Pencarian

Maya 3

Maya Karya Ayu Utami Bagian 3


yang sudah besar yang ikut menggarap sawah.
Saya sangat suka membaca dan di rumah banyak buku dan majalah; saya sering sok tahu. Saya suka menerangkan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia atau Inggris untuk bagian-bagian tanaman padi, seperti yang saya baca. Daun punya lidah, telinga, kerah, dan pelepah. Indah bukan" Bahasa Inggrisnya: ligule, auricle, collar, dan sheath. Setangkai malai padi tumbuh dari ruas di atas daun benderanya. Pada tangkai malai ini bercecabangan tangkai bulir. Di sana bulir-bulir padi melekat. Dari bagan pula saya tahu ada biji padi yang pendek dan yang panjang, yang berekor seperti tikus dan yang tidak. Ada padi indica, japonica, javanica. Paklik Bandowo selalu menganggap saya lebih hebat dari anak-anaknya, sangat hebat, dan saya senang sekali.
Di sekolah kami belajar tentang padi varietas unggul yang dikembangkan oleh IRRI. Varietas unggul itu diberi nama IR 8, IR 9, IR 10, dan seterusnya. Saya pernah mengetes guru saya dan bertanya, IRRI singkatan dari apa. Guru saya agak gugup dan menjawab bahwa RI di belakangnya adalah Republik Indonesia. Begitu juga nama varietas unggul itu adalah singkatan dari Indonesian Republic atau Indonesia Raya. Saya senang sekali bahwa ia salah. Tapi saya sudah diperingatkan oleh ayah saya bahwa saya tidak boleh membodoh-bodohi orang lain, apalagi guru. Biarpun saya lebih pintar. Jadi saya diam saja. Meskipun itu terasa aneh: bukankah saya membiarkan kesalahan"
IRRI bukan lembaga negara Republik Indonesia. IRRI adalah International Rice Research Institute yang berkantor di Philipina. Institut ini dibiayai oleh lembaga Amerika Serikat: Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Di sana mereka menciptakan varietas padi unggul untuk disebarkan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, supaya dunia tidak kena wabah kelaparan. Gerakan ini dinamakan Revolusi Hijau. Katanya, Revolusi Hijau ini juga untuk mencegah penyebaran
komunisme. Kalau orang kenyang, orang tidak bisa dibujuk oleh komunisme.
Di sekolah, kami belajar tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun. Tentang swasembada pangan. Lalu, di luar sekolah kami juga melihat Kepala Desa meminta petani untuk menanam hanya varietas unggul IR tadi. Di sekolah maupun di luar sekolah kami belajar bahwa padi jenis itu bisa membuat ada panen tiga kali dalam setahun.
Pada waktu itu ada satu pasukan AMD yang masuk lagi ke Sewugunung. Mereka membangun jalan dan jembatan. Bangunan yang dibuat ditulisi AMD. Ayah suka mengajak saya hadir dalam upacara dan pertemuan dengan pimpinan desa dan komandan pasukan. Tapi saya juga dengar bisik-bisik bahwa mereka mengebiri teman-teman saya di padepokan.
Suatu hari saya mendengar bahwa Indonesia sedang menargetkan swasembada pangan. Target itu harus dicapai dalam Pelita (Pembangunan Lima Tahun) ini. Poster besar telah dipasang: lukisan Presiden memakai caping dan memeluk seikat padi di antara sawah. Poster itu besar sekali, paling besar yang pernah ada di desa kami. Lebih besar dari spanduk film di bioskop. Sudah kelihatan dari jauh. Di bawahnya Kepala Desa Pontiman Sutalip dan Komandan yang saya tidak tahu namanya memberi pidato bergantian.
Mereka menginginkan agar Sewugunung turut menyumbang pada swasembada pangan. Sewugunung harus menjadi penghasil padi gemah ripah loh jinawi. Karena itu semua petani harus menanam varietas unggul, yang bisa membuat panen tiga kali setahun itu. Saya tidak mau lagi ada petani menanam padi yang lain! Yang lain itu tidak efisien lagi! Ingat, kita harus mensukseskan program pemerintah swasembada pangan!
Di perjalanan pulang, ayah saya dan Paklik Bandowo bercakap-cakap tentang itu. Frater tahu, ayah saya menanam padi purba kadang orang menyebutnya padi Majapahit di
padepokan. Ia mau memelihara padi nenek moyang. Ia tak mau ikut-ikutan beralih kepada padi bikinan laboratorium. Seperti bayi tabung, kata Ayah, ada jiwa yang hilang. Ayah bilang kepada kami, ia mau terus menanam padi purba di sawahnya. Paklik Bandowo menyahut, ia juga akan melakukannya di sawahnya. Ayah berkata, Kamu tak perlu. Sawahmu kecil dan berada di sebelah sawah-sawah yang di bawah pengawasan Bimas, koperasi, dan lain-lain aparat desa. Apalagi ada tentara. Tidak apa, kata Paklik Bandowo. Tidak usah! sahut Ayah. Tapi nadanya seperti agak meremehkan; maksud saya, ayah seperti menegaskan bahwa Bandowo hanya orang kecil. Mungkin maksud Ayah adalah bahwa Ayah tidak akan diganggu, sebab ia guru spiritual yang punya hubungan dengan pusat. Tapi Frater tahu, orang Jawa sangat halus perasaannya.
Agaknya, untuk menunjukkan kesetiaan dan martabatnya, Paklik Bandowo menanami sawahnya dengan padi nenek moyang. Sebulan setelah masa tanam, kelihatanlah bahwa yang di sawahnya bukanlah varietas unggul modern yang diminta pemerintah.
Suatu hari ia pulang ke rumah dan mendapati kemenakannya tidak ada, diambil tentara. Istri dan anak-anaknya menangis, karena si kemenakan dianggap membangkang pemerintah. Dianggap makar, menentang pembangunan. Bandowo pun mendatangi tempat penahanan, di markas Koramil, bermaksud membebaskan anak itu. Apa yang terjadi setelah itu, sungguh sakit saya menceritakannya. Setelah keduanya diinterogasi, kemenakan itu dilepaskan. Tapi Paklik Bandowo dibawa ke suatu tempat... dan di situ tangannya dipotong. Telapak tangan kanannya hingga ke pergelangan dipotong. Saya masih menangis setiap kali menceritakan ini. Lihatlah, air mata saya melunturkan tinta.
Ayah sedang ke Jakarta, dan saya masih terlalu kecil untuk langsung mengerti. Ada keributan, lalu beberapa orang dewasa
naik ke dalam mobil dan pergi. Esoknya saya menengok Paklik Bandowo di rumah sakit; ia tak memiliki telapak tangan kanan lagi.
Saya bingung sekali. Dan saya mendengar bahwa telapak tangannya hilang. Sorenya Ayah pulang. Ia memanggil teman saya yang tinggal di padepokan, si Tuyul, dan menyuruh si Tuyul menemukan telapak tangan itu. Kata Ayah, ia sudah membukakan si Tuyul kepada suatu ilmu. Ia ingin sekarang si Tuyul menggunakannya. Dan memang malam itu juga si Tuyul kembali sambil berpegangan dengan sepotong telapak tangan.
Kejadian itu menghancurkan hati saya. Saya merasa ada yang menyengat hati saya api atau air keras sehingga hati saya jadi cacat. Saya merasa jadi orang cacat sekarang. Saya teringat Frater. Frater mengenal Paklik Bandowo juga, dan saya mengharapkan Frater berdoa untuk dia.
Rahayu dan sembah kasih, Parang Jati w isanggeni menitikkan air mata. Surat itu terlambat di bacanya. Sudah setahun lewat. Setiap penderitaan adalah salib. Dan ia gagal menemani anak itu memanggul salibnya. Anak itu telah menjerit kepadanya dan ia tidak mendengar. Sebab ia terlalu sibuk ditahbiskan. Wis merasakan senyap yang merayap dari jurang mengerikan di bawah kakinya; keimamannya membuat ia tidak bisa mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan. Parang Jati kecil telah selesai menjalani jalan salib pertamanya, dan ia tak pernah ada untuk meringankan kekejaman yang sulit dipercaya.
Ia duduk di meja kecil kamarnya, mencoba menulis surat, meminta maaf. Ia malu melihat bahwa air matanya lebih banyak membasahi kertas daripada tinta. Adikku Parang Jati yang kukasihi...
1990. Sekarang ia dan Parang Jadi sudah lama tak berkirim surat. Tak apa. Mungkin anak itu telah beranjak jejaka dan tak ingin mengidolakan Wis lagi. Mungkin sang jaka telah menemukan pahlawan baru, atau telah menemukan diri sendiri. Begitulah anak-anak bertumbuh. Yang senior hanya mengisi hati mereka sementara waktu.
Sesekali Wis mendoakan Parang Jati. Semoga anak itu bertumbuh, seperti taruk yang tangguh. Semoga hujan tak membuatnya lembam dan kemarau tak membikinnya kering. Semo ga Engkau merawatnya lebih daripada aku merawat pohon-pohon karet, yang enam tahun lalu kutanam dan kini telah gagah serta menyediakan getahnya bagi petani.
Bocah itu berarti. Enam tahun yang lalu, surat Parang Jati kecil yang tertunda merupakan tanda paling kuat bagi Wis bahwa ia tak boleh lagi berpaling dari yang sedang paling menderita. Ia lupakan batu dengan wajah Upi. Tak ia romantisir ayatayat yang terbuka malam itu. Yang baginya menjadi cambuk adalah surat si kecil Parang Jati. Ia kembali ke gubuk di tepi hutan karet. Sejak itu ia tak pernah meninggalkan petani karet Lubuk Rantau, dari mana Upi berasal. Perempuan berwajah ikan. (Tapi barangkali perempuan itu adalah ikan pamali. Siapa bersentuhan dengannya akan terkena kutuk.)
Hidup mengalirkan makna, ia merasa Tuhan baik padanya. Uskup mengabulkan permohonannya untuk berkarya di per ke bunan. Itu berkah yang luar biasa, sebab seorang imam ber kaul untuk tunduk pada atasan. Ia tak bisa bertindak tanpa per setujuan atasan. Di antara sejawat dan umat ia mulai di kenal sebagai Romo petani karet. Seperempat waktunya dalam sebulan ia membantu urusan Gereja di Perabumulih. Tigaperempatnya untuk pemberdayaan petani, demikian istilah yang mulai dipakai di zaman itu.
Ia tetap terpikat pada Teologi Pembebasan. Gereja tak bisa
hanya sibuk mengurusi ritual dan tutup mata pada ketidak adilan. Dalam hal ini, ketidakadilan yang melahirkan kemis kinan struktural. Iman adalah keberpihakanmu pada yang teraniaya. Setiap kali kembali ke kota, ia mencari perkembangan tentang itu. Ia berhasil mendapatkan buku Gustavo Guit"rrez, pater dari Peruvia, A Theology of Liberation, yang menjadi semacam piagam pemikiran dan gerakan ini. Sebuah buku dari tahun 70- an yang tetap mendebarkan baginya. Perdebatan tentang hal itu tidak lagi sesengit di tahun 80-an. Departemen doktrin Vatikan tidak terlalu cerewet lagi. Barangkali karena keadaan dunia telah berubah. Perang Dingin, perang terselubung antara Blok Barat dan Blok Timur, telah selesai dengan keruntuhan rezimrezim komunis. Tembok Berlin dihancurkan tahun ini dan Uni Soviet, yang semula adidaya, sedang menuju keretakan yang pasti. Vatikan tak lagi senewen untuk membersihkan pengaruh Marxisme pada Teologi Pembebasan.
Wis membaca. Di negara-negara Amerika Latin, yang menjadi asalnya, gerakan-gerakan ini mulai berubah bentuk. Dari perlawanan menjadi pemberdayaan. Praksis itu telah berkembang pula ke Asia, terutama negara di mana kemiskinan masih merajalela. Sesungguhnya itulah yang Wis coba lakukan: memberdayakan. Tapi kadang ada kesedihan yang merambang. Di Amerika Latin, perubahan itu terjadi beriringan dengan jatuhnya junta-junta militer, dan negeri-negeri di benua itu beranjak demokratis. Di saat-saat begitu ia teringat Bandowo, lelaki bersahaja penjaga meja resepsionis di wisma tamu Padepokan Suhubudi. Bandowo yang kehilangan telapak tangannya, hanya karena menanam padi bukan varietas unggul sementara aparat desa sedang cari muka kepada pusat dengan menjadikan daerahnya penghasil beras. Ia mendengar bahwa prajurit yang masuk ke Sewugunung itu baru pulang dari daerah operasi militer Aceh dan Timor Timur. Ia tak mengerti kenapa penghinaan dan kekejaman terjadi. Dan kapankah
negeri ini memiliki demokrasi" Belakangan, diam-diam orangorang mulai memimpikan jatuhnya Sang Jenderal, Presiden Soeharto...
Ia membelokkan motor trailnya di tikungan kecil yang tampak liar. Dari sana masih dua kilometer lagi menempuh jalan tanah berbatu, di antara jajaran pokok-pokok karet yang kelabu putih, sebelum ia tiba di Lubuk Rantau. Tapi hatinya lebih bergejolak ketimbang motor yang terpental-pental pada bongkah-bongkah. Apa yang terjadi pada Bandowo kini terasa mendekat. Ia barangkali tidak akan kehilangan telapak tangannya. Tapi, perasaan itu menguat: bahwa ia akan kehilangan apa yang telah ia bangun di sini. Seluruh perkebunan ini. Ia merasa tak berdaya.
