Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 13

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 13


Tetapi para pedagang itu tidak menghiraukannya. Mereka justru telah bergeser mengambil jarak.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun menyadari, bahwa ujung-ujung senjata itu akan dapat mengoyakkan pakaian mereka. Sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun segera mengurai ikat pinggangnya, sedang Rara Wulan memegang selendangnya pada kedua ujungnya dengan kedua tangannya.
"Kami terpaksa mempergunakan senjata pula," berkata Glagah Putih.
Sekali lagi para pedagang itu terkejut melihat apa yang disebut senjata oleh kedua orang itu. Sehelai ikat pinggang dan sehelai selendang.
Tetapi senjata-senjata yang mereka anggap aneh itu membuat jantung mereka berdebaran.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "sekali lagi aku peringatkan. Hentikan perlawanan kalian dan bawa kedua orang kawanmu itu pergi."
Tetapi para pedagang itu tidak dapat menerima ancaman itu. Kemarahan dan harga diri yang berbaur membuat mereka sulit menghadapi kenyataan tentang kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Karena itu, maka orang yang bertubuh gemuk itupun berteriak, "Berhati-hatilah. Jika kalian berdua mati, sama sekali bukan tanggung jawab kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Merekapun kemudian berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan memutar senjata mereka.
Sejenak kemudian pertempuran telah berkobar lagi di halaman banjar. Bukan saja serangan tangan dan kaki yang terayun menyambar-nyambar. Tetapi berbagai macam senjata telah berputaran, terayun mendatar menebas dan menikam dengan garangnya.
Namun tidak seorangpun diantara para pedagang itu yang berhasil menggoreskan senjatanya.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun berloncatan diantara kilatan senjata lawan-lawan mereka.
Ki Jagabaya, Ki Kamituwa dan orang-orang yang semakin banyak berkerumun di banjar padukuhan itu menjadi semakin berdebar-debar, bahkan sekali-sekali jantung mereka rasanya telah berhenti berdetak. Mereka sangat mencemaskan kedua orang laki-laki dan perempuan yang dengan tangkasnya berloncatan diantara ayunan senjata itu.
Tetapi yang terjadi justru tidak segera dapat dimengerti bukan saja oleh orang-orang yang berdiri di luar arena, tetapi juga oleh mereka yang sedang bertempur itu.
Ikat pinggang yang berada di tangan orang yang menyebut dirinya Wiguna itu, telah membentur senjata-senjata para pedagang itu sebagaimana sepotong besi baja. Bahkan beberapa orang diantara mereka, telapak tangannya menjadi pedih, sehingga dengan susah payah mereka harus mempertahankan senjata mereka agar tidak terlepas dari tangan.
Meskipun demikian, apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Tiba-tiba saja sebuah pedang terlempar dari genggaman. Kemudian disusul sebuah luwuk yang berwarna hitam kehijau-hijauan.
Belum lagi kedua orang yang kehilangan senjata itu sempat memungutnya, terdengar seseorang berteriak marah sekali.
Seorang yang bertubuh tinggi kekurus kurusan, dengan susah payah berusaha untuk bangkit berdiri. Adalah diluar kemampuannya untuk menghindar ketika selendang Rara Wulan membelit kakinya. Ketika selendang itu dihentakkan oleh Rara Wulan, maka orang itupun terpelanting jatuh dan terseret beberapa langkah.
Kemarahan bagaikan meledakkan jantungnya. Sambil berteriak orang itu bangkit berdiri. Tanpa berpikir panjang orang itu segera meloncat menyerang Rara Wulan dengan pedang terayun menebas ke arah leher.
Rara Wulan sempat merendah sehingga pedang itu terayun diatas kepalanya. Namun sekejap kemudian, selendang Rara Wulan telah membelit tangan orang itu. Ketika Rara Wulan menariknya sendal pancing, maka pedang itu bagaikan meloncat dari tangannya, melenting di udara.
Hampir saja pedang itu jatuh menimpa seorang kawannya. Untunglah orang itu sempat mengelak.
Tetapi pemilik pedang itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Rara Wulan telah menjulurkan selendangnya.
Hentakan yang keras sekali telah mengenai dada orang bertubuh tinggi itu. Dengan kerasnya ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, orang itupun terjatuh terlentang.
Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka dadanya terasa menjadi sangat sakit dan nafasnya menjadi sesak. Karena itu, demikian ia mencoba untuk berdiri, maka iapun telah terduduk kembali.
Orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali duduk dan berusaha untuk mengatur pernafasannya serta berusaha mengatasi rasa sakit didadanya.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung. Selendang Rara Wulan berputaran menyambar-nyambar. Setiap kali satu dua orang lawannya terlempar dari arena. Beberapa pucuk senjatapun terlepas dari tangan pemiliknya.
Dalam pada itu, lawan Glagah Putihpun menjadi semakin berkurang. Seorang bagaikan menjadi lumpuh ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai pahanya. Glagah Putih sengaja tidak mempergunakan ikat pinggangnya untuk mengoyak tubuh lawannya. Tetapi dipergunakannya sekedar untuk menyakiti mereka.
Beberapa saat kemudian, lawan-lawan Glagah Putih dan Rara Wulanpun semakin menyusut. Bahkan kemudian beberapa orang yang tersisa, telah berloncatan menjauhinya.
"Katakan, bahwa kalian menyerah," teriak Glagah Putih, "jika tidak, maka kami akan memperlakukan kalian lebih buruk lagi."
Tidak seorangpun yang menjawab. Beberapa orang diantara mereka telah kehilangan sejata mereka. Yang lain merasa bahwa tulang-tulang merekapun bagaikan menjadi retak. Yang lain, wajahnya menjadi lebam kebiru-biruan. Sedangkan yang lain lagi menjadi timpang karena sentuhan ikat pinggang Glagah Putih pada pahanya. Sementara itu, ada yang merasa seolah-olah sendi di pergelangan tangan kakinya terlepas sehingga pergelangannya menjadi sakit sekali. Bahkan agak membengkak.
"Jawab," teriak Glagah Putih pula.
Namun agaknya harga diri para pedagang dan saudagar itu mencegah mereka untuk menyatakan diri menyerah.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata lantang kepada Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah dari padanya, "Miyat. Ternyata mereka tidak mau menyerah. Karena itu, maka sekarang kita berhak untuk membunuh mereka. Bukan kita yang pertama-tama mempergunakan senjata. Tetapi mereka."
"Baik, kakang," jawab Rara Wulan tidak kalah lantangnya, "kematian diantara mereka bukan salah kita. Kita sudah memberi kesempatan kepada mereka untuk menyerah. Tetapi mereka telah menolak."
Ketika kemudian Rara Wulan memutar selendangnya, maka terdengar suara selendangnya bagaikan angin yang menderu.
"Tunggu, tunggu," teriak seorang diantara para pedagang itu, "aku menyerah."
Suasanapun menjadi sangat tegang. Pedagang yang besenjata pedang itu telah melemparkan senjatanya di tanah.
Seorang yang lain, yang sudah tidak bersenjatapun kemudian berkata pula, "Aku juga menyerah. Aku sudah tidak bersenjata."
Ternyata kawan-kawannyapun telah mengikutinya pula. Yang masih bersenjata telah melemparkan senjatanya.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Iapun kemudian berkata, "Ambil senjata-senjata kalian. Segera bersiap meninggalkan tempat ini. Bawa kawanmu yang dilukai oleh para perampok itu."
"Baik, baik, Wiguna. Kami akan segera pergi dengan membawa kawan-kawanku yang terluka."
"Dengar Ki Sanak. Bukannya kami tidak mau menolong sesama. Jika kami minta kalian pergi dengan membawa kawan-kawanmu yang terluka, justru kami mempunyai pertimbangan atas dasar kemanusiaan. Jika kawan kalian tetap disini, maka para perampok itu tentu akan menemukannya. Sebaliknya jika orang-orang pedesaan ini harus melindunginya, maka korbanya akan menjadi jauh lebih banyak. Dan itu sama sekali tidak adil, bahwa orang-orang kecil dan miskin harus mengorbankan diri untuk kepentingan orang-orang kaya seperti kalian. Karena itu, bawa kawan-kawan kalian. Selamatkan mereka dari tangan para perampok itu."
Tetapi seorang diantara para pedagang itu berkata, "Bukankah kau memiliki kelebihan yang tidak tertandingi" Jika para perampok itu datang kemari, kau akan dapat menghalaukannya."
"Aku seorang pengembara," jawab Glagah Putih, "sebentar lagi aku akan meneruskan pengembaraan kami. Kami tidak dapat terikat di satu tempat karena kami memang sedang menjalani laku. Jika para perampok itu datang sepeninggalku, maka kawanmu yang terluka itu tidak akan tertolong lagi."
Para pedagang itupun mengangguk-angguk. Seorang diantara merekapun berkata, "Baiklah. Kami akan segera mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Tetapi beberapa orang kawan kami justru mengalami kesakitan."
"Aku sudah memperingatkannya. Untunglah bahwa tidak ada kawan kalian yang terbunuh."
Para pedagang itupun terdiam. Merekapun segera berbenah diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka harus menuruti pendapat orang yang menyebut dirinya bernama Wiguna itu. Namun sebagian dari mereka benar-benar dapat mengerti maksud Glagah Putih. Merekapun membenarkan, bahwa tidak adil untuk mengorbankan orang-orang miskin bagi kepentingan mereka. Mereka memang tidak berhak mementingkan kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempedulikan rakyat miskin yang akan dapat menjadi korban. Mati dalam kesia-siaan bagi kepentingan orang-orang kaya.
Beberapa saat kemudian , maka para pedagang itupun sudah siap untuk meneruskan perjalanan. Namun keadaan mereka menjadi semakin sulit. Beberapa orang masih merasakan kesakitan.
Tetapi mereka harus meninggalkan padukuhan itu dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka.
Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu sudah siap untuk meninggalkan banjar. Kawan-kawan mereka yang terluka telah mereka dudukkan diatas punggung kuda.
"Maaf, Ki Sanak," berkata Glagah Putih kepada mereka yang terluka parah itu, "aku mencemaskan nasib kalian jika kalian tetap berada di padukuhan ini. Padukuhan ini masih terlalu dekat dengan daerah perburuan para perampok itu. Jika kalian dibawa ketempat yang lebih jauh, maka agaknya para perampok itu tidak akan mencarinya sampai ke sana. Sementara itu kalian masih harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum kalian menyeberang Kali Praga. Mungkin esok. Mungkin esok lusa. Mungkin kalian akan bertemu lagi dengan gerombolan penyamun yang lain."
Seorang yang rambutnya sudah ubanan mewakili kawan-kawan mereka, minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Orang yang rambutnya ubanan itu sempat pula minta maaf atas sikap mereka yang kasar.
"Kami mengira bahwa kami dapat memerintahkan apa saja kepada orang-orang miskin, termasuk mengorbankan diri mereka. Pengalaman kami ini akan dapat membangunkan kami dari mimpi-mimpi kami itu."
"Baiklah. Mudah-mudahan kalian tidak tertidur dan bemimpi lagi. Karena keadaan yang berubah akan dapat merubah sikap kalian. Jika kalian pulang ke rumah kalian, maka kehidupan kalian sehari-hari yang serba berlebihan akan dapat membangunkan mimpi-mimpi kalian lagi. Kalian akan merasa bahwa uang adalah segala-galanya. Bahkan dengan uang kalian akan dapat membeli harga diri seseorang dan lebih dari itu, nyawa seseorang."
"Kami akan selalu mengingatnya."
"Ingat Ki Sanak. Kami berdua adalah pengembara. Jika kalian kembali kepada cara hidup kalian, maka kami berharap bahwa pengembaraan kami akan sampai juga ke rumah-rumah kalian. Meskipun rumah kalian dijaga oleh orang-orang upahan yang berilmu tinggi, namun kami akan menembus dinding halaman rumah kalian."
Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi ada juga diantara para pedagang itu yang tidak senang mendengar ancaman itu. Namun mereka menganggap bahwa orang yang menamakan diri Wiguna itu bersungguh-sungguh.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, iring-iringan itupun meninggalkan banjar padukuhan. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri jalan biilak menuju ke padukuhan yang lebih jauh untuk menitipkan kawan-kawan mereka yang terluka.
Tetapi sikap merekapun memang telah berubah. Mereka tidak lagi memperlakukan orang-orang kecil di padesaan sebagai budak-budak yang harus patuh tanpa syarat.
Di padukuhan yang mereka tinggalkan, Ki Jagabaya dan para bebahu yang kemudian berada di banjar, mengucapkan terima kasih kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil mengembalikan peti kecil yang dititipkan kepadanya, Ki Jagabaya berkata, "Aku tidak membuka peti itu."
"Tentu," jawab Rara Wulan, "Jika Ki Jagabaya membukanya, maka nyawa kami sudah terbang. Bayi kami yang kami simpan didalamnyapun sudah terbang pula."
"Tetapi apakah sebenarnya isi peti itu?" bertanya Ki Jagabaya.
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Bukankah sudah aku beritahukan kepada Ki Jagabaya."
"Dalam keadaan yang gawat itupun Nyai masih sempat bercanda. Sementara itu, kecemasanku sudah membakar ubun-ubun."
Glagah Putih tertawa pula. Katanya, "Isinya sangat berharga bagi kami berdua, sehingga isteriku menyebutnya bahwa isinya adalah nyawa-nyawa kami."
Ki Jagabaya itupun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Alangkah bodohnya aku ini. Aku mengira bahwa isterimu sekedar bercanda atau kalau tidak, justru di dalam peti itu benar-benar terdapat nyawa kalian."
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "Nah, Ki Sanak. Sekarang kamipun akan minta diri. Mudah-mudahan sepeninggal kami tidak akan terjadi apa-apa di padukuhan ini. Jika para perampok itu datang, katakan, bahwa kalian telah mengusir para pedagang itu."
"Kenapa kalian berdua begitu tergesa-gesa" Kalian dapat tinggal disini barang sepekan."
"Terima kasih, Ki Jagabaya. Kami masih harus menempuh perjalanan panjang."
"Justru karena itu, bukankah kalian tidak terikat oleh waktu. Bukankah kalian tidak dibatasi, kapan kalian harus sampai di tempat tertentu?"
