Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 20

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 20


api yang tengah mengamuk dalam tubuhnya. Sesudah itu, hawa yang hangat nyaman mengalir
dengan perlahan di dalam badannya.
Perlahan-lahan Kim Sie Ie pulih kesadarannya dan ia membuka matanya. Tiba-tiba
sinar matanya kebentrok dengan dua sinar mata yang terang tajam. Di lain saat, ia
mengenali orang
yang sedang berhadapan dengannya.
Siapa yang sudah menolongnya"
Tak lain daripada Tong Siauw Lan!
Untuk mencari Kim Sie Ie dan untuk menyambut tantangan Timotato, dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, Tong Siauw Lan mendaki Himalaya.
Biarpun memiliki lweekang yang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan dan meskipun sudah biasa berdiam di gunung Thiansan, tapi sesudah
naik tinggi, ia pun merasa sukar bernapas dan kemajuannya jadi sangat lambat. Hari
ini, sesudah mulai
mendaki Tjoe-hong, matanya yang sangat jeli mendadak melihat tubuh Kim Sie Ie
yang separuh teruruk dengan salju tebal.
Tong Siauw Lan girang tercampur kaget. Buru-buru ia menyingkirkan salju dan
meraba dada pemuda itu, yang napasnya sudah lemah sekali. Demikianlah, walaupun harus
mengeluarkan banyak tenaga, ia berhasil menolong Kim Sie Ie dari kebinasaan.
Melihat di atas kepala Tong Siauw Lan keluar uap putih dan keringatnya terus
mengucur, Kim Sie Ie mengetahui bahwa penolongnya sedang mengerahkan lweekang Thiansan pay
untuk menjalankan aliran darahnya dan menyingkirkan segala "racun" yang mengeram dalam
dirinya, karena latihan lweekang yang sesat. Mendadak saja, dalam hatinya timbul rasa
terima kasih yang
sangat besar, tercampur dengan rasa jengah. Seumur hidup, ia paling tak suka
menerima budi orang, tapi sekarang, di luar kemauannya, ia sudah menerima budi yang sangat
besar. Ia tak tahu, bahwa untuk menolong jiwanya, di samping mengeluarkan banyak tenaga, Tong
Siauw Lan pun telah memasukkan lima butir Pekleng tan ke dalam mulutnya. Dan lima butir
Pekleng tan itu
adalah perbekalan yang semengga-mengganya.
Begitu Kim Sie Ie tersadar, Siauw Lan tersenyum seraya berkata. "Ah! Akhirnya
kau tersadar juga, nak!"
Kim Sie Ie merasa lehernya terkancing, tak dapat ia mengeluarkan sepatah kata.
Di lain saat, air matanya mengucur.
"Apa masih sakit?" tanya Siauw Lan dengan perasaan kasihan. "Tak apa-apa.
Sebentar lagi, kau
akan merasa enakan." Sehabis berkata begitu, ia kembali mengerahkan lweekang dan
mengurut pula sekujur tubuh pemuda itu. Ia tak tahu bahwa Kim Sie Ie menangis bukan
karena sakit di
badan, tapi sebab terharu di hati. Selang beberapa lama Kim Sie Ie merasa
badannya segar bukan
main dan biarpun tenaganya belum pulih kembali, ia tahu, bahwa mulai dari
sekarang, ia boleh tak
usah kuatir lagi keselamatan jiwanya dan malahan, berkat bantuan lweekang
Thiansan pay, Iweekang-nya sendiri mendapat banyak kemajuan.
Selagi Siauw Lan bekerja keras, di atas salju tiba-tiba terdengar suara tindakan
yang enteng luar biasa. Jika ia bukan seorang guru besar dalam Rimba Persilatan, ia pasti tak bisa
mendengar tindakan
yang begitu enteng. Ia terkejut dan bertanya dalam hatinya: "Apa Eng-moay?"
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie berteriak: "Awas, musuh!" Karena sedang rebah
celentang di salju, ialah yang lebih dulu melihat bayangan Timotato. Hampir berbareng dengan
teriakannya, Timotato sudah melompat dan menghantam kepala Siauw Lan dengan kedua tangannya.
Cepat sungguh gerakan Tong Siauw Lan! Tanpa menengok, ia mengebas ke belakang
dengan tangan kanannya. Begitu kedua tangan kebentrok, badan Siauw Lan terhuyung
beberapa tindak
hampir-hampir tergelincir ke bawah tanjakan. Lweekang Tong Siauw Lan sebenarnya
lebih tinggi daripada Timotato. Tapi karena ia sudah banyak mengeluarkan tenaga maka dalam
gebrakan itu, ia jatuh di bawah angin.
"Tak punya malu!" membentak Siauw Lan. "Mengapa kau membokong aku?"
Timotato tertawa terhehe-hehe dan kemudian, sambil menuding-nuding ke atas
puncak, ia bicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Siauw Lan. Tapi dengan gerakan tangan,
Siauw Lan tahu, bahwa ia kembali menantang untuk berlomba mendaki Chomo Lungma. Rupanya,
karena gagal dalam bokongannya ia sengaja menantang pula untuk menyimpangkan perhatian
orang. Sambil berteriak-teriak dan menggapai-gapai, ia berlari-lari dan mulai memanjat
Tjoe-hong. Melihat paras muka Kim Sie Ie yang sudah berubah merah, hati Siauw Lan jadi
sangat lega. Ia
tahu, pemuda itu sudah terlepas dari bahaya. Ia bersenyum seraya berkata: "Phang
Lin dan puterinya juga sudah mendaki gunung ini. Biarlah kau menunggu mereka disini.
Kalau tenagamu sudah pulih kembali, kau juga boleh turun gunung dan menunggu di rumah Phoei
Keng Beng."
Kim Sie Ie tidak menjawab, hanya air matanya berlinang-linang. Siauw Lan tak
jadi kecil hati. Ia
menduga, pemuda itu menangis sebab terharu dan berterima kasih. Ia tak tahu,
bahwa pada saat
itu, dua macam pikiran sedang berkelahi dalam otak Kim Sie Ie. Apa lebih baik
menuntut penghidupan biasa, pergi datang seorang diri dan menjauhi pergaulan umum" Apa
lebih benar kembali di antara khalayak ramai, mengikat persahabatan antara sesama manusia
dan mendirikan rumah tangga" Ia merasa sangsi dan tak dapat mengambil keputusan.