Sepanjang perjalanan ia melihat: hutan-hutan tropis lama yang hijau rapat, juga kebun-kebun karet, telah dipapas dan berganti menjadi lahan kelapa sawit yang disiplin dan berjarak. Ia bisa merasakan hawa panas yang mengalir dari lorong-lorong jajaran palma itu. Sisa jeritan lutung dan segala hewan yang musnah. Pohon-pohon itu mengenakan baju zirah, seragam. Mereka berbaris berderap-derap menuju Lubuk Rantau, untuk menaklukkannya menjadi sama seperti mereka.
Upi menandak-nandak riang dari dalam kandangnya melihat Wis datang, sama sekali tak menyadari bahaya. Wis telah membangun sangkar yang besar dan bagus, sebagai ganti kotak pasungan yang berlumur tinja dan kencing dulu. Gadis itu seekor hewan yang tak tertebak, bisa jinak bisa buas mendadak, dan Wis pawangnya. Gadis itu dulu menyiram wajah abangnya dengan air api hingga lumer setengah. Gadis itu juga kerap hendak menangkap gumpalan pada kelangkang Wis. Wis menyayanginya, tapi ia tak bisa tidak mengambil jarak. Kadang ia berkata dengan matanya kepada si gadis dari balik jeruji: Lihatlah, Upi. Kuperbaiki perkebunan karet di sini
dan kubangun rumah asap serta pembangkit listrik kecil karena kamu. Jika aku berjasa pada para petani di sini, sesungguhnya kamulah yang berjasa. Kalimat itu biasanya membuat hatinya sendiri bungah; terutama jika sedang melihat panen getah yang indah. Tapi kali ini tidak.
Zaman berubah cepat. Minyak sawit kini telah menjadi komoditas utama perdagangan. Karet mulai ditinggalkan. Atas nama pembangunan, pemerintah dan pemodal besar membabat hutan dan mengubah kebun karet menjadi lahan kelapa sawit dengan kekuatan yang mengerikan. Wis gemetar. Pola yang sama akan berulang: yang dulu berlangsung di Sewugunung akan berjalan di Lubuk Rantau. Dulu, di Jawa, sawah harus ditanami padi varietas unggul . Kini, di Sumatera, perkebunan harus ditanami kelapa sawit. Ia gentar, sebab akal sehatnya tahu bahwa monster itu tak bisa dilawan. Kau kecil dan monster itu digdaya. Ada memang dalam hidup ini suatu kekuatan duniawi yang, jika ia datang, kau hanya bisa bernegosiasi. Atau kau melawan dan mati.
Padahal para petani karet Lubuk Rantau baru saja menikmati kemajuan usaha desa. Akankah mereka harus kehilangan tanah dan menjadi sekadar buruh penggarap dalam industri sawit" Betapa tidak adil. Tapi apa yang bisa ia buat" Wis sebetulnya berpikir untuk melakukan negosiasi yang cukup menguntungkan dengan perusahaan yang telah menawar beli kebun karet itu: Anugerah Lahan Makmur. Tapi perkebunan karet itu bukan ia pemiliknya, dan para petani berhak untuk menentukan nasib sendiri. Akhir-akhir ini ia sering sekali mengundang para petani karet untuk berembug. Ia ajak mereka menghitung untung-rugi yang masuk akal. Serta cara jual beli yang tidak dipecundangi. Tapi para petani baru saja bangga dengan hasil penjualan karet. Mereka sangat heroik dan mengambil keputusan untuk tetap menjadi petani karet. Wis menggigit bibir. Apapun salib yang dipilih para
petani, ia ingin ikut memanggulnya. Ia tahu, cepat atau lambat, dalam hari-hari ini, perusahaan sawit itu akan mengirimkan mesin-mesin besarnya untuk meluluh-lantakkan desa. Dan aparat keamanan mengiringi mesin-mesin itu. Ia begitu cemas sebenarnya. Pada saat-saat begini, ia merasa Kristus memberinya kekuatan. Ia tahu apa arti memikul salib. Artinya kau tidak bicara soal keberhasilan. Yang ia lakukan enam tahun ini adalah hal yang baik. Untuk memberdayakan keluarga Upi, ia memperbaiki kebun dan membangun pengolahan lembarlembar karet. Untuk itu ia harus betul-betul berhitung dan menjadikan keberhasilan sebagai target. Ia tak boleh buangbuang uang dan waktu. Ia harus membuat proposal kepada Uskup dan bersedia dinilai berdasarkan ukuran pencapaian. Itu adalah hukumnya. Tapi bukan salibnya.
Salibnya baru bermula sekarang. Yaitu ketika kau sematamata menyerahkan dirimu karena cinta. Kau akan menderita. Kau akan kalah. Kau akan menjerit: Abba ya Bapa, mengapa Engkau meninggalkan aku. Dan kalaupun kau bangkit, kau akan berubah bentuk. Kau tak akan sama lagi. Kau tak akan memiliki lagi dirimu yang kau akrabi. Kau hanya akan bangkit dalam bentuk yang tidak kau ketahui.
Lubuk Rantau itu berubah menjadi Taman Getsemani. Setan akan menggodanya dengan nalar dan segala trik cerdik yang membuat ia bingung. Seperti Kristus di malam seusai perjamuan, ia berjalan ke landai yang meninggi, mencari di antara rindang sebuah tempat yang agak bersih dan terbuka. Ia bisa memandang ke arah rumah dan kandang Upi. Di sana ada sebilah batu besar sehingga ia bisa duduk dan berdoa. Cecabang tidak singgah ke sana sehingga cahaya malam masih memberikan terangnya. Tapi di sekitarnya adalah gelap.
Telah sejauh ini, dan ia teringat ketika semuanya berawal. Ia berada di dalam gereja. Lengkung-lengkung menyangga kubahnya bagai rerusuk ikan purba raksasa. Ada cahaya,
menerobos dengan aneh, lewat jendela-jendela yang jauh. Terang jatuh. Ia merebahkan diri mencium lantai. Litani orang kudus. Ia mengucapkan kaulnya: untuk hidup miskin dan murni bagi Kristus. Dinding memantulkan gaung, tapi relung mencuri dan menyimpan kata-katanya. Ia menjadi gentar. Sebab di ceruk-ceruk dan lipatan itu sembunyi sang iblis, di pori-pori tempat yang sekalipun teramat suci.
Iblis-iblis kecil yang telah dibekukan sebagai corong air di lekuk atap masih bisa melirik dan berbisik. Suara mereka seperti gema yang tak bisa ditelusuri asalnya. Mereka terkekeh dan berkata: jadi sekarang kau sudah mulai menyukainya" Kau sudah jatuh cinta padanya" Kau sudah mendapatkan kenikmatan dari wajah ikannya kan"
Wis gemetar. Sebab detik ini ia ingin melakukan satu hal. Ia ingin turun dari landai dan masuk ke dalam kandang yang ia bangun sendiri, berisi makhluk yang denyutnya tak terprediksi. Ia tahu perempuan berkepala ikan itu secara periodik menginginkan lelaki. Dan perempuan itu selalu punya mata untuk mengincarnya. Ia ingin menyerahkan diri kepada perempuan itu sekali saja, terakhir kali membiarkan tubuh lelakinya dilucuti dan dihisap habis sebelum mereka samasama musnah.
Dan iblis-iblis kecil menyamar jadi belibis. Ataukah ikan bilis. Mereka mengeluarkan suara seperti desis, sebab keinginan berkorban telah diubah menjadi kenikmatan. Mereka begitu cerdik, bisa mengubah segala hal menjadi nikmat. Atau mengubah segala jerih payah menjadi motif-motif rendah. Segala yang baik yang kau lakukan itu menyehatkan kebun karet, membangun kincir dan rumah asap tidakkah kau lakukan sesungguhnya untuk perempuan ikan" Wis ingin membantah, ia akan tetap melakukannya sekalipun makhluk itu bukan perempuan.
Kau ingin melakukannya karena ia buruk rupa. Lihat,
rautnya yang jelek membuat engkau meragukan keadilan Tuhan. Wajah itu tidak simetris. Sepasang matanya tidak sepakat mengenai apa yang dilihat. Hidungnya demikian kecil, mengingatkan engkau pada janin. Dan mulutnya ingin terus mengisap, seperti ikan yang senantiasa haus. Kau merasa melihat makhluk air, ataukah bayi belum jadi yang diawetkan dalam tabung formalin. Kau ngeri. Pada awalnya. Kau jadi ragu pada tuhanmu. Kau ingin mengunggulkan dirimu atas Tuhan dengan mencintainya. Dia telah diciptakan jelek seperti setan, tapi kau tetap mencintainya. Maka, ada suatu ambang, yang tak pernah kau ketahui, di mana kengerian terlewati. Lalu rupa mendapatkan makna yang tak kau duga. Dan kau jadi menyimpang. Kau kini berkata: ia manis juga. Ha! Kau mulai berhasrat kepadanya!
Wis ingin menjawab: Aku mau mencintainya dengan telanjang. Yaitu ketelanjangan di mana birahi tak dicari tetapi juga tidak disangkal. Tapi ia sedang gentar dan tak percaya diri. Sebab ia memang berharap bahwa manusia bisa melihat keindahan pada yang dianggap buruk rupa. Ia seperti bermimpi: ia melihat sebuah pertunjukan: wayang orang-orang deformasi, dan Upi menari di sana. Gadis itu meliuk dan melompat, ringan seperti balerina. Wis menitikkan air mata. Sebab Upi merasa cantik dan bahagia. Tapi namanya bukan Upi, melainkan Maya...
Jatuh tertidurkah ia saat berdoa" Ataukah itu suatu dunia yang pararel"
Begini saja. Jika kau memang mencintai perempuan ikan itu, kenapa yang kau dengarkan adalah abang-abangnya" Merekalah yang bernafsu mempertahankan kebun karet ini. Kau tahu penyakit lelaki: mau menunjukkan kegagahan! (Seperti si bodoh Bandowo itu: mau memamerkan martabat!) Mengapa kau pertaruhkan keselamatan gadis itu untuk pertarungan kejantanan ala lelaki" Harusnya kau selamatkan perempuan
gila yang manis itu. Kau taruh di rumah sakit jiwa, atau kau kirim pada para biarawati. Suruh mereka merawatnya. Wahai, mengapa kau pakai bahasa lelaki, bukan bahasa perempuan" Tidakkah kau mengambil salib yang salah"
Keringatnya menetes-netes seperti darah jatuh ke tanah. Ia tak ingat lagi, apakah ia sedang berdoa, atau sedang berada bersama-sama para lelaki desa itu menghadapi truk yang telah tiba. Salib yang salah. Bahasa lelaki. Matanya ditutup dan tangannya dijerat.
Di belakangnya terdengar suara-suara pasukan membakar rumah-rumah penduduk. Orang-orang menjerit menyelamatkan diri. Ada satu yang pasti tidak bisa keluar dari surga kecil tempat ia tinggal, sebab pintu kandang itu dikunci dari luar. Api melahap, dengan suara gemretuk, kayu-kayu dan apapun yang tak bisa bersuara lagi.
k amu bukan F rater Wis lagi.
Aku bahkan bukan Romo Wis lagi. Ada sedih dalam suara
itu. Saman, Yasmin berucap sambil mengelus alis lelaki itu. I love you.
Jendela menampakkan langit akhir musim semi di kota New York. Biru yang nyaris tak pernah ada di Jakarta. Mereka berciuman dalam bau bangun tidur yang hangat. Tahun berapa ini"
1996 bukan" Sama dengan di Indonesia" Tidak ada perbedaan waktu" Mereka berciuman lagi.
Saman! Dulu aku bukan meniduri seorang romo, kan" Yang semalam kamu tiduri sudah pasti bukan. Tapi dulu" Dua tahun lalu" Waktu aku menyelundupkan kamu ke luar dari Medan untuk ke pelabuhan dan kamu melarikan diri dari Indonesia. Apakah waktu itu kamu masih romo atau bukan"
Aku kira aku sudah mati sebagai Romo Athanasius Wisanggeni.
Dan kamu bangkit sebagai Saman.
Saman tertawa. Tapi aku tidak bangkit pada hari ketiga. Aku mati berbulan-bulan lamanya. Ia ingin berkata: Aku tidak bangkit dengan jaya. Aku zombie yang terkutuk untuk selalu berjuang mengatasi infeksinya. Di jantungku ada luka. Borok sebesar Upi. Kerap, saat ia tersadar akan luka itu, teringat olehnya seorang anak: Parang Jati, yang sejak bocah menggambarkan kekejaman yang ia saksikan sebagai air api yang membakar hatinya hingga cacat selamanya. Tapi Saman tak mengatakan semua itu. Ia tak mau merusak kedatangan Yasmin dengan percakapan sedih. Ia telah belajar untuk menikmati hari ini.
Bolehkah aku minta dimanja" katanya pada kekasih gelapnya. Aku ingin disiapkan sarapan.
Breakfast! Yasmin bangkit dan mengecup dahinya seperti pencuri. Continental" American" Or Indonesian" Sarapan ala Jawa.
A-ah! Tidak boleh cuma Jawa! perempuan itu protes. Kamu ini kecil di Sumatra, dewasa di Sumatra, seleranya kok Jawa terus. Payah orang Jawa itu! Medok! Aku bawakan kamu nasi jaha. Hari ini aku belanja dan besok aku buatkan bubur Menado!
Asyik. Tapi pagi ini nasi jaha dengan tempe bacem cocok ndak" Dan pisang goreng!
Pisang goreng pakai sambal ya!
