Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 14

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14


Bidikan para murid perguruan Awang-awang itu ternyata jarang sekali meleset. Beberapa orangpun segera terkapar jatuh. Sedangkan yang lain mampu menangkisnya dengan senjata yang ada di tangan mereka.
Dalam pada itu, beberapa orangpun berusaha memanjat dinding padepokan yang memang tidak terlalu tinggi. Sementara beberapa orang dengan balok kayu yang besar berusaha memecahkan pintu gerbang.
Ki Umbul Telu, Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur tidak terlalu lama berada di panggungan. Namun keberadaan mereka diantara saudara-saudara seperguruan mereka yang lebih muda itu telah mengurangi jumlah lawan. Sementara itu beberapa orang yang lain masih tetap berada di panggungan dengan busur dan anak panah. Bahkan ada beberapa orang yang melontarkan lembing berujung tajam.
Dalam pada itu, pintu gerbang yang memang sengaja tidak dipertahankan dengan segenap kemampuan itupun akhirnya pecah. Demikian pintu gerbang itu pecah, maka orang-orang yang menyerang padepokan itupun segera berserakan memasuki padepokan yang telah berubah bentuknya itu.
Padepokan yang bentuknya mirip sebuah padukuhan. Namun isi padukuhan itu adalah orang-orang yang berilmu dan terikat oleh satu perguruan.
Namun, demikian mereka memasuki padepokan bagaikan arus air di bendungan yang pecah, maka para penghuni padepokan itupun telah siap menyambut mereka. Anak panah dan lembingpun segera menghambur dari balik pepohonan, sehingga beberapa orang telah terjatuh terguling dengan anak panah atau lembing tertancap di tubuh mereka.
Tetapi yang lain masih juga mampu menangkis serangan-serangan itu dengan pedang, tombak, kapak atau jenis-jenis senjata mereka yang lain.
Beberapa saat kemudian telah mengumandang teriakan-teriakan yang keras melintasi tebing dan lurah di bukit kecil itu. Teriakan-teriakan kemarahan berbaur dengan rintih kesakitan.
Dalam pada itu, diantara para penghuni padepokan itupun telah mulai meletakkan busur dan anak panah mereka ketika para pengikut Dandang Ireng telah berlari-lari memasuki padepokan itu semakin dalam, dan menggantinya dengan pedang. Meskipun demikian, masih ada satu dua orang yang dengan hati-hati merunduk dan melepaskan anak panah dengan tiba-tiba dari arah yang tidak diketahui.
Dengan demikian maka pemanah-pemanah gelap itu merupakan hambatan yang semula tidak diperhitungkan oleh Dandang Ireng.
Namun untuk menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, maka murid-murid padepokan itu harus melawan mereka dengan mempergunakan otak mereka. Tidak semata-mata mengandalkan kemampuan dan kekuatan tenaga saja.
Demikianlah, maka arena pertempuran itupun segera menebar. Gerombolan perampok yang telah bekerja sama dengan Dadang Ireng itu masih saja mengalir memasuki padepokan.
Pada saat itulah Glagah Putih yang berada diantara para murid perguruan Awang-awang yang berada di luar dinding padepokan berdesis, "Sekarang. Kita harus menarik perhatian mereka, agar mereka yang memasuki padepokan tidak terlalu banyak."
"Tetapi jumlah mereka masih banyak sekali," sahut seorang cantrik yang berada disebelahnya.
"Tetapi yang telah memasuki padepokanmu sudah cukup banyak."
"Mereka akan menghadapi perlawanan yang kuat didalam padepokan. Saudara-saudara kita lebih banyak yang berada didalam dinding padepokan daripada yang berada di luar."
"Tetapi kita tidak dapat bembiarkan mereka lebih banyak lagi memasuki gerbang."
Cantrik itu memang agak ragu. Namun Glagah Putihpun berkata, "Baiklah. Biarlah aku dan isteriku mendahului kalian. Biarlah kalian menunggu untuk beberapa saat lagi. Aku akan berusaha mengurangi jumlah lawan kalian."
"Tetapi kalian hanya berdua?"
"Jangan cemaskan kami. Kami akan berhati-hati. Kami akan memanfaatkan lekuk-lekuk batu padas, pepohonan dan apa saja yang ada di kaki bukit ini untuk melawan mereka sebagaimana pesan Ki Umbul Telu."
Cantrik itu tidak sempat mencegah. Glagah Putihpun kemudian berkata kepada Rara Wulan, "Marilah. Kita akan mendahului para cantrik."
"Marilah kakang."
"Jangan hadapi mereka langsung. Kita akan memanfaatkan kemampuan kita meringankan tubuh kita diantara pepohonan dan bebatuan."
Rara Wulan mengangguk. Keduanyanpun segera bangkit berdiri dan beranjak dari tempat mereka berlindung.
Para cantrikpun menjadi tegang ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan mulai bergerak. Namun mereka segera tercengang ketika mereka melihat keduanya itu bagaikan terbang diantara pepohonan.
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka berlari kencang sekali," sahut yang lain.
"Apakah keduanya bukan manusia?"
"Tetapi kakinya tetap menyentuh tanah."
Yang lain lagi berkata, "Tidak ada hantu berkeliaran disiang hari. Demikian matahari terbit, merekapun akan segera lenyap meninggalkan lapisan dunia ini dan kembali ke dunianya. Sinar matahari akan dapat membakar tubuhnya."
"Jika demikian, di dunia mereka, mereka tidak pernah melihat sinar matahari."
"Mungkin sekali. Mungkin dunia mereka selalu berkabut atau terdapat lapisan-lapisan lain yang membayangi sinar matahari itu."
"Ah, entahlah. Tetapi kedua orang suami isteri itu sudah hilang."
"Mereka sudah memasuki medan."
Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan telah mulai menyerang gerombolan perampok yang sedang berdesakan memasuki gerbang padepokan yang tidak terlalu lebar itu.
Ketika dua orang terlempar menimpa kawan-kawan mereka, para perampok itupun terkejut. Mereka yang berada dilapisan belakang segera berpaling dan bahkan berbalik.
"Iblis kau. Siapakah kalian berdua yang tiba-tiba saja telah menyerang kami dari belakang?"
"Kami murid perguruan Awang-awang. Kenapa" Bukankah wajar jika kami berusaha mencegah kalian memasuki padepokan kami"," jawab Glagah Putih.
"Murid perguruan Awang-awang " Kenapa kau tidak berada di dalam dinding padepokanmu?"
"Beberapa orang diantara kami memang sengaja menunggu kalian di luar dinding padepokan. Kami akan memecahkan perhatian kalian, sehingga kalian harus menghadapi kami dari depan dan dari belakang. Sementara itu kalian akan terjepit di pintu gerbang padepokan."
Para perampok itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Beberapa orang diantara merekapun segera menyerang. Mereka akan menyelesaikan keduanya dengan cepat, sementara yang lain tetap saja bergerak memasuki padepokan.
Namun keduanya memang telah mengguncang medan. Glagah Putih dan Rara Wulan mampu bergerak dengan cepat sekali. Tangan dan kaki mereka menyambar-nyambar dengan tangkasnya.
Beberapa orang segera terlempar. Glagah Putih bahkan telah mengangkat dan memutar seseorang diatas kepalanya. Ketika orang itu dilepaskan, maka tubuhnya terlempar menimpa beberapa orang kawannya yang berada dekat dengan pintu gerbang.
Dengan demikian keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan itu benar-benar telah memecah perhatian para perampok yang masih berada di luar pintu gerbang.
Dalam pada itu, ternyata para cantrik telah menjadi gelisah. Mereka membayangkan bahwa dua orang suami isteri itu sedang bertempur dalam kesulitan menghadapi menghadapi gerombolan perampok yang garang itu.
"Jangan biarkan mereka terjebak oleh keganasan para perampok," berkata seorang cantrik yang sudah memiliki tataran yang cukup tinggi.
Sementara itu, beberapa orang cantrik yang bersembunyi disisi lain, memang terkejut melihat medan terguncang. Mereka belum mendengar isyarat untuk menyerang. Tetapi di bagian belakang gerombolan perampok yang sedang berusaha memasuki pintu gerbang yang telah dipecahkan itu telah terjadi pertempuran. Balikan dari celah-celah pepohonan mereka melihat beberapa orang perampok telah terpelanting jatuh. Bahkan ada diantara mereka yang terbentur batang-batang pepohonan yang besar yang menghutan diluar dinding padepokan.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" bertanya seorang cantrik.
"Entahlah. Tetapi kita tunggu saja perintah," jawab yang lain.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah bertempur dengan garangnya. Keduanya berloncatan diantara ayunan senjata lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bahkan sekelompok perampok berusaha untuk mengepung keduanya. Namun dengan tidak terlalu banyak mengalami kesulitan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah memecahkan kepungan itu.
Bahkan keduanya kadang-kadang telah berloncatan menjahui medan. Mereka membiarkan beberapa orang memburu mereka. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itupun seakan-akan dengan cepat telah menghilang.
Tetapi selagi mereka kebingungan, Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah menyerang mereka dengan tiba-tiba.
Dalam pada itu, para cantrik yang mencemaskan keadaan kedua orang suami isteri itu telah memutuskan untuk segera menyerang, sementara gerombolan perampok dan penyamun itu sebagian telah berada di dalam padepokan.
Karena itu, maka cantrik yang mendapat tugas untuk memimpin saudara-saudara seperguruannya itupun segera membunyikan isyarat untuk segera menyerang.
Dengan demikian, maka para cantrik yang berada di luar padepokan, yang semula bersembunyi di balik pepohonan, di lekuk-lekuk bebatuan atau dibelakang gerumbul perdu, segera berloncatan ke luar dengan senjata di tangan.
Sambil berteriak-teriak nyaring, merekapun berlari-larian menyerbu para perampok dan penyamun yang masih berada di luar pintu gerbang.
Para perampok dan penyamun itupun terkejut pula. Keberadaan dua orang lelaki dan perempuan yang tiba-tiba saja menyerang mereka dengan gerak yang sangat cepat itu telah mengejutkan mereka. Tiba-tiba saja, kelompok-kelompok murid perguruan Awang-awang telah menyerang mereka pula.
Sebenarnyalah bahwa perhatian gerombolan perampok dan penyamun itu telah terpecah. Mereka yang masih di luar, tidak lagi bergerak memasuki pintu gerbang. Tetapi mereka harus menyiapkan diri untuk bertempur diluar dinding padepokan.
Sementara itu, dua orang yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan masih saja bergerak dengan cepat sekali sehingga kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah. Keduanya berloncatan dengan ringannya. Bahkan sekali-sekali tubuh mereka melenting dan berputar di udara.
Sentuhan-sentuhan serangan mereka sangat berbahaya bagi lawan-lawan mereka.
Ampat orang perampok yang garang bersama-sama berusaha menghadapi Glagah Putih, sedang tiga orang yang lain menempatkan diri untuk melawan Rara Wulan. Sedangkan yang lain menghambur untuk melawan para cantrik yang telah menyerang mereka.
Tetapi para perampok yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu, seakan-akan tidak lagi mendapat tempat. Keduanya bergerak dengan kecepatan di luar jangkauan kecepatan mereka.
Dalam waktu yang terhitung singkat, keempat orang yang bertempur melawan Glagah Putih itupun telah terlempar dari arena. Seorang yang membentur sebatang pohon, tidak segera dapat bangkit. Rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan. Seorang lagi menjadi pingsan. Dua tulang iganya terasa telah retak oleh serangan kaki Glagah Putih. Sedangkan kedua orang yang lain melihat dunianya bagaikan berputar ketika kepala mereka telah dibenturkan oleh kekuatan tangan Glagah Putih yang tidak terlawan lagi.
Sedangkan tiga orang yang bertempur melawan Rara Wulanpun sudah tidak berdaya pula. Senjata-senjata mereka telah terlempar jatuh. Telapak tangan mereka rasa-rasanya bagaikan terkelupas. Dada mereka menjadi sesak, sedangkan mata mereka menjadi berkunang-kunang.
Disisi lain, para cantrik yang berada di padepokanpun telah menyerang mereka dengan garangnya, sehingga pertempuranpun menjadi semakin sengit. Diantara suara dentang senjata beradu terdengar rintihan kesakitan karena luka-luka di tubuh. Erangan perlahan yang tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan.
Dalam pada itu, di dalam padepokanpun telah terjadi pertempuran yang seru pula. Para penghuni padepokan di bukit itu segera menunjukkan kemampuan mereka yang semakin tinggi. Sementara itu, masih saja ada diantara mereka yang bersenjata busur dan anak panah, mengendap dan menyerang dari balik pepohonan. Beberapa orang diantara para perampok dan penyamun itupun terkapar jatuh ketika anak panah menembus dada atau punggung mereka.
Adalah di luar perhitungan mereka, bahwa bukan hanya laki-laki saja yang bertempur melawan gerombolan yang menyerang padepokan itu.
Tetapi mereka seakan-akan bertempur sepasang-sepasang. Suami isteri yang masing-masing memiliki ilmu yang tinggi.
Apalagi sebagaimana pesan Ki Umbul Telu, penghuni padepokan itu telah memanfaatkan lingkungan mereka sebaik-baiknya. Mereka tidak saja bertempur berhadapan langsung. Namun ada pula di antara para cantrik yang menyerang dengan tiba-tiba. Namun kemudian menghilang di antara pepohonan dan bebatuan.
"Gila orang-orang padepokan ini," geram seorang pemimpin gerombolan perampok yang mengalami kesulitan menghadapi para penghuni padepokan itu.
Ketika tiba-tiba saja kawan-kawan mereka yang masih berada di luar padepokan tidak lagi bergerak masuk, maka mereka yang sudah berada di dalam padepokan menjadi heran. Namun merekapun segera mengetahui, bahwa ternyata di luar pintu gerbangpun telah terjadi pertempuran.
Dandang Ireng yang merasa bahwa perlawanan orang-orang yang tinggal di padepokan itu melampaui perhitungannyapun menjadi sangat marah. Sebagai seorang murid yang terhitung tua, maka iapun merasa memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari para penghuni padepokan yang lain. Karena itu maka iapun telah bertempur dengan mengerahkan kemampuannya.
