Harta Karun Kerajaan Sung 1
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 " Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01 01.1. Balas Dendam Kongcu Brengsek
Siang hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi Shantung diliputi mendung tebal. Pertanda akan turun hujan tampak jelas. Orang-orang segera bersiap-siap, yang berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk berteduh. Toko-toko banyak yang tutup karena biasanya kalau hujan turun dengan deras maka air hujan yang terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam toko. Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena mereka bergegas pulang agar tidak kehujanan di jalan. Bukan hanya manusia yang bersiap-siap menghadapi curahan air hujan di langit. Burung-burung yang beterbangan pun pulang ke sarang mereka.
Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar di angkasa berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan dituangkan dari langit.
Seperti juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal yang sewajarnya itu mendapat tanggapan berbeda-beda. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh turunnya hujan, seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka mereka yang merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan menganggap bahwa hujan merupakan peristiwa buruk yang amat merugikan mereka. Sebaliknya, mereka yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani yang membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka, para pedagang payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur dan merasa gembira dengan turunnya hujan dan mereka menganggap hujan merupakan peristiwa baik yang menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia, apa yang disebut baik atau buruk itu hanya merupakan pendapat orang-orang. Bagi yang menguntungkan dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap buruk!
Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan sebuah peristiwa alam yang wajar. Orang bijaksana yang menganggap hujan itu wajar saja, akan dapat berusaha melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan dapat memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya. Kalau tidak mau kehujanan, pakailah payung atau pergi mencari tempat berteduh tanpa mengeluh! Kalau datang hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah saluran air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan air itu ke tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana selalu dapat memanfaatkan apa pun yang terjadi di dunia dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam ke dalam kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.
Hujan baru reda setelah lewat tengah hari. Biarpun kini sisa hujan masih ada, air turun rintik-rintik dan jarang, namun sinar matahari yang mulai condong ke barat membuat suasana menjadi cerah kembali.
Tiba-tiba serombongan orang berkuda menarik perhatian penduduk Cin-yang. Rombongan itu adalah pasukan Kerajaan Mongol. Jumlah mereka sekitar tiga losin orang, dipimpin oleh seorang panglima yang berpakaian mewah, bertubuh tinggi besar, matanya sipit dan mukanya brewok. Pasukan itu tampak gagah dan galak. Di sampingnya terdapat seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Panglima itu berusia sekitar empatpuluh tujuh tahun.
Mereka yang mengenal panglima ini, berbisik-bisik memberi keterangan kepada orang di dekatnya, dengan suara lirih dan gentar.
"Wah, panglima itu adalah Panglima Besar Kim Bayan yang terkenal galak dan kejam. Dia adalah ayah dari Kongcu (Tuan Muda) Kim Magu yang mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang!"
Mendengar ini, semua orang menjadi gentar, apalagi mereka yang mempunyai anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa dan yang memiliki wajah lumayan. Mereka segera menyuruh anak mereka untuk bersembunyi!
Akan tetapi sekali ini, pasukan perajurit yang dipimpin oleh Panglima Kim Bayan tidak mempedulikan penduduk Cin-yang dan pasukan itu langsung saja menuju ke gedung Yo Bun Sam atau Yo-thaijin (Pembesar Yo) yang menjadi pembesar kepala daerah di Cin-yang. Setelah memasuki halaman gedung itu, Panglima Kim Bayan memerintahkan anak buahnya untuk turun dari punggung kuda dan siap berjaga di luar menanti perintahnya. Kemudian dengan langkah gagah dia memasuki pendapa gedung itu, diiringkan puteranya, yaitu Kim Magu, pemuda Mongol yang tinggi besar bermuka hitam.
Panglima Kim Bayan adalah panglima yang mengepalai seluruh pasukan yang berada di Propinsi Shantung sampai ke selatan. Karena tugasnya meliputi daerah yang luas, di mana dia sering melakukan kunjungan untuk menerima laporan dan meneliti keadaan, maka dia jarang pulang ke gedungnya yang berada di kota Cin-yang. Apalagi akhir-akhir ini dia sibuk melakukan pengejaran terhadap harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Lebih dati satu tahun dia tidak pulang ke Cin-yang.
Ketika kemarin dia pulang ke Cin-yang, dia menerima laporan dari putera tunggalnya, Kim Magu, yang membuat dia marah bukan main. Pemuda muka hitam itu melaporkan betapa dia dan sahabatnya yang bernama Kui Con, yaitu putera Kui-thaijin kepala pengadilan di Cin-yang, telah mengalami penghinaan, disiksa dan digantung di sebuah pohon di tepi jalan sehingga semua penduduk dapat melihat mereka tergantung dengan kepala di bawah. Pada tempat itu terdapat tulisan bahwa Kim Magu dan Kui Con adalah pemuda-pemuda jahat yang mengandalkan kekuasaan ayah mereka yang tidak mampu mendidik mereka dan sekarang mendapat hajaran keras agar jera.
Kim Magu menceritakan hal ini kepada ayahnya sambil menangis karena dia merasa terhina sekali. Sejak peristiwa itu, dia dan Kui Con segan untuk keluar rumah karena pandangan para penduduk terhadap mereka tampak mengejek dan sinis.
Kim Bayan yang sedang minum arak, terbelalak mendengar laporan puteranya itu. Dia membanting guci arak sehingga hancur dan tangannya menampar ujung meja marmar sehingga pecah. Matanya yang lebar mengeluarkan sinar penuh kemarahan.
"Jahanam busuk! Siapa berani berbuat demikian kurang ajar terhadap Anakku"!"
"Ia seorang gadis pendekar yang dijuluki Pek-eng Sianli, Ayah."
Kim Bayan semakin marah sehingga dia bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Pek-eng Sianli" Itu adalah julukan dari Liu Ceng! Keparat! Gadis itu berani menghinamu seperti itu" Mengapa ia berbuat seperti itu?"
"Begini, Ayah. Aku dan Kui Con bertemu dengan seorang gadis bernama Siok Eng dan encinya bernama Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung. Kami tertarik sekali dan terus terang saja, aku jatuh cinta kepada Siok Eng. Kami mengajukan pinangan, Siok Eng hendak kujadikan selirku, dan Kui Con ingin berkenalan dengan Siok Hwa. Akan tetapi tiba-tiba muncul Pek-eng Sianli dan kami berdua ia serang kemudian kami ditotok dan digantung di pohon itu."
"Keparat! Kapan hal itu terjadi?"
"Sudah lama, Ayah. Sudah lewat belasan bulan yang lalu."
"Hemm, kenapa engkau diam saja" Setelah Liu Ceng pergi, mengapa engkau tidak menghajar keluarga Siok itu untuk membalas dendam?"
"Aku tidak berani, Ayah. Pek-eng Sianli itu menitipkan keluarga Siok kepada Kepala Daerah Yo Bun Sam. Ayah Kui Con, Kepala Pengadilan Kui Hok, dipanggil dan ditegur oleh Yo-thaijin. Kami diancam agar jangan mengganggu keluarga Siok. Maka aku hanya dapat menanti Ayah pulang. Selama ini aku jarang keluar rumah, Ayah. Aku malu sekali atas penghinaan itu." Tentu saja Kim Magu tidak menceritakan bahwa dia menyuruh Lai Koan, perwira pelaksana pencari pekerja paksa di Cin-yang yang kini dihukum atas tuntutan Yo-thaijin, untuk memaksa dua orang wanita itu agar ditangkap dan diserahkan kepada dia dan Kui Con.
"Bangsat Kepala Daerah Yo Bun Sam! Dia kira dia itu siapa berani menghina anakku dan berani bersekongkol dengan Liu Ceng, gadis pemberontak itu" Mari kita datangi dia!" Demikianlah, setelah hujan deras reda dan tinggal gerimis, Kim Bayan mengajak puteranya, dikawal tiga losin perajurit, berangkat berkuda ke gedung tempat tinggal Kepala Daerah Yo Bun Sam. Setelah pasukannya siap berjaga di luar gedung, Kim Bayan dan Kim Magu memasuki gedung.
Para perajurit pengawal di gedung itu tentu saja ketakutan ketika melihat Panglima Kim Bayan dengan pasukannya. Mereka cepat melaporkan kunjungan panglima itu kepada Yo-thaijin.
Pembesar Yo Bun Sam adalah seorang Pribumi Han yang karena lulus ujian negara dengan baik lalu menerima pangkat. Setelah bekerja beberapa tahun lamanya di kota raja dan ternyata dia memang cakap memegang jabatannya, dia menerima kenaikan-kenaikan dan akhirnya dia diangkat menjadi kepala daerah di Cin-yang. Pemerintah Kerajaan Mongol memang pandai menggunakan tenaga orang-orang pribumi Han yang pandai untuk membantu kelancaran roda pemerintahan. Seorang kepala daerah pribumi Han tentu akan lebih ditaati oleh penduduknya. Dan memang benar, setelah Yo Bun Sam menjadi kepala daerah Cin-yang, daerah itu aman karena Yo-thaijin ini bersikap bijaksana dan adil, berani menentang pejabat yang jahat dan membela rakyatnya.
Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Panglima Kim Bayan, seorang panglima perang yang tentu saja memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada dia. Maka mendengar kunjungan Panglima Kim Bayan, Yo-thaijin cepat mengenakan pakaian kebesarannya dan menyambut. Mereka bertemu di ruangan depan dan Yo-thaijin segera menyambut dengan sikap hormat.
"Ah, kiranya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim) yang datang berkunjung! Silakan duduk, Ciangkun!"
Akan tetapi Kim Bayan menanggapi sambutan ramah dan hormat itu dengan mata melotot marah. "Yo Bun Sam! Aku datang bukan untuk duduk denganmu. Aku datang mau bertanya, mengapa engkau berani mati menyuruh seorang gadis pemberontak untuk menghina puteraku Kim Magu ini beberapa bulan yang lalu! Hayo jawab!"
Yo Bun Sam segera dapat mengetahui apa yang menyebabkan panglima itu datang dan marah-marah kepadanya. Dia tetap tenang lalu menjawab.
"Kim Thai-ciangkun, harap Ciangkun bersabar dan saya dapat memberi penjelasan tentang peristiwa itu. Saya sama sekali tidak mengenal gadis itu dan apa yang ia lakukan terhadap Kim-kongcu sama sekali tidak saya ketahui dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Mestinya kemarahan Ciangkun itu ditujukan kepada gadis itu, bukan kepada saya karena saya tidak pernah berurusan dengan Kim-kongcu, apalagi menghinanya."
"Akan tetapi engkau mengirim Lai Koan ke penjara dan engkau menegur Kepala Pengadilan Kui, dan engkau melindungi keluarga Siok!" tiba-tiba Kim Magu berseru nyaring, membentak dengan marah.
"Kim Thai-ciangkun dan Kim-kongcu, dengarlah penjelasan saya yang jujur dan apa adanya. Saya sama sekali tidak mencampuri urusan gadis pendekar itu dan Kim-kongcu......"
"Gadis pendekar" Pek-eng Sianli Liu Ceng itu adalah seorang gadis pemberontak!" bentak Kim Bayan.
"Terserah Ciangkun hendak menyebutnya sebagai apa. Saya tidak mempunyai hubungan dengannya dan apa yang saya lakukan hanyalah sesuai dengan tugas saya sebagai kepala daerah yang harus mengatur dan menjaga agar Cin-yang ini aman dan tenteram. Ketika saya didatangi keluarga Siok yang minta perlindungan ke sini dan mendengar apa yang dilakukan oleh Perwira Lai Koan, tentu saja saya harus bertindak. Saya melindungi mereka karena sebagai penduduk Cin-yang mereka yang tidak berdosa itu terancam keselamatannya. Mendengar bahwa Lai Koan melakukan penyelewengan dalam tugasnya mengumpulkan pekerja bakti, sewenang-wenang menggunakan kekerasan dan menerima uang sogokan, setelah melihat bukti-buktinya, saya lalu menuntutnya ke pengadilan dan dia dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya, bukan" Saya lalu menegur Kepala Pengadilan Kui karena dia pun bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga Siok. Tentang perlindungan yang saya berikan kepada Chao Kung, isterinya, ayah mertua dan adik iparnya, hal itu sudah sewajarnya. Penduduk Cin-yang siapa saja yang minta perlindungan kepada saya dan mereka memang tidak berdosa dan diperlakukan sewenang-wenang, pasti akan saya lindungi. Nah, demikianlah, Kim Thai-ciangkun. Saya hanya memenuhi kewajiban saya dan sama sekali tidak mencampuri urusan Kim-kongcu dan gadis itu."
"Yo Bun Sam! Keluarga Siok itu menggunakan seorang gadis pemberontak sebagai pelindung, berarti mereka adalah keluarga pemberontak pula! Dan engkau melindungi mereka, biarpun engkau tidak langsung menjadi pemberontak, berarti engkau sudah bersekongkol dengan pemberontak! Puteraku telah dihina, berarti akulah yang dihina! Hayo cepat berlutut dan minta ampun, baru aku mungkin dapat mengampunimu!" bentak Panglima Besar Kim Bayan.
Wajah Yo Bun Sam berubah merah dan matanya bersinar penuh kemarahan. Dia adalah seorang yang berjiwa patriot, dalam arti kata bukan menentang penjajah Mongol dengan kekerasan, melainkan berusaha mencapai kedudukan agar dengan kekuasaannya dia dapat membela rakyat bangsanya. Dia seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dalam membela keluarga Siok dia sama sekali tidak merasa bersalah. Maka, kini diancam dan digertak agar dia berlutut minta ampun" Tentu saja dia tidak sudi melakukannya!
Dia teringat akan riwayat para patriot yang rela berkorban nyawa untuk bangsanya, seperti Patriot gagah perkasa Jenderal Gak Hui, dan masih banyak lagi. Dia pengagum mereka, maka biarpun dia memiliki kedudukan cukup tinggi, Yo Bun Sam tidak pernah bertindak sewenang-wenang, belum pernah mau menerima sogokan dan tidak pernah melakukan korupsi sehingga dialah satu di antara pejabat yang tidak menjadi kaya raya. Kini bangkit kemarahannya mendengar Kim Bayan memaksanya berlutut minta ampun.
"Kim Thai-ciangkun!" katanya dengan sikap tegak dan gagah. "Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Ciangkun ataupun terhadap Kim-kongcu. Mengapa saya harus berlutut minta maaf" Berlutut minta ampun berarti mengakui kesalahan, padahal saya tidak bersalah apa-apa."
"Engkau tidak mau berlutut minta ampun?" bentak Kim Bayan dan kemarahannya memuncak.
"Saya tidak dapat melakukan itu, Ciangkun!"
"Yo Bun Sam! Engkau pelindung pemberontak! Engkau berani menentang dan melawan aku?"
"Saya tidak menentang Ciangkun......"
"Jahanam!" Kim Bayan bergerak cepat, tangan kanannya memukul dengan telapak tangan ke arah dada Yo Bun Sam! Pembesar tinggi kurus yang tidak pernah belajar silat itu tidak dapat mengelak maupun menangkis. Pukulan itu cepat sekali datangnya dan mengandung tenaga yang amat dahsyat.
"Syuuuuttt...... desss!!" Tubuh tinggi kurus Kepala Daerah Cin-yang itu terlempar ke belakang, menabrak dinding dan roboh menelungkup, tewas seketika. Darah mengucur dari mulut, hidung dan telinganya!
Setelah memukul mati Yo Bun Sam, kemarahan Kim Bayan mereda.
"Hayo kita pulang!" katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah lebar keluar dari gedung itu. Dia tidak mempedulikan ratap tangis yang segera terdengar riuh rendah di ruangan depan itu.
Setibanya di halaman gedung, Kim Bayan hendak memberi isyarat kepada pasukannya untuk berangkat pulang. Akan tetapi Kim Magu segera berkata.
"Ayah, aku minta pinjam selosin perajurit untuk memberi hajaran kepada keluarga. Siok!"
"Hemm, terserah!" Kim Bayan lalu pergi diikuti dua losin perajurit karena yang selosin ditahan Kim Magu.
Dengan bangga dan girang, Kim Magu lalu memimpin selosin orang perajurit itu, duduk di atas punggung kudanya dengan wajah berseri dan dada dibusungkan, mula-mula dia pergi ke rumah Kui Con. Dia mengajak sahabat baiknya itu untuk "membalas dendam" kepada keluarga Siok. Tentu saja Kui Con, putera tunggal Kepala Pengadilan Kui Hok, merasa gembira sekali mendengar bahwa Yo-thaijin telah dibunuh oleh Panglima Kim Bayan.
Sejak dulu, Kui Con memang tergila-gila kepada Siok Hwa, enci Siok Eng atau isteri Chao Kung. Dulu pun ketika Kim Magu ingin mengambil Siok Eng sebagai selir, dia sendiri ingin mendapatkan Siok Hwa sebagai kekasihnya walaupun Siok Hwa telah menjadi isteri orang lain. Kini tiba saatnya untuk membalas dendam dan melaksanakan hasrat hatinya yang selama ini terpendam karena takut kepada Yo-thaijin yang melindungi keluarga Siok.
Demikianlah, Kui Con menunggang kuda dengan sikap angkuh di samping Kim Magu, dikawal selosin orang perajurit, menuju ke rumah Chao Kung. Penduduk kota Cin-yang yang berada di jalan dan melihat dua orang pemuda itu, mengerutkan alis dan mereka heran melihat dua orang yang terkenal sebagai perusak anak bini orang itu kini berani muncul kembali setelah setahun lebih tak pernah tampak di tempat umum. Pasti akan terjadi sesuatu yang gawat, pikir mereka dengan khawatir.
Pada saat itu, Chao Kung membuka tokonya yang tidak terlalu besar seperti biasa. Dia berdagang rempa-rempa dan dalam pekerjaannya itu dia telah dibantu oleh ayah mertuanya, Siok Kan, isterinya Siok Hwa dan adik isterinya, Siok Eng. Ada pula seorang pembantu wanita setengah tua yang bekerja di dapur. Mereka sama sekali belum mendengar nasib yang menimpa pelindung mereka, yaitu Kepala Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam.
Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang itu ketika tiba-tiba selosin orang perajurit yang mengawal Kim Magu dan Kui Con telah berada di depan toko! Saking kagetnya, mereka berempat hanya terbelalak memandang dua orang pemuda itu yang sudah melompat turun dari punggung kuda mereka dan cengar-cengir memasuki toko!
Chao Kung yang tinggi kurus dan pemberani itu cepat melangkah maju seolah melindungi ayah mertuanya, isteri dan adik iparnya, lalu memberi hormat dan bertanya dengan sikap sopan namun suaranya tegas. "Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) datang berkunjung mempunyai keperluan apakah?"
Akan tetapi Kim Magu dan Kui Con yang sudah bersepakat mencabut golok masing-masing dan Kim Magu membentak marah.
"Kalian keluarga pemberontak! Kalian sudah memberontak terhadap pemerintah! Kami datang untuk membasmi kalian!" Setelah berkata demikian, Kim Magu memberi isyarat kepada para perajurit pengawalnya dan selosin orang perajurit itu lalu menyerbu ke dalam toko.
Chao Kung terkejut bukan main dan karena dia sedang berjualan, maka dia tidak mempersiapkan senjata. Dia mencoba melawan ketika para perajurit itu menyerbu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Magu dan Kui Con juga sudah menyerangnya. Tingkat kepandaian Chao Kung hanya sebanding dengan tingkat Kim Magu atau Kui Con, maka kini, dengan tangan kosong dia menghadapi penyerangan dua orang pemuda bangsawan yang bersenjata golok, masih dikeroyok lagi oleh selosin perajurit, tentu saja dia hanya mampu melawan sebentar. Bacokan bertubi-tubi menghunjam tubuhnya sehingga dia roboh mandi darah dan tewas seketika.
Siok Kan hendak menolong mantunya, akan tetapi sambaran golok Kim Magu membuat lehernya hampir putus dan dia pun roboh di dekat mayat mantunya. Siok Hwa dan Siok Eng menjerit-jerit menangisi suami dan ayahnya, akan tetapi Kim Magu sudah meringkus Siok Eng dan Kui Con meringkus Siok Hwa. Dua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja mereka tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan dua orang pemuda itu. Saking sedih melihat suami dan ayahnya tewas, disertai rasa takut dan marah, Siok Hwa terkulai pingsan. Ia dirangkul dan dibawa meloncat ke atas punggung kuda oleh Kui Con.
01.2. Wanita Terhormat Sampai Ajal
Siok Eng juga meronta-ronta dan menjerit, memaki-maki, akan tetapi tubuhnya dirangkul ketat oleh Kim Magu sehingga ia tidak mampu bergerak dan ia pun dibawa naik ke atas punggung kuda oleh Kim Magu. Selosin orang pengawal itu, seperti biasa, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil barang-barang yang berharga dari toko dan rumah itu. Sikap dan perbuatan mereka itu tiada ubahnya segerombolan perampok!
Ketika peristiwa itu terjadi, para tetangga, bahkan mereka yang sedang berlalu-lalang atau berdekatan dengan rumah Chao Kung, ketakutan dan menjauhi tempat itu. Setelah pasukan itu pergi, barulah para tetangga berani mendekat. Mereka menemukan Ciu-ma, pelayan wanita keluarga itu, sedang berlutut dan menangisi mayat Siok Kan dan Chao Kung yang mandi darah. Para tetangga cepat bergotong-royong merawat dan mengatur pemakaman ayah mertua dan mantu itu secara sederhana.
Ciu-ma kini menjaga rumah itu seorang diri dengan hati penuh rasa ngeri, takut dan juga sedih dan bingung. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga dan keluarga Siok itu sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Bahkan ia pula yang dahulu menjadi inang pengasuh Chao Kung ketika masih kecil. Maka biarpun kini Chao Kung telah tewas bersama ayah mertuanya, dan nyonya rumah Siok Hwa dan adiknya, Siok Eng, dilarikan Kim Magu dan Kui Con, ia tidak dapat meninggalkan rumah itu.
Dengan hati dipenuhi rasa duka melihat kematian ayahnya, dan penuh kebencian terhadap pemuda Mongol muka hitam yang menculiknya, Siok Eng tiada hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.
