Pencarian

Darah Olympus 4

The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 4


dengan prima. Dia berdiri dengan selusin pedang plastik miniatur di rambutnya, menyambar selang soda, dan menyemprotkan minuman ke mulutnya sendiri. "Aku suka ini!" Dilemparkannya seiris nanas ke dalam mulut. "Tapi, kali berikutnya, Bocah, bisakah kita mendarat di lantai dan bukan tiga meter di atasnya"" Nico tersaruk-saruk untuk keluar dari tengah-tengah pakis. Dia ambruk di kursi terdekat dan menepis seekor nuri biru yang hendak mendarat di kepalanya. Setelah bertempur melawan Lycaon, Nico telah membuang jaket penerbangnya yang robek-robek. Kaus hitamnya yang bermotif tengkorak juga compang-camping. Reyna telah menjahit luka robek di biseps anak laki-laki itu, alhasil membuat penampilan Nico agak seram karena mirip monster Frankenstein, tapi luka-luka itu masih bengkak dan merah. Tak seperti gigitan, cakar manusia serigala tidak menularkan likantropi, tapi Reyna tahu dari pengalaman bahwa luka cakar tersebut lambat sembuh dan seperih tetesan asam pekat. "Aku harus tidur." Nico mendongak sambil bengong. "Apa kita aman"" Reyna menelaah halaman. Tempat itu lengang, tapi dia tidak paham sebabnya. Pada jam seperti ini di malam hari, restoran tersebut semestinya penuh sesak. Di atas mereka, langit petang sudah cokelat kemerahan seperti terakota, sewarna dengan dinding bangunan. Atrium dikelilingi balkon-balkon lantai dua yang kosong, hanya disemarakkan oleh azalea dalam pot yang menggelayut dari pagar logam putih. Di pintu kaca lebar, interior restoran tampak gelap. Satu-satunya bu
nyi berasal dari air mancur yang berdeguk merana dan burung nuri yang sesekali berkoak kesal. "Ini Barrachina," kata Reyna.
"Bar apa itu"" Hedge membuka sestoples ceri maraschino dan menuangkan isinya ke dalam mulut. "Bukan bar, tapi restoran terkenal," kata Reyna, "di tengah-tengah kota tua San Juan. Seingatku, restoran ini menciptakan ping colada pada 1960-an dulu. Tahu minuman dari rum, santan, dan jus nanas." Nico terjungkal dari kursinya, bergelung di lantai, dan mulai mendengkur. Pak Pelatih Hedge beserdawa. "Wah, kelihatannya kita harus menginap di sini untuk sementara. Jika mereka belum menciptakan minuman baru sejak tahun enam puluhan, sekarang sudah waktunya. Biar aku bekerja!" Sementara Hedge mengoprek bahan-bahan di belakang bar, Reyna bersiul memanggil Aurum dan Argentum. Selepas perkelahian dengan manusia serigala, kondisi kedua anjing itu tidak bagus, tapi Reyna menyuruh mereka bertugas jaga. Dia mengecek pintu masuk atrium yang berbatasan dengan jalan. Gerbang besi dekoratif terkunci. Plang dalam bahasa Spanyol dan Inggris mengumumkan bahwa restoran itu tutup untuk pesta pribadi. Pengumuman tersebut terkesan janggal, sebab tempat itu kosong melompong. Di sebelah bawah plang, tertera inisial timbul: HPDN. Inisial ini mengusik Reyna, sekalipun dia tidak tahu persis sebabnya. Dia memicingkan mata ke balik gerbang. Calle Fortaleza sepi sekali, tidak biasa-biasanya. Trotoar berubin biru bebas lalu lintas dan pejalan kaki. Emperen toko yang berwarna pastel ditutup dan gelap gulita. Apa ini hari Minggu" Atau hari libur" Keresahan Reyna kian bertambah. Di belakang Reyna, Pak Pelatih Hedge bersiul-siul Hang sambil menjajarkan blender. Burung-burung nuri mendekam di pundak Athena Parthenos. Reyna bertanya-tanya apakah bangsa
Yunani bakal tersinggung jika patung keramat mereka tiba dalam keadaan berlumur tahi burung tropis. Dari sekian banyak tempat, Reyna justru mendarat di ... San Juan. Mungkin ini cuma kebetulan, tapi dia khawatir bukan. Rute dari Eropa ke New York sesungguhnya tidak melewati Puerto Rico. Letaknya terlampau jauh ke selatan. Selain itu, Reyna sudah berhari-hari meminjami Nico kekuatan. Barangkali dia memengaruhi anak lelaki itu secara tak radar. Nico cenderung tertarik ke pemikiran menyakitkan, rasa takut, kegelapan; sedangkan kenangan Reyna yang paling gelap dan paling menyakitkan adalah San Juan. Rasa takutnya yang terbesar" Kembali ke sini. Kedua anjingnya menangkap keresahan Reyna. Mereka berjingkat-jingkat di halaman, menggeram ke bayang-bayang. Argentum yang malang berputar-putar, berusaha memosisikan kepalanya yang bengkok agar bisa melihat dengan satu mata mirah delima. Reyna mencoba berkonsentrasi pada kenangan-kenangan positif. Dia merindukan bunyi katak coqui kecil, berdendang di lingkungan seputar rumahnya seperti paduan suara tutup botol yang terbuka. Dia merindukan aroma laut, magnolia yang bermekaran dan pohon jeruk, roti yang baru dipanggang dari panaderia lokal. Bahkan hawa lembap terasa nyaman dan tidak asing seperti udara wangi dari ventilasi pengering. Sebagian dari diri Reyna ingin membuka gerbang dan menjelajahi kota. Dia ingin mengunjungi Plaza de Armas, tempat pria-pria tua bermain domino dan kedai kopi menjual espresso yang caking pekatnya membuat telinga meletup. Dia ingin menyusuri jalan rumahnya yang lama, Calle San Jose, sambil menghitung dan menamai kucing-kucing telantar, mengarang cerita untuk
masing-masing ekor, seperti kebiasaannya dulu dengan kakakny a. Dia ingin menerobos ke dapur Barrachina dan memasak mofongo autentik dengan pisang goreng, daging babi, dan bawang putih-- cita rasa yang akan senantiasa mengingatkannya pada Minggu sore, ketika dia dan Hylla dapat kabur sejenak dari rumah dan, jika mereka beruntung, makan di dapur tersebut, yang stafnya mengenal dan mengasihani mereka. Di sisi lain, Reyna ingin pergi secepatnya. Dia ingin membangunkan Nico, tidak peduli betapa letihnya anak laid- laiditu, dan memaksanya menempuh perjalanan bayangan untuk menyingkir dari sini ke mana saja asalkan bukan San Juan. Berada dekat sekali dengan rumah lamanya menyeb
abkan Reyna merasa setegang tali katapel yang ditarik. Diliriknya Nico. Walaupun malam itu hangat, dia menggigil di lantai ubin. Reyna mengeluarkan selimut dari tasnya dan menutupi tubuh Nico. Reyna tidak lagi merasa janggal karena ingin melindungi Nico. Kenyataannya adalah, mereka sekarang memiliki keterhubungan. Tiap kali mereka menempuh perjalanan bayangan, rasa letih serta derita Nico menjalari Reyna, dan dia sedikit lebih memahan- i anak lelaki itu.
Nico benar-benar sebatang kara. Dia kehilangan kakak perempuannya, Bianca. Dia mengusir semua demigod lain yang berusaha mendekatinya. Pengalamannya di Perkemahan Blasteran, di Labirin, dan di Tartarus telah meninggalkan luka pada batinnya menjadikannya takut untuk memercayai siapa pun. Reyna ragu bisa mengubah perasaan anak lald-lald itu, tapi dia ingin Nico memperoleh sokongan. Semua pahlawan layak menerimanya. Itulah inti dari keberadaan Legiun XII. Kita menggabungkan kekuatan untuk memperjuangkan tujuan mulia. Kita tidak sendirian. Kita menjalin pertemanan dan dihargai
Sekalipun sudah pensiun dari kemiliteran, kita tetap memiliki tempat dalam komunitas. Tiada demigod yang pantas menderita seorang din seperti Nico. Malam ini 25 Juli. Tujuh hari lagi 1 Agustus. Teorinya, masih banyak waktu untuk mencapai Long Island. Begitu mereka menuntaskan misi, jika mereka menuntaskan misi, Reyna akan memastikan agar Nico mendapat pengakuan atas keberaniannya. Dilepaskannya ranselnya. Reyna mencoba menyempilkan tas ke bawah kepala Nico untuk bantal, tapi jemarinya menembus tubuh anak lelaki itu seolah dia hanya bayangan. Reyna berjengit, menarik tangannya ke belakang. Kedinginan karena ngeri, dia mencoba lagi. Kali ini, Reyna bisa mengangkat leher Nico dan menggeser bantal ke bawah kepalanya. Kulit Nico terasa dingin, tapi normal-normal saja. Apakah Reyna berhalusinasi" Nico telah mengerahkan begitu banyak energi untuk mengarungi bayangan mungkin dia mulai memudar secara permanen. Kalau dia terus memaksa din sampai ke batas kekuatannya hingga tujuh hari mendatang Bunyi blender menyentakkan Reyna dari permenungan. "Kau mau smoothie"" tanya sang pelatih. "Yang ini nanas, mangga, jeruk, dan pisang, ditaburi secentong kelapa serut. Aku menamainya Hercules!" "Aku tidak usah, terima kasih." Reyna melirik ke balkon-balkon di atas yang mengelilingi atrium. Dia masih merasa aneh bahwa restoran itu kosong. Pesta pribadi. HPDN. "Pak Pelatih, sebaiknya kuperiksa lantai dua. Aku tidak Sekelebat gerakan tertangkap oleh matanya. Balkon di kanan sosok gelap. Di atas itu, di tepi atap, dilatarbelakangi awan-awan jingga, bermunculanlah beberapa siluet lagi. Reyna mencabut pedangnya, tapi sudah terlambat.
Kilatan perak, bunyi wusss lirih, dan ujung jarum tertancap di tengkuknya. Penglihatan Reyna menjadi gelap. Tungkainya melemas seperti spageti. Dia ambruk di sebelah Nico. Selagi matanya mengabur, Reyna melihat kedua anjingnya berlari menghampirinya, tapi mereka mematung di tengah gonggongan dan lantas terguling ke samping. Di bar, sang pelatih berteriak, "Heir Wusss lagi. Sang pelatih roboh dengan panah kecil perak di lehernya. Reyna berusaha mengatakan, Nico, bangun. Suaranya tidak keluar. Tubuhnya total tidak berfungsi, sama seperti anjing logamnya. Sosok-sosok gelap berderet di atas atap. Setengah lusin melompat ke halaman, hening dan anggun. Salah satu mencondongkan badan ke atas Reyna. Dia hanya bisa melihat bentuk kelabu buram. Suara teredam berkata, "Bawa dia." Kepalanya dimasukkan ke karung. Reyna samar-samar bertanya beginikah dia akan mati bahkan tanpa melawan. Kemudian, tidak jadi soal. Beberapa pasang tangan kasar menggotongnya seperti perabotan berat dan lamat lamat jatuh tak sadarkan diri .[]
BAB DUA PULUH DUA REYNA JAWABAN DATANG KE BENAKNYA SEBELUM dia sadar sepenuhnya. Inisial pada plang di Barrachina: HPDN. "Tidak lucu," Reyna berkomat-kamit sendiri. "Tidak lucu sama sekali." Bertahun-tahun silam, Lupa mengajarinya cara tidur-tidur ayam, alhasil dia selalu bangun dalam keadaan segar dan siap menyerang. Kini, sementara indranya pulih kembali, dia menaksir situasinya. Karung m
asih membungkus kepalanya, tapi sepertinya tidak dikencangkan di seputar lehernya. Reyna diikat ke kursi keras kayu, berdasarkan teksturnya. Tambang terasa erat di tulang iganya. Tangannya ditalikan ke belakang, tapi kakinya bebas di bagian pergelangan. Entah penangkapnya ceroboh, atau mereka tidak menduga Reyna bakal bangun secepat itu. Reyna menggoyang-goyangkan jemari tangan dan kakinya. Apa pun obat bius yang mereka gunakan, efeknya sudah hilang.
Di suatu tempat di depannya, langkah kaki bergema di koridor. Bunyi tersebut semakin dekat. Reyna membiarkan otot ototnya melemas. Disandarkannya dagu ke dada. Kunci diputar. Pintu berderit terbuka. Dinilai dari akustiknya Reyna berada dalam ruangan kecil berdinding bata atau beton mungkin ruang bawah tanah atau sel. Satu orang memasuk ruangan. Reyna memperhitungkan jarak. Tidak lebih dari satu setengah meter. Dia menerjang ke depan, berputar sehingga kaki kursinya menabrak tubuh penawannya. Benturan tersebut mematahkan kursi. Penawannya jatuh sambil mengerang kesakitan. Teriakan dari koridor. Semakin banyak langkah kaki. Reyna menggoyangkan karung hingga terlepas dari kepalanya Dia berguling ke belakang, menarik tangannya yang terikat ke bawah kakinya sehingga lengannya kini berada di depan. Penangkapnya seorang gadis remaja berpakaian kamuflase abu-abu tergolek linglung di lantai, sebilah pisau di sabuknya. Reyna menyambar pisau dan menduduki gadis itu, menodongkan bilah senjata ke leher penawannya. Tiga orang gadis lain menyesaki ambang pintu. Duo menghunus pisau. Yang ketiga memasang panah di busurnya. Sekejap, semuanya mematung. Arteri karotid tawanan Reyna berdenyut-denyut di bawah bilah pisau. Dengan bijak, gadis itu tidak coba-coba bergerak. Reyna merunut sejumlah skenario untuk menaklukkan tiga orang di ambang pintu. Mereka semua mengenakan kaus kamuflase abu-abu, jinn hitam pudar, sepatu olahraga hitam, dan sabuk serbaguna seperti hendak berkemah atau naik gunung atau berburu. "Kalian Pemburu Artemis," Reyna tersadar.
. "Santai," kata gadis yang membawa busur. Rambut merahnya dicukur di samping, panjang di atas. Dia berperawakan bak pegulat profesional. "Kau salah tangkap." Gadis di lantai mengernbuskan napas, tapi Reyna tahu trik itu berusaha melonggarkan pegangan musuh. Reyna menodongkan pisau semakin rapat ke leher gadis itu. "Kalian yang salah tangkap," ujar Reyna, "kalau kalian pikir bisa menyerang dan menawanku. Di mana teman-temanku"" "Tidak terluka, tepat di tempat kau meninggalkan mereka," janji gadis berambut merah. "Sudahlah, kami bertiga dan tanganmu terikat." "Kau benar," geram Reyna. "Panggil enam orang lagi dan kemudian perkelahian mungkin baru berimbang. Aku menuntut bertemu dengan letnan kalian, Thalia Grace." Gadis berambut merah mengerjapkan mata. Rekan-rekannya mencengkeram pisau mereka dengan gelisah. Di lantai, tawanan Reyna mulai gemetaran. Reyna mengira dia kejang. Lantas dia menyadari bahwa gadis itu tertawa. "Ada yang lucu"" tanya Reyna. Suara gadis itu hanya berupa bisikan parau. "Jason memberi-tahuku bahwa kau jago. Dia tidak mengatakan sejago apa." Reyna memfokuskan perhatian pada tawanannya secara lebih saksama. Gadis itu berumur sekitar enam belas tahun, berambut hitam berpotongan tak rata, dan bermata biru cemerlang. Mahkota berbentuk bulatan perak melingkar di dahinya. "Kau Thalia"" "Dan aku akan dengan senang hati menjelaskan," kata Thalia, "asalkan kau berbaik hati tidak mengiris leherku."
