Pencarian

Harta Karun Kerajaan Sung 2

Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Cun Giok berdiri dan memandang kagum sekali. Taman yang luas itu dikelilingi pagar tembok yang tingginya hanya setengah badannya sehingga dia dapat melihat tetumbuhan yang berada di balik pagar. Amat luas dan terdapat jalan setapak yang terbuat dari batu-batu rata berwarna putih. Dari situ tampak agak jauh sebuah rumah berdiri megah di tengah taman, dan di sana-sini terdapat pula bangunan-bangunan kecil tanpa dinding yang merupakan tempat peristirahatan, berikut kolam-kolam ikan. Taman itu dibuat seperti daerah perbukitan, ada yang menonjol dan menurun di sana-sini sehingga amat sedap dipandang. Anak sungai yang kecil dan jernih airnya mengalir di tengah-tengah taman, berkelak-kelok dan agaknya sungai inilah yang menembus ke tepi hutan di mana dia mandi tadi.
"Giok-ko, sekarang engkau kami persilakan menuju ke rumah kami di sana itu. Akan tetapi ada peraturan dari ibu kami bahwa hanya tamu yang mampu menembus taman ini yang dapat diterima kunjungannya. Karena itu, silakan twako memasuki taman dan mencari jalan menuju rumah kami di sana itu," kata Kui Lan dengan suaranya yang tenang.
"Akan tetapi bukankah kalian yang mengundangku dan kalian dapat menjadi penunjuk jalan bagiku?"
"Maaf, tidak ada penunjuk jalan di sini, Giok-ko," kata pula Kui Lan.
"Akan tetapi kalau engkau mau mengikuti kami, silakan kalau engkau bisa, Twako!" kata Kui Lin sambil tertawa, sikapnya mengejek.
Cun Giok menahan tawanya. Gadis ini sungguh nakal dan sombong. Dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, bagaimana mungkin dia tidak akan mampu mengikuti mereka"
"Akan kucoba untuk mengikuti kalian," katanya.
Dua orang gadis itu tanpa bicara lagi lalu memasuki taman lewat pintu pagar yang bercat merah. Tanpa tergesa-gesa Cun Giok mengikuti mereka. Dia santai saja, tidak mau tampak bersicepat seperti orang yang takut tertinggal. Dengan santai pun dia akan dapat mengikuti mereka ke manapun juga mereka pergi! Bahkan, seandainya dia kehilangan mereka sekalipun, apa sih sukarnya menemukan rumah yang sudah tampak dari luar taman" Gadis-gadis itu terlalu memandang rendah padanya.
Makin diingat kata-kata Kui Lin tadi yang menantangnya seolah dia tidak akan mampu mengikuti mereka, Cun Giok semakin memperjauh jaraknya dari mereka. Biarlah mereka mengira dia tidak mampu mengikuti mereka! Biar mereka mentertawakannya, nanti dialah yang tertawa karena dia akan mendahului mereka tiba di rumah itu!
Melihat dua orang gadis itu sudah lari agak jauh, Cun Giok tersenyum dan segera mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang. Dia melihat dua orang gadis itu, yang berlari di atas jalan setapak, berbelok ke kiri dan tertutup rumpun bambu kuning. Ketika dia tiba di dekat rumpun bambu dan memandang ternyata dua orang gadis itu telah lenyap!
"Hemm, kalian boleh mengambil jalan pintas yang bagaimanapun, aku tetap akan dapat mendahului kalian!" katanya sambil menahan tawa.
Kini dia tidak mempedulikan lagi dua orang gadis kembar itu, tidak ingin mengikuti jejak mereka melainkan hendak mengambil jalan sendiri menuju rumah itu, mendahului mereka. Maka, di jalan simpang empat itu dia mengambil jalan yang langsung menuju ke arah rumah itu. Tumbuh-tumbuhan menghalanginya melihat gedung itu, akan tetapi dia yakin bahwa jalan setapak pasti menuju ke gedung di depan seperti yang dilihatnya tadi sebelum semak-semak yang tinggi menghalangi penglihatannya.
Setelah melewati deretan semak-semak yang cukup panjang dan tiba di tempat yang tidak terhalang, dia memandang ke depan dan...... gedung itu tidak tampak lagi berada di depannya! Dia merasa heran lalu menoleh ke kiri dan ternyata gedung itu kini berada di sebelah kirinya, hanya saja tidak sedekat tadi, melainkan semakin jauh.
Ah, jalan setapak yang diikutinya itu tentu telah membelok tanpa dia sadari sehingga dia malah menjauhi gedung, bukan mendekati! Kini gedung itu sudah tampak lagi dan dia pun cepat berlari mengikuti jalan setapak yang menuju ke arah gedung itu. Kembali ada pohon-pohon yang menghalangi penglihatannya dan setelah dia berlari cukup lama, dia merasa heran mengapa belum juga dia tiba di gedung yang tadi sudah kelihatan itu. Dia berlari lebih cepat dan melewati kelompok pohon yang menghalangi penglihatannya lalu memandang ke depan. Gedung itu hilang lagi dan setelah dia memandang ke sekeliling, gedung itu tampak di sebelah kanannya, semakin jauh!
Cun Giok merasa semakin penasaran. Bagaimana ini dapat terjadi" Apakah jalan setapak itu yang menipunya sehingga dia mengikuti arah yang membalik tanpa disadarinya" Dia terus berlari menuju ke arah gedung, akan tetapi sampai berjam-jam lamanya, dia tidak pernah tiba di dekat gedung. Terkadang agak dekat, terkadang malah semakin jauh!
Matahari mulai condong ke barat. Cun Giok yang tidak mau menyerah dan sejak tadi mengerahkan gin-kang berlari-lari, mulai berkeringat. Kegembiraannya untuk mentertawakan dua orang gadis kembar karena dia mendahului mereka, sudah lenyap sama sekali dan sekarang mulai timbul rasa gelisah di dalam hatinya. Dia tadi terlalu memandang rendah mereka! Kiranya Taman Seribu Bunga ini merupakan taman yang penuh rahasia dan tipuan! Dia mulai merasa ragu apakah akan mampu melewati taman itu dan tiba di gedung yang sudah tampak dari situ.
03.1. Mantan Kekasih Ibu Tersayang
"Giok-ko, engkau berada di mana?" terdengar pertanyaan yang melengking dari arah gedung itu. Dia mengenal suara yang lembut serius itu. Pasti Kui Lan yang mengeluarkan pertanyaan itu.
"Aku di sini, Lan-moi!" katanya dengan girang dan dia pun lari lagi menuju ke arah suara yang datangnya dari gedung itu. Kembali dia harus melewati tumbuh-tumbuhan yang cukup tinggi sehingga penglihatannya terhalang. Setelah dapat melihat kembali ke depan, gedung itu lenyap dan berubah menjadi padang rumput yang menghadang di depannya. Setelah dia mencari-cari, gedung itu tampak berada di sebelah kanannya! Dia berhenti lagi, mulai bingung.
"Heii, Giok-ko" Kenapa engkau begitu lemah" Apakah engkau merangkak seperti siput maka begitu lama aku harus menunggu di sini?" Teriakan yang nadanya mengejek itu pasti suara Kui Lin! Gila, dia dipermainkan oleh gadis-gadis yang masih hijau!
"Tunggu, Lin-moi! Aku pasti akan sampai ke situ!" serunya sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar menggema di seluruh penjuru. Yang membuat hatinya panas adalah ketika dia melihat Kui Lin, biarpun dari jauh, berdiri di atas atap gedung dan melambai-lambaikan tangan dengan tertawa-tawa mengejek!
Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah berhenti berlari, ternyata dia hanya berputar-putar dan beberapa kali mengenal jalan setapak yang tadi pernah dilaluinya! Sampai sore dia berlari-lari tanpa henti, namun tak pernah berhasil. Akhirnya dia melompat ke atas cabang sebatang pohon, duduk di atas cabang sambil memandang ke sekeliling.
Dari situ tampak betapa indahnya taman itu. Beraneka bunga memenuhi taman, juga pohon-pohon semak-semak, rumpun-rumpun bambu, semua serba teratur rapi dan indah. Dari situ tampak pula gedung itu dan dia sungguh merasa heran bagaimana dia selalu gagal menuju ke sana! Kalau dia memakai jalan pintas dan membabati tanaman-tanaman di taman itu, mungkin dia akan sampai di gedung. Akan tetapi tidak mungkin dia mau merusak taman orang! Dari atas pohon dia melihat jalan setapak yang berliku-liku dan baru dia teringat bahwa jalan setapak itu berubah-ubah warnanya. Ada yang putih, lalu ada yang merah, biru, kuning, hijau dan bermacam-macam warna lagi.
Tiba-tiba terdengar suara wanita bernyanyi. Merdu dan lembut suara itu, terdengar dari arah gedung, sayup sampai terbawa angin, namun kata-katanya cukup jelas dapat ditangkap pendengaran Cun Giok.
"Bayangan wahai bayangan
Didekati, dicari, makin menjauh
Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini
Bersatu dengan diri. Hanya orang bodoh yang tidak mengerti?""
Cun Giok mengenal syair itu, ditulis oleh seorang penyair di jaman Kerajaan Tang. Penyair itu seorang Tosu bernama Cu Tek. Yang dimaksudkan dengan bayangan itu adalah To atau Kekuasaan Tuhan. Dicari dengan akal pikiran tidak akan bisa didapatkan, tanpa dicari sudah ada karena Kekuasaan Tuhan itu tidak pernah terpisah dari diri manusia. Akan tetapi apa artinya syair itu dinyanyikan orang di sini" Apakah ada hubungannya dengan rahasia taman ini"
Tiba-tiba Cun Giok memejamkan mata dan mencoba untuk mengingat-ingat tentang pelajaran dalam Agama To. Didekati dan dicari, malah makin menjauh. Ah, ini cocok dengan keadaan di taman. Gedung itu, makin didekati semakin menjauh! Dia sudah berusaha mendekati sampai setengah hari, akan tetapi sama sekali tidak berhasil karena gedung itu makin menjauh saja! Andaikata yang dimaksudkan dengan "bayangan" itu adalah rumah gedung di Lembah Seribu Bunga, maka mendekati dan mencarinya tentu akan gagal seperti yang telah dialaminya.
Lalu bagaimana rahasianya untuk dapat menemukannya" "Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini bersatu dengan diri". Hemm, tidak usah didekati, malah dijauhi" Apa artinya itu. Tiba-tiba Cun Giok teringat. Sejak tadi dia memang berusaha mendekati gedung dan selalu mengambil jalan yang menuju ke gedung dan hasilnya, jalan itu membawanya makin menjauhi gedung. Inikah rahasianya" Dia tidak yakin, akan tetapi apa salahnya dicoba"
Timbul harapan di hati Cun Giok. Kalau sekali ini tidak berhasil, sudah saja, dia akan meninggalkan taman ini. Akan tetapi dia lalu teringat, bagaimana dapat meninggalkannya" Dia pun tidak tahu jalan keluar, seperti juga tidak tahu jalan menuju ke gedung itu.
Cun Giok melompat turun dari atas pohon, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang berwarna biru. Jalan setapak itu mempunyai banyak simpangan, ada perempatan dari berbagai warna. Setelah tiba di tempat terbuka dia melihat bahwa gedung itu kini berada di sebelah kirinya, cukup jauh. Maka tanpa menggunakan akal pikiran lagi, langsung saja dia mengambil jalan setapak yang ke kanan, berarti menjauhi atau berlawanan dengan arah gedung itu. Kini jalan setapak itu berwarna merah. Setelah agak lama berjalan dengan pohon-pohon menghalangi di kanan kiri jalan sehingga dia tidak melihat jauh, jalan setapak itu membawanya ke tempat terbuka di mana terdapat perempatan jalan.
Dia berhenti dan memandang sekeliling. Gedung itu tiba-tiba saja sudah pindah di sebelah kanannya, tidak begitu jauh lagi. Tanpa berpikir lagi Cun Giok mengambil jalan ke kiri, berlawanan dengan letak gedung. Kembali dia melewati lorong panjang yang dipenuhi semak-semak di kanan kiri sehingga dia tidak dapat melihat di mana letak gedung itu. Jalan setapak itu berliku-liku sehingga Cun Giok tidak tahu lagi ke arah mana dia berjalan, ke utara, selatan, timur, atau barat!
Kembali dia berada di tempat terbuka dan kini gedung itu tahu-tahu tampak dekat sekali di sebelah kirinya! Agaknya dengan melompati beberapa semak belukar dan melewati beberapa batang pohon saja dia sudah akan sampai di sana! Akan tetapi Cun Giok tidak mau melakukah hal itu. Sebaliknya dia lalu mengambil jalan ke arah kanan dan kini dia menginjak jalan setapak berwarna putih. Demikianlah, setiap tiba di tempat terbuka dan melihat gedung itu semakin dekat saja, Cun Giok segera mengambil jalan ke arah yang berlawanan seolah meninggalkan gedung itu dan setelah berjalan membelak-belok beberapa lamanya, tiba-tiba saja dia dapat keluar dari taman dan sudah berdiri di halaman gedung itu!
"Selamat datang di rumah kami, Giok-ko." Tiba-tiba terdengar suara Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu sudah muncul di situ.
"Wah, engkau lambat sekali, Giok-ko. Kalau saja lbuku tidak memberi petunjuk kepadamu, aku berani bertaruh bahwa sampai kapan pun engkau tidak akan berhasil keluar dari taman Seribu Bunga," kata Kui Lin sambil tersenyum. Senyumnya memang manis sekali, akan tetapi menyakitkan karena senyum itu mengandung ejekan.
Akan tetapi mendengar ucapan Kui Lin, mengertilah dia bahwa yang menyanyikan syair tadi adalah ibu kedua orang gadis kembar itu, maka dia lalu cepat merangkap kedua tangan di depan dadanya dan berseru walaupun tidak melihat adanya ibu mereka di situ.
"Banyak terima kasih saya ucapkan kepada The Toanio yang telah memberi petunjuk kepada saya. Saya Pouw Cun Giok menghaturkan salam hormat kepada The Toanio."
Dari dalam rumah itu terdengar suara wanita yang lembut. "Pouw Sicu (Orang Gagah Pouw), anak-anakku mempersilakan engkau sebagai tamu. Masuklah!"
"Terima kasih, Toanio," kata Cun Giok.
"Silakan, Giok-ko," kata Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu lalu mengajak Cun Giok memasuki pintu depan yang besar dan kuat.
Setelah memasuki ruangan depan gedung itu, Cun Giok memandang ke sekelilingnya dan dia kagum sekali. Ternyata walaupun dari luar gedung itu tampak biasa saja, namun ternyata di dalamnya terdapat perabot rumah yang serba indah dan mahal. Selain perabot-perabotnya yang indah dan mahal, juga terdapat lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan kuno yang amat indah, baik kata-katanya maupun bentuk tulisannya.
Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada seorang wanita yang telah duduk di dalam sebuah ruangan di samping ruangan depan yang agaknya dijadikan sebagai ruangan tamu gedung itu.
