Pencarian

Pewaris Mustika Api 1

Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api Bagian 1


MISTERI PUSAKA PEDANG GAIB Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Pewaris Mustika Api
128 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Malam pekat. Bintang malam bersenandung
merdu, menciptakan tembang-tembang alami. Si-
nar rembulan dan bintang-bintang mengguyur Is-
tana Anggarapura.
Di dalam istana, tepatnya di salah satu
ruangan, seorang pemuda berpakaian kebesaran
kerajaan menutup sampul Kitab Riwayat Kerajaan
Anggarapura dengan kening berkerut. Setelah
menghela napas panjang, perlahan-lahan tangan-
nya membuka kitab bersampul kuning lagi. Seper-
tinya ada sesuatu yang tak bisa dicerna akalnya.
Kerut di keningnya semakin kentara kini. Jajaran
huruf dalam petak-petak di halaman terakhir
membuatnya bertanya-tanya.
"Silsilah ini menunjukkan kalau Ayahanda
Prabu Arya Dewantara adalah keturunan kelima
dari Wangsa (pendiri/penguasa kerajaan) Anggarapura.
Aku sendiri keturunan keenam. Tapi, kenapa na-
ma eyang buyutku yang mendirikan wangsa ini ti-
dak tercantum" Tempatnya yang terletak di sisi
paling atas hanya berupa kotak kosong. Lupa atau
memang sengaja tak ditulis?" gumam si pemuda, tercenung.
Ingatan si pemuda langsung mengembara,
menerawang jauh.
"Candi Palutan.... Di sanalah abu leluhurku
yang pernah memerintah Kerajaan Anggarapura
disemayamkan. Di sudut-sudut candi yang meru-
pakan tempat abu jenazah leluhurku. Dan di sana,
ternyata hanya ada tiga guci. Seharusnya empat!
Yakni guci yang berisi abu jenazah pendiri wangsa ini sampai keturunan yang
ketiga. Lalu, di mana
yang satu lagi?"
Kening si pemuda makin berkerut dalam.
Kepalanya manggut-manggut tak jelas.
"Aku harus menanyakan hal ini kepada
Ayahanda Prabu...," pikir si pemuda kemudian.
"Hmmm.... Kalau ini memang suatu rahasia,
mungkinkah beliau bersedia menjelaskannya pa-
daku" Rahasia.... Rahasia apa" Memang sama se-
kali tidak beralasan bila seorang pendiri wangsa
tidak dicantumkan namanya dalam garis keturu-
nan. Ah! Lebih baik ku coba mencari keterangan
dulu. Barangkali ada beberapa buku di perpusta-
kaan ini yang dapat memberi penjelasan..."
Mengikuti kata hatinya, si pemuda ini sege-
ra menghampiri rak buku yang berdiri di sudut ki-
ri ruangan, berhadapan dengan pintu. Debu
menghambat jalan pernapasannya ketika jajaran
buku dipindahkan. Namun, dia tak peduli dan la-
rut dalam kesibukannya. Buku-buku yang semula
rapi berjajar, sekarang jadi berantakan. Beberapa buah tampak jatuh ke lantai.
Kesibukan pemuda berpakaian kebesaran
kerajaan itu baru terhenti ketika tangan kanannya memegang buku bersampul putih
yang bertuliskan
'Ruang Rahasia Dalam Istana Anggarapura'. Seper-
ti kejatuhan rembulan, matanya kontan berbinar.
Kakinya melangkah dengan tatapan tak lepas dari
halaman buku di tangannya.
"Istana ini mempunyai sebelas ruang raha-
sia...," gumamnya setelah selesai membaca.
"Ruang rahasia kesatu sampai kesepuluh, aku telah tahu. Terutama, ruang-ruang
bawah tanah. Tapi, yang kesebelas ini...."
Pemuda itu membolak-balik lagi beberapa
halaman belakang buku yang tidak seberapa tebal.
Dipandanginya denah-denah yang ada tanpa ber-
kedip sedikit pun. Dicobanya untuk terus dapat
memahami keterangan-keterangan yang ada.
Mendadak, pemuda tampan yang merupa-
kan putra mahkota Kerajaan Anggarapura ini me-
lonjak girang. "Aku tahu sekarang!" ujar pemuda yang se-sungguhnya bernama Arya Wirapaksi dalam
hati. "Ayahanda Prabu selalu melarang aku untuk memasuki perpustakaan ini, kiranya ada
sesuatu yang dirahasiakan. Mudah-mudahan tak ada yang
tahu dengan kehadiranku di sini...."
Pandangan si pemuda beredar ke segala
arah. Langit-langit ruangan, ratusan buku yang
tertata di rak, lantai, meja-kursi, semua tak ada yang luput dari perhatiannya.
Dengan senyum tipis tersungging di bibir, dikuncinya pintu dari dalam. Baru
kemudian, dibacanya lagi beberapa ha-
laman buku di tangannya. Lalu, dihampirinya su-
dut ruangan sebelah kiri pintu. Diketuk-ketuknya
lantai dengan jemari tangannya.
"Inilah ruang rahasia kesebelas...," pikir Arya Wirapaksi seraya mencampakkan
buku di tangannya begitu saja.
Pemuda ini lalu mengurutkan pandangan
dari sudut lantai, hingga ke sudut langit-langit.
Karena tak menemukan apa-apa, telapak tangan-
nya digunakan untuk meraba. Ketika menemukan
permukaan dinding yang sedikit berlubang sebesar
jari kelingking, lubang itu dijentiknya dengan ku-ku. Debu putih menebar.
Segera Arya Wirapaksi meloncat ke bela-
kang. Namun, dia tak mampu berdiri tegak, kare-
na tiba-tiba lantai tempat kakinya berpijak berderak-derak
"Astaga...!" sentak Arya Wirapaksi saat di hadapannya terpampang sebuah lubang
persegi bergaris melintang, sekitar empat jengkal. Lubang itu muncul akibat bergesernya
lantai di sudut
ruangan. Dia kaget karena dari dalam lubang me-
nyembur serat-serat cahaya amat menyilaukan.
Hingga, ruangan yang semula hanya terang pada
beberapa tempat yang berlampu, kini semua jadi
terang-benderang.
Arya Wirapaksi berjongkok di bibir lubang.
Dicobanya untuk melihat ke dalam. Tapi, cahaya
yang memendar terlalu kuat. Matanya seakan-
akan jadi buta.
"Apa pun yang terjadi, aku harus tahu ra-
hasia yang ada di ruang bawah tanah ini...," tan-das hati si pemuda seraya
memungut sebuah bu-
ku tua bersampul hitam yang dianggap tidak begi-
tu penting. Buku itu lalu dilemparkan ke dalam
lubang. Lama Arya Wirapaksi menunggu suara ja-
tuhnya buku pada dasar lubang. Ketika terdengar,
suara itu amat pelan. Bahkan hampir tak dapat
dipastikan, sampai di mana kedalaman lubang. Si
pemuda melongokkan kepalanya lagi. Tapi karena
memaksakan diri, matanya jadi pedih.
Arya Wirapaksi memutar akal. Sambil me-
mejamkan mata, diraba-rabanya pinggiran lubang
bagian bawah. Karena jangkauannya kurang pan-
jang, segera diambilnya palang pintu. Dengan bi-
lah kayu panjang itulah dia mengetuk-ngetuk
pinggiran lubang bagian bawah yang semula luput
dari jangkauan tangannya.
"Hmmm.... Ujung kayu ini seperti memben-
tur undak-undakan. Mungkinkah ini sebuah tang-
ga lantai?" gumam Arya Wirapaksi, berkata pada diri sendiri.
Pemuda ini lalu mengetuk-ngetukkan ujung
kayunya lebih jauh.
"Yah! Ini sebuah tangga lantai! Berarti aku
dapat masuk!"
Diiringi luapan rasa gembira, Arya Wirapak-
si melemparkan kayu di tangannya ke bawah. Lalu
hati-hati sekali, dimasukinya mulut lubang. Tu-
buhnya terayun-ayun kini. Kakinya mencoba
menggapai tempat berpijak yang berupa tangga
lantai. Setelah ujung kakinya menyentuh tempat
yang diinginkan, barulah pegangannya pada bibir
lubang dilepaskan.
"Hup...!"
