Elemen Kekosongan 6
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 6
batu-batu itu, terciptalah sedikit air terjun dengan ketinggian satu-
dua tombak. Pagi hari itu Walinggih dan muridnya Telaga berada di sana. Wal-
inggih ingin menunjukkan sesuatu pada Telaga. Suatu fenomena alam
yang membuatnya menciptakan suatu gerakan silat dalam rangkaian
ilmu Pedang Panjangnya. "Mari..!" Walinggih sambil menggapai Telaga. Ia melompak ringan
dari satu batu ke batu lain. Tak lupa diberikan syarat agar Telaga
tidak menimbulkan banyak suara, agar apa yang diamati tidak men-
jadi takut dan hilang. Tak lama kemudian mereka tampak merebahkan dirinya di atas sebuah
batu ceper hitam di pinggir air terjun yang ada di sana. Percikan-
percikan air terasa menghujani mereka, membuat mau tak mau baju-
baju mereka menjadi basah. Walaupun merasa aneh Telaga masih
berdiam diri untuk mengikuti apa yang akan disaksikannya nanti.
Hening. Hanya terdengar deburan air-air yang berjatuhan akibat
gaya tarik bumi menghantam batu-batu dan rekan-rekan sesama air
dibawahnya. Tiba-tiba tampak kilauan-kilauan di udara jauh di sana. Mengam-
bang. Semakin lama semakin banyak sehingga membentuk kabut.
Bukan uap air atau pun butiran air. Seperti makhluk hidup. Kadang
padat di satu tempat kadang di tempat lain. Bergerak lambat
memenuhi ruang di atas suatu batu dekat dengan air terjun. Di
seberang dari tempat di mana Telaga dan Walinggih bersembunyi
mengamati. "Itu makanannya datang..," tunjuk Walinggih pada muridnya.
Telaga yang tidak mengerti berusaha memicingkan matanya agar da-
pat lebih jelas melihat. Tak disadarinya ia bergeser maju dengan
kepala yang agak meninggi. Tidak lagi ingat bahwa ia dan gurunya
harus bersembunyi untuk mengamati apa yang akan datang di se-
berang mereka. 242 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
"Huggg..!!" dengan cepat dan tiba-tiba Walinggih menekan punggung
muridnya agar kembali bertiarap sembunyi, supaya apa yang mereka
akan amati tidak terganggu. "Jangan ketahuan..!" ucapnya.
"Maaf, guru!" sahut Telaga lirih. Lupa apa yang telah dipesankan
gurunya sebelumnya saking tertariknya dengan apa yang dilihatnya
saat itu. Gurunya kemudian memberi isyarat dengan tangan untuk kembali
mengamati batu-batu yang ada di sana, yang dipisahkan oleh sungai
yang jatuh di antara mereka dan batu-batu itu.
Setelah agak lama kilauan-kilauan di udara, yang ternyata ada
serangga kecil-kecil yang memanfaatkan percikan-percikan air, beterba-
gangan, muncul makhluk hidup lain yang amat aneh. Belum pernah
Telaga melihat sebelumnya. Semacam kadal seukuran setengah tela-
pak tangan lebarnya, akan tetapi dengan panjang ekornya bisa satu
sampai satu setengah kali panjang tubuhnya. Hal lain yang mem-
buatnya terkagum-kagum adalah warna dari makhluk itu. Warna
pelangi. Warna kemerahan berada di kepalanya berangsur-angsur
berubah seperti pelangi sampai menjadi biru keunguan di ujung eko-
rnya. Benar-benar indah. Kadal Pelangi (Agama agama). Mereka
bergerak-berak, keluar dari sela-sela batu untuk mendaki batu men-
capai permukaan yang dekat dengan serangga-serangga yang sedang
menari-nari di udara. "Apa itu guru..?" tanya Telaga, "kita ke sini hanya untuk menyaksikan
itu..?" "Ssst..!" jawab gurunya sambil kembali memberikan isyarat untuk
kembali memperhatikan Kadal-kadal Pelangi itu.
Tak berapa lama berkumpul banyak kadal-kadat tersebut di atas
batu yang di atasnya menari-nari serangga-serangga yang membentuk
kabut keputihan saking banyaknya. Kemudian kadal-kadal itu mu-
lai meloncat-loncat menggapai serangga-serangga yang beterbangan
dengan moncongnya. Memangsanya. Rupanya saat itu adalah saat
mereka melaksanakan kegiatan makan mereka.
Berpuluh-puluh Kadal Pelangi berlompat-lompatan dengan indah.
Kadang ada yang sampai berjungkir balik. Anehnya mereka dapat
243 dengan mudah kembali lagi ke posisi semula di atas batu tanpa ter-
balik. Dan juga bagi Kadal Pelangi yang kebetulan berada pada
bebatuan yang tidak mendatar, melainkan miring, terjadi hal yang
sama. Mereka melompat dan kemudian kembali lagi ke tempat kira-
kira mereka awalnya berpijak. Entah bagaimana caranya, terlihat
seakan-akan mereka memiliki magnit pada tempat pijakannya semula.
Melombat ke atas dan kembali.
Setelah beberapa lama menyaksikan tingkah polah kadal-kadal terse-
but, Walinggih pun beranjak pergi. Digugahnya bahu muridnya agar
mengikutinya. Mereka pun meninggalkan dengan diam-diam kadal-
kadal tersebut yang masih melompat-lompat memangsa serangga-
serangga makanan mereka. Keduanya kembali berloncatan dari batu ke batu meninggalkan ceruk
atau jurang di mana terdapat air terjun tadi. Tak lama kemudian
sampailah mereka di pelataran batu yang cukup luas. Di sekelilingnya
masih tampak bebatuan menyemut dan meninggi. Suatu ciri khas
tempat di daerah Padang Batu-batu.
Walinggih pun mengambil suatu batu menonjol di tengah pelataran itu
untuk duduk. Tak lupa ia menyenderkan pedang panjang yang selalu
dibawa-bawanya. Telaga pun mengikuti dengan mengambil tempat
duduk di dekat gurunya. Di atas batu kecil yang lain.
"Bagaimana pendapatmu tengang Kadal-kadal Pelangi tadi?" pancing
gurunya. Ia ingin menguji kepekaan muridnya atas apa yang baru saja
mereka berdua saksikan. "Indah," sahut Telaga pendek. Lalu lanjutnya, "tapi ada yang mem-
bingungkanku, guru."
"Apa itu?" tanya gurunya. Ia berharap muridnya dapat menarik pela-
jaran dari gerakan-gerakan Kadal Pelangi yang melompat-lompat me-
mangsa serangga-serangga tadi.
"Gerakan mereka. Bagaimana caranya mereka bisa bergerak ke atas,
kadang terbalik akan tetapi dapat kembali pada kedudukannya semula.
Mantap dan kokok. Bahkan pada Kadal Pelangi yang berpijak di batu
yang miring," terang Telaga.
244 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Gurunya mengangguk-angguk. Puas ia melihat bahwa muridnya
menangkap sesuatu fenomena yang baru saja mereka saksikan bersama.
Alih-alih menerangkan dengan kata-kata Walinggih menarik keluar
pedang panjangnya, berjalan menjauhi tempat mereka duduk dan
mulai membuat suatu gerakan-gerakan pada daerah terbuka itu.
Pelan dan teratur, akan tetapi kemudian semakin lama gerakan-
gerakannya menjadi semakin cepat dan liar. Dan pada suatu saat,
setelah cukup mendapat kecepatan dan hawa, Walinggih melompat
ke atas terbalik. Menyabetkan pedangnya ke suatu obyek khayalan
di udara. Menyentakkannya kembali ke belakang. Dan berjungkir
balik kembali. Mendarat dengan kakinya kembali, ke posisi semula
di mana ia awalnya melompat. Dan tidak hanya itu, dengan me-
manfaatkan tolakan saat mendarat yang diolah oleh kakinya yang
berfungsi seakan-akan sebagai pegas, ia kembali melompat pada arah
yang berlawanan, menyabetkan pedangnya ke atas dan menghentak
kembali untuk mendarat ke tempat ia tadi melompat. Gerakan-
gerakan ini diulang-ulangnya beberapa kali, sempai hampir habis
napasnya. Akhirnya Walinggih pun berhenti. Berbutir-butir peluh nampak ber-
jatuhan dari sekujur tubuhnya. Rupanya diperlukan pengeluaran
tenaga yang cukup besar untuk mempraktekkan gerakan itu. Bagian
dari ilmu Pedang Panjang.
Ternganga Telaga melihat demonstrasi itu. Gerakan-gerakanya yang
mirip yang dilakukan oleh Kadal-kadal Pelangi tadi, saat mereka me-
mangsa serangga-serangga yang memenuhi udara.
"Guru, barusan tadi..," tanya Telaga yang tidak bisa menyembunyikan
kekagumannya atas gerakan gurunya tadi.
"Gerakan itu kunamai.. Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi," katanya
jenaka. "Mirip dengan kelakuan-kelakuan kadal-kadal yang baru kita
saksikan tadi." "Kupikir, dalam ilmu Pedang Panjang, hanya Sabetan Tunggal Men-
uai Dua saja yang paling ampuh. Yang barusan guru tunjukkan,
benar-benar lebih dari itu," ucap Telaga kagum.
"Sebenarnya juga tidak," jelas gurunya, "Sabetan Tunggal Menuai
245 Dua bisa dibilang merupakan gerakan mendatar dari Gerakan Kadal
Pelangi Makan Pagi yang geraknya hanya vertikal. Dengan tidak
meredam laju saat melakukan satu serangan, akan tetapi meman-
faatkannya. Membelokkannya pada arah yang berlawanan, sehingga
dapat membingungkan lawan. Selain itu pengguna gerakan juga tidak
harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga untuk membelokkan ger-
akannya secara drastis, karena sebenarnya hanya memutarnya saja."
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan penjelasan yang diberikan
oleh gurunya itu. "Mari," kata gurunya yang tidak memberikan kesempatan murid-
nya untuk lebih bertanya-tanya. Bagi Walinggih praktek melakukan
gerakan-gerakan lebih penting. Setelah bisa, baru perlu pemahaman
teoritis. Tidak ada gunanya teori bila tidak bisa melakukan prak-
teknya. Teori ada untuk menyempurnakan praktek dan bukan seba-
liknya. Walinggih pun kemudian menjelaskan pada Telaga muridnya bagaimana
Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi itu dilakukan. Pertama-tama
dibutuhkan dulu gerakan awal untuk membangkitkan hawa dan juga
kecepatan. Otot-otot manusia yang diciptakan tidak sama dengan
otot-otot Kadal Pelangi, dapat menyebabkan kerusakan atau kram
apabila dipaksakan mendadak untuk melakukan gerakan-gerakan
tersebut. Untuk itu Walinggih telah menciptakan gerakan-gerakan
pemanasan. Tapi jangan dikira gerakan pemanasan ini tidak berguna.
Gerakan pemasanan itu selain untuk pelemasan dan penghimpunan
hawa, juga berguna sebagai ilmu pertahanan diri. Membuat lawan
menjadi bingung karena sifatnya yang pelan akan tetapi kemudian
menjadi liar. Dengan susah payah Telaga berusaha memahami gerakan-gerakan
yang ditunjukkan oleh gurunya. Dicobanya menirukan dan melakukan-
nya. Lambat-laun dirasakan ada posisi-posisi yang enak untuk
diulang-ulang. Posisi-posisi ini membuatnya lebih mudah untuk
mengingat-ingat gerakan-gerakan yang dilakukannya.
Mengangguk-angguk Walinggih bahwa Telaga telah dapat sedikitnya
menyelami satu dari empat bagian ilmunya. Tinggal waktu yang
diperlukan untuk mematangkan gerakan-gerakan tersebut.
246 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Saat itu hari telah menjelang siang. Matahari telah tinggi di langit.
Waktu untuk mencari makan. Umumnya orang-orang di daerah itu
jika tidak mencari-cari sayur-sayuran di hutan, mereka menangkap
binatang-binatang yang ada. Tidaklah bisa disebut hutan, karena
tempat yang dimaksud masih didominasi oleh bebatuan dan hanya
sedikit pohon-pohon yang tumbuh di atas batu-batu yang memayungi
ruang di bawahnya, sehingga menjadi lebih teduh dan gelap.
Bagian 5 Yang Kembali dan Yang Tumbuh Siang itu Walinggih berencana untuk pergi ke Danau Genangan
Batu dan daerah sekitarnya untuk menangkap Keuyeup dan ikan
Julung-julung untuk dibuat Peyek. Jika beruntung ikan Beunteur
pun mungkin dapat diperolehnya. Ikan yang terakhir ini sering juga
disebut sebagai ikan kepala timah karena di kepalanya ada bagian
yang berwarna kelabu seperti warna timah pada umumnya.
Setelah berpesan agar Telaga kembali mengingat-ingat gerakan yang
baru saja diajarkannya Walinggih pun berlalu dari situ. Telaga masih
tampak berpikir keras untuk menuangkan ingatannya pada gerakan-
gerakan yang baru saja ditunjukkan gurunya itu.
*** "Sudah cukup kelihatannya Tenaga Air yang engkau pelajari, nak Lan-
tang," ucap Ki Sura, "sudah hampir tiga tahun engkau bersama kami
di sini. Sudah waktunya pula kita berpisah."
Menghela napas Nyi Sura mendengar perkataan suaminya, teringat ia
pada anaknya Telaga yang sedang merantau ke selatan. Entah kapan
mereka dapat bersua kembali. Dan anak ini, Lantang yang seolah-
olah sebagai pengganti Telaga, haruslah pula berpisah. Dan ini me-
mang kehendak suaminya, agar ia dapat meluaskan pengalamannya
247 248 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
dan juga sebagai pelaksanaan tugas dari gurunya, Rancana si Bayan-
gan Menangis Tertawa agar mencari dirinya setelah tamat belajar di
Pulau Tengah Danau di Gunung Berdanau Berpulau.
"Tapi guru berdua..," tak sanggup Lantang melanjutkan kata-katanya.
Rasa sayang kedua orang tua itu yang ditunjukkan saat mereka menga-
jarkannya Tenaga Air benar-benar telah menorehkan hubungan yang
lebih dari murid dan guru dalam hatinya. Berat rasanya apabila ia
harus berpisah dengan mereka.
"Kami akan baik-baik saja, tak perlu engkau kuatir, nak Lantang,"
Ki Sura berusaha berkata arif, menekan rasa harunya yang muncul
melihat keenganan sang anak untuk berpisah dari mereka. Mereka
berdua telah menganggap Lantang sebagai anaknya sendiri. Adik dari
Telaga. "Kamu tahu "kan, bahwa gurumu Rancana masih berupaya agar jalan
darahmu dapat berjalan lancar kembali. Ia mencari orang yang da-
pat menyembuhkannya. Konon kabarnya berdiam seorang keturunan
Petapa Seberang di timur sana. Rimba Hijau. Kemungkinan gurumu
bertandang ke sana..," jelas Ki Sura.
"Siapa nama orang yang tinggal di Rimba Hijau itu, ki?" tanya Lan-
tang. Ia belum pernah diceritakan gurunya bahwa ada tempat seperti
Rimba Hijau itu di timur.
"Orang-orang menyebutnya Ki Tapa," Nyi Sura yang menyahut.
"Kami dulu sekali pernah bertemu dengannya. Ia pernah menyem-
buhkan kami saat kami salah melatih Tenaga Air. Ilmu yang dikua-
sainya bersumber dari kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta.
Sebetulnya tidak ada hubungan langsung dengan Tenaga Air selain
pemanfaatan gerakan-gerakannya yang luwes seperti air mengalir.
Selain itu ia juga memiliki Jurus Air. Jurus yang berisikan gerakan-
gerakan yang memanfaatkan sifat-sifat air dalam gerakannya."
"Apakah Ki Tapa adalah saudara perguruan Ki dan Nyi Sura?" tanya
Telaga, "melihat bahwa nama ilmunya sama-sama menggunakan kata
"Air". Atau ada hubungan dengan guru Rancana, melihat ilmunya
bersumber dari kitab yang sama."
"Engkau memang cerdas, nak Lantang," jawab Ki Sura gembira, "akan
249 tetapi walaupun namanya sama-sama air, akan tetapi keduanya, Ju-
rus Air dan Tenaga Air tidak berhubungan secara langsung. Entah di
awal-awalnya. Kami berguru pada orang yang berbeda dan masing-
masing diwujudkan pada praktek yang berbeda. Jurus air adalah su-
atu ilmu beladiri, sedangkan Tenaga Air hanyalah ilmu hawa atau
tenaga dalam. Mengenai hubungan dengan gurumu, kami tidak tahu.
Lebih baik engkau tanyakan sendiri padanya nanti bila bertemu."
Mereka kemudian terdiam sejenak.
"Saat itu kami bertiga, kami pernah mencoba apakah Tenaga Air da-
pat digunakan dalam Jurus Air, ternyata bisa. Tapi tidak untuk semua
gerakan. Entah gerakannya yang tidak murnni ataupun tenagannya
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tidak murni. Karena buntu akhirnya kami pun tidak melan-
jutkannya," lanjut Nyi Sura saat melihat bahwa pandangan Lantang
masih mengisyaratkan kelanjutan dari kisah itu.
"Lalu bagaimana Ki Tapa itu dapat menyembuhkan guru berdua, apa-
bila ia tidak bisa Tenaga air?" tanya Lantang bingung.
"Memang ia tidak bisa Tenaga Air, akan tetapi dari gurunya ia mem-
peroleh ilmu pengobatan yang pada dasarnya diambil dari peman-
faatan energi dari empat elemen, yaitu air, tanah, udara dan api.
Dengan berbekal pengetahuan ini ia dapat mengobati luka dalam yang
kami derita," terang Ki Sura.
Lantang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. Suatu
hal yang menarik bahwa ada ilmu Tenaga Air dan juga Jurus Air.
Akan tetapi keduanya tidak berkaitan secara langsung.
"Jadi bagaimana rencanamu, nak Telaga" Apa akan langsung menyusul
gurumu ke Rimba Hijau atau hendak berputar dahulu menambah
ilmu?" goda Nyi Sura. Di masa mudanya Ki dan Nyi Sura ini juga
senang berpetualan merantau ke sana ke mari. Baru setelah seorang
berilmu tinggi meminta mereka menjadi pewaris Tenaga Air, mereka
berdiam diri di Gunung Berdanau Berpulau. Menunggu saat yang
tepat untuk mewariskan ilmu-ilmu mereka. Dengan adanya Telaga
anak mereka dan juga Lantang, sudah genap janji mereka bahwa
ilmu Tenaga Air harus diwariskan kepada dua orang. Untuk men-
jaga apabila satu diantaranya meninggal terlebih dahulu, yang lain
dapat menjaga dan mewariskannya pada orang yang bertulang dan
250 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
berperangai baik. "Janganlah kau goda nak Lantang ini," senyum suaminya, "biarlah ia
berputar-putar dulu baru ke timur. Anak muda harus menimba ilmu
dari menjalani kehidupan ini sendiri. Jangan kenyang hanya dengan
petuah-petuah teoritis akan tetapi miskin pengalaman dan praktek."
Kedua orang tua itu pun kemudian tertawa hampir bersamaan. Lan-
tang hanya tersenyum saja menyaksikan kelakuan kedua gurunya.
Meskipun mereka telah sama-sama berusia lanjut, tapi gaya dan cara
mereka bicara masih seperti orang-orang muda. Tidak terlalu terikat
akan adat sopan-santun kebanyakan orang.
Ki dan Nyi Sura pun kemudian berpesan apa-apa yang harus diper-
hatikan telaga di rantau nanti. Jangan mencari-cari masalah, karena
hal itu tidak baik. Selain itu pula ia belum dapat menggunakan tenaga
dalamnya. Walaupun telah dilatih Tenaga Air oleh Ki dan Nyi Sura,
dan juga Jalan Selaras dengan Alam Semesta oleh Rancana, Lantang
hanya dapat menggunakan tenaga kasarnya dan tidak tenaga yang
terhimpun di pusarnya. Ada suatu sebab, yang belum diketahui yang
menghambat aliran hawa dalam tubuhnya. Selain itu Ki dan Nyi
Sura, kedua gurunya pun berpesan agar jika bertemu dengan Telaga,
menyampaikan rasa kangen dan sayang dari mereka.
Lantang mengangguk-angguk mengiyakan apa-apa yang dipesankan
kepadanya. Ia akan pergi dari pulau itu keesokan paginya. Pagi-
pagi sekali. Kepada kedua gurunya ia pamit saat itu juga karena
mereka biasanya pada saat pagi-pagi seperti itu sedang tenggelam
dalam samadinya, dan baru beranjat menjelang tiga perempat siang.
Hanya satu ganjalan yang masih ada ada di hati Lantang, yaitu Xyra.
Xyra adalah seorang atau sesosok Undinen yang telah akrab dengan
dirinya sejak semula ia datang ke tempat ini, Pulau Tengah Danau.
Dengan bantuan Xyra Lantang dapat lebih cepat memahami Tenaga
Air. Xyra sebagai makhluk yang termasuk dalam Roh-roh Air memi-
liki Tenaga Air dalam dirinya secara alamiah. Ia dapat dengan mudah
membangkitkannya dan menunjukkannya pada Lantang, sehingga pe-
muda itu dapat merasakan dan mencoba untuk menirukannya, walau
di dalam bawah sadar, mengingat ia tak mampu untuk mewujudkan-
nya karena aliran darahnya masih tersumbat.
251 Ki dan Nyi Sura telah dapat menemukan suatu cara agar Lantang
yang jalan darahnya tersumbat dapat masih mempelajari Tenaga Air,
yaitu melalui mimpi. Dalam mimpi dapat dibangun jalan darah-jalan
darah khayalan yang lancar dan dapat diatur sesuka hati. Dengan cara
ini pengetahuan Lantang mengenai Tenaga Air dapat dilatih. Dewasa
ini mungkin mirip dengan apa yang dikenal orang sebagai simulator.
Xyra pun berdasarkan kemampuan alamiahnya dapat berhubungan
dengan Lantang melalui mimpi. Ia dapat menunjukkan bagaimana
corak-corak aura dari Tenaga Air pada berbagai keadaan dan posisi.
Dengan kerja sama ini, Lantang memperoleh kemajuan pesat akan
pemahaman terhadap Tenaga Air. Lebih alami dibandingkan Ki dan
Nyi Sura. Dan sekarang Lantang hendak meninggalkan tempat ini. Sudah terasa
berat untuk berpisah dengan kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Terasa
pula berat untuk berpisah dengan Xyra, sesosok yang boleh dikatakan
teman main seumurnya di tempat itu. Ia tidak tahu bagaimana harus
mengatakan hal ini kepadanya.
Perlahan ia berjalan mencoba untuk mencari-cari kata-kata yang bisa
diucapkan pada Xyra bahwa kepergiannya ini bukanlah selamanya.
Suatu saat ia mungkin kembali. Dan mereka dapat kembali bersua.
Tapi sampai di ceruk di bawah Sungai Batu Hitam, tak satu pun kata-
kata untuk perpisahan itu yang dapat ditemuinya. Lantang tak tahu
apa yang harus dikatakannya pada Xyra, Undinen temannya mengenai
kepergiannya itu. Sesampainya di sana tak dijumpainya kawannya itu. Aneh. Biasanya
pada waktu-waktu seperti ini Xyra pasti menantinya di sana. Untuk
kemudian berlatih bersama-sama Tenaga Air sampai menjelang dini
hari. Berlatih dalam mimpi Lantang.
Lantang pun berusaha memanggil-manggil, dikerahkannya suaranya.
Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya ia pun duduk terpekur. Biarlah
pikirnya, ini pun lebih baik. Ia tidak harus menjelaskan hal yang
sulit itu kepada Xyra. Mungkin nanti Ki dan Nyi Sura yang dapat
menjelaskannya. Setelah mantap dengan apa yang dipikirkannya Lantang pun mulai
berkemas. Barang-barang miliknya tidak banyak, sehingga tidak dibu-
252 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
tuhkan banyak waktu untuk mengumpulkannya. Setelah selesai hari
pun telah menjelang senja. Ia pun beranjak kembali menemui Ki dan
Nyi Sura untuk makan malam. Setelah itu ia akan menghabiskan
waktunya untuk Mengheningkan Cipta dan tidur sampai besok pagi.
Mempersiapkan "sik dan juga batinnya untuk perjalanan nanti.
*** "Anakku Nah, perhatikan apa yang bisa aku lakukan dengan benda-
benda di atas meja ini!" ucap Seh Pratahu pada anaknya Nah Pratahu.
Ia berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menunjuk pada sebuah
batu yang ada di hadapannya. Batu itu tambak bergerak sedikit,
berputar. Lalu naik ke udara dan kemudian kembali menyentuh meja.
Setelah itu Seh Pratahu menunjukkan jarinya ke pada sebuah kertas
yang terletak di atas meja itu, kertas itu bergerak-gerak seakan-akan
tertiup angin, dan mendadak "wwwwrrrrt!" kertas itu pun terbakar.
Terlonjak Nah Pratahu menyaksikan hal itu. Tak percaya diham-
pirinya kertas yang telah menjadi hitam itu. Remah-remah gosong
tampak menghiasi tangannya.
Belum selesai dengan demonstrasinya, Seh Pratahu kemudian kem-
bali menunjukkan jarinya kepada sebuah gelas yang berisi air, lama ia
berupaya berkonsentrasi, sampai akhirnya dimintanya anaknya untuk
menuangkan air dari dalam gelas itu keluar. Tidak berhasil. Alih-alih
mengalir, air dalam gelas itu telah membeku semuanya. Menjadi es.
Kekaguman terpancar dari wajah Nah Pratahu menyaksikan kebisaan
ayahnya dalam memanipulasi keadaan dari obyek-obyek di sekitarnya
yang berkaitan dengan sifat empat elemen.
"Ini namanya Hawa Pikiran (telekinetik), dengan hanya berpikir en-
gkau dapau melakukan sesuatu. Membuat api, membekukan air, men-
gangkat benda-benda dan bahkan bergerak cepat atau menghilang."
Seh Pratahu kemudian menjelaskan hal-hal lain yang bisa dilakukan
dengan menggunakan kekuatan otak atau pikiran.
"Tapi ayah.., apa bedanya dengan Hawa Tenaga Dalam " yang juga
bisa membuat orang berlari cepat dan memukulkan hawa dingin dan
panas?" tanya anaknya ingin tahu. Dari buku-buku yang dibacanya,
Nah Pratahu telah mengenal ilmu-ilmu yang dituliskan oleh para Pen-
253 gujar Tua, ilmu-ilmu tenaga dalam dan bela diri yang amat ajaib bagi
telinganya. "Pada prinsipnya sama. Keduanya memanfaatkan energi dari empat
unsur yang ada di alam, yaitu Unsur Air, Unsur Api, Unsur Angin
dan Unsur Tanah," jelas sang Ayah, "hanya saja Hawa Pikiran tidak
melatih otot-otot untuk mengerakkan energi-energi tersebut melainkan
hanya pikiran. Lain dengan ilmu beladiri yang membangkitkan energi
dari empat elemen dengan perantaraan hawa dari pusat. Suatu tandon
sumber tenaga, kira-kira empat jari di bawah pusar."
Mengangguk-anguk Nah mendengarkan petuah dari Seh mengenai
perbedaan dari Hawa Pikiran dan Hawa Tenaga Dalam. Dikatakan
pula bawa Hawa Tenaga Dalam digerakkan pula oleh pikiran tapi
hanya dalam perputarannya di dalam tubuh tidak diluarnya. Untuk
mengeluarkannya dibutuhkan gerakan-gerakan tertentu. Lain den-
gan Hawa Pikiran yang tidak membutuhkan gerakan-gerakan tertentu
untuk memanifestasikan energinya di luar tubuh.
Seh pun kemudian mengajari bagaimana Nah dapat mempelajari pen-
golahan Hawa Pikiran sehingga ia dapat memanfaatkan energi-energi
dari empat elemen untuk memanipulasi benda-benda di sekitarnya.
Selain itu Seh mengajarkan pula apa yang disebut melihat Hawa
Getaran (aura) yang ada atau dimiliki oleh setiap benda mati ataupun
hidup. Hawa Getaran ini merupakan sifat alamiah dari benda-
benda. Dengan mengetahui Hawa Getaran dari sesuatu kita bisa
mengetahui sifat-sifatnya, tanpa perlu mendekati atau menyentuh-
nya. Informasi mengenai sifat-sifat ini telah dipancarkan melalui
Hawa Getaran. Untuk manusia sifat-sifat ini meliputi pribadi dan
keadaan emosinya. Dengan cara ini misalnya kita bisa tahu keadaan
hati sesorang walaupun ia tidak mengetahuinya dari Hawa Getaran
yang dipancarkannya. Seh kemudian menceritakan bahwa manusia pada lahirnya memiliki
kemampuan untuk melihat Hawa Getaran secara alamiah, akan tetapi
semakin dewasa dengan semakin bergantungnya orang pada pengli-
hatan akan benda-benda disekitarnya, semakin berkurang kemampuan
mereka untuk melihat Hawa Getaran itu. Anak kecil adalah tingkatan
awal di mana ia dapat melihat Hawa Getaran ini. Kadang orang tidak
254 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
mengerti mengapa ada orang yang disukai oleh anak kecil akan tetapi
ada orang yang dijauhi atau bila ia mendekat, maka anak kecil terse-
but akan menangis. Hal ini dikarenakan anak kecil yang masih da-
pat melihat Hawa Getaran dari orang itu, tidak menyukai warnanya.
