Api Di Bukit Menoreh 4
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4
Orang itupun terlempar dari kudanya yang sedang berlari.
Beberapa orang prajuritpun segera berlari menangkap kuda yang terlepas kendalinya itu, sedangkan yang lain berusaha menolong prajurit yang terjatuh itu. Tetapi agaknya prajurit itu tidak apa-apa, sehingga iapun telah bangkit sendiri.
Terdengar tepuk tangan dan sorak yang bergelora di seputar alun-alun itu. Beberapa orang berteriak-teriak memuji. Tetapi ada pula yang bersungut-sungut karena orang yang diharapkan menang, juptru dapat dijatuhkan dari kudanya.
Demikianlah, ada ampat pasang pertarungan sodoran yang mendapat sambutan yang sangat meriah dari mereka yang menyaksikan di seputar alun-alun itu. Apalagi ketika terjadi pertarungan pada putaran kedua. Ampat orang pemenang dari ampat pasang pertarungan ini akan turun kembali ke arena menjadi dua pasang.
Yang paling menggemparkan adalah pertarungan terakhir dari dua orang pemenang. Dua orang yang terbaik dari delapan orang yang ikut dalam sodoran itu. Seorang diantara keduanya akan menjadi orang terbaik yang akan mendapat hadiah seekor kuda dari Kangjeng Adipati di Demak. Tentu saja seekor kuda yang besar dan tegar, yang akan dapat menjadi kebanggaannya.
Sorak yang gemuruh bagaikan meruntulikan langit ketika kedua orang terbaik itu mulai dengan pertarungan mereka. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Tombak-tombak tumpul mereka terjulur ke arah tubuh lawannya. Tetapi perisai di tangan kiri merekapun dengan tangkas menepis serangan-serangan itu dan b dik m telah datang pula serangan balasan yang mengejutkan.
Ketika seorang diantaranya terjatuh dari kudanya, maka dinding alun-alun itu bagaikan akan roboh. Beberapa saat lamanya orang yang berada di sekitar alun-alun itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Pemenang sodoran pada putaran terakhir itupun kemudian berkeliling alun-alun diatas punggung kudanya sambil mengangkat tombak tumpulnya. Kemudian terakhir orang itu menghadap ke panggung kehormatan dan memberi hormat kepada Kangjeng Adipati di Demak.
Setelah sodoran, maka beberapa kelompok prajurit telah menunjukkan ketrampilan serta kemampuan mereka. Di alun-alun itupun telah dinyalakan seonggok dahan-dahan kering. Kemudian dengan tangkasnya beberapa orang prajurit-pun meloncatinya. Bahkan beberapa orang yang lain, meloncat bagaikan seekor harimau yang menerkam, namun kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling pada punggungnya.
Yang mengundang sorak gemuruh adalah ketika beberapa orang yang berpakaian serba merah berlari-lari ketengah-tengah alun-alun mengelilingi api yang masih menyala itu. Ternyata mereka terdiri dari sepuluh orang, yang kemudian mengelilingi api yang masih menyala itu. Mereka segera mengambil ancang-ancang. Sejenak kemudian seorang diantara merekapun memberikan isyarat, sehingga sepuluh orang itupun segera menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke api yang masih menyala itu.
Tiba-tiba saja api itupun padam.
Para prajurit Demak itu masih mempertunjukkan beberapa macam kelebihan mereka. Seorang yang menghantam palang-palang kayu sehingga patah. Seorang bahkan membiarkan kepalanya dihantam dengan papan. Ternyata bahwa papan itulah yang pecah. Orang itu tidak menunjukkan pertanda bahwa kepalanya menjadi sakit atau pening.
Selain mempertunjukkan kemampuan beberapa orang secara pribadi, maka para prajurit itupun telah menunjukkan bagaimana mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil. Dengan kelompok-kelompok kecil mereka menyergap pasukan yang jauh lebih besar. Namun mereka berhasil mengacaukan pasukan yang lebih besar itu serta menghalau mereka dengan meninggalkan banyak korban.
Semakin panas terik matahari membakar kulit, maka pameran kemampuan para prajurit itupun menjai semakin mendebarkan.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri diantara orang-orang yang berjejalan itu memperhatikan pegelaran untuk memamerkan kemampuan para parjurit itu dengan perasaan yang dingin. Di mata mereka, tidak ada kelebihan yang perlu dikagumi Apa yang mereka pamerkan itu sama sekali tidak akan mengejutkan para prajurit di Mataram. Bahkan seandainya Mataram menyelenggarakan pegelaran semacam itu, masih banyak sekali kelebihan dan kemampuan para prajurit yang dapat diketengahkan.
Namun agar tidak menarik perhatian, jika orang-orang di sekitarnya berteriak-teriak memuji serta bertepuk tangan, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun melakukannya pula meskipun dengan setengah hati.
Terakhir adalah pameran ketrainpilan pasukan para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lantang. Mereka memamerkan perang gelar dengan segala macam pertanda kebesarannya.
Seperti yang diduga oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka jumlah mereka tidak terlalu banyak. Gelar yang akan dipamerkan adalah gelar yang kecil.
Tetapi gelar yang kecil itu memang memberikan gambaran dari sebuah gelar yang lengkap.
Ternyata pameran ketrampilan para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mendapat sambutan yang cukup baik.
Mereka yang mengaku para murid dari Ki Saba Lintang itu telah mempertunjukkan ketrampilan mereka dalam perang gelar. Setiap kali terdengar aba aba, maka pasukan kecil itupun segera merubah gelar mereka. Dari gelar yang melebar berubah menjadi gelar yung lebih terhimpun. Dari gelar Garuda Nglayang yang kemudian berubah menjadi gelar Dirada Meta. Atau gelar Wulan Tumanggal ke gelar Cakra Byuha.
Setiap terjadi perubahan gelar, maka orang-orang yang berdiri di seputar alun-alun itupun bersorak mawurahan seakan-akan menggapai awan yang mengambang di langit.
"Bagaimana menurut pendapat, kakang?" bertanya Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Seperti menyaksikan anak-anak bermain perang-perangan. Jika yang dimaksud adalah gelar perang, maka gelar perang itu tidak mempunyai greget sama sekali. Seakan-akan mereka sekadar mengingat, apa yang harus dilakukan dalam perubahan gelar. Para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu sama sekali tidak memahami apa yang mereka lakukan. Mereka hanya mengingat, langkah-langkah yang harus mereka lakukan. Urut-urutan barisan dalam pembahan gelar itu.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putihpun berkata selanjutnya, "Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku memahami perang gelar, karena pasukan pengawal di Tanah Perdikan mendapat latihan-latihan perang gelar sebagaimana para prajurit dari pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Gelar itu seperti dinding yang rapuh didalamnya. Mudah sekali untuk meruntuhkannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Katanya, "Ya. Dinding itu memang rapuh."
Demikianlah latihan besar-besaran yang diselenggarakan di alun-alun itupun berakhir pada saat matahari telah berada di sisi Barat langit. Sinarnya sudah tidak lagi membakar kulit.
Akhir dari latihan perang besar-besaran itu adalah pemberian beberapa anugerah kepada para prajurit. Diantaranya prajurit yang telah memenangkan pertarungan sodoran yang mendapatkan hadiah seekor kuda yang besar dan tegar. Namun sebagai lambang dari hadiah itu, maka prajurit itu telah menerima sebuah cemeti langsung dari Kangjeng Adipati Demak.
Rakyat Demak yang berada di sekitar alun-alun itu bersorak seakan-akan memecahkan selaput telinga.
"Hidup Kangjeng Adipati. Hidup Kangjeng Adipati." Kangjeng Adipati Demak itu kemudian naik kembali ke panggung kehormatan. Tetapi ia sempat berhenti sejenak untuk melambaikan tangannya kepada rakyat Demak yang bersorak-sorak bagaikan tidak terkendali lagi.
"Ternyata jika Kangjeng Adipati Demak merasa dirinya berhak atas tahta itu, bukan kesalahan mutlak Kangjeng Adipati," berkata Glagah Putih.
"Kenapa?" "Selain dorongan dari kedua orang Tumenggung seperti yang dikatakan oleh Raden Yudatengara, maka sambutan rakyat Demak telah membuat Kangjeng Adipati kehilangan kendali diri. Kangjeng Adipati merasa bahwa dirinya memang sudah sepantasnya merebut tahta Mataram dari adiknya, meskipun seharusnya Kangjeng Adipati tahu, bahwa adiknya itu lahir dari permaisuri."
"Ya. Kangjeng Adipati telah terhempas dari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka apa yang dilakukan oleh Kangjeng Adipati tidak lagi sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kangjeng Adipati telah kehilangan kiblat atas kewajiban yang seharusnya dipikulnya ketika ia dikirim ke Demak."
"Keadaan disekelilingnya telah menghanyutkan. Sementara itu orang-orang disekitarnya yang telah memisahkan Kangjeng Adipati dengan kenyataan yang terjadi atas rakyatnya, sebenarnyalah orang-orang yang sangat mementingkan dirinya sendiri. Jika mereka berhasil mendorong Kangjeng Adipati untuk melupakan tempatnya berpijak, maka orang-orang disekitarnya, yang telah menjerumuskannya itu akan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sama sekali tidak memikirkan, apa jadinya Demak kemudian. Tetapi yang mereka pikirkan adalah, apa jadinya aku kemudian. Apakah aku akan menjadi kaya raya atau berpangkat tinggi, atau menerima ganjaran yang banyak sekali, atau apapun yang menguntungkan diri sendiri."
Keduanyapun terdiam. Mereka mencoba memperhatikan orang-orang yang berada di panggung kehormatan. Para pemimpin Demak itu nampaknya memang dengan sengaja menjerumuskan Kangjeng Adipati ke dalam dunia mimpi. Namun yang akan menghempaskannya membentur kenyataan yang tidak akan dapat diterimanya lagi.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang berada di seputar alun-alun itupun mencoba mendesak untuk dapat mendekati jalur jalan yang akan dilewati oleh Kangjeng Adipati. Ketika sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda meninggalkan panggung kehormatan, maka orang-orang itupun berteriak, "Hidup Kangjeng Adipati. Hidup Kangjeng Adipati."
Kangjeng Adipati melambaikan tangannya serta mengangguk-angguk kepalanya sambil tersenyum-senyum. Sebenarnyalah Kangjeng Adipati itu telah tenggelam dalam buaian mimpi indah. Seakan-akan rakyat di seluruh Demak, bahkan di seluruh Mataram itu telah bersujut kepadanya.
Apalagi Ki Tumenggung Panjer selalu berbisik ditelinganya, bahwa rakyat Demak adalah rakyat yang akan setia kepada Kangjeng Adipati, bahkan seandainya mereka harus mengorbankan nyawa mereka sendiri.
"Terima kasih, terima kasih," Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk, "kesetiaan mereka akan mengantar aku ke tahta Mataram. Aku akan mengusir Yayi Prabu Hanyakrawati dari tahta, karena aku adalah putera Panembahan Senapati yang lebih tua."
Dalam pada itu. orang-orang yang berada di alun-alun itupun kemudian telah meninggalkan alun-alun. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya memang tidak kembali lagi ke penginapan.
Keduanya memang merasa sudah mendapat bahan cukup banyak untuk dilaporkan ke Mataram. Sehingga Mataram akan dapat menentukan sikap apakah yang akan diambil terhadap Demak.
"Malam ini kita akan bermalam dimana, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Kita akan keluar kota. Kita akan bermalam di perjalanan pulang.
"Apakah kita akan langsung pergi ke Mataram?"
"Kita akan singgah di Pajang."
"Apakah kita akan melewati Sima?"
"Ya. Tetapi kita tidak akan masuk ke padukuhan induk. Sima sekarang tentu berbeda."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun dari alun-alun langsung meninggalkan kota. Mereka berjalan beriring bersama orang-orang dari luar kota Demak yang menonton latihan perang-perangan di alun-alun.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berjalan terus. Semakin lama orang-orang yang berjalan bersamanya-pun menjadi semakin menipis, sehingga akhirnya, ketika senja turun, mereka tinggal berjalan berdua saja.
Tetapi mereka sudah berada agak jauh dari Demak.
Ketika mereka kemudian melewati sebuah pategalan yang sepi, maka merekapun berniat untuk bermalam di pategalan itu.
"Ada sebuah gubug di pategalan itu, kakang," berkata Rara Wulan.
"Ya. Nampaknya gubug itu sepi. Apakah kita akan bermalam di gubug itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Mereka pernah mengalami perlakuan buruk oleh seorang pemilik gubug ketika mereka berdua menumpang tidur di gubug itu.
Rara Wulanpun tidak melupakannya. Namun agaknya gubug yang jauh dari padukuhan itu, tidak terlalu sering dikunjungi oleh pemiliknya, sehingga karena itu, maka Rara Wulanpun berkata, "Agaknya pategalan ini jarang-jarang didatangi pemiliknya, kakang, apakah kita dapat bermalam di gubug itu?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita bermalam di gubug itu."
Meskipun agak ragu, namun keduanyapun kemudian menyelinap di pategalan itu dan merekapun segera naik ke sebuah gubug. kecil yang terbuka, yang agaknya memang jarang sekali dikunjungi pemiliknya. Debu yang tebal bertaburan di gubug itu. Sehingga Rara Wulan telah mematahkan sebuah ranting pohon mlandingan yang kemudian dipergunakan untuk membersihkan debu gubug itu.
"Aku dahulu yang tidur," berkata Rara Wulan. Glagah Putih tertawa pendek sambil menyahut. "Bukankah biasanya juga kau dahulu yang tidur?"
Rara Wulan tidak menjawab. Namun Rara Wulanpun segera membaringkan dirinya di gubug itu.
Sejenak kemudian, ternyata Rara Wulanpun sudah tertidur lelap.
Glagah Putih masih saja duduk bersandar tiang gubug kecil itu. Setiap kali ia selalu teringat akan sikap kasar pemilik gubug yang pernah mengusirnya, bahkan menuduhnya berbuat tidak sepantasnya di gubugnya.
Tetapi ketika Glagah Putih mulai berangan-angan tentang prajurit Demak, maka ingatannya tentang gubug itupun segera menepi.
"Pasukan Demak ternyata tidak begitu tangguh," berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Iapun mulai mengingat-ingat apa yang telah dilihatnya di alun-alun Demak.
Dalam pada itu. malampun menjadi semakin malam. Bintang-bintang mulai bergeser ke Barat Angin malam yang dingin berhembus menyentuh dedaunan.
Namun menjelang tengah malam Glagah Putihpun terkejut. Tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Tidak hanya satu dua atau bahkan sekelompok dua kelompok. Derap kaki kuda itu agaknya sepasukan prajurit berkuda yang memacu kudanya melintas di jalan di sebelah pategalan itu.
Glagah Putihpun segera membangunkan Rara Wulan. Sambil mengusap matanya Rara Wulanpun bertanya, "Ada apa kakang?"
"Kau dengar derap kaki kuda itu?"
"Ya." "Tentu sepasukan prajurit berkuda. Pasukan itu akan lewat di jalan sebelah."
"Kita akan melihatnya?"
"Ya. Tetapi kita harus berhati-hati."
Rara Wulanpun membenahi dirinya sekedarnya. Berdua merekapun segera bergeser ke tepi jalan. Dengan hati-hati mereka bersembunyi di balik segerumbul pohon perdu.
Sejenak kemudian, seperti yang mereka duga, sepasukan prajurit berkuda bergerak dengan cepat melintas. Mereka datang dari arah Demak.
"Prajurit berkuda dari Demak," desis Glagah Putih.
Rara Wulan mengangguk-angguk, "Ya. Agaknya mereka tergesa-gesa."
"Besok kita akan mengikuti jejak prajurit berkuda itu. Mereka akan pergi kemana?"
Demikian pasukan berkuda itu lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke gubug kecil itu. Giliran Glagah Putihlah yang kemudian berbaring di gubug itu, sementara Rara Wulan duduk bersandar tiang.
Glagah Putihpun sempat tidur sejenak. Namun didini hari Glagah Putihpun sudah bangun.
"Kau hanya tidur sebentar kakang," desis Rara Wulan.
"Sudah cukup. Sebaiknya kita bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan."
"Apakah kita tetap akan lewat Sima?"
"Ya. Tetapi kita akan melihat suasana. Jika kita berangkat sekarang, maka kita akan sampai di Sima menjelang senja. Kita memang tidak usah pergi kepadukuhan induk."
Demikianlah, setelah berbenah diri sekedarnya, maka menjelang fajar merekapun meninggalkan pategalan itu. Mereka akan berhenti jika mereka menyeberangi sungai untuk mencuci muka serta membersihkan kaki dan tangan mereka. Agaknya mereka sudah terlambat untuk mandi, karena sebentar lagi mataharipun akan segera terbit, sehingga sudah akan ada orang lain yang mungkin lewat. Mungkin orang-orang yang akan pergi ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka, atau orang-orang yang akan berbelanja untuk mempersiapkan makan pagi bagi orang-orang yang sedang sambatan.
Kedua orang itu berharap bahwa mereka akan sampai di Sima menjelang senja. Jika mungkin mereka masih dapat menemukan kedai yang masih buka. Selain untuk makan malam, merekapun dapat berbicara tentang perkembangan Sima di hari-hari terakhir.
Di sepanjang jalan mereka sempat mengamati jejak sepasukan berkuda semalam. Ternyata menilik jejak pasukan berkuda itu yang masih membekas di jalan, agaknya pasukan berkuda itu menuju ke Sima.
Kedua orang itu memang agak menjadi heran, bahwa jalan yang mereka lalui terasa agak sepi. Tidak banyak orang yang berjalan hilir mudik di jalan itu. Bahkan sulit bagi orang untuk mendapatkan sebuah kedai yang buka.
Sedikit lewat tengah hari, mereka melewati sebuah pasar yang sepi. Hanya beberapa orang saja yang nampak masih berada di pasar itu.
"Sepi sekali pasar ini," desis Glagah Putih.
"Sudah terlalu siang," jawab Rara Wulan, "matahari sudah lewat puncaknya. Pasar ini adalah pasar yang kecil, apalagi agaknya hari ini bukan hari pasaran."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih masih melihat seorang perempuan yang berjualan nasi di sudut pasar itu. Agaknya dagangannya masih terlalu banyak untuk meninggalkan pasar itu.
"Kita beli nasi, Rara. Belum tentu kita nanti menemukan kedai yang masih buka. Apalagi nampaknya suasananya agak berbeda dengan hari-hari biasa. Mungkin pengaruh pasukan berkuda yang lewat semalam."
Rara Wulanpun mengangguk. Katanya, "Tetapi jika kita menjadi haus, apakah perempuan itu juga menjual minuman?"
"Nanti kita minum air bersih yang disediakan di depan regol-regol rumah."
Rara Wulan tersenyum. Demikianlah mereka berduapun kemudian telah duduk di sekitar tikar yang digelar di dekat bakul tempat nasi. Ternyata perempuan itu berjualan nasi megana. Nasi dan megananya yang berada di tampah yang dialasi dengan bakul yang berisi daun pisang, masih banyak juga.
"Nasi Megana, yu?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Nyi. Mari silakan. Nasiku masih banyak. Agaknya hari ini hari yang sial bagiku."
"Mbokayu tidak menjual minuman juga?"
"Ada dawet, Nyi. Nanti setelah aku siapkan dua pincuk nasi, aku ambilkan dua mangkuk dawet."
Glagah Putih dan Rara Wulan menebarkan pandangan matanya. Sebenarnya merekapun melihat seorang penjual dawet di dekat pintu regol pasar yang sepi itu.
Setelah menyerahkan dua pincuk nasi megana kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, maka perempuan itupun bangkit berdiri dan berjalan mendekati penjual dawet itu. Iapun memesan dua mangkuk dawet untuk kedua onuig yang membeli nasi megananya.
"Pasarnya sepi. Yu?" bertanya Rara Wulan.
"Sepi sekali. Nyi. Hari ini memang bukan hari pasaran. Tetapi biasanya juga tidak sesepi ini."
"Kenapa?" "Semalam ada sepasukan prajurit berkuda lewat. Agaknya pasukan yang lewat itu mempunyai pengaruh yang besar, sehingga orang-orang agak takut-takut juga pergi ke luar rumah."
"Sehingga nasi mbokayu menjadi tidak begitu laku?"
"Ya. Tidak ada separo hari-hari yang lain meskipun juga bukan hari pasaran. Padahal modalku sudah aku letakkan di daganganku itu semuanya, Nyi. Jika nasi itu tetap tidak laku, maka aku akan kesulitan untuk dapat berbelanja buat berjualan esok pagi."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Ketika penjual dawet itu kemudian membawa dua mangkuk dawet bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, maka Glagah Putihlah yang bertanya, "Pasar sepi, kang ?"
"Ya Ki Sanak. Pasar sepi sekali hari ini. Para prajurit berkuda semalam agaknya telah menakut-nakuti orang-orang yang akan pergi ke pasar, namun nampaknya mereka tergesa-gesa. Sehingga sebelum wayah pasar temawon, pasar ini justru sudah menjadi sepi."
"Apa yang dilakukan oleh prajurit-prajurit semalam?"
"Mereka hanya lewat."
"Bukankah mereka tidak berhenti dan apalagi mengganggu rakyat?"
"Tidak. Tetapi kami sudah terlanjur merasa takut terhadap para prajurit."
"Kenapa" Bukankah mereka justru selalu melindungi rakyat" Seharusnya kalian justru merasa tenang jika di sekitar kalian ada sekelompok prajurit."
"Ya. Kadang-kadang kami memang merasa terlindungi. Tetapi kadang-kadang para prajurit itu justru membuat jantung kami berdebar-debar."
Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut.
Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menghabiskan nasi satu pincuk dan dawet cendol semangkuk, sehingga merekapun sudah merasa menjadi kenyang.
Namun penjual nasi megana dan penjual dawet itu terkejut ketika Rara Wulan membayar mereka masing-masing dengan sekeping uang perak.
"Tidak ada kembalinya, Nyi. Bahkan seandainya semua daganganku laku, tentu masih juga belum cukup untuk memberikan uang kembali. Apalagi nasiku tidak laku hari ini."
"Aku juga tidak ada uang kembali," berkata penjual dawet itu.
Namun sambil tersenyum Rara Wulanpun menjawab, "Kalian tidak usah memberikan uang kembali. Masing-masing ambil saja uang itu. Bukankah untuk berjualan esok, kalian memerlukan uang untuk berbelanja bahan-bahannya?"
"Tetapi uang ini terlalu banyak."
Rara Wulanpun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Glagah Putih. Dengan nada lembut Rara Wulanpun berkata, "Jangan berpikir macam-macam. Kami akan meneruskan perjalanan."
"Tetapi kalian ini siapa?" bertanya penjual dawet.
"Kami adalah suami isteri yang sedang mengembara serta menjalani laku. Karena itu, lupakan bahwa aku pernah datang kemari dan memberikan uang masing-masing sekeping uang perak. Mudah-mudahan uang itu dapat kalian pergunakan dengan baik, sehingga kalian dapat berjualan terus setiap hari."
Mata perempuan penjual nasi mengana itu tiba-tiba saja berkaca-kaca. Katanya, "Yang Maha Agung akan selalu melindungi kalian berdua. Sebenarnyalah aku sudah merasa cemas, bahwa esok aku tidak dapat berjualan lagi atau setidak-tidaknya daganganku menyusut. Sementara suamiku berharap aku dapat membantu menghidupi anak-anak kami."
"Sudahlah. Pergunakan saja uang itu sebaik-baiknya. Usahakan agar uang itu kau pergunakan untuk menambah daganganmu. Mungkin tidak hanya nasi megana. Mungkin kau juga dapat menjual rempeyek wader. Bukankah nasi megana dengan rempeyek wader akan menjadi semakin nikmat" Kau dapat membeli wader pada orang-orang yang sering menjala ikan di sepanjang sungai itu. Kadang-kadang aku melihat orang-orang yang menjala wader di sepanjang sungai. Sekepis wader tentu sudah akan menjadi beberapa puluh rempeyek."
Perempuan itu mengangguk-angguk. Suaranya menjadi semakin dalam, "Ya, Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih sekali."
Sedangkah penjual dawet itupun berkata pula, "Kami tidak akan melupakan Ki Sanak meskipun kami tidak tahu, siapakah Ki Sanak berdua."
Glagah Putih menarik nafas panjang sambil berkata, "Uang itu tentu uang kalian sendiri. Kurnia dari Yang Maha Agung. Kami hanyalah lantaran untuk menyampaikannya kepada kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.
"Kalian akan pergi kemana?" bertanya penjual dawet itu.
"Kami akan pergi ke Sima."
"Ke Sima?" "Ya." "Berhati-hatilah," pesan penjual dawet itu.
"Kenapa ?" bertanya Glagah Putih.
"Kemarin sepupuku yang ikut paman berjualan di pasar Sima telah pulang."
"Apakah ada sesuatu yang gawat terjadi di Sima?"
"Ya. Suasananya terasa amat panas. Pasukan berkuda yang lewat semalam tentu juga akan pergi ke Sima. Bahkan beberapa orang telah mengungsi dari Sima."
"Apa yang terjadi di Sima ?"
"Menurut sepupuku, Sima bagaikan bisul yang akan pecah. Agaknya akan terjadi perang."
"Perang " Perang antara siapa melawan siapa ?"
Penjual dawet itupun menggeleng, "Sepupuku itu tidak tahu."
Glagah Putih tidak mendesaknya. Tetapi Glagah Putih menduga, bahwa penjual dawet itu memang tidak berani menceriterakan lebih jauh lagi meskipun ia lebih banyak mengetahuinya lewat sepupunya itu.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan pasar itu untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Namun ceritera dari penjual dawet itu telah membuat mereka semakin tidak tergesa-gesa, agar mereka sampai di Sima setelah gelap. Didalam gelapnya malam, mereka akan dapat lebih banyak berbuat daripada di siang hari.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah meyakini bahwa jejak pasukan berkuda itu menuju ke Sima, maka merekapun justru telah mengambil jalan-yang lebih kecil untuk menghindari kemungkinan berpapasan dengan sekelompok prajurit atau murid dari perguruan Kedung Jati yang mungkin sedang meronda atau pasukan penghubung dari Demak ke Sima dan sebaliknya.
Namun semakin mendekati kademangan Sima, maka suasanapun terasa menjadi semakin sepi. Jalan-jalan pun juga terasa lengang. Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting sajalah yang turun ke jalan.
"Bukankah pasukan berkuda itu tidak melewati jalan ini?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Pasukan Berkuda semalam menuju ke Sima lewat jalur jalan yang lebih besar dari jalan ini."
"Tetapi nampaknya rakyat disekitar tempat ini juga menjadi ketakutan."
"Tentu suasana di Sima telah mempengaruhi keadaan di sekitarnya."
"Bukankah kita masih berada agak jauh dari Sima ?"
