamannya bergaul, gadis-gadislah yang berlomba
mencari perhatiannya. Bahkan ada yang terus-menerus
mengejarnya sampai dia merasa amat risi dan mulai
bersikap tegas. Tetapi berhadapan dengan Ana,
Wibisono tidak bisa menepuk dada dengan berbangga
hati. Gadis itu sungguh membuatnya seperti diper-
mainkan oleh berbagai perasaan. Jelas-jelas dia dapat
merasakan respons Ana yang sedemikian bergairahnya
setiap berada di pelukannya, namun jelas-jelas pula
gadis itu selalu menghindari pendekatannya. Seakan
dirinya membawa kuman penyakit yang membahaya-
kan. Dan yang paling membuatnya marah dan jeng-
kel, justru gadis yang sulit didekati itu tidak termasuk
dalam kategori "gadis baik-baik" seperti teman-teman-
nya yang lain. Menurutnya, gadis seperti Ana tidak
berhak bersikap "jual mahal" sebagaimana yang diper-
lihatkannya belakangan ini. Munafik. Cara menghin-
dari kehadirannya terasa menusuk perasaan. Rasanya,
http://pustaka-indo.blogspot.com330
gadis itu menyepelekan keberadaannya. Wibisono tak
mau diperlakukan seperti itu lagi. Oleh sebab itu ia
mulai mencari taktik lain setelah berulang kali gagal
bertemu gadis itu di rumahnya. Hampir setiap hari
pada jam istirahat makan siang, laki-laki itu pergi ke
kantor Ana tanpa memikirkan kebutuhan perutnya
sendiri. Beruntung bagi Ana, setiap itu pula dia selalu
sedang mendapat tugas ke luar kantor sehingga mere-
ka tak pernah bertemu muka. Tetapi ternyata nasib
baik tak selalu berpihak padanya. Suatu siang, dia ada
di kantor ketika laki-laki itu datang lagi.
Di hadapan teman-temannya, Ana tak berani ba-
nyak bertingkah. Maka ia terpaksa menemui Wibisono
meskipun dengan kejengkelan hati yang menyesakkan
dadanya. Lebih-lebih dia terpaksa harus pura-pura
mengabaikan siulan teman-temannya dan me-
masabodohkan godaan mereka. Tak heran, Ana dikenal
teman-temannya sebagai gadis yang lebih me-
mentingkan pekerjaan daripada hal-hal lainnya. Apalagi
urusan laki-laki. Tetapi ketika sudah jauh dari teman-temannya,
Ana tidak mau menyembunyikan rasa tak senangnya
mendapat kunjungan Wibisono. Air mukanya tampak
muram, dahinya berkerut, dan bibirnya mengetat.
"Mau apa mencariku?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Tidak bisakah kau bersikap lebih ramah terhadap
tamu" Aku tidak suka diperlakukan seperti mantan
suami ditolak waktu minta rujuk kembali," sahut


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wibisono sambil menggerutu.
http://pustaka-indo.blogspot.com331
"Siapa suruh kau datang ke sini saat aku sedang
banyak pekerjaan?" Ana juga menggerutu.
"Dari mana aku tahu kau sedang sibuk kalau tele-
ponku tak pernah kauterima dan SMS-ku tak pernah
kaubalas?" "Aku tidak tahu kalau itu telepon dan SMS dari-
mu. Namamu sudah kuhapus dan aku tak hafal no-
mor HP-mu." "Jangan suka mengada-ada. Mana sih keramahanmu
sebagai orang Timur" Kau masih orang Indonesia,
kan?" "Lalu mana sopan santunmu, datang ke kantor ha-
nya untuk urusan pribadi yang tak penting?"
"Sekarang jam istirahat makan siang. Dan siapa
bilang urusan pribadiku bukan urusan penting?"
"Kalau tahu ini jam istirahat siang, kenapa tak kau-
biarkan aku beristirahat" Kedatanganmu membuatku
tak bisa duduk santai."
"Lidahmu selalu saja tajam."
"Itu perlu supaya kau bisa memilah urusan penting
atau tidak dan kalau penting, itu dari sudut pandang
siapa," semprot Ana.
"Benar-benar lidahmu setajam silet. Aku datang ke
sini karena ingin mengajakmu makan siang. Jadi pen-
ting, kan" Ya istirahat, ya memenuhi kebutuhan perut-
mu." "Aku sudah pesan makanan. Sebentar lagi datang.
Jadi, aku tidak bisa ikut makan bersamamu."
"Alangkah sombongnya kau, burung merak."
http://pustaka-indo.blogspot.com332
Burung merak, burung merak lagi. Kurang ajar
sekali laki-laki itu menamainya burung merak.
"Kau kurang ajar, Wibi."
"Ssshh... pelankan suaramu. Sekarang kau tak lagi
seperti sikap mantan istri yang tak mau rujuk, tetapi
seperti istri mendamprat suami karena cemburu."
Ana menggigit bibirnya agar jangan memaki laki-
laki itu. Bicaranya seenak perutnya sendiri. Sungguh
menyebalkan. "Nah, kau kehilangan kata-kata karena apa yang
kukatakan tadi benar, kan?" Wibisono mengejeknya.
"Aku tak mau berdebat denganmu. Bahkan aku
akan sangat berterima kasih padamu kalau kau mau
segera pergi dari sini karena kehadiranmu membuatku
jadi tersudut. Kalau kau terus di sini, rekan-rekanku
akan menyangka yang bukan-bukan," desisnya kemu-
dian. Cepat-cepat dia menghentikan bicaranya. Se-
orang temannya melintas di dekat mereka dan menge-
dipkan sebelah matanya dengan diam-diam ke
arahnya. Tetapi Wibisono melihatnya dan tersenyum
manis ke arahnya sambil mengangguk. Seakan dia
sedang dipergoki mengobrol mesra dengan Ana. Sial-
an. "Wah, kedudukanku akan semakin sulit. Temanku
tadi pasti akan menyebarkan gosip yang bukan-bu-
kan," Ana menggerutu lagi.
"Apanya yang bukan-bukan?" Wibisono pura-pura
tak tahu. "Dikira pacaran di kantor, kan memalukan seka-
li." http://pustaka-indo.blogspot.com333
"Aku tidak malu. Ini kan jam istirahat..."
"Kau memang tidak tahu malu. Tidak punya pera-
saan. Aku malu setengah mati," damprat Ana.
"Eh... eh, kenapa sih sejak awal perkenalan kita,
percakapan di antara kita berdua lebih banyak terisi
perang tanding lidah daripada berbincang-bincang
yang menyenangkan. Ada apa sebenarnya?"
"Karena kau yang memulainya. Sikap dan perkata-
anmu tak ada yang enak didengar telingaku. Sudah
begitu tidak mau mendengar pula pendapat orang.
