Dendam Asmara 9
Dendam Asmara Karya Okt Bagian 9
"Benar." jawab si nona. "Ayo kejar dia!"
Keduanya langsung mengejar lagi.
Setelah serangannya gagal orang berpakaian serba hitam
itu yang dikenali Un Kin sebagai Kiauw Cian lari kembali. Di
depan mereka ada hutan lebat, ke sanalah Kiauw Cian kabur.
Melihat ada hutan lebat Tiang Keng penasaran. Karena jika
Kiauw Cian berhasil mencapai rimba itu. berarti ia lolos dari
kejaran mereka. Dengan cepat Tiang Keng menjejak tanah
dan melompat dengan cepat. Saat Tiang Keng melompat
kedua tangannya dipentang. mirip sayap burung yang akan
terbang. Tiang Keng pun berakrobat, kepala di bawah dan
kakinya berada di atas. Begitu cepat lompatan Tiang Keng ini
hingga ia berhasil mengejar lawan dan langsung menyerang
dengan tangannya. Kiauw Cian kaget dan ketakutan, la buru-buru menjatuhkan
diri dan bergulingan di tanah. Dia berguling masuk ke dalam
hutan. Karena berhasil masuk hutan hati Kiauw Cian agak lega
sedikit. Ia yakin di dalam hutan ia bakal selamat.
Betapa kagetnya Kiauw Cian saat ia mendengar bentakan
keras dari Tiang Keng. "Mau lari ke mana. Kau?" kata Tiang Keng.
Saat ia mengawasi ke depan, ia jadi lemas karena Tiang
Keng ada di depannya. Dia kaget setengah mati. buru-buru ia
bergulingan seperti tadi untuk menghindari lawannya itu.
Ilmu bergulingan yang digunakan oleh Kiauw Cian bernama
Ciu-tee-sip-pat-kun (Bergulingan delapan belas kali). Ilmu ini
adalah ilmu silat yang sangat biasa digunakan oleh kaum Kang
Ouw golongan rendah yaitu untuk menyelamatkan diri dengan
tak menghiraukan martabat atau wibawanya. Tubuh Kiauw
Cian kurus, ia bisa bergerak dengan cepat. Tapi lagi-lagi ia
mendengar bentakan Tiang Keng.
"Kau mau lari ke mana?" kata suara itu. Suara itu terdengar
di samping Kiauw Cian. Itu adalah suara halus dari seorang
perempuan. Tentu saja Kiauw Cian bertambah kaget dan
ketakutan, la sadar itu suara Un Kin. murid Ang-ie Nio-nio Un
Jie Giok. Walau ketakutan tetapi ia tak mau menyerah. Ia sudah
tahu apa jadinya jika tertangkap. Setelah dihadang dari
berbagai arah. ia panik akhirnya jadi nekat. Tiba-tiba
tangannya terayun, dari tangan itu tersebar belasan sinar
hitam mengkilat. Un Kin yang diserang tertawa dingin. "Ini yang namanya
temberang di depan kawan sendiri!" kata si nona sambil
tersenyum. Un Kin mengibaskan lengan bajunya dan ia berhasil
merontokkan senjata rahasia lawan. Kiauw Cian melompat ke
samping. Lagi-lagi ia akan masuk ke dalam hutan lebih dalam
lagi. Tapi.... Kiauw Cian mendengar bentakan dari belakang dan tak
lama ia rasakan pinggangnya ngilu dan lemas. Dengan tak
berdaya ia jatuh duduk di tanah. Tiang Keng menggapai ke
arah Un Kin. "Kau jaga jahanam ini. aku akan memeriksa ke sana" kata
Tiang Keng. Tiang Keng berlari kencang ke arah barisan peti mati yang
ada di tepi jalan. Tepat Tiang Keng tiba. dari peti mati itu
bermunculan orang-orang berpakaian serba hitam.
"Berhenti!" teriak Tiang Keng ke arah orang berpakaian
serba hitam itu. Tiang Keng melompat dengan tipu silat Cian-liong-sengthian
(Naga Melompat ke langit), la melompat sebanyak tiga
kali secara beruntun. Orang berpakaian serba hitam itu kaget, mereka berdiri
diam. Mereka lihat Tiang Keng melompat bagaikan terbang di
depan mereka. Saat Tiang Keng mengayunkan tangannya ke
arah peti mati itu. peti itu hancur berantakan.
"Siapa yang berani lari" Dua peti mati itu contohnya!" kata
Tiang Keng mengancam. Orang-orang itu kaget ketakutan.
"Kalian semua berkumpul jadi satu!" perintah Tiang Keng.
Setelah saling mengawasi sejenak mereka menurut dan
berkumpul mengikuti perintah Tiang Keng. Tubuh mereka
hampir semua gemetar ketakutan. Tiang Keng tersenyum
sambil mengawasi mereka. Tak lama Un Kin datang bersama
tawanannya. Kiauw Cian. Tubuh tawanan itu ia lempar di
depan orang-orang berpakaian serba hitam itu.
"Tiang Keng." kata si nona. "Jahanam mi memang Kiauw
Cian. Aku tahu dia jahat, tapi tak kusangka dia akan sejahat
ini! Jelas ia ingin membasmi semua orang gagah yang datang
ke tempat ini. Jika kita bertemu dengannya di malam gelap,
kita bisa celaka di tangannya!"
Sesudah itu Un Kin berjalan ke salah satu peti mati. dari
dalam peti ia mengeluarkan bungkusan makanan kering dan
air minum. "Lihat ini!" kata si nona pada Tiang Keng.
"Hm!" Tiang Keng mengangguk.
"Sungguh luar biasa, serangan senjata rahasia mereka
cepat dan keras, entah darimana Kiauw Cian mendapatkan
orang-orang ini?" kata Un Kin.
Tak lama Un Kin membungkuk memungut sebuah benda
yang ia serahkan pada Tiang Keng. Anak muda ini memeriksa
benda itu dengan teliti. Benda itu kecil berduri, cagaknya
tajam sekali, la langsung mengenali benda itu seperti benda
yang ia lihat di kota Lim-an. Tiang Keng mengerutkan alisnya.
"Tidak mustahil inipun perangkap Un Jie Giok." kata Tiang
Keng. Un Kin mengangguk, ia berduka.
"Ini jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam dan orang lain tak
memiliki serta tak akan mampu menggunakannya." kata Un
Kin. "Kecuali aku. Siauw Tin dan Siauw Keng. tak ada orang
lain lagi. Membuat jarum ini tidak mudah....."
Setelah diam sejenak, tiba-tiba Un Kin melompat ke arah
belakang Kiauw Cian. Dia tendang punggungnya dengan
keras. Ditendang demikian Kiauw Cian yang tubuhnya kurus
kecil itu bergulingan tiga langkah. Dari mulurnya menyembur
ludah kental. Sesudah bergulingan ia duduk dengan mata
tajam mengawasi ke sekitarnya, lalu batuk satu kali dan
kepalanya tunduk. Sekarang ia sadar ia telah tertawan musuh,
tapi otaknya tetap bekerja keras....
"Aku tanya kau. jawab dengan jelas!" kata Un Kin dingin.
Kiauw Cian mengusap dahinya, ia diam saja. Seolah ia tak
mendengar pertanyaan nona Un. Tiang Keng awasi orang itu.
Dia lihat wajah Kiauw Cian kurus dan perok (keriput), tulang
pipinya menonjol. Mukanya seperti tak berdaging, maka Tiang
Keng yakin orang ini licik dan pandai bicara. Tiang Keng benci
sekali, alisnya berkerut.
"Dia licik, jika ia menjawab pertanyaanmu aku tak yakin
jawabannya benar dan bisa dipercaya!" kata Tiang Keng pada
Un Kin. Un Kin tertawa dingin sambil berkata. "Aku pernah bertemu
orang yang sepuluh kali lebih licin dari dia. jika aku tak
mampu membuat dia bicara, hm! Tiang Keng. tahukah kau
bagaimana cara menghadapi orang seperti dia?"
Tiang Keng mengawasi si nona. ia lihat matanya berkedip.
"Baik. akan kutanya dia!" kata Un Kin. "Jika dia diam saja
akan kupotong sebuah jari tangannya! Begitu seterusnya,
setiap kali ia tak menjawab, maka jarinya akan kupotong
sebuah, sampai semua jarinya itu habis! Aku tak yakin ia
benar-benar tangguh sekali. Sesudah jari tangannya habis,
kedua telinganya akan mendapat bagian, baru hidungnya! Jika
tetap tak menjawab, akan kutarik lidahnya, baru kemudian
kukorek kedua biji matanya. Apa kau masih yakin dia tak mau
bicara" Suara Un Kin perlahan, namun kata-katanya menusuk di
telinga Kiauw Cian. la berpikir siksaan itu sungguh hebat.
Kiauw Cian masih duduk diam. Tapi dari dahinya sekarang
mengucur keringat dingin. Un Kin mengawasinya, ia tertawa
dingin. "Kau tak percaya. Tiang Keng?" kata Un Kin pada si anak
muda. "Baik akan kutunjukkan padamu!"
Sesudah berkata begitu Un Kin menghampiri Kiauw Cian. Ia
berhenti tepat di depan orang she Kiauw itu. Tak sampai Un
Kin bertanya. Kiauw Cian sudah langsung bicara.
"Apa yang akan kau tanyakan. Nona?" katanya.
Un Kin tertawa, ia melirik ke arah Tiang Keng.
"Lihat," kata Un Kin. "Bukankah dia ini sangat cerdik?"
Diam-diam Tiang Keng menghela nafas. "Ya. memang
selalu ada caranya untuk mengatur orang jahat. " pikir Tiang
Keng. Ternyata kata-kata Un Kin yang perlahan itu berpengaruh
besar sekali tehadap Kiauw Cian. Dia ngeri jika sampai jari
tangannya satu persatu dipotong oleh si nona. kemudian
menyusul anggota tubuhnya yang lain.
"Pertama-tama aku ingin tahu. dari-mana kau peroleh
jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam ini?" kata Un Kin.
Kiauw Cian membuka matanya.
"Jika kujelaskan semua itu. akan kau apakan aku?" tanya
Kiauw Cian. Alis Un Kin bergerak, suaranya dingin. "Jika kau bicara
jujur," kata si nona. "Aku hanya akan memusnahkan ilmu
silatmu dan akan ku izinkan kau pergi! Ini kulakukan agar
kelak kau tak berbuat jahat lagi!"
Kiauw Cian kaget, keringatnya mengucur deras, ia
menunduk lesu. Tiang Keng mengawasinya, otaknya bekerja.
"Jika ilmu silatku dihilangkan, aku akan lebih memilih mati!
Aku rasa dia akan memilih lebih baik mati daripada bicara..."
Baru berpikir sampai di situ. tiba-tiba Tiang Keng
mendengar suara Kiauw Cian yang nadanya sedih sekali.
"Jika kukatakan semua dan seandainya Nona memberi
ampun padaku pun. aku khawatir....."
Sebelum meneruskan kata-katanya ia melirik ke arah
orang-orang berpakaian serba hitam. Kemudian Kiauw Cian
melanjutkan kata-kaanya. "Sebelum aku sampai di rumah. Pasti tubuhku sudah habis
dicincang!" kata Kiauw Cian.
Mendengar kata-kata itu Un Kin heran juga.
"Lalu apa maumu?" tanya si nona.
Kiauw Cian menunduk. "Aku minta agar ilmu meringankan tubuhku jangan dihabisi,
agar aku bisa tetap hidup..." kata Kiauw Cian sambil menghela nafas
panjang. 0oo0 BAB 46. RAHASIA PEMBUNUHAN DI KOTA LIM-AN
TERBONGKAR Mendengar kata-kata Kiauw Cian, Tiang Keng tersenyum.
Ia heran dan tak mengira sama sekali ada orang seperti Kiauw
Cian. "Tak kusangka dia begitu sayang pada jiwanya, dan tak
menghiraukan nama baik maupun derajat, kepercayaan dan
kemerdekaannya. Bukankah setiap orang tak akan lolos dari
kema-tian" Sungguh luar biasa jika setiap orang gagah saat
mati meninggalkan nama harum...." pikir Tiang Keng.
Entah mengapa Tiang Keng jadi tak mau melihat muka
Kiauw Cian. "Hm! Enak saja kau bicara." kata Un Kin. "Kau berani
tawar-menawar denganku, sesuai kesalahanmu masih bagus
jika kau diberi ampun, sepantasnya kau dibinasakan!"
