Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 7

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 7


Loosam melindungi guci emas?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan membentak: "Anjing! Berani betul kau orang
curi dengar aku mementil khim! Hayo, menggelinding turun dari sini!" Berbareng dengan
bentakan itu, ia ayun
tangannya dan dua butir Pengpok Sintan lantas menyambar.
Sesuai dengan dugaannya Keng Thian, mereka itu memang juga adalah suami isteri
In Leng Tjoe. Sebagai pemimpin dari suatu partai, mereka tentu tidak dapat menerima
hinaan. Tapi belum
sempat turun tangan, mereka sudah rasakan menyambarnya hawa yang sangat dingin,
sehingga mereka jadi terkejut dan buru-buru tutup semua jalanan darahnya, tapi meskipun
begitu, mereka toh masih bergidik juga.
Melihat dua pelurunya tak dapat robohkan mereka, Pengtjoan Thianlie merasa agak
kaget dan segera lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan dengan gunakan tenaga dalam yang
lebih besar. In
Leng Tjoe kelit dan Sintan meledak di pinggir badannya. Isterinya, yang lebih
sebet, sudah buka
ikatan pinggangnya yang digunakan buat gulung Sintan yang satunya lagi. Dengan
sekali kedut Pengpok Sintan meledak di dalam ikatan pinggang, yang segera digunakan sebagai
pian lemas (djoanpian) buat menghantam Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie juga lantas buka ikatan pinggangnya, yang, bagaikan seekor
naga, papaki ikatan pinggangnya musuh. Di lain saat, kedua ikatan pinggang sudah menyambar-
nyambar di tengah udara dengan kecepatan kilat, sehingga memberi pemandangan yang indah
sekali. "Apakah kau bukan Pengtjoan Thianlie?" membentak In Leng Tjoe.
"Kau sudah tahu aku siapa, kenapa tak mau buru-buru menggelinding dari sini,"
sahut si nona. "Biarpun kau benar-benar bidadari dari atas langit, aku toh mau jajal-jajal
dahulu kepandaianmu," kata In Leng Tjoe sembari tertawa tawar. Ia lantas cabut sepasang
Poankoan pit (senjata yang merupakan pit) dari pinggangnya dan coba totok dua jalanan darah
di bebokongnya Pengtjoan Thianlie.
Sambaran Poankoan pit yang disertai dengan tenaga dalam yang hebat, sudah
membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesiap. Ia tak duga, si lelaki yang mukanya jelek itu
adalah ahli menotok
jalanan darah. Lantaran begitu, ia tidak berani memandang enteng lagi lawannya
dan sembari putar badan, ia cabut Pengpok Hankong kiam. In Leng Tjoe rangkap kedua senjata
yang lantas diacungkan buat papaki
Hankong kiam dengan gerakan Hoenka kimliang (Menunjang penglari emas). Dengan
latihan puluhan tahun, sambaran Poankoan pit itu mempunyai tenaga ribuan kati dan In
Leng Tjoe menduga, bahwa dengan sekali bentur saja, ia akan dapat patahkan pedangnya
Pengtjoan Thianlie. Tapi si jelita yang gerakannya luar biasa gesit sudah egos pedangnya
dan berbareng dengan berkelebatnya sang pedang, In Leng Tjoe kembali bergidik lantaran
sambaran hawa dingin. Di lain saat, dengan beruntun Pengtjoan Thianlie kirim tiga serangan,
sehingga dari menyerang, In Leng Tjoe berbalik harus membela diri. Dengan kedua kaki menginjak
kedudukan Patkwa, ia terpaksa mundur, tapi Poankoan pit-nya sudah tutup rapat seluruh
badannya dan ujung
senjata itu terus bayangi jalanan darah musuhnya yang dapat ditotok begitu lekas
ada kesempatan. Ilmu silat isterinya In Leng Tjoe, yang bernama San Tjeng Nio, tidak berada di
sebelah bawah suaminya. Melihat liehaynya sang lawan, buru-buru ia kedut ikatan pinggangnya
yang lantas jadi
lempang bagaikan pit dan mulai bersilat dengan ilmu Hoeiliong Pianhoat (Ilmu
silat pian naga
terbang). San Tjeng Nio adalah ahli Djioekang (Ilmu silat lembek) dari Bittjong
pay di Tibet. Dengan "kelemasan," ia dapat tindih "kekerasan" dan dengan ilmu itu yang
mempunyai delapan
rupa jalan, ikatan pinggangnya bukan saja dapat mainkan peranan beberapa macam
senjata, tapi juga dapat digunakan buat merebut senjata musuh. Dibanding dengan djoanpian
biasa, ikatan pinggang tersebut lebih liehay ratusan kali lipat.
Oleh karena harus layani dua lawanan berat, pembelaan ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie
jadi kurang rapat. Melihat kesempatan itu, San Tjeng Nio segera kedut
senjatanya, yang seperti
seekor ular terbang, lantas menyambar ke arah matanya musuh. Dalam keadaan
terdesak, Pengtjoan Thianlie terpaksa gunakan Pengpok Hankong kiam buat menyabet dua kali
- ke kanan dengan gerakan Soathoa lioktjoet (Kembang salju berhamburan ke enam penjuru), ke
kiri dengan gerakan Kisoei lengpeng (Air membeku jadi es) - - dan dua serangan itu berubah
jadi delapan rupa serangan yang menyambar-nyambar secara berantai. San Tjeng Nio tidak berani
terlalu mendesak, buru-buru ia tarik pulang ikatan pinggangnya buat lindungi diri.
Baru saja singkirkan gencatan si isteri, sang suami sudah mendesak dengan kedua
senjatanya yang makin lama jadi makin hebat menyerangnya, sehingga Pengtjoan Thianlie jadi
tidak mempunyai kesempatan lagi buat lakukan serangan membalas.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus. Kedua
belah pihak sama-sama merasa kaget dan heran. In Leng Tjoe suami isteri adalah jagoan
kelas berat yang sudah dapat nama lama sekali di daerah perbatasan barat, maka dapat
dimengerti, jika
mereka merasa kaget melihat tangguhnya Pengtjoan Thianlie yang tidak dapat
dijatuhkan biarpun
dikerubuti berdua. Di lain pihak, si nona juga tidak kurang kagetnya sebab ilmu
pedangnya yang begitu liehay masih juga belum dapat robohkan dua lawanan itu.
Keng Thian yang mengintip dari belakang batu, terus mengawasi jalannya
pertempuran dengan
mata tidak berkesip. Ia lihat, makin lama serangan In Leng Tjoe suami isteri
jadi makin hebat.
Sesuatu sambaran Poankoan pit ditujukan kepada jalanan darah, sedang ikatan
pinggangnya San
Tjeng Nio selalu siap sedia buat masuk ke tempat kosong. Demikianlah, perlahan-
lahan Pengtjoan
Thianlie jadi berada di bawah angin. Tapi, berkat ilmu silatnya yang luar biasa,
setiap kali keteter,
muncullah pukulan-pukulannya yang aneh, yang tak dikenal oleh In Leng Tjoe suami
isteri, sehingga, walaupun sudah berada di atas angin, mereka selalu mesti berlaku
sangat hati-hati buat
menjaga serangan-serangan yang tidak diduga-duga.
Keng Thian tumplek seluruh perhatiannya dan diam-diam coba meraba-raba ilmu
pedangnya Pengtjoan Thianlie. "Ah," ia menghela napas. "Tadinya aku kira Thiansan Kiamhoat
adalah ilmu pedang yang tiada keduanya dalam dunia. Tapi sekarang aku dapat kenyataan,
banyak pukulannya Pengtjoan Thianlie yang lebih unggul daripada ilmu pedang Thiansan.
Benar-benar pelajaran tidak ada batasnya."
Jika mau dirundingkan soal ilmu pedang, ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie memang
sedikit lebih unggul dalam hal keanehannya dan perobahan-perobahannya yang luar biasa.
Akan tetapi, mengenai luasnya, dalamnya dan teguhnya, kiamhoat-nya si jelita masih belum
dapat menyusul Thiansan Kiamhoat. Jika bertemu dengan lawan yang ilmu silatnya lebih tinggi,
seorang ahli Thiansan Kiamhoat masih dapat membela diri dengan penjagaannya yang sangat
rapat. Di lain pihak, kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie ada lebih liehay dalam penyerangan, tapi
masih kurang sempurna dalam pembelaan diri, jika bertemu dengan lawanan yang lebih kuat.
Ilmunya suami isteri In Leng Tjoe adalah kira-kira sctanding dengan si pendeta
berkelana dan Liong Leng Kiauw. Jika satu lawan satu, dalam seratus jurus, ia tentu roboh
dalam tangannya
Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi dengan mengerubuti, kedudukannya suami isteri
itu jadi terlebih
unggul. Cuma saja, berkat kiamhoat-nya si nona yang luar biasa dan ditambah lagi
sama Pengpok Hankong kiam yang istimewa, maka buat sementara mereka masih belum dapat menarik
keuntungan dari keunggulan itu.
Dengan perlahan, sang rembulan sudah mulai doyong ke barat. Sesudah bertempur
kurang lebih seratus jurus, Pengtjoan Thianlie mulai merasa lelah dan napasnya jadi
sedikit sengal-sengal.
"Kenapa si pemuda baju putih belum juga datang?" ia tanya dalam hatinya yang
mulai jadi jengkel, sehingga tidak dapat pusatkan lagi Seantero perhatiannya kepada
pertempuran yang
sedang berlangsung dengan hebatnya.
In Leng Tjoe suami isteri adalah orang-orang yang sudah kawakan dalam
pertempuran. Begitu
lihat kesempatan, mereka lalu mendesak semakin hebat. Sepasang Poankoan pit In
Leng Tjoe terus tindih pedangnya si nona buat cegah ia keluarkan pukulan-pukulannya yang
aneh, sedang ikatan pinggangnya San Tjeng Nio terus menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang
agak lowong. Yoe Peng yang sedari tadi menonton, dengan sikap acuh tak acuh, sekarang
mulai kuatirkan keselamatan majikannya.
Sekonyong-konyong dengan gerakan Lioeseng poengoat (Bintang sapu mengubar
bulan), kedua Poankoan pit menyambar ke arah kepalanya Pengtjoan Thianlie, dan hampir
berbareng, ikatan pinggangnya San Tjeng Nio melesat ke garisan dalam dari pembelaan si
nona. Saat itu,
pedangnya Pengtjoan Thianlie yang sedang digunakan di garisan luar buat tangkis
Poankoan pit, sudah tidak keburu ditarik pulang guna singkirkan sambarannya ikatan pinggang.
Yoe Peng terkesiap dan keluarkan satu teriakan: "Celaka!"
Pada detik itulah, Pengtjoan Thianlie keluarkan pukulan yang benar-benar
istimewa. Dengan
sekali getarkan gagang pedangnya, begitu bentur Poankoan pit musuh, dari Pengpok
Hankong kiam seperti juga terbang keluar ratusan "kembang pedang" yang sinarnya
bergemilapan dan
menyilaukan mata. Satu batang pedang itu seakan-akan berobah jadi ratusan batang
pedang. Inilah pukulan Pengho kaytang (Sungai es melumer), yaitu pukulan istimewa dari
Pengtjoan Kiamhoat yang digunakan buat menolong diri dalam bahaya. Ketika itu, jika In
Leng Tjoe teruskan
juga serangannya, batok kepalanya si jelita memang bisa menjadi toblos, tapi
mereka pun pasti
bakal jadi korbannya Pengpok Hankong kiam. Mereka berdua tidak berani berlaku
mati-matian lantaran, pertama, mereka tidak kenal ilmu pukulannya Pengtjoan Thianlie,
ditambah sama silaunya sang mata lantaran sinar Hankong kiam sehingga mereka tidak dapat lihat
tegas badannya musuh, dan kedua, sebagai ahli-ahli kawakan dalam Rimba Persilatan,
mereka selalu taat pada nasehat yang berbunyi: Sebelum menghitung kemenangan, hitunglah
kekalahan. Demikianlah buru-buru mereka tarik pulang senjatanya dan tutup rapat dirinya.
Pada saat itulah, dari belakang batu besar keluar satu teriakan: "Bagus!" yang keluar dari
mulutnya Tong Keng Thian. In Leng Tjoe dan isterinya terkesiap. Sembari pentang senjatanya, In
Leng Tjoe membentak dengan suara keras: "Lengsan pay In Leng Tjoe ada disini. Sahabat,
keluarlah buat menemui aku."
In Leng Tjoe adalah seorang yang sudah dapat nama besar lama sekali di daerah
perbatasan sebelah barat dan dengan perkenalkan dirinya, ia berharap, orang yang sembunyi
akan merasa jeri. Tapi tak dinyana, baru ia tutup mulutnya, dua sinar terang menyambar dan
kedua senjatanya
kena terpukul miring, sehingga garisan pembelaannya jadi terbuka, dan berbareng
dengan itu, Pengpok Hankong kiam sudah menerobos masuk bagaikan kilat.
In Leng Tjoe terbang semangatnya. Matanya silau dan hawa dingin menyambar ke
uluhatinya, sehingga .ia tak dapat membela dirinya lagi. "Binasalah aku!" ia mengeluh.
Mendadakan terdengar suara terbesetnya kain dan sinar pedang berkelebat di
atasan kepalanya. Sebagai seorang yang tinggi ilmu silatnya, pada saat itulah, dengan
gerakan Yauwtjoe
hoansin (Elang balik badannya), In Leng Tjoe jejak kedua kakinya dan badannya
melesat beberapa tombak, akan kemudian jatuh menggelinding ke bawah tanjakan.
Suara terbesetnya kain yang didengar oleh In Leng Tjoe muncul ketika ikatan
pinggangnya San


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjeng Nio dibabat putus dengan Hankong kiam. Barusan, melihat suaminya berada
dalam bahaya, San Tjeng Nio kerahkan tenaga dalamnya dan bagaikan sebatang pedang, ikatan
pinggangnya sambar kedua matanya Pengtjoan Thianlie, yang lantas papaki dengan Hankong kiam.
Oleh karena adanya pertolongan sang isteri, In Leng Tjoe jadi dapat loloskan dirinya.
Sambil lempar ikatan pinggangnya yang sudah tinggal sepotong, San Tjeng Nio
turut loncat turun ke bawah tanjakan. Mereka menengok ke atas dan lihat Pengtjoan Thianlie
mau mengubar, tapi dicegah oleh seorang pemuda baju putih.
In Leng Tjoe cabut senjata rahasia yang menancap pada kedua senjatanya dan
begitu lihat, ia
terkesiap. "Hei!" ia berseru. "Thiansan Tong Siauw Lan masih pernah apa dengan
kau?" "Aku wakili ayah buat menanyakan keselamatannya kedua Lootjianpwee," sahut Keng
Thian. "Harap kedua Lootjianpwee sudi maafkan kekurang ajaranku."
In Leng Tjoe suami isteri saling mengawasi. Biar bagaimanapun juga, mereka belum
mempunyai nyali buat coba-coba bentur Tayhiap Tong Siauw Lan, apalagi ilmu
silatnya si pemuda
sendiri sudah cukup tinggi dan dapat pukul miring kedua Poankoan pit dengan
Thiansan Sinbong.
