Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 8

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 8


ingat, ketika mau
turun gunung, ayah ibunya pesan supaya ia cari tahu dimana adanya paman Koei Hoa
Seng. Sekarang ia sudah dapat cari puterinya Koei Hoa Seng, tetapi si nona tak sudi
naik ke Thiansan
buat menemui sahabat-sahabat dari mendiang ayahnya. Kenapa"
Memikir pergi datang, pemuda itu jadi semakin jengkel. Jika lain orang, ia tentu
sudah memaksa buat mendapat tahu seterang-terangnya. Tapi terhadap Pengtjoan Thianlie,
ia benarbenar tak sanggup berlaku keras, oleh karena adanya keagungan si nona yang wajar, yang
membikin orang tidak berani rewel-rewel di hadapannya.
Dalam kekesalannya itu, Keng Thian jadi gusar pada dirinya sendiri. Kenapa,
sesudah kenal Pengtjoan Thianlie, ia jadi begitu tolol" Saat itu, dalam otaknya berkelebat
bayangannya seorang
wanita lain, seorang gadis jelita yang usianya lebih muda dari Pengtjoan
Thianlie. Gadis itu adalah
Lie Kim Bwee, puteri Ie-ie-nya (bibi) sendiri (puterinya Lie Tie dan Phang Lin).
Kim Bwee adalah
kawan memainnya sedari kecil, tapi ia heran sekali, terhadap nona itu, ia tidak
mempunyai perasaan seperti yang dirasakan terhadap Pengtjoan Thianlie.
Angin diluar tenda jadi semakin santer dan di antara suaranya angin, sayup-
sayup, ia dapat
dengar suara "uh, uh." "Apakah itu bukan suara goloknya boesoe Nepal?" ia tanya
dalam hatinya. Dalam pertemuan di Shigatse dan di gunung Tantat san ketika bantu merebut guci
emas, ia tahu gagang goloknya boesoe Nepal berlubang dan mengeluarkan suara "uh, uh," jika
kesampok angin.
Keng Thian heran. Kenapa mereka masih berada di Tiongkok"
Ia keluar dan loncat ke atas tenda, dari mana ia lihat bayangannya Pengtjoan
Thianlie yang sedang berlari-lari ke arah utara barat. Tadinya ia mau mengubar, tapi kemudian
urungkan niatannya. Ia ingat, kedua boesoe Nepal adalah orang sebawahannya Pengtjoan
Thianlie, sehingga jika si nona datang, segala urusan tentu bisa menjadi beres. Di
sebelahnya itu, jika
menguntit, ia kuatir si nona jadi gusar dan menganggap ia terlalu mau tahu
urusan lain orang.
Mengingat begitu, ia urungkan niatannya dan dengan tindakan perlahan, menuju ke
tendanya Pengtjoan Thianlie.
Di luar tenda ia bertemu Yoe Peng yang kelihatannya bingung. "Ah, Tong
Siangkong!" katanya.
"Kenapa malam-malam begini masih jalan-jalan?"
"Kau dengar itu suara "uh, uh," tanya Keng Thian.
"Dengar,"sahutnya. "Mungkin cuma suara burung."
"Kongtjoe-mu?" tanya Keng Thian sembari tertawa.
"Ia kecapaian dan sudah pulas," Yoe Peng mendusta. "Aku keluar lantaran dengar
suara tindakanmu. Baliklah, kalau kau bikin ia mendusin, ia bisa jadi gusar."
Keng Thian tertawa dan lantas balik ke tendanya. "Benar saja dia tak mau aku
mendapat tahu,"
kata pemuda itu dalam hatinya.
Biarpun mengetahui Pengtjoan
Thianlie bukan sedang menghadapi bahaya, Keng Thian tak dapat tetapkan hatinya.
Ia sulut sebatang lilin besar dan duduk termenung dalam tendanya.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, mendadak di luar tenda terdengar suara
tindakan yang sangat enteng dan kain tenda dipentil beberapa kali.
Keng Thian loncat bangun dan menanya: "Kau sudah pulang?" Ia heran. Sedang si
nona mau rahasiakan kepergiannya, kenapa sekarang ia datang pada tendanya" Tangannya
membuka tenda dan segera juga kupingnya dapat dengar suara tertawa yang sudah dikenal baik.
"Koko, kau
sedang pikiri siapa?" tanya satu suara wanita.
"Ah, aku kira siapa, tak tahunya setan kecil!" kata Keng Thian sembari tertawa.
Wanita itu bukan lain daripada Lie Kim Bwee, adik misanannya (piauw).
"Tak salah omongannya Toa-boe dan Siauw-boe," kata Kim Bwee sembari tertawa
haha-hihi. "Ada dia, mesti ada kau. Mereka kata, tendamu mesti berdekatan dengan tendanya
dan benar saja tidak meleset. Eh, kau tahu bagaimana keadaannya
kecintaanmu sekarang" Aku sih tahu!"
Keng Thian bingung berbareng geli. "Kenapa" Kau ketemu padanya?" tanya ia
sembari pukul si
nona dengan perlahan.
"Sudah punya kawan baru, kenapa kau jadi begitu galak" Sudahlah, aku tak mau
bicara," Kim
Bwee menggoda terus.
"Baiklah, Piauwmoay-ku yang manis," kata Keng Thian sambil membungkuk. "Aku
minta maaf. Puas" Hayo, lekas bilang."
Kim Bwee tertawa-tawa. "Tadi aku bertempur dengan dia," katanya. "Benar-benar
hebat! Aku rasa, kau juga bukan tandingannya. Hati-hati lho! Mesti siap-siap buat dihajar
olehnya!" Keng Thian yang sangat kepengen tahu keadaannya Pengtjoan Thianlie, seperti juga
tidak dengar godaan adiknya. "Apa" Kau bertempur dengan ia" Dan dia?" tanya Keng
Thian. "Ibu sedang main-main dengan dia," jawabnya. "Kau tahu adat ibu. Tak tahu ia mau
main-main sampai kapan."
"Dan Boe-sie Hengtee?" Keng Thian tanya lagi.
"Kedua mustika itu bilang, lantaran kau lindungi 'si perempuan siluman', mereka
sungkan menemui kau," jawab Kim Bwee. "Tapi aku tahu, sebenar-benarnya mereka merasa
jengah lantaran kena dikalahkan oleh 'perempuan siluman' itu. Eh, siapa sih namanya"
Aku belum pernah
lihat wanita yang begitu cantik.
Sungguh tak pantas Toa-boe dan Siauw-boe namakan ia 'perempuan siluman'."
Keng Thian yang sedang kebingungan, mana sempat ladeni godaan adiknya. Ia jalan
mundarmandir dan tarik napas berulang-ulang seraya berkata: "Hai, bagaimana baiknya" Ie-ie
bertempur dengan ia. Bagaimana baiknya?"
"Eh, kenapa kau begitu kebingungan?" kata Kim Bwee sembari tertawa. "Ibu toh
bukan mau binasakan padanya. Ibu sendiri bilang, dia cantik sekali. Ia cuma mau main-main
sedikit." Tapi Keng Thian tidak dapat dihiburi dengan perkataan Kim Bwee. Ia kenal adatnya
Pengtjoan Thianlie yang tak dapat dipermainkan secara begitu. Ia merasa sangat jengkel,
kenapa semakin tua bibinya jadi semakin suka geguyonan. Ia rupanya lupa, bahwa di waktu masih
kecil, berkat sifat bibinya yang suka bercanda, ia sendiri jadi lebih dekat dengan sang bibi
daripada dengan
ibunya sendiri.
Phang Lin dan Phang Eng (ibunya Keng Thian) adalah saudara kembar, tapi sifatnya
berbeda seperti langit dan bumi. Phang Eng pendiam dan sungguh-sungguh, Phang Lin nakal
dan berandalan. Sifat itu tidak berubah sampai Phang Lin berusia lanjut.
Boe Kheng Yab (ibunya Lie Tie atau neneknya Lie Kim Bwee) adalah murid penutup
dari Pekhoat Molie. Itu sebabnya kenapa Lie Kim Bwee paham ilmu silatnya Pekhoat
Molie. Di sebelahnya itu, ia juga dapat berbagai macam ilmu dari ibunya, antaranya ilmu
berkelahi di tengah
udara seperti seekor burung. Ilmu tersebut didapat oleh Phang Lin dari Patpie
Sinmo (Memedi Delapan Tangan) Sat Thian Tjek. Phang Lin bukan saja turunkan ilmu silatnya,
tapi juga adatnya
yang suka bercanda kepada puterinya itu.
Melihat piauwheng-nya kejengkelan, Kim Bwee jadi semakin bungah hatinya.
"Siapa suruh dia hinakan Toa-boe dan Siauw-boe," katanya sembari tertawa. "Kau
tak lihat cara bagaimana mereka dibikin kucar-kacir" Benar-benar bikin orang mendongkol!
Bebokongnya ditotol
dengan pedang, tidak ditikam, cuma dipermainkan, seperti kucing permainkan
tikus. Aku sungguh
tak sampai hati! Ibu tolong balaskan sakit hatinya. Eh, kau belum beritahu,
siapa sih namanya?"
"Ah, jangan begitu melit," Keng Thian menghela napas. "Semua orang sendiri.
Namanya Peng Go. Koei Tiong Beng yang setingkat dengan nenekmu, adalah kakeknya. Kalian
permainkan dia,
Iethio tentu akan menegur."
"Kau mau mengadu?" tanya Kim Bwee sembari letletkan lidahnya. "Aku tak takut!
Aku takut pada ayah, tapi ayah takut pada ibu dan ibu takut padaku. Kau mengadu juga tak
ada gunanya."
Keng Thian benar-benar tidak berdaya. Ia cuma mengharap, di kemudian hari
Pengtjoan Thianlie akan mengetahui adatnya sang ie-ie yang suka memain dan dapat menyayang
bibinya itu. Memikir begitu, hatinya jadi lebih tenang.
"Eh, kenapa kalian bisa berada disini?" ia tanya sesudah berdiam beberapa saat.
"Piauwko," kata si nona sembari colek janggut kakaknya. "Kau benar sudah otak
miring. Masakan ujian tiga tahun sekali yang diadakan oleh ayahmu sendiri, kau sudah
tidak ingat lagi?"
Thiansan pay mempunyai anggauta yang berjumlah besar, yaitu turunan dan murid-
muridnya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari Thiansan). Sesudah Tong Siauw Lan
pimpin partai tersebut, tiga tahun sekali ia kumpulkan murid-murid Thiansan pay buat diuji
ilmu silatnya. Ini
dinamakan Pertemuan Kecil. Saban sepuluh tahun sekali diadakan Pertemuan Besar,
dimana bukan saja murid-murid, tapi orang-orang dari tingkatan tua juga diundang
datang, seperti Moh
Tjoan Seng, Tjio Kong Seng dan yang lain-lain.
Tahun itu ialah tahun Pertemuan Kecil. Tahun yang lalu, ketika mau turun gunung,
Tong Keng Thian telah dapat kelonggaran istimewa dari ayahnya buat tidak usah hadiri
Pertemuan Kecil itu,
jika terpaksa. Kalau mungkin, ia tentu saja mesti pulang pada temponya yang
tepat, akan tetapi,
kalau dalam usaha mencari Koei Hoa Seng ia berada di tempat jauh, maka ia boleh
tidak usah pulang ke Thiansan. Itulah sebabnya, kenapa Keng Thian sudah lupakan hal
tersebut. Biarpun sudah dibikin sadar, tapi masih ada hal yang kurang dimengerti. "Ujian
yang dibuka oleh ayahku, ada hubungan apa dengan kedatangan kalian?" tanya ia.
"Apa benar kau belum pernah dengar penuturannya Iethio (ayahnya Keng Thian)?"
tanya Kim Bwee. "Biarlah aku ceritakan. Dahulu, Hoei-angkin
Lootjianpwee, yaitu soetji nenekku, pernah turunkan beberapa jurus ilmu silat
kepada suami isteri Huke-tsihu, pemimpin suku Hapsatkek. Isterinya Huke-tsihu, yang bernama
Mungmanlis, telah meninggal dunia pada kira-kira sepuluh tahun berselang. Waktu aku masih
kecil, aku pernah
bertemu padanya yang datang buat sambangi nenek (Boe Kheng Yao). Ketika nenek
meninggal dunia, ia sudah terlalu tua buat bisa datang menyambangi."
"Tapi, kalian mempunyai hubungan apakah dengan Mungmanlis yang sudah mati?"
tanya Keng Thian dengan perasaan heran. "Apa kau mau cari ia di tempatnya Giam Loo-ong?"
"Eh, apa kau tolol atau berlagak tolol?" kata si nona sembari monyongkan
mulutnya. "Aku benar-benar tolol," jawab Keng Thian sembari tertawa.
"Nah, kalau begitu, kau dengarlah," kata Kim Bwee sembari mesem. "Mungmanlis
benar sudah meninggal dunia, tapi ia mempunyai anak cucu. Dari Hui-angkin Lootjianpwee, ia
cuma dapat beberapa jurus ilmu silat, sehingga tidak bisa dibilang menjadi murid dan dengan
demikian, ia pun
tidak termasuk anggauta Thiansan pay. Belakangan, cucu-cucunya Mungmanlis
mendapat tahu, bahwa Iethio dan Ie-ie tiga tahun sekali mengadakan Pertemuan Kecil buat uji
kepandaiannya murid-murid Thiansan dan juga memberi petunjuk-petunjuk. Lantaran begitu, mereka
ingin turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mengingat nenek, ibu sudah permisikan mereka
datang. Belakangan, oleh karena kuatir mereka tidak dapat cari tempat pertemuan, ibu
segera mengambil
putusan buat sambut mereka. Tapi sebenarnya, ibu sudah merasa sangat kesepian
dan kepengen turun gunung buat main-main. Aku sendiri tentu saja merasa sangat girang bisa
turut jalan-jalan.
Itu sebabnya kenapa sekarang kami berada disini. Sudah mengertikah kau" Eh, aku
dengar di sebelah depan adalah wilayahnya suku Hapsatkek. Apa benar?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Ie-ie hapal benar keadaan di Sinkiang, buat apa kau
tanya-tanya aku?" "Aku sudah sebal jalan di padang pasir ini," kata Kim Bwee sembari tertawa. "Aku
menanya sebab kuatir ibu dustai aku." Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata pula:
"Di tengah jalan,
kami bertemu dengan Toa-boe dan Siauw-boe yang mengatakan sedang ubar dua orang.
Lantaran kami juga mau seberangi padang pasir ini, maka kami lantas jalan bersama-sama.
Tak dinyana, malam ini kami bertemu dengan wanita yang bernama Koei Peng Go itu." . "Dan
dimana adanya

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua boesoe Nepal itu?" tanya Keng Thian.
"Boesoe Nepal?" menegasi si nona.
"Yah, itu dua orang yang diubar oleh Toa-boe dan Siauw-boe," jawab Keng Thian.
"Aku tak lihat," jawabnya. "Sesudah mereka ribut-ribut, barulah aku turun
tangan." Keng Thian jadi tertawa geli.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya Kim Bwee. "Mungkin kedua boesoe itu sudah
dibinasakan oleh
Toa-boe dan Siauw-boe, sehingga kau punya Peng Go Tjietjie menjadi gusar."
Keng Thian tak mau ladeni ocehannya sang adik. Ia keluar dari tenda dan
memandang ke tempat jauh dengan paras muka guram. "Kenapa belum juga pulang?" ia berkata
seorang diri. "Mungkin ibu belum cukup menggoda ia," kata si nona.
