Api Di Bukit Menoreh 20
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20
"Ya Agaknya memang demikian."
Sebenarnyalah bahwa mereka telah berada di luar pengamatan sebuah gerombolan yang terhitung garang yang bersarang di ujung hutan itu. Mereka telah membersihkan ujung hutan yang menjorok dari gerumbul-gerumbul perdu yang liar dan mendirikan gubug-gubug diantara pepohonan raksasa di ujung hutan itu. Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Rara. Menurut dugaanku, tanah ngarai ini adalah tanah yang memungkinkan untuk digarap menjadi sawah dan ladang. Tetapi agaknya gerombolan perampok itulah yang manakut-nakuti orang yang berniat menggarap tanah ngarai ini sehingga menjadi padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat dengan satu dua pohon-pohon yang besar dan tua."
"Rasa-rasanya aku telah menginjak pematang kakang."
"Bekas pematang, maksudmu?"
"Ya. Tanah Ngarai ini agaknya pernah menjadi tanah garapan. Tetapi entah karena apa maka tanah ini telah ditinggalkan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian mulai memperhatikan tanah disebelah menyebelah jalan sempit yang mereka lalui. Seperti yang dikatakan oleh Rara Wulan yang berjalan di luar jalur jalan sempit itu, mereka memang mendapatkan jalur tanah yang agaknya bekas pematang sawah.
"Ya. Tanah ini pernah menjadi tanah garapan," berkata Glagah Putih, "Tetapi tanah ini sudah lama ditinggalkan. Tetapi pohon-pohon besar itu tentu sudah ada pada saat tanah ini menjadi tanah garapan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa ratus patok di hadapan mereka nampak tanah garapan yang luas terbentang sampai ke cakrawala. Beberapa padukuhan nampak di kejauhan bagaikan pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan yang tenang.
"Ada beberapa kemungkinan, kenapa tanah ini tidak lagi di garap Rara."
Rara Wulan tidak menyahut. "Mungkin karena keberadaan gerombolan yang jahat sehingga para petani menjadi ketakutan. Tetapi mungkin para petani tidak mempunyai cukup tenaga yang menggarap sawah yang demikian luas."
"Ya, kakang," sahut Rara Wulan sambil memandangi tanah yang sedemikian luasnya. Keduanyapun kemudian menuruni sebuah tebing yang rendah dan memasuki jalan yang sedikit lebih lebar dari jalan yang baru saja dilaluinya, "Kita pergi ke padukuhan yang nampak itu Rara." Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sementara itu, panas mataharipun. terasa semakin menyengat. Namun ketika mereka mulai memasuki tanah persawahan, maka di sebelah menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perindang. Ternyata penghuni padukuhan yang memiliki sawah yang luas itu menanami tanggul parit di sepanjang jalan yang panjang itu dengan pohon turi. Pohon yang berbunga putih, yang merupakan jenis sayuran yang banyak di gemari.
Semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melihat semakin jelas, bahwa padukuhan di hadapan mereka adalah sebuah padukuhan yang besar. Sebuah padukuhan yang memanjang yang dilingkari dengan dinding padukuhan yang cukup tinggi.
"Agaknya padukuhan itu telah melindungi dirinya dari para penjahat yang tinggal di hutan itu," desis Glagah Putih.
"Ya. Ternyata dengan dinding padukuhan yang tinggi. Mungkin memang terdapat permusuhan antara orang-orang padukuhan itu dengan gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun kemudian berkata, "Kita akan melewati padukuhan itu, Rara. Kita akan dapat melihat keadaan di padukuhan yang berdinding tinggi itu."
Rara Wulan mengangguk. Ia memang ingin melihat, apa yang terdapat dalam padukuhan yang berdinding tinggi itu.
Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah berada di jalan yang lebih besar lagi, langsung menuju ke pintu gerbang padukuhan yang sudah menjadi semakin dekat.
Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat. Namun pohon turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan itu telah banyak memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Pada saat matahari sedikit melewati puncaknya, maka mereka berduapun telah sampai ke pintu gerbang padukuhan itu. Ternyata pintu gerbang padukuhan itu terbuka lebar meskipun nampaknya pintu itu sengaja dibuat demikian kokohnya. Sehingga kesan yang menyentuh jantung Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu memang sengaja melindungi dirinya sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan belum tahu. padukuhan itu melindungi diri dari siapa " Mungkin dari para penjahat di ujung hutan. Tetapi mungkin ada ancaman lain yang membuat seisi padukuhan itu harus berhati-hati.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan yang besar itu, maka yang dilihatnya adalah jalan utama yang cukup lebar. Dinding halaman yang tertata rapi. Halaman rumah yang pada umumnya cukup luas dan bersih.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk semakin dalam, dilihatnya beberapa orang remaja yang berjalan menggiring kambing dan domba. Di lambung mereka tergantung pedang.
"Pedang," desis Rara Wulan, "bukan sekedar piranti untuk mencari rumput. Tetapi benar-benar pedang."
Glagah Puuh mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Setiap remaja di padukuhan ini telah mempersenjatai dirinya sendiri dengan pedang. Apa yang telah menyebabkan mereka harus bersenjata ?"
"Mungkin ada ancaman dari luar padukuhan ini, sehingga setiap orang, termasuk remajanya harus bersenjata."
"Mungkin sekali. Agaknya penjahat di sudut hutan itu."
Sebenarnya setiap laki-laki di padukuhan itu membawa senjata apapun juga. Ada yang membawa pedang, tongkat besi, tombak pendek atau apa saja. Tetapi kebanyakan diantara mereka membawa pedang di lambungnya
Selain membawa senjata, agaknya penghuni padukuhan itu juga selalu berhati-hati terhadap orang yang dianggapnya asing.
Glagah Putih dan Rara Wulan merasa, bahwa beberapa pasang mata selalu memandanginya. Dari balik pintu-pintu regol halaman atau mereka yang berpapasan di jalan utama padukuhan itu. Bahkan dua orang anak muda yang berpapasan, dengan tidak segan-segan lagi berhenti dan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Rasa-rasanya kita menjadi tontonan disini, kakang."
"Bukan tontonan. Tetapi kita menjadi sosok yang nampaknya sangat dicurigai."
"Tentu ada persoalan yang gawat yang terjadi di padukuhan ini."
"Tetapi persoalan itu tentu sudah makan waktu yang lama dan agaknya masih belum terselesaikan. Dinding padukuhan itu tentu tidak baru kemarin sore didirikan. Menilik ujudnya, dinding itu tentu sudah agak lama dibuatnya."
"Ya, kakang," Rara Wulanpun menjadi semakin mendekati Glagah Putih sambil berdesis, "Kita benar-benar menjadi perhatian orang banyak di padukuhan ini."
Sebelum Glagah Putih menjawab, mereka melihat dua orang anak muda yang muncul dari regol halaman. Ternyata regol itu adalah regol banjar padukuhan yang besar itu.
Banjar padukuhan itu adalah banjar yang terhitung luas. Bangunannya termasuk bangunan yang bagus. Bahkan tiang regolnya terbuat dari kayu berukir dan disungging lembut.
Apalagi tiang-tiang pendapa banjar itu. Sebuah bangunan joglo yang terhitung besar dan luas.
Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti ketika kedua orang anak muda dengan isyarat telah menghentikan mereka.
"Siapakah Ki Sanak berdua ?" bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain."
"Kademangan manakah yang Ki Sanak singgahi yang terakhir sebelum Ki Sanak sampai ke padukuhan kami."
"Kami berada di Seca Ki Sanak."
"Apakah kalian terlibat dalam bentrokan berdarah yang terjadi di Seca?"
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata berita tentang gejolak yang terjadi di Seca begitu cepatnya telah sampai ke telinga penghuni padukuhan itu.
"Tidak, Ki Sanak. Bahkan kami tidak tahu, bahwa di Seca telah terjadi pertumpahan darah. Bahkan menurut penglihatan kami, Seca adalah satu kademangan yang tenang, aman dan terasa damai."
"Itu yang nampak di permukaan."
Glagah Putih termangu-mangu pula sejenak. Dengan nada ragu ia bertanya, "Apa maksud Ki Sanak ?"
Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Glagah Putih. Bahkan anak muda itu bertanya, "Kapan kau meninggalkan Seca?"
"Kemarin siang, Ki Sanak."
"Dimana kau berada semalam " Maksudku di mana kau bermalam semalam ?"
"Kami adalah pengembara Ki Sanak. Kami dapat bermalam di mana saja. Semalam kami bermalam di sebuah padukuhan yang kering, yang tanahnya tandus. Tetapi nampaknya padukuhan itu mempunyai masa depan yang berpengharapan, karena padukuhan itu telah bangkit. Agaknya ada juga seseorang yang seakan-akan membangunkan mereka dari sebuah mimpi buruk, sehingga rakyat padukuhan kering itu telah bersama-sama bekerja keras membuat bendungan."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Padukuhan Tangkil memang sedang membuat bendungan."
"Aku bermalam di pategalan yang kering, disebelah padukuhan itu."
"Kenapa kau tidak bermalam di padukuhannya. Di banjar misalnya?"
Glagah Putih mulai mencari-cari jawab. Katanya, "Aku bertemu dengan seseorang yang sedang berada di pategalannya. Kami berdua menemaninya tidur di gubugnya."
"Kenapa orang itu tidur di gubugnya di pategalan " Apakah ada tanaman yang perlu ditungguinya ?"
"Tidak, Ki Sanak. Orang itu tidak menunggui tanaman apapun. Tetapi menurut orang itu, ia sedang bertengkar dengan isterinya, sehingga malam itu ia lebih senang tidur di pategalan."
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berdesis, "Edan."
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Mereka menjadi agak tegang, apakah kata-kata Glagah Putih itu dipercaya atau tidak.
Namun tiba-tiba saja anak muda yang seorang lagi bertanya, "Sebelum sampai ke padukuhan ini, kalian berada di mana ?"
Glagah Putihpun menjawab, betatapun jantungnya terasa berdebar, "Ki Sanak. Justru itulah yang ingin kami tanyakan. Kami berjalan menyusur jalan di sebelah hutan turun ke ngarai. Ketika kami menyeberangi padang perdu yang cukup luas itu, kami melihat beberapa batang lembing yang tertancap di tanah. Bahkan kami berdua melewati sepasang pohon jambe yang mengerikan."
"Kenapa mengerikan ?"
"Ada beberapa macam benda terikat bergayutan di sepasang pohon jambe tua itu. Yang mengerikan, di pohon jambe itu juga bergantungan dua buah tengkorak manusia yang sudah kering."
"Kalian lewati padang perdu itu ?"
"Ya." "Beruntunglah kalian, bahwa kalian masih sempat melihat padukuhan ini."
"Kenapa ?" bertanya Glagah Putih.
"Kalian tidak menyentuh apapun yang ada di padang perdu itu " Maksudku, lembing dan pohon jambe serta benda-benda yang bergayut pada lembing serta pohon jambe itu ?"
"Tidak. kami hanya lewat. Itupun agak tergesa-gesa."
Namun yeng ssorang lagi tiba-tiba saja bertanya pula, "Jika semalam kau bermalam di Tangkil, kenapa baru sekarang kau sampai disini?"
Dengan serta-merta pula Glagah Putih menjawab, "Kami terlambat bangun. Akhirnya kami diminta singgah ke rumah orang yang sedang bertengkar dengan isterinya itu. Ternyata isterinya baik dan menghidangkan makan dan minum bagi kami berdua, sementara laki-laki yang bermalam di pategalan itu pergi ke sungai, ikut membuat bendungan."
Agaknya jawaban-jawaban Glagah putih cukup meyakinkan. Karena itu, maka kedua orang anak muda itupun kemudaan berkata, "Silahkan melanjutkan perjalanan kalian."
"Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi apakah aku boleh bertanya sedikit lagi?"
"Bertanya apa?"
"Apakah setiap orang lewat juga mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan kalian kepada kami berdua ?"
"Jika orang itu mencurigakan, maka kami tentu akan bertanya sebagaimana kami tanyakan kepada Ki Sanak."
"Terima kasih. Kami minta diri."
"Silahkan, Ki Sanak. Tetapi kalian harus menyadari bahwa kalian berdua termasuk orang-orang yang mencurigakan. Kalian berjalan berdua di teriknya panas matahari. Tetapi kalian seakan-akan berjalan di terang bulan. Kalian melihat-lihat setiap regol halaman, memperhatikan setiap rumah dan bahkan anak-anak kami yang akan keluar menggembalakan kambing."
"Memang ada yang menarik perhatian kami, Ki Sanak."
"Apa?" "Aku melihat semua orang laki-laki di padukuhan ini bersenjata apa saja, seolah-olah padukuhan ini sedang dalam suasana perang. Bahkan anak-anak remaja yang menggembalakan kambing itupun membawa senjata pula di lambungnya. Bukankah itu sangat menarik perhatian bagi para pengembara?"
Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang diantara mereka menjawab, "Tidak. Tidak ada hubungan apa-apa antara senjata yang dibawa oleh setiap laki-laki disini dengan perang. Kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa. Senjata bagi laki-laki di padukuhan ini merupakan kelengkapan pakaian mereka. "
"Hanya sekedar kelengkapan ?"
"Ya." "Apakah ada ancaman dari mereka yang memasang pertanda di padang perdu itu sehingga padukuhan ini harus membuat dinding yang tinggi serta setiap laki-laki harus membawa senjata ?"
"Tidak, kau dengar," bentak seorang diantara kedua orang anak muda itu, "sudah aku katakan. Senjata adalah sekedar kelengkapan pakaian bagi kami. Laki-laki yang tidak membawa senjata menurut adat di padukuhan ini dianggap pengecut. Sekali lagi aku tarakan, kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa."
"Maaf Ki Sanak," sahut Glagah Putih, "sebenarnyalah aku menjadi ketakutan. Apalagi isteriku ini. Itulah sebabnya maka kami berjalan dengan ragu-ragu di jalan utama padukuhan ini. Dalam ketakutan kami memperhatikan setiap regol halaman, karena kami mengira bahwa tiba-tiba saja kami akan mendapat perlakuan yang kurang baik."
"Jika kau terlalu banyak berbicara, maka kalian berdua justru akan mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika kalian berdua tidak segera pergi, maka mungkin sekali kalian akan benar-benar kami tangkap."
"Baik, baik. Kami minta diri Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun segera meninggalkan kedua orang anak muda yang menjadi marah itu. Agaknya pertanyaan-pertanyaan Glagah Putih telah menyinggung perasaan mereka.
Ternyata padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan waktu beberapa lama untuk mencapai ujung jalan utama yang lain. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di luar pintu gerbang padukuhan di ujung yang lain itu.
Namun di sepanjang jalan utama, keduanya memang merasakan, bahwa orang-orang padukuhan itu yang melihat mereka berdua nampak menjadi curiga. Bahkan beberapa orang anak muda sengaja berdiri di pinggir jalan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka bergeser melekat dinding halaman ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di depan mereka.
"Selamat siang, Ki Sanak," Glagah Putihpun memberikan salam kepada anak-anak muda itu.
Ternyata ada diantara anak-anak muda itu yang menyahut, "Selamat siang."
"Tentu sesuatu telah terjadi di padukuhan itu," desis Rara Wulan, "suasananya terasa tegang. Semua orang rasa-rasanya siap untuk bertempur."
"Agaknya ada hubungannya dengan pertanda yang pernah kita lihat di padang perdu itu meskipun mereka mengatakan tidak."
"Ya. Agaknya memang demikian. Agaknya padukuhan ini telah bermusuhan dengan penghuni ujung hutan itu untuk waktu yang lama."
"Jika permusuhan itu tidak kunjung berakhir, maka tatanan kehidupan di padukuhan itupun akan selalu dibayangi oleh kecemasan. Setiap saat orang-orang di ujung hutan itu dapat datang menyerang. Bahkan mungkin mereka dapat berbuat jahat terhadap orang-orang yang sedang berada di sawah atau perempuan yang pergi ke pasar."
"Jika permusuhan itu sudah berlangsung lama, maka penghuni padukuhan itupun tentu sudah dapat menyesuaikan diri."
"Tetapi anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam suasana yang tegang itu akan dapat terpengaruh. Sifat dan wataknyapun akan dibentuk dalam suasana permusuhan."
Keduanyapun kemudian terdiam. Mereka berjalan semakin jauh dari padukuhan yang berdinding tinggi itu. Mereka menempuh jalan bulak yang panjang untuk sampai ke padukuhan yang lain. Panas matahari terasa semakin membakar kulit. Pohon-pohon perindang menjadi semakin jarang. Agaknya padukuhan berikutnya tidak begitu tertarik untuk menanam pohon turi di pinggir jalan bulak. Yang ditemui oleh Glagah Putih adalah justru pohoh gayam. Tetapi jarak batang gayam yang satu dengan yang lain agak panjang. Namun daun gayam memang lebih rimbun dari daun turi.
Tetapi semakin besar batangnya, maka akar-akarnya akan membuat pangkal batangnya menjadi besar sehingga mengurangi lebar jalan. Bahkan disisi lain akan dapat mengganggu tanggul parit. Keduanyapun terhenti sejenak, ketika mereka berada diatas sebuah jembatan kayu yang menyilang susukan yang airnya cukup deras. Agaknya air di susukan itu tidak pernah kering meskipun di musim kemarau.
"Susukan inilah yang agaknya membuat daerah ini nampak subur," desis Glagah Putih.
"Ya. Tanahnya subur sehingga tanaman di sawahpun nampak subur. Tetapi suasana tegang di padukuhan itu terasa agak mengganggu."
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka mendengar suara anak-anak yang berteriak-teriak. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang remaja berdiri di atas tanggul.
Ternyata para remaja itu tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Tetapi mereka melempari batu ke arah seberang susukan.
Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang remaja yang lain berada di seberang susukan. Namun mereka tidak membalas. Mereka justru pergi menjauhi susukan itu. Agaknya remaja di seberang susukan itu sedang menunggui burung yang dapat merampas hasil panenan mendatang. Karena yang berterbangan diatas batang padi yang mulai merunduk itu bukan saja sepuluh dua puluh. Tetapi sekelompok burung pipit sehingga menyerupai awan yang kelabu bergerak rendah dan cepat diatas batang-batang padi.
"Apa yang sebenarnya terjadi," desis Rara Wulan.
"Para remaja yang melempari batu itu tentu remaja dari padukuhan yang baru saja kita lewati."
"Ya. Merekapun bersenjata. Mereka membawa parang atau pedang atau senjata-senjata yang lain."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja termangu-mangu menyaksikan beberapa orang remaja yang melempari batu itu.
Tetapi ketika beberapa orang remaja di seberang susukan itu pergi, maka merekapun segera berhenti.
Beberapa saat mereka masih berdiri diatas tanggul. Namun kemudian ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, merekapun berlari-lari mendatanginya.
"Apa yang akan mereka perbuat ?" desis Rara Wulan.
"Entahlah." "Apakah kita harus lari untuk menghindari mereka ?"
"Tidak Rara. Kita akan berada di sisi lain dari jembatan ini. Maksudku diseberang susukan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian beringsut dan berdiri di ujung jembatan.
Ternyata anak-anak remaja itu tidak mau mendekati mereka. Mereka berhenti di ujung jembatan yang lain.
"Bukankah kalian yang kami jumpai di padukuhan kami tadi ?"
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Mereka teringat kepada beberapa orang remaja bersenjata yang menggiring binatang peliharaan mereka. Mereka tidak sekedar membawa alat-alat untuk menyabit rumput. Tetapi mereka benar-benar membawa pedang atau senjata yang lain.
"Sekarang kalian akan pergi kemana?"
"Kami adalah pengembara. Kami berjalan saja tanpa tujuan."
"Apakah kalian telik dari kademangan Prancak di pinggir Kali Elo."
"Kademangan Prancak ?"
"Ya. Yang bersebelahan dengan kademangan Payaman."
"Tidak anak-anak. Kami adalah pengembara. Kami belum pernah tinggal di kademangan Prancak. Apakah kademangan Prancak masih jauh."
"Kalian sekarang berada di kademangan Prancak."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak. Baru kemudian dengan nada datar Glagah Putih berkata, "Jika aku sekarang berada di kademangan Prancak, kenapa kalian bertanya, apakah aku telik dari kademangan Prancak" Bukankah kalian telah mengenal orang-orang kademangan Prancak" Jika kalian belum mengenal, kakak-kakak kalian atau ayah kalian atau siapapun yang melihat kami tentu akan dapat mengenali kami."
"Yang menjadi telik bagi kademangan Prancak tidak harus orang Prancak. Orang Prancak dapat mengupah orang yang tidak dikenal di padukuhan kami untuk melihat sejauh mana kesiapan kami menghadapi kademangan Prancak."
"Aku menjadi bingung, tole. Aku tidak tahu apa yang kau maksud?"
Anak itu masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba saja kawannya menariknya sambil berkata, "Sudahlah. Jika mereka tidak tahu, biar saja tidak tahu. Kita kembali ke kambing-kambing kita."
Anak-anak remaja itupun segera berlari menghambur meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Apakah yang dimaksud anak-anak itu ?" desis Rara Wulan.
"Kami masih belum jelas, Rara. Tetapi yang kami tangkap adalah satu kenyataan bahwa ada gejolak di kademangan Prancak."
"Ternyata padukuhan itu tidak mempersiapkan diri atau justru dalam permusuhan yang lama dengan orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Tetapi justru persoalan yang tumbuh dikademangan Prancak ini sendiri."
Selagi Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu, mereka melihat beberapa orang anak remaja dari seberang susukan itu mendatangi mereka pula. Tetapi sikap mereka agak berbeda. Anak-anak dari seberang susukan itu nampak ragu-ragu meskipun mereka berjalan terus ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Nampaknya mereka tidak bersikap bermusuhan," desis Rara Wulan.
"Ya. meskipun demikian, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sesuatu yang tidak pernah kita duga akan terjadi."
Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Mereka tidak beringsut lagi dari tempat mereka berdiri di seberang jembatan. Agaknya anak-anak itu mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan anak-anak padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.
Beberapa langkah dari Glagah Putih dan Rara Wulan, beberapa orang anak remaja itu berhenti. Mereka nampak semakin ragu-ragu.
Namun Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Kemarilah. Mendekatlah. Mungkin kita dapat berbincang."
Anak-anak itu masih nampak ragu-ragu.
Namun kemudian dua orang diantara merekapun melangkah mendekat, sedangkan yang lain berdiri saja seakan-akan membeku di tempatnya.
"Paman dan bibi," bertanya seorang diantara kedua orang remaja yang mendekat itu, "siapakah paman dan bibi ?"
"Kami adalah pengembara, tole. Kami kebetulan saja lewat kademangan Prancak ini."
"Apakah paman dan bibi belum mengenal anak-anak yang tadi menemui paman dan bibi?"
"Belum," jawab Glagah Putih, "kami belum mengenal mereka. Tetapi kami tadi melihat mereka di padukuhan sebelah."
"Padukuhan Babadan."
"Jadi padukuhan itu namanya padukuhan Babadan ?"
"Ya," jawab anak itu.
"Apakah kalian bermusuhan dengan anak-anak Babadan, sehingga mereka melempari kalian ?"
"Babadan menganggap kami sebagai musuh-musuh. Bukan hanya anak-anak sebaya kami. Tetapi juga orang-orang tua kami."
"Kenapa?" "Padukuhan Babadan sebenarnya termasuk lingkungan kademangan Prancak. Tetapi dua padukuhan besar yang satu diantaranya adalah Babadan, menyatakan bahwa seharusnya padukuhan induk kademangan Prancak itu adalah Babadan. Demangnya harus orang Babadan, sementara padukuhan-padukuhan lain akan menjadi wilayah kademangan Prancak yang padukuhan induk adalah padukuhan Babadan."
"Apakah dengan demikian, maka orang-orang Babadan memusuhi orang-orang padukuhan lain di kademangan Prancak ?"
"Ya. Anak-anak Babadan juga memusuhi kami."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Persoalan yang timbul di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Tetapi apakah perselisihan yang terjadi di Prancak itu sudah demikian parahnya sehingga orang-orang Babadan telah membangun dinding padukuhan yang tinggi serta membekali setiap orang dengan senjata.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika seorang diantara kedua orang remaja itu bertanya, "Apakah paman dan bibi akan singgah di padukuhan kami."
"Dimana padukuhanmu ?"
"Kami tinggal di padukuhan itu. Padukuhan Karang Lor." Glagah Putih dan Rara Wulan memandang ke arah remaja itu menunjuk. Sebuah padukuhan diseberang bulak. Nampaknya juga sebuah padukuhan yang besar, sebesar padukuhan Babadan. Namun agaknya gaya hidup orang Karang Lor berbeda dengan gaya hidup orang Babadan, meskipun selamanya keduanya termasuk satu kademangan.
"Jika kami singgah di padukuhanmu, apakah kami tidak dicurigai sebagaimana kami berada di Babadan ?"
"Seandainya demikian, bukankah paman dan bibi dapat menjelaskan siapakah paman dan bibi sebenarnya " Bukankah paman dan bibi dapat mengatakan bahwa paman dan bibi adalah seorang pengembara."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Jika keberadaan mereka di padukuhan Karang Lor justru menimbulkan persoalan, maka persoalan itu akan dapat menghambat perjalanan mereka.
Namun seorang diantara kedua orang remaja yang mendekatinya itu berkata sambil menepuk bahu kawannya, "Anak ini adalah anak bebahu padukuhan Karang lor. Ayahnya seorang Kebayan."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Bagaimana pendapatmu, Rara ?" bertanya Glagah Putih.
"Agaknya tidak ada salahnya jika kita singgah di Karang Lor. Tetapi tentu tidak terlalu lama."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada kedua orang anak yang menemuinya sementara kawan-kawannya memandangi dari kejauhan.
"Apakah kalian akan pulang ?"
"Kami menunggui burung di sawah. Burung pipit itu mencuri padi-padi kami."
Namun kawannya itu berkata, "Aku akan mengantarkan paman dan bibi, jika paman dan bibi akan singgah di Karang Lor."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, "Baiklah. Aku akan singgah di rumahmu."
Remaja itupun mengajak seorang kawannya yang lain untuk menemaninya pergi ke padukuhan. Remaja itu adalah anak yang disebut ayahnya seorang Kebayan.
Sambil berjalan menuju kepadukuhan Rara Wulanpun bertanya, "Apakah kalian sering berkelahi dengan anak-anak Babadan ?"
"Tidak, bibi," jawab anak Ki Kebayan itu, "tetapi setiap kali kita bertemu, mereka tentu melempari batu. Agaknya jika ada seorang diantara kami yang berani pergi keseberang susukan, maka mereka benar-benar akan memukuli kami."
