Elemen Kekosongan 8
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 8
dadakan susulan. Kedua rekan yang masih sehat pun tampak terkejut.
Suatu serangan di luar perkiraan mereka. Serangan seorang pakar
pertempuran, yang telah banyak mengalami pertarungan.
Napas memburu tampak pada wajah kakek Gu. Empat serangan den-
gan delapan variasi telah dilakukannya untuk menyerang Empat Begal
Hutan. Dua untuk mengelabui dan dua untuk benar-benar meny-
erang. Terpaku pada sesuatu yang telah "lazim" berlangsung merupakan
salah satu kelemahan manusia. Dan hal-hal ini dimanfaatkan oleh
orang-orang yang mengetahui dan mengerti untuk menciptkan di-
namika. Menghidari kebosanan. Dari sini bisa banyak yang dituai
atau ditarik keuntungan. Dalam pertarungan juga demikian. Apabila
musuh terus-menerus mengeluarkan jurus-jurus yang sama, kita akan
terlena dan menjadi yakin bahwa musuh hanya memiliki gerakan-
gerakan ini dan tidak lainnya. Demikian pula dengan Empat Begal
Hutan yang dari segi umur masih belia apabila dibandingkan dengan
340 BAGIAN 6. TATO kakek Gu atau pun dengan Su-Mo. Keterlenaan mereka harus dibayar
dengan remuknya dua telapak kaki dari dua orang dari mereka.
"Bagaimana, Empat Begal Hutan" Masih ingin dilanjutkan?" tanya
kakek Gu keren, tanpa ada nada sombong di suaranya yang sudah
kembang-kempis. Ia tidak berusaha menutup-nutupi keuzuran usianya
yang berarti staminanya juga telah turun jauh, terutama untuk per-
tarungan jangka panjang. Keempat Begal Hutan tidak menjawab. Sebenarnya di dasar hati
mereka, telah tumbuhi rasa malu bahwa mereka yang masih muda
dan berempat tidak bisa menghadapi seorang yang telah tua. Seorang
yang kelihatannya rapuh, bagai akan terbang ditiup angin belaka.
Sebelum satu dari empat orang itu menjawab, telah turun kata
dari seorang Su-Mo, Hek-Mo, "Kakek Gu, cepat suruh pemuda itu
keluar. Kami masih ingin menjajal ilmu iblisnya itu." Saat berkata
masih bergidik Hek-Mo sesaat membayangkan saat Gu Yo atau Paras
Tampan merapalkan ilmu "Jarum Terbang Debu Pasir" yang meny-
erangnya dan juga Pek-Mo. Keduanya mengalami luka yang cukup
parah. Bagian tubuh pinggang ke bawah diterjang jarum-jarum halus
yang terbuat dari debu dan pasir yang direkatkan oleh Tenaga Tanah
dan dikirimkan dengan pukulan atau hempasan. Masih untung pe-
muda itu belum begitu berpengalaman, sehingga bagian tubuh mereka
yang luka bukannlah bagian-bagian penting dari jalan darah yang
ada. Jika tidak, sudah berada satu dua meter mereka di dalam tanah,
bersemayam di sana selamanya.
Pertanyaan inilah yang tidak diharapkan oleh kakek Gu. Ia tahu atau
dapat memperkirakan mengapa sedari tadi Su-Mo belum turun tan-
gan. Mereka masih jerih akan adanya Gu Yo, dan menunggu ter-
lebih dahulu sampai pemuda itu muncul. Mendengar pertanyaan itu,
berputar keras otak kakek Gu. Ia harus mencari siasat untuk itu.
Bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya, tapi juga menyampaikan
pesan yang tadinya masih ragu untuk dikatakan kepada Gu Yo. Tapi
setelah lama berdiskusi dengan nenek Po, akhirnya diputuskan bahwa
hal itu haruslah disampaikan. Untuk kebaikan Gu Yo sendiri, dalam
rangka misinya. Untuk itu kakek Gu berniat untuk mengadu jiwa, sementara ia melihat
341 bahwa nenek Po tampak telah siap sedari tadi berkemak-kemik mera-
palkan sesuatu. Kakek Gu pun memantapkan niatnya. Ia menegakkan
tubuhnya dan mengatur nafas lambat sampai tak terdengar. Lalu
katanya keren, "Bagaimana jika kalian semua berdelapan sekarang
maju serentak" Biar tak habis waktu kita."
*** Pemuda dan pemudi itu tampak lahap menyantap daging bakar yang
disajikan dengan saus kacang dan kecap manis pekat. Sesekali terden-
gar suara dari dalam perut melalui leher sang pemuda. Menandakan
bahwa makanan yang disantapnya membuat sang perut kenyang. Si
pemudi tampak lebih santai dalam menyantap, tidak sepesat dan
segarang sang pemuda. Akhirnya makan malam itu pun usai. Keduanya tampak terduduk
agak lemas. Lemas setelah perut diisi penuh. Juga lemas akibat hal-
hal yang baru saja berlangsung.
"Kedai Daging Bakar pamam Yok Seng ini memang tiada tandin-
gannya di kota Siaw Tionggoan," ucap pemuda itu sambil menyeka
mulutnya dengan semacam kertas atau kain yang disediakan untuk
itu. "Iya, memang benar," sahut si gadis pendek mengiyakan.
Keduanya kemudian terdiam, masih terbayang peristiwa yang baru-
baru saja terjadi di suatu tempat. Tempat kerja si gadis.
"Bagaimana bila pemuda itu kita tanyai sekarang?" usul sang pemuda.
"Boleh juga, tapi apa tidak mengganggu kerjanya?" balik tanya si
gadis atas usul rekannya itu.
"Seharusnya sih jam-jam segini mereka telah beristirahat, akan tetapi
lebih baik bila kutanyakan saja pada kepala pelayan di sana," katanya
sambil bangkit dan menuju kepada seorang pelayan yang sedang
bertugas mengawasi jalannya kegiatan di Kedai Daging Bakar pada
hari itu. Sebelum pemuda itu bertanya, sang pelayan kepala yang sedang duduk
itu segera berdiri saat melihat pemuda itu menghampirinya, lalu sapa-
342 BAGIAN 6. TATO nya, "Selamat malam, Inspektur San Cek Kong! Apa anda ingin
memesan lagi?" "Ah, tidak paman. Tadi sudah cukup. Lebih dari cukup. Sudah
penuh lambung kami berdua," jawabnya ramah. "Saya hanya ingin
bertanya, apa kami " saya dan nona Sian Lin, boleh berbicang-bicang
sedikit dengan Gu Yo, seorang yang bekerja di sini?"
"Maksud inspektur, Gu Yo yang baru mulai bekerja hari ini?" tanyanya.
Gu Yo mendadak hari itu menjadi terkenal karena ia membawa su-
atu cerita menghebohkan saat ia kembali ke Kedang Daging Bakar,
selepas kunjungannya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tadi sore.
Pemuda itu, yang dipanggil inspektur San Cek Kong mengangguk.
Tapi kemudian ia menambahkan, "bila tidak mengganggu kerjanya,
tentu saja. Atau perlu saya membawa surat resmi?"
"Ah, tidak perlu inspektur. Gu Yo dan yang lainnya pasti sedang
beristirahat saat ini. Jam-jam segini sudah tidak ada lagi kegiatan
yang kerap di dapur," jawab sang pelayan kepada sambil menggerak-
gerakkan tangannya. "Sebentar akan saya panggilkan."
Tak lama kemudian pemuda yang ingin ditanyai oleh San Cek Kong
dan Swee Sian Lin pun tiba di meja tempat kedua orang itu duduk.
"Ji-wi berdua memanggil saya?" tanyanya sopan. Ia telah mengenap
nona Sian Lin, akan tetapi pemuda yang bersamanya baru dilihat saat
itu. Ia tidak tahu bahwa ia dan San Cek Kong tadi berselisih jalan di
dekat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Karena keduanya tidak saling
mengenal, maka saling tidak memperhatikan bahwa masing-masing
sempat hampir bertubrukan tadi.
"Duduklah, Gu Yo!" sahut Sian Lin ramah.
Sementara San Cek Kong hanya menggangguk sambil tersenyum. Se-
bagai seorang paturan yang telah lama bertugas, ia memanfaatkan
saat pertama bertemu dengan orang baru untuk menilainya. Mem-
biarkan naluri alamiah seorang manusia untuk merasakan apa-apa
yang bisa ditangkap. Hal ini perlu. Berdasarkan pengalamannya, bila
orang telah kenal lama, naluri ini kadang-kadang menjadi tumpul
karena teralihkan oleh kesan-kesan yang timbul dari cerita atau
343 perkataan orang. Dan juga dari kesan yang ingin ditampilkan oleh
orang itu sendiri. Atas dasar ini banyak kejahatan yang muncul dari
teman dekat, saudara atau lainnya. Naluri mereka telah tertindas
oleh kebiasaan bahwa orang-orang yang dekat dengan mereka adalah
orang-orang "baik" yang tidak mungkin melakukan kejahatan. Pada-
hal kadang sebaliknya. Orang yang paling baik, kadangkala memiliki
kesempatan untuk melakukan kejahatan juga yang paling sempurna.
Setelah puas menilai dan mengira-ngira San Cek Kong pun kemudian
memperkenalkan dirinya sebagai inspektur yang ingin berbincang-
bincang dengan Gu Yo perihat peristiwa tadi siang yang terjadi di
Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Gu Yu pun hanya mengangguk dan ia berdiam menunggu pertanyaan
yang akan diajukan oleh inspektur San Cek Kong.
*** "Hek-Mo, engkau baik-baik saja?" tanya Huang-Mo atau si Setan
Kuning kepada rekannya si Setan Hitam, yang baru saja dipeluk erat
kepalanya dengan kedua telapak tangan kakek Gu yang meregang
nyawa atas bacokan Hek-Mo.
"Tidak, aku... tidak apa-apa..!" katanya agak tak yakin. Dicarinya
dengan padangan mata di mana rekan kakek Gu, nenek Po, be-
rada. Tampak bahwa yang dicari lagi terduduk tenang akan tetapi
tanpa tanda-tanda kehidupan. Melepas nyawa bersamaan dengan
terbangnya nyawa kakek Gu.
Ucapan kakek Gu yang bagaikan menyiramkan minyak tanah kepada
api kecil itu membuat Su-Mo bak kebakaran jenggot jadinya. Tanpa
dikomando keempatnya turunkan tangan dan kakinya melengkapi
barisan empat pengeroyok kakek Gu sebelumnya, Empat Begal Hutan.
Runyam jadinya. Melawan empat orang saja dari mereka kedudukan
sudah seri bagi kakek Gu. Apalagi sekarang melawan delapan orang
sekaligus. Akan tetapi niatan untuk menyampaikan pesan kepada Gu
Yo membuatnya tenang. Alih-alih cemas, malah wajah kakek Gu men-
jadi lebih sumringah. Tersenyum-senyum dan tampak seakan-akan
siap menerima apa-apa yang akan terjadi pada dirinya kelak, bahkan
yang terburuk sekalipun. 344 BAGIAN 6. TATO Pertempuran mati-matian mempertahankan nyawa tak dapat dihin-
dari. Kakek Gu harus bergerak ke sana dan kemari untuk menyela-
matkan nyawanya yang tinggal selembar itu. Belum saatnya terbacok
golok atau terpukul kepalan Su-Mo, atapun kena gebug pukulan dan
tendangan Empat Begal Hutan. Ia masih perlu waktu untuk sesuatu.
Waktu. Satu hal itu yang kiranya agak sulit diharapnya sekarang,
demi melihat kelebatan pukulan dan bacokan silih berganti di sekelil-
ingnya. Hampir membuatnya tak bisa bernapas sebelum bergerak ke
sana-ke sini, di antara hujan serangan.
Tiba-tiba tampak sekelebat bayangan nenek Po. Samar seperti asap.
Ia menunjuk-nunjuk kepada Hek-Mo, anggota Su-Mo yang paling be-
rangasan dan beremosi. Kakek Gu pun mengangguk. Ia mengerti
bahwa pesan itu harus dialamatkan pada orang itu. Orang yang paling
membencinya. Paling kesal padanya, sehingga paling mudah dirasuki.
Tanpe membuang waktu, kakek Gu mengempos tenaganya. Ia berusaha
menghalau hujan pedang dan pukulan ke sana kemari, sehingga jalan-
nya ke arah Hek-Mo terbuka. Lalu sebagai siasatnya agar Hek-Mo
emosi, ia harus berkata-kata yang pedas. Untuk membuat lawannya
itu tidak lagi waspada memelihara batinnya.
"Hei, Hek-Mo! Hanya sampai sini saja kepandaianmu?" ucap kakek
Gu merendahkan. Walau ia sendiri sadar, berbicara sambil bertem-
pur itu akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi misinya harus di-
tuntaskan, dan kelihatannya harus ditebus dengan nyawanya. Dan
mungkin pula dengan nyawa nenek Po.
Mendengar itu, sontak Hek-Mo mendelikkan matanya dan mulutnya
menggereng-gereng. Sudah tidak tahan lagi ia untuk berkata-kata.
Gerengannya itu sudah melambangkan kekesalan hatinya akan kakek
Gu. Dulu sekali dikalahkan dan saat ini pula kakek Gu masih tampak
berdiri dengan gagah di tengah-tengah kepungan kedelapan orang itu.
Hek-Mo menjadi marah. Adanya ketujuh rekannya membuat nyalinya
sedikit berkembang. Ia pun maju mendekat sambil membantu rekan-
rekannya menyerang kakek Gu semakin gencar.
"Hehehe, bagus datanglah Hek-Mo, biar kakiku bisa mampir lagi di-
tubuhmu!" ejek kakek Gu yang sudah kepayahan terpukul beberapa
kali. Untuk saja belum ada bacokan golok yang bersarang di tubuh-
345 nya. "Grrrrggghh!!" mengerang Hek-Mo sambil melompat membacok dua
kali dengan dua goloknya. Umumnya ia tidak menggunakan dua golok,
tapi hari ini entah kenapa ia mencoba menggunakan ilmu baru yang
menggunakan satu golok di tangan kanan dan satu di tangan kiri den-
gan arah pegang yang berbeda. Satu ke atas satu ke bawah.
Suatu serangan yang berbahaya, tapi kakek Gu seakan-akan tidak
memperhatikannya. Matanya tampak tertuju pada sebuah titik di
antara kedua mata Hek-Mo. Dan ia pun melihat bahwa bayangan
samar nenek Po juga telah siap di belakang Hek-Mo. Sekali lagi men-
gangguk kakek Gu pun bagai menyongsong sabetan atas ke bawah dan
bawah ke atas dari Hek-Mo. Matanya tetap lekat ke titik yang tadi
diperhatikannya. "Cakkk!!! Crakkk!!" kedua golok itu mendarat dengan ganas di tubuh
kakek Gu. Satu di pundah menuju dada dan satu di bawah ketiak
menuju leher. Sabetan menyilang. Sabetan Serong Atas Bawah Dua
Golok. Suatu jurus dari Hek-Mo, anggota paling berangasan dari
Empat Setan (Su-Mo). Saat Hek-Mo berpuas diri melihat darah yang mengalir pelan dari
kedua tempat di mana kedua senjatanya bersarang, tiba-tiba ia men-
jerit ngeri. Bukan saja karena ternyata kakek Gu belum mati, selain
kedua goloknya yang seakan-akan terjebit oleh dagingn dan tulang
yang dibelahnya, tapi juga kedua tangan kakek Gu yang memegang
kepalanya. Menyentuhkan kedua ibu jarinya pada titik di atas
hidungnya. Suatu titik di atanara kedua mata. Serunpun energi
hangat terasa mengalir masuk menggelapkan pandangannya. Telin-
ganya bagai mendengar kakek Gu dan juga nenek Po bercakap-cakap
kepadanya. Menceritakan banyak hal dari suatu jaman ke jaman lain.
Dan bukan hanya itu, ia juga seakan-akan dapat melihat semua yang
diceritakan kedua orang itu. Bermacam-macam keterangan masuk ke
dalam kepalanya. Lama semua itu dirasakan oleh Hek-Mo berlangsung, walaupun rekan-
rekannya hanya melihat kurang dari sejurus dua, bahwa ia tampak
termangu-mangu atas tekanan kedua jari jempol kakek Gu yang sudah
bersimbah darah pada tengah-tengah kedua matanya, yang kemudian
346 BAGIAN 6. TATO disusul dengan runtuhnya tubuh kakek Gu ke atas tanah setelah tak
bernyawa lagi. Bersamaan dengan itu kembalilah kesadaran Hek-Mo, sehingga ia bisa
menjawab pertanyaan Huang-Mo.
"Mari kita pergi!" ajak Huang-Mo kepada rekan-rekannya. Ia sendiri
tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia gembira bahwa Hek-
Mo tidak tinggal nyawa di tangan kakek Gu. Walaupun berangasan
Hek-Mo adalah sosok seorang yang setia. Dan itu amat disayangkan
oleh Huang-Mo apabila rekannya itu sampai tewas dalam pertempuran
yang baru saja berlangsung.
Dengan tak berkata-kata kedelapan orang itu pun pergi meninggalkan
tempat itu. Membiarkan saja kedua orang tua yang telah menjadi
jenasah tergeletak di sana. Satu tersungkur bersimbah darah dan
satu terduduk damai. Setelah sunyi dan tiada orang lagi di sana, tampak sekelebat bayangan
putih tiba di sana. Seorang tua dengan pakaian berwarna putih yang
sederhana, yang dihiasi dengan ramput putih panjang yang dibiarkan-
nya tergerai. Setelah memandang sebentar dengan sorot mata yang
sedih akan tetapi tenang, ia bergerak ringan bagaikan tak menapak,
menggapai kedua sosok yang telah tiada bernyawa itu. Menentengnya
dengan ringan dan membawanya pergi dari sana.
***
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak terasa sudah seminggu Gu Yo bekerja di Kedai Daging Bakar
milik Yok Seng. Kerjanya yang ulet dan rajin membuatnya disukai
banyak orang. Ma She yang biasanya jarang berbicara, tampak
banyak berbicara dan sering menyuruh-nyuruh Gu Yo serta juga
mengajari berbagai hal. Ini mungkin karena pemuda itu mudah mu-
dah diajari dan langsung bertanya apabila penjelasan yang diberikan
Ma She tidak dimengertinya. Pada kebanyakan orang, biasanya
hanya mengangguk-angguk walaupun sebenarnya tidak seratus persen
mengerti. Barulah umumnya belakangan diketahui dari hasil kerjanya,
bahwa sang pelaku tidak benar-benar mengerti apa yang ditugaskan.
Tidak dengan Gu Yo, ia tidak mau melakukan pekerjaannya sebelum
benar-benar mengerti. Dan sikap ini cocok dengan Ma She, sang
kepala koki di tempat itu.
347 "Gu Yo...! Dimana kamu...?" tiba-tiba terdengar panggilan orang.
Orang yang dicari tampak sedang menimba air dari sumur yang berada
di belakang bangunan utama Kedai Dagin Bakar.
"Eh, engkau Ma Siang... Ada apa?" sapa Gu Yo saat melihat bahwa
pemilik suara yang mencari-cari dirinya adalah Ma Siang, keponakan
dari Ma She. "Kamu tahu tidak, bahwa ada kasus baru lagi?" tanya Ma Siang den-
gan jenaka. Bukan buru-buru memberikan penjelasan, ia malah ingin
membuat Gu Yo semakin penasaran.
"Tidak. Eh, kasus apa maksudmu?" tanya Gu Yo balik. Ia sebe-
narnya tidak terlalu berminat dengan gosip-gosip yang sering beredar
di tengah-tengah para pegawai di tempatnya bekerja. Gosip-gosip
yang kadang tidak jelas sumbernya. Tapi untuk sama sekali tidak ter-
tarik, juga sulit. Paling tidak, cukuplah mendengar dan tidak menye-
barkan lebih lanjut. Itung-itung sebagai hiburan.
"Itu kasus yang mirip kasus yang terjadi di Rumah Tato Ceng-Liong
Hui-To..," jawab Ma Siang pendek sambil senyum-senyum saat meli-
hat Gu Yo telah tumbuh minatnya untuk tahu lebih lanjut.
"Ada apa memangnya" Ceritakanlah Ma Siang..!" pinta Gu Yo. Tidak
biasanya ia tertarik pada cerita-cerita yang beredar. Untuk kasus yang
satu ini, tak dapat disangkal bahwa ia amat tertarik. Selain karena
ada urusannya dengan nona Swee Sian Lin dan inspektur San Cek
Kong, juga karena ada kaitannya dengan tujuannya datang ke kota
Siaw Tionggoan ini. Tugas titipan mendiang gurunya.
Gembira Ma Siang melihat bahwa Gu Yo tertarik dengan kisahnya.
Biasanya pemuda itu tampak tak acuh dan mendengar ceritanya sam-
bil lalu saja. Kala ini berbunga-bunga hati dara itu, bahwa orang
yang dikaguminya ingin mendengar ceritanya dengan antusias. Den-
gan gayanya yang khas kemudian Ma Siang pun menceritakan peri-
stiwa yang terjadi di bagian lain kota Siaw Tionggoan itu, di mana
orang menemukan tato segar lain yang masih meneteskan darah. Dan
sama dengan keadaan sebelumnya, bahwa tidak diketahui apakah ter-
dapat korban ataukah tidak, orang dari mana tato segar itu dikeletek.
Usai mendengar cerita Ma Siang, Gu Yo pun bergegas pergi. Ia merasa
348 BAGIAN 6. TATO ada hal yang harus ditanyakannya kepada nona Siaw Sian Lin. Hal
yang berkaitan dengan misinya dan juga kemunculan kembali tato-tato
segar tersebut. Entah apa ada hubungan antara keduanya. Panggilan
Ma Siang tidak dihiraukannya, yang tampak jengkel dan menjejak-
jejakkan kakinya karena ditinggal begitu saja sehabis bercerita pan-
jang lebar. *** "Manusia, sampai akhir pun tidak dapat melepaskan ketergantungan-
nya. Jika tidak terhadap dua masalah utama: harta dan kekuasaan,
pastilah pada janji-janji dan rahasia masa lalu," ucap seorang tua
berambut panjang putih yang tampak baru saja membuat dua buah
kuburan baru. Dua buah gundukan tanah baru tampak di hadapan-
nya. Dengan bagai tanpa tenaga ia mengambil dua buah batu sebesar ker-
bau dewasa, yang dicungkilnya dengan tongkat yang baru saja digu-
nakannya untuk menggali dua buah kuburan itu. Dua buah batu besar
tersebut terungkit dan kemudian terlempar, mendarat dengan debam
berat pada suatu tempat di ujung masing-masing makam.
Lalu ia dengan masih menggunakan tongkat yang sama menggerak-
gerakkan tongkatnya, dan angin bercuitan terdengar bersamaan den-
gan debu yang mengepul di sekitar salah satu batu penanda makam.
Sederetan huruf yang membentuk kalimat telah dipahatkan di sana.
Dari jarak dua tombak lebih. Tak menunggu lama kemudian ia
"menulis" lagi untuk batu penanda makam satunya. Setelah selesai,
bagaikan memang telah datang waktunya, tongkat yang digunakan
itu pun meluruh menjadi serbuk-serbuk halus dari tangan orang itu.
Menyebar ditiup angin. "Gu Ming, Po Ting Hwa, semoga Sang Pencipta menerima jiwa kalian
berdua dan tenteram di alam sana. Aku bakal menyusul tak lama
lagi," ucapnya kepada kedua makam tersebut. Usai perkataan itu,
orang tua berbusana putih berambut putih tergerai itu bergerak den-
gan ringan dan hilang menuju barat, ke arah di mana kota Siaw Tiong-
goan berada. *** 349 "Nona Sian Lin, ada seorang pemuda bernama Gu Yo yang mendesak
ingin bertemu. Saya sudah bilang bahwa ia harus buat janji terlebih
dahulu. Tapi katanya penting," ucap seorang pelayan wanita kepada
seorang dara yang sedang bekerja di mejanya. Membalik-balik be-
berapa buah buku dan menuliskan sesuatu pada kertas-kertas di atas
meja. "Gu Yo" Baiklah, suruh saja ia masuk. Aku akan menemuinya. An-
tar ia ke Ruang Hijau!" ucap gadis itu saat mengenali nama yang
disebutkan oleh pelayannya.
"Baik, nona!" ucap sang pelayan yang segera mohon diri untuk men-
jemput sang tamu dan mengantarkannya ke Ruang Hijau.
Ruang Hijau adalah ruang yang berada tidak di tengah-tengah Rumah
Tato Ceng-Liong Hui-To melainkan jauh di balakang. Sebuah ruang
yang diperuntukkan bagi karya-karya yang berkaitan dengan orang
yang namanya digunakan bagi rumah tato itu. Siapa lagi jika bukan
Ceng-Liong Hui-To sendiri.
Ceng-Liong Hui-To sempat juga menjadi kejam dengan mengumpulkan
tato-tato dari musuh-musuhnya para penjahat. Tato-tato itu disim-
pannya karena ia merasa sayang karya seni yang indah harus hilang
dengan terbunuhnya sang penjahat. Akan tetapi lama kelamaan ia
menyadari bahwa sesuatu yang indah akan tetapi bersumber dari hal
atau orang yang tidak baik, tidaklah dapat dikatakan indah. Ketidak-
baikan sumber suatu benda yang dikumpulkan kadang dapat menular
kepada sang pengumpul. Dalam hal ini Ceng-Liong Hui-To menjadi
tertulari untuk kerap mengumpulkan tato, membuatnya ketagihan
untuk membunuh penjahat bertato. Baik yang kesalahannya sudah
banyak dan menjadi buronan paturan, ataupun penjahat-penjahat
muda, yang baru mulai meniti karir.
Kebiasaannya ini pun berlanjut, sampai suatu waktu seorang Eremit
(petapa) menasehatinya, dan menyarankan untuk menghentikan hobinya
itu. Jika ingin menegakkan keadilan, tegakkan saja tanpa ada embel-
embel sesuatu yang akan diterima. Suatu tato dari sang penjahat
dalam kasus ini. Di saat itulah Ceng-Liong Hui-To memutuskan
untuk menghilang. Menyepi dan menyucikan hati dan pikirannya.
Di rumahnya itulah koleksi tato-tatonya ditemukan, yang kemudian
350 BAGIAN 6. TATO oleh penjabat kota Siaw Tionggoan dijadikan Rumah Tato Ceng-Liong
Hui-To. Untuk mengenang sang pahlawan. Sang pahlawan yang gun-
dah hatinya karena dinodai oleh napsu mengumpulkan sesuatu. Sang
pahlawan yang kemudian menghilang tak diketahui rimbanya.
Entah mengapa hari itu Sian Lin ingin melihat lagi koleksi-koleksi
tato-tato kumpulan atau tepatnya kletekan Ceng-Liong Hui-To. Koleksi
langka yang oleh sebagian orang dianggap bersejarah dan berharga.
Koleksi yang yang salah satunya merupakan pasangan tato segar yang
ditemukan di rumah itu beberapa hari yang lalu.
Lamunan gadis itu terhenti saat sebuah ketukan lembut terdengar
pada pintu Ruang Hijau. Di sana tampak seorang pemuda. Gu Yo.
Orang yang ingin menemuinya.
"Masuklah!" ucap sang dara pendek. Lalu ia kembali mengalihkan
pandangannya kepada dua buah tato yang tampak terbingkai dengan
indah di dinding di hadapannya. Tato sepadang burung merak, putih
dan hitam. Disusun sedemikian rupa sehingga kedua burung tampak
saling berhadapan satu sama lain. Dari kulit yang melatar belakangi
kedua tato tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari
dua orang yang berbeda. Suatu kontras telah direncanakan. Tato bu-
rung merak berwarna hitam digoreskan di atas kulit manusia berwarna
cerah, putih atau kuning. Sedang tato burung merak berwarna putih
digoreskan di atas kulit manusia berwarna gelap, hitam atau coklat
tua. Suatu estetika berdarah yang padu.
"Bukankah saat itu tato burung merak hitamnya berbeda?" tanya Gu
Yo saat melihat kedua tato yang sedang dipandangi oleh gadis itu.
"Betul, saat itu kami hanya menampilkan separuh saja, agar co-
cok dengan tema di kanan dan kiri tato burung merak putih. Tak
disangka bahwa ada orang yang menempelkan pasangannya yang
masih berdarah," ucap gadis itu menghela napas. Menyesalkan insi-
den yang terjadi di tempat kerjanya itu.
"Oh, begitu!" sahut pemuda itu.
"Tahukah kamu, Gu Yo, bahwa syair mengenai kedua tato ini?" tanya
sang gadis tiba-tiba, setelah kesunyian lama mengisi jeda antara
perkataan keduanya. 351 "Syair untuk kedua tato ini?" tanya sang pemuda.
Sang gadis tidak menjawab melainkan melantunkan sebuah syair.
"Deru pun perlahan melembut. Menghilang. Sunyi dan sepi. Dan
jiwa pun tenteram kembali.
Menghela napas. Menghirup keheningan. Mengekang nafsu. Senyap.
Lepas. Lega." Yang dilanjutkan oleh sang pemuda.
"Setelah semuanya berakhir. Secarik kulit dicabik halus. Darah
menetes lembut. Menegaskan guratan-guratan mistis. Guratan di
atas kulit nan indah. Tato."
"Hei, dari mana engkau tahu syair itu?" tanya Sian Lin kaget, melihat
bahwa Gu Yo telah mengetahui akhir dari syair yang dilantunkannya
itu. "Dari buku-buku," jawab Gu Yo sederhana. "Di sana disebut memiliki
judul "Pembicaraan Angin"."
Sang gadis mengangguk membenarkan. "Betul, memang itu judulnya.
Ternyata engkau memiliki juga pengetahuan di bidang ini."