Di sebelahnya itu, mereka juga harus perhitungkan Pengtjoan Thianlie yang terus
mengawasi dengan mata beringas. Keringat dingin keluar dari dahinya In Leng Tjoe. Tapi
buat tutup perasaan
malunya, ia membentak dengan suara keras: "Baiklah! Aku sungkan berurusan sama
segala bocah. Aku akan bikin perhitungan dengan ayahmu sendiri!"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Penjahat gundul! Kau masih berani
banyak bacot" Apa kau mau rasakan lagi pedangku?"
Mendengar perkataan "penjahat gundul," In Leng Tjoe terkejut dan lantas raba
kepalanya. Hatinya mencelos sebab ia dapat kenyataan, rambutnya sudah kelimis dan tanpa
berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia tarik tangan isterinya dan menyingkir secepat
bisa. "Dua bangsat itu sudah berani curi dengar suara khim-ku, biarpun senjatanya
sudah diputuskan
dan rambutnya dipapas, hatiku rasanya belum merasa puas," berkata Pengtjoan
Thianlie dengan
suara mendongkol.
"Dalam dunia ini masih banyak orang-orang yang terlebih jahat daripada mereka,"
kata Keng Thian sembari tertawa. "Mana boleh kau selalu turuti napsu amarahmu."
Lewat beberapa saat, Keng Thian berkata pula sembari tertawa: "Apakah kau
mementil khim hanya untuk didengar olehku" Sungguh sayang aku bukannya Pek Gee (Djie Pek Gee,
seorang ahli khim dari jaman Liatkok), sehingga tidak mengetahui dimana adanya hati tetabuhan
tersebut."
Mukanya si jelita lantas saja bersemu dadu. "Cis" katanya. "Siapa yang pentil
khim untuk kau"
Eh, apa kau mau adu pedang lagi?"
"Tak usah," sahut Keng Thian. "Barusan aku sudah saksikan kepandaianmu yang
sejati dan benar-benar tinggi sekali. Aku sekarang mengaku kalah."
"Aku paling benci orang yang bicara lain, hatinya lain," kata lagi si nona.
"Dalam hati, kau tentu
kata: "Kepandaiannya Pengtjoan Thianlie cuma sebegitu saja" Mana bisa menangkan
Thiansan Kiamhoat?"
Keng Thian jadi tertawa keras. "Ah!" katanya. "Kalau begitu kau mempunyai ilmu
membaca hati orang! Tapi, kali ini kau membaca salah. Barusan hatiku kata: "Kiamhoat-nya
Pengtjoan Thianlie
benar-benar liehay. Dalam tiga sampai lima tahun, aku belum dapat menangkan
dia." Pengtjoan Thianlie menghela napas, sebab dalam hatinya, ia justru sedang pikir
apa yang dikatakan oleh Keng Thian. Sesudah meneliti ilmunya si pemuda, ia merasa, bahwa
meskipun tak usah kalah, akan tetapi buat bisa dapat jatuhkan Keng Thian, paling sedikitnya
ia harus berlatih
antara tiga sampai lima tahun lagi. Dan ia merasa tercengang, sebab apa yang
lagi dipikir sudah
dikatakan oleh Keng Thian.
"Kenapa tarik napas?" tanya Keng Thian.
Si nona tak menyahut. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata: "Kalau begitu,
kau adalah puteranya Thiansan Tong Tayhiap."
"Sekarang kita sama-sama sudah mengetahui asal-usul masing-masing dan kita
sebenarnya bukan orang luar," kata Keng Thian. "Ayahku mempunyai matan buat satu tempo
kumpulkan semua turunan dan murid-muridnya Thiansan Tjitkiam. Jika niatan itu terwujud,
aku akan ajak kau, supaya dapat berkenalan dengan sahabat-sahabatnya mendiang ayahmu."
Mendengar itu, parasnya Pengtjoan Thianlie segera jadi berobah. "Ayahku sudah
singkirkan diri
ke daerah perbatasan dan sedari dahulu ia sudah tidak anggap dirinya sebagai
orang Thiansan pay," katanya. "Cara bagaimana aku dapat hadiri pertemuan itu?"
Keng Thian terkejut, ia tak mengerti, kenapa si nona boleh keluarkan perkataan
begitu. Tapi ia
lihat Pengtjoan Thianlie bicara dengan sungguh-sungguh, sehingga ia tak menanya
apa-apa lagi. Keng Thian tidak mengetahui, bahwa ayahnya si nona, yaitu Koei Hoa Seng, dahulu
justru pernah dijatuhkan oleh ayah ibunya sendiri. Dengan perasaan mendongkol, Koei
Tayhiap pergi ke
lain negara dengan tujuan mempelajari ilmu pedang daerah sebelah barat guna
digabung dengan
ilmu pedangnya sendiri, supaya bisa menggubah serupa ilmu pedang yang lebih
unggul dari Thiansan Kiamhoat.
Kedua matanya Pengtjoan Thianlie mengawasi ke arah jauh, seakan-akan ia sedang
berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia berkata dengan suara agak terharu: "Berjodoh,
manusia berkumpul. Jodoh habis, berpisah kembali. Satu kali kau pernah naik ke atas
Puncak Es dan aku
telah membalas budi dengan ambil pulang guci emas. Dengan demikian, kita sudah
rampungkan sekelumit lelakon hidup ini. Kita tak usah adu pedang lagi dan biarlah kita
berpisahan sebagai
sahabat." Nepal adalah satu negara yang banyak kena pengaruhnya agama Budha, sehingga
sebagai seorang Puteri Nepal, Pengtjoan Thianlie pun kena pengaruh agama tersebut. Keng
Thian tercengang mendengar kata-kata itu dan buat beberapa saat, ia tak dapat membuka
suara. "Puncak Es sudah roboh dan kau sendiri sudah masuk lagi ke dalam dunia
pergaulan," berkata
Keng Thian sembari mesem. "Apakah jodoh dalam dunia dapat berakhir dengan begitu
saja" Meskipun keraton es ada cukup indah, akan tetapi dingin dan sunyi. Andaikata
benar-benar di belakang hari kau bisa jadi seorang bidadari, paling banyak kau jadi seperti
bidadari dari rembulan. Dan sebagaimana kau mengetahui, bidadari rembulan saja masih kadang-
kadang merasa kesepian, masih saban malam pikiri lautan blau dan langit biru! Apakah,
selainnya keraton
es, dalam dunia sudah tidak ada lain tempat yang cocok bagi dirimu?"
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang keras, sehingga dadanya turun naik
terlebih cepat. Ia
angkat kepalanya dan mengawasi si pemuda, yang dengan pakaiannya yang serba
putih dan parasnya yang cakap sekali, kelihatan angker dan agung di bawahnya sinar
rembulan yang laksana perak. Ketika itu, Keng Thian pun sedang mengawasi ia dengan sorot
matanya yang bening, sehingga dua pasang mata segera kebentrok. Paras mukanya Pengtjoan
Thianlie kembali
bersemu dadu dan pikirannya jadi semakin kusut. Hatinya merasa berat, akan
tetapi, ia sendiri
tidak mengetahui, apa yang dibuat berat. Apakah keindahan dunia" Apakah pemuda
itu dengan kata-katanya dan cara-caranya yang sangat menarik hati" Tapi, bukankah pemuda
itu adalah seorang, dengan siapa ia harus ukur tenaga supaya tidak sia-siakan capai lelah
ayahnya sendiri"
Mengingat begitu, si nona rasakan kepalanya pusing.
"Apakah kau tidak mau pergi ketemui kedua pamanmu?" tanya Keng Thian mendadakan.
"Yang satu berada di Soetjoan, sedang , yang lain di Ouwpak. Puluhan tahun mereka
pikiri ayahmu dan
pesan banyak sahabatnya buat bantu mencari. Gurunya Thian Oe, yaitu Thiekoay
sian, yang juga
pernah terima pesanan begitu, sudah naik ke atas Puncak Es tanpa perdulikan
bahaya, sehingga
akhirnya ia mesti membuang jiwa di dalam keraton es. Apakah sesudah mengetahui
itu, hatimu sedikitpun tidak jadi tergerak?"
"Apa" Thiekoay sian mati di keraton es?" tanya si nona dengan suara terkejut.
"Benar," menyeletuk Yoe Peng. "Guna melindungi keraton es, Thiekoay sian telah
binasa dalam tangannya si pendeta jubah merah." Si dayang lalu tuturkan segala apa yang ia
dapat dengar dari
Thian Oe, mengenai kebinasaannya Thiekoay sian.
Mendengar penuturan itu, Pengtjoan Thianlie jadi merasa jengah. Ia ingat budinya
Thiekoay sian suami isteri yang sudah begitu sudi gawe buat mendaki Puncak Es, guna
kepentingan lain
orang, sehingga akhirnya sang suami harus membuang jiwa secara kecewa sekali.
"Jika kedua pamanmu mengetahui, mereka mempunyai satu keponakan yang begitu
pintar, mereka tentulah juga akan merasa girang sekali," Keng Thian teruskan bujukannya.
"Apa benarbenar
kau tidak kepengen menemui pamili di Tiongkok?"
"Aku tak tahu dimana mereka tinggal, bagaimana bisa mencarinya?" kata Pengtjoan
Thianlie akhir-akhir. Melihat si nona sudah tergerak hatinya, Keng Thian jadi girang sekali. "Itulah,
jodoh kita memang belum habis dan kita tidak dapat lantas berpisahan," katanya. "Biarlah
aku antar kau pergi cari kedua pamanmu itu. Lebih dahulu kita pergi cari ke Soetjoan barat
buat cari Moh Tjoan
Seng Tayhiap dan sesudah itu, baru kita mendaki Boetong san buat menemui Tjio
Kong Seng Tayhiap." Mukanya si nona jadi merah lantaran kemalu-maluan. Ia berdiri bengong buat
beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Baiklah. Kapan kita berangkat?"
"Pada sebelum aku antar kau cari kedua pamanmu, lebih dahulu kau harus kawani
aku pergi cari seorang lain," sahut Keng Thian.
"Siapa" Apa jauh?" tanya si nona.
"Orang yang aku mau cari adalah Liong Leng Kiauw," menerangkan Keng Thian
"Sekarang kita
pergi dahulu ke Lhasa. Perjalanan itu tidak meminta tempo terlalu lama."
"Guci emas toh sudah dipulangkan, buat apa cari ia lagi?" tanya Pengtjoan
Thianlie. "Asal-usulnya Liong Leng Kiauw sangat mencurigakan," kata Keng Thian. "Apa kau
tahu, maksud kedatangan suami isteri In Leng Tjoe adalah buat menyusahkan padanya?"
Sesudah itu, ia lalu tuturkan segala apa yang ia dengar dari mulutnya kedua suami isteri
tersebut. "Ilmu
silatnya suami isteri In Leng Tjoe adalah lebih tinggi dari delapan pengawal
istana," Keng Thian
sambung penuturannya. "Tapi sebaliknya dari perintah mereka lindungi guci emas,
kaizar Boan suruh mereka pergi menyelidiki asal-usulnya Liong Loosam. Dari sini dapat
dilihat, bahwa di
matanya kaizar, pentingnya penyelidikan itu tidak kalah dari pentingnya guci
emas. Itulah sebabnya kenapa aku merasa perlu buat coba pecahkan teka-teki itu."
"Ah, kau memang sangat usilan!" kata si nona sembari kerutkan alisnya.
"Biarpun kau tak sudi, tapi kali ini toh kau harus antarkan aku," kata Keng
Thian sembari tertawa. "Kenapa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Supaya kita sama-sama tak usah menanggung budi," sahut Keng Thian. "Jika
dikemudian hari,
kau kebetulan ingin adu pedang lagi denganku, kau jadi bisa buka mulut tanpa
sungkan-sungkan
lagi!" "Cis" membentak si nona sembari tertawa. "Kau benar jail. Baiklah, aku luluskan
permintaanmu."
Demikianlah mereka bertiga lantas berangkat dan tiba di Lhasa pada malaman Tahun
Baru. Ketika itu, ibukota Tibet, sedang berada dalam suasana pesta. Jalanan-jalanan
penuh dengan rakyat yang keluar buat saksikan keramaian, rumah-rumah pasang lampu terang-
terang dan di segala tempat terlihat menguleknya asap hio yang dibakar tak henti-hentinya.
Pusatnya keramaian
terletak di sekitar Kelenteng Thaytjiauw sie yang dipajang indah sekali dengan
lampu-lampu yang
beraneka warna. Gelombang manusia semuanya mengalir ke kelenteng tersebut yang
sudah jadi penuh sesak dengan rakyat yang bersuka ria -- ada yang sembahyang, ada yang
menari-nari di

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah jalan atau menyanyi sekeras suara.
"Sekali ini kaizar Boan telah bertindak secara tepat sekali," kata Keng Thian
dalam hatinya. "Dengan mengirim guci emas, pemerintahan keagamaan di Tibet jadi berada di bawah
pimpinan langsung dari pemerintah pusat di Pakkhia, sehingga Tiongkok dan Tibet tak dapat
dipisahkan lagi.
Tak heran kalau rakyat jadi begitu girang." Dalam kepuasannya, si pemuda merasa
sedikit menyesal, bahwa mereka datang terlambat sedikit sehingga tidak dapat saksikan
upacara penyambutan guci emas yang tiba di Lhasa pada siang harinya.
Sesudah lihat-lihat keramaian buat sementara waktu, mereka bertiga lalu menuju
ke lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala. Sesudah lewati lapangan tersebut,
mereka tiba pada
satu daerah pegunungan di sebelah utara Gunung Anggur. Mereka terus mendaki satu
tanjakan, di atas mana berdiri sebuah rumah yang berbentuk bundar dan terkurung tembok, yaitu
rumahnya Liong Leng Kiauw. Sesudah pesan supaya Yoe Peng tunggu di lapangan di kaki
gunung, bersama
Pengtjoan Thianlie, dengan gunakan ilmu entengi badan, Keng Thian segera masuk
ke dalam pekarangan dengan loncati tembok.
Keadaan disitu sangat sunyi, mungkin para penghuninya pada pergi nonton
keramaian. Waktu
tiba di dekat kamar tulisnya Liong Sam, kuping mereka mendadak dengar suara
tindakan orang yang jalan mundar-mandir di dalam kamar tersebut. Mereka segera loncat ke atas
payon rumah dan sembari cantelkan kaki kepada payon, mereka mengintip ke dalam. Ilmu entengi
badannya Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncak
kesempurnaan, sehingga walaupun Liong Leng Kiauw berilmu tinggi, ia masih belum mengetahui
kedatangannya kedua tetamu tersebut.
Di dalam kamar, tuan rumah kelihatan jalan mundar-mandir tak hentinya, dengan
paras muka yang sangat guram. Keng Thian merasa sangat heran kenapa, sesudah guci emas
berada dalam Gereja Besar, Leng Kiauw masih kelihatan begitu bersusah hati.
Sekonyong-konyong dari sebelah luar kedengaran suara tindakan orang Buru-buru
Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian naik ke atas dan mengumpat di pancoran air. Tirai
disingkap dan seorang
yang tinggi kurus kelihatan masuk ke dalam. Ia itu adalah Gan Lok, soetee-nya
Liong Sam, yang
pernah curi pedangnya Yoe Peng.
"Soetee belum tidur!" tanya Leng Kiauw sembari menghela napas.
"Selama setengah bulan, aku sangat kuatirkan keselamatan soeheng, tapi sekarang
aku dapat bernapas lega," sahutnya.
