Pencarian

Darah Monster Tiga 2

Goosebumps - 29 Darah Monster Iii Bagian 2


Dia bisa merasakan adonan itu di lidahnya. "Idih!" Langsung
saja dia meludahkannya dan menggosok-gosok bibir. Kemudian dia
mulai melepaskan adonan yang menempel di wajahnya.
"Aduh, rambutku jadi lengket!" seru Andy.
"Tolong! Tolong!" Suara Kermit seakan-akan berasal dari
tempat yang jauh sekali. Dan Evan tahu sebabnya. Sepupunya itu
terkubur di bawah timbunan adonan kuning.
Sambil berusaha membersihkan rambutnya, Evan bergegas ke
balik meja. Dia menggenggam kedua tangan Kermit dan menariknya
dari bawah timbunan. "Wow! Aku jadi agak pusing!" seru Kermit. Dia bersandar pada
meja lab. Tapi tangannya tergelincir adonan kuning yang
menyelubungi meja. "Rambutku tak bakal bisa bersih lagi," Andy merengek, sambil
menarik-narik adonan di rambutnya dengan kedua tangan. Dia
berpaling kepada Evan. "Adonan itu tidak seharusnya meledak. Cuma
tambah besar. Pasti ada sesuatu dalam adonan itu yang membuatnya
meledak." Evan membersihkan T-shirt-nya yang berlepotan adonan dan
memandang berkeliling. Percikan-percikan adonan kuning itu telah
menyelubungi segala sesuatu, dan kini mulai berjatuhan dari dindingdinding. Suara "plop" terdengar setiap kali ada percikan yang
mengenai lantai. "Wah, ledakannya benar-benar hebat!" seru Kermit.
Kacamatanya juga tidak luput dari percikan adonan. Dia melepaskan
kacamatanya dan memandang berkeliling sambil memicingkan mata.
Kermit berpaling kepada Andy. "Kau memasukkan sesuatu ke
mangkuk, ya?" "Sudahlah," sahut Andy, yang masih sibuk membersihkan
rambutnya dari adonan yang lengket.
Kermit menarik-narik lengan gadis itu. "Apa yang
kaumasukkan" Apa yang kaucampurkan ke ramuanku?"
"Kenapa memangnya?" tanya Andy.
"Biar bisa diulang lagi," jawab Kermit penuh semangat.
"Ledakannya benar-benar keren!"
"Satu kali sudah lebih dari cukup," Evan mengeluh.
Rencana balas dendam mereka ternyata tidak berjalan seperti
yang mereka harapkan, Evan terpaksa mengakui. Seharusnya Kermit
berlinangan air mata. Atau gemetaran karena ngeri.
Tapi matanya malah berbinar-binar, dan dia juga tersenyum
lebar sekali. Kita memang tolol! pikir Evan dengan sedih. Kermit malah
kesenangan sekarang! Kermit meraih lap dan membersihkan kacamatanya. "Wah,
berantakan sekali," dia berkomentar sambil memandang berkeliling.
"Evan, kau bakal dimarahi habis-habisan kalau Mom pulang nanti."
Evan menelan ludah. Dia sama sekali lupa pada Bibi Dee.
Ibu Kermit telah memberinya satu kesempatan lagi untuk
membuktikan bahwa Evan dapat mengerjakan tugas sebagai babysitter
dengan baik. Tapi sekarang Bibi Dee akan menemukan ruang bawah
tanahnya berlumuran adonan kuning yang lengket, mulai dari lantai
sampai ke langit-langit. Dan Kermit pasti akan mengadu bahwa
semuanya salah Evan. Bibi Dee akan memberitahu seluruh dunia kenapa aku dipecat,
pikir Evan dengan sedih. Dan seumur hidup aku takkan pernah lagi
diberi tugas sebagai babysitter.
Selamat tinggal, walkman, pikirnya geram. Kalau begini, aku
tak bakal bisa mengumpulkan uang untuk beli Walkman baru.
"Semuanya salahmu!" Evan berseru sambil menuding Andy. Di
ujung jarinya masih ada sedikit adonan kuning.
"Salahku?" Andy memekik. "Kau yang mau memberi pelajaran
kepada Kermit!" "Tapi kau yang ngotot mau pakai Darah Monster!" balas Evan
dengan sengit. "Lihat rambutku ini!" Andy meratap. "Lihat! Semuanya kena
adonan! Aku seperti pakai helm! Rambutku rusak! Rusak! Huh!" Dia
mendengus dengan kesal. Kermit ketawa cekikikan. Dia membungkuk dan meraih
segenggam adonan yang lengket. "Hei, tangkap!" dia berseru"lalu
melemparkannya ke arah Evan.
Adonan itu menghantam dada Evan dan melekat pada T-shirtnya. "Sudah, Kermit!" dia berseru dengan gusar.
"Ayo, kita main perang-perangan saja!" Kermit mengusulkan
sambil nyengir. Langsung saja dia mengambil segenggam adonan lagi.
"Hei! Jangan! Jangan macam-macam!" teriak Evan. Dia
melepaskan adonan yang menempel di bajunya. "Ini berbahaya! Kita
hams membersihkan semuanya ini!"
Sekali lagi Kermit menimpuk Evan dengan adonan.
Evan berusaha mengelak. Tapi tanpa sadar dia menginjak
adonan licin yang berserakan di lantai. Sepatu ketsnya tergelincir dan
dia jatuh berdebam. "ADUHHH!"
Kermit ketawa kegirangan. "Wah, asyik!" serunya. "Bidikanku
memang jitu!" Andy bergegas menghampiri Evan dan membantu sahabatnya
berdiri lagi. "Barangkali adonan ini bisa kita bersihkan pakai pengisap
debu," dia mengusulkan, lalu berpaling kepada Kermit. "Di mana
ibumu menyimpan pengisap debu?"
Kermit angkat bahu. "Aku tidak tahu."
Evan bersandar pada meja lab. Telapak tangannya terkena
adonan kuning, tapi dia tidak peduli.
Tiba-tiba saja dia merasa aneh.
Seluruh tubuhnya terasa gatal. Dan perutnya serasa diadukaduk. Evan memejamkan mata, berusaha untuk mengusir perasaan
aneh itu. Tapi gatalnya malah bertambah parah.
Telinganya berdenging-denging, seakan-akan ada orang yang
meniup peluit di dekatnya. Otot-ototnya terasa pegal. Pelipisnya
berdenyut-denyut. "Barangkali bisa kita pel," Evan mendengar Andy berkata. Tapi
suaranya begitu kecil, seolah-olah berasal dari tempat yang jauh.
Evan menoleh dan melihat Andy meraih ember dan tongkat pel
yang tersandar pada dinding ruang bawah tanah.
Ember itu terlalu kecil, pikir Evan. Dan kenapa Andy mau pakai
tongkat pel yang begitu mungil"
Ruangan di sekelilingnya mulai miring"mula-mula ke kanan,
lalu ke kiri. Evan mengerdip-ngerdipkan matanya agar semuanya kembali
tegak. Seluruh tubuhnya bergetar seakan-akan dialiri arus listrik. Dia
memejamkan matanya dan memijat-mijat pelipisnya dengan kedua
tangannya. "Evan... kau ikut bantu dong!" Suara Andy terdengar begitu
pelan, begitu kecil. "Evan...?" Evan mendengarnya memanggil.
"Evan...?" Ketika Evan membuka mata, dia melihat Andy dan Kermit
sedang menatapnya sambil mendongak. Roman muka mereka telah
berubah. Mata mereka terbelalak ngeri. Dan mulut mereka menganga
lebar. "Ada apa?" tanya Evan. Suaranya menggelegar di ruang bawah
tanah dan memantul pada dinding-dinding beton.
Andy dan Kermit masih menatap Evan sambil mendongak.
Tongkat pel mungil yang dibawa Andy terlepas dari tangannya, jatuh
ke lantai. Tongkatnya kecil sekali, pikir Evan sekali lagi sambil
memandang ke bawah. Dan embernya juga.
Kemudian dia menyadari bahwa Andy dan Kermit pun tampak
mungil. "Oh!" Evan berseru karena kaget.
Semuanya begitu kecil. Begitu mungil.
Beberapa saat kemudian Evan baru sadar apa yang telah terjadi.
Tapi ketika dia akhirnya paham, dia langsung memekik dengan
ngeri. "Oh, ya ampun! Ya ampun!" dia mengerang. "Aku yang tambah
besar! Badanku terus tambah tinggi!"
16 EVAN menundukkan kepala, memandang ke bawah. Lantainya
tampak jauh di bawahnya. "Ka-kakiku," dia tergagap-gagap.
Andy dan Kermit belum bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Mereka terus menatapnya sambil terbengong-bengong.
Evan menelan ludah. "Ada apa ini?" dia berseru. Suaranya
terdengar menggelegar di ruangan kecil itu. "Kenapa aku bisa tumbuh
sampai dua setengah meter"!"
"Ka-kau jadi raksasa!" ujar Kermit sambil terkagum-kagum.
Dia melangkah maju dan memeluk lutut Evan. "Aku juga mau jadi
raksasa! Oke" Oke, Evan" Aku juga mau," dia memohon-mohon.
"Sudah, jangan macam-macam," Evan bergumam. Dia
mengangkat Kermit dan mendudukkannya di atas meja lab.
Sepupunya itu terasa ringan sekali.
Kemudian Evan berpaling kepada Andy. "Aku harus bagaimana
sekarang" Ini benar-benar gawat!"
"Jangan keras-keras dong!" Andy memohon sambil menutupi
telinganya dengan kedua tangan. "Tolong, Evan"kalau bicara, bisikbisik saja, ya?"
"Aku harus bagaimana sekarang?" Evan mengulangi, tanpa
menggubris permintaan sahabatnya.
Andy memaksakan senyum. "Barangkali kau bisa mendaftarkan
diri untuk tim basket."
Evan mengepalkan tangannya yang besar. "Jangan bercanda,
Andy!" hardiknya. "Aku lagi tidak ingin bercanda."
Badannya mulai gatal-gatal lagi. Otot-ototnya terasa pegal.
Evan tahu, dia akan bertambah besar lagi.
Tenggorokan Evan mendadak kering kerontang. Kemudian dia
merasakan lututnya gemetaran, soalnya suara dug-dug-dug saat kedua
lututnya beradu terdengar keras sekali.
Jangan panik! dia berkata pada dirinya sendiri.
Yang paling penting adalah"jangan panik.
Tapi bagaimana dia tidak panik" Kepalanya sudah hampir
membentur langit-langit ruang bawah tanah.
Kermit berdiri di atas meja lab. Sepatu basketnya yang putih
berlumuran adonan kuning. Di mata Evan, sepatu itu tak ubahnya
sepatu boneka yang mungil.