"Apakah susukan ini merupakan batas antara Karang Lor dengan Babadan ?"
"Ya. Sekarang menjadi batas antara dua padukuhan yang memisahkan diri dari kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang lain sampai susukan ini keluar dari kademangan Prancak dan mengairi sawah di daerah Payaman."
"Sedangkan susukan ini sendiri ?"
Semua pihak menghormati susukan ini, karena susukan ini mengairi kademangan-kademangan lain pula.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara mereka berjalan terus bersama dua orang remaja menuju ke padukuhan yang sudah berada tidak jauh di hadapan mereka.
"Padukuhan kalian ternyata juga termasuk padukuhan yang besar, sebagaimana padukuhan Prancak," berkata Glagah Putih kemudian.
"Ya, paman. Padukuhan kami hampir sama besar dengan padukuhan Prancak."
"Bagaimana dengan jumlah penghuninya " Manakah yang lebih banyak ?"
Anak itu menggeleng sambil menjawab, "Entahlah, paman. Aku tidak tahu."
Glagah putih tidak bertanya lagi. Sementara itu mereka sudah berada tidak jauh lagi dari gerbang padukuhan.
Namun dinding padukuhan Karang Lor itu tidak dibuat setinggi dinding padukuhan Prancak.
"Apakah orang-orang Karang Lor lebih garang dari orang-orang Prancak " Apakah justru orang-orang dari Karang Lorlah yang sering mendatangi orang-orang Prancak ?" bertanya Glagah putih di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bersama kedua orang remaja itu telah memasuki padukuhan Karang Lor. Demikian mereka masuk, maka mereka pun merasakan perbedaan suasana dengan padukuhan Prancak. Rasa-rasanya tidak ada ketegangan di padukuhan Karang Lor. Anak-anak bermain-main di jalan-jalan padukuhan dengan riuhnya. Para remajanya bahkan anak-anak mudanya tidak membawa senjata di lambungnya.
"Jika Prancak memusuhi seluruh kademangan, mereka tentu juga memusuhi padukuhan ini. Tetapi kenapa padukuhan ini sama sekali tidak nampak nafas permusuhan itu, sehingga padukuhan Karang Lor ini nampaknya tetap tenang-tenang saja."
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa mereka tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan jika mereka bertanya kepada remaja yang mengantar mereka itu. Karena itu, Glagah Putih menyimpan pertanyaannya sehingga ia dapat bertemu dengan Ki Kebayan. Ayah remaja yang mengantarkannya itu.
Demikian mereka melangkah beberapa puluh langkah memasuki padukuhan Karang Lor, maka remaja yang mengantarkan mereka itu pun berhenti di depan sebuah regol halaman yang terhitung luas.
"Ini rumahku, paman," berkata seorang diantara kedua remaja itu.
"O," Glagah Putih mengangguk-angguk, "apakah ayahmu ada di rumah ?"
"Ketika aku berangkat ke sawah, ayah ada di rumah. Mungkin sekarangpun ayah masih ada di rumah."
Sebelum Glagah Putih menyahut, anak itupun telah berlari memasuki halaman rumahnya langsung masuk lewat pintu seketeng.
Anak yang seorang lagi itupun berkata, "Silahkan masuk paman dan bibi."
Glagah putih dan Rara Wulan tersenyum. Ternyata unggah-ungguh anak itu pun cukup baik.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Kebayan, maka Ki Kebayan telah keluar dari pintu pringgitan bersama anak laki-lakinya yang sudah remaja itu.
"Marilah, silahkan Ki Sanak," Ki Kebayan itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa.
Ketika Glagah putih dan Rara Wulan kemudian duduk di pringgitan bersama Ki Kebayan, maka anak Ki Kebayan itu sudah berlari menghambur ke halaman. Bersama kawannya anak itupun berlari keluar regol dan turun ke jalan. Agaknya mereka akan kembali ke sawah menunggui burung yang sering mencuri padi yang sudah hampir tua itu.
Di pringgitan Ki Kebayan itupun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Ki Sanak berdua. Anakku itu tidak sempat mengatakan apa-apa kepadaku tentang Ki Sanak, ia hanya mengatakan bahwa ada tamu di depan. Lalu ia berlari pergi seperti yang Ki Sanak lihat."
"Kami bertemu dengan anak itu di sawah, Ki Kebayan. Bukankah aku berbicara dengan Ki Kebayan ?"
"Ya. Aku adalah kebayan padukuhan Karang Lor."
"Anak itulah yang mengatakan kepadaku, bahwa ayahnya adalah seorang Kebayan."
"Ya." "Apa yang kami lihat di sawah telah membuat kami tertarik untuk singgah."
"Apa yang Ki Sanak lihat ?"
"Anak-anak Prancak telah melempari batu anak-anak Karang Lor dari seberang susukan."
"Apakah anak-anak Karang Lor membalas ?"
"Tidak, Ki Kebayan. Selain itu, banyak hal yang menarik perhatian kami di sepanjang perjalanan kami."
"Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini ?"
"Kami adalah suami isteri yang sedang mengembara, Ki Kebayan. Kami tidak mempunyai tujuan. Kami berjalan menurut keinginan kaki kami."
Ki Kebayan itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk iapun bertanya, "Ki Sanak berdua itu berasal dari mana ?"
"Kami berasal dari Jati Anom."
"Jati Anom dekat Gedaren, Ngupit, Macanan, Sangkal Putung."
"Ki Kebayan mengenal daerah itu dengan baik.?"
"Ya. Aku sering pergi ke Macanan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ya. Aku berasal dari Jati Anom. Ayahku orang Banyu Asri."
"Jadi kalian bukan seorang pengembara yang berasal dari ujung negeri ini atau justru dari seberang lautan. Asal kalian dekat saja. Jati Anom."
Glagah Putih tersenyum. Kalanya, "Ya. Kami memang baru mulai. Jarak yang kami tempuh memang baru pendek saja."
"Lalu apakah kalian mempunyai tujuan, setidak-tidaknya arah perjalanan ?"
"Kami akan pergi ke Selatan, lewat Tanah Perdikan Menoreh."
"Jadi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Ki Kebayan."
"Lalu?" "Entahlah," jawab Glagah Putih.
"Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak terlalu jauh lagi. Tetapi jalannya tidak begitu menyenangkan untuk dilewatinya. Kalian akan melewati jalan-jalan yang rumit, padang perdu, bahkan hutan yang lebat. Namun sekali-kali kalian akan melewati padukuhan yang ramai seperti padukuhan-padukuhan di kademangan Prancak ini."
"Ya, Ki Kebayan. Kami sudah siap menempuh jalan yang bagaimanapun rumitnya. Namun daerah yang rumit itu justru tidak banyak menarik perhatian. Daerah yang sulit itu tidak akan banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, kecuali mungkin keluhan karena kami harus mengerahkan banyak tenaga."
"Apa maksudmu, Ki Sanak ?"
"Ki Kebayan. Seperti sudah aku katakan, aku menjadi heran melihat hubungan antara padukuhan Karang Lor dengan padukuhan Babadan di seberang susukan."
Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kalanya, "Hubungan kami memang tidak begitu baik, Ki Sanak."
"Bukankah Babadan dan Karang Lor ini sama-sama berada di kademangan Prancak?"
"Ya." "Kenapa permusuhan itu dapat terjadi ?"
"Jangankan dua padukuhan di satu kademangan. Sedangkan saudara kandung yang tinggal se rumah saja dapat saling bermusuhan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Kebayan benar. Tetapi persoalan yang timbul antara Karang Lor dan Babadan akan dapat menimbulkan banyak masalah bagi kademangan Prancak."
"Persoalannya itu sebenarnya bukan antara Karang Lor dan Babadan. Tetapi antara Babadan dan seluruh kademangan Prancak. Karena padukuhan Karang Lor itu juga berada di kademangan Prancak, tetapi orang-orang Karang Lor tidak mau mendukung niat orang-orang Babadan yang menurut pendapat orang-orang Karang Lor tidak masuk akal, maka orang-orang Babadan menjadi marah dan memusuhi Karang Lor. Tetapi kami tidak bersikap bermusuhan seperti orang-orang Babadan. Kami tetap saja bersikap wajar."
"Apakah sikap Karang Lor tercermin pada sikap anak-anak itu, Ki Kebayan. Meskipun mereka dilempari batu, tetapi mereka tidak akan membalas. Yang mereka lakukan hanya menjauhkan dan menghindari benturan kekerasan."
"Ya. Itulah yang kami lakukan. Kami tidak merasa perlu untuk mempergunakan kekerasan."
"Kalau orang-orang Babadan mempergunakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka terhadap anak-anak Karang Lor."
"Jika kami tidak melayani mereka, apa yang akan mereka lakukan " Sampai sekarang, orang-orang Babadan tidak berbuat apa-apa terhadap kami, meskipun mereka sudah mempersiapkan diri untuk memaksakan kehendak mereka terhadap kademangan Prancak."
"Tetapi bukankah orang-orang Babadan telah melanggar paugeran karena mereka ingin merebut kekuasaan atas Prancak" "
"Ya." "Kenapa orang-orang Karang Lor tidak bersikap tegas saja."
"Maksudmu menentang kekerasan dengan kekerasan."
"Ya." "Tidak. Kami tidak akan melakukannya. Ternyata orang-orang Babadan juga tidak melakukan kekerasaan terhadap kami."
"Baru saja aku melihat anak-anak Babadan melempari batu anak-anak Karang Lor."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka hanya anak-anak."
"Tetapi jika itu cermin sikap orang tuanya, sebagaimana anak-anak Karang Lor yang merupakan cermin sikap orang tua mereka, maka pada suatu saat orang-orang Babadan akan datang dan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan."
Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Tidak, mereka tidak akan melakukan terhadap orang-orang Karang Lor. Mungkin terhadap padukuhan lain di kademangan Prancak."
"Jadi orang-orang Karang Lor akan tetap saja mengambang ?"
"Sudahlah Ki Sanak. Kalian bukan apa-apa disini. Kalian bukan orang Karang Lor. Bahkan kalian bukan orang kademangan Prancak. Jika kalian ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, silahkan. Kalian tidak usah mengurusi kami, orang-orang Karang Lor. Bahkan orang-orang kademangan Prancak. Biarlah kami menentukan sikap kami sendiri sesuai dengan kehendak kami."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah Ki Kebayan. Aku minta maaf. Sebenarnyalah kami hanya ingin tahu apa yang telah bergejolak di padukuhan ini."
Ki Kebayan itu menarik nafas panjang. Katanya, "Itu akan lebih baik bagimu, Ki Sanak. Selamat jalan."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka merasa bahwa Ki Kebayan itu menginginkan mereka berdua segera pergi.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera turun dari pendapa. Sekali lagi mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun mereka tertegun ketika mereka melihat ampat orang berkuda memasuki halaman rumah itu tanpa turun dari kudanya.
Tiba-tiba saja wajah Ki Kebayan menjadi pucat. Diluar sadarnya iapun berdesis, "Ki Jagabaya Babadan."
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar desis Ki Kebayan itu. Karena itu, maka merekapun menjadi berdebar-debar pula. Yang datang itu adalah Ki Kebayan Babadan.
Menilik ujudnya, Ki Kebayan Babadan adalah seorang yang seram. Wajahnya yang keras menunjukkan kekerasan hatinya pula. Kumisnya yang melintang di bawah hidungnya. Matanya yang tajam seperti mata burung hantu.
"Ki Kebayan," suara Ki Jagabaya Babadan itu bagaikan menggetarkan halaman rumah Ki Kebayan, "kau sembunyikan mata-mata dari Prancak ini ?"
"Siapakah yang kau tuduh sebagai mata-mata dari Prancak ?"
"Kedua orang ini. Kedua orang laki-laki dan perempuan ini."
"Bagaimana mungkin aku menyembunyikan mereka, ia ada disini sekarang, dihadapanmu."
"Kalau aku tidak segera datang, maka kedua orang ini tentu tidak akan aku ketemukan."
"Kenapa kau menuduh mereka mata-mata dari Prancak, sedangkan mereka adalah orang-orang yang tidak aku kenal. Karena itu, maka untuk apa aku menyembunyikan orang yang tidak aku kenal."
"Jika saja Karang Lor bersikap seperti padukuhan-padukuhan lain, maka aku akan membunuhmu. Tetapi Karang Lor bersikap lain, maka aku akan membiarkan kau hidup. Tetapi aku akan membawa kedua orang ini."
"Apakah benar mereka mata-mata orang Prancak ?"
"Tentu. Mereka memang bukan orang Prancak. Tapi mereka tentu diupah oleh Demang Prancak yang sekarang untuk mengamati padukuhan Babadan dan sekitarnya. Agaknya ia sudah melakukannya dengan baik. Ia berhasil mengelabui anak muda kami yang lugu dan jujur. Anak-anak muda kami tidak akan mempertimbangkan kemungkinan orang dapat berlaku licik seperti mereka berdua."
"Terserah saja kepada Ki Jagabaya Babadan, apa yang akan kau lakukan terhadap kedua orang itu. Aku tidak tahu menahu tentang keduanya."
"Bagus Ki Kebayan. Sebaiknya kau memang tidak menghalangi aku. Siapa yang mencoba menghalangi aku akan mengalami nasib buruk sepeni orang-orang yang berada di sawah itu."
"Siapa " Orang-orang Karang Lor ?"
"Bukan. Bukan orang-orang Karang Lor. Mereka adalah orang-orang Wijil. Orang-orang yang sombong yang merasa orang di seluruh jagad ini tidak ada yang mampu menandingi kemampuan mereka."
"Apa yang telah kau lakukan terhadap orang-orang padukuhan Wijil ?"
"Lima orang Wijil mencoba untuk menangkap kami berempat, karena mereka menganggap kami telah berani melintasi jembatan pada susukan itu. Mereka tidak mau mengerti, bahwa kami sedang memburu dua orang petugas sandi dari Prancak untuk mengamati padukuhan Babadan."
"Apa yang kemudian terjadi atas orang-orang Wijil itu ?"
"Aku tak tahu, apakah mereka mati, pingsan atau terluka parah."
Ki Kebayan menarik nafas panjang.
"Sekarang, jangan halangi aku membawa kedua orang ini. Bukankah kedua orang ini yang baru saja melintasi jembatan diatas susukan itu" Bukankah mereka berdua yang baru saja melewati jalan utama padukuhan Babadan ?"
"Bertanyalah sendiri kepadanya," berkata Ki Kebayan, "aku baru saja mengusirnya untuk meninggalkan Karang Lor."
"Kau mengusirnya ?"
"Ya." "Kenapa ?" "Ia berusaha untuk menghasut aku agar aku melakukan perlawanan terbuka terhadap Babadan."
"Nah, bukankah tuduhan kami benar, bahwa keduanya adalah petugas sandi dari Prancak yang bukan saja harus mengamati padukuhan Babadan juga menghasut permusuhan."
"Mungkin kau benar."
"Baiklah Ki Kebayan. Aku akan membawa keduanya. Jika keduanya berbuat macam-macam di jalan, kami akan bertindak tegas. Nyawa keduanya memang tidak berharga bagi kami."
"Terserah kepada kalian."
Ki Jagabaya Babadan itupun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Ikut kami. Jangan membunuh."
"Tetapi kami tidak merasa melakukan pengamatan di Babadan. Kami bukan telik sandi dari Prancak. Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di kademangan Prancak."
"Jangan banyak bicara. Ikut kami atau kami harus melakukan kekerasan terhadap kalian berdua."
Ketika Rara Wulan memandang Glagah Putih untuk minta pertimbangan, ia melihat Glagah Putih mengangguk kecil. Karena itu, maka Rara Wulanpun tidak berbuat apa-apa kecuali mengikut Glagah Putih sambil berpegang lengannya.
Ki Jagabaya dari Babadan itupun kemudian membentak, "Ayo jalan. Kita pergi ke Babadan."
Glagah Putih tidak melawan, iapun berjalan ke regol halaman. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan suaminya.
"Kami tidak bersalah, Ki Sanak," berkata Glagah Putih sambil turun ke jalan di depan rumah Ki Kebayan.
"Diam," bentak Ki Jagabaya dari Babadan, "kami tidak pernah memaafkan orang-orang yang telah menjual dirinya menjadi telik sandi di Babadan."
"Apakah sebelum kami, Ki Jagabaya sudah pernah menangkap orang yang menjadi telik sandi di Babadan ?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kami telah menghukum mati lebih dari orang yang telah diupah oleh orang-orang Prancak untuk menjadi telik sandi di Babadan."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata sudah ada korban yang jatuh karena tuduhan itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan sepanjang jalan utama padukuhan Karang Lor menuju ke pintu gerbang. Beberapa orang sempat menyaksikannya dari balik pintu regol halaman mereka masing-masing yang sedikit terbuka.
"Mereka telah terjerumus ke dalam nasib buruk," desis orang-orang Karang Lor yang sempat melihat keduanya di giring oleh empat orang berkuda.
Orang-orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah membentak-bentak mereka pula, agar mereka berjalan lebih cepat.
Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di bulak panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki berada di bulak panjang itu. Mereka ternyata sedang mengerumuni beberapa sosok tubuh yang terbaring di pinggir jalan. Agaknya orang-orang itulah yang dikatakan oleh Ki Jagabaya Babadan. Lima orang dari padukuhan Wijil yang mencoba menangkap Ki Jagabaya serta ketiga orang yang berkuda bersamanya itu.
Namun ketika mereka melihat empat orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan, maka orang-orang itupun menyibak.
"Jangan berbuat bodoh," berkata Ki Jagabaya Babadan, "jika kalian menghalangi aku, maka nasib kalian akan sama seperti kelima orang kawanmu yang dungu itu."
Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan sebelah-menyebelah itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata, "Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian."
"Apa yang akan kalian lakukan ?"
"Menangkap kalian berempat."
Keempat orang berkuda itu tertawa. Katanya, "Kalian berani mencoba menangkap kami berempat " Apakah kulit kalian sudah berlapis besi baja " Bukankah kalian tahu bahwa Jagabaya Babadan adalah seorang yang tidak terkalahkan " Padahal aku sekarang berada disini bersama tiga orang kawanku."
"Sejak kapan kau menjadi Jagabaya Babadan," jawab orang yang berdiri di pinggir jalan itu.
"Pertanyaan yang bodoh. Aku adalah Jagabaya Babadan. Ki Bekel Babadan sudah mengakui kedudukanku. Sebentar lagi. aku akan menjadi Jagabaya kademangan Babadan. Semua padukuhan di kademangan Prancak sekarang harus mengakui kepemimpinan Demang yang baru yang berkedudukan di Babadan."
"Omong kosong," sahut orang yang berdiri di pinggir jalan, "Kau kira kami tidak tahu. siapakah kalian. Kalian bahkan bukan orang Babadan. Bukan pula orang Prancak."
Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Ketiga orang kawannyapun tertawa pula.
Glagah Putih dan Rara Wulan mulai mengenali persoalannya sedikit demi sedikit. Jika orang yang disebut Ki Jagabaya itu bukan orang Babadan. maka merekapun segera menghubungkan jejak kaki kuda yang berada di jalan setapak di padang perdu yang menghubungkan Babadan dengan daerah yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang yang bersarang di ujung hutan, yang tentu bukan orang baik-baik.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum dapat mengambil kesimpulan apapun juga.
Dalam pada itu. Ki Jagabaya Babadan itupun berkata, "Minggir. Aku sedang membawa dua orang tawanan karena mereka adalah telik sandi yang telah kalian upah untuk mengaman keadaan di Babadan. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal, tetapi jika kalian mencoba untuk melindunginya, maka kalian akan mengalami nasib buruk seperti kawan-kawanmu itu."
"Kau mencoba menakut-nakuti kami ?"
"Bukan sekedar menakut-nakuti. Kau sudah melihat akibat perbuatan kawan-kawanmu itu. Untunglah bahwa agaknya mereka belum benar-benar mati meskipun terluka parah. Tetapi untuk melawan orang yang jumlahnya lebih banyak, maka kami akan menjadi lebih garang lagi."
"Kau kira kami menjadi ketakutan ?"
Ki Jagabaya Babadan itupun kemudian menggeram, "Jadi kalian benar-benar ingin menangkap kami ?"
"Ya. Kalian telah berani melanggar batas yang untuk sementara kita buat diantara kita. Susukan ini."
"Sudah berapa kali kalian mencoba melakukannya atas bebahu padukuhan Babadan. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Kenapa kalian tidak pernah menjadi jera ?"
"Kami memang tidak akan pernah menjadi jera. sebelum tatanan pemerintahan di Prancak ini berjalan sebagaimana seharusnya. Kehadiran kalian di Babadan telah banyak menimbulkan masalah."
"Aku peringatkan sekali lagi. Jangan halangi kami. Kedua orang ini adalah telik sandi. Kami berhak menangkap mereka."
"Kami tidak mengenal mereka berdua. Yang kami persoalkan adalah keberadaan kalian di sini."
"Kalian telah menyebut, siapakah kami. Seharusnya kalian sadari, bahwa kami tidak akan dapat dihentikan. Jika kalian berkeras melakukannya, adalah pertanda kematian bagi kalian."
Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itupun kemudian telah memencar. Mereka terdiri dan sembilan orang laki-laki yang tubuhnya nampak kokoh. Sebagian dan mereka adalah anak-anak muda. Yang lain sudah lebih tua dan berbekal pengalaman.
Empat orang itupun kemudian berloncat turun dari kuda mereka. Dengan tenangnya mereka menambatkan kudanya pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu.
Seorang diantara mereka berkata dengan suara yang gemuruh, "Kalian akan menyesali kesombongan kalian. Jika kulit kami tergores meskipun hanya seujung duri oleh senjata-senjata kalian, maka itu adalah pertanda, bahwa perubahan yang akan terjadi di Prancak menjadi lebih cepat. Kami akan segera mengambil langkah-langkah yang lebih pasti menyongsong perubahan yang bakal datang itu."
Orang Prancak itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang tertua diantara merekapun berkata, "Kami juga dapat menakut-nakuti kalian. Meskipun kami tahu, siapakah kalian sebenarnya, tetapi kami sudah bertekad untuk menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Demang di Prancak. Kalian dan semua bebahu Babadan, terutama kawan-kawan kalian, akan segera diadili karena kalian telah mengacaukan tatanan kehidupan di Prancak."
Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Katanya, "Baik, baik. Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan cara terbaik."
Ki Jagabaya itupun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Kalian berdiri saja di pinggir jalan. Jangan mencoba-coba berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki. Jangan mencoba berpihak dan jangan mencoba melarikan diri. Jika kalian mencobanya juga, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk dari orang-orang Prancak ini."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser dan berdiri diatas tanggul parit di pinggir jalan. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan Glagah Putih.
Orang-orang Prancak itu memandangi mereka dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak sempat bertanya tentang diri mereka. Merekapun tidak tahu kenapa orang-orang yang mengaku bebahu padukuhan Babadan itu menuduh mereka sebagai petugas sandi dari Prancak.
"Apakah Ki Demang memang mengirimkan mereka ?" bertanya orang-orang itu di dalam hatinya.
Sementara itu, kedua belah pihakpun telah bersiap. Senjata yang ada di tangan merekapun mulai bergetar.
Keempat orang penunggang kuda yang mengaku orang-orang Babadan itupun telah menarik senjata mereka pula. Dua orang diantara mereka bersenjata pedang. Seorang bersenjata golok dan seorang lagi membawa bindi.
Dalam pada itu, lima orang yang telah terluka parah dan yang telah diangkat menepi oleh tetangga-tetangganya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Bahkan masih ada seorang yang belum sadarkan diri.
Demikianlah sejenak kemudian telah terjadi pertempuran diantara mereka. Orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itupun menyerang bersama-sama dari beberapa arah.
Ternyata ada juga diantara orang-orang Prancak itu yang berbekal ilmu kanuragan. Mereka telah memimpin tetangga-tetangga mereka memberikan perlawanan terhadap keempat orang berkuda yang mengaku orang-orang Babadan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulah kemudian meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang semula bersarang di ujung hutan itu.
Meskipun diantara orang-orang Prancak terdapat orang-orang yang memiliki bekal olah kanuragan, namun ternyata dalam waktu yang singkat para penunggang kuda itu telah mulai mendesak mereka. Orang-orang berkuda itu bertempur dengan garangnya. Merekapun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya mereka telah memiliki pengalaman yang luas pula.
Karena itu, maka justru orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itulah yang mulai tergores senjata. Pakaian mereka mulai terkoyak dan bahkan tubuh mereka mulai terluka.
Agaknya keempat orang yang mengaku orang Babadan itu benar-benar marah terhadap orang-orang Prancak. Mereka nampaknya tidak lagi berusaha untuk menghindari kematian.
Ketika seorang diantara orang-orang Prancak itu terlempar ke tanggul parit dengan luka yang tergores menyilang didadanya, Glagah Putih dengan serta merta telah menolongnya.
Tetapi seorang diantara orang-orang berkuda itu berteriak, "Biarkan saja orang itu mati. Kau sudah diperingatkan, jangan berpihak."
Namun Glagah Putihpun menjawab, "Orang ini dapat tercebur ke dalam parit. Meskipun airnya tidak begitu deras, tetapi menilik keadaannya, maka ia akan dapat mati terbenam di dalam air di parit itu."
"Sudah aku katakan, biar saja orang itu mati."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun diletakkannya orang itu di sisi tanggul, sehingga orang itu tidak akan dapat berguling dan tercebur kedalam parit yang mengalir itu.
Namun kepada Rara Wulan yang berjongkok di sampingnya itupun Glagah Putih berbisik, "Marilah kita melarikan diri menyeberangi jembatan itu."
"Kenapa ?" bertanya Rara Wulan.
"Setidak-tidaknya seorang atau dua orang akan mengejar kita. Dengan demikian, maka beban orang-orang Prancak akan menjadi lebih ringan."
"Aku mengerti maksud, kakang." sahut Rara Wulan.
"Nah, jangan menunggu orang-orang Prancak menjadi lebih parah. Mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan terhadap empat orang sekaligus."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba saja bangkit berdiri. Jembatan diatas susukan yang membelah kademangan Prancak itu sudah kelihatan tidak terlalu jauh lagi.
Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itupun melarikan diri mereka menuju ke jembatan.
Orang-orang yang mengaku orang Babadan itu terkejut melihat kedua tawanan mereka berlari. Karena itu, maka dengan serta merta Ki Jagabaya Babadan itu memerintahkan dua orang kawannya untuk mengejar.