"Benar, Ki Jagabaya. Tetapi waktu menjadi sangat berharga bagiku."
"Di mana malam nanti kalian akan bermalam?" bertanya Ki Jagabaya.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun sebelum ia menjawab, Ki Jagabayapun berkata, "Bermalamlah disini setidaknya untuk malam ini saja. Jika para perampok itu datang, kami tidak menghadapinya sendiri."
"Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Bukankah para pedagang yang terluka itu tidak ada disini?"
"Meskipun demikian, rasa-rasanya hati kami akan lebih tenteram jika kalian berada disini. Sokur jika para perampok itu tidak datang kemari."
"Jika mereka datang, tentu tidak malam ini. Mereka tentu masih sibuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah terbunuh. Selain itu, tentu merekapun akan sulit mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lain, yang sama tatarannya dengan kawan-kawan mereka yang telah dikalahkan oleh paja pedagang itu."
Tetapi Ki Jagabaya itu masih juga berkata, "Aku mengerti. Tetapi keberadaan kalian malam ini disini, akan sangat berpengaruh terhadap ketenteraman hati kami penghuni padukuhan ini."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Iapun kemudian berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, "Apakah kita akan bermalam disini?"
"Tidak apa-apa kakang. Perjalanan kita hanya akan tertunda tidak sampai sehari."
"Baiklah," berkata Glagah Putih. Lalu katanya kepada Ki Jagabaya, "Kami akan menerima kesempatan yang Ki Jagabaya berikan untuk bermalam dipadukuhan ini nanti malam."
"Terima kasih, Ki Sanak. Malam nanti kalian berdua akan kami persilahkan bermalam di rumahku saja."
"Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi biarlah aku bermalam di banjar ini saja."
"Disini tidak ada yang akan melayani jika kalian haus dan apalagi lapar."
"Tidak apa-apa Ki Jagabata. Bahwa kami mendapat tempat untuk bermalam, kami sudah merasa sangat berterima kasih."
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun Ki Kamituwapun berkata, "Biarlah aku yang nanti menyediakan minum dan makan bagi mereka berdua."
"Jangan merepotkan Ki Kamituwa. Kami hanya berdua. Kami tidak memerlukan pelayanan. Kami dapat merebus air sendiri di banjar ini. Mungkin disini ada serba sedikit alat-alat dapur."
"Itu tidak perlu Ki Wiguna. Kamilah yang minta kalian berdua bermalam."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Sementara itu, Ki Jagabayapun telah memerintahkan penunggu banjar untuk membersihkan sebuah bilik di serambi belakang banjar itu.
Beberapa saat kemudian, maka setelah bilik bagi Glagah Putih dan Rara Wulan disipakan maka para bebahu serta beberapa orang yang masih berada di banjarpun meninggalkan banjar itu pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun orang sepadukuhan itu masih saja membicarakan kelebihan dua orang suami isteri yang bermalam di banjar itu. Mereka berdua saja dapat mengalahkan sekelompok pedagang yang telah mengalahkan gerombolan penyamun yang akan merampok mereka di bulak panjang.
"Luar biasa. Yang terjadi di banjar itu tidak dapat masuk diakalku," berkata seorang diantara mereka yang sempat menyaksikan pertempuran di banjar.
"Apalagi kita. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwapun nampaknya terheran-heran pula."
"Jika gerombolan perampok itu malam ini datang ke padukuhan kita, maka mereka akan dihancurkan oleh kedua orang suami isteri itu."
"Tetapi menurut mereka, rasa-rasanya perampok itu tidak mungkin datang hari ini atau malam nanti. Mereka terlalu sibuk. Sedangkan untuk mengumpulkan orang-orang baru, mereka tentu memerlukan waktu."
Kawannyapun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat penghormatan khusus. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa bersama beberapa orang bebahu yang lain telah datang ke banjar untuk sekedar berbincang. Sementara itu hidanganpun justru datang dari Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa.
Namun Ki Jagabaya tetap berhati-hati. Diperintahkannya beberapa orang anak muda untuk mengamati keadaan, jika saja ada segerombolan perampok yang datang.
Tetapi sampai jauh malam, tidak seorangpun datang ke padukuhan itu. Yang kemudian justru datang adalah Ki Demang dengan beberapa orang pengiringnya.
"Siapa yang bermalam di banjar ini ?" bertanya Ki Demang.
"Dua orang suami isteri yang telah membantu kita, Ki Demang."
"Membantu apa?"
"Bukankah aku sudah memberikan laporan kepada Ki Demang lewat Ki Kebayan?"
"Laporan apa?" "Ki Kebayan," bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Kebayan yang kebetulan juga ada di banjar itu, "bukankah Ki Kebayan sudah lapor kepada Ki Demang?"
"Sudah. Aku sudah datang kepada Ki Demang sesaat menjelang senja. Ki Demang berkenan menerima aku sebentar. Laporanku memang belum tuntas. Tetapi Ki Demang waktu itu akan mempunyai keperluan lain sehingga aku dimintanya meninggalkan rumah Ki Demang. Tetapi pokok-pokok persoalannya sudah aku laporkan."
"Kau tidak mengatakan bahwa ada orang bermalam di banjar malam ini," sahut Ki Demang.
"Memang belum sempat. Ki Demang cepat-cepat minta aku pergi pada waktu itu."
"Persetan kau Ki Kebayan," geram Ki Demang. Lalu katanya, "Nah, sekarang aku ingin berbicara dengan orang yang bermalam di banjar ini."
"Kami berdua yang malam ini bermalam di banjar ini, Ki Demang," sahut Glagah Putih.
"Kaukah yang telah mengusir para pedagang itu?"
"Bukannya mengusir, Ki Demang. Tetapi aku sependapat dengan Ki Jagabaya. Jika mereka bermalam disini, maka akibatnya akan buruk sekali bagi kademangan khususnya padukuhan ini. Selain itu ada diantara para pedagang itu yang terluka. Jika yang terluka itu disembunyikannya di padukuhan ini, maka kemungkinan terbesar, orang-orang yang terluka itu dapat diketemukan. Ki Demang tentu tahu akibatnya jika orang yang terluka itu diketemukan oleh segerombolan perampok yang tadi siang telah dikalahkan dan bahkan hampir saja dihancurkan oleh para pedagang itu."
"Itu urusan kami. Bukan urusanmu."
"Memang Ki Demang. Itu urusan kita. Karena Ki Demang menyerahkan persoalannya kepadaku, maka akulah yang menanganinya. Kedua orang suami isteri ini ternyata bersedia membantu aku," sahut Ki Jagabaya.
"Tetapi keduanya telah mengacaukan hubungan kita dengan para pedagang itu."
"Hubungan kita dengan mereka memang sudah tidak baik, Ki Demang. Mereka tidak pernah menghiraukan kita selama ini. Mereka hanya lewat saja meninggalkan debu yang dihamburkan dibelakang kaki kuda mereka. Tetapi mereka tidak pernah menjadi sumber penghasilan bagi rakyat kita. Tetapi kita tidak pernah mengganggunya. Kita berbuat baik terhadap mereka. Tetapi jika kemudian mereka menitipkan orang-orang yang terluka masih dengan ancaman, bahwa kita harus melindungi orang-orang yang terluka itu. maka kita harus berpikir dua tiga kali.
"Kenapa" Apakah tidak pantas bagi kita untuk menolong sesama?"
"Bukannya kita tidak mau menolong sesama. Tetapi bukankah dengan demikian, para pedagang itu sudah menyurukkan kepala kami ke mulut serigala yang lapar" Sedangkan jika kami setelah mengorbankan beberapa orang masih juga tidak berhasil melindungi kawan-kawan saudagar itu yang terluka, maka kami akan menjadi tumpahan kesalahan. Mungkin mereka akan menghukum kami, sehingga kami harus mengorbankan lagi beberapa orang kami. Orang-orang miskin yang tidak tahu menahu persoalannya?"
"Kenapa hanya kalian" Bukankah aku Demang disini."
"Tetapi Ki Demang tidak memahami persoalannya. Kamilah yang tahu benar, apa yang akan terjadi."
"Kau sisihkan aku dari antara bebahu kademangan ini, justru aku adalah Demangnya"
"Bukan tentang bebahu. Tetapi tentang siapa yang mengerti akan persoalan yang sedang dihadapi."
"Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi. Tetapi aku tidak mau banjar ini menjadi seakan-akan penginapan. Apalagi bagi orang-orang yang mempunyai persoalan di kademangan ini."
"Akulah yang minta mereka menginap," sahut Ki Jagabaya, "sebenarnya mereka sudah akan berangkat untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi aku menahan agar mereka bersedia bermalam semalam saja. Jika malam ini para perampok itu datang, maka kami tidak hanya akan menghadapinya sendiri."
Ki Demang memandang Ki Jagabaya dengan tajamnya. Sementara Ki Kamituwapun berkata, "Aku juga minta mereka bermalam malam ini di banjar."
"Kalian telah berbuat menurut kehendak kalian sendiri tanpa minta persetujuanku."
"Ketika aku datang melapor ke rumah Ki Demang," sahut Ki Kebayan, "sebenarnya aku juga ingin melaporkan tentang kedua orang suami isteri yang akan menginap di banjar. Tetapi Ki Demang tidak memberi waktu kepadaku."
"Kalian hanya dapat menyalahkan aku. Ingat bahwa aku Demang disini."
Tetapi Ki Kebayan itu masih juga menjawab, "Kami tidak akan menyalahkan Ki Demang. Tetapi kami sekedar mengatakan apa yang telah terjadi dan apa yang telah Ki Demang lakukan."
Ki Demang itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian berkata kepada kedua pengawalnya, "Marilah kita pergi."
Tanpa mengatakan sesuatu lagi kepada para bebahu yang ada di banjar, maka Ki Demangpun kemudian meninggalkan tempat itu.
Para bebahu hanya dapat saling berpandangan. Namun, demikian Ki Demang itu hilang di balik pintu regol halaman banjar, maka Ki Jagabayapun berdesis, "Aku semakin tidak mengerti kemauan Ki Demang."
"Ya," sahut Ki Kamituwa, "sikapnya semakin aneh."
"Agaknya ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikapnya itu," berkata Ki Kebayan.
Tetapi para bebahu itu tidak dapat menebak, apa sebenarnya yiuiK tersembunyi di balik sikap Ki Demang.
Kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Jagabayapun berkata, "Kami mohon maaf atas sikap Ki Demang. Kami memang sulit untuk mengerti sikapnya. Agaknya ia ingin menyembunyikan kelemahannya.
"Ya. Ki Demang adalah seorang yang lemah dan malas, karena itu, agaknya Ki Demang ingin menunjukkan, bahwa ia tetap berkuasa di kademangan ini," sahut Ki Kebayan.
"Mungkin. Memang satu kemungkinan," desis Ki Jagabaya, "tetapi sudahlah. Jangan pikirkan lagi. Keberadaan Ki Wiguna berdua di banjar ini adalah atas tanggunganku. Jika Ki Demang masih ingin mempersoalkan lagi, biarlah aku yang mempertanggung jawabkan."
"Terima kasih, Ki Jagabaya, mudah-mudahan keberadaanku disini tidak mempengaruhi apalagi memperburuk hubungan Ki Demang dengan para bebahu. Bukankah Ki Demang dan para bebahu masih akan selalu terikat dalam kerja sama yang panjang?"
Para bebahu itu mengangguk-angguk.
Malam itu ternyata para bebahu berada di banjar sampai lewat tengah malam. Ketika mereka meninggalkan banjar, beberapa orang anak muda masih tetap berada di banjar.
"Silahkan beristirahat Ki Wiguna," berkata seorang anak muda kepada Glagah Putih.
"Terima kasih," jawab Glagah Putih.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian masuk ke dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka. Namun dalam keadaan yang masih terasa belum mapan itu, keduanya tidak tidur berbareng. Mereka telah membagi sisa malam itu untuk bergantian berjaga-jaga.
"Aku tidur dahulu," berkata Rara Wulan.
"Baiklah," jawab Glagah Putih.
"Nanti, setelah ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, gantian Kakang yang berjaga-jaga."
"Baiklah," tetapi dengan cepat Glagah Putih itu bertanya, "Bagaimana?"
"Sekarang aku tidur, nanti kakang yang berjaga-jaga."
"Marilah kita meneruskan perjalanan sekarang saja," berkata Glagah Putih kemudian.
Rara Wulan tertawa tertahan sambil membaringkan tubuhnya di pembaringan bambu yang ada di bilik itu.
Glagah Putihpun tertawa pula sambil berdesis, "Setelah menjalani laku yang berat, ternyata kau juga bertambah pandai."
Rara Wulan masih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Di dini hari, keduanyapun telah pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih menimba air untuk mengisi jambangan. Baru kemudian Glagah Putihpun mandi pula. Air yang dingin terasa menyegarkan tubuh mereka.
Sebelum matahari terbit, keduanyapun telah bersiap untuk meninggalkan padukuhan itu. Ternyata para perampok benar-benar tidak datang bermalam. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, mereka tentu tidak dapat mengumpulkan kawan-kawan baru dalam waktu yang dekat setelah mereka dikalahkan oleh sekelompok orang yang lewat, yang ternyata mempunyai kekuatan lebih besar dari kekuatan segerombolan perampok itu.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri kepada penunggu banjar itu, ternyata Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa telah datang pula ke banjar.
"Sepagi ini Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa harus sudah bangun," berkata Glagah Putih.
"Aku sudah terbiasa bangun pagi," jawab Ki Jagabaya, "Kami memang sudah menduga, bahwa kalian berdua akan berangkat pagi-pagi sekali, sehingga kamipun harus berada dibanjar sebelum matahari terbit."
"Kami minta diri," berkata Glagah Putih kemudian.
"Sebenarnyalah kami ingin mencoba minta agar kalian tidak pergi hari ini."
"Maaf, Ki Jagabaya," jawab Glagah Putih, "kami harus mempergunakan waktu kami sebaik-baiknya meskipun kami tidak dibatasi oleh waktu. Jika kami harus menunda-nunda perjalanan kami, maka laku yang harus kami jalani tidak akan dapat kami selesaikan seluruhnya."
"Bukankah tidak ada batasan hari, bulan dan tahun, kapan laku yang harus kalian jalani itu selesai."