Kan sudah sejak awal mula aku mengatakan keingin-
anku, kita berdua ini tak perlu melanjutkan perteman-
an kita. Itu pun kalau bisa digolongkan sebagai te-
man. Sudah kuingatkan pula berkali-kali bahwa kita
ini bagai dua penumpang kapal berbeda yang..."
"Berpapasan di tengah laut, saling melambaikan
tangan beberapa saat lamanya lalu selesai dan masing-
masing melanjutkan perjalanannya," Wibsono menye-
robot bicara Ana. "Begitu, kan?"
"Nah, kau tahu itu."
"Mungkin saja aku akan bersikap seperti penum-
pang kapal itu kalau perbuatan dan sikapmu sesuai.
Nyatanya, kau tidak pernah menolak pelukan dan
ciumanku. Bahkan membalas dengan sama bergairah
dan mesranya." Ana menghentikan bicara Wibisono dengan mela-
yangkan telapak tangannya ke arah Wibisono, bermak-
sud menampar pipi laki-laki itu. Tetapi tangan
Wibisono lebih gesit daripada gerakannya. Tangan
Ana diraihnya dan digenggamnya dengan keras.
http://pustaka-indo.blogspot.com334
"Burung merak yang ini bukan hanya sombong
saja tetapi juga galak," desis Wibisono.
"Lepaskan tanganku, Wibi. Kalau tidak, aku akan
berteriak sekeras-kerasnya. Di depan ada dua satpam
yang siap membantuku. Sikapmu bukan saja tidak
sopan tetapi juga bisa membuat onar di sini," desis
Ana sambil menarik-narik tangannya dari genggaman
Wibisono. Tetapi gagal. Untunglah Wibisono menuruti perkataan Ana. De-
ngan rasa terpaksa ia melepaskan tangan gadis itu.
Tetapi wajahnya tampak mengeras.
"Kutunggu jawabanmu, Ana. Kau mau kuajak ma-
kan siang atau tidak?" tanyanya kemudian dengan
gigi nyaris gemeletuk. "Kalau telingamu sehat dan kalau daya ingatanmu
bagus, pasti kau tidak akan melontarkan pertanyaan
seperti itu lagi. Tetapi biar lebih jelas, jawabannya
adalah tidak. Suatu jawaban yang menetap dan selama-
nya. Artinya, kalau kau mengajakku pergi entah esok,
entah lusa entah bulan depan, aku tetap dengan ja-
waban yang sama." "Kau memperlakukan diriku seperti kuman berba-
haya." "Makanya jangan mengganggu orang sedang beker-
ja. Ini kantor, Wibi. Hormatilah itu."
"Jadi ke mana aku harus menemuimu" Di rumah,
susah sekali bisa bertemu denganmu."
"Terserah. Pokoknya sekarang cepatlah pergi. Aku
tidak ingin ada gosip tentang diriku di kantor ini."
Wajah Ana menampakkan betul kecemasannya itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com335
Sebetulnya bukan hanya gosip saja yang ditakuti
Ana tetapi juga hatinya sendiri yang paling dalam.
Seribu kali rasionya mengatakan harus membenci dan
menghindari keberadaan Wibisono, seribu kali pula
hatinya itu sering mengkhianatinya. Dia tidak ingin
hal seperti itu terjadi lagi.
Untungnya Wibisono melihat betapa bersungguh-
sungguhnya Ana saat memintanya cepat pergi. Dari-
pada gadis itu membentaknya dan didengar orang
yang mungkin ada di dekat mereka, lebih baik dia
menuruti kemauannya. "Oke, aku pergi sekarang," katanya dengan wajah
mengeras dan bibir bertaut kencang. "Masih ada hari
lain." Ana tidak mau memberi komentar atas perkataan-
nya itu. Tetapi matanya menatap punggung Wibisono
dengan dada agak berombak-ombak. Dia sadar bahwa
emosi-emosinya mudah kacau setiap kali berhadapan
dengan Wibisono. Seumur hidupnya baru sekali ini
dia mengalami jatuh cinta namun sungguh malang-
nya, cinta itu jatuh di tempat yang salah. Bahkan
amat salah. Laki-laki seperti Wibisono tak akan mem-
berinya kebahagiaan. Kehausannya akan kasih sayang
sebagaimana yang selalu didambakannya sejak masih
kecil, tidak mungkin didapat dari Wibisono. Dan dia
tahu betul, hidup bersama laki-laki itu akan merusak
seluruh kedamaian hatinya. Wibisono tak mampu
menghargai keberadaannya sebagai perempuan terhor-
mat karena bayang-bayang Evi dan Ika. Sudah begitu,
terlalu jauh pula perbedaan latar belakang di antara
http://pustaka-indo.blogspot.com336
mereka berdua. Kehidupan laki-laki itu terlalu mudah
untuk dijalani. Berbeda dengan dirinya, ingin melan-
jutkan kuliah ke strata yang lebih tinggi saja harus
dipendamnya jauh-jauh ke dasar hatinya. Padahal
cita-citanya setinggi langit. Dia bisa saja meminta bia-
ya dari ibu kandungnya, tetapi dia tidak ingin meng-
khianati perasaannya terhadap sang ayah. Memang,
itu hanya perasaan subjektifnya saja. Tetapi siapa bisa
menjelaskan liku-likunya sebuah hati jika itu menyang-
kut perasaan yang terdalam.
Berdiri di tengah perangkat kursi tamu tempat ia
tadi menerima kedatangan Wibisono, Ana menge-
palkan telapak tangannya sendiri. Ingin sekali ia marah
kepada dirinya sendiri, kepada keadaan dan kepada
Wibisono yang muncul di tengah kehidupannya yang
selama ini begitu damai dan menyenangkan. Semua itu
telah hilang dari dirinya. Salah siapakah" Ibu tirinya
yang membujuknya agar ia berlibur di Ungaran" Man-
tan atasannya dulu yang kurang ajar sehingga ia terpak-
sa meninggalkan pekerjaannya dan menyebabkan diri-
nya jadi pengangguran" Atau dirinya sendiri yang mau
saja mencari suasana lain di tempat ibunya" Ataukah
pula Wibisono yang luar biasa kurang ajarnya dan
berani-beraninya dia mengecup bibirnya yang masih
perawan" Rasanya, semua serbasalah dan tidak ada
yang betul. Nasib buruk memang sedang menimpanya,
entah siapa pun yang salah dan entah di mana pun
kekeliruan yang mengakibatkannya.
Ana tahu, ia harus bersikap tegas kepada dirinya
sendiri maupun kepada Wibisono bahwa keinginannya
http://pustaka-indo.blogspot.com337
untuk tidak lagi bertemu dengan laki-laki itu merupa-
kan keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia
tidak boleh lagi membiarkan dirinya menyerah pada
pesona Wibisono. Kalau tidak, ia akan semakin mem-
benci dirinya sendiri. Bahkan jika ingat bagaimana
telah beberapa kali ia membiarkan dirinya dipeluk
dan dicium semau-maunya oleh Wibisono, Ana men-
jadi sangat muak pada dirinya sendiri.
