Pencarian

Pendekar Wanita Baju Merah 8

Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang
amat mencintanya, akan tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah.
Membela kekasih boleh dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh
mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan!
Kalau Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, itu baginya bukan
pertolongan, melainkan penghinaan besar! Sebagai seorang kepercayaan Kaisar,
seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti baik akan hal
ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda
meninggalkan tempat itu!
Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan
muka pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah Im Giok tidak kelihatan lagi
bayangannya, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatannya lega dan puas.
Tadinya ia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah
kepadanya, akan tetapi setelah gadis itu pergi hatinya terhibur.
Biarlah, pikirnya, apapun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat.
Ia lalu memandang kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum
mengejek. "Gan Tiauw Ki, dia telah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!"
kata putera gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada
harapan di dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu!
Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.
"Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, kemudian kau
menangkap aku dan memaksa aku mengaku tentang pesanan Suma-huciang. Benar-benar
perbuatanmu ini sudah melewati batas. Apakah kau tidak tahu apakah hukuman
seorang pemberontak?"
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
191 "Bangsat besar!" Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar sehingga Tiauw Ki
yang kena ditampar pipinya hampir saja terguling dari kudanya. "Jangan banyak
cakap, kau ingin hidup atau mampus" Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!"
Kembali Tiauw Ki tertawa dan bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang
biru itu tidak dirasakannya."Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui
akal bulusmu"
Biarpun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga."
"Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku" Tadi kau sudah berjanji
hendak mengaku kalau aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya,
kau tidak bisa melanggar janji."
"Siapa yang melanggar janji" Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang
laki-laki sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan
kepadaku agar supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan
mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!"
"Keparat, kau menipuku!"
"Kau berani bicara tentang menipu" Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu,
orang she Lie. Kau membunuh Suma-huciang lalu menghasut para perwira Tiang-hai
dan menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura
hendak membawaku ke kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat"
Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari
tanganmu yang kotor dan jahat! Kau mau apa" Mau membunuhku" Bunuhlah, memangnya
aku takut mampus" Mau siksa" Hayo, kau boteh lakukan apa saja. Pendeknya yang
nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Sumahuciang dengan Kaisar juga selamat!"
Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun.
Terdengar ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap
bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan
darah. Akan tetapi pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar--sinar dan
ia berdiri tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar
nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak
takut. "Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!" Lie Kian Tek melompat turun dari
kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan kuda-kuda
yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran
yang lebar. Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung
lengan baju sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.
"Kau mau mengaku atau tidak?" sekali lagi putera gubemur ini membentak Tiauw Ki
yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie
Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya.
"Tar! Tar! Tar!" Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan
darah muncrat dari bibir dan hidung pemuda she Gan itu, namun ia masih berdiri
tegak dan sedikit pun tidak mengeluh.
"Jahanam, kau masih keras kepala?" Sekali lagi Kie Kian Tek mengayun cambuknya,
kini ke arah mata Tiauw Ki. Tiauw Ki terhuyung dan sepasang matanya tak dapat
dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak! Lie Kian Tek terus memukul, bahkan
kini tangan kirinya ikut meninju, maka robohlah Tiauw Ki. Biarpun menggeliat-
geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba
untuk berdiri. Akan tetapi ia jatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua
lengannya yang ditahan pada tanah. Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan
pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya
yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya yang compang-
camping. Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga
melihat kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
192 "Bedebah, benar-benar menggemaskan!" gerutunya. "Cheng-jiu Tok-ong Locianpwe,
harap kau gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi
sakunya!" Cheng-jiu Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku pakaian
Tiauw Ki. Akan tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda
lni hanya dua buah kitab sajak beberapa helai kertas dan alat tulis dan akhirnya
dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak.
"Kembalikan itu kepadaku!" Tiauw Ki berseru marah sambil mengulur tangan hendak
merampas tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok. Akan tetapi mana
dapat ia merampas benda yang berada di tangan Cheng-jiu Tok-ong" Sekali saja
kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda ltu
diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek,
"Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya" Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk
dapat bertemu dengan kekasihmu itu?" Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuk-
nekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan.
Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki sudah menubruknya dan dengan
nekad merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekadnya, ia lupa akan segala dan
kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawan-
kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk konde
pemberian Im Giok.
"Kau boleh merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan
berpisah denganku bersama nyawaku!" kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde
itu dengan kedua tangannya dan menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan
pemuda ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
"Locianpwe, kaulah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!"
katanya. Cheng-jiu Tok-ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini
mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya
itu seekor ular berwarna hitam! Ular itu menggeliat-geliat diantara jari-jari
tangannya dan lidah berwama kemerahan terjulur keluar masuk.
"Orang she Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu kau akan mengalami
rasa nyeri yang tak pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua
selama sehari penuh dan kau akan menderita sepenuhnya karena kau takkan pingsan
atau mati sebelum sehari penuh.
Maka lebih baik kau mengaku, rahasia apakah yang harus kau sampaikan kepada
Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak seorang pun akan melihat atau mendengar
pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?"
"Siluman tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman
kalian dan tadi aku bersikap lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giok-
moi menjauhkan diri.
Setelah dia selamat, keberanianku lebih besar lagi. Kau mau siksa, mau bunuh,
mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada pendirianku. Aku seorang laki-laki dan
kematian hanya berarti kebebasan daripada berdekatan dengan siluman-siluman
macam kalian ini!"
Wajah Cheng-jiu Tok-ong menjadi merah dan ia marah sekali.
"Kau memang tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!"
Akan tetapi pada saat itu, terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang
perajurit roboh ketika bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu.
Bayangan merah ini dengan gerakan luar biasa cepatnya telah tiba di dalam
lingkaran dan sinar pedang yang berkilauan menyerang Cheng-jiu Tok-ong. Kakek
ini terkejut dan dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi.
"Crak!" Tubuh ular itu terbabat putus dan Cheng-jiu Tok-ong berseru marah.
"Ang I Niocu, kau berani datang lagi?"
Memang, yang datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke
dekat Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
193 Tiauw Ki dan berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan
pemuda itu yang memandangnya dengan bibir tersenyum.
"Koko..." katanya perlahan.
"Giok-moi, mengapa kau kembali...?"
"Koko, aku akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan
mati bersama." Im Giok merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu
dan Tiauw Ki mengeluarkan suara sedu sedan yang ditahan-tahannya. Ia terharu
bukan main dan berbisik,
"Terima kasih, Moi-moi, hati-hatilah..."
Im Giok melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas
itu, disandarkannya di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat
gerakan gadis ini dengan senjata siap-siap di tangan. Ada pula yang terharu
menyaksikan adegan ini. Kemudian Im Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata
berapi-api dan ia berkata,
"Sudah kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata
seorang pengkhianat dan pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Kau
bebaskan Gan-twako, atau aku akan membuka jalan darah! Andaikata gagal usahaku,
aku dan Gan-twako akan mati bersama di tempat ini, akan tetapi kiraku tidak
sedikit orang-orangmu akan menghadap Giam-kun (Malaikat Maut) lebih dulu sebelum
aku roboh!"
Memang, tadi setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw
Ki bersama pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati
dan menyesal. Ia sudah menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan ia sudah percaya betul akan
sifat jantan dalam diri kekasihnya itu. Mengapa tiba-tia Kiauw Ti berubah
menjadi seorang pengecut"
Mengapa Tiauw Ki tidak percaya kepadanya dan apakah artinya mati kalau tidak
mati berdua" Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan membiarkannya pergi dan mengalah
hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang pengkhianat"
"Tak mungkin! Tak mungkin dia mau berbuat itu," pikir Im Giok dan ia
menghentikan larinya kuda. Setelah berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari
kudanya, menambatkan kendali kuda itu pada sebatang pohon dan berlarilah Im Giok
ke tempat tadi. Ia mempergunakan ilmu lari cepat dengan kepandaiannya yang luar
biasa ia dapat mendekati pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap diantara
pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu. Ia sempat menyaksikan Tiauw Ki
disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki, melihat pula betapa
kekasihnya dengan nekat merampas kembali tusuk konde pemberiannya.
Melihat semua ini, Im Giok tak dapat menahan mengalirnya air matanya. Tepat
seperti yang diduganya, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk kesempatan
kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali bukan seorang pengecut dan
sama sekali bukan pengkhianat, bahkan telah membuktikan bahwa dia seorang yang
berani mati, seorang gagah dan yang mencintanya sampai di saat terakhir!
