Pencarian

Bunga Pedang Embun Hujan 2

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Bagian 2


itu, merasakan kekakuan akibat hawa dingin yang memancar
dari mata pedang yang sangat tajam.
Walau begitu, pinggangnya tetap berdiri lurus dan tegak,
biar sampai mati pun ia tak bakal membungkukkan
pinggangnya. Manusia berbaju abu-abu yang terkapar di tengah
genangan darah itu kini sudah berhenti bernapas.
Tapi orang berbaju abu-abu yang berada di belakang
tubuhnya justru menghardik keras dengan nada yang dingin
menyeramkan. "Kembali!" Tidak seharusnya Siau Lui menggeleng sebab ia sudah tak
dapat menggelengkan kepalanya lagi. Asal dia menggeleng
maka kedua mata pedang yang menempel kuat di tengkuknya
akan menyayat kulitnya dan menusuk ke dalam badannya.
"Hrnm! Akan kulihat kau akan menggeleng atau
mengangguk kali ini..." Ejek orang berbaju abu-abu yang lain
sambil tertawa dingin. Siau Lui tertawa terbahak-bahak. Di saat sedang tertawa ia
sudah menggelengkan kepalanya, di saat menggeleng, darah
segar pun segera bercucuran keluar, meleleh jatuh dari mata
pedang yang mengiris kulit tengkuknya.
"Aku selalu akan pergi ke mana aku senang pergi," katanya
sambil tertawa. 61 "Hmm... hmm... sayang sekali kali ini kedua kakimu sudah
tak bisa mengikuti perintah hatimu," kembali orang itu tertawa
dingin. Siau Lui segera merasakan lekukan kakinya teramat sakit,
tahu-tahu ia sudah jatuhkan diri berlutut dengan kaki sebelah.
"Mau balik tidak?" mata pedang yang satunya lagi masih
menempel ketat di atas tengkuknya.
'Tidak!" jawaban Siau Lui tetap singkat.
"Tampaknya orang ini pingin mampus!" teriak orang
berbaju abu-abu itu sengit.
"Yaa, tampaknya dia memang jauh lebih enak mati di
tangan kita ketimbang mati ditangah Liong-su!"
''Hmmm, aku justru tak akan biarkan ia mampus secara
mudah, aku akan paksa dia untuk balik!"
Mata pedangnya mulai bergeser menekan dibelakang
punggung Siau Lui, menekannya hingga memaksa tubuh anak
muda itu melengkung ke bawah.
Hampir saja kepalanya menempel di atas tanah karena
tekanan mata pedang yang sangat kuat itu.
"Mau kembali tidak?" kembali orang itu menghardik.
"Tidak!" tiba tiba Siau Lui membuka mulutnya, menggigit
pasir bercampur kerikil yang berserak di hadapannya lalu
menyemburnya kuat kuat. Jawabannya masih tetap mengulang kata-kata yang sama,
tak seorangpoun dapat memaksanya untuk mengubah
jawaban itu. Sekalipun tubuhnya bakal dicincang hingga hancur
berkeping selama ia masih dapat bicara, jawabannya akan
tetap sama dan tak akan berubah.
Otot tangan orang berbaju abu-abu yang menggenggam
pedang itu sudah mulai menonjol keluar, mulai gemetar keras
menahan emosi yang meledak di dalam dadanya.
Ujung pedang yang menempel di punggung pemuda itu
pun ikut bergetar dan gemetar keras.
Tetesan darah segar mengalir keluar tiada hentinya
menelusuri mata pedang yang bergetar itu, ujung pedang
62 yang tajam semakin menusuk ke dalam rubuhnya dan mulai
menembusi tulang punggungnya.
Menyaksikan kucuran darah yang meleleh keluar dari
punggung pemuda tersebut, tiba-tiba sorot mata manusia
berbaju abu-abu yang semula dingin kaku itu mulai membara.
"Kendorkan tanganmu!" mendadak orang berbaju abu-abu
yang lain berteriak. "Ingat, yang diminta si pemesan adalah
orang hidup!" Manusia berbaju abu-abu itu tertawa dingin.
"Hmm, jangan kuatir, kalau hanya satu-dua jam tak
bakalan membuat dia kehilangan nyawa."
"Tapi kalau kau lanjutkan perbuatan itu, rasanya akan sulit
baginya untuk hidup lebih lanjut."
Manusia berbaju abu-abu itu tertawa seram.
"Aku justru akan buat dia..." Belum habis ucapan tersebut
tiba-tiba ia tutup mulut.
Saat itulah dari kejauhan terdengar suara derap kaki kuda
yang ramai, dua ekor kuda sedang berlari mendekati tempat
tersebut, satu di antaranya bahkan sudah berada enam kaki
dari situ dan mulai memperlambat larinya.
Sedang seekor kuda yang lain bergerak jauh lebih cepat, ia
lari sampai di luar tembok pekarangan baru menghentikan
geraknya. Diiringi suara ringkikan kuda yang panjang, seekor kuda
besar berwarna hitam pekat telah melompati pakar tembok
setinggi delapan depa itu dan meluncur masuk bagaikan kuda
yang sedang terbang di angkasa.
Cahaya emas berkilauan dari atas kuda, memancarkan
sinar yang menyilaukan mata.
Kembali terdengar suara ringkikan kuda yang panjang,
kuda itu maju tiga langkah lagi ke depan lalu mengangkat
kakinya berdiri tegak. Seorang kakek berambut putih duduk tegak lurus di atas
pelana kuda itu. Seiring dengan hilangnya cahaya emas,
terlihat sebuah tombak sepanjang satu koma empat kaki
berada di dalam genggamannya.
63 "Criiing!" tombak itu ditancapkan ke atas lantai, menancap
masuk sampai empat depa dalamnya.
Kuda jempolan bagaikan naga yang sedang terbang itu
segera berhenti pula gerakannya, seolah-olah ikut terpantek
oleh tancapan tombak di lantai itu.
Pita merah yang tergantung di ujung tombak berkibar oleh
hembusan angin, bila digabungkan dengan rambut putih milik
si kakek yang berwarna keperak-perakan membuat ia tampak
seperti seorang jenderal langit yang baru turun dari
kahyangan. "Aaah, akhirnya tiba juga!" orang berbaju abu-abu itu
menghembuskan napas lega.
Baru selesai ia bicara, kembali berkelebat masuk sesosok
bayangan manusia dari luar dinding rumah, ketika masih
melayang di tengah udara, orang itu membentak keras.
"Di mana orangnya?"
"Ada di sini!" jawab orang berbaju abu-abu itu sambil
menekan semakin ketat cahaya pedangnya.
"Masih hidup atau sudah mati?" tanya kakek berambut
putih itu setelah menyaksikan kucuran darah yang membasahi
tubuh Siau Lui. "Kalau pesananmu hidup, kami pun akan serahkan manusia
hidup untukmu," jawab orang berbaju abu-abu itu.
Sambil menarik kembali pedangnya ia layangkan sebuah
tendangan keras ke rusuk Siau Lui, seluruh badan anak muda
itu segera mencelat ke udara dan meluncur ke hadapan kakek
berambut putih itu. Gerakan tubuh manusia yang sedang meluncur masuk dari
balik tembok itu bukan hanya cepat dan lincah, gerak tangan
pun amat cepat dan hebat. Orang ini tak lain adalah Piau-kek
(si pengawal barang) Ouyang Ci yang sudah tersohor karena
kecepatan gerak tubuhnya dan paling ulet cara kerjanya.
Tidak menanti sampai tubuh Siau Lui terjerembab ke lantai,
ia menerobos maju ke muka dan menyambar tubuh anak
muda itu dan mencengkeramnya kuat-kuat.
64 Mendadak paras mukanya berubah hebat, teriaknya
tertahan. "Aduh celaka, keliru...!"
"Apanya yang keliru?" tanya kakek berambut putih itu
dengan wajah ikut berubah.
"Salah orang!" mencak Ouyang Ci sambil menghentakkan
kakinya dengan gemas. "Tidak mungkin salah orang," seru manusia berbaju abuabu
itu cepat, "hanya dia yang muncul dari dalam rumah itu,
di sana sudah tak ada pria lain kecuali dia seorang!"
Ouyang Ci membanting tubuh Siau Lui kuat-kuat ke atas
tanah sambil hardiknya, "Siapa kau" Kenapa bisa berada dalam kamarnya Siau-kim"
Di mana dia sekarang?"
Siau Lui hanya memandang wajahnya dengan sorot mata
dingin, wajahnya yang penuh belepotan darah sama sekali
tidak menunjukkan perubahan mimik apa pun.
"Mau bicara tidak?" kembali Ouyang Ci menghardik dengan
gelisah. Kembali Siau Lui memandang sekejap wajahnya, tiba-tiba
sahutnya sambil tertawa tergelak,
"Kalian sendiri yang salah menangkap orang, kenapa mesti
tanya aku?" Ouyang Ci tertegun. Betul juga jawaban ini, meski saat ini
dia gelisah bercampur gusar, tapi jawaban tersebut betul-betul
membuatnya terbungkam dan tak mampu mengucapkan
sepatah katapun. Daging dan otot ujung bibir Siau Lui kini sudah mengejang
keras saking menahan rasa sakitnya yang tak terhingga.
Darah juga masih bercucuran keluar dengan derasnya, tapi dia
masih sanggup tersenyum, kembali ujarnya,
"Jika sudah tahu salah tangkap, semestinya sikap kalian
harus lebih sungkan dan hormat kepadaku, masa lagakmu
masih begitu kurang ajar?"
65 Ouyang Ci termenung sambil mengawasi wajahnya,
cengkeraman juga telah mengendor, tapi secara mendadak ia
menghardik lagi. "Bagaimana pun juga, kau toh tetap sahabatnya."
Siau Lui menghela napas panjang.
"Yaa, aku memang temannya, masa kau bukan
sahabatnya?" Sekali lagi Ouyang Ci tertegun, kini ia sudah melepaskan
cengkeramannya dan tanpa sadar mundur dua langkah
dengan sempoyongan. Saat itu manusia berbaju abu-abu itu justru maju ke depan
sambil menyodorkan tangan ke hadapannya seraya berseru,
"Bawa kemari." "Apanya yang bawa kemari?"
"Sepuluh ribu tahil perak!"
"Sepuluh ribu tahil perak" Sudah salah tangkap sasaran
masih menuntut sepuluh ribu tahil?"
Manusia berbaju abu-abu itu tertawa dingin, katanya
hambar, "Semuanya ini toh kesalahanmu, bukan salahku. Bukankah
yang kau minta adalah orang yang berada di rumah ini dan
harus diserahkan hidup-hidup. Kini telah kuserahkan dia
hidup-hidup kepadamu, berarti kami tidak salah."
"Tapi..." "Bayar saja!" tukas kakek berambut putih itu tiba-tiba.
Merah padam paras muka Ouyang Ci saking gelisahnya,
kembali dia membantah. "Tapi Siau-kim belum ditemukan, masa kita mesti serahkan
sepuluh ribu tahil perak..."
"Bayar mereka!" kembali kakek berambut putih itu
menghardik. Ouyang Ci jengkel sekali, ia hentakkan kakinya berulangkali
dengan perasaan mendongkol, meski begitu, ia lepaskan
juga sebuah buntalan yang nampaknya sangat berat dari ikat
pinggangnya. 66 Dengan jari tangannya yang kuat manusia berbaju abu-abu
itu menerima buntalan tadi, lalu setelah mengerling Siau Lui
sekejap katanya, "Orang ini kah yang sedang kalian cari"'
"Bukan." Manusia berbaju abu-abu itu manggut manggut.
"Kalau memang bukan," katanya, "biar kami bawa pergi orang
tersebut." "Kenapa?" "Dia telah membantai orangku, jadi dia mesti mampus di
ujung pedangku," sahut manusia berbaju abu-abu itu sambil
menyeringai seram. "Tidak bisa!" mendadak kakek berambut putih
itumemotong. "Dia harus hidup terus!"
"Siapa yang bilang?" orang berbaju abu-abu itu angkat
kepalanya sambil melotot.
"Aku!" Lama kemudian orang berbaju abu-abu itu baru manggut,
ujarnya, "Tombak bagai kilatan petir, kuda bagaikan naga terbang,
setiap kata Liong Kong, Liong Suya memang selalu ditepati
dalam dunia persilatan."
"Hmm!" "Tapi kenyataan dia telah membantai orang kami, jadi ia
mutlak harus mampus!"
"Siapa pula yang berkata demikian?" wajah Liong Su makin
suram. "Loya yang bilang begitu, jadi apabila anda tidak serahkan
orang tersebut kepadaku, mungkin kami tak bisa memberi
pertanggungan-jawab di depan loya."
"Lalu bagaimana baru bisa mempertanggung-jawabkan?"
"Terpaksa..." belum selesai ia berkata, manusia berbaju
abu-abu itu telah menggetarkan pedangnya lalu sambil melejit
ke udara dan menerjang ke depan kakek tadi, teriaknya, "Aku
harus cabut nyawamu..."
67 Liong Su sama sekali tak bergeming walaupun menyaksikan
cahaya pedang menyambar ke tubuhnya dengan kecepatan
bagai sambaran kilat. Ia tetap duduk tenang di atas
pelananya. Tangan kanannya yang menggenggam tombak mendadak
membetot senjata tersebut ke belakang kemudian secara tibatiba
melepaskan genggamannya. Tombak itupun segera


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memental balik dan meluncur ke muka dengan kekuatan
dahsyat. Ujung tombak yang berkilauan terang ditambah pita merah
yang berkibar bagai perakan darah, persis menyongsong
datangnya manusia berbaju abu-abu yang sedang menerjang
tiba itu. Cepat-cepat manusia berbaju abu-abu itu menarik
pinggang sembari melintangkan pedangnya ke depan.
"Criinggg...!" benturan keras menggelegar di angkasa
diiringi percikan bunga api ke empat penjuru.
Tahu-tahu pedang itu sudah terlepas dari genggaman,
telapak tangan manusia berbaju abu-abu itu robek merekah
lantaran getaran keras tadi, separuh badannya jadi lumpuh
terkena getaran dahsyat. Ketika roboh ke lantai, untuk berapa
saat lamanya tak sanggup berdiri kembali.
Ternyata tombak panjang seperti ular sanca ini sedari
ujung hingga gagang tombaknya terbuat dari baja murni yang
keras dan kuat Ujung tombak masih bergetar tiada hentinya menimbulkan
suara dengungan yang memekik telinga, untaian pita merah
juga masih berkibar dengan gagahnya.