Tetapi Dandang Ireng itu harus melihat kenyataan. Bahkan para penghuni padepokan yang ditinggalkannya itu, sudah meningkatkan ilmunya pula, sehingga mereka tidak lagi murid-murid pemula yang baru belajar dasar-dasar olah kanuragan.
Namun langkah Dandang Irengpun terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Umbul Telu telah berdiri di hadapannya.
"Kau datang untuk menyerahkan diri?" bertanya Dandang Ireng.
"Kau bermimpi adi. Sebaiknya kau sajalah yang menyerah. Mungkin kami masih dapat mempertimbangkan pengampunan."
Wajah Dandang Ireng menjadi merah. Dengan geram iapun menjawab, "Apa yang kau andalkan Umbul Telu. Jumlah orang-orangmu tidak seberapa. Kemampuan merekapun masih belum memadai dibanding dengan orang-orangku yang berpengalaman sangat luas dan terbiasa melihat darah memancar dari luka di tubuh lawannya. Karena itu, jika kau tidak menghentikan pertempuran, maka orang-orangmu akan habis sampai orang yang terakhir."
"Dandang Ireng. Kau sekarang berada di medan pertempuran. Seharusnya kau tidak sempat bermimpi sebagaimana jika kau berada di pembaringan. Bangunlah dan lihat kenyataan yang kau hadapi. Kita sudah lama berkenalan. Kita sudah saling mengetahui batas kemampuan kita. Bagaimana mungkin kau dapat sesumbar seperti itu."
"Kau masih berdiri di masa beberapa tahun yang lampau. Kaulah yang seharusnya melihat kenyataan, bahwa ilmuku sekarang sudah jauh meningkat. Kau tidak akan dapat lagi menjangkaunya."
"Mungkin Dandang Ireng. Mungkin ilmumu sudah meningkat. Tetapi dengan niat jahatmu, maka ada kekuatan lain yang akan menjadi sandaran bagi kami, penghuni padepokan ini. Kau tidak akan dapat mengalahkan kebenaran bahwa kau tidak berhak menyentuh padepokan ini, kecuali untuk mengadili dan menghukummu atas kejahatanmu."
"Ternyata kau sudah berputus-asa. Kau mulai mencari sandaran di alam khayalmu. Seolah-olah ada kekuatan yang akan mendukungmu."
"Bukan di alam khayalku. Tetapi kau yakin bahwa kau akan dihancurkan sampai lumat, jika kau tidak segera menyadari, bahwa kau telah menempuh jalan sesat."
Dandang Ireng tertawa. Katanya, "Kau ternyata benar-benar tidak yakin aku dan saudara-saudaraku berada di jalan yang benar. Keyakinan itu pulalah yang mendasari keyakinanku bahwa kami akan mendapat kekuatan untuk menghancurkanmu."
Dandang Ireng menggeram. Namun kemudian iapun berkata, "Bersiaplah. Pandang langit dan bumi sepuas-puasnya untuk terakhir kalinya. Pandang pepohonan, jalan-jalan serta dinding-dinding halaman. Pandang pintu-pintu regol rumah yang dibangun di padepokan yang telah kau rusakkan bentuknya ini. Semuanya akan segera kau tinggalkan."
Ki Umbul Telu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka sejenak lagi keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya adalah saudara seperguruan yang termasuk dalam angkatan yang sebaya. Namun pada saat terakhir, setelah guru mereka tidak ada lagi, maka mereka mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang berbeda. Ki Umbul Telu mengembangkan ilmunya tidak hanya berdasarkan atas pengalaman saja, tetapi juga dengan pencaharian disanggar serta berdasarkan pengalamannya atas alam dan lingkungannya, sedangkan Dandang Ireng mengandalkan peningkatan kemampuannya dalam pengalaman petualangannya serta benturan kekerasan dengan aliran ilmu yang berbeda-beda. Bahkan Dandang Ireng telah tenggelam dalam sikap hidupnya dipetualangannya, bahwa jika ia tidak ingin dibunuh, maka ia harus membunuh.
Ketika kemudian Dandang Ireng itu berhadapan dengan Umbul Telu maka iapun bersikap demikian pula. Jika ia tidak membunuh, maka ia akan dibunuh.
Karena itu, maka Dandang Irengpun kemudian telah mengembangkan pertempuran itu menjadi pertarungan antara hidup dan mati.
Ki Umbul Telu melasakan tekanan serta kekerasan sikap Dandang Ireng. Tetapi Ki Umbul Telu tidak terkejut. Ia sudah memperhitungkan, bahwa gaya pertarungan Dandang Ireng tentu telah berkembang ke arah itu.
Namun justru karena itu, maka Ki Umbul Telu menyadari, bahwa ia tidak harus hanyut dalam suasana yang keras dan kasar itu. Iapun sadar, bahwa justru karena sikap Dandang Ireng itu, ia harus mempergunakan otaknya sebaik-baiknya. Tidak sekedar tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertempuran di antara keduanyapun segera meningkat menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Dandang Irengpun datang bagaikan prahara yang mengamuk dengan dahsyatnya.
Tetapi Ki Umbul Telu tidak selalu membentur kekuatan dan kemampuan Dandang Ireng. Bahkan kadang-kadang Ki Umbul Telu sengaja menghanyutkan diri dalam ayunan serangan lawannya. Bahkan kemudian mempergunakan tenaga dan kekuatan lawannya itu justru untuk menyerang.
Dandang Ireng bahkan kadang-kadang terkejut ketika ia gagal mengenai sasaran, namun tiba-tiba lawannya telah mendorongnya kearah serangan dengan serangan dipunggungnya sehingga Dandang Ireng harus berusaha untuk menguasai keseimbangannya, atau bahkan bergulir berputar beberapa kali. Baru kemudian melenting berdiri.
Namun Ki Umbul Telu bergerak cepat sekali, sehingga kadang-kadang Dandang Ireng tidak sempat mengelakkan diri.
Dengan demikian, maka kemarahan Dandang Ireng serasa semakin bertimbun di dadanya. Darahnya abaikan telah mendidih memanasi seluruh tubuhnya.
Ditingkatkannya ilmunya semakin tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Dandang Ireng itupun bertempur semakin keras dan kasar.
Namun Ki Umbul Telu tetap saja pada sikapnya Ia tidak hanyut dan terseret oleh arus kekasaran dan kekerasan Dandang Ireng. Otak Ki Umbul Telu masih tetap bening menghadapi prahara yang kadang-kadang memang sempat mengancam pertahanannya.
Disisi lain, saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu bertempur dengan garangnya pula. Ki Kumuda yang ada diantara beberapa orang saudara seperguruannnya sempat pula bertemu dengan saudara seperguruannya yang pernah berkhianat bersama Dandang Ireng. Kepada sepasang suami isteri yang bertempur melawan orang itu, Ki Kumuda berkata, "Minggirlah. Aku akan menghadapinya. Kakak seperguruanmu ini sebaya dengan aku."
Suami isteri itupun segera melapaskannya. Bagi mereka berdua, kakak seperguruannya yang pernah berkhianat itu memang terasa agak sulit untuk diatasi. Namun berdua merekapun tidak pula dapat segera dikalahkan.
"Kenapa aku tidak bertempur bertiga dengan cantrik dan mentrik yang berguru hanya untuk mendapatkan jodoh itu?"
"Lawan masih cukup banyak. Biarlah mereka mencari lawan yang lain. Justru karena kita sebaya, maka aku ingin menakar ilmuku dengan ilmumu. Mungkin aku agak terbelakang pada saat kita bersama-sama berguru. Tetapi mungkin kaulah yang terbelakang. Selain itu, adalah kewajibanku untuk menghukummu."
Saudara seperguruan Ki Kumuda itu menggeram. Katanya, "Kau memang seorang penjilat sejak kau memasuki padepokan ini."
"Jadi, apakah menurut pendapatmu, murid yang baik adalah murid yang kemudian membunuh gurunya?"
"Persetan, bersiaplah. Aku juga akan membunuhmu."
Ki Kumuda memang sudah bersiap. Karena itu, ketika saudara seperguruannya itu menyerangnya, maka iapun dengan tangkasnya mengelak dan bahkan membalas menyerang.
Seperti Ki Umbul Telu dan Dandang Ireng, maka perkembangan ilmu keduanyapun mereka lalui lewat jalan yang berbeda. Karena itu, maka Ki Kumuda sempat memperkaya ilmunya dengan pencaharian serta latihan-latihan yang mapan disamping pengalamannya. Sementara saudara seperguruannya yang telah berkhianat itu tidak pernah sempat menoleh dan melihat jejak-jejak ilmunya untuk ditingkatkannya, justru karena petualangannya.
Sementara itu, disimpang ampat, Ki Lampitapun telah bertempur dengan seorang pemimpin gerombolan yang sangat garang. Seorang pemimpin gerombolan yang bertubuh raksasa, bersenjata sebuah kapak bermata dua.
Sedangkan di lingkaran pertempuran yang lain. Ki Ganjur tiba-tiba saja telah bertemu dengan saudara seperguruannya pula yang berusaha menyusup dan berusaha memasuki bangunan induk padepokan.
"He, adi. Kau akan kemana?" bertanya Ki Ganjur.
Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Ganjur berdiri sambil menjinjing sebatang tombak pendek.
"Kakang Ganjur," desis orang itu.
"Ya. Sudah lama kita tidak bertemu. Setelah membunuh guru, kau lalu pergi kemana saja" Ketika Dandang Ireng datang ke padepokan ini untuk menuntut apa yang disebutnya sebagai haknya karena ia memiliki keris Kiai Wasis, kenapa kau tidak ikut?"
"Persetan kau kakang Ganjur. Waktu itu aku memang tidak ikut. Tetapi sekarang aku ikut menentukan, bahwa kakang Dandang Ireng akan berhasil merebut haknya kembali dari tangan Umbul Telu yang serakah dan tidak tahu diri. Bahkan ia telah menjadikan padepokan dari perguruan Awang-awang ini menjadi seperti sekarang ini. Rusak dan tidak menurut tatanan sebuah padepokan."
"Jadi, orang-orang yang telah membunuh gurunya itukah yang kau anggap berhak atas kepemimpinan padepokan ini ?"
"Kakang Ganjur," berkata orang itu, "kami sudah memutuskan untuk membunuh semua orang yang berada di padepokan ini. Sayang, bahwa akupun harus membunuhmu."
Ki Ganjur tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Menyerah sajalah. Biarkan dosanya dipikul sendiri oleh Dandang Ireng. Dengan demikian hukumanmu akan menjadi jauh lebih ringan."
"Jangan mengigau kakang Ganjur. Sebaiknya kakang mempermudah jalan kematian kakang sendiri. Atau barangkali kakang akan memilih membunuh diri?"
"Hanya orang yang berpikiran pendek sajalah yang akan membunuh dirinya. Bahkan jika aku tidak membunuh diri, aku masih akan sempat menghentikan perlawananmu, bahkan membunuhmu."
Saudara seperguruannya itupun menggeram. Namun tiba-tiba saja iapun segera meloncat menyerang. Tetapi Ki Ganjur sudah siap menghadapinya, sehingga iapun dengan tangkasnya pula mengelak.
Bahkan Ki Ganjurpun telah membalasnya dengan serangan pula, sehingga keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran.
Dalam pada itu, maka pertempuran di padepokan itupun telah menebar di mana-mana Seorang saudara seperguruan yang telah berkhianat, yang menyusup bersama beberapa orang perampok yang juga berniat pergi ke bangunan utama perguruan Awang-awang telah terhenti di sebuah lekuk batu - batu padas. Beberapa anak panah telah meluncur dari balik tebing yang rendah disebelah lorong yang melingkar. Dua orang perampok berteriak kesakitan, sementara yang lainpun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun merekapun terkejut ketika beberapa orang berloncatan menyerang mereka dari atas tebing yang rendah itu, sementera perhatian mereka tertuju ke balik tebing padas di arah yang lain. Dari sanalah beberapa anak panah itu telah meluncur.
Dengan demikian, maka pertempuranpun segera telah terjadi di sebuah lekuk batu-batu padas yang sempit itu. Namun para penghuni padepokan, yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan perempuan itu telah mendapatkan kesempatan yang pertama, sehingga merekapun segera lelah mendesak lawan-lawan mereka. Semula lawan-lawan mereka jumlahnya memang lebih banyak. Tetapi serangan anak panah dari tempat yang tersembunyi, serta serangan berikutnya yang tiba-tiba itu telah melumpuhkan beberapa orang lawan pada benturan yang pertama. Dengan demikian, maka jumlah mereka pun tidak lagi lebih banyak dari para penghuni padepokan yang telah menahan gerak maju mereka.
"Kalian memang gila," geram murid padepokan itu yang telah berkhianat, "bersiaplah untuk mati. Kami akan membunuh kalian semuanya."
"Kakang," seorang yang bertubuh kekurus-kurusan melangkah maju, "Sebaiknya kakang sadari, bahwa apa yang telah kakang lakukan itu merupakan satu kesalahan yang sangat besar. Sebaiknya kakang tidak membuat kesalahan-kesalahan baru yang dapat menambah beban kakang itu."
"Setan kau Mungguh. Kau kira, kau pantas mendapat perhatianku" Kau masih berguru sepuluh tahun lagi agar kau mengimbangi kemampuanku, sementara itu gurumu sudah tidak ada lagi."
"Kakang," berkata Mungguh, "kau memang lebih dahulu dari aku. Tetapi kaupun pergi lebih dahulu pula. Sepeninggalmu aku masih tetap menempa diri disini, meskipun dengan cara saudara sepeguruanku masih dapat meningkatkan ilmuku. Kakang, sehari-hari aku memang seorang yang kerjanya tidak lebih dari aku masih tetap menyediakan waktu sampai hari-hari terkhir ini untuk menempa diri menyadap legen kelapa untuk dibuat menjadi gula. Tetapi aku masih tetap menyediakan waktu sampai hari-hari terakhir ini untuk menempa diri dibawah bimbingan saudara-saudaraku yang lebih tua, yang ilmunya lebih tinggi dari ilmumu."