Wanita itu berusia sekitar limapuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih tampak cantik dan tubuhnya juga masih ramping padat sehingga tampaknya jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Melihat sekilas pandang saja, mudah diduga bahwa ia tentu ibu dari sepasang gadis kembar itu karena wajah sepasang gadis kembar itu jelas merupakan hasil cetakan wajah Sang Ibu. Wanita yang tadinya duduk dan menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka dan memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata penuh selidik.
Cun Giok segera mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan membungkuk untuk memberi hormat. "Toanio, harap suka memaafkan saya yang lancang berani datang menghadap tanpa diundang. Terimalah hormat saya Pouw Cun Giok, Toanio."
Wanita itu tersenyum, dan senyumnya juga persis senyuman Kui Lin walaupun senyum itu lembut seperti sifat Kui Lan, tidak kasar dan lincah seperti Kui Lin.
"Pouw-sicu, aku sudah mendengar dari anak-anakku bahwa engkau adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga dapat mengalahkan ilmu silat tangan kosong Kui Lin, bahkan mengalahkan ilmu pedang dari Kui Lan. Sungguh membuat aku kagum karena sesungguhnya, pada waktu ini jarang ada orang muda yang akan mampu mengalahkan kedua orang puteriku ini."
"Aih, Ibu! Bikin malu saja memuji-muji kami padahal kami sama sekali tidak mampu menandingi Giok-ko," kata Kui Lin, sedangkan Kui Lan lalu berkata kepada pemuda itu yang masih berdiri.
"Giok-ko, silakan duduk," ia menunjuk sebuah kursi yang berhadapan dengan ibunya.
"Terima kasih," kata Cun Giok yang lalu duduk di atas kursi itu. Setelah Cun Giok duduk, dua orang gadis itu pun segera mengambil tempat duduk di atas kursi yang berada di kanan kiri ibu mereka.
Setelah mereka duduk, Nyonya The sambil memandang penuh selidik kepada Cun Giok, bertanya. "Sicu, kedua orang puteriku hanya dapat memberitahu bahwa engkau bernama Pouw Cun Giok, akan tetapi mereka tidak tahu akan riwayatmu. Dapatkah engkau memberitahu, di mana orang tuamu, siapa mereka dan di mana mereka tinggal?"
"Ayah Ibu saya telah meninggal dunia, Toanio. Kami dulu tinggal di So-couw, akan tetapi keluarga saya habis terbunuh oleh pasukan Mongol sehingga saya sekarang hidup sebatang kara."
Wanita itu mengerutkan alisnya. "Ah, apakah engkau ini masih keturunan keluarga Pouw yang merupakan orang-orang gagah perkasa dan pembela Kerajaan Sung" Aku pernah mendengar akan kebesaran nama keluarga Pouw, seperti Pouw Goan Keng dan Pouw Cong Keng."
"Mereka adalah nenek moyang saya, Toanio."
"Aih! Kalau begitu, siapakah Ayahmu" Apakah yang bernama Pouw Bun yang menjadi pejabat yang adil di kota raja pada jaman Kerajaan Sung?"
"Beliau adalah kakek buyut saya, Toanio."
"Ah, lalu Ayahmu" Siapa namanya?"
"Mendiang Ayah saya bernama Pouw Keng In."
Wanita itu mengangguk-angguk. "Bagus, kiranya engkau keturunan keluarga Pouw yang namanya amat terkenal sebagai patriot-patriot gagah perkasa itu. Engkau pantas menjadi tamu kami, pantas menjadi sahabat anak-anakku, Pouw-sicu. Akan tetapi, Kui Lan memberi tahu kepadaku bahwa engkau memiliki sebatang pedang yang bersinar keemasan. Bolehkah sebentar saja aku melihatnya?"
"Tentu saja, Toanio!" Cun Giok tanpa ragu-ragu lalu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Nyonya The.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Lalu terjadi hal yang membuat Pouw Cun Giok terheran-heran, bahkan dua orang gadis itu pun terkejut dan heran. Ibu mereka, setelah menerima pedang itu, mengamatinya sebentar, lalu mendekap pedang itu di dadanya dan menangis!
Kui Lan dan Kui Lin mendekati ibunya. "Ibu, ada apakah?" mereka bertanya, akan tetapi Nyonya The tidak menjawab dan masih menangis.
Cun Giok juga memandang dengan khawatir. "The Toanio, maafkan kalau pedang saya itu membuat Toanio bersedih."
Dirangkul dua orang puterinya yang tampak khawatir itu, The Toanio dapat menguasai perasaannya. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas dan menyuruh dua orang puterinya duduk kembali. Kemudian ia memandang kepada Cun Giok dan bertanya, suaranya seperti menuntut.
"Pouw-sicu, katakan sejujurnya. Dari mana dan bagaimana engkau mendapatkan pedang Kim-kong-kiam ini?"
Cun Giok terkejut karena sinar mata wanita itu dan suaranya penuh tuntutan. Maka dia segera menjawab sejujurnya. "Toanio, Kim-kong-kiam ini saya terima sebagai pemberian dari Guru saya."
"Gurumu......" Siapa namanya......?" Kini pandang mata dan sikap Nyonya The penuh keinginan tahu dan harapan.
"Nama Suhu adalah Suma Tiang Bun, Toanio."
Wajah wanita itu menjadi pucat dan bibirnya gemetar ketika ia bertanya. "Suma Tiang Bun......" Di mana...... di mana dia sekarang?"
Cun Giok tertegun. Tentu ada hubungan erat antara gurunya dan wanita ini, pikirnya. "Suhu sudah meninggal dunia sekitar tiga tahun yang lalu, Toanio."
Nyonya The yang tadinya mengangkat tubuhnya dalam kursinya, begitu mendengar ucapan Cun Giok ini, seketika lemas dan terkulai sambil memeluk Kim-kong-kiam di dadanya lalu mulai menangis lagi. Dua orang puterinya segera merangkul ibu mereka dan Kui Lin menoleh kepada Cun Giok lalu berkata ketus.
"Pouw Cun Giok! Manusia tak mengenal budi! Engkau kami terima sebagai tamu, tapi kedatanganmu hanya mendatangkan kekacauan dan membuat Ibuku bersedih. Pergilah kau dari sini dan bawa pedangmu!"
"Lin-moi, jangan begitu......!" Kui Lan mencela adiknya.
Kembali Nyonya The menghapus air matanya dan berkata, "Kui Lin, Pouw-sicu tidak bersalah apa-apa, jangan engkau bersikap kasar kepadanya."
Setelah menyuruh dua orang puterinya duduk kembali dan ia sudah dapat menenangkan hatinya, The Toanio lalu menyerahkan Kim-kong-kiam kepada Cun Giok dan ia sudah menghapus semua air mata dari kedua pipinya. Wajahnya sudah pulih dan merah kembali.
Pada saat itu, seorang wanita setengah tua yang berpakaian sebagai pembantu rumah tangga, masuk membawa baki terisi empat buah cawan, sepoci besar air teh dan beberapa macam kue kering di atas piring. Setelah mengatur suguhan itu di atas meja, wanita pelayan itu mengundurkan diri dan The Toanio berpesan kepadanya.
"Akin, engkau dan para pelayan lain tidak boleh memasuki kamar ini sebelum kupanggil."
Pelayan wanita itu memberi hormat dengan membungkuk lalu keluar dari kamar atau ruangan tamu itu, tidak lupa menutupkan daun pintu ketika ia keluar.
Setelah mempersilakan Cun Giok minum air teh yang dituangkan dalam cawan oleh Kui Lan, The Toanio lalu berkata.
"Maafkan aku, Pouw-sicu, aku tidak dapat menahan kesedihan melihat Kim-kong-kiam, lebih-lebih mendengar gurumu itu telah meninggal dunia......"
"Apakah Ibu mengenal guru Giok-ko yang telah meninggal dunia itu?" tanya Kui Lan.
"Ibu, siapakah Suma Tiang Bun itu, dan mengapa Ibu bersedih mendengar dia meninggal dunia?" tanya Kui Lin.
Nyonya The menghela napas panjang. "Kalau saja Pouw-sicu tidak muncul bersama Kim-kong-kiam ini, rahasia ini tentu akan kubawa sampai mati karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Akan tetapi sekarang aku tidak ingin membuat kalian bertiga menduga yang bukan-bukan, maka sebaiknya kuceritakan pengalamanku di waktu aku masih gadis dan belum menikah dengan Ayah kalian berdua. Akan tetapi sebelumnya, aku ingin tahu lebih dulu, Pouw-sicu. Bagaimana Suma Tiang Bun bisa mati" Dia belum tua benar, usianya sekarang baru sekitar enampuluh tahun dan dia memiliki tubuh yang amat kuat, ilmu silatnya juga lihai sekali."
"Suhu tewas dikeroyok seorang panglima besar Kerajaan Mongol bersama pasukannya, Toanio."
"Hem, siapakah panglima itu?"
"Namanya Panglima Kong Tek Kok, akan tetapi saya dan adik misan saya sudah berhasil membalas dendam dan membunuhnya."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Kalau belum terbalas, akulah yang akan membunuh panglima yang mengeroyok dan menewaskan Suma Tiang Bun. Nah, sekarang dengarlah riwayatku. Dahulu, sebelum aku menikah dengan mendiang suamiku ayah kedua anakku ini, aku bersahabat baik dengan Suma Tiang Bun. Kami berdua melakukan perjalanan bersama dan menentang orang-orang Mongol yang mulai menyerang Kerajaan Sung. Bahkan kami berdua sudah saling berjanji akan menjadi jodoh masing-masing kelak."
"Wah, jadi dia itu dulu pacar Ibu?" tanya Kui Lin.
"Ih, Lin-moi, diam dan dengarkan cerita Ibu!" Kui Lan menegur adiknya.
Nyonya The tersenyum mendengar pertanyaan Kui Lin walaupun sinar matanya masih membayangkan kesedihan.
"Memang benar, ketika itu aku dan Suma Tiang Bun saling mencinta. Mencinta bukan hal yang buruk, bukan hal yang tidak pantas atau patut disembunyikan. Memang pada waktu itu, aku dan Suma Tiang Bun menganggap kita menjadi calon jodoh masing-masing. Akan tetapi, kemudian kota raja diserbu pasukan musuh dan Kaisar dilarikan mengungsi ke selatan. Di antara mereka yang membela dan menyelamatkan Kaisar adalah Suma Tiang Bun. Ketika Kaisar tewas terjun ke laut, dan banyak perwira dan pendekar yang ikut tewas ketika membela Kaisar, tersiar berita bahwa Suma Tiang Bun juga tewas. Selama setahun aku berkabung, sama sekali tidak mengira bahwa Suma Tiang Bun menghilang karena dia menjadi buruan kerajaan musuh sehingga terpaksa menyembunyikan diri ke gunung-gunung dan tempat sepi. Nah, ketika itulah aku bertemu dengan The Kim Kiong yang juga seorang pendekar. Kami menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin yang terlahir kembar ini. Baru kemudian aku mendengar bahwa Suma Tiang Bun belum mati dan menjadi orang buruan. Akan tetapi aku tidak menyesal karena aku sudah menjadi isteri orang lain, bahkan merasa bersyukur bahwa Suma Tiang Bun masih hidup. Mungkin dia juga mendengar bahwa aku telah menikah dengan The Kim Kiong dan dia sengaja tidak pernah datang menjengukku. Aku mengenal betul akan wataknya yang bijaksana. Nah, demikianlah, anak-anakku dan engkau juga, Pouw-sicu, riwayatku sehingga tentu saja aku terkejut sekali ketika melihat Kim-kong-kiam."
"Saya dapat mengerti mengapa Toanio menikah dengan orang lain karena mengira bahwa mendiang Suhu yang menjadi calon suami Toanio telah tewas. Kalau boleh saya bertanya, di mana adanya suami Toanio yang bernama The Kim Kiong itu?"
Nyonya The menghela napas panjang. "Memang nasibku yang buruk. Ketika Kui Lan dan Kui Lin berusia sepuluh tahun, ayah mereka tewas ketika melawan pasukan Mongol. Dia memang menjadi seorang di antara para pendekar yang dianggap pemberontak dan dimusuhi Kerajaan Mongol. Dia berhasil menewaskan banyak perajurit, akan tetapi akhirnya tewas. Aku sempat menyelamatkan anak-anak kami melarikan diri."
"Ibu tidak pernah mau menceritakan siapa panglima yang memimpin pasukan yang telah menewaskan Ayah!" Kui Lin berkata dengan nada penasaran.
03.2. Pengawalan Gadis Kembar
"Kuceritakan juga, apa yang dapat kalian lakukan" Panglima itu membunuh Ayah kalian bukan karena urusan permusuhan pribadi. Dia mewakili Kerajaan Mongol maka yang membunuh Ayah kalian adalah Kerajaan Mongol."
"Ibu berkata benar," kata Kui Lan. "Akan tetapi ada baiknya kalau kami mengetahui namanya."
"Panglima itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, juga dia seorang panglima besar yang memimpin ratusan ribu perajurit. Namanya Panglima Kim Bayan."
"Ahhh......!!" Cun Giok demikian kaget sehingga tanpa disadarinya dia mengeluarkan seruan itu. Ibu dan kedua orang puterinya itu kini memandang kepadanya dengan tajam.
"Sicu, apakah engkau mengenal Kim Bayan?" tanya Nyonya The.
"Mengenalnya, Toanio" Lebih dari mengenalnya, bahkan sudah beberapa kali saya bermusuhan dan bentrok dengan dia dan kaki tangannya. Bagi saya, Kim Bayan adalah seorang yang keji dan licik jahat akan tetapi juga berbahaya. Kalau diberi kesempatan, saya ingin sekali membunuhnya. Belum lama ini saya pernah menjadi tawanannya. Masih untung saya dapat menyelamatkan diri dari Kim Bayan yang dibantu oleh orang-orang sakti seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li."
"Wah, menarik sekali!" teriak Kui Lin. "Giok-ko, ceritakanlah apa yang kau alami ketika bermusuhan dengan Kim Bayan, pembunuh Ayahku itu!"
Cun Giok lalu menceritakan pengalamannya ketika dia bersama Ceng Ceng dan Li Hong berhadapan dengan Kim Bayan dan kaki tangannya dalam memperebutkan harta karun Kerajaan Sung.
"Peta harta karun itu adalah peninggalan Locianpwe Liu Bok Eng yang juga terbunuh oleh Kim Bayan dan Cui-beng Kui-ong. Peta itu ditinggalkan kepada puterinya yang bernama Liu Ceng Ceng."
"Ah, aku pernah mendengar nama besar Liu Bok Eng yang dulu menjadi panglima Kerajaan Sung. Aku masih ingat bahwa ilmu toyanya jarang menemul tandingan," kata Nyonya The. "Lagi-lagi Kim Bayan yang membunuhnya. Panglima yang satu ini agaknya memang ingin membasmi semua pendekar yang berjiwa patriot."
"Giok-ko, lalu bagaimana dengan peta itu?" tanya Kui Lan.
Cun Giok lalu menceritakan betapa dia dan Tan Li Hong membantu Liu Ceng Ceng untuk menyelidiki tentang harta karun itu menurut petunjuk peta yang ditinggalkan mendiang Liu Bok Eng.