"Bagaimana?" bentak Liong Su dengan nada berat.
"Tentunya kau sekarang sudah bisa memberi pertanggunganjawab
bukan?" Orang berbaju abu-abu itu hanya menggertak gigi sembari
memandangi kucuran darah yang membasahi telapak
tangannya, ia seperti sudah tak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. 68 Pedang itu meluncur jatuh dari tengah udara, kilatan
cahaya pedang yang berkilauan memancar ke atas wajahnya
yang sebentar memucat sebentar menghijau.
la menarik napas panjang panjang, mendadak sambil
membalikkan badan ia sambar pedang yang sedang jatuh dari
tengah udara itu. Kali ini ia sama sekali tidak menyerang Liong Su, di antara
kilatan cahaya pedang, senjata tersebut ternyata menusuk
langsung ke tubuh Siau Lui.
Kondisi Siau Lui saat itu sudah teramat parah, badannya
lemas tak bertenaga, tak ada kemampuan sedikitpun baginya
untuk menghindari serangan maut itu.
Pada detik yang amat kritis inilah mendadak terdengar
suara bentakan keras menggelegar bagaikan suara guntur,
sekali lagi tombak Liong Su menyambar lewat bagaikan kilatan
petir. "Braakk...!" Suara benturan keras mengiringi kilauan
cahaya yang menyambar lewat.
Ujung tombak yang kemilauan bermandi cahaya kini sudah
menusuk tembus tulang pi-pa-kut di bahu kanan orang
berbaju abu-abu itu, seluruh badannya kini sudah terangkat ke
udara. Untaian pita merah di ujung tombak kembali menggelegar,
seluruh rubuh orang berbaju abu-abu itu segera terlempar
keluar, jatuh terjerembab jauh di luar dinding pekarangan, di
balik rimbunnya kebun bambu berwarna ungu.
"Duukk. .." kembali tombak itu menancap di atas tanah,
menancap sedalam empat depa lebih.
Liong Su masih duduk tak bergeming di atas pelana
kudanya sambil memegangi tombak emasnya, kini dengan
mata melotot tegurnya kepada orang berbaju abu-abu yang
lain, "Bagaimana" Sekarang sudah dapat mempertanggungjawabkan
bukan?" Pucat pias wajah orang itu bagaikan mayat, tanpa ba atau
bi, ia membalikkan tubuh dan segera ngeloyor pergi dari situ.
69 Ouyang Ci segera membalikkan badan, tampaknya dia ingin
mengejar kepergian orang itu.
"Tidak usah, biarkan dia pergi," cegah Liong Su tiba tiba.
"Mana boleh kita biarkan ia pergi?" seru Ouyang G gelisah.
"Yang pantas dibunuh harus kita bunuh, yang tak pantas
dibunuh biarkan saja pergi, ini menyangkut masalah hidup dan
mati maka kita tak boleh salah menafsirkan perbedaan yang
amat minim ini." "Tapi... jika kita biarkan orang itu pergi, maka banyak
kerepotan dan kesulitan yang bakal kita hadapi," seru Ouyang
Ci sambil menghentakkan kaki sakingjengkel-nya.
Tiba-tiba Liong Su mendongakkan kepalanya sambil
tertawa terbahak-bahak. "Sejak kapan kita sebagai dua bersaudara takut
menghadapi kerumitan, bahkan kesulitan sekalipun?"
Menggelegar suara tertawa itu bagaikan genta yang
dibunyikan bertalu-talu, namun dalam pendengaran Siau Lui
seolah-olah berasal dari tempat yang sangat jauh, sangat
buram, amat samar-samar. Dia seolah-olah mendengar Liong Su sedang berpesan
kepada Ouyang Ci. "Bawa pulang sahabat ini, dia tidak bersalah, jadi diapun
tak boleh dibiarkan mati."
Menyusul kemudian ia merasa ada orang sedang
memayangnya untuk bangun.
Ia ingin sekali meronta dari rangkulan orang itu, dia sangat
ingin bangkit dan berdiri sendiri.
Kalau mesti berdiri, dia harus lakukan sendiri. Kalau tidak,
lebih baik sepanjang masa tetap berbaring di lantai.
Ingin sekali ia berteriak, memberitahu kepada mereka
bahwa selama hidup ia tak pernah membiarkan orang lain
menolongnya, tak akan biarkan orang lain membantunya
dalam hal apapun. Sayang sekali kondisinya saat ini sudah tak terkendali,
keempat anggota badan serta lidahnya sudah tidak berada
dalam kemampuan kontrol pribadi.
70 Bahkan termasuk sepasang matanya juga mengalami
kondisi yang sama. Ingin sekali ia membuka matanya lebar-lebar, tapi
kegelapan yang amat pekat seolah-olah telah menyelubungi
seluruh badannya. Di tengah kegelapan yang tak herujung dan tak bertepian,
seolah-olah ia melihat munculnya setitik cahaya, di balik
cahaya itu seakan-akan terdapat bayangan tubuh seseorang.
"Jian-jian... Jian-jian..."
Dia ingin meronta, ingin menggeliat dan menghambiri
bayangan tersebut... namun sayang setitik cahaya yang
terakhir pun tiba-tiba ikut hilang, lenyap tak berbekas.
Dia meronta, berteriak keras, menjerit... Sayang setitik
cahaya yang terakhir telah hilang lenyap tak berbekas.
Yang tersisa hanya kegelapan yang pekat, yang tak
berujung dan tak bertepi.
Tak seorangpun yang tahu sampai kapan cahaya terang
baru akan muncul kembali di sana.
VII "Tak malu orang ini disebut seorang lelaki sejati."
"Tapi ia seperti menyimpan suatu penderitaan batin yang
tak terhingga..." "Penderitaan batin seorang lelaki sejati biasanya akan lebih
banyak dibandingkan orang lain, cuma biasanya ia akan
menyimpan dalam dalam penderitaan tersebut hingga sulit
bagi orang lain untuk melihatnya."
Hanya kata-kata terakhir itu yang terdengar olehnya.
Kata terakhir itu diucapkan oleh Liong Su, tapi
kedengarannya begitu samar, begitu jauh... meski begitu,
kata-kata itu justru menimbulkan perasaan yang hangat dalam
lubuk hatinya, satu perasaan terharu dan rasa terima kasih
yang mendalam. 71 Ia sadar, paling tidak ia belum hancur dan musnah sama
sekali, masih ada orang di dunia ini yang bisa memahaminya.
Oleh sebab itu iapun amat yakin dan percaya, betapa
dalamnya kegelapan, betapa lamanya kepekatan menyelimuti
dirinya, cahaya terang pasti akan muncul pada akhirnya, entah
cepat atau lambat... Habis gelap pasti akan muncul terang.
Selama rasa hangat danberharu masih muncul dalam
perasaan seseorang, masa terang pasti akan muncul juga
pada akhirnya. WANITA CANTIK BAGAI PUALAM I Jian-jian menundukkan kepala-nya, mendengarkan detak
jantung dalam tubuh sendiri.
Detak jantung Kim Cwan juga berdebar, bahkan
detakannya jauh lebih cepat dari detak jantung gadis itu.
Ia tahu mengapa saat ini detak jantungnya berdebar begitu
cepat, diapun tahu apa yang sedang dipikirkan di dalam
hatinya. Tempat ini adalah sebuah losmen kecil yang sepi dan
terpencil letaknya, walau sangat kecil namun semua
perabotnya indah, lagipula amat bersih.
Memandang keluar lewat jendela, kita dapat menyaksikan
kehijauan dari pegunungan nun jauh di sana, juga terendus
bau harum bunga yang terbawa hembusan angin.
Apalagi dalam suasana senja seperti saat ini, pegunungan
nan biru berdiri di balik cahaya senja yang merah membara,
langit nan biru yang muai meredup menyongsong datangnya
kegelapan malam. Kau dapat duduk di tepi jendela, menanti
kehadiran malam, menunggu munculnya bintang yang
bertaburan di angkasa. 72 Dalam suasana seperti ini, kau akan menyadari betapa
indahnya dunia ini. Seorang lelaki perjaka membawa masuk seorang gadis ke
dalam tempat semacam ini, apa gerangan rencana yang
tersembunyi di dalam pikirannya"
"Tempat ini sangat tenang dan sepi, kau dapat beristirahat
baik-baik di sini." "Aku akan tetap tinggal di sini, agar setiap saat dapat
merawat dan memperhatikan dirimu."
Perkataan yang diucapkan Kim Cwan selalu begitu lembut,
hangat dan penuh perhatian.
Jian-jian masih tertunduk, tapi ia menangkap semua
perkataan itu, sinar keharuan dan penuh rasa terima kasih
memancar dari balik sorot matanya. Namun di hati kecilnya
dia merasa sangat geli. Kini, ia sudah bukan termasuk seorang bocah.
Mungkin dia jauh lebih mengerti dan paham tentang apa
yang sedang dipikirkan seorang pria terhadapnya,
dibandingkan perempuan-perempuan lain.
Kegelapan malam yang kelam telah menyelimuti seluruh
angkasa, api lentera juga telah disulut untuk menerangi
ruangan. Kim Cwan membaca buku di bawah sinar lentera, ia
nampak sedang asyik menikrnati bukunya itu.
Tapi berani taruhan ia pasti tak tahu apa yang tertulis di
buku itu, malah mungkin tak sepatah tulisan pun yang terbaca
olehnya. Dia memang sengaja berlagak serius macam begitu,
tujuannya tak lain sebagai alasan agar ia bisa tetap tinggal di
kamar itu. Selama dia masih dapat tinggal di sisi perempuan
itu, cepat atau lambat kesempatan emas pasti akan datang
juga. Jian-jian tidak berminat membongkar kedok rahasianya, dia
pun tak punya maksud untuk mengusirnya pergi dari situ.
Sebab dia masih sangat membutuhkan dirinya kini, dia
masih ingin memperalatnya, menggunakan dia untuk balas
73 dendam terhadap Siau Lui, memperalatnya sebagai perkakas
untuk melanjutkan hidupnya.
"Hei... siapa bilang mudah bagi seorang perempuan
sebatang kara untuk hidup tenteram seorang diri di dunia ini?"
Jian-jian masih menundukkan kepalanya, ia mulai
melanjutkan pekerjaannya, menjahit pakaian yang dikenakan.
Pakaian ini bukan miliknya, milik Kim Cwan.
Padahal baju itu sama sekali tidak robek, ketika membantu
mengemasi pakaiannya tadi, dia memang sengaja
merobeknya sedikit secara diam-diam.
Bila seorang wanita ingin tunjukkan perasaan cintanya
terhadap seorang lelaki, tindakan apa lagi yang jauh lebih
mudah ketimbang menjahitkan pakaian baginya"
Kim Cwan sedang menggunakan ujung matanya untuk
melirik perempuan itu secara diam-diam.
Jian-jian tahu hal itu. Memang sejak awal dia ingin
membantunya menciptakan kesempatan emas, memberinya
sedikit semangat dan keberanian dan kini kesempatan
tersebut nampaknya sudah tiba.
Cahaya lentera menyorot di atas wajahnya, pipi dan
bibirnya nampak semu merah karena tersipu-sipu.
Dia memang sengaja berbuat demikian, agar pemuda itu
tahu bahwa ia sudah mengetahui bahwa ia sedang curi-curi
melirik dan memandang ke arahnya. Itulah sebabnya
wajahnya berubah jadi semu merah, bukan wajahnya saja
yang merah, perasaan hatinya ikut kalut, maka karena kurang
hati-hati ujung jarum melukai ujung jarinya.
Betul juga, Kim Cwan segera membuang bukunya dan lari
mendekat, ia lari dengan terburu-buru, penuh perhatian dan
rasa kuatir. Mungkin lantaran terlalu terburu napsu dan penuh rasa
kuatir, maka tak tahan lagi ia geng-gam tangannya erat-erat
seraya berseru, "Coba lihat... kenapa kau tidak hati-hati" Sakit tidak?"
74 Jian-jian menggeleng, paras mukanya semakin memerah
begitu merah hingga menyerupai cucuran darah yang meleleh
dari ujung jarinya. Kim Cwan menggigit ujung bibirnya kuat-kuat, dia seperti
ingin melukai juga bibirnya agar ikut berdarah.
"Mana mungkin tidak sakit" Coba lihat begitu banyak darah
telah bercucuran keluar..."
"Hanya sedikit berdarah, tidak apa-apa," sahut Jian-jian
lirih. Ia meronta pelahan, seakan-akan ingin meronta agar lepas


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari genggaman tangannya, tapi rontaan itu tidak terlalu
bertenaga. Genggaman Kim Cwan semakin kencang, kembali katanya,
" Kau terluka demi aku, aku... mana mungkin hatiku tenang?"
Jian-jian tertunduk, pelan-pelan ia hisap darah yang
mengucur dari ujung jarinya itu.
Sekujur badannya seolah-olah jadi lemas secara mendadak,
ia mulai merintih lirih, dua titik air mata jatuh bercucuran
membasahi punggung tangannya.
"Kau... Kau menangis?" Kim Cwan mendongak dengan
wajah melengak, "Kenapa" Kenapa kau menangis?"
"Aku... Aku sedang berpikir..." Jian-jian menunduk semakin
rendah. "Berpikir apa?"
"Aku sedang berpikir, sekalipun aku telah mengorbankan
sebuah lenganku deminya, belum tentu dia akan pikirkan di
dalam hati" Kim Cwan menghela napas sedih, dia seolah-olah hendak
mencarikan kata yang pas untuk membelai "dia," tapi tak
ditemukan kata-kata yang cocok untuk itu.
Jian-jian ikut menggigit bibirnya kuat-kuat, dengan air mata
yang bercucuran kembali ujarnya, "Seandainya dia bisa sebaik
dirimu walau hanya setengahnya saja, aku rela mengorbankan
kedua tanganku deminya..."
"Aku tahu... aku mengerti..." Kim Cwan ikut berkaca-kaca
matanya, air mata seakan-akan ingin mengucur keluar, tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
75 tiba katanya dengan suara meninggi, "Tapi... Tahukah kau...
asal kau bersedia baik kepadaku hanya setengahnya saja
dibandingkan dengan dia, aku... akupun rela mati demi kau."
Agaknya ia sudah tak sanggup mengendalikan dirinya lagi,
tiba-tiba ia jatuhkan diri berlutut di hadapannya, ia peluk
sepasang lutut perempuan itu kuat-kuat.