Sementara itu, Timotato sudah naik belasan tombak tingginya. Siauw Lan tak punya
tempo lagi untuk bicara panjang-panjang dan sesudah melemparkan sekantong makanan kering,
ia lalu mengubar. Tapi, baru jalan beberapa tindak, ia kembali lagi karena ingat suatu
hal. Ia mengeluarkan sejilid buku yang diberikan oleh Phang Lin dan berkata sambil
tertawa. "Hampirhampir
aku lupa. Ini adalah buku peninggalan mendiang gurumu." Ia mengangsurkannya
kepada Kim Sie Ie dan kemudian mengudak Timotato dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan. Sesudah memanjat beberapa tombak, ia menengok dan melihat pemuda itu duduk
bersila sambil membuka-buka lembaran buku gurunya.
Semakin tinggi, hawa udara jadi semakin tipis dan orang semakin sukar bernapas.
Usaha mendaki gunung tertinggi dalam dunia, memang juga penuh dengan bahaya. Siauw Lan
mengawasi ke atas dan melihat sebuah tanjakan es yang panjang dan tebing dan di
atas tanjakan itu terdapat puncak yang duduknya melintang, sehingga puncak itu seolah-olah
tergantung di tengah udara. Di antara awan yang putih terlihat pula beberapa ekor elang yang
melayang-layang
dengan perlahan. Mendadak seekor antaranya jatuh ke bawah. Siauw Lan tahu, bahwa
karena tebalnya awan, elang itu tak bisa melihat tegas dan sudah membentur batu tajam
di puncak yang melintang itu. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Ah! Sekalipun elang
masih tak dapat mendaki puncak Tjoe-hong!" Tapi ia adalah seorang jago yang pantang
mundur. Biarpun
yakin akan bahaya yang besar, ia terus memanjat ke atas.
Selang tak lama, jarak antara Siauw Lan dan Timotato jadi semakin pendek. Sambil
merangkak, Siauw Lan maju setindak demi setindak. Ia merasa heran sebab lawannya "masih
terus dapat mempertahankan diri. Sesudah datang lebih dekat, ia mendengar suara "ting-ting-
ting" dan barulah ia tahu, bahwa lawannya membekal rupa-rupa alat untuk mendaki gunung.
Dengan menggunakan cangkul kecil, Timotato membuat undakan-undakan untuk menaruh kaki
di tanjakan es itu. Dari tapak-tapak kaki ia juga mengetahui, bahwa Timotato menggunakan
sepatu berduri yang dibuat untuk mendaki gunung.
Tapi Siauw Lan tak jadi kecil hati. Dengan menggunakan ilmu Engdjiauwkang
(Cengkeraman cakar garuda), ia memanjat terus. Kalau bertemu dengan lereng yang tegak dan
licin, ia merambat dengan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cicak merayap di tembok). Dengan begitu,
biarpun harus menggunakan banyak tenaga, ia masih bisa terus menyusul lawannya dan tak
lama kemudian, jarak antara mereka hanya tinggal lima enam tombak saja.
Dengan cepat kedua lawan itu mendekati puncak pertama yang melintang di atas.
Dengan menempelkan badannya di tembok es, Timotato memanjat. Napasnya tersengal-sengal,
ia sudah lelah dan kalau tak takut ditertawai, ia tentu sudah merosot turun. Keadaan
Siauw Lan pun tak
lebih baik, ia merasa kaki tangannya baal dan kaku, sedang tenaganya pun sudah
mulai habis. Tiba-tiba awan hitam berterbangan di langit yang cerah dan sesaat kemudian,
turunlah badai.
Dengan kedua tangannya, Siauw Lan mencekal erat-erat sebuah batu yang menonjol
seperti rebung. Di antara menderunya angin, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh
yang hebat luar biasa, sehingga gunung itu seolah-olah bergoyang-goyang. Hati Siauw Lan
mencelos. Itulah
"salju roboh" yang sering terjadi di puncak Chomo Lungma.
Di lain saat, bahaya datang! Balokan-balokan es yang sangat besar melayang turun
ke bawah bagaikan hujan. Sungguh untung, kedua lawan itu berada di bawah puncak yang
melintang, sehingga balokan-balokan itu jatuh di atas puncak dan kemudian tercemplung ke
dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya. Sambil mencekal batu menonjol itu sekeras-kerasnya,
Siauw Lan menempelkan badannya di tembokan es, di bawah puncak. Dengan jantung memukul
keras, ia mengawasi balokan-balokan es yang lewat di pinggir badannya. Itulah pemandangan
yang sungguh menakuti! Tapi sebenar-benarnya, apa yang ditemui mereka adalah "salju
roboh" dalam
ukuran kecil. Dengan teraling kabut tebal, lapat-lapat Siauw Lan melihat, bahwa lawannya juga
sedang bersembunyi di bawah puncak, di tempat yang terpisah hanya beberapa tombak dari
dirinya, sambil mencekal sepotong rantai besi. Ternyata, lawan itu telah memantik
sebatang paku besar ke
dalam batu dan kemudian melibatkan rantainya di paku itu. Biarpun badannya
menggelantung di
tengah udara, tapi karena teraling dengan puncak yang melintang itu, ia berada
dalam keadaan yang sentosa. Pada sebelum mendaki Tjoe-hong, Timotato telah menyebar sejumlah
muridnya untuk menyelidiki keadaan, sehingga ia sudah tahu tentang sering terjadinya
"salju roboh" di
gunung itu dan oleh karenanya, ia membekal alat-alat yang perlu.
Antara kedua lawan itu yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi, terdapat satu
perbedaan: Tong Siauw Lan yang sudah jadi nekat mencekal batu menonjol itu dengan hati
tenang, sebab ia
sudah tidak memperdulikan mati atau hidup. Di lain pihak, Timotato ketakutan
setengah mati, sehingga badannya terus bergemetaran.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan yang sangat hebat. Ternyata sebuah balokan
es raksasa -- yang menyerupai bukit kecil -- jatuh menimpa puncak itu yang lantas saja
bergoyang-goyang!
Hampir berbareng, badai menyambar-nyambar, disertai dengan sambaran-sambaran
potonganpotongan
es yang lebih kecil. Sambil meramkan mata dan menyerahkan segala apa kepada sang
nasib, Siauw Lan mencekal batu itu dengan menggunakan Seantero tenaganya.
