Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 19

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 19


Barat, karena ia
mempunyai kepandaian dan kecerdasan luar biasa. Begitu mengetahui, bahwa nyonya
itu adalah lawan yang berat, ia segera memusatkan tenaga lweekang di kedua kaki dan dengan
sekali menjejek, es yang diinjaknya lantas saja pecah. Phang Lin kaget dan segera
melompat ke atas.
Waktu badannya melayang turun ke bawah, ia menggunakan kesempatan untuk memukul
kepala si kakek. Inilah yang ditunggukan oleh Timotato! Untuk menggunakan Imyang Ngoheng
Tjianglek, ia perlu meminjam tenaga musuh. Waktu itu, lweekang Phang Lin dibagi jadi dua
bagian, sebagian
digunakan untuk melompat dan sebagian pula untuk memukul musuh. Karena
terpencarnya tenaga, hampir-hampir ia kena dibetot dengan tenaga terputar dari Imyang
Tjianglek. Untung
juga, Phang Lin memiliki ilmu mengentengkan badan yang tiada tandingannya dalam
dunia, sehingga pada saat yang sangat berbahaya, ia masih bisa melayang turun ke bumi
dengan selamat. Begitu lekas hinggap di tanah, Phang Lin segera mengempos semangat dan menyerang
pula dengan pitanya.
Sesudah lewat beberapa jurus, sekonyong-konyong Timotato mengubah cara
bersilatnya. Ia
menyerang dengan mementang lima jeriji tangan kirinya, sedang tangan kanannya
terus membuat lingkaran-lingkaran. Dalam sekejap, satu perubahan telah terjadi, yaitu, pita si
nyonya tak dapat
menembus lagi garis pembelaan si kakek.
Ternyata, sebagai seorang yang sangat cerdas, Timotato insyaf, bahwa tenaga
lweekang-nya kira-kira setanding dengan lweekang si nyonya dan ia sukar memperoleh kemenangan
dengan hanya menggunakan Imyang Tjianglek. Maka itu, ia lantas saja mengubah taktik:
Telapakan tangan kanannya tetap menyerang dengan Imyang Tjianglek, sedang lima jeriji
tangan kiri dipentang dan melawan serangan pita dengan memusatkan lweekang di ujung jeriji.
Dapat dimengerti, bahwa karena permukaan telapakan agak lebar, maka lweekang yang
keluar dari telapakan jadi terpancar agak lemah. Tapi lweekang dari jeriji yang kecil
lancip, sangat "tajam"
sebab semua tenaga berpusat di satu titik, sehingga begitu tersentuh, pita Phang
Lin lantas saja
terpental. Maka itulah, sesudah si kakek mengubah taktik, pita tersebut tak
dapat menembus lagi
garis pembelaannya. Demikianlah mereka terus bertempur dengan serunya tanpa ada
yang keteter. Keng Thian dan yang lain-lain mengawasi jalan pertempuran dengan hati berdebar-
debar. Tiba-tiba Kang Lam berbisik: "Tong Lootaypo, mengapa kau tak mau menggunakan
lagi senjata rahasia?" Sebab duduk di dekat si nenek, ia tahu, bahwa Samleng Touwkoet teng
telah dilepaskan
oleh orang tua itu.
Tong Say Hoa tertawa getir. "Ilmu melepaskan senjata rahasia dari Phang Lin
banyak lebih liehay daripadaku," jawabnya. "Jika aku membantu, bisa-bisa keadaan jadi semakin
jelek." Mendengar itu, Keng Thian baru tahu, bahwa Touwkoet teng benar-benar bukan
dilepaskan oleh Timotato. Semakin lama mereka bertempur semakin sengit dan Phang Lin yang biasanya selalu
tertawa haha-hihi, tidak terdengar lagi tertawanya.
Mendadak angin dari atas gunung kembali meniup keras, sehingga pasir, batu-batu
kecil dan kembang salju terbang berhamburan. Sekonyong-konyong, dibawa dengan kesiuran
angin, dari atas gunung terdengar teriakan yang aneh, panjang dan nyaring.
"Kim Sie Ie!" teriak Phang Lin, seraya melompat keluar dari gelanggang dan
bagaikan kilat, ia
berlari-lari mendaki gunung.
Timotato kelihatan terkejut dan sesudah bicara beberapa patah, ia pun segera
berlari-lari ke
atas gunung. Dalam sekejap, si nyonya dan si kakek sudah tak kelihatan bayang-
bayangan lagi. Perubahan yang mendadak itu sudah mengejutkan semua orang sehingga mereka saling
mengawasi dengan mulut ternganga.
Beberapa saat kemudian, barulah juru bahasa menghampiri raja dan melaporkan
sambil membungkuk: "Timotato
Thayhoatsoe mengatakan, bahwa seorang muridnya telah memanggilnya dari atas
gunung dan karena ia ingin segera mendaki Tjoe-hong, maka ia meminta diri dari baginda."
"Dusta!" teriak Keng Thian. "Itulah suaranya Kim Sie Ie.
Mengapa dia mengatakan muridnya?"
"Piauwko," kata Kim Bwee dengan suara tak sabaran sambil menyeret tangan
kakaknya. "Marilah kita menyusul."
Keadaan jadi kacau-Tong
Say Hoa, Pengtjoan Thianlie, Keng Thian dan yang lain-lain segera bangun
berdiri. Tapi, sebelum mereka berangkat, sekonyong-konyong terjadi pula perubahan yang lebih
mengejutkan. Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara terompet yang ramai dan saling
susul dan beberapa saat kemudian, boesoe Nepal yang menjaga di mulut lembah datang
melaporkan: "Tentara Tjeng sudah tiba di mulut lembah!"
Paras muka raja lantas saja berubah pucat bagaikan kertas.
"Karena tentara kita sudah melewati perbatasan orang, orang tentu saja datang
menegur," kata
Peng Go. "Untung juga, mereka masih menunggu di luar lembah. Sekarang ini daya
upaya yang paling baik adalah menyingkirkan permusuhan dan mengadakan perdamaian."
"Apa mereka mau?" tanya raja dengan perasaan kuatir.
"Karena sekarang belum di kirim surat tantangan, kurasa masih dapat diadakan
perdamaian, jika baginda bersedia untuk menghaturkan maaf," kata Keng Thian.
Dalam keadaan terdesak dan bingung, hati sang raja jadi agak terhibur karena
perkataan Keng Thian. "Kalau begitu, aku mohon Tong Tayhiap sudi pergi bersama-sama untuk bantu
bicara," katanya. "Menyingkirkan segala bencana adalah kewajiban dari setiap orang dalam Rimba
Persilatan,"
kata pemuda itu. "Segala perintah baginda, kuakan menjalankan dengan segala
senang hati."
Tanpa menyia-nyiakan tempo, raja segera mempersilahkan Keng Thian dan Peng Go
menunggang gajah putih dan dengan segala upacara kehormatan, bersama-sama raja
mereka lalu berangkat untuk menyambut tentara Tjeng.
"Piauwko," teriak Kim Bwee dengan suara bingung. "Apa kau tak sudi menolong Kim
Sie Ie?" "Begitu lekas aku sudah menyelesaikan urusan disini, aku akan segera mendaki
gunung," jawab
sang kakak. Paras muka si nona lantas saja berubah kurang senang. "Kalau begitu, aku
berangkat lebih
dulu," katanya.
Keng Thian segera mengeluarkan sebuah peles perak yang di dalamnya berisi tiga
butir Pekleng tan dan menyerahkannya kepada Lie Kim Bwee. "Biarpun Pekleng tan tidak dapat
menyembuhkan akar penyakit, tapi bisa memperpanjang umurnya sekian hari," katanya "Di
sepanjang jalan kau
harus memberi pertandaan, supaya aku dapat mengikutinya."
Si nona menyambuti peles itu sambil menghela napas. "Jika Sie Ie-ko tak dapat
ditolong, seluruh penghidupanku akan kosong melompong," katanya. Inilah untuk pertama kali
Keng Thian menyaksikan si nakal bersusah hati.
Begitu lekas rombongan raja Nepal keluar dari mulut lembah, mereka melihat
tentara Tjeng dalam formasi seperti kipas. Dengan senjata yang berkilauan dan bendera-bendera
yang berkibarkibar
dengan megah, tentara itu kelihatan angker sekali.
Sesudah mereka datang dekat, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan seruan kaget sambil
menuding ke depan: "Ih! Coba lihat! Bukankah itu Thian Oe dan Yoe Peng?" Keng Thian
mengawasi ke arah
yang ditunjuk si nona. Di bawah bendera "Swee" (bendera panglima perang yang
memimpin tentara) terlihat seorang jenderal yang paras mukanya angker dan bersenjata toya
Longgee pang diapit oleh seorang pemuda dan seorang wanita cantik. Keng Thian segera
mengenali, bahwa
jenderal itu adalah Tjiauw Tjoen Loei, sedang kedua orang muda memang bukan lain
daripada Tan Thian Oe dan Yoe Peng. Ternyata, karena melihat bakat dan kecerdasan pemuda
itu, dalam menggerakkan tentara untuk menghadapi tentara Nepal, Hok Kong An sudah
mengangkat Thian
Oe sebagai Tjamkoen. Yoe Peng yang ingin sekali bertemu dengan majikannya, sudah
mendapat permisi untuk mengikut pasukan itu.
Keng Thian jadi girang bukan main, karena ia merasa pasti, bahwa persoalan yang
kini dihadapi akan segera menjadi beres. Sesudah kedua belah pihak bertemu muka, Tjiauw Tjoen
Loei yang tak begitu pandai bicara, lantas mengangkat Thian Oe sebagai wakilnya untuk
mengadakan perundingan di tenda panglima perang.
Dalam musyawarah itu, Thian Oe menegur raja dan menanya, mengapa tentara Nepal
melanggar perbatasan. Raja memberi keterangan, bahwa dalam latihan tentara yang
biasa diadakan dalam tempo-tempo tertentu, mereka telah diserang dengan hawa yang
sangat dingin dan oleh karenanya, mereka masuk ke dalam lembah itu untuk berlindung. Sebab
Himalaya adalah
sebuah gunung yang sangat besar dan luas, secara tidak disengaja tentara Nepal
sudah melewati perbatasan. Untuk kekeliruan itu, raja meminta maaf.
Walaupun merasa, bahwa keterangan itu adalah keterangan yang dibuat-buat, akan
tetapi sebagai seorang wakil yang cerdas. Thian Oe segera menerima baik keterangan itu.
Diam-diam ia merasa girang, bahwa pertikaian perbatasan dapat dibereskan secara begitu mudah.
Akhirnya diambil keputusan untuk melanjutkan pertemuan besok pagi guna merundingkan
penukaran nota persahabatan antara kerajaan Tjeng dan kerajaan Nepal.
Sesudah beres, Tjiauw Tjoen Loei segera memerintahkan orang menyediakan meja
perjamuan guna menjamu raja Nepal dan rombongannya. Di samping itu, ia juga menjanjikan
hadiah selaksa pakaian musim dingin untuk tentara Nepal dan hadiah yang tidak diduga-duga itu
sudah diterima oleh raja dengan menghaturkan terima kasih.
Sebelum perjamuan dibuka, Thian Oe mengajak Keng Thian ke satu sudut untuk
beromongomong mengenai hal-hal yang terjadi semenjak mereka berpisahan.
Mendengar terancamnya jiwa Kim Sie Ie yang sekarang sedang mendaki gunung
seorang diri, Thian Oe berduka dan ingin mengikut mencarinya.
"Tak usah," kata Keng Thian. "Disini kau mempunyai tugas penting dan untuk
mencari Kim Sie
Ie, beberapa orang sudah naik ke atas."
Thian Oe mengangguk. Sesaat kemudian, ia berkata dengan suara terharu: "Tak lama
lagi kita akan berpisahan jauh."
"Apakah ayahmu sudah menerima firman kaisar?" tanya Keng Thian. "Apa sudah ada
berita tentang pemulangan kalian ke Selatan?"
"Dari kota raja sudah datang warta, bahwa ayah akan segera dipanggil pulang dan
diangkat pula menjadi Giesoe," jawabnya. "Menurut niatan ayah, sesudah kembali ke kota
raja, ia akan mengajukan permohonan untuk meletakkan jabatan dan pulang ke kampung halaman."
"Apa aku diajak?" menyeletuk Kang Lam. "Namaku Kang Lam dan setiap hari aku
mendengar ceritera tentang keindahan daerah Kanglam. Tapi aku sendiri belum pernah melihat
Kanglam." "Kanglam mirip-mirip seperti kau," kata Keng Thian sambil tertawa. "Nakal,
bersemangat dan
selalu bergembira."
"Kang Lam, kedudukanmu sekarang tiada beda seperti kedudukanku," kata Thian Oe
dengan paras sungguh-sungguh. "Kau merdeka untuk pergi kemana pun kau suka. Jika kau
suka mengikut kami ke Kanglam, kami tentu saja akan merasa sangat bersyukur. Untuk bicara
terus terang, aku
memang merasa berat berpisahan dengan kau."
Sementara itu, Yoe Peng pun sedang bicara dari hati ke hati dengan majikannya.
"Kongtjoe,
apakah kau bakal pulang ke Nepal," tanya si dayang.
"Aku kepingin sekali, hanya kukuatir raja tidak menyukai kedatanganku,"
jawabnya. Sang majikan lantas saja menceritakan apa yang sudah terjadi, sehingga Yoe Peng
tertawa terpingkalpingkal.
"Tapi apakah Kongtjoe ingin kembali ke istana es?" tanya pula Yoe Peng.
"Mengapa kau tanya begitu?" si nona balas menanya.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yoe Peng bersenyum dan menjawab dengan suara perlahan: "Istana es terlalu sepi
dan dingin, sekarang agaknya tak menarik lagi."
"Tapi kusendiri sangat senang berdiam di istana es," kata si nona.
Yoe Peng mengangguk, tapi pada paras mukanya terlihat perasaan putus harapan.
Peng Go bersenyum dan lalu berkata dengan suara halus: "Yoe Peng, sikapku terhadapmu
adalah bersamaan dengan sikap Thian Oe terhadap Kang Lam. Mulai dari ini waktu, kita
adalah seperti kakak dan adik. Kau sekarang merdeka dan bebas untuk pergi kemanapun jua."
"Kongtjoe, sedikitpun aku tak punya niatan untuk berpisahan denganmu," kata si
dayang terburu-buru. Pengtjoan Thianlie tertawa dan berkata: "Yoe Peng, setiap manusia mempunyai
peruntungan sendiri-sendiri. Kutahu, bahwa dalam hatimu, kau tak ingin kembali ke istana es
karena kau ingin
mengikut Tan Kongtjoe pulang ke Kanglam. Thian Oe adalah pemuda yang baik dan
kumerasa lega jika kau berada di bawah perlindungannya."
Mendengar perkataan sang majikan yang mengenai jitu rahasia hatinya, Yoe Peng
tak bisa bicara lagi. Ia menunduk dengan paras muka merah, dengan kemalu-maluan dan
berterima kasih
akan kemuliaan dan kebijaksanaan sang majikan.
Perjamuan berlangsung dengan gembira dan baru berakhir sesudah magrib. Keng
Thian dan Pengtjoan Thianlie terus berdiam di perkemahan tentara Tjeng, sedang raja Nepal
dan menterimenterinya
pulang ke tenda mereka, untuk berunding lagi pada esokan harinya. Sesudah
mengetahui, bahwa Liong Leng Kiauw lari ke gunung, Tong Say Hoa bersama
keponakannya segera berangkat untuk menyusul.