. Para Pemburu membimbing Reyna melalui koridor-koridor serumit labirin. Dinding terbuat dari beton yang dicat hijau tentara, tidak berjendela. Satu-satunya penerangan berasal da ri lampu neon redup tiap selang enam meter. Lorong meliuk-liuk, berbelok, dan memutar balik, tapi si Pemburu berambut merah, Phoebe, memandu perjalanan. Dia sepertinya tahu hendak menuju ke mana. Thalia Grace terpincang-pincang sambil memegangi tulang iganya yang Reyna tabrak dengan kursi. Sang Pemburu pasti kesakitan, tapi matanya berbinar-binar geli. "Aku lagi-lagi minta maaf karena sudah menculikmu." Thalia kedengarannya tidak terlalu menyesal. "Markas ini rahas
ia. Kaum Amazon punya protokol tertentu " "Kaum Amazon. Kau bekerja untuk mereka"" "Dengan mereka," ralat Thalia. "Kami menjalin kesepahaman. Terkadang kaum Amazon menembuskan rekrut kepada kam. Terkadang, apabila kami menjumpai anak perempuan yang tida ingin menjadi perawan selamanya, kami kirimkan mereka kepad kaum Amazon. Kaum Amazon tidak menandatangani sumpah semacam itu." Salah seorang Pemburu lain mendengus muak. "Memelihara budak laki-laki yang dibelenggu di kerah dan berseragam jingga terusan. Mending memelihara sekawanan anjing." "Lelaki mereka bukan budak, Celyn," tegur Thalia. "Semata mata pembantu yang patuh." Dia melirik Reyna. "Kaum Amazon dan Pemburu tidak selalu sepakat dalam segala hal, tapi sejak Gaea pelan-pelan terbangun, kami telah bekerja sama erat. Karena Perkemahan Jupiter dan Perkemahan Blasteran sedang bersitegang singkat kata, harus ada yang meladeni monster-monster. Pasukan kami tersebar ke sepenjuru benua."
. Reyna memijat-mijat bekas tali di pergelangan tangannya. "Kukira kau memberi tahu Jason bahwa kau tidak tahu apa-apa tentang Perkemahan Jupiter." "Waktu itu kami memang tidak tahu. Tapi masa-masa itu telah berlalu, berkat siasat Hera." Ekspresi Thalia berubah menjadi serius. "Bagaimana kabar adikku"" "Ketika aku meninggalkannya di Epirus, dia baik-baik saja." Reyna menyampaikan yang dia tahu kepada Thalia. Reyna berpendapat bahwa mata Thalia menggentarkan: biru elektrik, tajam, dan awas, teramat menyerupai Jason. Selain itu, kakak-beradik tersebut sama sekali tidak mirip. Rambut Thalia berwarna gelap dan berpotongan tidak rata. Celana jinsnya robek-robek, dipeniti di mana-mana. Dia mengenakan rantai logam di seputar leher dan pergelangan kakinya, sedangkan baju kamuflase kelabunya dipasangi pin yang bertuliskan HIDUP PUNK. MATI KAU. Reyna selalu menganggap Jason Grace sebagai pemuda Amerika teladan. Thalia lebih mirip gadis yang merampok pemuda Amerika teladan di gang sambil menodongkan pisau. "Kuharap dia masih baik-baik saja," Thalia membatin. "Beberapa malam lalu aku memimpikan ibu kami. Mimpi itu tidak menyenangkan. Kemudian aku mendapatkan pesan dari Nico lewat mimpiku bahwa Orion memburu kalian. Itu malah lebih tidak menyenangkan lagi." "Itulah sebabnya kalian di sini. Kau mendapat pesan Nico." "Wah, kami tidak buru-buru ke Puerto Rico untuk liburan. Ini adalah salah satu markas kaum Amazon yang paling aman. Kami bertaruh bahwa kami bakal bisa mencegat kalian." "Mencegat kami caranya bagaimana" Untuk apa"" Di depan mereka, Phoebe berhenti. Koridor dibuntu oleh sepasang pintu logam. Phoebe mengetuk pintu itu dengan pangkal pisaunya serangkaian ketukan seperti kode Morse.
. Thalia mengurut-urut iganya yang memar. "Aku harus meninggalkanmu di sini. Para Pemburu berpatroli di kota tua, berjaga kalau-kalau Orion datang. Aku harus kembali ke baris depan." Dia mengulurkan tangan penuh harap. "Tolong, bisa kembalikan pisauku"" Reyna mengembalikan pisau tersebut. "Bagaimana dengan senjataku sendiri"" "Senjatamu akan dikembalikan sewaktu kau meninggalkan tempat ini. Aku tahu kesannya konyol menculik dan menutup matamu dan sebagainya tapi kaum Amazon menyikapi perkara keamanan secara serius. Bulan lalu mereka mengalami insiden di markas pusat mereka di Seattle. Mungkin kau sudah dengar. Seorang gadis bernama Hazel Levesque mencuri seekor kuda." Celyn sang Pemburu menyeringai. "Naomi dan aku melihat rekaman video keamanannya. Hebat sekali." "Keren," Pemburu ketiga sepakat. "Pokoknya," kata Thalia, "kami mengawasi Nico dan sang satin Laki-laki tak berizin tidak diperbolehkan dekat-dekat dengan tempat ini, tapi kami meninggalkan pesan untuk mereka, supaya mereka tidak khawatir." Dari sabuknya, Thalia mengambil kertas yang terlipat. Dia menyerahkan kertas tersebut kepada Reyna. Isinya berupa fotokopi dari pesan bertulis tangan:
Kami pinjam praetor Romawi. Dia akan dikembalikan dengan selamat. Duduk yang manis. Kalau tidak, akan kami bunuh kalian. XOX, Pemburu Artemis
Reyna mengembalikan surat itu. "Bagus. Mereka tentu takkan khawatir sama sekali." Phoebe menyeringai. "Tidak apa-apa. Aku sud
ah menutupi Athena Parthenos kalian dengan jaring kamuflase baru rancanganku. Jaring itu semestinya bisa mencegah monster bahkan Orion menemukannya. Lagi pula, jika tebakanku benar, yang Orion lacak bukan patung melainkan kau." Reyna merasa seperti kena tinju di antara kedua matanya. "Bagaimana kau tahu"'' "Phoebe pelacakku yang terbaik," kata Thalia. "Dan tabibku yang terbaik. Juga pokoknya, Phoebe biasanya benar." "Biasanya"" Phoebe memprotes. Thalia angkat tangan seperti menyerah. "Tentang alasan mengapa kami mencegatmu, akan kubiarkan kaum Amazon menjelaskan. Phoebe, Celyn, Naomi temani Reyna ke dalam. Aku harus memeriksa pertahanan kita." "Kau menduga akan ada pertarungan," Reyna berkomentar. "Tapi, katamu tempat ini rahasia dan aman." Thalia menyarungkan pisaunya. "Kau tidak mengenal Orion. Kuharap waktu kita lebih banyak, Praetor. Aku ingin Mendengar tentang perkemahanmu dan bagaimana ceritanya sampai kau tinggal di sana. Kau teramat mengingatkanku pada kakakmu, tapi ' "Kau kenal Hylla"" tanya Reyna. "Apo dia aman"" Thalia menelengkan kepala. "Tak seorang pun di antara kita aman dewasa ini, Praetor, jadi aku benar-benar harus pergi. Selamat berburu!" Thalia menyusuri koridor hingga menghilang. Pintu logam berderit terbuka. Ketiga Pemburu mempersilakan Reyna masuk.
Setelah terowongan sempit, ukuran gudang tersebut membuat Reyna terkesiap. Sekawanan elang raksasa bisa bermanuver di bawah langit-langit lapang itu. Tumpukan rak setinggi tiga lantai terbentang hingga ke cakrawala. Forklift- robotik mendesing sana-sini di lorong antar-rak, mengambili kotak-kotak. Setengah lusin wanita muda berjas-celana hitam berdiri di dekat sana, saling membandingkan catatan di komputer sabak mereka. Di depan mereka, terdapat peti-peti berlabel: PANAH EKSPLOSIF DAN API YUNANI (I 6 OZ. EZ-PAK TERBUKA) dan PAKAN GRYPHON (ORGANIK NON-BUDIDAYA). Tepat di hadapan Reyna, di balik meja konferensi yang memuat segunung laporan dan senjata tajam, duduklah sosok yang tak acing lagi. "Adik." Hylla berdiri. "Di sinilah kita, kembali pulang. Lagi-lagi menghadapi maut. Kita harus berhenti bertemu dalam keadaan seperti ini." []
BAB DUA PULUH EMPAT REYNA REYNA MENGGAPAI PEDANGNYA-LALU TERSADAR BAHW) A dia tidak membawa pedang. "Keluar dari sini!" Phoebe menyiapkan busurnya. Celyn dan Naomi lari ke ambang pintu yang penuh asap, tap mereka sontak tumbang gara-gara panah hitam. Phoebe menjerit murka. Dia balas menembak sementara kaurr Amazon bergegas maju sambil membawa tameng dan pedang. "Reyna!" Hylla menarik lengannya. "Kita harus pergi!" "Kita tidak boleh " "Para pengawalku akan mengulur-ulur waktu untukmu!' teriak Hylla. "Misimu harus berhasil." Reyna benci berbuat begini, tapi dia lari mengejar Hylla. Mereka mencapai pintu samping dan Reyna pun melirik la belakang. Lusinan serigala serigala kelabu seperti di Portugal menerjang masuk ke gudang. Kaum Amazon bergegas mengadang mereka. Di ambang pintu yang penuh asap, berserakanlah jasad mereka yang tewas: Celyn, Naomi, Phoebe. Pemburu berambut merah yang telah hidup ribuan tahun kini bergeming, terkulai
dengan mata membelalak karena terguncang, panah merah-hitam kebesaran menancap di perutnya. Kinzie sang Amazon menyerbu ke depan, pisau panjangnya berkilat-kilat. Dia melompati jasad-jasad itu dan merangsek masuk ke kepulan asap. Hylla menarik Reyna ke koridor. Mereka pun lari bersama-sama. "Bisa-bisa mereka semua meninggal!" teriak Reyna. "Pasti ada sesuatu " "Jangan bodoh, Dik!" Mata Hylla berkaca-kaca. "Orion mengakali kita. Dia mengubah penyergapan menjadi pembantaian. Yang sekarang bisa kita lakukan hanyalah menahan dia sementara kau kabur. Kau harus mengembalikan patung itu kepada bangsa Yunani dan mengalahkan Gaea!" Dia membimbing Reyna menaiki tangga. Mereka menelusuri koridor-koridor nan ruwet, lalu mengitari pojokan untuk masuk ke ruang loker. Mereka mendapati diri mereka berhadapan dengan serigala kelabu besar, tapi bahkan sebelum hewan itu sempat menggeram, Hylla meninjunya di antara kedua mata. Serigala itu kontan roboh. "Di sebelah sini." Hylla lari ke deretan loker terdekat. "Senjat
a-mu di dalam. Cepat." Reyna menyambar pisaunya, pedangnya, dan tasnya. Lalu dia mengikuti sang kakak menaiki tangga logam melingkar. Tangga itu berujung buntu, di langit-langit. Hylla membalikkan badan dan memandangi Reyna dengan galak. "Maklum saja, ya"! Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan ini. Tetaplah tabah. Tetap jaga komunikasi." Reyna bertanya-tanya apa kiranya yang lebih parah ketimbang peristiwa yang baru mereka tinggalkan. Hylla mendorong pintu tingkap dan mereka pun memanjat ke dalam rumah lama mereka sendiri.
Ruangan besar itu persis seperti yang Reyna ingat. Jendela langit-langit keruh tampak cemerlang, enam meter di atas sana. Dinding putih polos tidak dihiasi apa-apa. Furnitur terbuat dari kayu ek, baja, dan kulit putih impersonal dan maskulin. Di kedua sisi ruangan, terdapat teras, yang selalu membuat Reyna merasa seperti sedang diawasi (karena sering kali, dia memang sedang diawasi). Ayah mereka telah melakukan segalanya yang dia bisa untuk menjadikan hacienda berusia berabad-abad ini terasa bagaikan rumah modern. Dia menambahkan jendela langit-langit, mengecat putih semuanya untuk memberi kesan lebih cerah serta lebih lapang. Tapi, dia hanya berhasil menjadikan tempat itu menyerupai mayat bersetelan baru nan rapi. Pintu jebakan terbuka ke perapian mahabesar. Apa sebabnya mereka punya perapian di Puerto Rico, Reyna tidak pernah mengerti, tapi dia dan Hylla dulu kerap berpura-pura bahwa pendiangan itu adalah persembunyian rahasia yang takkan bisa ayah mereka temukan. Mereka dulu membayangkan bisa melangkah masuk dan mendatangi tempat-tempat lain. Kini, Hylla telah mewujudkan khayalan itu. Dia telah menghubungkan sarang bawah tanahnya dengan rumah masa' kecil mereka. "Hylla " "Sudah kubilang, kita tidak punya waktu." "Tapi " "Aku sekarang pemilik bangunan ini. Aku mendaftarkan sertifikatnya atas namaku." "Kau melakukan ape "Aku bosan melarikan diri dari masa lalu, Reyna. Kuputuskan untuk mengklaimnya kembali."
Reyna menatap kakaknya sambil bengong. Kita bisa mcngklaim telepon yang hilang atau tas di bandara. Kita bahkan bisa mengklaim kewarganegaraan. Tapi rumah ini, juga peristiwa yang telah terjadi di sini" Semua itu tidak bisa diklaim kembali. "Dik," kata Hylla, "kita membuang-buang waktu. Kau mau kcluar atau tidak"" Reyna mengamati balkon, setengah menduga sosok-sosok benderang bakal bekerlap-kerlip di pagar. "Sudahkah kau melihat tnereka"" "Beberapa dari mereka." "Papa"" "Tentu saja tidak," bentak Hylla. "Kau tahu dia sudah pergi selamanya." "Aku tidak tahu. Bagaimana bisa kau kembali" Kenapa"" "Supaya paham!" bentak Hylla. "Tidakkah kau ingin mengetahui bagaimana hal itu menimpa Papa"" "Tidak! Kita tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari hantu, Hylla. Di antara semua orang, kau semestinya yang paling menyadari " "Aku mau pergi," kata Hylla. "Teman-temanmu berada beberapa blok dari sini. Apa kau hendak ikut aku, atau perlukah kuberi tahu mereka bahwa kau mati karena tersesat dalam masa lalu"" "Bukan aku yang mengklaim kepemilikan atas tempat ini!" Hylla berputar dan berderap ke luar pintu. Reyna melihat ke sepenjuru ruangan sekali lagi. Dia ingat hari terakhirnya di sini, ketika umurnya sepuluh tahun. Dia hampir-hampir bisa mendengar raungan marah ayah mereka yang bergema di ruangan besar itu, juga paduan suara hantu-hantu yang merintih di balkon.
Dia lari ke pintu keluar. Disongsongnya sinar mentari sore yang hangat, mendapati bahwa jalan belum berubah rumah-rumah pastel yang bobrok, ubin biru, lusinan kucing yang tidur di bawah mobil atau di keteduhan pohon pisang. Reyna mungkin bisa merasakan nostalgia ... masalahnya, kakaknya berdiri beberapa kaki saja dari sana, berhadap-hadapan dengan Orion. "Wah, wah." Sang raksasa tersenyum. "Kedua putri Bellona bersama-sama. Bagus sekali!"