Mendadak, mendadak saja ia mendengar teriakan yang menyayatkan hati! Ia membuka
kedua matanya dan... badan Timotato yang tinggi besar melayang ke bawah! Rupanya,
ketika bukit es
itu menimpa puncak, tangannya yang mencekal rantai terlepas karena kekagetan dan
ketakutan yang melampaui batas! Siauw Lan merasa duka, karena seorang yang berilmu tinggi
mesti mengorbankan jiwa cara begitu.
Tak lama kemudian angin mereda dan "salju roboh" berhenti.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Siauw Lan merayap ke tempat dimana tadi Timotato
menggelantung. Rantai masih berada pada tempatnya dan bergoyang-goyang tak
hentinya. Sesudah mengambil rantai itu, perlahan-lahan ia naik ke atas puncak yang
melintang dan merebahkan diri untuk beristirahat. Hawa udara tipis bukan main dan jika Siauw
Lan tidak memiliki
lweekang yang sangat tinggi, siang-siang ia sudah mati sesak. Langit terang


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benderang dan ia
bisa melihat puncak Chomo Lungma yang tertutup salju dan awan. Kelihatannya
tidak seberapa jauh, tapi ia tahu, bahwa ia belum mencapai separuh gunung itu. Ia menghela
napas dan melepaskan segala niatan yang tidak-tidak untuk mencapai puncak Tjoe-hong. Ia
melongok ke bawah dan apa yang dilihatnya hanyalah satu kekosongan, seperti juga ia berada
di atas tembok yang beribu-ribu tombak tingginya. Naiknya sukar, turunnya pun tak gampang.
Selagi memikiri cara untuk turun ke bawah, tiba-tiba kupingnya menangkap suara
manusia, suara yang seperti juga memanggil-manggil namanya!
Ia terkesiap dan di lain saat, ia berteriak: "Eng-moay! Eng-Moay!" Darahnya
bergolak dan semangatnya terbangun. Buru-buru ia memanjat ke atas, ke arah suara itu. Sesudah
naik belasan tombak, benar saja ia melihat isterinya yang sedang berduduk di atas dengan
rambut terurai dan
pakaian bernoda darah. Tak usah dikatakan lagi, sang isteri telah terluka pada
waktu terjadinya
"salju roboh".
"Siauw Lan!" seru Phang Eng dengan suara girang. "Tolonglah aku!"
Dengan menggunakan Seantero tenaganya, Siauw Lan lalu memanjat lagi. Perlahan-
lahan ia mendekati dan di lain saat, dengan tenaga yang terakhir, ia melontarkan rantai
ke arah Phang Eng
yang lalu menangkapnya. Dengan dibetot oleh isterinya, ia berhasil mencapai
tempat itu dan mereka lalu duduk berendeng untuk beristirahat.
"Siauw Lan," kata Phang Eng sambil bersenyum. "Andaikata aku mati sekarang, aku
akan mati dengan mata meram, karena berada sama-sama kau."
"Eng-moay, apa kau terluka berat?" tanya sang suami.
"Tidak, waktu terjadi salju roboh, aku bersembunyi di sela-sela batu," jawabnya.
"Hanya terluka
sedikit, tapi tenagaku sudah habis semua. Barusan, waktu mendengar teriakan
hebat, aku menduga kau yang celaka. Syukur sungguh, kau tak kurang suatu apa. Dengan badan
tak bertenaga, aku kuatir kita sukar bisa turun ke bawah."
Sang suami bersenyum dan berkata dengan suara menghibur "Jika turun masing-
masing, memang juga agak sukar. Dengan berdua dan dengan adanya rantai ini, kurasa kita
akan berhasil."
Sesudah mengasoh, mereka lalu makan makanan kering. Tiba-tiba terdengar satu
teriakan nyaring. "Ih! Lu Soe Nio!" teriak Siauw Lan sambil melompat bangun. Ia ingin balas
berteriak, tapi
karena kuatir suaranya tidak terdengar dalam hawa udara yang tipis itu, ia
segera melepaskan dua
batang Thiansan Sinbong sebagai pertandaan. Dengan hati berdebar-debar, mereka
menunggu. Selang beberapa lama, di atas sebuah tanjakan yang terjal, mereka melihat
bayangan Lu Soe Nio.
"Mari! Kemari!" seru Lu Liehiap sambil menggapai-gapai.
Siauw Lan dan Phang Eng pun menggapai-gapai dan kemudian dengan saling tuntun,
mereka memanjat ke arah Lu Soe Nio. Ternyata, dengan bekerja sama, mereka dapat
menghemat banyak
tenaga. Paras Lu Soe Nio kelihatan pucat dan napasnya tersengal-sengal. Tapi, bahwa ia
sudah bisa naik lebih tinggi seorang diri, adalah kejadian yang sungguh mengagumkan.
Bagaimana Lu Soe Nio bisa* berada disitu"
Sesudah menyelesaikan segala urusan di Kimkong sie, ia segera pergi ke Himalaya
untuk mencari Tong Siauw Lan. Di kaki-gunung ia bertemu dengan Thian Oe dan
mengetahui, bahwa
Keng Thian dan yang lain-lain sudah naik ke atas gunung untuk mencari Kim Sie
Ie. Buru-buru ia
menyusul dan menginap semalaman di rumah Phoei Keng Beng, dimana ia mendapat
segala keterangan secara lebih jelas.
Waktu ia menanyakan hasil perlombaan melawan Timotato, Siauw Lan tertawa getir
dan menjawab: "Menang, tapi juga kalah."
"Apa artinya?" menegas Soe Nio.
"Dalam perlombaan, karena Timotato mati, bisa dikatakan aku yang menang,"
jawabnya. "Tapi
biar bagaimanapun juga, aku gagal mencapai puncak Tjoe-hong dan karena kegagalan
itu, aku sebenarnya kalah."
Soe Nio tersenyum. "Sesudah sampai disini, kau harus merasa puas," katanya.
"Mari! Aku ingin
memperlihatkan sesuatu kepadamu."
Dengan bantu membantu mereka memanjat pula dan sesudah menggunakan tempo
beberapa jam, mereka tiba di bawah puncak kedua yang melintang di atas tembok salju itu.