"Jika benar kata penjual dawet itu, maka agaknya orang-orang dari padukuhan-padukuhan yang lain, yang pergi ke Sima untuk mencari rejeki, juga telah meninggalkan Sima pulang ke rumah mereka masing-masing, seperti sepupu penjual dawet itu. Mereka tidak tahan lagi tinggal di Sima yang suasana menjadi semakin tidak menentu. Agaknya Demang dan para bebahu yang baru itu tidak lagi mampu mengendalikan suasana di kademangannya. Atau justru Demang itu dengan sengaja membuat suasana menjadi panas, agar ia mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja yang dapat menguntungkan dirinya."
"Ya. Suasana di Sima tentu telah memanasi pula lingkungan di sekitarnya."
Dengan demikian, merekapun menjadi semakin hati-hati Semakin mendekati kademangun Sima, maka suasana-pun menjadi semakin mendebarkan.
Sementara itu, maka langitpun sudah menjadi semakin muram.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi menemukan sebuah kedaipun yang terbuka pintunya.
"Untung kita sudah makan cukup banyak," berkata Glagah Putih.
"Ya. Nasi megana satu pincuk dan dawet cendol satu mangkuk, rasa-rasanya aku menjadi terlalu kenyang. Sekarang akupun belum merasa lapar lagi.."
"Tetapi malam nanti, kita baru akan merasa kelaparan."
"Tetapi kakang pernah menjalani laku beberapa pekan di hutan hanya dengan makan seadanya ?"
"Itu berbeda. Waktu itu kita baru menjalani laku. Tetapi sekarang, tidak."
"Kita sekarang juga sedang menjalani laku. Bukankah kita sedang menuju ke satu tempat yang tidak kita ketahui dengan pasti keadaan serta suasananya ?"
Glagah Putih tertawa pendek. Tetapi ia tidak menjawab.
Ketika senja turun, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan kademangan Sima. Suasanapun terasa menjadi semakin mencekam. Bahkan rasa-rasanya rumah-rumah dise-belah menyebelah jalan hanya menyalakan lampu seperlunya saja.
"Ada apa sebenarnya di Sima," desis Glagah Putih.
Namun merekapun kemudian berhenti sebelum mereka memasuki padukuhan Sima. Mereka menunggu malam turun. Baru mereka akan memasuki kademangan.
"Kita sebaiknya tidak berhenti di pinggir jalan, Rara." berkata Glagah Putih.
Rara Wulanpun segera tanggap. Karena itu, maka mereka berduapun meloncati tanggul parit, meniti pematang dan kemudian naik ke sebuah gubug kecil.
"Dalam suasana seperti ini, tidak akan ada orang yang sempat pergi ke sawah," desis Glagah Putih sambil duduk bersandar dinding. Rara Wulanpun segera duduk pula. Namun keduanya tidak lepas mengamati jalan tidak jauh dari gubug itu.
Glagah Putihpun tiba-tiba saja telah meloncat turun sambil berdesis, "Kau lihat itu, Rara ?"
Rara Wulan mengangguk. Dalam keremangan ujung malam, mereka melihat beberapa kelompok orang yang berjalan dengan tergesa-gesa. Agaknya mereka berjalan dengan cepat dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan dengan perempuan dan anak-anak. Mereka membawa bungkusan-bungkusan kain serta beberapa jenis barang lain yang mereka anggap berharga bagi mereka.
"Nampaknya mereka adalah serombongan pengungsi," desis Rara Wulan.
"Ya. Agaknya suasana bertambah gawat di Sima. Apa sebenarnya yang terjadi " Apakah benar-benar akan ada perang ?"
Kedua orang itupun kemudian sepakat untuk mendekati jalan yang tiba-tiba menjadi ramai itu. Tiba-tiba saja beberapa kelompok telah melintas di jalan yang semula dianggapnya sepi.
Ketika mereka berdiri di pinggir jalan, maka Glagah Putihpun telah mendekati seorang laki-laki tua yang menggandeng dan mendukung dua orang anak-anak yang agaknya cucu-cucunya.
"Ada apa di Sima, kek ?" bertanya Glagah Putih yang berjalan di samping orang tua itu. Sementara Rara Wulan mengikuti di belakangnya.
"Kami mengungsi selagi sempat, Ki Sanak."
"Mengungsi ?" "Ya. Akan terjadi perang di Sima. Sementara itu, para prajurit di Sima sebenarnya melarang kami pergi mengungsi. Mereka yang tinggal di padukuhan induk telah terjebak oleh prajurit Demak serta para murid dari perguruan Kedung Jati. Rakyat Sima yang tinggal di padukuhan induk harus tetap tinggal di rumah masing-masing, meskipun perang akan terjadi. Apalagi anak-anak muda dan laki-laki yang masih kuat, yang selama ini mengikuti latihan perang-perangan sepekan dua kali. Mereka harus ikut mempertahankan padukuhan Sima sebagaimana para prajurit, sementara itu keluarga merekapun diperintahkan agar tetap tinggal di Sima."
"Jadi di Sima akan terjadi perang ?"
"Ya. Menurut kata orang, pasukan Pajang telah segelar sepapan di sebelah Selatan Sima."
"Prajurit Pajang ?"
"Ya." Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Terima kasih, kek. Hati-hatilah dijalan."
"Kau akan kemana ?"
"Aku akan melihat suasana."
"Kau siapa ?" "Aku seorang pengembara kek. Aku tidak bersangkut paut dengan perang yang akan terjadi di Sima."
"Tetapi jika kau terlihat oleh para prajurit Demak, maka kau akan ditangkap. Kau akan dapat dituduh sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari Mataram."
"Aku juga akan berhati-hati, kek."
Demikianlah. Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memisahkan diri dengan iring-iringan para pengungsi itu. Merekapun justru berbalik kembali ke arah Sima.
Ketika mereka sempat berbicara dengan seorang perempuan dan seorang anak yang menuntun kambingnya, maka keterangan perempuan itupun sama sebagaimana laki-laki tua itu.
"Kita memang tidak akan dapat masuk ke kademangan Sima, Rara. Tetapi kita akan menunggu dan melihat dari kejauhan, apa yang akan terjadi di Sima esok."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka justru meninggalkan jalan yang ramai itu. Keduanya memasuki pategalan untuk mencari tempat berlindung. Jika para prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati datang untuk memburu para pengungsi dan memaksa mereka kembali ke Sima, maka mereka tidak akan termasuk diantara para pengungsi. Apalagi jika mereka berdua kemudian diketahui sebagai orang yang asing di Sima, maka nasib mereka akan dapat menjadi sangat buruk.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pategalan, diantara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu sambil melihat orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan Sima.
Namun ternyata sampai menjelang tengah malam, tidak ada prajurit Demak yang menyusul para pengungsi itu. Agaknya selain para penghuni padukuhan induk, maka orang-orang Sima dibiarkannya meninggalkan tempat tinggalnya untuk menghindarkan diri dari garangnya pertempuran.
"Agaknya prajurit Pajang tidak mengepung kademangan Sima," berkata Rara Wulan, "mereka akan menyerang Sima dari satu sisi. Agaknya mereka akan mempergunakan gelar perang yang utuh untuk mengusir para prajurit Demak dari Sima."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku agak meragukan kesungguhan para Senapati di Pajang. Tetapi mudah-mudahan Pajang dapat berhasil membebaskan Sima dengan mengusir para prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati yang dengan tanpa pertempuran sudah menduduki Sima. Mereka hanya cukup mengganti Demang dan Jagabaya di Sima dengan kekerasan. Kemudian mereka telah menguasai Sima seluruhnya."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun akhirnya bergeser lagi semakin dekat dengan Sima. Namun mereka tidak memasuki kademangan Sima. Mereka bahkan melingkar untuk dapat menyaksikan Sima dari sisi yang lain. Bahkan jika mungkin mereka akan melihat benturan gelar perang antara Pajang dan Demak.
"Demak sudah terlalu jauh ke Selatan," berkata Glagah Putih, "agaknya mereka benar-benar telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram. Satu langkah yang sangat berbahaya yang diambil oleh Kangjeng Adipati di Demak."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menunggu sampai esok. Jika mungkin Glagah Putih dan Rara Wulan ingin menyaksikan pertempuran antara Pajang melawan Demak di Sima, yang menurut Glagah Putih, Pajang bertindak agak tergesa-gesa.
Tetapi Rara Wulanpun berkata, "Tentu atas dasar laporan para petugas sandinya di Sima beberapa waktu yang lalu, kakang. Mudah-mudahan saja Pajang berhasil menduduki Sima. Jika itu yang terjadi, kitapun dapat singgah di Sima. Meskipun orang-orang Pajang masih belum banyak mengenal kakang, tetapi pertanda yang kakang kenakan di ikat pinggang itu akan memberikan banyak kesempatan kepada kakang untuk dapat bertemu dan berbicara dengan para Senapatinya."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun bahwa Rara Wulan telah memperingatkannya tentang pertanda yang dikenakannya, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "dengan pertanda ini. bukankah kita dapat menyaksikan perang itu dari jarak yang lebih dekat " Kita justru berhubungan dengan para Senapati Pajang sebelum perang terjadi."
"Kakang yakin bahwa kakang akan dapat diterima dengan baik oleh para Senapati Pajang ?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Mungkin para Sertapati dari Pajang tidak akan dapat menerima kehadirannya dengan senang hati. Pajang ingin mengusir pasukan Demak di Sima dengan kekuatan mereka sendiri tanpa dicampuri oleh siapapun meskipun hanya oleh dua orang. Jika Pajang menang, keberadaan orang Mataram itu akan dapat menodai kemenangannya, seakan-akan Pajang dapat menang karena dibantu oleh Mataram.
Karena itu, maka akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan hanya akan menjadi penonton saja. Jika Pajang menang dan memasuki Sima, baru Glagah,Putih dan Rara Wulan akan menemui para Senapati Pajang di Sima.
Karena itu, maka keduanya benar-benar hanya dapat menunggu apa yang akan terjadi esok pada saat fajar menyingsing.
Glagah Putih yang masih saja bergeser itu, akhirnya dapat menyaksikan perkemahan pasukan Pajang dari kejauhan. Nampaknya Pajang datang dengan pasukan yang kuat. Di perkemahannya dipasang pertanda kebesaran pasukan Pajang. Umbul-umbul, rontek, panji-panji dan kelebet yang melekat pada tunggul-tunggulnya.
Para prajurit Pajang memang datang dengan dada tengadah. Mereka tidak berniat merunduk prajurit Demak yang ada di Sima. Tetapi mereka datang sebagaimana pasukan segelar-sepapan.
Di perkemahan itupun nampak api yang dinyalakan cukup besar di tengah-tengah untuk menghangatkan udara.
Sementara itu, di dapurpun nampak asap mengepul.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan hanya sempat tidur beberapa saat saja bergantian. Sebelum fajar keduanya sudah berbenah diri untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Glagah Putih dan Rara Wulan harus bersembunyi lebih rapat lagi ketika mereka sempat melihatdua orang yang merayap beberapa langkah saja dihadapan mereka. Agaknya para petugas sandi dari Demak yang ingin melihat kesiagaan para prajurit Pajang. Para Senapati dari Demak tentu memperhitungkan, bahwa Pajang akan menyerang pada saat matahari terbit atau bahkan beberapa saat sebelumnya.
Kedua orang prajurit sandi dari Demak itu berhenti tidak terlalu jauh di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka memperhatikan dalam keremangan dini hari, pasukan Pajang yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Sima.
Tetapi kedua orang itu tidak menunggu terlalu lama. Ketika mereka mendengar suara bende yang ditabuh untuk pertama kalinya, maka kedua orang itupun segera bergeser kembali ke induk pasukannya yang sudah bersiap-siap di depan pedukuhan yang paling depan di kademangan Sima. Agaknya Demak tidak hanya akan mempertahankan padukuhan induk kademangan Sima, tetapi mereka agaknya akan mempertahankan kademangan Sima dan keseluruhan.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bergeser pula. Mereka menempatkan diri mereka sebaik-baiknya, sehingga mereka akan dapat menyaksikan apa yang terjadi meskipun tidak dalam keseluruhan. Tetapi setidak-tidaknya sebagian terbesar dari medan pertempuran.
Ketika langit menjadi semakin terang, demikian suara bende yang dibunyikan untuk kedua kalinya terdengar, maka pasukan Demak dan mereka yang mengaku para murid dari perguruan kedung Jatipun telah bersiap pula. Agaknya mereka tidak mempergunakan isyarat suara bende agar tidak terjadi salah paham dengan suara bende dari pasukan Pajang. Namun para prajurit Demak telah mempergunakan isyarat anak panah-anak panah sendaren yang dilontarkan, justru menyesuaikan diri dengan isyarat suara bende dari para prajurit Pajang.
Karena itu, maka demikian terdengar suara bende yang dibunyikan untuk kedua kalinya, maka beberapa anak panah sendarenpun telah beterbangan.
Memang agak mengejutkan, bahwa tiba-tiba pasukan Demak itu telah menegakkan tunggul yang sudah dilekati kelebet-kelebet bertanda kebesaran kelompok-kelompok prajuritnya. Bahkan kemudian beberapa panji panjipun telah dikibarkan pula pada landean-landean tombak panjang.
Agaknya pertanda-pertanda kebesaran itu telah membuat para prajurit Demak serta para murid dari perguruan Kedung Jati menjadi semakin bergelora. Karena itu, ketika terdengar suara bende dari pasukan Pajang dibunyikan untuk ketiga kalinya, justru para prajurit Demaklah yang bersorak gemuruh.
Tanpa aba-aba apapun, karena justru mereka menyesuaikan dengan aba-aba pasukan Pajang, prajurit Demak itupun segera bergerak menyongsong lawannya dengan suara yang gemuruh.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang hanya dapat menyaksikan pertempuran itu sebagian saja, menjadi berdebar-debar. Mereka melihat kedua pasukan yang berhadapan itu telah memasang gelar yang utuh.
Untuk melindungi seluruh kademangan Sima, maka pasukan Demak yang dibantu oleh perguruan Kedung Jati, telah memasang gelar yang melebar. Garuda Nglayang. Sementara itu, Pajang yang ingin menembus langsung ke pusat kekuasaan di Sima yang sudah berada di tangan orang-orang Demak itu, justru mempergunakan gelar yang lebih memusatkan segala kekuatan dalam satu lingkaran. Itulah sebabnya Pajang memilih gelar Cakra Byuha. Para Senapati Pajang berharap gelarnya akan dapat mengoyak pertahanan pasukan induk gelar lawan yang melebar itu.
Namun untuk menghadapi gelar Cakra Byuha, maka gelar Garuda Nglayang telah memperkokoh pertahanan di induk pasukan, serta pada saat yang tepat, sayap-sayap gelar yang masing-masing dipimpin oleh seorang Senapati, akan segera menyerang Gelar Cakra Byuha di lambungnya.
Dengan demikian, maka gelar Garuda Nglayang yang dipasang oleh pasukan Demak akan lebih condong akan bertahan. Namun pada saatnya, sayap-sayapnya akan menjepit gelar yang bulat dari pasukan Pajang.
Beberapa saat kemudian, pada saat matahari terbit, kedua gelar itupun telah berbenturan. Sorak para prajurit dari kedua belah pihak bagaikan akan meruntuhkan langit. Namun, demikian mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit, maka mereka tidak lagi bersorak-sorak. Teriakan-teriakan memang masih terdengar dari antara mereka yang menghentakkan senjata mereka.
Pertempurannya segera menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat menguasai medan.
Namun ketika matahari naik sepenggalah, maka pasukan Pajang sempat mendesak pasukan Demak. Induk pasukan Demak kesulitan untuk mempertahankan serangan gelar pasukan Pajang yang langsung menghunjam ke pusat pertahanan.
Namun para Senapati Demak, memang sudah menduga, bahwa untuk sementara pasukannya akan terdesak. Karena itu, maka Senapati yang memimpin gelar pasukan Demak itupun segera memerintahkan para penghubung untuk memberi isyarat kepada sayap-sayap pasukannya.
Ampat orang penghubung serentak telah melontarkan anak panah sendaren ke langit. Dua ke arah sayap kiri dan dua ke arah sayap kanan.
Perintah itupun segera ditanggapi oleh para Senapati yang memimpin sayap-sayap pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu. Bahkan para Senapati yang berada di sayap gelar itu menganggap bahwa justru perintah itupun sudah agak terlambat.
Karena itu, selagi pasukan dalam gelar Cakra Byuha itu ingin menembus induk pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu, maka Garuda itu seolah-olah telah mengepakkan sayapnya.
Sayap-sayap gelar Garuda Nglayang itupun dengan garangnya telah menyerang lambung Cakra Byuha.
Para Senapati Pajang memang telah memperhitungkan bahwa sayap itupun akan segera menyerang lambung.
Gelar Cakra Byuha itupun bagaikan menggeliat. Pasukan yang berada di lambung dan bagian belakang gelar Cakra Byuha itupun segera menyongsong gerak sayap pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu.
Demikianlah maka pertempuran menjadi semakin sengit. Namun gerak maju pasukan Pajangpun terhenti.
Kedua pasukan itu bertahan di garis benturan itu untuk beberapa lama. Kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan mereka masing-maisng.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Pasukan Demak serta pasukan Pajang itupun segera mengerahkan segala kekuatan dalam gelar mereka masing-masing.
Sementara itu, mataharipun telah menjadi semakin tinggi. Panasnya terasa bagaikan menyengat kulit.
Ketika matahari mencapai puncaknya, maka kedua belah pihak telah sampai ke puncak kemampuan mereka pula. Namun masih belum nampak, pasukan manakah yang akan berhasil mengalahkan lawan mereka.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja pasukan Pajang telah menghentak dengan sisa kekuatan dan tenaga mereka. Ketika matahari turun ke sisi Barat, perlahan sekali pasukan yang sedang bertempur itu mulai beringsut.
Para Senapati dari Demakpun menjadi cemas. Karena itu, maka dengan isyarat sandi, Senapati tertinggi dari pasukan Demak itupun telah menjatuhkan perintah kepada para penghubung.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian, maka beberapa anak panah sendarenpun telah berterbangan, justru dilontarkan ke padukuhan terdekat tetapi masih terangkum dalam lingkup kademangan Sima.
Ternyata isyarat itu diberikan kepada pasukan cadangan yang masih berada di padukuhan. Pasukan cadangan itu disiapkan untuk menahan gerak maju pasukan Pajang, jika ternyata pasukan Demak terdesak. Tetapi Senapati tertinggi Demak di Sima menganggap bahwa pasukan cadangan itu tidak usah menunggu. Namun mereka harus segera menuju ke medan.
Demikianlah, sejenak kemudian, pasukan cadangan dari Demak dan perguruan Kedung Jati telah berlari-lari keluar dari padukuhan untuk segera bergabung di induk pasukan Demak yang masih tetap bertahan pada gelar Garuda Nglayang.
Dengan demikian, maka pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu telah mendapatkan tenaga yang masih segar selain dengan demikian, maka jumlah merekapun segera bertambah.
Pasukan Pajangpun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para prajurit yang berada di ekor gelar Cakra Byuhapun telah mendesak maju dan tampil pula di lambung untuk melawan kepak sayap pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang.
Meskipun demikian, ternyata bahwa pasukan Demak serta para pengikut Ki Saba Lintang itu justru menjadi terlalu kuat bagi pasukan Pajang.
Ketika matahari semakin turun, maka sulit bagi pasukan Pajang untuk tetap bertahan dalam gelar Cakra Byuha yang semakin terjepit. Karena itu, maka semakin lama pasukan Pajangpun menjadi semakin terdesak surut.
Para Senapati Pajang masih berusaha untuk bertahan dan tetap dalam keutuhan gelarnya. Namun tekanan para prajurit Demak terasa menjadi semakin mendesak.
Senapati Demak yang memimpin seluruh pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu adalah seorang yang pilih tanding. Dalam pertempuran yang sengit, Senapati Demak itu berhasil berhadapan dengan Senapati Pajang yang memimpin seluruh pasukannya dalam gelar Cakra Byuha. Keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Namun semakin lama semakin jelas, bahwa Senapati Pajang itu menjadi semakin terdesak.
"Rara. Apakah kita hanya akan tetap menjadi penonton saja sampai akhir dari pertempuran itu?"
"Apa yang dapat kita lakukan, kakang?"
"Aku akan memasuki arena pertempuran."
"Bagaimana kakang dapat melakukannya?"
"Aku akan memegang pertanda yang aku terima dari Mataram. Aku akan menyatakan diri dihadapan para prajurit Pajang."
"Apakah mereka sempat memperhatikan pertanda yang kakang lekatkan pada ikat pinggang itu."
"Aku akan memegangi ikat pinggangku agar pertanda itu dapat dilihat dengan jelas."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Kau ikut bersama aku. Kenakan pakaian khususmu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya. Keduanya merayap melingkar sampai ke belakang gelar Cakra Byuha yang semakin terdesak mundur. Bahkan hampir saja gelar Cakra Byuha itu pecah, karena Senapati yang memimpin seluruh pasukan itupun menjadi semakin terdesak, sehingga ia tidak sempat lagi berbuat sesuatu bagi gelarnya. Bahkan nyawanya sendiripun sudah terancam. Segores-segores luka telah mengoyak kulitnya, sehingga darahpun telah menitik membasahi bumi Sima yang sedang diperebutkan itu.
Dalam keadaan yang gawat itu, dalam gerak mundur yang menjadi semakin cepat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah bergabung dengan gelar Cakra Byuha itu. Ketika seorang prajurit menyapanya, maka Glagah Putihpun segera menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram.
"Kau petugas dari Mataram?"
"Ya. Beri aku kesempatan melawan Senapati tertinggi dari Demak itu. Dengan demikian, maka Senapatimu akan sempat memimpin gerak mundur gelar ini agar tidak pecah. Jika gelar ini pecah, maka korban akan tidak terhitung lagi."
Prajurit yang hampir berputus-asa itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Iapun kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan, menguak gelar Cakra Byuha yang semakin terjepit dari arah depan, sayap kiri dan sayap kanan itu, menemui Senapatinya yang sudah hampir tidak berdaya lagi.
-ooo0dw0ooo- Jilid 379 KETIKA seorang pengawal Senapati yang sudah semakin terdesak itu mencoba untuk menghentikannya, maka sekali lagi Glagah Putih menunjukkan pertanda yang dibawanya dari Mataram.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya pengawal yang sudah terluka bahkan cukup parah itu.
"Serahkan Senapati tertinggi dari Demak itu kepadaku."
"Ia seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kau lihat, bahwa Senapati tertinggi dari Pajang itu mengalami kesulitan. Bahkan gelar inipun sudah hampir pecah karenanya."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia tidak mau kehilangan waktu yang sangat berharga itu. Karena itu, maka iapun segera meloncat ke samping Senapati tertinggi Pajang yang sudah tidak berdaya.
Tepat pada waktunya, Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya menangkis ayunan pedang Senapati tertinggi Demak yang hampir saja membelah dada Senapati Pajang.
"Setan alas. Siapakah kau yang berani menggangguku. Apakah kau juga ingin membunuh diri, atau menir biarkan kematianmu sebagai tumbal bagi Senapati Pajang yang sudah tidak berdaya itu?"
Glagah Putihpun memperlihatkan pertanda yang dibawanya sambil berkata, "Aku telah mengemban tugas untuk memerintahkan kepadamu, agar menarik pasukanmu."
"Perintah siapa?"
"Kau lihat pertanda ini. Pertanda yang diberikan cileh Ki Patih Mandaraka atas nama Kanjeng Sultan Hanyakrawati."
Senapati Demak itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Jangan turut campur. Orang-orang Pajanglah yang telah menyerang kami lebih dahulu."
"Kita akan membicarakannya nanti. Tetapi tarik pasukanmu agar pertempuran ini berhenti."
Senapati dari Demak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang berwajah garang berteriak, "Persetan dengan Mataram."
"Kalian akan melawan Mataram?"
"Kau dan orang-orang Pajang tentu akan menjebak kami. Jika kami menghentikan pasukan kami dan apalagi menarik mundur, maka mereka akan menerjang kami dengan buasnya, sehingga akhirnya kamilah yang akan menjadi korban."
"Aku juga akan menghentikan pasukan Pajang. Pertempuran ini akan berhenti sampai disini."
"Aku tidak peduli," teriak orang berwajah garang, "bunuh saja orang Mataram itu."
"Kau siapa?" bertanya Glagah Putih, "kau tidak mengenakan pakaian serta ciri-ciri prajurit Demak."
"Aku Senapati yang memimpin pasukan dari perguruan Kedung Jati."
"Gila. Kaulah yang tidak berhak ikut campur. Biarlah Senapati pasukan Demak mengambil keputusan."
Namun agaknya Senapati dari Demak itupun sudah terpengaruh pula oleh sikap orang berwajah garang itu. Karena itu, maka Senapati Demak itu justru berteriak.
"Hancurku pasukan Pajang. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Bunuh semua orang yang ada di dalam gelar Cakra Byuha yang sudah kita jepit dengan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang."
Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Kepada Rara Wulan iapun berkata, "Selesaikan orang yang mengaku Senapati dari perguruan Kedung Jati ini."
"Baik, kakang."
"Aku akan berbicara lagi dengan Senapati dari Demak ini."
"Tidak ada yang harus dibicarakan."
"Apakah kau sadari, bahwa jika kau tidak tunduk kepada perintah Mataram serta atas namanya, berarti bahwa kau telah memberontak?"
"Kalian tidak berhak memerintah kami."
"Demak adalah bagian dari keutuhan Mataram. Karena itu, maka Demak, termasuk segala jajaran yang berada dibawahnya, harus tunduk kepada Mataram."
"Cukup. Sekarang kau akan mati, Kau telah mengganggu langkah terakhirku untuk membunuh Senapati Pajang yang tidak lebih dari seekor tikus kecil."
Glagah Putihpun segera bersiap. Tetapi ia masih menggeram, "Kau sadari, bahwa hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukuman mati."
"Aku tidak mengakui wewenang Mataram untuk menghukum seorang perwira prajurit Demak."
"Aku tidak memerlukan pengakuanmu. Jika kau berkeras menolak perintahku, maka akulah yang akan membunuhmu."
Senapati Demak itu menjadi sangat marah. Iapun segera meloncat menyerang Glagah Putih.
Sambil meloncat menghindar, Glagah Putihpun berkata kepada Senapati Pajang, "Selamatkan gelarmu. Jika kau harus mundur, kau dan prajurit-prajuritmu harus tetap berada dalam gelar."
Senapati dari Pajang itu menyadari, bahwa jika gelar pasukannya pecah, maka korban akan semakin bertambah banyak.
Karena itu, dalam keadaan luka, Senapati Pajang itu berusaha untuk meneriakkan aba-aba, agar gelar pasukannya tetap utuh.