"Apa Ie-ie bakal datang kesini?" tanya Keng Thian.
Mendadak Kim Bwee pegang pundak kakaknya dan bisik-bisik di kupingnya: "Ibu
bilang, ia bersedia jadi comblang. Malam ini ia goda sang penganten dan lantaran kuatir kau
berdua menjadi gusar, ia tak mau datang kesini. Ibu perintah aku memberitahukan kau, supaya
ajak pengantenmu
pulang ke Thiansan."
"Omong kosong!" membentak Keng Thian.
"Ah, bukan omong kosong!" jawab Kim Bwee. "Apakah sesudah tiba disini, kau tak
mau menemui Twathio dan Twa-ie?"
Keng Thian jadi kewalahan. Ia angkat tangannya seperti orang mau memukul dan si
nakal berlari-lari sembari berteriak-teriak. Pada saat itulah, mendadak berkelebat
satu bayangan orang
yang memakai pakaian warna putih dan dalam sekejap sudah berada di hadapan
mereka. Lie Kim Bwee berhenti tertawa. "Cepat benar kau balik!" katanya. Tong Keng Thian
sendiri sembari tertawa lantas maju menghampiri. Pengtjoan Thianlie awasi mereka dengan
sorot mata dingin dan mendadak, ia putar badannya dan berlalu tanpa berkata sepatah kata.
Sebenarnya, ia merasa suka terhadap Kim Bwee. Cuma saja, lantaran barusan ia lihat si nona
bercanda begitu
hangat dengan Keng Thian, ditambah perkataan "cepat benar kau balik," hatinya
jadi berdongkol.
Selainnya begitu, barusan ia sudah digoda pulang pergi oleh ibunya Kim Bwee,
sehingga amarahnya jadi naik. Ia jalan terus balik ke tenda dan tidak ladeni teriakannya
Keng Thian. "Hebat benar adatnya!" kata Kim Bwee sembari letletkan lidah. "Tong Koko, aku
sudah bikin marah kau punya Peng Go Tjietjie. Tak berani aku berdiam lama-lama lagi disini."
Terhadap adik misan yang nakal itu, benar-benar Keng Thian tak berdaya. Ia cuma
bisa tertawa getir. Baru jalan beberapa tindak, si nona berpaling dan berkata pula: "Ingat!
Ajak isterimu supaya
bisa berkenalan dengan saudara-saudara. Penemuan kali ini dibikin di atas Puncak
Onta dari gunung Mostako. Yang bakal memberi ceramah tentang ilmu silat adalah ibumu sendiri.
Kesempatan itu benar-benar tidak boleh dilewati begitu saja." Sehabis berkata begitu, dengan
satu tertawa nyaring, si nakal lantas berlari-lari dengan gunakan ilmu entengi badan dan
dalam sekejap saja, ia
sudah menghilang dari pemandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan KengThian hampiri tendanya Pengtjoan
Thianlie. Penerangan sudah padam, cuma lapat-lapat ia dengar suara tangisan.
"Peng Go Tjietjie," ia memanggil.
Tak ada sahutan. Ia memanggil lagi beberapa kali, tapi tetap si nona tidak
menyahut, cuma suara tangisan lantas berhenti. Keng Thian berdiri bengong di depan tenda.
Mendadak satu ingatan berkelebat di otaknya. "Piauwmoay guyon-guyon, tapi
perkataannya memang ada benarnya juga," katanya didalam hati. "Memang baik juga jika aku bisa
bawa Peng Go menemui ayah dan ibu. Ayah dan beberapa tjianpwee lainnya sangat pikiri Koei Hoa Seng
Pehpeh. Mereka tentu akan girang sekali kalau bisa bertemu dengan puterinya Koei
Pehpeh. Cuma saja, Peng Go selalu kelihatan kurang senang jika dengar aku mau ke Thiansan dan
Ie-ie baru saja
permainkan dia. Sekarang ia tentu lebih-lebih sungkan pergi ke Thiansan. Ah,
bagaimanakah baiknya?" Dalam kebimbangan, tangannya mendadak kena langgar batu giok pemberian Liong Sam
yang berada dalam kantongnya. "Perjalanan buat menemui Pehhu-nya (paman) Peng Go
mesti makan tempo beberapa bulan," pikir Keng Thian. "Kalau bisa pergi dahulu ke Thiansan,
dua urusan, bisa
beres dengan berbareng, sedang ayah dan ibu juga tak usah pikiri aku. Berbareng
dengan itu, aku
juga bisa tahu asal-usulnya Liong Sam Sianseng. Tapi bagaimana membujuk Peng
Go?" Sesudah putar otaknya, tiba-tiba ia dapat jalan yang sangat baik. Ketika itu
sang malam sudah
hampir terganti dengan siang.
Sesudah mendapat pikiran baik, Keng Thian jadi bersemangat. Ia tidak balik ke
tendanya, tapi jalan mundar-mandir di depan tenda si nona sampai fajar menyingsing. Begitu
lekas terang tanah,
tenda tersingkap dan Yoe Peng munculkan diri. Ia merasa heran ketika lihat Keng
Thian masih berada disitu dan lalu berkata: "Kongtjoe bilang, kau tak usah kawani ia lagi.
Ia bisa pergi sendiri."
Tong Keng Thian tercengang. Ia tak duga hatinya Pengtjoan Thianlie begitu keras.
Sesudah putar otak setengah malaman, baru ia dapat satu tipu bagus, tapi sekarang jadi
sia-sia saja. Ia
jadi bengong dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Melihat si pemuda jadi seperti orang linglung, Yoe Peng jadi kasihan berbareng
geli. "Eh, apa
semalam kau tak tidur?" ia tanya.
Keng Thian tertawa getir. Ia tidak jawab pertanyaan orang, tapi berkata seorang
diri: "Keadaan sekarang bukannya seperti keadaan semalam, untuk siapakah 'ku gadangi
sang malam di tengah angin dan embun!"
Baru saja ia habis ucapkan perkataan begitu, tenda kembali terbuka dan Pengtjoan
Thianlie kelihatan berjalan keluar!
Hatinya si nona sebenarnya masih mendongkol, akan tetapi begitu dengar sajak
yang diucapkan oleh Keng Thian, ia jadi girang berbareng sedih, sehingga hampir-
hampir ia kucurkan
air mata. Sajak itu adalah buah kalamnya Oey Tiong Tjek, seorang sastrawan
kenamaan pada jaman itu, yang dikenal bukan saja di sebelah selatan dan utara Sungai Besar,
tapi malahan sampai di daerah perbatasan yang jauh. Sedari usia sepuluh tahun, pada waktu
kedua orang tuanya masih hidup, Pengtjoan Thianlie sudah baca kumpulan sajak-sajaknya Oey
Tiong Tjek. Maka itulah, begitu dengar ucapannya Tong Keng Thian, ia jadi merasa terharu,
seolah-olah si pemuda yang sengaja menggubah sajak tersebut untuk dirinya. "Ah, si tolol
ternyata sudah gadangi malam di tengah angin dan embun untuk diriku!" katanya didalam hati.
Melihat Pengtjoan Thianlie muncul waktu ia baru saja habis ucapkan perkataannya,
mukanya Keng Thian jadi bersemu merah lantaran jengah. "Peng Go Tjietjie! Pagi benar kau
sudah bangun!" katanya sembari menghampiri.
"Kau sendiri terlebih pagi," kata Yoe Peng. "Eh, Siauw Kongtjoe! Si tolol tak
tidur seluruh malam!" Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata suatu apa. Sesudah lewat
sekian lama, ia
dongak dan berkata dengan suara tawar: "Terima kasih yang kau sudah kawani kami
selama banyak hari. Mulai dari sekarang, tak usah lagi. Kami sendiri bisa tanya-tanya
jalanan." Keng Thian yang tajam kupingnya lantas bisa menangkap, bahwa biarpun suaranya
tawar, tapi cukup lunak."Di padang pasir, orang paling gampang kesasar," katanya sembari
tertawa. "Selainnya begitu, di tengah jalan kalian belum tentu bisa bertemu orang-orang
yang kenal jalan.
Aku justru sedang senggang dan dengan mau sendiri, aku bersedia jadi penunjuk
jalan. Kenapa juga kalian mau jalan sendiri?"
Sekali ini, si nona kena dikalahkan juga. Sebenarnya, jika turuti adatnya, ia
masih ingin ngambek dan semprot si pemuda dengan beberapa perkataan tajam. Akan tetapi,
lantaran sungkan dikatakan jelus terhadap si nona cilik yang kelihatannya begitu rapat
dengan Keng Thian
dan juga sebab merasa tidak tega buat keluarkan perkataan berat, maka, sesudah
dengar omongannya Keng Thian, ia manggut sedikit dan berkata dengan suara perlahan:
"Baiklah."
Sebagai orang yang belum pernah menjelajah di padang pasir, Pengtjoan Thianlie
tidak tahu ke arah mana mereka sedang berjalan, oleh karena di hadapan mereka cuma terlihat
lautan pasir yang seakan-akan tiada tepinya. Sesudah berjalan beberapa hari, deretan gunung
yang tadinya hanya kelihatan samar-samar jadi semakin nyata, sedang sebuah gunung besar yang
menjulang keawan semakin lama jadi semakin dekat.
"Bukankah kau bilang mau pergi ke Soetjoan?" tanya Pengtjoan Thianlie. "Tapi
kenapa kita agaknya mendekati Thiansan?"
"Dari sini Thiansan masih jauh sekali," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Kita
sekarang sedang potong jalan, supaya lebih dekat."
Si nona yang tidak kenal jalan, tidak berkata apa-apa lagi dan terus mengikuti
saja. Selama beberapa hari yang pertama, sikapnya Pengtjoan Thianlie masih tawar, akan
tetapi, sesudah lewat
belasan hari, ia dapat pulang kegembiraannya dan berjalan sembari omong-omong
dan tertawatawa.
Sesudah seberangi lautan pasir, pada suatu hari tibalah mereka di depannya satu
gunung besar yang atasnya tertutup es dan salju. Pada lerengnya gunung tersebut
terdapat satu puncak
tertutup salju yang bentuknya seperti seekor onta, kepalanya di timur, buntutnya
di sebelah barat.
Hatinya Pengtjoan Thianlie jadi curiga dan tanya: "Apakah ini bukannya
Thiansan?"
"Bukan," jawab Keng Thian. Jika tak percaya, kau boleh tanya gembala." Di kaki
gunung itu .terdapat tanah rumput yang sangat subur, dimana orang sering dapat ketemukan
kaum gembala yang angon binatang piaraannya. Sesudah berjalan lagi beberapa li, mereka
bertemu serombongan orang yang sedang giring ontanya dan waktu ditanya, mereka
menerangkan, bahwa
gunung itu adalah gunung Mostako, sedang puncak yang seperti onta dinamakan
Puncak Onta. Mendengar keterangan itu, hatinya Pengtjoan Thianlie baru menjadi lega. Ia tidak
tahu, bahwa gunung Mostako sebenarnya adalah cabangnya Thiansan, sedang tempat itu sudah
dekat sekali dari Puncak Selatan.
Pengtjoan Thianlie dongak mengawasi awan yang melayang hilir mudik, sedang salju
yang menutupi puncak menyiarkan ribuan warna gilang gemilang lantaran disoroti
sinarnya matahari.
Melihat itu semua, mau tak mau, si nona jadi ingat keraton es dan lama sekali ia
berdiri disitu,
menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
"Gunung ini agaknya lebih tinggi dari Nyenchin Dangla!" katanya dengan suara
kagum. "Pemandangannya juga luar biasa indah! Cuma saja di Nyenchin Dangla terdapat
Thian-ouw, yang
merupakan timpalan tepat bagi sang gunung dan tak dapat dicari bandingannya di
lain tempat."
Keng Thian mesem dan berkata: "Di atas Puncak Onta terdapat sebuah telaga es,
yang meskipun tak dapat direndengkan dengan Thian-ouw, mempunyai semacam keindahan
yang sangat istimewa."
Si nona menengok dan tertawa. "Apa benar?" ia tanya, tapi lantas juga ia
menghela napas dan
berkata lagi: "Cuma sayang kita mesti teruskan perjalanan."
Mendadak di atas gunung lapat-lapat terdengar suara seperti pecahnya kepingan
es. "Ih!" kata
Yoe Peng. "Itulah suara hancurnya es lantaran kena diinjak orang. Apa di atas
puncak terdapat
banyak manusia?"
"Telaga es yang barusan aku sebutkan, bukan cuma pemandangan-nya yang indah,
tapi juga mempunyai daya penarik lain, yaitu Soatlian (Teratai es) yang banyak tumbuh di
tengah telaga,"
menerangkan Keng Thian. "Pada permulaan musim semi, pemburu yang nyalinya besar
sering datang kesitu buat memetik Soatlian yang harganya sangat tinggi. Didengar dari
suaranya, orang
yang berada di atas bukan cuma satu dua orang."
Thiansan Soatlian adalah semacam bunga yang langka dalam dunia, bukan saja
warnanya luar

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa indah, tapi juga merupakan satu obat yang tiada bandingannya. Soatlian
dapat menyembuhkan penyakit kurang darah, macam-macam luka dan punahkan racun.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat, di antaranya ada juga yang
menggunakan Soatlian sebagai campuran, tapi Pengtjoan Thianlie belum pernah lihat Soatlian
yang sedang mekar. Kegembiraannya si nona jadi terbangun dan ia berkata sembari tertawa:
"Kalau begitu,
apa tidak baik kita korbankan tempo setengah hari buat naik ke atas untuk
melihat bunga yang
langka itu?"
Keng Thian hampir bersorak lantaran girangnya, tapi sedapat mungkin, ia tahan
perasaan hatinya. "Jika Tjietjie ingin, aku bersedia buat mengantar," katanya dengan
sikap tenang. Oleh karena tertutup es, Puncak Onta luar biasa licinnya, sehingga sekalipun
kawanan binatang
masih sukar manjat ke atas. Pemetik Soatlian biasanya mendaki gunung beramai-
ramai dengan hubungkan badan mereka satu sama lam dengan tambang yang kuat. Mereka pacul es
guna membuat tempat taruh kaki dan naik dengan perlahan sekali. Akan tetapi, biarpun
begitu, masih tidak jarang terjadi kecelakaan.
Tong Keng Thian bertiga yang mempunyai ilmu entengi badan sangat tinggi, masih
memerlukan satu jam lebih buat naik ke atas puncak.
Setibanya di atas, dengan hati terbuka, mereka pandang alam yang luas. Bagaikan
sehelai sutera putih, air yang sangat bening turun dengan perlahan dari atas gunung dan
masuk ke dalam satu telaga yang garis tengahnya beberapa puluh tombak. Di atas telaga itu
terlihat kepingankepingan
es yang bersinar terang dan rontokan bunga yang terombang-ambing kesana-sini,
menuruti gerakannya sang air. Di sebelah sana terdapat pohon-pohon bunga hutan
yang tumbuh berdampingan dengan pohon-pohon berduri.
"Dimana adanya Soatlian?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, semuanya sudah kena dipetik orang," jawab Keng Thian dengan suara menyesal.
Si nona merasa kecewa, akan tetapi, lantaran pemandangan disitu benar-benar indah, ia
merasa ada harganya juga buat datang ke tempat tersebut. Selagi pandang keadaan di
sekitarnya, mendadak
ia lihat banyak tapak kaki di atas salju, dari pinggir telaga sampai ke
gerombolan pohon-pohon
kembang. Di sebelah belakang pohon-pohon kembang itu lapat-lapat masih terdengar
suara tindakan manusia.