Dengan demikian, maka yang bertempur melawan delapan orang Prancak tinggal dua orang saja, sehingga dengan demikian, maka orang-orang Prancak itu mulai dapat menempatkan diri mereka dengan lebih mapan. Terutama mereka yang memang memiliki bekal olah kanuragan.
Sementara itu, dua orang berkuda yang lain telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata perempuan yang selalu berpegangan lengan suaminya itu mampu juga berlari demikian cepatnya.
Kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak tahu, bahwa keduanya pernah membuat diri mereka hidup seperti seekor kijang.
Karena itu, maka kedua orang berkuda itu tidak segera berhasil menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun ketika jarak mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putihpun memperingatkan Rara Wulan, "Jangan terlalu cepat. Jika mereka yakin tidak akan dapat mengejar kita, maka mereka akan kembali ke arena pertempuran itu. Mereka justru akan menumpahkan kemarahan dan kekecewaan mereka kepada orang-orang Prancak."
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Mereka berlari seperti siput. Bukankah mereka berandal-berandal yang bersarang di ujung hutan itu?"
"Agaknya merekalah yang telah dengan sengaja menimbulkan pertentangan di kademangan Prancak."
"Ya. Tentu mereka yang lelah menghasut orang-orang Babadan itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan yang memperlambat larinya, melihat kedua orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat. Namun mereka berdua berniat menyeberangi jembatan. Baru kemudian mereka akan membiarkan kedua orang yang. mengejar mereka itu dapat menyusul.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di jembatan yang membentang diatas susukan. Namun demikian mereka melewati jembatan, maka tiba-tiba saja beberapa orang remaja yang sebelumnya mereka lihat melempari batu anak-anak Karang Lor, telah berdiri di pinggir jalan itu pula.
Adalah diluar dugaan bahwa anak-anak remaja itupun telah melempari Glagah Putih dan Rara Wulan dengan batu.
"Kalian tentu petugas sandi dari Prancak," teriak anak-anak itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa berlari terus untuk menghindari lemparan batu dari anak-anak remaja itu.
"Bagaimana kita harus menghadapi mereka ?" bertanya Rara Wulan, "merekapun mengejar kita beramai-ramai."
"Kita tunggu kedua orang itu. Kita akan berbincang dengan mereka."
"Hanya berbincang ?"
"Tergantung kepada sikap mereka."
Rara Wulan masih berlari terus. Anak-anak remaja itupun mengejar mereka sambil melempari batu.
Tetapi dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berusaha mencegah mereka. Seorang diantara mereka berteriak, "Kalian jangan melempari batu. Biarlah kami menangkap mereka. Kami akan menggantung mereka di pintu gerbang. Baru kalian boleh melempari mereka dengan batu."
Anak-anak itupun berhenti. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menyeberangi jembatan itupun berlari semakin lambat, sehingga akhirnya kedua orang itupun dapat menyusul mereka.
Seorang diantara kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian berteriak, "Berhenti. Berhenti anak iblis."
Rara Wulan yang masih berlari itupun berkata, "Aku senang bermain-main dengan mereka. Marilah kita lari lebih cepat lagi, agar mereka mengejar kita semakin jauh."
"Kita akan lebih banyak kehilangan waktu," sahut Glagah Putih.
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Jika kita berlari lebih cepat lagi dan menjadi lebih jauh dari mereka, maka nafas mereka akan menjadi semakin terengah-engah. Bahkan mungkin sekali mereka akan kehabisan nafas."
"Itu dapat saja terjadi. Tetapi akan memerlukan waktu yang lama."
"Jadi ?" "Kita berhenti saja selagi kita masih berada di bulak. Kita paksa saja mereka berhenti berkelahi dan tidak mengejar kita lagi."
Rara Wulan mengangguk. Sementara itu, dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka. Sekali lagi terdengar mereka berteriak. Bahkan kedua-duanya, "Berhenti. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari tanganku. Semakin cepat semakin baik."
Yang seorang berteriak pula, "Semakin jauh kau berlari, nasibmu akan menjadi semakin buruk."
Yang lain menyambung, "Aku akan memotong kedua kakimu dan kedua tanganmu."
Rara Wulan pun berdesis, "Lucu sekali."
Tetapi Glagah Putih menyahut, "Berhenti. Kita akan berhenti disini."
"Sebentar lagi kakang. Biarlah tangan mereka menggapai-gapai."
Glagah Putih terpaksa mengikut saja. Rara Wulan justru berlari lebih cepat, sehingga kedua orang yang sudah dapat menyusul mereka itupun harus mengerahkan tenaga untuk dapat menangkap kedua orang buruan mereka. Tetapi jarak mereka menjadi semakin jauh lagi.
Kedua orang itu mengumpat. Merekapun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka berlari untuk mengejar kedua orang buruan mereka. Tetapi kedua orang suami istri itu rasa-rasanya berlari semakin cepat.
Namun ketika mereka sampai di sebuah simpang ampat di tengah-tengah bulak. Rara Wulanpun berkata, "Nah, kita berhenti di simpang ampat itu. Ada tempat yang agak luas untuk bermain."
Sebenarnyalah ketika mereka sampai di simpang ampat, maka merekapun berhenti. Ternyata jarak kedua orang yang mengejar mereka sudah menjadi agak jauh lagi.
Sejenak kemudian, kedua orang yang mengejar mereka itupun telah sampai di simpang ampat pula. Nafas mereka menjadi terengah-engah tidak saja lewat hidung mereka. Tetapi juga lewat mulut mereka.
"Setan alas," geram seorang diantara mereka disela-sela tarikan nafasnya, "kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Kalian telah mencoba melarikan diri. Kemudian kalian tidak mau berhenti pada saat kami memerintahkan kalian berhenti."
"Bukankah kami telah berhenti sekarang," Rara Wulanlah yang menyahut.
"Kenapa baru sekarang kalian berhenti. Bukankah sejak melewati jembatan itu kami sudah memerintahkan kalian berhenti?"
"Ya. Dan sekarang kami sudah berhenti."
"Kenapa baru sekarang ?" bentak yang seorang.
"Apakah kami harus berlari lagi ?" bertanya Rara Wulan.
"Cukup. Kalau berlari lagi, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi. Kau akan dikejar oleh semua orang penghuni padukuhan Babadan seperti mengejar bajing."
"Kau tahu, bahwa kami dapat berlari kencang ?"
"Kau juga tahu bahwa kami mempunyai kuda yang dapat lari jauh lebih kencang lagi ?"
"Kudamu tidak ada disini sekarang. Selagi kalian mengambil kuda, kami sudah hilang dari pandangan kalian."
"Persetan. Sekarang kalian tidak akan dapat melarikan diri lagi."
Rara Wulan tertawa. Katanya kepada Glagah Putih, "Kakang. Bukankah menyenangkan bermain kejar-kejaran di bulak yang luas ini ?"
"Sudahlah Rara. Kita harus segera kembali ke arena pertempuran itu. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba iapun berkata, "Kita berlari lagi ke jembatan."
Glagah Putih menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Kita hormati orang-orang yang telah memburu kita ini."
Rara Wulanpun mengangguk. Katanya, "Baik. Aku ingin memukuli mereka sampai pingsan."
"Apa yang kau katakan ?" bentak seorang dari mereka yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu.
"Sekarang kalian mau apa ?" bertanya Rara Wulan, "kami sudah berhenti menunggu kalian yang berlari seperti siput."
Jantung kedua orang itu berdesir. Sikap Rara Wulan sempat membuat dada mereka berdebaran.
Ternyata perempuan itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan agaknya mereka sengaja menunggu agar kedua orang yang mengejarnya itu dapat menyusulnya.
Justru karena itu, maka keduanya mulai menjadi lebih berhati-hati menghadapi kedua orang laki-laki dan perempuan itu.
"Sekarang, ulurkan tangan kalian. Kami akan mengikat kalian dan membawa kalian ke Babadan. Kalian harus diadili karena kalian adalah petugas sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak."
"Tidak. Kami bukan orang yang diupah oleh siapa-siapa. Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh siapapun. Kami dapat menentukan tujuan kami sendiri dan kami dapat melakukan apa yang ingin kami lakukan asal tidak merugikan dan mengganggu orang lain," jawab Glagah Putih.
"Kau menganggap bahwa seorang telik sandi tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain ?"
"Aku tidak mengatakan bahwa telik sandi itu tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain. Yang aku katakan adalah, bahwa kami bukan orang yang diupah untuk memata-matai pihak manapun."
"Bohong. Semuanya menjadi semakin jelas dengan sikap kalian sekarang ini."
"Bagaimana dengan sikap kami sekarang ?"
"Ternyata kalian memiliki keberanian untuk melawan kami. Jika kalian bukan telik sandi yang serba sedikit berbekal kemampuan olah kanuragan, maka kalian tentu tidak akan berani melawan kami, karena perlawanan kalian akan membuat kalian semakin menderita menjelang saat kematian kalian."
"Kau kira kami akan begitu saja menerima kematian ?"
"Persetan. Kalian menganggap diri kalian ini siapa, he " Kalian mengira bahwa kalian dapat luput dari kematian karena kalian telah memata-matai kami ?"
"Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami tahu bahwa kalian bukan orang-orang Babadan. Jika orang-orang Babadan menemukan mayat kalian disini, maka orang-orang Babadan akan tahu, bahwa kalian sebenarnya bukan apa-apa di dunia olah kanuragan."
"Cukup. Aku akan mengoyakkan mulutmu."
"Akulah yang akan melakukannya."
Kedua orang yang mengaku orang Babadan itupun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, anak-anak remaja yang melempari Glagah Putih dan Rara Wulan telah berlari-lari sampai ke tempat itu pula. Sambil berteriak-teriak merekapun mendekati ke kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu.
"Tangkap mereka paman. Serahkan kepada kami," teriak seorang diantara mereka.
Seorang diantara kedua orang itupun berkata dengan serta-merta, "Mundur. Jangan terlalu dekat. Nanti kalian dapat menjadi korban."
Anak-anak itupun kemudian bergeser mundur. Sementara Rara Wulanpun bertanya, "Apakah kalian akan ikut bermain " Jamuran atau cublak-cublak suweng ?"
"Permainan anak-anak perempuan," sahut mereka.
"Bukankah aku juga perempuan ?"
"Tetapi kami bukan perempuan," teriak seorang diantara mereka.
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Baik. Jika demikian, lihat saja. kami akan berkelahi. Bukankah berkelahi itu mainan laki-laki?" Anak-anak itu terdiam.
"Bersiaplah," berkata salah seorang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan, "kami benar-benar akan membunuh kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanyapun segera mengambil jarak. Sementara itu Rara Wulan tidak hanya menyingsingkan kain panjangnya sampai ke bawah lutut. Tetapi diangkatnya kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya.
Kedua orang yang mengejarnya itupun menjadi semakin menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.
"Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan." Demikianlah maka kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itupun sudah menempatkan dirinya. Seorang akan bertempur melawan Glagah Putih, yang seorang lagi akan menghadapi Rara Wulan. Meskipun keduanya menyadari bahwa kedua orang itu tentu memiliki bekal ilmu, namun mereka masih saja menganggap diri mereka memiliki kelebihan serta pengalaman.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai menyerang. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap pula untuk menghadapinya.
Sementera itu, Rara Wulan yang ingin bermain kejar-kejaran itu tidak berminat untuk bertempur berlama-lama. Seperti Glagah Putih, iapun teringat kepada orang-orang Prancak yang bertempur di seberang jembatan. Apakah mereka mampu mempertahankan diri atau tidak.
Karena itu, maka Rara Wulan itupun segera meningkatkan kemampuannya, sehingga dengan cepat ia telah mendesak lawannya.
Glagah Putihpun tidak ingin membuang banyak waktu. Sehingga Glagah Putihpun berusaha untuk menghentikan perlawanan orang yang memburunya itu dengan cepat.
Sementara itu, diseberang jembatan, orang-orang Prancak masih bertempur melawan dua orang berkuda itu dengan sengitnya.
Namun, bahwa lawan mereka telah berkurang dengan dua orang, agaknya telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengimbanginya. Orang-orang Prancak itu telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa menjadi gentar meskipun kedua lawan mereka adalah orang-orang berilmu tinggi.
Bahwa mereka berjumlah sembilan orang itu lelah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengalahkan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.
Sebenarnyalah, betapapun kedua orang Babadan itu mengerahkan kemampuan mereka, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melawan sembilan orang Prancak. Ternyata bahwa orang-orang Prancak itu bukannya tidak berilmu sama sekali. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi kedua orang Babadan itu.
Karena itulah, maka kedua orang Babadan itupun harus melihat kenyataan itu. Jika mereka memaksa diri untuk tertempur terus, maka ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan lagi, sehingga mereka akan dapat ditangkap dan menjadi tawanan di Prancak atau bahkan di padukuhan Wijil. Dengan demikian, maka nasib merekapun akan menjadi sangat buruk, karena mereka akan menjadi pengewan-ewan di kademangan Prancak.
Karena itu, maka kedua orang itupun hams mengambil sikap dengan cepat. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itupun segera memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan arena pertempuran.
Karena itu, maka ketika terbuka kesempatan bagi mereka, maka keduanyapun segera berlari ke kuda mereka yang tertambat di pinggir jalan. Dengan cepat mereka menarik kendali yang disangkutkan pada sebatang pohon di pinggir jalan. Dengan cepat pula mereka pun berloncatan ke punggung kuda mereka.
Sejenak kemudian, kedua ekor kuda dengan dua orang penunggangnya itupun segera melarikan diri, meninggalkan arena pertempuran serta meninggalkan dua ekor kuda milik kedua orang yang telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan.
Beberapa saat kemudian, kedua orang penunggang kuda itupun telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu. Dengan demikian, maka orang-orang Prancak yang berusaha mengejar mereka, telah terhenti. Mereka tidak berani menyeberangi jembatan itu, karena jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka hal itu akan dianggap sebagai salah mereka sendiri.
Dalam pada itu, kedua orang berkuda itupun telah melecut kuda mereka agar berlari semakin kencang.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendesak lawan-lawan mereka. Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu memgalami kesulitan untuk melindungi diri mereka masing-masing.
Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang datang beruntun dengan kecepatan yang tinggi, telah membuat keduanya jatuh bangun. Sekali-sekali mereka terlempar karena serangan lawan-lawan mereka. Tetapi dengan cepat merekapun segera bangkit berdiri untuk meneruskan perlawanan.
Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka kedua orang itupun segera mulai berpengharapan. Mereka mengira bahwa kedua kawan telah berhasil menyelesaikan perkelahian mereka melawan orang-orang Prancak, sehingga mereka datang untuk menyusul dan membantu mereka.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera berloncatan untuk mengambil jarak.
Ketika keduanya berpaling, maka jantung merekapun menjadi berdebaran. Mereka tidak melihat keduanya membawa kuda-kuda mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak segera memburu lawan-lawan mereka. Keduanyapun sempat memperhatikan kedua orang yang mengaku orang-orang Babadan itu. Bahkan seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya di Babadan
Kedua penunggang kuda itupun segera melihat, kedua kawan mereka yang bertempur melawan kedua orang yang melarikan diri. Keduanyapun melihat bahwa kedua orang kawannya itu telah berloncatan mengambil jarak.
"Apa yang telah terjadi ?" bertanya Ki Jagabaya.
"Nampaknya kedua orang tawanan kita itu mencoba melawan," sahut kawannya.
"Anak-anak itu ?"
"Mereka menonton saja."
Sejenak kemudian, keduanyapun telah berloncatan dari punggung kuda. Tiba-tiba saja anak-anak remaja yang menyaksikan perkelahian itu bersorak. Kedatangan kedua orang itu akan membantu kedua kawannya yang segera terdesak oleh dua orang yang dituduh telik sandi dari Prancak itu.
Demikian keduanya menyangkutkan kendali kuda mereka di sebatang pohon, maka seorang di antara mereka bertanya, "Apa yang terjadi ?"
"Kedua orang ini mencoba melawan," sahut salah seorang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih.
"Itu lebih baik. Kita akan membunuhnya sekarang."
"Serahkan kepada kami, paman," teriak anak-anak itu.
Kedua orang berkuda itu memandangi mereka sambil tersenyum.
Seorang di antara mereka berkata, "Baik. Aku akan mengikat mereka dan menyerahkan mereka kepada kalian."
"Terima kasih paman, terima kasih. Kami akan mendapat mainan yang menyenangkan."
Adalah diluar dugaan bahwa Glagah Putihpun telah tertawa pula.
"Kenapa kau tertawa ?" bertanya Ki Jagabaya.
"Itukah yang kalian ajarkan kepada anak-anak kalian " Apa yang kalian harapkan dari anak-anak kalian di masa depan " Apakah kalian berharap bahwa anak-anak kalian akan menjadi sekelompok orang yang membenci sesama " Sekelompok orang yang menjadi gembira melihat penderitaan orang lain ?"
Dahi Ki Jagabaya itupun nampak berkerut. Namun kemudian iapun berkata, "Anak-anak kami bukan anak-anak yang cengeng. Mereka terlatih untuk bertindak tegas terhadap orang-orang jahat seperti kalian. Kalian yang makan upah untuk menjadi telik sandi, mengamati dan kemudian memberikan laporan tentang kelemahan-kelemahan sasarannya. Bukankah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang sangat nista ?"
"Apakah kau sedang bermimpi ?" bertanya Glagah Putih, "darimana kau mendapat alasan untuk menuduh kami menjadi telik sandi hanya karena kami berjalan melewati padukuhanmu " Apakah setiap orang lain yang melewati padukuhan Babadan dapat dituduh menjadi telik sandi " Jika benar sebagaimana kau katakan, bahwa kau telah menghukum mati beberapa orang yang kau tuduh sebagai telik sandi, maka kau benar-benar seorang yang jangat jahat."
"Persetan," geram orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu.
Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawannya. Demikian pula Rara Wulan.
Namun kawan Ki Jagabaya itu sendirilah yang bertanya, "Apakah Ki Jagabaya sudah menyelesaikan orang-orang Prancak itu ?"
"Sudah," jawab Ki Jagabaya.
"Bagus. Sekarang kita selesaikan dua ekor cucurut ini."
"Kita sudah berjanji untuk menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian menyerahkannya kepada anak-anak itu."
"Kita akan menyeretnya ke padukuhan."
"Biarlah anak-anak itulah yang melakukannya. Menyeret dua onggok slangkrah yang terikat. Memang sepantasnyalah keduanya disurukkan ke dalam bendungan untuk dijadikan tumbal agar bendungan itu tidak segera rusak."
Anak-anak itu tiba-tiba bersorak, "Biarlah kami yang menyeret keduanya ke bendungan paman. Biarlah kami yang menceburkannya ke dalam air."
Tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, "Alangkah senangnya mereka mendapat mainan dengan mengorbankan jiwa sesama. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana mereka menjadi sangat gembira melihat penderitaan sesamanya."
Tetapi Ki Jagabaya di Babadan itu menyahut, "Ternyata kalian sudah menjadi ketakutan. Tetapi nasib kalian memang sangat buruk. Kalian akan menjadi pengewan-ewan di sini. Bukan hanya anak-anak. Tetapi seisi padukuhan Babadan akan sangat gembira, karena kami sudah berhasil menangkap sepasang telik sandi."
"Kau pantas mati," geram Rara Wulan.
Melihat kesungguhan di wajah Rara Wulan, orang yang menyebut dirinya Jagabaya di Babadan itu tidak dapat mengabaikannya. Tetapi ia yakin bahwa berempat mereka akan dapat menangkap dan benar-benar mengikat keduanya untuk mereka serahkan kepada anak-anak remaja yang sedang menonton pertempuran itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bergeser mengambil jarak diantara mereka. Keduanya telah siap untuk bertempur masing-masing melawan dua orang diantara mereka.
Gejolak di dada Rara Wulanpun terasa menjadi semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka Rara Wulanlah yang kemudian justru meloncat mulai menyerang.
Namun lawan-lawannyapun telah bersiap pula, sehingga sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berkobar kembali. Glagah Putih dan Rara Wulan masing-masing harus bertempur menghadapi dua orang lawan.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menganggap orang orang Babadan itu sudah bertindak melampaui batas, maka keduanyapun segera meningkatkan kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang lawan-lawan mereka.
Serangan-serangan itu datang demikian cepatnya sehingga mengejutkan lawan-lawan mereka. Tetapi mereka tidak mampunyai kesempatan untuk membuat penilaian atas kemampuan suami isteri yang telah mereka tuduh menjadi telik sandi itu.
Pertempuranpun dengan ceratnya meningkat semakin sengit. Ki Jagabaya yang menempatkan dirinya bersama seorang kawannya melawan Glagah Putih, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, maka Jagabaya di Babadan itu sudah terlempar dari arena.
Kaki Glagah Putih yang terjulur lurus menyamping telah mengenai dadanya.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tangkasnya Jagabaya Babadan itu bangkit. Namun terasa dadanya menjadi sesak. Tulang-tulang iganya menjadi nyeri.
Dalam pada itu, anak-anak remaja yang menonton pertempuran itu masih saja bersorak-sorak. Dengan lantang mereka berteriak, "Cepat paman. Tangkap mereka. Ikat dan serahkan kepada kami."
Yang lainpun berteriak pula, "Biar aku seret perempuan itu ke tepian paman. Biarlah kami memandikannya sebelum kami surukkan perempuan itu ke bendungan."
Suara anak-anak remaja yang riuh itu telah membuat jantung Rara Wulan semakin bergejolak. Meskipun ia harus bertempur menghadapi dua orang lawan, namun Rara Wulan sempat juga menjadi cemas akan watak dan tingkah laku anak-anak remaja itu kelak jika mereka menjadi semakin besar dan menjadi dewasa.
"Mereka akan menjadi apa " " pertanyaan itu sempat mengganggu perasaan Rara Wulan.
Namun Rara Wulan itu terkejut. Bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang buruk, Rara Wulan menghadapi kenyataan. Ia merasakan punggungnya menjadi sakit. Bahkan hampir saja Rara Wulan itu jatuh terjerembab.
Seorang di antara kedua lawannya yang menyerangnya dari belakang berhasil mengenai punggung Rara Wulan dengan serangan kakinya, sehingga Rara Wulan itu terdorong beberapa langkah. Dengan susah payah Rara Wulan berusaha mempertahankan keseimbangannya.
Tetapi tiba-tiba saja lawannya yang lainpun telah menyerangnya pula. Sambil meloncat orang itu memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya kearah kening.
Rara Wulan yang masih dalam keadaan goyah itu justru menjatuhkan dirinya. Berguling beberapa kali, kemudian melenting berdiri.
Ketika kedua lawannya itu menyerang kembali, maka Rara Wulanpun sudah siap menghadapi mereka.
Pertempuranpun kemudian berlangsung pula dengan sengitnya. Rara Wulan tidak mau lagi kehilangan pemusatan perhatiannya terhadap lawannya karena sikap anak-anak remaja Babadan itu.
Ketika serangan lawannya mengenai punggung Rara Wulan, Glagah Putih merasa cemas pula. Menurut penglihatannya, serangan itu tidak datang terlalu cepat dan tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia melihat, bahwa serangan itu mampu mengenai punggung Rara Wulan.
Namun Glagah Putih tidak tahu, bahwa perhatian Rara Wulan sebagian tertuju kepada sikap anak-anak remaja Babadan yang telah membuatnya menjadi cemas.
Tetapi sakit di punggungnya yang kemudian dapat teratasi dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi itu, telah membuat Rara Wulan mengambil keputusan, untuk segera menghentikan perlawanan kedua orang Babadan itu.
Sejenak kemudian, maka Rara Wulanpun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan tangkasnya, Rara Wulan berloncatan sehingga membuat kedua orang lawannya menjadi bingung.
Serangan-serangan Rara Wulanpun menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka. Bergantian mereka terlempar dari gelanggang dan jatuh berguling di tanah. Seorang di antara mereka yang terlempar oleh serangan kaki Rara Wulan, justru telah menimpa sebatang pohon di pinggir jalan.
Sambil menyeringai kesakitan, orang itupun mengumpat kasar. Bahkan kemudian orang itu telah mencabut pedangnya sambil berteriak, "Aku bunuh kau perempuan binal."
Rara Wulan tertegun. Bahkan lawannya yang seorang lagi juga menarik senjatanya pula.
Namun anak-anak Remaja yang menonton perkelahian itulah yang berteriak-teriak, "jangan dibunuh paman. Serahkan mereka kepada kami. Biarlah kami mendapatkan permainan yang menyenangkan."
Tetapi kedua orang lawan Rara Wulan itu tidak menghiraukan. Merekapun kemudian mendekati Rara Wulan setapak demi setapak sambil mengacungkan senjata mereka.
"Kau akan menyesali nasib burukmu, perempuan liar," geram seorang di antara mereka.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi dengan demikian, maka iapun akan segera mendapatkan jalan untuk menghentikan perlawanan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.
Sejenak kemudian, Rara Wulanpun telah memutar selendangnya.
"Apa yang kau lakukan, perempuan binal ?" bertanya seorang di antara kedua orang lawannya itu dengan lantang.
"Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi," jawab Rara Wulan.
"Iblis betina. Bersiaplah untuk mati," seorang di antara kedua lawannya itu berteriak.
Hampir berbareng kedua lawannya itu meloncat menyerang. Namun dengan tangkas Rara Wulan menghindari. Sementara itu, selendangnyapun telah terjulur lurus mematuk dada seorang lawannya.
Sentuhan itu masih belum dilambari kemampuan Rara Wulan yang sebenarnya. Tetapi orang yang dadanya tersentuh ujung selendang Rara Wulan itupun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.
Terdengar orang itu mengaduh. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit
Tetapi ia telah memaksa diri untuk memasuki arena pertempuran itu lagi.
Sementara itu, kedua lawan Glagah Putihpun telah bersenjata pula. Untuk mengimbangi keduanya, maka Glagah Putihpun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi. Glagah Putih tidak merasa perlu untuk mengurai ikat pinggangnya. Namun dengan kecepatan geraknya, dilambari kemampuannya memperingan tubuhnya, ia mampu membuat kedua lawannya kebingungan.
Pada saat-saat lawannya kehilangan Glagah Putih yang berloncatan dengan ringannya, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah, maka serangan Glagah Putih telah melemparkan mereka sehingga terpelanting jatuh.
Dengan demikian, maka kedua orang lawan Glagah Putih itupun segera terlibat dalam kesulitan. Beberapa kali orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu harus berdesah kesakitan. Beberapa kali ia menyeringai menahan sakit yang menusuk sampai ke tulang.
Tubuhnya yang terbanting-banting dan beberapa kali membentur pepohonan, telah tergores luka dimana-mana. Luka oleh ujung bebatuan yang tajam atau oleh kerasnya batang pepohonan. Bahkan dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah karena beberapa giginya telah patah.