Atau dengan kata lain Hawa Getaran orang tersebut tidak cocok atau
menyakiti Hawa Getaran si anak, entah dengan sengaja atau tanpa
sepengetahuan orang itu sendiri.
Pengujar-pengujar Tua yang dikenal sebagai orang-orang suci umum-
nya mempunyai Hawa Getaran yang gemilang dan berwarna emas.
Sedangkan orang-orang yang kurang baik atau mengikuti hawa naf-
sunya umumnya memiliki Hawa Getaran yang kelam dan dingin
menakutkan. Dengan melatih Hawa Getaran seseorang dapat meng-
gunakannya untuk mengintimidasi orang lain. Ini biasa digunakan
oleh petarung-petarung wahid yang bisa menang sebelum bertanding,
karena lawannya telah keder duluan. Secara sadar atau tidak mereka
telah menggunakan Hawa Getaran, walaupun mereka ataupun lawan-
nya tidak bisa melihatnya sendiri melainkan hanya merasakan.
Dengan melatih mata untuk melihat warna-warna dari Hawa Getaran,
pukulan-pukulan Hawa Tenaga Dalam dapat dilihat dan juga ram-
batan energi Hawa Pikiran. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan se-
bagai suatu bentuk ilmu pertahanan diri.
"Lalu bagaima cara kita melatihnya, ayah?" tanya Nah amat tertarik.
Ia baru kali ini mendengar apa yang disebut sebagai Hawa Getaran
dan bagaimana cara melihatnya.
"Caranya tidak terlalu sulit, akan ayah ajarkan. Akan tetapi diper-
lukan kesabaran dan ketekunan untuk melatihnya," jawab Seh sambil
tersenyum. Ia senang bahwa anaknya antusias terhadap apa-apa yang
diajarkannya. Lalu lanjutnya, "Melihat Hawa Getaran bersama-sama
dengan Hawa Pikiran merupakan ilmu wajib bagi keluarga Pratahu.
Selain itu ada pula Hawa Berbicara dan Mendengar Terbalik. Akan
tetapi untuk yang terakhir ayah tidak terlalu memahaminya. Pa-
manmu yang lebih banyak tahu. Hal ini akan ayah ceritakan belakan-
gan." Selanjutnya Seh pun menerangkan bagaimana cara untuk melatih
Melihat Hawa Getaran. Ia menjelaskan mengapa anak kecil masih
255 peka sehingga memiliki ilmu Melihat Hawa Getaran secara alamiah.
Hal ini dikarenakan mereka belum manfaatkan matanya secara paksa
sehingga ada bagian-bagiannya yang rusak. Berangsur-angsur den-
gan bertambahnya umur, merek mulai merusak matanya dengan
memusatkan pandangan hanya pada hal-hal yang umumnya dapat
dilihat. Hal-hal lain di luar itu, umumnya diabaikan oleh pikiran
sehingga lambat-laun apabila terlihatpun tidak akan dilaporkan oleh
otak. "Orang yang telah dewasa sebenarnya lebih sulit untuk belajar Meli-
hat Hawa Getaran dibandingkan anak kecil karena telah rusaknya lem-
baran halus (selaput retina) pada depan matanya," jelas Seh pada
Nah. "Ada suatu cara yaitu dengan menggunanan Pandangan Samp-
ing (peripheral vision) di mana kita berusaha melihat Hawa Getaran
dengan sudut mata kita."
Dijelaskan oleh Seh bahwa bagian lembaran halus pada pinggir mata
umumnya tidak banyak dimanfaatkan, dengan demikian masih bisa di-
manfaatkan untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ditunjukkan pula
beberapa cara, antara lain dengan melihat dua buah lingkaran belah
berbeda warna yang di antaranya terdapat titik di mana harus dil-
ihat pada jarak tertentu. Apabila cukup berkonsentrasi maka akan
terlihat bahwa kedua lingkaran belah tersebut seakan-akan bercahaya
atau berpendar dengan warna-warna yang berbeda.
"Selain itu terdapat pula kelengkapan dari warna-warna yang ada,"
jelas Seh pada Nah, "artinya warna yang kita lihat biasa akan mem-
bangkitkan Hawa Getaran yang berbeda, boleh dikatakan pelangkap-
nya." Lalu ditunjukkan oleh Seh suatu kitab yang ditulis oleh Pengujar
Chalko (Tom Chalko) yang berasal dari pulau yang jauh di sana, yang
"kamu tidak lihat" " ose tra lia (Australia), nama yang dipetuturkan
oleh pelaut-pelaut suatu bangsa pelaut. Dalam kitab tersebut dije-
laskan padanan warna-warna, atau benda berwarna apa memberikan
Hawa Getaran apa. Dituliskan di sana bahwa benda berwarna merah
memberikan Hawa Getaran berwarna hijau-biru telur asin (turquoise
atau cyan gelap), dan sebaliknya. Jingga (orange) memberikan Hawa
Getaran biru dan sebaliknya. Kuning memerikan ungu (violet) dan se-
baliknya serta hijau memberikan merah muda (pink) dan sebaliknya.
256 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Dituliskan pula bahwa warna-warna terang menunjukkan hal yang
positif sedangkan gelap yang negatif, serta ditekankan bahwa warna
putih menunjukkan gangguan kesehatan. Warna ini merupakan warna
pilihan yang diyakini dilihat orang-orang pada seorang yang menjelang
ajal pada jaman dahulu seperti tertuliskan dalam kitab-kitab lama.
"Nah sekarang latihlah, konsentrasi pada benda ini untuk melihat
hawa getarannya. Juga ingat-ingat akan warna padanannya, ini pent-
ing untuk memisahkan apakah yang engkau lihat nanti adalah Hawa
Getaran dari seseorang atau sesuatu atau hanya Hawa Getaran dari
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pakaian yang dipakai seseorang atau warna bendanya saja." Setelah
berkata demikian Seh pun meninggalkan Nah dalam heningnya, yang
mana masih berusaha untuk melatih ilmu Melihat Hawa Getaran. Su-
atu ilmu yang wajib dilatih oleh anggota keluarga Pratahu.
*** Di suatu pagi tampak seorang anak muda berbadan tegap tanpa baju
dan hanya mengenakan celana coklat berlatih ilmu pedang. Pedang
yang digunakan tak lazim panjangnya. Umumnya pedang memiliki
panjang yang maksimal selengan penggunanya sehingga setiap saat
bila dibutuhkan dapat ditarik dari sarungnya. Lain dengan pedang
yang digunakan anak ini, jauh lebih panjang. Mungkin bisa sampai
dua kali panjang pedang biasa. Dan tidak disarungkan, melainkan
dibungkus begitu saja oleh kain sebagai sarungnya.
Anak muda tersebut tampak bergerak pelan, terlihat bahwa ia sedang
mengingat-ingat gerakan yang sedang dilatihnya. Kadang ia hanya
terdiam terlena dalam pembayangan gerakan yang pernah ditunjukkan
gurunya. Bila dirasa cukup pembayangannya, ia pun melakukannya.
Kadang ia bergerak cepat kadang lambat. Kadang teratur kadang liar.
Gerakan-gerakan dari ilmu Pedang Panjang.
Telaga si anak muda tersebut sudah tampak berkeringat. Peluhnya
berbutir-butir meluruh di sekujur tubuhnya saat ia berlatih. Napas-
nya pun mulai terengah-engah. Diaturnya kembali pernapasan sambil
beristirahat. Ia masih gemas karena jurus terakhi yang diajarkan gu-
runya belum dapat dikuasai sepenuhnya. Akan dicobanya lagi gerakan
itu setelah pulih tenaganya.
Selagi ia membayangkan gerakan-gerakan gurunya dan juga Kadal-
257 kadal Pelangi yang sedang menari-narikan gerakannya saat memangsa
serangga, terdengar suara batu kerikil yang dilangkahi orang di be-
lakangnya. Belum sempat ia berputar untuk mencari tahu siapa geran-
gan sosok tersebut, sebuah batu telah melaju terbang ke arah dirinya.
Menuju jalan darah penting ditubuhnya. Dengan indah alih-alih men-
gelak, Telaga pun menggerakan pedang panjangnya sehingga berfungsi
sebagai tameng terhadap batu tersebut, dan "tingg!!" batu tersebut
pun terpental. Tak jadi mencapai jalan darah di tubuhnya.
"Hei, siapa...!" belum selesai Telaga bertanya tentang apa maksud dan
siap orang itu, sesosok bayangan telah menyerangnya gencar. Bertan-
gan kosong. Tapi walaupun bertangan kosong jangan dikira serangan-
serangannya lembek dan tidak berbahaya dibandingkan dengan seran-
gan menggunakan senjata tajam. Sabetan tangan dan kakinya yang
dilengkapi dengan Hawa Tenaga Dalam membuat serangan tersebut
sama bahayanya dengan sabetan pisau atau golok.
Terpaksa Telaga pun mengelak, berkelit di sana-sini di antara ru-
ang kosong yang tercipta dari serangan-serangan itu. Mundur dan
mundur. Ia belum tahu siapa yang menyerangnya dan bukan sifatnya
untuk langsung membalas menyerang, apalagi menggunakan pedang
panjangnya. Untuk sementara ia akan bertahan dulu sambil men-
cari tahu maksud dari penyerangnya juga sekaligus melatih ilmu yang
sedang dipelajarinya. Dicobanya menyabetkan pedangnya secara mendatar untuk meng-
incar pinggang sang penyerang. Dalam gerakan ini pedang akan
dilengkungkan ke atas untuk ditarik balik dalam rangka mengantisi-
pasi lawan yang akan mengelakkan serangan pertama dengan melom-
pat tinggi. Telaga telah gembira bahwa sang lawan tampak tidak
waspada akan serangan yang dilakukan dirinya, dan ia pun telah
memberi jarak agar pada saat yang tepat dapat menahan pedangnya
agar tidak sampai melukai.
Tapi Telaga kecele, alih-alih melompat sosok tersebut malah bergerak
maju dan menyerang leher dan kepalanya dengan telapak kakinya,
beputar seakan-akan tidak mengindahkan serangan pada pinggangnya.
Sebelum Telaga menyadari bahwa serangan itu hanyalah tipuan, sosok
tersebut telah menarik balik kakinya sehingga ia jatuh ke atas tanah
dan menyusup di bawah pedang panjang telaga yang lewat tipis di
258 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
atas rambutnya. "Deggg!!" sebuah serangan ringan menyambar pinggang Telaga. Pada
jarak seperti itu, pedang panjang tidak ada gunanya. Lawan telah ma-
suk ke dalam lingkaran yang lebih kecil dari ruang pedangnya. Tidak
banyak gerakan yang dapat dilakukan sehingga Telaga pun mengal-
ihkan tenaga ke pinggangnya untuk menahan serangan itu.
Dengan cepat sosok itu lalu menempel pada Telaga memegang pedan-
gnya sedemian rupa sehingga Telaga tak mampu untuk memindahkan
arah geraknya. Dengan tenaga penuh sosok tersebut menambah
tenaga pada arah dorongan pedang semula sehingga gerakan Telaga
menjadi berlipat ganda, sudah dihentikan. Akibatnya ia kehilangan
nyaris keseimbangan. Hanya ada dua pilihan tetap mempertahankan
pedang panjangnya yang tiba-tiba menjadi berat akibat dorongan
lawan atau melepaskannya dan menyerang balik dengan menangkap
lawan menggunakan ilmu Sabetan dan Tangkapan Lawan yang dia-
jarkan oleh gurunya Arasan.
Telaga akhirnya memutuskan untuk melepaskan pedang panjangnya.
Pedang tersebut melesat dengan kuat, masih menyimpan tenaga
dorongan telaga dan lawannya. Dan "capp!!" menancap pada be-
batuan tak tahu dari sana. Untung saja tidak ada manusia atau
hewan yang berada di tempat tersebut.
Sekarang Telaga lebih leluasa menghadapi lawan yang selalu berusaha
menyerangnya dari jarak dekat. Jarak yang hanya dapat dicapai den-
gan bertangan kosong. Perlahan Telaga telah dapat mengimbangi
permainan dari lawannya itu.
Setelah lama-lama memperhatikan terlihat bahwa sosok itu agak kecil
dibandingkan dengan dirinya. Berperawakan ramping dengan ram-
but yang digelung. Mungkin panjang rambutnya. Langkahnya ringan
dengan muka yang disembunyikan oleh selendang yang dikenakannya.
Lamat-lamat Telaga serasa mengenal sosok itu. Seperti pernah dilihat
entah kapan dan di mana. Saat ia sedang dalam lamunannya untuk menebak-nebak siapa geran-
gan sosok yang sedang menyerangnya itu, tak diduga sosok terse-
but menggunakan salah satu gerakan yang agak sulit yaitu agak
berjongkok kemudian menyerang kepala Telaga dengan jurus Menebang
259 Kelapa yang diikuti satu tipu berkelit untuk mengunci kedua tangan
Telaga dan diakhiri dengan jurus Berkelit Membanting Padi. Aki-
batnya sudah dapat diduga. Telaga terkunci, terseret arah gerakan
lawannya dan terlempar ke atas tanah. Terbanting. "Deggg!!"
Terengah-engah sedikit sosok itu saat bergerak mundur. Rupanya
cukup banyak tenaga yang dikeluarkannya untuk mengatasi Telaga.
Lawan yang lebih besar tenaganya dari dirinya.
Saat itu tersadarlah Telaga, kecuali gurunya yang dapat melakukan
gerakan itu di daerah ini hanya tinggal satu orang, Sarini putrinya.
Lalu katanya, "Sarini, janganlah permainkan aku. Dalam ilmu Sa-
betan dan Tangkapan Tangan, tidaklah aku bisa menang melawanmu!"
Sosok itu tertawa geli mendengar ucapan Telaga. Senang rupanya ia
dipuji sedemikian rupa. Tapi kemudian katanya, "Telaga jika sudah
tahu siapa aku ayo coba kalahkan aku! Aku dengar dari paman Wal-
inggih bahwa engkau baru diajari jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan
Pagi. Ayo tunjukkan padaku!"
Mendongkol juga sedikit hati Telaga mendengar ucapan itu, rupanya
Sarini ini memang hendak menggodanya. Gerakan yang baru saja
dipelajarinya itu sudah hendak dicobanya pula. Darah mudanya pun
sedikit bergolak, ia ingin melihat apakah gerakan itu dapat mengatai
ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Sarini.
Beranjaklah Telaga ke batu tempat di mana pedang panjangnya tadi
tertancap. Ditariknya pelan sambil diingat-ingat lagi jurus Gerakan
Kadal Pelangi Makan Pagi yang diajarkan gurunya dan telah sedikit
dipahami olehnya. Untuk menghadapi Sarini yang mengambil jarak
tempur pendek, mungkin perlu perubahan-perubahan sedikit dalam
pemanfaatan jurus itu. Pertama-tama ia harus membuat gadis itu kalang kabut baru bisa
mengeluarkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang tidak terduga
dari atas untuk kembali menyerang posisi awal ia melompat. Jika
langsung dikeluarkan Sarini mungkin dapat menebaknya.
Setelah memutuskan gerakan yang akan dilakukannya Telaga pun
mulai menyerang Sarini. Awalnya hanya gerakan-gerakan sapuan
mendatar dan miring. Ia ingin lebih dulu melihat bagaimana Sarini
260 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
menanggapinya. Sarini ternyata memiliki perasaan dan perhitungan yang tajam. Ia
tidak banyak bergerak. Ia hanya membiarkan pedang panjang Telaga
lewat satu dua jari dari tubuhnya. Tidak banyak ia bergerak, cukup
mengelak tipis. Kagum juga Telaga melihat keberanian dan perhitun-
gan yang tepat dari Sarini. Gadis ini benar-benar berhati harimau.
Karena lama tak membuahkan hasil, akhinya Telaga mulai meningkatkan
kadar serangannya. Sekarang serangannya mulai gencar dan dibalas
pula oleh Sarini dengan elakan-elakan yang lebih cepat. Masih belum
menyerang. Kelihatannya Sarini masih mencari-cari celah untuk
bertarung jarak dekat, agar ia bisa menangkap atau memukul bagian-
bagian tubuh dari Telaga.
"Ayo keluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi!" pancing
Sarini. Mendengar ini Telaga pun tergerak untuk mengeluarkan jurus itu.
Bukan hanya karena emosi juga karena ia tertarik bagaimana gadis itu
bisa menangani serangannya. Setelah sedikit bergerak liar menyabet
ke sana ke mari membuat hampir tidak ada ruang kosong di kiri-kanan
Sarini, Telaga pun meloncat terbalik dan menyabetkan pedangnya ke
arah Sarini. Sarini pun melompat mundur untuk mengelak. Tipis
akan tetapi mengenai selendangnya sehingga wajahnya pun terbuka.
Saat Telaga tersenyum atas hasil yang didapatkannya dan ia menyen-
tak balik untuk kembali ke posisi semula di mana ia melompat
tadi, seperti gerakan-gerakan Kadal Pelangi, Sarini bergerak cepat.
Sarini telah mengambil posisi rapat, di mana Telaga akan mendarat.
Sedemikian rapat sehingga jarak itu tidak dapat dimasuki lagi oleh
pedang panjang. Kaget tersurat pada wajah Telaga melihat posisinya tidak lagi men-
guntungkan. Belum habis gaya tarikan pedang panjangnya, kembali
Sarini telah menggapai kedua tangganya, menambah dorongan se-
hingga Telaga kembali terikut arus putaran tenaga Sarini. Dan dalam
sekejap kembali jurus Berkelit Membanting Padi digunakan. Hasil
yang mirip diperoleh, yaitu Telaga dan pedangnya terlempar men-
datar di atas tanah. Terlentang.
261 "Hehehehe..!!" tiba-tiba terdengar kekeh seseorang dari sisi kedua
orang yang sedang bertarung itu. "Nak Telaga, kena engkau diper-
daya Sarini." Orang itu ternyata adalah Arasan. Ia telah lama berada di sana.
Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana anaknya Sarini memberi
pancingan pada Telaga sehingga pemuda itu mengeluarkan jurus Ger-
akan Kadal Pelangi Makan Pagi yang langsung direbut posisi awalnya
untuk dihancurkan. "Guru..!" sahut Telaga sambil cepat bangun dan menjura.
"Ayah!!" suara Sarini dengan manja. Tampak merah mukanya. Entah
malu entah agak tak suka bahwa ayahnya tiba-tiba muncul di sana.
"Aku pergi dulu!" sahut Sarini yang segera hilang dari sana. Mening-
galkan Telaga yang masih agak-agak bingung atas kekalahannya.
Setelah mereka berdua berdiam agak lama, bertanyalah Arasan pada
Telaga, "tahukah kamu mengapa engkau bisa kalah dari Sarini?"
Telaga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih agak bingung men-
gapa jurus yang dirasakannya ampuh itu tidak terlalu berguna dalam
menghadapi Sarini. "Tahukan pula, bila itu tadi adalah Walinggih, apa yang akan di-
lakukannya menghadapai lawan yang bertangan kosong?" tanya
Arasan kembali alih-alih menjelaskan jawaban dari pertanyaan perta-
manya tadi. Kembali Telaga menggelengkan kepalanya, "tak tahu guru. Mohon
petunjuk!" "Ilmu bela diri itu harus dipahami inti dan maksud gerakannya. Jurus-
jurus tidak hanya digunakan karena dirasakan indah atau ampuh saja.
Melainkan digunakan pada situasi yang cocok untuk memanfaatkan-
nya," jelas Arasan. "Maksud guru?" tanya Telaga menyakinkan ketidahtahuannya.
"Memang jurus yang diajarkan oleh Walinggih itu teramat ampuh,
tapi hanya untuk jarak menengah dan jauh, tidak untuk jarak dekat.
Perhatikan waktu gurumu dulu menghadapi keroyokan orang-orang
262 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
itu. Ia selalu mengambil cukup jarak bagi pedangnya untuk bergerak.
Jika ruang terlalu sempit engkau harus mundur atau pergi sehingga
tetap cukup ruang untuk pedangmu." begitu jelas Arasan.
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan pendapat gurunya menge-
nai ilmu yang diturukan oleh gurunya yang lain.
"Sebenarnya, ada rahasia lain mengenai kemenangan Sarini..," kata
Arasan kemudian, agak tidak enak kelihatannya ia hendak menyam-
paikan. "Maksud paman?" tanya Telaga ingin tahu. Ia tidak mengerti apa
yang dimaksud dengan rahasia itu.
"Tapi engkau harus berjanji dulu tidak menceritakannya kepada
Sarini. Bisa kecewa ia nantinya," jawab Arasan.
Telaga mengiyakan. Ada apa pula ini sampai tidak boleh menceritakan
pada Sarini mengenai hal ini.
"Sarini sebenarnya telah belajar pula belajar pada Walinggih," ucap
Arasan sambil tersenyum saat melihat Telaga terkejut, "bahkan ia
telah pula diajarkan tipu-tipu gerakan untuk memunahkan Gerakan
Kadal Pelangi Makan Pagi. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah
mengalahkan mu, nak Telaga."
Telaga terngaga mendengar hal itu, perlahan-lahan wajahnya pun
memerah. Lalu katanya, "tapi itu bukan alasan bahwa Sarini dapat
mengalahkan saya, ia memang lebih jeli dalam menggunakan gerakan-
gerakan dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan." Tak bangga
pula ia bahwa kekalahannya diakibatkan Sarini telah mempelajari il-
munya dan juga diajari oleh gurunya, Walinggih.
"Menurut saya, guru, tak peduli orang telah mengenal ilmu kita atau
tidak, kalah ya kalah!" begitu jawab Telaga.
"Bagus bila engkau berpendapat begitu. Dan memang demikianlah.
Semakin engkau sering bertarung dengan lawanmu, semakain kenal
lawanmu akan gerakan-gerakan yang akan engkau lakukan. Istilah-
nya ilmumu semakin telanjang atau transparan. Jadi sebaiknya seo-
rang pendekar memperkuat ilmu dan gerakan yang disertai efesiensi
pemanfaatannya ketimbang ragam dan gerakan-gerakannya yang tak
263 terduga," jelas Arasan.
Telaga pun mengangguk-angguk. Setuju atau pendapat gurunya.
Tak lama kemudian mereka pun berlalu. Kembali ke rumah di mana
ternyata telah menanti Walinggih dan Sarini. Yang terakhir ini sedang
menyiapkan makan malam bagi mereka berempat.
Di hadapan mereka tersaji apa yang disebut orang-orang di ujung su-
atu pulau besar Le Bu Peudah atau Bubur Pedas. Suatu makanan
khas yang umumnya disajikan hanya pada menjelang matahari ter-
benam. Jenis makanan itu merupakan campuran dari bahan-bahan
beras, kelapa parut dan rempah-rempah seperti kunyit, merica dan
tunas pohon kala. Cara memasaknya adalah dengan memasukkan-
nya semua dalam satu kuali dan mengaduknya cukup lama. Dimasak
kira-kira hingga tiga jam.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah membersihkan kaki dan tangan untuk mulai makan, Telaga
dan Arasan pun duduk di sekitar semangkok besar Le Bu Peudah.
Di samping mangkok tersebut masih pula ada buah-buahan dan umbi
yang telah dibakar. Arasan duduk di samping Telaga, yang kemudian diikuti oleh Wal-
inggih dan Sarini. Jadi boleh dikatakan berhadap-hadapan Walinggih
dan Arasan, juga Telaga dan Sarini yang masing-masing dipisahkan
oleh perabot makan yang berisikan santapan makan malam mereka.
Setelah sebentar mengucap syukur kepada Sang Pencipta, mereka
pun kemudian mulai makan. Dan tidak biasanya bahwa malam itu
tidak terdengar celoteh renyah dari Sarini yang biasanya ditimpali
oleh Telaga. Kedua orang tua yang sedang makan, Arasan dan Wal-
inggih hanya saling bertukar pandang melihat kekakuan yang muncul
di antara kedua anak muda yang duduk saling berseberangan itu.
Tiba-tiba Walinggih memberikan sedikit isyarat pada Arasan melalui
kedipan matanya. Isyarat ini dilontarkan saat kedua anak muda sen-
dang menunduk menyupa Le Bu Peudah-nya. Alih-alih melakukan
apa yang diisyaratkan Walinggih, Arasan malah memberi isyarat ba-
lik agar Walinggih saja yang memberitahu kedua anak muda tersebut
mengenai hal yang mereka telah bicarakan sebelumnya.
264 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Karena berulang-ulang keduannya saling mengedip-kedipkan mata
dan juga menggerak-gerakkan dagu menunjuk-nunjuk pada kedua
muda-mudi itu, akhirnya gerakan ini pun dilihat keduanya. Ked-
uanya pun tak dapat menahan tawa melihat kelakukan guru-guru
mereka. Telaga hanya tersenyum, sedangkan Sarini sampai terkekeh
kecil dan kemudian menutupi mulutnya agar makanan yang sedang
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
dikunyahnya tidak tersembur keluar.
Menyadari bahwa isyarat-isyarat mereka telah dilihat kedua anak
muda tersebut, Walinggih dan Arasan pun menghentikan aksi mereka.
Terdiam, terlihat salah tingkah. Mirip-mirip orang yang sedang ter-
tangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah.
"Ayah, ada apa sih?" tanya Sarini pada Arasan. Tak tahan dia mena-
han geli melihat ayah dan Walinggih saling bergerak aneh-aneh dengan
memainkan dagu dan juga sebelah mata mereka.
"Eh.., itu tanya saja sama pamanmu Walinggih..," jawab Arasan seke-
nanya. Juga sekalian melemparkan tangguna jawab agar Walinggih
yang menjelaskan tingkah laku aneh mereka.
"Lebih baik ayahmu saja yang menjelaskan, Sarini. Dia lebih pakar
dari paman," jawab Walinggih merendah sambil kembali lempar
tanggung jawab. Sekalian ia menambahkan Le Bu Peudah dalam
mangkoknya. Sudah empat kali ia tambah. Seanak-akan perutnya
tak berbatas dalam mengasup makanan kegemarannya itu.
Melihat kejenakaan yang muncul dari tingkah polah kedua orang itu,
pecahlah tawa antara orang muda itu. Telaga tak lagi dapat menahan
tawanya, dipegangnya perutnya yang sakit. Sedangkan Sarini masih
berusaha menyembunyikan suara tawa yang barusan terceplos keluar.
Diupayakan untuk menutup mulutnya. Sementara air mata geli tam-
pak telah mengalir sedikit di sudut kedua matanya.
"Arasan, lihat..! Kita malah jadi bahan tertawaan mereka, tuh! Ini
gara-gara kamu sih, tidak mau menjelaskan..," tuduh Walinggih je-
naka. Setelah mempunyai murid Telaga dan berhubungan dengan
keluarga Arasan dan Sarini, Walinggih keluar sifat aslinya yang ramah
dan jenaka. Tidak lagi serang dan dingin saat masih menjadi Hakim
Haus Darah. 265 "Eh, bukannya engkau Walinggih yang mulai. Seharusnya engkau saja
yang bilang. Kan dari pihak yang pemuda!" jawab Arasan tak mau
kalah. Kata "pihak pemuda" tiba-tiba saja menghentikan tawa yang ditahan
dari kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba saja keduanya tertunduk malu
dengan semburat merah di wajahnya. Jelaslah sudah apa yang ada
di benak kedua orang tua itu dengan kata tersebut. Dan hanya satu
yang mungkin. Perjodohan!!
Masih dalam rangka menggoda keduanya, Walinggih pun berubah
gaya bicaranya. Menjadi keren dan serius. Lalu katanya, "Adik
Arasan, saya Walinggih dengan rendah hati ingin menjodohkan murid
saya yang bodoh ini, Telaga, sebagai pasangan dari anakmu yang can-
tik dan pandai memasak, Sarini. Semoga usul ini dipertimbangkan
dan diterima...!" Arasan pun tak mau kalah. Ia pun lalu membalas dengan merendah,
"Kakak Walinggih, saya Arasan merasa amat beruntung bahwa pu-
triku yang bodoh ini bisa mendapatkan perhatian dari muridmu yang
gagah, rendah hati dan bersemangat itu. Akan tetapi perjodohan
adalah urusan yang akan dijodohkan, sebaiknya engkau tanyakan saja
langsung pada yang bersangkutan!"
Kedua muda-mudi itu benar-benar mati kutu. Mereka tidak bisa
bicara apa-apa. Jika tadi semburat merah telah ada di wajah, saat ini
telah menjalar ke leher dan telingah. Keduanya tampak mirip-mirip
kepiting atau udang rebus.
Setelah hening sebentar diberikan oleh kedua orang tua itu kepada
Sarini dan Telaga agar mereka dapat menguasai diri mereka kembali,
berkatalah Arasan, "Nah, putriku Sarini. Bagaimana jawabanmu atas
lamaran paman Walinggih?"
Memang suatu kebiasaan yang tidak lazim di jaman itu bahwa anak
yang akan dijodohkan ditanyakan langsung pendapatnya. Umumnya
kedua orang tua yang menerima pinangan perjodohan yang menen-
tukan, dengan si anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah
keputusan orang tuanya. Akan tetapi lain dengan keluarga Arasan.