Di antara orang berpakaian hitam itu ada seorang yang
melangkah maju. Melihat hal itu Un Kin mengerutkan alis.
"Kau siapa" Mau apa kau?" kata Un Kin.
Sesudah maju beberapa langkah lagi ia memberi hormat
pada Un Kin. "Namaku Tong Gie. aku murid tingkat tiga dari keluarga
Tong dari tanah Siok...." kata orang itu.
Un Kin sedikit kaget, ia sadar dan berpikir. "Pantas mereka
lihay-lihay sekali, kiranya mereka murid keluarga Tong yang
terkenal dari tanah Siok."
Tong Gie kembali memberi hormat. "Jika Nona ingin
menanyakan sesuatu, tanyakan saja padaku, aku akan
menjawabnya dengan jujur." kata Tong Gie. "Tetapi kumohon
Nona mengizinkan aku membawa pulang orang she Kiauw ini
ke tanah Siok...." Tiang Keng ikut bicara. "Silakan kau bicara!"
Kembali orang she Tong itu memberi hormat. "Sebenarnya
Kiauw Cian tak punya hubungan erat dengan keluarga Tong.
Beberapa bulan yang lalu. tiba-tiba ia datang ke rumah kami.
Ia membawa sehelai kertas yang ia katakan gambar rahasia.
Dia bilang gambar itu ia peroleh dari Ang-ie Nio-nio. Itu
gambar cara membuat jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam. Ketika
itu ketua kami tak ada di tempat, dia disambut oleh Su-siokcouw
kami yang ketiga..... "Bukankah Su-siok-couw itu yang bergelar Sam-ciu Twiehun
Tong To?" kata Un Kin.
Tong Gie mengiyakan sambil mengangguk. "Su-siok-couw
jarang mengembara, tak heran jika ia bisa dikelabuhi oleh
orang ini." kata Tong Gie melanjutkan. "Gambar itu lalu dikirim
ke bengkel senjata kami di Cit-leng-ciang. Senjata itu akan
dibuat dalam waktu 50 hari. sedang jumlahnya 3000 batang.
Murid-murid tingkat tiga bekerja keras membuat senjata itu
siang dan malam. Baru 45 hari. kami berhasil menyelesaikan
seluruh pesanan itu...."
"Apa mungkin semua senjata itu buatan kalian?" sela Tiang
Keng. Ditanya demikian Tong Gie berpikir. "Tampaknya ia lihay
sekali, tapi pengetahuan dan pengalamanya cetek sekali.
Tentu saja senjata itu buatan keluarga Tong. bahkan kaum
Rimba Persilatan (Bu-lim) mengetahuinya dengan baik.
Mengapa dia malah bertanya begitu?"
Tapi Tong Gie tetap berdiri sambil menjawab pertanyaan
itu "Benar, sudah ratusan tahun bengkel Cit-leng-cian adalah
bengkel yang membuat senjata rahasia keluarga kami. Dan
kali ini yang pertama kami membuatkan senjata rahasia
pesanan orang lain. Setelah selesai pesanan akan kami
serahkan ke Thian-bak-san. Kemudian Kiauw Cian bicara
dengan manis pada ketua kami.Namun... "
Sebelum kata-katanya selesai Tiang Keng memotong
bicaranya. "Siapa ketuamu itu?" kata Tiang Keng.
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tong Gie melengak. kali ini kelihatan ia kurang senang.
Siok Tiong Tong Bun atau Keluarga Tong dari tanah Siok. SuKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
coan ini terkenal di seluruh Tiongkok. Mereka itu dikenal
sebagai Tong Bun Sam Kiat atau Tiga Jago She Tong. Tong
Gie merasa aneh kalau Tiang Keng tak pernah mendengar nama mereka itu.
hingga Tong Gie mengira Tiang Keng hendak menghina
keluarganya itu. la melirik ke arah Tiang Keng dan memberi
hormat seperti biasa, tak kelihatan kalau ia tak puas.
"Ketua kami disebut. " Sebelum Tong Gie selesai bicara, ia
telah dipotong oleh Un Kin.
"Dia adalah Tek-seng Sia-goat Bu-tek-sin Tong Hui!" kata
Un Kin. Tong Gie tersenyum ia memberi hormat kepada Un Kin.
"Setelah ketua kami mendengar ocehan orang she Kiauw.
ketua kami mengurung diri selama tiga hari di kamarnya.
Sesudah itu ia titahkan kami murid dari tingkat tiga sebanyak
70 murid dan aku bersama tujuh paman kami pergi ke Thianbak-
san. Tujuan kami ingin mendapatkan pedang dan obat
seperti yang dikatakan orang she Kiauw itu.. " kata Tong Gie.
Un Kin tersenyum. "Kekayaan Siok Tiong Tong Bun mirip
dengan negara, aku yakin mereka tak butuh harta-benda."
kata Un Kin. Tiang Keng heran, la kira Un Kin sangat menghargai
Keluarga Tong dari Su-coan ini. Nama besar keluarga ini
sudah terkenal tak kalah dari kaum Siauw -lim-pay maupun
Bu-tong-pay. Sekali pun memang benar banyak murid dari
keluarga ini yang menyeleweng dan jahat, namun keluarga ini
tetap terhormat dan dihargai oleh kaum Rimba Persilatan.
Un Kin kemudian berkata lagi. "Nama Tong Tay-hiap
terkenal hingga disebut si Muka Besi. Sungguh heran
mengapa ia mau mendengar kata-kata orang she Kiauw ini.
Apa itu tidak aneh?" kata Un Kin.
Wajah Tong Gie berubah merah.
"Mengenai sikap ketua kami. aku sendiri tak tahu." kata
Tong Gie. "Setahuku memang ada maksud lain dari ketua
kami, konon sepulang dari Thian-san ketua kami bermusuhan
entah dengan siapa, sehingga ia membutuhkan pedang
istimewa dan obat mujarab itu..."
Tong Gie diam sebentar lalu melanjutkan. "Tapi kumohon
pada Nona agar rahasia ini jangan sampai tersiar keluaran,
sebab jika orang tahu aku yang menceritakan rahasia ini.
maka bagianku adalah mati! Aku girang jika Nona bersedia
merahasiakannya....."
kata Tong Gie. Un Kin tertawa. "Jadi maksudmu ingin membawa orang she
Kiauw untuk kau serahkan pada ketuamu" Atau ada maksud
lain?" Tong Gie menahan geram. "Setiba kami di sini. " kata dia dengan sengit. "Dari
mulutnya yang manis, dia minta agar kami membujuk tujuh
orang paman kami serta meminta bantuan bibi-bibi kami di
kota Lim-an untuk mengirimkan undangan ke Ang Kin Hwee
dan Koay Too Hwee. Lalu kami diminta membuat mereka
bingung dan ketakutan, dan malamnya dua perkumpulan itu
ditumpas habis. Dia minta kami bersembunyi di rumah-rumah
tepi jalan dan menyerang mereka dengan jarum beracun milik
kami!" Mendengar kata-kata itu Tiang Keng kaget.
"Jadi inipun perbuatan dia." kata Tiang Keng.
Un Kin tersenyum sejenak, lalu menghela nafas.
"Tak dikira masalah begitu berbelit-belit. " kata Tiang Keng.
"Semula aku kira.... Hai kau mau lari ke mana?"
Begitu Tiang Keng berteriak ia melompat mengejar Kiauw
Cian. Orang ini sejak tadi diam saja. tiba-tiba ia bergulingan
lalu melompat bangun dan kabur.
Un Kin pun ikut melompat, saat kakinya menginjak tanah
kembali ia melompat, kali ini tangannya terayun dan tiga
batang senjata rahasia menyambar, kemudian disusul jeritan
mengerikan dari Kiauw Cian. Dia roboh ke tanah lalu
bergulingan dan diam tak berkutik.
Tiang Keng pun segera sampai di tempat itu."Dia sudah
mampus!" kata Tiang Keng.
Un Kin tersenyum. "Dia mati dengan cara begini sungguh terlalu enak
baginya." kata Un Kin.
Un Kin menyambar tangan Kiauw Cian yang ia seret dan ia
lemparkan ke hadapan Tong Gie.
Tong Gie menghampirinya, ia lihat tubuh Kiauw Cian tidak
bergerak seolah mati. Ketika diperiksa ia terserang jalan darah
cie-tong. di tempat itu menancap jarum Bu-eng-sin-ciam hanya
tak dalam. Jelas akibatnya tak sampai merampas jiwa
orang itu. Tong Gie melirik ke arah Un Kin. Sebagai seorang
ahli senjata rahasia ia kagum pada Un Kin yang mahir melepas
senjata rahasia itu. Setelah diam sejenak Tong Gie berkata
terus terang. "Saat kami menyerang anggota perkumpulan Ang Kin Hwee
dan Koay Too Hwee. kami heran mengapa jarum-jarum kami
bisa luput dari sasaran. Sekarang kami menyaksikan Nona
demikian pandai menggunakan senjata rahasia itu. Kalau
begitu orang yang menggagalkan serangan kami hingga Ang
Kin Hwee maupun orang Koay To Hwee banyak yang selamat
ialah Nona sendiri!" kata Tong Gie.
"Ketika itu aku juga heran, aku mengira itu senjata rahasia
Bwee-hoa-ciam atau Tiat-kie-lee yang lihay. dan perbuatan
Ban Biauw Cin-kun In Hoan atau Hoa-long Pit Ngo. Karena itu
aku berniat menyelidiknya....." kata Un Kin sambil melirik ke
arah Tiang Keng. Kemudian dia melanjutkan. "Tapi ketika itu
aku dikejar olehmu, hingga aku gagal melakukan penyelidikan.
Sama-sekali tak kuduga ternyata serangan itu dilakukan oleh
pihak Keluarga Tong dan tak mengira mereka menggunakan
Bu-eng-sin-ciam... "
Tiang Keng terperanjat ia baru sadar. "Pantas Un Kin
pernah bilang, kalau ia melepas senjata rahasianya untuk
menolong orang." pikir Tiang Keng. "Ternyata dia tak
bersalah. Hampir aku salah duga. ah dunia Kang-ouw memang
sungguh berbahaya!" Ia melirik ke arah Un Kin sambil tersenyum dengan wajah
merasa bersalah dan minta maaf dari si nona. Un Kin tertawa
sambil menunduk, kelihatan ia sangat puas.
"Tak kusangka orang she Kiauw ini jahat sekali!" kata Tiang
Keng. "Bukankah dia tak bermusuhan dengan orang Ang Kin
Hwee dan Koay Too Hwee. mengapa ia tega turun tangan
demikian jahat0!" "Pasti jahanam ini punya maksud maka ia berbuat
demikian." kata Tong Gie. "Pertama ia ingin mengacau orangorang
Dunia Persilatan, setelah kacau dia akan menggunakan
kesempatan itu untuk memungut hasilnya. Kedua ia ingin
menimpakan bencana kepada Ang-ie Nio-nio. supaya kaum
Rimba Persilatan mengira kejahatan itu perbuatan Ang-ie Nionio.
Ketiga, ia memang bermusuhan dengan Koay -to Teng Cit
dan tiga jago Ang Kin Hwee. Dengan cara itu sekaligus ia ingin
melampiaskan dendamnya. Keempat ia dengan senga-ja
melibatkan kami. agar bermusuhan dengan kaum Rimba
Persilatan (Kaum Bu-lim Eng-hiong). Jika dia buka rahasia,
bukan tak mung-kin golongan Ang Kin Hwee dan Koay Too
Hwee akan datang ke Su-coan untuk mencari kami dan
membalas dendam. Kelima, ia ingin agar pihak-pihak lain
lemah sedang pihaknya jadi kuat! Keenam, aku dengar ia
berniat membangun partai baru. maka jika ia berhasil
memusnahkan partai-partai lain. maka ia akan bisa berdiri
kokoh. Nona. dia jahat luar biasa! Dia tak perlu diberi ampun.
Aku sudah mengetahui rahasianya, kami sangat benci
padanya, tetapi aneh paman-paman kami percaya kepadanya.
Aku benci tapi bukan aku saja. saudaraku yang lain juga.
