Pencarian

Darah Ksatria 3

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung Bagian 3


Ma Ji-liong berkata, "Bagaimana kau bisa menemukan dia?"
Sambil menghela napas sekali lagi, Ma Ji-liong lalu meneruskan, "Aku sudah
melihatnya, dan aku yakin bahwa dia masih hidup. Tapi aku malah semakin bingung."
Toa-hoan bertanya, "Bingung kenapa?"
Ma Ji-liong berkata, "Apakah aku mengenalnya?"
"Tidak," jawab Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, "Lalu apa hubungan dia denganku?"
"Sekarang memang belum ada hubungannya," jawab Toa-hoan.
Ma Ji-liong berkata, "Lalu kenapa kau membawaku untuk bertemu dengannya?"
Toa-hoan berkata, "Karena meskipun kalian berdua belum ada hubungannya, tapi
nanti pasti ada." Ma Ji-liong bertanya, "Bagaimana bisa begitu?"
Senyuman Toa-hoan menjadi makin misterius. Dia berkata, "Ada hal-hal yang belum
bisa kuceritakan kepadamu saat ini, tapi aku berjanji, apa pun yang kuingin kau
lakukan, kau tidak akan menyesalinya." Ma Ji-liong bertanya, "Apa yang sekarang sudah kau rencanakan untukku?"
"Aku hendak membawamu untuk bertemu seorang lagi," kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, "Siapa dia?"
Toa-hoan menjawab, "Seorang laki-laki yang amat menyukaimu, dan agaknya kau pun
menyukainya." Ma Ji-liong bertanya, "Bagaimana kau tahu kalau aku menyukainya?"
Toa-hoan menjelaskan, "Asalkan orang berjumpa dengannya, sangat sulit bagi orang
itu untuk tidak menyukainya." Segera Ma Ji-liong teringat pada seorang laki-laki yang tidak sulit untuk
disukai orang lain dan dia
pun berkata, "Kanglam Ji Ngo?"
Toa-hoan berkata, "Siapa lagi kalau bukan dia?"
Ma Ji-liong bertanya, "Dia juga ada di sini?"
"Ada di sisi sana," jawab Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, "Apa yang sedang dia lakukan?"
Toa-hoan tertawa dan berkata, "Seumur hidupmu, kau tidak akan bisa menebak apa
yang sedang dia kerjakan." Bab 14: Tiada Ampunan Pertama kalinya Ma Ji-liong melihat Ji Ngo, Ji Ngo sedang memasak makanan.
Banyak orang yang memasak setiap harinya di dunia ini, jadi memasak bukanlah hal yang aneh. Tapi
bila Kanglam Ji Ngo yang memasak di dapur, orang-orang pasti akan merasa kagum.
Tapi tempat ini adalah kamar mayat, bukan rumah makan atau sebuah dapur.
"Jika kau bisa menebak apa yang sedang dia lakukan, aku akan menghormatimu."
"Aku tidak ingin kau menghormatiku. Aku tidak bisa menebak."
"Dia sedang menyisir rambut."
Menyisir rambut pun bukanlah hal yang aneh. Kanglam Ji Ngo tentu saja menyisir
rambutnya sendiri seperti yang dilakukan orang lain. Tapi ternyata dia bukan sedang
menyisir rambutnya sendiri. Dia sedang menyisir rambut orang lain. Dia sedang menyisir rambut
seorang perempuan tua yang hampir semua giginya sudah ompong.
Di sebuah kamar di seberang sana, entah sejak kapan tahu-tahu sudah menyala
sebuah lampu. Seorang perempuan tua sedang duduk di bawah cahaya lampu. Dia memakai baju
merah, kelihatan seperti seorang pengantin yang mengenakan gaun sulam merah. Salah satu kakinya
sedang diangkat, dan dia mengenakan sepasang sepatu sutera berwarna merah cerah.
Wajahnya penuh dengan kerutan. Jumlah giginya juga lebih sedikit daripada seorang bocah berumur
dua tahun. Tapi rambutnya masih hitam mengkilap, persis seperti sutera hitam.
Orang akan tercengang bila melihat Kanglam Ji Ngo sedang menyisir rambut seorang
perempuan tua seperti ini. Gerakan menyisirnya sama seperti gerakan waktu dia sedang
menggoreng makanan, indah dan mempesona. Tidak ada bedanya apakah dia sedang memegang sudip atau
sisir. Bagaimana pun juga dia adalah Kanglam Ji Ngo, Kanglam Ji Ngo yang tiada duanya
itu. Meskipun Ma Ji-liong tidak bisa menebak kenapa dia menyisir rambut perempuan tua
itu, atau kenapa Toa-hoan membawanya untuk melihat hal ini, dia mulai merasa heran.
Agaknya Ji Ngo tidak melihat kedatangan mereka. Apa pun yang dia lakukan, dia selalu
melakukannya dengan hati dan jiwanya. Itulah sebabnya dia melakukannya lebih baik daripada orang lain.
Saat itu dia menggunakan sebuah jepit rambut yang hitam dan panjang untuk
membuat sanggul rambut yang rapi buat perempuan itu, dan dia pun mengagumi karyanya sendiri
sembari melakukannya. Memang itulah sebuah karya yang bagus, bahkan Ma Ji-liong pun
harus mengakuinya. Perempuan tua itu menjadi tampak lebih muda puluhan tahun. Ji Ngo
menutup matanya sebentar, dan ekspresi wajahnya seperti orang yang sedang dibelai oleh
kekasihnya. "Kau benar-benar tidak ada tandingan. Benar-benar tidak ada orang yang bisa
dibandingkan denganmu." Suara perempuan itu terdengar parau, tapi orang masih bisa merasakan
betapa merdu dan lembutnya suara itu di masa mudanya dulu. Dia menghela napas dengan perlahan
dan berkata, "Jika ilmu kungfumu bisa setengah saja dari keahlian menata rambutmu, kau pasti
akan menaklukkan dunia." Ji Ngo tergelak, "Untunglah, aku tentu saja tidak ingin menaklukkan dunia."
"Kenapa tidak?"
"Karena jika seseorang berhasil menaklukkan dunia, hari-harinya tentu akan
menjadi sangat membosankan." Perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, "Aku suka padamu.
Aku benar-benar menyukaimu. Meskipun kau tidak menata rambutku, kurasa aku tetap akan
melakukannya untukmu." Siapakah perempuan tua ini" Ji Ngo ingin dia melakukan apa" Saat keinginan-tahu
Ma Ji-liong semakin membesar, Toa-hoan malah menariknya keluar.
"Sekarang kau tentu sedang bingung. Kau tidak tahu apa yang hendak kulakukan."
"Apakah rencanamu" Siapa lagi yang akan kita temui kali ini?"
Toa-hoan berkata, "Kita akan melihat 'orang dalam lukisan'." Lalu dia
meneruskan, "Meskipun kau
seratus kali lebih cerdik daripada sekarang, kau pasti tidak akan bisa menebak
identitasnya." Sebuah lampu sedang menyala di kamar sebelah, terlihat sebuah lukisan di atas
dinding. Itulah lukisan seorang laki-laki setengah baya yang tampaknya amat jujur.
Ma Ji-liong belum pernah melihat orang ini. Atau kalau pun pernah, dia pasti
tidak ingat lagi. Orang seperti ini bukannya tidak berharga untuk diingat, tapi dia memang tidak
akan meninggalkan kesan yang mendalam di hati orang lain.
"Dia bermarga Thio. Namanya Thio Eng-hoat. Dia adalah orang yang amat jujur dan
baik hati. Dia membuka sebuah toko kelontong kecil di kota, bersama seorang pembantu yang
hampir sama jujurnya dengan dia sendiri."
Toa-hoan menjelaskan tentang orang dalam lukisan itu, "Dia terlahir pada tahun
Babi, dan tahun ini dia berusia empat puluh empat tahun. Ketika berumur sembilan belas tahun, dia
menikah dengan seorang perempuan bernama Ong Kui-ci. Perempuan itu pemarah dan jatuh sakit
karena dia tidak bisa punya anak. Semakin timbul amarahnya, maka makin menjadi sakitnya. Terakhir
sakitnya menjadi begitu parah, sehingga dia harus berbaring saja di tempat tidur dan si
tua Thio yang harus memberinya makan. Setelah sakit yang teramat parah ini, perangainya yang buruk
malah semakin menjadi-jadi. Tidak satu pun tetangga yang tahan mendengar ocehannya."
Tiba-tiba dia berhenti dan bertanya pada Ma Ji-liong, "Apakah kau mendengarkan
dengan jelas?" Ma Ji-long memang mendengar uraiannya dengan jelas, tapi dia tetap merasa
bingung. Dia tidak bisa membayangkan kenapa Toa-hoan membawanya untuk melihat lukisan ini dan
menjelaskan tentang laki-laki dalam lukisan itu secara begitu terperinci.
Tentu saja dia pun akhirnya bertanya, "Jadi laki-laki ini ada hubungannya
denganku?" "Begitulah." "Bagaimana mungkin dia punya hubungan denganku?"
"Karena orang ini adalah kau." Agaknya Toa-hoan tidak sedang bergurau. "Kau
adalah dia, dan dia adalah kau." Ma Ji-liong merasa sangat lucu, begitu lucunya sehingga dia hampir bergulingan
di lantai sambil tertawa sampai perutnya sakit. Sayangnya tidak ada suara tawa yang keluar.
Karena dia tahu bahwa Toa-hoan tidak sedang bergurau. Dia pun tidak gila.
Maka dia pun bertanya, "Orang bernama Thio Eng-hoat ini adalah aku?"
"Tepat sekali."
"Sedikit pun dia tidak mirip denganku."
"Tapi kau akan segera mirip dengannya, sangat mirip dengannya. Bahkan aku bisa
mengatakan, persis seperti dia."
"Sayangnya aku tidak bisa merubah diriku sendiri."
"Kau tidak bisa, tapi orang lain bisa melakukannya untukmu."
Toa-hoan tiba-tiba bertanya, "Tahukah kau kenapa Ji Ngo menata rambut perempuan
muda itu?" Ma Ji-liong berkata, "Perempuan itu tidak muda lagi. Tampaknya dia sudah tua."
Anehnya Toa-hoan tidak setuju dengannya. "Dia tidak tua. Dia perempuan muda. Ada
orang yang bisa hidup sampai berusia 180 tahun. Jadi dia masih terhitung muda."
"Apakah dia orang seperti itu?"
"Benar." Toa-hoan meneruskan, "Jika bukan begitu, takkan ada orang seperti itu
di dunia ini." "Kenapa bisa demikian?"
"Karena dia bermarga Giok (1)."
Ma Ji-liong akhirnya teringat pada seseorang, "Apakah dia ada hubungannya dengan
Giok-hujin yang termasyur sejak 60 tahun lalu itu?"
Toa-hoan menjawab, "Dialah Giok-hujin. Dialah Giok-jiu Ling-long, Giok Ling-
long." ----- (1) Giok = batu giok, kemala
Bab 15: Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long
Mulai bab 15 ini, ceritanya berasal dari buku yang diterjemahkan oleh Gan K.H.,
yaitu Harkat Pendekar. Kontributor: adis (dewira).
-------------------------------------------------------------------------------
Enam puluh tahun yang lalu, di dunia kangouw ada tiga pasang tangan manusia yang
terkenal dan dikagumi, yaitu Bu-ceng-thiat-jiu, Sin-tho-biau-jiu dan Ling-long-giok-jiu.
Thiat-jiu-bu-ceng (Tangan Besi Tidak Kenal Ampun), setiap beroperasi tidak ada
korban yang hidup meskipun hanya sekejap saja.
Biau-jiu-sin-tho (Maling Sakti Bertangan Lincah), barang apa saja yang tidak
mungkin dicuri orang lain, dengan mudah dapat diambilnya.
Giok-jiu-ling-long (Tangan Kumala Ahli Operasi), tidak ada orang tahu, sepasang
tangan ini dapat melakukan apa saja yang sebetulnya tidak masuk akal, kenyataannya ia justru
dapat menciptakan sesuatu yang aneh dan ganjil, namun nyata. Dalam jangka setengah jam, seseorang
bisa dirubah bentuk wajahnya menjadi orang lain oleh keprigelan kedua tangannya itu.
Ilmu tata rias dan ilmu operasi yang dikuasainya sedemikian bagus dan sempurna,
kecuali Toa-sinthong Biau-hoat-thian-ong dari Persia, tiada orang kedua di Tionggoan yang dapat
menandinginya. ---------------00000--------------------
Sekarang Ma Ji-liong paham, "Ji Ngo mau menyisir rambutnya karena hendak meminta
bantuannya memproses diriku menjadi Thio Eng-hoat, begitu?"
"Betul." "Kalian memilih tempat ini karena kaum persilatan tiada yang berkeliaran di
sini?" "Betul." "Para petugas itu pura-pura bisu, tuli, dan buta karena mereka memerlukan
bantuan Ji Ngo, maka mereka memberi kesempatan kepadanya?"
"Betul, memang demikian."
"Aku difitnah sebagai pembunuh kejam, sudah kepepet, dan tidak bisa mungkir,
maka kalian berdaya upaya untuk menyelamatkan diriku?"
"Tidak benar," tukas Toa-hoan tegas, suaranya berat dan serius. "Ji Ngo percaya
kepadamu, prihatin akan nasibmu, aku pun mempercayai dirimu, kami yakin kau difitnah,
dijadikan kambing hitam. Kami juga sadar, watakmu angkuh, tidak gampang membujukmu merendahkan
diri menjadi majikan sebuah toko serba ada yang tiada artinya."
Lama Ma Ji-liong menepekur tanpa suara. Darahnya mendidih, tenggorokannya
tersumbat, agak lama kemudian dia baru bertanya dengan serak, "Kenapa kau percaya kepadaku?"
"Seseorang pembunuh di kala buron, jiwa sendiri susah diselamatkan, mana mungkin
mau menyelamatkan jiwa orang lain yang terpendam di bawah salju, menolong seorang
gadis jelek yang hampir mati kaku kedinginan. Maka aku percaya di balik persoalan ini pasti ada
lika-liku yang patut diselidiki." Ma Ji-liong tidak bicara, perasaannya sukar dilukiskan dengan rangkaian kata.
Toa-hoan berkata pula, "Kau harus percaya, keadilan dan kebenaran masih tegak di
dalam dunia,

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejahatan harus ditumpas, muslihat keji juga harus dibongkar, akan datang
saatnya fitnah atas dirimu akan terungkap, hal ini hanya soal waktu saja." Perlahan ia menggenggam
tangan Ma Jiliong, lalu menambahkan, "Yang penting kau yakin, demi membongkar kejahatan ini,
sudilah kau merendahkan derajatmu sementara."
Ma Ji-liong masih termenung beberapa kejap, mendadak ia bertanya, "Di mana letak
toko serba ada itu?" "Di sebuah gang sempit di kota sebelah barat, langgananmu adalah penduduk
sekitarnya, mereka adalah rakyat jelata dari kalangan sedang dan rendah, semua berhati baik dan
sederhana, keluargakeluarga
yang cukup untuk sesuap nasi setiap hari, penduduk di sana jarang mau mencampuri
urusan orang lain," Toa-hoan menjelaskan, kemudian sambungnya lebih lanjut,
"Pegawaimu she Thio, orang lain memanggilnya Lo-thio, kadang ia mencuri satu dua cawan arak di
kamarnya, tetapi pegawai yang dapat dipercaya penuh."
"Apakah ia tak curiga bila majikannya ganti orang lain?"