Sementara itu, Rara Wulan telah berhadapan dengan orang yang berwajah garang yang mengaku Senapati pasukan dari perguruan Kedung Jati.
"Apakah kau benar murid perguruan Kedung Jati?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Aku adalah murid terpercaya dari perguruan Kedung Jati yang ditugaskan untuk mendampingi pasukan dari Demak."
"Siapa namamu?"
"Buat apa kau tanyakan namaku?"
"Aku adalah murid terbaik dari perguruan Kedung Jati. Tetapi aku masih tetap berdiri pada jalur jalan lurus yang diletakkan oleh para pimpinan perguruan Kedung Jati. Sekarang, apalagi dibawah pimpinan Saba Lintang perguruan Kedung Jati telah keluar dari garis perjuangan yang diletakkan sejak semula."
"Jangan membual. Jika kau benar murid dari perguruan Kedung Jati, katakan siapa gurumu."
"Sekar Mirah. Sedangkan mbokayu Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar. Karena itu, maka aku telah menguasai ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati."
"Omong kosong."
"Sekarang, kita buktikan. Sedangkan jika benar kau memang murid dari perguruan Kedung Jati, maka aku memang sedang dalam tugas membabat dahan dan ranti ng-ranting dari perguruan Kedung Jati yang keluar dari nilai-nilai watak dan sifatnya."
"Semua itu omong kosong. Sekarang bersiaplah untuk mati. Apalagi kau seorang perempuan. Betapa tinggi ilmumu, namun kau tidak akan mampu mengimbangi ilmuku."
Demikianlah, maka Rara Wulanpun telah menapak kedalam lingkaran pertempuran melawan orang berwajah garang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati, bahkan Senapati pasukan dari Kedung Jati yang berada di arena pertempuran itu.
Dalam pada itu, kesempatan Senapati Pajang untuk berada diantara prajurit-prajuritnya memang dapat mempengaruhi keadaan, sehingga pasukan Pajang masih tetap mampu bertahan dalam keutuhan gelar perangnya.
Namun pasukan Pajang itu masih saja mengalami kesulitan untuk bertahan. Perlahan-lahan pasukan Pajang dalam gelar Cakra Byuha itu terdesak surut.
Namun mati-matian, Senapati Pajang yang terluka itu harus berjuang keras untuk mempertahankan gelarnya. Senapati Pajang itu sendiri telah berada di sayap kiri pasukannya, yang mengalami tekanan terberat. Kemudian Senapati pengapitnya, yang semula bertempur melawan orang yang mengaku Senapati pasukan dari perguruan Kedung Jati itu, berada di sayap kanan. Keduanya sudah terluka tetapi keduanya telah melupakan luka-luka di tubuh mereka Dengan sisa-sisa tenaganya mereka berusaha mempertahankan agar gelar Cakra Byuha itu tidak pecah.
Sementara itu. Rara Wulan masih bertempur dengan orang yang mengaku murid terpercaya dari perguruan Kedung Jati itu. Dengan garangnya orang itu menyerang Rara Wulan dan berniat untuk menghentikan perlawanannya dalam waktu singkat. Selanjutnya, Senapati dari perguruan Kedung Jati itu ingin segera memecah gelar Cakra Byuha dari pasukan Pajang dan menghancurkan para prajurit Pajang sampai lumat.
Tetapi ternyata perempuan itu telah menghalanginya Dengan tangkasnya pula Rara Wulan melawan orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu dengan ilmu yang menunjukkan ciri-ciri dari aliran ilmu perguruan Kedung Jati.
Orang itu mulai menjadi bimbang. Ia sudah mendengar nama besar Ki Sumangkar, yang merupakan salah seorang pemimpin terbaik dari perguruan Kedung Jati. Namun sejak itu pula telah nampak warna-warna jernih dan buram yang terdapat dalam perguruan Kedung Jati.
Pertempuran diantara kedua orang yang sama-sama menunjukkan ciri-ciri aliran perguruan Kedung Jati itu berlangsung dengan sengitnya. Tetapi Rara Wulan telah menempa dirinya dengan laku yang luar biasa, sehingga bobot ilmunya, meskipun ia masih berusaha untuk tetap dikenal sebagai murid perguruan Kedung jati, menjadi semaian menyulitkan lawannya.
"Menyerahlah," berkata Rara Wulan, "aku harus mengadilimu. Kau telah keluar dari jalan yang sebenarnya harus ditempuh oleh murid-murid perguruan Kedung Jati."
"Omong kosong. Kau mengemban tugas-tugas yang diberikan oleh pimpinan tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Aku mengemban tugas Ki Saba Lintang."
"Kalau benar kata-katamu, bukan hanya kau yang harus diadili, Ki Saba Lintangpun juga harus diadili."
"Gila. Kau sudah meremehkan nama pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati."
"Ki Saba Lintanglah yang telah merusak citra dari perguruan Kedung Jati. Seharusnya perguruan Kedung Jati menyinarkan cahaya yang dapat membantu menerangi kegelapan di sekitarnya, sekarang justru sebaliknya Ki Saba Lintang telah menyebarkan kegelapan itu sendiri."
"Persetan kau perempuan celaka." Keduanyapun telah terlibat lagi dalam pertempuran yang semakin sengit. Ketika orang yang mengaku murid terpercaya dari perguruan Kedung Jati itu menyerang Rara Wulan dengan goloknya yang besar, yang diputarnya seperti baling-baling, maka Rara Wulanpun telah memperlunakan selendangnya.
Lawannya itupun segera menjadi bingung. Ternyata tenaga dalam Rara Wulan itu sangat besar. Meskipun ujudnya. Rara Wulan adalah seorang perempuan namun orang itu harus mengakui, bahwa ia semakin lama menjadi semakin terdesak.
Rara Wulan memutar selendangnya dengan cepat, sehingga seakan-akan tubuhnya lelah dilapisi dengan kabut tipis, namun yang tidak tertembus oleh senjata lawannya.
Bahkan ketika ujung selendang itu menyentuh kulit lawannya, maka segores luka telah menganga. Seakan-akan kulitnya itu telah tergores oleh pedang yang tajamnya tujuh kali tajam pisau pencukur.
Orang itu berteriak marah. Dihentakkannya ilmunya dengan segenap sisa kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Namun ternyata ilmu perempuan itu beberapa lapis lebih tinggi. Rara Wulan dengan cepat telah mendesak orang itu sehingga orang itu menjadi semakin sulit, untuk menghadapinya.
Meskipun demikian, Rara Wulan tidak menjadi lengah. Jika orang itu benar-benar murid kepercayaan dari perguruan Kedung Jati, maka tiba-tiba saja orang itu akan dapat melontarkan ilmu pamungkasnya.
Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak melihat tanda-tandanya, bahwa orang itu akan melontarkan ilmu andalan perguruan Kedung Jati.
Dengan demikian, maka pertarungan itupun semakin menjadi berat sebelah. Orang yang mengaku Senapati dari perguruan Kedung Jati itu menjadi semakin tidak berdaya.
Keadaan itu ternyata sangat mempengaruhi gairah murid-murid perguruan Kedung Jati yang dipimpinnya. Dalam keadaan yang sangat terjepit, maka Senapati dari perguruan Kedung Jati itupun telah memberikan isyarat, agar saudara-saudara seperguruannya datang membantunya.
Meskipun dua orang murid perguruan Kedung Jati yang lain"telah bergabung dengan Senapatinya itu, namun mereka masih saja tidak mampu menahan Rara Wulan. Apalagi orang yang mengaku Senapati itu lukanya menjadi semakin parah. Selendang Rara Wulan yang menghentak dadanya, bagaikan telah menghentikan nafasnya.
Ketika beberapa orang lagi berniat untuk bergabung dengan orang yang mengaku kepercayaan perguruan Kedung Jati itu, maka prajurit-prajurit Pajangpun telah berusaha menghalanginya.
Sementara itu, Senapati dari perguruan Kedung Jati serta kedua orang saudara seperguruannya itupun menjadi semakin terdesak.
Rara Wulan memang menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika kedua orang murid Kedung Jati itu telah bergabung.
Namun Rara Wulanpun kemudian meyakini, bahwa para murid Saba Lintang itu belum benar-benar menguasai ilmu perguruan Kedung Jati sampai tuntas.
Karena itu, maka sekali lagi Rara Wulan berkata, "Ini kesempatanmu terakhir untuk menyerah."
"Persetan. Sebentar lagi gelar Cakra Byuha itu akan pecah. Kami akan segera menumpas para prajurit Pajang."
Jawaban murid perguruan Kedung Jati itu ternyata telah memperingatkan Rara Wulan, bahwa ia harus segera menyelesaikan lawannya. Ia berpacu dengan waktu. Jika gelar para prajurit Pajang itu lebih dahulu pecah, maka pengaruh keberadaannya di medan tidak akan begitu besar. Bahkan mungkin ia sendiri akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Rara Wulanpoun segera menghentakkan ilmunya. Selendangnya bergerak semakin cepat. Ketika orang yang mengaku kepercayaan Ki Saba Lintang itu mencoba meloncat sambil menjulurkan goloknya kear-ah dada Rara Wulan, maka ujung selendang Rara Wulanpun telah menebas dengan cepat. Ketika ujung selendang itu menggores dada lawannya, maka dada itupun telah menganga oleh luka.
Orang yang mengaku kepercayaan Saba Lintang itu berteriak keras sekali. Tetapi justru saat ia menghentakkan sisa kekuatannya untuk berteriak, maka darah bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya itu.
Sejenak kemudian, maka orang itupun terpelanting jatuh dan tubuhnyapun kemudian telah terbaring ditanah.
Kedua orang saudara seperguruannya telah menyerang Rara Wulan dari dua arah. Tetapi selendangnya yang berputar telah menyambar keduanya, sehingga keduanya terlempar jatuh terbaring. Punggung merekapun rasa-rasanya bagaikan menjadi patah.
Prajurit Pajang yang melihat Senapati para murid perguruan Kedung Jati itu terkapar, maka merekapun segera berteriak, didahului oleh pemimpin kelompok prajurit yang berada di wajah gelar Cakra Byuha itu. Pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa sorak prajurit-prajuritnya akan sangat berpengaruh terhadap gejolak jiwani para prajurit yang sedang bertempur itu
Demikian pemimpin kelompok itu bersorak, maka prajurit-prajuritnyapun bersorak pula.
Sorak para prajurit itu benar-benar menggetarkan medan. Beberapa orang saudara seperguruan Senapati kepercayaan Ki Saba Lintang itupun berusaha untuk merebut tubuhnya yang sudah tidak bernafas lagi. Sementara itu, kematiannya telah menguncupkan keberanian saudara-saudara seperguruannya. Apalagi Rara Wulan masih saja bertempur dcmgan garangnya di antara para prajurit Pajang yang mempergunakan saat kematian Senapati itu dengan sebaik-baiknya. Pemimpin kelompok prajurit Pajang itu nampaknya menguasai tugasnya bukan saja dalam mengatur gelar, tetapi juga mengerti bagaimana memanfaatkan saat-saat yang dapat mempengaruhi pertempuran itu dari beberapa sisi. Karena itu, maka ia masih saja berteriak-teriak untuk memancing agar prajuritnya yang sudah hampir kehilangan harapan itu dapat bangkit kembali.
Sebenarnyalah bahwa terjadi gejolak di induk pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu.
Sementara itu. Senapati Demak yang memimpin gelarnya justru menjadi semakin terdesak oleh Glagah Putih.
Sambil memberikan tekanan kewadagan, Glagah Putih masih sempat menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram sambil berkata lantang, "terakhir aku memperingatkanmu. Tarik pasukanmu. Aku berjanji untuk menghentikan pasukan dari Pajang. Jika tidak, maka aku menganggapmu sebagai pemberontak. Dan karena itu aku datang untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu."
Senapati pasukan Demak itu menggeram marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa orang yang membawa pertanda dari Mataram itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Meskipun demikian, pemimpin prajurit Demak itu, tidak mau menyerahkan dirinya. Ia masih saja bertempur dengan garangnya.
Namun keseimbangan pertempuran itu sudah berubah. Sayap-sayap gelar Garuda Nglayangnya tidak lagi terasa menjepit lambung gelar Cakra Byuha pasukan Pajang. Keberadaan Senapati Pajang di lambung gelarnya memang sangat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Senapati yang semula memimpin lambung gelar Cakra Byuha itupun bertempur seperti harimau yang terluka. Bersama dengan Senapati seluruh pasukan Pajang, meskipun sudah terluka, ia sempat mendesak Senapati Demak yang memimpin sayap gelarnya. Demikian pula pada lambung yang lain. Senapati yang semula bertempur melawan kepercayaan Ki Saba Lintang itu telah menggetarkan pertempuran di lambung gelarnya.
Bagaimanapun juga, pengaruh seorang Senapati dalam perang gelar sangat besar bagi prajurit-prajuritnya. Senapati Demak yang terdesak itupun sangat mempengaruhi medan. Apalagi ketika tubuhnya mulai di lukai ikat pinggang Glagah Putih. Maka perlawanannya menjadi semakin surut.
Meskipun demikian, kemarahan yang tidak terkendali masih saja membakar jantungnya. Ia menganggap bahwa kedatangan orang Mataram itu telah mengacaukan bayangan kemenangan yang sudah ada di depan hidungnya. Karena itu, maka orang Mataram itu harus dibunuhnya.
Namun tidak mudah bagi Senapati Demak itu untuk mengalahkan Glagah Putih. Bahkan semakin lama Senapati Demak itu bahkan semakin terdesak.
Dalam keadaan yang sangat sulit, maka Senapati Demak itu tidak mau menunda-nunda akhir dari pertempuran itu. Ia harus segera menghentikan perlawanan orang Mataram itu. Meskipun semakin lama ia menjadi semakin terdesak, namun ia tidak yakin, bahwa orang Mataram itu akan mampu menahan Aji Pamungkasnya.
Karena itu, ketika Senapati Demak itu tidak mempunyai kesempatan lagi dalam pertempurtan itu, maka iapun segera meloncat surut untuk mengambil ancang-ancang.
Beberapa orang prajuritnya yang terdesak tahu pasti, apa yang akan dilakukan oleh Senapatinya itu. Karena itu, maka merekapun segera menempatkan diri. Demikian orang Mataram itu dikenai Aji Pamungkas dan terlempar jatuh, maka merekapun akan bersorak dan sekaligus menyerang orang-orang Pajang sepwrti banjir bandang. Orang-orang Pajang itu tentu akan kehilangan segala harapan sehingga mereka akan dengan mudah dapat dilumatkan.
Sementara itu, Glagah Putih yang melihat lawannya mengambil ancang-ancang, tahu pasti bahwa Senapati Demak itu akan menyerangnya dengan Aji Pamungkasnya. Karena itulah, maka Glagah Putih tidak mau kehilangan kesempatan. Ia tidak tahu seberapa tinggi tataran kekuatan Aji Pamungkas Senapati dari Demak itu.
Karena itu, demikian orang itu melepaskan Aji Pamungkasnya, yang berujud bagaikan gumpalan lidah api yang menjulur dan kemudian terbang ke arah Glagah Putih, maka Glagah Putihpun telah melepaskan Aji Pamungkasnya pula.
Seleret sinar meluncur dari telapak tangan Glagah Putih, membentur gumpalan lidah api yang dilepaskan oleh Senapati Demak itu.
Sebuah benturan yang menggetarkan telah terjadi. Namun tingkat kemampuan Senapati dari Demak itu masih beberapa lapis dibawah kemampuan Glagah Putih.
Karena itu, ketika benturan itu terjadi, Glagah Putih memang tergetar, tetapi ia tidak terdorong surut.
Sementara itu, Senapati Demak itupun telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting di tanah.
Ternyata Senapati Demak itu tidak lagi sempat menggeliat. Demikian benturan itu terjadi, maka seluruh isi dadanya bagaikan menjadi lumat. Tulang-tulang iganya bagaikan berpatahan.
Yang kemudian bersorak adalah para prajurit Pajang, gelora sorak mereka bagaikan mengguncang bumi tempat mereka berpijak.
Kematian Senapati Demak bagaikan tubuh yang telah kehilangan tulang-tulangnya. Gelora jiwa mereka untuk bertempur dan menghancurkan prajurit Pajang, bagaikan terbang dihembus angin prahara.
Beberapa orang prajurit Demak segera berusaha menyingkirkan tubuh Senapatinya dan membawanya ke belakang garis pertempuran. Tetapi prajurit Pajang tidak melewatkan kesempatan itu. Satu saat yang sangat menentukan tidak boleh dilewatkan.
Karena itu, yang kemudian bersorak tidak hanya prajurit Pajang yang ada di bagian depan gelar Cakra Byuha yang hampir saja pecah itu. Tetapi semua prajurit Pajangpun telah bersorak, meskipun mereka yang berada di belakang masih belum tahu. apa yang telah terjadi.
Namun sejenak kemudian seorang penghubung telah menyampaikan berita itu ke bagian belakang gelar Cakra Byuha yang telah melibatkan diri bertempur bersama-sama para prajurit Pajang yang berada di lambung.
Kematian dua orang Senapati yang menjadi kebanggaan para prajurit Demak itu telah membuat seluruh pasukannya menjadi sangat gelisah. Apalagi mereka yang berada di induk pasukan itu tidak ada yang mampu untuk menahan Glagah Putih dan Rara Wulan yang bertempur bersama-sama para prajurit dari Pajang.
Akhirnya, bukan gelar Cakra Byuha dari Pajang yang pecah. Tetapi gelar Garuda Nglayang dari Demaklah yang kemudian terdesak surut. Namun para pemimpin kelompok prajurit Demak serta mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati itu berusaha sekuat tenaga, agar mereka bergerak mundur dalam gelarnya yang masih utuh.
Baru ketika mereka sudah hampir sampai di padukuhan, gelar Garusa Nglayang itupun telah terpecah.
Tetapi para prajurit itupun dengan cepat menyelinap ke dalam padukuhan yang terdekat. Sementara itu, Glagah Putih telah meneriakkan aba-aba agar pasukan Pajang lid:ik mengejar mereka. Baik dalam gelar Cakra Byuha atau dalam gelar yang lain, seperti gelar Glatik Neba untuk memburu para prajurit Demak yang bagaikan hilang di padukuhan.
Para Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pajang dengan susah payah telah menahan pasukan mereka agar tidak memasuki padukuhan, karena mereka tidak mengenal medannya sebaik para prajurit Demak yang telah menyusup ke dalamnya.
Dengan demikian pasukan Pajang yang masih dalam tatanan gelar Cakra Byuha berhenti di hadapan padukuhan masih termasuk dalam lingkungan kademangan Sima itu.
Senapati Pajang yang memimpin pasukan Pajang itupun kemudian telah menemui diagah Putih. Dengan lantang iapun berkata, "Kenapa kita tidak langsung memasuki kademangan Sima" Bukankah pasukan Demak itu sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan pasukan kami ?"
"Kalian tidak akan mungkin dapat memasuki Sima dalam keadaan yang memungkinkan kalian untuk menguasai Sima," jawab Glagah Putih.
"Kenapa ?" "Kau sadari bahwa pasukanmu sebenarnya sudah sangat parah. Hanya karena gertakan terakhir, dengan terbunuhnya kedua orang Senapati tertinggi dari Demak dan perguruan Kedung Jati itu sajalah, kalian dapat mendesak gelar pasukan Demak."
"Tidak. Jika kita sempat memburu mereka, maka kita akan menghancurkan mereka di kademangan Sima."
Pasukanmu tidak akan mampu melakukan. Lihat kenyataan itu. Kau sendiri sudah terluka, bahkan agak parah. Demikian pula Senapati pendampingmu. Bahkan para prajurit Demak tentu lebih mengenali medan dari pada kalian. Gelar Garuda Nglayang itu tentu akan mereka tinggalkan. Yang akan terjadi adalah perang brubuh. Apakah kalian siap bertempur dalam perang brubuh di medan yang lebih banyak dikenal oleh musuh-musuh kalian ?"
"Prajurit Pajang adalah prajurit yang terlatih. Tidak kalah tanggon dengan prajurit Mataram."
"Aku tahu. Tetapi kenapa kalian tidak mau melihat kenyataan yang baru saja terjadi dengan pasukanmu. Sekarang aku nasehatkan kau menarik pasukanmu mundur ke perkemahan. Sementara itu matahari sudah semakin rendah. Jika kalian nekad memasuki Sima. seandainya kalian dapat menduduki satu pedukuhan yang berada di hadapan kita, namun setelah matahari terbenam, maka kalian akan dilumatkan."
"Ternyata kau justru menghalangi tugas kami."
"Baik. Baik. Jika demikian, bawa pasukanmu memasuki neraka yang ada di hadapanmu itu," lalu katanya kepada Rara Wulan, "marilah kita pergi. Aku tidak sampai hati melihat para prajurit Pajang ini esok pagi tidak lagi memiliki kepalanya masing-masing karena semalamian mereka akan dibantai oleh prajurit Demak yang lebih menguasai medannya."
"Kalian akan kemana " Kalian akan meninggalkan tugas kalian begitu saja ?"
"Tugas apa ?" "Bukankah kalian prajurit dari Mataram " Kalian seharusnya ikut berjuang bersama kami untuk menindas pemberontakan Demak, mumpung masih belum berkembang semakin besar."
"Aku memang petugas dari Mataram. Tetapi aku mempunyai tugasku sendiri bersama isteriku. Jika aku melibatkan diri di pertempuran ini, karena aku berniat untuk melerainya jika mungkin. Karena hal itu tidak mungkin aku lakukan, maka aku justru menempatkan diri bersama pasukan Pajang, karena aku tahu bahwa Demak mulai meninggalkan ikatan persatuannya dengan Mataram."
"Kemudian sekarang kau akan meninggalkan kami?"
"Saranku, kembalilah ke kemah."
Senapati Pajang itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memberi isyarat kepada pasukannya untuk kembali ke perkemahan.
Dalam gerak surut itu, pasukan Pajang sempat mencari korban pertempuran yang baru saja berlangsung. Yang terbunuh dan yang terluka parah. Sementara langitpun menjadi semakin muram.
Ketika malam turun, maka para prajurit Pajang itu telah menyalakan api di tengah-tengah perkemahannya, sementara di dapur, asappun telah mengepul pula.
Sementara itu beberapa orang tabib yang ada dalam pasukan Pajang itu telah bekerja keras untuk mengobati orang-orang yang terluka.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menemui Senapati Pajang yang terluka itu. Ada beberapa hal yang akan disampaikannya kepada Senapati Pajang itu.
"Sebaiknya kau bawa pasukanmu kembali ke Pajang sebelum fajar esok dengan diam-diam," berkata Glagah Putih.
"Kenapa " Kau ini sebenarnya mau apa" Apakah kau ingin agar tugas yang aku emban ini gagal ?"
"Tidak. Tetapi kau harus mengerti, bahwa Demak akan dapat mengerahkan pasukan dua kali lipat dari pasukannya hari ini. Pasukan Demak dan pasukan perguruan Kedung Jati telah mempersiapkan Sima dengan baik. Demak mempunyai sepasukan Wiratani yang terlatih dan yang jumlahnya banyak sekali. Sebelum kalian datang, anak-anak muda Sima, bahkan semua laki-laki yang masih kuat, telah dilatih perang-perangan sepekan dua kali, sehingga mereka telah mempunyai kesiagaan kewadagan yang kuat. Sementara mereka melakukan latihan-latihan kewadagan, maka jiwa merekapun setiap kali selalu diracuni dengan janji-janji yang membuat mereka kehilangan kepribadian mereka."
"Kami tidak akan gentar menghadapi pasukan yang tidak disiapkan dengan baik. Jumlah orang tidak banyak berpengaruh terhadap kekuatan sebuah pasukan yang kokoh seperti pasukan Pajang sekarang ini."
"Jangan meremehkan kekuatan pasukan Demak di Sima. Jika kalian minta bantuan pasukan ke Pajang, maka kalian sudah terlambat. Besok saat fajar menyingsing, mereka sudah ada disekitar perkemahan ini."
Tetapi Senapati Pajang yang terluka itu menggeleng sambil berkata, "Aku tidak akan pergi. Aku akan menghancurkan mereka. Apakah mereka yang datang kemari, atau aku yang akan datang ke Kademangan Sima."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Rara Wulanlah yang bertanya, "Jadi. apakah rencanamu esok?"
"Besok aku akan mempersiapkan pasukanku sebaik-baiknya. Tetapi besok aku tidak akan menyerang. Aku akan bertahan di perkemahan ini jika mereka menyerang. Jika benar seperti yang kau katakan, bahwa pada saat fajar menyingsing mereka sudah ada di sekitar perkemahan ini, maka kita akan menghancurkan mereka dengan gelar Jurang Grawah."
"Aku nasehatkan sekali lagi, tinggalkan perkemahan ini."
"Jangan halangi aku. Aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan aku dan gelarku hari ini. Tetapi kau tidak berhak menghentikan aku."
"Ganjaran apa yang kau harapkan sehingga kau kehilangan perhitunganmu sebagai seorang Senapati" Mungkin kau mendapat keterangan yang keliru tentang Sima. Tetapi apa yang terjadi hari ini. seharusnya merupakan peringatan bagimu."
"Terima kasih atas kepedulianmu. Tetapi kau justru telah menyinggung perasaanku, seakan-akan aku adalah pemburu ganjaran, sehingga aku menjadi mata galap."
"Aku minta maaf," sahut Glagah Putih. Lalu katanya, "Tetapi pertimbangkan pendapatku."
"Aku sudah mempertimbangkannya."
"Dan kau tetap pada pendirianmu?"
"Ya." "Jika demikian, terserah kepadamu. Kaulah Senapati pasukan Pajang di Sima, sehingga karena itu, maka kaulah yang bertanggungjawab. Segala sesuatunya terserah kepadamu," lalu katanya kepada Rara Wulan, "Rara. Marilah kita pergi. Kita tidak berguna lagi disini."
"Sebenarnya aku minta kalian tetap tinggal."
"Kalau kau dengarkan pendapatku, aku akan tetap bersama kalian dalam perjalananmu kembali ke Pajang malam ini."
"Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan mengingkari tugasku sebagai seorang Senapati."
"Bukan mengingkari. Tetapi seorang Senapati juga mempertanggungjawabkan nyawa setiap prajurit yang ada di dalam pasukannya. Tidak seorangpun diantara mereka yang pantas untuk mati dengan sia-sia. Jika nyawa itu dapat diselamatkan, maka nyawa itu harus diselamatkan."
"Aku bukan seorang pengecut, Ki Sanak."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata kepada Rara Wulan, "Marilah. Sebaiknya kita pergi."