Maka itu aku ingin membawa dia ke Su-coan agar kami bisa
menyerahkan dia pada ketua kami. Sekarang setelah Nona
tangkap, dia akan buka rahasia. Tapi kami tahu pasti dia akan
membusukkan nama kami agar Nona memusuhi kami. Maka
itu kubeberkan rahasianya itu pada Nona. Dia jahat dan
pantas menerima hukuman!"
Tong Gie melengak dan menghela nafas. "Aku menyesal
telah membuka rahasia.'" kata Tong Gie. "'Aku buka rahasia
karena ingin melindungi keluarga kami. Tetapi..."Ia tak
meneruskan kata-katanya. Tiang Keng mengerutkan alis.
"Di mana ketujuh paman gurumu itu. mengapa mereka tak
ada di sini?" kata Tiang Keng.
"Jelas ini termasuk perbuatan licik si jahanam ini." kata
Tong Gie. "Pada malam itu dia ajak kami ke mari. disuruhnya
kami bersembunyi di dalam peti mati. Tetapi paman-paman
guru kami ia ajak menemui tamu-tamu lain. Konon katanya
agar besok mereka bisa menghadiri pertemuan di Thian-baksan.
Pada saat pertemuan besar itu berakhir, pasti semua
orang akan lewat di jalan ini. Kami disuruh menyerang mereka
secara serentak. Ketujuh paman guru kami itu diminta
membantu si jahanam agar bisa bekerja-sama."
Tiang Keng kaget dan berkeringat dingin. "Jika mereka
berhasil membokong pada waktu malam, akibatnya sungguh
hebat sekali!" pikir Tiang Keng. "'Oh, jahatnya orang ini. Dia
ingin membasmi semua jago silat di kalangan Kang-ouw
dengan sekali gebrak saja. Syukurlah rencananya gagal dan
tak kukira kedatanganku ke mari kebetulan sekali hingga kami
bisa menumpas kejahatannya!"
Saat itu Tiang Keng melirik ke arah Un Kin. diam-diam
sekarang timbul rasa saling mengerti di antara mereka..
0oo0 BAB 47. TIANG KENG DAN UN KIN BERTEMU DUA MURID
IN HOAN Dengan bantuan sinar matahari Tiang Keng langsung
melihat jelas. Rambut kedua orang itu kusut. Pakaiannya yang
berwarna kuning melambai-lambai tertiup angin dan acakacakan.
Tiang Keng mengenali mereka adalah Tiat Tat Jin dan
Cio Peng. dua orang murid Ban Biauw Cin-kun. Mereka tak
menghiraukan Tiang Keng tapi langsung menghampiri Un Kin.
Un Kin mengawasinya dengan tajam.
"Sudah beres?" tanya Un Kin dengan suara tawar.
"Sudah." sahut keduanya bersamaan, dada mereka
kelihatan naik turun "Apa yang beres?" tanya Un Km
Dua orang itu kaget, mereka saling mengawasi, mulut
mereka terbuka, mata mereka mendelong.
"Aku.. Aku. " kata Tat Jin. tampaknya ia sulit bicara, la
batuk sekali. '"la sudah. Sudah.. " kata Cio Peng.
Kiranya Cio Peng pun sulit bicara. Mereka berdua ini orangorang
licik dan ganas, namun mereka masih sulit untuk bicara
terus terang bahwa mereka telah membunuh gurunya sendiri.
Un Kin tertawa dingin, ia memutar tubuh dan tak
menghiraukan kedua orang itu. "Tiang Keng. mari!" kata si
nona. "Nona Un." tiba-tiba salah seorang dari kedua orang itu
bicara. Mereka melompat ke sisi Nona Un Kin. "Nona. tunggu
sebentar!" Un Kin menghadapi mereka dengan sikap gagah. "Kita tak
saling kenal, mengapa kau terus mengacau di sini?"' kata Un
Kin. "Apa kau sudah bosan hidup.!"
Un Kin masih terpengaruh didikan Un JieGok. maka itu
suaranya kasar dan bengis.
Tiang Keng memperhatikan kedua orang itu. wajah mereka
berkeringat Menyaksikan hal itu Tiang Keng jadi tak tega.
"Kalian mau apa" Apa kalian mau mencari Un Jie Giok agar
bebas dari Cit Ciat Tiong Ciu?" tanya Tiang Keng.
Kedua orang itu mengawasi Tiang Keng.
"Benar!" jawab mereka hampir bersamaan. "Jika Tuan
bersedia memberi tahu. budi Tuan tak akan kami lupakan!"
Mendapat jawaban itu Tiang Keng mengawasi keduanya
sebentar. Lalu ia menoleh ke lain arah dan berkata.
"Sekarang kami pun tak tahu. di mana Un Jie Giok
berada..." Mendengar jawaban itu Tiat Tat Jin dan Cio Peng jadi
pucat, mata mereka menunjukkan sinar memohon, dengan
tangan gemetar mereka menyeka keringatnya.
"Tuan tak tahu. tapi barang kali Nona Un tahu..." kata Cio
Peng. Alis Un Kin berkerut dan matanya bercahaya.
"Andai kata aku tahupun. aku tak akan memberitahu
kalian." kata Un Kin. "Orang seperti kalian berkurang satu dua
orang semakin baik! Tiang Keng mari kita pergi!"
Sesudah itu ia membalikkan tubuhnya mengajak Tiang
Keng pergi. Tiang Keng menarik nafas, saat ia memperhatikan
kedua orang itu ia lihat mereka berdiri diam. tangan mereka
turun dan dikepal-kepalkan. Rupanya mereka menyesal,
gemas dan ketakutan. Tiba-tiba mereka melompat ke depan
akan menghadang Un Kin dan Tiang Keng.
"Nona Un." kata Tiat Jin. Ia pegang ujung baju Cio Peng.
"Sekalipun kami hina dan busuk, tapi semua kami lakukan atas
perintah guru kami. Kita tidak bermusuhan masakan Nona
tega membiarkan kami berdua..."
Kata-kata Cio Peng gemetar, romannya menunjukkan
mereka sangat memohon bantuan. Mereka berlutut sambil
menangis tanpa malu-malu. Tiang Keng jemu tapi ia pun jadi
tak tega. "Hanya begini harga sebuah jiwa?" kata Tiang Keng.
Kedua orang itu melongo. "Jiwa memang berharga." kata Tiang Keng lagi. "Tapi
kalian berdua seharusnya sadar bahwa di dunia bukan tak ada
yang tak bisa diatasi. Kalian ini laki-laki. mengapa sekarang
sikap kalian jadi begini?"
Tiat Jin melengak kemudian menunduk. "Kami tahu." kata
Tiat Jin. "Tapi kami masih muda dan terpaksa kami
menyayangi jiwa kami..."
"Umur Tuan hampir sama dengan umur kami berdua, jika
Tuan mengalami hal yang kami alami, kami kuatir... " Cio Peng
menunduk dan batuk-batuk, ia tak meneruskan kata-katanya.
Alis Tiang Keng rapat satu sama lain. "Kita mendambakan
hidup dan nama. jika tak bisa meraih keduanya, salah satu
harus diraih. Dan nama baik kurasa lebih penting!" kata Tiang
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keng. Sesudah itu Tiang Keng ingat kedua pemuda itu dididik
sejak masih kecil oleh In Hoan. tak heran jika mereka
ketularan adat gurunya. Maka benar pepatah yang
mengatakan : Sifat manusia asalnya suci. tapi jika tidak dididik
dengan baik. maka sifat itu bisa berubah. Jadi tak semestinya
mereka disalahkan. Tiang Keng menghela nafas lalu
menambahkan kata-katanya.
"Sebenarnya aku dan Nona Un tidak tahu di mana Un Jie
Giok sekarang. Tapi katanya nanti malam ia akan menemui
kami di kuil yang tadi malam. Jika kalian mau kalian boleh
datang ke sana.." "Sebenarnya melihat kelakuan mereka, sebaiknya mereka
dibiarkan mati saja." kata Un Kin sambil tertawa.
Tiang Keng batuk-batuk ia mau bicara tapi tak jadi. la
lambaikan tangannya pada kedua orang itu. "Apa kalian masih
tak mau segera pergi?" ujarnya.
Tiat Tat Jin dan Cio Peng mengawasi ke arah Un Kin. wajah
mereka kelihatan penasaran dan benci sekali pada Un Kin.
Keduanya lalu berpaling ke arah Tiang Keng dan memberi
hormat. "Gunung biru tak berobah. air selalu mengalir!" kata Tiat
Jin. "Sampai bertemu lagi!" Mereka melompat dan pergi.
Un Kin mengawasi kedua orang itu dengan sikap sebal.
"Sepatutnya mereka berdua dibunuh saja. itu lebih baik!" kata
Un Kin. "Semula sifat mereka baik. tapi lingkunganlah yang
membuatnya berubah, lak ada orang yang ingin jadi penjahat.
Alangkah lebih baiknya jika kita bisa mengubah sifat jahat
mereka dibanding membunuhnya! Adik. Kin. sebagai manusia
kita harus welas asih. Kumohon lain kali kau jangan berkata
begitu lagi!" kata Tiang Keng.
Wajah Un Kin berubah merah ia menunduk, la angkuh,
belum pernah ada orang yang berani menegurnya, namun
ketika Tiang Keng memohon padanya dan menasihatinya, ia
tak membantahnya. Angin gunung meniup rambut si nona hingga jadi kusut. Di
lain saat ia merasakan ada tangan yang lembut meraba
rambutnya yang hitam. Hati si nona sedang kusut, namun
sekarang ia merasa lebih lega sedikit. Hatinya agak tenteram.
Lain halnya keadaan di kota Limau, sesudah kejadian yang
mengerikan itu. banyak hati penduduk Lim-an yang goncang
dan bimbang. Mereka juga sedang berpikir tentang pertemuan
di Thian-bak-san yang waktunya semakin dekat saja....
Pertemuan di Thian-bak-san ini mirip besi sembrani yang
bisa menarik perhatian orang banyak bagaikan sebuah tekateki
yang diharap-harap akan segera terbuka tabirnya. .
Orang-orang telah banyak yang berdatangan ke kota Liman.
mereka datang dari berbagai penjuru dengan bermacammacam
tujuan. Ada yang hanya sekadar ingin menonton, tak
sedikit yang ingin ambil bagian dalam pertandingan itu. Tak
heran kalau kota Lim-an saat itu jadi bertambah ramai saja. Di
samping orang yang hati-nya berdebar-debar tak sabar
menunggu tibanya pertemuan, ada juga orang-orang yang
bersenang-senang dengan nona-nona cantik di kota Lim-an.
Begitulah, pagi-pagi sekali bagaikan orang yang hendak
pergi ke pasar, mereka keluar rumah atau penginapan, lalu
berjalan secara rombongan. Berdua-dua atau bertiga bahkan
lebih, mereka berjalan menuju ke satu arah. Mereka sekarang
seperti sudah melupakan kejadian yang mengerikan itu.
Hari itu To-pie Sin-kiam In Kiam telah keluar dari kamar
penginapanny a. ia berjalan bersama puteranya dengan
langkah agak berat menuju ke warung teh langganannya. In
Kiam mengawasi ke sekitarnya, alisnya berkerut, la ingin
menghapus perasaan hatinya, la berjalan dengan diam seolah
tak mendengar sapaan orang kepadanya. Tiong Teng terpaksa
harus mewakili ayahnya menjawab sapaan mereka.
Tak lama tampak seorang perempuan yang rambutnya
kusut keluar dari sebuah gang. Ia berbedak tapi bedak di
pipinya itu telah pudar. Tangan kanannya memegangi
rambutnya dan tangan kirinya memegang ujung baju tangan
kanannya. Ia mengenakan sebuah bakiak bercat keemasan. Ia
berjalan cepat dan langsung masuk ke sebuah toko cita. Tapi
baru saja ia masuk tak lama ia sudah keluar lagi. ia berjalan
cepat sekali, la mengepit sekayu cita kembang di ketiaknya
Sekarang tampak jelas pada wajahnya tersungging sebuah
senyuman puas. la masuk ke gang dan hilang di sana seperti
ditelan bumi. Menyaksikan kelakuan perempuan itu In Kiam
menghela nafas. "Jika kelak kita sudah kembali ke Bu-ouw," kata sang ayah
pada Tiong Teng. ?"Kau temui Kwee Kay Tay (Kepala Polisi)
agar ia menertibkan cara hidup perempuan yang kita lihat
tadi!" Sambil ngintil di belakang ayahnya. Tiong Teng menjawab
dengan sabar. "'Baik, Ayah. akan kulakukan seperti
perintahmu itu!" "Semoga dia berhasil, paras elok yang digunakan secara
sesat sangat ber-bahaya.. .** kata In Kiam lagi.