Tampak rona malu merekah di wajah sang pemuda begitu mendengar
pujian sang dara. "Tidak..., aku hanya senang membaca saja."
"Begitulah orang berilmu, merendahkan diri selalu," ucap gadis itu
kemudian. Suasana hening pun mengisi ruang di antara mereka.
"Tok-tok-tok!!" tiba-tiba suara ketukan cukup keras mengagetkan ke-
duanya yang sedang dalam alam pikirannya masing-masing.
Pintu yang tidak tertutup menampilkan sosok inspektur San Cek Kong
di tengah-tengahnya. Ia tampak tersenyum saat melihat Gu Yo dan
Swee Sian Lin berada di tempat itu. Ucapnya lugas, "kebetulan Gu
Yo juga ada di sini. Tak perlu aku repot-repot mengajak Sian Lin
mencarimu di kedai paman Yok Seng di sana."
352 BAGIAN 6. TATO "Eh, ada apakah Cek Kong-koko" Ada perlu apa kita dengan Gu Yo
sampai mencarinya?" tanya dara itu seusai mendengar ucapan inspek-
tur Sang Cek Kong. "Nanti kujelaskan, pertama-tama aku ingin dulu bertanya pada Gu
Yo," ucapnya. "Apakah maksud kedatanganmu di sini adalah untuk
menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa yang baru saja
terjadi di bagian lain kota?"
Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan, yang sudah tentu membuat
wajah bingung Sian Lin semakin kentara terlihat.
San Cek Kong tampak puas mendengar jawaban itu. Lalu katanya,
"jika demikian, marilah kalian ikut aku ke bagian selatan kota. Ada
sesuatu yang ingin kutunjukkan."
Dengan penuh tanda tanya, terutama Sian Lin, keduanya pun mengikuti
inspektur San Cek Kong ke suatu tempat di bagian selatan kota Siaw
Tionggoan. Ke suatu tempat di mana suatu peristiwa baru saja
terjadi hari itu. *** "Cepat gali!" seru seseorang pada rekannya yang tampak sedang
mencangkul-cangkul sesuatu dengan tangannya di dalam lubang di
mana mereka berdua berada.
"Sabar!! Ini sudah cukup dalam, kita toh tidak mau merusah barang
yang kita cari bukan?" jawab rekannya. Ia sedang meraba-raba apakah
lubang yang mereka buat itu sudah cukup dalam sehingga hampir
menyentuh barang yang terkuburkan di sana.
"Aha!!" seru orang kedua kemudian setelah hening beberapa saat dan
hanya terdengar garukan-garukan pada tanah.
"Dapat?" tanya orang pertama.
"Ya, agak liat. Pasti kain pembungkusnya..," jawab rekannya itu.
"Kita congkel saja.., atau potong...," usul temannya.
Lalu keduanya mulai membersihkan tanah di bawah lubang di mana
353 mereka berada dan mulai mencongkel-congkel kain liat yang me-
landasinya. Tak lama kemudian setelah mendapatkan pijakan, tongkat
kayu yang mereka bawa diungkit sehingga lipatan-lipatan kain di
bawahnya dapat terangkat. Bau busuk pun segera menyerbak memenuhi
udara malam itu. Malam yang diterangi bulan purnama.
Setelah dibuka peti yang berada di bawah kaki mereka, sebuah peti
mati yang belum lama ditanam, tampak di dalamnya sesosok tubuh
seorang perempuan tua. Ia tampak tertidur dengan damai. Kedua
tangannya dilipatkan di depan dadanya. Wajah seorang yang seakan-
akan telah siap menerima hari kematiannya.
"Cepat cari bagian itu..!! Kita tak punya banyak waktu..," ucap salah
seorang dari mereka. Setalah memeriksa di bagian kedua tangan jasad itu, akhirnya mereka
menemukan di salah satu lengan bagian atasnya sebuah tato. Tato
dua buah naga yang sedang saling berbelit. Satu berwarna meran
dan satu berwarna biru. Keduanya tampak jelas diukirkan di atas
kulit pucat sang empunya.
"Tato kelompok Naga Merah dan Naga Biru...," terdengar ucapan
salah seorang dari mereka.
Rekannya hanya mengiyakan mengangguk. Lalu tanpa menunggu
perkataan, ia mengeluarkan pisau dari sakunya. Suatu pisau yang
tajam. Sinar bulan yang memantul dari padanya mengisyaratkan kira-
kira sudah berapa banyak darah atau sosok manusia yang disentuhnya.
Dengan santai, seperti telah biasa, orang itu menyayat kulit di mana
terdapat tato tersebut. Tak ada darah tertumpah karena sang empunya tato telah lama bepu-
lang. Tak lama selesailah pekerjaan itu. Sang penyayat mengang-
surkan hasil kerjanya kepada rekannya, yang segera menyimpannya
dalam lipatan sebuah kain yang telah dibubuhi bubuk dan cairan ter-
tentu, agar kulit bertato itu awet dan tahan tidak membusuk. Untuk
dioleh lebih lanjut tentunya.
"Cepat, masih ada satu lagi yang harus diselesaikan..," ucap rekannya
sambil menyelipkan bungkusan kain tato tadi ke dalam tas di pung-
gungnya.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
354 BAGIAN 6. TATO Rekannya mengangguk. Tanpa menimbun kembali kubur yang telah
dibuka itu, keduanya pun kembali sibuk bekerja menggali lubang lain
di sebelahnya. Suatu makam baru pula, yang di dalamnya terdapat
seseorang. Seseorang dengan tato sebuah naga hitam yang sedang
menjaga mutiara. Tato dari kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara.
Suatu tato yang umumnya diukirkan di punggung yang empunya.
*** "Inspektur San Cek Kong, ada laporan mengenai makam tanpa nama
yang dibongkar!" ucap seorang paturan kepada paturan lain yang
sedang tampak bekerja di mejanya.
"Hmm, di mana dan mengapa engkau beritakan kepadaku" Bukankah
itu kerja dari bagian lain" Bagian ketertiban fasilitas umum?" tanya
sang inspektur yang sedang menuliskan sesuatu pada buku di depan-
nya. "Betul, inspektur! Tapi bagian ketertiban fasilitas umum meminta
saya untuk menyampaikan salinan dari kejadian itu kepada anda.
Berkaitan dengan dugaan bahwa bagian jasad yang dirusak kemungk-
inan besar merupakan tato," jelas sang paturan pembawa berita.
Mendengar kata "tato", sontak San Cek Kong menjadi tertarik karena
hal itulah yang sedang menjadi pikirannya sekarang. Kasus yang
sedang ditanganinya. "Terima kasih!" katanya sambil menerima salinan laporan tersebut.
Dibolak-baliknya kumpulan kertas-kertas yang baru diperolehnya itu.
Dibacanya dari depan ke belakang dan diulangnya lagi. Sambil tak
lupa membuat di sana-sini catatan-catatan kecil.
"Hmmm, perlu ketemu Sian Lin lagi kiranya.., dia adalah pakar dalam
bidang ini," gumamnya hampir tak terdengar.
*** "Ma Siang, kemarilah!" ucap seorang pada seorang dara yang tampak
sedang mencuci sesuatu pada pancuran dekat sungai kecil di belakang
bangunan itu. "Ah, Gu Yo! Ada apa?" jawab gadis itu sambil segera meninggalkan
355 pekerjaannya dan menghampiri pemuda yang memanggilnya.
"Eh, temani aku ya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To! Tapi engkau
yang mintakan ijin ke pada paman Ma She..," ucap pemuda itu.
"Lho, kalau apa urusannya sama aku?" tanya Ma Siang pura-pura tak
tahu. "Tolong ya...!" mohon Gu Yo. Ia tahu jika ia minta ijin langsung, ke-
mungkinan besar tidak diberikan tanpa alasan yang jelas. Lain halnya
jika Ma Siang. Ini disebabkan Ma Siang adalah keponakan dari Ma
She, yang bahkan telah dianggap anak karena Ma She sendiri tidak
berketurunan. Selain itu juga karena orang tua Ma Siang telah tiada.
Begitu yang diceritakan orang-orang kepada Gu Yo.
"Tapi apa untungnya buatku" Kalau kamu pastilah, karena ingin
melihat nona Sian Lin, kan?" ucap dara itu. Ada sedikit nada tersaingi
dalam suaranya. Tersaingin dengan nama yang baru disebutnya itu.
"Huss! Tidak ada apa-apa, aku hanya ada urusan sedikit," ucap Gu
Yo cepat. "Tolong ya?" mohonnya lagi.
"Baik, tapi artinya engkau hutang satu kali padaku. Dan suatu saat
harus dibalas, gimana?" ucap gadis itu nakal. Kelihatannya ada sesu-
atu yang direncanakannya untuk "pembayaran" dari pertolongannya
ini. "Eh, baiklah. Tapi jangan aneh-aneh ya?" pinta Gu Yo. Ia sempat
berpikir panjang karena terdesak dengan keinginannya untuk mencari
tahu sesuatu. Biarlah nanti saja, toh Ma Siang kelihatannya tidak
akan minta yang macam-macam. Apa sih yang dapat dimintanya dari
seorang pemuda sepertinya yang tidak punya apa-apa.
Setelah tuntutannya diiyakan oleh Gu Yo lalu dengan segera Ma Siang
berlalu dari sana sembari membawa pekerjaannya yang memang su-
dah hampir selesai saat pemuda itu memanggilnya. Tak lama kemu-
dian tampak Ma Siang kembali dari bangunan itu. Wajahnya tampak
cerita, menandakan bahwa ia telah memperoleh ijin dari pamannya.
"Ayo kita pergi!" ucapnya gembira. Ya, siapa yang tidak gembira
mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan di hari yang cerah ini.
Apalagi apabila kesempatan itu akan dihabiskannya dengan pemuda
356 BAGIAN 6. TATO yang dikaguminya, Gu Yo. Lalu keduanya pun berlalu dari halaman belakang Kedai Daging
Bakar. Dengan menggunakan beberapa jalan tikus yang terdapat di
antara rumah-rumah bertingkat dua atau tiga, yang lebarnya hanya
kira-kira dua meteran dan umumnya becek dan gelap, keduanya dapat
dengan cepat tiba di jalan raya, di mana tak jauh dari sana terdapat
Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Tempat yang ingin dituju oleh Gu
Yo. "Eh, tau dari mana engkau jalan-jalan seperti itu, Ma Siang?" tanya
Gu Yo ingin tahu. Jika saja dulu ia tahu, pastilah ia menggunakan
jalan-jalan itu. Lebih cepat ketimbang menggunakan jalan besar yang
penuh orang dan kendaraan. Harus hati-hati dalam menyeberang dan
menyusurinya. "Aku tahu dari paman Ma She," jawab dara itu pendek. Terlihat ada
yang tidak ingin diceritakannya, berkaitan dengan pengetahuannya
mengenai jalan-jalan tikus itu.
Gu Yo tidak bertanya lagi, karena pertanyaan basa-basinya malah
membuat suasana di antara mereka menjadi tidak enak. Ia pun ke-
mudian lebih memilih diam sampai mereka tiba di depan Rumah Tato
Ceng-Liong Hui-To. *** Seorang berbusana putih dan ramput putih panjang digerai tampak
memasuki Kedai Daging Bakar. Setelah duduk di suatu sudut ruan-
gan, ia pun didatangi oleh seorang pelayan untuk ditanyai apa pe-
sanannya. "Gurame Bakar dan nasi, itu saja pesanan makanannya," ucapnya
pendek. "Minumnya teh?" tanya sang pelayan lagi.
Orang itu hanya mengangguk. Dan kemudian terdiam. Sang pelayan
kemudian meninggalkannya untuk meneruskan pesanan itu ke dapur.
Di dapur dengan kesibukan yang biasa, tampak orang-orang berseli-
weran. Memasak, memindahkan bahan-bahan makanan. Dan juga
357 meneriakkan pesanan-pesanan.
"Gurame Bakar satu porsi!" teriak seseorang.
Seorang koki yang sedang kebagian untuk memasak makanan itu agak
terdiam. Tidak biasanya ada pesanan ikan di Kedai Dagin Bakar.
Terutama pada musim-musim ini. Di mana ikan-ikan agak sulit un-
tuk didapat sehingga mahal harganya. Oleh karena itu tidak semua
orang bisa dengan mudah memasak ikan gurame bakar. Hanya koki-
koki yang sudah cukup senior yang bisa. Termasuk Ma She sang
koki kepala. Sang koki yang mendapat giliran pun menjadi ragu-ragu.
Lebih baik ia menanyakan hal itu kepada atasannya, Ma She.
Tak lama kemudian ia kembali. Wajahnya cerah. Ma She mem-
perbolehkannya memasak ikan gurame. Untuk itu ia harus ter-
lebih dahulu membaca cara memasaknya. Diambilnya sebuah buku
berwarna hitam dan kertas yang sudah dikotori bumbu masak di
sana-sini. Tertulis di judulnya, "Bakaran Ikan". Dicarinya sehingga
sampai pada suatu halaman dengan judul "Gurame Bakar".
Bahan: 1 ekor ikan gurame ukuran sedang-besar, 8 butir kemiri, 1
batang (2 sampai tiga ujung kuku) kunyit, 6 butir bawang merah, 3
siung bawang putih, 4 buah cabai rawit merah, garam secukupnya,
merica secukupnya, 1 buah tomat kecil (diiris), dan akhirnya 2 buah
jeruk nipis (lemon). Cara Membuat: * Bersihkan ikan terlebih dahulu. Buang sisik dan
isi perutnya tetapi hati-hati, sehingga ikan tetap utuh. Buat 2-3 gu-
ratan di setiap sisi badan ikan agar bumbu dapat masuk dan panas
dapat masuk; * Lumuri ikan dengan garam dan merica secukupnya
dan biarkan sekitar sepeminum teh agar bumbu dapat terlebih dahulu
meresap; * Bakar ikan tersebut di atas bara api yang kecil sampai
setengah matang. Jangan lupa untuk dibolak-balik lalu angkat; *
Buat bumbu dengan menghaluskan bawang merah, bawang putih,
cabai rawit, kemiri, kunyit, garam dan merica. Campur irisan tomat
dan aduk sampai merata; * Lumuri bumbu ini sampai merata pada
dua belah sisi ikan gurame yang setengah matang tadi. Kemudian
bakar lagi ikan tersebut di atas bara api, sedang sampai matang dan
sesekali oleskan dengan bumbu yang masih tersisa; * Hidangkan den-
gan menaburkan irisan cabai merah, irisan tomat dan jeruk nipis.
358 BAGIAN 6. TATO "Hmmm, tidak terlalu sulit rupanya..," gumamnya. Ia kemudian
mengikuti petunjuk yang tertera dalam buku resep itu. Langkah per
langkap diikutinya dengan teliti.
Tak lama kemudian harum semerbak ikan gurame bakar pun mengem-
bang di udara. Menandakan bahwa ikan tersebut telah siap untuk
dihidangkan. Tiba-tiba datang Ma She menghampiri koki yang baru saja selesai
membuat hidangan itu. Ia memeriksa dengan teliti apa-apa yang telah
siap disajikan itu. Ia pun mengangguk puas. "Bagus!" pujinya.
Mengembang hidung sang koki mendengar pujian atasannya. "Terima
kasih!" jawabnya pendek dan bangga.
Tapi sayangnya kebanggaanya itu tak berlangsung lama. Pelayan yang
menyajikan pesanan itu kembali lagi dengan ikan gurame bakar itu.
Pucat wajahnya. Tampaknya ia mendapat teguran dari pelanggan
yang memesan masakan itu.
"Kata sang pemesan, Gurame Bakar tidak seperti ini," jelasnya.
Ma She sebagai seorang koki kepala, bertanggung jawab terhadap
pekerjaan bawahannya. Dengan tenang ia memberi syarat agar koki
yang memasak masakan itu untuk tenang. Sedangkan ia sendiri segera
beranjak ke luar untuk menerima keluhan dari sang tamu.
Oleh pelayan tadi ia ditunjukkan meja tempat orang tua berambut
putih dengan busana putih itu sedang duduk. Orang itu tampak
sedang melamun sambil memandang keluar, melihat-lihat pemandan-
gan di hadapannya. "Maaf, tuan! Tuan tadi mengeluhkan cara memasak Gurame Bakar
kami?" tanyanya sopan.
Orang itu tampak sedikit kaget karena terganggu lamunannya, "ah..,
betul! Dan anda" Anda orang yang memasaknya?"
"Bukan, saya adalah koki kepala. Saya bertanggung jawab kepada
pekerjaan anak buah saya," jelas Ma She sederhana.
Bagai berbicara sendiri orang itu kemudian menyerocos, menyebutkan
359 bumbu-bumbu yang digunakan untuk memasask Gurame Bakar yang
dikeluhkannya tadi. Juga cara memasaknya dan bagaimana seharus-
nya dibolak-balik dan api yang digunakan. Tidak boleh dikipasi tapi
harus diputar-putarkan. Ma She yang adalah ahli memasak sampe
melongo mendenger perkataan orang itu, yang menunjukkan bahwa
orang itu adalah juga seorang ahli masak.
"Eh, anda...," katanya bingung.
"Ma She, Ma She...! Sudah begitu cepatkah ingatanmu memudar?"
kata orang itu sambil tersenyum.
"Ceng..." kata-kata yang tidak sempat diselesaikannya karena orang
itu mencegahnya menyebutkan nama aslinya.
"Panggil saja saya, Ceng Liok," ujar orang itu sambil mengedipkan
sebelah matanya. "Tuan Ceng Liok!" jawab Ma She sambil sedikit menahan tawa, sete-
lah tahu bahwa orang tersebut adalah kawannya dulu. Ceng-Liong
Hui-To. Bisa gempar kota ini bila tahu bahwa orang yang dulu per-
nah dianggap pahlawan tiba-tiba ada lagi di sana.
"Maafkan kelakarku. Semoga yang tadi memasak tidak merasa ters-
inggung," ucapnya sungguh-sungguh.
"Ah, tidak perlu dipikirkan. Aku akan bilang, bahwa anda tuan Ceng
Liok adalah guru masakku dulu. Biar ia tidak terlalu sedih," ucap Ma
She sambil masih beusaha menahan tawa.
"Eh, Ma Siang apa kabarnya" Mana dia?" tanyanya sambil melirik ke
kiri dan kanan, berharap dapat melihat sosok dara itu.
"Ia tidak ada. Sedang pergi bersama seorang pemuda. Kalau tidak
salah ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To," kata Ma She sambil
menekankan kata-kata terakhir dari ucapannya itu.
Orang itu hanya tersenyum sambil kemudian meminta agar ikan gu-
rame bakar yang tadi ditolaknya disajikan kembali, sambil menga-
jak Ma She untuk menemani. Sekaligus berbincang-bincang. Ma She
kembali ke dalam sebentar untuk memberitahukan hal itu kepada koki
yang memasak tadi sambil juga menghiburnya, bahwa apa yang terjadi
360 BAGIAN 6. TATO hanyalah kelakar saja. Kelakar dari guru masaknya.
Tak lama kemudian masakan yang tadi kembali dihidangkan. Lengkap
dengan sayur-mayur tertentu. Kegemaran tuan Ceng Liok, yang su-
dah tentu telah amat dikenal baik oleh Ma She sebagai rekannya.
*** "Benar, itu adalah tato milik mereka..," sahut pemuda itu dengan
tangan mengepalkan tinju dengan erat. Ma Siang yang berada di
dekatnya tampak pula tegang dengan apa yang sedang mereka sak-
sikan. Di sana di dalam ruang tengah Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tam-
pak sebuah bungkusan yang baru saja diantar oleh orang tidak dike-
nal. Diletakkan sedemikian rupa di dalam ruang itu tanpa sepenge-
tahuan orang lain. Baru pada siang itu seorang mengatakan kepada
nona Sian Lin bahwa ia menemukan ada paket untuk nona tersebut.
Paket yang berisikan tato. Kali ini tidak lagi berdarah. Sudah diolah
dengan bahan pengawet. Dua buah tato. Satu menggambarkan dua buah naga sedang berbe-
lit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru. Sebuah tato yang
dulu dikenal sebagai ciri dari kelompok Naga Merah dan Naga biru.
Sedangkan tato satunya lagi adalah sebuah naga berwarna hitam yang
sedang tampak menjaga suatu bulatan putih di tengah. Suatu mu-
tiara. Tato yang merupakan ciri kelompok Naga Hitam Penjaga Mu-
tiara. Usai kaget saat mendapati paket yang ditujukan pada dirinya itu,
segera nona Swee Sian Lin menghubungi inspektur San Cek Kong yang
langsung bagai terbang tiba di tempat itu. Bersamaan pula datang Gu
Yo dan Ma Siang ke sana. Orang kedua terakhir ini datang kebetulan
pada saat yang tepat. Atau boleh dikatakan kebetulan sekali.
Pertanyaan inspektur San Cek Kong yang diajukan kepada Gu Yo
sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh, karena ia ragu apa pe-
muda itu mengenal tato yang ada di dalam kotak itu. Tapi siapa
nyana bahwa pemuda itu mengenalinya dan bahkan tahu atau pernah
bersama dengan kedua orang pemilik tato itu. Diketahui bahwa kedua
tato itu berasal dari orang yang berbeda, dari warna kulit yang tidak
361 sama, yang mendasari kedua karya seni itu.
"Keduanya pernah merawatku saat luka parah," jelas Gu Yo. "Dan
entah dari pembicaraan apa, tahu-tahu mereka menunjukkan tato
yang mereka miliki." Dalam kalimat terkakhir ini, Gu Yo sedikit berbo-
hong. Ia belum tahu apakah ada kaitan antara misinya dengan keja-
dian ini. Sebaiknya ia rahasiakan dulu apa-apa yang kelihatannya
belum terkait. Begitu pikirnya.
"Baiklah, Gu Yo bilakah kau ada waktu?" tanya inspektur San Cek
Kong. Ia tiba-tiba teringat akan jasad dua orang yang dirusak seba-
gian tubuhnya. Kulitnya dikletek. Ada kemungkinan bahwa tato ini
berasal dari kedua orang tersebut. Untuk itu ada baiknya bila Gu Yo
yang mengenal kedua tato itu bisa membuktikan bahwa kedua jasad
itu adalah pemiliknya. Paling tidak bisa mengetahui siapa kedua jasad
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa nama itu. Gu Yo lalu menyatakan bahwa saat ini juga. Ia dan Ma Siang sudah
diberi ijin untuk berwaktu luang sampai malam nanti. Mendengar itu,
inspektur San Cek Kong kemudian mengajak keduanya untuk mem-
bantunya melakukan identi"kasi dari jasad tanpa nama yang dirusak
orang tersebut. Saat itu nona Sian Lin yang juga tertarik tidak bisa
turut disebabkan beberapa janji dan kesibukannya.
Lalu pergilah mereka bertiga dituruti beberapa paturan ke lokasi tem-
pat makam tanpa nama itu berada.
*** Perayaan Musim Angin dan Air pun tiba. Semua orang bergembira
dan menghiasi rumah-rumah mereka dengan lampion-lampion warna-
warni. Dominannya adalah warna biru dan kelabu. Warna yang
diyakini menjadi warna yang terdapat dalam angin dan air dan benda-
benda yang bergerak akibat angin dan air, dan juga yang menye-
babkan angin dan air bergerak. Suatu keyakinan kuno kota Siaw
Tionggoan. Sebenarnya perayaan Musim Angin dan Air adalah suatu perayaan
musiman yang biasa dilakukan empat tahun sekali di kota tersebut.
Tahun ini, setelah genap empat tahun dari perayaan terakhir, men-
jadi lebih semarak karena bersamaan dengan itu akan datang kun-
362 BAGIAN 6. TATO jungan dari pemerintah pusat. Suatu rombongan orang-orang pent-
ing yang ingin melihat-lihat perkembangan dan kemajuan kota Siaw
Tionggoan. Yok Seng, sang pemilik Kedai Daging Bakar tampak tersenyum puas.
Tidak salah ia mempekerjakan Gu Yo. Pemuda itu benar-benar da-
pat diandalkan. Atas usul pemuda itu pula ia mengubah sana-sini dari
kedainya agar tampak lebih menarik dan terlihat luas. Dengan hara-
pan agar lebih banyak tamu yang berkunjung pada perayaan Musim
Angin dan Air. Mendengar kabar bahwa akan datang kunjungan dari
pemerintah pusat, satu rombongan besar, orang-orang dari kota dan
desa sekitar kota Siaw Tionggoan pun jadi merasa tertarik. Jarang-
jarang ada orang dari pusat tlatah Nusantara yang berkunjung ke
kota tersebut. Akibatnya hampir semua penginapan telah dipesan
atau didiami. Yang masih ingin melancong-lancong ke daerah-daerah
lain telah memesan terlebih dahulu. Yang sudah ingin berada di kota
tersebut, telah datang dan mendiami penginapan-penginapan yang
ada. Benar-benar suasana yang meriah.
Di suatu lapangan agak ke tengah kota, telah dibangun suatu pang-
gung megah. Luas dan indah. Di kiri-kanannya juga telah disiapkan
tempat duduk, baik untuk tamu terhormat atau pun undangan biasa.
Orang-orang yang tidak diundang dapat pula datang sebagai penon-
tong. Hanya saja mereka harus berada pada jarak yang cukup jauh
dari panggung. Pembatas berupa tombak yang ditancapkan dan di-
hubungkan satu sama lain dengan tali berhias warna biru dan kelabu
telah dipasang mengelilingi area itu, sebagai batas terjauh penonton
dapat mendekati panggung.
Seorang yang tidak kepalang gembiranya adalah Ma Siang. Ia benar-
benar antusias dan gembira dalam menyambut perayaan Musim Angin
dan Air kali itu. Ia pun mengharap-harap dapat melihat tamu-tamu
yang berasal dari pusat. Orang-orang yang didengung-dengungkan
dekat atau menjadi bagian dari penguasa negeri itu. Orang-orang
yang "berbeda" dengan penduduk kota Siaw Tionggoan.
Hari itu Kedai Daging Bakar benar-benar panen rejeki. Tamu-tamu
datang selalu silih berganti memenuhi tempat-tempat duduk yang ada,
sampai bahkan ada yang harus terlebih dahulu menanti di pintu agar
dapat mendapatkan meja. Agar yang menunggu ini sabar, umumnya
363 mereka juga dihidangkan minum-minuman dan makanan kecil berupa
abon kering. Suatu produk samping dari bakaran daging dan ikan.
Jenis kemilan yang gurih dan lezat.
Siangnya Yok Seng mendapat laporan bahwa kios Kedai Daging Bakar
yang dibuka di sekitar panggung di lapangan agak ke tengah kota telah
habis terjual barang-barangnya. Dan salah seorang pegawainya kem-
bali ke Kedai Daging Bakar untuk mengambil bahan-bahan baru. Hal
ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Ma Siang. Dengan sedikit mem-
ohon pada pamannya Ma She agar ia dimintakan ijin kepada Yok Seng,
akhirnya dapatlah ia pergi. Sudah tentu Gu Yo pun turut. Karena
tanpa Gu Yo, tidaklah Ma Siang merasa hari itu cukup baginya. Ia
benar-benar ingin menikmati hari itu bersama orang yang dikagu-
minya itu. Dengan berbekal gerobak penuh barang-barang dagangan
berupa daging-daging bakar yang siap dijual, keduanya beranjak be-
rangkat dari Kedai Daging Bakar menuju kois kedai yang terdapat di
sekitar lapangan tersebut.
Panggung telah dibuka. Gemerlap warna-warni menghiasi sana dan
sini. Tamu-tamu yang tampak anggun dan mewah tampak duduk
di tempat-tempat khusus bagi kalangan mereka. Tamu-tamu biasa
berdesak-desakkan di pinggir lapangan. Mepet sampai batasan berupa
tombak-tombak dihiasi tali biru dan kelabu.
Untung bagi Gu Yo dan Ma Siang. Dikarenakan hubungan baik antara
Yok Seng dan salah seorang pejabat kota itu, mereka mendapat kios
yang dekat dengan tempat duduk khusus para tamu, orang-orang yang
berasal dari pemerintah pusat. Walaupun situasi sedikit tidak nyaman
dengan banyaknya penjaga, akan tetapi pandangan yang jelas ke arah
panggung dan para penonton terhormat itu dimiliki oleh kedua muda-
mudi ini. Berbagai acara pun mengalir bagai tak henti-hentinya untuk menghibur
para tamu dari pusat tersebut. Berbagai suguhan dan juga penganan
berdatangan diantar oleh pelayan-pelayan yang menawan. Benar-
benar suatu penghormatan yang diberikan oleh kota Siaw Tionggoan
kepada para tamu-tamu khusus tersebut.
Untungnya tidak semua tamu dan tamu khusus diberi pelayanan
istimewa atau senang dengan pelayanan tersebut. Sebagian dari
364 BAGIAN 6. TATO mereka ada pula yang jemu dengan tata cara yang bertele-tele terse-
but. Orang-orang ini lebih senang "berpetualang" sendiri. Menelusuri
keramaian, membeli apa-apa yang mereka lihat menarik dan sudah
tentu cicip sana dan sini. Dari golongan inilah para pedangan yang
telah memiliki kios di sekitar panggung memperoleh keuntungan.
Dan untung saja ada orang-orang yang seperti itu. Jika tidak ada dan
hanya datang tamu-tamu yang maunya disuhugi saja, rugi besar para
pedangan yang telah menyemut itu. Dan untungnya lagi, tamu-tamu
"petualang" ini adalah dari golongan yang berkantong lebih tebal
ketimbang rekan mereka yang "mengemis" hidangan-hidangan serta
hadiah-hadiah. Mereka ini merasa bahwa uang mereka lebih berarti
bila dibelanjakan untuk apa yang mereka inginkan dan tidak suka
dipilihkan atau diberi begitu saja. Bisa jadi bila disuguhkan terus-
menerus mereka merasa agak terhina karena tidak dibebaskan. Ya,
aneh-aneh saja kelakukan orang-orang yang berkantong tebal.