Tiba-tiba Soe Nio menuding ke dinding salju. Siauw Lan dan Phang Eng mengawasi dan ternyata di
atas sebuah batu terukir empat huruf besar: Djin Thian Tjoat Kay (Perbatasan antara manusia
dan langit). Di
bawah empat huruf itu terdapat beberapa baris huruf kecil yang berbunyi seperti
berikut: Pada musim rontok tahun Kalisin, aku tiba di Tibet dengan niatan mendaki puncak
Tjoe-hong. Aku tertahan di tempat ini, tenagaku habis, tak dapat kumaju lagi dan hampir-
hampir kuhilang
jiwa. Sekarang baru aku yakin, bahwa tenaga manusia ada batasnya. Semenjak
keluar dari rumah
perguruan, dengan sebatang pedang aku berkelana ke berbagai tempat tanpa menemui
tandingan. Aku menduga, bahwa di kolong langit tiada pekerjaan yang tidak bisa
dilakukan. Tapi
sekarang, aku menunduk di bawah Tjoe-hong, dengan ditertawai oleh awan-awan
putih. Manusia mudah ditakluki, tapi langit tak dapat di atasi. Hai! Kenyataan ini adalah cukup
untuk membuat orang-orang gagah di kolong langit menghela napas sambil mengusap-usap
pedangnya! Di bawah huruf-huruf itu terdapat tiga huruf:
Leng Bwee Hong.
Ia adalah (kakek guru) Tong Siauw Lan dan Phang Eng.
Sambil menuding tulisan itu, Soe Nio berkata: "Dulu, Leng Tayhiap hanya bisa
sampai disini. Sekarang kita pun sudah tiba di ini tempat. Apakah kita tidak mengenal puas?"
Siauw Lan menghela napas dan kemudian mengangguk dengan perlahan.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Phang Eng menanya: "Lu Tjietjie, waktu naik ke
atas, apakah kau pernah bertemu dengan Keng Thian?"
"Keng Thian dan bakal menantumu juga sudah naik gunung," jawabnya. "Menurut
keterangan, mereka naik ke gunung ini untuk mencari Kim Sie Ie."
"Kalau begitu, mungkin mereka sudah bertemu Kim Sie Ie di kaki Tjoe-hong," kata
Siauw Lan yang lalu menceritakan pengalamannya, bagaimana ia sudah menolong jiwa pemuda
itu. "Aku merasa senang sekali, bahwa Tokliong Tjoentjia sudah mempunyai ahli waris,"
kata Soe Nio. "Sekarang cuaca masih baik, marilah kita menggunakan kesempatan ini untuk
turun gunung."
"Syukur kami bertemu dengan Lu Tjietjie," kata Phang Eng. "Kalau tidak, mungkin
sekali kami tak akan bisa turun dari gunung ini."
Demikianlah dengan saling membantu, mereka mulai turun dari gunung itu. Meskipun
harus mengalami banyak kesukaran, tapi pada akhirnya mereka berhasil juga.
Mereka menduga, begitu tiba di kaki Tjoe-hong, mereka akan bisa bertemu dengan
Kim Sie Ie. Tapi dugaan itu meleset, karena muncul perkembangan yang tidak ditaksir-taksir.
*** Sekarang marilah kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang, sesesudah
meminta diri dari raja Nepal, segera mendaki gunung untuk mencari Kim Sie Ie. Bahwa raja
Nepal sudah berjanji akan menarik pulang tentaranya, sehingga satu peperangan dapat
disingkirkan, telah
menggirangkan sangat hati mereka. Tapi mengingat keselamatan Kim Sie Ie,
kegirangan itu tercampur dengan kedukaan.
Dalam perjalanan itu, mereka tidak lewat di rumah Phoei Keng Beng, sehingga tak
tahu perkembangan yang terakhir.
Sesudah memanjat tiga hari, Pengtjoan Thianlie yang sudah biasa berdiam di
istana es masih
tidak merasakan apa-apa, tapi Keng Thian sudah mulai merasa sesak dalam
pernapasannya. Tapi
berkat pemandangan gunung yang sangat indah dan juga karena si nona yang
dicintai selalu
berdampingan, maka ia seolah-olah tidak merasakan kesukaran itu.
Sesudah berjalan dua hari lagi, jauh-jauh mereka melihat kumpulan pagoda-pagoda
es dimana Lie Kim Bwee pernah ditolong oleh Kim Sie Ie. Melihat pemandangan yang luar
biasa itu, mereka
bersorak dengan rasa kagum. Peng Go pun sudah sukar bernapas, tapi lantaran
tertarik dengan
indahnya pagoda-pagoda es itu, tanpa merasa ia mengerahkan lweekang dan
mempercepat tindakannya. Kasihan, Keng Thian yang sudah hampir kehabisan tenaga, tak dapat
mengikuti kecintaannya itu.
Selagi berlari-lari, tiba-tiba Peng Go menghentikan tindakannya, karena di
depannya menghadang sungai es yang di atasnya mengambang satu balokan es yang sangat
besar. Baru saja ia ingin mengambil jalanan mutar, di belakang balokan es itu mendadak
terdengar suara
tangisan, Si nona terkejut dan menggapai Keng Thian. Mereka berdua lalu memutari
sungai es itu untuk melihat siapa yang sedang menangis. Ternyata, di tepi sungai berduduk
seorang pria. "Hongsek Toodjin!" teriak Keng Thian.
Si imam berduduk disitu dengan muka berlepotan darah yang sudah membeku menjadi
es, sehingga kelihatannya menakuti sekali.
Begitu melihat Peng Go, ia berteriak: "Kau yang sudah mencelakakan dia! Kau yang
sudah mencelakakan dia!"
"Aku mencelakakan siapa?" tanya si nona dengan gusar. Ia mencabut Pengpok
Hankong kiam dan menyabet satu kali sehingga jubah pertapaan si imam menjadi robek.
Hongsek Toodjin mendelik. "Aku! Aku yang membinasakan dia! Aku yang membinasakan
dia!" serunya bagaikan orang gila.
Peng Go mundur setindak dengan hati berdebar-debar.
