Pendekar Wanita Baju Merah 9
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
yang paling baru dan menyisir rambutnya.
Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya
berdebar ketika ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap
dan berwajah keren duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.
Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,
"Mohon dimaafkan banyak-banyak bahwa boanpwe telah membuat Tai-hiap menanti
sampai lama."
Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan
kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan
menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya
sendiri. Akan tetapi setelah ia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah.
Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi
hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu
mempermainkan isterinya dan yang telah dibunuhnya!
Baik wajah maupun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya
sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.
"Kau... Cia Sun..." tak terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya
berdebar dan jantungnya terasa sakit.
Tiauw Ki memandang heran. "Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki..."
"Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?"
"Betul, Tai-hiap"
"Dan kau... kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?" Suara
Kiang Liat setengah berbisik dan sepasang matanya memandang dengan cara yang
menakutkan sekali.
Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian ia dapat menetapkan
hatinya dan berkata dengan suara tegas,
"Kalau Tai-hiap tidak menolak, memang boanpwe mohon persetujuan Tai-hiap untuk
meminang tangan Adik Kiang Im Giok..."
"Kau..." Kau Cia Sun jahanam keparat telah menjelma pula di dunia ini untuk
mengganggu kepadaku" Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya
hidupku" Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?" Sambil berkata demikian,
Kiang Liat berjalan maju menghampiri Tiauw Ki perlahan-lahan, sikapnya mengancam
dan menyeramkan.
Tiauw Ki melangkah mundur, "Kiang-taihiap, apa artinya kata-katamu itu" Boanpwe
adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun..."
"Jahanam! Biarpun kau memakai nama siapapun juga, aku selamanya akan mengenal
macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, aku Kiang Liat akan
tetap mengenalmu dan membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk
maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukut dada dan kepala Tiauw
Ki. Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah.
Seorang jagoan sekalipun belum tentu akan dapat menghindarkan diri dari serangan
Kiang Liat itu, apalagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki. Ia tak berdaya
sama sekali dan sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat
mengeluarkan keluhan lemah dan tubuhnya terlempar ke belakang, menumbuk dinding
dan roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang berbareng dengan keluhannya
tadi! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 "Ha, ha, ha, anjing Cia Sun! Anjing macam engkau ini hendak melamar puteriku"
Ha, ha, ha!" Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan
pulang. Para pelayan kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja
ruangan tamu itu telah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan
yang rebah tak bernyawa di atas lantai.
Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi
jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok-gan Niocu Song Kim
Lian. Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian ia cepat
berlari-lari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung ia berlari memasuki kamar
Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.
"Su-moi, celaka besar...!" Kim Lian memeluk adik seperguruannya dan menangis
terisak-isak. Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, akan tetapi akhir-akhir
ini setelah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang
gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan sucinya itu, maka tanyanya tak
sabar lagi, "Suci, apakah yang terjadi?"
Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga Im Giok hilang sabar.
Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.
"Apa yang terjadi?"
"Celaka... Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu..."
"Apa" Gan-siucai mengapa" Bagaimana Ayah...?" Im Giok mendesak, wajahnya pucat,
jantungnya berdebar keras.
"Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan..."
Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat didekapnya mulutnya
sendiri, lalu bagaikan kilat ia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju
ke rumah penginapan Liok-nam.
Ruangan depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan Liok-nam masih dikerumuni
orang ketika Im Giok tiba di situ.
"Minggir...!" Serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang
laki-laki terpelanting ke kanan kiri. Im Giok terus menerjang masuk dan ia
berdiri terpaku di atas lantai ketika ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak
miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri,
berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya telah tewas, kepalanya
retak dan tulang dadanya patah-patah.
"Gan-ko..." Bisiknya. Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena
pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Kalau tidak kuat-kuat ia menahan
tentu Im Giok sudah roboh pingsan! Sampai lama ia berlutut sambil memejamkan
mata, kemudian setelah kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia membuka
matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui
pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat
sekelebatan, dengan air mata di atas pipi, mayat pemuda itu seperti ikut
menangis. "Koko..." kembali Im Giok berbisik. Makin deras turunnya air matanya ketika ia
teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya, dan kini dalam
menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.
"Ayah...!" Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya. Tubuhnya
berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh ketika gadis itu
mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa
mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata
terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya.
Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu,
berdiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 di situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke
dalam. Ia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya dan memegang pedang
terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja!
"Ayah...!" Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.
Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama
tajam, sama berapi-api pandangannya.
Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama
makin melambat.
"Kau mau apa?"" akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah
digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan.
"Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?" Suara Im Giok nyaring tinggi dan
tergetar. Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba ia bangkit
berdiri, membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah
dan roboh menimbulkan suara berisik.
"Ha, ha, ha, ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha, ha, betapa mudahnya,
sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!"
"Ayaahhh...!" Im Giok tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya
digerakkan dan tahu-tahu pedangnya telah ia cabut dan tangan yang memegang
pedang menggigil. "Kau... kau pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak
berdosa. Kau manusia tidak tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat
melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!"
Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri.
Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut
pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya
menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang
berputaran amat mengerikan.
Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak.
"Ha, ha, ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku" Ha, ha,
ha, menjadi tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Ha,
dia patut mampus, anjing Cia Sun harus mampus biarpun beberapa ratus kali dia
menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa..."
"Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!"
Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Dalam pandangan matanya,
yang berdiri di depannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang
berani menentangnya.
"Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw" Ha, ha, ha, bocah lancang, kaulah yang
akan mampus lebih dulu!" Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya
sendiri. Im Giok pada saat itu juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak
ingat apa-apa lagi, tahunya hanya marah dan duka teraduk menjadi satu dalam
hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan
seluruh tenaganya. Maka terjadilah pertempuran yang hebat di dalam kamar itu
antara ayah dan anak gadisnya sendiri!
Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat
sehingga ia bahkan melampaui ayahnya. Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang
diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat
hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani ia melatih diri dengan
ilmu itu. Maka tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat
tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya tahu "kulitnya" belaka.
Maka makin lama pedang Im Giok mendesak makin hebat, gulungan sinar pedangnya
makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, "Im Giok!"
Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar
pekik ini dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.
"Im Giok...!" Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara
jeritan lagi, dan kali ini ia menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran
dengan nekad. Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia
karena ia terpental ke belakang.
"Im Giok... Sumoi... apakah kau sudah gila melawan ayahmu sendiri...?" Kim Lian
menegur dengan suara nyaring.
Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang
tadinya sudah saling menempel. Apalagi seruan ini membuat Im Giok sadar dari
keadaannya seperti kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan
kemarahan dan nafsu membunuhnya. Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda
dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya menengadah ke atas dan tangan kanan
memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk.
Adapun Kiang Liat juga berdiri memasang kuda-kuda seperti patung, tangan kiri
menempel di dada kiri dan tangan kanan memegang pedang melintang di dada.
Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis.
"Sumoi, kau gila! Bagaimana kau menyerang ayahmu sendiri" Lepaskan pedangmu!"
teriak Kim Lian, akan tetapi Im Giok seperti dalam mimpi, tidak mau melepaskan
pedang dan memandang ke depan dengan mata terbelalak marah.
"Sumoi, lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus
membantu Suhu!" teriak pula Kim Lian dengan suara keras sambil melangkah maju
dengan pedang di tangan. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah kalau
dibandingkan dengan sumoinya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus
berani membantu suhunya.
Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata,
"Kau membandel" Baik, lihat serangan pedangku!"
"Traangg...!" Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu
berseru kaget. "Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!" Kiang Liat membentak setelah menangkis
pedang muridnya sehingga terlepas. Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian
terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu.
Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat telah sadar kembali
dari keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa, bahkan nampak ia berduka
bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah dengan air mata, bibirnya
bergerak gemetar seperti menahan isak tangis. Melihat ini, Im Giok tiba-tiba
sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan
terkejut sekali mengapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat
ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tidak berani
memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, air
matanya bercucuran bagaikan hujan.
"Ayah... aku berdosa... kaubunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk
dadaku... biar aku ikut kekasihku." Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan
di atas lantai, lalu ia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk
ditusuk pedang.
"Gan-koko... kautunggulah aku..." bisiknya sayu.
Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba. Bahkan terdengar
keluhan panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat
di atas lantai. Im Giok membuka matanya dan... ayahnya telah menggeletak, dan dari
mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.
"Ayaaaahhh...!" jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya. Diangkat
kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah
yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai pakaiannya. Diraba-rabanya jidat
ayahnya kemudian dadanya...
"Ayaaaahhh...!" Dunia serasa gelap kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok
roboh pingsan di dekat ayahnya yang ternyata telah putus nyawanya. Karena
tekanan batin yang luar Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 222 biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya telah menderita sakit
jantung, tak kuat menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia di saat itu
juga. Kim Lian datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya
keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.
"Suhuuu...!" Kim Lian benar-benar berduka kali ini. Di dalam hatinya ia memang
memuja suhunya dan menganggap suhunya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan
lebih dari itu, dahulu pernah ia mengagumi suhunya dan "ada hati" kepadanya.
Sekarang melihat keadaan suhunya yang meninggal dunia secara demikian
menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur"
Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan datang bertangisan pula, Kim
Lian lalu menubruk dan memeluki sumoinya. Ia amat sayang kepada Im Giok yang
semenjak kecil menjadi saudara seperguruan, kawan bermain-main dan dianggap
sebagai adik kandungnya sendiri. Kini ia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak
berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian
memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah
sempoyongan. Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan
Kim Lian di atas pembaringang, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan
cepat ia bangkit duduk dan bertanya,
"Ayah..." Bagaimana...?"
Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk
pundak Im Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat
turun dari atas pembaringan.
"Ayaaaahhh!"
Akan tetapi Kim Lian cepat memeluknya dan sambil menciuminya berkata, "Adikku...
adikku sayang... tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah... meninggalkan kita dan sekarang
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu..."
Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk
kalap terhadap desakan hati, maka ia lalu mengatur napasnya dan kedua orang
gadis dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa diam tak bergerak.
Akhirnya Im Giok berkata lemah,
"Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya..."
Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu
berjalan ke ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka
duduk berlutut memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air
mata menggelinding keluar. Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim
Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari
situ, biarpun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat.
Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang
bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya
tinggal Im Giok dan Kim Lian berdua! Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga
agar hio tidak padam, demikian pun api lilin, dan kemudian terdengar mereka
berbisik-bisik,
"Suci, sekarang aku tahu..."
Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya,
"Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya." Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat
ia mempergunakan saputangan untuk menyusut air matanya.
"Mengapa, Sumoi?"
"Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti
menjadi gila itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Karena
itu Ayah membenci para siucai dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai hampir
serupa dengan wajah Cia Sun." Im Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published
by buyankaba.com
223 Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena ia tidak tahu bagaimana harus menghibur
adik seperguruannya. Ia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan
hati sumoinya. "Aku berdosa besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan
sering kali dadanya terasa sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung
semenjak kehilangan ibu.
Dan tadi... ah..." Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri
membayangkan kejadian tadi pagi, "biarpun ayah meninggal karena penyakit itu,
akan tetapi sebenarnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan anakmu yang
berdosa, Ayah..." Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis
tersedu-sedu. Kim Lian memeluknya dan menariknya. "Sudahlah, Sumoi, segala kejadian sudah
ditentukan oleh Thian."
Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga untuk menenteramkan hatinya
yang berguncang keras.
"Aku berdosa kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-
koko... kasihan sekali Gan-koko yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam
keadaan penasaran. Ahhh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk
mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar
arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya..."
Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoinya untuk melakukan
permintaan sumoinya itu. Adapun Im Giok sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di
depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya
saja yang bergerak-gerak karena api lilin bergerak perlahan tertiup angin, yang
dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu.
*** Enam bulan telah lewat semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi Im Giok masih
saja berkabung, berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang
tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan
kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.
Kadang-kadang nampak ia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau
hanya duduk bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang
diberikan oleh Kim Lian sama sekali tidak ada artinya karena tidak pernah
diacuhkan. Selama enam bulan ini, Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan
tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-
awutan. Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Setelah lewat
tiga bulan, ia telah melepas pakaian berkabung dan kembali memakai pakaian yang
indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang
mengawasinya. Suhunya sudah meninggal dan Im Giok orang satu-satunya yang
disegani keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian
menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis
baik-baik. Pada suatu hari pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di
depan bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong dan tidak pernah
bergerak sehingga kelihatan dari jauh seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia
tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di
sekelilingnya. Gadis ini, tak dapat melupakan wajah kekasihnya dan wajah
ayahnya. Dua orang ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya
telah meninggalkannya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya,
"Im Giok, kau masih hidup mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka"
Kembalilah ke dunia!" Kalimat terakhir diucapkan sebagai perintah dan suaranya
mengandung tenaga dan pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan
disambar petir dan sadar seketika itu juga. Gadis ini terkejut dan menengok.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 "Susiok-couw...!" Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang
ternyata bukan lain adalah Bu Pun Su. Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil
menundukkan muka memandang kepada gadis yang bercucuran air mata di depannya
itu. Terdengar helahan napasnya sampai tiga kali.
"Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan
kekuasaan indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga,
akan tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib
tersendiri."
Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena
kakek sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok
adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan
yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi
dada. Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang ia hadapi selama enam
bulan ini dan berkali-kali ia menghela napas. Sebagaimana telah dituturkan di
bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah-belahan
di antara orang-orang gagah agar tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan
negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat
pergi ke Go-bi-pai, menemui Twi Mo Siansu.
Dia sendiri pergi ke Pulau Pek-le-tho untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh
pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun mau pergi
ke Kun-lun-pai.
Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia menemui kekecewaan luar
biasa di Pulau Pek-le-tho, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah
pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan
bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan
seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-tho! Kemudian dalam marahnya, Bu Pun
Su menghajar Han Le dan mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le
tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati mengkal
sekali Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san.
Akan tetapi, baru saja ia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, ia bertemu dengan
serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia terus saja mengepung dan
menyerangnya! Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian
lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.
"Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?" serunya akan tetapi ia
harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya
dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya. Para tosu Kun-lun-
pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tidak mau
memberi hati, tidak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan
serentak. Akan tetapi mereka kecele kalau mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang
akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja. Melihat betapa para tosu itu
tidak ada yang mau menjawabnya dan melanjutkan serangan-serangan mereka yang
dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu
silatnya yang aneh dan luar biasa.
Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung,
yang aneh sekali gerakannya dan tiap kali menyambar dan menyambut pedang atau
golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-
patah! Adapun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi lambat-
lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini
keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa
pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu
melompat mundur! Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia
persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu
silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak
Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in-hoat-sut
(Ilmu Sihir Awan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 Putih). Sekaligus dua tangan dapat mainkan dua macam ilmu silat yang amat
berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya
dapat melakukannya!
Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya Bu Pun Su sama sekali tidak melukai para
pengeroyoknya, kalaupun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak
berarti saja. Namun, tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau karena pedang dan golok
mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan ataupun dibikin
terpental entah ke mana.
Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit
berlari seorang kakek tua. Kakek ini seorang tosu yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti seorang tua
renta yang amat lemah. Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu,
orang akan terheran-heran karena biarpun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap
takkan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu
berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi dan jubahnya
berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.
"Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?" Kakek itu
menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-
cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.
Bu Pun Su tertawa bergelak,
"Ha, ha, ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku,
benarbenar lihai sekali matamu."
"Kaupun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su.
Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan
kepandaianmu di Kun-lun-san?"
"Ha, ha, ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang
Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam
bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suhengmu Seng Thian
Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain."
"Apa maksudmu?"
"Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah
menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang.
Eh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan
tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, dan masing-masing menghadiahi
sebatang golok atau pedang!
Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?"
Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga,
tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia diserang begitu hebat oleh begini banyak
tosu Kun-lun-pai, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Kalau dia tidak
pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah
hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya"
Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkatnya di depan
kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di
pandangan mata mereka. Diam-diam Bu Pun Su terkejut melihat ini dan tidak mau
main-main lagi melainkan mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan
diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.
"Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang penekar sakti
yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto kecewa. Tadi kau
menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang
lain, bukankan begitu?"
"Benar, Kheng Thian Siansu."
"Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-
lekas Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 mengakui dosa-dosamu?" Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum
ramah. "Eh, eh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup
siapakah yang tidak menumpuk dosa" Akan tetapi kalau dosaku tidak ada sangkut-
pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku
yang dulu-dulu dihadapanmu"
Memangnya siapakah kau ini" Wakil dari Giam-lo-ong?"
"Bu Pun Su, tak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau
telah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih bilang
tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?"
Bu Pun Su yang mempunyai kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat
tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan
kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-tho! Akan tetapi bagaimanakah
Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh
dia" Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapapun juga, Han Le ikut
bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia
mengalah dan berlaku sabar.
"Keng Thian Siansu, nanti dulu. Tentang kematian Cin Giok Sianjin aku dapat
memberi penjelasan. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu
begitu cepatnya" Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?"
"Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin
Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa." Bu
Pun Su menarik napas panjang. Ia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa
bekerja cepat. "Hemm, tentu siluman betina itu baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng
Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek
Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?" Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa
Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti
Iblis Betina. "Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia
bicara sambil menggoyang-goyang tubuh seperti pohon yang liu tertiup angin musim
chun, matanya mengerling-ngerling seperti bintang-bintang di langit dan bibirnya
tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya
penuh?" Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biarpun agak berlebih-
lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang
Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya
yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek
Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh
Bu Pun Su! "Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa
Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin
dan dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi" Dan pula, apa
perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong" Ditambah
lagi kedatanganmu di sini benar-benar kesemuanya menimbulkan kecurigaan kami.
Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-tho. Apakah
betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?"
"Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-tho terlambat," jawab Bu Pun
Su.
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.
"Siapa yang membunuhnya?" tanya Keng Thian Siansu.
"Ketika aku mendarat di Pek-le-tho, aku melihat tiga mayat orang yang setelah
kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin dan dua orang
tokoh Siauw-lim-pai.
Dan orang yang tinggal di Pulau Pek-le-tho itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat sendiri!"
Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh,
"Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi.
Orang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua
orang tokoh Siauw-lim-pai?"
"Memang ada yang membantu..." kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan
kekecewaan. "Siapa..." Keng Thian Siansu mendesak.
Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai
itu. "Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya
menyambut aku seperti ini saja" Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di
tempat panas ini" Ah, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang
merupakan tuan rumah yang tidak manis budi..."
Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata,
"Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa
akan tatasusila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-
lun-san!" Bu Pun Su balas menjura. "Terima kasih!" Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam
perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini semua tosu Kun-lun-pai meleletkan
lidah saking kagum menyaksikan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh
sedemikian hebatnya. Keng Thian Siansu berseru,
"Kau memang hebat Bu Pun Su." Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat
menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para
tosu yang saling pandang dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.
Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh
Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu
terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu
Pun Su. Mereka ini yang dua orang adalah murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang
seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun
Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-tho.
Ia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh
Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang
tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-
tho. "Hm, kalau begitu sutemu itu yang menjadi pembunuh!" kata Keng Thian Siansu.
"Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan
membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan
tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang telah datang ke sini dan menipu
kalian di sini.
Bukan aku membela suteku yang juga berdosa, akan tetapi harus diingat bahwa
suteku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh pandainya ia
bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa.
Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar
hebat: Kalau orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin
yang kuat sekali, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat
bahwa Han Le telah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh tiga orang itu di
Pulau Pek-le-tho dalam keadaan tidak sadar seperti dibawah pengaruh sihir dari
Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum suteku melarang dia keluar selamanya
dari Pulau Pek-le-tho. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat
baginya?" Kiang Thian Siansu dan anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala dan mereka
terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama
dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le takkan dapat
melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman
ini pada hakekatnya bahkan lebih berat daripada hukuman mati.
"Bu Pun Su, kami memang sudah mendengar penuturanmu dan kami percaya penuh
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal yang kaulah orangnya yang harus
membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Kalau memang betul dia itu yang
membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar telah datang ke sini untuk memburukkan
namamu, maka untuk bukti kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan
membunuh Pek Hoa Mo-li!"
Bu Pun Su nampak terkejut. "Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan
pantangan membunuh!"
"Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar
pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan barulah selamanya Kun-lun-pai percaya
kepadamu, Bu Pun Su."
Bu Pun Su tertawa bergelak, "Ha, ha, ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian
Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan
sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi
masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?"
Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, "Saudara dari Siauw-lim-si berlaku
sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?"
Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian
penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat
sesuatu, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa dan berkelebat bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu
dengan gerakan yang cepat, akan tetapi biarpun kedua kakinya tidak menimbulkan
suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang
merasa lantai tergetar hebat seakan-akan dijatuhi benda yang ribuan kati
beratnya! Semua orang memandang dan yang orang ini adalah seorang hwesio gundul yang
bertubuh tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pun mukanya licin limis
seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang amat
memburukkan rupanya adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya
sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang
murung dan duka. Usianya sebetulnya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi
oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.
Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran.
Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah ahli
silat dari Siauw-lim-pai akan tetapi siapakah dia ini" Bu Pun Su dan Keng Thian
Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian
persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini
belum pernah mereka kenal.
Kalau yang datang ini seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya,
tidak mengherankan apabila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi
melihat lwee-kang dan gin-kang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah
saja dilihat bahwa dia adalat seorang yang berkepandaian tinggi sekali, jadi
bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.
"Bu Pun Su," kata hwesio itu dengar muka tidak berubah akan tetapi suaranya
menggeledek dan menggetarkan anak telinga. "Biarpun kaum Kun-lun-pai berlaku
lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tidak nanti melepaskan kau begitu
saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai menerima hukuman atas
dosa-dosamu!"
Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat
panas hati Keng Thian Siansu dan tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka
anggap keterlaluan sekali. Apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu
Pun Su, mereka tidak ambil pusing, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali
tidak mempedulikan pihak tuan rumah, benar-benar sudah melanggar peraturan kang-
ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu lebih dulu dan tentu
telah mempergunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan
sampai di ruangan lian-buthia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran
pertama. Ke dua, hwesio ini sama sekali tidak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi
ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurangajaran yang
menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja,
bahkan, datang-datang hwesio hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi
tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tidak memandang
mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan
pelanggaran ke tiga.
Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di
situ, menjadi marah dan cepat ia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa
banyak peradatan lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu
sambil berkata,
"Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung
tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu betapa Siauw-lim-si
adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga
memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit!
Akan tetapi mengapa kau ini hwesio yang mengaku-aku dari Siauw-lim-si begini
tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?"
Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, kemudian
terdengar suaranya yang keras dan parau,
"Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?"
Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek,
"Hwesio, kelirunya denganmu ini saja membuktikan bahwa kau bukan seorang yang
banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal
hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau.
Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?"
"Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?" Setelah
berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan kagetlah Sun Giok Sianjin
karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin
sakit telinganya sampai hampir tak tertahankan lagi. Baiknya ia cepat-cepat
mengerahkan lwee-kangnya untuk menjaga keselamatan bagian halus dari telinganya
dari kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lwee-kang ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga
serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun
Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su telah mengerahkan tenaganya dan
dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara
ketawanya. "Pernah dahulu Suhuku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah
yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu
mencuri kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah itu
dapat mempelajari isi kitab tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya
ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selamanya tidak boleh
mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping
itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam gua di hutan. Sekarang
tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng
demikian tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?" Juga
Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget,
"Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng
Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya,
Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di
sebuah dusun tak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis
kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 Hwesio keparat ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini
tahulah Suheng bahwa hwesio itu memiliki sari kepandaian dari Siauw-lim-si.
Akhirnya, hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng dan sahabat-sahabatnya dan
biarpun tidak dapat dibinasakan, sudah diberi peringatan dengan terbabatnya
sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan
saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!"
Hwesio itu mukanya tidak berubah akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.
Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, "Aha, kiranya kaulah yang
telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!"
"Sun Giok Sianjin, awas!" teriak Bu Pun Su dan tosu ini cepat melompat ke
belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu
sudah menyerangnya dengan pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan
luar biasa sekali. Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang
berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin dan lebih
tinggi tingkatnya daripada kepandaian murid-murid Keng Thian Siansu.
Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.
Biarpun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lwee-kang dari Si
Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Cepat tangan kirinya bergerak dan
tahu-tahu ia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok di punggugnya. Sun
Giok Sianjin terkenal lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan
kirinya. Memang tosu ini adalah seorang kidal yakni seorang yang semenjak kecilnya lebih
trampil menggunakan tangan kiri daripada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam
hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah
kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran menghadapi
seorang yang mainkan senjata dengan tangan kiri.
Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka dari
hwesio telinga buntung ini. Biarpun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya
mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tidak
memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!
"Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu" Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng
Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh
tahun lagi baru menghadapi pinceng!" Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin
mendengar ejekan ini.
"Hwesio siluman lihat pedang!" Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar,
dengan gerak tipu Hek-in-koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan) gerakan ini
disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu-sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai). Akan
tetapi sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua
tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu
itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu,
lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.
Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan setelah semua serangannya dapat dielakkan
dan disampok oleh hawa pukulan ahli lwee-kang I-kin-keng ini, ia lalu berseru
keras dan tiba-tiba pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher
dari samping! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh
tenaga lwee-kangnya sehingga apabila hwesio itu berani menangkis, sungguhpun
tidak dapat ia menangkan tenaga lwee-kang hwesio itu, akan tetapi kecepatan
gerakan dan ketajaman pedang setidaknya tentu akan melukai tubuh lawannya!