Kawan Ki Jagabaya itupun merasakan kepalanya sudah menjadi sangat pening. Matanya semakin lama menjadi semakin kabur. Lawannya yang berloncatan melingkar-lingkar itu kadang-kadang tidak dapat dilihatnya lagi. Namun tiba-tiba saja serangannya telah melemparkannya.
Ketika keningnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan, maka di keningnya itu telah tergores luka. Darah mengalir semakin lama semakin deras.
Dalam pada itu, kedua orang lawan Rara Wulanpun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ujung selendang Rara Wulan menghantam dada seorang diantara mereka, maka orang itupun telah terlempar dengan kerasnya. Rara Wulan agaknya sudah tidak telaten lagi, sehingga iapun sudah meningkatkan ilmunya pula.
Dengan kerasnya tubuh orang itu terlempar melampaui tanggul parit hingga terjatuh di kotak sawah yang sedang digenangi air.
Orang itupun menjadi bagaikan seekor kerbau yang berada di-dalam kubangan. Bahkan beberapa teguk air berlumpur telah masuk lewat tenggorokannya pula.
Seorang lawan Rara Wulan yang lainpun menjadi bimbang. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan perempuan itu. Apalagi pada saat kawannya berkutat untuk bangkit dari kubangan lumpur.
Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha untuk meloncat menjauh, maka selendang Rara Wulan itu telah terjulur melingkar menjerat kedua kakinya. Demikian selendang itu dihentakkan maka orang itupun telah terpelanting terbanting jatuh di tanah.
Sekali lagi Rara Wulan menghentakkannya. Orang yang terpelanting itu bagaikan diseret beberapa langkah, sebelum Rara Wulan menghentakkannya sekali lagi.
Demikian lilitan ujung selendang itu terurai, maka orang itupun tidak lagi dapat bangkit dengan cepat. Punggungnya terasa bagaikan menjadi patah.
Dua orang lawan Rara Wulan sudah menjadi tidak berdaya lagi. Senjata mereka seakan-akan tidak ada gunanya sama sekali.
Rara Wulan berdiri termangu mangu. Dipandanginya kedua orang lawannya berganti-ganti. Seorang terbaring dijalan bulak, seorang sudah berhasil bangkit berdiri dalam lumpur yang pekat sehingga ujudnya bagaikan sebuah patung yang terbuat dari tanah liat.
"Sekarang, apalagi yang akan kalian lakukan ?" bertanya Rara Wulan, "apakah kalian masih ingin menangkap kami karena kami kalian anggap telik sandi ?"
Jilid 367 ORANG yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan. Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu.
Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih-pun sudah kehilangan kesempatan mereka. Senjata mereka telah terlepas dari tangan. Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan.
"Sudah aku katakan," berkata Rara Wulan kemudian, "bahwa kamilah yang akan membunuh kalian. Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tuduhan kalian bahwa kami adalah orang-orang upahan dari orang-orang Prancak sangat menyakitkan hati. Aku mempunyai uang lebih banyak dari uang orang-orang Prancak. Akupun tidak mempunyai sangkut paut dengan perselisihan kalian dengan orang-orang Prancak. Tetapi justru kalian telah menuduh kami menjadi telik sandi dan bahkan kalian sudah dengan sungguh-sungguh bukan sekedar ancaman, untuk membunuh kami, maka kamipun benar-benar akan membunuh kalian berempat."
Keempat orang yang kesakitan itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu berteriak, "Anak-anak. Lari ke padukuhan. Bunyikan kentongan dan beritahukan apa yang terjadi di sini. Dua orang telik sandi dari Prancak berada di bulak ini."
Anak-anak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun menghambur berlari ke padukuhan.
"Kau akan mati dicincang oleh orang-orang Babadan," geram Ki Jagabaya.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, "Mereka tidak akan dapat menangkap kami. Bukankah kalian sudah menyediakan dua ekor kuda buat kami berdua ?"
"Setan alas." "Kami akan membunuh kalian, kemudian meninggalkan kalian disini. Nanti orang-orang Babadan akan datang untuk mengambil mayat-mayat kalian dan menguburkannya."
Kemarahan keempat orang itu membayang di sorot matanya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan itu berusaha untuk bergeser, maka dengan cepat Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar dan menyambar kening orang itu sehingga orang itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting ke dalam parit di pinggir jalan.
Ketika ia merangkak keluar dari dalam parit, maka pakaiannya yang kotor itupun menjadi basah kuyup. Debupun semakin banyak melekat sehingga pakaiannya itu tidak lagi dapat dikenali warnanya lagi.
Dalam pada itu anak-anak remaja yang berlari-lari ke padukuhan telah memasuki pintu gerbang. Merekapun segera pergi ke banjar untuk melaporkan apa yang terjadi di bulak.
Sejenak kemudian, maka suara kentonganpun segera berkumandang. Meskipun di siang hari. namun yang terdengar adalah suara kentongan dalam irama titir.
Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak nampak menjadi gelisah atau cemas. Meskipun suara kentongan telah menjalar sahut menyahut, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berada di bulak itu.
Namun ketika mereka melihat orang-orang Babadan berlari menuju ke arah mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun melangkah dengan tenangnya ke arah dua ekor kuda yang ditambatkan itu. Sejenak kemudian merekapun berloncatan naik. Namun mereka tidak segera pergi.
Baru beberapa saat kemudian, keduanya memutar kudanya dan melarikan kuda itu ke arah jembatan.
Ada juga beberapa orang yang mencoba mengejarnya. Namun tidak seorangpun diantara orang-orang Babadan itu yang mampu berlari secepat lari seekor kuda.
Dalam pada itu, orang-orang Babadan itu menemukan keempat orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu terbaring menyilang jalan. Ampat sosok tubuh yang berjajar rapi.
Dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu mencoba mendengarkan, apakah jantung mereka masih berdetak.
"Mereka hanya pingsan," desis seseorang.
"Titikkan air dibibirnya," berkata yang lain.
"Air apa" Tidak ada sumur di dekat tempat ini."
"Basahi saja lehernya dengan air parit."
Orang-orang padukuhan Babadan itupun kemudian membasahi wajah dan leher keempat orang yang pingsan itu dengan air parit.
Ternyata sebelum meninggalkan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan telah membuat mereka pingsan. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membunuh mereka meskipun mereka itu pantas dihukum mati karena tingkah laku mereka. Bahkan mereka mengaku telah membunuh lebih dari lima orang yang dituduh menjadi telik sandi kademangan Prancak untuk mengamati keadaan padukuhan Babadan. Mereka tentu seperti diri mereka berdua, orang-orang yang sama sekali tidak bersalah.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan hanya membuat mereka pingsan dan meninggalkan mereka di bulak panjang itu.
Dari anak-anak remaja yang menyaksikan peristiwa di bulak itu. orang-orang Babadan tahu, bahwa yang telah memperlakukan Ki Jagabaya dan ketiga orang kawannya dengan kasar itu adalah dua orang suami isteri. Seorang anak mudapun mengatakan bahwa ketika kedua orang itu lewat di padukuhan Babadan, anak muda itu sempal berbicara dengan kedua orang yang mengaku suami isteri itu.
"Mereka memang sangat mencurigakan. Itulah sebabnya Ki Jagabaya dengan tiga orang kawannya telah menyusul mereka. Anak-anak itu tahu, bahwa keduanya pergi bersama anak kebayan di padukuhan sebelah susukan."
"Karang Lor maksudmu ?"
"Ya." Anak-anak itupun menceritakan bahwa Ki Jagabaya telah menyusul kedua orang suami isteri itu ke Karang Lor. Tetapi yang kemudian terjadi adalah seperti yang mereka lihat.
Orang-orang Babadan itupun harus menyadari, bahwa kedua orang yang mengaku suami isteri itu tentu orang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ki Jagabaya Babadan itu bagi orang-orang Babadan adalah orang yang pilih tanding. Namun berempat Ki Jagabaya tidak mampu melawan dua orang. Bahkan seorang diantara mereka adalah perempuan.
Orang-orang Babadan itupun kemudian berusaha untuk membuat keempat orang itu sadar. Air yang diusapkan di dahi, kening dan leher mereka, telah membuat keempat orang itu menjadi lebih segar, sehingga beberapa saat kemudian, merekapun mulai menjadi sadar.
"Marilah, kita pulang dahulu. Ki Jagabaya," berkata salah seorang laki-laki yang sudah separo baya.
"Dimana iblis itu," geram Ki Jagabaya, "jika mereka tidak melarikan diri, aku akan membunuhnya."
"Tetapi Ki Jagabaya tadi pingsan disini," berkata laki-laki separo baya itu.
"Mereka adalah orang-orang yang sangat licik, pengecut dan tidak tahu malu."
"Apa yang sudah mereka lakukan " " bertanya seorang anak muda.
Ki Jagabaya itu tidak segera menjawab.
Namun kemudian, keempat orang yang pingsan itupun telah dibantu untuk bangkit berdiri. Tertatih-tatih mereka berjalan dipapah oleh masing-masing dua orang.
Dalam pada itu. Glagah Putih dan Rara Wulan yang melarikan kedua ekor kuda milik orang Babadan itu telah menyeberangi jembatan diatas susukan. Ketika mereka sampai di bulak, maka orang-orang yang berada di bulak itu telah pergi. Agaknya mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang pingsan dan kesakitan ke padukuhan. Tetapi mereka bukan orang-orang padukuhan Karang Lor.
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu di tengah-tengah bulak. Mereka sudah tidak melihat lagi dua ekor kuda milik orang Babadan yang mengejar mereka.
"Kemana mereka pergi "," desis Rara Wulan.
Dengan ragu-ragu Glagah Putihpun menyahut, "Tadi kita mendengar orang-orang Babadan menyebut padukuhan Wijil. Agaknya orang-orang yang telah mencoba menangkap orang-orang Babadan itu adalah orang-orang padukuhan Wijil."
"Ya. Agaknya mereka orang-orang dari padukuhan Wijil."
"Jadi?" "Kita akan pergi ke Wijil. Padukuhan yang kelihatan itu adalah padukuhan Karang Lor. Agaknya padukuhan Wijil adalah padukuhan di arah kanan jalan itu."
"Kita akan menyusuri jalan bulak yang panjang ini."
"Bukankah kita sudah mempunyai kuda sekarang ?"
Rara Wulan tersenyum sambil mengangguk. Katanya, "Ya. Kita sudah mempunyai seekor kuda bagi kita masing-masing."
"Marilah kita pergi ke Wijil. Kita akan berbicara dengan orang-orang Wijil. Agaknya sikap orang-orang Wijil agak berbeda dengan sikap orang-orang Karang Lor."
Keduanyapun kemudian melarikan kuda-kuda yang mereka dapatkan itu menuju ke sebuah padukuhan yang berada di ujung bulak yang panjang itu.
Dengan menunggang kuda, maka bulak itu mereka lintasi dalam waktu yang terhitung pendek. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati pintu gerbang padukuhan yang agaknya adalah padukuhan Wijil.
Di pintu gerbang Glagah Putih dan Rara Wulan menghentikan kuda mereka. Meskipun tidak rapat, tetapi pintu gerbang padukuhan itu telah ditutup. Diatas pintu gerbang tertulis dengan huruf-huruf yang besar nama padukuhan itu. Wijil.
"Padukuhan ini adalah padukuhan Wijil, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Nampaknya orang-orang Wijilpun harus menjadi berhati-hati setelah peristiwa yang terjadi di bulak panjang itu."
"Menurut pendengaranku, peristiwa yang terjadi itu bukan untuk pertama kalinya, kakang."
"Ya. Orang-orang Babadan itu mengatakan, bahwa beberapa kali orang-orang Wijil sudah mencoba, tetapi selalu gagal."
"Sekarang ?" "Kita masuk ke padukuhan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian turun dari punggung kuda mereka. Perlahan-lahan Glagah Putih mendorong pintu gerbang padukuhan yang tertutup meskipun tidak terlalu rapat.
Glagah Putih dan Rara Wulan itu terkejut ketika di belakang pintu gerbang itu ternyata berjaga-jaga beberapa orang anak-anak muda yang bersenjata. Demikian pintu gerbang itu didorong oleh Glagah Putih, maka anak-anak muda itupun segera mempersiapkan diri.
Tetapi ada diantara mereka yang melihat Glagah Putih dan isterinya digiring oleh orang-orang Babadan dari padukuhan Karang Lor yang kemudian melarikan diri menyeberangi jembatan diatas susukan yang menjadi batas untuk sementara antara kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang ingin mengambil alih kekuasaan kademangan itu.
"Kau, Ki Sanak," desis orang yang dapat mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan.
Orang itu melangkah maju mendekati kedua orang suami isteri itu sambil bertanya, "Jadi kau luput dari tangan orang-orang Babadan itu?"
"Yang Maha Agung masih melindungi kami berdua," jawab Glagah Putih.
"Sekarang kalian berdua justru membawa dua ekor kuda. Dari manakah kau mendapatkannya ?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memutuskan untuk mengatakan apa yang telah terjadi padanya.
"Kami terpaksa melawan. Ki Sanak. Agaknya mereka benar-benar ingin membunuh kami berdua."
Orang-orang padukuhan Wijil itu mengangguk-angguk. Orang yang dapat mengenalinya itu bertanya pula, "Jadi kalian dapat mengalahkan mereka berempat?"
"Mungkin hanya satu kebetulan. Tetapi seperti yang aku katakan. Yang Maha Agung melindungi kami berdua."
"Sokurlah jika Ki Sanak berdua selamat. Mereka berempat sebenarnya bukan orang-orang Babadan. Mereka adalah orang-orang jahat yang bersarang diujung hutan. Namun mereka berhasil mempengaruhi Ki Bekel Babadan untuk mengambil langkah-langkah yang keliru."
"Mungkin Ki Sanak. Tetapi mungkin juga Ki Bekel tidak dapat memilih. Bukankah orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu mempunyai kekuatan untuk memaksakan kehendaknya ?"
"Mungkin juga Ki Sanak. Tetapi marilah, aku persilahkan Ki Sanak untuk pergi ke Banjar padukuhan. Kita akan dapat berbicara lebih banyak."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka menuju ke banjar diantar oleh beberapa orang. Sementara itu anak-anak muda yang ada di belakang pintu gerbang telah menutup pintu gerbang itu kembali, meskipun tidak terlalu rapat.
Di Banjar. Glagah Pulih dan Rara Wulan diterima oleh Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu yang lain. Bebahu yang berkumpul di banjar setelah mereka mendengar bahwa lima orang dari padukuhan Wijil telah dianiaya oleh orang-orang Babadan justru di daerah yang untuk sementara tetap dianggap daerah Prancak. Orang-orang yang mengaku dari Babadan itulah yang telah menyeberangi batas yang untuk sementara memisahkan dua bagian dari kademangan Prancak.
"Silahkan. Ki Sanak," orang yang mengantar Glagah Putih dan Rara Wulan ke banjar itu mempersilahkan.
Ketika keduanya kemudian duduk di pendapa banjar, maka orang itupun segera memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada Ki Jagabaya dan para bebahu.
Ki Jagabaya sambil mengangguk-angguk bertanya, "Jadi kalian telah berkelahi melawan orang-orang Babadan ?"
"Ya. Ki Jagabaya."
"Kalian membawa dua ekor kuda mereka."
"Ya. Ki Jagabaya."
"Jadi keempat ekor kuda dari orang Babadan itu sekarang berada disini."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Agaknya kedua orang Babadan itu meninggalkan arena pertempuran dengan tergesa-gesa sehingga mereka hanya dapat membawa kuda-kuda mereka sendiri dengan meninggalkan dua ekor kuda milik kawan-kawan mereka.
"Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya kemudian, "sekarang Ki Sanak berdua telah terlibat dalam persoalan diantara orang-orang kademangan Prancak. Tetapi terserah kepada Ki Sanak. Apakah Ki Sanak akan melibatkan diri untuk selanjutnya sampai kita menemukan penyelesaian, atau Ki Sanak berdua akan segera meninggalkan Prancak."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi nampaknya peristiwa yang terjadi di Prancak itu sangat menarik perhatiannya.
"Ki Jagabaya," berkata Glagah Putih kemudian, "apakah yang sebenarnya terjadi di kademangan Prancak " Kenapa orang-orang Babadan dengan serta-merta menuduh aku sebagai telik sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak untuk mengamati padukuhan mereka sehingga mereka ingin menghukum kami berdua dengan hukuman mati."
"Itulah ciri-ciri dari para bebahu di Babadan sekarang, Ki Sanak," jawab Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya itupun segera bertanya, "Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini " Seandainya benar apa yang Ki Sanak katakan, bahwa Ki Sanak dapat melepaskan diri dari tangan empat orang dari Babadan itu, maka Ki Sanak tentu orang yang berilmu tinggi."
"Ki Jagabaya," jawab Glagah Putih, "mungkin kebetulan saja bahwa aku telah berhasil melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu. Dua orang diantara mereka nampaknya sudah tidak berdaya. Mungkin mereka mengalami kesulitan ketika mereka bertempur melawan orang-orang Wijil di bulak panjang."
"Tetapi kami tidak berhasil menangkap mereka," berkata orang yang dapat mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Mungkin itu satu kebetulan jika kalian menangkap mereka, maka akibatnya tidak dapat kita perhitungkan," berkata Ki Jagabaya.
"Tetapi mereka telah menyeberangi jembatan diatas susukan itu. Selain itu. bukankah Prancak memang sudah bertekad untuk memaksa mereka tunduk kepada tatanan dan paugeran. sehingga Babadan tetap merupakan bagian dari kademangan Prancak. Bukan sebaliknya, padukuhan-padukuhan yang lain menjadi bagian dari kademangan Babadan."
"Aku mengerti. Ki Demang sudah bertekad untuk memaksa Babadan tunduk pada tatanan. Tetapi tidak hari ini. Tidak nanti malam."
"Kita sudah bersiap, Ki Jagabaya."
"Kita memang sudah siap. Tetapi Ki Demang masih harus meyakinkan orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan bahwa mereka tidak dapat berpangku tangan. Mereka tidak dapat bergaya daun ilalang, yang merunduk ke arah angin bertiup."
"Ya," orang itu mengangguk, "Ki Bekel di Karang Lor dan Karang Wetan memang berbeda dengan Bekel kita di Wijil ini."
"Itulah sebabnya kita belum dapat bergerak sekarang. Baru setelah kita semuanya sejalan dalam sikap, Ki Demang akan segera bertindak."
Orang itu mengangguk-angguk. Jika kekerasan itu terjadi, maka orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan yang tidak bersiap itu akan dapat menjadi sasaran pertama. Bahkan kemudian menjadi landasan gerak orang-orang Babadan di seberang susukan.
"Ki Jagabaya," berkata Glagah Putih kemudian, "bagaimanapun juga kami disentuh oleh persoalan ini. Karena itu, jika Ki Jagabaya tidak berkeberatan, kami ingin mengetahui, persoalan apakah yang sebenarnya telah terjadi di kademangan Prancak ini. Sehingga kademangan ini seakan-akan telah terbelah."
Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah Ki Sanak. Karena Ki Sanak adalah telik sandi yang diupah oleh orang Prancak. maka kalian boleh tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di kademangan ini. Tetapi katakan lebih dahulu, siapakah Ki Sanak berdua ini. Ki Sanak masih belum menjawab pertanyaanku itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memandang Rara Wulan sekilas. Agaknya Rara Wulan mengerti sehingga Rara Wulan itupun mengangguk kecil.
Agaknya keduanya tidak lagi berniat menyembunyikan kenyataan tentang diri mereka berdua. Karena itu, maka Glagah Putihpun menjawab, "Kami adalah orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jagabaya. Kami telah menempuh sebuah perjalanan panjang. Sekarang kami justru dalam perjalanan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Ki Jagabaya."
"Aku telah banyak mendengar tentang Tanah Perdikan Menoreh. Sekali aku pemah melintasi Tanah Perdikan itu dalam satu perjalanan ketika aku mencari pamanku yang pergi meninggalkan rumah serta meninggalkan anak isterinya. Aku mendengar beberapa nama yang besar di Tanah Perdikan Menoreh. Selain Ki Gede Menoreh sendiri, di Tanah Perdikan Menoreh tinggal seorang yang bernama Agung Sedayu serta isterinya Sekar Mirah. Sepasang suami isteri yang namanya dikenal tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh. Selain mereka berdua, masih dikenali pula beberapa nama yang lain. Sehingga dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh adalah sebuah Tanah Perdikan yang kokoh."
"Ya. Di Tanah Perdikan tinggal Ki Lurah Agung Sedayu dan isterinya. Nyi Lurah Sekar Mirah. Yang sebenarnya menjadi Lurah prajurit adalah Agung Sedayu. Tetapi isterinya juga terpercik sebutan itu pula."
"Bukankah itu wajar sekali. Ki Sanak. Tetapi siapakah nama kalian berdua."
"Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah isteriku. Namanya Rara Wulan."
Ki Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya, "Di Tanah Perdikan Menoreh banyak terdapat orang berilmu tinggi. Karena itu, agaknya angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan tidak membual bahwa kalian mampu melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu."
"Sudah aku katakan, bahwa mungkin hanya satu kebetulan. Atau karena dua orang di antara mereka sudah tidak berdaya."
"Baiklah, angger berdua. Selain kalian berdua sudah tersentuh oleh persoalan yang terjadi di kademangan ini, kalian juga berasal dari daerah yang sangat kami kenal. Jaraknyapun tidak terlalu jauh."
"Ya, Ki Jagabaya."
"Jika angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan tidak berkeberatan, kami akan memperkenalkan angger berdua dengan Ki Bekel Wijil serta Ki Demang Prancak."
"Tentu kami akan sangat senang sekali Ki Jagabaya. Tetapi waktu kami tidak terlalu banyak. Kami ingin segera sampai di rumah kami, di Tanah Perdikan Menoreh."
"Kami minta angger berdua malam ini bermalam disini. Bukankah hanya berselisih waktu satu atau dua hari " Jika angger telah menempuh perjalanan dalam pengembaraan angger berdua beberapa bulan, apakah artinya satu dua hari atau bahkan sepekan lagi ?"
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Glagah Putih menjawab, "Baiklah, Ki Jagabaya. Karena aku ingin sekali mengetahui, apakah yang telah terjadi disini, maka kami akan bermalam semalam di padukuhan ini."
"Terima kasih ngger," berkata Ki Jagabaya, "nanti aku akan memperkenalkan angger dengan Ki Bekel dsn Ki Demang."
"Terima kasih, Ki Jagabaya."
"Namun dengan demikian, maka yang akan aku ceriterakan kepada angger berdua sekarang hanyalah persoalan pokoknya saja. Perinciannya yang lebih kecil akan angger ketahui setelah angger berdua bertemu dengan Ki Bekel dan Ki Demang nanti malam."
"Baik Ki Jagabaya."
"Angger berdua," berkata Ki Jagabaya kemudian, "Babadan dan padukuhan yang juga terhitung besar, padukuh Paliyan yang membujur panjang dan bergandengan dengan padukuhan Sambirata, telah menyatakan diri tidak mengakui kekuasaan Demang Prancak yang sekarang. Mereka menginginkan bahwa padukuhan induk kademangan Prancak berada di Babadan dan bahkan mungkin nama kademangan inipun akan dirubah menjadi kademangan Babadan atau padukuhan Babadan itulah yang mengambil alih nama Prancak. Bahkan sekarang-pun sudah ada yang menyebut padukuhan Babadan dengan sebutan padukuhan Prancak. Bahkan anak-anak di Babadan mulai tertarik untuk menyebut padukuhannya dengan sebutan padukuhan Prancak, padukuhan induk kademangan Prancak. Tetapi gejolak itu masih belum terasa penting sebagaimana sikap orang-orang Babadan yang tidak lagi mengakui kepemimpinan Ki Demang di Prancak.
"Kenapa mereka tidak mengakui lagi kepemimpinan Ki Demang " " bertanya Glagah Putih.
"Ki Bekel di Babadan itu juga adalah anak Ki Demang Prancak yang terdahulu."
"Saudara kandung dengan Ki Demang Prancak yang sekarang?"
"Tetapi berbeda ibu. Ki Demang Prancak yang terdahulu mempunyai dua orang isteri. Masing-masing mempunyai anak laki-laki. Tetapi karena ibu Ki Demang Prancak yang sekarang itu adalah isteri yang pertama, maka anaknyalah yang berhak menggantikannya. Tetapi isterinya yang kedua menjadi iri hati meskipun anaknya sudah mendapat kedudukan menjadi Bekel di padukuhan Babadan. Sebuah padukuhan yang terhitung besar."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik napas panjang. Bagaimanapun juga. maka hadirnya dua orang istri di dalam satu keluarga akan menimbulkan persoalan. Jika bukan karena persoalan kedua orang perempuan itu sendiri, maka persoalan anak-anaknya akan dapat mencuat kepermukaan. Bahkan mungkin cucu-cucunya akan dapat membawa persoalan yang berkepanjangan.
Demikianlah, maka pada hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan akan bermalam di kademangan Prancak. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jagabaya, maka lewat senja Glagah Putih dan Rara Wulan telah diajaknya menemui Ki Bekel di rumahnya.
Ternyata sikap Ki Bekel terhadap kedua orang suami isteri itu cukup ramah. Nyi Bekelpun telah ikut menemui mereka pula setelah menghidangkan minuman dan makanan.
Ki Jagabayapun kemudian telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang dalam perjalanan pengembaraannya.
"Mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Bekel."
"Di Tanah Perdikan Menoreh " Jadi kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Ki Bekel."
"Tanah Perdikan yang besar dan kuat. Aku telah pernah mendengar beberapa nama yang besar dari para pemimpin di Tanah Perdikan itu."
"Mereka memang orang-orang yang menonjol di Tanah Perdikan Menoreh, Ki bekel. Tetapi hanya berlaku di Tanah Perdikan Menoreh saja. Diluar Tanah Perdikan, mereka bukan apa-apa. Yang terbaik di Tanah Perdikan tidak lebih dari mereka yang berada di tataran yang terbawah bagi daerah lain yang memiliki orang-orang yang berilmu sangat tinggi."
Ki Bekel tertawa. Katanya, "Kau adalah seorang yang rendah hati. Tetapi justru orang-orang yang rendah hati itulah yang memiliki banyak kelebihan."
"Apalagi kami Ki Bekel. Tetapi kami mempunyai modal yang dapat kami banggakan. Kami mempunyai kemampuan berlari cepat. Sehingga dalam saat-saat yang gawat, kemampuan kami itu dapat kami pergunakan."