Mendadak, sambil berteriak Hongsek Toodjin roboh dengan mengeluarkan darah yang
lantas saja membeku. Peng Go merasa heran sebab sabetan pedang yang barusan sama sekali tidak
menyentuh badan si imam. Ia tak tahu, bahwa karena dinginnya hawa dan sukarnya bernapas,
lweekang Hongsek sudah banyak berkurang dan waktu diserang dengan Hankong kiam, tubuhnya
tak kuat bertahan lagi dan ia muntahkan darah. Jika mereka berada di atas tanah datar.
Pengtjoan Thianlie
masih belum bisa menandingi si imam.
Buru-buru si nona memasukkan beberapa butir Yangho wan ke dalam mulut Hongsek
untuk menghangatkan badannya. Selang beberapa saat, ia membuka kedua matanya dan Keng
Thian lantas saja mengurut tubuhnya sambil mengerahkan lweekang. Ia membiarkan dirinya
diolah sambil mengawasi kedua orang muda itu dengan sorot mata berterima kasih.
Sekonyong-konyong ia kembali berkata dengan suara perlahan: "Aku, akulah yang
sudah mencelakakan mereka!"
"Siapa?" tanya si nona.
"Tak ada Tjiangtjoe Siantjo!" kata si imam tanpa menjawab pertanyaan Peng Go.
"Turunlah!
Lekas kalian turun dari gunung yang berbahaya ini."
"Apa itu Tjiangtjoe Siantjo?" tanya pula Peng Go dengan suara heran.
"Bukankah kalian ingin mencari Tjiangtjoe Siantjo di puncak Chomo Lungma?"
Hongsek balas menanya. Pengtjoan Thianlie menggelengkan kepala. "Namanya saja aku belum pernah
mendengar,"
katanya. Hongsek membuang napas. "Ah! Kalau begitu aku hanya mencelakakan Hiatsintjoe dan
Tang Thay Tjeng," katanya.
"Apa" Aku sungguh tak mengerti apa yang dikatakan olehmu," kata Peng Go.
Hongsek menghela napas berulang-ulang dan kemudian berkata dengan suara duka:
"Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng telah binasa di sungai es. Aku hanya melihat
mayat mereka."
"Tapi mengapa kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah mencelakakan mereka?"
tanya Peng Go. "Sesudah diserang dengan tujuh butir Pengpok Sintan-mu, lweekang Hiatsintjoe
telah banyak berkurang," menerangkan Hongsek. "Keinginan untuk memulihkan tenaganya adalah
sedemikian besar, sehingga aku merasa kasihan padanya. Selama hidupnya, ia hanya mempunyai
satu sahabat, ialah aku sendiri. Aku merasa tak tega, jika ia sampai mati lantaran
jengkel. Untuk menolongnya, aku sudah berdusta. Aku mengatakan, bahwa di puncak Tjoe-hong


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapat semacam rumput dewa janq dikenal sebagai Tjiangtjoe Siantjo. Siapa yang makan
rumput itu akan
bertambah Iweekang-nya, yang sama nilainya dengan latihan selama tiga puluh
tahun. Dengan berkata begitu, aku hanya ingin memberi satu harapan di dalam hatinya. Menurut
perhitunganku, andaikata ia benar-benar mendaki gunung ini, pada akhirnya ia akan turun lagi
karena tak bisa
naik terus dan sesudah kembali, hatinya akan jadi lebih tenang. Tapi di luar
dugaan, bersama
Tang Thay Tjeng, ia memanjat terus sampai disini dan terbinasa. Dengan begitu,
bukankah aku yang sudah mencelakakan mereka?"
Mendengar keterangan itu, dalam hati Keng Thian dan Peng Go lantas saja timbul
rasa persahabatan terhadap imam tua itu. Sekarang mereka tahu, bahwa Hongsek
terganggu pikirannya sebab menyesal dan duka. "Hiatsintjoe adalah seorang jahat dan
kebinasaannya tak
harus dibuat sayang," kata Peng Go dalam hatinya. "Tapi Hongsek Toodjin, biarpun
ia tak bisa membedakan jahat dan baik, masih berharga untuk dipandang sebagai sahabat."
Peng Go berdiam beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara halus: "Kalau
begitu, kau turun gununglah. Sesudah menelan Yangho wan, kau tak akan takuti lagi hawa
dingin dan kurasa
kau akan bisa sampai di kaki gunung dengan selamat."
"Dan kau?" tanya Hongsek.
"Kami ingin mencari sesuatu yang lebih berharga daripada Tjiangtjoe Siantjo,"
jawabnya. Hongsek menggeleng-gelengkan kepala, tapi ia tak berani mencegah karena niatan
Peng Go kelihatannya sudah tak bisa diubah lagi Sesudah menghaturkan terima kasih kepada
Keng Thian dan si nona, ia lalu turun gunung seorang diri.
Sesudah si imam berlalu, dengan saling menggandeng tangan. Dua sejoli itu lalu
memasuki kumpulan pagoda-pagoda es. Selagi enak berjalan sambil menikmati pemandangan
yang luar biasa, sekonyong-konyong mereka mendengar suara tangisan yang perlahan.
Mereka kaget tak kepalang. "E-eh! Seperti suara orang yang sudah dikenal," kata
Keng Thian yang lalu memburu ke arah suara itu. Tiba-tiba ia berteriak: "Kim Bwee
Piauwmoay!" Orang yang
sedang menangis di pinggir telaga memang juga Kim Bwee adanya.
Sesudah datang dekat, Keng Thian menanya sambil bersenyum: "A Bwee, apa kau
kesasar?" Sebagai kawan bermain semenjak kecil, ia tahu, bahwa saudari sepupunya menangis
bukan karena kesasar jalan, tapi ia sengaja menanya begitu.
Si nona mengangkat kepala dan menjawab dengan suara serak: "Dia sudah pergi!"
Mendengar perkataan Kim Bwee, Peng Go yang sudah menghampiri lantas saja
berkata: "Mengapa kau tidak menahan dia?"
Senyuman Keng Thian lantas saja menghilang dari bibirnya. Ia sekarang tahu,
bahwa Kim Sie Ie sudah kabur lagi tanpa dapat ditahan oleh si nona.
"Dia memberikan semua Pekleng tan kepadaku," kata si nona sambil menunjuk peles
perak. "Hatinya terlalu mulia dan terlalu kejam."
"Apa artinya?" tanya Keng Thian.