Dengan kemelut hati seperti itulah Ana melanjut-
kan pekerjaannya tanpa ingat untuk mengisi perut.
Gado-gado lontong yang dipesannya dibiarkannya te-
tap terbungkus rapi. Untunglah sesudah hampir sete-
ngah jam bekerja, otaknya yang panas tadi mulai di-
ngin. Ia tidak boleh membiarkan emosinya membauri
pekerjaannya. Salah sedikit saja yang ditulisnya, pem-
baca majalahnya bisa protes.
Tetapi sejak siang hari itu Ana selalu berharap akan
mendapat tugas ke luar kota agar tidak sampai berte-
mu Wibisono lagi. Sebagai orang baru, Ana memang
belum pernah mendapat tugas ke luar kota. Tetapi ia
yakin, para atasannya pasti sudah melihat hasil peker-
jaannya dan kemampuannya. Jadi, harapan itu bukan
harapan kosong belaka. Keinginannya untuk mendapat tugas ke luar kota,
apalagi ke luar negeri, sangat menggebu-gebu di da-
lam batinnya. Lebih-lebih ketika di suatu sore tatkala
baru keluar pintu gerbang kantornya, ia melihat
Wibisono ada di muka halaman kantornya, berdiri di
samping mobilnya. Ia tahu, laki-laki itu sedang me-
nantikannya. Melihat itu diam-diam ia menyelinap ke
http://pustaka-indo.blogspot.com338
sana dan kemari agar laki-laki itu tidak mengetahui
keberadaannya. Bahkan dengan tergesa, ia berjalan
pulang ke arah yang berlawanan dari arah yang seha-
rusnya sebab pasti ke sanalah perhatian Wibisono.
Tak apa ia memutar agak jauh, pikirnya. Kalau sudah
berada di dalam kendaraan umum pasti tidak bisa
dilacak oleh laki-laki itu. Ah, mudah-mudahan tahun
depan dia sudah bisa mencicil mobil bekas sehingga
tak ada alasan bagi Wibisono untuk mengantarkannya
pulang, pikirnya sambil berjalan menunduk. Tetapi...
he, apakah tahun depan laki-laki itu masih belum
bosan mengganggunya"
Ana tersenyum di dalam hatinya. Ge-er amat. Ta-
hun depan laki-laki itu pasti punya buruan baru. Tan-
pa sadar, ia menoleh ke belakang, tempat Wibisono
tadi berdiri, tetapi laki-laki itu sudah tidak ada lagi di
situ. Dengan perasaan lega, Ana berdiri di antara deret-
an pohon angsana yang berjajar di sepanjang jalan,
menunggu bajaj lewat. Malas juga kalau harus naik
bus saat jam kantor bubar seperti sekarang ini. Penuh,
pengap, dan lama sampainya karena sebentar-sebentar
menaikkan dan menurunkan penumpang.
Sayang sekali kelegaan hati Ana tak berlangsung
lama. Ia melihat sedan Wibisono datang menghampi-
rinya. Dan sebelum Ana bisa berbuat apa pun, laki-
laki itu telah berdiri di hadapannya.
"Masuklah, akan kuantar kau pulang," kata laki-
laki itu. "Aku tahu, kau menyelinap ke sini."
"Kenapa sih kau selalu saja menggangguku?" Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com339
membentak kesal. Ingin sekali dia menangis karena


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

upayanya menghindar tadi sia-sia. Percuma saja ia
tadi mengendap-endap seperti maling takut ketahuan.
"Aku kan sudah bilang, jangan mencariku ke kantor
ataupun ke rumah." "Aku akan menurutimu. Tetapi ini kan di jalan
umum. Bukan kantor. Boleh dong aku menemuimu.
Apalagi mengantarkanmu pulang. Lihat, langit men-
dung tebal. Kau mau kehujanan dan lalu basah ku-
yup di jalan?" "Hujan air, apa yang kutakuti sih" Pergilah, Wibi.
Biarkan aku pulang sendiri."
"Ana, aku bermaksud baik, ingin mengantarmu
pulang. Apa sih salahnya?"
"Salahnya" Aku tidak mau!"
Suara geledek yang membelah langit menghentikan
perdebatan kedua orang itu. Ana agak kaget karena
kerasnya suara itu. "Tuh, sebentar lagi hujan lebat dan lalu di mana-
mana akan terjadi kemacetan. Masuklah ke mobilku,
Ana. Kau mau berbasah-basah kuyup di antara sarat-
nya penumpang dalam bus umum yang jalannya ter-
sendat-sendat karena macetnya lalu-lintas?"
"Tetap saja itu lebih baik daripada berdekatan de-
nganmu." "Jangan keras kepala, Ana. Kalau kau tidak mau
naik sendiri ke dalam mobilku, akan kuangkat kau
dengan paksa. Aku tidak main-main dan tidak asal
mengancam." "Jangan kurang ajar, Wibi," Ana mulai membentak
http://pustaka-indo.blogspot.com340
dengan perasaan semakin kesal. Entah sudah gila ba-
rangkali laki-laki itu. "Aku bersikap baik-baik, kau tidak menghargaiku.
Aku kan tidak bermaksud menculikmu tetapi justru
ingin mengantarmu pulang dengan selamat. Jadi apa
salahnya kalau kuangkat kau ke mobilku dengan pak-
sa biar tidak ribut di tepi jalan begini. Aku tak suka
jadi tontonan gratis orang."
"Sialan kau, Wibi. Jangan mengira ancamanmu
akan berhasil. Pasti akan ada banyak orang yang akan
menolongku dari tindak kekerasan yang kaulakukan
terhadapku. Kau bisa dipenjara dan" dan..."
"Kalaupun begitu, aku pasti sudah lebih dulu ber-
hasil menyirammu dengan air..."
"Air?" Ana menyela bicara Wibisono dengan heran.
"Air apa?" "Ya, air biasa. Aku sudah menyiapkan satu jerigen
kecil air. Kalau kau terus saja menolak kedekatanku
seakan aku ini seorang penjahat kelas kakap, apa salah-
nya aku berbuat sesuatu yang sesuai dengan itu, kan"
Maka kalau kau tidak mau masuk ke mobilku, aku
akan menyirammu dengan air."
"Kau berani...?" Mata Ana membelalak.
"Tentu saja berani. Begitu tidak ada orang yang
melihat ke arah kita, aku akan menyiram tubuhmu
sehingga orang akan bertanya-tanya, bagian mana di
kota Jakarta ini yang sudah lebih dulu diguyur hujan
besar." "Aku tidak peduli."