"Giok-ko, apakah engkau dan Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong ingin mendapatkan harta karun itu dan kalian bagi bertiga?" tanya Kui Lin.
"Lin-moi, jangan lancang!" tegur Kui Lan dan adiknya cemberut.
Cun Giok tersenyum. "Sama sekali tidak, Lin-moi. Kami bertiga mencari harta itu dengan niat kalau sudah ditemukan akan kami serahkan kepada yang berhak seperti dikehendaki mendiang Locianpwe Liu Bok Eng."
"Siapa yang berhak menerima harta karun itu?" tanya pula Kui Lin.
"Menurut Liu Ceng Ceng, Ayahnya menghendaki agar harta karun itu kelak dipergunakan untuk biaya pasukan pejuang yang berusaha menumbangkan pemerintah penjajah Mongol."
"Bagus sekali! Sampai matinya Liu Bok Eng tetap seorang pendekar patriot, bahkan jiwa kependekarannya diturunkan kepada puterinya!" Nyonya The memuji. "Lalu bagaimana, Sicu" Apakah kalian bertiga berhasil menemukan harta karun itu?"
"Sebelum kami menemukan tempat harta karun itu menurut petunjuk peta, kami telah terjatuh ke tangan Kim Bayan dan anak buahnya dan kami tertawan."
"Ah, keparat Kim Bayan!" Kui Lin berseru sambil mengepal tinjunya dengan marah.
"Lin-moi, biarlah Giok-ko melanjutkan ceritanya," Kui Lan mencela adik kembarnya.
"Karena Kim Bayan mengancam akan membunuh Adik Tan Li Hong, maka Liu Ceng Ceng terpaksa menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan untuk menyelamatkan Li Hong."
"Aih, sungguh pantas menjadi puteri Pendekar Liu Bok Eng!" kata Nyonya The, gembira mendengar orang-orang gagah yang memang ia kagumi sejak dulu. "Akan tetapi, gadis yang seorang lagi, yang membantu Nona Liu Ceng Ceng dan bernama Tan Li Hong itu, siapakah ia, Sicu" Agaknya ia juga seorang pendekar wanita."
"Benar, Toanio. Tan Li Hong adalah seorang pendekar wanita yang lihai juga. Ia adalah murid dari Ban-tok Niocu, majikan Pulau Ular."
"Majikan Pulau Ular" Seingatku, Coa-tocu (Majikan Pulau Ular) berjuluk Ban-tok Kui-bo!" seru Nyonya The.
"Memang benar, Toanio. Semula ia berjuluk Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun), akan tetapi sekarang ia telah sadar dan mengubah julukannya menjadi Ban-tok Niocu (Nona Selaksa Racun) dan tetap menjadi majikan Pulau Ular."
"Ah, tentu Tan Li Hong itu lihai sekali karena dulu pun gurunya itu disegani para tokoh kang-ouw. Ceritamu semakin menarik, Sicu, lanjutkanlah."
Cun Giok melanjutkan ceritanya tentang tindakan Kim Bayan yang menyerang Li Hong'dan memaksa dia dan Ceng Ceng untuk membantu mereka menemukan letak penyimpanan harta karun menurut petunjuk peta. Karena keselamatan Li Hong terancam, terpaksa dia dan Ceng Ceng memenuhi permintaan ini dan mereka berdua membantu Kim Bayan mencari harta karun itu. Akhirnya kami menemukan tempat penyimpanan harta karun itu dan dapat mengeluarkan peti harta karun......"
"Ah, celaka!" seru Kui Lin. "Sayang sekali harta karun Kerajaan Sung itu terjatuh ke tangan jahanam Kim Bayan!"
"Benarkah harta karun itu terjatuh ke tangan Kim Bayan, Sicu?" tanya Nyonya The dengan nada kecewa.
"Tidak, Toanio. Ketika peta harta karun itu dibuka, tidak ada sepotong pun harta benda, yang ada hanya dua buah huruf di dasar peti itu yang berbunyi THAI SAN."
"Heh-he-heh-hi-hik!" Kui Lin terkekeh senang dan geli. "Rasakan engkau, jahanam Kim Bayan!"
"Ah, mengapa peti itu kosong" Dan bagaimana engkau dan dua orang gadis itu dapat meloloskan diri, Pouw-sicu?"
"Selagi Kim Bayan dan kawan-kawannya merasa kebingungan, kecewa dan marah-marah, saya dan Ceng Ceng larikan diri dan membebaskan Li Hong dari penjara, kemudian kami bertiga melarikan diri, kata Cun Giok. Dia tidak menceritakan persoalan antara Li Hong, Ceng Ceng dan dia.
"Hemm, ceritamu menarik sekali, Sicu. Kiranya engkau seorang pendekar yang selalu menentang para pembesar Mongol yang bertindak sewenang-wenang dan yang jahat. Engkau tidak mengecewakan menjadi putera keturunan keluarga Pouw! Juga Tan Li Hong murid Ban-tok Niocu dan Liu Ceng Ceng puteri pendekar Liu Bok Eng itu amat mengagumkan! Beruntunglah tanah air kita yang kini dikuasai penjajah Mongol memiliki pendekar-pendekar muda seperti kalian bertiga. Selama masih ada pendekar-pendekar pejuang seperti kalian, aku yakin, cepat atau lambat, tanah air dan bangsa pasti akan dapat dibebaskan dari cengkeraman pemberontak Mongol!"
"Ah, Ibu selalu melarang kami untuk keluar dari Lembah Seribu Bunga sehingga kami tidak dapat membantu para pendekar pejuang menentang orang-orang jahat macam Kim Bayan!" kata Kui Lin merajuk.
"Giok-ko, lalu bagaimana dengan harta karun itu" Kukira kalau harta itu dapat diberikan kepada para pejuang, akan besar sekali manfaatnya bagi perjuangan menentang penjajah Mongol," kata Kui Lan.
"Benar apa yang dikatakan Kui Lan, Pouw-sicu, lalu bagaimana dengan harta karun itu?" tanya Nyonya The.
"Tidak ada yang tahu di mana adanya harta karun itu, Toanio. Semua orang hanya menduga bahwa harta karun itu tentu sudah ada yang mengambilnya dan melihat huruf THAI SAN yang dituliskan di dasar peti, saya hanya menduga bahwa yang mengambilnya tentu seorang lihai yang tinggal di Thai-san."
Nyonya The mengangguk-angguk. "Memang itu merupakan satu-satunya kemungkinan. Lalu apa yang hendak kau lakukan, Sicu?"
"Saya bermaksud pergi ke Thai-san dan menyelidikinya."
"Ibu, menurut Ibu, siapa kiranya tokoh Thai-san yang dapat mengambil harta karun itu?" tanya Kui Lan.
"Hemm, setahuku yang berada di sana hanyalah aliran Perguruan Silat Thai-san-pai yang diketuai Thai-san Sianjin Thio Kong. Dia memang lihai sekali, juga dibantu lima orang sute (adik seperguruan) yang terkenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Akan tetapi, aku sangsi apakah tosu-tosu di Thai-san itu mau melakukan pencurian. Thai-san adalah sebuah pegunungan yang besar dan luas, memiliki ratusan buah bukit dengan puncak masing-masing. Di sana tentu terdapat banyak pertapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri atau bertapa."
"Ibu, aku ingin mencari harta karun itu di Thai-san!" tiba-tiba Kui Lin berseru kepada ibunya.
"Aku akan menemani Lin-moi, Ibu," kata pula Kui Lan. "Kami berdua telah belajar silat dari Ibu selama bertahun-tahun. Sekaranglah saatnya memanfaatkan ilmu itu. Kami juga ingin membantu para pejuang."
Nyonya The menghela napas panjang. "Kalau kalian berdua pergi, laIu bagaimana aku dapat hidup tenang seorang diri di sini" Kui Lan dan Kui Lin, bukannya aku melarang kalian pergi membantu para pendekar menentang penjajah Mongol, akan tetapi walaupun kalian pernah belajar silat dan sudah menguasai ilmu bela diri yang cukup kuat, kalian sama sekali belum berpengalaman. Di luar sana terdapat banyak orang jahat yang bukan saja memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi terutama sekali yang berwatak curang dan penuh muslihat licik dan jahat. Bagaimana hatiku dapat tenang melepas kalian pergi mengembara?"
"Ibu, di sini ada Kakak Pouw Cun Giok yang sudah berpengalaman dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tentu tidak keberatan kalau kami berdua membantunya mencari harta karun ltu. Giok-ko, apakah engkau berkeberatan kalau kami Enci dan Adik melakukan perjalanan bersama dan membantumu mencari harta Kerajaan Sung itu?" kata Kui Lin dengan lincahnya.
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak dan tidak berani mengatakan tidak mau atau keberatan. Jawaban demikian akan tampak sama sekali tidak sopan. Maka, walaupun dalam hatinya dia merasa ragu untuk melakukan perjalanan bersama dua orang gadis kembar itu, terpaksa dia menjawab. "Tentu saja aku tidak merasa keberatan, Lin-moi."
"Nah, benar kan, Ibu" Kalau kami pergi bersama Glok-ko, tentu Ibu tidak akan merasa khawatir lagi, bukan?" Kui Lin mendesak ibunya.
"Lin-moi, jangan mendesak Ibu. Kalau Ibu tidak setuju, kita tidak akan pergi," kata Kui Lan yang seolah bersikap sebagai pengendali adiknya yang liar.
"Tentu saja, Lan-ci! Kalau Ibu percaya bahwa Giok-ko pasti akan melindungi kita, dan kita sendiri pun mampu membela diri, tentu Ibu menyetujul keinginan kita untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa!" kata Kui Lin dengan gembira, lalu disambungnya dan sekali ini tiba-tiba suaranya terdengar sedih, bahkan seperti hendak menangis. "Akan tetapi kalau Ibu tidak percaya kepada kita dan kepada Giok-ko, dan melarang kami pergi, biarlah kami akan menaati kehendak Ibu, tidak akan meninggalkan Lembah Seribu Bunga ini sampai tua......"
Nyonya The menahan tawanya dan tersenyum sambil memandang Kui Lin. "Anak nakal! Macam-macam saja akalmu! Tidak perlu engkau merayu seperti itu, aku tentu akan mempertimbangkan semua keinginan kalian berdua......"
"Terima kasih, Ibu! Ibu setuju, bukan?" Kui Lin sudah menghampiri dan merangkul ibunya.
Nyonya The mengangguk. "Baiklah, setelah mempertimbangkannya, kurasa memang sudah waktunya kalian menyumbangkan tenaga untuk membantu para pejuang. Aku yakin Sicu Pouw Cun Giok akan membimbing kalian dan mudah-mudahan saja kalian akan berhasil membantu Pouw-sicu menemukan harta karun Kerajaan Sung itu. Akan tetapi, Kui Lin, engkau harus berjanji akan menaati semua nasehat encimu."
"Tentu saja, Ibu. Aku akan taat sekali kepada Enci Lan!"
"Dan kalian berdua harus menurut semua petunjuk yang diberikan Pouw-sicu. Selain dari itu, aku memberi waktu kepada kalian selama satu tahun. Setelah satu tahun kalian mengembara, kalian harus pulang ke sini!"
"Baik, Ibu, kami berjanji," kata Kui Lan.
Dua orang gadis kembar itu lalu berkemas dan malam itu Cun Giok bermalam di gedung Lembah Seribu Bunga. Dalam kesempatan selagi Nyonya The berdua saja dengan Cun Giok karena kedua orang puterinya sedang sibuk berkemas, Nyonya The bertanya kepada Cun Giok.
"Pouw-sicu, setelah kedua orang tuamu tidak ada lagi, siapakah yang menjadi anggauta keluarga terdekat" Tentu engkau mempunyai sanak keluarga, Paman, Bibi, atau Saudara misan. Di mana mereka dan siapakah mereka?"
Cun Giok menggelengkan kepalanya dan hatinya merasa sedih.
"Saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi, Toanio. Semua Paman dan Bibi saya, juga Saudara misan, semua telah tewas oleh bangsa Mongol. Mendiang Ibu saya bermarga Tan, akan tetapi saya tidak pernah mendengar apakah Ibu saya mempunyai keluarga ataukah tidak! Bahkan saya tidak pernah mengenal Ayah Ibu kandung saya, karena Ayah terbunuh ketika saya masih dalam kandungan dan Ibu meninggal ketika melahirkan saya." Dengan singkat Cun Giok menceritakan riwayat keluarganya yang terbasmi oleh mendiang Panglima Kong Tek Kok.
"Demikianlah, Toanio, saya tidak tahu apakah mendiang Ibu mempunyai sanak keluarga. Sejak lahir saya hanya mengenal Suhu Suma Tiang Bun sebagai satu-satunya orang yang hidup dengan saya, kemudian setelah Suhu tewas, saya melanjutkan latihan silat kepada Sukong (Kakek Guru) Pak-kong Lojin yang sekarang masih bertapa di Ta-pie-san. Beliau itulah kini satu-satunya keluarga saya."
"Aduh, riwayatmu sungguh menyedihkan, Sicu. Memang jahat sekali bangsa Mongol. Mereka menjajah tanah air kita dan entah berapa banyak bangsa kita menjadi korban dan keluarga-keluarga berantakan karena kekejaman mereka." Kemudian Nyonya The melanjutkan kata-katanya dan bertanya, "Sicu, apakah engkau juga tidak mempunyai tunangan yang menjadi calon jodohmu?"
Cun Giok menghela napas panjang. Hatinya menjadi pedih ketika dia teringat kepada Siok Eng. Sampai lama dia tidak menjawab pertanyaan itu. Sebetulnya, dia sama sekali tidak berniat untuk menceritakan tentang Siok Eng kepada siapa pun juga. Akan tetapi kalau sekarang dia tidak menjawab pertanyaan Nyonya The, hal itu akan membuat dia merasa tidak enak dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena dia merahasiakan sesuatu. Setelah dapat menekan kesedihannya, dia berkata lirih.
"Saya pernah mempunyai seorang tunangan yang menjadi calon jodoh saya, Toanio. Akan tetapi tunangan saya itu pun tewas di tangan seorang putera Panglima Kim Bayan yang bernama Kim Magu."
"Keparat! Mendengar akan kejahatan Kim Bayan dan puteranya itu, mengingat pula bahwa suamiku juga terbunuh oleh pasukan yang dipimpin Kim Bayan, rasanya ingin sekali aku terjun ke dunia kang-ouw untuk mencari dan membunuhnya! Akan tetapi karena sudah puluhan tahun aku terbiasa tinggal di tempat sunyi yang tenang tenteram ini, aku merasa enggan pergi ke dunia ramai. Biarlah kedua orang puteriku yang akan membantumu menghadapi orang-orang Mongol jahat seperti Kim Bayan itu."
Setelah mendengar bahwa tunangan Cun Giok telah tewas, berarti pemuda itu bebas tidak ada ikatan, timbul dalam hati Nyonya The untuk menjodohkan seorang puterinya dengan Pouw Cun Giok! Pemuda itu adalah putera keluarga Pouw yang terkenal gagah perkasa, juga murid Suma Tiang Bun dan dia melihat betapa pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi, juga baik budi. Akan tetapi karena ia dan puterinya baru hari itu bertemu dan berkenalan dengan Cun Giok, tentu saja amat tidak enak untuk membicarakan urusan perjodohan.
Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang puterinya yang menggendong buntalan pakaian dan membawa pedang, berangkat bersama Pouw Cun Giok, Nyonya The hanya memesan kepada dua orang anak kembarnya agar mereka berhati-hati, menaati petunjuk Cun Giok setelah dalam setahun mengembara harus segera pulang ke Lembah Seribu Bunga. Hanya di dalam hatinya ia mengharapkan agar dalam waktu satu tahun itu seorang di antara dua orang puterinya akan saling jatuh cinta dengan Cun Giok.
"Y" Perahu kecil itu melaju pesat, padahal hanya didayung oleh dua orang gadis yang tampak lemah-lembut dan cantik jelita. Mereka tadi meninggalkan pantai daratan dan mendayung perahu meluncur pesat menuju Pulau Ular yang tampak kecil dari jauh.
Dua orang gadis itu masih muda, sekitar sembilanbelas tahun usia mereka. Yang seorang bertubuh denok sedang, kulitnya putih mulus, wajahnya berbentuk bulat telur, matanya tajam namun lembut, anak rambut yang berjuntai di dahi dan pelipis membuat wajah itu tampak semakin manis, apalagi ditambah lesung pipi kanan dan bibir indah yang selalu mengembangkan senyum ramah. Gadis jelita itu berpakaian sutera serba putih sehingga tampak seperti sekuntum bunga mawar putih yang indah bentuknya dan semerbak harum.
Gadis kedua juga amat cantik jelita walaupun sifat kecantikannya berbeda, bahkan agak berlawanan dengan gadis pertama. Gadis kedua berpakaian indah dan wajahnya yang cantik itu tampak lincah karena sepasang matanya seperti bintang. Bibirnya merah dan bentuk mulutnya menggairahkan dan ia tidak tampak lemah gemulai seperti gadis pertama, melainkan tampak mengandung kegagahan dan keberanian. Bagaikan setangkai bunga, ia adalah setangkai bunga hutan yang liar dan tumbuh bebas.
Kalau gadis pertama berpakaian putih tidak tampak membawa senjata, hanya buntalan pakaian yang tergantung di punggung, gadis kedua ini membawa pula sebatang pedang yang tergantung di punggung dengan buntalan pakaiannya. Rambutnya pun tidak seperti gadis pertama yang disanggul sederhana. Gadis kedua ini menyanggul rambutnya ke atas seperti model rambut para puteri bangsawan di kota!
Mereka adalah Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong. Setelah keduanya berpisah dengan Pouw Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong mengambil keputusan untuk melanjutkan tugas Ceng Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung seperti dipesan mendiang ayahnya. Harta karun itu telah hilang dari tempat persembunyiannya, diambil orang yang meninggalkan huruf THAI SAN di peti yang telah kosong.
Setelah mendayung perahu beberapa lamanya, mereka melihat gugusan pulau-pulau di depan. Ceng Ceng yang berbaju putih itu bertanya kepada Li Hong, gadis lincah yang telah mengangkat saudara dan kini menjadi adik angkatnya.
"Hong-moi (Adik Hong), yang manakah pulau tempat tinggalmu" Aku melihat begitu banyak pulau di depan itu," kata Ceng Ceng sambil memandang ke arah gugusan pulau-pulau itu.
"Aih, Enci Ceng, apakah engkau tidak dapat menduga" Hayo, aku uji kecerdikanmu. Coba terka yang mana yang Coa-to (Pulau Ular) tempat tinggal Ibuku. Masa engkau tidak dapat menebak" Bukankah engkau pernah bersama Giok-ko berkunjung ke pulau kami?"
"Benar, akan tetapi ketika itu kami diantar seorang nelayan dan tidak memperhatikan keadaan seperti sekarang. Akan tetapi, kalau tidak keliru tebakanku, agaknya Pulau Ular itu yang terletak paling kanan itu, bukan?"
"Wah, tebakanmu tepat, Enci Ceng! Bagaimana engkau dapat menebak begitu tepat?"
"Mudah saja. Pulau itu berbeda bentuknya dengan pulau-pulau lainnya. Bentuknya memanjang dan berlekuk-lekuk seperti ular."
"Benar sekali perkiraanmu, Enci Ceng. Pulau itu dinamai Pulau Ular oleh para nelayan karena bentuknya."
"Akan tetapi di sana memang terdapat banyak ular. Bukankah kekayaannya akan ular itu yang membuatnya disebut Pulau Ular?"
"Bukan. Sebelum Ibuku tinggal di sana, pulau itu sama dengan pulau kecil lainnya, tidak ada ularnya. Setelah Ibu mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, untuk menyesuaikan nama pulau itu dan juga untuk keperluan mengambil racunnya, Ibuku yang juga guruku itu membawa ribuan ular, di antaranya banyak yang berbisa, dan dilepas di pulau itu."
Karena kini datang ke Coa-to bersama Li Hong, maka tentu saja dengan mudahnya mereka mendarat di Pulau Ular dan dapat mengambil jalan yang aman dari jebakan menuju ke perkampungan yang berada di tengah pulau.
03.3. Penyambutan Ayah dan Ibu-ibu Angkat
Setelah tiba di gedung tempat tinggal ayah dan kedua ibunya, Li Hong dan Ceng Ceng disambut dengan gembira sekali. Tan Kun Tek dan isterinya gembira melihat Li Hong pulang. Juga Ban-tok Niocu gembira karena Li Hong yang diberi waktu satu setengah tahun untuk merantau kini baru kurang dari setahun telah pulang. Lebih-lebih lagi karena murid atau anak angkatnya itu ditemani oleh Liu Ceng Ceng, gadis berpakaian putih yang ia kagumi.
Li Hong memperkenalkan Ceng Ceng kepada ayah dan ibunya. Tan Kui Tek merasa girang mendengar bahwa gadis berpakaian putih yang diakui oleh Li Hong sebagai kakak angkatnya itu adalah puteri mendiang Liu Bok Eng yang diketahuinya sebagai seorang pendekar patriot. Ayah dan kedua ibu Li Hong menjadi kagum dan senang sekali ketika melihat Ceng Ceng yang diperkenalkan kepada mereka, segera memberi hormat sebagai seorang anak kepada orang tuanya! Ini menunjukkan bahwa Ceng Ceng yang sudah mengangkat persaudaraan dengan Li Hong, juga menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri!
"Ceng Ceng, kami girang sekali bahwa engkau telah menjadi kakak dari Li Hong. Kami harapkan engkau akan dapat memberi bimbingan kepada anak kami, Adikmu itu," kata Tan Kun Tek.
Ibu kandung Li Hong merangkul Ceng Ceng. "Aku sungguh beruntung, bukan hanya dapat menemukan anakku kembali, bahkan kini bertambah mempunyai anak lain lagi."
Ban-tok Niocu juga berkata, "Ceng Ceng, bangga sekali hatiku mendapatkan seorang anak seperti engkau!"
Ceng Ceng merasa amat terharu. Ia sendiri sudah yatim piatu dan kini ia mendapatkan bukan hanya seorang adik, akan tetapi juga seorang ayah dan dua orang ibu yang menerima dan mengakuinya sebagai seorang anak!
Dua orang gadis itu disambut dengan sebuah pesta keluarga dan mereka berlima makan minum dengan gembira. Setelah selesai makan minum, mereka duduk di ruangan dalam dan di situ Li Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya ketika meninggalkan pulau selama hampir satu tahun lamanya.
Dengan gayanya yang lincah Li Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia bertemu dengan Ceng Ceng dan Cun Giok, lalu mereka bertiga sama-sama menentang Kim Bayan dan rekan-rekannya. Ia bercerita tentang peta harta karun peninggalan mendiang Liu Bok Eng yang diwariskan kepada Ceng Ceng, kemudian betapa mereka tertawan oleh Kim Bayan yang memaksa mereka untuk menyerahkan peta dan membantu Kim Bayan mencari harta karun itu menurut petunjuk peta yang dirampasnya.
"Akan tetapi mengapa engkau menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu kepada Ceng Ceng yang tidak dapat menjawab, melainkan hanya memandang kepada Li Hong dengan ragu. Tentu saja ia tidak mau menceritakan betapa Li Hong pernah memusuhinya dan bahkan bergabung dengan Kim Bayan! Li Hong cepat menjawab pertanyaan ibu tiri yang juga gurunya itu.
"Ibu, karena kurang hati-hati aku terjebak dan menjadi tawanan Kim Bayan. Aku dijadikan sandera dan mengancam akan membunuhku kalau Enci Ceng Ceng tidak mau menyerahkan peta. Untuk menolongku, maka Enci Ceng Ceng lalu menyerahkan peta dan bersama Giok-ko ia lalu menyerah dan terpaksa mau membantu mencari harta karun karena aku tetap dijadikan sandera."
"Ah, betapa mulia hatimu, Ceng, Ceng!" Ibu Li Hong berseru terharu.
"Engkau telah menyelamatkan Adikmu, Ceng Ceng. Kami berterima kasih sekali," kata Tan Kun Tek.
"Lalu bagaimana dengan pencarian harta karun Kerajaan Sung itu?" tanya Ban-tok Niocu kepada Li Hong.
"Tempat di mana harta karun itu tersimpan, dengan bantuan peta dapat ditemukan. Akan tetapi ketika peti harta karun dibuka, ternyata telah kosong dan di dasar peti terdapat tulisan huruf THAI SAN. Giok-ko dan Enci Ceng Ceng dapat meloloskan diri dan membebaskan aku. Kami bertiga lalu dapat melarikan diri dari sarang mereka." Li Hong menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menceritakan tentang urusan cinta dan kesalahan-pahamannya dengan Ceng Ceng dan Cun Giok.
"Hemm, setelah itu, bagaimana engkau akan bertindak untuk memenuhi pesan mendiang Ayahmu, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu.
"Saya bertekad untuk mencari harta karun itu, ...... Ibu, dan Hong-moi hendak membantu saya. Karena itulah maka kami pulang ke Coa-to, selain untuk menjenguk Ayah dan Ibu berdua, juga untuk minta petunjuk Ibu yang mungkin dapat menduga siapa kiranya tokoh Thai-san yang mengambil harta karun itu."
Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
"Hemm, setahuku, aliran persilatan terbesar yang berada di sana adalah Thai-san-pai yang diketuai oleh Thai-san Sianjin Thio Kong. Thai-san-pai terkenal sebagai sebuah di antara partai-partai persilatan besar yang gagah perkasa, murid-muridnya menjadi pendekar-pendekar. Tidak mungkin mereka itu mencuri harta karun untuk kepentingan mereka sendiri. Andaikata mereka mengambilnya, tentu harta karun itu akan mereka sumbangkan untuk kebaikan!"
"Kalau begitu, kita kunjungi Thai-san-pai dan bertanya kepada mereka. Kalau betul mereka yang ambil, kita minta agar harta karun itu diserahkan kepada yang berhak, yaitu para pejuang," kata Li Hong.
"Aku masih sangsi, Hong-moi. Menurut keterangan Ibu tadi, mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kiranya kalau mereka yang mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkan tulisan THAI SAN itu di dalam peti karena perbuatan itu menunjukkan bahwa yang mengambilnya adalah seorang yang sombong. Tullsan itu seo!ah merupakan tantangan."
"Pendapat Ceng Ceng itu ada benarnya. Aku pun sangsi kalau Thai-san-pai yang mengambilnya," kata Tan Kun Tek.
"Aku pun berpendapat begitu," kata Ban-tok Niocu. "Selain Thai-san-pai ada lagi beberapa tokoh sesat yang bermukim di sekitar pegunungan Thai-san-pai yang luas itu. Yang sudah kuketahui ada beberapa orang. Pertama adalah Huo Lo-sian (Dewa Api Tua) yang berwatak ganas dan dia memiliki banyak pengikut yang mudah dikenal karena pakaian mereka serba merah. Huo Lo-sian itu selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak pernah berani mengganggu Thai-san-pai yang memiliki banyak murid pandai."
"Huh, patut dicurigai orang itu!" kata Li Hong.
"Apakah masih ada tokoh lain di Thai-san, Ibu?" tanya Ceng Ceng.
"Masih ada beberapa orang lagi. Orang kedua yang patut dicurigai adalah Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), sepasang saudara kembar yang dlsebut Hek Mo-ko (Iblis Hitam) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih). Mereka berdua ini biarpun tidak mempunyai pengikut, namun mereka berdua juga terkenal sebagai datuk kang-ouw yang sesat, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan mereka.
Adapun pihak keempat adalah Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang terdapat di mana-mana sebagai cabangnya, terutama di kota-kota besar. Ciri-ciri mereka adalah setiap orang anggautanya memegang sebatang tongkat merah. Yang berada di Thai-san adalah pusatnya di mana terdapat ketuanya yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan)! Nah, yang empat inilah setahuku yang bermukim di Thai-san dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi hanya Thai-san-pai tergolong pendekar, sedangkan tiga yang lain adalah tokoh-tokoh sesat. Kalau ada penghuni baru lagi, aku belum mengenalnya."
"Wah, kiranya Thai-san dihuni banyak tokoh sesat!" kata Li Hong.
"Menghadapi orang-orang seperti mereka engkau harus sangat hati-hati, Li Hong. Mereka itu berbahaya dan terutama sekali ilmu sihir dan kelicikan mereka yang harus diwaspadai," kata Tan Kun Tek.
"Bukan saja mereka lihai, akan tetapi juga di antara mereka memiliki banyak anak buah," kata Ban-tok Niocu. "Pekerjaan kalian itu dapat berbahaya sekali. Kalian masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, bertemu dengan tokoh-tokoh sesat seperti itu, dapat berbahaya sekali."
"Ah, aku tidak takut, Ibu. Enci Ceng memiliki kepandaian yang tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu pengobatan! Apalagi kalau dibantu Giok-ko, eh...... tentu kami tidak khawatir lagi. Sayang...... dia telah pergi......"
"Maksudmu pemuda yang dulu datang bersama Ceng Ceng dahulu itu" Hemm, memang, dia itu lihai sekali, terutama ilmu pedangnya. Dan aku sudah tahu akan kelihaian Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng berjuluk Pek Eng Sianli, sedangkan Cun Giok berjuluk Bu-eng-cu, keduanya memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, aku sendiri pun tidak mampu menandinginya."
"Ah, Ibu terlalu memuji saya," kata Ceng Ceng.
"Hemm, aku menjadi tertarik. Siapakah pemuda yang kalian semua amat mengaguminya itu?" tanya Tan Kun Tek.
"Dia memang seorang pendekar muda yang luar biasa, Ayah. Ilmunya amat tinggi, wataknya juga gagah perkasa dan bijaksana, akan tetapi......" Li Hong memandang Ceng Ceng dan tanpa diketahui orang lain, Ceng Ceng memberi isyarat dengan kedipan mata dan gelengan kepala agar tidak menceritakan tentang peristiwa asmara mereka bertiga.
"Akan tetapi apa, Li Hong?" tanya ayahnya.