Hampir saja Arya Wirapaksi terpeleset, un-
tung masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
Untuk melindungi matanya dari pendaran cahaya
yang amat menyilaukan, ujung lengan bajunya di-
gunakan sebagai tabir.
Perlahan-lahan, si pemuda menuruni tang-
ga. Karena pandangannya tak bebas, beberapa kali
dia hampir terpeleset. Apalagi, tangga yang dituru-ni amat panjang. Sementara
pendaran cahaya dari
bawah semakin lama semakin kuat, membuat ke-
lopak matanya tak dapat dibuka. Sehingga, dia ki-
ni berjalan seperti orang buta. Kaki kanannya sela-lu terjulur ke depan lebih
dahulu, untuk mencari
tempat pijakan.
Sepenanakan nasi kemudian, kaki Arya Wi-
rapaksi menginjak lantai datar. Namun, kelopak
matanya masih belum mampu dibuka. Cahaya
yang berpendar kini terasa berhawa panas. Seku-
jur tubuhnya telah bermandikan keringat. Pakaian
kebesarannya yang berwarna putih dengan garis-
garis hitam tampak lengket dengan kulitnya. Dan
tanpa sepengetahuannya, ketika kakinya mengin-
jak lantai datar tadi, lubang tempat dia masuk
yang berada di dalam ruang perpustakaan telah
menutup dengan sendirinya.
Setelah melangkah beberapa tindak di lan-
tai datar, Arya Wirapaksi memaksakan diri mem-
buka kelopak matanya. Dengan menggunakan
ujung lengan baju sebagai tabir, dicarinya asal
pendaran cahaya. Ternyata, cahaya yang amat
menyilaukan itu berasal dari lubang sebesar dua
jengkal pada dinding yang agaknya terbuat dari
marmer. "Biar tak menghambat perjalanan, aku ha-
rus menutup lubang itu," cetus Arya Wirapaksi.
Walau terasa pedih, tapi pemuda ini terus
membuka kelopak matanya untuk mencari sesua-
tu yang bisa digunakan sebagai penutup lubang.
Dan dia bisa tersenyum senang saat melihat se-
bongkah batu cukup besar tergolek tak jauh dari
bibir lubang. Segera Arya Wirapaksi mendorong batu itu
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Maka
kini batu itu dapat digunakan sebagai penutup lu-
bang. Cahaya yang sangat menyilaukan kini le-
nyap sudah. Hanya tinggal serat-serat cahaya ke-
biruan yang menyeruak dari pinggiran batu. Serat-
serat cahaya yang tersisa itulah yang membuat
ruang tidak jadi gelap-gulita.
"Luar biasa!" desah Arya Wirapaksi. "Sungguh luar biasa! Aku tak tahu cahaya itu
berasal dari mana. Tapi yang jelas, bukan cahaya mataha-
ri. Cahaya matahari tidak akan berpendar sehebat
itu di lorong bawah tanah seperti ini. Setelah aku mengitari ruang rahasia ini,
aku pasti akan mene-liti, dari mana asal cahaya...."
Begitu membalikkan badan untuk melan-
jutkan langkah, Arya Wirapaksi terperanjat. Dalam sekejap mata, keringat dingin
kontan keluar ber-cucuran. Bahkan bulu kuduknya meremang. Tan-
pa sadar kakinya tersurut mundur dua tindak
"Ya, Tuhan...," sebut Arya Wirapaksi dengan pandangan nanar.
Di atas lantai marmer berundak tiga sap,
tampak rangka manusia yang masih utuh tengah
bersila. Di sekitar tempat rangka itu duduk terdapat serpihan-serpihan kain
kekuningan yang
hampir hancur menjadi debu
Arya Wirapaksi menguatkan hatinya untuk
melawan rasa takut yang menjalari hatinya. Syu-
kurlah di situ tidak terdapat lagi sesuatu yang lebih mengerikan. Di depan
rangka manusia hanya
terdapat sebilah pedang tanpa sarung. Agaknya
tak ada suatu yang istimewa, dan agaknya hanya
pedang biasa. Sedang pada dinding di belakang
rangka, terdapat ukiran bergambar sepuluh ekor
monyet yang sedang duduk bersila. Hanya sikap
bersila masing-masing yang berlainan. Ada yang
menggunakan lutut sebagai tumpuan. Ada pula
yang bertumpu pada pinggang dan bahu kiri. Bah-
kan pada gambar yang kesepuluh, tampak terba-
lik. Kepala di bawah, sementara kakinya yang ber-
sila berada di atas.
Seperti tanpa bosan, Arya Wirapaksi men-
gamati terus gambar-gambar itu. Walau tak tahu
apa maknanya, tapi hatinya amat tertarik. Apalagi setelah membaca tulisan yang
terukir di kiri gambar yang berbunyinya:
Api mustika rahasia adalah sumber kekua-
tan. Bila tidak berjodoh, jangan penasaran kalau binasa memasuki pintuku.


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kening Arya Wirapaksi berkerut, mencoba mengikuti arti dari tulisan itu. Dan
melihat ukiran sepuluh monyet di dinding marmer, dia dapat memastikan bila
pembuatnya tentu seorang tokoh
amat sakti. Maka, sudah sepatutnya bila Arya Wi-
rapaksi menghormatinya. Untuk itu, dia menja-
tuhkan diri di depan rangka.
"Aku bernama Arya Wirapaksi...," katanya dengan suara merendah, tak ingin
menunjukkan kalau dirinya adalah putra seorang raja. "Hanya karena kebetulan atau mungkin
sudah menjadi takdir Tuhan, aku dapat menjumpai jenazah
Eyang di tempat ini. Aku bermaksud mengubur-
kan jenazah Eyang, agar selanjutnya kau dapat
beristirahat dengan tenang...."
Usai menunduk hormat, mendadak bulu
kuduk Arya Wirapaksi meremang lagi. Entah dari
mana datangnya, mendadak angin dingin berhem-
bus. Namun semua itu tak dipedulikan. Pemuda
ini bangkit. Segera dikitarinya ruangan marmer
yang cukup lebar itu.
Kini bibir si pemuda tersenyum senang ke-
tika mendapati permukaan tanah tidak tertutup
lantai marmer. Luasnya sekitar sepuluh kali tiga
kaki. Agaknya, tanah itu sengaja tidak ditutupi
marmer sebagai tempat penguburan mayat.
Segera Arya Wirapaksi memungut pedang
yang tergeletak di depan rangka manusia yang
masih dalam keadaan seperti semula. Dengan
menggunakan pedang digalinya permukaan tanah
yang baru ditemukan. Lega hati si pemuda saat
mengetahui kalau tanah yang digalinya ternyata
amat lunak. Hingga, dia dapat bekerja dengan ce-
pat. Tiba-tiba....
Tang! Mendadak terdengar suara beradunya
ujung pedang dengan benda keras. Mungkin besi.
Untuk mendapat kepastian, Arya Wirapaksi segera
menggerakkan ujung pedangnya lebih cepat saat
menggali kembali.
Begitu lubang yang tercipta makin lebar,
ternyata benda keras dalam tanah itu memang se-
buah peti besi. Bergegas Arya Wirapaksi mengang-
katnya. Dan kembali si pemuda terkejut. Karena di bawah peti besi itu terdapat
sebuah peti lagi. Tapi bukan dari besi, melainkan dari tembaga.
Terdorong rasa ingin tahunya, Arya Wira-
paksi mengeluarkan juga peti tembaga itu. Maka
kini terlihat kalau kedua peti yang didapatkannya sama besar. Tingginya kira-
kira dua kaki. Arya Wirapaksi mengamati sebentar, sebe-
lum membuka. Karena tutup peti besi tidak dikun-
ci, maka tanpa mengalami kesulitan dia dapat
membukanya. Ternyata, kedalaman peti itu dang-
kal, tidak sampai setengah kaki. Bagian tengahnya tersekat lempengan besi lagi.
Arya Wirapaksi dapat memastikan kalau
bagian atas peti berongga. Tapi, dia tak hendak
membukanya. Perhatiannya justru tertuju pada
sehelai kertas tua yang terdapat di dasar peti. Kertas tua hampir lapuk yang
bertuliskan: Silakan baca tulisan di baliknya.
Cepat Arya Wirapaksi membalik kertas yang
dipegangnya. Kini, tampak jajaran huruf yang ter-
pampang lebih kecil daripada yang di depan. Wa-
lau hampir terhapus, tapi masih dapat dibaca.