"Aku juga mau jadi raksasa! Aku juga mau jadi raksasa!"
Kermit merengek-rengek. "Kenapa aku tidak boleh jadi raksasa?"
Evan menatap sepupunya itu. Kini Kermit kelihatan persis
seperti tikus putih. Rasa gatal yang menyerang Evan nyaris tak tertahankan.
Seluruh ruangan kembali bergoyang, "Ini semua salahmu, Andy!"
Evan berseru. Andy mundur sampai punggungnya menempel di dinding.
"Hah" Salahku?"
"Kau yang bawa Darah Monster ke sini!" Evan berkata dengan
suara menggelegar. "D-dan ada yang tertelan olehku!"
Andy menatapnya sambil mengerutkan kening. "Bagaimana
bisa begitu?" "Waktu adonan Kermit meledak," sahut Evan. "Waktu itu aku
sedang mau menghabiskan sisa wafer. Tahu-tahu adonannya meledak.
Dan aku tersedak. Mukaku kena percikan adonan. Aku ingat aku
sempat mencicipinya. Percikan-percikan itu menempel di bibirku.
Dan... dan..." "Dan percikan itu mengandung Darah Monster!" Andy
menyambung. Wajahnya berkerut-kerut karena ngeri. "Oh, Evan. Aku
benar-benar menyesal. Sungguh."
Tapi kemudian wajahnya menjadi cerah kembali. "Bajumu juga
kena Darah Monster. Untung saja. Jadi bajumu juga ikut bertambah
besar." Evan mendengus dengan kesal. "Untung?" dia berseru. "Apanya
yang untung" Bagaimana kalau aku terus tambah besar tanpa henti?"
Kermit masih berdiri di atas meja lab. Dia menatap Evan sambil
mendongak. "Maksudnya, kalau aku makan adonan itu, aku juga jadi
raksasa?" Langsung saja dia jongkok dan mengambil segenggam
adonan. "Jangan macam-macam!" teriak Evan. Dia membungkuk dan
menyentil adonan di tangan Kermit dengan dua jari. Kemudian dia
berdiri di depan Kermit sambil mendelikkan mata. "Kau bisa aku
remukkan dengan sebelah tangan, Kermit. Sungguh," Evan
memperingatkan sepupunya.
"Oke, oke," ujar Kermit dengan suara gemetaran. Dia turun dari
meja dan berlindung di belakang Andy.
Wow, pikir Evan. Rupanya Kermit benar-benar takut padaku.
Ini baru berita. Barangkali ada bagusnya juga kalau badanku jadi
sebesar ini! Tubuhnya kembali terguncang-guncang dan gatal-gatal. Bunyi
denging di telinganya bertambah keras. Dia bisa merasakan tubuhnya
bertambah besar lagi. Evan membalikkan tubuh dan melihat Dogface memasuki
ruangan. Tapi kini anjing gembala yang besar itu menyerupai anjing
pudel yang mungil. Dogface cegukan. Kemudian dia mengendus-endus adonan
kuning yang berserakan di lantai.
"Jangan!" seru Evan. "Jangan makan itu! Dogface... jangan!"
Terburu-buru dia membungkuk dan mengangkat anjing
gembala itu. Dogface tidak biasa diangkat dengan mudah oleh manusia,
sehingga dia langsung terkaing-kaing ketakutan. Keempat kakinya
menendang-nendang dengan liar ketika anjing yang panik itu merontaronta untuk membebaskan diri.
Tapi Evan menahannya dengan sebelah tangan dan menjepitnya
erat-erat. Begitu sadar bahwa dia tidak mungkin lolos
dari tangan raksasa itu, Dogface segera terdiam. Hanya sekalisekali dia merintih pelan.
"Bawa Dogface keluar dari sini. Kunci dia di luar," Evan
memberi perintah kepada Kermit. Dengan hati-hati dia menurunkan
anjing yang ge-metaran itu ke lantai.
Kermit tidak berani membangkang. Dia segera membawa
anjingnya pergi. Sebelum sampai di tangga, dia menoleh kepada Evan.
"Hei"Dogface sudah tidak cegukan lagi!"
Ya, dia sembuh sendiri karena ketakutan, Evan berkata dalam
hati. Kermit mengajak Dogface ke atas. Evan berpaling kepada
Andy. "Aku kan sudah bilang, Darah Monster itu jangan dikeluarkan
dari lemari!" serunya. "Sekarang lihat akibatnya!"
Dia terpaksa menunduk. Kalau tidak, kepalanya akan
menyenggol langit-langit.
"Siapa yang suruh kau makan itu?" balas Andy. "Kenapa kau
harus makan cokelat wafer?"
"Soalnya itu kan memang bagian dari rencana kita," Evan
menghardik dengan kesal. Dia menghela napas sambil menahan
geram. "Huh, rencana brengsek."
"Kelihatannya rencana kita tidak berjalan seperti seharusnya,"
Andy mengakui. "Yeah, kelihatannya begitu," Evan bergumam. "Dan sekarang
aku harus bagaimana" Apa kata Mama dan Papa kalau mereka


Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihatku begini?" "Kau mau makan apa?" Andy menambahkan. "Aku rasa kau
harus makan enam belas kali sehari! Dan di mana kau mau tidur" Dan
bagaimana kau bisa ke sekolah" Tidak ada meja yang cukup besar
untukmu. Dan kau mau pakai baju apa" T-shirt-mu harus dibuat dari
seprai!" "Hei, jangan bikin aku tambah pusing!" Evan bergumam
dengan lesu. Badannya mulai gatal-gatal lagi. Sekali lagi dia merasakan
kulitnya meregang dan semua ototnya berdenyut-denyut.
"Aduh!" dia memekik ketika ujung kepalanya membentur
langit-langit. Dia terpaksa membungkuk agar bisa mengusap-usap kepala.
"Evan... tinggimu sudah bertambah lagi!" seru Andy.
"Aku tahu. Aku tahu," Evan menggerutu. Tinggi langit-langit
ruang bawah tanah paling tidak 2,7 meter. Evan terpaksa
membungkuk agar tidak menabrak langit-langit. Berarti tingginya
lebih dari 2,7 meter. Tiba-tiba dia merinding. Dengan panik dia memandang
berkeliling. "Aku harus keluar dari sini!" pekiknya.
Kermit kembali dari atas. Begitu melihat Evan, dia langsung
berhenti sambil melongo. "Kau tambah tinggi!" serunya. "Berat
badanmu pasti sudah lebih dari 150 kilo!"
"Aku tidak punya waktu untuk menimbang berat badan," balas
Evan sambil memutar-mutar bola mata. "Aku harus keluar dari sini.
Sekarang saja aku sudah tidak bisa berdiri tegak. Kalau aku sampai
tambah jangkung..." Dia terdiam. Dia merasakan tubuhnya mengembang lagi.
"Aku sudah terlalu besar!" dia berseru. "Aku terperangkap di
bawah sini! Aku tidak bisa keluar!"
17 "TENANG saja," Andy berkata padanya. "Jangan panik."
"Tenang" Bagaimana aku bisa tenang?" balas Evan dengan
nada melengking. "Aku terpaksa menghabiskan sisa hidupku di ruang
bawah tanah ini! Aku terlalu besar untuk naik tangga."
"Mama pasti tidak senang," ujar Kermit sambil geleng-geleng
kepala. Ebukulawas.blogspot.com
"Coba dulu lewat tangga!" seru Andy. "Barangkali kau masih
sempat keluar!" Evan berpaling ke arah tangga ruang bawah tanah. "Ra-rasanya
tidak bakal muat," katanya sambil tergagap-gagap. Tangga itu
memang kelihatan sempit, padahal tubuh Evan kini sudah lebar sekali.
"Ayo dong," Andy berkata dengan sikap mendesak. "Aku dan
Kermit akan membantumu."
"Kau yang dorong dan aku yang tarik," ujar Kermit sambil
berlari ke tangga. Evan segera mengikutinya. Setiap kali sepatu ketsnya
menginjak lantai ubin terdengar suara berdebum. Dia terpaksa
membungkuk lebih rendah lagi agar kepalanya tidak membentur
langit-langit. "Usahakan agar kau jangan tambah tinggi lagi!" seru Andy,
yang menyusul mereka. "Jangan asal bunyi kalau kasih saran!" sahut Evan sambil
mendongkol. "Apa tidak ada saran yang lebih bermutu?"
"Jangan mengomel," Andy menggerutu. "Aku kan cuma mau
menolong." "Aku tidak butuh bantuanmu," balas Evan dengan sengit.
"Gara-gara kau aku jadi begini."
Dia merasakan tubuhnya kembali terserang rasa gatal. Ototototnya mulai berdenyut-denyut.
"Oh, jangan! Jangan!" dia memohon sambil berbisik. Aku tidak
mau tambah tinggi lagi! Evan menghela napas lalu menahannya beberapa saat.
Kemudian dia memejamkan mata dan berusaha memusatkan
pikiran"memusatkan pikiran untuk tidak tumbuh lagi.
"Sepertinya kau baru saja tambah tinggi satu inci lagi," Andy
memberitahunya. "Cepat dong, Evan. Jangan buang-buang waktu."
"Sampai seberapa besar Evan bakal tumbuh?" tanya Kermit.
Dia sudah mulai menaiki tangga. "Apakah dia bakal lebih besar
daripada gajah?" "Jangan macam-macam, Kermit," Evan bergumam dengan
kesal. "Jangan tanya-tanya seperti itu, oke?"
"Kalau kau sudah sebesar gajah, aku boleh main kuda-kudaan
di punggungmu, ya?" ujar Kermit.
Evan langsung memelototi sepupunya. "Kau tahu apa yang
dilakukan gajah terhadap tikus?" Evan mengangkat sebelah kakinya,
lalu mengentakkannya ke lantai keras-keras, untuk memperagakan apa
yang dilakukan gajah terhadap tikus.
Kermit menelan ludah, dan tidak berkata apa-apa lagi.
Evan menghampiri tangga. Dia melirik ke atas. "Rasanya tidak
mungkin aku bisa naik lewat tangga ini," katanya kepada Andy. "Aku
terlalu besar." "Coba dulu," Andy kembali mendesaknya. "Kau harus coba
dulu, Evan." Evan menginjak anak tangga pertama. Sambil membungkuk
rendah-rendah, dia melangkah ke anak tangga berikutnya.
"Hei, ternyata bisa!" Kermit berseru dengan gembira. Dia
berdiri di puncak tangga sambil memperhatikan setiap gerakan yang
dilakukan Evan. Evan melangkah lagi. Tangga kayu itu berderak-derak karena
bobotnya yang besar. Dia berpegangan pada pagar tangga. Tapi papan
kayu itu langsung patah. Dia naik dua langkah lagi.