"Kau kira selama ini aku tidak meningkatkan ilmuku?"
"Mungkin. Tetapi itu tidak penting bagiku. Sekarang kira berhadapan. Kita akan membuat perbandingan ilmu disini."
Saudara seperguruan Mungguh yang telah berkhianat itu menggeram, "Aku akan membantaimu disini."
"Marilah. Kau dengan kawan-kawanmu yang tentu para perampok dan penyamun itu akan melihat kenyataan, bahwa padepokan ini tidak mudah ditundukkan."
Orang itu tidak menjawab lagi. Iapun segera meloncat menyerang Mungguh dengan mengerahkan kemampuannya.
Tetapi tukang sadap legen kelapa itu sudah siap menghapinya. Karena itu, maka iapun sempat mengelakkan serangan itu pula.
Sejenak kemudian, pertempuranpun telah terjadi di lekuk kecil itu. Beberapa orang harus berloncatan di tanah yang miring berbatu padas. Yang lain sempat meloncat ke lorong kecil dan yang lain lagi melebar ke halaman di seberang lorong.
Namun ternyata bahwa para perampok dan penyamun itu benar-benar harus menghadapi kenyataan. Para penghuni padepokan itu laki-laki maupun perempuan, telah dibekali dengan ilmu kanuragan yang memadai. Apalagi mereka lebih menguasai medan dari para perampok dan penyamun itu, sehingga satu demi satu para perampok dan penyamun itu, terpelanting jatuh. Ada yang tergelincir kedalam lereng yang meskipun dangkal saja, namun batu-batu padas telah melukai kulit mereka sehingga berdarah.
Namun mereka yang terperosok itu ada yang tidak sempat naik lagi, karena sebongkah batu telah menimpa tubuhnya, sehingga rasa-rasanya miang tulangnya telah berpatahan.
Dengan demikian orang itu terpaksa harus tetap berada di lereng yang bergerumbul liar dan bahkan berduri im sambil mengerang kesakitan.
Dengan demikian, maka satu demi satu lawanpun dengan cepat menyusut. Sementara itu Mungguh masih saja bertempur melawan saudara seperguruannya yang telah berkhianat itu.
Para perampok dan penyamun itupun semakin lama menjadi semakin tertekan. Mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bergerak. Medannya terasa terlalu sulit bagi mereka yang terbiasa bertempur di bulak-bulak yang datar atau dipinggir-pinggir hutan yang rata.
Karena itu, maka beberapa orang yang tersisa tidak mempunyai pilihan lain keculai melarikan diri dari medan.
Ketika satu dua orang meloncat dan meninggalkan lawan-lawan mereka, maka yang lainpun telah melakukannya pula sehingga akhirnya merekapun menjadi tercerai berai.
Saudara seperguruan Mungguh yang masih bertempur itu ternyata tidak mampu mengendalikan mereka. Meskipun ia beberapa kali memberikan isyarat, namun mereka yang berlari-larian itu tidak pernah kembali lagi.
Namun para penghuni padepokan itu tidak membiarkan para perampok itu melepaskan diri. Beberapa orang diantara merekapun telah berusaha mengejar mereka.
Sementara itu, Mungguh masih juga bertempur. Tetapi ternyata bahwa lawannya memang seorang yang tangguh. Selain memiliki landasan ilmu yang lebih tinggi, maka kekerasan dan kekerasannya yang telah terbentuk kemudian sepanjang pematangannya, membuat Mungguh agak mengalami kesulitan.
Tetapi setelah para perampok dan penyamun yang bertempur bersama saudara seperguruan Mungguh yang telah berkhianat itu melarikan diri, maka seorang saudara seperguruan Mungguh telah melangkah mendekati arena pertempuran itu.
"Maaf kakang. Aku ingin melibatkan diriku," berkata orang itu.
"Licik kau," geram saudara seperguruan Mungguh yang telah berkhianat itu, "kalian bukan laki-laki yang berani bertempur seorang melawan seorang."
"Bukankah kita tidak sedang berada di arena perang tanding seorang melawan seorang" Kalianlah yang lebih dahulu licik. Kalian datang membawa pasukan yang jumlah orangnya melebihi jumlah penghuni padepokan ini. Karena itu, jika kami bertempur berpasangan, bukan berarti bahwa kami telah berlaku licik."
"Persetan. Majulah. Aku akan membunuh kalian berdua."
Mungguhpun kemudian bergeser, sementara saudara sepeguruannya yang datang membantunya itu melangkah semakin dekat.
Sejenak kemudian, maka Mungguhpun telah bertempur berpasangan. Jika semula Mungguh mengalami kesulitan, maka berdua Mungguh segera menekan lawannya.
Dalam pada itu, pertempuranpun telah berkobar dimana-mana. Namun orang-orang yang datang menyerang padepokan itu ternyata telah menyusut dengan cepat. Bahkan sebagian dari mereka, tidak sempat memasuki pintu gerbang, karena mereka harus melawan para cantrik yang menyerang mereka diluar pintu gerbang.
Apalagi diluar pintu gerbang itu terdapat Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya bertempur dengan kemampuan yang sulit dimengerti. Baik oleh lawan-lawan mereka, maupun oleh para cantrik padepokan itu. Keduanya kadang-kadang seakan-akan telah hilang. Namun kemudian bagaikan terbang menyambar para pengikut Dandang Ireng sehingga beberapa orang telah terpelanting jatuh.
Dengan demikian, maka para pengikut Dandang Ireng yang berada di luar pintu gerbang itupun segera mengalami tekanan yang sulit diatasi. Seorang pemimpin gerombolan yang garang, bertubuh kekar tanpa mengenakan baju, berusaha untuk menahan Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan geram orang itu berkata lantang, "He, kau orang-orang yang tidak lahu diri. Marilah, kita membuat perhitungan. Kalian mengira bahwa kalian dapat berbuat sesuka hati" Bersiaplah. Akulah yang akan membunuh kalian berdua."
Glagah Putihlah yang kemudian menghadapinya, sementara Rara Wulan masih saja bertempur. Bahkan Rara Wulan itupun kemudian telah bergabung dengan para cantrik yang bertempur di luar padepokan.
"Ternyata kau terlalu sombong orang muda," geram pemimpin gerombolan yang bertubuh kekar itu, "Kenapa tidak kau bawa perempuan itu bertempur bersamamu?"
"Tidak perlu. Kau terlalu kecil untuk menghadapi kami berdua," sahut Glagah Putih.
"Anak iblis," pemimpin perampok itu berteriak oleh kemarahannya, "kau remehkan aku, he" Kau belum mengenal aku."
"Aku memang belum mengenalmu," jawab Glagah Putih.
"Aku adalah Alap-alap Randu Growong."
" Namamu panjang."
"Bukan namaku. Itu gelarku. Namaku Sura Bledeg."
"Itupun bukan namamu. Orang tuamu tentu tidak akan memberimu nama seburuk itu. Mungkin nama pemberian orang tuamu Wicaksana atau Mustika atau nama-nama lain yang menarik dan mengandung lambang pengharapan di usia tuamu."
"Cukup," orang itu benar-benar berteriak, "aku tidak peduli akan namaku. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu."
"Kau terlalu garang. Tetapi itu tidak berarti bahwa kau dapat mengalahkan siapa saja. Karena itu, sebaiknya kau hentikan polahmu sekarang ini. Kau telah diperalat oleh Dandang Ireng."
"Aku bukan anak kemarin sore. Aku tahu, kapan aku diperalat dan kapat aku memperalat."
"Tidak. Kau tidak menyadari apa yang sedang kau lakukan sekarang ini."
"Persetan. Jangan mengigau. Apapun yang aku lakukan, aku akan mempertanggung-jawabkannya, termasuk membunuhmu sebentar lagi."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia bergeser selangkah ke samping.
Sejenak kemudian, maka pemimpin perampok yang menyebut dirinya Sura Bledeg itupun telah meloncat menyerang.
Tetapi yang terjadi sangat mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang yang berpengalaman berada di pertempuran, bahkan pertempuran antara hidup dan mati, ia sama sekali tidak tahu, apa yang terjadi.
Namun tiba-tiba saja, justru pada saat Sura Bledeg itu meloncat menyerang, ia merasakan perut dan dadanya bagaikan ditimpa oleh sebongkah batu hitam sehingga Sura Bledeg itu terlempar dan terbanting jatuh.
Sura Bledeg memang sempat bangkit berdiri meskipun dadanya serasa sesak dan perutnya menjadi mual. Namun demikian ia bangkit, ia tidak melihat lawannya yang telah menghentakkan dada dan perutnya itu.
Sura Bledeg itu terkejut ketika seseorang menggamitnya justru di punggungnya. Demikian ia berputar, maka dilihatnya lawannya itu berdiri di belakangnya.
"Jika aku berniat membunuhmu, sekarang aku tusuk perutmu dengan pisauku," berkata Glagah Putih.
Sura Bledeg itu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat mencegah ketika dua ujung jari-jari Glagah Putih menyentuh perutnya.
"Ya. Jika saja pisaumu menusuk perutku seperti jari-jarimu itu."
"Nah, kau telah selamat dari kematian. Agaknya ajalmu memang belum sampai."
"Terima kasih. Tetapi justru karena kau tidak membunuhku, akulah yang nanti akan membunuhmu."
"Kau akan mencoba " Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan yang kedua. Jika kau nanti lengah lagi, maka kau benar-benar akan mati."
Sura Bledeg termangu-mangu sejenak. Katanya, "Agaknya aku lebih senang untuk tidak mati."
"Lalu apa yang akan kau lakukan ?"
"Aku akan pergi. Aku akan membawa orang-orangku meninggalkan neraka ini."
"Aku akan melepasmu tetapi kau harus berjanji."
"Berjanji apa?"
"Kau tidak akan berkeliaran di jalan-jalan. Jika itu masih kau lakukan, kau akan mengalami banyak kesulitan."
"Kesulitan apa?"
"Kau akan berhadapan dengan Dandang Ireng karena kau telah mengkhianatinya. Tetapi kau juga akan berhadapan dengan perguruanku ini. Perguruan Awang-awang. Kakang Umbul Telu sudah menyatakan akan turun ke bulak-bulak panjang untuk melindungi para saudagar yang lewat serta menghancurkan para perampok dan penyamun."
"Kenapa hal itu dilakukannya?"
"Kakang Umbul Telu ingin menghidupkan kembali pasaran dari hasil kerajinan kami penghuni padepokan ini. Gerabah, kerajinan bambu, gula kelapa dan palawija. Sekali-sekali ternak dan ikan yang kami pelihara di kolam-kolam."
"Lalu, apa yang harus kami lakukan?"
"Banyak sekali. Jika kalian tidak mempunyai sawah dan petegalan, maka kau dapat bekerja di sawah dan pategalan orang lain. Kalian dapat menjadi tukang satang atau tukang belandong. Atau kerja-kerja yang lain."
"Amit-amit. Kau kira aku dapat melakukannya" Aku tidak ingin bekerja keras dengan hasil yang tidak memadai. Aku lebih senang mempertaruhkan nyawa dengan hasil yang banyak."
"Jika demikian, mari kita bertarung sampai kau mati."
Ketika Glagah Putih siap meloncat untuk menerkamnya, maka Sura Bledeg itupun berkata, "Tunggu."
"Aku akan membunuhmu."
"Jangan bunuh aku. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya."
"Jadi?" "Aku akan berjanji sebagaimana kau kehendaki."
"Sebutkan." "Kau sudah tahu, karena kau sudah menyebutnya."
"Kau harus mengatakannya. Ucapkan janjimu."
"Baiklah. Aku berjanji untuk menghentikan segala kerja yang buruk."
"Baiklah. Aku menjadi saksi. Jika kami temui kau di jalan-jalan bulak, merampok dan menyamun, maka kami akan membunuhmu dengan cara yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."
"Baiklah." "Jangan sekedar berpindah tempat. Kami akan memburu kemana-pun kau pergi. Kemana para perampok dan penyamun itu melakukan kegiatan buruknya."
"Baik-baik." "Sekarang beri isyarat agar orang-orangmu pergi."
Sura Bledeg itu mengangguk.
Sejenak kemudian, terdengar Sura Bledeg itu bersuit nyaring. Sekelompok orang yang berada didalam pasukan yang dibawa Dandang Ireng, yang tidak sempat memasuki gerbang padepokan itupun mendengar isyarat yang dilontarkan oleh pimpinannya itu. Karena itu, maka merekapun telah menyahut isyarat itu dengan isyarat pula.
Sejenak kemudian, sekelompok perampok dan penyamun telah bergerak dengan gerakan-gerakan yang berbeda dengan gerombolan yang lain.
Sementara itu Glagah Putihpun telah bergeser pula dari tempatnya sambil berteriak pula, "Beri kesempatan mereka meninggalkan medan."
Para cantrik mendengar seruan itu. Meskipun mereka tidak tahu kenapa, namun mereka membiarkan orang-orang yang berusaha melarikan diri itu mengikuti Sura Bledeg meninggalkan medan.
Pasukan yang menyerang perguruan Awang-awang itu menjadi semakin lemah. Bahkan sejenak kemudian, mereka yang belum sempat memasuki pintu gerbang itu telah menyelinap masuk. Bukan karena pekerjaan mereka diluar sudah selesai. Tapi mereka mencoba untuk bergabung dengan kawan-kawan mereka yang sudah berada di dalam pintu gerbang.
Pertempuran yang terjadi di dalam pintu gerbang padepokan itu menjadi semakin sengit. Tetapi para cantrik yang semula bertempur diluar pintu itu gerbangpun telah memburu memasuki pintu gerbang padepokan mereka pula.
Yang kemudian masih berdiri di luar pintu gerbang adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil melangkah kepintu gerbang Rara Wulan-pun bertanya, "Kau lepaskan orang yang berwajah garang itu kakang?"
"Bukankah dengan demikian, korban akan berkurang dari kedua belah pihak?"