Reyna secara pribadi tersinggung. Dia telah mereka-reka dalam benaknya bahwa Orion adalah iblis tinggi besar bertampang jelek, malah lebih buruk rupa daripada Polybotes, raksasa yang pernah menyerang Perkemahan Jupiter. Akan tetapi, Orion bisa saja dikira sebagai manusia manusia jangkung, kekar, dan tampan. Kul
itnya cokelat sewarna roti gandum panggang. Rambut gelapnya dipotong cepak, rancung di atas. Berkat celana ketat dan rompi kulit hitam, pisau berburu, dan busur serta wadah panahnya, Orion bisa saja dikira sebagai kembaran jahat Robin Hood, hanya saja lebih ganteng. Satu-satunya yang membuyarkan citra tersebut adalah matanya. Sekilas, Orion tampaknya mengenakan kacamata militer khusus penglihatan malam. Kemudian Reyna menyadari bahwa itu bukan kacamata, melainkan karya Hephaestus mata mekanis yang ditanamkan dalam rongga mata sang raksasa. Ring pemfokus berputar dan berdesing sementara Orion memperhatikan Reyna. Laser pembidik mengilatkan warna dari merah menjadi hijau. Reyna mendapat kesan menggelisahkan bahwa yang Orion lihat lebih dari sekadar sosok Reyna, tapi juga sidik panahnya, detak jantungnya, tingkat rasa takutnya.
Di sisinya, Orion memegang busur komposit hitam yang nyaris sekeren matanya. Deretan tali busur terentang di antara .l rangkaian katrol yang menyerupai roda kereta api uap miniatur. Pegangan busur terbuat dari perunggu mengilap, bertatahkan kenop dan tombol. Anak panah belum terpasang ke busurnya. Dia tidak membuat gerakan mengancam. Dia tersenyum- cemerlang sekali sampai-sampai sulit mengingat bahwa dia adalah musuh seseorang yang telah membunuh setidaknya setengah lusin Pemburu dan wanita Amazon untuk tiba di sini. Hylla mencabut pisaunya. "Reyna, pergilah. Akan kuurus monster ini." Orion terkekeh-kekeh. "Hylla Pencabut Dua Nyawa, kau punya nyali. Begitu pula letnan-letnanmu. Mereka sudah mati." Hylla maju selangkah. Reyna menyambar lengan kakaknya. "Orion!" katanya. "Tanganmu sudah berlumuran terlalu banyak darah kaum Amazon. Barangkali sudah waktunya kau mencoba menjajal orang Romawi." Mata sang raksasa berdesing dan membesar. Titik-titik laser merah melesat di atas tameng dada Reyna. "Ah, sang praetor belia. Kuakui, aku memang penasaran. Sebelum aku menghabisimu, barangkali kau bersedia memberiku pencerahan. Kenapa seorang anak Romawi bersusah payah demi menolong bangsa Yunani" Kau telah melepaskan jabatan, meninggalkan legiunmu, menjadikan dirimu buronan dan untuk apa" Jason Grace menolakmu. Percy Jackson menampikmu. Tidakkah sudah cukup kau ... apa istilahnya ... dicampakkan"" Telinga Reyna berdengung. Dia teringat peringatan Aphrodite, dua tahun lampau di Charleston: Kau takkan menemukan cinta di
tempat yang kau harapkan atau kau inginkan. Takkan ada demigo yang mampu menyembuhkan hatimu. Dia memaksa diri untuk bertemu pandang dengan san raksasa. "Nilai diriku tidak ditentukan oleh cowok-cowok yang. mungkin menyukai atau tidak menyukaiku." "Kata-kata yang berani." Senyum sang raksasa sungguh mendongkolkan. "Tapi, kau sama saja dengan bangsa Amazon, atau para Pemburu, atau Artemis sendiri. Kau menggembar-gemborkan ketangguhan dan kemandirian. Begitu kau berhadapan dengan pria berkekuatan sejati, kepercayaan dirimu remuk. Kau merasa terancam oleh dominasiku dan oleh daya pikatku. Jadi, kau pun lari, atau menyerah, atau mati." Hylla menepis tangan Reyna. "Akan kubunuh kau, Raksasa. Akan kucacah kau kecil-kecil " "Hylla," potong Reyna. Apa pun yang terjadi di sini, dia tidak boleh menyaksikan kakaknya mati. Reyna harus terus memancing fokus sang raksasa hingga tertuju pada dirinya. "Orion, kau mengaku kuat. Tapi, kau tidak bisa menepati sumpah Perburuan. Kau meninggal dalam keadaan ditolak. Dan sekarang kau menjadi pesuruh ibumu. Jadi, coba bed tahu aku lagi, kau menggentarkan di sebelah mana tepatnya"" Rahang Orion menegang. Senyumnya menjadi kian tipis dan kian dingin. "Percobaan yang bagus," dia mengakui. "Kau bermaksud membuatku hilang keseimbangan. Kau berpikir, barangkali, jika kau terus bicara, bala bantuan akan menyelamatkanmu. Sayang beribu sayang, Praetor, tidak ada bala bantuan. Aku sudah membakar markas bawah tanah saudarimu dengan api Yunani-nya sendiri. Tiada yang selamat."
Hylla menggerung dan menyerang. Orion menghajar Hylla dengan pegangan busurnya. Hylla terpental ke belakang ke jalanan. Orion mencabut anal( panah dari wadahnya. "Stop!" Reyna berteriak. Jantungnya berdentum-
dentum dalam sangkar iganya. Dia harus mencari kelemahan raksasa ini. Barrachina hanya berjarak beberapa blok dari sini. Jika mereka sampai sejauh itu, Nico mungkin bisa membawa pergi mereka dari sini dengan perjalanan bayangan. Selain itu, tidak mungkin semua Pemburu mati Mereka sibuk berpatroli di sekeliling luar kota tua. Tentunya sebagian dari mereka masih di luar sana . "Orion, kau menanyakan motifku." Reyna menjaga suaranya agar tetap tenang. "Tidakkah kau menginginkan jawaban sebelum kau membunuh kami" Kau pasti penasaran, apa sebabnya perempuan berkali-kali menolak lelaki besar tampan sepertimu." Sang raksasa membidikkan panahnya. "Sekarang kau mengelirukanku dengan Narcissus. Aku tidak bisa disanjung-sanjung." "Tentu saja tidak," kata Reyna. Hylla bangun dengan mimik hendak membunuh di wajahnya, tapi Reyna menularkan instingnya, berusaha membagikan sebentuk kekuatan paling berat kepada kakaknya, yakni pengendalian diri. "Tetap saja kau pasti gusar karenanya. Pertama-tama kau dicampakkan oleh seorang putri fana " "Merope." Orion mencemooh. "Gadis cantik, tapi bodoh. Jika dia punya akal sehat, dia pasti paham bahwa aku hanya main mata dengannya." "Biar kutebak," timpal Reyna. "Dia justru menjerit-jerit dan memanggil para pengawal." "Aku tidak bersenjata pada saat itu. Kita tidak sepantasnya membawa busur dan pilau ketika merayu seorang putri. Para
pengawal mengalahkanku dengan mudah. Ayahnya sang raja menitahkan agar aku dibutakan dan dibuang." Tepat di atas kepala Reyna, kerikil menggelincir di atap genting. Mungkin dia hanya berkhayal, tapi dia mengingat bunyi itu dari malam-malam ketika Hylla menyelinap keluar dari kamarnya sendiri yang terkunci dan meniti atap untuk mengecek keadaan Reyna. Reyna mesti mengerahkan seluruh tekad untuk tidak melirik ke atas. "Tapi, kau memperoleh mata baru," katanya kepada sang raksasa. "Hephaestus jatuh kasihan padamu." "Ya ..." Tatapan Orion menjadi tidak fokus. Reyna tahu, sebab bidikan laser menghilang dari dadanya. "Aku akhirnya tiba di Delos, tempatku berjumpa Artemis. Tahukah kau betapa anehnya bertemu dengan musuh bebuyutan kita dan malah terpikat padanya"" Sang raksasa tertawa. "Praetor, kenapa aku masih bertanya" Tentu saja kau tahu. Barangkali perasaanmu pada bangsa Yunani serupa perasaanku pada Artemis takjub bercampur rasa bersalah, kekaguman yang berubah menjadi cinta. Tapi, cinta berlebihan sama dengan racun, terutama ketika cinta itu tidak berbalas. Jika kau belum mafhum, Reyna Ramirez-Arellano, kau akan segera memahaminya." Hylla terpincang-pincang ke depan, masih menggenggam pisau. "Dik, kenapa kau biarkan bedebah ini bicara" Mari kita taklukkan dia." "Memang kalian bisa"" Orion mempertanyakan. "Banyak yang sudah mencoba. Bahkan saudara Artemis sendiri, Apollo, tidak sanggup membunuhku pada zaman kuno. Dia harus menggunakan tipu daya untuk menyingkirkanku."
"Dia tidak suka kau bergaul dengan saudarinya"" Reyna menyimak kalau-kalau ada bebunyian lagi dari atap, tapi tidak mendengar apa-apa. "Apollo cemburu." Jemari sang raksasa mencengkeram tali husurnya. Dia menarik tali busur ke belakang, mengaktifkan roda-roda dan katrol busur yang lantas berputar. "Apollo khawatir kalau-kalau aku memikat Artemis sedemikian rupa sehingga dia melupakan sumpahnya untuk menjadi perawan selamanya. Dan siapa tahu" Tanpa campur tangan Apollo, barangkali aku sudah berhasil. Artemis pasti akan lebih bahagia." "Sebagai pelayanmu"" geram Hylla. "Sebagai pembantu rumah tanggamu yang patuh"" "Sekarang tidak penting," ujar Orion. "Singkat cerita, Apollo menimpakan kegilaan padaku hasrat haus darah untuk membunuh semua hewan di bumi ini. Aku membantai ribuan sebelum ibuku, Gaea, akhirnya menghentikan amukanku yang membabi bum. Dia mendatangkan kalajengking raksasa dari dalam bumi. Makhluk itu menikam punggungku dan racunnya menewaskanku. Aku berutang budi pada Gaea atas hal itu." "Kau berutang budi pada Gaea," kata Reyna, "karena sudah membunuhmu." Pupil mekanis Orion berpuntir menjadi titik mungil yang berpendar. "Ibuku menunjukiku kebenaran. Aku melawan fitrahku sendiri dan kesengsaraa
n belaka yang kudapatkan. Raksasa tidak semestinya mencintai manusia fana atau dewa-dewi. Gaea membantuku menerima diriku sendiri. Pada akhirnya, kita semua harus kembali ke rumah, Praetor. Kita harus merengkuh masa lalu kita, tidak peduli seberapa getir dan kelam." Dia mengedikkan dagu ke arah vila di belakang Reyna. "Persis seperti kau barusan. Kau juga dihantui oleh masa lalu, bukan""
Reyna menghunus pedangnya. Kita tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari hantu, katanya kepada kakaknya. Barangkali dia juga tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari raksasa. "Ini bukan rumahku," kata Reyna. "Dan kita tidak mirip." "Aku telah melihat kebenaran." Sang raksasa kedengarannya benar-benar bersimpati. "Kau berpegang teguh pada fantasi bahwa kau dapat membuat musuh-musuhmu mencintaimu. Kau tak bisa, Reyna. Tiada cinta bagimu di Perkemahan Blasteran." Ucapan Aphrodite bergema dalam kepala Reyna: Takkan ada demigod yang mampu menyembuhkan hatimu. Reyna mengamat-amati wajah tampan kejam sang raksasa, mata mekanisnya yang berpendar. Selama satu saat mencekam, dia bisa paham betapa seorang dewi, bahkan perawan kekal seperti Artemis, mungkin saja terpikat pada kata-kata Orion yang semanis madu. "Sedari tadi, aku bisa membunuhmu dua puluh kali jika mau," kata sang raksasa. "Kau menyadarinya, bukan" Biar kuampuni kau. Tunjukkan saja kepercayaanmu, hanya itu yang kubutuhkan. Beri tahu aku di mana patung itu." Reyna hampir menjatuhkan pedangnya. Di mana patung itu Orion belum menemukan lokasi Athena Parthenos. Kamuilase para Pemburu ternyata ampuh. Sepanjang waktu ini, sang raksasa memang melacak Reyna seorang. Artinya, apabila dia meninggal sekarang, Nico dan Pak Pelatih Hedge barangkali akan tetap selamat. Misi mereka belum tamat. Dia merasa seakan-akan telah menanggalkan baju tempur seberat ratusan pon. Reyna tertawa. Suara tersebut bergema di jalanan berubin. "Kau kalah cerdik dari Phoebe," kata Reyna. "Dengan melacakku, kau kehilangan patung itu. Sekarang teman-temanku bebas melanjutkan misi mereka."
Orion mengerutkan bibirnya. "Oh, aku pasti akan menemukan mereka, Praetor. Setelah aku membereskanmu." "Kalau begitu," kata Reyna, "kami harus membereskanmu terlebih dulu." "Dia ini adikku," kata Hylla bangga. Bersama-sama, mereka menyerang.
Tembakan pertama sang raksasa pasti sudah menyate Reyna, tapi Hylla sigap. Dia mengiris panah di udara dan menerjang Orion. Reyna menikam dada raksasa itu. Sang raksasa menangkis serangan mereka berdua dengan busurnya. Dia menendang Hylla ke belakang sehingga menabrak kap Chevy tua. Setengah lusin kucing berhamburan dari bawah mobil tersebut. Sang raksasa berputar, sekonyong-konyong memegang sebilah belati di tangannya. Reyna berhasil berkelit, tipis saja, dari senjata taj am itu. Reyna menikam lagi, merobek rompi kulit Orion, tapi hanya mampu menggores dadanya. "Kau piawai bertarung, Praetor," sang raksasa mengakui. "Tapi, kurang piawai untuk bertahan hidup." Reyna memerintahkan pedangnya memanjang menjadi pilum "Kematianku tak berarti apa-apa." Jika teman-temannya dapat melanjutkan misi dengan damai, Reyna sepenuhnya siap untuk mati dalam pertarungan. Tapi pertama-tama, dia berniat menyakiti raksasa ini separah-parahnya agar takkan pernah melupakan nama Reyna. "Bagaimana dengan kematian kakakmu"" tanya Orion. "Adakah maknanya"" Lebih cepat daripada kedipan mata Reyna, Orion melesatkan panah ke dada Hylla. Teriakan tercekat dalam tenggorokan Reyna, tapi entah bagaimana Hylla menangkap panah itu.