"Kami tidak tahu, seberapa panjang waktu itu dikaruniakan kepada kami. Jika kami menyia-nyiakan waktu dan tiba-tiba waktu yang dikaruniakan kepada kami itu diambilNya kembali, maka kami hanya akan dapat menyesalinya."
Ki Jagabaya mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah. Jika Ki Wiguna berdua harus meninggalkan kademangan kami, maka sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap bahwa pada kesempatan lain, kalian berdua dapat singgah lagi di kademangan ini."
"Kami akan berusaha, Ki Jagabaya. Jika kami kembali dari pengembaraan kami, maka kami akan berusaha untuk singgah."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan banjar. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa melepas Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke gerbang padukuhan.
Sejenak kemudian maka keduanyapun telah memasuki bulak panjang yang seakan-akan membentang sampai ke cakrawala.
Pagi itu langit nampak bersih. Embun masih nampak bergayut di ujung dedaunan. Kicau burung-burung liar terdengar di pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan.
Lamat-lamat di kejauhan nampak padukuhan yang seakan-akan mencuat dari hijaunya tanaman di sawah.
Beberapa orang sudah nampak mulai menuruni sawah mereka untuk membersihkan rerumputan liar di sela-sela tanaman yang hijau.
Diperjalanan yang semakin jauh meninggalkan padukuhan itu, Rara Wulanpun bertanya, "Kakang. Kenapa sikap Ki Demang itu terasa aneh?"
"Satu diantara beberapa kemungkinan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa, bahwa Ki Demang yang lemah itu ingin menunjukkan kuasanya."
"Tetapi bukankah akibatnya justru sebaliknya?"
"Ya. Tetapi ada kemungkinan lain."
"Ki Demang itu berhubungan secara rahasia dengan para pedagang. Mungkin para pedagang itu telah menyuapnya."
"Tetapi ia tidak berbuat apa-apa bagi para pedagang itu."
"Setidak-tidaknya ia tidak mengusir para pedagang itu. Bukankah Ki Demang itu mengatakan, bahwa dengan demikian hubungan mereka dengan para pedagang akan menjadi buruk?"
"Aku justru berpendapat lain," berkata Glagah Putih, "Ki Demang telah membuat hubungan rahasia dengan para perampok. Ki Demang tidak berusaha membangun lingkungannya untuk mempertahankan haknya. Jika ia berniat untuk membiarkan para pedagang itu menitipkan kawan-kawan pedagang yang terluka, justru bagi kepentingan para perampok yang akan datang untuk membalas dendam."
"Kenapa kakang tidak mengatakan kemungkinan ini kepada Ki Jayabaya?"
"Bukankah kita tidak meyakini kebenarannya" Kita hanya menduga-duga. Mungkin benar, tetapi mungkin tidak."
Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, "Jika kita menyatakan dugaan kita kepada Ki Jayabaya, namun ternyata bahwa dugaan kita salah, maka kita hanya akan menambah ketegangan yang terjadi di kademangan ini.
Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
Tetapi langkah merekapun terhenti ketika dari balik segerumbul perdu di simpang tiga, beberapa orang muncul langsung berdiri di tengah jalan. Seorang diantara mereka adalah Ki Demang.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut sehingga terasa jantung mereka berdebaran.
"Apalagi yang dimaui oleh Ki Demang," desis Glagah Putih.
Rara Wulan yang membawa peti kecilnya, mengikatnya dengan selendangnya erat-erat.
"Ki Sanak," berkata Ki Demang yang melangkah mendekatinya, "aku tahu ilmumu sangat tinggi. Karena itu, aku tidak akan mengganggumu sekarang. Tetapi aku ingin memperingatkanmu, jangan mencampuri urusan orang lain. Jalan yang kau tempuh adalah jalan yang sangat rawan. Para perampok dan penyamun dapat muncul setiap saat dari sarangnya. Tiba-tiba saja mereka menyergap. Kalian berdua memang tidak akan merasa ketakutan karena ilmu kalian sangat tinggi. Tetapi sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam setiap benturan kekerasan yang terjadi, karena jika kalian melibatkan diri, maka pada suatu ketika kalian akan bermusuhan dengan seluruh kekuatan para perampok dan penyamun di daerah ini sampai di seberang Kali Praga.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Ki Demang. Kenapa Ki Demang memperingatkan aku agar aku tidak melibatkan diri. Bukankah itu kewajiban setiap orang untuk memberantas kejahatan menurut kemampuannya. Jika aku tidak mampu melakukannya, maka akupun tidak akan melakukannya. Tetapi jika aku mampu, kenapa harus dicegah?"
"Seberapapun tinggi ilmu kalian berdua, tetapi kalian tidak akan dapat menghadapi seluruh kekuatan para perampok dan penyamun yang tersebar di daerah ini."
"Mereka tidak akan menghimpun kekuatan bersama ki Demang. Ki Demang tentu mengetahui pula, bahwa sebenarnyalah merekapun selalu bersaing. Mereka akan berebut ladang yang paling subur. Karena itu, maka mereka selalu terpecah-pecah seperti yang Ki Demang lihat sekarang ini. Bahkan tidak mungkin terjadi pertarungan diantara mereka."
"Memang hal itu dapat saja terjadi. Tetapi untuk menghadapi kekuatan dari luar, maka mereka akan dapat bersatu."
"Jika mereka dapat bersatu, tentu sudah mereka lakukan. Tetapi ternyata tidak. Mereka telah terbelah menjadi bagian-bagian kecil yang lemah."
"Jangan meremehkan mereka, Ki Sanak."
Glagah Putih memandang Ki Demang dengan tajamnya. Dengan nada berat Glagah Putih bertanya, "Apa hubungan Ki Demang dengan para perampok itu?"
Pertanyaan itu mengejutkan Ki Demang. Namun kemudian iapun menjawab, "Pertanyaan yang bodoh. Kau tentu sudah tahu jawabnya. Tentu aku tidak berhubungan sama sekali dengan para perampok itu."
"Jadi bahwa Ki Demang memperingatkan agar aku jangan melibatkan diri melawan para perampok itu hanya karena kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami berdua ?"
"Ya. Kalian masih terlalu muda untuk dicincang oleh para perampok itu."
"Terima kasih atas kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami. Tetapi kami mempunyai pertimbangan tersendiri. Kapan kami tidak ikut campur dan kapan kami harus terjun langsung melawan para perampok itu."
"Ki Sanak. Kau harus tahu, bahwa gerombolan perampok dan penyamun bukannya hanya kelompok yang sudah dikalahkan oleh para pedagang yang tadi lewat. Tetapi masih ada gerombolan-gerombolan yang lain."
"Aku tahu. Mereka itulah yang aku maksudkan saling bersaing. Yang satu menghancurkan yang lain."
"Persetan kau Ki Sanak. Terserah kepada kalian berdua. Jika naib kalian menjadi sangat buruk, itu salah kalian sendiri."
"Baik. Ki Demang. Kami akan menanggung akibat dari perbuatan kami berdua."
"Jika demikian terserah kepada kalian. Aku bermaksud baik. Tetapi jika kalian tidak mau mendengarkannya, maka dihari yang lain aku akan mendengar sepasang suami istri telah dibantai di tepian Kali Praga."
Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu Ki Demangpun memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk pergi.
"Tunggu Ki Demang," berkata Glagah Putih kemudian, "akulah yang sekarang justru memperingatkan Ki Demang. Ki Demang seharusnya yang berdiri di tempat kami sekarang ini. Seharusnya Ki Demanglah yang harus berbuat sesuatu di seluruh kademangan untuk melawan para perampok itu."
"Aku belum menjadi gila, Ki Sanak. Jika aku melakukannya, maka rakyatku akan dibantainya sampai orang terakhir."
"Berapa jumlah laki-laki di kademanganmu" Kau dan tentu Ki Jagabaya memiliki kemampuan untuk melatih anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki di padukuhanmu."
"Sudah aku katakan, bahwa jumlah gerombolan itu cukup banyak. Mereka akan dapat datang bersama-sama ke kademanganku."
"Bukankah jumlah kademangan juga banyak" Kademangan-kademangan itu tentu akan bersedia saling membantu."
"Memang mudah dikatakan. Tetapi sulit dan bahkan tidak mungkin dilaksanakan."
"Ki Demang harus berani mencoba."
"Aku datang dengan maksud baik. Aku memperingatkan kalian demi keselamatan kalian. Sekarang justru kau yang menggurui aku."
"Bukan maksudku. Akupun bermaksud baik."
Ki Demang tidak menjawab lagi. Tetapi Ki demang itupun justru memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Glagah Putihpun tidak berbicara apa-apa lagi. Dibiarkannya Ki Demang itu pergi. Tetapi dugaannya bahwa Ki demang itu justru mempunyai hubungan rahasia dengan para perampok dan penyamun itupun menjadi semakin tebal.
"Agaknya dugaan kakang benar," desis Rara Wulan.
"Akibatnya akan buruk sekali bagi rakyat di kademangannya. Lambat laun, jalan perdagangan itupun benar-benar akan tersumbat jika para perampok dan penyamun mempunyai hubungan rahasia dengan para penguasa di kademangan-kademangan."
"Apakah ada yang dapat kita lakukan?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Kita akan melihat lingkungan yang lain. Apakah suasananya sama dengan kademangan yang baru saja kita lewati."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Tetapi ada yang ingin aku bicarakan lagi, kakang."
"Apa" " "Peti ini." "Kita tinggalkan saja petinya. Kita bawa kitabnya. Tentu akan lebih mudah."
"Kita beli selendang di pasar yang dapat kita temui. Kita bungkus kitabnya, disembunyikan dibawah bajumu. Petinya dapat kita sembunyikan dimana saja."
"Kenapa harus disembunyikan" Tinggal saja dimana-mana."
"Sudah aku katakan. Aku senang peti itu. Ukirannya lembut sekali. Pada kesempatan lain, aku akan mencarinya."
"Baiklah. Nanti kita cari tempat untuk menyembunyikan peti itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka yakin, bahwa mereka akan melewati sebuah pasar, besar atau kecil.
Sebenarnyalah sebelum tengah hari, keduanya memang sampai ke sebuah pasar. Pasar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ada orang yang menggelar dagangan kain dan selendang lurik di dalam pasar itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun singgah di pasar itu. Mereka langsung menuju ke tempat penjualan kain lurik itu.
Rara Wulanpun membeli selendang lurik berwarna gelap.
"Bagaimana kita harus membawanya?"
"Kita ikat kitab itu. Kemudian selendang itu kau lingkarkan di perutmu diatas ikat pinggangmu. Bukankah tidak akan banyak mengganggu."
"Tetapi tentu akan nampak menonjol pada bajuku."
"Tidak seberapa. Kitab itu kau tempat di perutmu."
"Aku akan nampak sebagai seorang berperut besar. Bagaimana kalau kau saja yang membawanya?"
"Aku akan kelihatan seperti orang yang sedang mengandung."
Glagah Putih tersenyum. Ketika kemudian mereka meninggalkan pasar itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Kita harus mencari jalan simpang. Kita akan pergi ke gumuk kecil itu."
"Gumuk kecil itu tentu agak jauh dari tempat ini."
"Ya. Kita memerlukan tempat terpencil untuk menyimpan petimu dan mencoba-coba cara untuk membawa kitab itu."
Rara Wulanpun mengangguk.
"Sebenarnyalah merekapun kemudian turun ke jalan simpang. Semakin lama semakin jauh menuju ke sebuah gumuk kecil yang nampak ke hijau-hijauan. Agaknya pada gumuk kecil itu terdapat hutan meskipun tidak begitu lebat.
Tetapi semakin dekat, Glagah Putihpun kemudian berkata, "Bukan hutan. Aku melihat banyak pohon nyiur yang nampaknya sengaja di tanam di kaki gumuk itu berkeliling."
"Ya, kakang. Tetapi gumuk itu terletak di seberang padang perdu yang jarang dilewati orang."
"Ada jalan setapak menuju ke gumuk itu."
"Ya." "Kita akan melihat apakah gumuk itu ada penghuninya."
Keduanyapun kemudian sampai dibatas tanah persawahan dengan padang perdu. Tetapi keduanya masih dapat mengikuti jalan setapak menuju ke gumuk itu. Sedang di belakang itu terdapat sebuah hutan yang memanjang.
Semakin dekat mereka dengan gumuk itu, merekapun menjadi semakin berhati-hati. Mereka melihat tanda-tanda bahwa gumuk itu berpenghuni.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di kaki gumuk itu, mereka bertemu dengan seseorang yang berjalan dengan memikul beberapa buah bumbung legen. Agaknya orang itu baru saja nderes beberapa batang pohon kelapa.
"Ki sanak," bertanya Glagah Putih, "apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini?"


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang yang memikul beberapa bumbung legen itupun berhenti. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian nampak dengan sedikit ragu iapun menjawab, "Ya. Aku tinggal di gumuk itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah ada orang lain yang tinggal disana?"
"Ya. Ada beberapa keluarga yang tinggal di gumuk itu."
Rara Wulan menggamit Glagah Putih sambil berdesis, "Jika demikian, biarlah kita melewati gumuk itu. Bukankah kita mencari tempat yang tidak pernah di jamah oleh tangan manusia?"
(Bersambung ke Jilid 361)
Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Jilid : 361- 370 ________________________________________
Jilid 361 "TETAPI kita sudah berada disini. Mereka tentu akan mencurigai kita," bisik Glagah Putih.
Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putihpun kemudian berkata, "Ki Sanak. Kami adalah dua orang suami istri yang sedang mengembara. Jika hari ini kami sampai di padukuhan Ki Sanak, maka kami berniat memperkenalkan diri kami. Tolong Ki Sanak. Tunjukkan kepada kami, dimanakah rumah Ki Bekel di padukuhan itu" "
Orang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Kami tidak tinggal di sebuah padukuhan. Tetapi kami tinggal di satu tempat yang pernah menjadi sebuah padepokan."
"Pernah menjadi sebuah padepokan?"