"Sesudah tiba disini, kau sebenarnya harus melihat-lihat lebih banyak lagi,"
Keng Thian mendadak berkata sembari tertawa. "Tempat ini adalah tempat asal dari partaimu."
"Apa?" menegasi si nona.
"Dahulu kakekmu bertemu dengan Soetjouw-mu, Sin Liong Tjoe, di ini tempat,"
menerangkan Keng Thian. "Kalau begitu, di belakangnya pohon-pohon kembang itu mesti terdapat guanya
Soetjouw,"
kata Pengtjoan Thianlie yang lantas cabut pedangnya buat membabat pohon-pohon
itu dan lalu masuk ke dalamnya.
Baru masuk beberapa tindak, ia dapatkan satu jalanan kecil, yang dilihat dari
tanahnya, baru saja habis dibuat. Pengtjoan Thianlie jadi curiga.
Di belakangnya pohon-pohon kembang itu terdapat satu batu besar dan di atas batu
terpahat sebuah gua cetek yang bentuknya seperti manusia yang sedang bersemedhi. Batu itu
adalah tempat bersemedhinya Sin Liong Tjoe yang pernah bersila disitu sembilan belas
tahun lamanya, sehingga badannya jadi terpeta di atas batu. Belakangan dengan turuti peta badan
itu, muridmuridnya
pahat batu itu dan membuat satu gua cetek. Sesudah Sin Liong Tjoe meninggal
dunia, ia tinggalkan sejilid kitab ilmu silat. Koei Tiong Beng, kakeknya Pengtjoan
Thianlie, adalah murid
yang mewarisi kitab tersebut, sesudah Sin Liong Tjoe menutup mata. Maka itulah,
tempat tersebut
dianggap sebagai tempat suci dari Boetong pay cabang Utara.
Sesudah memberi hormat dengan berlutut tiga kali, Pengtjoan Thianlie putari batu
itu. Tibatiba, suara tindakan kaki jadi semakin jelas kedengarannya. Si nona angkat kepalanya
dan lihat belasan gua di lereng gunung seberang. Di depannya gua yang tengah, dipasang
satu tetarap bambu dan dalam tetarap itu kelihatan beberapa bayangan manusia. Selainnya itu,
ditanjakan gunung kelihatan sejumlah orang yang berjalan berkelompok-kelompok, seperti juga
sedang mau menghadiri serupa pertemuan.
Pengtjoan Thianlie jadi semakin curiga. Walaupun belum kenal seluk beluknya
Kangouw, akan tetapi dengan sekali lihat saja, ia sudah mengetahui, bahwa orang-orang itu
bukannya tukang cari
Soatlian. Dengan mendadak, dalam hatinya muncul satu pertanyaan: "Buat apa Tong
Keng Thian pancing aku naik ke gunung itu?"
Mengingat begitu, si nona lantas lari seperti terbang dengan gunakan ilmu
entengi badan Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput).
Mendadak ia dengar satu orang berseru: "Hei, siapa wanita itu" Orang luar toh
tidak boleh hadiri pertemuan!"
"Ah! Dia berani bawa pedang!" berteriak seorang lain.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia lihat dua pemuda yang mengenakan
pakaian hitam dan
berdiri ditanjakan, sedang tunjuk-tunjuk dirinya. Selagi mau unjuk kegusarannya,
mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. Orang yang tertawa adalah satu
gadis cilik yang
bukan lain daripada Lie Kim Bwee. "Ha, Tong Koko!" Ia berseru sembari gapekan
Tong Keng Thian. "Benar saja kau turut nasehatku dan bawa dia kemari. Hei! Kalian jangan
pentang bacot! Bisa-bisa kalian digusari Tong Koko! Dia bukan orang luar. Kau tahu dia siapa"
Mari, mari! Aku
beritahukan kalian!" Sehabis berseru begitu, ia kembali tertawa nyaring dan
mengedip matanya
kepada kedua pemuda yang berpakaian hitam, sehingga Pengtjoan Thianlie merasa ia
sedang diejek. Di belakangnya Lie Kim Bwee berdiri Boe-sie Hengtee dan dua orang lagi
yang tidak dikenal. Bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie. "Hm, Tong Keng Thian!" ia menggerendeng
dengan hati panas. "Berani benar kau permainkan aku! Kau pancing aku ke atas gunung
buat jadi buah tertawaan orang!" Ia enjot tubuhnya buat bikin perhitungan dengan Tong Keng
Thian yang dianggap kurang ajar sekali.
Ketika itu, Keng Thian sendiri sudah dicegat dan dikocok oleh Lie Kim Bwe.
"Piauwmoay,
janganlah omong yang gila-gila!" kata Keng Thian berulang-ulang dengan suara
memohon. Pengtjoan Thianlie jadi terlebih gusar lagi, tapi sebelum ia dapat datang dekat,
di depannya berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua sudah berdiri di
hadapannya. Si nona kenali wanita itu sebagai orang yang pernah permainkan dirinya di tengah
jalan. "Apakah kau datang bersama Keng-djie (anak Keng)?" tanya wanita itu sembari
tertawa. Seperti api disiram minyak, tanpa pikir panjang, Pengtjoan Thianlie ayun
tangannya dan lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan berbareng. Ia tahu, ilmu silatnya
tidak nempil dengan
nyonya itu dan lantas mendahului dengan senjata rahasianya yang liehay.
"Apa artinya ini?" kata wanita itu sembari pentang lima jerijinya, yang bagaikan
bunga anggrek mendadak mekar, sudah pentil lima butir pelurunya Pengtjoan Thianlie. Sungguh
heran, begitu kena pentilan, lima peluru itu melayang-layang di tengah udara, tidak meledak
dan juga tidak jatuh ke tanah! Dari sini dapat dilihat, bahwa lweekang-nya wanita itu sudah
mencapai puncaknya
kesempurnaan. Tapi ini belum seberapa. Apa yang membikin Pengtjoan Thianlie jadi
terkesima adalah: Ketika Pengpok Sintan yang terakhir menyambar, wanita itu sanggap dengan
mulutnya dan terus telan peluru tersebut! "Sungguh menyegarkan!" katanya sembari mesem.
"Lebih menyegarkan dari air gunung."
Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan mempunyai hawa dingin yang luar biasa.
Orang yang lweekang-nya belum cukup, kena hawanya saja sudah menggeletak. Orang yang
lweekang-nya cukup tinggi kebanyakan mesti roboh, jika kena dihantam jalanan darahnya. Maka
itu, tidaklah heran jika Pengtjoan Thianlie sendiri jadi terkesima waktu lihat wanita tersebut
dapat menelan pelurunya, seperti orang telan sebutir es.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lantas balik badannya dan terus kabur. Badannya
wanita itu mendadak melesat ke tengah udara sembari kebas tangannya dan lima butir Pengpok
Sintan lantas masuk kedalam tangan bajunya. "Senjata rahasia ini aku belum pernah
lihat," katanya
sembari tertawa. "Nona, kita belum kenal satu sama lain, tapi kenapa, begitu
bertemu muka, kau
lantas menyerang dengan senjata yang begitu hebat?"
Pengtjoan Thianlie yang pernah rasakan liehaynya wanita itu, lantas duga dirinya
mau dipermainkan lagi. Ia tahu tak akan dapat loloskan diri dan segera hentikan
tindakannya. "Jika kau
benar-benar seorang pandai dari tingkatan tua, tidaklah pantas berulang kali kau
permainkan orang dari tingkatan muda," ia membentak. "Hm! Thiansan pay benar pandai
menghina pihak yang lemah. Sekarang aku baru percaya!"
Wanita itu terkejut dan berkata dalam hatinya: "Lagi kapan aku permainkan dia"
Kenapa dia memaki?" Sebenarnya nyonya itu bukannya Phang Lin (ibunya Lie Kim Bwee), tapi Phang Eng,
ibunya Tong Keng Thian. Phang Lin dan Phang Eng adalah saudara kembar yang rupanya
bersamaan seperti pinang dibelah dua, tapi adatnya sangat berlainan bagaikan langit dan
bumi. Phang Eng
adalah ahli warisnya Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe dan pernah dapat pelajaran
juga dari Lu Soe
Nio, sehingga ilmu silatnya ada lebih tinggi dari suaminya, Tong Siauw Lan, yang
ketika itu jadi
pemimpin dari Thiansan pay. Pada jaman itu, ilmu silatnya Phang Eng tidak ada
tandingannya di
seluruh Tiongkok. Pertemuan di Puncak Onta pada kali itu juga berada di bawah
pimpinannya. Melihat kegusarannya Pengtjoan Thianlie, Phang Eng yang lemah lembut berbalik
jadi kasihan. Tadinya ia ingin menanyakan lebih jauh, tapi sesudah dengar perkataannya si
nona, ia jadi mundur tiga tindak dan berkata sembari tertawa:
"Pemandanganmu terhadap Thiansan pay agaknya terlalu mendalam! Baiklah, aku
sungkan mendesak kau. Jika kau tak sudi, aku juga tak mau menanyakan asal-usulmu."
"Peng-djie, hayo turun gunung!" berseru Pengtjoan Thianlie sembari enjot
badannya yang lantas melesat belasan tombak jauhnya. Melihat begitu, Phang Eng sendiri jadi
kagum dan berkata
dalam hatinya: "Ketika berusia seperti dia, ilmu entengi badanku masih belum
begitu tinggi."
Selagi lari, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar seruannya Keng Thian.
Lantaran hatinya
panas, ia menengok pun tidak. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di satu lembah.
Tiba-tiba saja terdengar suara tertawa. "Bwee-djie bilang, kau tentu datang, aku tadinya belum
mau percaya,"
kata seorang wanita yang mendadak menghadang di tengah jalan. "Sekarang benar-
benar kau berada disini. Tugas comblang rasanya harus dilakukan juga!" Sehabis berkata
begitu, ia tertawa
bergelak-gelak, sehingga dua pita kupu-kupu bergoyang-goyang di atas kepalanya.
Pengtjoan Thianlie tak tahu, bahwa wanita itu adalah Phang Lin. Ia kira Phang Lin adalah
wanita yang barusan telan Pengpok Sintan dan yang sekarang sengaja cegat padanya dengan
potong jalan. Ia
egos badannya dan lari ke arah tanjakan dan selagi mau mencaci, dari gundukan
batu di tanjakan
itu sekonyong-konyong loncat keluar satu orang yang ternyata Hiatsintjoe adanya!
Sesudah Liong Leng Kiauw ditahan oleh Hok Kong An, Hiatsintjoe tidak dapat
berbuat suatu apa. Ia cuma bisa perintah In Leng Tjoe pergi ke kota raja untuk memberi laporan
kepada Tjongkoan istana dan minta isterinya berdiam di Lhasa untuk mengamat-amati,
sedang ia sendiri
segera kuntit Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, dengan harapan bisa dapat
bantuannya satu dua
kawan di tengah jalan. Waktu Keng Thian bertiga tiba di atas Puncak Onta, sebab
tidak kenal jalan, ia baru sampai di pinggang gunung. Maka itulah, sebelum sampai di atas,


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sudah bertemu
dengan Pengtjoan Thianlie yang sedang kabur ke bawah gunung Mostako.
Begitu bertemu si nona, Hiatsintjoe terkesiap. Tapi melihat Pengtjoan Thianlie
cuma sendirian dan juga rupanya baru kena dikalahkan orang, diam-diam ia bergirang. Ia lantas
loncat keluar dari
tempat sembunyinya dan menghantam sama tangannya.
Melihat di depan dicegat musuh dan di belakang diubar orang, Pengtjoan Thianlie
mengeiuh. Ia tidak berani mundur lantaran wanita yang berada di belakangnya merupakan lawanan
yang terlalu berat dan sesudah berpikir beberapa saat, ia ambil putusan untuk terjang musuh
yang di depan. Dengan sekali ayun tangannya, ia lepaskan tiga butir Pengpok Sintan dan sesudah
cabut Pengpok Hankong kiam, ia segera menerjang dengan sepenuh tenaga.
Mengetahui liehaynya peluru itu, Hiatsintjoe mengegos sembari maju setindak,
sehingga di lain
saat, ia sudah berdampingan dengan si nona. Dengan ilmu Kinna Tjhioehoat (Ilmu
menangkap dengan tangan), ia sambar pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Selagi si nona mau membabat sama pedangnya, mendadak ia rasakan lehernya ditiup
angin dingin dan kupingnya dengar orang berkata: "Hawa hari ini benar-benar luar
biasa, ada dingin,
ada panas!" Itulah Phang Lin yang setelah melihat sambaran hawa panas dari
tangannya Hiatsintjoe dan hawa dingin dari Pengpok Hankong kiam, jadi timbul
kegembiraannya dan tiup
lehernya kedua orang itu. Mendapat kesempatan, sembari kelit, Pengtjoan Thianlie
lalu kabur ke arah tanjakan. Hiatsintjoe yang tidak kenal siapa adanya nyonya itu, bukan main gusarnya dan
lalu menghantam sama tangannya.
Sesudah tiba di tanjakan, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar teriakannya Keng
Thian. Hatinya jadi bergoncang dan ia pertahankan tindakannya. Sekonyong-konyong, dari
ujung tanjakan muncul keluar dua pemuda baju hitam yang tadi berada sama-sama Lie Kim
Bwee. "Tinggalkan pedangmu! Baru boleh turun gunung!" berseru salah satu pemuda itu.
Salah satu antara dua pemuda itu adalah kakaknya Lie Kim Bwee yang bernama Lie
Tjeng Lian, sedang yang satunya lagi adalah muridnya Tong Siauw Lan yang bernama Tjiong
Tian, cucu keponakannya Tjiong Ban Tong (Pemimpin Boekek pay). Mereka berdua yang bersamaan
usia dan bersamaan pula pakaiannya adalah seperti saudara kandung. Tadi mereka sudah kena
diobor oleh Boe-sie Hengtee dan sengaja cegat baliknya Pengtjoan Thianlie untuk tolong
balaskan sakit hatinya kedua saudara Boe itu.
Alisnya si nona jadi berdiri bahna gusarnya. "Aku tadinya tak percaya murid-
murid Thiansan begitu jago-jagoan!" katanya dengan suara tawar, la jejak kakinya dan bagaikan
kilat sudah berada di hadapannya kedua pemuda itu. Dengan gerakan Tjianli penghong (Ribuan
li es menutup), ia membuat satu lingkaran dengan pedangnya dan kedua pedang lawannya
lantas saja terkurung di dalam sinar Pengpok Hankong kiam. Tadi, jarak antara Pengtjoan
Thianlie dan kedua
pemuda itu ada kira-kira belasan tombak. Jika si nona menggunakan ilmu entengi
badan yang biasa, mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk bersiap. Tak dinyana, kali
itu Pengtjoan Thianlie menggunakan Hoasoat (Menyerosot di salju) yang tiada
tandingannya dalam
dunia dan lebih cepat daripada ilmu Lioktee hoeiteng (Terbang di atas tanah).
Suara dan manusianya tiba hampir berbareng dan sebelum kedua pemuda dapat bergerak lebih
jauh, pedang mereka sudah berada dalam kurungan Hankong kiam. Mereka terkejut bukan main.
Baru Hankong kiam diputar beberapa kali, Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian sudah merasa
kewalahan dan hampirhampir
saja pedangnya kena dibikin terpental. Si nona yang sedang panas hatinya tak
sungkansungkan lagi dan terus desak lawannya secara hebat.