Hylla meluncur turun dari kap mobil dan mematahkan panah dengan satu tangan. "Aku ratu bangsa Amazon, dasar bodoh. Aku mengenakan sabuk ratu. Dengan kekuatan yang diberikannya kepadaku, akan kubalaskan dendam kaum Amazon yang kaubunuh hari ini." Hylla mencengkeram fender depan Chevy dan menjungkir-balikkan seluruh mobil ke arah Orion, semudah memercikinya dengan air dari kolam renang. Chevy mengimpit Orion ke dinding rumah terdekat. Stuko retak-retak. Sebatang pohon pisang roboh. Semakin banyak kucing yang kabur. Reyna lari menghampiri puing-puing itu, tapi sang raksasa meraung dan mendorong mobil i
tu menjauh. "Kalian akan mati sama-sama!" sumpahnya. Dua anak panah seketika terpasang di busur Orion, talinya tegang ke belakang. Kemudian atap bangunan hancur berkeping-keping dengan berisik. "MAMPUS!" Gleeson Hedge menjatuhkan diri tepat di belakang Orion, memukulkan tongkat bisbolnya ke kepala si raksasa keras sekali sampai-sampai logo Louisville Slugger retak jadi dua. Pada saat bersamaan, Nico di Angelo menjatuhkan diri di depan. Dia menebaskan pedang Stygian-nya ke tali busur sang raksasa, menyebabkan katrol dan roda gigi berdesing serta berderit, tali tersebut tergulung berkat gaya sebesar ratusan pon hingga menampar hidung Orion bagaikan pecut hidrolik. !!" Orion terhuyung-huyung ke belakang, menjatuhkan busurnya. Para Pemburu Artemis muncul di sepanjang atap, menembaki Orion dengan panah perak sampai dia menyerupai landak yang
IIqYNA berpendar. Dia sempoyongan membabi buta sambil memegangi hidung, ichor keemasan bercucuran di wajahnya. Seseorang mencengkeram lengan Reyna. "Ayo!" Thalia Grace telah kembali. "Pergilah dengannya!" perintah Hylla. Hati Reyna serasa remuk redam. "Kak " "Kau harus pergi! SEKARANG!" Itu persis seperti ucapan Hylla kepadanya enam tahun lalu, pada malam ketika mereka kabur dari rumah ayah mereka. "Akan kutahan-tahan Orion selama mungkin." Hylla menyambar salah satu tungkai sang raksasa. Hylla menarik Orion hingga hilang keseimbangan dan melemparkannya beberapa blok ke Calle San Jose, alhasil lagi-lagi mengejutkan beberapa lusin kucing. Para Pemburu lari mengejarnya di atas atap, menembakkan panah yang meledakkan api Yunani, melalap raksasa itu dalam lidah api. "Kakakmu benar," kata Thalia. "Kau harus pergi." Nico dan Hedge menyejajari Reyna, keduanya tampak sangat puas diri. Mereka rupanya telah berbelanja ke toko oleh-oleh Barrachina, untuk membeli baju bermotif tropis nan meriah pengganti pakaian mereka yang kotor dan robek-robek. "Nico," kata Reyna, "kau kelihatan " "Jangan berkomentar soal baju ini," Nico memperingatkan. "Sepatah kata pun jangan." "Kenapa kalian mencariku"" Reyna menuntut jawaban. "Kalian bisa saja kabur dengan leluasa. Raksasa itu melacak aku. Jika kalian langsung pergi " "Terima kasih kembali, Bocah Lembek," gerutu sang pelatih. "Kami takkan pergi tanpa dirimu. Nah, ayo kita ..." Dia melirik ke balik bahu Reyna dan suaranya pun melirih. Reyna membalikkan badan.
Di belakangnya, balkon lantai dua rumah keluarganya disesaki sosok-sosok yang berpendar: pria dengan janggut bercabang dan baju zirah conquistador berkarat; pria berjanggut berbusana bajak laut abad kedelapan belas, bajunya berlubang-lubang bekas peluru; seorang wanita yang mengenakan gaun malam berlumur darah; kapten Angkatan Laut Amerika Serikat berseragam dinas upacara warna putih; dan selusin lagi yang Reyna kenal dari masa kanak-kanaknya semua memelototinya dengan tatapan menuduh, suara mereka berbisik-bisik ke benaknya: Pengkhianat. Pembunuh. "Tidak ..." Reyna merasa seakan-akan dirinya berumur sepuluh tahun lagi. Dia ingin bergelung di pojok kamarnya dan menutupi telinga dengan tangan untuk menghalau bisik-bisik itu. Nico memegangi lengannya. "Reyna, siapa mereka" Apa yang mereka "" "Aku tak bisa," dia memohon. "Aku aku tak bisa." Dia menghabiskan bertahun-tahun untuk membendung rasa takut dalam dirinya. Kini, bendungan tersebut bobol. Kekuatannya hanyut begitu saja. "Tidak apa-apa." Nico mendongak ke balkon. Hantu-hantu menghilang, tapi Reyna tahu mereka belum pergi. Mereka tidak pernah pergi. "Akan kami bawa kau pergi dari sini," Nico berjanji. "Ayo jalan." Thalia memegangi lengan Reyna yang satu lagi. Mereka berempat lari ke restoran dan Athena Parthenos. Di belakang mereka, Reyna mendengar Orion yang meraung kesakitan, dilatarbelakangi ledakan api Yunani. Sementara itu, dalam benaknya, suara-suara masih berbisik: Pembunuh. Pengkhianat. Kau takkan pernah bisa lari dari kejahatanmu.[]
BAB DUA PULUH LIMA JASON JASON BANGKIT DARI RANJANG MAUTNYA supaya bisa tenggelam beserta awak yang lain. Kapal oleng teramat hebat sehingga dia harus memanjati lantai untuk keluar dari ruang kesehatan. Lambung k
apal berderit. Mesin mengerang seperti kerbau sekarat. Melampaui raungan angin, Dewi Nike menjerit-jerit dari istal: "TAMBAH USAHAMU, BADAI! BERI AKU SERATUS SEPULUH PERSEN!" Jason menaiki tangga ke geladak tengah. Tungkainya gemetaran. Kepalanya berputar-putar. Kapal miring ke kiri, menjatuhkannya hingga menabrak dinding seberang. Hazel terburu-buru ke luar kabinnya sambil memeluk perut. "Aku benci laut!" Ketika gadis itu melihat Jason, matanya membelalak. "Kenapa kau keluar dari tempat tidur"" "Aku mau ke atas!" Jason bersikeras. "Aku bisa membantu!" Hazel kelihatannya hendak menyanggah. Kemudian kapal oleng ke kanan dan dia pun terhuyung-huyung ke kamar mandi, tangannya menutupi mulut.
Jason berjuang menuju tangga. Dia sudah satu setengah ha i tidak keluar dari tempat tidur, sejak Piper dan Annabeth kembali dari Sparta dan Jason kolaps tanpa diduga-duga. Sementara Jason berjuang untuk berjalan, ototnya memberontak. Perutny a nyeri, seakan-akan Michael Varus berdiri di belakangnya samb 1 menikamnya berulang-ulang dan berteriak: Mati sebagai orang Romawi! Mati sebagai orang Romawi! Jason mengekang rasa sakit itu. Dia bosan diurus oleh orang orang yang membisikkan betapa khawatirnya mereka. Dia bosan bermimpi menjadi sate. Dia sudah menghabiskan cukup banyak waktu dengan merawat luka di perutnya itu. Entah luka itu bakal menewaskannya atau tidak. Dia takkan menanti luka itu memutuskan. Dia harus menolong teman-temannya. Entah bagaimana, dia sampai di geladak atas. Yang dia lihat di sana menyebabkannya hampir semual Hazel Ombak seukuran gedung pencakar langit berdebur ke dek sebelah depan, menyapu busur depan dan setengah langkan kiri ke laut Layar robek-robek. Petir berkilat di sekeliling kapal, menerangi laut bagaikan lampu sorot. Hujan tegak lurus menyembur wajah Jason. Awan demikian gelap sampai-sampai Jason tidak tahu saat itu masih siang atau sudah malam. Awak kapal tengah melakukan apa yang mereka bisa ... tap tidak banyak. Leo telah mengikat dirinya ke konsol dengan cancang bungee Barangkali ide tersebut bagus ketika dia pertama-tama mengikai diri, tapi tiap kali ombak menerjang Leo terseret menjauh kemudian kembali menabrak panel kendali seperti papan selanca:
manusia. Piper dan Annabeth tengah berusaha menyelamatkan tali-temali pengikat layar. Sejak petualangan di Sparta, mereka telah menjadi tim yang kompak mampu bekerja sama bahkan tanpa
bicara. Bagus juga, soalnya mereka tidak mungkin mendengar satu sama lain di tengah badai begini. Frank setidaknya Jason mengasumsikan itu Frank telah berubah menjadi gorila. Dia sedang menggelantung dalam keadaan terbalik di langkan kanan, menggunakan kekuatannya yang luar biasa dan kakinya yang fleksibel untuk berpegangan sementara dia melepaskan dayung-dayung patah yang tersangkut. Rupanya kru tengah berusaha menaikkan kapal ke udara, tapi sekalipun mereka sempat lepas landas, Jason tak yakin langit lebih aman. Bahkan Festus sang kepala naga juga mencoba membantu. Dia menyemprotkan api ke hujan, walaupun tindakan tersebut sepertinya tidak menggentarkan badai. Hanya Percy yang upayanya efektif. Dia berdiri dekat tiang layar tengah, tangannya terulur seperti sedang meniti tali. Tiap kali kapal oleng, dia mendorong ke arah berlawanan dan lambung kapal sontak menjadi stabil. Dia mendatangkan semburan air raksasa dari laut untuk menghantam ombak yang lebih besar sebelum mencapai geladak, alhasil laut terkesan meninju mukanya sendiri berulang-ulang. Dinilai dari kondisi badai yang sebesar itu, Jason menyadari bahwa kapal pasti sudah terbalik atau hancur berkeping-keping jika Percy tidak beraksi. Jason terhuyung-huyung ke arah tiang layar. Leo meneriakkan sesuatu barangkali Turun sana! tapi Jason semata-mata balas melambai. Dia berhasil tiba di sebelah Percy dan memegangi pundak pemuda itu. Percy mengangguk untuk menyapa Jason. Dia tidak tampak tercengang atau menuntut agar Jason kembali ke ruang kesehatan, membuat Jason berterima kasih. Percy bisa tetap kering jika dia berkonsentrasi, tapi dia jelas-jelas mesti memikirkan persoalan yang lebih genting pada saat
ini. Rambutn ya yang berwarna gelap menempel ke wajahnya. Pakaiannya basah kuyup dan tercabik-cabik. Dia meneriakkan sesuatu ke telinga Jason, tapi Jason hanya bisa menangkap segelintir kata: "INI TURUN HENTIKAN!" Percy menunjuk ke samping. "Sesuatu menyebabkan badai ini"" tanya Jason. Percy menyeringai dan mengetuk telinganya. Dia kentara sekali tidak bisa menangkap sepatah kata pun. Dia memberi isyarat untuk terjun ke laut. Kemudian dia menepuk dada Jason. "Kau ingin aku ikut"" Jason merasa terhormat. Yang lain memperlakukannya seperti barang pecah belah, tapi Percy ... dia tampaknya berpendapat apabila Jason berada di dek, maka dia siap berlaga. "Dengan senang hatir teriak Jason. "Tapi, aku tak bisa bernapas di dalam air!" Percy mengangkat bahu. Maaf tidak kedengaran. Kemudian Percy lari ke langkan kanan, lagi-lagi menepiskan ombak mahabesar dari kapal, dan melompat ke balik langkan. Jason melirik Piper dan Annabeth. Mereka berdua berpegangan ke tali-temali layar sambil menatap Jason dengan tatapan terguncang. Ekspresi Piper mengatakan, Apa kau sudah hdang akal" Dia mengacungkan jempol kepada Piper, sebagian untuk meyakinkan gadis itu bahwa dia bakalan baik-baik saja (yang tidak dia yakini), sebagian untuk mengiyakan bahwa dirinya memang gila (yang memang dia yakini). Jason terhuyung-huyung ke langkan dan menengadah untuk memandang badai. Angin menggila. Awan teraduk-aduk. Jason merasakan bahwa sepasukan venti tengah berputar-putar di atasnya, terlalu marah
dan terbakar semangatnya sehingga tidak bisa mewujud secara lisik, tapi sudah lapar ingin menghancurkan. Dia mengangkat tangan dan mendatangkan laso dari angin. Jason sudah lama belajar bahwa cara terbaik untuk mengontrol sckawanan tukang gencet adalah dengan memilih anak terjahat dan terbesar lalu memaksanya untuk takluk. Kemudian yang lain niscaya akan mengikuti. Jason menggapai dengan tali anginnya, mencari ventus terkuat dan paling temperamental di tengah-tengah badai. Jason menjerat sepetak awan badai ganas dan menariknya mendekat. "Kau akan melayaniku hari ini." Sambil meraung-raung protes, si ventus mengelilingi Jason. Badai di atas kapal tampak berkurang sedikit, seolah-olah venti lain berpikir, Wah, gawat. Cowok ini serius. Jason melayang di atas dek, menyelubungi diri dengan tornado miniatur. Seraya berpusing seperti sekrup, dia pun terjun ke dalam air.
Jason mengira suasana lebih tenang di dalam air. Ternyata tidak. Tentu saja, penyebabnya mungkin semata-mata karena alat transportasi Jason. Menunggangi angin siklon ke dasar laut sudah pasti memberinya turbulensi yang tak disangka-sangka. Jason turun dan menikung sekenanya, telinganya serasa tersumbat, perutnya melilit-lilit. Akhirnya dia melayang hingga berhenti di samping Percy, yang berdiri di atas tubir yang menjorok ke jurang nan dalam. "Hei," kata Percy. Jason bisa mendengar Percy dengan jelas, meskipun dia tidak tahu pasti sebabnya. "Ada apa""
Dalam kepompong udara ventus, suara Jason terdengar seolah-olah dia berbicara lewat penyedot debu. Percy menunjuk ke jurang. "Tunggu deh." Tiga detik berselang, selarik cahaya hijau membelah kegelapan seperti lampu sorot, lantas menghilang. "Ada sesuatu di bawah sana," kata Percy, "yang memicu badai ini." Dia menoleh dan menaksir tornado Jason. "Pakaian bagus. Bisa kau pertahankan kalau kita masuk semakin dalam"" "Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya melakukan ini,"''! kata Jason. "Oke," ujar Percy. "Pokoknya, jangan sampai pingsan." "Tutup mulutmu, Jackson." Percy menyeringai. "Ayo kita lihat ada apa di bawah sana." Mereka tenggelam dalam sekali sehingga Jason tidak bisa melihat apa-apa selain Percy yang berenang di sebelahnya, diterangi pendar redup pedang emas dan perunggu mereka. Sesekali lampu sorot hijau melejit ke atas. Percy berenang menyongsong cahaya itu. Ventus Jason berderak dan meraung, berjuang untuk melepaskan diri. Bau ozon membuat Jason pening, tapi dia mampu mempertahankan cangkang udaranya. Akhirnya, kegelapan berkurang kepekatannya di bawah mereka. Petak-petak putih lembut yang berdenyar, seperti kawanan ubur-ubur, mengapung di depan mata Jason
. Selagi mendekati dasar laut, dia menyadari bahwa petak-petak itu adalah petak ganggang berpendar yang mengelilingi reruntuhan istana. Lendir kotor berputar-putar di pekarangan kosong berlantai abalon. Pilar-pilar Yunani yang berlumur teritip berbanjar ke keremangan. Di pusat kompleks itu, menjulanglah istana berbenteng yang lebih besar daripada Grand Central Station di New York, dinding-dindingnya bertatahkan mutiara, atap kubahnya merekah seperti telur pecah.
"Atlantis"" Jason bertanya. "Itu cuma mitos," kata Percy. "Arm bukankah mitos adalah makanan kita sehari-hari"" "Tidak, maksudku Atlantis adalah mitos karangan. Bukan mitos sungguhan." "Jadi, ini sebabnya Annabeth selalu menjadi otak operasi"" "Tutup mulut, Grace." Mereka mengapung melewati kubah retak dan turun ke dalam bayang-bayang. "Tempat ini tampaknya tidak asing." Suara Percy menjadi tegang. "Kesannya hampir-hampir seperti aku pernah ke sini " Lampu sorot hijau berkilat-kilat tepat di bawah mereka, menyilaukan Jason. Dia jatuh seperti batu, menyentuh lantai marmer mulus. Ketika penglihatannya sudah jernih, dilihatnya bahwa mereka tidak sendiri. Di hadapan mereka, berdirilah wanita setinggi enam meter yang bergaun hijau halus menjuntai, ditahan di pinggang dengan sabuk dari cangkang abalon. Kulitnya putih secemerlang padang ganggang. Rambutnya berombak dan berpendar seperti jumbai ubur-ubur. Parasnya cantik tapi tidak natural matanya terlampau cerah, wajahnya terlampau lembut, senyumnya terlalu dingin, seolah dia telah mempelajari senyum manusia dan belum menguasai seni tersebut. Tangannya memegangi permukaan sebuah piringan logam hijau mengilap berdiameter kurang dari dua meter yang bertumpu ke kaki tiga perunggu. Benda itu mengingatkan Jason pada drum baja yang pernah dia lihat dimainkan seorang penampil jalanan di Embarcadero di San Francisco.