"Tidak apa-apa, Ayah. Pendeknya, Giok-ko adalah seorang pendekar yang pantas menjadi keturunan keluarga Pouw yang gagah perkasa dan terkenal sebagai patriot-patriot besar, demikianlah yang kudengar."
"Keturunan keluarga Pouw" Maksudmu, dia itu bermarga Pouw?" tanya Kun Tek dan tampaknya terkejut.
Melihat Li Hong agak ragu-ragu seolah takut kesalahan bicara dan menoleh, memandang kepadanya, Ceng Ceng lalu menjawab. "Benar sekali...... Ayah. Giok-ko adalah keturunan keluarga Pouw yang terkenal sekali dan tinggal di So-couw."
"Akan tetapi...... aku telah menyelidiki ke So-couw setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga itu. Menurut keterangan yang kuperoleh, mereka semua tewas dan tidak ada seorang pun keturunan keluarga Pouw yang tersisa dan selamat. Ceng Ceng, dari mana engkau mengetahui bahwa Pouw Cun Giok itu keturunan keluarga Pouw di So-couw?"
"Saya mendengar cerita dari Giok-ko sendiri, Ayah," kata Ceng Ceng tenang.
"Apakah dia menceritakan siapakah nama ayah ibunya?" Kini Tan Kun Tek bangkit dari tempat duduknya dan mengamati wajah Ceng Ceng penuh perhatian.
"Kalau saya tidak salah ingat, nama ayahnya Pouw Keng In dan nama ibunya Tan Bi Lian......"
"Tidak mungkin?"!!" Tan Kun Tek berteriak sedemikian kuatnya sehingga mereka semua terkejut.
"Ayah, apa artinya ini" Mengapa Ayah terkejut mendengar nama orang tua Giok-ko?"
Juga Nyonya Tan dan Ban-tok Niocu memandang heran dan hampir mereka bertanya berbareng. "Apa artinya semua ini?"
"Tan Bi Lian itu adalah Adikku yang menikah dengan Pouw Keng In! Ketika aku menyelidiki di So-couw, aku mendapat keterangan bahwa keduanya telah mati di tangan pasukan Mongol dan ketika mereka tewas, mereka belum mempunyai anak."
"Ah, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepada aku atau Ibu?" tanya Li Hong, dan ibunya juga memandang heran.
Tan Kun Tek menghela napas. "Adikku Tan Bi Lian sudah ditunangkan dengan pemuda lain, akan tetapi ia jatuh cinta kepada Pouw Keng In dan melarikan diri, meninggalkan orang tua kami dan sejak itu kami putus hubungan. Belakangan aku mendengar bahwa mereka di So-couw, akan tetapi karena khawatir aku tidak akan diterima dengan baik, aku pun tidak berani berkunjung ke sana. Setelah aku mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Pouw, aku pergi ke sana dan mendengar bahwa mereka semua, termasuk Adikku Tan Bi Lian, telah tewas. Ceng Ceng, ceritakanlah apa lagi yang kaudengar dari Pouw Cun Giok" Apa dia menceritakan tentang orang tuanya?"
"Dia menceritakan semuanya padaku, Ayah. Dia menceritakan bahwa ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw, dia masih berada dalam kandungan ibunya. Ayah dan ibunya melarikan diri, akan tetapi dapat dikejar Panglima Kong Tek Kok yang menyerang dengan anak panah sehingga Pouw Keng In tewas, juga ibu Giok-ko terluka dan hanyut di sungai. Akan tetapi ibunya ditolong oleh seorang pendekar......"
"Wah, Bibi Tan Bi Lian tertolong" Bagaimana selanjutnya, Enci Ceng?" Li Hong bertanya, wajahnya berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Pouw Cun Giok itu kakak misannya!
"Suma Tiang Bun adalah pendekar yang menyelamatkan Tan Bi Lian dan merawatnya sampai wanita itu melahirkan. Akan tetapi...... ia meninggal ketika melahirkan dan puteranya itu adalah......"
"Pouw Cun Giok! Jadi benar, dia adalah putera Bibi Tan Bi Lian! Aku mempunyai seorang Piauw-ko (Kakak Misan)!" Kembali Li Hong berseru girang mendengar bahwa pemuda yang pernah dicintanya itu adalah kakak misannya.
Wajah Tan Kun Tek berubah pucat dan bayangan duka menyelimuti wajahnya. "Aduh, kasihan Adikku Tan Bi Lian. Ceng Ceng, engkau yang sudah mendengar riwayat keponakanku Pouw Cun Giok itu, ceritakanlah bagaimana selanjutnya."
Ceng Ceng menceritakan kembali apa yang pernah didengarnya dari Cun Giok. Betapa Cun Giok dibesarkan oleh Suma Tiang Bun sebagai muridnya dan betapa kemudian Cun Giok dapat membalas dendam, membunuh Panglima Kong Tek Kok. Akan tetapi gurunya juga tewas di tangan panglima itu.
Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tan Kun Tek berseru.
"Terima kasih Tuhan! Aku bangga mempunyai seorang keponakan seperti Pouw Cun Giok!" Berita tentang Pouw Cun Giok itu bagaikan secercah sinar yang menerangi kegelapan yang menyelubungi hatinya mendengar akan nasib adiknya.
"Ayah, ada yang lebih menggembirakan lagi! Kakak Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng saling mencinta?"!"
"Hong-moi......!" Ceng Ceng menegur Li Hong lalu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Heh-heh, ketika Ceng Ceng datang ke sini bersama Cun Giok dahulu, aku sudah menduga bahwa di antara mereka terdapat hubungan batin yang erat, dapat dilihat dari pandang mata dan suara mereka ketika bicara!" Ban-tok Niocu tertawa.
"Bagus sekali! Aku akan merasa berbahagia kalau keponakanku itu menjadi jodohmu, Ceng Ceng!" kata Tan Kun Tek sambil tertawa pula.
"Akan tetapi, ......bolehkah anak kita menikah dengan keponakan kita" Mereka bersaudara misan......" Nyonya Tan ragu.
"Mengapa tidak boleh" Biarpun kita telah menerima Ceng Ceng seperti anak kita sendiri, akan tetapi ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Cun Giok!"
"Kalau begitu, aku pun akan merasa gembira," kata Nyonya Tan.
"Ayah dan Ibu berdua, saya harap janganlah membicarakan urusan ini lagi karena...... karena Giok-ko sudah mempunyai tunangan."
"Hemm, ketika Giok-ko mengaku bahwa dia telah bertunangan, aku marah sekali dan menyerangnya! Karena itulah maka kami berdua berpisah darinya!" kata Li Hong cemberut.
"Sudahlah, Ceng Ceng berkata benar. Untuk sementara ini kita tidak perlu bicara soal perjodohan ltu. Tunggu sampai kita bertemu dengan Cun Giok."


Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu, seorang anak buah Pulau Ular datang berlari-lari memasuki gedung. Dengan terengah-engah dia berdiri di ambang pintu dan memberi hormat dengan membungkuk.
Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong tanda kemarahan. Sebelum ia menjadi isteri Tan Kun Tek, kelancangan anak buah ini cukup untuk membuat ia menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar itu. Akan tetapi semenjak Tan Kun Tek berada di situ sebagai suaminya, wataknya sudah berubah sama sekali. Hal ini terjadi karena wajahnya yang dulu cacat kini mencadi sembuh dan mulus kembali, ditambah lagi Tan Kun Tek kini menjadi suaminya!
Kebahagiaan ini mengubah wataknya yang kejam mengembalikan wataknya semula ketika ia masih muda dan menjadi seorang pendekar wanita. Bahkan kesembuhan wajahnya itu saja sudah membuat ia membuang julukan Kui-bo (Biang Iblis) menjadi Niocu (Nona). Akan tetapi karena mereka terganggu, ia menghardik anak buahnya itu.
"Hemm, engkau datang mengganggu kami tanpa dipanggil ada kepentingan apakah?"
"Ampunkan kalau saya mengganggu, Niocu. Saya hendak melaporkan bahwa tak jauh dari pulau ini tampak ada seorang laki-laki berperahu dikepung dan dikeroyok pasukan Mongol yang berada di empat buah perahu besar. Kami tidak berani mengambil tindakan sebelum ada perintah dari Niocu."
"Ibu, kita harus bantu siapa saja yang dimusuhi pasukan Mongol!" kata Li Hong yang sudah bangkit berdiri.
Ibu atau gurunya mengangguk.
"Mari kita lihat!"
Ban-tok Niocu, Tan Kun Tek, Li Hong, dan Ceng Ceng segera berlari keluar dari gedung itu mengikuti anak buah yang menjadi penunjuk jalan. Adapun Nyonya Tan yang tidak memiliki ilmu silat tinggl, tidak ikut dan berdiam di rumah saja.
Setelah tiba di pantai pulau itu, mereka berempat melihat seorang laki-laki yang berpakaian serba biru sedang dikeroyok duapuluh orang lebih. Laki-laki itu bagaikan seekor burung berlompatan dari satu ke lain perahu besar, mengamuk dengan pedangnya dan tampak dia merobohkan beberapa orang pengeroyok. Biarpun dari pantai itu tidak dapat dilihat jelas, namun dari seragam para pengeroyok mudah dikenal bahwa mereka adalah para perajurit Mongol.
"Mari kita bantu orang yang dikeroyok pasukan Mongol itu!" kata Tan Kun Tek.
Dia dan Ban-tok Niocu masuk ke sebuah perahu kecil, sedangkan Li Hong dan Ceng Ceng masuk ke perahu lain. Dua buah perahu itu segera didayung cepat menuju ke tempat di mana perkelahian masih berlangsung seru.
04.1. Penyelamatan Seorang Pendekar Muda
Setelah agak dekat, mereka melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah seorang pemuda berpakaian serba biru yang cukup lihai. Biarpun dikeroyok demikian banyaknya lawan, dia dapat bergerak lincah dan tidak terdesak. Akan tetapi kini empat buah perahu besar itu saling mendekat dan para perajurit berkumpul di sebuah perahu di mana pemuda itu dikeroyok sehingga kini dia dikeroyok banyak perajurit Mongol. Karena yang mengeroyoknya banyak sekali, mulailah pemuda itu memutar pedang melindungi dirinya sambil mundur dan dia melompat ke arah perahu kecil yang tadi ditinggalkannya ketika dia melompat ke atas perahu besar para pengeroyoknya. Perahu itu berada di tempatnya karena sebelum melompat ke perahu besar, pemuda itu telah melepas jangkar untuk menahan perahu agar jangan hanyut oleh ombak.
Pada saat dia melompat itu, beberapa orang perajurit melepaskan anak panah ke arah tubuh yang masih melayang dari perahu besar ke perahu kecil itu! Pemuda itu memutar pedangnya sehingga beberapa batang anak panah tertangkis dan terpental. Akan tetapi sebatang anak panah agaknya mengenai tubuhnya karena sebelum dia mencapai perahu kecil, tubuhnya sudah terjungkal ke air laut!
"Ah, dia terkena anak panah!" seru Li Hong.
"Kalian jaga serbuan mereka, biar aku yang menolongnya!" kata Tan Kun Tek yang mempunyai keahlian renang. Dia lalu terjun ke air dan berenang dengan cepat ke arah pemuda yang kini tampak tersembul di permukaan air dan berusaha untuk berenang dengan gerakan kaku karena dia telah terluka. Sementara itu, Ban-tok Niocu cepat mendayung perahunya ke arah perahu besar seperti yang dilakukan Li Hong dan Ceng Ceng.
Ketika banyak anak panah meluncur ke arah mereka, Ceng Ceng memutar dayung menangkis sehingga banyak anak panah terpental. Li Hong dan Ban-tok Niocu berhasil menangkap masing-masing dua batang anak panah, lalu mereka melemparkan anak panah ke arah para perajurit di atas perahu besar. Terdengar teriakan mengaduh dan empat orang perajurit di perahu besar itu roboh!
Melihat ini, perwira yang memimpin pasukan itu agaknya menjadi jerih dan dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Mereka agaknya maklum bahwa empat orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi mereka memang sudah mendengar akan berbahayanya Pulau Ular.
Tan Kun Tek berhasil merangkul pemuda baju biru yang tampaknya sudah lemas dan membawanya berenang mendekati perahu Ban-tok Niocu. Pemuda itu lalu dinaikkan ke perahu dan mereka lalu mendayung perahu menuju pulau.
Pemuda itu agaknya pingsan. Sebatang anak panah menancap di pundak kanannya. Untung tidak terlalu dalam dan Tan Kun Tek segera mencabut anak panah itu selagi pemuda itu masih pingsan sehingga tidak merasakan kenyerian hebat. Karena tidak membawa obat, maka Tan Kun Tek lalu menggunakan robekan baju pemuda itu untuk membalut luka itu. Agar darahnya tidak banyak keluar, dia menotok jalan darah di sekitar pundak.
Pemuda itu masih pingsan dan suami isteri itu mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang namun tegap berisi, dengan dada bidang dan pinggang kecil. Wajahnya berkulit putih bersih. Alisnya tebal hitam berbentuk golok. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya bagus. Sebuah wajah yang amat tampan! Pakaiannya dari sutera biru dengan pakaian dalam putih. Melihat sutera yang dijadikan pakaian itu, dapat diduga bahwa dia pemuda dusun yang sederhana.
Ketika dia ditolong oleh Tan Kun Tek, walaupun dalam keadaan pingsan pemuda itu masih memegang pedangnya! Kini pedang itu oleh Kun Tek diletakkan di perahu. Sebatang pedang yang indah, namun agak aneh karena ujungnya terbelah dua. Sebagai ahli silat tinggi, suami isteri itu maklum bahwa keadaan pedang yang ujungnya bercabang ini dapat dipergunakan untuk merampas senjata lawan.
Dua buah perahu itu tiba di tepi pulau dan pada saat itu, pemuda baju biru itu siuman dari pingsannya. Begitu membuka kedua matanya, dia cepat bangkit duduk, lalu melompat ke daratan dalam sikap siap bertanding! Akan tetapi ketika melihat Tan Kun Tek, Ban-tok Niocu, Ceng Ceng dan Li Hong menghampirinya dan berdiri di depannya, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam, memandang heran dan mengendurkan kembali urat-urat tubuhnya yang tadi siap membela diri.
"Kami bukan musuh, orang muda. Kami bahkan tadi membantumu, mengusir para perajurit Mongol dan aku menolongmu dari air," kata Tan Kun Tek sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya yang memegang pedang pennuda itu. "Ini pedangmu, terimalah."
Akan tetapi pemuda itu tidak menerima pedangnya, melainkan menjatuhkan diri berlutut. "Ah, Lo-cianpwe (Orang Tuan Gagah) sekalian telah menolong dan menyelamatkan nyawa saya, sungguh saya berhutang budi dan nyawa. Banyak terima kasih saya haturkan......" Tiba-tiba dia terkulai dan terguling roboh. Pingsan!
Ceng Ceng yang memiliki keahlian mengobati orang sakit tanpa disuruh lagi cepat menghampiri tubuh pemuda yang rebah telentang itu. Setelah memeriksa denyut nadi, biji mata, dan meraba dada pemuda itu, ia bangkit dan berkata kepada ayah, ibu, dan adiknya.