Tjiong Tian yang berdiri di sebelah kanannya Pengtjoan Thianlie, adalah murid
satu-satunya dari Tong Siauw Lan. Walaupun ilmu silatnya belum matang seperti Tong Keng
Thian, tapi ia sudah dapat menyelami isinya Thiansan Kiamhoat. Selagi keteter, ia tak jadi
bingung dan mendadakan saja ingat satu cara untuk membela diri.
Tiba-tiba ia robah cara bersilatnya dan menyerang dengan gerakan Kanghay
lengkong (Sungai
dan lautan membeku sinar). Pukulan itu adalah salah satu pukulan dari ilmu
pedang Thaysiebie
yang digubah untuk pertahankan diri terhadap lawan yang lebih kuat. Dengan
Kanghay lengkong,
semua tenaga dalam dipusatkan di ujung pedang. Pengtjoan Thianlie yang sedang
gembira jadi kaget sekali, ketika dapat kenyataan pedangnya lawan tak dapat lagi disampok
terpental. Di lain
saat, Lie Tjeng Lian yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari adiknya, tidak
mau sia-siakan kesempatan yang baik dan lalu kirim beberapa serangan dengan ilmu silatnya
Pekhoat Molie. Jika satu sama satu, memang kepandaiannya Pengtjoan Thianlie ada lebih tinggi
dari kedua pemuda itu. Akan tetapi dengan dua lawan satu, si nona jadi berada di bawah
angin. Barusan,
berkat ilmu Hoasoat, ia dapat mendahului menyerang dan sudah bikin dua lawannya
menjadi repot. Tapi itu adalah untuk sementara waktu saja. Sesudah Tjiong Tian dan Lie
Tjeng Lian dapat
tetapkan hatinya dan bersilat secara tenang, Pengtjoan Thianlie mulai rasakan
beratnya sang lawan. Akan tetapi, lantaran sudah pernah lihat cara bersilatnya Lie Kim Bwee
dan juga lantaran
biasa bersilat di atas salju yang licin, sesudah tiga puluh jurus, Pengtjoan
Thianlie masih terus
dapat melayani secara berimbang.
Melihat begitu, diam-diam Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian merasa terkejut
berbareng kagum.
Pengtjoan Thianlie juga tidak kurang kagumnya dan mesti akui, bahwa murid-murid
Thiansan pay benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Sedang serunya mereka bertempur,
sekonyongkonyong
terdengar suara teriakan seorang wanita dari atas gunung: "Lian-djie! Tian-djie!
Biarkan dia pergi! Lekas balik!"
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Suara itu terang-terangan datang dari Puncak Onta
yang jauh, en toh kedengarannya seperti di dalam kuping! Apa yang lebih mengherankan adalah:
Wanita setengah tua itu toh sedang layani Hiatsintjoe di tanjakan gunung, tapi kenapa
sekarang suaranya
datang dari atas gunung" Si nona tak tahu, bahwa yang sedang layani Hiatsintjoe
adalah Phang Lin, sedang yang panggil Tjeng Lian dan Tjiong Tian adalah Phang Eng.
Mendengar panggilan itu, Tjeng Lian dan Tjiong Tian tak berani membantah. Mereka
mendesak hebat dengan berharap si nona mundur beberapa tindak, supaya dapat undurkan
diri. Tapi Pengtjoan Thianlie yang beradat tinggi bukan saja tidak mau memberikan
kesempatan, tapi
malahan segera ambil putusan untuk jatuhkan lawannya. Demikianlah, selagi kedua
pemuda itu mau tarik pulang pedangnya, ia barengi dengan dua kali babatan. Tjiong Tian
masih dapat tolong
dirinya, tapi Lie Tjeng Lian yang terlambat sedikit kena disontek pedangnya yang
lantas terbang ke tengah udara!
"Hm! Coba lihat siapa yang keok?" kata Pengtjoan Thianlie sembari menyingkir
dengan ilmu Hoasoat. Tjeng Lian berteriak-teriak bahna gusarnya, tapi ia tidak dapat berbuat
lain daripada pulang ke gunung bersama sahabatnya.
Sekarang marilah kita tengok Keng Thian yang tadinya dengan pancing Pengtjoan
Thianlie ke atas Puncak Onta, ingin
mempertemukan si nona dengan kedua orang tuanya, supaya dapat singkirkan
ganjelan yang dahulu. Tapi siapa nyana, si nona sudah keliru sangka ibunya sebagai bibinya dan
tanpa banyak bicara lantas menimpuk dengan Pengpok Sintan. Keng Thian tahu, ibunya yang
pendiam tidak boleh dibuat gegabah, beda jauh dengan bibinya yang suka bercanda. Begitu lihat
si jelita menimpuk, hatinya mencelos! la sangat kuatir, dengan adanya peristiwa itu, sang
ibu akan membenci kecintaannya. Dalam kebingungannya, ia sudah diganggu oleh Kim Bwee
yang nakal dan sesudah buang banyak tempo yang berharga, barulah ia dapat mengubar.
Pengtjoan Thianlie lari terus tanpa ladeni segala teriakannya Keng Thian, yang
juga tak kenal sudah dan terus mengubar dengan sekuat tenaga. Semakin lama, jarak antara mereka
jadi semakin dekat dan sesudah Keng Thian berada belasan tombak dari dirinya, barulah
si nona menengok sembari keluarkan suara di hidung.
"Peng Go Tjietjie, dengarlah dahulu omonganku!" berseru Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie pungut segumpal salju yang lantas ditimpukan ke mukanya si
pemuda. "Baru sekarang aku tahu kau siapa!" ia membentak. "Aku dibuat bahan guyonan
olehmu!" Dengan
ilmu Hoasoat, ia kembali sudah terpisah jauh dari Keng Thian.
"Sesudah dengar omonganku, masih belum terlambat kalau kau mau pergi juga,"
mengeluh Keng Thian. Si nona kembali menimpuk dengan bola salju. "Siapa mau dengar ocehanmu!"
membentak ia. "Sudah, kau jangan bicara lagi sama aku!"
Sebagai seorang yang masih mempunyai keangkuhan,
mendengar itu Keng Thian segera hentikan tindakannya. Sedang ia putar otaknya
untuk mencari lain jalan, dari atas Puncak Onta mendadak terdengar suara ibunya:
"Keng-djie, balik!"
Beberapa saat kemudian, terdengar suara yang angker: "Keng-djie, tak boleh kau
halangi nona itu!" Itulah suara ayahnya, Tong Siauw Lan.
Waktu baru bertemu, Tong Siauw Lan suami isteri duga Pengtjoan Thianlie adalah
sahabat puteranya. Meskipun merasa kurang senang puteranya bawa-bawa orang luar kesitu,
mereka tidak merasa terlalu keberatan. Belakangan, setelah tanpa sebab, si nona menyerang
dengan Pcngpok Sintan, mereka jadi salah menaksir. Mereka taksir nona itu adalah muridnya salah
satu siapay (cabang persilatan yang kotor) yang sengaja dikirim kesitu untuk coba mengacau.
Mereka malahan menduga, bahwa nona itu sudah digiring ke Puncak Onta oleh Keng Thian,
supaya mereka dapat menjatuhkan hukuman. Akan tetapi, mengingat tingkatannya yang
tinggi dalam Rimba Persilatan, Tong Siauw Lan suami isteri sungkan menyusahkan orang yang
tingkatannya lebih rendah. Terlebih pula, tadi Phang Eng sendiri sudah membiarkan ia turun
gunung. Oleh karena begitu, mereka lantas teriaki puteranya untuk larang sang putera
menghalangi perginya si
nona. Keng Thian tentu saja tidak berani membantah perintah kedua orang tuanya. Dengan
mata mendelong, ia mengawasi si nona yang kabur dengan gunakan ilmu Hoasoat dan dalam
tempo sekejapan saja, badannya berubah seperti satu titik hitam, akan kemudian
menghilang dari
pandangan. Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan Keng Thian mendaki gunung. Sesampainya di
pinggang gunung, ia bertemu bibinya yang sedang permainkan Hiatsintjoe. "Keng-djie!"
berseru sang bibi.
"Lihat, aku sedang main-main dengan monyet tua ini. Lihat yang benar! Pukulan
ini mesti kau pelajari!" Sehabis berseru, ia tiup lawannya! Hiatsintjoe jadi kalap. Dengan
kuping yang sudah
terlatih, ia tahu si nyonya sedang berada di belakangnya. Sembari berbalik, ia
menghantam dengan sekuat tenaga.
Phang Lin pentang tiga jerijinya dan dengan meniru caranya Niauw-eng (semacam
burung elang), ia sambar nadinya Hiatsintjoe. Nadi adalah bagian tubuh yang sangat
berbahaya. Jika nadi
kena dicekel, biar bagaimana pandai pun, ia bakalan tidak berdaya lagi. Secepat
mungkin, Hiatsintjoe tarik pulang tangannya, tapi toh masih kena juga kepentil, sehingga
tanpa tercegah lagi, tangannya balik menggaplok mukanya yang lantas saja menjadi bengkak!
"Pukulan itu dinamakan pukulan gaplok diri sendiri!" kata si nyonya sembari
tertawa besar. Tong Keng Thian sebenarnya lagi sangat jengkel. Tapi mendengar omongan bibinya
yang sangat jail itu, ia jadi tertawa berkakakan.
Puluhan tahun Hiatsintjoe berlatih dan sebegitu jauh ia merasa kepandaiannya
sudah tiada

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tandingannya lagi. Tapi siapa nyana, baru saja turun gunung, beruntun dua kali
ia kena tubruk tembok. Tidaklah heran jika ia jadi berteriak-teriak seperti orang gila dan
lantas ambil putusan
untuk bertempur mati-matian. Lebih dahulu ia tutup semua bagian badannya yang
berbahaya dan kemudian kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai pada kedua tangannya yang
lantas digunakan untuk serang Phang Lin secara nekat-nekatan. Bukan main hebatnya
pukulan-pukulan
itu. Keng Thian yang berdiri dalam jarak tiga tombak, masih dapat rasakan hawa
yang sangat panas! "Aku sungguh sebal menghadapi setan kecil ini," kata Phang Lin sembari kerutkan
alisnya. "Anjing kecil bisa juga ngambek! Hm! Baiklah, aku kasih kau sedikit ajaran!" Ia
berpaling kepada
Keng Thian dan berkata: "Eh, Keng-djie! Kau tahu, siapa adanya siluman tua ini?"
"Anjingnya kerajaan Tjeng," jawab sang keponakan.
Phang Lin tanya begitu lantaran mau menimbang berat entengnya hukuman yang ia
mau jatuhkan. Begitu dengar jawaban Keng Thian, ia tertawa gembira sekali.
"Bagus! Bagus!" katanya. "Kau andalkan kedua tangan anjingmu untuk hinakan
orang, baiklah aku putuskan dua tangan anjing itu!"
"Iebo (bibi), pakailah pedangku," kata Keng Thian.
"Hm, masakah untuk kutungkan tangan anjing saja aku memerlukan pedang wasiat,"
kata si nyonya. "Kau lihat saja."
Phang Lin tertawa bergelak-gelak sehingga kedua kupu sutera yang dipasang pada
rambutnya, jadi tergoyang-goyang.
Mendadakan, ia raba kepalanya dan copotkan dua kupu-kupu itu, yang ternyata
dibuat dari puluhan lembar benang sutera berwarna. Ia buka benang-benang itu yang lantas
saja melayanglayang
di tengah udara.
"Nah, kau lihat biar betul," kata sang bibi sembari menengok kepada Keng Thian.
Kedua tangannya pegang benang-benang itu yang lantas disabetkan ke arah Hiatsintjoe.
"Perempuan siluman! Sungguh kau menghina aku!" membentak Hiatsintjoe sembari
membabat dengan dua tangannya. Sedikitpun ia tidak percaya, benang yang begitu halus
dapat mengikat tangannya. Tapi siapa nyana, benang-benang itu yang tidak dapat dicengkeram dan
juga tidak dapat diputuskan dengan sabatan tangan, melayang terus ke arah kedua tangannya
yang dalam sekejap lantas kena terikat dan tidak dapat bergerak lagi!
Ternyata, diam-diam Phang Lin sudah kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-
benang itu yang lantas berobah sifatnya seperti kawat baja. Demikianlah, seorang yang
tenaga dalamnya
sudah mencapai puncak kesempurnaan, dapat binasakan musuhnya dengan selembar
daun atau sekuntum bunga.
Dalam Rimba Persilatan, tidak ada orang yang mempunyai begitu banyak macam
kepandaian seperti Phang Lin. Ilmu yang barusan dikeluarkan olehnya berasal dari sekte Topi
Merah di Tibet.
Orang Tibet suka tangkap badak dengan menggunakan laso. Oleh karena sang badak
mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya, kecuali kalau kejirat kaki depannya, tambang
laso dengan mudah dapat dibikin putus olehnya. Melihat cara menangkap badak itu, Tjouwsoe
sekte Topi Merah yang bernama Khalpa segera menggubah semacam ilmu untuk jirat nadinya
musuh dengan tambang lemas. Jika nadi kena diikat, biar orang itu mempunyai tenaga yang
bagaimana besar
juga, ia pasti tidak berdaya lagi. Waktu masih kecil, selagi berdiam dalam
gedungnya Soehongtjoe
(putera kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan jadi kaizar Yongtjeng), Phang
Lin telah pelajari ilmu tersebut. Belakangan, sesudah undurkan diri ke Thiansan dan
pelajari Lweekeh
Khiekang, ia dapat kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang halus yang
lantas berobah sifatnya jadi seperti kawat baja.
Begitulah, dengan terjiratnya kedua nadi, darahnya Hiatsintjoe tidak dapat
berjalan benar,
sehingga bukan saja ia rasakan kesakitan hebat, tapi napasnya juga lantas
menjadi sesak. Ia tak
dapat kerahkan tenaga dalamnya, matanya melotot dan tak dapat mengeluarkan
suara. Melihat begitu, Keng Thian taksir, setengah jam lagi, biarpun kedua tangannya
tidak sampai menjadi putus, Hiatsintjoe pasti akan binasa. Tiba-tiba dengan berkelebatnya
bayangan orang di
puncak seberang, terdengar teriakan: "Lin-moay, guyonanmu sudah sedikit
keterlaluan!" Orang
yang berseru begitu adalah Tong Siauw Lan.
"Kau tak tahu kejahatannya manusia ini," jawab Phang Lin. "Dia adalah kaki
tangannya bangsa
Boan!" Sesudah dapat tahu siapa yang terikat kedua tangannya, Tong Siauw Lan segera
berseru lagi: "Orang itu dahulu pernah dilepaskan oleh Popo-mu (mertuanya Phang Lin, Boe Kheng
Yao). Bukan gampang dia berlatih beberapa puluh tahun. Jika tidak melanggar kedosaan besar,
baik kau lepaskan padanya."
"Lin-moay!" Phang Eng turut berseru dari Puncak Onta. "Kau masih suka umbar adat
seperti anak-anak. Lepas padanya! Tak senang aku lihat paras mukanya."
Phang Lin paling segani kakaknya. Sembari mesem-mesem, ia lepaskan benangnya
seraya berkata: "Baiklah. Jika lain kali manusia ini satrukan Keng-djie, aku tak akan
ladeni lagi segala
perintahmu."