Tak lama mereka telah sampai di warung teh dan jongos
menyambut kedatangan mereka. Di situ orang sudah ramai
dan suara mereka berisik sekali. Saat duduk santai In Kiam
berulang-ulang mendengar suara gaduh. Lalu ia memanggil
seorang pelayan yang segera menghampirinya.
"Kedengarannya ramai sekali, sedang apa mereka di
belakang?" kata In Kiam pada pelayan.
"Maaf Tuan. suara berisik itu bukan dari warung kami."
kata si pelayan tua. 'Tapi dari tetangga kami yang ada di
belakang warung ini!"
"Oh ya! Tapi apa yang mereka kerjakan sepagi ini?" tanya
In Kiam. Pelayan tua itu melihat ke sekitarnya, lalu berbisik pada In
Kiam. '"Tuan. itu bengkel kayu pembuat peti mati...." jawab
pelayan itu In Kiam kaget. "Biasanya bengkel itu sepi tak ada pembeli.'* bisik si
pelayan. "'Tapi akhir-akhir ini perusahaannya maju pesat
karena banyak pesanan peti mati. Karena banyaknya pesanan
maka mereka harus bekerja siang malam. Tak jauh dari situ
ada bengkel kayu pembuat alat rumah tangga, tapi karena
peti mati sedang laku mereka pun ikut membuat peti mati
juga! Aku pernah bertanya. "Apa peti mati mereka akan laku?"
Mereka menyahut dua tiga hari lagi pasti peti mati mereka
akan laris sekali. Keterlaluan mereka itu. apa mereka berharap
orang yang datang ke Lim-an ini supaya mati semua!"
"Hm!" In Kiam mengeluarkan suara dari hidung, la
memandang ke sekitarnya. Saat jongos melihat mata In Kiam
bersinar, ia jadi ketakutan Untung ada tamu baru hingga ia
bisa segera meninggalkan tamu tua ini....
0oo0 BAB 48. IN KIAM MENGHADANG ROMBONGAN KELUARGA
TONG DARI SIOK Suara para tukang kayu itu semakin riuh terdengar oleh In
Kiam. Karena gangguan suara berisik itu In Kiam jadi dongkol.
In Tiong Teng agak khawatir ayahnya naik darah, lalu ia ajak
ayahnya bicara untuk mengalihkan perhatiannya. Tapi tak
lama ln Kiam sadar pada keadaan luar biasa itu.
Warung minum itu merangkap jadi rumah makan. In Kiam
pun sudah memesan beberapa macam masakan. Tapi
keadaan riuh membuat selera makannya hilang. Ia kelihatan
kurang gembira. Saat In Kiam yang malas-malasan
menjemput sumpit, tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa. In
Kiam menoleh, ia lihat ada tiga orang tamu masuk ke dalam
rumah makan. Mereka berpakaian luar biasa, tubuh mereka
ada yang gemuk dan pendek, ada juga yang jangkung dan
kurus, ln Kiam sangat tertarik pada mereka.
Pakaian tamu-tamu itu seperti seragam, sama modelnya,
sama juga bahannya. Pakaian mereka berwarna dan berkilau
terkena sinar matahari. Pada pinggang mereka masing-masing
tersandang sebilah pedang, sarung pedang mereka bertabur
mutiara dan tampak indah sekali. Mereka berjalan masuk
dengan sikap angkuh. Ini sangat menarik perhatian semua
tamu yang ada di situ. Jongos yang bicara dengan lu Kiam tadi agak jerih, tapi
terpaksa ia harus menyambut ketiga tamu itu. Jelas tiga tamu
itu bukan saja aneh pakaiannya, tapi juga cara mereka bicara.
Kata-katanya sulit dimengerti. Setelah pesanan makanan
mereka siap. tampak ketiganya makan dengan lahap sekali.
Sikap mereka acuh tak acuh. tak menghiraukan tamu-tamu
yang lain. In Kiam sudah berpengalaman, telah banyak melakukan
pengembaraan. Bersama puteranya ia mengawasi ketiga tamu
itu. Bisakah ia menerka siapa mereka in. Tiba-tiba salah
seorang tamu itu berkata dengan nyaring. Tapi kata-katanya
sulit dimengerti hanya tertangkap sepotong-sepotong, ia
menyebut ilmu silat yang lihay. setan dan sebagainya.
Semua orang keheranan hanya In Kiam yang sedikit
mengerti, lalu berkata pada puteranya. "Mereka ini orangorang
Hay-lam (Hai-nan). Mereka bilans mereka telah bertemu
pemuda gagah, untung mereka tahu gelagat, jika tidak pasti
pedang mereka sudah terbang entah ke mana. Kelihatan
mereka ini lihay dan entah siapa pemuda yang gagah itu....."
Seorang temannya memperingatkan agar orang yang
bicara tutup mulut karena banyak orang.
"Apa maksudnya Ayah''" tanya Tiong Teng ingin tahu.
"Dia bilang di tempat ini banyak mata dan telinga, ia minta
agar kawannya tadi sedikit berhati-hati." kata In Kiam.
Tiong Teng mengangguk. Tak lama orang yang ketiga ikut
bicara, ia menyebut-nyebut nama Tiang Keng hingga In Kiam
kaget dan gembira saat mendengar bahwa pemuda gagah itu
To Tiang Keng. "Anakku, pemuda yang mereka temui itu ternyata Tiang
Keng." kata In Kiam pada puteranya. "Entah di mana dia
sekarang'.'" Tak lama orang pertama bicara lagi. tapi Tiong Teng tak
mengerti. Ia akan bertanya lagi pada ayahnya, tapi sang ayah
malah bangun dari kursinya. Setelah meletakkan uang perak
di meja. ia berkata pada puteranya.
"Mari kita pergi!" kata In Kiam. Mereka berdua berjalan
keluar dari rumah makan tersebut.
Sekalipun heran dan penasaran terpaksa Tiong Teng
mengikuti ayahnya pergi. In Kiam berjalan cepat. Di jalan raya
saat menemukan kereta lewat, mereka hentikan, lalu In Kiam
dan Tiong Teng naik .kereta itu. In Kiam meminta agar kusir
segera menjalankan keretanya.
"Mau ke mana Tuan?" tanya si kusir heran.
In Kiam menyelipkan uang perak ke tangan si kusir sambil
berkata. "Ke Thian-bak-san!"
Mendengar kata-kata ayahnya. Tiong Teng heran. Dia juga
melihat wajah ayahnya muram.
"Apa kata ketiga orang itu?" kata Tiong Teng. "Mengapa
kelihatannya Ayah cemas?"
In Kiam menghela nafas panjang. "Tiang Keng telah masuk
ke dalam sarang harimau." jawab ayahnya. "Siapa tahu ia
dalam bahaya! Ayahnya baik. aku berhutang budi kepadany a.
maka itu aku harus melindungi puteranya..."
Tiong Teng kaget dan heran, ia mengerutkan alisnya.
Kereta dilarikan dengan cepat, suara roda kereta serta
derap kaki kuda tedengar sangat riuh. Tiong Teng heran dan
bingung, tapi ia tak mau bertanya pada ayahnya. Karena kesal
ia memandang keluar kereta lewat jendela. Tiba-tiba Tiong
Teng berkata penuh keheranan.
"Pada siang hari bolong begini, mengapa banyak orang
yang biasa berjalan malam berkeliaran di tempat ini?" kata
Tiong Teng. Ketika itu In Kiam menyaksikan orang-orang berpakaian
serba hitam berjalan di tepi jalan, mulut mereka bungkam,
tapi wajah mereka aneh sekali.
"Pasti mereka anggota sebuah partai persilatan." pikir In
Kiam. Karena kereta dilarikan dengan cepat rombongan orang
berpakaian hitam itu sudah mereka lewati. Ketika di perhatian
di tengah rombongan orang berpakaian serba hitam itu.
tampak ada seorang yang rebah di atas sebuah gotongan.
Orang yang rebah itu kurus juga berpakaian hitam. In Kiam
memperhatikan orang yang rebah di atas gotongan, saat
muka orang itu terlihat jelas oleh In Kiam. jago tua itu kaget,
tanpa merasa ia berseru, "Kiauw Cian!"
In Kiam menyingkap tenda kereta dan melompat turun.
Melihat ayahnya lompat dari kereta yang sedang berjalan
Tiong Teng kaget. "Tahan!" kata Tiong Teng pada kusir kereta.
Sebelum kereta berhenti dengan sempurna. Tiong Teng
pun sudah melompat turun menyusul ayahnya.
ln Kiam berlari cepat menyusul orang yang sedang
menggotong Kiauw Cian. saat sudah dekat ia jambret salah
seorang dari orang berpakaian serba hitam itu.
"Hai. sahabat, kau mau apa?" tanya orang yang ditarik
bajunya itu. "Siapa sahabatmu?" bentak In Kiam dengan bengis.
Ia lihat Kiauw Cian yang ada di atas gotongan rebah tak
berdaya, wajahnya pucat sedang tubuhnya diam saja.
Sekalipun orang yang ditarik oleh In Kiam ini bertubuh
tinggi besar, namun ditarik secara mendadak ia kaget hingga
jatuh terlentang. Orang ini menjerit kaget, suaranya terdengar
oleh kawan-kawannya. Dalam sekejap rombongan ini berhenti,
semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka langsung
mengawasi ke arah In Kiam yang mereka tak kenal.
Orang yang jatuh itu buru-buru bangun, karena kesal ia
langsung menonjok ke arah In Kiam. tapi saat tangannya
menyerang, ia mendengar suara bentakan.
"Tikus! Beraninya kau!" bentak orang itu.
Tahu-tahu tubuh penyerang In Kiam itu merasakan
dadanya kesemutan, ia langsung kaku karena sebuah totokan.
Itulah serangan In Tiong Teng untuk menyelamatkan ayahnya
dari serangan lawan. Tapi dalam sekejap Tiong Keng sudah
langsung terkepung oleh orang-orang berpakaian serba hitam
itu. "Tiong Teng!" kata In Kiam. "Kau lihat bagaimana keadaan
Kiauw Cian Toa-ko!"
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah itu In Kiam mengawasi pada semua
pengepungma. "Kalian murid siapa?" kata ln Kiam dengan suara nyaring.
Puluhan orang berpakaian hitam itu kaget, telinga mereka
mendengung karena kerasnya teguran In Kiam itu. Namun
mereka tetap diam dan mengepung In Kiam dan Tiong Teng.
Dengan bengis In Kiam mengavv'asi orang-orang itu. Ia
tampak gagah. Sekali pun ia sudah mundur dari Dunia
Persilatan, namun ln Kiam tak lupa berlatih ilmu silat. Melihat
semua orang itu diam, In Kiam tertawa.
Tiba-tiba dari rombongan orang berpakaian serba hitam itu
muncul seorang yang maju ke depan.
"Kalian murid siapa?" tanya In Kiam lagi. "Apa kau tak
kenal padaku?" Tapi semua orang itu diam saja. hingga In Kiam berkata
lagi. "Bagaimana Kiauw Cian sampai terluka dan siapa yang
melukainya?" tanya In Kiam. "Ayo bicara atau hm!"
In Kiam diam sambil mengawasi dengan tajam. Ia pikir ia
bicara terlalu keras. Kelihatan orang-orang itu tidak takut pada In Kiam. Orang
yang tadi maju berdiri tegak, kemudian ia rangkapkan kedua
tangannya memberi hormat, lalu berkata dengan suara
nyaring. "Aku yang muda bernama Tong Gie." kata orang itu. "She
(marga) dan nama besar Loo-cian-pwee tak berani aku
menyebutkannya. Tapi aku ingin bertanya apa hubungan Loocian-
pwee dengan Kiauw Cian?"
Alis In Kiam berdiri. "Dia menganggap aku sahabat ayahnya," kata In Kiam.
"Maka aku pun menganggap dia keponakanku. Aku lihat dia
terluka parah.." Sebelum meneruskan kata-katanya ln Kiam melengak.
"Bagaimana kau tahu tentang diriku?" kata In Kiam.