"Ya. Tetapi sebagian dari kawan-kawan mereka tentu masih tertinggal disini. Mungkin mereka yang terbunuh. Mungkin mereka yang terluka parah."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Pertempuran ini adalah pertempuran yang seru. Tetapi ternyata bahwa pertahanan Ki Umbul Telu cukup kokoh."
"Marilah, kita lihat apa yang terjadi di dalam, kakang. Pertempuran tentu masih berlangsung."
"Keberadaan para cantrik yang semula berada di luar di antara saudara-saudara seperguruan mereka, akan segera menentukan akhir dari pertempuran itu."
"Agaknya memang demikian kakang."
Keduanyapun kemudian telah memasuki pintu gerbang padepokan pula. Ternyata bahwa pertempuran masih berlangsung di mana-mana.
Namun dengan caranya, para cantrik mampu menahan pasukan yang telah menyerang padepokan mereka.
Sedangkan keberadaan para cantrik yang semula berada di luar, sangat membantu saudara-saudaranya yang harus mengerahkan segala kemampuan mereka melawan beberapa gerombolan perampok dan penyamun yang sudah berada di dalam padepokan.
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak mengamati keadaan. Merekapun kemudian masuk lebih dalam lagi. Tiba-tiba saja mereka teringat kepada anak-anak yang berada di bangunan utama padepokan itu bersama orang-orang tua dan mereka yang sedang sakit dan tidak mampu turun ke medan.
"Kita lihat mereka," berkata Glagah Putih, "jika mereka menjadi sasaran untuk memaksa isi padepokan itu menyerah, keadaannya akan menjadi rumit," berkata Glagah Putih.
Keduanyapun bergegas menyusuri lorong yang memanjat naik meskipun tidak terlalu menanjak. Namun keduanya kadang-kadang harus berhenti, jika mereka melintasi arena pertempuran.
Tetapi keduanya tidak banyak mengalami kesulitan. Karena itu, maka merekapun tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk sampai di bangunan utama padepokan diatas bukit itu.
Sebenarnyalah di sekitar bangunan utama itu masih terjadi pertempuran yang sengit. Para cantrik yang masih muda bersama beberapa orang laki-laki dan perempuan bertempur untuk mencegah para pengikut Dandang Ireng itu memasuki regol halaman bangunan utama.
Tetapi para pengikut Dandang Ireng im masih saja mengalir menuju ke bangunan utama. Agaknya yang menjadi sasaran mereka, bukan anak-anak yang ditempatkan di bangunan utama itu. Tetapi mereka mengira, dengan menduduki bangunan utama itu, maka perguruan Awang-awang akan kehilangan tekad perlawanan mereka, karena seakan-akan rumah mereka telah direbut oleh lawan.
Karena Dandang Ireng sendiri serta beberapa orang saudara seperguruannya yang telah memberontak dan bahkan membunuh gurunya itu terikat dalam pertempuran, maka para pemimpin gerombolan perampok yang ikut menyerang padepokan itulah yang memimpin para pengikut mereka masing-masing. Bahkan para pemimpin gerombolan itu telah berbuat bukan saja bagi Dandang Ireng. Tetapi pamrih bagi gerombolan meieka masing-masing mulai menggelitik jantung. Merekapun sadar, selak mereka bergabung untuk merebut padepokan itu, siapakah yang kemudian akan berkuasa. Dandang Ireng dan saudara-saudara seperguruannya, tidak memiliki pengikut sebanyak para pemimpin gerombolan perampok dan penyamun itu. Meskipun mereka menganggap bahwa merekalah yang berhak atas padepokan itu, bahkan Dandang Ireng memiliki pertanda kepemimpinan bagi perguruan Awang-awang, namun beberapa orang tidak akan banyak berarti dalam petualangan mereka kemudian.
Karena itu, maka para pemimpin gerombolan itupun seakan-akan telah berlomba untuk merebut dan menduduki bangunan utama perguruan Awang-awang untuk membuktikan, bahwa gerombolan merekalah yang pertama-tama berhasil menguasai bangunan utama di padepokan itu.
Namun para penghuni padepokan itupun mempertahankan dengan segenap kemampuan mereka. Dengan cara mereka yang tidak semata-mata mengandalkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Itulah sebabnya maka gerombolan-gerombolan yang mengalir ke bangunan utama di puncak bukit itu mengalami hambatan yang rumit. Anak panah masih saja meluncur dari balik dinding halaman.
Demikian pula serangan yang tiba-tiba saja datang dari jalan simpang serta lorong-lorong kecil.
Keberadaan para cantrik yang semula berada di luar semakin mempersulit jalan bagi mereka yang sedang menuju kebangunan utama itu.
Tetapi para pemimpin mereka, selalu saja berteriak-teriak memnerikan aba-aba bagi para pengikutnya untuk bergerak lebih cepat lagi.
Orang-orang pertama dari gerombolan perampok dan penyamun itu telah mulai bergerak menuju ke pintu gerbang bangunan utama. Para cantrik yang bertugas di dalam dinding bangunan utama itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Para cantrik itu merasa dirinya bertanggung-jawab atas keselamatan remaja dan anak-anak di padepokannya. Selain remaja dan anak-anak, di bangunun utama itu juga terdapat orang-orang tua dan mereka yang sakit yang tidak mungkin turun ke medan pertempuran.
Namun mereka yang mendekati pintu gerbang itupun terhenti ketika mereka melihat dua orang yang berdiri di depan pintu gerbang yang tertutup itu.
Seorang pemimpin perampok yang garang, bertubuh raksasa dengan rambut terurai panjang tanpa mengenakan ikat kepala mendatangi keduanya sambil berteriak, "Minggir atau aku bunuh kau."
"Jangan mencari kesulitan," jawab Glagah Putih, "pergilah."
Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itupun segera tersinggung. Katanya, "Aku akan membunuh kalian segera kemudian menduduki bangunan utama ini. Akulah yang kemudian akan berkuasa di bukit ini."
"Kau tidak akan mampu melangkahi tlundak pintu regol halaman bangunan induk ini."
"Persetan kalian berdua," geram orang itu. Dengan isyarat ia memanggil beberapa orang kawannya yang juga sudah berhasil mendekati pintu gerbang untuk mendekat.
"Aku akan membunuh kedua ekor tikus kecil ini. Masuklah ke dalam pintu gerbang itu. Bunuh semua orang yang ada didalamnya. Kita akan mendudukinya dan menjadi penguasa di bukit ini."
"Baik, Ki Lurah," sahut beberapa orang hampir berbareng.
Tetapi sebelum mereka bergerak, beberapa orang cantrik telah mendekati mereka. Ada diantara mereka, cantrik yang semula bertempur di luar pintu gerbang padepokan itu.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan alas," geram pemimpin perampok itu, "musnahkan mereka lebih dahulu."
Pertempuranpun segera terjadi. Para pengikut raksasa yang rambutnya tergerai itu berhadapan dengan para cantrik yang memburu mereka. Meskipun jumlah para perampok dan penyamun itu lebih banyak, tetapi ternyata para cantrik yang telah menempa diri, berlatih olah kanuragan itu, memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang yang hanya mengandalkan keberanian, kekuatan tenaga dan kekasarannya saja.
Sementara itu, Rara Wulan yang melihat para cantrik bekerja keras menghadapi lawan-lawan mereka berkata kepada Glagah Putih, "Kakang, aku akan bertempur bersama anak-anak itu."
"Baik. Tinggalkan aku. Biarlah aku menyelesaikan raksasa yang dungu ini."
"Sombongnya kau anak setan," geram orang itu.
Glagah Putih tidak menjawab, tetapi iapun telah siap menghadapi kemungkinan.
Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itupun tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera meloncat menerkam Glagah Putih. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih mengelakkannya, sehingga serangan raksasa itu tidak menyentuh sasarannya. Bahkan dengan cepat sekali Glagah Putih melenting. Kemudian berputar sambil mengayunkan kakinya menyambar kening raksasa itu.
Raksasa itu terhuyung-huyung. Namun daya tahannya sangat tinggi. Orang yang rambutnya terurai tanpa memakai ikat kepala itu masih tetap saja berdiri.
Namun Glagah Putih tidak membiarkannya. Ditingkatkannya tenaga dalamnya pada serangannya yang menyusul. Tubuhnya meluncur dengan derasnya seperti sebatang lembing yang lepas dari tangan pelemparnya.
Dengan derasnya kedua telapak kaki Glagah Putih kemudian menghantam dada orang yang bertubuh raksasa sehingga keseimbangannya-pun telah tergoyang.
"Iblis kecil," geram orang itu, "aku lumatkan tubuhmu."
Glagah Putih memang harus berhati-hati. Namun kekuatan orang itu memang sulit untuk diukur.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah meningkatkan lagi tenaga dalamnya. Betapapun kokohnya orang bertubuh raksasa itu, ia akan sangat sulit untuk bertahan jika serangan Glagah Putih berikutnya dilambari dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sangat tinggi.
Pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin seru. Orang yang bertubuh raksasa itupun telah mengerahkan segenap kemampuan, tenaga dan ilmunya untuk mengatasi lawannya.
Tetapi berhadapan dengan Glagah Putih, ia memang bukan apa-apa meskipun kekuatannya sempat membuat Glagah Putih kagum.
Tetapi beberapa saat kemudian, orang itupun sudah terlempar beberapa langkah surut. Terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.
Namun sejenak kemudian orang itu segera bangkit lagi untuk terjun kembali ke arena pertempuran.
"Iblis manakah yang telah merasukinya," geram Glagah Putih.
Sebenarnyalah setiap kali orang itu terbanting di tanah, maka iapun segera bangkit kembali. Meskipun kadang-kadang orang itu harus berguling beberapa kali.
Meskipun demikian, betapapun kuatnya seseorang, namun akhirnya orang bertubuh raksasa dan berkumis lebat itu harus mengalami tekanan yang sudah sampai ke batas.
Dalam pertempuran yang sengit, maka orang berkumis lebat itu merasa bahwa ia dan daya tahannya kadang-kadang tidak lagi berjalan seiring.
Gelora di dadanya masih saja menyala, tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Tulang-tulang bagaikan menjadi retak. Sejalan dengan meningkatnya tenaga dalam Glagah Putih, maka orang bertubuh raksasa itu semakin mengalami kesulitan. Daya tahannya yang tinggi serta kekuatan serta tenaganya yang sangat besar, rasa-rasanya tidak banyak berarti lagi.
Karena itu, maka setiap kali orang itupun terlempar beberapa langkah surut, terpelanting jatuh dan bahkan terguling-guling di tanah sambil menyeringai kesakitan.
Sementara itu, para pengikutnya tidak banyak dapat berbuat. Para cantrik bersama Rara Wulan telah mematahkan serangan mereka. Dengan geram namun tanpa dapat mengesampingkan kenyataan, mereka harus mengakui bahwa perempuan yang bersenjatakan selendangnya itu tidak mampu di tahan lagi. Sentuhan-sentuhan selendangnya mampu melumpuhkan perampok dan penyamun yang memiliki pengalaman yang luas di dunia kekerasan.
Dalam pada itu, pemimpin perampok yang berambut tergerai serta tanpa mengenakan ikat kepala itu, sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Ketika tubuhnya diangkat dan bahkan seakan-akan tidak mempunyai bobot sama sekali itu kemudian dibanting oleh Glagah Putih, maka orang itupun tidak lagi mampu bangkit. Orang yang garang dan bertubuh raksasa itu, menyeringai menahan sakit yang hampir tidak tertahankan di punggungnya.
Seperti anak kecil orang itupun kemudian merengek, "Jangan bunuh aku, Ki Sanak. Aku menyerah. Aku mohon ampun."
"Kaukah itu yang merengek?" bertanya Glagah Putih.
"Aku harus mengakui kenyataan ini. Aku kalah, sementara orang-orang telah dihabisi oleh para cantrik."
"Tidak. Mereka tidak dibunuh. Mungkin ada diantara mereka yang terbunuh. Tetapi ada pula diantara mereka yang hanya terluka meskipun agak parah. Bahkan ada yang hanya tergores ujung pedang seleret tipis di lengannya, namun orang itupun berpura-pura terluka parah dengan mengusap-usapkan darahnya di seluruh pakaiannya."
"Orang itu pantas dibunuh."
"Jadi kau masih membenarkan perlawanan dari orang-orangmu?"
"Tidak. Tidak. Tetapi jangan bunuh aku."
Glagah Putih tersenyum. Namun Glagah Putih tahu benar bahwa orang itu tidak akan segera dapat bangkit. Bahkan mungkin sampai esok atau lusa."
Dalam pada itu, para pengikutnya yang masih mampu bertempur, ternyata telah menyerah pula. Bahkan Glagah Putih telah memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk merawat pemimpinnya yang sudah tidak berdaya itu.
Ternyata bahwa tidak seorangpun diantara mereka yang mendatangi padepokan itu yang sempat memasuki pintu gerbang bangunan utama di padepokan itu. Beberapa orang cantrik yang bertugas didalam, yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan, masih tetap bersiaga sepenuhnya. Namun beberapa orang diantara mereka yang menjadi terlalu gelisah justru karena menunggu, telah memanjat tiang pintu gerbang uiituk melihat apa yang terjadi di luar.
Mereka menarik nafas ketika mereka melihat sepasang suami isteri itu berdiri diantara beberapa orang cantrik di luar pintu gerbang bangunan utama. Mereka melihat beberapa orang yang sudah tidak berdaya. Beberapa orang yang telah melepaskan senjata mereka, duduk berjajar melekat dan menghadap dinding yang melingkari bangunan utama di padepokan itu.
Sementara itu, para perampok dan penyamun yang masih berusaha untuk mendekati pintu gerbang telah terhalang dan terhenti oleh para penghuni padepokan itu. Bahkan setelah menyerahkan para tawanan itu kepada beberapa orang cantrik, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah ikut menghalau atau memaksa mereka yang datang untuk menyerah.
Meskipun demikian para cantrik itu tidak menjadi lengah. Ada beberapa cara untuk memasuki lingkungan bangunan induk itu. Mereka dapat memanjat dinding di bagian belakang untuk meloncat masuk.