"Ya. Di gumuk itu pernah ada sebuah padepokan. Lingkungan padepokan itu adalah sebesar gumuk kecil itu. Tetapi pada suatu saat padepokan kami pernah mengalami bencana, sehingga hampir saja menjadi punah. Kini masih ada beberapa orang yang tinggal di gumuk itu. Tetapi tidak lagi dalam susunan sebuah padepokan. Namun juga bukan sebuah padukuhan. Kami tinggal di gumuk itu tanpa terikat oleh paugeran dan tatanan sebagaimana sebuah padukuhan yang menjadi bagian dari sebuah kademangan."
Tetapi agaknya masih ada seorang pemimpin padepokan?"
"Bukan lagi pemimpin padepokan. Kami memang menunjuk seorang diantara kami menjadi pemimpin kami."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah aku diperkenankan menemui pemimpin Ki Sanak itu?"
"Marilah. Aku antar kau menemuinya."
Orang yang memikul legen itupun kemudian berjalan mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara kedua orang suami istri itu mengikutinya dibelakang.
Beberapa saat kemudian, merekapun mulai memanjat naik. Jalannya yang dilapisi tanah liat itu tentu licin di musim hujan.
Namun ketika mereka sampai didepan sebuah rumah yang pertama kali mereka temui, mereka melihat bahwa di halaman rumah itu terdapat banyak gerabah yang baru saja dibuat dan masih belum dibakar.
Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan gerabah yang sudah siap untuk dibakar itu dengan sungguh-sungguh.
Bahkan Rara Wulan itupun berguman, "Gerabah. Ada jambangan, periuk, kendi dan bermacam-macam alat dapur.
"Hampir semua orang yang tinggal di bukit ini membuat gerabah," berkata orang yang memikul legen itu, "gerabah dan gula kelapa."
"Itukah penghasilan utama di padukuhan ini ?"
"Di padepokan ini. Orang banyak masih menyebut tempat ini sebagai sebuah padepokan, meskipun mereka tahu, bahwa tatanannya sudah berubah."
"Ya, di padepokan ini," Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Itulah penghasilan utama kami. Ada beberapa bahu sawah disebelah sungai kecil itu. Kamipun beternak kambing dan ayam. Anak-anak menggembala di pagi sampai siang hari."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Tengkulak dari kademangan sebelah sering datang untuk membeli hasil pekerjaan kami."
"Gerabah dan gula kelapa?"
"Gula kelapa tidak. Kami membawanya ke pasar. Mereka hanya membeli gerabah. Tetapi ada pula pedagang kambing dan ayam yang sering datang. Tetapi seperti gula kelapa, kami membawa telur ayam langsung ke pasar."
Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Kepada Rara Wulan iapun berdesis, "Nampaknyarpenghuni padepokan ini adalah orang-orang yang sanggup bekerja keras."
"Ya. Agaknya hidup mereka juga tidak kekurangan."
Demikianlah mereka berjalan semakin dalam di padepokan itu. Jalan terasa mendaki meskipun tidak terlalu menanjak. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan merasa bahwa mereka berada di tempat yang semakin tinggi.
Di beberapa tempat, mereka melihat pohon-pohon raksasa yang tumbuh diantara pepohonan liar yang lain. Nampaknya di gumuk itu masih terdapat lingkungan-lingkungan kecil yang masih tetap dipelihara sebagaimana adanya.
"Lingkungan yang diberi gawar itu adalah lingkungan yang keramat," berkata orang yang memikul bumbung legen itu, "tidak seorang pun berani menebang pohon-pohon raksasa itu untuk dijadikan pategalan atau tempat berkebun.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh lingkungan-lingkungan kecil yang diberi gawar itu, sehingga tidak seorangpun yang berani memasukinya. Mereka percaya bahwa tempat-tempat itu adalah tempat-tempat yang keramat.
Namun Glagah Putih sempat berbisik di telinga Rara Wulan. "Pohon-pohon raksasa itu mempertahankan sumber-sumber air di gumuk ini. Kau lihat diantara pepohonan raksasa itu?"
"Ya," Rara Wulan mengangguk.
Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh orang yang mengantarkan Glagali Putih dan Rara Wulan sambil memikul beberapa buah bumbung berisi legen itu, bahwa hampir di setiap halaman terdapat gerabah. Ada yang sudah dibakar dan siap di pasarkan. Tetapi ada yang masih nampak basah. Agaknya gerabah itu baru saja dibuat. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan melihat pula seorang perempuan yang sedang sibuk membuat sebuah periuk.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah sampai ditempat yang tertinggi di gumuk itu. Di sebuah halaman yang luas, terdapat sebuah bangunan-bangunan yang lain. Lebih besar dari sekedar gandok pendapa yang agaknya sebagai bangunan utama itu.
"Inilah bekas padepokan kami," berkata orang yang memikul legen itu, "sebelum kami bercerai berai dan membangun rumah kami sendiri-sendiri di atas gumuk ini."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Beberapa saat mereka berdiri di luar regol halaman yang terhitung cukup luas itu.
"Siapakah yang sekarang tinggal di rumah ini?"
"Saudara seperguruan kami yang tertua."
"Apakah ia yang sekarang memimpin padepokan ini?"
"Ia tidak menyebut dirinya pemimpin padepokan. Ia hanya merasa sebagai orang tertua di padepokan ini."
"Kenapa ia tidak menggantikan kedudukan guru kalian memimpin padepokan ini?"
Orang yang memikul legen itu menarik nafas panjang. Katanya, "Biarlah kakang nanti menyampaikan ceritera yang agak panjang itu. Marilah, kita menemuinya."
Glagah Putih dan Rara Wulan agak ragu ketika mereka melangkah memasuki regol halaman rumah itu mengikuti orang yang memikul bumbung-bumbung legen itu.
Ketika mereka sampai disebelah bangunan utama, maka orang yang memikul legen itu meletakkan bebannya. Iapun kemudian masuk lewat pintu samping untuk memberitahukan, bahwa ada dua orang tamu yang datang ke padepokan itu.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah diterima oleh orang tertua di lingkungan yang masih saja disebut sebuah padepokan itu, sementara orang yang memikul legen itupun langsung minta diri.
"Kenapa tidak duduk disini sebentar"," bertanya pemimpin padepokan yang lebih senang disebut saudara tertua itu.
Orang yang membawa legen itupun menjawab, "Aku masih ada kerja lain, kakang."
"Baiklah. Nanti saja jika kerjamu sudah selesai, datanglah kemari."
"Ya, kakang." Orang itupun melangkah menuju ke regol halaman dan kemudian turun ke jalan.
Sepeninggal orang itu, maka pemimpin padepokan yang lebih senang disebut orang yang dituakan itu bertanya, "Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak berdua dan apakah keperluan Ki sanak datang ke padepokan kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Mereka sempat mengamati pemimpin padepokan itu. Wajahnya yang nampak lunak dan sabar. Namun matanya yang tajam bahkan seakan berkilat-kilat menunjukkan kecerahan penalarannya. Rambutnya yang sedikit terjurai mencuat di bawah ikat kepalanya nampak sudah memutih. Kumisnyapun telah putih pula. Namun dagunya nampak bersih. Tidak selembar janggutpun nampak di dagunya.
"Kiai," jawab Glagah Putih, "namaku Glagah Putih dan ini isteriku, Rara Wulan. Kami sedang mengembara menjelajahi beberapa tempat yang belum pernah kami kunjungi."
"Angger berdua tinggal dimana?"
"Kami berdua tinggal di Tanah Perdikan Menoreh."
"O, Jadi angger baru mulai. Bukankah Tanah Perdikan Menoreh masih belum begitu jauh?"
"Ya, Kiai. Kami memang baru mulai dengan pengembaraan kami. Tetapi dari Tanah Perdikan Menoreh kami berjalan ke Timur. Kami singgah di Jati Anom."
Orang itu mengangguk-angguk sambil bergumam, "Jadi angger berdua sudah singgah di Jati Anom."
"Ya, Kiai. Kami kemudian menyusuri kaki Gunung Merapi di sisi selatan."
"Jika angger berjalan sedikit ke Barat dan menyeberang Kali Praga, maka angger berdua akan berada disebelah Utara Tanah Perdikan Menoreh. Jika angger menyusur ke Selatan, angger akan sampai ke rumah kembali."
"Ya, Kiai. Tetapi kami belum ingin pulang. Kami akan mengembara ke Barat untuk melihat cakrawala yang lebih luas. Mungkin di perjalanan kami, kami akan mendapatkan pengalaman yang menarik dan dapat memperkaya nalar budi kami."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Tetapi apakah yang sebenarnya kalian cari, ngger" Pengalaman yang bagaiman yang kalian inginkan untuk membangun sebuah keluarga yang baik" Kecuali jika angger membawa kewajiban lain dari sekedar membina rumah tangga kalian."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengatakan, tugas yang sebenarnya diembannya. Karena itu, maka iapun menjawab, "Kiai. Apakah salahnya jika kami berdua melihat-lihat lingkungan yang lebih luas dari lingkungan hidup kami sehari-hari. Setiap pagi kami berdua bangun. Membersihkan halaman, menimba air, sementara isteriku menyalakan api dan merebus air. Kemudian aku pergi ke sawah, sementara isteriku masak di rumah. Menjelang tengah hari isteriku pergi ke sawah membawa makan dan minum. Kiai, hari-hariku selalu berulang. Di sore hari duduk-duduk di sudut desa, berbicara dengan orang-orang yang sama seperti kemarin dan kemarin dulu. Isteriku duduk di halaman rumah tetangga sambil mencari kutu. Membicarakan yang satu dan yang lain bergantian saling menunjuk cacatnya."
Orang tua itu tersenyum. Katanya, "Kau agaknya berbeda dari tetangga-tetanggamu, ngger."
"Mungkin Kiai. Kami berdua menjadi jemu. Mumpung kami masih muda, maka kami memutuskan untuk mengembara tanpa merencanakan waktu dan tujuan."
Orang tua itu masih saja tersenyum.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya, "Kiai. Maaf jika aku memberanikan diri bertanya, siapakah gelar Kiai yang memimpin padepokan ini."
"Aku bukan pemimpin disini, ngger. Aku memang dituakan, karena kebetulan aku adalah orang tertua disini."
"Ya, Kiai." "Orang memanggilku Ki Umbul Telu ngger. Panggilan itu agaknya dihubungkan dengan keberadaan tiga buah umbul yang airnya berwarna kebiru-biruan di bukit kecil ini. Sedangkan namaku sendiri yang diberikan oleh orang tuaku adalah Supakat."
"Maaf Kiai. Bukankah sebaiknya aku juga menyebut Kiai dengan Ki Umbul Telu."
"Terima kasih ngger. Tetangga-tetanggaku juga memanggilku Ki Umbul Telu."
"Ki Umbul Telu. Aku mohon maaf, jika aku memberanikan diri bertanya, kenapa Ki Umbul Telu tidak bersedia disebut pemimpin disini" Jika yang ada di bukit kecil ini adalah sebuah padepokan, bukankah wajar jika Kiai disebut pemimpin dari padepokan ini sebagaimana padepokan yang lain juga mempunyai seorang pemimpin yang disegani oleh para penghuni padepokan?"
Orang tua itu menarik nafas panjang. Kemudian iapun bergumam, "Apa saja yang sudah diceriterakan oleh Mungguh tadi?"
"Tidak banyak, Ki Umbul Telu. Antara lain, bahwa Ki Umbul Telu tidak bersedia disebut pemimpin di padepokan ini meskipun pada cak-cakannya Ki Umbul Telu adalah pemimpin disini."
Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Dengan nada datar iapun bertanya, "Apakah ia sudah berceritera tentang padepokan yang bentuknya agak asing ini?"
"Belum Ki Umbul Telu. Menurutnya, biarlah Ki Umbul Telu sajalah yang berceritera."
Ki Umbul Telu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Memang terasa agak ragu. Tetapi Ki Umbul Telu itupun kemudian berkata, "Ngger. Selama ini aku tidak berniat untuk menceriterakan tentang perjalanan hidup padepokan kami yang cacat ini. Namun rasa-rasanya aku tidak perlu menyimpannya lebih lama lebih lama lagi. Tiba-tiba saja aku merasa bahwa tidak ada salahnya jika aku menceriterkan kepada angger berdua. Rasa-rasanya angger berdua akan bersikap baik terhadap padepokanku ini."
"Ki Umbul Telu. Kami adalah orang lain bagi padepokan ini. Tetapi siapapun kita, kita tentu mempunyai keterkaitan dalam batas-batas tertentu. Kami akan mencoba untuk menghormati keterkaitan kami dengan padepokan ini dalam batas-batas itu."
"Baiklah ngger," nada suara Ki Umbul Telu menurun. Namun iapun kemudian mulai berceritera tentang padepokannya itu.
"Pemimpin sekaligus guru kami adalah seorang yang baik. Perguruan ini disebut Perguruan Awang-awang. Mungkin nama itu memancarkan sedikit kebanggaan bahkan kesombongan. Tetapi sebenarnya bukan apa-apa. Kami merasa bahwa tempat tinggal perguruan kami adalah sebuah padepokan yang terletak disebuah gumuk. Meskipun tidak setinggi gunung anakan sekalipun, namun rasa-rasanya kami mempunyai tempat yang lebih tinggi dari daratan, sawah yang digelar dibawah gumuk itu serta padang perdu dan hutan itu. Guru kami yang berilmu tinggi serta sangat sareh dan sabar itu bergelar Kiai Tanda Wirasa."
"Apakah Ki Tanda Wirasa itu sekarang masih ada?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Beberapa tahun yang lalu, guru kami itu meninggal dengan cara yang tidak sewajarnya."
"Maksud Ki Umbul Telu?"
"Beberapa orang murid perguruan Awang-awang ini telah memberontak."
"Memberontak?" "Mereka mengira guru mempunyai sejumlah harta karun yang disembunyikan. Entah dari mana datangnya ceritera itu."
"Jadi mereka memberontak karena menginginkan harta karun itu?"
"Ya. Menurut ceritera yang mereka dengar, guru mempunyai harta karun yang sangat banyak. Harta karun yang diketemukan di bukit kecil ini. Diantaranya adalah sebilah keris yang besar, berpendok emas bertahtakan berlian, sehingga harganya mahal sekali. Disamping itu terdapat berbagai macam perhiasan dan emas batangan."
"Mereka telah membunuh Kiai Tanda Wirasa?"