"Mata Thio-lausit sudah lamur, kupingnya juga agak tuli."
"Umpama Lo-thio tidak mengenal perbedaanku, bagaimana dengan orang lain?"
"Orang lain?" Toa-hoan balas bertanya sambil tertawa geli. "Maksudmu bininya
yang sakit-sakitan itu?" Ji-liong tertawa getir, tanyanya pula, "Orang macam apakah dia?"
Toa-hoan tertawa, katanya, "Sebetulnya kau sudah pernah melihat dan
mengenalnya." "Aku pernah melihat dan mengenalnya" Kapan aku pernah melihatnya?"
"Barusan bukankah kau sudah melihatnya?"
Ma Ji-liong melenggong, "Jadi gadis yang hampir mati tadi adalah......
adalah......" mendadak Jiliong
sadar salah omong, cepat ia menambahkan, "Apakah gadis tadi akan dijadikan
isteri Thio Eng-hoat?" "Sebetulnya bukan, tapi tak lama lagi akan diproses menjadi isteri Thio Eng-
hoat, demikian pula dirimu, nanti setelah dioperasi akan menjadi Thio Eng-hoat tulen."
"Siapakah dia sebetulnya?"
Toa-hoan terpekur, agaknya sulit memberi penjelasan, sikapnya jelas tak ingin
memberi keterangan. Tapi Ma Ji-liong mendesak, "Orang macam apakah dia" Urusan sudah berlarut sejauh
ini, kau masih main rahasia terhadapku?"
Toa-hoan menarik napas panjang, katanya, "Ya, kalau aku masih main rahasia,
rasanya memang keterlaluan." Ma Ji-liong diam. "Ia she Cia bernama Giok-lun, lengkapnya Cia Giok-lun," demikian Toa-hoan
menerangkan. "Ya, aku sudah tahu."
"Dia seorang perempuan."
"Memangnya aku tidak bisa membedakan laki-laki atau perempuan?"
Toa-hoan tertawa getir, katanya, "Kau pasti tahu aku sengaja mengulur waktu.
Terus terang saja, aku tidak tahu betapa banyak urusan yang harus kuterangkan kepadamu."
"Ya, berapa banyak yang akan kau beritahu kepadaku?"
Setelah termenung sejenak, Toa-hoan berkeputusan, "Baiklah, biar kujelaskan
kepadamu. Tahun ini dia berusia 19 tahun, mungkin belum pernah menyentuh atau disentuh laki-laki."
"Apa betul berusia 19 tahun?"
"Memangnya kau kira dia sudah nenek-nenek?"
"Kalau betul berusia 19 tahun, padahal ilmu silatnya setinggi itu, tembok
ditabraknya ambrol, kekuatan sedahsyat itu, laki-laki berusia 91 tahun juga belum tentu mampu
melakukannya!" "Ilmu silatku tidak asor dibandingkan dia, apa kau kira aku sudah tua?"
Terkancing mulut Ma Ji-liong. Umpama dirinya goblok juga takkan berani
mengatakan gadis jelek ini sudah tua. Toa-hoan berkata, "Ilmu silat tidak diyakinkan secara serampangan, tinggi
rendahnya lwekang seorang ahli silat tidak ada sangkut pautnya dengan usia dan besar kecilnya
umur." "Aku mengerti."
"Ilmu silatnya memang tinggi, para enghiong dan pendekar yang kau kenal di zaman
ini, yakin tidak genap sepuluh orang yang mampu mengalahkan dia. Ia punya seorang guru yang
baik, guru jempolan, lihai, sejak keluar dari rahim ibunya sudah belajar dan latihan
silat." "Siapakah gurunya?" tanya Ma Ji-liong.
"Aku hanya berjanji menjelaskan perihal pribadinya, bukan tentang gurunya."
"Baiklah, aku tidak tanya gurunya."
"Tabiat nona itu tidak baik, maklum nona pingitan yang disayang, dalam segala
hal ingin menang dan minta diladeni secara berlebihan, jika mendadak ia sadar dan tahu dirinya
menjadi bini seorang pemilik toko serba ada yang kecil di kampung jorok di pinggir kota, mungkin dia
bisa jadi gila." "Celaka kalau gilanya kumat, pemilik toko serba ada itu mungkin bisa digorok
lehernya. Hal ini perlu kuperhatikan karena pemilik toko serba ada itu adalah diriku."
Toa-hoan tertawa manis, katanya lembut, "Tentang hal itu tak perlu kuatir, dia
tidak akan menggorok lehermu." "Bagaimana kau tahu dia tidak akan berlaku kasar terhadapku?"
"Ingat, dia sedang sakit, makin lama penyakitnya makin parah hingga sepanjang
hari rebah di ranjang, berdiri pun tidak bisa."
Jago silat kosen yang mampu menjebol tembok dengan langkah seenaknya, bagaimana
mungkin mendadak jatuh sakit" Ma Ji-liong bukan laki-laki yang suka rewel, tidak suka
bertanya, hatinya sudah membayangkan bagaimana datangnya penyakit itu. Kepandaian Toa-hoan cukup
mampu membuat seseorang jatuh sakit dan itu bukan pekerjaan yang sukar.
Ma Ji-ling berkata, "Kelihatannya dia tidak mirip bini seorang pemilik toko."
"Saat ini tidak mirip, sebentar lagi akan persis, kutanggung dia akan berubah
persis bentuk aslinya."
"Apa betul Giok Ling-long punya kemampuan selihai itu?"
"Betapa besar kemahirannya, boleh kau buktikan sendiri."
Ma Ji-liong menghela napas, katanya, "Sebetulnya aku sih tidak ingin
melihatnya." "Bila dia sadar nanti, dirinya sudah rebah di ranjang dalam kamar besar yang
terletak di belakang toko serba ada itu."
"Dan aku?" "Sebagai suami, kau harus merawat dan menjaganya di pinggir ranjang, kalian
adalah suami isteri yang hidup rukun belasan tahun lamanya."
Ji-liong menyengir kecut, katanya, "Wah, bisa geger dan dia mungkin akan mencaci
maki diriku." "Sudah pasti dia akan ribut, kau harus bersikap lebih sayang dan prihatin karena
kesehatan isterimu makin buruk. Binimu itu she Ong bernama Kwi-ci. Sudah 18 tahun kalian menikah,
tanpa dikaruniai anak seorang pun. Apa pun yang ia katakan, keributan apa saja yang ia
lakukan, kau harus sabar, menjaga, dan meladeninya dengan penuh pengertian."
"Bila aku membandel, berkata bahwa ia adalah isteriku sejak 18 tahun lalu, ia
pasti bingung dan heran, bertanya-tanya dalam hati, siapa dia sebenarnya."
"Syukur kau sudah mengerti."
"Masih ada satu hal yang tidak kumengerti."
"Coba jelaskan."
"Aku tidak kenal siapa dia, tidak pernah bermusuhan, kenapa dia harus
kuperlakukan demikian?"
"Karena kejadian ini amat berguna bagi dirimu, juga bermanfaat untuknya, dua
pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Kurasa hanya dengan cara begini kau bisa mencuci bersih
fitnah itu, membongkar muslihat keji ini," sikap Toa-hoan menjadi serius, nada perkataannya
tegas dan tulus. "Aku tahu sebagai pemuda jumawa, perbuatan yang merugikan orang lain ini tak
sudi kau lakukan, kali ini anggaplah kau bekerja karena aku, demi diriku. Aku percaya padamu, maka
paling sedikit kau juga harus percaya kepadaku. Lakukan apa yang telah kami atur dan rencanakan
ini." Ma Ji-liong tidak bicara lagi, dia memang jumawa, tidak mau berhutang budi
kepada orang lain. Tentang perbuatannya ini, setelah kejadian usai, apakah fitnah terhadap dirinya
dapat dicuci bersih, hakikatnya tidak terpikir lagi olehnya.
Apa yang dilakukan Ma Ji-liong biasanya memang bukan untuk kepentingan
pribadinya. Umpama ada orang bertanya kepadanya, "Orang macam apakah kau ini?" Jawabannya pasti
berbeda dengan sebelum Ji-liong mengalami musibah. Setiap orang yang pernah mengalami siksa
derita dan gemblengan hidup yang nyata, baru akan mengenal dirinya sendiri, maka ia
bertanya, "Sekarang apa yang harus kulakukan?"
"Kau harus minum. Sekarang akan kusuguh arak kepadamu," Toa-hoan tertawa lebar.
"Ji Ngo di sini, kau juga di sini. Kalau kalian tidak diberi kesempatan minum sepuas-
puasnya, bukankah aku ini tidak tahu diri?"
---------------000000------------
Di belakang kedua deret rumah itu terdapat rumah besar tunggal yang letaknya
agak jauh. Wuwungan rumah berbentuk serong, tembok berwarna kelabu gelap. Siapa pun yang
berada di tempat ini akan merasa seram dan bergidik.
Dilihat dari luar, dari bentuknya, orang akan membayangkan bahwa rumah besar ini
adalah gudang mayat. Di dalam gedung inilah para petugas membedah mayat yang terbunuh, maka
orang akan membayangkan di sana terdapat berbagai jenis alat dan perkakas, berbagai jenis
pisau, juga ada ganco yang karatan, jarum, benang, dan masih banyak lagi benda-benda yang tak
terpikir oleh orang. Namun bila sudah masuk dan berada di dalam rumah itu, jalan pikiran akan
berbalik berubah. Di luar dugaan, rumah ini amat bersih, luas dan bercahaya, dinding bagian dalam
putih bersih, jelas tidak lama baru dikapur. Meja dilembari taplak putih. Di meja ini tersedia enam
menu masakan dan enam guci arak ukuran sedang. Empat guci diantaranya tersegel rapat, isinya
adalah Sian-yang, dua guci yang lain adalah Li-ji-ang yang beratnya dua puluh kati.
Orang biasa bila melihat arak sebanyak itu, belum minum pun sudah mabuk.
Ma Ji-liong bukan orang biasa, terutama dalam hal minum meminum. Setiap melihat
arak hatinya amat getol. Minum dan mabuk-mabukan memang bukan perbuatan baik, tapi berhadapan
dengan Ji Ngo, kalau tidak minum, lebih baik menjahit mulut sendiri saja. Kali ini Ma Ji-
liong akan membalas meloloh Ji Ngo hingga mabuk, ia sudah berkata dalam hati akan membatasi minum.
Ji Ngo sedang mengawasinya dengan senyum lebar, seolah sudah dapat menerka apa
yang terpikir di dalam benaknya. "Aku tahu kau gemar minum Li-ji-ang, sayang di tempat ini sukar memperoleh Li-
ji-ang lebih dari dua guci." "Sian-yang juga arak bagus."
"Mari kita habiskan dulu Li-ji-ang baru dilanjutkan dengan Sian-yang," Ji Ngo
tampak gembira, tawanya lebar. "Satu orang satu guci, setelah habis satu guci, minum arak lain
juga akan sama." "Satu orang satu guci," ujar Ma Ji-liong ke arah Toa-hoan, "Dia bagaimana?"
"Hari ini aku tidak minum," Toa-hoan berkata dengan tertawa, "Giok-toasiocia
memberi tahu kepadaku, perempuan kalau minum banyak bukan saja lekas tua, juga mudah ditipu
orang." Ma Ji-liong menghela napas, ia maklum apa yang dipikir tadi tiada harapan dan
tak mungkin terlaksana. ------------------00000-------------
Giok-toasiocia bukan lain adalah Giok Ling-long.
Giok Ling-long berda di rumah besar itu, duduk di depan sebuah meja. Meja besar
dan panjang. Di atas meja menggeletak sebuah mainan jade dan sebuah kotak perak, belasan kaleng
bundar yang terbuat dari perak murni. Di pinggir meja terdapat sebuah baskom besar yang juga
terbuat dari perak. Dalam baskom berisi air hangat, Giok Ling-long menurunkan tangan ke dalam baskom
untuk mengukur suhu panas air, apakah sesuai dengan kebutuhan Toa-siocia yang satu
ini. Meski sudah lanjut usia, sudah patut menjadi nenek, tapi gaya dan gerak-geriknya tidak
kelihatan tua. Apalagi dipandang dari belakang, gerak kaki maupun tangan, kepala maupun sekujur
badannya, demikian pula kerlingan matanya tetap terlihat muda dan manis serta luwes. Bila lebih
diperhatikan, maka akan terasa dia belum tua, bukan nenek peyot. Ya, harus maklum karena Giok ling-
long tidak pernah merasa dirinya tua.
"Silakan minum sepuasnya, aku akan mulai bekerja," demikian kata Giok Ling-long
dengan tertawa, "Aku tidak pernah minum arak, tapi tidak pernah pula melarang orang
minum arak. Aku malah senang melihat orang minum."
Toa-hoan tertawa, katanya, "Biasanya aku pun demikian, melihat orang minum jauh
lebih nikmat

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada aku sendiri yang minum."
Giok Ling-long sependapat, katanya, "Ada orang mabuk yang mengoceh tidak karuan,
membuat ribut dan brengsek, tapi ada juga orang mabuk yang menjadi patung malah, sepatah
kata pun tidak mau bicara. Ada juga orang mabuk yang menangis, ada yang tertawa ngakak, aku
jadi geli dan senang melihat tingkah lakunya yang lucu." Mendadak dia bertanya kepada Ma Ji-
liong, "Bagaimana keadaanmu setelah mabuk?"
"Aku tidak tahu," Ma Ji-liong menjawab. Memang tiada orang tahu bagaimana
keadaan diri sendiri waktu mabuk. Seseorang bila mabuk pikirannya seperti meninggalkan badan. Setelah
sadar akan merasa lidahnya terbakar, tenggorokannya kering, kepala pusing. Persoalan apa
pun dilupakan, persoalan yang harus diukir dalam sanubari dilupakan, sebaliknya persoalan yang
harus dilupakan justru terukir di dalam sanubarinya.
Giok Ling-long tertawa, katanya, "Sejak muda sampai setua ini usiaku, hanya
pernah kulihat dua pria yang betul-betul cakap dan tampan. Kau adalah salah satu diantaranya. Aku
percaya umpama sudah mabuk tampangmu msih kelihatan bagus."
Ji Ngo bergelak tawa, serunya, "Bagaimana keadaannya setelah mabuk, sebentar
dapat kau saksikan sendiri." Kali ini Ma Ji-liong bertahan lebih lama baru mulai sinting. Setelah habis tiga
guci baru betul-betul mabuk. Sambil minum ia memperhatikan gerak-gerik Giok Ling-long.
Setelah merendam sepasang tangannya di air panas dalam baskom, lalu diambilnya
handuk kecil untuk mengeringkan telapak tangannya. Dari sebuah kotak perak ia mengeluarkan
sebilah pisau lengkung kecil lalu mulai membersihkan kuku jari.
Apa pula isi peti perak itu"
Setelah membersihkan kuku, dari tujuh delapan kaleng yang berbeda-beda di atas
meja itu, ia menuang tujuh delapan jenis obat yang berbeda warna. Ada puyer, ada cairan seperti minyak, ada
kuning dan kelabu, ada juga yang berbuih biru. Tujuh delapan bahan obat yang
berbeda itu ia tuang ke dalam baskom yang lebih kecil lalu diaduk dengan sendok perak.
Ma Ji-liong tahu ramuan obat itu merupakan persiapan pertama untuk mengubah
bentuk wajah orang. Melakukan kerja apa pun kalau sebelumnya sudah dipersiapkan secara teliti
dan baik, buah karyanya tentu amat bermutu.