"Jahanam busuk, manusia terkutuk!" ia memaki-maki, akan tetapi sambil tertawa Kim Magu melarikan kudanya pulang ke sebuah pondok yang menjadi tempat peristirahatannya. Dia tidak mau membawa gadis tawanannya itu pulang, karena di sana terdapat banyak orang. Ibu kandungnya, para ibu tirinya, para pembantu rumah tangga dan banyak pula perajurit pengawal sehingga dia akan merasa tidak leluasa. Maka dia membawa Siok Eng ke rumah peristirahatannya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan wanita tua.
Setelah tiba di rumah itu, Kim Magu membiarkan kudanya dituntun pelayannya ke istal di belakang, sedangkan dia sendiri memondong tubuh Siok Eng yang meronta-ronta, memasuki rumah itu sambil tertawa-tawa gembira. Setelah memasuki kamarnya, dia melemparkan tubuh Siok Eng ke atas pembaringan.
Tentu saja Siok Eng menjadi marah dan juga ngeri karena ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda setan itu kepada dirinya. Ia merasa putus harapan karena sejak tadi, semua jeritannya sia-sia belaka, tidak ada orang yang berani mencampuri urusan Kim-kongcu, apalagi tadinya, masih timbul harapannya akan muncul tunangannya, Pouw Cun Giok, yang gagah perkasa dan pasti akan menolongnya. Akan tetapi setelah tiba di dalam rumah dan dirinya dilempar ke atas pembaringan, musnahlah semua harapannya. Ia maklum sepenuhnya bahwa keadaannya gawat, kehormatannya terancam dan ia sama sekali tidak berdaya. Melawan pun tidak ada artinya sama sekali karena ia adalah seorang gadis yang lemah dan Kim-kongcu selain pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar.
Pada saat itu, sambil memandang wajah Kim-kongcu dengan ketakutan, ia teringat akan Pouw Cun Giok dan timbul rasa penyesalannya yang amat besar. Tunangannya itu tidak pernah muncul selama dua tahun, bahkan kini ia berada dalam ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, tetap saja tunangannya itu tidak muncul dan tidak dapat diharapkan.
Mengingat akan kematian kakak ipar dan ayahnya, timbul dendam hebat di hati Siok Eng. Ia harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kehormatannya. Lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatannya kepada pemuda biadab ini. Siok Eng mengambil tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak dan berujung runcing.
Ia sengaja tidak mengelak ketika bagaikan seekor harimau menubruk domba, Kim Magu menerkam dan merangkul, menciuminya. Pada saat pemuda itu lengah oleh memuncaknya nafsu ketika kedua tangan pemuda itu mulai merenggut dan menanggalkan pakaian Siok Eng yang sengaja dibiarkan saja oleh gadis itu, tiba-tiba tangan kanan Siok Eng yang sejak tadi sudah mempersiapkan tusuk kondenya, menyambar dengan pengerahan sekuat tenaga ke wajah Kim Magu. Pada saat itu, Kim Magu sedang dimabok nafsu dan sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang sudah dicengkeramnya dan agaknya sudah menyerah itu akan menyerangnya. Dia menjadi lengah dan serangan itu terlalu dekat sehingga dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
"Crottt......!"
"Aduhhhh......!" Kim Magu melompat ke belakang seperti terpental dan kedua tangannya mendekap mata kirinya di mana masih menancap tusuk konde yang panjangnya sejengkal lebih itu dan yang sudah memasuki matanya hampir seluruhnya. Dia menjerit-jerit kesakitan, lalu berhasil mencabut tusuk konde itu. Darah muncrat-muncrat dari mata kirinya. Kemarahan dan rasa nyeri membuat Kim Magu hampir gila. Dia menerkam tubuh Siok Eng yang masih telentang di atas pembaringan, lalu kedua tangannya memukul, mencekik membabi buta.
Tentu saja Siok Eng tidak mampu menghindar, akan tetapi juga tidak terlalu lama menderita karena pukulan pertama yang mengenai kepalanya saja sudah cukup untuk menewaskannya. Biarpun Kim Magu mengamuk, memukuli dan mencekik, ia tidak merasakan lagi. Siok Eng tewas dalam keadaan masih belum ternoda kehormatannya dan biarpun ia hanya seorang wanita lemah, namun ia tewas sebagai seorang wanita yang gagah berani, lebih baik kehilangan nyawa daripada menyerahkan kehormatannya untuk dinodai dan dihina!
Kim Magu marah bukan main. Bukan saja dia gagal memuaskan gairah nafsunya, sebaliknya dia malah kehilangan mata kirinya! Tidak ada tabib di Cin-yang mampu memulihkan matanya karena biji matanya telah hancur tertusuk benda runcing berupa tusuk sanggul itu. Dia menjadi buta sebelah sehingga membuat wajahnya yang tadinya gagah, biarpun berkulit hitam, kini menjadi buruk menjijikkan dan menyeramkan.
Nasib Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung tidak lebih baik daripada nasib Siok Eng. Dalam keadaan pingsan dia dibawa oleh Kui Con ke rumah pelacuran dan selagi pingsan ia diperkosa oleh putera Kepala Pengadilan itu. Setelah siuman dari pingsannya dan melihat kenyataan bahwa dirinya telah dinodai, Siok Hwa bertindak nekat, mengigit putus lidahnya sendiri lalu membenturkan kepalanya pada dinding kamar sehingga kepalanya retak dan ia tewas seketika!
Demikianlah, dalam waktu sehari saja, seluruh keluarga itu telah terbasmi habis. Siok Kan, kedua orang puterinya Siok Hwa dan Siok Eng, juga mantunya Chao Kung, tewas dalam keadaan menyedihkan. Padahal, keluarga ini terkenal sebagai keluarga yang baik, sebagai manusia-manusia yang memiliki sikap, ucapan, dan perbuatan yang tak pernah tercela. Juga suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan, suka menyumbangkan sebagian penghasilannya, tak pernah bermusuhan. Akan tetapi, akhirnya mereka tewas dalam keadaan mengerikan.
Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang pada umumnya tidak disuka rakyat, yang hanya menumpuk harta, yang lalim kejam dan suka bertindak sewenang-wenang, yang pada umumnya disebut sebagai orang jahat, dapat hidup kaya raya penuh kemewahan dan kemuliaan. Mengapa orang yang hidup sebagai orang yang baik malah sengsara dan orang yang hidupnya jahat malah berbahagia" Adilkah itu"
Pertanyaan ini dilontarkan orang sejak dahulu, membuat manusia merasa penasaran, bahkan ada yang berani menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil! Dua jiwa yang baru dilahirkan sebagai manusia, yang keduanya belum sempat membuat dosa, mengapa keadaannya amat berbeda" Yang satu dilahirkan sebagai putera raja, disambut dengan segala kemuliaan oleh rakyat, sedangkan yang lainnya dilahirkan sebagai anak seorang pengemis di kolong jembatan, tak seorang pun mempedulikannya. Mengapa begitu" Benarkah dugaan sementara orang bahwa Tuhan tidak adil"
Dugaan seperti itu sesungguhnya keliru dan menunjukkan bahwa yang berpikiran demikian adalah orang yang imannya terhadap Tuhan rapuh adanya. Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Kasih dan Penyayang! Akan tetapi kuasaNya, keadilanNya, kasihNya tidak dapat diukur dengan pengertian manusia! Manusia mendasarkan kasih dan keadilan kepada kepentingan diri sendiri. Yang baik untuk dirinya, yang menguntungkan, itu baru adil! Baru ada kasih! Padahal keadilan dan Kasih Tuhan itu meliputi seluruh alam mayapada dan isinya, bukan hanya pada perorangan yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri. Kalau diukur dengan pengertian manusia, memang segala hal itu tampaknya tidak adil atau adil, tergantung si penilai demi keuntungan diri sendiri masing-masing. Hujan pun membuat sebagian orang yang diuntungkan memuji sebagai keadilan akan tetapi bagi orang lain yang merasa dirugikan mencelanya sebagai hal yang tidak adil. Terik matahari juga bisa disambut pujian atau keluhan.
Keadilan Tuhan itu mutlak, tak terjangkau oleh pikiran kita, tak dapat diukur, tak dapat diperhitungkan, tak dapat dimengerti. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dalam kehidupan manusia ini pasti bersebab dan berakibat. Tidak ada orang yang lolos dari sebab perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Menabur dan menuai tak dapat dipisahkan. Sebab dan akibat itu merupakan mata rantai yang kekal. Sulit menemukan orang yang menyadari bahwa buah yang pahit itu adalah buah pohon yang dulu dia tanam sendiri! Sulit pula menemukan orang yang ketika melakukan suatu perbuatan itu berarti dia menanam semacam pohon dan kelak perbuatan atau pohon itu akan berbuah dan dia sendiri yang akan memakannya! Orang bijaksana yang menyadari kedua hal ini, pasti akan berhati-hati kalau menanam (berbuat) sehingga memilih pohon yang baik, dan akan menerima segala yang menimpa dirinya tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa-siapa karena menyadari bahwa yang menimpa dirinya itu merupakan buah dari pohon tanamannya sendiri atau sebagai akibat dari perbuatannya sendiri!
Maka, berbahagialah orang yang selalu siap melakukan perbuatan yang membahagiakan orang lain dan menganggap perbuatan itu sebagai KEWAJIBAN, sebagai pembuktian rasa bersyukur kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan segala anugerah Tuhan kepadanya, bukan menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan! Orang yang membanggakan perbuatan baiknya sebetulnya tidak berbuat baik, melainkan melakukan perbuatan yang pamrihnya bersumber kepada keuntungan diri pribadi, yaitu berupa keuntungan materi atau keuntungan batin seperti pujian dan sanjungan dan kebanggaan! Matahari yang setiap hari menyinarkan cahaya yang menghidupkan semua mahluk, tak pernah menuntut imbalan karena hal itu merupakan kewajibannya! Kalau kita melakukan perbuatan yang kita anggap baik, seperti menolong orang lain, maka kita sudah memperoleh imbalannya, yaitu rasa bangga, pujian atau sanjungan itu. Itulah buahnya! Akan tetapi kalau kita melakukan perbuatan sebagai penyalur Kasih Tuhan, sebagai kewajiban, maka tanpa kita harapkan pun Tuhan pasti akan memberi buahnya.
Orang baik hidupnya sengsara atau orang jahat hidupnya bahagia, bayi lahir dalam keadaan mulia atau yang lain lahir dalam keadaan sengsara. Hal itu merupakan rahasia bagi kita, karena segala rencana Tuhan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pikiran kita, sama sekali tidak sama dengan rencana kita yang bersumber kepada menguntungkan diri sendiri. Ada yang menganggap itu sebagai Karma, buah dari pada perbuatan-perbuatannya dahulu ketika jiwa itu terlahir di masa sebelumnya. Akan tetapi apa dan bagaimana perbuatan di masa kehidupan lalu itu pun tidak ada yang mampu menjelaskannya karena itu semua merupakan rahasia yang hanya diketahui dan direncanakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa!
Kota Cin-yang menjadi gempar ketika mendengar hahwa Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun Sam yang mereka hormati dan kasihi karena pembesar itu bijaksana dan adil, telah terbunuh, kabarnya dibunuh Panglima Kim Bayan. Karena pembunuhnya seorang panglima besar, maka hal itu tidak sampai menjadi urusan yang berkepanjangan, apalagi Kim Bayan melapor ke kota raja bahwa Yo Bun Sam membantu dan bersekongkol dengan para pemberontak. Kegemparan menjadi-jadi ketika para penduduk mendengar bahwa Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, dibunuh oleh pasukan perajurit yang mengawal Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kemudian mereka mendengar bahwa isteri Chao Kung, yang dibawa Kui-kongcu, telah tewas membunuh diri, demikian pula Siok Eng yang dibawa Kim-kongcu, kabarnya juga telah tewas karena berani melukai Kim-kongcu dan dibunuh.
Berita itu mendatangkan kegemparan dan rasa penasaran, akan tetapi siapakah yang akan berani menuntut dan kalau dituntut sekalipun, kepada siapa" Kim Bayan adalah seorang panglima besar yang berkuasa, sedangkan ayah Kui-kongcu, yaitu Kui Hok adalah Kepala Pengadilan yang akan menyidangkan semua perkara sehingga para penuntut tentu saja akan mati kutu dan kalah dalam perkara mereka.
Akan tetapi, seperti juga segala macam peristiwa yang terjadi, baik itu menyenangkan ataupun menyusahkan, akan luntur dimakan waktu. Demikian pula dengan peristiwa yang menggemparkan penduduk Cin-yang itu. Setelah lewat kurang lebih dua bulan, jarang ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, bahkan sebagian orang sudah melupakannya. Kehidupan berjalan lancar dan normal kembali walaupun kini setelah Kepala Daerah Cin-yang diganti, penduduk merasa tidak ada lagi yang membela dan melindungi mereka. Para pejabat, dari yang kecil sampai yang paling besar, rata-rata brengsek, menekan, memeras dan selalu mengejar uang. Suap dan sogok terjadi di hampir semua bidang dan usaha pun tidak akan lancar kalau tidak menggunakan cara itu.
Sekitar dua bulan kemudian, pada suatu siang seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun, tampan gagah dan gerak-geriknya halus, memasuki kota Cin-yang. Pemuda itu adalah Pouw Cun Giok yang telah mengubah niatnya pergi ke Thai-san menyelidiki tentang harta karun Kerajaan Song yang hilang diambil orang, dan lebih dahulu hendak berkunjung ke rumah tunangannya, Siok Eng, yang sudah lama ditinggalkannya.
Setelah memasuki kota itu, kota yang pernah dikunjunginya dua tahun lebih yang lalu, bersama gurunya, Suma Tiang Bun, ketika mereka berdua menolong Siok Kan dan Siok Eng lalu mengantarkan mereka ke kota ini untuk tinggal di rumah Chao Kung, dia merasa terharu juga. Baru terasa olehnya betapa dia seolah-olah menyia-nyiakan Siok Eng, tunangannya itu. Mereka telah bertunangan, bahkan tanda ikatan perjodohan dari gadis itu berupa tusuk sanggul perak berbentuk pohon Yang-liu sampai sekarang masih ada padanya. Akan tetapi selama dua tahun dia tidak pernah menjenguknya atau memberi kabar. Dia dapat membayangkan betapa gadis itu menanti-nantinya dengan hati bimbang dan sedih.
"Eng-moi......!" Dia mengeluh penuh perasaan berdosa dan iba terhadap tunangannya itu. Dia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumah Chao Kung di mana tunangannya tinggal.
Ketika tiba di depan rumah itu, dia hampir tidak mengenal. Dahulu, setahunya rumah itu membuka sebuah toko, akan tetapi sekarang tokonya tidak ada, semuanya bahkan daun pintunya, tertutup! Dengan hati agak ragu dia menghampiri pintu lalu mengetuknya perlahan.
"Tok-tok-tok?"!"
Tidak ada jawaban dari dalam. Akan tetapi pendengaran Cun Giok yang tajam dapat menangkap adanya gerakan orang di balik daun pintu itu. Dia mengetuk
"Tok-tok-tok, harap bukakan pintu, saya Pouw Cun Giok!"
Terdengar kaki melangkah mendekati pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membuka daun pintu itu adalah seorang wanita setengah tua, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.
"Kongcu (Tuan Muda) siapakah dan hendak mencari siapa?" tanya wanita itu dengan suara gemetar dan sinar matanya jelas tampak ketakutan.
"Saya Pouw Cun Giok, apakah engkau tidak ingat, Ciu-ma?" kata Cun Giok yang masih mengenal wanita pembantu rumah tangga di rumah itu.
"Pouw Cun Giok...... ah, apakah Kongcu ini tunangan Nona Siok Eng......?"
"Benar, Ciu-ma. Di manakah semua keluarga" Mengapa pintu ditutup dan dalam rumah tampak begini sepi?"
"Masuklah, Kongcu, masuklah......" Ciu-ma berkata dan suaranya menggetar seperti menahan tangis. Setelah Cun Giok masuk, Ciu-ma cepat menutupkan dan memalangi pintu itu, setelah itu dia tidak dapat menahan lagi tangisnya. Ia menjatuhkan diri berlutut di atas lantai dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi ia menahan sehingga suara tangisnya tidak keluar, hanya terisak-isak dibarengi membanjirnya air matanya.
Cun Giok terkejut sekali. Dia menarik wanita itu bangkit dan membawanya ke ruangan tengah, lalu menyuruhnya duduk di atas kursi di depannya.
"Tenanglah, Ciu-ma. Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Di mana adanya semua orang?"
"Aduh, Kongcu...... mereka semua mati mereka semua mati......"
"Ahh......!" Begitu kagetnya Cun Giok sampai dia melompat berdiri dengan wajah pucat, lalu menghampiri wanita itu dan mengguncang kedua pundaknya.
"Apa yang terjadi" Hayo ceritakan, ceritakan semuanya yang jelas!" Cun Giok membentak sehingga Ciu-ma yang sudah ketakutan dan bersedih itu menjadi semakin takut dan tangisnya semakin menjadi-jadi, sesenggukan sampai sesak napas.
Cun Giok segera menyadari bahwa dia bersikap terlalu kasar dan membuat wanita itu ketakutan. Dia lalu melepaskan pundak wanita itu, duduk kembali dan berkata dengan tenang dan sabar.
"Maafkan aku, Ciu-ma. Aku tadi bersikap kasar karena aku merasa kaget sekali. Nah, hentikan tangismu dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi, dari awal mula."
Akhirnya Ciu-ma dapat menenangkan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu ia bercerita.
01.3. Penyesalan Seorang Calon Suami!
"Mula-mulanya terjadi setahun yang lalu. Dua orang pemuda bangsawan, yaitu Kim-kongcu putera Panglima Besar Kim dan Kui-kongcu putera Kepala Pengadilan Kui, ingin menjadikan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa sebagai selir mereka. Tentu saja pinangan ini ditolak. Utusan mereka, Panglima Lai menggunakan pasukannya untuk memaksa dan membawa Nona Siok Eng dan Nyonya Chao Kung atau Siok Hwa. Siok Lo-ya (Tuan Siok) dan mantunya melawan akan tetapi mereka dihajar pasukan dan kedua orang wanita itu hendak dibawa dengan paksa. Akan tetapi muncul seorang gadis pendekar menolong. Gadis itu menghajar Lai-ciangkun dan anak buahnya, kemudian membawa seluruh keluarga Siok ke gedung Kepala Daerah Yo Bun Sam. Yo-thaijin yang bijaksana dan adil melindungi keluarga ini sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Kedua orang pemuda bangsawan itu kabarnya dihajar oleh pendekar wanita itu dan selama ini kehidupan kita di sini aman karena dilindungi oleh Yo-thaijin."
"Pendekar wanita itu, siapa namanya, Ciu-ma?"
"Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya kira tidak ada yang tahu siapa nama pendekar itu, hanya orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli. Setelah menyelamatkan keluarga di sini, ia lalu menghilang dan tidak ada yang tahu ke mana perginya."
"Hemm......" Cun Giok diam-diam tercengang karena tidak menyangka sama sekali bahwa Ceng Ceng telah menyelamatkan tunangannya sekeluarga! "Lalu bagaimana, Ciu-ma" Lanjutkan ceritamu."
Kegembiraan mendengar bahwa Ceng Ceng yang menolong Siok Eng hanya merupakan setitik cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya sehingga tidak ada artinya. Lemah lunglai seluruh tulang dan syarafnya mendengar bahwa tunangannya berikut ayahnya sekeluarga telah mati!
"Malapetaka itu datang tanpa disangka-sangka, Kongcu. Sekitar dua bulan yang lalu, di Cin-yang terjadi peristiwa yang menggemparkan seluruh penduduk kota ini. Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dua orang pemuda bangsawan yang dulu dihajar Pek-eng Sianli dan tak pernah kelihatan lagi itu, tiba-tiba muncul di sini bersama duabelas orang perajurit mereka. Mereka menyerang Tuan Muda Chao Kung dan Tuan Tua Siok Kan sehingga mereka berdua itu tewas di rumah ini, sedangkan Nyonya Siok Hwa dan Nona Siok Eng mereka culik......" Kembali air mata mengalir deras dari sepasang mata Ciu-ma.
"Keparat......!!" Cun Giok memaki dan wajahnya yang tadi pucat itu kini berubah merah. Akan tetapi dia mampu mengendalikan diri dan berkata, "Ciu-ma, lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan Enci Siok Hwa dan Nona Siok Eng?"
Ciu-ma kembali dengan sukar menahan isak tangisnya. "Aduh, Kongcu...... saya hanya dapat meratap dan menangis...... pada keesokan harinya, mereka itu memulangkan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa ke sini...... sudah...... menjadi mayat......"
"Jahanam busuk!" Kembali Cun Giok memaki dan kemarahannya memuncak. Dia menggigit bibir sendiri dan tanpa disadarinya, kedua pipinya juga sudah basah air mata yang bercucuran keluar dari kedua matanya. Semakin besar kesedihan dan penyesalannya, dia merasa dosanya terhadap Siok Eng makin besar. Kalau saja dia bukan seorang tunangan yang begitu buruk, kalau saja dia sering datang berkunjung, kiranya dia akan dapat melindungi tunangannya itu bersama keluarganya!
"Ahhh...... Ciu-ma, kenapa mereka...... tewas pula?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Saya hanya mendengar kabar angin bahwa Nona Siok Eng telah menyerang Kim-kongcu sehingga mata kiri pemuda bangsawan itu menjadi buta, maka Kim-kongcu lalu memukulnya sampai mati. Sedangkan Nyonya Siok Hwa, kabarnya ia mati membunuh diri...... Saya dibantu para tetangga hanya dapat mengurus penguburan mereka semua."
Cun Giok mengusap air mata dari mukanya dengan ujung lengan bajunya. "Ciu-ma, bukankah katamu tadi Kepala Daerah Yo Bun Sam yang bijaksana itu melindungi keluarga ini" Bagaimana sampai dapat terjadi pembunuhan-pembunuhan itu?"
"Aduh, Kongcu. Pada hari yang sama, Yo-thaijin juga tewas dibunuh oleh Panglima Besar Kim Bayan dengan tuduhan bersekongkol dengan pemberontak. Tentu semua ini merupakan pembalasan karena dulu Pek-eng Sianli memberi hajaran keras kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu."
