Api Di Bukit Menoreh 18
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18
Glagah Putih yang kemudian duduk di amben panjang di dalam biliknyapun berkata, "Mudah-mudahan mereka bermalam di penginapan ini."
"Ya. Tetapi mudah-mudahan mereka bukan orang-orang yang pernah mengenal kita berdua."
Glagah Pulih mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Mudah-mudahan."
Dalam pada itu, suara gamelan di pringgitan yang melantunkan lagu-lagu ngelangut membuat Rara Wulan mengantuk. Karena itu, maka bergantian merekapun kemudian pergi ke pakiwan.
Tetapi seperti kebiasaan mereka, maka merekapun tidur bergantian. Apalagi mereka berada di lingkungan yang meskipun terasa aman dan tenang di permukaan, namun mereka mengetahui, bahwa ada gejolak di kedalaman. Gejolak karena adanya arus perdagangan terlarang yang agaknya melewati daerah itu, sementara perguruan Kedung Jatipun lelah mengarahkan pandangan matanya ke Seca.
Malampun kemudian menjadi semakin dalam. Rara Wulanlah yang telah tidur lebih dahulu. Sementara Glagah Putih duduk di amben kayu panjang di dalam biliknya.
Namun malampun berlalu tanpa ada persoalan yang menarik perhatiannya. Sedikit lewat tengah malam, maka suara gamelanpun berhenti. Para pengrawit meninggalkan pringgitan penginapan itu.
Glagah Putih masih mendengar petugas di penginapan itu membenahi beberapa macam perabot serta mangkuk-mangkuk minuman dan makanan yang masih berserakan di antara gamelan. Kemudian petugas itupun menutup pintu pringgitan. Namun seperti biasanya dibiarkannya pintu butulan tetap terbuka.
Menjelang dini hari, tanpa dibangunkan Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya. Digosoknya matanya sambil beringsut turun dari pembaringannya.
"Tidurlah kakang. Aku sudah tidur terlalu lama," berkata Rara Wulan.
"Masih banyak waktu," berkata Glagah Putih.
"Sudah dini hari. Kau dengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya?"
"Belum kedua." "Kau kira aku tidak mendengar ketika kentongan dibunyikan dengan irama dara muluk di tengah malam?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "kalau begitu, kau tentu belum sempat tidur."
"Aku dengar suara kentongan itu dalam mimpiku."
"Nanti aku terlalu banyak tidur. Aku akan menjadi gemuk. Aku tidak mau."
Glagah Putih tertawa. Tetapi iapun kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan tidur. Sebenarnya kita tidak perlu tidur bergantian. Jika pintu itu diselarak dengan baik, kaupun dapat tidur pula meneruskan mimpimu."
Glagah Pulih masih tertawa. Namun iapun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, sementara Rara Wulan duduk di amben kayu sambil membenahi sanggulnya.
Glagah Putih memang sempat tidur, sementara Rara Wulan masih saja duduk di amben kayu. Namun Rara Wulan yang duduk diam itu sama sekali tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan tarikan nafas nyapun terdengar ajeg sebagaimana seorang yang sedang tidur.
Tiba-tiba saja Rara Wulan itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar suara pintu bilik sebelah terbuka.
"Kosong, Ki Sanak." terdengar suara petugas penginapan itu.
"Yang sebelah?"
"Bilik itu dipergunakan oleh sepasang suami isteri."
"Apakah mereka tidak akan segera meninggalkan penginapan ini?"
"Tidak Ki Sanak."
Rara Wulan justru berusaha mendengarkan pembicaraan itu. Rasa-rasanya ia sudah pernah mendengar suara itu.
Baru kemudian, ketika seorang yang lain berbicara, Rara Wulanpun segera teringat dimana ia mendengar suara itu.
"Ki Kebayan," berkata Rara Wulan di dalam hatinya, "yang seorang itu tentu Ki Sela Aji."
"Baiklah," berkata Ki Kebayan, "jika tadi kami masih belum memesannya karena kami masih ingin melihat-lihat beberapa penginapan yang lain, maka sekarang kami pasti akan memesannya."
"Bagaimana dengan banjar padukuhan?" bertanya petugas penginapan itu.
"Banjar padukuhan ternyata tidak akan dapat menampung. Lebih baik kami menyediakan tempat lebih banyak daripada harus mencari kesana-kemari. Bukankah esok lusa hari pasaran" Jika kami tidak memesannya sekarang, mungkin kami akan kesulitan mencari tempat bagi tamu-tamu kami."
"Baik, Ki Kebayan. Tetapi berapa bilik yang Ki Kebayan perlukan?"
"Semuanya." "Tetapi yang satu ini sudah terisi."
"Biar saja. Bukankah mereka orang baik-baik sehingga tidak akan mengganggu tamu-tamu kita itu?"
"Mereka orang baik-baik, Ki Kebayan."
"Nah, jika demikian jangan berikan tempat kepada orang lain."
"Barangkali esok kami sudah tahu, berapa bilik yang kami perlukan. Jika malam ini kami memesannya, karena kami teringat bahwa di hari pasaran, penginapan-penginapan akan kekurangan tempat."
"Baik, Ki Kebayan. Kami tidak akan memberikan tempat kepada orang lain."
"Tetapi jika esok ternyata kami tidak akan mempergunakan seluruhnya, maka yang lain dapat kau berikan kepada orang lain. Tetapi sebelum kami menentukan bilik yang kami butuhkan, jangan berikan lebih dahulu kepada orang lain."
"Baik, Ki Kebayan."
Sejenak kemudian, maka merekapun bergeser untuk melihat bilik yang lain. Nampaknya masih ada juga bilik yang terisi. Tetapi tamu yang menginap di bilik itu esok akan meninggalkan penginapan.
Demikian orang-orang itu pergi, Rara Wulan menarik nafas panjang. Jika Glagah Pulih bangun nanti, ia akan menceriterakan apa yang telah didengarnya.
Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun menggeliat. Iapun membuka matanya dan kemudian bahkan bangkit dan duduk di bibir pembaringan.
"Sudah berapa lama aku tidur" " bertanya Glagah Putih.
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Kau baru saja memejamkan mata."
"Bukankah sebentar lagi fajar akan menyingsing?"
"Baru dini hari."
"Aku sudah mendengar kokok ayam untuk ketiga kalinya malam ini."
"Kalau begitu kau belum tidur."
"Aku mendengar suara ayam jantan berkokok dalam mimpi."
"Ah kau," Rara Wulan bangkit sambil menjulurkan tangannya. Tetapi Glagah Putihpun bangkit pula dan bergeser, "Jangan Rara. Sakit."
"Kau harus berlatih untuk menguasai ilmu kebal. Mungkin Aji Lembu Sekilan, mungkin Aji Tameng Waja."
"Meskipun aku mempunyai ilmu kebal, tetapi Aji Namaskara yang kau kuasai akan mampu menembusnya."
"Aku koyak kulitmu," desis Rara Wulan.
Tetapi Glagah Putihpun bergeser menjauh, "jangan, jangan. Aku menyerah."
"Ssst," desis Rara Wulan, "jangan keras-keras. Nanti kita disangka sedang bertengkar."
"Tetapi jangan ..."
"Tidak. Tidak. Aku akan menaruh tanganku di punggung."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara Rara Wulan berkata, "Semalam ada orang yang melihat-lihat bilik sebelah. Ki kebayan dan yang seorang mungkin sekali Ki Sela Aji."
"Untuk apa?" "Mereka benar-benar akan memakai penginapan ini. Tetapi mereka tidak akan memaksa kita pergi."
"Benar?" "Benar, kakang," Rara Wulan berdesis hampir berbisik, "banjar padukuhan itu jelas tidak akan menampung. Mereka yang datang apakah Ki Saba Lintang sendiri atau bukan, akan membawa beberapa orang pengawal."
"Jadi itu sudah pasti?"
"Ya. Sudah pasti."
"Sokurlah. Beruntunglah bahwa kita mendapat tempat bermalam di penginapan ini. Tetapi kita harus berhemat untuk bertahan agak lama disini. Biasanya kita berkeliaran di hutan sehingga kita tidak perlu mengeluarkan uang sebagaimana kita berada di Seca."
"Jika persoalannya penting untuk dilaporkan setelah orang-orang yang ditugaskan oleh Ki Saba Lintang itu datang kemari, apakah tidak sebaiknya kita memberikan laporan dahulu sebelum kita melanjutkan perjalanan, mumpung belum terlalu jauh dari Mataram."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Kita akan melihat keadaan dahulu Rara. Jika perlu, kita akan kembali ke Mataram. Terlebih-lebih lagi jika kita memerlukan sepasukan prajurit. Meskipun kita mendapat wewenang dengan pertanda kewenangan itu, tetapi kita tidak tahu, apakah prajurit Mataram yang berada di sekitar daerah ini tidak disusupi oleh orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana para petugas di kademangan ini yang nampaknya kokoh. Tetapi ternyata justru para bebahu kademangan inilah yang telah membuat hubungan dengan Ki Saba Lintang."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, "Bahkan jika kita wenang memilih, maka aku akan minta para prajurit dari pasukan khusus di bawah pimpinan kakang Agung Sedayu."
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk, "tentu akan lebih baik. Kita sudah lebih mengenal mereka."
"Nah, kita akan melihat, apa yang akan terjadi dalam dua tiga hari mendatang."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Sementara itu, langitpun mulai menjadi merah. Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergantian pergi ke pakiwan untuk berbenah diri.
Hari itu kerja Glagah Putih dan Rara Wulan adalah menunggu. Rasa-rasanya hari menjadi bertambah panjang. Matahari bergerak dengan malasnya. Sementara itu segala sesuatunya menjadi sangat lamban.
Dalam pada itu, para pedagang yang ada di penginapan dekat pasar sudah meninggalkan penginapannya. Hari itu tentu akan berdatangan para pedagang yang lain. Besok adalah hari pasaran di pasar Seca.
"Bagaimana dengan pedagang yang memasuki perdagangan terlarang itu, kakang. Apakah besok kita akan mencarinya di pasar Seca. Bukankah orang itu mengatakan bahwa di hari han pasaran ia sering berada di Seca.
"Kita melihat suasana! Jika orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar datang, mereka akan lebih menarik untuk diperhatikan daripada mereka yang menelusuri perdagangan gelap, karena hubungannya dengan tugas kita lebih dekat."
"Ya kakang," sahut Rara Wulan.
"Nampaknya sore nanti atau malam nanti, tamu-tamu yang disebut-sebut oleh Ki Kebayan itu akan dalang ke penginapan."
"Kita akan mengawasi mereka. Kita akan berada di sebelah perangkai gamelan itu pada saat mereka datang. Kita akan melihat apakah ada diantara mereka yang dapat kita kenali."
"Ya. Agaknya menjelang sore hari kita tidak boleh meninggalkan penginapan ini."
Betapapun lambannya, namun malam haripun akhirnya turun pula di sisi langit sebelah Barat. Semakin lama semakin rendah. Sementara Glagah Pulih dan Rara Wulan sudah berada di penginapannya kembali, setelah mereka berdua pergi ke pasar.
Tetapi penginapan itu masih juga sepi. Seandainya orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar akan bermalam di penginapan itu, agaknya mereka masih belum datang.
Setelah mencuci, kaki dan tangannya, serta meletakkan makanan yang mereka beli di pasar, maka Glagah Pulih dan Rara Wulanpun duduk di belakang seperangkat gamelan yang ada di pringgitan.
Namun menjelang senja, beberapa orang penabuh gamelan itu telah berdatangan. Mereka memang dipesan untuk datang lebih awal dari biasanya.
Sebelum mereka mulai menabuh gamelan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berbincang dengan mereka. Glagah Pulih dan Rara Wulan sempat bertanya, sejak kapan mereka mulai menabuh gamelan di penginapan itu.
"Sejak penginapan ini membeli gamelan ini, Ki Sanak," jawab seorang penabuh yang rambutnya telah ubanan, "sejak di penginapan ini ada gamelan, kelompok kamilah yang diminta untuk menabuh disetiap malam menjelang dan sesudah pasaran di Seca."
"Jadi sepekan dua kali," desis Rara Wulan.
"Ya, Nyi. Sepekan dua kali."
"Bukankah kalian mendapat imbalan yang cukup?" bertanya Glagah Putih.
Orang yang rambutnya telah ubanan ilu termangu-mangu sejenak. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, iapun menjawab lirih, "Ya, cukuplah buat membeli oleh-oleh. Tetapi sebenarnya pemilik penginapan ini dapat memberi kami lebih banyak lagi. Bunyi gamelan ini dapat memberikan daya tarik yang besar bagi para tamu. Ketika di penginapan lain belum ada gamelan, maka setiap orang yang bermalam di Seca akan memilih penginapan ini. Baru kemudian, satu dua penginapan meniru membeli seperangkat gamelan pula untuk menjadi salah satu daya tariknya."
"Kenapa kalian tidak mengusulkan kepada pemilik penginapan ini, agar imbalan bagi kalian ditambah?"
"Ada beberapa pertimbangan, Ki Sanak. Di daerah ini terdapat banyak sekali penabuh gamelan yang cakap. Jika kami terlalu banyak tuntutan, maka kami tidak akan dipakai lagi disini. Pemilik penginapan ini akan dapat memanggil orang lain yang bahkan bersedia menerima imbalan lebih kecil."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Namun mereka tidak dapat berbincang lebih panjang. Para penabuh gamelan itupun kemudian mulai bergeser ke tempat mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, maka telah mulai terdengar suara gamelan yang ngerangin.
Dengan demikian, Glagah Pulih dan Rara Wulan merasa telah mendapat tempat yang baik. Ia berada di belakang seperangkat gamelan sehingga menjadi sedikit tersamar oleh para penabuh yang duduk di belakang jenis gamelan yang ditabuhnya.
Dalam pada itu, maka senjapun menjadi semakin gelap. Lampu-lampu minyak telah menyala di mana-mana.
"Apakah mereka benar-benar akan datang ?" desis Glagah Putih.
"Menurut pendengaranku, mereka benar-benar akan datang," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dari tempat duduk mereka, keduanya melihat, ada beberapa orang tamu yang akan menginap terpaksa dipersilahkan untuk mencari penginapan yang lain. Petugas di penginapan itu, dengan ramah dan hati-hati, menolak beberapa orang yang datang untuk menginap.
"Lihat," desis Rara Wulan, "ada beberapa orang yang harus mencari tempat lain meskipun agaknya mereka telah terbiasa datang dan menginap di penginapan ini."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, menjelang wayah sepi bocah, maka telah datang beberapa orang bersama-sama. Tetapi tidak sebanyak yang diperkirakan oleh Glagah Pulih dan Rara Wulan. Orang-orang itu tentu tidak akan memenuhi semua bilik di penginapan itu.
"Berapa orang kakang?" desis Rara Wulan.
Glagah Putih tidak segera menjawab, ia baru menghitung orang-orang yang datang diantar oleh Ki Kebayan itu.
"Hanya dua belas orang," desis Glagah Putih.
"Cukup banyak. Tetapi aku kira mereka akan datang berduyun-duyun serta memenuhi periginganap ini."
"Yang lain akan menginap di banjar. Agaknya mereka justru orang-orang terpenting dari para pengikut Ki Saba Lintang."
"Atau Ki Saba Lintang sendiri."
"Mungkin saja."
Keduanyapun terdiam. Para petugas di penginapan itupun menjadi sibuk mengatur beberapa bilik yang akan dipergunakan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Mereka tentu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pengaruh di perguruan yang sedang dipersiapkan untuk tampil kembali itu.
Dari tempatnya, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat melihat dengan jelas, beberapa orang yang naik ke pendapa. Sebelum para petugas selesai mengatur tempatnya, beberapa orang diantara mereka masih saja berdiri dan berbincang di pendapa.
Dalam pada itu, orang yang disebut bernama Sela Aji, yang telah datang mendahului kawan-kawannya, agaknya telah memilih tempat bagi dirinya sendiri.
"Biarlah aku berada di bilik di dekat perempuan cantik itu," katanya kepada petugas yang menyertainya melihat-lihat bilik yang sedang dipersiapkan itu.
"Perempuan itu menginap bersama suaminya," jawab petugas itu.
"Apa salahnya," jawab Sela Aji, "bukankah aku tidak akan mencari perkara."
"Lalu untuk apa Ki Sela Aji memilih tempat itu?"
Sela Aji tertawa. Katanya, "Aku adalah seorang petugas yang harus mengawasi orang-orang kami yang berada di Seca. Aku justru ingin mengamankan tempat itu. Jika yang ada di bilik dekat perempuan cantik itu orang-orang yang brangasan, maka akan dapat timbul masalah. Justru karena itu, maka akulah yang akan berada di bilik itu, agar tidak timbul masalah. Kami dalang kemari untuk mengemban tugas tertentu. Jika tugas itu dinodai, maka persoalannya akan menjadi rumit."
Ki Kebayan dan petugas di penginapan itu mengangguk angguk. Dengan nada rendah petugas di penginapan itu berkata, "Jika itu pertimbangan Ki Sela Aji, kami persilahkan."
Di pringgilan, Glagah Putih mencoba untuk mengenali orang-orang yang masih berdiri sambil berbincang-bincang. Ada yang berkesan pendiam dan bersikap tenang, tetapi ada yang tidak menghiraukan keadaan disekelihngnya. Ia tertawa kapan saja ia ingin tertawa. Keras-keras dan berkepanjangan. Bahkan ia berbicara dengan suara yang keras meskipun lawan bicara hanya selangkah didepannya. Bahkan ada diantara mereka yang nampak kasar dan ganas.
Petugas yang kemudian mempersilahkan mereka setelah bilik-biliknya selesai ditata, mengangguk-angguk selelah ia memperhatikan tamu-tamunya.
"Ki Sela Aji benar," berkata orang itu didalam hatinya, "jika yang ditempatkan di dekat bilik suami isteri itu orang-orang yang kasar dan ganas, serta tanpa mempedulikan orang lain. maka akan dapal timbul persoalan. Meskipun mereka ditempatkan di bilik yang lebih jauh akan dapat timbul persoalan pula, karena mau tidak mau, kadang-kadang mereka akan berpapasan juga dengan perempuan yang menginap bersama suaminya itu. Tetapi kemungkinannya menjadi lebih kecil, sementara Ki Seja Aji sendiri akan sempat mengamatinya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang berdiri di pendapa ilupun segera memasuki ruang dalam penginapan. Para petugas di penginapan ilu segera menunjukkan bilik masing-masing, sesuai dengan penempatan bagi mereka yang diatur oleh Ki Sela Aji dan Ki Kebayan.
Mereka menempati brlik bilik yang diperuntukkan bagi tiga atau empat orang , kecuali Ki Sela Aji berada di bilik yang diperuntukkan bagi dua orang disebelah bilik Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sebenarnyalah, orang-orang yang mendapat lugas untuk dalang ke Scca dari perguruan Kedung Jali itu, agak sulit dikendalikan. Mereka berbicara, tertawa dan bersikap sebagaimana mereka berada di tempat tinggal mereka sendiri.
"Sikap mereka agak berbeda dengan Sikap Ki Sela Aji," desis Glagah Putih.
"Ya," Rara Wulan mengangguk, "ada dua atau tiga orang yang bersikap baik. Tetapi yang lain nampaknya orang-orang yang sulit dikendalikan."
"Kita harus berhati-hati, Rara. Selain kedua belas orang itu. tentu masih ada yang lain yang bermalam di banjar. Justru para pemimpin mereka."
"Sayang, kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah tidak ada disini."
"Sayang sekali. Tetapi kita tidak sempat memberitahukan kepada mereka."
"Jika saja kita mendapat dua ekor kuda."
"Kita hanya akan kehilangan waktu. Kita tidak tahu, sampai kapan mereka akan berada disini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "jika saja kita tahu, berapa hari mereka akan berada disini. Sementara itu jika kita mendapatkan dua ekor kuda, maka dari Seca sampai ke Tanah Perdikan Menoreh kita akan dapat menempuh pulang balik dalam waktu satu hari satu malam."
"Lebih dari itu Rara Wulan. Mungkin jalan yang akan kita lalui bukan jalan yang datar dan rata."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk saja di belakang gamelan itu sampai larut malam. Mereka masih melihat beberapa orang yang justru keluar dari ruang dalam, melintasi pendapa dan turun ke halaman. Merekapun kemudian pergi keluar regol halaman penginapan itu.
Beberapa saat kemudian, Ki Sela Aji dan seorang yang sudah lebih dari separo baya keluar pula ke pendapa. Terdengar orang yang sudah lebih dari separo baya itu mengeluh, "Mereka sulit diatur."
"Asal mereka tidak membuat keributan saja paman. Kita datang kemari bukannya tanpa tujuan. Jika mereka membuat keributan, akan dapat menimbulkan persoalan baru."
Orang yang sudah lebih dari separo baya itu mengangguk. Sejenak keduanya terdiam. Namun kemudian Sela Ajipun berkata, "Paman Demung Pungut. Apakah bukan sebaiknya kita keluar dan melihat-lihat keadaan. Mungkin saja satu dua orang diantara mereka yang keluar dari penginapan ini mendapat masalah dengan tingkah laku mereka. Besok adalah hari pasaran. Mungkin sekali Seca malam ini sudah banyak didatangi orang. Mungkin para pedagang yang akan menggelar dagangannya di Seca esok. Mungkin juga para pedagang yang akan membeli barang dagangan di Seca untuk dibawa ke tempat lain. Dalam kesibukan seperti ini, anak-anak bengal itu akan dapat berbenturan kepentingan dengan mereka."
"Aku sudah pesan mewanti-wanti kepada mereka."
"Tetapi marilah, sebaiknya kita keluar pula, paman."
"Sebenarnya aku lebih senang duduk disini mendengarkan suara gamelan itu. Tetapi baiklah. Kita keluar barang sebentar."
Keduanyapun kemudian turun ke halaman dan keluar lewat pintu regol meninggalkan halaman penginapan.
"Tidak ada yang kita kenali, Rara. Mudah-mudahan merekapun tidak mengenali kita."
"Tentu tidak," jawab Rara Wulan, "nah, kita sekarang mau apa. Malam sudah menjadi semakin malam."
"Tetapi masih banyak orang yang berkeliaran di luar. Nah, lihat, masih ada juga orang yang datang untuk mencari penginapan disini."
"Jika mereka datang dari arah lain, akan berbeda Rara. Tidak semua jalan yang menuju Seca dibayangi oleh para perampok."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Namun ternyata bahwa petugas penginapan itu dapat menerima beberapa orang lagi menginap di penginapan itu, karena para pengikut Saba Lintang tidak mempergunakan seluruh bilik dan ruang yang ada di penginapan itu.
"Baiklah, kakang. Mari kita melihat-lihat keadaan, tetapi aku tidak akan mengenakan pakaian seperti ini. Aku akan menjadi seorang laki-laki. Aku akan mengenakan kain panjang sebagaimana seorang laki-laki. Aku akan memakai ikat kepala dan mengenakan baju khususku. Baju hitam itu tentu tidak akan menarik perhatian orang."
Glagah Putihpun tersenyum. Katanya, "Kau tidak mau diganggu lagi?"
"Tentu. Jika saja aku tidak dapat mengendalikan diri, akan dapat terjadi benturan kekerasan."
Glagah Putih tertawa. Namun Rara Wulan itupun berdesis, "kau mentertawakan aku?"
"Tidak. Tidak Rara."
Keduanyapun kemudian masuk ke dalam bilik mereka. Setelah Rara Wulan membenahi pakaiannya, maka merekapun meninggalkan penginapan itu.
Meskipun malam sudah menjadi semakin larut, namun menjelang hari pasaran, Seca masih tetap belum tertidur. Masih ada beberapa orang yang berjalan-jalan. Masih juga ada kedai yang pintunya terbuka. Apalagi disekitar pasar. Bahkan beberapa pedati masih juga berderet di depan pasar.
Ternyata para petugas di pasar itu memberikan kesempatan kepada para pedagang yang akan mengatur dagangan mereka di malam hari menjelang hari pasaran. Terutama para pedagang yang datang dari luar kademangan Seca. Namun bagi para petugas pasar yang terpaksa menunggui kerja mereka di malam hari, para pedagang itu juga memberikan imbalan sepantasnya.
Dalam kegelapan, Rara Wulan dengan cara berpakaian, memang tidak menarik perhatian. Ujudnya memang menyerupai seorang laki-laki.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di sekitar pasar. Mereka berdua justru telah pergi ke banjar untuk jika mungkin melihat siapa saja yang bermalam di banjar itu.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan banjar, maka mereka melihat di regol banjar itu telah dipasang oncor yang terang, sehingga di banjar itu seakan-akan sedang diselenggarakan satu Upacara.
"Hati-hati Rara," desis Glagah Putih, "kita akan mencoba mendekat."
Keduanyapun kemudian justru telah memasuki halaman rumah disamping banjar itu. Dengan hati-hati pula mereka menyusup ke sebelah gandok mendekati dinding halaman yang memisahkan halaman rumah itu dengan halaman banjar.
"Apakah kita meloncat?" desis Rara Wulan perlahan.
"Tunggu," bisik Glagah Putih, "kita belum tahu, apa yang berada di belakang dinding itu."
Rara Wulan mengangguk. Dinding halaman disekeliling banjar itu memang agak tinggi. Lebih tinggi dari dinding halaman rumah pada umumnya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis, "Aku akan memanjat pohon nangka yang melekat dinding halaman banjar itu."
"Aku ikut kakang," sahut Rara Wulan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulanpun berkata selanjutnya, "Bukankah aku juga pandai memanjat" Ingat kakang, aku pernah menjalani Tapa Ngalong dan bergayut pada kedua kakiku di sebuah dahan pohon yang besar."
Glagah Putih tersenyum. Katanya perlahan, "Ya. Aku hampir melupakannya."
Demikianlah keduanyapun kemudian memanjat sebatang pohon nangka di halaman rumah sebelah banjar. Pohon nangka yang hampir melekat dinding halaman banjar.
Dari sebatang dahan yang menjulur keatas halaman samping banjar padukuhan.
Ternyata tidak ada seorangpun di halaman samping. Agaknya para petugas kademangan dan padukuhan itu menganggap bahwa keadaan di Seca aman, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengadakan pengawasan dan penjagaan khusus di banjar dan sekitarnya. Meskipun mereka baru saja disibukkan dengan peristiwa yang terjadi di tepian sungai di ujung hutan.
Tetapi agaknya peristiwa itu mereka anggap sebagai permusuhan antara dua gerombolan yang saling mendendam serta berebut lahan. Sehingga persoalannya akan terbatas pada permusuhan serta saling mendendam di antara mereka.
Meskipun demikian, namun penjagaan di depan banjar itu nampaknya lebih ketat daripada hari-hari biasa, meskipun hari pasaran sekalipun.
"Kita masuk ke halaman samping Rara," desis Glagah Putih.
Namun mereka justru bergeser surut serta berlindung di balik rimbunnya daun nangka. Mereka melihat dua orang petugas kademangan yang bersenjata tombak berjalan di halaman samping itu. Mereka muncul dari sudut belakang banjar.
Demikian mereka lewat, Glagah Putih berdesis, "Hampir saja."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Demikian, maka sejenak kemudian, keduanyapun segera meloncat ke halaman samping banjar padukuhan. Merekapun segera menyelinap di balik gerumbulan perdu yang terdapat di halaman samping banjar padukuhan itu.
Dengan sangat hati-hati, keduanyapun bergeser dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain, sehingga mereka berada di belakang gerumbul perdu yang agak menjorok ke depan. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat beberapa orang yang berada di pendapa.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera dapat mengenali bebahu kademangan dan padukuhan itu, yang pernah mereka lihat di tepian sungai di ujung hutan setelah dua kekuatan di bawah permukaan berbenturan memperebutkan jalur perdagangan gelap.