Demikianlah, Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini ia
menghadapi Lie Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak
takut apa-apa karena maklum bahwa andaikata ia gagal, ia akan mati bersama
kekasihnya! "Kepung dan tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!" Lie Kian Tek berseru dan
serentak Im Giok dikepung, didahului oleh Cheng-jiu Tok-ong yang menyerang
dengan golok hijaunya.
Sekali lagi Im Giok mengamuk. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah,
pedangnya menyambar-nyambar lebih dahsyat daripada amukannya yang sudah-sudah
karena sekarang selain hati gadis ini amat sakit melihat kekasihnya tersiksa,
juga ia nekad untuk mati bersama kekasihnya, para pengeroyoknya menjadi
kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat sedikit saja, pasti pedang di
tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan roboh seorang pengeroyok. Mereka mengepung
dari jauh dan Lie Kian Tek memberi aba-aba. Maka dikeluarkan orang tombak-tombak
panjang dan jaring lebar. Dengan dua macam senjata yang biasanya dipergunakan
untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im Giok kini Ang I Nio Cu >
karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
194 dikepung! Timbul kegembiraan para perajurit itu dan seperti kalau mereka
menangkap harimau, kini mereka bersorak-sorak dan mendesak Im Giok dengan
tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu.
Lie Kian Tek memang suka sekali memburu binatang, bukan dibunuh melainkan
ditangkap hidup-hidup, maka tiap kali pergi dengan pasukannya selalu anak
buahnya tidak lupa membawa alat-alat menangkap binatang buas ini, yaitu jaring
dan tombak-tombak panjang.
Menghadapi serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat
bingung. Ia mengamuk seperti singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan
banyak tombak telah dapat ia patahkan dengan pedangnya. Akan tetapi pihak
pengeroyok terlalu banyak dan Im Giok merasa gugup juga menghadapi pengeroyok
yang bersorak-sorak itu, maka setelah melawan mati-matian, akhirnya ia tidak
dapat mengelak lagi ketika jaring yang lebar dan kuat dilempar dan menimpanya
dari atas. Bagaimana ia dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl
belasan tombak menghadangnya" Ia membabat dengan pedangnya, akan tetapi jala
atau jaring kedua kembali menimpa sehingga gadis itu kini benar-benar seperti
seekor singa betina tertangkap! Ketika Im Giok meronta terdengar suara kain
robek dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat kenyataan bahwa di sebelah dalam
jaring ini dipasangi kaitan-kaitan kecil dari baja sehingga kalau ia berani
meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan juga kulitnya akan terkait dan
luka-luka. Oleh karena itu, ia terpaksa tidak berani bergerak dan memasang kuda-
kuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam jaring-jaring itu.
Para perajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar suara Lie Kian Tek
tertawa terbahak-bahak.
"Keluarkan dia dan ikat kaki tangannya!" perintahnya dan suaranya terdengar
gembira sekali.
Akan tetapi perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya amat sukar
dilaksanakan. Tadinya para perajurit yang ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita
itu, berebut maju. Celaka bagi mereka, lima orang menjerit roboh dan tak dapat
bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh tangan kiri dan tiga
orang tertusuk pedang! Biarpun berada di dalam jaring, namun Im Giok masih tetap
lihai dan sukar didekati.
Melihat ini, Cheng-jiu Tok-ong marah sekali. Ia melompat maju dan secepat kilat
tangannya bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu
Kiang Im Giok. Ia mengira bahwa kalau diserang dari belakang, gadis yang berada
di dalam jaring itu tentu sukar mengelak lagi. Akan tetapi, akibatnya dia
sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan darah.
Dalam keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin
pukulan, Ang I Niocu dapat menyusupkan pedangnya dari bawah lengan kiri dan
menyambut totokan lawan itu dengan ujung pedang! Karuan saja telapak tangan
Cheng-jiu Tok-ong menjadi terluka dan kakek ini berjingkrak-jingkrak saking
marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar gadis itu jangan dibunuh. Dalam
kemarahannya, Cheng-jiu Tok-ong mencabut golok hijaunya yang beracun dan
mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I Niocu!
"Traaang...!" Golok di tangan Cheng-jiu Tok-ong terpental kembali dan hampir
saja terlepas dari tangannya, membuat kakek ini melompat mundur dengan kaget
sekali. Pada saat itu, seorang nenek tua yang entah darimana datangnya dan yang
tadi telah menangkis golok Cheng-jiu Tok-ong dengan sepasang pedang yang


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkilauan tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok. Gadis ini
sendiri pun dengan bersemangat mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam
sehingga sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di
beberapa bagian tubuhnya terluka oleh kaitan, akan tetapi Im Giok tidak
mempedulikannya.
Baik Im Giok, maupun Cheng-jiu Tok-ong dan semua orang yang berada di situ tidak
mengenal siapakah gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya
keriputan, rambutnya sudah putih semua, namun gerakan-gerakannya masih amat
gesit dan lincah.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
195 "Serbu...! Bunuh siluman ini!" Lie Kian Tek berseru keras. Akan tetapi ia cepat
mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan menyerangnya
dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanan merobohkan dua orang perajurit yang
menghalang di jalan! Lie Kian Tek menangkis, tangannya tergetar dan pedangnya
terlempar! Sinar putih meluncur ke arah lehernya dan putera gubemur ini sudah
meramkan mata. Baiknya Cheng-jiu Tok-ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu
dengan golok hijaunya sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya
kepada Lie Kian Tek, kemudian menghadapi Cheng-jiu Tok-ong. Mereka segera
bertempur dengan hebat.
Adapun Im Giok kini sudah dikepung lagi, para perajurit sekarang maklum bahwa
kalau tidak dibunuh, nona baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya,
apalagi sekarang tiba bantuan seorang nenek yang seperti setan. Mereka beramai
mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya membantu di
belakang dengan tombak atau toya panjang. Im Giok memutar pedangnya, kini ia
menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang pengeroyok roboh
bergelimpangan. Karena Cheng-jiu Tok-ang tidak dapat ikut mengeroyok, tentu saja
bagi Im Giok para pengeroyok itu merupakan makanan lunak! Apalagi gadis ini
merasa sakit hati dan marah sekali telah menerima hinaan, sekarang pembalasan
yang ia lakukan benarbenar hebat dan membuat para pengeroyoknya kalang kabut.
Pertempuran antara nenek itu melawan Cheng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh enam
orang perwira juga dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main,
sepasang pedangnya menyambar-nyambar amat ganasnya. Telah banyak orang yang
roboh olehnya dan perwira-perwira yang membantu Cheng-jiu Tok-ong sudah beberapa
kali berganti orang.
Diam-diam Cheng-jiu Tok-ong terkejut sekali ketika memperhatikan permainan
pedang nenek ini. Ia mengenal gerakan-gerakan ilmu pedang itu akan tetapi kalau
ia melihat wajah yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu.
"Tahan! Twanio, siapakah kau dan mengapa kau memusuhi kami?" Chengjiu Tok-ong
berseru. Terdengar nenek itu tertawa dan orang menjadi terheran-heran mendengar suara
ketawanya, begitu merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun!
"Cheng-jiu Tok-ong, kau telah menjadi kaki tangan pemberontak dan berani sekali
menghina muridku. Benar-benar keterlaluan!" Seperti juga suara ketawanya, kata-
katanya ini diucapkan dengan suara yang merdu sekali!
Mendengar suara ini, Cheng-jiu Tok-ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru,
"Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat..."
Nenek yang berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu,
nadanya mengejek.
"Pek Hoa... mengapa kau menyerangku" Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani
sekali melawanku" Biarpun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan
dia. Mari kita bicara baik-baik, Pek Hoa..."
Akan tetapi Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh
dan tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini
disusul oleh seruan kaget dari para pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan
saja empat orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas!