Yasmin menyeringai, mengenakan singlet dan celana dalam lalu berlari ke dapur. Apartemen itu kecil, tapi Saman selalu rapi kebiasaannya sejak di seminari. Kecuali pagi ini. Koper Yasmin masih tergeletak menganga. Baju-baju semalam berserakan di lantai. Dorongannya adalah untuk merapikan. Tapi tak jadi ia lakukan. Dalam berantakan itu ada kenangan
semalam. Aroma kopi telah meruap ke semua ruang. Bau ketan berempah menyusup keluar dari microwave bersama bunyi ting. Yasmin sungguh-sungguh menggoreng tempe bacem, dan kemudian pisang goreng, yang mentahnya ia bawa dari Indonesia. Rambutnya yang telah diikat ke atas mengilatkan percik-percik pantulan cahaya dari atap bangunan sebelah. Ia mengenakan celemek yang menutup di depan, tapi bokongnya menyembul dari celana dalam yang sporti. Saman ingin menjamahnya tapi tak berani. Ia duduk menanti di meja makan, membayangkan diri suami yang santun. Seorang family man.
Bon app"tit, kekasihku. Lalu Yasmin membujuk Saman untuk mencoba pisang goreng dengan sambal, seperti kebiasaan keluarganya dari Menado. Ayolah! Anggap ini tantangan!
Saman tertawa. Tantangan apa lagi yang harus kulewati" Dengan kamu pun aku sudah kalah berkali-kali. Aku tak perlu membuktikan apa-apa lagi. Dalam hidupku ini aku tidak punya gengsi. Saman membersihkan sambal dari pisangnya dengan tisu dan memakannya.
Yasmin terdiam sebentar, tak begitu faham. Buat dia, citra adalah hal yang penting. Ia tak akan membiarkan dirinya tampak kurang bergengsi di hadapan orang. Tapi ia juga tak begitu peduli. Dalam luka-lukanya, lelaki itu selalu menarik baginya.
Jadi, besok lusa kita berangkat ke Washington DC" tanya Yasmin.
Saman telah mengurus pendaftaran konferensi serta membeli tiket pesawat dan hotel jauh hari agar murah. Sejak dulu ia biasa hidup sederhana. Sekarang, dengan pekerjaannya yang berdasarkan kontrak di Human Rights Watch, ia memang harus sederhana.
Tema besarnya mengenai rekonsiliasi. Keynote speech oleh Nelson Mandela.
Wow! Wah! Kita akan melihat dia" Dia orang yang sangat hebat!
Sangat. Menakjubkan. Nelson Mandela dijebloskan dalam penjara yang kejam oleh rezim apartheid selama dua puluh delapan tahun. Ia mengalami dan melihat begitu banyak peng aniayaan dan penghinaan. Tapi ia tidak rusak. Hatinya tidak rusak. Saman termenung sebentar. Rezim mencoba mem bunuh jiwanya. Ia bangkit dengan jaya. Bangkit tanpa kebencian.
Yasmin pun terdiam sebentar. Saman, apakah kamu membenci..."
Entahlah. Tidak. Tidak tahu. Mungkin bukan karena aku mulia, tapi sekadar karena aku tidak tahu siapa yang harus kubenci. Mataku kan mereka tutup... Aku takut bahwa aku membenci diriku sendiri.
Kenapa" Kamu kan berbuat baik"
Saman hanya menggeleng. Tidak menjawab. Kalimat itu menghantuinya: tidakkah kamu mengambil salib yang salah"
Lalu ia mengatakan sesuatu yang lain, tak peduli akankah Yasmin faham. Kita membutuhkan penebus sebab kadangkadang kita ingin berbuat baik tapi itu pun salah.
Salib yang salah. Ia teringat suatu petang. Ia mengendap-endap seperti seorang gembel hendak mencuri. Rumah pastor itu senyap, lebih dari biasanya. Lampu-lampu belum dinyalakan. Ia duga pastor kepala, Pater Westenberg, sedang pergi. Ia ingin membunyikan bel, tapi tak berani. Rumah itu mungkin masih dimata-matai. Namanya tercatat dalam daftar aparat perihal orang-orang yang terlibat dalam kerusuhan Lubuk Rantau . Polisi dan perusahaan menyebut ia pelaku. Lembaga Bantuan Hukum menyebut dia
korban. Athanasius Wisanggeni; pekerjaan: rohaniwan Katolik; domisili: Perabumulih. Ia pergi meninggalkan halaman. Berdiri dan mengintai dari sudut jalan.
Setengah jam kemudian mobil Pater Westenberg memasuki pekarangan. Ia berlari sambil menyelidik, adakah pemimpinnya itu sendirian. Ketika pria Belanda itu keluar dari kendaraan, Wis menyapa, menyembunyikan genting suara. Wajah atasannya tampak sangat terkejut, tetapi lelaki itu juga cepat berpura-pura sejuk. Mereka masuk ke dalam lewat pintu belakang.
Kamu tahu kamu masih dalam daftar pencarian, Pater Wis"
Saya tahu, Pater. Apa yang mendesak sekarang"
Wis menjawab dengan berat. Saya... mau mengaku dosa. Dan saya mau mengambil beberapa barang penting yang masih tertinggal.
Westenberg menarik napas dalam-dalam sambil mengamati kolega mudanya yang akan segera pergi. Baiklah. Duduklah di sebelahku dan kita mulai pengakuan.
Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Wis menceritakan semua yang bisa ia ingat dalam Taman Getsemani-nya. Ia tak sanggup menahan air matanya tatkala akhirnya ia bisa mengatakan yang terberat itu: salib yang salah. Barangkali aku telah mengambil salib yang salah.
Berdoalah dengan doa apapun yang meringankan bebanmu.
S-saya tidak bisa berdoa lagi, Pater.
Pater Westenberg memandanginya dalam-dalam, sebelum berkata, Baiklah. Saya akan berdoa untukmu... Tapi kamu, cobalah saja.
Lalu Westenberg membuka kunci kamar Wis dan menyilakan pemuda itu masuk. Ambillah yang wajar. Jika kamu
ambil semua yang penting, mereka akan tahu bahwa kamu memang berencana untuk melarikan diri dan bukan hilang.
Wis tercenung sejenak. Lalu ia meninggalkan dokumendokumen formal, dan membawa hanya yang bernilai intim. Surat-surat ayahnya. Juga surat Parang Jati dan batu berisi wajah Upi. Ketika itulah ia sadar apa yang dikatakan Suhubudi: dalam batu itu ia menemukan wajah yang akan mengubah hidupnya.
Siapa namamu sekarang, anak muda" tanya Pater Westenberg.
Saman. Sudahlah. Mari kita lihat rincian jadwal konferensinya, kata Saman lagi, kali ini dengan nada yang diceriakan. Tapi ingatan tentang Upi melintas sekilas-sekilas.
Amerika Latin adalah contoh yang bagus sekali buat Indonesia, kata Yasmin sambil menyimak brosur. Kita harus membikin kontak dengan orang-orang ini. Kita harus belajar dari mereka. Ia membaca jadwal presentasi para tokoh dari beberapa negara Amerika Selatan tentang pendataan orang hilang dalam rezim militer dan proses rekonsiliasi yang mereka tempuh. Kurang apa lagi" Junta militer di sana didukung penuh Amerika Serikat. Rezim Soeharto juga. Semua itu untuk memerangi komunisme. Bagian dari Perang Dingin. Junta militer akhirnya satu per satu dijatuhkan, kejahatannya dibuka, dan korbannya didata. Pengadilan dilangsungkan. Bukan demi dendam, tapi demi keadilan. Agar tidak terjadi lagi di masa depan. Ah, indahnya!
Yasmin dan Saman sama-sama melamun. Setelah itu mereka menyeringai kering, seolah menyadari masih betapa jauh impian itu bagi negeri mereka.
Bisakah kamu bayangkan bahwa Orde Baru jatuh, lalu pem bunuhan massal terhadap orang-orang PKI dan yang diduga komunis itu diakui dan dibuka di Indonesia" Ada ratusan ribu hingga lebih dari satu juta orang! Belum lagi kasus-kasus berikutnya. Lampung, Tanjung Priok, Aceh, Irian, Timor Timur....
Bisakah bangsa kita mengakui dosanya" Ah!
Dan pelaku-pelakunya diadili"
Sebetulnya, kalau Amerika Latin bisa, kenapa kita tidak bisa"
Keduanya terdiam. Saman, aku mau mengaku dosa padamu. Aku bukan pastor lagi. Dan aku rekan-berdosamu. Bukan itu.
Kalaupun aku masih pastor, tapi selama aku partner-insin kamu, menurut Hukum Gereja pengakuan dosanya tidak sah. Memangnya imam tidak berdosa.
Bukan itu! Aku mau ngaku dosa bahwa sebelum bertemu kamu, aku...
Kamu pernah tidur dengan lelaki selain Lukas juga" Bukan! Tidak! Sumpah mati, tidak. Kamu lelaki perta maku... y-yang aku berselingkuh. Aku belum pernah tidur dengan lelaki selain kamu... d-dan Lukas.
Saman terbatuk. Tapi bukan itu yang aku mau akui. Please. Aku mau bilang bahwa sebelum bertemu kamu, aku melakukan dosa pengabaian. Aku ignorant. Aku tidak tahu sama sekali kekejaman yang ada di balik kemajuan dan pembangunan Orde Baru. Aku tidak peduli. Tak mau tahu. Kupikir orang-orang yang vokal itu cuma orang-orang cari perhatian dan sok gagah. Kamu tahu penyakit lelaki: mau menunjukkan kegagahan! Aku tahu teman-teman aktivisku seperti itu. Mereka menantang-nantang karena
mereka mau pasang tampang...
Tapi Saman tersengat dengan aneh mendengar kalimat itu: Kamu tahu penyakit lelaki: mau menunjukkan kegagahan. Ia pernah mendengar kalimat itu. Pori-porinya meremang. Seandainya dulu ia tidak mendengarkan para lelaki, barangkali Upi tidak mati...
...Jadi kesadaranku terbuka karena aku jatuh hati pada seorang lelaki yang seharusnya tak boleh kusentuh. Kamu. Saman.
Kamu menyentuhnya. Aku menyentuhnya. Kamu nakal sekali.
Aku tidak nakal. Peristiwa yang sedang kita alami waktu itu terlalu intens.
Ya. Aku dalam pelarian. Aku menyelundupkan kamu.
Aku hendak melarikan diri dari Indonesia. Aku sungguh takut kehilangan kamu.
Saman dan Yasmin menarik nafas. Lalu keduanya saling menggenggam tangan. Yasmin hendak mengatakan sesuatu tapi Saman menempelkan telunjuk pada bibir perempuan terlarangnya.
Jangan tanya perihal dosa, Yasmin. Sebab kita memang berdosa. Terimalah itu.
Kita membutuhkan penebus. Saman memeluk kekasihnya erat-erat.
y asmin merasakan intensitas . Kehangatan mengalir di tubuhnya. Dadanya sepasang buah yang rekah. Kuncup-kuncupnya rancap dan peka. Ia melihat penampang bunga dalam dirinya. Sebuah tabung merah ranum berisi putik sari. Lalu serbuk dari benang-benang berbulu jatuh ke dalamnya dan menjadi muai, seperti sesuatu yang ditanak. Ia merasakan itu: rasa kesuburan. Ia mengira itu kepekaan menjelang menstruasi yang biasa. Hanya lebih peram. Tapi ia sedang terlalu sibuk untuk memikirkan siklusnya.
Di dalam rumahnya rumah mereka berdua: Yasmin dan Lukas kini bersembunyi tiga mahasiswa yang sedang diburu oleh aparat.
Ia merasa bersalah terhadap suaminya. Semakin Lukas Adi Prasetyo berkembang ke arah baik, semakin Yasmin Moningka merasa bersalah. Ia ingat, dulu mereka segera menikah begitu ia lulus kuliah sebab mereka tidak ingin lama-lama berzinah. Seks di luar perkawinan tetaplah hal yang tidak baik di mata keduanya. Mereka ingin menjadi keluarga yang benar, bisa
menyambut Tubuh Kristus tanpa halangan. Lukas, insinyur dari ITB, bekerja di BPPT. Yasmin bekerja di kantor pengacara. Pada tahun keempat perkawinan, sekalipun tetap pria yang bersemangat di ranjang, Yasmin merasa Lukas mulai menjadi kolot dan membosankan. Ia mengira itu pengaruh dari tempat suaminya bekerja, yang bagaimanapun adalah lembaga di bawah pemerintah. Kau tahu seperti apa semua yang berbau birokrat dan teknokrat. Pada tahun keempat Yasmin mulai tertarik pada hal-hal lain selain suaminya. Pada tahun kelima, ia bertemu Saman. Lalu ia merasa berhak jatuh cinta pada Saman. Sebab, lelaki itu begitu penuh idealisme dan pengorbanan, sementara Lukas sibuk dengan karirnya sendiri.
Tapi ini adalah tahun ketujuh dan Lukas berubah. Barangkali itu terjadi bersama kejenuhan atau kekecewaan pada lingkungan kerjanya. Orang-orang semakin sektarian, suatu hari ia mengeluh. Entahlah. Lelaki itu jadi lebih punya perhatian kepada dunia di luar bidangnya. Semakin Lukas jadi menyenangkan, semakin Yasmin merasa berdosa. Sekarang Lukas sendiri yang menjemput ketiga anak itu dari rumah persembunyian dekat kampus UI. Padahal lelaki itu dulu sangat tidak senang pada orang yang kerjanya menjelekjelekkan pemerintah. Ia menganggap tolol yang kagum dengan komunisme. Apa yang bagus pada komunisme" Lihat itu, yang paling dekat dengan negeri kita, rezim Pol Pot di Kamboja dan Kim Il Sung di Korea Utara. Kamu mau seperti itu! Begitu Lukas selalu berkata. Ia tetap menganggap setan komunisme. Tapi anak-anak kiri itu adalah manusia. Yasmin heran bahwa akhirnya Lukas bisa mengucapkannya. Mereka masih anakanak. Tak sepantasnya dihancurkan rezim.