"Seperti di dalam mimpi... dalam sekejap dia menghilang," jawabnya sambil
mengucurkan air
mata. Sesudah itu, dengan suara terputus-putus ia menuturkan segala
pengalamannya. Keng Thian dan Peng Go berduka sangat. Mereka tak tahu, bagaimana harus
menghibur Kim Bwee. Sesudah memikir beberapa saat, Peng Go berkata: "Bwee-moay, sudahlah, kau jangan
menangis. Kami akan menemani kau mendaki Tjoe-hong."
Si nona mengawasi dengan sorot mata bersangsi.
"Menurut taksiranku, ia pasti memanjat Chomo Lungma," kata pula Peng Go.
Kedua mata Kim Bwee bersinar terang. "Peng Go Tjietjie, kau sungguh mulia,"
katanya dengan suara berterima kasih.
"Ih! Mengapa kau tak makan daging itu?" tanya Keng Thian yang melihat sepotong
daging ayam di atas salju.
"Daging itu ditinggalkan olehnya, aku tak tega untuk memakannya," jawab Kim
Bwee. "Anak tolol!" kata Peng Go seraya tertawa. "Tanpa makan, mana kau punya tenaga?"
Ia meraba kantong makanan Kim Bwee yang ternyata sudah kosong sama sekali.
Ternyata, sudah sehari suntuk Kim Bwee tak makan apapun jua. Untung sekali Keng
Thian membekal banyak makanan kering dan sebatang jinsom. Si nona lalu makan sedikit
ransum kering dan separuh jinsom, tapi ia masih tak tega untuk makan daging ayam pemberian Kim
Sie Ie. Sesudah keluar dari kumpulan pagoda-pagoda es, mereka lalu mendaki tanjakan
dengan mengikuti tapak-tapak kaki Kim Sie Ie. Pada hari kedua, mereka tiba di lembah
yang sering diserang taufan dan tapak-tapak itu menghilang tertutup salju yang ditiup angin.
Pada besokan harinya, Chomo Lungma sudah berada di depan mata.
Setibanya disitu, mereka lelah bukan main dan sukar bernapas. Walaupun tak takut
hawa dingin, Peng Go merasa dadanya sakit dan sesak. Keadaan Keng Thian masih
mendingan, karena
ia memiliki lweekang yang lebih tinggi. Orang yang paling menderita adalah Kim
Bwee, yang hanya bisa maju setindak demi setindak dengan dipayang Keng Thian.
Mereka tiba sesudah terjadinya "salju roboh". Dari bawah mereka memandang ke
atas dan apa yang dilihatnya hanya puncak-puncak yang menjulang ke langit, tertutup awan dan
salju. Peng Go dan Kim Bwee mengawasi puncak itu dengan hati berdebar-debar. Walaupun
berkepandaian tinggi, mereka yakin Kim Sie Ie tak akan mampu mendaki puncak yang
setinggi itu. Dalam hati kecil, mereka menduga, bahwa pemuda itu telah mengalami kecelakaan,
tapi tak satupun yang berani mengutarakan dugaan itu.
Tiba-tiba Kim Bwee berbisik: "Hari keberapa ini?" Karena pingsan lama di
kumpulan pagodapagoda
es, ia tak dapat menghitung hari lagi. Sekonyong-konyong paras Peng Go berubah
pucat, la ingat bahwa bersama Keng Thian ia sudah berada di Himalaya tujuh hari tujuh
malam, atau dengan lain perkataan, sudah melampaui batas umur Kim Sie Ie dengan satu hari
dan satu malam! Waktu itu matahari sudah menyilam ke barat dan sang rembulan sudah memancarkan
sinarnya yang remang-remang di atas langit. Lama sekali mereka mengasoh untuk memulihkan
tenaga. Selang satu dua jam, Keng Thian menghela napas seraya berkata: "Marilah kita
turun saja."
"Tidak! Aku tak pulang!" teriak Kim Bwee dengan suara pasti
Peng Go mencekal tangan si nona dan mengawasi mukanya dengan penuh rasa kasihan.
Tapi sebelum ia sempat membujuk, di tanjakan tiba-tiba terdengar teriakan seorang
wanita: "A Bwee!
Kau juga sudah tiba disini?"
"Ibu!" seru Kim Bwee sambil melompat bangun.
Phang Lin tertawa haha-hihi dan menggapai-gapai.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian "Apa kau sudah bertemu dia?"
"Bertemu!" jawabnya.
Badan Kim Bwee bergemetaran, tapi larinya terlebih cepat daripada Pengtjoan
Thianlie. "Dimana dia?" tanyanya sambil memeluk sang ibu.
"Lihatlah sendiri," kata Phang Lin seraya menuding ke satu jurusan.
Semua orang menengok ke tembokan es yang ditunjuknya. Ternyata di tembok es itu
terdapat empat baris huruf yang berbunyi seperti berikut:
Kubukan manusia yang tak mengenal budi,
Memandang Tjoe-hong dengan hati bersedih,
Kuhanya cocok untuk hidup menyendiri,
Malu menerima kecintaan dari seorang dewi.
Di bawah syair yang ditulis dengan pedang itu terdapat juga tapak-tapak tongkat.
Pengtjoan Thianlie kelihatan berduka sekali. Hanya ia seorang yang mengenal isi
hati Kim Sie Ie. Syair itu keluar dari jiwa yang angkuh. Ia haus akan kecintaan manusia yang
hangat, tapi pada
akhirnya, ia mabur seorang diri dari dunia pergaulan.
Untuk beberapa lama, mereka tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka bengong dan
memandang dunia perak yang sangat indah, yang gilang-gemilang di bawah sorotan
sinar rembulan. Akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh Phang Lin yang berkata dengan mendadak:
"Kurang ajar sungguh bocah itu!" Comelan disusul dengan tertawa. "Jangan jengkel-
jengkel," katanya pula
sambil melirik puterinya. "Asal dia masih bidup, aku pasti akan dapat
membekuknya, supaya kau
bisa melampiaskan rasa kedongkolanmu." Kata-kata itu hanya untuk menghibur Kim
Bwee. Dalam hatinya, Phang Lin pun yakin, bahwa mencari pemuda itu bukan hal yang mudah.
"E-eh, apa itu?" mendadak Kim Bwee berkata sambil menuding ke atas. "Tiga bola
salju... menggelinding ke bawah..T eh sungguh cepat!"