"Jangan..." Pinta Jian-jian dengan tubuh mulai gemetar,
"aku mohon... Jangan... jangan berbuat begitu..."
Kim Cwan semakin histeris, dia peluk perempuan itu
semakin kencang, bahkan suaranya ikut berubah jadi parau
karena luapan emosinya yang tak terkendali.
"Kenapa" Kenapa tak boleh... " Apa kau masih teringat
dia..." Mengapa kita tak mencoba untuk melupakannya"
Kenapa kau rela menderita selama hidup hanya demi dirinya?"
Dalam hati kecil Jian-jian mestinya ingin menolak tubuh
pemuda itu, tapi ingatan lain tiba-tiba terlintas, kini ia justru
menjatuhkan diri bersandar di badannya dan mulai menangis
sesenggukan. Dengan penuh kelembutan Kim Cwan membelai rambutnya
yang hitam lembut, lalu bisiknya dengan suara yang hangat
penuh kelembutan bagai angin musim semi yang berhembus
lewat. "Asal kau mau, kita masih bisa hidup terus dengan penuh
kegembiraan, kita coba melupakan seluruh penderitaan yang
pernah dialami di masa lampau."
"Aku mau... aku mau..." sahut Jian-jian dengan mata yang
sembab merah. "Kita pasti dapat hidup dengan lebih bahagia."
Tak kuasa lagi ia peluk pemuda itu erat-erat, merangkul
dengan kedua belah tangannya.
Cahaya terang memancar dari balik mata Kim Cwan, ia
coba mengangkat wajahnya, menciumi butiran air mata yang
membasahi kelopak matanya, lalu berbisik.
"Aku bersumpah, akan kurawat dirimu baik-baik sepanjang
masa, aku tak pernah akan biarkan kau mengucurkan walau
sebutir air mata pun!"
76 Wajah Jian-jian mulai membara, panas bagai kobaran api
yang bergelora. Bibir Kim Cwan pelan-pelan mulai bergeser, bergeser seinci
demi seinci, mencari di mana letak bibir mungil perempuan
cantik itu. Bibir Jian-jian yang mungil semakin membara, merah
merekah penuh tantangan. Tapi... Pada saat itulah tiba-tiba ia
melompat bangun lalu mendorong tubuh pemuda itu kuatkuat.
Kim Cwan nyaris jatuh terjerembab,sambilmemaksakandiri
untuk berdiri kembali, serunya dengan penuh rasa terperanjat,
"Kau... kau berubah pikiran lagi?"
"Tidak, aku tidak berubah pikiran," Jian-jian tertunduk
malu, "tapi... tapi jangan malam ini..."
"Kenapa?" "Masih banyak waktu bagi kita untuk berkumpul di
kemudian hari, aku... aku tak ingin kau memandangku sebagai
wanita murahan, wanita gampangan," air matanya nyaris
bercucuran bagai hujan. "Jika kau... kau bersungguh hati
menyukai aku... mestinya paham bukan dengan maksudku
ini?" Lama sekali Kim Cwan memandangnya dengan termangu,
tapi akhirnya dia mengangguk juga, sambil tertawa paksa
sahutnya, "Yaaa, aku paham maksudmu."
"Kau tidak marah bukan?"
"Kau berbuat demikian toh demi kebaikan kita bersama di
kemudian hari, masa aku harus marah padamu?"
Jian-jian tersenyum manis.
"Asal kau bisa memahami perasaan hatiku, cepat atau
lambat, tubuhku... akhirnya toh tetap menjadi milikmu,"
bisiknya. Ia seperti tak dapat menahan diri untuk membungkukkan
badan dan menciumi rambut pemuda itu, tapi dengan cepat ia
berusaha mengendalikan diri, kembali ujarnya dengan lembut,
"Aku mau tidur, bagaimana kalau kau balik dulu ke kamarmu"
Besok, pagi sekali aku akan pergi mencarimu."
77 Kim Cwan manggut-mangut, digenggamnya sekali lagi
tangan perempuan itu lalu setelah menepuknya pelan, ia
segera ngeloyor pergi dari situ sekalian merapatkan pintu
kamar. Kim Cwan tidak berniat memaksakan kehendaknya atas
perempuan itu. Sebab dia tahu, jika kau ingin mendapatkan seorang wanita
seutuhnya, kadangkala memang diperlukan kesabaran yang
amat besar. Bila tidak, walaupun dengan cara kekerasan kau berhasil
memperoleh tubuhnya, tapi selama hidup akan kehilangan
hatinya. Hasil yang dapat di raihnya hari ini memang tidak terhitung
besar, tapi sudah lebih dari cukup baginya. Asal
perkembangan selanjutnya bisa semacam ini, cepat atau
lambat perempuan tersebut pasti akan menjadi miliknya.
Cahaya bintang berkerdipan di angkasa, malam semakin
kelam dan udara terasa makin dingin.
Malam ini adalah malam terindah yang pernah dialaminya
sepanjang hidup, malam musim semi yang amat indah.
Ia mulai tertawa, kilauan giginya yang putih memancarkan
biasan cahaya yang mengerikan di balik kegelapan malam,
menyeringai seperti deretan gigi serigala.
Jian-jian masih menundukkan kepalanya, mengawasi ia
pergi dari situ, mengawasi dia merapatkan pintu kamarnya.
la tahu, selangkah demi selangkah secara pasti lelaki itu
mulai masuk ke dalam jeratannya... ketika ia menganggap
perempuan tersebut telah berhasil ditaklukan, dia sendiri
justru sudah makin dalam terbelenggu oleh jeratannya.
Begitulah pikiran dan perasaan seorang lelaki.
Asal kau mengerti dan memahami kejiwaan seorang lelaki,
maka kau akan menemukan bahwa bukan suatu pekerjaan
yang terlalu sulit untuk mengendalikan dan menjeratnya.
Ia ingin sekali tertawa di dalam hati, tapi lambungnya
justru sangat mual, kepingin tumpah.
78 Ia benar-benar memandang rendah lelaki semacam ini,
memandang hina lelaki yang begitu tega menghianati sahabat
sendiri. Namun ia harus hidup terus.
Dia harus hidup lebih layak, hidup lebih baik, hidup untuk
diperlihatkan di hadapan Siau Lui.
Dia yakin dirinya memiliki kemampuan seperti ini.
"Suatu hari nanti, aku akanbikin dia menyesal..."
Kembali ia tertawa, namun ketika tertawa, air matanya ikut
jatuh bercucuran. Memang bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi
seorang wanita yang harus hidup dan berjuang seorang diri di
dunia ini. II "Orang ini betul-betul seorang lelaki sejati!"
Tapi, siapa pula yang tahu, berapa banyak dan berapa
besar pengorbanan yang harus dibayar untuk menjadi seorang
lelaki sejati" Siau Lui membuka matanya, cahaya matahari telah
memancar masuk lewat jendela, menerangi seluruh ruangan.
Akhirnya kegelapan malam telah sirna, cahaya terang
kembali muncul di hadapannya.
Rambut uban yang dimiliki Liong Su kelihatan bagai serat
perak yang berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah.
Kerutan di bawah matanya kelihatan sangat dalam dan
panjang, ia nampak agak murung, agak kelelahan.
Namun ketika ia duduk di bawah cahaya matahari, kakek
itu terlihat seperti penuh tenaga, penuh kekuatan hidup,
seakan akan tak pernah akan jadi tua untuk selamanya.
Sorot matanya yang tajam sedang mengawasi wajah Siau
Lui lekat-lekat, mendadak ia berkata, "Sekarang kau sudah
bisa bicara?" "Bisa" 79 "Kau dari marga Lui?"
"Benar!" "Kau tahu nama sebenarnya dari Kim Cwan?"
"Tidak!" "Tapi bukankah kau sahabatnya?"
"Benar." "Kau bahkan tidak tahu manusia macam apakah dia
sebenarnya, tapi masih menganggapnya sebagai sahabatmu?"
"Benar." "Kenapa?" "Aku berhubungan dengannya karena orangnya, bukan
asal-usulnya, apalagi nama aslinya."
"Kau juga tak perduli perbuatan-perbuatannya di masa
lampau?" "Perbuatannya di masa lampau telah berlalu."
"Bagaimana sekarang" Dia masih tetap sahabatmu?"
"Benar" "Meski dia telah menghianatimu, kau masih tetap
menganggapnya sebagai sahabat?"
"Benar." "Kenapa?" "Karena dia adalah sahabatku."
"Karena itu, apapun perbuatan yang telah ia lakukan, kau
tetap akan memaafkannya?"
"Mungkin dia memiliki suatu kesulitan atau rahasia yang
memaksanya berbuat begitu... setiap orang tentu memiliki
masalah yang memaksanya melakukan sesuatu."
"Termasuk dia menghianatimu, melarikan barang yang
paling kau cintai, kau tetap tak acuh?"
Pertanyaan ini lebih tajam daripada tombaknya, begitu
tajam dan telengas tanpa ampun.
Paras muka Siau Lui mulai berkerut, perasaan hatinya juga
mulai menyusut, sampai lama kemudian ia baru menjawab,
sepatah kata demi sepatah kata.
"Sesungguhnya aku tak perlu menjawab semua
pertanyanmu itu, walau sepatah kata pun!"
80 "Yaa, aku mengerti," Liong Su manggut-manggut.
"Aku bersedia menjawab semua pertanyaanmu bukan
lantaran aku takut kepadamu, juga bukan lantaran berterimakasih
kepadamu karena telah menyelamatkan jiwaku."
"Karena apa kau berbuat begitu?"
"Karena aku merasa bahwa kau masih terhitung sebagai
seorang manusia." Berkilat sepasang mata Liong Su-ya.
"Jadi sekarang kau sudah tak bersedia menjawab
pertanyaanku lagi?" tanyanya.
"Pertanyaanmu sudah terlampau banyak."
"Tahukah kau mengapa aku mengajukan begitu banyak
pertanyaan kepadamu?"
"Tidak!" Tiba tiba Liong Su menghela napas panjang, katanya, "Aku
pun pernah merasakan dikhianati olehnya!"
"Oh ya?" "Oleh sebab itu aku dapat menyelami betapa sakit dan
menderitanya seseorang yang telah dikhianati oleh sahabat
yang paling dipercaya olehnya."
"Ooh..." "Aku sengaja mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut
lantaran aku ingin tahu, apakah kau pun sama-sama
merasakan sakit hati dan penderitaan semacam itu."
Setelah menatap Siau Lui sampai lama, kembali dia
menghela napas panjang sambil melanjutkan.
"Kini aku baru tahu, aku kalah darimu, juga kalah darinya...
sungguh beruntung dia bisa bersahabat dengan seorang
teman macam kau." Siau Lui turut mengawasinya lekat-lekat, sementara cahaya
matahari masih bersinar terang di luar jendela.
Tapi sekarang ia nampak jauh lebih tua daripada
sebelumnya, kerutan-kerutan di ujung matanya nampak lebih
dalam dan gu-ratannya makin panjang.
81 Arak tersedia di atas meja, Liong Su angkat cawannya dan
sekali teguk menghabiskan isinya, kembali katanya sembari
menghela napas panjang, "Selama ini aku selalu menganggap diriku sebagai seorang
lelaki yang berlapang dada, tapi setelah bertemu kau, aku
baru sadar ternyata aku masih belum dapat memaafkan orang
lain, bahkan aku tak pernah berpikir mungkin saja dia
mempunyai kesulitan yang memaksanya berbuat demikian."


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana sekarang?"
"Kini aku sudah tahu, bila kau rela memaafkan orang lain
maka perasaan hatimu akan menjadi lebih lega dan lapang,
seluruh kegundahan, penderitaan dan kepedihan akan segera
tersapu bersih hingga tak berbekas."
"Apakah kau merasa dulu telah melakukan kesalahan?"
tanya Siau Lui dengan sinar mata berkilat.
"Benar!" "Sebetulnya kau tidak salah."
Liong Su termenung sedih.
"Sesungguhnya dikhianati oleh teman merupakan suatu
penderitaan yang tak mungkin terlupakan untuk selamanya,"
lanjut Siau Lui perlahan. "Tapi ada sementara orang yang
lebih suka sembunyikan semua perasaan hatinya itu di dalam
hati, biar sampai mati pun tak sudi diutarakan keluar."
Dengan perasaan terkejut bercampur heran Liong Su
memandang wajahnya tak berkedip, sampai lama sekali ia tak
sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Siau Lui menyambung, "Bukan suatu perbuatan
yang gampang untuk mengakui semua kesalahan dan
penderitaan yang dialaminya di hadapan orang lain, bukan
saja dibutuhkan jiwa yang lapang dan terbuka, juga harus
memiliki keberanian yang luar biasa."
Liong Su termenung lagi sampai lama, tiba-tiba katanya,
"Padahal kaupun tak perlu mengucapkan kata-kata seperti
itu." "Yaaa,benar," sambil manggut-manggut Siau Lui menghela
napas. "Memang tak perlu kuucapkan perkataan tersebut."
82 "Kecuali seseorang memiliki kebesaran jiwa dan keberanian
yang luar biasa... apa kata-kata itu pun tidak perlu diungkap?"
"Kau salah menilai aku," jawab Siau Lui hambar.
Tiba-tiba Liong Su melompat bangun, sambil tertawa keras
ujarnya, "Aku salah menilaimu" Mana mungkin aku salah menilaimu.
.." Bisa bersahabat dengan seorang teman macam
kau, biar aku Liong Su harus mati pun tak akan menyesal!"
"Tapi kita bukan sahabat," potong Siau Lui dingin.
"Mungkin saat ini masih belum, tapi di kemudian hari..."
"Tak akan ada di kemudian hari," kembali Siau Lui menukas
dengan nada dingin. "Kenapa?" "Karena ada sementara orang yang tak memiliki masa di
kemudian hari." Dengan langkah lebar mendadak Liong Su datang menghampiri
pemuda itu, digenggamnya lengan anak muda itu
kuat-kuat, katanya, "Saudara, kau masih begitu muda, kenapa
harus menghancurkan diri sendiri?"
"Aku bukan saudaramu," paras muka Siau Lui berubah
sangat hambar nyaris tanpa perasaan, dia meronta dan
seolah-olah akan segera pergi meninggalkan tempat itu.
Liong Su tertawa paksa, masih menahan bahu anak muda
itu ujarnya, "Sekalipun kau bukan saudaraku, apa salahnya
tinggal berapa saat lagi di sini?"