Seorang pemuda tampan, agak tinggi dan kurus tampak berjalan
dengan lagak yang sok dianggun-anggunkan. Dari pakaiannya yang
mewah dan berwarna cerah menyolok serta beberapa rekannya yang
bertubuh kekar-kekar dan tampak hormat kepadanya, dapat di-
pastikan bahwa ia adalah anak seorang dari romobongan dari pe-
merintah pusat. Dan kumpulan orang-orang kekar dan sangar yang
menyertainya, pastilah dari rombongan para tukang pukul atau pen-
gawalnya. Ia tampak melihat-lihat dari satu kios ke kios yang lain. Mengamat-
amati dan membanding-bandingkan barang yang satu dengan yang
lain. Bila ia suka, langsung ia memberikan isyarat kepada seorang
pembantunya agar barang itu dibeli. Pembantu tersebut bukan ter-
masuk dalam barisan pengawal. Ia adalah seorang tua dengan kumis
licin dan tipis. Tampang seorang yang cerdik dan juga licik.
Sudah tiga-empat kios yang diborongnya. Umumnya berupa hiasan-
hiasan warna-warni yang khas dibuat untuk menyambut perayaan
Musim Angin dan Air. Hiasan yang tidak ada di waktu lain, dan
mungkin juga di tempat lain. Mungkin buat oleh-oleh bagi sanak
saudaranya di kota nanti, agar ia juga bisa sedikit-sedikit pamer apa-
apa yang ditemuinya di kota Siaw Tionggoan ini.
Gu Yo dan Ma Siang yang sedari tadi asik memperhatikan apa-apa
365 yang sedang berlangsung tidak memperhatikan kedatangan pemuda
"pemborong" tersebut dan gerombolannya. Mereka masih terpesona
dengan pertunjukkan yang sedang dipertontonkan di panggung. Per-
tunjukkan ketangkasan dan sulap.
Tanpa terlebih dahulu memberi salam, seperti kebiasaan orang di kota
Siaw Tionggoan, pemuda itu langsung saja masuk ke kios Kedai Dag-
ing Bakar untuk melihat-lihat. Para pengawalnya langsung mengam-
bil posisi di sekeliling kios untuk melindunginya. Pembantu berkumis
tipis dan licin tampak sudah setia di sisinya.
Sebetulnya pemuda tersebut tidak terlalu tertarik dengan kios terse-
but, sampai ia melihat beberapa hiasan atau tepatnya daging bakar
kering yang dibuat menyerupai berbagai hiasan. Suatu hiasan yang
dapat dimakan. Hiasa yang dapat berupa ular dan berasal dari dag-
ing ular kering. Hiasan berbentuk ikan yang berasal dari kulit ikan
yang alot dan telah kering. Hiasa berupa kepala kambing yang be-
rasal dari dendeng kambing dan sebagainya. Kagum pemuda itu pada
barang-barang yang belum pernah ditemuinya itu.
"Hai, penjual! Berapa harganya ini?" tanyanya sambil menunju pada
sebua hiasan berbentuk kera yang sedang memegang pisang. Kera
tersebut bukan berasal dari daging kera, tapi daging sapi yang dik-
eringkan. Dan pisangnya berupa benar-benar pisang asli yang telah
dibakar dan dihias. Gu Yo yang lebih dulu tersadar dari Ma Siang, segera menghampiri
pemuda itu, "Kongcu, hiasan kera itu harganya dua puluh tigaan."
Ucapan kongcu atau "tuan muda" digunakannya setelah sekilas meli-
hat gelagat kepongahan pemuda itu dan juga cara orang yang didekat-
nya membungkuk-bungkukan diri sambil memuji-muji hiasan pilihan
pemuda itu. "Harga yang bagus.., tak terlalu mahal, dan juga tidak terlalu muran!
Pas!" katanya, seakan-akan ia mengetahui kapan harga suatu barang
terlalu mahal atau murah dibandingkan dengan kualitasnya. "Ada
bentuk lain selain yang ditampilkan di sini?"
Sebelum Gu Yo sempat menjawab, Ma Siang yang telah tersadar akan
adanya tamu, segera ikut membantu, "Ada kongcu. Ada kepiting,
kelelawar, kura-kura, laba-laba dan masih banyak lainnya. Ada ben-
366 BAGIAN 6. TATO tuk khusus yang diminta?"
Tampak kagum yang tidak ditutup-tutupi dari pemuda itu terlihat je-
las. Ia kagum bahwa ternyata daging kering dapat dibentuk macam-
macam. Menjadikan hiasan-hiasan tersebut indah dan juga tetap
layak untuk dimakan, walaupun mungkin menjadikannya sayang un-
tuk disantap. "Saya suka kuda.., ada bentuk kuda?" tanyanya kemudian. Pemuda
itu, walaupun dari kalangan orang kaya, akan tetapi ia memiliki suatu
kegemaran menunggang kuda. Ia lebih suka menunggang kudanya
sendiri ketimbang duduk ke kereta yang dikemudikan oleh pembantu-
pembantunya. Gu Yo dan Ma Siang saling berpandangan. Ya, mereka punya, tapi
hiasan berbentuk kuda itu agak besar dan sudah lama sekali menjadi
simpanan di Kedai Daging Bakar. Hiasan pesanan seseorang tapi telah
lima tahun tidak diambil-ambil. Untuk membuatnya saja perlu waktu
hampir setahun, karena menirukan ukuran anak kuda yang sebesar
kambing. Bisa dibayangkan berapa banyak daging kering yang dibu-
tuhkan untuk itu. Sayangnya setelah beberapa lama waktu berlalu,
pemesannya tak pernah terdengar lagi kabarnya. Dan untuk itu belum
ada uang yang diberikan. Dengan berbekal rasa percaya saja Yok Seng
sang pemilik Kedai Daging Bakar menerima dan membuat pesanan
itu. "Sebenarnya ada..," ujar Ma Siang pelan. Lalu diceritakannya perli-
hat hiasan kuda yang mereka punya. Ia telah dipesan oleh Yok Seng
agar bila ada pembeli yang tertarik, dapat ditawarkan benda terse-
but. Akan tetapi hanya untuk yang benar-benar tertarik dan tampak
mampu saja. Hal ini dikarenakan harganya yang sudah pasti mahal,
seribu lima ratus tigaan.
Mendengar hal itu tertariklah sang pemuda. Hiasan yang tersusun
atas daging kering dan dibentuk menyerupai anak kuda dengan uku-
ran sebenarnya, benar-benar memukaunya. Walaupun demikian, har-
ganya juga menjadikannya agak ragu-ragu. Ya, seribu lima ratus
tigaan adalah hampir 7 bagian dari 10 bagian uang yang dimilikinya.
Saat itu ia telah menghabiskannya 2 bagian. Masih cukup 8 bagian-
nya. Akan tetapi hal ini berarti ia tidak dapat membeli apa-apa lagi
367 selain itu. "Tidak bisa kurang harga itu?" tanyanya. Sambil menunggu jawa-
ban ia tampak berbisik-bisik dengan pembantunya yang berkumis licin
dan tipis. Sang pembantu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rupanya harga tersebut dirasanya tidak bijaksana untuk dihabiskan
hanya untuk satu benda saja.
Ma Siang yang saat itu juga bercakap dengan Gu Yo, akhirnya memu-
tuskan bahwa urusan harga lebih baik diputuskan oleh Yok Seng
sendiri. Mereka tahu bahwa waktu yang telah lewat untuk hiasan
dagin kering akan membuat harganya agak turun. Jadi mereka tidak
bisa memutuskan sendiri berapa harga yang patut untuk barang terse-
but. Akhirnya disepakati bahwa seorang dari pembantu kios Kedai
Daging Bakar, bersama dengan seorang pengawal sang pemuda, pergi
ke Kedai Daging Bakar untuk menjemput Yok Seng. Sementara itu
Ma Siang dan Gu Yo melayani pemuda itu dan gerombolannya yang
akhirnya juga menjadi lapar. Mereka pun memesan makanan, dan
bukan hiasan daging kering, untuk mengisi lambung mereka yang
sudah tak tahan tergoda aroma daging yang menari-nari di udara.
*** Seorang pemuda tampak berada di suatu ketinggian bukit. Jauh di
selatan tempatnya berdiri tampak kota yang beru saja ditinggalkan-
nya. Kota Siaw Tionggoan. Kota yang sedikit banyak memberikan
kenangan kepadanya. Banyak peristiwa dalam dua minggu ia berada
di sana. Dari peristiwa yang menyedihkan seperti harus membantu
polisi untuk mengidenti"kasi jenasah Gu Ming dan Po Ting Hwa, atau
yang dikenalnya sebagai kakek Gu dan nenek Po, kedua orang yang
telah menolongnya; sampai yang menggembirakan, seperti lakunya
kuda daging kering Yok Seng sang pemilik Kedai Daging Bakar se-
nilai seribu lima ratus tigaan. Selain itu terdapat pula peristiwa haru,
yaitu bertemunya seorang ayah dengan anaknya yang telah lama di-
titipkan pada temannya. Siapa lagi kalau bukan Ceng-Liong Hui-To
dengan Ma Siang. Ma Siang ternyata adalah anak sang Naga Hijau
Pisau Terbang, yang memang dititipkannya pada sahabatnya Ma She.
Ia merasa kegundahannya dalam hidup tidak baik bila ia membesarkan
anaknya sendiri. 368 BAGIAN 6. TATO Setelah menghilang beberapa tahun, Ceng-Lion Hui-To atau yang
sekarang minta dipanggil Ceng Liok, telah dapat menemukan dirinya
sendiri dan bersemangat untuk hidup kembali. Oleh karena itu ia kem-
bali ke kota Siaw Tionggoan untuk menjemput anaknya. Orang yang
akan diajari ilmu-ilmunya. Orang yang akan menjadi satu-satunya
pewarisnya. Sebuah kejelasan itu muncul setelah terjadi pertarungan di panggung
saat puncak perayaan Musim Angin dan Air digelar, yaitu adu ilmu
silat. Saat seorang dari perwira dari pemerintah pusat berlaga dan
telah banyak menang, naiklah delapan orang pengacau. Su-Mo dan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat Begal Hutan. Mereka ingin memenangkan pertarungan itu,
menawan para tamu dan secara politis menyatakan bahwa kota Siaw
Tionggoan mulai saat itu adalah daerah kekuasaan mereka. Suatu
keberanian yang muncul akibat kedekatan mereka dengan salah seo-
rang pejabat kota itu dan juga di kota lain. Untung saja hal itu tidak
terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya nasib kota Siaw Tiong-
goan apabila tamu-tamu dari pemerintah pusat ditawan dan diminta
tebusan. Bisa hancur nama kota itu di depan mata pemimpin tlatah
tersebut. Atas kesigapan paturan yang dipimpin oleh inspektur San Cek Kong
dan juga munculnya kembali Ceng-Liong Hui-To, kedelapan orang
tersebut dapat ditanggulangi dan bahkan terluka parah. Gu Yo juga
sempat berhadapan kembali dengan Hek-Mo dan menggunakan kem-
bali jurus ampuhnya Jarum Terbang Debu Pasir yang membuat lawan-
nya kali ini hampir putus napasnya. Untung saja masih ada satu dua
napas dari Hek-Mo, jika tidak pesan yang disampaikan oleh kakek
Gu dan nenek Po lewat hipnotis pada saat-saat akhir hidup mereka
tidak bisa sampai kepada Gu Yo. Entah apa yang dibuat mereka
berdua, saat tubuhnya terluka parah oleh jurus Jarum Terbang Debu
Pasir, Hek-Mo bicara seperti orang melantur, menceritakan hal-hal
yang hanya dapat dimengerti oleh Gu Yo yang sedang berdiri di hada-
pannya. Setelah bercerita Hek-Mo pun kemudian tumbang, yang dis-
ambut dengan sorak-sorai pada penonton dan juga pandangan kagum
dari Ceng-Liong Hui-To, inspektur San Cek Kong dan juga Swee Sian
Lin. Berdasarkan keterangan dari mulut Hek-Mo, dapatlah Gu Yo menge-
tahui kepada siapa kitab yang diawali sajak "Pembicaraan Angin" itu
369 harus diserahkan. Dan orang itu bukanlah orang yang perlu susah-
susah dicarinya. Orang itu adalah Ma Siang, anak dari Ceng-Liong
Hui-To dengan seorang wanita. Wanita inilah yang sebenarnya meru-
pakan keturunan pemilik kitab tersebut. Akan tetapi dari hasil penga-
matan guru Gu Yo, wanita ini telah memiliki keturunan dari Ceng-
Lion Hui-To. Oleh karena itu cukuplah bila ia mencari keturunan
dari orang itu, dan bukan dari wanita tersebut. Salah satu sebab-
nya adalah karena Ceng-Liong Hui-To lebih dikenal orang ketimbang
wanita tersebut, sehingga diharapkan lebih mudah untuk ditemukan
anak keturunannya. Jadi apa sebenarnya isi dari kitab tersebut" Kitab yang dibawa Gu Yo
dan akhirnya diserahkan kepada Ma Siang tersebut berisi suatu ilmu
pemindahan tenaga dengan menggunakan tato yang dibuat khusus.
Dengan cara ini apabila tato seseorang yang juga menunjukkan hawa
apa yang dimilikinya dapat dipindahkan, maka hawa tersebut juga
akan ikut berpindah. Ilmu ini kemudian disalahgunakan oleh beber-
apa orang yang tidak membaca kitab tersebut secara keseluruhan.
Mereka mengira bahwa pemindahan tato dapat dilakukan dengan
mengambil tatonya secara paksa, mengeleteknya. Sebenarnya tidak.
Dalam bagian akhir dari kitab tersebut dijelaskan bahwa tato hawa
yang sebenarnya muncul akibat hawa tenaga dalam telah sampai
pada puncaknya dan bukan dibuat dengan merajahnya. Tidak seperti
tato-tato pada umumnya. Dan tato inilah yang ampuh untuk dipin-
dahkan. Sedangkan tato hasil rajahan, bila dipindahkan hanya akan
memindahkan kulit belaka tanpa ada kelebihan apa-apa.
Kesesatan ini yang kemudian dipahami secara salah oleh dua orang
dari Empat Begal Hutan. Dua orang yang menggali kuburan nenek
Po dan kakek Gu dan mengganggu jenasah mereka dengan mengeletek
tato-tatonya. Mereka berdua telah mencoba mengeletek tato-tato
orang-orang yang ditemui dan tidak dapat memanfaatkannya. Untuk
memancing keturunan dari Ceng-Liong Hui-To, yang mereka yakini
tahu akan pemanfaatan tato-tato tersebut, mereka pun mengirimkan
tato tersebut ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To dan juga ke kantor
polisi. Hanya saja yang belum jelas karena keduanya sudah keburu
tewas, adalah siapa dua orang yang telah juga dikletek tatonya. Ke-
dua tato segar yang ditemukan oleh para paturan.
Perpisahannya dengan Ma Siang atau lebih tepatnya Ceng Siang, lebih
370 BAGIAN 6. TATO berat dari sisi dara itu. Ia benar-benar merasa telah dekat dengan Gu
Yo sehingga tidak ingin pemuda itu jauh darinya. Bagi dirinya sendiri,
ia masih harus mencari tunangannya Citra Wangi. Menanyakan kepas-
tian hubungan mereka. Bila ternyata tidak seperti dulu yang telah
diikrarkan, ada kemungkinan ia akan mencari kembali Ceng Siang.
Mungkin. Selain Ceng Siang, adalah Yok Seng yang merasa berat berpisah den-
gan Gu Yo. Ia bahkan akan menggaji pemuda itu lebih tinggi, bila
ia masih mau bekerja padanya. Gu Yo hanya dapat tersenyum. Dan
dijelaskannya kemudian bahwa kota Siaw Tionggoan hanya persing-
gahannya. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Menun-
taskan utang-utang lama dari gurunya, si Maling Kitab.
Inspektur San Cek Kong dan Swee Sian Lin ternyata telah lama
memendam rasa di antara mereka. Berhubung mereka telah sama-
sama tidak memiliki orang tua, munculnya Ceng Liok yang bisa
dianggap sebagai pengganti orang tua, karena ia adalah saudara tua
perguruan, sekalian mereka berdua meminta restunya. Karena tidak
tahu setelah Ceng Liok kembali menghilang, kali ini dengan anaknya
Ceng Siang, bisa jadi entah kapan ia akan muncul kembali.
"Syukurlah, satu tugas sudah selesai," kata pemuda itu sambil tersenyum.
"Tugas baru kembali menjelang..," sambil berkata demikian ia mel-
ongok sedikit ke dalam tas yang ada disampirkan di pinggangnya. Di
dalamnya terdapat suatu kitab lain. Kitab yang juga harus dicari
pemiliknya atau tepatnya keturunan dari pemiliknya dan mengem-
balikannya. Agar tidak terlalu berat Gu Yo selalu menyembunyikan
kitab-kitab tugasnya di beberapa tempat, sisanya masih di Gunung
Hijau dan dijaga oleh para Troll. Satu per satu kitab-kitab itu akan di-
coba untuk dikembalikannya kepada orang-orang yang berhak. Suatu
pekerjaan yang entah sampai kapan baru selesai. Tapi yang penting
ia mencoba untuk melaksanakan wasiat dari gurunya tersebut. Guru
yang tidak pernah ditemuinya langsung, melainkan hanya melalui
berita para Troll. Setelah digenapkan tekad dan ditinggalkan kenangannya akan kota
Siaw Tionggoan, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya. Mengarah
ke utara. Melaksanakan tugas berikutnya. Entah apa yang akan dite-
muinya dalam perjalanan berikutnya ini.
371 Sang surya yang sudah agak condong ke barat pun kemudian tampak
malu-malu ditutupi awan-awan yang bergerak-gerak cepat ditiup an-
gin perbukitan di tempat itu, memandangi punggung pemuda yang
berjalan menuju arah utara. Pemuda yang mengemban tugas yang
berat. Tugas yang mungkin tidak bisa dituntaskannya seorang diri.
372 BAGIAN 6. TATO Bagian 7 Orang-orang Abadi "Misun, coba tengok apa makam yang kita cari sudah tidak lagi
dijaga!" ucap seorang berkulit putih pucat kepada rekannya seo-
rang berkulit merah. Orang yang dipanggil Misun, yang berarti
"saudara muda" dalam bahasa Sioux Lakota, itu berbegas bangkit
dari duduknya. Tak lupa ia menggapai kapaknya yang tadinya ditan-
capkan di dekat kakinya. Sepeninggal Misun, seorang berkata kepada yang tadi berbicara, "An-
gus, masih berapa lama kita perlu berada di tlatah ini. Selalu hujan
dan basah. Membuatku selalu merasa kelembaban." Yang berbicara
adalah seorang berkulit hitam legam dan berambut keriting, Dho-
ruba namanya. Nama yang dalam bahasa Swahili berarti "badai".
Orang yang dipanggil Angus tampak sedikit berpikir sebelum men-
jawab. "Entahlah, Dhoruba. Aku tidak tahu. Lebih baik engkau
tanyakan saja nona Siaw Liong."
"Bertanya kepada si Sesat Naga Kecil" Mending aku menjadi lem-
bab dan basah daripada mendengar penjelasannya yang mumet
itu," ucap Dhoruba sambil menunjukkan muka bergidik, seakan-akan
wanita yang dipanggilnya Sesat Naga Kecil benar-benar menggiriskan
hatinya. Tak lama kemudian Misun pun kembali. Seperti biasa sikapnya, ia tak
banyak bicara. Ia hanya mengisyaratkan dengan tangan bahwa tempat
yang mereka tuju telah tidak lagi dijaga. Hal ini berarti bahwa malam
373 374 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
ini mereka dapat menuntaskan tugas mereka dan mungkin esok hari
pergi dari tempat itu. Melanjutkan perjalanan mereka jauh ke barat.
Malam yang dinanti pun tak lama tiba. Dengan hanya diterangi oleh
bulan yang tertutup awan, ketiga orang tersebut, Angus McLeod,
Dhoruba dan Misun, berjalan perlahan menuju suatu lahan terbuka
di dalam Rimba Hijau. Di suatu tempat di mana belum lama ini tak
jauh dari sana terjadi pertempuran berdarah dan di atasnya kemudian
dibuat beberapa buah makam. Lima makam tepatnya.
Angus, sebagai seorang yang memegang pimpinan kala Shia Siaw
Liong tidak ada, dengan hati-hati berdiri di depan sebuah makam.
Berkonsentrasi dan bernapas dengan teratur. Ia mencoba merasakan
apa-apa yang mungkin bisa dirasakannya dari dalam makam tersebut.
Hal yang sama diulanginya sampai semua makam telah dicoba. Belum
ada petunjuk. Beberapa hari sebelumnya, dengan yakin Shia Siaw Liong mengatakan
bahwa salah seorang dari yang terbunuh itu adalah salah seorang dari
mereka. Oleh karena itu mereka harus membawanya dari sana. Melati-
hnya dan menjadikannya siap untuk menjadi seperti mereka. Setelelah
memberikan tugas itu, sang nona pun pergi mencari sesuatu di kota
Luar Rimba Hijau. Barang-barang yang ada hubungannya dengan
tugas kali ini. "Sulit.. Aku belum bisa merasakannya. Mungkin kuburnya terlalu pa-
dat sehingga ia tidak sempat terjaga," ucap Angus seakan pada dirinya
sendiri. Tiba-tiba ada semacam getaran di udara menyerang otaknya.
Membuat kepalanya berdenyut-denyut. Hal yang sama dirasakan pula
oleh kedua rekannya. "Ya, ini dia. Tapi terlalu sulit untuk menemukan berasal dari makam
yang mana," ucap Dhoruba.
Misun tampak berdiri di hadapan makam nomor dua dari tengah.
Didekatkannya telinganya pada tanah. Wajahnya tampak berubah.
Lalu dengan isyarat ia memberitahukan Angus dan Dhoruba apa yang
didengarnya. Ketiganya kemudian langsung membongkar makam
tersebut. *** 375 Pemuda itu hanya ingat saat sebuah sabit tajam dan panjang men-
gayun pelan dan menghujam punggungnya. Tembus sampai dada se-
hingga ia bisa melihat darahnya sendiri menghiasai senjata tersebut.
Setelah itu dirasakannya dingin dan gelap. Lalu kesadarannya hilang.
Sesekali ia seperti tersadar dari mimpi tapi kembali ia dihadapkan
pada ruang yang sempit dan juga basah. Bau tanah yang lembab juga
menyengat. Ia tidak ingat bagaimana bisa berada di tempat seperti
itu. Dan juga apa hubungannya dengan pertempuran yang lalu.
Sudah matikah ia" Inikah dunia yang dikunjungi orang setelah mati"
Atau ia hanya berada di dalam kubur, akan tetapi tidak mati"
Jawaban tak kunjung datang, melainkan hanya kesadaran yang datang
dan pergi. Setiap kali kesadaran muncul, rasa sakit yang menggila pun
timbul menyertainya. Membuatnya ingin menjerit sekeras-kerasnya,
tapi bagai tak ada suara yang keluar. Hal itu berlangsung berulang-
ulang. Berkali-kali. Sampai akhirnya ia pun pasrah dan menjalaninya.
Pemuda itu, Gentong, kembali tersadar dan menjerit tanpa suara.
Keringat deras mengalir dan juga kejangnya otot-otot. Kesadaran
kembali datang. Sebentar lagi, ya sebentar lagi kesadaran ini akan
hilang kembali seperti sebelumnya. Seperti itu, berulang-ulang sejak
pertempuran yang lalu. Tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara-suara di atasnya.
Suara-suara orang menggali-gali. Suara-suara yang mendatangkan
harapan baginya. Coba digerakkan tubuhnya, tapi tidak dapat. Kain
yang ditutupkan dimukanya hanya memberikan kegelapan. Himpitan
tanah di atasnya membuat napas yang kadang-kadang datang menjadi
sesak dan mulai menghilangkan kesadarannya.
Suara-suara yang ada di atasnya membuatnya kembali terjaga. Ia
berusaha sedapat mungkin untuk bernafas dengan rendah dan tidak
sampai kehabisan napas seperti keadaan berulang-ulang sebelum ke-
sadarannya hilang. Lambat-laun terdengar suara-suara tersebut se-
makin jelas dan keras. Dalam bahasa yang tidak dimengertinya, terucap kata-kata yang
menyatakan bahwa pengalian sebaiknya dihentikan. Mungkin karena
sudah dekat dengan orang yang dikuburkan. Lebih baik dilakukan
376 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
lanjut dengan tangan, agar tidak melukai orang yang dikubur itu.
Garukan-garukan tangan mulai terdengar. Perlahan tapi pasti mem-
buat aliran darah Gentong semakin cepat, dan ini fatal akibatnya. Ia
menjadi kembali sesak dan mulai kehilangan kesadaran. Gelap pun
kembali menjelangnya. Kesadarannya pun hilang lagi. Tak dirasakan-
nya saat ketiga orang yang menggali kuburnya, mengangkatnya dan
memanggulnya pergi. Sambil tak lupa seorang dari mereka kembali
merapikan kuburnya kembali, sehingga seakan-akan tidak ada apa-
apa yang pernah terjadi di sana. Jejak-jejak akan segera menghilang
ditelan hujan gerimis yang perlahan-lahan turun. Hujan yang seperti
mengamini perbuatan ketiga orang tersebut.
Sesosok pasang mata tampak bersinar dalam kegelapan. Tinggi
matanya tidak sampai sedada orang dewasa walaupun makhluk itu
berdiri di balik semak-semak. Ia tidak berbuat apa-apa. Hanya mem-
perhatikan apa yang baru saja terjadi di makam di lapangan rumput
tersebut. Sejenak ia menunggu sampai langkah-langkah kaki ketiga
orang tersebut tidak lagi terdengar, kemudian ia pun menghilang di
balik rerimbunan. *** Tiga orang tampak berjalan beriringan. Seorang tua dan dua orang
muda-mudi. Yang tua berbadan tegap dan berbusana kain bermotif
kasar yang berwarna sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau
muda. Kulitnya berwarna sedikit kebiruan, seperti warna urat-urat
darah orang yang kebiruan. Sedangkan sang gadis yang jelas ter-
lihat dari sisik biru kehijauan tubuhnya dan rambutnya yang hitam
keemasan, bahwa ia adalah seorang Undinen. Roh Air, begitu sebutan
orang-orang kepada jenis makhluk tersebut. Seorang yang terakhir,
sang pemuda, tampak biasa-biasa saja.
Ketiganya tampak berjalan perlahan dan tampak tak ada tujuan.
Sesekali mereka berhenti dan menikmati pemandangan alam yang ada
di hadapannya. Memang hari itu matahari bersinar tampak ditutupi
awan dan angin sepoi-sepoi bertiup, menciptakan hari yang indah dan
cerah. "Paman Wananggo..," tiba-tiba Undinen yang bernama Xyra itu
bertanya kepada orang yang tua, "ke mana kita akan mencari buah
377 dan akar tersebut?" Orang yang ditanya tidak langsung menjawab melainkan hanya
tersenyum-senyum saja. Geli ia melihat kekhawatiran sang gadis
kepada pemuda temannya itu. Orang lain pun sudah dapat mem-
perkirakan bahwa terdapat "apa-apa" di antara kedua muda-mudi
itu. "Nak Xyra, sabarlah! Tak akan lari waktu dikejar. Kita masih punya
waktu beberapa hari lagi, sebelum waktu bulan purnama tiba. Dan
tempat yang kita tuju itu, besok siang akan kita capai," jawab orang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua itu sambil kembali tersenyum. Lalu tambahnya, "dan di sana kita
butuh kemampuanmu sebagai seorang Undinen untuk menemukan
buah dan akar dari tanaman tersebut."
Sang Undinen pun mengangguk mengiyakan. Menyatakan tanpa suara
bahwa ia akan melakukan apa-apa yang perlu, asalkan orang yang
dikasihinya itu dapat sembuh kembali.
"Sekarang mari kita nikmati dulu indahnya hari ini. Dan juga tidak
lupa mengisi perut yang sudah berbunyi," ucap orang tua itu lagi. Bi-
asanya Wananggo tidak banyak bicara, entah kenapa setelah bertemu
dengan Xyra dan Lantang, ia merasa kerasan. Ia merasa kedua orang
itu sebagai bagian dari dirinya. Sebagai keluarga. Ya, Wananggo tidak
lagi memiliki keluarga. Istri dan anaknya telah meninggal karena sakit.
Sejak saat itu ia menjadi murung dan tidak tentu hidupnya. Baru be-
lakangan ini ia menyadari buat apa merusak dirinya sendiri dan pada
saat itulah ia bertemu dengan Lantang dan Xyra, yang kebetulan juga
memerlukan bantuan dirinya.
Tiba-tiba terdengar samar-samar suara deburan. Suara laksaan air
yang dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Air terjun.
"Nah itu tempat bermalam kita," ujar orang tua itu dengan gembira.
Lalu diajaknya kedua orang itu untuk bergegas memacu langkahnya
agar cepat mencapai tempat bermalam yang dimaksud.
Setelah mendaki sebuah bukit, tampak di baliknya sebuah pemandan-
gan yang mengesankan. Sebuah sungai besar tampak mengalir men-
jauh dari arah mereka dan kemudian menghilang di horison. Jatuh
ke bawah akibat tarikan bumi dan menimbulkan bunyi-bunyi deburan
378 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
menggelegar. Sebuah air terjun yang megah.
"Itu namanya Air Jatuh," jelas Wananggo. "Dulu di sini terdapat
banyak tempat pertapaan. Tapi semenjak Perguruan Atas Angin
melebarkan kekuasaannya, para petapa tersebut disuruh pergi atau
lebih tepat dipaksa pergi. Mereka menganggap daerah ini sebagai
daerah kekuasaannya."