Hantu Santet Laknat 1 Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur Hina Kelana 28
"Ya Agaknya memang demikian."
Sebenarnyalah bahwa mereka telah berada di luar pengamatan sebuah gerombolan yang terhitung garang yang bersarang di ujung hutan itu. Mereka telah membersihkan ujung hutan yang menjorok dari gerumbul-gerumbul perdu yang liar dan mendirikan gubug-gubug diantara pepohonan raksasa di ujung hutan itu. Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Rara. Menurut dugaanku, tanah ngarai ini adalah tanah yang memungkinkan untuk digarap menjadi sawah dan ladang. Tetapi agaknya gerombolan perampok itulah yang manakut-nakuti orang yang berniat menggarap tanah ngarai ini sehingga menjadi padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat dengan satu dua pohon-pohon yang besar dan tua."
"Rasa-rasanya aku telah menginjak pematang kakang."
"Bekas pematang, maksudmu?"
"Ya. Tanah Ngarai ini agaknya pernah menjadi tanah garapan. Tetapi entah karena apa maka tanah ini telah ditinggalkan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian mulai memperhatikan tanah disebelah menyebelah jalan sempit yang mereka lalui. Seperti yang dikatakan oleh Rara Wulan yang berjalan di luar jalur jalan sempit itu, mereka memang mendapatkan jalur tanah yang agaknya bekas pematang sawah.
"Ya. Tanah ini pernah menjadi tanah garapan," berkata Glagah Putih, "Tetapi tanah ini sudah lama ditinggalkan. Tetapi pohon-pohon besar itu tentu sudah ada pada saat tanah ini menjadi tanah garapan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa ratus patok di hadapan mereka nampak tanah garapan yang luas terbentang sampai ke cakrawala. Beberapa padukuhan nampak di kejauhan bagaikan pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan yang tenang.
"Ada beberapa kemungkinan, kenapa tanah ini tidak lagi di garap Rara."
Rara Wulan tidak menyahut. "Mungkin karena keberadaan gerombolan yang jahat sehingga para petani menjadi ketakutan. Tetapi mungkin para petani tidak mempunyai cukup tenaga yang menggarap sawah yang demikian luas."
"Ya, kakang," sahut Rara Wulan sambil memandangi tanah yang sedemikian luasnya. Keduanyapun kemudian menuruni sebuah tebing yang rendah dan memasuki jalan yang sedikit lebih lebar dari jalan yang baru saja dilaluinya, "Kita pergi ke padukuhan yang nampak itu Rara." Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sementara itu, panas mataharipun. terasa semakin menyengat. Namun ketika mereka mulai memasuki tanah persawahan, maka di sebelah menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perindang. Ternyata penghuni padukuhan yang memiliki sawah yang luas itu menanami tanggul parit di sepanjang jalan yang panjang itu dengan pohon turi. Pohon yang berbunga putih, yang merupakan jenis sayuran yang banyak di gemari.
Semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melihat semakin jelas, bahwa padukuhan di hadapan mereka adalah sebuah padukuhan yang besar. Sebuah padukuhan yang memanjang yang dilingkari dengan dinding padukuhan yang cukup tinggi.
"Agaknya padukuhan itu telah melindungi dirinya dari para penjahat yang tinggal di hutan itu," desis Glagah Putih.
"Ya. Ternyata dengan dinding padukuhan yang tinggi. Mungkin memang terdapat permusuhan antara orang-orang padukuhan itu dengan gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun kemudian berkata, "Kita akan melewati padukuhan itu, Rara. Kita akan dapat melihat keadaan di padukuhan yang berdinding tinggi itu."
Rara Wulan mengangguk. Ia memang ingin melihat, apa yang terdapat dalam padukuhan yang berdinding tinggi itu.
Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah berada di jalan yang lebih besar lagi, langsung menuju ke pintu gerbang padukuhan yang sudah menjadi semakin dekat.
Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat. Namun pohon turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan itu telah banyak memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Pada saat matahari sedikit melewati puncaknya, maka mereka berduapun telah sampai ke pintu gerbang padukuhan itu. Ternyata pintu gerbang padukuhan itu terbuka lebar meskipun nampaknya pintu itu sengaja dibuat demikian kokohnya. Sehingga kesan yang menyentuh jantung Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu memang sengaja melindungi dirinya sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan belum tahu. padukuhan itu melindungi diri dari siapa " Mungkin dari para penjahat di ujung hutan. Tetapi mungkin ada ancaman lain yang membuat seisi padukuhan itu harus berhati-hati.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan yang besar itu, maka yang dilihatnya adalah jalan utama yang cukup lebar. Dinding halaman yang tertata rapi. Halaman rumah yang pada umumnya cukup luas dan bersih.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk semakin dalam, dilihatnya beberapa orang remaja yang berjalan menggiring kambing dan domba. Di lambung mereka tergantung pedang.
"Pedang," desis Rara Wulan, "bukan sekedar piranti untuk mencari rumput. Tetapi benar-benar pedang."
Glagah Puuh mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Setiap remaja di padukuhan ini telah mempersenjatai dirinya sendiri dengan pedang. Apa yang telah menyebabkan mereka harus bersenjata ?"
"Mungkin ada ancaman dari luar padukuhan ini, sehingga setiap orang, termasuk remajanya harus bersenjata."
"Mungkin sekali. Agaknya penjahat di sudut hutan itu."
Sebenarnya setiap laki-laki di padukuhan itu membawa senjata apapun juga. Ada yang membawa pedang, tongkat besi, tombak pendek atau apa saja. Tetapi kebanyakan diantara mereka membawa pedang di lambungnya
Selain membawa senjata, agaknya penghuni padukuhan itu juga selalu berhati-hati terhadap orang yang dianggapnya asing.
Glagah Putih dan Rara Wulan merasa, bahwa beberapa pasang mata selalu memandanginya. Dari balik pintu-pintu regol halaman atau mereka yang berpapasan di jalan utama padukuhan itu. Bahkan dua orang anak muda yang berpapasan, dengan tidak segan-segan lagi berhenti dan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Rasa-rasanya kita menjadi tontonan disini, kakang."
"Bukan tontonan. Tetapi kita menjadi sosok yang nampaknya sangat dicurigai."
"Tentu ada persoalan yang gawat yang terjadi di padukuhan ini."
"Tetapi persoalan itu tentu sudah makan waktu yang lama dan agaknya masih belum terselesaikan. Dinding padukuhan itu tentu tidak baru kemarin sore didirikan. Menilik ujudnya, dinding itu tentu sudah agak lama dibuatnya."
"Ya, kakang," Rara Wulanpun menjadi semakin mendekati Glagah Putih sambil berdesis, "Kita benar-benar menjadi perhatian orang banyak di padukuhan ini."
Sebelum Glagah Putih menjawab, mereka melihat dua orang anak muda yang muncul dari regol halaman. Ternyata regol itu adalah regol banjar padukuhan yang besar itu.
Banjar padukuhan itu adalah banjar yang terhitung luas. Bangunannya termasuk bangunan yang bagus. Bahkan tiang regolnya terbuat dari kayu berukir dan disungging lembut.
Apalagi tiang-tiang pendapa banjar itu. Sebuah bangunan joglo yang terhitung besar dan luas.
Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti ketika kedua orang anak muda dengan isyarat telah menghentikan mereka.
"Siapakah Ki Sanak berdua ?" bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain."
"Kademangan manakah yang Ki Sanak singgahi yang terakhir sebelum Ki Sanak sampai ke padukuhan kami."
"Kami berada di Seca Ki Sanak."
"Apakah kalian terlibat dalam bentrokan berdarah yang terjadi di Seca?"
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata berita tentang gejolak yang terjadi di Seca begitu cepatnya telah sampai ke telinga penghuni padukuhan itu.
"Tidak, Ki Sanak. Bahkan kami tidak tahu, bahwa di Seca telah terjadi pertumpahan darah. Bahkan menurut penglihatan kami, Seca adalah satu kademangan yang tenang, aman dan terasa damai."
"Itu yang nampak di permukaan."
Glagah Putih termangu-mangu pula sejenak. Dengan nada ragu ia bertanya, "Apa maksud Ki Sanak ?"
Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Glagah Putih. Bahkan anak muda itu bertanya, "Kapan kau meninggalkan Seca?"
"Kemarin siang, Ki Sanak."
"Dimana kau berada semalam " Maksudku di mana kau bermalam semalam ?"
"Kami adalah pengembara Ki Sanak. Kami dapat bermalam di mana saja. Semalam kami bermalam di sebuah padukuhan yang kering, yang tanahnya tandus. Tetapi nampaknya padukuhan itu mempunyai masa depan yang berpengharapan, karena padukuhan itu telah bangkit. Agaknya ada juga seseorang yang seakan-akan membangunkan mereka dari sebuah mimpi buruk, sehingga rakyat padukuhan kering itu telah bersama-sama bekerja keras membuat bendungan."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Padukuhan Tangkil memang sedang membuat bendungan."
"Aku bermalam di pategalan yang kering, disebelah padukuhan itu."
"Kenapa kau tidak bermalam di padukuhannya. Di banjar misalnya?"
Glagah Putih mulai mencari-cari jawab. Katanya, "Aku bertemu dengan seseorang yang sedang berada di pategalannya. Kami berdua menemaninya tidur di gubugnya."
"Kenapa orang itu tidur di gubugnya di pategalan " Apakah ada tanaman yang perlu ditungguinya ?"
"Tidak, Ki Sanak. Orang itu tidak menunggui tanaman apapun. Tetapi menurut orang itu, ia sedang bertengkar dengan isterinya, sehingga malam itu ia lebih senang tidur di pategalan."
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berdesis, "Edan."
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Mereka menjadi agak tegang, apakah kata-kata Glagah Putih itu dipercaya atau tidak.
Namun tiba-tiba saja anak muda yang seorang lagi bertanya, "Sebelum sampai ke padukuhan ini, kalian berada di mana ?"
Glagah Putihpun menjawab, betatapun jantungnya terasa berdebar, "Ki Sanak. Justru itulah yang ingin kami tanyakan. Kami berjalan menyusur jalan di sebelah hutan turun ke ngarai. Ketika kami menyeberangi padang perdu yang cukup luas itu, kami melihat beberapa batang lembing yang tertancap di tanah. Bahkan kami berdua melewati sepasang pohon jambe yang mengerikan."
"Kenapa mengerikan ?"
"Ada beberapa macam benda terikat bergayutan di sepasang pohon jambe tua itu. Yang mengerikan, di pohon jambe itu juga bergantungan dua buah tengkorak manusia yang sudah kering."
"Kalian lewati padang perdu itu ?"
"Ya." "Beruntunglah kalian, bahwa kalian masih sempat melihat padukuhan ini."
"Kenapa ?" bertanya Glagah Putih.
"Kalian tidak menyentuh apapun yang ada di padang perdu itu " Maksudku, lembing dan pohon jambe serta benda-benda yang bergayut pada lembing serta pohon jambe itu ?"
"Tidak. kami hanya lewat. Itupun agak tergesa-gesa."
Namun yeng ssorang lagi tiba-tiba saja bertanya pula, "Jika semalam kau bermalam di Tangkil, kenapa baru sekarang kau sampai disini?"
Dengan serta-merta pula Glagah Putih menjawab, "Kami terlambat bangun. Akhirnya kami diminta singgah ke rumah orang yang sedang bertengkar dengan isterinya itu. Ternyata isterinya baik dan menghidangkan makan dan minum bagi kami berdua, sementara laki-laki yang bermalam di pategalan itu pergi ke sungai, ikut membuat bendungan."
Agaknya jawaban-jawaban Glagah putih cukup meyakinkan. Karena itu, maka kedua orang anak muda itupun kemudaan berkata, "Silahkan melanjutkan perjalanan kalian."
"Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi apakah aku boleh bertanya sedikit lagi?"
"Bertanya apa?"
"Apakah setiap orang lewat juga mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan kalian kepada kami berdua ?"
"Jika orang itu mencurigakan, maka kami tentu akan bertanya sebagaimana kami tanyakan kepada Ki Sanak."
"Terima kasih. Kami minta diri."
"Silahkan, Ki Sanak. Tetapi kalian harus menyadari bahwa kalian berdua termasuk orang-orang yang mencurigakan. Kalian berjalan berdua di teriknya panas matahari. Tetapi kalian seakan-akan berjalan di terang bulan. Kalian melihat-lihat setiap regol halaman, memperhatikan setiap rumah dan bahkan anak-anak kami yang akan keluar menggembalakan kambing."
"Memang ada yang menarik perhatian kami, Ki Sanak."
"Apa?" "Aku melihat semua orang laki-laki di padukuhan ini bersenjata apa saja, seolah-olah padukuhan ini sedang dalam suasana perang. Bahkan anak-anak remaja yang menggembalakan kambing itupun membawa senjata pula di lambungnya. Bukankah itu sangat menarik perhatian bagi para pengembara?"
Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang diantara mereka menjawab, "Tidak. Tidak ada hubungan apa-apa antara senjata yang dibawa oleh setiap laki-laki disini dengan perang. Kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa. Senjata bagi laki-laki di padukuhan ini merupakan kelengkapan pakaian mereka. "
"Hanya sekedar kelengkapan ?"
"Ya." "Apakah ada ancaman dari mereka yang memasang pertanda di padang perdu itu sehingga padukuhan ini harus membuat dinding yang tinggi serta setiap laki-laki harus membawa senjata ?"
"Tidak, kau dengar," bentak seorang diantara kedua orang anak muda itu, "sudah aku katakan. Senjata adalah sekedar kelengkapan pakaian bagi kami. Laki-laki yang tidak membawa senjata menurut adat di padukuhan ini dianggap pengecut. Sekali lagi aku tarakan, kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa."
"Maaf Ki Sanak," sahut Glagah Putih, "sebenarnyalah aku menjadi ketakutan. Apalagi isteriku ini. Itulah sebabnya maka kami berjalan dengan ragu-ragu di jalan utama padukuhan ini. Dalam ketakutan kami memperhatikan setiap regol halaman, karena kami mengira bahwa tiba-tiba saja kami akan mendapat perlakuan yang kurang baik."
"Jika kau terlalu banyak berbicara, maka kalian berdua justru akan mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika kalian berdua tidak segera pergi, maka mungkin sekali kalian akan benar-benar kami tangkap."
"Baik, baik. Kami minta diri Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun segera meninggalkan kedua orang anak muda yang menjadi marah itu. Agaknya pertanyaan-pertanyaan Glagah Putih telah menyinggung perasaan mereka.
Ternyata padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan waktu beberapa lama untuk mencapai ujung jalan utama yang lain. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di luar pintu gerbang padukuhan di ujung yang lain itu.
Namun di sepanjang jalan utama, keduanya memang merasakan, bahwa orang-orang padukuhan itu yang melihat mereka berdua nampak menjadi curiga. Bahkan beberapa orang anak muda sengaja berdiri di pinggir jalan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka bergeser melekat dinding halaman ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di depan mereka.
"Selamat siang, Ki Sanak," Glagah Putihpun memberikan salam kepada anak-anak muda itu.
Ternyata ada diantara anak-anak muda itu yang menyahut, "Selamat siang."
"Tentu sesuatu telah terjadi di padukuhan itu," desis Rara Wulan, "suasananya terasa tegang. Semua orang rasa-rasanya siap untuk bertempur."
"Agaknya ada hubungannya dengan pertanda yang pernah kita lihat di padang perdu itu meskipun mereka mengatakan tidak."
"Ya. Agaknya memang demikian. Agaknya padukuhan ini telah bermusuhan dengan penghuni ujung hutan itu untuk waktu yang lama."
"Jika permusuhan itu tidak kunjung berakhir, maka tatanan kehidupan di padukuhan itupun akan selalu dibayangi oleh kecemasan. Setiap saat orang-orang di ujung hutan itu dapat datang menyerang. Bahkan mungkin mereka dapat berbuat jahat terhadap orang-orang yang sedang berada di sawah atau perempuan yang pergi ke pasar."
"Jika permusuhan itu sudah berlangsung lama, maka penghuni padukuhan itupun tentu sudah dapat menyesuaikan diri."
"Tetapi anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam suasana yang tegang itu akan dapat terpengaruh. Sifat dan wataknyapun akan dibentuk dalam suasana permusuhan."
Keduanyapun kemudian terdiam. Mereka berjalan semakin jauh dari padukuhan yang berdinding tinggi itu. Mereka menempuh jalan bulak yang panjang untuk sampai ke padukuhan yang lain. Panas matahari terasa semakin membakar kulit. Pohon-pohon perindang menjadi semakin jarang. Agaknya padukuhan berikutnya tidak begitu tertarik untuk menanam pohon turi di pinggir jalan bulak. Yang ditemui oleh Glagah Putih adalah justru pohoh gayam. Tetapi jarak batang gayam yang satu dengan yang lain agak panjang. Namun daun gayam memang lebih rimbun dari daun turi.
Tetapi semakin besar batangnya, maka akar-akarnya akan membuat pangkal batangnya menjadi besar sehingga mengurangi lebar jalan. Bahkan disisi lain akan dapat mengganggu tanggul parit. Keduanyapun terhenti sejenak, ketika mereka berada diatas sebuah jembatan kayu yang menyilang susukan yang airnya cukup deras. Agaknya air di susukan itu tidak pernah kering meskipun di musim kemarau.
"Susukan inilah yang agaknya membuat daerah ini nampak subur," desis Glagah Putih.
"Ya. Tanahnya subur sehingga tanaman di sawahpun nampak subur. Tetapi suasana tegang di padukuhan itu terasa agak mengganggu."
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka mendengar suara anak-anak yang berteriak-teriak. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang remaja berdiri di atas tanggul.
Ternyata para remaja itu tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Tetapi mereka melempari batu ke arah seberang susukan.
Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang remaja yang lain berada di seberang susukan. Namun mereka tidak membalas. Mereka justru pergi menjauhi susukan itu. Agaknya remaja di seberang susukan itu sedang menunggui burung yang dapat merampas hasil panenan mendatang. Karena yang berterbangan diatas batang padi yang mulai merunduk itu bukan saja sepuluh dua puluh. Tetapi sekelompok burung pipit sehingga menyerupai awan yang kelabu bergerak rendah dan cepat diatas batang-batang padi.
"Apa yang sebenarnya terjadi," desis Rara Wulan.
"Para remaja yang melempari batu itu tentu remaja dari padukuhan yang baru saja kita lewati."
"Ya. Merekapun bersenjata. Mereka membawa parang atau pedang atau senjata-senjata yang lain."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja termangu-mangu menyaksikan beberapa orang remaja yang melempari batu itu.
Tetapi ketika beberapa orang remaja di seberang susukan itu pergi, maka merekapun segera berhenti.
Beberapa saat mereka masih berdiri diatas tanggul. Namun kemudian ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, merekapun berlari-lari mendatanginya.
"Apa yang akan mereka perbuat ?" desis Rara Wulan.
"Entahlah." "Apakah kita harus lari untuk menghindari mereka ?"
"Tidak Rara. Kita akan berada di sisi lain dari jembatan ini. Maksudku diseberang susukan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian beringsut dan berdiri di ujung jembatan.
Ternyata anak-anak remaja itu tidak mau mendekati mereka. Mereka berhenti di ujung jembatan yang lain.
"Bukankah kalian yang kami jumpai di padukuhan kami tadi ?"
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Mereka teringat kepada beberapa orang remaja bersenjata yang menggiring binatang peliharaan mereka. Mereka tidak sekedar membawa alat-alat untuk menyabit rumput. Tetapi mereka benar-benar membawa pedang atau senjata yang lain.
"Sekarang kalian akan pergi kemana?"
"Kami adalah pengembara. Kami berjalan saja tanpa tujuan."
"Apakah kalian telik dari kademangan Prancak di pinggir Kali Elo."
"Kademangan Prancak ?"
"Ya. Yang bersebelahan dengan kademangan Payaman."
"Tidak anak-anak. Kami adalah pengembara. Kami belum pernah tinggal di kademangan Prancak. Apakah kademangan Prancak masih jauh."
"Kalian sekarang berada di kademangan Prancak."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak. Baru kemudian dengan nada datar Glagah Putih berkata, "Jika aku sekarang berada di kademangan Prancak, kenapa kalian bertanya, apakah aku telik dari kademangan Prancak" Bukankah kalian telah mengenal orang-orang kademangan Prancak" Jika kalian belum mengenal, kakak-kakak kalian atau ayah kalian atau siapapun yang melihat kami tentu akan dapat mengenali kami."
"Yang menjadi telik bagi kademangan Prancak tidak harus orang Prancak. Orang Prancak dapat mengupah orang yang tidak dikenal di padukuhan kami untuk melihat sejauh mana kesiapan kami menghadapi kademangan Prancak."
"Aku menjadi bingung, tole. Aku tidak tahu apa yang kau maksud?"
Anak itu masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba saja kawannya menariknya sambil berkata, "Sudahlah. Jika mereka tidak tahu, biar saja tidak tahu. Kita kembali ke kambing-kambing kita."
Anak-anak remaja itupun segera berlari menghambur meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Apakah yang dimaksud anak-anak itu ?" desis Rara Wulan.
"Kami masih belum jelas, Rara. Tetapi yang kami tangkap adalah satu kenyataan bahwa ada gejolak di kademangan Prancak."
"Ternyata padukuhan itu tidak mempersiapkan diri atau justru dalam permusuhan yang lama dengan orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Tetapi justru persoalan yang tumbuh dikademangan Prancak ini sendiri."
Selagi Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu, mereka melihat beberapa orang anak remaja dari seberang susukan itu mendatangi mereka pula. Tetapi sikap mereka agak berbeda. Anak-anak dari seberang susukan itu nampak ragu-ragu meskipun mereka berjalan terus ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Nampaknya mereka tidak bersikap bermusuhan," desis Rara Wulan.
"Ya. meskipun demikian, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sesuatu yang tidak pernah kita duga akan terjadi."
Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Mereka tidak beringsut lagi dari tempat mereka berdiri di seberang jembatan. Agaknya anak-anak itu mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan anak-anak padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.
Beberapa langkah dari Glagah Putih dan Rara Wulan, beberapa orang anak remaja itu berhenti. Mereka nampak semakin ragu-ragu.
Namun Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Kemarilah. Mendekatlah. Mungkin kita dapat berbincang."
Anak-anak itu masih nampak ragu-ragu.
Namun kemudian dua orang diantara merekapun melangkah mendekat, sedangkan yang lain berdiri saja seakan-akan membeku di tempatnya.
"Paman dan bibi," bertanya seorang diantara kedua orang remaja yang mendekat itu, "siapakah paman dan bibi ?"
"Kami adalah pengembara, tole. Kami kebetulan saja lewat kademangan Prancak ini."
"Apakah paman dan bibi belum mengenal anak-anak yang tadi menemui paman dan bibi?"
"Belum," jawab Glagah Putih, "kami belum mengenal mereka. Tetapi kami tadi melihat mereka di padukuhan sebelah."
"Padukuhan Babadan."
"Jadi padukuhan itu namanya padukuhan Babadan ?"
"Ya," jawab anak itu.
"Apakah kalian bermusuhan dengan anak-anak Babadan, sehingga mereka melempari kalian ?"
"Babadan menganggap kami sebagai musuh-musuh. Bukan hanya anak-anak sebaya kami. Tetapi juga orang-orang tua kami."
"Kenapa?" "Padukuhan Babadan sebenarnya termasuk lingkungan kademangan Prancak. Tetapi dua padukuhan besar yang satu diantaranya adalah Babadan, menyatakan bahwa seharusnya padukuhan induk kademangan Prancak itu adalah Babadan. Demangnya harus orang Babadan, sementara padukuhan-padukuhan lain akan menjadi wilayah kademangan Prancak yang padukuhan induk adalah padukuhan Babadan."
"Apakah dengan demikian, maka orang-orang Babadan memusuhi orang-orang padukuhan lain di kademangan Prancak ?"
"Ya. Anak-anak Babadan juga memusuhi kami."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Persoalan yang timbul di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Tetapi apakah perselisihan yang terjadi di Prancak itu sudah demikian parahnya sehingga orang-orang Babadan telah membangun dinding padukuhan yang tinggi serta membekali setiap orang dengan senjata.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika seorang diantara kedua orang remaja itu bertanya, "Apakah paman dan bibi akan singgah di padukuhan kami."
"Dimana padukuhanmu ?"
"Kami tinggal di padukuhan itu. Padukuhan Karang Lor." Glagah Putih dan Rara Wulan memandang ke arah remaja itu menunjuk. Sebuah padukuhan diseberang bulak. Nampaknya juga sebuah padukuhan yang besar, sebesar padukuhan Babadan. Namun agaknya gaya hidup orang Karang Lor berbeda dengan gaya hidup orang Babadan, meskipun selamanya keduanya termasuk satu kademangan.
"Jika kami singgah di padukuhanmu, apakah kami tidak dicurigai sebagaimana kami berada di Babadan ?"
"Seandainya demikian, bukankah paman dan bibi dapat menjelaskan siapakah paman dan bibi sebenarnya " Bukankah paman dan bibi dapat mengatakan bahwa paman dan bibi adalah seorang pengembara."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Jika keberadaan mereka di padukuhan Karang Lor justru menimbulkan persoalan, maka persoalan itu akan dapat menghambat perjalanan mereka.
Namun seorang diantara kedua orang remaja yang mendekatinya itu berkata sambil menepuk bahu kawannya, "Anak ini adalah anak bebahu padukuhan Karang lor. Ayahnya seorang Kebayan."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Bagaimana pendapatmu, Rara ?" bertanya Glagah Putih.
"Agaknya tidak ada salahnya jika kita singgah di Karang Lor. Tetapi tentu tidak terlalu lama."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada kedua orang anak yang menemuinya sementara kawan-kawannya memandangi dari kejauhan.
"Apakah kalian akan pulang ?"
"Kami menunggui burung di sawah. Burung pipit itu mencuri padi-padi kami."
Namun kawannya itu berkata, "Aku akan mengantarkan paman dan bibi, jika paman dan bibi akan singgah di Karang Lor."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, "Baiklah. Aku akan singgah di rumahmu."
Remaja itupun mengajak seorang kawannya yang lain untuk menemaninya pergi ke padukuhan. Remaja itu adalah anak yang disebut ayahnya seorang Kebayan.
Sambil berjalan menuju kepadukuhan Rara Wulanpun bertanya, "Apakah kalian sering berkelahi dengan anak-anak Babadan ?"
"Tidak, bibi," jawab anak Ki Kebayan itu, "tetapi setiap kali kita bertemu, mereka tentu melempari batu. Agaknya jika ada seorang diantara kami yang berani pergi keseberang susukan, maka mereka benar-benar akan memukuli kami."