Akan tetapi hwesio itu benar-benar lihai sekali. Sambil merendahkan tubuhnya
yang tinggi berat itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang menyambar lewat,
tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan
kosong macam Siok-lui-kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat,
akan tetapi bukan digerakkan untuk Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published
by buyankaba.com
231 menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Sungguh luar biasa sekali.
Biarpun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapapun Sun Giok Sianjin berusaha,
pedang itu tak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di
lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lwee-kang
dikerahkan dan "krakk!" pedang itu telah patah-patah empat potong di atas
lantai! Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin
terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak
lebih! Kong Mo Taisu tertawa bergelak sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita
luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh
jurus telah kalah oleh hwesio itu, benar-benar adalah hal yang amat
mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar
biasa lihainya.
Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biarpun tingkat
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada murid keponakannya itu, namun kalau
disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia
masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat
berat. Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin ia harus menjaga nama dan kehormatan
partai Kun-lun-pai. Apalagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-
pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit ia
bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.
"Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan
apakah?" Kong Mo Taisu memandang tajam. "Kau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari
Kun-lun-pai?"
"Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang
memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu" Pinto tidak bisa turun tangan
tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat." Keng Thian Siansu menyeringai.
"Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi" Kau tidak tahu malu, yang
sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang,
setelah Bu Pun Su datang kau karena takut kepadanya bahkan bersobat dengan dia,
kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng" Pertama-tama memang pinceng
hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar
memuaskan hatiku menebus hinaan waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak
menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!"
Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong
ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang
dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua
Siauw-lim-pai, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini
hwesio ini berkata benar. Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat
yang lebih tinggi tingkatnya daripada Hok Bin Taisu sendiri dan kalau menurut
keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih
menyebut susiok kepadanya. Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang sudah
berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya
yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya
menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat
dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru
Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang
murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.
Keng Thian Siansu mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan hendak
mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san, menjadi mendongkol
sekali. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan
puncak bukitnya, melainkan puncak kepandaiannya, yakni tentu saja kepandaian
Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat
itu. Kata-kata ini sama halnya dengan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
232 menantangnya, apalagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya
menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan hinaan potong telinga oleh
mendiang suhengnya, Seng Thian Siansu.
"Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suhengku membuntungi telinga
kirirnu. Kau mau membalas dendam dahulu" Baikiah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang
Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum sempurna, yaitu membuntungi
telinga keledaimu yang sebelah lagi!"
Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya
untuk bersombong dan menghina orang. Kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata
pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga
sengaja hendak memanaskan hati dan membuat hwesio itu marah, karena hanya kalau
hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan
menang. Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan
terhadap musuh berat pada tenaga lwee-kang, nafsu amarah adalah pantangan besar
karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah,
sukar sekali untuk mengumpulkan hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sin-kang
di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun
banyak berkurang.
Ejekan tentang telinga itu benar-benar tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat
hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil
berseru keras ia yang tadinya tidak mencabut senjatanya yang tadinya tidak
kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dibuat ikat pinggang.
Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan
tangan warnanya hitam.
"Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suhengmu!" bentaknya sambil mengirim
serangan. Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat
ke belakang, ujung rantai menghantam lantai dan debu berhamburan ke atas karena
lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan
serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.
"Traangg...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis
oleh tongkat di tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang
tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat
menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.
Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw dapat menyamai kepandaiannya, baik dalam
hal ilmu silat, tenaga lwee-kang, maupun gin-kang yang sudah mendekati puncak
kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini
maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo
Couwsu yang luar biasa hebatnya.
Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja ia tidak memiliki sin-kang
yang kuat tentu kulit dan daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai
itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang
mendatangkan hawa panas bagaikan api membara. Rantai itu sudah menyambar lagi,
kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu
melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, tahu-tahu rantai
itu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya!
Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan
perubahan gerakan rantai yang dari serangan kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi
serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.
Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu
tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun-kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar
mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh
bagian. Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga
tidak mau kalah, mengeluarkan seluruh Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
233 kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu mengandalkan
kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan
untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan
dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya
saja baru dia dapat menangkis serangan lawan yang tentu saja mempergunakan
sistim setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera
kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada di pihak penahan belaka, dan
hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.
Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan kini tempat itu telah terkurung
oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan siap sedia
menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena
sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi
bencana. Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa kalau sampai
Ketua Kun-lun-pai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu takkan dapat keluar dari
situ dalam keadaan selamat.
Biarpun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin
dia dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata
berkepandaian tinggi itu.
Mereka pun tidak akan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh
hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu
bukan sebagai seorang tamu terhormat, melainkan sebagai seorang pencuri yang
datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau tamu mereka itu terhormat dan
pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup
takkan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain
lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.
Adapun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya,
menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu,
akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu
dan empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian
Siansu seorang diri yang maju, dahulu juga Seng Thian Siansu pasti kalah
olehnya. Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai
belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna.
Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia telah salah duga. Kiranya, hanya dengan
tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja ia takkan dapat memenangkan musuh
kalau ilmu silatnya tidak mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan
tenaganya, ia dapat menangkan Keng Thian Siansu hanya saja dalam ilmu silat,
ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!
Aku harus menangkan dengan tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat
tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, ia tidak mengelak, bahkan sodokan
tongkat itu dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan dengan ujung rantai melibat
ujung tongkat. "Buk!" ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja
saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa-apa, dan
sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapapun Keng
Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka. Tiba-tiba terdengar
suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan datangnya kepalan
tangan kirinya yang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah
batok kepala tosu Kun-lun-pai!
Keng Thian Siansu tadinya telah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah
senjata merangkap lambang kekuasaannya sebagai ketua besar maka sudah tentu
kehilangan tongkat terampas lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa. Akan
tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia
mengangkat tangan kanannya, menggunakan gerak tipu Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman
Harimau) menyambut tangan kiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 234 hwesio itu sehingga di lain saat dua tangan itu jari-jarinya telah saling
cengkeram! Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lwee-kang. Sebelah tangan berebut
tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik dan sebelah lagi saling cengkeram.
Muka hwesio tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan
kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah
mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin
lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah
gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dari kepalanya sudah mengepul
uap, tanda pengerahan lwee-kang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.
Tenaga lwee-kang dari hwesio itu yang terdapat karena latihan I-kin-keng secara
mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih, maka setelah kini
pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan lwee-kang sudah dapat dipastikan
bahwa nyawa Ketua Kun-lunpai itu takkan tertolong lagi! Pertandingan lwee-kang
biarpun dilakukan tanpa mengeluarkan suara, tanpa bergerak namun bahayanya
melebihi silat.
Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan
kalau mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan.
Sebaliknya dalam pertandingan lwee-kang, orang bertanding mengandalkan tenaga di
dalam tubuh, hawa kekuatan yang
"tidak kelihatan" namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan
dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita
luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.
Bu Pun Su maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan
tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau
memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan biarpun
tongkatnya lenyap, berarti ia akan selamat nyawanya. Akan tetapi ketua itu tidak
mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia yang kagum kepada Keng
Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar
daripada nyawanya! Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya
makin keras dan tiba-tiba kakek sakti ini meludah.
Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan
tenaga lwee-kang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu. Kong Mo Taisu terkejut
setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan
mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis
tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!
"Ayaaaa..." Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali
rantainya dah melompat ke belakang. Dengan demikian maka Keng Thian Siansu
selamat dari bahaya maut.
Tosu tua ini terhuyung-huyung dan cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu
duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah mempergunakan
lwee-kang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat
ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan
nyawanya. Kini Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak
terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.
"Bu Pun Su, kau memang pengecut dan tak tahu malu!" Ia memaki dan bibirnya
bergerak-gerak akan tetapi tidak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia
sampai sukar mengeluarkan kata-kata! Bu Pun Su tersenyum mengejek,
"Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya
terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus dan dipergunakan untuk perbuatan
sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang
tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi
kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu,
berubah menjadi ilmu hitam yang keji!"
"Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang
maling hina. Kau sendiri seorang keji yang sudah membunuh dua orang cucu muridku
dan sekarang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku" Kau
tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng
bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap"
Apakah itu perbuatan laki-laki?"
Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini. "Terhadap lain orang gagah di dunia
kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya
memang harus diadakan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan
taruhah nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh
menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa kesopanan pula."
"Jahanam, kau memaki aku anjing?"
"Siapa memaki" Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo
Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kaubilang aku
membunuh dua orang cucu muridmu?"
"Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya
akan membawa kepalamu ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk
menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng."
Bu Pun Su tertawa geli. "Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan
mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang!
Apakah akan direbus lebih dulu" Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada
dagingnya mana ada setan yang suka?"
Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. "Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!"
Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. "Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Aku yang
hendak kaubunuh tidak tergesa-gesa, mengapa kau yang mau membunuh begitu tidak
sabaran" Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang,
mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri
dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain" Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-
lim-pai" Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang
tokoh Siauw-lim-pai itu?"
"Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok
Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun- lun-pai! Pinceng
adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam."
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan
lapat-lapat suara ini yang mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar
puncak, dijawab oleh auman binatang-binatang buas!
"Kong Mo Taisu, kaukira aku tidak dapat menduga" Kiranya siluman betina Pek Hoa
telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-
si pasti tidak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu.
Kemudian siluman itu lari memasuki guamu dan membujuk rayu dengan matanya yang
bening dan bibirnya yang merah.
Dan kau... ah, mana bisa lain" Kau dengan segala senang hati melaksanakan
permintaannya, untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?"
Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su,
seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan
Bu Pun Su ini tepat sekali. Pek Hoa setelah berhasil memanaskan hati orang-orang
Kun-lun-pai, lalu langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang
besar ia hanya diterima di ruang depan sekali, tidak diperbolehkan masuk. Di
mana wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan
dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-
tho. Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok
Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini
menyatakan ketidakpercayaannya.
"Apapun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su daripada
kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan
Siauw-lim-si!" kata Hek Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 236 Bin Taisu. Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-
lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-
heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat
memang telah datang ke guanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap
Siauw-lim-si. Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari gua dan
untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi
Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam
menggoda, membujuk dan merayu hati pria, ia sudah terlatih dan karenanya pandai
sekali. Kong Mo Taisu biarpun telah menjadi seorang hwesio dan sudah bertapa
bertahun-tahun akan tetapi pada dasarnya ia mempunya kelemahan batin.
Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya
ia kalah juga. Apalagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-
nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai,
Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!
Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh
ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu
yang menimbulkan marahnya.
"Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapapun juga, kau telah membunuh
dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!"
Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun
Su. Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga
memiliki tenaga lwee-kang dan ilmu I-kin-keng, maka serangan-serangannya tentu
amat berbahaya.
Akan tetapi di samping ini, ia pun maklum bahwa limu silat dari Kong Mo Taisu
adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna,
tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.
Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu,
kemudiah berkatalah Bu Pun Su,
"Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan
sehingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si, kemudian untuk ke dua kalinya kau
berbuat jahat sehingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu.
Sekarang kau belum bertobat bahkan telah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hwesio, kedosaanmu sudah memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!"
Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan
bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan
setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi
oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.
Sekali saja kakek ini menggeser kaki, miringkan tubuh atau menundukkan kepala,
menekuk lutut atau menggoyang pinggang, serangan-serangan itu mengenai tempat
kosong, dan hanya sejari terpisah dari anggauta tubuh! Dalam penglihatan para
tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya
menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga
semua pukulan tidak mengenai sasaran.
"Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?" Bu Pun Su
bicara terus dan cepat menggunakan tenaga Pek-in-hoat-sut untuk mengebut pergi
ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak
mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagaikan terdorong oleh tenaga
aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.
"Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek
terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Karena seorang hwesio itu wajib
membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu
berahi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 didahului dengan penggundulan rambut kepala."
Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai
yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
"Akan tetapi kau biarpun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh
oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!"
Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan
pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga
kaget bukan main. Ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di
kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Mengapa
sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, sampai dua puluh jurus
lebih serangan-serangannya tak pernah berhasil" Apalagi Bu Pun Su masih ada
kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!
Pukulan rantai ke arah kepala kali ini amat kuatnya, dilakukan dengan pengerahan
tenaga Ikin-keng sepenuhnya. Biarpun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun
Su sudah merasai sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.
"Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat..." kata
kakek sakti ini dan cepat ia mengulur tangan kanan menangkap ujung rantai yang
menyambar ke arah kepalanya.
Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su saja yang berani melakukannya,
karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andaikata setingkat
saia, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya
maut yang nyata!
Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa
itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab
pusaka Im-yang-bu-tek-cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh
besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil (baca
Pendekar Sakti).
Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biarpun kelihatannya
gerakannya biasa saja, namun lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih
dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat dan menyambar
cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah dan tanpa mengeluarkan suara ujung
baja itu sudah digenggamnya.
Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang
oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar amat aneh. Rantai
itu biarpun terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja
dapat berbengkok-bengkok.
Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong
dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga
lwee-kang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biarpun
yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras
melebihi baja. Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada
di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan
oleh tangan kaki, bahkan dengan senjata sekalipun, masih belum begitu
menegangkan seperti pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh
Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu.
Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang
hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!
Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini sudah memiliki
tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia
dapat menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.
"Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak
takkan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan
melupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!" Sambil berkata
demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, memberi
kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk,
tentu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan
mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga I-
kin-keng yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-
kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang
dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia
maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah
dan hal ini akan menjatuhkan namanya.
Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan
dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras ia mendorong dengan
segenap tenaga yang ada dalam dirinya! Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan
mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.
"Curang...!" Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan
Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk
dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-
erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu, Bu Pun Su adalah seorang
yang cerdik dan waspada. Ia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena
bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-
kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya. Diam-diam ia telah menyediakan
tenaganya di pundak. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu dengan nekat mendorong
dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak
tangan, menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali. Terdengar suara "krek...
krek... krek....!" dan satu demi satu mata rantai itu hancur! Akhirnya Kong Mo Taisu
mengeluarkan pekik mengerikan ketika mata rantai terakhir di dekat telapak
tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Ia jatuh terduduk,
wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua
matanya meram. "Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri." kata Bu
Pun Su menarik napas panjang, Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut
nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun sepak terjang Kong Mo Taisu
amat jahat dan tak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah
kehilangan seluruh tenaga lwee-kangnya, bahkan menderita luka-luka pada pundak
dan lengan yang berarti bahwa selamanya ia takkan dapat menjadi seorang ahli
silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang
kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu
Pun Su untuk melakukan pengawasan dan penjagaan di tapal barat untuk mencegah
musuh-musuh negara menyerbu dari barat memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu
Pun Su menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-
pai untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa
Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu ke pada Hok
Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai
tentang kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya
penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan tolong Bu Pun Su
untuk menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat
jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke
kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di Siauw-lim-pai dan
segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai
sendiri, hal yang jarang terjadi.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 *** Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek
sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian
Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak
Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita
bahwa Pek Hoa Pouwsat telah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari
tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.
Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu
sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki" Benar-benar aneh
sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-
koan, selain hendak menanyakan tentang Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, juga
hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar
itu. Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika ia tiba di
Sian-koan ia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga
Kiang. Kemudian ia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat
Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar
suara teguran Bu Pun Su, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-
sedu mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.
"Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat
yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh
Ayah..." Ia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya, terharu dan ikut berduka. Sebelum ia
menjumpai Im Giok, lebih dulu kakek ini telah mencari keterangan tentang
terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa
keluarga gadis ini.
"Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja
teecu dari muka bumi ini... teecu tidak kuat menanggung dosa..." gadis ini
melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.
"Kiang Im Giok, omongan apakah yang kaukeluarkan itu" Bukan demikian sikap
seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu, usir semua
kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari.
Angkat muka dan dada, arahkan pandang ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan
ini" Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?"
Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang
I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan
lamunan, membuatnya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang
masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di depannya
dengan mata penuh harap dan tanya.
Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa amat kasihan. Ia harus akui bahwa
selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan
tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
"Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang
kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi yatim piatu dan
dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah amat buruk. Aku tahu bahwa kau
kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan
tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati hidup"
Setiap pertemuan pasti akan diakhiri perpisahan, demikian pula setiap perpisahan
pasti akan mendatangkan pertemuan lain."
Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia
sudah sadar kembali, lalu menjawab,
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
240 "Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah
cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang
di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang untuk mengajukan pinangan untuk teecu kepada
Ayah, akan tetapi siapa kira, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah
meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu..." Mata yang
sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
"Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi
tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang
mengaturnya lebih dulu, kau tak perlu penasaran. Adapun semua sebab-sebab yang
mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin,
merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap
intisari semua sebab dan akibat, mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga
mata kita terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai
menyeleweng. Kau semenjak kecil dilatih tentang kegagahan, kau pun harus
memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian,
tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke
dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini
bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu
masih cukup banyak di dunia ini, mengapa terbenam dalam lamunan dan duka untuk
hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang
berada di depan mata" Beginikah sikap seorang pendekar?"
Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Ia memberi hormat sambil
berlutut lalu berkata,
"Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus
lakukan" Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk
memberi petunjuk."
"Banyak sekali yang dapat kaulakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan
kiranya pedangmu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia
yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang
kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di
dunia ini."
"Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian
seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw."
Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas
penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan, yang menarik dan dapat melupakan
orang akan kedukaannya, mendatangkan, perasaan bahwa dirinya masih penting dan
dibutuhkan oleh orang banyak.
"Baiklah, Im Giok. Aku pun sedang membutuhkan bantuanmu, maka kebetulan sekali
kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan selain membutuhkan
kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana.
Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang
persatuan, terjadi hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-
tong-pai dan Kim-san-pai terjadi bentrok dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah
sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai adalah
seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan.
Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan
terkenal sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu
adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sibuk
mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw,
maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki tentang
pertentangan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin
usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan
jalan damai."
Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
241 "Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw," katanya, kemudian
dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan kuburan ayahnya, juga
di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak
ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati dan pikirannya, setelah ia
bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couwnya.
"Di mana adanya sucimu?" tiba-tiba Bu Pun Su bertanya setelah Im Giok selesai
bersembahyang. "Kalau tidak pergi, tentu ada di rumah," jawab Im Giok yang selama ini seakan-
akan sudah lupa akan sucinya itu.
"Hemm, aku ingin bertemu dengan dia."
Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan,
rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim
Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para
pelayan, gadis itu sudah pergi dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena
tidak memberitahu kepada siapapun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia
mendapat kenyataan bahwa sucinya itu telah membawa semua pakaian dan perhiasan,
tanda bahwa sucinya itu pergi jauh dan mungkin sekali takkan kembali. Ia menarik
napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
"Im Giok, disamping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-
amati sucimu itu. Jangan sampai dia melakukan kejahatan-kejahatan dan
penyelewengan-penyelewengan yang akan menyemarkan nama baik kita. Betapapun
juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat
yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itupun anak muridku.
Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas sepak-terjangnya dan karenanya
aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk
perbuatan jahat."
Setelah banyak-banyak memberi nasi hat yang merupakan hiburan dan pembangkitan
semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Setelah kakek
ini pergi, Ang I Niocu lalu menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan
sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan
perjalanannya ke Kim-san. Ia memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan,
tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka ia menjual
rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau,
merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, disamping
memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar
pembela rakyat tertindas.
*** Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok
selalu mengenakan pakaian putih sederhana sekali, adalah sekarang dalam
perjalanannya, ia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah!
Pulih kembali kecantikannya dan kesegarannya yang dahulu dan setiap orang yang melihat gadis
baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang keduanya. Mukanya bulat
telur dengan dagu meruncing manis dan pipi tanpa cat selalu kemerah-merahan,
merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung
model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan rambut yang panjang
itu masih ada sisanya yang dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang
dahulu selalu dibelikan ayahnya yang memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya
yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak
lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu. Sepasang telinganya yang sebagian
atas tertutup rambut, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 242 digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-
anting ini bergerak-gerak selalu, bermain-main di antara leher dan dagu yang
halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh
kemanisan dan keindahan yang tidak membosankan. Alis matanya hitam kecil
memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang
cemerlang itu. Mata ini sekarang agak berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu selalu
membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan kegagahan, sekarang di situ terbayang
sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh
orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat. Mungkin dahulu
orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya seperti
sinar mata kanak-kanak nakal, akan tetapi sekarang, orang akan berpikir masak-
masak dulu sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang
dengan Ang I Niocu. Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang dahsyat
sesuatu yang merupakan ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka
dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, akan dapat menangkap
kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi, kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh
hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu
merah, di mana kadang-kadang waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih
yang selalu bersembunyi.
Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana
yang lebih indah matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya, yang nampak hanya bagian leher dan lengan baju, berwarna biru.
Kemudian bajunya terbuat dari sutera berwarna merah muda, amat lemas dan
membayangkan bentuk tubuhnya yang molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah
darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk
berwarna biru terhias benang emas.
Ikat pinggang ini yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat
bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan
tetapi, betapapun menariknya gadis jelita ini, orang tidak berani sembarangan
berlaku kurang ajar karena Ang I Niocu selain bersikap agung, juga selalu
membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, kuda bulu putih
kesayangannya. Dalam perjalanannya menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-
hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan
dibalapkannya kudanya. Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dulu
dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai
kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya
panjang. Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah sucinya
ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik
kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak
ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I
Niocu makin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari ketika ia tiba di sebuah dusun, ia mendengar suara orang wanita
menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari
kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda
yang sudah jinak dan mengerti, maka ia berani meninggalkannya begitu saja tanpa
mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih
muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak
di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
"Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu dan kau masih ada suka untuk
merengek-rengek" Benar-benar anjing yang tidak tahu malu!" laki-laki itu memaki
dan kakinya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
243 menendang sehingga perempuan itu roboh terguling. Akan tetapi perempuan itu
merangkak kembali dan diantara tangisnya terdengar ia berkata,
"Suamiku, mengapa kau begini kejam" Setelah kau terpikat oleh perempuan lain,
mengapa kau mengusirku" Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk
rayu ketika hendak meminangku" Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan
aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah
menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?"
"Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja
orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!"
Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, "Suamiku, mengapa kau
begitu keji...?"
"Siapa keji" Kaulah yang mendatangkan sial" Kau perempuan yang tidak menyambung
keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!" Kembali laki-
laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-
guling dan mengaduh-aduh. Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka
meringis menahan sakit
perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
"Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku
seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam
engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!"
"Jangan banyak cerewet...."
Kata-kata si suami ini terhenti dan ia berdiri melongo ketika tiba-tiba ia
melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa seperti bidadari, tahu-
tahu telah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama
hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan
melihat munculnya yang tiba-tiba itu, ia akan percaya kalau ada yang bilang
bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa
tadi. "Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?"
Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan
sebagai seorang dusun ia pun percaya akan tahyul dan mengira bahwa Ang I Niocu
tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
"Ampunkan hamba... dia itu, adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah
dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan agar hamba lebih dulu
dicerai. Suami hamba menggunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai
turunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba..."
Sejak tadipun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan
suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia
turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya.
Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek. Ia tahu
bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada
penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya"
Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami
menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana
jalannya" "Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?"
"Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?" perempuan itu bertanya
heran. "Biarpun andaikata ia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang
sekalipun?"
"Apapun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan
menjadi isterinya..." jawab isteri yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
"Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau
hendak mengusirnya" Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah" Orang macam engkau
harus Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
244 diberi hajaran. Rasakan ini!" Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong
itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan
tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri
kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat meraba ke bagian yang sakit, ternyata
bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap!
Darah mengucur dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah
daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.
"Lihat baik-baik daun telingamu!" kata Ang I Niocu sambil menyimpan kembali
pedangnya. "Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil
kepalamu!"
Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya,
menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan
dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan
kepala di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada gadis
itu sambil berkata, "Aku sengaja membuntungi telinganya agar ia kapok. Pula
kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-
mudahan rumah tanggamu baik kembali."
Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang
I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan
mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik
mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk di atas kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan
semua peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan
dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,
"Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya
suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta
ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh karena mencintaiku.
Perempuan tadipun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang
keji." Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa
cinta di dalam hatinya telah terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan
kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk tidak menikah
selama hidupnya, untuk hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-
perbuatan besar sebagai seorang li-hiap (pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta kasih, menjadi rendah dan remeh, dan di dalam
pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka,
bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu daripada cinta kasih murni. Cinta
kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apalagi yang palsu! Bergidik
kalau ia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju ke Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-
pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dan Cing-hai. Daerah ini
adalah daerah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai
daerah yang amat liar dan berbahaya.
Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang
buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini
dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan perampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan
nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala
perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka memiliki
kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing. Pernah ada beberapa orang
gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san dan menyerbu Min-san Sam-kui
ini, akan tetapi para pendekar itu terpukul mundur dan terpaksa lari turun
gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik
lagi. Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau
berani Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
245 mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, tokoh-tokoh besar tidak mau mengganggu
mereka oleh karena memang tiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim
(berandal) yang gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim dan
kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan hanya beroperasi di daerah
Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi
besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan
julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok
yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang
amat hebat. Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong
yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang amat tebal besar dan tajam,
beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya
tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan
golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini
seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih dan tampan sekali.
Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka ia
dijuluki Si Tangan Putih.
Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak
dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau sedang marah.