Mungkin dikarenakan mereka hanya tinggal berdua dan tidak memiliki
saudara lain di sekitar situ dan juga Arasan memberikan kebebasan
266 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
kepada anaknya untuk mengambil keputusannya sendiri. Karena ia
sendiri yang akan nanti menjalani konsekuensi dari keputusannya itu.
Dengan wajah yang masih memerah dan tertunduk malu Sarini
berkata, "ayah.., terserah ayah saja..! Saya masih harus membereskan
perabot makan ini..!" Lalu dengan cepat ia berdiri dan membereskan
perabot-perabot bekas mereka berempat makan malam itu dan berlalu
dari ruang tengah itu, menuju ruangan di balik yang dipisahkan oleh
sekat terbuat dari daun kelapa untuk mulai mencuci perabot-perabot
makan malam. Arasan tertawa melihat tindak-tanduk putrinya. Ia merasa bahwa
putrinya menerima pinangan dari Walinggih untuk dijodohkan dengan
Telaga. Sebagai seorang ayah yang dekat dengan anaknya, dapat ia
merasakan itu. Biasanya Sarini akan menyatakan dengan tegas apabila
ia tidak setuju akan sesuatu yang dikemukakan ayahnya.
"Hahahaha..!" berderai tawa Arasan yang kemudian diikuti oleh
Walinggih. Mereke sama-sama senang bahwa urusan ini menjadi
beres sesuai dengan hasil yang mereka perkirakan. Tak lupa mereka
menepuk-nepuk punggung Telaga yang duduk di antara mereka, yang
sedari tadi hanya tertunduk diam dan malu.
Setelah berhasil menenteramkan hatinya, berkatalah Telaga, "Maafkan
perkataan saya ini, akan tetapi guru berdua ini sedari tadi sama sekali
belum menanyakan pendapat saya..."
Kedua orang itu terdiam. Mereka teringat bahwa mereka sama sekali
belum menanyakan pendapat murid mereka Telaga apakah mau di-
jodohkan dengan Sarini. Mereka sudah saja merasa yakin, karena
siapa sih yang tidak mau dijodohkan dengan gadis semanis Sarini.
Pandai masak pula. Yang paling terkejut adalah Sarini, sampai terhenti kegiatannya men-
cuci mangkok yang digunakan itu mendengar perkataan Telaga. Ia
di dalam hatinya telah lama menyukai Telaga, bahkan ayahnya pun
mengetahui itu dari sikapnya yang kadang melamun saat Telaga tidak
datang ke rumah mereka untuk berlatih ilmu Sabetan dan Tangkapan
Tangan. Karena dipergoki oleh ayahnya, mengakulah ia akan hal itu.
Atas dasar pengakuan itu dan juga rasa sukanya pada muridnya,
267 Arasan pun menghubungi Walinggih. Yang dihubungi merasa gem-
bira pula. Kehilangan keluarga, anak dan istri, yang membuatnya
sedih tiba-tiba terlupa. Tanpa pikir panjang Walinggih mengatakan
bahwa pastilah muridnya bersedia dijodohkan dengan Sarini.
"Eh, apa maksudmu Telaga?" tanya Walinggih. "Kamu tidak suka
dengan Sarini" Bodoh kamu!"
Bersemu merah wajah Telaga. Lalu ujarnya, "Saya.. suka guru.., tapi
saya harus memberitahu kedua orang tua saya dulu.."
"Ah, kamu benar sekali! Sudah pikun orang tua ini..!" kata Walinggih
sambil menepuk jidantnya sendiri. "Engkau masih ada orang tua di
utara sana." Sarini yang mendengarkan itu dari tempat mencuci piring merasa lega.
Tadinya sempat perasaannya bergolak. Ia takut bila Telaga menolak
atau bisa saja telah dijodohkan. Tak terasa bersemu merah kembali
wajahnya mengingat bergolaknya perasaannya tadi.
"Hmm, gimana ini.." Padahal engkau ingin aku suruh pergi jauh ke
selatan mencari orang-orang yang tinggal di perahu, di tengah laut.
Mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar di atas air.
Salah satu kemampuan mereka adalah bela diri dalam air. Bagus
untuk engkau pelajari untuk melengkapi ilmu-ilmumu," begitu ujar
Walinggih. "Begini saja, kakak Walinggih, bila kakak tidak berkeberatan bagaimana
bila kakak yang mengatakan kepada kedua orang tua Telaga di Gunung
Berdanau Berpulau soal perjodohan ini. Saya tidak pada tempatnya
karena saya adalah orang tua yang perempuan," usul Arasan.
"Hmm, boleh juga itu! Sudah lama aku tidak berjalan jauh ke mana-
mana. Baiklah, aku akan ke utara mencari kedua orang tua Telaga
untuk memberitahukan perjodohan ini. Moga-moga mereka setuju.
Lalu kemudian kita bicarakan lagi kapan hari baiknya," jawab Wal-
inggih. Kedua orang tua itu akhinrya sepakat. Telaga yang berada di antara
mereka tidak lagi menyanggah. Ia hanya bisa pasrah. Pasrah untuk
dijodohkan pada Sarini, gadis yang diam-diam juga ia sukai.
268 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Hari pun berlalu dengan cepat. Walinggih kembali berulang-ulang
mengajarkan Telaga bagaimana jurus-jurus dalam ilmu Pedang Panjang-
nya digunakan. Ia juga menyuruh Telaga untuk melatih kembali ilmu
Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan. Kedua ilmu itu harus
dipadukan agar pertahanan dan serangan menjadi mantap. Baik un-
tuk jarak pendek ataupun menengah dan jauh. Dengan atau tanpa
pedang panjang. Dan anehnya setelah pembicaraan perjodohan itu, kedua muda-mudi
malah menjadi agak asing satu sama lain. Tidak lagi bebas dan
akrab seperti semula. Urusan perjodohan itu membuat mereka merasa
sungkan satu sama lain. Kedua orang tua yang melihat hal itu mem-
biarkannya saja. Nanti mereka juga akan kembali seperti semua, be-
gitu pikir keduanya. Akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Telaga disuruh gurunya untuk
menimba ilmu di selatan, jauh di lepas pantai. Di antara orang-orang
yang tinggal di laut, Suku Pelaut. Orang-orang yang hanya sesekali
ke darat untuk menukarkan kebutuhan hidup mereka. Sisa hidupnya
benar-benar dihabiskan di atas air.
Telaga diberikan waktu sekitar tiga tahun untuk kembali ke Padang
Batu-batu untuk melanjutkan perjodohannya. Sementar itu Waling-
gih akan pergi ke utara, ke Gunung Berdanau Berpulau untuk mencer-
itakan soal perjodohan itu kepada kedua orang tua Telaga, Ki dan
Nyi Sura. Atas usul Arasan, Sarini pun dibawa serta untuk sekaligus
diperkenalkan. Baik sekali apabila ia bisa menjadi murid dari kedua
Pelestari Tenaga Air. Sekalian mengenal calon mantu mereka. Sarini
hanya dapat menunduk mengiyakan mendengar keputusan ayahnya.
Terasa kuatir pula bila kedua orang tua Telaga tidak menyukai dirinya.
Kedua rombongan itu pun berpisah. Telaga ke arah selatan, sedan-
gkan Sarini dan Walinggih ke arah utara. Berganti-ganti Arasan meli-
hat kedua rombongan itu sampai hilang dari pandangan. Terasa sepi
dunianya tanpa kehadiran orang-orang yang dekat dengannya. Tiba-
tiba saja dirasakan umurnya bertambah beberapa tahun.
"Ada waktu berkumpul, ada pula waktu berpisah..," gumamnya, "tak
ada yang kekal di dunia...," sambil melangkahkan kakinya kembali ke
rumahnya. 269 *** Seorang pemuda tampak sedang berjalan seenaknya. Wajahnya bersih
dan selalu dihiasi senyum. Badannya cukup berisi dengan perawakan
tidak terlalu tinggi tapi proporsional sehingga membuatnya terlihat
enak untuk diajak bicara. Perangainya yang riang menambah daya
tariknya. Pemuda itu tampak sedang melakukan perjalan seorang diri. Tak
terlihat ada orang yang berjalan bersama atau mengikutinya. Untuk
menghilangkan rasa sepi, ia pun bernyanyi-nyanyi kecil.
"Burung bersiul bersahut-sahutan, matahari bersinar cerah, kera-kera
bermain di hutan, bunga semerbak merekah.
Buat apa susah, susah itu tak ada gunanya, buat apa resah, resah itu
juga tiada gunanya. Tralala.., trilili.., haha.., hihi.. Nanana..., ninini..., dada.., didi.."
Lagu yang sering dinyanyikan gurunya saat sama-sama bepergian. Su-
dah bisa ditebak bahwa pemuda itu adalah Lantang. Ia baru saja
turun dari Gunung Berdanau Berpulau. Seyogyanya ia harus mencari
gurunya ke timur. Akan tetapi dari cerita-cerita orang yang didengar-
nya sambil lalu ia tertarik untuk sedikit berjalan ke selatan baru ke
timur. Melewati kota-kota yang dibicarakan oleh orang-orang itu.
Ada kota Dsseldorf (kota Pinggir Sungai Menggelegar) yang dikatakan
memiliki dua belas Stndischen (Yang Berdiri) di Nordpark (Taman
Utara) yang pada suatu waktu hilang sama sekali digondol entah oleh
siapa. Selain itu ada pula Kota Batu-batu yang terletak di tepi Padang
Batu-batu. Padang Batu-batu merupakan suatu hutan yang bukan
ditumbuhi pepohonan akan tetapi batu-batu dari ukuran kecil sampai
sebesar rumah. Hal-hal tersebut menarik hatinya. Selama berdiam di Gunung Berdanau
Berpulau, Lantang tidak pernah sekalipun turun gunung. Ini barulah
pertama kalinya ia turun gunung saat mulai remaja. Suasana sudah
banyak berubah dibandingkan dengan keadaan dulu saat ia ditemukan
oleh gurunya dan diajak berdiam di gunung.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi-bunyi lucu dari perutnya. Mirip kuku-
270 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
ruyuk seekor ayam jadi. Bunyi itu ternyata tanda-tanda bahwa perut
yang punya telah minta untuk diisi. Diasupi penganan agar dapat
menenteramkan lambung yang ada di dalamnya.
Lantang, pemuda itu, pun celingak-celinguk. Ia mencari-cari den-
gan matanya tempat yang enak untuk digunakan untuk makan siang.
Samar-samar didengarnya gemericik air yang khas saat melewati batu-
batu. Suatu bunyi yang sudah menjadi temannya sehari-hari saat
menimba ilmu Tenaga Air di Gunung Berdanau Berpulau. Bergegas
ia menuju pada sumber gemericik air itu. Sudah dibayangkan betapa
enaknya melangsungkan makan siang di tepi sungai yang jernih dan
segar dan ditemani dengan angin yang sepoi-sepoi menyejukkan pada
siang yang panas ini. Berjarak satu-dua tombak dari sungai jernih yang ditemukannya,
dibentangkannya kain yang tadi dibawanya di pundak, yang berfungsi
sebagai kantung perbekalan yang dibawanya. Dipilihnya suatu batu
besar sebagai senderen untuk duduk. Saat baru turun gunung, ia telah
dibekali oleh kedua gurunya sedikit uang dan juga makanan kering
yang dapat tahan hingga seminggu. Di antaranya terdapat dendeng,
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis-manisan dan bumbu-bumbu. Sebagai makanan utama masih
ada ketan dan juga ubi kering yang siap disantap.
Tak perlu terlalu lama perut Lantang menunggu untuk diasup. Segera
setelah kunyahan-kunyahan di mulut berlangsung, lambung pun men-
dapat giliran untuk disua oleh penganan itu. Nikmat rasanya. Sekujur
tubuh serasa mendapatkan energi baru.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang di depannya. Agak
jauh di hadapannya, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak
seorang tua sedang duduk memandangnya. Lantang yakin bahwa tadi
tiada seorang pun di sana. Orang tua tersebut tampak sedang dalam
posisi berjongkok. Memandangnya dengan tertarik, teruma terhadap
penganan yang sedang disantapnya.
Ada sesuatu yang aneh dari orang tua itu, yaitu suasana warna ke-
hijauan yang tampak. Agak kontras dengan batang pohon tempat
ia menyandar yang jelas-jelas berwarna coklat tua. Lantang tidak
bisa begitu melihat raut wajah orang itu, hanya dari warna rambut
dan kerut-kerutan di wajahnya, diduganya bahwa itu adalah seorang
271 yang sudah agak tua. Mungkin lebih tua dari kedua gurunya, Ki dan
Nyi Sura. Juga guru pertamanya, Rancana si Bayangan Menangis
Tertawa. Terdengar tiba-tiba bunyi yang barusan membuat Lantang memu-
tuskan untuk berhenti makan siang. Bunyi kukuruyuk. Kalau tadi
bersumber dari perutnya, saat ini kelihatannya tidak lagi. Pasti dari
orang itu. Mendengar ini mau tak mau Lantang pun tersenyum. Lalu
ditawarkannya makanannya sambil mengangsurkan sekerat dendeng
dan sepoton ubi. "Ki sanak yang di sana, mau makan sama-sama saya?" tanyanya
sopan, "hanya makanan sederhana..."
Belum habis Lantang mengucapkan kata-kata untuk menjelaskan apa
yang bisa ia tawarkan, orang itu telah bergerak ke arahnya. Halus
akan tetapi cepat. Amat cepat, sehingga dalam beberapa kejapan
mata ia telah berada di hadapan Lantang. Mengambil makanan
yang ditawarkan dan langsung menguyahnya perlahan-lahan. Serius,
seakan-akan benar-benar menikmati rasa lezat yang muncul saat
bagian-bagian yang dikunyahnya dibasahi oleh air liur.
Dalam jarak sedekat ini tampak lebih jelaslah raut wajah orang tua
itu. Sebenarnya belumlah ia terlalu tua, melainkan wajah khas orang
muda yang banyak dirundung masalah. Tua sebelum waktunya. Tua
dikarbit permasalahan atau pikiran. Baju yang dikenakannya juga
aneh. Bukan karena bahannya yang kasar, melainkan karena warnanya
yang berbeda pada bagian kiri dan kanan. Sebelah hijau muda, mirip
warna kulitnya dan sisanya biru muda. Suatu paduan busana yang
belum pernah dilihat Lantang sebelumnya.
Tak berapa lama habislah sepotong ubi dan sekerat dendeng itu.
Orang itu langsung beranjak ke arah sungai yang terdapat tak jauh
dari sana. Setibanya di dekat air, alih-alih menjangkau air dengan
telapak tangannya untuk diminum, orang itu malah menurunkan
kepalanya untuk langsung meminum air sungai itu dengan mulutnya.
Mirip dengan kelakukan hewan-hewan mamalia yang hidup di hutan.
Setelah itu ia kembali memandang Lantang. Ada ungkapan terima
kasih di matanya. Seakan-akan mengangguk, orang itu kemudian
menghilang. Cepat. Tak bisa dirasakan. Mirip dengan cara ia datang
272 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
tadi yang secara tiba-tiba.
Lantang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ke-
lakukan orang tua itu. Tiba-tiba teringat ia pada Xyra, sahabatnya
yang seorang Undinen. Warna-warna Undinenlah yang dilihatnya
pada busana dan kulit orang tua itu. Lantang pun berniat untuk
bertanya pada orang tua itu, apabila mereka bersua kembali.
Angin sepoi-sepoi dan juga perut yang telah terisi benar-benar paduan
yang cocok untuk membuat mengantuk. Ditambah lagi dengan rasa
letih yang telah menumpuk sejak perjalannya tadi pagi sedari turun
dari gunung. Direbahkan badannya di samping batu yang dijadikan-
nya tadi sebagai sandaran, setelah terlebih dahulu membereskan per-
bekalannya kembali ke dalam buntalan. Sebagai alas kepala digu-
nakannya buntalan bekalnya tadi. Tak lama Lantang pun terlelap.
Dalam tidurnya, ia pun bermimpi.
Ia berdiri di pinggir sebuah pantai di mana di salah satu bagian di
hadapannya tampak air sungai bersua dengan air laut. Sebuah muara.
Di bagian muara yang melebar itu terdapat sebuah pulau. Khas pulau-
pulau delta pada umumnya. Di sana di kejauhan Lantang melihat
dua sosok orang sedang berhadapan. Keduanya berdiri setombak dua
tombak lebih. Tidak terlihat dengan jelas dari tempatnya berdiri.
Dari caranya mereka berdiri terlihat bahwa bukan suatu pembicaraan
ramah-tamah. Keduanya tiba-tiba bergerak cepat. Saling mengitari dan melem-
parkan pukulan dan tendangan. Tidak jelas alasannya. Setelah
mereka bergerak terlihat bahwa salah satu sosok adalah seorang
wanita. Hal ini terlihat dari bentuk tubuh dan juga rambutnya
yang panjang. Sosok yang lain seperti seorang laki-laki tua. Selain
itu terdapat persamaan di antara keduanya. Keduanya memancarkan
seperti cahaya hijau muda. Bukan dari busana mereka, melainkan
cenderung dari bagian-bagian tubuhnya.
"Happ! Deggg!!" tiba-tiba lelaki tua itu memasukkan tendangannya
dan juga pukulannya pada sang wanita. Wanita itu terlempar mundur
beberapa langkah. Tetapi tidak terjatuh. Melainkan melayang ringan
bagai bulu yang tertiup angin. Melayang dan turun dengan halusnya
di atas kedua kakinya. Kembali dalam posisi siap menyerang.
273 Lelaki itu setelah melepaskan serangannya terlihat seperti terhuyung.
Membuang tenaganya dalam satu serangan. Akan tetapi alih-alih
ia terhuyung gerakannya malah tambah kuat. Mengendap ke bumi.
Mengalir seperti air. Keduanya kembali berhadapan. Berdiri satu di depan lainnya. Menimbang-
nimbang serangan apa yang akan dikeluarkan. Menilik dari serangan
tadi, keduanya bersumber pada elemen alam yang sama. Air. Suatu
cara pengaturan tenaga yang mengalir. Luwes. Menuju ke pusat
bumi akan tetapi tidak kaku. Keras tetapi tidak getas. Lentur dan
membaur. Air. Lantang yang tadi melihat dari jauh, begitu tertariknya ia sehingga
tak sadar ia telah berada di atas pulau delta itu. Entah bagaimana
caranya. Sekarang ia hanya berada dua tiga tombak jauhnya dari
kedua orang yang masih berdiri berhadapan itu.
Sekarang lebih jelas dilihatnya bagaimana sosok dan perawakan kedua
orang itu. Kedua orang itu ternyata orang-orang yang telah dikenal
dan pernah ditemuinya. Xyra sang Undinen dan pak tua yang tadi
siang menerima pemberian bekalnya yang sederhana.
Tapi apa maksudny ini" Mengapa keduanya berseteru" Belum habis
Lantang berpikir tentang apa-apa yang bisa menjadi sebab, keduanya
telah kembali berlaga. Bergerak dengan halus dan cepat. Mencari-cari
posisi yang lowong untuk melemparkan sekepal dua kepal pukulan.
Lantang yang dapat merasakan himpitan aura dingin dari keduanya
menyadari bahwa pertarungan ini sungguh-sungguh. Keduanya in-
gin mengalahkan yang lain. Ia merasa bahwa ia harus mencegah-
nya. Mencegah pertarungan ini berlanjut, sebelum salah seorang dari
mereka tersungkur di atas tanah.
Tanpa lebih jauh mempedulikan apakah tindakannya itu berbahaya
atau tidak bagi keselamatan dirinya, Lantang langsung bergerka ke
tengah. Maksud ingin menengahi. Hanya saja saatnya tidak tepat. Ia
menyelak masuk saat kedua orang yang sedang bertempur itu sedang
melepaskan masing-masing pukulan mereka.
"Deggg! Dess!!" keduanya pun terkejut melihat ada seorang di tengah-
tengah mereka. Seorang yang malah menjadi sasaran pukulan ked-
274 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
uanya. Selanjutnya gelap pandangan Lantang. Kesadarannya pun
mulai perlahan-lahan menghilang.
Dirasakannya tubuhnya sakit-sakit saat ia mulai tersadar kembali.
Keningnya pula dirasa berdenyut-denyut pusing. Secarik kain yang
dibasahi meringankan sedikit rasa sakitnya. Terlihat seorang tam-
pak meletakkan kain basah itu di keningnya. Sementara seorang lain
tampak sedang memasak sesuatu. Sesuatu yang tercium lezat dari
aromanya yang mengambang di udara.
Xyra. Pak Tua. Kedua orang yang ada di dalam mimpinya tadi
tampak di hadapannya. Xyra tampak menguatirkan dirinya den-
gan sesekali menyeka keningnya. Sementara Pak Tua masih sibuk
mengaduk-aduk kuali yang sedang dijerangnya di atas air.
Lantang berusaha untuk bangun. Tapi tak ada tenaga. Rasa sakit
ditambah dengan kehilangan tenaga membuatnya tak dapat bangkit.
Selain itu dengan isyarat tangannya Xyra mengatakan bahwa se-
baiknya ia tetap dalam posisi berbaring. Akhirnya Lantang pun
mengiyakan. Lagi pula tak ada yang dapat ia lakukan. Masih bingung
dirinya mengenai apa yang baru terjadi. Apakah tadi itu benar-benar
terjadi atau hanya mimpinya saja. Seingatnya ia tadi tertidur sehabis
makan siang. Sehabis Pak Tua itu meninggalkan dirinya.
*** Paras Tampan hanya bisa menghela nafas menyaksikan desa tempat ia
dilahirkan yang sekarang telah menjadi sebuah kota, Kota Luar Rimba
Hijau, menjadi puing-puing. Hancur tak tersisa.
Saat ia tiba di sana asap dan api telah lama berlalu. Sebagian mayat-
mayat telah dikuburkan, tapi belum semuanya. Sebagian besar pen-
duduk entah mati atau mengungsi. Hanya yang tersisa berupaya un-
tuk menguburkan. Semampunya, agar bau busuk mayat tidak men-
gudara dan menjadi sebab penyakit bagi yang masih hidup.
Paras Tampan tanpa banyak berucap langsung saja membantu para
penduduk yang tersisa membenahi kota mereka. Beberapa orang tua
yang ada masih mengenalinya. Para muda-muda merasakan wajahnya
yang asing. Beberapa tahun di Rimba Hijau dan juga perkembangan
kota yang pesat melahirkan penduduk-penduduk baru yang berpindah
275 dari satu tempat ke tempat lain. Tidak terkecuali Kota Luar Rimba
Hijau. Jadi masuk akal banyak orang-orang baru yang tidak mengenal
dirinya. Hanya tua-tua yang tahu dan dulu hadir saat mereka mulai
belajar ke Rimba Hijaulah tahu dan masih mengenal dirinya.
Setengah hari telah dihabiskan Paras Tampan untuk membongkar
bagian-bagian rumah yang dibakar untuk mencari-cari apa ada mayat
yang tersembunyi di bawahnya. Tak terasa ia akhirnya mencapai su-
atu bangunan yang cukup luas. pekarangan di dalamnya. Walaupun
telah terbakar habis akan tetapi masih memperlihatkan bentuknya
yang kokoh dan kaku. Suatu perguruan beladiri. Di dalamnya ia
melihat tiruan dari portal Rimba Hijau lengkap dengan ukiran-ukiran
di keempat sisinya. Juga lubang-lubang bendera atau panji-panji di
atas keempat pinggirnya. Siapa gerangan yang membangun tempat ini" Apakah.."
Pertanyaanya terjawab tak lama kemudian saat ia memasuki bangu-
nan kayu yang sudah rusak sebagian dimakan api dan terbasahkan
hujan itu. Di salah satu dinding yang masih tersisa dari amukan api, ia melihat
sebuah papan yang berisikan tulisan-tulisan nama-nama orang-orang
yang terdaftar di perguruan beladiri itu. Dibacanya perlahan-lahan
dari bawah ke atas. Tiba-tiba perasaannya seperti tercekat. Ya, nama-nama yang tertulis
di sana dikenalnya. Para pengajar di sana adalah rekan-rekannya yang
tidak beruntung karena tidak diijinkan untuk mengikuti ujian akhir
di Gunung Hijau. Mereka adalah orang-orang yang telah pulang ke
Kota Luar Rimba Hijau. Dan di sebelah kanan dari nama-nama itu tertulis pula nama-nama
seperti Rintah, Misbaya, Gentong, dan lainnya. Orang-orang yang
telah berhasil mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau, akan tetapi
telah menghadap kepada Sang Pencipta akibat ulah Perguruan Kapak
Ganda. Tak terasa menetes sedikit air mata di ujung-ujung pelupuk
mata Paras Tampan. Sedih dan sunyi. 276 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Saat ini hanya tinggal ia satu-satunya yang telah masih hidup dari
turun gunung. Sebenarnya masih terdapat dua orang rekan putrinya,
yaitu Kirani dan Rantih. Akan tetapi ia tidak tahu di mana keduanya
berada. Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki pun tidak
tahu perihal mereka. Semoga saja mereka berdua masih hidup dan
sehat. Setelah cukup lama termenung, Paras Tampan pun mengambil papan
daftar nama-nama murid-murid perguruan itu. Di bagian paling atas
tertulis pula Ki Tapa. Guru mereka semua. Walaupun Ki Tapa tidak
memperbolehkan Rimba Hijau dinamakan sebagai suatu perguruan
beladiri, akan tetapi murid-muridnya yang tidak lulus ujian akhir dan
membuka perguruan ini masih mempergunakan namanya sebagai guru
besar. Sebagai suatu penghormatan saja.
Dengan menyematkan tali pada kedua ujung papan yang panjangnya
sekitar tiga perempat tombak dengan lebar dua telapak tangan dira-
patkan itu, Paras Tampan kemudian menggantungkan papan daftar
nama itu di punggungnya. Ia akan membawa-bawa papan itu sebagai
kenangan atas teman-temannya dan juga gurunya. Mereka yang telah
menjadi korban pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda.
Saat keluar dari reruntuhan dan puing-puing perguruan itu, sesosok
orang tua menyapanya. "Nak.., nak Paras Tampan kan?" tanyanya sambil menyebutkan nama
orang tua dan adiknya. Paras Tampan hanya dapat mengangguk. Ia tadi telah terlebih dahulu
mengunjungi makam kedua orang tua dan juga adiknya. Beruntung
bahwa mereka telah dimakamkan dengan baik oleh orang-orang kota
yang tersisa. Masih banyak korban yang belum ditemukan dan di-
makamkan dengan baik. "Bibi Antini.., bagaimana kabar Paman Baja..?" tanya Paras Tampan
sekenanya. Ia tidah tahu harus berkata apa. Apapun yang ditanyakan
pastilah akan membangkitkan kesedihan orang-orang di sekitar sini.
Tak terkecuali sosok perempuan tua itu, Nyi Antini.
Nyi Antini hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Aku
tidak tahu bagaimana kabarnya, nak Paras Tampan.. Saat terjadi
277 pembumihangusan itu, ia dipaksa ikut oleh mereka, untuk membuka
jalan di Rimba Hijau. Bibi masih selamat karena sempat disuruh
olehnya untuk bersembunyi di dalam kolam ikan. Berendam semala-
man." Lalu diceritakannya bagaimana peristiwa yang dialami oleh Ki Baja
dan Nyi Antini itu. Pada mulanya orang-orang Perguruan Kapak
Ganda datang dengan baik-baik dan mencari orang-orang yang tahu
mengenai penguni Rimba Hijau. Sudah pasti mereka adalah Ki Tam-
par dan Ki Gisang. Dengan alasan bahwa mereka membutuhkan perte-
muan itu dikarenakan adanya suatu keperluan. Akan tetapi keperluan
itu tidak mau mereka ungkapkan. Biar saja nanti dikatakan langsung
pada para penghuni Rimba Hijau, begitu kata mereka seperti ditirukan
Nyi Antini. Ki Baja yang pernah mendengar mengenai Perguruan Kapak Ganda,
menjadi curiga karena sepengetahuannya perguruan bela diri itu
bukanlah suatu perguruan baik-baik. Mereka sering berbuat semena-
mena hanya untuk mencapai tujuan mereka. Ia pun kuatir apabila
terjadi sesuai dengan kota mereka. Langsung diceritakan hal itu
kepada kepala desa Ki Surya. Akan tetapi hal itu tidak digubris.
Melainkan mereka menyambut dengan ramah rombongan yang datang
itu. Padahal mereka telah datang dengan persenjataan lengkap.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih merasa kuatir Ki Baja pun langsung pulang ke rumahnya. Dis-
uruhnya istrinya, Nyi Antini untuk bersembunyi. Dan dikarenakan
rumah mereka memang keci dan tidak ada tempat untuk bersem-
bunyi, dimintannya istrinya untuk bersembunyi di kolam ikan. Beren-
dam dengan menggunakan batang-batang rumput yang cukup besar
agar dapat bernafas. Diperintahkannya untuk diam di sana sampai
keesokan harinya. Patuh pada perintah suaminya, Nyi Antini pun
melaksanakan hal itu. Akibatnya ia selamat, sedangkan suaminya hi-
lang entah ke mana. Dari orang-orang yang hidup ia memperoleh
keterangan bahwa Ki Baja termasuk orang-orang yang dibawa hidup-
hidup oleh rombongan itu ke Rimba Hijau, untuk "dimintakan ban-
tuan" membuka jalan.