Begitu lekas ikatan terbuka, Hiatsintjoe tarik napas dalam-dalam sembari loncat
menyingkir. Ia lihat di seputar nadinya terdapat tanda seperti kena dibakar dan ugal-ugalan
tangannya masih
sukar digerakkan. Mendengar
panggilannya Siauw Lan, ia tahu wanita itu adalah ie-ie-nya (saudara perempuan
dari isteri). Ia
juga tahu, kepandaiannya Tong Siauw Lan suami isteri ada terlebih tinggi
daripada Phang Lin dan
mengingat begitu, ia jadi bergidik, sebab dahulu ia pernah tantang Siauw Lan
mengadu silat. Tanpa berkata sepatah kata, buru-buru ia kabur ke bawah gunung.
"Keng-djie, mari!" berseru Tong Siauw Lan sembari balik ke Puncak Onta dengan
diikuti oleh puteranya. Mereka masuk ke dalam gua tengah. Gua-gua itu semua dibuat untuk
keperluan pertemuan Thiansan pay kali itu. Gua yang di tengah adalah untuk Tong Siauw Lan
suami isteri. Sesudah ajak puteranya masuk, Siauw Lan undang juga Lie Tie dan Phang Lin dan
kemudian barulah menanya: "Keng-djie, siapa nona itu" Apa kau kenal" Kenapa begitu
bertemu, dia lantas
timpuk ibumu dengan peluru es?"
"Ia biasa dipanggil Pengtjoan Thianlie," jawab sang putera. Oleh karena sudah
dua puluh tahun
Siauw Lan tidak pernah ceburkan diri ke dalam dunia Kangouw, ia jadi heran
mendengar nama itu. "Nama itu kedengarannya aneh sekali," katanya.
"Timpukannya indah sekali!" Phang Lin menyeletuk sembari tertawa.
"Apa?" tanya sang kakak. "Tjietjie, kaulah yang kena getahnya," kata Phang Lin
sembari ha-ha, hi-hi. "Dia sebenarnya mau hajar aku!"
Phang Eng kenal adat adiknya.
"Tentulah kau yang sudah ganggu padanya," kata ia. "Aku lihat dia, rasanya
kasihan, tapi kau
permainkan padanya. Tua-tua tak tahu harga diri!"
"Tjietjie rewel sekali," jawab si adik. "Sang menantu belum masuk, kau sudah
bantu dia menyerang diriku. Aku cuma main-main
sedikit. Siapa hinakan padanya?" "Keng-djie, kalau begitu, nona itu benar kau
yang bawa kemari untuk menemui kami, bukan?"
Phang Eng tanya puteranya.
"Ibu jangan dengari omongannya Le-ie," jawab Keng Thian.
"Tjietjie, kau tak tahu, mereka berdua sudah bergaul rapat sekali dan luar biasa
manisnya!"
menggoda Phang Lin yang lantas tuturkan segala pengalamannya waktu bertemu
Pengtjoan Thianlie pada malam itu. "Sekarang kau masih berani menyangkal, bahwa dia memang
dibawa olehmu kemari?" tanya si bibi sembari tunjuk keponakannya.
"Benar," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Benar aku yang ajak ia datang
kesini. Tapi kalian
belum tahu, siapa adanya ia."
"Kalau tahu, untuk apa kita tanya kau?" kata lagi Phang Lin.
"Ayah," kata Keng Thian. "Pada waktu kau perintah aku turun gunung, bukankah kau
pesan aku sekalian cari tahu dimana adanya Koei Hoa Seng Pehpeh" Koei Pehpeh sudah
meninggal dunia, Pengtjoan Thianlie adalah puteri tunggal dari Koei Pehpeh! Jadi dia
bukannya orang luar
dan kalian tak dapat salahkan aku bawa-bawa orang luar datang kemari."
Keterangan itu sudah membikin semua orang jadi girang tercampur kaget. Mereka
lantas saja minta keterangan yang lebih jelas. Keng Thian segera tuturkan segala
pengalamannya di keraton
es, cara bagaimana ia minta si nona bantu lindungi guci emas dan sebagainya.
Ketika Keng Thian
lukiskan keindahan keraton es yang seperti surga, semua orang jadi terpesona dan
seakan-akan sedang dengar cerita dongeng.
"Aku tak nyana, Koei Hoa Seng bisa mendapat pengalaman yang begitu luar biasa
dan mempunyai juga seorang puteri yang cantik bagaikan bidadari," kata Phang Eng.
"Nah, sekarang Tjietjie lekas-lekas perintah Keng-djie susul padanya," kata
Phang Lin dengan
suara menggoda. "Kalau terlambat, bisa-bisa didahului orang!"
Keng Thian tak gubris godaan bibinya dan lantas berkata pada ayahnya: "Tapi ada
satu hal yang aku merasa sangat tidak mengerti. Kalau diusut, ia sebenarnya masih
terhitung anggauta
dari keluarga Thiansan pay. Tapi kenapa, setiap kali aku menyebutkan namanya
Thiansan, ia lantas bersikap tawar dan seperti juga merasa kurang senang. Thiansan yang
menjadi tempat ziarahnya orang-orang Rimba Persilatan, di mata dia seakan-akan satu tempat yang
menyebalkan."
Tong Siauw Lan kerutkan alisnya. Ia juga tidak mengerti sikapnya Pengtjoan
Thianlie yang aneh. Phang Eng yang sangat cerdas lantas saja ingat satu kejadian dahulu. Ia
tertawa seraya berkata: "Lin-moay, urusan ini juga lantaran gara-garamu."
"Apa" Memang, segala apa kau salahkan aku!" kata sang adik sembari monyongkan
mulutnya. "Keng-djie," kata Phang Eng pada puteranya. "Sekarang biarlah aku tuturkan satu
cerita. Pada kira-kira tiga puluh tahun berselang, ahli senjata rahasia nomor satu di kolong
langit adalah Tong
Kim Hong dan dia mempunyai seorang menantu, Ong Go namanya, yang telah lukakan
ie-ie-mu dengan dengan jarum Pekbie tjiam. Dalam gusarnya, ie-ie-mu telah bunuh mati
padanya. Dengan bawa puterinya Tong Kim Hong datang untuk bikin pembalasan. Ketika itu,
aku sedang berdiam di rumahnya Shoatang Tayhiap Yo Tiong Eng. Tong Kim Hong dan puterinya
salah anggap diriku sebagai ie-ie-mu. Bersama Yo Tayhiap, aku pukul mundur mereka dan
salah mengerti serta sakit hati jadi semakin mendalam. Koci Hoa Seng adalah sahabatnya
keluarga Tong. Untuk kedua kalinya, mereka menyatroni bersama-sama Koei Hoa Seng. Kami
semua waktu itu tidak mengetahui, bahwa Koei Hoa Seng adalah puteranya Koci Tiong Beng. Ilmu
pedangnya Koei Hoa Seng sangat liehay dan ia sudah bikin puterinya Yo Tayhiap kecebur di
dalam telaga dan
kemudian diseret air deras." Berkata sampai disini, Phang Eng awasi suaminya
sembari tertawa.
Puterinya Yo Tiong Eng, yang bernama Yo Lioe Tjeng, dahulu adalah tunangannya
Tong Siauw Lan dan sesudah pertunangan diputuskan, barulah Siauw Lan menikah sama Phang
Eng. "Hari itu, ayahmu justru berada disitu," Phang Eng teruskan penuturannya. "Dalam
gusarnya, ia segera mau lakukan pertempuran mati hidup dengan Koei Hoa Seng. Belakangan
dengan gunakan Thiansan Kiamhoat kita desak ia sampai hampir-hampir jatuh ke dalam
telaga dan tewas
jiwanya. Beruntung Lu Soe Nio keburu datang sehingga jiwanya ketolongan. Sesudah
lewat beberapa lama diketahui bahwa Yo Kouwkouw tidak mati di dalam air. Sebab
sudah lama, sekarang ternyata ayahmu sudah lupakan kejadian itu. Sedari waktu itu, Koei Hoa
Seng menghilang. Mungkin sekali, itulah kejadiannya yang ia tak dapat lupakan."
"Oh, begitu?" kata Keng Thian. "Sekarang aku tak heran lagi." "Apa?" tanya
ibunya. "Tak heran
kalau Koei Hoa Seng Pehpeh pergi merantau ke lain negara dan dengan memetik
bagian-bagian yang liehay dari ilmu pedang Tionghoa dan Barat, menggubah semacam ilmu pedang
baru,"

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerangkan sang putera. "Juga tak heran kalau Pengtjoan Thianlie selalu ingin
jajal ilmu silatku."
Tong Siauw Lan menghela napas. "Tak nyana Koei Hoa Seng mempunyai keinginan mau
menang yang begitu besar," katanya.
"Aku sendiri sebaliknya hargakan ia," kata sang isteri. "Dengan cara begitu,
ilmu pedang Tionghoa jadi bertambah maju. Bukankah kejadian itu harus dibuat girang?"
Siauw Lan manggut-manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata suatu apa lagi.
"Ibu," Keng Thian mendadak berkata lagi. "Barusan kau bilang, ahli senjata
rahasia nomor satu
di kolong langit adalah Tong Kim Hong. Apakah ia itu bukannya yang biasa
dipanggil Tong Djie
Sianseng?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya si ibu dengan perasaan heran.
"Apa Tong Djie Sianseng mempunyai murid?" Keng Thian menanya pula.
Paras mukanya Siauw Lan jadi sedikit berobah. "Keng-djie, dengan siapa kau sudah
bertemu?" tanya ia. "Ada orang kasihkan aku semacam barang untuk diserahkan kepada ayah,"
menerangkan sang
putera. "Ia bilang, barang itu sebenarnya milik keluarga kita."
Semua orang jadi merasa heran. "Coba kasihkan kepadaku," kata Siauw Lan.
Keng Thian segera keluarkan batu giok yang ia dapat dari Liong Leng Kiauw dan
serahkan itu kepada ayahnya. Sesudah permainkan batu pualam tersebut dalam tangannya Siauw
Lan menghela napas dan segala kejadian di jaman lampau kembali terbayang di depan
matanya. "Siapa yang kasih?" tanya Phang Eng.
"Orangnya Hok Kong An, yang dikenal sebagai Liong Leng Kiauw," jawab sang
putera. Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya. "She Liong?" ia menegasi. "Tidak, tak
bisa. Orang yang
simpan Han-giok ini pasti bukannya orang biasa. Aku rasa, nama itu mesti nama
samaran." "Benar, ayah," kata Keng Thian. "Hiatsintjoe pun bilang, ia tentu gunakan nama
palsu. Ia dikatakan sedang berusaha melakukan pekerjaan yang melanggar undang-undang. Tapi
Hiatsintjoe cuma tahu ia itu adalah muridnya Tong Kim Hong dan tak tahu namanya
yang sejati. Ayah, siapakah dia?"
"Puteranya Lian Keng Giauw!" jawab sang ayah.
Tong Keng Thian terkesiap mendengar nama itu. Lian Keng Giauw adalah jagoan yang
dahulu menjadi satru terutama dari suami isteri Tong Siauw Lan, Kanglam Tjithiap (Tujuh
Pendekar Kanglam) dan lain-lain orang gagah dari Rimba Persilatan. Cerita-cerita yang
menggetarkan hati
dari orang she Lian itu, Keng Thian sudah sering dengar dari kedua orang tuanya.
"Ah, puteranya Lian Keng Giauw!" kata Keng Thian. "Tak heran, kalau ia
mengadakan persekutuan dengan para Touwsoe di Lhasa. Dilihat begini, ia agaknya mau dirikan
kerajaan baru di daerah perbatasan, supaya jika berhasil dapat jatuhkan kerajaan Tjeng, kalau
gagal, bisa mundur dan jaga daerahnya sendiri. Tapinya, Tibet mempunyai latar belakang yang
sangat sulit. Jika ia bergerak, kemungkinan besar orang luar akan gunakan kesempatan itu untuk
masuk ke Tibet." "Tak salah pandanganmu, anak," kata Tong Siauw Lan.
"Tapi kenapa kau bisa pastikan dia anaknya Lian Keng Giauw?" tanya Phang Lin.
"Pada waktu In Tjeng baru naik ke atas tahta kerajaan, diam-diam aku telah masuk
ke keraton," menerangkan Siauw Lan. "Disitu aku kena ditangkap oleh Haputo dan
Liauw In. Hangiok
pemberian Kaizar Konghie kena dirampas oleh mereka. Lian Keng Giauw adalah
seperti juga majikannya kedua orang itu. Aku merasa pasti, batu giok tersebut tidak
diserahkan kepada Yong
Tjeng, tapi kepada Lian Keng Giauw."
"Jika orang itu benar-benar puteranya Lian Keng Giauw dan hal ini dapat
diketahui oleh si
kaizar, ia tentu mesti mati," kata lagi Phang Lin. "Bagaimana pikiranmu: Apa kau
bersedia menolong padanya atau tidak?"
"Musuh besar kita adalah ayahnya dan bukan dia," jawab Siauw Lan. "Dalam
gerakannya menentang kerajaan Tjeng, rasanya ia akan berusaha tarik tangan kita. Dengan
menyerahkan batu giok itu kepada Keng-djie, ia pasti mempunyai maksud yang dalam."
"Sudah terang, ia mau bergandengan tangan dengan kita," kata Phang Eng.
Mendadak Phang Lin menghela napas panjang. "Hm!" katanya. "Sampai sekarang
begitu dengar orang menyebut namanya Lian Keng Giauw, aku lantas merasa mendeluh. Harap
saja anaknya tidak seperti bapaknya."
Mendengar bibinya menghela napas panjang, Keng Thian jadi merasa agak heran,
sebab sang bibi biasanya tak kenal jengkel dan selalu suka bercanda. Keng Thian tidak tahu,
bahwa dahulu, waktu masih kecil, bibi itu dikukut dalam rumah keluarga Lian dan Lian Keng
Giauw adalah kawan
bermainnya. Sesudah besar. Lian Keng Giauw jatuh cinta padanya, tapi Phang Lin
yang belakangan mengetahui bahwa orang she Lian itu busuk hatinya, jadi berbalik
benci padanya. Tapi
biar bagaimana juga, sedikit banyak ia masih ingat perhubungan yang dahulu. Maka
itu, mendengar warta tentang puteranya Lian Keng Giauw, ia jadi menarik napas
panjang. Phang Eng mesem melihat sikap adiknya. "Aku pun mengharap anaknya jangan turut-
turut kebusukan ayahnya," kata ia. "Tapi, oleh karena belum mengetahui benar latar
belakangnya, kita
tidak boleh sembarangan menolong. Begini saja: Keng-djie, bukankah kau mau pergi
ke Soetjoan"
Sekalian jalan, baik kau mampir pada keluarga Tong dan beritahukan halnya Liong
Leng Kiauw. Keluarga Tong adalah keluarga yang terkenal dalam Rimba Persilatan dan menurut
peraturan Kangouw, merekalah yang berhak campur tangan."
Keng Thian yang tadinya kuatir kedua orang tuanya akan menahan ia, jadi merasa
girang sekali. Sesudah berdiam beberapa saat, Phang Eng tertawa seraya berkata: "Jika
kau bertemu dengan Koei Moaymoay (Pengtjoan Thianlie), bilanglah, bahwa aku sangat suka
padanya. Kau juga boleh minta Moh Pehpeh membujuk ia, supaya ganjelan dahulu dibikin habis
saja. Undanglah
ia untuk datang kesini tiga tahun kemudian."