Tiba-tiba badannya tersangkut. Dia tidak bisa maju maupun
mundur. Tubuhnya terlalu lebar untuk tangga yang sempit itu.
Kermit menarik kedua tangan Evan. Andy mendorongnya dari
belakang. Tapi mereka tidak berhasil membebaskannya.
"A-aku tidak bisa bergerak," Evan tergagap-gagap. Perasaan
panik mulai mencekik lehernya. "Aku terjepit di sini. Aku tidak bakal
bisa keluar!" Kemudian tubuhnya kembali gatal-gatal. Dan seketika Evan
sadar tubuhnya semakin bertambah besar.
18 SEMENTARA tubuhnya mengembang, Evan mendengar bunyi
berderak-derak. Mula-mula pelan. Lalu bertambah keras. Di sekitar dirinya.
Evan memekik kaget ketika dinding di sebelah kirinya ambruk.
Akibat tekanan tubuhnya yang terus membesar, dinding itu jebol.
Dindingnya retak-retak dan batu batanya berjatuhan. Evan
menarik napas panjang dan berlari naik.
"Berhasil!" dia berseru ketika melewati ambang pintu di puncak
tangga. Beberapa detik setelah itu dia sudah menghambur keluar lewat
pintu dapur, ke pekarangan belakang yang bermandikan cahaya
matahari. Dogface sedang tidur-tiduran di dekat pagar. Anjing itu
langsung berdiri ketika melihat Evan yang kini bertubuh raksasa.
Dogface menggonggong keras sambil mengibas-ngibaskan ekor, lalu
berbalik dan kabur terpontang-panting.
Kermit dan Andy menyusul Evan ke pekarangan. Keduanya
bersorak-sorai dengan gembira. "Kau berhasil! Kau berhasil keluar!"
Evan berpaling kepada mereka. "Tapi sekarang bagaimana?"
tanyanya. "Sekarang aku harus bagaimana" Tubuhku sudah hampir
setinggi garasi. Berapa banyak lagi aku bakal tumbuh?"
Kermit menghampiri Evan. "Hei... aku tertutup bayanganmu!"
dia berseru. Bayangan Evan di pekarangan menyerupai bayangan pohon.
"Jangan macam-macam, Kermit," Evan bergumam. "Barangkali kau
belum sadar, tapi aku lagi ada masalah nih."
"Barangkali ada baiknya kau ke dokter," Andy mengusulkan.
"Ke dokter?" seru Evan. "Apa gunanya aku pergi ke dokter?"
"Paling tidak, dia bisa menyusun menu diet untukmu," Andy
berkelakar. Evan membungkuk dan menatapnya sambil memicingkan mata.
"Awas kau, Andy," dia berkata dengan nada mengancam. "Satu lagi
lelucon konyol, dan..."
"Oke, oke." Andy mengangkat kedua tangannya seakan-akan
hendak melindungi diri. "Sori. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku
cuma mau meringankan beban pikiranmu."
"Evan tidak ringan. Dia berat sekali!" Kermit menimpali.
Kemudian terpingkal-pingkal.
Evan mendengus kesal. "Rasanya percuma saja aku ke dokter.
Dia takkan bisa membantu. Lagi pula, masuk ke ruang prakteknya saja
aku tidak bisa." "Tapi bagaimana kalau kita menunjukkan Darah Monster,
supaya dia bisa membuatkan obat penawar," Andy mengusulkan.
"Supaya badanmu jadi normal lagi."
Evan sudah hendak menjawab. Tapi teriakan-teriakan
melengking dari seberang pagar kayu yang tinggi di sisi belakang
pekarangan membuatnya terdiam.
"Jangan ganggu kami, Conan!" seorang gadis memohon.
"Yeah, jangan ganggu kami, Conan!" Evan mendengar anak
laki-laki berseru. Dia menuju pagar dan mengintip ke pekarangan Conan. Di situ
dia melihat Conan Barber mengayun-ayunkan tongkat bisbol dengan
keras, sehingga sepasang anak laki-laki dan perempuan terpaksa
berdiri merapat ke pagar.
"Menjauhlah!" gadis itu menjerit. "Kenapa sih kau harus
mengganggu kami?" Conan mengayunkan tongkatnya di depan anak-anak itu, dan
keduanya langsung memekik.
Evan membungkuk di atas pagar. Bayangannya yang lebar
menimpa Conan. "Bagaimana kalau kau main-main sama aku saja,
Conan?" katanya dengan suara menggelegar.
Kedua anak kecil itu langsung menoleh. Dengan mata
terbelalak mereka menatap Evan yang menjulang tinggi di atas
mereka. Baru beberapa saat kemudian mereka sadar bahwa mereka
berhadapan dengan manusia berbadan raksasa.
Lalu mereka mulai menjerit-jerit.
Mulut Conan menganga lebar dan ia mengeluarkan bunyi
seperti bunyi orang tercekik.
"Hei, Conan, mau latihan pukul-pukulan bola?" Evan bertanya,
dan suaranya terdengar bergemuruh di pekarangan belakang. Dia
meraih ke seberang pagar, merebut tongkat bisbol dari tangan Conan.
Kedua anak kecil tadi kabur sambil berteriak-teriak. Mereka
menerobos pagar tanaman di sisi pekarangan Conan, dan terus berlari
sampai menghilang dari pandangan.
Evan menggenggam tongkat bisbol dan mematahkannya
bagaikan mematahkan tusuk gigi.
Conan berdiri seperti patung sambil menatap Evan, seakan-akan
tidak percaya pada penglihatannya. Kemudian dia menunjuk dengan
jari gemetaran. "Evan... kau... kau... kau..." dia tergagap-gagap.
Evan mencampakkan tongkat bisbol yang telah patah ke depan
kaki Conan, sehingga Conan terpaksa melompat mundur.
"Kau makan Darah Monster!" Conan menuduh. "Lendir hijau
yang lengket itu. Yang dimakan Cuddles tahun lalu! Kau makan itu"
ya, kan?" Evan sebenarnya enggan diingatkan pada Cuddles si hamster.
Makhluk mungil itu berubah menjadi monster raksasa yang galak
setelah makan Darah Monster. Cuddles kembali ke ukurannya yang
normal hanya karena Darah Monster yang dimakannya sudah lama
dan kedaluwarsa. Tapi Darah Monster yang tertelan oleh Evan masih baru dan
segar. Sekarang aku yang jadi monster raksasa yang galak, pikir Evan
dengan sedih. "Kau sudah gila, ya?" tanya Conan. "Kenapa kau makan Darah
Monster?" "Aku tidak sengaja," Evan memberitahunya.
Conan terus menatap Evan, tapi roman mukanya tak lagi
mencerminkan rasa ngeri. Tiba-tiba dia mulai ketawa. "Hahaha,
untung saja kau yang makan Darah Monster, bukan aku!" serunya.
"Hah" Memangnya kenapa?" tanya Evan.
"Soalnya aku takut ketinggian!" balas Conan. Dia ketawa lagi.
"Dulu kupikir kau kurcaci konyol, Evan!" ujar Conan. "Tapi sekarang
kau jadi RAKSASA konyol!"
Evan maju sambil menggeram kesal. Dia berusaha melangkahi
pagar. Tapi ternyata langkahnya kurang tinggi. Pagar pekarangan
Conan hancur berantakan terinjak sepatu kets Evan yang berat.
"Hei..!" seru Conan waswas.
Dia mau membalikkan tubuh hendak lari, tapi Evan masih lebih
cepat. Evan meraih ke bawah lengan Conan dan mengangkatnya
seperti mengangkat bulu ayam.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Conan. Dia menendangnendang dan mengayun-ayunkan tangan seperti bayi.
"Aku baru tahu kau takut ketinggian," kata Evan.
Sambil memegang Conan dengan kedua tangan, dia
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Conan menjerit-jerit. "Kau mau
apa?" "Coba kita lihat apakah kau bisa terbang!" seru Evan.
"Jangaaan!" Pekikan Conan yang melengking pasti terdengar
sampai ratusan meter. Dia meronta-ronta ketika Evan mengangkatnya
lebih tinggi lagi. "Turunkan aku! Turunkan aku!"
"Oke," ujar Evan. "Aku turunkan kau." Dia mendudukkan
Conan di dahan pohon yang tinggi.
Conan memeluk dahan itu erat-erat. Seluruh tubuhnya
gemetaran. "Evan... jangan tinggalkan aku di sini!" dia mengiba.
"Jangan tinggalkan aku di sini! Aku kan sudah bilang aku takut
ketinggian! Evan... jangan tinggalkan aku! Evan!"
Sambil nyengir lebar Evan berpaling. "Nah, ini baru asyik," dia
berkata kepada Andy dan Kermit.
Conan terns meratap dan merengek di atas pohon. Evan menuju
pekarangan depan. "Asyik!" dia berkata, masih sambil nyengir.
"Betul-betul asyik!"
"Kau mau ke mana?" Evan mendengar Andy memanggil di
belakangnya. "Yeah, kau mau ke mana?" Kermit ikut berseru penuh
semangat. "Ini asyik juga!" ujar Evan. Perasaannya langsung jauh lebih
enak setelah dia bisa membalas dendam pada Conan. "Coba kita lihat
apa masih ada acara lain yang sama serunya."
"Yeah!" teriak Kermit. Dia harus berlari untuk mengimbangi
langkah Evan. Evan menundukkan kepala untuk menghindari dahan pohon
yang menggantung rendah. Kemudian dia berjalan beberapa langkah
ke arah jalan. "Oh!" Dia langsung berhenti ketika merasakan kakinya
menginjak sesuatu. Dia mendengar suara "krak" yang segera disusul


Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunyi "kres" di bawah sepatu ketsnya yang berukuran raksasa.
Evan membalik dan melihat Kermit menempelkan kedua tangan
ke wajahnya. "Oh, ya ampun!" Kermit memekik. "Kau menginjak
Andy! Evan... kau menginjak Andy!"
19 EVAN menahan napas. Cepat-cepat dia mengangkat kakinya.
Kermit ketawa terpingkal-pingkal. "Hahaha! Ketipu kau,
Evan!" Andy muncul dari pekarangan. "Itu tidak lucu!" dia menghardik
Kermit. "Leluconmu konyol sekali, Kermit. Kaubikin Evan kaget
setengah mati." "Aku tahu," sahut Kermit sambil ketawa dengan gembira.
Sepertinya dia merasa puas sekali.
Evan menarik napas lega. Dia membungkuk untuk melihat apa
yang diinjaknya. Temyata skateboard Kermit. Papan luncur itu patah
dua, dan tergeletak di rumput dalam keadaan remuk.