Wanita itu memutar piringan logam tersebut bagaikan setir. Berkas cahaya hijau melejit ke atas, mengaduk-aduk air, mengguncangkan dinding istana tua. Langit-langit kubah menyerpih dan pecahannya menggelincir ke bawah dalam gerak lambat. "Kau yang membuat badai," ujar Jason. "Betul." Suara wanita itu merdu tapi entah bagaimana, kumandangnya aneh, seperti melampaui jangkauan pendengaran manusia. Tekanan mengumpul di antara kedua mata Jason. Sinusnya serasa hendak meledak. "Oke, aku lugas saja," kata Percy. "Siapa kau dan apa maumu"" Wanita itu berpaling ke arahnya. "Wah, aku ini kakak perempuanmu, Perseus Jackson. Dan aku ingin bertemu kau sebelum kau mati."[]
BAB DUA PULUH ENAM JASON JASON MELIHAT DUA OPSI: BERTARUNG atau bicara. Lazimnya, ketika menghadapi wanita seram setinggi enam meter berambut ubur-ubur, dia akan memilih bertarung. Tapi, karena wanita ini memanggil Percy adik Jason jadi bimbang. "Percy, apa kau mengenal individu ini"" Percy menggelengkan kepala. "Tidak mirip ibuku, jadi kutebak kami ini berkerabat dari pihak dewata. Kau anak perempuan Poseidon, Nona ... siapa ..."" Wanita pucat itu menggarukkan kuku ke piringan logam, menghasilkan suara mendecit mirip paus tersiksa. "Tiada yang mengenalku," dia mendesah. "Kenapa aku menyangka adikku sendiri bakal mengenaliku" Aku Kymopoleia!" Percy dan Jason bertukar pandang. "Jadi ..." kata Percy. "Akan kami panggil kau Kym. Kalau boleh tahu, kau ini, hmm, Nereid, ya" Dewi minor"" "Minor""
"Yang dia maksud," kata Jason buru-buru, "anak di bawah umur. Belum boleh menyetir! Karena kau jelas masih muda dan cantik sekali." Percy melemparkan tatapan penuh arti kepadanya: Penyelamatan yang bagus. Sang dewi mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Jason. Dia mengacungkan telunjuk dan menelusuri bentuk tubuh Jason di air. Jason bisa merasakan roh angin yang dia tangkap beriak di sekelilingnya, seperti digelitik. "Jason Grace," kata sang dewi. "Putra Jupiter." "Iya. Aku teman Percy."
Kym menyipitkan mata. "Jadi benar ... masa-masa ini melahir-kan persahabatan yang ganjil dan musuh tak terduga-duga. Bangsa Romawi tidak pernah memujaku. Bagi mereka, aku adalah sumber ketakutan yang tak bernama---pertanda kemurkaan Neptur lUS yang terdahsyat. Mereka tidak pernah me
muja Kymopoleia, Dewi Badai Laut Ganas!" Sang dewi memutar-mutar piringannya. Berkas cahaya hijau lagi-lagi melesat ke atas, mengaduk-aduk air dan menyebabkan reruntuhan bergetar. "Eh, iya," kata Percy. "Bangsa Romawi tidak suka laut. Angkatan laut mereka cuma punya satu perahu dayung. Yang sudah kutenggelamkan. Omong-omong soal badai ganas, kerjan au hebat di atas sana." "Terima kasih," kata Kym. "Masalahnya, kapal kami jadi terjebak badai dan tercabi cabik karenanya. Aku yakin kau tidak bermaksud " "Oh, memang itu niatku." "Memang itu niatmu." Percy meringis. "Wah payah, kalau begitu. Kuduga kau takkan menghentikan badai, ya, kalau kami meminta baik-baik""
"Tidak," sang dewi sepakat. "Bahkan sekarang, kapal sudah nyaris tenggelam. Aku lumayan takjub bahwa kapal itu bisa bertahan selama ini. Sungguh hasil kriya yang mumpuni." Percikan listrik melayang dari lengan Jason ke dalam tornado. Dia memikirkan Piper dan awak lainnya yang dengan susah payah berusaha menjaga keutuhan kapal. Karena kedatangan mereka ke bawah sini, Jason dan Percy telah meninggalkan yang lain dalam keadaan tak berdaya. Mereka harus segera bertindak. Lagi pula, udara Jason kian apak saja. Dia tidak yakin apakah ventus bisa habis karena dihirup, tapi jika bakal bertarung, Jason sebaiknya membereskan Kym sebelum dia kehabisan oksigen. Masalahnya melawan dewi di wilayah kekuasaannya sendiri tidaklah mudah. Bahkan kalaupun mereka berhasil menaklukkan dewi itu, tiada jaminan bahwa badai akan berhenti. "Jadi Kym," kata Jason, "apa yang bisa kami lakukan supaya kau berubah pikiran dan membiarkan kapal kami pergi"" Kym menyunggingkan senyumnya yang angker. "Putra Jupiter, tahukah kau di mana kau berada"" Jason tergoda untuk menjawab di dalam air. "Maksudmu reruntuhan ini. Istana kuno"" "Betul," kata Kym. "Istana ash ayahku, Poseidon." Percy menjentikkan jari, yang kedengarannya seperti ledakan teredam. "Itulah sebabnya aku mengenali tempat ini. Rumah baru Ayah di Samudra Atlantik mirip-mirip dengan ini." "Aku tidak tahu," ujar Kym. "Aku tak pernah diundang menemui orangtuaku. Aku hanya boleh menjelajahi reruntuhan wilayah lama mereka. Menurut mereka, kehadiranku mengganggu." Dia kembali memutar-mutar piringan. Seluruh dinding belakang bangunan itu ambruk, mengepulkan lendir dan ganggang ke tengah-tengah ruangan. Untungnya ventus berfungsi layaknya
kipas angin, mengembuskan puing-puing itu menjauhi wajah Jason. "Mengganggu"" timpal Jason. "Kau"" "Ayahku tidak menyambut kedatanganku di istananya," kata Kym. "Dia membatasi kesaktianku. Badai di atas sana" Sudah berabad-abad aku tidak bersenang-senang sebebas ini, tapi ini hanyalah secuil dari kemampuanku!" "Secuil, tapi pengaruhnya besar," kata Percy. "Omong-omong, soal pertanyaan Jason mengenai apakah kami bisa membujukmu
berubah pikiran " "Ayahku bahkan menikahkanku," kata Kym, `tanpa persetujuanku. Dia menyerahkanku seperti piala kepada Briares, si Tangan Seratus, sebagai hadiah karena sudah mendukung dewa-dewi dalam perang melawan Kronos dahulu kala." Wajah Percy berbinar-binar. "Hei, aku kenal Briares. Dia itu temanku! Aku membebaskannya dari Alcatraz." "Ya, aku tahu." Mata Kym berkilat-kilat dingin. "Aku benci suamiku. Aku tidak senang sama sekali akan kepulangannya." "Oh. Jadi apa Briares ada"" tanya Percy penuh harap. Tawa Kym terdengar seperti celoteh lumba-lumba. "Dia sedang di Gunung Olympus di New York, memperkuat pertahanan dewa-dewi. Meskipun percuma raja. Intinya, Adikku Sayang, Poseidon tidak pernah memperlakukanku dengan adil. Aku suka datang ke sini, ke istana lamanya, karena aku girang melihat betapa kreasinya luluh lantak. Suatu hari nanti, tidak lama lagi, istana baru Poseidon juga akan menjadi seperti ini, sedangkan lautan akan mengamuk tanpa bisa ditahan-tahan." Percy memandang Jason. "Habis ini dia bakal mengatakan bahwa dia bekerja untuk Gaea." "Iya," kata Jason. "Dan Ibu Bumi menjanjikan iming-iming yang lebih bagus begitu dewa-dewi binasa, bla, bla, bla." Dia
herpaling kepada Kym. "Kau paham bahwa Gaea takkan menepati njinya, Ian" Dia memperalatmu, sebagaimana dia memperalat par
a raksasa." "Aku tersentuh akan perhatianmu," kata sang dewi. "Dewa-dewi Olympia, di sisi lain, tidak pernah memperalatku, ya Ian"" Percy merentangkan tangan. "Setidaknya dewa-dewi Olympia berusaha semaksimal mungkin. Setelah perang Titan yang terakhir, mereka mulai lebih memperhatikan dewa-dewi lain. Banyak di antara mereka yang sekarang memiliki pondok di Perkemahan Blasteran: Hecate, Hades, Hebe, Hypnos mmm, dan barangkali juga sejumlah dewa lain yang namanya tidak diawali huruf H. Kami memberi mereka sesaji tiap kali makan, panji-panji keren, pengakuan khusus pada program pengujung musim panas " "Apakah aku memperoleh sesaji semacam itu"" tanya Kym. "Mmm tidak. Kami tidak tahu akan eksistensimu. Tapi " "Kalau begitu, simpan kata-katamu, Dik." Rambut jumbai ubur-ubur Kym terhanyut ke arah Percy, seakan sudah tak sabar untuk melumpuhkan mangsa baru. "Aku sudah mendengar banyak sekali tentang Percy Jackson yang hebat. Para raksasa terobsesi untuk menangkapmu. Harus kukatakan aku tidak mengerti kau ini hebatnya di sebelah mana." "Makasih, Kak. Tapi kalau kau hendak membunuhku, harus kuperingatkan bahwa upaya tersebut sudah pernah dicoba. Aku sudah menghadapi banyak dewi baru-baru ini Nike, bahkan Nyx sendiri. Dibandingkan dengan mereka, kau tidak membuatku takut. Selain itu, tawamu mirip lumba-lumba." Lubang hidung Kym yang rapuh kembang kempis. Jason menyiagakan pedangnya. "Oh, aku takkan membunuhmu," kata Kym. "Kesepakatannya adalah aku semata-mata akan menarik perhatianmu. Tapi, ada yang lain di sini, yang sangat ingin membunuhmu."
Di atas mereka, di tepi atap yang belah, muncullah sosok gelap yang bahkan berperawakan lebih tinggi ketimbang Kymopoleia. "Putra Neptunus," sebuah suara nan dalam menggelegar. Sang raksasa mengapung ke bawah. Kepulan cairan gelap kental racun, barangkali meliuk-liuk dari kulit birunya. Tameng dada hijaunya dibentuk menyerupai kumpulan mulut yang menganga lapar. Tangannya menggenggam senjata berupa retiarius trisula dan jaring berpemberat. Jason tidak pernah bertemu raksasa yang satu ini, tapi dia pernah mendengar cerita-cerita tentangnya. "Polybotes," kata Jason, "anti-Poseidon." Raksasa itu mengayun-ayunkan rambut gimbalnya. Selusin ular berenang meninggalkan kepala raksasa itu masing-masing ular berwarna hijau limau dengan mahkota berumbai di seputar kepalanya. Basilisk. "Betul, Putra Roma," kata sang raksasa. "Tapi jika boleh permisi, aku punya urusan mendesak dengan Perseus Jackson. Aku sudah melacaknya jauh-jauh dari Tartarus. Sekarang, di reruntuhan istana ayahnya ini, aku bermaksud meremukkannya untuk sekali ini dan selamanya."[]
BAB DUA PULUH TUJUH JASON JASON BENCI BASILISK. Makhluk melata kecil menjijikkan itu gemar berliang di bawah kuil-kuil di Roma Baru. Semasa Jason masih menjadi centurion, kohortnya selalu memperoleh tugas tidak populer, yaitu inembasmi sarang basilisk. Basilisk kelihatannya tidak ganas-ganas amat cuma ular sepanjang lengan, bermata kuning, dan bermahkota putih berumbai tapi geraknya cepat dan dapat membunuh apa saja yang is sentuh. Jason tidak pernah menghadapi lebih dari dua basilisk sekali waktu. Kini selusin hewan tersebut berenang-renang di sekeliling tungkai sang raksasa. Satu-satunya kabar baik: di bawah air, para basilisk tidak bisa mengembuskan napas api, tapi bukan berarti mereka lantas menjadi kurang mematikan. Dua ekor ular melesat ke arah Percy. Diirisnya mereka jadi dua. Sepuluh ular lain meliuk-liuk di sekeliling Percy, hanya sedikit lebih jauh daripada jangkauan pedang. Mereka menggeliut ke depan-belakang dengan pola gerakan yang menghipnotis,
mencari-cari bukaan. Satu gigitan atau satu sentuhan, hanya itu yang mereka butuhkan. "Heir teriak Jason. "Ayo, sini! Beri aku kasih sayang!" Ular-ular mengabaikannya. Begitu pula sang raksasa, yang berdiri ongkang-ongkang kaki dan memperhatikan sambil tersenyum pongah, rupanya dengan senang hati membiarkan piaraannya saja yang membunuh. "Kymopoleia." Jason berusaha sebaik-baiknya untuk melafalkan nama sang dewi dengan tepat. "Kau harus menghentikan ini." Sang dewi memandangi Jason dengan mata put
ihnya yang berpendar. "Untuk apa aku melakukan itu" Ibu Pertiwi telah menjanjikanku kekuatan tak berbatas. Bisakah kau menyuguhkan tawaran yang lebih baik"" Tawaran yang lebih baik Jason menangkap kesempatan ruang untuk bernegosiasi. Tapi, apa yang dia punyai yang kira-kira diiinginkan Dewi Badai" Para basilisk mengepung Percy semakin rapat. Dia mengusir mereka dengan semburan gelombang air, tapi mereka terus mengitarinya. "Hei, Basilisk!" teriak Jason. Masih tak ada reaksi. Dia bisa saja menerjang untuk membantu, tapi sekalipun bersama-sama, dia dan Percy tidak mungkin menghalau sepuluh basilisk sekaligus. Dia memerlukan solusi yang lebih bagus. Jason melirik ke atas. Badai petir menggila di atas, tapi letak mereka ratusan kaki di bawah. Dia tidak mungkin memanggil petir ke dasar laut, Ian" Kalaupun bisa, air memiliki konduktivitas listrik yang terlalu tinggi. Bisa-bisa Percy tersetrum. Tapi, pikiran Jason tidak bisa membuahkan opsi yang lebih baik. Disorongkannya pedang ke atas. Bilah senjata tersebut serta-merta berpendar merah panas.
Awan kabur berwarna kuning terang berarak ke kedalaman, .cakan seseorang baru saja menuangkan neon cair ke dalam air. ahaya dari dalam awan mengenai pedang Jason dan menciprat ke luar, terbelah sepuluh hingga menyambar para basilisk. Mata mereka menjadi gelap. Mahkota mereka terbuyarkan. Kesepuluh ular tersebut kini telentang dan terapung-apung mati dalam air. "Kali lain," kata Jason, " lihat aku sewaktu aku bicara pada kalian." Senyum Polybotes menjadi masam. "Apa kau ingin sekali mati, Orang Romawi"" Percy mengangkat pedangnya. Dia meluncurkan diri ke arah sang raksasa, tapi Polybotes mengayunkan tangannya di air, alhasil ineninggalkan jejak racun hitam berrninyak. Percy menerjang tepat ke arah itu sebelum Jason sempat berteriak, Bung, apa yang kau pikirkan" Percy menjatuhkan Riptide. Dia megap-megap sambil rnencakari leher. Sang raksasa melemparkan jaringnya yang berpemberat dan Percy pun roboh ke lantai, terjerat tanpa daya sementara racun kian mengental di sekelilingnya. "Lepaskan dia!" Suara Jason pecah karena panik. Sang raksasa terkekeh. "Jangan khawatir, Putra Jupiter. Lama sekali baru temanmu akan mati. Sesudah dia merepotkanku sekian banyak, aku takkan mimpi untuk cepat-cepat membunuhnya." Kepulan beracun meruah di seputar tubuh raksasa itu, memenuhi reruntuhan seperti asap cerutu tebal. Jason buru-buru mundur, kurang cepat, tapi ventus-nya terbukti merupakan filter yang berguna. Sementara racun menyelubungi Jason, tornado miniatur berputar kian cepat, mengusir kepulan tersebut. Kymopoleia mengernyitkan hidung dan mengusir kegelapan itu, tapi racun sepertinya tidak memengaruhinya.