"Apakah susukan ini merupakan batas antara Karang Lor dengan Babadan ?"
"Ya. Sekarang menjadi batas antara dua padukuhan yang memisahkan diri dari kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang lain sampai susukan ini keluar dari kademangan Prancak dan mengairi sawah di daerah Payaman."
"Sedangkan susukan ini sendiri ?"
Semua pihak menghormati susukan ini, karena susukan ini mengairi kademangan-kademangan lain pula.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara mereka berjalan terus bersama dua orang remaja menuju ke padukuhan yang sudah berada tidak jauh di hadapan mereka.
"Padukuhan kalian ternyata juga termasuk padukuhan yang besar, sebagaimana padukuhan Prancak," berkata Glagah Putih kemudian.
"Ya, paman. Padukuhan kami hampir sama besar dengan padukuhan Prancak."
"Bagaimana dengan jumlah penghuninya " Manakah yang lebih banyak ?"
Anak itu menggeleng sambil menjawab, "Entahlah, paman. Aku tidak tahu."
Glagah putih tidak bertanya lagi. Sementara itu mereka sudah berada tidak jauh lagi dari gerbang padukuhan.
Namun dinding padukuhan Karang Lor itu tidak dibuat setinggi dinding padukuhan Prancak.
"Apakah orang-orang Karang Lor lebih garang dari orang-orang Prancak " Apakah justru orang-orang dari Karang Lorlah yang sering mendatangi orang-orang Prancak ?" bertanya Glagah putih di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bersama kedua orang remaja itu telah memasuki padukuhan Karang Lor. Demikian mereka masuk, maka mereka pun merasakan perbedaan suasana dengan padukuhan Prancak. Rasa-rasanya tidak ada ketegangan di padukuhan Karang Lor. Anak-anak bermain-main di jalan-jalan padukuhan dengan riuhnya. Para remajanya bahkan anak-anak mudanya tidak membawa senjata di lambungnya.
"Jika Prancak memusuhi seluruh kademangan, mereka tentu juga memusuhi padukuhan ini. Tetapi kenapa padukuhan ini sama sekali tidak nampak nafas permusuhan itu, sehingga padukuhan Karang Lor ini nampaknya tetap tenang-tenang saja."
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa mereka tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan jika mereka bertanya kepada remaja yang mengantar mereka itu. Karena itu, Glagah Putih menyimpan pertanyaannya sehingga ia dapat bertemu dengan Ki Kebayan. Ayah remaja yang mengantarkannya itu.
Demikian mereka melangkah beberapa puluh langkah memasuki padukuhan Karang Lor, maka remaja yang mengantarkan mereka itu pun berhenti di depan sebuah regol halaman yang terhitung luas.
"Ini rumahku, paman," berkata seorang diantara kedua remaja itu.
"O," Glagah Putih mengangguk-angguk, "apakah ayahmu ada di rumah ?"
"Ketika aku berangkat ke sawah, ayah ada di rumah. Mungkin sekarangpun ayah masih ada di rumah."
Sebelum Glagah Putih menyahut, anak itupun telah berlari memasuki halaman rumahnya langsung masuk lewat pintu seketeng.
Anak yang seorang lagi itupun berkata, "Silahkan masuk paman dan bibi."
Glagah putih dan Rara Wulan tersenyum. Ternyata unggah-ungguh anak itu pun cukup baik.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Kebayan, maka Ki Kebayan telah keluar dari pintu pringgitan bersama anak laki-lakinya yang sudah remaja itu.
"Marilah, silahkan Ki Sanak," Ki Kebayan itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa.
Ketika Glagah putih dan Rara Wulan kemudian duduk di pringgitan bersama Ki Kebayan, maka anak Ki Kebayan itu sudah berlari menghambur ke halaman. Bersama kawannya anak itupun berlari keluar regol dan turun ke jalan. Agaknya mereka akan kembali ke sawah menunggui burung yang sering mencuri padi yang sudah hampir tua itu.
Di pringgitan Ki Kebayan itupun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Ki Sanak berdua. Anakku itu tidak sempat mengatakan apa-apa kepadaku tentang Ki Sanak, ia hanya mengatakan bahwa ada tamu di depan. Lalu ia berlari pergi seperti yang Ki Sanak lihat."
"Kami bertemu dengan anak itu di sawah, Ki Kebayan. Bukankah aku berbicara dengan Ki Kebayan ?"
"Ya. Aku adalah kebayan padukuhan Karang Lor."
"Anak itulah yang mengatakan kepadaku, bahwa ayahnya adalah seorang Kebayan."
"Ya." "Apa yang kami lihat di sawah telah membuat kami tertarik untuk singgah."
"Apa yang Ki Sanak lihat ?"
"Anak-anak Prancak telah melempari batu anak-anak Karang Lor dari seberang susukan."
"Apakah anak-anak Karang Lor membalas ?"
"Tidak, Ki Kebayan. Selain itu, banyak hal yang menarik perhatian kami di sepanjang perjalanan kami."
"Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini ?"
"Kami adalah suami isteri yang sedang mengembara, Ki Kebayan. Kami tidak mempunyai tujuan. Kami berjalan menurut keinginan kaki kami."
Ki Kebayan itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk iapun bertanya, "Ki Sanak berdua itu berasal dari mana ?"
"Kami berasal dari Jati Anom."
"Jati Anom dekat Gedaren, Ngupit, Macanan, Sangkal Putung."
"Ki Kebayan mengenal daerah itu dengan baik.?"
"Ya. Aku sering pergi ke Macanan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ya. Aku berasal dari Jati Anom. Ayahku orang Banyu Asri."
"Jadi kalian bukan seorang pengembara yang berasal dari ujung negeri ini atau justru dari seberang lautan. Asal kalian dekat saja. Jati Anom."
Glagah Putih tersenyum. Kalanya, "Ya. Kami memang baru mulai. Jarak yang kami tempuh memang baru pendek saja."
"Lalu apakah kalian mempunyai tujuan, setidak-tidaknya arah perjalanan ?"
"Kami akan pergi ke Selatan, lewat Tanah Perdikan Menoreh."
"Jadi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Ki Kebayan."
"Lalu?" "Entahlah," jawab Glagah Putih.
"Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak terlalu jauh lagi. Tetapi jalannya tidak begitu menyenangkan untuk dilewatinya. Kalian akan melewati jalan-jalan yang rumit, padang perdu, bahkan hutan yang lebat. Namun sekali-kali kalian akan melewati padukuhan yang ramai seperti padukuhan-padukuhan di kademangan Prancak ini."
"Ya, Ki Kebayan. Kami sudah siap menempuh jalan yang bagaimanapun rumitnya. Namun daerah yang rumit itu justru tidak banyak menarik perhatian. Daerah yang sulit itu tidak akan banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, kecuali mungkin keluhan karena kami harus mengerahkan banyak tenaga."
"Apa maksudmu, Ki Sanak ?"
"Ki Kebayan. Seperti sudah aku katakan, aku menjadi heran melihat hubungan antara padukuhan Karang Lor dengan padukuhan Babadan di seberang susukan."
Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kalanya, "Hubungan kami memang tidak begitu baik, Ki Sanak."
"Bukankah Babadan dan Karang Lor ini sama-sama berada di kademangan Prancak?"
"Ya." "Kenapa permusuhan itu dapat terjadi ?"
"Jangankan dua padukuhan di satu kademangan. Sedangkan saudara kandung yang tinggal se rumah saja dapat saling bermusuhan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Kebayan benar. Tetapi persoalan yang timbul antara Karang Lor dan Babadan akan dapat menimbulkan banyak masalah bagi kademangan Prancak."
"Persoalannya itu sebenarnya bukan antara Karang Lor dan Babadan. Tetapi antara Babadan dan seluruh kademangan Prancak. Karena padukuhan Karang Lor itu juga berada di kademangan Prancak, tetapi orang-orang Karang Lor tidak mau mendukung niat orang-orang Babadan yang menurut pendapat orang-orang Karang Lor tidak masuk akal, maka orang-orang Babadan menjadi marah dan memusuhi Karang Lor. Tetapi kami tidak bersikap bermusuhan seperti orang-orang Babadan. Kami tetap saja bersikap wajar."
"Apakah sikap Karang Lor tercermin pada sikap anak-anak itu, Ki Kebayan. Meskipun mereka dilempari batu, tetapi mereka tidak akan membalas. Yang mereka lakukan hanya menjauhkan dan menghindari benturan kekerasan."
"Ya. Itulah yang kami lakukan. Kami tidak merasa perlu untuk mempergunakan kekerasan."
"Kalau orang-orang Babadan mempergunakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka terhadap anak-anak Karang Lor."
"Jika kami tidak melayani mereka, apa yang akan mereka lakukan " Sampai sekarang, orang-orang Babadan tidak berbuat apa-apa terhadap kami, meskipun mereka sudah mempersiapkan diri untuk memaksakan kehendak mereka terhadap kademangan Prancak."
"Tetapi bukankah orang-orang Babadan telah melanggar paugeran karena mereka ingin merebut kekuasaan atas Prancak" "
"Ya." "Kenapa orang-orang Karang Lor tidak bersikap tegas saja."
"Maksudmu menentang kekerasan dengan kekerasan."
"Ya." "Tidak. Kami tidak akan melakukannya. Ternyata orang-orang Babadan juga tidak melakukan kekerasaan terhadap kami."
"Baru saja aku melihat anak-anak Babadan melempari batu anak-anak Karang Lor."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka hanya anak-anak."
"Tetapi jika itu cermin sikap orang tuanya, sebagaimana anak-anak Karang Lor yang merupakan cermin sikap orang tua mereka, maka pada suatu saat orang-orang Babadan akan datang dan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan."
Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Tidak, mereka tidak akan melakukan terhadap orang-orang Karang Lor. Mungkin terhadap padukuhan lain di kademangan Prancak."
"Jadi orang-orang Karang Lor akan tetap saja mengambang ?"
"Sudahlah Ki Sanak. Kalian bukan apa-apa disini. Kalian bukan orang Karang Lor. Bahkan kalian bukan orang kademangan Prancak. Jika kalian ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, silahkan. Kalian tidak usah mengurusi kami, orang-orang Karang Lor. Bahkan orang-orang kademangan Prancak. Biarlah kami menentukan sikap kami sendiri sesuai dengan kehendak kami."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah Ki Kebayan. Aku minta maaf. Sebenarnyalah kami hanya ingin tahu apa yang telah bergejolak di padukuhan ini."
Ki Kebayan itu menarik nafas panjang. Katanya, "Itu akan lebih baik bagimu, Ki Sanak. Selamat jalan."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka merasa bahwa Ki Kebayan itu menginginkan mereka berdua segera pergi.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera turun dari pendapa. Sekali lagi mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun mereka tertegun ketika mereka melihat ampat orang berkuda memasuki halaman rumah itu tanpa turun dari kudanya.
Tiba-tiba saja wajah Ki Kebayan menjadi pucat. Diluar sadarnya iapun berdesis, "Ki Jagabaya Babadan."
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar desis Ki Kebayan itu. Karena itu, maka merekapun menjadi berdebar-debar pula. Yang datang itu adalah Ki Kebayan Babadan.
Menilik ujudnya, Ki Kebayan Babadan adalah seorang yang seram. Wajahnya yang keras menunjukkan kekerasan hatinya pula. Kumisnya yang melintang di bawah hidungnya. Matanya yang tajam seperti mata burung hantu.
"Ki Kebayan," suara Ki Jagabaya Babadan itu bagaikan menggetarkan halaman rumah Ki Kebayan, "kau sembunyikan mata-mata dari Prancak ini ?"
"Siapakah yang kau tuduh sebagai mata-mata dari Prancak ?"
"Kedua orang ini. Kedua orang laki-laki dan perempuan ini."
"Bagaimana mungkin aku menyembunyikan mereka, ia ada disini sekarang, dihadapanmu."
"Kalau aku tidak segera datang, maka kedua orang ini tentu tidak akan aku ketemukan."
"Kenapa kau menuduh mereka mata-mata dari Prancak, sedangkan mereka adalah orang-orang yang tidak aku kenal. Karena itu, maka untuk apa aku menyembunyikan orang yang tidak aku kenal."
"Jika saja Karang Lor bersikap seperti padukuhan-padukuhan lain, maka aku akan membunuhmu. Tetapi Karang Lor bersikap lain, maka aku akan membiarkan kau hidup. Tetapi aku akan membawa kedua orang ini."
"Apakah benar mereka mata-mata orang Prancak ?"
"Tentu. Mereka memang bukan orang Prancak. Tapi mereka tentu diupah oleh Demang Prancak yang sekarang untuk mengamati padukuhan Babadan dan sekitarnya. Agaknya ia sudah melakukannya dengan baik. Ia berhasil mengelabui anak muda kami yang lugu dan jujur. Anak-anak muda kami tidak akan mempertimbangkan kemungkinan orang dapat berlaku licik seperti mereka berdua."
"Terserah saja kepada Ki Jagabaya Babadan, apa yang akan kau lakukan terhadap kedua orang itu. Aku tidak tahu menahu tentang keduanya."
"Bagus Ki Kebayan. Sebaiknya kau memang tidak menghalangi aku. Siapa yang mencoba menghalangi aku akan mengalami nasib buruk sepeni orang-orang yang berada di sawah itu."
"Siapa " Orang-orang Karang Lor ?"
"Bukan. Bukan orang-orang Karang Lor. Mereka adalah orang-orang Wijil. Orang-orang yang sombong yang merasa orang di seluruh jagad ini tidak ada yang mampu menandingi kemampuan mereka."
"Apa yang telah kau lakukan terhadap orang-orang padukuhan Wijil ?"
"Lima orang Wijil mencoba untuk menangkap kami berempat, karena mereka menganggap kami telah berani melintasi jembatan pada susukan itu. Mereka tidak mau mengerti, bahwa kami sedang memburu dua orang petugas sandi dari Prancak untuk mengamati padukuhan Babadan."
"Apa yang kemudian terjadi atas orang-orang Wijil itu ?"
"Aku tak tahu, apakah mereka mati, pingsan atau terluka parah."
Ki Kebayan menarik nafas panjang.
"Sekarang, jangan halangi aku membawa kedua orang ini. Bukankah kedua orang ini yang baru saja melintasi jembatan diatas susukan itu" Bukankah mereka berdua yang baru saja melewati jalan utama padukuhan Babadan ?"
"Bertanyalah sendiri kepadanya," berkata Ki Kebayan, "aku baru saja mengusirnya untuk meninggalkan Karang Lor."
"Kau mengusirnya ?"
"Ya." "Kenapa ?" "Ia berusaha untuk menghasut aku agar aku melakukan perlawanan terbuka terhadap Babadan."
"Nah, bukankah tuduhan kami benar, bahwa keduanya adalah petugas sandi dari Prancak yang bukan saja harus mengamati padukuhan Babadan juga menghasut permusuhan."
"Mungkin kau benar."
"Baiklah Ki Kebayan. Aku akan membawa keduanya. Jika keduanya berbuat macam-macam di jalan, kami akan bertindak tegas. Nyawa keduanya memang tidak berharga bagi kami."
"Terserah kepada kalian."
Ki Jagabaya Babadan itupun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Ikut kami. Jangan membunuh."
"Tetapi kami tidak merasa melakukan pengamatan di Babadan. Kami bukan telik sandi dari Prancak. Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di kademangan Prancak."
"Jangan banyak bicara. Ikut kami atau kami harus melakukan kekerasan terhadap kalian berdua."
Ketika Rara Wulan memandang Glagah Putih untuk minta pertimbangan, ia melihat Glagah Putih mengangguk kecil. Karena itu, maka Rara Wulanpun tidak berbuat apa-apa kecuali mengikut Glagah Putih sambil berpegang lengannya.
Ki Jagabaya dari Babadan itupun kemudian membentak, "Ayo jalan. Kita pergi ke Babadan."
Glagah Putih tidak melawan, iapun berjalan ke regol halaman. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan suaminya.
"Kami tidak bersalah, Ki Sanak," berkata Glagah Putih sambil turun ke jalan di depan rumah Ki Kebayan.
"Diam," bentak Ki Jagabaya dari Babadan, "kami tidak pernah memaafkan orang-orang yang telah menjual dirinya menjadi telik sandi di Babadan."
"Apakah sebelum kami, Ki Jagabaya sudah pernah menangkap orang yang menjadi telik sandi di Babadan ?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kami telah menghukum mati lebih dari orang yang telah diupah oleh orang-orang Prancak untuk menjadi telik sandi di Babadan."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata sudah ada korban yang jatuh karena tuduhan itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan sepanjang jalan utama padukuhan Karang Lor menuju ke pintu gerbang. Beberapa orang sempat menyaksikannya dari balik pintu regol halaman mereka masing-masing yang sedikit terbuka.
"Mereka telah terjerumus ke dalam nasib buruk," desis orang-orang Karang Lor yang sempat melihat keduanya di giring oleh empat orang berkuda.
Orang-orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah membentak-bentak mereka pula, agar mereka berjalan lebih cepat.
Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di bulak panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki berada di bulak panjang itu. Mereka ternyata sedang mengerumuni beberapa sosok tubuh yang terbaring di pinggir jalan. Agaknya orang-orang itulah yang dikatakan oleh Ki Jagabaya Babadan. Lima orang dari padukuhan Wijil yang mencoba menangkap Ki Jagabaya serta ketiga orang yang berkuda bersamanya itu.
Namun ketika mereka melihat empat orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan, maka orang-orang itupun menyibak.
"Jangan berbuat bodoh," berkata Ki Jagabaya Babadan, "jika kalian menghalangi aku, maka nasib kalian akan sama seperti kelima orang kawanmu yang dungu itu."
Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan sebelah-menyebelah itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata, "Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian."
"Apa yang akan kalian lakukan ?"
"Menangkap kalian berempat."
Keempat orang berkuda itu tertawa. Katanya, "Kalian berani mencoba menangkap kami berempat " Apakah kulit kalian sudah berlapis besi baja " Bukankah kalian tahu bahwa Jagabaya Babadan adalah seorang yang tidak terkalahkan " Padahal aku sekarang berada disini bersama tiga orang kawanku."
"Sejak kapan kau menjadi Jagabaya Babadan," jawab orang yang berdiri di pinggir jalan itu.
"Pertanyaan yang bodoh. Aku adalah Jagabaya Babadan. Ki Bekel Babadan sudah mengakui kedudukanku. Sebentar lagi. aku akan menjadi Jagabaya kademangan Babadan. Semua padukuhan di kademangan Prancak sekarang harus mengakui kepemimpinan Demang yang baru yang berkedudukan di Babadan."
"Omong kosong," sahut orang yang berdiri di pinggir jalan, "Kau kira kami tidak tahu. siapakah kalian. Kalian bahkan bukan orang Babadan. Bukan pula orang Prancak."
Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Ketiga orang kawannyapun tertawa pula.
Glagah Putih dan Rara Wulan mulai mengenali persoalannya sedikit demi sedikit. Jika orang yang disebut Ki Jagabaya itu bukan orang Babadan. maka merekapun segera menghubungkan jejak kaki kuda yang berada di jalan setapak di padang perdu yang menghubungkan Babadan dengan daerah yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang yang bersarang di ujung hutan, yang tentu bukan orang baik-baik.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum dapat mengambil kesimpulan apapun juga.
Dalam pada itu. Ki Jagabaya Babadan itupun berkata, "Minggir. Aku sedang membawa dua orang tawanan karena mereka adalah telik sandi yang telah kalian upah untuk mengaman keadaan di Babadan. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal, tetapi jika kalian mencoba untuk melindunginya, maka kalian akan mengalami nasib buruk seperti kawan-kawanmu itu."
"Kau mencoba menakut-nakuti kami ?"
"Bukan sekedar menakut-nakuti. Kau sudah melihat akibat perbuatan kawan-kawanmu itu. Untunglah bahwa agaknya mereka belum benar-benar mati meskipun terluka parah. Tetapi untuk melawan orang yang jumlahnya lebih banyak, maka kami akan menjadi lebih garang lagi."
"Kau kira kami menjadi ketakutan ?"
Ki Jagabaya Babadan itupun kemudian menggeram, "Jadi kalian benar-benar ingin menangkap kami ?"
"Ya. Kalian telah berani melanggar batas yang untuk sementara kita buat diantara kita. Susukan ini."
"Sudah berapa kali kalian mencoba melakukannya atas bebahu padukuhan Babadan. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Kenapa kalian tidak pernah menjadi jera ?"
"Kami memang tidak akan pernah menjadi jera. sebelum tatanan pemerintahan di Prancak ini berjalan sebagaimana seharusnya. Kehadiran kalian di Babadan telah banyak menimbulkan masalah."
"Aku peringatkan sekali lagi. Jangan halangi kami. Kedua orang ini adalah telik sandi. Kami berhak menangkap mereka."
"Kami tidak mengenal mereka berdua. Yang kami persoalkan adalah keberadaan kalian di sini."
"Kalian telah menyebut, siapakah kami. Seharusnya kalian sadari, bahwa kami tidak akan dapat dihentikan. Jika kalian berkeras melakukannya, adalah pertanda kematian bagi kalian."
Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itupun kemudian telah memencar. Mereka terdiri dan sembilan orang laki-laki yang tubuhnya nampak kokoh. Sebagian dan mereka adalah anak-anak muda. Yang lain sudah lebih tua dan berbekal pengalaman.
Empat orang itupun kemudian berloncat turun dari kuda mereka. Dengan tenangnya mereka menambatkan kudanya pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu.
Seorang diantara mereka berkata dengan suara yang gemuruh, "Kalian akan menyesali kesombongan kalian. Jika kulit kami tergores meskipun hanya seujung duri oleh senjata-senjata kalian, maka itu adalah pertanda, bahwa perubahan yang akan terjadi di Prancak menjadi lebih cepat. Kami akan segera mengambil langkah-langkah yang lebih pasti menyongsong perubahan yang bakal datang itu."
Orang Prancak itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang tertua diantara merekapun berkata, "Kami juga dapat menakut-nakuti kalian. Meskipun kami tahu, siapakah kalian sebenarnya, tetapi kami sudah bertekad untuk menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Demang di Prancak. Kalian dan semua bebahu Babadan, terutama kawan-kawan kalian, akan segera diadili karena kalian telah mengacaukan tatanan kehidupan di Prancak."
Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Katanya, "Baik, baik. Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan cara terbaik."
Ki Jagabaya itupun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Kalian berdiri saja di pinggir jalan. Jangan mencoba-coba berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki. Jangan mencoba berpihak dan jangan mencoba melarikan diri. Jika kalian mencobanya juga, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk dari orang-orang Prancak ini."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser dan berdiri diatas tanggul parit di pinggir jalan. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan Glagah Putih.
Orang-orang Prancak itu memandangi mereka dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak sempat bertanya tentang diri mereka. Merekapun tidak tahu kenapa orang-orang yang mengaku bebahu padukuhan Babadan itu menuduh mereka sebagai petugas sandi dari Prancak.
"Apakah Ki Demang memang mengirimkan mereka ?" bertanya orang-orang itu di dalam hatinya.
Sementara itu, kedua belah pihakpun telah bersiap. Senjata yang ada di tangan merekapun mulai bergetar.
Keempat orang penunggang kuda yang mengaku orang-orang Babadan itupun telah menarik senjata mereka pula. Dua orang diantara mereka bersenjata pedang. Seorang bersenjata golok dan seorang lagi membawa bindi.
Dalam pada itu, lima orang yang telah terluka parah dan yang telah diangkat menepi oleh tetangga-tetangganya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Bahkan masih ada seorang yang belum sadarkan diri.
Demikianlah sejenak kemudian telah terjadi pertempuran diantara mereka. Orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itupun menyerang bersama-sama dari beberapa arah.
Ternyata ada juga diantara orang-orang Prancak itu yang berbekal ilmu kanuragan. Mereka telah memimpin tetangga-tetangga mereka memberikan perlawanan terhadap keempat orang berkuda yang mengaku orang-orang Babadan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulah kemudian meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang semula bersarang di ujung hutan itu.
Meskipun diantara orang-orang Prancak terdapat orang-orang yang memiliki bekal olah kanuragan, namun ternyata dalam waktu yang singkat para penunggang kuda itu telah mulai mendesak mereka. Orang-orang berkuda itu bertempur dengan garangnya. Merekapun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya mereka telah memiliki pengalaman yang luas pula.
Karena itu, maka justru orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itulah yang mulai tergores senjata. Pakaian mereka mulai terkoyak dan bahkan tubuh mereka mulai terluka.
Agaknya keempat orang yang mengaku orang Babadan itu benar-benar marah terhadap orang-orang Prancak. Mereka nampaknya tidak lagi berusaha untuk menghindari kematian.
Ketika seorang diantara orang-orang Prancak itu terlempar ke tanggul parit dengan luka yang tergores menyilang didadanya, Glagah Putih dengan serta merta telah menolongnya.
Tetapi seorang diantara orang-orang berkuda itu berteriak, "Biarkan saja orang itu mati. Kau sudah diperingatkan, jangan berpihak."
Namun Glagah Putihpun menjawab, "Orang ini dapat tercebur ke dalam parit. Meskipun airnya tidak begitu deras, tetapi menilik keadaannya, maka ia akan dapat mati terbenam di dalam air di parit itu."
"Sudah aku katakan, biar saja orang itu mati."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun diletakkannya orang itu di sisi tanggul, sehingga orang itu tidak akan dapat berguling dan tercebur kedalam parit yang mengalir itu.
Namun kepada Rara Wulan yang berjongkok di sampingnya itupun Glagah Putih berbisik, "Marilah kita melarikan diri menyeberangi jembatan itu."
"Kenapa ?" bertanya Rara Wulan.
"Setidak-tidaknya seorang atau dua orang akan mengejar kita. Dengan demikian, maka beban orang-orang Prancak akan menjadi lebih ringan."
"Aku mengerti maksud, kakang." sahut Rara Wulan.
"Nah, jangan menunggu orang-orang Prancak menjadi lebih parah. Mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan terhadap empat orang sekaligus."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba saja bangkit berdiri. Jembatan diatas susukan yang membelah kademangan Prancak itu sudah kelihatan tidak terlalu jauh lagi.
Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itupun melarikan diri mereka menuju ke jembatan.
Orang-orang yang mengaku orang Babadan itu terkejut melihat kedua tawanan mereka berlari. Karena itu, maka dengan serta merta Ki Jagabaya Babadan itu memerintahkan dua orang kawannya untuk mengejar.
Dengan demikian, maka yang bertempur melawan delapan orang Prancak tinggal dua orang saja, sehingga dengan demikian, maka orang-orang Prancak itu mulai dapat menempatkan diri mereka dengan lebih mapan. Terutama mereka yang memang memiliki bekal olah kanuragan.