"Nama ayah dan anak keluarga In sangat termasyur di Buouw."
kata Tong Gie menjelaskan. "Aku yang masih muda saat
melihat Loo-cian-pwee berdua, langsung mengenalinya!"
"Hm!" In Kiam memperdengarkan suara dari hidungnya.
"Kau murid siapa dan apa she dan namamu?" kata ln Kiam.
"Dasar orang tua..."' pikir Tong Gie. "Aku baru
menyebutkan namaku, dia sudah lupa lagi!"
Tapi Tong Gie dengan sikap hormat menjawab pertanyaan
ln Kiam. "Namaku Tong Gie. murid Keluarga Tong dari tanah Siok!"
kata Tong Gie merendah. In Kiam sedikit kaget dan heran.
"Kau dari Keluarga Tong. jadi kau murid dari Tong Sain
Hoan?" kata ln Kiam. "Tapi seperti yang kuketahui antara
Kiauw Cian dan pihak Keluarga Tong rasanya tidak ada
masalah. Kenapa ia terluka di tangan kalian?"
Tong Gie menunduk ia berpikir sejenak.
"Kami tahu Loo-cian-pwee seorang yang mulia dan jujur,
hingga menganggap orang lain pun seperti Loo-cian-pwee
juga. Tapi aku yang muda mohon maaf. dalam hal Kiauw Cian
rasanya Loo-cian-pwee kurang mengetahui tentang sifat dan
kelakuannya di luaran....."
Kelihatan In Kiam kurang senang, tapi ia menahan sabar.
"Teruskan.. " kata jago tua ini.
Tong Gie diam sejenak lalu meneruskan kata-katanya.
"Jika bukan Loo-cian-pwee yang bertanya, aku tak akan
bicara terus-terang." kata Tong Gie merendah. "Karena Loocian-
pwee yang bertanya, baiklah aku akan berterus terang..
Alis In Kiam bangun. "Apa \ang terjadi sebenarnya?" tanya
ln Kiam. "Sebenarnya ia bukan terluka oleh kami." kata Tong Gie
merendah. "Coba Loo-cian-pwee periksa sendiri lukanya, apa
mungkin aku bisa melukai dia dengan cara demikian?"
"Kalau begitu siapa yang melukainya?" tanya ln Kiam hilang
sabarnya. Tong Gie menarik nafas sambil menengadah ke langit. Saat
itu sudah tengah hari. sang surya sedang panas-panasnya.
"Orang itu bergelar Thay-yang Kun-cu!" kata Tong Gie.
In Kiam tercengang mendengar nama itu disebutkan.
"Thay-yang Kun-cu!" kata In Kiam mengulang ucapan Tong
Gie. "Apa benar ada orang yang bergelar demikian?"
Ia belum pernah mendengar nama itu tak heran ia jadi
tercengang bukan main. "Dia masih muda dan luar biasa." kata Tong Gie. "Hatinya
mulia, sungguh tepat gelarnya itu karena tak ada orang Rimba
Persilatan yang layak memakainya!"
"She apa dan siapa namanya?" kata In Kiam.
"Dia she To, namanya...." tapi sebelum kata-katanya
selesai In Kiam sudah menyelak.
"Tiang Keng!" kata In Kiam.
"Benar sekali. Loo-cian-pwee." kata Tong Gie. "Apa Loocian-
pwee kenal dengan dia?"
To-pie Sin-kiam ln Kiam melengak. dia tertawa terbahakbahak,
tampak ia girang bukan main.
"Thay-yang To Tiang Keng!" kata
ln Kiam sambil tertawa. 0oo0 BAB 49. IN KIAM DAN TIONG TENG TIBA DI THIAN-BAKSAN
Saat In Kiam sedang tertawa, terdengar Tiong Teng
berteriak. "Jarum Bu-eng Sin-ciam!" teriak ln Tiong Teng
kaget. Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng orangnya teliti, setelah
memeriksa luka Kiauw Cian ia menemukan jarum pada luka
itu. ketika itu jarum itu masih tertanam di tubuh Kiauw Cian.
maka ia cabut senjata rahasia itu. Dengan demikian ia yakin
bahwa itu senjata rahasia jarum Bu-eng Sin-ciam
In Kiam kaget ia berpaling ke arah puteranya.
"Jadi Kiauw Cian terluka oleh jarum Bu-eng Sin-ciam"!"
kata In Kiam. "Benar. Ayah!" kata Tiong Teng. Tiba-tiba In
Kiam melompat ke hadapan Tong Gie.
"Anak tak tahu diri kau berani mengelabuhi aku si orang
tua!" kata ln Kiam. Tong Gie sedikit pun tak gentar, ia membusungkan dada
dan maju. "Apa yang kukatakan benar semuanya jika aku berbohong
aku siap menerima dihukum!" kata Tong Gie.
"Tiang Keng putera sahabatku, aku kenal dia dan dia tak
punya Bu-eng Sinciam. Terlalu berani jika kau mau
membohongiku!" kata In Kiam.
"Kiauw Cian tertangkap oleh Tiang Keng. sedang luka yang
diderita oleh Kiauw Cian. perbuatan seorang nona yang ada di
sampingnya. Aku yang muda mana berani berbohong! Harap
Loo-cian-pwee jangan menyalahkan aku!"
In Kiam diam. "Aneh!" kata In Kiam. '"ada seorang nona di samping Tiang
Keng" Siapa dia" Apa she dan siapa namanya" Bagaimana
rupanya?" Begitu In Kiam secara beruntun bertanya pada Tong Gie.
Tong Gie memberi hormat. "Nona itu she Un." kata Tong Gie. karena ia sahabat To
Siauw-hiap. aku tak berani memperhatikan wajahnya, tapi
sekelebatan aku tahu nona itu cantik sekali dan
kepandaiannya lihay sekali."
in Kiam berpikir ia heran bukan kepalang.
"Coba kau ceritakan kejadiannya." kata ln Kiam.
Tong Gie tak menolak, ia mengisah kan semua yang ia
ketahui, juga tentang kejahatan Kiauw Cian, yaitu sejak si
Raja Copet datang ke Su-coan memsan senjata Bu-eng Sinciam.
sampai mereka diajak ke Thian-bak-san, dan
menjalankan perintah Kiauw Cian. Akhirnya, setelah mereka
bertemu dengan Tiang Keng dan Nona Un. baru rahasia Kiauw
Cian itu terbuka. ln Kiam kaget wajahnya merah padam, ia damprat Kiauw
Cian habis-habisan. "Dasar manusia celaka!" kata In Kiam gusar bukan main.
Tiong Teng pun keheranan.
"Mengapa adik Tiang Keng bersama-sama dengan Nona
Un?" kata Tiong Teng perlahan. Aganya dia ragu-ragu
'"Sekarang dia di Thian-bak-san. Benarkah dia dalam bahaya"
Ayah. lebih baik kita...."
"Benar, mari kita susul dia." kata In Kiam lalu mengawasi
ke arah Kiauw Cian. "Jika aku tak ada urusan, akan kuhajar
dulu dia!" Maka tanpa banyak bicara ia naik kereta akan ke Thianbak-
san. la tinggalkan rombongan Tong Gie.
Pada saat matahari sudah condong ke barat, kereta yang
dinaikinya sampai di mulut gunung Thian-bak-san. Karena
ingat pada Tiang Keng. mereka sesudah membayar ongkos
kereta, mereka langsung naik ke atas gunung. Mereka tak
menghiraukan ada bahaya atau tidak, mereka terus saja
mendaki dengan cepat. Mereka harus melalui jalan yang sukar luar biasa, dan tak
berpikir di bagian gunung mana sebenarnya Tiang Keng
berada. Matahari pun mulai terbenam tapi cahaya layung yang
kemerah-merahan masih menampakan diri. Di tempat itu sepi
dan keadaan di sekitarnya sunyi senyap. Jangankan suara
orang suara binatang buaspun tak terdengar saat itu.
Tiba-tiba dalam kesunyian itu. In Kiam dan Tiong Teng
mendengar suara yang sangat perlahan. Mereka mencoba
mencari tahu dari mana suara itu.
"Apa kau sudah lapar, betapa gilanya aku. makanan sudah
sedia tetapi tak kuberikan padamu...." kata suara itu halus. Itu
suara seorang perempuan. Begitu suara itu berhenti, tiba-tiba muncul Un Kin yang
cantik, pada tangan si nona menjinjing sebuah keranjang, la
tersenyum manis, lalu membungkuk dan meletakkan
keranjang itu di atas rumput yang hijau dan empuk, dan
membuka tutup keranjang, ia mengeluarkan sehelai kain hijau
yang dia beberkan di rumput. Ketika itu Un Kin melihat ada
bayangan jangkung mengikutinya. Un Kin tak bangun juga tak
menoleh. "Makanan belum siap kau sudah datang!" kata si nona.
Saat itu bayangan itu mengangkat tangannya menyerang si
nona. Anginnya terasa berkesiur keras.
Un Kin kaget. "Ah tak mungkin dia bukan Tiang Keng!" pikir Un Kin.
Buru-buru Un Kin bangun, tangannya ia gunakan untuk
menangkis serangan itu. Ia membentak dengan nyaring.
"Siapa kau?" kata Un Kin.
Sepasang tangan beradu keras, tapi keduanya tetap berdiri
tegar. Un Kin mengawasi orang yang menyerangnya itu.
Ternyata itu memang benar Tiang Keng.
"Hai siapa yang kau bilang menyebalkan?" kata Tiang Keng.
Keduanya tertawa riang, demikian mereka bergurau.
"Kau mundur agak jauh. kalau tidak aku tak bisa
menyiapkan makanan untukmu!" kata Un Kin.
Dia mendorong tubuh Tiang Keng.
"Baik, baik aku mundur." kata Tiang Keng sambil tertawa.
"Nah, kalau begitu baru kau anak yang manis." kata Un
Kin. Un Kin menoleh sambil tertawa manis. Tiang Keng
mengawasi si nona ia perhatikan Un Kin yang sedang bekerja.
"Sudah siap belum?" tanya Tiang Keng selang sesaat.
"Sudah, tapi tunggu sebentar lagi." kata Un Kin.
"Wah aku sudah lapar nih." kata Tiang Keng. "Aku tak bisa
menunggu lebih lama lagi..."
Un Kin kembali tertawa. "Kalau begitu lekas kemari." kata si nona aleman.
Tiang Keng menghampiri Un Kin yang sibuk menyiapkan
makanan. Tak lama mereka sudah duduk berdampingan lalu mulai
makan. "Bagaimana, enak tidak" tanya si nona.
Tiang Keng mengangkat tangan lalu ia belai-belai rambut si
nona dengan lembut, ia merasa sangat senang.
"Eh. katakan enak tidak?" desak si nona.
Tiang Keng tertawa. "Bagi lagi aku sepotong, sepotong kecil mana cukup." kata
Tiang Keng. "Dasar setan kelaparan." kata Un Kin sambil tertawa manis.
Ia mengambil sepotong daging ayam yang ia suapkan ke
mulut Tiang Keng. "Enaaak, sungguh enak!" kata Tiang Keng. "Cuma..."
"Cuma apa?" tanya si nona.
"Aku kira kau besanan dengan garam, kalau tidak mana
mungkin makanan ini asin!" kata Tiang Keng.
"Setan!" teriak Un Kin. lalu ia jejalkan kaki ayam ke mulut
Tiang Keng. "Aduh! Aduh!" kata Tiang Keng.
"Kenapa?" tanya si nona kaget.
"Asiiin!" teriak Tiang Keng menggoda.
Tiang Keng tertawa si nona pun ikut tertawa riang.
Kedua anak yatim itu tertawa dan begitu gembiranya
mereka, tapi tiba-tiba keduanya diam. mereka saling
mengawasi . Tiba-tiba mereka mendengar suara binatang malam
berbunyi mereka jadi kaget.
"Cuaca semakin gelap..." kata si nona.
Tiang Keng mengelah napas. Memang alam dengan cepat
berubah menjadi gelap. "Ya. kau lihat rembulan sudah muncul!" kata Tiang Keng.
Un Kin menunduk. "Aku tak tahu Un Jie Giok sudah pergi atau belum...." kata
Un Kin perlahan "Mungkin belum...." jawab Tiang Keng. "Karena sekarang
belum bisa dikatakan sudah malam."