Setelah tiga guci arak masuk ke perut Ma Ji-liong, pikirannya mulai kabur, "Giok
Ling-long pandai merias wajah orang, yang jelek menjadi cantik, yang tua menjadi muda demikian
pula sebaliknya. Kenapa dia tidak merias wajah sendiri" Mengubah dirinya menjadi nona jelita?"
Seperti dapat meraba jalan pikiran Ma Ji-liong saja, Giok Ling-long berkata,
"Aku hanya bekerja untuk orang lain, tak pernah bekerja untuk diriku sendiri." Sembari tertawa ia
melanjutkan, "Sebabnya, umpama aku berubah menjadi muda, katakanlah berhasil menipu orang
lain, tetap tidak bisa menipu diriku sendiri." Suaranya menjadi tawar, lalu menyambung dengan
suara keras, "Kerja untuk membohongi orang lain bisa kukerjakan, menipu diri sendiri aku emoh
melakukannya." Sembari bicara tangannya merogoh peti perak. Ia mengeluarkan beberapa jenis alat
dan perkakas yang semuanya terbuat dari perak. Ada gunting, pisau, obeng, dan sekop kecil,
ada juga gergaji mini. Untuk apa ia mempersiapkan alat-alat itu"
Kalau Ji-liong belum mabuk, masih segar bugar, melihat perkakas yang
dipersiapkan untuk mengoperasi dirinya, mungkin dia akan cepat-cepat kabur alias angkat langkah
seribu. Sayang badannya lunglai oleh pengaruh arak yang ada di perutnya. Keadaan Ma Ji-liong
sudah hampir mabuk. Satu kejadian yang masih sempat terlintas dalam benaknya adalah jari-jari
Giok Ling-long meraba, memijat, dan mengelus wajahnya. Tangan orang terasa halus, dingin,
gerakannya lincah lagi lembut. Bab 16: Toko Serba Ada Bentuk rumah itu terlalu rendah, lelaki bertubuh tinggi kalau mengulur tangan
bisa menjakau langitlangit
rumah. Kapur dinding juga sudah luntur, di dinding tengah yang menghadap pintu
luar tergantung sebuah papan ukiran yang menggambarkan Kwan Kong berduduk sambil
membaca buku Jun-jiu. Di pinggirnya tergantung kertas panjang yang memuat tata tertib
kehidupan keluarga menurut tradisi kuno yang ditulis Cu-hucu. Di sisi lain adalah tulisan berisi
petuah bagi manusia untuk hidup rukun, jujur, dan bajik, serta bertakwa kepada Thian. Gaya
tulisannya amat kuat dan indah dengan model kuno lagi, merupakan tulisan yang tinggi nilainya.
Rumah pendek itu hanya ada satu jendela dan satu pintu. Di pintu dipasang kain
tirai biru yang sudah luntur warnanya. Sebuah meja segi delapan terbuat dari kayu merah
kelihatan sudah tua dan kotor ternyata masih berguna dan diletakkan di seberang pintu.
Di atas meja ditaruh sebuah poci teh yang mulutnya sudah gumpil separuh, tiga
cawan kecil berjajar di depan poci. Di sebelah atas bagian belakang meja terdapat sebuah altar
pemujaan yang masih kelihatan rapi dan terpelihara--yang dipuja bukan Kwan-te-kun, tetapi Koan-im
Hudco yang membopong orok kecil gendut dan mungil.
Di pojok kamar bertumpuk tiga peti kayu. Di pojok lain ada sebuah meja rias yang
kelihatannya tidak terpakai karena berdebu, kacanya kotor dan buram, sisir yang terbuat dari
kayu juga sudah patah sebagian besar. Kecuali itu hanya ada sebuah ranjang. Ranjang besar terbuat dari kayu berukir
dengan empat batang galah di keempat kakinya sebagai penyangga kelabu. Di atas ranjang tempat tidur
terdapat seorang perempuan--tubuhnya ditutup tiga lapis selimut tebal yang terbuat dari kapas.
Rambut perempuan ini kusut masai. Mukanya kuning pucat. Kelihatannya amat kuyu
lagi kurus dan lemas. Kalau sedang tidur terdengar mulutnya merintih-rintih.
Udara dalam rumah berbau obat yang beraroma tebal. Di luar ada seorang perempuan
bermulut tajam dengan suaranya yang melengking sedang mengomel panjang pendek. Katanya
telur yang dijual oleh toko ini kecil-kecil, demikian pula minyak goreng yang dia beli
kemarin bercampur air, garam juga lebih mahal dari yang ia beli di pasar.
----------------00000------------------
Waktu Ma Ji-liong terjaga dari pulasnya, ia mendapatkan dirinya berada di tempat
itu. Semula ia mengira dirinya sedang bermimpi, kecuali bermimpi orang seperti dirinya mana
mungkin berada di tempat seperti itu. Untungnya, meski pengaruh arak belum hilang sepenuhnya,
kepalanya juga masih pusing, namun pikirannya sudah segar. Lekas sekali ia maklum apa yang
terjadi dan di mana sekarang dirinya berada. Reaksi pertama yang dilakukan Ma Ji-liong setelah sadar adalah melompat berdiri
dari kursi malas di mana barusan ia tertidur lelap. Ia bergegas menghampiri meja rias serta
membersihkan kaca dengan lengan bajunya. Ji-liong merasakan jari jemarinya dinging dan gemetar.
Bagaimana hasil operasi Giok Ling-long atas mukanya" Lumrah kalau Ji-liong ingin
lekas tahu berubah macam apa wajahnya sekarang.
Yang terbayang dalam cermin buram itu bukan lagi wajah aslinya yang dulu, tetapi
wajah Thio Eng-hoat seperti yang pernah ia lihat di gambar itu. Ma Ji-liong mengucek-kucek
matanya, akhirnya ia yakin bayangan dalam cermin memang betul adalah wajah Thio Eng-
hoat--bukan wajah Ma Ji-liong lagi. Seseorang bercermin di depan kaca, wajah yang terbayang di cermin ternyata wajah
orang lain, bagaimanakah perasaan hatinya" Bagi yang belum pernah mengalami kejadian seperti
ini mimpi pun takkan pernah membayangkan apa yang terkandung di dalam hatinya. Dalam hal
ini jarang Ma Ji-liong mengagulkan dir, tetapi kenyataannya memang demikian--siapa pun
mengakui bahwa Ma Ji-liong adalah seorang pemuda berwajah tampan. Entah mereka yang membenci
dirinya atau merasa dengki dan iri karena kalah tampan dan gagah, namun mereka harus bertekuk
lutut menghadapi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam keadaan seperti ini mau
tidak mau Jiliong bertanya-tanya dalam hati, "Kelak apakah wajahku bisa dipulihkan seperti
semula?" Sudah tentu Ji-liong tidak bisa menjawab pertanyaan yang membuatnya khawatir.
Hatinya gregetan dan gegetun setengah mati karena kenapa sebelum ini tidak bertanya langsung
kepada Toa-hoan atau Giok Ling-long. --------------00000----------------
Suara ribut di luar sudah tak terdengar. Mungkin perempuan cerewet itu sudah
pulang. Sementara itu perempuan yang tidur di ranjang masih terlelap dalam mimpi. Besar rasa ingin
tahu Ma Ji-liong. Ia ingin melihat wajah perempuan yang tidur di atas ranjang. Begitu berdiri di
pinggir ranjang, seketika ia berjingkat mundur saking kagetnya.
Apa betul perempuan bermuka pucat dan kuning, berbadan kurus dan kuyu tanpa
cahaya sedikitpun ini, betul adalah gadis cantik rupawan bertubuh montok padat dan semampai yang
pernah diintipnya di kamar mayat di balaikota waktu itu"
Ma Ji-liong tahu bahwa dirinya sudah divermak sedemikian rupa, namun tak urung
hatinya masih kaget dan takut. Kalau perempuan ini bangun nanti, mendadak tahu dirinya tidur di ranjang dan di
tempat asing, tahu pula dirinya sudah berubah rupa, entah apa yang akan dilakukannya.
Ma Ji-liong mulai bersimpati terhadapnya.
--------------00000-------------
Kini Thi Eng-hoat yang sau ini sudah bertemu dengan dirinya sendiri, melihat
keadaan rumah tinggalnya, dan menyaksikan isterinya yang sakit-sakitan di ranjang.
Toko serba ada macam apa pula toko miliknya ini" Orang macam apa pula Thio-
lausit--pegawainya yang jujur dan setia itu" Ji-liong ingin melihat sendiri pembantunya itu.
Dinamakan toko serba ada karena toko ini menjual dan menyediakan bahan sandang-
pangan. Dalam toko penuh berbagai jenis barang, dari keperluan dapur sampai keperluan
sehari-hari. Ada minyak, garam, kecap, cuka, beras, gula, telur ayam, telur bebek, telur asin,
udang kering, permen, sabun, jarum, benang, pisau, gunting, paku, kertas, alat-alat tulis juga
lengkap. Setiap bahan yang
dibutuhkan untuk kehidupan keluarga dapat dibeli di toko serba ada ini. Di atas
pintu rumah tergantung sebuah papan merk yang dihiasi empat huruf gaya tegak 'Thio-ki-jay-
hwe'. Di depan pintu terdapat sebuah gang--jalan kampung yang tidak begitu lebar. Bila
angin menghebus kencang, debu dan pasir berterbangan. Bila datang hujan, jalanan menjadi becek.
Para tetangga kanan kiri adalah keluarga miskin. Anak-anak ingusan tanpa pakaian ataupun kalau
berpakaian juga tidak genah--tidak lengkap, berkeliaran di jalan, berkelahi, menangis, dan
ribut. Kotoran ayam, bebek, anjing, dan kucing ada di mana-mana. Di depan setiap rumah sepanjang gang
sempit itu bergantungan pakaian orok atau popok bayi dan baju orang tua yang dijemur
matahari. Di tempat seperti itu, dalam lingkungan keluarga yang serba kurang, kecuali
menimang anak, boleh dikata tiada kerja lain untuk mengisi waktu dan menghibur kehidupan ini.
Para enghiong atau orang gagah yang berkecimpung di dunia persilatan pasti tak
akan sudi datang ke tempat sejorok ini. Mimpi pun M Ji-liong tak akan menyangka dirinya bakal berubah begini nasibnya--
menjadi juragan sebuah toko kecil di sebuah kampung miskin.
----------00000------------
Thio-lausit bertubuh pendek kurus. Gerak-geriknya selambat babi hamil yang
kurang makan. Wajah bulat dengan sepasang mata yang selalu mengantuk, seperti tidak pernah tidur
pulas. Hidungnya menonjol merah seperti terong.
Terhadap taoke atau majikannya, sikap Thio-lausit tidak sopan, tidak mau
menggubrisnya, kalau tidak ditanya tidak akan bicara, menjawab juga hanya seperlunya saja, tingkah
lakunya kaku, segan bicara karena selalu mengantuk. Sewaktu Ma Ji-liong beranjak keluar, jangan kan
menyapa, melirik pun ia malas. Maklum, di toko serba ada yang serba kotor dan jorok begini, memangnya kenapa
kalau kau adalah majikan dan aku hanya kuli" Bagaimanakah tata krama sepantasnya" Yang pasti
majikan atau kuli sama-sama mencari sesuap nasi. Kalau bisa makan saja sudah cukup, kenapa pula
harus banyak

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peradatan membedakan tinggi rendah segala"
Setelah berputar-putar dalam toko atau jelasnya mengadakan pemeriksaan ala
kadarnya, Ma Ji-liong malah merasa puas. Seandainya Thio-lausit itu cerewet, suka menjilat majikan
umpamanya, justru dirinya akan kikuk, takkan lama hidup begini.
Kemanakah Thio Eng-hoat dan bininya--pemilik asli toko serba ada ini" Mungkin Ji
Ngo sudah mengatur hidup mereka secara rapi dan baik. Hidup mereka pasti akan lebih baik,
tenteram, dan bahagia. Maka Ma Ji-liong bertanya-tanya dalam hati, "Hidup dalam keadaan seperti ini,
berapa lama aku bisa bertahan di sini?"
--------------------00000-----------------
Pembeli datang, ternyata seorang nyonya muda yang bunting tua membeli satu kilo
gula merah. Ma Ji-liong sedang memperhatikan keadaan di luar sambil menggendong tangan
ketika mendadak ia berjingkat kaget oleh jeritan yang memilukan. Walaupun suaranya tidak keras,
tetapi selama hidup belum pernah Ma Ji-liong mendengar jeritan gugup, panik, dan ketakutan
seperti itu. Ternyata Cia Giok-lun sudah terjaga dari pulasnya. Ia tentu telah melihat
perubahan yang terjadi pada dirinya--perubahan yang menakutkan.
Hampir saja Ma Ji-liong tidak berani masuk menengoknya.
Didengarnya nyonya muda yang besar perutnya itu menggerutu sambil menggeleng
kepala, "Penyakit Laupan-nio (isteri juragan) kelihatannya makin berat saja."
Ma Ji-liong hanya tersenyum getir. Lekas ia menyingkap tirai dan menyelinap
masuk. Tampak Cia Giok-lun sedang meronta bangun, sorot matanya tampak kaget, gugup, juga ngeri.
Sukar bagi Ma Ji-liong melupakan mimik wajahnya waktu itu--gusar, panik, dan takut sehingga
suaranya serak. Begitu Ji-liong masuk ia melolot dan menatap dengan pandangan curiga, "Siapa
kau" Tempat apa ini" Kenapa aku ada di sini?"
"Ini kan rumahmu, sudah delapan belas tahun kau tinggal di sini. Aku kan
suamimu, masa suami sendiri sudah tidak dikenal lagi?" Ma Ji-liong sendiri merasa sewaktu bicara
dirinya seperti musang mencuri ayam yang ketahuan oleh pemiliknya. Tapi ia harus bicara dan
menanggapinya dengan wajar, "Kulihat penyakitmu makin berat, biar aku mencari tabib untuk memeriksa
penyakitmu." Cia Giok-lun mengawasinya dengan mata terbelak. Tidak ada orang yang bisa
melukiskan bagaimana mimik matanya. Bagaimana perasaannya saat itu.
Nyonya muda yang perutnya besar itu mendadak melongok ke dalam sambil menyingkap
tirai. Katanya sambil menghela napas, "Mungkin suhu badan Laupan-nio amat tinggi, maka
mengoceh tak keruan. Seduhkan wedang jahe dicampur gula merah dan lekas diminumkan!"
Belum habis ia berbicara, mendadak Cia Giok-lun meraih sebuah mangkok yang
terletak di atas meja kecil di pinggir ranjang. Sekuat tenaga ia timpukkan ke sana. Mungkin
karena sakitnya berat, tenaga lemah, mangkok sekecil itu tidak kuat ia lemparkan. Keruan saja ia lebih
panik--lebih takut hingga sekujur badannya gemetar. Padahal ia tahu betapa tinggi ilmu silatnya--
sampai dimana taraf lwekang yang ia yakini, namun sekarang kemanakah ilmu silat yang dimilikinya
selama ini" Sambil menghela napas dan menggeleng kepala, nyonya muda yang hamil tua itu
mengeret mundur lalu beranjak pulang. Dalam jangka waktu setengah jam, para tetangga sudah tahu
dan mendenger berita bahwa sakit bini Thio-laupan (juragan Thio) semakin parah aja--mungkin
sudah menjadi gila. Cia Giok-lun memang hampir gila. Waktu melihat tangannya sendiri, tangan dengan
jari-jari putih halus terpelihara itu kini telah berubah menjadi kering, kusut, dan kasar
seperti cakar ayam. Bagaimana dengan anggota badannya yang lain"
Perlahan ia masukkan tangan ke dalam selimut. Sejenak ia celingukan, dilihatnya
cermin tembaga di atas meja rias. Sekuat tenaga ia meronta miring lalu merangkak ke pinggir
ranjang mendekati cermin itu. Begitu melihat wajahnya sendiri di depan cermin, seketika ia
menjerit lalu semaput. Perlahan-lahan Ma Ji-liong berjongkok membersihkan pecahan mangkok yang hancur
di lantai-- kalau sebagai Ma Ji-liong, ia segan melakukan hal seperti ini. Dia menampar muka
dan mulutnya sendiri delapan belas kali di hadapan bininya lalu membeberkan persoalan
sebenarnya kepada nona Cia yang terpaksa ikut berkorban karena dirinya.