Dengan geram dia berpaling kepada Kermit. "Jangan ada
lelucon konyol lagi!" dia menggelegar. "Atau kau aku naikkan ke
pohon bersama Conan."
"Oke. Oke," Kermit bergumam. "Mentang-mentang punya
badan besar langsung sok jago."
Evan segera mengacungkan telunjuk. "Awas, Kermit," dia
memperingatkan sepupunya. "Aku bisa bikin kau terpental dengan
sekali sentil." "Conan masih teriak-teriak minta tolong di be-lakang sana,"
Andy melaporkan. Evan tersenyum. "Coba kita lihat siapa yang ada di lapangan
bermain. Barangkali saja ada anak lain yang bisa kita bikin kaget."
Evan menyeberangi jalan dengan langkah panjang dan berat.
Dia serasa berjalan memakai jangkungan. Wah, ini asyik juga, dia
berkata dalam hati. Aku jadi orang paling jangkung di dunia!
Dia melewati ring basket di rumah sebelah, yang dipasang pada
tiang di tepi jalan. Hei... paling tidak aku hampir dua meter lebih
tinggi daripada ring basket itu! pikirnya.
"Hei... tunggu dong!" Andy memanggil sambil terengah-engah.
"Jangan cepat-cepat kalau jalan."
"Ini sudah pelan!" balas Evan.
Sebuah mobil kecil berwarna biru lewat, lalu berhenti
mendadak. Evan melihat seorang wanita dengan dua anak kecil di
dalam mobil itu. Ketiga-tiganya menatapnya sambil membelalakkan
mata. Seorang gadis cilik muncul dari tikungan. Dia naik sepeda dan
mengayuh ke arah Evan. Matanya langsung sebesar piring ketika dia
melihat raksasa di hadapannya.
Otomatis gadis itu menekan rem"nyaris membuatnya
terlempar melalui setang sepedanya. Kemudian dia berbalik dan kabur
secepat mungkin. Evan ketawa. Mobil lain berhenti mendadak dengan ban berdecit-decit di
aspal. Evan baru hendak menyeberangi jalan lain ketika dia menoleh
untuk melihat siapa yang ada di dalam mobil tersebut. Dia tidak
memperhatikan langkahnya.
Suara kres yang keras membuatnya berhenti.
Sambil menahan napas dia memandang ke bawah"dan
menyadari bahwa dia menginjak sebuah mobil.
"Oh, ya ampun!" seru Evan. Sepatu ketsnya telah meremukkan
atap mobil itu"seakan-akan atapnya terbuat dari kaleng tipis.
Evan langsung mundur dengan waswas. Bagaimana kalau ada
orang di dalam mobil tersebut"
Dia berlutut di jalan untuk mengintip lewat jendela. "Uih,
untung saja!" serunya dengan lega ketika melihat mobil itu kosong.
"Wow!" ujar Kermit sambil berjalan mengelilingi mobil yang
diremukkan oleh sepupunya. "Gila, Evan, beratmu paling tidak satu
ton!" Andy menghampiri Evan yang masih berlutut di jalan. "Kau
harus hati-hati," dia mewanti-wanti. "Mulai sekarang kau harus
memperhatikan setiap langkahmu."
Evan mengangguk-angguk. "Paling tidak aku rasanya sudah
berhenti tumbuh," katanya.
Waktu mereka hampir sampai di lapangan bermain, Evan
melihat beberapa anak berseru-seru sambil menunjuk-nunjuk ke
pohon besar di sudut lapangan.
Ada apa sih" tanyanya dalam hati.
Ketika mereka mendekat, dia tahu apa masalahnya. Layanglayang mereka yang berwarna kuning tersangkut di pohon itu.
"Hei... tenang saja!" Evan berkata dengan suaranya yang
menggelegar. Anak-anak itu memekik kaget ketika Evan menghampiri
mereka. Semuanya langsung mundur, dan roman muka mereka
tampak kencang karena ngeri.
Evan meraih ke atas dan melepaskan layang-layang dari dahan
pohon. Kemudian dia mem- bungkuk dan menyerahkan kepada anak
yang paling dekat dengannya.
"Hei, terima kasih, ya!" Anak kecil itu tersenyum lebar.
Teman-temannya bersorak-sorai dengan gembira. Evan
membungkuk bagaikan pemain sandiwara sehabis pertunjukan.
Andy ketawa. "Seharusnya kau pakai jubah merah dan baju
ketat berwarna biru," serunya pada sahabatnya. "Biar kau jadi SuperEvan!"
"Super-Evan!" anak-anak itu berseru riang ketika mereka
berlari pergi sambil membawa layang-layang mereka.
Evan membungkuk untuk berbicara dengan Andy. "Kalau aku
tetap sebesar ini, mungkinkah aku dapat pekerjaan sebagai pahlawan
super?" "Tapi aku rasa bayarannya tidak seberapa," Kermit ikut bicara.
"Dalam buku komik, tidak pernah dikasih lihat mereka dibayar."
Mereka menyeberang dan menuju lapangan bermain. Evan
memandang gedung sekolah yang terbuat dari bata merah di pojok
lapangan. Gedungnya kecil sekali, dia berkata dalam hati.
Tiba-tiba dia sadar bahwa tinggi badannya paling tidak sama
dengan gedung dua tingkat. Kalau aku ke sana, pikirnya, aku bisa
melihat ke ruang-ruang kelas di lantai dua.
Tapi bagaimana aku bisa sekolah" Aku tak bakal bisa masuk
lewat pintu depan. Aku bahkan tidak muat di ruang kelas Mrs.
McGrady. Sekonyong-konyong dia merasa sedih, dan memalingkan
mukanya dari gedung sekolah. Tahu-tahu dia mendengar sorak-sorai.
Rupanya sedang ada pertandingan sofbol.
Evan mengenali Billy Denver, Brian Johnson, dan beberapa
anak lain. Dia selalu harus memohon-mohon agar diperbolehkan ikut
main. Tak ada yang menginginkan Evan di tim mereka, soalnya dia
kurang pandai memukul bola.
Evan melintasi rumput, menuju lapangan sofbol. Andy dan
Kermit mengikutinya sambil berlari, agar tidak ketinggalan terlalu
jauh. Brian baru saja mau melempar bola. Tapi dia langsung berhenti
waktu melihat Evan. Bolanya terlepas dari tangannya dan jatuh ke
tanah. Pemain-pemain di kedua pihak memekik kaget dan berseru
tertahan. Evan menghampiri Brian yang berdiri di tempat pelempar. Mata
Brian membelalak ketakutan ketika Evan mendekat. "Jangan sakiti
aku!" dia memohon. "Hei... itu Evan!" seru Billy. "Lihat tuh! Itu Evan!"
Semua pemain langsung mengerumuni Evan sambil berbisikbisik gelisah.
Pelan-pelan Brian menurunkan tangan dan menatap Evan yang
berbadan raksasa. "Wow! Ternyata memang kau! Evan... kok kau bisa
sebesar itu?" "Yeah, apa yang terjadi padamu?" anak lain menimpali.
"Dia latihan angkat beban!" Andy berkata kepada mereka.
Semuanya ketawa. Tapi tawa mereka terdengar tegang sekali.
Andy selalu siap dengan lelucon, pikir Evan.
"Ehm... kau mau ikut main?" tanya Brian. "Kau bisa ikut
timku." "Tidak. Dia ikut timku!" Billy segera berseru.
"Enak saja! Dia harus ikut timku!" Brian berkeras. "Kami kan
masih kurang satu orang!"
Billy dan Brian terus berdebat soal tim mana yang bakal
diperkuat Evan. Evan menunggu sambil menikmati pertengkaran
mereka. Dia memungut tongkat pemukul yang terbuat dari kayu.
Sebelumnya, tongkat sofbol selalu terasa begitu berat di tangannya,
tapi sekarang Evan mengangkatnya seperti mengangkat pensil.
Billy yang berhasil memenangkan perdebatan. "Sekarang
giliran kau memukul, Evan," katanya sambil nyengir.
"Bagaimana aku harus lempar bola" Dia raksasa!" Brian
mengeluh. "Lempar saja tinggi-tinggi," Evan menyarankan.
"Evan, orangtuamu tahu kau jadi jangkung begini?" tanya Billy
yang berjalan di samping Evan.
Evan menelan ludah. Dia sama sekali lupa soal orangtuanya.
Sebentar lagi mereka bakal pulang dari kantor. Dan mereka pasti
takkan senang. Bagaimana dia harus menjelaskannya kepada mereka"
dia bertanya-tanya. Dan kemudian dia sadar: Aku tidak perlu cerita apa-apa.
Mereka akan lihat sendiri apa yang telah terjadi padaku.
Dia mengambil posisi dan bersiap-siap memukul. "Sayang tidak
ada tongkat yang lebih besar," gumamnya. Bagi Evan, tongkat
pemukul itu tak ubahnya sedotan.
"Pukul keras-keras!" Billy berseru dari pinggir lapangan.
"Yeah, pukul keras-keras, Evan!" rekan-rekan satu timnya
menimpali. Lemparan Brian yang pertama terbang melewati mata kaki
Evan. "Kurang tinggi!" Evan berseru padanya. "Kau harus melempar
lebih tinggi." "Aku lagi berusaha!" Brian menggerutu. Dia mengambil
ancang-ancang dan melempar lagi.
Kali ini lemparannya setinggi lutut Evan.
"Susah dong, kalau aku harus melempar lebih tinggi lagi,"
Brian mengomel. "Ini tidak adil!"
"Lempar saja tinggi-tinggi, Brian!" seru pemain yang menjaga
base pertama. "Evan tak bakal bisa memukul bolanya. Dia selalu
gagal!" Memang benar, pikir Evan dengan muram. Biasanya aku selalu
gagal memukul bola. Dia menggenggam tongkatnya erat-erat. Dalam hati dia mulai
ragu apakah badannya yang besar akan membantunya.
Lemparan Brian yang berikut sudah lebih tinggi. Evan
mengayunkan tongkatnya keras-keras. Tongkat itu menghantam bola
dengan suara yang memekakkan telinga"dan langsung patah dua.
Bolanya melayang tinggi, tinggi, tinggi. Keluar lapangan
sofbol. Melewati gedung sekolah. Lalu menghilang dari pandangan
dan jatuh entah di mana. Sorak-sorai dan seruan kagum terdengar dari sekeliling
lapangan sofbol. Evan memperhatikan bola itu menghilang dari pandangan.
Kemudian dia melompat-lompat dengan gembira dan mulai berlari
keliling lapangan. Home run terjauh dalam sejarah dunia!
Dia hanya memerlukan empat langkah untuk menempuh jarak
dari satu base ke base berikut. Dia baru saja melewati base kedua
ketika dia mendengar suara sirene.