Leng Kiauw meringis dan berkata: "Sesudah tibanya guci emas, urusan kita justru
baru mulai main!" "Menurut pendapatku, lebih baik kita singkirkan diri dahulu buat sementara
waktu," kata Gan
Lok. "Apa kau takut?" tanya sang soeheng.
"Bukannya takut," jawabnya. "Cuma dalam beberapa hari, aku seperti dapat
firasat, bahwa rahasia kita sudah diketahui orang."
"Hok Tayswee sama sekali tidak merasa curiga," menghibur Leng Kiauw. "Kau tak
usah pikir yang tidak-tidak."
Gan Lok diam, mulutnya bergerak, tapi ia tidak jadi bicara.
"Belasan tahun lamanya kita mengumpat di gedungnya pembesar negeri," kata pula
Liong Leng Kiauw. "Buat apa" Sekarang kita sudah mempunyai dasar yang kuat, dan di
sebelahnya itu, sesuai
sama rencanaku, kita sudah dapat menyambut guci emas dengan selamat. Mulai dari
sekarang, Hok Tayswee akan lebih perlu sama tenaga kita. Andaikata sampai timbul badai,
aku rasa kita masih dapat lewati dengan selamat. Kau takut apa?"
"Aku harap saja begitu," kata sang soetee dengan paras lesu.
"Aku perintah kau adakan hubungan dengan berbagai Touwsoe, apa jalannya urusan
cukup licin?" tanya Leng Kiauw.
"Boleh juga," sahutnya.
"Dalam gedung Tayswee ada aku. Kali ini kita harus bertindak," kata lagi Leng
Kiauw. "Dalam gedung Tayswee besok bakal diadakan pertemuan Tahun Baru, sembari memberi
hadiah kepada perwira dan serdadu yang berjasa," kata Gan Lok. "Soeheng, baik
kau pergi tidur."
"Dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Dalam pertemuan besok, soeheng pegang peranan terutama, sedang aku cuma ambil
peranan pembantu, sehingga datang terlambat masih tidak apa," kata sang soetee. "Aku
masih mau pergi
meronda." Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Kau memang terlalu hati-hati. Apa sekiranya
masih ada orang yang berani datang disini?"
"Apa soeheng lupa kejadian bulan yang lalu?" Gan Lok balas menanya.
"Dalam dunia ada berapa Pengtjoan Thianlie?" kata Leng Kiauw. "Selainnya itu,
Pengtjoan Thianlie pun tidak mengandung maksud jahat."
"Biarpun begitu, aku rasa lebih hati-hati ada lebih baik," kata Gan Lok yang
lantas berlalu sesudah ucapkan selamat tidur.
Sesudah mendengar pembicaraan antara kedua saudara seperguruan itu, hatinya Tong
Keng Thian jadi semakin bimbang. Pekerjaan apakah yang mau dilakukan oleh Liong Leng
Kiauw" Siapa
sebenarnya dia" Selagi hatinya bersangsi, mendadak tuan rumah menggerendeng
seorang diri: "Balik bumi, gulung langit adalah pekerjaanku. Ha, ha! Dengan sampainya guci
emas, tibalah temponya buat memperlihatkan kesaktianku!"
Keng Thian terkesiap. "Liong Loosam benar temberang!" katanya di dalam hati.
"Apa ia mau
berontak" Tapi, di tempat ini dan dalam tempo begini, manalah bisa berontak?"
Keng Thian sangsi sekali, ia tak dapat ambil putusan, apakah baik loncat turun
buat menemui orang yang luar biasa itu. Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara
teriakannya Gan Lok,
yang seperti juga kena dipukul orang. Liong Leng Kiauw loncat dan selagi mau
singkap tirai, sedang suara teriakan masih berkumandang di dalam telinga, tiba-tiba kedengaran
suara tertawa menyeramkan. Tertawa itu, yang mula-mula terdengar di tempat agak jauh, tahu-
tahu sudah berada di depan rumah, dan dari sini dapat dilihat, bahwa gerakannya orang yang
tertawa sungguh luar biasa cepat, sehingga Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian
sendiri merasa sangat terkejut.
Walaupun ilmu silatnya Gan Lok masih kalah setingkat dari Liong Leng Kiauw, akan
tetapi ia sudah terhitung seorang ahli kelas satu. Bahwa dalam sekejap saja, ia sudah
dapat dirobohkan,
merupakan suatu petunjuk, bahwa ia sudah bertemu dengan musuh yang bukan main
liehaynya. Saat itu, dalam tangannya, Keng Thian cekal dua batang Thiansan Sinbong, sedang
Pengtjoan Thianlie genggam dua butir Pengpok Sintan, siap sedia buat menimpuk sembarang
waktu. Keng Thian kedipi matanya, supaya si nona suka bersabar buat sementara waktu.
Begitu tiba, orang itu lantas menerobos masuk dan berhadapan dengan Leng Kiauw
yang sedang mau singkap tirai. Beberapa sinar perak kelihatan menyambar dan orang itu
berseru: "Sungguh indah gerakan Patpie Lo Tjia Tjopo (Lo Tjia yang mempunyai delapan
tangan menangkap mustika). Apakah gurumu Tong Loodjie dari Soetjoan?"
Di bawahnya sinar rembulan yang remang-remang, orang itu kelihatan berbadan
tinggi kurus, mukanya dekok, kedua matanya berkilat seperti api, sedang rambutnya awut-awutan,
sehingga rupanya jadi menakuti sekali.
Tong Keng Thian heran. Senjata rahasia yang dilepaskan oleh tetamu malam itu,
adalah paku Samleng Touwkoet teng yang selalu digunakan buat timpuk jalanan darah musuh.
Tapi hal ini tidak mengherankan. Apa yang mengherankan adalah cara menyambut senjata rahasia
yang diperlihatkan oleh Liong Leng Kiauw, yang dengan sekali bergerak, sudah dapat
tangkap enam batang paku tersebut. Itulah ada gerakan istimewa dari keluarga Tong di
Soetjoan, yang terkenal
sebagai ahli senjata rahasia yang kenamaan. Keng Thian pernah dengar penuturan
ayahnya, bahwa dalam keluarga Tong terdapat seorang tertua bernama Tong Kim Hong, yang,
sebagai putera kedua, jadi dikenal sebagai Longsin Tong Loodjie. Dahulu, dengan gendewa
dan peluru, nama Tong Loodjie pernah menggetarkan seluruh dunia Kangouw. "Tong Loodjie" yang
disebutkan oleh tetamu malam itu, sudah tentu Tong Kim Hong adanya. Akan tetapi,
jika masih hidup, waktu ini Tong Kim Hong sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun.
Apakah bisa jadi,
Leng Kiauw muridnya orang tua itu"
Liong Leng Kiauw rangkap kedua tangannya dan membungkuk, seraya menyahut secara
hormat sekali: "Benar. Ia adalah guruku. Apakah aku boleh tanya, ada urusan apa
Lootjianpwee datang kesini dan siapa adanya Lootjianpwee?"
Orang itu tertawa seram dan berkata: "Sepuluh tahun kau berada di luar Tiongkok.
Apakah masih belum tahu, siapa adanya aku?" Ia angkat kedua tangannya yang digoyang
beberapa kali di
depan matanya Liong Sam. Kedua telapak tangan itu berwarna merah bagaikan darah,
seperti juga tidak berkulit lagi, dan di bawah sinar bulan, tangan itu kelihatan terang
sekali. Bukan main terkejutnya Keng Thian.
"Ah, kalau begitu Hiatsintjoe Tjianpwee yang datang!" demikian terdengar
suaranya Leng Kiauw. "Harap sudi maafkan ketololan boanpwee (orang dari tingkatan lebih
rendah) yang sudah
tidak menyambut dari tempat jauh."
Hiatsintjoe adalah satu memedi besar yang lama hidup mengumpat di daerah
perbatasan Tibet.
Ilmu yang dipelajari olehnya ada sangat aneh. Ia keset kulit kedua kaki
tangannya yang kemudian
direndam didalam cair dari macam-macam rumput beracun, sampai akhirnya kaki
tangannya berwarna merah darah. Siapa saja yang kena dilanggar kaki tangan beracun itu,
jangan harap bisa
hidup terus. Jago-jago Kangouw pada umumnya sangat segani ia dan kasih julukan
Hiatsintjoe (Si
Malaikat Darah) kepadanya. Namanya yang sebenarnya tidak ada orang yang
mengetahui. Pada ketika Tong Siauw Lan (ayahnya Tong Keng Thian) mulai munculkan diri dalam
kalangan Kangouw, Hiatsintjoe sudah malang melintang di daerah Tiongkok Utara barat, tapi
kemudian, dengan mendadak, orang tak pernah dengar apa-apa lagi tentang dirinya. Sepanjang
warta, ia sembunyi sesudah kena dihajar oleh Bu Kheng Yao, salah seorang pendekar wanita
dari Thiansan Tjitkiam, akan tetapi, cara bagaimana dia dihajar, tak ada seorang yang
mengetahui terang.
Sesudah Tong Siauw Lan undurkan diri dari pergaulan umum dan hidup sembunyi di
Thiansan, selama beberapa belas tahun beberapa antara tujuh pendekar pedang itu meninggal
dunia dengan beruntun, antaranya Liehiap Ie Lan Tjoe dan Bu Kheng Yao sendiri. Sesudah itu,
Hiatsintjoe barulah kelihatan muncul kembali di dunia Kangouw. Satu waktu, ia pernah tantang
Tong Siauw Lan buat adu silat, akan tetapi Tong Tayhiap sungkan ladeni padanya, sehingga ia
pun tak dapat berbuat suatu apa. Siapa nyana, malam itu puteranya Tong Tayhiap dapat ketemui
ia di rumahnya Liong Leng Kiauw.
Hiatsintjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara angkuh: "Sesudah
mengetahui siapa adanya aku, kau sekarang harus turut segala perintahku. Pekerjaan apa yang
kau lakukan selama belasan tahun di Tibet, kau mesti tuturkan secara terus terang."
"Bilang belas tahun aku bekerja di bawah perintahnya Hok Tayswee," sahut Leng
Kiauw dengan suara sabar. "Segala pekerjaan yang dilakukan olehku, semuanya diketahui oleh
Hok Tayswee. Jika Lootjianpwee tidak percaya, pergilah tanyakan sendiri kepada Hok Tayswee."
Hiatsintjoe tertawa dingin seraya berkata: "Apa kau mau takut-takuti aku dengan
namanya Hok Kong An" Kau bisa kelabui Hok Kong An, tapi tak dapat abui Thiantjoe (Anak
Langit, yaitu kaizar).
Apakah kau rasa aku tak tahu, bahwa kau sembunyi disini dengan gunakan nama
samaran?" Leng Kiauw terkejut, akan tetapi ia masih dapat pertahankan ketenangannya dan
menyahut dengan suara tetap: "Aku sungguh tak mengerti maksudnya Lootjianpwee. Aku sama
sekali tidak melanggar undang-undang negeri. Apa perlunya menggunakan nama samaran?"
Dalam penyelidikannya, Hiatsintjoe mengetahui, bahwa Tong Kim Hong sudah


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggal dunia
pada beberapa belas tahun berselang dan bahwa Liong Leng Kiauw adalah muridnya
jago silat itu.
Akan tetapi, ia masih belum dapat menyelidiki asal usulnya Liong Leng Kiauw yang
sebenarnya. Mendengar perkataan Liong Sam yang membikin ia jadi tidak berdaya, hawa
amarahnya mendadak naik dan ia tidak ingat lagi pesan Tjongkoan istana buat bertindak
secara hati-hati
dalam penyelidikannya.
"Hm!" katanya dengan suara di hidung. "Pandai benar kau goyang lidah buat cuci
bersih dirimu! Baiklah, sekarang kau ikut saja padaku. Apa kau berdosa atau tidak, nanti ada
orang yang memutuskannya."
"Kalau begitu, Lootjianpwee harus minta permisi dahulu dari Hok Tayswee," kata
Leng Kiauw. Hiatsintjoe lantas saja jadi gusar sekali. "Kau mau gunakan Hok Kong An sebagai
tameng pelindung?" ia membentak. "Belum tentu Hok Kong An bisa lindungi dirimu!
Sekarang pendek
saja: Kau mau ikut atau tidak?"
"Boanpwee bukannya mau melawan perintah Lootjianpwee," sahut Leng Kiauw. "Cuma
saja berhubung dengan tugasku, aku tidak berani sembarangan berlalu dari sini."
"Segala pangkat yang tak ada artinya! Sembarang waktu bisa dicopot!" membentak
Hiatsintjoe. "Walaupun dicopot, tapi toh harus ada surat pemecatan resmi atau atas
perintahnya Tayswee,"
kata Leng Kiauw lagi. "Menurut undang-undang kerajaan Tjeng, segala pembesar
negeri, tak perduli pangkat tinggi atau rendah, dilarang sembarangan meninggalkan tugasnya,
jika tidak ada perintah dari pihak atasannya. Dan justru oleh karena pangkatku kecil, maka aku
terlebih tidak berani sembarangan berlalu menurut suka sendiri."
Darahnya Hiatsintjoe jadi naik tinggi. "Hm!" ia membentak. "Kau rupanya andali
betul Hok Tayswee-mu! Ini Hok Tayswee, itu Hok Tayswee! Aku tak perduli Hok Tayswee-mu
atau undangundangmu.
Aku kasih tahu terang-terangan: Jika malam ini kau tidak ikut aku, kau
sendirilah yang
sengaja mencari susah!"
"Aku lebih suka terima hukuman Lootjianpwee daripada melanggar peraturan
Kaizar," sahut
Leng Kiauw dengan suara tetap.
"Peraturan Kaizar!" Hiatsintjoe berkata dengan suara tawar. "Akulah peraturan
Kaizar!" Tibatiba
ia lonjorkan tangannya yang sebesar kipas dan coba cengkeram kepalanya Leng
Kiauw. Leng Kiauw yang sudah siap sedia lantas kebaskan tangan bajunya yang gulung dan
sampok tangannya Hiatsintjoe.
"Bagus!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa dingin. "Sekarang kau berani lawan
padaku dengan segala ilmu silat kucing pincang dari Tong Loodjie!" Leng Kiauw sudah
cepat, tapi tangannya Hiatsintjoe lebih cepat lagi dan di lain saat, tangannya sudah
menyambar ke arah
dadanya Leng Kiauw. Dengan sebet Liong Sam loncat ke pinggir lantaran ia tidak
berani bentur tangan yang sangat beracun itu. Dengan cepat enam tujuh jurus sudah lewat dan
buat keheranannya Pengtjoan Thianlie serta Tong Keng Thian, mereka sudah dengar suara
napas sengal-sengal dari Liong Leng Kiauw.
Menurut taksirannya Pengtjoan Thianlie, meskipun Leng Kiauw kalah dari musuhnya,
akan tetapi ia sedikitnya bisa melayani sampai kira-kira lima puluh jurus. Maka itu,
ia jadi sangat heran
ketika dengar suara napasnya Liong Sam, sedang pertempuran baru saja berjalan
beberapa jurus.
Dalam keheranannya itu, tanpa merasa si nona keluarkan suara "ih" yang sangat
perlahan. "Hm!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa seram. "Kalau begitu kau masih
mempunyai kawan"
Bagus! Suruh dia turun sekalian!" Sedang mulutnya bicara, tangannya dikasih
kerja lebih keras
dan dengan satu suara "breet!", tangan bajunya Liong Sam terbeset! Leng Kiauw
terkesiap dan terus mundur dengan didesak oleh lawannya.