Cun Giok diam saja sampai lama. Dia hanya duduk dengan kedua tangan dikepal dan wajahnya yang tampan berubah bengis, matanya mencorong menakutkan sehingga Ciu-ma tidak berani bergerak dan tidak berani mengeluarkan suara.
Setelah Cun Giok dapat mengendalikan diri dan menenangkan perasaannya yang menggelora, dengan lembut dia lalu minta keterangan kepada Ciu-ma di mana rumah Kim-kongcu dan Kui-kongcu dan di mana dikuburnya jenazah Siok Kan, Chao Kung, Siok Eng, dan Siok Hwa. Kemudian, dia minta diantar oleh Ciu-ma memasuki kamar mendiang Siok Eng.
"Barang-barang berharga dari dalam rumah ini telah habis dirampok oleh pasukan pengawal duabelas orang itu, Kongcu," kata Ciu-ma.
Dengan tubuh lemas karena dilanda kesedihan yang besar, jantung Cun Giok berdebar ketika dia memasuki kamar Siok Eng. Kamar yang sederhana saja namun bersih karena selama ini Ciu-ma tetap membersihkan setiap kamar dan ruangan dalam rumah itu tiap hari. Teringat akan kesalahannya terhadap Siok Eng, tunangannya yang dia tinggalkan, bahkan seolah dia sia-siakan selama dua tahun ini, tak terasa lagi kedua mata Cun Giok kembali menjadi basah. Dia duduk di tepi pembaringan dan berkata kepada Ciu-ma dengan lirih.
"Ciu-ma harap tinggalkan aku di sini sejenak."
Ciu-ma mengerti akan perasaan pemuda itu. Ia mengangguk dan sambil menghapus air matanya ia keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.
Setelah berada seorang diri di kamar tunangannya itu, Cun Giok tak dapat menahan tangisnya. Dia rebah di atas pembaringan dan memeluk bantal yang biasa dipergunakan oleh Siok Eng.
"Eng-moi...... maafkan aku, Eng-moi...... aku berdosa besar padamu...... Eng-moi, engkau tetap jodohku, engkau isteriku dan aku akan selalu ingat dan menganggap engkau sebagai isteriku. Semoga arwahmu tenang, Eng-moi, percayalah, aku akan membalaskan sakit hatimu, Ayahmu, Encimu dan suaminya......"
Cun Giok merasa demikian sedih dan terharu, tubuhnya terasa lemas kehilangan seluruh tenaganya dan akhirnya dia rebah tertidur atau setengah pingsan di atas pembaringan Siok Eng.
"Y" Malam itu bulan tiga perempat bersinar cukup terang. Langit tidak ada awan sehingga suasananya indah dan cerah. Namun hawa udara amatlah dinginnya sehingga sebelum tengah malam sudah jarang terdapat orang berada di luar rumah. Penduduk kota Cin-yang lebih suka berada dalam kamar di rumah masing-masing.
Cun Giok terbangun sore tadi. Ciu-ma dengan hormat melayani tunangan bekas nona majikannya, menyediakan air untuk mandi dan menyiapkan makan malam. Cun Giok yang sudah tenang kembali mandi, bertukar pakaian dan makan malam tanpa banyak bicara. Dia menjadi pendiam dan seperti orang melamun, akan tetapi kalau melihat sepasang matanya yang mencorong, orang akan menjadi ngeri. Ciu-ma melayaninya dengan diam-diam. Wanita ini pun ketakutan melihat sinar mata Cun Giok.
Setelah dia makan, Cun Giok minta tolong kepada Ciu-ma untuk menyelidiki, di mana adanya Kim-kongcu dan Kui-kongcu malam itu. Ciu-ma yang diam-diam juga merasa sakit hati dan membenci kedua orang pemuda bangsawan itu, lalu pergi. Karena ia sudah mendengar banyak tentang dua orang muda yang dibencinya itu yang telah membasmi majikannya sekeluarga, maka tidak sukar baginya untuk mencari tahu di mana adanya mereka itu.
Ia segera kembali dan memberitahu kepada Cun Giok bahwa pada malam itu Kim-kongcu berada di rumah peristirahatannya dilayani para selirnya, sedangkan Kui-kongcu berada di rumah pelesir Bunga Merah di ujung kota Cin-yang. Setelah mendapat keterangan jelas tentang letak dua tempat ini, dan mengetahui pula di mana adanya kuburan keluarga Siok, malam itu, menjelang tengah malam Cun Giok meninggalkan rumah itu dan tubuhnya berkelebat menghilang di antara bayang-bayang rumah dan pepohonan.
Di dalam rumah peristirahatannya yang mungil dan mewah, Kim Magu sedang berpesta pora makan minum dilayani oleh tiga orang selirnya yang terbaru. Dengan memangku dua orang selir di atas paha kanan kirinya, selir ketiga menyuapinya dari depan. Gembira bukan main Kim-kongcu pada malam yang dingin itu. Dia agaknya sudah lupa lagi bahwa di rumah mungil itulah dia membunuh Siok Eng dua bulan yang lalu setelah gadis yang nyaris diperkosanya itu menyerangnya dengan tusuk konde sehingga mata kirinya menjadi buta. Untuk menutupi mata yang kosong itu, yang membuat wajahnya nampak buruk mengerikan, Kim Magu kini menggunakan sehelai kain sutera biru untuk diikatkan di kepala menutupi mata kiri itu sehingga wajahnya kini tampak tidak terlalu buruk.
Kim Magu dan tiga orang selirnya itu tertawa-tawa bergurau sambil makan minum, bergembira ria tenggelam dalam nafsu kesenangan. Dua orang wanita pelayan yang tadi menghidangkan makanan dan minuman tidak berani mengganggu dan mereka berdua berdiam di dapur sambil menanti perintah. Merekalah yang nanti bertugas membersihkan meja dan ruangan itu, mencuci piring mangkok.
Bayangan Cun Giok berkelebat di atas genteng rumah itu. Setelah mempelajari keadaan di bawah, tubuhnya melayang ke belakang rumah. Dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara, dia menyelinap masuk ke dapur melalui pintu belakang. Dua orang wanita pelayan yang berada di dapur, terkejut setengah mati, akan tetapi sebelum mereka sempat menjerit, Cun Giok sudah bergerak cepat dan mereka berdua roboh terguling ke atas lantai dapur dalam keadaan pingsan dan tubuh mereka lemas tertotok.
Setelah merobohkan dua orang wanita pelayan itu sehingga mereka tidak sempat menjerit atau membuat gaduh, Cun Giok lalu berindap menuju ke ruangan tengah. Dari dapur saja dia sudah dapat menangkap gelak tawa dan senda gurau Kim Magu dan tiga orang selirnya. Melihat bahwa di situ tidak terdapat perajurit pengawal yang menjaga, Cun Giok dengan tenang melangkah memasuki ruangan itu.
Tiga orang selir itu yang lebih dulu melihat Cun Giok yang melangkah dengan santai.
"Eh, siapa dia?" mereka berseru heran.
Kim Magu mengangkat muka dan dia pun kini dapat melihat Cun Giok. Marahlah dia karena dia tidak mengenal pemuda itu yang bukan merupakan seorang perajurit atau pengawal ayahnya.
"Heh, siapa kamu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok.
Dari Ciu-ma, Cun Giok sudah mengenal bahwa pemuda bermata satu itu pasti yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu, orang yang telah membunuh Siok Eng dan yang mata kirinya buta oleh serangan tunangannya. Maka, untuk meyakinkan hatinya dan agar jangan keliru dan salah tangkap, dia membalas pertanyaan pemuda bermata sebelah itu dengan pertanyaan juga.
"Apakah engkau yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu?"
Kim Magu menjadi marah bukan main. Karena Cun Giok tampak seperti seorang pemuda yang lembut dan lemah, maka tentu saja dia memandang rendah dan tidak menduga sama sekali bahwa yang berdiri di depannya itu seorang pendekar yang amat lihai. Saking marahnya dia menolak dua orang selir dari pangkuannya sehingga mereka terhuyung, lalu dia bangkit berdiri dan menyambar goloknya yang berada di atas meja kecil di belakangnya.
"Orang kurang ajar! Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu berani lancang memasuki rumah ini tanpa ijin!"
"Katakan dulu apakah engkau yang bernama Kim Magu?" kembali Cun Giok bertanya.
Seorang selir Kim-kongcu yang ingin memperlihatkan bahwa ia membela Kim-kongcu, dengan galak berkata kepada Cun Giok. "Heh, orang muda yang tidak tahu aturan! Sudah tahu berhadapan dengan Kim-kongcu, mengapa engkau tidak cepat memberi hormat" Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Kini Cun Giok merasa yakin bahwa inilah orang yang dicarinya, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya melompat ke depan, ke arah Kim-kongcu. Pemuda bangsawan ini menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi dia terkejut dan heran karena tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depannya dan sebelum dia mengetahui ke mana perginya pemuda itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan lengan itu lumpuh sehingga goloknya terlepas dan jatuh berdentangan di atas lantai. Tiba-tiba Kim Magu merasa tubuhnya lemas dan kehilangan semua tenaganya, kaki tangannya tidak dapat digerakkan dan tahu-tahu dia sudah dipanggul ke atas pundak kanan Cun Giok!
Tiga orang selir yang melihat ini lalu menjeri-jerit sekuatnya. "Tolonggg?" tolong?". ada penjahat?"!"
Cepat sekali tubuh Cun Giok berkelebat dan tiga orang wanita itu roboh tertotok dan pingsan. Lalu dia melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sambil memanggul tubuh Kim Magu yang tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara. Cun Giok berlari seperti terbang cepatnya dan untung baginya bahwa jalan-jalan di kota Cin-yang sudah sepi. Andaikata ada yang kebetulan berada di luar rumah pun, akan sukar melihat pemuda yang berkelebat amat cepatnya itu. Cun Giok juga memilih bagian yang gelap oleh bayangan pohon dan rumah untuk dilewatinya.
Dia membawa tubuh Kim Magu itu ke tanah kuburan di mana makam Siok Kan, Chao Kung, Siok Hwa dan Siok Eng berada dalam keadaan berjajar dan bong-pai (batu nisan) yang amat sederhana itu pun masih baru. Cun Giok melempar tubuh Kim Magu ke bawah semak-semak dan setelah merasa yakin bahwa totokan pada tubuh Kim Magu itu tidak akan dapat pulih dalam waktu yang cukup lama, dia lalu meninggalkan tanah kuburan.
Kini yang dituju adalah rumah pelesir Bunga Merah karena dia mendapat keterangan dari penyelidikan Ciu-ma bahwa Kui Con atau Kui-kongcu malam itu berpelesir dan menginap di rumah pelesir itu. Rumah pelesir itu cukup besar dan didepannya terdapat sebuah taman bunga yang penuh dengan bunga berwarna merah. Karena inilah agaknya maka tempat itu dinamakan Rumah Pelesir Bunga Merah.
Karena malam telah larut, agaknya para tamu yang biasanya memenuhi ruangan depan sambil minum-minum dilayani para wanita tuna susila, sudah meninggalkan tempat itu. Hanya ada Kui Con atau Kui-kongcu yang bermalam di situ karena pemuda putera Kepala Pengadilan itu dapat dikatakan berkuasa di rumah ini yang seolah menjadi rumah peristirahatannya sendiri. Dialah yang menjadi penyumbang utama dan diandalkan oleh para pengurusnya.
Pada malam itu, seperti biasa terdapat para tukang pukul yang mendapat giliran berjaga. Jumlah tukang pukul di tempat itu ada lima orang dan setiap malam melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi malam ini Kui-kongcu bermalam di situ dan seperti biasa Kui-kongcu membawa pengawal sebanyak lima orang maka di ruangan depan itu kini berkumpul sepuluh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan tampak galak menyeramkan. Mereka sedang bermain kartu akan tetapi tidak berani membuat gaduh karena Kui-kongcu berada di rumah itu, dalam sebuah kamar bersenang-senang minum arak dilayani dua orang wanita tuna susila yang menjadi langganannya.
Kui Con bersendau gurau dengan dua orang wanita itu. Dia tampak gembira sekali karena setelah membasmi Keluarga Siok dan Kepala Daerah Yo Bun Sam yang menjadi penghalang baginya tewas, dia selalu tampak gembira. Kini seperti dulu dia dapat berbuat sesuka hatinya, bersenang-senang menghamburkan uang ayahnya yang didapat dari suapan dan sogokan mereka yang mendapatkan perkara di pengadilan.
Setelah minum arak cukup banyak dan mulai agak mabok, Kui Con menyuruh pelayan menyingkirkan semua sisa makanan dan minuman dari kamar itu dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan dua orang wanita cantik itu.
Tiba-tiba daun jendela yang menghadap ke taman terbuka dan sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu dalam kamar itu telah berdiri Cun Giok! Dua orang wanita penghibur itu terkejut dan menjerit, akan tetapi mereka segera roboh tertotok. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya itu, Kui Con menjadi marah sekali.
Dia bukan seorang pemuda lemah karena bersama Kim Magu dia telah mempelajari ilmu silat yang cukup lumayan. Segera dia menyambar sebatang golok yang tak pernah terpisahkan dari dirinya dan mencabut golok itu.
"Jahanam busuk, siapa engkau berani mengacau di sini?" bentaknya.
"Apakah engkau yang bernama Kui Con" Aku diutus oleh Kim Magu untuk menemuimu."
Kui Con tertegun heran. "Kim-kongcu mengutusmu menemui aku" Benar, aku adalah Kui Con. Engkau siapakah dan diutus apa oleh Kim-kongcu?"
"Aku diutus untuk mengajak engkau menemuinya."
Kui Con mengerutkan alisnya, kecurigaannya muncul kembali, apalagi ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh dua orang gadis penghibur itu yang menggeletak di atas lantai tanpa dapat bergerak.
"Tidak mungkin Kim-kongcu memanggilku tengah malam begini! Hayo katakan, siapa engkau dan apa maksudmu sebenarnya?"
Cun Giok kini merasa yakin bahwa pemuda inilah yang bernama Kui Con yang dulu menculik Siok Hwa. Maka dia berkata, "Kui Con, engkau harus ikut denganku, mau atau tidak mau!"
Kui Con marah sekali. Dia berteriak memanggil pengawal sambil menerjang ke depan, menyerang Cun Giok dengan goloknya. Akan tetapi menghadapi Cun Giok, ilmu silat pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Hanya satu kali tubuh Cun Giok bergerak dan golok itu telah terlepas dari tangan Kui Con dan di lain saat dia telah terkulai lemas karena ditotok jalan darahnya. Cun Giok segera menangkap dan memanggulnya.
Pada saat itu, sepuluh orang pengawal yang mendengar teriakan Kui Con dan memasuki kamar itu, melihat Kui Con dipanggul seorang pemuda, mereka segera menyerang dengan senjata tajam mereka berupa golok atau pedang.
Sambil memanggul tubuh Kui Con yang tak mampu bergerak atau bersuara, Cun Giok menyambut serangan sepuluh orang pengawal itu dengan tendangan kedua kakinya. Kedua kaki itu menyambar-nyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti penglihatan para pengeroyok itu dan tahu-tahu tubuh mereka terlempar dan berpelantingan. Mereka hanya dapat berteriak mengaduh dan setelah sepuluh orang itu roboh semua oleh tendangannya, Cun Giok lalu melompat keluar dari rumah pelesir itu dan menghilang dalam gelap. Sepuluh orang pengawal yang tidak terluka parah, merangkak bangkit dan mencoba mengejar, akan tetapi mereka tidak menemukan jejak Cun Giok yang menculik Kui-kongcu. Terpaksa mereka lalu beramai-ramai pergi ke gedung Kepala Pengadilan Kui Hok untuk melaporkan peristiwa itu.
Kui-thaijin tadinya marah sekali karena pada tengah malam begitu dia terganggu dan harus bangun, akan tetapi setelah mendengar laporan mereka bahwa puteranya diculik orang, dia lalu mengerahkan semua perajurit pengawal yang ada untuk melakukan pencarian.
Cun Giok dengan cepat membawa Kui Con ke tanah kuburan dan setelah melemparkan tubuh Kui-kongcu itu ke atas tanah, dia lalu menyeret keluar tubuh Kim-kongcu dari bawah semak-semak dan melemparkan tubuhnya dekat tubuh Kui-kongcu. Ketika dua orang pemuda itu mengetahui keadaan masing-masing, timbullah perasaan takut dan ngeri dalam hati mereka.
02.1. Perjalanan Si Buta bersama Si Buntung!
Kurang puas dengan sinar bulan, Cun Giok lalu menyalakan empat batang obor yang memang sudah dia persiapkan sehingga tempat itu menjadi terang. Dua orang pemuda bangsawan itu ngeri melihat bahwa mereka berada di depan empat kuburan baru yang berjajar. Mereka tidak pernah berkunjung ke tanah kuburan dan tidak tahu kuburan siapakah yang berada di depan mereka itu.
Cun Giok menghampiri Kim Magu dan sekali tangannya bergerak, pemuda Mongol itu telah terbebas dari totokan. Dia mencoba bangkit berdiri, akan tetapi karena tadi agak lama berada dalam keadaan lumpuh, dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah. Selain sudah dapat bergerak, Kim Magu juga sudah dapat bersuara. Dia memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak kepada Cun Giok. Lenyaplah kesombongannya dan dengan hati-hati dia bertanya.
"Sobat, siapakah engkau ini" Dan mengapa engkau menangkapku dan membawaku ke sini" Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini putera Panglima Besar Kim Bayan yang menguasai seluruh pasukan daerah ini?"
Cun Giok menatap tajam wajah yang sebelah matanya tertutup kain sutera itu. "Kim Magu, engkau harus mengaku apa yang telah kaulakukan dengan mereka yang jenazahnya dikubur di sini!" Dia menuding ke arah empat gundukan tanah kuburan itu.
Kim Magu terbelalak memandang empat batu nisan itu. "Ini...... ini?" kuburan siapakah" Aku tidak mengenal mereka......"
"Tidak mengenal mereka" Coba ingat baik-baik, ini adalah makam Paman Siok Kan, Chao Kung, isterinya Siok Hwa dan Nona Siok Eng. Engkau masih hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal mereka?"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Kim Magu. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu dibuka lebar-lebar. Tidak mungkin lagi dia menyangkal, maka dia menjawab mencoba untuk membela diri.
"Ya, aku ingat sekarang! Akan tetapi, Taihiap (Pendekar Besar), mereka ini adalah keluarga pemberontak yang hendak memberontak terhadap pemerintah. Kami mendapat tugas untuk membasmi keluarga pemberontak ini."
"Hemm, begitukah?"
"Sungguh, Taihiap, aku hanya membasmi keluarga pemberontak! Aku tidak bersalah......" kata Kim Magu penuh harap. Kui Con yang belum mampu bergerak atau bersuara, ikut mendengarkan, ikut merasa ketakutan dan kini juga mengharapkan agar pemuda lihai yang menawannya itu mau percaya keterangan Kim Magu.
"Kalau begitu, mengapa engkau menculik Nona Siok Eng" Hayo jawab!"
Tubuh Kim Magu gemetar ketika Cun Giok menyinggung soal Siok Eng. Akan tetapi pemuda ini cerdik dan cepat mendapatkan akal untuk membela diri. "Taihiap, terus terang saja, melihat Nona Siok Eng aku merasa kasihan dan aku ingin membebaskan dara itu dari hukuman dan mengangkatnya menjadi seorang selir. Akan tetapi gadis pemberontak liar itu malah menyerangku. Lihat, Taihiap, sebelah mataku menjadi buta karena ia tusuk dengan tusuk kondenya."
Cun Giok menahan kemarahannya. "Lalu engkau membunuhnya?"
"Tentu saja! Kalau tidak, tentu aku yang ia bunuh. Seperti kukatakan tadi, keluarga itu keluarga pemberontak dan gadis itu benar-benar liar, Taihiap."
"Kim Magu, aku mendengar bahwa Nona Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, bagaimana mungkin ia dapat menyerangmu dan membutakan sebelah matamu?"
Melihat Cun Giok bicara lembut kepadanya, Kim Magu mulai merasa tenang. Pemuda lihai ini agaknya seorang kang-ouw yang sehaluan dengannya, maka dia tersenyum.
"Memang sesungguhnya demikian, Taihiap. Justeru itulah keliarannya, sebagai seorang gadis lemah dapat membutakan mataku. Akan tetapi itu salahku sendiri karena aku lengah......" Tiba-tiba dia berhenti karena merasa ragu. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi marah kalau dia bercerita bahwa ketika itu dia sedang hendak memperkosa Siok Eng sehingga lengah dan sebelah matanya diserang menjadi buta.
"Mengapa berhenti" Tentu ketika itu engkau hendak memperkosanya, maka ia menjadi nekat menyerangmu, bukan?" Dalam pertanyaan ini terkandung kekerasan sehingga Kim Magu semakin ragu dan mulai ketakutan lagi.
"Tidak...... tidak......"
Cun Giok sudah tidak sabar lagi. "Kalau engkau tidak mau mengaku, engkau boleh rasakan ini!" Jari tangannya menekan tengkuk Kim Magu.
Tiba-tiba Kim Magu terbelalak dan mengaduh-aduh karena dia merasa betapa ada hawa panas seperti api membakar dirinya, dari tengkuk turun melalui tulang belakang sehingga seluruh tubuh terasa nyeri bukan main.
"Cepat katakan mengapa Siok Eng nekat menyerangmu, kalau engkau bohong, aku akan membakar seluruh tubuhmu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi!" Dia menekan semakin kuat sehingga Kim Magu menjerit-jerit kesakitan.
Kui Con yang melihat ini, menjadi pucat dan merasa ngeri.
"Aduhh...... aduhhh...... baik, baik...... aku mengaku......"
Cun Giok melepaskan tekanan jarinya dan Kim Magu dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran karena saking sakitnya tadi dia tidak tahan lagi untuk tidak menangis, lalu berkata dengan terengah-engah.
"Memang...... aku...... aku cinta padanya, aku...... hendak memaksanya untuk melayaniku agar ia mau menjadi selirku, akan tetapi tiba-tiba ia menyerangku......"
"Jahanam busuk! Kim Magu, tahukah engkau siapa aku" Aku adalah tunangan mendiang Nona Siok Eng!"