Berendam semalaman bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan selu-
ruh tubuh barada di dalam air. Dingin dan basah. Belum lagi ia
mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati dari orang-orang
278 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
yang dibantai oleh Perguruan Kapak Ganda. Suara-suara minta am-
pun yang tidak digubris oleh sang eksekutor. Tangis dan rintihan pun
membumbung langit meninggalkan kepedihan bagi yang masih hidup,
yang luput dari peristiwa itu karena bisa bersembunyi atau tidak di-
anggap oleh para penyerang.
Tiba-tiba "byurr!!!", hampir menjerit Nyi Antini karena terdengar je-
buran air dan sebuah benda terlempar dekat dengan dirinya. Sesosok
mayat dengan luka di mana-mana. Memerah. Membuat air di ko-
lam tersebut mulai berwarna. Menyebarkan amis darah. Hampir
pingsan Nyi Antini menyaksikan itu. Hanya dengan menguatkan diri
ia bisa bertahan hidup dengan tidak berteriak atau keluar dari tempat
persembunyiannya. Wajah Paras Tampan tampak membeku. Mengeras. Tangannya
mengepal keras. Ia benar-benar tergores hatinya mendengar kekeja-
man dari para pembantai itu. Apalagi yang menceritakannya adalah
orang yang cukup dengan dengannya. Nyi Antini. Sisa orang-orang
yang terselamatkan dari peristiwa itu.
Sebentar Paras Tampan menunggu Nyi Antini yang melepaskan be-
bannya dengan bercerita. Terlihat akibat peristiwa yang mengerikan
itu, Nyi Antini tampak bertahun-tahun menjadi lebih tua. Lebih
tua dari umur sebenarnya. Sudah tentu diakibatkan oleh himpitan
perasaannya yang timbul dari peristiwa itu.
"Maaf nak Paras Tampan, bukan maksud bibi untuk berkeluh ke-
sah terhadapmu. Bibi kebetulan saja mendengar dari orang-orang
tentang adanya seseorang yang datang membantu mencari dan juga
menguburkan para korban di kota ini. Bibi pikir itu pastilah seorang
dari kami yang kebetulan saat itu tidak berada di sini. Harap-harap
itu Ki Baja...," tak dapat Nyi Antini meneruskan ucapannya.
Sedih Paras Tampan mendengar ucapan itu. Ia pun berjanji pada
dirinya sendiri untuk mencari keterangan mengenai bagaimana nasib
Ki Baja untuk disampaikan pada Nyi Antini. Bertambah satu pula
tugasnya, yang tadinya adalah hanya mengembalikan kitab-kitab yang
dikumpulkan oleh Maling Kitab, dan juga mencari kabar Kirani dan
Rantih. "Ada satu hal lagi, nak Paras Tampan," Nyi Antini berhenti sebelum
279 melanjutkan, "bibi tidak tahu apakah ini menggembirakanmu atau
sebaliknya..." "Katakanlah, bibi..! Tak ada lagi kiranya yang lebih buruk dari keny-
ataan saat ini di Kota Luar Rimba Hijau," ucap Paras Tampan sendu.
"Tunanganmu, Citra Wangi.., ia dan kedua orang tuanya telah lama
pindah dari sini. Ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ki Rapih, Nyi
Apik dan Citra Wangi tunanganmu selamat karena telah tidak tinggal
di kota ini lagi. Sudah kira-kira dua tahun yang lalu mereka pindah..,"
jelas Nyi Antini. Bergelora dada Paras Tampan mendengar hal itu. Ia sedari memasuki
kota ini belum mencari keterangan mengenai Citra Wangi dan kelu-
arganya. Kabar kedua orangtua dan adiknyalah yang pertama-tama
ia cari. Setelah itu membantu penduduk untuk menguburkan orang-
orang yang menjadi korban. Gembira ia mendengar kabar ini. Tapi
terselip pula rasa yang aneh. Rasa bertanya-tanya atas kepindahan
keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah.
Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya. Apakah mereka telah
melupakan pertunangan antara putri mereka dengannya" Atau
mereka tidak lupa, hanya saja pindah. Ia dan Citra Wangi yang telah
berjanji untuk bertemu, memang tidak melaksanakan janji mereka
saat ia menimba ilmu di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Tidak
mudah untuk melangsungkan pertemuan saat itu.
Melihat ekspresi Paras Tampan yang berubah-ubah, akhirnya Nyi An-
tini pun menambahkan, "Dari cerita para pedagang yang sering mam-
pir ke kediaman Ki Rapih di Kota Pinggiran Sungai Merah, Citra
Wangi masih sendiri. Belum menikah. Janganlah nak Paras Tampan
kuatir.." Sedikit merona wajah Paras Tampan mendengar komentar Nyi Antini.
Tidak seharusnya ia berpikir hal itu di tengah musibah yang menimpa
kotanya. Untuk menghilangkan jengahnya, ia pun berkata, "Bibi, apa
yang bisa saya bantu" Apakah rumah bibi masih baik?"
Nyi Antini hanya menggeleng. Lalu diajaknya Paras Tampan untuk
berjalan ke arah rumahnya yang tidak jauh dari sana.
280 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
*** Dua orang tampak sedang dalam perjalanan di antara batu-batu
yang menjulang menghutan di Padang Batu-batu. Seorang dari pada
mereka adalah laki-laki yang sudah terlihat tua dengan perawakan
yang kekar dan busana sederhana. Sedangkan yang lain adalah seo-
rang gadis muda dengan wajah yang manis. Rambutnya yang panjang
diikatnya dengan rapih dan diselempangkan di samping dada kanan-
nya. Pakaiannya ringkas tidak seperti kebanyakan pakaian mudi-mudi
yang penuh dengan pernak-pernik dan warna-warna. Busananya
berwarna cerah dengan hanya sebuah corak sulaman di dada kirinya.
Gambar bunga berkelopak lima berwarna merah tua.
Kedua orang itu tampak gembira dalam melakukan perjalanan.
Mereka berarah ke utara. Dari arah tengah Padang Batu-batu
menuju ke Gunung Berdanau Berpulau. Langkah keduanya ringan
dan mantap, menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang
cukup mempunyai ilmu. Entah mereka sadari atau tidak, tampak beberapa pasang mata
sedang mengintai mereka sejak memasuki suatu kawasan. Kawasan
di mana batu-batu yang menjulang tidak lagi berwarna abu-abu
melainkan hijau kehitaman. Gelap ditumbuhi oleh jamur-jamur dan
lumut yang tumbuh subur akibat diberi sesuatu. Racun.
Orang tua itu pun berkata kepada rekannya yang gadis muda, "Hati-
hati. Kelihatannya kita memasuki daerah yang ada pemiliknya. Batu-
batu ini terlihat tidak wajar." Sambil berkata demikian orang tua itu
mencium-cium batu-batu yang berwarna hijau kehitaman dalam jarak
sejengkal dari hidungnya.
"Hmmm..., racun hijau. Racun untuk menghitamkan batu-batuan
dengan menggunakan lumut dan jamur. Juga menumbuhkan lumut
khusus yang bisa menebarkan spora-sporanya ke udara," terang orang
tua itu. "Tapi apa bahayanya, guru" Kita toh sering menghirup spora dan ser-
buk sari tumbuh-tumbuhan saat bernafas. Begitu halnya pula sering
meminum sperma ikan-ikan saat kita minum air dari sungai..," jawab
sang gadis jenaka. Rupanya ia murid sang orang tua.
281 Tersenyum gurunya mendengar komentar muridnya. "Engkau benar,
muridku. Tapi spora ini lain. Jenis ini bisa menyebabkan halusinasi
sehingga engkau dapat bermimipi. Biasanya digunakan oleh rampok-
rampok atau jagal yang akan menghadang rombongan. Dengan cara
ini mereka tak perlu bekerja keras, karena yang akan dirampok sudah
takut lebih dahulu. Berhalusinasi betapa sangar dan mengerikannya
sang perampok." Muridnya menggangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. "Ada
penawarnya, guru?" "Hehehe, tentu saja ada. Dan amat mudah. Dibalik lumut itu sendiri
terdapat penawarnya." Lalu ia mengambil sejumlah lumut yang dise-
butnya akan menyebarkan spora ke udara, yang dapat membuat
orang berhalusinasi apabila menghirupnya. Dibaliknya lembaran
lumut itu sambil ditunjukkan butir-butir berwarna meran. "Ini,
ambil dan remas-remas dengan jarimu. Borehkan sedikit di dekat
lubang hidungmu. Ini akan menetralkan pengaruh spora-spora yang
memabukkan tadi." Muridnya pun melakukan hal yang dianjurkan oleh gurunya. Ked-
uanya sekarang tampak agak lucu karena di bawah hidung mereka,
di bagian di atas bibir yang terlihat cekung, terdapat warna-warna
merah. Borehan dari butir-butir kemerahan dari bawah lembaran lu-
mut tadi. "Kalau penawarnya sedemikian mudah, buat apa ditanam di sini
guru?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Tidak semudah itu, muridku. Tidak semua orang tahu bahwa pe-
nawarnya berada dekat dengan sumber racunnya. Ada pengujar tua
yang pernah berkata. Jangan cari jauh-jauh lawan suatu hal. Li-
hatlah di sekitarnya. Jika ada yang positif pasti ada yang negatif di
sekitarnya. Itulah alam. Amat indah dan seimbang." Ia pun berhenti
sebentar untuk kemudian melanjutkan lagi, "aku saja jika tidak diber-
itahu guruku tidak akan mengerti.."
Kata-katanya tidak diteruskan. Tangannya diletakkan di depan
bibirnya, mengisyaratkan agar muridnya diam dan mendengarkan.
Pendengaran mereka yang terlatih menangkap adanya gerakan-gerakan
di balik batu-batu yang hijau menghitam ditumbuhi jamur-jamur itu.
282 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Tiba-tiba di hadapan muncul tiga orang berpedang dan bertombak.
Ketiganya langsung menghadang perjalan kedua orang itu. Mengi-
syaratkan niat yang terasa tidak baik. Saat kedua orang itu memutar
badan hendak mundur ke arah semua mereka datang, tiga orang lain
tampak muncul dari arah yang berlawanan. Sekarang semuanya enam
orang. Mengepung dari kedua arah. Arah yang tersisa hanya diisi oleh
batu-batu menjulang. Rupanya mereka telah memilih tempat yang
strategis untuk melakukan pengepungan.
"Guru, bagaimana ini?" tanya sang murid.
Orang tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha
untuk menahan sabarnya. Jika kejadian ini terjadi dulu sekali sebelum
ia bertemu dengan seseorang. Sudah pasti terjadi hal yang amat akan
disayangkannya. Tetapi tidak saat ini. Ia telah berubah.
"Maaf, ki sanak sekalian, boleh saya tahu kenapa kalian menghalangi
perjalan kami guru dan murid ini?" tanyanya sopan kepada orang-
orang yang menghadangnya.
"Hehehe, kalian telah melalui wilayah kami. Batu Lumut Hitam.
Maka sudah sepantasnya kalian tinggalkan bekal kalian," ucap salah
seorang brewok dari mereka. Perawakannya yang besar menunjukkan
kemampuan "siknya dalam bertarung. Setidaknya mengayunkan
golok besar yang disandangnya.
"Tapi kami tidak punya apa-apa yang bisa ditinggalkan. Hanya bekal
makanan dan baju pengganti," ucap orang tua itu masih sabar.
"Jangan pura-pura orang tua! Siapa yang tidak bisa melihat bungku-
san panjang yang ada di belakangmu itu. Pasti itu suatu yang
berharga," bentak teman si brewok.
"Dan yang cantik ini, boleh juga ditinggal," ucap temannya yang be-
rada di belakang yang disambut dengan haha-hihi teman-temannya.
Merah padam gadis muda itu mendengar ucapan yang ditujukan
pada dirinya. Hanya isyarat gurunya saja yang masih membuatnya
sabar. Akan tetapi hawa tenaga telah dialirkannya dari pusar menuju
ke anggota-anggota tubuhnya. Siap untuk melontarkan sepukul dua
pukul tendangan dan pukulan.
283 Gurunya pun tak ada melihat ada pilihan lain, lalu katanya lirih, "En-
gkau ambil tiga yang di depan, biar aku yang di belakang. Sisakan
satu untuk penunjuk jalan."
Mengangguk muridnya mendengar usul gurunya. Memang orang-
orang seperti ini tidak boleh diberi ampun.
Untuk sedikih memecah perhatian gurunya tampak membuka bungku-
san panjang yang tadi disebut salah seorang dari mereka. Jika saja
mereka tahu apa isi bungkusan itu, pasti mereka tidak akan mem-
intanya. Dua buah pedang panjang. Sebuah untuk sang guru dan
sebuah untuk sang murid. Tak sabar melihat orang tua yang membuka bungkus itu perlahan-
lahan, seakan-akan ia memiliki seluruh waktu di bumi itu, salah seo-
rang penghadang menghardiknya, "Pak tua, cepat serahkan bungku-
san itu. Jangan lama-lama. Tidak sabar diriku ini!"
"Meregang nyawa kok terburu-buru sekali sih?" ucap orang tua itu.
"Heh, apa maksudmu, orang tua?" tanya balik orang itu.
Dengan gerakan cepat orang tua itu membuka bungkus dari benda
panjang yang ada di tangannya. Kain penutupnya ternyata memiliki
mekanisme sedemikian rupa, jika talinya ditarik, kainnya langsung
terbuk. Dengan lemas orang tua itu langsung mengambil salah satu
isi dari bungkusan kain itu dan melemparkannya pada muridnya, yang
langsung dengan sigap menangkapnya.
"Hey.., apa maksud kalian...?" belum selesai perkataan orang yang
bertanya tersebut, kedua orang itu langsung dengan cepat bergerak.
Menyerang. Mengayunkan barang yang tadinya terbungkus rapi tadi.
Dua buah pedang panjang. Pedang yang lebih panjang dari pedang
kebanyakan. Hampir dua kali panjang pedang biasa.
"Singg! Takkk!" pedang sang murid menghantam golok seorang
penghadang. Bergetar tangan yang memegang golok tersebut. Tak
disangkanya bahwa dara yang terlihat halus itu memiliki tenaga seran-
gan yang sedemikian kuat. Sementara lawan si orang tua dikarenakan
pengalamannya yang banyak dalam perampokan-perampokan sempat
menghindar mundur atas dasar naluri belaka. Salah seorang dari
284 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
mereka bertiga hampir saja kehilangan tangannya.
Melihat ini sadarlah orang-orang itu bahwa yang mereka hadang
bukanlah mangsa yang biasa. Ini adalah orang-orang yang punya
sedikit kepandaian. "Bagus! Ini bisa menjadi hiburan sebelum makan
malam," kata seorang dari mereka. "Bunuh!! Jangan biarkan seorang
pun hidup!" Mendengar aba-aba itu kelima rekannya langsung mengambil posisi
mengepung. Mengayun-ayunkan golok dan tombak mereka untuk
menghabisi kedua orang itu. Sang guru dan muridnya.
Guru dan murid itu tampak beradu pungguh melihat ke arah lawan-
lawannya. Lalu kata si orang tua, "Nah Sarini, ini kesempatanmu
untuk mencoba ilmu pedang panjangmu." Tersenyum murid yang
bernama Sarini itu. Ia telah melatih ilmu pedang panjang yang ditu-
runkan dari gurunya, Walinggih. Biasanya ia hanya berlatih dengan
gurunya atau batu-batu yang tidak bisa balas menyerang. Hari ini
ia mendapatkan kesempatan untuk bertarung dengan sesama manu-
sia. Bukan hanya itu, melainkan para perampok jahat, yang untuk
membasminya tidak perlu sungkan-sungkan.
Kedua orang itu, Walinggih dan Sarini tampak bergerak hati-hati.
Mereka menyadari bahwa orang-orang yang mereka hadapi ini tidak
terlalu tinggi ilmu silatnya, akan tetapi mereka adalah orang-orang
kasar yang sering merampok dan berbuat keji. Naluri mereka kadang
lebih baik dari keahlian seoran ahli silat. Seperti seekor binatang buas
yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan mangsanya. Kemam-
puan alamiah seorang pemangsa. Bangsa Penghadang. Orang-orang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penguasa dari daerah Batu Lumut Hitam.
*** Orang tua itu setelah menyendokkan sesuatu dari dalam panci yang
sedang dijerangnya di atas air, mendatangi Lantang yang masih ter-
baring ditemani oleh Xyra. Lalu katanya, "Minumlah! Air rebusan
akar-akaran ini akan membersihkan darahmu dan menyegarkan piki-
ranmu kembali. Sekarang jangan banyak pikiran dulu. Tenangkan
dirimu. Biarkan sahabatmu yang Undinen itu merawatmu. Ia telah
kupesankan caranya."
285 Mengangguk lemah Lantang mengiyakan. Xyra dengan cepat mener-
ima mangkuk yang diangsurkan oleh orang tua itu. Ditiupnya sedikit.
Dengan Tenaga Air ia bahkan dapat membekukan ramuan dalam
mangkuk itu, tetapi tidak. Lantang membutuhkan ramuan yang
suam-suam kuku. Tidak terlalu panas dan juga tidak dingin. Setelah
yakin akan panasnya, perlahan ia menuangkan ramuan itu ke dalam
mulut sang pemuda. Tampak kasih sayangnya dalam melakukan itu.
Penuh dengan kelembutan. Di seberang sana si orang tua tampak menghela napas menyaksikan
itu. Teringat ia akan nasibnya yang tidak lama bersama dengan orang
yang dicintainya. Dan ini dihadapannya tampak kasih sayang sesosok
Undinen kepada seorang manusia. Ia tidak tahu apakah bentuk kasih
itu dapat berlanjut. Bila tidak amat disayangkan, karena nasib anak
muda itu dapat mengikuti perjalanan hidup dirinya yang tidak menye-
nangkan. Selain itu ditemui pula adanya keanehan pada diri pemuda
itu. Keanehan yang berkaitan dengan peredaran hawa dalam tubuh-
nya. Kelainan itu pula yang menyebabkan sang pemuda mengalami keti-
daksadaran sehingga perlu untuk diberi ramuan. Akan tetapi ramuan
itu belum untuk menyembuhkan, melainkan untuk menyadarkan saja.
Sebelum tahu sebabnya, suatu penyakit sulit untuk disembuhkan.
Setelah diberi obat dan dibelai-belai dengan syang oleh Xyra, Lan-
tang pun merasa nyaman dan dapat tidur. Tak lupa Xyra menye-
limuti dirinya dan menunggu di sisinya. Tak dihiraukan orang tua
yang meletakkan makanan di hadapannya. Sebelum Lantang sehat,
tak ingin Xyra bersantap. Undinen memilik tubuh yang berbeda den-
gan manusia. Mereka dapat bertahan lama dalam air dan bahkan
tanpa makanan. Oleh sebab itu ia lebih berkonsentrasi pada kesem-
buhan Lantang ketimbang dirinya sendiri.
Pagi pun datang menjelang. Lantang telah merasa sehat kembali. Ia
bangun dan melihat Xyra tampak tertidur di sisinya dengan masih
memegang kain yang digunakan kemarin untuk menyeka keringat di
dahinya. Ia tampak tertidur dengan nyenyak. Entah sampai kapan
Undinen itu berjaga untuk Lantang. Diambilnya selimutnya untuk
ditutupkan pada tubuh Xyra, walapun mereka lebih tahan dingin ke-
timbang dirinya. 286 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Tak dilihatnya orang tua yang memberinya obat. Akan tetapi dite-
muinya sebuah mangkok besar berisi rempah-rempah dan ubi dan pe-
san agar ia memakan makanan itu. Makanan yang telah dibubuhi
obat-obatan untuk kesembuhannya.
*** Bertarungan pun berjalan dengan seru. Keenam orang perampok itu
tidak bisa berbuat banyak terhadap kedua orang guru dan murid itu.
Pertahanan mereka rapat dan saling melindungi. Bahkan kadang-
kadang pedang panjang keduanya colak-colek tubuh mereka sehingga
lepasnya nyawa tinggal berbeda beberapa jari saja.
Ada hal yang masih meragukan Walinggih untuk turun tangan mena-
matkan riwayat orang-orang jahat itu. Entah apa.
"Kamu ingat gerakan yang pernah engkau coba untuk mengalahkan
Telaga?" tanya Walinggih pada muridnya Sarini.
Sarini hanya mengangguk. "Cobalah pada mereka, jatuhkan pedangmu! Mereka pasti berpikir
bahwa lebih mudah mengalahkanmu tanpa pedang...," usul gurunya.
Ia ingin melihat hasil latihan muridnya dalam situasi sebenarnya.
Menghadapi Telaga, Sarini telah berhasil memanfaatkan hasil latihan-
nya. Akan tetapi sekarang lain. Dulu Telaga boleh dikatakan orang
yang tidak akan menjatuhkan tangan jahat kepada orang yang tidak
dikenalnya. Tidak demikian dengan orang-orang ini. Orang-orang
yang memang kegiatan sehari-harinya adalah berbuat jahat. Men-
jatuhkan tangan kejam bukan pantangan bagi mereka.
Menghadapi suatu pertempuran yang menentukan hidup atau mati
memerlukan ketenangan. Walinggih ingin melihat sejauh mana murid-
nya dapat mengendalikan ketenangannya. Semakin baik orang da-
pat mengotrol dirinya, semakin besar kemungkinannya untuk menang.
Bahkan dalam berbagai situasi.
Setelah gurunya memberikan sedikit petunjuk mengenai kekuatan dan
kelemahan lawan-lawannya, Sarini pun maju sambil berkata dengan
lantang, "Saudara-saudara perampok, bagaimana bila kita main-main
tanpa senjata" Dan satu lawan satu?"
287 Tercengang juga beberapa orang perampok yang mendengar usul yang
diutarakan oleh dara itu. Sudah ada senjata di tangan malah in-
gin dilepaskan. Akibatnya beberapa di antara mereka saling menoleh
seakan-akan minta pendapat.
Seorang dari mereka akhirnya berkata, "Hehehe, mungkin ia ingin
berlama-lama bermain dengan kita. Ikuti saja maunya, toh enak juga
colak-colek sedikit" Ia mengatakan itu sambil menyeringai, membuat
wajahnya yang sudah mengerikan sebagai perampok menjadi bertam-
bah mengerikan. Terbahak-bahak rekan-rekannya mendengar komentar yang miring
itu. Segera mereka menyarungkan kembali senjatanya dan sebagian
dari mereka mengambil tempat untuk melihat pertarungan yang akan
berlangsung. Seorang dari para perampok tersebut, Rakrakrak, bertubuh gembul
dan berkulit agak gelap. Tingginya kira-kira sama dengan Sarini.
Rambutnya yang kaku menghiasi berdiri kepalanya. Mirip durian.
Ia menyeringai saat mengajukan dirinya sebagai orang pertama yang
akan menghadapi Sarini. Ia sudah membayangkan akan memegang-
megang dara cantik yang menjadi lawannya itu. Wajahnya memerah
dan napasnya memburu. Nafsu telah menguasainya. Kelembutan
tubuh Sarini dan lekuk-lekuk tubunya telah memenuhi ruang otaknya.
Kelembutan yang akan segera mengisi kedua tangannya yang besar-
besar. Sarini sedikit mengernyitkan hidungnya melihat orang yang men-
jadi lawannya. Orang dengan tenaga kasar yang besar. Repot juga
pikirnya. Orang seperti ini harus ditemukan dulu jarak serangnya
dan juga sudut mati serangannya, sehingga ia bisa membuatnya tak
mampu mengeluarkan gerakan yang mematikan.
*** "Petani ompong she Gu, jangan petantang-petenteng di depan kami!"
bentak seorang dari empat orang yang berhadapan dengan seorang
tua yang sedang senyam-senyum itu.
Keempat orang tersebut terlihat berwajah garang, bertubuh kekar
tinggi dan beperawakan kasar. Sebilah golok tampak tergantung pada
288 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
pinggang masing-masing dari mereka. Sedangkan si kakek sendiri tam-
pak lemah dan kurus. Bajunya sederhana tapi bersih. Sedikit tam-
balan tampak di sana-sini.
"Kalian Su-Mo (Empat Setan), apa maunya menghadangku di sini?"
alih-alih takut seperti kebanyakan orang bila bertemu denga Su-Mo, si
Petani Ompong she Gu tampak tenang-tenang saja. Malah senyum-
nya semakin berkembang dengan melihat semakin gelapnya wajah
keempat Su-Mo yang berusaha menahan marah.
"Orang she Gu, jangan banyak omong! Engkau tau sudah apa kesala-
hanmu. Engkau sudah mengasut para petani di desa sebelah timur
sehingga tak mau lagi menurut dan membayar pajak kepada kami,"
ucap seorang lain dari mereka. Kali ini yang berbicara adalah seo-
rang yang berwajah paling putih dari Su-Mo. Mereka, Su-Mo terdiri
dari empat orang yang dinamai dengan warna wajah masing-masing,
Pek-Mo, Hek-Mo, Huang-Mo dan Ceng-Mo.
"Engkau tentu Pek-Mo," ucap kakek Gu itu, "wabis wajahmu putih
pucat mirip mayat!" "Grrrhhg!" terdengar dengus marah Hek-Mo. Ia adalah seorang dari
Su-Mo yang paling tidak sabaran. Mendengar saudaranya dihina, ia
pun mendengus marah dan membuka serangan. Dibacoknya kakek Gu
itu dengan golok yang tadi bertengger dipinggangnya. "Wuttt!"
Saat ia melakukan serangan itu ketiga saudaranya tertawa-tawa mem-
bayangkan tubuh kakek Gu yang akan terbelah dua terbabat oleh golok
Hek-Mo. Tapi sayangnya perkiraan mereka keliru. Bukannya kakek
Gu yang terbelah, malah Hek-Mo yang tampak terpincang-pincang
memegangi telapak kakinya yg tampak biru legam.
Rupanya saat dengan yakinnya Hek-Mo membacok kakek Gu tadi,
ia tidak memperhatikan pertahanan tubuhnya. Kakek Gu dengan
santainya mengelak dari serangan golok tersebut, memutar tubuhnya
dan mejatuhkan tumitnya dengan tenaga penuh ke atas telapak kaki
Hek-Mo. Walaupun memakai alas kaki, akan tetapi dengan kuatnya
putaran tubuh dan juga tenaga yang disalurkan, tendangan cangkul
kakek Gu memberikan hasil yang telak.
"Bangsat, orang she Gu! Kubunuh engkau sekarang!!" erang garang
289 Hek-Mo. Tampak ia masih berusaha menahan rasa sakit dari telapak
kakinya yang dirasakan hampir remuk tersebut. Senut-senut rasanya.
Huang-Mo sebagai orang paling tua dari Su-Mo segera tangap bahwa
si kakek Gu bukanlah orang sembarangan. "Zahnloserbauer (Petani
Ompong) mari kita main-main sebentar!" Ia pun mengisyaratkan pada
ketiga saudaranya untuk segera mengepung Zahnloserbauer dari keem-
pat penjuru. "Hehehe, baru sekarang kudengar lagi orang menyebut Zahnloser-
bauer," ucap kakek Gu, tapi sekarang nada suaranya berubah keren.
Tidak lagi cengangas-cengeges seperti tadi. Tampak bahwa sikap tadi
bukanlah sikap kebanyakan dari pembawaannya.
"Su-Mo, bukanlah pembawaanku mencampuri urusan orang, tapi ke-
jadian kemarin dulu di desa sebelah timur sudah mengusik rasa ger-
amku." Tampak bahwa kali ini kakek Gu atau yang dikenal sebagai
Zahnloserbauer agak menahan amarahnya. Lalu lanjutnya, "orang-
orang yang sudah susah itu masih kalian haruskan untuk membayar
pajak tinggi kepada kalian, dengan alasan keamanan."
"Zahnloserbauer, apa urusanmu" Memang ada di antara orang-orang
di desa sebelah timur itu adalah sanak saudaramu" Jika ada tunjuk
yang mana, tidak akan kami tarik pajak dari mereka," ucap Huang-
Mo agak mengalah. Ia pernah mendengar kehebatan Zahnloserbauer
di suatu wilayah Alemania (Jerman), di mana ia mengalahkan be-
berapa orang Ritter (Ksatria Berbaju Besi) di sana. Giginya yang
ompong itu juga akibat ulahnya yang menantang orang-orang untuk
mengadu kekuatan mengangkat beban berat dengan gigi. Walaupun
berhasil, akan tetapi tak lama setelah itu beberapa gigi mukanya tang-
gal. Meskipun demikian para Ritter tak berani lagi berlaku sem-
barangn dengannya. Di sana julukannya adalah Ritter Zahnloser-
bauer. Gu Ming adalah nama kakek Gu sebenarnya. Keluarganya berasal
dari Jiangxi. Ia yang tidak suka keadaan pada saat itu kemudian
merantau ke mana-mana dan beguru pada banyak orang. Kemampuan
silatnya yang campur-campur menjadi ciri khasnya. Selain itu banyak
pula pengetahuan tentang luasnya dunia ini, yang memicunya untuk
merantau, diperoleh dari saudara tuanya, Gu Long, seorang pengujar
290 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
terkenal pada jaman itu. Panjang ceritanya sampai ia tiba di Tlatah Antara (Nusantara). Be-
rasal dari daerah sekitar Tlatat Tengah (Tiongkok) merantau sam-
Dendam Dalam Darah 1 Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare Sang Pembunuh 2
batu-batu itu, terciptalah sedikit air terjun dengan ketinggian satu-
dua tombak. Pagi hari itu Walinggih dan muridnya Telaga berada di sana. Wal-
inggih ingin menunjukkan sesuatu pada Telaga. Suatu fenomena alam
yang membuatnya menciptakan suatu gerakan silat dalam rangkaian
ilmu Pedang Panjangnya. "Mari..!" Walinggih sambil menggapai Telaga. Ia melompak ringan
dari satu batu ke batu lain. Tak lupa diberikan syarat agar Telaga
tidak menimbulkan banyak suara, agar apa yang diamati tidak men-
jadi takut dan hilang. Tak lama kemudian mereka tampak merebahkan dirinya di atas sebuah
batu ceper hitam di pinggir air terjun yang ada di sana. Percikan-
percikan air terasa menghujani mereka, membuat mau tak mau baju-
baju mereka menjadi basah. Walaupun merasa aneh Telaga masih
berdiam diri untuk mengikuti apa yang akan disaksikannya nanti.