Sementara itu, dua orang berkuda yang lain telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata perempuan yang selalu berpegangan lengan suaminya itu mampu juga berlari demikian cepatnya.
Kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak tahu, bahwa keduanya pernah membuat diri mereka hidup seperti seekor kijang.
Karena itu, maka kedua orang berkuda itu tidak segera berhasil menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun ketika jarak mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putihpun memperingatkan Rara Wulan, "Jangan terlalu cepat. Jika mereka yakin tidak akan dapat mengejar kita, maka mereka akan kembali ke arena pertempuran itu. Mereka justru akan menumpahkan kemarahan dan kekecewaan mereka kepada orang-orang Prancak."
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Mereka berlari seperti siput. Bukankah mereka berandal-berandal yang bersarang di ujung hutan itu?"
"Agaknya merekalah yang telah dengan sengaja menimbulkan pertentangan di kademangan Prancak."
"Ya. Tentu mereka yang lelah menghasut orang-orang Babadan itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan yang memperlambat larinya, melihat kedua orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat. Namun mereka berdua berniat menyeberangi jembatan. Baru kemudian mereka akan membiarkan kedua orang yang. mengejar mereka itu dapat menyusul.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di jembatan yang membentang diatas susukan. Namun demikian mereka melewati jembatan, maka tiba-tiba saja beberapa orang remaja yang sebelumnya mereka lihat melempari batu anak-anak Karang Lor, telah berdiri di pinggir jalan itu pula.
Adalah diluar dugaan bahwa anak-anak remaja itupun telah melempari Glagah Putih dan Rara Wulan dengan batu.
"Kalian tentu petugas sandi dari Prancak," teriak anak-anak itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa berlari terus untuk menghindari lemparan batu dari anak-anak remaja itu.
"Bagaimana kita harus menghadapi mereka ?" bertanya Rara Wulan, "merekapun mengejar kita beramai-ramai."
"Kita tunggu kedua orang itu. Kita akan berbincang dengan mereka."
"Hanya berbincang ?"
"Tergantung kepada sikap mereka."
Rara Wulan masih berlari terus. Anak-anak remaja itupun mengejar mereka sambil melempari batu.
Tetapi dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berusaha mencegah mereka. Seorang diantara mereka berteriak, "Kalian jangan melempari batu. Biarlah kami menangkap mereka. Kami akan menggantung mereka di pintu gerbang. Baru kalian boleh melempari mereka dengan batu."
Anak-anak itupun berhenti. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menyeberangi jembatan itupun berlari semakin lambat, sehingga akhirnya kedua orang itupun dapat menyusul mereka.
Seorang diantara kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian berteriak, "Berhenti. Berhenti anak iblis."
Rara Wulan yang masih berlari itupun berkata, "Aku senang bermain-main dengan mereka. Marilah kita lari lebih cepat lagi, agar mereka mengejar kita semakin jauh."
"Kita akan lebih banyak kehilangan waktu," sahut Glagah Putih.
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Jika kita berlari lebih cepat lagi dan menjadi lebih jauh dari mereka, maka nafas mereka akan menjadi semakin terengah-engah. Bahkan mungkin sekali mereka akan kehabisan nafas."
"Itu dapat saja terjadi. Tetapi akan memerlukan waktu yang lama."
"Jadi ?" "Kita berhenti saja selagi kita masih berada di bulak. Kita paksa saja mereka berhenti berkelahi dan tidak mengejar kita lagi."
Rara Wulan mengangguk. Sementara itu, dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka. Sekali lagi terdengar mereka berteriak. Bahkan kedua-duanya, "Berhenti. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari tanganku. Semakin cepat semakin baik."
Yang seorang berteriak pula, "Semakin jauh kau berlari, nasibmu akan menjadi semakin buruk."
Yang lain menyambung, "Aku akan memotong kedua kakimu dan kedua tanganmu."
Rara Wulan pun berdesis, "Lucu sekali."
Tetapi Glagah Putih menyahut, "Berhenti. Kita akan berhenti disini."
"Sebentar lagi kakang. Biarlah tangan mereka menggapai-gapai."
Glagah Putih terpaksa mengikut saja. Rara Wulan justru berlari lebih cepat, sehingga kedua orang yang sudah dapat menyusul mereka itupun harus mengerahkan tenaga untuk dapat menangkap kedua orang buruan mereka. Tetapi jarak mereka menjadi semakin jauh lagi.
Kedua orang itu mengumpat. Merekapun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka berlari untuk mengejar kedua orang buruan mereka. Tetapi kedua orang suami istri itu rasa-rasanya berlari semakin cepat.
Namun ketika mereka sampai di sebuah simpang ampat di tengah-tengah bulak. Rara Wulanpun berkata, "Nah, kita berhenti di simpang ampat itu. Ada tempat yang agak luas untuk bermain."
Sebenarnyalah ketika mereka sampai di simpang ampat, maka merekapun berhenti. Ternyata jarak kedua orang yang mengejar mereka sudah menjadi agak jauh lagi.
Sejenak kemudian, kedua orang yang mengejar mereka itupun telah sampai di simpang ampat pula. Nafas mereka menjadi terengah-engah tidak saja lewat hidung mereka. Tetapi juga lewat mulut mereka.
"Setan alas," geram seorang diantara mereka disela-sela tarikan nafasnya, "kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Kalian telah mencoba melarikan diri. Kemudian kalian tidak mau berhenti pada saat kami memerintahkan kalian berhenti."
"Bukankah kami telah berhenti sekarang," Rara Wulanlah yang menyahut.
"Kenapa baru sekarang kalian berhenti. Bukankah sejak melewati jembatan itu kami sudah memerintahkan kalian berhenti?"
"Ya. Dan sekarang kami sudah berhenti."
"Kenapa baru sekarang ?" bentak yang seorang.
"Apakah kami harus berlari lagi ?" bertanya Rara Wulan.
"Cukup. Kalau berlari lagi, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi. Kau akan dikejar oleh semua orang penghuni padukuhan Babadan seperti mengejar bajing."
"Kau tahu, bahwa kami dapat berlari kencang ?"
"Kau juga tahu bahwa kami mempunyai kuda yang dapat lari jauh lebih kencang lagi ?"
"Kudamu tidak ada disini sekarang. Selagi kalian mengambil kuda, kami sudah hilang dari pandangan kalian."
"Persetan. Sekarang kalian tidak akan dapat melarikan diri lagi."
Rara Wulan tertawa. Katanya kepada Glagah Putih, "Kakang. Bukankah menyenangkan bermain kejar-kejaran di bulak yang luas ini ?"
"Sudahlah Rara. Kita harus segera kembali ke arena pertempuran itu. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba iapun berkata, "Kita berlari lagi ke jembatan."
Glagah Putih menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Kita hormati orang-orang yang telah memburu kita ini."
Rara Wulanpun mengangguk. Katanya, "Baik. Aku ingin memukuli mereka sampai pingsan."
"Apa yang kau katakan ?" bentak seorang dari mereka yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu.
"Sekarang kalian mau apa ?" bertanya Rara Wulan, "kami sudah berhenti menunggu kalian yang berlari seperti siput."
Jantung kedua orang itu berdesir. Sikap Rara Wulan sempat membuat dada mereka berdebaran.
Ternyata perempuan itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan agaknya mereka sengaja menunggu agar kedua orang yang mengejarnya itu dapat menyusulnya.
Justru karena itu, maka keduanya mulai menjadi lebih berhati-hati menghadapi kedua orang laki-laki dan perempuan itu.
"Sekarang, ulurkan tangan kalian. Kami akan mengikat kalian dan membawa kalian ke Babadan. Kalian harus diadili karena kalian adalah petugas sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak."
"Tidak. Kami bukan orang yang diupah oleh siapa-siapa. Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh siapapun. Kami dapat menentukan tujuan kami sendiri dan kami dapat melakukan apa yang ingin kami lakukan asal tidak merugikan dan mengganggu orang lain," jawab Glagah Putih.
"Kau menganggap bahwa seorang telik sandi tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain ?"
"Aku tidak mengatakan bahwa telik sandi itu tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain. Yang aku katakan adalah, bahwa kami bukan orang yang diupah untuk memata-matai pihak manapun."
"Bohong. Semuanya menjadi semakin jelas dengan sikap kalian sekarang ini."
"Bagaimana dengan sikap kami sekarang ?"
"Ternyata kalian memiliki keberanian untuk melawan kami. Jika kalian bukan telik sandi yang serba sedikit berbekal kemampuan olah kanuragan, maka kalian tentu tidak akan berani melawan kami, karena perlawanan kalian akan membuat kalian semakin menderita menjelang saat kematian kalian."
"Kau kira kami akan begitu saja menerima kematian ?"
"Persetan. Kalian menganggap diri kalian ini siapa, he " Kalian mengira bahwa kalian dapat luput dari kematian karena kalian telah memata-matai kami ?"
"Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami tahu bahwa kalian bukan orang-orang Babadan. Jika orang-orang Babadan menemukan mayat kalian disini, maka orang-orang Babadan akan tahu, bahwa kalian sebenarnya bukan apa-apa di dunia olah kanuragan."
"Cukup. Aku akan mengoyakkan mulutmu."
"Akulah yang akan melakukannya."
Kedua orang yang mengaku orang Babadan itupun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, anak-anak remaja yang melempari Glagah Putih dan Rara Wulan telah berlari-lari sampai ke tempat itu pula. Sambil berteriak-teriak merekapun mendekati ke kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu.
"Tangkap mereka paman. Serahkan kepada kami," teriak seorang diantara mereka.
Seorang diantara kedua orang itupun berkata dengan serta-merta, "Mundur. Jangan terlalu dekat. Nanti kalian dapat menjadi korban."
Anak-anak itupun kemudian bergeser mundur. Sementara Rara Wulanpun bertanya, "Apakah kalian akan ikut bermain " Jamuran atau cublak-cublak suweng ?"
"Permainan anak-anak perempuan," sahut mereka.
"Bukankah aku juga perempuan ?"
"Tetapi kami bukan perempuan," teriak seorang diantara mereka.
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Baik. Jika demikian, lihat saja. kami akan berkelahi. Bukankah berkelahi itu mainan laki-laki?" Anak-anak itu terdiam.
"Bersiaplah," berkata salah seorang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan, "kami benar-benar akan membunuh kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanyapun segera mengambil jarak. Sementara itu Rara Wulan tidak hanya menyingsingkan kain panjangnya sampai ke bawah lutut. Tetapi diangkatnya kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya.
Kedua orang yang mengejarnya itupun menjadi semakin menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.
"Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan." Demikianlah maka kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itupun sudah menempatkan dirinya. Seorang akan bertempur melawan Glagah Putih, yang seorang lagi akan menghadapi Rara Wulan. Meskipun keduanya menyadari bahwa kedua orang itu tentu memiliki bekal ilmu, namun mereka masih saja menganggap diri mereka memiliki kelebihan serta pengalaman.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai menyerang. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap pula untuk menghadapinya.
Sementera itu, Rara Wulan yang ingin bermain kejar-kejaran itu tidak berminat untuk bertempur berlama-lama. Seperti Glagah Putih, iapun teringat kepada orang-orang Prancak yang bertempur di seberang jembatan. Apakah mereka mampu mempertahankan diri atau tidak.
Karena itu, maka Rara Wulan itupun segera meningkatkan kemampuannya, sehingga dengan cepat ia telah mendesak lawannya.
Glagah Putihpun tidak ingin membuang banyak waktu. Sehingga Glagah Putihpun berusaha untuk menghentikan perlawanan orang yang memburunya itu dengan cepat.
Sementara itu, diseberang jembatan, orang-orang Prancak masih bertempur melawan dua orang berkuda itu dengan sengitnya.
Namun, bahwa lawan mereka telah berkurang dengan dua orang, agaknya telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengimbanginya. Orang-orang Prancak itu telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa menjadi gentar meskipun kedua lawan mereka adalah orang-orang berilmu tinggi.
Bahwa mereka berjumlah sembilan orang itu lelah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengalahkan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.
Sebenarnyalah, betapapun kedua orang Babadan itu mengerahkan kemampuan mereka, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melawan sembilan orang Prancak. Ternyata bahwa orang-orang Prancak itu bukannya tidak berilmu sama sekali. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi kedua orang Babadan itu.
Karena itulah, maka kedua orang Babadan itupun harus melihat kenyataan itu. Jika mereka memaksa diri untuk tertempur terus, maka ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan lagi, sehingga mereka akan dapat ditangkap dan menjadi tawanan di Prancak atau bahkan di padukuhan Wijil. Dengan demikian, maka nasib merekapun akan menjadi sangat buruk, karena mereka akan menjadi pengewan-ewan di kademangan Prancak.
Karena itu, maka kedua orang itupun hams mengambil sikap dengan cepat. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itupun segera memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan arena pertempuran.
Karena itu, maka ketika terbuka kesempatan bagi mereka, maka keduanyapun segera berlari ke kuda mereka yang tertambat di pinggir jalan. Dengan cepat mereka menarik kendali yang disangkutkan pada sebatang pohon di pinggir jalan. Dengan cepat pula mereka pun berloncatan ke punggung kuda mereka.
Sejenak kemudian, kedua ekor kuda dengan dua orang penunggangnya itupun segera melarikan diri, meninggalkan arena pertempuran serta meninggalkan dua ekor kuda milik kedua orang yang telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan.
Beberapa saat kemudian, kedua orang penunggang kuda itupun telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu. Dengan demikian, maka orang-orang Prancak yang berusaha mengejar mereka, telah terhenti. Mereka tidak berani menyeberangi jembatan itu, karena jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka hal itu akan dianggap sebagai salah mereka sendiri.
Dalam pada itu, kedua orang berkuda itupun telah melecut kuda mereka agar berlari semakin kencang.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendesak lawan-lawan mereka. Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu memgalami kesulitan untuk melindungi diri mereka masing-masing.
Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang datang beruntun dengan kecepatan yang tinggi, telah membuat keduanya jatuh bangun. Sekali-sekali mereka terlempar karena serangan lawan-lawan mereka. Tetapi dengan cepat merekapun segera bangkit berdiri untuk meneruskan perlawanan.
Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka kedua orang itupun segera mulai berpengharapan. Mereka mengira bahwa kedua kawan telah berhasil menyelesaikan perkelahian mereka melawan orang-orang Prancak, sehingga mereka datang untuk menyusul dan membantu mereka.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera berloncatan untuk mengambil jarak.
Ketika keduanya berpaling, maka jantung merekapun menjadi berdebaran. Mereka tidak melihat keduanya membawa kuda-kuda mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak segera memburu lawan-lawan mereka. Keduanyapun sempat memperhatikan kedua orang yang mengaku orang-orang Babadan itu. Bahkan seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya di Babadan
Kedua penunggang kuda itupun segera melihat, kedua kawan mereka yang bertempur melawan kedua orang yang melarikan diri. Keduanyapun melihat bahwa kedua orang kawannya itu telah berloncatan mengambil jarak.
"Apa yang telah terjadi ?" bertanya Ki Jagabaya.
"Nampaknya kedua orang tawanan kita itu mencoba melawan," sahut kawannya.
"Anak-anak itu ?"
"Mereka menonton saja."
Sejenak kemudian, keduanyapun telah berloncatan dari punggung kuda. Tiba-tiba saja anak-anak remaja yang menyaksikan perkelahian itu bersorak. Kedatangan kedua orang itu akan membantu kedua kawannya yang segera terdesak oleh dua orang yang dituduh telik sandi dari Prancak itu.
Demikian keduanya menyangkutkan kendali kuda mereka di sebatang pohon, maka seorang di antara mereka bertanya, "Apa yang terjadi ?"
"Kedua orang ini mencoba melawan," sahut salah seorang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih.
"Itu lebih baik. Kita akan membunuhnya sekarang."
"Serahkan kepada kami, paman," teriak anak-anak itu.
Kedua orang berkuda itu memandangi mereka sambil tersenyum.
Seorang di antara mereka berkata, "Baik. Aku akan mengikat mereka dan menyerahkan mereka kepada kalian."
"Terima kasih paman, terima kasih. Kami akan mendapat mainan yang menyenangkan."
Adalah diluar dugaan bahwa Glagah Putihpun telah tertawa pula.
"Kenapa kau tertawa ?" bertanya Ki Jagabaya.
"Itukah yang kalian ajarkan kepada anak-anak kalian " Apa yang kalian harapkan dari anak-anak kalian di masa depan " Apakah kalian berharap bahwa anak-anak kalian akan menjadi sekelompok orang yang membenci sesama " Sekelompok orang yang menjadi gembira melihat penderitaan orang lain ?"
Dahi Ki Jagabaya itupun nampak berkerut. Namun kemudian iapun berkata, "Anak-anak kami bukan anak-anak yang cengeng. Mereka terlatih untuk bertindak tegas terhadap orang-orang jahat seperti kalian. Kalian yang makan upah untuk menjadi telik sandi, mengamati dan kemudian memberikan laporan tentang kelemahan-kelemahan sasarannya. Bukankah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang sangat nista ?"
"Apakah kau sedang bermimpi ?" bertanya Glagah Putih, "darimana kau mendapat alasan untuk menuduh kami menjadi telik sandi hanya karena kami berjalan melewati padukuhanmu " Apakah setiap orang lain yang melewati padukuhan Babadan dapat dituduh menjadi telik sandi " Jika benar sebagaimana kau katakan, bahwa kau telah menghukum mati beberapa orang yang kau tuduh sebagai telik sandi, maka kau benar-benar seorang yang jangat jahat."
"Persetan," geram orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu.
Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawannya. Demikian pula Rara Wulan.
Namun kawan Ki Jagabaya itu sendirilah yang bertanya, "Apakah Ki Jagabaya sudah menyelesaikan orang-orang Prancak itu ?"
"Sudah," jawab Ki Jagabaya.
"Bagus. Sekarang kita selesaikan dua ekor cucurut ini."
"Kita sudah berjanji untuk menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian menyerahkannya kepada anak-anak itu."
"Kita akan menyeretnya ke padukuhan."
"Biarlah anak-anak itulah yang melakukannya. Menyeret dua onggok slangkrah yang terikat. Memang sepantasnyalah keduanya disurukkan ke dalam bendungan untuk dijadikan tumbal agar bendungan itu tidak segera rusak."
Anak-anak itu tiba-tiba bersorak, "Biarlah kami yang menyeret keduanya ke bendungan paman. Biarlah kami yang menceburkannya ke dalam air."
Tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, "Alangkah senangnya mereka mendapat mainan dengan mengorbankan jiwa sesama. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana mereka menjadi sangat gembira melihat penderitaan sesamanya."
Tetapi Ki Jagabaya di Babadan itu menyahut, "Ternyata kalian sudah menjadi ketakutan. Tetapi nasib kalian memang sangat buruk. Kalian akan menjadi pengewan-ewan di sini. Bukan hanya anak-anak. Tetapi seisi padukuhan Babadan akan sangat gembira, karena kami sudah berhasil menangkap sepasang telik sandi."
"Kau pantas mati," geram Rara Wulan.
Melihat kesungguhan di wajah Rara Wulan, orang yang menyebut dirinya Jagabaya di Babadan itu tidak dapat mengabaikannya. Tetapi ia yakin bahwa berempat mereka akan dapat menangkap dan benar-benar mengikat keduanya untuk mereka serahkan kepada anak-anak remaja yang sedang menonton pertempuran itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bergeser mengambil jarak diantara mereka. Keduanya telah siap untuk bertempur masing-masing melawan dua orang diantara mereka.
Gejolak di dada Rara Wulanpun terasa menjadi semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka Rara Wulanlah yang kemudian justru meloncat mulai menyerang.
Namun lawan-lawannyapun telah bersiap pula, sehingga sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berkobar kembali. Glagah Putih dan Rara Wulan masing-masing harus bertempur menghadapi dua orang lawan.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menganggap orang orang Babadan itu sudah bertindak melampaui batas, maka keduanyapun segera meningkatkan kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang lawan-lawan mereka.
Serangan-serangan itu datang demikian cepatnya sehingga mengejutkan lawan-lawan mereka. Tetapi mereka tidak mampunyai kesempatan untuk membuat penilaian atas kemampuan suami isteri yang telah mereka tuduh menjadi telik sandi itu.
Pertempuranpun dengan ceratnya meningkat semakin sengit. Ki Jagabaya yang menempatkan dirinya bersama seorang kawannya melawan Glagah Putih, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, maka Jagabaya di Babadan itu sudah terlempar dari arena.
Kaki Glagah Putih yang terjulur lurus menyamping telah mengenai dadanya.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tangkasnya Jagabaya Babadan itu bangkit. Namun terasa dadanya menjadi sesak. Tulang-tulang iganya menjadi nyeri.
Dalam pada itu, anak-anak remaja yang menonton pertempuran itu masih saja bersorak-sorak. Dengan lantang mereka berteriak, "Cepat paman. Tangkap mereka. Ikat dan serahkan kepada kami."
Yang lainpun berteriak pula, "Biar aku seret perempuan itu ke tepian paman. Biarlah kami memandikannya sebelum kami surukkan perempuan itu ke bendungan."
Suara anak-anak remaja yang riuh itu telah membuat jantung Rara Wulan semakin bergejolak. Meskipun ia harus bertempur menghadapi dua orang lawan, namun Rara Wulan sempat juga menjadi cemas akan watak dan tingkah laku anak-anak remaja itu kelak jika mereka menjadi semakin besar dan menjadi dewasa.
"Mereka akan menjadi apa " " pertanyaan itu sempat mengganggu perasaan Rara Wulan.
Namun Rara Wulan itu terkejut. Bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang buruk, Rara Wulan menghadapi kenyataan. Ia merasakan punggungnya menjadi sakit. Bahkan hampir saja Rara Wulan itu jatuh terjerembab.
Seorang di antara kedua lawannya yang menyerangnya dari belakang berhasil mengenai punggung Rara Wulan dengan serangan kakinya, sehingga Rara Wulan itu terdorong beberapa langkah. Dengan susah payah Rara Wulan berusaha mempertahankan keseimbangannya.
Tetapi tiba-tiba saja lawannya yang lainpun telah menyerangnya pula. Sambil meloncat orang itu memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya kearah kening.
Rara Wulan yang masih dalam keadaan goyah itu justru menjatuhkan dirinya. Berguling beberapa kali, kemudian melenting berdiri.
Ketika kedua lawannya itu menyerang kembali, maka Rara Wulanpun sudah siap menghadapi mereka.
Pertempuranpun kemudian berlangsung pula dengan sengitnya. Rara Wulan tidak mau lagi kehilangan pemusatan perhatiannya terhadap lawannya karena sikap anak-anak remaja Babadan itu.
Ketika serangan lawannya mengenai punggung Rara Wulan, Glagah Putih merasa cemas pula. Menurut penglihatannya, serangan itu tidak datang terlalu cepat dan tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia melihat, bahwa serangan itu mampu mengenai punggung Rara Wulan.
Namun Glagah Putih tidak tahu, bahwa perhatian Rara Wulan sebagian tertuju kepada sikap anak-anak remaja Babadan yang telah membuatnya menjadi cemas.
Tetapi sakit di punggungnya yang kemudian dapat teratasi dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi itu, telah membuat Rara Wulan mengambil keputusan, untuk segera menghentikan perlawanan kedua orang Babadan itu.
Sejenak kemudian, maka Rara Wulanpun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan tangkasnya, Rara Wulan berloncatan sehingga membuat kedua orang lawannya menjadi bingung.
Serangan-serangan Rara Wulanpun menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka. Bergantian mereka terlempar dari gelanggang dan jatuh berguling di tanah. Seorang di antara mereka yang terlempar oleh serangan kaki Rara Wulan, justru telah menimpa sebatang pohon di pinggir jalan.
Sambil menyeringai kesakitan, orang itupun mengumpat kasar. Bahkan kemudian orang itu telah mencabut pedangnya sambil berteriak, "Aku bunuh kau perempuan binal."
Rara Wulan tertegun. Bahkan lawannya yang seorang lagi juga menarik senjatanya pula.
Namun anak-anak Remaja yang menonton perkelahian itulah yang berteriak-teriak, "jangan dibunuh paman. Serahkan mereka kepada kami. Biarlah kami mendapatkan permainan yang menyenangkan."
Tetapi kedua orang lawan Rara Wulan itu tidak menghiraukan. Merekapun kemudian mendekati Rara Wulan setapak demi setapak sambil mengacungkan senjata mereka.
"Kau akan menyesali nasib burukmu, perempuan liar," geram seorang di antara mereka.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi dengan demikian, maka iapun akan segera mendapatkan jalan untuk menghentikan perlawanan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.
Sejenak kemudian, Rara Wulanpun telah memutar selendangnya.
"Apa yang kau lakukan, perempuan binal ?" bertanya seorang di antara kedua orang lawannya itu dengan lantang.
"Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi," jawab Rara Wulan.
"Iblis betina. Bersiaplah untuk mati," seorang di antara kedua lawannya itu berteriak.
Hampir berbareng kedua lawannya itu meloncat menyerang. Namun dengan tangkas Rara Wulan menghindari. Sementara itu, selendangnyapun telah terjulur lurus mematuk dada seorang lawannya.
Sentuhan itu masih belum dilambari kemampuan Rara Wulan yang sebenarnya. Tetapi orang yang dadanya tersentuh ujung selendang Rara Wulan itupun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.
Terdengar orang itu mengaduh. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit
Tetapi ia telah memaksa diri untuk memasuki arena pertempuran itu lagi.
Sementara itu, kedua lawan Glagah Putihpun telah bersenjata pula. Untuk mengimbangi keduanya, maka Glagah Putihpun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi. Glagah Putih tidak merasa perlu untuk mengurai ikat pinggangnya. Namun dengan kecepatan geraknya, dilambari kemampuannya memperingan tubuhnya, ia mampu membuat kedua lawannya kebingungan.
Pada saat-saat lawannya kehilangan Glagah Putih yang berloncatan dengan ringannya, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah, maka serangan Glagah Putih telah melemparkan mereka sehingga terpelanting jatuh.
Dengan demikian, maka kedua orang lawan Glagah Putih itupun segera terlibat dalam kesulitan. Beberapa kali orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu harus berdesah kesakitan. Beberapa kali ia menyeringai menahan sakit yang menusuk sampai ke tulang.
Tubuhnya yang terbanting-banting dan beberapa kali membentur pepohonan, telah tergores luka dimana-mana. Luka oleh ujung bebatuan yang tajam atau oleh kerasnya batang pepohonan. Bahkan dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah karena beberapa giginya telah patah.