"Dan kita akan menyusup ke sana?" tanya Lantang ingin tahu.
"Ya, tentu!" jawab Wananggo. "Tumbuhan yang aku ceritakan itu
tumbuh di salah satu pulau di bawah sana. Untuk itu kita perlu
menyusup ke dalam wilayah Perguruan Atas Angin. Mau tidak mau,
demi kesembuhanmu." Kedua muda-mudi itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Dan untuk itu, kita perlu tenaga dan konsentrasi. Sekarang lebih baik
kita mencari tempat yang baik untuk bermalam. Isi perut dengan baik
dan tidur," usulnya. "Besok pagi-pagi sekali kita mencari jalan masuk.
Semoga kita mendapat kesempatan yang baik, besok siang telah tiba
di pulau tersebut dan malamnya, saat bulan purnama, mengambil
tumbuhan tersebut pada waktu khasiat akar dan buahnya sedang pada
puncak-puncaknya." Kembali kedua orang muda di hadapannya mengangguk setuju dan
melakukan apa yang disarankan oleh orang tua tersebut.
*** "Bagaimana keadaannya?" tanya sebentuk suara merdu wanita.
"Masih "mati", nona Siaw Liong," jawab seorang yang ada di hada-
pannya. "Belum "hidup" dia?" tanya wanita itu kembali.
"Belum. Apa mau dipaksa?" kembali orang yang tadi menjawab, men-
gajukan usul. "Tidak, biarkan saja. Dulu juga, engkau Angus, perlu waktu dua
hari aku menungguimu sampai kau benar-benar hidup. Engkau sem-
379 pat mati-hidup-mati-hidup karena saat itu belum bisa menguasai
peredaran hawa yang beru engkau peroleh itu," ucap wanita itu sam-
bil tersenyum. Orang yang diingatkan akan hal tersebut hanya tersenyum saja. Ya, ia
ingat saat itu. Hawa dalam tubuhnya sangat kacau bergerak, sehingga
ia terluka dalam dan kembali "mati".
"Mana Dhoruba dan Misun?" tanya wanita itu kemudian setelah sunyi
sejenak di antara mereka.
"Misun seperti biasa sedang mengamati di atas pohon sana. Melihat
ke segala arah. Dhoruba sedang mencari makan malam kita," jawab
orang yang dipanggil Angus itu.
"Kita perlu bicara malam ini. Jumlah kita sudah cukup. Perjalan pu-
lang bisa dilakukan..," katanya pelan. Ia menekankan nada suaranya
pada kata-kata "perjalanan pulang", yang membuat Angus menjadi
sedikit berdesir. Ya, perjalan pulang. Selama ini adalah hal itu yang mereka cari.
Dan untuk itu perlu lima orang dari mereka-yang-tak-bisa-mati untuk
melakukannya. Sulit. Umumnya salah seorang dari mereka-yang-tak-
bisa-mati, saling baku-hantam satu sama lain, memperebutkan kepala
lawannya, untuk memperoleh tenaga, hawa dan pengetahuan yang
telah tercukupi. Hal-hal yang sebenarnya dapat diperoleh bersama-
sama apabila mereka berhasil "pulang" ke tempat asal mereka.
"Beritahu aku bila orang baru itu telah "hidup"," berkata kembali sang
wanita. Lalu ia pun berlalu dari sana.
Angus hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya sedikit
melayang. *** "Jadi..?" tanya seorang wanita pesolek yang berjalan mondar mandir
dalam ruangan itu. Kecantikannya yang aneh dan hasil bantuan pupur
dan bedak serta ilmu awet muda membuatnya sedikit aneh. Tapi pasti
tiada orang di luar ruangan itu yang berani menggugahnya. Ya, karena
ia adalah salah seorang dari pimpinan Perguruan Kapak Ganda, Cer-
min Maut. 380 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Baiknya kita matangkan saja rencana untuk menyerbu Air Jatuh
itu," ucap seorang dari mereka yang tampak sedang memain-mainkan
sejenis senjata yang merupakan alat untuk menuai padi. Sejenis sabit
besar. Ia memutar-mutarkan senjata itu ke sana-ke mari. Beberapa
pelayan yang berdiri di pinggir ruangan tampak ngeri, takut-takut
kepala mereka menjadi sasaran dari sabit tersebut. Tapi tampaknya
Sabit Kematian tak ambil pusing. Kadang malah ia sengaja memutar
sabitnya satu dua jari di atas kepala beberapa orang pelayan. Sudah
satu orang yang semaput dan kencing di celana saking takutnya.
"Aku setuju..," sahut sebuah suara lain. Seorang dari mereka. Seorang
yang tampak sedang menimang-nimang kukunya yang semakin kuning
gelap warnanya. Warna yang menunjukkan tingkat ganas racun yang
terdapat dalam kuku-kuku tangan tersebut.
"Baik jika begitu," jawab Cermin Maut kemudian, "kita hubungi
anak-murid dari dua kota lainnya agar mereka dapat segera bersiap-
siap." Seorang dari murid mereka yang ikut rapat tersebut segera mengambil
sejumlah perkamen kosong untuk ditulisi. Cermin Maut sebagai pimp-
inan yang mengurusi hal-hal kepemimpinan, tidak seperti dua orang
saudara seperguruannya yang malas untuk hal selain pertarungan, mu-
lai menuliskan pesan kepada pimpinan perguruan cabang Perguruan
Kapak Ganda yang berada di Kota Lembah Batu Langit dan Kota
Pinggiran Sungai Merah. Telah terdapat tiga perguruan besar di tiga
kota, termasuk di Kota Paparan Karang Utara. Tiga perguruan di
tiga kota yang terletak mengapit Kota Air Jatuh. Tempat perguruan
lawan mereka berada, Perguruan Atas Angin.
Segera setelah surat itu selesai dituliskan para murid yang bertu-
gas membawa pesan itu segera berangkat ke kota tujuannya masing-
masing. Sementara murid-murid Perguruan Kapak Ganda di Kota Pa-
paran Karang Utara tampak bersiap-siap untuk mengumpulkan sen-
jata dan perlengkapan untuk menyerang Perguruan Atas Angin di Air
Jatuh. *** Pertempuran antara dua klan Orang-orang Dataran Tinggi di Skot-
landia kerap terjadi. Antara yang jahat dan yang baik. Antara orang-
381 orang petani yang hanya mempertahankan tanah pertanian mereka
dan orang-orang yang gemar melakukan ekspansi, orang-orang yang
malas untuk bercocok tanam dan lebih gemar mengucurkan darah un-
tuk mengisi perut mereka.
Pertempuran kali ini pun amat serunya. Klan McLeod yang menjadi
sasaran dari klan Darkyzp, suatu klan ekspansionis dan brutal. Su-
dah berpuluh-puluh tahun klan Darkyzp berusaha menundukkan klan
McLeod tapi tak berhasil. Bukan hanya masalah perebutan wilayah
dan juga hasil pertanian, akan tetapi lebih cenderung pada masalah
politis. Jika saja klan Darkyzp dapat mengalahkan klan McLeod maka
semangat klan-klan lain untuk melawan akan menjadi runtuh. Klan
McLeod memang terkenal dengan semangatnya yang selalu meme-
nangkan pertempuran dan tidak agresionis.
Akan tetapi kali ini mungkin tidak seberuntung kali-kali lain. Dengan
mengontak orang-orang barbar liar, klan Darkyzp telah menjanjikan
orang-orang barbar atas budak-budak laki-laki dan wanita dari klan
McLeod yang dikalahkan. Suatu imbalan menggiurkan bagi bangsa
yang juga senang berperang itu. Walaupun tidak ada permusuhan
pribadi antara orang-orang barbar liar dan klan McLeod, akan tetapi
sebagai bangsa bayaran, mereka tidak pernah menampik tawaran yang
berharga. Jadilah mereka sekutu dari klan Darkyzp.
"Mereka datang!!" teriak seorang anak kecil dari atas pohon di sebuah
bukit. Ucapan itu langsung disahut-sahutkan oleh rekan dewasanya yang
berjarak beberapa tombak dari sana dan seterusnya. Menggaung-
gaungkan teriakan-teriakan ke seluruh daerah itu. Menandakan agar
semua bersiap untuk bertempur. Tua-muda, lelaki dan perempuan.
Mereka semua harus berjuang, karena jika kalah tidak ada ampung
bagi mereka. Seorang masuk ke dalam sebuah gubuk, "Angus, mereka datang."
"Hmm, benar seperti informasi yang kita terima. Berapa banyak?"
tanyanya kembali. "Tiga ratus ratus sampai lima ratus orang, setengahnya berkuda,"
jawab pembawa informasi tersebut.
382 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Dan orang-orang barbar liar ada di antara mereka?" tanya Angus
kembali. Yang ditanya hanya mengangguk saja. Cemas tampak dalam wajah-
nya. "Baiklah, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Apa boleh buat,
kita harus berperang habis-habisan kali ini," ucapnya lelah. Ya, ia
telah lelah beberapa pertempuran dalam beberapa bulan ini. Perlu
ada pemerintahan yang sah di Skotlandia, atau bangsa lain akan
masuk dan mengalahkan semua klan yang senang satu sama lain
berperang sendiri-sendiri ini.
Angus bukan pemimpin klan McLeod. Ia hanya anak dari pemimpin
yang lama. Ian McLeod, yang sedang terbaring sakit sejak pertem-
puran yang lalu. Mau tidak mau Angus harus sedikit berkontribusi
akibat posisi ayahnya. Saudaranya Joseph lebih suka berperang di
garis depan ketimbang memimpin dan berpikir strategi yang sulit-
sulit. "Kamu saja yang memimpin," begitu katanya suatu saat.
Jadilah ia, Angus McLeod, pemimpin ad interim atau sementara, se-
lama ayahnya belum sembuh.
Dengan segera mereka yang ada di sana mengangguk dan bergegas
keluar. Mereka telah membicarakan strategi untuk berperang melawan
klan Darkyzp kali ini. Strategi hantam kromo dan bergerilya berganti-
ganti. Untuk itu tempat-tempat di bawah tanah telah dibuat agar
mereka dapat sembunyi dan menyerang dengan cepat. Menjadikan
desa mereka, tempat tinggal mereka sebagai medan perang sebe-
narnya. Tak ada jalan lain. Bangsa barbar liar amat tangguh dalam
pertempuran satu lawan satu dan tempat terbuka. Panah klan Dark-
yzp juga amat berbahaya di lapangan. Lebih baik di desa mereka yang
dilindungi oleh batu-batu dan pohon-pohon. Di sela-selanya mereka
bisa bergerilya dan menyerang balik. Kondisi yang mirip dengan
Padang Batu-batu. Terompet dari tanduk pun ditiupkan. Semua siaga mengambil tem-
patnya masing-masing. Dari anak kecil sampai orang tua. Dari yg
sehat sampai yang cacat. Semuanya bersemangat untuk berperang
demi kebebasan mereka. Kebebasan untuk tetap hidup dan merdeka.
Ya, mereka telah mendengar bahwa lawan-lawan bangsa barbar liar
383 yang kalah akan dijadikan budak atau dijual. Dan mereka tidak
menginginkan hal itu. Tidak ingin kalah.
Pertempuran pun bergelora. Pertempuran yang tidak seimbang. Dua
kelompok besar orang-orang haus darah, klan Darkyzp dan bangsa
barbar liar, lawan klan McLeod yang walaupun memiliki semangat
dan kemampuan individu tinggi, tapi kalah dalam jumlah. Beberapa
orang klan McLeod yang berani memancing dan rela mati pertama-
tama, tampak menghadang gelombang serangan kedua kelompok haus
darah tersebut. Satu persatu dari mereka mencium tanah dengan
bersimbah darah, darah mereka sendiri, setelah mengajak satu dua
orang lawan mereka menuju alam lain.
Waktu pun berjalan. Jumlah yang jatuh terus bertambah. Dengan
adanya isyarat terompet tanduk, barisan terdepan pun berlarian, ma-
suk ke dalam desa. Pintu gerbang pun ditutup.
"Ghrrrrrg..!!" ucap seorang pempimpin barbar liar, yang dikepalanya
mengenakan tengkorak beruang.
"Cepat, jalan biarkan mereka lari!!" ucap yang lain, yang dikedua pun-
daknya mengenakan hiasan dua buah tengkorak bayi manusia, satu di
kiri dan satu di kanan. Gelombang penyerang pun beringsut maju. Tak terpikirkan oleh
mereka adanya siasat dari klan McLeod yang menanti mereka. Den-
gan bekal pendobrak batang kayu, mereka memukul-mukulkan pintu
gerbang. Memaksakannya untuk terbuka.
"Dukkkk!!!" gempuran pertama.
Orang-orang di belakang gerbang tersebut tampak menyusun-nyusun
tombak-tombak berujung tajam yang diarahkan membentuk sudut.
Sudut yang pas dengan dada kuda. Terlalu tinggi untuk dilompati
akan tetapi terlalu rendah untuk dihindari.
"Dukkkk!!" gempuran kedua bergema.
Blokade tombak-tombak telah siap dipasang. Sebagian dari klan
McLeod telah menyingkir. Hanya belasan yang tersisa untuk strategi
ini. Pandangan penuh semangat dan kerelaan untuk mati tampak
saling dilemparkan tanpa kata-kata. Kesetiaan dan penghormatan.
384 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Dukkkk!!! Kraakkkk!!" gempuran ketiga datang dan merupakan
batas ketahanan dari pintu gerbang desa itu. Pintu pun terbuka
dengan lebar. Bagai air bah kuda-kuda para penyerang mengalir masuk. Orang-
orang klan McLeod yang berjaga lansung menyerang dengan tombak
dan panah untuk mengalihkan perhatian para penyerang dari blokade
tombak yang dipasang. Akibatnya telah diduga, sebagian dari mereka langsung tersungkur
lengkap dengan kudanya dan menemui ajal bersamaan dengan berde-
bamnya tubuh mereka di atas tanah. Suatu hasil yang dinanti-
nantikan oleh strategi ini untuk mengurangi jumlah musuh. Dua
puluhan orang berhasil ditanahkan. Cukup untuk baik untuk blokade
sekecil itu. Di sela-sela batu dan rumah setelah masuk ke dalam desa melewati
blokade pintu gerbang, para penyerang mulai membantai siapa saja
yang ditemui. Sayangnya tidak banyak orang-orang klan McLeod
yang ada, telah banyak dari mereka bersembunyi. Menanti untuk
menyerang balik.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada yang aneh," seru seorang dari klan Darkyzp. "Klan McLeod
tidak sesedikit orang-orang yang telah mati tadi."
"Siapa yang tahu, mungkin sudah semua," ucap rekannya.
"Tidak mungkin. Bila sudah semua, tidak baik untuk perjanjian den-
gan mereka," katanya sambil melirik pada orang-orang barbar liar
yang masih berkuda dan berlari kesana-kemari mencari-cari korban
untuk ditangkap atau dibunuh.
Rekannya mengangguk. Lalu ia berlalu dan memerintahkan untuk
mulai mencari dipelosok-pelosok desa. Dibalik-balik jerami dan seba-
gainya. Semua dibolak-balik, tapi hasilnya nihil. Klan McLeod yang
tersisa seakan-akan hilang dari pandangan.
Beberapa orang barbar liar tampak gelisah dan marah dengan keadaan
ini. Mereka mengharapkan hasil yang banyak dalam bentuk tawanan
orang-orang McLeod yang kalah. Tapi apa yang mereka dapatkan.
Tidak ada. Semua orang menghilang di dalam desa itu.
385 Suasana yang tidak nyaman itu berlangsung cukup lama, sampai be-
berapa orang dari mereka menjadi tidak sabar dan mulai melakukan
pembakaran-pembakaran. Asap pun membumbung tinggi ke angkasa.
Menghiasi hari yang cerah itu. Menorehkan kesedihan atas pemban-
taian yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba, "Ceppp!! Cappp!!" sejumlah panah-panah menghambur
pada tubuh-tubuh sang penyerang. Panah-panah yang datang dari
arah pohon-pohon dan bukit-bukit batu di belakangnya.
"Grrrggghhh!! Di sana, di belakang desa!!" teriak seorang barbar liar.
Ia yang luput dari serangan panah, tidak seperti rekannya yang telah
hilang nyawanya, segera ia memacu kudanya. Kawan-kawannya yang
lain segera mengikuti arah perginya orang tersebut.
Di sana, di tempat yang telah dipersiapkan tampak sisa-sisa dari klan
McLeod berdiri. Di sela-sela batu-batu tampak mereka bersiaga. Tua
dan muda. Pria dan wanita.
Mereka menunggu datangnya musuh yang berlari dan berkuda. Me-
nunggu dengan harap-harap cemas, menunggu sampai saat-saat ter-
akhir, agar musuh dapat kembali dikelabui sehingga masuk perangkap.
Dan kali ini pun kembali berhasil. Musuh yang tidak menyangka
bahwa di hadapan mereka terdapat parit yang cukup lebar dan
dalam, yang ditutupi oleh kayu-kayu dan ranting. Mereka tertipu
dengan anggota klan McLeod yang berlari melewati perangkap terse-
but. Ya, orang tersebut berlari di atas tongkat-tongkat kayu yang
sengaja dibuat sehingg terlihat seolah-olah tidak terdapat perangkap
di sana. Akibatnya terjatuhlan sekitar belasan penunggang kuda dan peny-
erang yang berjalan kaki. Mati. Beberapa patah tulangnya dan lain-
nya terlempari tombak dan batu dari atas parit.
Setelah parit terkuak, mudah untuk dihindari. Sisa dari penyerang
masih berjumlah cukup banyak. Dan sekarang pertempuran sebe-
narnya berlangsung. Anggota klan McLeod berlari-lari di sela-sela batu-batu dan pohon.
Menghindar dan menyerang balik. Cukup banyak jatuh korban di an-
386 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
tara mereka dan juga penyerang. Darah pun mengalir deras memer-
ahkan tanah-tanah di sekitar tempat itu.
Matahari pun tak tahan dan turun dari puncak tertingginya hari itu.
Ia menangis melihat banyaknya darah yang tertumpah hanya akibat
ambisi sedikit orang. Teriakan-teriakan penambah semangat masih terdengar dari kedua be-
lah pihak. Tapi bisa dipastikan bahwa klan McLeod tidak akan mem-
peroleh kemenangan. Walaupun musuh sudah separuhnya habis, tapi
mereka masih tiga kali lebih banyak dari anggota klan McLeod yang
hidup. Jumlah yang tidak seimbang, ditambah dengan masih adanya
kuda dan kekejaman mereka. Lain halnya dengan klan McLeod yang
hanya mempertahankan hidup, walaupun mereka bersemangat tinggi,
tapi lambat-laun dengan melihat semakin banyaknya keluarga mereka
yang mati, semakin lemahlah semangat mereka. Tapi ada satu hal
yang harus dihormati, bahwa mereka tidak rela ditangkap dan di-
jadikan budak. Mereka berjuang sampai titik darah penghabisan.
Hari itu menjadi hari yang paling gelap dalam sejarah klan McLeod.
*** Pemuda bertubuh subur dan besar itu akhirnya membuka matanya.
Mula-mula apa yang tampak tidaklah terlalu jelas. Semua kabur dan
berkabut. Lambat laun mulai jelas. Dan ia melihat kurang lebih
beberapa orang yang sedang mengamati atau berada di sekelilingnya.
Tiga-empat orang. Orang-orang yang berbeda satu sama lain.
Hal lain yang segera menggugahnya adalah rasa aneh dalam kepalanya,
berdenyut-denyut tak beraturan. Berdenyut-denyut seakan-akan
memberitahukan ada sesuatu yang baru, sesuatu yang kontak lang-
sung dengan kepalanya. Perlahan-lahan ia memegangi kepalanya.
"Lihat, ia mulai merasakan "kontak" di antara kita," ucap seorang yang
berkulit hitam legam dan berambut keriting.
"Hmmm," hanya itu jawab temannya yang berkulit kemerahan di se-
belahnya. Seorang berkulit putih pucat tampak mendatanginya, memperhatikan-
nya dari dekat. Lalu ia mengulurkan tangannya dan membantunya
387 bangun. Jauh beberapa kaki darinya tampak seorang wanita yang
melihatnya dan tersenyum. Entah apa maksud dari senyum itu.
"Well, what is your name?" tanya orang yang tadi membantunya ban-
gun dalam suatu bahasa yang tidak dimengertinya.
"Apa" Apa maksudmu?" tanya pemuda itu. Ia tidak mengerti apa
yang diucapkan oleh orang yang berada di hadapannya tersebut.
"I think he speaks with a local language here. Is there someone knows
that language?" tanya orang itu kepada rekan-rekannya.
"I try with other language," sahut seorang dari mereka. "Kumpel,
verstehst du, was ich sage" Kannst du Deutsch sprechen?"
Kembali pemuda bertubuh subur dan besar itu menggeleng, menun-
jukkan bahwa ia tidak mengerti juga apa yang diucapkan oleh orang
tersebut. Sekarang giliran orang yang berkulit merah itu, "Watashi wa Misun
desu. Anata wa donata desu ka?" Ia sambil berkata itu menunjuk
pada dirinya sendiri dan kemudian pada pemuda itu.
Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Lalu mereka bertiga memandang kepada orang keempat yang tampak
sedang memperhatikan kejadian itu. Ia, sang wanita, lalu beranjak
mendekati. "Saya, Shia Siaw Liong. Dia Dhoruba, Misun dan Angus McLeod,"
katanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri, orang hitam berambut
keriting, orang berkulit merah dan orang berkulit pucat tadi.
"Saya Gentong," jawab pemuda itu. Kali ini ia mengerti apa yang di-
ucapkan oleh wanita itu, walaupun bagi kupingnya masih kedengaran
kaku untuk seorang pembicara menggunakan bahasa dari Tlatah Ten-
gah ini. Lalu dengan perlahan, gadis itu menjelaskan apa yang terjadi pada
Gentong. Perlahan agar pemuda itu tidak kaget mengenai apa yang
menantinya sekarang, setelah ia menjadi salah seorang dari mereka-
yang-tak-bisa-mati. Penjelasan yang tenang dan pelan, serta dibawa
388 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
oleh suara yang merdu itu, tak urung membuat warna wajah sang
pemuda sempat berubah-ubah. Pucat, merah, lalu kembali pucat.
Dan akhirnya tampak tegan.
"Sekarang, kami biarkan dulu engkau sendiri, perlahan-lahan untuk
mencerna apa yang baru saja aku ceritakan," ucap wanita itu. Lalu ia
memberi isyarat kepada ketiga rekannya untuk sedikit menjauh, mem-
berikan kesempatan kepada pemuda yang baru saja "hidup kembali"
itu waktu untuk merenung dan berpikir.
Gentong, sang pemuda, tampak sekali "shock" dengan berita yang di-
dengarnya. Ia telah mati dan dikuburkan. Dan sekarang bangkit lagi
sebagai seorang mereka-yang-tak-bisa-mati. Suatu hal yang baru kali
ini didengarnya. Tanpa terasa ia meraba dadanya, mencari-cari lubang
tempat sabit yang digunakan Sabit Kematian keluar membawa darah
dan dagingnya setelah terlebih dahulu masuk dari punggungnya. Su-
atu bacokan yang mengantarnya ke liang kubur.
*** Kesibukan-kesibukan tampak terlihat di suatu bagian dari Kota Lem-
bah Batu Langit, Kota Pinggiran Sungai Merah dan Kota Paparan
Karang Utara, tepatnya di bagian di mana cabang-cabang pergu-
ruan Kapak Ganda berada. Perlengkapan dan bahan-bahan tampak
dikumpulkan di atas kereta-kereta yang ditarik oleh kuda. Bahan-
bahan berupa makanan dan senjata. Perlengkapan seperti untuk
melakukan perang. Ya, perang! Memang demikian halnya. Ketiga
cabang perguruan silat tersebut, yang pusatnya berada di Kota Pa-
paran Karang Utara memang sedang mengadakan persiapan untuk
melakukan penyerbuan ke perguruan silat lawan mereka, Perguruan
Atas Angin. Terdapat dendam kesumat antara kedua perguruan silat
tersebut. Suatu hutang lama yang disebabkan oleh pertikaian sepele
antar keduanya. Kali terakhir Perguruan Atas Angin telah membantai habis Pergu-
ruan Kapak Ganda, yang saat itu baru memiliki satu cabang, yaitu di
Kota Paparan Karang Utara. Hal yang tidak diketahui oleh Perguruan
Atas Angin pada saat itu adalah kawan-kawan atau saudara pergu-
ruan ketua yang lama baru saja datang, selepas pembantaian terjadi.
Mereka-mereka ini kemudian membangun kembali perguruan terse-
389 but. Membuka cabang di dua kota lainnya, mengumpulkan banyak
anak dan murid untuk membalaskan dendam rekan mereka yang di-
bunuh. Rekan mereka itu bernama Naga Geni, ketua Perguruan Ka-
pak Ganda, yang dibunuh oleh Ki Jagad Hitam, yang saat itu adalah
ketua Perguruan Atas Angin.
Sebenarnya ketua Perguruan Atas Angin saat ini, yaitu Tapak Kelam,
sudah mendengar akan adanya desas-desus penyerbuan ke perguruan
silatnya oleh perguruan lawan, tapi seperti biasa, orang yang merasa
kuat meremehkan apa-apa yang dianggapnya tidak memiliki kekuatan
apa-apa. Jadilah serangan Perguruan Kapak Ganda berhasil dengan baik.
Mereka mengepung Perguruan Atas Angin dari tiga penjuru. Penjuru
ke empat tidak perlu karena berbukit-bukit terjal dan tidak mungkin
dilalui. Perguruan Atas Angin bagaikan mangsa yang tersudut di
pinggir ruangan. Dari tiga arah telah datang penyerbu dan di be-
lakangnya terdapat tembok tinggi yang menghalanginya untuk kabur.
Tembok tinggi berupa bukit-bukit tinggi dihiasi air-air terjun. Air
Jatuh. *** "Jadi itu kisahmu, Gentong?" tanya Shia Siaw Liong pada pemuda
subur dan besar itu, yang diiyakan dengan anggukan kepala oleh sang
pemuda. "Baiklah jika begitu, kami akan menolongmu membalaskan dendam
guru dan saudara-saudaramu," ucap gadis itu lagi, "dan setelah itu
engkau membantu kami menuntaskan misi kami."
Kembali pemuda mengangguk.
Sementara itu tiga orang yang lain tampak agak tegang. Ya, pertem-
puran. Mereka bukannya anti pertempuran. Pertempuran bisa
dikatakan adalah sesuat yang telah ada dalam darah mereka. Men-
galir bersama sari-sari makanan dan udara yang dibawa darah.
Mengisi sela-sela kecil nadi dan urat dalam tubuh mereka. Men-
jadi mereka-yang-tak-bisa-mati adalah suatu keadaan yang senantiasa
mendekatkan diri mereka pada pertentangan, bahkan pertempuran.
Setidaknya pertentangan terhadap orang-orang yang menganggap
390 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
mereka ini, orang-orang yang tak bisa mati, sebagai orang-orang yang
tidak normal dan harus diajuhi. Harus disingkirkan.
Misun hanya menggumam pelan. Tandanya ia tidak keberatan. Dho-
ruba hanya tersenyum kecil. Sedangkan Angus McLeod tampak
menghela napas, tapi tidak menyatakan keberatannya. Setelah meli-
hat ini semua kemudian Shia Siaw Lion berkata, "Baiklah. Jika
demikian telah diputuskan. Besok, pagi-pagi sekali, kita berangkat
ke Kota Paparan Karang Utara. Kudengar-dengar di sanalah pusat
Perguruan Kapak Ganda, tempat di mana orang yang membunuh
guru dan saudara-saudara seperguruan Gentong berada."
Setelah itu kelimanya kemudian bersiap-siap untuk beristirahat.
Misun masih mendekati Gentong, menanyakan senjata apa yang akan
digunakannnya nanti, saat menyerang Perguruan Kapak Ganda. Gen-
tong hanya menggelengkan kepala, menyatakan bahwa ia tidak pernah
sebelumnya menggunakan senjata. Hanya kepalan tangan dan kaki
yang biasa digunakan. "Tidak efektif untuk menghadapi banyak anak-murid perguruan itu,
jika dengan tangan kosong. Lebih baik engkau kuajari menggunakan
kapak dan panah," usulnya.
"Baik, terima kasih!" ucap Gentong. Ya, ia sadar. Ia kemudian
teringat pada pertempuran terakhir yang membawanya "mati", bahwa
dalam pertempuran, bukan pertandingan satu lawan satu, senjata
memegang peranan penting. Dapat menghemat tenaga untuk men-
gurangi lawan dengan cepat.
"Dalam perjalanan ke sana, kira-kira kita butuh tiga hari, pasti engkau
sudah bisa," kata Misun meyakinkan.
Gentong mengangguk mengiyakan.
Atas isyarat dari Shia Siaw Liong, api pun dimatikan dan mereka pun
mulai tidur, untuk besok pagi-pagi sekali bangun dan pergi ke Kota
Paparan Karang Utara. *** "Paman Wananggo.., sudah pagi!" ucap Lantang sambil menggugah-
gugah bahu seorang tua yang sedang tertidur meringkuk dengan
391 enaknya. Dengkurnya yang teratur menunjukkan betapa pulas orang
tua itu tidur. "Eh.., ah.., apa" Sudah pagi?" jawabnya gelagapan. Tampak sebagian
"roh"-nya masih ada di alam mimpi.
"Iya, paman, lihat ke sana!" ucap Xyra sambil menunjuk ke arah
timur. Langit sudah agak mulai terang di sana. Warna kuning
keemasan dan sedikit merah agak mulai terlihat di ufuk tersebut.
Manusia Muka Kucing 1 Pendekar Bayangan Sukma Tiga Ksatria Bertopeng Pedang Golok Yang Menggetarkan 20
dadakan susulan. Kedua rekan yang masih sehat pun tampak terkejut.