"Uhhhh......" Kini Kim Magu ketakutan sekali, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri hendak melarikan diri, akan tetapi saking takutnya, kedua kakinya tidak dapat dia gerakkan. Dia lalu berlutut menyembah-nyembah.
"Taihiap...... ampunkan aku...... ampun......"
"Manusia busuk macam engkau ini sebetulnya tidak layak untuk hidup. Akan tetapi terlalu enak bagimu kalau engkau kubunuh. Biar kulanjutkan apa yang belum selesai dan lengkap dilakukan oleh mendiang Nona Siok Eng!" Tampak sinar kuning emas berkelebat tiga kali dan terdengar Kim Magu menjerit-jerit.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"Aduhh...... tolooonggg...... tolooonggg......!" Kemudian dia roboh terkulai, matanya yang tinggal sebelah kiri itu bercucuran darah dan kedua tangannya sebatas pergelangan telah terbacok putus! Kim Magu tidak berkutik lagi karena dia sudah jatuh pingsan.
Ketika Cun Giok menghampiri Kui Con, pemuda ini menjadi pucat sekali. Begitu Cun Giok membebaskan totokannya sehingga dia mampu bergerak dan bersuara, dia langsung berlutut menyembah-nyembah.
"Taihiap, ampunkan saya...... ampunkan saya......"
"Hayo ceritakan apa yang telah engkau lakukan terhadap Nyonya Chao Kung yang kaubawa lari. Jangan bohong!"
"Saya...... saya kasihan melihatnya dan ingin membebaskannya dari hukuman, maka ia saya bawa pulang...... dan...... dan...... maksud saya hendak menjadikan ia sebagai selir tercinta...... akan tetapi...... ia...... ia membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada dinding...... ampunkan saya, Thai-hiap......"
Cun Giok tidak percaya. Orang macam ini tidak ada bedanya dengan Kim Magu, tidak mungkin bersikap lembut kepada seorang wanita yang sudah diculiknya dan berada dalam cengkeramannya.
"Ia membunuh diri karena engkau memperkosanya, bukan" Hayo jawab dan jangan bohong atau aku akan menyiksamu seperti kepada Kim Magu tadi!"
"Saya...... saya...... cinta padanya...... saya memang menggaulinya...... saya tidak mengira ia membunuh diri......"
"Keparat! Manusia macam engkau juga tidak pantas hidup di dunia ini!" Kembali tiga kali sinar emas pedangnya berkelebat dan disusul jeritan Kui Con yang jatuh bergulingan seperti ayam disembelih karena bukit hidungnya telah terpotong semua, juga kedua kakinya buntung sebatas pergelangan kaki!
Merasa puas dengan pembalasan yang dia lakukan terhadap dua orang muda jahanam itu, Cun Giok lalu menotok bagian yang terluka untuk menghentikan darah yang mengalir keluar lalu dia memberi obat bubuk merah untuk mengobati luka-luka mereka. Dia lakukan ini karena dia tidak ingin melihat mereka mati. Dia ingin agar mereka itu menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan menderita dan tidak sempurna sehingga menjadi buah tertawaan orang. Setelah itu ia lalu memberi hormat di depan tiga buah makam itu dan di depan makam Siok Eng dia berkata lirih."
"Eng-moi, isteriku, maafkan aku yang tidak dapat melindungimu, aku hanya dapat membalaskan dendam sakit hatimu ini dan selamanya engkau akan kuakui sebagai isteriku." Setelah itu dia melangkah dan hendak pergi.
"Nanti dulu......, engkau...... katakan siapa namamu kalau memang engkau gagah dan tidak takut akan pembalasan kami kelak!"
Cun Giok berhenti melangkah dan membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang bicara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Kim Magu. Pemuda yang kini buta kedua matanya itu dan kedua tangannya buntung, ternyata sudah siuman dan bangkit duduk. Wajahnya mengerikan karena berlepotan darah yang tadi keluar dari mata kanannya.
Mendengar ucapan itu, Cun Giok berkata lantang. "Namaku Pouw Cun Giok dengan sebutan Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan)!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cun Giok lenyap dari tanah kuburan itu.
Dua orang pemuda bangsawan itu kini merintih-rintih. Kalau saja Cun Giok tidak menotok jalan darah untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka mereka, keduanya tentu akan mati kehabisan darah. Juga obat luka itu amat manjur. Luka mereka itu cepat mengering. Hanya rasa nyeri yang hebat menyiksa mereka sehingga mereka merintih-rintih.
Kim Magu tadi sudah melihat betapa Kui Con juga menjadi tawanan. Kini dia mendengar rintihan suara Kui Con, segera berkata sambil menahan rasa nyeri.
"Kui Con, bagaimana keadaanmu" Apa yang diperbuat penjahat keji itu terhadap dirimu?"
Kui Con menahan rasa nyeri dan menghentikan rintihannya. Obor-obor itu masih bernyala dan dia dapat melihat keadaan Kim Magu dengan jelas. Dia bergidik ngeri melihat betapa mata Kim Magu yang tinggal sebelah itu kini luka berdarah dan tentu menjadi buta pula. Juga dia melihat betapa kedua tangan putera panglima itu buntung sebatas pergelangannya.
"Kim-twako, celaka...... dia menyiksaku juga. Kedua kakiku buntung sebatas pergelangan dan...... dan...... hidungku juga dibacok hingga putus......" Ucapannya tidak jelas karena kini Kui Con bicara dengan suara bindeng (sengau)!
Mendengar ini, dalam kesedihan dan kemarahannya Kim Magu tiba-tiba merasa agak terhibur! Bagaimanapun juga, keadaannya masih lebih baik daripada Kui Con yang sekarang tentu tidak mampu berjalan lagi dan wajahnya tentu menjadi amat jelek karena bukit hidungnya buntung! Di lain pihak, ketika tadi Kui Con melihat keadaan Kim Magu, dia merasa ngeri dan kasihan, juga mendatangkan sedikit hiburan dalam hatinya karena betapa pun buruk keadaannya, keadaan Kim Magu lebih buruk lagi karena pemuda putera panglima itu kini buta kedua matanya dan hilang kedua tangannya sehingga tidak dapat memegang apa-apa lagi!
Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih beruntung daripada dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya melihat orang lain dalam keadaan lebih payah atau susah daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang dan terhibur!
"Si keparat itu ternyata adalah Si Pendekar Tanpa Bayangan bernama Pouw Cun Giok!" kata Kim Magu gemas.
"Pendekar Tanpa Bayangan" Twako, bukankah dia yang menjadi pemberontak buruan pemerintah yang dulu membunuh Panglima Besar Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok?"
"Benar dan dia...... dia itu tunangan Siok Eng yang kubunuh, terhitung keluarga dari keluarga Siok yang kita basmi. Aku akan melapor kepada Ayah...... ah, Kui Con, obor-obor itu sudah akan padam dan di sini amat menyeramkan. Mari kita tinggalkan tempat ini agar ditemukan orang yang dapat membantu dan menolong kita."
Karena Kui Con tidak dapat berjalan, sedangkan Kim Magu tidak dapat melihat, maka biarpun dengan susah payah karena kedua tangannya buntung, Kim Magu akhirnya menggendong Kui Con di punggungnya sedangkan Kui Con yang menjadi penunjuk jalan karena dia yang dapat melihat. Keadaan mereka serupa dengan dongeng tentang Si Buta dan Si Lumpuh yang saling bantu sehingga dapat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, bagaimanapun juga keadaan kedua orang itu sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.
Sesungguhnya, akibat perbuatan mereka sendiri yang menimpa diri mereka seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan mereka bahwa perbuatan yang tidak baik tentu akan mendatangkan akibat yang buruk pula dan hal itu mungkin dapat membuat mereka menjadi jera dan bertaubat. Akan tetapi dasar mereka orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan jiwanya tertutup kotoran tebal yang ditimbulkan dari merajalelanya nafsu mereka sendiri, mereka sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka. Mereka hanya menyesali keadaan mereka itu dengan hati penasaran dan timbul dendam sakit hati kepada Cun Giok. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal akan perbuatan mereka, sama sekali tidak merasa bersalah.
Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga selalu membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri, merasa benar sendiri dan segala apa pun di dunia ini harus bermanfaat dan menguntungkan bagi mereka! Sebaliknya, berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan benih yang mereka tanam dan apa pun yang menimpa mereka adalah buah dari benih yang mereka tanam sendiri.
Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi segala keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak menyalahkan orang lain melainkan yakin bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma akan terus mengejar manusia ke mana pun dia pergi dan Karma akan selalu memaksa orang membayar semua hutangnya yang terjadi karena perbuatannya sendiri.
Setelah keluar dari tanah kuburan, dua orang pemuda bangsawan itu bertemu dengan beberapa orang perajurit yang memang dikerahkan oleh Kui-thaijin untuk mencari puteranya yang diculik orang. Saking leganya bertemu dengan para perajurit, dua orang pemuda bangsawan itu jatuh pingsan. Mereka lalu cepat-cepat digotong oleh para perajurit dan dibawa ke rumah masing-masing.
Kui Con langsung dibawa ke rumah gedung Pembesar Kui Hok dan melihat keadaan Kim Magu, Kui-thaijin memerintahkan para perajurit untuk cepat membawanya ke gedung tempat tinggal Panglima Besar Kim Bayan. Akan tetapi pada waktu itu, Kim Bayan tidak berada di rumah karena dia sedang sibuk berusaha mencari harta karun Kerajaan Sung. Keluarga panglima itu lalu menyambut Kim Magu dengan tangisan dan segera mengundang tabib terpandai di kota Cin-yang untuk mengobati dan merawat pemuda itu.
Biarpun keluarga Kim dan Kui hendak merahasiakan dan menutupi peristiwa itu, namun karena banyak perajurit yang mengetahui, juga para pelayan di kedua keluarga bangsawan itu, akhirnya berita itu tersiar juga dan menjadi bahan percakapan seluruh penduduk Cin-yang. Diam-diam mereka bergembira dan merasa puas dengan hukuman berat yang diberikan Pendekar Tanpa Bayangan kepada dua orang muda bangsawan yang dibenci masyarakat itu.
Dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan itu, Kim Magu dan Kui Con kini hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak berani kelihatan orang lain karena merasa malu dengan keadaan mereka. Mereka merasa tersiksa dan biarpun rasa nyeri akhirnya dapat dihilangkan, namun mereka merasa betapa hidup mereka tidak ada gunanya lagi. Bahkan sering mereka menangis meratapi nasib mereka dan merasa lebih baik mati saja daripada hidup tersiksa lahir batin seperti itu. Akan tetapi watak buruk mereka tidak pernah hilang sehingga mereka tidak menyesali perbuatan sendiri melainkan setiap hari mencaci-maki dan mengutuk Bu-eng-cu Pouw Cun Giok.
Bahkan Kepala Pengadilan Kui Hok mengerahkan pasukan pemerintah untuk melakukan pencarian terhadap diri pendekar yang namanya amat dikenal itu. Juga pihak keluarga Kim, walaupun Kim Bayan sendiri belum pulang, mereka juga minta kepada para perwira pasukan untuk mencari Pendekar Tanpa Bayangan yang menjadi buronan pemerintah itu.
"Y" Cun Giok meninggalkan tanah kuburan dan dia tidak mau singgah di rumah keluarga Siok yang dijaga Ciu-ma. Tidak ada orang mengetahui ketika dia berkunjung ke rumah itu dan dia tidak ingin ada orang mengetahui agar Ciu-ma tidak terbawa-bawa sebagai akibat dari perbuatannya menghukum Kim-kongcu dan Kui-kongcu.
Setengah malam itu dia berlari cepat. Setelah malam berganti pagi, dia telah berada jauh sekali dari kota Cin-yang. Ketika melihat sebatang sungai yang airnya jernih mengalir di luar sebuah hutan, dia pun berhenti berlari dan duduk di tepi sungai di mana terdapat banyak batu-batu kali yang besar. Dia duduk di atas batu besar yang licin bersih, dan segera tenggelam dalam lamunan.
Semula dia merasa lega dan puas telah memberi hajaran keras kepada dua orang pemuda bangsawan itu untuk membalas dendam Siok Eng sekeluarganya. Rasa lega dan puas itu muncul sebagai akibat dari kemarahan yang membakar hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah balas dendam itu dia laksanakan, dan dia duduk termenung memandang air bening yang mengalir di depannya dan matahari pagi membuat garis merah di permukaan sungai, kelegaan dan kepuasan itu tidak terasa lagi.
Dia membayangkan wajah Siok Eng yang bergerak-gerak di permukaan air sungai. Tanpa disadari tangannya merogoh ke balik bajunya dan dia mengeluarkan sebuah benda putih mengkilap. Itulah tusuk sanggul perak berbentuk pohon yang-liu (cemara) pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan.
Seperti dalam mimpi dia bicara kepada bayangan wajah Siok Eng di permukaan air setelah menghela napas panjang dan mengeluarkan keluhan merintih. "Eng-moi?" aku memang bersalah, aku berdosa kepadamu...... akan tetapi lihatlah, isteriku, lihat, tusuk sanggul pemberianmu ini tak pernah terpisah dari tubuhku. Sekali engkau menjadi jodohku, biar kini engkau tidak ada lagi, sampai aku mati pun engkau akan tetap kuanggap sebagai isteriku......"
Kembali dia mengeluh dan tiba-tiba wajah Siok Eng di permukaan air itu berubah, membentuk sebuah wajah lain yang amat dikenalnya. Wajah Liu Ceng Ceng yang tersenyum lembut kepadanya, akan tetapi pandang mata Ceng Ceng kepadanya penuh teguran. Dia mengenal betul watak Ceng Ceng. Selama melakukan perjalanan bersama, seringkali gadis itu membuka rahasia-rahasia tentang kehidupan. Dia merasa yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak membenarkan tindakannya terhadap dua orang pemuda bangsawan itu.
Dia teringat akan apa yang diceritakan Ciu-ma kepadanya bahwa dulu pernah kedua orang pemuda bangsawan itu mengganggu keluarga Siok dan ketika itu Pek-eng Sianli menolong mereka. Ceng Ceng yang telah menolong Siok Eng sekeluarga dan Ceng Ceng telah memberi hajaran keras kepada Kim Magu dan Kui Con, dengan jalan menggantung mereka di pohon tepi jalan raya sehingga semua orang melihat mereka. Ceng Ceng memang memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi tidak membunuh atau menjadikan mereka penderita cacat berat seperti yang dia lakukan itu.
02.2. Kenakalan Dua Gadis Kembar!
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pernah gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan Kui Con" Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita mendendam.
Benarkah bahwa dia terlalu kejam" Dipengaruhi nafsu mendendam" Dia mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con! Mereka pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka kepadanya! Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan dendam lain lagi.
Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah yang menimbulkan rasa sedih dan haru.
"Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku."
Dia mengamati tusuk sanggul perak di tangannya dan teringat bahwa Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.
"Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah kesadaran kita akan yang salah dan yang benar."
Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit dari kesedihannya. Ceng Ceng benar! Tak perlu terbenam ke dalam kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka. Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan menyimpannya kembali.
"Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat meninggalkan badanku."
Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut semua masalah yang memenuhi benaknya.
Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan pakaiannya, di mana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak! Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam keadaan seperti itu" Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita! Maka dia menduga bahwa tentu ada orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu.
Dia lalu mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru. "Nona yang mencuri pakaianku! Bagaimana engkau tidak tahu malu mencuri pakaianku" Kembalikan pakaianku!"
Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.
"Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini!"
Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda. Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.
"Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan seperti ini. Telanjang bulat!!" Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai!
"Hi-hi-hik! Jangan! Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu!" terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.
"Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu" Kalian berdua yang mencuri pakaianku! Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat!"
"Nanti dulu!" terdengar suara seorang gadis lain. "Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian ini kepadamu!"
Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu.
"Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus!"
Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali!
Cun Giok cepat menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi.
"Heii! Kalian mencuri pedangku! Hayo kembalikan!" teriaknya marah, lalu dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.
Kembali dua orang gadis itu cekikikan. "Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya" Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk bertanding melawan kami."
Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi.
Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan, muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju! Yang membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang ketiganya juga cantik jelita.
Akan tetapi sekali ini dia benar-benar tercengang dan kagum karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu! Tak mungkin agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin! Gadis kembar, pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya!
Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan di dunia kang-ouw di mana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.
Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.
"Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia seorang berasal dari dusun yang malu-malu!"
"Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu! Buktinya kita ini orang dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu!" kata gadis kedua.
"Aih, dia tampan juga, Enci Lan!" kata gadis yang disebut Adik Lin sambil tersenyum.
Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu. Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak lebih tua atau lebih muda.
"Kui Lin, jangan bicara sembarangan! Kita belum tahu dia ini orang macam apa!" Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.
Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik! Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci!
Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar matanya masih tampak kelincahannya yang nakal! Mata itu lebih hidup, penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana! Dia kini akan dapat mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat mata dan sinar mata mereka.
Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.
"Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kami tidak pernah terdapat hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian menggangguku?"
Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut.
"Hemm, siapa yang mengganggu" Jangan memutar balikkan kenyataan! Engkaulah yang mengganggu kami dan kalau Adikku menyembunyikan pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu!"
Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya. "Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan" Aku mandi dalam sungai, tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu" Gangguan apa yang telah kulakukan terhadap kalian berdua?"
Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata.
"Huh, berlagak bodoh, ya" Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, ya" Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya!"
"Eh-eh! Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian" Apakah gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu" Jelaskanlah dan jangan membuat aku penasaran dengan fitnah!"
"Hemm, engkau belum merasa bersalah?" kata Kui Lan dengan sinar mata mencorong. "Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan melanggar kesusilaan, apa yang akan kaulakukan terhadap orang itu?"
"Aku tidak mempunyai rumah," kata Cun Giok, "akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu."
"Nah, engkaulah si kurang ajar itu! Tempat ini termasuk wilayah kami, air sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat di mana kami biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula! Apakah itu bukan kurang ajar namanya?" kata Kui Lin.
Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marah-marah kepadanya!
"Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka memaafkan aku." Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
"Enak saja minta maaf!" Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek. "Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk menandingi aku!"
Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan memandang Cun Giok.
Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak, dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali gadis ini.
Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti biasanya orang bersilat.
Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri!
"Hayo cepat mulai!" bentaknya dan kerling matanya makin tajam.
"Mulai apa, Nona?" tanya Cun Giok.
Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susah-susah memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa!
"Mulai apa! Mulai apa! Ya mulai memasang kuda-kuda, siap bertanding!" katanya gemas, mulutnya cemberut.
"Lho! Sejak tadi saya sudah siap, Nona."
"Mana siap" kuda-kuda kok begitu?"
"Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap!"
"Kalau sudah siap, mulailah menyerang!" tantang Kui Lin sambil memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.
"Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang mulai menyerang!"
"Hoho! Engkau mau menipuku, ya" Kaukira aku tidak tahu bahwa menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik! Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!" Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok.
Serangan ini cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup kuat! Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau mengejar buruannya setelah patukannya luput.
Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi dengan tenang Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis. Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang! Akan tetapi dengan amat lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya menginjak tanah dengan tegak!
Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.
Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai tigapuluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini. Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak ada yang menyentuh sasaran!
Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang jarang dimainkan karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun) dan beberapa macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula!
Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah dijumpainya! Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru kaget karena ia kehilangan lawannya!
"Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku!" Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya, ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar!
Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu' berseru kaget karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang! Kalau saja yang menyentuh itu berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu sudah tewas seketika! Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di depannya dengan mata terbelalak.
Cun Giok membungkuk, mengambil sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya kepada gadis itu dan berkata. "Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh!"
Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah karena sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia menjulurkan tangan memenerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan memasangnya kembali ke atas kepalanya.
Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kim-kong-kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya lalu melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia mulai merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.
"Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong. Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya.
02.3. Tamu Undangan Lembah Seribu Bunga
Ternyata pedang di tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan, adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan gadis itu yang dimaksudkan!
"Hek-liong-kiam yang ampuh!" katanya sambil mencabut pedangnya sendiri.
"Engkau mengenal Hek-liong-kiam?" gadis itu bertanya, dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia berkata bimbang.
"Kim-kong-kiamkah itu?"
"Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak ada yang rusak," kata Cun Giok. Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.
"Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah, bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini!" setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai). Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.
"Cringgg......!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut, merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.
Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke arah sekelilingnya.
Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kong-koan-jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).
Sejak tadi Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susul-menyusul dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat gadis itu kehabisan akal karena ke mana pun sinar pedangnya berkelebat menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya! Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.
"Balas seranganku!" bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari) pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.
"Takk!" Dia mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan tempelan tetap saja ia gagal dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan...... pedang hitam itu terlepas dari pegangan pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah tangan! Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.
"Maafkan aku, Nona," katanya lembut.
Dengan wajah berubah merah gadis itu menerima kembali pedangnya, lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata.
"Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami tadi yang mempermainkanmu."
Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata. "Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona."
"Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?" kata gadis kedua yang lincah.
Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada Cun Giok. "Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami perkenalkan dengan Ibu kami."
Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata.
"Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan dengannya" Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak menjadi tamu yang asing."
The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu" Maka ia diam saja dan hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya.
Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk hormat dia terpaksa memperkenaIkan dirinya.
"Namaku Pouw Cun Giok," katanya singkat.
"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Kui Lin.
"Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal."
"Siapa orang tuamu?"
"Orang tuaku sudah meninggal dunia."
"Jadi engkau yatim piatu" Tiada sanak keluarga?"
"Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi."
"Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?"
"Aku hanya menuju ke mana saja hati dan kakiku membawaku."
"Apakah......" "Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu!" tegur Kui Lan yang memotong pertanyaan berikutnya.
"Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?" Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan dukungannya.
Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan adik itu bercekcok. "Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan atau bangsawan."
"Hemm, mau enaknya sendiri saja!" kata Kui Lin. "Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?"
"Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona."
"Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona" Aku akan menyebutmu Kakak Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap menyebutmu Tuan."
Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping wataknya yang agak liar dan galak. Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, Lin-moi, asal saja...... Lan-moi tidak keberatan!"
Dengan tenang Kui Lan menjawab, "Mengapa keberatan" Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua daripada kami, Giok-ko."
"Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh."
"Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu," kata Kui Lin.
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa terhina karena undangan mereka dia tolak.
Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya, tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga!