Diam-diam Un Kin menangis dan Tiang Keng hanya bisa
mengawasinya saja. Keduanya diam dan lenyaplah kegembiraan yang baru saja
mereka rasakan. Tadi mereka bergembira sejenak, namun
kesulitan yang sedang mereka hadapi belum lenyap, bahkan
barangkali bahaya sedang mengancam mereka.
Di suatu tempat mereka akan bertemu dengan musuh
besanua. mampukah mereka mengalahkannya. Tiba-tiba
Tiang Keng mengusap bahu si nona. hingga Un Kin
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menengadah. "Tiang Keng. bisakah kau menjawab pertanyaanku?" kata si
nona. "Katakan apa?" "Kenapa suatu pertemuan harus selalu ada perpisahan
yang segera datangnya?" kata si nona.
Tiang Keng mengawasi wajah si nona dan dia berpikir
keras. Un Kin menyeka air matanya lalu berkata perlahan. "Jika
besok di saat seperti ini kita bisa berkumpul kembali seperti
ini. waktu itu akan kumasakkan daging ayam dan akan
kukurangi kecapnya, supaya aku tidak dikatakan berbesan
dengan garam... " Ia memaksakan untuk tertawa manis.
Tiang Keng diam saja. "Ketika kau pura-pura menyerang ku. aku kira itu Pit Su."
kata si nona. Tiang Keng tetap membisu dan diam saja.
"Pit Su itu lucu. hingga aku tak bisa tidak tertawa." kata si
nona. Tiang Keng tak menyahut dia tetap diam saja.
Un Kin mengawasi anak muda itu ia heran sekali.
"Kau tak senang bicara denganku" tanya si nona. "apa kau
tak bisa menyingkirkan kesulitanmu?"
Akhirnya Un Kin menangis karena sedih.
0oo0 BAB 50. UN JIE GIOK TAK MAU MELEPASKAN TOTOKAN
PADA DUA MURID IN HOAN In Kiam dan Tiong Teng mencari di sekitar gunung. Mereka
berusaha terus sampai magrib, dan belum juga mereka
menemukan Tiang Keng. Tak lama rembulan mulai
menampakkan diri. Mereka semakin penasaran dan
berkhawatir juga bingung sekali.
"Gunung begini luas tapi kita belum menemukan dia.
Bagaimana kalau kita mencarinya secara terpencar. Kau ke
sana aku ke sini. siapa yang lebih dahulu menemukan dia
harus segera dibawa ke mari. Nanti sekalipun tak bertemu
dengannya, jika rembulan sudah tinggi kita berkumpul lagi di
sini!" kata In Kiam.
"Baik. Ayah." kata Tiong Teng. "Tapi jika berpencar,
bagaimana jika Ayah bertemu dengan musuh?"
Sang ayah mengerutkan alis.
"Tiong Teng. apa kau kira karena aku sudah tua jadi sudah
tak berguna sama sekali?" kata sang ayah.
"Ya. baiklah. Ayah." kata sang putera.
"Sekarang kau ingat-ingat tempat ini. kau berangkat ke
arah Barat, aku ke sebelah Timur!" kata In Kiam.
Tiong Teng kembali mengangguk mengiyakan. Sesudah itu
ln Kiam dengan tak menoleh lagi langsung berlari ke arah
Timur. Tiong Teng menghela nafas. Ia mengawasi ke
sekitarnya. Tiong Teng berbeda dengan ayahnya, ia tak
sabaran, dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.
Baru beberapa langkah ia sudah berpaling ke belakang, la
sudah tak melihat ayahnya lagi. Tiong Teng sekarang hanya
mendengar suara angin malam. Keadaan di sekitarnya sunyi.
Tiba-tiba Tiong Teng mendengar suara tawa yang terbawa
angin malam, la heran lalu lari ke arah pepohonan dan
melompat naik ke sebuah pohon untuk bersembuny i di balik
dedaunan, la bersikap waspada dan karena tak ingin
mengandalkan kepandaiannya saja. la berharap orang yang
tertawa itu pemuda yang sedang mereka cari.
Tak lama tampak dua orang sedang berjalan mendatangi.
Wajah mereka kumal. Salah seorang malah terus-menerus
mendumal dan menghela nafas. Pakaian mereka berwarna
kuning. "'Mengapa harus bersusah hati terus." kata yang seorang.
"Itu percuma saja! Aku yakin Un Jie Giok akan membebaskan
totokan kita. Ia tidak akan ingkar janji! Sebentar lagi lebih baik
kita pergi ke kelenteng itu...."
"Seandainya ia membebaskan totokannya. belum tentu jiwa
kita selamat." kata kawannya. "Dosa telah membunuh guru
sendiri, itu dosa tak berampun. Thian tak akan mengampuni
kita, Tat Jin!" "Pendapatmu salah." kata Tat Jin sambil tertawa dingin.
"Aku yakin tak salah. Coba kau ingat Tentang See Sie dan Hu
Cee. Bukankah See Sie telah membunuh suaminya" Apakah ia
tak berdosa besar" Tapi orang tidak menyalahkan
perbuatannya, malah dia dipuji-puji oleh setiap orang. Dia
dikatakan suci bersih! Mengapa bisa begitu, dan tahukah kau
apa sebabnya?" "Tetapi..." kata Cio Peng tak meneruskan kata-katanya.
Mereka berhenti lalu duduk di bawah pohon tua di atas
sebuah batu yang datar. "Aku heran mengapa kau berpikir begitu." kata Tat Jin.
"Bukankah nama guru kita terkenal sangat jahat" Cukup asal
kita bisa memberi alasan yang masuk akal. orang Rimba
Persilatan akan menganggap kita membunuhnya demi
keadilan dan perikemanusiaan. Mereka pasti akan memuji kita!
Siapa yang akan menyalahkan kita"
"Tetapi...." Cio Peng kembali bimbang. Ia awasi
sahabatnya. Tiba-tiba ia tenawa. "Kau benar! Ya, kau benar!"
Tat Jin tersenyum. Hati mereka lega keduanya tertawa
berderai. Di atas pohon Tiong Teng jadi heran. Matanya menyala.
Karena gusar hampir saja ia melompat turun karena sudah tak
sabar. Ia yakin saat itu ia bertemu dua orang murid durhaka,
mereka membunuh guru mereka. Ketika ia akan melompat ia
melihat ada bayangan yang sedang mendatangi.
"Ah, apa itu Un Jie Giok yang datang" pikir Tiong Teng.
Terkaan Tiong Teng benar, memang itu bayangan Un Jie
Giok. Dengan cepat ia telah sampai ke tempat kedua orang
itu. Hati Tiong Teng berdebar-debar.
Begitu sampai Un Jie Giok tertawa dingin.
"Apa kalian sudah melaksanakan perintahku itu?" kata Un
Jie Giok dingin. "Sudah!" jawab Tat Jin dan Cio Peng hampir bersamaan.
"Bagus!" kata Un Jie Giok.
Dengan tak menghiraukan kedua orang itu ia melompat lari
ke sebuah tikungan. "Loo-cian-pwee!" teriak Tat Jin memanggil nyonya tua itu.
Jie Giok berpaling. "Ada apa?" tanya Jie Giok.
"Bagaimana mengenai totokan Cit-ciat-tiong-cit atas diri
kami...." kata Tat Jin cemas bukan main. "Ini sudah hampir
duabelas hari.. ." Sambil tertawa dingin Jie Giok menjawab.
"Masih ada waktu 30 jam." katanya. Bukan main kagetnya
kedua orang itu. Tat Jin berkata dengan lirih.
"Sesuai perintah Loo-cian-pwee. kami telah menaruh racun
pada teh untuk guru kami. Kami juga melihat sendiri, guru
kami meminumnya, maka kami mohon Loo-cian-pwee..."
"Kau taat pada perintahku, itu bagus!" kata Jie Giok.
"Tetapi aku ingin bertanya siapa yang menyuruh kalian
meracuninya?" "Tetapi, Loo-cian-pwee yang .." kata Cio Peng yang kaget
dan gugup. "Coba kalian pikirkan lagi." kata Un Jie Giok. "Apa yang
kukatakan tadi malam" Apa yang aku katakan dan apa yang
kujanjikan pada kalian?"
Dengan tubuh gemetar Cio Peng menjawab.
"Tetapi. . Tapi..." Cio Peng tak bisa meneruskan katakatanya.
Un Jie Giok tertawa. "Bukankah aku hanya melemparkan obat itu ke tanah?"
kata Un Jie Giok. Tat Jin mengangguk. "Tapi Loo-cian-pwee juga berkata...."
"Aku bilang apa?" kata si nyonya.
"Kau bilang obat itu tanpa tanpa rasa, jika dicampur ke
dalam air teh atau arak itu boleh saja. Lagi pula..." Tat Jin
ragu-ragu ia tak meneruskan kata-katanya.
"Kau berbakat dibanding anak-anak yang lain." kata Jie
Giok. "Ingatanmu juga kuat. Semua yang kukatakan, kau
masih ingat dengan baik. Sekarang katakan, apa aku pernah
menyuruh kau mencampur obat itu agar ln Hoan keracunan?"
Kedua pemuda itu saling mengawasi. Tiba-tiba keduanya
berlutut di depan nyonya tua itu. "Karena kami masih muda
kurang periksa, kami harap Loo-cian-pwee menyelamatkan
jiwa kami..." kedua pemuda itu memohon.
Un Jie Giok tertawa dingin.
"Bukankah aku tak menyuruhmu meracuni gurumu?"
"Kau benar, kau tidak langsung memerintahkan kami. Loocian-
pwee. " kata Tat Jin sambil berlutut.
"Karena aku tak menyuruh kalian, lalu kapan aku berjanji
akan membebaskan kalian dari totokan?" kata Jie Giok.
"Sekalipun tidak berjanji, akan tetapi... " kata Tiat Tat Jin.
Tiba-tiba Jie Giok tertawa dingin dan lama. suaranya tajam
dan tak sedap didengar. Mendengar pembicaraan itu Tiong Teng gemetar sendiri.
"Ilmu totok Cit-coat-tiong-ciu yang sudah ratusan tahun itu
sudah hilang. Sedang yang mengerti ilmu itu hama tinggal
seorang. Itu aku! Orang yang bisa membebaskannya juga
hanya tinggal seorang. Tahukah kau siapa orang itu?"
Kedua pemuda itu kaget, tapi setelah berpikir sejenak
mereka menjawab sekenanya.
"Cuma Loo-cian-pwee..." kata Tat Jin.
Jie Giok tertawa lagi. "Bukan. Kau salah, orang itu bukan aku." kata Jie Giok.
Tat Jin kaget tanpa merasa ia bertanya. "Lalu siapa?"
Setelah tertawa dingin nyonya itu berkata dengan suara
perlahan. "Orang itu In Hoan yang kalian racun!" kata Jie Giok.
Kedua pemuda itu kaget tak terkecuali Tiong Teng yang
sedang mendekam di atas pohon. Wajahnya demikian pucat.
"Loo-cian-pwee. tolong kami. kata Tat Jin meratap.
"Hai apa kau kira aku sedang membohongi kalian?" kata Jie
Giok dengan suara dingin.
"Mana berani kami menuduh demikian." kata Tat Jin.
"Dulu saat kudapatkan kitab ilmu totok, itu terdiri dari dua
jilid." kata Jie Giok. "Kitab yang satu tentang teori dan cara
menggunakan ilmu totok itu. sedang yang lain mengenai
memecahkan rahasia ilmu itu dan cara membuat obat
pemunahnya. Ketika itu aku.. Ia menengadah ke langit, sinar
matanya tajam. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya.
"Tatkala itu. aku yakin sekali gurumu itu orang baik. maka
aku tak curiga. Tak dikira..." Sejenak ia berhenti bicara,
wajahnya berubah dingin. "Siapa tahu mukanya saja muka
manusia, tapi hatinya hati binatang! Saat aku sedang semedi
selama 61 hari untuk belajar ilmu totokan itu. dia mencuri
barang-barang berharga milikku dan kitab yang sejilid lagi...."
Baru sekarang Tiong Teng tahu. bagaimana hubungan Un
Jie Giok dengan ln Hoan. Dengan hati berdebar-debar tanpa
merasa ia mandi keringat dingin. Ia sadar, jika ia kepergok.
Terutama ia malu mencuri dengar pembicaraan orang....