"Oke. Aku akan menyiapkan air." Wibisono meng-
http://pustaka-indo.blogspot.com341
ambil jerigen berisi air kemudian menatap mata Ana
dengan ekspresi keras dan tanpa ragu. "Dalam hitung-
an ketiga, air ini akan kusiramkan kepadamu. Nah,
satu... dua..." Ana balas menatap mata Wibisono. Ia menangkap
kesungguhan dan ancaman yang tersiar dari kedua
bola mata yang keras itu. Dibayangkannya tubuhnya
akan basah kuyup dan pakaiannya akan melekat ke
tubuhnya, mencetak lekuk-liku tubuhnya. Tanpa sa-
dar, dia bergidik. Dan tanpa sadar pula kakinya surut
melangkah mundur. Melihat itu tanpa membuang waktu lagi Wibisono
menghela lengan Ana, lalu dibawanya masuk ke da-
lam mobil dan didorongnya kuat-kuat ke tengah un-
tuk kemudian ia cepat-cepat menguncinya dari luar.
Setelah itu dengan gerakan secepat kilat ia menyusul
masuk sesudah membuka pintunya kembali dengan
remote. Kemudian dilarikannya mobilnya ke jalan
raya, berbaur dalam kesibukan lalu lintas yang padat
menjelang petang itu. Merasa frustrasi, mata Ana langsung berkaca-kaca.
Ingin sekali ia melepaskan diri dari Wibisono tetapi
laki-laki itu dengan mudahnya bisa menangkapnya
seperti tangan raksasa menangkap kupu-lupu. Entah
Wibisono tahu itu atau tidak, tetapi matanya yang
melirik ke arah Ana tampak mulai melembut.
"Maafkan," katanya dengan suara yang juga lem-
but. "Aku terpaksa bersikap kasar begini karena untuk
menangkap burung merak yang sombong memang
perlu banyak akal." http://pustaka-indo.blogspot.com342
Ana menanggapi perkataan Wibisono dengan mem-
buang pandangannya ke luar jendela. Malas dia menja-
wabnya. Melihat itu Wibisono juga terdiam dan
membiarkan keheningan dan udara sejuk meresapi
seisi mobil. Sementara itu di luar mobil, hiruk-pikuk
lalu lintas jalan raya Ibukota tampak semakin semra-
wut. Orang berlomba ingin segera tiba di rumah
sebelum hujan turun. Masing-masing hanya memburu
kepentingannya sendiri. Suara klakson menyalak di
setiap kesempatan. Orang yang menyeberang jalan
seenaknya sendiri langsung dihujani sumpah serapah.
Bajaj memotong jalan, maki-makian langsung saja
berhamburan mengisi udara sore yang diselimuti cua-
ca mendung itu. Seolah orang-orang itu belum per-
nah diajari cara bersopan-santun yang benar. Seakan
pula belum pernah tahu cara bagaimana menghagai
keberadaan orang lain sehingga lupa bahwa semua
orang berhak memakai jalan raya yang sama. Bahwa
jalan itu bukan jalan nenek-moyangnya sendiri.
Tenggelam di dalam pikirannya itu, Ana merasa ka-
get sewaktu mobil yang dinaikinya itu berbelok ke ha-
laman sebuah rumah makan. Kepalanya bergerak ce-
pat, menoleh ke arah Wibisono.
"Mau apa kau?" "Orang masuk ke rumah makan, mau apa?" Wibi-
sono membalikkan pertanyaan. Ia turun dari mobil
dan membuka pintu mobil di sebelah Ana. "Ayo, tu-
run." "Aku tidak mau makan. Kalau kau mau makan,
http://pustaka-indo.blogspot.com343
makanlah sendiri. Aku akan turun dan langsung cari
kendaraan untuk pulang."
"Kekasihku, aku tidak akan makan. Belum saatnya
makan malam. Aku ke sini cuma mau mengajakmu
minum es kelapa istimewa sebagai ungkapan permin-
taan maafku karena telah memaksamu ikut mobilku.
Di sini es kopyornya legit, gurih, tebal dan segar,
Ana. Jadi, kekasihku, ayo kita turun untuk mencicipi-
nya. Kau pasti tak akan menyesal ikut aku. Ada lum-
pia Semarang yang lezat pula sebagai teman minum
kopyornya." "Aku bukan kekasihmu dan aku tidak ingin mi-
num kopyor maupun makan lumpia," bantah Ana.
"Turunlah, kekasih. Lihat, pelayan itu sudah siap
membukakan pintu untuk kita. Matanya menatap kita
dengan penuh harap. Atau kau lebih suka disangka
sebagai istriku yang sedang merajuk karena cemburu?"
Wibisono mengerling Ana dengan bibir menyeringai.
"Biar saja disangka begitu. Aku tidak peduli kok,"
Ana menyemburkan kekesalan hatinya.
"Disangka begitu bagaimana maksudmu?"
"Aku bukan istrimu dan aku tidak cemburu terha-
dap siapa pun. Kau mau pacaran dengan sepuluh pe-
rempuan tercantik sekalipun, apa kaitannya dengan
diriku?" Ana menyembur lagi.
Wibisono tampak geli melihat sikap kekanakan
Ana. Wajahnya tampak cantik sekali dengan anak-
anak rambut yang membingkai sekitar dahinya.
"Air di dalam jerigenku tadi belum berkurang sedi-
kit pun lho," katanya kemudian.
http://pustaka-indo.blogspot.com344
"Kau mengancamku?"
"Tidak. Aku hanya ingin menyirammu dengan air
supaya hatimu yang panas menjadi lebih sejuk.
Mau...?" Ana bersungut-sungut sambil meloncat turun. Teta-
pi karena tergesa, kakinya yang mengenakan sepatu
tinggi, terpelecok. Secara refleks agar tubuhnya jangan
sampai terjatuh, tangannya langsung memegang tepi
pintu mobil. Tetapi sebagai akibatnya, pintu mobil
yang tiba-tiba menutup sendiri itu menjepit tangan-
nya. Tidak keras, tetapi cukup menyakitkan sehingga
tanpa sadar ia memekik kecil.
Dengan gerakan cepat, Wibisono meraih tangan
Ana dan mengusap-usap punggung tangannya yang
mulai memerah itu. "Apa kubilang" Jangan menolak kebaikan orang.
Apalagi maksudku mengajakmu minum ini kan seba-
gai pernyataan maafku. Jangan suka menolak niat baik
orang. Begini, jadinya. Untung tidak mengalami luka
yang berarti." Ana terdiam. Karena masih terasa sakit, dibiarkan-
nya tangannya diusap-usap Wibisono karena usapan
itu cukup mengurangi rasa sakitnya. Bahkan dibiarkan-
nya laki-laki itu membimbingnya masuk ke rumah
makan yang saat itu tak begitu ramai, barangkali kare-
na bukan waktunya orang makan. Tetapi suara den-
ting suara gelas beradu sendok dan es di dalam gelas
tinggi berisi es kopyor berwarna putih dengan kombi-
nasi sirup merah itu sungguh menggoda selera.
http://pustaka-indo.blogspot.com345
"Mau es kopyor, kan?" tanya Wibisono begitu me-
reka berdua sudah duduk dengan lebih tenang.