Sumur Perut Setan 2 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Terbang Harum Pedang Hujan 15
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 " Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01 01.1. Balas Dendam Kongcu Brengsek
Siang hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi Shantung diliputi mendung tebal. Pertanda akan turun hujan tampak jelas. Orang-orang segera bersiap-siap, yang berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk berteduh. Toko-toko banyak yang tutup karena biasanya kalau hujan turun dengan deras maka air hujan yang terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam toko. Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena mereka bergegas pulang agar tidak kehujanan di jalan. Bukan hanya manusia yang bersiap-siap menghadapi curahan air hujan di langit. Burung-burung yang beterbangan pun pulang ke sarang mereka.
Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar di angkasa berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan dituangkan dari langit.
Seperti juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal yang sewajarnya itu mendapat tanggapan berbeda-beda. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh turunnya hujan, seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka mereka yang merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan menganggap bahwa hujan merupakan peristiwa buruk yang amat merugikan mereka. Sebaliknya, mereka yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani yang membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka, para pedagang payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur dan merasa gembira dengan turunnya hujan dan mereka menganggap hujan merupakan peristiwa baik yang menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia, apa yang disebut baik atau buruk itu hanya merupakan pendapat orang-orang. Bagi yang menguntungkan dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap buruk!
Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan sebuah peristiwa alam yang wajar. Orang bijaksana yang menganggap hujan itu wajar saja, akan dapat berusaha melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan dapat memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya. Kalau tidak mau kehujanan, pakailah payung atau pergi mencari tempat berteduh tanpa mengeluh! Kalau datang hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah saluran air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan air itu ke tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana selalu dapat memanfaatkan apa pun yang terjadi di dunia dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam ke dalam kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.
Hujan baru reda setelah lewat tengah hari. Biarpun kini sisa hujan masih ada, air turun rintik-rintik dan jarang, namun sinar matahari yang mulai condong ke barat membuat suasana menjadi cerah kembali.
Tiba-tiba serombongan orang berkuda menarik perhatian penduduk Cin-yang. Rombongan itu adalah pasukan Kerajaan Mongol. Jumlah mereka sekitar tiga losin orang, dipimpin oleh seorang panglima yang berpakaian mewah, bertubuh tinggi besar, matanya sipit dan mukanya brewok. Pasukan itu tampak gagah dan galak. Di sampingnya terdapat seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Panglima itu berusia sekitar empatpuluh tujuh tahun.
Mereka yang mengenal panglima ini, berbisik-bisik memberi keterangan kepada orang di dekatnya, dengan suara lirih dan gentar.
"Wah, panglima itu adalah Panglima Besar Kim Bayan yang terkenal galak dan kejam. Dia adalah ayah dari Kongcu (Tuan Muda) Kim Magu yang mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang!"
Mendengar ini, semua orang menjadi gentar, apalagi mereka yang mempunyai anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa dan yang memiliki wajah lumayan. Mereka segera menyuruh anak mereka untuk bersembunyi!
Akan tetapi sekali ini, pasukan perajurit yang dipimpin oleh Panglima Kim Bayan tidak mempedulikan penduduk Cin-yang dan pasukan itu langsung saja menuju ke gedung Yo Bun Sam atau Yo-thaijin (Pembesar Yo) yang menjadi pembesar kepala daerah di Cin-yang. Setelah memasuki halaman gedung itu, Panglima Kim Bayan memerintahkan anak buahnya untuk turun dari punggung kuda dan siap berjaga di luar menanti perintahnya. Kemudian dengan langkah gagah dia memasuki pendapa gedung itu, diiringkan puteranya, yaitu Kim Magu, pemuda Mongol yang tinggi besar bermuka hitam.
Panglima Kim Bayan adalah panglima yang mengepalai seluruh pasukan yang berada di Propinsi Shantung sampai ke selatan. Karena tugasnya meliputi daerah yang luas, di mana dia sering melakukan kunjungan untuk menerima laporan dan meneliti keadaan, maka dia jarang pulang ke gedungnya yang berada di kota Cin-yang. Apalagi akhir-akhir ini dia sibuk melakukan pengejaran terhadap harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Lebih dati satu tahun dia tidak pulang ke Cin-yang.
Ketika kemarin dia pulang ke Cin-yang, dia menerima laporan dari putera tunggalnya, Kim Magu, yang membuat dia marah bukan main. Pemuda muka hitam itu melaporkan betapa dia dan sahabatnya yang bernama Kui Con, yaitu putera Kui-thaijin kepala pengadilan di Cin-yang, telah mengalami penghinaan, disiksa dan digantung di sebuah pohon di tepi jalan sehingga semua penduduk dapat melihat mereka tergantung dengan kepala di bawah. Pada tempat itu terdapat tulisan bahwa Kim Magu dan Kui Con adalah pemuda-pemuda jahat yang mengandalkan kekuasaan ayah mereka yang tidak mampu mendidik mereka dan sekarang mendapat hajaran keras agar jera.
Kim Magu menceritakan hal ini kepada ayahnya sambil menangis karena dia merasa terhina sekali. Sejak peristiwa itu, dia dan Kui Con segan untuk keluar rumah karena pandangan para penduduk terhadap mereka tampak mengejek dan sinis.
Kim Bayan yang sedang minum arak, terbelalak mendengar laporan puteranya itu. Dia membanting guci arak sehingga hancur dan tangannya menampar ujung meja marmar sehingga pecah. Matanya yang lebar mengeluarkan sinar penuh kemarahan.
"Jahanam busuk! Siapa berani berbuat demikian kurang ajar terhadap Anakku"!"
"Ia seorang gadis pendekar yang dijuluki Pek-eng Sianli, Ayah."
Kim Bayan semakin marah sehingga dia bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Pek-eng Sianli" Itu adalah julukan dari Liu Ceng! Keparat! Gadis itu berani menghinamu seperti itu" Mengapa ia berbuat seperti itu?"
"Begini, Ayah. Aku dan Kui Con bertemu dengan seorang gadis bernama Siok Eng dan encinya bernama Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung. Kami tertarik sekali dan terus terang saja, aku jatuh cinta kepada Siok Eng. Kami mengajukan pinangan, Siok Eng hendak kujadikan selirku, dan Kui Con ingin berkenalan dengan Siok Hwa. Akan tetapi tiba-tiba muncul Pek-eng Sianli dan kami berdua ia serang kemudian kami ditotok dan digantung di pohon itu."
"Keparat! Kapan hal itu terjadi?"
"Sudah lama, Ayah. Sudah lewat belasan bulan yang lalu."
"Hemm, kenapa engkau diam saja" Setelah Liu Ceng pergi, mengapa engkau tidak menghajar keluarga Siok itu untuk membalas dendam?"
"Aku tidak berani, Ayah. Pek-eng Sianli itu menitipkan keluarga Siok kepada Kepala Daerah Yo Bun Sam. Ayah Kui Con, Kepala Pengadilan Kui Hok, dipanggil dan ditegur oleh Yo-thaijin. Kami diancam agar jangan mengganggu keluarga Siok. Maka aku hanya dapat menanti Ayah pulang. Selama ini aku jarang keluar rumah, Ayah. Aku malu sekali atas penghinaan itu." Tentu saja Kim Magu tidak menceritakan bahwa dia menyuruh Lai Koan, perwira pelaksana pencari pekerja paksa di Cin-yang yang kini dihukum atas tuntutan Yo-thaijin, untuk memaksa dua orang wanita itu agar ditangkap dan diserahkan kepada dia dan Kui Con.
"Bangsat Kepala Daerah Yo Bun Sam! Dia kira dia itu siapa berani menghina anakku dan berani bersekongkol dengan Liu Ceng, gadis pemberontak itu" Mari kita datangi dia!" Demikianlah, setelah hujan deras reda dan tinggal gerimis, Kim Bayan mengajak puteranya, dikawal tiga losin perajurit, berangkat berkuda ke gedung tempat tinggal Kepala Daerah Yo Bun Sam. Setelah pasukannya siap berjaga di luar gedung, Kim Bayan dan Kim Magu memasuki gedung.
Para perajurit pengawal di gedung itu tentu saja ketakutan ketika melihat Panglima Kim Bayan dengan pasukannya. Mereka cepat melaporkan kunjungan panglima itu kepada Yo-thaijin.
Pembesar Yo Bun Sam adalah seorang Pribumi Han yang karena lulus ujian negara dengan baik lalu menerima pangkat. Setelah bekerja beberapa tahun lamanya di kota raja dan ternyata dia memang cakap memegang jabatannya, dia menerima kenaikan-kenaikan dan akhirnya dia diangkat menjadi kepala daerah di Cin-yang. Pemerintah Kerajaan Mongol memang pandai menggunakan tenaga orang-orang pribumi Han yang pandai untuk membantu kelancaran roda pemerintahan. Seorang kepala daerah pribumi Han tentu akan lebih ditaati oleh penduduknya. Dan memang benar, setelah Yo Bun Sam menjadi kepala daerah Cin-yang, daerah itu aman karena Yo-thaijin ini bersikap bijaksana dan adil, berani menentang pejabat yang jahat dan membela rakyatnya.
Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Panglima Kim Bayan, seorang panglima perang yang tentu saja memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada dia. Maka mendengar kunjungan Panglima Kim Bayan, Yo-thaijin cepat mengenakan pakaian kebesarannya dan menyambut. Mereka bertemu di ruangan depan dan Yo-thaijin segera menyambut dengan sikap hormat.
"Ah, kiranya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim) yang datang berkunjung! Silakan duduk, Ciangkun!"
Akan tetapi Kim Bayan menanggapi sambutan ramah dan hormat itu dengan mata melotot marah. "Yo Bun Sam! Aku datang bukan untuk duduk denganmu. Aku datang mau bertanya, mengapa engkau berani mati menyuruh seorang gadis pemberontak untuk menghina puteraku Kim Magu ini beberapa bulan yang lalu! Hayo jawab!"
Yo Bun Sam segera dapat mengetahui apa yang menyebabkan panglima itu datang dan marah-marah kepadanya. Dia tetap tenang lalu menjawab.
"Kim Thai-ciangkun, harap Ciangkun bersabar dan saya dapat memberi penjelasan tentang peristiwa itu. Saya sama sekali tidak mengenal gadis itu dan apa yang ia lakukan terhadap Kim-kongcu sama sekali tidak saya ketahui dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Mestinya kemarahan Ciangkun itu ditujukan kepada gadis itu, bukan kepada saya karena saya tidak pernah berurusan dengan Kim-kongcu, apalagi menghinanya."
"Akan tetapi engkau mengirim Lai Koan ke penjara dan engkau menegur Kepala Pengadilan Kui, dan engkau melindungi keluarga Siok!" tiba-tiba Kim Magu berseru nyaring, membentak dengan marah.
"Kim Thai-ciangkun dan Kim-kongcu, dengarlah penjelasan saya yang jujur dan apa adanya. Saya sama sekali tidak mencampuri urusan gadis pendekar itu dan Kim-kongcu......"
"Gadis pendekar" Pek-eng Sianli Liu Ceng itu adalah seorang gadis pemberontak!" bentak Kim Bayan.
"Terserah Ciangkun hendak menyebutnya sebagai apa. Saya tidak mempunyai hubungan dengannya dan apa yang saya lakukan hanyalah sesuai dengan tugas saya sebagai kepala daerah yang harus mengatur dan menjaga agar Cin-yang ini aman dan tenteram. Ketika saya didatangi keluarga Siok yang minta perlindungan ke sini dan mendengar apa yang dilakukan oleh Perwira Lai Koan, tentu saja saya harus bertindak. Saya melindungi mereka karena sebagai penduduk Cin-yang mereka yang tidak berdosa itu terancam keselamatannya. Mendengar bahwa Lai Koan melakukan penyelewengan dalam tugasnya mengumpulkan pekerja bakti, sewenang-wenang menggunakan kekerasan dan menerima uang sogokan, setelah melihat bukti-buktinya, saya lalu menuntutnya ke pengadilan dan dia dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya, bukan" Saya lalu menegur Kepala Pengadilan Kui karena dia pun bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga Siok. Tentang perlindungan yang saya berikan kepada Chao Kung, isterinya, ayah mertua dan adik iparnya, hal itu sudah sewajarnya. Penduduk Cin-yang siapa saja yang minta perlindungan kepada saya dan mereka memang tidak berdosa dan diperlakukan sewenang-wenang, pasti akan saya lindungi. Nah, demikianlah, Kim Thai-ciangkun. Saya hanya memenuhi kewajiban saya dan sama sekali tidak mencampuri urusan Kim-kongcu dan gadis itu."
"Yo Bun Sam! Keluarga Siok itu menggunakan seorang gadis pemberontak sebagai pelindung, berarti mereka adalah keluarga pemberontak pula! Dan engkau melindungi mereka, biarpun engkau tidak langsung menjadi pemberontak, berarti engkau sudah bersekongkol dengan pemberontak! Puteraku telah dihina, berarti akulah yang dihina! Hayo cepat berlutut dan minta ampun, baru aku mungkin dapat mengampunimu!" bentak Panglima Besar Kim Bayan.
Wajah Yo Bun Sam berubah merah dan matanya bersinar penuh kemarahan. Dia adalah seorang yang berjiwa patriot, dalam arti kata bukan menentang penjajah Mongol dengan kekerasan, melainkan berusaha mencapai kedudukan agar dengan kekuasaannya dia dapat membela rakyat bangsanya. Dia seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dalam membela keluarga Siok dia sama sekali tidak merasa bersalah. Maka, kini diancam dan digertak agar dia berlutut minta ampun" Tentu saja dia tidak sudi melakukannya!
Dia teringat akan riwayat para patriot yang rela berkorban nyawa untuk bangsanya, seperti Patriot gagah perkasa Jenderal Gak Hui, dan masih banyak lagi. Dia pengagum mereka, maka biarpun dia memiliki kedudukan cukup tinggi, Yo Bun Sam tidak pernah bertindak sewenang-wenang, belum pernah mau menerima sogokan dan tidak pernah melakukan korupsi sehingga dialah satu di antara pejabat yang tidak menjadi kaya raya. Kini bangkit kemarahannya mendengar Kim Bayan memaksanya berlutut minta ampun.
"Kim Thai-ciangkun!" katanya dengan sikap tegak dan gagah. "Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Ciangkun ataupun terhadap Kim-kongcu. Mengapa saya harus berlutut minta maaf" Berlutut minta ampun berarti mengakui kesalahan, padahal saya tidak bersalah apa-apa."
"Engkau tidak mau berlutut minta ampun?" bentak Kim Bayan dan kemarahannya memuncak.
"Saya tidak dapat melakukan itu, Ciangkun!"
"Yo Bun Sam! Engkau pelindung pemberontak! Engkau berani menentang dan melawan aku?"
"Saya tidak menentang Ciangkun......"
"Jahanam!" Kim Bayan bergerak cepat, tangan kanannya memukul dengan telapak tangan ke arah dada Yo Bun Sam! Pembesar tinggi kurus yang tidak pernah belajar silat itu tidak dapat mengelak maupun menangkis. Pukulan itu cepat sekali datangnya dan mengandung tenaga yang amat dahsyat.
"Syuuuuttt...... desss!!" Tubuh tinggi kurus Kepala Daerah Cin-yang itu terlempar ke belakang, menabrak dinding dan roboh menelungkup, tewas seketika. Darah mengucur dari mulut, hidung dan telinganya!
Setelah memukul mati Yo Bun Sam, kemarahan Kim Bayan mereda.
"Hayo kita pulang!" katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah lebar keluar dari gedung itu. Dia tidak mempedulikan ratap tangis yang segera terdengar riuh rendah di ruangan depan itu.
Setibanya di halaman gedung, Kim Bayan hendak memberi isyarat kepada pasukannya untuk berangkat pulang. Akan tetapi Kim Magu segera berkata.
"Ayah, aku minta pinjam selosin perajurit untuk memberi hajaran kepada keluarga. Siok!"
"Hemm, terserah!" Kim Bayan lalu pergi diikuti dua losin perajurit karena yang selosin ditahan Kim Magu.
Dengan bangga dan girang, Kim Magu lalu memimpin selosin orang perajurit itu, duduk di atas punggung kudanya dengan wajah berseri dan dada dibusungkan, mula-mula dia pergi ke rumah Kui Con. Dia mengajak sahabat baiknya itu untuk "membalas dendam" kepada keluarga Siok. Tentu saja Kui Con, putera tunggal Kepala Pengadilan Kui Hok, merasa gembira sekali mendengar bahwa Yo-thaijin telah dibunuh oleh Panglima Kim Bayan.
Sejak dulu, Kui Con memang tergila-gila kepada Siok Hwa, enci Siok Eng atau isteri Chao Kung. Dulu pun ketika Kim Magu ingin mengambil Siok Eng sebagai selir, dia sendiri ingin mendapatkan Siok Hwa sebagai kekasihnya walaupun Siok Hwa telah menjadi isteri orang lain. Kini tiba saatnya untuk membalas dendam dan melaksanakan hasrat hatinya yang selama ini terpendam karena takut kepada Yo-thaijin yang melindungi keluarga Siok.
Demikianlah, Kui Con menunggang kuda dengan sikap angkuh di samping Kim Magu, dikawal selosin orang perajurit, menuju ke rumah Chao Kung. Penduduk kota Cin-yang yang berada di jalan dan melihat dua orang pemuda itu, mengerutkan alis dan mereka heran melihat dua orang yang terkenal sebagai perusak anak bini orang itu kini berani muncul kembali setelah setahun lebih tak pernah tampak di tempat umum. Pasti akan terjadi sesuatu yang gawat, pikir mereka dengan khawatir.
Pada saat itu, Chao Kung membuka tokonya yang tidak terlalu besar seperti biasa. Dia berdagang rempa-rempa dan dalam pekerjaannya itu dia telah dibantu oleh ayah mertuanya, Siok Kan, isterinya Siok Hwa dan adik isterinya, Siok Eng. Ada pula seorang pembantu wanita setengah tua yang bekerja di dapur. Mereka sama sekali belum mendengar nasib yang menimpa pelindung mereka, yaitu Kepala Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam.
Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang itu ketika tiba-tiba selosin orang perajurit yang mengawal Kim Magu dan Kui Con telah berada di depan toko! Saking kagetnya, mereka berempat hanya terbelalak memandang dua orang pemuda itu yang sudah melompat turun dari punggung kuda mereka dan cengar-cengir memasuki toko!
Chao Kung yang tinggi kurus dan pemberani itu cepat melangkah maju seolah melindungi ayah mertuanya, isteri dan adik iparnya, lalu memberi hormat dan bertanya dengan sikap sopan namun suaranya tegas. "Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) datang berkunjung mempunyai keperluan apakah?"
Akan tetapi Kim Magu dan Kui Con yang sudah bersepakat mencabut golok masing-masing dan Kim Magu membentak marah.
"Kalian keluarga pemberontak! Kalian sudah memberontak terhadap pemerintah! Kami datang untuk membasmi kalian!" Setelah berkata demikian, Kim Magu memberi isyarat kepada para perajurit pengawalnya dan selosin orang perajurit itu lalu menyerbu ke dalam toko.
Chao Kung terkejut bukan main dan karena dia sedang berjualan, maka dia tidak mempersiapkan senjata. Dia mencoba melawan ketika para perajurit itu menyerbu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Magu dan Kui Con juga sudah menyerangnya. Tingkat kepandaian Chao Kung hanya sebanding dengan tingkat Kim Magu atau Kui Con, maka kini, dengan tangan kosong dia menghadapi penyerangan dua orang pemuda bangsawan yang bersenjata golok, masih dikeroyok lagi oleh selosin perajurit, tentu saja dia hanya mampu melawan sebentar. Bacokan bertubi-tubi menghunjam tubuhnya sehingga dia roboh mandi darah dan tewas seketika.
Siok Kan hendak menolong mantunya, akan tetapi sambaran golok Kim Magu membuat lehernya hampir putus dan dia pun roboh di dekat mayat mantunya. Siok Hwa dan Siok Eng menjerit-jerit menangisi suami dan ayahnya, akan tetapi Kim Magu sudah meringkus Siok Eng dan Kui Con meringkus Siok Hwa. Dua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja mereka tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan dua orang pemuda itu. Saking sedih melihat suami dan ayahnya tewas, disertai rasa takut dan marah, Siok Hwa terkulai pingsan. Ia dirangkul dan dibawa meloncat ke atas punggung kuda oleh Kui Con.
01.2. Wanita Terhormat Sampai Ajal
Siok Eng juga meronta-ronta dan menjerit, memaki-maki, akan tetapi tubuhnya dirangkul ketat oleh Kim Magu sehingga ia tidak mampu bergerak dan ia pun dibawa naik ke atas punggung kuda oleh Kim Magu. Selosin orang pengawal itu, seperti biasa, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil barang-barang yang berharga dari toko dan rumah itu. Sikap dan perbuatan mereka itu tiada ubahnya segerombolan perampok!
Ketika peristiwa itu terjadi, para tetangga, bahkan mereka yang sedang berlalu-lalang atau berdekatan dengan rumah Chao Kung, ketakutan dan menjauhi tempat itu. Setelah pasukan itu pergi, barulah para tetangga berani mendekat. Mereka menemukan Ciu-ma, pelayan wanita keluarga itu, sedang berlutut dan menangisi mayat Siok Kan dan Chao Kung yang mandi darah. Para tetangga cepat bergotong-royong merawat dan mengatur pemakaman ayah mertua dan mantu itu secara sederhana.
Ciu-ma kini menjaga rumah itu seorang diri dengan hati penuh rasa ngeri, takut dan juga sedih dan bingung. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga dan keluarga Siok itu sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Bahkan ia pula yang dahulu menjadi inang pengasuh Chao Kung ketika masih kecil. Maka biarpun kini Chao Kung telah tewas bersama ayah mertuanya, dan nyonya rumah Siok Hwa dan adiknya, Siok Eng, dilarikan Kim Magu dan Kui Con, ia tidak dapat meninggalkan rumah itu.
Dengan hati dipenuhi rasa duka melihat kematian ayahnya, dan penuh kebencian terhadap pemuda Mongol muka hitam yang menculiknya, Siok Eng tiada hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.