Gelang Kemala 4 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Pedang Siluman 2
yang paling baru dan menyisir rambutnya.
Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya
berdebar ketika ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap
dan berwajah keren duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.
Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,
"Mohon dimaafkan banyak-banyak bahwa boanpwe telah membuat Tai-hiap menanti
sampai lama."
Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan
kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan
menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya
sendiri. Akan tetapi setelah ia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah.
Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi
hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu
mempermainkan isterinya dan yang telah dibunuhnya!
Baik wajah maupun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya
sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.
"Kau... Cia Sun..." tak terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya
berdebar dan jantungnya terasa sakit.
Tiauw Ki memandang heran. "Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki..."
"Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?"
"Betul, Tai-hiap"
"Dan kau... kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?" Suara
Kiang Liat setengah berbisik dan sepasang matanya memandang dengan cara yang
menakutkan sekali.
Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian ia dapat menetapkan
hatinya dan berkata dengan suara tegas,
"Kalau Tai-hiap tidak menolak, memang boanpwe mohon persetujuan Tai-hiap untuk
meminang tangan Adik Kiang Im Giok..."
"Kau..." Kau Cia Sun jahanam keparat telah menjelma pula di dunia ini untuk
mengganggu kepadaku" Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya
hidupku" Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?" Sambil berkata demikian,
Kiang Liat berjalan maju menghampiri Tiauw Ki perlahan-lahan, sikapnya mengancam
dan menyeramkan.
Tiauw Ki melangkah mundur, "Kiang-taihiap, apa artinya kata-katamu itu" Boanpwe
adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun..."
"Jahanam! Biarpun kau memakai nama siapapun juga, aku selamanya akan mengenal
macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, aku Kiang Liat akan
tetap mengenalmu dan membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk
maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukut dada dan kepala Tiauw
Ki. Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah.
Seorang jagoan sekalipun belum tentu akan dapat menghindarkan diri dari serangan
Kiang Liat itu, apalagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki. Ia tak berdaya
sama sekali dan sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat
mengeluarkan keluhan lemah dan tubuhnya terlempar ke belakang, menumbuk dinding
dan roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang berbareng dengan keluhannya
tadi! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 "Ha, ha, ha, anjing Cia Sun! Anjing macam engkau ini hendak melamar puteriku"
Ha, ha, ha!" Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan
pulang. Para pelayan kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja
ruangan tamu itu telah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan
yang rebah tak bernyawa di atas lantai.
Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi
jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok-gan Niocu Song Kim
Lian. Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian ia cepat
berlari-lari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung ia berlari memasuki kamar
Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.
"Su-moi, celaka besar...!" Kim Lian memeluk adik seperguruannya dan menangis
terisak-isak. Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, akan tetapi akhir-akhir
ini setelah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang
gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan sucinya itu, maka tanyanya tak
sabar lagi, "Suci, apakah yang terjadi?"
Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga Im Giok hilang sabar.
Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.
"Apa yang terjadi?"
"Celaka... Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu..."
"Apa" Gan-siucai mengapa" Bagaimana Ayah...?" Im Giok mendesak, wajahnya pucat,
jantungnya berdebar keras.
"Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan..."
Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat didekapnya mulutnya
sendiri, lalu bagaikan kilat ia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju
ke rumah penginapan Liok-nam.
Ruangan depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan Liok-nam masih dikerumuni
orang ketika Im Giok tiba di situ.
"Minggir...!" Serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang
laki-laki terpelanting ke kanan kiri. Im Giok terus menerjang masuk dan ia
berdiri terpaku di atas lantai ketika ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak
miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri,
berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya telah tewas, kepalanya
retak dan tulang dadanya patah-patah.
"Gan-ko..." Bisiknya. Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena
pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Kalau tidak kuat-kuat ia menahan
tentu Im Giok sudah roboh pingsan! Sampai lama ia berlutut sambil memejamkan
mata, kemudian setelah kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia membuka
matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui
pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat
sekelebatan, dengan air mata di atas pipi, mayat pemuda itu seperti ikut
menangis. "Koko..." kembali Im Giok berbisik. Makin deras turunnya air matanya ketika ia
teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya, dan kini dalam
menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.
"Ayah...!" Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya. Tubuhnya
berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh ketika gadis itu
mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa
mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata
terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya.
Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu,
berdiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 di situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke
dalam. Ia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya dan memegang pedang
terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja!
"Ayah...!" Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.
Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama
tajam, sama berapi-api pandangannya.
Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama
makin melambat.
"Kau mau apa?"" akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah
digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan.
"Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?" Suara Im Giok nyaring tinggi dan
tergetar. Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba ia bangkit
berdiri, membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah
dan roboh menimbulkan suara berisik.
"Ha, ha, ha, ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha, ha, betapa mudahnya,
sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!"
"Ayaahhh...!" Im Giok tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya
digerakkan dan tahu-tahu pedangnya telah ia cabut dan tangan yang memegang
pedang menggigil. "Kau... kau pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak
berdosa. Kau manusia tidak tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat
melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!"
Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri.
Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut
pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya
menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang
berputaran amat mengerikan.
Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak.
"Ha, ha, ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku" Ha, ha,
ha, menjadi tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Ha,
dia patut mampus, anjing Cia Sun harus mampus biarpun beberapa ratus kali dia
menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa..."
"Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!"
Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Dalam pandangan matanya,
yang berdiri di depannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang
berani menentangnya.
"Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw" Ha, ha, ha, bocah lancang, kaulah yang
akan mampus lebih dulu!" Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya
sendiri. Im Giok pada saat itu juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak
ingat apa-apa lagi, tahunya hanya marah dan duka teraduk menjadi satu dalam
hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan
seluruh tenaganya. Maka terjadilah pertempuran yang hebat di dalam kamar itu
antara ayah dan anak gadisnya sendiri!
Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat
sehingga ia bahkan melampaui ayahnya. Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang
diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat
hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani ia melatih diri dengan
ilmu itu. Maka tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat
tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya tahu "kulitnya" belaka.
Maka makin lama pedang Im Giok mendesak makin hebat, gulungan sinar pedangnya
makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, "Im Giok!"
Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar
pekik ini dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.
"Im Giok...!" Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara
jeritan lagi, dan kali ini ia menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran
dengan nekad. Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia
karena ia terpental ke belakang.
"Im Giok... Sumoi... apakah kau sudah gila melawan ayahmu sendiri...?" Kim Lian
menegur dengan suara nyaring.
Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang
tadinya sudah saling menempel. Apalagi seruan ini membuat Im Giok sadar dari
keadaannya seperti kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan
kemarahan dan nafsu membunuhnya. Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda
dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya menengadah ke atas dan tangan kanan
memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk.
Adapun Kiang Liat juga berdiri memasang kuda-kuda seperti patung, tangan kiri
menempel di dada kiri dan tangan kanan memegang pedang melintang di dada.
Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis.
"Sumoi, kau gila! Bagaimana kau menyerang ayahmu sendiri" Lepaskan pedangmu!"
teriak Kim Lian, akan tetapi Im Giok seperti dalam mimpi, tidak mau melepaskan
pedang dan memandang ke depan dengan mata terbelalak marah.
"Sumoi, lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus
membantu Suhu!" teriak pula Kim Lian dengan suara keras sambil melangkah maju
dengan pedang di tangan. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah kalau
dibandingkan dengan sumoinya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus
berani membantu suhunya.
Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata,
"Kau membandel" Baik, lihat serangan pedangku!"
"Traangg...!" Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu
berseru kaget. "Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!" Kiang Liat membentak setelah menangkis
pedang muridnya sehingga terlepas. Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian
terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu.
Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat telah sadar kembali
dari keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa, bahkan nampak ia berduka
bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah dengan air mata, bibirnya
bergerak gemetar seperti menahan isak tangis. Melihat ini, Im Giok tiba-tiba
sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan
terkejut sekali mengapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat
ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tidak berani
memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, air
matanya bercucuran bagaikan hujan.
"Ayah... aku berdosa... kaubunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk
dadaku... biar aku ikut kekasihku." Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan
di atas lantai, lalu ia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk
ditusuk pedang.
"Gan-koko... kautunggulah aku..." bisiknya sayu.
Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba. Bahkan terdengar
keluhan panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat
di atas lantai. Im Giok membuka matanya dan... ayahnya telah menggeletak, dan dari
mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.
"Ayaaaahhh...!" jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya. Diangkat
kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah
yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai pakaiannya. Diraba-rabanya jidat
ayahnya kemudian dadanya...
"Ayaaaahhh...!" Dunia serasa gelap kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok
roboh pingsan di dekat ayahnya yang ternyata telah putus nyawanya. Karena
tekanan batin yang luar Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 222 biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya telah menderita sakit
jantung, tak kuat menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia di saat itu
juga. Kim Lian datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya
keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.
"Suhuuu...!" Kim Lian benar-benar berduka kali ini. Di dalam hatinya ia memang
memuja suhunya dan menganggap suhunya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan
lebih dari itu, dahulu pernah ia mengagumi suhunya dan "ada hati" kepadanya.
Sekarang melihat keadaan suhunya yang meninggal dunia secara demikian
menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur"
Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan datang bertangisan pula, Kim
Lian lalu menubruk dan memeluki sumoinya. Ia amat sayang kepada Im Giok yang
semenjak kecil menjadi saudara seperguruan, kawan bermain-main dan dianggap
sebagai adik kandungnya sendiri. Kini ia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak
berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian
memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah
sempoyongan. Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan
Kim Lian di atas pembaringang, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan
cepat ia bangkit duduk dan bertanya,
"Ayah..." Bagaimana...?"
Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk
pundak Im Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat
turun dari atas pembaringan.
"Ayaaaahhh!"
Akan tetapi Kim Lian cepat memeluknya dan sambil menciuminya berkata, "Adikku...
adikku sayang... tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah... meninggalkan kita dan sekarang
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu..."
Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk
kalap terhadap desakan hati, maka ia lalu mengatur napasnya dan kedua orang
gadis dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa diam tak bergerak.
Akhirnya Im Giok berkata lemah,
"Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya..."
Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu
berjalan ke ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka
duduk berlutut memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air
mata menggelinding keluar. Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim
Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari
situ, biarpun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat.
Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang
bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya
tinggal Im Giok dan Kim Lian berdua! Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga
agar hio tidak padam, demikian pun api lilin, dan kemudian terdengar mereka
berbisik-bisik,
"Suci, sekarang aku tahu..."
Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya,
"Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya." Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat
ia mempergunakan saputangan untuk menyusut air matanya.
"Mengapa, Sumoi?"
"Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti
menjadi gila itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Karena
itu Ayah membenci para siucai dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai hampir
serupa dengan wajah Cia Sun." Im Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published
by buyankaba.com
223 Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena ia tidak tahu bagaimana harus menghibur
adik seperguruannya. Ia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan
hati sumoinya. "Aku berdosa besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan
sering kali dadanya terasa sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung
semenjak kehilangan ibu.
Dan tadi... ah..." Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri
membayangkan kejadian tadi pagi, "biarpun ayah meninggal karena penyakit itu,
akan tetapi sebenarnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan anakmu yang
berdosa, Ayah..." Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis
tersedu-sedu. Kim Lian memeluknya dan menariknya. "Sudahlah, Sumoi, segala kejadian sudah
ditentukan oleh Thian."
Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga untuk menenteramkan hatinya
yang berguncang keras.
"Aku berdosa kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-
koko... kasihan sekali Gan-koko yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam
keadaan penasaran. Ahhh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk
mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar
arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya..."
Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoinya untuk melakukan
permintaan sumoinya itu. Adapun Im Giok sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di
depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya
saja yang bergerak-gerak karena api lilin bergerak perlahan tertiup angin, yang
dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu.
*** Enam bulan telah lewat semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi Im Giok masih
saja berkabung, berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang
tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan
kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.
Kadang-kadang nampak ia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau
hanya duduk bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang
diberikan oleh Kim Lian sama sekali tidak ada artinya karena tidak pernah
diacuhkan. Selama enam bulan ini, Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan
tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-
awutan. Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Setelah lewat
tiga bulan, ia telah melepas pakaian berkabung dan kembali memakai pakaian yang
indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang
mengawasinya. Suhunya sudah meninggal dan Im Giok orang satu-satunya yang
disegani keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian
menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis
baik-baik. Pada suatu hari pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di
depan bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong dan tidak pernah
bergerak sehingga kelihatan dari jauh seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia
tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di
sekelilingnya. Gadis ini, tak dapat melupakan wajah kekasihnya dan wajah
ayahnya. Dua orang ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya
telah meninggalkannya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya,
"Im Giok, kau masih hidup mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka"
Kembalilah ke dunia!" Kalimat terakhir diucapkan sebagai perintah dan suaranya
mengandung tenaga dan pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan
disambar petir dan sadar seketika itu juga. Gadis ini terkejut dan menengok.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 "Susiok-couw...!" Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang
ternyata bukan lain adalah Bu Pun Su. Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil
menundukkan muka memandang kepada gadis yang bercucuran air mata di depannya
itu. Terdengar helahan napasnya sampai tiga kali.
"Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan
kekuasaan indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga,
akan tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib
tersendiri."
Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena
kakek sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok
adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan
yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi
dada. Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang ia hadapi selama enam
bulan ini dan berkali-kali ia menghela napas. Sebagaimana telah dituturkan di
bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah-belahan
di antara orang-orang gagah agar tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan
negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat
pergi ke Go-bi-pai, menemui Twi Mo Siansu.
Dia sendiri pergi ke Pulau Pek-le-tho untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh
pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun mau pergi
ke Kun-lun-pai.
Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia menemui kekecewaan luar
biasa di Pulau Pek-le-tho, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah
pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan
bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan
seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-tho! Kemudian dalam marahnya, Bu Pun
Su menghajar Han Le dan mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le
tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati mengkal
sekali Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san.
Akan tetapi, baru saja ia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, ia bertemu dengan
serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia terus saja mengepung dan
menyerangnya! Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian
lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.
"Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?" serunya akan tetapi ia
harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya
dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya. Para tosu Kun-lun-
pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tidak mau
memberi hati, tidak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan
serentak. Akan tetapi mereka kecele kalau mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang
akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja. Melihat betapa para tosu itu
tidak ada yang mau menjawabnya dan melanjutkan serangan-serangan mereka yang
dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu
silatnya yang aneh dan luar biasa.
Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung,
yang aneh sekali gerakannya dan tiap kali menyambar dan menyambut pedang atau
golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-
patah! Adapun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi lambat-
lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini
keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa
pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu
melompat mundur! Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia
persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu
silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak
Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in-hoat-sut
(Ilmu Sihir Awan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 Putih). Sekaligus dua tangan dapat mainkan dua macam ilmu silat yang amat
berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya
dapat melakukannya!
Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya Bu Pun Su sama sekali tidak melukai para
pengeroyoknya, kalaupun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak
berarti saja. Namun, tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau karena pedang dan golok
mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan ataupun dibikin
terpental entah ke mana.
Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit
berlari seorang kakek tua. Kakek ini seorang tosu yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti seorang tua
renta yang amat lemah. Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu,
orang akan terheran-heran karena biarpun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap
takkan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu
berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi dan jubahnya
berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.
"Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?" Kakek itu
menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-
cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.
Bu Pun Su tertawa bergelak,
"Ha, ha, ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku,
benarbenar lihai sekali matamu."
"Kaupun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su.
Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan
kepandaianmu di Kun-lun-san?"
"Ha, ha, ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang
Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam
bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suhengmu Seng Thian
Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain."
"Apa maksudmu?"
"Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah
menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang.
Eh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan
tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, dan masing-masing menghadiahi
sebatang golok atau pedang!
Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?"
Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga,
tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia diserang begitu hebat oleh begini banyak
tosu Kun-lun-pai, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Kalau dia tidak
pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah
hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya"
Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkatnya di depan
kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di
pandangan mata mereka. Diam-diam Bu Pun Su terkejut melihat ini dan tidak mau
main-main lagi melainkan mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan
diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.
"Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang penekar sakti
yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto kecewa. Tadi kau
menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang
lain, bukankan begitu?"
"Benar, Kheng Thian Siansu."
"Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-
lekas Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 mengakui dosa-dosamu?" Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum
ramah. "Eh, eh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup
siapakah yang tidak menumpuk dosa" Akan tetapi kalau dosaku tidak ada sangkut-
pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku
yang dulu-dulu dihadapanmu"
Memangnya siapakah kau ini" Wakil dari Giam-lo-ong?"
"Bu Pun Su, tak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau
telah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih bilang
tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?"
Bu Pun Su yang mempunyai kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat
tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan
kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-tho! Akan tetapi bagaimanakah
Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh
dia" Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapapun juga, Han Le ikut
bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia
mengalah dan berlaku sabar.
"Keng Thian Siansu, nanti dulu. Tentang kematian Cin Giok Sianjin aku dapat
memberi penjelasan. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu
begitu cepatnya" Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?"
"Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin
Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa." Bu
Pun Su menarik napas panjang. Ia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa
bekerja cepat. "Hemm, tentu siluman betina itu baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng
Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek
Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?" Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa
Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti
Iblis Betina. "Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia
bicara sambil menggoyang-goyang tubuh seperti pohon yang liu tertiup angin musim
chun, matanya mengerling-ngerling seperti bintang-bintang di langit dan bibirnya
tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya
penuh?" Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biarpun agak berlebih-
lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang
Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya
yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek
Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh
Bu Pun Su! "Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa
Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin
dan dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi" Dan pula, apa
perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong" Ditambah
lagi kedatanganmu di sini benar-benar kesemuanya menimbulkan kecurigaan kami.
Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-tho. Apakah
betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?"
"Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-tho terlambat," jawab Bu Pun
Su.
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.
"Siapa yang membunuhnya?" tanya Keng Thian Siansu.
"Ketika aku mendarat di Pek-le-tho, aku melihat tiga mayat orang yang setelah
kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin dan dua orang
tokoh Siauw-lim-pai.
Dan orang yang tinggal di Pulau Pek-le-tho itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat sendiri!"
Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh,
"Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi.
Orang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua
orang tokoh Siauw-lim-pai?"
"Memang ada yang membantu..." kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan
kekecewaan. "Siapa..." Keng Thian Siansu mendesak.
Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai
itu. "Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya
menyambut aku seperti ini saja" Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di
tempat panas ini" Ah, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang
merupakan tuan rumah yang tidak manis budi..."
Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata,
"Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa
akan tatasusila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-
lun-san!" Bu Pun Su balas menjura. "Terima kasih!" Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam
perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini semua tosu Kun-lun-pai meleletkan
lidah saking kagum menyaksikan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh
sedemikian hebatnya. Keng Thian Siansu berseru,
"Kau memang hebat Bu Pun Su." Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat
menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para
tosu yang saling pandang dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.
Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh
Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu
terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu
Pun Su. Mereka ini yang dua orang adalah murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang
seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun
Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-tho.
Ia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh
Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang
tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-
tho. "Hm, kalau begitu sutemu itu yang menjadi pembunuh!" kata Keng Thian Siansu.
"Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan
membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan
tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang telah datang ke sini dan menipu
kalian di sini.
Bukan aku membela suteku yang juga berdosa, akan tetapi harus diingat bahwa
suteku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh pandainya ia
bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa.
Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar
hebat: Kalau orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin
yang kuat sekali, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat
bahwa Han Le telah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh tiga orang itu di
Pulau Pek-le-tho dalam keadaan tidak sadar seperti dibawah pengaruh sihir dari
Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum suteku melarang dia keluar selamanya
dari Pulau Pek-le-tho. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat
baginya?" Kiang Thian Siansu dan anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala dan mereka
terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama
dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le takkan dapat
melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman
ini pada hakekatnya bahkan lebih berat daripada hukuman mati.
"Bu Pun Su, kami memang sudah mendengar penuturanmu dan kami percaya penuh
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal yang kaulah orangnya yang harus
membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Kalau memang betul dia itu yang
membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar telah datang ke sini untuk memburukkan
namamu, maka untuk bukti kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan
membunuh Pek Hoa Mo-li!"
Bu Pun Su nampak terkejut. "Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan
pantangan membunuh!"
"Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar
pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan barulah selamanya Kun-lun-pai percaya
kepadamu, Bu Pun Su."
Bu Pun Su tertawa bergelak, "Ha, ha, ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian
Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan
sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi
masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?"
Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, "Saudara dari Siauw-lim-si berlaku
sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?"
Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian
penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat
sesuatu, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa dan berkelebat bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu
dengan gerakan yang cepat, akan tetapi biarpun kedua kakinya tidak menimbulkan
suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang
merasa lantai tergetar hebat seakan-akan dijatuhi benda yang ribuan kati
beratnya! Semua orang memandang dan yang orang ini adalah seorang hwesio gundul yang
bertubuh tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pun mukanya licin limis
seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang amat
memburukkan rupanya adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya
sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang
murung dan duka. Usianya sebetulnya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi
oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.
Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran.
Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah ahli
silat dari Siauw-lim-pai akan tetapi siapakah dia ini" Bu Pun Su dan Keng Thian
Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian
persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini
belum pernah mereka kenal.
Kalau yang datang ini seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya,
tidak mengherankan apabila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi
melihat lwee-kang dan gin-kang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah
saja dilihat bahwa dia adalat seorang yang berkepandaian tinggi sekali, jadi
bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.
"Bu Pun Su," kata hwesio itu dengar muka tidak berubah akan tetapi suaranya
menggeledek dan menggetarkan anak telinga. "Biarpun kaum Kun-lun-pai berlaku
lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tidak nanti melepaskan kau begitu
saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai menerima hukuman atas
dosa-dosamu!"
Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat
panas hati Keng Thian Siansu dan tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka
anggap keterlaluan sekali. Apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu
Pun Su, mereka tidak ambil pusing, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali
tidak mempedulikan pihak tuan rumah, benar-benar sudah melanggar peraturan kang-
ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu lebih dulu dan tentu
telah mempergunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan
sampai di ruangan lian-buthia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran
pertama. Ke dua, hwesio ini sama sekali tidak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi
ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurangajaran yang
menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja,
bahkan, datang-datang hwesio hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi
tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tidak memandang
mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan
pelanggaran ke tiga.
Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di
situ, menjadi marah dan cepat ia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa
banyak peradatan lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu
sambil berkata,
"Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung
tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu betapa Siauw-lim-si
adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga
memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit!
Akan tetapi mengapa kau ini hwesio yang mengaku-aku dari Siauw-lim-si begini
tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?"
Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, kemudian
terdengar suaranya yang keras dan parau,
"Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?"
Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek,
"Hwesio, kelirunya denganmu ini saja membuktikan bahwa kau bukan seorang yang
banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal
hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau.
Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?"
"Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?" Setelah
berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan kagetlah Sun Giok Sianjin
karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin
sakit telinganya sampai hampir tak tertahankan lagi. Baiknya ia cepat-cepat
mengerahkan lwee-kangnya untuk menjaga keselamatan bagian halus dari telinganya
dari kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lwee-kang ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga
serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun
Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su telah mengerahkan tenaganya dan
dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara
ketawanya. "Pernah dahulu Suhuku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah
yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu
mencuri kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah itu
dapat mempelajari isi kitab tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya
ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selamanya tidak boleh
mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping
itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam gua di hutan. Sekarang
tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng
demikian tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?" Juga
Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget,
"Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng
Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya,
Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di
sebuah dusun tak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis
kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 Hwesio keparat ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini
tahulah Suheng bahwa hwesio itu memiliki sari kepandaian dari Siauw-lim-si.
Akhirnya, hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng dan sahabat-sahabatnya dan
biarpun tidak dapat dibinasakan, sudah diberi peringatan dengan terbabatnya
sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan
saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!"
Hwesio itu mukanya tidak berubah akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.
Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, "Aha, kiranya kaulah yang
telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!"
"Sun Giok Sianjin, awas!" teriak Bu Pun Su dan tosu ini cepat melompat ke
belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu
sudah menyerangnya dengan pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan
luar biasa sekali. Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang
berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin dan lebih
tinggi tingkatnya daripada kepandaian murid-murid Keng Thian Siansu.
Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.
Biarpun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lwee-kang dari Si
Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Cepat tangan kirinya bergerak dan
tahu-tahu ia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok di punggugnya. Sun
Giok Sianjin terkenal lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan
kirinya. Memang tosu ini adalah seorang kidal yakni seorang yang semenjak kecilnya lebih
trampil menggunakan tangan kiri daripada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam
hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah
kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran menghadapi
seorang yang mainkan senjata dengan tangan kiri.
Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka dari
hwesio telinga buntung ini. Biarpun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya
mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tidak
memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!
"Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu" Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng
Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh
tahun lagi baru menghadapi pinceng!" Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin
mendengar ejekan ini.
"Hwesio siluman lihat pedang!" Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar,
dengan gerak tipu Hek-in-koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan) gerakan ini
disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu-sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai). Akan
tetapi sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua
tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu
itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu,
lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.
Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan setelah semua serangannya dapat dielakkan
dan disampok oleh hawa pukulan ahli lwee-kang I-kin-keng ini, ia lalu berseru
keras dan tiba-tiba pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher
dari samping! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh
tenaga lwee-kangnya sehingga apabila hwesio itu berani menangkis, sungguhpun
tidak dapat ia menangkan tenaga lwee-kang hwesio itu, akan tetapi kecepatan
gerakan dan ketajaman pedang setidaknya tentu akan melukai tubuh lawannya!