Rara Wulanpun bangkit pula. Ketika ia siap untuk meninggalkan tempat itu, iapun masih mencoba untuk memperingatkan Senapati Pajang itu. "Kirimlah petugas sandi di Sima. Lihat, apa yang dilakukan oleh para prajurit Demak dengan pasukannya serta usaha mereka untuk mengumpulkan para Wira Tani. Mungkin sekarang sudah ditabuh isyarat suara kentongan untuk mengumpulkan para Wira Tani itu. Tetapi suara kentongan itu tidak terdengar dari perkemahan ini. Namun jika kau kirim orang yang terpercaya, maka mereka akan dapat memberikan laporan kepadamu."
"Terima kasih atas peringatan ini, Nyi."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkan perkemahan para prajurit Pajang itu. Keduanya merasa sangat kecewa terhadap sikap Senapati Pajang yang menurut pendapat Glagah Putih dan Rara Wulan terlalu sombong sehingga tidak sempat melihat kenyataan yang dihadapinya.
"Senapati itu memerlukan peringatan," desis Glagah Putih.
"Tetapi sebenarnya aku tidak sampai hati meninggalkan perkemahan itu," sahut Rara Wulan.
"Apaboleh buat. Senapati yang keras kepala itu sama sekali tidak mendengarkan pendapat orang lain. Tetapi mudah-mudahan kemampuan serta jumlah orang-orang Sima yang sudah terpengaruh oleh Demak tidak sebanyak yang kita bayangkan."
"Tetapi prajurit Demak dan orang-orang dari perguruan Kedung Jati akan mengerahkan mereka seperti memaksa sekelompok itik keluar dari kandangnya untuk dibawa ke tempat penggembalaan di parit-parit sebelah padukuhan."
"Ya. Dan itu sangat mencemaskan."
Sebenarnyalah malam itu Senapati Pajang telah mengirimkan beberpa orang petugas sandi untuk melihat keadaan di Sima. Menjelang tengah malam, mereka yang telah kembali, memberikan laporan yang bersamaan.
"Di seluruh Sima telah terdengar suara kentongan dengan irama yang khusus. Tiga kali, tiga ganda. Terus-menerus tidak henti-hentinya. Di bulak yang baru panen di sebelah padukuhan induk telah berkumpul orang yang jumlahnya tidak terhitung. Mereka adalah anak-anak muda dan laki-laki yang masih kokoh dari seluruh kademangan Sima dan bahkan dari kademangan-kadeinangan di sekitarnya. Agaknya mereka telah menjalani latihan yang cukup. Merekapun mengenakan pakaian yang seragam dengan senjata yang memadai. Bukan berjenis-jenis senjata seadanya."
"Meskipun tidak setangkas prajurit, namun nampaknya mereka pernah mendapatkan latihan-latihan yang cukup -berkata seorang petugas sandi yang berhasil mendekati tempat orang-orang Sima itu berkumpul.
Senapati Pajang itu tidak dapat mengabaikan laporan-laporan yang diterimanya itu. Ia harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Diam-diam Senapati Pajang itu mulai mengakui kebenaran pendapat orang Mataram yang telah menyelamatkan nyawanya dan bahkan gelar pasukannya, yang juga berarti menyelamatkan banyak nyawa.
Ketika dua orang yang meronda di luar perkemahan kembali, maka keduanya juga melaporkan, bahwa mereka lelah mendengar suara kentongan lamat-lamat di seluruh kademangan Sima dan bahkan di kademangan-kademangan di sekitarnya.
Senapati tertinggi Pajang yang sudah terluka itupun segera memanggil para Senapati yang membantunya untuk membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil.
"Kita harus segera mengambil keputusan. Waktu semakin mendesak," berkata Senapati itu.
Namun akhirnya para Senapati itu mengambil keputusan untuk meninggalkan perkemahan.
"Kita sama sekali bukan pengecut," berkata seorang Senapati yang bertugas memimpin pasukan Pajang yang berada di lambung. "Tetapi jika tetap akan memberikan perlawanan menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat ganda, maka itu berarti bahwa kita membiarkan prajurit-prajurit kita mati dengan sia-sia. Padahal, jika mereka masih tetap hidup, pada kesempatan lain, mereka akan dapat memberikan arti yang lebih besar lagi bagi perjuangan ini."
"Baiklah," berkata Senapati tertinggi pasukan Pajang itu, "kita memang tidak boleh mengingkari kenyataan."
Maka Senapati tertinggi itupun kemudian telah men geluarkan perintah, agar pasukan Pajang itu bersiap untuk meninggalkan perkemahan.
"Biarlah api tetap menyala. Biarlah dapur tetap mengepul. Yang harus kita bawa adalah para prajurit yang gugur serta mereka yang terluka parah Jangan ada yang tertinggal. Semua harus tetap berada dalam barisan."
Prajurit Pajang itupun segera melaksanakan perintah. Sebenarnyalah para prajurit Pajang dapat mengerti kenapa mereka harus menarik diri. Meskipun ada pula diantara mereka yang menjadi kecewa, karena mereka merasa sudah berada di mulut kademangan Sima.
Namun para pemimpin kelompokpun segera menjelaskan apa yang sebenarnya mereka hadapi.
"Yang kita hadapi adalah bengawan yang banjir. Kita tidak akan mampu melawan arusnya. Jumlah prajurit Demak dan para Wiratani dari Sima tidak dapat dihitung. Bahkan seandainya mereka berlari-lari saja di perkemahan ini tanpa membawa senjata, maka kita semuanya akan mati terinjak-injak. Apalagi mereka adalah orang-orang yang sudah terlatih disamping prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati."
Namun ada saja diantara para prajurit, bahwa rasa-rasanya mereka tidak rela untuk pulang dari medan dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Yang gugur sudah jelas akan dianggap sebagai seorang pahlawan. Yang terlukapun akan dihormati. Tetapi mereka yang pulang sambil menunduk dengan senjata yang berada di dalam sarungnya, tidak akan berani menatap wajah-wajah mereka yang menyambutnya di pinggir jalan. Mereka tidak akan dapat menjawab jika ada yang bertanya, "Apakah Sima sudah kau rebut?"
Sima telah terlepas dari tangan mereka.
"Biarlah para Senapati mempertanggungjawabkannya di hadapan rakyat dan para pemimpin di Pajang," berkata para pemimpin kelompok, "bukankah kita tinggal menjalankan perintah."
Demikianlah. maka sejenak kemudian, pasukan Pajang itupun sudah bersiap untuk meninggalkan perkemahan mereka. Semua panji-panji, kelebet dan umbul-umbul telah digulung. Tetapi mereka membiarkan api di tengah tengah perkemahan tetap menyala. Bahkan beberapa orang telah menambah menaburkan kayu-kayu keringg ke dalam api. Demikian pula perapian di dapur, masih saja tetap mengepul.
Para petugas sandi dari Demak yang kemudian datang mengawasi keadaan, masih tetap menganggap bahwa prajurit Pajang masih tetap berada di perkemahan. Api di tengah-tengah perkemahan itu masih tetap menyala dan asap di dapur tetap mengepul.
Didalam gelapnya malam, maka pasukan Pajang itu bagaikan ular raksasa yang merayap perlahan-lahan. Tidak ada obor yang terpasang. Pasukan itu berjalan didalam gelapnya malam, yang terasa semakin pekat jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang sudah tertidur lelap.
Sampai menjelang dini, pasukan Demak masih belum tahu, bahwa perkemahan prajurit Pajang itu sudah kosong. Baru ketika mereka melihat lewat para petugas sandi bahwa api di perkemahan itu mulai mengecil dan bahkan hampir padam tanpa di tambah kayu-kayu kering lagi, mereka mulai menjadi curiga.
Dua orang petugas sandipun kemudian sepakat untuk merayap lebih dekat lagi.
"Hati-hati. Orang Pajang itu licik. Mungkin mereka sedang merayat lebih dekat lagi.
"Hati-hati. Orang Pajang itu licik. Mungkin mereka sedang membuat jebakan."
Namun semakin dekat dengan perkemahan, maka mereka menjadi semakin curiga. Perkemahan itu nampak sepi seperti kuburan.
"Tidak ada orang. Tidak ada rontek, umbul-umbul dan panji-panji," desis yang seorang.
Tetapi kawannya menyahut, "Justru karena itu kita harus sangat berhati-hati. Ini tentu cara licik yang dipergunakan oleh orang-orang Pajang untuk menjebak kita."
"Lihat. Api hampir padam. Tidak ada apa-apa." Meskipun demikian, kawannya masih juga sangat berhati-hati, bahkan menjadi semakin curiga melihat keadaan perkemahan orang-orang Pajang.
Namun akhirnya mereka merayap semakin dekat. Merekapun berusaha berputar mengelilingi perkembahan itu. Namun mereka tidak menemukan apa-apa selain api yang sudah akan padam serta asap yang masih mengepul.
Bahkan akhirnya keduanyapun menjadi semakin dekat dan justru memasuki perkemahan yang memang telah kosong itu.
"Kosong. Perkemahan ini memang sudah kosong," berkata yang seorang lagi.
"Ya. Kita sudah tidak mendapatkan apa-apa lagi selain beberapa barang yang ketinggalan. Agaknya mereka pergi dengan tergesa-gesa."
"Tentu belum terlalu jauh."
"Marilah segera kita laporkan kepada Senapati tertinggi, maksudnya yang memangku tugas Senapati itu sepeninggal Senapati tertinggi pasukan gabungan kita."
Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke Sima.
Sementara itu, di bulak sawah di sebelah padukuhan induk Sima yang padinya sudah dipanen, anak-anak muda dan bahkan laki-laki Sima dan sekitarnya yang masih kokoh, telah dikumpulkan. Mereka siap dengan senjata mereka masing-masing. Senjata yang sudah sejak sebelumnya dibagi diantara mereka oleh para prajurit Demak. Bahkan senjata-senjata itu sudah pula mereka pergunakan untuk latihan-latihan.
Selain anak-anak muda dan semua laki-laki yang masih kokoh, yang sebagian besar adalah para petani dan disebut pasukan Wiratani itu, mereka didampingi oleh para prajurit Demak dan murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang benar-benar sudah terlatih dengan baik.
Namun selagi seorang Senapati yang mengemban tugas Senapati Tertinggi sepeninggal Senapati Tertinggi yang sebenarnya yang telah terbunuh di pertempuran, mengatur dan membicarakan rancangan serangan yang akan mereka lakukan atas perkemahan para prajurit Pajang, maka dua orang pengamat yang telah menemukan perkemahan orang Pajang itu kosong, telah datang untuk memberikan laporan
"Kenapa kosong?" bertanya Senapati itu.
"Kami tidak tahu. Tetapi kenyataan itu yang kami temui."
"Mungkin itu merupakan salah satu tipuan orang-orang Pajang untuk menjebak kita."
"Mungkin sekali," sahut seorang Senapati yang bertugas di sayap kanan.
"Pada saat kita menyerang perkemahan itu, maka pasukan Pajang yang sudah tidak ada di perkemahan itu akan langsung menyerang padukuhan induk kademangan Sima dan mendudukinya."
"Kita memang harus berhati-hati menghadapi akal-akal licik orang-orang Pajang," sahut Senapati yang lain.
Karena itu, maka yang menjadi Senapati Pengganti itupun kemudian memutuskan, "Kita tidak akan menyerang esok saat fajar menyingsing. Malam ini justru kita akan mengatur pertahanan atas kademangan Sima dengan sebaik-baiknya. Mungkin orang-orang Pajang itulah yang justru akan datang menyerang. Baru besok kita akan meyakinkan keadaan. Kita akan mengambil sikap segera setelah kita mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sekarang, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari keberadaan mereka Tetapi kita memperhitungkan, bahwa esok pagi-pagi sekali mereka akan datang seperti siluman sebelum matahari terbit."
"Kita tidak usah menunggu lagi. Sekarang kita harus mulai mengatur pertahanan itu. Mungkin mereka tidak menunggu dini."
"Baik. Sekarang kita persiapkan pertahanan di sekitar padukuhan induk. Sementara kita akan mengirimkan kelompok-kelompok prajurit dan para Wiratani ke padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Jika terjadi sesuatu, misalnya ternyata pasukan Pajang datang menyerang, maka kita semuanya dinianapun kita bertugas, harus membunyikan isyarat, agar kita masing-masing dapat segera mengambil sikap."
Demikianlah, maka pada saat itu juga. Senapati Pengganti itu telah mengatur tugas. Beberapa kelompok telah ditugaskan untuk pergi ke padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk. Sementara itu pasukan Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati telah dipersiapkan untuk dapat bergerak cepat ke mana saja. Mereka berada di banjar kademangan, di rumah Ki Demang serta para bebahu yang lain. Namun segala sesuatunya sudah diatur dengan sebaik-baiknya jika pada saatnya pasukan itu harus bergerak.
Dalam pada itu, pasukan Pajang yang kembali ke Pajang, telah menjadi semakin jauh dari Sima. Mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka.
Senapati Pajang yang terluka itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua sosok orang yang berdiri di tengah jalan yang akan dilalui oleh pasukannya.
Ternyata keduanya adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Selamat malam," sapa Glagah Putih kepada Senapati Pajang yang berjalan di paling depan.
Senapati itupun segera mengenali mereka berdua. Dengan nada berat Senapati itupun menjawab, "Selamat malam."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan bersama mereka ke arah Pajang.
"Akhirnya kami telah melakukan sebagaimana kalian pesankan," berkata Senapati yang telah terluka itu.
"Sukurlah, "sahut Glagah Putih, "sebenarnyalah kami berdua sangat mencemaskan keadaan seluruh pasukan. Kami memang tidak sampai hati untuk pergi terlalu jauh meninggalkan kalian."
"Sepeninggal kalian aku telah mengirim petugas sandi untuk melihat keadaan di kademangan Sima. Ternyata benar seperti yang kalian katakan, bahwa di Sima telah bersiaga pasukan Wiratani yang tidak terhitung jumlahnya."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan sangat mengalami kesulitan menghadapi mereka," berkata Glagah Putih, "mungkin pasukanmu yang memiliki ketrampilan jauh lebih tinggi dari para petani yang terpaksa turun ke medan pertempuran itu, entah apapun alasannya. Jika kalian memaksa diri untuk bertahan, maka korban akan tidak dapat dihitung lagi. Mungkin dengan kelebihan para prajurit Pajang, kalian akan dapat bertahan beberapa lama. Namun dalam pertempuran yang terjadi maka prajurit-prajuritmu akan membantai para petani itu, sementara para prajurit Pajangpun akan berguguran."
"Kau benar. Karena pertimbangan itulah, maka kami akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke Pajang."
"Pajang harus membuat persiapan-persiapan yang lebih matang untuk menghadapi Demak yang telah dengan tanpa ragu-ragu mengeralikan para Wiratani untuk maju ke medan pertempuran."
Senapati yang terluka itu mengangguk-angguk.
"Kalian harus menemukan cara terbaik untuk menghindari korban yang terlalu banyak di kedua belah pihak. Prajurit-prajurit kalian sendiri, serta para petani yang akan menjadi lawan-lawan kalian."
"Ya. Aku akan memberikan laporan terperinci."
"Baiklah. Kamipun akan segera pergi ke Mataram, agar Mataram dapat mengambil langkah-langkah terbaik. Jika mungkin Mataram tidak usah berperang melawan Demak. Apalagi yang memimpin kadipaten Demak adalah saudara tua Kangjeng Sultan di Mataram."
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi jika terpaksa harus dilakukan kekerasan, maka Pajang akan siap untuk bertempur bersama para prajurit Mataram melawan Demak yang telah bekerja sama dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati."
"Mudah-mudahan akan dapat dilakukan sekaligus. Penyelesaian dengan Demak dan dengan perguruan Kedung Jati itu."
Senapati Pajang itupun mengangguk-angguk. Demikianlah maka iring-iringan pasukan Pajang itupun semakin lama menjadi semakin mendekati Pajang.
Sebenarnya Senapati yang memimpin pasukan itu ingin agar mereka sampai di Pajang sebelum fajar. Karena itu, setiap kali ia memerintahkan agar pasukannya berjalan semakin cepat.
Tetapi karena mereka membawa kawan-kawan mereka yang gugur serta yang terluka, maka kadang-kadang mereka masing-masing harus memperlambat perjalanan mereka sejenak.
Demikianlah, ketika langit menjadi merah oleh percikan cahaya matahari pagi, iring-iringan pasukan yang kembali dari Sima itupun memasuki pintu gerbang Pajang. Namun demikian pasukan itu mendekati pintu gerbang, mereka sudah tidak lagi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah memisahkan diri. Mereka akan langsung menuju ke Mataram untuk menyampaikan hasil perjalanan mereka untuk melacak para pengikut Ki Saba Lintang. Namun yang mereka dapatkan justru lebih dari pelacakan terhadap para pengikut Ki Saba Lintang itu.
Sementara pasukan Pajang itu memasuki pintu gerbang Pajang, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah menempuh perjalanan ke Barat, menuju ke Mataram.
Ternyata ketahanan tubuh keduanya memang sangat tinggi. Setelah menjalani laku serta latihan-latihan yang panjang, maka keduanya memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari para prajurit Pajang.
Demikian para prajurit Pajang itu sampai di Pajang, setelah diterima oleh Senapati yang berkewajiban, serta mereka telah diijinkan memasuki barak mereka, merekapun langsung mencari tempat untuk beristirahat. Mereka merasa sangat letih setelah kemarin mereka bertempur dalam gelar hampir sehari penuh. Kemudian sambil kembali ke perkemahan mereka harus mencari dan kemudian membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah. Ketika mereka sampai diperkemahan, mereka rasa-rasanya masih belum sempat beristirahat. Apalagi para petugas sandi yang harus pergi ke Sima untuk melihat perkembangan keadaan, sementara yang lain harus meronda, berjaga-jaga serta ada pula yang bertugas di dapur.
Pada saat-saat mereka beristirahat itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menempuh perjalanan ke Mataram. Namun mereka masih nampak segar. Langkah-langkah mereka masih tetap tegar.
Namun ketika kemudian matahari memanjat naik, maka mereka memang merasa haus dan lapar.
"Kita berhenti sejenak, Rara."
"Di pasar atau di kedai?" bertanya Rara Wulan.
"Di kedai saja. Kita mempunyai beberapa pilihan yang akan kita pesan."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan singgah di kedai. Tetapi seandainya kita berhenti di pasar, tentu juga akan terdapat banyak pilihan."
"Tetapi agak lebih tenang di kedai yang tidak berjejalan. Kita pilih kedai yang sepi, yang sedang tidak banyak pembelinya."
Keduanyapun kemudian singgah di sebuah kedai yang memang agak lebih sepi dibandingkan dengan kedai-kedai yang lain, yang berjajar berseberangan jalan dengan sebuah pasar yang terhitung ramai.
Meskipun kedai itu terhitung sepi, tetapi ada juga beberapa orang yang sudah duduk di dalamnya.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian mengambil tempat disudut kedai itu. Seorang pelayan mendekatinya dan menanyakan apakah yang akan mereka pesan.
"Ada dawet cendol?" bertanya Glagah Putih.
"Ada Ki Sanak."
"Kami minta dua mangkuk dawet cendol dan dua mangkuk nasi rawon. Aku lihat ada nasi rawon yang disini."
"Ada Ki Sanak. Kami menyediakan rawon iga-iga sapi."
"Bagus. Beri kami dua mangkuk."
Ketika pelayan itu pergi. Rara Wulan berdesis, "Kakang minta yang aneh-aneh."
"Tentu nikmat sekali. Rawon iga-iga. Tentu bukan tulang iganya. Tetapi daging di tulang iga."
Rara Wulanpun tersenyum. Sambil menunggu maka keduanya mendengarkan apa yang dibicarakan orang-orang yang ada di kedai itu. Apakah mereka juga berbicara tentang perang di Sima yang baru terjadi kemarin.
Tetapi agaknya berita tentang perang di Sima masih belum nuangalir ke Selatan. Mereka masih belum berbicara tentang hubungan antara Demak dan Pajang serta Mataram. Mereka masih saja berbicara tentang keadaan kehidupan mereka sehari-hari.
"Berita tentang parang itu belum sampai kemari. Atau mungkin orang-orang disini masih tidak peduli akan suasana yang semakin panas di Utara."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Nampaknya mereka masih belum menghiraukan apa yang terjadi di sebelah Utara. Namun pada suatu saat jika kekacauan itu mengalir ke Selatan, mereka akan terkejut."
"Pada saatnya mereka akan mengetahuinya," desis Gllagah Putih, "apalagi Demak dan para pengikut Ki Saba Lintang itu tentu tidak akan begitu saja pergi ke Selatan. Pertempuran di Sima itu akan membuat mereka lebih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi Ternyata bahwa Pajang juga sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Bahkan di Sima pasukan Pajang mampu mengimbangi pasukan Demak yang bergabung dengan para pengikut Ki Saba Lintang, meskipun Pajang harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Bahkan hampir saja pasukan Pajang itu mengalami kesulitan yang menentukan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Untuk beberapa saat Demak tentu akan berhenti bergerak. Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka tidak akan bergerak lagi ke Selatan. Demak tentu hanya menunda sesaat untuk membenahi kekuatannya. Bahkan mungkin Demak akan melindas Pajang lebih dahulu sebelum mereka akan pergi ke Mataram."
"Memang mungkin. Tetapi Pajang tentu tidak akan mudah di tembus."
"Jika Demak mengerahkan semua laki-laki dan membawanya ke Pajang, sementara Pajang tidak sempat melakukannya, maka Pajang tentu tidak akan mampu menahan arus banjir bandang dari Utara itu. Demak, terutama Ki Saba Lintang, tidak akan peduli berapa banyak korban yang akan jatuh. Yang penting mereka dapat mendesak Mataram atau sayap-sayap kekuatannya."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang pelayan telah menghidangkan pesanan Glagah Putih bagi mereka berdua.
"Nah. Kakang tentu akan sering datang kemari." Glagah Putih tersenyum. Rawon iga-iga sapi itu memang sangat menarik baginya.
Ketika mereka sedang makan, maka beberapa orang yang nampaknya pedagang-pedagang dari pasar di seberang, memasuki kedai itu. Merekapun kemudian duduk di tengah-tengah kedai. Seorang diantara mereka berteriak kepada seorang pelayan, "Kami minta nasi cething. Lauknya apa saja yang terbaik, bawa kemari."
"Baik, Ki Sanak."
"Minumnya apa saja yang ada."
"Dawet ?" "Ya." Demikian pelayan itu mempersiapkan pesan mereka, maka seorang diantara mereka berkata, "Bukankah peristiwa di Sima itu akan sangat merugikan bagi kita?"
"Ya. Sima merupakan salah satu jalur perdagangan kain yang baik. Dengan perang yang terjadi di Sima, maka satu jalurku terputus."
"Aku juga akan banyak kehilangan," desis yang lain, "aku sudah terlanjur menanam modal yang cukup besar di Sima bagi perdagangan hasil bumi. Tetapi perang itu tentu akan menghancurkan segala-galanya. Perang itu akan dapat menjadi alasan orang-orang Sima ingkar janji."
Seorang yang lainpun menyahut, "Kenapa harus terjadi perang yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan" Para pemimpin Demak dan Pajang itu tentu saling berebut pengaruh."
"Disamping berebut pengaruh, mereka tentu juga berebut daerah basah. Sima, meskipun tidak terlalu besar, akan dapat menjanjikan berbagai macam pemenuhan kebutuhan bagi para pemimpin Demak maupun Pajang. Tanpa menghiraukan kebutuhan orang lain, mereka berebut dengan cara yang kasar sekali. Perang."
"Ya. Mereka tentu mengatas-namakan kepentingan kadipaten mereka masing-masing. "
Tetapi seorang yang lain diantara mereka agaknya mempunyai tanggapan yang berbeda. Dengan nada berat orang itu berkata. "Tetapi kebutuhan seseorang tentu bukan hanya kepentingan kebendaan. Mereka tentu juga mempunyai kepentingan harga diri dan jangkauan kepentingan yang lebih jauh dari sekedar mencari tempat yang basah dalam pengertian rejeki."
"Lalu apa " Kekuasaan" Bukankah merebut kekuasaan bagi seorang pemimpin juga berarti berebut kesempatan untuk mendapatkan rejeki banyak?"
"Tetapi tentu tidak semua orang berbuat seperti itu. Mungkin Pajang merasa berkewajiban untuk membendung arus orang-orang Demak yang mengalir ke Selatan. Menurut pendengaranku, Demak bergerak ke Selatan untuk menguasai tahta Mataram, karena Kanjeng Adipati Demak itu darahnya lebih tua dari yang bertahta di Mataram sekarang."
"Apa artinya kekuasaan jika tidak sejalan dengan kemukten bagi seorang pemimpin" Dengan berkuasa mereka akan mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja."
"Tetapi itu tentu bukan seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik akan berbuat lain. Dengan kekuasaan mereka akan meluruskan tatanan dan paugeran bagi kepentingan rakyat banyak."
"Kau tentu tahu bahwa itu hanya omong kosong. Mungkin mereka memang berpura-pura membela kepentingan orang banyak. Tetapi sebenarnya mereka hanya melindungi kepentingannya sendiri. Kepentingan keluarganya dan sanak kadangnya."
"Jika seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan lagi, maka memang sulit untuk menempatkan diri. Semua usaha akan banyak terhambat- Para pemimpin yang dengan gigih memperjuangkan kepentingan rakyatnya, justru dihambat oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh tetapi yang sudah kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Justru karena ketakutannya kehilangan kesempatan untuk menimba rejeki sebanyak-banyaknya di kalangan rakyat itu sendiri."
"Kau sendiri bagaimana" Apakah peristiwa yang terjadi di Sima itu tidak merugikan dirimu serta usahamu?"
"Aku pribadi memang sangat dirugikan. Aku juga tidak menghendaki ada perang. Semua orang yang waras tentu membenci perang. Tetapi perang itu masih saja terjadi. Namun perang tidak selalu terjadi karena kedua belah pihak berebut pengaruh, berebut kekuasaan yang akan dapat disalahgunakan untuk kepentingan sendiri atau golongannya."
"Maksudmu?" "Perang dapat terjadi karena dua keyakinan yang berbeda yang sama-sama dipertahankan. Tetapi memang ada perang yang terjadi karena seseorang yang menginginkan kekuasaan yang akan dapat dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan pihak yang lain, justru ingin meredam keinginan seperti itu."
"Terserah saja kepada penilaianmu. Selain orang mempunyai penilaian sendiri terhadap perang. Tetapi secara umum perang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Mengganggu usaha seseorang."
"Mungkin kau kehilangan pasarmu di daerah Sima dan sekitarnya. Dengan demikian keuntunganmu akan berkurang sehingga pernyataanmu menentang perang itupun sama seperti orang-orang yang berperang dan berebut rejeki. Tetapi menentang perang seharusnya berpijak pada pijakan yang lebih adil. Karena perang dapat juga terjadi karena satu pihak diantaranya justru berusaha melindungi tindak sewenang-wenang."