Pada saat itulah, dengan diiringi tertawa nyaring, badannya Pengtjoan Thianlie
dan Tong Keng Thian melayang turun ke bawah. Melihat datangnya penolong yang tidak diduga-duga
itu, Liong Sam jadi bengong seperti orang terkesima.
Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Ia terutama merasa kaget melihat
kecantikannya si
nona yang seakan-akan bidadari dari kahyangan. Hampir ia tak percaya, bahwa
dalam dunia terdapat wanita yang sedemikian cantik. Ia kucek-kucek kedua matanya dan
kemudian mengawasi
Pengtjoan Thianlie dengan tidak berkesip.
"Lihat apa" Biar aku hantam dahulu mata anjingmu!" membentak Pengtjoan Thianlie
sembari mementil dengan dua jerijinya.
Hiatsintjoe benar liehay. Meskipun diserang secara mendadak selagi bengong, ia
masih dapat selamatkan dirinya. Dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggut), ia
kasih lewat kedua Pengpok Sintan yang kemudian ditangkap dengan tangan kirinya. Ia cuma
keluarkan suara
"ih" ketika kedua peluru meledak dalam telapakan tangannya dan air es mengetel
keluar dari selasela
jerijinya. Di lain saat, tangan kanannya sudah memukul. Ia memukul dari jarak
yang jauhnya kira-kira satu tombak, tapi toh tenaganya menyambar hebat ke arah dadanya si
nona. Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. Pengpok Sintan yang barusan dilepaskan
olehnya, tidak akan dapat disambut oleh orang-orang yang mempunyai kepandaian seperti
Liong Leng Kiauw atau Tong Keng Thian. Tapi Hiatsintjoe sudah dapat sambuti itu secara
tenang sekali. Di
sebelahnya itu, apa yang membikin si nona menjadi kaget adalah hawa sangat panas
yang menyertai angin pukulannya Hiatsintjoe, sehingga ia merasa napasnya agak sesak.
Buru-buru ia kerahkan tenaganya dan kelit pukulan musuh dengan gunakan ilmu entengi badan.
"Pendeta siluman!" ia membentak sesudah kelit tiga pukulan. "Sekarang coba
rasakan pedangku!"
Hiatsintjoe juga kagum melihat kegesitan si nona yang dengan mudah sudah dapat
loloskan diri dari tiga pukulannya yang sangat hebat. Di lain saat, berbareng dengan
berkredepnya satu sinar
terang, Pengpok Hankong kiam sudah menyambar ke arah mukanya!
Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya Angin panas dan hawa dingin lantas
saja kebentrok! Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih dua puluh
jurus tanpa ada yang keteter.
Sedari jatuh dalam tangannya Bu Kheng Yao pada tiga puluh tahun berselang,
barulah sekarang Hiatsintjoe bertemu dengan lawan berat. Oleh karena begitu, semangatnya
jadi terbangun dan ia tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" ia berseru. "Aku justru
sedang kepanasan, terima kasih kau tolong kipasi!"
Pengtjoan Thianlie jadi meluap dan dengan mata mendelik, ia putar Hankong kiam
bagaikan titiran dan menyerang dengan Tokboen Kiamhoat yang merangkap ilmu pedang Tatmo,
ilmu pedang Eropa Barat serta ilmu pedang Arab menjadi satu. Diserang secara begitu,
Hiatsintjoe tidak berani main-main lagi dan lantas pusatkan perhatiannya buat sambut
serangannya si nona
yang menyambar-nyambar seperti hujan dan angin.
Sesudah bertempur lagi beberapa saat, Hiatsintjoe berkata dengan suara kagum:
"Bagus! Kau
bisa lawan aku lebih dari lima puluh jurus, di antara tingkatan orang-orang
muda, boleh dibilang
kaulah yang nomor satu. Siapa kau" Siapa gurumu?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Bukan gampang kau mempunyai ilmu
silat seperti ini. Maka itu, lebih baik kau berlalu dan jangan rewel disini." Mulutnya
bicara, pedangnya
terus mencecer secara hebat.
"Bocah tak kenal mampus!" membentak Hiatsintjoe. "Kau jadi banyak tingkah dan
tak tahu Tjouwsoeya sengaja ampuni jiwamu!" Sehabis membentak begitu, ia empos
semangatnya, sehingga pukulannya jadi bertambah berat dan anginnya jadi semakin panas. Buat
sementara Pengtjoan Thianlie masih dapat melayani, tapi keringat sudah mulai mengucur dari
badannya Selagi Pengtjoan Thianlie bertempur hebat melawan Hiatsintjoe, Keng Thian tarik
tangannya Leng Kiauw dan berkata dengan suara perlahan: "Liong Sam Sianseng. Siapa
sebenarnya kau?"
"Apakah kau juga tidak percaya padaku?" tanya Leng Kiauw sembari mesem.
"Kasihkan batu
giok itu kepada ayahmu dan ia tentu akan segera mengetahui asal-usulku."
"Bukan, bukan tidak percaya padamu," jawab Keng Thian. "Aku bukannya mau
selidiki asalusulmu.
Aku hanya mau memberitahu, bahwa kerajaan Tjeng sangat perhatikan gerak-gerikmu
dan kaki tangannya yang dikirim bukan cuma Hiatsintjoe seorang. Jika benar kau
mempunyai niatan apa-apa yang dianggap 'berdosa besar' oleh kaizar, sekarang kau masih
mempunyai kesempatan buat melarikan diri. Kami berdua akan tahan Hiatsintjoe dan kawan-
kawannya."
Liong Sam tidak menyahut, kedua biji matanya memain seperti orang yang sedang
berpikir keras. Mendadak ia cekal tangannya Keng Thian keras-keras dan berkata dengan
suara terharu: "Saudara Tong, terima kasih banyak-banyak. Aku tak dapat melarikan diri. Kalian
boleh tak usah perdulikan aku."
Mendengar jawaban itu, hatinya Keng Thian jadi semakin bimbang dan benar-benar
tidak dapat meraba siapa adanya Liong Sam. Jika mau anggap ia sebagai salah seorang pendekar
dari kalangan Rimba Persilatan, jago-jago dari Utara barat tak ada barang satu yang
kenal padanya Jika mau dikatakan ia sebagai seorang yang membela Hok Kong An secara mati-
matian, secara diam-diam ia perintah soetee-nya mengadakan hubungan dengan berbagai Touwsoe.
Jika mau mencap ia sebagai kaki tangannya negara asing buat membikin kacau Tibet, ia toh
sudah melindungi guci emas secara begitu sungguh-sungguh. Jika mau dibilang ia sebagai
seorang yang mempunyai angan-angan besar dan hendak gunakan Tibet sebagai pangkalan buat
melawan kerajaan Tjeng, temponya justru tidak sesuai untuk melakukan pekerjaan yang
besar itu. Demikianlah semakin memikir Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan tak tahu
harus bersikap bagaimana terhadap orang yang gerak-geriknya luar biasa itu.
Selagi Keng Thian pikiri perkataan yang cocok buat coba menanyakan lebih jauh,
satu perobahan terjadi dalam gelanggang pertempuran.
Sekarang, cepat bagaikan kilat, mereka berkelahi secara renggang dan main udak-
udakan, sehingga, dengan berkelebat-kelebatnya bayangan mereka, dalam gelanggang seperti
juga sedang bertempur puluhan orang. Meskipun ilmu pedangnya si nona luar biasa
tinggi, akan tetapi,
dengan mengandalkan latihan puluhan tahun dan kedua tangannya yang beracun,
dalam suatu pertempuran yang lama, perlahan-lahan Hiatsintjoe dapat mendesak lawannya
"Jika kelanggar tangannya memedi itu, orang bisa lantas binasa," kata Liong Sam.
"Kalian lebih
baik menyingkir dan tak usah menempuh bahaya guna kepentinganku. Aku sendiri
mempunyai daya buat menghadapi ia."
Keng Thian tak menyahut sebab seluruh perhatiannya sedang dipusatkan ke arah
gelanggang pertempuran. Ia lihat kedua matanya si nona yang mengandung sinar menegur,
sedang awasi ia.
Ia tahu adatnya Pengtjoan Thianlie yang selamanya sungkan menyingkir walaupun
keadaannya terdesak, maka itu, sembari berpaling kepada Liong Sam, ia berkata sembari
mesem: "Aku akan
segera berlalu, sesudah mengusir Hiatsintjoe!"
Sehabis berkata begitu, ia enjot badannya dan menerjang ke dalam gelanggang,
sembari ayun satu tangannya.
Selagi enak desak lawannya buat coba rebut Pengpok Hankong kiam, Hiatsintjoe
mendadak lihat menyambarnya satu sinar terang, yang disertai dengan sambaran angin yang
sangat hebat. Ia sudah angkat tangannya buat menyambut, tapi buru-buru urungkan niatannya
sebab merasa telapakan tangannya bakal ditembuskan oleh senjata rahasia itu yang menyambar
sedemikian hebat! Tapi dalam bahaya, Hiatsintjoe tak jadi bingung. Ia pentil pedangnya Pengtjoan
Thianlie yang

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas jadi miring, dan Thiansan Sinbong lewat di tempat kosong antara mereka
dan amblas di satu tiang batu!
Pentilan Hiatsintjoe merupakan satu gerakan yang sangat sempurna dan indah luar
biasa. Gerakan pedangnya Pengtjoan Thianlie cepat seperti angin, tetapi ia masih dapat
mementil secara
tepat sekali. Jika kurang tepat sedikit saja, jerijinya bisa terpapas kutung.
Apa yang lebih luar
biasa adalah: Ujung Pengpok Hankong kiam yang miring tepat sekali mengenakan
Thiansan Sinbong yang sedang menyambar!
Keng Thian terkesiap dan berkata dalam hatinya: "Ilmunya memedi ini sungguh
tinggi!" Tapi Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Baru saja ia anggap si nona adalah
jago nomor satu di antara orang-orang tingkatan muda. Tidak dinyana, tenaga dalamnya si
pemuda malahan ada lebih tinggi daripada Pengtjoan Thianlie.
Begitu lihat Sinbong tidak mengenai sasarannya, Keng Thian segera cabut Yoeliong
kiam, pedang mustika dari gunung Thiansan, yang dibuat oleh Hoei Beng Siansu dengan
mengambil sarinya lima macam logam utama. Pedang itu keluar dari sarungnya disertai dengan
sinar yang menyilaukan mata dan terus menyambar bagaikan seekor naga yang memain di tengah
udara. Tangannya Hiatsintjoe yang sedang memukul hampir-hampir saja kena digores ujung
Yoeliong kiam. Buru-buru ia putar badannya buat sampok Pengpok Hankong kiam, akan
kemudian menggunakan kedua tangannya buat dorong pedangnya Keng Thian yang sudah
menyambar lagi.
Kesiuran angin yang sangat panas menyambar keras, sehingga Keng Thian terpaksa
mundur beberapa tindak.
"Sungguh berbahaya!"
menggercndeng Hiatsintjoe sembari menyerang pula dan kedua kakinya menginjak
kedudukan Ngoheng Patkwa.
Sekarang Tong Keng Thian mendapat tahu, kenapa belum sepuluh jurus, Liong Leng
Kiauvv sudah sengal-sengal napasnya. Ia tentu merasa tidak tahan dengan hawa yang
sangat panas itu.
Lweekang Thiansan pay adalah ilmu tulen dari satu cabang persilatan yang sejati.
Walaupun latihannya Keng Thian masih belum sempurna betul, akan tetapi berkat ajaran yang
teliti dari kedua orang tuanya, begitu lekas ia pusatkan seluruh semangatnya, segera juga ia
dapat melawan hawa panas yang luar biasa itu. Dengan kerja sama antara Hankong kiam dan
Yoeliong kiam, serangan-serangan kedua orang muda itu jadi semakin berat bagi Hiatsintjoe. Jika
satu lawan satu, memang juga Hiatsintjoe menang setingkat. Tapi dengan dikerubuti dua
orang, ia tidak
gampang-gampang bisa berada di atas angin lagi.
Semakin lama, pertempuran jadi semakin seru. Pengtjoan Thianhc yang tidak takuti
hawa panas, terus mendesak dengan pedangnya yang menyambar-nyambar bagaikan rantai,
sehingga mau tidak mau, Hiatsintjoe mesti berkelahi sembari mundur. Sesudah lewat
beberapa jurus,
Hiatsintjoe sudah mundur sampai di pinggir tembok dan tak dapat mundur lebih
jauh lagi. Dalam keadaan yang semakin berbahaya, mendadak di luar terdengar satu suara
aneh, disusul dengan munculnya dua orang dalam gelanggang pertempuran. Mereka itu bukan lain
dari In Leng Tjoe bersama isterinya!
Semangatnya Hiatsintjoe terbangun dan tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, In
Leng Tjoe suami isteri tidak lantas menyerbu, mereka berhenti di luar gelanggang dan
berdiri nonton.
"Kalau kalian takut dapat urusan, lebih baik jangan datang disini," kata
Hiatsintjoe dengan
perasaan mendongkol.
"Toako," kata In Leng Tjoe. "Orang yang sedang berkelahi dengan kau adalah
puteranya Tong Siauw Lan Tayhiap."
Hiatsintjoe berobah parasnya. Mendadak ia tertawa besar dan berkata: "Kalian
takut padanya, tapi aku tak takut. Sungguh percuma kau jadi pemimpin dari satu partai, belum
apa-apa sudah kena dibikin ketakutan oleh namanya Tong Siauw Lan. Baiklah! Jika kau tak berani
langgar orang Thiansan pay, biarlah aku yang layani." Dengan berkata begitu, Hiatsintjoe
bermaksud supaya In
Leng Tjoe berdua pergi layani Pengtjoan Thianlie.
In Leng Tjoe jengah kena disikat begitu, tapi itulah justru ada keinginannya. Ia
tertawa tengal dan berkata buat tutup malu: "Kami bukan takut, cuma sungkan berpandangan
seperti orang dari
tingkatan muda."
"Segala orang muda yang kurang ajar, kita pantas mengajar adat," kata
Hiatsintjoe. "Baiklah,
hari ini lebih dahulu aku bekuk anaknya Tong Siauw Lan dan kirim dia pulang ke
Thiansan, dengan
kasih tegoran kepada ayahnya yang tak mampu mengajar anak."
In Leng Tjoe suami isteri tidak berkata apa-apa lagi dan lantas terjang
Pengtjoan Thianlie
sesudah hunus senjatanya. Pertempuran lantas berobah. Kalau tadi Hiatsintjoe
cuma bisa membela diri, sekarang ia lantas saja buka serangan-serangan hebat terhadap Keng
Thian. Sembari tertawa dingin, Keng Thian lantas robah cara bersilatnya. Yoeliong kiam
diputar seperti
titiran dan badannya seperti juga dikurung dengan sinar pedang yang putih.
Itulah ilmu pedang
Thaysiebie yang paling liehay dalam Thiansan Kiamhoat, yang istimewa digunakan
jika bertemu dengan lawan yang lebih tinggi ilmunya. Pembelaan Thaysiebie yang sangat rapat
bagaikan tembok tembaga, sukar dapat ditembuskan oleh orang yang punya kepandaian
bagaimana tinggi
pun. Tapi ilmu Thaysiebie bukan cuma buat membela diri. Dalam gerakannya yang
laksana kilat, begitu ada tempat kosong, ilmu itu juga dapat digunakan buat menyerang musuh.