"Terserah..." "Pakai kolang-kaling...?"
"Terserah..." "Lumpia goreng atau basah?"
"Terserah." "Manisnya melihatmu patuh. Enak jadinya suasana-
nya, kan?" komentar Wibisono sambil tersenyum.
Ana tidak memberinya komentar. Wibisono terse-
nyum lagi. Setelah menulis pesanannya laki-laki itu
melambaikan tangannya ke arah pelayan. Dan begitu
pelayan pergi dari dekat mereka, sikap laki-laki itu ber-
ubah menjadi serius. Matanya menatap wajah Ana.
"Ana, aku ingin bicara denganmu... tetapi tolong
jangan menyela bicaraku dulu sebelum aku menyele-
saikannya. Setuju?" Ana diam saja. Tetapi pandang matanya tampak
teduh sehingga Wibisono mengetahuinya, gadis itu
mau mendengar permintaannya itu. Karenanya dia
segera melanjutkan bicaranya.
"Ana, kenapa sih kau begitu mati-matian menolak
seluruh pendekatanku terhadapmu...."
Mulut Ana terbuka begitu mendengar perkataan
Wibisono tetapi tangan laki-laki itu segera menangkap
telapak tangannya. "Jangan kaujawab dulu karena aku sudah tahu alas-
anmu, alasan usang itu. Padahal yang ingin kuketahui
adalah apa di balik alasan itu. Sshh... jangan kautang-
gapi dulu perkataanku ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com346
Ana terpaksa mengatupkan mulutnya kembali. De-
ngan terpaksa, ia membiarkan Wibisono melanjutkan
bicaranya lagi. "Setelah aku berpikir dan menganalisis, akhirnya
timbul di dalam pikiranku beberapa pemikiran ten-
tang kemungkinan mengapa alasan seperti itu selalu
kauajukan kepadaku," kata Wibisono lagi. Ana berusa-
ha untuk tidak mengomentari perkataan Wibisono.
Apalagi ia ingin tahu apa pikiran laki-laki itu tentang
dirinya. Jadi ditunggunya Wibisono melanjutkan per-
kataannya. Tetapi Wibisono menghentikan kata-katanya. Di
luar, hujan mulai turun. Laki-laki itu menatap mata
Ana beberapa saat lamanya baru kemudian melanjut-
kan bicaranya lagi. "Kemungkinan pertama, kau tidak ingin jatuh cin-
ta kepadaku meskipun hatimu mengatakan sebaliknya.
Maka kau bertahan mati-matian untuk menghindari-
ku. Bukannya sombong, aku memang mempunyai
daya tarik kuat yang menyebabkan gadis-gadis jatuh
cinta kepadaku...." "Gombal dan ngawur sekali," Ana menggerutu.
Mendengar gerutuan Ana, Wibisono tertawa menye-
ringai. "Terserah kau mau bilang apa tetapi itulah yang
ada di dalam pikiranku," katanya kemudian. "Kemung-
kinan kedua, kau memang membenciku sehingga ti-
dak sudi dekat-dekat denganku. Tetapi kemungkinan
yang ini sama sekali tidak kuat sebab mustahil kau
mau membalas peluk dan ciuman seorang laki-laki
http://pustaka-indo.blogspot.com347
yang kaubenci. Kalau kau membenciku, pasti kau
akan mendorongku kuat-kuat atau malah mencakarku
habis-habisan." "Kau... kau..." Ana berusaha membantah perkataan
Wibisono tetapi laki-laki itu tidak memberinya kesem-


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patan. "Jangan kaubantah dulu, Sayang. Semakin kau mau
membantahnya, semakin aku merasa yakin perkiraan-
ku itu benar demikian. Jadi diam-diam sajalah dan
dengarkan lanjutan bicaraku," katanya cepat-cepat se-
hingga dengan wajah merah padam, Ana terpaksa
mengatupkan mulutnya kembali. "Aku cuma mau
mengatakan satu kenyataan saja. Bahwa dengan dua
kemungkinan yang kukatakan tadi sebenarnya kau ti-
dak perlu terus-terusan menghindariku. Kenapa sih
kau harus mengingkari hatimu sendiri" Kita berdua
kan bisa menjadi sepasang kekasih yang sangat sera-
si." "Aku malas membantah apa pun dugaanmu, Wibi.
Tetapi satu hal yang harus kauketahui mengenai hati-
ku terhadapmu. Sejak awal mula aku mengenalmu,
tidak pernah satu kali pun aku menilaimu sebagai
laki-laki yang cocok bagiku. Apalagi untuk menjadi
kekasihmu. Jujur harus kuakui, sejak awal melihatmu
di Toko Maju, aku sudah mempunyai keyakinan kuat
bahwa kau bukan laki-laki yang bisa kupercayai. Jadi
tidak salah kan kalau sampai kapan pun aku akan
selalu berusaha menghindarimu?"
Kata-kata Ana yang diucapkan dengan sepenuh
hati itu sempat membuat perasaan Wibisono tersen-
http://pustaka-indo.blogspot.com348
tuh. Ada yang menoreh hatinya. Firasat gadis itu ti-
dak salah. Sejak awal mula ia memang tidak ingin
menjalin hubungan serius dengan Ana. Kalau cuma
menjadi kekasih saja, dia memang tidak keberatan.
Bahkan ia yakin pasti akan menyenangkan. Ana sa-
ngat menarik. Tetapi untuk menjadikannya sebagai
istri, wah, nanti dulu. Setelah menarik napas panjang, lidah tak bertulang
milik Wibisono pun mulai bergoyang lagi.
"Terserah apa pun yang kaupikirkan tentang diriku,
Ana. Akan tetapi aku benar-benar ingin menjadikan-
mu sebagai kekasihku," katanya kemudian. Yah, keka-
sih. Bukan istri, kan" Begitu kata hati laki-laki itu
dengan diam-diam. "Apa jawabmu?"
Sementara Wibisono berpikir seperti itu, Ana me-
ngeluh dalam hati oleh pemikiran senada. Baginya,
Wibisono tak pernah masuk ke dalam angan-angan-
nya untuk menjadi kekasih abadinya. Jadi buat apa
menjalin hubungan dengannya" Hubungan sementara
saja pun ia tidak berminat. Bukan seperti itu laki-laki
yang didambakannya menjadi ayah bagi anak-anaknya
kelak. Dia ingin mengalami kebahagiaan seperti ayah-
nya almarhum yang pernah hidup bahagia bersama
ibu tirinya. Juga bersama dirinya dan Deni, di mana
mereka semua saling mencintai, saling menghargai,
saling memercayai dan saling mendukung dengan
sepenuh hati. Kebahagiaan dan kedamaian hati seperti
itu tidak akan mungkin dialaminya jika ia hidup ber-
sama Wibisono. Yakin sekali, dia.