Darah Monster Tiga 2 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Jerat Peri Kembangan 1
Orang itupun terlempar dari kudanya yang sedang berlari.
Beberapa orang prajuritpun segera berlari menangkap kuda yang terlepas kendalinya itu, sedangkan yang lain berusaha menolong prajurit yang terjatuh itu. Tetapi agaknya prajurit itu tidak apa-apa, sehingga iapun telah bangkit sendiri.
Terdengar tepuk tangan dan sorak yang bergelora di seputar alun-alun itu. Beberapa orang berteriak-teriak memuji. Tetapi ada pula yang bersungut-sungut karena orang yang diharapkan menang, juptru dapat dijatuhkan dari kudanya.
Demikianlah, ada ampat pasang pertarungan sodoran yang mendapat sambutan yang sangat meriah dari mereka yang menyaksikan di seputar alun-alun itu. Apalagi ketika terjadi pertarungan pada putaran kedua. Ampat orang pemenang dari ampat pasang pertarungan ini akan turun kembali ke arena menjadi dua pasang.
Yang paling menggemparkan adalah pertarungan terakhir dari dua orang pemenang. Dua orang yang terbaik dari delapan orang yang ikut dalam sodoran itu. Seorang diantara keduanya akan menjadi orang terbaik yang akan mendapat hadiah seekor kuda dari Kangjeng Adipati di Demak. Tentu saja seekor kuda yang besar dan tegar, yang akan dapat menjadi kebanggaannya.
Sorak yang gemuruh bagaikan meruntulikan langit ketika kedua orang terbaik itu mulai dengan pertarungan mereka. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Tombak-tombak tumpul mereka terjulur ke arah tubuh lawannya. Tetapi perisai di tangan kiri merekapun dengan tangkas menepis serangan-serangan itu dan b dik m telah datang pula serangan balasan yang mengejutkan.
Ketika seorang diantaranya terjatuh dari kudanya, maka dinding alun-alun itu bagaikan akan roboh. Beberapa saat lamanya orang yang berada di sekitar alun-alun itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Pemenang sodoran pada putaran terakhir itupun kemudian berkeliling alun-alun diatas punggung kudanya sambil mengangkat tombak tumpulnya. Kemudian terakhir orang itu menghadap ke panggung kehormatan dan memberi hormat kepada Kangjeng Adipati di Demak.
Setelah sodoran, maka beberapa kelompok prajurit telah menunjukkan ketrampilan serta kemampuan mereka. Di alun-alun itupun telah dinyalakan seonggok dahan-dahan kering. Kemudian dengan tangkasnya beberapa orang prajurit-pun meloncatinya. Bahkan beberapa orang yang lain, meloncat bagaikan seekor harimau yang menerkam, namun kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling pada punggungnya.
Yang mengundang sorak gemuruh adalah ketika beberapa orang yang berpakaian serba merah berlari-lari ketengah-tengah alun-alun mengelilingi api yang masih menyala itu. Ternyata mereka terdiri dari sepuluh orang, yang kemudian mengelilingi api yang masih menyala itu. Mereka segera mengambil ancang-ancang. Sejenak kemudian seorang diantara merekapun memberikan isyarat, sehingga sepuluh orang itupun segera menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke api yang masih menyala itu.
Tiba-tiba saja api itupun padam.
Para prajurit Demak itu masih mempertunjukkan beberapa macam kelebihan mereka. Seorang yang menghantam palang-palang kayu sehingga patah. Seorang bahkan membiarkan kepalanya dihantam dengan papan. Ternyata bahwa papan itulah yang pecah. Orang itu tidak menunjukkan pertanda bahwa kepalanya menjadi sakit atau pening.
Selain mempertunjukkan kemampuan beberapa orang secara pribadi, maka para prajurit itupun telah menunjukkan bagaimana mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil. Dengan kelompok-kelompok kecil mereka menyergap pasukan yang jauh lebih besar. Namun mereka berhasil mengacaukan pasukan yang lebih besar itu serta menghalau mereka dengan meninggalkan banyak korban.
Semakin panas terik matahari membakar kulit, maka pameran kemampuan para prajurit itupun menjai semakin mendebarkan.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri diantara orang-orang yang berjejalan itu memperhatikan pegelaran untuk memamerkan kemampuan para parjurit itu dengan perasaan yang dingin. Di mata mereka, tidak ada kelebihan yang perlu dikagumi Apa yang mereka pamerkan itu sama sekali tidak akan mengejutkan para prajurit di Mataram. Bahkan seandainya Mataram menyelenggarakan pegelaran semacam itu, masih banyak sekali kelebihan dan kemampuan para prajurit yang dapat diketengahkan.
Namun agar tidak menarik perhatian, jika orang-orang di sekitarnya berteriak-teriak memuji serta bertepuk tangan, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun melakukannya pula meskipun dengan setengah hati.
Terakhir adalah pameran ketrainpilan pasukan para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lantang. Mereka memamerkan perang gelar dengan segala macam pertanda kebesarannya.
Seperti yang diduga oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka jumlah mereka tidak terlalu banyak. Gelar yang akan dipamerkan adalah gelar yang kecil.
Tetapi gelar yang kecil itu memang memberikan gambaran dari sebuah gelar yang lengkap.
Ternyata pameran ketrampilan para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mendapat sambutan yang cukup baik.
Mereka yang mengaku para murid dari Ki Saba Lintang itu telah mempertunjukkan ketrampilan mereka dalam perang gelar. Setiap kali terdengar aba aba, maka pasukan kecil itupun segera merubah gelar mereka. Dari gelar yang melebar berubah menjadi gelar yung lebih terhimpun. Dari gelar Garuda Nglayang yang kemudian berubah menjadi gelar Dirada Meta. Atau gelar Wulan Tumanggal ke gelar Cakra Byuha.
Setiap terjadi perubahan gelar, maka orang-orang yang berdiri di seputar alun-alun itupun bersorak mawurahan seakan-akan menggapai awan yang mengambang di langit.
"Bagaimana menurut pendapat, kakang?" bertanya Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Seperti menyaksikan anak-anak bermain perang-perangan. Jika yang dimaksud adalah gelar perang, maka gelar perang itu tidak mempunyai greget sama sekali. Seakan-akan mereka sekadar mengingat, apa yang harus dilakukan dalam perubahan gelar. Para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu sama sekali tidak memahami apa yang mereka lakukan. Mereka hanya mengingat, langkah-langkah yang harus mereka lakukan. Urut-urutan barisan dalam pembahan gelar itu.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putihpun berkata selanjutnya, "Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku memahami perang gelar, karena pasukan pengawal di Tanah Perdikan mendapat latihan-latihan perang gelar sebagaimana para prajurit dari pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Gelar itu seperti dinding yang rapuh didalamnya. Mudah sekali untuk meruntuhkannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Katanya, "Ya. Dinding itu memang rapuh."
Demikianlah latihan besar-besaran yang diselenggarakan di alun-alun itupun berakhir pada saat matahari telah berada di sisi Barat langit. Sinarnya sudah tidak lagi membakar kulit.
Akhir dari latihan perang besar-besaran itu adalah pemberian beberapa anugerah kepada para prajurit. Diantaranya prajurit yang telah memenangkan pertarungan sodoran yang mendapatkan hadiah seekor kuda yang besar dan tegar. Namun sebagai lambang dari hadiah itu, maka prajurit itu telah menerima sebuah cemeti langsung dari Kangjeng Adipati Demak.
Rakyat Demak yang berada di sekitar alun-alun itu bersorak seakan-akan memecahkan selaput telinga.
"Hidup Kangjeng Adipati. Hidup Kangjeng Adipati." Kangjeng Adipati Demak itu kemudian naik kembali ke panggung kehormatan. Tetapi ia sempat berhenti sejenak untuk melambaikan tangannya kepada rakyat Demak yang bersorak-sorak bagaikan tidak terkendali lagi.
"Ternyata jika Kangjeng Adipati Demak merasa dirinya berhak atas tahta itu, bukan kesalahan mutlak Kangjeng Adipati," berkata Glagah Putih.
"Kenapa?" "Selain dorongan dari kedua orang Tumenggung seperti yang dikatakan oleh Raden Yudatengara, maka sambutan rakyat Demak telah membuat Kangjeng Adipati kehilangan kendali diri. Kangjeng Adipati merasa bahwa dirinya memang sudah sepantasnya merebut tahta Mataram dari adiknya, meskipun seharusnya Kangjeng Adipati tahu, bahwa adiknya itu lahir dari permaisuri."
"Ya. Kangjeng Adipati telah terhempas dari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka apa yang dilakukan oleh Kangjeng Adipati tidak lagi sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kangjeng Adipati telah kehilangan kiblat atas kewajiban yang seharusnya dipikulnya ketika ia dikirim ke Demak."
"Keadaan disekelilingnya telah menghanyutkan. Sementara itu orang-orang disekitarnya yang telah memisahkan Kangjeng Adipati dengan kenyataan yang terjadi atas rakyatnya, sebenarnyalah orang-orang yang sangat mementingkan dirinya sendiri. Jika mereka berhasil mendorong Kangjeng Adipati untuk melupakan tempatnya berpijak, maka orang-orang disekitarnya, yang telah menjerumuskannya itu akan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sama sekali tidak memikirkan, apa jadinya Demak kemudian. Tetapi yang mereka pikirkan adalah, apa jadinya aku kemudian. Apakah aku akan menjadi kaya raya atau berpangkat tinggi, atau menerima ganjaran yang banyak sekali, atau apapun yang menguntungkan diri sendiri."
Keduanyapun terdiam. Mereka mencoba memperhatikan orang-orang yang berada di panggung kehormatan. Para pemimpin Demak itu nampaknya memang dengan sengaja menjerumuskan Kangjeng Adipati ke dalam dunia mimpi. Namun yang akan menghempaskannya membentur kenyataan yang tidak akan dapat diterimanya lagi.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang berada di seputar alun-alun itupun mencoba mendesak untuk dapat mendekati jalur jalan yang akan dilewati oleh Kangjeng Adipati. Ketika sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda meninggalkan panggung kehormatan, maka orang-orang itupun berteriak, "Hidup Kangjeng Adipati. Hidup Kangjeng Adipati."
Kangjeng Adipati melambaikan tangannya serta mengangguk-angguk kepalanya sambil tersenyum-senyum. Sebenarnyalah Kangjeng Adipati itu telah tenggelam dalam buaian mimpi indah. Seakan-akan rakyat di seluruh Demak, bahkan di seluruh Mataram itu telah bersujut kepadanya.
Apalagi Ki Tumenggung Panjer selalu berbisik ditelinganya, bahwa rakyat Demak adalah rakyat yang akan setia kepada Kangjeng Adipati, bahkan seandainya mereka harus mengorbankan nyawa mereka sendiri.
"Terima kasih, terima kasih," Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk, "kesetiaan mereka akan mengantar aku ke tahta Mataram. Aku akan mengusir Yayi Prabu Hanyakrawati dari tahta, karena aku adalah putera Panembahan Senapati yang lebih tua."
Dalam pada itu. orang-orang yang berada di alun-alun itupun kemudian telah meninggalkan alun-alun. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya memang tidak kembali lagi ke penginapan.
Keduanya memang merasa sudah mendapat bahan cukup banyak untuk dilaporkan ke Mataram. Sehingga Mataram akan dapat menentukan sikap apakah yang akan diambil terhadap Demak.
"Malam ini kita akan bermalam dimana, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Kita akan keluar kota. Kita akan bermalam di perjalanan pulang.
"Apakah kita akan langsung pergi ke Mataram?"
"Kita akan singgah di Pajang."
"Apakah kita akan melewati Sima?"
"Ya. Tetapi kita tidak akan masuk ke padukuhan induk. Sima sekarang tentu berbeda."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun dari alun-alun langsung meninggalkan kota. Mereka berjalan beriring bersama orang-orang dari luar kota Demak yang menonton latihan perang-perangan di alun-alun.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berjalan terus. Semakin lama orang-orang yang berjalan bersamanya-pun menjadi semakin menipis, sehingga akhirnya, ketika senja turun, mereka tinggal berjalan berdua saja.
Tetapi mereka sudah berada agak jauh dari Demak.
Ketika mereka kemudian melewati sebuah pategalan yang sepi, maka merekapun berniat untuk bermalam di pategalan itu.
"Ada sebuah gubug di pategalan itu, kakang," berkata Rara Wulan.
"Ya. Nampaknya gubug itu sepi. Apakah kita akan bermalam di gubug itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Mereka pernah mengalami perlakuan buruk oleh seorang pemilik gubug ketika mereka berdua menumpang tidur di gubug itu.
Rara Wulanpun tidak melupakannya. Namun agaknya gubug yang jauh dari padukuhan itu, tidak terlalu sering dikunjungi oleh pemiliknya, sehingga karena itu, maka Rara Wulanpun berkata, "Agaknya pategalan ini jarang-jarang didatangi pemiliknya, kakang, apakah kita dapat bermalam di gubug itu?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita bermalam di gubug itu."
Meskipun agak ragu, namun keduanyapun kemudian menyelinap di pategalan itu dan merekapun segera naik ke sebuah gubug. kecil yang terbuka, yang agaknya memang jarang sekali dikunjungi pemiliknya. Debu yang tebal bertaburan di gubug itu. Sehingga Rara Wulan telah mematahkan sebuah ranting pohon mlandingan yang kemudian dipergunakan untuk membersihkan debu gubug itu.
"Aku dahulu yang tidur," berkata Rara Wulan. Glagah Putih tertawa pendek sambil menyahut. "Bukankah biasanya juga kau dahulu yang tidur?"
Rara Wulan tidak menjawab. Namun Rara Wulanpun segera membaringkan dirinya di gubug itu.
Sejenak kemudian, ternyata Rara Wulanpun sudah tertidur lelap.
Glagah Putih masih saja duduk bersandar tiang gubug kecil itu. Setiap kali ia selalu teringat akan sikap kasar pemilik gubug yang pernah mengusirnya, bahkan menuduhnya berbuat tidak sepantasnya di gubugnya.
Tetapi ketika Glagah Putih mulai berangan-angan tentang prajurit Demak, maka ingatannya tentang gubug itupun segera menepi.
"Pasukan Demak ternyata tidak begitu tangguh," berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Iapun mulai mengingat-ingat apa yang telah dilihatnya di alun-alun Demak.
Dalam pada itu. malampun menjadi semakin malam. Bintang-bintang mulai bergeser ke Barat Angin malam yang dingin berhembus menyentuh dedaunan.
Namun menjelang tengah malam Glagah Putihpun terkejut. Tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Tidak hanya satu dua atau bahkan sekelompok dua kelompok. Derap kaki kuda itu agaknya sepasukan prajurit berkuda yang memacu kudanya melintas di jalan di sebelah pategalan itu.
Glagah Putihpun segera membangunkan Rara Wulan. Sambil mengusap matanya Rara Wulanpun bertanya, "Ada apa kakang?"
"Kau dengar derap kaki kuda itu?"
"Ya." "Tentu sepasukan prajurit berkuda. Pasukan itu akan lewat di jalan sebelah."
"Kita akan melihatnya?"
"Ya. Tetapi kita harus berhati-hati."
Rara Wulanpun membenahi dirinya sekedarnya. Berdua merekapun segera bergeser ke tepi jalan. Dengan hati-hati mereka bersembunyi di balik segerumbul pohon perdu.
Sejenak kemudian, seperti yang mereka duga, sepasukan prajurit berkuda bergerak dengan cepat melintas. Mereka datang dari arah Demak.
"Prajurit berkuda dari Demak," desis Glagah Putih.
Rara Wulan mengangguk-angguk, "Ya. Agaknya mereka tergesa-gesa."
"Besok kita akan mengikuti jejak prajurit berkuda itu. Mereka akan pergi kemana?"
Demikian pasukan berkuda itu lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke gubug kecil itu. Giliran Glagah Putihlah yang kemudian berbaring di gubug itu, sementara Rara Wulan duduk bersandar tiang.
Glagah Putihpun sempat tidur sejenak. Namun didini hari Glagah Putihpun sudah bangun.
"Kau hanya tidur sebentar kakang," desis Rara Wulan.
"Sudah cukup. Sebaiknya kita bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan."
"Apakah kita tetap akan lewat Sima?"
"Ya. Tetapi kita akan melihat suasana. Jika kita berangkat sekarang, maka kita akan sampai di Sima menjelang senja. Kita memang tidak usah pergi kepadukuhan induk."
Demikianlah, setelah berbenah diri sekedarnya, maka menjelang fajar merekapun meninggalkan pategalan itu. Mereka akan berhenti jika mereka menyeberangi sungai untuk mencuci muka serta membersihkan kaki dan tangan mereka. Agaknya mereka sudah terlambat untuk mandi, karena sebentar lagi mataharipun akan segera terbit, sehingga sudah akan ada orang lain yang mungkin lewat. Mungkin orang-orang yang akan pergi ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka, atau orang-orang yang akan berbelanja untuk mempersiapkan makan pagi bagi orang-orang yang sedang sambatan.
Kedua orang itu berharap bahwa mereka akan sampai di Sima menjelang senja. Jika mungkin mereka masih dapat menemukan kedai yang masih buka. Selain untuk makan malam, merekapun dapat berbicara tentang perkembangan Sima di hari-hari terakhir.
Di sepanjang jalan mereka sempat mengamati jejak sepasukan berkuda semalam. Ternyata menilik jejak pasukan berkuda itu yang masih membekas di jalan, agaknya pasukan berkuda itu menuju ke Sima.
Kedua orang itu memang agak menjadi heran, bahwa jalan yang mereka lalui terasa agak sepi. Tidak banyak orang yang berjalan hilir mudik di jalan itu. Bahkan sulit bagi orang untuk mendapatkan sebuah kedai yang buka.
Sedikit lewat tengah hari, mereka melewati sebuah pasar yang sepi. Hanya beberapa orang saja yang nampak masih berada di pasar itu.
"Sepi sekali pasar ini," desis Glagah Putih.
"Sudah terlalu siang," jawab Rara Wulan, "matahari sudah lewat puncaknya. Pasar ini adalah pasar yang kecil, apalagi agaknya hari ini bukan hari pasaran."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih masih melihat seorang perempuan yang berjualan nasi di sudut pasar itu. Agaknya dagangannya masih terlalu banyak untuk meninggalkan pasar itu.
"Kita beli nasi, Rara. Belum tentu kita nanti menemukan kedai yang masih buka. Apalagi nampaknya suasananya agak berbeda dengan hari-hari biasa. Mungkin pengaruh pasukan berkuda yang lewat semalam."
Rara Wulanpun mengangguk. Katanya, "Tetapi jika kita menjadi haus, apakah perempuan itu juga menjual minuman?"
"Nanti kita minum air bersih yang disediakan di depan regol-regol rumah."
Rara Wulan tersenyum. Demikianlah mereka berduapun kemudian telah duduk di sekitar tikar yang digelar di dekat bakul tempat nasi. Ternyata perempuan itu berjualan nasi megana. Nasi dan megananya yang berada di tampah yang dialasi dengan bakul yang berisi daun pisang, masih banyak juga.
"Nasi Megana, yu?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Nyi. Mari silakan. Nasiku masih banyak. Agaknya hari ini hari yang sial bagiku."
"Mbokayu tidak menjual minuman juga?"
"Ada dawet, Nyi. Nanti setelah aku siapkan dua pincuk nasi, aku ambilkan dua mangkuk dawet."
Glagah Putih dan Rara Wulan menebarkan pandangan matanya. Sebenarnya merekapun melihat seorang penjual dawet di dekat pintu regol pasar yang sepi itu.
Setelah menyerahkan dua pincuk nasi megana kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, maka perempuan itupun bangkit berdiri dan berjalan mendekati penjual dawet itu. Iapun memesan dua mangkuk dawet untuk kedua onuig yang membeli nasi megananya.
"Pasarnya sepi. Yu?" bertanya Rara Wulan.
"Sepi sekali. Nyi. Hari ini memang bukan hari pasaran. Tetapi biasanya juga tidak sesepi ini."
"Kenapa?" "Semalam ada sepasukan prajurit berkuda lewat. Agaknya pasukan yang lewat itu mempunyai pengaruh yang besar, sehingga orang-orang agak takut-takut juga pergi ke luar rumah."
"Sehingga nasi mbokayu menjadi tidak begitu laku?"
"Ya. Tidak ada separo hari-hari yang lain meskipun juga bukan hari pasaran. Padahal modalku sudah aku letakkan di daganganku itu semuanya, Nyi. Jika nasi itu tetap tidak laku, maka aku akan kesulitan untuk dapat berbelanja buat berjualan esok pagi."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Ketika penjual dawet itu kemudian membawa dua mangkuk dawet bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, maka Glagah Putihlah yang bertanya, "Pasar sepi, kang ?"
"Ya Ki Sanak. Pasar sepi sekali hari ini. Para prajurit berkuda semalam agaknya telah menakut-nakuti orang-orang yang akan pergi ke pasar, namun nampaknya mereka tergesa-gesa. Sehingga sebelum wayah pasar temawon, pasar ini justru sudah menjadi sepi."
"Apa yang dilakukan oleh prajurit-prajurit semalam?"
"Mereka hanya lewat."
"Bukankah mereka tidak berhenti dan apalagi mengganggu rakyat?"
"Tidak. Tetapi kami sudah terlanjur merasa takut terhadap para prajurit."
"Kenapa" Bukankah mereka justru selalu melindungi rakyat" Seharusnya kalian justru merasa tenang jika di sekitar kalian ada sekelompok prajurit."
"Ya. Kadang-kadang kami memang merasa terlindungi. Tetapi kadang-kadang para prajurit itu justru membuat jantung kami berdebar-debar."
Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut.
Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menghabiskan nasi satu pincuk dan dawet cendol semangkuk, sehingga merekapun sudah merasa menjadi kenyang.
Namun penjual nasi megana dan penjual dawet itu terkejut ketika Rara Wulan membayar mereka masing-masing dengan sekeping uang perak.
"Tidak ada kembalinya, Nyi. Bahkan seandainya semua daganganku laku, tentu masih juga belum cukup untuk memberikan uang kembali. Apalagi nasiku tidak laku hari ini."
"Aku juga tidak ada uang kembali," berkata penjual dawet itu.
Namun sambil tersenyum Rara Wulanpun menjawab, "Kalian tidak usah memberikan uang kembali. Masing-masing ambil saja uang itu. Bukankah untuk berjualan esok, kalian memerlukan uang untuk berbelanja bahan-bahannya?"
"Tetapi uang ini terlalu banyak."
Rara Wulanpun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Glagah Putih. Dengan nada lembut Rara Wulanpun berkata, "Jangan berpikir macam-macam. Kami akan meneruskan perjalanan."
"Tetapi kalian ini siapa?" bertanya penjual dawet.
"Kami adalah suami isteri yang sedang mengembara serta menjalani laku. Karena itu, lupakan bahwa aku pernah datang kemari dan memberikan uang masing-masing sekeping uang perak. Mudah-mudahan uang itu dapat kalian pergunakan dengan baik, sehingga kalian dapat berjualan terus setiap hari."
Mata perempuan penjual nasi mengana itu tiba-tiba saja berkaca-kaca. Katanya, "Yang Maha Agung akan selalu melindungi kalian berdua. Sebenarnyalah aku sudah merasa cemas, bahwa esok aku tidak dapat berjualan lagi atau setidak-tidaknya daganganku menyusut. Sementara suamiku berharap aku dapat membantu menghidupi anak-anak kami."
"Sudahlah. Pergunakan saja uang itu sebaik-baiknya. Usahakan agar uang itu kau pergunakan untuk menambah daganganmu. Mungkin tidak hanya nasi megana. Mungkin kau juga dapat menjual rempeyek wader. Bukankah nasi megana dengan rempeyek wader akan menjadi semakin nikmat" Kau dapat membeli wader pada orang-orang yang sering menjala ikan di sepanjang sungai itu. Kadang-kadang aku melihat orang-orang yang menjala wader di sepanjang sungai. Sekepis wader tentu sudah akan menjadi beberapa puluh rempeyek."
Perempuan itu mengangguk-angguk. Suaranya menjadi semakin dalam, "Ya, Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih sekali."
Sedangkah penjual dawet itupun berkata pula, "Kami tidak akan melupakan Ki Sanak meskipun kami tidak tahu, siapakah Ki Sanak berdua."
Glagah Putih menarik nafas panjang sambil berkata, "Uang itu tentu uang kalian sendiri. Kurnia dari Yang Maha Agung. Kami hanyalah lantaran untuk menyampaikannya kepada kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.
"Kalian akan pergi kemana?" bertanya penjual dawet itu.
"Kami akan pergi ke Sima."
"Ke Sima?" "Ya." "Berhati-hatilah," pesan penjual dawet itu.
"Kenapa ?" bertanya Glagah Putih.
"Kemarin sepupuku yang ikut paman berjualan di pasar Sima telah pulang."
"Apakah ada sesuatu yang gawat terjadi di Sima?"
"Ya. Suasananya terasa amat panas. Pasukan berkuda yang lewat semalam tentu juga akan pergi ke Sima. Bahkan beberapa orang telah mengungsi dari Sima."
"Apa yang terjadi di Sima ?"
"Menurut sepupuku, Sima bagaikan bisul yang akan pecah. Agaknya akan terjadi perang."
"Perang " Perang antara siapa melawan siapa ?"
Penjual dawet itupun menggeleng, "Sepupuku itu tidak tahu."
Glagah Putih tidak mendesaknya. Tetapi Glagah Putih menduga, bahwa penjual dawet itu memang tidak berani menceriterakan lebih jauh lagi meskipun ia lebih banyak mengetahuinya lewat sepupunya itu.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan pasar itu untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Namun ceritera dari penjual dawet itu telah membuat mereka semakin tidak tergesa-gesa, agar mereka sampai di Sima setelah gelap. Didalam gelapnya malam, mereka akan dapat lebih banyak berbuat daripada di siang hari.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah meyakini bahwa jejak pasukan berkuda itu menuju ke Sima, maka merekapun justru telah mengambil jalan-yang lebih kecil untuk menghindari kemungkinan berpapasan dengan sekelompok prajurit atau murid dari perguruan Kedung Jati yang mungkin sedang meronda atau pasukan penghubung dari Demak ke Sima dan sebaliknya.
Namun semakin mendekati kademangan Sima, maka suasanapun terasa menjadi semakin sepi. Jalan-jalan pun juga terasa lengang. Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting sajalah yang turun ke jalan.
"Bukankah pasukan berkuda itu tidak melewati jalan ini?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Pasukan Berkuda semalam menuju ke Sima lewat jalur jalan yang lebih besar dari jalan ini."
"Tetapi nampaknya rakyat disekitar tempat ini juga menjadi ketakutan."
"Tentu suasana di Sima telah mempengaruhi keadaan di sekitarnya."
"Bukankah kita masih berada agak jauh dari Sima ?"