Cheng-jiu Tok-ong kaget setengah mati, apalagi ketika ia menyaksikan sepasang
pedang dari bekas muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya
demikian indah dan halus, dan nenek yang tubuhnya masih nampak langsing itu
bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan! Biarpun hal ini
nampak lucu karena nenek itu tua, namun tetap saja masih mendatangkan pengaruh
yang luar biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang ciptaan Pek Hoa
Pouwsat yang disebut ilmu pedang Bi-jin-khai-i, ilmu pedang yang mengandung
kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil merobohkan pendekar sakti seperti Ang I
Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
196 Han Le! Juga Im Giok terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah
suara bekas gurunya, Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa
Pouwsat adalah seorang wanita yahg amat cantik jelita seperti bidadari, mengapa
sekarang menjadi nenek-nenek tua sekali yang buruk" Betapapun juga, kedatangan
nenek yang membantunya ini dan melihat kelihaiannya, hati Im Giok menjadi besar
dan pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung seperti naga mengamuk. Untuk
mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa Pouwsat, Ang I Niocu
lalu mainkan limu pedangnya yang seperti tarian indah, akan tetapi kehebatannya
luar biasa sekali sehingga tiap kali berkelebat tentu ada lawan yang roboh!
Betapapun juga sepak terjang Im Giok, masih belum ada artinya kalau dibandingkan
dengan Pek Hoa Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak
terjangnya. Kalau pedang kanan atau kiri di tangannya berkelebat, bukan satu
orang yang roboh, sedikitnya ada tiga orang roboh tak bemyawa lagi. Sebentar
saja di tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan di mana mayat
bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir.
Cheng-jiu Tok-ong makin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya
sendiri itu. Ngeri ia memikirkan betapa ia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya
sendiri. Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dahulu ketika Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat masih menjadi muridnya. Pek Hoa adalah seorang anak perempuan yatim-
piatu, karena ayah bundanya yang menjadi kepala penyamun telah tewas di dalam
tangan Cheng-jiu Tok-ong.
Melihat bocah perempuan yang berkulit halus putih dan berbibir merah itu, Cheng-
jiu Tok-ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh tahun ini
diambil menjadi muridnya. Pek Hoa menjadi dewasa dalam asuhan orang yang
berwatak bejat, bahkan Chengjiu Tok-ong tidak malu, untuk mempermainkan muridnya
sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa sudah diajar segala macam perbuatan
buruk dan tak tahu malu. Akhimya Pek Hoa meninggalkannya dan kemudian ia
mendengar bahwa bekas murid, juga bekas kekasihnya itu telah menjadi murid
Thian-te Sam-kauwcu dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Sekarang, teringat akan ini semua, Cheng-jiu Tok-ong mengeluarkan keringat
dingin. Sangat boleh jadi bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang akan pengalaman
di dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa dialah yang telah membunuh ayah bunda
dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang datang untuk
membalas dendam! Teringat akan hal ini, Cheng-jiu Tok-ong lalu berlaku nekad dan
diam-diam ia mengeluarkan jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Cheng-
tok-see (Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa ia tidak akan mendapat ampun dan
pula tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi. Maka ketika kembali Pek
Hoa Pouwsat merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain menjadi
gentar dan menjauhkan diri, Cheng-jiu Tok-ong mempergunakan kesempatan selagi
Pek Hoa mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan, segera menyerang
bertubi-tubi. Jarum dan pasir beracun disambitkannya dan semua ini dibarengi
dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan mati-matian.
Pek Hoa Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Ia berhasil menangkis
golok dan mengelak ke kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu
hati bekas gurunya.
Akan tetapi tiga batang jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan dadanya!
Tiga batang jarum ini adalah Cheng-tok-ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya
takkan tertolong lagi. Ia membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki
dagingnya dan sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat gurunya berkelojotan lalu
tewas, ia mengamuk terus!
Di lain pihak, Im Giok dalam amukannya melihat Lie Kian Tek berlari mendekati
Tiauw Ki dengan pedang terangka tinggi. Gadis ini maklum akan maksud putera
gubemur ini, tentu hendak membunuh kekasihnya yang masih duduk tak berdaya
karena luka-lukanya. Cepat ia melompat bagaikan terbang dan tepat sekali
datangnya ini. Terlambat sedikit saja tentu kekasihnya tak dapat ditolong pula.
Dengan gemas ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
197 Terdengar suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus dan di
lain saat tubuh putera gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im
Giok! Im Giok masih marah dan hendak mengejar tubuh Lie Kian Tek yang sudah
pingsan itu untuk dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan orang perwira
sehinggi ia mengamuk lagi.
Para perajurit dan perwira-perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek sudah terluka
hebat dan Cheng-jiu Tok-ong sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka. Apalagi
sudah terlalu banyak kawan mereka yang tewas. Maka sambil membawa tubuh Lie Kian
Tek yang pingsan, mereka lalu melarikan diri di atas kuda dan membalapkan kuda
tunggangan mereka!
Im Giok sudah terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, ia melihat Pek
Hoa Pouwsat mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau
roboh. Cepat Im Giok melompat dan memeluk wanita itu. Melihat betapa Pek Hoa
telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan
melihat pula betapa bekas gurunya ini sekarang menderita luka berat dalam
usahanya menolong nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu sekali dan semua
kebencian yang timbul di hatinya terhadap bekas guru ini lenyap, terganti oleh
kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung di hatinya terhadap bekas
guru ini. "Enci Pek Hoa..." bisiknya sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke
tempat yang bersih dari tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah
merangkak ia pun menghampiri tempat itu.
Pek Hoa Pouwsat membuka matanya dan terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini
benarbenar Pek Hoa Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening
bagus itu memang mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus
mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat luka di
leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok menahan isak.
"Enci Pek Hoa...!" bisiknya lagi.
Pek Hoa tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu
gigi Pek Hoa bukan main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana
mutiara. "Im Giok, anak baik, kau makin cantik saja..." Kemudian ia muntahkan darah yang
wamanya hijau pula.
"Im Giok..., aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang
sekali kalau lenyap kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung
Rajawali Putih) carilah telur Pek-tiauw... campur dengan obat ini... kau minum
setengah tahun sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik..."
Pek Hoa menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan,
kemudian ia tertawa ha-ha-hi-hi, nampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang
lucu, tertawa terus akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga
akhirnya terhenti sama sekali!
"Enci Pek Hoa, kau mati karena aku... terima kasih..." bisik Im Giok di dekat
telinga bekas gurunya dan tak tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua
pipinya. Sayang sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek
Hoa, tidak tahu tentang riwayatnya sehingga ia menyimpan obat pemberian bekas
gurunya itu tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang
obat itu jauh-jauh dengan ngeri hati.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su
dan terusir dari Pulau Pek-le-tho, Pek Hoa-Pouwsat pergi dengan hati perih
sekali. Ia tidak berdaya menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapapun
sakit hatinya, ia tak dapat berbuat apa apa. Yang lebih menyakitkan hatinya
adalah karena ia telah mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le bukan
sekali-kali karena ia mencinta pengemis Sakti itu. Tadinya ia bermaksud
menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat
pembantu yang lihai. Memang ia berhasil karena bukankah ia telah berhasil
menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai,
juga Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
198 menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas bantuan Han Le! Sayang sekali
bahwa biarpun bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan Bu Pun
Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat. Tadinya
ia hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam
lubuk hatinya terhadap Han Le, apalagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir
dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat membalas
dendamnya. Bukan main marah dan kecewanya hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan
lebat, menanti saat kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati
keras dan merupakan seorang yang luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa,
berkat lwee-kangnya yang tinggi dan kepandaiannya yang sudah sampai di tingkat
puncak, ia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat. Akan tetapi
apa yang terjadi" Setelah anaknya terlahir, terjadi perubahan hebat pada
dirinya! Kulitnya mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi
putih, sebaliknya kulitnya yang putih menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus
kering! Pek Hoa Pouwsat semenjak kecil mengutamakan kecantikan dan untuk menjaga
kecantikannya ia bahkan setengah tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang
dicarinya dengan susah payah. Dengan obat ini ia memang tidak pemah tenjadi tua
dan selalu tetap cantik dan muda. Sekarang ia berubah menjadi demikian tua dan
buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan yang hebat sekali baginya. Ia tidak
mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu akan musnah bahkan menjadi
sebaliknya, merusak semua kecantikannya apabila ia mempunyai anak! Kini baru ia
tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu
membanting mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-lari seperti orang
gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang
dikeroyok oleh Cheng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya. Melihat Cheng-jiu Tok-ong,
timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia mengambil
keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik
jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,
"Dia harus menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku
pula..." Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Cheng-jiu Tok-
ong juga berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok. Biarpun untuk tercapainya
dua maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya.
Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya
berpelukan dan keduanya mengeluarkan air mata.
"Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tidak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam
keadaan hidup," kata Tiauw Ki.
Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian
Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.
"Kasihan sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang
diri..." "Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau
marah dan pergi, agar kau selamat..."
"Aku tahu, Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku."
"Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi..."
Setelah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya,
"Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?"
"Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan
sesat, akan tetapi selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia amat sayang
kepadaku. Dan ternyata benar..." Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan.
"Dia mengorbankan nyawa untukku... Aku harus merawat jenazahnya baik-baik,
Twako. Dia harus dikubur baik-baik..."
Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek
Hoa Pouwsat. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
199 "Bagaimana dengan mereka itu" Sudah sepatutnya mereka itu dikubur juga, bukankah
mereka manusia?" Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di
sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri ia melihat mayat manusia yang jumlahnya
dua puluh orang lebih itu.
Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat.
Im Giok memandang dan menarik napas panjang. "Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua dapat mengubur mayat sebanyak itu" Apalagi tanpa ada alat untuk menggali
lubang." "Akan tetapi hatiku tidak menginginkan mereka itu ditinggalkan begitu saja
menjadi makanan binatang buas..." Tiauw Ki membantah.
"Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya.
Pula, mereka itu adalah anggauta pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan
mereka akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Dan lagi, kita harus
cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kalau mereka datang lagi membawa bala
bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat
melawan lagi..."
Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya lari
kacau-balau, maka cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke
utara, ke kota raja. Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata,
"Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu
pergi ke Sian-koan menemui ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau
harus membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan
tenteram. Aku tidak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian
banyaknya...!"
Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, karena dalam hal pertempuran, membunuh
atau terbunuh adalah hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut
karena maklum bahwa kekasihnya yang lemah itu baru saia terlepas dari bahaya
maut dan baru mengalami sesuatu yang benar-benar menakutkan. Perjalanan
dilakukan cepat dan ketika mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli obat di
toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki.
*** Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari
Bu Pun Su kepada Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak
gunung itu dengan selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo
Siansu, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus,
tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Kakek ini setelah membaca surat
dari Bu Pun- Su, mengangguk dan tersenyum.
"Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda,
bergelora dan bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan
Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?"
Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali.
Alangkah lemah dan pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu
saja ia tidak berani bilang apa-apa, hanya mendengarkan lebih lanjut. Juga para
murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada
yang mongeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.
"Maafkan teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan
bicara dalam urusan yang sama sekali teecu tidak berhak mencampuri. Akan tetapi,
sungguhpun teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apapun yang
diusahakan oleh manusia, akhimya keputusan berada di tangan Thian, namun,
sebagai manusia yang berakal budi, apalagi yang menjunjung tinggi keadilan dan
kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi
keadilan dan kebajikan. Adapun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada
Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon
petunjuk, Susiok."
Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa
yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
200 bicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah,
patut sekali menjadi seorang pendekar. Pakaiannya indah, pedangnya tergantung di
pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh
lima tahun. Kalau Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda
ini, adalah lain-lain murid Go-bi-pai yang berada di situ memandang dengan muka
merah dan ada yang khawatir.
Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah
merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak sekali-kali
boleh mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang datang.
Apalagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid.
Akan tetapi pemuda ini telah berlancang mulut, tidak saja mencampuri percakapan,
bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!
Suasana menjadi sunyi dan tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang
mata yang masih amat tajam berpengaruh itu memandang kepada pemuda gagah itu
dengan marah. Akan tetapi ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani
menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia
tersenyum. "Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Biarpun pendirianmu itu pikiran orang muda jalan
dan tidak sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-
bi-pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, maka
kelancanganmu itu kumaafkan. Sayang Suheng telah meninggal, kalau tidak tentu ia
akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku." Kakek ini lalu tertawa
dengan girang. "Harap maafkan, Susiok. Sesungguhnya teecu tadi telah lancang tanpa dipikir
dulu, harap banyak maaf."
"Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa
gerangan orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biarpun
tidak sejalan dengan pikiranku, aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu
aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku
agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak
penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara
berada dalam bahaya dan ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini dapat dilakukan
oleh semua anak murid yang berada di sini melakukan penjagaan di sepanjang tapal
batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan ke dua dari Bu Pun Su
agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh
persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tak dapat
kulakukan. Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!"
"Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasihat dan petunjuk
selanjutnya agar teecu dapat melakukan tugas dengan baik," jawab pemuda itu
dengan suara tegas dan bersemangat.
"Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri
sudah menyatakan setuju sekali akan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti
ini kita semua harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan diantara kita dan
kalau misalnya ada, urusan itu harus dibereskan secara damai. Persatuan harus
ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apabila benar-benar
terjadi perang, tentu muncul banyak manusia jahat dan perlu sekali kita
melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada
mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san mengingat
bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan
Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa
kalau dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh
mempergunakan kuil kita di Go-bi-san sini."
"Teecu sudah ingat akan semua pesan Susiok dan akan mentaati," kata Sun Hauw,
pemuda gagah itu.
Tiba-tiba seorang di antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di situ,
berdiri dan berkata Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 201 dengan suara lantang,
"Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil
Suhu. Hal ini menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah
kelak nama baik partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja
datang di Go-bi-pai, baru tiga hari dan hanya menurut pengakuannya sendiri Suhu
tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek. Bagaimana kalau dia itu
sebenamya bukan murid Supek" Sungguhpun andaikata dia itu benar-benar murid
Supek, masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat
bahwa antara Suhu dan Supek..."
"Cukup!" Twi Mo Siansu membentak dan murid yang bicara tadi, seorang tosu pula
berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya
dan duduk kembali. "Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Kita telah
menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih
ingat akan perpecahan sendiri"
Tidak, bagaimanapun juga, murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Keraguanmu
tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya
apakah benar dia itu anak murid Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup
kuat untuk melakukan tugas mewakili aku."
Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhunya
marah dan ia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid
pertama dari Twi Mo Sian-su dan tadi mendengar tugas mewakili suhunya diberikan
kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan
baginya untuk memperlihatkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah
berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti
Liem Sun Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.
"Teecu tidak berani menolak perintah Suhu," katanya sambil berdiri, lalu katanya
kepada Liem Sun Hauw. "Liem-sute, kau sudah mendengar sendiri perintah Suhu
bahwa pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia
(tempat berlatih silat)."
Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini.
"Twa-suheng, siauwte mana berani menolak" Hanya mengharap belas kasihan Suheng
dan jangan berlaku terlalu keras kepada siauwte yang masih hijau." Sambil
berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke
lian-bu-thia. "Tidak usah ke lian-bu-thia, di ruangan inipun cukup lebar kalau hanya untuk
menguji kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini
saja," kata Twi Mo Siansu. Semua anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri
berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega bagi dua orang yang hendak
mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani turut
bicara lalu minggir. Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar
yang jelas sekali bertenaga kuat dan dari pandang mata tosu ini ia dapat
mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai lwee-kang dan kepandaian yang tinggi.
Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat yang
sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun
Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja tosu itu berusaha untuk membikin malu
dan merobohkan Sun Hauw.
Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas,
menambah kegagahannya karena nampak bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Ia
berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh direndahkan dan
kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua.
"Liem-sute, pinto lihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu.
Dalam ujian ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?"
Liem Sun Hauw menjura. "Siauwte serahkan pada kebijaksanaan Suheng saja,
bagaimana cara Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah."
"Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
202 kosong saja."
Liem Sun Hauw patuh. Ia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan,
tanda bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Ia memutar pedangnya dengan
gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini telah dipegang di bagian
pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka
terpentang di depan dada. Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa biarpun
kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara terbalik, namun gerakan
ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu.
"Ketika Suhu memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu
berpesan siauwte jangan sekali-kali menggunakan pedang ini untuk menghina orang
dan melawan bertangan kosong dalam pibu," kata pemuda itu dengan sikap hormat.
Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang. "Ah kiranya Suheng masih ingat akan
pesan Sucouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya."
Memang Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang anak murid sama sekali tidak boleh memamerkan ilmu
pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan
persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu
bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan
gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek
Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun
Hauw mengerti baik!