Kawan Ki Jagabaya itupun merasakan kepalanya sudah menjadi sangat pening. Matanya semakin lama menjadi semakin kabur. Lawannya yang berloncatan melingkar-lingkar itu kadang-kadang tidak dapat dilihatnya lagi. Namun tiba-tiba saja serangannya telah melemparkannya.
Ketika keningnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan, maka di keningnya itu telah tergores luka. Darah mengalir semakin lama semakin deras.
Dalam pada itu, kedua orang lawan Rara Wulanpun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ujung selendang Rara Wulan menghantam dada seorang diantara mereka, maka orang itupun telah terlempar dengan kerasnya. Rara Wulan agaknya sudah tidak telaten lagi, sehingga iapun sudah meningkatkan ilmunya pula.
Dengan kerasnya tubuh orang itu terlempar melampaui tanggul parit hingga terjatuh di kotak sawah yang sedang digenangi air.
Orang itupun menjadi bagaikan seekor kerbau yang berada di-dalam kubangan. Bahkan beberapa teguk air berlumpur telah masuk lewat tenggorokannya pula.
Seorang lawan Rara Wulan yang lainpun menjadi bimbang. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan perempuan itu. Apalagi pada saat kawannya berkutat untuk bangkit dari kubangan lumpur.
Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha untuk meloncat menjauh, maka selendang Rara Wulan itu telah terjulur melingkar menjerat kedua kakinya. Demikian selendang itu dihentakkan maka orang itupun telah terpelanting terbanting jatuh di tanah.
Sekali lagi Rara Wulan menghentakkannya. Orang yang terpelanting itu bagaikan diseret beberapa langkah, sebelum Rara Wulan menghentakkannya sekali lagi.
Demikian lilitan ujung selendang itu terurai, maka orang itupun tidak lagi dapat bangkit dengan cepat. Punggungnya terasa bagaikan menjadi patah.
Dua orang lawan Rara Wulan sudah menjadi tidak berdaya lagi. Senjata mereka seakan-akan tidak ada gunanya sama sekali.
Rara Wulan berdiri termangu mangu. Dipandanginya kedua orang lawannya berganti-ganti. Seorang terbaring dijalan bulak, seorang sudah berhasil bangkit berdiri dalam lumpur yang pekat sehingga ujudnya bagaikan sebuah patung yang terbuat dari tanah liat.
"Sekarang, apalagi yang akan kalian lakukan ?" bertanya Rara Wulan, "apakah kalian masih ingin menangkap kami karena kami kalian anggap telik sandi ?"
Jilid 367 ORANG yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan. Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu.
Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih-pun sudah kehilangan kesempatan mereka. Senjata mereka telah terlepas dari tangan. Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan.
"Sudah aku katakan," berkata Rara Wulan kemudian, "bahwa kamilah yang akan membunuh kalian. Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tuduhan kalian bahwa kami adalah orang-orang upahan dari orang-orang Prancak sangat menyakitkan hati. Aku mempunyai uang lebih banyak dari uang orang-orang Prancak. Akupun tidak mempunyai sangkut paut dengan perselisihan kalian dengan orang-orang Prancak. Tetapi justru kalian telah menuduh kami menjadi telik sandi dan bahkan kalian sudah dengan sungguh-sungguh bukan sekedar ancaman, untuk membunuh kami, maka kamipun benar-benar akan membunuh kalian berempat."
Keempat orang yang kesakitan itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu berteriak, "Anak-anak. Lari ke padukuhan. Bunyikan kentongan dan beritahukan apa yang terjadi di sini. Dua orang telik sandi dari Prancak berada di bulak ini."
Anak-anak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun menghambur berlari ke padukuhan.
"Kau akan mati dicincang oleh orang-orang Babadan," geram Ki Jagabaya.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, "Mereka tidak akan dapat menangkap kami. Bukankah kalian sudah menyediakan dua ekor kuda buat kami berdua ?"
"Setan alas." "Kami akan membunuh kalian, kemudian meninggalkan kalian disini. Nanti orang-orang Babadan akan datang untuk mengambil mayat-mayat kalian dan menguburkannya."
Kemarahan keempat orang itu membayang di sorot matanya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan itu berusaha untuk bergeser, maka dengan cepat Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar dan menyambar kening orang itu sehingga orang itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting ke dalam parit di pinggir jalan.
Ketika ia merangkak keluar dari dalam parit, maka pakaiannya yang kotor itupun menjadi basah kuyup. Debupun semakin banyak melekat sehingga pakaiannya itu tidak lagi dapat dikenali warnanya lagi.
Dalam pada itu anak-anak remaja yang berlari-lari ke padukuhan telah memasuki pintu gerbang. Merekapun segera pergi ke banjar untuk melaporkan apa yang terjadi di bulak.
Sejenak kemudian, maka suara kentonganpun segera berkumandang. Meskipun di siang hari. namun yang terdengar adalah suara kentongan dalam irama titir.
Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak nampak menjadi gelisah atau cemas. Meskipun suara kentongan telah menjalar sahut menyahut, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berada di bulak itu.
Namun ketika mereka melihat orang-orang Babadan berlari menuju ke arah mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun melangkah dengan tenangnya ke arah dua ekor kuda yang ditambatkan itu. Sejenak kemudian merekapun berloncatan naik. Namun mereka tidak segera pergi.
Baru beberapa saat kemudian, keduanya memutar kudanya dan melarikan kuda itu ke arah jembatan.
Ada juga beberapa orang yang mencoba mengejarnya. Namun tidak seorangpun diantara orang-orang Babadan itu yang mampu berlari secepat lari seekor kuda.
Dalam pada itu, orang-orang Babadan itu menemukan keempat orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu terbaring menyilang jalan. Ampat sosok tubuh yang berjajar rapi.
Dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu mencoba mendengarkan, apakah jantung mereka masih berdetak.
"Mereka hanya pingsan," desis seseorang.
"Titikkan air dibibirnya," berkata yang lain.
"Air apa" Tidak ada sumur di dekat tempat ini."
"Basahi saja lehernya dengan air parit."
Orang-orang padukuhan Babadan itupun kemudian membasahi wajah dan leher keempat orang yang pingsan itu dengan air parit.
Ternyata sebelum meninggalkan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan telah membuat mereka pingsan. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membunuh mereka meskipun mereka itu pantas dihukum mati karena tingkah laku mereka. Bahkan mereka mengaku telah membunuh lebih dari lima orang yang dituduh menjadi telik sandi kademangan Prancak untuk mengamati keadaan padukuhan Babadan. Mereka tentu seperti diri mereka berdua, orang-orang yang sama sekali tidak bersalah.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan hanya membuat mereka pingsan dan meninggalkan mereka di bulak panjang itu.
Dari anak-anak remaja yang menyaksikan peristiwa di bulak itu. orang-orang Babadan tahu, bahwa yang telah memperlakukan Ki Jagabaya dan ketiga orang kawannya dengan kasar itu adalah dua orang suami isteri. Seorang anak mudapun mengatakan bahwa ketika kedua orang itu lewat di padukuhan Babadan, anak muda itu sempal berbicara dengan kedua orang yang mengaku suami isteri itu.
"Mereka memang sangat mencurigakan. Itulah sebabnya Ki Jagabaya dengan tiga orang kawannya telah menyusul mereka. Anak-anak itu tahu, bahwa keduanya pergi bersama anak kebayan di padukuhan sebelah susukan."
"Karang Lor maksudmu ?"
"Ya." Anak-anak itupun menceritakan bahwa Ki Jagabaya telah menyusul kedua orang suami isteri itu ke Karang Lor. Tetapi yang kemudian terjadi adalah seperti yang mereka lihat.
Orang-orang Babadan itupun harus menyadari, bahwa kedua orang yang mengaku suami isteri itu tentu orang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ki Jagabaya Babadan itu bagi orang-orang Babadan adalah orang yang pilih tanding. Namun berempat Ki Jagabaya tidak mampu melawan dua orang. Bahkan seorang diantara mereka adalah perempuan.
Orang-orang Babadan itupun kemudian berusaha untuk membuat keempat orang itu sadar. Air yang diusapkan di dahi, kening dan leher mereka, telah membuat keempat orang itu menjadi lebih segar, sehingga beberapa saat kemudian, merekapun mulai menjadi sadar.
"Marilah, kita pulang dahulu. Ki Jagabaya," berkata salah seorang laki-laki yang sudah separo baya.
"Dimana iblis itu," geram Ki Jagabaya, "jika mereka tidak melarikan diri, aku akan membunuhnya."
"Tetapi Ki Jagabaya tadi pingsan disini," berkata laki-laki separo baya itu.
"Mereka adalah orang-orang yang sangat licik, pengecut dan tidak tahu malu."
"Apa yang sudah mereka lakukan " " bertanya seorang anak muda.
Ki Jagabaya itu tidak segera menjawab.
Namun kemudian, keempat orang yang pingsan itupun telah dibantu untuk bangkit berdiri. Tertatih-tatih mereka berjalan dipapah oleh masing-masing dua orang.
Dalam pada itu. Glagah Putih dan Rara Wulan yang melarikan kedua ekor kuda milik orang Babadan itu telah menyeberangi jembatan diatas susukan. Ketika mereka sampai di bulak, maka orang-orang yang berada di bulak itu telah pergi. Agaknya mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang pingsan dan kesakitan ke padukuhan. Tetapi mereka bukan orang-orang padukuhan Karang Lor.
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu di tengah-tengah bulak. Mereka sudah tidak melihat lagi dua ekor kuda milik orang Babadan yang mengejar mereka.
"Kemana mereka pergi "," desis Rara Wulan.
Dengan ragu-ragu Glagah Putihpun menyahut, "Tadi kita mendengar orang-orang Babadan menyebut padukuhan Wijil. Agaknya orang-orang yang telah mencoba menangkap orang-orang Babadan itu adalah orang-orang padukuhan Wijil."
"Ya. Agaknya mereka orang-orang dari padukuhan Wijil."
"Jadi?" "Kita akan pergi ke Wijil. Padukuhan yang kelihatan itu adalah padukuhan Karang Lor. Agaknya padukuhan Wijil adalah padukuhan di arah kanan jalan itu."
"Kita akan menyusuri jalan bulak yang panjang ini."
"Bukankah kita sudah mempunyai kuda sekarang ?"
Rara Wulan tersenyum sambil mengangguk. Katanya, "Ya. Kita sudah mempunyai seekor kuda bagi kita masing-masing."
"Marilah kita pergi ke Wijil. Kita akan berbicara dengan orang-orang Wijil. Agaknya sikap orang-orang Wijil agak berbeda dengan sikap orang-orang Karang Lor."
Keduanyapun kemudian melarikan kuda-kuda yang mereka dapatkan itu menuju ke sebuah padukuhan yang berada di ujung bulak yang panjang itu.
Dengan menunggang kuda, maka bulak itu mereka lintasi dalam waktu yang terhitung pendek. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati pintu gerbang padukuhan yang agaknya adalah padukuhan Wijil.
Di pintu gerbang Glagah Putih dan Rara Wulan menghentikan kuda mereka. Meskipun tidak rapat, tetapi pintu gerbang padukuhan itu telah ditutup. Diatas pintu gerbang tertulis dengan huruf-huruf yang besar nama padukuhan itu. Wijil.
"Padukuhan ini adalah padukuhan Wijil, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Nampaknya orang-orang Wijilpun harus menjadi berhati-hati setelah peristiwa yang terjadi di bulak panjang itu."
"Menurut pendengaranku, peristiwa yang terjadi itu bukan untuk pertama kalinya, kakang."
"Ya. Orang-orang Babadan itu mengatakan, bahwa beberapa kali orang-orang Wijil sudah mencoba, tetapi selalu gagal."
"Sekarang ?" "Kita masuk ke padukuhan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian turun dari punggung kuda mereka. Perlahan-lahan Glagah Putih mendorong pintu gerbang padukuhan yang tertutup meskipun tidak terlalu rapat.
Glagah Putih dan Rara Wulan itu terkejut ketika di belakang pintu gerbang itu ternyata berjaga-jaga beberapa orang anak-anak muda yang bersenjata. Demikian pintu gerbang itu didorong oleh Glagah Putih, maka anak-anak muda itupun segera mempersiapkan diri.
Tetapi ada diantara mereka yang melihat Glagah Putih dan isterinya digiring oleh orang-orang Babadan dari padukuhan Karang Lor yang kemudian melarikan diri menyeberangi jembatan diatas susukan yang menjadi batas untuk sementara antara kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang ingin mengambil alih kekuasaan kademangan itu.
"Kau, Ki Sanak," desis orang yang dapat mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan.
Orang itu melangkah maju mendekati kedua orang suami isteri itu sambil bertanya, "Jadi kau luput dari tangan orang-orang Babadan itu?"
"Yang Maha Agung masih melindungi kami berdua," jawab Glagah Putih.
"Sekarang kalian berdua justru membawa dua ekor kuda. Dari manakah kau mendapatkannya ?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memutuskan untuk mengatakan apa yang telah terjadi padanya.
"Kami terpaksa melawan. Ki Sanak. Agaknya mereka benar-benar ingin membunuh kami berdua."
Orang-orang padukuhan Wijil itu mengangguk-angguk. Orang yang dapat mengenalinya itu bertanya pula, "Jadi kalian dapat mengalahkan mereka berempat?"
"Mungkin hanya satu kebetulan. Tetapi seperti yang aku katakan. Yang Maha Agung melindungi kami berdua."
"Sokurlah jika Ki Sanak berdua selamat. Mereka berempat sebenarnya bukan orang-orang Babadan. Mereka adalah orang-orang jahat yang bersarang diujung hutan. Namun mereka berhasil mempengaruhi Ki Bekel Babadan untuk mengambil langkah-langkah yang keliru."
"Mungkin Ki Sanak. Tetapi mungkin juga Ki Bekel tidak dapat memilih. Bukankah orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu mempunyai kekuatan untuk memaksakan kehendaknya ?"
"Mungkin juga Ki Sanak. Tetapi marilah, aku persilahkan Ki Sanak untuk pergi ke Banjar padukuhan. Kita akan dapat berbicara lebih banyak."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka menuju ke banjar diantar oleh beberapa orang. Sementara itu anak-anak muda yang ada di belakang pintu gerbang telah menutup pintu gerbang itu kembali, meskipun tidak terlalu rapat.
Di Banjar. Glagah Pulih dan Rara Wulan diterima oleh Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu yang lain. Bebahu yang berkumpul di banjar setelah mereka mendengar bahwa lima orang dari padukuhan Wijil telah dianiaya oleh orang-orang Babadan justru di daerah yang untuk sementara tetap dianggap daerah Prancak. Orang-orang yang mengaku dari Babadan itulah yang telah menyeberangi batas yang untuk sementara memisahkan dua bagian dari kademangan Prancak.
"Silahkan. Ki Sanak," orang yang mengantar Glagah Putih dan Rara Wulan ke banjar itu mempersilahkan.
Ketika keduanya kemudian duduk di pendapa banjar, maka orang itupun segera memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada Ki Jagabaya dan para bebahu.
Ki Jagabaya sambil mengangguk-angguk bertanya, "Jadi kalian telah berkelahi melawan orang-orang Babadan ?"
"Ya. Ki Jagabaya."
"Kalian membawa dua ekor kuda mereka."
"Ya. Ki Jagabaya."
"Jadi keempat ekor kuda dari orang Babadan itu sekarang berada disini."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Agaknya kedua orang Babadan itu meninggalkan arena pertempuran dengan tergesa-gesa sehingga mereka hanya dapat membawa kuda-kuda mereka sendiri dengan meninggalkan dua ekor kuda milik kawan-kawan mereka.
"Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya kemudian, "sekarang Ki Sanak berdua telah terlibat dalam persoalan diantara orang-orang kademangan Prancak. Tetapi terserah kepada Ki Sanak. Apakah Ki Sanak akan melibatkan diri untuk selanjutnya sampai kita menemukan penyelesaian, atau Ki Sanak berdua akan segera meninggalkan Prancak."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi nampaknya peristiwa yang terjadi di Prancak itu sangat menarik perhatiannya.
"Ki Jagabaya," berkata Glagah Putih kemudian, "apakah yang sebenarnya terjadi di kademangan Prancak " Kenapa orang-orang Babadan dengan serta-merta menuduh aku sebagai telik sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak untuk mengamati padukuhan mereka sehingga mereka ingin menghukum kami berdua dengan hukuman mati."
"Itulah ciri-ciri dari para bebahu di Babadan sekarang, Ki Sanak," jawab Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya itupun segera bertanya, "Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini " Seandainya benar apa yang Ki Sanak katakan, bahwa Ki Sanak dapat melepaskan diri dari tangan empat orang dari Babadan itu, maka Ki Sanak tentu orang yang berilmu tinggi."
"Ki Jagabaya," jawab Glagah Putih, "mungkin kebetulan saja bahwa aku telah berhasil melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu. Dua orang diantara mereka nampaknya sudah tidak berdaya. Mungkin mereka mengalami kesulitan ketika mereka bertempur melawan orang-orang Wijil di bulak panjang."
"Tetapi kami tidak berhasil menangkap mereka," berkata orang yang dapat mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Mungkin itu satu kebetulan jika kalian menangkap mereka, maka akibatnya tidak dapat kita perhitungkan," berkata Ki Jagabaya.
"Tetapi mereka telah menyeberangi jembatan diatas susukan itu. Selain itu. bukankah Prancak memang sudah bertekad untuk memaksa mereka tunduk kepada tatanan dan paugeran. sehingga Babadan tetap merupakan bagian dari kademangan Prancak. Bukan sebaliknya, padukuhan-padukuhan yang lain menjadi bagian dari kademangan Babadan."
"Aku mengerti. Ki Demang sudah bertekad untuk memaksa Babadan tunduk pada tatanan. Tetapi tidak hari ini. Tidak nanti malam."
"Kita sudah bersiap, Ki Jagabaya."
"Kita memang sudah siap. Tetapi Ki Demang masih harus meyakinkan orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan bahwa mereka tidak dapat berpangku tangan. Mereka tidak dapat bergaya daun ilalang, yang merunduk ke arah angin bertiup."
"Ya," orang itu mengangguk, "Ki Bekel di Karang Lor dan Karang Wetan memang berbeda dengan Bekel kita di Wijil ini."
"Itulah sebabnya kita belum dapat bergerak sekarang. Baru setelah kita semuanya sejalan dalam sikap, Ki Demang akan segera bertindak."
Orang itu mengangguk-angguk. Jika kekerasan itu terjadi, maka orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan yang tidak bersiap itu akan dapat menjadi sasaran pertama. Bahkan kemudian menjadi landasan gerak orang-orang Babadan di seberang susukan.
"Ki Jagabaya," berkata Glagah Putih kemudian, "bagaimanapun juga kami disentuh oleh persoalan ini. Karena itu, jika Ki Jagabaya tidak berkeberatan, kami ingin mengetahui, persoalan apakah yang sebenarnya telah terjadi di kademangan Prancak ini. Sehingga kademangan ini seakan-akan telah terbelah."
Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah Ki Sanak. Karena Ki Sanak adalah telik sandi yang diupah oleh orang Prancak. maka kalian boleh tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di kademangan ini. Tetapi katakan lebih dahulu, siapakah Ki Sanak berdua ini. Ki Sanak masih belum menjawab pertanyaanku itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memandang Rara Wulan sekilas. Agaknya Rara Wulan mengerti sehingga Rara Wulan itupun mengangguk kecil.
Agaknya keduanya tidak lagi berniat menyembunyikan kenyataan tentang diri mereka berdua. Karena itu, maka Glagah Putihpun menjawab, "Kami adalah orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jagabaya. Kami telah menempuh sebuah perjalanan panjang. Sekarang kami justru dalam perjalanan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Ki Jagabaya."
"Aku telah banyak mendengar tentang Tanah Perdikan Menoreh. Sekali aku pemah melintasi Tanah Perdikan itu dalam satu perjalanan ketika aku mencari pamanku yang pergi meninggalkan rumah serta meninggalkan anak isterinya. Aku mendengar beberapa nama yang besar di Tanah Perdikan Menoreh. Selain Ki Gede Menoreh sendiri, di Tanah Perdikan Menoreh tinggal seorang yang bernama Agung Sedayu serta isterinya Sekar Mirah. Sepasang suami isteri yang namanya dikenal tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh. Selain mereka berdua, masih dikenali pula beberapa nama yang lain. Sehingga dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh adalah sebuah Tanah Perdikan yang kokoh."
"Ya. Di Tanah Perdikan tinggal Ki Lurah Agung Sedayu dan isterinya. Nyi Lurah Sekar Mirah. Yang sebenarnya menjadi Lurah prajurit adalah Agung Sedayu. Tetapi isterinya juga terpercik sebutan itu pula."
"Bukankah itu wajar sekali. Ki Sanak. Tetapi siapakah nama kalian berdua."
"Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah isteriku. Namanya Rara Wulan."
Ki Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya, "Di Tanah Perdikan Menoreh banyak terdapat orang berilmu tinggi. Karena itu, agaknya angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan tidak membual bahwa kalian mampu melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu."
"Sudah aku katakan, bahwa mungkin hanya satu kebetulan. Atau karena dua orang di antara mereka sudah tidak berdaya."
"Baiklah, angger berdua. Selain kalian berdua sudah tersentuh oleh persoalan yang terjadi di kademangan ini, kalian juga berasal dari daerah yang sangat kami kenal. Jaraknyapun tidak terlalu jauh."
"Ya, Ki Jagabaya."
"Jika angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan tidak berkeberatan, kami akan memperkenalkan angger berdua dengan Ki Bekel Wijil serta Ki Demang Prancak."
"Tentu kami akan sangat senang sekali Ki Jagabaya. Tetapi waktu kami tidak terlalu banyak. Kami ingin segera sampai di rumah kami, di Tanah Perdikan Menoreh."
"Kami minta angger berdua malam ini bermalam disini. Bukankah hanya berselisih waktu satu atau dua hari " Jika angger telah menempuh perjalanan dalam pengembaraan angger berdua beberapa bulan, apakah artinya satu dua hari atau bahkan sepekan lagi ?"
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Glagah Putih menjawab, "Baiklah, Ki Jagabaya. Karena aku ingin sekali mengetahui, apakah yang telah terjadi disini, maka kami akan bermalam semalam di padukuhan ini."
"Terima kasih ngger," berkata Ki Jagabaya, "nanti aku akan memperkenalkan angger dengan Ki Bekel dsn Ki Demang."
"Terima kasih, Ki Jagabaya."
"Namun dengan demikian, maka yang akan aku ceriterakan kepada angger berdua sekarang hanyalah persoalan pokoknya saja. Perinciannya yang lebih kecil akan angger ketahui setelah angger berdua bertemu dengan Ki Bekel dan Ki Demang nanti malam."
"Baik Ki Jagabaya."
"Angger berdua," berkata Ki Jagabaya kemudian, "Babadan dan padukuhan yang juga terhitung besar, padukuh Paliyan yang membujur panjang dan bergandengan dengan padukuhan Sambirata, telah menyatakan diri tidak mengakui kekuasaan Demang Prancak yang sekarang. Mereka menginginkan bahwa padukuhan induk kademangan Prancak berada di Babadan dan bahkan mungkin nama kademangan inipun akan dirubah menjadi kademangan Babadan atau padukuhan Babadan itulah yang mengambil alih nama Prancak. Bahkan sekarang-pun sudah ada yang menyebut padukuhan Babadan dengan sebutan padukuhan Prancak. Bahkan anak-anak di Babadan mulai tertarik untuk menyebut padukuhannya dengan sebutan padukuhan Prancak, padukuhan induk kademangan Prancak. Tetapi gejolak itu masih belum terasa penting sebagaimana sikap orang-orang Babadan yang tidak lagi mengakui kepemimpinan Ki Demang di Prancak.
"Kenapa mereka tidak mengakui lagi kepemimpinan Ki Demang " " bertanya Glagah Putih.
"Ki Bekel di Babadan itu juga adalah anak Ki Demang Prancak yang terdahulu."
"Saudara kandung dengan Ki Demang Prancak yang sekarang?"
"Tetapi berbeda ibu. Ki Demang Prancak yang terdahulu mempunyai dua orang isteri. Masing-masing mempunyai anak laki-laki. Tetapi karena ibu Ki Demang Prancak yang sekarang itu adalah isteri yang pertama, maka anaknyalah yang berhak menggantikannya. Tetapi isterinya yang kedua menjadi iri hati meskipun anaknya sudah mendapat kedudukan menjadi Bekel di padukuhan Babadan. Sebuah padukuhan yang terhitung besar."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik napas panjang. Bagaimanapun juga. maka hadirnya dua orang istri di dalam satu keluarga akan menimbulkan persoalan. Jika bukan karena persoalan kedua orang perempuan itu sendiri, maka persoalan anak-anaknya akan dapat mencuat kepermukaan. Bahkan mungkin cucu-cucunya akan dapat membawa persoalan yang berkepanjangan.
Demikianlah, maka pada hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan akan bermalam di kademangan Prancak. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jagabaya, maka lewat senja Glagah Putih dan Rara Wulan telah diajaknya menemui Ki Bekel di rumahnya.
Ternyata sikap Ki Bekel terhadap kedua orang suami isteri itu cukup ramah. Nyi Bekelpun telah ikut menemui mereka pula setelah menghidangkan minuman dan makanan.
Ki Jagabayapun kemudian telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang dalam perjalanan pengembaraannya.
"Mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Bekel."
"Di Tanah Perdikan Menoreh " Jadi kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Ki Bekel."
"Tanah Perdikan yang besar dan kuat. Aku telah pernah mendengar beberapa nama yang besar dari para pemimpin di Tanah Perdikan itu."
"Mereka memang orang-orang yang menonjol di Tanah Perdikan Menoreh, Ki bekel. Tetapi hanya berlaku di Tanah Perdikan Menoreh saja. Diluar Tanah Perdikan, mereka bukan apa-apa. Yang terbaik di Tanah Perdikan tidak lebih dari mereka yang berada di tataran yang terbawah bagi daerah lain yang memiliki orang-orang yang berilmu sangat tinggi."
Ki Bekel tertawa. Katanya, "Kau adalah seorang yang rendah hati. Tetapi justru orang-orang yang rendah hati itulah yang memiliki banyak kelebihan."
"Apalagi kami Ki Bekel. Tetapi kami mempunyai modal yang dapat kami banggakan. Kami mempunyai kemampuan berlari cepat. Sehingga dalam saat-saat yang gawat, kemampuan kami itu dapat kami pergunakan."
Hantu Santet Laknat 1 Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur Hina Kelana 28