"Jika benar kata penjual dawet itu, maka agaknya orang-orang dari padukuhan-padukuhan yang lain, yang pergi ke Sima untuk mencari rejeki, juga telah meninggalkan Sima pulang ke rumah mereka masing-masing, seperti sepupu penjual dawet itu. Mereka tidak tahan lagi tinggal di Sima yang suasana menjadi semakin tidak menentu. Agaknya Demang dan para bebahu yang baru itu tidak lagi mampu mengendalikan suasana di kademangannya. Atau justru Demang itu dengan sengaja membuat suasana menjadi panas, agar ia mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja yang dapat menguntungkan dirinya."
"Ya. Suasana di Sima tentu telah memanasi pula lingkungan di sekitarnya."
Dengan demikian, merekapun menjadi semakin hati-hati Semakin mendekati kademangun Sima, maka suasana-pun menjadi semakin mendebarkan.
Sementara itu, maka langitpun sudah menjadi semakin muram.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi menemukan sebuah kedaipun yang terbuka pintunya.
"Untung kita sudah makan cukup banyak," berkata Glagah Putih.
"Ya. Nasi megana satu pincuk dan dawet cendol satu mangkuk, rasa-rasanya aku menjadi terlalu kenyang. Sekarang akupun belum merasa lapar lagi.."
"Tetapi malam nanti, kita baru akan merasa kelaparan."
"Tetapi kakang pernah menjalani laku beberapa pekan di hutan hanya dengan makan seadanya ?"
"Itu berbeda. Waktu itu kita baru menjalani laku. Tetapi sekarang, tidak."
"Kita sekarang juga sedang menjalani laku. Bukankah kita sedang menuju ke satu tempat yang tidak kita ketahui dengan pasti keadaan serta suasananya ?"
Glagah Putih tertawa pendek. Tetapi ia tidak menjawab.
Ketika senja turun, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan kademangan Sima. Suasanapun terasa menjadi semakin mencekam. Bahkan rasa-rasanya rumah-rumah dise-belah menyebelah jalan hanya menyalakan lampu seperlunya saja.
"Ada apa sebenarnya di Sima," desis Glagah Putih.
Namun merekapun kemudian berhenti sebelum mereka memasuki padukuhan Sima. Mereka menunggu malam turun. Baru mereka akan memasuki kademangan.
"Kita sebaiknya tidak berhenti di pinggir jalan, Rara." berkata Glagah Putih.
Rara Wulanpun segera tanggap. Karena itu, maka mereka berduapun meloncati tanggul parit, meniti pematang dan kemudian naik ke sebuah gubug kecil.
"Dalam suasana seperti ini, tidak akan ada orang yang sempat pergi ke sawah," desis Glagah Putih sambil duduk bersandar dinding. Rara Wulanpun segera duduk pula. Namun keduanya tidak lepas mengamati jalan tidak jauh dari gubug itu.
Glagah Putihpun tiba-tiba saja telah meloncat turun sambil berdesis, "Kau lihat itu, Rara ?"
Rara Wulan mengangguk. Dalam keremangan ujung malam, mereka melihat beberapa kelompok orang yang berjalan dengan tergesa-gesa. Agaknya mereka berjalan dengan cepat dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan dengan perempuan dan anak-anak. Mereka membawa bungkusan-bungkusan kain serta beberapa jenis barang lain yang mereka anggap berharga bagi mereka.
"Nampaknya mereka adalah serombongan pengungsi," desis Rara Wulan.
"Ya. Agaknya suasana bertambah gawat di Sima. Apa sebenarnya yang terjadi " Apakah benar-benar akan ada perang ?"
Kedua orang itupun kemudian sepakat untuk mendekati jalan yang tiba-tiba menjadi ramai itu. Tiba-tiba saja beberapa kelompok telah melintas di jalan yang semula dianggapnya sepi.
Ketika mereka berdiri di pinggir jalan, maka Glagah Putihpun telah mendekati seorang laki-laki tua yang menggandeng dan mendukung dua orang anak-anak yang agaknya cucu-cucunya.
"Ada apa di Sima, kek ?" bertanya Glagah Putih yang berjalan di samping orang tua itu. Sementara Rara Wulan mengikuti di belakangnya.
"Kami mengungsi selagi sempat, Ki Sanak."
"Mengungsi ?" "Ya. Akan terjadi perang di Sima. Sementara itu, para prajurit di Sima sebenarnya melarang kami pergi mengungsi. Mereka yang tinggal di padukuhan induk telah terjebak oleh prajurit Demak serta para murid dari perguruan Kedung Jati. Rakyat Sima yang tinggal di padukuhan induk harus tetap tinggal di rumah masing-masing, meskipun perang akan terjadi. Apalagi anak-anak muda dan laki-laki yang masih kuat, yang selama ini mengikuti latihan perang-perangan sepekan dua kali. Mereka harus ikut mempertahankan padukuhan Sima sebagaimana para prajurit, sementara itu keluarga merekapun diperintahkan agar tetap tinggal di Sima."
"Jadi di Sima akan terjadi perang ?"
"Ya. Menurut kata orang, pasukan Pajang telah segelar sepapan di sebelah Selatan Sima."
"Prajurit Pajang ?"
"Ya." Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Terima kasih, kek. Hati-hatilah dijalan."
"Kau akan kemana ?"
"Aku akan melihat suasana."
"Kau siapa ?" "Aku seorang pengembara kek. Aku tidak bersangkut paut dengan perang yang akan terjadi di Sima."
"Tetapi jika kau terlihat oleh para prajurit Demak, maka kau akan ditangkap. Kau akan dapat dituduh sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari Mataram."
"Aku juga akan berhati-hati, kek."
Demikianlah. Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memisahkan diri dengan iring-iringan para pengungsi itu. Merekapun justru berbalik kembali ke arah Sima.
Ketika mereka sempat berbicara dengan seorang perempuan dan seorang anak yang menuntun kambingnya, maka keterangan perempuan itupun sama sebagaimana laki-laki tua itu.
"Kita memang tidak akan dapat masuk ke kademangan Sima, Rara. Tetapi kita akan menunggu dan melihat dari kejauhan, apa yang akan terjadi di Sima esok."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka justru meninggalkan jalan yang ramai itu. Keduanya memasuki pategalan untuk mencari tempat berlindung. Jika para prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati datang untuk memburu para pengungsi dan memaksa mereka kembali ke Sima, maka mereka tidak akan termasuk diantara para pengungsi. Apalagi jika mereka berdua kemudian diketahui sebagai orang yang asing di Sima, maka nasib mereka akan dapat menjadi sangat buruk.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pategalan, diantara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu sambil melihat orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan Sima.
Namun ternyata sampai menjelang tengah malam, tidak ada prajurit Demak yang menyusul para pengungsi itu. Agaknya selain para penghuni padukuhan induk, maka orang-orang Sima dibiarkannya meninggalkan tempat tinggalnya untuk menghindarkan diri dari garangnya pertempuran.
"Agaknya prajurit Pajang tidak mengepung kademangan Sima," berkata Rara Wulan, "mereka akan menyerang Sima dari satu sisi. Agaknya mereka akan mempergunakan gelar perang yang utuh untuk mengusir para prajurit Demak dari Sima."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku agak meragukan kesungguhan para Senapati di Pajang. Tetapi mudah-mudahan Pajang dapat berhasil membebaskan Sima dengan mengusir para prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati yang dengan tanpa pertempuran sudah menduduki Sima. Mereka hanya cukup mengganti Demang dan Jagabaya di Sima dengan kekerasan. Kemudian mereka telah menguasai Sima seluruhnya."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun akhirnya bergeser lagi semakin dekat dengan Sima. Namun mereka tidak memasuki kademangan Sima. Mereka bahkan melingkar untuk dapat menyaksikan Sima dari sisi yang lain. Bahkan jika mungkin mereka akan melihat benturan gelar perang antara Pajang dan Demak.
"Demak sudah terlalu jauh ke Selatan," berkata Glagah Putih, "agaknya mereka benar-benar telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram. Satu langkah yang sangat berbahaya yang diambil oleh Kangjeng Adipati di Demak."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menunggu sampai esok. Jika mungkin Glagah Putih dan Rara Wulan ingin menyaksikan pertempuran antara Pajang melawan Demak di Sima, yang menurut Glagah Putih, Pajang bertindak agak tergesa-gesa.
Tetapi Rara Wulanpun berkata, "Tentu atas dasar laporan para petugas sandinya di Sima beberapa waktu yang lalu, kakang. Mudah-mudahan saja Pajang berhasil menduduki Sima. Jika itu yang terjadi, kitapun dapat singgah di Sima. Meskipun orang-orang Pajang masih belum banyak mengenal kakang, tetapi pertanda yang kakang kenakan di ikat pinggang itu akan memberikan banyak kesempatan kepada kakang untuk dapat bertemu dan berbicara dengan para Senapatinya."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun bahwa Rara Wulan telah memperingatkannya tentang pertanda yang dikenakannya, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "dengan pertanda ini. bukankah kita dapat menyaksikan perang itu dari jarak yang lebih dekat " Kita justru berhubungan dengan para Senapati Pajang sebelum perang terjadi."
"Kakang yakin bahwa kakang akan dapat diterima dengan baik oleh para Senapati Pajang ?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Mungkin para Sertapati dari Pajang tidak akan dapat menerima kehadirannya dengan senang hati. Pajang ingin mengusir pasukan Demak di Sima dengan kekuatan mereka sendiri tanpa dicampuri oleh siapapun meskipun hanya oleh dua orang. Jika Pajang menang, keberadaan orang Mataram itu akan dapat menodai kemenangannya, seakan-akan Pajang dapat menang karena dibantu oleh Mataram.
Karena itu, maka akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan hanya akan menjadi penonton saja. Jika Pajang menang dan memasuki Sima, baru Glagah,Putih dan Rara Wulan akan menemui para Senapati Pajang di Sima.
Karena itu, maka keduanya benar-benar hanya dapat menunggu apa yang akan terjadi esok pada saat fajar menyingsing.
Glagah Putih yang masih saja bergeser itu, akhirnya dapat menyaksikan perkemahan pasukan Pajang dari kejauhan. Nampaknya Pajang datang dengan pasukan yang kuat. Di perkemahannya dipasang pertanda kebesaran pasukan Pajang. Umbul-umbul, rontek, panji-panji dan kelebet yang melekat pada tunggul-tunggulnya.
Para prajurit Pajang memang datang dengan dada tengadah. Mereka tidak berniat merunduk prajurit Demak yang ada di Sima. Tetapi mereka datang sebagaimana pasukan segelar-sepapan.
Di perkemahan itupun nampak api yang dinyalakan cukup besar di tengah-tengah untuk menghangatkan udara.
Sementara itu, di dapurpun nampak asap mengepul.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan hanya sempat tidur beberapa saat saja bergantian. Sebelum fajar keduanya sudah berbenah diri untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Glagah Putih dan Rara Wulan harus bersembunyi lebih rapat lagi ketika mereka sempat melihatdua orang yang merayap beberapa langkah saja dihadapan mereka. Agaknya para petugas sandi dari Demak yang ingin melihat kesiagaan para prajurit Pajang. Para Senapati dari Demak tentu memperhitungkan, bahwa Pajang akan menyerang pada saat matahari terbit atau bahkan beberapa saat sebelumnya.
Kedua orang prajurit sandi dari Demak itu berhenti tidak terlalu jauh di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka memperhatikan dalam keremangan dini hari, pasukan Pajang yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Sima.
Tetapi kedua orang itu tidak menunggu terlalu lama. Ketika mereka mendengar suara bende yang ditabuh untuk pertama kalinya, maka kedua orang itupun segera bergeser kembali ke induk pasukannya yang sudah bersiap-siap di depan pedukuhan yang paling depan di kademangan Sima. Agaknya Demak tidak hanya akan mempertahankan padukuhan induk kademangan Sima, tetapi mereka agaknya akan mempertahankan kademangan Sima dan keseluruhan.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bergeser pula. Mereka menempatkan diri mereka sebaik-baiknya, sehingga mereka akan dapat menyaksikan apa yang terjadi meskipun tidak dalam keseluruhan. Tetapi setidak-tidaknya sebagian terbesar dari medan pertempuran.
Ketika langit menjadi semakin terang, demikian suara bende yang dibunyikan untuk kedua kalinya terdengar, maka pasukan Demak dan mereka yang mengaku para murid dari perguruan kedung Jatipun telah bersiap pula. Agaknya mereka tidak mempergunakan isyarat suara bende agar tidak terjadi salah paham dengan suara bende dari pasukan Pajang. Namun para prajurit Demak telah mempergunakan isyarat anak panah-anak panah sendaren yang dilontarkan, justru menyesuaikan diri dengan isyarat suara bende dari para prajurit Pajang.
Karena itu, maka demikian terdengar suara bende yang dibunyikan untuk kedua kalinya, maka beberapa anak panah sendarenpun telah beterbangan.
Memang agak mengejutkan, bahwa tiba-tiba pasukan Demak itu telah menegakkan tunggul yang sudah dilekati kelebet-kelebet bertanda kebesaran kelompok-kelompok prajuritnya. Bahkan kemudian beberapa panji panjipun telah dikibarkan pula pada landean-landean tombak panjang.
Agaknya pertanda-pertanda kebesaran itu telah membuat para prajurit Demak serta para murid dari perguruan Kedung Jati menjadi semakin bergelora. Karena itu, ketika terdengar suara bende dari pasukan Pajang dibunyikan untuk ketiga kalinya, justru para prajurit Demaklah yang bersorak gemuruh.
Tanpa aba-aba apapun, karena justru mereka menyesuaikan dengan aba-aba pasukan Pajang, prajurit Demak itupun segera bergerak menyongsong lawannya dengan suara yang gemuruh.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang hanya dapat menyaksikan pertempuran itu sebagian saja, menjadi berdebar-debar. Mereka melihat kedua pasukan yang berhadapan itu telah memasang gelar yang utuh.
Untuk melindungi seluruh kademangan Sima, maka pasukan Demak yang dibantu oleh perguruan Kedung Jati, telah memasang gelar yang melebar. Garuda Nglayang. Sementara itu, Pajang yang ingin menembus langsung ke pusat kekuasaan di Sima yang sudah berada di tangan orang-orang Demak itu, justru mempergunakan gelar yang lebih memusatkan segala kekuatan dalam satu lingkaran. Itulah sebabnya Pajang memilih gelar Cakra Byuha. Para Senapati Pajang berharap gelarnya akan dapat mengoyak pertahanan pasukan induk gelar lawan yang melebar itu.
Namun untuk menghadapi gelar Cakra Byuha, maka gelar Garuda Nglayang telah memperkokoh pertahanan di induk pasukan, serta pada saat yang tepat, sayap-sayap gelar yang masing-masing dipimpin oleh seorang Senapati, akan segera menyerang Gelar Cakra Byuha di lambungnya.
Dengan demikian, maka gelar Garuda Nglayang yang dipasang oleh pasukan Demak akan lebih condong akan bertahan. Namun pada saatnya, sayap-sayapnya akan menjepit gelar yang bulat dari pasukan Pajang.
Beberapa saat kemudian, pada saat matahari terbit, kedua gelar itupun telah berbenturan. Sorak para prajurit dari kedua belah pihak bagaikan akan meruntuhkan langit. Namun, demikian mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit, maka mereka tidak lagi bersorak-sorak. Teriakan-teriakan memang masih terdengar dari antara mereka yang menghentakkan senjata mereka.
Pertempurannya segera menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat menguasai medan.
Namun ketika matahari naik sepenggalah, maka pasukan Pajang sempat mendesak pasukan Demak. Induk pasukan Demak kesulitan untuk mempertahankan serangan gelar pasukan Pajang yang langsung menghunjam ke pusat pertahanan.
Namun para Senapati Demak, memang sudah menduga, bahwa untuk sementara pasukannya akan terdesak. Karena itu, maka Senapati yang memimpin gelar pasukan Demak itupun segera memerintahkan para penghubung untuk memberi isyarat kepada sayap-sayap pasukannya.
Ampat orang penghubung serentak telah melontarkan anak panah sendaren ke langit. Dua ke arah sayap kiri dan dua ke arah sayap kanan.
Perintah itupun segera ditanggapi oleh para Senapati yang memimpin sayap-sayap pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu. Bahkan para Senapati yang berada di sayap gelar itu menganggap bahwa justru perintah itupun sudah agak terlambat.
Karena itu, selagi pasukan dalam gelar Cakra Byuha itu ingin menembus induk pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu, maka Garuda itu seolah-olah telah mengepakkan sayapnya.
Sayap-sayap gelar Garuda Nglayang itupun dengan garangnya telah menyerang lambung Cakra Byuha.
Para Senapati Pajang memang telah memperhitungkan bahwa sayap itupun akan segera menyerang lambung.
Gelar Cakra Byuha itupun bagaikan menggeliat. Pasukan yang berada di lambung dan bagian belakang gelar Cakra Byuha itupun segera menyongsong gerak sayap pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu.
Demikianlah maka pertempuran menjadi semakin sengit. Namun gerak maju pasukan Pajangpun terhenti.
Kedua pasukan itu bertahan di garis benturan itu untuk beberapa lama. Kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan mereka masing-maisng.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Pasukan Demak serta pasukan Pajang itupun segera mengerahkan segala kekuatan dalam gelar mereka masing-masing.
Sementara itu, mataharipun telah menjadi semakin tinggi. Panasnya terasa bagaikan menyengat kulit.
Ketika matahari mencapai puncaknya, maka kedua belah pihak telah sampai ke puncak kemampuan mereka pula. Namun masih belum nampak, pasukan manakah yang akan berhasil mengalahkan lawan mereka.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja pasukan Pajang telah menghentak dengan sisa kekuatan dan tenaga mereka. Ketika matahari turun ke sisi Barat, perlahan sekali pasukan yang sedang bertempur itu mulai beringsut.
Para Senapati dari Demakpun menjadi cemas. Karena itu, maka dengan isyarat sandi, Senapati tertinggi dari pasukan Demak itupun telah menjatuhkan perintah kepada para penghubung.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian, maka beberapa anak panah sendarenpun telah berterbangan, justru dilontarkan ke padukuhan terdekat tetapi masih terangkum dalam lingkup kademangan Sima.
Ternyata isyarat itu diberikan kepada pasukan cadangan yang masih berada di padukuhan. Pasukan cadangan itu disiapkan untuk menahan gerak maju pasukan Pajang, jika ternyata pasukan Demak terdesak. Tetapi Senapati tertinggi Demak di Sima menganggap bahwa pasukan cadangan itu tidak usah menunggu. Namun mereka harus segera menuju ke medan.
Demikianlah, sejenak kemudian, pasukan cadangan dari Demak dan perguruan Kedung Jati telah berlari-lari keluar dari padukuhan untuk segera bergabung di induk pasukan Demak yang masih tetap bertahan pada gelar Garuda Nglayang.
Dengan demikian, maka pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu telah mendapatkan tenaga yang masih segar selain dengan demikian, maka jumlah merekapun segera bertambah.
Pasukan Pajangpun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para prajurit yang berada di ekor gelar Cakra Byuhapun telah mendesak maju dan tampil pula di lambung untuk melawan kepak sayap pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang.
Meskipun demikian, ternyata bahwa pasukan Demak serta para pengikut Ki Saba Lintang itu justru menjadi terlalu kuat bagi pasukan Pajang.
Ketika matahari semakin turun, maka sulit bagi pasukan Pajang untuk tetap bertahan dalam gelar Cakra Byuha yang semakin terjepit. Karena itu, maka semakin lama pasukan Pajangpun menjadi semakin terdesak surut.
Para Senapati Pajang masih berusaha untuk bertahan dan tetap dalam keutuhan gelarnya. Namun tekanan para prajurit Demak terasa menjadi semakin mendesak.
Senapati Demak yang memimpin seluruh pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu adalah seorang yang pilih tanding. Dalam pertempuran yang sengit, Senapati Demak itu berhasil berhadapan dengan Senapati Pajang yang memimpin seluruh pasukannya dalam gelar Cakra Byuha. Keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Namun semakin lama semakin jelas, bahwa Senapati Pajang itu menjadi semakin terdesak.
"Rara. Apakah kita hanya akan tetap menjadi penonton saja sampai akhir dari pertempuran itu?"
"Apa yang dapat kita lakukan, kakang?"
"Aku akan memasuki arena pertempuran."
"Bagaimana kakang dapat melakukannya?"
"Aku akan memegang pertanda yang aku terima dari Mataram. Aku akan menyatakan diri dihadapan para prajurit Pajang."
"Apakah mereka sempat memperhatikan pertanda yang kakang lekatkan pada ikat pinggang itu."
"Aku akan memegangi ikat pinggangku agar pertanda itu dapat dilihat dengan jelas."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Kau ikut bersama aku. Kenakan pakaian khususmu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya. Keduanya merayap melingkar sampai ke belakang gelar Cakra Byuha yang semakin terdesak mundur. Bahkan hampir saja gelar Cakra Byuha itu pecah, karena Senapati yang memimpin seluruh pasukan itupun menjadi semakin terdesak, sehingga ia tidak sempat lagi berbuat sesuatu bagi gelarnya. Bahkan nyawanya sendiripun sudah terancam. Segores-segores luka telah mengoyak kulitnya, sehingga darahpun telah menitik membasahi bumi Sima yang sedang diperebutkan itu.
Dalam keadaan yang gawat itu, dalam gerak mundur yang menjadi semakin cepat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah bergabung dengan gelar Cakra Byuha itu. Ketika seorang prajurit menyapanya, maka Glagah Putihpun segera menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram.
"Kau petugas dari Mataram?"
"Ya. Beri aku kesempatan melawan Senapati tertinggi dari Demak itu. Dengan demikian, maka Senapatimu akan sempat memimpin gerak mundur gelar ini agar tidak pecah. Jika gelar ini pecah, maka korban akan tidak terhitung lagi."
Prajurit yang hampir berputus-asa itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Iapun kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan, menguak gelar Cakra Byuha yang semakin terjepit dari arah depan, sayap kiri dan sayap kanan itu, menemui Senapatinya yang sudah hampir tidak berdaya lagi.
-ooo0dw0ooo- Jilid 379 KETIKA seorang pengawal Senapati yang sudah semakin terdesak itu mencoba untuk menghentikannya, maka sekali lagi Glagah Putih menunjukkan pertanda yang dibawanya dari Mataram.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya pengawal yang sudah terluka bahkan cukup parah itu.
"Serahkan Senapati tertinggi dari Demak itu kepadaku."
"Ia seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kau lihat, bahwa Senapati tertinggi dari Pajang itu mengalami kesulitan. Bahkan gelar inipun sudah hampir pecah karenanya."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia tidak mau kehilangan waktu yang sangat berharga itu. Karena itu, maka iapun segera meloncat ke samping Senapati tertinggi Pajang yang sudah tidak berdaya.
Tepat pada waktunya, Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya menangkis ayunan pedang Senapati tertinggi Demak yang hampir saja membelah dada Senapati Pajang.
"Setan alas. Siapakah kau yang berani menggangguku. Apakah kau juga ingin membunuh diri, atau menir biarkan kematianmu sebagai tumbal bagi Senapati Pajang yang sudah tidak berdaya itu?"
Glagah Putihpun memperlihatkan pertanda yang dibawanya sambil berkata, "Aku telah mengemban tugas untuk memerintahkan kepadamu, agar menarik pasukanmu."
"Perintah siapa?"
"Kau lihat pertanda ini. Pertanda yang diberikan cileh Ki Patih Mandaraka atas nama Kanjeng Sultan Hanyakrawati."
Senapati Demak itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Jangan turut campur. Orang-orang Pajanglah yang telah menyerang kami lebih dahulu."
"Kita akan membicarakannya nanti. Tetapi tarik pasukanmu agar pertempuran ini berhenti."
Senapati dari Demak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang berwajah garang berteriak, "Persetan dengan Mataram."
"Kalian akan melawan Mataram?"
"Kau dan orang-orang Pajang tentu akan menjebak kami. Jika kami menghentikan pasukan kami dan apalagi menarik mundur, maka mereka akan menerjang kami dengan buasnya, sehingga akhirnya kamilah yang akan menjadi korban."
"Aku juga akan menghentikan pasukan Pajang. Pertempuran ini akan berhenti sampai disini."
"Aku tidak peduli," teriak orang berwajah garang, "bunuh saja orang Mataram itu."
"Kau siapa?" bertanya Glagah Putih, "kau tidak mengenakan pakaian serta ciri-ciri prajurit Demak."
"Aku Senapati yang memimpin pasukan dari perguruan Kedung Jati."
"Gila. Kaulah yang tidak berhak ikut campur. Biarlah Senapati pasukan Demak mengambil keputusan."
Namun agaknya Senapati dari Demak itupun sudah terpengaruh pula oleh sikap orang berwajah garang itu. Karena itu, maka Senapati Demak itu justru berteriak.
"Hancurku pasukan Pajang. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Bunuh semua orang yang ada di dalam gelar Cakra Byuha yang sudah kita jepit dengan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang."
Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Kepada Rara Wulan iapun berkata, "Selesaikan orang yang mengaku Senapati dari perguruan Kedung Jati ini."
"Baik, kakang."
"Aku akan berbicara lagi dengan Senapati dari Demak ini."
"Tidak ada yang harus dibicarakan."
"Apakah kau sadari, bahwa jika kau tidak tunduk kepada perintah Mataram serta atas namanya, berarti bahwa kau telah memberontak?"
"Kalian tidak berhak memerintah kami."
"Demak adalah bagian dari keutuhan Mataram. Karena itu, maka Demak, termasuk segala jajaran yang berada dibawahnya, harus tunduk kepada Mataram."
"Cukup. Sekarang kau akan mati, Kau telah mengganggu langkah terakhirku untuk membunuh Senapati Pajang yang tidak lebih dari seekor tikus kecil."
Glagah Putihpun segera bersiap. Tetapi ia masih menggeram, "Kau sadari, bahwa hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukuman mati."
"Aku tidak mengakui wewenang Mataram untuk menghukum seorang perwira prajurit Demak."
"Aku tidak memerlukan pengakuanmu. Jika kau berkeras menolak perintahku, maka akulah yang akan membunuhmu."
Senapati Demak itu menjadi sangat marah. Iapun segera meloncat menyerang Glagah Putih.
Sambil meloncat menghindar, Glagah Putihpun berkata kepada Senapati Pajang, "Selamatkan gelarmu. Jika kau harus mundur, kau dan prajurit-prajuritmu harus tetap berada dalam gelar."
Senapati dari Pajang itu menyadari, bahwa jika gelar pasukannya pecah, maka korban akan semakin bertambah banyak.
Karena itu, dalam keadaan luka, Senapati Pajang itu berusaha untuk meneriakkan aba-aba, agar gelar pasukannya tetap utuh.