Pemandangan malam di pegunungan Himalaya sangat luar biasa. Ribuan puncak
berderet-deret tertutup salju putih yang terang benderang, sehingga orang merasa seakan-akan ia
berada di dunia kristal. Untuk menolong sahabat, malam-malam Keng Thian dan Peng Go
mendaki gunung.
Mereka berhenti sebentar di tempat dimana Kim Sie Ie menulis syairnya. Keng
Thian tertawa dan
berkata: "Semula aku agak membenci dia, tapi sekarang dengan hati yang suci, aku
mengharap jiwanya bisa ketolongan."
"Dalam dunia ini memang terdapat banyak sekali hal yang tak bisa diduga terlebih
dulu," kata si
nona. Selagi beromong-omong, kesunyian malam tiba-tiba dipecahkan dengan teriakan aneh
yang panjang dan nyaring. Itulah teriakan Kim Sie Ie! Tapi dimana dia" Apa yang
dilihatnya hanyalah
puncak-puncak yang menjulang ke langit.
*** Jika Pengtjoan Thianlie sangat memikir keselamatan Kim Sie Ie, adalah Kim Sie Ie
selalu berdoa untuk keselamatan gadis yang hatinya mulia itu. Kim Sie Ie telah melihat mereka,
tapi mereka tak
melihat Kim Sie Ie.
Pada hari itu, pada waktu Keng Thian dan Peng Go mencegat si pendeta jubah merah
untuk menolong Liong Leng Kiauw, Kim Sie Ie sebenarnya bersembunyi di puncak seberang
dan telah menyaksikan segala kejadian.
Ia yakin, bahwa jika ia muncul, jiwanya akan segera ketolongan. Tapi ia adalah
seorang angkuh yang sungkan memohon terhadap siapapun juga. Sesudah Keng Thian dan Peng Go
berlalu, ia mendongak dan menghela napas panjang.
Angin gunung meniup kembang salju dan kembang salju menyentuh badannya.
Mendadak, pada hatinya yang "mati" seperti air telaga yang tenang muncul goncangan
gelombang. Tiba-tiba
saja, di depan matanya terbayang kembali kejadian-kejadian yang lampau. Ia ingat
kekejaman manusia, tapi ia ingat juga kebaikan manusia, kebaikan orang-orang seperti
Pengtjoan Thianlie
dan Lie Kim Bwee.
Sekonyong-konyong, bagaikan seorang yang mendapat ilham, ia berlutut dan berdoa
akan keselamatan Peng Go. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak pernah bersembahyang dan
tak pernah memuja apapun jua. Tapi sekarang, dengan rendah hati, ia memohon kepada Yang
Maha Kuasa agar Peng Go dilindungi, agar dia bisa hidup beruntung dengan Tong Keng Thian.
Pada sesaat itu,
bagaikan bayi yang baru terlahir, hatinya bebas dari rasa jelus dan benci.
Ia menarik napas panjang dan dengan hati lega, dengan suatu kerelaan untuk mati
dimana pun juga, ia mulai mendaki gunung seorang diri.
Selagi enak jalan, tiba-tiba ia melihat satu bayangan manusia yang berlari-lari
dengan kecepatan luar biasa. Orang itu adalah Liong Leng Kiauw. Karena merasa heran, ia
lalu menguntit dari belakang. Liong Leng Kiauw kabur dengan pikiran kalut. Ia yakin, bahwa raja Nepal akan
terus berusaha untuk menangkapnya dan ia juga- tahu, bahwa jika pulang ke Lhasa, ia bakal
dibekuk oleh pemerintah Tjeng. Sesudah menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya ia mengambil
keputusan untuk kembali ke Lhasa guna melaporkan segala pengalamannya. Ia merasa
lebih rela untuk binasa dalam tangan Hok Kong An daripada jadi boneka kerajaan asing dan
menuntun tentara asing masuk ke wilayah Tionggoan.
Semakin lama salju turun semakin besar, sedang matahari sudah doyong ke barat.
Leng Kiauw mempercepat tindakannya untuk mencari gua guna melewati malam. Tiba-tiba di
antara kesiuran
angin dingin, ia merasa hembusan hawa yang agak panas. Ia jalan terlebih cepat
dan tak lama kemudian, untuk kegirangannya, ia melihat sumber air panas yang mancur ke atas
dengan megahnya. Disoroti sinar matahari sore, air mancur yang mengepul-ngepul itu
indah luar biasa,
seolah-olah kembang api yang beraneka-wama. Di Tibet memang terdapat banyak
sekali sumber air panas, tapi terdapatnya sumber itu di pegunungan Himalaya adalah suatu
kejadian yang luar
biasa. Leng Kiauw jadi girang karena ia bisa melewati malam itu tanpa kedinginan.
Selagi duduk mengasoh di pinggir air mancur, tiba-tiba hidungnya mengendus bebauan bunga yang
sangat harum. Dengan perasaan heran, ia bangun berdiri dan menuju ke arah bebauan itu.
"Jalan belum
berapa jauh, ia melihat sebuah rumah kecil yang berdiri disatu tanjakan dan di
seputar rumah itu,
yang dikurung tembok kate, terdapat taman bunga dengan kembang-kembangnya yang
beranekawarna. "Tumbuhnya pohon bunga di tempat yang hawanya hangat bukan kejadian heran,"
katanya didalam hati. "Tapi terdapatnya sebuah rumah penduduk yang terpencil di
pegunungan ini, benarbenar
kejadian langka." Harus diketahui, bahwa walaupun tempat itu belum mencapai
separuhnya tinggi Himalaya, tapi karena gunung tersebut berlipat-lipat kali lebih besar dan
lebih tinggi dari
gunung biasa, maka jangankan di puncaknya, sedangkan di lerengnya pun salju tak
pernah melumer di seluruh tahun. Itulah sebabnya, seorang manusia biasa tentu tak akan
bisa hidup disitu. Leng Kiauw menghampiri dan menolak pintu taman yang tidak terkunci dan lantas
saja terbuka. Ia melihat seorang gadis muda yang justeru sedang memanggil ayahnya: "Thia-thia!
Coba lihat! Mawar yang ditanam olehku sudah mulai mekar." Mendadak gadis itu menengok dan
dua pasang mata lantas saja kebentrok, sehingga sama-sama mengeluarkan seruan kaget.
Nona itu yang tangannya kotor dengan tanah dan memegang gunting, segera menegur:
"Siapa kau?" "Seorang pemburu yang kesasar," jawabnya.
"Kau berani naik gunung selagi salju turun begini besar?" tanya pula si nona.
"Aku ingin memburu kerbau liar," jawabnya.
Gadis itu mengawasi dengan rasa sangsi sebab Leng Kiauw sama sekali tidak
membekal alat memburu dan juga sebab sekali pun pemburu yang bernyali besar tak akan berani
naik sampai disitu. Tapi, biar bagaimanapun jua, sebagai seorang yang hidup terpencil, ia
merasa girang melihat munculnya sesama manusia. "Bagus!" katanya. "Kau tunggu dulu. Aku ingin
melaporkan kepada ayah."
"Berapa banyak jumlah keluargamu?" tanya Leng Kiauw.
"Hra! Hanya ayah dan aku," jawabnya.
Leng Kiauw jadi heran dan bimbang. Sesaat kemudian, di luar pekarangan sudah
terdengar tindakan kaki yang sangat enteng. "Tak perduli dia pemburu tulen atau bukan,
kita harus menyambutnya dengan segala senang hati dan kau tak usah menanyakan asal-
usulnya," demikian
terdengar suara seorang tua yang sangat perlahan. Suara itu bukan saja sangat
perlahan, tapi malahan seperti dibisiki di kuping si nona, sehingga menurut pantas, tak akan
bisa didengar oleh
orang ketiga. Tapi Leng Kiauw adalah seorang ahli senjata rahasia yang kupingnya
tajam luar biasa dan setiap perkataan orang tua itu sudah dapat didengar tegas olehnya.
Pintu taman terbuka dan seorang tua yang rambutnya putih, punggungnya agak
bongkok, tapi mukanya bersinar merah, bertindak masuk.
Leng Kiauw terkejut. "Tak bisa salah lagi, ia adalah seorang berilmu yang
menyembunyikan diri," pikirnya. Buru-buru ia memberi hormat dan menanyakan she dan nama orang
tua itu. "Aku she Phoei," jawabnya. "Sesudah berdiam disini tiga puluh tahun dan tak
pernah ada orang
yang memanggil namaku, aku sendiri sudah melupakannya."
Sesudah memberitahukan she dan namanya, Leng Kiauw berkata: "Aku naik ke gunung
ini untuk memburu kerbau liar, tapi tidak dinyana semakin lama kunaik semakin tinggi
dan akhirnya kesasar sampai disini. Untuk gangguanku ini, harap Lootiang sudi memaafkan."
Si kakek mengangguk dan berkata dengan suara manis: "Jika Tjongsoe (orang gagah)
tidak buat celaan, sebaiknya kau menginap semalaman di gubukku ini."
Dengan rasa syukur dan sambil menghaturkan terima kasih, Leng Kiauw lalu
mengikuti ayah dan anak itu masuk ke dalam. Ruangan itu diperaboti sederhana sekali, sedang di
tembok tergantung beberapa kulit binatang dan di satu sudut ditumpuk sedikit rumput
obat-obatan. Beberapa saat kemudian, si nona membawa keluar sepiring daging dan semangkok
besar susu kerbau. Orang tua itu tertawa seraya menanya: "Apakah kau bertemu dengan kerbau liar
waktu mendaki gunung?"
"Tidak," jawabnya.
"Kerbau itu biasanya keluar di waktu salju baru berhenti turun," katanya pula.
"Untuk bisa
membinasakannya, seorang pemburu harus berlaku sabar dan menunggu lama. Beberapa
hari yang lalu anakku sangat mujur dan sudah membinasakan seekor kerbau, cukup untuk
hidup beberapa bulan. Minumlah susu itu, paling enak jika diminum panas-panas."
Mendengar keterangan itu, Leng Kiauw terperanjat. Harus diketahui, bahwa kerbau
liar di daerah Tibet banyak lebih ganas dan buas daripada harimau. Dengan berkawan
belasan atau puluhan orang, barulah pemburu berani turun tangan untuk menangkap atau
membunuhnya. Bahwa seorang gadis jelita telah berhasil membunuh seekor kerbau itu, benar-
benar kejadian luar
biasa. Biarpun ia sudah menduga, bahwa ayah dan anak itu bukan sembarang orang,
tapi keterangan tersebut masih tetap mengejutkan. Walaupun heran, ia tak berani
menanyakan asalusul
mereka, karena dalam kalangan Kangouw terdapat banyak pantangan.
"Bahwa Tjongsoe berani menangkap kerbau liar seorang diri merupakan bukti, bahwa
nyalimu besar sekali," kata si kakek. "Pedang yang tergantung di pinggangmu kelihatannya
bukan sembarang pedang dan Tjongsoe tentulah juga memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi." Leng Kiauw merasa, bahwa tak guna ia berdusta. Maka itu, ia segera berkata
dengan merendah: "Aku hanya belajar beberapa tahun dan perkataan Lootiang, bahwa aku
memiliki kepandaian tinggi, tak dapat aku menerimanya."
"Siapa gurumu?" menyeletuk si nona.
Si kakek melirik puterinya yang lantas saja menunduk dengan paras kemalu-maluan.
"Guruku adalah seorang she Tong dari propinsi Soetjoan," jawab Leng Kiauw
Orang tua itu hanya mengeluarkan suara "oh" dan tidak mendesak terlebih jauh.
Leng Kiauw memasukkan sepotong daging kerbau ke dalam mulut, tapi lantas ia
mengeluarkan lagi sebab daging itu terlalu amis.
Si nona tertawa seraya berkata: "Apa Liong Sianseng tak doyan daging itu" Tong


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tayhiap doyan sekali!"
Sekali lagi, si kakek melirik puterinya yang sangat lancang.
Leng Kiauw kaget. "Tong Tayhiap yang mana?" tanyanya.
Orang tua itu bersenyum dan menjawab: "Seorang sahabat yang mengerti ilmu silat
pedang. Anakku jarang sekali bertemu dengan orang luar dan siapa saja yang berkepandaian
lebih tinggi daripadanya, ia lantas memanggil Tayhiap."
Leng Kiauw turut bersenyum, tapi dalam hatinya, ia heran bukan main. Ia tahu,
dalam dunia ini, orang yang dipanggil sebagai Tong Tayhiap hanyalah Keng Thian dan ayahnya.
Tong Siauw Lan berada di Thiansan, sedang Keng Thian sendiri masih berada di kaki gunung.
Siapakah yang dipanggil Tong Tayhiap oleh si nona"
Susu kerbau ternyata sangat cocok bagi lidah Leng Kiauw dan ia lantas minum
habis semangkok besar. Tapi karena susu itu sangat panas, sesudah minum, ia
mengeluarkan banyak
keringat. "Jika panas Tjongsoe boleh buka baju luarmu," kata orang tua itu.
Leng Kiauw manggutkan kepalanya dan lalu membuka baju luarnya yang terbuat dari
kulit rase. Tiba-tiba si kakek mengawasi pinggangnya dengan sorot mata yang sangat luar
biasa. Liong Leng
Kiauw adalah seorang yang sudah kenyang mengalami gelombang dan badai besar.
Tapi melihat sorot mata itu, jantungnya memukul keras.
Di lain saat, ia mengetahui, bahwa apa yang diawasi tuan rumah adalah singa-
singaan giok putih yang tergantung di pinggangnya. "Apa mungkin seorang yang kelihatannya
berilmu tinggi,
maui barang tidak berharga?" tanyanya di dalam hati. "Jika singa-singaan ini
bukan barang turunan dari ayahku, kutentu tak merasa halangan untuk memberikan kepadanya."
Gadis itu juga rupanya sudah melihat sorot mata ayahnya yang sangat aneh. "Thia-
thia," katanya dengan suara perlahan. "Susu sudah dingin."
Sesudah memikir sejenak, Leng Kiauw segera merogoh saku dan mengeluarkan
serenceng mutiara. "Lootiang, untuk segala kebaikanmu, kutak mempunyai apa-apa untuk
membalasnya dan
aku ingin sekali menyerahkan serenceng mutiara ini kepada puterimu," katanya
dengan sikap menghormat. "Aku sangat mengharap, Lootiang tidak menolaknya. Mutiara ini bukan
untuk membalas budi, tapi hanya sebagai tanda dari rasa terima kasihku."
Sinar mata si kakek yang luar biasa lantas saja menghilang. Ia tertawa terbahak-
bahak seraya berkata: "Apa gunanya mutiara bagi seorang wanita yang hidup di atas gunung"
Apakah untuk diperlihatkan kepada binatang-binatang liar?"
Si nona yang belum pernah melihat mutiara, lantas saja mengawasi dengan sorot
mata heran. "Apa itu?" tanyanya. "Mengapa bersinar terang?"
"Orang kata: Pedang mustika untuk dihadiahkan kepada pendekar, sedang mutiara
untuk wanita cantik," kata Leng Kiauw. "Nona, kau cocok sekali memakai perhiasan ini."
Gadis itu tertawa nyaring dan berkata: "Aku pernah melihat wanita cantik dalam
lukisan. Dia kelihatannya begitu ayu dan lemah lembut, seperti juga tak akan bisa berdiri
tegak jika ditiup
angin. Hih! Aku tak mau menjadi wanita cantik yang seperti itu."
Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup di gunung, si nona sama sekali tidak
mengerti adat istiadat dan kebiasaan dunia. Melihat rencengan mutiara yang sangat indah,
hatinya ketarik dan ia
memperlihatkan perasaan hatinya itu secara terang-terangan.
Alis si kakek berkerut, tapi mendadak ia berkata: "Soat-djie, jika kau merasa
suka kau boleh menghaturkan terima kasih kepada tamu kita."
Si nona tertawa dan segera memberi hormat yang lantas dibalas oleh Liong Leng
Kiauw. Tapi terhadap si nona yang suci dan polos, sedikitpun ia tidak memandang rendah.
Sementara itu, si kakek bersenyum seraya berkata: "Untuk bisa membeli serenceng
mutiara Lamhay, seorang pemburu di Tibet harus lebih dulu menangkap beberapa belas
kerbau liar."
Leng Kiauw jadi merasa jengah sendiri, karena dengan mempersembahkan mutiara
itu, ia membuka rahasia sendiri. Tapi sebab ia yakin, bahwa orang tua itu bukan
sembarang orang, maka
walaupun rahasianya sudah terbuka, ia tidak berkuatir.
Malam itu, Leng Kiauw tidur dalam sebuah kamar yang berdempetan dengan taman
bunga. Dapat dimengerti, jika ia tak bisa pulas. Ia memikiri cara-cara luar biasa dari
tuan rumah dan puterinya, ia coba memecahkan teka-teki sekitar sorot mata aneh dari si kakek
yang mengawasi singa-singaan di pinggangnya. Mengingat singa-singaan, lantas saja ia ingat
mendiang ayahnya,
yang dulu pernah memimpin ratusan laksa tentara, tapi yang tak urung dibinasakan
juga oleh kai/ar Tjeng. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: Waktu itu ayahku
sebenarnya bisa
mengangkat diri menjadi raja, hanya sayang, nyalinya kurang besar." Ia ingat
pula cita-cita dan
rencananya sendiri yang sudah diatur dalam banyak tahun, tapi yang akhirnya
gagal semua. Sambil memikir pergi datang, hidungnya terus mengendus wanginya bunga-bunga
didalam taman. Perlahan-lahan ia bangun dan memakai jubah luarnya, akan kemudian keluar jalan-
jalan di taman bunga. Sesudah melewati pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat pagar kate
yang mengurung satu sudut taman. Karena ingin tahu, ia lalu menghampiri dan begitu
melihat, ia terkesiap! Tanpa menghiraukan kemungkinan ditegur tuan rumah, ia mendorong pagar
yang lantas saja roboh dan bertindak masuk. Begitu masuk, ia melihat dua patung batu,
yang satu merupakan seorang bangsawan bangsa Boan, sedang yang satunya lagi adalah patung
ayahnya sendiri - Lian Keng Giauw! Apa yang lebih luar biasa, pada patung ayahnya
tertancap dua batang
golok. Leng Kiauw mengeluarkan keringat dingin dan bergemetar sekujur badannya. "Apa
aku mimpi?"
tanyanya di dalam hati. Di lain saat, ia gusar tercampur takut.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkreseknya pakaian yang tertiup angin. Sambil
menggereng bagaikan harimau terluka, ia memutar badan dan menindju. "Bangsat tua!"
bentaknya. "Mengapa
kau hinakan ayahku?"
"Plak!", tinjunya seperti memukul segundukan rumput dan tubuhnya yang didorong
oleh si kakek, terhuyung beberapa tindak. Badan orang tua itu sendiri kelihatan
bergoyang-goyang dan di
sudut mulutnya terdapat sedikit darah. Di bawah sinar rembulan yang dingin,
paras muka si kakek
yang pucat kelihatan menakuti sekali.
Sambil menyusut darah di mulutnya dengan lengan baju, ia berkata dengan suara
dalam: "Aku
sudah menduga, bahwa yang datang berkunjung adalah Lian Kongtjoe. Cabutlah golok
itu." Leng Kiauw bersangsi, tapi akhirnya ia mengangkat tangan untuk mencabut kedua
golok itu. Begitu tersentuh, gagang golok terlepas dan jatuh di tanah. Ternyata, karena
sudah terlalu lama,
kayu gagang golok itu sudah menjadi rusak. Sesudah tercabut, sebagian golok itu
sudah karatan, tapi sebagian lagi, yang menancap di dalam batu, masih berkilauan sinarnya.
"Kedua golok itu telah ditancapkan pada tiga puluh tahun berselang," kata si
kakek. "Pada
waktu itu, aku sangat membenci ayahmu."
"Ada permusuhan apakah antara ayahku dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Pada tiga puluh tahun berselang, semua pendekar di kolong langit adalah musuh
ayahmu!" jawabnya "Aku sendiri, meskipun aku membenci ayahmu, tapi kebencian itu berbeda
dengan orang lain dan sangat memalukan, jika diceritakan."
"Siapa kau" Mengapa kau membenci ayahku?" tanya Leng Kiauw.
"Apa kau pernah mendengar nama Phoei Keng Beng?" si kakek balas menanya.
Lapat-lapat Leng Kiauw ingat, bahwa gurunya pernah menyebutkan nama, itu, tapi
ia tak tahu siapa adanya. Orang tua itu tertawa getir seraya berkata: "Dalam tiga puluh tahun, dunia sudah
banyak berubah dan namaku sudah tidak dikenal lagi." Ia berdiam sejenak dan berkata
pula dengan suara
perlahan: "Kaizar yang sekarang adalah Kian Liong. Pada empat lima puluh tahun
yang lampau, ayahnya Kian Liong, yaitu kaisar Yong Tjeng, masih dikenal sebagai Soehongtjoe
(putera kaizar yang ke empat) In Tjeng. Pada jaman itu, putera-putera kaizar berebut tahta dan
lawan In Tjeng yang paling berat adalah Tjapsie Hongtjoe (putera kaizar yang ke empat belas) In
Tee. Apa kau pernah mendengar cerita perebutan tahta itu
"Ya," jawab Leng Kiauw, sambil mengangguk.
"Kakeknya Kian Liong, yaitu kaizar Kong Hie, sebenarnya sudah menulis firman
yang menetapkan, bahwa tahta kerajaan diwariskan kepada Tjapsie Hongtjoe. Tapi,
dengan bantuan ayahmu dan pamannya, In Tjeng belakangan mengubah firman, sehingga akhirnya,
dialah yang menjadi kaizar."
"Tapi bukankah soal siapa yang menjadi kaizar tak bersangkut paut dengan rakyat
jelata?" kata
Leng Kiauw. "Persoalannya bukan begitu," kata Phoei Keng Beng. "Soal ini sedikitnya
bersangkut paut
dengan diriku. Jika Yong Tjeng tidak menjadi kaizar, ayahmu tentu tak mati
begitu cepat dan aku
tidak melarikan diri ke gunung ini."
Leng Kiauw bengong dan untuk beberapa saat ia tidak mengeluarkan sepatah kata.
"Bagus juga Yong Tjeng sudah dibinasakan oleh musuhnya," katanya.
"Pada empat puluh tahun berselang, Tjapsie Hongtjoe mempunyai dua boesoe yang
paling terkenal," kata pula si kakek. "Yang satu bernama Kie Pwee Sia yang belakangan
berhamba kepada Yong Tjeng. Yang satu lagi terus bersetia kepada majikan yang lama."
Tiba-tiba Leng Kiauw ingat cerita yang pernah didengarnya. "Ah! Orang itu adalah
Sinkoen (si Tinju Malaikat) Phoei Keng Beng!" teriaknya.
Si kakek bersenyum dan berkata: "Benar. Orang itu adalah aku sendiri."
Bicara sampai disitu, si nona datang. "Ayah, mengapa sampai begini malam kau
masih terus beromong-omong dengan tamu kita?" tanyanya. "Ih! Ada apa?"
Sambil bersenyum sang ayah menyusut ujung mulutnya yang mengeluarkan darah. "Tak
apaapa," jawabnya. "Soat-djie, kaupun boleh mendengar pembicaraan ini." Ia menghela napas
dan kemudian melanjutkan penuturannya: "Sesudah mengubah firman dan naik ke atas
tahta, Yong Tjeng terus berusaha untuk membasmi saudara-saudaranya. Beberapa tahun kemudian,
selagi membawa tentara untuk memadamkan pemberontakan di Tiongkok Barat, Tjapsie
Hongtjoe kena dibinasakan. Orang yang mengatur rencana untuk membinasakan pangeran itu, adalah
ayahmu sendiri. Sesudah Tjapsie Hongtjoe binasa, ayahmu merampas kekuasaan tentara dan
mulai waktu itu, barulah ia mendapat pangkat sebagai jenderal besar."
"Lantaran itu, kau membenci ayahku dan Yong Tjeng, bukan?" tanya Leng Kiauw.
"Benar," jawabnya. "Karena aku sungkan menghamba, Yong Tjeng jadi gusar,
sehingga aku terpaksa kabur ke Tibet. Sesudah berada di Tibet, aku masih tetap ingin membalas
sakit hati dan segera menikah dengan ibunya Soat-djie, dengan pengharapan bisa mendapat anak
lelaki, yang akan bisa membalas sakit hatiku."
Si nona mengeluarkan seruan kaget.
Sang ayah tertawa dan berkata dengan suara halus: "Soat-djie, kau tak usah
takut. Kedua musuh itu sudah binasa tiga puluh tahun lamanya. Waktu itu, karena sukarnya
perhubungan, aku
tak tahu kebinasaan mereka dan masih terus ingin membalas dendam. Sesudah Yong
Tjeng mati beberapa tahun, Tong Tayhiap menyambangiku dan barulah kutahu kejadian itu. Tapi
biar bagaimanapun juga, oleh pemerintah Tjeng aku masih dianggap sebagai seorang
buronan dan karena hatiku sudah menjadi dingin, aku segera menetap di Tibet dan hidup
beruntung bersama
ibumu. Waktu bermula pindah kesini, hatiku mendongkol terhadap Lian Keng Giauw,
sehingga aku membuat patungnya untuk digunakan sebagai sasaran dalam latihan golok terbang.
Sebenarnya, sesudah orangnya meninggal dunia, sakit hati harus disingkirkan dan melampiaskan
hawa amarah terhadap orang yang sudah mati, memang tak pantas. Tong Tayhiap pun sudah pernah
menasehati aku. Lian Kongtjoe, malam ini aku sengaja menuturkan segala apa
secara terus terang
dan barusan aku membiarkan kau meninju mulutku, supaya sedikit banyak kau bisa
melampiaskan rasa jengkelmu."
Mendengar penuturan itu, kegusaran Leng Kiauw lantas saja mereda. "Sekarang baru


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutahu, mengapa kau membenci ayahku," katanya. "Tapi, kau bersetia kepada Tjapsie
Hongtjoe, sedang
ayahku bersetia kepada Soehongtjoe, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan,
bahwa masingmasing
bersetia kepada majikannya sendiri. Mengapa sakit hatimu begitu mendalam?"
"Benar," kata si kakek. "Bahwa aku menghamba kepada Tjapsie Hongtjoe memang
pantas dicaci orang. Tapi kedudukanku berbeda jauh dengan kedudukan ayahmu. Aku hanya
seorang kepercayaan Tjapsie Hongtjoe, sedang ayahmu satu jenderal besar. Ia telah
mempersembahkan
banyak rencana busuk kepada Yong Tjeng, ia telah membinasakan banyak sekali
pendekarpendekar
budiman dan ia sangat menindas rakyat. Ia sudah menghianati guru sendiri,
membakar kuil Siauwlim sie, membangun banyak penjara, mencelakakan dan menganiaya banyak
sekali manusia dan melakukan berbagai perbuatan terkutuk. Apakah kenyataan-kenyataan
itu diketahui olehmu?" Semenjak kecil Leng Kiauw dipelihara oleh keluarga Tong dan karena kuatir
melukakan hatinya,
keluarga tersebut belum pernah menceritakan segala perbuatan ayahnya. Sesudah
besar, ia hanya
mengetahui, bahwa ayahnya pernah memegang kekuasaan atas ratusan laksa tentara
dan akhirnya dibinasakan oleh kaizar Yong Tjeng. Kebusukan ayahnya tak pernah
diceritakan orang
kepadanya. Maka itulah, mendengar keterangan Phoei Keng Beng, hatinya sakit seperti diiris-
iris. Sedikitpun
ia tak pernah mimpi, bahwa ayahnya yang selalu dipuja-puja, sebenarnya adalah
satu manusia terkutuk. Ia berduka tercampur malu, sehingga parasnya pucat bagaikan kertas.
Si kakek mengawasi pemuda itu dengan rasa kasihan. "Kedosaan ayah tidak
menyangkut paut
dengan anaknya," katanya dengan suara menghibur. "Apapula jika diingat, bahwa
pada waktu ayahmu meninggal dunia, kau baru berusia satu tahun. Waktu Tong Tayhiap datang
kesini, ia telah memberitahukan, bahwa kau telah menukar she dan nama dan bersembunyi di
Tibet dengan cita-cita tertentu. Ia mengatakan, bahwa kau adalah seorang baik dan ia merasa
girang karena itu. Tapi niatanmu untuk bergerak di Tibet tidak disetujui olehnya."
Dengan hati duka Leng Kiauw berdiri bengong. "Bagaimana kau tahu, bahwa aku
adalah anaknya Lian Keng Giauw?" tanyanya dengan suara parau.
"Aku pernah melihat ayahmu, memakai singa-singaan giok itu," jawabnya. "Hm! Jika
aku ingin mencelakakan kau, gampangnya seperti juga membalik tangan. Apa sekarang
kegusaranmu sudah
mereda?" Air mata Leng Kiauw mengucur deras. "Lootiang!..." katanya. Ia menyesal bukan
main, bahwa ia sudah memukul orang tua itu.
"Sesudah mendengar penuturanku, sekarang kau harus memberitahukan, mengapa kau
sudah kabur ke gunung ini," kata Phoei Keng Beng.
"Tentara Nepal berkemah di lembah di kaki gunung," menerangkan Leng Kiauw.
"Walaupun kumembenci pemerintah Tjeng, tapi kujuga sungkan menuntun tentara asing masuk ke wilayah
Tionggoan."
Mata si kakek bersinar terang. "Tong Tayhiap ternyata tak keliru, waktu ia
mengatakan, bahwa
kau sangat berbeda dengan ayahmu," katanya.
Si nona yang merasa kasihan pada tamunya lantas saja menyeletuk: "Thia-thia,
perlu apa kau terus menyebut-nyebut ayah orang?"
"Benar," kata sang ayah sambil bersenyum. "Permusuhan yang dulu memang tak perlu
disebutsebut lagi. Sekarang biarlah kau berdua berjabatan tangan, supaya segala permusuhan
habis sampai disini."
Gadis itu lantas saja mengangsurkan tangannya yang lalu dijabat erat-erat oleh
Liong Leng Kiauw yang sekarang baru tahu, bahwa si nona bernama Soat Koen.