Ternyata kewaspadaan itu memberikan arti bagi pertahanan para cantrik itu. Justru karena mereka meyakini kekuatan saudara-saudaranya yang berada di depan pintu gerbang, maka mereka menitik beratkan pertahanan mereka untuk mengatasi jika ada lawan yang berusaha meloncati dinding.
Karena itu, ketika benar-benar ada sekelompok perampok yang mencoba memasuki dinding lingkungan bangunan utama itu, maka para cantrik yang bertugas didalam itupun segera menghadapi mereka.
Ternyata para cantrik yang sudah terlatih itu tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Orang-orang yang berloncatan memasuki lingkungan bangunan utama itu tidak menduga, bahwa di dalam lingkungan bangunan utama itu terdapat pertahanan yang cukup kuat.
Sementara itu, tidak terlalu jauh dari pintu gerbang padepokan, Ki Uimbul Telu masih bertempur melawan Dandang Ireng. Ternyata bahwa ilmu yang dimiliki Ki Umbul Telu memang lebih lengkap dari Dandang Ireng yang telah berkhianat itu. Dandang Ireng yang telah meninggalkan padepokan itu, selain mengandalkan ilmunya, juga mengandalkan pendalamannya yang luas.
Pengalaman petualangannya di dunia yang gelap. Disepanjang bulak-bulak panjang, menyusuri kegelapan dan kesunyian malam. Mengetuk pintu keras-keras, mengancam dan bahkan membunuh orang-orang yang berani menentangnya.
Dengan demikian, maka Dandang Ireng dan saudara-saudara seperguruannya, yang memilih jalan yang sama, telah bertempur dengan keras dan kasar.
Namun mereka membentur kemampuan saudara-saudara seperguruan mereka yang tetap berpijak pada jalan lurus di padepokan mereka. Saudara-saudara seperguruan Dandang Ireng yang telah berkhianat itu tidak mempunyai banyak kesempatan.
Bahkan para perampok dan penyamun yang bersedia bekerja sama dengan Dandang Ireng untuk menguasai gumuk kecil itu, sehingga akan dapat menjadi landasan serta sarang mereka yang semakin liar dan buas di sepanjang jalan sepi yang dilewati oleh para pedagang itu, benar-benar tidak mampu bergerak lagi.
Jika pada saat mereka datang jumlah mereka lebih banyak dari penghuni bukit kecil itu, maka lambat laun, mereka seakan-akan tidak tersisa lagi. Sebagian dari mereka terbunuh, yang lain terluka parah sehingga tidak mampu memberikan perlawanan lagi. Sebagian menyerah dan ada pula yang melarikan diri.
Karena itulah maka Ki Umbul Telupun berkata, "Dandang Ireng. Kau sudah kehabisan pengikut yang pantas mendukung usahamu yang tamak ini. Karena itu, menyerahlah. Kau tidak akan berdaya lagi. Kau harus bersedia menerima hukuman karena kau telah dengan licik membunuh guru. Meskipun demikian, jika kau bersedia menyerah, maka hukumanmu tentu akan lebih ringan. Aku bersedia untuk bertanggung jawab bahwa saudara-saudara kita tidak akan menjatuhkan hukuman kepadamu berdasarkan atas dendam. Tetapi semata-mata atas dasar keadilan.
"Persetan dengan ingauanmu itu Umbul Telu. Kaulah yang harus menyerah kepadaku. Menyerahlah kekuasaan atas perguruan Awang-awang kepadaku, karena memang akulah yang berhak."
"Lihat sekelilingmu. Yang berdiri di sekitar kita adalah saudara-saudara seperguruan kita. Sedangkan para pengikutmu telah kehilangan kekuatan untuk bertempur. Yang menyerah telah diikat tangannya di belakang tubuhnya. Sedang mereka yang berhasil melarikan diri sudah kembali kemari untuk membebaskanmu, Dandang Ireng.
"Persetan dengan mereka. Aku akan menghukum mereka yang melarikan diri itu. Mereka harus dibunuh."
"Siapa yang akan membunuh mereka" Para pemimpin mereka ikut pula melarikan diri atau menyerah."
Dandang Ireng menggeram. Namun tiba-tiba saja Ki Ganjur telah mendorong seorang saudara seperguruannya yang sudah tidak berdaya lagi. Saudara seperguruannya yang telah menjadi pengikut Dandang Ireng.
"Dandang Ireng," berkata Ki Ganjur, "lihat saudaramu yang telah kau ajak berkhianat itu. Aku tidak tahu, apakah ada usaha yang dapat menolong jiwanya. Darahnya terlalu banyak mengalir. Mungkin kau mempunyai obat yang dapat memampatkan darahnya sehingga hidupnya akan tertolong."
"Persetan dengan pengecut itu. Biarlah ia mati. Aku tidak memerlukannya lagi."
Saudara seperguruan yang telah mengikuti jejak hitam Dandang Ireng itu masih sempat menggeliat. Ia mendengar kata-kata Dandang Ireng. Dengan nada suara yang lemah ia berkata, "Tolong aku, kakang. Kau mempunyai obat yang dapat membantu memampatkan darahku, mengurangi rasa sakit dan untuk sementara dapat membantu meningkatkan daya tahanku."
"Mati sajalah kau orang cengeng," teriak Dandang Ireng sambil melompat menghindari serangan Umbul Telu. Namun Ki Umbul Telu itu tidak memburunya. Ia seakan-akan memberi kesempatan kepada Dandang Ireng untuk memperhatikan saudara seperguruannya.
"Lihat adikmu itu," desis Umbul Telu.
Tetapi Dandang Ireng justru meloncat menyerang dengan garangnya.
Ki Umbul Telu meloncat surut. Namun dengan demikian, ia yakin, bahwa hati Dandang Ireng telah benar-benar tertutup. Tidak ada lagi cahaya sepercikpun yang dapat menerangi jiwanya.
"Dandang Ireng," berkata Ki Umbul Telu, "kau adalah orang yang sangat berbahaya. Kau sama sekali tidak tersentuh melihat adik seperguruanmu yang selama ini setia kepadamu berada dalam keadaan yang gawat."
Tetapi Dandang Ireng tidak mau mendengarkannya lagi.
Karena itu, maka Ki Ganjur tidak dapat lagi berusaha untuk meredakan pertempuran itu. Dengan demikian, maka Ki Ganjur sendirilah yang kemudian berusaha untuk mengobati luka-luka saudara seperguruannya yang telah berkhianat itu.
Tetapi luka-luka itu sudah terlalu parah. Meskipun obat yang kemudian ditaburkan oleh Ki Ganjur dapat mengurangi arus darahnya, namun orang itu nampaknya sudah tidak mungkin tertolong lagi."
"Maafkan aku kakang Ganjur," desis orang itu.
"Darahmu sudah akan pampat," berkata Ki Ganjur.
"Tidak akan ada gunanya. Aku akan mati. Tolong mintakan maaf kepada kakang Umbul telu dan kepada semua saudara-saudara seperguruanku. Doakan agar Yang Maha Agungpun sudi memaafkan aku."
"Mohonlah ampun kepada-Nya," desis Ki Ganjur.
Saudara seperguruannya itu termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya nyawanya sudah berada di ubun-ubunnya.
"Apakah Yang Maha Agung mau mendengarkannya"," desis orang itu.
"Tentu, adi. Mohonlah selagi kau sempat."
"Jika demikian, maka orang-orang lainpun akan hidup di jalan sesat sebagaimana aku lakukan. Baru di saat terakhir, mereka akan memohon pengampunan-Nya."
"Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk mohon ampun. Kesempatan itu diberikan-Nya kepadamu, di. Banyak orang yang mati tanpa mendapat kesempatan untuk menyesali kesalahannya dan apalagi mohon ampun kepada-Nya. Karena itu, kesempatan yang diberikan kepadamu ini harus kau sadari akan artinya."
Orang itu menarik nafas panjang. Namun kemudian nafasnya itupun menjadi tersengal.
"Di, di," panggil Ganjur.
Orang itu mencoba untuk menggerakkan bibirnya. Dengan penyesalan yang mendalam, maka orang itupun mohon ampun atas segala tingkah lakunya. Ia sudah terlibat dalam pembunuhan atas gurunya. Perampokan, perampasan dan menyamun di mana-mana. Bukan hanya kekerasan yang telah dilakukannya dengan landasan ilmunya yang tinggi, tetapi ia sudah melakukan pembunuhan.
Sementara itu Ki Umbul Telu telah bertempur lagi melawan Dandang Ireng, Ki Umbul Telu sudah tidak mempunyai harapan lagi, bahwa ia dapat merubah jalan kehidupan saudara seperguruannya yang telah sesat itu.
Karena itu, maka jalan satu-satunya untuk menghentikan langkahnya di kegelapan adalah memisahkan jiwa dan raganya yang menjadi alat atas segala langkah-langkah hitamnya.
Sementara itu, Ganjur harus melihat kenyataan tentang saudara seperguruannya. Ia menyesal bahwa luka-luka yang ditimbulkannya di tubuh saudara seperguruannya itu demikian parahnya, sehingga akhirnya, saudara seperguruannya itu tidak dapat tertolong lagi.
Ganjur menarik nafas panjang ketika ia melihat saudara seperguruannya itu memejamkan matanya.
Tidak jauh dari tempat Ganjur itu berlutut, saudara-saudara seperguruan Ganjur berdiri melingkari Ki Umbul Telu yang masih bertempur melawan Dandang Ireng. Ki Lampita dan Ki Kumudapun telah berada di kerumunan itu pula. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menunggu pertempuran antara dua orang saudara seperguruan yang berdiri di pihak yang berseberangan.
"Tidak ada lagi yang dapat kau harapkan, Dandang Ireng," berkata Ki Umbul Telu, "kau lihat bahwa pertempuran sudah selesai. Orang-orangmu yang menyerah sudah diikat sehingga tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Yang lain terbunuh luka parah atau melarikan diri."
"Persetan dengan mereka. Sekarang terserah kepadamu, apakah kita akan mengadu kemampuan kita dalam perang tanding, atau kau akan mengajak para pengikutmu untuk mengeroyok aku. Aku sama sekali tidak akan gentar menghadapi kalian semuanya. Bahkan pekerjaanku akan segera dapat aku selesaikan pula."
"Kau sudah kehilangan keblat. Dandang Ireng. Betapapun tinggi Ilmumu, kau tidak akan dapat mengalahkan kami semuanya. Jika kami mau, maka dalam sekejap tubuhmu akan menjadi arang keranjang. Segala senjata akan menghujam di seluruh bagian tubuhmu, bahkan sampai ke telapak kaki dan tanganmu."
"Lakukan. Kenapa tidak kau lakukan sekarang?"
"Aku akan menghadapinya dalam perang tanding."
"Sombongnya kau Umbul Telu."
Ki Umbul Telu tidak menjawab. Tetapi iapun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Keduanyapun bertempur semakin sengit. Meskipun kemampuan Ki Umbul Telu berada di atas kemampuan Dandang Ireng namun pengalaman Dandang Ireng di petualangannya menyusuri kegelapan, kadang-kadang memaksa Ki Umbul telu untuk bergeser surut.
Namun ujung senjata Dandang Ireng masih belum mampu menyentuh kulit Ki Umbul Telu, sementara itu, senjata Ki Umbul Telu telah mulai menggores kulit Dandang Ireng.
Dandang Irengpun kemudian menjadi semakin marah. Namun dengan demikian, kemarahannya itu telah membuat Dandang Ireng tidak lagi dapat menguasai perasaannya. Serangan-serangannya menjadi semakin garang namun tidak lagi terarah dengan baik.
Dengan demikian, maka senjata Ki Umbul telu telah menyentuh tubuh Dandang Ireng semakin sering. Goresan-goresan di tubuh Dandang Ireng itupun menjadi semakin banyak silang melintang. Lengannyapun telah terkoyak. Bahunya sudah terluka. Segores luka menyilang di dadanya. Sementara itu ujung senjata Ki Umbul Telu telah mematuk lambungnya pula.
Tetapi Dandang Ireng tidak mau melihat kenyataan itu. Bahkan iapun berloncatan semakin garang.
Ketika ujung senjatanya berhasil menyentuh bahu Ki Umbul Telu, maka Dandang Ireng itupun berteriak, "Umbul telu. Aku akan segera membunuhmu. Bersiaplah untuk mati. Darah sudah mulai menitik dari lukamu."
"Kau memang berhasil melukai bahuku. Dandang Ireng. Tetapi lihat tubuhmu sendiri. Pakaianmu sudah menjadi merah oleh darah. Bahkan bukan hanya pakaianmu yang sudah terkoyak di mana-mana. Tetapi juga kulit dan dagingmu. Tetapi masih ada kesempatan bagimu untuk menghentikan pertempuran."
"Iblis kau," teriak Dandang Ireng tanpa menghiraukan kata-kata Umbul Telu sambil meloncat dengan garangnya, menikam Umbul Telu mengarah ke dadanya.
Tetapi Umbul Telu masih sempat bergeser kesamping sambil merendahkan diri. Demikian Dandang Ireng meluncur sambil menjulurkan senjatanya, maka Umbul Telupun telah mengayunkan senjatanya pula.
Ternyata ujung senjata Ki Umbul Telu itu telah mengoyak lambung Dandang Ireng. Luka yang memanjang telah menganga. Luka yang jauh lebih parah dari luka-lukanya yang lain.
Dandang Ireng terhuyung-huyung sejenak. Darahnya yang memancar dari lukanya itu memercik membasahi bumi perguruan Awang-awang. Perguruan tempat Dandang Ireng itu menuntut ilmu kanuragan.
Dandang Ireng sempat mengaduh tertahan. Namun kemudian iapun berteriak mengumpat dengan kasarnya.
Tetapi Dandang Ireng itupun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Ternyata ia tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Dandang Ireng itupun jatuh terbaring di tanah.
Meskipun demikian Dandang Ireng itu masih saja berteriak dengan suara yang gemetar, "Aku bunuh kau. Umbul Telu."