"Kalau toh akhirnya harus pergi, buat apa tinggal terlalu
lama di sini?" "Sebab...aku...masih ada perkataan yang hendak kusampaikan
kepadamu " Siau Liu termenung berpikir sebentar, akhirnya ia kembali
merebahkan diri katanya dengan suara hambar.
"Baik katakan aku siap mendengarkan "
Liong Su ikut termenung, agaknya ia berusaha mencari
persoalan yang, paling cocok untuk disampaikan,agar Siau Lui
bersedia mendengarkan lebih lanjut.
Lewat lama kemudian ia baru berkata, "Sebenarnya nama
Kim-cwan bukan nama aslinya, nama sebenannya adalah Kim
83 Giok-ou, dia adalah putra tunggal samko-ku, semenjak samko
meninggal, aku..." "Aku tahu sangat jelas hubungan kalian semua," tukas Siau
Lui tiba tiba. "Oh ya?" "Kau adalah congpiautau dari Tionggoan Su toa-piaukiok
(empat piaukiok terbesar di daratan Tionggoan). Dahulu, dia
bersama Ouyang Ci adalah tangan kanan dan tangan kirimu.
Suatu hari ia mendapat tugas mengawal harta sebesar
delapan ratus ribu tahil perak dari ibu kota menuju Kousiok. Di
tengah jalan bukan saja barang kawalannya hilang lenyap,
semua pengawal yang ikut dengannya juga kedapatan mati
terbunuh, karena dia merasa tak punya muka untuk bertemu
lagi denganmu maka ia hidup mengasingkan diri di sini."
Liong Su tidak komentar, dia cuma mendengarkan.
Kembali Siau Lui menyambung, "Tapi selama ini kau justru
menuduhnya telah menganglap barang kawalan tersebut, kau
menganggap dia telah mengkhinatimu, maka kau menyebar
berita ke seluruh penjuru dunia bahwa kau tak akan
melepaskan dirinya."
Liong Su tertawa getir. Kembali Siau Lui berkata, "Kali ini, tampaknya secara tak
sengaja Ouyang Ci menemukan jejaknya di sini, maka ia
terburu-buru pulang memberi laporan kepadamu, takut ia
keburu kabur maka dengan membayar upah sebesar sepuluh
ribu tahil perak kau menyewa ketiga orang itu untuk
mendatangi kamar tidurnya. Siapa nyana karena ada suatu
kejadian di luar dugaan yang terjadi secara tiba tiba, ia telah
pergi meninggalkan tempat ini jauh sebelum kehadiran ketiga
orang itu." Suaranya masih kedengaran begitu tenang, seakan-akan
sedang mengisahkan suatu kejadian yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan mereka berdua, namun ketika
mengucapkan kata "kejadian di luar dugaan," pancaran sinar
pedih dan penderitaan yang mendalam mengalir keluar dari
balik sorot matanya. 84 "Dia yang menceritakan semua kejadian ini kepadamu?"
tanya Liong Su dengan sorot mata tajam
"Benar." "Tak nyana ia mau membeberkan rahasia ini kepadamu,
tak heran kau menganggapnya sebagai sahabat karib."
Tidak memberi kesempatan Siau Lui untuk berbicara,
kembali ia melanjutkan, "Kalau begitu kau sudah tahu kalau
ketiga orang itu telah salah mencari orang semenjak
kehadiran mereka?" "Benar." "Kenapa kau tidak berusaha menjelaskan kesalahpahaman
ini?" "Sebab mereka belum pantas untuk tahu," jawab Siau Lui
sambil tertawa dingin. "Manusia macam apa yang pantas untuk tahu?"
"Mungkin ada sementara orang yang semenjak lahir sudah
punya watak keledai, rela disalahpahami orang lain sejuta kali
ketimbang memberi penjelasan satu kalipun."
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dengan suara
keras, "Kalau begitu orang itu bukan keledai tapi seekor
keledai goblok!" Belum habis perkataan itu diutarakan, Ouyang Ci sudah
menerjang masuk kedalam ruangan. Kedatangannya selalu
cepat bagaikan hembusan angin topan, begitu juga caranya
berbicara selalu bersambungan macam berondongan
tembakan yang bertubi-tubi, begitu hebatnya hingga ada
sepuluh orang bicara bersama pun tak sanggup memotong
pembicaraannya. "Terang-terangan dia sudah menghianatimu, kenapa kau
masih tetap mempercayainya?"
"Semua anak buah dan pengikutnya sudah habis mati
terbantai, kenapa hanya dia seorang yang masih hidup segarbugar?"
"Liong Su selalu menganggap dia seperti anak kandung
sendiri, sekalipun ia benar-benar lalai dalam tugas hingga
kehilangan barang kawalannya, sepantasnya dia pulang ke
85 rumah untuk memberi penjelasan, kenapa ia justru kabur dan
menyembunyikan diri?"
"Tahukah kau apa sebabnya rambut Liong Su bisa berubah
jadi putih beruban" Gara-gara mesti ganti barang kawalan
milik orang sebesar delapanratus ribu tahil perak, biarpun
seluruh anggota piaukiok mati gantung diri juga belum
sanggup untuk melunasinya!"
Beruntun dia mengutarakan tujuh-delapan macam
persoalan sebelum akhirnya berhenti untuk tarik napas
panjang. Siau Lui hanya mengawasinya dengan pandangan dingin,
menunggu hingga dia selesai bicara baru katanya, "Darimana
kau tahu kalau dia telah menghianatiku" Apa yang kau
saksikan?" Sekali lagi Ouyang Ci tertegun.
Kembali Siau Lui melanjutkan, "Sekalipun kau telah
menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, bukan berarti
semua yang kau katakan itu benar. Sekalipun dia benar-benar
telah menghianatiku kali ini, bukan berarti hal ini membuktikan
ia telah menganglap delapanratus ribu tahil perak barang
kawanannya." Sekali lagi Ouyang Ci tertegun, lama kemudian ia baru
menghela napas panjang, gumamnya, "Kelihatannya di dunia
ini benar-benar terdapat manusia berwatak keledai..."
III "Tempat apakah ini?"
"Losmen!" "Kenapa lakon dalam kisahmu selalu tak bisa lari dari
rumah penginapan?" "Karena sesungguhnya mereka adalah kaum pengembara."
"Mereka tak punya rumah?"
"Ada yang tak punya rumah, ada yang rumahnya telah
musnah, ada pula yang punya rumah tapi tak bisa pulang."
86 Bila kau termasuk orang yang sedang mengembara di
dunia jagat, maka kau pun tak dapat terlepas dari rumah
makan, losmen, dusun terpencil, losmen remang-remang,
biara, kuil... Terlebih tak dapat melepaskan diri dari segala
macam pertikaian dan perselisihan, tak bisa lari dari
kehampaan dan kesepian. Di tengah halaman luas dalam rumah penginapan, di manamana
tampak kereta pengawal barang yang parkir memenuhi
ruangan, barang kawalan telah diturunkan dari kereta dan
teronggok dalam tiga buah bilik yang dijaga sangat ketat.
Tigapuluh tiga orang piausu dan tukang pukul yang sudah
kaya dengan pengalaman terbagi dalam tiga rombongan
secara bergilir menjaga ketiga ruangan itu secara bergantian.
Di luar pintu gerbang terpancang sebuah bendera yang
bersulamkan empat warna, di atasnya tersulam seekor naga
emas dengan kelima cakarnya. Ketika bendera itu berkibar
terhembus angin, lukisan naga itu nampak gagah perkasa
berkibar mengikuti hembusan angin.
Itulah bendera naga emas Hong-Im Kim-Liong-ki yang
sejak dulu telah menggetar sungai telaga baik dari kalangan
putih maupun dari kalangan hitam. Sayang secara beruntun
Hong-toa, Im-ji, Kim-sam telah berpulang ke alam baka. Kini
tinggal Liong-su yang masih tetap bertengger di sungai telaga.
Malam semakin kelam, pintu dan jendela ruang timur sudah
tertutup rapat, cahaya lampu pun ikut meredup. Kecuali suara
benturan golok yang tak sengaja, sama sekali tak kedengaran
suara lain. Biarpun malam ini malam musim semi, namun
suasana dalam halaman itu penuh diliputi keseriusan dan
ketegangan yang tinggi. Tak ada yang tahu bagaimana cara hidup para orang gagah
yang sepanjang hari hidup di ujung golok yang penuh
belepotan darah dan saban hari diguyur air kata-kata itu. Tak
ada yang tahu setegang apa kehidupan mereka dan sesulit
apa perjuangan mereka. Tak mudah menemukan satu-dua hari dalam kehidupan
sepanjang tahun suasana yang santai, yang dapat
87 mengendorkan ketegangan, dan hidup tenang bersama anakistri
di rumah. Itulah sebabnya sebagian besar dari mereka tak punya
rumah, juga mustahil punya rumah. Perempuan yang cerdik
tak akan sudi kawin dengan pengembara yang tiap saat hidup
menyerempet maut, setiap saat siap hidup menjanda.
Namun ada kalanya kehidupan dalam dunia persilatan pun
penuh diwarnai dengan keaneka ragaman hiburan yang bikin
orang susah untuk melupakannya.
Itulah sebabnya masih ada banyak orang yang rela
mengorbankan kebahagiaan serta ketenangan hidupnya untuk
ditukar dengan secerca kebanggaan.
Di halaman gedung sebelah barat masih ada sebuah kamar
yang daun jendelanya tetap dibiarkan terbuka. Liong Su dan
Ouyang Ci sedang duduk minum arak di bawah jendela. Sudah
cukup banyak air kata-kata yang mereka tenggak, seolah-olah
mereka ingin menggunakan pengaruh air kata-kata untuk
menghilangkan semua kemasgulan, keruwetan dan kesedihan
yang menyelimuti perasaan mereka.
Mengawasi deretan kereta barang yang parkir memenuhi
halaman, tiba tiba Ouyang Ci berkata, "Perjalanan kita sudah
tertunda hampir empat hari di sini."
"Yaaa, empat hari," sahut Liong Su.
"Jika kita tunda terus perjalanan ini, mungkin saudarasaudara
lain akan mulai berjamur saking kesalnya."
Liong Su tertawa. "Jangan kau sama-ratakan orang lain dengan watak
berangasanmu yang tak sabaran itu..."
"Tapi... Sehari barang hantaran ini tidak sampai di tempat
tujuan, berarti beban yang menekan bahu saudara semua
akan semakin berat. Dalam hati kecil mereka tentu sudah
terbayang kapan bisa minum air kata-kata sepuasnya sambil
membopong pipi licin yang bisa dijadikan guling sepanjang
malam. Aku tahu mereka tak berani mengutarakan niat
tersebut, tapi yang pasti perasaan mereka tentu jauh lebih
gelisah ketimbang aku."
88 Makin berbicara kata-katanya semakin cepat, kemudian
setelah meneguk habis air kata-kata dari cawannya kembali ia
lanjutkan,

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagipula orang toh sudah menerangkan sejelas-jelasnya
bahwa barang hantaran mesti sudah sampai menjelang akhir
bulan, jika sampai terlambat sehari saja berarti kita kena
denda tigaribu tahil. Bila kita sampai tertunda dua-tiga hari
lagi, ditambah uang sepuluhribu tahil perak yang terbuang siasia,
bukankah berarti perjalanan kita kali ini cuma kerja bakti
belaka?" "Aku paham dengan maksudmu, tapi..."
"Tapi luka yang diderita orang she-Lui itu belum sembuh,
jadi kita mesti tetap tinggal di sini menemaninya?" sambung
Ouyang Ci cepat. Liong Su menghela napas panjang.
"Jangan lupa, orang bisa terluka separah itu bukankah
lantaran ulah kita juga?"
Ouyang Ci ikut menghela napas, ia bangkit berdiri dan
berjalan keliling berapa kali dalam ruangan, namun akhirnya
tak tahan ujarnya lagi, "Padahal menurut penilaianku luka
yang dideritanya sudah sembuh sebagian besar, kalau mau
pergi semestinya sudah bisa berangkat, kenapa..."
"Jangan kuatir!" potong Liong Su sambil tersenyum. "Dia
bukan termasuk orang yang dengan sengaja berbaring malas
di sini. Bila dia sudah berniat pergi, biar kita ingin
menahannya pun belum tentu bisa menahannya di sini."
"Lantas sampai kapan dia baru akan pergi?"
Perlahan-lahan Liong Su meneguk habis isi cawannya, lalu
katanya, "Hampir, bisa jadi sebelum malam nanti... Atau
bahkan sekarang juga."
Sinar matanya dialihkan keluar jendela, mimik mukanya
menunjukkan perubahan yang sangat aneh.
Buru buru Ouyang Ci berbalik sambil ikut menengok keluar
jendela, ia jumpai seseorang sedang berjalan keluar dan
sebuah kamar di bagian belakang, dengan langkah yang amat
lambat berjalan keluar dari halaman. Walau langkah kakinya
89 amat lambat tapi ia berjalan sambil membusungkan dada,
seolah-olah dalam situasi dan kondisi macam apa pun dia tak
sudi membungkukkan pinggangnya.
Mengawasi bayangan punggung orang itu kembali Liong Su
menghela napas panjang, gumamnya, "Dia betul-betul
seorang lelaki keras hati!"
Mendadak Ouyang Ci tertawa dingin, tubuhnya seakanakan
hendak menerjang keluar dari ruangan.
Dengan sekali sambar Liong Su mencekal lengannya, lalu
tegurnya, "Mau apa kau" Masa ingin menahannya di sini?"
"Aku ingin mengajukan berapa pertanyaan kepadanya."
"Apa lagi yang mau ditanyakan?"
"Sikapmu begitu baik terhadapnya, jelek-jelek begini kau
sudah selamatkan jiwanya, masa tanpa permisi atau berterima
kasih atau bahkan ba atau bi sudah pergi meninggalkanmu
begitu saja" Teman macam apa dia?"
Kembali Liong Su menghela napas panjang, katanya sambil
tertawa getir, "Sejak awal dia memang tak pernah
menganggap kita sebagai sahabatnya..."
"Lantas buat apa kita bersikap begitu baik terhadapnya?"
teriak Ouyang Ci gusar. Pelan-pelan Liong Su mengalihkan pandangan matanya ke
tempat kejauhan, setelah menarik napas sahutnya, "Mungkin
dikarenakan orang semacam dia sudah tak banyak lagi
dijumpai dalam dunia persilatan."
Tidak membiarkan Ouyang Ci berbicara, kembali ia
melanjutkan, "Lagipula, sesungguhnya ia bukannya tak mau
bersahabat dengan kita, ia sengaja berbuat begini agar tidak
menyusahkan kita dengan masalahnya."