Yasmin takjub bahwa kini suaminya sudah mau menyebut Orde Baru sebagai rezim. Itu mungkin terjadi semenjak pemerintah mencoba mengacaukan PDI dengan membuat
perpecahan dalam partai itu. Puncaknya adalah beberapa hari lalu. Peristiwa 27 Juli 1996. Kubu PDI yang didukung pe merintah menyerbu kantor PDI di Jalan Diponegoro. Kericuhan itu menyebar sebagai kerusuhan di daerah Jakarta Pusat. Terjadi perusakan dan pembakaran gedung-gedung di sekitar Salemba. Kekacauan memberi alasan pemerintah untuk bertindak. Itulah jebakannya. Itulah provokasi penguasa. Maka rezim memiliki alasan untuk menangkapi para aktivis mahasiswa yang selama ini suka membikin aksi menuntut demokrasi. Mereka dianggap dalang kerusuhan. Kebanyakan adalah mahasiswa kiri; yaitu yang mendapat insipirasi dari pemikiran Marxis. Di antara mereka ada adalah tiga anak dari organisasi Solidarlit. Kini, bahkan Lukas mempertaruhkan diri untuk menjemput ketiga mahasiswa itu dan menampung mereka sebelum pelarian berikutnya. Jika tertangkap, Lukas pun akan diseret ke pengadilan. Rasa hormat pada keputusan suaminya membuat Yasmin semakin didera rasa berdosa.
Tiga mahasiswa itu, satu putra keluarga Bali, satu anak Medan, satu dari Kediri. Usia mereka mungkin baru duapuluh atau duapuluh satu. Kemudaan yang mengharukan. Mata mereka masih naif dan optimistis, dan pipi mereka menyisakan kesegaran kanak-kanak. Dalam perjalanan mereka membisu. Mereka mulai berkicau ketika telah tenang di dalam rumah. Bagaimanapun Lukas mulai agak jengkel ketika bercakapcakap dan mereka mengeluarkan jargon-jargon ideologis. Lukas menganggap teori pertentangan kelas itu kuno dan simplistis, sementara ketiga anak itu berapi-api. Anak-anak itu berpendapat bahwa wong cilik pada dasarnya berhati mulia. Lukas membantah, jangan mentang-mentang orang cilik lantas pasti hatinya mulia. Jangan kira wong cilik tidak bisa busuk dan kerdil jiwanya. Semua juga manusia. Tak perlu diromantisir. Mereka duduk-duduk dalam suasana agak tegang selepas
makan siang. Jendela dibiarkan seperti biasa, tapi sesekali pemilik rumah mengintai keadaan di luar.
Lalu satu anak permisi untuk meminjam telepon. Untuk apa" tanya Lukas.
Saya mau mengirim pesan kepada abang saya, jawab si anak.
Sesungguhnya Lukas naik pitam, tapi ia berhasil menahan suaranya ketika berkhotbah. Apa kalian tidak waras" Kalian itu akan dikenai pasal makar dan kalian bisa dihukum 20 tahun lamanya. Mau kalian kehilangan masa muda hanya karena menelepon" Bukan karena berjuang, tetapi karena meremehkan perkara lantas menelepon. Istri saya mempertaruhkan keselamatannya, menyiapkan pelarian kalian ke luar negeri. Dan kalian mau mengirim pesan ke pesawat pager! Kalian tidak tahu nomer-nomer yang kalian akan hubungi itu diawasi intel" Ingat ya, orang-orang yang menolong kalian juga dalam bahaya. Pokoknya saya tidak mau ada satu pun di antara kalian yang membuat kontak dengan siapapun juga di luar rumah ini. Kalian akan dijemput besok atau lusa.
Malam itu Lukas tidak bisa tidur. Sekalipun ia telah mencabut kabel telepon. Dan Yasmin semakin disiksa rasa berdosa.
Yasmin telah merancang pelarian ketiga anak itu. Dulu ia melakukannya untuk Saman. Kini ia dan Saman mau melakukannya untuk ketiga mahasiswa. Saman akan datang dari Amerika Serikat melalui Singapura atau Malaysia. Ia akan menjemput ketiga anak itu di perairan Riau dan mereka akan keluar dari Indonesia melalui jalur TKI ilegal. Sementara itu, seorang kurir akan menjemput anak-anak ini dari rumah Yasmin dan membawa mereka naik kapal PELNI untuk bertemu Saman. Kurir itu bernama Larung Lanang.
Yasmin merasa di dalam tubuhnya ada yang meregang dan merekah. Hatinya seperti kembang yang dipetik dan disayatsayat. Ada yang begitu ranum, begitu indah. Tapi ada yang mengintai: ketidakpastian. Ada kehidupan, ada keputusasaan. Ia memeluk suaminya, mengucap terima kasih atas kesabaran lelaki itu. Saman hadir dalam benaknya, seolah mengabarkan bahwa ia telah kembali.
l elaki itu bernama Larung. Larung Lanang.
Seorang yang agak misterius, namun selalu tepat waktu. Sesungguhnya tepat waktu adalah bagian dari sisi misteriusnya, sebab hal itu tidak wajar di negeri ini. Yasmin pernah samar mendengar, ayah lelaki itu adalah tentara yang dibunuh di tahun 66 karena dituduh terlibat PKI. Sedangkan neneknya seorang dukun sakti yang tak bisa mati. Wanita itu hilang begitu saja dari tempat tidurnya, tatkala usianya mencapai seratus tahun. Cerita yang menarik.
Kamu percaya itu" tanya Yasmin pada suaminya. Mungkin saja, sahut Lukas.
Orang Jawa itu aneh, tukas Yasmin. Mereka masih percaya hal-hal gaib meskipun sudah sangat terpelajar. Ia teringat Saman, yang pernah bercerita tentang adik-adik yang hidup meski tak pernah lahir. Wisanggeni bisa menerima itu biarpun ia seorang imam Katolik.
Lukas tertawa. Vatikan percaya pada eksorsime. Dan Presiden juga punya banyak pusaka serta dukun.
Betul-betul aneh. Ada satu bosku di kantor yang kerjanya berburu pusaka, untuk dipersembahkan pada Beliau. Macam-macam: keris, tombak, wayang antik, batu akik Supersemar... Huh! Penjilat!
Tepat pada saat itu bel pintu berbunyi. Yasmin melirik ke arah jam. Tiga menit sebelum saat yang disepakati. Ia berdiri dan melihat dari kaca jendela depan. Sebuah Kijang kodian telah henti di seberang. Sosok lelaki bertubuh kecil berdiri di de pan pagar. Ia lama tak bertemu dengan orang itu, tapi ya itu dia. Ia kagum pada kesetiaan Larung terhadap waktu. Yasmin mengintip lebih seksama lagi, memastikan tidak ada yang mencurigakan di sepotong jalan itu. Setelah yakin, ia mem buka gerbang dan mempersilakan Larung memasukkan kendaraannya.
Lelaki itu memelihara brewok pendek yang rapi, seolah untuk menghilangkan kesan imut karena tubuhnya yang kecil. Kulitnya gelap. Ia memiliki mata kecil yang cerdas seperti mata tikus dan pengamatan yang aneh. Saat dipertemukan dengan ke tiga anak yang akan digembalakannya, Larung berkata kepada satu yang berkaca mata: Maaf, tadi makan nasi goreng teri ya" Ikannya nyelip di gigi taring. Tapi ia mengatakannya de ngan dingin, tanpa humor, tanpa sungkan, tanpa nada mengejek. Dan ia menebak dengan tepat. Yasmin dan Lukas berpan dangan. Itu bisa menunjukkan Larung sosok yang sangat jeli, atau orang yang ganjil. Tapi Yasmin sudah berhubungan cukup lama dengannya. Larung menjalankan percetakan rahasia untuk media bawah tanah. Selama ini semua berjalan beres. Seharusnya misi ini pun tepercaya di tangannya.
Lukas tidak tahan untuk memberi peringatan. Tolong jaga anak-anak ini agar tidak coba menghubungi siapapun. Itu berbahaya.
Setelah itu ketiga mahasiswa masuk ke dalam mobil dan mereka berpisah.
Tiba-tiba Yasmin merasa senyap. Ada kekosongan yang
me nyayat hatinya hingga terbelah. Ia bahkan tak sempat menitipkan salam untuk Saman. Mobil itu betul-betul hilang. Sunyi sesaat.
Lukas menghela napas lega. Ia merengkuh istrinya dan ber - kata, Sudah tujuh tahun kita menikah... Masih ingatkah kamu"
Yasmin menelan ludah. Ya. Ia menyandarkan kepala pada dada suaminya.
Lukas menjauhkan diri darinya sedikit, lalu berkata dengan suara formal:
Yacinta Yasmin Moningka, bersediakah kamu menerima Lukas Adi Prasetyo menjadi suamimu, dan berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, sehat dan sakit, serta mau mengasihi dan menghormati dia sepanjang hidupmu"
Yasmin mencoba menyamarkan mata cemasnya dengan senyum terkejut-gembira. S-saya bersedia!
Suasana gereja pada janji perkawinan mereka dulu tibatiba mencercah-cercah. Tapi kenangan indah itu sekaligus mencacah-cacah hatinya.
Lukas mengambil tangannya. Saya, Lukas Adi Prasetyo ber janji untuk setia kepadamu, Yacinta Yasmin Moningka, dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit, dan untuk menga sihi serta menghormatimu sampai maut memisahkan kita. Lukas...
Yasmin. Lelaki itu mencium tangannya. Sudah tujuh tahun. Kalau memang kita tidak atau belum mendapat momong an juga, bagaimana menurut kamu kalau kita mengambil anak"
Yasmin tidak dapat menahan diri. Tangisnya meledak seperti banjir yang tumpah dari atas gunung. Ia takut kehilangan kekasih. Ia merasa kotor dan berdosa terhadap suaminya. Ia merasa kehidupan baru tumbuh di dalam tubuhnya.
Kelak b angsa ini gamPang melupakan kejadian. Siapakah yang mengatakan itu" Barangkali Larung. Ia pernah berada di candi itu bersama Larung. Beberapa tahun lalu, ketika mereka datang untuk memberi dukungan pada kongres rahasia sekelompok wartawan bawah tanah di Yogyakarta. Mungkin di tahun 1995" Rasanya di bulan Oktober.
Lalu Larung membawanya jalan-jalan melihat candi ini. Lara Jonggrang.
Perhatikan namanya: Lara Jonggrang. Ataukah Pram banan" Kita tak tahu lagi namanya yang semula. Lihatlah para pe mandu yang membagikan fotokopi dan legenda kepada para turis. Mereka sungguh tolol dan tidak memberi perspektif. Mereka asyik bercerita tentang seorang putri jelita yang dikutuk menjadi arca. Lalu Larung membawanya kepada patung batu itu, yang terletak dalam salah satu ruang di rahim candi utama: arca Lara Jonggrang. Artinya: Dara Semampai. Ia cantik, berwibawa, misterius, membisu.
Begini legendanya: di daerah ini dulu ada dua kerajaan
yang saling bermusuhan. Pengging dan Boko. Raja Pengging adalah seorang yang bijak. Ia memiliki putra yang sakti bernama Bandung Bondowoso. Sedangkan raja Boko adalah seorang yang ganas dan suka memakan manusia. Ia memiliki putri jelita bernama Lara Jonggrang. Pendek cerita, terjadi perang di antara dua kerajaan itu, dan Bandung Bondowoso ber hasil membunuh prabu dari Pengging. Ketika memasuki keraton Pengging, pemuda itu terkejut melihat kecantikan Lara Jonggrang. Ia melamar sang putri. Tapi Lara Jonggrang sesungguhnya tidak mau menerima pinangan lelaki yang telah membunuh ayahnya. Maka ia memberi syarat. Ia hanya bersedia jika Raden Bandung membangun seribu candi dalam semalam. Pemuda itu menerima tantangan. Dengan kesaktiannya, ia membangkitkan segala jin dan siluman Tanah Jawa untuk ikut membangun seribu candi.
Melihat itu semua Lara Jonggrang menjadi cemas. Seperti Dayang Sumbi terhadap Sangkuriang, Lara Jonggrang meminta para abdinya menumbuk padi dan membakar jerami. Maka ayam berkokok dan langit memerah seperti pagi telah datang. Para jin dan siluman mengira malam telah pergi dan mereka harus lenyap pula bersamanya. Bandung Bondowoso nyaris menyelesaikan tantangan, hanya kurang satu lagi.
Maaf, saya tidak bisa menerima pinangan. Hanya 999 candi ujar sang perempuan jelita.
Pemuda itu marah sekali. Dengan putus asa ia mengutuk: Maka engkau menjadi yang keseribu!
Dan Lara Jonggrang menjelma batu.
(Tidakkah kau melihat kemiripan motif dengan kisah Sangkuriang dari tanah yang kini bernama Bandung" Tidakkah kau melihat kemiripan nama juga")
Karena itu candi utama ini dinamai Lara Jonggrang. Dan candi-candi kecil di sekitarnya Candi Sewu. Pemandu wisata mengulang legenda itu seolah memang hanya itu ceritanya.
Mereka berotak kerdil. Lalu"
Legenda Lara Jonggrang hanyalah satu lapis cerita. Selapis yang lebih muda. Tapi lapisan cerita yang lebih baru ini barangkali tercipta untuk memaknai satu kawasan candi kuno yang telah terlupakan pula. Jadi, orang-orang yang menuturkan legenda tentang perempuan cantik menjelma batu sesungguhnya juga tidak tahu lagi tentang asal mula candi ini. Sudah kubilang: bangsa ini mudah melupakan kejadian.