Serangannya Hiatsintjoe semakin lama jadi semakin berat, tapi sesudah lewat
kurang lebih tiga
puluh jurus, Keng Thian masih tetap tidak bergeming. Cuma saja, walaupun
tangannya Hiatsintjoe
tidak dapat masuk ke dalam tembok pedang, akan tetapi hawanya yang panas terus
menyambarnyambar,
sehingga, meskipun Keng Thian kerahkan seantero tenaga dalamnya, perlahan-lahan
ia mulai merasa tak tahan. Kalau tadi ia dapat pertahankan diri selama ratusan
jurus adalah berkat
hawa dingin yang keluar dari Pengpok Hankong kiam.
Di lain pihak, Pengtjoan Thianlie pun sudah mulai jatuh di bawah angin, cuma
keadaannya masih mendingan sedikit daripada Tong Keng Thian. San Tjeng Nio yang sangat
mendongkol lantaran lihat kecantikannya si nona, terus menerus kirim serangan membinasakan
dengan ikatan pinggangnya. Kedua Poankoan pilnya In Leng Tjoe yang terutama digunakan buat
totok tiga puluh
enam jalanan darah, juga terus menyambar-nyambar seperti rantai, sehingga si
nona jadi sangat
repot. Dengan gunakan seantero tenaga dan kepandaian, Keng Thian kembali sudah layani
musuhnya lebih dari lima puluh jurus. Matanya sudah merah dan keringat ngucur dari
badannya. Ia melirik
dan lihat Liong Leng Kiauw sedang nyender enak-enakan di tembok kamar tulisnya.
Keng Thian mendongkol berbareng heran, sebab ia tidak melarikan diri, tapi juga tidak mau
membantu. Keng Thian juga lihat Pengtjoan Thianlie sudah kena didesak oleh dua musuhnya,
sehingga hatinya
menjadi bingung. Dalam pertempuran antara ahli-ahli silat kelas satu, pantangan
paling besar adalah perasaan bingung atau gusar. Demikianlah, begitu lekas hatinya bingung,
gerakan pedangnya Keng Thian menjadi kalut dan pada garisan pembelaannya segera terbuka
beberapa kekosongan. Hiatsintjoe tentu saja sungkan sia-siakan kesempatan yang baik. Sambil membentak
keras, ia kirim satu pukulan hebat di antara kekosongan itu. Akan tetapi, mendadak saja
sinar pedang kelihatan tergetar dan bagaikan kembang api, dari atas menyambar ke bawah.
Hiatsintjoe jadi
kekunangan, di delapan penjuru ia seperti lihat bayangan orang dan tak tahu
musuhnya berada
dimana. la terkesiap, tak berani teruskan pukulannya dan tarik pulang tangannya
buat menjaga diri. Pada saat itulah, dengan suara "srr, srr," dua Thiansan Sinbong menyambar ke
arah suami isteri In Leng Tjoe. Mereka itu, yang tahu liehaynya senjata rahasia tersebut,
buru-buru loncat
minggir, dan dengan gunakan kesempatan tersebut, Keng Thian segera loncat dan
persatukan dirinya dengan Pengtjoan Thianlie.
Pukulan yang barusan dikeluarkan oleh Keng Thian cuma digunakan jika sangat
terpaksa, lantaran banyak juga bahayanya. Namanya pukulan itu adalah Tiansia sengtjie
(Kilat menyambar,
bintang mengubar), yaitu satu pukulan dari ilmu pedang Toeihong (Memburu angin)
dari Thiansan Kiamhoat. Pukulan tersebut terdiri dari beberapa puluh gerakan gertakan, dalam
artian, ujung pedang kelihatan bergerak, tapi bukannya benar-benar menyerang masuk. Oleh
karena bergeraknya luar biasa cepat, maka di matanya musuh, seolah-olah puluhan pedang
menyambar dirinya dari berbagai jurusan. Pukulan ini cuma dapat menyilaukan mata musuh dan
bukan benarbenar
dapat melukakan orang. Jika sang lawan mengetahui siasat tersebut dan terus
mengirim serangan, pihak yang menggunakannya bisa jadi celaka. Sebab keliwat terpaksa,
Keng Thian mendadak tukar ilmu pedang Thaysiebie dengan ilmu pedang Toeihong, dan benar-
benar saja, lantaran tak mengenal Thiansan Kiamhoat, Hiatsintjoe sudah kena dikelabui. Waktu
ia sadar, Keng Thian sudah berdampingan dengan Pengtjoan Thianlie dan mengawasi padanya sembari
mesemmesem. Hiatsintjoe jadi seperti orang kalap. Sembari berteriak-teriak, ia menerjang
pula, diikuti oleh
suami isteri In Leng Tjoe yang kembali mau coba kepung Pengtjoan Thianlie, tapi
sudah keburu dicegat oleh Tong Keng Thian. Di lain pihak, baru saja badannya Hiatsintjoe
bergerak, sembari
mesem tawar Pengtjoan Thianlie lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan
berbareng. Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya dan enam Sintan itu meledak di atas
kepalanya dengan berbareng. Hawa dingin lantas menyambar ke empat penjuru dan badannya
Hiatsintjoe seperti juga tertutup uap warna abu-abu yang luar biasa dinginnya. Biar
bagaimana liehay,
Hiatsintjoe ternyata masih tidak cukup kuat buat tahan perledakan enam butir
Sintan itu dan mau
tidak mau badannya jadi bergidik. Biarpun tidak sampai mendapat luka di dalam,
tapi ia toh rasakan napasnya agak sesak.
Satu perobahan kembali terjadi dalam pertempuran. Biarpun tidak berada di atas
angin, sekarang Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie tidak sampai jadi keteter. Hal
ini disebabkan lantaran adanya Pengpok Hankong kiam yang dapat melawan hawa panas dari
pukulannya Hiatsintjoe dan juga lantaran tenaga dalamnya Hiatsintjoe sudah mendapat sedikit
pukulan, akibat
serangan enam butir Pengpok Sintan.
CATATAN 1) Amban, semacam duta sipil, pertama dikirim kc Tibi-i oleh Kaizar Yong Tjeng
dalam tahun 1726 buat damaikan golom-an golongan yang bercekcokan.
2) Menurut sejarah, orang Gurkha menyerang Tibet dalam tahun 1791. Pada tahun
berikutnya, Kaizar Kian Liong kirim dua panglimanya yang paling pandai, yaitu Fu Kang An
(Hok Kong Au) dan
Hai Lan Tsa, dengan 10.000 tentara lebih. Mereka usir pasukan Gurkha sampai di
dekat Katmandu (ibukota Nepal) dan kemudian mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat enteng.
3) Khata, atau selendang sutera, adalah barang penting dalam pergaulan di Tibet.
Semuanya ada tiga macam khata. Pertama dari sutera tulen, panjang 12 kaki, lebar 3 kaki,
tersulam, dipersembahkan hanya kepada orang-orang yang berkedudukan paling tinggi, seperti
Dalai Lama, Panchen Lama dsb. Yang kedua, juga dari sutera, panjangnya 9 kaki, lebar 3 kaki,
digunakan sebagai hadiah di kalangan atas. Yang ketiga, terbuat dari campuran sutera dan
linen, bentuknya
banyak lebih kecil, digunakan di kalangan bawahan.
Cara mempersembahkannya juga tiga cara. Kepada orang atasan, kedua tangan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diangkat sampai ke jidat. Kepada pantaran, diangsurkan secara biasa dan yang memberi juga
menerima khata dari yang diberikan. Kepada orang bawahan, khata itu diselendangkan di
belakang leher.
4) Cerita tentang Kam Hong Tie, Liauw In dan Lu Soe Nio dapat diikuti dalam
cerita Kangouw Sam Liehiap (Tiga Dara Pendekar)
5) Louw Tiong Lian adalah seorang ternama dari negara Tjee, pada jaman Tjiankok.
Ia terkenal sebagai seorang yang suka menolong orang dan damaikan segala percekcokan.
6) Kisah cinta To It Hang dan Pekhoat Molie dan kisah bunga Yoetam Sianhoa dapat
diikuti dalam cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Mo Lie, Tjau Guan Enghiong dan Thian San Tjit
Kiam. 7) Kapan seorang Dalai Lama meninggal dunia, rohnya lahir kembali (reinkarnasi).
Yang menjadi soal adalah cara bagaimana harus mencari Dalai Lama itu dalam
inkarnasinya yang baru.
Banyak jalan digunakan untuk meramalkan, akan tetapi yang lebih dipercaya adalah
Naichung (semacam ahli nujum negara) dan visi yang dapat dilihat di Telaga Lhamo Namtso,
yang terletak di sebelah selatan timur Lhasa. Dalam usaha mencari inkarnasi baru dari Dalai
Lama, sesudah bersembahyang, seorang pembesar tinggi Tibet lantas bersila di pinggir telaga
buat tunggu visi.
Visi yang .muncul bisa berupa simbol keagamaan, roman manusia dan scbagainya, yang
belakangan digunakan sebagai petunjuk buat mencari Dalai Lama baru. Dalam usaha itu sering
muncul beberapa calon, sehingga menimbulkan pertentangan. Buat mengakhiri pertentangan
itu, dalam tahun 1792, Kaisar Kian Liong telah memerintahkan penarikan lotre dari sebuah
guci emas, yang
dihadiahkan oleh kaisar tersebut. Namanya semua calon ditulis di atas sepotong
kertas yang kemudian dimasukkan kedalam guci, yang ditaroh di depan patung Sakya Muni dalam
Gereja Pusat. Sesudah bersembahyang tujuh hari, salah satu Amban ambil satu gulung
kertas dari dalam
guci tersebut dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Dalai Lama
8) Menurut ketahayulan orang Tibet, sesudah meninggal 28 hari, roh yang
meninggal pulang
dan harus dibikin Hoeihoentjie (sembahyang roh yang pulang).
9) Adu pedang antara Koei Hoa Seng (ayah Pengtjoan Thianlie) dan Tong Siauw Lan
(Teng Hiau Lan) dan Phang Eng dapat diikuti dalam cerita Kangouw Sam Liehiap (Tiga
Dara Pendekar).
Sedangkan perantauan Koei Hoa Seng ke Tibet dan Nepal dapat diikuti dalam kisah
Peng Pok Han Kong Kiam (Pedang Inti Es).
Selagi pertempuran berlangsung dengan hebatnya, di luar mendadak terdengar suara
ributribut dan beberapa saat kemudian, berbareng dengan terbukanya pintu samping,
serombongan pembesar negeri kelihatan masuk. Orang yang jalan paling depan memakai bulu
burung pada topinya dan mengenakan baju makwa warna kuning, sehingga dapat diketahui, ia itu
adalah seorang pembesar sipil dari tingkatan kedua. Di belakangnya mengikuti tujuh atau
delapan pembesar militer, antaranya terdapat Gan Lok, yang meskipun mukanya sangat
pucat, masih dapat pertahankan dirinya.
Pembesar sipil tinggi itu adalah orang yang berkuasa pada bahagian hukum dalam
kantornya Hok Kong An dan kedudukannya bersamaan dengan hakim dari pengadilan tinggi,
namanya Tjong Lok dan masih mempunyai ikatan keluarga dengan kaizar Boan. Beberapa perwira
yang ikut padanya adalah rekan-rekannya Liong Leng Kiauw. Ternyata, sesudah kena
pukulannya Hiatsintjoe, sambil pertahankan diri sekuat tenaga, Gan Lok terus pergi ke
kantornya Hok Tayswee
buat memberi laporan dan undang mereka datang guna memberi pertolongan.
"Siapa kau" Kenapa bikin ribut disini?" membentak Tjong Lok.
Sembari mesem, Keng Thian tarik pulang pedangnya dan bersama Pengtjoan Thianlie
lantas loncat keluar dari gelanggang pertempuran. "Siapa adanya kami, aku rasa sudah
diketahui oleh orang-orang yang ikut padamu," jawab Keng Thian. Beberapa perwira itu lantas
saja kenali mereka dan salah seorang lantas berkata: "Mereka adalah kedua orang gagah yang
telah bantu lindungi guci emas di gunung Tantat san."
Tjong Lok lirik Pengtjoan Thianlie dan lantas tertawa sembari manggut-manggutkan
kepalanya. "Bagus," katanya. "Kalau begitu kalian adalah orang-orang yang berjasa."
Sehabis berkata begitu, ia awasi Hiatsintjoe dan membentak: "Nyalimu benar
besar! Malammalam
berani satroni rumahnya pembesar negeri dan coba lakukan pembunuhan! Kau betul-
betul sudah tidak pandang lagi undang-undang kaizar."
"Undang-undang kaizar?" Hiatsintjoe mengulangi perkataan orang. "Aku justru
datang kemari atas perintah kaizarmu!"
"Andaikata kau seorang Kimtjhee Taydjin (utusan kaizar), kau toh tidak boleh
berlaku begitu kurang ajar!" berteriak Tjong Lok dengan gusar sekali.
Beberapa perwira itu juga naik darahnya dan siap sedia buat lantas turun tangan.
"Orang yang
dikirim dari istana, mana bisa begitu biadab," kata satu antaranya. "Kalau dia
benar terima perintahnya kaizar, tak mungkin tidak diketahui oleh Hok Tayswee," sahut yang
lain. Bukan main gusarnya Hiatsintjoe yang lantas saja lemparkan surat perintah yang
ia dapat dan Tjongkoan istana. Melihat surat perintah itu tulen adanya, Tjong Lok jadi
terkesiap dan suaranya
lantas berobah lunak. "Tapi, apa maksudnya kalian datang kemari?" tanya ia.
"Orang itu sangat mencurigakan," jawab Hiatsintjoe sembari tuding Liong Leng
Kiauw. "Belasan
tahun dia malang melintang di Tibet, kenapa kau orang tidak mengetahui, sampai
kaizar sendiri yang mesti turun tangan. Kau orang malu atau tidak?"
"Dusta Taydjin," berkata Leng Kiauw dengan suara dingin. "Mereka bertiga adalah
manusiamanusia busuk dalam Rimba Persilatan dan dahulu mempunyai ganjelan pribadi dengan aku.
Sekarang, sesudah dapat masuk ke dalam kalangan istana, mereka mau gunakan
kedudukannya buat membalas sakit hati pribadi dan palsukan perintah kaizar. Coba Taydjin
tanya, apakah mereka mempunyai surat perintah buat menangkap aku?"
Terhadap Liong Leng Kiauw, istana Tjeng sebenarnya cuma bercuriga dan sama
sekali belum mengetahui siapa adanya ia dan apa kesalahannya. Maka itu, Tjongkoan istana cuma
menyampaikan perintah rahasia kaizar yang ingin supaya asal-usulnya Liong Sam
diselidiki sampai
terang dan sama sekali bukannya surat perintah menangkapnya.
Hiatsintjoe terkejut dan lantas menyahut dengan sembarangan: "Apa perlunya
segala surat perintah, sedang yang mau dibekuk cuma seorang yang pangkatnya begitu kecil?"