Percy menggeliat-geliut dalam jaring, wajahnya menjadi hijau. Jason menerjang untuk menolong Percy, tapi sang raksasa mengadangnya dengan trisula besar. "Oh, tidak bisa kubiarkan kau merusak kesenanganku," tegur Polybotes. "Racun akan membunuh pemuda ini pada akhirnya, tapi pertama-tama dia akan lumpuh dan berjam-jam didera kesakitan tak terperi. Aku ingin dia mengecap pengalaman yang utuh! Dia bisa menonton sementara aku menghabisimu, Jason Grace!" Polybotes maju pelan-pelan, memberi Jason banyak waktu untuk menekuri makhluk berotot, berbaju tempur kukuh, setinggi bangunan tiga lantai yang mengadangnya. Jason berkelit dari trisula dan, menggunakan ventus untuk melejit ke depan, menghunjamkan pedangnya ke kaki reptil sang raksasa. Polybotes meraung dan terhuyung-huyung, ichor keemasan merembes dari luka. "Kym!" teriak Jason. "Benarkah ini yang kau inginkan"" Sang Dewi Badai kelihatan agak bosan, memutar-mutar piringan logamnya dengan cuek. "Kekuatan tak berbatas" Kenapa tidak"" "Tapi, apakah ini asyik"" tanya Jason. "Baiklah, kau meng-hancurkan kapal kami. Kau menghancurkan seluruh garis pantai di dunia. Begitu Gaea menyapu bersih peradaban manusia, siapa yang bakal takut padamu" Kau tetap takkan dikenal." Polybotes menoleh. "Kau ini hama, Putra Jupiter. Kau akan diremukkan!" Jason mencoba memanggil petir lagi. Tiada yang terjadi. Jika kapan-kapan bertemu ayahnya, Jason akan mengajukan petisi supa
ya jatah petir hariannya dinaikkan. Jason berhasil menghindari ujung trisula lagi, tapi si raksasa mengayunkan pangkal senjata itu dan menghajar dadanya.
Jason terpental ke belakang, tercengang dan kesakitan. tlybotes bergerak untuk membunuhnya. Tepat sebelum trisula melubanginya, ventus Jason bertindak sendiri. Roh angin ctsebut berpusar ke samping, menyeret Jason sembilan meter t telintasi pekarangan. Makasih, Sobat, pikir Jason. Aku berutang penyegar udara padamu. Kalaupun si ventus menyukai ide itu, Jason tidak tahu. "Sebenarnya, Jason Grace," kata Kym seraya mengamat-amati kukunya, "sekarang setelah kau mengungkit-ungkitnya, aku memang menikmati rasa takut manusia fana padaku. Aku masih kurang ditakuti." "Aku bisa membantumu!" Jason kembali berkelit dari ayunan trisula. Dia memanjangkan gladius-nya menjadi lembing dan inencocok mata Polybotes. "AHHH!" Sang raksasa sontak sempoyongan. Percy meronta-ronta dalam jaring, tapi gerakannya semakin lemas saja. Jason harus bergegas. Jason mesti membawa Percy ke ruang kesehatan, dan jika badai terus mengamuk di atas mereka, takkan ada lagi ruang kesehatan yang bisa dia datangi. Jason terbang ke sebelah Kym. "Kau tahu dewa-dewi bergantung pada manusia fana. Semakin kami menghormati kalian, semakin sakti kalian." "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah dihormati!" Kymopoleia mengabaikan Polybotes, yang kini menjejak-jejak di sekeliling sang dewi, berusaha menggampar Jason sehingga keluar dari angin ributnya. Jason memosisikan diri sebisa mungkin agar sang dewi tetap berada di antara mereka. "Aku bisa mengubah itu," dia berjanji. "Aku akan secara pribadi mengatur agar didirikan sebuah altar pemujaan untukmu di Bukit Kuil di Roma Baru. Altar pemujaan Romawi pertama
yang khusus dipersembahkan untukmu! Akan kudirikan juga kuil untukmu di Perkemahan Blasteran, tepat di pesisir Selat Long Island. Bayangkan, dihormati " "Dan ditakuti." " dan ditakuti baik oleh bangsa Yunani maupun Romawi. Kau akan terkenal!" "BERHENTI BICARA!" Polybotes mengayunkan trisulanya seperti tongkat bisbol. Jason menunduk. Kym tidak. Sang raksasa memukul iganya keras sekali sampai-sampai helaian rambut ubur-uburnya rontok dan terhanyut di air yang mengandung racun. Mata Polybotes membelalak. "Maafkan aku, Kymopoleia. Kau seharusnya tidak menghalangi!" "MENGHALANGI!" sang dewi menegakkan tubuh. "Aku menghalangi"" "Kau dengar katanya," kata Jason. "Kau hanya alat yang para raksasa manfaatkan demi kepentingan mereka. Mereka akan membuangmu begitu mereka selesai membinasakan manusia fana. Kemudian, takkan ada demigod, tidak ada altar pemujaan, tiada rasa takut, tiada penghormatan." "BOHONG!" Polybotes mencoba menikamnya, tapi Jason bersembunyi di belakang gaun sang dewi. "Kymopoleia, ketika Gaea berkuasa, kau bisa mengamuk dan menggila sebebas-bebasnya, tanpa batas!" "Masih adakah manusia fana yang merasa terteror kelak"" tanya Kym. "Soal itu tidak ada." "Kapal yang dapat kuhancurkan" Demigod yang merinding ketakutan saking takjubnya"" "Anu ..."
"Tolonglah aku," Jason mendesak. "Bersama-sama, dewi dan lemigod bisa membunuh raksasa." "Jangan!" Polybotes tiba-tiba terlihat sangat gugup. "Jangan, ide jelek. Gaea tidak akan senang!" "Jika Gaea bangun," kata Jason. "Kymopoleia yang perkasa I) isa membantu kami mencegah bangkitnya Gaea. Kemudian sernua demigod akan teramat menghormatimu!" "Akankah mereka merinding ketakutan"" tanya Kym. "Merinding karena ketakutan sekali! Plus namamu akan tercantum dalam program musim panas. Panji-panji yang dirancang khusus. Pondok di Perkemahan Blasteran. Dua altar pemujaan. Aku bahkan akan membuatkan model mainan Kymopoleia." "Jangan!" Polybotes melolong. "Apa saja asal bukan hak cipta!" Kymopoleia menoleh ke arah sang raksasa. "Aku khawatir tawaran tadi mengungguli yang Gaea ajukan." "Tidak bisa diterima!" raung sang raksasa. "Kau tidak boleh memercayai orang Romawi busuk inir "Kalau aku tidak menepati kesepakatan," kata Jason, "Kym bisa membunuhku. Bilamana berurusan Gaea, Kymopoleia tidak memiliki jaminan sama sekali." "Itu," kata Kym, "memang sukar dibantah." Selagi Polybotes berj
uang untuk menjawab, Jason menerjang ke depan dan menikamkan lembingnya ke perut sang raksasa. Kym mengangkat piringan perunggu dari landasannya. "Ucapkan selamat tinggal, Polybotes." Sang dewi memutar piringan tersebut ke arah leher raksasa itu. Ternyata, pinggirannya tajam. Polybotes tentu kesulitan mengucapkan selamat tinggal, sebab dia tidak lagi mempunyai kepala. []
BAB DUA PULUH DELAPAN JASON JASON BENCI BASILISK. Makhluk melata kecil menjijikkan itu gemar berliang di bawah kuil-kuil di Roma Baru. Semasa Jason masih menjadi centurion, kohortnya selalu memperoleh tugas tidak populer, yaitu inembasmi sarang basilisk. Basilisk kelihatannya tidak ganas-ganas amat cuma ular sepanjang lengan, bermata kuning, dan bermahkota putih berumbai tapi geraknya cepat dan dapat membunuh apa saja yang is sentuh. Jason tidak pernah menghadapi lebih dari dua basilisk sekali waktu. Kini selusin hewan tersebut berenang-renang di sekeliling tungkai sang raksasa. Satu-satunya kabar baik: di bawah air, para basilisk tidak bisa mengembuskan napas api, tapi bukan berarti mereka lantas menjadi kurang mematikan. Dua ekor ular melesat ke arah Percy. Diirisnya mereka jadi dua. Sepuluh ular lain meliuk-liuk di sekeliling Percy, hanya sedikit lebih jauh daripada jangkauan pedang. Mereka menggeliut ke depan-belakang dengan pola gerakan yang menghipnotis,
mencari-cari bukaan. Satu gigitan atau satu sentuhan, hanya itu yang mereka butuhkan. "Heir teriak Jason. "Ayo, sini! Beri aku kasih sayang!" Ular-ular mengabaikannya. Begitu pula sang raksasa, yang berdiri ongkang-ongkang kaki dan memperhatikan sambil tersenyum pongah, rupanya dengan senang hati membiarkan piaraannya saja yang membunuh. "Kymopoleia." Jason berusaha sebaik-baiknya untuk melafalkan nama sang dewi dengan tepat. "Kau harus menghentikan ini." Sang dewi memandangi Jason dengan mata putihnya yang berpendar. "Untuk apa aku melakukan itu" Ibu Pertiwi telah menjanjikanku kekuatan tak berbatas. Bisakah kau menyuguhkan tawaran yang lebih baik"" Tawaran yang lebih baik Jason menangkap kesempatan ruang untuk bernegosiasi. Tapi, apa yang dia punyai yang kira-kira diiinginkan Dewi Badai" Para basilisk mengepung Percy semakin rapat. Dia mengusir mereka dengan semburan gelombang air, tapi mereka terus mengitarinya. "Hei, Basilisk!" teriak Jason. Masih tak ada reaksi. Dia bisa saja menerjang untuk membantu, tapi sekalipun bersama-sama, dia dan Percy tidak mungkin menghalau sepuluh basilisk sekaligus. Dia memerlukan solusi yang lebih bagus. Jason melirik ke atas. Badai petir menggila di atas, tapi letak mereka ratusan kaki di bawah. Dia tidak mungkin memanggil petir ke dasar laut, Ian" Kalaupun bisa, air memiliki konduktivitas listrik yang terlalu tinggi. Bisa-bisa Percy tersetrum. Tapi, pikiran Jason tidak bisa membuahkan opsi yang lebih baik. Disorongkannya pedang ke atas. Bilah senjata tersebut serta-merta berpendar merah panas.
Awan kabur berwarna kuning terang berarak ke kedalaman, .cakan seseorang baru saja menuangkan neon cair ke dalam air. ahaya dari dalam awan mengenai pedang Jason dan menciprat ke luar, terbelah sepuluh hingga menyambar para basilisk. Mata mereka menjadi gelap. Mahkota mereka terbuyarkan. Kesepuluh ular tersebut kini telentang dan terapung-apung mati dalam air. "Kali lain," kata Jason, " lihat aku sewaktu aku bicara pada kalian." Senyum Polybotes menjadi masam. "Apa kau ingin sekali mati, Orang Romawi"" Percy mengangkat pedangnya. Dia meluncurkan diri ke arah sang raksasa, tapi Polybotes mengayunkan tangannya di air, alhasil ineninggalkan jejak racun hitam berrninyak. Percy menerjang tepat ke arah itu sebelum Jason sempat berteriak, Bung, apa yang kau pikirkan" Percy menjatuhkan Riptide. Dia megap-megap sambil rnencakari leher. Sang raksasa melemparkan jaringnya yang berpemberat dan Percy pun roboh ke lantai, terjerat tanpa daya sementara racun kian mengental di sekelilingnya. "Lepaskan dia!" Suara Jason pecah karena panik. Sang raksasa terkekeh. "Jangan khawatir, Putra Jupiter. Lama sekali baru temanmu akan mati. Sesudah dia merepotkanku sekian banyak, aku takkan mimp
i untuk cepat-cepat membunuhnya." Kepulan beracun meruah di seputar tubuh raksasa itu, memenuhi reruntuhan seperti asap cerutu tebal. Jason buru-buru mundur, kurang cepat, tapi ventus-nya terbukti merupakan filter yang berguna. Sementara racun menyelubungi Jason, tornado miniatur berputar kian cepat, mengusir kepulan tersebut. Kymopoleia mengernyitkan hidung dan mengusir kegelapan itu, tapi racun sepertinya tidak memengaruhinya.
Percy menggeliat-geliut dalam jaring, wajahnya menjadi hijau. Jason menerjang untuk menolong Percy, tapi sang raksasa mengadangnya dengan trisula besar. "Oh, tidak bisa kubiarkan kau merusak kesenanganku," tegur Polybotes. "Racun akan membunuh pemuda ini pada akhirnya, tapi pertama-tama dia akan lumpuh dan berjam-jam didera kesakitan tak terperi. Aku ingin dia mengecap pengalaman yang utuh! Dia bisa menonton sementara aku menghabisimu, Jason Grace!" Polybotes maju pelan-pelan, memberi Jason banyak waktu untuk menekuri makhluk berotot, berbaju tempur kukuh, setinggi bangunan tiga lantai yang mengadangnya. Jason berkelit dari trisula dan, menggunakan ventus untuk melejit ke depan, menghunjamkan pedangnya ke kaki reptil sang raksasa. Polybotes meraung dan terhuyung-huyung, ichor keemasan merembes dari luka. "Kym!" teriak Jason. "Benarkah ini yang kau inginkan"" Sang Dewi Badai kelihatan agak bosan, memutar-mutar piringan logamnya dengan cuek. "Kekuatan tak berbatas" Kenapa tidak"" "Tapi, apakah ini asyik"" tanya Jason. "Baiklah, kau meng-hancurkan kapal kami. Kau menghancurkan seluruh garis pantai di dunia. Begitu Gaea menyapu bersih peradaban manusia, siapa yang bakal takut padamu" Kau tetap takkan dikenal." Polybotes menoleh. "Kau ini hama, Putra Jupiter. Kau akan diremukkan!" Jason mencoba memanggil petir lagi. Tiada yang terjadi. Jika kapan-kapan bertemu ayahnya, Jason akan mengajukan petisi supaya jatah petir hariannya dinaikkan. Jason berhasil menghindari ujung trisula lagi, tapi si raksasa mengayunkan pangkal senjata itu dan menghajar dadanya.