Kompleks candi ini sesungguhnya dibangun di sekitar abad ke-8 atau ke-9. Kira-kira pada masa yang bersamaan dengan Borobudur (yang juga tak kita ketahui namanya yang semula). Tapi, oleh sebab-sebab yang masih belum pasti barangkali letusan besar Merapi pada abad ke-10 atau ke-11 kerajaankerajaan di Jawa Tengah berpindah ke Timur. Candi-candi di Jawa Tengah pun ditinggalkan. Barulah setelah lewat satu dua abad, perlahan-lahan terjadi arus balik ke Jawa Tengah. Angkatan baru ini menemukan kembali candi-candi Jawa Tengah seperti generasi yang asing. Mereka tak tahu sebabsebab candi ini dibangun. Maka mereka membangun legenda mereka sendiri untuk memaknai masa lalu yang telah asing. Bangsa ini menutup kelupaan mereka dengan cerita baru. Jadi arca perempuan cantik ini bukan Lara Jonggrang" Tahukah kau siapa dia: perempuan yang berdiri di atas seekor hewan, bertangan delapan, memegang senjata segala dewa" Dia adalah Durga Mahishashuramardini. Artinya Durga yang mengalahkan Mahishashura. Mahishashura adalah yang bahkan para dewa tak bisa mengalahkannya. Ha nya seorang perempuan yang mampu; dialah Durga, shakti dari Syiwa.
Jadi, apa yang dikenal sebagai Prambanan atau Lara Jonggrang adalah kompleks percandian Hindu aliran Syiwa. Tiga candi utama menggambarkan Trimurti, dengan penguta maan pada Syiwa. Candi Syiwa adalah yang terbesar dan
terletak di pusat, diapit candi Brahma dan Wishnu. Arca Durga Mahishashuramardini terletak di salah satu garbagraha candi Syiwa. Tapi, dua atau tiga abad setelah pembangunannya, generasi baru di Jawa telah lupa siapa Durga Mahishashuramardini. Dan mereka membuat mitos baru tentang Lara Jonggrang...
Jika demikian, apakah legenda tentang Lara Jonggrang itu salah"
Ah. Legenda Lara Jonggrang itu sendiri kini sudah menjadi bagian sejarah. Yang sudah menjadi sejarah, tak bisa dihapus. Seperti segala yang telah lahir tak bisa dikembalikan ke dalam rahim. Yang sudah menjadi kenyataan hanya bisa dihadapi dan dipelajari. Kita tidak punya pilihan... Tidak. Kita punya pilihan. Untuk lupa dan terus menerus membuat mitos baru, seperti yang sudah-sudah. (Dan hidup dalam kekerdilan ingatan.) Atau untuk terus menerus menggali sejarah dan menolak lupa.
Siapakah yang menyimpulkan itu" Barangkali Larung. Barang kali dirinya sendiri. Betapa waktu mencampurkan ingatan, seperti lapis-lapis cerita tentang candi itu.
* Yasmin mencoba mengingat-ingat sekarang.
Apa yang sudah menjadi sejarah tak bisa dihapus. Kilatan gambar dan ucapan memercik-mercik di benaknya. Rasanya ia duduk di batu-batu yang berserakan. Candi Sewu. Tapi nama itu bukan yang sebenarnya. Nama yang semula telah tertimbun oleh yang baru. Jika pun kita menghilangkan yang baru kita toh tak akan menemukan yang lama. Yang lama justru bisa ditemukan melalui yang baru.
Mereka duduk di bebatu. Ia dan lelaki bertubuh kecil itu. Misalnya Supersemar, kata Larung.
Kenapa dengan Supersemar"
Super Semar. Tidakkah nama itu aneh sekali" Hm.
Hm" Menurut kamu, Azimat itu nama yang aneh tidak"
Apa" Jimat" Kerap ia tak mengerti ke mana arah pertanyaan Larung. Panca Azimat Revolusi.
Apa itu" Mantra yang baru menutup mantra yang sebelumnya. Seperti pada candi ini, kata Larung. Pemuda itu sering memberi jawaban dengan kesimpulan umum yang terasa jauh. Kamu tahu bahwa Supersemar adalah surat yang menjadi dasar hukum bagi Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno di tahun 66"
Siapa yang tidak tahu. Kita dibuat hafal.
Kamu tahu itu sesungguhnya sebuah kudeta" Perebutan kekuasaan. Dengan paksa.
Betul tidak sih begitu"
Kamu tak percaya" Atau percaya"
Yasmin mendesah. Kamu tahu, Larung. Dari kecil kita menelan indoktrinasi ini itu. Lama-lama kita tak tahu lagi mana yang benar... misalnya, seperti kamu bilang, kita tak tahu lagi apa sesungguhnya nama candi ini.
Candi ini tidak punya kekuasaan apapun pada kita. Dia cantik dan bisu. Kita yang menafsir dia. Tapi Supersemar menafsir kita sampai hari ini. Segala sensor dan larangan yang mengungkung kita hari ini mengesahkan diri dari sana. Semar yang Super itu adalah dasar hukum dari Orde Baru! 1966. Itu tahun lahirmu bukan"
Ah ya! Anehnya bulan Maret juga. Untungnya bukan tanggal sebelas!
Bisakah kamu bayangkan zaman itu"
1965. Sebuah negeri hongerudim. Di pedesaan anak-anak tampak seperti ikan bilis: tubuh mereka kurus tapi perut mereka bengkak; mata mereka besar dan kosong. Itu yang dinamakan busung lapar. Kelaparan yang sedemikian rupa sehingga rongga badanmu justru menggembung. Orang-orang dewasa yang ce-
mas dan letih dengan kemiskinan mulai dirasuki kemarahan. Mereka perlahan terbelah dalam kekuatan-kekuatan politik yang bermusuhan. Kau mungkin tak melihat, tapi permusuhan itu terasa, seperti hantu yang membesar.
Pada malam terakhir di bulan September, orangtuamu mungkin sedang berbaring-baring. Ibumu mual karena hamil muda. Kamu dalam perutnya, mulai menendang-nendang. Tapi pada malam buta itu, berjalan suatu operasi militer rahasia. Barisan truk militer bergerak dari selatan ke utara, menuju pusat ibukota tanpa suara. Mereka lalu menyebar ke tujuh titik: rumah-rumah perwira tinggi utama. Penjaga dilumpuhkan. Militer melawan militer. Malam menjelang dini hari, tujuh jenderal terpenting Angkatan Darat diculik. Satu lepas, tertukar dengan ajudannya.
Ketika matahari Jumat Legi 1 Oktober telah terbit, seorang letnan kolonel bernama Untung tiba-tiba mengumumkan, melalui RRI, bahwa kekuasaan telah beralih ke tangan Dewan Revolusi yang ia tetapkan sendiri. Dewan Revolusi itu dibentuk untuk melindungi apa yang disebut Panca Azimat Revolusi. Jimat Revolusi. Sejenis kitab suci pemikiran Sukarno. Tapi, tak sampai 24 jam kemudian, operasi militer balasan dilakukan di bawah pimpinan Panglima KOSTRAD Mayjen. Soeharto. Segera diketahui bahwa tujuh perwira AD yang diculik itu dibawa ke pangkalan AU di Lubang Buaya. Mereka semua telah dibunuh. Mayat mereka akhirnya ditemukan berjejalan dalam sebuah sumur sempit menyedihkan. Sementara itu Letkol. Untung kabur seperti seorang pecundang entah ke mana. Dewan Revolusi yang diumumkannya jatuh seperti orang kerdil dari atas pohon. Sejak hari itu dan setiap hari Mayjen. Soeharto semakin menguasai keadaan. Oktober, November, Desember. Datanglah tahun baru: 1966...
Soeharto berhasil mengembalikan Angkatan Darat seba gai kekuatan utama yang menyaingi Presiden Sukarno.
Soeharto didukung oleh mahasiswa, yang pada saat itu sudah muak dengan pemerintah.
Aneh sekali membayangkan mahasiswa dan militer bersatu, keluh Yasmin.
Aneh membayangkan bahwa Sukarno muda yang lantang me nentang Belanda, pembaca naskah proklamasi, penuh kharisma, akhirnya menjelma diktator tua yang korup, gemuk dan beristri banyak. Aneh juga membayangkan bahwa Soeharto yang korup dan diktator sekarang ini dulunya adalah perwira yang dicintai mahasiswa. Kenapa orang menjadi tua dan buruk" Bukankah memang lebih baik mati muda.
Seorang pemain baru telah muncul. Pemain lama, Paduka Yang Mulia Presiden Seumur Hidup, tidak berdaya. Partai terbesar yang sangat mendukung dia, PKI, dihancurkan oleh militer... dan masyarakat.
Di titik ini Larung terdiam sebentar. Tapi ia segera kembali dengan seringai ironisnya yang khas.
Puncaknya pada tanggal 11 Maret 1966. Pagi, Sukarno akan memimpin sidang kabinet di Istana Merdeka Jakarta. Soeharto tidak hadir. Dia adalah satu-satunya menteri yang tidak datang ke sidang itu. Alasannya sakit. Percaya tidak kamu, ada Menteri Panglima Angkatan Darat tidak datang sidang gara-gara migrain atau mencret atau masuk angin" Yasmin tertawa.
Di luar istana ada demonstrasi mahasiswa. Suasana tidak nyaman. Baru Presiden Sukarno membuka sidang, ko man - dan resimen pengawal presiden masuk dengan wajah tegang, me nga barkan bahwa ada pasukan tak dikenal sedang ber gerak dari sekitar Monas. Pasukan itu tak memakai atribut kesatuan apapun. Tak bisa dikenali. Operasi militer liar. Tanda bahaya. Maka Sukarno segera diungsikan dari Istana Merdeka, naik helikopter, ke Istana Bogor. Larung tertawa sinis. Itu barangkali adalah gertakan, untuk mengukur nyali Sukarno.
Tak lama setelah Sukarno berada di Istana Bogor, berkun junglah tiga brigadir jenderal AD. Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M. Jusuf mereka datang atas perintah Soeharto. Inilah detik-menit-jam yang penting. Apa yang sesungguhnya terjadi, kita tak tahu pasti. Apakah Sukarno ditodong atau tidak, apakah draft surat itu sudah disiapkan dari Jakarta oleh Soeharto atau ditulis di Istana Bogor, ada berapa versi dokumen, kini semua sudah tak jelas lagi. Kita tinggal tahu, pada tanggal 11 Maret 1966 keluarlah surat perintah. Isinya memberi kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi mengamankan negeri ini. Selanjutnya kamu tahu. Soeharto menggunakan Surat Perintah 11 Maret itu, Supersemar, untuk menghabisi kekuatan Sukarno...
Supersemar. Azimat Revolusi. Mantra yang satu menutup mantra yang lain. Benda keramat harus dikalahkan oleh benda keramat lain.
...Soeharto langsung membubarkan PKI. Ia menangkap menteri-menteri berhaluan kiri, dan akhirnya membuat Sukarno jadi tahanan rumah. Beberapa tahun kemudian Sukarno mati muram di kediamannya.
Cerita sedih tentang seorang tokoh. Gagah, romantis, dan idealis di masa muda. Jadi doyan perempuan dan kekuasaan di masa tua. Akhirnya mati kesepian.
Kamu terbayang tidak bagaimana kira-kira Soeharto berakhir kelak" tanya Larung.
Tak seorang pun membayangkan suatu akhir yang kelam dari awal yang jaya.
Konon, di tahun 40-an dia setampan Abimayu dalam pe rang kemerdekaan. Tidak terlalu idealis; kekuatannya justru karena ia sangat pragmatis dan intuitif. Duapuluh tahun kemudian, 60-an, dia disambut sebagai pahlawan oleh mahasiswa dan rakyat yang sudah muak dengan rezim Sukarno. Dua puluh tahun setelahnya, kita melihat dia sebagai jenderal yang
buas dan lalim. Berkuasa dengan membunuh lebih dari sejuta orang. Dan kini ia mulai memenjarakan anak-anak kecil.
Yasmin menggeleng-gelengkan kepala. Sebelum datang ke candi ini, mereka baru menghadiri kongres rahasia para wartawan dari pelbagai kota. Pemerintah menganggap gerakan itu berbahaya dan menangkapi beberapa aktivisnya; anak-anak yang begitu muda, bahkan ada yang belum dewasa. Berapa lama lagikah negeri ini akan bebas dari rezim otoriter" Kenapa tadi kita bicara Supersemar" tanya Yasmin. Lihat, betapa gampang kita lupa. Tapi, pernahkah kamu berpikir bagaimana peristiwa itu bisa terjadi pada 11 Maret" Coba bayangkan kalau tanggalnya 4 April. Tak bisa menghasilkan akronim yang berwibawa. Superempap! Lima Mei: superlimei! Bunyi-bunyi yang tak menghasilkan mantra. Bagai mana bisa mengalahkan Azimat Revolusi! Mungkinkah Soeharto menghitung primbon dan menetapkan angka itu" Atau itu kebetulan yang menunjukkan semesta mendukung" Bagi orang Jawa, Semar adalah penjaga negeri ini.
Hanya Semar yang sanggup mengalahkan Azimat. Be gitu Soeharto memegang jimat Super Semar, maka ia bisa menyingkirkan Panca Azimat Revolusi. Mantra dikalahkan oleh mantra. Engkau mungkin tak mengerti, sebab engkau telah lahir dari pendidikan modern. Tapi ada suatu zaman ketika orang tersihir pada yang supranatural. Dan zaman itu tetap ada dalam diri manusia, tersembunyikan dari kesadaran.