Tapi ia sadar tidak boleh mengingkari kepercayaan Toa-hoan kepada dirinya. Toa-
hoan percaya kepadanya, sudah sepantasnya ia juga percaya kepada Toa-hoan. Bahwa Toa-hoan
sampai berbuat demikian tentu punya makna yang mendalam, tujuan yang baik, juga berguna untuk
semua pihak. Ma Ji-liong menarik napas panjang. Perlahan ia melangkah ke pintu, melongok
keluar lalu memberi pesan kepada pegawainya, "Hari ini kita tutup toko lebih dini."
Bab 17: Tidak Ada Yang Tidak Dilakukan
Malam itu Ma Ji-liong hanya makan nasi dengan lauk ikan goreng lombok, satu
macam menu saja, ada satu mangkuk kuah tulang daging babi juga tersedia di meja, semangkuk kuah
ini untuk bininya yang sakit. Bininya digotong ke atas ranjang dan diselimuti, sudah sadar, tapi rebah diam
tidak bergerak, matanya melotot mengawasi langit-langit rumah.
Habis makan Ma Ji-liong merasa iseng, ia duduk santai di kursi malas yang
terbuat dari rotan di sisi
ranjang. Otaknya memikirkan banyak persoalan, mengenang masa lalu, segala
kejadian dan perbuatan dirinya di masa lalu yang patut dibanggakan.
Apa betul perbuatannya dulu patut ia lakukan" Pantaskan diagulkan dan membuatnya
bangga" Manusia dengan manusia, kenapa terdapat jurang pemisah sebesar itu" Kenapa ada
sementara orang hidup dalam kemelaratan" Kenapa ada juga orang yang hidup berkelebihan"
Ji-liong sadar, jika bisa memperpendek jarak antara manusia dengan manusia itu,
barulah patut berbangga diri. Di sinilah letak kemajuan Ma Ji-liong, setelah merasakan, bisa
meresapi, jika sekarang ia masih hidup dalam lingkungan lama, pasti tidak pernah Ma Ji-liong
berpikir sejauh dan seluas ini. Dalam mengarungi hidup, jika manusia mengalami proses hidup yang tidak
menyenangkan, menderita pukulan lahir batin, bukankah kejadian itu langsung membawa manfaat
bagi dirinya" Toa-hoan berbuat demikian terhadap Cia Giok-lun, apakah lantaran sebab itu juga"
Teringat akan hal ini, perasaan Ma Ji-liong menjadi lega malah, gejolak hatinya jauh lebih
tenteram. Ia yakin, meski belum pernah mengenal pribadi gadis ini, Cia Giok-lun pasti
seorang gadis yang suka berbangga hati, gadis ini memang mempunyai nilai tinggi untuk membanggakan
diri. Entah sejak kapan Cia Giok-lun mengawasi dirinya, lama menatapnya. "Coba ulangi
sekali lagi," demikian pintanya dengan nada datar.
"Apa yang harus kuulangi?" tanya Ma Ji-liong.
"Katakan, kau siapa dan aku siapa?"
"Aku bernama Thio Eng-hoat, kau bernama Ong Kwi-ci."
"Kita adalah suami isteri?"
"Ya, suami isteri sejak 18 tahun yang lalu, sejak menikah kita tinggal di sini
membuka toko serba ada, dagang kecil-kecilan hingga sebesar ini, lumayan. Para tetangga di kampung
ini siapa yang tidak kenal kau dan aku?" Ma Ji-liong menghela napas, lalu berkata pula,
"Mungkin kau merasa kehidupan ini serba kekurangan, sudah bosan dan sebal tinggal di rumah bobrok
ini, maka ingin melupakan pengalaman hidup masa lampau." Ma Ji-liong berganti nada, "Sebenarnya
kehidupan begini juga ada baiknya, paling sedikit kita hidup tenteram dan berkecukupan
meski sederhana, hanya sayang kita tidak punya anak."
Cia Giok-lun mendengar sambil menatapnya lekat. "Dengarkan," katanya kemudian
dengan nada tegas. "Aku tidak tahu dan tidak kenal kau siapa, juga tidak tahu apa yang telah
terjadi atas diriku, tapi aku yakin kejadian ini kau lakukan karena disuap atau diperalat orang lain
untuk membuatku celaka begini." "Siapa yang membuatmu celaka" Kenapa membuatmu celaka?"
"Apa betul kau tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya?"
Ma Ji-liong memang tidak tahu, tapi dia bertanya, "Kau kira kau ini siapa?"
Cia Giok-lun menyeringai dingin, katanya, "Kalau kau tahu siapa diriku, kau bisa
mati saking kagetnya." Nadanya tinggi mengandung rasa bangga dan jumawa, "Aku putri
malaikat, tiada perempuan di dunia ini yang bisa menandingi aku, setiap saat aku bisa membuatmu
kaya raya, tapi juga bisa membunuhmu. Oleh karena itu, lekas kau antar aku pulang, kalau tidak
akan datang suatu hari aku akan mengiris tubuhmu untuk dimakan anjing."
Gadis ini memang jumawa, terlalu membanggakan diri, tidak pandang sebelah mata
kepada orang lain, jiwa raga orang lain tidak berharga sama sekali, kecuali dirinya, jiwa
siapa pun tidak ada nilainya. Perempuan galak dan bawel seperti ini memang pantas dihajar adat, biar
merasakan sedikit derita, biar kapok, kejadian ini akan membawa manfaat bagi dirinya.
Ji-liong menghela napas, katanya, "Penyakitmu kumat lagi, lekas tidur saja."
Setelah melontarkan ucapannya, baru Ji-liong sadar, masalah tidur menjadi persoalan bagi dirinya. Di
dalam rumah itu hanya ada satu ranjang, di mana ia harus tidur malam ini"
Tentu Cia Giok-lun juga memikirkan hal ini, mendadak ia berteriak, "Awas, berani
kau tidur di sini, berani kau menyentuh aku, aku akan.... aku akan....." Ia tak meneruskan
omongannya. Bahwasanya ia takkan berbuat apa pun terhadap gadis yang berdiri pun tidak kuat,
kalau Ma Jiliong mau berbuat kasar dan main kekerasan, jelas gadis ini takkan mampu melawan.
Untung Ma Ji-liong tidak berbuat apa-apa terhadapnya. Ma Ji-liong memang pemuda
yang tulus lagi bijak, tidak sia-sia namanya menjulang tinggi dalam percaturan dunia
persilatan, hakikat seorang pendekar memang melekat pada dirinya.
Ma Ji-liong adalah laki-laki sejati, sehat lagi kuat dan normal, pernah melihat
wajah dan tubuhnya yang polos semampai, tahu bahwa gadis ini rupawan lagi jelita. Dalam kamar yang
remang-remang, di atas ranjang yang tertutup kain mori...... Pandangan sekilas itu terukir
dalam relung hatinya, seumur hidup takkan terlupakan. Tapi Ma Ji-liong adalah Ma Ji-liong, pendekar
muda, harkat pendekar melekat pada pribadinya, maka Ma Ji-liong tidak berbuat apa-apa,
tindakan maupun perkataan. Walau jalan pikirannya sudah berubah, sekarang Ma Ji-liong sadar dirinya tidak
perlu membanggakan diri seperti dulu, tapi ada sementara perbuatan yang tak mungkin
mau ia lakukan, umpama memaksa dengan mengancam akan membunuhnya juga pantang ia lakukan. Hal
ini saja patut membuat dirinya bangga.
----------------------------ooo00ooo--------------------------
Hidup ini berkembang, berlalu dari hari ke hari, dari minggu menjadi bulan,
lambat laun Cia Gioklun menjadi betah dan tenang, meski tanpa kerja dan hanya berbaring saja di atas
ranjang dengan tenteram dan damai, hanya tidak bisa bergerak atau turun dari ranjang. Maklum,
bila seorang menghadapi kenyataan apa boleh buat, siapa pun akan menerima nasib secara penuh
kesabaran, penuh pengertian. Memangnya mau apa kalau tidak sabar, apa yang bisa dilakukan,
umpama menjadi gila, ribut dan bergulingan di tanah, kecuali nekad menumbukkan kepala
ke tembok untuk bunuh diri. Lalu bagaimana dengan Ma Ji-liong selama ini"
Tata kehidupan ini jelas bertolak belakang dibanding kehidupannya sebagai anak
hartawan, sebagai pendekar muda yang gagah terkenal, kini hidup terpencil dalam sebuah rumah,
setiap hari mendampingi wanita yang tidak bisa berbuat apa-apa, malah harus meladeninya
dengan penuh kesabaran, putus hubungan dengan orang-orang yang ia kenal, dengan keluarganya.
Orang-orang yang dulu ia pandang rendah dan bodoh serta miskin, sekarang ia temukan gambaran
lain di balik kemiskinan mereka yang bijak lagi sederhana itu.
Datang saatnya ia juga merasa risau lagi bebal, bosan dan murung, ingin keluar
mencari berita, pergunjingan apa yang telah terjadi di Kangouw selama ini, ingin pergi mencari
Toa-hoan dan Ji Ngo. Sayang dalam keadaan dirinya sekarang, meski keinginan teramat besar dan
susah dibendung, namun orang lain tidak mengizinkan ia berbuat demikian. Karena ia juga sadar


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa dirinya sekarang adalah Thio Eng-hoat, walau bukan Thio Eng-hoat tulen.
------------------------ooo00ooo--------------------------
Beberapa hari ini, secara beruntun menjelang maghrib, tokonya kedatangan seorang
pembeli. Orang yang membuka toko jamak kalau kedatangan pembeli yang membutuhkan sesuatu untuk
keperluan hidup sehari-hari. Tapi lain dengan pembeli yang satu ini, pembeli aneh, karena
setiap datang selalu membeli dua puluh butir telur ayam, dua kilo kertas merang, dua kilo garam dan
sekati arak beras merah. Adalah lumrah bila orang punya duit setiap hari makan telur, tapi jarang ada
orang yang makan dua puluh butir telur setiap hari, untuk apa pula dua kilo kertas merang dan garam,
siapa pun pasti akan menaruh perhatian dan prasangka. Kejadian ini memang aneh dan mencurigakan, tapi
pembeli itu justru tidak merasa aneh. Telur ayam, kertas merang, garam dan arak adalah
barang biasa untuk keperluan sehari-hari. Pembeli itu seorang laki-laki berperawakan tinggi agak
kurus dengan muka legam, tak ubahnya lelaki umumnya, hanya sikap dan tindak-tanduknya saja yang
kelihatan agak gelisah, gugup dan keletihan.
Hingga pada suatu hari, tepatnya pada hari kedelapan, kebetulan nyonya muda yang
hamil tua juga melihatnya di depan toko. Setelah pembeli aneh itu pergi, baru nyonya muda hamil
tua itu bertanya dengan setengah berbisik kepada Ma Ji-liong, "Siapakah orang ini" Belum pernah
aku melihatnya?" Sejak itu baru Ma Ji-liong menaruh perhatian.
Nyonya muda itu dilahirkan dan dibesarkan di kampung ini, setiap penduduk di
kampung ini ia kenal dengan baik. Dasar perempuan yang satu ini memang cerewet, maka ia
bertanya lagi dengan nada tegas, "Eh, siapakah dia" Laki-laki ini pasti bukan penduduk asli, dulu
pasti tak pernah datang ke mari. Entah kalau penduduk baru yang pindah belum lama ini."
-------------------------ooo00ooo-------------------------
Diam-diam Ma Ji-liong menaruh perhatian terhadap pembeli yang misterius ini,
memperhatikan secara seksama. Sebetulnya Ma Ji-liong tidak berpengalaman dan tidak mahir
membuat penyelidikan, apalagi mencari tahu asal-usul orang lain. Tuan muda yang
dilahirkan dari keluarga besar dan kaya raya seperti dirinya, biasanya jarang dan bukan kegemarannya
untuk mencari tahu hal-ihwal orang lain. Kalau memerlukan suatu keterangan, cukup memberi perintah
pada orang untuk mencari tahu, kapan pula ia pernah turun tangan sendiri. Tapi dari
pengamatan yang cermat, apalagi setelah beberapa bulan hidup prihatin, Ji-liong mendapatkan beberapa
titik persoalan yang ganjil pada laki-laki langganannya yang baru ini.
Perawakan laki-laki itu kurus tinggi, tapi tangan dan kakinya luar biasa kasar
dan kuat. Waktu mengambil barang dan mengulurkan uang, selalu bergerak ragu-ragu tetapi cepat
dan tangkas, seperti ingin menyembunyikan tangannya yang panjang dan besar, maksudnya supaya
orang tidak memperhatikan tangannya, tapi justru tingkah-lakunya yang takut-takut ini malah
menarik perhatian Ma Ji-liong. Setiap hari menjelang maghrib, di saat penduduk sekitarnya siap makan malam,
saat itu jarang ada penduduk di luar atau berlalu-lalang di jalanan.
Perawakan lelaki ini memang tinggi, satu kepala lebih tinggi dari Ma Ji-liong,
kakinya kekar, kasar lagi kuat, lengannya bergerak enteng, setiap datang hampir tidak terdengar
langkah kakinya, tahutahu
orangnya sudah berdiri di depan toko. Sore hari itu kebetulan turun hujan, jalan
kampugn becek dan licin, tapi sepatu rumput laki-laki ini tidak kelihatan kotor seperti
sepatu orang lain yang berjalan di tanah becek. Musim dingin sudah lewat, musim semi pun menjelang, tapi hawa masih terasa
dingin. Orang lain masih memakai baju tebal, tapi laki-laki ini hanya berpakaian tipis saja, namun
tidak kelihatan kedinginan. Betapapun Ma Ji-liong pernah berkecimpung di Kangouw, meski belum lama dan tak
banyak pengalaman, namun berdasarkan beberapa kenyataan itu, ia menarik kesimpulan
bahwa lelaki ini pasti pernah meyakinkan ilmu silat, malah ilmu silat yang hebat dan lihai,
sepasang telapak tangannya kasar, mungkin pernah meyakinkan Thi-soa-ciang, Ilmu Pukulan Pasir
Besi, atau sejenisnya. Seorang jago Bulim setiap hari membeli telur ayam, kertas, garam dan arak untuk
keperluan apa" Kalau menyembunyikan diri dari pengejaran musuh yang menuntut balas kepadanya,
rasanya tidak perlu setiap hari membeli barang-barang itu.
Jika anak buah Ji Ngo yang diutus ke sini untuk menjaga dan melindungi Ma Ji-
liong berdua, rasanya tidak perlu melakukan langkah-langkah yang bisa mengundang perhatian
orang. Mungkinkah Khu Hong-seng, Coat-taysu dan lain-lain sudah tahu adanya gejala-
gejala tidak normal di toko serba ada ini, maka mengirimkan anak buah untuk mengawasi gerak-
geriknya" Kalau betul demikian, kan tidak perlu membeli dua puluh butir telur ayam dan dua
kilo kertas dan garam setiap harinya"
Beberapa persoalan ini sukar mendapatkan jawabannya. Persoalan yang tidak bisa
dimengerti lebih baik tak usah dipikir, tapi Ma Ji-liong mulai tertarik oleh kejadian ini.