Suatu serangan di luar perkiraan mereka. Serangan seorang pakar
pertempuran, yang telah banyak mengalami pertarungan.
Napas memburu tampak pada wajah kakek Gu. Empat serangan den-
gan delapan variasi telah dilakukannya untuk menyerang Empat Begal
Hutan. Dua untuk mengelabui dan dua untuk benar-benar meny-
erang. Terpaku pada sesuatu yang telah "lazim" berlangsung merupakan
salah satu kelemahan manusia. Dan hal-hal ini dimanfaatkan oleh
orang-orang yang mengetahui dan mengerti untuk menciptkan di-
namika. Menghidari kebosanan. Dari sini bisa banyak yang dituai
atau ditarik keuntungan. Dalam pertarungan juga demikian. Apabila
musuh terus-menerus mengeluarkan jurus-jurus yang sama, kita akan
terlena dan menjadi yakin bahwa musuh hanya memiliki gerakan-
gerakan ini dan tidak lainnya. Demikian pula dengan Empat Begal
Hutan yang dari segi umur masih belia apabila dibandingkan dengan
340 BAGIAN 6. TATO kakek Gu atau pun dengan Su-Mo. Keterlenaan mereka harus dibayar
dengan remuknya dua telapak kaki dari dua orang dari mereka.
"Bagaimana, Empat Begal Hutan" Masih ingin dilanjutkan?" tanya
kakek Gu keren, tanpa ada nada sombong di suaranya yang sudah
kembang-kempis. Ia tidak berusaha menutup-nutupi keuzuran usianya
yang berarti staminanya juga telah turun jauh, terutama untuk per-
tarungan jangka panjang. Keempat Begal Hutan tidak menjawab. Sebenarnya di dasar hati
mereka, telah tumbuhi rasa malu bahwa mereka yang masih muda
dan berempat tidak bisa menghadapi seorang yang telah tua. Seorang
yang kelihatannya rapuh, bagai akan terbang ditiup angin belaka.
Sebelum satu dari empat orang itu menjawab, telah turun kata
dari seorang Su-Mo, Hek-Mo, "Kakek Gu, cepat suruh pemuda itu
keluar. Kami masih ingin menjajal ilmu iblisnya itu." Saat berkata
masih bergidik Hek-Mo sesaat membayangkan saat Gu Yo atau Paras
Tampan merapalkan ilmu "Jarum Terbang Debu Pasir" yang meny-
erangnya dan juga Pek-Mo. Keduanya mengalami luka yang cukup
parah. Bagian tubuh pinggang ke bawah diterjang jarum-jarum halus
yang terbuat dari debu dan pasir yang direkatkan oleh Tenaga Tanah
dan dikirimkan dengan pukulan atau hempasan. Masih untung pe-
muda itu belum begitu berpengalaman, sehingga bagian tubuh mereka
yang luka bukannlah bagian-bagian penting dari jalan darah yang
ada. Jika tidak, sudah berada satu dua meter mereka di dalam tanah,
bersemayam di sana selamanya.
Pertanyaan inilah yang tidak diharapkan oleh kakek Gu. Ia tahu atau
dapat memperkirakan mengapa sedari tadi Su-Mo belum turun tan-
gan. Mereka masih jerih akan adanya Gu Yo, dan menunggu ter-
lebih dahulu sampai pemuda itu muncul. Mendengar pertanyaan itu,
berputar keras otak kakek Gu. Ia harus mencari siasat untuk itu.
Bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya, tapi juga menyampaikan
pesan yang tadinya masih ragu untuk dikatakan kepada Gu Yo. Tapi
setelah lama berdiskusi dengan nenek Po, akhirnya diputuskan bahwa
hal itu haruslah disampaikan. Untuk kebaikan Gu Yo sendiri, dalam
rangka misinya. Untuk itu kakek Gu berniat untuk mengadu jiwa, sementara ia melihat
341 bahwa nenek Po tampak telah siap sedari tadi berkemak-kemik mera-
palkan sesuatu. Kakek Gu pun memantapkan niatnya. Ia menegakkan
tubuhnya dan mengatur nafas lambat sampai tak terdengar. Lalu
katanya keren, "Bagaimana jika kalian semua berdelapan sekarang
maju serentak" Biar tak habis waktu kita."
*** Pemuda dan pemudi itu tampak lahap menyantap daging bakar yang
disajikan dengan saus kacang dan kecap manis pekat. Sesekali terden-
gar suara dari dalam perut melalui leher sang pemuda. Menandakan
bahwa makanan yang disantapnya membuat sang perut kenyang. Si
pemudi tampak lebih santai dalam menyantap, tidak sepesat dan
segarang sang pemuda. Akhirnya makan malam itu pun usai. Keduanya tampak terduduk
agak lemas. Lemas setelah perut diisi penuh. Juga lemas akibat hal-
hal yang baru saja berlangsung.
"Kedai Daging Bakar pamam Yok Seng ini memang tiada tandin-
gannya di kota Siaw Tionggoan," ucap pemuda itu sambil menyeka
mulutnya dengan semacam kertas atau kain yang disediakan untuk
itu. "Iya, memang benar," sahut si gadis pendek mengiyakan.
Keduanya kemudian terdiam, masih terbayang peristiwa yang baru-
baru saja terjadi di suatu tempat. Tempat kerja si gadis.
"Bagaimana bila pemuda itu kita tanyai sekarang?" usul sang pemuda.
"Boleh juga, tapi apa tidak mengganggu kerjanya?" balik tanya si
gadis atas usul rekannya itu.
"Seharusnya sih jam-jam segini mereka telah beristirahat, akan tetapi
lebih baik bila kutanyakan saja pada kepala pelayan di sana," katanya
sambil bangkit dan menuju kepada seorang pelayan yang sedang
bertugas mengawasi jalannya kegiatan di Kedai Daging Bakar pada
hari itu. Sebelum pemuda itu bertanya, sang pelayan kepala yang sedang duduk
itu segera berdiri saat melihat pemuda itu menghampirinya, lalu sapa-
342 BAGIAN 6. TATO nya, "Selamat malam, Inspektur San Cek Kong! Apa anda ingin
memesan lagi?" "Ah, tidak paman. Tadi sudah cukup. Lebih dari cukup. Sudah
penuh lambung kami berdua," jawabnya ramah. "Saya hanya ingin
bertanya, apa kami " saya dan nona Sian Lin, boleh berbicang-bicang
sedikit dengan Gu Yo, seorang yang bekerja di sini?"
"Maksud inspektur, Gu Yo yang baru mulai bekerja hari ini?" tanyanya.
Gu Yo mendadak hari itu menjadi terkenal karena ia membawa su-
atu cerita menghebohkan saat ia kembali ke Kedang Daging Bakar,
selepas kunjungannya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tadi sore.
Pemuda itu, yang dipanggil inspektur San Cek Kong mengangguk.
Tapi kemudian ia menambahkan, "bila tidak mengganggu kerjanya,
tentu saja. Atau perlu saya membawa surat resmi?"
"Ah, tidak perlu inspektur. Gu Yo dan yang lainnya pasti sedang
beristirahat saat ini. Jam-jam segini sudah tidak ada lagi kegiatan
yang kerap di dapur," jawab sang pelayan kepada sambil menggerak-
gerakkan tangannya. "Sebentar akan saya panggilkan."
Tak lama kemudian pemuda yang ingin ditanyai oleh San Cek Kong
dan Swee Sian Lin pun tiba di meja tempat kedua orang itu duduk.
"Ji-wi berdua memanggil saya?" tanyanya sopan. Ia telah mengenap
nona Sian Lin, akan tetapi pemuda yang bersamanya baru dilihat saat
itu. Ia tidak tahu bahwa ia dan San Cek Kong tadi berselisih jalan di
dekat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Karena keduanya tidak saling
mengenal, maka saling tidak memperhatikan bahwa masing-masing
sempat hampir bertubrukan tadi.
"Duduklah, Gu Yo!" sahut Sian Lin ramah.
Sementara San Cek Kong hanya menggangguk sambil tersenyum. Se-
bagai seorang paturan yang telah lama bertugas, ia memanfaatkan
saat pertama bertemu dengan orang baru untuk menilainya. Mem-
biarkan naluri alamiah seorang manusia untuk merasakan apa-apa
yang bisa ditangkap. Hal ini perlu. Berdasarkan pengalamannya, bila
orang telah kenal lama, naluri ini kadang-kadang menjadi tumpul
karena teralihkan oleh kesan-kesan yang timbul dari cerita atau
343 perkataan orang. Dan juga dari kesan yang ingin ditampilkan oleh
orang itu sendiri. Atas dasar ini banyak kejahatan yang muncul dari
teman dekat, saudara atau lainnya. Naluri mereka telah tertindas
oleh kebiasaan bahwa orang-orang yang dekat dengan mereka adalah
orang-orang "baik" yang tidak mungkin melakukan kejahatan. Pada-
hal kadang sebaliknya. Orang yang paling baik, kadangkala memiliki
kesempatan untuk melakukan kejahatan juga yang paling sempurna.
Setelah puas menilai dan mengira-ngira San Cek Kong pun kemudian
memperkenalkan dirinya sebagai inspektur yang ingin berbincang-
bincang dengan Gu Yo perihat peristiwa tadi siang yang terjadi di
Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Gu Yu pun hanya mengangguk dan ia berdiam menunggu pertanyaan
yang akan diajukan oleh inspektur San Cek Kong.
*** "Hek-Mo, engkau baik-baik saja?" tanya Huang-Mo atau si Setan
Kuning kepada rekannya si Setan Hitam, yang baru saja dipeluk erat
kepalanya dengan kedua telapak tangan kakek Gu yang meregang
nyawa atas bacokan Hek-Mo.
"Tidak, aku... tidak apa-apa..!" katanya agak tak yakin. Dicarinya
dengan padangan mata di mana rekan kakek Gu, nenek Po, be-
rada. Tampak bahwa yang dicari lagi terduduk tenang akan tetapi
tanpa tanda-tanda kehidupan. Melepas nyawa bersamaan dengan
terbangnya nyawa kakek Gu.
Ucapan kakek Gu yang bagaikan menyiramkan minyak tanah kepada
api kecil itu membuat Su-Mo bak kebakaran jenggot jadinya. Tanpa
dikomando keempatnya turunkan tangan dan kakinya melengkapi
barisan empat pengeroyok kakek Gu sebelumnya, Empat Begal Hutan.
Runyam jadinya. Melawan empat orang saja dari mereka kedudukan
sudah seri bagi kakek Gu. Apalagi sekarang melawan delapan orang
sekaligus. Akan tetapi niatan untuk menyampaikan pesan kepada Gu
Yo membuatnya tenang. Alih-alih cemas, malah wajah kakek Gu men-
jadi lebih sumringah. Tersenyum-senyum dan tampak seakan-akan
siap menerima apa-apa yang akan terjadi pada dirinya kelak, bahkan
yang terburuk sekalipun. 344 BAGIAN 6. TATO Pertempuran mati-matian mempertahankan nyawa tak dapat dihin-
dari. Kakek Gu harus bergerak ke sana dan kemari untuk menyela-
matkan nyawanya yang tinggal selembar itu. Belum saatnya terbacok
golok atau terpukul kepalan Su-Mo, atapun kena gebug pukulan dan
tendangan Empat Begal Hutan. Ia masih perlu waktu untuk sesuatu.
Waktu. Satu hal itu yang kiranya agak sulit diharapnya sekarang,
demi melihat kelebatan pukulan dan bacokan silih berganti di sekelil-
ingnya. Hampir membuatnya tak bisa bernapas sebelum bergerak ke
sana-ke sini, di antara hujan serangan.
Tiba-tiba tampak sekelebat bayangan nenek Po. Samar seperti asap.
Ia menunjuk-nunjuk kepada Hek-Mo, anggota Su-Mo yang paling be-
rangasan dan beremosi. Kakek Gu pun mengangguk. Ia mengerti
bahwa pesan itu harus dialamatkan pada orang itu. Orang yang paling
membencinya. Paling kesal padanya, sehingga paling mudah dirasuki.
Tanpe membuang waktu, kakek Gu mengempos tenaganya. Ia berusaha
menghalau hujan pedang dan pukulan ke sana kemari, sehingga jalan-
nya ke arah Hek-Mo terbuka. Lalu sebagai siasatnya agar Hek-Mo
emosi, ia harus berkata-kata yang pedas. Untuk membuat lawannya
itu tidak lagi waspada memelihara batinnya.
"Hei, Hek-Mo! Hanya sampai sini saja kepandaianmu?" ucap kakek
Gu merendahkan. Walau ia sendiri sadar, berbicara sambil bertem-
pur itu akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi misinya harus di-
tuntaskan, dan kelihatannya harus ditebus dengan nyawanya. Dan
mungkin pula dengan nyawa nenek Po.
Mendengar itu, sontak Hek-Mo mendelikkan matanya dan mulutnya
menggereng-gereng. Sudah tidak tahan lagi ia untuk berkata-kata.
Gerengannya itu sudah melambangkan kekesalan hatinya akan kakek
Gu. Dulu sekali dikalahkan dan saat ini pula kakek Gu masih tampak
berdiri dengan gagah di tengah-tengah kepungan kedelapan orang itu.
Hek-Mo menjadi marah. Adanya ketujuh rekannya membuat nyalinya
sedikit berkembang. Ia pun maju mendekat sambil membantu rekan-
rekannya menyerang kakek Gu semakin gencar.
"Hehehe, bagus datanglah Hek-Mo, biar kakiku bisa mampir lagi di-
tubuhmu!" ejek kakek Gu yang sudah kepayahan terpukul beberapa
kali. Untuk saja belum ada bacokan golok yang bersarang di tubuh-
345 nya. "Grrrrggghh!!" mengerang Hek-Mo sambil melompat membacok dua
kali dengan dua goloknya. Umumnya ia tidak menggunakan dua golok,
tapi hari ini entah kenapa ia mencoba menggunakan ilmu baru yang
menggunakan satu golok di tangan kanan dan satu di tangan kiri den-
gan arah pegang yang berbeda. Satu ke atas satu ke bawah.
Suatu serangan yang berbahaya, tapi kakek Gu seakan-akan tidak
memperhatikannya. Matanya tampak tertuju pada sebuah titik di
antara kedua mata Hek-Mo. Dan ia pun melihat bahwa bayangan
samar nenek Po juga telah siap di belakang Hek-Mo. Sekali lagi men-
gangguk kakek Gu pun bagai menyongsong sabetan atas ke bawah dan
bawah ke atas dari Hek-Mo. Matanya tetap lekat ke titik yang tadi
diperhatikannya. "Cakkk!!! Crakkk!!" kedua golok itu mendarat dengan ganas di tubuh
kakek Gu. Satu di pundah menuju dada dan satu di bawah ketiak
menuju leher. Sabetan menyilang. Sabetan Serong Atas Bawah Dua
Golok. Suatu jurus dari Hek-Mo, anggota paling berangasan dari
Empat Setan (Su-Mo). Saat Hek-Mo berpuas diri melihat darah yang mengalir pelan dari
kedua tempat di mana kedua senjatanya bersarang, tiba-tiba ia men-
jerit ngeri. Bukan saja karena ternyata kakek Gu belum mati, selain
kedua goloknya yang seakan-akan terjebit oleh dagingn dan tulang
yang dibelahnya, tapi juga kedua tangan kakek Gu yang memegang
kepalanya. Menyentuhkan kedua ibu jarinya pada titik di atas
hidungnya. Suatu titik di atanara kedua mata. Serunpun energi
hangat terasa mengalir masuk menggelapkan pandangannya. Telin-
ganya bagai mendengar kakek Gu dan juga nenek Po bercakap-cakap
kepadanya. Menceritakan banyak hal dari suatu jaman ke jaman lain.
Dan bukan hanya itu, ia juga seakan-akan dapat melihat semua yang
diceritakan kedua orang itu. Bermacam-macam keterangan masuk ke
dalam kepalanya. Lama semua itu dirasakan oleh Hek-Mo berlangsung, walaupun rekan-
rekannya hanya melihat kurang dari sejurus dua, bahwa ia tampak
termangu-mangu atas tekanan kedua jari jempol kakek Gu yang sudah
bersimbah darah pada tengah-tengah kedua matanya, yang kemudian
346 BAGIAN 6. TATO disusul dengan runtuhnya tubuh kakek Gu ke atas tanah setelah tak
bernyawa lagi. Bersamaan dengan itu kembalilah kesadaran Hek-Mo, sehingga ia bisa
menjawab pertanyaan Huang-Mo.
"Mari kita pergi!" ajak Huang-Mo kepada rekan-rekannya. Ia sendiri
tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia gembira bahwa Hek-
Mo tidak tinggal nyawa di tangan kakek Gu. Walaupun berangasan
Hek-Mo adalah sosok seorang yang setia. Dan itu amat disayangkan
oleh Huang-Mo apabila rekannya itu sampai tewas dalam pertempuran
yang baru saja berlangsung.
Dengan tak berkata-kata kedelapan orang itu pun pergi meninggalkan
tempat itu. Membiarkan saja kedua orang tua yang telah menjadi
jenasah tergeletak di sana. Satu tersungkur bersimbah darah dan
satu terduduk damai. Setelah sunyi dan tiada orang lagi di sana, tampak sekelebat bayangan
putih tiba di sana. Seorang tua dengan pakaian berwarna putih yang
sederhana, yang dihiasi dengan ramput putih panjang yang dibiarkan-
nya tergerai. Setelah memandang sebentar dengan sorot mata yang
sedih akan tetapi tenang, ia bergerak ringan bagaikan tak menapak,
menggapai kedua sosok yang telah tiada bernyawa itu. Menentengnya
dengan ringan dan membawanya pergi dari sana.
***
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak terasa sudah seminggu Gu Yo bekerja di Kedai Daging Bakar
milik Yok Seng. Kerjanya yang ulet dan rajin membuatnya disukai
banyak orang. Ma She yang biasanya jarang berbicara, tampak
banyak berbicara dan sering menyuruh-nyuruh Gu Yo serta juga
mengajari berbagai hal. Ini mungkin karena pemuda itu mudah mu-
dah diajari dan langsung bertanya apabila penjelasan yang diberikan
Ma She tidak dimengertinya. Pada kebanyakan orang, biasanya
hanya mengangguk-angguk walaupun sebenarnya tidak seratus persen
mengerti. Barulah umumnya belakangan diketahui dari hasil kerjanya,
bahwa sang pelaku tidak benar-benar mengerti apa yang ditugaskan.
Tidak dengan Gu Yo, ia tidak mau melakukan pekerjaannya sebelum
benar-benar mengerti. Dan sikap ini cocok dengan Ma She, sang
kepala koki di tempat itu.
347 "Gu Yo...! Dimana kamu...?" tiba-tiba terdengar panggilan orang.
Orang yang dicari tampak sedang menimba air dari sumur yang berada
di belakang bangunan utama Kedai Dagin Bakar.
"Eh, engkau Ma Siang... Ada apa?" sapa Gu Yo saat melihat bahwa
pemilik suara yang mencari-cari dirinya adalah Ma Siang, keponakan
dari Ma She. "Kamu tahu tidak, bahwa ada kasus baru lagi?" tanya Ma Siang den-
gan jenaka. Bukan buru-buru memberikan penjelasan, ia malah ingin
membuat Gu Yo semakin penasaran.
"Tidak. Eh, kasus apa maksudmu?" tanya Gu Yo balik. Ia sebe-
narnya tidak terlalu berminat dengan gosip-gosip yang sering beredar
di tengah-tengah para pegawai di tempatnya bekerja. Gosip-gosip
yang kadang tidak jelas sumbernya. Tapi untuk sama sekali tidak ter-
tarik, juga sulit. Paling tidak, cukuplah mendengar dan tidak menye-
barkan lebih lanjut. Itung-itung sebagai hiburan.
"Itu kasus yang mirip kasus yang terjadi di Rumah Tato Ceng-Liong
Hui-To..," jawab Ma Siang pendek sambil senyum-senyum saat meli-
hat Gu Yo telah tumbuh minatnya untuk tahu lebih lanjut.
"Ada apa memangnya" Ceritakanlah Ma Siang..!" pinta Gu Yo. Tidak
biasanya ia tertarik pada cerita-cerita yang beredar. Untuk kasus yang
satu ini, tak dapat disangkal bahwa ia amat tertarik. Selain karena
ada urusannya dengan nona Swee Sian Lin dan inspektur San Cek
Kong, juga karena ada kaitannya dengan tujuannya datang ke kota
Siaw Tionggoan ini. Tugas titipan mendiang gurunya.
Gembira Ma Siang melihat bahwa Gu Yo tertarik dengan kisahnya.
Biasanya pemuda itu tampak tak acuh dan mendengar ceritanya sam-
bil lalu saja. Kala ini berbunga-bunga hati dara itu, bahwa orang
yang dikaguminya ingin mendengar ceritanya dengan antusias. Den-
gan gayanya yang khas kemudian Ma Siang pun menceritakan peri-
stiwa yang terjadi di bagian lain kota Siaw Tionggoan itu, di mana
orang menemukan tato segar lain yang masih meneteskan darah. Dan
sama dengan keadaan sebelumnya, bahwa tidak diketahui apakah ter-
dapat korban ataukah tidak, orang dari mana tato segar itu dikeletek.
Usai mendengar cerita Ma Siang, Gu Yo pun bergegas pergi. Ia merasa
348 BAGIAN 6. TATO ada hal yang harus ditanyakannya kepada nona Siaw Sian Lin. Hal
yang berkaitan dengan misinya dan juga kemunculan kembali tato-tato
segar tersebut. Entah apa ada hubungan antara keduanya. Panggilan
Ma Siang tidak dihiraukannya, yang tampak jengkel dan menjejak-
jejakkan kakinya karena ditinggal begitu saja sehabis bercerita pan-
jang lebar. *** "Manusia, sampai akhir pun tidak dapat melepaskan ketergantungan-
nya. Jika tidak terhadap dua masalah utama: harta dan kekuasaan,
pastilah pada janji-janji dan rahasia masa lalu," ucap seorang tua
berambut panjang putih yang tampak baru saja membuat dua buah
kuburan baru. Dua buah gundukan tanah baru tampak di hadapan-
nya. Dengan bagai tanpa tenaga ia mengambil dua buah batu sebesar ker-
bau dewasa, yang dicungkilnya dengan tongkat yang baru saja digu-
nakannya untuk menggali dua buah kuburan itu. Dua buah batu besar
tersebut terungkit dan kemudian terlempar, mendarat dengan debam
berat pada suatu tempat di ujung masing-masing makam.
Lalu ia dengan masih menggunakan tongkat yang sama menggerak-
gerakkan tongkatnya, dan angin bercuitan terdengar bersamaan den-
gan debu yang mengepul di sekitar salah satu batu penanda makam.
Sederetan huruf yang membentuk kalimat telah dipahatkan di sana.
Dari jarak dua tombak lebih. Tak menunggu lama kemudian ia
"menulis" lagi untuk batu penanda makam satunya. Setelah selesai,
bagaikan memang telah datang waktunya, tongkat yang digunakan
itu pun meluruh menjadi serbuk-serbuk halus dari tangan orang itu.
Menyebar ditiup angin. "Gu Ming, Po Ting Hwa, semoga Sang Pencipta menerima jiwa kalian
berdua dan tenteram di alam sana. Aku bakal menyusul tak lama
lagi," ucapnya kepada kedua makam tersebut. Usai perkataan itu,
orang tua berbusana putih berambut putih tergerai itu bergerak den-
gan ringan dan hilang menuju barat, ke arah di mana kota Siaw Tiong-
goan berada. *** 349 "Nona Sian Lin, ada seorang pemuda bernama Gu Yo yang mendesak
ingin bertemu. Saya sudah bilang bahwa ia harus buat janji terlebih
dahulu. Tapi katanya penting," ucap seorang pelayan wanita kepada
seorang dara yang sedang bekerja di mejanya. Membalik-balik be-
berapa buah buku dan menuliskan sesuatu pada kertas-kertas di atas
meja. "Gu Yo" Baiklah, suruh saja ia masuk. Aku akan menemuinya. An-
tar ia ke Ruang Hijau!" ucap gadis itu saat mengenali nama yang
disebutkan oleh pelayannya.
"Baik, nona!" ucap sang pelayan yang segera mohon diri untuk men-
jemput sang tamu dan mengantarkannya ke Ruang Hijau.
Ruang Hijau adalah ruang yang berada tidak di tengah-tengah Rumah
Tato Ceng-Liong Hui-To melainkan jauh di balakang. Sebuah ruang
yang diperuntukkan bagi karya-karya yang berkaitan dengan orang
yang namanya digunakan bagi rumah tato itu. Siapa lagi jika bukan
Ceng-Liong Hui-To sendiri.
Ceng-Liong Hui-To sempat juga menjadi kejam dengan mengumpulkan
tato-tato dari musuh-musuhnya para penjahat. Tato-tato itu disim-
pannya karena ia merasa sayang karya seni yang indah harus hilang
dengan terbunuhnya sang penjahat. Akan tetapi lama kelamaan ia
menyadari bahwa sesuatu yang indah akan tetapi bersumber dari hal
atau orang yang tidak baik, tidaklah dapat dikatakan indah. Ketidak-
baikan sumber suatu benda yang dikumpulkan kadang dapat menular
kepada sang pengumpul. Dalam hal ini Ceng-Liong Hui-To menjadi
tertulari untuk kerap mengumpulkan tato, membuatnya ketagihan
untuk membunuh penjahat bertato. Baik yang kesalahannya sudah
banyak dan menjadi buronan paturan, ataupun penjahat-penjahat
muda, yang baru mulai meniti karir.
Kebiasaannya ini pun berlanjut, sampai suatu waktu seorang Eremit
(petapa) menasehatinya, dan menyarankan untuk menghentikan hobinya
itu. Jika ingin menegakkan keadilan, tegakkan saja tanpa ada embel-
embel sesuatu yang akan diterima. Suatu tato dari sang penjahat
dalam kasus ini. Di saat itulah Ceng-Liong Hui-To memutuskan
untuk menghilang. Menyepi dan menyucikan hati dan pikirannya.
Di rumahnya itulah koleksi tato-tatonya ditemukan, yang kemudian
350 BAGIAN 6. TATO oleh penjabat kota Siaw Tionggoan dijadikan Rumah Tato Ceng-Liong
Hui-To. Untuk mengenang sang pahlawan. Sang pahlawan yang gun-
dah hatinya karena dinodai oleh napsu mengumpulkan sesuatu. Sang
pahlawan yang kemudian menghilang tak diketahui rimbanya.
Entah mengapa hari itu Sian Lin ingin melihat lagi koleksi-koleksi
tato-tato kumpulan atau tepatnya kletekan Ceng-Liong Hui-To. Koleksi
langka yang oleh sebagian orang dianggap bersejarah dan berharga.
Koleksi yang yang salah satunya merupakan pasangan tato segar yang
ditemukan di rumah itu beberapa hari yang lalu.
Lamunan gadis itu terhenti saat sebuah ketukan lembut terdengar
pada pintu Ruang Hijau. Di sana tampak seorang pemuda. Gu Yo.
Orang yang ingin menemuinya.
"Masuklah!" ucap sang dara pendek. Lalu ia kembali mengalihkan
pandangannya kepada dua buah tato yang tampak terbingkai dengan
indah di dinding di hadapannya. Tato sepadang burung merak, putih
dan hitam. Disusun sedemikian rupa sehingga kedua burung tampak
saling berhadapan satu sama lain. Dari kulit yang melatar belakangi
kedua tato tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari
dua orang yang berbeda. Suatu kontras telah direncanakan. Tato bu-
rung merak berwarna hitam digoreskan di atas kulit manusia berwarna
cerah, putih atau kuning. Sedang tato burung merak berwarna putih
digoreskan di atas kulit manusia berwarna gelap, hitam atau coklat
tua. Suatu estetika berdarah yang padu.
"Bukankah saat itu tato burung merak hitamnya berbeda?" tanya Gu
Yo saat melihat kedua tato yang sedang dipandangi oleh gadis itu.
"Betul, saat itu kami hanya menampilkan separuh saja, agar co-
cok dengan tema di kanan dan kiri tato burung merak putih. Tak
disangka bahwa ada orang yang menempelkan pasangannya yang
masih berdarah," ucap gadis itu menghela napas. Menyesalkan insi-
den yang terjadi di tempat kerjanya itu.
"Oh, begitu!" sahut pemuda itu.
"Tahukah kamu, Gu Yo, bahwa syair mengenai kedua tato ini?" tanya
sang gadis tiba-tiba, setelah kesunyian lama mengisi jeda antara
perkataan keduanya. 351 "Syair untuk kedua tato ini?" tanya sang pemuda.
Sang gadis tidak menjawab melainkan melantunkan sebuah syair.
"Deru pun perlahan melembut. Menghilang. Sunyi dan sepi. Dan
jiwa pun tenteram kembali.
Menghela napas. Menghirup keheningan. Mengekang nafsu. Senyap.
Lepas. Lega." Yang dilanjutkan oleh sang pemuda.
"Setelah semuanya berakhir. Secarik kulit dicabik halus. Darah
menetes lembut. Menegaskan guratan-guratan mistis. Guratan di
atas kulit nan indah. Tato."
"Hei, dari mana engkau tahu syair itu?" tanya Sian Lin kaget, melihat
bahwa Gu Yo telah mengetahui akhir dari syair yang dilantunkannya
itu. "Dari buku-buku," jawab Gu Yo sederhana. "Di sana disebut memiliki
judul "Pembicaraan Angin"."
Sang gadis mengangguk membenarkan. "Betul, memang itu judulnya.
Ternyata engkau memiliki juga pengetahuan di bidang ini."