Sebagai seorang yang ulung dalam kalangan pembesar negeri, Tjong Lok jadi merasa
sangat bimbang. Jika Hiatsintjoe tidak berdusta, ia bisa mendapat dosa besar atas
tuduhan melindungi
tangkapan kaizar. Tapi, jika Hiatsintjoe main gila dan ia biarkan saja Liong
Leng Kiauw dibekuk,
Hok Tayswee tentu akan gusar sekali. Walaupun Leng Kiauw berpangkat rendah,
siapa juga mengetahui, bahwa ia itu adalah tangan kanannya Hok Tayswee yang sangat
disayang. Sesudah berpikir beberapa saat, Tjong Lok segera ambil jalan yang paling
selamat. "Hok
Tayswee adalah orang yang sangat berpengaruh dan disayang oleh kaisar," katanya
di dalam hati. "Biarlah dia saja yang memutuskan." Siasat kelit dan timpakan tanggung jawab ke
pundak lain orang adalah semacam modal yang sangat dikenal dalam kalangan pembesar Tjeng.
Sesudah memikir begitu, ia lantas berkata: "Kalian masing-masing mempunyai
alasan sendirisendiri,
sehingga aku juga merasa sukar buat memutuskannya Akan tetapi, semua urusan di
Tibet, menurut perintah Kaizar berada di bawah kekuasaan Hok Tayswee. Jika benar kalian
datang disini buat menangkap orang, menurut pantas kalian lebih dahulu harus melaporkan kepada
Hok Tayswee. Baiklah, besok pagi semua orang ikut aku pergi menghadap Hok Tayswee
dan sekarang aku larang kalian bertempur lagi."
Meskipun Hiatsintjoe beradat angkuh, akan tetapi ia masih indahkan juga
pangkatnya Tjong
Lok. Maka itu, ia lantas menyetujui dengan berkata: "Baiklah, aku rasa Hok
Tayswee pun tak nanti
mau lindungi orang yang mau ditangkap oleh Kaizar."
Tjong Lok berpaling kepada Pengtjoan Thianlie seraya berkata: "Kedua giesoe
(orang gagah) juga aku harap suka datang bersama-sama buat menjadi saksi."
"Siapa mau begitu banyak rewel," sahut si nona.
Keng Thian tertawa dan berkata sembari membungkuk: "Kami berdua adalah rakyat
pegunungan yang tidak biasa bertemu dengan pembesar negeri. Maka itu, kami harap
Taydjin suka bebaskan kami dari tugas tersebut dan sekarang juga kami ingin pamitan."
Sehabis berkata
begitu, ia jejak kedua kakinya dan badannya lantas melesat, diikuti oleh
Pengtjoan Thianlie. Ketika
menengok di waktu hinggap di atas tembok, Keng Thian lihat Leng Kiauw manggutkan
kepalanya sembari tertawa, dengan sorot mata yang mengandung perasaan berterima kasih.
Hatinya Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan di sepanjang jalan terus
putar otaknya. "Liong Loosam boleh dibilang satu manusia jempolan, cuma kenapa ia tak mau
singkirkan diri?"
kata Pengtjoan Thianlie.
"Aku lihat ia adalah seorang yang bijaksana sekali," sahut Keng Thian. "Sesudah
urusan ini jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An, keadaan akan jadi berobah baik."
Mereka omong-omong sembari jalan dan tidak lama kemudian sudah tiba di kakinya
Gunung Anggur. Penerangan Keraton Potala pancarkan sinarnya sampai ke lapangan yang
terletak di kaki
gunung, dimana Yoe Peng disuruh tunggu majikannya.
Jauh-jauh mereka lihat di kaki gunung terdapat dua bayangan hitam yang sangat
berdekatan satu sama lain, seperti sedang bicara dengan suara perlahan.
"Dilihat dari bayangannya, orang itu seperti lelaki," kata Pengtjoan Thianlie
sembari tertawa.
"Kenapa Yoe Peng kelihatan begitu rapat?" Dengan tindakan perlahan Pengtjoan
Thianlie mendekati dan segera juga ia dapat dengar suaranya sang dayang: "Kongtjoe bilang
buat sementara tidak balik dahulu ke keraton es. Katanya, mau pergi ke Soetjoan.
Mungkin sekali aku
akan diajak dan mulai dari sekarang, kita lebih sukar bertemu muka lagi."
"Jika kau bertemu dengan Chena, aku mohon kau pesan ia pergi ke Sakya buat
menemui aku,"
kata bayangan hitam yang lain.
"Apakah kau cuma pikiri Chena Tjietjie seorang?" kata Yoe Peng sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat geli dan tanpa merasa ia jadi tertawa.
"Ada orang!" kata bayangan hitam itu sembari loncat dan raba gagang pedangnya,
tapi Pengtjoan Thianlie sudah mendahului loncat keluar dan berkata sembari tertawa:
"Thian Oe,
ilmumu benar sudah maju jauh. Apakah itu semua curian dari keraton es?"
Bayangan hitam itu memang juga Thian Oe adanya Ia juga dapat dengar, bahwa Liong
Leng Kiauw telah menemui urusan sulit dan ia sengaja datang buat coba menyelidiki.
Tapi baru saja tiba
di kaki gunung, ia sudah bertemu dengan Yoe Peng yang memberitahu, bahwa
majikannya bersama Tong Keng Thian sudah pergi ke rumahnya Liong Sam. Mendengar begitu,
hatinya Thian Oe menjadi lega dan ia segera pasang omong dengan sahabatnya itu. Thian Oe dan
Yoe Peng pandang Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian seperti dewi dan dewa dan mereka
yakin, bahwa dengan bantuan kedua orang itu, segala urusannya Liong Sam akan segera dapat
dibikin beres. Mereka sama sekali tidak nyana, bahwa persoalan Leng Kiauw mempunyai latar
belakang yang sedemikian sulit.
Thian Oe kaget bukan main waktu lihat munculnya Pengtjoan Thianlie. "Aku sangat
berhutang budi dengan gurumu dan tidak akan dapat membalasnya," kata si nona dengan suara
terharu. "Biarpun tanpa permisi, kau sudah belajar ilmu silatku, akan tetapi, mengingat
hal itu terjadi
sesudah gempa bumi dan juga lantaran kau belajar dengan tujuan menyelamatkan
ilmu silatku, maka aku tidak salahkan padamu. Aku cuma mau tanya, perlu apa kau datang
kemari?" "Bagaimana dengan keselamatannya Liong Sam Sianseng," Thian Oe balas tanya. "Aku
lihat, ia adalah seorang baik. Apakah kalian sudah membantu ia?"
Ketika itu Tong Keng Thian sudah muncul dan ia berkata sembari tertawa: "Anak
ini mempunyai hati yang hangat."
"Akan tetapi, kau lebih baik jangan campur-campur urusan ini," kata Pengtjoan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thianlie. Mendengar itu, Thian Oe jadi tercengang.
"Kali ini ayahmu telah berpahala besar dan tentu akan sangat dihargai oleh Hok
Kong An dan Hosek Tjin-ong," kata lagi Keng Thian. "Kalau nanti diberi hadiah, aku rasa
paling sedikit ia akan
dapat pulang pangkatnya yang dahulu, sehingga kau, ayah dan anak, bisa pulang ke
negeri sendiri." Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe dahulu berpangkat Tjiesoe di kota raja. Oleh
karena berani menentang dorna Ho Koen di hadapan kaisar, belakangan ia disingkirkan ke Tibet
dan sampai sekarang sudah ada sepuluh tahun. Tak usah dibilang lagi, ayah dan anak sangat
kangen dengan kampungnya dan berharap-harap satu ketika akan dapat kesempatan buat pulang
kembali ke Tiongkok. Keng Thian berkata begitu lantaran tahu rahasia hatinya Teng Kie dan
puteranya. Thian Oe tertawa getir dan berkata: "Ho Koen sedang disayang dan pengaruhnya
besar sekali, maka itu, manalah kami bisa pulang dengan gampang-gampang. Ayahku benar sudah
dapat kembali pangkatnya, cuma sayang bukannya pangkat Tjiesoe."
"Pangkat apa?" tanya Keng Thian.
"Pangkat Soanwiesoe pada sekte Sakya," sahutnya. "Hok Tayswee sudah menyetujui
buat bikin betul kantor Soanwiesoe dan kirim satu pasukan tentara guna antar ayah balik ke
Sakya. Aku rasa,
beberapa hari lagi kami sudah harus berangkat. Kepada ayah, Hok Tayswee telah
berkata begini:
'Di Sakya kau sudah kehilangan serdadu dan kehilangan muka, sehingga sebenarnya
kau berdosa. Jasamu di ini kali digunakan buat menebus dosa itu dan dalam hal ini, Kaizar
sudah bersikap sangat longgar terhadapmu. Maka itu, pergilah ke Sakya dan bekerja baik-baik
untuk dua tiga tahun lagi. Waktu itu aku akan majukan usul kembali, supaya kau bisa
dipermisikan pulang.'
Demikian katanya Hok Tayswee. Hm! Ayahku bisa bilang apa lagi" Ia cuma bisa
menurut perintah."
"Hai!" Keng Thian menghela napas. "Aku tak nyana, dalam kalangan pembesar Tjeng,
hadiah dan hukuman diberikan secara begitu serampangan! Tapi pekerjaan di Sakya toh
bukannya pekerjaan terlalu berat, sedang kalian sudah berdiam disana kurang lebih sepuluh
tahun lamanya, maka apa sebab kau kelihatannya begitu jengkel?"
Thian Oe tidak menjawab, la cuma kerutkan kedua alisnya.
"Kau tak tahu!" Yoe Peng mendadak menyeletuk sembari tertawa. "Touwsoe di Sakya
ingin rangkap puterinya dengan ia, sedang anak tolol itu sudah penuju lain orang, la
tentu kuatir rewel
lagi, kalau balik ke Sakya. Anak goblok! Lain orang mau, tapi tidak bisa, kenapa
juga kau begitu
susah-susah hati!"
Sebagaimana diketahui, Yoe Peng pernah bergaul rapat sekali dengan Thian Ce,
sehingga ia jadi mengetahui segala isi hatinya anak muda itu. Paras mukanya Thian Oe jadi
merah seperti kepiting direbus, ketika dengar si nakal buka rahasia.
Pengtjoan Thianlie jadi turut tertawa dan berkata: "Aku kira urusan apa, tak
tahunya segala urusan kecil. Apa kau tidak punya kaki" Kalau tak mau, apa kau tak bisa kabur?"
Si nona omong seenaknya saja lantaran, ia tak tahu seluk-beluknya kalangan
pembesar yang sulit sekali. Buat Thian Oe, perkataannya Pengtjoan Thianlie malah telah
menambah kejengkelannya.
"Kau pulang saja," kata Keng Thian. "Mari! Aku ajarkan kau satu siasat yang
sangat baik!" Ia
tarik tangannya Thian Oe dan bicara dengan bisik-bisik di kuping orang.
"Hm! Kau memang paling senang main gila!" kata Pengtjoan Thianlie. "Siasat busuk
apa yang kau ajarkan padanya, sampai takut didengar orang?"
"Rahasia langit tak boleh dipecahkan!" Keng Thian nyengir. "Siasatku ini tak
boleh didengar oleh kalian."
"Siapa kesudian!" kata si nona sembari merengut.
Benar saja, sesudah dibisiki Keng Thian, parasnya Thian Oe jadi lebih terang.
"Tapi, Omateng
pun sangat sukar dihadapinya," kata ia.
"Jangan takut," membujuk Keng Thian. "Ilmu silatmu sekarang sudah bukan
tandingannya Omateng lagi. Kau cuma perlu berlaku sedikit hati-hati buat jaga segala akal
busuknya."
Ketika itu, sang rembulan sudah selam ke barat, sedang di tepi langit sebelah
timur sudah kelihatan sinar terang. Oleh karena kuatir ayahnya buat pikiran, Thian Oe lantas
saja pamitan dengan tiga sahabatnya itu.
Keng Thian ulap-ulapkan tangan sampai anak muda itu berjalan jauh, sedang Yoe
Peng mengawasi kawannya sambil berdiri bengong dengan paras muka sedih.
"Anak otak!" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Satu anaknya Touwsoe saja
sudah bikin dia jadi ubanan, apa kau mau tambah kejengkelannya lagi?"
"Kongtjoe, kau sungguh jail!" kata Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya.
Pada waktu mereka bertiga tiba di pusatnya kota Lhasa, langit sudah terang dan
orang-orang yang pada pelesir seluruh malam sudah pada bubar.
Tiga hari kemudian, mereka tinggalkan Lhasa buat teruskan perjalanan ke
Sinkiang. Selama
tiga hari itu, mereka menyelidiki persoalannya Liong Leng Kiauw dan dapat tahu
perkaranya sudah
jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An. Buat sementara waktu Liong Sam ditahan
dalam penjara sebab Hok Kong An mau tanyakan dahulu pikirannya kaizar, dan perjalanan pergi
pulang ke kota raja akan meminta tempo setengah tahun. Sebab mengetahui keselamatannya Leng
Kiauw sudah terjamin, maka Keng Thian bertiga lantas berangkat dengan hati lega.
Ketika itu adalah permulaan musim semi. Meskipun salju belum lumer semuanya,
akan tetapi jalanan sudah lebih gampang dilintasi. Sesudah berjalan sepuluh hari lebih,
mereka sudah lewati
wilayah Tibet dari sebelah selatan dan masuk ke dalam daerah Sinkiang.
Keadaan bumi jadi berobah. Mereka sekarang berada di lautan pasir kuning dengan
gunung yang berderet-deret "Tiongkok benar-benar besar," kata Pengtjoan Thianlie sambil
menghela napas. "Gunung apakah itu yang puncaknya menjulang awan?"
"Itulah gunung Thiansan yang kesohor dalam dunia," jawab Keng Thian. "Deretan
gunung yang berada di sekitar ini semuanya adalah cabang-cabangnya
Thiansan yang panjangnya lebih dari tiga ribu li. Jarak antara puncak selatan
dan puncak utara
ada kira-kira seribu li."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya sedang gembira, tapi begitu lekas ia dengar
disebutkannya Thiansan, parasnya lantas jadi berobah, tapi tak dapat dilihat oleh Keng Thian
yang lantas berkata
lagi: "Dari sini kalau jalan terus ke jurusan timur, orang bisa masuk ke dalam
propinsi Kamsiok,
dan dengan mengikuti jalanan canto (jalanan gunung dengan jembatan-jembatan kayu
buat lewati jurang-jurang) yang dahulu dibuat oleh Kaisar Lauw Pang (pendiri kerajaan Han),
orang bisa lantas masuk ke Soetjoan barat. Kalau kita terus ambil jalanan ke arah utara,
kita bisa tiba di
gunung Thiansan. Peng Go Tjietjie, apakah kau tak mau jalan-jalan dahulu di
Thiansan?"
Mendadak saja, Pengtjoan Thianlie tertawa tawar. "Apakah kau kira semua orang
yang belajar ilmu silat harus berziarah di gunung Thiansan-mu?" katanya dengan suara kaku.
"Eh, eh. Kenapa kau kata begitu?" kata Keng Thian dengan perasaan heran.
"Bukankah mendiang ayahmu pun berasal dari partai Thiansan" Kenapa kau jadi bicara
begitu?" Si nona tak
menjawab, sehingga Keng Thian jadi lebih bingung lagi.