Setiap orang pasti menaruh perhatian terhadap sesuatu menurut kesenangannya,
demikian pula Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun pun tak terkecuali, lama-kelamaan ia pun tahu adanya
pembeli aneh setiap maghrib yang mencurigakan itu, maka suatu petang Cia Giok-lun bertanya,
"Orang yang kalian bicarakan itu, apa betul seorang laki-laki?"
"Sudah tentu laki-laki."
"Mungkinkah samaran perempuan?" tanya Cia Giok-lun.
"Tidak mungkin, pasti lelaki tulen."
Walaupun bukti sudah di depan mata, Ma Ji-liong sudah berkenalan langsung dengan
keajaiban tata rias, tapi ia percaya lelaki pembeli garam itu pasti bukan perempuan yang
menyamar. Dilihatnya Cia Giok-lun memperlihatkan rasa kecewa.
Ma Ji-liong merasa pertanyaan orang agak aneh, maka ia balas bertanya, "Kenapa
kau tanya dia laki atau perempuan" Kau mengharap pembeli itu seorang perempuan?"
Lama Cia Giok-lun diam tidak memberi jawaban. Setelah menghela napas, baru dia
berkata, "Kalau perempuan, mungkin sekali sedang berusaha menolong aku."
Mengapa kalau pembeli itu perempuan, maka akan menolong dirinya"
Ma Ji-liong tidak bertanya, ia hanya berkata tawar, "Delapan belas tahun kau
menikah dengan aku, selama ini aku baik terhadapmu, kenapa orang lain harus menolongmu dan membawamu
pergi?" Cia Giok-lun melotot gemas setiap membicarakan hal ini, sorot matanya
memancarkan derita, dendam dan kebencian. Bila terjadi perubahan pada mimik dan sikap perempuan yang
satu ini, Ma Ji-liong lekas menyingkir, tidak tega dan kasihan, tidak berani ia bertatap muka
dan beradu pandang dengannya. ------------------------ooo00ooo----------------------------
Suatu malam, belum lama setelah laki-laki misterius itu datang membeli keperluan
yang itu-itu juga, nyonya muda yang hamil tua itu datang lagi dengan langkahnya yang gontai
seperti bebek, sikapnya kelihatan tegang lagi gugup, tapi juga bangga. "Aku sudah tahu, aku
sudah tahu," napasnya sedikit memburu. "Aku tahu di mana orang itu tinggal."
Sungguh heran, Thio-lausit yang biasanya tak banyak mulut dan tidak mau
mencampuri urusan orang lain, kali ini bertanya, "Dia tinggal di mana?"
"Tinggal di rumah To Po-gi," nyonya muda itu menerangkan. "Dengan mata kepalaku
sendiri kulihat dia masuk ke sana."
To Po-gi adalah kepala opas di wilayah kampung itu, kabarnya dulu pernah
berlatih silat, tapi dia sendiri tidak pernah bilang atau mengagulkan diri, tidak ada orang yang pernah
melihat ia berlatih silat. Ia menempati sebuah rumah setengah permanen yang cukup besar menurut
ukuran rumah penduduk di sekitarnya, rumahnya bertembok dengan genteng merah.
Seorang kepala opas tentu punya banyak kawan, pergaulan luas. Kalau ada teman
yang tinggal di rumahnya, sepatutnya tak perlu dibuat heran. Tapi keluarga To Po-gi hanya
terdiri dari suami-isteri
saja tanpa anak, ditambah seorang tamu, umpama tiap hari mampu menghabiskan dua
puluh butir telur ayam, rasanya tak mungkin makan dua kilo garam. Isteri To Po-gi juga bukan
pedagang makanan atau mengerjakan sesuatu yang memerlukan garam sebanyak dua kilo setiap
harinya, dua kilo garam cukup membuat tiga orang itu kering menjadi ikan asin.
Nyonya muda itu berkata pula, "Tadi sengaja aku bermain ke rumah To Po-gi dan
berbincangbincang dengan isterinya, dari depan aku berkeliling ke belakang, namun bayangan orang
itu tidak kelihatan, padahal jelas aku melihat dia masuk ke rumah itu. Secara bisik-bisik
aku bertanya pada bini To Po-gi, untuk apa setiap hari orang itu membeli dua kilo garam" Entah
kenapa, dengan suatu alasan yang kurang wajar, To Po-gi mendadak mengajak ribut mulut dengan bininya.
Tanpa mendapat jawaban, terpaksa aku mengeluyur pulang."
Thio-lausit hanya mendengarkan, mendadak dia bertanya pada perempuan itu, "Hari
ini kau tidak membeli gula merah?"
"Hari ini aku tidak membeli apa-apa."
"Juga tidak membeli kecap?"
"Kecapku belum habis."
Thio-lausit menarik muka, katanya, "Kalau begitu, kenapa tidak lekas kau pulang
tidur saja?" Nyonya muda itu berkedip-kedip matanya, sejenak berdiri melongo, tanpa bicara
lagi lekas ia mengeluyur pulang. Thio-lausit bersiap menutup toko, mulutnya menggerundel, "Mencampuri urusan
orang lain tidak baik. Aku paling benci melihat tampang yang suka mencampuri urusan orang lain."
Ma Ji-liong mengawasinya, mendadak ia menemukan sesuatu yang aneh pada orang
jujur ini, untuk pertama kalinya Ma Ji-liong merasakan adanya keanehan pada Thio-lausit yang
jujur dan setia ini. Bab 18: Orang Yang Makan Garam
Seperti biasanya, malam itu Ma Ji-liong menggelar tikar untuk tidur di lantai di
pinggir ranjang. Tapi dia tidak bisa tidur.
Agaknya Cia Giok-lun juga tidak bisa tidur, mendadak ia bersuara, "He, kau belum
tidur?" "Hampir saja pulas, tapi belum tidur."
Orang yang sudah tidur mana mungkin diajak bicara.
"Kenapa kau tak bisa tidur?" Cia Giok-lun bertanya. "Apa kau sedang memikirkan
persoalan orang itu?" "Persoalan apa?" sengaja Ma Ji-liong balas bertanya.
"Bila opas itu pernah meyakinkan ilmu silat, mengapa kau tidak menduga kalau
dulu ia seorang begal atau penjahat besar" Orang yang tiap hari membeli garam itu adalah
komplotannya, kehadirannya di sini mungkin sedang merencanakan sesuatu?"
"Maksudmu melakukan kejahatan" Apa sangkut-pautnya dengan membeli garam?" bantah
Ma Jiliong. "Apa pula sangkut-pautnya dengan kita?"
"Siapa tahu dia menaksir tokomu dan akan merampoknya habis, membeli garam hanya
untuk mencari tahu seluk-beluk tokomu ini."
Tak tahan Ma Ji-liong bertanya, "Ada barang penting atau berharga apa di toko
kita yang harus direbut orang lain?"
"Hanya ada satu."
"Satu yang mana?"
"Akulah yang mereka incar."
"Kau kira mereka hendak merebut atau menculik dirimu?" Kali ini Ma Ji-liong
tidak bisa tertawa, karena ia maklum rasa kuatir Cia Giok-lun memang beralasan.
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas, katanya, "Mungkin kau memang tidak tahu
siapa aku sebenarnya, tapi kau harus percaya, jika aku jatuh ke tangan kawanan penjahat
itu........" Suaranya
menjadi lemah, lidah seperti kaku, seolah-olah membayangkan akibat yang
mengerikan, sorot matanya tampak panik dan takut. Sesaat lamanya baru ia mendesah pula, "Selama
ini aku tidak habis pikir, kenapa kau berbuat begini terhadapku, tapi setelah hidup bersama
dalam rumah ini sekian bulan, aku juga sudah melihat dan tahu, kau bukan orang jahat, sukalah
kau menolong aku mencari tahu asal-usul orang itu."
"Bagaimana aku harus mencari tahu asal-usulnya?" tanya Ma Ji-liong.
Mendadak Cia Giok-lun tertawa dingin, katanya, "Kau kira aku tidak tahu bahwa


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau juga pandai silat, umpama betul kau adalah pemilik toko serba ada ini, dulu kau pasti pernah
berkecimpung di Kangouw, mungkin seorang terkenal di Bulim, aku menilai ilmu silatmu tidak
rendah." Ji-liong menunduk bungkam. Seorang pesilat kosen yang sudah belasan tahun
berlatih ilmu silat, banyak segi dan kondisi yang berbeda dengan orang biasa. Ia percaya apa yang
dikatakan Cia Gioklun memang benar, setiap hari orang selalu memperhatikan gerak-geriknya. Maklum Cia
Giok-lun memang benar, setiap hari orang selalu ia perhatikan, tiada buku yang dapat ia
baca di rumah ini. Cia Giok-lun menatapnya sekian lama, lalu katanya, "Kalau kau tidak melaksanakan
permintaanku ini, aku akan........"
"Kau akan apa?"
"Sejak saat ini aku akan mogok makan dan minum, yang pasti aku sudah tidak ingin
hidup tersiksa seperti ini." Akal bagus dan tepat. Sudah tentu Ma Ji-liong tidak akan membiarkan dia mati
kelaparan. "Bagaimana?" desak Cia Giok-lun.
"Kapan aku harus melakukannya?"
"Sekarang, sekarang juga harus kau lakukan," sejenak ia berpikir, lalu
menambahkan, "Kau harus
berganti pakaian hitam, menutup kepala dengan kain hitam pula. Jika jejakmu
ketahuan orang dan dia mengejarmu, jangan langsung lari pulang. Aku tahu kau pun tidak suka kalau
asal-usulmu diketahui orang, benar tidak?" Ternyata perempuan ini juga paham lika-liku
kehidupan kaum persilatan. Cia Giok-lun berkata lebih lanjut, "Kau harus bekerja menurut petunjukku, aku
sendiri belum pernah berbuat seperti apa yang kuanjurkan tadi, tapi ahli Kangouw mengajarkan
dan memberi petunjuk kepadaku." Setelah menghela napas ia menyambung, "Aku rela dan tinggal
diam selama ini di atas ranjang yang menyebalkan ini, dengan satu tekad: apa yang terjadi,
apa yang kualami ini, akan datang suatu hari nanti seorang pasti datang menjelaskan kejadian
sebenarnya, maka jangan kau biarkan orang lain mencariku. Kalau kau abaikan peringatanku, kita berdua
bisa mati konyol." Ma Ji-liong hanya mendengarkan, hanya tertawa getir. Selama hidup belum pernah
ia bertindak sembunyi-sembunyi, tapi kali ini harus bekerja secara diam-diam macam panca-
longok saja. -------------------------ooo00oo---------------------------
Larut malam. Keluarga miskin, karena kerja keras di siang hari, umumnya penduduk kampung
beristirahat lebih dini. Kecuali menghemat minyak, juga untuk mengejar hiburan, menikmati
kesenangan yang bisa dilakukan di dalam rumah gelap, tanpa merogoh kantong. Mungkin juga ada berbagai
alasan lain, maka mereka selalu tidur pagi-pagi.
Jalan kampung yang sempit panjang itu gelap gulita tiada lampu, juga tak ada
orang lewat. Sesekali hanya terdengar anjing menggonggong dan kucing brengsek yang lagi bermain cinta.
Dengan Ginkang yang tinggi Ma Ji-liong keluar dari toko serba ada, pakaiannya
ketat serba hitam, dengan kain penutup kepala hitam pula, yang kelihatan hanya sepasang matanya
saja. Menetap tiga bulan lebih di kampung itu, Ma Ji-liong pernah juga keluyuran ke
rumah tetangga, maka ia tahu di mana letak rumah To Po-gi. Rumah To Po-gi dibangun dengan batu
bata dan genteng merah, seluruhnya ada lima bangunan rumah, tiga terang dua gelap, namun
lampu sudah dipadamkan. Di belakang rumah ada pekarangan yang tidak begitu besar, di sebelah
kiri pekarangan ada dapur, ada gudang kayu, di bagian tengah ada sebuah sumur.
Hampir empat bulan lamanya Ma Ji-liong tidak pernah latihan, malam ini ia
mengembangkan Ginkangnya yang tinggi, dengan seksama memeriksa dari luar hingga ke belakang
rumah To Po-gi. Tapi tiada sesuatu yang ditemukan, tiada yang menarik perhatian, suara apa pun
tidak terdengar. Isteri To Po-gi masih muda, segan ia mengintip kamar tidur orang dari jendela.
Setelah yakin tiada sesuatu yang berhasil diselidiki, segera ia pulang ke rumah.
-------------------------------ooo00ooo--------------------------
Cia Giok-lun belum tidur, matanya masih terbuka lebar, melotot mengawasi langit-
langit rumah yang gelap, ia menunggu dengan penuh kesabaran. Dengan terbelalak ia mendengar
laporan Ma Jiliong, lalu menghela napas, katanya kemudian, "Aku keliru. Tadi aku bilang kau
terkenal, sekarang baru aku sadar dugaanku ternyata keliru. Kenyataannya kau masih hijau, tidak
paham seluk-beluk dan segi kehidupan kaum persilatan."
Sebetulnya Cia Giok-lun tidak keliru. Seorang ternama belum tentu kawakan
Kangouw, kawakan Kangouw belum tentu terkenal.
Ma Ji-liong tidak ingin berdebat, pokoknya dia sudah pergi melaksanakan tugas,
memberi keterangan sesuai kenyataan.
Ternyata Cia Giok-lun tidak puas, ia menganggap Ma Ji-liong belum menunaikan
tugasnya dengan baik, maka ia berkata, "Tempat yang tidak perlu diperiksa sudah kau periksa,
tempat yang harus kau perhatikan justru kau abaikan."
"Tempat apa yang harus kuperiksa?" tanya Ma Ji-liong.
"Kau sudah memeriksa dapur?" tanya Cia Giok-lun.
"Tidak," Ma Ji-liong tidak mengerti. "Di dapur tidak ada orang, kenapa aku harus
memeriksa dapur?" "Kau harus periksa apakah dapur masih digunakan, apakah tungkunya masih hangat."
Ma Ji-liong bingung, tidak habis mengerti. Dapur digunakan untuk memasak atau
tidak, apa sangkut-pautnya dengan persoalan ini"
Cia Giok-lun berkata, "Pernahkah kau memeriksa sumur itu" Apakah sumur itu
berair?" "Kenapa sumur itu harus kuperiksa."
"Karena dapur yang tidak dipakai, sumur yang tidak ada airnya adalah tempat
bagus untuk bersembunyi. Di dalam dapur atau sumur bukan mustahil ada lorong rahasia di
bawah tanah." Ma Ji-liong menghela napas, katanya, "Ahli silat yang mengajar berbagai segi
kehidupan kaum persilatan kepadamu itu, agaknya luas sekali pengalamannya."
"Betul, apa yang pernah kupelajari, sekarang kuajarkan kepadamu."
"Maksudmu, aku harus ke sana lagi?"
"Lebih baik kau segera berangkat, periksa lagi dengan teliti."
------------------------ooo00ooo-----------------------------
Tungku masih hangat, di pinggir tungku ada arang yang masih menyala, di atas
tungku juga ada wajan yang berisi air hangat.
Sumur itu memang tidak ada airnya.
Apa betul orang itu bersembunyi di dasar sumur" Dasar sumur amat gelap, Ma Ji-
liong tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan.