Yang lain, yang justru mendapat kehormatan yang tinggi dari Ki Demang dan Ki Bekel serta para bebahu adalah orang-orang yang belum pernah dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Ki Saba Lintang sendiri tidak ada diantara mereka," bisik Rara Wulan.
"Ya. Sedangkan yang lain, bukan orang-orang yang pemah kita temui dalam benturan-benturan kekerasan yang terjadi dengan orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati itu."
Keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Mereka mengikuti saja apa yang terjadi di pendapa banjar itu dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian, mereka melihat kelompok orang berdatangan di banjar. Agaknya mereka adalah bagian dari para pengikut Ki Saba Lintang yang bermalam di penginapan yang sama dengan penginapan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sejenak kemudian, pendapa banjar itu menjadi semakin ramai.
Namun agaknya mereka belum melakukan perundingan apa-apa. Mereka masih saja duduk-duduk berbincang tentang apa saja. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa.
Glagah Putihpun kemudian menggamit Rara Wulan sambil berdesis, "Nampaknya belum ada yang penting untuk diikuti, Rara."
"Mungkin nanti. Lihat, beberapa orang sedang menghidangkan makan dan minum. Agaknya orang-orang yang berada di penginapan akan datang semuanya kemari untuk makan malam."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang yang bermalam di penginapan itu seluruhnya telah berada di banjar. Yang datang terakhir adalah Sela Aji bersama DemungPugut menggiring dua orang yang agaknya sedang mabuk tuak.
Demikian mereka mendekati tangga pendapa. Sela Aji telah mendorong keduanya sehingga hampir saja keduanya jatuh terjerembab.
"Ada apa"," bertanya seorang yang masih terhitung muda sedikit lebih tua dari Glagah Putih, yang duduk di pendapa banjar.
"Mereka mabuk, Ki Marbuka."
"O. Bawa mereka kemari."
"Kalian harus menghadap Ki Marbuka. Cepat," bentak Sela Aji.
Keduanyapun segera merangkak di pendapa menghadap orang yang disebutnya Ki Marbuka.
"Ampun. Aku tidak mabuk. Aku tidak mabuk sama sekali."
Yang lainpun berkata pula, "Aku juga tidak mabuk. Ki Sela Aji telah memfitnah jika ia mengatakan aku mabuk. Aku memang agak pusing. Tetapi sejak di perjalanan menuju Seca aku sudah pusing," orang itu tertawa. Namun suara tertawanyapun bagaikan tertelan kembali ketika tiba-tiba saja tangan orang yang disebut Ki Marbuka itu menampar wajahnya.
Demikian kerasnya, sehingga orang yang sedang mabuk itu terpelanting jatuh.
"O," orang itu mencoba untuk segera bangkit. Setengah sadar ia mengusap mulutnya yang berdarah.
"Ampun Ki Murdaka. Aku minta ampun. Kau jangan menyakiti aku seperti itu."
"Jika kau tidak mau diam aku bunuh kau," bentak Ki Murdaka.
"Ya, ya. Aku akan diam," sahut orang yang sedang mabuk itu, "aku tidak akan berbicara apa-apa tentang tuak yang manis itu. Akupun tidak akan mengatakan dimana aku dapat membeli tuak itu dengan harga murah. Aku tidak mau orang lain tahu, siapa yang telah menjual tuak itu kepadaku. Seorang perempuan yang cantik, ramah dan banyak senyum," orang itu tertawa lagi. Katanya, "Tetapi ki Murdaka jangan pergi ke sana. Jangan paksa perempuan itu memilih aku atau ki Murdaka. Orang itu tentu akan memilih melayani ki Murdaka jika Ki Murdaka membeli tuak ke kedai itu. Perempuan itu tentu tidak akan menghiraukan aku lagi."
Namun sekali lagi tangan Ki Murdaka menampar wajah orang itu. Lebih keras, sehingga orang itu terguling beberapa kali sambil mengerang kesakitan.
Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Murdaka adalah seorang yang keras. Ia telah menampar seorang yang menyertainya ke Seca itu di hadapan banyak orang tanpa ragu-ragu.
"Ampun Ki Murdaka, ampun."
"Bawa orang itu ke biliknya," suara Ki Murdaka lantang.
"Biliknya tidak di banjar ini, Ki Murdaka. Ia bermalam dipenginapan bersama aku dan paman Demung Pugut serta beberapa orang yang lain."
"Urus orang itu nanti. Sekarang, seret saja ke belakang."
"Baik, Ki Murdaka."
"Ia telah mengotori pertemuan ini."
Ki Sela Ajipun kemudian mendekati orang itu. Ketika Sela Aji akan menyeretnya, orang yang mabuk itupun berkata, "Aku akan diajak kemana" nanti sajalah. Biar aku mandi dahulu."
Ki Sela Aji tidak menghiraukannya. Iapun segera menyeret orang itu ke belakang. Sementara kawannya yang juga mabuk, namun kesadarannya masih lebih tinggi dari kawannya itu, sehingga ia tidak menjadi terlalu banyak berbicara, duduk di antara kawan-kawannya yang lain.
"Ingat," berkata Ki Murdaka, "aku tidak senang, bahwa seseorang yang bersamaku menjadi mabuk atau melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Aku tidak mau. Kita semuanya harus berusaha menempatkan diri kita. Sebagai seorang murid dari sebuah perguruan yang besar, maka kita harus selalu menjaga serta menempatkan diri kita sebaik-baiknya."
Orang-orang yang berada di pendapa itu terdiam. Para bebahu kademangan dan padukuhan itupun ikut terdiam sambil menundukkan kepala mereka.
"Apakah mulai ada perubahan sikap dari para pemimpin perguruan Kedung Jati, Rara." desis Glagah Putih perlahan.
"Maksud kakang?"
"Mereka mulai menata diri. Bukankah sebelumnya, siapapun dapat menyatakan dirinya menjadi murid dari perguruan Kedung Jati" Bukankah sebelumnya diantara mereka yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu telah disusupi oleh gerombolan-gerombolan perampok penyamun dan pencuri. Juga disusupi oleh perguruan-perguruan yang mengangkat kemampuan serta ilmu mereka dari kuasa kegelapan."
"Ya, kakang. Juga mereka yang menumpang untuk kepentingan gerombolan mereka sendiri."
"Nampaknya sekarang mulai ada usaha untuk mentertibkan. Atau barangkali sekedar pameran kepada para bebahu di Seca karena Ki Saba Lintang ingin menjadikan daerah yang aman ini salah satu landasan bagi perguruan Kedung Jati."
"Memang banyak kemungkinan dapat terjadi kakang," bisik Rara Wulan.
Namun keduanyapun kemudian harus mengkuncupkan tubuh mereka ketika dua orang petugas berjalan beberapa langkah di hadapan mereka.
"Tidak ada yang kita dapatkan malam ini, Rara. Agaknya mereka masih belum akan mulai dengan pembicaraan-pembicaraan diantara mereka."
"Besok agaknya mereka akan bertebaran di pasar pada hari pasaran kakang. Bukan sekedar untuk mengendorkan ketegangan, tetapi agaknya mereka harus mengetahui pula putaran perdagangan di Seca sebelum mereka menjadikan tempat ini salah satu landasan gerakan mereka."
Glagah Putih mengangguk-ngguk. Katanya, "Ya. Kita besok akan melihat, apa saja yang mereka lakukan disini."
Demikianlah maka sejenak kemudian, keduanya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang berada di pendapa itupun kemudian telah asyik dengan suguhan makan dan minum. Sedangkan malam menjadi semakin larut. Sehingga keduanya memperhitungkan, bahwa setelah makan, mereka akan segera pergi beristirahat. Hari-hari merasa tentu masih panjang, sehingga mereka tidak akan tergesa-gesa melakukan pembicaraan.
Beberapa saat kemudian, ketika perhatian orang-orang dipendapa itu tertuju kepada hidangan yang sudah ada dihadapan mereka, maka Glagah Pulih dan Rara Wulanpun mulai beringsut.
Di pendapa Ki Demang, Ki Bekel dan para bebahu sibuk mempersilahkan tamu-tamu mereka untuk makan.
Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di penginapan mereka mendahului para pengikut Ki Saba Lintang. Di pringgitan, para penabuh masih juga duduk di belakang gamelan mereka. Agaknya hari itu mereka mendapat pesan untuk mulai lebih awal dan berakhir didini hari.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memasuki bilik mereka. Setelah membenahi pakaiannya, serta setelah mencuci kaki dan tangan mereka di pakiwan, maka Rara Wulanpun berbaring di pembaringan sementara Glagah Pulih duduk di dingklik panjang.
"Sampai kapan mereka kembali ke penginapan ini," desis Glagah Putih.
"Mungkin masih agak lama. Karena itu, tidurlah lebih dahulu. Kau tidak usah menunggu mereka. Jika mereka nanti kembali serta ada hal yang menarik, aku akan membangunkanmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia mulai mengantuk.
Tanpa disadari, mata Rara Wulanpun akhirnya terpejam juga.
Jilid 365 NAMUN Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berbeda di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu.
Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu ngelangut.
"Apakah mereka akan berada di banjar semalam suntuk," desis Glagah Putih.
Namun ternyata beberapa saat kemudian, ia mendengar beberapa orang memasuki penginapan itu. Ada diantara mereka yang sama sekali tidak menghiraukan keadaan disekitarnya, sehingga di dini hari, mereka berbicara tanpa mengendalikan diri.
"Kalian tidak berada di rumah kakekmu sendiri," terdengar suara Ki Sela Aji, "bukankah Ki Murdaka sudah mengatakan, bahwa ia tidak senang kepada orang-orang yang mabuk serta yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Ia ingin orang-orang Kedung Jati bersih dimata orang-orang Seca. Dengan demikian jika saatnya kita memasuki lingkungan ini, kita akan tetap dihormati sebagai murid-murid dari sebuah perguruan besar dan bertanggungjawab."
Orang-orang itu memang terdiam. Nampaknya merekapun segera menebar dan memasuki bilik mereka masing-masing. Namun sesaat kemudian terdengar lagi mereka berbicara terlalu keras, sehingga terdengar dari seluruh penginapan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Keberadaan orang-orang Ki Saba Lintang dipenginapan itu memang akan dapat menimbulkan persoalan dengan beberapa orang lain yang juga menginap di pengi napan itu, karena mereka ternyata telah mengganggu ketenangan dimalam yang sudah terlalu dalam itu.
Namun sejenak kemudian, Glagah Putih mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Agaknya seorang diantara mereka adalah Sela Aji.
"Paman Demung Pugut," terdengar suara Sela Aji, "orang-orang gila itu agaknya sangat sulit dikendalikan. Agaknya mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak hati mereka."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Padahal kita sudah memilih, Ki Sela Aji. Kita sudah memilih orang-orang yang terbaik. Tetapi orang-orang yang terbaik itupun masih juga menyusahkan kita."
"Kita harus bertindak lebih keras lagi paman. Jika perlu kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka."
"Kita memang harus bersabar. Jika kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka, mungkin sekali mereka justru mulai menentang kita."
"Mereka tidak akan berani. Jika ada yang berani, aku akan menantangnya dan membuatnya menjadi jera."
Orang yang disebut Demung Pugut itu menarik nafas panjang.
Namun dalam pada itu, terdengar ketukan pintu yang keras sekali di bilik yang terletak di sayap kiri penginapan itu.
"Paman Demung Pugut mendengarnya?"
"Ya." "Apa yang terjadi."
Namun sebelum Ki Demung Pugut menyahut, terdengar seseorang berkata lantang, "Diam. Diam kalian. Kalian mengganggu ketenangan malam ini."
Terdengar jawaban yang tidak kalah kerasnya, "Apa pedulimu."
"Kalian berada di penginapan. Kalian harus bertenggang rasa. Jika kalian berteriak-teriak seperti itu, kami tidak dapat beristirahat malam ini."
Ternyata Glagah Putih tidak perlu membangunkan Rara Wulan.
Karena Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya.
"Ada apa kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Aku belum tahu."
Ketika Rara Wulan duduk di bibir pembaringan, terdengar Sela Aji berkata, "Aku akan melihat paman. Tentu orang-orang kita telah mengganggu orang lain yang sedang menginap dipenginapan ini pula."
Keduanyapun kemudian keluar dari biliknya, sementara masih terdengar suara keras, "Jika kalian tidak mau tahu dengan orang lain yang dapat terganggu dengan sikap kalian, sebaiknya kalian menginap di kandang kambing."
"Persetan kau," benta orang yang dianggap mengganggu itu.
Dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah berkerumun, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Jika kau tidak mau terganggu, kenapa kau bermalam disini" Aku disini membayar sewa bilik yang aku pakai. Karena itu, terserah apa yang akan aku lakukan didalam bilik itu."
"Memang terserah apa yang akan kau lakukan. Tetapi jangan mengganggu orang lain. Aku perlu beristirahat. Besok aku masih mempunyai banyak pekerjaan."
"Itu urusanmu, bukan urusanku."
Dalam pada itu Rara Wulanpun berbisik, "Orang yang merasa terganggu itu adalah Sutasuni, kakang. Malam itu ia bermalam di bilik sebelah bilik kita yang malam ini dipergunakan oleh Sela Aji, sehingga ia berada di bilik yang berada di sayap penginapan ini."
"Persoalannya akan menjadi rumit. Bukankah orang itu pengikut Panji Kukuh."
"Tetapi dibanding dengan perguruan Kedung Jati, Panji Kukuh adalah kelompok yang terhitung kecil."
"Tetapi jika terjadi benturan malam ini, orang-orang perguruan Kedung Jati belum tentu dapat melawan para pengikut Panji Kukuh. Namun kemudian Ki Saba Lintang tentu akan segera memburu Ki Panji Kukuh. Nampaknya Panji Kukuh akan mengalami kesulitan yang besar."
"Tetapi gerombolan Panji Kukuh tentu cukup lincah untuk menghindari tangan-tangan Ki Saba Lintang."
"Ya. Yang dapat dilakukan oleh Ki Panji Kukuh adalah bermain hantu-hantuan. Muncul dan menghilang. Tetapi dengan demikian, maka Panji Kukuh tidak akan dapat mempertahankan jalur perdagangan gelapnya."
Keduanyapun terdiam. Mereka melihat Sela Aji berusaha untuk melerai pertengkaran antara orang-orang dari perguruan Kedung Jati dengan para pengikut Panji Kukuh itu.
"Sudahlah Ki Sanak. Aku minta maaf," berkata Sela Aji. Lalu katanya kepada orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu, "Nah, sekarang kalian mengalami sendiri. Penginapan ini bukan rumah kakekmu. Disini banyak orang lain yang dapat merasa terganggu dengan sikap kalian. Jika kalian masih saja bersikap buruk dan menggangu orang lain, maka aku akan mengusir kalian dari penginapan ini dan biarlah kalian bermalam di pategalan sebagaimana biasa kalian lakukan."
Orang-orang yang telah mengganggu tetangganya itu terdiam.
"Aku juga dapat keras seperti Ki Murdaka. Bahkan siapa yang tidak menyetujui kebijaksanaanku, aku tantang untuk berkelahi melawan aku."
Orang-orang itu terdiam. Mereka tahu tingkat kemampuan Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut.
"Nah, kalian harus menghormati orang lain agar mereka juga menghormati kita."
Orang yang mempergunakan bilik itu tidak menjawab.
"Nah, Ki Sanak. Kau tidak akan terganggu lagi."
"Terima kasih," desis Sutasuni.
Dalam pada itu petugas penginapan itupun kemudian mempersilahkan mereka yang berkerumun itu untuk kembali ke bilik mereka masing-masing. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Ki Sela Aji sendiri serta Ki Demung Pugut masih tinggal beberapa saat di bilik yang membuat kisruh itu.
Setelah peristiwa itu, maka penginapan itu menjadi tenang. Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan ternyata menghormati pula sikap Sela Aji. Bagaimanapun juga, kecuali Sela Aji dan Demung Pugut memiliki kelebihan dari mereka, maka keduanya memang mendapat wewenang dari Ki Murdaka untuk mengawasi orang-orang yang dibawanya ke Seca.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi dapat tidur. Meskipun Rara Wulan mempersilahkan Glagah Putih untuk tidur meskipun hanya sesaat, tetapi ternyata Glagah Putih tidak dapat memejamkan matanya.
Apalagi ketika Sela Aji dan Demung Pugut yang kemudian kembali ke biliknya.
"Orang itu memang keras kepala," berkata Sela Aji.
"Tetapi nampaknya ia mengerti bahwa kita bersungguh-sungguh, sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi. Demikian pula kawannya yang tinggal bersamanya dalam bilik itu."
"Ya. paman. Sekarang silahkan paman tidur meskipun hanya sebentar."
"Bukan sebentar lagi langit akan menjadi merah?"
Sela Aji menarik nafas panjang. Katanya, "Jika demikian, akulah yang akan tidur sejenak. Besok kita masih harus melihat-lihat keadaan kademangan ini. Kita harus tahu lebih dahulu keadaan tem pat ini sebelum kita akan membicarakannya tentang kemungkinan kita mendirikan salah satu landasan perguruan kita. Jika kita berhasil, maka kita tinggal membuat satu lagi landasan perguruan kita di sebelah Selatan untuk membayangi Mataram."
"Kita harus tetap memperhitungkan Tanah Perdikan Menoreh."
"Tentu paman. Ki Saba Lintang sendiri selalu memperingatkan tentang Tanah Perdikan yang besar dan kuat itu."
"Belum tentu. Tetapi kemungkinan terbesar, Ki Saba Lintang tidak akan datang. Meskipun demikian segalanya masih dapat berubah."
Ki Demang Pugut mengangguk-angguk.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Nampaknya Ki Saba Lintang tidak dapat melupakan Tanah Perdikan Menoreh. Kecuali beberapa kali Ki Saba Lintang mengalami kegagalan, di Tanah Perdikan Menoreh itu pula tersimpan pasangan tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mendengar pembicaraan lagi. Agaknya Sela Aji benar-benar berniat untuk tidur barang sejenak.
Dalam pada itu. menjelang fajar. Glagah Putih dan Rara Wulan telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Rara Wulan tidak mau pergi sendiri ke pakiwan. Orang-orang yang menginap di penginapan itu adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja di luar dugaan, karena ada diantara mereka yang tidak lagi berpijak pada tatanan bebrayan serta unggah-ungguh.
Rara Wulan bukan berarti ketakutan dengan kehadiran mereka. Tetapi jika ia sedang mandi di pakiwan. maka ia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat lemah.
Sebelum fajar Glagal Putih dan Rara Wulan telah selesai berbenah diri. Sementara itu. orang-orang dari perguruan Kedung Jati masih belum bangun. Mereka masih asyik mendengkur di bilik mereka masing-masing.
Tetapi para pedagang yang menginap di penginapan itu. karena ternyata tidak semua bilik dipergunakan oleh perguruan Kedung Jati, telah siap pula pergi ke pasar.
Sebelum matahari terbit, maka beberapa orang pedagang telah meninggalkan penginapan itu untuk pergi ke pasar. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan juga turun dari pendapa, maka petugas di penginapan itu menyapa mereka, "Apakah kalian juga akan pergi ke pasar?"
"Ya," jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan.
"Nah. jika demikian aku dapat berharap," berkata petugas itu sambil tersenyum.
"Berharap apa?"
"Tentu oleh-olehnya. Nagasari" Mendut atau carang gesing pisang raja?"
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Di sela-sela tertawanya Rara Wulanpun berkata, "Jika setiap orang yang pergi ke pasar membawa oleh-oleh, maka perutmu akan kesakitan."
Petugas itu tertawa pula. Kalanya, "Ah. Tentu tidak semua. Aku hanya berani berharap kepada kalian."
"Ah, macam-macam saja kau ini," desis Glagah Putih. Namun ia masih saja tertawa.
Namun Rara Wulanpun kemudian berkata, "Baik. Aku akan membeli rujak babal, bluluk dan jambu klutuk yang masih mentah."
"Ah. Kau mau menyakiti perutku'?"
Rara Wulanpun kemudian menarik tangan Glagah Putih sambil berkata, "Marilah, kakang. Nanti kita kesiangan."
Petugas itu tertawa, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkannya menuju ke regol halaman penginapan itu.
Meskipun hari masih pagi, tetapi jalan-jalan di Seca sudah mulai ramai. Di hari pasaran banyak orang-orang padukuhan yang pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya serta hasil kerajinan tangan mereka. Hasil kerajinan bambu, pandan atau mendong atau jenis kerajinan yang lain.
Namun para pedagang yang berdatangan di Seca yang bahkan sudah menginap semalam, telah pergi ke pasar pula dengan membawa dagangan mereka.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pasar, maka merekapun segera berusaha untuk mencari pedagang yang telah mengadakan hubungan dengan Jati Ngarang dalam rencana mereka mengadakan perdagangan gelap.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menemukan pedagang itu.
"Mungkin orang itu sudah menipu Jati Ngarang," desis Rara Wulan.
Mungkin sekali. Memang tidak semudah itu untuk mengatakan, dimana hubungan perdagangan gelap itu dapat dilakukan."
Namun untuk beberapa lama mereka masih berada di pasar.
Mungkin orang yang mereka cari itu masih belum sampai ke pasar itu.
Ketika matahari mulai naik, maka pasar Seca itu menjadi semakin penuh. Bahkan orang yang berjual beli itu meluap sampai ke luar pasar. Beberapa orang menjual hasil bumi mereka serta kerajinan tangan yang mereka buat di rumah mereka masing-masing itu terpaksa menggelar dadangan mereka di pinggir jalan, karena mereka tidak mempunyai tempat yang tetap didalam pasar itu.
Tetapi biasanya para tengkulaklah yang telah membeli dagangan mereka dengan harga yang rendah.
Namun bagi para petani dan mereka yang membuat kerajinan tangan di rumah itu merasa, bahwa apa yang mereka terima itu sudah cukup, sehingga mereka tidak menuntut harga yang lebih tinggi lagi.
"Orang itu tidak ada di sini," desis Glagah Putih.
"Kita mempunyai sasaran pengamatan yang baru di Seca ini, kakang."
"Ya. Kita harus mengamati para pengikut Ki Saba Lintang itu."
Dalam pada itu, baru setelah matahari menjadi semakin tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua orang pengikut Saba Lintang yang berada di penginapan itu ikut berdesakan didalam pasar.
Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan sambil berkata, "Lihat. Ternyata mereka sudah bangun."
Rara Wulanpun menyahut, "Bukankah malahan sudah semakin tinggi."
Glagah Putih terdiam. Bahkan iapun telah melihat orang yang disebut Murdaka itu berada didalam pasar itu pula, diikuti oleh Sela Aji dan Demung Pugut.
"Nampaknya orang-orang penting dari perguruan Kedung Jati itu berusaha untuk melihat padukuhan Seca dari segala segi," desis Glagah Putih.
"Maksud kakang?"
"Mereka melihat dari sisi perdagangan serta kesibukan rakyat Seca dalam hubungannya dengan pasar yang ramai ini. Tetapi yang lain tentu melihat-lihat sisi kehidupan yang lain pula. Mungkin mereka akan melihat bendungan, parit dan air yang mengaliri sawah. Mungkin mereka juga memperhatikan ternak yang digembala di padang rumput. Mungkin jalan-jalan yang menghubungkan Seca keluar kademangan serta sisi-sisi kehidupan yang beraneka lainnya."
"Ya, kakang. Sebelum mereka membangunkan landasan di Seca, mereka tentu ingin mengetahui keadaan kademangan ini seutuhnya. Tentu saja termasuk manusianya. Manusia yang tinggal di kademangan Seca."
"Jika demikian, bukankah sebaiknya kita melihat-lihat kademangan ini pula" Kita sekarang sudah melihat bahwa sebagian dari mereka berada di pasar. Sebaiknya kita juga melihat, apakah diantara mereka ada yang berkeliaran."
"Jadi, untuk sementara pedagang yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu kita lupakan dahulu ?"
Glagah Putih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kita akan mengalihkan perhatian kita kepada orang-orang dari perguruan Kedung Jati ini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan pasar itu pula. Merekapun kemudian menyusuri jalan-jalan ulama di kademangan Seca.
Seperti yang mereka duga. maka beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan yang sama dengan penginapan mereka. Nampaknya orang-orang itu memperhatikan keadaan kehidupan di Seca dengan seksama.
Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berjalan keluar gerbang padukuhan. Ternyata di luar padukuhan merekapun bertemu pula dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang.
Untunglah orang-orang itu tidak mengenal mereka, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keduanya.
"Ternyata mereka benar-benar sedang mengamati seluruh kademangan ini, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Kita dapat bertemu dengan mereka dimana-mana."
"Lalu sekarang. Apa yang akan kita lakukan?"
"Sebaiknya kita kembali ke pasar. Makan dan kemudian kembali ke penginapan."
Ternyata Rara Wulan sependapat. Merekapun telah pergi ke pasar dan singgah di sebuah kedai. Demikian mereka keluar dari kedai, merekapun memerlukan sekali lagi berkeliling di dalam pasar yang masih saja ramai itu. Tetapi mereka tidak bertemu dengan pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang.
Setelah membeli beberapa bungkus nagasari, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke penginapan.
Demikian mereka memasuki gerbang dan berjalan ke pendapa, mereka berpapasan dengan petugas di penginapan itu. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Rara Wulan telah menyodorkan beberapa bungkus nagasari sambil berkata, "Kau akan menanyakan oleh-oleh kan, nagasari atau yang lain."
Petugas itu tertawa. Tetapi demikian ia menerima beberapa bungkus nagasari, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkannya.
Beberapa saat kemudian Glagah Pulih dan Rara Wulan telah berada di bilik mereka. Setelah menutup piniu dan menyelaraknya dari dalam, maka Rara Wulan itupun berkata, "Beristirahatlah kakang. Semalam kau hampir tidak sempat beristirahat sama sekali."
"Kau juga." "Aku masih sempat meskipun sebentar."
Glagah Putih menarik nafas panjang, ia tidak terbiasa tidur di siang hari. Tetapi kadang-kadang jika ia merasa sangat letih, ia membaringkan dirinya beberapa saat.
Namun baru saja Glagah Putih berbaring, ia mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Nampaknya mereka agak tergesa-gesa. Pintupun terdengar ditutup dan diselarak pula dari dalam.
"Berita itu tidak menyenangkan bagiku, paman." terdengar suara Sela Aji.
Glagah Putih dan Rara Wulan mencoba untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dengan hati-hati Glagah Putih bangkit dan duduk di amben panjang yang ada didalam biliknya.
"Kenapa kau tidak senang?"
"Akan datang lagi orang yang jumlahnya lebih banyak. Tentu diantaranya ada orang-orang tua berilmu tinggi. Namun mereka terbiasa menuruti kemauan mereka sendiri."
"Itu tentu tanggung jawab Ki Saba Lintang sendiri."
"Ya. Tetapi jika terjadi gejolak, maka rencana untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi perguruan Kedung Jati akan terganggu."
Tetapi terdengar jawaban yang agaknya diucapkan oleh Demung Pugut, "Kau tidak perlu memikirkannya terlalu berat, Ki Saba Lintang tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Jika benar ia akan datang nanti malam, tentu ada pertimbangan-pertimbangan tertentu."
"Tetapi aku tidak memberikan pendapat, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang sendiri datang ke Seca."
"Sudahlah. Jika Ki Saba Lintang itu benar-benar datang kau dapat mengajukan beberapa pendapat. Terutama tentang sikap para pengawal yang sekarang ada disini saja sudah harus dikendalikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi jika akan datang beberapa orang lagi yang merasa mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada siapapun juga."