Sisa percakapan setelah itu Yasmin tak ingat lagi. Samarsamar masih terlihat olehnya, mereka berjalan keluar masuk candi-candi Sewu yang Buddhis dan berjalan kembali menuju Lara Jonggrang yang Hindu. Lara Jonggrang yang ternyata adalah Durga Mahishashuramardini. Durga yang membunuh raksasa raja Ashura. Durga, shakti Syiwa. Candi ini adalah kuil aliran Syiwa. Tapi, seluruh relief dinding ketiga candi dibaktikan untuk jelmaan Wishnu. Krishna dan Rama. Candi
Wishnu bertatahkan Krishnayana. Candi Brahma dan Syiwa berhiaskan Ramayana. Itu berarti kesatuan di antara tiga dewa dalam Trimurti. Seorang pemandu menghampiri dan bertanya adakah mereka mau nonton sendratari Ramayana di pelataran Prambanan...
Sendratari Ramayana itu menghadirkan kenangan ataukah masa depan. Kini ia ada di Padepokan Suhubudi, menonton pertunjukan Ramayana yang dimainkan orang-orang cebol dan raksasa. Permainan api tetap mengejutkannya dan tarian Sita tetap mengharukan sekalipun ia telah menyaksikan pentas ini ketiga kali. Ia merasa berada dalam lapis-lapis waktu yang bertemu. Matanya mencari-cari di antara penonton, lelaki yang mengingatkan ia pada Frater Wisanggeni manakala ia remaja. Tapi dunia itu tak hadir lagi. Pintu yang sempat menghubungkan mereka telah menutup. Ia datang ke sini mencari jawaban tentang Saman. Tapi kini sebuah pertanyaan penting membersit lagi di kepalanya: mengapa Larung disebut dan Saman tidak" Kau ingat tentang satu dari aktivis yang membuat kesaksian setelah dilepaskan dari penculikan. Beberapa bulan lalu. Pemuda itu menceritakan siksaan dan interogasi yang ia terima. Dalam penganiayaan ia disuruh memberi informasi tentang sejumlah nama. Salah satu yang ditanyakan adalah Larung Lanang. Padahal Larung hilang bersama Saman di tahun 1996. Mengapa Larung disebut dan Saman tidak"
Pertunjukan selesai. Orang-orang kerdil dan para raksasa berbaris ke muka layar. Yang berada di tengah barisan adalah pemeran Sita; perempuan kerdil berkulit pucat dan berambut kapas, yang mendatangkan selalu sihir dalam tarian.
P eremPuan kerdil itu mungkin tak bisa bercerita tentang dirinya sendiri. Ia tak punya logika yang lurus. Ia hanya punya keinginan untuk menjadi berharga. Kisahnya akan retak, seperti keping-keping hasrat yang telanjang tapi tak diakui.
Kini ia memandang gentar pada pecahan cermin yang berserakan di lantai. Pengilon kecil itu telah bertahun-tahun terpasang pada dinding bilik rumah orang cebol. Bundar dan berpunggung potret seorang model Cina. Tak siapa pun sudi menggunakannya. Mengapa kali itu ia tergerak untuk memakainya dan seketika ia membenci wajah yang muncul di sana. Bukan paras yang ia bayangkan tentang seorang penari Sita. Kepala yang tak berwarna mengejutkan ia. Mata merah menatap balik kepadanya. Ia menjerit dan membanting cermin itu. Kini ia cemas bahwa ia telah bertindak lepas kendali. Cermin pecah adalah petanda buruk. Tak pernah ia begini. Ia ingin eling.
Maya cepat-cepat menyapu dan memunguti beling-beling. Tapi, tatkala ia masih berjongkok, pada satu keping yang masih
cukup panjang ia menemukan sepasang mata. Lalu mereka saling memandang. Seperti dua orang asing yang pernah berbagi masa silam. Ah. Sesungguhnya mata itu tidak buruk. Lihat, sepasang penglihatan tanpa wajah itu kini tampak memancarkan sinar. Warna kemerahan dan bulu-bulu bening itu sama sekali tidak menjadikannya jelek. Duhai. Ternyata, pada setiap mata ada kejernihan. Di sana kau bisa melihat jiwa. Jiwa yang mulia. Tak bisa melihatkah kau" Itu lantaran manusia tersandung pada segala yang membingkai mata. Orang sibuk melihat apa yang di seputar mata, dan tak bisa mencapai yang utama. Tiba-tiba ia terpikir: Seandainya aku mengecat rambut dan alisku dengan ramuan pacar cina dan kopi, barangkali orang bisa melihat ke mataku dan menemukan wanita mulia di sana. Kegembiraannya bangkit. Ia simpan keping cermin serupa mata pisau.
Lalu ditemukannya dirinya telah berada di pelataran berbatu ceper. Bidang terbuka dekat dapur, tempat orang biasa memotong hewan dan membersihkan dagingnya. Hendak apa ia di sini" Si Tuyul ingin makan ayam; dan ia mau menyiapkannya. Ia sedang melayang-rasa. Setelah sebagai bidadari ia ditaklukkan lima kali oleh Gatoloco itu sungguh mendebarkan kini ia mau menyenang-nyenangkan sang lanang. Kejantanan lelaki itu semalam telah membuktikan kewanitaannya; itu membuatnya syur dan bangga. Ia berharga setara lima bidadari. Sekarang ia mau membuatkan lakinya hidangan yang istimewa. Anak itu ingin ayam goreng penyet dengan sambal terasi. Terasi yang banyak. Lelaki itu suka bau terasi.
Tapi, duh Gusti, bukankah jatah mereka memotong ayam telah habis" Sekalipun Suhubudi mengizinkan mereka makan daging, sang guru membatasi jumlahnya. Bagi beberapa kaum yang masih membawa keganasan, membunuh untuk makan itu tak terhindarkan. Tapi janganlah membunuh untuk kenikmatan. Dan jangan sering-sering. Mereka hanya boleh menyembelih ayam sekali dua pekan. Kemarin Klan Saduki baru
saja membuat opor bersama. Lagipula, kali ini ia tak hendak memasak untuk seluruh warga. Ia hanya mau menyiapkan yang istimewa untuk satu lakinya. Tapi, sayang betul, ia tak boleh memotong ayam lagi...
Ia menemukan dirinya memandangi sepasang mata pada sekeping pecahan cermin. Ia menjadi takjub bahwa tanpa paras, kedua bola bening itu tampak cantik. Tanpa wajah, tanpa pipi, tanpa hidung, tanpa mulut, tanpa kulit dan rambut, sepasang mata itu justru memancarkan cahaya. Berkilau seperti batu mustika. Mengerling seperti akik di mata cincin. Kristal kuning kemerahan. Di dalamnya kau melihat jiwa semurni emas. Tidak bisakah kau melihat jiwa wanita mulia di sana" Masa kau tak bisa" Seandainya ia menutupi wajahnya dan rambutnya, membiarkan hanya matanya yang tampak, barangkali dunia bisa melihat jiwa wanita mulia...
Ia kini berjongkok di teduh pepohonan, memandang ke arah pelataran tempat orang biasa menjemur dan menampi beras. Tempat itu dekat lumbung padi bersama, jauh dari perumahan manusia cebol di mana ada tempat jagal. Tidakkah semua makhluk pada dasarnya adalah abdi, dan seorang wanita mulia adalah abdi bagi lelakinya. Tempat wanita adalah di sumur, dapur, dan kasur. Ia merasa syur, membayangkan bidadari yang ditaklukkan. Digilir pada kasur. Membiarkan tubuh menadahi liur. Membersihkan segala yang kotor di sumur. Menyediakan kenikmatan bagi mulut dan perut sang lanang di dapur. Ah, jika ayam tak boleh, maka ada burung dara...
Ia telah menabur butir-butir beras. Dan memang burung dara suka datang ke sana, sebab tempat itu tenang. Burungbu rung tak suka datang ke tempat di mana ada hewan disembelih. Burung-burung itu berhati halus; mereka akan mati sedih melihat darah. Si Tuyul suka menangkap burung dara. Ada banyak cara. Maya telah memasang beberapa simpul jerat di antara sebaran beras dan bekatul. Lihatlah, mulai ada satu
yang terperdaya. Ia mematuk-matuk dan kakinya masuk ke dalam perangkap. Maya menarik kenur dengan sangat lembut lalu menghelanya kencang seketika saat tak ada lagi luang. Jangan sampai membikin keributan. Sebab burung dara sangat perasa.
Bayangan akan kebahagiaan lelaki membuat ia bahagia. Manakala bahagia ia lupa bahwa si Tuyul kerap menyebalkan. Ia terhisap dalam pusaran rasa wanita berharga. Jinak. Merpati sungguh jinak. Ditangkap. Dicabuti bulunya. Lihat matanya. Wahai. Betapa cantik mata burung dara itu semula. Lembut dan penurut. Tapi betapa mata itu tampak kosong dan mengerikan manakala bulu-bulu burung itu telah dicabuti dan tubuhnya jadi merah muda dan ruam. Kelopaknya jadi tampak bengkak. Ada rasa ngeri mengetahui betapa mata yang sama bisa tampak begitu berbeda. Ia melirik, pada sebilah kaca yang kini selalu ia letakkan tak jauh darinya. Kepingan cermin yang memantulkan sepasang mata. Sepasang yang memancarkan jiwa. Tak bisakah kau lihat betapa berseri" Ia takjub mendapati bahwa ia cantik, dalam cermin yang hanya secelah mata. Cermin yang pecah itu berkata: jika kau hanya menampakkan matamu saja, dunia bisa melihat jiwa wanita mulia.
Ia mengorek keluar isi perut merpati dengan menarik pada tembolok. Jantung, hati, ampla begitu mungil, jalin-menjalin. Ia membelek lambung, mengeluarkan batu; mengurut usus, mengeluarkan tahi. Tuyul suka makan semuanya. Bahkan empedu hijau pahit. Tapi si perempuan akan membersihkan segala kotoran, sebelum kelak menggoreng garing dan menghidangkan bersama sambal dengan terasi yang banyak. Dan potongan mentimun. Tuyul akan makan dengan lahap hingga matanya berputar-putar seperti ketika menjantaninya.
Sesungguhnya ia bahagia hidup seperti ini: mengabdi, dan menari sebagai Sita. Ia memiliki hidup yang mulia. Sayangnya, ia menjadi suram sekarang, sebab lelaki itu secara terang-
terangan mengidamkan perempuan sungguhan. Perempuan kaki panjang. Ah. Kepada aku kejantanan si Tuyul memang mengacung. Tapi kata-kata lelaki itu selalu mengarah pada perempuan-perempuan berkaki panjang.
Ia kembali memandangi sepasang mata seindah batu akik; di dalamnya orang melihat jiwa berwarna emas. Sekarang keping kaca itu telah ia sisipkan pada anyaman bambu dinding dapur. Ia mulai merindukan cermin tipis itu. Seandainya orang hanya melihat pada mata. Tapi lelaki, ia tahu, melihat pada wajah dan kaki. Lelaki menginginkan daging. Memang begitu tabiat jenis ini. Sebagai wanita ia harus menerima. Di kasur kita lelaki milik kita, di kasur lain lelaki milik orang lain. Sambil menggerus garam dan biji ketumbar ia bersenandung lirih: wis lumrah wong lanang iku wajibe mengkoni rabi, sanajan rupane ala nanging pantes den ajeni... Ia memborehkan lumatan pada daging dan jeroan lalu membiarkan bumbu meresap. Dan ia kembali menatap sepasang mata pada sebilah kaca. Sebilah kaca yang berkata: engkau sesungguhnya cantik, tapi mereka tidak tahu.
Tuyul pernah sesumbar bahwa ia sering jajan perempuan sungguhan. Di warung remang. Lalu lelaki itu menceritakan rerinci yang menyakitkan untuk didengar. Bahwa kaki-kaki itu bisa mengempit. Karena panjang, kempitannya mantap. Ia juga bisa menyusu bagai bayi sambil menancap, sebab buah dada perempuan betulan membusung persis di wajahnya. Tapi setelah itu si lelaki mengatakan hal yang menghibur. Bahwa perempuan kaki panjang itu bisa dibeli dengan uang. Sesungguhnya mereka menjijikkan. Sedangkan dirinya tak bisa dibeli dengan uang. Itu melipur. Setelah disakiti, ia dimuliakan. Memang selalu begitu. Kamu tidak marah kan" Sebelum marah, anggap saja mereka itu madumu. Pria kan sah punya istri banyak. Begitu kata Tuyul. Biasanya sambil terkekeh. Jika hatinya terluka, ia akan menyebut nama Eyang Semar.
Semar yang tak harus kakung tak harus putri; tak hanya bisa di sana atau di sini. Sosok itu akan menghiburnya dan berkata tanpa kata-kata: segala makhluk sejatinya adalah abdi. Ia tak tahu Tuyul mengabdi pada apa, tapi Maya ingin mengabdi pada lelaki. Apapun yang kamu pilih, mengabdilah sebaik-baiknya, Nak. Dan ia menjadi kuat kembali. Ia mendengar bahwa orangorang lain punya nabi. Para tamu padepokan memiliki nabinya masing-masing. Tapi Semar lebih daripada nabi. Nabi-nabi pada mati; Semar tak pernah mati. Semar adalah ruh penjaga Nusajawa. Ia bisa muncul dan hilang begitu saja dalam segala zaman, membimbing dan mendampingi siapa saja yang berusaha berlaku benar. Dan ia selalu tampil sebagai sosok tak rupawan. Itulah keberpihakannya. Semar telah ada sejak zaman raja-raja kuno pulau Jawa: Prabu Rama di Ngayodhya atau Prabu Yudistira dari Pandawa Lima yang wafat di gunung Semeru...