"Anak tolol!" bentak sang ibu seraya tertawa. "Bukan bola salju. Itulah lethio-
mu, Ie-ie dan...
siapa orang yang ketiga. Ah! Lu Soe Nio!"
Beberapa saat kemudian, Siauw Lan bertiga sudah tiba disitu. Tak usah dikatakan
lagi, pertemuan itu menggirangkan sangat hatinya semua orang.
Sambil mencekal tangan Peng Go, Phang Eng tertawa seraya menanya: "Apa sekarang
kau masih jengkel terhadapku?"
Phang Lin tertawa geli. "Aku berjanji akan carikan kau seorang menantu yang
memuaskan,"
katanya dengan suara menggoda. "Bukankah sekarang aku sudah memenuhi janji itu?"
Peng Go tak menjawab, hanya mukanya berubah merah karena kemalu-maluan. Ia
melirik kedua saudara perempuan itu dan baru sekarang, sesuai dengan petunjuk Keng
Thian, ia dapat
membedakannya. Bagi orang luar, mereka hanya dapat dibedakan waktu sedang
tertawa. Yang satu bersujen di pipi kiri, yang lain di pipi kanan.
"Aku sudah menepati janji, tapi bagaimana dengan janjimu?" tanya Phang Lin.
"Apa kalian belum bertemu dengan Kim Sie le?" tanya Siauw Lan dengan heran. "Aku
minta ia menunggu disini atau di rumah Phoei Keng Beng."
"Dia tak akan kembali," jawab Phang Lin. "Bacalah syair itu."
Sesudah membaca Siauw Lan menghela napas. "Begitu gurunya, begitu juga
muridnya,"
katanya dengan suara duka. "Adat Kim Sie Ie lebih aneh daripada Tokliong
Tjoentjia." Lantas saja
ia menceritakan, bagaimana pada saat yang sangat berbahaya, ia sudah berhasil
menolong jiwa pemuda itu. Kim Bwee jadi girang tercampur sedih. Ia girang sebab kecintaannya sudah
terbebas dari kebinasaan dan di kemudian hari, ia bakal menjadi seorang pandai dalam dunia
persilatan. Tapi ia
juga merasa sedih, karena pemuda itu sudah mabur untuk tidak kembali lagi.
Phang Lin yang beradat "berandalan", kali ini pun merasa duka. Secara kebetulan
ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi suami puterinya. Tapi
pemuda itu telah kabur dengan begitu saja dengan menolak segala kecintaan orang. Mendengar
Siauw Lan menyebut-nyebut nama Tokliong Tjoentjia, ia ingat buku catatan harian yang
diberikannya kepada
Siauw Lan. "Siauw Lan, apa buku catatan harian itu sudah diserahkan kepada Kim
Sie Ie?" tanyanya. Siauw Lan terkejut. "Ya," jawabnya. "Apa" Buku catatan sehari-hari" Aku tadinya
menduga, buku ilmu silat."
"Kau tidak membacanya?" tanya pula Phang Lin.
"Bagaimana kuboleh baca buku orang lain?" Siauw Lan balas tanya.
Lu Soe Nio yang sedari tadi terus menutup mulut, mendadak bertanya: "Apa dalam
buku itu terdapat catatan penting?"
"Sangat penting, mengenai jiwa umat manusia di sepanjang pantai," jawab Phang
Lin. Siauw Lan terperanjat. "Apa?" ia menegas.
"Menurut catatan itu, di bawah pulau Tjoa-to terdapat sebuah gunung berapi yang
menurut taksiran Tokliong Tjoentjia, akan meledak kurang lebih sepuluh tahun lagi,"
menerangkan Phang
Lin. "Jika sampai terjadi kejadian itu, bukan saja seluruh pulau akan menjadi
hancur, tapi semua
makhluk berjiwa di dalam laut dan umat manusia yang hidup di sepanjang pantai
Lautan Kuning, akan celaka. Menurut Tokliong Tjoentjia, masih ada jalan untuk mengelakkan
bencana tersebut.
Beberapa bulan sebelum terjadi peledakan, seseorang harus masuk ke dalam lubang
gunung dan membuka sebuah terowongan untuk memasukkan air laut, supaya api dan lahar
beracun bisa mengalir keluar perlahan-lahan. Hanyalah dengan jalan itu saja, barulah bencana
bisa dielakkan."
Paras muka Soe Nio lantas saja berubah terang. "Kalau begitu, kita tak usah
mencari Kim Sie Ie
lagi," katanya sambil bersenyum.
"Mengapa?" tanya Phang Lin.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sesudah membaca buku gurunya, apakah ia tak mengerti, bahwa ia adalah orang
satusatunya yang bisa mengelakkan bencana itu?" Soe Nio balas tanya.
Siauw Lan mengangguk beberapa kali dan berkata dengan suara perlahan: "Menolong
sesama manusia adalah tugas orang-orang sebangsa kita. Apalagi mengelakkan bencana yang
sedemikian besar! Mengenai tugas itu, aku merasa Tokliong Tjoentjia sudah menghitung masak-
masak, sehingga, biarpun ia masuk ke dalam gua api, ia pasti akan bisa keluar lagi
dengan selamat."
Paras muka Phang Lin berubah lebih terang. "Ya," katanya. "Biarlah ia melakukan
satu perbuatan yang mulia itu."
Kim Bwee mengawasi ibunya dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Tapi...
andaikata ia selamat... apakah ia akan kembali?"
"Ia mabur karena merasa malu terhadap manusia," kata Lu Soe Nio. "Sesudah
berhasil melakukan perbuatan yang mulia itu, aku merasa pasti ia akan kembali ke dunia
pergaulan."
Si nona tak mengatakan apa-apa lagi, tapi mendengar suara Lu Soe Nio yang begitu
pasti, hatinya jadi terhibur juga.