"Jahanam busuk, manusia terkutuk!" ia memaki-maki, akan tetapi sambil tertawa Kim Magu melarikan kudanya pulang ke sebuah pondok yang menjadi tempat peristirahatannya. Dia tidak mau membawa gadis tawanannya itu pulang, karena di sana terdapat banyak orang. Ibu kandungnya, para ibu tirinya, para pembantu rumah tangga dan banyak pula perajurit pengawal sehingga dia akan merasa tidak leluasa. Maka dia membawa Siok Eng ke rumah peristirahatannya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan wanita tua.
Setelah tiba di rumah itu, Kim Magu membiarkan kudanya dituntun pelayannya ke istal di belakang, sedangkan dia sendiri memondong tubuh Siok Eng yang meronta-ronta, memasuki rumah itu sambil tertawa-tawa gembira. Setelah memasuki kamarnya, dia melemparkan tubuh Siok Eng ke atas pembaringan.
Tentu saja Siok Eng menjadi marah dan juga ngeri karena ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda setan itu kepada dirinya. Ia merasa putus harapan karena sejak tadi, semua jeritannya sia-sia belaka, tidak ada orang yang berani mencampuri urusan Kim-kongcu, apalagi tadinya, masih timbul harapannya akan muncul tunangannya, Pouw Cun Giok, yang gagah perkasa dan pasti akan menolongnya. Akan tetapi setelah tiba di dalam rumah dan dirinya dilempar ke atas pembaringan, musnahlah semua harapannya. Ia maklum sepenuhnya bahwa keadaannya gawat, kehormatannya terancam dan ia sama sekali tidak berdaya. Melawan pun tidak ada artinya sama sekali karena ia adalah seorang gadis yang lemah dan Kim-kongcu selain pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar.
Pada saat itu, sambil memandang wajah Kim-kongcu dengan ketakutan, ia teringat akan Pouw Cun Giok dan timbul rasa penyesalannya yang amat besar. Tunangannya itu tidak pernah muncul selama dua tahun, bahkan kini ia berada dalam ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, tetap saja tunangannya itu tidak muncul dan tidak dapat diharapkan.
Mengingat akan kematian kakak ipar dan ayahnya, timbul dendam hebat di hati Siok Eng. Ia harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kehormatannya. Lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatannya kepada pemuda biadab ini. Siok Eng mengambil tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak dan berujung runcing.
Ia sengaja tidak mengelak ketika bagaikan seekor harimau menubruk domba, Kim Magu menerkam dan merangkul, menciuminya. Pada saat pemuda itu lengah oleh memuncaknya nafsu ketika kedua tangan pemuda itu mulai merenggut dan menanggalkan pakaian Siok Eng yang sengaja dibiarkan saja oleh gadis itu, tiba-tiba tangan kanan Siok Eng yang sejak tadi sudah mempersiapkan tusuk kondenya, menyambar dengan pengerahan sekuat tenaga ke wajah Kim Magu. Pada saat itu, Kim Magu sedang dimabok nafsu dan sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang sudah dicengkeramnya dan agaknya sudah menyerah itu akan menyerangnya. Dia menjadi lengah dan serangan itu terlalu dekat sehingga dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
"Crottt......!"
"Aduhhhh......!" Kim Magu melompat ke belakang seperti terpental dan kedua tangannya mendekap mata kirinya di mana masih menancap tusuk konde yang panjangnya sejengkal lebih itu dan yang sudah memasuki matanya hampir seluruhnya. Dia menjerit-jerit kesakitan, lalu berhasil mencabut tusuk konde itu. Darah muncrat-muncrat dari mata kirinya. Kemarahan dan rasa nyeri membuat Kim Magu hampir gila. Dia menerkam tubuh Siok Eng yang masih telentang di atas pembaringan, lalu kedua tangannya memukul, mencekik membabi buta.
Tentu saja Siok Eng tidak mampu menghindar, akan tetapi juga tidak terlalu lama menderita karena pukulan pertama yang mengenai kepalanya saja sudah cukup untuk menewaskannya. Biarpun Kim Magu mengamuk, memukuli dan mencekik, ia tidak merasakan lagi. Siok Eng tewas dalam keadaan masih belum ternoda kehormatannya dan biarpun ia hanya seorang wanita lemah, namun ia tewas sebagai seorang wanita yang gagah berani, lebih baik kehilangan nyawa daripada menyerahkan kehormatannya untuk dinodai dan dihina!
Kim Magu marah bukan main. Bukan saja dia gagal memuaskan gairah nafsunya, sebaliknya dia malah kehilangan mata kirinya! Tidak ada tabib di Cin-yang mampu memulihkan matanya karena biji matanya telah hancur tertusuk benda runcing berupa tusuk sanggul itu. Dia menjadi buta sebelah sehingga membuat wajahnya yang tadinya gagah, biarpun berkulit hitam, kini menjadi buruk menjijikkan dan menyeramkan.
Nasib Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung tidak lebih baik daripada nasib Siok Eng. Dalam keadaan pingsan dia dibawa oleh Kui Con ke rumah pelacuran dan selagi pingsan ia diperkosa oleh putera Kepala Pengadilan itu. Setelah siuman dari pingsannya dan melihat kenyataan bahwa dirinya telah dinodai, Siok Hwa bertindak nekat, mengigit putus lidahnya sendiri lalu membenturkan kepalanya pada dinding kamar sehingga kepalanya retak dan ia tewas seketika!
Demikianlah, dalam waktu sehari saja, seluruh keluarga itu telah terbasmi habis. Siok Kan, kedua orang puterinya Siok Hwa dan Siok Eng, juga mantunya Chao Kung, tewas dalam keadaan menyedihkan. Padahal, keluarga ini terkenal sebagai keluarga yang baik, sebagai manusia-manusia yang memiliki sikap, ucapan, dan perbuatan yang tak pernah tercela. Juga suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan, suka menyumbangkan sebagian penghasilannya, tak pernah bermusuhan. Akan tetapi, akhirnya mereka tewas dalam keadaan mengerikan.
Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang pada umumnya tidak disuka rakyat, yang hanya menumpuk harta, yang lalim kejam dan suka bertindak sewenang-wenang, yang pada umumnya disebut sebagai orang jahat, dapat hidup kaya raya penuh kemewahan dan kemuliaan. Mengapa orang yang hidup sebagai orang yang baik malah sengsara dan orang yang hidupnya jahat malah berbahagia" Adilkah itu"
Pertanyaan ini dilontarkan orang sejak dahulu, membuat manusia merasa penasaran, bahkan ada yang berani menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil! Dua jiwa yang baru dilahirkan sebagai manusia, yang keduanya belum sempat membuat dosa, mengapa keadaannya amat berbeda" Yang satu dilahirkan sebagai putera raja, disambut dengan segala kemuliaan oleh rakyat, sedangkan yang lainnya dilahirkan sebagai anak seorang pengemis di kolong jembatan, tak seorang pun mempedulikannya. Mengapa begitu" Benarkah dugaan sementara orang bahwa Tuhan tidak adil"
Dugaan seperti itu sesungguhnya keliru dan menunjukkan bahwa yang berpikiran demikian adalah orang yang imannya terhadap Tuhan rapuh adanya. Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Kasih dan Penyayang! Akan tetapi kuasaNya, keadilanNya, kasihNya tidak dapat diukur dengan pengertian manusia! Manusia mendasarkan kasih dan keadilan kepada kepentingan diri sendiri. Yang baik untuk dirinya, yang menguntungkan, itu baru adil! Baru ada kasih! Padahal keadilan dan Kasih Tuhan itu meliputi seluruh alam mayapada dan isinya, bukan hanya pada perorangan yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri. Kalau diukur dengan pengertian manusia, memang segala hal itu tampaknya tidak adil atau adil, tergantung si penilai demi keuntungan diri sendiri masing-masing. Hujan pun membuat sebagian orang yang diuntungkan memuji sebagai keadilan akan tetapi bagi orang lain yang merasa dirugikan mencelanya sebagai hal yang tidak adil. Terik matahari juga bisa disambut pujian atau keluhan.
Keadilan Tuhan itu mutlak, tak terjangkau oleh pikiran kita, tak dapat diukur, tak dapat diperhitungkan, tak dapat dimengerti. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dalam kehidupan manusia ini pasti bersebab dan berakibat. Tidak ada orang yang lolos dari sebab perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Menabur dan menuai tak dapat dipisahkan. Sebab dan akibat itu merupakan mata rantai yang kekal. Sulit menemukan orang yang menyadari bahwa buah yang pahit itu adalah buah pohon yang dulu dia tanam sendiri! Sulit pula menemukan orang yang ketika melakukan suatu perbuatan itu berarti dia menanam semacam pohon dan kelak perbuatan atau pohon itu akan berbuah dan dia sendiri yang akan memakannya! Orang bijaksana yang menyadari kedua hal ini, pasti akan berhati-hati kalau menanam (berbuat) sehingga memilih pohon yang baik, dan akan menerima segala yang menimpa dirinya tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa-siapa karena menyadari bahwa yang menimpa dirinya itu merupakan buah dari pohon tanamannya sendiri atau sebagai akibat dari perbuatannya sendiri!
Maka, berbahagialah orang yang selalu siap melakukan perbuatan yang membahagiakan orang lain dan menganggap perbuatan itu sebagai KEWAJIBAN, sebagai pembuktian rasa bersyukur kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan segala anugerah Tuhan kepadanya, bukan menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan! Orang yang membanggakan perbuatan baiknya sebetulnya tidak berbuat baik, melainkan melakukan perbuatan yang pamrihnya bersumber kepada keuntungan diri pribadi, yaitu berupa keuntungan materi atau keuntungan batin seperti pujian dan sanjungan dan kebanggaan! Matahari yang setiap hari menyinarkan cahaya yang menghidupkan semua mahluk, tak pernah menuntut imbalan karena hal itu merupakan kewajibannya! Kalau kita melakukan perbuatan yang kita anggap baik, seperti menolong orang lain, maka kita sudah memperoleh imbalannya, yaitu rasa bangga, pujian atau sanjungan itu. Itulah buahnya! Akan tetapi kalau kita melakukan perbuatan sebagai penyalur Kasih Tuhan, sebagai kewajiban, maka tanpa kita harapkan pun Tuhan pasti akan memberi buahnya.
Orang baik hidupnya sengsara atau orang jahat hidupnya bahagia, bayi lahir dalam keadaan mulia atau yang lain lahir dalam keadaan sengsara. Hal itu merupakan rahasia bagi kita, karena segala rencana Tuhan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pikiran kita, sama sekali tidak sama dengan rencana kita yang bersumber kepada menguntungkan diri sendiri. Ada yang menganggap itu sebagai Karma, buah dari pada perbuatan-perbuatannya dahulu ketika jiwa itu terlahir di masa sebelumnya. Akan tetapi apa dan bagaimana perbuatan di masa kehidupan lalu itu pun tidak ada yang mampu menjelaskannya karena itu semua merupakan rahasia yang hanya diketahui dan direncanakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa!
Kota Cin-yang menjadi gempar ketika mendengar hahwa Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun Sam yang mereka hormati dan kasihi karena pembesar itu bijaksana dan adil, telah terbunuh, kabarnya dibunuh Panglima Kim Bayan. Karena pembunuhnya seorang panglima besar, maka hal itu tidak sampai menjadi urusan yang berkepanjangan, apalagi Kim Bayan melapor ke kota raja bahwa Yo Bun Sam membantu dan bersekongkol dengan para pemberontak. Kegemparan menjadi-jadi ketika para penduduk mendengar bahwa Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, dibunuh oleh pasukan perajurit yang mengawal Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kemudian mereka mendengar bahwa isteri Chao Kung, yang dibawa Kui-kongcu, telah tewas membunuh diri, demikian pula Siok Eng yang dibawa Kim-kongcu, kabarnya juga telah tewas karena berani melukai Kim-kongcu dan dibunuh.
Berita itu mendatangkan kegemparan dan rasa penasaran, akan tetapi siapakah yang akan berani menuntut dan kalau dituntut sekalipun, kepada siapa" Kim Bayan adalah seorang panglima besar yang berkuasa, sedangkan ayah Kui-kongcu, yaitu Kui Hok adalah Kepala Pengadilan yang akan menyidangkan semua perkara sehingga para penuntut tentu saja akan mati kutu dan kalah dalam perkara mereka.
Akan tetapi, seperti juga segala macam peristiwa yang terjadi, baik itu menyenangkan ataupun menyusahkan, akan luntur dimakan waktu. Demikian pula dengan peristiwa yang menggemparkan penduduk Cin-yang itu. Setelah lewat kurang lebih dua bulan, jarang ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, bahkan sebagian orang sudah melupakannya. Kehidupan berjalan lancar dan normal kembali walaupun kini setelah Kepala Daerah Cin-yang diganti, penduduk merasa tidak ada lagi yang membela dan melindungi mereka. Para pejabat, dari yang kecil sampai yang paling besar, rata-rata brengsek, menekan, memeras dan selalu mengejar uang. Suap dan sogok terjadi di hampir semua bidang dan usaha pun tidak akan lancar kalau tidak menggunakan cara itu.
Sekitar dua bulan kemudian, pada suatu siang seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun, tampan gagah dan gerak-geriknya halus, memasuki kota Cin-yang. Pemuda itu adalah Pouw Cun Giok yang telah mengubah niatnya pergi ke Thai-san menyelidiki tentang harta karun Kerajaan Song yang hilang diambil orang, dan lebih dahulu hendak berkunjung ke rumah tunangannya, Siok Eng, yang sudah lama ditinggalkannya.
Setelah memasuki kota itu, kota yang pernah dikunjunginya dua tahun lebih yang lalu, bersama gurunya, Suma Tiang Bun, ketika mereka berdua menolong Siok Kan dan Siok Eng lalu mengantarkan mereka ke kota ini untuk tinggal di rumah Chao Kung, dia merasa terharu juga. Baru terasa olehnya betapa dia seolah-olah menyia-nyiakan Siok Eng, tunangannya itu. Mereka telah bertunangan, bahkan tanda ikatan perjodohan dari gadis itu berupa tusuk sanggul perak berbentuk pohon Yang-liu sampai sekarang masih ada padanya. Akan tetapi selama dua tahun dia tidak pernah menjenguknya atau memberi kabar. Dia dapat membayangkan betapa gadis itu menanti-nantinya dengan hati bimbang dan sedih.
"Eng-moi......!" Dia mengeluh penuh perasaan berdosa dan iba terhadap tunangannya itu. Dia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumah Chao Kung di mana tunangannya tinggal.
Ketika tiba di depan rumah itu, dia hampir tidak mengenal. Dahulu, setahunya rumah itu membuka sebuah toko, akan tetapi sekarang tokonya tidak ada, semuanya bahkan daun pintunya, tertutup! Dengan hati agak ragu dia menghampiri pintu lalu mengetuknya perlahan.
"Tok-tok-tok?"!"
Tidak ada jawaban dari dalam. Akan tetapi pendengaran Cun Giok yang tajam dapat menangkap adanya gerakan orang di balik daun pintu itu. Dia mengetuk
"Tok-tok-tok, harap bukakan pintu, saya Pouw Cun Giok!"
Terdengar kaki melangkah mendekati pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membuka daun pintu itu adalah seorang wanita setengah tua, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.
"Kongcu (Tuan Muda) siapakah dan hendak mencari siapa?" tanya wanita itu dengan suara gemetar dan sinar matanya jelas tampak ketakutan.
"Saya Pouw Cun Giok, apakah engkau tidak ingat, Ciu-ma?" kata Cun Giok yang masih mengenal wanita pembantu rumah tangga di rumah itu.
"Pouw Cun Giok...... ah, apakah Kongcu ini tunangan Nona Siok Eng......?"
"Benar, Ciu-ma. Di manakah semua keluarga" Mengapa pintu ditutup dan dalam rumah tampak begini sepi?"
"Masuklah, Kongcu, masuklah......" Ciu-ma berkata dan suaranya menggetar seperti menahan tangis. Setelah Cun Giok masuk, Ciu-ma cepat menutupkan dan memalangi pintu itu, setelah itu dia tidak dapat menahan lagi tangisnya. Ia menjatuhkan diri berlutut di atas lantai dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi ia menahan sehingga suara tangisnya tidak keluar, hanya terisak-isak dibarengi membanjirnya air matanya.
Cun Giok terkejut sekali. Dia menarik wanita itu bangkit dan membawanya ke ruangan tengah, lalu menyuruhnya duduk di atas kursi di depannya.
"Tenanglah, Ciu-ma. Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Di mana adanya semua orang?"
"Aduh, Kongcu...... mereka semua mati mereka semua mati......"
"Ahh......!" Begitu kagetnya Cun Giok sampai dia melompat berdiri dengan wajah pucat, lalu menghampiri wanita itu dan mengguncang kedua pundaknya.
"Apa yang terjadi" Hayo ceritakan, ceritakan semuanya yang jelas!" Cun Giok membentak sehingga Ciu-ma yang sudah ketakutan dan bersedih itu menjadi semakin takut dan tangisnya semakin menjadi-jadi, sesenggukan sampai sesak napas.
Cun Giok segera menyadari bahwa dia bersikap terlalu kasar dan membuat wanita itu ketakutan. Dia lalu melepaskan pundak wanita itu, duduk kembali dan berkata dengan tenang dan sabar.
"Maafkan aku, Ciu-ma. Aku tadi bersikap kasar karena aku merasa kaget sekali. Nah, hentikan tangismu dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi, dari awal mula."
Akhirnya Ciu-ma dapat menenangkan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu ia bercerita.
01.3. Penyesalan Seorang Calon Suami!
"Mula-mulanya terjadi setahun yang lalu. Dua orang pemuda bangsawan, yaitu Kim-kongcu putera Panglima Besar Kim dan Kui-kongcu putera Kepala Pengadilan Kui, ingin menjadikan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa sebagai selir mereka. Tentu saja pinangan ini ditolak. Utusan mereka, Panglima Lai menggunakan pasukannya untuk memaksa dan membawa Nona Siok Eng dan Nyonya Chao Kung atau Siok Hwa. Siok Lo-ya (Tuan Siok) dan mantunya melawan akan tetapi mereka dihajar pasukan dan kedua orang wanita itu hendak dibawa dengan paksa. Akan tetapi muncul seorang gadis pendekar menolong. Gadis itu menghajar Lai-ciangkun dan anak buahnya, kemudian membawa seluruh keluarga Siok ke gedung Kepala Daerah Yo Bun Sam. Yo-thaijin yang bijaksana dan adil melindungi keluarga ini sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Kedua orang pemuda bangsawan itu kabarnya dihajar oleh pendekar wanita itu dan selama ini kehidupan kita di sini aman karena dilindungi oleh Yo-thaijin."
"Pendekar wanita itu, siapa namanya, Ciu-ma?"
"Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya kira tidak ada yang tahu siapa nama pendekar itu, hanya orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli. Setelah menyelamatkan keluarga di sini, ia lalu menghilang dan tidak ada yang tahu ke mana perginya."
"Hemm......" Cun Giok diam-diam tercengang karena tidak menyangka sama sekali bahwa Ceng Ceng telah menyelamatkan tunangannya sekeluarga! "Lalu bagaimana, Ciu-ma" Lanjutkan ceritamu."
Kegembiraan mendengar bahwa Ceng Ceng yang menolong Siok Eng hanya merupakan setitik cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya sehingga tidak ada artinya. Lemah lunglai seluruh tulang dan syarafnya mendengar bahwa tunangannya berikut ayahnya sekeluarga telah mati!
"Malapetaka itu datang tanpa disangka-sangka, Kongcu. Sekitar dua bulan yang lalu, di Cin-yang terjadi peristiwa yang menggemparkan seluruh penduduk kota ini. Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dua orang pemuda bangsawan yang dulu dihajar Pek-eng Sianli dan tak pernah kelihatan lagi itu, tiba-tiba muncul di sini bersama duabelas orang perajurit mereka. Mereka menyerang Tuan Muda Chao Kung dan Tuan Tua Siok Kan sehingga mereka berdua itu tewas di rumah ini, sedangkan Nyonya Siok Hwa dan Nona Siok Eng mereka culik......" Kembali air mata mengalir deras dari sepasang mata Ciu-ma.
"Keparat......!!" Cun Giok memaki dan wajahnya yang tadi pucat itu kini berubah merah. Akan tetapi dia mampu mengendalikan diri dan berkata, "Ciu-ma, lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan Enci Siok Hwa dan Nona Siok Eng?"
Ciu-ma kembali dengan sukar menahan isak tangisnya. "Aduh, Kongcu...... saya hanya dapat meratap dan menangis...... pada keesokan harinya, mereka itu memulangkan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa ke sini...... sudah...... menjadi mayat......"
"Jahanam busuk!" Kembali Cun Giok memaki dan kemarahannya memuncak. Dia menggigit bibir sendiri dan tanpa disadarinya, kedua pipinya juga sudah basah air mata yang bercucuran keluar dari kedua matanya. Semakin besar kesedihan dan penyesalannya, dia merasa dosanya terhadap Siok Eng makin besar. Kalau saja dia bukan seorang tunangan yang begitu buruk, kalau saja dia sering datang berkunjung, kiranya dia akan dapat melindungi tunangannya itu bersama keluarganya!
"Ahhh...... Ciu-ma, kenapa mereka...... tewas pula?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Saya hanya mendengar kabar angin bahwa Nona Siok Eng telah menyerang Kim-kongcu sehingga mata kiri pemuda bangsawan itu menjadi buta, maka Kim-kongcu lalu memukulnya sampai mati. Sedangkan Nyonya Siok Hwa, kabarnya ia mati membunuh diri...... Saya dibantu para tetangga hanya dapat mengurus penguburan mereka semua."
Cun Giok mengusap air mata dari mukanya dengan ujung lengan bajunya. "Ciu-ma, bukankah katamu tadi Kepala Daerah Yo Bun Sam yang bijaksana itu melindungi keluarga ini" Bagaimana sampai dapat terjadi pembunuhan-pembunuhan itu?"
"Aduh, Kongcu. Pada hari yang sama, Yo-thaijin juga tewas dibunuh oleh Panglima Besar Kim Bayan dengan tuduhan bersekongkol dengan pemberontak. Tentu semua ini merupakan pembalasan karena dulu Pek-eng Sianli memberi hajaran keras kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu."