Evan menoleh ke arah jalan dan melihat dua mobil pemadam
kebakaran melaju melewati tikungan. Mobil-mobil itu naik ke rumput
lapangan bermain dan terus meluncur ke arah lapangan sofbol, dengan
sirene meraung-raung. Evan berhenti di base ketiga.
Suara sirene berhenti ketika kedua mobil pemadam kebakaran
berhenti dalam posisi sejajar dengan garis base pertama.
Evan terbengong-bengong ketika melihat Conan Barber
melompat turun dari mobil pertama. Beberapa petugas pemadam
kebakaran berseragam hitam menyusulnya.
"Itu dia!" Conan berseru sambil menuding-nuding Evan. "Itu
orangnya! Tangkap dia!"
20 PETUGAS-PETUGAS pemadam kebakaran berwajah geram
mulai menurunkan selang-selang air yang berat dari mobil mereka.
Beberapa rekan mereka menghampiri Evan sambil membawa kapak.
"Itu dia!" Conan memekik. "Dia yang menaruh aku di pohon
dan merusak pagar orangtuaku!"
"Hah?" Evan berdiri seperti patung di base ketiga.
Mimpikah dia" Ataukah ini benar-benar terjadi"
Di sekitarnya terdengar seruan-seruan kaget. Tapi suara-suara
itu dikalahkan oleh bunyi sirene yang semakin dekat.
Evan melihat lampu-lampu berwarna merah berkedap-kedip.
Dua mobil patroli polisi melaju melintasi rumput, lalu berhenti di
belakang mobil pemadam. Sepasang pria dan wanita langsung turun dari mobil patroli. "Itu
orangnya!" mereka berseru sambil menuding-nuding Evan. "Dia yang
menghancurkan mobil tadi. Kami melihat semuanya!"
Para petugas pemadam kebakaran sibuk menyambung selangselang mereka ke hidran-hidran air di tepi jalan. Petugas-petugas
polisi berseragam biru tampak berseliweran. Anak-anak yang bermain
sofbol berkerumun di tengah lapangan. Semuanya tampak bingung
dan ketakutan. "Dia mau membunuh saya!" Conan berseru kepada salah satu
petugas polisi. "Raksasa itu menaikkan aku ke atas pohon dan
membiarkan aku di situ!"
"Dia menghancurkan mobil!" jerit seorang wanita.
Evan belum beranjak dari base ketiga. Dia memandang ke arah
Andy dan Kermit yang berdiri di belakang mobil pemadam. Kermit
menyunggingkan senyumnya yang menyebalkan.
Andy menempelkan kedua tangan ke mulut. Dia menyerukan
sesuatu kepada Evan. Tapi di tengah hiruk-piruk dan raungan sirene di
sekeliling lapangan sofbol, seruannya jadi tak terdengar.
Beberapa petugas polisi dan pemadam kebakaran tampak
bergerombol sambil sibuk berbicara. Berulang-ulang mereka melirik
ke arah Evan. Apa yang akan mereka lakukan" Evan bertanya-tanya dengan
waswas. Apakah sebaiknya aku kabur saja" Atau lebih baik aku berusaha
menjelaskan semuanya pada mereka"
Semakin banyak orang berkerumun di lapangan sofbol. Begitu
melihat Evan, roman muka mereka langsung mencerminkan rasa
heran dan takjub. Semuanya menatapku, Evan menyadari. Mereka menunjuknunjuk seakan-akan aku orang aneh.
Tapi aku memang aneh, dia mengakui dalam hati.
Beberapa petugas pemadam membentuk barisan sambil
memegang kapak setinggi pinggang. Yang lain membidikkan selangselang air ke dada Evan.
Sekali lagi terdengar sirene meraung-raung. Semakin banyak
mobil polisi berhenti di lapangan sofbol.
Seorang petugas polisi yang masih muda dengan rambut dan


Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kumis merah menghampiri Evan. "Siapa"nama"mu?" serunya.
Setiap kata dieja sejelas mungkin, seakan-akan dia khawatir Evan
tidak mengerti bahasa Inggris.
"Ehm... Evan. Evan Ross," jawab Evan.
"Apakah kau berasal dari planet lain?" seru si petugas.
"Hah?" Mau tidak mau Evan langsung ketawa.
Dia mendengar beberapa pemain sofbol ikut ketawa.
"Aku tinggal di Atlanta," dia memberitahu para petugas polisi.
"Di dekat sini. Di Brookridge Drive."
Beberapa petugas polisi dan pemadam kebakaran menutup
telinga. Suara Evan membahana lebih keras dari yang diinginkannya.
Evan maju selangkah. Para petugas pemadam kebakaran segera mengangkat selang.
Yang lainnya bersiap-siap dengan kapak masing-masing.
"Dia berbahaya!" Evan mendengar seruan Conan. "Awas! Dia
benar-benar berbahaya!"
Seketika semua orang mulai gaduh dan berteriak-teriak.
Lapangan sofbol mulai penuh sesak. Orang-orang yang tinggal
di sekitar lapangan terus berdatangan. Anak-anak beserta orangtua
mereka. Mobil-mobil yang sedang melintas pun berhenti, dan para
penumpang segera turun untuk mencari tahu kenapa ada kerumunan
orang di lapangan. Semakin banyak mobil patroli melintasi rumput. Sirene yang
meraung-raung semakin menambah hiruk-pikuk. Orang-orang saling
berseru-seru dan berbisik-bisik ketakutan.
Kebisingan itu. Mata-mata yang melotot. Jari-jemari yang
menuding-nuding. Semuanya itu membuat kepala Evan serasa berputar-putar.
Kakinya mulai gemetaran. Keningnya berdenyut-denyut.
Para petugas polisi pun membentuk barisan. Mereka mulai
mengepung Evan. Darah Evan mulai mendidih. Kemarahannya memuncak. "Aku
tidak tahan lagi!" teriaknya, sambil mengacungkan kedua tangannya
yang terkepal. "Hentikan! Hentikan! Kalian semua! Enyahlah dari
sini! Jangan ganggu aku! Aku serius!"
Dan kemudian terdengar si petugas polisi berambut merah
berseru kepada rekan-rekannya, "Dia mengamuk. Kita harus
mengamankan dia!" 21 EVAN tidak sempat merasa takut.
Selang-selang para petugas pemadam kebakaran segera
menyemprotkan air yang memancar deras sekali.
Evan langsung merunduk. Menerjang maju. Berusaha mengelak
dari semburan air. Arus deras itu merobek-robek permukaan tanah di sampingnya.
Evan menghindar ke arah yang berlawanan.
Wow! Airnya deras sekali! dia berkata dalam hati.
Semburannya cukup keras untuk mengempaskan aku ke tanah!
Seruan-seruan bernada ketakutan terdengar meningkahi
gemuruh air. Evan menerobos barisan petugas polisi berseragam gelap"dan
terus berlari. "Jangan tembak!" jeritnya. "Jangan tembak aku! Aku
bukan makhluk planet! Aku cuma anak kecil!"
Dia tidak tahu apakah mereka mendengarnya atau tidak.
Dia berlari melewati beberapa orang yang datang untuk
menyaksikan keramaian di lapangan. Tangga salah satu mobil
pemadam menghalangi jalannya.
Evan berhenti. Dia menoleh ke belakang.
Para petugas pemadam kebakaran tampak sibuk mengarahkan
selang mereka. Semburannya melengkung tinggi dan menerpa tanah
persis di belakang Evan. Suaranya menggemuruh.
Anak-anak dan orang-orang dewasa berhamburan ke segala
arah. Semuanya kalang kabut, dan wajah mereka memancarkan rasa
takut yang amat sangat. Evan menarik napas panjang. Menekuk lutut. Lalu melompati
mobil pemadam yang menghalangi jalannya.
Di belakangnya terdengar seruan-seruan kaget. Dia melompat
tinggi melewati mobil itu, lalu mendarat dengan suara berdebam di
sisi seberang. Sejenak Evan terhuyung-huyung, tapi kemudian dia
segera bisa menjaga keseimbangan.
Lalu, sambil membungkuk rendah-rendah dan dengan tangan
terangkat lurus ke depan, Evan mengambil langkah seribu.
Kakinya yang panjang memungkinkannya berlari dengan
kencang. Ketika sampai di jalan, sebuah dahan rendah tiba-tiba
muncul di hadapannya. Untung saja Evan masih sempat menundukkan kepala.
Daun-daun menggores keningnya, tapi dia terus berlari tanpa
mengurangi kecepatan. Aku harus hati-hati kalau ada dahan pohon, dia
memperingatkan diri sendiri. Aku harus ingat tinggi badanku sama
seperti gedung dua tingkat.
Sambil terengah-engah dia melintasi jalan. Matahari sore sudah
mulai menghilang di balik pepohonan. Semua bayangan tampak lebih
panjang sekarang, dan lebih gelap. Bayangan Evan seakan-akan
membentang sejauh satu mil.
Dia mendengar sirene menguing-nguing di belakangnya.
Mendengar seruan-seruan gusar. Mendengar suara langkah berdebamdebam dari orang-orang yang mengejarnya.
Di mana aku bisa bersembunyi" dia berpikir-pikir. Di mana aku
akan aman" Di rumah" Jangan. Itu tempat pertama yang bakal didatangi polisi.
Di mana" Di mana"
Evan tidak bisa berpikir dengan tenang. Dia tahu orang-orang
itu tidak jauh di belakangnya. Mengejar-ngejarnya. Tak sabar ingin
segera melumpuhkannya. Kalau saja dia bisa berhenti di suatu tempat, memejamkan mata,
melupakan mereka semua, dan berpikir. Kalau bisa begitu, dia
mungkin sanggup menyusun rencana.
Tapi dia tahu dia tidak boleh berhenti. Dia tahu dia harus lari
terus. Kepalanya berdenyut-denyut. Dadanya serasa ditusuk-tusuk.
Kakinya yang panjang dengan cepat membawanya menjauh
dari lapangan bermain. Tapi dia tetap merasa aneh dengan sepatu kets
begitu jauh di bawah dan kepala setinggi pohon-pohon yang
dilewatinya. Aku bersembunyi di rumah Kermit saja, pikirnya.
Tapi dalam sekejap saja dia segera sadar bahwa di sana pun
bukan ide yang baik. "Aku tidak bisa masuk ke rumah Kermit!" serunya. "Aku terlalu
besar!" Lalu sebuah pikiran yang mengerikan terlintas dalam benaknya:
Aku tidak bisa masuk rumah mana pun!
Di mana aku harus tidur" dia bertanya-tanya. Kemudian:
Apakah aku bakal mendapat kesempatan untuk tidur"
Masa polisi tidak sadar aku cuma anak laki-laki biasa" Evan
bertanya dalam hati. Dia membelok dan berlari melewati rumahnya.