Demikianlah, dengan hati tertindih, mereka lalu mulai turun gunung. Tiga hari
kemudian, mereka tiba kembali di rumah Phoei Keng Beng, dimana sudah menunggu Liong Leng
Kiauw, Tong Lootaypo dan yang lain-lain yang terpaksa kembali karena tak bisa maju
terus. Sesudah mengasoh beberapa hari mereka lalu membereskan perjalanan. Atas anjuran
Tong Siauw Lan dan yang lain-lain, Phoei Keng Beng bersama puterinya pun turut turun
gunung. Sebenarnya ia merasa berat untuk meninggalkan rumah yang sudah di tempati
puluhan tahun, tapi mengingat hari kemudian puterinya sudah mendapat ketentuan, hatinya jadi
agak terhibur. Waktu itu adalah musim semi. Di kaki gunung, salju sudah melumer dan pemandangan
alam, dengan pohon-pobon yang berdaun hijau, bunga-bunga yang menyiarkan bebauan wangi
dan burung-burung yang bermain-main di dahan kayu, indah luar biasa. Peng Go memetik
beberapa kuntum bunga hutan dan kemudian menyebarnya di tengah udara dengan mata
mengawasi puncak Tjoe-hong. Antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian yang bisa
merasakan apa yang
dirasakan oleh si nona.
Sesudah berjalan dua hari lagi, tibalah mereka di lembah itu, dimana tentara
Nepal dan tentara
Tjeng pernah berkemah dan berhadapan satu sama lain. Sekarang mereka hanya
mendapatkan lembah yang sunyi senyap dan bertemu dengan sejumlah kambing hutan yang begitu
melihat datangnya manusia, lantas saja lari serabutan. Kedua tentara itu ternyata sudah
ditarik mundur.
Tapi baru mau keluar dari mulut lembah, mereka melihat sebuah tenda yang masih
berdiri disitu. Ternyata, Thian Oe dan Yoe Peng yang sangat memikiri keselamatan Kim Sie
le, tidak turut
pulang bersama tentara Tjeng, tapi sudah menunggu disitu. Mereka girang melihat
kembalinya Tong Siauw Lan dan yang lain-lain. Mereka juga bersyukur, bahwa jiwa Kim Sie Ie
sudah dapat ditolong. Tapi di antara kegirangan itu, mereka juga merasa duka, sebab Kim Sie
Ie sudah melenyapkan diri.
Sesudah keluar lembah, mereka masuk ke daerah padang rumput. Belum jalan berapa
jauh, mereka bertemu dengan serombongan pedagang kuda yang datang ke .daerah
perbatasan untuk
berdagang. Sambil jalan perlahan-lahan, mereka menyanyikan lagu si Pengembara:
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara
tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.
Si nona tanya sang pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki" Berapa
topan lagi harus kau lewati" Pengembara! Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat
terbang terus menerus. Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus...
Sampai tahun apa, bulan apa, baru kalian mau turun dari kuda"
Nona, terima kasih atas kebaikanmu,
Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu, Apakah kau pernah melihat bunga di
gurun pasir" Apakah kau pernah melihat gunung es melumer" Kau belum pernah melihatnya"
Belum pernah! Ah! Maka itu, kami si pengembara. Juga tak akan berhenti selama-lamanya.
Itulah lagu yang pernah didengar Thian Oe pada tiga tahun berselang, pada waktu
ia pertama kali melihat wajah Chena. Segala pengalamannya dengan gadis Tsang itu lantas
saja terbayang di
depan matanya dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. Ia melirik Yoe Peng
yang kebetulan sedang mengawasi padanya, sehingga kedua pasang mata lantas saja kebentrok.
Demikianlah, luka di hatinya telah diperingan dengan obat yang mujarab.
Peng Go pun pernah mendengar lagu itu dan ia juga merasa sedih karena ingat
nasib Kim Sie le. Apakah pemuda itu akan bernasib seperti si pengembara yang disebutkan dalam
lagu itu" Ia
menengok dan melihat Keng Thian tengah mengawasi dengan sorot mata penuh
kecintaan. Ia menghela napas dan dalam kedukaannya, ia merasa, bahwa dirinya banyak lebih
beruntung daripada wanita yang lain.
Lie Kim Bwee sendiri baru pernah mendengar lagu yang sedih itu. Ia harus berduka
seorang diri, karena tak ada orang yang menghiburnya dengan lirikan mata yang mengandung
cinta. Ia menangis seorang diri sambil menghadapi sebuah teka-teki yang tak dapat dijawab.
Apa dia akan segera kembali" Apa dia bernasib seperti si pengembara yang baru mau menahan les
kuda sesudah gurun berbunga dan gunung es melumer" Entahlah!
Dengan air mata berlinang-linang, tanpa berani menengok pula untuk melihat Chomo
Lungma, ia berjalan sambil menundukkan kepala seraya mendengari lagu si Pengembara yang
semakin lama jadi semakin menghilang dari pendengaran.....
T A M A T CATATAN 13) Phaspa (keponakan Sakya Pandit yang menakluk pada kerajaan Mongol) adalah
seorang nabi yang tersohor pintar. Dalam usia sangat muda, ia sudah menarik perhatian
Kublai Khan (yang
belakangan menjadi kaizar di Tiongkok), sehingga diminta untuk memberi pelajaran
Lhama-isme kepada Kublai dan belakangan diangkat menjadi Guru Kerajaan. Sepanjang cerita,
dengan disaksikan kaizar, ia memperoleh kemenangan dalam suatu debat mengenai
keagamaan, melawan
tokoh-tokoh kenamaan. Atas perintah Kublai, Lhama-isme dinyatakan sebagai agama
kerajaan Goan (Yuan) dan Phaspa diangkat menjadi pemimpin dari semua Budhis di kolong
langit. Dalam usia 31 tahun, ia diperintah menciptakan sistim menulis untuk orang Mongol.
Dengan mengambil
alphabet Tibet sebagai dasar, ia menyelesaikan tugas itu dalam lima tahun.
14) Puncak Mutiara atau Tjoehong diambil dari perkataan "Chomo Lungma", bahasa
Tibet untuk Puncak Everest. Tinggi Everest 29.002 kaki dan nama itu diambil dari nama
Sir George Everest, seorang ahli pengukur gunung-gunung. Sebagaimana diketahui, Puncak
Everest telah ditakluki oleh Sir Edmund Hillary, Sherpa Tenzing dan kawan-kawannya pada
tanggal 29 Mei 1953.
15) Tiatkoen atau Buku Besi adalah anugerah dari seorang raja kepada keluarga
raja atau menteri yang berjasa besar. Dengan kekuatan anugerah itu, ia dapat
mencampuri segala urusan negara, malahan dapat menegur atau menghukum raja yang belakangan
bertahta. Jala Pedang Jaring Sutra 16 Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Rahasia Kunci Wasiat 1
^