"Paman tentu mengetahui, bahwa kita berdua masih memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang sekarang sudah berada di Seca, karena kemampuan kita lebih tinggi dari mereka. Tetapi jika mereka yang datang itu merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kita berdua, maka mereka tentu akan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang kita berikan."
"Kita tinggal melaporkannya saja kepada Ki Saba Lintang."
"Sebenarnyalah kekuatan Ki Saba Lintang tergantung kepada beberapa orang berilmu tinggi itu. Paman tahu bahwa sebenarnya Ki Saba Lintang itu bukan apa-apa tanpa beberapa orang pendukungnya yang kokoh itu."
Demung Pugut terdiam. Keduanya untuk beberapa saat saling berdiam diri. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan didalam biliknya juga berusaha untuk tetap duduk diam. Mereka berharap bahwa pembicaraan antara Demung Pugut dan Sela Aji itu dilanjutkan.
Namun yang terdengar kemudian, Demung Pugut itupun berkata, "Beristirahatlah. Aku akan melihat-lihat keluar."
"Silahkan paman. Mungkin paman akan mendapat kepastian, apakah nanti malam Ki Saba Lintang benar-benar akan datang."
"Baiklah. Tetapi seandainya Ki Saba Lintang akan datang, angger tidak perlu menjadi cemas karenanya."
Sela Aji tidak menjawab. Sementara itu terdengar pintupun terbuka.
"Apakah angger akan menyelarak pintu atau tidak?"
"Tidak usah paman. Nampaknya tidak akan ada gangguan apa-apa. Jika aku terlanjur tidur, paman tidak perlu mengetuk pintu itu."
Sejenak kemudian, maka bilik disebalah itupun menjadi sepi. Agaknya Sela Aji benar-benar ingin beristirahat. Bahkan tidur meskipun hanya sebentar.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membenahi pakaiannya.
"Untuk apa?" bertanya Rara Wulan.
"Sst," desis Glagah Putih sambil memberi isyarat agar Rara Wulan berbicara perlahan-lahan, "kita akan keluar."
"Kenapa?" "Omong-omong." "Maksud kakang?"
"Ada yang harus kita bicarakan. Tetapi tidak dapat kita lakukan disini."
"Jadi dimana?" "Kita dapat berbincang di pringgitan. Jika banyak orang di pringgitan, kita perlu keluar dan berbincang sambil berjalan-jalan."
Rara Wulan tidak bertanya lagi. Iapun kemudian membenahi pakaiannya.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun keluar dari bilik mereka. Ketika mereka melewati pintu bilik di sebelahnya, pintu itu tertutup rapat. Meskipun Glagah Pulih tahu, bahwa pintu itu tidak diselarak.
Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah berada di pringgitan. Namun di pendapa itu beberapa orang sedang berbincang-bincang. Diantara mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang.
Agaknya sejak mereka berada di penginapan itu, mereka tidak sempat memperhatikan keberadaan Rara Wulan. Ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dan Glagah Putih melintas, maka beberapa orang diantara mereka memperhatikannya dengan tatapan mata tanpa berkedip.
Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa orang-orang itu sedang memperhatikannya. Tetapi keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih melihat seorang diantara mereka yang berada di pendapa itu telah memanggil petugas di penginapan itu.
"Kau tahu kenapa orang itu memanggil petugas di penginapan ini?" bertanya Glagah Putih.
Rara Wulan mengggeleng sambil menjawab, "Tidak."
"Orang yang memanggilnya itu akan bertanya kepada petugas itu," siapakah perempuan yang ada di penginapan ini."
"Ah, kakang." "Benar, tetapi tidak apa-apa. Kelakuan mereka akan selalu diawasi oleh Sela Aji dan Demung Pugut."
"Kalau kebetulan keduanya tidak ada?"
"Itulah yang ingin kita bicarakan."
"Apa maksud kakang?"
Glagah Putih tidak segera menjawab. Baru ketika keduanya sudah berada di luar pintu regol penginapan, Glagah Putihpun berkata, "Agaknya Ki Saba Lintang akan datang malam nanti."
"Apa yang akan kita lakukan kakang. Tentu kita tidak akan mungkin datang kepadanya dan mengambil tongkatnya. Ia tentu dikelilingi oleh banyak orang berilmu tinggi."
"Tentu. Kita tentu tidak akan dapat mengambil langsung. Tetapi bagaimana jika kita berusaha untuk meminjam kekuatan orang lain."
"Kekuatan siapa?"
"Bukankah Sutasumi masih berada di penginapan?"
"Entahlah kakang. Tetapi agaknya ia masih berada disana."
"Aku berharap bahwa nanti malam Sutasuni merasa terganggu lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang."
"Apa hubungannya?"
"Aku berharap dapat terjadi benturan kekerasan."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, "Kita akan berpihak kepada Sutasuni?"
"Ya." "Tetapi jika kemudian Sutasuni tidak berniat berhubungan dengan kita untuk selanjutnya?"
"Itu akibat buruk yang dapat saja terjadi. Kita memang harus meninggalkan tempat ini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Segala sesuatunya memang dapat dicoba."
"Bukankah kita tinggal meyakinkan, apakah Ki Saba Lintang itu benar-benar akan datang?"
Rara Wulan mengangguk. "Sela Aji akan membawa berita itu. Meskipun agaknya Sela Aji sendiri merasa keberatan jika Ki Saba Lintang sendiri datang ke kademangan Seca."
"Mungkin Sela Ajilah yang paling berminat untuk menjadikan kademangan ini salah satu landasan perguruan Kedung Jati itu."
"Ya. Memang mungkin sekali."
Demikianlah mereka berduapun telah membicarakan beberapa hal yang akan mereka lakukan sehubungan dengan kedatangan Ki Saba Lintang.
Setelah pembicaraan mereka tuntas, maka merekapun segera kembali ke penginapan mereka.
Ternyata pendapa dan pringgitan penginapan itu masih saja nampak ramai. Seperti pada saat keduanya melintas keluar dari penginapan itu, maka ketika mereka lewat di sebelah pendapa, beberapa orang memandangi mereka dengan tajamnya. Bahkan sampai mereka hilang di balik seketeng.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera masuk ke dalam biliknya, tetapi merekapun mencari petugas penginapan itu.
"Ada apa ?" bertanya petugas itu, "tadi aku lihat kalian keluar. Tetapi aku tidak sempat bertanya karena aku dipanggil oleh orang-orang yang berada di pendapa itu."
"Apa yang mereka katakan ?"
"Tidak apa-apa," petugas itupun tersenyum-senyum.
"Jika tidak kau katakan, aku tidak akan membeli nagasari lagi untukmu."
"Sungguh. Tidak apa-apa. Mereka hanya sedikit bertanya tentang jalan-jalan di kademangan Seca ini."
"Baik. Aku tidak akan membeli nagasari atau gandos rangin lagi buatmu."
"Ah, jangan begitu."
"Katakan, apa yang mereka tanyakan," desak Rara Wulan.
Petugas itu ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata, "Mereka bertanya tentang Nyai. Hanya sekedar bertanya."
"Mereka bertanya sambil tertawa-tawa?" bertanya Rara Wulan.
Petugas itu tidak menjawab. Tetapi petugas itu hanya tersenyum-senyum saja.
"Nah, bukankah kau yang tertawa-tawa."
"Tidak. Tetapi aku tidak dapat mengatakannya."
"Baik-baik. Sekarang pergilah ke bilikku."
"He?" "Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu."
Petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan ketika keduanya pergi ke bilik mereka.
Ternyata bilik di sebelahnya masih sepi. Agaknya Sela Aji masih tidur sedangkan Demung Pugut masih belum kembali.
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun berkata kepada petugas itu. "Hitung. Berapa aku harus membayar."
"He" Apakah kalian akan pergi?"
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Ya. Kami bersungguh-sungguh. Tetapi jangan salah paham. Kami tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan kawan-kawanmu, para petugas di penginapan ini. Akupun berkata bersungguh-sungguh bahwa orang-orang yang menginap di penginapan ini membuat hati kami tidak tenang. Banyak masalah yang dapat timbul. Karena itu, jika keadaan menjadi semakin buruk, maka kami benar-benar akan meninggalkan penginapan ini. Agar kami tidak mempunyai hutang kepada penginapan ini, karena kami dapat pergi setiap saat bila keadaan menjadi bertambah buruk, maka kami akan membayar lebih dahulu sewanya selama kami berada disini."
Petugas itu termangu-mangu sejenak. Dari sorot matanya nampak betapa ia menjadi kecewa.
"Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa?"
"Sampai sekarang mereka memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi nanti sore, nanti malam atau besok pagi?"
"Kami, para petugas tentu akan mencegahnya."
"Sudahlah. Lebih baik bersiap-siap. Seandainya kalian mencoba mencegahnya, kalian tentu tidak akan berhasil."
"Kenapa?" Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun berdesis. "Agaknya mereka adalah orang-orang berilmu."
Petugas di penginapan itu menarik nafas panjang.
Namun iapun kemudian berkata, "Baiklah aku menghubungi petugas yang akan menghitung, berapa kalian harus membayar."
Sejenak kemudian petugas itupun meninggalkan bilik Glagah Putih.
Sementara Glagah Pulih dan Rara Wulan menunggu, tiba-tiba saja terdengar pintu bilik di sebelah terbuka. Ternyata sebelumnya bilik itu kosong. Yang kemudian masuk ke dalamnya adalah Demung Pugut dan Sela Aji.
"Ki Saba Lintang benar-benar akan datang, paman." desis Sela Aji.
"Seperti yang aku katakan jangan terlalu dirisaukan. Biarlah Ki Saba Lintang mengatur orang-orang yang dibawanya."
"Jika Ki Saba Lintang bermalam di banjar, maka Ki Murdaka tentu akan bermalam di tempat lain. Mungkin disini. karena penginapan yang cukup baik dan jaraknya tidak terlalu jauh dari banjar adalah penginapan ini. Ada penginapan lain yang baik. Tetapi jaraknya terlalu jauh dari banjar."
"Serahkan saja nanti kepada kemauan Ki Saba Lintang sendiri. Meskipun demikian kau dapat memberikan pendapat kepadanya. Termasuk pengendalian orang-orang yang sudah datang dan yang datang bersama Ki Saba Lintang sendiri."
Sela Aji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, "Ya. Aku akan melaporkan kepada Ki Saba Lintang.
Sementara itu, maka petugas penginapan itupun telah datang pula untuk memberitahukan berapa banyak Glagah Putih harus membayar.
"Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk tinggal lebih lama lagi," berkata petugas itu.
Tetapi Glagah Putih menyahut, "Segala sesuatunya tergantung sekali kepada keadaan."
Petugas itu tidak menjawab lagi. Tetapi ternyata sekali di wajahnya, bahwa ia merasa kecewa.
Beberapa saat kemudian, maka petugas itupun telah meninggalkan bilik Glagah Putih dan Rara Wulan, sementara itu Sela Ajipun berkata, "Aku akan mengusulkan sebaiknya mereka yang datang kemudian tidak usah bermalam disini. Jika Ki Murdaka yang harus bermalam disini, tentu ada baiknya. Aku akan mempunyai kawan lagi untuk mengendalikan orang-orang itu."
"Mudah-mudahan saja Ki Murdaka yang akan bermalam disini nanti malam."
Keduanyapun kemudian terdiam. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Hampir berbisik Glagah Putih berkata, "Semoga saja kita mendapat kesempatan."
Ketika kemudian senja turun, maka penginapan itupun menjadi semakin ramai. Ternyata Ki Saba Lintang dan beberapa orang lagi telah datang di Seca. Agaknya Ki Saba Lintang sendiri akan bermalam di banjar, sedangkan beberapa orang pengawalnya akan bermalam di penginapan itu. Namun ternyata bahwa Ki Murdaka sendiri tidak ikut bermalam di penginapan itu. tetapi Ki Murdaka tetap bermalam di banjar.
Dalam pada itu. ketika penginapan itu menjadi semakin ramai, serta para penabuh gamelan mulai membunyikan gamelan dengan lagu-lagu yang hangat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di pringgitan.
Sebenarnyalah keberadaan mereka di pringgitan telah menarik perhatian beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang. Baik mereka yang sudah ada di penginapan itu sejak semalam, maupun mereka yang baru datang.
Bahkan beberapa orang yang tidak begitu menghiraukan unggah ungguh, telah mendekatinya. Seorang yang berperawakan sedang dan berkumis tipis tiba-tiba saja telah menyapanya, "He, perempuan cantik. Siapa namamu he?"
"Kakang," Rara Wulanpun segera bergeser di belakang Glagah Putih. Wajahnya membayangkan ketakutan.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih, "jangan ganggu isteriku."
"Siapa yang mengganggu" Bukankah aku hanya sekedar bertanya," sahut orang itu sambil membelalakkan matanya."
Glagah Putih pun bergeser surut sambil menjawab, "Tetapi perbuatan Ki Sanak membuat istriku ketakutan."
"Isterimu memang penakut. Bukankah aku bersikap wajar-wajar saja?"
"Tidak. Itu tidak wajar. Ki Sanak tahu, bahwa ia adalah isteriku. Ia duduk disampingku. Tetapi Ki Sanak mendekatinya dan bertanya, siapakah namanya" Kenapa Ki Sanak tidak bertanya kepadaku."
"Gila. Kau gila. Aku pecahkan kepalamu."
"Jangan. Ki Sanaklah yang telah menakuti isteriku. Ki Sanak tidak dapat menyalahkan aku."
"Diam," bentak orang itu, "Jika kau tidak mau diam, aku akan memukulmu sampai pingsan."
"Jangan. Tetapi Ki Sanak harus minta maaf kepada isteriku."
"Cukup, cukup," teriak orang yang marah itu.
Dalam pada itu, petugas penginapan itupun berlari-lari mendatangi keributan itu. Dengan hati-hati ia bertanya, "Apa yang terjadi. Ki Sanak?"
"Laki-laki itu membuat isteriku ketakutan, ia menggamit isteriku dan bertanya siapa namanya?"
Orang itu tiba-tiba saja telah menampar mulut Glagah Putih. Terdengar Glagah Putih mengaduh kesakitan.
"Tunggu, Ki Sanak. Kita harus menyelesaikannya dengan baik. Ki Sanak tidak boleh melakukan kekerasan."
"Diam kau pelayan edan. Kau tidak usah turuti campur."
"Aku petugas disini Ki Sanak. Sudah sewajarnya aku berusaha untuk menjaga ketenangan di penginapan ini."
"Singkirkan laki-laki dan perempuan cengeng itu."
"Aku akan membawanya menyingkir. Tetapi Ki Sanak jangan menakut-nakuti lagi."
"Cukup Bawa mereka pergi."
Selagi orang itu membentak. Sela Aji telah datang dengan tergesa-gesa. Dengan nada tinggi iapun bertanya, "Ada apa?"
Glagah Putihlah yang menyahut, "Laki laki itu menakut-nakuti isteriku."
"Tidak. Aku hanya bertanya, siapa namanya."
"Pertanyaanmu itulah yang membuatnya ketakutan."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Isteriku duduk disampingku. Laki-laki itu datang langsung menggamitnya dan bertanya siapa namanya. Kenapa ia tidak bertanya kepadaku?"
Sela Aji memandang orang itu dengan dahi yang berkerut. Kemudian iapun berkata, "Sudahlah, tinggalkan mereka. Atas nama Ki Murdaka, aku peringatkan sekali lagi, agar kalian tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat persoalan yang rumit di kademangan ini."
"Aku tidak berbuat apa-apa Ki Sela Aji. Kedua orang itulah yang cengeng."
"Kalau begitu, jangan sentuh orang yang cengeng."
Ternyata bahwa wibawa Sela Aji masih tetap tinggi. Beberapa orang itupun bergeser surut. Namun seorang diantara mereka berkata, "Laki-laki dan perempuan itulah yang keterlaluan. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tetapi mereka sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian."
"Sudah, sudah," sahut Sela Aji, "jauhilah mereka jika kalian tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang cengeng."
Orang-orang itupun segera menjauh. Namun dalam pada itu, di halaman Sutasuni dan seorang kawannya berdiri termangu-mangu.
Glagah Putih segera menggamit Rara Wulan. Mereka pun segera turun dari pendapa dan mendapatkan Sutasuni.
"Ki Sanak yang semalam merasa terganggu itu?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Mereka memang orang-orang yang tidak tahu aturan."
"Sebenarnya aku ingin melawan. Tetapi aku hanya seorang diri dihadapan sekian banyak orang."
"Tetapi orang-orang itu sekali-sekali harus dibuat jera. Apakah kau tahu, siapakah mereka itu?"
Glagah Putih termangu mangu sejenak. Ia merasa heran, bahwa Sutasuni dari gerombolan Panji Kukuh tidak mengenal Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati. Setidak-tidaknya mengenali namanya.
Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "Entahlah. Tetapi mereka datang dalam kelompok yang jumlahnya cukup banyak."
"Mereka harus dibuat jera."
"Kalau terjadi perselisihan lagi antara Ki Sanak dengan orang-orang itu, apalagi jika terjadi benturan kekerasan, kami akan berpihak kepada Ki Sanak."
"Kami siapa maksudmu?"
"Aku dan isteriku."
"Kau dan isterimu ini?"
"Ya. Serba sedikit ia mampu melindungi dirinya sendiri."
"Baik. Nanti malam aku akan memanggil kawan kawanku. Mereka harus dibuat jera."
"Ajak kami berdua."
"Baik. Kami akan mengajak kalian berdua."
"Jika demikian, kami akan bersembunyi saja di bilik Ki Sanak."
"Di bilikku?" bertanya Sutasuni dengan heran.
"Ya. Kenapa?" "Kau dan isterimu?"
"Ya. Kami merasa tidak aman lagi di bilik kami sendiri."
Sutasuni masih tetap ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Sekehendak kalian sajalah. Tetapi bilik itu sudah terisi oleh dua orang. Aku dan kawanku ini. Sementara itu aku telah memanggil kawan-kawanku agar malam nanti mereka dalang kemari. Aku akan memberi sedikit pelajaran kepada orang-orang yang merasa seakan-akan penginapan ini milik mereka. Lebih dari itu, agaknva mereka merasa bahwa di Seca ini mereka dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada orang yang mampu mencegahnya."
"Nah. Jika demikian, satu kebetulan. Sudah aku katakan, aku dan isteriku ada di pihakmu."
Sutasuni kemudian tidak menolak ketika Glagah Putih dan Isterinya berada di biliknya, meskipun biliknya tidak terlalu luas. Tetapi di bilik itu cukup tempat untuk duduk-duduk mareka berempat.
"Yang datang itu tentu para penjahat," berkata Glagah Putih, "agaknya mereka akan menguasai Seca yang damai ini. Mungkin mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan terlarang."
"Tidak," sahut Sutasuni, "perdagangan terlarang di daerah ini ada di satu tangan. Yang berusaha untuk mengganggu akan disingkirkan."
"Jangan-jangan justru orang-orang itu yang memiliki jalur tunggal perdagangan gelap di daerah ini?"
"Bukan mereka."
"Jadi mereka siapa?"
"Tidak tahu. Tetapi mungkin kawan-kawanku nanti akan mendapat keterangan dari orang-orang yang mendapat tugas sandi."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka suara gamelanpun mulai menjadi lebih tenang. Gending-gendingnyapun dipilih gending-gending yang tidak membangkitkan suasana yang gelisah.
Namun di pendapa itu. para pengikut Ki Saba Lintang masih tetap saja ramai oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang menjadi semakin banyak.
Bahkan di pendapa itu, beberapa orang mulai minum tuak.
Ketika Ki Sela Aji datang untuk memberi peringatan, maka seorang yang sudah separo baya, yang baru malam itu datang untuk bermalam di penginapan itu berkata, "Jangan terlalu merunduk di hadapan Murdaka. Bukankah sekali-sekali kita boleh bergembira" Mumpung tugas kami masih belum terlalu berat. Mumpung kita baru mulai, sehingga kita mempunyai waktu untuk bersenang-senang dengan minum tuak dan sebagainya."
"Tetapi jika ada yang mabuk?"
"Ki Sela Aji. Kami bukan anak-anak lagi. Kami sudah terbiasa minum tuak. Kami dapat menjaga diri kami."
"Ki Murdaka berkeberatan jika kalian minum tuak."
"Katakan kepada Ki Murdaka, agar Ki Murdaka ikut minum bersama kami."
"Tetapi Ki Saba Lintangpun berkeberatan jika kalian bermabuk-mabukan di sini, di Seca. Di tempat yang sedang kami persiapkan untuk menjadi salah satu landasan bagi perguruan kami."
Orang yang sudah separo baya itu tertawa. Katanya, "Jika kau laporkan hal ini kepada Ki Saba Lintang, maka kau tentu akan ditertawakannya."
Ki Sela Aji tidak dapat memaksa. Orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang menjadi salah seorang pembantu Ki Saba Lintang memimpin perguruan Kedung Jati.
Ternyata seorang kawan Sutasuni telah mendengar pembicaraan itu. Karena itu, maka orang itupun segera mendatangi Ki Sutasuni di biliknya.
Orang itu terkejut ketika ia melihat ada dua orang laki laki dan perempuan yang berada di dalam bilik itu pula.
"Katakan. Mereka ada di pihak kita," desis Sutasuni.
Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata, "Yang berada di penginapan ini adalah para pengikut Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati."
"He. Perguruan Kedung Jati."
"Ya." "Dari mana kau tahu?"
"Aku mendengar pembicaraan mereka di pendapa. Seorang yang agaknya mendapat tugas untuk mengawasi para pengikut Ki Saba Lintang itu mencegah agar mereka tidak bermabuk-mabukan. Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak mau mendengarkan."
Wajah Sutasuni menjadi tegang. Dengan suara berat dan dalam iapun berdesis, "Jadi mereka yang berada di Seca sekarang adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati ?"
Tiba-tiba saja Glagah Putihpun bertanya, "Kenapa jika mereka dari perguruan Kedung Jati."
"Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar. Bahkan perguruan yang pengaruhnya hampir sama besarnya dengan pengaruh Mataram sendiri."
"Ah," desah Glagah Putih.
"Kau harus percaya. Banyak perguruan-perguruan kecil yang berhimpun menyatu dengan perguruan Kedung Jati."
"Kau dan kawan-kawanmu juga?"
"Tidak. Jalan kami berbeda. Kami adalah sekelompok orang yang tidak bergabung dengan siapa-siapa."
"Jika demikian, ajak kawan-kawanmu untuk menghancurkan perguruan Kedung Jati itu sekarang."
"Kami tidak berurusan."
"Jadi apakah urusan kalian di Seca ini" Urusan kalian tentu kelak akan berbenturan dengan kepentingan Ki Saba Lintang."
Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng sambil berkata, "Tidak. Urusan kami tidak akan benturan dengan urusan orang-orang Kedung Jati. Urusan orang-orang dari perguruan Kedung Jati adalah tentang masa depan Mataram dalam hubungannya dengan Jipang dan Demak. Sedangkan urusan kami semata-mata urusan perdagangan."
"Perdagangan " Perdagangan yang berlangsung di bawah permukaan ?"
Sutasuni mengerutkan dahinya. Namun Glagah Putihpun dengan cepat berkata, "Itu urusanmu. Aku hanya ingin bergabung untuk mengajari orang-orang yang ada di penginapan ini agar mereka mengerti sedikit unggah-ungguh. Tetapi sudah tentu tidak akan dapat kami lakukan tanpa orang lain."
"Baik. Akupun ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka. Meskipun mereka dari perguruan Kedung Jati, tetapi persoalannya bukan persoalan kelompokku dengan perguruan Kedung Jati. Tetapi aku ingm memberi peringatan kepada mereka, bahwa mereka berada di rumah kakeknya sendiri. Bahkan pemimpin mereka sendiri menjadi marah melihat tingkah laku mereka. Dengan demikian jika kita berkelahi dengan mereka, maka para pemimpin mereka tentu akan membantu mereka. Bahkan para pemimpin mereka tentu akan berusaha berusaha mencegah mereka dan mungkin menghukum mereka. Tidak akan ada akibat buruk yang akan terjadi pada kelompokku yang ditimbulkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Apalagi mereka juga tidak tahu, siapakah kami ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, maka seperti yang diduga oleh Sela Aji, maka beberapa orang kawannya yang sedang minum tuak di pendapapun menjadi mabuk. Dengan marah Sela Ajipun kemudian membentak-bentak mereka dan memaksa mereka masuk ke dalam bilik mereka masing-masing.
"Aku sudah memperingatkan kalian agar kalian tidak minum tuak."
Tetapi orang yang sudah separo baya, yang ternyata tidak mabuk meskipun ia minum tuak terbanyak menjawab, "Inilah laki-laki Sela Aji. Tuak adalah minuman yang wajar bagi laki-laki. Mereka harus banyak-banyak minum agar mereka tidak mudah menjadi mabuk. Jika mereka selalu kau kekang, maka mereka benar-benar akan menjadi pemabuk."
"Terserah apa yang akan kalian lakukan pada saat-saat kalian tidak sedang mengemban tugas."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau ajari mereka menjadi perempuan. Perempuanpun perempuan cengeng. Seharusnya kau tidak usah terlalu tunduk kepada Murdaka."
"Ia memerintahkan agar aku menjaga tingkah laku saudara-saudara kita atas nama Ki Saba Lintang sendiri."
"Tetapi kau tidak boleh memperlakukan kami seperti kanak-kanak."
"Bagaimanapun juga, kita harus menjaga agar kita dapat menjalankan tugas kita dengan baik. Kita tidak boleh memberikan gambaran buruk tentang tingkah laku kita kepada orang-orang Seca. Pada saatnya kita akan membuat landasan bagi perguruan kita di tempat ini, sehingga keberadaan kita disini tidak akan menggoyahkan ketenangan dan kedamaian hidup disini."
Orang yang sudah separo baya, yang tidak mabuk itupun kemudian melangkah pergi sambil bergumam, "Sulit bekerja sama dengan orang-orang muda yang merasa dirinya berkuasa."
Sela Aji tidak menyahut. Dibiarkannya orang-orang itu bergeramang sambil berjalan menuju ke biliknya.
Namun dalam pada itu, kedua orang yang berada di bilik yang beradu dinding dengan bilik Sutasuni itupun telah mabuk pula. Dalam keadaan tidak mabuk saja, mereka sudah sangat mengganggu. Apalagi ketika kedua-duanya menjadi mabuk, sehingga tingkah laku mereka sangat tidak terkendali.
Sutasuni menjadi sangat tidak senang terhadap sikap mereka. Ia benar-benar merasa terganggu. Sehingga karena itu. maka iapun berkata kepada kawannya, "Siapkan kawan-kawan kita yang bersedia membantu. Kita akan membungkam mereka yang berteriak-teriak. Bukankah mereka yang ada di penginapan ini tidak terlalu banyak sehingga apa yang akan kita lakukan itu tentu akan mendapat perhatian para pemimpin mereka."
Tetapi kawannya menjadi ragu-ragu. Katanya, "Tetapi mereka adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati, Ki Sutasuni."
"Aku tidak peduli."
"Jika terjadi perselisihan dan bahkan perkelahian, mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka akan menjadi marah kepada orang-orang yang mabuk itu. Tetapi merekapun tentu akan mencari Ki Sutasuni."
"Aku akan pergi dari penginapan ini. Kau kira aku dapat bermalam dengan tenang disini?"
"Pergi ke mana?"
"Hari pasaran telah lewat. Tentu ada penginapan yang mempunyai bilik yang kosong."