Tapi kemarin dulu seorang perempuan kaki panjang hadir begitu saja di perkampungan orang kate. Seperti dikirim dari kahyangan. Peri itu berkata bahwa ia mengagumi tarian Maya. Untuk pertama kali ia duduk bercakap begitu mesra dengan apa yang disebut Tuyul sebagai perempuan betulan. Jadi seperti inikah perempuan sungguhan dari dekat" Ia nyaris tak percaya pada kesempurnaannya. Ia menjadi bimbang. Sebab menurut Tuyul, perempuan kaki panjang selalu bisa dibeli dengan uang. Tak seperti dirinya, yang berkaki pendek dan tak bisa dibeli dengan uang. Tapi perempuan jangkung ini tampak ramah dan baik hati. Tak pernah ada orang memperhatikan dia secara khusus, apalagi mengungkapkan kekaguman. Mana mungkin Tuyul hinggap di tubuh perempuan ini, merogolkan kelamin sambil mengisap susu. Mereka membului ayam bersamasama.
Tapi ternyata itu hanya awalan saja. Tidakkah perempuan
itu membawanya keluar padepokan" Itu hal yang tak pernah ia lakukan. Dan kamu tak meminta izinku kata si Tuyul. Tuyul benar, ia salah. Perempuan kaki panjang membawanya ke percandian yang disebut Lara Jonggrang. Dari namanya seharusnya kita tahu: itu candi untuk memuja kejangkungan dan melecehkan yang pendek. Ia dibiarkan terpanggang dan dihina sebagai babi kecil oleh para penjaganya, sementara perempuan kaki panjang itu melenggang. Pikirkanlah: tidakkah itu terencana"


Maya Karya Ayu Utami di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia dibuat kagum pada percandian. Bangunan-bangunan menjulang penuh patung dan pahatan halus. Tapi ia dibiarkan konyol karena bersembahyang pada arca yang ternyata bukan Semar. Setelah itu ia dihadapkan pada sebaris orang-orang terpelajar yang berkata bahwa yang selama ini ia percaya adalah tidak begitu. Prabu Rama dan Pandawa Lima bukanlah leluhur yang tinggal di pulau ini. Gatotkaca yang bertulang besi dan berotot kawat, yang sering disebut dengan bangga sebagai Superman-nya orang Jawa, ternyata bukanlah milik orang Jawa. Itu semua adalah kisah-kisah dari negeri India. Para pujanggamu tidak menggubahnya; mereka hanya menceritakan ulang dengan tafsir dan kemelesetan. Versi yang lebih dangkal jika bukan kerdil dari yang asli. Ia tak begitu bisa memahami semua itu sesungguhnya. Tapi ada rasa tidak enak yang mengganjal. Seperti menyadari bahwa yang ada padamu bukanlah yang asli. Yang ada padamu hanyalah tiruan sepotong-sepotong. Seperti juga kamu bukanlah perempuan sungguhan...
Ia biasa disakiti lelaki Tuyul, tapi belum pernah mengalami terluka ini, yang ia tak tahu cara mengatasinya. Rasa terluka yang lebih mendasar. Perempuan kerdil itu mungkin tak bisa menceritakannya. Ia tak terlatih untuk logika yang lurus. Ia hanya punya keinginan untuk menjadi berharga. Kisahnya akan retak, seperti keping-keping hasrat yang tak disadari. Tapi
yang sebetulnya terjadi padanya adalah ini: imannya, yaitu pegangannya, diretakkan.
Eyang Semar, agemannya. Sejenis Ruh Kudus yang menyem bunyikan kekudusan dalam rupa buruk. Sosok yang selalu berkelit dari pemahaman, yang selalu lepas dari perumusan. Yang selalu menjadi penguat bagi Maya di saat kelam. Yang berkata: setiap makhluk sejatinya adalah abdi... Orang-orang itu berkata bahwa Semar tidak ada. Yang benar saja, masa kamu percaya Semar itu sungguh ada! Konyol amat" Haha! Semar hanyalah rekaan orang Jawa. Tokoh badut istana ini diciptakan agar rakyat jelata yang kerdil pemahamannya bisa mengerti pesan-pesan adiluhung dari kitab-kitab besar Ramayana dan Mahabarata. Semar tak benar-benar ada.
Lantas, jika Semar tak benar-benar ada, ke mana ia bisa men cari pegangan" Ia tak bisa menjangkau yang tinggi sebab kaki-kakinya pendek. Jika keutamaan dipatok bagi para satria, bagaimana orang-orang seperti dia bisa merasa berharga" Ia tak bisa menjelaskan semua itu. Tapi ia bisa merasakan. Ialah rasa tersingkirkan.
Ada yang tidak adil, tapi ia tak tahu apa.
Ada yang menyakitkan datang bersama perempuan kaki panjang.
Minyak mendidih. Ia memandang kepada cermin secelah mata. Seandainya orang bisa melihat langsung pada mata. Ia cemplungkan burung dara gundul dan jeroan-jeroan. Bunyi sreng menyengat. Warna merah menjadi kehitaman. Daging pucat menjadi kecoklatan. Perubahan itu kini terasa aneh. Apakah perempuan betulan yang kemarin dulu membului ayam bersama dia juga memasak di dapur" Melayani suaminya" Adakah ia makhluk mulia seperti seharusnya wanita"
Tidak! Kata si Tuyul. Itu perempuan yang tidak tahu menjaga kehormatan. Anak yang bersamanya adalah anak jadah. Bukan dari suaminya. Benihnya ia dapat dari lelaki lain!
Cih! Sundal. Memang sundal jahanam. Ingatlah apa yang ia perbuat pada dirimu! Hati-hati, ia mungkin mau merebut sihir tarianmu.
Maya membayangkan perempuan itu mengangkangkan kaki panjangnya kepada lelaki, barangkali cebol, barangkali mirip Parang Jati. Pemandangan itu menyakitkan dan mendebarkan sekaligus.
Hati-hati! Ia akan merusak tatanan dunia. (Tidakkah ia te lah menjungkirkan dunia yang kau percaya") Dialah yang mem bawa zaman edan yang disebut Jayabaya. Perempuan men jadi lelaki, lelaki menjadi perempuan. Ia membalik aturan alam sehingga perempuan tidur dengan banyak laki...
Perempuan kerdil itu menggerus cabai, garam, dan terasi. Sesekali ia melirik pada sepasang mata yang memandanginya dari dalam kepingan cermin tanpa paras.
s i keCil s amantha sedang berlari ngebut sejarak-sejarak saat dua orang dari Departemen Pariwisata Seni dan Budaya itu datang ke ruang makan. Mereka telah menonton sendratari Ramayana di padepokan semalam. Vinod Saran yang membujuk, sebab ia ingin pemerintah Indonesia membawa Klan Saduki ke festival raya di India. Kini Yasmin, Vinod, dan dua tamu itu duduk sarapan bersama. Yang satu seorang pria empatpuluhan, tampak telah lama berada dalam birokrasi sebab cenderung bicara berputar. Yang kedua perempuan muda yang cantas, di sana-sini berbahasa Inggris, seperti anak pejabat yang kuliah di luar negeri dan sekarang sedang magang.
Mereka memulai percakapan dengan basa-basi. Tentang Kabinet Pembangunan VII yang baru saja dilantik dua bulan lalu. Presiden mengangkat anaknya sendiri jadi menteri sosial, kata Yasmin dengan sinis. Yang tidak ia katakan: seluruh posisi politik dan ekonomi diisi oleh kroni Presiden. Kedua orang itu tidak menanggapi. Bagaimana dengan kinerja Menteri Pariwisata yang baru seorang pengusaha pusat belanja yang
memperomosikan kerajinan" Ini belum pun dua bulan penuh. Belum ada yang bisa dinilai.
Begini, kata yang tua sebelum bahasa jadi sungguh basi. Rasanya sulit kami membawa pertunjukan itu ke luar negeri. Kenapa" tanya Vinod Saran.
Dana kami terbatas. Bapak tahu, ekonomi krisis. Rupiah merosot. Lima tahun lalu dolar masih 2500-an, sekarang dolar 17.000 rupiah!
Vinod Saran tampak tak terlalu percaya bahwa pemerintah tak punya sumber dana, tapi tak bisa membuktikan apa-apa. Saya akan kirim surat permohonan resmi. Setidaknya, kami bisa dapat rekomendasi untuk minta dana kepada sponsor tentunya" Misalnya untuk tiket pesawat Garuda.
Orang itu tampak enggan. Itulah. Kami tak yakin pertunjukan semacam itu yang diinginkan pemerintah untuk mewakili Indonesia.
Kenapa" tanya Yasmin. Ya, rasanya kurang cocok.
Kenapa" Karena yang menari orang-orang diffable" Mereka bukan orang diffable, Mbak. Mereka orang-orang cacat, sela si perempuan muda dengan tangkas dan yakin. Maksudnya" Yasmin mulai tak sabar.
Si gadis tampak heran bahwa Yasmin tidak mengerti. Orang diffable itu kan yang tunarungu, tunanetra, imbesil. Mereka ini tidak tuli, tidak buta, atau terbelakang mental. Mereka ini deformatif.
Yasmin terkaget mendengar jawaban dan pilihan kata itu. Sangat politically incorrect. Jadi"
Masa Rama dan Sinta pendek begitu"
Tapi Menteri Pariwisata yang sekarang juga pendek" Apa masalah dengan itu"
Si perempuan muda angkat bahu. The minister is not a dancer. Misi kami membawa keindahan Indonesia ke luar
negeri. Bisa Anda bayangkan tidak, kalau orang asing melihat perwakilan Indonesia seperti itu. Apa yang mereka pikir tentang orang-orang di Indonesia nanti"
Tapi, Madam. Lihat betapa indah pertunjukan itu sebagai pertunjukan seni! Vinod Saran nyaris menjerit. Jangan melihat apa yang di luar panggung. Lihatlah pementasan itu sebagai karya seni. Saya menonton banyak drama Ramayana di dunia, dan sendratari ini punya nilai yang luar biasa! Ini lebih dari avant-garde. Telepon genggam Vinod Saran berbunyi. Ia terpaksa menjauh untuk menerimanya.
Begini, Mbak. Saya belajar manajemen seni di La Salle College of the Arts Singapura dan pernah magang di beberapa produksi pertunjukan di Asia, kata gadis itu agak sombong kepada Yasmin. Mbak tahu" Dalam setiap kolaborasi antar negara Asia, Indonesia selalu dipresentasikan sebagai yang primitif dan terbelakang. Mbak harus melihatnya dalam konstruksi wacana mereka seperti itu.
Yasmin tidak senang karena tidak begitu paham dan gadis itu bernada menggurui. Tapi ia terpaksa mendengarkan.
Pernah ada pementasan King Lear dengan menggunakan drama-drama tradisional Asia. Proyek besar Asianisasi karya klasik dari Shakespeare. Mbak tahu, Raja Lear diperankan dalam tradisi drama Tiongkok. Anak-anaknya dimainkan dalam teater Jepang. Dan tarian kita hanya dipakai untuk memainkan para pesuruh! Pernah pula ada pementasan Mahabarata kolaborasi. Mbak tahu, tari baris dan kecak Bali dipakai untuk memerankan Kurawa. Sementara, Pandawa dan tokoh-tokoh pahlawan menggunakan tradisi India, Jepang, dan yang lain.
Yasmin sungguh tak senang mendengar data yang tidak ia kuasai itu.
Mbak! Kita tidak mau Indonesia terus dipresentasikan sebagai punakawan, bukan"
Yasmin tercenung. Ia bukan orang seni. Apa yang dikatakan
gadis itu baru baginya. Dan tidak menyenangkan. Ia merasa ada yang tidak adil di sana. Perasaan itu membawanya kembali pada kekasih gelapnya yang hilang, Saman. Ah, di mana gerangan lelaki sederhana itu" Ia memandang sendu kepada bocah kecil yang belajar berlari.
Barangkali cintanya kepada Maya kini adalah percikan cinta Saman kepada Upi. Dalam rasa langut padepokan ini, perlahan ia merasa bersatu dengan Saman. Itukah yang dinamai manunggal, suatu konsep spiritual yang sering diucapkan orang Jawa" Ia memang tetap berharap bahwa Saman masih ada, di suatu tempat yang dari sana lelaki itu mengirimkan suratsuratnya. Tapi pelan-pelan ia juga merasa Saman ada dalam batinnya, berdiam di jantungnya.
Apa yang dirasakan Saman ketika bertemu Upi pertama kali" Suatu kesedihan bahwa dunia tidak adil barangkali. Dunia mengenal yang buruk rupa, meski tak siapapun memilih dilahirkan buruk rupa. Dunia tidak adil, lalu apa tanggapan manusia" Membuang muka" Menerimanya sebagai sudah seharusnya begitu dan mempertahankan kasta" Saman memilih meringankan penderitaan jika tak bisa mengubah keadaan. Ah, lelaki itu berjuang untuk mengubah keadaan. Tapi ia gagal. Ia diculik dan dianiaya, diangap berbahaya dan terpaksa meninggalkan Indonesia.
Yasmin merasakan gejolak di jantungnya. Saman telah hidup di sana. Sekarang ia ingin mencintai Maya. Seperti Saman mencintai Upi. Ia senang bahwa ia berada di tempat yang benar. Sebab Suhubudi pun tampaknya demikian. Guru spiritual itu hendak mengangkat manusia-manusia yang dibuang oleh masyarakat ke suatu tataran yang berharga. Ia ingin membuktikan keindahan dari apa yang dianggap buruk oleh dunia.