Hening. Hanya terdengar deburan air-air yang berjatuhan akibat
gaya tarik bumi menghantam batu-batu dan rekan-rekan sesama air
dibawahnya. Tiba-tiba tampak kilauan-kilauan di udara jauh di sana. Mengam-
bang. Semakin lama semakin banyak sehingga membentuk kabut.
Bukan uap air atau pun butiran air. Seperti makhluk hidup. Kadang
padat di satu tempat kadang di tempat lain. Bergerak lambat
memenuhi ruang di atas suatu batu dekat dengan air terjun. Di
seberang dari tempat di mana Telaga dan Walinggih bersembunyi
mengamati. "Itu makanannya datang..," tunjuk Walinggih pada muridnya.
Telaga yang tidak mengerti berusaha memicingkan matanya agar da-
pat lebih jelas melihat. Tak disadarinya ia bergeser maju dengan
kepala yang agak meninggi. Tidak lagi ingat bahwa ia dan gurunya
harus bersembunyi untuk mengamati apa yang akan datang di se-
berang mereka. 242 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
"Huggg..!!" dengan cepat dan tiba-tiba Walinggih menekan punggung
muridnya agar kembali bertiarap sembunyi, supaya apa yang mereka
akan amati tidak terganggu. "Jangan ketahuan..!" ucapnya.
"Maaf, guru!" sahut Telaga lirih. Lupa apa yang telah dipesankan
gurunya sebelumnya saking tertariknya dengan apa yang dilihatnya
saat itu. Gurunya kemudian memberi isyarat dengan tangan untuk kembali
mengamati batu-batu yang ada di sana, yang dipisahkan oleh sungai
yang jatuh di antara mereka dan batu-batu itu.
Setelah agak lama kilauan-kilauan di udara, yang ternyata ada
serangga kecil-kecil yang memanfaatkan percikan-percikan air, beterba-
gangan, muncul makhluk hidup lain yang amat aneh. Belum pernah
Telaga melihat sebelumnya. Semacam kadal seukuran setengah tela-
pak tangan lebarnya, akan tetapi dengan panjang ekornya bisa satu
sampai satu setengah kali panjang tubuhnya. Hal lain yang mem-
buatnya terkagum-kagum adalah warna dari makhluk itu. Warna
pelangi. Warna kemerahan berada di kepalanya berangsur-angsur
berubah seperti pelangi sampai menjadi biru keunguan di ujung eko-
rnya. Benar-benar indah. Kadal Pelangi (Agama agama). Mereka
bergerak-berak, keluar dari sela-sela batu untuk mendaki batu men-
capai permukaan yang dekat dengan serangga-serangga yang sedang
menari-nari di udara. "Apa itu guru..?" tanya Telaga, "kita ke sini hanya untuk menyaksikan
itu..?" "Ssst..!" jawab gurunya sambil kembali memberikan isyarat untuk
kembali memperhatikan Kadal-kadal Pelangi itu.
Tak berapa lama berkumpul banyak kadal-kadat tersebut di atas
batu yang di atasnya menari-nari serangga-serangga yang membentuk
kabut keputihan saking banyaknya. Kemudian kadal-kadal itu mu-
lai meloncat-loncat menggapai serangga-serangga yang beterbangan
dengan moncongnya. Memangsanya. Rupanya saat itu adalah saat
mereka melaksanakan kegiatan makan mereka.
Berpuluh-puluh Kadal Pelangi berlompat-lompatan dengan indah.
Kadang ada yang sampai berjungkir balik. Anehnya mereka dapat
243 dengan mudah kembali lagi ke posisi semula di atas batu tanpa ter-
balik. Dan juga bagi Kadal Pelangi yang kebetulan berada pada
bebatuan yang tidak mendatar, melainkan miring, terjadi hal yang
sama. Mereka melompat dan kemudian kembali lagi ke tempat kira-
kira mereka awalnya berpijak. Entah bagaimana caranya, terlihat
seakan-akan mereka memiliki magnit pada tempat pijakannya semula.
Melombat ke atas dan kembali.
Setelah beberapa lama menyaksikan tingkah polah kadal-kadal terse-
but, Walinggih pun beranjak pergi. Digugahnya bahu muridnya agar
mengikutinya. Mereka pun meninggalkan dengan diam-diam kadal-
kadal tersebut yang masih melompat-lompat memangsa serangga-
serangga makanan mereka. Keduanya kembali berloncatan dari batu ke batu meninggalkan ceruk
atau jurang di mana terdapat air terjun tadi. Tak lama kemudian
sampailah mereka di pelataran batu yang cukup luas. Di sekelilingnya
masih tampak bebatuan menyemut dan meninggi. Suatu ciri khas
tempat di daerah Padang Batu-batu.
Walinggih pun mengambil suatu batu menonjol di tengah pelataran itu
untuk duduk. Tak lupa ia menyenderkan pedang panjang yang selalu
dibawa-bawanya. Telaga pun mengikuti dengan mengambil tempat
duduk di dekat gurunya. Di atas batu kecil yang lain.
"Bagaimana pendapatmu tengang Kadal-kadal Pelangi tadi?" pancing
gurunya. Ia ingin menguji kepekaan muridnya atas apa yang baru saja
mereka berdua saksikan. "Indah," sahut Telaga pendek. Lalu lanjutnya, "tapi ada yang mem-
bingungkanku, guru."
"Apa itu?" tanya gurunya. Ia berharap muridnya dapat menarik pela-
jaran dari gerakan-gerakan Kadal Pelangi yang melompat-lompat me-
mangsa serangga-serangga tadi.
"Gerakan mereka. Bagaimana caranya mereka bisa bergerak ke atas,
kadang terbalik akan tetapi dapat kembali pada kedudukannya semula.
Mantap dan kokok. Bahkan pada Kadal Pelangi yang berpijak di batu
yang miring," terang Telaga.
244 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Gurunya mengangguk-angguk. Puas ia melihat bahwa muridnya
menangkap sesuatu fenomena yang baru saja mereka saksikan bersama.
Alih-alih menerangkan dengan kata-kata Walinggih menarik keluar
pedang panjangnya, berjalan menjauhi tempat mereka duduk dan
mulai membuat suatu gerakan-gerakan pada daerah terbuka itu.
Pelan dan teratur, akan tetapi kemudian semakin lama gerakan-
gerakannya menjadi semakin cepat dan liar. Dan pada suatu saat,
setelah cukup mendapat kecepatan dan hawa, Walinggih melompat
ke atas terbalik. Menyabetkan pedangnya ke suatu obyek khayalan
di udara. Menyentakkannya kembali ke belakang. Dan berjungkir
balik kembali. Mendarat dengan kakinya kembali, ke posisi semula
di mana ia awalnya melompat. Dan tidak hanya itu, dengan me-
manfaatkan tolakan saat mendarat yang diolah oleh kakinya yang
berfungsi seakan-akan sebagai pegas, ia kembali melompat pada arah
yang berlawanan, menyabetkan pedangnya ke atas dan menghentak
kembali untuk mendarat ke tempat ia tadi melompat. Gerakan-
gerakan ini diulang-ulangnya beberapa kali, sempai hampir habis
napasnya. Akhirnya Walinggih pun berhenti. Berbutir-butir peluh nampak ber-
jatuhan dari sekujur tubuhnya. Rupanya diperlukan pengeluaran
tenaga yang cukup besar untuk mempraktekkan gerakan itu. Bagian
dari ilmu Pedang Panjang.
Ternganga Telaga melihat demonstrasi itu. Gerakan-gerakanya yang
mirip yang dilakukan oleh Kadal-kadal Pelangi tadi, saat mereka me-
mangsa serangga-serangga yang memenuhi udara.
"Guru, barusan tadi..," tanya Telaga yang tidak bisa menyembunyikan
kekagumannya atas gerakan gurunya tadi.
"Gerakan itu kunamai.. Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi," katanya
jenaka. "Mirip dengan kelakuan-kelakuan kadal-kadal yang baru kita
saksikan tadi." "Kupikir, dalam ilmu Pedang Panjang, hanya Sabetan Tunggal Men-
uai Dua saja yang paling ampuh. Yang barusan guru tunjukkan,
benar-benar lebih dari itu," ucap Telaga kagum.
"Sebenarnya juga tidak," jelas gurunya, "Sabetan Tunggal Menuai
245 Dua bisa dibilang merupakan gerakan mendatar dari Gerakan Kadal
Pelangi Makan Pagi yang geraknya hanya vertikal. Dengan tidak
meredam laju saat melakukan satu serangan, akan tetapi meman-
faatkannya. Membelokkannya pada arah yang berlawanan, sehingga
dapat membingungkan lawan. Selain itu pengguna gerakan juga tidak
harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga untuk membelokkan ger-
akannya secara drastis, karena sebenarnya hanya memutarnya saja."
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan penjelasan yang diberikan
oleh gurunya itu. "Mari," kata gurunya yang tidak memberikan kesempatan murid-
nya untuk lebih bertanya-tanya. Bagi Walinggih praktek melakukan
gerakan-gerakan lebih penting. Setelah bisa, baru perlu pemahaman
teoritis. Tidak ada gunanya teori bila tidak bisa melakukan prak-
teknya. Teori ada untuk menyempurnakan praktek dan bukan seba-
liknya. Walinggih pun kemudian menjelaskan pada Telaga muridnya bagaimana
Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi itu dilakukan. Pertama-tama
dibutuhkan dulu gerakan awal untuk membangkitkan hawa dan juga
kecepatan. Otot-otot manusia yang diciptakan tidak sama dengan
otot-otot Kadal Pelangi, dapat menyebabkan kerusakan atau kram
apabila dipaksakan mendadak untuk melakukan gerakan-gerakan
tersebut. Untuk itu Walinggih telah menciptakan gerakan-gerakan
pemanasan. Tapi jangan dikira gerakan pemanasan ini tidak berguna.
Gerakan pemasanan itu selain untuk pelemasan dan penghimpunan
hawa, juga berguna sebagai ilmu pertahanan diri. Membuat lawan
menjadi bingung karena sifatnya yang pelan akan tetapi kemudian
menjadi liar. Dengan susah payah Telaga berusaha memahami gerakan-gerakan
yang ditunjukkan oleh gurunya. Dicobanya menirukan dan melakukan-
nya. Lambat-laun dirasakan ada posisi-posisi yang enak untuk
diulang-ulang. Posisi-posisi ini membuatnya lebih mudah untuk
mengingat-ingat gerakan-gerakan yang dilakukannya.
Mengangguk-angguk Walinggih bahwa Telaga telah dapat sedikitnya
menyelami satu dari empat bagian ilmunya. Tinggal waktu yang
diperlukan untuk mematangkan gerakan-gerakan tersebut.
246 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Saat itu hari telah menjelang siang. Matahari telah tinggi di langit.
Waktu untuk mencari makan. Umumnya orang-orang di daerah itu
jika tidak mencari-cari sayur-sayuran di hutan, mereka menangkap
binatang-binatang yang ada. Tidaklah bisa disebut hutan, karena
tempat yang dimaksud masih didominasi oleh bebatuan dan hanya
sedikit pohon-pohon yang tumbuh di atas batu-batu yang memayungi
ruang di bawahnya, sehingga menjadi lebih teduh dan gelap.
Bagian 5 Yang Kembali dan Yang Tumbuh Siang itu Walinggih berencana untuk pergi ke Danau Genangan
Batu dan daerah sekitarnya untuk menangkap Keuyeup dan ikan
Julung-julung untuk dibuat Peyek. Jika beruntung ikan Beunteur
pun mungkin dapat diperolehnya. Ikan yang terakhir ini sering juga
disebut sebagai ikan kepala timah karena di kepalanya ada bagian
yang berwarna kelabu seperti warna timah pada umumnya.
Setelah berpesan agar Telaga kembali mengingat-ingat gerakan yang
baru saja diajarkannya Walinggih pun berlalu dari situ. Telaga masih
tampak berpikir keras untuk menuangkan ingatannya pada gerakan-
gerakan yang baru saja ditunjukkan gurunya itu.
*** "Sudah cukup kelihatannya Tenaga Air yang engkau pelajari, nak Lan-
tang," ucap Ki Sura, "sudah hampir tiga tahun engkau bersama kami
di sini. Sudah waktunya pula kita berpisah."
Menghela napas Nyi Sura mendengar perkataan suaminya, teringat ia
pada anaknya Telaga yang sedang merantau ke selatan. Entah kapan
mereka dapat bersua kembali. Dan anak ini, Lantang yang seolah-
olah sebagai pengganti Telaga, haruslah pula berpisah. Dan ini me-
mang kehendak suaminya, agar ia dapat meluaskan pengalamannya
247 248 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
dan juga sebagai pelaksanaan tugas dari gurunya, Rancana si Bayan-
gan Menangis Tertawa agar mencari dirinya setelah tamat belajar di
Pulau Tengah Danau di Gunung Berdanau Berpulau.
"Tapi guru berdua..," tak sanggup Lantang melanjutkan kata-katanya.
Rasa sayang kedua orang tua itu yang ditunjukkan saat mereka menga-
jarkannya Tenaga Air benar-benar telah menorehkan hubungan yang
lebih dari murid dan guru dalam hatinya. Berat rasanya apabila ia
harus berpisah dengan mereka.
"Kami akan baik-baik saja, tak perlu engkau kuatir, nak Lantang,"
Ki Sura berusaha berkata arif, menekan rasa harunya yang muncul
melihat keenganan sang anak untuk berpisah dari mereka. Mereka
berdua telah menganggap Lantang sebagai anaknya sendiri. Adik dari
Telaga. "Kamu tahu "kan, bahwa gurumu Rancana masih berupaya agar jalan
darahmu dapat berjalan lancar kembali. Ia mencari orang yang da-
pat menyembuhkannya. Konon kabarnya berdiam seorang keturunan
Petapa Seberang di timur sana. Rimba Hijau. Kemungkinan gurumu
bertandang ke sana..," jelas Ki Sura.
"Siapa nama orang yang tinggal di Rimba Hijau itu, ki?" tanya Lan-
tang. Ia belum pernah diceritakan gurunya bahwa ada tempat seperti
Rimba Hijau itu di timur.
"Orang-orang menyebutnya Ki Tapa," Nyi Sura yang menyahut.
"Kami dulu sekali pernah bertemu dengannya. Ia pernah menyem-
buhkan kami saat kami salah melatih Tenaga Air. Ilmu yang dikua-
sainya bersumber dari kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta.
Sebetulnya tidak ada hubungan langsung dengan Tenaga Air selain
pemanfaatan gerakan-gerakannya yang luwes seperti air mengalir.
Selain itu ia juga memiliki Jurus Air. Jurus yang berisikan gerakan-
gerakan yang memanfaatkan sifat-sifat air dalam gerakannya."
"Apakah Ki Tapa adalah saudara perguruan Ki dan Nyi Sura?" tanya
Telaga, "melihat bahwa nama ilmunya sama-sama menggunakan kata
"Air". Atau ada hubungan dengan guru Rancana, melihat ilmunya
bersumber dari kitab yang sama."
"Engkau memang cerdas, nak Lantang," jawab Ki Sura gembira, "akan
249 tetapi walaupun namanya sama-sama air, akan tetapi keduanya, Ju-
rus Air dan Tenaga Air tidak berhubungan secara langsung. Entah di
awal-awalnya. Kami berguru pada orang yang berbeda dan masing-
masing diwujudkan pada praktek yang berbeda. Jurus air adalah su-
atu ilmu beladiri, sedangkan Tenaga Air hanyalah ilmu hawa atau
tenaga dalam. Mengenai hubungan dengan gurumu, kami tidak tahu.
Lebih baik engkau tanyakan sendiri padanya nanti bila bertemu."
Mereka kemudian terdiam sejenak.
"Saat itu kami bertiga, kami pernah mencoba apakah Tenaga Air da-
pat digunakan dalam Jurus Air, ternyata bisa. Tapi tidak untuk semua
gerakan. Entah gerakannya yang tidak murnni ataupun tenagannya
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tidak murni. Karena buntu akhirnya kami pun tidak melan-
jutkannya," lanjut Nyi Sura saat melihat bahwa pandangan Lantang
masih mengisyaratkan kelanjutan dari kisah itu.
"Lalu bagaimana Ki Tapa itu dapat menyembuhkan guru berdua, apa-
bila ia tidak bisa Tenaga air?" tanya Lantang bingung.
"Memang ia tidak bisa Tenaga Air, akan tetapi dari gurunya ia mem-
peroleh ilmu pengobatan yang pada dasarnya diambil dari peman-
faatan energi dari empat elemen, yaitu air, tanah, udara dan api.
Dengan berbekal pengetahuan ini ia dapat mengobati luka dalam yang
kami derita," terang Ki Sura.
Lantang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. Suatu
hal yang menarik bahwa ada ilmu Tenaga Air dan juga Jurus Air.
Akan tetapi keduanya tidak berkaitan secara langsung.
"Jadi bagaimana rencanamu, nak Telaga" Apa akan langsung menyusul
gurumu ke Rimba Hijau atau hendak berputar dahulu menambah
ilmu?" goda Nyi Sura. Di masa mudanya Ki dan Nyi Sura ini juga
senang berpetualan merantau ke sana ke mari. Baru setelah seorang
berilmu tinggi meminta mereka menjadi pewaris Tenaga Air, mereka
berdiam diri di Gunung Berdanau Berpulau. Menunggu saat yang
tepat untuk mewariskan ilmu-ilmu mereka. Dengan adanya Telaga
anak mereka dan juga Lantang, sudah genap janji mereka bahwa
ilmu Tenaga Air harus diwariskan kepada dua orang. Untuk men-
jaga apabila satu diantaranya meninggal terlebih dahulu, yang lain
dapat menjaga dan mewariskannya pada orang yang bertulang dan
250 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
berperangai baik. "Janganlah kau goda nak Lantang ini," senyum suaminya, "biarlah ia
berputar-putar dulu baru ke timur. Anak muda harus menimba ilmu
dari menjalani kehidupan ini sendiri. Jangan kenyang hanya dengan
petuah-petuah teoritis akan tetapi miskin pengalaman dan praktek."
Kedua orang tua itu pun kemudian tertawa hampir bersamaan. Lan-
tang hanya tersenyum saja menyaksikan kelakuan kedua gurunya.
Meskipun mereka telah sama-sama berusia lanjut, tapi gaya dan cara
mereka bicara masih seperti orang-orang muda. Tidak terlalu terikat
akan adat sopan-santun kebanyakan orang.
Ki dan Nyi Sura pun kemudian berpesan apa-apa yang harus diper-
hatikan telaga di rantau nanti. Jangan mencari-cari masalah, karena
hal itu tidak baik. Selain itu pula ia belum dapat menggunakan tenaga
dalamnya. Walaupun telah dilatih Tenaga Air oleh Ki dan Nyi Sura,
dan juga Jalan Selaras dengan Alam Semesta oleh Rancana, Lantang
hanya dapat menggunakan tenaga kasarnya dan tidak tenaga yang
terhimpun di pusarnya. Ada suatu sebab, yang belum diketahui yang
menghambat aliran hawa dalam tubuhnya. Selain itu Ki dan Nyi
Sura, kedua gurunya pun berpesan agar jika bertemu dengan Telaga,
menyampaikan rasa kangen dan sayang dari mereka.
Lantang mengangguk-angguk mengiyakan apa-apa yang dipesankan
kepadanya. Ia akan pergi dari pulau itu keesokan paginya. Pagi-
pagi sekali. Kepada kedua gurunya ia pamit saat itu juga karena
mereka biasanya pada saat pagi-pagi seperti itu sedang tenggelam
dalam samadinya, dan baru beranjat menjelang tiga perempat siang.
Hanya satu ganjalan yang masih ada ada di hati Lantang, yaitu Xyra.
Xyra adalah seorang atau sesosok Undinen yang telah akrab dengan
dirinya sejak semula ia datang ke tempat ini, Pulau Tengah Danau.
Dengan bantuan Xyra Lantang dapat lebih cepat memahami Tenaga
Air. Xyra sebagai makhluk yang termasuk dalam Roh-roh Air memi-
liki Tenaga Air dalam dirinya secara alamiah. Ia dapat dengan mudah
membangkitkannya dan menunjukkannya pada Lantang, sehingga pe-
muda itu dapat merasakan dan mencoba untuk menirukannya, walau
di dalam bawah sadar, mengingat ia tak mampu untuk mewujudkan-
nya karena aliran darahnya masih tersumbat.
251 Ki dan Nyi Sura telah dapat menemukan suatu cara agar Lantang
yang jalan darahnya tersumbat dapat masih mempelajari Tenaga Air,
yaitu melalui mimpi. Dalam mimpi dapat dibangun jalan darah-jalan
darah khayalan yang lancar dan dapat diatur sesuka hati. Dengan cara
ini pengetahuan Lantang mengenai Tenaga Air dapat dilatih. Dewasa
ini mungkin mirip dengan apa yang dikenal orang sebagai simulator.
Xyra pun berdasarkan kemampuan alamiahnya dapat berhubungan
dengan Lantang melalui mimpi. Ia dapat menunjukkan bagaimana
corak-corak aura dari Tenaga Air pada berbagai keadaan dan posisi.
Dengan kerja sama ini, Lantang memperoleh kemajuan pesat akan
pemahaman terhadap Tenaga Air. Lebih alami dibandingkan Ki dan
Nyi Sura. Dan sekarang Lantang hendak meninggalkan tempat ini. Sudah terasa
berat untuk berpisah dengan kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Terasa
pula berat untuk berpisah dengan Xyra, sesosok yang boleh dikatakan
teman main seumurnya di tempat itu. Ia tidak tahu bagaimana harus
mengatakan hal ini kepadanya.
Perlahan ia berjalan mencoba untuk mencari-cari kata-kata yang bisa
diucapkan pada Xyra bahwa kepergiannya ini bukanlah selamanya.
Suatu saat ia mungkin kembali. Dan mereka dapat kembali bersua.
Tapi sampai di ceruk di bawah Sungai Batu Hitam, tak satu pun kata-
kata untuk perpisahan itu yang dapat ditemuinya. Lantang tak tahu
apa yang harus dikatakannya pada Xyra, Undinen temannya mengenai
kepergiannya itu. Sesampainya di sana tak dijumpainya kawannya itu. Aneh. Biasanya
pada waktu-waktu seperti ini Xyra pasti menantinya di sana. Untuk
kemudian berlatih bersama-sama Tenaga Air sampai menjelang dini
hari. Berlatih dalam mimpi Lantang.
Lantang pun berusaha memanggil-manggil, dikerahkannya suaranya.
Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya ia pun duduk terpekur. Biarlah
pikirnya, ini pun lebih baik. Ia tidak harus menjelaskan hal yang
sulit itu kepada Xyra. Mungkin nanti Ki dan Nyi Sura yang dapat
menjelaskannya. Setelah mantap dengan apa yang dipikirkannya Lantang pun mulai
berkemas. Barang-barang miliknya tidak banyak, sehingga tidak dibu-
252 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
tuhkan banyak waktu untuk mengumpulkannya. Setelah selesai hari
pun telah menjelang senja. Ia pun beranjak kembali menemui Ki dan
Nyi Sura untuk makan malam. Setelah itu ia akan menghabiskan
waktunya untuk Mengheningkan Cipta dan tidur sampai besok pagi.
Mempersiapkan "sik dan juga batinnya untuk perjalanan nanti.
*** "Anakku Nah, perhatikan apa yang bisa aku lakukan dengan benda-
benda di atas meja ini!" ucap Seh Pratahu pada anaknya Nah Pratahu.
Ia berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menunjuk pada sebuah
batu yang ada di hadapannya. Batu itu tambak bergerak sedikit,
berputar. Lalu naik ke udara dan kemudian kembali menyentuh meja.
Setelah itu Seh Pratahu menunjukkan jarinya ke pada sebuah kertas
yang terletak di atas meja itu, kertas itu bergerak-gerak seakan-akan
tertiup angin, dan mendadak "wwwwrrrrt!" kertas itu pun terbakar.
Terlonjak Nah Pratahu menyaksikan hal itu. Tak percaya diham-
pirinya kertas yang telah menjadi hitam itu. Remah-remah gosong
tampak menghiasi tangannya.
Belum selesai dengan demonstrasinya, Seh Pratahu kemudian kem-
bali menunjukkan jarinya kepada sebuah gelas yang berisi air, lama ia
berupaya berkonsentrasi, sampai akhirnya dimintanya anaknya untuk
menuangkan air dari dalam gelas itu keluar. Tidak berhasil. Alih-alih
mengalir, air dalam gelas itu telah membeku semuanya. Menjadi es.
Kekaguman terpancar dari wajah Nah Pratahu menyaksikan kebisaan
ayahnya dalam memanipulasi keadaan dari obyek-obyek di sekitarnya
yang berkaitan dengan sifat empat elemen.
"Ini namanya Hawa Pikiran (telekinetik), dengan hanya berpikir en-
gkau dapau melakukan sesuatu. Membuat api, membekukan air, men-
gangkat benda-benda dan bahkan bergerak cepat atau menghilang."
Seh Pratahu kemudian menjelaskan hal-hal lain yang bisa dilakukan
dengan menggunakan kekuatan otak atau pikiran.
"Tapi ayah.., apa bedanya dengan Hawa Tenaga Dalam " yang juga
bisa membuat orang berlari cepat dan memukulkan hawa dingin dan
panas?" tanya anaknya ingin tahu. Dari buku-buku yang dibacanya,
Nah Pratahu telah mengenal ilmu-ilmu yang dituliskan oleh para Pen-
253 gujar Tua, ilmu-ilmu tenaga dalam dan bela diri yang amat ajaib bagi
telinganya. "Pada prinsipnya sama. Keduanya memanfaatkan energi dari empat
unsur yang ada di alam, yaitu Unsur Air, Unsur Api, Unsur Angin
dan Unsur Tanah," jelas sang Ayah, "hanya saja Hawa Pikiran tidak
melatih otot-otot untuk mengerakkan energi-energi tersebut melainkan
hanya pikiran. Lain dengan ilmu beladiri yang membangkitkan energi
dari empat elemen dengan perantaraan hawa dari pusat. Suatu tandon
sumber tenaga, kira-kira empat jari di bawah pusar."
Mengangguk-anguk Nah mendengarkan petuah dari Seh mengenai
perbedaan dari Hawa Pikiran dan Hawa Tenaga Dalam. Dikatakan
pula bawa Hawa Tenaga Dalam digerakkan pula oleh pikiran tapi
hanya dalam perputarannya di dalam tubuh tidak diluarnya. Untuk
mengeluarkannya dibutuhkan gerakan-gerakan tertentu. Lain den-
gan Hawa Pikiran yang tidak membutuhkan gerakan-gerakan tertentu
untuk memanifestasikan energinya di luar tubuh.
Seh pun kemudian mengajari bagaimana Nah dapat mempelajari pen-
golahan Hawa Pikiran sehingga ia dapat memanfaatkan energi-energi
dari empat elemen untuk memanipulasi benda-benda di sekitarnya.
Selain itu Seh mengajarkan pula apa yang disebut melihat Hawa
Getaran (aura) yang ada atau dimiliki oleh setiap benda mati ataupun
hidup. Hawa Getaran ini merupakan sifat alamiah dari benda-
benda. Dengan mengetahui Hawa Getaran dari sesuatu kita bisa
mengetahui sifat-sifatnya, tanpa perlu mendekati atau menyentuh-
nya. Informasi mengenai sifat-sifat ini telah dipancarkan melalui
Hawa Getaran. Untuk manusia sifat-sifat ini meliputi pribadi dan
keadaan emosinya. Dengan cara ini misalnya kita bisa tahu keadaan
hati sesorang walaupun ia tidak mengetahuinya dari Hawa Getaran
yang dipancarkannya. Seh kemudian menceritakan bahwa manusia pada lahirnya memiliki
kemampuan untuk melihat Hawa Getaran secara alamiah, akan tetapi
semakin dewasa dengan semakin bergantungnya orang pada pengli-
hatan akan benda-benda disekitarnya, semakin berkurang kemampuan
mereka untuk melihat Hawa Getaran itu. Anak kecil adalah tingkatan
awal di mana ia dapat melihat Hawa Getaran ini. Kadang orang tidak
254 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
mengerti mengapa ada orang yang disukai oleh anak kecil akan tetapi
ada orang yang dijauhi atau bila ia mendekat, maka anak kecil terse-
but akan menangis. Hal ini dikarenakan anak kecil yang masih da-
pat melihat Hawa Getaran dari orang itu, tidak menyukai warnanya.