"Mereka akan menyebar dan memasuki setiap penginapan."
"Aku akan tidur di pategalan. Bukankah kita terbiasa melakukannya" Kita memang dapat bermanja-manja disini. Tetapi kita pada dasarnya adalah bukan orang-orang yang manja."
Kawan Sutasuni itu masih saja ragu-ragu. Namun Sutasunipun membentak, "Cepat. Kau dengar suara-suara gaduh yang semakin keras itu. Aku sangat membencinya."
Kawan Sutasuni itu tidak sempat berpikir lagi. Iapun segera pergi untuk memanggil beberapa orang kawan yang menginap di penginapan lain yang tersebar untuk menghindari perhatian orang terhadap gerombolan Panji Kukuh.
Setelah gerombolan Guntur Ketiga di hancurkan oleh Panji Kukuh, belum ada gerombolan lain yang dapat menyainginya, sehingga perdagangan gelap dibawah permukaan di Seca itu seakan-akan dikuasainya sepenuhnya. Jika ada kelompok-kelompok kecil yang menghubunginya, maka kelompok-kelompok itu berada dibawah kendalinya.
Kawan Sutasuni tidak memerlukan waktu banyak. Beberapa saat kemudian, orang itu sudah kembali sambil berkata, "Beberapa orang itu sudah siap di luar penginapan. Mereka akan masuk jika suasana sudah menjadi gaduh."
Sutasuni menarik nafas panjang. Iapun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan sambil berkata, "Nah, apakah kau benar-benar mau ikut atau tidak" Tetapi ini bukan permainan sur kulon sur wetan di halaman pada saat terang bulan. Kami benar-benar akan berkelahi. Jika kalian merasa tidak mampu melindungi diri sendiri, sebaiknya kalian tidak usah ikut. Masih ada waktu untuk meninggalkan penginapan ini atau kembali ke bilik kalian."
"Tidak," jawab Glagah Putih, "kami sudah memutuskan untuk ikut bersama kalian."
"Tetapi kami tidak akan sempat melindungi kalian. Jika terjadi sesuatu atas kalian, itu adalah tanggung jawab kalian sendiri."
"Ya. Mereka telah meremehkan isteriku. Aku ingin menghajar mereka. Tetapi tentu tidak dapat kami lakukan hanya berdua saja."
"Baik. Ikutlah jika kalian mau ikut. Tetapi kalian harus melindungi keselamatan kalian sendiri."
Sejenak kemudian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya telah keluar dari biliknya. Di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya.
Ternyata yang menjadi ramai, ribut oleh igauan dan suara suara gaduh tidak hanya di bilik sebelah bilik Sutasuni. Sela Aji dan Demung Pungut sudah tidak mampu lagi menguasai mereka yang sedang mabuk. Apalagi beberapa orang yang baru datang di Seca bersama Ki Saba Lintang sendiri dan ditempatkan dipenginapan itu.
Sutasuni sangat benci suasana seperti itu. Karena itu ketika orang yang berada dibilik di sebelah biliknya itu meneriakkan tembang dengan irama yang sama sekali tidak mapan. Sutasuni telah mengetuk pintu biliknya. Tidak dengan tangannya, tetapi dengan batu sebesar telur itik.
"He, diam kau pemabuk," teriak Sutasuni yang marah.
Orang yang berada di dalam bilik itu terkejut juga meskipun mereka sedang mabuk. Kesadarannya masih tetap ada meskipun sudah tidak lurus lagi.
Karena itu, maka orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar kedua orang yang sedang ada di dalam berteriak hampir berbareng, "He. iblis manakah yang telah berani mengganggu ketenangan kami."
"Kalianlah yang telah mengganggu orang lain. Kemarin malam sebelum kau mabuk, kau sudah mengganggu. Apalagi sekarang setelah kalian mabuk."
"Aku tidak mabuk," terdengar seorang menjawab dengan suara parau.
Tetapi yang seorang lagi agaknya tidak dapat mengekang diri. Dalam mambuknya orang itu menjadi marah. Sambil mengumpat-umpat diangkatnya selarak pintunya.
"Aku bunuh kau," teriaknya kemudian.
Begitu pintu terbuka, orang itupun segera mengayunkan selarak pintu yang ada ditangannya itu kearah kepala Sutasuni.
Namun Sutasuni sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ketika selarak pintu itu terayun, maka Sutasumpun segera mengelak.
Tetapi demikian selarak pintu itu terayun tanpa menyentuh tubuhnya. Sutasunipun segera melontarkan serangan kakinya terjulur lurus mengenai orang itu, sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Orang itu terdorong kebali masuk ke dalam biliknya menimpa kawannya yang sedang bergerak keluar. Keduanyapun terjatuh saling menindih didalam biliknya.
Tetapi keduanya dengan cepat bangkit sambil berteriak-teriak marah.
Dengan garangnya keduanyapun segera meloncat keluar. Merekapun dengan serta merta telah menyerang Sutasuni sambil berteriak-teriak kasar.
Beberapa orang kawannya memang belum tidur. Ada diantara mereka yang mabuk, setengah mabuk atau mereka yang kesadarannya masih utuh, tetapi kepalanya mulai terasa pening.
Ketika mereka mendengar kegaduhan itu, maka merekapun segera berlari-larian keluar dari bilik mereka.
Beberapa orang yang berdatangan itu ternyata sama sekali tidak berniat melerai perkelahian. Tetapi merekapun segera membantu kawannya menyerang Sutasuni.
Dengan demikian maka kedua orang kawan Sutasunipun segera melibatkan diri mereka. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiam diri.
Namun beberapa saat kemudian orang-orang dari perguruan Kedung Jati itupun menjadi semakin banyak.
Dengan demikian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya segera mengalami kesulitan. Apalagi orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu pada dasarnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kawan-kawan Sutasuni yang lain masih berada di luar halaman penginapan.
Karena itu, maka seperti yang dijanjikan Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memasuki arena perkelahian. Dengan tangkasnya mereka berdua berloncatan diantara orang-orang yang berilmu tinggi itu.
Sutasuni dan kawan-kawannya memang agak terkejut. Mereka tidak mengira bahwa Glagah Putih dan isterinya adalah orang-orang yang memiliki bekal kanuragan yang tinggi, sehingga diantara para pengikut Ki Saba Lintang itu, Glagah Putih mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan demikian pula isterinya.
Karena itu, maka Sutasunipun menjadi semakin mantap. Dengan garang Sutasuni menyerang orang-orang yang sedang mabuk dan setengah mabuk itu.
Apalagi ketika beberapa orang kawannya berdatangan memasuki halaman penginapan itu, sehingga perkelahian itupun semakin seru.
Petugas di penginapan itupun telah datang pula. Tidak hanya seorang. Tetapi beberapa orang. Mereka berusaha untuk melerai perkelahian itu. Sambil berteriak-teriak mereka menyibak orang-orang yang sedang terlibat dalam perkelahian yang semakin menjadi sengit.
Tetapi para petugas yang meskipun memiliki bekal serba sedikit dalam olah kanuragan itu, tidak mampu berbuat apa apa. Ketika orang-orang yang terlibat dalam perkelahian meningkatkan kemampuan mereka, maka para petugas itu justru harus menepi, karena perkelahian itu akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka.
Orang yang di pringgitan menggamit Rara Wulan dan bertanya namanya, telah berada di arena perkelahian itu pula. Ia memang menjadi heran, bahwa perempuan itu terlibat dalam perkelahian itu pula.
Dengan mulut yang berbau tuak, orang itu mencoba, untuk memanfaatkan kegaduhan itu. Karena itu, maka orang itu sengaja menyelinap diantara kawan-kawannya mendekati Rara Wulan.
Tiba-tiba saja orang itu telah menyergap Rara Wulan dan langsung menyekapnya dari belakang, pada saat Rara Wulan sedang menghindari serangan salah seorang pengikut Ki Saba Lintang.
Rara Wulan terkejut. Dengan gerak naluriah, sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Rara Wulanpun sedikit pada pijakan kakinya, Rara Wulan telah menghantam lawannya dengan sikunya tepat diarah ulu hati.
Orang yang menyekap Rara Wulan itu terkejut, ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak secepat itu. Karena itu, maka dekapannyapun terlepas dan bahkan sambil menyeringai kesakitan orang itu terdorong surut selangkah. Sementara Rara Wulanpun bergerak selangkah pula maju. Dalam pada itu. selagi orang itu belum sempat memperbaiki keadaannya. Rara Wulan telah melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya bergerak mendatar menyambar dagu orang itu.
Orang itu sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ia terlempar beberapa lagkah dan kemudian jatuh terbanting di tanah.
Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri. Tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit di dagu dan arah ulu hatinya, sehingga nafasnya terasa sesak.
Namun Rara Wulan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi terhadap orang itu. Seorang yang lebih muda dan orang itupun telah menyerangnya pula. Namun Rara Wulan telah bersiap menghadapinya.
Sementara itu, perkelahianpun menjadi semakin sengit. Sutasuni dan kawan-kawan sempat merasa heran melihat Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dari kebanyakan para pengikut Panji Kukuh. Bahkan kemampuannya keduanyapun tidak lebih rendah dari kemampuan Sutasuni sendiri.
Sejenak kemudian perkelahian itupun menjadi semakin seru. Sela Aji dan Demung Pugut agaknya terlambat mendatangi arena perkelahian itu sehingga perkelahian itu sudah merambat ke halaman. Beberapa orang kawan Sutasuni telah melibatkan diri pula berkelahi melawan orang-orang dari perguruan Kedung Jati.
Di halaman, Glagah Putih dan Rara Wulan justru nampak lebih garang dari kawan-kawan Sutasuni dan bahkan Sutasuni sendiri. Beberapa orang yang berkelahi bersama-sama melawannya sulit untuk dapat bertahan terlalu lama. Bergantian mereka terlempar dari arena dan jatuh berguling-guling di halaman. Ketika Sela Aji dan Demung Pugut sampai di halaman, maka iapun segera berteriak-teriak serta mencoba menghentikan perkelahian itu.
"Berhenti, berhentilah pemabuk," teriak Sela Aji.
"Aku akan membunuh mereka," teriak orang yang sudah separo baya yang datang di Seca kemudian bersama Ki Saba Lintang.
"Tidak, berhentilah."
"Aku tidak mabuk Sela Aji. Aku tahu itu. Tetapi aku tidak senang diperlakukan seperti ini oleh orang-orang sombong yang merasa dirinya memiliki kademangan ini."
"Kita akan membicarakannya."
"Itu tidak perlu."
Namun Sutasuni berteriak, "Mereka telah mengganggu kami."
Sela Aji menjadi kebingungan. Demung Pugutpun berteriak-teriak pula, "Berhentilah. Nanti kita akan menyelesaikan persoalannya."
Tetapi orang-orang yang berkelahi itu tidak mau berhenti. Bahkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta datang dari sebuah perguruan yang besar, ingin menunjukkan kebesaran mereka. Menurut pendapat mereka, orang-orang lainlah yang harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat apa saja sesuka hati mereka.
Ternyata Sela Aji dan Demung Pugut tidak mampu lagi melerai mereka yang berkelahi. Para petugas penginapan itupun telah mencoba pula membantu Sela Aji dan Demung Pugut. Mereka ikut berteriak-teriak agar perkelahian itu berhenti. Tetapi merekapun tidak berhasil pula.
Dalam pada itu, Sutasuni yang merasa sangat terganggu itupun telah berkelahi dengan meningkatkan kemampuannya pula. Ia sadar, bahwa yang dilawan adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang besar. Orang-orang yang tentu berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu, Sutasuni itu sempat mengagumi Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya berkelahi dengan garangnya. Kemampuan mereka benar-bepar cukup tinggi, sehingga dapat mengimbangi lawan-lawan mereka. Namun lawan semakin lama semakin banyak. Sutasunipun merasa bahwa bersama kawan-kawannya mulai mengalami kesulitan. Hanya Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang masih mampu berloncatan kesana-kernari. Kemampuan lawan-lawan mereka sama sekali tidak membatasi gerak kedua orang suami isteri itu.
Namun akhirnya Sutasunipun berkata dengan suara lantang. "Tinggalkan tempat ini. Kita sudah menyatakan sikap kita. Biarlah para petugas serta pemilik penginapan ini yang nanti menertibkan mereka yang tidak mempunyai tatanan. Yang sama sekali tidak menghargai orang lain. Seca akan menjadi neraka jika mereka itu akan tinggal di lingkungann ini."
"Tidak. Jangan salah paham," teriak Sela Aji.
Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
"Kita mencari penginapan lain yang lebih tertib dari penginapan ini."
"Tunggu Ki Sanak. Aku akan berbicara," teriak Sela Aji pula.
Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan. Ia sempat berkata kepada Glagah Putih, "Ki Sanak. Ajak isterimu pergi meninggalkan penginapan yang ribut ini."
Tidak ada yang dapat mencegah lagi. Mereka segera bergeser menuju ke pintu regol halaman yang terbuka.
Sela Aji dan Demung Pugutpun berlari ke pintu regol itu pula. Ketika Sutasuni dan kawan kawannya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol, maka Sela Aji dan Demung Pugut mencoba untuk menghalangi kawan-kawan mereka yang akan mengejar keluar regol.
"Jangan keluar regol halaman. Jangan berkelahi di luar. Kalian akan merusak ketenangan hidup orang-orang Seca yang selama ini mereka pertahankan."
Orang-orang yang sedang mabuk, setengah mabuk dan yang tidak mabuk sama sekali, memang berhenti dipintu. Sementara Sela Ajipun berteriak pula, "Kembali ke bilik kalian masing-masing. Jaga ketenangan penginapan ini. Jangan mengganggu orang lain yang juga sedang menginap di penginapan ini."
"Mereka harus diajar untuk menghormati kita. Bukankah kita orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang besar."
"Agar kita dihormati, maka kitapun harus menghormati orang lain."
Orang yang sudah separo baya itu menyahut, "Kitalah yang terbesar. Orang lain yang harus menghormati kita. Jika perlu kita akan memaksa mereka dengan kuasa yang ada pada kita."
"Bukan begitu maksud Ki Saba Lintang. Khususnya di kademangan ini."
Dalam pada itu. selagi mereka masih berbantah di dalam regol halaman regol halaman penginapan, sekelompok petugas dari Seca telah berdatangan. Mereka adalah petugas yang dibentuk oleh Ki Demang di Seca untuk tetap mempertahankan keamanan di kademangan ini. Tetapi orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah meremehkan mereka. Dengan nada tinggi seorang berkata, "Suruh mereka mencuci mangkuk dan menimba air di pakiwan."
"Diam," teriak Sela Aji yang menjadi benar-benar marah. Sementara Demung Pugut pun berteriak pula, "Apa yang kalian lakukan akan kami laporkan kepada Ki Saba Lintang."
"Kau kira Ki Saba Lintang tidak memperdulikan tingkah laku kalian di tempat yang lain. Tetapi tidak di Seca ini."
Sementara itu pemimpin sekelompok petugas dari kademangan itupun menemui Sela Aji sambil bertanya, "Apa yang terjadi disini, Ki Sanak.''
Ternyata salah seorang petugas di penginapan itu telah melaporkan apa yang telah terjadi di penginapan itu kepada para petugas.
"Hanya sedikit salah paham, Ki Sanak." jawab Sela Aji, "seseorang meresa terganggu oleh orang lain."
Pemimpin sekelompok petugas dari kademangan Seca itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu iapun bertanya pula, "Tetapi terjadi perkelahian antar kelompok melawan kelompok."
"Ya," jawab Demung Pugut, "semula hanya dua orang yang biliknya bersebelahan. Yang satu merasa terganggu oleh yang lain. Terjadi perselisihan. Perselisihan itu berkembang demikian cepatnya, sehingga petugas di penginapan ini tidak sempat melerainya. Kawan-kawan mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu saling membantu, sehingga akhirnya terjadi perkelahian antara kelompok melawan kelompok. Tetapi seperti yang Ki Sanak lihat, perkelahian itu sudah selesai. Sekelompok diantara mereka yang berselisih telah meninggalkan halaman penginapan ini."
"Mereka pergi ke mana ?"
"Tentu saja kami tidak tahu," jawab Sela Aji.
"Yang pergi itu orang yang merasa terganggu atau justru orang yang dianggap mengganggu" "
"Mereka adalah orang yang merasa terganggu."
Pemimpin sekelompok petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian persoalannya sudah selesai. Orang-orang yang merasa terganggu itu sudah meninggalkan penginapan ini."
"Aku tidak tahu, apakah mereka akan kembali atau tidak. Mungkin mereka akan kembali membawa kawan-kawan mereka."
"Mudah-mudahan tidak," jawab pemimpin sekelompok petugas itu, "meskipun demikian, kami akan selalu mengawasi penginapan ini. Jika terjadi kerusuhan lagi, biarlah petugas penginapan ini memukul kentongan. Namun aku minta, orang-orang yang bermalam di penginapan ini dapat saling menjaga. Bertimbang rasalah, sehingga tidak akan terjadi kerusuhan-kerusuhan. Selama ini Seca adalah sebuah kademangan yang aman."
"Baik, Ki Sanak. Kami akan mencoba menjaga agar kami tidak mengganggu orang lain."
Para petugas kademangan itupun kemudian telah meninggalkan penginapan itu. Kepada petugas di penginapan itu, pemimpin sekelompok petugas itupun berkata, "Jaga penginapanmu dengan baik. Jika terjadi kekisruhan lagi, bunyikan kentongan. Kami akan segera datang."
"Baik Ki Sanak," jawab salah seorang petugas di penginapan itu.
Sejenak kemudian, para petugas itupun meninggalkan regol halaman penginapan. Sementara itu, seorang yang berkumis lebat bertanya kepada kawannya.
"Gerombolan tikus-tikus itu tadi ingin menertibkan kita?"
Mendengar pertanyaan itu, beberapa orangpun tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Kami menghormati tugas-tugas mereka. Karena itu, kita tidak akan mengganggunya."
Namun Sela Ajipun membentak, "Mereka adalah orang-orang yang terlatih."
Tetapi beberapa orang masih saja mentertawakannya. Wajah Sela Aji menjadi merah. Tetapi Demung Pugut yang lebih tua berkata, "Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Jantungmu akan dapat berhenti berdetak."
"Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi kata-kataku."
"Bukankah kau sudah bertahun-tahun bergaul dengan mereka."
"Tetapi kali ini kita mengemban tugas agak berbeda. Seharusnya mereka dapat mengerti."
"Mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak sendiri. Jangan hiraukan mereka lagi."
Sela Aji menarik nafas panjang. Bersama Demung Pugut, Sela Ajipun segera meninggalkan regol dan ke pendapa langsung menuju biliknya. Namun bilik disebelahnya itupun sudah kosong. Ketika Sela Aji menjenguk lewat daun pintu yang terbuka, didalam bilik sebelahnya itu tidak lagi terdapat seorangpun.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang meninggalkan penginapannya, mengikuti Sutasuni dan kawan-kawannya. Ternyata mereka tidak berada di satu penginapan. Beberapa orang menginap di penginapan di sebelah Barat pasar. Yang lain di penginapan yang kurang terpelihara di sebelah Selatan pasar.
Penginapan yang sekedarnya saja dipergunakan untuk meletakkan tubuh di amben besar yang dipergunakan untuk beberapa orang sekaligus.
"Aku akan langsung menghadap Ki Panji Kukuh," berkata Sutasuni.
"Bagaimana dengan kami?" bertanya Glagah Putih.
"Apa rencanamu selanjutnya," Sutasuni justru bertanya.
"Aku tidak punya rencana apa-apa."
"Jadi untuk apa kau berada di Seca?"
"Kami berdua adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain."
"Kalian tidak terikat dengan siapapun?"
"Tidak. Kami tidak terikat dengan siapa-siapa. Terakhir kami mencoba berhubungan dengan Jati Ngarang. Tetapi ternyata di Seca kami tidak dapat menemuinya. Aku sudah dua kali pasaran berkeliaran di pasar ini."
"Jati Ngarang" Untuk apa?"
"Kau kenal dengan Jati Ngarang?"
"Pencuri ayam dan jemuran itu. Untuk apa kau berhubungan dengan sejenis kecoa itu?"
"Jati Ngarang menawarkan hubungan perdagangan yang menarik buat kami berdua."
"Tinggalkan Jati Ngarang. Jika kau mau, ikut aku."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara Sutasuni berkata, "Kalian berdua adalah orang-orang berilmu tinggi. Kalian pantas berada di dalam lingkungan yang terhormat. Kenapa kalian memilih berhubungan dengan Jati Ngarang yang berada di luar hitungan itu?"
"Kami baru akan mulai. Kami tidak tahu jalur yang lebih pantas dari Jati Ngarang."
Sutasuni termangu-mangu sejenak. Ia sudah melihat, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Keduanya mampu bertempur dengan garang melawan orang-orang dan perguruan yang besar, Kedung Jati. Kedua orang itu sama sekali tidak menjadi gentar, sementara di dalam pertarungan keduanya mampu menunjukkan kelebihan mereka.
"Ki Sanak," berkata Sutasuni, "jika bersedia bersama kami. aku akan menyampaikannya kepada Ki Panji Kukuh."
"Maksud Ki Sanak?"
"Daripada kalian berhubungan dengan cucurut seperti Jati Ngarang, aku kira lebih baik kalian berada didalam lingkungan kami."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kepada Rara Wulan Glagah Putih itupun bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
"Kita akan melihat dahulu, apakah kita sesuai atau tidak. Selama ini kita tidak pernah merasa tidak terikat dengan sisapun," jawab Rara Wulan.
"Dalam perdagangan gelap, dapat saja seseorang tidak terikat dengan siapapun. Tetapi dengan demikian tidak ada satu lingkungan yang akan dapat melindunginya. Dalam perdagangan gelap, orang-orang yang demikian biasanya akan hilang begitu saja tanpa ada yang mengetahuinya kemana perginya. Untuk selamanya ia tidak akan pernah muncul kembali."
"Jika orang itu tidak merugikan segala pihak?"
"Mereka dapat menjadi ular berkepala bukan hanya dua. Meskipun mula-mula tidak ada niat untuk berbuat seperti itu, namun akhirnya orang-orang yang tanpa ikatan itu akan memilih kaitan yang terbaik bagi diri mereka. Nah, pada saat-saat yang demikian itulah, maka orang-orang yang merasa dirinya tanpa ikatan itu akan hilang."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya Glagah Putih mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Kami setuju bergabung dengan kalian."
"Baik. Aku akan menyampaikan kepada Ki Panji Kukuh. Siapakah sebutan kalian yang pantas aku sampaikan kepada Ki Panji?"
"Kenapa dengan sebutan itu?"
"Jarang sekali orang menyebutkan namanya sendiri yang sebenarnya. Biasanya mereka memilih nama yang dapat memberikan dukungan bagi kerja yang dilakukannya."
"Apakah namamu juga bukan namamu sendiri?"
"Namaku memang Sutasuni. Aku tidak dapat membuat nama lain yang lebih baik dari namaku sendiri."
"Ki Panji Kukuh ?"
"Itu bukan namanya sendiri. Tetapi kita tahu, bahwa orang itulah yang dimaksud dengan Ki Panji Kukuh."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku lebih senang memakai namaku sendiri meskipun barangkali tidak terasa garang."
"Siapa namamu?"
"Carangkerep. Aku tidak tahu kenapa orang tuaku memberiku nama Carangkerep. Tetapi aku sering juga dipanggil Nagagundala."
"Bagus. Kami akan memanggilmu Nagagundala. Nama itu lebih seram."
"Apakah aku pantas disebut Nagagundala ?"
"Ujudmu memang tidak. Tetapi ilmumu akan dapat mengejutkan lawan-lawanmu."
"Terserah sajalah."
"Isterimu ?" "Namanya sendiri Mawanti. Tetapi panggil saja Nyi Nagagundala."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Suaminya sering memakai nama lain. Tetapi selalu berganti-ganti, sehingga setiap kali ia harus mengingat-ingat siapakah namanya pada satu saat.
"Baik. Baik. Aku akan menghubungi Ki Panji Kukuh. Kau tunggu saja di sini."
"Disini?" Sutasunipun kemudian berkata kepada seorang kawannya
"Bawa Ki Nagagundala ini kepanginapanmu."
"Isterinya?" "Ya, kedua-duanya."
"Tetapi keberadaan Nyi Nagagundala akan membuat penginapan itu gaduh. Tidak ada seorang perempuanpun menginap di penginapan sebelah Selatan pasar itu. Disana hanya ada beberapa amben panjang di barak yang luas memanjang."
"Tidak apa-apa. Aku akan berbicara dengan Ki Panji Kukuh."
"Baik. Tetapi kami akan menunggu diluar regol halaman penginapan."
"Terserah kepadamu."
Ki Sutasuni itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dua orang kawannya. Mereka pergi ke penginapan di sebelah Selatan pasar. Tetapi seperti yang dikatakan kawan Sutasuni, mereka tidak masuk ke dalam penginapan itu agar keberadaan Rara Wulan tidak menarik perhatian.
Beberapa lama mereka berada di halaman penginapan yang sudah sepi itu. Dalam kegelapan tidak segera nampak perbedaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara itu, petugas di penginapan itupun tidak bekerja setertib petugas di penginapan yang ditinggalkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan setelah lewat tengah malam, merekapun telah tidur mendengkur di gardu di sebelah sayap kanan penginapan itu.
"Apakah orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu tidak akan mencari kita sampai kemari?" bertanya Glagah Putih.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nampaknya tidak. Orang yang mengawasi keberadaan mereka di Seca agaknya tidak akan membiarkan orang-orangnya itu mencari kita."
Glagah Putih terdiam. Rara Wulanlah yang kemudian berdesis, "Setelah kita pergi, maka mereka akan berbuat sekehendak hati di penginapan itu. Orang-orang yang mabuk dan setengah mabuk itu akan menjadi semakin mabuk. Agaknya Sela Aji dan Demang Pugut sudah tidak berdaya lagi."
"Ya, mereka akan tenggelam dalam dunia yang lain didalam alam mabuk mereka."
Tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, "Malam ini adalah malam yang mengandung seribu kemungkinan."
Rara Wulan tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas panjang sambil menyilangkan tangannya didadanya.
Sementara itu, Sutasuni telah menemui Ki Panji Kukuh yang berada di penginapan, di sebelah Barat pasar. Kedatangan Sutasuni agaknya telah mengejutkannya.
Sambil mengusap matanya yang sudah terpejam beberapa saat, iapun bertanya, "Ada apa malam-malam begini kau mencari aku?"
"Kami telah berkelahi, Ki Panji."
"Berkelahi dengan siapa dan ada persoalan apa?"
"Persoalannya sebenarnya tidak penting. Tetapi orang itu sangat menjengkelkan."
"Katakan, apa yang terjadi."
Sutasunipun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi.
"Orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu sangat menjengkelkan. Aku tidak tahan lagi."
"Kau membuka permusuhan dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati" Jika itu yang kau lakukan, maka kau telah memanggil bencana. Mungkin tidak hanya bagi dirimu sendiri. Tetapi bagi kita semuanya."
"Mereka tidak tahu, siapa kami yang telah berkelahi dengan mereka di penginapan itu."
"Tetapi mereka akan segera mengetahuinya. Bukankah mereka akan berada disini untuk beberapa hari?"
"Kami tidak tahu, Ki Panji. Tetapi agaknya memang begitu."
Mereka sedang mengamati kademangan Seca. Mungkin mereka akan menjadikan kademangan ini salah satu landasan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali perguruan Kedung Jati."