Waktu kecil Ma Ji-liong pernah meyakinkan Pia-hou-kang (Ilmu Cecak Merambat).
Untuk memeriksa keadaan dasar sumur tidak sukar, tapi kalau benar ada orang
bersembunyi di dasar sumur, bila ia melorot ke bawah, tentu akan mudah disergap dan mungkin terbunuh
secara konyol. Kalau betul orang itu buronan, jejaknya tentu pantang diketahui orang, maka
jiwanya nanti takkan diampuni. Dengan bekal kepandaiannya, Ma Ji-liong mungkin mampu mempertahankan diri,
mungkin juga mampu balas menyerang. Tapi kenapa harus menyerempet bahaya" Tiada alasan dan
tujuan apa pun untuk berkorban secara konyol, ia sudah siap meninggalkan tempat itu, siap
mendengarkan omelan Cia Giok-lun pula. Walau belum pernah menikah, belum menjadi suami, namun Ma Ji-liong sudah maklum,
sudah paham, seorang suami kalau selalu diomeli isterinya yang cerewet, bagaimana rasa
dan keadaannya. Sebelum Ma Ji-liong beranjak meninggalkan mulut sumur, mendadak didengarnya
suara dingin berkumandang dari dasar sumur, "Thio-laupan, kau sudah datang?" Suaranya serak
rendah, betul adalah suara pembeli garam itu, Ji-liong kenal suaranya. Sebelum dirinya melihat
persembunyiannya, orang sudah tahu kedatangannya.
Ma Ji-liong tertawa getir, sahutnya, "Ya, aku datang."
Pembeli garam berkata pula, "Kalau sudah datang, kenapa tidak turun ke mari dan
duduk mengobrol sebentar?"
Kalau mau Ma Ji-liong bisa tinggal pergi dengan leluasa, tiada orang yang bisa
merintangi, tapi orang di dasar sumur sudah tahu kedatangannya, umpama sekarang pergi, orang akan
meluruk ke toko untuk membuat perhitungan dengan dirinya. Seorang buronan tentu harus
merahasiakan jejaknya. Ma Ji-liong maklum dan tahu akan hal ini, karena ia juga terhitung buronan,
sekarang ia juga sedang menyembunyikan diri. "Baik, aku akan turun," sahutnya kemudian.
--------------------------ooo00ooo-------------------------
Sinar api mendadak menyala di dasar sumur yang semula gelap gulita, setitik
sinar lampu kecil. Di dasar sumur ternyata ada dua orang, seorang adalah pembeli garam, seorang
lagi orang yang makan garam. Pemakan garam ini berpundak lebar, kaki panjang, jidat tinggi,
tulang pipi menonjol, seharusnya terhitung laki-laki yang bertubuh kekar, namun sekarang sudah menjadi
kurus kering tinggal kulit membungkus tulang, keadaannya tidak menyerupai manusia umumnya,
kulit badannya kering. Anehnya ia terus meneguk air, seteguk air segenggam garam, lalu menelan sebutir
telur ayam. Bukan saja tak takut asin, juga tidak mati karena terlalu banyak makan garam,
air yang tertelan ke perutnya entah mengalir ke mana. Kulit badannya kelihatan mirip tanah liat yang
kering kerontang lalu merekah. -----------------------ooo00ooo--------------------------
Bab 19: Berbuat Pasti Ada Tujuan
Pembeli garam duduk di pinggir sambil minum arak, hanya sebotol arak untuk
dirinya sendiri. Ia minum seteguk demi seteguk, minum perlahan-lahan, gayanya mirip setan arak yang
kikir, mau minum tidak mau merogoh kantong, yang pasti ia gemar minum tapi sayang keluar
uang. Di sini, di dasar sumur ini, tidak bisa tidak harus minum arak, tapi tidak boleh
mabuk. Badan harus selalu segar, pikiran harus selalu jernih, karena harus menjaga keselamatan dan
merawat kesehatan saudaranya, mengawasi orang yang tidak takut asin dan terus melalap garam
seperti kakap mencaplok teri itu. Dasar sumur ternyata amat lebar dan luas, di situ ada sebuah pembaringan, sebuah
meja dan satu kursi. Lampu minyak kecil terletak di atas meja.
Pemakan garam duduk setengah tiduran di ranjang, pembeli garam duduk di kursi.
Duduk diam dan tenang mengawasi Ma Ji-liong yang melorot turun dengan Pia-hou-kang.
Tangan yang memegang botol kelihatan gede dan kasar, kuku jarinya mengkilap,
jelas pernah meyakinkan ilmu pukulan sejenis Cu-soa-ciang yang keji. Di pinggir kursi
tergeletak sebatang Cucoat-
pian yang berat, ruyung beruas tujuh yang terbuat dari baja murni, selintas
pandang bobotnya mungkin ada empat-lima puluh kati. Senjata itu tergeletak di tempatnya, pembeli
garam itu juga tetap duduk minum, yang pasti Ma Ji-liong disambut dengan sikap dingin dan
pandangan tajam penuh selidik. Dengan menatap dingin, pembeli garam berkata, "Thio-laupan, kami sudah menduga,
cepat atau lambat, kau pasti ke mari, terbukti sekarang kau berada di sini."
"Kau tahu aku akan ke mari?" tanya Ma Ji-liong tidak mengerti. "Dari mana kau
tahu?" Pembeli garam meneguk araknya sekali, seteguk kecil saja, lalu berkata, "Jika
aku membuka toko, tiap hari ada orang yang membeli dua kilo garam, aku pun akan curiga." Sambil
menyeringai dingin, ia melanjutkan, "Tapi seseorang yang betul-betul membuka toko, berusaha
mencari nafkah secara jujur, umpama merasa heran dan curiga terhadap langganannya, ia pasti
takkan mencampuri urusan orang lain, sayang kau bukan pengusaha toko."
"Aku bukan apa?"
"Kau bukan pengusaha toko yang baik, pengusaha tulen," demikian desis si pembeli
garam. "Seperti juga aku, tidak pantas membeli garam di tokomu itu."
"Agaknya kau pandai melihat kenyataan," ujar Ji-liong.
Pembeli garam berkata, "Kau ingin tahu asal-usulku, bukan" Ketahuilah, aku pun
sudah mencari tahu tentang dirimu. Seharusnya kau bernama Thio Eng-hoat, delapan belas tahun
membuka toko, kau punya bini yang sakit-sakitan dan seorang pegawai yang jujur setia, selama


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup Thio Enghoat tidak suka ikut campur urusan orang lain." Sampai di sini ia menghela napas,
"Sayang kau bukan Thio Eng-hoat yang sesungguhnya, pasti bukan."
"Dari mana kau tahu aku bukan Thio Eng-hoat?" tanya Ma Ji-liong.
"Kuku jarimu terlalu bersih, rambut pun tersisir rapi, malah setiap hari kau
mandi. Aku sudah mencari tahu, Thio Eng-hoat yang asli adalah laki-laki yang jorok dan bau, laki-
laki yang pelit lagi kikir, dua tiga hari bisa tidak mandi atau ganti pakaian, tapi teliti menghitung
laba rugi dagangannya. Karena rajin kerja itulah maka isterinya selalu mengomel dan
menggerutu, sehingga jatuh sakit." Ma Ji-liong diam saja, tidak membantah. Ia maklum dirinya sedang berhadapan
dengan kawakan Kangouw yang banyak pengalaman. Sebelum Ma Ji-liong menaruh curiga terhadapnya,
orang sudah lebih dulu menaruh perhatian terhadap dirinya.
"Kalau kau bukan Thio Eng-hoat, lalu siapa kau" Kenapa kau menyaru sebagai Thio
Eng-hoat" Thio Eng-hoat yang asli kau apakan" Di mana dia sekarang?" ujar si pembeli
garam. Lebih jauh ia berkata, "Persoalan ini sering kupikirkan, sejak lama kupikirkan."
"Kau sudah mendapatkan jawabannya?"
"Hanya sedikit, tidak berarti."
"Sedikit bagaimana?"
"Aku yakin kejadian ini pasti direncanakan secara cermat. Setiap segi, setiap
langkah sudah diperhitungkan dengan seksama. Kau bisa menyamar sebagai Thio Eng-hoat, dapat
mengelabui isterinya yang sudah menikah dan hidup bersama selama belasan tahun lamanya,
demikian pula pegawainya, ini membuktikan bahwa kau berganti rupa dengan tata rias yang luar
biasa baiknya," nadanya tegas dan pasti, lalu sambungnya, "Meski tidak sedikit kaum persilatan
yang ahli di bidang tata rias, tapi yang mampu berbuat sebagus ini, di kolong langit ini mutlak
hanya satu orang saja."
Yang dimaksud orang yang satu ini tentu Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long.
Lebih jauh pembeli garam berkata, "Giok-toasiocia pernah bilang, dua puluh tahun
beliau tidak mencampuri urusan Kangouw, tapi ada seorang yang dapat menyeretnya keluar untuk
mengembangkan keahliannya."
"Ya, memang hanya satu orang saja," ucap Ma Ji-liong.
"Mutlak hanya satu orang. Kecuali Kanglam Ji Ngo, tiada orang lain yang bisa
mengundang dan meminta bantuannya."
Ma Ji-liong menyengir kecut. Akhirnya dia paham, di dunia ini tiada rencana
betapa pun sempurnanya yang tidak bisa dibongkar, tidak ada titik kelemahannya, juga tidak
ada rahasia yang selalu bisa mengelabui orang.
Sayang, sejauh ini Ma Ji-liong belum berhasil membongkar rahasia Khu Hong-seng.
Pembeli garam berkata pula, "Kau sudah diatur sedemikian rapi, memakan banyak
waktu dan tenaga, berjerih payah menyamar sebagai pemilik toko serba ada, itu berarti kau
sama dengan kami, kau juga seorang buronan, menyingkir dari muka umum dan bersembunyi dari
pelacakan musuh. Berbagai hal di atas dapat kami simpulkan, bahwa musuh yang menuntut jiwamu
pasti jauh lebih menakutkan dibanding musuh kami." Dengan tertawa pembeli garam menambahkan,
"Sebagai sesama buronan, orang yang dikejar-kejar musuh, buat apa harus menyelidiki
rahasiamu" Sebetulnya kau tidak perlu mencari tahu tentang diriku, karena setiap hari aku
akan membeli garam di tokomu." "Sebetulnya aku tidak punya niat ke mari," ujar Ma Ji-liong menghela napas.
"Tapi kau sudah berada di sini," ujar pembeli garam.
"Apa kau hendak membunuhku?" tanya Ma Ji-liong.
"Kanglam Ji Ngo mau membantumu, kalau kau keroco, kuyakin dia takkan bersusah
payah, kau pasti punya latar belakang yang meyakinkan. Umpama aku berniat membunuhmu, belum
tentu aku berhasil." Dengan tertawa pembeli garam berkata, "Jika betul kau adalah orang
yang kuduga, bila mau turun tangan, mungkin aku yang mati lebih dulu di tanganmu."
Ma Ji-liong berkata, "Siapakah orang yang kau duga itu?"
"Ma Ji-liong," sahut si pembeli garam. "Tuan muda Thian-ma-tong, Pek-ma Kongcu
Ma Ji-liong." Berdebar keras jantung Ma Ji-liong. Kalau wajahnya tidak dipermak oleh Giok-jiu-
ling-long, orang pasti melihat betapa jelek perubahan mimik mukanya. Ji-liong balas bertanya,
"Berdasarkan apa kau mengira aku Ma Ji-liong?"
"Ya, aku punya alasan."
Alasannya adalah buronan terbesar yang sedang dikejar-kejar kaum persilatan saat
ini adalah Ma Jiliong. Hanya Ma Ji-liong saja yang mungkin mendapat bantuan Kanglam Ji Ngo.
Pembeli garam berkata lebih jauh, "Dalam kalangan Kangouw, ada tiga marga besar
persilatan, Ngo-toa-bun-pay (Lima Perguruan Besar), mereka berani mengeluarkan hadiah lima
laksa tahil emas murni bagi siapa saja yang bisa membekuk atau membunuh Ma Ji-liong. Jago-
jago kelas wahid yang dikerahkan untuk mencari jejakmu ada lima-enam puluh orang, hanya
murid-murid Kaypang saja yang tidak ikut berlomba memperebutkan hadiah sebesar itu, mereka
seperti tutup mata dan menyumbat telinga, seolah-olah segan mencampuri urusan ini."
Murid Kaypang tersebar luas, jumlahnya juga tidak terhitung banyaknya, kekuasaan
mereka berkembang terus makin luas dan besar. Di seluruh pelosok dunia ada orang mereka
yang bisa memberi informasi yang tidak mudah diperoleh pihak lain, tidak sedikit ahli-ahli
mereka yang pandai melacak jejak orang. Dapat kita bayangkan betapa besar ongkos kehidupan
untuk keperluan organisasi besar ini, lima laksa tahil emas bukan nilai yang kecil.
Pembeli garam berkata pula, "Kenapa mereka tak ikut berlomba memperebutkan
hadiah besar itu" Bagiku sudah jelas, karena Kanglam Ji Ngo punya hubungan intim dengan Ji-liong."
Lama Ma Ji-liong terpekur, lalu berkata perlahan, "Sebetulnya tidak perlu kau
bicara sepanjang itu." "Setelah kubeberkan rahasiamu, kau akan membunuh aku" Kau kira aku ingin lima
laksa tahil emas murni itu?" "Apa kau tidak ingin kaya?" Ma Ji-liong menegas.
"Aku tidak ingin kaya," sahut pembeli garam.
"Kenapa?" tanya Ma Ji-liong.
Sebelum pembeli garam menjawab, pemakan garam menyeletuk, "Karena aku."
----------------------------ooo00ooo------------------------
Laki-laki kurus ini terus mengganyang garam dengan lahap, garam kasar lagi
murni, garam yang asin. Sukar dibayangkan ada manusia yang suka makan garam sebanyak itu.
Sudah separoh dari dua kilo garam itu dilalap orang ini. Setelah 10 butir telur
ayam masuk ke perutnya, rona wajahnya baru kelihatan merah, baru leluasa ia bicara, katanya,
"Selama dua puluh tahun, orang-orang yang ingin menjagal kepalaku, yakin tidak kalah jumlahnya
dibanding dengan mereka yang mengejarmu. Bagaimana rasanya orang yang difitnah, aku sudah kenyang
merasakannya." Kelihatan ia lemah lagi kurus, tapi waktu berbicara sikapnya
kelihatan berwibawa. "Lima laksa tahil emas memang tidak sedikit, tapi jumlah sebesar itu tidak
terpandang dalam mataku." "Dari mana kau menduga kalau aku difitnah orang?"
Pemakan garam menjelaskan, "Karena aku percaya kepada Ji Ngo. Kalau bukan
terfitnah, maka dialah orang pertama yang akan membunuhmu."
"Kau siapa?" tanya Ma Ji-liong.
"Seperti kau, aku juga sering difitnah orang, seorang yang kepalanya berharga
ribuan tahil, seorang yang terpaksa menyembunyikan diri seperti tikus yang takut dilihat orang. Kami
belum ingin mati, kami ingin membersihkan diri, umpama akhirnya mati juga harus mempertahankan
nama baik, maka sebelum masuk liang kubur, kami harus membongkar dulu kasus itu, membekuk
orang yang memfitnah kami, menangkap biang keladinya."
Pemakan garam tertawa besar, tawa yang getir lagi memilukan, "Tentang siapa
namaku, lebih baik kau tidak tahu." Ma Ji-liong menatapnya lekat sekian lama, lalu menoleh ke arah pembeli garam,
katanya, "Aku percaya kau tak akan mengkhianati aku."