Mustika Api diwariskan kepada yang berjo-
doh. Hanya, hendaknya orang itu mempunyai sifat welas-asih. Kuburkan dahulu
jenazahku sebagai layaknya seorang murid menguburkan jenazah gu-runya.
Di bawah tulisan itu tertera tulisan lagi ber-
huruf lebih kecil. Bunyi baris atasnya:
Cara-cara membuka peti serta mengubur je-
nazahku. Setelah membaca tulisan itu, Arya Wirapak-
si semakin yakin bila pada lapisan peti bagian atas yang berongga memang ada
sesuatu. "Aku hanya kasihan pada kerangka jena-
zahnya yang telantar dan tertarik pada surat-surat wasiatnya. Aku tak berniat
menyerakahi harta pusakanya," desah pemuda itu, perlahan sekali.
Dengan cermat Arya Wirapaksi membaca
cara mengubur jenazah yang tinggal tulang-
belulang itu. Tidak dipedulikannya sudah berapa
lama dia berada di ruang bawah tanah. Tidak di-
pedulikan pula kalau perutnya sudah mulai ke-
roncongan. Tatapan matanya tak lepas dari bari-
san huruf yang terpampang di atas kertas.
Apabila kau bersungguh-sungguh hendak
menguburkan jenazahku, galilah lubang sedalam lima kaki lagi. Karena dengan
bersemayam di tempat yang lebih dalam, aku dapat bebas dari segala gangguan
rayap dan serangga tanah lainnya.
Tanpa berpikiran macam-macam, Arya Wi-
rapaksi menggali lubang lagi lebih dalam. Namun,
kali ini tanah yang digali bercampur bebatuan.
Maka tak urung peluhnya membanjiri wajahnya.
Padahal, tenaganya cukup kuat, sebagai pemuda
yang pernah digembleng ilmu silat dan tenaga da-
lam. Tang! Ketika hampir menggali sedalam lima kaki,
tiba-tiba ujung pedang yang dipegang Arya Wira-
paksi membentur benda keras hingga menimbul-
kan suara berdentang nyaring. Ketika ingat penga-
lamannya menemukan dua peti besi dan tembaga,
Arya Wirapaksi semakin semangat menggali.
"Luar biasa! Benar-benar, luar biasa!" gumam Arya Wirapaksi, ketika mendapati
sebuah pe- ti kecil yang tingginya sekitar satu kaki. "Entah, apa lagi yang tersimpan di
dalam tanah ini...."
Peti yang ditemukan Arya Wirapaksi kali ini
terbuat dari perak. Dan mudah pula dia dapat
membukanya. Kini, kembali didapati sehelai kertas berisi tulisan.
Arya Wirapaksi terperangah. Namun, dalam
hati dia bersorak girang. Surat dari dalam peti kecil itu berbunyi:
Sungguh kau memang orang jujur. Terima
kasih atas jasamu ini. Maka, sudah layak bila aku membalas kebaikanmu, dengan
memberikan rahasia pemecahan 'Lukisan Mustika Api' yang kuukir di belakang
jenazahku.... Sejenak Arya Wirapaksi berhenti membaca.
Ditatapnya ukiran sepuluh monyet di dinding yang
berada di samping kirinya. Walau tak tahu mak-
nanya, tapi dugaannya semula benar kalau gam-
bar-gambar itu mengandung suatu rahasia. Sete-
lah mengusap peluh di dahinya, pemuda itu me-
lanjutkan. Apabila rongga pada peti besi dibuka, dari
dalamnya akan menyambar sepuluh batang jarum
beracun yang amat halus, tapi amat mematikan.
Dan apabila peti tembaga yang dibuka, akan didapati surat dan peta. Tapi, surat
dan peta itu palsu.
Malah mengandung racun yang amat jahat. Semua itu hanyalah untuk menghukum serta
mengajar adat orang tamak yang mementingkan nafsunya
sendiri. Pusaka yang asli berada di dalam peti perak ini! Berulang kali Arya
Wirapaksi menyebut as-ma Tuhan. Kalau saja sejak semula hanya keingi-
nannya buruk, nyawanya tentu tak akan tertolong
lagi. Tulisan yang tertera pada kertas di tangannya tampaknya bukan bualan
semata. Dan hal ini dis-adari betul.
Tanpa mau menyia-nyiakan waktu, segera
pemuda itu merapikan lubang galiannya. Lalu, di-
kuburnya tulang-belulang manusia yang dapat di-
pastikan adalah seorang tokoh cerdik-pandai.
Setelah permukaan tanah diratakan, Arya
Wirapaksi memberi penghormatan beberapa kali.
Dan kini, selesailah pekerjaannya sebagai 'ahli waris'. Untuk sesaat pemuda itu
bingung, apa yang
harus diperbuatnya lagi. Dipandanginya tiga peti
yang berada tak jauh darinya. Untuk membuat
kuburan yang telah dibuatnya menjadi lebih rapi,
dia bermaksud memindahkan peti besi dan temba-
ga ke pojok ruangan. Namun, ketika kedua peti itu didorongnya....
Blakkk! "Ohh...?"
Arya Wirapaksi terkejut saat lantai ruangan
yang miring, membuat kedua peti itu meluncur le-
pas dari pegangannya. Saat membentur dinding
marmer, tutup-tutupnya menjeplak terbuka. Saat
itu pula, dari dalam peti meluncur beberapa sinar putih keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Tanpa sadar pemuda itu meloncat, sehingga
nyawanya selamat. Walau loncatannya tidak lebih
dari satu depa, tapi dia telah terhindar dari jarum-jarum beracun yang menebar
dari dalam peti.
Namun belum hilang keterkejutan Arya Wi-
rapaksi, peti besi dan tembaga yang membentur
dinding marmer tiba-tiba meledak hancur. Tenaga
ledakannya cukup kuat, membuat tubuh Arya Wi-
rapaksi sampai terlontar tiga tombak. Begitu jatuh di tanah, untunglah dia tak
mengalami cedera.
"Luar biasa! Luar biasa!" desis Arya Wirapaksi berulang kali seraya bangkit
berdiri. "Orang ini agaknya sangat berhati-hati. Dia tak mau benda pusakanya
jatuh ke tangan orang jahat."
Perlahan-lahan, Arya Wirapaksi membuka
peti tutup peti perak. Dan saat itu pula timbul
kekhawatiran kalau peti itu mengandung sesuatu
yang dapat membunuhnya. Tapi, cepat-cepat di-
usirnya pikiran-pikiran buruk saat dari dalam peti
telah didapatinya secarik kertas tua namun cukup
kuat, tak seperti beberapa kertas yang ditemukan-
nya sebelum ini
Kening si pemuda berkerut ketika membaca
deretan huruf yang terpampang di hadapannya.
Bakarlah kertas ini! Begitu bunyinya.
Hanya karena terbawa rasa keingintahuan-
nya, Arya Wirapaksi lalu mengambil dua butir ba-
tu kering yang tergolek di tanah. Dengan tenaga
dalamnya, kedua batu itu dibentur-benturkan
sampai memercikkan bunga api yang langsung
membakar kertas yang baru didapatkannya. Se-
bentar saja, kertas yang lebarnya tak lebih dari sa-tu kaki persegi itu telah
terbakar habis. Anehnya hasil pembakaran tidak berupa abu, melainkan tetap
berupa kertas yang kali ini bertuliskan huruf-huruf putih halus dan sangat
indah. Bibir Arya Wirapaksi bergetar ketika membaca.
Sekarang kau benar-benar telah menjadi ahli
warisku. Langkah pertama, kau harus memasuki
lubang tempat cahaya yang amat menyilaukan berpendar. Tak usah ragu atau takut.
Cahaya itu tidak mengandung kekuatan jahat. Justru, itulah sumber
'Mustika Api'. Telusurilah terus lorong-lorong yang ada. Maka, kau akan sampai
di sebuah lamping ju-rang. Dari situ, akan kau dapati sebuah terowongan yang
ditutupi pohon dan rerumputan. Masuklah.
Dan kau akan sampai di sebuah gua. Itulah Gua Api. Tinggallah di situ sampai kau
dapat menguasai ilmu 'Mustika Api'. 'Kitab Pemecahan Lukisan Mustika Api' berada
di rongga peti perak. Untuk mem-
bukanya, geserlah kuping peti ke kanan. Sekian.