Atau dengan kata lain Hawa Getaran orang tersebut tidak cocok atau
menyakiti Hawa Getaran si anak, entah dengan sengaja atau tanpa
sepengetahuan orang itu sendiri.
Pengujar-pengujar Tua yang dikenal sebagai orang-orang suci umum-
nya mempunyai Hawa Getaran yang gemilang dan berwarna emas.
Sedangkan orang-orang yang kurang baik atau mengikuti hawa naf-
sunya umumnya memiliki Hawa Getaran yang kelam dan dingin
menakutkan. Dengan melatih Hawa Getaran seseorang dapat meng-
gunakannya untuk mengintimidasi orang lain. Ini biasa digunakan
oleh petarung-petarung wahid yang bisa menang sebelum bertanding,
karena lawannya telah keder duluan. Secara sadar atau tidak mereka
telah menggunakan Hawa Getaran, walaupun mereka ataupun lawan-
nya tidak bisa melihatnya sendiri melainkan hanya merasakan.
Dengan melatih mata untuk melihat warna-warna dari Hawa Getaran,
pukulan-pukulan Hawa Tenaga Dalam dapat dilihat dan juga ram-
batan energi Hawa Pikiran. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan se-
bagai suatu bentuk ilmu pertahanan diri.
"Lalu bagaima cara kita melatihnya, ayah?" tanya Nah amat tertarik.
Ia baru kali ini mendengar apa yang disebut sebagai Hawa Getaran
dan bagaimana cara melihatnya.
"Caranya tidak terlalu sulit, akan ayah ajarkan. Akan tetapi diper-
lukan kesabaran dan ketekunan untuk melatihnya," jawab Seh sambil
tersenyum. Ia senang bahwa anaknya antusias terhadap apa-apa yang
diajarkannya. Lalu lanjutnya, "Melihat Hawa Getaran bersama-sama
dengan Hawa Pikiran merupakan ilmu wajib bagi keluarga Pratahu.
Selain itu ada pula Hawa Berbicara dan Mendengar Terbalik. Akan
tetapi untuk yang terakhir ayah tidak terlalu memahaminya. Pa-
manmu yang lebih banyak tahu. Hal ini akan ayah ceritakan belakan-
gan." Selanjutnya Seh pun menerangkan bagaimana cara untuk melatih
Melihat Hawa Getaran. Ia menjelaskan mengapa anak kecil masih
255 peka sehingga memiliki ilmu Melihat Hawa Getaran secara alamiah.
Hal ini dikarenakan mereka belum manfaatkan matanya secara paksa
sehingga ada bagian-bagiannya yang rusak. Berangsur-angsur den-
gan bertambahnya umur, merek mulai merusak matanya dengan
memusatkan pandangan hanya pada hal-hal yang umumnya dapat
dilihat. Hal-hal lain di luar itu, umumnya diabaikan oleh pikiran
sehingga lambat-laun apabila terlihatpun tidak akan dilaporkan oleh
otak. "Orang yang telah dewasa sebenarnya lebih sulit untuk belajar Meli-
hat Hawa Getaran dibandingkan anak kecil karena telah rusaknya lem-
baran halus (selaput retina) pada depan matanya," jelas Seh pada
Nah. "Ada suatu cara yaitu dengan menggunanan Pandangan Samp-
ing (peripheral vision) di mana kita berusaha melihat Hawa Getaran
dengan sudut mata kita."
Dijelaskan oleh Seh bahwa bagian lembaran halus pada pinggir mata
umumnya tidak banyak dimanfaatkan, dengan demikian masih bisa di-
manfaatkan untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ditunjukkan pula
beberapa cara, antara lain dengan melihat dua buah lingkaran belah
berbeda warna yang di antaranya terdapat titik di mana harus dil-
ihat pada jarak tertentu. Apabila cukup berkonsentrasi maka akan
terlihat bahwa kedua lingkaran belah tersebut seakan-akan bercahaya
atau berpendar dengan warna-warna yang berbeda.
"Selain itu terdapat pula kelengkapan dari warna-warna yang ada,"
jelas Seh pada Nah, "artinya warna yang kita lihat biasa akan mem-
bangkitkan Hawa Getaran yang berbeda, boleh dikatakan pelangkap-
nya." Lalu ditunjukkan oleh Seh suatu kitab yang ditulis oleh Pengujar
Chalko (Tom Chalko) yang berasal dari pulau yang jauh di sana, yang
"kamu tidak lihat" " ose tra lia (Australia), nama yang dipetuturkan
oleh pelaut-pelaut suatu bangsa pelaut. Dalam kitab tersebut dije-
laskan padanan warna-warna, atau benda berwarna apa memberikan
Hawa Getaran apa. Dituliskan di sana bahwa benda berwarna merah
memberikan Hawa Getaran berwarna hijau-biru telur asin (turquoise
atau cyan gelap), dan sebaliknya. Jingga (orange) memberikan Hawa
Getaran biru dan sebaliknya. Kuning memerikan ungu (violet) dan se-
baliknya serta hijau memberikan merah muda (pink) dan sebaliknya.
256 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Dituliskan pula bahwa warna-warna terang menunjukkan hal yang
positif sedangkan gelap yang negatif, serta ditekankan bahwa warna
putih menunjukkan gangguan kesehatan. Warna ini merupakan warna
pilihan yang diyakini dilihat orang-orang pada seorang yang menjelang
ajal pada jaman dahulu seperti tertuliskan dalam kitab-kitab lama.
"Nah sekarang latihlah, konsentrasi pada benda ini untuk melihat
hawa getarannya. Juga ingat-ingat akan warna padanannya, ini pent-
ing untuk memisahkan apakah yang engkau lihat nanti adalah Hawa
Getaran dari seseorang atau sesuatu atau hanya Hawa Getaran dari
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pakaian yang dipakai seseorang atau warna bendanya saja." Setelah
berkata demikian Seh pun meninggalkan Nah dalam heningnya, yang
mana masih berusaha untuk melatih ilmu Melihat Hawa Getaran. Su-
atu ilmu yang wajib dilatih oleh anggota keluarga Pratahu.
*** Di suatu pagi tampak seorang anak muda berbadan tegap tanpa baju
dan hanya mengenakan celana coklat berlatih ilmu pedang. Pedang
yang digunakan tak lazim panjangnya. Umumnya pedang memiliki
panjang yang maksimal selengan penggunanya sehingga setiap saat
bila dibutuhkan dapat ditarik dari sarungnya. Lain dengan pedang
yang digunakan anak ini, jauh lebih panjang. Mungkin bisa sampai
dua kali panjang pedang biasa. Dan tidak disarungkan, melainkan
dibungkus begitu saja oleh kain sebagai sarungnya.
Anak muda tersebut tampak bergerak pelan, terlihat bahwa ia sedang
mengingat-ingat gerakan yang sedang dilatihnya. Kadang ia hanya
terdiam terlena dalam pembayangan gerakan yang pernah ditunjukkan
gurunya. Bila dirasa cukup pembayangannya, ia pun melakukannya.
Kadang ia bergerak cepat kadang lambat. Kadang teratur kadang liar.
Gerakan-gerakan dari ilmu Pedang Panjang.
Telaga si anak muda tersebut sudah tampak berkeringat. Peluhnya
berbutir-butir meluruh di sekujur tubuhnya saat ia berlatih. Napas-
nya pun mulai terengah-engah. Diaturnya kembali pernapasan sambil
beristirahat. Ia masih gemas karena jurus terakhi yang diajarkan gu-
runya belum dapat dikuasai sepenuhnya. Akan dicobanya lagi gerakan
itu setelah pulih tenaganya.
Selagi ia membayangkan gerakan-gerakan gurunya dan juga Kadal-
257 kadal Pelangi yang sedang menari-narikan gerakannya saat memangsa
serangga, terdengar suara batu kerikil yang dilangkahi orang di be-
lakangnya. Belum sempat ia berputar untuk mencari tahu siapa geran-
gan sosok tersebut, sebuah batu telah melaju terbang ke arah dirinya.
Menuju jalan darah penting ditubuhnya. Dengan indah alih-alih men-
gelak, Telaga pun menggerakan pedang panjangnya sehingga berfungsi
sebagai tameng terhadap batu tersebut, dan "tingg!!" batu tersebut
pun terpental. Tak jadi mencapai jalan darah di tubuhnya.
"Hei, siapa...!" belum selesai Telaga bertanya tentang apa maksud dan
siap orang itu, sesosok bayangan telah menyerangnya gencar. Bertan-
gan kosong. Tapi walaupun bertangan kosong jangan dikira serangan-
serangannya lembek dan tidak berbahaya dibandingkan dengan seran-
gan menggunakan senjata tajam. Sabetan tangan dan kakinya yang
dilengkapi dengan Hawa Tenaga Dalam membuat serangan tersebut
sama bahayanya dengan sabetan pisau atau golok.
Terpaksa Telaga pun mengelak, berkelit di sana-sini di antara ru-
ang kosong yang tercipta dari serangan-serangan itu. Mundur dan
mundur. Ia belum tahu siapa yang menyerangnya dan bukan sifatnya
untuk langsung membalas menyerang, apalagi menggunakan pedang
panjangnya. Untuk sementara ia akan bertahan dulu sambil men-
cari tahu maksud dari penyerangnya juga sekaligus melatih ilmu yang
sedang dipelajarinya. Dicobanya menyabetkan pedangnya secara mendatar untuk meng-
incar pinggang sang penyerang. Dalam gerakan ini pedang akan
dilengkungkan ke atas untuk ditarik balik dalam rangka mengantisi-
pasi lawan yang akan mengelakkan serangan pertama dengan melom-
pat tinggi. Telaga telah gembira bahwa sang lawan tampak tidak
waspada akan serangan yang dilakukan dirinya, dan ia pun telah
memberi jarak agar pada saat yang tepat dapat menahan pedangnya
agar tidak sampai melukai.
Tapi Telaga kecele, alih-alih melompat sosok tersebut malah bergerak
maju dan menyerang leher dan kepalanya dengan telapak kakinya,
beputar seakan-akan tidak mengindahkan serangan pada pinggangnya.
Sebelum Telaga menyadari bahwa serangan itu hanyalah tipuan, sosok
tersebut telah menarik balik kakinya sehingga ia jatuh ke atas tanah
dan menyusup di bawah pedang panjang telaga yang lewat tipis di
258 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
atas rambutnya. "Deggg!!" sebuah serangan ringan menyambar pinggang Telaga. Pada
jarak seperti itu, pedang panjang tidak ada gunanya. Lawan telah ma-
suk ke dalam lingkaran yang lebih kecil dari ruang pedangnya. Tidak
banyak gerakan yang dapat dilakukan sehingga Telaga pun mengal-
ihkan tenaga ke pinggangnya untuk menahan serangan itu.
Dengan cepat sosok itu lalu menempel pada Telaga memegang pedan-
gnya sedemian rupa sehingga Telaga tak mampu untuk memindahkan
arah geraknya. Dengan tenaga penuh sosok tersebut menambah
tenaga pada arah dorongan pedang semula sehingga gerakan Telaga
menjadi berlipat ganda, sudah dihentikan. Akibatnya ia kehilangan
nyaris keseimbangan. Hanya ada dua pilihan tetap mempertahankan
pedang panjangnya yang tiba-tiba menjadi berat akibat dorongan
lawan atau melepaskannya dan menyerang balik dengan menangkap
lawan menggunakan ilmu Sabetan dan Tangkapan Lawan yang dia-
jarkan oleh gurunya Arasan.
Telaga akhirnya memutuskan untuk melepaskan pedang panjangnya.
Pedang tersebut melesat dengan kuat, masih menyimpan tenaga
dorongan telaga dan lawannya. Dan "capp!!" menancap pada be-
batuan tak tahu dari sana. Untung saja tidak ada manusia atau
hewan yang berada di tempat tersebut.
Sekarang Telaga lebih leluasa menghadapi lawan yang selalu berusaha
menyerangnya dari jarak dekat. Jarak yang hanya dapat dicapai den-
gan bertangan kosong. Perlahan Telaga telah dapat mengimbangi
permainan dari lawannya itu.
Setelah lama-lama memperhatikan terlihat bahwa sosok itu agak kecil
dibandingkan dengan dirinya. Berperawakan ramping dengan ram-
but yang digelung. Mungkin panjang rambutnya. Langkahnya ringan
dengan muka yang disembunyikan oleh selendang yang dikenakannya.
Lamat-lamat Telaga serasa mengenal sosok itu. Seperti pernah dilihat
entah kapan dan di mana. Saat ia sedang dalam lamunannya untuk menebak-nebak siapa geran-
gan sosok yang sedang menyerangnya itu, tak diduga sosok terse-
but menggunakan salah satu gerakan yang agak sulit yaitu agak
berjongkok kemudian menyerang kepala Telaga dengan jurus Menebang
259 Kelapa yang diikuti satu tipu berkelit untuk mengunci kedua tangan
Telaga dan diakhiri dengan jurus Berkelit Membanting Padi. Aki-
batnya sudah dapat diduga. Telaga terkunci, terseret arah gerakan
lawannya dan terlempar ke atas tanah. Terbanting. "Deggg!!"
Terengah-engah sedikit sosok itu saat bergerak mundur. Rupanya
cukup banyak tenaga yang dikeluarkannya untuk mengatasi Telaga.
Lawan yang lebih besar tenaganya dari dirinya.
Saat itu tersadarlah Telaga, kecuali gurunya yang dapat melakukan
gerakan itu di daerah ini hanya tinggal satu orang, Sarini putrinya.
Lalu katanya, "Sarini, janganlah permainkan aku. Dalam ilmu Sa-
betan dan Tangkapan Tangan, tidaklah aku bisa menang melawanmu!"
Sosok itu tertawa geli mendengar ucapan Telaga. Senang rupanya ia
dipuji sedemikian rupa. Tapi kemudian katanya, "Telaga jika sudah
tahu siapa aku ayo coba kalahkan aku! Aku dengar dari paman Wal-
inggih bahwa engkau baru diajari jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan
Pagi. Ayo tunjukkan padaku!"
Mendongkol juga sedikit hati Telaga mendengar ucapan itu, rupanya
Sarini ini memang hendak menggodanya. Gerakan yang baru saja
dipelajarinya itu sudah hendak dicobanya pula. Darah mudanya pun
sedikit bergolak, ia ingin melihat apakah gerakan itu dapat mengatai
ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Sarini.
Beranjaklah Telaga ke batu tempat di mana pedang panjangnya tadi
tertancap. Ditariknya pelan sambil diingat-ingat lagi jurus Gerakan
Kadal Pelangi Makan Pagi yang diajarkan gurunya dan telah sedikit
dipahami olehnya. Untuk menghadapi Sarini yang mengambil jarak
tempur pendek, mungkin perlu perubahan-perubahan sedikit dalam
pemanfaatan jurus itu. Pertama-tama ia harus membuat gadis itu kalang kabut baru bisa
mengeluarkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang tidak terduga
dari atas untuk kembali menyerang posisi awal ia melompat. Jika
langsung dikeluarkan Sarini mungkin dapat menebaknya.
Setelah memutuskan gerakan yang akan dilakukannya Telaga pun
mulai menyerang Sarini. Awalnya hanya gerakan-gerakan sapuan
mendatar dan miring. Ia ingin lebih dulu melihat bagaimana Sarini
260 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
menanggapinya. Sarini ternyata memiliki perasaan dan perhitungan yang tajam. Ia
tidak banyak bergerak. Ia hanya membiarkan pedang panjang Telaga
lewat satu dua jari dari tubuhnya. Tidak banyak ia bergerak, cukup
mengelak tipis. Kagum juga Telaga melihat keberanian dan perhitun-
gan yang tepat dari Sarini. Gadis ini benar-benar berhati harimau.
Karena lama tak membuahkan hasil, akhinya Telaga mulai meningkatkan
kadar serangannya. Sekarang serangannya mulai gencar dan dibalas
pula oleh Sarini dengan elakan-elakan yang lebih cepat. Masih belum
menyerang. Kelihatannya Sarini masih mencari-cari celah untuk
bertarung jarak dekat, agar ia bisa menangkap atau memukul bagian-
bagian tubuh dari Telaga.
"Ayo keluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi!" pancing
Sarini. Mendengar ini Telaga pun tergerak untuk mengeluarkan jurus itu.
Bukan hanya karena emosi juga karena ia tertarik bagaimana gadis itu
bisa menangani serangannya. Setelah sedikit bergerak liar menyabet
ke sana ke mari membuat hampir tidak ada ruang kosong di kiri-kanan
Sarini, Telaga pun meloncat terbalik dan menyabetkan pedangnya ke
arah Sarini. Sarini pun melompat mundur untuk mengelak. Tipis
akan tetapi mengenai selendangnya sehingga wajahnya pun terbuka.
Saat Telaga tersenyum atas hasil yang didapatkannya dan ia menyen-
tak balik untuk kembali ke posisi semula di mana ia melompat
tadi, seperti gerakan-gerakan Kadal Pelangi, Sarini bergerak cepat.
Sarini telah mengambil posisi rapat, di mana Telaga akan mendarat.
Sedemikian rapat sehingga jarak itu tidak dapat dimasuki lagi oleh
pedang panjang. Kaget tersurat pada wajah Telaga melihat posisinya tidak lagi men-
guntungkan. Belum habis gaya tarikan pedang panjangnya, kembali
Sarini telah menggapai kedua tangganya, menambah dorongan se-
hingga Telaga kembali terikut arus putaran tenaga Sarini. Dan dalam
sekejap kembali jurus Berkelit Membanting Padi digunakan. Hasil
yang mirip diperoleh, yaitu Telaga dan pedangnya terlempar men-
datar di atas tanah. Terlentang.
261 "Hehehehe..!!" tiba-tiba terdengar kekeh seseorang dari sisi kedua
orang yang sedang bertarung itu. "Nak Telaga, kena engkau diper-
daya Sarini." Orang itu ternyata adalah Arasan. Ia telah lama berada di sana.
Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana anaknya Sarini memberi
pancingan pada Telaga sehingga pemuda itu mengeluarkan jurus Ger-
akan Kadal Pelangi Makan Pagi yang langsung direbut posisi awalnya
untuk dihancurkan. "Guru..!" sahut Telaga sambil cepat bangun dan menjura.
"Ayah!!" suara Sarini dengan manja. Tampak merah mukanya. Entah
malu entah agak tak suka bahwa ayahnya tiba-tiba muncul di sana.
"Aku pergi dulu!" sahut Sarini yang segera hilang dari sana. Mening-
galkan Telaga yang masih agak-agak bingung atas kekalahannya.
Setelah mereka berdua berdiam agak lama, bertanyalah Arasan pada
Telaga, "tahukah kamu mengapa engkau bisa kalah dari Sarini?"
Telaga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih agak bingung men-
gapa jurus yang dirasakannya ampuh itu tidak terlalu berguna dalam
menghadapi Sarini. "Tahukan pula, bila itu tadi adalah Walinggih, apa yang akan di-
lakukannya menghadapai lawan yang bertangan kosong?" tanya
Arasan kembali alih-alih menjelaskan jawaban dari pertanyaan perta-
manya tadi. Kembali Telaga menggelengkan kepalanya, "tak tahu guru. Mohon
petunjuk!" "Ilmu bela diri itu harus dipahami inti dan maksud gerakannya. Jurus-
jurus tidak hanya digunakan karena dirasakan indah atau ampuh saja.
Melainkan digunakan pada situasi yang cocok untuk memanfaatkan-
nya," jelas Arasan. "Maksud guru?" tanya Telaga menyakinkan ketidahtahuannya.
"Memang jurus yang diajarkan oleh Walinggih itu teramat ampuh,
tapi hanya untuk jarak menengah dan jauh, tidak untuk jarak dekat.
Perhatikan waktu gurumu dulu menghadapi keroyokan orang-orang
262 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
itu. Ia selalu mengambil cukup jarak bagi pedangnya untuk bergerak.
Jika ruang terlalu sempit engkau harus mundur atau pergi sehingga
tetap cukup ruang untuk pedangmu." begitu jelas Arasan.
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan pendapat gurunya menge-
nai ilmu yang diturukan oleh gurunya yang lain.
"Sebenarnya, ada rahasia lain mengenai kemenangan Sarini..," kata
Arasan kemudian, agak tidak enak kelihatannya ia hendak menyam-
paikan. "Maksud paman?" tanya Telaga ingin tahu. Ia tidak mengerti apa
yang dimaksud dengan rahasia itu.
"Tapi engkau harus berjanji dulu tidak menceritakannya kepada
Sarini. Bisa kecewa ia nantinya," jawab Arasan.
Telaga mengiyakan. Ada apa pula ini sampai tidak boleh menceritakan
pada Sarini mengenai hal ini.
"Sarini sebenarnya telah belajar pula belajar pada Walinggih," ucap
Arasan sambil tersenyum saat melihat Telaga terkejut, "bahkan ia
telah pula diajarkan tipu-tipu gerakan untuk memunahkan Gerakan
Kadal Pelangi Makan Pagi. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah
mengalahkan mu, nak Telaga."
Telaga terngaga mendengar hal itu, perlahan-lahan wajahnya pun
memerah. Lalu katanya, "tapi itu bukan alasan bahwa Sarini dapat
mengalahkan saya, ia memang lebih jeli dalam menggunakan gerakan-
gerakan dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan." Tak bangga
pula ia bahwa kekalahannya diakibatkan Sarini telah mempelajari il-
munya dan juga diajari oleh gurunya, Walinggih.
"Menurut saya, guru, tak peduli orang telah mengenal ilmu kita atau
tidak, kalah ya kalah!" begitu jawab Telaga.
"Bagus bila engkau berpendapat begitu. Dan memang demikianlah.
Semakin engkau sering bertarung dengan lawanmu, semakain kenal
lawanmu akan gerakan-gerakan yang akan engkau lakukan. Istilah-
nya ilmumu semakin telanjang atau transparan. Jadi sebaiknya seo-
rang pendekar memperkuat ilmu dan gerakan yang disertai efesiensi
pemanfaatannya ketimbang ragam dan gerakan-gerakannya yang tak
263 terduga," jelas Arasan.
Telaga pun mengangguk-angguk. Setuju atau pendapat gurunya.
Tak lama kemudian mereka pun berlalu. Kembali ke rumah di mana
ternyata telah menanti Walinggih dan Sarini. Yang terakhir ini sedang
menyiapkan makan malam bagi mereka berempat.
Di hadapan mereka tersaji apa yang disebut orang-orang di ujung su-
atu pulau besar Le Bu Peudah atau Bubur Pedas. Suatu makanan
khas yang umumnya disajikan hanya pada menjelang matahari ter-
benam. Jenis makanan itu merupakan campuran dari bahan-bahan
beras, kelapa parut dan rempah-rempah seperti kunyit, merica dan
tunas pohon kala. Cara memasaknya adalah dengan memasukkan-
nya semua dalam satu kuali dan mengaduknya cukup lama. Dimasak
kira-kira hingga tiga jam.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah membersihkan kaki dan tangan untuk mulai makan, Telaga
dan Arasan pun duduk di sekitar semangkok besar Le Bu Peudah.
Di samping mangkok tersebut masih pula ada buah-buahan dan umbi
yang telah dibakar. Arasan duduk di samping Telaga, yang kemudian diikuti oleh Wal-
inggih dan Sarini. Jadi boleh dikatakan berhadap-hadapan Walinggih
dan Arasan, juga Telaga dan Sarini yang masing-masing dipisahkan
oleh perabot makan yang berisikan santapan makan malam mereka.
Setelah sebentar mengucap syukur kepada Sang Pencipta, mereka
pun kemudian mulai makan. Dan tidak biasanya bahwa malam itu
tidak terdengar celoteh renyah dari Sarini yang biasanya ditimpali
oleh Telaga. Kedua orang tua yang sedang makan, Arasan dan Wal-
inggih hanya saling bertukar pandang melihat kekakuan yang muncul
di antara kedua anak muda yang duduk saling berseberangan itu.
Tiba-tiba Walinggih memberikan sedikit isyarat pada Arasan melalui
kedipan matanya. Isyarat ini dilontarkan saat kedua anak muda sen-
dang menunduk menyupa Le Bu Peudah-nya. Alih-alih melakukan
apa yang diisyaratkan Walinggih, Arasan malah memberi isyarat ba-
lik agar Walinggih saja yang memberitahu kedua anak muda tersebut
mengenai hal yang mereka telah bicarakan sebelumnya.
264 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Karena berulang-ulang keduannya saling mengedip-kedipkan mata
dan juga menggerak-gerakkan dagu menunjuk-nunjuk pada kedua
muda-mudi itu, akhirnya gerakan ini pun dilihat keduanya. Ked-
uanya pun tak dapat menahan tawa melihat kelakukan guru-guru
mereka. Telaga hanya tersenyum, sedangkan Sarini sampai terkekeh
kecil dan kemudian menutupi mulutnya agar makanan yang sedang
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
dikunyahnya tidak tersembur keluar.
Menyadari bahwa isyarat-isyarat mereka telah dilihat kedua anak
muda tersebut, Walinggih dan Arasan pun menghentikan aksi mereka.
Terdiam, terlihat salah tingkah. Mirip-mirip orang yang sedang ter-
tangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah.
"Ayah, ada apa sih?" tanya Sarini pada Arasan. Tak tahan dia mena-
han geli melihat ayah dan Walinggih saling bergerak aneh-aneh dengan
memainkan dagu dan juga sebelah mata mereka.
"Eh.., itu tanya saja sama pamanmu Walinggih..," jawab Arasan seke-
nanya. Juga sekalian melemparkan tangguna jawab agar Walinggih
yang menjelaskan tingkah laku aneh mereka.
"Lebih baik ayahmu saja yang menjelaskan, Sarini. Dia lebih pakar
dari paman," jawab Walinggih merendah sambil kembali lempar
tanggung jawab. Sekalian ia menambahkan Le Bu Peudah dalam
mangkoknya. Sudah empat kali ia tambah. Seanak-akan perutnya
tak berbatas dalam mengasup makanan kegemarannya itu.
Melihat kejenakaan yang muncul dari tingkah polah kedua orang itu,
pecahlah tawa antara orang muda itu. Telaga tak lagi dapat menahan
tawanya, dipegangnya perutnya yang sakit. Sedangkan Sarini masih
berusaha menyembunyikan suara tawa yang barusan terceplos keluar.
Diupayakan untuk menutup mulutnya. Sementara air mata geli tam-
pak telah mengalir sedikit di sudut kedua matanya.
"Arasan, lihat..! Kita malah jadi bahan tertawaan mereka, tuh! Ini
gara-gara kamu sih, tidak mau menjelaskan..," tuduh Walinggih je-
naka. Setelah mempunyai murid Telaga dan berhubungan dengan
keluarga Arasan dan Sarini, Walinggih keluar sifat aslinya yang ramah
dan jenaka. Tidak lagi serang dan dingin saat masih menjadi Hakim
Haus Darah. 265 "Eh, bukannya engkau Walinggih yang mulai. Seharusnya engkau saja
yang bilang. Kan dari pihak yang pemuda!" jawab Arasan tak mau
kalah. Kata "pihak pemuda" tiba-tiba saja menghentikan tawa yang ditahan
dari kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba saja keduanya tertunduk malu
dengan semburat merah di wajahnya. Jelaslah sudah apa yang ada
di benak kedua orang tua itu dengan kata tersebut. Dan hanya satu
yang mungkin. Perjodohan!!
Masih dalam rangka menggoda keduanya, Walinggih pun berubah
gaya bicaranya. Menjadi keren dan serius. Lalu katanya, "Adik
Arasan, saya Walinggih dengan rendah hati ingin menjodohkan murid
saya yang bodoh ini, Telaga, sebagai pasangan dari anakmu yang can-
tik dan pandai memasak, Sarini. Semoga usul ini dipertimbangkan
dan diterima...!" Arasan pun tak mau kalah. Ia pun lalu membalas dengan merendah,
"Kakak Walinggih, saya Arasan merasa amat beruntung bahwa pu-
triku yang bodoh ini bisa mendapatkan perhatian dari muridmu yang
gagah, rendah hati dan bersemangat itu. Akan tetapi perjodohan
adalah urusan yang akan dijodohkan, sebaiknya engkau tanyakan saja
langsung pada yang bersangkutan!"
Kedua muda-mudi itu benar-benar mati kutu. Mereka tidak bisa
bicara apa-apa. Jika tadi semburat merah telah ada di wajah, saat ini
telah menjalar ke leher dan telingah. Keduanya tampak mirip-mirip
kepiting atau udang rebus.
Setelah hening sebentar diberikan oleh kedua orang tua itu kepada
Sarini dan Telaga agar mereka dapat menguasai diri mereka kembali,
berkatalah Arasan, "Nah, putriku Sarini. Bagaimana jawabanmu atas
lamaran paman Walinggih?"
Memang suatu kebiasaan yang tidak lazim di jaman itu bahwa anak
yang akan dijodohkan ditanyakan langsung pendapatnya. Umumnya
kedua orang tua yang menerima pinangan perjodohan yang menen-
tukan, dengan si anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah
keputusan orang tuanya. Akan tetapi lain dengan keluarga Arasan.