"Eh, Keng-djie," Phang Lin mendadak menyeletuk dengan paras sungguh-sungguh.
"Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat bagus. Coba kau ajak ia adu pedang lagi dan
sengaja berlagak kalah dalam pertandingan itu. Aku merasa pasti, dengan jalan begitu
hatinya akan merasa puas."
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya mendengar ajaran itu. "Ah, inilah yang
dinamakan orang tua tidak tahu tuanya," kata ia. "Sekarang kau berbalik mengajar anak-anak
jadi orang palsu." Mendengar tegoran itu, Phang Lin jadi tertawa geli sekali.
Pada besok harinya, Tong Keng Thian kembali turun dari Puncak Onta dan berjalan
menuju ke jurusan timur. Jalan yang semula diambilnya adalah dari Siamsay terus ke
Soetjoan. Akan tetapi,
oleh karena sudah mengambil jalan mutar, maka sekarang ia harus masuk ke
Tjenghay, akan kemudian menuju ke Soetjoan barat.
Sesudah berjalan belasan hari, tibalah Keng Thian di padang rumput Tsaidam yang
terletak di Tjenghay tengah. Padang rumput itu luas luar biasa dan meskipun di sana-sini
terdapat pasir serta
tanah yang berwarna kuning, akan tetapi pada umumnya daerah itu gemuk tanahnya.
Dengan hati yang lapang, Keng Thian larikan kudanya di padang rumput itu, dengan saban-saban
bertemu rombongan-rombongan kambing liar yang pada lari serabutan jika bertemu manusia.
Melihat itu semua, Keng Thian sungguh merasa tidak mengerti, kenapa tanah yang sedemikian
kaya dibiarkan tinggal tersia-sia.
Selagi enak berjalan, kupingnya mendadak mendengar suara kelenengan kuda dan
serombongan pelancong kelihatan mendatangi dari sebelah depan. Di antara mereka
itu terdapat lelaki dan perempuan, tua dan muda. Keng Thian merasa heran. "Sekarang adalah
permulaan musim semi dan menurut kebiasaan, hanya orang-orang dari sebelah utara yang
datang ke selatan," katanya di dalam hati. "Kenapa orang-orang ini dari selatan datang
kemari?" Waktu hampir berpapasan, hatinya jadi lebih heran lagi, oleh karena mereka
kelihatan seperti
orang sedang kebingungan, seolah-olah orang hukuman yang sedang melarikan diri.
Ia segera majukan kudanya dan menanya seorang tua yang berjalan paling depan.
Orang tua itu mengawasi ia seraya berkata: "Apakah kau sendirian?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Bolehkah aku menanya, kenapa Loopeh meninggalkan
daerah selatan yang sangat subur" Apakah kalian hendak pergi ke Tibet untuk berdagang?"
Si tua menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika kau seorang diri, tak halangan
berjalan terus,"
katanya. "Dua hari lagi, kau akan tiba di kota Naichi, satu kota besar yang
berada di bawah
kekuasaan Tukuhun Khan."
"Kenapa, jika seorang diri tak ada halangan untuk aku berjalan terus?" tanya
Keng Thian dengan suara heran.
"Entah kenapa, sedari beberapa waktu berselang, Hoat-ong (Raja Agama) dari Lhama
sekte Topi Putih telah mencari wanita-wanita muda yang berparas cantik. Setiap wanita
yang datang dari tempat lain, asal ia berparas cantik, tak ampun akan ditangkap, jika
bertemu dengan orangorangnya
Hoat-ong. Oleh karena itu, semua orang jadi ketakutan. Ketika melewati kota itu,
kami semua tak berani berhenti mengasoh dan terus kabur secepat mungkin. Menurut
pendengaran, lagi kemarin dulu, seorang tetamu wanita yang berparas cantik dan pandai silat,
sudah kena dibekuk oleh mereka!"
"Hoat-ong sekte Topi Putih toh bukannya kaizar, untuk apa ia mencari wanita-
wanita cantik?"
menanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Kami pun tak tahu," sahut orang tua itu. "Ada orang berkata, mereka mau
dipersembahkan kepada malaikat. Ah! Sungguh menakutkan! Baik juga, mereka hanya menangkap
wanita. Orang lelaki sama sekali tidak diganggu. Oleh karena itu, kau boleh tak usah kuatir."
Keng Thian kerutkan alisnya, hatinya sangat bersangsi. "Hoat-ong sekte Topi
Putih adalah pemimpin dari satu cabang agama," katanya dalam hati. "Sungguh aku tak percaya,
jika ia dikatakan melakukan perbuatan yang tidak patut. Selain itu, agama Lhama masih
merupakan satu cabang dari agama Budha dan aku belum pernah mendengar kaum Lhama memerlukan
Tong-lamlie (anak lelaki dan perempuan) untuk sembahyangi malaikat. Bagaimana sih, duduknya
persoalan yang sebenarnya" Aku sebetulnya tak ingin pergi ke Naichi, tapi ada baiknya juga
jika aku mampir
disitu untuk menyelidiki."
Memikir begitu, sesudah berpisah dengan rombongan itu, Keng Thian segera menuju
ke kota tersebut. Pada esok harinya, kira-kira tengah hari, Keng Thian tiba di kota Naichi. Naichi
terletak di pinggir Tsaidam dan terhitung salah satu kota besar di wilayah Tjenghay, akan
tetapi, dengan jumlah penduduk yang belum cukup sepuluh ribu jiwa, Naichi tentu saja tak dapat
dibandingkan dengan kota-kota di wilayah Tionggoan.
Dalam kota tersebut hanya terdapat beberapa jalan dan kecuali rumah-rumah makan
serta penginapan, pintu rumah-rumah penduduk hampir semua terkunci rapat-rapat,
sehingga memberi
kesan yang agak menyedihkan.
Keng Thian masuk ke sebuah rumah penginapan dan sesudah bersantap, ia memberi
persen yang lumayan kepada sang pelayan yang jadi girang sekali dan mulutnya lantas
saja terbuka. "Aku dengar Hoat-ong sedang memilih wanita cantik, apa benar?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab si pelayan. "Apa kau tak lihat rumah-rumah yang pada terkunci"
Wanita muda tak berani keluar pintu. Tapi, kehebohan sudah lewat. Katanya, jumlah wanita
yang diperlukan,
sudah cukup. Mulai hari ini, sudah tak ada lagi peristiwa Lhama menangkap wanita
muda." "Kenapa mesti mengambil wanita-wanita cantik" Apa mau sembahyangi malaikat?"
menanya pula Keng Thian.
"Hoat-ong mengeluarkan perintah, siapa berani tanya-tanya?" jawabnya. "Hanya
katanya, dari Tibet datang satu Lhama Besar dan Hoat-ong hendak menyambut ia dengan segala
upacara. Dua hari lagi bakal ada satu perhimpuan besar. Aku tak tahu perhimpunan apa, tapi
yang pasti bukan
sembahyang malaikat."
Mendengar keterangan itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harus diketahui, pada buntutnya ahala Beng, yaitu pada jaman pemerintahan Kaizar
Tjong Tjeng. Lhama sekte Topi Putih telah diusir keluar dari Tibet oleh kaum Lhama
sekte Topi Kuning,
yang kemudian berkuasa pada jaman itu (Kaizar Kian Liong). Selama seratus tahun
lebih, hubungan kedua sekte adalah seperti api dan air. Kenapa Lhama Besar sekte Topi
Kuning datang ke Naichi dan Hoat-ong Topi Putih mau menyambut dengan upacara besar"
"Baik juga kau adalah seorang lelaki," kata lagi si pelayan. "Jika kau seorang
wanita, bisa-bisa
diculik tanpa diketahui oleh keluargamu. Dua hari berselang, seorang wanita yang
datang dari tempat lain sudah kena ditawan oleh beberapa Lhama. Wanita itu paham ilmu
silat." Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Bagaimana kau tahu ia pandai ilmu silat?" ia
menanya. "Kejadiannya di rumah makan seberang," jawab si pelayan. "Aku sendiri turut
menyaksikan peristiwa itu! Wanita itu mengenakan pakaian orang Tibet. Ia bukan hanya pandai
silat, tapi pandai juga ilmu siluman!"
"Omong kosong!" kata Keng Thian. "Siang hari bolong, dimana ada ilmu siluman?"
"Kau tak percaya?" kata si pelayan, sungguh-sungguh. "Aku lihat dengan mata
sendiri. Bermula, yang turun tangan adalah empat Lhama. Sekali bergebrak saja, dua
antaranya roboh.
Kemudian ia ayun tangannya. Mendadak muncul hawa dingin yang sangat hebat dan
dua Lhama yang lain gemetar sekujur badannya. Apa itu bukan ilmu siluman?"
Begitu mendengar, Keng Thian terkesiap. Senjata rahasia itu sudah pasti Pengpok
Sintan adanya. Ia tak percaya, Pengtjoan Thianlie kena ditangkap. Apa Yoe Peng"
Sementara itu, si pelayan sudah berkata lagi: "Tapi, biar bagaimanapun juga,
Yauwhoat (ilmu siluman) tak dapat mengalahkan Hoedhoat (ilmu Budha). Sesudah empat Lhama kecil
itu dirobohkan, datang pula dua Lhama lainnya, sekali ini Lhama besar. Mereka tak
takut ilmu siluman
itu Mereka hanya bergidik sedikit dan berhasil membekuk wanita itu."
"Agaknya mungkin benar-benar Yoe Peng-lah yang kena ditangkap," kata Keng Thian
dalam hatinya. "Sudah pasti Pengtjoan Thianlie tidak akan berpeluk tangan saja. Tak
nyana, aku dapat
menemukan ia disini."
Tanpa membuang tempo, ia segera menanyakan dimana letaknya kuil Lhama.
"Apa tuan mau sembahyang?" tanya si pelayan. "Kuil itu biasanya sangat ramai,
tapi selama beberapa hari ini, sedikit sekali yang datang berkunjung. Sebagai tetamu dari
tempat lain, aku
rasa tak ada halangannya kalau kau ingin pasang hio. Kuil itu adalah gedung
paling besar yang
terdapat dalam kota ini. Memang juga, sesudah tiba disini, ada harganya untuk
jalan-jalan di kuil
itu." Sesudah mendapat keterangan tentang letaknya kuil itu, Keng Thian mengasoh
sebentar dan setelah makan tengah hari, ia segera pergi ke kuil itu.
Jika dibandingkan dengan Keraton Potala, kuil itu tentu masih kalah jauh. Akan
tetapi, menurut
ukuran biasa, kuil itu sudah cukup besar dan indah. Puluhan gedung besar dan
kecil berdiri berjajar di lereng gunung dan seluruh bangunan itu kelihatan angker dan mewah.
Tiga gedung yang paling depan adalah tempat pemujaan yang penuh dengan patung-patung Budha.
Ketika Keng Thian datang, jumlah tetamu yang mau pasang hio, boleh dikatakan banyak
juga. Ia menempatkan dirinya di antara para tetamu itu, sambil memasang kuping. Benar
saja, ia mendengar banyak sekali pembicaraan tentang ditangkapnya wanita-wanita muda.
Akan tetapi, ia
juga mendapat kenyataan, bahwa mereka itu sangat menghormat terhadap Hoat-ong.
Salah seorang malah berkata begini: "Dalam bertindak begitu, Budha Hidup pasti
mempunyai alasan
kuat. Wanita-wanita itu dapat dikatakan besar rejekinya oleh karena mereka sudah
mendapat perhatiannya Budha Hidup. Lebih baik kita jangan terlalu banyak bicara. Apa kau
tak takut masuk
ke neraka?"
Sesudah memperhatikan kedudukan seluruh bangunan itu, Keng Thian segera balik ke
rumahpenginapan.
Malam itu, kira-kira jam tiga, ia segera menukar pakaian untuk jalan malam yang
berwarna hitam dan memakai topeng, dan begitu beres berdandan, ia segera pergi
ke kuil Lhama dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Berhubung dengan banyaknya gedung-gedung, Keng Thian tidak dapat lantas
mengetahui dimana adanya gedung Hoat-ong. Ia loncat naik ke atas genteng sebuah gedung yang
paling besar dan memasang kupingnya. Sayup-sayup, ia mendengar suara tabuh-tabuhan dan
nyanyian di sebelah bawah. Sembari mengkerutkan alisnya, ia loncat turun.
Tiba-tiba dari sebelah depan mendatangi dua orang Lhama. Buru-buru Keng Thian
berlindung di belakang pohon.
"Tak lama lagi kita akan mempunyai Wanita Suci," kata salah seorang Lhama.
"Dengarlah!
Mereka membaca Keng (kitab suci) dan menyanyikan lagu-lagu Budha. Sungguh merdu!
'Ku dengar, mereka juga akan belajar menari. Mulai dari sekarang, jangan kuatir
kesepian lagi."
"Setan kecil!" membentak kawannya. "Jangan sekali-kali kau mengingat-ingat soal-
soal keduniawian. Kau tahu, melihat saja sudah berdosa!"
"Omong kosong!" jawab Lhama yang pertama. "Bukan aku, tapi kaulah yang hatinya
sudah bergoncang. Aku hanya mendengarkan dari jauh, tapi kau sendiri sudah tiga kali
lewat di depan gedungnya."
Dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah dapat merobohkan kedua Lhama
itu. "Jangan bersuara!" ia berbisik. "Jawab apa yang aku tanya. Mampus kau, jika
berani berteriak!"
Kedua Lhama itu jadi kesima dan mengawasi dengan mulut ternganga.
"Dari mana wanita Suci itu?" menanya Keng Thian. "Apa mereka adalah wanita-
wanita yang telah ditangkap beberapa hari berselang?"
Kedua Lhama itu manggut-manggutkan kepalanya.
"Dimana mereka dikurung?" Keng Thian menanya pula.
"Mereka di tempatkan di gedung Wanita Suci, yaitu gedung yang berdampingan
dengan gedungnya Hoat-ong," jawab Lhama yang satu.
"Kau adalah murid-murid Budha," berkata Keng Thian. "Untuk apa menangkap wanita-
wanita muda?" "Itu semuanya adalah hokki (untung bagus) mereka," jawabnya. "Hoat-ong ingin
mengangkat mereka sebagai Wanita Suci rombongan pertama."
"Untuk apa Wanita Suci itu?" mendesak Keng Thian.
Kedua Lhama itu mengawasi Keng Thian dengan paras muka heran, seolah-olah
menganggap pemuda itu sebagai seorang tolol. "Ah! Apakah kau belum mengetahui?" kata satu
antaranya. "Yang lelaki menjadi Lhama, yang wanita menjadi Wanita Suci. Itu toh sudah
disebutkan dalam
kitab suci. Sungguh heran, kau masih merasa perlu untuk menanya lagi!"
Keng Thian terkejut dan segera ingat, bahwa memang benar dalam agama Lhama ada
beberapa cabang yang cara-caranya agak berlainan. Cabang (sekte) Topi Merah dan
Topi Kuning sama sekali tidak menerima murid wanita, tapi menurut kata orang-orang tua,
sekte Topi Putih
biasa menerima penganut wanita. Oleh karena sudah seabad lamanya sekte Topi
Putih berada diluar Tibet, maka peraturan tersebut jarang sekali dibicarakan orang, sehingga
Keng Thian sendiri
sampai menjadi lupa. Ia sekarang mengerti, bahwa "Wanita Suci," atau Shengnu,
berarti Lhama wanita. Hati si pemuda menjadi lega. "Apakah tidak ada yang mengganggu mereka?" ia
menanya dengan suara lunak.