"Ohh..." "Bukan saja dia telah mengalami tragedi yang memilukan,
yang sangat menyayat perasaan hatinya, bahkan bisa jadi ia
mempunyai kepedihan yang sulit untuk diberitahukan ke
orang lain. Itulah sebabnya dia tak ingin bersahabat dengan
siapa pun!" 90 "Kau bilang dia tak ingin menyusahkan dirimu, padahal
sejak awal dia sudah menyusahkan kau, masa ia tak sadar
akan hal ini?" Liong Su geleng kepalanya.
"Ada sementara persoalan, aku justru tak ingin dia tahu."
"Demi dia, kau tak segan melukai para pendekar dari
perguruan Hiat-yu-bun (Perguruan Banjir Darah), masa dia tak
menyadarinya" Sekali Hiat-yu-bun bermusuhan dengan
seseorang, mereka pasti akan meluruk tak berkesudahan,
masa ia tak pernah mendengar perkataan ini?"
Lama sekali OongSu termenung, kemudian baru katanya,
"Jangan lagi dia, yang tak lebih cuma seorang pemuda yang
baru terjun ke sungai telaga, ada sementara masalah mungkin
kau sendiripun tidak tahu."
"Soal apa?" Tiba tiba sorot mata Liong Su berubah jadi merah
membara, penuh sinar kebencian, kegusaran dan dendam
kesumat yang tak terhingga, sepatah demi sepatah katanya,
"Tahukah kau bagaimana kisah kebinasaan Hong-toako
sekalian?" Bergidik seluruh bulu tubuh Ouyang Ci menyaksikan sorot
mata seseram itu, tiba-tiba serunya tertahan, "Jadi... jadi
mereka pun tewas di tangan Hiat-yu-bun?"
Liong Su tidak menjawab, "Prakkkk! "cawan arak yang
berada dalam genggaman tangannya tiba-tiba remuk dan
hancur berkeping-keping. "Darimana kau tahu?" teriak Ouyang Ci sambil melompat
maju ke depan. "Kenapa baru hari ini kau beritahu aku?"
"Karena aku takut kau pergi mencari mereka dan menuntut
balas." "Kenapa tak boleh balas dendam?"
"Brakkk!" kembali Liong Su menggebrak meja kuat-kuat,
serunya, "Kalau budi belum dibalas, mana mungkin kita boleh
balas dendam?" Gemetar sekujur tubuh Ouyang Ci, terhuyung-huyung ia
mundur ke belakang hingga jatuh terduduk di bangku,
91 keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi
wajahnya. Pelan-pelan Liong Su membuka kepalan tangannya,
cucuran darah mengalir dari mulut lukanya yang panjang dan
membasahi kepingan cawan arak di atas lantai.
Mengawasi darah yang membasahi telapak tangannya,
sepatah demi sepatah kata kembali ujarnya, "Hutang darah
tetap harus dibayar dengan darah, tapi bukan berarti hutang
budi tak dibayar sama sekali. Bisa saja kita beradu nyawa
dengan Hiat-yu-bun hingga titik darah penghabisan, tapi siapa
pula yang akan membayar budi kita kepada mereka?"
" Aaah, mengerti aku sekarang," teriak Ouyang Ci sambil
bangkit berdiri. "Kita bayar dulu hutang budi itu kemudian
baru balas dendam!" "Benar!" sahut Liong Su sambil gebrak meja dan tertawa
keras. "Begitulah tindakan nyata seorang lelaki sejati yang
sesungguhnya!" IV Tak ada kata perpisahan, tak ada pula ucapan terima kasih,
bahkan tak sepatah kata pun yang diucapkan Siau Lui. Ia
ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan rumah penginapan.
Yang terbentang di hadapannya kini hanya selapis
kegelapan yang pekat. Tapi ketika tiba di kaki bukit, sinar fajar
kembali telah muncur di ufuk timur.
Kabut putih yang pekat bagai susu ibu menyelimuti seluruh
permukaan bumi, secerca sinar emas yang dipancarkan sang
matahari pelan-pelan mulai mengintip dari balik bukit.
Perlahan-lahan ia berjalan mendaki ke atas bukit. Masih
seperti saat meninggalkan rumah penginapan tadi, ia berjalan
sambil membusungkan dada.
Mulut luka bekas bacokan golok masih meninggalkan rasa
sakit dan pedih yang bukan alang kepalang. Seandainya dia
92 mau sedikit membungkukkan badan sambil berjalan, mungkin
rasa sakit yang menyayat itu akan berkurang.
Tapi ia tak sudi berbuat begitu, ia masih berjalan dengan
membusungkan dada. Menelusuri selokan kecil masuk ke
dalam hutan bunga tho. Pepohonan dengan bunga tho yang harum semerbak masih
berdiri utuh seperti sedia kala, tapi ke mana penghuninya"
Dibawah pohon bunga tho yang paling semerbak dan
rimbun itu seolah-olah masih terendus bau harum semerbak
yang dipancarkan tubuh Jian-jian. Tapi di manakah dia
sekarang" Bunga yang rontok terbawa air selokan terhanyut ke kaki
bukit sana, tapi bunga akan tumbuh dan berkembang kembali.
Tapi Jian-jian... Ia telah pergi, mungkin selama hidup tak akan
muncul kembali di sana. Siau Lui semakin membusungkan dadanya, ia menarik
dadanya makin keras, mulut luka pun semakin robek besar
dan mendatangkan rasa sakit yang luar biasa. Tapi ia tak
perduli. Dia tak takut mengucurkan darah tapi sangat takut
mengalirkan air mata. Dengan langkah lebar ia tinggalkan
hutan bunga tho itu, tanpa berpaling sekejap pun. Di
hadapannya sekarang adalah kebun rumah tinggalnya.
Dahulu, tempat tersebut adalah tempat yang paling hangat
dan penuh kebahagiaan. Tapi kini telah berubah tinggal puingpuing
yang berserakan. Dia tak tega balik ke situ, tak berani kembali ke sana. Tapi
mau tak mau dia harus kembali ke tempat tersebut.
Betapa menakutkan dan mengerikannya suatu kenyataan,
pada akhirnya pasti ada saat di mana kau harus menghadapi
dan menerimanya sebagai suatu kenyataan.
Melarikan diri dari kenyataan, bersembunyi dari kenyataan
bukan suatu penyelesaian yang betul dan lagi tak ada
gunanya. Lagipula tak ada persoalan di dunia ini yang tak bisa
diselesaikan untuk selamanya.
93 Apalagi baginya yang benar-benar harus dihindari bukan
orang lain, melainkan dirinya sendiri.
Tak ada orang yang bisa menghindari diri sendiri. Sambil
menggertak gigi ia melanjutkan langkahnya menelusuri jalan.
Jalan setapak menuju ke rumahnya masih seperti sedia
kala, tapi jenasah orang tuanya mungkin sudah terbakar
hangus saat ini. Pasti susah untuk dikenali lagi. Dan
kedatangannya kali ini tak lain untuk menunjukkan rasa
baktinya sebagai seorang anak terhadap orang-tuanya.
Mungkin di masa lampau ayahnya sudah banyak melakukan
kesalahan, mungkin ia pernah merasa amat sedih dan pedih
setelah mengetahui kisah tersebut. Tapi kini, semuanya telah
berlalu... Semuanya telah berlalu, kobaran api yang membakar
tempat tersebut telah membersihkan seluruh noda tersebut, di
atas perbukitan dengan hamparan rumput nan hijau kini telah
bertambah dengan beberapa gundukan tanah pekuburan
baru. Seorang kakek bungkuk berambut putih sedang bersembahyang
di depan kuburan. Siau Lui tertegun menyaksikan
semuanya ini. Siapa yang telah mewakilinya melakukan pekerjaan ini"
Bagaimana caranya ia membalas budi kebaikan setinggi bukit
ini" Pelan-pelan kakek bungkuk itu berpaling, secerca
senyuman getir tersungging di wajahnya yang telah penuh
keriput itu.. Sin Hoa-ang! Ternyata orang yang punya rasa
setia kawan yang luar biasa ini tak lain adalah Sin Hoa-ang,
kakek pembuat arak yang memiliki gerai arak tersebut.
Termangu Siau Lui mengawasi wajahnya, ia merasa tenggorokannya
seolah-olah tersumbat, tak sepatah kata pun yang
sanggup diucapkan. Sin Hoa-ang berjalan menghampirinya dengan langkah perlahan,
butiran air mata masih membasahi ujung matanya,
sambil tertawa paksa dan menepuk-nepuk bahunya ia berkata,
94 "Ooh, rupanya kau sudah datang, bagus... bagus sekali...
akhirnya kau datang juga."
"Aku..." Siau Lui menggigit bibir.
"Aku paham dengan perasaanmu sekarang, jadi kau tak
perlu mengatakan apa pun, juga tak usah berterima kasih
kepadaku karena bukan aku yang melakukan semuanya ini."
"Bukan kau" Lantas siapa?" tak tahan Siau Lui bertanya.
"Dia tak ingin aku beritahu kepadamu juga tak ingin kau
berterima kasih kepadanya, tapi aku..."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Sudah
puluhan tahun lamanya aku tak pernah berjumpa dengan
seorang hohan yang begitu setia-kawan dan begitu berjiwa
besar macam dia. Bila aku tidak mengatakan siapakah orang
itu dan menghilangkan kesempatan baik bagimu untuk
berkenalan dengannya, aku betul-betul merasa sangat tak
tenang!" "Siapakah orang itu sebenarnya?" seru Siau Lui sambil
menggenggam bahunya. "Liong Su!" "Dia?" dengan wajah tertegun
Siau Lui mengendorkan genggamannya.
Sin Hoa-ang menghela napas panjang.
"Dari akulah dia mencari tahu asal-usulmu. Tapi bila aku
tetap merahasiakannya kepadamu maka selama hidup
mungkin kau tak akan tahu betapa besarnya perhatiannya
terhadap dirimu." Siau Lui mendongakkan kepalanya memandang angkasa
sambil menarik napas panjang, gumamnya, "'Kenapa ia harus
berbuat begini" Kenapa..."
"Sebab dia anggap kau pun terhitung seorang lelaki sejati,
dia ingin berteman dengan orang gagah macam kau!"
Siau Lui menggenggam kepalannya kencang-kencang,
entah dengan cara apa ia mengendalikin gejolak perasaannya,
butiran air mata yang telah membasahi kelopak matanya tidak
dibiarkan meleleh keluar.
95 Entah berapa lama sudah lewat... akhirnya perlahan-lahan
ia berjalan ke hadapan sederet kuburan baru itu dan jatuhkan


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri berlutut. Di atas batu cadas berlumut hijau tertera beberapa huruf
yang kentara masih baru diukir, tapi ia tak melihat jelas apa
tulisan yang tertera di situ, matanya telah berkaca-kaca, telah
dibuat kabur... Termangu-mangu Sin Hoa-ang mengawasi anak muda itu,
tiba tiba bisiknya, "Menangislah, kalau ingin menangis,
menangislah. Di dunia yang fana ini tak akan ada seorang
lelaki yang benar-benar bisa menahan gejolak hatinya.
Menangislah sepuas-puasnya!"
Siau Lui mengepal tinjunya semakin kencang, kuku jarinya
telah menembus ke dalam daging, mulut luka di dadanya
semakin merekah membuat darah semakin bercucuran deras.
Dadanya turun naik bergelombang, merahnya darah telah
membasahi hampir seluruh pakaian yang dikenakan, tapi air
matanya masih tertahan di dalam mata, tertinggal di dalam
hati, tertinggal di suatu tempat yang tak akan terlihat orang
lain. Baginya, lebih baik darah bercucuran daripada air mata
yang berlinang. Ya, kejadian apa lagi yang bisa lebih mengenaskan
daripada air mata yang tidak terlihat meleleh keluar"
Angin berhembus sepoi-sepoi, udara tidak terasa kelewat
dingin. Diam-diam Sin Hoa-ang membesut air mata yang
membasahi pipinya sambil berpaling ke arah lain, mengawasi
puing-puing sisa kebakaran yang berserakan di sana-sini.
Bau harum bunga terbawa angin dari kejauhan sana, juga
membawa serta benih yang datang dari kejauhan.
Sin Hoa-ang termenung, kemudian gumamnya, "Haiii... Tak
akan menunggu terlalu lama, bila musim semi tahun depan
telah tiba, tanah gosong yang gersang ini pasti akan
menghijau kembali, berkuntum-kuntum bunga pasti akan
berserakan lagi di mana-mana. .."
Memang, selama tempat itu masih ada tanah dan angin,
maka selamanya umat manusia masih punya harapan.
96 Sekalipun ada suatu kekuatan yang begitu menakutkan
mengancam tempat tersebut, tak mungkin akan lenyap
takberbekas. V Malam semakin kelam, tiada manusia di atas bukit.
Lamat-lamat terdengar suara tangisan yang mendengung
dibawa angin malam, begitu pilu tangisan tersebut seperti
lolongan serigala yang saling bersahutan... seperti juga jeritan
monyet yang sedang berkejaran di pucuk pohon.
Sambil memegang tongkatnya Sin Hoa-ang berdiri
termangu di bawah kaki bukit, di tengah kegelapan malam,
kerutan memanjang menghiasi wajahnya yang penuh kerutan
itu. Ia benar-benar tak paham dengan pemuda keras kepala ini.
Isak tangis masih bersambungan tak ada habisnya, seolaholah
pemuda itu ingin menangis semalam suntuk di tempat
itu, ingin meluapkan seluruh kepedihan hatinya dan
menghabiskannya dalam semalaman saja.
Sin Hoa-ang tertunduk sedih, gumamnya, "Anak bodoh,
kenapa kau harus menunggu hingga tak ada orang baru mulai
menangis" Buat apa kau harus menyiksa diri sendiri...?"
PERSAHABATAN I Jian-jian dengan kepala tertunduk menghirup arak dalam
cawannya. Arak itu berwarna hijau pupus.
Cahaya lampu berwarna merah memancar keluar dari balik
kain cadar tipis menyinari di atas tangannya. Sebuah tangan
yang putih, mulus dan indah.
Sepasang mata Kim Cwan masih terpancang kaku di atas
tangannya yang lembut itu, mengawasinya tanpa berkedip.
97 Kini dia sudah tak perlu mengintipnya secara sembunyisembunyi.
Apapun yang ingin dia lihat, dia akan
memandangnya secara langsung.