Jason terpental ke belakang, tercengang dan kesakitan. tlybotes bergerak untuk membunuhnya. Tepat sebelum trisula melubanginya, ventus Jason bertindak sendiri. Roh angin ctsebut berpusar ke samping, menyeret Jason sembilan meter t telintasi pekarangan. Makasih, Sobat, pikir Jason. Aku berutang penyegar udara padamu. Kalaupun si ventus menyukai ide itu, Jason tidak tahu. "Sebenarnya, Jason Grace," kata Kym seraya mengamat-amati kukunya, "sekarang setelah kau mengungkit-ungkitnya, aku memang menikmati rasa takut manusia fana padaku. Aku masih kurang ditakuti." "Aku bisa membantumu!" Jason kembali berkelit dari ayunan trisula. Dia memanjangkan gladius-nya menjadi lembing dan inencocok mata Polybotes. "AHHH!" Sang raksasa sontak sempoyongan. Percy meronta-ronta dalam jaring, tapi gerakannya semakin lemas saja. Jason harus bergegas. Jason mesti membawa Percy ke ruang kesehatan, dan jika badai terus mengamuk di atas mereka, takkan ada lagi ruang kesehatan yang bisa dia datangi. Jason terbang ke sebelah Kym. "Kau tahu dewa-dewi bergantung pada manusia fana. Semakin kami menghormati kalian, semakin sakti kalian." "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah dihormati!" Kymopoleia mengabaikan Polybotes, yang kini menjejak-jejak di sekeliling sang dewi, berusaha menggampar Jason sehingga keluar dari angin ributnya. Jason memosisikan diri sebisa mungkin agar sang dewi tetap berada di antara mereka. "Aku bisa mengubah itu," dia berjanji. "Aku akan secara pribadi mengatur agar didirikan sebuah altar pemujaan untukmu di Bukit Kuil di Roma Baru. Altar pemujaan Romawi pertama
yang khusus dipersembahkan untukmu! Akan kudirikan juga kuil untukmu di Perkemahan Blasteran, tepat di pesisir Selat Long Island. Bayangkan, dihormati " "Dan ditakuti." " dan ditakuti baik oleh bangsa Yunani maupun Romawi. Kau akan terkenal!" "BERHENTI BICARA!" Polybotes mengayunkan trisulanya seperti tongkat bisbol. Jason menunduk. Kym tidak. Sang raksasa memukul iganya keras sekali sampai-sampai helaian rambut ubur-uburnya rontok dan terhanyut di air yang mengandung racun. Mata Polybotes membelalak. "
Maafkan aku, Kymopoleia. Kau seharusnya tidak menghalangi!" "MENGHALANGI!" sang dewi menegakkan tubuh. "Aku menghalangi"" "Kau dengar katanya," kata Jason. "Kau hanya alat yang para raksasa manfaatkan demi kepentingan mereka. Mereka akan membuangmu begitu mereka selesai membinasakan manusia fana. Kemudian, takkan ada demigod, tidak ada altar pemujaan, tiada rasa takut, tiada penghormatan." "BOHONG!" Polybotes mencoba menikamnya, tapi Jason bersembunyi di belakang gaun sang dewi. "Kymopoleia, ketika Gaea berkuasa, kau bisa mengamuk dan menggila sebebas-bebasnya, tanpa batas!" "Masih adakah manusia fana yang merasa terteror kelak"" tanya Kym. "Soal itu tidak ada." "Kapal yang dapat kuhancurkan" Demigod yang merinding ketakutan saking takjubnya"" "Anu ..."
"Tolonglah aku," Jason mendesak. "Bersama-sama, dewi dan lemigod bisa membunuh raksasa." "Jangan!" Polybotes tiba-tiba terlihat sangat gugup. "Jangan, ide jelek. Gaea tidak akan senang!" "Jika Gaea bangun," kata Jason. "Kymopoleia yang perkasa I) isa membantu kami mencegah bangkitnya Gaea. Kemudian sernua demigod akan teramat menghormatimu!" "Akankah mereka merinding ketakutan"" tanya Kym. "Merinding karena ketakutan sekali! Plus namamu akan tercantum dalam program musim panas. Panji-panji yang dirancang khusus. Pondok di Perkemahan Blasteran. Dua altar pemujaan. Aku bahkan akan membuatkan model mainan Kymopoleia." "Jangan!" Polybotes melolong. "Apa saja asal bukan hak cipta!" Kymopoleia menoleh ke arah sang raksasa. "Aku khawatir tawaran tadi mengungguli yang Gaea ajukan." "Tidak bisa diterima!" raung sang raksasa. "Kau tidak boleh memercayai orang Romawi busuk inir "Kalau aku tidak menepati kesepakatan," kata Jason, "Kym bisa membunuhku. Bilamana berurusan Gaea, Kymopoleia tidak memiliki jaminan sama sekali." "Itu," kata Kym, "memang sukar dibantah." Selagi Polybotes berjuang untuk menjawab, Jason menerjang ke depan dan menikamkan lembingnya ke perut sang raksasa. Kym mengangkat piringan perunggu dari landasannya. "Ucapkan selamat tinggal, Polybotes." Sang dewi memutar piringan tersebut ke arah leher raksasa itu. Ternyata, pinggirannya tajam. Polybotes tentu kesulitan mengucapkan selamat tinggal, sebab dia tidak lagi mempunyai kepala. []
BAB DUA PULUH DELAPAN JASON RACUN ITU BERBAHAYA." KYMOPOLEIA MELAMBAIKAN tangan dan kepulan keruh pun sirna. "Racun encer bisa membunuh orang, kau tahu." Jason sendiri tidak terlalu menggemari racun pekat, tapi dia memutuskan untuk tidak menyinggung-nyinggung soal itu. Dia sudah memotong jaring untuk mengeluarkan Percy dan menyandarkan pemuda itu ke dinding kuil, menyelubunginya dalam cangkang udara ventus. Oksigen kian menipis, tapi Jason berharap gas tersebut dapat membantu mengusir racun dari paru-paru temannya. Terapi oksigen sepertinya manjur. Percy terbungkuk dai tampaknya hendak muntah. "Huek. Makasih." Jason menghela napas lega. "Kau sempat membuatku khawatii Bung." Percy berkedip-kedip, tatapannya juling. "Aku masih agal berkunang-kunang. Tapi, apa kau menjanjikan model mainai untuk Kym""
Sang dewi menjulang tinggi di hadapan mereka. "Betul. Dan aku berharap dia menepati janjinya." "Pasti," ujar Jason. "Ketika kita memenangi perang ini, akan kupastikan agar semua dewa memperoleh pengakuan." Dirangkulnya bahu Percy. "Temanku ini mengawali proses itu musim panas lalu. Dia mendesak dewa-dewi Olympia agar berjanji untuk lebih memperhatikan kalian." Kym mendengus. "Kita tahu janji dewa-dewi Olympia tidak dapat dipercaya." "Itulah sebabnya akan kutuntaskan pekerjaan tersebut." Jason tidak tahu dari mana kata-kata itu berasal, tapi ide tersebut rasanya pas sekali. 'Akan kupastikan agar tiada dewa yang terlupakan di kedua perkemahan. Sebagai bentuk penghargaan, mungkin mereka bisa membuat kuil, atau pondok, atau setidaknya altar pemujaan " "Atau koleksi kartu mainan," usul Kym. "Tentu saja." Jason tersenyum. "Aku akan bolak-balik antara kedua perkemahan sampai pekerjaan tersebut beres." Percy bersiul. "Jumlah dewa yang lain mencapai lusinan, lho." "Ratusan," ralat Kym. "Wah, kalau begitu," kata Jason, "barangkali perlu waktu yang l
umayan lama. Tapi, kau akan jadi yang pertama dalam daftarku, Kymopoleia Dewi Badai yang memenggal raksasa dan menyelamatkan misi kami." Kym mengelus rambut ubur-uburnya. "Baguslah." Diamatinya Percy. "Walaupun aku masih menyesal karena takkan melihatmu mad." "Aku sering mendapat komentar seperti itu," kata Percy. "Kapal kami bagaimana "" "Masih utuh," kata sang dewi. "Kondisinya tidak terlalu prima, tapi kalian semestinya bisa mencapai Delos."
"Terima kasih," ujar Jason. "Iya," kata Percy. "Satu lagi. Serius nih, suamimu, Briares, betul-betul lelaki yang baik. Kau sebaiknya memberi dia kesempatan.' Sang dewi mengangkat piringan perunggunya. "Jangan coba-coba mengetes kesabaranku, Dik. Briares punya lima puluh wajah; semuanya jelek. Dia punya seratus tangan, tapi cerobohnya minta ampun; kerjanya di rumah cuma memecahkan ini-itu." "Oke," Percy mengalah. "Aku takkan coba-coba." Kym membalikkan piringan, menampakkan tali pengikat di bagian bawah seperti pada tameng. Dia menyandangkan piringan itu ke bahunya, ala Captain America. 'Akan kuawasi perkembanganmu. Polybotes tidak membual ketika dia memperingatkan bahwa darahmu dapat membangunkan Ibu Pertiwi. Para raksasa sangat yakin akan hal ini." "Darahku pribadi"" tanya Percy. Senyum Kym malah lebih angker daripada biasanya. "Aku bukan Oracle. Tapi, kudengar apa yang Phineas, sang Juru Terawang beritahukan kepada kalian di kota Portland. Kau akan dihadapkan pada sebuah pengorbanan yang takkan mampu kau buat, sehingga membuat dunia ikut menderita karenanya. Kau belum lagi menghadapi kelemahan fatalmu, Dik. Lihatlah ke sekeliling. Seniva karya dewa dan manusia pada akhirnya menjadi puing-puing belaka. Bukankah lebih mudah jika kau kabur saja ke kedalaman bersama pacarmu itu"" Percy memegangi bahu Jason dan berjuang untuk berdiri. "Juno menawariku pilihan semacam itu, saat aku menemukan Perkemahan Jupiter. Akan kuberi kau jawaban yang sama. Aku takkan kabur ketika teman-temanku membutuhkanku." Kym menengadahkan telapak tangannya. "Itulah tepatnya kelemahanmu, yaitu tidak mampu undur diri. Aku akan mundur ke kedalaman dan menyaksikan jalannya pertempuran. Kau pasti
tahu bahwa pasukan-pasukan di laut juga tengah berperang. Temanmu Hazel Levesque memberi kesan positif di mata para manusia duyung dan mentor mereka, Aphros dan Bythos." "Manusia kuda ikan," gumam Percy. "Mereka tidak mau I ,ertemu aku." "Saat ini sekalipun, mereka tengah berperang demi kalian," Kym berkata, "dalam rangka menjauhkan sekutu-sekutu Gaea dari Long Island. Mengenai bisa atau tidaknya mereka bertahan hidup mesti kita lihat nanti. Sedangkan kau, Jason Grace, jalan yang akan kautempuh takkan lebih mudah daripada suratan temanmu. Kau akan diperdaya. Kau akan menghadapi duka tak terperi." Jason berusaha menahan din supaya tidak memercikkan listrik. Dia tidak yakin jantung Percy kuat menahan setrum. "Kym, kaubilang kau bukan Oracle" Kau semestinya diberi pekerjaan itu. Kata-katamu sungguh membuat depresi." Sang dewi mengeluarkan tawa lumba-lumba nan renyah. "Kau membuatku penasaran, Putra Jupiter. Kuharap kau terus hidup sehingga mampu mengalahkan Gaea." "Makasih," kata Jason. "Ada petunjuk mengenai cara mengalahkan dewi yang tak bisa dikalahkan"" Kymopoleia menelengkan kepala. "Oh, tapi kau sudah tahu jawabannya. Kau anak langit, dengan badai dalam darahmu. Dewa primordial sudah pernah dikalahkan sebelumnya. Kau tahu siapa yang aku maksud." Perut Jason serasa diaduk-aduk oleh ventus. "Ouranos, Dewa Langit yang Pertama. Tapi berarti " "Ya." Wajah Kym yang tak natural menampakkan ekspresi hampir menyerupai rasa simpati. "Mari kita berharap, semoga itu tidak terjadi. Jika Gaea sungguh terbangun maka, tugasmu takkan mudah. Tapi jika kau menang, ingatlah janjimu, Pontifex."
Jason butuh waktu untuk memproses kata-kata sang dewi. "Aku bukan pendeta." "Bukan"" Mata putih Kym berkilat-kilat. "Omong-omong, si ventus pelayanmu berkata dia ingin dibebaskan. Karena dia sudah membantumu, dia berharap kau berkenan melepaskannya ketika kalian tiba di permukaan. Dia berjanji takkan mengganggu mu untuk ketiga kalinya." "Keti
ga kalinya"" Kym terdiam, seperti sedang mendengarkan. "Dia bilang dia bergabung dengan badai di atas untuk membalas dendam padamu, tapi andai dia tahu betapa kau telah bertambah kuat semenjak kejadian di Grand Canyon, dia takkan mendekati kapalmu." "Grand Canyon ..." Jason teringat hari itu di titian kaca, ketika salah seorang teman sekelas mereka yang menyebalkan ternyata adalah roh angin. "Dylan" Apa kau bercanda" Aku menghirup Dylan"" "Ya," kata Kym. "Sepertinya itu namanya." Jason bergidik. "Akan kulepaskan dia sesegera mungkin begitu aku mencapai permukaan. Jangan khawatir." "Selamat tinggal, kalau begitu," kata sang dewi. "Semoga Moirae tersenyum pada kalian dengan asumsi bahwa para Moirae masih hidup."
Mereka harus pergi. Jason nyaris kehabisan udara (udara Dylan menjijikkan) dan semua orang di Argo II pasti mencemaskannya. Tapi Percy masih sempoyongan gara-gara racun, jadi mereka duduk di tepi kubah keemasan yang rusak parah selama beberapa menit agar Percy sempat menghirup udara banyak-banyak atau menghirup air banyak-banyak, apa pun yang dihirup putra Posedion ketika berada di dasar laut.
"Makasih, Bung," kata Percy. "Kau menyelamatkan nyawaku." "Hei, itulah gunanya teman." "Tapi, anu, anak Jupiter menyelamatkan anak Poseidon di dasar laut mungkin detailnya bisa kita simpan di antara kita saja" Kalau tidak, bisa habis aku diolok-olok." Jason menyeringai. "Baiklah. Bagaimana perasaanmu"" "Mendingan. Aku aku harus mengakui, sewaktu tersedak racun, aku terus-menerus memikirkan Akhlys, Dewi Penderitaan di Tartarus. Aku hampir menghabisinya dengan racun." Percy bergidik. "Rasanya menyenangkan, tapi seram. Kalau Annabeth tidak menghentikanku " "Tapi, dia menghentikanmu," ujar Jason. "Itu pulalah gunanya teman." "Iya Masalahnya, saat aku tersedak barusan, aku terus-menerus berpikir: inilah pembalasan untuk Akhlys. Moirae membiarkanku mati sebagaimana caraku hendak membunuh dewi itu. Dan ... sejujurnya, sebagian dari diriku merasa aku layak dihukum seperti itu. Itulah sebabnya aku tidak berusaha mengontrol racun sang raksasa dan menjauhkannya dariku. Barangkali kedengarannya sinting, ya"!" Jason kembali teringat akan Ithaka, ketika dia sedang putus asa gara-gara kedatangan arwah ibunya. "Tidak. Kurasa aku paham." Percy mengamat-amati wajahnya. Ketika Jason tidak berkata-kata lagi, Percy mengubah topik. "Apa yang Kym maksud soal mengalahkan Gaea" Kau menyebut-nyebut Ouranos ..." Jason menatap lendir kotor yang berputar-putar di antara pilar-pilar istana lama. " Dewa Langit bangsa Titan mengalahkannya dengan cara memanggilnya ke bumi. Mereka menjauhkan Ouranos dari wilayah kekuasaannya, menyergapnya, memeganginya, dan mencacah-cacahnya."