Dalam perjalanan di padang pasir, puluhan li tidak bertemu manusia adalah
kejadian yang lumrah. Hari itu, sesudah jalan kurang lebih seratus li, Keng Thian bertiga cuma
dapat menemukan sebuah bukit yang dapat menahan angin dan pasir. Mereka lalu pasang
tenda di kakinya bukit itu, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng satu tenda, sedang Keng Thian
pasang tendanya di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas dengan rupa-rupa pikiran
datang padanya berganti-ganti. Lantaran begitu, ia lalu pasang omong dengan dayangnya dan goda
Yoe Peng dengan mengatakan ia itu agaknya tak dapat berpisah dengan Thian
Oe. Yoe Peng membantah dan lalu balas goda majikannya, yang dikatakan sudah
jatuh cinta kepada Keng Thian.
Selagi mereka enak bercanda, dari kejauhan mendadak terdengar suara: "Uh! Uh!"
Pengtjoan Thianlie berobah parasnya dan lalu pasang kuping. Suara itu aneh kedengarannya,
mirip-mirip suara terompet tanduk, tapi juga seperti suara semacam tetabuhan Nepal.
"Aku mau pergi lihat! Kau jangan bikin kaget Tong Siangkong," kata si nona
sembari sembat Pengpok Hankong kiam dan lalu loncat keluar dari tenda.
Sesudah lari kira-kira delapan li, Pengtjoan Thianlie lihat beberapa orang
sedang bertempur
hebat di atas sebidang tanah rumput. Sesudah datang dekat, ia kenali, bahwa
mereka itu adalah
dua boesoe Nepal yang sedang ukur tenaga sama dua saudara Boe. Kedua boesoe itu
bersenjata golok berbentuk bulan sisir, yang bagian atas gagangnya kosong melompong,
sehingga mengeluarkan suara "uh, uh," setiap kali digerakkan. Saat itu, kedua boesoe itu
sudah kena didesak hebat oleh Boe-sie Hengtee yang pedangnya menyambar-nyambar bagaikan
kilat. Begitu lihat kedatangannya Pengtjoan Thianlie, dua boesoe itu lantas berseru
dalam bahasa Nepal dan dijawab oleh si nona dalam bahasa itu juga, yang tidak dimengerti oleh
kedua saudara Boe. Boe Loodjie yang adatnya berangasan lantas saja berteriak: "Hei! Kalau mau
bicara, nanti saja
bicara sama Giam Loo-ong!" Sehabis membentak, ia menyabet dengan pedangnya yang
sambar batang lehernya boesoe yang barusan bicara. Saat itu goloknya justru kena
disampok oleh Boe
Lootoa, sehingga ia tidak dapat menangkis lagi pedangnya Boe Loodjie. Pada detik
yang sangat berbahaya, Pengtjoan Thianlie mendadak berteriak: "Tahan!" Sungguh cepat
gerakannya si nona!
Berbareng dengan bentakannya, pedangnya sudah menyambar, sehingga kedua saudara
Boe terpaksa loncat mundur.
"Perempuan siluman!" mereka membentak. "Kalau tidak dihajar, kau tentu kira di
Tiongkok tidak ada orang yang bisa takluki padamu!"
Berbareng dengan itu, pedangnya kedua saudara Boe sambar dadanya Pengtjoan
Thianlie dengan satu gerakan Tianghong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), yaitu
pukulan membinasakan dari kiamhoat Tjionglam pay. Si nona merasa gusar sekali, sehingga
alisnya jadi berdiri. Mendadak, sembari empos semangatnya, ia getarkan Hankong kiam yang
berobah jadi seperti puluhan batang pedang. Boe-sie Hengtee terkesiap dan buru-buru loncat ke
samping buat hindarkan diri dari sambaran itu. Mereka tak nyana, serangan Tianghong koandjit
yang sedemikian
hebat sudah dapat dipunahkan secara begitu gampang.
Tapi si nona tidak berlaku kejam. Melihat musuhnya mundur, ia tidak susul dengan
lain serangan yang membinasakan. Ketika itu, kedua boesoe Nepal sudah berlutut di
atas tanah, dengan tak hentinya bicara dalam bahasanya. Sembari putar pedangnya buat tangkis
sesuatu serangan, Pengtjoan Thianlie juga ucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Nepal.
Sesudah mendengar perkataannya kedua boesoe itu, paras mukanya si nona yang tadi
mengandung kegusaran, jadi berobah sabar sampai akhirnya ia manggutkan kepalanya sembari
mesem. Di lain pihak, Boe-sie Hengtee jadi meluap darahnya dan mereka menyerang mati-
matian seperti orang kalap. Harus diketahui, bahwa mereka adalah turunan ahli silat
kelas utama dan
biasanya mereka merasa sangat bangga dengan kepandaiannya yang dianggap sudah
tinggi sekali. Bahwa sekarang si nona layani mereka sembari bicara, seolah-olah tidak
memandang sebelah mata, oleh mereka dianggap seperti satu hinaan yang sangat besar.
Melihat kedua lawannya menyerang seperti kerbau gila dengan pukulan-pukulan yang
sangat hebat, Pengtjoan Thianlie merasa agak terkejut dan tidak berani lagi melayani
secara sembarangan. Ia putar pedangnya seperti titiran dan badannya seperti juga
dikurung dengan sinar
putih yang sangat dingin. Mendadak, sembari kebaskan tangannya Pengtjoan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thianlie ucapkan
beberapa perkataan Nepal dan kedua boesoe itu, seperti orang hukuman yang dapat
pengampunan, manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali, akan kemudian bangun
berdiri dan terus kabur secepat mungkin. Boe-sie Hengtee mau mengubar, tapi ditahan oleh si
nona Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie tertawa sembari menyampok dengan pedangnya,
sehingga kedua saudara Boe rasakan tangannya kesemutan dan loncat mundur beberapa tindak.
"Aku sudah perintah dua boesoe itu pulang ke negerinya dan kalian pun lebih baik
pulang saja,"
katanya dalam bahasa Han, dengan suara halus, tapi mengandung nada memerintah.
Sebagai turunan ahli silat kelas utama, dalam kalangan Kangouw, Boe-sie Hengtee
biasanya disegani orang dan kecuali beberapa orang dari tingkatan tua, siapapun tak
berani berlaku kurang
ajar di hadapan mereka. Maka itu, walaupun si nona bicara halus, mereka lantas
saja menjadi gusar. "Dua bangsat itu datang kemari buat mengacau dan kau sudah berani lepaskan
mereka," membentak Boe Lootoa. "Sekarang, biarpun kau mau kabur, kami tak akan permisikan
lagi." "Siluman perempuan!" Boe Loodjie sambung perkataan saudaranya. "Aku memang sudah
lihat, kau bukannya orang baik-baik. Tong Keng Thian sekarang tidak berada di
dampingmu. Kau mau
cari dia buat mintakan ampun juga sudah tidak keburu lagi!"
Mendengar cacian itu, keruan saja si nona lantas menerjang pula.
Pada waktu Pengtjoan Thianlie rebut guci emas, ia telah perintah supaya boesoe-
boesoe Nepal itu segera pulang ke negerinya dan jangan mengacau lagi di Tiongkok. Maka itu,
ketika baru bertemu, ia merasa gusar lantaran anggap, mereka berdua sudah langgar
perintahnya. Akan
tetapi, sesudah menanya terang, ia dapat kenyataan mereka bukannya melanggar
perintah. Mereka datang di Sinkiang buat samper beberapa kawannya yang dikirim oleh Raja
Nepal, guna pulang bersama-sama. Apa mau, di tengah jalan mereka bertemu dengan kedua
saudara Boe, yang duga mereka mengandung maksud kurang baik. Dengan nasehatkan supaya Boe-sie
Hengtee pulang saja, si nona sebenarnya bermaksud baik dan tidak mau permusuhan
jadi berlarut-larut.
Sebagai seorang yang adatnya tinggi, bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie
mendengar cacian itu yang bawa-bawa juga namanya Tong Keng Thian. Sesudah bertempur lagi
beberapa lama, sembari berseru keras, kedua saudara Boe pentang langkah seribu, dengan
tak hentinya memaki "perempuan siluman."
"Binatang tak kenal mampus!" kata si nona dalam hatinya. "Dengan pandang mukanya
Keng Thian, aku tidak ambil jiwa anjingmu. Tapi, kau mesti dihajar adat!" Ia empos
semangatnya dan
terus mengubar. Begitu menyandak, ia totol bebokongnya kedua saudara Boe dengan
Hankong kiam dan hawa dingin yang sangat hebat meresap ke tulang-tulang. Boe-sie Hengtee
seperti juga tahu si nona tidak akan turunkan tangan jahat dan begitu Hankong kiam menotol,
mereka lantas berbalik buat menyampok dengan pedangnya akan kemudian lari lagi. Sesudah ubar-
ubaran lima enam li, beberapa kali bebokongnya Boe-sie Hengtee kena ditotol, sehingga
perlahanlahan mereka
merasa tidak tahan lagi dan gemetar sekujur badannya.
"Masih berani memaki?" tanya si nona* sembari tertawa.
Sekonyong-konyong kedua saudara Boe bersiul keras dan berbareng dengan itu, dari
atas satu gundukan tanah loncat keluar satu wanita muda. Di bawah sinarnya rembulan, dapat
dilihat ia memakai pakaian warna ungu dengan satu tusuk konde emas pada rambutnya, parasnya
cantik bagaikan gambar dan tertawanya manis seperti bunga yang baru mekar.
"Ah, dua bocah ini sekarang kena tubruk tembok," katanya sembari tunjuk kedua
saudara Boe. "Betul bikin malu orang! Hayo lekas mundur!"
"Kouwkouw (bibi)," kata kedua saudara Boe. "Perempuan siluman itu sangat liehay.
Hati-hati! Lebih baik undang Loodjinkee (orang tua)."
"Omong kosong!" membentak si Kouwkouw itu. "Lekas mundur! Masa buat urusan
begini kecil mesti seret-seret tangan orang tua?"
Dilihat dari paras mukanya, nona itu belum cukup berusia dua puluh tahun dan
banyak lebih muda dari Boe-sie Hengtee. Tapi didengar dari panggilan kedua saudara Boe, ia
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari mereka itu.
Melihat munculnya orang baru, Pengtjoan Thianlie segera hentikan tindakannya. Si
nona mengawasi Pengpok Hankong kiam seperti lagaknya satu bocah nakal dan berkata
sembari tertawa: "Pedangmu bagus sekali, mengkilap kredepan. Boleh dibuat main" Dibuat
dari apa sih?"
Tanpa merasa, Pengtjoan Thianlie jadi tertawa. "Pedang ini bukan barang mainan,"
katanya. "Aku suka hadiahkan padamu, tapi kau tentu tidak akan dapat pegang padanya.
Siapa kau?"
"Kenapa tak dapat?" kata si nona. "Ibu! Boleh aku ambil barangnya lain orang?"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan ketika ia menengok, di atas gundukan tanah sudah
berdiri seorang wanita usia pertengahan yang mengenakan pakaian warna hitam dan
rambutnya diikat
dengan sutera putih yang merupakan dua kupu-kupu. Pengtjoan Thianlie terkesiap,
la kagum, lantaran tanpa terdengar suara apa-pun, tahu-tahu nyonya itu sudah berdiri
disitu. Nyonya itu
mengawasi padanya sembari mesem dan lagaknya tidak berbeda dengan si nona muda.
"Ada ibunya, ada anaknya," kata Pengtjoan Thianlie dalam hatinya. "Coba lihat, ia mau
apa." "Bwee-djie (anak Bwee)," kata si nyonya sembari tertawa. "Kepandaiannya Tjietjie
itu ada lebih tinggi daripada kau. Jika tak percaya, coba jajal. Kau tak akan dapat ambil
barangnya. Eh, Toaboe,
Siauw-boe, kenapa kau orang jadi berkelahi dengan ia?"
Boe-sie Hengtee maju mendekati dan bicara panjang lebar, antaranya terdengar
perkataan "perempuan siluman" yang diucapkan keras-keras dan rupanya disengaja supaya
dapat didengar oleh Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie jadi gusar sekali, tapi sebelum sempat unjuk kegusarannya, si
gadis muda sudah berkata: "Ibu, kau selalu tidak memandang mata padaku. Aku bukan anak-anak
lagi. Cobalah aku jajal-jajal." Ia berpaling kepada Pengtjoan Thianlie dan berkata
sembari tertawa:
"Tjietjie, pinjam pedangmu. Bolehkah?"
Mendadakan saja, ia loncat tinggi dan lalu menubruk dari tengah udara dalam
gerakan yang luar biasa cepatnya. Pengtjoan Thianlie terkejut dan menyabet dengan pedangnya.
"Ah, benar saja tak kena!" kata si gadis. Tiba-tiba, ia putar badannya yang
masih berada di
tengah udara, tangan kirinya coba tepuk pundaknya Pengtjoan Thianlie, sedang
lima jerijinya tangan kanannya coba cekal ugal-ugalannya Peng Go.
Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie sudah jarang terdapat dalam dunia, akan
tetapi, ilmunya gadis itu, yang dapat menubruk bulak-balik seperti burung di tengah
udara, lebih-lebih
mengherankan. Tiga kali Pengtjoan Thianlie menyabet dengan Hankong kiam, tapi
selalu dapat dikelit secara gampang sekali.
Sembari loncat pergi datang dan melesat ke sana-sini, seperti kupu-kupu
berterbangan di
antara bunga-bunga, gadis itu kelit sabetan-sabetannya Hankong kiam, dengan
tangannya sabansaban
menyambar buat coba rebut pedang tersebut.
"Sungguh indah gerakanmu!" memuji Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
"Bagus! Bagus sekali!" memuji wanita setengah tua itu. "Bwee-djie hati-hati!
Itulah Tatmo Kiamhoat!"
Ketika itu Pengtjoan Thianlie sudah mulai menyerang dengan pukulan-pukulan Tatmo
Kiamhoat yang terlebih hebat dan Hankong kiam menyambar-nyambar seperti hujan dan angin.
Lewat lagi beberapa saat, si gadis mulai kelihatan keteter. Melihat begitu, Pengtjoan
Thianlie yang memang
tidak bermaksud jahat, lantas mau hentikan serangannya, akan tetapi, sebelum ia
tarik pulang pedangnya, gadis itu sudah berseru: "Dengan tangan kosong aku tak dapat
menangkan kau. Sekarang aku mau gunakan pedang!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia putar
Imdannya di tengah udara dan tahutahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang pendek yang
mengeluarkan sinar berkredepan.
Ketika itu, Pengtjoan Thianlie sedang menyerang dengan gerakan Tjoenhong
kiattang (Angin
musim semi buyarkan kedinginan) dan ujung pedangnya sambar kedua matanya gadis
itu. Mendadak gadis itu menyampok dengan pedangnya dan terus menikam ke arah perutnya
Pengtjoan Thianlie. Buru-buru Pengtjoan Thianlie putar tangannya dan membuat
satu lingkaran dengan pedangnya, dengan tujuan menggulung pedang lawannya. Tapi, siapa nyana,
kiamhoatnya gadis itu tidak menurut peraturan yang biasa. Terang-terangan, barusan ia
menikam ke arah
perut, tapi setahu bagaimana, ujung pedangnya miring sedikit dan sambar dada!
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie yang lantas sedot napasnya dan otot dadanya
"melesak" kira-kira
satu dim dalamnya. Saat itu, ujung pedang si gadis sudah menyentuh bajunya
Pengtjoan Thianlie.