Malam merayap semakin gelap dan larut, keadaan di
sekitarnya gelap dan wajah Jie Giok pun tak jelas namun
suaranya jelas sekali. In Tiong Teng mengira, pikiran Jie Giok
sedang terganggu oleh rasa cinta dan benci kepada I n Hoan.
Cio Peng dan Tat Jin masih berlutut di depan Un Jie Giok.
Mereka hanya bisa saling mengawasi dengan perasaan cemas
bukan main Terdengar Jie Giok tenawa dingin, mirip suara burung
hantu yang menyeramkan. "In Hoan! In Hoan! Aku kira aku sudah cukup baik
kepadamu! Kiranya di jalan yang gelap kau tak kesepian,
karena tak lama lagi kedua muridmu yang sangat kau cintai
akan segera menyusul.....*"
Sesudah itu ia kibaskan ujung bajunya, lalu berjalan ke
balik gunung. Cio Peng melompat ia hendak menyerang perempuan iblis
itu. tapi Tat Jin menarik sang kawan. "Kau mau apa?" tanya
Tat Jin. "Apa kau sanggup mengalahkan hantu perempuan
itu?" Mata Cio Peng melotot dan berputar-putar. "Sekalipun aku
bukan lawannya, aku ingin mengadu jiwa dengannya!" kata
Cio Peng. "Buat apa...." Tat Jin mendadak tertawa.
"Apa kita sudah tak punya harapan hidup lagi?" kata Tat
Jin. Cio Peng melengak. "Tak mustahil Tak mustahil..." kata Cio Peng.
Tat Jin menyeka debu di lututnya, wajahnya cerah sekali.
"Coba kau renungkan baik-baik." kata Tat Jin. "Bukan saja
kita masih punya harapan hidup, bahkan kita bakal mendapat
kebaikan...." Cio Peng melengak. Sedang Tiong Teng yang ada di atas pohon keheranan
karena tak bisa menerka jalan pikiran kedua pemuda itu.
Tiat Tat Jin mengeluarkan jari tangannya, jempol dan jari
tengah, ia mengadukan kedua jari itu hingga mengeluarkan
suara cetrek dari tangannya itu.
"Jika kitab itu berisi cara membebaskan totokan. maka
cukup jika kita pulang untuk mencari kitab itu!" kata Tat Jin.
"Maka kita akan tertolong!"
Mendengar hal itu Cio Peng kelihatan girang sekali.
"Kau benar, kau pandai dan cerdik, aku tak bisa melawan
kecerdasanmu!" kata Cio Peng. "Tetapi di mana kitab itu
disimpan oleh Suhu?"
Tiat Tat Jin diam. ia kelihatan kurang puas oleh ucapan
adik seperguruannya itu. Cio Peng heran melihat kakak seperguruannya itu. tapi ia
segera mengerti. "Suheng, maafkan aku." kata Cio Peng.
Tiong Teng di atas pohon merasa kurang senang pada
kedua orang yang ia kira jahat itu
0oo0 BAB 51. CIO PENG DAN TIAT TAT JIN AKHIRNYA TEWAS
MENGENASKAN Tiat Tat Jin mengawasi adik seperguruannya itu. ia
bergumam dengan suara dingin. "Seharusnya, kau tahu di
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana Suhu menyimpan kitab itu!" kata Tat Jin. "Kau salah
karena kau kurang perhatian...."
Ketika kata-kata Tiat Tat Jin baru saja berhenti, tiba-tiba
terdengar suara yang nadanya sangat dingin.
"Ya. kalian seharusnya tahu di mana aku menyimpan kitab
itu!" kata suara yang sangat mereka kenal.
Bukan main terkejutnya Tiat Tat Jin dan Cio Peng ketika
mendengar kata-kata itu. Karena mereka tahu siapa orang
yang berkata itu. Berbeda dengan Tat Jin. Cio Peng begitu
mendengar suara itu. langsung siap untuk kabur. Sedang Tiat
Tat Jin segera berlutut memberi hormat, namun tubuhnya
sangat kemah karena ketakutan.
Tak lama kelihatan berkelebat sebuah bayangan disusul
tawa dinginnya. Tubuh orang itu melayang turun dari atas
pohon besar dan jatuh tepat di hadapan Cio Peng yang
hendak kabur. "Hm! Jahanam, kau masih berpikir hendak kabur?" kata
suara orang itu. Cio Peng mundur sebanyak tujuh langkah dari depan orang
itu. "Suhu!" ia memanggil. Memang benar orang itu adalah In
Hoan. guru mereka. Di atas pohon Tiong Teng melihat
bayangan itu turun dengan gesit, orang itu mengenakan
kopiah tinggi dan tubuh orang itu jangkung. Selangkah demi
selangkah imam itu mendekati Cio Peng yang masih gemetar
karena takut. "Dasar manusia goblok, mana mungkin kau bisa
menghindari gurumu ini! Kau sangat jahat tetapi kau tidak
berdaya, kau memang harus mampus!" kata In Hoan geram
sekali. Sambil mendekam di tanah kepala Cio Peng berulang-ulang
mengangguk ke arah In Hoan. "Memang muridmu ini pantas
mati!" kata Cio Peng.
Mata ln Hoan yang bengis mengawasi muridnya yang
murtad itu. "Memang pada masa sekarang ini sudah lumrah
orang yang kuat menelan yang lemah... Karena saat ini orang
harus bergulat keras saling berebut untuk bisa hidup! Aku
tidak menyalahkan kalian berdua, tetapi kalian semua tolol
sekali! Kalian tak bisa membuat gurumu senang, lebih baik
kalian mati saja semua!" kata In Hoan.
Mendengar kata-kata In Hoan tersebut. Tiong Teng yang
berada di atas pohon jadi ngeri. Dia tak mengira seorang guru
bisa begitu sadis terhadap muridnya.
"Suhu...." Cio Peng memohon. "Seumur hidupku memang
aku tak pernah berbuat baik." kata In Hoan. "Hanya, gurumu
ini saat berbuat jahat selalu menggunakan otaknya dengan
baik. Itu sebabnya hingga sekarang ini gurumu selalu selamat.
Orang-orang tak berdaya terhadap aku. Ketahui olehmu,
berbuat jahat harus dibarengi dengan keberanian dan
kepandaian, jika tidak maka kalian akan gagal. Kakakmu Tat
Jin lumayan dibandingkan dengan kau. Cio Peng!"
Mendadak kaki In Hoan melayang ke arah Cio Peng dan
sang murid ini tak sempat lagi menghindar dari serangan yang
hebat itu. Maka tak ampun lagi. sambil menjerit keras tubuh
Cio Peng pun terpental, lalu jatuh bergulingan. Saat itu juga
nyawanya melayang.. Tiat Tat Jin terus mendekam di tanah dengan ketakutan. Ia
tak berani mengawasi gurunya. Sedang Tiong Teng yang ada
di atas pohon kaget, tanpa terasa keringat dingin membasahi
tubuhnya. Setelah menendang Cio Peng. ln Hoan berjalan ke arah
muridnya yang lain. Matanya mengawasi si murid dengan
tajam luar biasa. "Apa tadi kau sudah melihat contoh yang kuberikan?" tanya
ln Hoan. "Sudah. Suhu..." jawab Tat Jin.
"Jika kau sudah melihatnya, apa yang ada dalam pikiranmu
sekarang" tanya In Hoan.
"Jika aku gagal mencarikan obat untuk Suhu." kata Tat Jin.
"Maka aku mohon Suhu bersedia menolong jiwaku.... Atau..."
In Hoan tertawa dingin. "Hm! Kau mengira kau ini cerdik, sehingga kau bisa
membohongi aku?" kata In Hoan.
Tat Jin melengak. ia awasi gurunya.
"Tadi malam, saat kalian berdua pulang sudah kuperhatikan
wajah kalian yang bingung dan cemas. " kata In Hoan.
"Terlebih Cio Peng. sikapnya sangat tak wajar! Semua itu tak
lepas dari pengawasanku. Saat aku pura-pura akan buang air
kecil, sayup-sayup kudengar kau menyuruh Cio Peng menaruh
racun di cawanku. Semua kuperhatikan. Tetapi ketika itu aku
belum tahu, siapa yang menyuruh kalian meracuniku. Saat
kalian meninggalkan aku sebentar, maka kuganti cawan
minumku dengan yang baru. Ketika kalian kembali, air di
cawan itu kuminum sehingga kalian mengira aku berhasil
kalian racuni..." Mendengar penuturan itu Tat Jin hanya menunduk. Dia
kagum oleh kecerdikan gurunya
"Pagi-pagi sekali." In Hoan melanjutkan. "'Kalian berdua
lama berdiri di depan kamarku, tetapi kalian tak berani masuk
untuk memeriksa, apakah aku benar-benar sudah mati atau
belum. Kemudian kalian buru-buru pergi. Lalu aku
mengikutimu sampai di sini. Saat kalian bicara dengan Un Jie
Giok tadi. semua telah kudengar dengan jelas..."
Diam-diam Tiong Teng menghela nafas panjang. "In Hoan
ini sangat cerdik! Kecerdikannya itu sangat membantu
kejahatan yang dilakukannya," pikir Tiong Teng. "Peran
seperti dia harus segera disingkirkan! Kejahatannya melebihi
seekor binatang, mana boleh dibiarkan terus..."
Oleh karena berpikir begitu Tiong Teng memutar otaknya
mencari jalan untuk menyingkirkan imam jahat itu. Tetapi,
sebelum Tiong Teng bertindak, tiba-tiba ia mendengar suara
bentakan nyaring dari balik gunung.
"in Hoan! Perbuatan kejimu itu bisa dianggap tak adil... "
kata suara itu. Begitu suara orang itu selesai, tubuh orang itu melayang
turun. Tangan orang itu terangkat dan terayun ke arah Tiat
Tat Jin. disusul oleh suara jeritan pemuda itu yang
mengerikan. Tubuh Tat Jin bergulingan dan berhenti dekat
tubuh Cio Peng. nafasnya langsung berhenti.
Kelihatan ln Hoan kaget bukan main. ia mengenali suara
dan orang yang baru muncul itu.
"Kedua muridmu itu sama jahatnya." kata Un Jie Giok yang
muncul secara tiba-tiba. "Jika yang seorang kau bunuh sedang
yang lain kau biarkan hidup, itu kurang adil. Maka itu tadi aku
telah mewakilimu membunuhnya!"
Wajah In Hoan beberapa kali berubah-ubah. sebentar
merah sebentar pucat. Tiba-tiba ln Hoan tertawa perlahan.
"Bagus! Akupun berpikir demikian!" kata In Hoan sambi
tersenyum pahit. "Dua muridku itu murtad, tak layak mereka
dibiarkan hidup!" "Hm!" Un Jie Giok mengeluarkan suara dari hidungnya.
In Hoan tersenyum, wajahnya kini jadi semakin berseri-seri.
"Jie Giok." kata In Hoan dengan halus. "Sudah lama kita
tidak saling bertemu, tidak kusangka tenyata kau masih
seperti dulu!" Kemudian terdengar In Hoan menghela nafas panjang.
"Selama kita tak saling bertemu." kata In Hoan lagi. "Aku
selalu mengingat dan mengenangmu, tetapi sekarang aku
telah menjadi tua...."
"Hm!" lagi-lagi Jie Giok mengeluarkan suara.
In Hoan mengelus jenggotnya sambil menghela nafas
perlahan. "Ya. tak kukira, bulan dan tahun terus mendesak
manusia. ." kata In Hoan lagi. "Sang waktu pergi untuk tidak
kembali... Setiap kali aku teringat semasa kita pernah hidup
bersama bertahun-tahun lamanya, aku jadi berduka sekali....
Jie Giok. ingatkah kau saat kita duduk berdua memandangi
sang rembulan di puncak gunung" Di sana. ketika itu kita
minum arak bersama-sama. Saat itu kita pun saling
mendoakan agar kita sama-sama panjang umur... Ah. tak
hentinya aku memikirkan dirimu dan aku merasakan kiranya
sang waktu sangat singkat. Memang benar pepatah
mengatakan tidak ada pesta tanpa akhir. Itu yang dikatakan
bahwa lebih baik tidak bertemu daripada harus bertemu.
Bukan benar begitu. Jie Giok?"