"Ya. Melik nggendong lali. Ketamakan mereka telah membuat mereka kehilangan kiblat. Mereka telah meracun guru yang sangat mempercayai murid-muridnya. Dalam keadaan yang tidak bersiap menghadapi keadaan itu, guru tidak membawa penawar racun pada waktu itu. Pada saat guru mulai dipengaruhi oleh racun yang terdapat didalam minumannya, maka beberapa orang murid yang memberontak itu telah mencoba untuk memaksa guru membuka rahasia tentang harta karun itu. Tetapi guru tidak mengatakan sepatah katapun. Meskipun murid-murid yang durhaka itu berjanji untuk memberikan obat penawarnya jika guru bersedia memberikan keterangan tentang harta karun itu, namun guru tidak mengatakan apa apa, sehingga saat maut menjemputnya."
"Bagaimana sikap murid-murid yang lain?"
"Aku tidak berada di padepokan waktu itu bersama tiga orang saudara seperguruanku. Yang lain masih terlalu muda untuk menghadapi beberapa orang yang telah berkhianat itu, sehingga mereka dengan leluasa membongkar padepokan ini. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa, selain sebilah keris yang ukurannya memang lebih besar dari kebanyakan keris."
Keris itu adalah pertanda kepemimpinan di padepokan ini. Keris yang dinamai oleh guru Kiai Wasis. Tetapi pendok keris itu bukan dibuat dari emas. Apalagi tretes berlian."
"Apa yang mereka lakukan kemudian " "
"Setelah mereka gagal menemukan harta karun yang menurut pendapatku tidak ada di bukit ini, mereka segera melarikan diri. Agaknya mereka tidak mau berhadapan dengan aku dan ketiga saudara seperguruanku yang sebaya dengan mereka."
"Apakah mereka kemudian tidak pernah kembali lagi?"
"Ada di antara mereka yang pernah kembali. Bahkan baru akhir-akhir ini. Ternyata ada diantara mereka yang justru memimpin gerombolan perampok yang berkeliaran di jalan yang sering dilalui para pedagang dan saudagar itu."
"Mereka menjadi penyamun?"
"Ya." "Tentu mereka menjadi sangat berbahaya."
"Mereka memang berbahaya. Tetapi mereka masih belum tuntas saat mereka menuntut ilmu di padepokan ini."
"Tetapi kenapa Ki Umbul Telu menolak untuk memimpin padepokan ini" Bahkan bentuk dan ujud padepokan inipun menjadi berubah?"
Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, "Guru tidak sempat menetapkan siapakah yang akan menggantikannya."
Dengan ragu Glagah Putihpun bertanya pula, "Tetapi bukankah kenyataannya, Kiai Tanda Wirasa sudah tidak dapat memimpin padepokan ini. Karena itu, maka diperlukan seorang pemimpin yang baru. Meskipun Kiai Tanda Wirasa tidak sempat menunjuk penggantinya, namun para murid yang setia kepadanya akan dapat memilih diantara mereka."
"Adalah sudah menjadi ketentuan dari setiap angkatan, bahwa yang memimpin padepokan ini harus mengenakan pertanda. Sebilah keris yang bernama Kiai Wasis itu. Karena aku tidak memegang keris Kiai Wasis, maka aku tidak dapat disebut pemimpin dari perguruan di padepokan ini."
"Jadi, seandainya salah seorang murid yang memberontak, yang membawa keris Kiai Wasis itu datang kembali ke padepokan, dengan sendirinya ia akan menjadi pemimpin?"
"Tentu saja mereka tidak berhak meskipun ada diantara mereka yang membawa keris Kiai Wasis, karena mereka mendapatkannya dengan cara yang tidak sah."
Rara Wulanlah yang kemudian bertanya, "Padepokan ini sekarang ujudnya sudah berubah, Ki Umbul Telu. Kenapa pembahan itu harus terjadi?"
"Tidak ada lagi yang dapat menimbulkan padepokan ini dalam ujudnya yang lama. Karena itu, maka kami bersepakat untuk merubah ujud padepokan kami. Kamipun telah berpencar meskipun masih tetap berada diatas gumuk ini."
"Para murid lalu berkeluarga dan membangun rumah tangga mereka masing-masing?"
"Ya. Ada diantara mereka yang menikah diantara cantrik dan mentrik. Tetapi ada yang menikah dengan orang lain. Maksudku bukan murid perguruan ini. Tetapi menikah dengan tetangga di padukuhannya atas kemauan orang tuanya. Atau dengan mereka yang masih mempunyai hubungan kadang yang sudah agak jauh."
"Apakah diantara para penghuni bukit kecil ini masih tetap ada ikatan kekeluargaan sebagaimana sebuah perguruan?"
"Masih. Kami masih tetap sekeluarga. Kami masih tetap meningkatkan kemampuan kami. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi kami berusaha meningkatkan hasil kerja kami. Kerja di sawah, pembuatan gerabah, anyaman bambu dan lain-lain, sehingga hasil kerja kamipun meningkat harganya." Namun suara Ki Umbul Telu merendah, "Tetapi akhir-akhir ini pasaran kami menurun. Terutama hasil kerja kami. Keadaan agaknya tidak begitu menguntungkan bagi kami. Justru karena jalur perdagangan yang terganggu itu."
"Ki Umbul Telu," berkata Glagah Putih kemudian, "aku minta maaf, bahwa pertanyaanku telah menjalar sampai kemana-mana. Dalam hubungannya dengan para perampok dan penyamun, apakah Ki Umbul Telu tidak dapat berbuat apa-apa" Jika Ki Umbul Telu dapat bekerja sama dengan para Demang dan para pedagang yang lewat maka lingkungan ini tentu akan menjadi ramai kembali."
"Aku juga sudah berpikir kearah itu, ngger. Tetapi aku masih ragu-ragu. Aku tidak tahu sikap para Demang. Akupun tidak tahu, apakah para pedagang itu bersedia meramaikan lingkungan ini kembali. Apakah barang-barang hasil kerja kami adalah barang-barang yang ujudnya besar."
"Tetapi Ki Umbul Telu dapat mencobanya."
"Gagasan itu timbul justru pada saat saudara seperguruan kami yang telah berkhianat itu datang mengunjungi kami disini."
"Ki Umbul Telu dapat berbicara dengan para pedagang itu. Jika lingkungan ini menjadi aman, maka perdaganganpun akan dapat berjalan lebih baik."
"Ya, ngger. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Bekas-bekas saudara seperguruan kami itu datang untuk minta hak mereka atas bukit ini. Mereka mengaku merasa berhak atas perguruan di padepokan ini. Terutama seorang diantara mereka yang memiliki keris Kiai Wasis itu. Aku tahu, bahwa mereka akan mempergunakan bukit ini sebagai landasan dan sarang mereka."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan padepokan ini" Apakah penghuni padepokan ini akan dapat bertahan?"
"Aku tidak mencemaskannya, ngger. Setiap orang dipadepokan ini, laki-laki dan perempuan, kecuali anak-anak akan dapat turut membela padepokannya. Bahkan perempuan yang datang ke bukit ini sebagai seorang isteri, yang semula sama sekali belum pernah bersentuhan dengan ilmu kanuragan, kini mereka merupakan bagian dari kami. Sementara itu, di bangunan induk ini ada beberapa orang anak muda yang berlatih dengan tekun dan bahkan sudah memiliki tataran yang tinggi."
"Jika demikian, saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang teah berkhianat itu, tidak menjadi masalah bagi padepokan ini."
"Pada dasarnya memang demikian ngger. Tetapi mungkin saja mereka akan datang dalam jumlah yang besar jika mereka berhasil menghimpun para perampok dan penyamun untuk bekerja sama."
"Aku kira merka akan mengalami kesulitan untuk bekerja sama dalam arti sepenuhnya dan sejujur-jujurnya. Mereka justru akan bersaing dan yang satu berusaha menghancurkan yang lain."
"Aku sependapat ngger. Tetapi mereka dapat saja untuk sementara bekerja sama. Baru kemudian mereka berebut, siapakah yang akan berkuasa disini."
"Memang mungkin sekali," gumam Glagah Putih.
"Sebenarnyalah ada yang ingin aku katakan kepadamu ngger."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Kemudian Glagah Putih bertanya, "Silahkan Ki Umbul Telu. Kami akan memperhatikannya."
"Agaknya angger datang tidak pada waktu yang baik. Sebenarnya kami yang berada di bukit ini merasa senang sekali mendapat kunjungan seseorang yang datang dari jauh seperti angger berdua. Tetapi saatnya sajalah yang kurang tepat. Bukan maksudku mengusir angger berdua. Tetapi karena keadaan di gumuk ini, maka aku ingin mempersilahkan angger berdua melanjutkan perjalanan."
"Kenapa Kiai?" "Seperti yang sudah aku katakan, murid dari perguruan ini yang telah berkhianat itu telah datang kembali untuk menuntut hak mereka. Mereka yang dahulu tidak mau berhadapan dengan aku dan saudara-saudara seperguruan yang sebaya, kini justru datang untuk menantang. Ternyata mereka datang bersama kelompok mereka yang baru, para perampok dan penyamun. Mereka akan datang setiap saat ngger. Jika pada saat mereka datang angger berdua berada disini, maka kedatangan mereka itu akan dapat membahayakan jiwa angger berdua. Saudara-saudara seperguruan kami itu adalah orang-orang yang tidak berjantung, yang telah sampai hati membunuh gurunya sendiri karena ketamakan mereka terhadap harta-benda duniawi. Apalagi terhadap orang lain."
"Tetapi bukankah mereka masih belum tuntas pada saat mereka berguru disini" Bukankah dengan demikian, mereka tidak akan dapat melampaui kemampuan Ki Umbul Telu dan saudara-saudara seperguruan yang lain?"
"Kebanyakan diantara kami masih juga belum tuntas pada waktu guru meninggal. Untunglah bahwa kami berempat telah mendapat kesempatan untuk menguasai semua unsur dari ilmu di perguruan Awang-awang ini sehingga kami mampu mengembangkannya dan membimbing saudara-saudara seperguruan kami yang lebih muda yang kini masih berada di bukit ini."
"Ki Umbul Telu. Bukankah dengan demikian, kami berdua tidak perlu menjadi cemas bahwa hidup kami akan terancam seandainya saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah berkhianat itu datang kemari."
"Ngger. Sudah aku katakan. Aku tidak tahu, seberapa banyak orang yang akan datang. Jika mereka yang datang itu melampaui batas kemampuan kami, maka bahaya itu akan timbul."
"Ki Umbul Telu," berkata Glagah Putih kemudian, "kami mengembara untuk mendapatkan pengalaman yang akan dapat menjadi bekal bagi hidup kami kelak. Karena itu, jika Ki Umbul Telu berkenan, kami justru ingin menunggu kedatangan saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah memberontak itu, yang kemudian justru datang untuk menuntut haknya berdasarkan pada pertanda kepemimpinan yang mereka miliki dengan cara yang tidak sah. Adalah satu pengalaman yang menarik untuk mengenal orang-orang yang sampai hati berbuat demikian."
"Angger berdua. Aku yakin bahwa sebelum memutuskan untuk pergi mengembara, angger tentu sudah memiliki bekal untuk melindungi diri sendiri di perjalanan. Meskipun demikian, jika terjadi sesuatu atas angger berdua disini, maka kami akan merasa bersalah, karena angger berdua adalah tamu kami."
"Tidak, Ki Umbul Telu. Meskipun kemampuan kami tentu tidak sekuku ireng dibanding dengan kemampuan penghuni padepokan ini, tetapi kami berjanji tidak akan menyulitkan Ki Umbul Telu serta sanak kadang yang ada di padepokan ini. Kami akan berusaha melindungi diri sendiri, maka kami tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Ki Umbul Telupun tidak perlu merasa bertanggungjawab atas kegagalan kami. Namun semoga keberadaan kami disini akan dapat meskipun hanya seperti setitik air di lautan, ikut memikul beban perlawanan Ki Umbul Telu dan sanak kadang di padepokan ini."
Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya dengan nada dalam. "Sikap angger telah menyentuh hatiku dan tentu juga saudara-saudarku. Atas nama seisi padepokan ini aku mengucapkan terima kasih. Tetapi kami tidak ingin menyulitkan angger berdua yang masih akan menempuh perjalanan panjang."
"Ki Umbul Telu. Kami akan merasa senang sekali jika Ki Umbul Telu mengijinkan kami untuk tinggal dibukit ini barang satu dua hari. Jika prahara itu datang, kami justru ingin mengalaminya."
Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun pembicaraan mereka tertunda ketika orang yang memikul legen itu datang kembali ke bangunan utama padepokan itu. Tetapi ia sudah tidak membawa legennya lagi.
"Marilah Mungguh Pratela. Naiklah," berkata Ki Umbul Telu mempersilahkan.
Orang yang disebut Mungguh Pratelapun segera naik dan duduk bersama Ki Umbul Telu, Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kakang," berkata Ki Mungguh Pratela, "Aku baru saja ditemui oleh Damar."
"Damar" Ada apa?"
Ki Mungguh Pratela termangu-mangu sejenak sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Ki Umbul Telupun berkata, "Katakan. Aku percaya kepada angger Glagah Putih dan isterinya meskipun aku baru saja mengenalnya."
Ki Mungguh Pratela mengangguk-angguk kecil. Meskipun demikian agaknya ia masih saja ragu.
Karena itu, maka Ki Umbul Telupun berkata sekali lagi, "Katakan, Mungguh Pratela."
Ki Mungguh Pratela menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Damar telah memberitahukan, bahwa ia melihat dua orang yang mencurigakan berkeliaran di sekitar bukit ini. Berbeda dengan kedatangan Ki Sanak berdua ini. Keduanya datang dengan sikap yang terbuka. Sedangkan kedua orang itu sengaja berusaha untuk tidak diketahui."
"Apakah mereka bukan saudara-saudara kita yang telah memberontak itu?"
"Bukan kakang. Tetapi orang lain yang masih belum kita kenal disini."
"Angger berdua," berkata Ki Umbul Telu, "sekali lagi aku peringatkan, bahwa keberadaan angger berdua disini justru pada saat yang kurang baik."