Tampak rona malu merekah di wajah sang pemuda begitu mendengar
pujian sang dara. "Tidak..., aku hanya senang membaca saja."
"Begitulah orang berilmu, merendahkan diri selalu," ucap gadis itu
kemudian. Suasana hening pun mengisi ruang di antara mereka.
"Tok-tok-tok!!" tiba-tiba suara ketukan cukup keras mengagetkan ke-
duanya yang sedang dalam alam pikirannya masing-masing.
Pintu yang tidak tertutup menampilkan sosok inspektur San Cek Kong
di tengah-tengahnya. Ia tampak tersenyum saat melihat Gu Yo dan
Swee Sian Lin berada di tempat itu. Ucapnya lugas, "kebetulan Gu
Yo juga ada di sini. Tak perlu aku repot-repot mengajak Sian Lin
mencarimu di kedai paman Yok Seng di sana."
352 BAGIAN 6. TATO "Eh, ada apakah Cek Kong-koko" Ada perlu apa kita dengan Gu Yo
sampai mencarinya?" tanya dara itu seusai mendengar ucapan inspek-
tur Sang Cek Kong. "Nanti kujelaskan, pertama-tama aku ingin dulu bertanya pada Gu
Yo," ucapnya. "Apakah maksud kedatanganmu di sini adalah untuk
menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa yang baru saja
terjadi di bagian lain kota?"
Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan, yang sudah tentu membuat
wajah bingung Sian Lin semakin kentara terlihat.
San Cek Kong tampak puas mendengar jawaban itu. Lalu katanya,
"jika demikian, marilah kalian ikut aku ke bagian selatan kota. Ada
sesuatu yang ingin kutunjukkan."
Dengan penuh tanda tanya, terutama Sian Lin, keduanya pun mengikuti
inspektur San Cek Kong ke suatu tempat di bagian selatan kota Siaw
Tionggoan. Ke suatu tempat di mana suatu peristiwa baru saja
terjadi hari itu. *** "Cepat gali!" seru seseorang pada rekannya yang tampak sedang
mencangkul-cangkul sesuatu dengan tangannya di dalam lubang di
mana mereka berdua berada.
"Sabar!! Ini sudah cukup dalam, kita toh tidak mau merusah barang
yang kita cari bukan?" jawab rekannya. Ia sedang meraba-raba apakah
lubang yang mereka buat itu sudah cukup dalam sehingga hampir
menyentuh barang yang terkuburkan di sana.
"Aha!!" seru orang kedua kemudian setelah hening beberapa saat dan
hanya terdengar garukan-garukan pada tanah.
"Dapat?" tanya orang pertama.
"Ya, agak liat. Pasti kain pembungkusnya..," jawab rekannya itu.
"Kita congkel saja.., atau potong...," usul temannya.
Lalu keduanya mulai membersihkan tanah di bawah lubang di mana
353 mereka berada dan mulai mencongkel-congkel kain liat yang me-
landasinya. Tak lama kemudian setelah mendapatkan pijakan, tongkat
kayu yang mereka bawa diungkit sehingga lipatan-lipatan kain di
bawahnya dapat terangkat. Bau busuk pun segera menyerbak memenuhi
udara malam itu. Malam yang diterangi bulan purnama.
Setelah dibuka peti yang berada di bawah kaki mereka, sebuah peti
mati yang belum lama ditanam, tampak di dalamnya sesosok tubuh
seorang perempuan tua. Ia tampak tertidur dengan damai. Kedua
tangannya dilipatkan di depan dadanya. Wajah seorang yang seakan-
akan telah siap menerima hari kematiannya.
"Cepat cari bagian itu..!! Kita tak punya banyak waktu..," ucap salah
seorang dari mereka. Setalah memeriksa di bagian kedua tangan jasad itu, akhirnya mereka
menemukan di salah satu lengan bagian atasnya sebuah tato. Tato
dua buah naga yang sedang saling berbelit. Satu berwarna meran
dan satu berwarna biru. Keduanya tampak jelas diukirkan di atas
kulit pucat sang empunya.
"Tato kelompok Naga Merah dan Naga Biru...," terdengar ucapan
salah seorang dari mereka.
Rekannya hanya mengiyakan mengangguk. Lalu tanpa menunggu
perkataan, ia mengeluarkan pisau dari sakunya. Suatu pisau yang
tajam. Sinar bulan yang memantul dari padanya mengisyaratkan kira-
kira sudah berapa banyak darah atau sosok manusia yang disentuhnya.
Dengan santai, seperti telah biasa, orang itu menyayat kulit di mana
terdapat tato tersebut. Tak ada darah tertumpah karena sang empunya tato telah lama bepu-
lang. Tak lama selesailah pekerjaan itu. Sang penyayat mengang-
surkan hasil kerjanya kepada rekannya, yang segera menyimpannya
dalam lipatan sebuah kain yang telah dibubuhi bubuk dan cairan ter-
tentu, agar kulit bertato itu awet dan tahan tidak membusuk. Untuk
dioleh lebih lanjut tentunya.
"Cepat, masih ada satu lagi yang harus diselesaikan..," ucap rekannya
sambil menyelipkan bungkusan kain tato tadi ke dalam tas di pung-
gungnya.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
354 BAGIAN 6. TATO Rekannya mengangguk. Tanpa menimbun kembali kubur yang telah
dibuka itu, keduanya pun kembali sibuk bekerja menggali lubang lain
di sebelahnya. Suatu makam baru pula, yang di dalamnya terdapat
seseorang. Seseorang dengan tato sebuah naga hitam yang sedang
menjaga mutiara. Tato dari kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara.
Suatu tato yang umumnya diukirkan di punggung yang empunya.
*** "Inspektur San Cek Kong, ada laporan mengenai makam tanpa nama
yang dibongkar!" ucap seorang paturan kepada paturan lain yang
sedang tampak bekerja di mejanya.
"Hmm, di mana dan mengapa engkau beritakan kepadaku" Bukankah
itu kerja dari bagian lain" Bagian ketertiban fasilitas umum?" tanya
sang inspektur yang sedang menuliskan sesuatu pada buku di depan-
nya. "Betul, inspektur! Tapi bagian ketertiban fasilitas umum meminta
saya untuk menyampaikan salinan dari kejadian itu kepada anda.
Berkaitan dengan dugaan bahwa bagian jasad yang dirusak kemungk-
inan besar merupakan tato," jelas sang paturan pembawa berita.
Mendengar kata "tato", sontak San Cek Kong menjadi tertarik karena
hal itulah yang sedang menjadi pikirannya sekarang. Kasus yang
sedang ditanganinya. "Terima kasih!" katanya sambil menerima salinan laporan tersebut.
Dibolak-baliknya kumpulan kertas-kertas yang baru diperolehnya itu.
Dibacanya dari depan ke belakang dan diulangnya lagi. Sambil tak
lupa membuat di sana-sini catatan-catatan kecil.
"Hmmm, perlu ketemu Sian Lin lagi kiranya.., dia adalah pakar dalam
bidang ini," gumamnya hampir tak terdengar.
*** "Ma Siang, kemarilah!" ucap seorang pada seorang dara yang tampak
sedang mencuci sesuatu pada pancuran dekat sungai kecil di belakang
bangunan itu. "Ah, Gu Yo! Ada apa?" jawab gadis itu sambil segera meninggalkan
355 pekerjaannya dan menghampiri pemuda yang memanggilnya.
"Eh, temani aku ya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To! Tapi engkau
yang mintakan ijin ke pada paman Ma She..," ucap pemuda itu.
"Lho, kalau apa urusannya sama aku?" tanya Ma Siang pura-pura tak
tahu. "Tolong ya...!" mohon Gu Yo. Ia tahu jika ia minta ijin langsung, ke-
mungkinan besar tidak diberikan tanpa alasan yang jelas. Lain halnya
jika Ma Siang. Ini disebabkan Ma Siang adalah keponakan dari Ma
She, yang bahkan telah dianggap anak karena Ma She sendiri tidak
berketurunan. Selain itu juga karena orang tua Ma Siang telah tiada.
Begitu yang diceritakan orang-orang kepada Gu Yo.
"Tapi apa untungnya buatku" Kalau kamu pastilah, karena ingin
melihat nona Sian Lin, kan?" ucap dara itu. Ada sedikit nada tersaingi
dalam suaranya. Tersaingin dengan nama yang baru disebutnya itu.
"Huss! Tidak ada apa-apa, aku hanya ada urusan sedikit," ucap Gu
Yo cepat. "Tolong ya?" mohonnya lagi.
"Baik, tapi artinya engkau hutang satu kali padaku. Dan suatu saat
harus dibalas, gimana?" ucap gadis itu nakal. Kelihatannya ada sesu-
atu yang direncanakannya untuk "pembayaran" dari pertolongannya
ini. "Eh, baiklah. Tapi jangan aneh-aneh ya?" pinta Gu Yo. Ia sempat
berpikir panjang karena terdesak dengan keinginannya untuk mencari
tahu sesuatu. Biarlah nanti saja, toh Ma Siang kelihatannya tidak
akan minta yang macam-macam. Apa sih yang dapat dimintanya dari
seorang pemuda sepertinya yang tidak punya apa-apa.
Setelah tuntutannya diiyakan oleh Gu Yo lalu dengan segera Ma Siang
berlalu dari sana sembari membawa pekerjaannya yang memang su-
dah hampir selesai saat pemuda itu memanggilnya. Tak lama kemu-
dian tampak Ma Siang kembali dari bangunan itu. Wajahnya tampak
cerita, menandakan bahwa ia telah memperoleh ijin dari pamannya.
"Ayo kita pergi!" ucapnya gembira. Ya, siapa yang tidak gembira
mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan di hari yang cerah ini.
Apalagi apabila kesempatan itu akan dihabiskannya dengan pemuda
356 BAGIAN 6. TATO yang dikaguminya, Gu Yo. Lalu keduanya pun berlalu dari halaman belakang Kedai Daging
Bakar. Dengan menggunakan beberapa jalan tikus yang terdapat di
antara rumah-rumah bertingkat dua atau tiga, yang lebarnya hanya
kira-kira dua meteran dan umumnya becek dan gelap, keduanya dapat
dengan cepat tiba di jalan raya, di mana tak jauh dari sana terdapat
Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Tempat yang ingin dituju oleh Gu
Yo. "Eh, tau dari mana engkau jalan-jalan seperti itu, Ma Siang?" tanya
Gu Yo ingin tahu. Jika saja dulu ia tahu, pastilah ia menggunakan
jalan-jalan itu. Lebih cepat ketimbang menggunakan jalan besar yang
penuh orang dan kendaraan. Harus hati-hati dalam menyeberang dan
menyusurinya. "Aku tahu dari paman Ma She," jawab dara itu pendek. Terlihat ada
yang tidak ingin diceritakannya, berkaitan dengan pengetahuannya
mengenai jalan-jalan tikus itu.
Gu Yo tidak bertanya lagi, karena pertanyaan basa-basinya malah
membuat suasana di antara mereka menjadi tidak enak. Ia pun ke-
mudian lebih memilih diam sampai mereka tiba di depan Rumah Tato
Ceng-Liong Hui-To. *** Seorang berbusana putih dan ramput putih panjang digerai tampak
memasuki Kedai Daging Bakar. Setelah duduk di suatu sudut ruan-
gan, ia pun didatangi oleh seorang pelayan untuk ditanyai apa pe-
sanannya. "Gurame Bakar dan nasi, itu saja pesanan makanannya," ucapnya
pendek. "Minumnya teh?" tanya sang pelayan lagi.
Orang itu hanya mengangguk. Dan kemudian terdiam. Sang pelayan
kemudian meninggalkannya untuk meneruskan pesanan itu ke dapur.
Di dapur dengan kesibukan yang biasa, tampak orang-orang berseli-
weran. Memasak, memindahkan bahan-bahan makanan. Dan juga
357 meneriakkan pesanan-pesanan.
"Gurame Bakar satu porsi!" teriak seseorang.
Seorang koki yang sedang kebagian untuk memasak makanan itu agak
terdiam. Tidak biasanya ada pesanan ikan di Kedai Dagin Bakar.
Terutama pada musim-musim ini. Di mana ikan-ikan agak sulit un-
tuk didapat sehingga mahal harganya. Oleh karena itu tidak semua
orang bisa dengan mudah memasak ikan gurame bakar. Hanya koki-
koki yang sudah cukup senior yang bisa. Termasuk Ma She sang
koki kepala. Sang koki yang mendapat giliran pun menjadi ragu-ragu.
Lebih baik ia menanyakan hal itu kepada atasannya, Ma She.
Tak lama kemudian ia kembali. Wajahnya cerah. Ma She mem-
perbolehkannya memasak ikan gurame. Untuk itu ia harus ter-
lebih dahulu membaca cara memasaknya. Diambilnya sebuah buku
berwarna hitam dan kertas yang sudah dikotori bumbu masak di
sana-sini. Tertulis di judulnya, "Bakaran Ikan". Dicarinya sehingga
sampai pada suatu halaman dengan judul "Gurame Bakar".
Bahan: 1 ekor ikan gurame ukuran sedang-besar, 8 butir kemiri, 1
batang (2 sampai tiga ujung kuku) kunyit, 6 butir bawang merah, 3
siung bawang putih, 4 buah cabai rawit merah, garam secukupnya,
merica secukupnya, 1 buah tomat kecil (diiris), dan akhirnya 2 buah
jeruk nipis (lemon). Cara Membuat: * Bersihkan ikan terlebih dahulu. Buang sisik dan
isi perutnya tetapi hati-hati, sehingga ikan tetap utuh. Buat 2-3 gu-
ratan di setiap sisi badan ikan agar bumbu dapat masuk dan panas
dapat masuk; * Lumuri ikan dengan garam dan merica secukupnya
dan biarkan sekitar sepeminum teh agar bumbu dapat terlebih dahulu
meresap; * Bakar ikan tersebut di atas bara api yang kecil sampai
setengah matang. Jangan lupa untuk dibolak-balik lalu angkat; *
Buat bumbu dengan menghaluskan bawang merah, bawang putih,
cabai rawit, kemiri, kunyit, garam dan merica. Campur irisan tomat
dan aduk sampai merata; * Lumuri bumbu ini sampai merata pada
dua belah sisi ikan gurame yang setengah matang tadi. Kemudian
bakar lagi ikan tersebut di atas bara api, sedang sampai matang dan
sesekali oleskan dengan bumbu yang masih tersisa; * Hidangkan den-
gan menaburkan irisan cabai merah, irisan tomat dan jeruk nipis.
358 BAGIAN 6. TATO "Hmmm, tidak terlalu sulit rupanya..," gumamnya. Ia kemudian
mengikuti petunjuk yang tertera dalam buku resep itu. Langkah per
langkap diikutinya dengan teliti.
Tak lama kemudian harum semerbak ikan gurame bakar pun mengem-
bang di udara. Menandakan bahwa ikan tersebut telah siap untuk
dihidangkan. Tiba-tiba datang Ma She menghampiri koki yang baru saja selesai
membuat hidangan itu. Ia memeriksa dengan teliti apa-apa yang telah
siap disajikan itu. Ia pun mengangguk puas. "Bagus!" pujinya.
Mengembang hidung sang koki mendengar pujian atasannya. "Terima
kasih!" jawabnya pendek dan bangga.
Tapi sayangnya kebanggaanya itu tak berlangsung lama. Pelayan yang
menyajikan pesanan itu kembali lagi dengan ikan gurame bakar itu.
Pucat wajahnya. Tampaknya ia mendapat teguran dari pelanggan
yang memesan masakan itu.
"Kata sang pemesan, Gurame Bakar tidak seperti ini," jelasnya.
Ma She sebagai seorang koki kepala, bertanggung jawab terhadap
pekerjaan bawahannya. Dengan tenang ia memberi syarat agar koki
yang memasak masakan itu untuk tenang. Sedangkan ia sendiri segera
beranjak ke luar untuk menerima keluhan dari sang tamu.
Oleh pelayan tadi ia ditunjukkan meja tempat orang tua berambut
putih dengan busana putih itu sedang duduk. Orang itu tampak
sedang melamun sambil memandang keluar, melihat-lihat pemandan-
gan di hadapannya. "Maaf, tuan! Tuan tadi mengeluhkan cara memasak Gurame Bakar
kami?" tanyanya sopan.
Orang itu tampak sedikit kaget karena terganggu lamunannya, "ah..,
betul! Dan anda" Anda orang yang memasaknya?"
"Bukan, saya adalah koki kepala. Saya bertanggung jawab kepada
pekerjaan anak buah saya," jelas Ma She sederhana.
Bagai berbicara sendiri orang itu kemudian menyerocos, menyebutkan
359 bumbu-bumbu yang digunakan untuk memasask Gurame Bakar yang
dikeluhkannya tadi. Juga cara memasaknya dan bagaimana seharus-
nya dibolak-balik dan api yang digunakan. Tidak boleh dikipasi tapi
harus diputar-putarkan. Ma She yang adalah ahli memasak sampe
melongo mendenger perkataan orang itu, yang menunjukkan bahwa
orang itu adalah juga seorang ahli masak.
"Eh, anda...," katanya bingung.
"Ma She, Ma She...! Sudah begitu cepatkah ingatanmu memudar?"
kata orang itu sambil tersenyum.
"Ceng..." kata-kata yang tidak sempat diselesaikannya karena orang
itu mencegahnya menyebutkan nama aslinya.
"Panggil saja saya, Ceng Liok," ujar orang itu sambil mengedipkan
sebelah matanya. "Tuan Ceng Liok!" jawab Ma She sambil sedikit menahan tawa, sete-
lah tahu bahwa orang tersebut adalah kawannya dulu. Ceng-Liong
Hui-To. Bisa gempar kota ini bila tahu bahwa orang yang dulu per-
nah dianggap pahlawan tiba-tiba ada lagi di sana.
"Maafkan kelakarku. Semoga yang tadi memasak tidak merasa ters-
inggung," ucapnya sungguh-sungguh.
"Ah, tidak perlu dipikirkan. Aku akan bilang, bahwa anda tuan Ceng
Liok adalah guru masakku dulu. Biar ia tidak terlalu sedih," ucap Ma
She sambil masih beusaha menahan tawa.
"Eh, Ma Siang apa kabarnya" Mana dia?" tanyanya sambil melirik ke
kiri dan kanan, berharap dapat melihat sosok dara itu.
"Ia tidak ada. Sedang pergi bersama seorang pemuda. Kalau tidak
salah ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To," kata Ma She sambil
menekankan kata-kata terakhir dari ucapannya itu.
Orang itu hanya tersenyum sambil kemudian meminta agar ikan gu-
rame bakar yang tadi ditolaknya disajikan kembali, sambil menga-
jak Ma She untuk menemani. Sekaligus berbincang-bincang. Ma She
kembali ke dalam sebentar untuk memberitahukan hal itu kepada koki
yang memasak tadi sambil juga menghiburnya, bahwa apa yang terjadi
360 BAGIAN 6. TATO hanyalah kelakar saja. Kelakar dari guru masaknya.
Tak lama kemudian masakan yang tadi kembali dihidangkan. Lengkap
dengan sayur-mayur tertentu. Kegemaran tuan Ceng Liok, yang su-
dah tentu telah amat dikenal baik oleh Ma She sebagai rekannya.
*** "Benar, itu adalah tato milik mereka..," sahut pemuda itu dengan
tangan mengepalkan tinju dengan erat. Ma Siang yang berada di
dekatnya tampak pula tegang dengan apa yang sedang mereka sak-
sikan. Di sana di dalam ruang tengah Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tam-
pak sebuah bungkusan yang baru saja diantar oleh orang tidak dike-
nal. Diletakkan sedemikian rupa di dalam ruang itu tanpa sepenge-
tahuan orang lain. Baru pada siang itu seorang mengatakan kepada
nona Sian Lin bahwa ia menemukan ada paket untuk nona tersebut.
Paket yang berisikan tato. Kali ini tidak lagi berdarah. Sudah diolah
dengan bahan pengawet. Dua buah tato. Satu menggambarkan dua buah naga sedang berbe-
lit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru. Sebuah tato yang
dulu dikenal sebagai ciri dari kelompok Naga Merah dan Naga biru.
Sedangkan tato satunya lagi adalah sebuah naga berwarna hitam yang
sedang tampak menjaga suatu bulatan putih di tengah. Suatu mu-
tiara. Tato yang merupakan ciri kelompok Naga Hitam Penjaga Mu-
tiara. Usai kaget saat mendapati paket yang ditujukan pada dirinya itu,
segera nona Swee Sian Lin menghubungi inspektur San Cek Kong yang
langsung bagai terbang tiba di tempat itu. Bersamaan pula datang Gu
Yo dan Ma Siang ke sana. Orang kedua terakhir ini datang kebetulan
pada saat yang tepat. Atau boleh dikatakan kebetulan sekali.
Pertanyaan inspektur San Cek Kong yang diajukan kepada Gu Yo
sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh, karena ia ragu apa pe-
muda itu mengenal tato yang ada di dalam kotak itu. Tapi siapa
nyana bahwa pemuda itu mengenalinya dan bahkan tahu atau pernah
bersama dengan kedua orang pemilik tato itu. Diketahui bahwa kedua
tato itu berasal dari orang yang berbeda, dari warna kulit yang tidak
361 sama, yang mendasari kedua karya seni itu.
"Keduanya pernah merawatku saat luka parah," jelas Gu Yo. "Dan
entah dari pembicaraan apa, tahu-tahu mereka menunjukkan tato
yang mereka miliki." Dalam kalimat terkakhir ini, Gu Yo sedikit berbo-
hong. Ia belum tahu apakah ada kaitan antara misinya dengan keja-
dian ini. Sebaiknya ia rahasiakan dulu apa-apa yang kelihatannya
belum terkait. Begitu pikirnya.
"Baiklah, Gu Yo bilakah kau ada waktu?" tanya inspektur San Cek
Kong. Ia tiba-tiba teringat akan jasad dua orang yang dirusak seba-
gian tubuhnya. Kulitnya dikletek. Ada kemungkinan bahwa tato ini
berasal dari kedua orang tersebut. Untuk itu ada baiknya bila Gu Yo
yang mengenal kedua tato itu bisa membuktikan bahwa kedua jasad
itu adalah pemiliknya. Paling tidak bisa mengetahui siapa kedua jasad
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa nama itu. Gu Yo lalu menyatakan bahwa saat ini juga. Ia dan Ma Siang sudah
diberi ijin untuk berwaktu luang sampai malam nanti. Mendengar itu,
inspektur San Cek Kong kemudian mengajak keduanya untuk mem-
bantunya melakukan identi"kasi dari jasad tanpa nama yang dirusak
orang tersebut. Saat itu nona Sian Lin yang juga tertarik tidak bisa
turut disebabkan beberapa janji dan kesibukannya.
Lalu pergilah mereka bertiga dituruti beberapa paturan ke lokasi tem-
pat makam tanpa nama itu berada.
*** Perayaan Musim Angin dan Air pun tiba. Semua orang bergembira
dan menghiasi rumah-rumah mereka dengan lampion-lampion warna-
warni. Dominannya adalah warna biru dan kelabu. Warna yang
diyakini menjadi warna yang terdapat dalam angin dan air dan benda-
benda yang bergerak akibat angin dan air, dan juga yang menye-
babkan angin dan air bergerak. Suatu keyakinan kuno kota Siaw
Tionggoan. Sebenarnya perayaan Musim Angin dan Air adalah suatu perayaan
musiman yang biasa dilakukan empat tahun sekali di kota tersebut.
Tahun ini, setelah genap empat tahun dari perayaan terakhir, men-
jadi lebih semarak karena bersamaan dengan itu akan datang kun-
362 BAGIAN 6. TATO jungan dari pemerintah pusat. Suatu rombongan orang-orang pent-
ing yang ingin melihat-lihat perkembangan dan kemajuan kota Siaw
Tionggoan. Yok Seng, sang pemilik Kedai Daging Bakar tampak tersenyum puas.
Tidak salah ia mempekerjakan Gu Yo. Pemuda itu benar-benar da-
pat diandalkan. Atas usul pemuda itu pula ia mengubah sana-sini dari
kedainya agar tampak lebih menarik dan terlihat luas. Dengan hara-
pan agar lebih banyak tamu yang berkunjung pada perayaan Musim
Angin dan Air. Mendengar kabar bahwa akan datang kunjungan dari
pemerintah pusat, satu rombongan besar, orang-orang dari kota dan
desa sekitar kota Siaw Tionggoan pun jadi merasa tertarik. Jarang-
jarang ada orang dari pusat tlatah Nusantara yang berkunjung ke
kota tersebut. Akibatnya hampir semua penginapan telah dipesan
atau didiami. Yang masih ingin melancong-lancong ke daerah-daerah
lain telah memesan terlebih dahulu. Yang sudah ingin berada di kota
tersebut, telah datang dan mendiami penginapan-penginapan yang
ada. Benar-benar suasana yang meriah.
Di suatu lapangan agak ke tengah kota, telah dibangun suatu pang-
gung megah. Luas dan indah. Di kiri-kanannya juga telah disiapkan
tempat duduk, baik untuk tamu terhormat atau pun undangan biasa.
Orang-orang yang tidak diundang dapat pula datang sebagai penon-
tong. Hanya saja mereka harus berada pada jarak yang cukup jauh
dari panggung. Pembatas berupa tombak yang ditancapkan dan di-
hubungkan satu sama lain dengan tali berhias warna biru dan kelabu
telah dipasang mengelilingi area itu, sebagai batas terjauh penonton
dapat mendekati panggung.
Seorang yang tidak kepalang gembiranya adalah Ma Siang. Ia benar-
benar antusias dan gembira dalam menyambut perayaan Musim Angin
dan Air kali itu. Ia pun mengharap-harap dapat melihat tamu-tamu
yang berasal dari pusat. Orang-orang yang didengung-dengungkan
dekat atau menjadi bagian dari penguasa negeri itu. Orang-orang
yang "berbeda" dengan penduduk kota Siaw Tionggoan.
Hari itu Kedai Daging Bakar benar-benar panen rejeki. Tamu-tamu
datang selalu silih berganti memenuhi tempat-tempat duduk yang ada,
sampai bahkan ada yang harus terlebih dahulu menanti di pintu agar
dapat mendapatkan meja. Agar yang menunggu ini sabar, umumnya
363 mereka juga dihidangkan minum-minuman dan makanan kecil berupa
abon kering. Suatu produk samping dari bakaran daging dan ikan.
Jenis kemilan yang gurih dan lezat.
Siangnya Yok Seng mendapat laporan bahwa kios Kedai Daging Bakar
yang dibuka di sekitar panggung di lapangan agak ke tengah kota telah
habis terjual barang-barangnya. Dan salah seorang pegawainya kem-
bali ke Kedai Daging Bakar untuk mengambil bahan-bahan baru. Hal
ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Ma Siang. Dengan sedikit mem-
ohon pada pamannya Ma She agar ia dimintakan ijin kepada Yok Seng,
akhirnya dapatlah ia pergi. Sudah tentu Gu Yo pun turut. Karena
tanpa Gu Yo, tidaklah Ma Siang merasa hari itu cukup baginya. Ia
benar-benar ingin menikmati hari itu bersama orang yang dikagu-
minya itu. Dengan berbekal gerobak penuh barang-barang dagangan
berupa daging-daging bakar yang siap dijual, keduanya beranjak be-
rangkat dari Kedai Daging Bakar menuju kois kedai yang terdapat di
sekitar lapangan tersebut.
Panggung telah dibuka. Gemerlap warna-warni menghiasi sana dan
sini. Tamu-tamu yang tampak anggun dan mewah tampak duduk
di tempat-tempat khusus bagi kalangan mereka. Tamu-tamu biasa
berdesak-desakkan di pinggir lapangan. Mepet sampai batasan berupa
tombak-tombak dihiasi tali biru dan kelabu.
Untung bagi Gu Yo dan Ma Siang. Dikarenakan hubungan baik antara
Yok Seng dan salah seorang pejabat kota itu, mereka mendapat kios
yang dekat dengan tempat duduk khusus para tamu, orang-orang yang
berasal dari pemerintah pusat. Walaupun situasi sedikit tidak nyaman
dengan banyaknya penjaga, akan tetapi pandangan yang jelas ke arah
panggung dan para penonton terhormat itu dimiliki oleh kedua muda-
mudi ini. Berbagai acara pun mengalir bagai tak henti-hentinya untuk menghibur
para tamu dari pusat tersebut. Berbagai suguhan dan juga penganan
berdatangan diantar oleh pelayan-pelayan yang menawan. Benar-
benar suatu penghormatan yang diberikan oleh kota Siaw Tionggoan
kepada para tamu-tamu khusus tersebut.
Untungnya tidak semua tamu dan tamu khusus diberi pelayanan
istimewa atau senang dengan pelayanan tersebut. Sebagian dari
364 BAGIAN 6. TATO mereka ada pula yang jemu dengan tata cara yang bertele-tele terse-
but. Orang-orang ini lebih senang "berpetualang" sendiri. Menelusuri
keramaian, membeli apa-apa yang mereka lihat menarik dan sudah
tentu cicip sana dan sini. Dari golongan inilah para pedangan yang
telah memiliki kios di sekitar panggung memperoleh keuntungan.
Dan untung saja ada orang-orang yang seperti itu. Jika tidak ada dan
hanya datang tamu-tamu yang maunya disuhugi saja, rugi besar para
pedangan yang telah menyemut itu. Dan untungnya lagi, tamu-tamu
"petualang" ini adalah dari golongan yang berkantong lebih tebal
ketimbang rekan mereka yang "mengemis" hidangan-hidangan serta
hadiah-hadiah. Mereka ini merasa bahwa uang mereka lebih berarti
bila dibelanjakan untuk apa yang mereka inginkan dan tidak suka
dipilihkan atau diberi begitu saja. Bisa jadi bila disuguhkan terus-
menerus mereka merasa agak terhina karena tidak dibebaskan. Ya,
aneh-aneh saja kelakukan orang-orang yang berkantong tebal.