"Aku juga percaya padamu," ujar pemakan garam sambil mengulurkan tangannya.
Seperti juga telapak tangan pembeli garam, jari dan telapak tangan pemakan garam
ini pun kasar, besar lagi dingin. Waktu Ji-liong bergenggam tangan dengan orang, timbul rasa
hangat di dalam dadanya. Pemakan garam tertawa lebar, katanya, "Pergilah, aku tidak merintangimu."
"Kalau kalian memerlukan garam, aku tidak akan banyak usil lagi."
Pemakan garam mengawasinya, lalu menghela napas, ujarnya, "Sayang baru hari ini
kita bertemu, aku terluka dalam separah ini, mungkin aku takkan bisa membersihkan nama baikku,
membongkar fitnah keji itu. Kalau bisa bertahan hidup lebih lama lagi, aku ingin bersahabat
dengan engkau." "Sekarang belum terlambat kau bersahabat denganku, bersahabat dengan kawan tidak
harus saling memperalat, tetapi harus saling membantu."
Pemakan garam bergelak tawa, suaranya serak lagi pendek, ternyata ia tidak bisa
tertawa lagi, tapi sikap dan perbawanya kelihatan gagah dan berwibawa, katanya, "Aku tidak perduli
apakah kau Ma Ji-liong atau bukan. Perduli siapa kau, aku suka dan senang bersahabat dengan
engkau." Dengan kencang Ma Ji-liong menggenggam tangan orang, "Aku juga tidak perduli
siapa kau, aku pun senang bersahabat dengan kau."
-----------------------------ooo00ooo------------------------------
Saat itu belum terang tanah, cuaca masih gelap, hawa dingin sekali.
Tapi perasaan Ma Ji-liong amat hangat, sekujur badan terasa panas, dadanya
seperti dibakar. Hari ini, tepatnya pagi ini, ia bersahabat dengan seorang gagah, laki-laki jantan,
kawan setia. Bersahabat dengan seorang yang tidak dikenal asal-usulnya, tanpa perduli apa
akibat dan bagaimana tanggung-jawabnya, tapi mereka benar-benar tahu sama tahu, seia
sekata, kawan karib, sahabat sejati. Jika menemukan dan bersahabat dengan kawan seperti itu, maka ia
akan dapat menyelami perasaan Ji-liong.
Sayang sekali, jarang ada manusia di dunia ini yang bisa bersahabat seperti
jalinan batin pemakan garam dengan Ma Ji-liong.
-------------------------------ooo00oo-------------------------------
"Kau bersahabat dengan dia," Cia Giok-lun belum tidur. Pertanyaan pertama yang
diajukan sejak mendengar laporan Ma Ji-liong. "Padahal siapa dia kau tidak tahu, tapi kau mau
berkenalan dan bersahabat dengan dia?"
Ma Ji-liong berkata, "Biar seluruh umat manusia di dunia ini menganggap dia
sebagai musuh, semua orang ingin mencincang atau mencacah tubuhnya, aku tetap bersahabat dan
rela berkorban untuknya." "Lho, kenapa?" Cia Giok-lun menegas dengan nada tidak mengerti.
"Tidak kenapa."
Tidak kenapa. Dua patah kata yang besar maknanya, dua patah kata yang menjalin
persahabatan dua insan manusia yang berbeda. Jika 'karena sesuatu' kau bersahabat dengan
orang, sahabat macam apakah kenalan baikmu itu" Terhitung teman macam apa pula kau ini"
----------------------------ooo00ooo-------------------------------
Cahaya sudah tampak memutih di luar jendela. Ma Ji-liong duduk di bawah jendela,
Cia Giok-lun mengangkat kepala mengawasinya dengan badan miring. Lama sekali baru ia menghela
napas, katanya, "Aku tahu maksudmu, tapi aku tak bisa berbuat seperti itu."
Seorang gadis muda yang dapat memahami segi-segi kehidupan yang serba ruwet
tentang citra rasa dan perasaan memang jarang ada, memang jarang ada orang yang bisa berbuat
seperti itu. Mendadak Cia Giok-lun bertanya, "Tahukah kau kenapa temanmu itu harus makan
garam?" Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak tahu karena tidak bertanya.
"Aku tahu," ujar Cia Giok-lun. "Karena terkena pukulan Sam-yang-coat-hu-jiu."
"Sam-yang-coat-hu-jiu," Ma Ji-liong adalah keturunan keluarga persilatan, namun
belum pernah ia mendengar nama ilmu pukulan keji itu.
"Ilmu pukulan yang sudah lama putus turunan, maksudnya sudah lama tidak pernah
dipelajari manusia lagi. Orang yang terkena pukulan ini sekujur badannya akan kehilangan
kadar air, kulit badan akan mengering dan merekah, lebih celaka lagi sekujur badan pati rasa,
keinginannya hanya makan garam melulu. Makin banyak garam yang dimakan, makin banyak air yang ia
butuhkan, luka dalamnya juga akan lebih parah. Bila mati, sekujur badan akan pecah, seperti
roti kering yang merekah karena dipanggang terlalu lama di perapian yang bersuhu tinggi," sejenak
Cia Giok-lun termenung, lalu melanjutkan, "Makan telur ayam memang lebih baik dibanding minum


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

air, tapi paling lama hanya bisa memperpanjang usianya setengah bulan, akhirnya akan tetap
mampus juga." "Mutlak tidak bisa ditolong?" tanya Ma Ji-liong.
Tidak menjawab pertanyaan Ma Ji-liong, Cia Giok-lun malah balas bertanya, "Orang
macam apakah temanmu itu" Bagaimana tampang dan perawakannya?"
"Kupikir semula dia seorang laki-laki kekar, perawakannya tinggi tegap, kedua
pundaknya setengah kaki lebih besar dibanding pundak orang biasa, tangan besar kaki gede, pukulan
tenaga luarnya tentu diyakinkan dengan sempurna," demikian tutur Ma Ji-liong. "Walau dia
terluka parah hampir mati, waktu bicara dan gerak-geriknya tetap kelihatan gagah dan berwibawa."
Sorot mata Cia Giok-lun seperti bercahaya, "Sudah terpikir siapa dia," katanya.
"Siapa?" Cia Giok-lun tidak menjawab langsung, "Ilmu pukulan jenis ini jauh lebih keji,
lebih dahsyat dibanding Sam-im-coat-hu-jiu dari keluarga Im dan Cui, jauh lebih sukar
diyakinkan, karena orang yang meyakinkan ilmu ini selama hidup tidak boleh bergaul dengan perempuan."
Selama hidup tidak boleh bergaul dengan perempuan maksudnya adalah tidak pernah
kawin, alias tidak punya bini, berapa banyakkah orang-orang Kangouw yang jejaka kecuali
Hwesio" "Menurut apa yang kutahu," ujar Cia Giok-lun lebih lanjut. "Selama lima puluh
tahun ini, yang meyakinkan ilmu ganas dan keji itu hanya seorang."
"Siapa?" Ma Ji-liong mendesak.
"Coat-taysu," ucap Cia Giok-lun. "Coat-taysu selalu bertindak tegas dan tuntas
dalam perkara. Setiap musuh yang dianggap jahat, tidak pernah diberi ampun, tapi jarang
menggunakan ilmu pukulan keji yang amat dirahasiakan itu. Kecuali lawan memang gembong silat yang
benar-benar lihai dan menakutkan, itu pun kalau dia kepepet dan kewalahan baru melancarkan
ilmu pukulan itu." Sudah lazim bahwa tokoh silat kosen di Kangouw menyembunyikan ilmu tunggal yang
diyakinkannya. Jika jiwa tak terancam bahaya, tidak akan mengeluarkan ilmu
kebanggaannya. Apalagi ilmu pukulan jahat seperti Sam-yang-coat-hu-jiu harus diyakinkan dengan
syarat tidak boleh kawin selama hidup.
Bagi kaum persilatan yang punya kedudukan dan nama besar di Bulim, bila selama
hidup tidak bergaul dengan perempuan alias tidak kawin, tentu dipandang tidak wajar dan aib,
orang akan membayangkannya sebagai laki-laki tidak normal, laki-laki mandul, lelaki
impoten, mana ada tokoh silat yang mau dipandang sebagai pendekar impoten.
"Jika tidak terpaksa terdesak oleh keadaan hingga tiada pilihan lain, Coat-taysu
takkan melancarkan Sam-yang-coat-hu-jiu," kata Cia Giok-lun, lalu ia bertanya pada Ma Ji-liong,
"Berapa banyak jago silat di Kangouw yang bisa menyudutkan Coat-taysu hingga ia bernasib
mengenaskan?" "Ya, hanya beberapa orang saja," sahut Ma Ji-liong.
"Pernah dengar nama besar Hoan-thian-hu-te (Membalik Langit Mengaduk Bumi) Thiat
Tinthian?" Cia Giok-lun bertanya. "Dia masuk hitungan tidak?"
Ma Ji-liong tahu dan sadar bahwa air mukanya pasti berubah waktu mendengar nama
julukan orang itu. Sebagai insan persilatan, wajar kalau Ji-liong pernah mendengar ketenaran
nama Hoan-thianhu- te Thiat Tin-thian, tokoh legendaris yang sudah malang melintang sejak dua puluh
tahun yang lalu, membunuh orang seperti membabat rumput, tak terhitung jumlah korban jiwa
di tangannya, perkaranya menumpuk bagai gunung. Betapa banyak kaum persilatan yang ingin
memenggal kepalanya, umpama tidak ribuan pasti ada ratusan banyaknya, tokoh besar atau
penjahat yang ditakuti orang, tingkat kejahatan yang pernah ia lakukan tak berlebih kalau
dijuluki Membalik Langit Mengaduk Bumi. Jejak Hoan-thian-hu-te bagai mega, orang sukar mengikuti jejaknya, apalagi ilmu
silatnya amat tinggi, hati kejam tangan telengas, orang-orang yang kesamplok atau musuh yang
menemukan jejaknya juga pasti tergetar bubar sukmanya, kalau kepala tidak pecah tentu
badan yang terpukul remuk oleh telapak tangan besinya.
"Coba pikir, mungkin tidak temanmu itu adalah Thiat Tin-thian?" tanya Cia Giok-
lun. Ma Ji-liong menunduk, mulutnya bungkam.
Orang itu jelas adalah Thiat Tin-thian. "Selama dua puluh tahun, betapa banyak
orang yang ingin memenggal kepalaku, ratusan lipat lebih banyak dibanding musuh yang menginginkan
jiwamu. Lima laksa tahil emas tidak terpandang dalam mataku". Kecuali Thiat Tin-thian,
siapa lagi yang berani mengucapkan kata-kata demikian. Tapi ia pun pernah berkata begini,
"Bagaimana rasanya difitnah orang, aku juga sudah mengalaminya."
Mendadak Ma Ji-liong mengangkat kepala, katanya lantang, "Aku tidak perduli
siapa dia, perduli apa yang pernah ia lakukan, kupikir ada latar belakang yang tidak diketahui
orang sehingga terpaksa melakukan kejahatan. Situasi mendesak dan memojokkan dirinya, terpaksa
ia bertindak lebih ganas, lebih banyak korban jatuh, dipandang dari kaca mata kaum pendekar,
ia adalah gembong penjahat yang harus ditumpas."
"Apakah Coat-taysu juga memfitnah orang baik?" tanya Cia Giok-lun.
Ma Ji-liong tertawa dingin, katanya, "Orang-orang yang ia fitnah bukan hanya
Thiat Tin-thian saja." Cia Giok-lun menghela napas, katanya, "Kau ini memang orang baik. Bisa
berkenalan dengan kau, siapa pun akan merasa beruntung, sayang sekali persahabatan kalian tidak akan
bertahan lama." "Apa betul luka dalamnya tak bisa ditolong lagi?"
Tawar suara Cia Giok-lun, "Kalau aku adalah Toa-siocia dari keluarga Cia,
mungkin aku bisa menolongnya." Sengaja ia menghela napas, "Sayang, aku hanya bini seorang pemilik
toko yang sakit-sakitan, berjalan juga tidak mampu, penyakitku sendiri tak mampu kuobati,
bagaimana mungkin mengobati orang lain?"
Ma Ji-liong kehabisan kata. Dia maklum apa yang dimaksud Cia Giok-lun. Kalau ia
membeberkan duduk persoalannya, mungkin Cia Giok-lun mau menolong Thiat Tin-thian. Tapi
kalau ia berbuat demikian, itu berarti ia ingkar terhadap Toa-hoan, juga mengkhianati Ji Ngo,
mereka juga teman baiknya. Cia Giok-lun membalikkan badan, mungkur ke arah dinding, katanya, "Kau sudah
lelah, tidurlah." Ma Ji-liong tidak tidur, ia tahu dirinya pasti tak bisa tidur.
Entah pura-pura tidur atau benar-benar sudah lelap, ternyata Cia Giok-lun tidak
bergerak, juga tidak mengajak bicara lagi. Fajar baru saja menyingsing, di luar masih belum terdengar suara orang. Perlahan
Ma Ji-liong mendorong pintu, dengan kalem ia melangkah keluar.
Bab 20: Tiada Pilihan Lain
Beberapa langkah setelah meninggalkan rumah, baru Ma Ji-liong mendengar suara
tangis bayi dari rumah seberang. Beberapa langkah kemudian, sebuah pintu kecil yang ditempel
kertas gambar malaikat rejeki terbuka. Nyonya muda dengan perutnya yang buncit itu sedang berdiri di depan pintu,
mengantar suaminya yang masih muda tegap berangkat kerja di ladang.
Ma Ji-liong sengaja pura-pura tidak melihat. Suami muda itu juga tidak menoleh
ke kanan kiri, dia beranjak pergi sambil menjinjing buntalan dan memanggul pacul. Nyonya muda itu
juga tidak memperhatikan Ma Ji-liong, ia memutar tubuh terus merapatkan pintu.
Bagai anak panah terlepas dari busurnya, mendadak Ma Ji-liong menjejakkan kaki,
tubuhnya melejit ke depan, beberapa kali lompatan langsung menerobos ke pekarangan
belakang To Po-gi. Ada suara di dapur, suara ketikan batu untuk menyalakan api, lalu suara membasuh
beras hendak menanak nasi. Isteri To Po-gi memang perempuan yang rajin dan setia, tahu apa
kewajibannya, sepagi ini sudah siap menanak nasi untuk suami yang akan bekerja di kantor.
Ma Ji-liong tidak perduli, tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, To Po-gi
pernah berlatih silat, dulu mungkin pernah menjadi anak buah Thiat Tin-thian, tidak perlu kuatir
dirinya kepergok oleh suami isteri itu. Dengan kecepatan tinggi, Ji-liong bergerak lincah
melompat ke dalam sumur. ---------------------------------ooo00ooo-----------------------------------
Sekati arak beras sudah diminum habis, pembeli garam kelihatan lebih segar meski
semalam suntuk tidak tidur, ia sedang membenahi pembaringan temannya.
Pemakan garam juga tidak tidur, sisa setengah bungkus garam tadi sudah dimakan
lagi hingga tinggal seperempat. Melihat kedatangan Ji-liong, mereka tidak menunjukkan sikap
kaget atau heran, seolah-olah sudah tahu bahwa Ma Ji-liong bakal kembali lagi.