Dalam usaha menyingkirkan permusuhan dengan keluarga Lian, Phoei Keng Beng
sebenarnya mempunyai suatu maksud lain. Dengan bertempat tinggal di gunung yang jarang
disampaikan manusia, ia sangat sukar mencari menantu untuk puterinya. Pada waktu Tong Siauw
Lan memberitahukan, bahwa putera Lian Keng Giauw adalah seorang baik, hatinya lantas
saja tergerak. Begitu bertemu muka, ia mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu adalah
seorang yang mempunyai kepribadian mengagumkan dan meskipun usianya belasan tahun lebih tua
dari Soat Koen, ia masih boleh dipasangi dengan puterinya itu. Tapi tentu saja ia tak bisa
lantas membuka mulut dan ia telah mengambil keputusan untuk meminta pertolongan Tong Siauw Lan.
"Lootiang," kata Leng Kiauw sesudah dapat menenteramkan hatinya. "Apakah Tong
Tayhiap berarti Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan pay?"
"Benar," jawabnya. "Dia adalah sahabatku sedari empat puluh tahun berselang."
Baru saja Leng Kiauw ingin menanya lagi, jauh-jauh terdengar tindakan kaki yang
sangat enteng. "Ilmu mengentengkan badan dari orang yang mendatangi belum cukup tinggi,
tapi sudah tak boleh dipandang rendah," kata si kakek.
Leng Kiauw terkejut. "Mereka tentu adalah kaki tangan raja Nepal yang datang
untuk menangkap aku," katanya.
"Liong Sianseng," kata Keng Beng. "Biarlah aku tetap memanggil kau sebagai Liong
Sianseng. Sebegitu lama kau berada dalam gubukku, kami pasti tak akan mempermisikan kau
ditangkap orang. Hanya aku menduga, mereka itu bukan musuh-musuhmu."
Baru saja si kakek berkata begitu, pintu luar sudah terketuk.
"Aku disini!" bentak Phoei Keng Beng.
"Tua bangka!" demikian terdengar teriakan dalam bahasa Tibet. "Keluar! Berani
benar kau melawan murid-murid Timotato!"
"Oh! Mereka mencari kau!" kata Leng Kiauw dengan suara heran.
"Ya, kau tak usah mencampuri," jawabnya. "Tunggu disini, biar aku yang
menyambutnya."
Sambil tertawa terbahak-bahak, ia membuka pintu taman dan melompat keluar.
Tentu saja Leng Kiauw tak akan membiarkan orang tua itu melawan musuh seorang
diri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, bersama Soat Koen ia segera melompati tembok untuk
memberi bantuan. Di luar rumah kelihatan berdiri empat lima orang dan kecuali orang yang barusan
mencaci, yang lainnya adalah orang-orang asing. Begitu tuan rumah muncul, tanpa menegur
lagi, mereka menyerang. Leng Kiauw menghunus pedang dan lalu melompat untuk menyambut serangan itu,
Mendadak ia merasa menyambarnya dua macam tenaga dari kiri kanan sehingga pedangnya
hampir-hampir jatuh. Ia terperanjat dan menanya dalam hatinya: "Ilmu apa ini?"
Tiba-tiba dari jarak sepuluh tindak, Keng Beng mengirim satu pukulan, sehingga
badannya dua pendeta asing yang berada paling depan, bergoyang-goyang!
"Benar-benar Tinju Malaikat!" memuji Leng Kiauw di dalam hati.
Di lain saat, dua orang lain sudah menerjang si kakek dari kedua samping dan
pertempuran segera dimulai. Leng Kiauw juga tak tinggal diam dan bersama si nona, ia segera
menerjun ke dalam gelanggang.
Biarpun belum bisa menandingi jago-jago kelas utama, Leng Kiauw memiliki
kepandaian dan lweekang yang cukup tinggi. Maka itu, sesudah bertempur beberapa jurus, ia
segera dapat meraba-raba keliehayannya Imyang Tjianglek dan dengan mengikuti gerakan-gerakan
serangan itu yang terputar-putar, ia bisa juga mengirim serangan-serangan dengan
pedangnya, Sementara
itu, Soat Koen yang bersenjata pecut yang terbuat dari benang emas, juga
merupakan bantuan
yang sangat berharga. Lweekang si nona masih rendah, tapi ia gesit dan lincah,
sedang pecutnya
adalah senjata panjang yang dapat melukakan musuh dari jarak kurang lebih
setombak. Sesudah bertempur beberapa lama, mendadak terdengar suara "plak!" dan dua musuh
yang berada di sayap kiri roboh terguling dengan berbareng. Leng Kiauw melompat
seraya mengayun
pedang, tapi dicegat oleh dua musuh lain yang berada di sayap kanan. Sedang
kedua kawannya menggelinding ke bawah tanjakan, mereka menyerang dengan pukulan berantai,
sehingga Leng Kiauw terpaksa melompat mundur. Dengan menggunakan kesempatan itu, mereka segera
kabur dan menyusul kedua kawannya.
Napas Phoei Keng Beng kelihatan tersengal-sengal. "Hai! Kusudah tua!" katanya
dengan suara duka. "Sudah tak berguna lagi!" Ternyata, meskipun ia berhasil memecahkan Imyang
Tjianglek dengan tenaga lweekang, tapi dirinya sendiri telah mendapat luka di dalam.
Dengan dipayang oleh
Leng Kiauw dan Soat Koen, ia kembali ke dalam rumah dan bersila untuk
mengerahkan lweekang.
Lewat seminuman teh, barulah napasnya mulai mereda.
"Siapa adanya mereka?" tanya Leng Kiauw. "Mengapa mereka musuhi Lootiang?"
"Entahlah," jawabnya. "Pergi satu, datang yang lain, sudah tiga kali mereka
menyateroni aku.
Yang pertama adalah seorang pendeta asing yang berambut merah seorang juru
bahasa Tibet. Ia
mengatakan, bahwa gurunya memerlukan gubukku ini dan yang lebih gila lagi, aku
dan anakku mau dijadikan semacam budak. Huh-huh! Aku si tua sudah hidup enam puluh tahun
lebih, tapi belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu kurang ajar. Akhirnya aku
menghajar mereka
yang lalu melarikan diri. Yang datang kedua kali adalah tiga orang, dua
antaranya mempunyai
lweekang yang sangat tinggi. Kami melawan dan sesudah bertempur setengah harian,
kami keteter. Untung sungguh datang Tong Tayhiap yang lalu menghajar kedua orang itu
dengan Thiansan Sinbong. Dan kali ini, Liong Sianseng yang membantu aku. Tanpa bantuan,
gubuk dan taman ini tentu sudah direbut orang.
Leng Kiauw merasa sangat heran dalam hatinya. Perlu apa orang-orang asing itu
merebut sebuah rumah kecil di tengah-tengah gunung yang sepi"
Ia tentu saja tak tahu, bahwa dalam cita-citanya untuk mendaki Tjoe-hong,
Timotato sudah membuat rencana lama sekali dan telah memerintahkan murid-muridnya menyelidiki
jalanan. Melihat rumah si kakek, murid-murid itu merasa ketarik karena rumah tersebut
terletak di tempat
yang hawanya hangat dan sangat cocok untuk dijadikan pangkalan. Jika mereka
meminta secara baik dan memberi alasan-alasan yang pantas, mungkin sekali Phoei Keng Beng akan
meluluskan. Tapi sebagai murid Timotato yang biasa berlaku sewenang-wenang kepada rakyat
jelata, mereka bersikap sangat kurang ajar dan sombong, sehingga mereka jadi bergebrak dengan
Keng Beng dan puterinya. Kedua orang asing yang telah dilukakan lututnya oleh Tong Siauw
Lan, bukan lain
daripada Tunhuman dan Alsa.
Hawa jadi semakin dingin dan Soat Koen berkata kepada ayahnya: "Thia-thia, kau
mengasohlah."
Sang ayah tak menyahut, sebaliknya ia memasang kuping. "Kukuatir musuh tak
mengijinkan aku mengasoh," katanya dengan suara getir.
"Apa" Apa mereka datang lagi?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Benar-benar kurang ajar!" mencaci Leng Kiauw, karena ia pun sudah mendengar
tindakan orang. Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan tembok pekarangan roboh. Di lain saat,
sejumlah orang melompat masuk. Orang yang jalan di depan adalah Koksoe Nepal Taichiti,
diikut oleh empat muridnya Timotato yang barusan kabur dan di belakang mereka kelihatan dua
boesoe Nepal. Ternyata, sesudah dirobohkan Keng Thian, Taichiti tak ada muka untuk bertemu
lagi dengan raja Nepal dan ia berhasil membujuk dua orang boesoe Nepal untuk mengejar Leng
Kiauw, dengan harapan bisa mendapat muka lagi jika ia berhasil membekuk buronan itu. Di
tengah jalan, mereka bertemu dengan ke empat murid Timotato dan mengetahui, bahwa Liong Leng
Kiauw pun berada di rumahnya si kakek. Maka itulah, dengan merangkap tenaga, mereka segera
menyateroni lagi. Sekarang Taichiti sudah tidak menggunakan jubah merahnya yang telah dirusak
Thiansan Sinbong. Untuk gantinya jubah, ia membawa tameng besi sebagai timpalan dari
martilnya. Tembok taman keluarga Phoei dirobohkan olehnya dengan menggunakan martil.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kebun kembangnya rusak, si nona jadi kalap dan sambil memutar pecut, ia
menerjang. "Soat-djie! Mundur!" teriak sang ayah.
Tapi Soat Koen tidak meladeni dan dengan sekali mengayun tangan, ia menimpuk
dengan pedang pendek. "Trang!", pedang itu patah terbentur tameng. Hampir berbareng,
ujung pecut si nona sudah melibat pergelangan tangan Taichiti, tapi pendeta itu tidak
menghiraukannya dan
terus maju sambil tertawa terbahak-bahak. "Lian Kongtjoe!" katanya. "Raja telah
memperlakukan kau dengan manis budi, mengapa kau melarikan diri?"
Setiap kali ia maju setindak, pecut Soat Koen melibat selibatan di pergelangan
tangannya, sehingga semakin lama pecut itu jadi semakin pendek. Si nona coba membetot
sekeras-kerasnya,
tapi sedikitpun tidak bergeming.
"Lepas!" bentak Leng Kiauw sambil mengangkat pedang.
Lengan Taichiti bergerak dan mendorong tubuh si nona untuk memapaki pedang.
"Tikamlah Lian Sianseng, tikamlah!" katanya, mengejek.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat, bagaikan menyambar elang. Hampir
berbareng denqan suara "plak!", pecut Phoei Soat Koen putus, sehingga dari setombak lebih
panjangnya, yang ketinggalan hanya kira-kira empat kaki. Ternyata, dengan menggunakan
Sinkoen, Phoei Keng Beng sudah menolong puterinya.
Paras Taichiti berubah pucat pias dan "uah!", ia muntahkan darah. Badan si kakek
sendiri bergoyang-goyang, seperti api lilin ditiup angin. Kalau pukulan itu dikirim
waktu Phoei Keng Beng
masih berusia muda. Taichiti pasti segera melayang jiwanya. Tapi sekarang,
karena ia sudah
berusia lanjut dan mendapat luka di dalam, maka akibatnya kedua belah pihak
sama-sama mendapat luka. "Soat-moay!" teriak Leng Kiauw. "Ajak ayahmu masuk." Sambil berkata begitu, ia
melepaskan beberapa butir kilee dan panah tangan. Tapi semua senjata rahasia itu terbang
melewati tubuh si
pendeta, karena disampok dengan pukulan Imyang Tjianglek oleh keempat murid
Timotato. Leng Kiauw jadi gusar bukan main dan tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera
menerjang musuh-musuhnya.
Taichiti benar-benar kedot. Biarpun sudah terluka, dengan gagah ia menyambut
serangan Leng Kiauw yang dalam sekejap sudah dikurung oleh tujuh musuh. Masih untung, Taichiti
baru saja terluka, sedang empat murid Timotato juga barusan saja bertempur hebat dan dua
antaranya sudah terpukul dengan pukulan Sinkoen, maka untuk sementara Leng Kiauw masih
bisa bertahan. Tapi sesudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, ia sudah "digulung" dengan
gelombang pukulan Imyang Tjianglek dan sukar berkutik lagi. Melihat saatnya tiba, Taichiti
lalu mengempos semangat dan menghantam dengan martilnya sekuat tenaga.
Pada detik yang sangat berbahaya bagi jiwa Liong Leng Kiauw, sekonyong-konyong
terdengar teriakan aneh yang sangat nyaring. Di lain saat, sebuah batu yang besar melayang
turun ke gelanggang pertempuran. Orang-orang yang lagi bertempur jadi kaget bukan main
dan semua melompat untuk menyingkirkan diri dari sambaran batu. Hampir berbareng dengan
jatuhnya batu, seorang pemuda yang pakaiannya compang-camping melompat keluar sambil tertawa
terbahakbahak. "Aku paling benci orang main keroyok!" teriaknya. "Ha-ha! Mari! Mari! Rasakan
enaknya tongkatku!" Ia menjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu, ia sudah berada di
depan Taichiti dan
kawan-kawannia. Gerakan yang begitu cepat sungguh-sungguh sukar dicari
tandingannya. Sebagaimana bisa diduga, pemuda itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Leng Kiauw heran sebab ia belum mengenal penolongnya, tapi ia tak sempat menanya
dan lalu membantu pemuda itu yang sudah mulai dikepung oleh tujuh musuhnya.
Kim Sie Ie terkejut ketika badannya terbetot dengan empat tenaga tangan.
"Binatang!"
bentaknya. "Ilmu siluman apa yang digunakan kamu?" Sambil mencaci, ia menghunus
pedang dan lalu menyerang seperti kerbau edan.
"Hengtay (saudara) jangan kalap!" seru Leng Kiauw. "Ikuti gerakan mereka, lebih
dulu membela diri dan kemudian baru menyerang!"
"Fui!" Kim Sie Ie ia membentak pula. "Geram harimau justeru perlu untuk
menghadapi kawanan tikus! Laki-laki tulen harus punya amarah!"
Mendengar jawaban itu, Leng Kiauw jadi mendongkol dan tak berkata apa-apa lagi.
Di lain pihak, melihat cara berkelahinya Kim Sie Ie, keempat murid Timotato jadi
girang dan lalu
memperhebat serangan mereka supaya musuhnya tak dapat meloloskan diri lagi.
"Awas!" mendadak Taichiti berteriak.
Hampir berbareng Kim Sie Ie sudah menyemburkan ludah. Salah seorang murid
Timotato yang sedang menerjang tiba-tiba merasa alisnya seperti digigit semut dan ia tak dapat
membuka matanya lagi. "Cui! Cui!" dan dua boesoe Nepal terguling di atas tanah!
Tiga murid Timotato yang lain jadi bingung dan buru-buru menggunakan Imyang
Tjianglek untuk membela diri. Taichiti kelihatan ketakutan sekali dan terus memutar
tamengnya bagaikan ti
tiran. Melihat begitu, Leng Kiauw mendusin. "Toktjhioe Hongkay!" serunya dengan suara
kaget. Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar!" katanya. "Tak salah! Aku adalah
Toktjhioe Hongkay!
Semua manusia mencaciku sebagai manusia beracun, sebagai seorang gila! Ha-ha.
Apa kau juga merasa jijik?"
Muka Leng Kiauw jadi berubah merah. Ia insyaf bahwa ia sudah salah omong.
"Hengtay adalah
seorang pendekar yang berhati mulia," katanya dengan suara jengah. "Siauwtee
memohon maaf."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Memang, memang aku Toktjhioe
Hongkay!" teriaknya. "Ha-ha, lihatlah tanganku yang beracun!"
Ia menyembur sambil menyabet dengan pedangnya yang berhasil menggores lengan
Taichiti. Dengan hati ketakutan, si pendeta memutar tamengnya bagaikan titiran untuk
melindungi diri.