"Ki Umbul Telu. Kami mohon agar kami diperkenankan untuk berada di padepokan ini. Kami ingin ikut mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan ini. Benturan sesama saudara seperguruan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak memulainya dan bahkan sulit sekali untuk menghindarinya."
Ki Umbul Telu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah jika angger berdua berkeras untuk tetap tinggal di padepokan ini."
"Terima kasih, Ki Umbul Telu."
"Mungguh. Jika yang dikatakan Damar itu benar, maka sampaikan kepada saudara-saudaramu agar mereka bersiap. Biarlah beberapa orang memperketat pengawasan. Bawa anak-anak ke bangunan utama ini. Demikian pula orang-orang yang sudah terlalu tua dan yang sakit. Kita harus melindungi mereka. Yang lain biarlah bersiap menghadapi segala kemungkinan."
"Baik kakang." "Adik-adikmu akan melindungi anak-anak dan orang-orang sakit di bangunan utama ini."
"Baik kakang." Ki Mungguh itupun kemudian segera meninggalkan Ki Umbul Telu untuk menyebarkan perintahnya.
Sejenak kemudian maka Ki Umbul Telu itupun berkata kepada Galgah Putih dan Rara Wulan, "Silahkan beristirahat sambil minum dan makan makanan yang sudah terhidang itu, ngger. Aku akan pergi sebentar."
"Apakah ka,I boleh ikut bersama Ki Umbul Tyelu?"
Ki Umbul Telu tersenyum. Katanya, "Sebaiknya angger tetap berada disini. Nanti aku segera kembali."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak memaksa. Ketika kemudian Ki Umbul Telu pergi, maka kedunya tinggal di bangunan utama padepokan itu. Seorang anak muda telah diperintahkan oleh Ki Umbul Telu untuk menemani mereka berdua.
"Jika mereka ingin, ajak mereka melihat-lihat lingkungan bangunan utama bekas padepokan kita ini," berkata Ki Umbul Telu.
"Ya, kakang," jawab anak muda itu.
Anak muda yang menemui Glagah Putih dan Rara Wulan itu memperkenalkan dirinya bernama Kastawa.
Meskipun Kastawa nampaknya sedikit lebih muda dari Glagah Putih, namun mereka yang hampir sebaya itupun segera menjadi lebih akrab. Bahkan Kastawalah yang telah menawarkan, jika Glagah Putih dan Rara Wulan ingin melihat-lihat isi bangunan utama dari perguruan Awang-awang itu, "Mungkin kakang Glagah Putih dan mbokayu ingin melihat sanggar kami?"
"Terima kasih jika kami mendapat kesempatan untuk itu," jawab Glagah Putih.
Kastawapun kemudian telah mengantarkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk melihat-lihat sanggar. Di sanggar tertutup mereka melihat alat-alat yang terhitung lengkap. Di sanggar itupun terdapat berbagai jenis senjata yang dipergunakan oleh para penghuni padepokan itu untuk berlatih.
"Hanya sedikit yang tinggal di bangunan induk ini," berkata Kastawa, "kakak-kakak seperguruan kami telah berumah tangga. Merekapun kemudian membangun rumah dan tinggal bersama keluarganya di rumah mereka."
"Apakah mereka masih sering datang ke sanggar?"
"Ya. Kakang Umbul Telu menentukan bahwa setiap orang, laki-laki dan perempuan, sedikitnya sepekan dua kali berada di sanggar terbuka atau di sanggar tertutup. Mereka berlatih dibawah pengawasan kakang Umbul Telu langsung. Kakang Umbul Telu menilai kemantapan ilmu kakak-kakak kami. Karena itu, selain waktu yang dipergunakan di sanggar itu, kakak-kakak dan istri merekapun selalu berlatih di rumah mereka masing-masing agar di setiap penilaian oleh kakang Umbul Telu terdapat kemajuan meskipun hanya sedikit sekali."
"Begitu sibuknya, Ki Umbul Telu?"
"Ya. Tetapi ada tiga orang kakak seperguruan kami yang membantunya dan melakukan tugas di atas namanya."
"Tetapi Ki Umbul Telu tidak bersedia disebut pemimpin di padepokan ini."
"Kakang Umbul Telu memang bukan pemimpin di perguruan ini, karena kakang Umbul Telu tidak mendapat tugas itu langsung dari guru yang terdahulu. Juga tidak ada pertanda kepemimpinan di tangan kakang Umbul Telu."
"Kau sudah lama berada di padukuhan ini Kastawa?"
"Aku berada di sini sejak aku masih remaja."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan bertanya, "Jika demikian, kau sudah mempelajari dasar-dasar ilmu perguruan ini hingga tuntas."
"Aku memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu perguruan ini. Tetapi aku masih belum mampu mengembangkannya. Kakang Umbul Telu masih belum puas terhadap kemampuan dasarku."
"Itu adalah ciri seorang guru yang baik," sahut Rara Wulan, "Ia tidak mudah puas terhadap hasil yang dicapai oleh murid-muridnya."
"Tetapi kenapa kau sebut Ki Umbul Telu dengan sebutan kakang" Kenapa tidak paman atau guru."
"Aku wajib menyebutnya kakang, karena ia semula adalah kakak seperguruanku meskipun barangkali kakang Umbul Telu pantas menjadi ayahku. Tetapi aku hanya sempat berguru sebentar kepada Kiai Tanda Wirasa. Guru telah terbunuh oleh kakak-kakak seperguruan kami yang berkhianat. Sehingga akhirnya, yang kami pilih untuk menjalankan tugas guru adalah kakang Umbul Telu."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
Ketika mereka sampai ke sanggar terbuka yang cukup luas, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun melihat peralatan yang lengkap pula sebagaimana di sanggar yang tertutup. Di sanggar terbuka itu, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat sekelompok anak muda sedang berlatih dibawah pimpinan seorang yang umurnya sebaya dengan Ki Umbul Telu.
Yang memimpin latihan itu adalah kakang Kumuda. Salah seorang dan tiga orang yang seangkatan dengan kakang Umbul Telu. Namun agaknya umur mereka terpaut dua tahun. Kakang Umbul Telu lebih tua dari kakang Kumuda."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat mereka melihat latihan yang keras dibawah pimpinan Ki Kumuda.
"Luar biasa," desis Glagah Putih, "dengan latihan-latihan seperti ini, maka murid-murid dari perguruan Awang-awang adalah murid-murid yang pantas dibanggakan."
"Tapi perguruan kami adalah perguruan yang kecil saja, kakang Glagah Putih. Setelah terjadi penghianatan itu, maka kami seakan-akan telah menutup diri."
"Meskipun demikian, kekuatan yang tersimpan didalamnya adalah kekuatan yang sangat besar."
"Terima kasih atas pujian itu, kakang. Tetapi sebenarnyalah kami merasa sangat rendah diri terhadap perguruan-perguruan yang lain yang pernah kami dengar namanya."
Glagah Putih tidak menyahut. Ia tidak sepantasnya memberikan penilaian kepada kemampuan para murid dari padepokan itu
Ketika latihan itu sedang beristirahat, maka Kastawapun telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada Ki Kumuda, yang menanggapinya dengan ramah.
Namun seperti Ki Umbul Telu, maka Ki Kumudapun berkata, "Angger berdua datang pada saat yang buruk."
"Ya, Ki Kumuda. Tadi Ki Umbul Telu juga sudah mengatakannya kepada kami."
"Sebaiknya angger berdua meninggalkan padepokan kami. Kami tentu tidak ingin jika angger berdua tidak tahu menahu persoalannya, akan mengalami kesulitan di padepokan ini."
"Aku sudah minta ijin kepada Ki Umbul Telu untuk tetap berada di padepokan ini, Ki Kumuda. Dalam pengembaraan kami, kami ingin mengalami banyak hal yang dapat memperkaya cakrawala wawasan kami. Juga tentang pengkhianatan oleh saudara seperguruan. Kami sudah berjanji bahwa kami akan bertanggungjawab atas keberadaan kami disini. Maksud kami, kami tidak akan menyalahkan siapa-siapa jika kami gagal melindungi diri kami sendiri."
Ki Kumuda menarik nafas panjang. Katanya, "Sebenarnya, jujur saja, setiap kekuatan betapapun kecilnya yang bersedia berdiri di pihak kami, akan kami sambut dengan gembira dan pernyataan terima kasih. Tetapi angger berdua kebetulan adalah suami istri yang sedang mulai memasuki manisnya hidup berkeluarga.
"Terima kasih atas kepedulian Ki Kumuda. Tetapi perkenankan aku tetap berada di bukit kecil ini. Bahkan kami menunggu kesempatan untuk ikut menjamu kedatangan saudara-saudara seperguruan Ki Kumuda yang telah memberontak itu."
Ki Kumuda mengangguk-angguk. Katanya, "Kami sudah mencoba untuk memberikan gambaran apa yang mungkin terjadi di bukit ini, ngger."
"Kami mengerti, Ki Kumuda."
"Baiklah. Aku sebenarnya meyakini bahwa anggerpun tentu memiliki kemampuan untuk melindungi diri sendiri Tetapi terus terang, kita tidak tahu seberapa besar kekuatan sekelompok orang yang sempat dikumpulkan oleh saudara-saudara kami yang telah memberontak itu."
"Kami akan merasa bersyukur jika keberadaan kami disini, dapat memberikan arti, betapapun kecilnya."
Ki Kumuda menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya -Perkembangan terakhir menunjukkan kemungkinan yang buruk itu. Kukang Umbul Telu telah memerintahkan kami bersiap."
"Kami akan menyesuaikan diri kami, Ki Kumuda."
Ki Kumuda tersenyum. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka iapun meyakini bahwa Glagah Putih berilmu tinggi menilik sikap dan kata-katanya. Tetapi Ki Kumuda tidak tahu tataran yang sebenarnya dari ilmunya serta ilmu isterinya yang menyertainya itu.
Namun agaknya Ki Umbul Telu telah mengijinkan kedua orang itu tetap berada di padepokannya atas tanggung jawab mereka sendiri. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa karena para penghuni padepokan itu sudah memperingatkan mereka.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan merasa terpanggil untuk membantu murid-murid dari perguruan Awang-awang itu, meskipun murid-murid itu memiliki kemampuan untuk melawan. Meskipun demikian seperti yang diragukan oleh Ki Umbul Telu, berapa banyak orang yang bakal datang menyerang padepokan itu.
Beberapa saat kemudian, ketika Ki Kumuda akan mulai lagi dengan latihan-latihannya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan, diantar oleh Kastawa meninggalkan sanggar terbuka. Mereka masih melihat-lihat beberapa bagian dari bangunan induk di atas gumuk yang dikebut sebuah padepokan itu.
Namun agaknya keadaan berkembang menjadi semakin buruk. Tanda-tanda bahwa saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah memberontak untuk datang bersama kekuatan yang besar menjadi semakin jelas. Bahkan dua orang yang tidak dikenal telah datang menemui Ki Umbul Telu.
"Silahkan duduk Ki Sanak," Ki Umbul Telu mempersilahkan.
Tetapi kedua orang itu menolak. Seorang diantara mereka berkata, "Aku hanya datang untuk menyampaikan pesan. Siapkan upacara penyerahan pimpinan perguruan ini. Semua penghuni padepokan ini harus hadir."
Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, "Ki Sanak. Kembalilah kepada orang yang mengutus Ki Sanak datang ke padepokan ini. Biarlah orang itu sendiri datang. Dengan demikian maka kami akan dapat berbicara dengan baik-baik."
"Tidak ada pembicaraan apa-apa. Hanya ada dua pilihan. Menyerahkan kepemimpinan padepokan ini atau padepokan ini akan dihancur leburkan."
"Ki Sanak. Sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat menyerahkan padepokan ini untuk menjadi sarang perampok dan penyamun."
"Siapakah yang mengatakan bahwa padepokan ini akan menjadi sarang perampok dan penyamun?"
"Jika aku menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada orang yang memerintahkanmu kemari, itu berarti bahwa aku menyerahkan padepokan ini kepada kekuasaan segerombolan perampok dan penyamun. Bahkan murid-murid dari perguruan inipun akan dipaksa menjadi perampok dan penyamun pula."
"Kau mempunyai waktu semalam untuk memikirkannya, Ki Umbul Telu. Jika kau sependapat untuk menyerahkan kepemimpinan padepokan ini, kau harus mengibarkan kelebet berwarna putih di gerbang padepokan yang sudah kau rusak bentuknya ini."
"Ki Sanak. Kami tidak akan berubah pendirian. Kami tidak akan menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada siapapun juga."
"Kau harus menyerahkannya kepada yang berhak. Kepada yang memiliki pertanda kepemimpinan dari padepokan ini."
"Tidak. Kamipun harus menilai, cara yang dipergunakannya untuk memiliki pertanda kepemimpinan itu."
"Terserah kepada Ki Umbul Telu. Jika kau keras kepala, maka isi padepokan ini akan ditumpas sampai habis. Kemudian yang akan tinggal di padepokan ini adalah penghuni-penghuni baru."
"Kami akan mempertahankannya sampai orang yang terakhir."
"Iblis kau Umbul Telu. Ternyata kau adalah pembunuh yang tidak ada duanya. Kau bunuh orang-orangmu dengan tanpa belas kasihan."
"Fitnah yang kau lontarkan lewat mulutmu yang buruk itu tidak akan menggetarkan jantung kami. Sekarang pergilah. Katakan kepada murid-murid perguruan Awang-awang yang telah berkhianat itu. Kami menunggu. Kami siap menghukum mereka karena pengkhianatan mereka itu"
"Kau akan ditelan oleh kesombonganmu sendiri. Ternyata kau adalah seorang yang sangat picik, yang tidak tahu seberapa besar kekuatan kami."
Yang besar sebenarnya bukannya kekuatan kalian. Tetapi mungkin jumlah kalian. Perampok dan penyamun selalu mengandalkan kepada kekuatan dan keberanian. Tetapi tidak dilandasi dengan ilmu kanuragan yang mapan."
"Persetan," geram yang seorang lagi. Lalu katanya kepada kawannya, "Marilah kita tinggalkan tempat ini. Esok pagi-pagi sekali, jika tidak ada kelebet berwarna putih di gerbang, bukit ini akan menjadi neraka."