Semua lampunya padam. Pintunya tertutup. Tak ada mobil di depan
garasi. Orangtuanya belum pulang kerja.
Dia terus berlari. Berlari melewati pekarangan-pekarangan.
Membungkuk rendah-rendah. Mencoba bersembunyi di balik semaksemak dan pagar tanaman tinggi.
Masa mereka tidak bisa melihat aku cuma anak laki-laki biasa"
Bukannya makhluk dari planet lain"
Kenapa mereka pikir aku berbahaya"
Ini salah Conan, pikir Evan. Conan yang menghasut polisi dan
para petugas pemadam kebakaran dengan cerita-ceritanya yang tidak
masuk akal. Ceritanya yang tidak masuk akal, tapi benar.
Dan sekarang aku harus ke mana" Di mana aku bisa
bersembunyi" Evan menemukan jawabannya ketika dia mendekati rumah
Kermit. Dua kavling dari rumah sepupunya ada rumah yang baru saja
dibongkar. Dan di bagian belakang tanah itu terdapat tumpukan kayu
yang tinggi sekali. Rupanya pemilik tanah tersebut mau membangun
rumah baru. Sambil terengah-engah, dengan keringat membasahi keningnya
yang lebar, Evan membelok dan berlari melintasi pekarangan itu.
Keringat di kening disekanya dengan lengan T-shirt.
Mungkin aku bisa bersembunyi di sini, dia berkata dalam hati.
Dia berhenti dan mengambil posisi duduk.
Kalau aku duduk dan merunduk di belakang tumpukan kayu ini,
aku tak bakal kelihatan dari jalanan. Lagi pula tempatnya gelap dan
sejuk. Dan aku sekalian bisa mengawasi rumah Kermit dari sini.
Ya. Tempat ini memang cocok untuk bersembunyi"paling
tidak untuk sementara, Evan memutuskan. Nanti, setelah gelap benar,
aku akan menyusup ke rumahku dan mencoba menjelaskan semuanya
kepada orangtuaku. Dia menyandarkan punggung ke tumpukan kayu dan
memejamkan mata. Evan baru saja mulai mengendurkan saraf ketika dia mendengar
sebuah suara berseru, "Ini dia!"
22 SEKETIKA Evan membuka mata lagi.
Terburu-buru dia berusaha bangkit.
Tapi kemudian dia melihat siapa yang berteriak di dekatnya.
"Kermit!" serunya dengan gusar. "Kaubikin aku kaget setengah
mati!" Kermit menampilkan senyumnya yang menyebalkan. "Hah, apa
kubilang" Aku tahu kau pasti bersembunyi di sini, Evan," dia berkata
sambil nyengir. "Aku memang pintar sekali."
Kermit berbalik dan memanggil, "Dia ada di sini! Dugaanku
benar!" Beberapa detik kemudian Andy menyembulkan kepala dari
balik tumpukan kayu. Sejenak dia mengamati Evan. Kemudian dia
tersenyum. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan lembut. "Aku sudah
kuatir..." "Yeah Aku tidak apa-apa"paling tidak untuk sementara," Evan
menyahut dengan getir. "Seluruh kota mengejar-ngejarmu!" Kermit melaporkan. "Ini
benar-benar seru! Persis seperti dalam film!"
"Aku tidak mau ada dalam film!" Evan menggerutu. "Film ini
terlalu menyeramkan."
"Mereka bawa pistol segala," Kermit melanjutkan penuh
semangat, tanpa menggubris keluhan sepupunya. "Dan kau sempat
melihat selang air mereka" Wah, keren! Semuanya mau
menangkapmu!" "Mereka pikir kau makhluk planet dari angkasa luar," Andy
menambahkan sambil geleng-geleng kepala.
"Dan siapa yang cerita begitu kepada mereka" Conan?" Evan
bertanya dengan kesal. "Conan bilang kau benar-benar berbahaya," ujar Kermit, sambil
memperlihatkan senyumnya yang begitu dibenci oleh Evan.
"Aku memang berbahaya!" Evan menggerung dengan nada
mengancam. Kermit langsung berhenti nyengir.
Evan berpaling kepada Andy. "Apa yang harus kulakukan
sekarang" Aku tidak bisa kabur dan bersembunyi seumur hidup. Cepat
atau lambat aku pasti tertangkap. Kalau kalian berdua bisa melacakku,
polisi pasti juga bisa."
Evan menghela napas panjang. "Tak ada lagi tempat aku bisa
bersembunyi. Aku terlalu besar untuk bersembunyi! Apa yang harus
kulakukan" Apa?"
Andy menggaruk-garuk lengannya. Dia mengerutkan wajah dan
memeras otak. "Ehm..."
Dan tiba-tiba Evan tahu persis apa yang harus dilakukannya.
Ketika menatap Andy, Evan mendadak tahu bagaimana seluruh
masalah ini bisa dipecahkan.
23 EVAN tiba-tiba berdiri. Jantungnya berdegup-degup dengan
keras. Untuk pertama kali dalam beberapa jam terakhir, senyum lebar
menghiasi wajahnya. "Evan... ada apa?" tanya Andy. Gerakan Evan yang mendadak
membuatnya tersentak kaget.
"Aku tahu apa yang bisa kita lakukan!" seru Evan. "Semuanya
bakal beres!" "Jangan berdiri!" teriak Kermit. "Ada sirene. Nanti mereka
melihatmu." Saking gembiranya, Evan sampai lupa bahwa dia lebih tinggi
daripada tumpukan kayu yang melindunginya. Langsung saja dia
berlutut. Tapi biarpun sudah berlutut, dia masih lebih tinggi daripada
Kermit dan Andy. Suara sirene semakin nyaring. Semakin dekat.
Evan memandang berkeliling. Matahari telah lenyap di balik
pepohonan. Langit sudah mulai kelabu, dan udara pun bertambah
sejuk. "Kita harus buru-buru," Evan berkata kepada mereka. Dia
menaruh tangannya di pundak Kermit. "Kermit, kau harus
membantuku." Mata Kermit yang kecil tampak berbinar-binar di balik
kacamatanya. "Aku" Apa yang bisa kulakukan?"
"Ramuanmu yang berwarna biru," ujar Evan sambil
menggenggam pundak sepupunya. "Kau masih ingat ramuanmu yang
berwarna biru?" "Y-yang mana?" Kermit tergagap-gagap.
"Ramuan yang kaupakai untuk menghilangkan bekas gigitan
nyamuk di lenganku!" Andy menimpali. Tiba-tiba saja dia sadar apa
rencana Evan. "Betul," Evan berkata kepada Kermit. "Gara-gara Andy
menggaruk-garuk lengannya, aku jadi teringat lagi. Bekas gigitan
nyamuk di lengannya langsung mengecil berkat ramuan berwarna biru
itu." "Siapa tahu ramuan itu juga mujarab untuk mengembalikan
badan Evan ke ukuran normal lagi!" seru Andy penuh semangat.
Kermit mengangguk-angguk sambil berpikir. "Yeah, mungkin
saja." "Ramuan itu akan kugosokkan ke seluruh badanku, dan
badanku akan kembali ke ukurannya yang normal," Evan berkata
dengan gembira. "Ini pasti berhasil! Ini pasti berhasil!" Andy menimpali. Dia
bersorak-sorai dan melompat-lompat di tempat. Kemudian dia
menarik-narik lengan Kermit. "Ayo, Kermit. Cepat! Kita ke labmu.
Kau masih punya ramuan biru itu, kan?"
Kermit memicingkan mata, berusaha mengingat-ingat.
"Rasanya sih masih," dia menyahut. "Banyak juga sih yang sudah
pecah, tapi rasanya masih ada."
"Harus masih ada!" teriak Evan. "Harus."
Evan berdiri. "Ayo. Cepat."
Mereka mendengar sirene meraung-raung.
Kermit mengintip ke jalan dari belakang tumpukan kayu.


Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mobil polisi!" bisiknya. "Mereka mondar-mandir di sini."
"Sebaiknya kautunggu di sini saja," Andy mewanti-wanti Evan.
Evan menggelengkan kepala. "Tidak. Aku ikut kalian. Ramuan
biru itu harus kudapat secepat mungkin."
Dia menundukkan kepala. "Kita bisa jalan lewat belakang.
Takkan ada yang melihat kita."
"Tapi, Evan...," Andy mulai protes.
Dia terdiam ketika Evan mulai menjauhi tumpukan kayu dan
melintasi pekarangan belakang ke arah rumah Kermit.
Dogface menyambut mereka di depan garasi. Anjing itu
menyalak dengan riang. Kermit nyaris terjatuh karena ditabrak-tabrak.
"Ssst! Diam, Dogface! Diam!" Kermit berseru. Dia menepuknepuk kepala Dogface supaya anjing itu tidak ribut. "Jangan sampai
ada yang mendengar kita."
Dogface melirik ke arah Evan"dan langsung membisu.
Perlahan-lahan dia menyingkir. Sesekali dia menoleh dengan curiga,
sementara ekornya mengibas-ngibas tanpa henti.
Evan memandang berkeliling. Tak ada mobil. "Ibumu belum
pulang, Kermit," katanya.
"Mungkin dia lembur," balas Kermit. "Kebetulan sekali. Kita
beruntung!" Evan ketawa sinis. "Yeah, beruntung," gumamnya.
Kermit dan Andy bergegas ke pintu dapur. Evan hendak
mengikuti mereka. Tapi kemudian dia ingat bahwa dia tak bakal bisa
masuk. "Kautunggu di sini saja," ujar Andy. "Dan usahakan supaya tak
ada yang melihatmu."
Evan mengangguk. "Cepat, ya!"
Dia memperhatikan mereka masuk ke dapur. Setelah itu dia
duduk di belakang rumah. Dia melambai-lambaikan tangan
memanggil Dogface, karena ingin memeluk sesuatu.
Tapi anjing besar itu cuma menatapnya tanpa beranjak dari
tempat. Seluruh kota mencariku, pikir Evan dengan muram. Seluruh
kota mencari aku, si raksasa. Tapi mereka takkan menemukan aku.
Sebab beberapa detik lagi aku bakal kembali ke ukuranku yang
normal. Dan semuanya akan beres. Dia menoleh ke pintu dapur. Kenapa Andy dan Kermit lama
benar" dia bertanya-tanya. Jangan-jangan mereka tidak bisa
menemukan botol berisi ramuan biru itu"
Evan menarik napas panjang. Jangan panik, Evan, dia berkata
dalam hati. Mereka baru masuk beberapa detik yang lalu. Sebentar
lagi mereka pasti sudah keluar lagi. Dan semuanya bakal beres.
Untuk mengisi waktu, dia berhitung sampai sepuluh. Perlahanlahan. Kemudian dia kembali mulai berhitung sampai sepuluh.