Pewaris Mustika Api 1 Pendekar Naga Putih 74 Misteri Di Bukit Ular Emas The Feels Fat 2
Glagah Putih yang kemudian duduk di amben panjang di dalam biliknyapun berkata, "Mudah-mudahan mereka bermalam di penginapan ini."
"Ya. Tetapi mudah-mudahan mereka bukan orang-orang yang pernah mengenal kita berdua."
Glagah Pulih mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Mudah-mudahan."
Dalam pada itu, suara gamelan di pringgitan yang melantunkan lagu-lagu ngelangut membuat Rara Wulan mengantuk. Karena itu, maka bergantian merekapun kemudian pergi ke pakiwan.
Tetapi seperti kebiasaan mereka, maka merekapun tidur bergantian. Apalagi mereka berada di lingkungan yang meskipun terasa aman dan tenang di permukaan, namun mereka mengetahui, bahwa ada gejolak di kedalaman. Gejolak karena adanya arus perdagangan terlarang yang agaknya melewati daerah itu, sementara perguruan Kedung Jatipun lelah mengarahkan pandangan matanya ke Seca.
Malampun kemudian menjadi semakin dalam. Rara Wulanlah yang telah tidur lebih dahulu. Sementara Glagah Putih duduk di amben kayu panjang di dalam biliknya.
Namun malampun berlalu tanpa ada persoalan yang menarik perhatiannya. Sedikit lewat tengah malam, maka suara gamelanpun berhenti. Para pengrawit meninggalkan pringgitan penginapan itu.
Glagah Putih masih mendengar petugas di penginapan itu membenahi beberapa macam perabot serta mangkuk-mangkuk minuman dan makanan yang masih berserakan di antara gamelan. Kemudian petugas itupun menutup pintu pringgitan. Namun seperti biasanya dibiarkannya pintu butulan tetap terbuka.
Menjelang dini hari, tanpa dibangunkan Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya. Digosoknya matanya sambil beringsut turun dari pembaringannya.
"Tidurlah kakang. Aku sudah tidur terlalu lama," berkata Rara Wulan.
"Masih banyak waktu," berkata Glagah Putih.
"Sudah dini hari. Kau dengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya?"
"Belum kedua." "Kau kira aku tidak mendengar ketika kentongan dibunyikan dengan irama dara muluk di tengah malam?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "kalau begitu, kau tentu belum sempat tidur."
"Aku dengar suara kentongan itu dalam mimpiku."
"Nanti aku terlalu banyak tidur. Aku akan menjadi gemuk. Aku tidak mau."
Glagah Putih tertawa. Tetapi iapun kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan tidur. Sebenarnya kita tidak perlu tidur bergantian. Jika pintu itu diselarak dengan baik, kaupun dapat tidur pula meneruskan mimpimu."
Glagah Pulih masih tertawa. Namun iapun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, sementara Rara Wulan duduk di amben kayu sambil membenahi sanggulnya.
Glagah Putih memang sempat tidur, sementara Rara Wulan masih saja duduk di amben kayu. Namun Rara Wulan yang duduk diam itu sama sekali tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan tarikan nafas nyapun terdengar ajeg sebagaimana seorang yang sedang tidur.
Tiba-tiba saja Rara Wulan itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar suara pintu bilik sebelah terbuka.
"Kosong, Ki Sanak." terdengar suara petugas penginapan itu.
"Yang sebelah?"
"Bilik itu dipergunakan oleh sepasang suami isteri."
"Apakah mereka tidak akan segera meninggalkan penginapan ini?"
"Tidak Ki Sanak."
Rara Wulan justru berusaha mendengarkan pembicaraan itu. Rasa-rasanya ia sudah pernah mendengar suara itu.
Baru kemudian, ketika seorang yang lain berbicara, Rara Wulanpun segera teringat dimana ia mendengar suara itu.
"Ki Kebayan," berkata Rara Wulan di dalam hatinya, "yang seorang itu tentu Ki Sela Aji."
"Baiklah," berkata Ki Kebayan, "jika tadi kami masih belum memesannya karena kami masih ingin melihat-lihat beberapa penginapan yang lain, maka sekarang kami pasti akan memesannya."
"Bagaimana dengan banjar padukuhan?" bertanya petugas penginapan itu.
"Banjar padukuhan ternyata tidak akan dapat menampung. Lebih baik kami menyediakan tempat lebih banyak daripada harus mencari kesana-kemari. Bukankah esok lusa hari pasaran" Jika kami tidak memesannya sekarang, mungkin kami akan kesulitan mencari tempat bagi tamu-tamu kami."
"Baik, Ki Kebayan. Tetapi berapa bilik yang Ki Kebayan perlukan?"
"Semuanya." "Tetapi yang satu ini sudah terisi."
"Biar saja. Bukankah mereka orang baik-baik sehingga tidak akan mengganggu tamu-tamu kita itu?"
"Mereka orang baik-baik, Ki Kebayan."
"Nah, jika demikian jangan berikan tempat kepada orang lain."
"Barangkali esok kami sudah tahu, berapa bilik yang kami perlukan. Jika malam ini kami memesannya, karena kami teringat bahwa di hari pasaran, penginapan-penginapan akan kekurangan tempat."
"Baik, Ki Kebayan. Kami tidak akan memberikan tempat kepada orang lain."
"Tetapi jika esok ternyata kami tidak akan mempergunakan seluruhnya, maka yang lain dapat kau berikan kepada orang lain. Tetapi sebelum kami menentukan bilik yang kami butuhkan, jangan berikan lebih dahulu kepada orang lain."
"Baik, Ki Kebayan."
Sejenak kemudian, maka merekapun bergeser untuk melihat bilik yang lain. Nampaknya masih ada juga bilik yang terisi. Tetapi tamu yang menginap di bilik itu esok akan meninggalkan penginapan.
Demikian orang-orang itu pergi, Rara Wulan menarik nafas panjang. Jika Glagah Pulih bangun nanti, ia akan menceriterakan apa yang telah didengarnya.
Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun menggeliat. Iapun membuka matanya dan kemudian bahkan bangkit dan duduk di bibir pembaringan.
"Sudah berapa lama aku tidur" " bertanya Glagah Putih.
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Kau baru saja memejamkan mata."
"Bukankah sebentar lagi fajar akan menyingsing?"
"Baru dini hari."
"Aku sudah mendengar kokok ayam untuk ketiga kalinya malam ini."
"Kalau begitu kau belum tidur."
"Aku mendengar suara ayam jantan berkokok dalam mimpi."
"Ah kau," Rara Wulan bangkit sambil menjulurkan tangannya. Tetapi Glagah Putihpun bangkit pula dan bergeser, "Jangan Rara. Sakit."
"Kau harus berlatih untuk menguasai ilmu kebal. Mungkin Aji Lembu Sekilan, mungkin Aji Tameng Waja."
"Meskipun aku mempunyai ilmu kebal, tetapi Aji Namaskara yang kau kuasai akan mampu menembusnya."
"Aku koyak kulitmu," desis Rara Wulan.
Tetapi Glagah Putihpun bergeser menjauh, "jangan, jangan. Aku menyerah."
"Ssst," desis Rara Wulan, "jangan keras-keras. Nanti kita disangka sedang bertengkar."
"Tetapi jangan ..."
"Tidak. Tidak. Aku akan menaruh tanganku di punggung."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara Rara Wulan berkata, "Semalam ada orang yang melihat-lihat bilik sebelah. Ki kebayan dan yang seorang mungkin sekali Ki Sela Aji."
"Untuk apa?" "Mereka benar-benar akan memakai penginapan ini. Tetapi mereka tidak akan memaksa kita pergi."
"Benar?" "Benar, kakang," Rara Wulan berdesis hampir berbisik, "banjar padukuhan itu jelas tidak akan menampung. Mereka yang datang apakah Ki Saba Lintang sendiri atau bukan, akan membawa beberapa orang pengawal."
"Jadi itu sudah pasti?"
"Ya. Sudah pasti."
"Sokurlah. Beruntunglah bahwa kita mendapat tempat bermalam di penginapan ini. Tetapi kita harus berhemat untuk bertahan agak lama disini. Biasanya kita berkeliaran di hutan sehingga kita tidak perlu mengeluarkan uang sebagaimana kita berada di Seca."
"Jika persoalannya penting untuk dilaporkan setelah orang-orang yang ditugaskan oleh Ki Saba Lintang itu datang kemari, apakah tidak sebaiknya kita memberikan laporan dahulu sebelum kita melanjutkan perjalanan, mumpung belum terlalu jauh dari Mataram."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Kita akan melihat keadaan dahulu Rara. Jika perlu, kita akan kembali ke Mataram. Terlebih-lebih lagi jika kita memerlukan sepasukan prajurit. Meskipun kita mendapat wewenang dengan pertanda kewenangan itu, tetapi kita tidak tahu, apakah prajurit Mataram yang berada di sekitar daerah ini tidak disusupi oleh orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana para petugas di kademangan ini yang nampaknya kokoh. Tetapi ternyata justru para bebahu kademangan inilah yang telah membuat hubungan dengan Ki Saba Lintang."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, "Bahkan jika kita wenang memilih, maka aku akan minta para prajurit dari pasukan khusus di bawah pimpinan kakang Agung Sedayu."
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk, "tentu akan lebih baik. Kita sudah lebih mengenal mereka."
"Nah, kita akan melihat, apa yang akan terjadi dalam dua tiga hari mendatang."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Sementara itu, langitpun mulai menjadi merah. Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergantian pergi ke pakiwan untuk berbenah diri.
Hari itu kerja Glagah Putih dan Rara Wulan adalah menunggu. Rasa-rasanya hari menjadi bertambah panjang. Matahari bergerak dengan malasnya. Sementara itu segala sesuatunya menjadi sangat lamban.
Dalam pada itu, para pedagang yang ada di penginapan dekat pasar sudah meninggalkan penginapannya. Hari itu tentu akan berdatangan para pedagang yang lain. Besok adalah hari pasaran di pasar Seca.
"Bagaimana dengan pedagang yang memasuki perdagangan terlarang itu, kakang. Apakah besok kita akan mencarinya di pasar Seca. Bukankah orang itu mengatakan bahwa di hari han pasaran ia sering berada di Seca.
"Kita melihat suasana! Jika orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar datang, mereka akan lebih menarik untuk diperhatikan daripada mereka yang menelusuri perdagangan gelap, karena hubungannya dengan tugas kita lebih dekat."
"Ya kakang," sahut Rara Wulan.
"Nampaknya sore nanti atau malam nanti, tamu-tamu yang disebut-sebut oleh Ki Kebayan itu akan dalang ke penginapan."
"Kita akan mengawasi mereka. Kita akan berada di sebelah perangkai gamelan itu pada saat mereka datang. Kita akan melihat apakah ada diantara mereka yang dapat kita kenali."
"Ya. Agaknya menjelang sore hari kita tidak boleh meninggalkan penginapan ini."
Betapapun lambannya, namun malam haripun akhirnya turun pula di sisi langit sebelah Barat. Semakin lama semakin rendah. Sementara Glagah Pulih dan Rara Wulan sudah berada di penginapannya kembali, setelah mereka berdua pergi ke pasar.
Tetapi penginapan itu masih juga sepi. Seandainya orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar akan bermalam di penginapan itu, agaknya mereka masih belum datang.
Setelah mencuci, kaki dan tangannya, serta meletakkan makanan yang mereka beli di pasar, maka Glagah Pulih dan Rara Wulanpun duduk di belakang seperangkat gamelan yang ada di pringgitan.
Namun menjelang senja, beberapa orang penabuh gamelan itu telah berdatangan. Mereka memang dipesan untuk datang lebih awal dari biasanya.
Sebelum mereka mulai menabuh gamelan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berbincang dengan mereka. Glagah Pulih dan Rara Wulan sempat bertanya, sejak kapan mereka mulai menabuh gamelan di penginapan itu.
"Sejak penginapan ini membeli gamelan ini, Ki Sanak," jawab seorang penabuh yang rambutnya telah ubanan, "sejak di penginapan ini ada gamelan, kelompok kamilah yang diminta untuk menabuh disetiap malam menjelang dan sesudah pasaran di Seca."
"Jadi sepekan dua kali," desis Rara Wulan.
"Ya, Nyi. Sepekan dua kali."
"Bukankah kalian mendapat imbalan yang cukup?" bertanya Glagah Putih.
Orang yang rambutnya telah ubanan ilu termangu-mangu sejenak. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, iapun menjawab lirih, "Ya, cukuplah buat membeli oleh-oleh. Tetapi sebenarnya pemilik penginapan ini dapat memberi kami lebih banyak lagi. Bunyi gamelan ini dapat memberikan daya tarik yang besar bagi para tamu. Ketika di penginapan lain belum ada gamelan, maka setiap orang yang bermalam di Seca akan memilih penginapan ini. Baru kemudian, satu dua penginapan meniru membeli seperangkat gamelan pula untuk menjadi salah satu daya tariknya."
"Kenapa kalian tidak mengusulkan kepada pemilik penginapan ini, agar imbalan bagi kalian ditambah?"
"Ada beberapa pertimbangan, Ki Sanak. Di daerah ini terdapat banyak sekali penabuh gamelan yang cakap. Jika kami terlalu banyak tuntutan, maka kami tidak akan dipakai lagi disini. Pemilik penginapan ini akan dapat memanggil orang lain yang bahkan bersedia menerima imbalan lebih kecil."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Namun mereka tidak dapat berbincang lebih panjang. Para penabuh gamelan itupun kemudian mulai bergeser ke tempat mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, maka telah mulai terdengar suara gamelan yang ngerangin.
Dengan demikian, Glagah Pulih dan Rara Wulan merasa telah mendapat tempat yang baik. Ia berada di belakang seperangkat gamelan sehingga menjadi sedikit tersamar oleh para penabuh yang duduk di belakang jenis gamelan yang ditabuhnya.
Dalam pada itu, maka senjapun menjadi semakin gelap. Lampu-lampu minyak telah menyala di mana-mana.
"Apakah mereka benar-benar akan datang ?" desis Glagah Putih.
"Menurut pendengaranku, mereka benar-benar akan datang," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dari tempat duduk mereka, keduanya melihat, ada beberapa orang tamu yang akan menginap terpaksa dipersilahkan untuk mencari penginapan yang lain. Petugas di penginapan itu, dengan ramah dan hati-hati, menolak beberapa orang yang datang untuk menginap.
"Lihat," desis Rara Wulan, "ada beberapa orang yang harus mencari tempat lain meskipun agaknya mereka telah terbiasa datang dan menginap di penginapan ini."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, menjelang wayah sepi bocah, maka telah datang beberapa orang bersama-sama. Tetapi tidak sebanyak yang diperkirakan oleh Glagah Pulih dan Rara Wulan. Orang-orang itu tentu tidak akan memenuhi semua bilik di penginapan itu.
"Berapa orang kakang?" desis Rara Wulan.
Glagah Putih tidak segera menjawab, ia baru menghitung orang-orang yang datang diantar oleh Ki Kebayan itu.
"Hanya dua belas orang," desis Glagah Putih.
"Cukup banyak. Tetapi aku kira mereka akan datang berduyun-duyun serta memenuhi periginganap ini."
"Yang lain akan menginap di banjar. Agaknya mereka justru orang-orang terpenting dari para pengikut Ki Saba Lintang."
"Atau Ki Saba Lintang sendiri."
"Mungkin saja."
Keduanyapun terdiam. Para petugas di penginapan itupun menjadi sibuk mengatur beberapa bilik yang akan dipergunakan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Mereka tentu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pengaruh di perguruan yang sedang dipersiapkan untuk tampil kembali itu.
Dari tempatnya, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat melihat dengan jelas, beberapa orang yang naik ke pendapa. Sebelum para petugas selesai mengatur tempatnya, beberapa orang diantara mereka masih saja berdiri dan berbincang di pendapa.
Dalam pada itu, orang yang disebut bernama Sela Aji, yang telah datang mendahului kawan-kawannya, agaknya telah memilih tempat bagi dirinya sendiri.
"Biarlah aku berada di bilik di dekat perempuan cantik itu," katanya kepada petugas yang menyertainya melihat-lihat bilik yang sedang dipersiapkan itu.
"Perempuan itu menginap bersama suaminya," jawab petugas itu.
"Apa salahnya," jawab Sela Aji, "bukankah aku tidak akan mencari perkara."
"Lalu untuk apa Ki Sela Aji memilih tempat itu?"
Sela Aji tertawa. Katanya, "Aku adalah seorang petugas yang harus mengawasi orang-orang kami yang berada di Seca. Aku justru ingin mengamankan tempat itu. Jika yang ada di bilik dekat perempuan cantik itu orang-orang yang brangasan, maka akan dapat timbul masalah. Justru karena itu, maka akulah yang akan berada di bilik itu, agar tidak timbul masalah. Kami dalang kemari untuk mengemban tugas tertentu. Jika tugas itu dinodai, maka persoalannya akan menjadi rumit."
Ki Kebayan dan petugas di penginapan itu mengangguk angguk. Dengan nada rendah petugas di penginapan itu berkata, "Jika itu pertimbangan Ki Sela Aji, kami persilahkan."
Di pringgilan, Glagah Putih mencoba untuk mengenali orang-orang yang masih berdiri sambil berbincang-bincang. Ada yang berkesan pendiam dan bersikap tenang, tetapi ada yang tidak menghiraukan keadaan disekelihngnya. Ia tertawa kapan saja ia ingin tertawa. Keras-keras dan berkepanjangan. Bahkan ia berbicara dengan suara yang keras meskipun lawan bicara hanya selangkah didepannya. Bahkan ada diantara mereka yang nampak kasar dan ganas.
Petugas yang kemudian mempersilahkan mereka setelah bilik-biliknya selesai ditata, mengangguk-angguk selelah ia memperhatikan tamu-tamunya.
"Ki Sela Aji benar," berkata orang itu didalam hatinya, "jika yang ditempatkan di dekat bilik suami isteri itu orang-orang yang kasar dan ganas, serta tanpa mempedulikan orang lain. maka akan dapal timbul persoalan. Meskipun mereka ditempatkan di bilik yang lebih jauh akan dapat timbul persoalan pula, karena mau tidak mau, kadang-kadang mereka akan berpapasan juga dengan perempuan yang menginap bersama suaminya itu. Tetapi kemungkinannya menjadi lebih kecil, sementara Ki Seja Aji sendiri akan sempat mengamatinya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang berdiri di pendapa ilupun segera memasuki ruang dalam penginapan. Para petugas di penginapan ilu segera menunjukkan bilik masing-masing, sesuai dengan penempatan bagi mereka yang diatur oleh Ki Sela Aji dan Ki Kebayan.
Mereka menempati brlik bilik yang diperuntukkan bagi tiga atau empat orang , kecuali Ki Sela Aji berada di bilik yang diperuntukkan bagi dua orang disebelah bilik Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sebenarnyalah, orang-orang yang mendapat lugas untuk dalang ke Scca dari perguruan Kedung Jali itu, agak sulit dikendalikan. Mereka berbicara, tertawa dan bersikap sebagaimana mereka berada di tempat tinggal mereka sendiri.
"Sikap mereka agak berbeda dengan Sikap Ki Sela Aji," desis Glagah Putih.
"Ya," Rara Wulan mengangguk, "ada dua atau tiga orang yang bersikap baik. Tetapi yang lain nampaknya orang-orang yang sulit dikendalikan."
"Kita harus berhati-hati, Rara. Selain kedua belas orang itu. tentu masih ada yang lain yang bermalam di banjar. Justru para pemimpin mereka."
"Sayang, kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah tidak ada disini."
"Sayang sekali. Tetapi kita tidak sempat memberitahukan kepada mereka."
"Jika saja kita mendapat dua ekor kuda."
"Kita hanya akan kehilangan waktu. Kita tidak tahu, sampai kapan mereka akan berada disini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "jika saja kita tahu, berapa hari mereka akan berada disini. Sementara itu jika kita mendapatkan dua ekor kuda, maka dari Seca sampai ke Tanah Perdikan Menoreh kita akan dapat menempuh pulang balik dalam waktu satu hari satu malam."
"Lebih dari itu Rara Wulan. Mungkin jalan yang akan kita lalui bukan jalan yang datar dan rata."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk saja di belakang gamelan itu sampai larut malam. Mereka masih melihat beberapa orang yang justru keluar dari ruang dalam, melintasi pendapa dan turun ke halaman. Merekapun kemudian pergi keluar regol halaman penginapan itu.
Beberapa saat kemudian, Ki Sela Aji dan seorang yang sudah lebih dari separo baya keluar pula ke pendapa. Terdengar orang yang sudah lebih dari separo baya itu mengeluh, "Mereka sulit diatur."
"Asal mereka tidak membuat keributan saja paman. Kita datang kemari bukannya tanpa tujuan. Jika mereka membuat keributan, akan dapat menimbulkan persoalan baru."
Orang yang sudah lebih dari separo baya itu mengangguk. Sejenak keduanya terdiam. Namun kemudian Sela Ajipun berkata, "Paman Demung Pungut. Apakah bukan sebaiknya kita keluar dan melihat-lihat keadaan. Mungkin saja satu dua orang diantara mereka yang keluar dari penginapan ini mendapat masalah dengan tingkah laku mereka. Besok adalah hari pasaran. Mungkin sekali Seca malam ini sudah banyak didatangi orang. Mungkin para pedagang yang akan menggelar dagangannya di Seca esok. Mungkin juga para pedagang yang akan membeli barang dagangan di Seca untuk dibawa ke tempat lain. Dalam kesibukan seperti ini, anak-anak bengal itu akan dapat berbenturan kepentingan dengan mereka."
"Aku sudah pesan mewanti-wanti kepada mereka."
"Tetapi marilah, sebaiknya kita keluar pula, paman."
"Sebenarnya aku lebih senang duduk disini mendengarkan suara gamelan itu. Tetapi baiklah. Kita keluar barang sebentar."
Keduanyapun kemudian turun ke halaman dan keluar lewat pintu regol meninggalkan halaman penginapan.
"Tidak ada yang kita kenali, Rara. Mudah-mudahan merekapun tidak mengenali kita."
"Tentu tidak," jawab Rara Wulan, "nah, kita sekarang mau apa. Malam sudah menjadi semakin malam."
"Tetapi masih banyak orang yang berkeliaran di luar. Nah, lihat, masih ada juga orang yang datang untuk mencari penginapan disini."
"Jika mereka datang dari arah lain, akan berbeda Rara. Tidak semua jalan yang menuju Seca dibayangi oleh para perampok."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Namun ternyata bahwa petugas penginapan itu dapat menerima beberapa orang lagi menginap di penginapan itu, karena para pengikut Saba Lintang tidak mempergunakan seluruh bilik dan ruang yang ada di penginapan itu.
"Baiklah, kakang. Mari kita melihat-lihat keadaan, tetapi aku tidak akan mengenakan pakaian seperti ini. Aku akan menjadi seorang laki-laki. Aku akan mengenakan kain panjang sebagaimana seorang laki-laki. Aku akan memakai ikat kepala dan mengenakan baju khususku. Baju hitam itu tentu tidak akan menarik perhatian orang."
Glagah Putihpun tersenyum. Katanya, "Kau tidak mau diganggu lagi?"
"Tentu. Jika saja aku tidak dapat mengendalikan diri, akan dapat terjadi benturan kekerasan."
Glagah Putih tertawa. Namun Rara Wulan itupun berdesis, "kau mentertawakan aku?"
"Tidak. Tidak Rara."
Keduanyapun kemudian masuk ke dalam bilik mereka. Setelah Rara Wulan membenahi pakaiannya, maka merekapun meninggalkan penginapan itu.
Meskipun malam sudah menjadi semakin larut, namun menjelang hari pasaran, Seca masih tetap belum tertidur. Masih ada beberapa orang yang berjalan-jalan. Masih juga ada kedai yang pintunya terbuka. Apalagi disekitar pasar. Bahkan beberapa pedati masih juga berderet di depan pasar.
Ternyata para petugas di pasar itu memberikan kesempatan kepada para pedagang yang akan mengatur dagangan mereka di malam hari menjelang hari pasaran. Terutama para pedagang yang datang dari luar kademangan Seca. Namun bagi para petugas pasar yang terpaksa menunggui kerja mereka di malam hari, para pedagang itu juga memberikan imbalan sepantasnya.
Dalam kegelapan, Rara Wulan dengan cara berpakaian, memang tidak menarik perhatian. Ujudnya memang menyerupai seorang laki-laki.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di sekitar pasar. Mereka berdua justru telah pergi ke banjar untuk jika mungkin melihat siapa saja yang bermalam di banjar itu.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan banjar, maka mereka melihat di regol banjar itu telah dipasang oncor yang terang, sehingga di banjar itu seakan-akan sedang diselenggarakan satu Upacara.
"Hati-hati Rara," desis Glagah Putih, "kita akan mencoba mendekat."
Keduanyapun kemudian justru telah memasuki halaman rumah disamping banjar itu. Dengan hati-hati pula mereka menyusup ke sebelah gandok mendekati dinding halaman yang memisahkan halaman rumah itu dengan halaman banjar.
"Apakah kita meloncat?" desis Rara Wulan perlahan.
"Tunggu," bisik Glagah Putih, "kita belum tahu, apa yang berada di belakang dinding itu."
Rara Wulan mengangguk. Dinding halaman disekeliling banjar itu memang agak tinggi. Lebih tinggi dari dinding halaman rumah pada umumnya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis, "Aku akan memanjat pohon nangka yang melekat dinding halaman banjar itu."
"Aku ikut kakang," sahut Rara Wulan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulanpun berkata selanjutnya, "Bukankah aku juga pandai memanjat" Ingat kakang, aku pernah menjalani Tapa Ngalong dan bergayut pada kedua kakiku di sebuah dahan pohon yang besar."
Glagah Putih tersenyum. Katanya perlahan, "Ya. Aku hampir melupakannya."
Demikianlah keduanyapun kemudian memanjat sebatang pohon nangka di halaman rumah sebelah banjar. Pohon nangka yang hampir melekat dinding halaman banjar.
Dari sebatang dahan yang menjulur keatas halaman samping banjar padukuhan.
Ternyata tidak ada seorangpun di halaman samping. Agaknya para petugas kademangan dan padukuhan itu menganggap bahwa keadaan di Seca aman, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengadakan pengawasan dan penjagaan khusus di banjar dan sekitarnya. Meskipun mereka baru saja disibukkan dengan peristiwa yang terjadi di tepian sungai di ujung hutan.
Tetapi agaknya peristiwa itu mereka anggap sebagai permusuhan antara dua gerombolan yang saling mendendam serta berebut lahan. Sehingga persoalannya akan terbatas pada permusuhan serta saling mendendam di antara mereka.
Meskipun demikian, namun penjagaan di depan banjar itu nampaknya lebih ketat daripada hari-hari biasa, meskipun hari pasaran sekalipun.
"Kita masuk ke halaman samping Rara," desis Glagah Putih.
Namun mereka justru bergeser surut serta berlindung di balik rimbunnya daun nangka. Mereka melihat dua orang petugas kademangan yang bersenjata tombak berjalan di halaman samping itu. Mereka muncul dari sudut belakang banjar.
Demikian mereka lewat, Glagah Putih berdesis, "Hampir saja."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Demikian, maka sejenak kemudian, keduanyapun segera meloncat ke halaman samping banjar padukuhan. Merekapun segera menyelinap di balik gerumbulan perdu yang terdapat di halaman samping banjar padukuhan itu.
Dengan sangat hati-hati, keduanyapun bergeser dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain, sehingga mereka berada di belakang gerumbul perdu yang agak menjorok ke depan. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat beberapa orang yang berada di pendapa.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera dapat mengenali bebahu kademangan dan padukuhan itu, yang pernah mereka lihat di tepian sungai di ujung hutan setelah dua kekuatan di bawah permukaan berbenturan memperebutkan jalur perdagangan gelap.