Mungkin dikarenakan mereka hanya tinggal berdua dan tidak memiliki
saudara lain di sekitar situ dan juga Arasan memberikan kebebasan
266 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
kepada anaknya untuk mengambil keputusannya sendiri. Karena ia
sendiri yang akan nanti menjalani konsekuensi dari keputusannya itu.
Dengan wajah yang masih memerah dan tertunduk malu Sarini
berkata, "ayah.., terserah ayah saja..! Saya masih harus membereskan
perabot makan ini..!" Lalu dengan cepat ia berdiri dan membereskan
perabot-perabot bekas mereka berempat makan malam itu dan berlalu
dari ruang tengah itu, menuju ruangan di balik yang dipisahkan oleh
sekat terbuat dari daun kelapa untuk mulai mencuci perabot-perabot
makan malam. Arasan tertawa melihat tindak-tanduk putrinya. Ia merasa bahwa
putrinya menerima pinangan dari Walinggih untuk dijodohkan dengan
Telaga. Sebagai seorang ayah yang dekat dengan anaknya, dapat ia
merasakan itu. Biasanya Sarini akan menyatakan dengan tegas apabila
ia tidak setuju akan sesuatu yang dikemukakan ayahnya.
"Hahahaha..!" berderai tawa Arasan yang kemudian diikuti oleh
Walinggih. Mereke sama-sama senang bahwa urusan ini menjadi
beres sesuai dengan hasil yang mereka perkirakan. Tak lupa mereka
menepuk-nepuk punggung Telaga yang duduk di antara mereka, yang
sedari tadi hanya tertunduk diam dan malu.
Setelah berhasil menenteramkan hatinya, berkatalah Telaga, "Maafkan
perkataan saya ini, akan tetapi guru berdua ini sedari tadi sama sekali
belum menanyakan pendapat saya..."
Kedua orang itu terdiam. Mereka teringat bahwa mereka sama sekali
belum menanyakan pendapat murid mereka Telaga apakah mau di-
jodohkan dengan Sarini. Mereka sudah saja merasa yakin, karena
siapa sih yang tidak mau dijodohkan dengan gadis semanis Sarini.
Pandai masak pula. Yang paling terkejut adalah Sarini, sampai terhenti kegiatannya men-
cuci mangkok yang digunakan itu mendengar perkataan Telaga. Ia
di dalam hatinya telah lama menyukai Telaga, bahkan ayahnya pun
mengetahui itu dari sikapnya yang kadang melamun saat Telaga tidak
datang ke rumah mereka untuk berlatih ilmu Sabetan dan Tangkapan
Tangan. Karena dipergoki oleh ayahnya, mengakulah ia akan hal itu.
Atas dasar pengakuan itu dan juga rasa sukanya pada muridnya,
267 Arasan pun menghubungi Walinggih. Yang dihubungi merasa gem-
bira pula. Kehilangan keluarga, anak dan istri, yang membuatnya
sedih tiba-tiba terlupa. Tanpa pikir panjang Walinggih mengatakan
bahwa pastilah muridnya bersedia dijodohkan dengan Sarini.
"Eh, apa maksudmu Telaga?" tanya Walinggih. "Kamu tidak suka
dengan Sarini" Bodoh kamu!"
Bersemu merah wajah Telaga. Lalu ujarnya, "Saya.. suka guru.., tapi
saya harus memberitahu kedua orang tua saya dulu.."
"Ah, kamu benar sekali! Sudah pikun orang tua ini..!" kata Walinggih
sambil menepuk jidantnya sendiri. "Engkau masih ada orang tua di
utara sana." Sarini yang mendengarkan itu dari tempat mencuci piring merasa lega.
Tadinya sempat perasaannya bergolak. Ia takut bila Telaga menolak
atau bisa saja telah dijodohkan. Tak terasa bersemu merah kembali
wajahnya mengingat bergolaknya perasaannya tadi.
"Hmm, gimana ini.." Padahal engkau ingin aku suruh pergi jauh ke
selatan mencari orang-orang yang tinggal di perahu, di tengah laut.
Mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar di atas air.
Salah satu kemampuan mereka adalah bela diri dalam air. Bagus
untuk engkau pelajari untuk melengkapi ilmu-ilmumu," begitu ujar
Walinggih. "Begini saja, kakak Walinggih, bila kakak tidak berkeberatan bagaimana
bila kakak yang mengatakan kepada kedua orang tua Telaga di Gunung
Berdanau Berpulau soal perjodohan ini. Saya tidak pada tempatnya
karena saya adalah orang tua yang perempuan," usul Arasan.
"Hmm, boleh juga itu! Sudah lama aku tidak berjalan jauh ke mana-
mana. Baiklah, aku akan ke utara mencari kedua orang tua Telaga
untuk memberitahukan perjodohan ini. Moga-moga mereka setuju.
Lalu kemudian kita bicarakan lagi kapan hari baiknya," jawab Wal-
inggih. Kedua orang tua itu akhinrya sepakat. Telaga yang berada di antara
mereka tidak lagi menyanggah. Ia hanya bisa pasrah. Pasrah untuk
dijodohkan pada Sarini, gadis yang diam-diam juga ia sukai.
268 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Hari pun berlalu dengan cepat. Walinggih kembali berulang-ulang
mengajarkan Telaga bagaimana jurus-jurus dalam ilmu Pedang Panjang-
nya digunakan. Ia juga menyuruh Telaga untuk melatih kembali ilmu
Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan. Kedua ilmu itu harus
dipadukan agar pertahanan dan serangan menjadi mantap. Baik un-
tuk jarak pendek ataupun menengah dan jauh. Dengan atau tanpa
pedang panjang. Dan anehnya setelah pembicaraan perjodohan itu, kedua muda-mudi
malah menjadi agak asing satu sama lain. Tidak lagi bebas dan
akrab seperti semula. Urusan perjodohan itu membuat mereka merasa
sungkan satu sama lain. Kedua orang tua yang melihat hal itu mem-
biarkannya saja. Nanti mereka juga akan kembali seperti semua, be-
gitu pikir keduanya. Akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Telaga disuruh gurunya untuk
menimba ilmu di selatan, jauh di lepas pantai. Di antara orang-orang
yang tinggal di laut, Suku Pelaut. Orang-orang yang hanya sesekali
ke darat untuk menukarkan kebutuhan hidup mereka. Sisa hidupnya
benar-benar dihabiskan di atas air.
Telaga diberikan waktu sekitar tiga tahun untuk kembali ke Padang
Batu-batu untuk melanjutkan perjodohannya. Sementar itu Waling-
gih akan pergi ke utara, ke Gunung Berdanau Berpulau untuk mencer-
itakan soal perjodohan itu kepada kedua orang tua Telaga, Ki dan
Nyi Sura. Atas usul Arasan, Sarini pun dibawa serta untuk sekaligus
diperkenalkan. Baik sekali apabila ia bisa menjadi murid dari kedua
Pelestari Tenaga Air. Sekalian mengenal calon mantu mereka. Sarini
hanya dapat menunduk mengiyakan mendengar keputusan ayahnya.
Terasa kuatir pula bila kedua orang tua Telaga tidak menyukai dirinya.
Kedua rombongan itu pun berpisah. Telaga ke arah selatan, sedan-
gkan Sarini dan Walinggih ke arah utara. Berganti-ganti Arasan meli-
hat kedua rombongan itu sampai hilang dari pandangan. Terasa sepi
dunianya tanpa kehadiran orang-orang yang dekat dengannya. Tiba-
tiba saja dirasakan umurnya bertambah beberapa tahun.
"Ada waktu berkumpul, ada pula waktu berpisah..," gumamnya, "tak
ada yang kekal di dunia...," sambil melangkahkan kakinya kembali ke
rumahnya. 269 *** Seorang pemuda tampak sedang berjalan seenaknya. Wajahnya bersih
dan selalu dihiasi senyum. Badannya cukup berisi dengan perawakan
tidak terlalu tinggi tapi proporsional sehingga membuatnya terlihat
enak untuk diajak bicara. Perangainya yang riang menambah daya
tariknya. Pemuda itu tampak sedang melakukan perjalan seorang diri. Tak
terlihat ada orang yang berjalan bersama atau mengikutinya. Untuk
menghilangkan rasa sepi, ia pun bernyanyi-nyanyi kecil.
"Burung bersiul bersahut-sahutan, matahari bersinar cerah, kera-kera
bermain di hutan, bunga semerbak merekah.
Buat apa susah, susah itu tak ada gunanya, buat apa resah, resah itu
juga tiada gunanya. Tralala.., trilili.., haha.., hihi.. Nanana..., ninini..., dada.., didi.."
Lagu yang sering dinyanyikan gurunya saat sama-sama bepergian. Su-
dah bisa ditebak bahwa pemuda itu adalah Lantang. Ia baru saja
turun dari Gunung Berdanau Berpulau. Seyogyanya ia harus mencari
gurunya ke timur. Akan tetapi dari cerita-cerita orang yang didengar-
nya sambil lalu ia tertarik untuk sedikit berjalan ke selatan baru ke
timur. Melewati kota-kota yang dibicarakan oleh orang-orang itu.
Ada kota Dsseldorf (kota Pinggir Sungai Menggelegar) yang dikatakan
memiliki dua belas Stndischen (Yang Berdiri) di Nordpark (Taman
Utara) yang pada suatu waktu hilang sama sekali digondol entah oleh
siapa. Selain itu ada pula Kota Batu-batu yang terletak di tepi Padang
Batu-batu. Padang Batu-batu merupakan suatu hutan yang bukan
ditumbuhi pepohonan akan tetapi batu-batu dari ukuran kecil sampai
sebesar rumah. Hal-hal tersebut menarik hatinya. Selama berdiam di Gunung Berdanau
Berpulau, Lantang tidak pernah sekalipun turun gunung. Ini barulah
pertama kalinya ia turun gunung saat mulai remaja. Suasana sudah
banyak berubah dibandingkan dengan keadaan dulu saat ia ditemukan
oleh gurunya dan diajak berdiam di gunung.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi-bunyi lucu dari perutnya. Mirip kuku-
270 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
ruyuk seekor ayam jadi. Bunyi itu ternyata tanda-tanda bahwa perut
yang punya telah minta untuk diisi. Diasupi penganan agar dapat
menenteramkan lambung yang ada di dalamnya.
Lantang, pemuda itu, pun celingak-celinguk. Ia mencari-cari den-
gan matanya tempat yang enak untuk digunakan untuk makan siang.
Samar-samar didengarnya gemericik air yang khas saat melewati batu-
batu. Suatu bunyi yang sudah menjadi temannya sehari-hari saat
menimba ilmu Tenaga Air di Gunung Berdanau Berpulau. Bergegas
ia menuju pada sumber gemericik air itu. Sudah dibayangkan betapa
enaknya melangsungkan makan siang di tepi sungai yang jernih dan
segar dan ditemani dengan angin yang sepoi-sepoi menyejukkan pada
siang yang panas ini. Berjarak satu-dua tombak dari sungai jernih yang ditemukannya,
dibentangkannya kain yang tadi dibawanya di pundak, yang berfungsi
sebagai kantung perbekalan yang dibawanya. Dipilihnya suatu batu
besar sebagai senderen untuk duduk. Saat baru turun gunung, ia telah
dibekali oleh kedua gurunya sedikit uang dan juga makanan kering
yang dapat tahan hingga seminggu. Di antaranya terdapat dendeng,
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis-manisan dan bumbu-bumbu. Sebagai makanan utama masih
ada ketan dan juga ubi kering yang siap disantap.
Tak perlu terlalu lama perut Lantang menunggu untuk diasup. Segera
setelah kunyahan-kunyahan di mulut berlangsung, lambung pun men-
dapat giliran untuk disua oleh penganan itu. Nikmat rasanya. Sekujur
tubuh serasa mendapatkan energi baru.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang di depannya. Agak
jauh di hadapannya, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak
seorang tua sedang duduk memandangnya. Lantang yakin bahwa tadi
tiada seorang pun di sana. Orang tua tersebut tampak sedang dalam
posisi berjongkok. Memandangnya dengan tertarik, teruma terhadap
penganan yang sedang disantapnya.
Ada sesuatu yang aneh dari orang tua itu, yaitu suasana warna ke-
hijauan yang tampak. Agak kontras dengan batang pohon tempat
ia menyandar yang jelas-jelas berwarna coklat tua. Lantang tidak
bisa begitu melihat raut wajah orang itu, hanya dari warna rambut
dan kerut-kerutan di wajahnya, diduganya bahwa itu adalah seorang
271 yang sudah agak tua. Mungkin lebih tua dari kedua gurunya, Ki dan
Nyi Sura. Juga guru pertamanya, Rancana si Bayangan Menangis
Tertawa. Terdengar tiba-tiba bunyi yang barusan membuat Lantang memu-
tuskan untuk berhenti makan siang. Bunyi kukuruyuk. Kalau tadi
bersumber dari perutnya, saat ini kelihatannya tidak lagi. Pasti dari
orang itu. Mendengar ini mau tak mau Lantang pun tersenyum. Lalu
ditawarkannya makanannya sambil mengangsurkan sekerat dendeng
dan sepoton ubi. "Ki sanak yang di sana, mau makan sama-sama saya?" tanyanya
sopan, "hanya makanan sederhana..."
Belum habis Lantang mengucapkan kata-kata untuk menjelaskan apa
yang bisa ia tawarkan, orang itu telah bergerak ke arahnya. Halus
akan tetapi cepat. Amat cepat, sehingga dalam beberapa kejapan
mata ia telah berada di hadapan Lantang. Mengambil makanan
yang ditawarkan dan langsung menguyahnya perlahan-lahan. Serius,
seakan-akan benar-benar menikmati rasa lezat yang muncul saat
bagian-bagian yang dikunyahnya dibasahi oleh air liur.
Dalam jarak sedekat ini tampak lebih jelaslah raut wajah orang tua
itu. Sebenarnya belumlah ia terlalu tua, melainkan wajah khas orang
muda yang banyak dirundung masalah. Tua sebelum waktunya. Tua
dikarbit permasalahan atau pikiran. Baju yang dikenakannya juga
aneh. Bukan karena bahannya yang kasar, melainkan karena warnanya
yang berbeda pada bagian kiri dan kanan. Sebelah hijau muda, mirip
warna kulitnya dan sisanya biru muda. Suatu paduan busana yang
belum pernah dilihat Lantang sebelumnya.
Tak berapa lama habislah sepotong ubi dan sekerat dendeng itu.
Orang itu langsung beranjak ke arah sungai yang terdapat tak jauh
dari sana. Setibanya di dekat air, alih-alih menjangkau air dengan
telapak tangannya untuk diminum, orang itu malah menurunkan
kepalanya untuk langsung meminum air sungai itu dengan mulutnya.
Mirip dengan kelakukan hewan-hewan mamalia yang hidup di hutan.
Setelah itu ia kembali memandang Lantang. Ada ungkapan terima
kasih di matanya. Seakan-akan mengangguk, orang itu kemudian
menghilang. Cepat. Tak bisa dirasakan. Mirip dengan cara ia datang
272 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
tadi yang secara tiba-tiba.
Lantang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ke-
lakukan orang tua itu. Tiba-tiba teringat ia pada Xyra, sahabatnya
yang seorang Undinen. Warna-warna Undinenlah yang dilihatnya
pada busana dan kulit orang tua itu. Lantang pun berniat untuk
bertanya pada orang tua itu, apabila mereka bersua kembali.
Angin sepoi-sepoi dan juga perut yang telah terisi benar-benar paduan
yang cocok untuk membuat mengantuk. Ditambah lagi dengan rasa
letih yang telah menumpuk sejak perjalannya tadi pagi sedari turun
dari gunung. Direbahkan badannya di samping batu yang dijadikan-
nya tadi sebagai sandaran, setelah terlebih dahulu membereskan per-
bekalannya kembali ke dalam buntalan. Sebagai alas kepala digu-
nakannya buntalan bekalnya tadi. Tak lama Lantang pun terlelap.
Dalam tidurnya, ia pun bermimpi.
Ia berdiri di pinggir sebuah pantai di mana di salah satu bagian di
hadapannya tampak air sungai bersua dengan air laut. Sebuah muara.
Di bagian muara yang melebar itu terdapat sebuah pulau. Khas pulau-
pulau delta pada umumnya. Di sana di kejauhan Lantang melihat
dua sosok orang sedang berhadapan. Keduanya berdiri setombak dua
tombak lebih. Tidak terlihat dengan jelas dari tempatnya berdiri.
Dari caranya mereka berdiri terlihat bahwa bukan suatu pembicaraan
ramah-tamah. Keduanya tiba-tiba bergerak cepat. Saling mengitari dan melem-
parkan pukulan dan tendangan. Tidak jelas alasannya. Setelah
mereka bergerak terlihat bahwa salah satu sosok adalah seorang
wanita. Hal ini terlihat dari bentuk tubuh dan juga rambutnya
yang panjang. Sosok yang lain seperti seorang laki-laki tua. Selain
itu terdapat persamaan di antara keduanya. Keduanya memancarkan
seperti cahaya hijau muda. Bukan dari busana mereka, melainkan
cenderung dari bagian-bagian tubuhnya.
"Happ! Deggg!!" tiba-tiba lelaki tua itu memasukkan tendangannya
dan juga pukulannya pada sang wanita. Wanita itu terlempar mundur
beberapa langkah. Tetapi tidak terjatuh. Melainkan melayang ringan
bagai bulu yang tertiup angin. Melayang dan turun dengan halusnya
di atas kedua kakinya. Kembali dalam posisi siap menyerang.
273 Lelaki itu setelah melepaskan serangannya terlihat seperti terhuyung.
Membuang tenaganya dalam satu serangan. Akan tetapi alih-alih
ia terhuyung gerakannya malah tambah kuat. Mengendap ke bumi.
Mengalir seperti air. Keduanya kembali berhadapan. Berdiri satu di depan lainnya. Menimbang-
nimbang serangan apa yang akan dikeluarkan. Menilik dari serangan
tadi, keduanya bersumber pada elemen alam yang sama. Air. Suatu
cara pengaturan tenaga yang mengalir. Luwes. Menuju ke pusat
bumi akan tetapi tidak kaku. Keras tetapi tidak getas. Lentur dan
membaur. Air. Lantang yang tadi melihat dari jauh, begitu tertariknya ia sehingga
tak sadar ia telah berada di atas pulau delta itu. Entah bagaimana
caranya. Sekarang ia hanya berada dua tiga tombak jauhnya dari
kedua orang yang masih berdiri berhadapan itu.
Sekarang lebih jelas dilihatnya bagaimana sosok dan perawakan kedua
orang itu. Kedua orang itu ternyata orang-orang yang telah dikenal
dan pernah ditemuinya. Xyra sang Undinen dan pak tua yang tadi
siang menerima pemberian bekalnya yang sederhana.
Tapi apa maksudny ini" Mengapa keduanya berseteru" Belum habis
Lantang berpikir tentang apa-apa yang bisa menjadi sebab, keduanya
telah kembali berlaga. Bergerak dengan halus dan cepat. Mencari-cari
posisi yang lowong untuk melemparkan sekepal dua kepal pukulan.
Lantang yang dapat merasakan himpitan aura dingin dari keduanya
menyadari bahwa pertarungan ini sungguh-sungguh. Keduanya in-
gin mengalahkan yang lain. Ia merasa bahwa ia harus mencegah-
nya. Mencegah pertarungan ini berlanjut, sebelum salah seorang dari
mereka tersungkur di atas tanah.
Tanpa lebih jauh mempedulikan apakah tindakannya itu berbahaya
atau tidak bagi keselamatan dirinya, Lantang langsung bergerka ke
tengah. Maksud ingin menengahi. Hanya saja saatnya tidak tepat. Ia
menyelak masuk saat kedua orang yang sedang bertempur itu sedang
melepaskan masing-masing pukulan mereka.
"Deggg! Dess!!" keduanya pun terkejut melihat ada seorang di tengah-
tengah mereka. Seorang yang malah menjadi sasaran pukulan ked-
274 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
uanya. Selanjutnya gelap pandangan Lantang. Kesadarannya pun
mulai perlahan-lahan menghilang.
Dirasakannya tubuhnya sakit-sakit saat ia mulai tersadar kembali.
Keningnya pula dirasa berdenyut-denyut pusing. Secarik kain yang
dibasahi meringankan sedikit rasa sakitnya. Terlihat seorang tam-
pak meletakkan kain basah itu di keningnya. Sementara seorang lain
tampak sedang memasak sesuatu. Sesuatu yang tercium lezat dari
aromanya yang mengambang di udara.
Xyra. Pak Tua. Kedua orang yang ada di dalam mimpinya tadi
tampak di hadapannya. Xyra tampak menguatirkan dirinya den-
gan sesekali menyeka keningnya. Sementara Pak Tua masih sibuk
mengaduk-aduk kuali yang sedang dijerangnya di atas air.
Lantang berusaha untuk bangun. Tapi tak ada tenaga. Rasa sakit
ditambah dengan kehilangan tenaga membuatnya tak dapat bangkit.
Selain itu dengan isyarat tangannya Xyra mengatakan bahwa se-
baiknya ia tetap dalam posisi berbaring. Akhirnya Lantang pun
mengiyakan. Lagi pula tak ada yang dapat ia lakukan. Masih bingung
dirinya mengenai apa yang baru terjadi. Apakah tadi itu benar-benar
terjadi atau hanya mimpinya saja. Seingatnya ia tadi tertidur sehabis
makan siang. Sehabis Pak Tua itu meninggalkan dirinya.
*** Paras Tampan hanya bisa menghela nafas menyaksikan desa tempat ia
dilahirkan yang sekarang telah menjadi sebuah kota, Kota Luar Rimba
Hijau, menjadi puing-puing. Hancur tak tersisa.
Saat ia tiba di sana asap dan api telah lama berlalu. Sebagian mayat-
mayat telah dikuburkan, tapi belum semuanya. Sebagian besar pen-
duduk entah mati atau mengungsi. Hanya yang tersisa berupaya un-
tuk menguburkan. Semampunya, agar bau busuk mayat tidak men-
gudara dan menjadi sebab penyakit bagi yang masih hidup.
Paras Tampan tanpa banyak berucap langsung saja membantu para
penduduk yang tersisa membenahi kota mereka. Beberapa orang tua
yang ada masih mengenalinya. Para muda-muda merasakan wajahnya
yang asing. Beberapa tahun di Rimba Hijau dan juga perkembangan
kota yang pesat melahirkan penduduk-penduduk baru yang berpindah
275 dari satu tempat ke tempat lain. Tidak terkecuali Kota Luar Rimba
Hijau. Jadi masuk akal banyak orang-orang baru yang tidak mengenal
dirinya. Hanya tua-tua yang tahu dan dulu hadir saat mereka mulai
belajar ke Rimba Hijaulah tahu dan masih mengenal dirinya.
Setengah hari telah dihabiskan Paras Tampan untuk membongkar
bagian-bagian rumah yang dibakar untuk mencari-cari apa ada mayat
yang tersembunyi di bawahnya. Tak terasa ia akhirnya mencapai su-
atu bangunan yang cukup luas. pekarangan di dalamnya. Walaupun
telah terbakar habis akan tetapi masih memperlihatkan bentuknya
yang kokoh dan kaku. Suatu perguruan beladiri. Di dalamnya ia
melihat tiruan dari portal Rimba Hijau lengkap dengan ukiran-ukiran
di keempat sisinya. Juga lubang-lubang bendera atau panji-panji di
atas keempat pinggirnya. Siapa gerangan yang membangun tempat ini" Apakah.."
Pertanyaanya terjawab tak lama kemudian saat ia memasuki bangu-
nan kayu yang sudah rusak sebagian dimakan api dan terbasahkan
hujan itu. Di salah satu dinding yang masih tersisa dari amukan api, ia melihat
sebuah papan yang berisikan tulisan-tulisan nama-nama orang-orang
yang terdaftar di perguruan beladiri itu. Dibacanya perlahan-lahan
dari bawah ke atas. Tiba-tiba perasaannya seperti tercekat. Ya, nama-nama yang tertulis
di sana dikenalnya. Para pengajar di sana adalah rekan-rekannya yang
tidak beruntung karena tidak diijinkan untuk mengikuti ujian akhir
di Gunung Hijau. Mereka adalah orang-orang yang telah pulang ke
Kota Luar Rimba Hijau. Dan di sebelah kanan dari nama-nama itu tertulis pula nama-nama
seperti Rintah, Misbaya, Gentong, dan lainnya. Orang-orang yang
telah berhasil mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau, akan tetapi
telah menghadap kepada Sang Pencipta akibat ulah Perguruan Kapak
Ganda. Tak terasa menetes sedikit air mata di ujung-ujung pelupuk
mata Paras Tampan. Sedih dan sunyi. 276 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Saat ini hanya tinggal ia satu-satunya yang telah masih hidup dari
turun gunung. Sebenarnya masih terdapat dua orang rekan putrinya,
yaitu Kirani dan Rantih. Akan tetapi ia tidak tahu di mana keduanya
berada. Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki pun tidak
tahu perihal mereka. Semoga saja mereka berdua masih hidup dan
sehat. Setelah cukup lama termenung, Paras Tampan pun mengambil papan
daftar nama-nama murid-murid perguruan itu. Di bagian paling atas
tertulis pula Ki Tapa. Guru mereka semua. Walaupun Ki Tapa tidak
memperbolehkan Rimba Hijau dinamakan sebagai suatu perguruan
beladiri, akan tetapi murid-muridnya yang tidak lulus ujian akhir dan
membuka perguruan ini masih mempergunakan namanya sebagai guru
besar. Sebagai suatu penghormatan saja.
Dengan menyematkan tali pada kedua ujung papan yang panjangnya
sekitar tiga perempat tombak dengan lebar dua telapak tangan dira-
patkan itu, Paras Tampan kemudian menggantungkan papan daftar
nama itu di punggungnya. Ia akan membawa-bawa papan itu sebagai
kenangan atas teman-temannya dan juga gurunya. Mereka yang telah
menjadi korban pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda.
Saat keluar dari reruntuhan dan puing-puing perguruan itu, sesosok
orang tua menyapanya. "Nak.., nak Paras Tampan kan?" tanyanya sambil menyebutkan nama
orang tua dan adiknya. Paras Tampan hanya dapat mengangguk. Ia tadi telah terlebih dahulu
mengunjungi makam kedua orang tua dan juga adiknya. Beruntung
bahwa mereka telah dimakamkan dengan baik oleh orang-orang kota
yang tersisa. Masih banyak korban yang belum ditemukan dan di-
makamkan dengan baik. "Bibi Antini.., bagaimana kabar Paman Baja..?" tanya Paras Tampan
sekenanya. Ia tidah tahu harus berkata apa. Apapun yang ditanyakan
pastilah akan membangkitkan kesedihan orang-orang di sekitar sini.
Tak terkecuali sosok perempuan tua itu, Nyi Antini.
Nyi Antini hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Aku
tidak tahu bagaimana kabarnya, nak Paras Tampan.. Saat terjadi
277 pembumihangusan itu, ia dipaksa ikut oleh mereka, untuk membuka
jalan di Rimba Hijau. Bibi masih selamat karena sempat disuruh
olehnya untuk bersembunyi di dalam kolam ikan. Berendam semala-
man." Lalu diceritakannya bagaimana peristiwa yang dialami oleh Ki Baja
dan Nyi Antini itu. Pada mulanya orang-orang Perguruan Kapak
Ganda datang dengan baik-baik dan mencari orang-orang yang tahu
mengenai penguni Rimba Hijau. Sudah pasti mereka adalah Ki Tam-
par dan Ki Gisang. Dengan alasan bahwa mereka membutuhkan perte-
muan itu dikarenakan adanya suatu keperluan. Akan tetapi keperluan
itu tidak mau mereka ungkapkan. Biar saja nanti dikatakan langsung
pada para penghuni Rimba Hijau, begitu kata mereka seperti ditirukan
Nyi Antini. Ki Baja yang pernah mendengar mengenai Perguruan Kapak Ganda,
menjadi curiga karena sepengetahuannya perguruan bela diri itu
bukanlah suatu perguruan baik-baik. Mereka sering berbuat semena-
mena hanya untuk mencapai tujuan mereka. Ia pun kuatir apabila
terjadi sesuai dengan kota mereka. Langsung diceritakan hal itu
kepada kepala desa Ki Surya. Akan tetapi hal itu tidak digubris.
Melainkan mereka menyambut dengan ramah rombongan yang datang
itu. Padahal mereka telah datang dengan persenjataan lengkap.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih merasa kuatir Ki Baja pun langsung pulang ke rumahnya. Dis-
uruhnya istrinya, Nyi Antini untuk bersembunyi. Dan dikarenakan
rumah mereka memang keci dan tidak ada tempat untuk bersem-
bunyi, dimintannya istrinya untuk bersembunyi di kolam ikan. Beren-
dam dengan menggunakan batang-batang rumput yang cukup besar
agar dapat bernafas. Diperintahkannya untuk diam di sana sampai
keesokan harinya. Patuh pada perintah suaminya, Nyi Antini pun
melaksanakan hal itu. Akibatnya ia selamat, sedangkan suaminya hi-
lang entah ke mana. Dari orang-orang yang hidup ia memperoleh
keterangan bahwa Ki Baja termasuk orang-orang yang dibawa hidup-
hidup oleh rombongan itu ke Rimba Hijau, untuk "dimintakan ban-
tuan" membuka jalan.