Begitu kakinya menginjak dasar sumur, Ma Ji-liong langsung bertanya, "Kau adalah
Thiat Tinthian, bukan?" "Betul," sahut pemakan garam, suaranya tegas dan gamblang. "Aku adalah rampok
besar Thiat Tinthian yang gemar membunuh orang."
"Kau terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu Coat-taysu?"
"Betul," sikapnya tampak heran dan kaget, tapi Thiat Tin-thian tidak balas
bertanya dari mana Ma Ji-liong mendapat tahu. "Luka dalammu masih bisa ditolong?" tanya Ji-liong pula.
Kali ini Thiat Tin-thian balas bertanya, "Kenapa kau mencampuri urusanku?"
"Karena kau adalah temanku."
"Kau sudah tahu kalau aku adalah Thiat Tin-thian, masih berani kau berkawan
dengan aku?" "Aku sudah bersahabat denganmu. Perduli siapa kau, sikapku tidak berubah."
Thiat Tin-thian menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa lebar, "Selama hidup
betapa banyak kesalahan yang pernah dilakukan Thiat Tin-thian, tapi belum pernah keliru
bersahabat dengan orang." Thiat Tin-thian benar-benar tertawa, tawa yang riang. Setelah bersahabat dengan
seorang kawan, umpama dirinya terbunuh juga akan mati dengan meram, tidak menyesal.
Pembeli garam menyeletuk, "Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan,
karena berwatak kasar, berangasan, gegabah dan emosional. Demi membela seorang teman,
perbuatan apa pun berani dilakukannya." Dengan suara tandas pembeli garam meneruskan, "Kali
ini pasti tidak berbuat salah." Apa yang ia lakukan kali ini" Bagaimana sampai difitnah orang"
Ji-liong mengulangi pertanyaannya tadi, ia percaya orang ini, "Luka-lukamu bisa
disembuhkan?" "Bisa," sahut pembeli garam. "Hanya sejenis obat di dunia ini yang dapat
menolong jiwanya." "Obat apa?" Pembeli garam menghela napas, roman mukanya guram, katanya, "Kujelaskan juga
tidak berguna, karena obat itu mutlak tidak bisa kami peroleh." Dengan tertawa getir ia
menambahkan, "Bukan saja sukar untuk memperolehnya, dicuri juga tidak bisa, direbut apa lagi, kalau
bisa tentu sudah kurebut atau kucuri." Untuk menolong jiwa temannya, umpama harus mencuri dan
merebut milik orang lain, apakah perbuatan itu terhitung salah"
Ma Ji-liong tertawa pula, "Obat yang kalian maksud apakah bisa diperoleh dari
keluarga Cia?" Terbeliak mata si pembeli garam, suaranya juga meninggi, "Dari mana kau tahu
kalau keluarga itu she Cia?" Perubahan roman mukanya terlalu cepat, menyolok dan aneh.
"Kenapa aku tidak bisa tahu?"
"Karena......." suaranya terhenti, sikapnya bimbang.
Untuk membeberkan rahasia, jelas tidak berani berterus terang.
Dengan suara keras Thiat Tin-thian menimbrung, "Orang itu tidak mau orang luar
tahu dirinya she Cia. Dulu ia pernah mengalami pukulan batin yang menyedihkan. Siapa saja, bila
menyinggung perkara lama, pasti tak diberi ampun."
"Siapakah dia?" desak Ma Ji-liong.
"Bik-giok Hujin dari Bik-giok-san-ceng, lukaku hanya dapat disembuhkan dengan
Bik-giok-cu milik keluarganya." Ma Ji-liong melenggong. Bik-giok Hujin ternyata she Cia, pernah ada hubungan apa Cia Giok-lun dengan
Bik-giok Hujin" Apa gadis itu ada hubungannya dengan Bik-giok-san-ceng" Mendadak Ji-liong sadar,
urusan ini pasti ada latar belakang yang ruwet lagi genting. Dulu tak pernah ia memikirkan
persoalan ini, tapi sekarang harus memutar otak.
Sekonyong-konyong seseorang tertawa dingin dan berkata di mulut sumur di sebelah
atas, "Thian Tin-thian, kau tak bisa lolos dari sini. Thiat Coan-gi, kau juga menyerah saja,
jiwamu boleh diampuni."

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pengejar itu akhirnya menemukan sumur ini, jejak mereka sudah ketahuan.
Bila buronan berada di dalam sumur, umpama ikan di dalam kuali, jelas takkan bisa lolos lagi,
memangnya ke mana mereka bisa melarikan diri"
Perasaan Ma Ji-liong seberat batu yang tenggelam ke dasar air dingin. Ia kenal
suara orang yang bicara di mulut sumur, bukan lain ialah Pang Tio-hoan. Kalau Pang Tio-hoan sudah
datang, Coattaysu pasti juga berada di sini, demikian pula Cia-go Hwesio dan Giok-tojin pasti ikut
datang. Umpama bukan dirinya yang menjadi buronan, dirinya juga bisa keluar dari tempat
ini. Ma Ji-liong sudah akan bicara, mendadak Thiat Tin-thian mendekap mulutnya dengan
sebelah tangan. Dengan tangan yang lain dia menjejalkan garam ke dalam mulut sendiri.
Setelah garam tertelan, baru ia bergelak tawa, serunya, "Betul, aku memang ada di sini, adikku
juga ada, kami menunggumu." Sesaat tidak terdengar jawaban dari atas. Orang-orang di atas seperti sedang
heran dan bingung, kenapa Thiat Tin-thian belum mampus setelah terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu yang
ganas itu" Nada bicaranya juga masih segar dan bertenaga.
Sesaat kemudian baru terdengar Coat-taysu berkata dengan nada dingin, "Thiat
Tin-thian, naiklah ke atas, jiwa Thiat Coan-gi akan kuampuni."
Thiat Coan-gi adalah pembeli garam, "Kami bersaudara sudah seia sekata,
bersumpah setia, sehidup semati, kalau harus mati biarlah kami mati bersama."
"Bagus," teriak Thiat Tin-thian bergelak tawa. "Ayolah turun kalau kalian hendak
menagih jiwa kami berdua." Coat-taysu tidak turun, tiada orang yang berani turun. Sumur itu memang buntu,
tiada jalan lain untuk meloloskan diri, tapi siapa yang berani turun pasti mengantarkan jiwa
dengan percuma. "Mana mereka berani turun," Thiat Tin-thian merendahkan suara setengah mengejek.
"Mereka diagulkan sebagai pendekar besar, buat apa gagah-gagahan di sini."
"Ya, mereka yakin kita tak dapat melarikan diri," Thiat Coan-gi juga bicara
dengan suara rendah. "Mereka pasti menunggu di atas."
"Tetapi mereka pasti tak mau menunggu lama," ujar Thiat Tin-thian. "Pasti
mencari akal untuk memancing kita keluar, entah menyerang dengan api atau asap, mengguyur air ke
dalam sumur atau dengan cara keji lainnya."
Ma Ji-liong berkata, "Sebagai pendekar yang diagulkan, apakah mereka juga
berbuat sekeji dan sekotor itu?" Thiat Tin-thian menyeringai, katanya, "Berani saja, namanya saja pendekar,
padahal perbuatannya tidak beda dengan bajingan, apalagi punya alasan untuk berbuat demikian." Senyum
wajahnya dilembari cemoohan dan rasa sedih serta penasaran. "Menghadapi kawanan penjahat
kejam seperti kita, cara apa pun berani mereka lakukan, sebab diagulkan sebagai pendekar,
orang lain tidak menganggap perbuatan mereka rendah. Tapi kalau kami yang menggunakan cara
seperti itu terhadap mereka, nilainya tentu berbeda." Mendadak ia menggenggam tangan Ma Ji-
liong. "Apa betul kau sahabatku?" tanyanya tegas.
"Sudah pasti," sahut Ma Ji-liong tegar.
"Usiaku jauh lebih tua, pantas tidak kau tunduk padaku?" ujar Thiat Tin-thian
dengan nada tinggi. "Menghadapi situasi genting ini, kau harus patuh terhadapku."
"Kasus apa yang kau maksud?"
"Mereka akan menyerang entah dengan api atau air, kami akan menerjang ke atas."
"Bagus," tanpa sangsi Ma Ji-liong berkata. "Sekarang juga kita bisa menerjang
keluar bersama." "Kami yang kumaksud adalah aku dan Thiat Coan-gi, adikku, bukan dengan engkau,"
suara Thiat Tin-thian lebih lirih. "Mereka hanya tahu aku dan Coan-gi bersembunyi di sini,
tapi pasti tidak tahu ada orang ketiga berada di sini."
"Ya, mereka pasti tidak menduga majikan toko serba ada di kampung ini juga
berada di sini, apalagi bersahabat dan menjadi kawan rampok besar macam Thiat Tin-thian yang ditakuti
dan dibenci orang banyak." "Yang akan mereka bekuk adalah kami berdua. Bila berhasil mereka pasti segera
berlalu, takkan memeriksa tempat ini."
"Setelah mereka pergi, kau boleh keluar dan mengundurkan diri," Thiat Tin-thian
menggenggam tangan Ji-liong lebih kencang. "Perpisahan kita hari ini, mungkin menjadi
perpisahan untuk selamanya. Aku tidak ingin kau menuntut balas bagi kematianku, juga tidak minta
kau mencuci bersih nama baikku, membongkar kasus terpendam itu hingga fitnah ini tersingkap
tabirnya. Aku hanya berharap kau bertahan hidup, menyelamatkan diri, berarti kau sudah
bertanggung jawab terhadapku." Untuk apa ia berkawan dengan Ma Ji-liong" Tidak untuk apa-apa. Dalam batin ia
berdoa supaya temannya ini selamat, karena dia tahu ada sementara orang, kalau bertahan hidup
adalah suatu usaha, suatu perjuangan yang serba sulit.
Ma Ji-liong hanya mendengarkan saja, diam tanpa memberi reaksi, juga tidak
berbicara. Banyak yang ingin diucapkan, tapi sepatah kata pun tidak keluar karena ia merasa tak
perlu melimpahkan isi hatinya. Dalam hati diam-diam ia sudah mengambil keputusan.
Thiat Tin-thian juga tidak bicara lagi, kembali ia melalap segenggam garam,
segenggam demi segenggam terus dijejalkan ke dalam mulut dan langsung ditelannya. Selama hayat
masih dikandung badan, selama dirinya masih bernapas, masih bisa berjuang, ia berani
dan harus mengadu jiwa. Wataknya mirip Ma Ji-liong, dua orang yang berwatak sama seperti sengaja
dipertemukan di dasar sumur. -------------------ooo00ooo-------------------------------------
Sudah sekian lama belum ada gerakan apa-apa di atas sumur, sudah pasti orang di
dasar sumur takkan bisa melarikan diri, Coat-taysu memang orang yang sabar, tahan uji dan
ulet. Dari ikat pinggangnya Thiat Coan-gi meloloskan sebilah Bian-to, perlahan ia
mengelus mata golok tipis itu dengan jari-jarinya yang panjang. Mendadak ia mendesis penuh
kebencian, "Biar tubuhnya
tercacah hancur, aku akan berusaha mengganyangnya lebih dulu."
"Siapa yang hendak kau ganyang?" tanya Thiat Tin-thian.
"Siapa lagi, To Po-gi tentunya," sahut Thiat Coan-gi dengan penuh dendam.
"Jangan, tidak boleh kau membunuhnya."
"Dia telah mengkhianati kita, kenapa aku tak boleh mengganyangnya?"
"Karena dia sudah berkeluarga, punya bini yang akan melahirkan keturunannya.
Bukan To Po-gi seorang yang mengkhianati temannya di dunia Kangouw, bukan hanya sekali ini kau
dan aku dikhianati teman, lalu kenapa kau harus membunuhnya?" mendaak ia menghela napas
panjang, "Kalau kau ingin membunuh orang, pertama yang harus kau bunuh sekarang bukanlah
To Po-gi, tapi aku." "Kau?" teriak Thiat Coan-gi terbelalak.
"Jika bukan lantaran diriku, nasibmu takkan sejelek ini."
Thiat Coan-gi memandang saudaranya dengan tatapan tajam, mendadak ia terloroh-
loroh, serunya, "Betul, kau memang betul, kalau tiada kau, mana mungkin keadaanku menjadi
begini. Ayahbundaku disembelih, isteriku digagahi secara bergiliran, anakku pun dibantai. Para
pendekar itu beranggapan, kejadian itu adalah akibat perbuatan jahatku sendiri, ganjaran atas
dosa-dosaku, aku harus menelan karma, menerima pembalasan atas kejahatanku. Bila tiada kau, siapa
yang membantu aku menuntut balas, melampiaskan dendam kesumatku" Aku......." Makin
bicara makin emosi, suaranya menjadi serak dan tersendat. Kulit mukanya mengkeret basah oleh
air mata, mendadak ia melompat berdiri sambil meraung, "Thiat Tin-thian malang-melintang
selama hidup, aku membunuh orang tak terhitung banyaknya, hari ini umpama batok kepalaku
terpenggal, biar kujual kepada kalian, apa salahnya jiwaku melayang" Lekaslah kalian ambil saja."
Padahal dia Thiat Coan-gi, bukan Thiat Tin-thian. Ia berkata demikian hanya
ingin menerjang keluar lebih dulu, biar orang lain mengira dirinya Thiat Tin-thian dan mengincar
jiwanya, biar dirinya berkorban asal saudaranya lolos dan selamat. Dia tidak memikirkan lagi
mati hidupnya. Ji-liong tahu maksudnya, demikian pula Thiat Tin-thian juga maklum. Mendadak ia
bergelak tawa, "Kau tak boleh rebutan dengan aku. Kalau harus mati, biar aku yang gugur lebih
dulu. Selama hayat masih dikandung badan, siapa pun jangan harap mengusik dirimu." Di tengah gelak
tawanya yang panjang, tubuhnya yang kurus kering mirip tengkorak hidup, mendadak menubruk ke
depan bagai harimau mengamuk. Sebelah kakinya menginjak pundak Thiat Coan-gi, sekali jejak
tubuhnya lantas melesat mumbul keluar mulut sumur.
Kejap lain, terdengar kumandang jeritan yang mengerikan dari mulut sumur.
Tangkas sekali Thiat Coan-gi juga ikut melompat keluar. Tidak perduli siapa mati
duluan atau mati belakangan, mereka harus mati bersama.
Kalau kejadian ini berlangsung setahun yang lalu, melihat teman segagah dan
begitu perwira, air mata tentu berkaca-kaca di pelupuk mata, tapi sekarang air mata tidak berlinang, hanya darah yang
bergolak di rongga dada. Darah panas mendidih, seorang yang sudah bertekad mengucurkan darah, biasanya
takkan mengucurkan air mata lagi. Dia tahu, apa yang dikatakan Thiat Tin-thian memang
tidak salah. "Jika Ji-liong mau bersembunyi di dasar sumur, setelah kedua sahabatnya itu
mati, musuh tentu akan pergi, dirinya akan punya waktu untuk meloloskan diri dan selamat pulang ke
tokonya. Hari-hari selanjutnya takkan ada orang yang membeli garam sebanyak itu, rahasia
dirinya tetap adalah rahasia. Dia bisa melupakan peristiwa ini, melupakan orang yang bernama
Thiat Tin-thian dan lupa bahwa dirinya pernah mengenal seorang penjahat yang berjiwa ksatria.
Sebaliknya kalau sekarang ia ikut menerjang keluar, maka dirinya akan gugur
bersama Thiat Tinthian. Maklum bila dirinya keluar dari sumur, Coat-taysu dan begundalnya tentu akan
Perisai Maut 1 Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan Harimau Mendekam Naga Sembunyi 19
^