"Ana, kau belum menjawab pertanyaanku." Terde-
http://pustaka-indo.blogspot.com349
ngar oleh Ana, Wibisono melontarkan pertanyaan lagi
kepadanya. "Jawaban yang jujur?"
"Ya." "Kalau begitu jawabannya adalah: tidak. Seperti
yang sudah berulang kali kukatakan, aku tidak berse-
dia menjadi kekasihmu. Alasan utama yang baru saja
kukatakan tadi, kurasa cukup jelas. Aku tidak memer-
cayaimu. Tetapi maaf, jangan tanyakan mengenai hal
itu sebab yang bicara bukan rasioku tetapi firasatku.
Dan yang namanya firasat, tidak bisa dijelaskan secara
logika. Padahal yang namanya kepercayaan, bagiku
merupakan suatu prinsip penting dalam pergaulanku
dengan siapa pun. Apalagi dengan seorang kekasih.
Tanpa kepercayaan, nilai pergaulan itu hanya nol. Tak
lebih dari itu." "Apakah aku begitu buruk di matamu dan apakah
menurutmu, aku tidak bisa dipercaya?"
"Kepercayaan dalam hal ini tidak menyangkut ten-
tang kesetiaan dan kejujuran ataupun sebaliknya ten-
tang kemunafikan dan perselingkuhan. Melainkan
tentang suatu ketidakpercayaan terhadap kebersamaan
di antara kita berdua. Sama sekali aku tidak menaruh
kepercayaan bahwa kita berdua bisa hidup bersama
dengan bahagia. Serasi pun kurasa tidak. Meskipun
selama ini kau selalu saja mengabaikan apa pun pen-
dapatku mengenai penolakanku, tetapi untuk kali ini
tolong hargailah perasaanku. Kau pasti bisa menemu-
kan gadis lain yang jauh lebih baik segalanya dariku
dan kelak hidup berbahagia bersamamu."
http://pustaka-indo.blogspot.com350
Wibisono terdiam. Untuk pertama kalinya selama
ia berkenalan dengan Ana, baru kali ini ia mampu
menangkap apa yang ada di relung hati gadis itu.
Sejelek apa pun dan seburuk apa pun penilaiannya
terhadap Ana, gadis itu telah mengemukakan isi hati-
nya dengan gamblang. Mau ataupun tidak, ia harus
menghargainya. Siapa pun dia, Ana adalah sesama
subjek dengan dirinya. Ia boleh mempunyai pendapat
sendiri, memiliki cita-cita dan harapan bagi hidup
pribadinya. Orang lain tak berhak mencampurinya.
"Baiklah, Ana. Kuhargai apa yang kaukatakan itu,"
begitu akhirnya Wibisono berkata. "Kumengerti seka-
rang kenapa kau tidak ingin menjadi kekasihku."
"Syukurlah." "Jadi... ada gencatan senjata di antara kita?"
"Ya..." "Kalau begitu, kita bisa berteman, kan?"
Ana terdiam. Sulit menjawab pertanyaan Wibisono.
Dengan berteman, bukankah kesempatan untuk berte-
mu lagi, terbuka di antara mereka" Padahal, dia tidak
ingin lagi melihat laki-laki itu.
"Ana, tidak maukah kau berteman denganku...?"
Yah, apa boleh buat. Terlalu jahat kalau permintaan
Wibisono untuk menjadi teman saja pun ia tolak.
Maka dengan terpaksa, ia mengangguk.
"Sekadar berteman biasa" yah... tak apalah...," gu-
mamnya kemudian. "Rasanya kita pernah membicara-
kannya sebelum ini."
"Ya, memang. Nah, sebagai teman aku menawarkan
sesuatu yang mungkin di suatu ketika nanti kauper-
http://pustaka-indo.blogspot.com351
lukan. Yaitu bantuan dalam bentuk apa pun. Misalnya
di suatu saat kau harus mengerjakan tugas di suatu
tempat dan tidak ada kendaraan, jangan sungkan-sung-
kan untuk menghubungiku. Atau kalau ada kesulitan
apa pun, katakan saja padaku. Aku pasti akan mem-
bantumu. " "Terima kasih, sebelumnya," Ana menjawab sopan.
Tetapi Wibisono tahu, Ana pasti tidak akan mau
menghubunginya andaikata mengalami kesulitan sema-
cam itu. Oleh sebab itu cepat-cepat ia menambah
perkataannya. "Sebaliknya, kalau aku membutuhkan bantuan dari-
mu, kuharap kau memiliki keikhlasan hati untuk
membantuku?" "Aku tidak memiliki kelebihan apa pun yang bisa
kupakai untuk membantumu," Ana memotong perka-
taan Wibisono. "Kau mempunyai banyak kelebihan, Ana. Pikiran-
mu, saran-saranmu, bakat-bakatmu, mungkin juga
waktu dan tenagamu...."
Ana terdiam. Melihat itu Wibisono mendesaknya.
"Kau bersedia, kan?"
Seperti tadi, Ana terpaksa mengangguk kendati
sambil menarik napas panjang sekali.
"Terima kasih."
Tiba-tiba saja sesudah ucapan terima kasih itu ter-
lontar, pembicaraan mereka menjadi lebih lancar.
Terutama sesudah mereka tidak lagi menyinggung
masalah pribadi ataupun hal-hal sensitif yang me-
nyangkut mereka berdua. Wibisono memang pandai
http://pustaka-indo.blogspot.com352
mencari kunci perdamaian dan menemukan titik-titik
kelemahan Ana. Mula-mula ia bicara tentang novel
seorang pengarang yang sedang menjadi pembicaraan
menarik karena keberaniannya mengungkap realitas
kehidupan di balik terali besi. Kisah kontroversial itu
telah memerahkan banyak telinga orang namun juga
telah menyebabkan mata banyak pihak terbuka meli-
hat kebobrokan lembaga yang seharusnya menjadi
tempat pertobatan, pencerahan, dan pembaruan itu.
Maka Ana dan Wibisono pun langsung saja mengge-
lar diskusi dengan sangat intens. Maka lupalah Ana
pada ketegangan demi ketegangan yang selama ini
mengikuti langkah kakinya. Apalagi ketika dengan
mahirnya Wibisono memasuki pembicaraan mengenai
dunia pekerjaan Ana. Gadis itu tampak penuh sema-
ngat. "Pekerjaanku yang sekarang ini jauh lebih menarik
dan lebih menantang daripada yang dulu meskipun
juga menuntut tanggung jawab dan waktu yang lebih.
Selalu saja aku menemukan sesuatu yang baru. Selalu
saja aku bertemu dengan orang-orang yang baru dan
berasal dari berbagai latar belakang. Pendidikan, suku,
budaya, kelas sosial, karakter dan lain sebagainya. Mu-
lai dari tukang sampah dan penduduk desa di pelosok
yang jauh sampai ke pejabat tinggi dan para birokrat,"
kata Ana. "Dengan mewawancarai mereka, kau bisa menyam-
paikan banyak hal yang semula tak terpikirkan oleh
masyarakat luas, kan?"