Arya Balambang Jenar
Pendiri Dinasti Anggarapura
Betapa terkejutnya Arya Wirapaksi setelah
mengetahui, siapa orang yang menulis surat Ru-
panya dia tak lain dan tak bukan dari eyang
buyutnya sendiri, yang kerangkanya telah diku-
burkan. "Hmm.... Kemungkinan besar Eyang Ba-
lambang Jenar bermaksud melepaskan diri dari
kehidupan duniawi. Kemungkinan besar pula,
namanya tidak tercantum dalam Kitab Riwayat Ke-
rajaan Anggarapura atas permintaannya sendiri...,"
pikir Arya Wirapaksi.
Untuk kesekian kalinya Arya Wirapaksi di-
hantam keterkejutan. Kertas yang berada di tan-
gan kanannya tiba-tiba ambyar menjadi abu. Sege-
ra dia berlutut di depan makam Arya Balambang
Jenar yang tadi dibuatnya. Dihaturkannya sembah
beberapa kali. Tak lupa, dipanjatkannya doa-doa.
Kini si pemuda membuka peti perak. Begitu
terbuka, Arya Wirapaksi berseru girang. Karena
ternyata, rongga yang terdapat di peti itu berisi sebuah kitab. Di atas kitab
didapatkan kertas bertuliskan : Untuk yang berjodoh. Cuci tanganmu setiap
selesai membaca kitab ini. Jangan sebarkan hal ini kepada siapa pun!
"Sungguh luar biasa kecerdikan Eyang Ba-
lambang Jenar ini," puji Arya Wirapaksi. "Kalau beliau sangat mengkhawatirkan
kitabnya jatuh ke
tangan orang jahat, berarti kitab ini tentu berisi ilmu kesaktian yang
dahsyat..."
2 Sinar mentari pagi menyapa bunga-bunga
liar di tepi Hutan Wonokeling. Hembusan angin
mengelus pucuk-pucuk pepohonan yang rindu te-
rusik. Manakala burung-burung mendendangkan
nyanyian alam, sepi tak lagi berkuasa.
Seorang remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan agaknya tak pernah bosan me-
mandangi bunga-bunga yang tumbuh di antara
tonjolan akar pohon-pohon besar dan sulur-sulur
yang merambat penuh duri. Daunnya kecil-kecil
berwarna kuning-kecoklatan. Dilihat sepintas lalu, seperti tengah meranggas.
Namun justru dari situ-lah keindahan kelopak bunga yang sedang mekar
ini. Maka, wajar saja bila remaja tampan berambut panjang tergerai ini berdiri
lama di tempatnya.
Perhatiannya tak pernah lepas dari keindahan
bunga yang beraneka warna.
"Bunga.... Keindahan bunga selalu mengin-
gatkanku pada kecantikan seorang gadis...," gumam si remaja. "Ah! Kenapa tiba-
tiba aku teringat Dewi Ikata"! Apakah gadis cantik putri tunggal
Adipati Danubraja itu ingat pada diriku pula"
Apakah dia masih memelihara bunga-bunga cinta


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam dirinya" Cinta" Ha ha ha...!" mendadak re-
maja tampan ini tertawa bergelak mirip orang gila.
"Cinta" Hatiku seperti digelitik bila mendengar ka-ta cinta. Sampai kapankah aku
berhenti bermain-
main dengan cinta" Apakah aku tidak punya kese-
tiaan" Di taman Keputren Bumiraksa, aku pernah
mengucap kata cinta dan janji-janji indah. Tapi
kenyataannya, setelah Dewi Ikata jauh dari sisiku, aku berpaling dan bermain
cinta dengan gadis
lain. Inikah yang namanya kesetiaan?"
Si remaja mendongak. Pertanyaannya se-
perti ditujukan pada langit atau mungkin burung-
burung yang sedang mengangkasa. Sementara,
langit diam dan burung-burung pun sedikit pun
tak peduli. Kini pemuda itu menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Dasar mata bongsang! Pantas orang men-
juluki sebagai Pengemis Binal!" kata remaja tampan ini seperti mengutuk diri
sendiri. Kembali dia menggaruk kepalanya lagi. "Tidak! Aku tidak me-nyesal
dijuluki orang Pengemis Binal. Justru aku
malah senang! Ha ha ha...!"
Sewaktu remaja tampan yang tangan ka-
nannya menenteng tongkat butut ini tertawa ber-
gelak muncul seorang gadis cantik yang berjalan
ke arahnya. Keningnya berkerut melihat si remaja
terus tertawa-tawa.
"Huh! Menyesal aku ikut denganmu, Suro!"
dengus si gadis, kesal.
Remaja yang ternyata Suropati alias Penge-
mis Binal menoleh. Ditatapnya sosok gadis berpa-
kaian serba putih itu. Melihat bibir si gadis yang cemberut, Suropati malah
tersenyum-senyum.
"Kenapa aku, Intan" Kau marah?" tanyanya dengan raut wajah polos seperti tak
punya dosa. "Tak kusangka Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang amat kesohor itu, be-
rotak tak waras...," sahut si gadis yang dipanggil Intan, seenaknya.
"Apa kau bilang?" potong Suropati yang
memang dikenal sebagai Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
"Kau gila!" sahut Intan, cepat.
"Ha ha ha...!"
Melihat Suropati tertawa lagi, gadis berpa-
kaian serba putih mencak-mencak. Bibirnya ma-
kin membentuk kerucut. Rasa kesal dan marah je-
las membayang di matanya.
"Hei" Tampaknya kau marah, Intan?" ledek Suropati.
Si gadis tak menjawab. Sinar matanya ma-
kin tajam menatap Pengemis Binal.
"Ahh.... Aku mentertawakan diriku sendiri.
Kenapa kau yang ribut, Intan?"
"Ya! Karena kau memang gila!"
"Aku tidak gila! Cuma rada-rada gila! Ha ha
ha...!" Selagi Suropati tertawa untuk kesekian kalinya, Intan memberengut sambil
menggedrukkan kakinya ke tanah, menumpahkan kekesalan. Lalu,
dia berlari meninggalkan Suropati yang masih ter-
bawa luapan kegembiraannya.
"Intan..,! Intan...!" teriak Suropati setelah sadar kalau si gadis tidak ada
lagi di dekatnya.
Segera remaja tampan namun berperilaku
konyol ini mengempos tenaga untuk dapat berlari
cepat. Diikutinya jalan setapak dengan tubuh me-
lesat cepat. Sementara, Intan menjadi terkesiap ketika
menyadari sosok bayangan berkelebat di atas ke-
palanya. Tak mau tubuhnya bertubrukan, cepat
langkah kakinya dihentikan, Namun, bayangan
yang tak lain Suropati malah sengaja menubruk.
Secepatnya dipeluk gadis itu erat-erat.
"Uh! Lepaskan! Lepaskan aku!" pekik Intan sambil meronta-ronta.
Pengemis Binal malah tersenyum senang.
Dipeluknya tubuh Intan lebih erat. Bahkan dike-
cupnya kening gadis cantik itu. Ketika kecupannya hendak beralih tempat ke
bibir, si gadis meronta
keras. Kaki kanannya diangkat. Dan....
"Aduhh...!"
Menjeritlah Suropati karena telapak kakinya
diinjak Intan. "Aduh! Maaf.... Maafkan aku, Intan...," ucap Pengemis Binal saat melihat si
gadis menghunus
pedang di punggungnya.
"Sekali lagi kau berbuat kurang ajar, kubu-
nuh kau!" ancam Intan dengan mata mendelik garang. "Hmm.... Kupikir kau senang
bila ku...."
"Tidak!"
"Tapi dalam perjalanan beberapa hari ini,
bukankah kita sudah sering ber...."
"Sekarang tidak!" potong Intan lagi. Suaranya ketus dan sinar matanya menyala-
nyala. "Ya, sudahlah kalau begitu. Kau tidak suka
padaku, aku pun tak akan memaksa. Sekarang,
aku hendak ke puncak Bukit Pangalasan. Kalau
mau ikut, aku tak keberatan. Tapi kalau tidak,
aku pun tak akan kecewa. Kau bisa kembali ke
Pulau Karang, tempat tinggalmu yang sunyi-sepi
jauh dari peradaban manusia itu!"