Dandang Ireng yang terluka parah itu masih mencoba untuk bangkit sambil menarik keris pertanda kepemimpinanya di perguruan Awang-awang itu.
"Aku bunuh kau dengan keris ini."
Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Demikian pula saudara-saudara seperguruannya yang lain. Keris di tangan Dandang Ireng itu adalah keris yang dihormati di padepokan itu.
Namun sejenak kemudian Dandang Ireng itupun jatuh terkulai. Keris di tangannya itupun telah terlepas pula dan jatuh disisinya. Dandang Ireng masih mengucapkan beberapa kata-kata, tetapi sudah tidak jelas lagi artinya.
Sejenak kemudian, maka Dandang Ireng itupun menarik nafasnya yang terakhir.
Ki Umbul Telu serta beberapa orang saudara seperguruannyapun melangkah mendekatinya. Sambil berjongkok di sampingnya, Ki Umbul Telu itupun berkata, "Adi Dandang Ireng datang untuk mengembalikan keris ini."
"Ya, kakang," desis Kumuda, "sebaiknya kakang menyimpan keris itu."
Ki Umbul Telupun kemudian memungut keris itu serta mengambil serangkanya di punggung Dandang Ireng. Keris itupun kemudian disarungkannya. Sambil bangkit berdiri Ki Umbul Telupun menyisipkan keris itu di lambungnya sambil berkata, "Hari ini kita telah mengorbankan beberapa orang saudara seperguruan kita. Kita harus menyelenggarakan pemakaman mereka sebagaimana seharusnya. Kitapun harus merawat orang-orang yang terluka serta mengurus mereka yang tertawan. Tugas kita akan menjadi berat beberapa hari ini."
Saudara-saudara seperguruanyapun menyadari sebagaimana dikatakan oleh Ki Umbul Telu, bahwa dalam beberapa hari mereka akan bekerja keras.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Umbul Telupun bersama orang-orang tertua di padepokan itu telah pergi ke bangunan induk padepokan, sementara saudara-saudara mereka mulai sibuk dengan tugas mereka. Para murid dari perguruan Awang-awang itu telah mengerahkan para tawanan dibawah pengawasan yang ketat untuk membantu kerja mereka. Mereka harus mengumpulkan orang-orang yang terbunuh dan kemudian menyisihkan mereka yang terluka untuk segera mendapatkan perawatan. Merekapun harus memisahkan para pengikut Dandang Ireng dengan saudara-saudara seperguruan mereka. Meskipun mereka dalam keadaan terluka parah, tetapi akan dapat terjadi hal-hal yang tidak di kehendaki apabila mereka berbaur menjadi satu.
Ketika Ki Umbul telu memasuki bangunan utama di padepokan itu, maka iapun menyatakan kebanggaannya terhadap saudara-saudara seperguruannya, para cantrik yang masih muda, bahwa mereka telah berhasil mempertahankan bangunan utama itu. Meskipun ada beberapa orang yang berhasil memanjat masuk, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Anak-anak serta orang-orangtua, sama sekali tidak tersentuh oleh para pengikut Dandang Ireng.
"Kedua orang suami isteri itu ternyata orang-orang yang berilmu sangat tinggi," berkata seorang cantrik yang bertempur di luar pintu gerbang padepokan dan kemudian juga bertempur tidak jauh dari Glagah Putih dan Rara Wulan didepan regol bangunan utama padepokan itu.
"Kau melihatnya"," bertanya Ki Kumuda.
"Keduanya bertempur seperti sepasang elang. Kadang-kadang mereka terbang tinggi di luar jangkauan penglihatan. Tiba-tiba saja keduanya menukik menyambar dengan kuku-kukunya yang tajam. Mencengkeram dan membawanya terbang. Kemudian melemparkannya keatas batu-batu padas. Aku bersama keduanya di luar padepokan. Keduanya mendahului membabat lawan sebelum kami mulai bergerak. Kemudian ketika aku berada didepan regol bangunan utama ini, keduanyapun telah berada di sini pula, bertempur sebagaimana mereka lakukan di luar pintu gerbang padepokan ini."
Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, "Aku sudah mengira, hahwa mereka memiliki kelebihan. Karena itu mereka sama sekali tidak menjadi gentar ketika mereka ikut mendengar ancaman Dandang Ireng. Bahkan keduanya bertekad untuk membantu kita."
Tidak ada seorangpun diantara kita yang dapat berbuat sebagaimana dilakukannya," berkata seorang cantrik yang lain.
"Kita harus mengucapkan terima kasih kepada mereka," desis Ki Umbul Telu.
Kepada seorang cantrik Ki Umbul Telupun kemudian memerintahkan untuk mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan ke bangunan utama padepokan itu.
"Dimana mereka sekarang,'' bertanya Ki Lampita.
"Mereka berada di luar regol halaman bersama beberapa orangorang kita yang sedang sibuk menyelesaikan tugas mereka bersama beberapa orang yang menyerah itu," jawab seorang cantrik.
"Baiklah. Kami menunggu disini."
Tidak terlalu lama kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada tidak jauh dari regol halaman itupun telah dipersilahkan naik ke pendapa bangunan utama padepokan itu.
"Ki Sanak," berkata Ki Umbul Telu, "kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak menyelamatkan perguruan kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum Glagah Putihpun berkata, "Itu agak berlebihan. Ki Umbul Telu. Kami memang telah membantu sejauh kemampuan kami. Tetapi bukan berarti bahwa kami telah menyelamatkan perguruan ini."
"Angger Glagah Putih," berkata Ki Umbul Telu kemudian, "bantuan yang kalian berikan agaknya telah menentukan akhir dari pertempuran ini. Sejak angger berdua bertempur di luar pintu gerbang padepokan, kemudian di depan regol halaman bangunan utama ini, angger telah menjadi penentu. Tanpa angger berdua, maka anak-anak kami di luar pintu gerbang tidak akan dapat menahan sebagian besar pengikut Dandang Ireng.
Tetapi justru karena angger berdua telah membuka pertempuran dan menyusut lawan dengan cepat, maka para cantrik dapat menahan para pengikut Dandang Ireng yang cukup banyak di luar pintu gerbang. Dengan demikian, maka kami yang berada di dalam dinding padepokan ini mampu menghadapi para pengikut Dandang Ireng yang telah memasuki pintu gerbang.
"Ah. Sanjungan itu justru mendebarkan jantung kami berdua. Yang kami lakukan tidak lebih dari kesungguhan kami untuk membantu para cantrik."
"Kami ternyata telah berhutang budi. Kamipun mohon maaf atas dugaan kami yang keliru terhadap kemampuan angger berdua, sehingga kami mempersilahkan angger berdua meninggalkan padepokan ini sebelum Dandang Ireng dan para pengikutnya datang ke padepokan ini."
"Aku justru sangat berterima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap keselamatan kami."
"Nah, angger berdua. Sebagai pernyataan terima kasih kami, maka kami ingin angger berdua untuk tinggal di padepokan ini beberapa lama. Sebagaimana angger katakan sebelumnya, bahwa setelah peristiwa ini, maka kami berniat untuk memperluas beban kewajiban kami. Kami ingin mencari hubungan dengan para pedagang serta para Demang yang jalan-jalan di kademangannya dilalui oleh para pedagang. Kami ingin membuka kembali pasar untuk menjual barang-barang kerajinan yang kami hasilkan di padepokan ini."
-ooo0dw0ooo- Jilid 362 GLAGAH PUTIH dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab Ki Umbul Telu itupun berkata pula, "Kami masih ingin juga mendapat petunjuk angger berdua."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Bagaimana mungkin kami memberrikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti."
"Gagasan-gagasan itulah yang sebenarnya ingin kami dengar. Kami akan mempertimbangkan pelaksanaannya."
"Ki Umbul Telu. Bukan maksud kami menolak keinginan Ki Umbul Telu agar kami untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini. Tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan kami. Meskipun demikian, kami akan mengusahakan waktu barang dua tiga hari untuk tetap tinggal disini."
"Tidak hanya dua tiga hari," sahut Ki Kumuda, "tetapi dua tiga bulan."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih menyahut, "Terima kasih, Ki Kumuda. Tetapi kami tidak dapat, tinggal di satu tempat untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ki Kumuda."
Ki Kumudapun tertawa pula.
Dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat segera meninggalkan padepokan di gumuk kecil itu. Mereka tidak sampai hati untuk menolak permintaan para pemimpin di padepokan itu. Ki Umbul Telu memang sedang merencanakan untuk membuka kembali jalur perdagangan dengan para pedagang yang lewat di jalan-jalan yang dianggapnya berbahaya, sehingga mereka memerlukan membentuk kelompok-kelompok agar mereka dapat mengatasi para penyamun di perjalanan. Jika mereka dapat membantu menjamin keamanan di sepanjang jalan itu, maka perdaganganpun akan terbuka kembali. Yang akan lewat tidak hanya orang-orang berkuda yang melarikan kuda mereka seperti di kejar hantu. Tetapi juga para pedagang yang membawa pedati yang dapat memuat berbagai macam barang dagangan yang terhitung agak besar dan berat.
Namun dalam dua tiga hari, para penghuni padepokan itu masih disibukkan kecuali mengubur mereka yang terbunuh juga merawat mereka yang terluka.
Bagaimanapun juga padepokan itupun masih juga dibayangi oleh wajah-wajah duka karena ada diantara mereka yang telah gugur di perjuangan mereka mempertahankan perguruan mereka.
Karena itu, maka dalam tiga hari pertama setelah pertempuran dibukit kecil itu, Ki Umbul Telu masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk mulai dengan rencananya.
Baru kemudian, setelah tiga hari berlalu, Ki Umbul Telu mulai berbicara dengan para pengikut Dandang Ireng yang menyerah dan ditahan di perguruan Awang-awang.
"Kami tidak dapat menahan kalian untuk seterusnya disini. Kamipun tidak berhak untuk membuat penyelesaian yang termudah dengan membunuh kalian semuanya," berkata Ki Umbul Telu.
Para tawanan itu menundukkan kepala mereka. Mereka menjadi berdebar-debar, keputusan apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu. Orang yang dituakan di padepokan itu.
Seandainya para penghuni padepokan itu mengambil keputusan untuk membunuh mereka semuanya, maka mereka dapat saja melakukannya, tanpa diketahui oleh siapapun juga. Apalagi oleh tangan-tangan kekuasaan Mataram.
Tetapi ternyata Ki Umbul Telu tidak akan melakukannya.
"Kami, para penghuni padepokan ini," berkata Ki Umbul Telu selanjutnya, "telah sepakat untuk membuat perjanjian dengan kalian. Kami tahu, bahwa perjanjian ini tidak mempunyai ikatan apa-apa. Maksudku, masing-masing akan dapat melanggarnya. Tetapi kitapun harus menyadari, bahwa pelanggaran atas perjanjian itu akan dapat berakibat buruk bagi hari-hari kita di masa mendatang. Kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Khususnya kami, penghuni padepokan ini."
Para tawanan itu masih tetap menundukkan kepala.
"Dengarlah keputusan yang telah kami ambil. Para penghuni padepokan ini bukan pembunuh yang dapat membunuh kalian dengan hati yang beku. Tetapi kami menghormati hidup sesama kami, termasuk kalian meskipun kalian adalah perampok dan penyamun. Bahkan kami telah memutuskan untuk melepaskan kalian dari tangan kami. Pergilah, tetapi seperti yang aku katakan, kita akan membuat perjanjian. Kami akan melepaskan kalian. Selanjutnya kalian tidak akan melakukan lagi perampokan di sepanjang bulak-bulak panjang atau di tebing-tebing sungai atau dimanapun. Kami akan bekerja sama dengan para pedagang dan para Demang untuk mengamankan lingkungan ini, karena kami sangat berkepentingan. Jika pada suatu ketika kami menjumpai kalian diantara para perampok dan penyamun, maka kami akan terpaksa menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Karena itu, maka sebelum kalian pergi, kami akan memberikan pertanda pada tubuh kalian, dipergelangan tangan kalian, akan kami buat lukisan kecil. Dengan duri dan kemudian diusap dengan reramuan, maka lukisan kecil itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, dimanapun kita bertemu, kami akan segera dapat mengenali kalian. Bahkan kami akan memberi tahukan kepada para para pedagang, para Demang dan bahkan para petugas dari Mataram yang sempat datang ke lingkungan ini. Mereka yang menjumpai kalian dengan pertanda di tangan kalian, maka mereka akan menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Bahkan kalian akan dapat dihukum mati, karena kalian sudah melanggar janji kalian sendiri."
Tidak seorangpun diantara para tawanan itu yang menyahut. Mereka masih saja menundukkan kepala mereka dengan jantung yang berdebaran. Pertanda di pergelangan mereka itu tentu akan mereka bawa sampai akhir hidup mereka.
Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kemauan Ki Umbul Telu itu. Jika ada diantara mereka yang menolak, Ki Umbul Telu akan dapat mengambil tindakan yang lebih keras terhadap mereka.
Sebenarnyalah mulai hari itu, setiap orang yang tertawan itu telah ditandai di pergelangan tangan mereka. Seorang demi seorang bergantian. Ada tiga orang penghuni padepokan itu yang mampu membuat lukisan di tubuh seseorang dengan duri yang kemudian diolesi reramuan yang tidak akan dapat dihapus lagi.
Para tawanan itu baru akan dilepaskan jika luka-luka dipergelangan tangan mereka itu sudah mengering.
Sementara itu, Ki Umbul Telu akan segera mulai menghubungi beberapa orang Demang yang daerahnya, dilalui oleh para pedagang dalam perjalanan mereka.
Dalam pada itu, pada hari-hari yang luang itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menjelajahi bukit kecil itu. Di dalam dan diluar dinding padepokan. Mereka melihat-lihat air yang mengalir dari celah-celah batu-batu padas ke lekuk-lekuk yang lebih rendah. Kemudian terjadilah parit-parit kecil yang jadi aliran yang lebih besar yang dapat mengaliri sawah di kaki bukit itu. Sawah yang dikerjakan oleh para penghuni bukit itu serta para cantrik.