Cun Giok diam saja sampai lama. Dia hanya duduk dengan kedua tangan dikepal dan wajahnya yang tampan berubah bengis, matanya mencorong menakutkan sehingga Ciu-ma tidak berani bergerak dan tidak berani mengeluarkan suara.
Setelah Cun Giok dapat mengendalikan diri dan menenangkan perasaannya yang menggelora, dengan lembut dia lalu minta keterangan kepada Ciu-ma di mana rumah Kim-kongcu dan Kui-kongcu dan di mana dikuburnya jenazah Siok Kan, Chao Kung, Siok Eng, dan Siok Hwa. Kemudian, dia minta diantar oleh Ciu-ma memasuki kamar mendiang Siok Eng.
"Barang-barang berharga dari dalam rumah ini telah habis dirampok oleh pasukan pengawal duabelas orang itu, Kongcu," kata Ciu-ma.
Dengan tubuh lemas karena dilanda kesedihan yang besar, jantung Cun Giok berdebar ketika dia memasuki kamar Siok Eng. Kamar yang sederhana saja namun bersih karena selama ini Ciu-ma tetap membersihkan setiap kamar dan ruangan dalam rumah itu tiap hari. Teringat akan kesalahannya terhadap Siok Eng, tunangannya yang dia tinggalkan, bahkan seolah dia sia-siakan selama dua tahun ini, tak terasa lagi kedua mata Cun Giok kembali menjadi basah. Dia duduk di tepi pembaringan dan berkata kepada Ciu-ma dengan lirih.
"Ciu-ma harap tinggalkan aku di sini sejenak."
Ciu-ma mengerti akan perasaan pemuda itu. Ia mengangguk dan sambil menghapus air matanya ia keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.
Setelah berada seorang diri di kamar tunangannya itu, Cun Giok tak dapat menahan tangisnya. Dia rebah di atas pembaringan dan memeluk bantal yang biasa dipergunakan oleh Siok Eng.
"Eng-moi...... maafkan aku, Eng-moi...... aku berdosa besar padamu...... Eng-moi, engkau tetap jodohku, engkau isteriku dan aku akan selalu ingat dan menganggap engkau sebagai isteriku. Semoga arwahmu tenang, Eng-moi, percayalah, aku akan membalaskan sakit hatimu, Ayahmu, Encimu dan suaminya......"
Cun Giok merasa demikian sedih dan terharu, tubuhnya terasa lemas kehilangan seluruh tenaganya dan akhirnya dia rebah tertidur atau setengah pingsan di atas pembaringan Siok Eng.
"Y" Malam itu bulan tiga perempat bersinar cukup terang. Langit tidak ada awan sehingga suasananya indah dan cerah. Namun hawa udara amatlah dinginnya sehingga sebelum tengah malam sudah jarang terdapat orang berada di luar rumah. Penduduk kota Cin-yang lebih suka berada dalam kamar di rumah masing-masing.
Cun Giok terbangun sore tadi. Ciu-ma dengan hormat melayani tunangan bekas nona majikannya, menyediakan air untuk mandi dan menyiapkan makan malam. Cun Giok yang sudah tenang kembali mandi, bertukar pakaian dan makan malam tanpa banyak bicara. Dia menjadi pendiam dan seperti orang melamun, akan tetapi kalau melihat sepasang matanya yang mencorong, orang akan menjadi ngeri. Ciu-ma melayaninya dengan diam-diam. Wanita ini pun ketakutan melihat sinar mata Cun Giok.
Setelah dia makan, Cun Giok minta tolong kepada Ciu-ma untuk menyelidiki, di mana adanya Kim-kongcu dan Kui-kongcu malam itu. Ciu-ma yang diam-diam juga merasa sakit hati dan membenci kedua orang pemuda bangsawan itu, lalu pergi. Karena ia sudah mendengar banyak tentang dua orang muda yang dibencinya itu yang telah membasmi majikannya sekeluarga, maka tidak sukar baginya untuk mencari tahu di mana adanya mereka itu.
Ia segera kembali dan memberitahu kepada Cun Giok bahwa pada malam itu Kim-kongcu berada di rumah peristirahatannya dilayani para selirnya, sedangkan Kui-kongcu berada di rumah pelesir Bunga Merah di ujung kota Cin-yang. Setelah mendapat keterangan jelas tentang letak dua tempat ini, dan mengetahui pula di mana adanya kuburan keluarga Siok, malam itu, menjelang tengah malam Cun Giok meninggalkan rumah itu dan tubuhnya berkelebat menghilang di antara bayang-bayang rumah dan pepohonan.
Di dalam rumah peristirahatannya yang mungil dan mewah, Kim Magu sedang berpesta pora makan minum dilayani oleh tiga orang selirnya yang terbaru. Dengan memangku dua orang selir di atas paha kanan kirinya, selir ketiga menyuapinya dari depan. Gembira bukan main Kim-kongcu pada malam yang dingin itu. Dia agaknya sudah lupa lagi bahwa di rumah mungil itulah dia membunuh Siok Eng dua bulan yang lalu setelah gadis yang nyaris diperkosanya itu menyerangnya dengan tusuk konde sehingga mata kirinya menjadi buta. Untuk menutupi mata yang kosong itu, yang membuat wajahnya nampak buruk mengerikan, Kim Magu kini menggunakan sehelai kain sutera biru untuk diikatkan di kepala menutupi mata kiri itu sehingga wajahnya kini tampak tidak terlalu buruk.
Kim Magu dan tiga orang selirnya itu tertawa-tawa bergurau sambil makan minum, bergembira ria tenggelam dalam nafsu kesenangan. Dua orang wanita pelayan yang tadi menghidangkan makanan dan minuman tidak berani mengganggu dan mereka berdua berdiam di dapur sambil menanti perintah. Merekalah yang nanti bertugas membersihkan meja dan ruangan itu, mencuci piring mangkok.
Bayangan Cun Giok berkelebat di atas genteng rumah itu. Setelah mempelajari keadaan di bawah, tubuhnya melayang ke belakang rumah. Dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara, dia menyelinap masuk ke dapur melalui pintu belakang. Dua orang wanita pelayan yang berada di dapur, terkejut setengah mati, akan tetapi sebelum mereka sempat menjerit, Cun Giok sudah bergerak cepat dan mereka berdua roboh terguling ke atas lantai dapur dalam keadaan pingsan dan tubuh mereka lemas tertotok.
Setelah merobohkan dua orang wanita pelayan itu sehingga mereka tidak sempat menjerit atau membuat gaduh, Cun Giok lalu berindap menuju ke ruangan tengah. Dari dapur saja dia sudah dapat menangkap gelak tawa dan senda gurau Kim Magu dan tiga orang selirnya. Melihat bahwa di situ tidak terdapat perajurit pengawal yang menjaga, Cun Giok dengan tenang melangkah memasuki ruangan itu.
Tiga orang selir itu yang lebih dulu melihat Cun Giok yang melangkah dengan santai.
"Eh, siapa dia?" mereka berseru heran.
Kim Magu mengangkat muka dan dia pun kini dapat melihat Cun Giok. Marahlah dia karena dia tidak mengenal pemuda itu yang bukan merupakan seorang perajurit atau pengawal ayahnya.
"Heh, siapa kamu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok.
Dari Ciu-ma, Cun Giok sudah mengenal bahwa pemuda bermata satu itu pasti yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu, orang yang telah membunuh Siok Eng dan yang mata kirinya buta oleh serangan tunangannya. Maka, untuk meyakinkan hatinya dan agar jangan keliru dan salah tangkap, dia membalas pertanyaan pemuda bermata sebelah itu dengan pertanyaan juga.
"Apakah engkau yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu?"
Kim Magu menjadi marah bukan main. Karena Cun Giok tampak seperti seorang pemuda yang lembut dan lemah, maka tentu saja dia memandang rendah dan tidak menduga sama sekali bahwa yang berdiri di depannya itu seorang pendekar yang amat lihai. Saking marahnya dia menolak dua orang selir dari pangkuannya sehingga mereka terhuyung, lalu dia bangkit berdiri dan menyambar goloknya yang berada di atas meja kecil di belakangnya.
"Orang kurang ajar! Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu berani lancang memasuki rumah ini tanpa ijin!"
"Katakan dulu apakah engkau yang bernama Kim Magu?" kembali Cun Giok bertanya.
Seorang selir Kim-kongcu yang ingin memperlihatkan bahwa ia membela Kim-kongcu, dengan galak berkata kepada Cun Giok. "Heh, orang muda yang tidak tahu aturan! Sudah tahu berhadapan dengan Kim-kongcu, mengapa engkau tidak cepat memberi hormat" Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Kini Cun Giok merasa yakin bahwa inilah orang yang dicarinya, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya melompat ke depan, ke arah Kim-kongcu. Pemuda bangsawan ini menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi dia terkejut dan heran karena tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depannya dan sebelum dia mengetahui ke mana perginya pemuda itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan lengan itu lumpuh sehingga goloknya terlepas dan jatuh berdentangan di atas lantai. Tiba-tiba Kim Magu merasa tubuhnya lemas dan kehilangan semua tenaganya, kaki tangannya tidak dapat digerakkan dan tahu-tahu dia sudah dipanggul ke atas pundak kanan Cun Giok!
Tiga orang selir yang melihat ini lalu menjeri-jerit sekuatnya. "Tolonggg?" tolong?". ada penjahat?"!"
Cepat sekali tubuh Cun Giok berkelebat dan tiga orang wanita itu roboh tertotok dan pingsan. Lalu dia melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sambil memanggul tubuh Kim Magu yang tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara. Cun Giok berlari seperti terbang cepatnya dan untung baginya bahwa jalan-jalan di kota Cin-yang sudah sepi. Andaikata ada yang kebetulan berada di luar rumah pun, akan sukar melihat pemuda yang berkelebat amat cepatnya itu. Cun Giok juga memilih bagian yang gelap oleh bayangan pohon dan rumah untuk dilewatinya.
Dia membawa tubuh Kim Magu itu ke tanah kuburan di mana makam Siok Kan, Chao Kung, Siok Hwa dan Siok Eng berada dalam keadaan berjajar dan bong-pai (batu nisan) yang amat sederhana itu pun masih baru. Cun Giok melempar tubuh Kim Magu ke bawah semak-semak dan setelah merasa yakin bahwa totokan pada tubuh Kim Magu itu tidak akan dapat pulih dalam waktu yang cukup lama, dia lalu meninggalkan tanah kuburan.
Kini yang dituju adalah rumah pelesir Bunga Merah karena dia mendapat keterangan dari penyelidikan Ciu-ma bahwa Kui Con atau Kui-kongcu malam itu berpelesir dan menginap di rumah pelesir itu. Rumah pelesir itu cukup besar dan didepannya terdapat sebuah taman bunga yang penuh dengan bunga berwarna merah. Karena inilah agaknya maka tempat itu dinamakan Rumah Pelesir Bunga Merah.
Karena malam telah larut, agaknya para tamu yang biasanya memenuhi ruangan depan sambil minum-minum dilayani para wanita tuna susila, sudah meninggalkan tempat itu. Hanya ada Kui Con atau Kui-kongcu yang bermalam di situ karena pemuda putera Kepala Pengadilan itu dapat dikatakan berkuasa di rumah ini yang seolah menjadi rumah peristirahatannya sendiri. Dialah yang menjadi penyumbang utama dan diandalkan oleh para pengurusnya.
Pada malam itu, seperti biasa terdapat para tukang pukul yang mendapat giliran berjaga. Jumlah tukang pukul di tempat itu ada lima orang dan setiap malam melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi malam ini Kui-kongcu bermalam di situ dan seperti biasa Kui-kongcu membawa pengawal sebanyak lima orang maka di ruangan depan itu kini berkumpul sepuluh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan tampak galak menyeramkan. Mereka sedang bermain kartu akan tetapi tidak berani membuat gaduh karena Kui-kongcu berada di rumah itu, dalam sebuah kamar bersenang-senang minum arak dilayani dua orang wanita tuna susila yang menjadi langganannya.
Kui Con bersendau gurau dengan dua orang wanita itu. Dia tampak gembira sekali karena setelah membasmi Keluarga Siok dan Kepala Daerah Yo Bun Sam yang menjadi penghalang baginya tewas, dia selalu tampak gembira. Kini seperti dulu dia dapat berbuat sesuka hatinya, bersenang-senang menghamburkan uang ayahnya yang didapat dari suapan dan sogokan mereka yang mendapatkan perkara di pengadilan.
Setelah minum arak cukup banyak dan mulai agak mabok, Kui Con menyuruh pelayan menyingkirkan semua sisa makanan dan minuman dari kamar itu dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan dua orang wanita cantik itu.
Tiba-tiba daun jendela yang menghadap ke taman terbuka dan sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu dalam kamar itu telah berdiri Cun Giok! Dua orang wanita penghibur itu terkejut dan menjerit, akan tetapi mereka segera roboh tertotok. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya itu, Kui Con menjadi marah sekali.
Dia bukan seorang pemuda lemah karena bersama Kim Magu dia telah mempelajari ilmu silat yang cukup lumayan. Segera dia menyambar sebatang golok yang tak pernah terpisahkan dari dirinya dan mencabut golok itu.
"Jahanam busuk, siapa engkau berani mengacau di sini?" bentaknya.
"Apakah engkau yang bernama Kui Con" Aku diutus oleh Kim Magu untuk menemuimu."
Kui Con tertegun heran. "Kim-kongcu mengutusmu menemui aku" Benar, aku adalah Kui Con. Engkau siapakah dan diutus apa oleh Kim-kongcu?"
"Aku diutus untuk mengajak engkau menemuinya."
Kui Con mengerutkan alisnya, kecurigaannya muncul kembali, apalagi ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh dua orang gadis penghibur itu yang menggeletak di atas lantai tanpa dapat bergerak.
"Tidak mungkin Kim-kongcu memanggilku tengah malam begini! Hayo katakan, siapa engkau dan apa maksudmu sebenarnya?"
Cun Giok kini merasa yakin bahwa pemuda inilah yang bernama Kui Con yang dulu menculik Siok Hwa. Maka dia berkata, "Kui Con, engkau harus ikut denganku, mau atau tidak mau!"
Kui Con marah sekali. Dia berteriak memanggil pengawal sambil menerjang ke depan, menyerang Cun Giok dengan goloknya. Akan tetapi menghadapi Cun Giok, ilmu silat pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Hanya satu kali tubuh Cun Giok bergerak dan golok itu telah terlepas dari tangan Kui Con dan di lain saat dia telah terkulai lemas karena ditotok jalan darahnya. Cun Giok segera menangkap dan memanggulnya.
Pada saat itu, sepuluh orang pengawal yang mendengar teriakan Kui Con dan memasuki kamar itu, melihat Kui Con dipanggul seorang pemuda, mereka segera menyerang dengan senjata tajam mereka berupa golok atau pedang.
Sambil memanggul tubuh Kui Con yang tak mampu bergerak atau bersuara, Cun Giok menyambut serangan sepuluh orang pengawal itu dengan tendangan kedua kakinya. Kedua kaki itu menyambar-nyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti penglihatan para pengeroyok itu dan tahu-tahu tubuh mereka terlempar dan berpelantingan. Mereka hanya dapat berteriak mengaduh dan setelah sepuluh orang itu roboh semua oleh tendangannya, Cun Giok lalu melompat keluar dari rumah pelesir itu dan menghilang dalam gelap. Sepuluh orang pengawal yang tidak terluka parah, merangkak bangkit dan mencoba mengejar, akan tetapi mereka tidak menemukan jejak Cun Giok yang menculik Kui-kongcu. Terpaksa mereka lalu beramai-ramai pergi ke gedung Kepala Pengadilan Kui Hok untuk melaporkan peristiwa itu.
Kui-thaijin tadinya marah sekali karena pada tengah malam begitu dia terganggu dan harus bangun, akan tetapi setelah mendengar laporan mereka bahwa puteranya diculik orang, dia lalu mengerahkan semua perajurit pengawal yang ada untuk melakukan pencarian.
Cun Giok dengan cepat membawa Kui Con ke tanah kuburan dan setelah melemparkan tubuh Kui-kongcu itu ke atas tanah, dia lalu menyeret keluar tubuh Kim-kongcu dari bawah semak-semak dan melemparkan tubuhnya dekat tubuh Kui-kongcu. Ketika dua orang pemuda itu mengetahui keadaan masing-masing, timbullah perasaan takut dan ngeri dalam hati mereka.
02.1. Perjalanan Si Buta bersama Si Buntung!
Kurang puas dengan sinar bulan, Cun Giok lalu menyalakan empat batang obor yang memang sudah dia persiapkan sehingga tempat itu menjadi terang. Dua orang pemuda bangsawan itu ngeri melihat bahwa mereka berada di depan empat kuburan baru yang berjajar. Mereka tidak pernah berkunjung ke tanah kuburan dan tidak tahu kuburan siapakah yang berada di depan mereka itu.
Cun Giok menghampiri Kim Magu dan sekali tangannya bergerak, pemuda Mongol itu telah terbebas dari totokan. Dia mencoba bangkit berdiri, akan tetapi karena tadi agak lama berada dalam keadaan lumpuh, dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah. Selain sudah dapat bergerak, Kim Magu juga sudah dapat bersuara. Dia memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak kepada Cun Giok. Lenyaplah kesombongannya dan dengan hati-hati dia bertanya.
"Sobat, siapakah engkau ini" Dan mengapa engkau menangkapku dan membawaku ke sini" Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini putera Panglima Besar Kim Bayan yang menguasai seluruh pasukan daerah ini?"
Cun Giok menatap tajam wajah yang sebelah matanya tertutup kain sutera itu. "Kim Magu, engkau harus mengaku apa yang telah kaulakukan dengan mereka yang jenazahnya dikubur di sini!" Dia menuding ke arah empat gundukan tanah kuburan itu.
Kim Magu terbelalak memandang empat batu nisan itu. "Ini...... ini?" kuburan siapakah" Aku tidak mengenal mereka......"
"Tidak mengenal mereka" Coba ingat baik-baik, ini adalah makam Paman Siok Kan, Chao Kung, isterinya Siok Hwa dan Nona Siok Eng. Engkau masih hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal mereka?"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Kim Magu. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu dibuka lebar-lebar. Tidak mungkin lagi dia menyangkal, maka dia menjawab mencoba untuk membela diri.
"Ya, aku ingat sekarang! Akan tetapi, Taihiap (Pendekar Besar), mereka ini adalah keluarga pemberontak yang hendak memberontak terhadap pemerintah. Kami mendapat tugas untuk membasmi keluarga pemberontak ini."
"Hemm, begitukah?"
"Sungguh, Taihiap, aku hanya membasmi keluarga pemberontak! Aku tidak bersalah......" kata Kim Magu penuh harap. Kui Con yang belum mampu bergerak atau bersuara, ikut mendengarkan, ikut merasa ketakutan dan kini juga mengharapkan agar pemuda lihai yang menawannya itu mau percaya keterangan Kim Magu.
"Kalau begitu, mengapa engkau menculik Nona Siok Eng" Hayo jawab!"
Tubuh Kim Magu gemetar ketika Cun Giok menyinggung soal Siok Eng. Akan tetapi pemuda ini cerdik dan cepat mendapatkan akal untuk membela diri. "Taihiap, terus terang saja, melihat Nona Siok Eng aku merasa kasihan dan aku ingin membebaskan dara itu dari hukuman dan mengangkatnya menjadi seorang selir. Akan tetapi gadis pemberontak liar itu malah menyerangku. Lihat, Taihiap, sebelah mataku menjadi buta karena ia tusuk dengan tusuk kondenya."
Cun Giok menahan kemarahannya. "Lalu engkau membunuhnya?"
"Tentu saja! Kalau tidak, tentu aku yang ia bunuh. Seperti kukatakan tadi, keluarga itu keluarga pemberontak dan gadis itu benar-benar liar, Taihiap."
"Kim Magu, aku mendengar bahwa Nona Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, bagaimana mungkin ia dapat menyerangmu dan membutakan sebelah matamu?"
Melihat Cun Giok bicara lembut kepadanya, Kim Magu mulai merasa tenang. Pemuda lihai ini agaknya seorang kang-ouw yang sehaluan dengannya, maka dia tersenyum.
"Memang sesungguhnya demikian, Taihiap. Justeru itulah keliarannya, sebagai seorang gadis lemah dapat membutakan mataku. Akan tetapi itu salahku sendiri karena aku lengah......" Tiba-tiba dia berhenti karena merasa ragu. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi marah kalau dia bercerita bahwa ketika itu dia sedang hendak memperkosa Siok Eng sehingga lengah dan sebelah matanya diserang menjadi buta.
"Mengapa berhenti" Tentu ketika itu engkau hendak memperkosanya, maka ia menjadi nekat menyerangmu, bukan?" Dalam pertanyaan ini terkandung kekerasan sehingga Kim Magu semakin ragu dan mulai ketakutan lagi.
"Tidak...... tidak......"
Cun Giok sudah tidak sabar lagi. "Kalau engkau tidak mau mengaku, engkau boleh rasakan ini!" Jari tangannya menekan tengkuk Kim Magu.
Tiba-tiba Kim Magu terbelalak dan mengaduh-aduh karena dia merasa betapa ada hawa panas seperti api membakar dirinya, dari tengkuk turun melalui tulang belakang sehingga seluruh tubuh terasa nyeri bukan main.
"Cepat katakan mengapa Siok Eng nekat menyerangmu, kalau engkau bohong, aku akan membakar seluruh tubuhmu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi!" Dia menekan semakin kuat sehingga Kim Magu menjerit-jerit kesakitan.
Kui Con yang melihat ini, menjadi pucat dan merasa ngeri.
"Aduhh...... aduhhh...... baik, baik...... aku mengaku......"
Cun Giok melepaskan tekanan jarinya dan Kim Magu dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran karena saking sakitnya tadi dia tidak tahan lagi untuk tidak menangis, lalu berkata dengan terengah-engah.
"Memang...... aku...... aku cinta padanya, aku...... hendak memaksanya untuk melayaniku agar ia mau menjadi selirku, akan tetapi tiba-tiba ia menyerangku......"
"Jahanam busuk! Kim Magu, tahukah engkau siapa aku" Aku adalah tunangan mendiang Nona Siok Eng!"