Mendengar kata 'Pulau Karang', raut wajah
si gadis berubah. Sinar matanya yang menyala-
nyala jadi meredup. Kemarahannya berubah jadi
rasa sedih mendalam. Dia teringat sebuah peristi-
wa yang amat memilukan hatinya. Tanpa terasa,
pedang di tangan kanannya jatuh ke tanah.
"Maafkan aku, Intan...," desis Pengemis Binal, menyadari kesalahannya. "Bukan
maksudku untuk mengingatkanmu pada peristiwa berdarah
itu. Aku hanya kelepasan bicara...."
Suropati memungut pedang yang terjatuh.
Lalu disarungkannya pedang itu ke punggung si
gadis. Kali ini, Intan diam saja ketika Suropati
mendekap bahunya.
"Seorang pendekar pantang mengeluarkan
air mata...," bisik Suropati.
Gadis cantik bernama lengkap Intan Melati
yang tak lain putri Rama Ludira atau Pendekar
Hati Putih itu menguatkan hatinya untuk memba-
las tatapan Suropati. Ditepisnya pelukan remaja
tampan itu. Lalu, kakinya melangkah menapaki ja-
lan setapak (Untuk mengetahui kisah perjumpaan
Intan Melati dengan Suropati, silakan baca serial Pengemis Binal dalam episode:
"Tengkorak Kaki Satu"). "Hei" Masihkah kau marah padaku, Intan?"
tanya Suropati, lantang.
Intan Melati terus melangkah, seperti tak
mau peduli pada Suropati yang berjalan mengiku-
tinya. Sementara, si pemuda terlihat menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Lalu kakinya melangkah
lebar, berjalan di sisi kanan Intan Melati.
"Aku tahu hatimu sedih, Intan...," uak Pengemis Binal kemudian. "Aku bisa
merasakannya. Tapi, patutkah rasa sedih itu dibiarkan menggang-
gu pikiran" Apakah tidak lebih baik rasa sedih itu disingkirkan dengan membuka
mata lebar-lebar
bahwa di dunia ini masih banyak kesenangan yang
dapat diperoleh?"
Intan Melati menghentikan langkah. Dita-
tapnya wajah Pengemis Binal yang tidak menun-
jukkan kekonyolan.
"Aku tahu, apa yang kau katakan...," katanya. "Aku pun tidak larut dalam
kesedihan. Aku hanya merasa kasihan kepada orang-orang yang
kucintai yang kini telah tiada."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi, segeralah lu-
pakan semua kenangan buruk di Pulau Karang.
Bukankah manusia jahat si pembuat malapetaka
itu telah mendapat balasan setimpal?"
Intan Melati diam ketika Suropati meling-
karkan lengannya ke bahu. Lalu, kaki mereka me-
langkah lagi. "Sebelum ke puncak Bukit Pangalasan, aku
ingin mengajakmu ke kota Kadipaten Tanah Loh.
Dengan melihat keramaian kota, barangkali hati-
mu bisa lebih senang...," cetus Suropati.
"Kenapa tidak ke kota Kadipaten Bumirak-
sa?" tukas Intan Melati.
"Emmm...."
"Emmm apa?"
"Tidak apa-apa. Tapi kukira, kau akan lebih
senang bila melihat keramaian kota Kadipaten Ta-
nah Loh," kilah Suropati.
Remaja konyol ini tentu saja tak mau men-
gajak Intan Melati ke kota Kadipaten Bumiraksa
karena khawatir akan berjumpa Dewi Ikata. Dan
ini kemungkinan besar akan membuat cemburu
putri tunggal Adipati Danubraja itu.
"Bagaimana" Kita ke kota Kadipaten Tanah
Loh?" tanya Suropati, melihat Intan Melati masih berpikir-pikir.
"Yah.... Terserah kaulah...."
Mendengar putusan Intan Melati, Suropati
tersenyum senang. Tangan kirinya segera mereng-
kuh bahu gadis itu lebih erat. Lalu, dibawanya
berlari cepat *** Sebuah kereta kuda melesat cepat. Sua-
ranya berderak-derak ketika melewati jalanan ber-
batu. Dilihat dari umbul-umbul yang dibawa pra-
jurit berkuda di depan, tampaknya orang yang be-
rada di dalam kereta adalah seorang pembesar Ka-
dipaten Tanah Loh.
Dan, memang demikianlah kenyatannya.
Dikawal delapan prajurit pilihan, Adipati Bara-
sangga berkenan melakukan perjalanan ke kota
Kadipaten Bumiraksa. Rara Anggi yang merupa-
kan istri Adipati Danubraja penguasa Kadipaten
Bumiraksa, adalah putri Adipati Barasangga. Ma-
ka sudah menjadi kewajaran apabila Adipati Bara-
sangga berkenan mengunjungi putrinya. Apalagi
mereka sudah cukup lama tak saling jumpa.
Ketika melewati sebuah jalan sempit di
ujung Dusun Pakiaplang, prajurit yang berkuda di
depan mengangkat kedua tangannya. Sedang um-
bul-umbul di tangan kanannya dikibaskan tiga
kali. Seketika terdengarlah ringkik panjang kuda yang saling sahut. Masing-
masing segera menghentikan langkah. Beberapa kuda masih terus me-
ringkik, karena terkejut akibat dihentikan secara mendadak oleh penunggangnya.
"Ada apa?" tanya Adipati Barasangga, begitu tirai kereta terbuka. Wajahnya yang
sudah menampakkan garis-garis usia di atas lima puluh ta-
hun masih terlihat berwibawa.
Seorang prajurit berkumis tebal yang mem-
bawa umbul-umbul meloncat dari punggung kuda.
Lalu dihampirinya Adipati Barasangga yang masih
berada di atas keretanya.
"Ampun, Gusti Adipati. Hamba terpaksa
menghentikan perjalanan, karena jalan di depan
terdapat lubang besar. Hamba khawatir kereta ku-
da Gusti Adipati akan terperosok...," lapor prajurit berkumis tebal itu.
Adipati Barasangga mengangguk kecil, lalu
turun dari kereta. Kening lelaki gagah itu berkerut, ketika melihat kubangan
besar yang sudah cukup
menguburkan bangkai dua ekor gajah kira-kira se-
jauh sepuluh tombak. Di kanan-kiri kubangan
tampak berserakan batang-batang kayu yang
agaknya berasal dari tumbangnya pepohonan. Se-
mentara, beberapa pohon besar yang masih berdiri
tegak tampak meranggas. Daunnya menguning.
Bahkan sebagian besar telah berguguran.
"Jalan ini sepertinya baru saja kejatuhan
sebuah benda panas yang mempunyai kekuatan
dahsyat...," pikir Adipati Barasangga sambil mengedarkan pandangan. "Mungkinkah
ada pecahan bintang jatuh di sini" Melihat bekas-bekasnya,
memang demikian. Tapi..., di manakah pecahan
bintangnya?"
Adipati Barasangga melangkah perlahan.
Dikitarinya kubangan sambil memeriksa keadaan
sekitarnya sampai beberapa jauh. Namun, apa
yang dicarinya tidak didapatkan. Akhirnya, dia
kembali ke jalan semula.
"Kita tidak punya waktu lagi...," ujar sang adipati. "Lepaskan dulu kuda-kuda
penarik ini. La-lu, angkat keretanya untuk melewati kubangan
itu." Cepat sekali delapan prajurit Kadipaten Tanah Loh melaksanakan perintah
junjungan mere-
ka. Namun ketika hendak mengikat kembali kedua
kuda penarik kereta ke tempatnya, tiba-tiba....
"Awas...!" teriak sang adipati. Delapan prajurit yang menyandang pedang di
punggung segera
melihat arah yang ditunjuk sang adipati. Wajah
mereka pun kontan menjadi pucat. Namun sebagai
prajurit terlatih, mereka segera menyadari kea-
daan. Saat itu pula mereka berloncatan dengan
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu merin-
gankan tubuh. Pada saat yang sama dari utara tempat
rombongan itu berada, melesat bola api besar yang amat menggidikkan. Sekejap
kemudian.... Blarrrr...! Saat itu pula terdengar ledakan bergemuruh
saat bola api yang melesat dari angkasa mendarat
ke permukaan tanah. Bumi pun berguncang.