"Bagaimana keadaannya, Enci Ceng?" tanya Li Hong yang sejak tadi memandang ke arah pemuda itu dengan jantung berdebar. Baginya, wajah itu tampan, dan gagah menarik sekali.
"Luka tusukan anak panah di pundaknya itu tidak berbahaya, akan tetapi aku mendapatkan bahwa dalam tubuhnya terdapat luka-dalam yang cukup hebat, yang membuat detak jantungnya lemah sekali dan jalan darahnya kacau. Kalau tidak segera diobati, keadaannya dapat membahayakan nyawanya."
Mendengar ini, Ban-tok Niocu berjongkok dan meraba-raba dada pemuda itu dengan tangan kirinya. Lalu ia bangkit berdiri dan berkata kepada Ceng Ceng. "Aku tidak menemukan akibat keracunan dalam tubuhnya."
"Benar, Ibu. Luka dalam tubuhnya bukan karena hawa beracun, melainkan oleh getaran hebat, mungkin pukulan sakti yang membuat jalan darahnya kacau dan ini mengancam jantungnya."
Tan Kun Tek lalu menyuruh anak buah Pulau Ular yang sudah berdatangan di situ untuk menggotong pemuda itu menuju perkampungan mereka.
Ceng Ceng diserahi tugas merawat dan mengobati pemuda itu. Gadis itu memeriksa dengan teliti lalu memberi obat. Malam itu, dengan ditemani seorang pelayan wanita setengah tua yang siap membantu Ceng Ceng mempersiapkan keperluan berobat, Ceng Ceng menjaga pemuda yang dirawatnya. Hal ini adalah wajar saja karena memang ia yang menjadi tabibnya dan yang bertanggung jawab atas kesembuhan orang itu. Tadinya Li Hong menemaninya, akan tetapi gadis ini lalu kembali ke kamarnya sedangkan Ceng Ceng duduk di atas kursi, tak jauh dari pembaringan di mana pemuda itu rebah telentang.
Sekitar tengah malam, keadaan yang sunyi itu membuat Ceng Ceng yang duduk di kursi mulai tenggelam dalam samadhi. Tubuhnya seperti orang tidur akan tetapi perasaannya masih peka sehingga apabila terdengar suara yang tidak wajar, ia pasti akan terbangun. Pelayan setengah tua itu sudah tidur nyenyak di atas lantai yang bertilam babut.
Tiba-tiba Ceng Ceng membuka matanya. Ia melihat pemuda itu telah berdiri di depannya. Sepasang mata pemuda itu tampak bersinar-sinar tertimpa cahaya lampu dalam kamar itu. Sejenak pandang mata pemuda itu seperti terpesona, kemudian tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng dan berkata lembut, dengan suara agak gemetar dan seperti kata-katanya ketika pertama kali dia bicara, dalam katanya terkandung logat asing yang aneh.
"Saya telah merasa sehat, dalam dada saya sudah tidak ada lagi rasa nyeri dan sesak. Melihat Nona yang berada di sini, pasti Nona yang telah mengobati dan menyembuhkan saya. Ah, Nona seperti seorang bidadari yang menyelamatkan nyawaku." Dia memberi hormat sambil berlutut.
Tentu saja Ceng Ceng menjadi tersipu dan cepat ia turun dari kursi dan mundur agak jauh sambil membalikkan tubuh, tidak mau menerima penghormatan yang berlebihan seolah-olah ia seorang bidadari yang menerima penghormatan seorang manusia biasa.
"Jangan bersikap begitu, sobat. Aku hanya seorang manusia biasa. Bangunlah dan bersikaplah wajar saja!"
"Hi-hik, engkau memang benar, sobat! Ia memang seorang dewi yang berjuluk Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), ahli pengobatan yang berhati mulia!" Tiba-tiba Li Hong muncul dan berkata sambil tersenyum lebar. Li Hong menghampiri pemuda itu yang kini sudah bangkit berdiri.
"Engkau sudah sembuh" Bagus, sekarang engkau harus menceritakan siapa namamu, di mana tempat tinggalmu, dan mengapa engkau dikeroyok pasukan Mongol itu?" Li Hong menghujankan pertanyaannya.
"Hong-moi, jangan ganggu dia. Dia baru saja sembuh dan masih lemah. Sobat, engkau istirahat dan tidurlah dulu agar kesehatanmu pulih. Besok saja engkau ceritakan keadaanmu kepada Ayah dan kedua Ibu kami." Setelah berkata demikian, Ceng Ceng memegang tangan Li Hong, membangunkan pelayan yang tidur lalu mereka semua keluar dari kamar itu.
"Y" Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Ceng Ceng dan Li Hong yang tidur sekamar keluar dari kamar mereka. Matahari pagi telah menyinari taman di luar rumah itu, sebuah taman yang penuh dengan bunga beraneka warna. Ketika mereka melewati kamar yang dipergunakan oleh pemuda baju biru itu untuk tidur, mereka melihat seorang pelayan wanita setengah tua sedang membersihkan kamar itu. Dari pintu yang terbuka Li Hong bertanya kepada pelayan itu.
"Di mana tamunya yang tidur di kamar ini?"
"Dia tadi menyuruh saya membersihkan kamar dan setelah mandi, dia keluar memasuki taman, Nona."
Li Hong dan Ceng Ceng saling pandang. Tentu pemuda itu telah sembuh betul. Pagi-pagi sudah bangun, mandi, dan berjalan-jalan di taman. Tanpa bicara, hanya dengan pandang mata, mereka berdua sepakat keluar dan memasuki taman. Di tengah taman itu, dari balik rumpun bambu, mereka melihat pemuda itu sedang berlatih silat pedang. Setelah menonton beberapa saat lamanya, Ceng Ceng berbisik.
"Bagus, dia telah sembuh dan sehat kembali." Dari kecepatan gerakan dan tenaga yang mendukung gerakan itu Ceng Ceng maklum bahwa pemuda itu sudah sehat kembali.
"Wah, kiam-hoat (Ilmu Pedang) itu lihai sekali!" Li Hong berseru dan suaranya cukup kuat sehingga terdengar oleh pemuda itu yang segera menghentikan latihan pedangnya dan dia pun dengan cepat menghampiri dua orang gadis yang berada di balik rumpun bambu.
Dengan sikap hormat dan bibir tersenyum ramah pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi salam.
"Maafkan, saya telah lancang berlatih di dalam taman ini, Nona."
"Ah, tidak mengapa. Kami malah senang sekali melihat ilmu pedangmu yang hebat!" kata Li Hong dengan gembira.
"Aih, harap jangan terlalu memuji, Nona. Saya hanya dapat mainkan beberapa gerakan sederhana saja dan masih banyak mengharapkan petunjuk dari Nona berdua," kata pemuda itu yang ternyata selain berwajah tampan dan bersikap gagah, juga pandai bicara dan sopan, juga rendah hati.
Li Hong semakin tertarik. Memang tadinya, walaupun ia mengalah terhadap Ceng Ceng, hatinya masih terisi bayangan Pouw Cun Giok. Akan tetapi setelah mendengar dari ayahnya bahwa Cun Giok adalah kakak misannya, putera dari bibinya, ia sudah menghilangkan bayangan itu. Sekarang, ia benar-benar terpesona dan tertarik sekali kepada pemuda yang belum dikenalnya ini.
"Sobat, mari kita menghadap Ayah dan kedua Ibu kami yang biasanya sepagi ini sudah berada di ruangan depan," kata Ceng Ceng.
Pemuda itu mengangguk, menghapus keringatnya dengan saputangan dan menyimpan pedangnya, lalu mengikuti mereka memasuki gedung.
Benar saja seperti dugaan Ceng Ceng tadi. Tan Kun Tek bersama dua orang isterinya telah duduk di ruangan depan menghadapi meja di mana dihidangkan minuman air teh dan makanan kecil.
Melihat dua orang puterinya datang bersama pemuda yang menjadi tamu mereka, Kun Tek berkata dengan gembira, "Ah, orang muda, agaknya engkau telah sembuh benar!"
Pemuda itu sudah memberi hormat kepada mereka dan berkata dengan lembut. "Berkat budi kebaikan Lo-cianpwe berlima yang telah menolong dan menyelamatkan saya."
"Duduklah, orang muda. Kami sama sekali tidak melepas budi. Memang sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang yang dimusuhi pasukan Mongol."
Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di atas kursi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tan Kun Tek lalu melanjutkan kata-katanya.
"Sebaiknya sebagai tuan rumah kami memperkenalkan diri kami lebih dulu. Orang muda, kini engkau berada di Pulau Ular dan kami sekeluarga berlima tinggal di pulau ini bersama anak buah kami. Aku bernama Tan Kun Tek, ini isteriku pertama bernama Lu Siang dan yang itu isteriku kedua bernama Gak Li. Dua orang gadis ini adalah anak-anak kami, yang ini bernama Ceng Ceng dan yang itu bernama Li Hong. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang dirimu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok pasukan Mongol itu."
"Sungguh berbahagia sekali saya dapat bertemu dengan keluarga Lo-cianpwe yang gagah perkasa......"
"Mengapa menyebut Lo-cianpwe" Ayahku akan lebih senang kalau engkau menyebutnya Paman saja. Bukankah begitu, Ayah?" kata Li Hong.
"Ha-ha-ha, memang lebih baik begitu, karena bukankah kita semua memiliki pendirian yang sama, yaitu menentang kejahatan, apalagi yang dilakukan oleh para pembesar Mongol?"
"Terima kasih atas keramahan dan kehormatan yang diberikan kepada saya. Baiklah, Paman Tan, saya akan menceritakan tentang diri saya yang tak berharga dan bodoh ini. Nama saya Yauw Tek. Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Ketika terjadi perang, balatentara Mongol menyerbu dan masuk desa kami. Ketika itu saya berusia tiga tahun dan tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat hanyalah rumah-rumah terbakar dan saya lari keluar rumah. Saya ditolong seorang kakek tua yang membawa saya lari keluar dusun kami yang terbakar. Kakek itu menanyai saya, akan tetapi saya yang tahu hanyalah bahwa saya Yauw Tek. Maklum, ketika itu usia saya baru tiga tahun."
"Aduh kasihan"' kata Nyonya Tan yang bernama Lu Siang. "Lalu bagaimana selanjutnya" di mana orang tuamu?"
"Pendeta yang menolong saya itu sudah menyelidiki dan katanya seluruh dusun terbakar dan...... Ayah Ibu saya...... menjadi korban, tewas di tangan pasukan Mongol," kata pemuda itu dengan suara mengandung kedukaan.
"Jahanam benar pasukan Mongol!" Li Hong berseru marah. "Sudah banyak sekali rakyat yang tidak berdosa menjadi korban!"
"Tenanglah, Hong-moi, biarkan Yauw-twako (Kakak Yauw) melanjutkan ceritanya," kata Ceng Ceng.
"Mulai hari itu saya menjadi murid Suhu Bu Beng Cu, yaitu pertapa yang telah menolong saya. Saya diajak pergi ke Pegunungan Himalaya dan hidup bersama Suhu selama belasan tahun sampai Suhu meninggal dunia karena usia tua."
"Nanti dulu, Yauw-sicu, engkau belum menceritakan dari dusun mana asalmu."
"Dusun kami yang dibasmi itu adalah dusun Kao-chun, sebuah dusun kecil di Propinsi Sin-kiang. Setelah Suhu meninggal dunia, saya lalu merantau sampai ke Tibet dan berguru kepada para Pendeta Lhama di Tibet."
"Ah, pantas ilmu silatmu lihai sekali, Yauw-twako!" kata Li Hong.
"Sekarang aku tahu mengapa logat bicaramu terdengar kaku dan asing. Kiranya engkau berasa1 dari Sin-kiang dan tumbuh besar di Himalaya dan Tibet," kata Ceng Ceng.
"Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di Laut Timur ini dan dikeroyok pasukan Mongol!" tanya Ban-tok Niocu.
Yauw Tek menghela napas dan termenung, agaknya mengumpulkan ingatannya lalu dia melanjutkan ceritanya. "Setelah saya mempelajari ilmu dari para Lhama di Tibet dan sudah merasa dewasa, maka sekitar dua tahun yang lalu saya meninggalkan Tibet. Saya pergi ke dusun Kao-chun untuk menyelidiki, dan memang benar, hampir seluruh penduduk dusun itu, termasuk Ayah lbu saya, tewas oleh pasukan Mongol yang lewat di dusun itu. Saya lalu mengambil keputusan untuk merantau ke timur dan membalas dendam dengan menentang para pembesar Mongol di mana pun saya berada. Sudah banyak saya menentang, memusuhi bahkan membunuh para pembesar yang menindas rakyat sehingga saya menjadi buronan. Saya terus merantau dan dalam perjalanan saya mendengar akan nama-nama besar para datuk dan tokoh kang-ouw yang berjiwa patriot dan menentang penjajah, di antaranya saya mendengar akan nama Pulau Ular. Maka, saya mencoba untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan Paman sekalian. Akan tetapi ketika saya sedang mendayung perahu, ada empat perahu besar penuh perajurit Mongol mengejar dan mengepung. Agaknya mereka memang sudah membayangi saya sejak di daratan sana. Saya berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi karena saya tidak biasa bermain di air, saya takut kalau terjatuh ke air sehingga saya harus berlompatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi akhirnya, ketika saya hendak melarikan diri dan melompat ke perahu kecil saya, saya dihujani anak panah. Saya sudah mencoba untuk menangkis, akan tetapi sebatang anak panah mengenai pundak saya sehingga saya terjatuh ke dalam air......"
"Ya, selanjutnya kami sudah melihat sendiri," kata Ban-tok Niocu.
"Untung Paman berempat datang menolong, kalau tidak, tentu saya tewas tenggelam dalam air laut, atau mati dihujani anak panah dari perahu mereka. Maka, sekali lagi saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Cu-wi (Anda Sekalian)." Yauw Tek segera berlutut dan memberi hormat kepada mereka berlima.
Tan Kun Tek cepat menghampiri dan mengangkat bangun pemuda itu.
"Sudahlah, Yauw Tek, jangan terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita adalah segolongan, sudah sepatutnya kalau di antara kita saling menolong. Tidak perlu berterima kasih kepada kami. Akan tetapi ada satu hal yang ingin kuketahui. Kemarin ketika aku melihat permainan pedangmu melawan pengeroyokan para perajurit, aku melihat ilmu pedangmu aneh dan lihai. Mirip ilmu pedang Go-bi-pai, akan tetapi agak lain. Apakah ilmu pedangmu itu, Yauw Tek?" kata Tan Kun Tek dengan ramah.
"Paman, seperti sudah saya ceritakan, guru saya yang pertama adalah pertapa yang merawat dan membesarkan saya sejak dia menolong saya sewaktu saya kecil. Mendiang guru saya itu hanya saya ketahui mengaku bernama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama), juga tidak pernah mengatakan ilmu silatnya dari aliran perguruan mana. Kemudian, saya berguru kepada para pendeta Lhama di Tibet selama sekitar dua tahun dan saya menghimpun ilmu-ilmu yang saya pelajari dari Suhu Bu-beng-cu dan para Suhu Pendeta Lhama, maka terbentuklah ilmu pedang saya itu."