"Ya. Apa yang semula hanya kudengar dan kuketa-
http://pustaka-indo.blogspot.com353
hui secara sayup-sayup, kini kulihat dengan mata
kepalaku sendiri. Dengan bakatku sebagai seorang
pengarang, aku mampu mengorek sesuatu di balik
penglihatan kasat mata dan lalu kusajikan kepada
pembaca lewat tulisanku." Ana agak tersipu waktu
menceritakan kelebihan dirinya. "Itu... itu kata para
atasanku lho." "Aku percaya. Kau memang hebat."
"Jangan berlebihan." Ana tersipu lagi.
"Selain itu, kau juga bisa memasuki tempat-tempat
khusus yang tidak bisa didatangi masyarakat umum,"
kata Wibisono. "Ya, kan?"
"Ya. Misalnya menonton acara penting secara gra-
tis, mendapat undangan menemani pejabat beranjang-
sana ke daerah. Atau ke luar negeri. Kalau dari kan-
tong sendiri bagi orang seperti diriku mana mungkin
kualami, kan?" Begitulah kedua orang itu mengobrol dengan asyik
sampai lupa waktu dan baru berhenti setelah
Wibisono mengatakan bahwa sebaiknya mereka ma-
kan malam sekalian supaya begitu sampai rumah,
tinggal istirahat. Apalagi hujan masih belum berhenti.
Di dalam hati, Ana semakin mengenal laki-laki itu.
Di balik sikapnya yang sering ugal-ugalan, Wibisono
mempunyai simpanan pengetahuan yang luas di kepa-
lanya. Bicara apa saja dengannya, selalu "nyambung"
dengan enak. Tetapi pada malam harinya ketika Ana sudah ber-
baring sendirian di dalam gelap kamarnya, ia mende-
ngar dering-dering bel tanda bahaya memberinya
http://pustaka-indo.blogspot.com354
peringatan. Keakraban mereka di sepanjang petang
hingga malam tadi jangan sampai berlanjut dan meng-
gelincirkannya pada pesona yang selalu siap meneng-
gelamkan dirinya. Akar-akar tunas cinta tak boleh te-
rus berkembang dan menembus ke seluruh hatinya.
Sangat berbahaya. Jadi, ia tidak boleh terlalu sering
berjumpa dengan Wibisono. Tetapi bagaimana cara-
nya" Bukankah usahanya selama ini tak pernah ada
hasilnya dan bahkan sekarang mereka telah menjalin
pertemanan. Sungguh ironis rasanya.
Untungnya Wibisono mampu menangkap gejolak
hati Ana. Dia tidak lagi terlalu berani mendekatinya
secara terang-terangan. Pendekatannya yang terlalu
kentara akan membuat gadis itu justru menghindari
perjumpaan dengannya. Nyatanya, begitu ia meng-
ubah sikapnya menjadi lunak, gadis itu malah lebih
mudah masuk ke dalam jaring pertemanan dengan-
nya. Mudah-mudahan saja jerat itu semakin kuat dan
ia bisa menjadikannya sebagai seorang kekasih sebagai-
mana yang diinginkannya, sampai gadis itu bertekuk
lutut. Pikiran seperti itu memengaruhi sikap Wibisono
sehari-hari di lingkup kehidupannya. Ia sudah kembali
murah senyum dan banyak canda. Nyaris tak pernah
marah-marah lagi kendati ada hal-hal yang seharusnya
bisa membuatnya naik darah. Melihat keadaan itu,
Kresno mendekati sang kakak ketika laki-laki itu se-
dang bersiap-siap pergi. "Ada kemajuan ya, Mas?" pancing Kresno.
"Apanya?" http://pustaka-indo.blogspot.com355
"Si gadis munafik itu."
"Oh, ya. Begitulah."
"Sampai di mana keberhasilannya?" Kresno berta-
nya lagi. "Bersabarlah. Lihat saja nanti hasilnya." Wibisono
menyeringai. "Dan tunggu tanggal mainnya."
"Maka si penyanyi terkenal yang sebetulnya tak


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada apa-apanya itu akan melihat bahwa kita tak bisa
dipermainkan." Wibisono terdiam. Ada sesuatu yang tiba-tiba me-
nusuk perasaannya saat Kresno menyinggung nama
Evi. Hm, nama itu selalu saja menyebabkan kertak di
geraham dan denyut di pelipisku, kata Wibisono di
dalam hatinya. Perempuan murahan itu. Betapa ingin-
nya dia melihat Ana menangis penuh penyesalan.
Tusukan yang menembus perasaan Wibisono tadi
datang lagi lebih kuat rasanya. Namun juga lebih rea-
listis. He, bukankah Ana dan Evi dua perempuan
yang berbeda meskipun mereka berdua memiliki kait-
an darah" Kenapa yang harus bertekuk lutut dan
menangis penuh penyesalan itu Ana" Pikiran itu
menyebabkan Wibisono segera mencabut pisau yang
menusuk perasaannya tadi dan membuangnya jauh-
jauh. Dia tidak boleh lemah hati. Meskipun Ana bu-
kan Evi tetapi keduanya memiliki "kualitas" sama.
Suka main api. Suka kemewahan. Bedanya, Ana tidak
kentara sehingga sebenarnya gadis itu lebih berbahaya
daripada kedua saudara perempuannya. Apalagi dia
mempunyai daya tarik lain yang tak dipunyai Evi dan
Ika. Otaknya! http://pustaka-indo.blogspot.com356
Dengan menegakkan kepalanya kembali, Wibisono
melangkah menuju garasi. Menggiring Ana masuk ke
dalam perangkapnya bukanlah suatu dosa sebab ber-
arti ia telah ikut menyelamatkan "pencemaran ling-
kungan". Perempuan-perempuan sejelita Ana yang
berakhlak rendah harus diberi pelajaran agar tidak
semakin merajalela dan menjatuhkan banyak hati.
Apalagi merusak rumah tangga orang. Dengan mata
kepalanya sendiri ia melihat Ana pergi dengan laki-
laki yang menilik usia mereka pasti sudah berumah
tangga. Kasihan keluarga mereka.
Hm, aku harus menguatkan hati, bersikap sabar
dan dengan cara pelan namun pasti menggiring buru-
anku masuk ke dalam perangkapku.