Gumpalan tanah bercampur bebatuan membu-
bung tinggi, membuat pandangan jadi gelap. Dan
dari kegelapan itu, keluar percikan-percikan api
yang segera membakar rumput-rumput kering.


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu keadaan kembali seperti semula, di
jalan itu telah terbentuk satu kubangan lagi yang lebih besar. Tidak terlihat
lagi kereta kuda Adipati Barasangga. Tidak ada lagi delapan kuda tunggan-gan
para prajurit pengawal. Mereka telah mati da-
lam keadaan mengenaskan menjadi potongan-
potongan kecil. Sementara, rumput-rumput di se-
kitarnya mati terjilati lidah api.
Adipati Barasangga tampak berdiri sem-
poyongan sekitar tiga puluh tombak dari pusat le-
dakan. Ketika terjadi ledakan tadi, lelaki gagah ini terlontar. Untunglah
tubuhnya kuat, sehingga tidak mengalami cedera berarti. Namun sewaktu dia
hendak berjalan untuk mengetahui apa yang ter-
jadi, delapan prajuritnya berloncatan mendekati.
"Gusti Adipati tidak apa-apa?" tanya prajurit berkumis, menunjukkan
kekhawatirannya.
"Aku tidak apa-apa, Kambar. Hanya lecet-
lecet sedikit..," jelas sang adipati. "Agaknya ada
orang yang ingin membuat permusuhan dengan-
ku. Terlebih lagi, dia ingin membunuhku. Kita
tunda dulu perjalanan ke kota Kadipaten Bumi-
raksa. Kita cari manusia jahat itu."
"Ampun, Gusti Adipati...," sembah prajurit berkumis yang dipanggil Kambar.
"Tidakkah lebih baik Gusti Adipati melanjutkan perjalanan" Hamba khawatir akan
terjadi apa-apa bila Gusti Adipati mencari orang yang belum jelas. Dan lagi,
bola api besar yang menimbulkan ledakan itu apakah bukan bintang jatuh" Jadi,
tidak ada orang yang
bermaksud membuat celaka Gusti Adipati...."
"Bintang jatuh tidak seperti itu. Bendanya
tentu ada. Ini pasti perbuatan orang usil."
"Kalau begitu, orang itu pasti ilmunya san-
gat tinggi sekali...."
"Kau takut, Kambar?" potong sang adipati.
"Kuda kita telah mati semua. Perjalanan kita jadi terhambat. Sambil mencari
orang jahat itu, kita
berusaha pula mendapatkan kuda lagi."
Adipati Barasangga melangkah tenang. Se-
mentara delapan prajurit kadipaten mengikutinya.
Mereka berjalan ke utara, menuju asal luncuran
bola api. Tanpa terasa, perjalanan mereka telah me-
masuki Hutan Wonokeling yang mempunyai ba-
nyak lembah berbatu. Di depan tebing yang terda-
pat lubang bergaris tengah dua depa, sang adipati menghentikan langkahnya.
"Aneh sekali mulut gua di tebing itu...," gumamnya. "Ada cahaya terang yang
memancar dari dalamnya. Kalau cahaya perapian atau obor tidak
akan seperti itu. Dan lagi, tak ada asap yang ke-
luar. Hmmm.... Gua itu pasti ada apa-apanya...."
Adipati Barasangga menatap wajah kedela-
pan prajurit yang berdiri di belakangnya.
"Kalian lihat gua itu. Apakah kalian juga
merasakan keanehannya?"
Yang ditanya tak menjawab. Tapi, sinar ma-
ta mereka sudah cukup memberi jawaban.
"Aku ingin dua orang dari kalian memeriksa
gua itu...," perintah sang adipati kemudian.
Dua orang prajurit tampak membungkuk
hormat, lalu berjalan mendekati tebing. Ringan sekali tubuh mereka ketika
meloncat ke lamping teb-
ing di depan mulut gua. Padahal, jarak mulut gua
dari permukaan tanah tak kurang dari empat tom-
bak. Bisa dilihat kalau mereka memiliki ilmu ke-
pandaian yang bisa diandalkan.
Dua prajurit itu menoleh sebentar ke arah
Adipati Barasangga. Melihat sang adipati memberi
isyarat tangan, mereka segera memasuki gua sete-
lah menghunus pedang untuk berjaga-jaga.
Pandangan Adipati Barasangga dan enam
prajurit yang tertinggal tak pernah lepas dari mulut gua. Mereka sama-sama
tegang. Hingga bebe-
rapa tarikan napas kemudian.... dari dalam gua
memancar cahaya yang lebih terang dan amat me-
nyilaukan. Lalu...
Blarrr...! Betapa terkejutnya Adipati Barasangga dan
enam prajuritnya. Saat itu dari dalam gua melesat berpencaran potongan-potongan
daging dan serpi-
han kain, yang dibarengi ledakan. Begitu benda-
benda kecil itu jatuh ke tanah, semua yang me-
nyaksikan kejadian ini bergidik ngeri. Serpihan
kain yang jatuh ke tanah dapat dikenali sebagai
pakaian dua prajurit yang tadi memasuki gua!
Menyadari apa yang telah terjadi, enam pra-
jurit kadipaten segera meloncat ke depan untuk
melindungi sang adipati dengan pedang terhunus.
"Sebaiknya kita pergi dari tempat ini, Gusti Adipati...," cetus salah seorang
prajurit dengan pandangan nanar.
"Tidak! Aku ingin tahu, apa yang ada di da-
lam gua itu...," tolak Adipati Barasangga seraya berjalan mendekati tebing.
"Jangan, Gusti!" cegah prajurit berkumis bernama Kambar. "Hamba mengkhawatirkan
keselamatan Gusti Adipati."
"Tapi, aku ingin tahu apa yang ada di dalam
gua itu." Kambar tampak berpikir sejenak.
"Sebaiknya Gusti Adipati menunggu di sini.
Hamba yang akan memeriksa gua itu," cetus Kambar. "Aku akan bersamamu,
Kambar...," sahut seorang prajurit bertubuh tinggi besar.
Kambar menatap wajah temannya. Lalu,
mereka sama-sama membungkuk hormat kepada
Adipati Barasangga. Dan tanpa meminta persetu-
juan lagi, mereka meloncat bersama ke depan mu-
lut gua. Namun baru saja mereka melangkah empat
tindak ke dalam....
Blarrr...! Pancaran cahaya menyilaukan itu kembali
muncul dibarengi ledakan keras. Saat itu juga, tubuh Kambar dan temannya
terlontar keluar men-
jadi potongan-potongan kecil seperti habis dirajang pedang yang amat tajam.
"Kita pergi dari tempat ini, Gusti Adipati...,"
ujar prajurit yang berdiri di dekat Adipati Bara-
sangga. Rasa ngeri kini jelas terpancar di mata sang
adipati. Lelaki gagah ini agaknya mulai dijalari ra-sa takut. Namun sebelum
kakinya melangkah....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras yang meledak-
ledak. Saat yang sama, dari dalam gua berhembus
angin kencang. Adipati Barasangga dan empat pra-
jurit yang tertinggal tampak berdiri terhuyung-
huyung. Mereka seketika mengerahkan ilmu
memperberat tubuh agar tidak terlontar. Tapi, su-
ara tawa yang terdengar terasa meremas-remas
jantung. Aliran darah mereka jadi kacau. Gendang
telinga pun terasa hendak pecah. Hal ini membuat
pertahanan mereka goyah. Tiga tarikan napas ke-
mudian, empat prajurit tersurut mundur beberapa
tindak. Lalu....
"Aaah...!"
Tubuh mereka kontan terlontar jauh diiringi
jeritan menyayat hati!
Adipati Barasangga terkejut setengah mati
melihat seorang pemuda berpakaian putih berga-
ris-garis hitam keluar dari dalam gua. Rambut
pemuda itu panjang awut-awutan. Wajahnya yang
sebenarnya tampan, menjadi amat menakutkan.
Karena, bola matanya berwarna merah darah dan
seperti memancarkan cahaya api!
"Si... siapa kau"!" desis Adipati Barasangga.
Suaranya yang keras terdengar bergetar, akibat
deraan rasa takut.
Melihat si pemuda menatap tajam, adipati
Tanah Loh ini menghunus pedang pendeknya.
Namun, pedang itu terlihat bergoyang-goyang ka-
rena terbawa gerak tubuhnya yang gemetar.