Dua wakil dari departemen pariwisata itu adalah batu sandungan. Sejenis iblis yang menghalangi usaha cinta dengan
perhitungan akal. Lihatlah betapa perhitungan-yang-tampakmasuk-akal memberi pembenaran bahwa kita harus menanam hanya padi varietas unggul" Ya, sebab itu satu-satunya jalan untuk menyumpal mulut manusia-manusia kelaparan yang jumlahnya makin membengkak. Tidakkah perhitungan yang sama memberi alasan bagi pembukaan lahan sawit secara massal" Dan tidakkah pertimbangan yang sejajar memberi alasan juga bahwa makhluk-makhluk buruk rupa tidak boleh mewakili Indonesia"
Saya kira kita tetap harus mengusahakan agar sendratari wayang Klan Saduki bisa tampil di festival Ramayana nanti, kata Yasmin kepada Vinod Saran ketika dua orang dari departemen pariwisata itu telah pergi.
Tapi kita juga tidak mau Indonesia terus-menerus dijadikan punakawan. Yasmin menggigit bibir. Bagaimanapun argu men perempuan muda itu tidak bisa disingkirkan begitu saja. Dan ia belum tega mengatakannya kepada lelaki India yang sesungguhnya tak terlalu ia kenal. Kalimat itu rasanya benar juga. Tapi apa betul" Seperti ada yang salah juga. Tibatiba ia bertanya pada diri sendiri: apakah punakawan itu sesungguhnya"
P unakawan itu mewakili orang jelata. Orang yang tidak berada dalam kekuasaan. Kalau yang wakil rakyat itu asu! kata Parang Jati di telepon. Ia masih bercakap-cakap beberapa lama lagi sebelum menutup pesawat dengan wajah gelisah.
Pemuda itu mondar-mandir sejenak dalam ruangan. Lalu ia ke pelataran dan melakukan beberapa gerakan silat serta pernafasan. Semua itu sesungguhnya sebab ia sedang tak sabar. Ayahnya ternyata belum bisa kembali. Ada yang genting di Jakarta. Suhubudi meminta Parang Jati berjaga-jaga di padepokan. Pesan utamanya adalah mengamankan tamu itu, ibu muda yang resah serta balitanya Yasmin dan Samantha.
Telah terbukti ada yang mau mencuri batu yang dibawa tamu ayahnya itu. Parang Jati berhasil membujuk Yasmin agar menyerahkan amplop-amplop tersebut untuk disimpan dalam lemari besi Suhubudi. Sekarang Parang Jati ingin bebas dari tugas padepokan. Ia ingin pergi...
Temannya menelepon dari Yogyakarta tadi, mengabarkan bahwa suasana di kota mulai panas. Semua kampus sudah
bergerak: Universitas Gajah Mada, Muhammadiyah, IAIN, IKIP, Sanata Dharma, Duta Wacana. Para mahasiswa merenca na kan agar aksi bersama yang sudah dimulai 5 Mei lalu te rus menggelinding. Tuntutan telah mengental: Presiden Soeharto turun! Sudah terlalu lama rakyat dihisap dan para pemu da dikorbankan. Raja Jawa itu harus turun. Masa kamu ngendon di rawa seperti burung blekok" kata sang teman lama. Terbanglah ke sini seperti alap-alap.
Bagaimana mungkin ia tidak bergabung dengan gerakan mahasiswa" Mana darah mudanya" Mana daya kritisnya" Di mana keberpihakannya" Apa simpatinya pada aktivis mahasiswa yang dipenjarakan dan orang-orang yang dihilangkan" Beberapa di antara kawannya pernah ada yang mengatakan bahwa ayahnya, Suhubudi, adalah dukunnya Presiden. Itu sudah cukup membuat Parang Jati merasa tidak nyaman. Ayahnya memang sempat cukup kerap dipanggil ke Jakarta. Dulu. Dan bukan beliau satu-satunya tokoh kebatinan yang konon dimintai pendapat. Hal itu pun berhenti di sekitar akhir tahun 80-an. Mungkin berhubungan dengan penolakan Suhubudi menanam padi varietas unggul. Bagi seorang penguasa, itu sudah merupakan pembangkangan. Terlebih, menolak produktivitas padi adalah melawan program swasembada pangan. Namun, mungkin pula lantaran perubahan kartu politik Presiden dan hal-hal lain. Seorang Raja Jawa tak suka jika harus menjelaskan. Entah kenapa tahun ini Suhubudi diundang lagi.
Jelas Parang Jati tidak ingin dianggap mendukung rezim Soeharto. Ia sungguh benci pemerintahan militer. Ia tak bisa melupakan Bandowo, yang tak punya lagi telapak tangan kanan. Suhubudi memang pernah bilang, jika tak ada Pak Harto dulu, mungkin saya telah disuruh kerja paksa atau bahkan dihukum mati oleh orang-orang komunis. Seperti di Kamboja, atau RRC, atau Uni Soviet. Suhubudi sempat bersyukur pada ke hadiran Sang Jenderal, sampai sekitar awal 80-an, saat
korupsi kekayaan minyak bumi mulai disorot media. Jenderal yang selalu tersenyum itu telah menjelma korup. Terutama semenjak putra-putrinya beranjak dewasa, praktik nepotisme dan kronisme semakin memuakkan. Seluruh negara ini dimanfaatkan oleh keluarga dan kerabat Presiden.
Parang Jati memukul angin dalam gerakan silatnya. Rasa nya selama ini tak pernah ia melawan ayahnya. Rasanya ia selalu anak penurut. Ia gamang. Ia buang rasa cemas itu lewat pernafasan. Parang Jati membuat loncatan melintir dan men darat sambil berteriak keras. Kali ini ia memutuskan: ia mau melanggar ayahnya sedikit. Ia mau bergabung dalam de - monstrasi mahasiswa dan meninggalkan tugasnya di padepokan.
Jalanan kota kotor oleh sampah demonstrasi. Seorang simbah kutangan berdiri dengan sapu lidi, barangkali teringat masa-masa ruhara tiga puluh tahun silam.
Parang Jati tahu diri, ia tidak bernilai untuk tugas orasi. Ia terlalu perenung untuk bisa memaki-maki. Dan ia tidak bisa melawak di depan panggung. Ia punya rasa humornya sendiri, yang cocok untuk belakang layar. Maka ia merancang satu sumbangan, sebagai hiburan katarsis di antara pidato-pidato politik.
Kita bikin pertunjukan Petruk Jadi Ratu, Menggulingkan Semar Gadungan! katanya setelah tiba di kos-kosan temannya di sekitar Bulaksumur. Malam itu juga ia membuat naskahnya. Teman-temannya mencari aktor-aktor dari kalangan mahasiswa dan seniman untuk mementaskan.
Penutur lakon akan membuka cerita: Alkisah, para punakawan menyadari benih huru-hara yang bakal segera menimpa kerajaan Hastina. Penyenggak yaitu komentator yang me nya-
mar sebagai penonton akan memotong: Kok Hastina, mbok Indone-sa sekalian" Penyenggak lain, yang berlogat bukan Jawa, juga protes: punakawan itu apa" Kami dari luar Zawa tak mengerti apa itu punakawan. Ada banyak mahasiswa dari seberang pulau di Yogyakarta.
Maaf, maaf. Terpaksa pakai budaya Jawa sedikit. Maklum, supaya yang dikritik itu mengerti. Beliau itu kan orang Jawa. Kalau ngritik pakai bahasa yang Beliau tidak mengerti, nanti percuma. Punakawan adalah rakyat jelata, orang-orang yang tidak punya kuasa. Kalau ceritanya bertempat di istana, punakawan itu ya batur atau abdinya para bangsawan. Kalau ceritanya tidak istanasentris, mereka bisa jadi apa saja asal biasa dan jelata: petani, nelayan, guru, apapun. Mereka itu rakyat, bukan wakil rakyat. Kalau wakil rakyat itu adalah" Asuuu...
Jejak punakawan dalam sejarah nusantara ditemukan setidaknya berasal dari abad ke-11 atau ke-12. Sosok-sosok pendek lucu mulai terlihat di Candi Penataran dekat Malang, dan candi-candi di Jawa Timur sampai candi Sukuh. Di Penataran punakawan mulai mengabdi pada Sri Rama dan Dewi Sita, yang ceritanya ditatahkan dalam reliefnya. Diduga, ketika itu orang Jawa sudah senang mementaskan wayang, dan tokoh-tokoh punakawan sudah jadi favorit para penonton, lebih dari tokohtokoh satria macam Arjuna, Gatotkaca, Sumbadra, dan lain-lain yang ganteng dan ayu. Jadi, adanya punakawan itu bukti bahwa sastra nusantara ini memberi tempat besar pada rakyat jelata. Di Pasundan, punakawannya bernama Cepot. Di Bali, Mredah dan Walen. Di Jawa: Semar, Petruk, Gareng, Bagong, dan lainlain: Togog, Bilung, Limbuk, Cangik.
Lho! Kok banyak sekali punakawan-nya Jawa" Memang rakus. Bukan, memang orang Jawa itu jelek-jelek rajin bercinta dan beranaknya cepat. Kok pendek-pendek semua punakawan itu" Ada satu yang tinggi, namanya Petruk. Dia itu mungkin tetesannya benih Belanda. Hidungnya pun mancung. Haduh!
Diam-diam saja, ya. Nanti penggemar Petruk bisa ngamuk. Tapi Petruk memang baru ada setelah VOC masuk. Dia belum nongol di candi-candi atau dalam artefak sebelum nusantara dijajah Belanda. Oh! Jadi anak Indo tho si Petruk itu" Cocok jadi artis sinetron dong! Ha iya! Makanya dia tokoh lakon kita! Petruk Jadi Ratu. Kloneng kloneng...
Maksudnya jadi Raja" tanya penyenggak dari Sumatera Utara.
Ya sama saja. Di sini Raja itu Ratu, Ratu itu ya Raja. Nah! Punakawan yang mengabdi pada kebaikan, meski statusnya hanya orang jelata, ternyata bisa memahami kebijaksanaan tingkat tinggi. Dalam kesederhanaannya, mereka itu lebih bijak daripada para satria dan brahmana. Dan karena mereka itu rakyat biasa, mereka tidak punya kepentingan politik kekuasaan. Dan karena tak punya tampang, mereka tidak perlu ja-im, jaga image. Mereka itu lugu. Mereka tokoh yang sangat dekat dan disenangi rakyat dalam kesenian wayang. Sebab mereka adalah rakyat itu sendiri.
Tapi, satu sosok punakawan yang mengatasi nafsu-nafsu duniawi adalah Semar. Kloneng kloneng... Semar dipercaya tak hanya muncul dalam cerita wayang. Semar diam-diam datang dalam masyarakat, dari zaman ke zaman, dalam sejarah. Semar adalah penasihat spiritual bagi raja maupun rakyat. Ia dipercaya telah menemani raja-raja bijak di Tanah Jawa, dan akan berpaling manakala raja itu tak bisa lagi berlaku benar. Semar tidak harus pria, ia bisa saja wanita. Ia tidak harus di sini atau di sana, ia bisa di mana-mana. Semar itu tak terduga, tapi pokoknya ia bijaksana. Bijaksananya pol!
Kloneng kloneng... Cerita terjadi di Negeri Hastina. Atau Hastin-donesi-a. Ketika itu, para satria Pandawa terpaksa berperang melawan Kurawa dalam perang Baratayuda. Akibatnya, takhta kosong. Tidak ada yang memerintah. Kalau terlalu lama tidak ada yang
memimpin, akan terjadi kekacauan. Begundal-begundal bisa merampok dan memperkosa seenaknya.
Di tengah ancaman khaos itu, tiba-tiba Semar muncul. Mbegegek-ugeg-ugeg, saya ini terpaksa muncul daripada situasi yang tidak kondusif. Begitu katanya. Saya akan me megang kendali daripada Negeri Hastina. Nama saya adalah Supersemar.
Wealah lahdalah! Asuuuu...
Begitulah, akhirnya Supersemar pun ternyata duduk di takhta Hastina selama tiga puluh tahun lebih sedikit. Setiap lima tahun ia membuat Kabinet Pembangunan yang terdiri dari para menteri. Setelah lewat tiga puluh tahun, ia menyusun Kabinet Pembangunan yang Ketujuh. Tujuh itu angka keramat. Tujuh itu akhir satu siklus. Harusnya eling lan waspada. Ternyata Supersemar malah mengangkat kroninya sendiri, para punakawan: Limbuk jadi menteri sosial, Togog jadi menteri perdagangan, Bilung jadi ketua wakil rakyat...
He! Wakil rakyat kan bukan termasuk kabinet" Lho, makanya. Di bawah pimpinan Supersemar, ternyata wakil rakyat juga ditentukan oleh Beliau. Petruk dan Gareng, juga Bagong, malah tidak masuk dalam kabinet. Sebab mereka itu selama ini sangat kritis terhadap pemerintahan Supersemar. Petruk dan Gareng melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa ternyata Semar yang sedang memerintah di Hastina itu, Supersemar itu, bukanlah Semar yang sesungguhnya. Ia adalah Semar jadi-jadian. Mengaku Semar tetapi sesungguhnya bukan. Ia memang bisa berkuasa selama tiga puluh tahun karena ia memegang Jimat Ramesrepus yang dititipkan Semar sejati. Sekarang jimat itu hilang. Itu menandakan Semar yang sejati telah meninggalkan dia sebab kejahatannya telah keterlaluan.
Vertical Run 10 Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter The Proposal 3
^