"Uhhhh......" Kini Kim Magu ketakutan sekali, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri hendak melarikan diri, akan tetapi saking takutnya, kedua kakinya tidak dapat dia gerakkan. Dia lalu berlutut menyembah-nyembah.
"Taihiap...... ampunkan aku...... ampun......"
"Manusia busuk macam engkau ini sebetulnya tidak layak untuk hidup. Akan tetapi terlalu enak bagimu kalau engkau kubunuh. Biar kulanjutkan apa yang belum selesai dan lengkap dilakukan oleh mendiang Nona Siok Eng!" Tampak sinar kuning emas berkelebat tiga kali dan terdengar Kim Magu menjerit-jerit.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"Aduhh...... tolooonggg...... tolooonggg......!" Kemudian dia roboh terkulai, matanya yang tinggal sebelah kiri itu bercucuran darah dan kedua tangannya sebatas pergelangan telah terbacok putus! Kim Magu tidak berkutik lagi karena dia sudah jatuh pingsan.
Ketika Cun Giok menghampiri Kui Con, pemuda ini menjadi pucat sekali. Begitu Cun Giok membebaskan totokannya sehingga dia mampu bergerak dan bersuara, dia langsung berlutut menyembah-nyembah.
"Taihiap, ampunkan saya...... ampunkan saya......"
"Hayo ceritakan apa yang telah engkau lakukan terhadap Nyonya Chao Kung yang kaubawa lari. Jangan bohong!"
"Saya...... saya kasihan melihatnya dan ingin membebaskannya dari hukuman, maka ia saya bawa pulang...... dan...... dan...... maksud saya hendak menjadikan ia sebagai selir tercinta...... akan tetapi...... ia...... ia membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada dinding...... ampunkan saya, Thai-hiap......"
Cun Giok tidak percaya. Orang macam ini tidak ada bedanya dengan Kim Magu, tidak mungkin bersikap lembut kepada seorang wanita yang sudah diculiknya dan berada dalam cengkeramannya.
"Ia membunuh diri karena engkau memperkosanya, bukan" Hayo jawab dan jangan bohong atau aku akan menyiksamu seperti kepada Kim Magu tadi!"
"Saya...... saya...... cinta padanya...... saya memang menggaulinya...... saya tidak mengira ia membunuh diri......"
"Keparat! Manusia macam engkau juga tidak pantas hidup di dunia ini!" Kembali tiga kali sinar emas pedangnya berkelebat dan disusul jeritan Kui Con yang jatuh bergulingan seperti ayam disembelih karena bukit hidungnya telah terpotong semua, juga kedua kakinya buntung sebatas pergelangan kaki!
Merasa puas dengan pembalasan yang dia lakukan terhadap dua orang muda jahanam itu, Cun Giok lalu menotok bagian yang terluka untuk menghentikan darah yang mengalir keluar lalu dia memberi obat bubuk merah untuk mengobati luka-luka mereka. Dia lakukan ini karena dia tidak ingin melihat mereka mati. Dia ingin agar mereka itu menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan menderita dan tidak sempurna sehingga menjadi buah tertawaan orang. Setelah itu ia lalu memberi hormat di depan tiga buah makam itu dan di depan makam Siok Eng dia berkata lirih."
"Eng-moi, isteriku, maafkan aku yang tidak dapat melindungimu, aku hanya dapat membalaskan dendam sakit hatimu ini dan selamanya engkau akan kuakui sebagai isteriku." Setelah itu dia melangkah dan hendak pergi.
"Nanti dulu......, engkau...... katakan siapa namamu kalau memang engkau gagah dan tidak takut akan pembalasan kami kelak!"
Cun Giok berhenti melangkah dan membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang bicara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Kim Magu. Pemuda yang kini buta kedua matanya itu dan kedua tangannya buntung, ternyata sudah siuman dan bangkit duduk. Wajahnya mengerikan karena berlepotan darah yang tadi keluar dari mata kanannya.
Mendengar ucapan itu, Cun Giok berkata lantang. "Namaku Pouw Cun Giok dengan sebutan Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan)!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cun Giok lenyap dari tanah kuburan itu.
Dua orang pemuda bangsawan itu kini merintih-rintih. Kalau saja Cun Giok tidak menotok jalan darah untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka mereka, keduanya tentu akan mati kehabisan darah. Juga obat luka itu amat manjur. Luka mereka itu cepat mengering. Hanya rasa nyeri yang hebat menyiksa mereka sehingga mereka merintih-rintih.
Kim Magu tadi sudah melihat betapa Kui Con juga menjadi tawanan. Kini dia mendengar rintihan suara Kui Con, segera berkata sambil menahan rasa nyeri.
"Kui Con, bagaimana keadaanmu" Apa yang diperbuat penjahat keji itu terhadap dirimu?"
Kui Con menahan rasa nyeri dan menghentikan rintihannya. Obor-obor itu masih bernyala dan dia dapat melihat keadaan Kim Magu dengan jelas. Dia bergidik ngeri melihat betapa mata Kim Magu yang tinggal sebelah itu kini luka berdarah dan tentu menjadi buta pula. Juga dia melihat betapa kedua tangan putera panglima itu buntung sebatas pergelangannya.
"Kim-twako, celaka...... dia menyiksaku juga. Kedua kakiku buntung sebatas pergelangan dan...... dan...... hidungku juga dibacok hingga putus......" Ucapannya tidak jelas karena kini Kui Con bicara dengan suara bindeng (sengau)!
Mendengar ini, dalam kesedihan dan kemarahannya Kim Magu tiba-tiba merasa agak terhibur! Bagaimanapun juga, keadaannya masih lebih baik daripada Kui Con yang sekarang tentu tidak mampu berjalan lagi dan wajahnya tentu menjadi amat jelek karena bukit hidungnya buntung! Di lain pihak, ketika tadi Kui Con melihat keadaan Kim Magu, dia merasa ngeri dan kasihan, juga mendatangkan sedikit hiburan dalam hatinya karena betapa pun buruk keadaannya, keadaan Kim Magu lebih buruk lagi karena pemuda putera panglima itu kini buta kedua matanya dan hilang kedua tangannya sehingga tidak dapat memegang apa-apa lagi!
Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih beruntung daripada dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya melihat orang lain dalam keadaan lebih payah atau susah daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang dan terhibur!
"Si keparat itu ternyata adalah Si Pendekar Tanpa Bayangan bernama Pouw Cun Giok!" kata Kim Magu gemas.
"Pendekar Tanpa Bayangan" Twako, bukankah dia yang menjadi pemberontak buruan pemerintah yang dulu membunuh Panglima Besar Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok?"
"Benar dan dia...... dia itu tunangan Siok Eng yang kubunuh, terhitung keluarga dari keluarga Siok yang kita basmi. Aku akan melapor kepada Ayah...... ah, Kui Con, obor-obor itu sudah akan padam dan di sini amat menyeramkan. Mari kita tinggalkan tempat ini agar ditemukan orang yang dapat membantu dan menolong kita."
Karena Kui Con tidak dapat berjalan, sedangkan Kim Magu tidak dapat melihat, maka biarpun dengan susah payah karena kedua tangannya buntung, Kim Magu akhirnya menggendong Kui Con di punggungnya sedangkan Kui Con yang menjadi penunjuk jalan karena dia yang dapat melihat. Keadaan mereka serupa dengan dongeng tentang Si Buta dan Si Lumpuh yang saling bantu sehingga dapat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, bagaimanapun juga keadaan kedua orang itu sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.
Sesungguhnya, akibat perbuatan mereka sendiri yang menimpa diri mereka seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan mereka bahwa perbuatan yang tidak baik tentu akan mendatangkan akibat yang buruk pula dan hal itu mungkin dapat membuat mereka menjadi jera dan bertaubat. Akan tetapi dasar mereka orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan jiwanya tertutup kotoran tebal yang ditimbulkan dari merajalelanya nafsu mereka sendiri, mereka sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka. Mereka hanya menyesali keadaan mereka itu dengan hati penasaran dan timbul dendam sakit hati kepada Cun Giok. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal akan perbuatan mereka, sama sekali tidak merasa bersalah.
Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga selalu membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri, merasa benar sendiri dan segala apa pun di dunia ini harus bermanfaat dan menguntungkan bagi mereka! Sebaliknya, berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan benih yang mereka tanam dan apa pun yang menimpa mereka adalah buah dari benih yang mereka tanam sendiri.
Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi segala keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak menyalahkan orang lain melainkan yakin bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma akan terus mengejar manusia ke mana pun dia pergi dan Karma akan selalu memaksa orang membayar semua hutangnya yang terjadi karena perbuatannya sendiri.
Setelah keluar dari tanah kuburan, dua orang pemuda bangsawan itu bertemu dengan beberapa orang perajurit yang memang dikerahkan oleh Kui-thaijin untuk mencari puteranya yang diculik orang. Saking leganya bertemu dengan para perajurit, dua orang pemuda bangsawan itu jatuh pingsan. Mereka lalu cepat-cepat digotong oleh para perajurit dan dibawa ke rumah masing-masing.
Kui Con langsung dibawa ke rumah gedung Pembesar Kui Hok dan melihat keadaan Kim Magu, Kui-thaijin memerintahkan para perajurit untuk cepat membawanya ke gedung tempat tinggal Panglima Besar Kim Bayan. Akan tetapi pada waktu itu, Kim Bayan tidak berada di rumah karena dia sedang sibuk berusaha mencari harta karun Kerajaan Sung. Keluarga panglima itu lalu menyambut Kim Magu dengan tangisan dan segera mengundang tabib terpandai di kota Cin-yang untuk mengobati dan merawat pemuda itu.
Biarpun keluarga Kim dan Kui hendak merahasiakan dan menutupi peristiwa itu, namun karena banyak perajurit yang mengetahui, juga para pelayan di kedua keluarga bangsawan itu, akhirnya berita itu tersiar juga dan menjadi bahan percakapan seluruh penduduk Cin-yang. Diam-diam mereka bergembira dan merasa puas dengan hukuman berat yang diberikan Pendekar Tanpa Bayangan kepada dua orang muda bangsawan yang dibenci masyarakat itu.
Dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan itu, Kim Magu dan Kui Con kini hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak berani kelihatan orang lain karena merasa malu dengan keadaan mereka. Mereka merasa tersiksa dan biarpun rasa nyeri akhirnya dapat dihilangkan, namun mereka merasa betapa hidup mereka tidak ada gunanya lagi. Bahkan sering mereka menangis meratapi nasib mereka dan merasa lebih baik mati saja daripada hidup tersiksa lahir batin seperti itu. Akan tetapi watak buruk mereka tidak pernah hilang sehingga mereka tidak menyesali perbuatan sendiri melainkan setiap hari mencaci-maki dan mengutuk Bu-eng-cu Pouw Cun Giok.
Bahkan Kepala Pengadilan Kui Hok mengerahkan pasukan pemerintah untuk melakukan pencarian terhadap diri pendekar yang namanya amat dikenal itu. Juga pihak keluarga Kim, walaupun Kim Bayan sendiri belum pulang, mereka juga minta kepada para perwira pasukan untuk mencari Pendekar Tanpa Bayangan yang menjadi buronan pemerintah itu.
"Y" Cun Giok meninggalkan tanah kuburan dan dia tidak mau singgah di rumah keluarga Siok yang dijaga Ciu-ma. Tidak ada orang mengetahui ketika dia berkunjung ke rumah itu dan dia tidak ingin ada orang mengetahui agar Ciu-ma tidak terbawa-bawa sebagai akibat dari perbuatannya menghukum Kim-kongcu dan Kui-kongcu.
Setengah malam itu dia berlari cepat. Setelah malam berganti pagi, dia telah berada jauh sekali dari kota Cin-yang. Ketika melihat sebatang sungai yang airnya jernih mengalir di luar sebuah hutan, dia pun berhenti berlari dan duduk di tepi sungai di mana terdapat banyak batu-batu kali yang besar. Dia duduk di atas batu besar yang licin bersih, dan segera tenggelam dalam lamunan.
Semula dia merasa lega dan puas telah memberi hajaran keras kepada dua orang pemuda bangsawan itu untuk membalas dendam Siok Eng sekeluarganya. Rasa lega dan puas itu muncul sebagai akibat dari kemarahan yang membakar hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah balas dendam itu dia laksanakan, dan dia duduk termenung memandang air bening yang mengalir di depannya dan matahari pagi membuat garis merah di permukaan sungai, kelegaan dan kepuasan itu tidak terasa lagi.
Dia membayangkan wajah Siok Eng yang bergerak-gerak di permukaan air sungai. Tanpa disadari tangannya merogoh ke balik bajunya dan dia mengeluarkan sebuah benda putih mengkilap. Itulah tusuk sanggul perak berbentuk pohon yang-liu (cemara) pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan.
Seperti dalam mimpi dia bicara kepada bayangan wajah Siok Eng di permukaan air setelah menghela napas panjang dan mengeluarkan keluhan merintih. "Eng-moi?" aku memang bersalah, aku berdosa kepadamu...... akan tetapi lihatlah, isteriku, lihat, tusuk sanggul pemberianmu ini tak pernah terpisah dari tubuhku. Sekali engkau menjadi jodohku, biar kini engkau tidak ada lagi, sampai aku mati pun engkau akan tetap kuanggap sebagai isteriku......"
Kembali dia mengeluh dan tiba-tiba wajah Siok Eng di permukaan air itu berubah, membentuk sebuah wajah lain yang amat dikenalnya. Wajah Liu Ceng Ceng yang tersenyum lembut kepadanya, akan tetapi pandang mata Ceng Ceng kepadanya penuh teguran. Dia mengenal betul watak Ceng Ceng. Selama melakukan perjalanan bersama, seringkali gadis itu membuka rahasia-rahasia tentang kehidupan. Dia merasa yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak membenarkan tindakannya terhadap dua orang pemuda bangsawan itu.
Dia teringat akan apa yang diceritakan Ciu-ma kepadanya bahwa dulu pernah kedua orang pemuda bangsawan itu mengganggu keluarga Siok dan ketika itu Pek-eng Sianli menolong mereka. Ceng Ceng yang telah menolong Siok Eng sekeluarga dan Ceng Ceng telah memberi hajaran keras kepada Kim Magu dan Kui Con, dengan jalan menggantung mereka di pohon tepi jalan raya sehingga semua orang melihat mereka. Ceng Ceng memang memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi tidak membunuh atau menjadikan mereka penderita cacat berat seperti yang dia lakukan itu.
02.2. Kenakalan Dua Gadis Kembar!
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pernah gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan Kui Con" Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita mendendam.
Benarkah bahwa dia terlalu kejam" Dipengaruhi nafsu mendendam" Dia mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con! Mereka pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka kepadanya! Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan dendam lain lagi.
Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah yang menimbulkan rasa sedih dan haru.
"Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku."
Dia mengamati tusuk sanggul perak di tangannya dan teringat bahwa Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.
"Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah kesadaran kita akan yang salah dan yang benar."
Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit dari kesedihannya. Ceng Ceng benar! Tak perlu terbenam ke dalam kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka. Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan menyimpannya kembali.
"Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat meninggalkan badanku."
Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut semua masalah yang memenuhi benaknya.
Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan pakaiannya, di mana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak! Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam keadaan seperti itu" Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita! Maka dia menduga bahwa tentu ada orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu.
Dia lalu mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru. "Nona yang mencuri pakaianku! Bagaimana engkau tidak tahu malu mencuri pakaianku" Kembalikan pakaianku!"
Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.
"Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini!"
Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda. Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.
"Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan seperti ini. Telanjang bulat!!" Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai!
"Hi-hi-hik! Jangan! Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu!" terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.
"Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu" Kalian berdua yang mencuri pakaianku! Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat!"
"Nanti dulu!" terdengar suara seorang gadis lain. "Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian ini kepadamu!"
Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu.
"Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus!"
Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali!
Cun Giok cepat menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi.
"Heii! Kalian mencuri pedangku! Hayo kembalikan!" teriaknya marah, lalu dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.
Kembali dua orang gadis itu cekikikan. "Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya" Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk bertanding melawan kami."
Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi.
Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan, muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju! Yang membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang ketiganya juga cantik jelita.
Akan tetapi sekali ini dia benar-benar tercengang dan kagum karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu! Tak mungkin agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin! Gadis kembar, pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya!
Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan di dunia kang-ouw di mana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.
Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.
"Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia seorang berasal dari dusun yang malu-malu!"
"Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu! Buktinya kita ini orang dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu!" kata gadis kedua.
"Aih, dia tampan juga, Enci Lan!" kata gadis yang disebut Adik Lin sambil tersenyum.
Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu. Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak lebih tua atau lebih muda.
"Kui Lin, jangan bicara sembarangan! Kita belum tahu dia ini orang macam apa!" Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.
Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik! Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci!
Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar matanya masih tampak kelincahannya yang nakal! Mata itu lebih hidup, penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana! Dia kini akan dapat mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat mata dan sinar mata mereka.
Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.
"Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kami tidak pernah terdapat hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian menggangguku?"
Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut.
"Hemm, siapa yang mengganggu" Jangan memutar balikkan kenyataan! Engkaulah yang mengganggu kami dan kalau Adikku menyembunyikan pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu!"
Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya. "Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan" Aku mandi dalam sungai, tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu" Gangguan apa yang telah kulakukan terhadap kalian berdua?"
Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata.
"Huh, berlagak bodoh, ya" Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, ya" Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya!"
"Eh-eh! Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian" Apakah gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu" Jelaskanlah dan jangan membuat aku penasaran dengan fitnah!"
"Hemm, engkau belum merasa bersalah?" kata Kui Lan dengan sinar mata mencorong. "Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan melanggar kesusilaan, apa yang akan kaulakukan terhadap orang itu?"
"Aku tidak mempunyai rumah," kata Cun Giok, "akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu."
"Nah, engkaulah si kurang ajar itu! Tempat ini termasuk wilayah kami, air sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat di mana kami biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula! Apakah itu bukan kurang ajar namanya?" kata Kui Lin.
Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marah-marah kepadanya!
"Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka memaafkan aku." Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
"Enak saja minta maaf!" Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek. "Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk menandingi aku!"
Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan memandang Cun Giok.
Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak, dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali gadis ini.
Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti biasanya orang bersilat.
Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri!
"Hayo cepat mulai!" bentaknya dan kerling matanya makin tajam.
"Mulai apa, Nona?" tanya Cun Giok.
Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susah-susah memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa!
"Mulai apa! Mulai apa! Ya mulai memasang kuda-kuda, siap bertanding!" katanya gemas, mulutnya cemberut.
"Lho! Sejak tadi saya sudah siap, Nona."
"Mana siap" kuda-kuda kok begitu?"
"Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap!"
"Kalau sudah siap, mulailah menyerang!" tantang Kui Lin sambil memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.
"Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang mulai menyerang!"
"Hoho! Engkau mau menipuku, ya" Kaukira aku tidak tahu bahwa menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik! Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!" Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok.
Serangan ini cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup kuat! Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau mengejar buruannya setelah patukannya luput.
Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi dengan tenang Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis. Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang! Akan tetapi dengan amat lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya menginjak tanah dengan tegak!
Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.
Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai tigapuluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini. Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak ada yang menyentuh sasaran!
Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang jarang dimainkan karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun) dan beberapa macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula!
Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah dijumpainya! Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru kaget karena ia kehilangan lawannya!
"Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku!" Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya, ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar!
Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu' berseru kaget karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang! Kalau saja yang menyentuh itu berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu sudah tewas seketika! Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di depannya dengan mata terbelalak.
Cun Giok membungkuk, mengambil sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya kepada gadis itu dan berkata. "Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh!"
Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah karena sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia menjulurkan tangan memenerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan memasangnya kembali ke atas kepalanya.
Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kim-kong-kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya lalu melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia mulai merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.
"Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong. Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya.
02.3. Tamu Undangan Lembah Seribu Bunga
Ternyata pedang di tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan, adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan gadis itu yang dimaksudkan!
"Hek-liong-kiam yang ampuh!" katanya sambil mencabut pedangnya sendiri.
"Engkau mengenal Hek-liong-kiam?" gadis itu bertanya, dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia berkata bimbang.
"Kim-kong-kiamkah itu?"
"Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak ada yang rusak," kata Cun Giok. Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.
"Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah, bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini!" setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai). Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.
"Cringgg......!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut, merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.
Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke arah sekelilingnya.
Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kong-koan-jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).
Sejak tadi Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susul-menyusul dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat gadis itu kehabisan akal karena ke mana pun sinar pedangnya berkelebat menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya! Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.
"Balas seranganku!" bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari) pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.
"Takk!" Dia mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan tempelan tetap saja ia gagal dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan...... pedang hitam itu terlepas dari pegangan pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah tangan! Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.
"Maafkan aku, Nona," katanya lembut.
Dengan wajah berubah merah gadis itu menerima kembali pedangnya, lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata.
"Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami tadi yang mempermainkanmu."
Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata. "Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona."
"Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?" kata gadis kedua yang lincah.
Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada Cun Giok. "Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami perkenalkan dengan Ibu kami."
Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata.
"Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan dengannya" Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak menjadi tamu yang asing."
The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu" Maka ia diam saja dan hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya.
Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk hormat dia terpaksa memperkenaIkan dirinya.
"Namaku Pouw Cun Giok," katanya singkat.
"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Kui Lin.
"Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal."
"Siapa orang tuamu?"
"Orang tuaku sudah meninggal dunia."
"Jadi engkau yatim piatu" Tiada sanak keluarga?"
"Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi."
"Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?"
"Aku hanya menuju ke mana saja hati dan kakiku membawaku."
"Apakah......" "Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu!" tegur Kui Lan yang memotong pertanyaan berikutnya.
"Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?" Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan dukungannya.
Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan adik itu bercekcok. "Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan atau bangsawan."
"Hemm, mau enaknya sendiri saja!" kata Kui Lin. "Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?"
"Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona."
"Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona" Aku akan menyebutmu Kakak Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap menyebutmu Tuan."
Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping wataknya yang agak liar dan galak. Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, Lin-moi, asal saja...... Lan-moi tidak keberatan!"
Dengan tenang Kui Lan menjawab, "Mengapa keberatan" Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua daripada kami, Giok-ko."
"Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh."
"Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu," kata Kui Lin.
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa terhina karena undangan mereka dia tolak.
Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya, tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga!
Sumur Perut Setan 2 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Terbang Harum Pedang Hujan 15