Begitulah Wibisono mengukir rencana di dalam
pikirannya. http://pustaka-indo.blogspot.com357
BERITA mengenai tugas yang harus diembannya itu
sangat menggembirakan Ana. Akhirnya keinginannya
untuk mengembangkan pengalamannya dan terutama
pergi jauh dari Jakarta, terkabul. Ia mendapat tugas
menelusuri sejarah Keraton Solo dan Yogya dengan
antara lain mengangkat nilai-nilai luhur kearifan buda-
ya keraton. Baik keraton di Solo yaitu Mangkunegaran
dan Keraton Kasunanan, maupun Keraton Kasultanan
dan Pakualaman di Yogya. Apa persamaannya, apa per-
bedaannya, lalu apa yang masih relevan dengan nilai-
nilai luhur budaya Indonesia dan apa-apa yang sudah
tidak cocok lagi seperti misalnya praktik feodalisme
dan perseliran dengan pelbagai sudut pandang.
"Lakukan wawancara dengan sebanyak-banyaknya
orang dari berbagai usia, pendidikan, dan strata sosial
untuk mendapatkan informasi maupun pandangan
Sebelas http://pustaka-indo.blogspot.com358
orang," kata Pak Sukandar. "Kunjungi museum dan
perpustakaan di keraton-keraton tersebut. Pokoknya,
aku percayakan pada ketajaman mata dan hidungmu,
Ana." "Baik, Pak. Dengan tema mengangkat kearifan bu-
daya lokal sebagai tandingan terhadap serbuan budaya
gado-gado dari luar, saya akan mencoba menggali apa
yang bisa saya gali."
"Bagus, Ana. Saya yakin terhadap kemampuanmu."
"Terima kasih atas kepercayaan Bapak. Saya juga
akan mencoba menyibak kemajemukan masyarakat
kita. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan
transportasi yang menyebabkan jarak tak lagi menjadi
masalah maka dibutuhkan pengakuan dan toleransi
yang mendalam pada bangsa kita terhadap realita
yang ada di seputar kehidupan mereka. Bahwa masya-
rakat yang pluralis merupakan suatu keniscayaan yang
tak bisa dihindarkan. Daripada mempertentangkan
perbedaan kan lebih arif jika mencari persamaan dan
menerima perbedaan sebagai kekayaan bersama atau
setidaknya bisa saling memperkaya."
"Betul, Ana. Nah, esok lusa kau berangkat dengan
pesawat terpagi ya."
Ana merasa senang bisa melepaskan diri dari Wibi-
sono. Dua hari ini, laki-laki itu terus saja berusaha
mengajaknya makan di luar dan dia merasa keberatan.
Kurang bijaksana kalau mereka sering bertemu. De-
ngan adanya tugas itu dia bisa menolak ajakan Wibi-
sono dengan alasan yang tepat.
http://pustaka-indo.blogspot.com359
"Aku harus menyiapkan diri untuk tugas ke luar
kota, Wibi. Jadi maaf, aku tak bisa pergi bersamamu,"
Begitu akhirnya ia menjawab ajakan Wibisono ketika
laki-laki itu meneleponnya lagi di kantor. Saat itu jam
kantor hampir bubar. Yah, meskipun Ana sudah sangat berhati-hati un-
tuk melindungi seluruh perasaannya rapat-rapat dari
serbuan panah asmara yang semakin gencar mengarah
kepadanya, ia tetap sadar untuk tidak membiarkan
dirinya terkalahkan. Memang, dia bisa saja menepuk
dada mengatakan bahwa dirinya tidak termasuk di
dalam deretan para gadis yang antre menunggu diper-
hatikan Wibisono. Namun jauh di relung hatinya ia
tahu kelemahan hatinya terhadap pesona laki-laki itu.
Terutama karena pertemanan di antara mereka bela-
kangan ini menyebabkannya sering terkaget-kaget
sendiri, sebab ternyata ada banyak hal yang dapat
mereka kerjakan dan bicarakan berdua. Sesuatu yang
tak mudah untuk dihindarkan. Selama ini Ana belum
pernah berhubungan akrab dengan laki-laki, apalagi
bergaul intim dan merasa begitu cocok sebagaimana
halnya dia bersama Wibisono. Tetapi justru karena
itulah ia merasa cemas karena kemanisan dan kecocok-
an yang terjalin di antara dirinya dengan Wibisono
bisa membuatnya terlena. Bahkan bisa menjadi sema-
cam candu baginya di mana ia tergoda untuk sering
bertemu dan bertemu lagi dengan laki-laki itu. Pada-
hal justru keadaaan seperti itulah yang harus dihin-
darinya. Oleh sebab itulah ia merasa senang dapat
http://pustaka-indo.blogspot.com360
pergi jauh dan untuk sementara tidak bisa bertemu
dengan Wibisono. "Kelihatannya kau begitu senang," komentar laki-
laki itu. "Tentu saja. Sudah lama aku ingin tugas ke luar
kota." "Ke mana sih dan berapa lama tugasmu itu?"
"Ke Solo dan Yogya serta sekitarnya. Yah, sekitar
sepuluh hari." "Lama sekali?" "Ya. Karena aku juga harus meneliti sampai detail
yang ingin ditampilkan majalah kami. Dulu kan kera-
ton-keraton di Jawa Tengah itu menjadi titik orientasi
atau patokan nilai masyarakat Jawa pada umumnya
dalam memaknai kehidupan ini sampai-sampai sering
rancu dengan ajaran agama. Misalnya peringatan ar-
wah orang meninggal pada tujuh harinya, empat pu-
luh hari sampai seribu harinya. Hal-hal seperti itu
kan tidak ada dalam ajaran agama."
"Pendapatmu sendiri bagaimana?"
"Ajaran luhur masyarakat Jawa kan juga tidak mur-
ni seratus persen milik orang Jawa. Ada pengaruh
animisme, Hindu, Buddha, dan entah apa lagi. Nah,
menurutku, sejauh itu tidak bertentangan dengan aga-
ma dan bisa mempertebal hubungan kita dengan
Yang Di Atas, ya bagus sajalah untuk dijalankan.
Misalnya, puasa mutih yang banyak dilakukan orang
Jawa. Hanya makan nasi dan air putih saja selama
empat puluh hari sebagai upaya mengasah batin dan
mendekatkan diri pada Allah. Bagus, kan" Atau men-
http://pustaka-indo.blogspot.com361
doakan arwah orang yang sudah meninggal agar dite-
rima di sisi Allah, kan itu juga bagus."
"Yah... memang...."
"Nah, kami ingin tahu masih seberapa besar penga-
ruh semacam itu di masa sekarang. Kita ingat kan di
zaman Orde Baru, ada kesan dari para birokrat Jawa
masa itu untuk mengembalikan atau sedikitnya meng-
ulang zaman keemasan feodalisme dengan gaya baru.
Misalnya dalam upacara perkawinan, upacara kenega-
raan, dan lain sebagainya."
"Ya, aku ingat itu. Kau akan menginap di mana
nanti?" "Semua sudah diatur kantor. Aku tinggal masuk."
Api Di Bukit Menoreh 2 Wiro Sableng 188 Bintang Langit Saptuning Jagat Mata Air Dibayangan Bukit 22
^