"Ha ha ha...!" pemuda berambut awut-
awutan tertawa bergelak. "Aku tahu, kau adalah seorang pembesar kadipaten. Oleh
karena itulah aku tidak membunuhmu. Tapi, agaknya aku ma-
sih perlu mencoba kehebatan ilmu 'Mustika Api'-
ku. Berdiamlah beberapa saat di tempatmu...."
Usai berkata, si pemuda memutar-mutar
kedua telapak tangannya di depan dada.
Saat itu pula Adipati Barasangga terkesiap
ketika di telapak tangan si pemuda tahu-tahu ter-
dapat bola api sebesar kepala kerbau. Bola api itu semakin lama semakin besar,
menyadarkan sang
adipati kalau nyawanya benar-benar terancam.
"Heaaa...!"
Pemuda berambut awut-awutan menggeram
keras seraya meloncat turun dari depan mulut
gua. Bola api yang kini telah sebesar kerbau dis-
angganya di tangan kanan. Sementara itu, Adipati
Barasangga menatap dengan sinar mata nyalang.
Timbul niatan untuk melarikan diri. Tapi, tiba-tiba kakinya terasa kejang dan
sama sekali tak dapat
digerakkan. Wusss...! Si pemuda kini telah melontarkan bola
apinya ke atas. Setelah berputaran sejenak, bola
api itu pun meluncur deras hendak menimpa tu-
buh sang adipati yang sudah tak dapat berbuat
apa-apa. Agaknya, dia telah terkena totokan jarak jauh si pemuda.
Kini, nyawa Adipati Barasangga benar-
benar bagai telor di ujung tanduk. Bola api sebesar kerbau tinggal dua depa lagi
untuk melumatkan
tubuhnya. Mendadak...
Bet! "Ha ha ha...!"
Si pemuda tertawa bergelak seraya menyo-
rongkan tangan kirinya ke depan. Seketika, timbul kekuatan kasat mata yang
menghentikan luncuran
bola api, membuat benda bulat yang memancar-
kan cahaya panas itu melayang sekitar satu depa
dari kepala sang adipati.
Keringat Adipati Barasangga mengucur de-
ras. Tubuhnya bagai berada dalam pembakaran.
Panas yang dirasakannya benar-benar akan mem-
buat tubuhnya meleleh perlahan-lahan.
"Ha ha ha...!" si pemuda tertawa dengan tangan kiri tetap terjulur ke depan.
"Nikmatilah bo-la panas itu, Orang Tua! Tapi, kau tak usah kha-
watir. Bola api itu akan terus melayang. Bila kau mampu bertahan dalam lima
puluh tarikan napas,
maka aku akan membiarkanmu pergi dari tempat
ini." Pucat-pasi wajah Adipati Barasangga. Bagaimana dia bisa bertahan, sedang
ujung-ujung rambutnya sudah mulai terbakar"
"Keparat! Tidakkah kau tahu siapa aku"!"
gertak sang adipati setelah mengumpulkan selu-
ruh keberaniannya. Bagaimanapun dia seorang
pemimpin. Maka, pantang bersikap pengecut
"Siapa kau" Ha ha ha...!" si pemuda tertawa makin keras. "Menilik pakaian yang
dikenakan, kau pasti seorang pembesar kadipaten. Tapi, apa
guna pangkat dan kedudukan bila tak punya il-
mu" Kalau kau tak mampu bertahan, kematian itu
lebih baik bagimu. Seorang pemimpin harus mem-
punyai ilmu yang pilih tanding...."
"Keparat..!"
Umpatan sang adipati hanya ditimpali tawa
si pemuda. Begitu tawanya berhenti.
"Lima puluh... empat sembilan... empat de-
lapan... empat tujuh...."
Kini, Malaikat Kematian benar-benar telah
siap mencabut nyawa sang adipati....
3 "Luar biasa...!" desah Suropati bernada tak-jub. "Bola api yang melesat di
angkasa tadi tentu jatuh di sini."
Intan Melati turut memperhatikan kuban-
gan tanah yang menghalangi jalan, baru kemudian
menggelengkan kepala. Selain mencium bau sesu-
atu yang terbakar, dia juga mencium bau anyir da-
rah. Dan gadis ini memekik kecil ketika melihat
banyak potongan daging bertebaran.
"Suro...!" panggil Intan Melati, berteriak.
"Ada apa, Intan?" Pengemis Binal langsung meloncat ke dekat si gadis.
"Kau lihat itu...," tunjuk Intan Melati.
"Hm.... Yah! Aku juga melihatnya. Itu daging kuda. Kau tak perlu takut. Agaknya,
bola api yang melesat dari arah utara tadi mempunyai kekuatan
dahsyat. Aku menduga, tidak kurang dari lima
ekor kuda telah mati di sini."
"Kalau ada kuda sebanyak itu, pastilah se-
buah rombongan. Lalu, di mana para penung-
gangnya?" "Kupikir, mereka dapat menyelamatkan diri.
Dan kemungkinan besar, mereka menuju ke utara
untuk mencari asal bola api itu."
"Kau yakin?"
"Akan kita buktikan. Aku juga ingin tahu,
siapa biang keladi dari semua ini. Ini bukan kejadian alam biasa. Tapi, dibuat
oleh orang berilmu
tinggi." "Kita tidak jadi ke kota Kadipaten Tanah Loh?" "Jadi. Tapi, kita tunda
dulu." Pengemis Binal lalu mengajak Intan Melati
berlari cepat ke utara, langsung memasuki Hutan
Wonokeling. Agaknya dalam perjalanan, muda-
mudi ini sempat melihat luncuran bola api yang
menghancurkan kereta Adipati Barasangga dan
membunuh kuda-kuda prajuritnya.
Karena tak sabar, Suropati menggendong
Intan Melati. Dibawanya gadis itu meloncat-loncat di tanah berbatu. Dan Pengemis
Binal mengerah-


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan seluruh kemampuan lari cepatnya saat men-
dengar tawa meledak-ledak dari tengah hutan.
Saat itu juga Suropati menurunkan tubuh
Intan Melati begitu melihat seorang lelaki berpa-
kaian adipati tengah bergelut melawan maut Tepat
di atas kepala lelaki itu, melayang sebuah bola api besar yang amat mengerikan.
Keadaannya sudah
payah. Sebagian rambut dan bajunya sudah mulai
terjilat api. Sementara, seorang pemuda berambut
awut-awutan tertawa kegembiraan tanpa henti
menyaksikan keadaan calon korbannya.
"Biadab!" seru Suropati. Seketika tubuhnya melesat sambil menghentakkan kedua
telapak tangan ke depan.
Wuuttt...! Blarrrr...! Sebuah ledakan terdengar memantul dari
tebing ke tebing, saat dua larik sinar kebiruan
yang melesat dari telapak tangan Pengemis Binal
menghantam bola api. Saat itu pula bola api itu
ambyar dengan lidah-lidahnya yang menebar ke
berbagai penjuru. Pada waktu yang hampir bersa-
maan, Suropati menyambar tubuh lelaki berpa-
kaian adipati itu.
Dengan kecepatan mengagumkan pula, ta-
hu-tahu Suropati telah membawa tubuh orang
yang ditolongnya menjauhi pusat ledakan tadi.
Dan begitu sosok itu diturunkan ke tanah....
"Gusti Adipati Barasangga!" sebut Suropati, setelah mengenali lelaki yang baru
ditolongnya. Sementara, Intan Melati tampak menghampiri.
"Ya. Aku Adipati Barasangga. To... longlah
aku, Anak Muda. Aku...."
Sang adipati tak dapat melanjutkan kali-
matnya karena pandangannya mendadak kabur.
Bersamaan dengan itu lelaki yang tak lain pengua-
sa Kadipaten Tanah Loh ini terkulai pingsan dalam dekapan Pengemis Binal.
"Dia tak mengalami luka berarti. Dia hanya
tak mampu menahan hawa panas. Carilah sungai
di dekat sini. Mandikan dia...," ujar Suropati sambil menatap Intan Melati.
Mata si gadis kontan mendelik. "Apa kau bi-
lang" Aku memandikannya?" potongnya dengan
suara ketus. "Tolonglah Adipati Barasangga ini. Kalau
tubuhnya tak segera menyentuh air, aku khawatir
nyawanya tak akan tertolong lagi."