Sementara itu, tiga murid Timotato sudah memperbaiki kedudukannya dan mulai
menyerang lagi dengan Imyang Tjianglek, sehingga Taichiti bisa bernapas lebih lega. Tapi sebab
takut diserang dengan jarum beracun, mereka tidak berani mendesak terlalu keras dan sebagai
akibatnya pertandingan dua melawan empat itu jadi berimbang.
Sambil bertempur, ketiga murid Timotato tak hentinya mengeluarkan teriakan-
teriakan aneh. "Eh, perlu apa kamu berteriak-teriak?" bentak Kim Sie Ie. "Apa kau mau dengar
geram harimau?"
Sehabis berkata begitu, ia segera mementang mulut dan turut berteriak-teriak.
Sesudah bertempur lagi kira-kira setengah jam, Taichiti kembali kena dipukul
dengan tongkat Kim Sie Ie dan ia kelihatannya sudah payah sekali.
Mendadak, secara tidak diduga-duga, pemuda itu berteriak: "Aku lapar! Sesudah
makan, aku akan melayani kau lagi."
Taichiti girang bukan main. "Baiklah," katanya. "Aku mempermisikan kau hidup
lagi satu hari!"
"Cui!", Kim Sie Ie menyemburkan ludah dan Taichiti buru-buru lompat menyingkir,
tanpa berani membuka suara lagi.
Dari sakunya, Kim Sie Ie segera mengeluarkan sepotong daging ayam hutan yang
dibakar setengah matang. Ia memasukkan daging itu di mulutnya, tapi lantas dikeluarkan
lagi. "Keras
sungguh, gara-gara hawa dingin, tak dapat dimakan lagi," katanya. "Eh, aku sudah
membantu kau, mengapa kau tidak mengundang aku untuk makan?"
Sedari tadi Leng Kiauw berdiam saja sebab ia tengah merasa sangat menyesal,
bahwa pada saat hampir memperoleh kemenangan, Kim Sie Ie sudah menghentikan pertempuran.
Mendengar teguran sang penolong, ia lantas saja tertawa seraya berkata: "Maaf, aku sungguh
lupa. Di dalam rumah sedia arak dan daging. Marilah." Ia sama sekali tak tahu, bahwa Kim Sie Ie
menunda pertandingan sebab tenaganya sudah hampir habis. Setelah memperhatikan pukulan-
pukulan Imyang Tjianglek, pemuda itu mengerti, bahwa dalam keadaannya yang sangat letih,
ia tak akan bisa memecahkan pukulan itu, sehingga oleh karenanya, ia ingin mengasoh untuk
memelihara tenaga. Begitu bertindak masuk ke dalam rumah, mereka melihat paras Keng Beng pucat
bagaikan kertas. "Lootiang," menegur Leng Kiauw dengan rasa kuatir. "Bagaimana
keadaanmu?"
Si kakek tersenyum seraya menjawab: "Tak apa-apa. Malam ini kutak akan mati."
Buru-buru Leng Kiauw memegang nadi orang dan hatinya lantas saja mencelos, sebab
ternyata orang tua itu tak bisa hidup lebih dari tujuh hari lagi. Ia berduka bukan main,
tapi sebisa-bisa
menahan air matanya sebab kuatir si nona turut berduka.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar! Benar!" serunya. "Hidup
satu hari berarti satu hari. Asal malam ini tak mati, itu bagus! Siapa tahu kalau besok
aku sudah tak ada lagi
dalam dunia?"
Leng Kiauw mendongkol, tapi ia merasa tak enak menegur penolongnya. Maka itu, ia
hanya berkata dengan suara tawar: "Di dalam ada arak dan daging, kau ambil saja
sendiri." Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" teriaknya. "Sesudah
makan, biarpun mesti mati, aku mati sebagai setan perut kenyang. Lootiang! Sebagai
orang-orang yang
punya penyakit sama, kita saling mengasihani. Marilah kita minum tiga cawan
besar!" Leng Kiauw jadi gusar. Ia tak tahu, bahwa pemuda gila-gilaan itu hanya bisa
hidup tujuh hari
lagi. Phoei Keng Beng melirik dan mendadak ia pun tertawa berkakakan. "Bagus! Bagus
sungguh!" serunya. "Saudara kecil beradat sangat terbuka. Baiklah! Mari kita minum tiga
cawan besar! Soatdjie,
ambillah arak dan makanan untuk menjamu tamu kita ini." Walaupun tertawa, ia
tertawa duka dan pada suaranya menyayatkan hati. Jantung si nona memukul keras dan ia
menatap wajah ayahnya dengan mata membelalak.
Sebagai seorang ahli yang berkepandaian tinggi, sekali melirik saja, Phoei Keng
Beng sudah tahu, bahwa lweekang Kim Sie Ie adalah lweekang yang sesat dan yang akan segera
"membakar"
dirinya sendiri. Ia tahu, bahwa pemuda itu hanya bisa hidup tujuh hari lagi,
tanpa bisa disembuhkan dengan obat apapun jua. Ia adalah seorang yang sudah kenyang makan
asam garam dunia sedikitpun tak takut mati. Ia menganggap pemuda itu sebagai seorang
yang bernasib sama dan sama sekali tidak menghiraukan kata-katanya yang gila-gilaan.
Sesudah memanasi arak, Soat Koen keluar dan menuang satu cawan untuk Kim Sie Ie.
"Ayah, apa kau juga mau minum?" tanyanya sambil mencekal poci arak.
Sang ayah tertawa besar dan mengambil poci yang dicekalnya. "Hari ini secara
kebetulan aku bertemu dengan Lian Kongtjoe dan bertemu pula dengan seorang gagah yang luar
biasa," katanya. "Hatiku girang bukan main dan kesempatan ini tak boleh dilewatkan
dengan begitu saja."
Ia menuang arak ke dalam cawannya dan lalu minum bersama-sama Kim Sie Ie.
Demikianlah kedua orang itu -- yang satu tua, yang lain muda -- yang sedang menghadapi maut,
minum dengan gembira tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi besok.
Leng Kiauw mengawasi si kakek dengan hati penuh kedukaan. Ia ingat, bahwa karena
garagara ayahnya, bersama puterinya, Phoei Keng Beng lerpaksa menyingkir ke pegunungan
Himalaya yang sunyi dan dingin. Ia ingat pula, bahwa si kakek telah terluka karena
tinjunya sendiri. Dan
sekarang ia minum untuk melupakan penderitaannya!
Sesudah minum beberapa cawan, Phoei Keng Beng mendadak menaruh poci dan berkata:
"Liong Sianseng, aku merasa sangat beruntung, bahwa kita bisa bertemu muka. Aku
mempunyai serupa urusan yang belum dibereskan. Bolehkah aku meminta bantuanmu?"
"Segala perintah Lootiang aku akan menjalankan dengan segala senang hati," jawab
Leng Kiauw. Si kakek tersenyum dan sambil menunjuk puterinya, ia berkata dengan suara
perlahan: "Anak
perempuanku tak bisa berdiam di gunung Himalaya seumur hidup. Kalau nanti dia
turun gunung, aku mengharap kau sudi melihat-Iihatnya."
Mendengar pesanan itu yang mengandung maksud dalam, Leng Kiauw terperanjat. Ia


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiam dan tidak dapat segera memberi jawaban.
"Bagaimana?" menegas si kakek.
"Tentu saja... tentu saja..." jawabnya dengan gugup. "Hal itu adalah hal yang
wajar, yang pasti
akan dilakukanku, biarpun tidak mendapat pesanan Lootiang."
"Thia-thia," kata si nona yang tidak mengerti maksud ayahnya. "Jika aku turun
gunung, bukankah kau pun akan turun gunung" Apakah ayah tak mau memperhatikan lagi
diriku?" Sang ayah bersenyum duka seraya berkata: "Anak tolol! Apakah ayah bisa
memperhatikan kau
terus menerus seumur hidupmu" Liong Sianseng, telah menghadiahkan serenceng
mutiara. Hayo! Haturkanlah terima kasih!"
Si nona jadi semakin bingung. "Bukankah tadi aku sudah menghaturkan terima
kasih?" tanyanya di dalam hati. "Apa ayah sudah jadi linglung?" Tapi walaupun hatinya
berkata begitu,
untuk menyenangkan sang ayah, ia kembali memberi hormat kepada Leng Kiauw.
Liong Leng Kiauw adalah seorang cerdas dan kata-kata si kakek tentu saja
dimengerti olehnya.
Ia tahu, bahwa Phoei Keng Beng ingin menganggap, bahwa serenceng mutiara itu
adalah tanda mengikat tali pertunangan. Sebagai seorang yang mempunyai cita-cita besar,
sampai berusia tiga
puluh tahun, belum pernah ia memikir untuk menikah. Dan di luar dugaan, di
pegunungan .Himalaya yang sunyi secara sangat luar biasa, ia bertemu dengan si nona.
Melihat kecantikan
Soat Koen yang beradat sangat polos, hatinya lantas saja tergerak dan buru-buru
ia membalas hormatnya nona itu, akan kemudian berlutut tiga kali di.hadapan Phoei Keng Beng.
"Siauwtit pasti
tidak akan menyia-nyiakan perintah Lootiang," katanya dengan suara terharu.
Phoei Keng Beng tertawa girang dan sambil mengurut-urut jenggot, ia minum kering
secawan arak. Sekonyong-konyong Kim Sie le pun tertawa bergelak-gelak. Ia mengangkat poci dan
minum habis isinya. "Jika kau melanggar janji, kuakan hajar kau dengan tiga puluh
gebukan tongkat!"
katanya dengan suara nyaring. "Ha-ha-ha! Tak dinyana hari ini kumenjadi saksi
dari satu perangkapan jodoh yang sangat luar biasa!"
"Hengtay mabuk," kata Leng Kiauw dengan suara jengah.
"Benar, benar aku sudah pusing," katanya. "Aku berjodoh untuk menjadi saksi, tak
berjodoh untuk minum lagi. Ha-ha-ha!" Sehabis tertawa, ia melemparkan poci arak,
merebahkan diri di atas
lantai dan segera menggeros.
Dapat dimengerti, jika malam itu Leng Kiauw tak bisa tidur pulas. Ia duduk
termenung-menung
sambil memikiri permainan nasib. Tak lama lagi fajar menyingsing.
Sekonyong-konyong, Kim Sie Ie melompat bangun. Sesudah menggosok-gosok mata dengan
tangannya, ia mengawasi langit yang sudah mulai terang. "Satu hari lagi!"
serunya sambil tertawa
besar. Ia mengambil tongkat, membuka pintu dan lalu berjalan keluar. "Mari!
Mari!" teriaknya.
"Pagi ini aku akan hajar beberapa bangsat kecil."
Begitu tiba di luar, ia melihat musuh-musuhnya berkumpul di satu tempat, dimana
terdapat seorang asing tinggi besar yang belum dikenalnya. Orang itu, yang bukan lain
daripada Timotato,
sedang mengurut-urut tubuh seorang muridnya yang kena jarum racun. Tiba-tiba ia
membentak keras, dan dua jerijinya menjepit sebatang jarum! Ternyata, dengan menggunakan
lweekang yang sangat tinggi, ia berhasil mengeluarkan jarum itu dari dalam alis muridnya.
Begitu melihat munculnya Kim Sie Ie, Taichiti yang sedang menjalankan pernapasan
untuk mengobati lukanya segera berseru: "Bocah! Sesudah Timotato Thayhoatsoe datang,
kamu semua bakal segera mampus!"
Jarum racun Kim Sie Ie adalah salah satu senjata rahasia yang terhebat dalam
Rimba Persilatan. Bahwa dengan lweekang, Timotato bisa mengeluarkannya merupakan suatu
bukti, bahwa kepandaian orang asing itu bukan main tingginya. Tapi Kim Sie le yang
sudah tidak memikir hidup, sedikitpun tak menjadi keder. Begitu mendengar ancaman Taichiti,
ia melompat sambil menyemburkan ludah. "Fui!" bentaknya. "Thayhoatsoe apa" Akulah yang mau
mengantarkan Tayhoatsoe-mu ke alam baka."
Timotato mengebas dengan lengan jubah dan jarum racun itu tak kelihatan
bayangbayangannya
lagi. Sambil membentak keras, ia segera menghantam Kim Sie Ie dengan
tangannya. Sambil mengempos semangat, pemuda itu menangkis dengan tongkatnya. "Buk!",
tongkat bengkok, tapi Timotato pun merasa lengannya sakit. Ia terkejut dan tanpa berani
memandang rendah lagi lawannya, ia segera menyerang secara teratur. Tentu saja, pemuda itu
bukan tandingannya. Belum berapa lama, Kim Sie Ie sudah terkurung dalam gelombang
Imyang Tjianglek. Dengan dipayang oleh puterinya, Phoei Keng Beng keluar dan bersila di depan
pintu untuk menyaksikan jalan pertempuran. Ia menghela napas seraya berkata: "Ah, sayang!
Benar-benar sayang!" "Mengapa?" tanya puterinya.
"Dalam usianya yang masih begitu muda, saudara kecil itu memiliki lweekang dan
kepandaian yang sedemikian tinggi," jawabnya. "Dalam dunia ini, mungkin sekali tidak berapa
orang yang bisa
menandinginya. Tapi... begitu muda, begitu lekas berpulang ke alam baka. Sayang!
Apa tak sayang?" Liong Leng Kiauw yang tak mengerti maksud sebenarnya dari si kakek, hanya
menduga, bahwa orang tua itu merasa sayang karena Kim Sie Ie bakal binasa dalam tangan
Timotato. Mengingat
budi orang, ia segera menghunus pedang untuk membantu. Tapi sebelum menerjang,
empat murid Timotato mengawasi padanya dengan siap sedia. "Phoei Pehpeh menderita luka
berat dan jika mereka menyerang, Soat-moay pasti tak akan dapat melawannya," katanya di
dalam hati. Ia bimbang bukan main karena tak tahu harus berbuat bagaimana.
Pada saat yang sangat berbahaya, mendadak, mendadak saja Phoei Keng Beng
berteriak dengan suara di tenggorokan: "Tong... Tong Tayhiap! Suami isteri Tong Tayhiap
datang!" Karena
kegirangan yang meluap-luap, badan si kakek bergoyang-goyang.
Kim Sie Ie yang sedang melayani Timotato dengan kepala pusing dan menggunakan
tenaganya yang penghabisan, tak mendengar tegas apa yang dikatakan oleh orang tua itu.
Tiba-tiba ia merasa kesiuran angin yang bertenaga luar biasa besar. Ia terkesiap dan berusaha
untuk berkelit,
tapi sudah tidak keburu lagi. Di lain saat badannya mengapung ke udara, seperti
juga dilontarkan
orang. Dengan meminjam tenaga itu, ia menjungkir balik dan secara kebetulan ia
melihat Timotato terhuyung beberapa tindak.
Tong Siauw Lan datang pada saat yang berbahaya bagi jiwa Kim Sie Ie. Pada detik
yang genting itu, ia memisah kedua orang itu dengan kebasan tangan bajunya. Jika
terlambat sedikit
saja, Kim Sie Ie pasti sudah binasa karena ia sudah tidak tahan lagi.
Orang yang paling kaget adalah Timotato sendiri. Semenjak menjagoi di Eropa dan
negaranegara Arab, belasan tahun belum pernah ia bertemu dengan tandingan. Tapi hari ini, ia
terhuyung karena satu kebasan lengan baju.