Kini, waktu tinggalnya di kamar gadis tersebut makin lama
semakin panjang, sudah bukan pekerjaan yang gampang
untuk mengusir pemuda tersebut dari tempat itu. Lambat laun
gadis itu sudah dianggapnya sebagai barang milik pribadinya.
Jian-jian masih tertunduk mengawasi pakaian yang dikenakannya.
Pakaian hijau muda yang bening bagai air telaga,
bordiran berwarna hijau menghiasi sisi pakaiannya. Bukan
cuma terbuat dari bahan yang mahal harganya, jahitannya
pun sangat rapi dan indah. Itulah pakaian pemberian Kim
Cwan kepadanya. Selama berapa hari belakangan, apa yang dimakan, yang
dipakai, yang digunakan, semuanya berasal dari kocek di
pinggang pemuda itu. Kini ia semakin sadar, semakin tak
gampang baginya untuk menyingkirkan pemuda tersebut dari
hadapannya. Apalagi pada malam ini, tampaknya ia sudah memutuskan
untuk tetap tinggal dalam kamar itu, ia sudah kelewat banyak
menenggak air kata-kata. Entah siapa pun orangnya, bila ingin mendapatkan sesuatu
maka ia harus rela mengorbankan segala apa pun.
Khususnya bila kau membiarkan seorang pria rela mengorbankan
diri demi dirimu, maka kau pun wajib
mengorbankan sesuatu demi dirinya.
Dalam hati Jian-jian menghela napas, ia sudah siap
melakukan pengorbanan. Tapi... berhargakah pengorbanan
tersebut" Sinar lampu menyoroti juga wajah Kim-cwan, terus terang
ia terhitung juga seorang lelaki tampan yang menarik hari,
selain ganteng dan lembut. Ia pun mengerti mengambil hati
seorang wanita, tahu bagaimana caranya membuat gembira
seorang perempuan. 98 Dia kelihatan seakan-akan selamanya bersih. Namun di
balik kerangka tubuhnya yang kelihatan bersih itu sebenarnya
tersembunyi sebuah hati macam apa"
Jian-jian tak berani membayangkan, ia kuatir jadi muak bila
memikirkan persoalan tersebut. Apa yang harus dipikirkan
sekarang adalah, bisa dipercayakah lelaki ini" Sungguhhatikah
dia melindungi dirinya" Benarkah dia berasal dari
keluarga yang baik, yang bisa diandalkan"
Secara sembunyi-sembunyi ia coba melirik kantung goanpo
yang tergantung di pinggangnya. Selama berapa hari
belakangan boleh dibilang seluruh pengeluarannya berasal
dari dalam kantung kulit itu.
Kim Cwan bukan termasuk orang pelit, tapi kini masih
tersisa berapa banyak isi kantung goanpo tersebut"
Membayangkan hal semacam ini, ia mulai merasa muak
dan pingin tumpah, tapi bagaimana pun jua ia mesti
memikirkan masalah tersebut.
Boleh saja ia tidak memikirkan kepentingan pribadi, tapi ia
mesti berusaha mencarikan seorang ayah yang bisa dipercaya
bagi jabang bayi yang masih berada dalam rahimnya.
Tentu saja beda bila pengorbanan tersebut demi Siau Lui.
Demi dia, ia rela tidur dalam istal kuda, rela minum air putih
saja tiap hari, karena ia sangat mencintainya.
Demi lelaki yang dicintainya seorang perempuan memang
rela merasakan penderitaan macam apa pun. Entah berapa
besar siksaan yang harus mendera dirinya, berapa berat
beban yang harus dipikulnya, ia rela menerima semuanya itu
tanpa berkeluh kesah. Tapi bila ia harus berkorban demi seorang lelaki yang sa
ma sekal i tak dicintainya, maka semuanya itu harus dibayar
dengan suatu imbalan yang setimpal.
Dalam situasi seperti ini, perempuan selalu berpikir lebih
cermat, lebih matang dan lebih jauh ketimbang seorang lelaki,
dan biasanya lebih berkepala dingin.
Jian-jian masih menunduk mengawasi cawan kosong di
hadapannya dengan termangu. Kim-cwan juga lagi
99 mengawasinya, tiba-tiba tegurnya sambil tertawa, "Apa yang
sedang kau pikirkan" Ingin mengusir aku dari sini?"
"Mana berani aku mengusirmu?" sahut Jian-jian semakin
tertunduk rendah. "Tapi..."
"Tapi kenapa?" "Aku... aku selalu merasa ... kita tak boleh gegabah dan
tergesa-gesa dalam memutuskan masalah sebesar ini, kau
seharusnya pulang dulu dan beritahu persoalan ini kepada
orang-tuamu." Kim Cwan termenung. "Aku mengerti, mungkin kau anggap aku kelewat bawel,
kelewat banyak urusan," sambung Jian-jian lagi. "Tapi... Aku
hanya seorang perempuan sebatang kara yang tak punya apaapa,
tak punya teman, tak punya sanak, jika di kemudian
hari..." Tiba tiba wajahnya berubah jadi merah padam, sambil
menggigit bibir terusnya, "Jika di kemudian hari kau jahat
padaku, membuat aku menderita... paling tidak aku masih
punya satu jaminan."
Perkataan itu diutarakan sangat lirih, amat mengenaskan,
tapi artinya sangat jelas, yaitu bila kau pingin dapatkan aku
maka orang-tuamu harus jadi jaminan, orang-tuamu harus
melamarku secara resmi dan menikah secara resmi pula.
Sesungguhnya prasyarat semacam ini tidak termasuk
berlebihan, siapapun itu orangnya, bila seorang wanita sudah
bersiap siap melakukan pengorbanan, mereka tentu akan
mengajukan juga syarat yang sama.
Kembali Kim Cwan termenung, sampai lama kemudian ia
baru menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya aku
belum pernah bercerita tentang asal usulku selama ini?"
"Yaaa, belum pernah."
"Aku sama seperti kau, seorang yatim-piatu yang sudah
kehilangan ayah dan ibu, bahkan teman pun hanya ada satu
dua." Jian-jian merasa hatinya seolah-olah tenggelam, bagai
seseorang yang tenggelam di tengah samudra luas, tiba-tiba
100 saja ia merasa balok kayu yang hendak dipegang sebagai
penopang hidupnya ternyata hanya balok kayu keropos yang
kosong dan nyaris hampir tenggelam pula di tengah laut.
Kim-cwan kembali memandang ke arahnya sambil
menyeringai, menampilkan sekulum senyuman yang amat
licik, tapi dengan nada suara yang tetap lembut ia berkata,
"Justru karena kita sama-sama orang yang terlunta dan
sebatang kara, maka kita wajib saling menopang, bukan
begitu?" Jian-jian tidak menjawab, ia tak tahu harus berkata apa"
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dan
suara keleningan nyaring bergema dari kejauhan, irama
keleningan itu amat merdu bagaikan pualam.
Berdetak keras jantung Jian-jian mendengar suara
tersebut, ia tahu siapa yang telah datang.
Sore tadi sewaktu mereka sedang beristirahat minum teh,
ia sudah bersua dengan kelompok manusia tersebut. Padahal
hanya satu orang yang dilihatnya.
Usia orang itu belum terlalu banyak, dibandingkan dengan
yang lain malah kelihatan paling muda, tapi siapapun yang
memandang ke arahnya, dalam sekilas pandang saja pasti
akan tahu bahwa dia adalah majikan dari kelompok manusia
tersebut. Ini bukan dikarenakan pakaian yang dikenakan lebih
mewah dan halus ketimbang orang lain, bukan disebabkan
keleningan emas yang tergantung di kudanya, juga bukan
lantaran pedang bertaburkan batu pualam yang tergantung di
atas pelananya. Kesemuanya ini hanya disebabkan pancaran sinar matanya,
penampilannya dan gerak-geriknya. Ada sementara orang
yang seolah-olah selalu tampil lebih anggun dan berwibawa
ketimbang orang lain, dan dia termasuk manusia macam ini.
Perawakan tubuhnya tinggi, tatkala berdiri dalam kerumunan
manusia, ia seperti burung bangau berdiri di tengah
kerumunan ayam. 101 Wajahnya termasuk tampan, gerak-gerik dan tindaktanduknya
selalu pakai aturan dan tata krama, namun
pancaran sinar matanya menampilkan hawa kesombongan
yang tak terlukiskan dengan kata, seolah-olah ia tak pernah
pandang sebelah mata pun terhadap orang lain.
Namun sejak pandangan matanya yang pertama ditujukan
ke arah Jian-jian, sorot mata tersebut seakan-akan selalu
mengawasi gerak-gerik gadis itu, ia seperti tak perlu merasa
kuatir, tak perlu takut dan tak merasa harus berpantang
melakukan tindakan macam itu.
Biasanya bila seseorang sudah memandang orang lain
dangau pancaran mata semacam ini, bila dia ingin
mendapatkannya maka dengan cara apapun ia pasti akan
berusaha untuk mendapatkannya. Apakah dia ingin
mendapatkan Jian-jian"
Debaran jantung Jian-jian semakin keras. Tadi, secara jelas
ia menyaksikan gerombolan manusia itu bergerak menuju ke
arah yang berlawanan, mengapa sekarang bisa balik lagi
kemari" Mungkinkah dia balik lantaran dirinya"
Kim Cwan juga telah mendengar suara keleningan yang
bergema dari luar kamar, tiba-tiba ia bangkit berdiri,
menurunkan tirai jendela dan mengunci pintu kamar rapatrapat.
Paras mukanya kelihatan telah berubah jadi pucat
kehijau-hijauan. Tiba tiba Jian-jian teringat kembali, sore tadi sewaktu ia
bertemu pemuda tersebut Kim-cwan juga menunjukkan
perubahan wajah semacam ini, malah dengan cepat ia tarik
tangannya, mengajaknya masuk ke dalam kereta.
Mungkinkah dia sangat takut dengan orang ini" Tapi
siapakah dia" Waktu itu Jian-jian seperti mendengar orang lain memanggilnya
sebagai "Siau Ho-ya," tapi secara lamat-lamat diapun
sempat membaca huruf "Tio" yang amat besar tersulam di
atas sarung golok para pengikut yang menyertainya.
102 Waktu itu ia tidak mendengar terlalu jelas, juga tidak
melihat terlalu jelas, tak baik bagi seorang perempuan macam
dia untuk memperhatikan gerak-gerik pria lain secara berani


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan terang-terangan. Tapi, bila ia betul-betul tidak
mendengar, benar -benar tidak melihat, darimana bisa
mengetahui persoalan tersebut"
Kuda telah berhenti berlari, suasana di luar kamar sudah
mulai tenang kembali. Paras muka Kim Cwan yang pucat pias kini sudah berubah
normal kembali. Sesudah meneguk beberapa cawan arak dan
terbatuk ringan, katanya, "Kenapa kau tidak menjawab
pertanyaanku tadi?" "Tadi... Tadi... Kau bicara apa?"
"Manusia macam kita berdua sudah ditakdirkan untuk hidup
dan kumpul bersama, jika bukan aku yang baik kepadamu,
siapa lagi yang akan baik kepadamu..." Masa kau masih ragu
dan menguatirkan hal lain?"
Tiba-tiba Kim Cwan menggerakkan tangannya dan menggenggam
tangan gadis itu erat-erat.
Jian-jian tidak meronta, ia biarkan tangannya digenggam
pemuda itu, bagaimana pun jua ia tak boleh bersikap kelewat
dingin dan hambar terhadapnya.
Tapi... ternyata gerak tangannya diikuti dengan gerakan
rubuhnya, dengan memakai tangannya yang lain Kim Cwan
merangkul pinggang Jian-jian kuat-kuat, bisiknya, "Jian-jian. ..
tahukah kau, sejak pandangan mata pertama dulu aku sudah
jatuh cinta kepadamu..." Aku sudah amat menyukaimu."
Dengan suara yang lebih lembut dan halus, kembali
lanjutnya, "Semenjak hari itu, aku tak pernah bisa melupakan
kau walau hanya sedetik pun... bahkan sampai waktu
bermimpi pun aku selalu memimpikan dirimu... aku sering
bayangkan seandainya kau..."
Di tengah malam yang dingin, dalam ruang kamar yang
sepi, dalam redup cahaya lampu yang remang-remang, berapa
banyak wanita yang bisa melawan bujuk rayu seorang lelaki
terhadapnya" 103 Tapi dengan sigap Jian-jian memotong rayuannya itu.
"Jadi kau selalu berharap aku bisa segera ribut dengan Siau
Lui" Segera berpisahan dengan Siau Lui agar kau mendapat
kesempatan untuk mendapatkan aku?"
Berubah hebat wajah Kim Cwan, tapi masih memaksakan
diri untuk tertawa sahutnya, "Kau kan sudah berjanji tak akan
mengungkitnya lagi selamanya, tak akan memikirkannya lagi
selama hidup?" Paras muka Jian-jian yang semula lembut tiba-tiba ikut
berubah jadi dingin beku bagaikan salju, katanya,
"Sebenarnya aku memang tak ingin memikirkan dia lagi, tapi
setiap kali aku melihatmu secara otomatis akan teringat pula
dengannya, karena kalian berdua adalah sahabat karib, tidak
sepantasnya kau berbuat demikian terhadapku."
Kini paras muka Kim Cwan benar-benar berubah hebat, dia
merasa seolah-olah ditampar keras wajahnya secara tiba-tiba.
Jian-jian tertawa dingin, memandangnya dengan pandangan
sinis. Semestinya dia tak pantas mengucapkan kata-kata
semacam ini, seharusnya ia menahan diri, merelakan dirinya
sedikit tersiksa, sedikit menuruti kemauannya, demi
penghidupan. Demi masa depan jabang bayi yang
dikandungnya, seharusnya dia mau menerima semua
penderitaan termasuk mengorbankan tubuhnya uni u k
pemuda tersebut Bukankah banyak perempuan di dunia ini yang rela
badannya diacak-acak lelaki hidung belang hanya disebabkan
demi kehidupan diri" Tapi sekarang tampaknya situasi telah
berubah secara tiba-tiba.
Timbul suatu perasaan yang aneh dalam hati Jian-jian
waklu itu, ia merasa mendapat kesempatan emas untuk
meraih sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang lebih berharga
ketimbang yang sudah ada di depan mata sekarang.
Sejak kapan perasaan aneh semacam ini muncul dalam
hatinya" Ia sendiri juga tak jelas. Perempuan memang
104 seringkali bisa muncul perasaan aneh macam ini, semacam
naluri hewan buas atas buruannya.