Yang lain, yang justru mendapat kehormatan yang tinggi dari Ki Demang dan Ki Bekel serta para bebahu adalah orang-orang yang belum pernah dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Ki Saba Lintang sendiri tidak ada diantara mereka," bisik Rara Wulan.
"Ya. Sedangkan yang lain, bukan orang-orang yang pemah kita temui dalam benturan-benturan kekerasan yang terjadi dengan orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati itu."
Keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Mereka mengikuti saja apa yang terjadi di pendapa banjar itu dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian, mereka melihat kelompok orang berdatangan di banjar. Agaknya mereka adalah bagian dari para pengikut Ki Saba Lintang yang bermalam di penginapan yang sama dengan penginapan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sejenak kemudian, pendapa banjar itu menjadi semakin ramai.
Namun agaknya mereka belum melakukan perundingan apa-apa. Mereka masih saja duduk-duduk berbincang tentang apa saja. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa.
Glagah Putihpun kemudian menggamit Rara Wulan sambil berdesis, "Nampaknya belum ada yang penting untuk diikuti, Rara."
"Mungkin nanti. Lihat, beberapa orang sedang menghidangkan makan dan minum. Agaknya orang-orang yang berada di penginapan akan datang semuanya kemari untuk makan malam."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang yang bermalam di penginapan itu seluruhnya telah berada di banjar. Yang datang terakhir adalah Sela Aji bersama DemungPugut menggiring dua orang yang agaknya sedang mabuk tuak.
Demikian mereka mendekati tangga pendapa. Sela Aji telah mendorong keduanya sehingga hampir saja keduanya jatuh terjerembab.
"Ada apa"," bertanya seorang yang masih terhitung muda sedikit lebih tua dari Glagah Putih, yang duduk di pendapa banjar.
"Mereka mabuk, Ki Marbuka."
"O. Bawa mereka kemari."
"Kalian harus menghadap Ki Marbuka. Cepat," bentak Sela Aji.
Keduanyapun segera merangkak di pendapa menghadap orang yang disebutnya Ki Marbuka.
"Ampun. Aku tidak mabuk. Aku tidak mabuk sama sekali."
Yang lainpun berkata pula, "Aku juga tidak mabuk. Ki Sela Aji telah memfitnah jika ia mengatakan aku mabuk. Aku memang agak pusing. Tetapi sejak di perjalanan menuju Seca aku sudah pusing," orang itu tertawa. Namun suara tertawanyapun bagaikan tertelan kembali ketika tiba-tiba saja tangan orang yang disebut Ki Marbuka itu menampar wajahnya.
Demikian kerasnya, sehingga orang yang sedang mabuk itu terpelanting jatuh.
"O," orang itu mencoba untuk segera bangkit. Setengah sadar ia mengusap mulutnya yang berdarah.
"Ampun Ki Murdaka. Aku minta ampun. Kau jangan menyakiti aku seperti itu."
"Jika kau tidak mau diam aku bunuh kau," bentak Ki Murdaka.
"Ya, ya. Aku akan diam," sahut orang yang sedang mabuk itu, "aku tidak akan berbicara apa-apa tentang tuak yang manis itu. Akupun tidak akan mengatakan dimana aku dapat membeli tuak itu dengan harga murah. Aku tidak mau orang lain tahu, siapa yang telah menjual tuak itu kepadaku. Seorang perempuan yang cantik, ramah dan banyak senyum," orang itu tertawa lagi. Katanya, "Tetapi ki Murdaka jangan pergi ke sana. Jangan paksa perempuan itu memilih aku atau ki Murdaka. Orang itu tentu akan memilih melayani ki Murdaka jika Ki Murdaka membeli tuak ke kedai itu. Perempuan itu tentu tidak akan menghiraukan aku lagi."
Namun sekali lagi tangan Ki Murdaka menampar wajah orang itu. Lebih keras, sehingga orang itu terguling beberapa kali sambil mengerang kesakitan.
Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Murdaka adalah seorang yang keras. Ia telah menampar seorang yang menyertainya ke Seca itu di hadapan banyak orang tanpa ragu-ragu.
"Ampun Ki Murdaka, ampun."
"Bawa orang itu ke biliknya," suara Ki Murdaka lantang.
"Biliknya tidak di banjar ini, Ki Murdaka. Ia bermalam dipenginapan bersama aku dan paman Demung Pugut serta beberapa orang yang lain."
"Urus orang itu nanti. Sekarang, seret saja ke belakang."
"Baik, Ki Murdaka."
"Ia telah mengotori pertemuan ini."
Ki Sela Ajipun kemudian mendekati orang itu. Ketika Sela Aji akan menyeretnya, orang yang mabuk itupun berkata, "Aku akan diajak kemana" nanti sajalah. Biar aku mandi dahulu."
Ki Sela Aji tidak menghiraukannya. Iapun segera menyeret orang itu ke belakang. Sementara kawannya yang juga mabuk, namun kesadarannya masih lebih tinggi dari kawannya itu, sehingga ia tidak menjadi terlalu banyak berbicara, duduk di antara kawan-kawannya yang lain.
"Ingat," berkata Ki Murdaka, "aku tidak senang, bahwa seseorang yang bersamaku menjadi mabuk atau melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Aku tidak mau. Kita semuanya harus berusaha menempatkan diri kita. Sebagai seorang murid dari sebuah perguruan yang besar, maka kita harus selalu menjaga serta menempatkan diri kita sebaik-baiknya."
Orang-orang yang berada di pendapa itu terdiam. Para bebahu kademangan dan padukuhan itupun ikut terdiam sambil menundukkan kepala mereka.
"Apakah mulai ada perubahan sikap dari para pemimpin perguruan Kedung Jati, Rara." desis Glagah Putih perlahan.
"Maksud kakang?"
"Mereka mulai menata diri. Bukankah sebelumnya, siapapun dapat menyatakan dirinya menjadi murid dari perguruan Kedung Jati" Bukankah sebelumnya diantara mereka yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu telah disusupi oleh gerombolan-gerombolan perampok penyamun dan pencuri. Juga disusupi oleh perguruan-perguruan yang mengangkat kemampuan serta ilmu mereka dari kuasa kegelapan."
"Ya, kakang. Juga mereka yang menumpang untuk kepentingan gerombolan mereka sendiri."
"Nampaknya sekarang mulai ada usaha untuk mentertibkan. Atau barangkali sekedar pameran kepada para bebahu di Seca karena Ki Saba Lintang ingin menjadikan daerah yang aman ini salah satu landasan bagi perguruan Kedung Jati."
"Memang banyak kemungkinan dapat terjadi kakang," bisik Rara Wulan.
Namun keduanyapun kemudian harus mengkuncupkan tubuh mereka ketika dua orang petugas berjalan beberapa langkah di hadapan mereka.
"Tidak ada yang kita dapatkan malam ini, Rara. Agaknya mereka masih belum akan mulai dengan pembicaraan-pembicaraan diantara mereka."
"Besok agaknya mereka akan bertebaran di pasar pada hari pasaran kakang. Bukan sekedar untuk mengendorkan ketegangan, tetapi agaknya mereka harus mengetahui pula putaran perdagangan di Seca sebelum mereka menjadikan tempat ini salah satu landasan gerakan mereka."
Glagah Putih mengangguk-ngguk. Katanya, "Ya. Kita besok akan melihat, apa saja yang mereka lakukan disini."
Demikianlah maka sejenak kemudian, keduanya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang berada di pendapa itupun kemudian telah asyik dengan suguhan makan dan minum. Sedangkan malam menjadi semakin larut. Sehingga keduanya memperhitungkan, bahwa setelah makan, mereka akan segera pergi beristirahat. Hari-hari merasa tentu masih panjang, sehingga mereka tidak akan tergesa-gesa melakukan pembicaraan.
Beberapa saat kemudian, ketika perhatian orang-orang dipendapa itu tertuju kepada hidangan yang sudah ada dihadapan mereka, maka Glagah Pulih dan Rara Wulanpun mulai beringsut.
Di pendapa Ki Demang, Ki Bekel dan para bebahu sibuk mempersilahkan tamu-tamu mereka untuk makan.
Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di penginapan mereka mendahului para pengikut Ki Saba Lintang. Di pringgitan, para penabuh masih juga duduk di belakang gamelan mereka. Agaknya hari itu mereka mendapat pesan untuk mulai lebih awal dan berakhir didini hari.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memasuki bilik mereka. Setelah membenahi pakaiannya, serta setelah mencuci kaki dan tangan mereka di pakiwan, maka Rara Wulanpun berbaring di pembaringan sementara Glagah Pulih duduk di dingklik panjang.
"Sampai kapan mereka kembali ke penginapan ini," desis Glagah Putih.
"Mungkin masih agak lama. Karena itu, tidurlah lebih dahulu. Kau tidak usah menunggu mereka. Jika mereka nanti kembali serta ada hal yang menarik, aku akan membangunkanmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia mulai mengantuk.
Tanpa disadari, mata Rara Wulanpun akhirnya terpejam juga.
Jilid 365 NAMUN Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berbeda di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu.
Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu ngelangut.
"Apakah mereka akan berada di banjar semalam suntuk," desis Glagah Putih.
Namun ternyata beberapa saat kemudian, ia mendengar beberapa orang memasuki penginapan itu. Ada diantara mereka yang sama sekali tidak menghiraukan keadaan disekitarnya, sehingga di dini hari, mereka berbicara tanpa mengendalikan diri.
"Kalian tidak berada di rumah kakekmu sendiri," terdengar suara Ki Sela Aji, "bukankah Ki Murdaka sudah mengatakan, bahwa ia tidak senang kepada orang-orang yang mabuk serta yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Ia ingin orang-orang Kedung Jati bersih dimata orang-orang Seca. Dengan demikian jika saatnya kita memasuki lingkungan ini, kita akan tetap dihormati sebagai murid-murid dari sebuah perguruan besar dan bertanggungjawab."
Orang-orang itu memang terdiam. Nampaknya merekapun segera menebar dan memasuki bilik mereka masing-masing. Namun sesaat kemudian terdengar lagi mereka berbicara terlalu keras, sehingga terdengar dari seluruh penginapan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Keberadaan orang-orang Ki Saba Lintang dipenginapan itu memang akan dapat menimbulkan persoalan dengan beberapa orang lain yang juga menginap di pengi napan itu, karena mereka ternyata telah mengganggu ketenangan dimalam yang sudah terlalu dalam itu.
Namun sejenak kemudian, Glagah Putih mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Agaknya seorang diantara mereka adalah Sela Aji.
"Paman Demung Pugut," terdengar suara Sela Aji, "orang-orang gila itu agaknya sangat sulit dikendalikan. Agaknya mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak hati mereka."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Padahal kita sudah memilih, Ki Sela Aji. Kita sudah memilih orang-orang yang terbaik. Tetapi orang-orang yang terbaik itupun masih juga menyusahkan kita."
"Kita harus bertindak lebih keras lagi paman. Jika perlu kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka."
"Kita memang harus bersabar. Jika kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka, mungkin sekali mereka justru mulai menentang kita."
"Mereka tidak akan berani. Jika ada yang berani, aku akan menantangnya dan membuatnya menjadi jera."
Orang yang disebut Demung Pugut itu menarik nafas panjang.
Namun dalam pada itu, terdengar ketukan pintu yang keras sekali di bilik yang terletak di sayap kiri penginapan itu.
"Paman Demung Pugut mendengarnya?"
"Ya." "Apa yang terjadi."
Namun sebelum Ki Demung Pugut menyahut, terdengar seseorang berkata lantang, "Diam. Diam kalian. Kalian mengganggu ketenangan malam ini."
Terdengar jawaban yang tidak kalah kerasnya, "Apa pedulimu."
"Kalian berada di penginapan. Kalian harus bertenggang rasa. Jika kalian berteriak-teriak seperti itu, kami tidak dapat beristirahat malam ini."
Ternyata Glagah Putih tidak perlu membangunkan Rara Wulan.
Karena Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya.
"Ada apa kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Aku belum tahu."
Ketika Rara Wulan duduk di bibir pembaringan, terdengar Sela Aji berkata, "Aku akan melihat paman. Tentu orang-orang kita telah mengganggu orang lain yang sedang menginap dipenginapan ini pula."
Keduanyapun kemudian keluar dari biliknya, sementara masih terdengar suara keras, "Jika kalian tidak mau tahu dengan orang lain yang dapat terganggu dengan sikap kalian, sebaiknya kalian menginap di kandang kambing."
"Persetan kau," benta orang yang dianggap mengganggu itu.
Dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah berkerumun, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Jika kau tidak mau terganggu, kenapa kau bermalam disini" Aku disini membayar sewa bilik yang aku pakai. Karena itu, terserah apa yang akan aku lakukan didalam bilik itu."
"Memang terserah apa yang akan kau lakukan. Tetapi jangan mengganggu orang lain. Aku perlu beristirahat. Besok aku masih mempunyai banyak pekerjaan."
"Itu urusanmu, bukan urusanku."
Dalam pada itu Rara Wulanpun berbisik, "Orang yang merasa terganggu itu adalah Sutasuni, kakang. Malam itu ia bermalam di bilik sebelah bilik kita yang malam ini dipergunakan oleh Sela Aji, sehingga ia berada di bilik yang berada di sayap penginapan ini."
"Persoalannya akan menjadi rumit. Bukankah orang itu pengikut Panji Kukuh."
"Tetapi dibanding dengan perguruan Kedung Jati, Panji Kukuh adalah kelompok yang terhitung kecil."
"Tetapi jika terjadi benturan malam ini, orang-orang perguruan Kedung Jati belum tentu dapat melawan para pengikut Panji Kukuh. Namun kemudian Ki Saba Lintang tentu akan segera memburu Ki Panji Kukuh. Nampaknya Panji Kukuh akan mengalami kesulitan yang besar."
"Tetapi gerombolan Panji Kukuh tentu cukup lincah untuk menghindari tangan-tangan Ki Saba Lintang."
"Ya. Yang dapat dilakukan oleh Ki Panji Kukuh adalah bermain hantu-hantuan. Muncul dan menghilang. Tetapi dengan demikian, maka Panji Kukuh tidak akan dapat mempertahankan jalur perdagangan gelapnya."
Keduanyapun terdiam. Mereka melihat Sela Aji berusaha untuk melerai pertengkaran antara orang-orang dari perguruan Kedung Jati dengan para pengikut Panji Kukuh itu.
"Sudahlah Ki Sanak. Aku minta maaf," berkata Sela Aji. Lalu katanya kepada orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu, "Nah, sekarang kalian mengalami sendiri. Penginapan ini bukan rumah kakekmu. Disini banyak orang lain yang dapat merasa terganggu dengan sikap kalian. Jika kalian masih saja bersikap buruk dan menggangu orang lain, maka aku akan mengusir kalian dari penginapan ini dan biarlah kalian bermalam di pategalan sebagaimana biasa kalian lakukan."
Orang-orang yang telah mengganggu tetangganya itu terdiam.
"Aku juga dapat keras seperti Ki Murdaka. Bahkan siapa yang tidak menyetujui kebijaksanaanku, aku tantang untuk berkelahi melawan aku."
Orang-orang itu terdiam. Mereka tahu tingkat kemampuan Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut.
"Nah, kalian harus menghormati orang lain agar mereka juga menghormati kita."
Orang yang mempergunakan bilik itu tidak menjawab.
"Nah, Ki Sanak. Kau tidak akan terganggu lagi."
"Terima kasih," desis Sutasuni.
Dalam pada itu petugas penginapan itupun kemudian mempersilahkan mereka yang berkerumun itu untuk kembali ke bilik mereka masing-masing. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Ki Sela Aji sendiri serta Ki Demung Pugut masih tinggal beberapa saat di bilik yang membuat kisruh itu.
Setelah peristiwa itu, maka penginapan itu menjadi tenang. Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan ternyata menghormati pula sikap Sela Aji. Bagaimanapun juga, kecuali Sela Aji dan Demung Pugut memiliki kelebihan dari mereka, maka keduanya memang mendapat wewenang dari Ki Murdaka untuk mengawasi orang-orang yang dibawanya ke Seca.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi dapat tidur. Meskipun Rara Wulan mempersilahkan Glagah Putih untuk tidur meskipun hanya sesaat, tetapi ternyata Glagah Putih tidak dapat memejamkan matanya.
Apalagi ketika Sela Aji dan Demung Pugut yang kemudian kembali ke biliknya.
"Orang itu memang keras kepala," berkata Sela Aji.
"Tetapi nampaknya ia mengerti bahwa kita bersungguh-sungguh, sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi. Demikian pula kawannya yang tinggal bersamanya dalam bilik itu."
"Ya. paman. Sekarang silahkan paman tidur meskipun hanya sebentar."
"Bukan sebentar lagi langit akan menjadi merah?"
Sela Aji menarik nafas panjang. Katanya, "Jika demikian, akulah yang akan tidur sejenak. Besok kita masih harus melihat-lihat keadaan kademangan ini. Kita harus tahu lebih dahulu keadaan tem pat ini sebelum kita akan membicarakannya tentang kemungkinan kita mendirikan salah satu landasan perguruan kita. Jika kita berhasil, maka kita tinggal membuat satu lagi landasan perguruan kita di sebelah Selatan untuk membayangi Mataram."
"Kita harus tetap memperhitungkan Tanah Perdikan Menoreh."
"Tentu paman. Ki Saba Lintang sendiri selalu memperingatkan tentang Tanah Perdikan yang besar dan kuat itu."
"Belum tentu. Tetapi kemungkinan terbesar, Ki Saba Lintang tidak akan datang. Meskipun demikian segalanya masih dapat berubah."
Ki Demang Pugut mengangguk-angguk.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Nampaknya Ki Saba Lintang tidak dapat melupakan Tanah Perdikan Menoreh. Kecuali beberapa kali Ki Saba Lintang mengalami kegagalan, di Tanah Perdikan Menoreh itu pula tersimpan pasangan tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mendengar pembicaraan lagi. Agaknya Sela Aji benar-benar berniat untuk tidur barang sejenak.
Dalam pada itu. menjelang fajar. Glagah Putih dan Rara Wulan telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Rara Wulan tidak mau pergi sendiri ke pakiwan. Orang-orang yang menginap di penginapan itu adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja di luar dugaan, karena ada diantara mereka yang tidak lagi berpijak pada tatanan bebrayan serta unggah-ungguh.
Rara Wulan bukan berarti ketakutan dengan kehadiran mereka. Tetapi jika ia sedang mandi di pakiwan. maka ia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat lemah.
Sebelum fajar Glagal Putih dan Rara Wulan telah selesai berbenah diri. Sementara itu. orang-orang dari perguruan Kedung Jati masih belum bangun. Mereka masih asyik mendengkur di bilik mereka masing-masing.
Tetapi para pedagang yang menginap di penginapan itu. karena ternyata tidak semua bilik dipergunakan oleh perguruan Kedung Jati, telah siap pula pergi ke pasar.
Sebelum matahari terbit, maka beberapa orang pedagang telah meninggalkan penginapan itu untuk pergi ke pasar. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan juga turun dari pendapa, maka petugas di penginapan itu menyapa mereka, "Apakah kalian juga akan pergi ke pasar?"
"Ya," jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan.
"Nah. jika demikian aku dapat berharap," berkata petugas itu sambil tersenyum.
"Berharap apa?"
"Tentu oleh-olehnya. Nagasari" Mendut atau carang gesing pisang raja?"
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Di sela-sela tertawanya Rara Wulanpun berkata, "Jika setiap orang yang pergi ke pasar membawa oleh-oleh, maka perutmu akan kesakitan."
Petugas itu tertawa pula. Kalanya, "Ah. Tentu tidak semua. Aku hanya berani berharap kepada kalian."
"Ah, macam-macam saja kau ini," desis Glagah Putih. Namun ia masih saja tertawa.
Namun Rara Wulanpun kemudian berkata, "Baik. Aku akan membeli rujak babal, bluluk dan jambu klutuk yang masih mentah."
"Ah. Kau mau menyakiti perutku'?"
Rara Wulanpun kemudian menarik tangan Glagah Putih sambil berkata, "Marilah, kakang. Nanti kita kesiangan."
Petugas itu tertawa, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkannya menuju ke regol halaman penginapan itu.
Meskipun hari masih pagi, tetapi jalan-jalan di Seca sudah mulai ramai. Di hari pasaran banyak orang-orang padukuhan yang pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya serta hasil kerajinan tangan mereka. Hasil kerajinan bambu, pandan atau mendong atau jenis kerajinan yang lain.
Namun para pedagang yang berdatangan di Seca yang bahkan sudah menginap semalam, telah pergi ke pasar pula dengan membawa dagangan mereka.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pasar, maka merekapun segera berusaha untuk mencari pedagang yang telah mengadakan hubungan dengan Jati Ngarang dalam rencana mereka mengadakan perdagangan gelap.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menemukan pedagang itu.
"Mungkin orang itu sudah menipu Jati Ngarang," desis Rara Wulan.
Mungkin sekali. Memang tidak semudah itu untuk mengatakan, dimana hubungan perdagangan gelap itu dapat dilakukan."
Namun untuk beberapa lama mereka masih berada di pasar.
Mungkin orang yang mereka cari itu masih belum sampai ke pasar itu.
Ketika matahari mulai naik, maka pasar Seca itu menjadi semakin penuh. Bahkan orang yang berjual beli itu meluap sampai ke luar pasar. Beberapa orang menjual hasil bumi mereka serta kerajinan tangan yang mereka buat di rumah mereka masing-masing itu terpaksa menggelar dadangan mereka di pinggir jalan, karena mereka tidak mempunyai tempat yang tetap didalam pasar itu.
Tetapi biasanya para tengkulaklah yang telah membeli dagangan mereka dengan harga yang rendah.
Namun bagi para petani dan mereka yang membuat kerajinan tangan di rumah itu merasa, bahwa apa yang mereka terima itu sudah cukup, sehingga mereka tidak menuntut harga yang lebih tinggi lagi.
"Orang itu tidak ada di sini," desis Glagah Putih.
"Kita mempunyai sasaran pengamatan yang baru di Seca ini, kakang."
"Ya. Kita harus mengamati para pengikut Ki Saba Lintang itu."
Dalam pada itu, baru setelah matahari menjadi semakin tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua orang pengikut Saba Lintang yang berada di penginapan itu ikut berdesakan didalam pasar.
Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan sambil berkata, "Lihat. Ternyata mereka sudah bangun."
Rara Wulanpun menyahut, "Bukankah malahan sudah semakin tinggi."
Glagah Putih terdiam. Bahkan iapun telah melihat orang yang disebut Murdaka itu berada didalam pasar itu pula, diikuti oleh Sela Aji dan Demung Pugut.
"Nampaknya orang-orang penting dari perguruan Kedung Jati itu berusaha untuk melihat padukuhan Seca dari segala segi," desis Glagah Putih.
"Maksud kakang?"
"Mereka melihat dari sisi perdagangan serta kesibukan rakyat Seca dalam hubungannya dengan pasar yang ramai ini. Tetapi yang lain tentu melihat-lihat sisi kehidupan yang lain pula. Mungkin mereka akan melihat bendungan, parit dan air yang mengaliri sawah. Mungkin mereka juga memperhatikan ternak yang digembala di padang rumput. Mungkin jalan-jalan yang menghubungkan Seca keluar kademangan serta sisi-sisi kehidupan yang beraneka lainnya."
"Ya, kakang. Sebelum mereka membangunkan landasan di Seca, mereka tentu ingin mengetahui keadaan kademangan ini seutuhnya. Tentu saja termasuk manusianya. Manusia yang tinggal di kademangan Seca."
"Jika demikian, bukankah sebaiknya kita melihat-lihat kademangan ini pula" Kita sekarang sudah melihat bahwa sebagian dari mereka berada di pasar. Sebaiknya kita juga melihat, apakah diantara mereka ada yang berkeliaran."
"Jadi, untuk sementara pedagang yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu kita lupakan dahulu ?"
Glagah Putih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kita akan mengalihkan perhatian kita kepada orang-orang dari perguruan Kedung Jati ini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan pasar itu pula. Merekapun kemudian menyusuri jalan-jalan ulama di kademangan Seca.
Seperti yang mereka duga. maka beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan yang sama dengan penginapan mereka. Nampaknya orang-orang itu memperhatikan keadaan kehidupan di Seca dengan seksama.
Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berjalan keluar gerbang padukuhan. Ternyata di luar padukuhan merekapun bertemu pula dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang.
Untunglah orang-orang itu tidak mengenal mereka, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keduanya.
"Ternyata mereka benar-benar sedang mengamati seluruh kademangan ini, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Kita dapat bertemu dengan mereka dimana-mana."
"Lalu sekarang. Apa yang akan kita lakukan?"
"Sebaiknya kita kembali ke pasar. Makan dan kemudian kembali ke penginapan."
Ternyata Rara Wulan sependapat. Merekapun telah pergi ke pasar dan singgah di sebuah kedai. Demikian mereka keluar dari kedai, merekapun memerlukan sekali lagi berkeliling di dalam pasar yang masih saja ramai itu. Tetapi mereka tidak bertemu dengan pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang.
Setelah membeli beberapa bungkus nagasari, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke penginapan.
Demikian mereka memasuki gerbang dan berjalan ke pendapa, mereka berpapasan dengan petugas di penginapan itu. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Rara Wulan telah menyodorkan beberapa bungkus nagasari sambil berkata, "Kau akan menanyakan oleh-oleh kan, nagasari atau yang lain."
Petugas itu tertawa. Tetapi demikian ia menerima beberapa bungkus nagasari, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkannya.
Beberapa saat kemudian Glagah Pulih dan Rara Wulan telah berada di bilik mereka. Setelah menutup piniu dan menyelaraknya dari dalam, maka Rara Wulan itupun berkata, "Beristirahatlah kakang. Semalam kau hampir tidak sempat beristirahat sama sekali."
"Kau juga." "Aku masih sempat meskipun sebentar."
Glagah Putih menarik nafas panjang, ia tidak terbiasa tidur di siang hari. Tetapi kadang-kadang jika ia merasa sangat letih, ia membaringkan dirinya beberapa saat.
Namun baru saja Glagah Putih berbaring, ia mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Nampaknya mereka agak tergesa-gesa. Pintupun terdengar ditutup dan diselarak pula dari dalam.
"Berita itu tidak menyenangkan bagiku, paman." terdengar suara Sela Aji.
Glagah Putih dan Rara Wulan mencoba untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dengan hati-hati Glagah Putih bangkit dan duduk di amben panjang yang ada didalam biliknya.
"Kenapa kau tidak senang?"
"Akan datang lagi orang yang jumlahnya lebih banyak. Tentu diantaranya ada orang-orang tua berilmu tinggi. Namun mereka terbiasa menuruti kemauan mereka sendiri."
"Itu tentu tanggung jawab Ki Saba Lintang sendiri."
"Ya. Tetapi jika terjadi gejolak, maka rencana untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi perguruan Kedung Jati akan terganggu."
Tetapi terdengar jawaban yang agaknya diucapkan oleh Demung Pugut, "Kau tidak perlu memikirkannya terlalu berat, Ki Saba Lintang tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Jika benar ia akan datang nanti malam, tentu ada pertimbangan-pertimbangan tertentu."
"Tetapi aku tidak memberikan pendapat, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang sendiri datang ke Seca."
"Sudahlah. Jika Ki Saba Lintang itu benar-benar datang kau dapat mengajukan beberapa pendapat. Terutama tentang sikap para pengawal yang sekarang ada disini saja sudah harus dikendalikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi jika akan datang beberapa orang lagi yang merasa mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada siapapun juga."