Selain untuk mengaliri sawah, para cantrik juga membuat belumbang untuk memelihara berbagai jenis ikan.
Sekali-sekali Glagah Putih dan Rara Wulan ditemani oleh orang-orang tertua di padepokan itu. Namun pada kesempatan yang lain, mereka hanya berdua saja berjalan-jalan di sekeliling bukit kecil itu.
Ketika kepada Ki Kumuda Glagah Putih bertanya tentang beberapa batang pohon raksasa yang dipagari dan dianggap keramat, Ki Kumuda-pun menjawab, "Kita hormati pepohonan raksasa itu, ngger. Di sela-sela akar-akarnya yang menebar dibawah bumi, tersimpan air. Pepohonan itu sudah memberikan percikan kehidupan kepada lingkungan ini."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
Ternyata para pemimpin di padepokan itu cukup bijaksana. Dengan caranya mereka mencegah para penghuni bukit itu menebang pepohonan raksasa yang membuat bukit itu tetap basah. Tiga buah umbul yang besar, beberapa senndang kecil yang bertebaran di lereng bukit, menyatu dengan parit-parit yang menampung air yang merembes dari sela-sela batu padas itu membuat tanah di sekitar bukit itu daerah persawahan yang subur.
Namun sambil melihat-lihat lingkungan di sekeliling bukit kecil itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat juga melihat kemungkinan, bahwa ada satu tempat yang dapat mereka pakai untuk menyembunyikan peti kecilnya. Hanya petinya. Tanpa isinya yang sudah dilekatkan dengan tubuh Glagah Putih.
Tetapi di luar sadar mereka ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan dengan Ki Kumuda di sisi yang agak curam dari tebing bukit kecil itu, dua pasang mata selalu mengawasi mereka.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri di balik gerumbul perdu di tebing bukit itu memandang ketiga orang yang berjalan dijalan setapak di bawah tebing yang agak curam itu dengan seksama.
"Tentu dua orang yang masih terhitung muda itulah yang dikatakan sepasang suami isteri yang berilmu sangat tinggi," berkata laki-laki yang bertubuh kekar, berdada bidang. Wajah yang nampak keras dengan mata yang cekung itu merupakan ungkapan dari kekerasan hatinya serta kecerdikannya.
"Ya," sahut seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Seorang perempuan yang termasuk tinggi dibanding dengan perempuan kebanyakan. Tubuhnya yang ramping itu nampak seakan-akan tidak berbobot.
"Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini. Merekalah sebenarnya yang telah memporak-porandakan rencana kita setelah kita herhasil memperalat Dandang Ireng, sehingga Dandang Ireng tidak berhasil merebut kekuasaan di bukit kecil itu."
"Apa yang sebaiknya kita lakukan, kakang?"
"Keduanya harus kita singkirkan dari bukit ini. Baru kemudian kita mencari kesempatan untuk menguasai bukit kecil itu sebagaimana yang sudah kita rencanakan dengan mempergunakan Dandang Ireng sebagai alatnya. Kita akan dapat mendirikan sebuah perguruan dengan nama sebagaimana nama perguruan yang sudah ada di sana."
"Bukankah dengan demikian kita harus mulai dari permulaan lagi?"
"Ya. Kita tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka kita harus segera mulai. Adalah sangat menguntungkan bahwa sekarang kita menemukan kedua orang suami isteri itu. Kita akan melenyapkan mereka sebagai pernyataan bahwa langkah kita yang baru sudah kita mulai."
"Ya, seorang lagi?" bertanya perempuan itu.
"Bukankah orang itu salah seorang pemimpin dari perguruan ini" Bukankah orang itu yang bernama Kumuda?"
"Ya. Tetapi apa yang harus kita lakukan atas orang itu?"
"Jika kita melenyapkan sepasang suami isteri itu, maka kita juga harus membunuh Kumuda. Tetapi bukankah menyingkirkan Kumuda tidak akan terlalu sulit bagi kita?"
"Jika Kumuda itu bekerja sama dengan sepasang suami isteri itu?"
"Seberapa tinggi ilmu sepasang suami isteri yang nampaknya masih terlalu muda untuk menghadapi kita berdua, maka keduanya tidak akan banyak memeras keringat kita. Bahkan bersama Kumuda sekalipun."
"Kumuda termasuk seorang yang berilmu tinggi. Menurut keterangan mereka yang sempat melarikan diri dan melihat cara sepasang suami isteri itu bertempur, maka keduanya berilmu sangat tinggi."
"Jangan terpengaruh oleh laporan para cucurut itu. Mereka adalah pengecut yang tidak berguna sama sekali. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Pada kesempatan mendatang, mereka akan dapat kita jadikan umpan lagi bersama orang lain, sebagaimana mereka menyertai Dandang Ireng memasuki padepokan yang pernah dihuninya itu."
"Jika itu pertimbangan kakang, baiklah. Jangan biarkan mereka menjadi semakin jauh."
Keduanyapun kemudian bergerak dengan cepat. Bukan hanya perempuan yang bertubuh tinggi dan ramping itu sajalah yang seakan-akan tidak berbobot sehingga mampu bergerak dengan ringan, tetapi laki-laki yang bertubuh kekar itupun mampu pula bergerak dengan cepatnya.
Ketika mereka bergerak disela-sela gerumbul perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba berhenti.
Ki Kumudapun berhenti. Tetapi ia tidak segera mendengar sebagaimana didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun beberapa saat kemudian, maka iapun berdesis, "Ya". Aku mendengarnya."
Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka pun segera melihat dua sosok yang seakan-akan terbang menukik dari belakang gerumbul di atas tebing yang tidak terlalu tinggi itu.
Dua orang laki-laki dan perempuan itupun kemudian dengan lunak menapak di hadapan Glagah Putih, isterinya dan Ki Kumuda.
Ketiga orang itu bergeser surut setapak. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata, "Kalian berdua telah mengejutkan kami."
"Maaf Ki Sanak," sahut laki-laki separo baya yang bermata cekung itu. Kami tidak bermaksud mengejutkan kalian."
"Siapakah kalian berdua dan apakah maksud kalian menghentikan kami bertiga?" bertanya Glagah Putih kemudian.
"Jadi kalian belum mengenal kami?"
"Belum Ki Sanak."
"Baiklah. Jika demikian kami akan memperkenalkan diri kami. Orang menyebutku Gagak Bergundung. Perempuan ini adalah isteriku Nyi Gagak Bergundung."
Ki Kumuda terkejut mendengarkan nama itu. Hampir di luar sadarnya itupun bertanya, "Jadi kalian berdua inikah yang digelari Suami Isteri Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin?"
"Kau sudah mendengar namaku, Kumuda."
"Aku sudah mendengarnya. Tetapi kaupun sudah tahu namaku."
"Aku dapat mengenali hampir setiap penghuni padepokan ini kecuali mereka para pemuka. Aku dapat mengenali Umbul Telu, Lampita, Kumuda dan Ganjur, kemudian masih ada beberapa orang lain pada lapisan atas murid-murid perguruan Awang-awang. Selain mereka, maka para murid perguruan inipun membuat tempat tinggal tersebar diatas bukit ini. Kecuali mereka, masih ada sekelompok anak-anak muda yang tinggal di bangunan utama padepokanmu."
"Dimana kau tahu?"
Orang yang menyebut dirinya Gagak Bergundung itu tertawa. Disela-sela suara tertawanya iapun berkata, "Tetapi ada bedanya Kumuda. Jika aku mengenalmu, bukan karena namamu yang besar dan pantas untuk dikenal. Tetapi aku sengaja berusaha mengenali orang-orang yang berada di atas bukit ini. Berbeda dengan namaku yang banyak dikenal karena kami berdua memang pantas dikenal."
"Untuk apa kau datang kemari, Gagak Bergundung?" bertanya Ki Kumuda.
"Kami hanya ingin sekedar melihat-lihat bukitmu, Kumuda."
"Hanya itu?" "Ya. Tetapi ternyata disini aku melihat dua orang yang telah mengotori bukitmu ini. Kedua suami isteri ini."
"Kenapa kau anggap mereka mengotori bukit ini" Mereka justru telah membantu kami menghadapi saudara-saudara seperguruan kami yang tekah berkhianat."
"Satu ceritera yang menggelikan. Apakah artinya dua orang laki-laki dan perempuan ini bagi perguruanmu yang telah memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi?"
"Lawan kami terlalu banyak. Karena itu kami merasa sangat berhutang budi kepada keduanya yang telah terjun di kancah pertempuran dan ternyata keduanya berilmu sangai tinggi."
"Kau telah dipengaruhi oleh sikap sombong mereka. Aku juga sudah mendengar, seakan-akan keduanya mampu menyapu lereng bukit ini yang dirayapi oleh para pengikut Dandang Ireng."
"Ya." "Dengan demikian, maka kedatangan kami berdua tidaklah sia-sia."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Kumuda.
"Aku, Gagak Bergundung suami istri yang tidak terkalahkan di daerah Selatan ini ingin membuktikan, apakah benar keduanya berilmu tinggi. Jika mereka mengiakan anggapan orang bahwa mereka berilmu tinggi, maka mereka harus dapat setidaknya mengimbangi kemampuan kami. Kami berdua udak mau kehilangan gelar kami, bahwa kami adalah orang-orang yang tidak terkalahkan."
"Gagak Bergundung," bertanya Giugah Putih kemudian, "apakah sebenarnya alasanmu, sehingga kau menantang kami berdua untuk melawanmu. Bukankah kita belum pernah bertemu dan belum pernah saling bersinggungan kepentingan."
"Sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin kehilangan gelarku. Aku tidak mau ada orang lain yang dianggap berilmu sangat tinggi di daerah kuasaku. Karena itu, maka setiap orang yang muncul di dunia olah kanuragan, harus aku pangkas dan bahkan harus aku bongkar sampai keakarnya. Bukan hanya kalian berdua yang akan aku musnahkan, tetapi juga perguruan kalian. Guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian. Aku yakin bahwa kalian bukan lahir dan besar di perguruan awang-awang."
"Apakah alasanmu itu sudah cukup pantas untuk menantang orang lain untuk bertempur."
"Tentu." "Bagaimana pendapatmu jika kami mengakui, bahwa kalian berdua adalah orang yang memiliki ilmu tertinggi di lingkungan ini."
"Mungkin kau akan mengakui kebesaran namaku di hadapanku. Tetapi esok atau lusa jika kau tidak berada dihadapanku, kau akan berkata lain."
"Bukankah kau dapat mencari kami dan membuat perhitungan?"
"Itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Kenapa kau harus menunggu kau ingkari pernyataanmu. Bukankah sekarang kita sudah bertemu" Menurut pendapatku, agar kami tidak membuang-buang waktu kami akan membunuh kalian bertiga. Sesudah itu kami tidak akan terganggu lagi oleh keingkaran kalian terhadap pengakuan kalian dihadadapanku sekarang."
"Gagak Bergundung," berkata Glagak Putih, "alasanmu itu tentu alasan yang sekedar kau buat-buat."
Gagak Bergundung itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun berkata dengan lantang, "Apapun yang kau katakan, aku akan tetap membunuh kalian berdua. Apapun alasannya karena itu bersiaplah untuk mati."
"Jadi inilah kenyataan tentang sepasang suami isteri yang bernama Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin di perbukitan di sebelah Rawa Pening itu?" geram Ki Kumuda, "nama besarmu ternyata muncul dari kuasa kegelapan."
"Jangan sesali nasibmu yang buruk, Kumuda. Karena aku akan membunuhmu kedua orang suami istri yang tidak tahu diri ini, maka kaupun akan mati agar kau kau tidak menjadi saksi kematian kedua orang suami isteri ini."
"Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, Gagak Bergundung. Jika sudah waktunya datang, dimanapun serta dengan sebab apapun, maka mati itu akan menjemputku. Tetapi jika hari ini waktumulah yang akan datang, maka kau berdualah yang akan mati."
"Aku ingin mengoyak mulutmu Kumuda. Atau kaulah yang akan mati lebih dahulu dari kedua orang ini."
"Tidak, Gagak Bergundung," sahut Glagah Putih, "kau berdua atau kami berdua. Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu jika kalian ingin bertempur melawan Ki Kumuda. Kalian berdua memang bukan lawan Ki Kumuda. Sebelum kalian dapat berbuat apa-apa, jantung kalian sudah berhent berdenyut. Tetapi jika kalian lebih dahulu bertempur melawan kami berdua, maka kalian masih akan mempunyai kesempatan untuk menikmati perbandingan ilmu diantara kita."
"Anak iblis kalian semuanya. Baik. Kami berdua akan lebih dahulu membunuh kalian berdua. Tetapi jika Kumuda ingin melibatkan diri, kami sama sekali tidak berkeberatan, karena dengan demikian, maka pekerjaan kami akan lebih cepat selesai."
"Tidak," sahut Glagah Putih, "kami berdua, dan kalianpun berdua. Ki Kumuda akan menjadi saksi, apakah yang akan terjadi diantara kita."
"Persetan anak iblis. Kesombonganmu telah menyentuh langit. Tetapi kau akan segera mati. Isterimu juga akan mati. Demikian pula Kumuda. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi bagi kami, Kumuda tidak lebih dari seekor nyamuk yang akan mati dengan sekali tepuk."
"Beri aku kesempatan ngger," geram Ki Kumuda.
"Biarlah aku menanggapinya paman. Kamilah yang sebenarnya menjadi sasaran mereka apapun alasannya. Karena itu, biarlah kami yang melayaninya, karena persoalannya adalah antara kami berdua dan mereka berdua."
"Bagus," Gagak Bergundung itupun menyahut dengan nada tinggi, "segera bersiaplah untuk mati. Mayat kalian bertiga akan aku lemparkan ke jurang itu hingga saatnya baunya mengganggu anak-anak yang sedang menggembalakan kambingnya."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi iapun berkata kepada Ki Kumuda, "Minggirlah, Ki Kumuda. Biarlah kami berdua melayani kedua iblis dari goa Susuhing Angin ini."