Tanpa memiliki kelebihan semacam ini memang sulit bagi
kaum wanita untuk hidup tenang di dunia milik lelaki macam
ini. Jian-jian sudah tidak menunduk, dia angkat kepalanya
tinggi-tinggi. Kim Cwan sangat geram, dengan mata yang melotot besar
penuh garis-garis merah darah dia awasi gadis itu tanpa
berkedip, serunya, "Kau bilang tidak sepatutnya aku berbuat
demikian" Tahukah kau, kenapa aku bisa berbuat begini
kepadamu?" "Kenapa?" "Karena kau! Kaulah yang suruh aku berbuat demikian,
sejak awal hingga kini kau selalu merayuku, selalu
memancingku, menjebakku!"
Jian-jian tertawa, tertawa dingin... bila seorang wanita
sudah menjawab ucapanmu dengan tertawa dingin, jika kau
seorang lelaki cerdas, lebih baik cepatlah angkat kaki dan
tinggalkan dia jauh-jauh!
Sayang Kim Cwan sudah tidak merasakan hal itu, seolaholah
dia tak mendengar tertawa dingin gadis itu, kembali
katanya, "Bila kau tidak menjebakku, tidak merayuku, kenapa
kau buatkan pakaian untukku" Kenapa secara diam-diam kau
robek bajuku dan kemudian pura-pura menambalkan?"
Jian-jian tertegun. Tiba-tiba Kim Cwan tertawa keras, tertawa kalap, sambil
menuding gadis itu teriaknya, "Kau anggap aku tak tahu apaapa"
Kau kira aku goblok" Seorang lelaki dungu yang tak
punya otak" Kau anggap aku benar-benar sudah terpikat oleh
rayuan dan kemolekan tubuhmu?"
Jian-jian hanya memandangnya, dia merasa seperti lagi
memandang seorang asing yang belum pernah dijumpai
sebelumnya. Ia memang baru pertama kali ini melihat jelas
manusia macam apakah dia itu.
105 Ternyata hati yang tersembunyi di balik rongga tubuhnya
yang bersih dan rapi itu bukan saja jauh lebih memuakkan,
jauh lebih menyebalkan daripada yang dibayangkan semula,
hatinya juga lebih kejam dan sadis dari perkiraannya semula.
Apa yang menyebabkan semua kedok kemunafikan dan
kepura-puraannya terbongkar" Arakkah" Atau ia sudah sampai
pada taraf di mana mustahil untuk mendapatkannya lagi
dengan segala akal muslihat"
Bagaimana pun juga, belum termasuk kelewat terlambat
gadis itu mengetahui kedok kemunafikan serta
kebohongannya. Dengan tenang Jian-jian berdiri di situ, kini hubungan
mereka sudah buntu, sudah tak mungkin untuk berbicara lagi,
sudah tiba saat baginya untuk pergi dari situ.
Walau ia tahu dengan pasti, begitu keluar dari situ berarti
sulit baginya untuk hidup terus, tapi ia tetap harus pergi dari
situ. Karena perasaan hatinya terhadap pemuda itu sudah
mati, sudah membeku. "Kau masih ingin pergi?" tiba tiba Kim Cwan menghardik
sambil melotot. Jian-jian tertawa, hambar sekali tawanya. Dalam kondisi
dan situasi semacam ini, suara tertawanya lebih banyak
mengandung nada kesal, menyesal dan mencemooh.
Ia melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan ruangan,
tiba-tiba Kim Cwan melompat ke depan, menyambar
pinggangnya dan memeluk erat-erat.
Kini tangannya sudah mulai kurang-ajar, mulai tak pakai
aturan lagi. Dia mulai menggerayang, meraba sekujur tubuh
gadis itu, dengan napas terengah-engah dan menyeringai
seram katanya, "Kau memang seharusnya menjadi milikku,
jangan salahkan kalau aku akan berbuat kasar... Aku harus
menikmati tubuhmu..."
Jian-jian meronta keras, tapi pelukan itu terlalu kuat, ia tak
sanggup melepaskan diri. Akhirnya tak tahan ia mulai
berteriak keras, "Lepaskan aku... biarkan aku pergi..."
Pada saat itulah tiba-tiba pintu kamar dibuka orang.
106 Padahal pintu itu sudah terkunci dari dalam, tapi saat ini,
entah karena apa ternyata kunci itu seperti lapuk, sama sekali
tak berguna. Cahaya lentera menyorot keluar dari balik pintu, menyinari
tubuh seseorang. Orang itu berperawakan jangkung, bajunya putih bersih
bagai salju, sebuah ikat pinggang pulih kemala yang lebar
melilit di alas pinggangnya,kecuali itu tak nampak perhiasan
lain di tubuhnya. Ia memang tak butuh perhiasan apa pun
untuk menghiasi tubuhnya.
Sambil bergendong tangan ia berdiri tenang di luar pintu,
mengawasi Kim Cwan dengan sinis, sinar matanya
memancarkan tigapuluh persen perasaan menghina dan
tujuhpuluh persen rasa muak dan sebal, katanya hambar,
"Sudah kau dengar perkataannya?"
Berubah hebat paras muka Kim Cwan setelah menyaksikan
kehadiran orang itu, sekujur tubuhnya seolah-olah berubah
jadi kaku secara tiba-tiba, sampai lama kemudian ia baru
mengangguk dengan terpaksa.
Jantung Jian-jian ikut berdebar keras, ternyata
perhitungannya tidak meleset, ia betul-betul balik ke situ
mencarinya, dan ternyata muncul tepat waktu. Dia pun sadar,
setelah kemunculannya kembali di situ, ia tak mungkin
melepaskan dirinya begitu saja.
Tuan "Siau Ho-ya," tiga huruf kata yang penuh rangsangan,
penuh godaan, cukup bikin bergetar perasaan anak gadis
manapun. Apalagi ia masih terhitung seorang lelaki tampan yang
gagah dan menarik hati. Jian-jian pejamkan matanya, apa yang didoakan, yang
diharapkan kini sudah muncul di depan mata, belum pernah
sedekat ini pada masa yang silam.
Kehidupan yang serba mewah, serba terhormat, sandangpangan
yang berlimpah, harta kekayaan yang menumpuk
setinggi bukit... gemerlapan cahaya intan berlian mutuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
107 manikam... dia seolah-olah sudah melihatnya di depan mata,
seolah-olah sudah dapat menyentuh dan merasakannya.
Tapi entah kenapa, tiap kali ia pejamkan matanya, yang
muncul dalam perasaan hatinya hanya bayangan seseorang.
Seorang lelaki yang keras kepala, terasing, sombong, tak
mau tunduk dan menyerah kepada siapa pun... Siau Lui!
Dia telah mendapatkan semua yang ada di dunia ini. Tapi,
asal Siau Lui menggapai ke arahnya maka dia rela
meninggalkan semuanya itu, rela hidup berkelana bersamanya
hingga ke ujung dunia. Semakin dendam perasaan seseorang, semakin dalam pula
perasaan cinta terhadapnya. Bagaimana cara ia menerima
semua siksaan ini bila cinta dan dendam telah menggurat
dalam dalam di hatinya"
"Aku tak boleh memikirkannya lagi, saat ini bukan saat
yang tepat untuk memikirkan dia!"
Yaaa, kesempatan emas telah tiba, dia harus pandai pandai
memegang dan memanfaatkannya.
Kim Cwan telah melepaskan genggamannya, cepat-cepat
Jian-jian lari ke depan, bersembunyi di belakang Siau Ho-ya,
lalu sambil merangkul kencang lengannya ia berbisik dengan
suara gemetar: "Suruh dia pergi, suruh dia cepat-cepat pergi..."
"Sudah kau dengar perkataannya?" tegur Siau Ho-ya
dingin, ia mengawasi Kim Cwan dengan pandangan sinis.
Kim Cwan menggertak gigi kencang-kencang, perasaan
marah, benci dan dendam terpancar keluar dari sorot
matanya, tetapi ia tak berani membantah. Akhirnya dengan
terpaksa ia mengangguk. "Apa yang dia katakan?" kembali Siau Ho-ya bertanya.
"Dia... dia suruh aku pergi dari sini..."
Ketika selesai mengucapkan perkataan tersebut, sekujur
badannya telah gemetar keras karena menahan perasaan
marah, benci dan penderitaan yang luar biasa. Begitu keras ia
gemetar persis seperti seekor anjing yang baru ditarik keluar
dari kubangan salju. 108 Sekarang ia dapat mencicipi bagaimana rasanya dikhianati
orang, akhirnya dapat ia sadari betapa sakit dan menderitanya
perasaan tersebut. "Kalau toh sudah tahu harus segera pergi dari sini, kenapa
kau tidak segera menggelinding pergi?" kembali Siau Ho-ya
berkata. Kim Cwan mengepal tinjunya kuat-kuat, kalau bisa dia ingin
sekali menjotos wajah pemuda yang sombong dan menghina
itu hingga babak belur. Siau Ho-ya sama sekali tak ambil perduli kepadanya,
bahkan memandang sekejap pun tidak, ia berpaling dan mulai
mengamati wajah Jian-jian.
Mengawasi butiran air mata yang masih membasahi wajah
Jian-jian, sorot matanya yang dingin tiba-tiba berubah jadi
begitu halus dan hangat Jian-jianmasih terus melelehkan air matanya, entah buat
siapa ia mencucurkan terus air matanya itu" Asal Siau Lui mau
memandangnya sekejap saja seperti pandangan pemuda ini,
asal... Perasaan hatinya makin tertusuk, semakin sakit
rasanya... Mendadak dia peluk kencang lengan anak muda itu
dan mulai menangis tersedu-sedu.
Siau Ho-ya tidak berkata apa-apa, dia ambil keluar sebuah
saputangan dan mulai mengusap bekas air mata di pipinya,
bagi mereka, seolah-olah dalam ruangan itu tak ada orang
ketiga selain mereka berdua.
Kim Cwan menggertak kencang bibirnya, melotot ke arah
mereka dengan sorot mata penuh kebencian, seluruh
badannya seperti mau meledak.
Tapi pada akhirnya ia dapat mengendalikan diri, pelanpelan
mengendorkan kepalan tinjunya, lalu dengan kepala
tertunduk katanya, "Baiklah, aku pergi dari sini..."
Sedetik sebelum semua peristiwa ini terjadi, apa pun yang
berada dalam kamar itu masih menjadi miliknya seorang.


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi secara tiba-tiba segala sesuatunya telah berubah,
segals sesuatu yang berada dalam ruangan itu kini sudah tak
ada sangkut-paut dengan dirinya. Orang yang seharusnya
109 bakal menjadi bini kesayangannya, kini memandangnya
dengan pandangan menghina, seakan-akan sedang
mengawasi seekor anjing... Seekor anjing yang sangat asing
baginya. Bintang bertaburan di angkasa, dinginnya malam semakin
menusuk tulang. Dengan kepala tertunduk Kim-cwanberjalan keluar dari situ
dengan langkah lambat... Berjalan melalui sisi tubuh mereka
berdua. Tak ada yang menggubrisnya, juga tak seorang pun yang
memandangnya lagi, walau hanya sekejap saja.
Hanya angin malam yang berhembus dari kejauahan,
meniup di atas wajahnya, mendatangkan rasa dingin yang
membeku dan menusuk tulang. Dia seakan-akan sudah
ditinggalkan oleh dunia ini, ditinggalkan semua yang ada di
dunia fana ini. Ternyata begini pedih, begini menderita dan begini sakit
bila dikhianati orang, ditinggalkan orang yang dikasihi.
Sekarang ia sudah paham, sudah mengerti, tapi tak setitik
perasaan menyesal pun yang muncul dalam hatinya. Yang
tinggal hanya kebencian, hanya rasa benci dan dendam. Dia
pun ikut balas dendam. Kegelapan menyelimuti seluruh kota, mendekam semua
jalanan. Sekilas memandang, seolah-olah tak nampak setitik
cahaya lentera pun di sana.
Di pinggir jalan masih kelihatan sebuah kedai penjual teh,
dalam poci masih tersisa sedikit air teh, sayang airnya sudah
dingin. Kim Cwan berjalan menghampiri, ia duduk di bangku
panjang dekat tiang tenda.
Angin berhembus menggoyangkan dedaunan pohon yang
tumbuh di tepi jalan, seekor anjing liar berjalan keluar dari
balik bayangan pohon sambil mengempit ekornya. Anjing itu
seperti mau menggonggong, tapi setelah memandang pemuda
itu berapa saat, kembali ia ngeloyor pergi.
110 Mengapa dunia begitu kejam terhadapnya" Siapa yang
menciptakan akibat seperti ini" Apakah dirinya sendiri"
Tentu saja dia tak akan berpikir begitu, hanya orang yang
paling pintar dan paling jujur yang akan mencoba introspeksi
diri setelah mengalami pukulan dan penderitaan hebat
semacam ini. Mungkin saja ia termasuk anak muda pintar, tapi
sayangtidak jujur. "Terserah bagaimana sikap orang lain terhadapku, paling
tidak aku toh masih memiliki..."
Berpikir sampai kesitu, tak tertahan sekulum senyuman
penuh rasa bangga dan puas tersungging di ujung bibirnya.
Tanpa sadar tangannya merogoh ke dalam kantung kulit yang
tergantung di pinggangnya.
Dalam saku kulit itu tersimpan butiran-butiran mutiara yang
memancarkan sinar tajam serta setumpuk kertas uang yang
masih baru. Tangannya yang tengah merogoh ke dalam saku itu terasa
begitu enggan untuk ditarik keluar kembali, sebab semuanya
itu merupakan pengharapan terbesar yang dimilikinya saat ini,
satu satunya pengharapan yang dimilikinya.
Asal tangannya masih bisa menyentuh benda-benda
tersebut, perasaan hangat dan puas segera akan muncul
menyelimuti perasaan hatinya, dari ujung jari tersalur hingga
ke lubuk hatinya yang terdalam.
Perasaan semacam ini bahkan jauh lebih nikmat ketimbang
perasaan di kala jari-jemarinya meremas buah dada seorang
gadis cantik. Ia betul-betul sudah terjerumus dalam perasaan tersebut,
benar-benar merasa mabuk... dia mulai berkhayal... seolaholah
ada sepasang payudara yang montok dan bulat sedang
muncul di hadapannya dan mulai diremas...