"Paman tentu mengetahui, bahwa kita berdua masih memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang sekarang sudah berada di Seca, karena kemampuan kita lebih tinggi dari mereka. Tetapi jika mereka yang datang itu merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kita berdua, maka mereka tentu akan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang kita berikan."
"Kita tinggal melaporkannya saja kepada Ki Saba Lintang."
"Sebenarnyalah kekuatan Ki Saba Lintang tergantung kepada beberapa orang berilmu tinggi itu. Paman tahu bahwa sebenarnya Ki Saba Lintang itu bukan apa-apa tanpa beberapa orang pendukungnya yang kokoh itu."
Demung Pugut terdiam. Keduanya untuk beberapa saat saling berdiam diri. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan didalam biliknya juga berusaha untuk tetap duduk diam. Mereka berharap bahwa pembicaraan antara Demung Pugut dan Sela Aji itu dilanjutkan.
Namun yang terdengar kemudian, Demung Pugut itupun berkata, "Beristirahatlah. Aku akan melihat-lihat keluar."
"Silahkan paman. Mungkin paman akan mendapat kepastian, apakah nanti malam Ki Saba Lintang benar-benar akan datang."
"Baiklah. Tetapi seandainya Ki Saba Lintang akan datang, angger tidak perlu menjadi cemas karenanya."
Sela Aji tidak menjawab. Sementara itu terdengar pintupun terbuka.
"Apakah angger akan menyelarak pintu atau tidak?"
"Tidak usah paman. Nampaknya tidak akan ada gangguan apa-apa. Jika aku terlanjur tidur, paman tidak perlu mengetuk pintu itu."
Sejenak kemudian, maka bilik disebalah itupun menjadi sepi. Agaknya Sela Aji benar-benar ingin beristirahat. Bahkan tidur meskipun hanya sebentar.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membenahi pakaiannya.
"Untuk apa?" bertanya Rara Wulan.
"Sst," desis Glagah Putih sambil memberi isyarat agar Rara Wulan berbicara perlahan-lahan, "kita akan keluar."
"Kenapa?" "Omong-omong." "Maksud kakang?"
"Ada yang harus kita bicarakan. Tetapi tidak dapat kita lakukan disini."
"Jadi dimana?" "Kita dapat berbincang di pringgitan. Jika banyak orang di pringgitan, kita perlu keluar dan berbincang sambil berjalan-jalan."
Rara Wulan tidak bertanya lagi. Iapun kemudian membenahi pakaiannya.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun keluar dari bilik mereka. Ketika mereka melewati pintu bilik di sebelahnya, pintu itu tertutup rapat. Meskipun Glagah Pulih tahu, bahwa pintu itu tidak diselarak.
Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah berada di pringgitan. Namun di pendapa itu beberapa orang sedang berbincang-bincang. Diantara mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang.
Agaknya sejak mereka berada di penginapan itu, mereka tidak sempat memperhatikan keberadaan Rara Wulan. Ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dan Glagah Putih melintas, maka beberapa orang diantara mereka memperhatikannya dengan tatapan mata tanpa berkedip.
Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa orang-orang itu sedang memperhatikannya. Tetapi keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih melihat seorang diantara mereka yang berada di pendapa itu telah memanggil petugas di penginapan itu.
"Kau tahu kenapa orang itu memanggil petugas di penginapan ini?" bertanya Glagah Putih.
Rara Wulan mengggeleng sambil menjawab, "Tidak."
"Orang yang memanggilnya itu akan bertanya kepada petugas itu," siapakah perempuan yang ada di penginapan ini."
"Ah, kakang." "Benar, tetapi tidak apa-apa. Kelakuan mereka akan selalu diawasi oleh Sela Aji dan Demung Pugut."
"Kalau kebetulan keduanya tidak ada?"
"Itulah yang ingin kita bicarakan."
"Apa maksud kakang?"
Glagah Putih tidak segera menjawab. Baru ketika keduanya sudah berada di luar pintu regol penginapan, Glagah Putihpun berkata, "Agaknya Ki Saba Lintang akan datang malam nanti."
"Apa yang akan kita lakukan kakang. Tentu kita tidak akan mungkin datang kepadanya dan mengambil tongkatnya. Ia tentu dikelilingi oleh banyak orang berilmu tinggi."
"Tentu. Kita tentu tidak akan dapat mengambil langsung. Tetapi bagaimana jika kita berusaha untuk meminjam kekuatan orang lain."
"Kekuatan siapa?"
"Bukankah Sutasumi masih berada di penginapan?"
"Entahlah kakang. Tetapi agaknya ia masih berada disana."
"Aku berharap bahwa nanti malam Sutasuni merasa terganggu lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang."
"Apa hubungannya?"
"Aku berharap dapat terjadi benturan kekerasan."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, "Kita akan berpihak kepada Sutasuni?"
"Ya." "Tetapi jika kemudian Sutasuni tidak berniat berhubungan dengan kita untuk selanjutnya?"
"Itu akibat buruk yang dapat saja terjadi. Kita memang harus meninggalkan tempat ini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Segala sesuatunya memang dapat dicoba."
"Bukankah kita tinggal meyakinkan, apakah Ki Saba Lintang itu benar-benar akan datang?"
Rara Wulan mengangguk. "Sela Aji akan membawa berita itu. Meskipun agaknya Sela Aji sendiri merasa keberatan jika Ki Saba Lintang sendiri datang ke kademangan Seca."
"Mungkin Sela Ajilah yang paling berminat untuk menjadikan kademangan ini salah satu landasan perguruan Kedung Jati itu."
"Ya. Memang mungkin sekali."
Demikianlah mereka berduapun telah membicarakan beberapa hal yang akan mereka lakukan sehubungan dengan kedatangan Ki Saba Lintang.
Setelah pembicaraan mereka tuntas, maka merekapun segera kembali ke penginapan mereka.
Ternyata pendapa dan pringgitan penginapan itu masih saja nampak ramai. Seperti pada saat keduanya melintas keluar dari penginapan itu, maka ketika mereka lewat di sebelah pendapa, beberapa orang memandangi mereka dengan tajamnya. Bahkan sampai mereka hilang di balik seketeng.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera masuk ke dalam biliknya, tetapi merekapun mencari petugas penginapan itu.
"Ada apa ?" bertanya petugas itu, "tadi aku lihat kalian keluar. Tetapi aku tidak sempat bertanya karena aku dipanggil oleh orang-orang yang berada di pendapa itu."
"Apa yang mereka katakan ?"
"Tidak apa-apa," petugas itupun tersenyum-senyum.
"Jika tidak kau katakan, aku tidak akan membeli nagasari lagi untukmu."
"Sungguh. Tidak apa-apa. Mereka hanya sedikit bertanya tentang jalan-jalan di kademangan Seca ini."
"Baik. Aku tidak akan membeli nagasari atau gandos rangin lagi buatmu."
"Ah, jangan begitu."
"Katakan, apa yang mereka tanyakan," desak Rara Wulan.
Petugas itu ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata, "Mereka bertanya tentang Nyai. Hanya sekedar bertanya."
"Mereka bertanya sambil tertawa-tawa?" bertanya Rara Wulan.
Petugas itu tidak menjawab. Tetapi petugas itu hanya tersenyum-senyum saja.
"Nah, bukankah kau yang tertawa-tawa."
"Tidak. Tetapi aku tidak dapat mengatakannya."
"Baik-baik. Sekarang pergilah ke bilikku."
"He?" "Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu."
Petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan ketika keduanya pergi ke bilik mereka.
Ternyata bilik di sebelahnya masih sepi. Agaknya Sela Aji masih tidur sedangkan Demung Pugut masih belum kembali.
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun berkata kepada petugas itu. "Hitung. Berapa aku harus membayar."
"He" Apakah kalian akan pergi?"
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Ya. Kami bersungguh-sungguh. Tetapi jangan salah paham. Kami tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan kawan-kawanmu, para petugas di penginapan ini. Akupun berkata bersungguh-sungguh bahwa orang-orang yang menginap di penginapan ini membuat hati kami tidak tenang. Banyak masalah yang dapat timbul. Karena itu, jika keadaan menjadi semakin buruk, maka kami benar-benar akan meninggalkan penginapan ini. Agar kami tidak mempunyai hutang kepada penginapan ini, karena kami dapat pergi setiap saat bila keadaan menjadi bertambah buruk, maka kami akan membayar lebih dahulu sewanya selama kami berada disini."
Petugas itu termangu-mangu sejenak. Dari sorot matanya nampak betapa ia menjadi kecewa.
"Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa?"
"Sampai sekarang mereka memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi nanti sore, nanti malam atau besok pagi?"
"Kami, para petugas tentu akan mencegahnya."
"Sudahlah. Lebih baik bersiap-siap. Seandainya kalian mencoba mencegahnya, kalian tentu tidak akan berhasil."
"Kenapa?" Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun berdesis. "Agaknya mereka adalah orang-orang berilmu."
Petugas di penginapan itu menarik nafas panjang.
Namun iapun kemudian berkata, "Baiklah aku menghubungi petugas yang akan menghitung, berapa kalian harus membayar."
Sejenak kemudian petugas itupun meninggalkan bilik Glagah Putih.
Sementara Glagah Pulih dan Rara Wulan menunggu, tiba-tiba saja terdengar pintu bilik di sebelah terbuka. Ternyata sebelumnya bilik itu kosong. Yang kemudian masuk ke dalamnya adalah Demung Pugut dan Sela Aji.
"Ki Saba Lintang benar-benar akan datang, paman." desis Sela Aji.
"Seperti yang aku katakan jangan terlalu dirisaukan. Biarlah Ki Saba Lintang mengatur orang-orang yang dibawanya."
"Jika Ki Saba Lintang bermalam di banjar, maka Ki Murdaka tentu akan bermalam di tempat lain. Mungkin disini. karena penginapan yang cukup baik dan jaraknya tidak terlalu jauh dari banjar adalah penginapan ini. Ada penginapan lain yang baik. Tetapi jaraknya terlalu jauh dari banjar."
"Serahkan saja nanti kepada kemauan Ki Saba Lintang sendiri. Meskipun demikian kau dapat memberikan pendapat kepadanya. Termasuk pengendalian orang-orang yang sudah datang dan yang datang bersama Ki Saba Lintang sendiri."
Sela Aji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, "Ya. Aku akan melaporkan kepada Ki Saba Lintang.
Sementara itu, maka petugas penginapan itupun telah datang pula untuk memberitahukan berapa banyak Glagah Putih harus membayar.
"Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk tinggal lebih lama lagi," berkata petugas itu.
Tetapi Glagah Putih menyahut, "Segala sesuatunya tergantung sekali kepada keadaan."
Petugas itu tidak menjawab lagi. Tetapi ternyata sekali di wajahnya, bahwa ia merasa kecewa.
Beberapa saat kemudian, maka petugas itupun telah meninggalkan bilik Glagah Putih dan Rara Wulan, sementara itu Sela Ajipun berkata, "Aku akan mengusulkan sebaiknya mereka yang datang kemudian tidak usah bermalam disini. Jika Ki Murdaka yang harus bermalam disini, tentu ada baiknya. Aku akan mempunyai kawan lagi untuk mengendalikan orang-orang itu."
"Mudah-mudahan saja Ki Murdaka yang akan bermalam disini nanti malam."
Keduanyapun kemudian terdiam. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Hampir berbisik Glagah Putih berkata, "Semoga saja kita mendapat kesempatan."
Ketika kemudian senja turun, maka penginapan itupun menjadi semakin ramai. Ternyata Ki Saba Lintang dan beberapa orang lagi telah datang di Seca. Agaknya Ki Saba Lintang sendiri akan bermalam di banjar, sedangkan beberapa orang pengawalnya akan bermalam di penginapan itu. Namun ternyata bahwa Ki Murdaka sendiri tidak ikut bermalam di penginapan itu. tetapi Ki Murdaka tetap bermalam di banjar.
Dalam pada itu. ketika penginapan itu menjadi semakin ramai, serta para penabuh gamelan mulai membunyikan gamelan dengan lagu-lagu yang hangat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di pringgitan.
Sebenarnyalah keberadaan mereka di pringgitan telah menarik perhatian beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang. Baik mereka yang sudah ada di penginapan itu sejak semalam, maupun mereka yang baru datang.
Bahkan beberapa orang yang tidak begitu menghiraukan unggah ungguh, telah mendekatinya. Seorang yang berperawakan sedang dan berkumis tipis tiba-tiba saja telah menyapanya, "He, perempuan cantik. Siapa namamu he?"
"Kakang," Rara Wulanpun segera bergeser di belakang Glagah Putih. Wajahnya membayangkan ketakutan.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih, "jangan ganggu isteriku."
"Siapa yang mengganggu" Bukankah aku hanya sekedar bertanya," sahut orang itu sambil membelalakkan matanya."
Glagah Putih pun bergeser surut sambil menjawab, "Tetapi perbuatan Ki Sanak membuat istriku ketakutan."
"Isterimu memang penakut. Bukankah aku bersikap wajar-wajar saja?"
"Tidak. Itu tidak wajar. Ki Sanak tahu, bahwa ia adalah isteriku. Ia duduk disampingku. Tetapi Ki Sanak mendekatinya dan bertanya, siapakah namanya" Kenapa Ki Sanak tidak bertanya kepadaku."
"Gila. Kau gila. Aku pecahkan kepalamu."
"Jangan. Ki Sanaklah yang telah menakuti isteriku. Ki Sanak tidak dapat menyalahkan aku."
"Diam," bentak orang itu, "Jika kau tidak mau diam, aku akan memukulmu sampai pingsan."
"Jangan. Tetapi Ki Sanak harus minta maaf kepada isteriku."
"Cukup, cukup," teriak orang yang marah itu.
Dalam pada itu, petugas penginapan itupun berlari-lari mendatangi keributan itu. Dengan hati-hati ia bertanya, "Apa yang terjadi. Ki Sanak?"
"Laki-laki itu membuat isteriku ketakutan, ia menggamit isteriku dan bertanya siapa namanya?"
Orang itu tiba-tiba saja telah menampar mulut Glagah Putih. Terdengar Glagah Putih mengaduh kesakitan.
"Tunggu, Ki Sanak. Kita harus menyelesaikannya dengan baik. Ki Sanak tidak boleh melakukan kekerasan."
"Diam kau pelayan edan. Kau tidak usah turuti campur."
"Aku petugas disini Ki Sanak. Sudah sewajarnya aku berusaha untuk menjaga ketenangan di penginapan ini."
"Singkirkan laki-laki dan perempuan cengeng itu."
"Aku akan membawanya menyingkir. Tetapi Ki Sanak jangan menakut-nakuti lagi."
"Cukup Bawa mereka pergi."
Selagi orang itu membentak. Sela Aji telah datang dengan tergesa-gesa. Dengan nada tinggi iapun bertanya, "Ada apa?"
Glagah Putihlah yang menyahut, "Laki laki itu menakut-nakuti isteriku."
"Tidak. Aku hanya bertanya, siapa namanya."
"Pertanyaanmu itulah yang membuatnya ketakutan."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Isteriku duduk disampingku. Laki-laki itu datang langsung menggamitnya dan bertanya siapa namanya. Kenapa ia tidak bertanya kepadaku?"
Sela Aji memandang orang itu dengan dahi yang berkerut. Kemudian iapun berkata, "Sudahlah, tinggalkan mereka. Atas nama Ki Murdaka, aku peringatkan sekali lagi, agar kalian tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat persoalan yang rumit di kademangan ini."
"Aku tidak berbuat apa-apa Ki Sela Aji. Kedua orang itulah yang cengeng."
"Kalau begitu, jangan sentuh orang yang cengeng."
Ternyata bahwa wibawa Sela Aji masih tetap tinggi. Beberapa orang itupun bergeser surut. Namun seorang diantara mereka berkata, "Laki-laki dan perempuan itulah yang keterlaluan. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tetapi mereka sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian."
"Sudah, sudah," sahut Sela Aji, "jauhilah mereka jika kalian tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang cengeng."
Orang-orang itupun segera menjauh. Namun dalam pada itu, di halaman Sutasuni dan seorang kawannya berdiri termangu-mangu.
Glagah Putih segera menggamit Rara Wulan. Mereka pun segera turun dari pendapa dan mendapatkan Sutasuni.
"Ki Sanak yang semalam merasa terganggu itu?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Mereka memang orang-orang yang tidak tahu aturan."
"Sebenarnya aku ingin melawan. Tetapi aku hanya seorang diri dihadapan sekian banyak orang."
"Tetapi orang-orang itu sekali-sekali harus dibuat jera. Apakah kau tahu, siapakah mereka itu?"
Glagah Putih termangu mangu sejenak. Ia merasa heran, bahwa Sutasuni dari gerombolan Panji Kukuh tidak mengenal Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati. Setidak-tidaknya mengenali namanya.
Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "Entahlah. Tetapi mereka datang dalam kelompok yang jumlahnya cukup banyak."
"Mereka harus dibuat jera."
"Kalau terjadi perselisihan lagi antara Ki Sanak dengan orang-orang itu, apalagi jika terjadi benturan kekerasan, kami akan berpihak kepada Ki Sanak."
"Kami siapa maksudmu?"
"Aku dan isteriku."
"Kau dan isterimu ini?"
"Ya. Serba sedikit ia mampu melindungi dirinya sendiri."
"Baik. Nanti malam aku akan memanggil kawan kawanku. Mereka harus dibuat jera."
"Ajak kami berdua."
"Baik. Kami akan mengajak kalian berdua."
"Jika demikian, kami akan bersembunyi saja di bilik Ki Sanak."
"Di bilikku?" bertanya Sutasuni dengan heran.
"Ya. Kenapa?" "Kau dan isterimu?"
"Ya. Kami merasa tidak aman lagi di bilik kami sendiri."
Sutasuni masih tetap ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Sekehendak kalian sajalah. Tetapi bilik itu sudah terisi oleh dua orang. Aku dan kawanku ini. Sementara itu aku telah memanggil kawan-kawanku agar malam nanti mereka dalang kemari. Aku akan memberi sedikit pelajaran kepada orang-orang yang merasa seakan-akan penginapan ini milik mereka. Lebih dari itu, agaknva mereka merasa bahwa di Seca ini mereka dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada orang yang mampu mencegahnya."
"Nah. Jika demikian, satu kebetulan. Sudah aku katakan, aku dan isteriku ada di pihakmu."
Sutasuni kemudian tidak menolak ketika Glagah Putih dan Isterinya berada di biliknya, meskipun biliknya tidak terlalu luas. Tetapi di bilik itu cukup tempat untuk duduk-duduk mareka berempat.
"Yang datang itu tentu para penjahat," berkata Glagah Putih, "agaknya mereka akan menguasai Seca yang damai ini. Mungkin mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan terlarang."
"Tidak," sahut Sutasuni, "perdagangan terlarang di daerah ini ada di satu tangan. Yang berusaha untuk mengganggu akan disingkirkan."
"Jangan-jangan justru orang-orang itu yang memiliki jalur tunggal perdagangan gelap di daerah ini?"
"Bukan mereka."
"Jadi mereka siapa?"
"Tidak tahu. Tetapi mungkin kawan-kawanku nanti akan mendapat keterangan dari orang-orang yang mendapat tugas sandi."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka suara gamelanpun mulai menjadi lebih tenang. Gending-gendingnyapun dipilih gending-gending yang tidak membangkitkan suasana yang gelisah.
Namun di pendapa itu. para pengikut Ki Saba Lintang masih tetap saja ramai oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang menjadi semakin banyak.
Bahkan di pendapa itu, beberapa orang mulai minum tuak.
Ketika Ki Sela Aji datang untuk memberi peringatan, maka seorang yang sudah separo baya, yang baru malam itu datang untuk bermalam di penginapan itu berkata, "Jangan terlalu merunduk di hadapan Murdaka. Bukankah sekali-sekali kita boleh bergembira" Mumpung tugas kami masih belum terlalu berat. Mumpung kita baru mulai, sehingga kita mempunyai waktu untuk bersenang-senang dengan minum tuak dan sebagainya."
"Tetapi jika ada yang mabuk?"
"Ki Sela Aji. Kami bukan anak-anak lagi. Kami sudah terbiasa minum tuak. Kami dapat menjaga diri kami."
"Ki Murdaka berkeberatan jika kalian minum tuak."
"Katakan kepada Ki Murdaka, agar Ki Murdaka ikut minum bersama kami."
"Tetapi Ki Saba Lintangpun berkeberatan jika kalian bermabuk-mabukan di sini, di Seca. Di tempat yang sedang kami persiapkan untuk menjadi salah satu landasan bagi perguruan kami."
Orang yang sudah separo baya itu tertawa. Katanya, "Jika kau laporkan hal ini kepada Ki Saba Lintang, maka kau tentu akan ditertawakannya."
Ki Sela Aji tidak dapat memaksa. Orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang menjadi salah seorang pembantu Ki Saba Lintang memimpin perguruan Kedung Jati.
Ternyata seorang kawan Sutasuni telah mendengar pembicaraan itu. Karena itu, maka orang itupun segera mendatangi Ki Sutasuni di biliknya.
Orang itu terkejut ketika ia melihat ada dua orang laki laki dan perempuan yang berada di dalam bilik itu pula.
"Katakan. Mereka ada di pihak kita," desis Sutasuni.
Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata, "Yang berada di penginapan ini adalah para pengikut Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati."
"He. Perguruan Kedung Jati."
"Ya." "Dari mana kau tahu?"
"Aku mendengar pembicaraan mereka di pendapa. Seorang yang agaknya mendapat tugas untuk mengawasi para pengikut Ki Saba Lintang itu mencegah agar mereka tidak bermabuk-mabukan. Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak mau mendengarkan."
Wajah Sutasuni menjadi tegang. Dengan suara berat dan dalam iapun berdesis, "Jadi mereka yang berada di Seca sekarang adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati ?"
Tiba-tiba saja Glagah Putihpun bertanya, "Kenapa jika mereka dari perguruan Kedung Jati."
"Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar. Bahkan perguruan yang pengaruhnya hampir sama besarnya dengan pengaruh Mataram sendiri."
"Ah," desah Glagah Putih.
"Kau harus percaya. Banyak perguruan-perguruan kecil yang berhimpun menyatu dengan perguruan Kedung Jati."
"Kau dan kawan-kawanmu juga?"
"Tidak. Jalan kami berbeda. Kami adalah sekelompok orang yang tidak bergabung dengan siapa-siapa."
"Jika demikian, ajak kawan-kawanmu untuk menghancurkan perguruan Kedung Jati itu sekarang."
"Kami tidak berurusan."
"Jadi apakah urusan kalian di Seca ini" Urusan kalian tentu kelak akan berbenturan dengan kepentingan Ki Saba Lintang."
Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng sambil berkata, "Tidak. Urusan kami tidak akan benturan dengan urusan orang-orang Kedung Jati. Urusan orang-orang dari perguruan Kedung Jati adalah tentang masa depan Mataram dalam hubungannya dengan Jipang dan Demak. Sedangkan urusan kami semata-mata urusan perdagangan."
"Perdagangan " Perdagangan yang berlangsung di bawah permukaan ?"
Sutasuni mengerutkan dahinya. Namun Glagah Putihpun dengan cepat berkata, "Itu urusanmu. Aku hanya ingin bergabung untuk mengajari orang-orang yang ada di penginapan ini agar mereka mengerti sedikit unggah-ungguh. Tetapi sudah tentu tidak akan dapat kami lakukan tanpa orang lain."
"Baik. Akupun ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka. Meskipun mereka dari perguruan Kedung Jati, tetapi persoalannya bukan persoalan kelompokku dengan perguruan Kedung Jati. Tetapi aku ingm memberi peringatan kepada mereka, bahwa mereka berada di rumah kakeknya sendiri. Bahkan pemimpin mereka sendiri menjadi marah melihat tingkah laku mereka. Dengan demikian jika kita berkelahi dengan mereka, maka para pemimpin mereka tentu akan membantu mereka. Bahkan para pemimpin mereka tentu akan berusaha berusaha mencegah mereka dan mungkin menghukum mereka. Tidak akan ada akibat buruk yang akan terjadi pada kelompokku yang ditimbulkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Apalagi mereka juga tidak tahu, siapakah kami ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, maka seperti yang diduga oleh Sela Aji, maka beberapa orang kawannya yang sedang minum tuak di pendapapun menjadi mabuk. Dengan marah Sela Ajipun kemudian membentak-bentak mereka dan memaksa mereka masuk ke dalam bilik mereka masing-masing.
"Aku sudah memperingatkan kalian agar kalian tidak minum tuak."
Tetapi orang yang sudah separo baya, yang ternyata tidak mabuk meskipun ia minum tuak terbanyak menjawab, "Inilah laki-laki Sela Aji. Tuak adalah minuman yang wajar bagi laki-laki. Mereka harus banyak-banyak minum agar mereka tidak mudah menjadi mabuk. Jika mereka selalu kau kekang, maka mereka benar-benar akan menjadi pemabuk."
"Terserah apa yang akan kalian lakukan pada saat-saat kalian tidak sedang mengemban tugas."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau ajari mereka menjadi perempuan. Perempuanpun perempuan cengeng. Seharusnya kau tidak usah terlalu tunduk kepada Murdaka."
"Ia memerintahkan agar aku menjaga tingkah laku saudara-saudara kita atas nama Ki Saba Lintang sendiri."
"Tetapi kau tidak boleh memperlakukan kami seperti kanak-kanak."
"Bagaimanapun juga, kita harus menjaga agar kita dapat menjalankan tugas kita dengan baik. Kita tidak boleh memberikan gambaran buruk tentang tingkah laku kita kepada orang-orang Seca. Pada saatnya kita akan membuat landasan bagi perguruan kita di tempat ini, sehingga keberadaan kita disini tidak akan menggoyahkan ketenangan dan kedamaian hidup disini."
Orang yang sudah separo baya, yang tidak mabuk itupun kemudian melangkah pergi sambil bergumam, "Sulit bekerja sama dengan orang-orang muda yang merasa dirinya berkuasa."
Sela Aji tidak menyahut. Dibiarkannya orang-orang itu bergeramang sambil berjalan menuju ke biliknya.
Namun dalam pada itu, kedua orang yang berada di bilik yang beradu dinding dengan bilik Sutasuni itupun telah mabuk pula. Dalam keadaan tidak mabuk saja, mereka sudah sangat mengganggu. Apalagi ketika kedua-duanya menjadi mabuk, sehingga tingkah laku mereka sangat tidak terkendali.
Sutasuni menjadi sangat tidak senang terhadap sikap mereka. Ia benar-benar merasa terganggu. Sehingga karena itu. maka iapun berkata kepada kawannya, "Siapkan kawan-kawan kita yang bersedia membantu. Kita akan membungkam mereka yang berteriak-teriak. Bukankah mereka yang ada di penginapan ini tidak terlalu banyak sehingga apa yang akan kita lakukan itu tentu akan mendapat perhatian para pemimpin mereka."
Tetapi kawannya menjadi ragu-ragu. Katanya, "Tetapi mereka adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati, Ki Sutasuni."
"Aku tidak peduli."
"Jika terjadi perselisihan dan bahkan perkelahian, mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka akan menjadi marah kepada orang-orang yang mabuk itu. Tetapi merekapun tentu akan mencari Ki Sutasuni."
"Aku akan pergi dari penginapan ini. Kau kira aku dapat bermalam dengan tenang disini?"
"Pergi ke mana?"
"Hari pasaran telah lewat. Tentu ada penginapan yang mempunyai bilik yang kosong."