Seorang pemuda tampan, agak tinggi dan kurus tampak berjalan
dengan lagak yang sok dianggun-anggunkan. Dari pakaiannya yang
mewah dan berwarna cerah menyolok serta beberapa rekannya yang
bertubuh kekar-kekar dan tampak hormat kepadanya, dapat di-
pastikan bahwa ia adalah anak seorang dari romobongan dari pe-
merintah pusat. Dan kumpulan orang-orang kekar dan sangar yang
menyertainya, pastilah dari rombongan para tukang pukul atau pen-
gawalnya. Ia tampak melihat-lihat dari satu kios ke kios yang lain. Mengamat-
amati dan membanding-bandingkan barang yang satu dengan yang
lain. Bila ia suka, langsung ia memberikan isyarat kepada seorang
pembantunya agar barang itu dibeli. Pembantu tersebut bukan ter-
masuk dalam barisan pengawal. Ia adalah seorang tua dengan kumis
licin dan tipis. Tampang seorang yang cerdik dan juga licik.
Sudah tiga-empat kios yang diborongnya. Umumnya berupa hiasan-
hiasan warna-warni yang khas dibuat untuk menyambut perayaan
Musim Angin dan Air. Hiasan yang tidak ada di waktu lain, dan
mungkin juga di tempat lain. Mungkin buat oleh-oleh bagi sanak
saudaranya di kota nanti, agar ia juga bisa sedikit-sedikit pamer apa-
apa yang ditemuinya di kota Siaw Tionggoan ini.
Gu Yo dan Ma Siang yang sedari tadi asik memperhatikan apa-apa
365 yang sedang berlangsung tidak memperhatikan kedatangan pemuda
"pemborong" tersebut dan gerombolannya. Mereka masih terpesona
dengan pertunjukkan yang sedang dipertontonkan di panggung. Per-
tunjukkan ketangkasan dan sulap.
Tanpa terlebih dahulu memberi salam, seperti kebiasaan orang di kota
Siaw Tionggoan, pemuda itu langsung saja masuk ke kios Kedai Dag-
ing Bakar untuk melihat-lihat. Para pengawalnya langsung mengam-
bil posisi di sekeliling kios untuk melindunginya. Pembantu berkumis
tipis dan licin tampak sudah setia di sisinya.
Sebetulnya pemuda tersebut tidak terlalu tertarik dengan kios terse-
but, sampai ia melihat beberapa hiasan atau tepatnya daging bakar
kering yang dibuat menyerupai berbagai hiasan. Suatu hiasan yang
dapat dimakan. Hiasa yang dapat berupa ular dan berasal dari dag-
ing ular kering. Hiasan berbentuk ikan yang berasal dari kulit ikan
yang alot dan telah kering. Hiasa berupa kepala kambing yang be-
rasal dari dendeng kambing dan sebagainya. Kagum pemuda itu pada
barang-barang yang belum pernah ditemuinya itu.
"Hai, penjual! Berapa harganya ini?" tanyanya sambil menunju pada
sebua hiasan berbentuk kera yang sedang memegang pisang. Kera
tersebut bukan berasal dari daging kera, tapi daging sapi yang dik-
eringkan. Dan pisangnya berupa benar-benar pisang asli yang telah
dibakar dan dihias. Gu Yo yang lebih dulu tersadar dari Ma Siang, segera menghampiri
pemuda itu, "Kongcu, hiasan kera itu harganya dua puluh tigaan."
Ucapan kongcu atau "tuan muda" digunakannya setelah sekilas meli-
hat gelagat kepongahan pemuda itu dan juga cara orang yang didekat-
nya membungkuk-bungkukan diri sambil memuji-muji hiasan pilihan
pemuda itu. "Harga yang bagus.., tak terlalu mahal, dan juga tidak terlalu muran!
Pas!" katanya, seakan-akan ia mengetahui kapan harga suatu barang
terlalu mahal atau murah dibandingkan dengan kualitasnya. "Ada
bentuk lain selain yang ditampilkan di sini?"
Sebelum Gu Yo sempat menjawab, Ma Siang yang telah tersadar akan
adanya tamu, segera ikut membantu, "Ada kongcu. Ada kepiting,
kelelawar, kura-kura, laba-laba dan masih banyak lainnya. Ada ben-
366 BAGIAN 6. TATO tuk khusus yang diminta?"
Tampak kagum yang tidak ditutup-tutupi dari pemuda itu terlihat je-
las. Ia kagum bahwa ternyata daging kering dapat dibentuk macam-
macam. Menjadikan hiasan-hiasan tersebut indah dan juga tetap
layak untuk dimakan, walaupun mungkin menjadikannya sayang un-
tuk disantap. "Saya suka kuda.., ada bentuk kuda?" tanyanya kemudian. Pemuda
itu, walaupun dari kalangan orang kaya, akan tetapi ia memiliki suatu
kegemaran menunggang kuda. Ia lebih suka menunggang kudanya
sendiri ketimbang duduk ke kereta yang dikemudikan oleh pembantu-
pembantunya. Gu Yo dan Ma Siang saling berpandangan. Ya, mereka punya, tapi
hiasan berbentuk kuda itu agak besar dan sudah lama sekali menjadi
simpanan di Kedai Daging Bakar. Hiasan pesanan seseorang tapi telah
lima tahun tidak diambil-ambil. Untuk membuatnya saja perlu waktu
hampir setahun, karena menirukan ukuran anak kuda yang sebesar
kambing. Bisa dibayangkan berapa banyak daging kering yang dibu-
tuhkan untuk itu. Sayangnya setelah beberapa lama waktu berlalu,
pemesannya tak pernah terdengar lagi kabarnya. Dan untuk itu belum
ada uang yang diberikan. Dengan berbekal rasa percaya saja Yok Seng
sang pemilik Kedai Daging Bakar menerima dan membuat pesanan
itu. "Sebenarnya ada..," ujar Ma Siang pelan. Lalu diceritakannya perli-
hat hiasan kuda yang mereka punya. Ia telah dipesan oleh Yok Seng
agar bila ada pembeli yang tertarik, dapat ditawarkan benda terse-
but. Akan tetapi hanya untuk yang benar-benar tertarik dan tampak
mampu saja. Hal ini dikarenakan harganya yang sudah pasti mahal,
seribu lima ratus tigaan.
Mendengar hal itu tertariklah sang pemuda. Hiasan yang tersusun
atas daging kering dan dibentuk menyerupai anak kuda dengan uku-
ran sebenarnya, benar-benar memukaunya. Walaupun demikian, har-
ganya juga menjadikannya agak ragu-ragu. Ya, seribu lima ratus
tigaan adalah hampir 7 bagian dari 10 bagian uang yang dimilikinya.
Saat itu ia telah menghabiskannya 2 bagian. Masih cukup 8 bagian-
nya. Akan tetapi hal ini berarti ia tidak dapat membeli apa-apa lagi
367 selain itu. "Tidak bisa kurang harga itu?" tanyanya. Sambil menunggu jawa-
ban ia tampak berbisik-bisik dengan pembantunya yang berkumis licin
dan tipis. Sang pembantu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rupanya harga tersebut dirasanya tidak bijaksana untuk dihabiskan
hanya untuk satu benda saja.
Ma Siang yang saat itu juga bercakap dengan Gu Yo, akhirnya memu-
tuskan bahwa urusan harga lebih baik diputuskan oleh Yok Seng
sendiri. Mereka tahu bahwa waktu yang telah lewat untuk hiasan
dagin kering akan membuat harganya agak turun. Jadi mereka tidak
bisa memutuskan sendiri berapa harga yang patut untuk barang terse-
but. Akhirnya disepakati bahwa seorang dari pembantu kios Kedai
Daging Bakar, bersama dengan seorang pengawal sang pemuda, pergi
ke Kedai Daging Bakar untuk menjemput Yok Seng. Sementara itu
Ma Siang dan Gu Yo melayani pemuda itu dan gerombolannya yang
akhirnya juga menjadi lapar. Mereka pun memesan makanan, dan
bukan hiasan daging kering, untuk mengisi lambung mereka yang
sudah tak tahan tergoda aroma daging yang menari-nari di udara.
*** Seorang pemuda tampak berada di suatu ketinggian bukit. Jauh di
selatan tempatnya berdiri tampak kota yang beru saja ditinggalkan-
nya. Kota Siaw Tionggoan. Kota yang sedikit banyak memberikan
kenangan kepadanya. Banyak peristiwa dalam dua minggu ia berada
di sana. Dari peristiwa yang menyedihkan seperti harus membantu
polisi untuk mengidenti"kasi jenasah Gu Ming dan Po Ting Hwa, atau
yang dikenalnya sebagai kakek Gu dan nenek Po, kedua orang yang
telah menolongnya; sampai yang menggembirakan, seperti lakunya
kuda daging kering Yok Seng sang pemilik Kedai Daging Bakar se-
nilai seribu lima ratus tigaan. Selain itu terdapat pula peristiwa haru,
yaitu bertemunya seorang ayah dengan anaknya yang telah lama di-
titipkan pada temannya. Siapa lagi kalau bukan Ceng-Liong Hui-To
dengan Ma Siang. Ma Siang ternyata adalah anak sang Naga Hijau
Pisau Terbang, yang memang dititipkannya pada sahabatnya Ma She.
Ia merasa kegundahannya dalam hidup tidak baik bila ia membesarkan
anaknya sendiri. 368 BAGIAN 6. TATO Setelah menghilang beberapa tahun, Ceng-Lion Hui-To atau yang
sekarang minta dipanggil Ceng Liok, telah dapat menemukan dirinya
sendiri dan bersemangat untuk hidup kembali. Oleh karena itu ia kem-
bali ke kota Siaw Tionggoan untuk menjemput anaknya. Orang yang
akan diajari ilmu-ilmunya. Orang yang akan menjadi satu-satunya
pewarisnya. Sebuah kejelasan itu muncul setelah terjadi pertarungan di panggung
saat puncak perayaan Musim Angin dan Air digelar, yaitu adu ilmu
silat. Saat seorang dari perwira dari pemerintah pusat berlaga dan
telah banyak menang, naiklah delapan orang pengacau. Su-Mo dan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat Begal Hutan. Mereka ingin memenangkan pertarungan itu,
menawan para tamu dan secara politis menyatakan bahwa kota Siaw
Tionggoan mulai saat itu adalah daerah kekuasaan mereka. Suatu
keberanian yang muncul akibat kedekatan mereka dengan salah seo-
rang pejabat kota itu dan juga di kota lain. Untung saja hal itu tidak
terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya nasib kota Siaw Tiong-
goan apabila tamu-tamu dari pemerintah pusat ditawan dan diminta
tebusan. Bisa hancur nama kota itu di depan mata pemimpin tlatah
tersebut. Atas kesigapan paturan yang dipimpin oleh inspektur San Cek Kong
dan juga munculnya kembali Ceng-Liong Hui-To, kedelapan orang
tersebut dapat ditanggulangi dan bahkan terluka parah. Gu Yo juga
sempat berhadapan kembali dengan Hek-Mo dan menggunakan kem-
bali jurus ampuhnya Jarum Terbang Debu Pasir yang membuat lawan-
nya kali ini hampir putus napasnya. Untung saja masih ada satu dua
napas dari Hek-Mo, jika tidak pesan yang disampaikan oleh kakek
Gu dan nenek Po lewat hipnotis pada saat-saat akhir hidup mereka
tidak bisa sampai kepada Gu Yo. Entah apa yang dibuat mereka
berdua, saat tubuhnya terluka parah oleh jurus Jarum Terbang Debu
Pasir, Hek-Mo bicara seperti orang melantur, menceritakan hal-hal
yang hanya dapat dimengerti oleh Gu Yo yang sedang berdiri di hada-
pannya. Setelah bercerita Hek-Mo pun kemudian tumbang, yang dis-
ambut dengan sorak-sorai pada penonton dan juga pandangan kagum
dari Ceng-Liong Hui-To, inspektur San Cek Kong dan juga Swee Sian
Lin. Berdasarkan keterangan dari mulut Hek-Mo, dapatlah Gu Yo menge-
tahui kepada siapa kitab yang diawali sajak "Pembicaraan Angin" itu
369 harus diserahkan. Dan orang itu bukanlah orang yang perlu susah-
susah dicarinya. Orang itu adalah Ma Siang, anak dari Ceng-Liong
Hui-To dengan seorang wanita. Wanita inilah yang sebenarnya meru-
pakan keturunan pemilik kitab tersebut. Akan tetapi dari hasil penga-
matan guru Gu Yo, wanita ini telah memiliki keturunan dari Ceng-
Lion Hui-To. Oleh karena itu cukuplah bila ia mencari keturunan
dari orang itu, dan bukan dari wanita tersebut. Salah satu sebab-
nya adalah karena Ceng-Liong Hui-To lebih dikenal orang ketimbang
wanita tersebut, sehingga diharapkan lebih mudah untuk ditemukan
anak keturunannya. Jadi apa sebenarnya isi dari kitab tersebut" Kitab yang dibawa Gu Yo
dan akhirnya diserahkan kepada Ma Siang tersebut berisi suatu ilmu
pemindahan tenaga dengan menggunakan tato yang dibuat khusus.
Dengan cara ini apabila tato seseorang yang juga menunjukkan hawa
apa yang dimilikinya dapat dipindahkan, maka hawa tersebut juga
akan ikut berpindah. Ilmu ini kemudian disalahgunakan oleh beber-
apa orang yang tidak membaca kitab tersebut secara keseluruhan.
Mereka mengira bahwa pemindahan tato dapat dilakukan dengan
mengambil tatonya secara paksa, mengeleteknya. Sebenarnya tidak.
Dalam bagian akhir dari kitab tersebut dijelaskan bahwa tato hawa
yang sebenarnya muncul akibat hawa tenaga dalam telah sampai
pada puncaknya dan bukan dibuat dengan merajahnya. Tidak seperti
tato-tato pada umumnya. Dan tato inilah yang ampuh untuk dipin-
dahkan. Sedangkan tato hasil rajahan, bila dipindahkan hanya akan
memindahkan kulit belaka tanpa ada kelebihan apa-apa.
Kesesatan ini yang kemudian dipahami secara salah oleh dua orang
dari Empat Begal Hutan. Dua orang yang menggali kuburan nenek
Po dan kakek Gu dan mengganggu jenasah mereka dengan mengeletek
tato-tatonya. Mereka berdua telah mencoba mengeletek tato-tato
orang-orang yang ditemui dan tidak dapat memanfaatkannya. Untuk
memancing keturunan dari Ceng-Liong Hui-To, yang mereka yakini
tahu akan pemanfaatan tato-tato tersebut, mereka pun mengirimkan
tato tersebut ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To dan juga ke kantor
polisi. Hanya saja yang belum jelas karena keduanya sudah keburu
tewas, adalah siapa dua orang yang telah juga dikletek tatonya. Ke-
dua tato segar yang ditemukan oleh para paturan.
Perpisahannya dengan Ma Siang atau lebih tepatnya Ceng Siang, lebih
370 BAGIAN 6. TATO berat dari sisi dara itu. Ia benar-benar merasa telah dekat dengan Gu
Yo sehingga tidak ingin pemuda itu jauh darinya. Bagi dirinya sendiri,
ia masih harus mencari tunangannya Citra Wangi. Menanyakan kepas-
tian hubungan mereka. Bila ternyata tidak seperti dulu yang telah
diikrarkan, ada kemungkinan ia akan mencari kembali Ceng Siang.
Mungkin. Selain Ceng Siang, adalah Yok Seng yang merasa berat berpisah den-
gan Gu Yo. Ia bahkan akan menggaji pemuda itu lebih tinggi, bila
ia masih mau bekerja padanya. Gu Yo hanya dapat tersenyum. Dan
dijelaskannya kemudian bahwa kota Siaw Tionggoan hanya persing-
gahannya. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Menun-
taskan utang-utang lama dari gurunya, si Maling Kitab.
Inspektur San Cek Kong dan Swee Sian Lin ternyata telah lama
memendam rasa di antara mereka. Berhubung mereka telah sama-
sama tidak memiliki orang tua, munculnya Ceng Liok yang bisa
dianggap sebagai pengganti orang tua, karena ia adalah saudara tua
perguruan, sekalian mereka berdua meminta restunya. Karena tidak
tahu setelah Ceng Liok kembali menghilang, kali ini dengan anaknya
Ceng Siang, bisa jadi entah kapan ia akan muncul kembali.
"Syukurlah, satu tugas sudah selesai," kata pemuda itu sambil tersenyum.
"Tugas baru kembali menjelang..," sambil berkata demikian ia mel-
ongok sedikit ke dalam tas yang ada disampirkan di pinggangnya. Di
dalamnya terdapat suatu kitab lain. Kitab yang juga harus dicari
pemiliknya atau tepatnya keturunan dari pemiliknya dan mengem-
balikannya. Agar tidak terlalu berat Gu Yo selalu menyembunyikan
kitab-kitab tugasnya di beberapa tempat, sisanya masih di Gunung
Hijau dan dijaga oleh para Troll. Satu per satu kitab-kitab itu akan di-
coba untuk dikembalikannya kepada orang-orang yang berhak. Suatu
pekerjaan yang entah sampai kapan baru selesai. Tapi yang penting
ia mencoba untuk melaksanakan wasiat dari gurunya tersebut. Guru
yang tidak pernah ditemuinya langsung, melainkan hanya melalui
berita para Troll. Setelah digenapkan tekad dan ditinggalkan kenangannya akan kota
Siaw Tionggoan, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya. Mengarah
ke utara. Melaksanakan tugas berikutnya. Entah apa yang akan dite-
muinya dalam perjalanan berikutnya ini.
371 Sang surya yang sudah agak condong ke barat pun kemudian tampak
malu-malu ditutupi awan-awan yang bergerak-gerak cepat ditiup an-
gin perbukitan di tempat itu, memandangi punggung pemuda yang
berjalan menuju arah utara. Pemuda yang mengemban tugas yang
berat. Tugas yang mungkin tidak bisa dituntaskannya seorang diri.
372 BAGIAN 6. TATO Bagian 7 Orang-orang Abadi "Misun, coba tengok apa makam yang kita cari sudah tidak lagi
dijaga!" ucap seorang berkulit putih pucat kepada rekannya seo-
rang berkulit merah. Orang yang dipanggil Misun, yang berarti
"saudara muda" dalam bahasa Sioux Lakota, itu berbegas bangkit
dari duduknya. Tak lupa ia menggapai kapaknya yang tadinya ditan-
capkan di dekat kakinya. Sepeninggal Misun, seorang berkata kepada yang tadi berbicara, "An-
gus, masih berapa lama kita perlu berada di tlatah ini. Selalu hujan
dan basah. Membuatku selalu merasa kelembaban." Yang berbicara
adalah seorang berkulit hitam legam dan berambut keriting, Dho-
ruba namanya. Nama yang dalam bahasa Swahili berarti "badai".
Orang yang dipanggil Angus tampak sedikit berpikir sebelum men-
jawab. "Entahlah, Dhoruba. Aku tidak tahu. Lebih baik engkau
tanyakan saja nona Siaw Liong."
"Bertanya kepada si Sesat Naga Kecil" Mending aku menjadi lem-
bab dan basah daripada mendengar penjelasannya yang mumet
itu," ucap Dhoruba sambil menunjukkan muka bergidik, seakan-akan
wanita yang dipanggilnya Sesat Naga Kecil benar-benar menggiriskan
hatinya. Tak lama kemudian Misun pun kembali. Seperti biasa sikapnya, ia tak
banyak bicara. Ia hanya mengisyaratkan dengan tangan bahwa tempat
yang mereka tuju telah tidak lagi dijaga. Hal ini berarti bahwa malam
373 374 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
ini mereka dapat menuntaskan tugas mereka dan mungkin esok hari
pergi dari tempat itu. Melanjutkan perjalanan mereka jauh ke barat.
Malam yang dinanti pun tak lama tiba. Dengan hanya diterangi oleh
bulan yang tertutup awan, ketiga orang tersebut, Angus McLeod,
Dhoruba dan Misun, berjalan perlahan menuju suatu lahan terbuka
di dalam Rimba Hijau. Di suatu tempat di mana belum lama ini tak
jauh dari sana terjadi pertempuran berdarah dan di atasnya kemudian
dibuat beberapa buah makam. Lima makam tepatnya.
Angus, sebagai seorang yang memegang pimpinan kala Shia Siaw
Liong tidak ada, dengan hati-hati berdiri di depan sebuah makam.
Berkonsentrasi dan bernapas dengan teratur. Ia mencoba merasakan
apa-apa yang mungkin bisa dirasakannya dari dalam makam tersebut.
Hal yang sama diulanginya sampai semua makam telah dicoba. Belum
ada petunjuk. Beberapa hari sebelumnya, dengan yakin Shia Siaw Liong mengatakan
bahwa salah seorang dari yang terbunuh itu adalah salah seorang dari
mereka. Oleh karena itu mereka harus membawanya dari sana. Melati-
hnya dan menjadikannya siap untuk menjadi seperti mereka. Setelelah
memberikan tugas itu, sang nona pun pergi mencari sesuatu di kota
Luar Rimba Hijau. Barang-barang yang ada hubungannya dengan
tugas kali ini. "Sulit.. Aku belum bisa merasakannya. Mungkin kuburnya terlalu pa-
dat sehingga ia tidak sempat terjaga," ucap Angus seakan pada dirinya
sendiri. Tiba-tiba ada semacam getaran di udara menyerang otaknya.
Membuat kepalanya berdenyut-denyut. Hal yang sama dirasakan pula
oleh kedua rekannya. "Ya, ini dia. Tapi terlalu sulit untuk menemukan berasal dari makam
yang mana," ucap Dhoruba.
Misun tampak berdiri di hadapan makam nomor dua dari tengah.
Didekatkannya telinganya pada tanah. Wajahnya tampak berubah.
Lalu dengan isyarat ia memberitahukan Angus dan Dhoruba apa yang
didengarnya. Ketiganya kemudian langsung membongkar makam
tersebut. *** 375 Pemuda itu hanya ingat saat sebuah sabit tajam dan panjang men-
gayun pelan dan menghujam punggungnya. Tembus sampai dada se-
hingga ia bisa melihat darahnya sendiri menghiasai senjata tersebut.
Setelah itu dirasakannya dingin dan gelap. Lalu kesadarannya hilang.
Sesekali ia seperti tersadar dari mimpi tapi kembali ia dihadapkan
pada ruang yang sempit dan juga basah. Bau tanah yang lembab juga
menyengat. Ia tidak ingat bagaimana bisa berada di tempat seperti
itu. Dan juga apa hubungannya dengan pertempuran yang lalu.
Sudah matikah ia" Inikah dunia yang dikunjungi orang setelah mati"
Atau ia hanya berada di dalam kubur, akan tetapi tidak mati"
Jawaban tak kunjung datang, melainkan hanya kesadaran yang datang
dan pergi. Setiap kali kesadaran muncul, rasa sakit yang menggila pun
timbul menyertainya. Membuatnya ingin menjerit sekeras-kerasnya,
tapi bagai tak ada suara yang keluar. Hal itu berlangsung berulang-
ulang. Berkali-kali. Sampai akhirnya ia pun pasrah dan menjalaninya.
Pemuda itu, Gentong, kembali tersadar dan menjerit tanpa suara.
Keringat deras mengalir dan juga kejangnya otot-otot. Kesadaran
kembali datang. Sebentar lagi, ya sebentar lagi kesadaran ini akan
hilang kembali seperti sebelumnya. Seperti itu, berulang-ulang sejak
pertempuran yang lalu. Tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara-suara di atasnya.
Suara-suara orang menggali-gali. Suara-suara yang mendatangkan
harapan baginya. Coba digerakkan tubuhnya, tapi tidak dapat. Kain
yang ditutupkan dimukanya hanya memberikan kegelapan. Himpitan
tanah di atasnya membuat napas yang kadang-kadang datang menjadi
sesak dan mulai menghilangkan kesadarannya.
Suara-suara yang ada di atasnya membuatnya kembali terjaga. Ia
berusaha sedapat mungkin untuk bernafas dengan rendah dan tidak
sampai kehabisan napas seperti keadaan berulang-ulang sebelum ke-
sadarannya hilang. Lambat-laun terdengar suara-suara tersebut se-
makin jelas dan keras. Dalam bahasa yang tidak dimengertinya, terucap kata-kata yang
menyatakan bahwa pengalian sebaiknya dihentikan. Mungkin karena
sudah dekat dengan orang yang dikuburkan. Lebih baik dilakukan
376 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
lanjut dengan tangan, agar tidak melukai orang yang dikubur itu.
Garukan-garukan tangan mulai terdengar. Perlahan tapi pasti mem-
buat aliran darah Gentong semakin cepat, dan ini fatal akibatnya. Ia
menjadi kembali sesak dan mulai kehilangan kesadaran. Gelap pun
kembali menjelangnya. Kesadarannya pun hilang lagi. Tak dirasakan-
nya saat ketiga orang yang menggali kuburnya, mengangkatnya dan
memanggulnya pergi. Sambil tak lupa seorang dari mereka kembali
merapikan kuburnya kembali, sehingga seakan-akan tidak ada apa-
apa yang pernah terjadi di sana. Jejak-jejak akan segera menghilang
ditelan hujan gerimis yang perlahan-lahan turun. Hujan yang seperti
mengamini perbuatan ketiga orang tersebut.
Sesosok pasang mata tampak bersinar dalam kegelapan. Tinggi
matanya tidak sampai sedada orang dewasa walaupun makhluk itu
berdiri di balik semak-semak. Ia tidak berbuat apa-apa. Hanya mem-
perhatikan apa yang baru saja terjadi di makam di lapangan rumput
tersebut. Sejenak ia menunggu sampai langkah-langkah kaki ketiga
orang tersebut tidak lagi terdengar, kemudian ia pun menghilang di
balik rerimbunan. *** Tiga orang tampak berjalan beriringan. Seorang tua dan dua orang
muda-mudi. Yang tua berbadan tegap dan berbusana kain bermotif
kasar yang berwarna sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau
muda. Kulitnya berwarna sedikit kebiruan, seperti warna urat-urat
darah orang yang kebiruan. Sedangkan sang gadis yang jelas ter-
lihat dari sisik biru kehijauan tubuhnya dan rambutnya yang hitam
keemasan, bahwa ia adalah seorang Undinen. Roh Air, begitu sebutan
orang-orang kepada jenis makhluk tersebut. Seorang yang terakhir,
sang pemuda, tampak biasa-biasa saja.
Ketiganya tampak berjalan perlahan dan tampak tak ada tujuan.
Sesekali mereka berhenti dan menikmati pemandangan alam yang ada
di hadapannya. Memang hari itu matahari bersinar tampak ditutupi
awan dan angin sepoi-sepoi bertiup, menciptakan hari yang indah dan
cerah. "Paman Wananggo..," tiba-tiba Undinen yang bernama Xyra itu
bertanya kepada orang yang tua, "ke mana kita akan mencari buah
377 dan akar tersebut?" Orang yang ditanya tidak langsung menjawab melainkan hanya
tersenyum-senyum saja. Geli ia melihat kekhawatiran sang gadis
kepada pemuda temannya itu. Orang lain pun sudah dapat mem-
perkirakan bahwa terdapat "apa-apa" di antara kedua muda-mudi
itu. "Nak Xyra, sabarlah! Tak akan lari waktu dikejar. Kita masih punya
waktu beberapa hari lagi, sebelum waktu bulan purnama tiba. Dan
tempat yang kita tuju itu, besok siang akan kita capai," jawab orang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua itu sambil kembali tersenyum. Lalu tambahnya, "dan di sana kita
butuh kemampuanmu sebagai seorang Undinen untuk menemukan
buah dan akar dari tanaman tersebut."
Sang Undinen pun mengangguk mengiyakan. Menyatakan tanpa suara
bahwa ia akan melakukan apa-apa yang perlu, asalkan orang yang
dikasihinya itu dapat sembuh kembali.
"Sekarang mari kita nikmati dulu indahnya hari ini. Dan juga tidak
lupa mengisi perut yang sudah berbunyi," ucap orang tua itu lagi. Bi-
asanya Wananggo tidak banyak bicara, entah kenapa setelah bertemu
dengan Xyra dan Lantang, ia merasa kerasan. Ia merasa kedua orang
itu sebagai bagian dari dirinya. Sebagai keluarga. Ya, Wananggo tidak
lagi memiliki keluarga. Istri dan anaknya telah meninggal karena sakit.
Sejak saat itu ia menjadi murung dan tidak tentu hidupnya. Baru be-
lakangan ini ia menyadari buat apa merusak dirinya sendiri dan pada
saat itulah ia bertemu dengan Lantang dan Xyra, yang kebetulan juga
memerlukan bantuan dirinya.
Tiba-tiba terdengar samar-samar suara deburan. Suara laksaan air
yang dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Air terjun.
"Nah itu tempat bermalam kita," ujar orang tua itu dengan gembira.
Lalu diajaknya kedua orang itu untuk bergegas memacu langkahnya
agar cepat mencapai tempat bermalam yang dimaksud.
Setelah mendaki sebuah bukit, tampak di baliknya sebuah pemandan-
gan yang mengesankan. Sebuah sungai besar tampak mengalir men-
jauh dari arah mereka dan kemudian menghilang di horison. Jatuh
ke bawah akibat tarikan bumi dan menimbulkan bunyi-bunyi deburan
378 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
menggelegar. Sebuah air terjun yang megah.
"Itu namanya Air Jatuh," jelas Wananggo. "Dulu di sini terdapat
banyak tempat pertapaan. Tapi semenjak Perguruan Atas Angin
melebarkan kekuasaannya, para petapa tersebut disuruh pergi atau
lebih tepat dipaksa pergi. Mereka menganggap daerah ini sebagai
daerah kekuasaannya."