II 111 Siau Lui masih berbaring di atas lantai, dia tak tahu sudah
berapa lama menangis di situ. Ketika ia mulai mendengar
suara isak tangis sendiri tadi, bahkan dirinya pun ikut
terperanjat. Mimpipun ia tak mengira dirinya bisa menangis hingga
bersuara, terlebih tak menyangka kalau suara tangisannya
bisa begitu menakutkan. Entah berapa tahun berselang ia
pernah mendengar suara yang sama seperti itu.
Ia menyaksikan ada tiga ekor serigala liar sedang dikejar
sekelompok pemburu, terkejar hingga ke tempat yang buntu
dan terpojok di mana hujan panah sedang terarah ke tubuh
binatang tersebut dengan derasnya.
Serigala jantan dan serigala betina berhasil bersembunyi di
dalam gua, terhindar dari kejaran maut.
Tapi seekor serigala muda yang telah kehabisan tenaga
agak terlambat menyelamatkan diri, hingga akhirnya
tertembus tiga batang anak panah.
Rupanya serigala betina itu adalah ibunya, tanpa
memperduli keselamatan jiwanya ia terobos keluar dari gua
ingin menarik putranya yang terluka itu ke tempat yang aman.
Tapi pada saat yang bersamaan pemburu itu telah melompat
ke hadapannya dan sekali tebas goloknya membabat persis di
punggungnya. Walau tubuhnya sudah roboh bermandikan darah, namun
serigala betina itu masih coba meronta sambil tidak
melepaskan gigitan di tubuh putranya.
Sayang sekali tenaganya lenyap mengikuti kucuran darah
yang mengalir deras, walaupun tinggal dua depa dari mulut
gua, ia sudah tak sanggup melarikan diri lagi.
Ketika melihat bininya meronta kesakitan di tanah, serigala
jantan itu nampak sangat masgul, sepasang matanya yang
abu-abu memancarkan sinar keputusasaan.
Penderitaan serigala jantan itu semakin hebat, tubuhnya
mulai gemetar keras, tiba-tiba ia menerobos keluar dari dalam
gua dan sekali tubruk menggigit persis di leher serigala betina
112 itu, dia berniat membantu bininya melepaskan diri dari
penderitaan. Tapi sayang para pemburu telah mengepung tempat
tersebut. Ketika memandang bangkai bininya tiba tiba saja
serigala itu melolong panjang, suaranya sangat mengerikan...
Begitu menyeramkan suara lolongan itu membuat kawanan
pemburu itu pun ikut terkesiap.
Kini Siau Lui merasa, suara tangisan yang muncul dari
dirinya tadi persis sama seperti suara lolongan sedih serigala
itu, membayangkan semuanya ini hampir-hampir saja dia
tumpah. Air mata telah mengering, tapi darah justru mulai mengalir
kembali. Menangis, memang termasuk sejenis olah raga yang
membutuhkan banyak tenaga.
Jika seseorang benar-benar sedang menangis sedih, bukan
saja dia akan menangis dengan segenap perasaannya, bahkan
seluruh tenaga yang dimiliki pun ikut digunakan.
Siau Lui dapat merasakan bekas luka bacok di dadanya
yang semula sudah menutup, kini mulai robek dan berdarah
lagi, tapi dia tak ambil perduli.
Wajahnya yang tergesek batu dan pasir ketika dirinya
rebah di tanah tadi juga mulai berdarah, tapi dia tak perduli.
Kegelapan malam telah lewat, hari terang pun sudah
menjelang, ia tak tahu sudah berapa lama tidak makan
maupun minum, tapi dia tak perduli.
Benarkah ia tak perduli dengan semua persoalan
disekelilingnya" Lalu... Mengapa dia menangis"
Dia bukan binatang juga bukan sebatang balok kayu, dia
tak lebih hanya ingin memaksa diri agar bisa menerima nasib
yang lebih tragis daripada nasib seekor binatang, memaksa
diri agar orang lain menganggapnya sebagai sebuah balok
kayu walau semuanya ini tidakmudah.
Tiba-tiba terendus bau harum yang terbawa angin, bukan
harumnya pepohonan, juga bukan bau harum bunga dari bukit
di kejauhan sana. 113 Cepat dia mendongak, tampaklah seorang gadis berbaju
putih bersih telah berdiri tegak persis di depan nisan kuburan,
gadis itu muncul dengan sikapnya semula, dingin, angkuh dan
hambar. Sorot matanya yang indah sama sekali tidak
memancarkan rasa iba atau kasihan, dia hanya mengawasinya
dengan pandangan dingin. Ketika melihat ia angkat wajahnya, gadis itu baru menegur
dengan suara dingin, "Sudah cukup tangismu?"
Siau Lui tertegun, ia tak mampu menjawab apa pun,
tubuhnya kaku bagaikan sebuah balok kayu.
"Bila kau sudah cukup menangis, sekarang berdirilah!"
kembali gadis berbaju putih itu berkata.
Siau Lui bangkit berdiri. Sekujur badannya terasa amat
lemas bagai seorang bayi yang baru dilahirkan dari rahim
ibunya, tapi dia berdiri juga...
"Tak nyana hewan pun bisa menangis" kembali gadis
berbaju putih itu mengejek sambil tertawa dingin.
Pelan-pelan Siau Lui mengangguk.
"Yaaa, hewan bisa menangis, anjing betina pun bisa
menangis," sahutnya.
"Anjing betina?"
"Aku hewan dan kau anjing betina!"
Pucat pias wajah si gadis berbaju putih itu, namun ia tidak
marah, malah katanya sambil tertawa, "Bila semua perempuan
yang kau kenal adalah anjing betina, mungkin kau tak perlu
menangis sesedih ini."
Siau Lui hanya mengawasinya tanpa berkata, ia belum jelas
apa yang dimaksud perempuan itu.
Kembali gadis berbaju putih itu berkata, "Paling tidak anjing
betina masih tahu setia dengan tuannya, paling tidak dia tak
akan lari dengan orang lain."
Tiba-tiba Siau Lui melotot besar, dengan wajah yang
berubah jadi seram selangkah demi selangkah ia maju ke
depan lalu mencekik leher perempuan itu keras-keras.
Gadis berbaju putih itu tidak bergerak, menghindar pun
tidak. 114 Dengan senyuman dingin masih tersungging di ujung
bibirnya, kembali gadis itu berkata ketus, "Kau telah patahkan
sebelah lenganku, juga telah cukup menghina dan
mencemooh aku, memang tak keliru jika sekarang kau cekik
aku sampai mati!" Kuku jari Siau Lui yang kotor karena lumpur dan pasir itu
sudah mulai menembus kulit tengkuk si gadis yang putih
mulus, tapi keringat dingin justru bercucuran membasahi jidat
sendiri. Kembali gadis berbaju putih itu berkata, "Tahukah kau
mengapa kubiarkan kau patahkan lenganku, biarkan kau
mencemooh menghinaku, rela kau cekik hingga mampus?"
Siau Lui tak sanggup menjawab, tak ada orang yang bisa
menjawab. Sejujurnya dia memang mempunyai banyak
kesempatan untuk menghabisi nyawanya, tapi... mengapa ia
rela dihina olehnya" Mengapa ia berbuat begitu"
"Aku berbuat demikian karena aku kasihan kepadamu,"
terdengar gadis itu berkata lagi hambar. "Karena kau sudah
tak berharga lagi untuk kubunuh..."
Tiba tiba Siau Lui mengencangkan cekikkannya, gadis
berbaju putih itu segera tercekik hingga otot-otot wajahnya
pada menonjol keluar, napasnya kian lama kian bertambah
susah. Walau begitu senyuman yang tersungging di ujung bibirnya
masih begitu mengejek dan menghina. Setelah tertawa dingin,
dengan suara yang agak dipaksa sepatah demi sepatah
katanya, "Kau sudah tak bernilai untuk dibunuh orang lain,
karena kau telah menghancurkan dirimu sendiri, ketika orang
lain sedang tertawa cekikikan di atas ranjang, kau justru
mengkaing-kaing bagai anjing budukan di tempat ini!"
"Krekkk... kreekk..." tenggorokan Siau Lui ikut berbunyi
keras, seolah-olah dia pun sedang dicekik sepasang tangan
yang tak terlihat dengan mata telanjang.
"Orang lain... siapa yang kau maksud?"
"Seharusnya kau tahu siapa yang dimaksud."
"Kau... kau telah melihat mereka?"
115 "Sekarang yang kulihat hanya sepasang tanganmu yang
sedang mencekikku!" sahut gadis berbaju putih itu sambil
menggertak gigi dan napas tersengal-sengal.
Siau Lui memandang tangan sendiri, mengawasi lumpur
dan pasir yang masih melekat di kuku jari tangannya, akhirnya
dia kendorkan cekikan itu.
Ketika mengawasi tangan sendiri tadi ia merasa seperti lagi
mengawasi tangan milik seorang asing, hampir saja ia tak
percaya kalau tangan itu milik sendiri.
Seandainya ia dapat melihat diri sendiri, apakah dalam
hatinya akan timbul juga perasaan yang sama" Apakah dia
pun tak akan percaya kalau orang itu adalah diri sendiri"
Gadis berbaju putih itu duduk bersandar di atas kuburan
dengan napas tersengal, ia meraba pelan bekas jari tangan
yang membekas di tengkuk sendiri.
Lewat lama kemudian ia baru berkata lagi sambil tertawa,
"Aku telah melihat mereka, juga telah melihat dia... yaaa, dia
masih terhitung seekor anjing betina, seekor anjing betina
yang sudah amat kelaparan!"
Siau Lui angkat tangannya, tapi tangan itu tidak digunakan
untuk menampar wajah gadis itu. Tiba-tiba dia pergi
meninggalkan tempat itu. Sewaktu menurunkan kembali tangannya, ia seperti sedang
membuang ingus dari hidungnya, kemudian balik badan dan
ngeloyor pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tindakan semacam ini terasa jauh lebih kejam ketimbang
sebuah bacokan yang bersarang di wajah gadis itu. Melihat
Siau Lui pergi menjauh, tiba-tiba air mata jatuh berlinang
membasahi wajahnya. "Sekalipun kau enggan menyentuhku, tak sudi bicara


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

denganku, paling tidak kau harus tanya namaku..."
"Mau anggap aku kekasihmu atau bahkan menganggapku
sebagai musuh besar pun tak soal, tapi... paling tidak kau
harus tanya siapa namaku..."
"Apakah dalam hatimu, aku hanya seorang yang sama
sekali tak ada nilainya?"
116 "Apakah kau benar-benar telah melupakan semua budi dan
dendam di antara kita berdua?"
Dalam hati dia menjerit, mengeluh dan berteriak sementara
air mata bercucuran makin deras.
Tiba-tiba dia angkat wajahnya. Terhadap awan yang
melayang di udara, terhadap angin gunung yang berhembus
dingin ia berteria k keras, "Aku juga manusia, aku punya
nama... Namaku Ting Jan-coat. .."
III Bendera Piaukiok berkibar terhembus angin, bendera yang
berkibar tertancap di atas batang sebuah pohon setinggi lima
kaki. Kuda serta penunggangnya telah lama beristirahat di dalam
tenda di bawah pohon. Dalam tenda berjajar enam-tujuh buah
meja dan kini sudah penuh ditempati kawanan pengawal
barang itu. Sekarang mereka sedang beristirahat melepaskan lelah
sambil minum-minum karena dalam tenda ini selain tersedia
air teh, tersedia juga air kata-kata dan aneka hidangan.
Liong Su duduk di bagian paling luar, bersandar pada tiang
bambu sambil mengawasi awan yangbergerak di angkasa,
entah apa yang sedang dipikirkan.
Ouyang Ci masih tetap berangasan dan tak sabaran seperti
semula, saat itu dia sedang merecoki pelayan kedai untuk
segera menghidangkan sayur dan arak.
Di kala sayur dan arak baru saja dihidangkan itulah mereka
melihat kehadiran Siau Lui.
Bekas darah yang telah membeku di wajah Siau Lui
ditambah pasir dan lumpur yang membekas di sekujur tubuh
pemuda itu membuat ia kelihatan seperti seorang
gelandangan. Namun di dalam kelopak matanya justru terpancar sinar
teguh, ulet dan tak mau tunduk yang sangat kuat. Ia memang
117 kelihatan sangat letih, sangat kusam dan sangat hancur
penampilannya. Namun keangkuhan dan keras kepalanya
sama sekali tidak berubah. Tak seorang pun dan persoalan
apa pun dapat merubah hal ini.
Liong Su segera berseri begitu melihat kehadirannya, cepat
dia melompat bangun dan menggapai seraya berteriak keras,
"Saudara...Saudara Lui... Liong Su ada disini!"
Tak perlu dipanggil pun Siau Lui sudah datang
menghampir, sahutnya dingin dari luar tenda kedai, "Aku
bukan saudaramu!" "Aku tahu," jawab Liong Su masih tertawa, " kita bukan
teman juga bukan saudara, tapi mau kah masuk untuk minum
satu-dua cawan arak?"
"Boleh!" Dengan langkah lebar ia masuk ke dalam tenda kedai,
duduk lalu katanya lagi tiba-tiba, "Aku memang datang untuk
mencarimu." "Mencari aku?" Liong Su tertegun, sama sekali di luar
dugaannya, tapi ia segera tertawa, tertawa kegirangan.
Termangu-mangu Siau Lui mengawasi cawan di
hadapannya, lewat lama kemudiania baru berkata sepatah
demi sepatah, "Aku tak pernah mau hutang budi kepada siapa
pun." "Kau tak berhutang kepadaku," tukas Liong Su cepat.
"Tidak, aku berhutang!"
Setelah angkat wajahnya mengawasi Liong Su lekat-lekat,
kembali dia menyambung, "Hanya saja, orang-orang keluarga
Lui yang telah mati tak perlu kau orang she Liong yang
menguburkan." Liong Su gelengkan kepalanya berulang-kali, katanya
sambil tertawa getir, "Hai, sejak awal sudah kuduga si tua
bangka itu pasti banyak mulut... tampaknya makin lama
semakin sedikit orang di dunia ini yang betul-betul bisa
menyimpan rahasia!" Belum selesai ucapan itu diutarakan, Ouyang Ci sudah
mencak-mencak kegusaran sambil berteriak keras,
118 "Bagaimana pun juga masalah ini toh bukan suatu masalah
yang memalukan. Kalau seandainya ada orang yang membantu
menguburkan keluargaku, aku pasti akan sangat
berterima kasih" "Lain kali, seandainya ada anggota keluargamu yang mati
walau berapa banyak pun, aku pasti akan menguburkan
Mestika Burung Hong Kemala 1 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bayang Bayang Gaib 2
^