"Siapa kau?" tanya Tong Siauw Lan. "Mengapa kau berkelahi dengan sahabatku?"
Timotato tak mengerti bahasa Tionghoa, tapi suara Tong Siauw Lan yang tidak
keras sangat menusuk telinga. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya. Orang
yang menjawab pertanyaan Siauw Lan adalah Taichiti. "Ia adalah Timotato Thayhoatsoe,
seorang berilmu yang ilmu silatnya paling tinggi di dalam dunia dan yang telah menjagoi
di Eropa dan Asia," katanya.
Siauw Lan mendongakkan kepala seraya tertawa terbahak-bahak. "Selama hidup
kubelum pernah bertemu dengan seorang yang berani menganggap diri sendiri sebagai
manusia paling jempol di kolong langit," katanya. "Sekarang aku justeru ingin berkenalan dengan
ilmunya. Baiklah, begini saja: Biarlah ia memukul aku lebih dulu sepuluh kali." Sehabis
menantang, ia mengebas pula dengan lengan bajunya ke arah Timotato dan Taichiti. Timotato
buru-buru mengerahkan lweekang untuk mempertahankan diri, tapi Taichiti sendiri tak ampun
lagi lantas saja terguling-guling dan untung juga, ia masih keburu ditolong oleh murid-murid
Timotato, sehingga tak sampai menggelinding ke bawah tanjakan.
"Thayhoatsoe! Jangan sungkan-sungkan lagi," serunya dengan napas tersengal-
sengal. "Dia
mengatakan, bersedia dipukul lebih dulu sepuluh kali. Asal kau bisa membereskan
dia seorang, di
seluruh Tiongkok tiada orang lagi yang berani melawan kau." Sebagai seorang yang
sering berkelana di antara Nepal dan Tibet, walaupun tidak mengenal secara pribadi,
Taichiti pernah
mendengar nama jago-jago silat di wilayah Tionggoan. Maka itu, mendengar seruan
Phoei Keng Beng, ia segera menduga, bahwa orang yang datang adalah Tong Siauw Lan,
Tjiangboendjin dari
Thiansan pay. Selama hidup, Timotato belum pernah dihinakan seperti itu. Sambil membentak
keras, ia menghantam dengan kedua tangannya. Siauw Lan menancap kedua kakinya di atas bumi
dan badannya tidak bergerak. Dalam kagetnya, si pendeta jadi semakin gusar dan lalu
mengirim pukulan berantai. Pakaian Siauw Lan berkibar-kibar karena pukulan itu, tapi
kedua kakinya tetap
tidak bergeming. Timotato jadi mata merah. Sambil mengempos semangat, dengan
seluruh tenaga, ia mengirim pukulan Imyang Tjianglek dengan kedua tangannya, tangan kiri
mendorong, tangan kanan membetot. Dihantam dengan pukulan geledek itu tubuh Siauw Lan
bergoyanggoyang
dan kaki kirinya terangkat naik. Dengan cepat ia membuat sebuah lingkaran dengan
kaki kirinya itu yang lalu ditancap pula di atas tanah.
Ia tertawa berkakakan seraya berkata: "Sudah cukup sepuluh pukulan. Bahwa kau
berhasil menggoyangkan tubuhku sudah merupakan bukti, kau bukan sembarang orang. Nah!
Sekarang terimalah beberapa pukulanku!" Hampir berbareng, ia mengirim satu pukulan dengan
menggunakan ilmu Thiansan Sintjiang (Pukulan malaikat dari Thiansan).
Timotato tentu saja tak bisa menuruti contoh lawannya yang telah menahan
serangannya dengan hanya menggunakan tenaga dalam. Ia menaruh kedua tangannya di dada dan
kemudian mendorong ke depan, tapi tak urung ia terhuyung juga.
Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Tong Siauw Lan maju setindak dan mengirim
pula satu pukulan. Timotato membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya seraya
miringkan badan
untuk mengegos pukulan itu. Tapi tak urung, kedua kakinya terangkat, tubuhnya
sempoyongan dan hampir-hampir ia terguling di tanah! Siauw Lan sungkan memberi napas pada
lawannya. Ia maju pula setindak sambil mengangkat tangan.
Tiba-tiba si pendeta berteriak dan lalu bicara dalam bahasa yang tidak dikenal
Siauw Lan. "Apa dia kata?" tanya Siauw Lan sambil menengok kepada Taichiti.
"Thayhoatsoe mengatakan, bahwa ia dan kau adalah orang-orang yang berkedudukan
sangat tinggi dan mengadu ilmu dengan jalan pertempuran, tidak sesuai dengan kedudukan
yang tinggi. Ia mengusulkan, supaya ditukar dengan lain cara."
"Cara bagaimana?" tanya Siauw Lan.
"Adu... adu memanjat gunung," jawabnya. "Adu memanjat puncak tertinggi di kolong
langit." "Baiklah," kata Siauw Lan dengan suara tenang.
"Tong Tayhiap!" seru Phoei Keng Beng. "Jangan!..." Suaranya parau dan napasnya
tersengalsengal.
Siauw Lan kaget. "Mengapa kau, Phoei Toako?" tanyanya.
Sementara itu, Kim Sie Ie pun sudah mengetahui, bahwa orang yang menolongnya
adalah ayah Tong Keng Thian. Mengingat, bahwa orang tua itu adalah manusia yang bisa
menolong jiwanya,
hampir-hampir ia maju menghampiri. Tapi di lain saat, ia ingat ejekan Tang Thay
Tjeng, yang mengatakan, bahwa Tong Siauw Lan mau menolong dirinya dengan maksud supaya ia
tidak bisa mengangkat kepala lagi, karena Tjiangboendjin Thiansan pay itu sebenarnya merasa
mengiri dan jelus terhadap ilmu silat Tokliong Tjoentjia. Pada sesaat itu, rupa-rupa pikiran
masuk ke dalam otak Kim Sie Ie, sehingga akhirnya ia memutar badan dan berjalan pergi.
Tapi baru jalan beberapa tindak, mendadak ia melihat seorang wanita setengah tua


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melayang turun dari atas sebuah bukit. Ia mengawasi dengan mata membelalak dan
berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... kau... perlu apa kau mengubar aku terus
menerus?" Wanita itu adalah Phang Eng, isteri Tong Siauw Lan, tapi Kim Sie Ie
menganggapnya sebagai
Phang Lin. Ia mengeluh seraya berkata dalam hatinya: "Celaka! Kali ini dia tentu
akan memaksa supaya aku menerima budi Tong Siauw Lan."
Di lain pihak, perkataan pemuda itu mengherankan sangat hati Phang Eng. "Apa kau
kata?" tanyanya. Melihat sikap yang dingin, Kim Sie le lantas saja meluap darahnya. "Hra! Kalau
begitu dia hanya
berpura-pura manis terhadapku," pikirnya. "Sekarang, melihat ajalku sudah dekat
tiba, dia lantas
menukar sikap." Itulah adat aneh dari Kim Sie Ie. Di satu pihak, ia sungkan
menerima budi orang,
tapi di lain pihak ia ingin dicinta orang. Ia jengkel karena Phang Lin terus
menguntit dirinya, tapi ia
jadi marah melihat sikap Phang Eng yang dingin.
Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Phang Eng agak terkejut dan
berkata dalam hatinya: "Apakah adikku yang kembali menimbulkan gara-gara?" Mengingat begitu,
ia segera tersenyum dan menanya dengan suara halus: "Siapa kau" Jika kau mempunyai urusan
apa-apa, beritahukanlah kepadaku."
Tiba-tiba Kim Sie Ie mengeluarkan teriakan aneh. "Baiklah!" bentaknya. "Mulai
dari sekarang, kau anggap saja belum pernah bertemu denganku. Minggir! Aku mau pergi." Karena
kuatir Phang Eng menahannya, sambil melompat tinggi, ia menyapu dengan tongkatnya.
"Siapa kesudian mencegat kau?" kata Phang Eng dengan suara dingin seraya
mementil dengan
jerijinya. "Cring!" tongkat terpentil dan Kim Sie Ie merasakan dorongan tenaga
yang sangat hebat,
sehingga ia menjungkir balik tiga kali dan hinggap di tanjakan gunung. Bukan
main kagetnya pemuda itu. Ia pemah menyaksikan dan merasa kagum akan kepandaian Phang Lin,
tapi ia tak nyana, nyonya itu mempunyai lweekang yang sedemikian dahsyat. "Untung juga dia
tidak mempermainkan diriku terlebih jauh," katanya di dalam hati. Sambil mengempos
semangat, ia kabur secepat-cepatnya tanpa berani menengok lagi. Tentu saja ia tak tahu, bahwa
Phang Eng -- yang dianggapnya sebagai Phang Lin - - memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
daripada adiknya
dan kira-kira berendeng dengan Lu Soe Nio. Jika yang mementilnya adalah Phang
Lin, paling banyak ia menjungkir balik satu kali.
Dalam pada itu, Tong Siauw Lan sudah memeriksa luka Phoei Keng Beng dan memberi
dua butir Pekleng tan, akan kemudian mengurut tubuh orang tua itu dengan menggunakan
lweekang Thiansan pay. Phang Eng mendekati dan lalu berdiri di belakang suaminya.
Lewat beberapa saat, Siauw Lan selesai dan berkata sesudah menyusut keringat:
"Phoei Toako,
mulai besok pagi kau harus menjalankan pernapasan dalam kamar yang sunyi untuk
sepuluh hari lamanya. Lukamu sudah tidak berbahaya lagi."
Si kakek tertawa getir. "Tong Tayhiap, perlu apa kau banyak berabe dan
memperpanjang usiaku untuk beberapa tahun?" katanya. Ia mengetahui, bahwa karena usianya yang
sudah lanjut, walaupun sembuh, ilmu silatnya akan berkurang banyak dan ia hanya bisa hidup
beberapa tahun lagi. Ia mengangkat kepala dan kedua matanya menyapu seluruh ruangan. "Tong Tayhiap,"
katanya pula dengan suara perlahan. "Aku ingin memperkenalkan kau dengan dua orang gagah
dari tingkatan muda. E-eh, mana itu saudara kecil yang satunya lagi?" Barusan, selagi
diobati sambil meramkan mata, ia tak tahu kaburnya Kim Sie Ie.
"Siapa dia?" tanya Phang Eng. "Mengapa gerak-geriknya begitu luar biasa?"
"Dia adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay,"
menerangkan Leng Kiauw. "Namanya Kim Sie Ie."
"Kim Sie Ie?" menegas Siauw
Lan yang belum pernah mendengar nama pemuda itu.
"Ih! Tadi, waktu melihat ilmu silatnya, aku ingat seorang sahabat lama."
"Tokliong Tjoentjia!" seru sang isteri.
"Benar," kata Siauw Lan. "Bukankah ilmu silatnya menyerupai ilmu silat Tokliong
Tjoentjia?"
"Bukan saja ilmu silatnya, tapi lweekang-nya pun tidak berbeda," jawabnya.
"Celaka! Sayang
sungguh aku tidak menahannya!"
"Mengapa?" tanya sang suami.
"Barusan aku telah memukulnya dengan menggunakan ilmu Ittjiesian," sahutnya. "Ia
tak tahu maksudku yang baik dan lalu melawan dengan menggunakan lweekang. Menurut pantas,
ia mesti terluka tapi ia berhasil memunahkan tenagaku. Dalam dunia ini, hanya Tokliong
Tjoentjia yang memiliki lweekang begitu luar biasa. Tapi lweekang yang dikirimnya dengan
perantaraan tongkat,
sama sekali tidak diiring dengan tenaga yang berikutnya. Menurut pendapatku,
lweekang-nya akan
segera membakar dirinya sendiri dan ia hanya bisa hidup beberapa hari lagi."
Leng Kiauw kaget bukan main. Sekarang baru ia tahu, bahwa gerak-gerik pemuda itu
yang gila gilaan adalah untuk menutupi hatinya yang berduka.
Phoei Keng Beng menghela napas seraya berkata: "Semalam, dengan melihat paras
mukanya, aku menduga, bahwa paling banyak ia bisa hidup enam hari lagi. Sekarang Tong
Hoedjin juga mengatakan begitu, sehingga dugaan kita pasti tak akan salah."
"Jika kutahu, dia murid Tokliong Tjoentjia, kutentu akan menahannya," kata Phang
Eng dengan suara menyesal. "Ilmu Tokliong Tjoentjia merupakan satu cabang persilatan yang
sangat luar biasa. Sungguh sayang, jika ilmu itu termusnah dari dunia."
Si kakek termenung-menung beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Ya!
Gelombang Tiangkang yang di sebelah belakang mendorong gelombang yang di depan.
Selama belasan tahun ini, dalam Rimba Persilatan muncul banyak sekali orang-orang muda
yang berkepandaian tinggi. Tong Tayhiap, Tong Hoedjin, marilah aku memperkenalkan
kalian dengan seorang gagah dari tingkatan muda."
Leng Kiauw segera maju menghampiri dan memberi hormat kepada Siauw Lan dan
isterinya. Siauw Lan mengawasi pemuda itu dan ia kelihatan terkejut, ketika melihat singa-
singaan giok yang tergantung di pinggang Leng Kiauw. Sekonyong-konyong, ia tertawa terbahak-
bahak dan berkata. "Aha! Kalau begitu puteranya seorang kenalan lama."
Paras muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Anak seorang berdosa yang
mengharap dunia suka mengampuni kedosaan ayahku," katanya dengan suara jengah.
Siauw Lan kembali tertawa berkakakan. "Ada sangkut paut apakah antara kedosaan
Lian Keng Giauw dan kau sendiri?" tanyanya. "Ayahmu adalah seorang yang memiliki bakat
panglima perang,
hanya sayang ia tak jalan di jalanan lurus. Aku hanya berharap kau akan lebih
banyak membaca kitab-kitab dari para nabi dan menyumbangkan tenagamu untuk kepentingan rakyat
jelata." Leng Kiauw mengangkat kedua tangannya dan menghaturkan terima kasih untuk
nasehat itu. "Terima kasih, bahwa kau telah menyimpan Han-giok-ku," kata Siauw Lan. "Keng
Thian telah bicara banyak tentang hal ihwalmu.
Mereka segera masuk ke dalam rumah Phoei Keng Beng dan terus beromong-omong.
Mendengar puteranya bersama Peng Go juga sudah tiba di Himalaya, Siauw Lan jadi
sangat girang dan lalu berkata kepada isterinya: "Aku sendiri ingin mengadakan perlombaan
memanjat gunung
dengan Thayhoatsoe itu. Biarlah kau saja yang mencari anak-anak kita. Kunjungan
kita ke tempat Phoei Toako ternyata tidak percuma." Harus diketahui, bahwa karena mengetahui
kedatangan tentara Nepal, suami isteri Tong Siauw Lan buru-buru datang lagi ke tempat Phoei
Keng Beng, karena kuatir orang tua dan puterinya itu mendapat gangguan.
Mengingat kejadian di Puncak Unta, dimana Peng Go telah salah mengerti sebab
gara-gara adiknya, Phang Eng berkata sambil tertawa: "Calon menantuku mungkin masih merasa
mendongkol terhadapku. Biarpun sudah tua, Lin-moay masih belum bisa membuang
adatnya yang seperti kanak-kanak. Aku rasa, Toktjhioe Hongkay pun pernah dipermainkan
olehnya. Jika tidak
begitu, mengapa begitu melihatku, dia segera lari terbirit-birit" E-eh! Siapa
yang datang?" Ia
melompat keluar, diikuti oleh yang lain.