"Keparat!"
Begitu ucapan Suropati selesai, terdengar
suara bentakan penuh kemarahan. Tampak kini
pemuda berambut awut-awutan ini melangkah
dengan mata merah menyala-nyala. Agaknya, dia
hendak melampiaskan kemarahannya kepada Su-
ropati. "Selamatkan Adipati Barasangga. Aku akan menghadapi manusia kejam itu,"
ujar Pengemis Binal lagi.
"Baiklah. Tapi kau harus hati-hati, Suro...,"
sahut Intan Melati seraya menyambar tubuh sang
adipati. "Kurang ajar! Berani benar kau mencampuri
urusanku!" gertak pemuda berambut awut-
awutan. Suropati menggaruk kepalanya sebentar.
Mulutnya yang terbuka hendak bicara mendadak
terkatup kembali. Matanya mendelik ke arah si
pemuda. Walau wajah yang terpampang di hada-
pannya amat kotor, tapi Pengemis Binal masih da-
pat mengenalinya.
"Kau... kau Arya Wirapaksi...?" desis Suropati seperti tak percaya pada apa yang
dilihatnya. "Ha ha ha...!" si pemuda tertawa bergelak
"Aku tidak mengenal, siapa itu Arya Wirapaksi!
Aku adalah pewaris Eyang Arya Balambang Jenar.
Aku adalah pewaris ilmu 'Mustika Api'...!"
Pengemis Binal mengerjap-ngerjapkan ma-
tanya. Apa yang dilihatnya tetap tak berubah. Pe-
muda yang berdiri di hadapannya adalah Arya Wi-
rapaksi, putra mahkota Kerajaan Anggarapura.
Suropati yakin benar akan penglihatannya kini.
Tapi, kenapa Arya Wirapaksi tak mau mengakui
dirinya sendiri" Apakah dia sakit ingatan" Atau,
dia memang bukan Arya Wirapaksi"
"Tidak! Dia benar Arya Wirapaksi. Aku kenal
betul akan dirinya!" tegas Suropati dalam hati.
"He"! Kenapa kau bengong"! Agaknya kau
telah melihat lubang kematian di depan matamu.
Kau akan segera merasakan kehebatan ilmu
'Mustika Api'!" bentak si pemuda yang memang Arya Wirapaksi menggerak-gerakkan
kedua telapak tangannya di depan dada.
"Tunggu!" cegah Pengemis Binal. "Tidakkah kau mengenaliku, Wirapaksi" Aku
Suropati. Aku sahabatmu..."
"Aku tidak kenal kau! Aku tidak kenal pula
nama yang kau sebutkan itu!"
Di ujung kalimatnya. Arya Wirapaksi melu-
ruskan telunjuk tangan kirinya yang semula ber-
putar-putar di depan dada.
Slap! "Uts!"
Pengemis Binal meloncat ke samping ketika
melihat selarik sinar bening meluruk ke dada kiri.
Sehingga luputlah dia dari totokan jarak jauh yang dilancarkan pemuda berambut
awut-awutan itu,
"Aku curiga, pasti ada sesuatu yang tak di-
inginkan telah terjadi pada diri Arya Wirapaksi...,"
kata batin Pengemis Binal. "Ilmunya tak mungkin berkembang sedemikian cepat
dalam waktu sing-kat. Tentu ada orang sakti yang telah memindah-
kan seluruh tenaga saktinya ke tubuh Arya Wira-
paksi. Atau mungkin, Arya Wirapaksi telah mem-
pelajari sebuah kitab luar biasa, sehingga mem-
buat otaknya terganggu...?"
Selagi Pengemis Binal menduga-duga, Arya
Wirapaksi menggembor keras. Tahu-tahu, telapak
tangan kirinya telah menyangga bola api sebesar
kerbau. Matanya yang berwarna merah darah se-
makin terlihat mengerikan.
"Mampuslah kau...!" pekiknya seraya me-
lemparkan bola api ke arah Pengemis Binal
Bergegas remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan itu meloncat. Tapi, alangkah ter-
kejutnya Pengemis Binal. Ternyata bola api yang
melayang di udara itu bisa dikendalilan oleh Arya Wirapaksi. Bahkan kini
terlihat mengejar ke mana
pun tubuh Suropati bergerak.
Karena terus diburu bola api besar yang
membawa hawa panas, keadaan Pengemis Binal
jadi kalang kabut. Keringat mengucur deras di tu-
buhnya. Matanya mendelik tajam melihat pohon-
pohon di sekitarnya mulai terbakar. Akibatnya,
Hutan Wonokeling kini berubah menjadi lautan
api. Saat itu pula, Pengemis Binal mengempos
tubuhnya disertai pengerahan seluruh kemam-
puan ilmu meringankan tubuhnya. Ketika, bola api
melesat ke arahnya, dengan sigap dipasangnya
kuda-kuda. Dihirupnya udara dalam-dalam, se-
raya menarik pergelangan tangan hingga sejajar
pinggang Sekejap mata kemudian, telapak tangan
remaja tampan itu telah berubah menjadi merah
membara. Namun anehnya, hawa yang ditimbul-
kannya terasa dingin menusuk tulang.
"Pukulan 'Salju Merah'...!" pekik Suropati seraya menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan. Wuuttt...! Blarrr...! Ledakan dahsyat kontan berkumandang ke
seantero Hutan Wonokeling. Bola api langsung
hancur dan lenyap tertimpa dua larik sinar merah
yang memendarkan hawa dingin. Ranting-ranting
pohon yang semula terjilati lidah api kini terselimuti salju berwarna merah.
Walau matahari tepat
di atas kepala, namun udara terasa amat dingin.
Itulah kehebatan ilmu pukulan 'Salju Merah' milik Pengemis Binal yang diturunkan
oleh Nyai Catur
Asta padanya. Melihat ilmu 'Mustika Api' mengalami kega-
galan, tubuh Arya Wirapaksi bergetar terbawa lua-
pan amarah. Giginya bertaut rapat memperden-
garkan bunyi bergemeletuk. Air mukanya tegang
dengan mata melotot. Kini kedua mata itu benar-
benar menyorotkan cahaya merah menggidikkan.
"Jahanam...!" geramnya.
Melihat wujud pemuda berambut awut-
awutan makin tampak mengerikan, tanpa sadar
Pengemis Binal tersurut mundur. Tangan kanan-
nya meraba tongkat butut yang terselip di ikat
pinggangnya. Dan dia jadi terkesiap ketika tubuh
Arya Wirapaksi tampak memancarkan cahaya pu-
tih yang amat menyilaukan mata.
"Aku ingin tahu, apakah kau mampu berta-
han dari ilmu 'Mustika Api' tingkat kesepuluh
ini...," tantang si pemuda. Perlahan-lahan kedua belah tangannya dipentangkan,
lalu bergerak naik.
Dan kini, bertemu di atas kepala.
Kini, terdengar suara mendesis ketika tela-
pak tangan Arya Wirapaksi mengepulkan asap pu-
tih. Saat mulut pemuda berpakaian putih dengan
garis-garis hitam itu menggembor keras, dari ke-
dua telapak tangannya yang bertaut di atas kepala melesat bunga-bunga api ke
arah Pengemis Binal!
"Hiyaaa...!"
Suropati meloncat tinggi seraya meloloskan
tongkat bututnya di tanah. Setelah berputaran be-
berapa kali, kedua kakinya mendarat mantap. Le-
satan bunga-bunga api itu memang berhasil di-
hindarinya. Namun dia jadi terkejut saat melihat
tanah tempat bunga-bunga api mendarat telah
berlubang-lubang dan menyemburkan api, yang
sepertinya keluar dari tenaga panas bumi.
Belum lama kaki Suropati mendarat, bun-
ga-bunga api telah melesat kembali lagi dari telapak tangan Arya Wirapaksi. Mau
tak mau Penge- mis Binal mesti berjumpalitan untuk menyela-
matkan diri. Tapi, bunga-bunga api itu seperti tak ada habisnya. Melesat terus,
membuat lubang-lubang di tanah yang kemudian menyemburkan
api berwarna kebiruan.
Mendapat serangan bertubi-tubi, Suropati
jadi kewalahan. Dia tak punya lagi tempat untuk
Renjana Pendekar 13 Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Naga Sasra Dan Sabuk Inten 29
^