Percy kelihatannya mual lagi. "Bagaimana cara kita melak itu untuk mengalahkan Gaea"" Jason teringat larik ramalan: Karena badai atau api dunia ak terjungkal. Jason kini punya gambaran mengenai apa maksudn tapi jika dia benar, Percy takkan mampu membantu. Malah dia mungkin secara tidak sengaja mempersulit keadaan. Aku takkan kabur ketika teman-temanku membutuhkank Percy sempat berkata. Itulah tepatnya kelemahanmu, Kym mewanti-wanti, yaitu ti mampu undur difi. Hari ini 27 Juli. Lima hari berselang, Jason akan tahu apa dia benar. "Ayo kita ke Delos dulu," katanya. "Apollo dan Arte barangkali punya saran." Percy mengangguk, walaupun dia tampaknya tidak puas akan jawaban itu. "Kenapa Kymopoleia memanggilmu Pontiac"" Tawa Jason praktis menjernihkan udara. "Pontiftx. Artinya pendeta." "Oh." Percy mengernyitkan dahi. "Kedengarannya tetap saja seperti jenis mobil. Tontifex XLS baru.' Akankah kau harus memakai kerah dan memberkati orang-orang"" "Tidak. Bangsa Romawi dahulu punya pontifex maximus, yang mengawasi agar pemberian sesaji dan sebagainya dilaksanakan dengan benar, untuk memastikan supaya dewa-dewi tidak marah. Aku menawarkan untuk melakukan itu kurasa kedengarannya memang seperti pekerjaan pontiftx." "Jadi, kau sungguh-sungguh"" tanya Percy. "Kau serius hendak mencoba mendirikan altar pemujaan untuk semua dewa minor"" "Iya. Aku tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan itu sebelumny
a, tapi aku suka membayangkan diriku bolak-balik antara kedua perkemahan dengan asumsi, tahu bahwa
kita selamat minggu depan dan kedua perkemahan masih ada. Yang kau lakukan tahun lalu di Olympus, menolak keabadian dan justru meminta dewa-dewi bersikap baik mulia sekali, Bung." Percy menggeram. "Percayalah padaku, terkadang aku menyesali pilihan itu. Oh, kau mau menolak tawaran kami" Oke, tidak apa-apa! DUAR! Rasakan nih, memorimu hilang! Pergi ke Tartarus, sanaf' "Kau melakukan yang seharusnya dilakukan pahlawan. Aku mengagumimu karenanya. Yang setidak-tidaknya bisa kulakukan, kalau kita selamat, adalah melanjutkan usahamu memastikan supaya semua dewa memperoleh penghormatan. Siapa tahu" Kalau dewa-dewi lebih rukun sesama mereka, mungkin kita bisa mencegah pecahnya perang semacam ini." "Kalau benar begitu, bagus," Percy sepakat. "Kau tahu, kau kelihatan lain ... lain dalam artipositif. Apa lukamu masih sakit"" "Lukaku ..." saking sibuknya menghadapi si raksasa dan sang dewi, Jason lupa akan luka tusukan pedang di perutnya, sekalipun sejam lalu dia masih sekarat di ruang kesehatan gara-gara luka tersebut. Dia mengangkat bajunya dan melepaskan perban. Tiada asap. Tiada pendarahan. Tiada bekas luka. Tiada rasa sakit. "Lukaku hilang," katanya, terperangah. "Aku merasa sepenuhnya normal. Kok bisa"" "Kau mengalahkannya, Bung!" Percy tertawa. "Kau menyembuh-kan dirimu sendiri." Jason mempertimbangkan pernyataan itu. Dia menduga Percy benar. Mungkin dia sembuh karena mengesampingkan rasa nyeri demi menolong kawan-kawannya. Atau mungkin keputusannya untuk menghormati dewa-dewi di kedua perkemahan telah menyembuhkannya, memberinya jalan yang mulus ke masa depan. Romawi atau Yunani perbedaan itu
tidak menjadi soal. Seperti katanya kepada hantu-hantu di Ith keluarganya semata-mata bertambah banyak. Jason kini mafi akan perannya. Dia akan menepati janji kepada Dewi Badai. oleh karena itu, pedang Michael Varus tidak berarti. Mati sebagai orang Romawi. Tidak. Jika harus mati, dia akan mati sebagai putra Jupiter, a dewa-dewi darah daging Olympus. Tapi, dia takkan membiar dirinya dikurbankan setidaknya, tidak tanpa perlawanan. "Ayo." Jason menepuk punggung temannya. "Mari kita kapal kita."[]
BAB DUA PULUH SEMBILAN NICO APABILA DISURUH MEMILIH ANTARA KEMATIAN dengan Minimarket Ekspres Buford, Nico bakalan kesulitan mengambil keputusan. Setidaknya dia tahu jalan di Negeri Orang Mati. Selain itu, di sana makanannya lebih segar. "Aku masih tidak mengerti," gumam Pak Pelatih Hedge selagi mereka menjelajahi lorong tengah antar-rak. "Mereka menamai seisi kota dari nama meja Leo"" "Sepertinya kota ini berdiri duluan, Pak Pelatih," kata Nico. "Huh." Sang pelatih mengambil sekotak donat berlumur gula bubuk. "Mungkin kau benar. Ini kelihatannya sudah berumur paling tidak seratus tahun. Aku kangen fartura Portugis." Nico tidak bisa memikirkan Portugal tanpa merasa nyeri di lengan. Di bisepsnya, bekas cakaran manusia serigala masih bengkak dan merah. Sang penjaga toko sempat menanyai Nico apakah dia berkelahi dengan kucing hutan. Mereka membeli perlengkapan P3K, notes (supaya Pak Pelatih Hedge bisa menulis pesan di pesawat kertas untuk istrinya), soda dan sejumlah camilan tidak bergizi (karena meja prasmanan dalam tenda ajaib Reyna hanya menyediakan makanan sehat dan air segar), dan macam-macam perlengkapan berkemah untuk jebakan monster Pak Pelatih Hedge yang tidak berguna, tapi mengesankan sekali saking rumitnya. Nico sebenarnya ingin mencari pakaian baru. Dua hari sejak mereka kabur dari San Juan, dia bosan mondar-mandir dalam balutan baju ISLA DEL ENCANTORICO bermotif tropis nan meriah, terutama karena Pak Pelatih Hedge mengenakan baju yang seragam. Sayangnya, Minimarket Ekspres hanya menjual kaus bergambar bendera Konfederasi dan pepatah basi seperti TETAP TENANG DAN IKUTI ORANG UDIK. Nico memutuskan mending dia mengenakan baju bermotif nuri dan pohon kelapa saja. Nico dan sang satir berjalan kembali ke tempat mereka berkemah, menyusuri jalan dua jalur di bawah sorot matahari yang menyengat. Wilayah Carolina Selatan yang ini didominasi ole
h lahan kosong berumput, tiang telepon, dan pohon yang berselimutkan sulur-sulur tumbuhan parasit. Kota Buford sendiri terdiri dari kumpulan gubuk logam portabel hanya enam atau tujuh, yang barangkali berjumlah sama dengan populasi kota tersebut. Nico tidak gemar-gemar amat berjemur, tapi sekali ini dia menyambut baik kehangatan mentari. Dia jadi merasa lebih substansial tertambat ke dunia fana. Tiap kali melompati bayangan, semakin sulit saja untuk kembali. Di riang hari bolong sekalipun, tangannya menembus benda padat. Sabuk dan pedangnya terus-menerus merosot tanpa alasan jelas. Suatu kali, ketika berjalan tanpa melihat arah, Nico malah menembus sebatang pohon. Nico teringat perkataan Jason Grace kepadanya di istana Notus: Mungkin sudah waktunya kau keluar dari bayang-bayang.
Kalau saja bisa, pikirnya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia mulai takut pada kegelapan, sebab dia mungkin saja melebur secara permanen ke dalam kegelapan. Nico dan Hedge tidak kesulitan menemukan jalan pulang ke perkemahan mereka. Athena Parthenos adalah penanda tertinggi dalam radius bermil-mil. Dalam jaring kamuflasenya yang baru, patung itu berkilau perak seperti hantu teramat cemerlang setinggi dua belas meter. Rupanya, Athena Parthenos ingin agar mereka mengunjungi tempat bernilai edukasi, sebab dia mendarat tepat di samping penanda historis yang bertuliskan PEMBANTAIAN BUFORD, pada pelataran berkerikil di persimpangan jalan yang tidak menuju ke mana-mana. Tenda Reyna berdiri di kebun berjarak tiga puluh meter kurang dari jalan. Di dekat sana, terdapat punden ratusan batu yang ditumpuk berbentuk makam kebesaran dengan nisan berupa obelisk granit. Di sekelilingnya, bertebaranlah karangan bunga layu dan buket bunga plastik gepeng, alhasil menjadikan tempat itu terkesan semakin menyedihkan. Aurum dan Argentum sedang bermain lempar-lemparan bola tangan milik sang pelatih. Sejak diperbaiki kaum Amazon, kedua anjing logam menjadi riang dan penuh energi tak seperti pemilik mereka. Reyna duduk bersila di pintu masuk tenda sambil menatap obelisk memorial. Dia tidak banyak berkata-kata sejak mereka kabur dari San Juan dua hari lalu. Mereka juga belum menemui satu pun monster, alhasil menyebabkan Nico gelisah. Mereka belum mendapat kabar lebih lanjut dari para Pemburu maupun bangsa Amazon. Mereka tidak tahu apa yang telah menimpa Hylla, Thalia, ataupun Orion sang raksasa.
Nico tidak menyukai para Pemburu Artemis. Tragedi niscaya membuntuti para Pemburu Artemis, sama seperti anjing dan burung pemangsa milik mereka. Kakaknya, Bianca, meninggal setelah bergabung dengan para Pemburu. Kemudian Thalia Grace menjadi pemimpin mereka dan mulai merekrut semakin banyak wanita muda demi tujuan mereka seolah-olah kematian Bianca dapat dilupakan. Seolah-olah Bianca dapat digantikan. Ketika Nico siuman di Barrachina dan menemukan pesan yang menyebutkan bahwa para Pemburu menculik Reyna, dia mengobrak-abrik halaman karena murka. Dia tidak ingin para Pemburu lagi-lagi merampas orang yang penting baginya. Untungnya, Reyna kembali, tapi Nico tidak suka meliha betapa murungnya gadis itu sekarang. Tiap kali Nico mencoba menanyai Reyna tentang insiden di Calle San Jose hantu-hantu di balkon, semua menatapnya, membisikkan tuduhan demi tuduhan Reyna semata-mata menutup diri, menolak bicara kepada Nico. Nico tahu sedikit tentang hantu. Berbahaya membiarkan mereka masuk ke kepala kita. Dia ingin membantu Reyna, tapi karena strategi Nico biasanya adalah menghadapi masalah seorang diri, menampik siapa saja yang coba-coba mendekat, dia tidak bisa mengkritik Reyna karena berbuat serupa. Reyna mendongak saat mereka mendekat. "Aku ingat." "Situs historis apa ini"" tanya Hedge. "Bagus, soalnya aku jadi gila karena penasaran." "Pertempuran Waxhaw," kata Reyna. "Ah, betul ..." Hedge mengangguk khidmat. "Perkelahian yang brutal." Nico mencoba mengindrai arwah penasaran di area itu, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Tidak lazim untuk medan tempur. "Apa kau yakin""
Nico "Tahun 1780," kata Reyna. "Revolusi Amerika. Sebagian r besar pemimpin kaum Kolonis adalah demigod Yunani. Jend
eral-lenderal Britania adalah demigod Romawi." "Karena Inggris dulu seperti Romawi," tebak Nico. "Imperium yang tengah bangkit." Reyna memungut buket gepeng. "Menurutku aku tahu apa sebabnya kita mendarat di sini. Ini salahku." "Ah, jangan begitu," tegur Hedge. "Minimarket Ekspres Buford bukan salah siapa-siapa. Yang demikian bisa saja terjadi kadang-kadang." Reyna mencuili bunga-bunga plastik pudar. "Semasa Revolusi, empat ratus orang Amerika disusul oleh kavaleri Britania. Pasukan Kolonis mencoba menyerah, tapi orang-orang Britania menginginkan darah. Mereka membantai orang-orang Amerika bahkan sesudah mereka menjatuhkan senjata. Hanya segelintir yang selamat." Nico memperkirakan dia semestinya terguncang. Tapi setelah melawat ke Dunia Bawah, mendengar banyak sekali cerita mengenai kekejian dan kematian, pembantaian di masa perang bukan lagi kabar baru. "Reyna, salahmu di sebelah mana"" "Komandan Britania bernama Banastre Tarleton." Hedge mendengus. "Aku pernah dengar tentang dia. Laki-laki sinting. Dia dijuluki Benny si Jagal." "Ya ..." Reyna bernapas tersendat-sendat. "Dia putra Bellona." "Oh." Nico menatap makam kebesaran. Dia masih resah karena tidak bisa merasakan kehadiran roh-roh sama sekali. Ratusan prajurit dibantai di lokasi ini peristiwa itu semestinya memancarkan semacam gelombang maut. Dia duduk di sebelah Reyna dan memutuskan untuk mengambil risiko. "Jadi, menurutku kau terpancing ke tempat ini
karena kau memiliki keterikatan dengan hantu-hantu itu. Seperti yang terjadi di San Juan"" Selama sepuluh detik, Reyna tidak berkata apa-apa, hanya membolak-balik buket plastik di tangannya. "Aku tidak mau membicarakan San Juan." "Sebaiknya kau bicarakan." Nico merasa bagaikan orang asing dalam tubuhnya sendiri. Kenapa dia mendorong Reyna untuk berbagi" Tidak biasa-biasanya. Lagi pula, itu juga bukan urusannya. Namun demikian, Nico terus bicara. "Yang utama soal hantu adalah, kebanyakan dari mereka kehilangan suara. Di Asphodel, berjuta-juta roh mengeluyur tak tentu arah, berusaha mengingat-ingat siapa diri mereka. Kau tahu apa sebabnya mereka jadi seperti itu" Karena semasa hidup, mereka plinplan. Mereka tidak pernah angkat bicara, maka mereka tidak pernah didengar. Suaramu adalah identitasmu. Jika kau tak menggunakannya," kata Nico sambil mengangkat bahu, "kau sudah setengah jalan menuju Asphodel." Reyna cemberut. "Apa kau bermaksud menyemangatiku"" Pak Pelatih Hedge berdeham. "Waduh, terlalu mirip obrolan dengan psikolog. Aku tidak ikut-ikutan. Aku akan menulis surat Baja. Sang satir mengeluarkan notesnya dan menuju ke dalam hutan. Kira-kira sehari terakhir ini, dia banyak menulis rupanya bukan cuma untuk Mellie. Sang pelatih tidak mau berbagi paparan mendetail, tapi dia menyiratkan bahwa dia minta bantuan untuk memperlancar misi mereka. Dia mungkin menyurati Jackie Chan juga; Nico tidak tahu. Nico membuka kantong belanjaannya. Dia mengeluarkan sekotak Pai Krim Havermut Debbie Cilik dan menawari Reyna. Gadis itu mengernyitkan hidung. "Makanan itu kelihatannya sudah basi sejak zaman dinosaurus."
"Mungkin. Tapi, selera makanku besar akhir-akhir ini. Makanan apa saja terasa enak kecuali mungkin biji delima. Aku sudah bosan makan itu." Reyna mengambil sekeping pai krim dan menggigitnya. "Hantu-hantu di San Juan ... mereka itu leluhurku." Nico menunggu. Angin sepoi-sepoi mendesirkan jaring kamuflase yang menutupi Athena Parthenos. "Keluarga Ramirez-Arellano punya garis keturunan jauh ke belakang," lanjut Reyna. "Aku tidak tahu cerita lengkapnya. Leluhurku tinggal di Spanyol sewaktu wilayah itu masih merupakan provinsi Romawi. Kakek moyangku seorang conquistador. Dia datang ke Puerto Rico bersama Ponce de Leon." "Salah satu hantu di balkon mengenakan baju zirah conquis-tador," Nico mengingat-ingat. "Itu dia." "Jadi seluruh keluargamu adalah keturunan Bellona" Kukira kau dan Hylla adalah putrinya, bukan keturunannya." Nico terlambat menyadari bahwa dia semestinya tidak mengungkit-ungkit nama Hylla. Ekspresi putus asa terlintas di wajah Reyna, walaupun dia berhasil menyembunyikannya cepat-cepat. "Kami memang putri Be
llona," kata Reyna. "Dalam keluarga Ramirez-Arellano, kamilah anak Bellona yang pertama. Selain itu, Bellona senantiasa memberi restunya kepada klan kami semenjak dulu. Bermilenium-milenium lampau, Bellona menitahkan bahwa kami akan memegang peranan sentral dalam banyak pertempuran." "Seperti yang kau lakukan sekarang," kata Nico. Reyna mengelap remah-remah pai dari dagunya. "Barangkali. Beberapa leluhurku adalah pahlawan. Sebagian lain penjahat. Kau melihat hantu dengan luka tembak di dada"" Nico mengangguk. "Bajak laut""
Memburu Manusia Setan 2 Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan Menyingkap Karen 2
^