Berendam semalaman bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan selu-
ruh tubuh barada di dalam air. Dingin dan basah. Belum lagi ia
mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati dari orang-orang
278 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
yang dibantai oleh Perguruan Kapak Ganda. Suara-suara minta am-
pun yang tidak digubris oleh sang eksekutor. Tangis dan rintihan pun
membumbung langit meninggalkan kepedihan bagi yang masih hidup,
yang luput dari peristiwa itu karena bisa bersembunyi atau tidak di-
anggap oleh para penyerang.
Tiba-tiba "byurr!!!", hampir menjerit Nyi Antini karena terdengar je-
buran air dan sebuah benda terlempar dekat dengan dirinya. Sesosok
mayat dengan luka di mana-mana. Memerah. Membuat air di ko-
lam tersebut mulai berwarna. Menyebarkan amis darah. Hampir
pingsan Nyi Antini menyaksikan itu. Hanya dengan menguatkan diri
ia bisa bertahan hidup dengan tidak berteriak atau keluar dari tempat
persembunyiannya. Wajah Paras Tampan tampak membeku. Mengeras. Tangannya
mengepal keras. Ia benar-benar tergores hatinya mendengar kekeja-
man dari para pembantai itu. Apalagi yang menceritakannya adalah
orang yang cukup dengan dengannya. Nyi Antini. Sisa orang-orang
yang terselamatkan dari peristiwa itu.
Sebentar Paras Tampan menunggu Nyi Antini yang melepaskan be-
bannya dengan bercerita. Terlihat akibat peristiwa yang mengerikan
itu, Nyi Antini tampak bertahun-tahun menjadi lebih tua. Lebih
tua dari umur sebenarnya. Sudah tentu diakibatkan oleh himpitan
perasaannya yang timbul dari peristiwa itu.
"Maaf nak Paras Tampan, bukan maksud bibi untuk berkeluh ke-
sah terhadapmu. Bibi kebetulan saja mendengar dari orang-orang
tentang adanya seseorang yang datang membantu mencari dan juga
menguburkan para korban di kota ini. Bibi pikir itu pastilah seorang
dari kami yang kebetulan saat itu tidak berada di sini. Harap-harap
itu Ki Baja...," tak dapat Nyi Antini meneruskan ucapannya.
Sedih Paras Tampan mendengar ucapan itu. Ia pun berjanji pada
dirinya sendiri untuk mencari keterangan mengenai bagaimana nasib
Ki Baja untuk disampaikan pada Nyi Antini. Bertambah satu pula
tugasnya, yang tadinya adalah hanya mengembalikan kitab-kitab yang
dikumpulkan oleh Maling Kitab, dan juga mencari kabar Kirani dan
Rantih. "Ada satu hal lagi, nak Paras Tampan," Nyi Antini berhenti sebelum
279 melanjutkan, "bibi tidak tahu apakah ini menggembirakanmu atau
sebaliknya..." "Katakanlah, bibi..! Tak ada lagi kiranya yang lebih buruk dari keny-
ataan saat ini di Kota Luar Rimba Hijau," ucap Paras Tampan sendu.
"Tunanganmu, Citra Wangi.., ia dan kedua orang tuanya telah lama
pindah dari sini. Ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ki Rapih, Nyi
Apik dan Citra Wangi tunanganmu selamat karena telah tidak tinggal
di kota ini lagi. Sudah kira-kira dua tahun yang lalu mereka pindah..,"
jelas Nyi Antini. Bergelora dada Paras Tampan mendengar hal itu. Ia sedari memasuki
kota ini belum mencari keterangan mengenai Citra Wangi dan kelu-
arganya. Kabar kedua orangtua dan adiknyalah yang pertama-tama
ia cari. Setelah itu membantu penduduk untuk menguburkan orang-
orang yang menjadi korban. Gembira ia mendengar kabar ini. Tapi
terselip pula rasa yang aneh. Rasa bertanya-tanya atas kepindahan
keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah.
Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya. Apakah mereka telah
melupakan pertunangan antara putri mereka dengannya" Atau
mereka tidak lupa, hanya saja pindah. Ia dan Citra Wangi yang telah
berjanji untuk bertemu, memang tidak melaksanakan janji mereka
saat ia menimba ilmu di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Tidak
mudah untuk melangsungkan pertemuan saat itu.
Melihat ekspresi Paras Tampan yang berubah-ubah, akhirnya Nyi An-
tini pun menambahkan, "Dari cerita para pedagang yang sering mam-
pir ke kediaman Ki Rapih di Kota Pinggiran Sungai Merah, Citra
Wangi masih sendiri. Belum menikah. Janganlah nak Paras Tampan
kuatir.." Sedikit merona wajah Paras Tampan mendengar komentar Nyi Antini.
Tidak seharusnya ia berpikir hal itu di tengah musibah yang menimpa
kotanya. Untuk menghilangkan jengahnya, ia pun berkata, "Bibi, apa
yang bisa saya bantu" Apakah rumah bibi masih baik?"
Nyi Antini hanya menggeleng. Lalu diajaknya Paras Tampan untuk
berjalan ke arah rumahnya yang tidak jauh dari sana.
280 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
*** Dua orang tampak sedang dalam perjalanan di antara batu-batu
yang menjulang menghutan di Padang Batu-batu. Seorang dari pada
mereka adalah laki-laki yang sudah terlihat tua dengan perawakan
yang kekar dan busana sederhana. Sedangkan yang lain adalah seo-
rang gadis muda dengan wajah yang manis. Rambutnya yang panjang
diikatnya dengan rapih dan diselempangkan di samping dada kanan-
nya. Pakaiannya ringkas tidak seperti kebanyakan pakaian mudi-mudi
yang penuh dengan pernak-pernik dan warna-warna. Busananya
berwarna cerah dengan hanya sebuah corak sulaman di dada kirinya.
Gambar bunga berkelopak lima berwarna merah tua.
Kedua orang itu tampak gembira dalam melakukan perjalanan.
Mereka berarah ke utara. Dari arah tengah Padang Batu-batu
menuju ke Gunung Berdanau Berpulau. Langkah keduanya ringan
dan mantap, menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang
cukup mempunyai ilmu. Entah mereka sadari atau tidak, tampak beberapa pasang mata
sedang mengintai mereka sejak memasuki suatu kawasan. Kawasan
di mana batu-batu yang menjulang tidak lagi berwarna abu-abu
melainkan hijau kehitaman. Gelap ditumbuhi oleh jamur-jamur dan
lumut yang tumbuh subur akibat diberi sesuatu. Racun.
Orang tua itu pun berkata kepada rekannya yang gadis muda, "Hati-
hati. Kelihatannya kita memasuki daerah yang ada pemiliknya. Batu-
batu ini terlihat tidak wajar." Sambil berkata demikian orang tua itu
mencium-cium batu-batu yang berwarna hijau kehitaman dalam jarak
sejengkal dari hidungnya.
"Hmmm..., racun hijau. Racun untuk menghitamkan batu-batuan
dengan menggunakan lumut dan jamur. Juga menumbuhkan lumut
khusus yang bisa menebarkan spora-sporanya ke udara," terang orang
tua itu. "Tapi apa bahayanya, guru" Kita toh sering menghirup spora dan ser-
buk sari tumbuh-tumbuhan saat bernafas. Begitu halnya pula sering
meminum sperma ikan-ikan saat kita minum air dari sungai..," jawab
sang gadis jenaka. Rupanya ia murid sang orang tua.
281 Tersenyum gurunya mendengar komentar muridnya. "Engkau benar,
muridku. Tapi spora ini lain. Jenis ini bisa menyebabkan halusinasi
sehingga engkau dapat bermimipi. Biasanya digunakan oleh rampok-
rampok atau jagal yang akan menghadang rombongan. Dengan cara
ini mereka tak perlu bekerja keras, karena yang akan dirampok sudah
takut lebih dahulu. Berhalusinasi betapa sangar dan mengerikannya
sang perampok." Muridnya menggangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. "Ada
penawarnya, guru?" "Hehehe, tentu saja ada. Dan amat mudah. Dibalik lumut itu sendiri
terdapat penawarnya." Lalu ia mengambil sejumlah lumut yang dise-
butnya akan menyebarkan spora ke udara, yang dapat membuat
orang berhalusinasi apabila menghirupnya. Dibaliknya lembaran
lumut itu sambil ditunjukkan butir-butir berwarna meran. "Ini,
ambil dan remas-remas dengan jarimu. Borehkan sedikit di dekat
lubang hidungmu. Ini akan menetralkan pengaruh spora-spora yang
memabukkan tadi." Muridnya pun melakukan hal yang dianjurkan oleh gurunya. Ked-
uanya sekarang tampak agak lucu karena di bawah hidung mereka,
di bagian di atas bibir yang terlihat cekung, terdapat warna-warna
merah. Borehan dari butir-butir kemerahan dari bawah lembaran lu-
mut tadi. "Kalau penawarnya sedemikian mudah, buat apa ditanam di sini
guru?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Tidak semudah itu, muridku. Tidak semua orang tahu bahwa pe-
nawarnya berada dekat dengan sumber racunnya. Ada pengujar tua
yang pernah berkata. Jangan cari jauh-jauh lawan suatu hal. Li-
hatlah di sekitarnya. Jika ada yang positif pasti ada yang negatif di
sekitarnya. Itulah alam. Amat indah dan seimbang." Ia pun berhenti
sebentar untuk kemudian melanjutkan lagi, "aku saja jika tidak diber-
itahu guruku tidak akan mengerti.."
Kata-katanya tidak diteruskan. Tangannya diletakkan di depan
bibirnya, mengisyaratkan agar muridnya diam dan mendengarkan.
Pendengaran mereka yang terlatih menangkap adanya gerakan-gerakan
di balik batu-batu yang hijau menghitam ditumbuhi jamur-jamur itu.
282 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Tiba-tiba di hadapan muncul tiga orang berpedang dan bertombak.
Ketiganya langsung menghadang perjalan kedua orang itu. Mengi-
syaratkan niat yang terasa tidak baik. Saat kedua orang itu memutar
badan hendak mundur ke arah semua mereka datang, tiga orang lain
tampak muncul dari arah yang berlawanan. Sekarang semuanya enam
orang. Mengepung dari kedua arah. Arah yang tersisa hanya diisi oleh
batu-batu menjulang. Rupanya mereka telah memilih tempat yang
strategis untuk melakukan pengepungan.
"Guru, bagaimana ini?" tanya sang murid.
Orang tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha
untuk menahan sabarnya. Jika kejadian ini terjadi dulu sekali sebelum
ia bertemu dengan seseorang. Sudah pasti terjadi hal yang amat akan
disayangkannya. Tetapi tidak saat ini. Ia telah berubah.
"Maaf, ki sanak sekalian, boleh saya tahu kenapa kalian menghalangi
perjalan kami guru dan murid ini?" tanyanya sopan kepada orang-
orang yang menghadangnya.
"Hehehe, kalian telah melalui wilayah kami. Batu Lumut Hitam.
Maka sudah sepantasnya kalian tinggalkan bekal kalian," ucap salah
seorang brewok dari mereka. Perawakannya yang besar menunjukkan
kemampuan "siknya dalam bertarung. Setidaknya mengayunkan
golok besar yang disandangnya.
"Tapi kami tidak punya apa-apa yang bisa ditinggalkan. Hanya bekal
makanan dan baju pengganti," ucap orang tua itu masih sabar.
"Jangan pura-pura orang tua! Siapa yang tidak bisa melihat bungku-
san panjang yang ada di belakangmu itu. Pasti itu suatu yang
berharga," bentak teman si brewok.
"Dan yang cantik ini, boleh juga ditinggal," ucap temannya yang be-
rada di belakang yang disambut dengan haha-hihi teman-temannya.
Merah padam gadis muda itu mendengar ucapan yang ditujukan
pada dirinya. Hanya isyarat gurunya saja yang masih membuatnya
sabar. Akan tetapi hawa tenaga telah dialirkannya dari pusar menuju
ke anggota-anggota tubuhnya. Siap untuk melontarkan sepukul dua
pukul tendangan dan pukulan.
283 Gurunya pun tak ada melihat ada pilihan lain, lalu katanya lirih, "En-
gkau ambil tiga yang di depan, biar aku yang di belakang. Sisakan
satu untuk penunjuk jalan."
Mengangguk muridnya mendengar usul gurunya. Memang orang-
orang seperti ini tidak boleh diberi ampun.
Untuk sedikih memecah perhatian gurunya tampak membuka bungku-
san panjang yang tadi disebut salah seorang dari mereka. Jika saja
mereka tahu apa isi bungkusan itu, pasti mereka tidak akan mem-
intanya. Dua buah pedang panjang. Sebuah untuk sang guru dan
sebuah untuk sang murid. Tak sabar melihat orang tua yang membuka bungkus itu perlahan-
lahan, seakan-akan ia memiliki seluruh waktu di bumi itu, salah seo-
rang penghadang menghardiknya, "Pak tua, cepat serahkan bungku-
san itu. Jangan lama-lama. Tidak sabar diriku ini!"
"Meregang nyawa kok terburu-buru sekali sih?" ucap orang tua itu.
"Heh, apa maksudmu, orang tua?" tanya balik orang itu.
Dengan gerakan cepat orang tua itu membuka bungkus dari benda
panjang yang ada di tangannya. Kain penutupnya ternyata memiliki
mekanisme sedemikian rupa, jika talinya ditarik, kainnya langsung
terbuk. Dengan lemas orang tua itu langsung mengambil salah satu
isi dari bungkusan kain itu dan melemparkannya pada muridnya, yang
langsung dengan sigap menangkapnya.
"Hey.., apa maksud kalian...?" belum selesai perkataan orang yang
bertanya tersebut, kedua orang itu langsung dengan cepat bergerak.
Menyerang. Mengayunkan barang yang tadinya terbungkus rapi tadi.
Dua buah pedang panjang. Pedang yang lebih panjang dari pedang
kebanyakan. Hampir dua kali panjang pedang biasa.
"Singg! Takkk!" pedang sang murid menghantam golok seorang
penghadang. Bergetar tangan yang memegang golok tersebut. Tak
disangkanya bahwa dara yang terlihat halus itu memiliki tenaga seran-
gan yang sedemikian kuat. Sementara lawan si orang tua dikarenakan
pengalamannya yang banyak dalam perampokan-perampokan sempat
menghindar mundur atas dasar naluri belaka. Salah seorang dari
284 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
mereka bertiga hampir saja kehilangan tangannya.
Melihat ini sadarlah orang-orang itu bahwa yang mereka hadang
bukanlah mangsa yang biasa. Ini adalah orang-orang yang punya
sedikit kepandaian. "Bagus! Ini bisa menjadi hiburan sebelum makan
malam," kata seorang dari mereka. "Bunuh!! Jangan biarkan seorang
pun hidup!" Mendengar aba-aba itu kelima rekannya langsung mengambil posisi
mengepung. Mengayun-ayunkan golok dan tombak mereka untuk
menghabisi kedua orang itu. Sang guru dan muridnya.
Guru dan murid itu tampak beradu pungguh melihat ke arah lawan-
lawannya. Lalu kata si orang tua, "Nah Sarini, ini kesempatanmu
untuk mencoba ilmu pedang panjangmu." Tersenyum murid yang
bernama Sarini itu. Ia telah melatih ilmu pedang panjang yang ditu-
runkan dari gurunya, Walinggih. Biasanya ia hanya berlatih dengan
gurunya atau batu-batu yang tidak bisa balas menyerang. Hari ini
ia mendapatkan kesempatan untuk bertarung dengan sesama manu-
sia. Bukan hanya itu, melainkan para perampok jahat, yang untuk
membasminya tidak perlu sungkan-sungkan.
Kedua orang itu, Walinggih dan Sarini tampak bergerak hati-hati.
Mereka menyadari bahwa orang-orang yang mereka hadapi ini tidak
terlalu tinggi ilmu silatnya, akan tetapi mereka adalah orang-orang
kasar yang sering merampok dan berbuat keji. Naluri mereka kadang
lebih baik dari keahlian seoran ahli silat. Seperti seekor binatang buas
yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan mangsanya. Kemam-
puan alamiah seorang pemangsa. Bangsa Penghadang. Orang-orang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penguasa dari daerah Batu Lumut Hitam.
*** Orang tua itu setelah menyendokkan sesuatu dari dalam panci yang
sedang dijerangnya di atas air, mendatangi Lantang yang masih ter-
baring ditemani oleh Xyra. Lalu katanya, "Minumlah! Air rebusan
akar-akaran ini akan membersihkan darahmu dan menyegarkan piki-
ranmu kembali. Sekarang jangan banyak pikiran dulu. Tenangkan
dirimu. Biarkan sahabatmu yang Undinen itu merawatmu. Ia telah
kupesankan caranya."
285 Mengangguk lemah Lantang mengiyakan. Xyra dengan cepat mener-
ima mangkuk yang diangsurkan oleh orang tua itu. Ditiupnya sedikit.
Dengan Tenaga Air ia bahkan dapat membekukan ramuan dalam
mangkuk itu, tetapi tidak. Lantang membutuhkan ramuan yang
suam-suam kuku. Tidak terlalu panas dan juga tidak dingin. Setelah
yakin akan panasnya, perlahan ia menuangkan ramuan itu ke dalam
mulut sang pemuda. Tampak kasih sayangnya dalam melakukan itu.
Penuh dengan kelembutan. Di seberang sana si orang tua tampak menghela napas menyaksikan
itu. Teringat ia akan nasibnya yang tidak lama bersama dengan orang
yang dicintainya. Dan ini dihadapannya tampak kasih sayang sesosok
Undinen kepada seorang manusia. Ia tidak tahu apakah bentuk kasih
itu dapat berlanjut. Bila tidak amat disayangkan, karena nasib anak
muda itu dapat mengikuti perjalanan hidup dirinya yang tidak menye-
nangkan. Selain itu ditemui pula adanya keanehan pada diri pemuda
itu. Keanehan yang berkaitan dengan peredaran hawa dalam tubuh-
nya. Kelainan itu pula yang menyebabkan sang pemuda mengalami keti-
daksadaran sehingga perlu untuk diberi ramuan. Akan tetapi ramuan
itu belum untuk menyembuhkan, melainkan untuk menyadarkan saja.
Sebelum tahu sebabnya, suatu penyakit sulit untuk disembuhkan.
Setelah diberi obat dan dibelai-belai dengan syang oleh Xyra, Lan-
tang pun merasa nyaman dan dapat tidur. Tak lupa Xyra menye-
limuti dirinya dan menunggu di sisinya. Tak dihiraukan orang tua
yang meletakkan makanan di hadapannya. Sebelum Lantang sehat,
tak ingin Xyra bersantap. Undinen memilik tubuh yang berbeda den-
gan manusia. Mereka dapat bertahan lama dalam air dan bahkan
tanpa makanan. Oleh sebab itu ia lebih berkonsentrasi pada kesem-
buhan Lantang ketimbang dirinya sendiri.
Pagi pun datang menjelang. Lantang telah merasa sehat kembali. Ia
bangun dan melihat Xyra tampak tertidur di sisinya dengan masih
memegang kain yang digunakan kemarin untuk menyeka keringat di
dahinya. Ia tampak tertidur dengan nyenyak. Entah sampai kapan
Undinen itu berjaga untuk Lantang. Diambilnya selimutnya untuk
ditutupkan pada tubuh Xyra, walapun mereka lebih tahan dingin ke-
timbang dirinya. 286 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Tak dilihatnya orang tua yang memberinya obat. Akan tetapi dite-
muinya sebuah mangkok besar berisi rempah-rempah dan ubi dan pe-
san agar ia memakan makanan itu. Makanan yang telah dibubuhi
obat-obatan untuk kesembuhannya.
*** Bertarungan pun berjalan dengan seru. Keenam orang perampok itu
tidak bisa berbuat banyak terhadap kedua orang guru dan murid itu.
Pertahanan mereka rapat dan saling melindungi. Bahkan kadang-
kadang pedang panjang keduanya colak-colek tubuh mereka sehingga
lepasnya nyawa tinggal berbeda beberapa jari saja.
Ada hal yang masih meragukan Walinggih untuk turun tangan mena-
matkan riwayat orang-orang jahat itu. Entah apa.
"Kamu ingat gerakan yang pernah engkau coba untuk mengalahkan
Telaga?" tanya Walinggih pada muridnya Sarini.
Sarini hanya mengangguk. "Cobalah pada mereka, jatuhkan pedangmu! Mereka pasti berpikir
bahwa lebih mudah mengalahkanmu tanpa pedang...," usul gurunya.
Ia ingin melihat hasil latihan muridnya dalam situasi sebenarnya.
Menghadapi Telaga, Sarini telah berhasil memanfaatkan hasil latihan-
nya. Akan tetapi sekarang lain. Dulu Telaga boleh dikatakan orang
yang tidak akan menjatuhkan tangan jahat kepada orang yang tidak
dikenalnya. Tidak demikian dengan orang-orang ini. Orang-orang
yang memang kegiatan sehari-harinya adalah berbuat jahat. Men-
jatuhkan tangan kejam bukan pantangan bagi mereka.
Menghadapi suatu pertempuran yang menentukan hidup atau mati
memerlukan ketenangan. Walinggih ingin melihat sejauh mana murid-
nya dapat mengendalikan ketenangannya. Semakin baik orang da-
pat mengotrol dirinya, semakin besar kemungkinannya untuk menang.
Bahkan dalam berbagai situasi.
Setelah gurunya memberikan sedikit petunjuk mengenai kekuatan dan
kelemahan lawan-lawannya, Sarini pun maju sambil berkata dengan
lantang, "Saudara-saudara perampok, bagaimana bila kita main-main
tanpa senjata" Dan satu lawan satu?"
287 Tercengang juga beberapa orang perampok yang mendengar usul yang
diutarakan oleh dara itu. Sudah ada senjata di tangan malah in-
gin dilepaskan. Akibatnya beberapa di antara mereka saling menoleh
seakan-akan minta pendapat.
Seorang dari mereka akhirnya berkata, "Hehehe, mungkin ia ingin
berlama-lama bermain dengan kita. Ikuti saja maunya, toh enak juga
colak-colek sedikit" Ia mengatakan itu sambil menyeringai, membuat
wajahnya yang sudah mengerikan sebagai perampok menjadi bertam-
bah mengerikan. Terbahak-bahak rekan-rekannya mendengar komentar yang miring
itu. Segera mereka menyarungkan kembali senjatanya dan sebagian
dari mereka mengambil tempat untuk melihat pertarungan yang akan
berlangsung. Seorang dari para perampok tersebut, Rakrakrak, bertubuh gembul
dan berkulit agak gelap. Tingginya kira-kira sama dengan Sarini.
Rambutnya yang kaku menghiasi berdiri kepalanya. Mirip durian.
Ia menyeringai saat mengajukan dirinya sebagai orang pertama yang
akan menghadapi Sarini. Ia sudah membayangkan akan memegang-
megang dara cantik yang menjadi lawannya itu. Wajahnya memerah
dan napasnya memburu. Nafsu telah menguasainya. Kelembutan
tubuh Sarini dan lekuk-lekuk tubunya telah memenuhi ruang otaknya.
Kelembutan yang akan segera mengisi kedua tangannya yang besar-
besar. Sarini sedikit mengernyitkan hidungnya melihat orang yang men-
jadi lawannya. Orang dengan tenaga kasar yang besar. Repot juga
pikirnya. Orang seperti ini harus ditemukan dulu jarak serangnya
dan juga sudut mati serangannya, sehingga ia bisa membuatnya tak
mampu mengeluarkan gerakan yang mematikan.
*** "Petani ompong she Gu, jangan petantang-petenteng di depan kami!"
bentak seorang dari empat orang yang berhadapan dengan seorang
tua yang sedang senyam-senyum itu.
Keempat orang tersebut terlihat berwajah garang, bertubuh kekar
tinggi dan beperawakan kasar. Sebilah golok tampak tergantung pada
288 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
pinggang masing-masing dari mereka. Sedangkan si kakek sendiri tam-
pak lemah dan kurus. Bajunya sederhana tapi bersih. Sedikit tam-
balan tampak di sana-sini.
"Kalian Su-Mo (Empat Setan), apa maunya menghadangku di sini?"
alih-alih takut seperti kebanyakan orang bila bertemu denga Su-Mo, si
Petani Ompong she Gu tampak tenang-tenang saja. Malah senyum-
nya semakin berkembang dengan melihat semakin gelapnya wajah
keempat Su-Mo yang berusaha menahan marah.
"Orang she Gu, jangan banyak omong! Engkau tau sudah apa kesala-
hanmu. Engkau sudah mengasut para petani di desa sebelah timur
sehingga tak mau lagi menurut dan membayar pajak kepada kami,"
ucap seorang lain dari mereka. Kali ini yang berbicara adalah seo-
rang yang berwajah paling putih dari Su-Mo. Mereka, Su-Mo terdiri
dari empat orang yang dinamai dengan warna wajah masing-masing,
Pek-Mo, Hek-Mo, Huang-Mo dan Ceng-Mo.
"Engkau tentu Pek-Mo," ucap kakek Gu itu, "wabis wajahmu putih
pucat mirip mayat!" "Grrrhhg!" terdengar dengus marah Hek-Mo. Ia adalah seorang dari
Su-Mo yang paling tidak sabaran. Mendengar saudaranya dihina, ia
pun mendengus marah dan membuka serangan. Dibacoknya kakek Gu
itu dengan golok yang tadi bertengger dipinggangnya. "Wuttt!"
Saat ia melakukan serangan itu ketiga saudaranya tertawa-tawa mem-
bayangkan tubuh kakek Gu yang akan terbelah dua terbabat oleh golok
Hek-Mo. Tapi sayangnya perkiraan mereka keliru. Bukannya kakek
Gu yang terbelah, malah Hek-Mo yang tampak terpincang-pincang
memegangi telapak kakinya yg tampak biru legam.
Rupanya saat dengan yakinnya Hek-Mo membacok kakek Gu tadi,
ia tidak memperhatikan pertahanan tubuhnya. Kakek Gu dengan
santainya mengelak dari serangan golok tersebut, memutar tubuhnya
dan mejatuhkan tumitnya dengan tenaga penuh ke atas telapak kaki
Hek-Mo. Walaupun memakai alas kaki, akan tetapi dengan kuatnya
putaran tubuh dan juga tenaga yang disalurkan, tendangan cangkul
kakek Gu memberikan hasil yang telak.
"Bangsat, orang she Gu! Kubunuh engkau sekarang!!" erang garang
289 Hek-Mo. Tampak ia masih berusaha menahan rasa sakit dari telapak
kakinya yang dirasakan hampir remuk tersebut. Senut-senut rasanya.
Huang-Mo sebagai orang paling tua dari Su-Mo segera tangap bahwa
si kakek Gu bukanlah orang sembarangan. "Zahnloserbauer (Petani
Ompong) mari kita main-main sebentar!" Ia pun mengisyaratkan pada
ketiga saudaranya untuk segera mengepung Zahnloserbauer dari keem-
pat penjuru. "Hehehe, baru sekarang kudengar lagi orang menyebut Zahnloser-
bauer," ucap kakek Gu, tapi sekarang nada suaranya berubah keren.
Tidak lagi cengangas-cengeges seperti tadi. Tampak bahwa sikap tadi
bukanlah sikap kebanyakan dari pembawaannya.
"Su-Mo, bukanlah pembawaanku mencampuri urusan orang, tapi ke-
jadian kemarin dulu di desa sebelah timur sudah mengusik rasa ger-
amku." Tampak bahwa kali ini kakek Gu atau yang dikenal sebagai
Zahnloserbauer agak menahan amarahnya. Lalu lanjutnya, "orang-
orang yang sudah susah itu masih kalian haruskan untuk membayar
pajak tinggi kepada kalian, dengan alasan keamanan."
"Zahnloserbauer, apa urusanmu" Memang ada di antara orang-orang
di desa sebelah timur itu adalah sanak saudaramu" Jika ada tunjuk
yang mana, tidak akan kami tarik pajak dari mereka," ucap Huang-
Mo agak mengalah. Ia pernah mendengar kehebatan Zahnloserbauer
di suatu wilayah Alemania (Jerman), di mana ia mengalahkan be-
berapa orang Ritter (Ksatria Berbaju Besi) di sana. Giginya yang
ompong itu juga akibat ulahnya yang menantang orang-orang untuk
mengadu kekuatan mengangkat beban berat dengan gigi. Walaupun
berhasil, akan tetapi tak lama setelah itu beberapa gigi mukanya tang-
gal. Meskipun demikian para Ritter tak berani lagi berlaku sem-
barangn dengannya. Di sana julukannya adalah Ritter Zahnloser-
bauer. Gu Ming adalah nama kakek Gu sebenarnya. Keluarganya berasal
dari Jiangxi. Ia yang tidak suka keadaan pada saat itu kemudian
merantau ke mana-mana dan beguru pada banyak orang. Kemampuan
silatnya yang campur-campur menjadi ciri khasnya. Selain itu banyak
pula pengetahuan tentang luasnya dunia ini, yang memicunya untuk
merantau, diperoleh dari saudara tuanya, Gu Long, seorang pengujar
290 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
terkenal pada jaman itu. Panjang ceritanya sampai ia tiba di Tlatah Antara (Nusantara). Be-
rasal dari daerah sekitar Tlatat Tengah (Tiongkok) merantau sam-
Dendam Dalam Darah 1 Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare Sang Pembunuh 2