Ki Kumuda tidak menjawab. Ia sadari kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilaporkan para murid perguruan Awang-awang. Karena itu maka iapun bergeser surut.
Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Gagak Bergundung suami isteri.
"Sayang bahwa kecantikanmu akan ikut terlempar ke jurang itu anak manis," desis Nyi Gagak Bergundung yang bertubuh tinggi melampaui kebanyakan perempuan. Karena itu, maka Rara Wulanpun harus mengangkat wajahnya pada saat ini berbicara dengan Nyi Gagak bergundung.
Ada kecantikan terkesan di wajah Nyi Gagak Bergundung. Tetapi ada pula kesan keganasannya. Ketika perempuan itu tertawa, maka suara tertawanya melengking tinggi seperti suara tertawa hantu perempuan yang melihat tanah yang masih merah di pekuburan.
"Nyi," tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, "kalau aku boleh bertanya, berapa umurmu sekarang?"
Nyi Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba iapun tertawa, "Untuk apa kau tanyakan berapa umurku?"
"Wajahmu membingungkan. Kadang-kadang aku melihat kau seolah-olah baru berumur sekitar tiga puluh tahun. Tetapi kemudian wajahmu itu berkerut sehingga rasa-rasanya kau sudah berumur lima puluh tahun lebih."
"Ternyata kau benar-benar anak iblis. Dalam keadaan yang gawat, dan bahkan umurmu akan terputus sampai hari ini, kau masih sempat bergurau."
"Aku tidak bergurau Nyi. Aku benar-benar bingung melihat garis-garis wajahmu. Tetapi yang jelas bahwa kau adalah perempuan yang bengis tanpa kelembutan sama sekali."
"Kau benar,: jawab Nyi Gagak Bergundung, "aku bukan perempuan yang cengeng yang bermanja-manja dan memanjakan orang. Selama ini kami adalah suami isteri yang sangat ditakuti karena kami membunuh orang yang tidak kami kehendaki untuk hidup terus sebagaimana kalian berdua, karena kalian berdua akan dapat mengganggu pekerjaan-pekerjaan kami di kemudian hari."
"Apakah pekerjaanmu?"
Nyi Gagak Bergundung terdiam sesaat. Namun sambil menggeram iapun menjawab, "Pekerjaanku adalah membunuh. Karena itu bersiaplah. Sebentar lagi aku akan membunuhmu."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu ia melihat Glagah Putih sudah bergeser menjauh dan mulai bertempur melawan Ki Gagak Bergundung.
"Nampaknya perempuan ini bersungguh-sungguh," berkata Rara Wulan didalam hatinya, "agaknya suami isteri ini benar-benar pembunuh yang tidak berjantung. Mereka dapat membasahi tangan mereka dengan darah orang-orang yang tidak bersalah sekalipun dengan tanpa debar di dada mereka."
Karena itu, maka Rara Wulanpun harus mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia belum tahu tataran ilmu perempuan itu yang sesungguhnya, sedangkan niat perempuan itu untuk membunuhnya bukan sekedar untuk mengancamnya saja.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bayangan kematianmu sudah nampak di wajahmu, perempuan cantik," desis Nyi Gagak Bergundung sambil tersenyum. Senyumnya telah menggetarkan jantung Rara Wulan.
Tetapi Rara Wulan menjawab, "Kau keliru Nyi. Yang kau lihat di sorot mataku bukan bayangan kematianku. Tetapi isyarat akan kematian lawanku. Agaknya isyarat itu sudah kau lihat sendiri."
"Persetan kau," perempuan yang bertubuh tinggi itu tidak berbicara lagi. Iapun segera meloncat menyerang Rara Wulan.
Tetapi Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Iapun segera bergeser menghindari serangan itu dan bahkan iapun segera membalas menyerang.
Serangan Rara Wulan ternyata mengejutkan lawannya. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak setangkas itu. Sehingga dengan demikian, maka perempuan itu seolah-olah telah diperingatkan untuk berhati-hati menghadapi perempuan yang masih terhitung muda itu.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan saling menghindar. Keduanya berloncatan dengan cepatnya.
Ki Kumuda yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Dilihatnya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan garangnya, sementara dua orang perempuan bertempur dengan gerak yang cepat, tangkas dan cekatan.
"Mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi," desis Ki Kumuda.
Namun ketika mereka sudah bertempur beberapa lama, maka Ki Gagak Bergundung dan Nyi Gagak Bergundung mulai menyadari, bahwa lawan mereka adalah benar-benar orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi ilmu mereka. Karena itu, maka merekapun telah meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa kedua orang suami isteri yang bernama Gagak Bergundung itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Semakin lama pertempuranpun menjadi semakin sengit. Nyi Gagak Bergundung yang mendapat perlawanan yang mampu menahan serangan-serangannya menjadi semakin marah. Ia tidak mengira bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya, bahkan setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
"Dimana anak ini menimba ilmu," desis Nyi Gagak Bergundung. Bahkan ia melihat unsur-unsur gerak yang mulai membingungkannya.
Sebenarnyalah ketika pertempuran menjadi semakin sengit, serta Nyi Gagak Bergundung meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Rara Wulanpun mulai menapak ke dalam tataan gerak ilmu yang semakin rumit. Meskipun ia masih berpijak kepada unsur-unsur gerak dari ilmu perguruan yang diturunkan lewat Ki Sumangkar dibawah bimbingan Sekar Mirah. Serta ilmu yang disadapnya dari perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing lewat suaminya dan Agung Sedayu, namun segala sesuatunya telah menjadi semakin matang. Arti dari setiap gerakan, arah serta sasarannya menjadi semakin tajam.
Namun dengan demikian, Nyi Gagak Bergundung yang mempunyai pengalaman yang luas itu, menjadi agak sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak itu. Ia menjadi bingung untuk menyebut, perempuan yang tidak terhitung muda itu dilahirkan dari alur perguruan yang mana.
Nyi Gagak Bergundung itupun kemudian semakin meningkatkan ilmunya untuk memaksa rara Wulan menunjukkan alas yang paling mendasar dari perguruannya. Dalam keadaan yang sulit, maka seseorang akan terpaksa pada ilmu yang paling dikuasainya.
Tetapi debar di jantung Nyi Gagak Bergundung itu menjadi semakin keras. Ketika ia sadari bahwa unsur-unsur gerak lawannya itu masih tetap saja membingungkannya.
Bahkan meskipun Nyi Gagak Bergundung mencoba menekan perempuan yang masih terhitung muda itu sama sekali tidak berhasil. Serangan-serangan Nyi Gagak Bergundung yang datang membadai, masih saja selalu dihindari oleh Rara Wulan.
Tetapi ketika Nyi Gagak Bergundung bergerak semakin cepat, maka Rara Wulan tidak lagi selalu menghindar. Dengan hati-hati ia mulai menjajagi kekuatan dan tenaga Nyi Gagak Bergundung.
Benturan-benturan kecilpun tidak lagi dapat dihindari. Namun benturan-benturan kecil itu sudah cukup mengejutkan Nyi Gagak Bergundung.
"Gila anak ini," berkata Nyi Gagak Bergundung didalam hatinya, "dari mana ia menyadap kekuatan dan tenaga yang demikian kuatnya dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar."
Sebenarnyalah dalam benturan-benturan yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung merasa betapa kuatnya tenaga lawannya itu.
Tetapi Nyi Gagak Bergundung masih merasa bahwa dirinya adalah bagian dari sepasang Gagak yang namanya ditakuti oleh banyak orang. Bahkan gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang garang-pun hatinya akan menjadi kuncup jika mereka mendengar nama Gagak Bergundung.
Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung itu masih tetap yakin, bahwa ia akan dapat menghancurkan perempuan yang sombong itu.
Dalam pada itu, pertempuran antara Gagak Bergundung melawan Glagah Putihpun menjadi semakin sengit. Ki Gagak Bergundung juga menjadi heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi. Dalam gejolak kemarahannya, maka Ki Gagak Bergundungpun telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat kuat.
Tetapi ternyata bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang tenaga dalam lawanya itu sempat mengejutkannya.
Ketika tataran ilmu keduanya menjadi semakin tinggi, maka serangan-serangan merekapun silih berganti mulai menembus pertahanan lawan. Sekali-sekali serangan Gagak Bergundung sempat mendorong Glagah Putih beberapa langkah surut. Namun pada kesempatan lain, Gagak Bergundunglah yang terlempar surut dan bahkan kehilangan keseimbangannya. Namun demikian Gagak Bergundung itu terjatuh, maka iapun segera melenting berdiri.
Namun sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih yang menjadi lebih sering menembus pertahanan Gagak Bergundung. Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Glagah Pulih itupun terasa mulai menyakiti tubuhnya.
"Gila orang ini," geram Gagak Bergundung, "ternyata orang ini memang berilmu tinggi."
Diatas sebuah batu padas yang besar Ki Kumuda berdiri dengan wajah yang tegang. Sekali-sekali ia memperhatikan Glagah Putih yang bertempur melawan Gagak Bergundung. Namun sejenak kemudian, perhatiannya tertuju kepada pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Gagak Bergundung. Bahkan sampai beberapa lama, Ki Kumuda tidak dapat meyakini, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.
Ketika kemudian terjadi benturan-benturan diantara Glagah Putih dan Gagak Bergundung, maka Ki Kumudapun mulai berpengharapan. Ia melihat bahwa kekuatan Glagah Putih yang didukung oleh tenaga dalamnya ternyata lebih besar dari lawannya. Di setiap benturan yang terjadi, maka Gagak Bergundunglah yang selalu bergetar surut. Demikian pula Rara Wulan yang bertempur melawan Nyi Gagak Bergundung. Agaknya Rara Wulan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari lawannya.
Namun Ki Kumudapun menyadari, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi terbiasa menyimpan ilmu pamungkasnya yang hanya akan dipergunakan pada saat-saat yang paling gawat. Ilmu pamungkas itulah yang biasanya akan menentukan, siapakah diantara mereka yang akan mampu mengalahkan lawannya.
Ki Kumuda meyakini bahwa Gagak Bergundung suami isteri yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu mempunyai pegangan yang diandalkannya sebagai ilmu pamungkasnya.
Tetapi agaknya Gagak Bergundung itu masih belum merasa perlu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya. Dalam keadaan yang semakin sulit karena serangan-serangan Glagah Putih yang semakin sering menembus pertahanannya, maka Gagak Bergundung tidak segera sampai pada ilmu puncaknya itu. Tetapi Gagak Bergundung masih akan mencoba kemampuannya mempergunakan senjata.
Ketka Gagak Bergundung tidak lagi dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, ia tidak segera melepaskan ilmu puncaknya. Tetapi ditariknya goloknya yang besar yang berada di sarungnya yang melekat di punggungnya.
"Aku akan membelah kepalamu dan menaburkan otakmu yang penuh dengan kesombongan itu anak iblis," geram Gagak Bergundung.
Glagah Putih meloncat surut. Ia melihat golok yang besar, panjang dan tentu berat. Tetapi di tangan Gagak Bergundung, golok itu berputaran seperti baling-baling belarak.
"Jangan sesali nasibmu yang buruk," berkata Gagak Bergundung lebih lanjut.
"Baiklah," sahut Glagah Putih, "aku tidak ingin kepalaku terbelah. Karena itu, maka akupun akan mempergunakan senjataku."
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Iapun segera mengurai ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalannya.
Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Katanya, "Apa artinya ikat pinggangmu itu" Golokku adalah golok pusaka turun temurun. Golokku dibuat oleh seorang Empu di pertapaannya, di kaki Gunung Kendeng lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Ayahku telah membabat puluhan lawannya dengan golok ini. Kakekkulah yang telah membunuh Ki Jalak Ambal yang diakui dapat menghilang itu dan membelah dadanya. Sedangkan aku telah memenggal kepala lawan-lawanku yang jumlahnya tidak terhitung lagi."
"Ada dua kemungkinan pada ceriteramu itu, yang kedua-duanya tidak berharga bagiku. Pertama, kau membual. Seorang pembual adalah seorang yang licik dan biasanya seorang pengecut. Kedua, jika ceriteramu itu benar, maka kau adalah bayangan kuasa kegelapan yang harus dihancurkan. Hidupmu sama sekali tidak berharga bagi sesamamu. Apalagi bagi Pencipta Jagad Raya ini. Kau adalah kerak kehidupan yang hanya akan mengotori bumi ini."
Wajah Gagak Bergundung menjadi merah. Kemarahannya telah membuat jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang Glagah Pulih dengan garangnya. Goloknya yang besar dan berat itu terayun-ayun bagaikan selembar kelaras kering yang tidak berbobot.
Tetapi Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali. Setelah menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh kitab Ki Namaskara, maka Glagah Putih telah mengalami loncatan yang jauh pada tataran ilmunya.
Karena itu, menghadapi Gagak Bergundung, Glagah Putih mampu menempatkan dirinya pada lapis yang bahkan lebih tinggi dari lawannya.
Meskipun demikian Gagak Bergundung itupun masih saja berteriak, "Apapun yang kau lakukan anak iblis, golok pusakaku yang disebut Kiai Naga Padma ini akan menyelesaikan tugasnya dengan baik."
Glagah Putih tidak menghiraukannya. Tetapi Ki Kumudalah yang menjadi semakin tegang. Nama Gagak Bergundung telah membuatnya berdebar-debar. Apalagi ketika ia mendengar nama golok Kiai Naga Padma. Tetapi bagaimana mungkin golok Kiai Naga Padma berada di tangan seorang yang muncul dari kuasa kegelapan itu. Menurut pendengarannya. Kiai Naga Padma adalah pusaka seorang pertapa yang pada masa sebelumnya banyak berbuat kebajikan dan menolong sesamanya. Seorang pertapa yang hanya diketahuinya dengan sebutan Kiai Pupus Kendali. Namun nama Kiai Pupus Kendali itu sudah lama tidak pernah disebut-sebut lagi.
"Kakang Umbul Telu mungkin mengetahui lebih banyak tentang Kiai Naga Padma," desis Ki Kumuda.
Kisah Si Naga Langit 6 The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh Seruling Sakti 12
^