"Kau memberikan pedangmu kepadaku" Baik, kuterima dan awas terhadap caraku
mengembalikannya!" kata Tek Sin Tojin. Tangan kanannya menyambar dan di lain
saat pedang itu telah berpindah ke dalam tangannya, tosu tinggi besar itu lalu
membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada
jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti
anak panah menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw!
Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan indah namun
cepat sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung
pedang dan... tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya, mengeluarkan
suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu. Tek Sin Tojin melakukan gerakan
menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai, yakni
gerakan yang digebut Sin-liong kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang
dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat
terdesak oleh lawan yang lebih tangguh. Timpukan pedang yang tidak terduga-duga
ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan lawan, sedikitnya
memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri! Adapun Sun Hauw yang
sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat
memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu
silat yang disebut Sin-liong siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustikanya). Memang,
dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang
anak murid Go-bi-pai yang jempol.
Adapun Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan
ilmu pedang ini, diam-diam merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai
memang cabang yang memiliki ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan
demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji,
"Bagus sekali!" Ia tidak tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai
terdapat pelajaran terakhir, yakni bersilat dengan sarung pedang. Hal ini
dipelajari untuk menjaga kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biarpun dengan
sarung pedang, masih dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat.
Sementara itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur
dengan tangan kosong. Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis
atau dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan
dua orang anak murid Gobi-pai sedang berlatih silat, akan tetapi sesungguhnya
bukan demikian, karena Tek Sin Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 203 Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sekali saja Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, ia akan
terpukul dan mendapat luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi
ternyata Liem Sun Hauw hafal akan semua jurus serangannya sehingga pemuda ini
dapat menangkis atau mengelak dengan tepat, serta melakukan serangan balasan
sebagaimana mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi
suhengnya ini. Kalau tadi melihat demonstrasi ilmu pedang Kiang Liat merasa kagum, sekarang
melihat ilmu silat tangan kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau
kagum. Ilmu silat itu memang cepat dan indah lagi kuat gerakannya, akan tetapi
tidak terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu
silat keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu
Pun Su, tidak usah kalah menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang
itu. Lima puluh jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak
sutenya, apalagi mengalahkannya! Tiba-tiba tosu itu merubah gerakannya dan
kagetlah Liem Sun Hauw.
Biarpun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini
ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini
hebat sekali dan gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis
dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak.
Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya.
Kini Twi Mo Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu
silat yang cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu
silat "simpanan". Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah
ilmu silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang dicalonkan
menjadi ketua apabila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak
sembarangan dikeluarkan. Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi
pelajaran ilmu silat ini maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya.
Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagalan Sun Hauw, tadinya
ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri.
Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar
biasa dan yang agaknya dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!
"Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!" seru Twi Mo Siansu. Ia
khawatir kalau-kalau sampai terjadi korban dan ia merasa malu kalau sampai
akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apalagi di situ terdapat seorang tamu. "Tek Sin,
bagaimana pendapatmu" Sudah puaskah kau?"
Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Ia cepat berlutut di depan suhunya dan
berkata, "Dalam hal ilmu silat Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa
dia benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan
agaknya Liem-sute sudah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih
hebat!" Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak
selayaknya Sun Hauw menjadi murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.
"Liem Sun Hauw, apakah kau menjadi murid dari partai lain?" tanya Twi Mo Siansu
dengan suara keren.
Sun Hauw berlutut, "Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu, tidak menjadi
murid partai lain."
"Sute, jangan kau bohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku
saja, mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!" tegur Tek Sin Tojin.
"Mana siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?"
"Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukan ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau
hendak menyangkal?"
"Memang bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu
silat itu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
204 dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang
sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san."
Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di
antara tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping
Bu Pun Su dan Han Le.
"Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu" Apakah kau hendak
memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul daripada ilmu
silat Go-bi-pai?"
"Tidak sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi teecu tiba-
tiba menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali tidak teecu
kenal, yang hebat dan membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus
ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal dapat menghadapi serangan Suheng itu,
terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi memaafkan."
Twi Mo Siansu menarik napas panjang. "Sudahlah. Di dunia ini memang banyak
sekali ilmu silat tinggi, mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan
kepandaian sendiri"
Hanya pesanku, Sun Hauw, apabila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau
sekali-kali tidak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan besar
bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat
Go-bi-pai."
"Teecu mentaati perintah Susiok," kata Sun Hauw.
Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat. "Sicu, sampaikan kepada sahabat baik
Bu Pun Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Tentang penjagaan di
bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang
usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kaulihat murid Liem Sun Hauw
mewakili aku dan akan berusaha mendamaikan urusan antara Kim-san-pai dan partai
Bu-tong-pai."
"Terima kasih, Locianpwe. Setelah saya melihat sikap saudara muda Liem ini, saya
merasa kagum dan tertarik. Oleh karena perjalanan menuju Bu-tong-san sejalan
dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di
perjalanan," kata Kiang Liat.
Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah
Kiang Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung. Mereka merupakan dua orang jantan
yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh kekar bentuk tubuhnya, sama-
sama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua, rambutnya
sebagian sudah putih dan mukanya sudah berjenggot berkumis, sedangkan Liem Sun
Hauw masih muda, mukanya masih halus. Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari
cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di"jajal" oleh utusan Bu
Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang dipuja-
puja oleh mendiang suhunya, Thian Mo Siansu, maka sekarang ia girang sekali
dapat berkenalan dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su.
Melihat dirinya diuji, ia pun mengerahkan gin-kang dan berlari secepat terbang
mengimbangi kecepatan Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san, melompati
jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja seperti orang berlari-lari
di atas tanah rata.
Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po dari pendekar
wanita sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, ia sudah mencapai tingkat
tinggi. Oleh karena ini, biarpun Liem Sun Hauw juga lihai, masih pemuda ini
kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu
dan sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng. Setelah
bercakap-cakap, keduanya makin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu
lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa kagum. Ia makin merasa suka
karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan
kemenangannya. Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan, mereka melihat seorang tosu gemuk pendek
berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan setelah
dekat, Liem Sun Hauw mengenal tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu.
Melihat sikap tosu yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 205 bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak
hati. "Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini," kata Sun
Hauw sambil memberi hormat.
"Memang ada keperluan penting sekali," kata tosu itu, suaranya tinggi dan
menggetar. Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam
Kiang Liat terkejut karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa
ini ternyata adalah seorang seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang
tinggi. "Barangkali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid kedua dari
Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai."
Melihat sikap ini, Sun Hauw merasa mendongkol sekali. Sikap ini menunjukkan
seakan-akan dia tidak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap
sebagai tamu. "Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?"
"Kau dipercaya oleh Suhu memikul tugas yang berat. Tadi sudah pinto saksikan
kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Oleh karena tugasmu
penting sekali, pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah betul-
betul kau akan sanggup melakukan tugas itu karena kalau kiranya kau tidak patut
menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada
Suhu." "Apa maksud Suheng?" tanya Sun Hauw tak senang.
"Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!" jawab Tek Le Tojin
tegas. Mendengar ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw
mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali.
"Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini" Bukankah Suheng sendiri tadi
sudah menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk
melakukan tugas ini?"
Tek Le Tojin tersenyum menyeringai. "Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah.
Akan tetapi kali ini pinto benar-benar meragukan apakah kepercayaan Suhu
kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu akan seluk beluk
dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik" Apalagi
kalau diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua
partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah pinto
akan berhasil menunaikan tugas itu, apalagi seorang bocah macam engkau. Hemmm,
apakah yang kauandalkan" Maka majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto
tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya,
namun bagi pinto dan para anak murid Go-bi-pai amat besar artinya dan harus
dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!"
Sun Hauw merasa mendongkol. Ia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat
tosu yang jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan
untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu,
melainkan untuk menjaga nama baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak
murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini tidak
percaya akan kepandaiannya. Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku.
Pikir pemuda ini dengan hati gemas.
"Baikiah, Suheng. Kau adalah saudara tua, maka aku sebagai saudara muda mana
berani membantah kehendakmu" Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa
ujian kepandaian ini adalah kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang
menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung
jawabnya."
"Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!"
Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun
Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi
kelihatan kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah.