Walaupun sedang dicekal keras dengan tangan yang seperti jepitan besi, begitu
mendengar pertanyaan Keng Thian, kedua Lhama itu lantas saja menjadi gusar.
"Kau sungguh berdosa!" kata satu antaranya. "Berani sungguh kau mengeluarkan
perkataan begitu! Dalam istana Wanita Suci, lelaki mana juga tidak dipermisikan datang
berkunjung. Hanya
beberapa Ibu Suci yang diperbolehkan masuk kesitu untuk mengajar kitab suci dan
lagu-lagu suci kepada mereka. Mereka baru boleh keluar jika ada sembahyang atau upacara besar."
"Di antara yang kena ditangkap oleh kau orang, bukankah terdapat seorang wanita
yang pandai silat?" menanya Keng Thian, tanpa memperdulikan comelan orang.
"Yah, aku dengar memang begitu," jawab yang satu. "Akan tetapi, katanya ia tak
sudi menjadi Wanita Suci. Ini berarti ia tidak mempunyai jodoh dengan agama kita dan Budha
Hidup pun tak dapat memaksa padanya."
"Apa ia juga dikurung dalam istana Wanita Suci?" tanya Keng Thian.
"Mana aku tahu?" jawabnya. "Bukankah 'ku sudah kata, orang lelaki tak boleh
datang kesitu?"
Keng Thian percaya, bahwa Lhama itu bicara dengan sejujurnya, maka ia sungkan
mendesak lagi. Berselang beberapa saat, ia menanya pula: "Tapi, dimana istananya Hoat-
ong?" Dengan jerijinya, mereka menunjuk sebuah gedung besar yang terletak di tengah-
tengah. "Tapi, siapakah kau ini?" tanya mereka.
Sesudah mendapat keterangan yang diperlukan, Keng Thian tidak meladeni lagi dan
segera menotok Ah-hiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) mereka. Dengan
totokan itu, dalam tempo dua belas jam, kedua Lhama tersebut tidak akan dapat bergerak atau
berbicara. Gedung yang di tengah-tengah itu terkurung tembok, dengan genteng kaca yang
berwarna kuning emas. Sesudah menyembunyikan kedua Lhama itu di belakang pohon, Keng
Thian segera melompati tembok dan masuk ke dalam pekarangan gedung.
Muka gedung itu ternyata dijaga oleh dua Lhama baju putih. Ilmu mengentengkan
badannya Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, gerakannya cepat bagaikan kilat dan hinggapnya di atas bumi
seperti juga jatuhnya selembar daun kering. Tapi, meskipun begitu, kedua Lhama itu toh masih
dapat mengetahui kedatangan pemuda tersebut. Mereka agak kaget dan celingukan ke empat
penjuru. Keng Thian terkejut dan kemudian mengetahui, bahwa mereka adalah orang-orang
yang pernah turut dalam perebutan guci emas dan sudah pernah bertempur dengan ia. Ia
mengetahui, mereka
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan jika kepergok, ia bakal jadi berabe.
Dalam pekarangan itu terdapat sebuah pohon tua yang berusia ratusan tahun, Keng
Thian mengenjot badannya dan seperti burung ia hinggap di sebuah cabang. Di ujung
pohon terdapat beberapa ekor burung besar yang sedang mengasoh dan kedatangan Keng Thian, sudah
membikin mereka mengebas-ngebaskan sayap. Keng Thian segera memetik sehelai daun
dan mementil dengan menggunakan tenaga dalamnya. Bagaikan senjata rahasia, daun itu
menyambar ke atas, sehingga burung-burung itu pada berterbangan sambil berbunyi keras.
"Ah, benar saja burung-burung itu yang kurang ajar!" berkata kedua Lhama itu.
Tanpa mensia-siakan waktu, selagi kedua Lhama itu berdiri membelakangi ia,
dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah hinggap di atas genteng dan lalu bersembunyi
di pojok payon rumah. Beberapa tombak dari tempat sembunyi Keng Thian terdapat sebuah kamar, dimana,
teraling tirai jendela, kelihatan dua bayangan manusia. Seorang berbadan tinggi besar,
yang sudah boleh
dipastikan adalah Hoat-ong sendiri, duduk di tengah kamar, sedang orang yang
satunya lagi berdiri didampingnya.
Keng Thian segera pusatkan semangatnya untuk mendengarkan pembicaraan kedua
orang itu. "Sesudah menunggu seratus tahun lebih, hari yang ditunggu akhirnya datang juga,"
kata Hoatong. "Utusan Panchen telah mengundang kita pulang ke Tibet, dengan mengatakan, bahwa
mulai dari sekarang, kita jangan bertengkar lagi. Anan! Bagaimana pikiranmu?"
"Itulah memang kita semua harap-harapkan," sahut orang yang dipanggil Anan.
"Akan tetapi..."
"Tapi apa?" menanya Hoat-ong. "Apa pulangnya kita tidak cukup mentereng?"
"Bukan, bukan itu yang aku maksudkan," jawab Anan. "Tapi kedudukan kita disini
adalah kedudukan yang paling atas..."
"Dan kalau pulang, kita jadi berada di bawah orang lain," Hoat-ong menyambung.
"Begitu yang
kau maksudkan" Aku sekarang memberitahukan kau, bahwa utusan itu sudah
menyampaikan pesan kedua Budha Hidup, bahwa mereka telah menyediakan tiga tempat untuk kita
mendirikan kuil. Aku anggap, tawaran itu cukup baik. Persoalan antara kita sama kita,
memang juga harus


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipecahkan dengan saling mengalah. Sesudah bergulat seabad lebih, aku sekarang
sungkan mengangkat senjata lagi."
Mendengar itu, diam-diam Keng Thian memuji Raja agama itu, yang ternyata
mempunyai pandangan yang luas.
"Aku sendiri tak dapat berlalu dari sini," kata pula Hoat-ong. "Di kemudian
hari, tiga tempat itu
di Tibet harus diurus olehmu."
Keng Thian melihat Anan merangkap kedua tangannya sambil membungkuk untuk
menghaturkan terima kasih.
Hoat-ong menghela napas panjang dan kemudian berkata pula: "Ah! Dengan dapat
pulang ke Tibet, terkabullah sudah angan-angan Tjouwsoe. Dan dengan mempunyai tiga tempat
itu, hatiku sudah merasa puas. Eh, bagaimana dengan rombongan Wanita Suci?"
"Kecuali beberapa orang, yang lain semuanya rela menurut perintah Budha Hidup,"
jawab Anan. "Tak boleh kita memaksa mereka," berkata Hoat-ong dengan suara halus. "Pada
seratus tahun yang lalu, yaitu pada waktu Tjouwsoe memegang tampuk pimpinan agama di Tibet,
para wanita pada berebut untuk menjadi Wanita Suci. Akan tetapi, keadaan disini, yang
penduduknya sebagian
besar terdiri dari orang Han, berlainan dengan keadaan di Tibet.
Mereka tak mengetahui, kemuliaan seorang Wanita Suci sehingga tidaklah heran
mereka jadi ketakutan tak keruan. Itulah justru sebabnya, kenapa selama satu abad kami tidak
memilih Wanita Suci. Akan tetapi, oleh karena sekarang kita harus membuat persiapan untuk
pulang ke Tibet,
maka tak dapat tidak, kita harus kembali pada kebiasaan lama. Dalam upacara
pembukaan kuil baru, kita mesti mempunyai rombongan Wanita Suci untuk menjalankan upacara
dengan nyanyian
dan tarian."
"Oh! Kiranya begitu?" berkata Keng Thian dalam hatinya. "Hampir-hampir saja aku
menganggap mereka sebagai paderi cabul!"
"Benar," kata Anan. "Mereka ketakutan tak keruan. Sungguh tak bagus!"
"Kita tak boleh terlalu salahkan mereka," berkata Hoat-ong."Tak banyak orang Han
yang rela mengirim puteranya untuk menjadi Lhama. Apalagi puterinya! Mereka yang menentang
kebanyakan adalah orang-orang Han. Bukankah begitu?"
Anan manggut-manggutkan kepalanya. Sebelum ia keburu menjawab, Hoat-ong sudah
berkata pula: "Oleh karena terlalu repot, kita tidak memberi penjelasan terlebih dulu
kepada mereka. Ini
sebenarnya adalah kurang betul.
Begini sajalah: Besok kita mengadakan sembahyang besar dan pergilah kau
mengundang para
pemuka dan orang-orang tua di seluruh kota ini, supaya kita dapat memberi
keterangan kepada
mereka. Gadis-gadis yang sungkan menjadi Wanita Suci boleh diambil pulang oleh
orang tuanya."
"Di antara yang menolak terdapat seorang gadis, yang bukan orang Han,"
melaporkan Anan.
"Dilihat dari pakaiannya, ia kelihatannya datang dari Tibet barat. Ketika mau
ditangkap, ia sudah
hajar beberapa orang kita. Bagaimana" Apa ia pun dilepaskan saja?"
Mencaci atau memukul seorang Lhama adalah satu kedosaan besar di daerah itu,
sehingga Hoat-ong jadi bersangsi setelah mendengar laporan Anan. Berselang beberapa saat,
barulah ia berkata: "Lihat saja nanti. Tapi janganlah membikin susah padanya."
"Aku dengar ia tak mau makan," Anan berkata lagi.
"Oh, begitu?" Hoat-ong menegaskan. "Biarlah besok aku perintah seorang Ibu Suci
pergi membujuk ia."
Berkata sampai disitu, Hoat-ong mendadak bangun seraya berkata: "Tolong tuangkan
secangkir arak." Di lain saat, dengan jerijinya menjepit cangkir, ia menghampiri jendela yang
dibukanya secara
tiba-tiba. Dengan sekali mementil, cangkir itu melesat ke atas dan menyambar ke
arah Tong Keng Thian! Bukan main kagetnya Keng Thian. Melesatnya cangkir tersebut disertai dengan
suara mengaung dan apa yang mengherankan, cangkir tersebut tepat menyambar ke arah
jalan darah Hiankie hiat, di dadanya Keng Thian. Pada sebelum sang cangkir mengenakan dada,
hidung Keng Thian mendadak mengendus bau wangi arak, dan berbareng dengan itu, bagaikan air
mancur, arak yang berada dalam cangkir, menyambar padanya! Ternyata, dengan tenaga dalam
yang luar biasa dan kepandaian menggunakan senjata rahasia yang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, Hoat-ong sudah menyerang Keng Thian bukan saja dengan cangkir,
tapi juga dengan araknya.
Bagaikan kilat, Keng Thian mementil dan berkelit. Dengan terdengarnya suara
"tring!" cangkir
itu hancur, tapi, biarpun gerakannya cukup cepat, tak urung bajunya kecipratan
juga beberapa tetes arak dan menjadi berlubang!
"Manusia dari mana yang mempunyai nyali begitu besar?" membentak Hoat-ong.
Berbareng dengan bentakannya bagaikan segundukan awan, badan Hoat-ong yang berjubah merah
sudah melesat ke atas. Ketika itu, kedua kaki Keng Thian masih menyantel di payon
sedang sebagian
badannya masih menggelantung di luar genteng. Dengan kedua tangannya, Hoat-ong
mendorong dan lantas saja ia terkejut, oleh karena badan Keng Thian tidak bergeming.
Dengan tangan kirinya tetap menahan kedua tangannya Keng Thian, tiba-tiba ia
tarik pulang tangan kanannya yang lalu digunakan untuk mengorek kedua mata Keng Thian.
Berbareng dengan itu, ia mengempos semangatnya dan menambahkan tenaga pada tangan kirinya.
Di lain pihak, Keng Thian yang sedang bertahan dengan kedua tangannya mendadak
rasakan tekanan musuh di sebelah kiri menghilang dan tekanan di sebelah kanan bertambah
dua kali lipat.
Pada detik itu juga badannya bergoyang-goyang. Lebih celaka lagi, dua jeriji
Hoat-ong dengan
mendadak menyambar matanya!
Selagi Keng Thian hendak menurunkan tangan kejam untuk menolong diri, sekonyony-
konyong ia ingat, bahwa orang berilmu itu adalah pemimpin dari satu cabang agama,
sehingga jika ia
sampai celaka, akibatnya bakal jadi besar sekali. Mengingat hal itu, ia lantas
saja mengurungkan
niatannya. Buru-buru ia tarik pulang tenaga dalamnya dan menjejek kedua kakinya,
sehingga badannya melesat ke atas, akan kemudian melayang turun ke bawah.
Hoat-ong tertawa dingin, "Hm!" katanya didalam hati: "Meskipun dengan ilmu
mengentengkan badan, kau dapat meloloskan diri dari serangan jeriji, tapi punggungmu dijual
kepadaku!" Dengan
gerakan Tjhioehoei pipee (Tangan merabu tali pipee), ia gasak punggung Keng
Thian. Dengan terdengarnya suara "buk!" tubuh Keng Thian terpental keluar tembok, tapi,
pada saat yang sama, dengan satu teriakan keras, badan Hoat-ong pun roboh di atas genteng.
Ternyata, pada waktu punggungnya dihajar, Keng Thian membalik sebelah tangannya
dan mengebas dengan ilmu Hoedhiat (Mengebas jalanan darah), semacam ilmu istimewa
dari Thiansan pay. Dengan hanya satu kebasan itu, lima jerijinya sudah menotok lima
jalan darah Hoat-ong! Buru-buru Hoat-ong menjalankan pernapasannya tiga kali, lima jalan darahnya
sudah kembali terbuka semua, tapi kaki tangannya masih dirasakan sangat lemas. Herannya Hoat-
ong tidak kepalang. Ia mengetahui, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di sebelah
bawahnya, dan jika
mau, pemuda itu dapat memunahkan serangannya dengan balas menyerang. Sungguh ia
tak mengerti, kenapa Keng Thian seperti sengaja menempuh bahaya dan memasang
punggungnya"
Mendengar suara ribut-ribut dan melihat larinya Keng Thian, kedua Lhama yang
menjaga di luar segera bergerak untuk mengubar.
"Tolol!" membentak Hoat-ong. "Apa kau mau antarkan jiwa" Dia sudah kena
pukulanku dan akan binasa dalam tempo tiga hari."
Sehabis berkata begitu, ia menghela napas. "Tak gampang orang itu memiliki ilmu silat yang
sedemikian tinggi," katanya di dalam hati. "Entah siapa yang menyuruh ia datang
kesini, sehingga
ia mesti korbankan jiwanya secara cuma-cuma. Sungguh sayang!" Dalam hatinya,
pemimpin agama tersebut merasa sangat menyesal, bahwa secara ketelanjur, ia sudah
menurunkan tangan
yang begitu berat.
Keng Thian merasakan punggungnya sakit dan begitu tiba di rumah penginapan, ia
segera membuka Kimsie Djoanka, semacam baju kutang yang terbuat dari semacam benang
berwarna emas. Dengan pertolongan sebuah kaca tembaga, ia melihat satu titik hitam di
punggungnya. Keng Thian kaget, tapi sesaat kemudian ia berkata seorang diri: "Baik juga ada
ini Kimsie Djoanka, jika tidak, isi perutku bisa terluka hebat. Sungguh tak terduga, tenaga
dalamnya Hoatong
begitu dahsyat."