Di luar berdiri seorang wanita yang mengawasi mereka sambil tertawa haha-hihi.
"Tjietjie!"
teriaknya. "Mengapa kau mencaci di belakangku" Tanyalah Keng Thian. Aku pernah
mengganggu menantumu, tapi aku juga pernah membantu banyak padanya!" Orang itu adalah Phang
Lin. Ia sebenarnya memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena
tidak mengenal jalanan, ia sudah ditinggalkan oleh Timotato dan tiba belakangan.
Baru kakaknya mau membuka mulut, Phang Lin sudah melompat dan mendului:
"Tjietjie, apa
yang dibicarakan olehmu barusan" Apakah kau sudah bertemu dengan Kim Sie Ie?"
"E-eh, mengapa begitu bernapsu?" tanya sang kakak.
"Dia baru saja pergi," kata Siauw Lan.
"Ah! Apa kau tahu, umurnya hanya tinggal enam hari lagi?" tanyanya pula.
"Tahu," jawab Phang Eng.
"Mengapa melihat kebinasaan, kau tidak menolong?" teriak Phang Lin.
"Siapa suruh dia memukulku dengan tongkatnya?" sang kakak balas menanya sambil
tertawa. "Sudahlah! Jangan
mengganggu lagi adikmu," kata Siauw Lan. "Bahwa kami tidak menahannya, aku pun
merasa sangat menyesal." Sehabis berkata begitu, ia segera menerangkan segala kejadian
yang barusan. Phang Lin melompat-lompat dan sambil mencengkeram lengan kakaknya, ia berteriak
"Baiklah! Kau sudah melepaskan dia, kau juga yang harus mencarinya!"
Phang Eng yang mengenal adat si adik, lantas saja bisa menebak.
Ia memeluk leher adiknya seraya berbisik: "Mengapa hari ini kau begitu repot"
Apa kau penuju Toktjhioe Hongkay sebagai suami A-bwee?"
Phang Lin mendelik. "Apa?" ia menegasi. "Apa dosanya Kim Sie Ie" Kau
memanggilnya sebagai
Toktjhioe Hongkay, tapi aku menganggapnya sebagai pemuda yang jujur dan baik.
Kau membencinya, aku justeru sebaliknya."
"Siapa membenci Kim Sie Ie?" kata Phang Eng seraya tertawa geli. "Begini saja:
Kau sudah bantu merangkap jodoh Keng Thian, akupun berjanji akan mencari menantumu itu."
Sedang mereka beromong-omong, dari tikungan tanjakan mendadak muncul seorang
nenek yang, ketika diawasi, bukan lain daripada Tong Say Hoa. Begitu melihat bekas
pukulan tongkat di
atas batu, nenek itu mengeluarkan seruan kaget.
"Tjietjie," kata Phang Lin. "Sekarang aku mendapat kawan yang bisa bicara banyak
mengenai Kim Sie Ie."
"Untung juga Tong Lootaypo tidak mempunyai gadis," mengejek sang kakak.
Melihat Leng Kiauw dan mendengar kaburnya Kim Sie Ie, hati si nenek girang
tercampur duka.
"Leng Kiauw," katanya sambil menarik tangan pemuda itu. "Tak dinyana, kita masih
bisa bertemu muka. Andaikata aku mati sekarang juga, aku akan mati dengan mata meram. Leng
Kiauw, kau sudah cukup tua. Selagi kumasih hidup, apakah kau masih tak mau menikah" Siang
malam aku mengharap bisa menyaksikan hari keberuntunganmu.
Menikahlah sekarang dan sesudah kumati, kau boleh berbuat sesukamu, kau boleh
coba merebut tahta, jika kau mau. Tapi selagi kumasih hidup, jangan kau gila-gilaan,
supaya kutak usah
memikir keselamatanmu setiap detik."
Sebagai seorang wanita yang muda-muda sudah menjadi janda Tong Say Hoa telah
kukut Leng Kiauw sedari kecil. Maka itu, biarpun sekarang Leng Kiauw sudah berusia tiga
puluh tahun lebih, ia
masih memperlakukannya sebagai kanak-kanak.
Muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Mulai dari sekarang, aku hanya
mengharap bisa mengikuti jejak Tong Tayhiap dan lain-lain Tjianpwee untuk menolong sesama
manusia," katanya.
"Aku sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari segala perebutan
kekuasaan. Ibu,
biarpun sudah berusia lanjut, kau masih gagah sekali. Mengapa kau mengeluarkan
perkataan yang tidak-tidak?"
"Jika bukan ditolong oleh Kim Sie Ie, siang-siang kusudah binasa," kata si
nenek. "Kau harus
berusaha sedapat mungkin untuk mencarinya. Siauw Lan, di dalam dunia hanya kau
seorang yang bisa menolong dia. Dengan memandang mukaku, aku juga mengharap, kau berdua suami


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isteri suka bantu mencari dia."
"Dalam perjalanan dari kaki gunung kemari, apakah kau pernah mendengar warta
tentang Keng Thian?" tanya Phang Eng.
"Keng Thian dan Peng Go juga akan segera mendaki gunung," jawabnya. "Karena
merasa sangat tidak sabaran, aku sudah berjalan terlebih dulu."
"Apa?" menegas Siauw Lan. "Apakah tentara Nepal sudah mundur?"
"Mereka akan segera mundur," jawab si nenek yang lalu menceritakan segala
pengalamannya. Mendengar begitu, Tong Siauw Lan dan yang lain-lain jadi merasa
lega. Sesudah diadakan perundingan, mereka mencapai persetujuan untuk coba mencari Kim
Sie Ie dengan berpencaran: Tong Siauw Lan, Phang Eng dan Phang Lin masing-masing
mengambil satu jalanan, sedang Tong Lootaypo bersama Leng Kiauw mengambil jalanan yang lain.
Tapi, walaupun mengambil empat jalanan, usaha mereka adalah bagaikan orang mencari jarum di
tengah lautan, karena Himalaya adalah gunung yang besar luar biasa.
Selagi yang lain mengasoh atau menyediakan makanan kering untuk mendaki gunung,
Phang Eng dan Siauw Lan menarik Phang Lin ke satu sudut dan bertanya tentang
pengalamannya dalam
perkenalan dengan Kim Sie Ie. Phang Lin lantas saja menceritakan segala apa yang
diketahuinya tentang pemuda itu, sehingga sesudah mendengar, Siauw Lan dan Phang Eng menghela
napas berulang-ulang. "Ah! Kalau begitu adatnya yang aneh mempunyai sebab-sebab yang
mengharukan," kata Phang Eng dengan air mata berlinang-linang.
Mendadak Phang Lin mendapat serupa ingatan. Ia mengeluarkan buku catatan harian
Tokliong Tjoentjia dan berkata sambil menyerahkannya kepada Siauw Lan: "Aku harap kau
suka menyimpan buku ini yang ditulis oleh Tokliong Tjoentjia selama beberapa puluh
tahun. Jika kau
bertemu dengan Kim Sie Ie, aku minta kau menyerahkan kepadanya." Ia tahu, bahwa
Kim Sie Ie dan Keng Thian tidak begitu akur dan sudah sengaja memberikan buku tersebut
kepada Siauw Lan, dengan pengharapan bisa bantu menghilangkan ganjelan yang terdapat dalam
hati Kim Sie Ie. Siauw Lan yang tak punya banyak tempo untuk menanya melit-melit atau
membacanya, sudah
menduga, bahwa buku itu adalah buku ilmu silat Tokliong Tjoentjia. "Andaikata
kutak berhasil menolong Kim Sie Ie, biarlah aku mencari seorang lain untuk mewarisi kepandaian
Tokliong Tjoentjia," katanya di dalam hati.
*** Sekarang marilah kita menengok Kim Sie Ie yang telah membuang kesempatan sangat
baik untuk menolong jiwanya sendiri. Dengan keyakinan, bahwa jiwanya akan melayang
dalam beberapa hari lagi, ia mendaki gunung dengan sekuat tenaga. Harapan satu-satunya
adalah naik ke puncak Tjoe-hong (Everest) sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Pada
hari pertama dan hari kedua, perjalanan masih dapat dilakukan dengan tak banyak
kesukaran. Tapi
pada hari ketiga, ia mulai merasa sukar untuk bernapas. Ia tak tahu, bahwa
kesukaran bernapas
itu adalah akibat hawa udara yang semakin tinggi jadi semakin tipis. Ia hanya
menduga, bahwa ajalnya sudah dekat tiba dan lalu memanjat terus dengan sekuat tenaga.
Semakin ke atas, pemandangan jadi semakin indah, tapi keadaan gunung juga jadi
semakin berbahaya. Tempo-tempo ia harus memanjat lereng yang sangat tebing bagaikan
tembok, melompati jurang-jurang antara dua tembokan es dan kadang-kadang disambar angin
besar, sehingga beberapa kali ia hampir tergelincir ke bawah. Ia merasa badannya lemas
dan sabansaban harus mengasoh dengan napas tersengal-sengal. Tiba-tiba, selagi naik di satu
tanjakan matanya melihat pemandangan yang sungguh luar biasa. Jauh-jauh, di atas tanah
yang tertutup es, terlihat sejumlah besar balokan atau gundukan es yang menyerupai pagoda-
pagoda yang memancarkan sinar gilang-gemilang, bagaikan kristal. Ia mengawasi dengan mata
membelalak dan tiba-tiba saja, ia mengeluarkan seruan nyaring. "Biarpun tak bisa sampai di
puncak Tjoe-hong,
sesudah melihat surga dalam dunia ini, aku bisa mati dengan mata meram!"
teriaknya. Sambil mengempos semangat, ia berlari-lari ke arah kumpulan pagoda itu. Mendadak
kakinya menyentuh serupa benda dan ketika dilihat, ternyata adalah mayatnya seorang
asing. Di sekitar
mayat itu terdapat alat-alat mendaki gunung, tambang-tambang dan pakaiannya
sudah bobrok dan hancur begitu tersentuh, tapi mayat itu sendiri masih tidak berubah. Tak
jauh dari situ, ia
kembali mendapatkan satu mayat lain. Ia menghela napas dan berkata dalam
hatinya: "Selama
ratusan tahun, entah berapa orang binasa dalam usaha mendaki Chomo Lungma. Dua
tiga hari lagi, akupun akan menemui mereka!"
Pagoda-pagoda es itu kelihatannya tidak seberapa jauh tapi sesudah berjalan
beberapa jam, belum juga ia tiba disitu. Makanan kering sudah habis, tapi untung juga, di
sekitar gunung masih
terdapat binatang-binatang yang boleh dijadikan santapan. Dengan menggunakan
batu, ia berhasil merobohkan beberapa burung gagak dan seekor ayam salju. Ia mengeluarkan
bahan api dan sesudah menggosok-gosok sekian lama, barulah ia bisa mendapat api dan lalu
menyalakan perapian dengan menggunakan cabang-cabang kering. Dari mayat orang asing itu, ia
mengambil satu panci dan lalu masak air dengan menaruh es ke dalam panci itu. Sesudah
membakar kurang
lebih satu jam, barulah air bergolak-golak. Dengan bernapsu ia makan ayam rebus
dan minum air panas. Setelah perutnya ditangsal, sebagian kekuatannya pulih kembali.
Belum jalan berapa jauh, tiba-tiba ia bertemu dengan satu balokan es besar, yang
mengambang di atas satu sungai es. Selagi lewat di pinggir balokan es itu,
mendadak ia mendengar suara rintihan manusia. Ia terkesiap dan dengan hati berdebar-debar,
ia memanjat gundukan es itu yang bergerak-gerak tak hentinya. Begitu tiba di atas, dengan
mata membelalak
ia mengawasi dua orang yang menggeletak di atas es dengan muka penuh darah dan
mereka itu adalah Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng!
Jika bertemu di tempat biasa, Kim Sie Ie pasti tak akan merasa kasihan. Tapi di
atas gunung yang diliputi es itu, dimana tak terdapat manusia lain, ia memandang mereka
seperti sahabat.
Hiatsintjoe ternyata sudah tidak bernapas lagi, sedang keadaan Tang Thay Tjeng
pun sudah sangat payah. Sambil mengerahkan Iweekang, ia mengurut-urut tubuh Tang Thay Tjeng dan selang
beberapa saat, perlahan-lahan dia membuka matanya. "Kau?" tanyanya dengan suara lemah.
"Jangan bergerak," kata Kim Sie Ie. "Aku akan bantu kau menjalankan pernapasan."
"Tak guna lagi," katanya. "Lekas kau menyingkir dari tempat berbahaya ini."
Kim Sie Ie memegang nadi orang yang ternyata sudah kalut ketukannya, sedang
badannya sudah kaku seperti es. Ia tahu, bahwa Tang Thay Tjeng tak bisa ditolong lagi
jiwanya, tapi ia
masih tak tega untuk meninggalkannya dengan begitu saja.
Sekonyong-konyong dengan menggunakan sisa tenaganya, Tang Thay Tjeng berkata
dengan berbisik: "Sie Ie-heng, aku telah mendustai kau!"
"Budi dan sakit hati sudah terbalas impas," kata Kim Sie Ie. "Urusan yang sudah
lewat tak usah disebut-sebut lagi. Aku tak punya kegembiraan untuk mengetahui, apa kau berdusta
atau tidak."
"Jangan begitu..." kata Tang Thay Tjeng dengan suara parau. "Jika aku tak bicara
sekarang, aku tak akan bisa bicara lagi,"
"Bicaralah," kata Kim Sie Ie. "Bicaralah, jika dengan bicara hatimu bisa
terhibur."
"Bukumu berada dalam tangan Phang Lin," katanya. "Buku itu bukan dalam tangan
Tong Siauw Lan, sebagaimana dikatakan olehku."
Kim Sie Ie tersenyum duka. "Kutak perduli berada di tangan siapa," katanya.
Tiba-tiba kedua kaki Tang Thay Tjeng berkelejet. "Lekas lari!" serunya dengan
menggunakan tenaganya yang penghabisan.
Hampir berbareng, angin keras yang dingin luar biasa menyambar-nyambar dan
balokan es itu bergoyang-goyang. Tanpa memikir lagi, Kim Sie Ie buru-buru melompat turun. Di
lain saat, balokan es itu pecah terbelah dan mayat Tang Thay Tjeng dan Hiatsintjoe
tercemplung ke dalam
sungai es! Kim Sie Ie berduka dan tanpa merasa, beberapa tetes air mata mengalir di kedua
pipinya. Ia menangis, entah untuk kedua orang itu, entah untuk dirinya sendiri. Sesudah
menghela napas panjang, ia lalu meneruskan perjalanan. Tapi, baru saja jalan belasan tindak,
matanya mendadak
melihat sekuntum bunga bwee yang diukir di atas segundukan es.
Mendadak saja, jantungnya memukul keras dan darahnya bergolak-golak. Ia
mengenali, bahwa
bunga bwee itu, yang rupanya diukir dengan ujung pedang, adalah pertandaan Lie
Kim Bwee. Dalam perjalanan bersama-sama si nona di gunung Gobie san, ia pernah melihat Kim
Bwee membuat tanda-tanda itu di sepanjang jalan.