Melihat pasangan kuda-kuda ini, didalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana
sih tosu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
206 ini" Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid
kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid
kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah murid
kedua lebih pandai daripada murid pertama"
"Baiklah, Suheng. Siauwte menanti pelajaran dari Suheng!" kata Sun Hauw sambil
memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu.
Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru, "Awas serangan!" dan tangannya memukul
ke arah dada Sun Hauw. Pemuda ini dengan tenang lalu memindahkan kaki sambil
menangkis. Akan tetapi ia kaget sekali ketika lengannya beradu dengan lengan tosu itu,
karena ia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan ini
demikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong! Ah, sekarang tahulah dia.
Ji-suhengnya ini adalah seorang yang memiliki lwee-kang tinggi sekali, mugkin
lebih kuat daripada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tidak berani
lagi ia menerima pukulan suhengnya dengan tangkisan langsung, sebaliknya ia
mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Ia memang lebih
lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima
latihan gin-kang istimewa dari mendiang gurunya.
Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek
Le Tojin, biarpun tidak mengenai tubuhnya, sudah mendatangkan angin pukulan yang
panas dan dahsyat! Ia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lwee-kang dari Tek Le Tojin
sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan
lwee-kang tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).
Biarpun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap
pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya
mengalahkan Sun Hauw.
Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le
Tojin ini bahkan lebih kejam daripada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin
mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kiranya
kalau mengenai tepat pada sasarannya akan mendatangkan akibat hebat!
Karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw
berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari
mendiang suhunya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga
jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le
Tojin. "Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan
ilmu silat iblis ini?" bentak Tek Le Tojin!
"Suheng yang mulai lebih dulu!" bantah Sun Hauw. "Mengapa Suheng mempergunakan
hawa pukulan yang panas itu" Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak terdapat
pukulan macam itu!"
"Begitu" Baik, kautahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!"
Setelah membentak begini, Tek Le Tojin lalu memukul dengan penggunaan tenaga
sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus mempergunakan kelincahan untuk
mengelak. Kemudian dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, ia membalas
dengan serangan-serangannya yang tidak dikenal gerakannya oleh Tek Le Tojin
sehingga tosu ini menjadi kelabakan. Dalam marahnya, ketika kedua tangan Sun
Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin lalu
menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.
"Plak!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan Sun Hauw tidak kuasa menarik
kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua
tangannya, namun sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-
akan menyedot tangannya membuat kedua tangan Sun Hauw menjadi menempel dan
perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan
suhengnya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya! Ia makin terkejut
dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi Ang I Nio Cu > karya Kho
Ping Hoo > published by buyankaba.com
207 maklumlah pemuda ini bahwa suhengnya sedang menyerangnya dengan tenaga lwee-kang
yang tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini kalau sampai melukai
jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk
melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lwee-kangnya
untuk melawan serangan ini. Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lwee-kang dari
mendiang suhunya dan biarpun tingkatnya masih kalah banyak dalam hal tenaga
lwee-kang oleh suhengnya ini, akan tetapi setidaknya tenaganya dapat menolak
kembali serangan itu dan dapat ia mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia
hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi
serangannya yang keji.
Akan tetapi harapannya ternyata kosong belakang. Tek Le Tojin tidak mengurangi
serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda
itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam mengadu tenaga lwee-kang itu, ia
masih membuka mulut menyindir,
"Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai" Benar-benar
mengecewakan dan memalukan sekali!" Diperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun
Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!
"Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!" Tiba-tiba terdengar suara
menggeledek dan Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika
itu juga, tenaga yang dahsyat melalui sepasang lengannya menyerang Tek Le Tojin
sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tempelannya
lenyap tenaganya. Sun Hau, mempergunakan tangan sambil melompat ke belakang. Ia
terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kaial saja tidak ada Kiang
Liat yang cepat menahan punggungnya.
Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbuka lebar dan mulut
tersenyum masam.
"Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!" Memang, yang
membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak
tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suhengnya sendiri. Ia
merasa penasaran, dan biarpun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara
dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi ia tidak bisa membiarkan pemuda itu
terbunuh begitu saja.
Setelah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu
lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat.
"Sungguh berbahaya..." Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, "Baiknya
ada Kiang-lo-enghiong yang menolongku, kalau tidak, entah bagaimana jadinya
dengan nasibku.
Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong."
"Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang
jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih
Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin lebih berbakat


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menjadi seorang ahli silat tinggi."
Karena baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya dan
tekanan Tek Le Tojin sudah menyerang hebat, maka ia perlu beristirahat untuk
memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan
sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda
ini, sebaliknya Liem Sur Hauw makin menghormat karena kini ia baru ia tahu betul
bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
"Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang
kepadaku karena aku murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,"
Sun Hauw bercerita,
"Dahulu Suhuku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh
Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan
jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya melebihi
pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhuku tidak
menyetujui peraturan-peraturan ini dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
208 setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya.
Pendeknya ia hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan
partai dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang
penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai yang amat kukuh sehingga mulailah
terjadi bentrokan paham antara Suhu dan Susiok.
Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu hendak
memperkembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai
tidak hanya dimiliki oleh para pendeta saja, akan tetapi dapat dipergunakan oleh
orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras
oleh Susiok yang mengkhawatirkan kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan
terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama
baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam
kuil." Kiang Liat mengangguk-angguk. "Dua macam pendirian, namun keduanya memiliki
kebenaran masing-masing. Suhumu benar karena apakah artinya para guru besar Go-
bi-pai dahulu susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan
di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia" Sebaliknya,
susiokmu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali
terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan
tengah, misalnya, biarpun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan
pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san."
"Sayang dahulu tidak ada Lo-enghio yang memberi nasihat kepada Suhu dan Susiok.
Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat
sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya
kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa
orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya
yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku."
"Di manakah kampungmu?"
"Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho.
Suhu tinggal di sana sampai tujuh tahun. Aku muridnya tunggal dan terakhir.
Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah
yang sudah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima
tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan
berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok
serta memberi tahu tentang kematian Suhu."
Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apalagi ketika
mendengar keadaan pemuda ini yang tidak mempunyai ibu lagi. Diam-diam ia
membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya. Timbul rasa sayang
dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk
mengambil Sun Hauw sebagai mantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok.
Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa kagum sekali kepada Kiang Liat, juga ingin
mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.
"Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-
enghiong yang lihai ini murid siapakah?"
Kiang Liat tersenyum. "Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu,
juga aku pemah menjadi murid Suhu Han Le, juga pernah menerima pelajaran dari
pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng dan Supek Bu Pun Su pemah pula memberi
pelajaran kepadaku."
"Aduh, pantas saja Lo-enghiong begini lihai..." Sun Hauw berseru kagum dan
menjura memberi hormat. "Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang
hormat." "Hushh, mengapa banyak sungkan-sungkan" Apa sih artinya kepandaian" Betapapun
tinggi Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapapun
pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai daripadanya. Kita sudah menjadi
sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?"
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
209 "Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong kepadaku yang muda dan bodoh. Di
manakah Lo-enghiong tinggal" Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang
berkunjung."
"Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri
tunggalku, ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali..."
Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan
isterinya yang tercinta.
"Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong..." cepat-
cepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat.
Pendekar ini membuka kedua mata, bibimya memaksa tersenyum akan tetapi kedua
matanya basah. "'Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu."
"Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan
menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak
mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!"
"Baiklah Sun Hauw, kau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja
hidupmu bahagia, jangan seperti aku..."
Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihan, Sun Hauw yang
pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa
orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan. "Loenghiong, kau begini gagah
perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?"
Maksud Sun Hauw berhasil. Kini setelah teringat akan puterinya, berserilah lagi
wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan hanya dapat membikin
Kiang Liat untuk sementara melupakan isterinya yang sudah meninggal, bahkan
pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda
yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.
"Kaumaksudkan puteriku Im Giok" Ha, ha, orang sudah memberi julukan padanya Ang
I Niocu! Salahnya sendiri, dia sejak kecil suka memakai pakaian serba merah sih.
Kepandaiannya" Ah, dia memang beruntung, Supek Bu Pun Su sendiri berkenan
memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya
pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi daripada tingkat
kepandaianku!"
Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini
hebat, dan sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang
bemama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi"
"Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga
gagah perkasa. Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum," kata Sun Hauw.
"Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?"
Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya,
kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala.
"Belum Lo-enghiong." "Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah
sepatutnya kalau sudah mempunyai jodoh."
"Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana
berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?"
Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat.
"Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah
harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi ucapanmu itu
tidak betul. Bukan kemiskinan yang mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan,
melainkan ketidakrukunan atau ketidakcocokan keadaan dan watak. Sudah lama
sekali aku mencari-cari calon jodoh puteraku, akan tetapi karena aku takut
kalau-kalau wataknya tidak cocok, maka sampai sekarang aku masih belum menemukan
orangnya. Anakku memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu ia
mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
210 Selain ini, tentang muka, hmmm... bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang
ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka
bicara terus terang.
Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut
menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-
sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu
baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas
sekali menjadi calon jodoh puteriku."
Mendengar kata-kata ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya
menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tidak
berani langsung menatap wajah Kiang Liat.
"Bagaimana, anak muda" Bersediakah kau menjadi calon suami puteriku?" Didesak
begini, Sun Hauw tak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya
dapat juga ia menjawab,
"Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tak tahu
bagaimana harus menjawab. Kiranya perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku
dari Bu-tong-san aku akan singgah di Sian-koan dan memberi jawaban keputusan."
Kiang Liat mengangguk-angguk gembira. "Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada
kesanggupan darimu, hatiku sudah puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan
hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu
keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas
mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha, ha, ha!
Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani
bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau takkan dapat tidur
nyenyak lagi. Ha, ha, ha!"
"Aku yang bodoh menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari
Loenghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak
tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di
kandung badan, aku takkan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke
Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku."
Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun
Hauw. Ia menuju pulang ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan
perjalanannya ke Bu-tong-san.
*** Giok-gan Niocu Song Kim Lian semenjak kecilnya memang sudah memiliki sifat-sifat
kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat
cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh
bayangan pemuda-pemuda tampan.
Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoinya, ia masih tak dapat berbuat
sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im
Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoinya pergi dalam waktu berbareng,
yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat
oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina
liar tidak dipasangi kendali lagi! Ia bersuka-suka dan bermain-main dengan para
pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang
cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian bersama serombongan pemuda tampan
yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya
yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa kecuali mengatur pakaian dan merawat muka
seperti perempuan, pergi berpesiar sambil bergurau gembira. Penduduk-penduduk
tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi
siapakah berani menegur Giok-gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki
kepandaian tinggi juga menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di
Sian-koan"
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
211 Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik
oleh Kim Lian dan karenanya membuat ia menjadi makin berani dan binal. Gadis
yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi
demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda
pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan
bergembira! Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada
yang berani menegur, bahkan mereka ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati
hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah ketika dengan pakaian yang
ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan, Kim Lian keluar dan bermain
silat pedang di tengah-tengah taman. Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya
yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya,
akan tetapi terutama sekali memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya
kepada belasan pasang mata yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di
antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!
Tepuk tangan riuh-rendah dan sorak-sorai gembira setiap kali terdengar menyambut
setiap jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tidak mau
bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-
lambatan agar setiap gerakannya dapat
"dinikmati" oleh pandang mata kawan-kawannya.
Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang
sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis dan mata jeli,
melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat
oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih.
Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.
"Suci...!!" Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di
situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ berdiri seorang gadis
berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda
itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani
menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian.
Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.
"Pergi kalian orang-orang tak beradab!" bentak Im Giok sambil menghunus pedang
menggertak rombongan pemuda itu.
Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki
menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja
mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki
belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-
masing. "Sumoi... kau sudah datang" Ah, mereka itu... eh, aku... aku kesepian setelah
kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta..."
"Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu" Suci, kau benar-benar
keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan
terjerumus..."
"Mereka... mereka itu mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi
kepribadianku dan, aku... aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu,
Sumoi" Kim Lian mencoba membantah.
Im Giok menghela napas, kehabisan akal. Memang ia sudah tahu akan sifat kakak
seperguruannya ini yang agak "mata keranjang".
"Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini.
Kalau Ayah yang datang tidak saja kau mendapat marah besar, mungkin mereka itu
akan ditampar seorang demi seorang."
"Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali
tampar menjadi bengkak seperti semangka," kata Kim Lian genit. "Sebetulnya aku
pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi dimanakah
mencari pemuda Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
212 gagah seperti Suhu di waktu muda" Karena tidak ada yang demikian, mereka itu
untuk kawan pun... bolehlah..."
"Cukup! Suci, mengapa bicaramu seperti itu" Sudah, aku tidak sudi mendengar
lagi. Lekas kau berganti pakalan yahg pantas dan membantu aku melayani tamu yang
kini sudah duduk di ruang tamu."
"Siapa?" tanya Kim Lian terheran.
Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga
warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.
"Dia adalah Gan-siucai."
"Ooo, diakah" Yang kauantarkan ke Tiang-hai" Yang dulu kita tolong dari tangan
perampok?"


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Im Giok mengangguk. "Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan
Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekas
kau berganti pakaian."
"Apa Suhu belum pulang juga?" tanya Kim Lian.
"Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang, aku baru saja
datang, mana aku bisa tahu?" jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat
kelakuan sucinya yang ditinggal seorang diri di rumah. Ia akan perlahan-lahan
membicarakan tentang sikap sucinya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan
saja, bisa berbahaya nasib hidup sucinya ini.
Setelah Kim Lian muncul lagi, Im Giok makin mendongkol saja. Sucinya benar-benar
terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, sucinya telah berganti pakaian indah dan baru,
mukanya dibedaki tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan
genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri
dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,
"Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih
ingat kepadaku?"
Tiauw Ki tersenyum "Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap
yang pernah menolong nyawaku!"
Kim Lian mengeluarkan suara ketawa, "Ah, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau
yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang masih berterima kasih
kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan
Susiok-cow Bu Pun Su.
Budimu itu yang demikian besarnya, sampai mati pun aku Song Kim Lian takkan
dapat melupakannya!" Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya
menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat
indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan
matanya maka ia diberi julukan Giok-gan Niocu (Nona bermata Kemala).
Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak
enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan.
Kemudian ia berkata kepada Im Giok,
"Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dulu dan aku akan
menanti kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja ia akan datang tak
lama lagi."
Im Giok juga mendongkol melihat sikap sucinya, maka memang lebih baik kalau
kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,
"Baikiah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota adalah rumah
penginapan terbesar dan baik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah
pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu."
Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda
itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
213 "Eh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!" Wajah Im Giok
menjadi merah sekali.
"Jangan main-main, Suci. Betapapun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan."
"Aha, jadi benar ada apa-apanya" Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu,
aku dapat menduga... hi-hi-hi-hi...!"
"Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau tahu" Apa yang kaubayangkan dan
kauduga?" "Ah, begitu mesra, adduuuhhh..." Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan
di kanan kiri pipinya.
"Suci, jangan bikin aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan
perempuan macam itu. Apa yang kauduga?"
"Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang
cantik?" "Kau menyangka keliru!"
"Yang betul bagaimanakah?" Kim Lian memancing.
"Takkan kuceritakan padamu!" Im Giok berpura-pura marah.
"Ah, begitu" Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan.
Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan
dugaanku sendiri" Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya..." kembali Kim Lian
menggoda. "Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah
untuk... meminangku. Ini sungguh-sungguh bukan main-main!"
"Aaaahh... begitukah?" Kim Lian memeluk sumoinya. "Adikku yang manis, kau harus
menceritakan pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan
begitu mudah menjatuhkan pilihan?"
Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini bicara kasak-
kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.
"Dia seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya
yang besar kepada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan
keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua
sebaik dia."
Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.
"Eh, Suci, mengapa kau menangis?" tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak
sucinya. "Adikku... aku girang sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-
gesa" Kalau kau...
menikah dan pergi, bagaimana dengan diriku" Sumoinya sudah menikah dan sucinya
belum, apa akan kata orang...?"
Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis.
"Suci, apa salahnya hal itu" Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita
hanyalah sumoi dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dulu keluar pintu
tidak merupakan halangan apa-apa." Ia menghibur dan diam-diam di dalam hatinya
berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan
menerima pinangan Tiauw Ki.
Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira,
bahkan setiap hari ia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang
diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam ia mengikuti sucinya, akan
tetapi temyata setelah Im Giok pulang, Kim Lian tidak berani main gila lagi dan
kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota dan kembali lagi, hanya
untuk memuaskan keinginannya dan ketenangannya menunggang kuda. Akan tetapi
diam-diam Im Giok mengerti bahwa sucinya itu tidak senang hati, mungkin sekali
iri hati karena hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia
lakukan. Setiap hari Im Giok menyuruh seorang pelayan pergi ke rumah penginapan Liok-nam,
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
214 mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan
saja, sebenamya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu
baik-baik saja, dan terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah
penginapan Liok-nam!
Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah.
Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan
agaknya bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama
sucinya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan
dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya
dan bertanya, "Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku
she Gan itu?" Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan
kemarahannya. Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam
menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya,
"Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku dan aku menceritakan kabar girang itu
kepada Suhu tadi..."
"Kabar girang...?" Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri
dengan Im Giok!" kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini Kim Lian
membungkuk dan berkata,
"Baiklah, Suhu." Kemudian ia keluar dari kamar itu dan dari pinggir Im Giok
dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir sucinya.
Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah
dia, suaranya kini agak sabar,
"Coba kauberi penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul
adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang kini
datang untuk melamarmu?"
Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk
dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya dan
berkatalah ia dengan suara tenang,
"Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang
lebar." "Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada
hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual
tampang itu?"
Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya juga suka marah-
marah seperti itu, akan tetapi belum pemah terhadap dia ayahnya marah-marah
tanpa alasan. Sebaliknya dia sejak kecil dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan setelah kembali
bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak
berani membantah ayahnya.
"Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah
kaulihat dan kenal?" kini gadis itu membantah marah. Biasanya kalau sudah
melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi dan
dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan
wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya kalau Im Giok
sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak
gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,
"Tak usah dilihat, tak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak
ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan
kau dekat-dekat dengan dia!"
"Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi
tugas oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!"
Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu
datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas mengawal utusan Kaisar
ke Tiang-hai"
Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?"
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
215 "Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?" ia berkata kepada Im Giok,
agak tak percaya.
"Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sebetulnya di antara
para penggerak pensil juga tidak kurang terdapat orang-orang berjiwa kesatria
dan bersemangat api! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar biarpun dia memang
tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah." Melihat
ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika ia
mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Dituturkan semua
pengalamannya itu dengan singkat dan terutama sekali ia menonjolkan sikap
kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya.
Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggeleng kepala,
bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai. "Kalau
dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin
kau sampai dihina orang, tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan
sekarang dia datang hendak
melamarmu?"
Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. "Demikianlah kehendaknya."
"Tidak bisa! Kausuruh saja pelayan memberi tahu dia bahwa dia boleh lekas-lekas
pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!"
Im Giok mendengar kata-kata ini menjadi pucat. "Ayaaaahhh...!" serunya, setengah
marah setengah terkejut.
Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon
suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai
dari Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian
tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia
patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah
terkena angin sedikit saja jatuh sakit" Tidak...!"
Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-
kata ayahnya. "Tidak...!" katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan
saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan
kakinya melesak ke dalam. "Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan
dia!" "Im Giok...!"
"Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat
bersama Gan-siucai!" Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok
lari memasuki kamarnya di mana ia membanting tubuhnya di atas pembaringan,
menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.
Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya
memandang ke arah pintu kamar anaknya tak berkedip. Kata-kata lari minggat
meninggalkannya amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main.
Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi
meninggalkannya.
Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu
dan hampir saja ia terguling kalau tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri
berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya.
Pikirannya tidak karuan rasanya, matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa
segala sesuatu terputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras amat nyeri dan
telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak
dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,
"Jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!"
Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam
sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa
artinya sikap Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
216 ayahnya seperti ini, akan tetapi akhimya ia mengerti.
Selama ini ayahnya memang bersikap aneh dan kadang-kadang mendekati sikap gila,
menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggii-
manggil nama ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini karena dia
hendak meninggalkan ayahnya!
"Ayaah..." Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya "Ayaah, tidak... aku
tidak akan meninggalkanmu, Ayah..."
Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia membuka matanya.
Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang merasa takut
kalau-kalau mustikanya dirampas orang.
"Im Giok, anakku sayang benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku..." tanyanya
dengan suara berbisik.
Im Giok terisak menahan tangisnya. "Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa
aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu..."
Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya berdiri. Dipandangnya
wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.
"Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau
kepada orang yang tidak pantas menjadi suamimu..."
"Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah," kata Im Giok manja.
Kiang Liat tersenyum pahit. "Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?"
Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat
menarik napas panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,
"Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah,
akan kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu..." Ia lalu keluar dari kamar
meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya. Diam-diam gadis
ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa
kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga
menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya.
Sekarang ayahnya masih belum tenang, maka Im Giok tidak berani memberi kabar
kepada Tiauw Ki, karena ia pikir betum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk
menemui ayahnya.
Malam itu Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya dan hati Im Giok


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi lega. Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, "Im Giok,
aku hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam."
"Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?" tanya Im Giok.
"Tak usah. Kalau ia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin
mengecewakan hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan."
Kalau menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok ikut pergi dengan
ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau ia
ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa ia menanti di
rumah dengan hati berdebar dan ia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena
kalau ada sucinya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan
berdebarnya hatinya.
Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada
di ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tidak bisa tidur nyenyak.
Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya. Dengkurnya
bukan dengkur sewajarnya dan dahulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya dan
pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam ia mendengkur
seperti itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya
yang lama kambuh pula. Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah
berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung
sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak
mencocoki hatinya.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
217 "Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!"
Pikiran inilah yang semalam tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan
cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi
salam di sepanjang jalan.
Setelah tiba di penginapan Liok-nam Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan.
Kiang Liat sudah terlalu amat terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu
mengenalnya. Dengan ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan
menjura, "Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Tai-hiap sudah mengunjungi penginapan
kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang dapat kami lakukan
untuk Taihiap?"
"Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?"
Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya selaku
orang mengumpulkan ingatan. Kemudian ia menurunkan telunjuknya dan tersenyum
lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.
"Ah, ada... ada... Tai-hiap. Tentu yang kaumaksudkan Gan-siucai yang muda dan
tampan wajahnya."
"Ya, lekas kaupanggil dia keluar menemuiku."
"Baik, silakan Tai-hiap menanti di kamar tamu," kata pelayan itu sambil
mempersilakan pendekar itu duduk di ruangan depan. Kiang Liat mengambil tempat
duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi
ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya"
Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka,
pelayan itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat,
"Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberitahu bahwa Kongcu adalah sahabat
baik atau sanak dari Kiang-taihiap" Kalau kami tahu tentu kami akan memberi
kamar yang lebih baik. Harap Kongcu maafkan apabila selama ini kami melakukan
kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira
bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap."
"Eh, Lopek. Apakah kau pagi-pagi buta mengetuk pintu kamarku hanya untuk
menyatakan ini saja?" Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-
katanya saja sudah menunjukkan jelas bahwa pelayan ini bukan orang yang berwatak
baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan.
"Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu kalau tidak ada peristiwa
amat penting?" Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut
tertawa. "Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung."
"Siapa dia?" Tiauw Ki bertanya penuh gairah karena memang sudah lama ia
mengharapkan kedatangan pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah
gadis itu sudah pulang.
"Masa Kongcu tidak bisa menduga siapa?" tanya pelayan itu dengan sikap mengajak
berkelakar untuk menyenangkan hati tamunya.
"Dari keluarga Kiang?" tanya Tiauw Ki tak sabar lagi. Pelayan itu tertawa dan
mengeluarkan jempolnya. "Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!"
"Suruh dia lekas ke sini!" seru Tiauw Ki.
Pelayan itu melenggong. "Suruh ke sini" Dia..."
Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat
bertanya, "Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?"
"Ah, bukan... bukan...! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta supaya
Kongcu keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!"
Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat
ayah Im Giok sendiri datang mengunjunginya" Benar-benar ia hampir tak dapat
mempercayai kata-kata pelayan ini.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
218 "Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah
kepadaku apabila Kongcu terlambat," kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke
depan. Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Ia sudah sejak
tadi bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak
mempunyai maksud pergi ke mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam
pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu. Maka cepat-cepat ia berganti pakaian
Gundik Sakti 2 Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas Perintah Maut 1
^