04.2. Ujian Kelihaian Pendekar Muda
"Wah, ilmu silatmu pasti lihai sekali, Yauw-twako!" kata Li Hong memuji. Lalu ia memandang ayahnya dan ibu tirinya. " Ayah dan lbu, kalau Yauw-twako mau membantu aku dan Enci Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung itu, hal ini tentu baik sekali!"
"Harta karun......?"" Yauw Tek bertanya, keheranan terbayang di wajahnya.
"Ayah, Ibu, bolehkah aku menceritakannya kepada Yauw-twako?" tanya Li Hong.
Tan Kun Tek dan Ban-tok Niocu yang percaya bahwa, pemuda yang dimusuhi pasukan Mongol ini tentu seorang pendekar yang berjiwa patriot, apalagi orang tuanya terbunuh oleh pasukan Mongol. Maka tidak ada lagi yang perlu dicurigakan dan Tan Kun Tek bersama kedua isterinya sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda itu. Maka mendengar pertanyaan Li Hong, ayah dan ibu gadis itu mengangguk. Setelah memperoleh persetujuan ayah ibunya, Li Hong lalu bercerita kepada Yauw Tek dengan suara lantang.
"Begini, Twako. Sebelum Lo-cianpwe Liu Bok Eng, Ayah dari Enci Ceng ini, tewas dibunuh Panglima Mongol dan pasukannya, dia meninggalkan sehelai peta harta karun kepada Enci Ceng dengan pesan agar harta karun itu ditemukan kemudian diberikan kepada para pejuang yang hendak menentang dan merobohkan kekuasaan orang Mongol."
"Ah, baik sekali itu!" seru Yauw Tek. "Akan tetapi, milik siapakah harta karun itu?"
"Harta karun itu berasal dari harta Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan oleh seorang Menteri Thaikam yang jahat dan korup. Thaikam itu dibinasakan oleh Panglima Kerajaan Sung, yaitu Lo-cianpwe Liu Bok Eng dan peta itu terjatuh ke tangannya. Setelah Kerajaan Sung jatuh, maka mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng meninggalkan pesan kepada Enci Ceng untuk mencarl harta pusaka itu. Nah, ketika itu aku membantu Enci Ceng Ceng, dibantu pula oleh Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu."
"Bu-eng-cu" Ah, mirip julukan Guru saya, Bu-beng-cu walaupun artinya jauh berbeda. Bu-eng-cu berarti Si Tanpa Bayangan sedangkan Bu-beng-cu berarti Si Tanpa Nama," kata Yauw Tek yang sejak tadi tertarik sekali mendengar cerita Li Hong.
Li Hong lalu melanjutkan ceritanya sampai ditemukannya peti harta karun oleh Panglima Kim Bayan yang menangkap mereka bertiga dan betapa peti itu kosong. Pencurinya meninggalkan huruf THAI SAN di dasar peti.
"Nah, begitulah ceritanya, Twako. Maka sekarang Enci Ceng Ceng dan aku bertekad untuk menyelidiki ke Thai-san, mencari pencuri itu dan berusaha mendapatkan kembali harta karun untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang yang berusaha membasmi penjajah Mongol. Sekarang setelah engkau mendengar cerita ini, maukah engkau membantu kami berdua untuk mencari harta karun itu?"
Yauw Tek mengalihkan pandang matanya kepada Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya. "Tentu saja aku bersedia, Hong-moi, kalau Paman Tan dan kedua Bibi mengijinkannya."
"Ayah dan Ibu tentu setuju, bukan" Kalau Yauw-twako mau membantu kami, selain keadaan kami menjadi lebih kuat, juga lebih besar kemungkinan kami akan berhasil mendapatkan kembali harta karun itu," kata Li Hong yang lalu bangkit dan merangkul Ban-tok Niocu. "Ibu, tentu boleh dia menemani kami, ya......?" Ia merengek manja. Li Hong tahu benar bahwa kalau gurunya ini menyetujui, tentu Ayah dan Ibu kandungnya juga tidak keberatan.
Ban-tok Niocu tersenyum. "Perjalanan kalian berdua ke Thai-san mencari harta karun itu bukan pekerjaan ringan. Kukira banyak tokoh kang-ouw yang mendengar akan harta karun itu akan berdatangan dan memperebutkannya. Apalagi seperti telah kuberitahukan kepadamu, di Thai-san banyak terdapat tokoh yang sesat dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. O1eh karena itu, Yauw Tek ini baru ada gunanya menemani kalian berdua kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang dapat diandalkan. Untuk mengetahui kekuatannya, perlu diuji dulu. Nah, Yauw Tek, bersediakah engkau kami uji kemampuanmu?"
Yauw Tek memberi hormat kepada Ban-tok Niocu Gak Li. "Bibi, saya adalah seorang yang bodoh, akan tetapi saya akan merasa sangat bahagia kalau sedikit kepandaian yang saya miliki ini dapat saya pergunakan untuk membantu Ceng-moi dan Hong-moi menemukan harta karun itu. Tentu saja saya tidak keberatan kalau akan diuji, hanya saya mohon Bibi agar mengasihani dan bertindak lunak terhadap diri saya."
Ban-tok Niocu tersenyum, girang mendengar ucapan yang merendah itu, menandakan bahwa pemuda ini memang sangat rendah hati, sikap yang menyenangkan dari seseorang.
"Kami ingin melihat kelihaian ilmu silatmu, maka biarlah Li Hong yang menguji ilmu silat tangan kosongmu, kemudian Ceng Ceng yang akan menguji ilmu pedangmu. Bagaimana, bersediakah engkau, Yauw Tek?"
"Saya siap, Bibi."
"Nah, mari kita ke Lian-bu-thia (Ruangan Berlatih Silat)," kata Tan Kun Tek yang gembira juga mendengar itu. Mereka lalu pergi menuju ke ruangan tempat latihan yang cukup luas.
"Li Hong, engkau ujilah ilmu silat tangan kosong Yauw Tek dan jangan bersikap sungkan, pergunakan seluruh kemampuanmu untuk mengalahkan dia!" Ban-tok Niocu agaknya sudah melihat tanda-tanda bahwa murid yang menjadi anaknya itu agaknya tertarik dan suka kepada Yauw Tek maka dipesannya agar menguji dengan kesungguhan hati.
"Baik, Ibu. Mari, Yauw-twako!" Li Hong mengajak pemuda itu dan ia sudah menuju ke tengah ruangan.
Setelah memberi hormat kepada Tan Kun Tek dan kedua isterinya, Yauw Tek menghampiri Li Hong dan setelah mereka saling berhadapan dia berkata. "Hong-moi, harap engkau menaruh iba kepadaku dan jangan menjatuhkan tangan maut."
Li Hong tersenyum. "Bersiaplah, Twa-ko." Ia memasang kuda-kuda dan setelah Yauw Tek juga memasang kuda-kuda dan siap, Li Hong berseru nyaring.
"Twako, sambut seranganku!" Ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Karena selain untuk menguji pemuda itu, ia pun ingin memamerkan kelihaiannya, maka begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus Pai-in-jut-sui (Dorong Awan Keluar Puncak). Kedua tangannya terbuka dan menyerang dengan dorongan kuat ke arah dada Yauw Tek.
Pukulan ini bukan main-main karena dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat ke arah lawan. Hanya saja kalau dalam perkelahian menghadapi musuh Li Hong dapat mengisi serangan ini dengan dorongan yang mengandung hawa beracun, sekali ini ia tidak menggunakannya. Namun angin dorongan itu masih tetap kuat dan terasa menyambar dada pemuda itu sebelum kedua tangan yang menyerang itu menyentuhnya.
Yauw Tek cepat miringkan tubuhnya dan dari samping kedua tangannya membuat gerakan melingkar untuk menangkis kedua tangan Li Hong. Akan tetapi gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang gagal menyerang, lalu menyambung dengan tendangan kaki miring dari samping, tendangan yang mencuat dengan cepat ke arah leher lawan. Kaki kanannya itu mencuat tinggi dan mengandung kekuatan besar.
Kembali Yauw Tek mengelak dengan mudah. Li Hong merasa kagum di samping penasaran juga karena dua serangannya yang cukup dahsyat itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Yauw Tek.
"Haiiiittt......!" Kini ia menyerang lebih dahsyat lagi karena ia menggunakan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung Uruk Laut). Kedua tangannya menyerang dengan pukulan-pukulan kuat ke arah kepala dan diseling tendangan kaki ke arah perut. Yauw Tek terkejut juga dan diam-diam dia memuji ketangkasan gadis itu. Akan tetapi dengan tenang dia mundur dan setiap kali kaki dan tangan gadis itu menyambar, dia menyambut dengan tangkisan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Li Hong merasa betapa lengan dan kakinya tergetar setiap kali bertemu tangan pemuda itu yang menangkisnya.
"Twako, jangan mengalah terus. Balas seranganku!" Li Hong berseru ketika pada serangan selanjutnya pemuda itu hanya mengelak atau menangkis. Sampai belasan jurus semua serangannya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi pemuda itu belum pernah membalas.
"Haiiiittt?"!" Kini Li Hong mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang disebut Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan)! Gerakannya cepat sekali, tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan dari delapan penjuru, kedua tangannya menghujankan serangan berupa tamparan, dorongan, pukulan, atau totokan yang amat cepat dan dahsyat. Serangan kedua tangan yang bertubi-tubi masih diselingi tendangan-tendangan yang membahayakan lawan.
Yauw Tek semakin kagum menghadapi serangan ini.
"Bagus!" Dia berseru dan tiba-tiba tubuhnya berputar-putar seperti gasing! Demikian cepatnya tubuh itu berputar sehingga yang tampak hanya bayangannya saja, putarannya makin lama semakin cepat.
"Silat Angin Puyuh!" Ban-tok Niocu Gak Li berseru heran dan memandang kagum. Ia pernah mendengar akan ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti itu yang disebut Silat Angin Puyuh dan menjadi andalan para ahli silat dari daerah barat, terutama dari Tibet!
Li Hong sendiri terkejut sekali karena pandang matanya tidak dapat mengikuti gerakan tubuh lawan yang berpusing itu sehingga ia tidak dapat mengarahkan serangannya. Bahkan ketika pandang matanya mengikuti bayangan yang berpusing itu, kepalanya menjadi pening!
"Haiiitt......!" Dengan nekat Li Hong kini menggunakan pukulannya yang terampuh yang biasanya disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Hati), akan tetapi sekali ini ia tidak menyertakan hawa beracun pukulannya. Namun tetap saja pukulannya mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali.
Yauw Tek menyambut pukulan tangan kanan Li Hong yang terbuka dan didorongkan itu dengan tangan kirinya.
"Plakk......!" Li Hong terkejut karena merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan dingin, lunak seperti karet. Ia hampir menjerit karena tangannya itu tidak dapat ditarik kembali, seolah melekat pada telapak tangan pemuda itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tangguh, ia dapat menenangkan hatinya dan kini tangan kirinya menotok ke arah dada Yauw Tek. Kalau totokannya itu mengenai sasaran, tubuh Yauw Tek tentu akan menjadi lemas sehingga ia mampu merenggut lepas tangan kanannya yang melekat pada tangan kiri lawan. Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap oleh tangan kanan Yauw Tek!
Ia berusaha untuk memutar lengannya dan berbalik menyerang, akan tetapi tiba-tiba, entah dengan gerakan bagaimana, tanpa dapat dia hindarkan lagi, kedua lengannya itu telah terputar ke belakang tubuhnya dan ia telah ditelikung ke belakang tubuhnya! Betapa pun kuat usahanya untuk melepaskan diri, ia sama sekali gagal. Akan tetapi tiba-tiba Yauw Tek melepaskan kedua lengannya dan tubuhnya berkelebat ke depan Li Hong sehingga mereka saling berhadapan lagi.
"Hong-moi, maafkan aku dan terima kasih bahwa engkau telah banyak mengalah," kata pemuda itu dengan suara tulus, bukan mengejek.
Muka Li Hong berubah kemerahan dan ia tetap gembira, hal yang bagi Ceng Ceng mengherankan karena ia mengenal adik angkatnya itu sebagai seorang gadis keras hati yang sukar menerima kekalahannya. Diam-diam ia menduga bahwa Li Hong tentu tertarik dan jatuh hati kepada Yauw Tek!
"Aih, Yauw-twako, engkaulah yang banyak mengalah. Ilmu silatmu lihai sekali dan aku merasa kalah," kata Li Hong dan ia pun lari mendekati keluarganya dan duduk pula di atas bangku.
"Bagus! Lihai sekali gabungan ilmu silat dan Siauw-kin-na-jiu-hwat (1Imu Silat Menangkap dan Mencengkeram) itu!" seru Ban-tok Niocu.
"Engkau lihai sekali, Yauw Tek. Kami merasa kagum!" kata pula Tan Kun Tek. Sebagai seorang murid Bu-tong-pai dia pun mengenal ilmu silat yang aneh dan yang memiliki ciri khas ilmu bela diri dari luar.
"Ah, Paman dan Bibi terlalu memuji. Saya harus menerima banyak petunjuk dari Paman sekalian," kata Yauw Tek merendah.
"Ceng Ceng, sekarang giliranmu untuk menguji ilmu pedang Yauw Tek!" kata Ban-tok Niocu dengan gembira.
Wanita majikan Pulau Ular ini sudah mendengar dari Li Hong bahwa selain ilmu pengobatannya yang manjur, Ceng Ceng juga memiliki ilmu pedang yang hebat walaupun ia hanya menggunakan sebatang ranting kayu sebagai pengganti pedang.
Ceng Ceng mengangguk dan melangkah lembut ke tengah ruangan sambil memegang sebatang ranting yang sudah ia siapkan. Kini mereka berhadapan dan Ceng Ceng berkata lembut.
"Yauw-twako, marilah kita berlatih pedang sebentar. Kami semua ingin menyaksikan kehebatann ilmu pedangmu. Cabutlah pedangmu, Twako."
Yauw Tek memandang gadis itu dan ketika melihat gadis itu hanya memegang sebatang ranting yang besarnya seperti lengan tangannya, dia bertanya, "Ceng-moi, mana pedangmu" Mengapa engkau hanya membawa sebatang ranting kayu?"
Ceng Ceng tersenyum, "Twako, aku tidak pernah menggunakan pedang. Aku ngeri melihat pedang yang tajam dan runcing, maka aku akan menggunakan ini sebagai pengganti pedang."
Yauw Tek mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang bodoh. Kalau gadis ini berani menghadapi pedangnya dengan senjata ranting kayu maka sudah dapat diduga bahwa gadis cantik jelita yang lemah lembut ini pasti memiliki ilmu yang amat tinggi! Dia mencabut pedangnya yang ujungnya bercabang, lalu berkata dengan sikap lembut dan hormat.
"Ceng-moi, sebelum kita mulai berlatih silat pedang, bolehkah lebih dulu aku memeriksa ranting yang kaujadikan senjata itu?"