Secara tiba-tiba, dalam hatinya yang dingin muncul rasa yang hangat. Ia tak
nyana, bahwa dalam dunia yang kejam ini, masih terdapat satu manusia yang memikiri
keselamatannya dan
sudah menyusul tanpa menghiraukan bahaya. Tapi, mengingat ajalnya sudah tak jauh
lagi, pada saat itu juga ia mengambil keputusan, bahwa andaikata bertemu dengan si nona, ia
tentu akan menyingkirkan diri, supaya Kim Bwee tak usah lebih berduka.
Selagi ia termenung-menung bagaikan orang hilang ingatan, sekonyong-konyong ia
mendengar suara orang bertempur. Ia terkesiap dan segera berlari-lari sekeras-kerasnya ke
arah suara itu.
Dengan cepat, ia sudah masuk ke dalam kumpulan pagoda-pagoda es yang memang jadi
tujuannya. Dan ia kaget tak kepalang karena dari jauh ia melihat, bahwa Lie Kim
Bwee tengah dikepung oleh dua orang.
Sesudah menenteramkan hatinya, ia segera maju mendekati. Ternyata di tengah-
tengah kumpulan pagoda-pagoda es itu terdapat sebuah telaga kecil yang sudah membeku
dan Kim Bwee sedang bertempur melawan musuhnya di pinggir telaga.
Kedua lawan itu, yang kakinya lumpuh dan yang menyerang sambil menekan bumi
dengan satu tangannya, adalah Tunhuman dan Asia. Sesudah 'sembuh dari luka mereka sebagai
akibat perlombaan memanjat gunung melawan Pengtjoan Thianlie, mereka mendengar, bahwa
guru mereka, Timotato, sudah mendaki gunung dan oleh karenanya, mereka segera
menyusul. Tak diduga, di tengah jalan mereka bertemu dengan Lie
Kim Bwee dan dalam hati mereka lantas saja timbul niatan jahat. Mereka ingin
membekuk si nona untuk dibawa pulang ke negerinya. Sesudah bercacat karena Thiansan Sinbong,
mereka belum dapat melampiaskan rasa kedongkolan dan dengan menawan Kim Bwee, mereka
bukan saja bisa membalas sebagian sakit hati, tapi juga bisa mendapat muka terang di
antara kawankawan.
Waktu itu, si nona sudah lelah sekali. Akan tetapi, ilmu pedang Pekhoat Molie
yang dimilikinya,
adalah ilmu pedang yang sangat luar biasa, sehingga walaupun sudah terkurung
rapat, ia masih
bisa membela diri.
Sebagaimana diketahui, bahwa udara di tempat yang tinggi adalah sangat tipis dan
bertempur disitu meminta lebih banyak tenaga daripada bertempur di tanah datar. Bukan saja
Kim Bwee, tapi kedua lawannya pun sudah letih dan napas mereka tersengal-sengal. Melihat pedang
si nona menikam ke sana-sini secara sembarangan tanpa disertai lweekang, Kim Sie Ie
terkesiap dan sambil mengangkat tongkat, ia mempercepat tindakannya. Sesaat itu, dari tembokan
pagodapagoda es yang terang bagaikan kaca, si nona sudah melihat bayangan pemuda itu. Tiba-
tiba saja, bagaikan seorang pelancong di tengah gurun pasir yang bertemu dengan
sumber air, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan bagaikan kalap, ia melemparkan pedangnya dan
berlari-lari ke
arah Kim Sie Ie dengan tindakan sempoyongan. Tapi baru belasan tindak, ia sudah
tak kuat lagi dan roboh dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, Tunhuman dan Asia masih terus terputar-putar di atas bumi dalam
keadaan seperti orang lupa ingatan. Tanpa menghiraukan mereka, buru-buru Kim Sie Ie
memondong si

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nona yang napasnya tersengal-sengal dan kedua matanya separuh tertutup. Ia
mengusap-usap rambut orang yang hitam jengat dan mementil alisnya sambil tersenyum. "Bwee-
moay," bisiknya.
"Bukalah matamu."
Pada bibir si nona lantas saja tersungging senyuman bahagia dan perlahan-lahan
ia membuka matanya. "Sie Ie-ko," katanya dengan suara sangat perlahan. "Kutahu kau akan
datang." "Jalankanlah pernapasanmu, aku akan membantu," kata Kim Sie Ie.
Si nona tak menjawab, tapi dengan tangan bergemetaran, ia merogoh saku dan
mengeluarkan sebuah peles perak yang kecil. "Sie Ie-ko, lekas telan pel ini," bisiknya.
Hampir berbareng, kedua
matanya tertutup, mulutnya rapat bagaikan bunga yang kuncup dan badannya berubah
kaku. Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Dengan jantung memukul keras, ia mengurut-urut
badan si nona, tapi sesudah mengurut beberapa lama, ia belum juga berhasil
menyadarkannya. Ia
mendapat kenyataan, bahwa Kim Bwee tidak terluka dan keadaannya itu adalah
akibat kelelahan
yang melampaui batas. Jika berada di tanah datar, dengan semangkok somthung dan
beristirahat, si nona bisa segera pulih kesehatannya. Tapi mereka berada di gunung tinggi,
yang hawa udaranya tipis dan sukar mencari makanan.
Hati Kim Sie Ie seperti diiris-iris dan air mata mengalir turun di kedua
pipinya. "Bwee-moay, ini
semua memang juga adalah gara-garaku," katanya dengan suara duka. Untuk pertama
kali selama hidup, rasa cinta meluap-luap di dalam hatinya, tapi si nona sudah tak dapat
mendengar dan tak
dapat melihatnya.
Ia menunduk tanpa berdaya. Tiba-tiba ia melihat sebuah peles perak dan hatinya
melonjak. Ia menjemputnya dan ternyata, dalam peles itu terisi tiga butir Pekleng tan yang
berwarna biru. Sebagaimana diketahui, Keng Thian pernah menyerahkan peles itu kepadanya, tapi
ia menolak. Sekarang, pada waktu ia hanya bisa hidup tiga hari lagi, ia kembali menemukan
peles itu. Jika ia menelan tiga Pekleng tan itu, hidupnya bisa diperpanjang sedikitnya tiga
puluh enam hari. Tapi ia bukan Kim Sie Ie, jika hanya mengingat kepentingan sendiri. Dengan
cepat dan dengan tangan bergemetaran, ia membuka tutup peles dan menuang isinya di
telapakan tangan.
Kemudian perlahan-lahan ia membuka gigi si nona dan memasukkan tiga butir pel
itu ke dalam mulutnya. Ia menggoyang-goyang badan Kim Bwee beberapa kali dan lalu mengurutnya
sambil mengerahkan lweekang. Selang beberapa saat, napas si nona jadi terlebih keras,
tapi belum tersadar. Ia girang tak kepalang, tapi kegirangannya itu tercampur dengan kedukaan. Ia
hanya bisa hidup tiga hari lagi, Apakah ia mesti berdampingan terus dengan si nona yang
tiga hari lagi akan
menyaksikan keberangkatannya ke alam baka" Di lain pihak, dalam dunia yang
lebar, Kim Bwee
adalah manusia satu-satunya yang mencintainya dengan segenap jiwa. Bagaimana ia
tega meninggalkannya dengan begitu saja dan membiarkan si nona, menunggu-nunggu
seorang yang tak bakal kembali lagi.
Dengan pikiran kusut, ia jalan mundar-mandir sambil menghela napas berulang-
ulang. Mendadak, ia melihat kedua orang aneh itu bersila di atas salju bagaikan patung.
Setelah di dekati, mereka ternyata sudah tidak bernapas lagi. Walaupun kepandaiannya
tinggi, tapi lweekang
mereka tidak bisa menyamai lweekang Thiansan pay dan oleh karenanya, mereka
kalah ulet dari
Lie Kim Bwee. Kim Sie Ie berdiri bengong dan berkata dalam hatinya: "Inilah mayat ke empat
yang ditemui aku di gunung Himalaya." Karena tak ingin si nona melihat kedua mayat itu, buru-
buru ia menggali
salju dengan tongkat dan lalu menguburnya. Sehabis mengubur, ia mendongak ke
atas dan mengawasi langit. "Ah! Hari ini aku mengubur mereka, tiga hari lagi siapa yang
mengubur aku?"
katanya di dalam hati.
Sekonyong-konyong ia melihat tubuh Kim Bwee bergerak. Jantungnya memukul keras
dan secepat kilat ia mengambil suatu keputusan. "Tidak," pikirnya. "Tak dapat
kumembiarkan ia
menyaksikan kebinasaanku! Selama hidup tak pernah kumencinta manusia. Di waktu
mati, kujuga tak berhak menerima kecintaan orang." Memikir begitu, biarpun hatinya merasa
sangat berat, tapi
ia segera melompat dan sesudah mencium dahi si nona dan melemparkan sisa ayam
salju yang belum dimakannya, tanpa menengok lagi ia lari kabur dari kumpulan pagoda-pagoda
es itu. Lapat-Iapat ia mendengar teriakan Kim Bwee yang menyayatkan: "Sie Ie-ko! Sie Ie-
ko!..." Matahari menyilam ke barat... bulan sisir memencarkan sinarnya yang remang-
remang di atas Chomo Lungma yang tertutup salju. Tanpa menghiraukan segala apa, Kim Sie Ie
berjalan terus.
Sesudah berjalan sekian lama, ia bertemu dengan sebuah bukit es yang di tengah-
tengahnya melekah, seperti sebuah gua. Ia lelah bukan main dan lalu masuk ke gua itu.
Karena dingin yang
luar biasa, kaki tangannya kaku dan ia lalu bersila untuk menjalankan
pernapasannya. Sesudah
mengerahkan lweekang beberapa lama, ia merasa, bahwa keadaannya sudah tidak
seperti sebagaimana biasa, sebab hawa yang dikerahkannya tak bisa lagi mengalir kedua
belas aliran darah yang terutama. Demikianlah, dalam keadaan setengah pulas dan setengah
sadar, ia melewati malam yang panjang itu.
Pada besokan harinya, langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang
gilang-gemilang.
Dengan badan yang terlebih segar Kim Sie Ie lalu meneruskan perjalanan dan
sesudah berjalan
beberapa lama, barulah ia bisa melewati terowongan bukit es itu. Belum jalan
berapa jauh, di
sebelah depan kembali menghadang sebuah bukit es yang tingginya kurang lebih dua
puluh tombak. Biarpun tidak terlalu tinggi, tapi karena sangat licin dan terus-menerus
diserang dengan
sambaran-sambaran angin yang tajam bagaikan pisau, ia harus menggunakan Seantero
tenaga untuk memanjatnya Beberapa kali ia terpeleset dan merosot ke bawah, sehingga
waktu tiba di atas bukit es itu, matahari sudah berada di atas kepalanya. Sambil menyusut
keringat, ia menghela napas, karena mengingat, bahwa ia hanya bisa hidup tak cukup dua hari
lagi! Sesudah mengasoh dan makan makanan keringnya yang penghabisan, ia lalu
meneruskan perjalanan. Di tengah jalan, sesudah menimpuk jatuh seekor gagak hitam, ia
menyalakan perapian
dan membakar burung itu yang lalu dimakannya dengan bernapsu. Sesudah mendapat
tenaga baru, ia berjalan pula.
Selang beberapa lama, ia tiba di satu tempat yang keadaannya lain daripada yang
lain. Tempat itu ialah lembah yang tanahnya tinggi dan yang selalu diserang dengan angin
keras. Di lain-lain
tempat, salju putih menutupi daerah pegunungan itu. Hanya di tempat itu, sebab
salju selalu ditiup angin, orang bisa melihat batu-batu gunung yang berwarna gelap.
Perlahan-lahan, separuh merangkak, dengan melawan sambaran-sambaran angin, Kim
Sie Ie maju terus dan sesudah gelap, barulah ia melewati tempat yang luar biasa itu.
Dalam pergulatannya itu, kaki dan tangannya banyak terluka dan mengeluarkan darah. Ia
mengasoh di satu tanjakan dan membuat perapian. Untung juga, berkat hawa api yang hangat,
malam itu ia bisa tidur dan pada besokan paginya, ia kembali meneruskan perjalanan.
Inilah hari terakhir!
Tjoe-hong atau Chomo Lungma (Everest) dengan puncaknya yang tertutup awan, sudah
berada di sebelah depan, kelihatannya seolah-olah tak jauh lagi. Tapi andaikata
ia mempunyai tenaga untuk mencapai puncak itu, temponya sudah tidak mengijinkan lagi. Ia
mengawasinya dengan rasa putus harapan.
Hari yang terakhir! Tak ada tempo lagi!
Tapi, sebagai seorang yang berjiwa pejuang, ia bertekad untuk bergulat sampai di
detik penghabisan. Sambil mengempos semangat, ia maju terus...
Angin meniup keras... setindak demi setindak, ia maju terus... setindak demi
setindak... Akhir-akhir, bagaikan mimpi, tangannya menyentuh batu karang di kaki Chomo
Lungma! Sesaat itu, kaki dan tangannya sudah baal dan kaku.
Tapi batu karang yang dingin itu seolah-olah menggenggam arus listrik yang
hangat. Chomo Lungma! Ia sudah menyentuh batu dari Tjoe-hong! Darahnya bergolak dan dengan
nekat ia maju pula ke depan...
Tiba-tiba, matanya berkunang-kunang dan kepalanya puyeng. Sesaat yang terakhir
sudah tiba! Tenaganya habis semua.
Di depan matanya berkelebat-kelebat bayangan manusia. Bayangan gurunya, Tokliong
Tjoentjia... bayangan Pengtjoan Thianlie... bayangan Lie Kim Bwee...
Mendadak, sayup-sayup, ia seperti mendengar suara bicaranya orang: "Kasihan anak
ini!" Pada saat yang terakhir, keangkuhan Kim Sie Ie masih tak berkurang. Dengan
sekuat tenaga, ia
memberontak dan berkata dengan suara hampir tak kedengaran: "Aku tak perlu
dikasihani orang!"
Tenaganya habis... dan ia roboh!
Entah sudah lewat berapa lama, bagaikan baru tersadar dari mimpi yang menakuti,
Kim Sie Ie merasa sekujur badannya sakit. Di depan matanya, ia seolah-olah melihat
gundukan-gundukan
awan yang turun menindih tubuhnya. Ia membuka mulut untuk berteriak, tapi suara
tak dapat keluar. Lapat-lapat, sekali lagi ia mendengar orang bicara: "Kasihan anak ini!"
Suara manusia! Benar, suara manusia!
"Apa kubelum mati" Apa aku sedang mimpi?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia masih
belum bisa membuka mata. Mendadak, mendadak saja, ia merasa semacam hawa hangat mengalir di
dalam tubuhnya, menerobos ke berbagai jalanan darah besar dan kecil, sedang daging dan
tulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tulangnya sakit bukan main, seolah-olah diiris pisau. Tapi dalam kesakitan yang
hebat itu, ia merasakan semacam pembebasan dalam tubuhnya yang tak mungkin dilukiskan dengan
perkataan. Selang beberapa lama, rasa sakit itu banyak berkurang, diganti dengan
mengamuknya hawa yang sangat panas, sehingga ia merasa seakan-akan dibakar. Ia haus, haus
bukan main, tapi ia tak dapat membuka mulutnya. Dengan sekuat tenaga, ia coba membuka mata,
tapi kedua matanya seperti juga ditindih dengan benda yang beratnya ribuan kati.
Sekonyong-konyong, semacam hawa dingin menerobos sampai di pusarnya dan walaupun
tak minum setetes air, ia seperti mencegluk air penawar dewa yang telah memadamkan
Penyair Maut 1 Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Rahasia Hiolo Kumala 22
^