Mendadak ia rasakan ujung pedang seperti juga menikam kapas dan tenaga pedang
sudah kena dibikin buyar, sehingga ia jadi terkesiap!
Pada saat itulah, Pengtjoan Thianlie balik tangannya dan kirim pukulan Kisoei
lengpeng (Air membeku menjadi es), yang meskipun menyambarnya kelihatan enteng, disertai
tenaga dalam yang sangat kuat. Pengtjoan Thianlie duga gadis itu tidak akan dapat menyambut
pukulannya dan benar saja, ia lantas loncat mundur dua tindak dan kemudian barulah menyambut
dengan gerakan Hoeitouw imsan (Loncat melewati gunung).
Hoeitouw imsan adalah satu pukulan biasa dari ilmu pedang Boetong yang dikenal
baik oleh Pengtjoan Thianlie. "Kau tak boleh gunakan pukulan itu," katanya sembari
tertawa. "Buat sambut
seranganku, kau harus gunakan pukulan Hoayong kiatto (Di Hoayong mencegat
jalanan)." Dengan
pukulan Hoeitouw imsan, si penyerang harus lebih dahulu menikam dua kali ke
sebelah kiri dan
kemudian menikam satu kali ke sebelah kanan. Dua tikaman yang pertama cuma
gertakan dan tikaman yang ketiga barulah serangan yang benar-benar. Oleh Karena mengetahui
jalannya pukulan tersebut, Pengtjoan Thianlie segera majukan dirinya buat tutup bagian
kirinya, supaya
dua tikaman gertakan menjadi buyar dan tak dapat menikam lagi ke sebelah kanan.
Tapi tak dinyana, gerakannya gadis itu benar-benar luar biasa. Barusan, terang-terangan
ia menikam dengan gerakan Hoeitouw imsan, tapi tak diduga, begitu ujung pedangnya
menyambar, arahnya
lantas berobah, yaitu menikam beruntun dua kali dari sebelah kanan.
Dalam pertempuran antara ahli dan ahli, yang paling berbahaya adalah taksiran
yang salah. Saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah majukan dirinya dan perhatiannya ditujukan ke
sebelah kiri, sehingga bagian kanannya jadi terbuka. Buat menangkis dengan Hankong kiam sudah
tidak keburu lagi. Si gadis mesem dan coba sabet putus ikatan pinggangnya Pengtjoan
Thianlie. "Bwee-djie, hati-hati!" mendadak si wanita setengah tua berteriak. Saat itu,
ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie mendadak berkibar dan gulung gagang pedangnya si gadis!
Barusan, jika gadis itu benar-benar menikam, Pengtjoan Thianlie pasti akan
mendapat luka. Tapi ia memang tidak mempunyai niatan kurang baik. Melihat ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie yang sangat indah, dalam kenakalannya, ia ambil putusan buat putuskan
ikatan pinggang
itu. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie ada banyak lebih tinggi daripada gadis
itu. Semua bagian
badannya sudah terlatih baik dan otot-ototnya secara otomatis menurut segala
kemauannya. Pada
detik si gadis sedikit bersangsi, ia sudah keburu kerahkan tenaga dalam di
pinggangnya dan ikatan
pinggang itu lantas berobah menjadi senjata yang kebut dan gulung pedang sang
lawan. Baik juga
si gadis sudah diperingati oleh ibunya, sehingga ia masih dapat loncat mundur
pada saat yang tepat. Begitu lawannya mundur, Pengtjoan Thianlie segera mencecer dengan serangan-
serangan kilat dan tidak memberi kesempatan lagi kepada gadis itu buat keluarkan pukulan-
pukulannya yang
aneh. Dengan cepat ia jadi keteter dan cuma dapat membela diri saja.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau curang!" berseru si gadis sembari monyongkan mulutnya. "Kenapa kau tak
kasih aku balas
menyerang" Adu pedang cara begini, aku tak mau!"
"Cis" Pengtjoan Thianlie tertawa. "Baiklah. Aku berikan lagi kesempatan." Ia
pertahankan gerakan Hankong kiam dan buka lowongan supaya dapat diserang. Si gadis jadi
gembira dan dengan beruntun kirim tiga serangan yang masing-masing berbeda satu sama
lainnya. Serangan
pertama adalah pukulan Bansoei tiauwtjong (Laksaan sungai mengalir ke laut) dari
kiamhoat Gobie pay, yang kedua Tjoenma poentjoan (Kuda bagus mengubar mata air) dari Khongtong
pay, sedang yang ketiga adalah Kimtjiam touwsie (Jarum emas menolong manusia) dari
Siongyang pay. Apa yang mengherankan adalah: Setiap serangan berobah arahnya pada detik
penghabisan, umpamanya serangan yang bermula kelihatannya seperti Bansoei tiauwtjong mendadak
berobah arahnya dan menikam dari jurusan yang tidak diduga-duga. Pengtjoan Thianlie yang
sudah siap sedia sudah dapat loloskan diri dari serangan-serangan itu dengan gunakan ilmu
entengi badannya. Tapi lantaran dicecer, ia sekarang cuma dapat membela diri dan tidak
sempat lagi balas
menyerang. Hatinya Pengtjoan Thianlie mendadak bergoncang sebab ia ingat penuturan mendiang
ayahnya. Dahulu, ketika sedang rundingkan berbagai cabang persilatan di Tiongkok, ayahnya
pernah ceritakan halnya satu ilmu pedang tunggal gubahan Pekhoat Molie. Ilmu pedang itu
merupakan petikan dari sarinya macam-macam kiamhoat, yang kemudian diolah lagi menjadi
satu. Meskipun gerakannya bersamaan dengan gerakan macam-macam kiamhoat itu, tapi arah
serangannya, pada detik penghabisan, berbeda dan malahan sebaliknya dari kiamhoat yang asli.
"Apakah ilmu
pedangnya nona ini ada ilmu pedang Pekhoat Molie?" tanya Pengtjoan Thianlie
dalam hatinya. Tidak salah dugaannya si nona.
Ilmu pedang gadis muda itu memang juga ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Buat ahli
silat biasa, biarpun kenal ilmu pedang tersebut, tak gampang-gampang dia dapat melawannya.
Tapi Pengtjoan Thianlie adalah lain dari yang lain. Dasar dari ilmu pedangnya adalah
Tatmo Kiamhoat yang sangat tinggi dan kiamhoat tersebut telah dicampur dengan ilmu pedang Eropa
dan Arab, sehingga jadi sangat luar biasa. Maka itu, begitu lekas mengenali ilmu pedangnya
lawan dan pusatkan semangatnya buat melayani, si gadis tidak dapat berbuat banyak lagi
dengan pukulanpukulan
yang aneh. Demikianlah sesudah lewat beberapa saat, gerakan pedangnya si gadis lantas mulai
kalut. "Mau
bertempur terus?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
Gadis itu tak menyahut, dengan mendadak badannya melesat tinggi dan selagi
badannya turun ke bawah, ia menikam dengan pedangnya. Ia ternyata gunakan ilmu aneh yang bisa
menubruk di tengah udara seperti burung, dicampur dengan ilmu pedangnya Pekhoat Molie.
Pengtjoan Thianlie
terkesiap. Tanpa sempat berpikir lagi, badannya sudah turut melesat ke udara dan
membabat dengan gerakan Itwie touwkang (Rumput wie seberangi sungai). Saat itu, mereka
berdua samasama
berada di tengah udara dan gerakan pedang cepat bagaikan kilat. Begitu lekas
pedangnya menyambar ke tenggorokan orang, Pengtjoan Thianlie lantas merasa menyesal. Ia
sama sekali tak
bermusuhan dengan gadis itu, kenapa juga turunkan tangan yang jahat" Ia mau
tarik pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu lagi!
Si gadis keluarkan satu teriakan kaget. "Bwee-djie, kau masih tak percaya aku?"
demikian ia dengar suara ibunya, dan berbareng, ia rasakan badannya diangkat dan
dilemparkan, akan
kemudian hinggap di atas tanah tanpa kurang suatu apa. Ketika menengok, ia lihat
ibunya sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie.
Barusan, pada saat hatinya menyesal tapi pedangnya sudah tak dapat ditarik
pulang, tiba-tiba
saja depan matanya Pengtjoan Thianlie berkelebat satu bayangan hitam, yang
menyelak di antara
kedua batang pedang yang sudah hampir beradu dan sudah berhasil menolong gadis
itu. Pengtjoan Thianlie yang begitu liehay jadi kesima dan badannya kej engkang ke
belakang. "Hatihati!"
ia dengar satu suara berbisik dan merasa badannya didukung orang. Ia jungkir
balik, akan kemudian hinggap di muka bumi dengan selamat.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan berdebar-debar. Wanita setengah tua itu,
yang pakaiannya dan lagaknya seperti si wanita muda, ternyata mempunyai kepandaian
yang tak dapat diukur bagaimana dalamnya.
"Sungguh cantik! Apa kau sudah punya mertua?" tanya wanita itu sembari tertawa,
lagaknya mirip seperti bocah nakal.
Mukanya Pengtjoan Thianlie lantas saja bersemu merah. Sebagai seorang yang
mempunyai kedudukan puteri dan sedari kecil biasa dihormati oleh para dayangnya, inilah
buat pertama kali
seorang yang baru ketemu berani guyon-guyon padanya.
Sesudah kenyang tertawa, wanita itu lalu berkata lagi: "Ilmu silatmu juga benar-
benar indah. Inilah baru boleh dibilang, kepandaian dan paras dua-dua jempol. Maukah kau
dicarikan mertua
olehku?" "Kau tua-tua kenapa bicara begitu sembarangan?" sahut si nona dengan perasaan
mendongkol. "Jika kau terus omong gila-gila, aku tak akan berlaku sungkan lagi!"
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. "Usiamu masih begitu muda, kenapa begitu
galak?" katanya. "Sama seperti Tjietjie-ku. Titsoen-ku (cucu keponakan) namakan kau
perempuan siluman, tapi aku lihat kau seperti nenek bawel!"
Si nona jadi meluap darahnya dan lantas angkat pedangnya. Ia tahu bukan
tandingan, tapi
amarahnya mesti dilampiaskan.
Wanita itu tapinya terus tertawa. "Terhadap anakku kau berlaku cukup sungkan,"
kata ia. "Tapi
terhadap titsoen-ku, tanganmu kejam sekali. Siapa gurumu?"
"Sudah! Sudah!" berteriak Pengtjoan Thianlie. "Memang aku hinakan titsoen-mu.
Nah, hukumlah aku!" Si nona yang beradat angkuh lantas saja menikam, meskipun tahu
bakalan kalah. "Aku sungguh sayang padamu," kata si wanita yang terus kocok si nona. "Kau
begitu cantik, mana tega aku menghukum kau!" Sehabis berkata begitu, dengan mendadak ia usap
mukanya Pengtjoan Thianlie. Terang-terang, si nona lihat gerakan tangannya, tapi toh ia
tidak keburu kelit!
Sekarang Pengtjoan Thianlie benar-benar gusar. Seperti orang kalap ia putar
pedangnya dan menyerang dengan pukulan-pukulan yang membinasakan.
"Kau benar-benar marah?" tanya wanita itu sembari tertawa dan kembali usap
kepala orang. Pengtjoan Thianlie terus menerjang dan kirim beberapa tikaman. Wanita itu tidak
jadi gusar, ia cuma kelit dan mulutnya ngoceh lagi:
"Ah, pedangmu sungguh-sungguh bagus! Cuma sayang sekarang musim dingin. Kalau
musim panas tak perlu bawa-bawa kipas lagi. Dari apa dibuatnya" Coba kasih aku lihat!"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan lantas putar Hankong kiam bagaikan titiran. "Aku
mau lihat cara bagaimana kau rebut pedangku," katanya didalam hati.
Tiba-tiba si nona endus bebauan yang sangat harum dan dengan satu suara "tring!"
Pengpok Hankong kiam sudah kena dipentil terbang dengan dua jerijinya dan kemudian
disambut dengan
satu tangannya. "Benar-benar aku pusing," katanya sembari bulak-balik pedang
itu. "Benar-benar
aku tak tahu, dibuat dari bahan apa."
Kaget dan gusarnya si nona ngaduk menjadi satu. Tanpa pikir akibatnya, ia
menubruk seperti
macan edan. "Buat apa begitu kesusu! Aku toh tak inginkan milikmu!" kata lagi si
wanita setengah
tua sembari tertawa. Ia angsurkan tangannya dan kembalikan pedang itu.
Begitu terima pedangnya, begitu si nona menikam lagi. Bagaikan kilat, si wanita
tangkap lengannya dan berkata pula: "Coba aku lihat lagi. Aduh benar-benar cantik! Tugas
comblang pasti aku jalankan!" Sembari ngoceh, tangannya kembali usap mukanya
Pengtjoan Thianlie. Sesudah kenyang menggoda, ia lepaskan tangannya dan sedang
suara tertawanya masih kedengaran, bayangannya sudah menghilang dari pemandangan!
Pengtjoan Thianlie celingukan. Boe-sie Hengtee dan si gadis juga sudah tidak
berada disitu. Rupanya mereka sudah berlalu, ketika si wanita setengah tua goda dirinya.
Si nona menghela napas berulang-ulang dan parasnya lesu sekali. "Ayah ibuku
sudah peras pikiran dan tenaga buat gubah ilmu pedang ini dengan anggapan tiada bandingannya
di dalam dunia," katanya dalam hati. "Tapi siapa nyana, wanita itu saja aku sudah tidak
mampu menangkan. Ah, kalau begini, keinginan ayahku rasanya tidak akan terwujut."
Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak tahu, bahwa ilmu silat dan tingkatannya
wanita itu cuma
dapat direndengi oleh dua tiga orang saja dalam Rimba Persilatan.
Dengan hati mendeluh, si nona jalan balik ke tendanya. Ketika itu sudah lewat
tengah malam dan sang rembulan pancarkan sinarnya yang gilang gemilang, sehingga padang pasir
jadi seperti mandi dalam lautan perak, dalam suasana yang sunyi-senyap. Di padang pasir,
benda yang jauhnya beberapa li masih dapat dilihat. Kedua tenda yang dipasang di kaki
gunung jauh-jauh
sudah kelihatan. Mendadak hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang. Di depan
tendanya Tong Keng
Thian terdapat dua bayangan orang, satu lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki
adalah Keng Thian, tapi potongan badan yang perempuan, bukan potongan badannya Yoe Peng.
Sesudah berlari-lari kurang lebih satu li lagi, barulah ia dapat tahu, bahwa wanita itu
adalah gadis yang
barusan jadi lawannya!
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie keluar dari tendanya buat selidiki itu suara
"uh, uh," Keng Thian
sedang gulak-gulik dalam tendanya dengan tidak dapat pulas. Otaknya selalu tak
dapat lupakan si
nona yang sikapnya membikin ia tidak mengerti. Sedikit banyak, ia sudah
mengetahui asalusulnya,
yaitu turunan dari jago partai Thiansan dan cucu perempuannya Koei Tiong Beng.
Tapi, kenapa terhadap Thiansan pay, si nona kelihatannya adem sekali" Kenapa" Ia
Manusia Rambut Merah 2 Pedang Siluman Darah 27 Takanata Iblis Nippon Hantu Merah 2
^