"Eh" Apakah engkau mencurigai rantingku ini, Twako" Kalau engkau ingin memeriksanya, boleh saja!" Ia lalu menjulurkan tangan menyerahkan ranting itu kepada Yauw Tek. Dengan tangan kirinya Yauw Tek menerima ranting itu dan tiba-tiba pedangnya berkelebat cepat.
"Crakk!!" Ranting itu telah disambar pedang dan terbelah menjadi dua dengan membujur! Kini ranting itu telah menjadi dua batang yang sama panjangnya dan agak tipis. Yauw Tek lalu menyimpan pedangnya dan sambil memegang sebatang belahan ranting dengan tangan kanan seperti orang memegang pedang, dia menyerahkan belahan yang lain kepada Ceng Ceng sambil tersenyum dan berkata, "Maaf, Ceng-moi. Sebaiknya kita berlatih secara adil, masing-masing menggunakan sebatang ranting."
Tadinya Ceng Ceng dan yang lain-lain terkejut melihat pemuda itu menggunakan pedang membacok ranting, akan tetapi setelah melihat maksud yang sebenarnya, Ceng Ceng menerima ranting itu sambil tersenyum.
Ceng Ceng menerima dengan tangan kanan lalu berkata, "Gerakan pedang Yauw-twako membelah ranting tadi saja sudah membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang Twa-ko. Mari kita bermain pedang dengan ranting ini!" Setelah berkata de"mikian, Ceng Ceng menyerang dengan tusukan. Akan tetapi sebagai pembukaan, untuk memberi kesempatan kepada lawan menjaga diri, tusukannya itu dilakukan dengan gerakan lambat.
Setelah Yauw Tek mengelak dan memutar rantingnya untuk menjaga diri, barulah Ceng Ceng melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat bukan main. Yauw Tek terkejut sekali. Tak disangkanya Ceng Ceng memiliki gerakan yang demikian ringan dan cepatnya. Dia segera memutar rantingnya dan terjadilah pertandingan adu ilmu pedang yang seru.
Ceng Ceng berseru lirih dan menyerang dengan tusukan dalam jurus Giok-li-tauw-so (Sang Dewi Menenun) dan begitu tusukannya tertangkis lawan, ia melanjutkan dengan jurus Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai). Serangannya ini hebat sekali, pedangnya menikam secara sambung menyambung dengan amat cepatnya sehingga sukar untuk dielakkan lawan. Melihat ini, Yauw Tek cepat melindungi dirinya dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Matahari).
"Trik-trik-trikk......!" Tiga kali ranting itu bertemu dan sungguh hebat. Biarpun yang bertemu itu hanya ranting kayu, namun tampak bunga api berpijar!
Makin lama pertandingan ilmu pedang itu menjadi semakin hebat, keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Semua serangan kedua pihak selalu gagal. Ceng Ceng mulai memperlihatkan andalannya, yaitu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Kini gerakan tubuh sedemikian cepatnya sehingga tubuh gadis itu seolah berubah dan lenyap berganti bayangan putih yang berkelebatan ke sana-sini.
Melihat ini, agaknya dia merasa tidak mampu menandingi kecepatan gerakan lawan, Yauw Tek mengambil sikap diam dengan kuda-kuda kokoh dan melindungi tubuhnya dengan perisai sinar rantingnya. Pertandingan itu menarik sekali, seolah melihat seekor burung yang amat cepat menyambar-nyambar ke arah lawannya yang seolah menjadi seekor ular yang melingkar diam akan tetapi selalu menyambut serangan burung dengan patukan moncongnya.
"Ah, pantas ia dijuluki Pek-eng Sianli Bayangan Putih), lihat betapa cepat gerakannya!" kata Tan Kun Tek memuji anak angkatnya.
"Bocah she Yauw itu pun hebat," kata Gak Li atau Ban-tok Niocu. "Lihat, dia menggunakan pertahanan Sin-coa-pai-bwe (Ular Sakti Menyabetkan Ekornya)."
Pertahanan yang dipergunakan Yauw Tek itu memang kuat sekali sehingga semua serangan Ceng Ceng dapat ditangkisnya. Juga karena dia lebih banyak berdiam diri menanti serangan, maka dia tidak membuang banyak tenaga seperti halnya Ceng Ceng yang berkelebat ke sana-sini dan ini menyerap banyak tenaganya. Tentu saja dengan cara menutup diri dan hanya menangkis, Yauw Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Setelah pertandingan lewat sekitar limapuluh jurus, Ceng Ceng melompat menjauhi dan berdiri sambil tersenyum dan mengusap keringat dari leher dan dahinya.
Yauw Tek juga melompat ke depannya dan menjura. "Ah, Kiam-sut (Ilmu Pedang) Ceng-moi sungguh membuatku kagum sekali. Aku mengaku kalah."
Ceng Ceng tersenyum dan menoleh ke arah keluarganya yang duduk di pinggir ruangan. Ia menggunakan tangan kirinya menunjuk ke arah rambut kepalanya, lalu menjura kepada Yauw Tek sambil berkata. "Ah, Yauw-twako terlalu merendahkan diri. Akulah yang mengaku kalah. Ilmu pedang Twako sungguh amat lihai, aku masih perlu mendapatkan banyak petunjuk tentang ilmu pedang darimu."
Semua orang melihat betapa pita sutera putih yang tadinya mengikat rambut Ceng Ceng telah terlepas. Hal ini berarti bahwa dalam gebrakan terakhir tadi ranting di tangan Yauw Tek telah berhasil "mencuri" dan membuat pita rambut itu terlepas!
04.3. Silakan Ayah Menghukumku!
Li Hong bertepuk tangan dan ia pun melompat berdiri, menghadapi ayah ibunya. "Ayah, jelas bahwa Yauw-twako telah dapat menandingi dan mengungguli ilmu silat tangan kosongku dan ilmu pedang Enci Ceng! Dia pantas menemani kami mencari harta karun itu, bukan?"
Tan Kun Tek dan dua orang isterinya tersenyum. Dia dan Gak Li tadi dapat melihat betapa dalam ilmu silat tangan kosong, Yauw Tek jelas lebih tangguh dibandingkan Li Hong dan dalam pertandingan ilmu pedang, walaupun Ceng Ceng unggul dalam kecepatan gerakan, namun pemuda itu memiliki ilmu pedang yang aneh sehingga tahu-tahu dapat mencuri di antara hujan serangan Ceng Ceng untuk menyentuh pita rambut gadis itu dengan ujung rantingnya. Jelas bahwa ilmu pedang pemuda itu memang hebat sekali.
"Mari kita bicarakan hal ini di dalam," kata Tan Kun Tek dan mereka semua menuju ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja besar yang bundar.
"Kami mengakui bahwa ilmu silat Yauw Tek cukup tangguh untuk dapat menemani kalian berdua dan memperkuat keadaan kalian. Akan tetapi, Yauw Tek, engkau harus mengetahui bahwa perjalanan mencari harta karun ini merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Banyak tokoh kang-ouw tentu akan berusaha untuk mendapatkannya karena berita tentang harta karun yang mungkin dicuri orang yang tinggal di Thai-san pasti tersiar luas. Pula, kami kira engkau perlu juga mengetahui siapa yang tinggal di Thai-san agar engkau dan dua orang anak kami tidak bertindak gegabah," kata Gak Li. Lalu ia menceritakan kepada Yauw Tek tentang tokoh-tokoh di Thai-san seperti yang pernah ia ceritakan kepada dua orang gadis itu.
Setelah mendengarkan Gak Li memperkenalkan tokoh-tokoh itu sampai selesai, Yauw Tek berkata.
"Bibi, maafkan pertanyaan saya. Karena saya masih hijau dan tidak banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga), maka mohon petunjuk Bibi sekalian, siapakah di antara para tokoh di Bu-lim (Rimba Persilatan) yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu?"
Gak Li menghela napas panjang. "Inilah yang harus kalian bertiga selidiki. Tadi engkau telah mendengar cerita anak kami tentang hilangnya harta karun yang tersembunyi di Bukit Sorga. Pencuri itu hanya meninggalkan tulisan THAI SAN dalam peti harta. Tulisan ini dapat juga diartikan sebagai kesombongan Si Pencuri yang mengaku dan menantang bahwa dia berada di Thai-san, akan tetapi bukan tidak mungkin hal ini dilakukan Si Pencuri hanya untuk menipu dan menyesatkan para pencari harta karun. Karena itu, tugas kalian tidak ringan, sebelum berusaha merampas harta karun, haruslah lebih dulu menyelidiki secara teliti apakah benar pencuri itu tinggal di Thai-san dan kalau benar, siapa orangnya."
Setelah menerima nasihat dari Ban-tok Niocu Gak Li dan Tan Kun Tek yang lebih banyak mengenal Bu-lim (Rimba Persilatan) dengan tokoh-tokohnya, dua hari kemudian berangkatlah Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong meninggalkan Pulau Ular. Kini dua orang gadis itu percaya betul kepada Yauw Tek yang selain lihai juga halus budi bahasanya dan sopan santun.
Sementara itu Yauw Tek semakin kagum kepada keluarga Majikan Pulau Ular. Bukan hanya kagum kepada keluarganya yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga kagum akan kehebatan pulau yang selain mempunyai banyak anak buah, juga mengandung banyak rahasia sehingga kuat menghadapi penyerbuan dari luar.
Setelah tiba di daratan, mereka bertiga menggunakan tiga ekor kuda yang sudah dipersiapkan, melanjutkan perjalanan jauh mereka menuju Thai-san. Selama dalam perjalanan ini, hubungan antara tiga orang itu semakin akrab dan dua orang gadis itu yakin benar bahwa Yauw Tek adalah seorang pendekar muda pilihan yang hanya dapat disejajarkan dengan seorang pendekar muda seperti Pouw Cun Giok.
Bahkan mereka menganggapnya lebih baik dari Cun Giok karena pemuda itu telah mengecewakan hati mereka. Mengecewakan hati Ceng Ceng karena ternyata dia telah mempunyai tunangan sehingga Li Hong yang kini amat sayang kepada Ceng Ceng menjadi sakit hatinya. Setelah kini mendengar bahwa Pouw Cun Giok adalah kakak misannya, putera bibinya yang sudah meninggal, Li Hong menjadi semakin gemas dan ia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau bertemu dengan Cun Giok nanti, ia akan memarahi kakak misannya itu!
"Y" Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu mengerutkan alisnya yang tebal. Jenggot dan kumisnya yang terawat baik itu menambah kegagahan dan kejantanannya. Usianya sekitar limapuluh enam tahun dan dia duduk di atas kursi yang diukir dengan kepala singa.
Laki-laki gagah perkasa ini adalah Cu Liong yang berjuluk Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding). Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak membayangkan tenaga yang amat kuat. Dari julukannya saja, mudah diduga bahwa dia tentu seorang yang amat lihai dan tangguh sekali. Hanya ada kesan sombong dalam julukannya itu, seolah dia hendak me"ngatakan bahwa dialah orang yang paling kuat dan paling lihai ilmu silatnya sehingga tidak ada orang lain yang mampu menandingi dan mengalahkannya!
Majikan Bukit Merak ini duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Pemuda berusia sekitar duapuluh empat tahun ini pun bertubuh tinggi besar dan gagah. Wajahnya cukup tampan, sepasang matanya membayangkan ketinggian hatinya. Mungkin karena dia merasa menjadi murid Naga Sakti Tanpa Tanding, dia pun merasa dirinya seperti naga muda yang tanpa tanding pula!
Pemuda tinggi besar berpakaian mewah ini adalah murid Bu-tek Sin-liong yang bernama Kong Sek. Murid Cu Liong yang mendapatkan pelajaran ilmu silat secara khusus hanya Kong Sek seorang, di samping puteri datuk itu sendiri yang bernama Cu Ai Yin. Anak buah Pulau Merak yang berjumlah sekitar limapuluh orang hanya diberi pelajaran ilmu silat tingkat dasar saja.
Bu-tek Sin-liong bukan seorang antek penjajah Mongol, juga bukan golongan patriot yang menentang Kerajaan Mongol. Dia tidak peduli akan pertentangan kekuasaan itu. Maka baginya tidak pantang untuk bersahabat dengan orang-orang Bu-lim yang menentang penjajah Mongol, juga memiliki sahabat orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadi pembesar Mongol.
Satu di antara sahabatnya adalah mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok. Karena persahabatan inilah dia menerima putera panglima itu, ialah Kong Sek menjadi muridnya. Andaikata mendiang Kong Tek Kok dulu bukan seorang panglima Mongol, tetap saja dia akan menerima Kong Sek menjadi muridnya, mengingat bahwa ayahnya sahabat baiknya yang dengan dia saling mengagumi ilmu silat masing-masing.
Akan tetapi terjadilah peristiwa itu. Puterinya, Cu Ai Yin, menyelamatkan nyawa pemuda bernama Pouw Cun Giok itu dari ancaman bahaya karena menderita sakit. Kemudian, diketahuinya bahwa Pouw Cun Giok adalah Si Tanpa Bayangan yang telah membunuh Kong Tek Kok dan Pangeran Lu, Cu Liong membela muridnya Kong Sek, yang dikalahkan Cun Giok untuk menangkap dan membawa Cun Giok ke kota raja sebagai pembunuh agar diadili. Hal ini tidak dapat diterima oleh Cu Ai Yin yang melarikan diri dari rumah tanpa pamit. Dan sekarang, muridnya, Kong Sek, datang menghadap sambil mengeluh dan lengannya terluka goresan pedang yang menurut laporan muridnya dilakukan oleh puterinya.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengerutkan alis dengan marah sekali. Hampir dia tidak percaya akan laporan muridnya, maka dia membentak dengan kaku.
"Benarkah laporanmu itu" Hayo coba ulangi!" kata datuk itu sambil meraba-raba jenggotnya.
Terpaksa Kong Sek mengulang pelaporannya. Dia menceritakan betapa ketika dia membawa Pouw Cun Giok sebagai tawanan, dikawal para perajuritnya, tiba-tiba muncul Cu Ai Yin yang memaksa membebaskan tawanan itu!
"Sumoi ( Adik Seperguruan ) bukan hanya membebaskan Pouw Cun Giok dengan paksa, bahkan ia dan tawanan itu mengamuk, merobohkan para perajurit dan Sumoi melukai lengan teecu (murid)."
"Kurang ajar! Berani ia berbuat begitu" Membela orang luar dan menentang ayahnya sendiri?"
"Sumoi memang keterlaluan, Suhu. Akan tetapi teecu dapat memaafkannya. Harap Suhu jangan terlalu memarahinya kalau ia pulang. Tentang si jahanam Pouw Cun Giok, harap Suhu jangan khawatir, teecu pasti akan dapat menangkapnya. Teecu akan membawa pasukan untuk mengejar, mencari dan menangkapnya." Kemudian dia menambahkan, suaranya lirih membujuk. "Suhu, melihat betapa Sumoi terkadang liar membawa kehendak sendiri dan tidak dapat dikendalikan, bagaimana kalau Suhu melangsungkan dengan segera pernikahan kami" Kalau ia sudah menjadi isteri teecu, tentu ia akan berubah sehingga Suhu tidak akan terlalu pusing dibuatnya."
Pedang Seribu Romansa 2 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Interview With Nyamuk 3
^