"Kami siap menunggu kedatangan kalian. Jika bukit ini menjadi neraka, maka kalianlah yang akan terbakar di neraka ini."
Kedua orang itupun segera meninggalkan Ki Umbul Telu. Namun seorang diantaranya masih sempat mengancam, "Jika kau melawan Ki Umbul Telu, kepalamu akan dipenggal dan ditanjir di pintu gerbang sebagai peringatan agar tidak seorangpun dari murid-murid perguruan ini yang berani menentang pemimpinnya yang memang berhak memegang pimpinan di perguruan ini."
"Sudahlah Ki Sanak. Kau tidak tahu menahu tentang tatanan dan paugeran di perguruan ini. Pergilah. Dan katakan sebagaimana aku katakan. Besok kami seperguruan ini akan menyambut kedatangan kalian dengan hangat."
Kedua orang itu tidak berkata apa-apa lagi. Keduanyapun segera pergi meninggalkan padepokan itu.
Malam yang kemudian turun adalah malam yang tegang bagi padepokan di bukit kecil itu. Semua anak-anak telah diungsikan di bangunan Utama perguruan Awang-awang yang telah berubah bentuknya. Sebagian dari murid-murid yang masih terhitung muda akan menjaga mereka. Selebihnya, meskipun mereka masih semua Kastawa, namun mereka sudah pantas dilepas langsung menghadapi lawan. Mereka telah memiliki bekal yang cukup, karena mereka sudah terhitung cukup lama berada di padepokan itu.
Dalam pada itu, setiap orang di padepokan itupun telah mempersiapkan diri. Laki-laki dan perempuan. Bahkan ada diantara perempuan yang memiliki kemampuan melampaui suaminya dalam olah kanuragan
Kesiagaan setiap perempuan di padepokan itulah yang terlepas dan perhitungan murid-murid perguruan Awang-awang yang telah memberontak itu. Mereka tahu, bahwa di perguruan itu ada beberapa orang murid perempuan. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa perempuan yang kemudian menikah dengan murid perguruan itu dan kemudian berada di padepokan, juga telah ditempa untuk menjadi bagian dari murid-murid perguruan Awang- awang.
Sementara itu tiga orang yang dianggap tertua disamping Ki Umbul Telu, telah mengatur pertahanan dengan sebaik-baiknya. Merekapun telah mempersiapkan diri untuk melawan saudara-saudara seperguruan mereka yang telah memberontak dan membunuh guru mereka.
"Kesempatan untuk menghukum mereka," berkata Ki Kumuda, seorang diantara ketiga orang itu.
"Ya. Kita tidak akan melepaskan mereka," sahut Ki Lampita.
Ki Ganjur, yang termuda diantara ketiga orang tua itu menyahut, "Kita buktikan, bahwa perguruan ini masih kokoh. Tetapi siapakah diantara saudara-saudara kita yang memberontak itu yang membawa Keris Kiai Wasis?"


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak jelas. Tetapi menurut pendapatku tentu Ki Dandang Ireng. Wataknya yang paling ganas serta umurnya yang barangkali tertua diantara mereka yang telah membunuh guru," sahut Ki Umbul Telu.
"Ya. Tentu Dandang Ireng. Serahkan ia padaku. Aku berharap untuk dapat menangkapnya."
"Kita akan bekerja keras. Kita tidak tahu. berapa banyak jumlah mereka."
"Tetapi jumlah kitapun berlipat. Setiap orang yang telah menikah telah menjadi dua."
Ki Umbul Telu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "bagaimana pendapat kalian tentang Glagah Putih dan isterinya" Aku sudah berusaha memperingatkannya agar ia meninggalkan padepokan ini. Tetapi mereka berkeras untuk tetap tinggal."
Ki Kumudalah yang kemudian bertanya, "Kakang Umbul Telu. Aku tidak banyak berbicara dengan kedua orang suami isteri itu. Tetapi apakah mereka bukan merupakan bagian dari gerombolan yang akan menyerang kita esok pagi?"
"Aku yakin, bahwa mereka bukan bagian dari gerombolan itu. Aku mempercayai keterangan mereka, bahwa mereka adalah pengembara. Agaknya mereka mengemban tugas tertentu yang tidak dikatakan. Tetapi keduanya bukan bagian dari mereka yang ingin menimbulkan kerusakan."
"Aku menduga, bahwa mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, sehingga mereka berani tetap tinggal disini sampai esok pagi," desis Ki Lampita.
"Ia akan mempertanggungjawabkan diri mereka sendiri. Jika terjadi sesuatu atas mereka, mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa."
"Apakah mereka akan berpihak dan membantu kita"," bertanya Ki Ganjur.
"Menurut pengakuan mereka, mereka akan membantu kita sejauh dapat mereka lakukan," jawab Ki Umbul Telu.
"Jika benar-benar bantuannya ada artinya, kita tentu mengucapkan terima kasih kepada mereka."
"Sebaiknya aku akan menemui mereka sekali lagi untuk mengabarkan perkembangan terakhir dari kemungkinan kedatangan gerombolan itu."
"Baiklah, kakang," sahut Ki Kumuda, "biarlah semuanya menjadi jelas. Sementara itu jika mereak menjadi ragu, biarlah mereka meninggalkan padepokan ini selagi masih ada kesempatan."
Tetapi ketika Ki Umbul Telu menemui Glagah Putih dan Rara Wulan sekali lagi, mereka tetap pada keputusan mereka untuk tetap tinggal.
Malam itu, ketika semua orang mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan esok pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan didalam biliknya sibuk mencari cara untuk membawa kitabnya. Akhirnya kitab itu dibungkusnya dengan kain yang dibelinya di pasar kemudian kitab itu diikatkan di perut Glagah Putih, diatas ikat pinggangnya agar tetap dapat melepaskan ikat pinggangnya dalam keadaan yang mendesak.
"Nah, bukanlah kitab kecil itu tidak mengganggumu kakang. Sementara petinya kita sembunyikan di kolong amben ini. Besok kita akan memasukkannya lagi, kemana akan kita sembunyikan peti ini."
"Kau justru lebih memikirkan petinya daripada kitabnya," desis Glagah Putih.
"Tentu tidak. Bukankah kitabnya sudah kakang amankan di perut kakang itu."
"Kalau aku mandi?"
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian menjawab, "Jika kau mandi, aku yang membawanya. Bukankah tidak akan terlalu lama?"
Glagah Putih tersenyum. Lalu katanya, "Sekarang kita tidur, bergantian. Kau tidur dahulu, kemudian aku berjaga-jaga."
"Ah, kakang," Rara Wulanpun kemudian tertawa tertahan.
Di dini hari, keduanya telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Merekapun bergantian pergi ke pakiwan. Ketika kemudian mereka naik ke pringgitan bangunan utama di padepokan itu, Ki Umbul Telu telah bersiap pula bersama dengan ketiga orang saudaranya yang hampir sebaya itupun mempersilahkannya.
"Kita akan makan pagi seadanya. Mungkin kita tidak akan sempat makan di siang hari dan bahkan di sore hari. Atau kita tidak akan pernah memerlukan makan lagi," berkata Ki Kumuda.
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian menyertai orang-orang tertua di padepokan itu untuk makan pagi.
"Semua orang di padepokan ini juga makan sekarang ini," berkata Ki Umbul Telu ketika ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan agak ragu, "bahkan anak-anak yang mengungsi di bangunan utama ini."
Setelah makan pagi, maka Ki Umbul Telu dan ketiga orang saudara seperguruannya itupun berkata, "Kita akan bersiap-siap. Kita akan berada di gerbang padepokan ini."
"Apakah kami diijinkan ikut bersama Ki Umbul Telu?"
"Silahkan ngger. Tetapi aku ingin memperingatkan angger sekali lagi. Jika angger ingin meninggalkan padepokan ini, masih ada waktu. Angger kami persilahkan meninggalkan padepokan ini lewat jalan Utara."
"Tidak Ki Umbul Telu. Aku akan tetap berada disini. Jika aku keluar dari padepokan ini, mungkin sekali aku akan bertemu dengan mereka, justru pada saat kami hanya berdua. Disini kami mempunyai banyak kawan yang akan dapat saling membantu."
"Jika itu sudah menjadi ketetapan hati angger berdua, baiklah. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan angger membantu kami."
"Bantuan yang tidak ada artinya, Ki Umbul Telu."
"Tetapi niat angger membantu kami, mempunyai arti yang besar sekali."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah, maka orang-orang yang dituakan di padepokan itupun kemudian telah pergi ke pintu gerbang padepokan diikuti oleh beberapa orang laki-laki dan perempuan. Termasuk diantara mereka adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan beberapa orang yang lain, juga laki-laki dan perempuan, bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan penyusupan. Bahkan setiap gerbang butulan-pun telah diawasi pula dengan ketat.
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin terang. Cahaya fajarpun mulai meraba langit. Burung-burung liar berkicau dengan riangnya menyambut hari baru yang akan datang tanpa mengerti apa yang mungkin akan terjadi di padepokan itu.
Dalam pada itu, segerombolan orang tengah berjalan menuju ke bukit kecil itu. Merekapun kemudian berhenti beberapa puluh patok dari bukit itu.
Sebenarnyalah bahwa yang memimpin segerombolan orang itu adalah Ki Dandang Ireng. Mereka bersama beberapa orang saudara seperguruannya yang telah memberontak dan membunuh guru mereka. disertai oleh beberapa kelompok perampok dan penyamun. Mereka berharap dapat merebut bukit itu dan mempergunakannya sebagai sarang yang mapan. Tidak sekedar di pinggir hutan atau di padang perdu.
Ketika langit menjadi semakin terang, dua orang diantara mereka-pun mencoba untuk melihat, apakah ada kelebet putih di pintu gerbang padepokan itu.
Namun kedua orang itu tidak melihatnya. Kedua orang itu bahkan tidak melihat apa-apa dalam keremangan fajar.
"Jadi tidak ada kelebet putih itu?" bertanya Ki Dandang Ireng.
"Tidak, Ki Lurah."
"Umbul Telu agaknya sudah jemu hidup. Ia ingin membunuh dirinya. Tetapi agaknya ia sudah menjadi gila. Ia tidak mau mati sendiri. Ia ingin membawa semua penghuni padepokan itu untuk mati bersamanya."
"Kita akan membersihkan mereka. Kita akan membersihkan bukit itu dari kedurhakaan mereka yang tidak mau patuh kepada pemimpinnya. Semua orang yang ada di bukit itu akan mati. Bahkan anak-anak sekalipun. Kita akan mengisi padepokan itu dengan orang-orang baru yang mengerti tatanan dan paugeran," berkata seorang yang lain.
Seorang pemimpin gerombolan perampok dan penyamun berkata, "Persetan dengan tatanan dan paugeran. Kami akan tinggal di bukit itu dengan tatanan dan paugeran kami sendiri."
"Itu tidak mungkin. Jika kita tinggal bersama, kita harus mempunyai tatanan. Sedangkan bukit kecil itu adalah milik kami yang sah. Aku mempunyai pertanda kepemimpinan di padepokan itu."
"Aku tidak berada di bawah pengaruh pertanda kepemimpinanmu itu."
"Tetapi dibukit itu, pertanda ini akan berlaku."
Pemimpin gerombolan itu memandang Ki Dandang Ireng dengan tajamnya. Namun kemudian iapun bergumam, "Baiklah kita akan membicarakannya kelak."
Ki Dandang Irengpun tidak menjawab. Ia memerlukan gerombolan perampok itu untuk menghabisi murid-murid perguruan Awang-awang yang masih ada di padepokan yang sudah berubah bentuknya itu.
Bahkan dengan garangnya Ki Dandang Ireng itupun berkata. "Aku akan pergi ke pintu gerbang."
"Hati-hati Lurah," desis beberapa orang hampir berbareng.
Ki Dandang Irengpun kemudian mengajak dua orang saudara seperguruannya yang bersama-sama telah memberontak untuk pergi ke pintu gerbang. Ia yakin, bahwa Ki Umbul Telu tentu berada di pintu gerbang itu.
Sebenarnyalah, ketika Ki Dandang Ireng dengan kedua saudara seperguruannya sampai di depan pintu gerbang, maka Ki Umbul Telu, Kumuda, Lampita dan Ganjurpun telah keluar pula dari pintu gerbang, menyongsong kedatangan Ki Dandang Ireng dan kedua saudara seperguruannya.
"Selamat pagi, adi Dandang Ireng," sapa Ki Umbul Telu.
Wajah Ki Dandang Ireng menegang. Namun kemudian iapun menjawab pula, "Selamat pagi Umbul Telu."
"Kami sudah menunggu kedatangan kalian sejak dini."
"Persetan kau Umbul Telu. Aku datang untuk menagih kesediaanmu menyerah kepada kami."
"Kesediaan menyerah" Apakah aku pernah menyatakan bersedia menyerah?"
"Kau akan memasang kelebet berwarna putih di pintu gerbang itu."
"Siapa yang mengatakannya?"
"Ketika kedua orangku datang menemuimu, bukankah kau berjanji kepada mereka untuk memasang kelebet berwarna putih" Jika kau tidak mempunyai kain berwarna putih, maka biarlah orang-orangku memberimu selembar kain putih."
Ki Umbul Telu tertawa. Katanya, "Kau memang seorang yang cerdik. Kau mencoba mempengaruhi orang lain dengan caramu itu."
"Tetapi bukankah kau memang akan menyerah Umbul Telu" Kau tidak mempunyai kesempatan lagi. Apapun yang akan kau lakukan bersama orang-orang yang telah menjilat di telapak kakimu tidak akan berarti apa-apa. Kau tahu bahwa kau tinggal berempat saja. Apa artinya empat orang bagi gerombolan kami yang besar dan kuat."
"Kau kira kami hanya berempat" padepokan ini mungkin tinggal banyak orang. Selain kami berempat, masih ada Mungguh Pratela, masih ada Kastawa, masih ada Patra Wira dan masih banyak lagi saudara-saudara seperguruan kita yang tinggal disini."