Sementara itu, Rara Wulan telah berhadapan dengan orang yang berwajah garang yang mengaku Senapati pasukan dari perguruan Kedung Jati.
"Apakah kau benar murid perguruan Kedung Jati?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Aku adalah murid terpercaya dari perguruan Kedung Jati yang ditugaskan untuk mendampingi pasukan dari Demak."
"Siapa namamu?"
"Buat apa kau tanyakan namaku?"
"Aku adalah murid terbaik dari perguruan Kedung Jati. Tetapi aku masih tetap berdiri pada jalur jalan lurus yang diletakkan oleh para pimpinan perguruan Kedung Jati. Sekarang, apalagi dibawah pimpinan Saba Lintang perguruan Kedung Jati telah keluar dari garis perjuangan yang diletakkan sejak semula."
"Jangan membual. Jika kau benar murid dari perguruan Kedung Jati, katakan siapa gurumu."
"Sekar Mirah. Sedangkan mbokayu Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar. Karena itu, maka aku telah menguasai ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati."
"Omong kosong."
"Sekarang, kita buktikan. Sedangkan jika benar kau memang murid dari perguruan Kedung Jati, maka aku memang sedang dalam tugas membabat dahan dan ranti ng-ranting dari perguruan Kedung Jati yang keluar dari nilai-nilai watak dan sifatnya."
"Semua itu omong kosong. Sekarang bersiaplah untuk mati. Apalagi kau seorang perempuan. Betapa tinggi ilmumu, namun kau tidak akan mampu mengimbangi ilmuku."
Demikianlah, maka Rara Wulanpun telah menapak kedalam lingkaran pertempuran melawan orang berwajah garang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati, bahkan Senapati pasukan dari Kedung Jati yang berada di arena pertempuran itu.
Dalam pada itu, kesempatan Senapati Pajang untuk berada diantara prajurit-prajuritnya memang dapat mempengaruhi keadaan, sehingga pasukan Pajang masih tetap mampu bertahan dalam keutuhan gelar perangnya.
Namun pasukan Pajang itu masih saja mengalami kesulitan untuk bertahan. Perlahan-lahan pasukan Pajang dalam gelar Cakra Byuha itu terdesak surut.
Namun mati-matian, Senapati Pajang yang terluka itu harus berjuang keras untuk mempertahankan gelarnya. Senapati Pajang itu sendiri telah berada di sayap kiri pasukannya, yang mengalami tekanan terberat. Kemudian Senapati pengapitnya, yang semula bertempur melawan orang yang mengaku Senapati pasukan dari perguruan Kedung Jati itu, berada di sayap kanan. Keduanya sudah terluka tetapi keduanya telah melupakan luka-luka di tubuh mereka Dengan sisa-sisa tenaganya mereka berusaha mempertahankan agar gelar Cakra Byuha itu tidak pecah.
Sementara itu. Rara Wulan masih bertempur dengan orang yang mengaku murid terpercaya dari perguruan Kedung Jati itu. Dengan garangnya orang itu menyerang Rara Wulan dan berniat untuk menghentikan perlawanannya dalam waktu singkat. Selanjutnya, Senapati dari perguruan Kedung Jati itu ingin segera memecah gelar Cakra Byuha dari pasukan Pajang dan menghancurkan para prajurit Pajang sampai lumat.
Tetapi ternyata perempuan itu telah menghalanginya Dengan tangkasnya pula Rara Wulan melawan orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu dengan ilmu yang menunjukkan ciri-ciri dari aliran ilmu perguruan Kedung Jati.
Orang itu mulai menjadi bimbang. Ia sudah mendengar nama besar Ki Sumangkar, yang merupakan salah seorang pemimpin terbaik dari perguruan Kedung Jati. Namun sejak itu pula telah nampak warna-warna jernih dan buram yang terdapat dalam perguruan Kedung Jati.
Pertempuran diantara kedua orang yang sama-sama menunjukkan ciri-ciri aliran perguruan Kedung Jati itu berlangsung dengan sengitnya. Tetapi Rara Wulan telah menempa dirinya dengan laku yang luar biasa, sehingga bobot ilmunya, meskipun ia masih berusaha untuk tetap dikenal sebagai murid perguruan Kedung jati, menjadi semaian menyulitkan lawannya.
"Menyerahlah," berkata Rara Wulan, "aku harus mengadilimu. Kau telah keluar dari jalan yang sebenarnya harus ditempuh oleh murid-murid perguruan Kedung Jati."
"Omong kosong. Kau mengemban tugas-tugas yang diberikan oleh pimpinan tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Aku mengemban tugas Ki Saba Lintang."
"Kalau benar kata-katamu, bukan hanya kau yang harus diadili, Ki Saba Lintangpun juga harus diadili."
"Gila. Kau sudah meremehkan nama pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati."
"Ki Saba Lintanglah yang telah merusak citra dari perguruan Kedung Jati. Seharusnya perguruan Kedung Jati menyinarkan cahaya yang dapat membantu menerangi kegelapan di sekitarnya, sekarang justru sebaliknya Ki Saba Lintang telah menyebarkan kegelapan itu sendiri."
"Persetan kau perempuan celaka." Keduanyapun telah terlibat lagi dalam pertempuran yang semakin sengit. Ketika orang yang mengaku murid terpercaya dari perguruan Kedung Jati itu menyerang Rara Wulan dengan goloknya yang besar, yang diputarnya seperti baling-baling, maka Rara Wulanpun telah memperlunakan selendangnya.
Lawannya itupun segera menjadi bingung. Ternyata tenaga dalam Rara Wulan itu sangat besar. Meskipun ujudnya. Rara Wulan adalah seorang perempuan namun orang itu harus mengakui, bahwa ia semakin lama menjadi semakin terdesak.
Rara Wulan memutar selendangnya dengan cepat, sehingga seakan-akan tubuhnya lelah dilapisi dengan kabut tipis, namun yang tidak tertembus oleh senjata lawannya.
Bahkan ketika ujung selendang itu menyentuh kulit lawannya, maka segores luka telah menganga. Seakan-akan kulitnya itu telah tergores oleh pedang yang tajamnya tujuh kali tajam pisau pencukur.
Orang itu berteriak marah. Dihentakkannya ilmunya dengan segenap sisa kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Namun ternyata ilmu perempuan itu beberapa lapis lebih tinggi. Rara Wulan dengan cepat telah mendesak orang itu sehingga orang itu menjadi semakin sulit, untuk menghadapinya.
Meskipun demikian, Rara Wulan tidak menjadi lengah. Jika orang itu benar-benar murid kepercayaan dari perguruan Kedung Jati, maka tiba-tiba saja orang itu akan dapat melontarkan ilmu pamungkasnya.
Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak melihat tanda-tandanya, bahwa orang itu akan melontarkan ilmu andalan perguruan Kedung Jati.
Dengan demikian, maka pertarungan itupun semakin menjadi berat sebelah. Orang yang mengaku Senapati dari perguruan Kedung Jati itu menjadi semakin tidak berdaya.
Keadaan itu ternyata sangat mempengaruhi gairah murid-murid perguruan Kedung Jati yang dipimpinnya. Dalam keadaan yang sangat terjepit, maka Senapati dari perguruan Kedung Jati itupun telah memberikan isyarat, agar saudara-saudara seperguruannya datang membantunya.
Meskipun dua orang murid perguruan Kedung Jati yang lain"telah bergabung dengan Senapatinya itu, namun mereka masih saja tidak mampu menahan Rara Wulan. Apalagi orang yang mengaku Senapati itu lukanya menjadi semakin parah. Selendang Rara Wulan yang menghentak dadanya, bagaikan telah menghentikan nafasnya.
Ketika beberapa orang lagi berniat untuk bergabung dengan orang yang mengaku kepercayaan perguruan Kedung Jati itu, maka prajurit-prajurit Pajangpun telah berusaha menghalanginya.
Sementara itu, Senapati dari perguruan Kedung Jati serta kedua orang saudara seperguruannya itupun menjadi semakin terdesak.
Rara Wulan memang menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika kedua orang murid Kedung Jati itu telah bergabung.
Namun Rara Wulanpun kemudian meyakini, bahwa para murid Saba Lintang itu belum benar-benar menguasai ilmu perguruan Kedung Jati sampai tuntas.
Karena itu, maka sekali lagi Rara Wulan berkata, "Ini kesempatanmu terakhir untuk menyerah."
"Persetan. Sebentar lagi gelar Cakra Byuha itu akan pecah. Kami akan segera menumpas para prajurit Pajang."
Jawaban murid perguruan Kedung Jati itu ternyata telah memperingatkan Rara Wulan, bahwa ia harus segera menyelesaikan lawannya. Ia berpacu dengan waktu. Jika gelar para prajurit Pajang itu lebih dahulu pecah, maka pengaruh keberadaannya di medan tidak akan begitu besar. Bahkan mungkin ia sendiri akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Rara Wulanpoun segera menghentakkan ilmunya. Selendangnya bergerak semakin cepat. Ketika orang yang mengaku kepercayaan Ki Saba Lintang itu mencoba meloncat sambil menjulurkan goloknya kear-ah dada Rara Wulan, maka ujung selendang Rara Wulanpun telah menebas dengan cepat. Ketika ujung selendang itu menggores dada lawannya, maka dada itupun telah menganga oleh luka.
Orang yang mengaku kepercayaan Saba Lintang itu berteriak keras sekali. Tetapi justru saat ia menghentakkan sisa kekuatannya untuk berteriak, maka darah bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya itu.
Sejenak kemudian, maka orang itupun terpelanting jatuh dan tubuhnyapun kemudian telah terbaring ditanah.
Kedua orang saudara seperguruannya telah menyerang Rara Wulan dari dua arah. Tetapi selendangnya yang berputar telah menyambar keduanya, sehingga keduanya terlempar jatuh terbaring. Punggung merekapun rasa-rasanya bagaikan menjadi patah.
Prajurit Pajang yang melihat Senapati para murid perguruan Kedung Jati itu terkapar, maka merekapun segera berteriak, didahului oleh pemimpin kelompok prajurit yang berada di wajah gelar Cakra Byuha itu. Pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa sorak prajurit-prajuritnya akan sangat berpengaruh terhadap gejolak jiwani para prajurit yang sedang bertempur itu
Demikian pemimpin kelompok itu bersorak, maka prajurit-prajuritnyapun bersorak pula.
Sorak para prajurit itu benar-benar menggetarkan medan. Beberapa orang saudara seperguruan Senapati kepercayaan Ki Saba Lintang itupun berusaha untuk merebut tubuhnya yang sudah tidak bernafas lagi. Sementara itu, kematiannya telah menguncupkan keberanian saudara-saudara seperguruannya. Apalagi Rara Wulan masih saja bertempur dcmgan garangnya di antara para prajurit Pajang yang mempergunakan saat kematian Senapati itu dengan sebaik-baiknya. Pemimpin kelompok prajurit Pajang itu nampaknya menguasai tugasnya bukan saja dalam mengatur gelar, tetapi juga mengerti bagaimana memanfaatkan saat-saat yang dapat mempengaruhi pertempuran itu dari beberapa sisi. Karena itu, maka ia masih saja berteriak-teriak untuk memancing agar prajuritnya yang sudah hampir kehilangan harapan itu dapat bangkit kembali.
Sebenarnyalah bahwa terjadi gejolak di induk pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu.
Sementara itu. Senapati Demak yang memimpin gelarnya justru menjadi semakin terdesak oleh Glagah Putih.
Sambil memberikan tekanan kewadagan, Glagah Putih masih sempat menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram sambil berkata lantang, "terakhir aku memperingatkanmu. Tarik pasukanmu. Aku berjanji untuk menghentikan pasukan dari Pajang. Jika tidak, maka aku menganggapmu sebagai pemberontak. Dan karena itu aku datang untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu."
Senapati pasukan Demak itu menggeram marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa orang yang membawa pertanda dari Mataram itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Meskipun demikian, pemimpin prajurit Demak itu, tidak mau menyerahkan dirinya. Ia masih saja bertempur dengan garangnya.
Namun keseimbangan pertempuran itu sudah berubah. Sayap-sayap gelar Garuda Nglayangnya tidak lagi terasa menjepit lambung gelar Cakra Byuha pasukan Pajang. Keberadaan Senapati Pajang di lambung gelarnya memang sangat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Senapati yang semula memimpin lambung gelar Cakra Byuha itupun bertempur seperti harimau yang terluka. Bersama dengan Senapati seluruh pasukan Pajang, meskipun sudah terluka, ia sempat mendesak Senapati Demak yang memimpin sayap gelarnya. Demikian pula pada lambung yang lain. Senapati yang semula bertempur melawan kepercayaan Ki Saba Lintang itu telah menggetarkan pertempuran di lambung gelarnya.
Bagaimanapun juga, pengaruh seorang Senapati dalam perang gelar sangat besar bagi prajurit-prajuritnya. Senapati Demak yang terdesak itupun sangat mempengaruhi medan. Apalagi ketika tubuhnya mulai di lukai ikat pinggang Glagah Putih. Maka perlawanannya menjadi semakin surut.
Meskipun demikian, kemarahan yang tidak terkendali masih saja membakar jantungnya. Ia menganggap bahwa kedatangan orang Mataram itu telah mengacaukan bayangan kemenangan yang sudah ada di depan hidungnya. Karena itu, maka orang Mataram itu harus dibunuhnya.
Namun tidak mudah bagi Senapati Demak itu untuk mengalahkan Glagah Putih. Bahkan semakin lama Senapati Demak itu bahkan semakin terdesak.
Dalam keadaan yang sangat sulit, maka Senapati Demak itu tidak mau menunda-nunda akhir dari pertempuran itu. Ia harus segera menghentikan perlawanan orang Mataram itu. Meskipun semakin lama ia menjadi semakin terdesak, namun ia tidak yakin, bahwa orang Mataram itu akan mampu menahan Aji Pamungkasnya.
Karena itu, ketika Senapati Demak itu tidak mempunyai kesempatan lagi dalam pertempurtan itu, maka iapun segera meloncat surut untuk mengambil ancang-ancang.
Beberapa orang prajuritnya yang terdesak tahu pasti, apa yang akan dilakukan oleh Senapatinya itu. Karena itu, maka merekapun segera menempatkan diri. Demikian orang Mataram itu dikenai Aji Pamungkas dan terlempar jatuh, maka merekapun akan bersorak dan sekaligus menyerang orang-orang Pajang sepwrti banjir bandang. Orang-orang Pajang itu tentu akan kehilangan segala harapan sehingga mereka akan dengan mudah dapat dilumatkan.
Sementara itu, Glagah Putih yang melihat lawannya mengambil ancang-ancang, tahu pasti bahwa Senapati Demak itu akan menyerangnya dengan Aji Pamungkasnya. Karena itulah, maka Glagah Putih tidak mau kehilangan kesempatan. Ia tidak tahu seberapa tinggi tataran kekuatan Aji Pamungkas Senapati dari Demak itu.
Karena itu, demikian orang itu melepaskan Aji Pamungkasnya, yang berujud bagaikan gumpalan lidah api yang menjulur dan kemudian terbang ke arah Glagah Putih, maka Glagah Putihpun telah melepaskan Aji Pamungkasnya pula.
Seleret sinar meluncur dari telapak tangan Glagah Putih, membentur gumpalan lidah api yang dilepaskan oleh Senapati Demak itu.
Sebuah benturan yang menggetarkan telah terjadi. Namun tingkat kemampuan Senapati dari Demak itu masih beberapa lapis dibawah kemampuan Glagah Putih.
Karena itu, ketika benturan itu terjadi, Glagah Putih memang tergetar, tetapi ia tidak terdorong surut.
Sementara itu, Senapati Demak itupun telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting di tanah.
Ternyata Senapati Demak itu tidak lagi sempat menggeliat. Demikian benturan itu terjadi, maka seluruh isi dadanya bagaikan menjadi lumat. Tulang-tulang iganya bagaikan berpatahan.
Yang kemudian bersorak adalah para prajurit Pajang, gelora sorak mereka bagaikan mengguncang bumi tempat mereka berpijak.
Kematian Senapati Demak bagaikan tubuh yang telah kehilangan tulang-tulangnya. Gelora jiwa mereka untuk bertempur dan menghancurkan prajurit Pajang, bagaikan terbang dihembus angin prahara.
Beberapa orang prajurit Demak segera berusaha menyingkirkan tubuh Senapatinya dan membawanya ke belakang garis pertempuran. Tetapi prajurit Pajang tidak melewatkan kesempatan itu. Satu saat yang sangat menentukan tidak boleh dilewatkan.
Karena itu, yang kemudian bersorak tidak hanya prajurit Pajang yang ada di bagian depan gelar Cakra Byuha yang hampir saja pecah itu. Tetapi semua prajurit Pajangpun telah bersorak, meskipun mereka yang berada di belakang masih belum tahu. apa yang telah terjadi.
Namun sejenak kemudian seorang penghubung telah menyampaikan berita itu ke bagian belakang gelar Cakra Byuha yang telah melibatkan diri bertempur bersama-sama para prajurit Pajang yang berada di lambung.
Kematian dua orang Senapati yang menjadi kebanggaan para prajurit Demak itu telah membuat seluruh pasukannya menjadi sangat gelisah. Apalagi mereka yang berada di induk pasukan itu tidak ada yang mampu untuk menahan Glagah Putih dan Rara Wulan yang bertempur bersama-sama para prajurit dari Pajang.
Akhirnya, bukan gelar Cakra Byuha dari Pajang yang pecah. Tetapi gelar Garuda Nglayang dari Demaklah yang kemudian terdesak surut. Namun para pemimpin kelompok prajurit Demak serta mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati itu berusaha sekuat tenaga, agar mereka bergerak mundur dalam gelarnya yang masih utuh.
Baru ketika mereka sudah hampir sampai di padukuhan, gelar Garusa Nglayang itupun telah terpecah.
Tetapi para prajurit itupun dengan cepat menyelinap ke dalam padukuhan yang terdekat. Sementara itu, Glagah Putih telah meneriakkan aba-aba agar pasukan Pajang lid:ik mengejar mereka. Baik dalam gelar Cakra Byuha atau dalam gelar yang lain, seperti gelar Glatik Neba untuk memburu para prajurit Demak yang bagaikan hilang di padukuhan.
Para Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pajang dengan susah payah telah menahan pasukan mereka agar tidak memasuki padukuhan, karena mereka tidak mengenal medannya sebaik para prajurit Demak yang telah menyusup ke dalamnya.
Dengan demikian pasukan Pajang yang masih dalam tatanan gelar Cakra Byuha berhenti di hadapan padukuhan masih termasuk dalam lingkungan kademangan Sima itu.
Senapati Pajang yang memimpin pasukan Pajang itupun kemudian telah menemui diagah Putih. Dengan lantang iapun berkata, "Kenapa kita tidak langsung memasuki kademangan Sima" Bukankah pasukan Demak itu sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan pasukan kami ?"
"Kalian tidak akan mungkin dapat memasuki Sima dalam keadaan yang memungkinkan kalian untuk menguasai Sima," jawab Glagah Putih.
"Kenapa ?" "Kau sadari bahwa pasukanmu sebenarnya sudah sangat parah. Hanya karena gertakan terakhir, dengan terbunuhnya kedua orang Senapati tertinggi dari Demak dan perguruan Kedung Jati itu sajalah, kalian dapat mendesak gelar pasukan Demak."
"Tidak. Jika kita sempat memburu mereka, maka kita akan menghancurkan mereka di kademangan Sima."
Pasukanmu tidak akan mampu melakukan. Lihat kenyataan itu. Kau sendiri sudah terluka, bahkan agak parah. Demikian pula Senapati pendampingmu. Bahkan para prajurit Demak tentu lebih mengenali medan dari pada kalian. Gelar Garuda Nglayang itu tentu akan mereka tinggalkan. Yang akan terjadi adalah perang brubuh. Apakah kalian siap bertempur dalam perang brubuh di medan yang lebih banyak dikenal oleh musuh-musuh kalian ?"
"Prajurit Pajang adalah prajurit yang terlatih. Tidak kalah tanggon dengan prajurit Mataram."
"Aku tahu. Tetapi kenapa kalian tidak mau melihat kenyataan yang baru saja terjadi dengan pasukanmu. Sekarang aku nasehatkan kau menarik pasukanmu mundur ke perkemahan. Sementara itu matahari sudah semakin rendah. Jika kalian nekad memasuki Sima. seandainya kalian dapat menduduki satu pedukuhan yang berada di hadapan kita, namun setelah matahari terbenam, maka kalian akan dilumatkan."
"Ternyata kau justru menghalangi tugas kami."
"Baik. Baik. Jika demikian, bawa pasukanmu memasuki neraka yang ada di hadapanmu itu," lalu katanya kepada Rara Wulan, "marilah kita pergi. Aku tidak sampai hati melihat para prajurit Pajang ini esok pagi tidak lagi memiliki kepalanya masing-masing karena semalamian mereka akan dibantai oleh prajurit Demak yang lebih menguasai medannya."
"Kalian akan kemana " Kalian akan meninggalkan tugas kalian begitu saja ?"
"Tugas apa ?" "Bukankah kalian prajurit dari Mataram " Kalian seharusnya ikut berjuang bersama kami untuk menindas pemberontakan Demak, mumpung masih belum berkembang semakin besar."
"Aku memang petugas dari Mataram. Tetapi aku mempunyai tugasku sendiri bersama isteriku. Jika aku melibatkan diri di pertempuran ini, karena aku berniat untuk melerainya jika mungkin. Karena hal itu tidak mungkin aku lakukan, maka aku justru menempatkan diri bersama pasukan Pajang, karena aku tahu bahwa Demak mulai meninggalkan ikatan persatuannya dengan Mataram."
"Kemudian sekarang kau akan meninggalkan kami?"
"Saranku, kembalilah ke kemah."
Senapati Pajang itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memberi isyarat kepada pasukannya untuk kembali ke perkemahan.
Dalam gerak surut itu, pasukan Pajang sempat mencari korban pertempuran yang baru saja berlangsung. Yang terbunuh dan yang terluka parah. Sementara langitpun menjadi semakin muram.
Ketika malam turun, maka para prajurit Pajang itu telah menyalakan api di tengah-tengah perkemahannya, sementara di dapur, asappun telah mengepul pula.
Sementara itu beberapa orang tabib yang ada dalam pasukan Pajang itu telah bekerja keras untuk mengobati orang-orang yang terluka.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menemui Senapati Pajang yang terluka itu. Ada beberapa hal yang akan disampaikannya kepada Senapati Pajang itu.
"Sebaiknya kau bawa pasukanmu kembali ke Pajang sebelum fajar esok dengan diam-diam," berkata Glagah Putih.
"Kenapa " Kau ini sebenarnya mau apa" Apakah kau ingin agar tugas yang aku emban ini gagal ?"
"Tidak. Tetapi kau harus mengerti, bahwa Demak akan dapat mengerahkan pasukan dua kali lipat dari pasukannya hari ini. Pasukan Demak dan pasukan perguruan Kedung Jati telah mempersiapkan Sima dengan baik. Demak mempunyai sepasukan Wiratani yang terlatih dan yang jumlahnya banyak sekali. Sebelum kalian datang, anak-anak muda Sima, bahkan semua laki-laki yang masih kuat, telah dilatih perang-perangan sepekan dua kali, sehingga mereka telah mempunyai kesiagaan kewadagan yang kuat. Sementara mereka melakukan latihan-latihan kewadagan, maka jiwa merekapun setiap kali selalu diracuni dengan janji-janji yang membuat mereka kehilangan kepribadian mereka."
"Kami tidak akan gentar menghadapi pasukan yang tidak disiapkan dengan baik. Jumlah orang tidak banyak berpengaruh terhadap kekuatan sebuah pasukan yang kokoh seperti pasukan Pajang sekarang ini."
"Jangan meremehkan kekuatan pasukan Demak di Sima. Jika kalian minta bantuan pasukan ke Pajang, maka kalian sudah terlambat. Besok saat fajar menyingsing, mereka sudah ada disekitar perkemahan ini."
Tetapi Senapati Pajang yang terluka itu menggeleng sambil berkata, "Aku tidak akan pergi. Aku akan menghancurkan mereka. Apakah mereka yang datang kemari, atau aku yang akan datang ke Kademangan Sima."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Rara Wulanlah yang bertanya, "Jadi. apakah rencanamu esok?"
"Besok aku akan mempersiapkan pasukanku sebaik-baiknya. Tetapi besok aku tidak akan menyerang. Aku akan bertahan di perkemahan ini jika mereka menyerang. Jika benar seperti yang kau katakan, bahwa pada saat fajar menyingsing mereka sudah ada di sekitar perkemahan ini, maka kita akan menghancurkan mereka dengan gelar Jurang Grawah."
"Aku nasehatkan sekali lagi, tinggalkan perkemahan ini."
"Jangan halangi aku. Aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan aku dan gelarku hari ini. Tetapi kau tidak berhak menghentikan aku."
"Ganjaran apa yang kau harapkan sehingga kau kehilangan perhitunganmu sebagai seorang Senapati" Mungkin kau mendapat keterangan yang keliru tentang Sima. Tetapi apa yang terjadi hari ini. seharusnya merupakan peringatan bagimu."
"Terima kasih atas kepedulianmu. Tetapi kau justru telah menyinggung perasaanku, seakan-akan aku adalah pemburu ganjaran, sehingga aku menjadi mata galap."
"Aku minta maaf," sahut Glagah Putih. Lalu katanya, "Tetapi pertimbangkan pendapatku."
"Aku sudah mempertimbangkannya."
"Dan kau tetap pada pendirianmu?"
"Ya." "Jika demikian, terserah kepadamu. Kaulah Senapati pasukan Pajang di Sima, sehingga karena itu, maka kaulah yang bertanggungjawab. Segala sesuatunya terserah kepadamu," lalu katanya kepada Rara Wulan, "Rara. Marilah kita pergi. Kita tidak berguna lagi disini."
"Sebenarnya aku minta kalian tetap tinggal."
"Kalau kau dengarkan pendapatku, aku akan tetap bersama kalian dalam perjalananmu kembali ke Pajang malam ini."
"Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan mengingkari tugasku sebagai seorang Senapati."
"Bukan mengingkari. Tetapi seorang Senapati juga mempertanggungjawabkan nyawa setiap prajurit yang ada di dalam pasukannya. Tidak seorangpun diantara mereka yang pantas untuk mati dengan sia-sia. Jika nyawa itu dapat diselamatkan, maka nyawa itu harus diselamatkan."
"Aku bukan seorang pengecut, Ki Sanak."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata kepada Rara Wulan, "Marilah. Sebaiknya kita pergi."