Akan tetapi hwesio itu benar-benar lihai sekali. Sambil merendahkan tubuhnya
yang tinggi berat itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang menyambar lewat,
tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan
kosong macam Siok-lui-kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat,
akan tetapi bukan digerakkan untuk Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published
by buyankaba.com
231 menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Sungguh luar biasa sekali.
Biarpun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapapun Sun Giok Sianjin berusaha,
pedang itu tak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di
lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lwee-kang
dikerahkan dan "krakk!" pedang itu telah patah-patah empat potong di atas
lantai! Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin
terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak
lebih! Kong Mo Taisu tertawa bergelak sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita
luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh
jurus telah kalah oleh hwesio itu, benar-benar adalah hal yang amat
mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar
biasa lihainya.
Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biarpun tingkat
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada murid keponakannya itu, namun kalau
disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia
masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat
berat. Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin ia harus menjaga nama dan kehormatan
partai Kun-lun-pai. Apalagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-
pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit ia
bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.
"Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan
apakah?" Kong Mo Taisu memandang tajam. "Kau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari
Kun-lun-pai?"
"Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang
memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu" Pinto tidak bisa turun tangan
tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat." Keng Thian Siansu menyeringai.
"Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi" Kau tidak tahu malu, yang
sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang,
setelah Bu Pun Su datang kau karena takut kepadanya bahkan bersobat dengan dia,
kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng" Pertama-tama memang pinceng
hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar
memuaskan hatiku menebus hinaan waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak
menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!"
Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong
ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang
dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua
Siauw-lim-pai, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini
hwesio ini berkata benar. Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat
yang lebih tinggi tingkatnya daripada Hok Bin Taisu sendiri dan kalau menurut
keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih
menyebut susiok kepadanya. Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang sudah
berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya
yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya
menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat
dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru
Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang
murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.
Keng Thian Siansu mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan hendak
mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san, menjadi mendongkol
sekali. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan
puncak bukitnya, melainkan puncak kepandaiannya, yakni tentu saja kepandaian
Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat
itu. Kata-kata ini sama halnya dengan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
232 menantangnya, apalagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya
menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan hinaan potong telinga oleh
mendiang suhengnya, Seng Thian Siansu.
"Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suhengku membuntungi telinga
kirirnu. Kau mau membalas dendam dahulu" Baikiah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang
Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum sempurna, yaitu membuntungi
telinga keledaimu yang sebelah lagi!"
Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya
untuk bersombong dan menghina orang. Kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata
pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga
sengaja hendak memanaskan hati dan membuat hwesio itu marah, karena hanya kalau
hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan
menang. Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan
terhadap musuh berat pada tenaga lwee-kang, nafsu amarah adalah pantangan besar
karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah,
sukar sekali untuk mengumpulkan hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sin-kang
di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun
banyak berkurang.
Ejekan tentang telinga itu benar-benar tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat
hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil
berseru keras ia yang tadinya tidak mencabut senjatanya yang tadinya tidak
kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dibuat ikat pinggang.
Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan
tangan warnanya hitam.
"Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suhengmu!" bentaknya sambil mengirim
serangan. Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat
ke belakang, ujung rantai menghantam lantai dan debu berhamburan ke atas karena
lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan
serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.
"Traangg...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis
oleh tongkat di tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang
tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat
menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.
Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw dapat menyamai kepandaiannya, baik dalam
hal ilmu silat, tenaga lwee-kang, maupun gin-kang yang sudah mendekati puncak
kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini
maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo
Couwsu yang luar biasa hebatnya.
Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja ia tidak memiliki sin-kang
yang kuat tentu kulit dan daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai
itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang
mendatangkan hawa panas bagaikan api membara. Rantai itu sudah menyambar lagi,
kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu
melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, tahu-tahu rantai
itu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya!
Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan
perubahan gerakan rantai yang dari serangan kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi
serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.
Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu
tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun-kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar
mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh
bagian. Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga
tidak mau kalah, mengeluarkan seluruh Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
233 kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu mengandalkan
kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan
untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan
dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya
saja baru dia dapat menangkis serangan lawan yang tentu saja mempergunakan
sistim setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera
kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada di pihak penahan belaka, dan
hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.
Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan kini tempat itu telah terkurung
oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan siap sedia
menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena
sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi
bencana. Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa kalau sampai
Ketua Kun-lun-pai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu takkan dapat keluar dari
situ dalam keadaan selamat.
Biarpun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin
dia dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata
berkepandaian tinggi itu.
Mereka pun tidak akan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh
hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu
bukan sebagai seorang tamu terhormat, melainkan sebagai seorang pencuri yang
datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau tamu mereka itu terhormat dan
pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup
takkan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain
lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.
Adapun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya,
menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu,
akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu
dan empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian
Siansu seorang diri yang maju, dahulu juga Seng Thian Siansu pasti kalah
olehnya. Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai
belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna.
Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia telah salah duga. Kiranya, hanya dengan
tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja ia takkan dapat memenangkan musuh
kalau ilmu silatnya tidak mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan
tenaganya, ia dapat menangkan Keng Thian Siansu hanya saja dalam ilmu silat,
ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!
Aku harus menangkan dengan tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat
tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, ia tidak mengelak, bahkan sodokan
tongkat itu dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan dengan ujung rantai melibat
ujung tongkat. "Buk!" ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja
saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa-apa, dan
sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapapun Keng
Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka. Tiba-tiba terdengar
suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan datangnya kepalan
tangan kirinya yang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah
batok kepala tosu Kun-lun-pai!
Keng Thian Siansu tadinya telah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah
senjata merangkap lambang kekuasaannya sebagai ketua besar maka sudah tentu
kehilangan tongkat terampas lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa. Akan
tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia
mengangkat tangan kanannya, menggunakan gerak tipu Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman
Harimau) menyambut tangan kiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 234 hwesio itu sehingga di lain saat dua tangan itu jari-jarinya telah saling
cengkeram! Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lwee-kang. Sebelah tangan berebut
tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik dan sebelah lagi saling cengkeram.
Muka hwesio tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan
kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah
mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin
lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah
gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dari kepalanya sudah mengepul
uap, tanda pengerahan lwee-kang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.
Tenaga lwee-kang dari hwesio itu yang terdapat karena latihan I-kin-keng secara
mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih, maka setelah kini
pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan lwee-kang sudah dapat dipastikan
bahwa nyawa Ketua Kun-lunpai itu takkan tertolong lagi! Pertandingan lwee-kang
biarpun dilakukan tanpa mengeluarkan suara, tanpa bergerak namun bahayanya
melebihi silat.
Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan
kalau mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan.
Sebaliknya dalam pertandingan lwee-kang, orang bertanding mengandalkan tenaga di
dalam tubuh, hawa kekuatan yang
"tidak kelihatan" namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan
dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita
luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.
Bu Pun Su maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan
tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau
memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan biarpun
tongkatnya lenyap, berarti ia akan selamat nyawanya. Akan tetapi ketua itu tidak
mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia yang kagum kepada Keng
Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar
daripada nyawanya! Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya
makin keras dan tiba-tiba kakek sakti ini meludah.
Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan
tenaga lwee-kang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu. Kong Mo Taisu terkejut
setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan
mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis
tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!
"Ayaaaa..." Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali
rantainya dah melompat ke belakang. Dengan demikian maka Keng Thian Siansu
selamat dari bahaya maut.
Tosu tua ini terhuyung-huyung dan cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu
duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah mempergunakan
lwee-kang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat
ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan
nyawanya. Kini Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak
terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.
"Bu Pun Su, kau memang pengecut dan tak tahu malu!" Ia memaki dan bibirnya
bergerak-gerak akan tetapi tidak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia
sampai sukar mengeluarkan kata-kata! Bu Pun Su tersenyum mengejek,
"Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya
terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus dan dipergunakan untuk perbuatan
sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang
tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi
kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu,
berubah menjadi ilmu hitam yang keji!"
"Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang
maling hina. Kau sendiri seorang keji yang sudah membunuh dua orang cucu muridku
dan sekarang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku" Kau
tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng
bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap"
Apakah itu perbuatan laki-laki?"
Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini. "Terhadap lain orang gagah di dunia
kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya
memang harus diadakan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan
taruhah nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh
menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa kesopanan pula."
"Jahanam, kau memaki aku anjing?"
"Siapa memaki" Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo
Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kaubilang aku
membunuh dua orang cucu muridmu?"
"Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya
akan membawa kepalamu ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk
menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng."
Bu Pun Su tertawa geli. "Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan
mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang!
Apakah akan direbus lebih dulu" Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada
dagingnya mana ada setan yang suka?"
Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. "Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!"
Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. "Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Aku yang
hendak kaubunuh tidak tergesa-gesa, mengapa kau yang mau membunuh begitu tidak
sabaran" Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang,
mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri
dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain" Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-
lim-pai" Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang
tokoh Siauw-lim-pai itu?"
"Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok
Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun- lun-pai! Pinceng
adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam."
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan
lapat-lapat suara ini yang mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar
puncak, dijawab oleh auman binatang-binatang buas!
"Kong Mo Taisu, kaukira aku tidak dapat menduga" Kiranya siluman betina Pek Hoa
telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-
si pasti tidak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu.
Kemudian siluman itu lari memasuki guamu dan membujuk rayu dengan matanya yang
bening dan bibirnya yang merah.
Dan kau... ah, mana bisa lain" Kau dengan segala senang hati melaksanakan
permintaannya, untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?"
Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su,
seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan
Bu Pun Su ini tepat sekali. Pek Hoa setelah berhasil memanaskan hati orang-orang
Kun-lun-pai, lalu langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang
besar ia hanya diterima di ruang depan sekali, tidak diperbolehkan masuk. Di
mana wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan
dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-
tho. Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok
Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini
menyatakan ketidakpercayaannya.
"Apapun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su daripada
kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan
Siauw-lim-si!" kata Hek Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 236 Bin Taisu. Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-
lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-
heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat
memang telah datang ke guanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap
Siauw-lim-si. Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari gua dan
untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi
Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam
menggoda, membujuk dan merayu hati pria, ia sudah terlatih dan karenanya pandai
sekali. Kong Mo Taisu biarpun telah menjadi seorang hwesio dan sudah bertapa
bertahun-tahun akan tetapi pada dasarnya ia mempunya kelemahan batin.
Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya
ia kalah juga. Apalagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-
nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai,
Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!
Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh
ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu
yang menimbulkan marahnya.
"Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapapun juga, kau telah membunuh
dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!"
Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun
Su. Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga
memiliki tenaga lwee-kang dan ilmu I-kin-keng, maka serangan-serangannya tentu
amat berbahaya.
Akan tetapi di samping ini, ia pun maklum bahwa limu silat dari Kong Mo Taisu
adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna,
tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.
Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu,
kemudiah berkatalah Bu Pun Su,
"Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan
sehingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si, kemudian untuk ke dua kalinya kau
berbuat jahat sehingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu.
Sekarang kau belum bertobat bahkan telah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hwesio, kedosaanmu sudah memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!"
Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan
bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan
setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi
oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.
Sekali saja kakek ini menggeser kaki, miringkan tubuh atau menundukkan kepala,
menekuk lutut atau menggoyang pinggang, serangan-serangan itu mengenai tempat
kosong, dan hanya sejari terpisah dari anggauta tubuh! Dalam penglihatan para
tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya
menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga
semua pukulan tidak mengenai sasaran.
"Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?" Bu Pun Su
bicara terus dan cepat menggunakan tenaga Pek-in-hoat-sut untuk mengebut pergi
ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak
mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagaikan terdorong oleh tenaga
aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.
"Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek
terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Karena seorang hwesio itu wajib
membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu
berahi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 didahului dengan penggundulan rambut kepala."
Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai
yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
"Akan tetapi kau biarpun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh
oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!"
Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan
pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga
kaget bukan main. Ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di
kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Mengapa
sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, sampai dua puluh jurus
lebih serangan-serangannya tak pernah berhasil" Apalagi Bu Pun Su masih ada
kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!
Pukulan rantai ke arah kepala kali ini amat kuatnya, dilakukan dengan pengerahan
tenaga Ikin-keng sepenuhnya. Biarpun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun
Su sudah merasai sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.
"Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat..." kata
kakek sakti ini dan cepat ia mengulur tangan kanan menangkap ujung rantai yang
menyambar ke arah kepalanya.
Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su saja yang berani melakukannya,
karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andaikata setingkat
saia, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya
maut yang nyata!
Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa
itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab
pusaka Im-yang-bu-tek-cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh
besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil (baca
Pendekar Sakti).
Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biarpun kelihatannya
gerakannya biasa saja, namun lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih
dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat dan menyambar
cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah dan tanpa mengeluarkan suara ujung
baja itu sudah digenggamnya.
Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang
oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar amat aneh. Rantai
itu biarpun terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja
dapat berbengkok-bengkok.
Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong
dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga
lwee-kang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biarpun
yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras
melebihi baja. Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada
di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan
oleh tangan kaki, bahkan dengan senjata sekalipun, masih belum begitu
menegangkan seperti pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh
Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu.
Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang
hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!
Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini sudah memiliki
tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia
dapat menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.
"Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak
takkan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan
melupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!" Sambil berkata
demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, memberi
kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk,
tentu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan
mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga I-
kin-keng yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-
kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang
dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia
maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah
dan hal ini akan menjatuhkan namanya.
Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan
dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras ia mendorong dengan
segenap tenaga yang ada dalam dirinya! Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan
mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.
"Curang...!" Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan
Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk
dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-
erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu, Bu Pun Su adalah seorang
yang cerdik dan waspada. Ia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena
bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-
kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya. Diam-diam ia telah menyediakan
tenaganya di pundak. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu dengan nekat mendorong
dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak
tangan, menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali. Terdengar suara "krek...
krek... krek....!" dan satu demi satu mata rantai itu hancur! Akhirnya Kong Mo Taisu
mengeluarkan pekik mengerikan ketika mata rantai terakhir di dekat telapak
tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Ia jatuh terduduk,
wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua
matanya meram. "Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri." kata Bu
Pun Su menarik napas panjang, Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut
nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun sepak terjang Kong Mo Taisu
amat jahat dan tak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah
kehilangan seluruh tenaga lwee-kangnya, bahkan menderita luka-luka pada pundak
dan lengan yang berarti bahwa selamanya ia takkan dapat menjadi seorang ahli
silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang
kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu
Pun Su untuk melakukan pengawasan dan penjagaan di tapal barat untuk mencegah
musuh-musuh negara menyerbu dari barat memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu
Pun Su menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-
pai untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa
Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu ke pada Hok
Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai
tentang kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya
penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan tolong Bu Pun Su
untuk menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat
jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke
kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di Siauw-lim-pai dan
segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai
sendiri, hal yang jarang terjadi.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 *** Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek
sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian
Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak
Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita
bahwa Pek Hoa Pouwsat telah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari
tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.
Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu
sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki" Benar-benar aneh
sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-
koan, selain hendak menanyakan tentang Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, juga
hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar
itu. Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika ia tiba di
Sian-koan ia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga
Kiang. Kemudian ia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat
Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar
suara teguran Bu Pun Su, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-
sedu mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.
"Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat
yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh
Ayah..." Ia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya, terharu dan ikut berduka. Sebelum ia
menjumpai Im Giok, lebih dulu kakek ini telah mencari keterangan tentang
terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa
keluarga gadis ini.
"Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja
teecu dari muka bumi ini... teecu tidak kuat menanggung dosa..." gadis ini
melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.
"Kiang Im Giok, omongan apakah yang kaukeluarkan itu" Bukan demikian sikap
seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu, usir semua
kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari.
Angkat muka dan dada, arahkan pandang ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan
ini" Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?"
Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang
I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan
lamunan, membuatnya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang
masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di depannya
dengan mata penuh harap dan tanya.
Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa amat kasihan. Ia harus akui bahwa
selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan
tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
"Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang
kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi yatim piatu dan
dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah amat buruk. Aku tahu bahwa kau
kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan
tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati hidup"
Setiap pertemuan pasti akan diakhiri perpisahan, demikian pula setiap perpisahan
pasti akan mendatangkan pertemuan lain."
Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia
sudah sadar kembali, lalu menjawab,
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
240 "Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah
cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang
di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang untuk mengajukan pinangan untuk teecu kepada
Ayah, akan tetapi siapa kira, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah
meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu..." Mata yang
sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
"Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi
tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang
mengaturnya lebih dulu, kau tak perlu penasaran. Adapun semua sebab-sebab yang
mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin,
merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap
intisari semua sebab dan akibat, mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga
mata kita terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai
menyeleweng. Kau semenjak kecil dilatih tentang kegagahan, kau pun harus
memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian,
tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke
dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini
bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu
masih cukup banyak di dunia ini, mengapa terbenam dalam lamunan dan duka untuk
hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang
berada di depan mata" Beginikah sikap seorang pendekar?"
Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Ia memberi hormat sambil
berlutut lalu berkata,
"Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus
lakukan" Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk
memberi petunjuk."
"Banyak sekali yang dapat kaulakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan
kiranya pedangmu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia
yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang
kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di
dunia ini."
"Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian
seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw."
Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas
penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan, yang menarik dan dapat melupakan
orang akan kedukaannya, mendatangkan, perasaan bahwa dirinya masih penting dan
dibutuhkan oleh orang banyak.
"Baiklah, Im Giok. Aku pun sedang membutuhkan bantuanmu, maka kebetulan sekali
kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan selain membutuhkan
kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana.
Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang
persatuan, terjadi hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-
tong-pai dan Kim-san-pai terjadi bentrok dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah
sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai adalah
seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan.
Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan
terkenal sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu
adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sibuk
mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw,
maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki tentang
pertentangan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin
usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan
jalan damai."
Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
241 "Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw," katanya, kemudian
dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan kuburan ayahnya, juga
di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak
ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati dan pikirannya, setelah ia
bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couwnya.
"Di mana adanya sucimu?" tiba-tiba Bu Pun Su bertanya setelah Im Giok selesai
bersembahyang. "Kalau tidak pergi, tentu ada di rumah," jawab Im Giok yang selama ini seakan-
akan sudah lupa akan sucinya itu.
"Hemm, aku ingin bertemu dengan dia."
Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan,
rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim
Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para
pelayan, gadis itu sudah pergi dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena
tidak memberitahu kepada siapapun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia
mendapat kenyataan bahwa sucinya itu telah membawa semua pakaian dan perhiasan,
tanda bahwa sucinya itu pergi jauh dan mungkin sekali takkan kembali. Ia menarik
napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
"Im Giok, disamping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-
amati sucimu itu. Jangan sampai dia melakukan kejahatan-kejahatan dan
penyelewengan-penyelewengan yang akan menyemarkan nama baik kita. Betapapun
juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat
yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itupun anak muridku.
Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas sepak-terjangnya dan karenanya
aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk
perbuatan jahat."
Setelah banyak-banyak memberi nasi hat yang merupakan hiburan dan pembangkitan
semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Setelah kakek
ini pergi, Ang I Niocu lalu menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan
sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan
perjalanannya ke Kim-san. Ia memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan,
tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka ia menjual
rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau,
merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, disamping
memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar
pembela rakyat tertindas.
*** Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok
selalu mengenakan pakaian putih sederhana sekali, adalah sekarang dalam
perjalanannya, ia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah!
Pulih kembali kecantikannya dan kesegarannya yang dahulu dan setiap orang yang melihat gadis
baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang keduanya. Mukanya bulat
telur dengan dagu meruncing manis dan pipi tanpa cat selalu kemerah-merahan,
merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung
model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan rambut yang panjang
itu masih ada sisanya yang dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang
dahulu selalu dibelikan ayahnya yang memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya
yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak
lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu. Sepasang telinganya yang sebagian
atas tertutup rambut, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 242 digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-
anting ini bergerak-gerak selalu, bermain-main di antara leher dan dagu yang
halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh
kemanisan dan keindahan yang tidak membosankan. Alis matanya hitam kecil
memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang
cemerlang itu. Mata ini sekarang agak berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu selalu
membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan kegagahan, sekarang di situ terbayang
sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh
orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat. Mungkin dahulu
orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya seperti
sinar mata kanak-kanak nakal, akan tetapi sekarang, orang akan berpikir masak-
masak dulu sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang
dengan Ang I Niocu. Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang dahsyat
sesuatu yang merupakan ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka
dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, akan dapat menangkap
kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi, kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh
hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu
merah, di mana kadang-kadang waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih
yang selalu bersembunyi.
Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana
yang lebih indah matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya, yang nampak hanya bagian leher dan lengan baju, berwarna biru.
Kemudian bajunya terbuat dari sutera berwarna merah muda, amat lemas dan
membayangkan bentuk tubuhnya yang molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah
darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk
berwarna biru terhias benang emas.
Ikat pinggang ini yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat
bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan
tetapi, betapapun menariknya gadis jelita ini, orang tidak berani sembarangan
berlaku kurang ajar karena Ang I Niocu selain bersikap agung, juga selalu
membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, kuda bulu putih
kesayangannya. Dalam perjalanannya menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-
hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan
dibalapkannya kudanya. Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dulu
dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai
kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya
panjang. Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah sucinya
ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik
kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak
ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I
Niocu makin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari ketika ia tiba di sebuah dusun, ia mendengar suara orang wanita
menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari
kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda
yang sudah jinak dan mengerti, maka ia berani meninggalkannya begitu saja tanpa
mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih
muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak
di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
"Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu dan kau masih ada suka untuk
merengek-rengek" Benar-benar anjing yang tidak tahu malu!" laki-laki itu memaki
dan kakinya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
243 menendang sehingga perempuan itu roboh terguling. Akan tetapi perempuan itu
merangkak kembali dan diantara tangisnya terdengar ia berkata,
"Suamiku, mengapa kau begini kejam" Setelah kau terpikat oleh perempuan lain,
mengapa kau mengusirku" Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk
rayu ketika hendak meminangku" Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan
aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah
menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?"
"Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja
orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!"
Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, "Suamiku, mengapa kau
begitu keji...?"
"Siapa keji" Kaulah yang mendatangkan sial" Kau perempuan yang tidak menyambung
keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!" Kembali laki-
laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-
guling dan mengaduh-aduh. Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka
meringis menahan sakit
perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
"Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku
seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam
engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!"
"Jangan banyak cerewet...."
Kata-kata si suami ini terhenti dan ia berdiri melongo ketika tiba-tiba ia
melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa seperti bidadari, tahu-
tahu telah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama
hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan
melihat munculnya yang tiba-tiba itu, ia akan percaya kalau ada yang bilang
bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa
tadi. "Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?"
Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan
sebagai seorang dusun ia pun percaya akan tahyul dan mengira bahwa Ang I Niocu
tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
"Ampunkan hamba... dia itu, adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah
dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan agar hamba lebih dulu
dicerai. Suami hamba menggunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai
turunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba..."
Sejak tadipun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan
suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia
turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya.
Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek. Ia tahu
bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada
penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya"
Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami
menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana
jalannya" "Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?"
"Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?" perempuan itu bertanya
heran. "Biarpun andaikata ia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang
sekalipun?"
"Apapun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan
menjadi isterinya..." jawab isteri yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
"Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau
hendak mengusirnya" Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah" Orang macam engkau
harus Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
244 diberi hajaran. Rasakan ini!" Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong
itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan
tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri
kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat meraba ke bagian yang sakit, ternyata
bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap!
Darah mengucur dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah
daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.
"Lihat baik-baik daun telingamu!" kata Ang I Niocu sambil menyimpan kembali
pedangnya. "Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil
kepalamu!"
Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya,
menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan
dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan
kepala di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada gadis
itu sambil berkata, "Aku sengaja membuntungi telinganya agar ia kapok. Pula
kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-
mudahan rumah tanggamu baik kembali."
Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang
I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan
mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik
mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk di atas kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan
semua peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan
dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,
"Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya
suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta
ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh karena mencintaiku.
Perempuan tadipun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang
keji." Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa
cinta di dalam hatinya telah terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan
kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk tidak menikah
selama hidupnya, untuk hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-
perbuatan besar sebagai seorang li-hiap (pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta kasih, menjadi rendah dan remeh, dan di dalam
pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka,
bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu daripada cinta kasih murni. Cinta
kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apalagi yang palsu! Bergidik
kalau ia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju ke Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-
pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dan Cing-hai. Daerah ini
adalah daerah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai
daerah yang amat liar dan berbahaya.
Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang
buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini
dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan perampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan
nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala
perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka memiliki
kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing. Pernah ada beberapa orang
gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san dan menyerbu Min-san Sam-kui
ini, akan tetapi para pendekar itu terpukul mundur dan terpaksa lari turun
gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik
lagi. Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau
berani Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
245 mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, tokoh-tokoh besar tidak mau mengganggu
mereka oleh karena memang tiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim
(berandal) yang gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim dan
kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan hanya beroperasi di daerah
Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi
besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan
julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok
yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang
amat hebat. Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong
yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang amat tebal besar dan tajam,
beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya
tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan
golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini
seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih dan tampan sekali.
Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka ia
dijuluki Si Tangan Putih.
Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak
dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau sedang marah.
Gelang Kemala 4 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Pedang Siluman 2