Dandang Ireng itu tertawa keras-keras. Katanya, "Sebut seratus nama yang tidak ada artinya apa-apa itu. Mereka bagi kami tidak lebih dari debu yang jika ditiup akan beterbangan tanpa dapat ditolong lagi. Mereka akan segera disingkirkan dari lingkungan ini. Yang harus kami perhitungkan di padepokan ini hanyalah kalian berempat. Kalian berempatpun tentu tidak akan banyak berarti lagi. Di tahun-tahun terakhir, ilmuku meningkat dengan pesat sekali. Kalian akan terkejut. Namun selanjutnya kalian hanya akan dapat menyesali kesombongan kalian."
"Dandang Ireng," berkata Umbul Telu, "mumpung masih belum terlanjur. Menyerahlah. Kami akan berusaha untuk membuat pertimbangan yang seadil-adilnya atas kejahatan yang pernah kalian lakukan. Membunuh guru dan merampok keris pertanda kepemimpinan di padepokan ini."
"Diam kau Umbul Telu. Kau kira kau ini siapa, sehingga kau merasa berhak mengadili kami. Kamilah yang akan mengadili kalian, karena kalian menentang pemimpin kalian yang memiliki pertanda kepemimpinan di padepokan ini."
"Pertanda kepemimpinan yang didapatkan dengan jalan yang tidak sah, merampok dan membunuh, tidak akan mempunyai arti apa-apa lagi."
"Persetan kau. Lihat, langit sudah menjadi semakin terang. Waktumu tinggal sedikit. Menyerah, atau aku hancurkan padepokanmu ini."
Ki Umbul Telu tidak menjawab. Tetapi ia justru mengancam, "Menyerahlah agar hukumanmu menjadi lebih ringan. Jika kalian tidak menyerah, maka kalian akan dihukum mati di padepokan ini, dihadapan para cantrik dan mentrik yang masih tetap utuh di padepokan ini."
"Gila. Kau sudah gila Umbul Telu. Gila karena mimpi burukmu itu."
"Bukan aku yang telah gila. Dandang Ireng. Tetapi kau dan saudara-saudaramu yang karena ketamakannya, maka hatinya telah menjadi buta. Kalian tidak tahu kebaikan yang telah dituangkan oleh guru kepada kalian. Kalian tidak ingat lagi, betapa guru membimbing kalian dalam berbagai macam ilmu dan kawruh. Yang nampak pada kalian hanyalah harta benda keduaniawian."
"Cukup. Nikmatilah kesombonganmu kali ini. Sebentar lagi aku datang untuk menjadikan padepokan ini karang abang. Kalian akan ditumpas sampai ke cindil abang."
"Kami sudah siap, Dandang Ireng."
Dandang Ireng menggeretakkan giginya. Kemarahannya seakan-akan telah meruntuhkan jantung di dadanya.
Bersama saudara-saudara seperguruannya yang menyertainya, Dandang Ireng itupun segera meninggalkan pintu gerbang itu.
Demikian Dandang Ireng meninggalkan pintu gerbang, maka dua orang cantrik dari perguruan Awang-awang yang sudah berubah bentuknya itu datang menghadap Ki Umbul Telu.
"Ada apa ?" bertanya Ki Umbul Telu.
"Jumlah mereka memang banyak sekali, kakang. Mereka berkumpul di padang perdu di bawah bukit kecil ini."
"Jumlah orang hanyalah salah satu unsur untuk menentukan kemenangan. Masih ada unsur-unsur lain yang harus diperhitungkan. Kemampuan mereka secara pribadi. Kecekatan kerja sama yang satu dengan yang lain. Tekad dan keyakinan akan kebenaran langkah yang sedang diambil. Sedangkan yang akan menentukan kemudian adalah justru kekuasaan di luar kekuasaan kita. Namun kita harus berusaha sejauh dapat kita lakukan."
"Ya, kakang." "Apakah ada tanda-tanda bahwa mereka akan mengepung bukit ini dan menyerang dari berbagai arah?"
Ketika aku melihat mereka, mereka masih berada di padang perdu itu. Agaknya mereka akan menyerang dari jalur jalan ini."
"Agaknya mereka akan memusatkan kekuatan mereka untuk menyerang satu bidang sasaran. Pintu gerbang ini."
"Ya kakang." "Baiklah. Siapkan kawan-kawanmu di luar padepokan. Kalian akan memecahkan pemusatan perhatian gerombolan perampok dan penyamun itu pada sasaran utamanya. Kita yakin bahwa para perampok dan penyamun itu tidak memiliki bekal yang lengkap. Mereka hanya mengandalkan kekuatan dan keberanian. Tetapi mereka tidak banyak mempergunakan akal mereka."
"Ya, kakang." "Nah, kita mengenal lingkungan ini lebih baik dari mereka. Kita dapat memanfaatkan onggokan-onggokan batu padas. Pepohonan raksasa, tanggul-tanggul parit dan berbagai macam lekuk liku bukit kecil ini."
"Baik, kakang."
"Tetapi hati-hatilah. Jangan mulai menyerang mereka dari samping atau dari belakang, sebelum sebagian dari mereka memasuki pintu gerbang."
"Apakah pintu gerbang ini tidak akan dipertahankan?"
"Tidak. Biarlah sebagian mereka masuk. Kemudian saatnya kalian mulai menyerang. Jika kalian menyerang terlalu cepat, maka kalian akan menarik seluruh perhatian mereka, sehingga kalian akan mengalami kesulitan."
"Baik kakang. Kami akan menghubungi kawan-kawan kami yang ada di luar."
Ketika kedua orang anak muda itu pergi, Ki Umbul Telu sempat bergumam, "Jika kita menjadi cemas terhadap jumlah mereka yang terlalu banyak, bukan karena kita cemas membayangkan kekalahan yang akan kita alami. Tetapi kita pantas menjadi cemas, bahwa dengan demikian, korban akan semakin banyak berjatuhan. Kita sengaja atau tidak sengaja, akan membunuh lebih banyak lagi. Meskipun demikian, membunuh bukanlah tujuan kita. Jika hal itu terjadi, semata-mata karena kita ingin mempertahankan keberadaan kita di padepokan ini."
"Selain mempertahankan keberadaan kita sendiri kakang," sahut Kumuda, "kita telah ikut serta mengurangi tumbuh dan berkembangnya kejahatan di lingkungan ini. Kita tahu bahwa perampok dan penyamun itu semakin lama menjadi semakin banyak, seolah-olah lingkungan ini justru merupakan lingkungan yang subur bagi pertumbuhan mereka."
"Tanpa hambatan, maka pada akhirnya kekuasaan mereka memang akan meliputi padepokan pula," berkata Lampita.
"Ya, kakang," Ganjurpun berkata pula, "yang kita lakukan ini tentu akan mempunyai pengaruh yang lebih luas dari sekedar mempertahankan sebuah padepokan. Para Demang disekitar tempat ini semoga mendengar apa yang terjadi di padepokan ini, sehingga merekapun akan bangkit dan berbuat sebagaimana kita lakukan. Mungkin mereka tidak mempunyai sandaran kekuatan yang memadai. Tetapi jika mereka bersedia bekerja sama dengan kita, maka kita akan dapat membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kademangan-kademangan itu. Jumlah mereka tentu lebih banyak dari jumlah kita di padepokan ini. Jika beberapa kademangan bangkit bersama, maka jumlah mereka tentu lebih banyak dari jumlah para perampok dan penyamun itu."
Ki Umbul Telupun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Bersiaplah. Sebentar lagi Dandang Ireng dan orang-orangnya tentu akan naik."
Keempat orang itupun kemudian masuk kembali ke dalam regol padepokan. Mereka akan membangun pertahanan yang sebenarnya justru di dalam lingkungan padepokan. Namun dalam pada itu, mereka telah menaruh sebagian dari kekuatan mereka diluar padepokan.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang mengetahui bentuk pertahanan Ki Umbul Telu itupun berkata, "Apakah kami berdua diperkenankan bergabung dengan para cantrik yang ada di luar padepokan ini?"
Karena mereka berdua tidak mempunyai ikatan tertentu dengan padepokan Awang-awang yang sudah berubah bentuknya itu, maka Ki Umbul Telu tidak ingin terlalu banyak mengatur mereka. Dengan kepercayaan yang diyakininya, bahwa keduanya tidak akan berpihak kepada paia perampok, maka Ki Umbul Telu tidak merasa berkeberatan, "Silahkan ngger. Biarlah seorang cantrik mengantar angger berdua menghubungi mereka yang bertugas diluar."
Sambil mengangguk hormat Glagah Putihpun berkata, "Terima kasih Ki Umbul Telu."
Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih telah diantar oleh seorang cantrik untuk menemui para murid perguruan Awang-awang yang akan bertempur diluar pintu gerbang padepokan. Mereka berada di tebing-tebing, bongkah-bongkah batu padas dan diantara pepohonan raksasa yang yang tumbuh disekitar padepokan di kaki bukit kecil itu.
"Kakang," bertanya Lampita sepeninggal Glagah Putih dan Rara Wulan, "apakah keduanya benar-benar dapat dipercaya?"
"Aku percaya kepada mereka. Tetapi seandainya mereka adalah bagian dari para perampok dan penyamun itu, biarlah mereka bergabung dengan kawan-kawannya di luar pintu gerbang."
Lampita menarik nafas panjang. Ada sepercik kebimbangan yang mencuat di hatinya.
Dalam pada itu, dari pintu gerbang yang terbuka, yang terletak di kaki bukit kecil itu, Ki Umbul Telu dan saudara-saudara seperguruannya mulai melihat gerombolan perampok dan penyamun yang dipimpin oleh Dandang Ireng sedang merayap naik kaki bukit. Namun kemudian hilang dibayangkan pepohonan di kaki bukit itu.
Ki Umbul Telupun segera memberikan perintah kepada murid-murid dari perguruan Awang-awang yang telah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan mereka.
"Kita tidak akan mempertahankan pintu gerbang. Tetapi kita harus memancing agar mereka memasuki pintu gerbang itu."
Pintu Gerbang padepokan itupun segera ditutup. Beberapa orang telah siap diatas panggungan di sebelah menyebelah pintu gerbang dengan busur dan anak panah siap ditangan mereka. Perlawanan dari panggungan itu akan mendorong niat Dandang Ireng dan orang-orangnya untuk segera memecahkan pintu gerbang yang diselarak dengan kokoh. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Umbul telu tidak ingin mempertahankan pintu gerbang itu.
Beberapa saat kemudian, maka Dandang Ireng dan orang-orangnya menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang padepokan. Ternyata jumlah mereka memang terlalu banyak bagi murid-murid padepokan Awang-awang.
Tetapi murid-murid dari padepokan Awang-awang itu sama sekali tidak menjadi gentar. Jika seorang diantara mereka yang berada di panggungan memberikan laporan tentang jumlah lawan yang datang, bukan karena ia menjadi ngeri. Tetapi semata-mata ingin agar saudara-saudaranya benar-benar mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Namun laporan im telah mendorong Ki Umbul Telu bersama ketiga orang saudaranya yang sebaya untuk naik ke panggungan pula.
Sebenarnyalah bahwa dada merekapun berdesir ketika mereka melihat gerombolan perampok yang datang menyerang padepokannya. Namun keempat orang itu dengan penuh keyakinan, percaya bahwa saudara-saudara seperguruannya akan dapat mengatasi mereka. Meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit, tetap dengan memanfaatkan medan, mereka berharap akan dapat membuat lawan mereka kebingungan sehingga perhatian mereka terpecah belah.
"Berikan busur dan sejumlah anak panah," berkata Ki Umbul Telu.
Ternyata Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur juga melakukan hal yang sama. Mereka akan berada di panggungan itu untuk mengurangi jumlah lawan dengan busur dan anak panah.
Dalam pada itu, beberapa puluh langkah dari pintu gerbang, Dandang Ireng menghentikan pasukannya. Bersama dua orang saudara seperguruannya Dandang Ireng maju beberapa langkah sambil berteriak, "Ini adalah kesempatanmu yang terakhir Umbul Telu. Jika kau bersedia menyerah, maka kau akan mendapat tempat yang baik diantara kami."
Ki Umbul Telu sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia tidak segera menampakkan dirinya diatas panggungan.
"Umbul Telu," teriak Ki Dandang Ireng, "kau dengar suaraku ini. Jika kau tidak mempergunakan kesempatan terakhir yang aku berikan ini maka aku benar-benar akan menghancurkan padepokan ini. Aku akan membangun di atasnya padepokan yang baru, sesuai sebagaimana padepokan ini sebelumnya. Sebelum kau rusak dengan tatananmu yang menyalahi kemauan guru."
Ki Umbul Telu tidak menjawab. Ia yakin bahwa saudara-saudara seperguruannya tidak akan terpengaruh oleh kata-kata Dandang Ireng itu, karena setiap orang tahu, bahwa Dandang Ireng bersama beberapa orang saudara seperguruannya yang tamak telah membunuh guru mereka dengan cara yang amat sangat licik. Justru pada saat Ki Umbul Telu, Ki Kumuda dan Ki Ganjur tidak ada di padepokan.
"Baik. Baik. Umbul Telu. Araknya kau telah bersiap untuk mati. Tetapi begitu kelamnya hatimu, sehingga untuk mati kau telah berniat membawa semua murid dari perguruan kita."
Ki Umbul Telu masih tetap berdiam diri. Tetapi tangannya telah menjadi gemetar. Rasa-rasanya ia ingin menarik tali busur dan melepaskan anak panahnya.
Karena teriakan-teriakannya tidak dapat jawaban, maka Dandang Ireng itupun segera meneriakan aba-aba untuk menyerang.
"Pecahkan pintu gerbang itu. Kita akan memasuki padepokan dan menghancurkan segala isinya serta membunuh setiap orang yang ada didalam padepokan itu."
Perintah itu tidak perlu diulang. Pasukannyapun segera bergerak maju memanjat tanah miring di kaki bukit. Sebagian langsung menuju kepintu gerbang padepokan itu.
Mereka telah mempersiapkan beberapa macam alat untuk memecahkan pintu gerbang yang menurut dugaan mereka akan dipertahankan dengan mengerahkan segenap kemampuan dari isi padepokan itu.
Namun demikian mereka mendekati pintu gerbang, maka anak panahpun segera menghambur dari kedua panggungan di sebelah menyebelah gerbang padepokan. Bahkan Ki Umbul Telu, Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur ada di panggungan itu pula.
Dewi Lintah 1 Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Keponakan Penyihir 2
^