Dia sudah hendak mulai dari awal lagi ketika pintu dapur
terbuka lebar. Kermit melangkah keluar sambil membawa gelas takar
berisi cairan biru. Andy segera menyusulnya.
"Ketemu!" seru Kermit dengan gembira.
Evan langsung berlutut dan mengulurkan tangan. "Sini"
berikan padaku." Kermit mengangkat tangannya ke atas. Evan meraih gelas itu.
Tapi gelas itu terlepas dari genggamannya.
Dan mulai jatuh. "Ohhh!" Evan mengerang karena ngeri"dan menangkap gelas
takar itu pas sebelum membentur aspal di depan garasi.
"Uih! Hampir saja!" seru Kermit.
Jantung Evan berdegup-degup. Dia menarik napas panjang.
Gelas takar di tangannya dia genggam erat-erat. "Yeah, hampir saja,"
dia bergumam. Gelas takarnya terasa begitu kecil, tak ubahnya
perlengkapan rumah boneka.
Di kejauhan terdengar sirene meraung-raung.
Rupanya pencarian terhadap Evan si raksasa masih berlangsung
terus. "Moga-moga ramuan ini memang mujarab," kata Evan.
Dia mengangkat gelas takar. Lalu membalikkannya di atas
telapak tangannya yang satu lagi. Menunggu.
Dan menunggu. Akhirnya ada setetes cairan biru yang jatuh ke telapak tangan
Evan. Hanya itu. Evan mengguncang-guncangkan gelas takar. Keras-keras. Lebih
keras lagi. Seperti orang yang mengguncangkan botol saus tomat
kalau saus tomatnya tidak mau keluar.
Lalu dia mengangkat gelas takar itu dan mengamatinya dari
dekat. Beberapa detik kemudian dia mendesah dengan sedih
bercampur gusar. Gelas takar itu dicampakkannya ke rumput.
"Gelasnya kosong," dia memberitahu Andy dan Kermit. "Kosong
sama sekali." 24 "SISANYA memang tinggal sedikit," ujar Kermit sambil
geleng-geleng kepala. Gelas takar yang sudah kosong itu berguling ke bawah semaksemak. Dogface langsung mengejar dan mengendus-endus botol
tersebut. "Celaka," ujar Evan. Mungkin karena lupa kekuatannya telah
berlipat ganda, dia menendang batu kerikil yang tergeletak di dekat
kakinya. Batu itu melayang tinggi dan menghilang ke balik rumah
menyeberangi jalan. "Hati-hati," Andy memperingatkannya. "Bisa-bisa ada jendela
pecah nanti." "Peduli amat!" hardik Evan. "Seluruh hidupku jadi berantakan."
"Tenang saja!" seru Kermit. "Semuanya bakal beres, Evan." Dia
mulai berlari ke rumahnya. "Tunggu sebentar, ya! Aku segera
kembali!" "Kermit, mau ke mana kau?" tanya Evan.
"Aku mau bikin ramuan lagi!" balas Kermit. "Aku cuma perlu
waktu beberapa detik. Semua bahannya masih ada kok."
Semangat Evan bangkit kembali. "Kau yakin bisa?" dia
bertanya pada sepupunya. "Beres deh," sahut Kermit sambil mengacungkan jempol.
"Rasanya aku masih ingat bahan apa saja yang aku pakai waktu itu.
Tinggal dicampur sebentar, dan habis itu aku langsung balik ke sini."
Kermit masuk ke rumahnya. "Tunggu, aku ikut!" seru Andy.
Dia berpaling kepada Evan. "Aku mau membereskan lab sementara
Kermit membuat ramuannya. Kalau ibu Kermit pulang dan melihat
ruang bawah tanahnya mirip kapal pecah, kau bakal dapat masalah
besar." Evan ketawa dengan masam. "Masalah besar. Lucu sekali,
Annndrea. Lucu sekali."
"Jangan panggil aku Andrea," balas gadis itu tanpa
menghiraukan sikap Evan yang sengit. Kemudian dia segera menyusul
Kermit. Dogface akhirnya bosan mengendus-endus gelas takar. Anjing
gembala itu melintasi pekarangan untuk memeriksa pagar yang
sempat dirobohkan Evan. Evan menghela napas. Jangan-jangan anjingku sendiri tidak
mengenali aku sekarang, dia berkata dalam hati. Trigger, cocker
spaniel kepunyaan Evan, adalah yang pertama makan Darah Monster.
Dan badannya langsung membengkak dan menjadi lebih besar
daripada badan kuda. Jangan-jangan Trigger sering bermimpi buruk tentang itu" Evan
bertanya-tanya. Dia yakin bahwa dia sendiri bakal lama dihantui mimpi buruk
mengenai kejadian yang menimpanya.
Dia melirik arlojinya. Sudah hampir waktu makan malam.
Sebentar lagi orangtuanya akan pulang kerja. Dan Bibi Dee pun akan
segera tiba di rumah. "Wow. Dia pasti kaget sekali melihat aku!" Evan berseru.
Dia menoleh ke arah rumah dan melihat Kermit melangkah
keluar. Sepupunya itu membawa botol berisi ramuan berwarna biru.
"Benar, kan" Gampang sekali kok!" ujar Kermit.
Dengan hati-hati Evan menerima botol yang disodorkan Kermit
padanya. Andy datang. Dia mendongak dan menatap mata Evan. "Ayo,
gosokkan ke badanmu," dia mendesak. "Cepat!"
Perlahan-lahan Evan menuang ramuan biru itu ke telapak
tangan. Kemudian dia menggosokkannya ke pipi, kening, dan
tengkuk. Sekali lagi dia menuang ramuan tersebut. Dia mengoleskannya
ke lengan. Kemudian dia mengangkat T-shirt dan mengusapkannya ke
dada. Moga-moga berhasil, dia berdoa dalam hati. Moga-moga
berhasil. Dia berpaling kepada Andy dan Kermit. "Sudah ada
perubahan?" 25 ANDY menatapnya sambil melongo.
Kermit membelalakkan mata dan mengeluarkan suara seakanakan tercekik.
"Bagaimana?" tanya Evan. "Sudah ada perubahan atau belum?"
"Ehm... ah... ehm...," Kermit tergagap-gagap.
"Kau jadi biru!" seru Andy.
"Apa?" tanya Evan. Dia yakin dia pasti salah dengar.
"Kulitmu"kulitmu jadi biru cerah!" Andy memekik sambil
menempelkan tangan ke pipi.
"Ku... apa?" teriak Evan. "Maksudnya... HIK! ..." Seluruh
tubuhnya terguncang ketika dia mendadak cegukan keras-keras.
Evan menatap kedua tangannya.
"Ta-tanganku jadi biru!" serunya. "HIK!"
Sekali lagi dia cegukan. Tubuhnya yang besar terguncang keras,
seakan-akan sedang dilanda gempa bumi.
Terburu-buru dia mengangkat T-shirt dan menatap perutnya.
Perutnya yang berwarna biru.
Lengannya. Dadanya. Semuanya biru. Biru cerah.
"HIK!" "Ya ampun!" teriak Evan. "Aku jadi biru cerah, dan... HIK!
...aku jadi cegukan!"
Evan memelototi Kermit dengan pandangan berapi-api.
Saking ketakutannya, kaki Kermit gemetaran begitu hebat,
sampai lututnya beradu. "A-aku bisa memperbaikinya," dia berseru
pada Evan. "T-tenang saja! Aku cuma keliru mencampurkannya.
Tunggu, aku mau bikin ramuan lagi."
Dia berlari ke rumah. Sebelum masuk, dia menoleh sebentar ke
arah Evan. "Jangan ke mana-mana, oke?"
Evan melontarkan geraman keras, diselingi cegukan yang tak
kalah kerasnya. "Memangnya aku mau ke mana?" teriaknya dengan
sengit. "Memangnya aku... HIK! ...mau ke mana"!"
Kermit membanting pintu. Sekali lagi Evan menggeram. Dia mengepalkan tangan dan
mengacungkan keduanya tinggi-tinggi. Kemudian dia mulai berjalan
mondar-mandir di depan garasi, sambil cegukan setiap beberapa detik
sekali. "Tenang dong! Jangan terlalu ribut," Andy memperingatkannya.
"Nanti ada orang yang mendengar suaramu."
"Ba... HIK! ...bagaimana aku bisa tenang!" Evan mengeluh
dengan getir. "Coba lihat aku!"
"Tapi tetangga-tetangga akan mendengarmu. Atau melihatmu,"
Andy mewanti-wanti. "Dan mereka akan memanggil polisi."
Evan membalas dengan cegukan yang nyaris membuatnya
terduduk. Kermit menghambur keluar dari rumah. Sekali lagi dia
menyodorkan botol berisi cairan biru kepada Evan. "Nih! Coba ini!"
"HIK!" sahut Evan. Dia menggenggam botol itu dengan
tangannya yang biru. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia membalikkan botol tersebut.
Dan dengan gerakan yang terburu-buru, dia mengoleskan cairan biru
dari dalam botol ke seluruh tubuhnya. Ke pipi. Kening. Tangan dan
lengan. Dada. Dia menggulung celana jeans-nya dan menggosokkan cairan itu
ke paha dan betisnya. Kemudian dia melepaskan sepatu dan kaus kaki,
lalu mengusap kaki dan mata kaki dengan ramuan Kermit.
"Kali ini harus berhasil!" serunya. "Harus!"
Andy dan Kermit memperhatikannya dengan saksama.
Mereka menunggu. Evan menunggu. Tak ter jadi apa-apa. Tak ada perubahan sama sekali.
Kemudian Evan mulai merasakannya.
"Hei... badanku gatal-gatal lagi!" dia berseru dengan gembira.
Dia diserang rasa gatal yang persis sama seperti sebelumnya.
Rasa gatal yang menyerangnya setiap kali tubuhnya akan bertambah
jangkung. "Yes!" Evan memekik. "Yes!"
Rasa gatal itu semakin kuat, dan menyebar ke seluruh tubuhnya.
"Ramuannya mulai bekerja! Aku... HIK! ...bisa merasakannya!"
seru Evan. "Ramuannya mulai bekerja! Badanku gatal-gatal! Aku bisa
merasakannya! Aku bakal normal lagi!"
"Tidak juga," Andy bergumam pelan-pelan.
26 "HAH?" Evan menatap Andy sambil memicingkan mata.
Rasa gatal yang dialaminya bertambah parah. Dia mulai
menggaruk-garuk, tapi segera menarik tangannya karena ada yang
terasa aneh. "Ramuannya... tidak... membantu...," Andy berkata dengan
sedih. "Idih! Kenapa jadi begini?" seru Kermit sambil meringis.
"Hah" HIK!" balas Evan.