"Mereka akan menyebar dan memasuki setiap penginapan."
"Aku akan tidur di pategalan. Bukankah kita terbiasa melakukannya" Kita memang dapat bermanja-manja disini. Tetapi kita pada dasarnya adalah bukan orang-orang yang manja."
Kawan Sutasuni itu masih saja ragu-ragu. Namun Sutasunipun membentak, "Cepat. Kau dengar suara-suara gaduh yang semakin keras itu. Aku sangat membencinya."
Kawan Sutasuni itu tidak sempat berpikir lagi. Iapun segera pergi untuk memanggil beberapa orang kawan yang menginap di penginapan lain yang tersebar untuk menghindari perhatian orang terhadap gerombolan Panji Kukuh.
Setelah gerombolan Guntur Ketiga di hancurkan oleh Panji Kukuh, belum ada gerombolan lain yang dapat menyainginya, sehingga perdagangan gelap dibawah permukaan di Seca itu seakan-akan dikuasainya sepenuhnya. Jika ada kelompok-kelompok kecil yang menghubunginya, maka kelompok-kelompok itu berada dibawah kendalinya.
Kawan Sutasuni tidak memerlukan waktu banyak. Beberapa saat kemudian, orang itu sudah kembali sambil berkata, "Beberapa orang itu sudah siap di luar penginapan. Mereka akan masuk jika suasana sudah menjadi gaduh."
Sutasuni menarik nafas panjang. Iapun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan sambil berkata, "Nah, apakah kau benar-benar mau ikut atau tidak" Tetapi ini bukan permainan sur kulon sur wetan di halaman pada saat terang bulan. Kami benar-benar akan berkelahi. Jika kalian merasa tidak mampu melindungi diri sendiri, sebaiknya kalian tidak usah ikut. Masih ada waktu untuk meninggalkan penginapan ini atau kembali ke bilik kalian."
"Tidak," jawab Glagah Putih, "kami sudah memutuskan untuk ikut bersama kalian."
"Tetapi kami tidak akan sempat melindungi kalian. Jika terjadi sesuatu atas kalian, itu adalah tanggung jawab kalian sendiri."
"Ya. Mereka telah meremehkan isteriku. Aku ingin menghajar mereka. Tetapi tentu tidak dapat kami lakukan hanya berdua saja."
"Baik. Ikutlah jika kalian mau ikut. Tetapi kalian harus melindungi keselamatan kalian sendiri."
Sejenak kemudian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya telah keluar dari biliknya. Di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya.
Ternyata yang menjadi ramai, ribut oleh igauan dan suara suara gaduh tidak hanya di bilik sebelah bilik Sutasuni. Sela Aji dan Demung Pungut sudah tidak mampu lagi menguasai mereka yang sedang mabuk. Apalagi beberapa orang yang baru datang di Seca bersama Ki Saba Lintang sendiri dan ditempatkan dipenginapan itu.
Sutasuni sangat benci suasana seperti itu. Karena itu ketika orang yang berada dibilik di sebelah biliknya itu meneriakkan tembang dengan irama yang sama sekali tidak mapan. Sutasuni telah mengetuk pintu biliknya. Tidak dengan tangannya, tetapi dengan batu sebesar telur itik.
"He, diam kau pemabuk," teriak Sutasuni yang marah.
Orang yang berada di dalam bilik itu terkejut juga meskipun mereka sedang mabuk. Kesadarannya masih tetap ada meskipun sudah tidak lurus lagi.
Karena itu, maka orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar kedua orang yang sedang ada di dalam berteriak hampir berbareng, "He. iblis manakah yang telah berani mengganggu ketenangan kami."
"Kalianlah yang telah mengganggu orang lain. Kemarin malam sebelum kau mabuk, kau sudah mengganggu. Apalagi sekarang setelah kalian mabuk."
"Aku tidak mabuk," terdengar seorang menjawab dengan suara parau.
Tetapi yang seorang lagi agaknya tidak dapat mengekang diri. Dalam mambuknya orang itu menjadi marah. Sambil mengumpat-umpat diangkatnya selarak pintunya.
"Aku bunuh kau," teriaknya kemudian.
Begitu pintu terbuka, orang itupun segera mengayunkan selarak pintu yang ada ditangannya itu kearah kepala Sutasuni.
Namun Sutasuni sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ketika selarak pintu itu terayun, maka Sutasumpun segera mengelak.
Tetapi demikian selarak pintu itu terayun tanpa menyentuh tubuhnya. Sutasunipun segera melontarkan serangan kakinya terjulur lurus mengenai orang itu, sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Orang itu terdorong kebali masuk ke dalam biliknya menimpa kawannya yang sedang bergerak keluar. Keduanyapun terjatuh saling menindih didalam biliknya.
Tetapi keduanya dengan cepat bangkit sambil berteriak-teriak marah.
Dengan garangnya keduanyapun segera meloncat keluar. Merekapun dengan serta merta telah menyerang Sutasuni sambil berteriak-teriak kasar.
Beberapa orang kawannya memang belum tidur. Ada diantara mereka yang mabuk, setengah mabuk atau mereka yang kesadarannya masih utuh, tetapi kepalanya mulai terasa pening.
Ketika mereka mendengar kegaduhan itu, maka merekapun segera berlari-larian keluar dari bilik mereka.
Beberapa orang yang berdatangan itu ternyata sama sekali tidak berniat melerai perkelahian. Tetapi merekapun segera membantu kawannya menyerang Sutasuni.
Dengan demikian maka kedua orang kawan Sutasunipun segera melibatkan diri mereka. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiam diri.
Namun beberapa saat kemudian orang-orang dari perguruan Kedung Jati itupun menjadi semakin banyak.
Dengan demikian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya segera mengalami kesulitan. Apalagi orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu pada dasarnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kawan-kawan Sutasuni yang lain masih berada di luar halaman penginapan.
Karena itu, maka seperti yang dijanjikan Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memasuki arena perkelahian. Dengan tangkasnya mereka berdua berloncatan diantara orang-orang yang berilmu tinggi itu.
Sutasuni dan kawan-kawannya memang agak terkejut. Mereka tidak mengira bahwa Glagah Putih dan isterinya adalah orang-orang yang memiliki bekal kanuragan yang tinggi, sehingga diantara para pengikut Ki Saba Lintang itu, Glagah Putih mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan demikian pula isterinya.
Karena itu, maka Sutasunipun menjadi semakin mantap. Dengan garang Sutasuni menyerang orang-orang yang sedang mabuk dan setengah mabuk itu.
Apalagi ketika beberapa orang kawannya berdatangan memasuki halaman penginapan itu, sehingga perkelahian itupun semakin seru.
Petugas di penginapan itupun telah datang pula. Tidak hanya seorang. Tetapi beberapa orang. Mereka berusaha untuk melerai perkelahian itu. Sambil berteriak-teriak mereka menyibak orang-orang yang sedang terlibat dalam perkelahian yang semakin menjadi sengit.
Tetapi para petugas yang meskipun memiliki bekal serba sedikit dalam olah kanuragan itu, tidak mampu berbuat apa apa. Ketika orang-orang yang terlibat dalam perkelahian meningkatkan kemampuan mereka, maka para petugas itu justru harus menepi, karena perkelahian itu akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka.
Orang yang di pringgitan menggamit Rara Wulan dan bertanya namanya, telah berada di arena perkelahian itu pula. Ia memang menjadi heran, bahwa perempuan itu terlibat dalam perkelahian itu pula.
Dengan mulut yang berbau tuak, orang itu mencoba, untuk memanfaatkan kegaduhan itu. Karena itu, maka orang itu sengaja menyelinap diantara kawan-kawannya mendekati Rara Wulan.
Tiba-tiba saja orang itu telah menyergap Rara Wulan dan langsung menyekapnya dari belakang, pada saat Rara Wulan sedang menghindari serangan salah seorang pengikut Ki Saba Lintang.
Rara Wulan terkejut. Dengan gerak naluriah, sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Rara Wulanpun sedikit pada pijakan kakinya, Rara Wulan telah menghantam lawannya dengan sikunya tepat diarah ulu hati.
Orang yang menyekap Rara Wulan itu terkejut, ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak secepat itu. Karena itu, maka dekapannyapun terlepas dan bahkan sambil menyeringai kesakitan orang itu terdorong surut selangkah. Sementara Rara Wulanpun bergerak selangkah pula maju. Dalam pada itu. selagi orang itu belum sempat memperbaiki keadaannya. Rara Wulan telah melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya bergerak mendatar menyambar dagu orang itu.
Orang itu sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ia terlempar beberapa lagkah dan kemudian jatuh terbanting di tanah.
Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri. Tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit di dagu dan arah ulu hatinya, sehingga nafasnya terasa sesak.
Namun Rara Wulan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi terhadap orang itu. Seorang yang lebih muda dan orang itupun telah menyerangnya pula. Namun Rara Wulan telah bersiap menghadapinya.
Sementara itu, perkelahianpun menjadi semakin sengit. Sutasuni dan kawan-kawan sempat merasa heran melihat Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dari kebanyakan para pengikut Panji Kukuh. Bahkan kemampuannya keduanyapun tidak lebih rendah dari kemampuan Sutasuni sendiri.
Sejenak kemudian perkelahian itupun menjadi semakin seru. Sela Aji dan Demung Pugut agaknya terlambat mendatangi arena perkelahian itu sehingga perkelahian itu sudah merambat ke halaman. Beberapa orang kawan Sutasuni telah melibatkan diri pula berkelahi melawan orang-orang dari perguruan Kedung Jati.
Di halaman, Glagah Putih dan Rara Wulan justru nampak lebih garang dari kawan-kawan Sutasuni dan bahkan Sutasuni sendiri. Beberapa orang yang berkelahi bersama-sama melawannya sulit untuk dapat bertahan terlalu lama. Bergantian mereka terlempar dari arena dan jatuh berguling-guling di halaman. Ketika Sela Aji dan Demung Pugut sampai di halaman, maka iapun segera berteriak-teriak serta mencoba menghentikan perkelahian itu.
"Berhenti, berhentilah pemabuk," teriak Sela Aji.
"Aku akan membunuh mereka," teriak orang yang sudah separo baya yang datang di Seca kemudian bersama Ki Saba Lintang.
"Tidak, berhentilah."
"Aku tidak mabuk Sela Aji. Aku tahu itu. Tetapi aku tidak senang diperlakukan seperti ini oleh orang-orang sombong yang merasa dirinya memiliki kademangan ini."
"Kita akan membicarakannya."
"Itu tidak perlu."
Namun Sutasuni berteriak, "Mereka telah mengganggu kami."
Sela Aji menjadi kebingungan. Demung Pugutpun berteriak-teriak pula, "Berhentilah. Nanti kita akan menyelesaikan persoalannya."
Tetapi orang-orang yang berkelahi itu tidak mau berhenti. Bahkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta datang dari sebuah perguruan yang besar, ingin menunjukkan kebesaran mereka. Menurut pendapat mereka, orang-orang lainlah yang harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat apa saja sesuka hati mereka.
Ternyata Sela Aji dan Demung Pugut tidak mampu lagi melerai mereka yang berkelahi. Para petugas penginapan itupun telah mencoba pula membantu Sela Aji dan Demung Pugut. Mereka ikut berteriak-teriak agar perkelahian itu berhenti. Tetapi merekapun tidak berhasil pula.
Dalam pada itu, Sutasuni yang merasa sangat terganggu itupun telah berkelahi dengan meningkatkan kemampuannya pula. Ia sadar, bahwa yang dilawan adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang besar. Orang-orang yang tentu berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu, Sutasuni itu sempat mengagumi Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya berkelahi dengan garangnya. Kemampuan mereka benar-bepar cukup tinggi, sehingga dapat mengimbangi lawan-lawan mereka. Namun lawan semakin lama semakin banyak. Sutasunipun merasa bahwa bersama kawan-kawannya mulai mengalami kesulitan. Hanya Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang masih mampu berloncatan kesana-kernari. Kemampuan lawan-lawan mereka sama sekali tidak membatasi gerak kedua orang suami isteri itu.
Namun akhirnya Sutasunipun berkata dengan suara lantang. "Tinggalkan tempat ini. Kita sudah menyatakan sikap kita. Biarlah para petugas serta pemilik penginapan ini yang nanti menertibkan mereka yang tidak mempunyai tatanan. Yang sama sekali tidak menghargai orang lain. Seca akan menjadi neraka jika mereka itu akan tinggal di lingkungann ini."
"Tidak. Jangan salah paham," teriak Sela Aji.
Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
"Kita mencari penginapan lain yang lebih tertib dari penginapan ini."
"Tunggu Ki Sanak. Aku akan berbicara," teriak Sela Aji pula.
Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan. Ia sempat berkata kepada Glagah Putih, "Ki Sanak. Ajak isterimu pergi meninggalkan penginapan yang ribut ini."
Tidak ada yang dapat mencegah lagi. Mereka segera bergeser menuju ke pintu regol halaman yang terbuka.
Sela Aji dan Demung Pugutpun berlari ke pintu regol itu pula. Ketika Sutasuni dan kawan kawannya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol, maka Sela Aji dan Demung Pugut mencoba untuk menghalangi kawan-kawan mereka yang akan mengejar keluar regol.
"Jangan keluar regol halaman. Jangan berkelahi di luar. Kalian akan merusak ketenangan hidup orang-orang Seca yang selama ini mereka pertahankan."
Orang-orang yang sedang mabuk, setengah mabuk dan yang tidak mabuk sama sekali, memang berhenti dipintu. Sementara Sela Ajipun berteriak pula, "Kembali ke bilik kalian masing-masing. Jaga ketenangan penginapan ini. Jangan mengganggu orang lain yang juga sedang menginap di penginapan ini."
"Mereka harus diajar untuk menghormati kita. Bukankah kita orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang besar."
"Agar kita dihormati, maka kitapun harus menghormati orang lain."
Orang yang sudah separo baya itu menyahut, "Kitalah yang terbesar. Orang lain yang harus menghormati kita. Jika perlu kita akan memaksa mereka dengan kuasa yang ada pada kita."
"Bukan begitu maksud Ki Saba Lintang. Khususnya di kademangan ini."
Dalam pada itu. selagi mereka masih berbantah di dalam regol halaman regol halaman penginapan, sekelompok petugas dari Seca telah berdatangan. Mereka adalah petugas yang dibentuk oleh Ki Demang di Seca untuk tetap mempertahankan keamanan di kademangan ini. Tetapi orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah meremehkan mereka. Dengan nada tinggi seorang berkata, "Suruh mereka mencuci mangkuk dan menimba air di pakiwan."
"Diam," teriak Sela Aji yang menjadi benar-benar marah. Sementara Demung Pugut pun berteriak pula, "Apa yang kalian lakukan akan kami laporkan kepada Ki Saba Lintang."
"Kau kira Ki Saba Lintang tidak memperdulikan tingkah laku kalian di tempat yang lain. Tetapi tidak di Seca ini."
Sementara itu pemimpin sekelompok petugas dari kademangan itupun menemui Sela Aji sambil bertanya, "Apa yang terjadi disini, Ki Sanak.''
Ternyata salah seorang petugas di penginapan itu telah melaporkan apa yang telah terjadi di penginapan itu kepada para petugas.
"Hanya sedikit salah paham, Ki Sanak." jawab Sela Aji, "seseorang meresa terganggu oleh orang lain."
Pemimpin sekelompok petugas dari kademangan Seca itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu iapun bertanya pula, "Tetapi terjadi perkelahian antar kelompok melawan kelompok."
"Ya," jawab Demung Pugut, "semula hanya dua orang yang biliknya bersebelahan. Yang satu merasa terganggu oleh yang lain. Terjadi perselisihan. Perselisihan itu berkembang demikian cepatnya, sehingga petugas di penginapan ini tidak sempat melerainya. Kawan-kawan mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu saling membantu, sehingga akhirnya terjadi perkelahian antara kelompok melawan kelompok. Tetapi seperti yang Ki Sanak lihat, perkelahian itu sudah selesai. Sekelompok diantara mereka yang berselisih telah meninggalkan halaman penginapan ini."
"Mereka pergi ke mana ?"
"Tentu saja kami tidak tahu," jawab Sela Aji.
"Yang pergi itu orang yang merasa terganggu atau justru orang yang dianggap mengganggu" "
"Mereka adalah orang yang merasa terganggu."
Pemimpin sekelompok petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian persoalannya sudah selesai. Orang-orang yang merasa terganggu itu sudah meninggalkan penginapan ini."
"Aku tidak tahu, apakah mereka akan kembali atau tidak. Mungkin mereka akan kembali membawa kawan-kawan mereka."
"Mudah-mudahan tidak," jawab pemimpin sekelompok petugas itu, "meskipun demikian, kami akan selalu mengawasi penginapan ini. Jika terjadi kerusuhan lagi, biarlah petugas penginapan ini memukul kentongan. Namun aku minta, orang-orang yang bermalam di penginapan ini dapat saling menjaga. Bertimbang rasalah, sehingga tidak akan terjadi kerusuhan-kerusuhan. Selama ini Seca adalah sebuah kademangan yang aman."
"Baik, Ki Sanak. Kami akan mencoba menjaga agar kami tidak mengganggu orang lain."
Para petugas kademangan itupun kemudian telah meninggalkan penginapan itu. Kepada petugas di penginapan itu, pemimpin sekelompok petugas itupun berkata, "Jaga penginapanmu dengan baik. Jika terjadi kekisruhan lagi, bunyikan kentongan. Kami akan segera datang."
"Baik Ki Sanak," jawab salah seorang petugas di penginapan itu.
Sejenak kemudian, para petugas itupun meninggalkan regol halaman penginapan. Sementara itu, seorang yang berkumis lebat bertanya kepada kawannya.
"Gerombolan tikus-tikus itu tadi ingin menertibkan kita?"
Mendengar pertanyaan itu, beberapa orangpun tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Kami menghormati tugas-tugas mereka. Karena itu, kita tidak akan mengganggunya."
Namun Sela Ajipun membentak, "Mereka adalah orang-orang yang terlatih."
Tetapi beberapa orang masih saja mentertawakannya. Wajah Sela Aji menjadi merah. Tetapi Demung Pugut yang lebih tua berkata, "Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Jantungmu akan dapat berhenti berdetak."
"Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi kata-kataku."
"Bukankah kau sudah bertahun-tahun bergaul dengan mereka."
"Tetapi kali ini kita mengemban tugas agak berbeda. Seharusnya mereka dapat mengerti."
"Mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak sendiri. Jangan hiraukan mereka lagi."
Sela Aji menarik nafas panjang. Bersama Demung Pugut, Sela Ajipun segera meninggalkan regol dan ke pendapa langsung menuju biliknya. Namun bilik disebelahnya itupun sudah kosong. Ketika Sela Aji menjenguk lewat daun pintu yang terbuka, didalam bilik sebelahnya itu tidak lagi terdapat seorangpun.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang meninggalkan penginapannya, mengikuti Sutasuni dan kawan-kawannya. Ternyata mereka tidak berada di satu penginapan. Beberapa orang menginap di penginapan di sebelah Barat pasar. Yang lain di penginapan yang kurang terpelihara di sebelah Selatan pasar.
Penginapan yang sekedarnya saja dipergunakan untuk meletakkan tubuh di amben besar yang dipergunakan untuk beberapa orang sekaligus.
"Aku akan langsung menghadap Ki Panji Kukuh," berkata Sutasuni.
"Bagaimana dengan kami?" bertanya Glagah Putih.
"Apa rencanamu selanjutnya," Sutasuni justru bertanya.
"Aku tidak punya rencana apa-apa."
"Jadi untuk apa kau berada di Seca?"
"Kami berdua adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain."
"Kalian tidak terikat dengan siapapun?"
"Tidak. Kami tidak terikat dengan siapa-siapa. Terakhir kami mencoba berhubungan dengan Jati Ngarang. Tetapi ternyata di Seca kami tidak dapat menemuinya. Aku sudah dua kali pasaran berkeliaran di pasar ini."
"Jati Ngarang" Untuk apa?"
"Kau kenal dengan Jati Ngarang?"
"Pencuri ayam dan jemuran itu. Untuk apa kau berhubungan dengan sejenis kecoa itu?"
"Jati Ngarang menawarkan hubungan perdagangan yang menarik buat kami berdua."
"Tinggalkan Jati Ngarang. Jika kau mau, ikut aku."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara Sutasuni berkata, "Kalian berdua adalah orang-orang berilmu tinggi. Kalian pantas berada di dalam lingkungan yang terhormat. Kenapa kalian memilih berhubungan dengan Jati Ngarang yang berada di luar hitungan itu?"
"Kami baru akan mulai. Kami tidak tahu jalur yang lebih pantas dari Jati Ngarang."
Sutasuni termangu-mangu sejenak. Ia sudah melihat, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Keduanya mampu bertempur dengan garang melawan orang-orang dan perguruan yang besar, Kedung Jati. Kedua orang itu sama sekali tidak menjadi gentar, sementara di dalam pertarungan keduanya mampu menunjukkan kelebihan mereka.
"Ki Sanak," berkata Sutasuni, "jika bersedia bersama kami. aku akan menyampaikannya kepada Ki Panji Kukuh."
"Maksud Ki Sanak?"
"Daripada kalian berhubungan dengan cucurut seperti Jati Ngarang, aku kira lebih baik kalian berada didalam lingkungan kami."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kepada Rara Wulan Glagah Putih itupun bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
"Kita akan melihat dahulu, apakah kita sesuai atau tidak. Selama ini kita tidak pernah merasa tidak terikat dengan sisapun," jawab Rara Wulan.
"Dalam perdagangan gelap, dapat saja seseorang tidak terikat dengan siapapun. Tetapi dengan demikian tidak ada satu lingkungan yang akan dapat melindunginya. Dalam perdagangan gelap, orang-orang yang demikian biasanya akan hilang begitu saja tanpa ada yang mengetahuinya kemana perginya. Untuk selamanya ia tidak akan pernah muncul kembali."
"Jika orang itu tidak merugikan segala pihak?"
"Mereka dapat menjadi ular berkepala bukan hanya dua. Meskipun mula-mula tidak ada niat untuk berbuat seperti itu, namun akhirnya orang-orang yang tanpa ikatan itu akan memilih kaitan yang terbaik bagi diri mereka. Nah, pada saat-saat yang demikian itulah, maka orang-orang yang merasa dirinya tanpa ikatan itu akan hilang."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya Glagah Putih mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Kami setuju bergabung dengan kalian."
"Baik. Aku akan menyampaikan kepada Ki Panji Kukuh. Siapakah sebutan kalian yang pantas aku sampaikan kepada Ki Panji?"
"Kenapa dengan sebutan itu?"
"Jarang sekali orang menyebutkan namanya sendiri yang sebenarnya. Biasanya mereka memilih nama yang dapat memberikan dukungan bagi kerja yang dilakukannya."
"Apakah namamu juga bukan namamu sendiri?"
"Namaku memang Sutasuni. Aku tidak dapat membuat nama lain yang lebih baik dari namaku sendiri."
"Ki Panji Kukuh ?"
"Itu bukan namanya sendiri. Tetapi kita tahu, bahwa orang itulah yang dimaksud dengan Ki Panji Kukuh."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku lebih senang memakai namaku sendiri meskipun barangkali tidak terasa garang."
"Siapa namamu?"
"Carangkerep. Aku tidak tahu kenapa orang tuaku memberiku nama Carangkerep. Tetapi aku sering juga dipanggil Nagagundala."
"Bagus. Kami akan memanggilmu Nagagundala. Nama itu lebih seram."
"Apakah aku pantas disebut Nagagundala ?"
"Ujudmu memang tidak. Tetapi ilmumu akan dapat mengejutkan lawan-lawanmu."
"Terserah sajalah."
"Isterimu ?" "Namanya sendiri Mawanti. Tetapi panggil saja Nyi Nagagundala."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Suaminya sering memakai nama lain. Tetapi selalu berganti-ganti, sehingga setiap kali ia harus mengingat-ingat siapakah namanya pada satu saat.
"Baik. Baik. Aku akan menghubungi Ki Panji Kukuh. Kau tunggu saja di sini."
"Disini?" Sutasunipun kemudian berkata kepada seorang kawannya
"Bawa Ki Nagagundala ini kepanginapanmu."
"Isterinya?" "Ya, kedua-duanya."
"Tetapi keberadaan Nyi Nagagundala akan membuat penginapan itu gaduh. Tidak ada seorang perempuanpun menginap di penginapan sebelah Selatan pasar itu. Disana hanya ada beberapa amben panjang di barak yang luas memanjang."
"Tidak apa-apa. Aku akan berbicara dengan Ki Panji Kukuh."
"Baik. Tetapi kami akan menunggu diluar regol halaman penginapan."
"Terserah kepadamu."
Ki Sutasuni itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dua orang kawannya. Mereka pergi ke penginapan di sebelah Selatan pasar. Tetapi seperti yang dikatakan kawan Sutasuni, mereka tidak masuk ke dalam penginapan itu agar keberadaan Rara Wulan tidak menarik perhatian.
Beberapa lama mereka berada di halaman penginapan yang sudah sepi itu. Dalam kegelapan tidak segera nampak perbedaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara itu, petugas di penginapan itupun tidak bekerja setertib petugas di penginapan yang ditinggalkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan setelah lewat tengah malam, merekapun telah tidur mendengkur di gardu di sebelah sayap kanan penginapan itu.
"Apakah orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu tidak akan mencari kita sampai kemari?" bertanya Glagah Putih.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nampaknya tidak. Orang yang mengawasi keberadaan mereka di Seca agaknya tidak akan membiarkan orang-orangnya itu mencari kita."
Glagah Putih terdiam. Rara Wulanlah yang kemudian berdesis, "Setelah kita pergi, maka mereka akan berbuat sekehendak hati di penginapan itu. Orang-orang yang mabuk dan setengah mabuk itu akan menjadi semakin mabuk. Agaknya Sela Aji dan Demang Pugut sudah tidak berdaya lagi."
"Ya, mereka akan tenggelam dalam dunia yang lain didalam alam mabuk mereka."
Tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, "Malam ini adalah malam yang mengandung seribu kemungkinan."
Rara Wulan tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas panjang sambil menyilangkan tangannya didadanya.
Sementara itu, Sutasuni telah menemui Ki Panji Kukuh yang berada di penginapan, di sebelah Barat pasar. Kedatangan Sutasuni agaknya telah mengejutkannya.
Sambil mengusap matanya yang sudah terpejam beberapa saat, iapun bertanya, "Ada apa malam-malam begini kau mencari aku?"
"Kami telah berkelahi, Ki Panji."
"Berkelahi dengan siapa dan ada persoalan apa?"
"Persoalannya sebenarnya tidak penting. Tetapi orang itu sangat menjengkelkan."
"Katakan, apa yang terjadi."
Sutasunipun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi.
"Orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu sangat menjengkelkan. Aku tidak tahan lagi."
"Kau membuka permusuhan dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati" Jika itu yang kau lakukan, maka kau telah memanggil bencana. Mungkin tidak hanya bagi dirimu sendiri. Tetapi bagi kita semuanya."
"Mereka tidak tahu, siapa kami yang telah berkelahi dengan mereka di penginapan itu."
"Tetapi mereka akan segera mengetahuinya. Bukankah mereka akan berada disini untuk beberapa hari?"
"Kami tidak tahu, Ki Panji. Tetapi agaknya memang begitu."
Mereka sedang mengamati kademangan Seca. Mungkin mereka akan menjadikan kademangan ini salah satu landasan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali perguruan Kedung Jati."
Pewaris Mustika Api 1 Pendekar Naga Putih 74 Misteri Di Bukit Ular Emas The Feels Fat 2