Kimsie Djoanka itu mempunyai riwayat yang menarik. Dulu, ketika Phang Eng dan
Phang Lin jangkep berusia satu tahun, Tjiong Ban Tong, pemimpin Boekek pay, telah
menghadiahkan dua
rupa mustika dari Rimba Persilatan, yaitu, yang satu Kimsie Djoanka, sedang yang
lain golok Tokbeng Sinto. Pada hari itu, kedua saudara kembar itu dibiarkan memilih sendiri
dan sebagai hasilnya, Phang Eng mengambil Kimsie Djoanka, sedang Phang Lin mengambil Tokbeng
Sinto. Baju kutang tersebut terbuat dari bulu warna emas yang diambil dari punggungnya
Kimmo houw (semacam singa berbulu emas) di pegunungan Himalaya. Djoanka itu, yang lemas dan
enteng, tak dapat ditembuskan senjata tajam juga tak dapat dihancurkan dengan pukulan.
Dengan adanya lapisan baju kutang itu, walaupun pukulan Hoat-ong sangat dahsyat, tenaganya
sudah hilang separoh, dan ditambah pula tenaga dalam Keng Thian sendiri, pukulan tersebut
hanya dapat menggetarkan isi perutnya, tapi tak sampai mencelakakannya. Buru-buru Keng Thian
mengerahkan jalan pernapasannya dan menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat
dari Soatlian. Sesudah itu, dengan hati lega, ia tidur untuk mengasoh.
Pada besok paginya, si pelayan datang di kamar Keng Thian dan mereka lalu
membicarakan pula halnya Hoat-ong.
"Aku dengar, malam ini Hoat-ong akan mengadakan sembahyang besar," kata si
pelayan. "Mereka telah mengundang tetua-tetua kota ini dan para orang tua gadis-gadis
yang kena ditangkap, semuanya ada seratus orang lebih. Inilah satu kejadian yang baru
pernah terjadi.
Besok pagi kita akan mengetahui, kenapa mereka menangkapi gadis-gadis cantik."
"Mereka tidak mengundang kau, cara bagaimana kau bisa mengetahui begitu cepat?"
Keng Thian sengaja menanya.
"Biarpun aku sendiri tak diundang, tapi majikanku mendapat undangan," jawabnya.
"Ialah yang
memberitahukan hal itu kepadaku."
Keng Thian jadi girang dan lalu menanyakan lebih jauh tentang si pemilik rumah
penginapan. Ia itu ternyata adalah seorang yang mempunyai kedudukan agak tinggi dalam kota
Naichi dan telah mewarisi perusahaan rumah penginapan dari orang tuanya.
Keng Thian juga mendapat tahu, bahwa orang bisa masuk ke dalam ruangan
sembahyang dengan memperlihatkan surat undangan, dan mengingat banyaknya orang yang
diundang, pemeriksaan tentu tidak dilakukan secara teliti.
Kira-kira magrib, diam-diam Keng Thian masuk ke kamar tidur si pemilik rumah
penginapan dan lalu bersembunyi di atas salah satu balok penyangga atap. Ia lihat, dengan penuh
kegirangan, orang itu mengeluarkan makwa hitam yang indah, sedang surat undangan yang
berwarna merah menggeletak di atas pembaringan. Keng Thian segera memulung sedikit tanah yang
melekat di tembok dan menimpuk jalan darah Hoenswee hiat dari si pemilik rumah penginapan
yang lantas saja terguling di atas lantai dan akan tetap rebah selama dua belas jam.
Kemudian ia loncat turun dan sesudah membaringkan si pemilik rumah penginapan di
atas pembaringan, ia segera memakai pakaian orang itu yang memang sudah tersedia.
Untung juga, potongan badan si pemilik rumah penginapan tidak banyak berbeda dengan potongan
badannya. Selanjutnya, ia mengeluarkan sepotong Yayong tan yang lantas dihancurkan dengan
sedikit air teh
dan kemudian dipoleskan pada mukanya. Yayong tan atau obat untuk merubah paras
muka adalah semacam perlengkapan dari kawanan penjahat di jaman itu. Tong Siauw Lan,
ayah Keng

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian, telah belajar membuat obat tersebut dari Kam Hong Tie. Setelah merubah
paras mukanya, dengan tangan mencekal surat undangan itu, sembari mesem Keng Thian segera
berangkat menuju ke kuil Lhama.
Cocok dengan dugaannya beberapa Lham" yang mendapat tugas untuk menyambut para
tamu, tidak banyak rewel dan semua tamu yang membawa surat undangan dipersilahkan
masuk tanpa pemeriksaan teliti.
Sebelum sembahyang, terlebih dulu diadakan perjamuan. Orang-orang yang dijamu di
gedung tengah adalah pemimpin-pemimpin dari berbagai kuil Lhama dan tamu-tamu penting.
Di gedung sebelah timur adalah tempat perjamuan untuk para tetua kota Naichi dan ayah atau
walinya gadisgadis
yang telah ditangkap.
Sesudah para tamu minum beberapa gelas arak, murid kepala dari Hoat-ong, yaitu
Anan Tjoentjia (Tjoentjia adalah panggilan menghormat terhadap satu paderi atau
Lhama), datang sendiri untuk melayani para tamu.
"Hari ini adalah hari yang sangat menggembirakan," demikian Anan mulai dengan
pidatonya, sesudah mengajak para tamu mengeringkan segelas arak. "Hari ini kami ingin
mengumumkan suatu berita menggirangkan kepada kalian, yaitu: Budha Hidup di Tibet sudah
mengadakan perdamaian dengan Budha Hidup kita!"
Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai oleh para hadirin. Selama seratus
tahun, sudah puluhan kali kedua sekte bertempur hebat, sehingga menerbitkan kerugian jiwa
manusia dan harta benda yang tak dapat dihitung berapa banyaknya. Maka itu, tidaklah heran
jika berita tersebut disambut dengan kegirangan besar.
Akan tetapi, sesudah sorakan mereka, beberapa tetua lantas saja berkata: "Kami
ingin Budha Hidup menetap di Tjenghay dan tak mau beliau meninggalkan kami."
Anan mesem dan melanjutkan pidatonya: "Dalam perundingan perdamaian, Budha Hidup
Panchen sudah menyetujui untuk memberikan Chinka, Sakya dan Chinpu kepada kita,
supaya kita dapat mendirikan kuil-kuil yang seperlunya. Sesudah kuil-kuil selesai didirikan,
Hoat-ong tentu harus pergi ke Tibet untuk melakukan upacara pembukaan. Akan tetapi, sesudah
itu, beliau akan
menyerahkan segala tugas mengurusnya kepadaku dan beliau sendiri akan balik
kesini untuk melindungi kalian selama-lamanya."
Pidato itu kembali disambut dengan tampik sorak yang bergemuruh. Apa yang
diumumkan oleh Anan Tjoentjia sudah diketahui oleh Tong Keng Thian. Yang belum didengar olehnya
adalah nama-nama ketiga tempat itu. Pada waktu Anan menyebutkan Sakya hati Keng Thian
bergoncang oleh karena ia ingat, bahwa Sakya adalah tempat kedudukan ayah Tan Thian Oe.
Sesudah suara sorakan menjadi reda, Anan berkata pula: "Untuk keperluan upacara
pembukaan kuil baru itu di Tibet, maka mau tidak mau, kita harus mempertahankan
kebiasaan lama dan memilih Wanita-wanita Suci. Mereka yang dapat diangkat menjadi Wanita
Suci mempunyai rejeki besar dan mempunyai jodoh dengan Sang Budha. Akan tetapi, Hoat-
ong juga dapat mengerti jalan pikiran kalian, dan oleh karena itu, siapa saja yang tak
setuju puterinya
menjadi Wanita Suci, dapat memberitahukannya secara berterus terang dan beliau
bersedia untuk melepaskan puteri-puteri mereka."
Keadaan sunyi senyap, tak ada yang berani menyatakan, pikirannya terlebih
dahulu, sehingga
Anan Tjoentjia mengulangi pula pertanyaannya. Sebagai hasilnya, antara tiga
puluh enam ayah
atau wali yang puterinya telah ditangkap, hanya tujuh yang menyatakan ingin
mengambil pulang
puterinya. Belasan orang lainnya tidak berani membuka suara, meskipun hatinya
merasa tidak setuju, sedang beberapa belas ayah-ayah lain lagi menyatakan kegirangannya,
bahwa puteri mereka ternyata berjodoh untuk menjadi murid Sang Budha.
Sesudah beres, Anan segera mengajak para tamunya mengeringkan gelas arak sekali
lagi. "Sekarang Hoat-ong mengundang kalian untuk bersembahyang," kata Anan sesudah
semua orang mencegluk araknya. "Kalian boleh masuk ke tempat sembahyang dan berbaris
dengan rapi di lorak depan. Sesudah kalian memasang hio, seorang Lhama akan ambil hio itu
dari tangan kalian dan menyampaikan semua nama."
Sehabis berkata begitu, Anan segera berjalan masuk, diikuti oleh semua orang,
antaranya tentu
saja juga Keng Thian sendiri.
Ruangan sembahyang kelihatan angker sekali, dengan seratus lebih Lhama yang
berbaris di dalam ruangan dan seratus lebih tamu yang berdiri di lorak. Di belakang meja
sembahyang terdapat beberapa puluh patung Budha besar dan kecil.
Perlahan-lahan Raja agama itu berdiri dan berjalan menuju ke depan patung
Djielayhoed. Ia
menyalakan sebatang hio yang besar dan lantas saja mulai bersembahyang.
Walaupun sudah pernah bertempur, baru sekarang Keng Thian melihat tegas muka
Hoat-ong. Badan Raja agama itu tinggi dan besar, mukanya bundar bagaikan rembulan dan
kelihatan angker
sekali. Diam-diam Keng Thian merasa girang, bahwa semalam ia tidak menurunkan
tangan jahat. Sesudah Hoat-ong dan semua tamunya beres memasang hio, tiba-tiba terdengar suara
lonceng dan di lain saat, dari belakang meja sembahyang keluar dua baris wanita yang
mengenakan pakaian putih. Setiap baris terdiri dari delapan belas gadis yang dipimpin oleh
seorang Ibu Suci.
Begitu tiba di depan meja sembahyang, mereka segera menari-nari dan menyanyikan
lagu-lagu Budha yang kedengarannya merdu dan melapangkan dada.
Berselang beberapa saat, Hoat-ong menepuk tangan dua kali sebagai tanda bahwa
upacara sudah berakhir dan wanita-wanita itu segera masuk pula ke dalam dengan berbaris.
Seorang Ibu Suci yang barusan memimpin salah satu barisan Wanita Suci, tidak turut masuk ke
dalam, tapi segera menghampiri Hoat-ong dan berbicara dengan bisik-bisik.
Semua orang menahan napas, tak ada yang berani berbicara. Keng Thian segera
memusatkan semangatnya dan coba mendengarkan bisikan Ibu Suci itu.
"Aku sudah membujuk berulang-ulang, tapi ia masih juga sungkan menurut,"
katanya. "Baiklah," kata Hoat-ong. "Coba kau ajak ia keluar."
Hati Keng Thian berdebar-debar, matanya mengawasi ke belakang meja sembahyang.
Apakah ia harus lantas menyerbu, begitu Yoe Peng muncul" Ia sungguh merasa sangat
sangsi dan tak dapat lantas mengambil putusan.
Mendadak ia dengar suara tindakan dan dari pojok meja sembahyang kelihatan
keluar dua orang wanita, yang satu adalah sang Ibu Suci, sedang yang lain adalah seorang
wanita muda yang
berpakaian serba putih. Keadaan jadi sunyi senyap, ratusan pasang mata mengawasi
mereka. Mulut nona itu, yang mengenakan pakaian wanita Tibet, ditutup rapat-rapat, kedua
matanya yang bening mengawasi ke depan dengan mendelong seperti juga orang yang tak
sadar akan dirinya, sedang paras mukanya adalah dingin bagaikan es. Muka gadis itu hanya
agak mirip dengan Pengtjoan Thianlie dan ia duga pasti bukannya Yoe Peng!
Keng Thian terkesiap lantaran barusan ia sudah menduga pasti, bahwa wanita itu
tentu bukan 4ain daripada Yoe Peng. Ia mengawasi si nona dengan tidak berkesip, lapat-lapat
ia ingat, seperti
juga sudah pernah bertemu dengan wanita itu, akan tetapi ia lupa dimana lagi
kapan. Ia coba mengingat-ingat segala kejadian di keraton es. Satu hal yang ia dapat pastikan,
bahwa dayang Pengtjoan Thianlie yang turun gunung hanya Yoe Peng seorang. Siapakah gadis yang
menggunakan Pengpok Sintan, satu senjata rahasia yang hanya terdapat di keraton
es" Ia memutar otak tapi tetap tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Dapat dimengerti jika Keng Thian tak ingat lagi siapa adanya gadis itu, yang
bukan lain daripada Chena, jantung hati Tan Thian Oe. Pada waktu ia naik ke keraton es, di
antara dayangdayang
Pengtjoan Thianlie memang juga terdapat Chena. Akan tetapi, oleh karena pada
waktu itu seluruh perhatiannya ditujukan kepada Koei Peng Go seorang, maka dalam pertemuan
ini, ia tak dapat mengenali pula nona ini yang telah dijumpainya baru sekali dua kali secara
sepintas lalu. "Inilah dia," berkata sang Ibu Suci sesudah berhadapan pula dengan Hoat-ong. "Ia
bukan saja cantik dan suci bersih, akan tetapi juga pandai bersilat, sehingga aku tadinya
berniat mengangkat
ia sebagai Wanita Suci yang memimpin kuil di Sakya. Hanya sayang, ia tak
berjodoh dengan Sang
Budha, sehingga kita pun tak dapat berbuat apa-apa."
Di antara begitu banyak orang yang berdiri di lorak, perkataan Ibu Suci hanya
dapat didengar oleh Keng Thian seorang.
Tiba-tiba mata Chena bergerak dengan perlahan dan lalu mengawasi Hoat-ong. Di
lain saat, mukanya terlihat seakan-akan kaget dan alisnya berkerut, seperti orang yang
sedang memikir apaapa.
Akan tetapi, perobahan itu hanya terjadi dalam sekejap mata dan parasnya segera
juga berbalik dingin kembali.
Ketika itu, kedua Lhama yang dulu pernah bertempur melawan Keng Thian, berdiri
di kiri kanan Hoat-ong. "Gadis ini tak boleh dilepaskan," kata salah satu antaranya. "Ia
pernah melukakan
beberapa Lhama dengan ilmu siluman."
Muka Hoat-ong yang angker kelihatan menyeramkan dan ia tidak menjawab perkataan
Lhama itu. Hati segenap hadirin jadi berdebar, mereka tak tahu, putusan apa yang akan
diambil. Orang yang duduk berendeng dengan Hoat-ong adalah Khan (raja) dari Tukuhun.
Sedari Chena muncul, kedua matanya mengawasi gadis itu tanpa berkesip. Sekonyong-konyong ia
berdiri dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku
memohon kemurahan Budha Hidup untuk mengampuni gadis itu. Izinkanlah aku membawa ia ke
istanaku untuk diberi nasehat. Izinkanlah aku menebus kedosaannya dengan memperbarui
istana Budha."
Pada jaman pemerintahan Tjeng, menurut kebiasaan di Tibet, Tjenghay dan tempat-
tempat lain, Hoat-ong atau Raja agama, berkuasa atas keagamaan, sedang Khan, atau Raja,
menguasai urusan pemerintahan dan politik. Kekuasaan agama dipandang lebih tinggi daripada
kekuasaan politik, sehingga Raja agama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Raja
Jejak Di Balik Kabut 34 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Bloon Cari Jodoh 11
^