Kemudian dia memekik kaget ketika melihat lengannya.
"Astaga, b-b-bulu!" dia tergagap-gagap dengan-suara melengking
tinggi. Dia memeriksa lengannya. Perutnya. Kakinya.
"Aduuuh!" Sebuah erangan panjang terlontar dari mulutnya.
Seluruh tubuhnya tertutup bulu burung berwarna putih.
"Aduuu... HIK! ...uuuh!"
"Sori," ujar Kermit sambil geleng-geleng. "Aku tidak tahu di
mana salahnya. Aku kira ramuannya sudah benar kali ini."
"Kau mirip elang raksasa," Andy berkomentar. "Cuma tidak ada
elang yang warnanya biru."
"HIK!" seru Evan.
"Dan elang juga tidak pernah cegukan," Andy menambahkan.
Dia menatap sahabatnya dengan prihatin. "Kasihan kau, Evan. Bulubulu itu pasti gatal sekali. Kau memang lagi sial hari ini."
Evan menggaruk-garuk dadanya. "Keadaannya tidak mungkin
bertambah parah dari ini," gumamnya.
Dan kemudian Evan melihat mobil polisi yang berhenti di
depan rumah Kermit. 27 "HIK!" Evan berseru dengan suara tertahan. Cepat-cepat dia
mundur dan jongkok sambil merapat ke dinding belakang rumah.
"Ada polisi!" bisiknya.
Dia tercekik rasa panik. Semua bulunya berdiri tegak.
Aku harus bagaimana sekarang" dia bertanya dalam hati sambil
berusaha menyembunyikan diri. Apakah aku harus lari" Ataukah lebih


Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik aku menyerahkan diri saja"
"Aku mau coba sekali lagi!" ujar Kermit. Serta-merta dia
kembali masuk ke rumahnya. "Aku mau bikin ramuan lagi. Dan kali
ini pasti berhasil!"
Sekali lagi dia membanting pintu.
"Cepat!" Andy berseru. "Polisinya sudah turun dari mobil."
"Ada berapa orang?" tanya Evan sambil berbisik. Badannya
masih gatal-gatal, tapi dia terlalu ngeri untuk menggaruk-garuk.
"Dua," balas Andy sambil memandang ke jalan. "Dan tampang
mereka galak-galak."
Angin yang mendadak bertiup menggoyang-goyangkan bulu di
tubuh Evan. Seluruh tubuhnya ikut bergetar.
"Mereka menuju kemari," Andy melaporkan. "Beberapa detik
lagi mereka bakal sampai di sini!"
"Lebih baik aku kabur saja," ujar Evan. Dia berjalan satu
langkah dan nyaris terjatuh. Sulit sekali berlari kalau kaki kita tertutup
bulu kaku. "Mereka berhenti untuk memeriksa pintu depan," Andy
memberitahunya. "Masih ada waktu beberapa detik."
"Cepat, Kermit! Cepat!" desak Evan.
Dia berpaling ke arah pintu dapur. Sepupunya itu belum
kelihatan. Sanggupkah Kermit membuat ramuan yang tepat kali ini"
Sanggupkah dia menyerahkan ramuannya kepada Evan sebelum
kedua petugas itu sampai di pekarangan belakang"
Pintu dapur membuka. Kermit menghambur keluar. Kakinya
tersandung keset. Botol berisi cairan biru itu nyaris terlepas dari
tangannya. Kermit berhasil menjaga keseimbangan. Dia menyerahkan botol
itu kepada Evan. "Semoga berhasil," dia berkata kepada Evan.
"Awas, polisi datang!" Andy mewanti-wanti. "Mereka berjalan
cepat sekali sekarang."
Evan menggenggam botol itu dengan tangan gemetaran. Dia
membalikkannya dan menuangkan isinya ke tangannya yang tertutup
bulu. Terburu-buru dia menggosokkan ramuan itu ke bulu-bulunya,
ke kulitnya yang berwarna biru, ke seluruh tubuhnya.
Semoga berhasil! dia berharap-harap cemas. Semoga berhasil!
Dia menunggu. Kermit menatapnya sambil berdebar-debar.
"Mereka datang," Andy melaporkan.
Evan menelan ludah. Ramuannya tidak manjur. Dia belum berubah. Sedikit pun.
Kedua petugas polisi berseragam gelap menghampiri bagian
belakang rumah. "Halo," salah satu dari mereka menyapa Andy.
28 EVAN mendengar bunyi "POP" yang keras.
Dia memekik kaget karena merasa sedang jatuh. Jatuh ke tanah.
Cepat-cepat dia mengulurkan tangan dan bersandar ke dinding
rumah. Baru kemudian dia sadar bahwa dia tidak jatuh, melainkan
badannya mengecil. Kedua petugas polisi memasuki pekarangan belakang. Satunya
jangkung sekali. Rekannya pendek dan gemuk. "Maaf, kami terpaksa
mengganggu," si jangkung berkata. "Tapi kami ditelepon tetangga
kalian." "Ditelepon" Soal apa?" tanya Andy Dengan heran dia melirik
ke arah Evan. Dia tidak menyangka bahwa sahabatnya itu sudah
kembali normal. "Kalian melihat raksasa berkeliaran di sekitar sini?" tanya
petugas yang berbadan pendek. Dia menatap mereka sambil
memicingkan mata, agar berkesan galak.
"Raksasa" Raksasa seperti apa?" tanya Kermit berlagak polos.
"Anak laki-laki berbadan raksasa," si petugas menyahut.
Evan, Andy, dan Kermit menggelengkan kepala. "Dia tidak
lewat sini," ujar Andy.
"Kami tidak melihatnya," Evan menambahkan. Dia tidak
mampu menahan senyum. Ternyata suaranya juga sudah seperti biasa
lagi. Si petugas jangkung menggeser topinya ke belakang. "Hmm,
hati-hati kalau kalian melihatnya," dia mewanti-wanti. "Raksasa itu
berbahaya." "Sangat berbahaya," rekannya menimpali. "Kalau dia kelihatan,
kalian segera telepon kami"oke?"
"Oke," Evan, Andy, dan Kermit menyahut berbarengan.
Kedua petugas itu memandang sekeliling pekarangan belakang.
Kemudian mereka berbalik dan kembali ke mobil patroli.
Begitu mereka pergi, Evan langsung bersorak-sorai dengan
gembira. Andy dan Kermit juga berseru-seru sambil melakukan tos.
"Ternyata aku memang jenius, bukan?" ujar Kermit sambil
memperlihatkan senyumnya yang khas.
"Bukan!" Evan berkelakar.
Mereka masih sibuk merayakan kepulihan Evan ketika Bibi Dee
menghentikan mobilnya di depan garasi. Waktu turun dari mobil, dia
tampak agak heran, karena ketiga anak itu berada di luar rumah.
"Sori aku terlambat," katanya. Dia memeluk Kermit. "Nah,
bagaimana sore tadi?"
Kermit melirik ke arah Evan. Kemudian dia tersenyum kepada
ibunya. "Ah, agak membosankan," dia bercerita.
"Yeah, agak membosankan," Andy mengulangi.
"Agak membosankan," ujar Evan.
********************** Dari pertama Evan sudah tahu bahwa dia bakal bermimpi buruk
tentang kejadian yang menimpanya. Dan malam itu, dia dihantui
mimpi buruk yang benar-benar menakutkan. Dalam mimpi itu dia jadi
anak raksasa yang dikejar-kejar tikus raksasa. Dan semua tikusnya
mirip Kermit. Evan terduduk di tempat tidur. Seluruh tubuhnya gemetaran.
"Cuma mimpi," dia berkata bergumam sambil melirik weker di
samping tempat tidurnya. Tengah malam. "Cuma mimpi."
Dia duduk tegak dan menyeka keringat di kening dengan lengan
baju tidurnya. Lebih baik aku ambil minum dulu, dia berkata dalam
hati. Dia sudah hendak mengayunkan kakinya ke lantai, tapi segera
berhenti ketika melihat betapa tempat tidurnya berada jauh di atas
lantai. Hei, ada apa ini" dia bertanya-tanya.
Dia mencoba menghidupkan lampu baca. Tapi lampu itu
menjulang tinggi, sehingga ia tak dapat meraihnya.
Dia berdiri di tempat tidur. Ketika matanya mulai terbiasa
dengan cahaya redup di sekelilingnya, dia melihat bahwa tempat
tidurnya seakan-akan membentang sampai ke cakrawala. Lipatan pada
seprainya tampak bagaikan bukit.
A-aku jadi kecil! Evan menyadari. Aku jadi sekecil tikus!
Kermit! Kermit beraksi lagi! pikir Evan dengan getir. Ramuan biru itu
terlalu keras. Aku mengecil"dan mengecil"dan mengecil. Dan sekarang
aku sekecil tikus. "Akan kuhajar si Kermit!" seru Evan. Suaranya kecil dan
melengking tinggi. Evan berdiri di tepi tempat tidur dan memandang ke lantai,
yang seolah-olah berada beberapa mil di bawah tempat tidur. Tiba-tiba
dia mendengar suara gemuruh. Suara tersengal-sengal, menyerupai
bunyi angin keras di sela-sela pepohonan.
Sebuah kepala besar muncul di hadapannya. Dua mata
berwarna gelap. "Jangan! Trigger! Tidur lagi!" Evan memohon-mohon dengan
suaranya yang kecil. "Jangan! Trigger... turun kau!"
Pekikan-pekikan Evan telah membangunkan cocker spaniel itu.
Evan merasakan embusan napas Trigger yang panas menerpa
wajahnya. "Idih! Baunya!" dia memekik.
Kemudian dia merasakan gigi tajam menjepit pinggangnya.
Merasakan tubuhnya diangkat dalam posisi melintang. Merasakan air
liur Trigger yang panas dan basah.
"Trigger... turunkan aku! Turunkan aku!" Evan memohonmohon.
Dia terguncang-guncang dengan keras. Jepitan gigi Trigger
semakin keras. "Trigger! Turunkan aku! Aku mau dibawa ke mana?"
Dia dibawa melewati selasar yang gelap. Embusan-embusan
napas yang panas menerpa tubuh Evan yang tak berdaya.
Trigger membawanya ke kamar orangtuanya. Evan menoleh
dan melihat ayah dan ibunya bersiap-siap untuk tidur.
Mr. Ross membungkuk di depan Trigger. "Kau bawa apa,
Trigger" Kau dapat tulang, ya?"
"Ehm... Dad" Dad?" Evan berseru dengan suaranya yang kecil.
"Dad, ini aku. Daddy bisa melihatku" Dad" Ehm... kelihatannya kita
punya sedikit masalah!" END
Rahasia Sumur Tua 2 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Senopati Pamungkas 14
^