"Dan kita akan menyusup ke sana?" tanya Lantang ingin tahu.
"Ya, tentu!" jawab Wananggo. "Tumbuhan yang aku ceritakan itu
tumbuh di salah satu pulau di bawah sana. Untuk itu kita perlu
menyusup ke dalam wilayah Perguruan Atas Angin. Mau tidak mau,
demi kesembuhanmu." Kedua muda-mudi itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Dan untuk itu, kita perlu tenaga dan konsentrasi. Sekarang lebih baik
kita mencari tempat yang baik untuk bermalam. Isi perut dengan baik
dan tidur," usulnya. "Besok pagi-pagi sekali kita mencari jalan masuk.
Semoga kita mendapat kesempatan yang baik, besok siang telah tiba
di pulau tersebut dan malamnya, saat bulan purnama, mengambil
tumbuhan tersebut pada waktu khasiat akar dan buahnya sedang pada
puncak-puncaknya." Kembali kedua orang muda di hadapannya mengangguk setuju dan
melakukan apa yang disarankan oleh orang tua tersebut.
*** "Bagaimana keadaannya?" tanya sebentuk suara merdu wanita.
"Masih "mati", nona Siaw Liong," jawab seorang yang ada di hada-
pannya. "Belum "hidup" dia?" tanya wanita itu kembali.
"Belum. Apa mau dipaksa?" kembali orang yang tadi menjawab, men-
gajukan usul. "Tidak, biarkan saja. Dulu juga, engkau Angus, perlu waktu dua
hari aku menungguimu sampai kau benar-benar hidup. Engkau sem-
379 pat mati-hidup-mati-hidup karena saat itu belum bisa menguasai
peredaran hawa yang beru engkau peroleh itu," ucap wanita itu sam-
bil tersenyum. Orang yang diingatkan akan hal tersebut hanya tersenyum saja. Ya, ia
ingat saat itu. Hawa dalam tubuhnya sangat kacau bergerak, sehingga
ia terluka dalam dan kembali "mati".
"Mana Dhoruba dan Misun?" tanya wanita itu kemudian setelah sunyi
sejenak di antara mereka.
"Misun seperti biasa sedang mengamati di atas pohon sana. Melihat
ke segala arah. Dhoruba sedang mencari makan malam kita," jawab
orang yang dipanggil Angus itu.
"Kita perlu bicara malam ini. Jumlah kita sudah cukup. Perjalan pu-
lang bisa dilakukan..," katanya pelan. Ia menekankan nada suaranya
pada kata-kata "perjalanan pulang", yang membuat Angus menjadi
sedikit berdesir. Ya, perjalan pulang. Selama ini adalah hal itu yang mereka cari.
Dan untuk itu perlu lima orang dari mereka-yang-tak-bisa-mati untuk
melakukannya. Sulit. Umumnya salah seorang dari mereka-yang-tak-
bisa-mati, saling baku-hantam satu sama lain, memperebutkan kepala
lawannya, untuk memperoleh tenaga, hawa dan pengetahuan yang
telah tercukupi. Hal-hal yang sebenarnya dapat diperoleh bersama-
sama apabila mereka berhasil "pulang" ke tempat asal mereka.
"Beritahu aku bila orang baru itu telah "hidup"," berkata kembali sang
wanita. Lalu ia pun berlalu dari sana.
Angus hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya sedikit
melayang. *** "Jadi..?" tanya seorang wanita pesolek yang berjalan mondar mandir
dalam ruangan itu. Kecantikannya yang aneh dan hasil bantuan pupur
dan bedak serta ilmu awet muda membuatnya sedikit aneh. Tapi pasti
tiada orang di luar ruangan itu yang berani menggugahnya. Ya, karena
ia adalah salah seorang dari pimpinan Perguruan Kapak Ganda, Cer-
min Maut. 380 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Baiknya kita matangkan saja rencana untuk menyerbu Air Jatuh
itu," ucap seorang dari mereka yang tampak sedang memain-mainkan
sejenis senjata yang merupakan alat untuk menuai padi. Sejenis sabit
besar. Ia memutar-mutarkan senjata itu ke sana-ke mari. Beberapa
pelayan yang berdiri di pinggir ruangan tampak ngeri, takut-takut
kepala mereka menjadi sasaran dari sabit tersebut. Tapi tampaknya
Sabit Kematian tak ambil pusing. Kadang malah ia sengaja memutar
sabitnya satu dua jari di atas kepala beberapa orang pelayan. Sudah
satu orang yang semaput dan kencing di celana saking takutnya.
"Aku setuju..," sahut sebuah suara lain. Seorang dari mereka. Seorang
yang tampak sedang menimang-nimang kukunya yang semakin kuning
gelap warnanya. Warna yang menunjukkan tingkat ganas racun yang
terdapat dalam kuku-kuku tangan tersebut.
"Baik jika begitu," jawab Cermin Maut kemudian, "kita hubungi
anak-murid dari dua kota lainnya agar mereka dapat segera bersiap-
siap." Seorang dari murid mereka yang ikut rapat tersebut segera mengambil
sejumlah perkamen kosong untuk ditulisi. Cermin Maut sebagai pimp-
inan yang mengurusi hal-hal kepemimpinan, tidak seperti dua orang
saudara seperguruannya yang malas untuk hal selain pertarungan, mu-
lai menuliskan pesan kepada pimpinan perguruan cabang Perguruan
Kapak Ganda yang berada di Kota Lembah Batu Langit dan Kota
Pinggiran Sungai Merah. Telah terdapat tiga perguruan besar di tiga
kota, termasuk di Kota Paparan Karang Utara. Tiga perguruan di
tiga kota yang terletak mengapit Kota Air Jatuh. Tempat perguruan
lawan mereka berada, Perguruan Atas Angin.
Segera setelah surat itu selesai dituliskan para murid yang bertu-
gas membawa pesan itu segera berangkat ke kota tujuannya masing-
masing. Sementara murid-murid Perguruan Kapak Ganda di Kota Pa-
paran Karang Utara tampak bersiap-siap untuk mengumpulkan sen-
jata dan perlengkapan untuk menyerang Perguruan Atas Angin di Air
Jatuh. *** Pertempuran antara dua klan Orang-orang Dataran Tinggi di Skot-
landia kerap terjadi. Antara yang jahat dan yang baik. Antara orang-
381 orang petani yang hanya mempertahankan tanah pertanian mereka
dan orang-orang yang gemar melakukan ekspansi, orang-orang yang
malas untuk bercocok tanam dan lebih gemar mengucurkan darah un-
tuk mengisi perut mereka.
Pertempuran kali ini pun amat serunya. Klan McLeod yang menjadi
sasaran dari klan Darkyzp, suatu klan ekspansionis dan brutal. Su-
dah berpuluh-puluh tahun klan Darkyzp berusaha menundukkan klan
McLeod tapi tak berhasil. Bukan hanya masalah perebutan wilayah
dan juga hasil pertanian, akan tetapi lebih cenderung pada masalah
politis. Jika saja klan Darkyzp dapat mengalahkan klan McLeod maka
semangat klan-klan lain untuk melawan akan menjadi runtuh. Klan
McLeod memang terkenal dengan semangatnya yang selalu meme-
nangkan pertempuran dan tidak agresionis.
Akan tetapi kali ini mungkin tidak seberuntung kali-kali lain. Dengan
mengontak orang-orang barbar liar, klan Darkyzp telah menjanjikan
orang-orang barbar atas budak-budak laki-laki dan wanita dari klan
McLeod yang dikalahkan. Suatu imbalan menggiurkan bagi bangsa
yang juga senang berperang itu. Walaupun tidak ada permusuhan
pribadi antara orang-orang barbar liar dan klan McLeod, akan tetapi
sebagai bangsa bayaran, mereka tidak pernah menampik tawaran yang
berharga. Jadilah mereka sekutu dari klan Darkyzp.
"Mereka datang!!" teriak seorang anak kecil dari atas pohon di sebuah
bukit. Ucapan itu langsung disahut-sahutkan oleh rekan dewasanya yang
berjarak beberapa tombak dari sana dan seterusnya. Menggaung-
gaungkan teriakan-teriakan ke seluruh daerah itu. Menandakan agar
semua bersiap untuk bertempur. Tua-muda, lelaki dan perempuan.
Mereka semua harus berjuang, karena jika kalah tidak ada ampung
bagi mereka. Seorang masuk ke dalam sebuah gubuk, "Angus, mereka datang."
"Hmm, benar seperti informasi yang kita terima. Berapa banyak?"
tanyanya kembali. "Tiga ratus ratus sampai lima ratus orang, setengahnya berkuda,"
jawab pembawa informasi tersebut.
382 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Dan orang-orang barbar liar ada di antara mereka?" tanya Angus
kembali. Yang ditanya hanya mengangguk saja. Cemas tampak dalam wajah-
nya. "Baiklah, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Apa boleh buat,
kita harus berperang habis-habisan kali ini," ucapnya lelah. Ya, ia
telah lelah beberapa pertempuran dalam beberapa bulan ini. Perlu
ada pemerintahan yang sah di Skotlandia, atau bangsa lain akan
masuk dan mengalahkan semua klan yang senang satu sama lain
berperang sendiri-sendiri ini.
Angus bukan pemimpin klan McLeod. Ia hanya anak dari pemimpin
yang lama. Ian McLeod, yang sedang terbaring sakit sejak pertem-
puran yang lalu. Mau tidak mau Angus harus sedikit berkontribusi
akibat posisi ayahnya. Saudaranya Joseph lebih suka berperang di
garis depan ketimbang memimpin dan berpikir strategi yang sulit-
sulit. "Kamu saja yang memimpin," begitu katanya suatu saat.
Jadilah ia, Angus McLeod, pemimpin ad interim atau sementara, se-
lama ayahnya belum sembuh.
Dengan segera mereka yang ada di sana mengangguk dan bergegas
keluar. Mereka telah membicarakan strategi untuk berperang melawan
klan Darkyzp kali ini. Strategi hantam kromo dan bergerilya berganti-
ganti. Untuk itu tempat-tempat di bawah tanah telah dibuat agar
mereka dapat sembunyi dan menyerang dengan cepat. Menjadikan
desa mereka, tempat tinggal mereka sebagai medan perang sebe-
narnya. Tak ada jalan lain. Bangsa barbar liar amat tangguh dalam
pertempuran satu lawan satu dan tempat terbuka. Panah klan Dark-
yzp juga amat berbahaya di lapangan. Lebih baik di desa mereka yang
dilindungi oleh batu-batu dan pohon-pohon. Di sela-selanya mereka
bisa bergerilya dan menyerang balik. Kondisi yang mirip dengan
Padang Batu-batu. Terompet dari tanduk pun ditiupkan. Semua siaga mengambil tem-
patnya masing-masing. Dari anak kecil sampai orang tua. Dari yg
sehat sampai yang cacat. Semuanya bersemangat untuk berperang
demi kebebasan mereka. Kebebasan untuk tetap hidup dan merdeka.
Ya, mereka telah mendengar bahwa lawan-lawan bangsa barbar liar
383 yang kalah akan dijadikan budak atau dijual. Dan mereka tidak
menginginkan hal itu. Tidak ingin kalah.
Pertempuran pun bergelora. Pertempuran yang tidak seimbang. Dua
kelompok besar orang-orang haus darah, klan Darkyzp dan bangsa
barbar liar, lawan klan McLeod yang walaupun memiliki semangat
dan kemampuan individu tinggi, tapi kalah dalam jumlah. Beberapa
orang klan McLeod yang berani memancing dan rela mati pertama-
tama, tampak menghadang gelombang serangan kedua kelompok haus
darah tersebut. Satu persatu dari mereka mencium tanah dengan
bersimbah darah, darah mereka sendiri, setelah mengajak satu dua
orang lawan mereka menuju alam lain.
Waktu pun berjalan. Jumlah yang jatuh terus bertambah. Dengan
adanya isyarat terompet tanduk, barisan terdepan pun berlarian, ma-
suk ke dalam desa. Pintu gerbang pun ditutup.
"Ghrrrrrg..!!" ucap seorang pempimpin barbar liar, yang dikepalanya
mengenakan tengkorak beruang.
"Cepat, jalan biarkan mereka lari!!" ucap yang lain, yang dikedua pun-
daknya mengenakan hiasan dua buah tengkorak bayi manusia, satu di
kiri dan satu di kanan. Gelombang penyerang pun beringsut maju. Tak terpikirkan oleh
mereka adanya siasat dari klan McLeod yang menanti mereka. Den-
gan bekal pendobrak batang kayu, mereka memukul-mukulkan pintu
gerbang. Memaksakannya untuk terbuka.
"Dukkkk!!!" gempuran pertama.
Orang-orang di belakang gerbang tersebut tampak menyusun-nyusun
tombak-tombak berujung tajam yang diarahkan membentuk sudut.
Sudut yang pas dengan dada kuda. Terlalu tinggi untuk dilompati
akan tetapi terlalu rendah untuk dihindari.
"Dukkkk!!" gempuran kedua bergema.
Blokade tombak-tombak telah siap dipasang. Sebagian dari klan
McLeod telah menyingkir. Hanya belasan yang tersisa untuk strategi
ini. Pandangan penuh semangat dan kerelaan untuk mati tampak
saling dilemparkan tanpa kata-kata. Kesetiaan dan penghormatan.
384 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Dukkkk!!! Kraakkkk!!" gempuran ketiga datang dan merupakan
batas ketahanan dari pintu gerbang desa itu. Pintu pun terbuka
dengan lebar. Bagai air bah kuda-kuda para penyerang mengalir masuk. Orang-
orang klan McLeod yang berjaga lansung menyerang dengan tombak
dan panah untuk mengalihkan perhatian para penyerang dari blokade
tombak yang dipasang. Akibatnya telah diduga, sebagian dari mereka langsung tersungkur
lengkap dengan kudanya dan menemui ajal bersamaan dengan berde-
bamnya tubuh mereka di atas tanah. Suatu hasil yang dinanti-
nantikan oleh strategi ini untuk mengurangi jumlah musuh. Dua
puluhan orang berhasil ditanahkan. Cukup untuk baik untuk blokade
sekecil itu. Di sela-sela batu dan rumah setelah masuk ke dalam desa melewati
blokade pintu gerbang, para penyerang mulai membantai siapa saja
yang ditemui. Sayangnya tidak banyak orang-orang klan McLeod
yang ada, telah banyak dari mereka bersembunyi. Menanti untuk
menyerang balik.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada yang aneh," seru seorang dari klan Darkyzp. "Klan McLeod
tidak sesedikit orang-orang yang telah mati tadi."
"Siapa yang tahu, mungkin sudah semua," ucap rekannya.
"Tidak mungkin. Bila sudah semua, tidak baik untuk perjanjian den-
gan mereka," katanya sambil melirik pada orang-orang barbar liar
yang masih berkuda dan berlari kesana-kemari mencari-cari korban
untuk ditangkap atau dibunuh.
Rekannya mengangguk. Lalu ia berlalu dan memerintahkan untuk
mulai mencari dipelosok-pelosok desa. Dibalik-balik jerami dan seba-
gainya. Semua dibolak-balik, tapi hasilnya nihil. Klan McLeod yang
tersisa seakan-akan hilang dari pandangan.
Beberapa orang barbar liar tampak gelisah dan marah dengan keadaan
ini. Mereka mengharapkan hasil yang banyak dalam bentuk tawanan
orang-orang McLeod yang kalah. Tapi apa yang mereka dapatkan.
Tidak ada. Semua orang menghilang di dalam desa itu.
385 Suasana yang tidak nyaman itu berlangsung cukup lama, sampai be-
berapa orang dari mereka menjadi tidak sabar dan mulai melakukan
pembakaran-pembakaran. Asap pun membumbung tinggi ke angkasa.
Menghiasi hari yang cerah itu. Menorehkan kesedihan atas pemban-
taian yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba, "Ceppp!! Cappp!!" sejumlah panah-panah menghambur
pada tubuh-tubuh sang penyerang. Panah-panah yang datang dari
arah pohon-pohon dan bukit-bukit batu di belakangnya.
"Grrrggghhh!! Di sana, di belakang desa!!" teriak seorang barbar liar.
Ia yang luput dari serangan panah, tidak seperti rekannya yang telah
hilang nyawanya, segera ia memacu kudanya. Kawan-kawannya yang
lain segera mengikuti arah perginya orang tersebut.
Di sana, di tempat yang telah dipersiapkan tampak sisa-sisa dari klan
McLeod berdiri. Di sela-sela batu-batu tampak mereka bersiaga. Tua
dan muda. Pria dan wanita.
Mereka menunggu datangnya musuh yang berlari dan berkuda. Me-
nunggu dengan harap-harap cemas, menunggu sampai saat-saat ter-
akhir, agar musuh dapat kembali dikelabui sehingga masuk perangkap.
Dan kali ini pun kembali berhasil. Musuh yang tidak menyangka
bahwa di hadapan mereka terdapat parit yang cukup lebar dan
dalam, yang ditutupi oleh kayu-kayu dan ranting. Mereka tertipu
dengan anggota klan McLeod yang berlari melewati perangkap terse-
but. Ya, orang tersebut berlari di atas tongkat-tongkat kayu yang
sengaja dibuat sehingg terlihat seolah-olah tidak terdapat perangkap
di sana. Akibatnya terjatuhlan sekitar belasan penunggang kuda dan peny-
erang yang berjalan kaki. Mati. Beberapa patah tulangnya dan lain-
nya terlempari tombak dan batu dari atas parit.
Setelah parit terkuak, mudah untuk dihindari. Sisa dari penyerang
masih berjumlah cukup banyak. Dan sekarang pertempuran sebe-
narnya berlangsung. Anggota klan McLeod berlari-lari di sela-sela batu-batu dan pohon.
Menghindar dan menyerang balik. Cukup banyak jatuh korban di an-
386 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
tara mereka dan juga penyerang. Darah pun mengalir deras memer-
ahkan tanah-tanah di sekitar tempat itu.
Matahari pun tak tahan dan turun dari puncak tertingginya hari itu.
Ia menangis melihat banyaknya darah yang tertumpah hanya akibat
ambisi sedikit orang. Teriakan-teriakan penambah semangat masih terdengar dari kedua be-
lah pihak. Tapi bisa dipastikan bahwa klan McLeod tidak akan mem-
peroleh kemenangan. Walaupun musuh sudah separuhnya habis, tapi
mereka masih tiga kali lebih banyak dari anggota klan McLeod yang
hidup. Jumlah yang tidak seimbang, ditambah dengan masih adanya
kuda dan kekejaman mereka. Lain halnya dengan klan McLeod yang
hanya mempertahankan hidup, walaupun mereka bersemangat tinggi,
tapi lambat-laun dengan melihat semakin banyaknya keluarga mereka
yang mati, semakin lemahlah semangat mereka. Tapi ada satu hal
yang harus dihormati, bahwa mereka tidak rela ditangkap dan di-
jadikan budak. Mereka berjuang sampai titik darah penghabisan.
Hari itu menjadi hari yang paling gelap dalam sejarah klan McLeod.
*** Pemuda bertubuh subur dan besar itu akhirnya membuka matanya.
Mula-mula apa yang tampak tidaklah terlalu jelas. Semua kabur dan
berkabut. Lambat laun mulai jelas. Dan ia melihat kurang lebih
beberapa orang yang sedang mengamati atau berada di sekelilingnya.
Tiga-empat orang. Orang-orang yang berbeda satu sama lain.
Hal lain yang segera menggugahnya adalah rasa aneh dalam kepalanya,
berdenyut-denyut tak beraturan. Berdenyut-denyut seakan-akan
memberitahukan ada sesuatu yang baru, sesuatu yang kontak lang-
sung dengan kepalanya. Perlahan-lahan ia memegangi kepalanya.
"Lihat, ia mulai merasakan "kontak" di antara kita," ucap seorang yang
berkulit hitam legam dan berambut keriting.
"Hmmm," hanya itu jawab temannya yang berkulit kemerahan di se-
belahnya. Seorang berkulit putih pucat tampak mendatanginya, memperhatikan-
nya dari dekat. Lalu ia mengulurkan tangannya dan membantunya
387 bangun. Jauh beberapa kaki darinya tampak seorang wanita yang
melihatnya dan tersenyum. Entah apa maksud dari senyum itu.
"Well, what is your name?" tanya orang yang tadi membantunya ban-
gun dalam suatu bahasa yang tidak dimengertinya.
"Apa" Apa maksudmu?" tanya pemuda itu. Ia tidak mengerti apa
yang diucapkan oleh orang yang berada di hadapannya tersebut.
"I think he speaks with a local language here. Is there someone knows
that language?" tanya orang itu kepada rekan-rekannya.
"I try with other language," sahut seorang dari mereka. "Kumpel,
verstehst du, was ich sage" Kannst du Deutsch sprechen?"
Kembali pemuda bertubuh subur dan besar itu menggeleng, menun-
jukkan bahwa ia tidak mengerti juga apa yang diucapkan oleh orang
tersebut. Sekarang giliran orang yang berkulit merah itu, "Watashi wa Misun
desu. Anata wa donata desu ka?" Ia sambil berkata itu menunjuk
pada dirinya sendiri dan kemudian pada pemuda itu.
Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Lalu mereka bertiga memandang kepada orang keempat yang tampak
sedang memperhatikan kejadian itu. Ia, sang wanita, lalu beranjak
mendekati. "Saya, Shia Siaw Liong. Dia Dhoruba, Misun dan Angus McLeod,"
katanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri, orang hitam berambut
keriting, orang berkulit merah dan orang berkulit pucat tadi.
"Saya Gentong," jawab pemuda itu. Kali ini ia mengerti apa yang di-
ucapkan oleh wanita itu, walaupun bagi kupingnya masih kedengaran
kaku untuk seorang pembicara menggunakan bahasa dari Tlatah Ten-
gah ini. Lalu dengan perlahan, gadis itu menjelaskan apa yang terjadi pada
Gentong. Perlahan agar pemuda itu tidak kaget mengenai apa yang
menantinya sekarang, setelah ia menjadi salah seorang dari mereka-
yang-tak-bisa-mati. Penjelasan yang tenang dan pelan, serta dibawa
388 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
oleh suara yang merdu itu, tak urung membuat warna wajah sang
pemuda sempat berubah-ubah. Pucat, merah, lalu kembali pucat.
Dan akhirnya tampak tegan.
"Sekarang, kami biarkan dulu engkau sendiri, perlahan-lahan untuk
mencerna apa yang baru saja aku ceritakan," ucap wanita itu. Lalu ia
memberi isyarat kepada ketiga rekannya untuk sedikit menjauh, mem-
berikan kesempatan kepada pemuda yang baru saja "hidup kembali"
itu waktu untuk merenung dan berpikir.
Gentong, sang pemuda, tampak sekali "shock" dengan berita yang di-
dengarnya. Ia telah mati dan dikuburkan. Dan sekarang bangkit lagi
sebagai seorang mereka-yang-tak-bisa-mati. Suatu hal yang baru kali
ini didengarnya. Tanpa terasa ia meraba dadanya, mencari-cari lubang
tempat sabit yang digunakan Sabit Kematian keluar membawa darah
dan dagingnya setelah terlebih dahulu masuk dari punggungnya. Su-
atu bacokan yang mengantarnya ke liang kubur.
*** Kesibukan-kesibukan tampak terlihat di suatu bagian dari Kota Lem-
bah Batu Langit, Kota Pinggiran Sungai Merah dan Kota Paparan
Karang Utara, tepatnya di bagian di mana cabang-cabang pergu-
ruan Kapak Ganda berada. Perlengkapan dan bahan-bahan tampak
dikumpulkan di atas kereta-kereta yang ditarik oleh kuda. Bahan-
bahan berupa makanan dan senjata. Perlengkapan seperti untuk
melakukan perang. Ya, perang! Memang demikian halnya. Ketiga
cabang perguruan silat tersebut, yang pusatnya berada di Kota Pa-
paran Karang Utara memang sedang mengadakan persiapan untuk
melakukan penyerbuan ke perguruan silat lawan mereka, Perguruan
Atas Angin. Terdapat dendam kesumat antara kedua perguruan silat
tersebut. Suatu hutang lama yang disebabkan oleh pertikaian sepele
antar keduanya. Kali terakhir Perguruan Atas Angin telah membantai habis Pergu-
ruan Kapak Ganda, yang saat itu baru memiliki satu cabang, yaitu di
Kota Paparan Karang Utara. Hal yang tidak diketahui oleh Perguruan
Atas Angin pada saat itu adalah kawan-kawan atau saudara pergu-
ruan ketua yang lama baru saja datang, selepas pembantaian terjadi.
Mereka-mereka ini kemudian membangun kembali perguruan terse-
389 but. Membuka cabang di dua kota lainnya, mengumpulkan banyak
anak dan murid untuk membalaskan dendam rekan mereka yang di-
bunuh. Rekan mereka itu bernama Naga Geni, ketua Perguruan Ka-
pak Ganda, yang dibunuh oleh Ki Jagad Hitam, yang saat itu adalah
ketua Perguruan Atas Angin.
Sebenarnya ketua Perguruan Atas Angin saat ini, yaitu Tapak Kelam,
sudah mendengar akan adanya desas-desus penyerbuan ke perguruan
silatnya oleh perguruan lawan, tapi seperti biasa, orang yang merasa
kuat meremehkan apa-apa yang dianggapnya tidak memiliki kekuatan
apa-apa. Jadilah serangan Perguruan Kapak Ganda berhasil dengan baik.
Mereka mengepung Perguruan Atas Angin dari tiga penjuru. Penjuru
ke empat tidak perlu karena berbukit-bukit terjal dan tidak mungkin
dilalui. Perguruan Atas Angin bagaikan mangsa yang tersudut di
pinggir ruangan. Dari tiga arah telah datang penyerbu dan di be-
lakangnya terdapat tembok tinggi yang menghalanginya untuk kabur.
Tembok tinggi berupa bukit-bukit tinggi dihiasi air-air terjun. Air
Jatuh. *** "Jadi itu kisahmu, Gentong?" tanya Shia Siaw Liong pada pemuda
subur dan besar itu, yang diiyakan dengan anggukan kepala oleh sang
pemuda. "Baiklah jika begitu, kami akan menolongmu membalaskan dendam
guru dan saudara-saudaramu," ucap gadis itu lagi, "dan setelah itu
engkau membantu kami menuntaskan misi kami."
Kembali pemuda mengangguk.
Sementara itu tiga orang yang lain tampak agak tegang. Ya, pertem-
puran. Mereka bukannya anti pertempuran. Pertempuran bisa
dikatakan adalah sesuat yang telah ada dalam darah mereka. Men-
galir bersama sari-sari makanan dan udara yang dibawa darah.
Mengisi sela-sela kecil nadi dan urat dalam tubuh mereka. Men-
jadi mereka-yang-tak-bisa-mati adalah suatu keadaan yang senantiasa
mendekatkan diri mereka pada pertentangan, bahkan pertempuran.
Setidaknya pertentangan terhadap orang-orang yang menganggap
390 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
mereka ini, orang-orang yang tak bisa mati, sebagai orang-orang yang
tidak normal dan harus diajuhi. Harus disingkirkan.
Misun hanya menggumam pelan. Tandanya ia tidak keberatan. Dho-
ruba hanya tersenyum kecil. Sedangkan Angus McLeod tampak
menghela napas, tapi tidak menyatakan keberatannya. Setelah meli-
hat ini semua kemudian Shia Siaw Lion berkata, "Baiklah. Jika
demikian telah diputuskan. Besok, pagi-pagi sekali, kita berangkat
ke Kota Paparan Karang Utara. Kudengar-dengar di sanalah pusat
Perguruan Kapak Ganda, tempat di mana orang yang membunuh
guru dan saudara-saudara seperguruan Gentong berada."
Setelah itu kelimanya kemudian bersiap-siap untuk beristirahat.
Misun masih mendekati Gentong, menanyakan senjata apa yang akan
digunakannnya nanti, saat menyerang Perguruan Kapak Ganda. Gen-
tong hanya menggelengkan kepala, menyatakan bahwa ia tidak pernah
sebelumnya menggunakan senjata. Hanya kepalan tangan dan kaki
yang biasa digunakan. "Tidak efektif untuk menghadapi banyak anak-murid perguruan itu,
jika dengan tangan kosong. Lebih baik engkau kuajari menggunakan
kapak dan panah," usulnya.
"Baik, terima kasih!" ucap Gentong. Ya, ia sadar. Ia kemudian
teringat pada pertempuran terakhir yang membawanya "mati", bahwa
dalam pertempuran, bukan pertandingan satu lawan satu, senjata
memegang peranan penting. Dapat menghemat tenaga untuk men-
gurangi lawan dengan cepat.
"Dalam perjalanan ke sana, kira-kira kita butuh tiga hari, pasti engkau
sudah bisa," kata Misun meyakinkan.
Gentong mengangguk mengiyakan.
Atas isyarat dari Shia Siaw Liong, api pun dimatikan dan mereka pun
mulai tidur, untuk besok pagi-pagi sekali bangun dan pergi ke Kota
Paparan Karang Utara. *** "Paman Wananggo.., sudah pagi!" ucap Lantang sambil menggugah-
gugah bahu seorang tua yang sedang tertidur meringkuk dengan
391 enaknya. Dengkurnya yang teratur menunjukkan betapa pulas orang
tua itu tidur. "Eh.., ah.., apa" Sudah pagi?" jawabnya gelagapan. Tampak sebagian
"roh"-nya masih ada di alam mimpi.
"Iya, paman, lihat ke sana!" ucap Xyra sambil menunjuk ke arah
timur. Langit sudah agak mulai terang di sana. Warna kuning
keemasan dan sedikit merah agak mulai terlihat di ufuk tersebut.
Manusia Muka Kucing 1 Pendekar Bayangan Sukma Tiga Ksatria Bertopeng Pedang Golok Yang Menggetarkan 20