Rara Wulanpun bangkit pula. Ketika ia siap untuk meninggalkan tempat itu, iapun masih mencoba untuk memperingatkan Senapati Pajang itu. "Kirimlah petugas sandi di Sima. Lihat, apa yang dilakukan oleh para prajurit Demak dengan pasukannya serta usaha mereka untuk mengumpulkan para Wira Tani. Mungkin sekarang sudah ditabuh isyarat suara kentongan untuk mengumpulkan para Wira Tani itu. Tetapi suara kentongan itu tidak terdengar dari perkemahan ini. Namun jika kau kirim orang yang terpercaya, maka mereka akan dapat memberikan laporan kepadamu."
"Terima kasih atas peringatan ini, Nyi."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkan perkemahan para prajurit Pajang itu. Keduanya merasa sangat kecewa terhadap sikap Senapati Pajang yang menurut pendapat Glagah Putih dan Rara Wulan terlalu sombong sehingga tidak sempat melihat kenyataan yang dihadapinya.
"Senapati itu memerlukan peringatan," desis Glagah Putih.
"Tetapi sebenarnya aku tidak sampai hati meninggalkan perkemahan itu," sahut Rara Wulan.
"Apaboleh buat. Senapati yang keras kepala itu sama sekali tidak mendengarkan pendapat orang lain. Tetapi mudah-mudahan kemampuan serta jumlah orang-orang Sima yang sudah terpengaruh oleh Demak tidak sebanyak yang kita bayangkan."
"Tetapi prajurit Demak dan orang-orang dari perguruan Kedung Jati akan mengerahkan mereka seperti memaksa sekelompok itik keluar dari kandangnya untuk dibawa ke tempat penggembalaan di parit-parit sebelah padukuhan."
"Ya. Dan itu sangat mencemaskan."
Sebenarnyalah malam itu Senapati Pajang telah mengirimkan beberpa orang petugas sandi untuk melihat keadaan di Sima. Menjelang tengah malam, mereka yang telah kembali, memberikan laporan yang bersamaan.
"Di seluruh Sima telah terdengar suara kentongan dengan irama yang khusus. Tiga kali, tiga ganda. Terus-menerus tidak henti-hentinya. Di bulak yang baru panen di sebelah padukuhan induk telah berkumpul orang yang jumlahnya tidak terhitung. Mereka adalah anak-anak muda dan laki-laki yang masih kokoh dari seluruh kademangan Sima dan bahkan dari kademangan-kadeinangan di sekitarnya. Agaknya mereka telah menjalani latihan yang cukup. Merekapun mengenakan pakaian yang seragam dengan senjata yang memadai. Bukan berjenis-jenis senjata seadanya."
"Meskipun tidak setangkas prajurit, namun nampaknya mereka pernah mendapatkan latihan-latihan yang cukup -berkata seorang petugas sandi yang berhasil mendekati tempat orang-orang Sima itu berkumpul.
Senapati Pajang itu tidak dapat mengabaikan laporan-laporan yang diterimanya itu. Ia harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Diam-diam Senapati Pajang itu mulai mengakui kebenaran pendapat orang Mataram yang telah menyelamatkan nyawanya dan bahkan gelar pasukannya, yang juga berarti menyelamatkan banyak nyawa.
Ketika dua orang yang meronda di luar perkemahan kembali, maka keduanya juga melaporkan, bahwa mereka lelah mendengar suara kentongan lamat-lamat di seluruh kademangan Sima dan bahkan di kademangan-kademangan di sekitarnya.
Senapati tertinggi Pajang yang sudah terluka itupun segera memanggil para Senapati yang membantunya untuk membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil.
"Kita harus segera mengambil keputusan. Waktu semakin mendesak," berkata Senapati itu.
Namun akhirnya para Senapati itu mengambil keputusan untuk meninggalkan perkemahan.
"Kita sama sekali bukan pengecut," berkata seorang Senapati yang bertugas memimpin pasukan Pajang yang berada di lambung. "Tetapi jika tetap akan memberikan perlawanan menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat ganda, maka itu berarti bahwa kita membiarkan prajurit-prajurit kita mati dengan sia-sia. Padahal, jika mereka masih tetap hidup, pada kesempatan lain, mereka akan dapat memberikan arti yang lebih besar lagi bagi perjuangan ini."
"Baiklah," berkata Senapati tertinggi pasukan Pajang itu, "kita memang tidak boleh mengingkari kenyataan."
Maka Senapati tertinggi itupun kemudian telah men geluarkan perintah, agar pasukan Pajang itu bersiap untuk meninggalkan perkemahan.
"Biarlah api tetap menyala. Biarlah dapur tetap mengepul. Yang harus kita bawa adalah para prajurit yang gugur serta mereka yang terluka parah Jangan ada yang tertinggal. Semua harus tetap berada dalam barisan."
Prajurit Pajang itupun segera melaksanakan perintah. Sebenarnyalah para prajurit Pajang dapat mengerti kenapa mereka harus menarik diri. Meskipun ada pula diantara mereka yang menjadi kecewa, karena mereka merasa sudah berada di mulut kademangan Sima.
Namun para pemimpin kelompokpun segera menjelaskan apa yang sebenarnya mereka hadapi.
"Yang kita hadapi adalah bengawan yang banjir. Kita tidak akan mampu melawan arusnya. Jumlah prajurit Demak dan para Wiratani dari Sima tidak dapat dihitung. Bahkan seandainya mereka berlari-lari saja di perkemahan ini tanpa membawa senjata, maka kita semuanya akan mati terinjak-injak. Apalagi mereka adalah orang-orang yang sudah terlatih disamping prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati."
Namun ada saja diantara para prajurit, bahwa rasa-rasanya mereka tidak rela untuk pulang dari medan dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Yang gugur sudah jelas akan dianggap sebagai seorang pahlawan. Yang terlukapun akan dihormati. Tetapi mereka yang pulang sambil menunduk dengan senjata yang berada di dalam sarungnya, tidak akan berani menatap wajah-wajah mereka yang menyambutnya di pinggir jalan. Mereka tidak akan dapat menjawab jika ada yang bertanya, "Apakah Sima sudah kau rebut?"
Sima telah terlepas dari tangan mereka.
"Biarlah para Senapati mempertanggungjawabkannya di hadapan rakyat dan para pemimpin di Pajang," berkata para pemimpin kelompok, "bukankah kita tinggal menjalankan perintah."
Demikianlah. maka sejenak kemudian, pasukan Pajang itupun sudah bersiap untuk meninggalkan perkemahan mereka. Semua panji-panji, kelebet dan umbul-umbul telah digulung. Tetapi mereka membiarkan api di tengah tengah perkemahan tetap menyala. Bahkan beberapa orang telah menambah menaburkan kayu-kayu keringg ke dalam api. Demikian pula perapian di dapur, masih saja tetap mengepul.
Para petugas sandi dari Demak yang kemudian datang mengawasi keadaan, masih tetap menganggap bahwa prajurit Pajang masih tetap berada di perkemahan. Api di tengah-tengah perkemahan itu masih tetap menyala dan asap di dapur tetap mengepul.
Didalam gelapnya malam, maka pasukan Pajang itu bagaikan ular raksasa yang merayap perlahan-lahan. Tidak ada obor yang terpasang. Pasukan itu berjalan didalam gelapnya malam, yang terasa semakin pekat jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang sudah tertidur lelap.
Sampai menjelang dini, pasukan Demak masih belum tahu, bahwa perkemahan prajurit Pajang itu sudah kosong. Baru ketika mereka melihat lewat para petugas sandi bahwa api di perkemahan itu mulai mengecil dan bahkan hampir padam tanpa di tambah kayu-kayu kering lagi, mereka mulai menjadi curiga.
Dua orang petugas sandipun kemudian sepakat untuk merayap lebih dekat lagi.
"Hati-hati. Orang Pajang itu licik. Mungkin mereka sedang merayat lebih dekat lagi.
"Hati-hati. Orang Pajang itu licik. Mungkin mereka sedang membuat jebakan."
Namun semakin dekat dengan perkemahan, maka mereka menjadi semakin curiga. Perkemahan itu nampak sepi seperti kuburan.
"Tidak ada orang. Tidak ada rontek, umbul-umbul dan panji-panji," desis yang seorang.
Tetapi kawannya menyahut, "Justru karena itu kita harus sangat berhati-hati. Ini tentu cara licik yang dipergunakan oleh orang-orang Pajang untuk menjebak kita."
"Lihat. Api hampir padam. Tidak ada apa-apa." Meskipun demikian, kawannya masih juga sangat berhati-hati, bahkan menjadi semakin curiga melihat keadaan perkemahan orang-orang Pajang.
Namun akhirnya mereka merayap semakin dekat. Merekapun berusaha berputar mengelilingi perkembahan itu. Namun mereka tidak menemukan apa-apa selain api yang sudah akan padam serta asap yang masih mengepul.
Bahkan akhirnya keduanyapun menjadi semakin dekat dan justru memasuki perkemahan yang memang telah kosong itu.
"Kosong. Perkemahan ini memang sudah kosong," berkata yang seorang lagi.
"Ya. Kita sudah tidak mendapatkan apa-apa lagi selain beberapa barang yang ketinggalan. Agaknya mereka pergi dengan tergesa-gesa."
"Tentu belum terlalu jauh."
"Marilah segera kita laporkan kepada Senapati tertinggi, maksudnya yang memangku tugas Senapati itu sepeninggal Senapati tertinggi pasukan gabungan kita."
Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke Sima.
Sementara itu, di bulak sawah di sebelah padukuhan induk Sima yang padinya sudah dipanen, anak-anak muda dan bahkan laki-laki Sima dan sekitarnya yang masih kokoh, telah dikumpulkan. Mereka siap dengan senjata mereka masing-masing. Senjata yang sudah sejak sebelumnya dibagi diantara mereka oleh para prajurit Demak. Bahkan senjata-senjata itu sudah pula mereka pergunakan untuk latihan-latihan.
Selain anak-anak muda dan semua laki-laki yang masih kokoh, yang sebagian besar adalah para petani dan disebut pasukan Wiratani itu, mereka didampingi oleh para prajurit Demak dan murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang benar-benar sudah terlatih dengan baik.
Namun selagi seorang Senapati yang mengemban tugas Senapati Tertinggi sepeninggal Senapati Tertinggi yang sebenarnya yang telah terbunuh di pertempuran, mengatur dan membicarakan rancangan serangan yang akan mereka lakukan atas perkemahan para prajurit Pajang, maka dua orang pengamat yang telah menemukan perkemahan orang Pajang itu kosong, telah datang untuk memberikan laporan
"Kenapa kosong?" bertanya Senapati itu.
"Kami tidak tahu. Tetapi kenyataan itu yang kami temui."
"Mungkin itu merupakan salah satu tipuan orang-orang Pajang untuk menjebak kita."
"Mungkin sekali," sahut seorang Senapati yang bertugas di sayap kanan.
"Pada saat kita menyerang perkemahan itu, maka pasukan Pajang yang sudah tidak ada di perkemahan itu akan langsung menyerang padukuhan induk kademangan Sima dan mendudukinya."
"Kita memang harus berhati-hati menghadapi akal-akal licik orang-orang Pajang," sahut Senapati yang lain.
Karena itu, maka yang menjadi Senapati Pengganti itupun kemudian memutuskan, "Kita tidak akan menyerang esok saat fajar menyingsing. Malam ini justru kita akan mengatur pertahanan atas kademangan Sima dengan sebaik-baiknya. Mungkin orang-orang Pajang itulah yang justru akan datang menyerang. Baru besok kita akan meyakinkan keadaan. Kita akan mengambil sikap segera setelah kita mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sekarang, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari keberadaan mereka Tetapi kita memperhitungkan, bahwa esok pagi-pagi sekali mereka akan datang seperti siluman sebelum matahari terbit."
"Kita tidak usah menunggu lagi. Sekarang kita harus mulai mengatur pertahanan itu. Mungkin mereka tidak menunggu dini."
"Baik. Sekarang kita persiapkan pertahanan di sekitar padukuhan induk. Sementara kita akan mengirimkan kelompok-kelompok prajurit dan para Wiratani ke padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Jika terjadi sesuatu, misalnya ternyata pasukan Pajang datang menyerang, maka kita semuanya dinianapun kita bertugas, harus membunyikan isyarat, agar kita masing-masing dapat segera mengambil sikap."
Demikianlah, maka pada saat itu juga. Senapati Pengganti itu telah mengatur tugas. Beberapa kelompok telah ditugaskan untuk pergi ke padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk. Sementara itu pasukan Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati telah dipersiapkan untuk dapat bergerak cepat ke mana saja. Mereka berada di banjar kademangan, di rumah Ki Demang serta para bebahu yang lain. Namun segala sesuatunya sudah diatur dengan sebaik-baiknya jika pada saatnya pasukan itu harus bergerak.
Dalam pada itu, pasukan Pajang yang kembali ke Pajang, telah menjadi semakin jauh dari Sima. Mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka.
Senapati Pajang yang terluka itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua sosok orang yang berdiri di tengah jalan yang akan dilalui oleh pasukannya.
Ternyata keduanya adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Selamat malam," sapa Glagah Putih kepada Senapati Pajang yang berjalan di paling depan.
Senapati itupun segera mengenali mereka berdua. Dengan nada berat Senapati itupun menjawab, "Selamat malam."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan bersama mereka ke arah Pajang.
"Akhirnya kami telah melakukan sebagaimana kalian pesankan," berkata Senapati yang telah terluka itu.
"Sukurlah, "sahut Glagah Putih, "sebenarnyalah kami berdua sangat mencemaskan keadaan seluruh pasukan. Kami memang tidak sampai hati untuk pergi terlalu jauh meninggalkan kalian."
"Sepeninggal kalian aku telah mengirim petugas sandi untuk melihat keadaan di kademangan Sima. Ternyata benar seperti yang kalian katakan, bahwa di Sima telah bersiaga pasukan Wiratani yang tidak terhitung jumlahnya."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan sangat mengalami kesulitan menghadapi mereka," berkata Glagah Putih, "mungkin pasukanmu yang memiliki ketrampilan jauh lebih tinggi dari para petani yang terpaksa turun ke medan pertempuran itu, entah apapun alasannya. Jika kalian memaksa diri untuk bertahan, maka korban akan tidak dapat dihitung lagi. Mungkin dengan kelebihan para prajurit Pajang, kalian akan dapat bertahan beberapa lama. Namun dalam pertempuran yang terjadi maka prajurit-prajuritmu akan membantai para petani itu, sementara para prajurit Pajangpun akan berguguran."
"Kau benar. Karena pertimbangan itulah, maka kami akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke Pajang."
"Pajang harus membuat persiapan-persiapan yang lebih matang untuk menghadapi Demak yang telah dengan tanpa ragu-ragu mengeralikan para Wiratani untuk maju ke medan pertempuran."
Senapati yang terluka itu mengangguk-angguk.
"Kalian harus menemukan cara terbaik untuk menghindari korban yang terlalu banyak di kedua belah pihak. Prajurit-prajurit kalian sendiri, serta para petani yang akan menjadi lawan-lawan kalian."
"Ya. Aku akan memberikan laporan terperinci."
"Baiklah. Kamipun akan segera pergi ke Mataram, agar Mataram dapat mengambil langkah-langkah terbaik. Jika mungkin Mataram tidak usah berperang melawan Demak. Apalagi yang memimpin kadipaten Demak adalah saudara tua Kangjeng Sultan di Mataram."
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi jika terpaksa harus dilakukan kekerasan, maka Pajang akan siap untuk bertempur bersama para prajurit Mataram melawan Demak yang telah bekerja sama dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati."
"Mudah-mudahan akan dapat dilakukan sekaligus. Penyelesaian dengan Demak dan dengan perguruan Kedung Jati itu."
Senapati Pajang itupun mengangguk-angguk. Demikianlah maka iring-iringan pasukan Pajang itupun semakin lama menjadi semakin mendekati Pajang.
Sebenarnya Senapati yang memimpin pasukan itu ingin agar mereka sampai di Pajang sebelum fajar. Karena itu, setiap kali ia memerintahkan agar pasukannya berjalan semakin cepat.
Tetapi karena mereka membawa kawan-kawan mereka yang gugur serta yang terluka, maka kadang-kadang mereka masing-masing harus memperlambat perjalanan mereka sejenak.
Demikianlah, ketika langit menjadi merah oleh percikan cahaya matahari pagi, iring-iringan pasukan yang kembali dari Sima itupun memasuki pintu gerbang Pajang. Namun demikian pasukan itu mendekati pintu gerbang, mereka sudah tidak lagi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah memisahkan diri. Mereka akan langsung menuju ke Mataram untuk menyampaikan hasil perjalanan mereka untuk melacak para pengikut Ki Saba Lintang. Namun yang mereka dapatkan justru lebih dari pelacakan terhadap para pengikut Ki Saba Lintang itu.
Sementara pasukan Pajang itu memasuki pintu gerbang Pajang, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah menempuh perjalanan ke Barat, menuju ke Mataram.
Ternyata ketahanan tubuh keduanya memang sangat tinggi. Setelah menjalani laku serta latihan-latihan yang panjang, maka keduanya memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari para prajurit Pajang.
Demikian para prajurit Pajang itu sampai di Pajang, setelah diterima oleh Senapati yang berkewajiban, serta mereka telah diijinkan memasuki barak mereka, merekapun langsung mencari tempat untuk beristirahat. Mereka merasa sangat letih setelah kemarin mereka bertempur dalam gelar hampir sehari penuh. Kemudian sambil kembali ke perkemahan mereka harus mencari dan kemudian membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah. Ketika mereka sampai diperkemahan, mereka rasa-rasanya masih belum sempat beristirahat. Apalagi para petugas sandi yang harus pergi ke Sima untuk melihat perkembangan keadaan, sementara yang lain harus meronda, berjaga-jaga serta ada pula yang bertugas di dapur.
Pada saat-saat mereka beristirahat itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menempuh perjalanan ke Mataram. Namun mereka masih nampak segar. Langkah-langkah mereka masih tetap tegar.
Namun ketika kemudian matahari memanjat naik, maka mereka memang merasa haus dan lapar.
"Kita berhenti sejenak, Rara."
"Di pasar atau di kedai?" bertanya Rara Wulan.
"Di kedai saja. Kita mempunyai beberapa pilihan yang akan kita pesan."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan singgah di kedai. Tetapi seandainya kita berhenti di pasar, tentu juga akan terdapat banyak pilihan."
"Tetapi agak lebih tenang di kedai yang tidak berjejalan. Kita pilih kedai yang sepi, yang sedang tidak banyak pembelinya."
Keduanyapun kemudian singgah di sebuah kedai yang memang agak lebih sepi dibandingkan dengan kedai-kedai yang lain, yang berjajar berseberangan jalan dengan sebuah pasar yang terhitung ramai.
Meskipun kedai itu terhitung sepi, tetapi ada juga beberapa orang yang sudah duduk di dalamnya.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian mengambil tempat disudut kedai itu. Seorang pelayan mendekatinya dan menanyakan apakah yang akan mereka pesan.
"Ada dawet cendol?" bertanya Glagah Putih.
"Ada Ki Sanak."
"Kami minta dua mangkuk dawet cendol dan dua mangkuk nasi rawon. Aku lihat ada nasi rawon yang disini."
"Ada Ki Sanak. Kami menyediakan rawon iga-iga sapi."
"Bagus. Beri kami dua mangkuk."
Ketika pelayan itu pergi. Rara Wulan berdesis, "Kakang minta yang aneh-aneh."
"Tentu nikmat sekali. Rawon iga-iga. Tentu bukan tulang iganya. Tetapi daging di tulang iga."
Rara Wulanpun tersenyum. Sambil menunggu maka keduanya mendengarkan apa yang dibicarakan orang-orang yang ada di kedai itu. Apakah mereka juga berbicara tentang perang di Sima yang baru terjadi kemarin.
Tetapi agaknya berita tentang perang di Sima masih belum nuangalir ke Selatan. Mereka masih belum berbicara tentang hubungan antara Demak dan Pajang serta Mataram. Mereka masih saja berbicara tentang keadaan kehidupan mereka sehari-hari.
"Berita tentang parang itu belum sampai kemari. Atau mungkin orang-orang disini masih tidak peduli akan suasana yang semakin panas di Utara."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Nampaknya mereka masih belum menghiraukan apa yang terjadi di sebelah Utara. Namun pada suatu saat jika kekacauan itu mengalir ke Selatan, mereka akan terkejut."
"Pada saatnya mereka akan mengetahuinya," desis Gllagah Putih, "apalagi Demak dan para pengikut Ki Saba Lintang itu tentu tidak akan begitu saja pergi ke Selatan. Pertempuran di Sima itu akan membuat mereka lebih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi Ternyata bahwa Pajang juga sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Bahkan di Sima pasukan Pajang mampu mengimbangi pasukan Demak yang bergabung dengan para pengikut Ki Saba Lintang, meskipun Pajang harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Bahkan hampir saja pasukan Pajang itu mengalami kesulitan yang menentukan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Untuk beberapa saat Demak tentu akan berhenti bergerak. Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka tidak akan bergerak lagi ke Selatan. Demak tentu hanya menunda sesaat untuk membenahi kekuatannya. Bahkan mungkin Demak akan melindas Pajang lebih dahulu sebelum mereka akan pergi ke Mataram."
"Memang mungkin. Tetapi Pajang tentu tidak akan mudah di tembus."
"Jika Demak mengerahkan semua laki-laki dan membawanya ke Pajang, sementara Pajang tidak sempat melakukannya, maka Pajang tentu tidak akan mampu menahan arus banjir bandang dari Utara itu. Demak, terutama Ki Saba Lintang, tidak akan peduli berapa banyak korban yang akan jatuh. Yang penting mereka dapat mendesak Mataram atau sayap-sayap kekuatannya."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang pelayan telah menghidangkan pesanan Glagah Putih bagi mereka berdua.
"Nah. Kakang tentu akan sering datang kemari." Glagah Putih tersenyum. Rawon iga-iga sapi itu memang sangat menarik baginya.
Ketika mereka sedang makan, maka beberapa orang yang nampaknya pedagang-pedagang dari pasar di seberang, memasuki kedai itu. Merekapun kemudian duduk di tengah-tengah kedai. Seorang diantara mereka berteriak kepada seorang pelayan, "Kami minta nasi cething. Lauknya apa saja yang terbaik, bawa kemari."
"Baik, Ki Sanak."
"Minumnya apa saja yang ada."
"Dawet ?" "Ya." Demikian pelayan itu mempersiapkan pesan mereka, maka seorang diantara mereka berkata, "Bukankah peristiwa di Sima itu akan sangat merugikan bagi kita?"
"Ya. Sima merupakan salah satu jalur perdagangan kain yang baik. Dengan perang yang terjadi di Sima, maka satu jalurku terputus."
"Aku juga akan banyak kehilangan," desis yang lain, "aku sudah terlanjur menanam modal yang cukup besar di Sima bagi perdagangan hasil bumi. Tetapi perang itu tentu akan menghancurkan segala-galanya. Perang itu akan dapat menjadi alasan orang-orang Sima ingkar janji."
Seorang yang lainpun menyahut, "Kenapa harus terjadi perang yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan" Para pemimpin Demak dan Pajang itu tentu saling berebut pengaruh."
"Disamping berebut pengaruh, mereka tentu juga berebut daerah basah. Sima, meskipun tidak terlalu besar, akan dapat menjanjikan berbagai macam pemenuhan kebutuhan bagi para pemimpin Demak maupun Pajang. Tanpa menghiraukan kebutuhan orang lain, mereka berebut dengan cara yang kasar sekali. Perang."
"Ya. Mereka tentu mengatas-namakan kepentingan kadipaten mereka masing-masing. "
Tetapi seorang yang lain diantara mereka agaknya mempunyai tanggapan yang berbeda. Dengan nada berat orang itu berkata. "Tetapi kebutuhan seseorang tentu bukan hanya kepentingan kebendaan. Mereka tentu juga mempunyai kepentingan harga diri dan jangkauan kepentingan yang lebih jauh dari sekedar mencari tempat yang basah dalam pengertian rejeki."
"Lalu apa " Kekuasaan" Bukankah merebut kekuasaan bagi seorang pemimpin juga berarti berebut kesempatan untuk mendapatkan rejeki banyak?"
"Tetapi tentu tidak semua orang berbuat seperti itu. Mungkin Pajang merasa berkewajiban untuk membendung arus orang-orang Demak yang mengalir ke Selatan. Menurut pendengaranku, Demak bergerak ke Selatan untuk menguasai tahta Mataram, karena Kanjeng Adipati Demak itu darahnya lebih tua dari yang bertahta di Mataram sekarang."
"Apa artinya kekuasaan jika tidak sejalan dengan kemukten bagi seorang pemimpin" Dengan berkuasa mereka akan mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja."
"Tetapi itu tentu bukan seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik akan berbuat lain. Dengan kekuasaan mereka akan meluruskan tatanan dan paugeran bagi kepentingan rakyat banyak."
"Kau tentu tahu bahwa itu hanya omong kosong. Mungkin mereka memang berpura-pura membela kepentingan orang banyak. Tetapi sebenarnya mereka hanya melindungi kepentingannya sendiri. Kepentingan keluarganya dan sanak kadangnya."
"Jika seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan lagi, maka memang sulit untuk menempatkan diri. Semua usaha akan banyak terhambat- Para pemimpin yang dengan gigih memperjuangkan kepentingan rakyatnya, justru dihambat oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh tetapi yang sudah kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Justru karena ketakutannya kehilangan kesempatan untuk menimba rejeki sebanyak-banyaknya di kalangan rakyat itu sendiri."
"Kau sendiri bagaimana" Apakah peristiwa yang terjadi di Sima itu tidak merugikan dirimu serta usahamu?"
"Aku pribadi memang sangat dirugikan. Aku juga tidak menghendaki ada perang. Semua orang yang waras tentu membenci perang. Tetapi perang itu masih saja terjadi. Namun perang tidak selalu terjadi karena kedua belah pihak berebut pengaruh, berebut kekuasaan yang akan dapat disalahgunakan untuk kepentingan sendiri atau golongannya."
"Maksudmu?" "Perang dapat terjadi karena dua keyakinan yang berbeda yang sama-sama dipertahankan. Tetapi memang ada perang yang terjadi karena seseorang yang menginginkan kekuasaan yang akan dapat dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan pihak yang lain, justru ingin meredam keinginan seperti itu."
"Terserah saja kepada penilaianmu. Selain orang mempunyai penilaian sendiri terhadap perang. Tetapi secara umum perang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Mengganggu usaha seseorang."
"Mungkin kau kehilangan pasarmu di daerah Sima dan sekitarnya. Dengan demikian keuntunganmu akan berkurang sehingga pernyataanmu menentang perang itupun sama seperti orang-orang yang berperang dan berebut rejeki. Tetapi menentang perang seharusnya berpijak pada pijakan yang lebih adil. Karena perang dapat juga terjadi karena satu pihak diantaranya justru berusaha melindungi tindak sewenang-wenang."
Darah Monster Tiga 2 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Jerat Peri Kembangan 1