Sambil berkata ln Hoan terus mengawasi wajah wanita
jelek di depannya. Dia ingin tahu reaksi wanita jelek itu. Ia
lihat Jie Giok sedang mengawasi ke arahnya dengan mata
yang tajam dan bengis. "Semua itu teringat lagi. tapi sayang itu sudah berlalu..."
kata In Hoan Tiba-tiba Un Jie Giok tertawa dingin. "Jika aku mendengar
kata-katamu itu beberapa tahun yang lalu. aku memang agak
khawatir... Tetapi kini hm! Hm!" kata Un Jie Giok.
"'Memang waktu telah berlalu, hanya keadaannya masih
tetap sama! Dulu dan sekarang apa bedanya?" kata In Hoan.
Un Jie Giok kembali tertawa dingin. "Mungkin orang akan
terperangkap oleh kata-katamu!'" kata Jie Giok. "tapi sayang,
kau mengatakannya hari ini. dan aku sudah bosan
mendengarnya!" Mendengar ucapan itu In Hoan melengak. Matanya
jelalatan. tetapi ia memaksa untuk tertawa. "'Jie Giok. aku
tahu bagaimana persasaanmu saat ini." kata In Hoan. "Aku
kira kau salah mengerti tentang diriku, tetapi aku...."
"'Tutup mulutmu!" kata Jie Giok sengit. Jie Giok
menundukkan kepalanya lalu menghela nafas panjang. Ketika
ia angkat kepalanya, ia berkata lagi. "Seperti katamu tadi.
sang waktu sudah berlalu dan aku sudah terlalu tua.... ya
sudah tua!?" Dia awasi In Hoan dengan tajam, mendadak dia tertawa
nyaring. Sementara itu In Hoan coba bersabar.
"Jie Giok. kau belum tua.?" kata ln Hoan "Cuma kau..."
Un Jie Giok kembali tertawa dingin. "Jika seseorang
menjadi tua dia akan mirip dengan siluman. " kata Jie Giok.
Tidak! Aku tak bisa kau akali lagi. Sampai saat ini kau masih
menganggap dirimu pintar! Kau anggap kau lebih pintar
dariku. Tetapi, sungguh kau tak sadar bahwa aku pandai
melebihimu!" Mendengar kata-kata itu In Hoan batuk sekali. "Itu betul.
Kepandaianmu memang melebihiku." kata ln Hoan.
Pujian ini seolah-olah tak didengar oleh Un Jie Giik.
"Hm! Memang sudah kuduga, kedua muridmu yang tolol itu
tidak akan berhasil meracunimu!" kata Un Jie Giok dingin.
"Aku juga sudah menduga bahwa kau akan datang menyusul
mereka ke mari. Dan ternyata dugaanku itu benar sekali!"
Suara Jie Giok jelas ia sangat girang karena dugaannya
tidak meleset. "Dulu aku selalu jatuh ke dalam tanganmu,
tetapi sekarang telah tiba giliranku." kata Un Jie Giok.
In Hoan menghela nafas lalu menunduk, tetapi matanya ia
permainkan, la berpura-pura lunak, sebenarnya ia sedang
berpikir keras. Sikap ln Hoan ini tak lepas dari perhatian Un Jie
Giok. "Hm! ln Hoan. kau jangan berpikir yang bukan-bukan dan
mencari jalan untuk lolos dariku!" kata Un Jie Giok keras.
"Kuperingatkan padamu, akhir-akhir ini aku tekun mempelajari
ilmu meringankan tubuh. Jika kau kira aku bohong, boleh kau
coba!" Tiba-tiba perasaan In Hoan dingin. "Ah dia bilang dia
berlatih ilmu meringankan tubuh." pikir ln Hoan. "Kalau begitu,
ilmu silat yang lainnya agak ia abaikan. Jika sekarang kulawan
dia dengan mati-matian, belum tentu aku kalah olehnya..."
Hati In Hoan tiba-tiba jadi tenang kembali. Un Jie Giok
mengawasi In Hoan dengan tajam.
"Jangan coba melawanku." kata Jie Giok tajam. "Soal ilmu
silat aku rasa kau tak akan mampu mengalahkanku! Kau
camkan saja. satu di antaranya. Mengenai ilmu silat tangan
kosong Cit-keng-pit-kip saja. tak nanti kau bisa
menghadapinya. Jika kau tak percaya boleh kau coba
sekarang juga!" In Hoan mendongak, kemudian ia menghela nafas panjang.
"Sudah lama aku berpikir ingin menemuimu." kata ln Hoan
kemudian. "Sekaipun hanya untuk sekali saja. Oleh sebab itu
mana mungkin aku berniat pergi dari hadapanmu, apalagi
akan melawanmu" Kau berpikir terlalu jauh. Jie Giok!"
Un Jie Giok tertawa lagi. "Kau bilang aku berpikir terlampau
jauh" Hm! Benarkah itu" Apa yang sedang kau pikirkan, pasti
kau tahu jawabannya!" kata Un Jie Giok sengit.
"Yang sedang kupikirkan ialah tentang Dunia Persilatan
yang kacau-balau." kata ln Hoan. "Kita sudah berusia lanjut,
aku pikir lebih baik kita cari sebuah tempat yang aman dan
tenteram, di sana kita bisa hidup bahagia melewatkan hari tua
kita..." Kata-kata ln Hoan selain halus juga menarik hati. Tiba-tiba
Un Jie Giok menundukkan kepalanya. Jie Giok solah-olah
tertarik oleh rayuan si imam yang cerdik ini.
Mata In Hoan bersinar terang saat melihat Jie Giok
menundukkan kepalanya, maka ia berulang-ulang tersenyum.
"Jie Giok. dengar olehmu." kata In Hoan lembut. '"Kau
telah hidup menjagoi di Dunia Persilatan selama bertahuntahun,
tetapi apa yang kau peroleh sekarang ini. tak lain di
dalam hatimu hanya ada aku! Dan seperti juga di dalam
hatiku, hanya ada kau......"
Suara In Hoan halus, tiba-tiba tangannya mengusap
matanya yang berair karena tangis, ln Hoan sangat
terpengaruh oleh kata-katanya sendiri hingga ia menundukkan
kepalanya. Jie Giok mendadak tertawa keras sekali. "Di hatimu ada
aku. di hatiku ada kau?" ujar Un Jie Giok nyaring.
"Sisa hidup kita. " dia berhenti sejenak. "Dengarkan katakataku,
bagiku aku sudah tak memikirkan lagi untuk hidup
lebih lama lagi! Maukah kau mati bersamaku?"
ln Hoan kaget mendengar pertanyaan itu. ia terpaksa
tertawa. "Mengapa kau berkata begitu. Jie Giok" Bukankah tubuhmu
masih segar-bugar. Aku kira kau masih bisa hidup sepuluh
tahun atau dua puluh tahun lagi.. ." kata In Hoan.
"Jadi kau tak mau menemaniku mati?" kata Un Jie Giok
dingin. "Tidak! Aku tak menyesalimu! Kau boleh berbuat tak
selayaknya terhadapku, aku tak bisa membunuhmu.. Bagiku,
aku hanya ingin kau melakukan sesuatu untukku sekali lagi...."
Suara Un Jie Giok keras, lama-lama berubah menjadi
perlahan ia agaknya menyesal dan penasaran...
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu segumpal awan hitam lewat menutupi sang Puteri
Malam, hingga malam pun semakin larut saja...
0oo0 BAB 52. PENUTUP Di tempat lain masih di sekitar Thian-bak-san. dua mudamudi
Tiang Keng dan Un Kin sekarang hanya berduaan saja.
"Malam semakin larut...." kata Un Kin.
Tiang Keng mengawasi ke sekitar tempat itu.
"Kuil tua itu sudah ada di depan kita. tetapi kita tak tahu
apakah Un Jie Giok sudah ada di sana atau belum?" kata
Tiang Keng. "Dia bilang akan ke sana. pasti ia akan ke sana!" kata si
nona meyakinkan. Ia menarik tangan pemuda itu untuk diajak berjalan
bersama-sama. Mereka berjalan bergandengan hingga sampai
di depan kuil dan mereka langsung masuk ke dalam kuil.
keadaan di sana masih seperti kemarin ketika mereka ada di
situ. Terlihat patung Buddha yang wajahnya lembut, tetapi
hati kedua muda-mudi ini malah berdebar-debar
Kemudian mereka saling mengawasi lalu mereka menunggu
dan duduk berendeng, otak mereka bekerja keras. Saat itu
hati mereka jadi tak tenteram, mereka tak tahu mau bicara
apa. Tak lama terlihat cahaya api dan dua bayangan orang
sedang mendatangi, tubuh keduanya langsing dan mereka
berjalan dengan sangat hati-hati sekali.
"Oh kalian berdua pun sudah datang?" kata Tiang Keng dan
Un Kin. Salah seorang dari nona itu tertawa. Dia adalah Siauw Tin.
Dia meletakkan dua buah pelita di atas altar sembahyang.
Tiba-tiba Siauw Keng berkata. "Sejak tadi kami sudah
menunggu, barangkali Couw-ko pun akan segera tiba!"
Kemudian kedua nona itu berdiri dekat tembok, mereka tak
mau mengawasi ke arah Tiang Keng maupun Un Kin
Tak heran sekalipun di pendopo itu ada empat orang
karena tak ada yang bicara maka keadaan di situ tetap sunyi.
Mungkin hanya hati mereka yang berdebar-debar.....
Angin yang dingin bertiup ke dalam pendopo. Daun-daun
pepohonan pun tertiup angin yang kadang-kadang agak keras
hingga daun-daun itu rontok dan berjatuhan ke tanah. Tibatiba
bersamaan dengan daun yangromtok berjatuhan dan
masuk ke dalam pendopo. melayang sebuah bayangan orang
ikut masuk. Empat orang yang ada di dalam pendopo semua menoleh
ke arah orang itu. Sesudah melihat tegas siapa orang itu.
mereka berteriak kaget. "Kau. .!"' kata mereka hampir bersamaan.
Orang itu tersenyum. Dia ternyata ln Hoan.
"Kalian tak menyangka, bukan?" kata ln Hoan sambil
tertawa. Sambil menggendong tangan ln Hoan berjalan hilir-mudik.
Tak lama ia langsung berhadapan dengan Tiang Keng dan
berkata dengan sabar. "Kuucapkan selamat padamu, karena
hari ini sakit hati orang tuamu akan terbalas!"
la melangkah ke arah tembok. Tiang Keng heran, ia jadi
curiga tetapi diam saja. Tidak berapa lama satu bayangan lain melompat masuk ke
dalam pendopo. Siauw Tin dan Siauw Keng berseru. "Couw-ko
tiba!" Hati Tiang Keng dan Un Kin bergolak, darah mereka
mendidih. "Ternyata kalian sudah datang lebih dulu!" kata Un Jie Giok
dingin. Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi. Un Jie Giok
tertawa meringis. "Aku tahu perasaan kalian untuk membalaskan sakit hati
orang tuamu, pasti kalian tak sabar!" kata Jie Giok. "Benarkah
begitu?" "Karena dendam orang tua kami. maka kami tak bersedia
hidup bersama dengan musuh kami!" kata Tiang Keng.
"Sebelum kami balas dendam, sehari pun kami tak bisa tidur
tenang!" Un Jie Giok tertawa dingin. "Sekarang musuh besarmu itu
ada di depanmu! Tetapi aku ingin bertanya, sudah berapa
tinggi ilmu silatmu dan mampukah kau membalas dendam
sekarang?" kata Un Jie Giok.
Alis Tiang Keng berdiri. "Hari ini aku dalang dengan tak menghiraukan jiwaku!"
kata Tiang Keng dengan gagah.
Kembali Un JieGiok tertawa dingin.
"Kau memang bersemangat!" kata Un Jie Giok. "Ketahui
olehmu, seumur hidupku aku belum pernah memberi
kesempatan pada orang lain!"
Mendadak Jie Giok mengeluarkan dua batang bambu yang
bersinar kuning keemasan dari sakunya. Kemudian ia berkata
lagi dengan dingin. "Ini dua buah bumbung jarum Ngo-in-hong-jit-touw-simciam1"
kata Jie Giok "Dua bumbung ini yang satu berisi jarum
itu dan yang satu lagi kosong! Sekarang kau ambil salah satu
bumbung ini. jika kau berhasil mengambil yang berisi jarum,
maka kau akan berhasil membalas dendam Sebaliknya jika
bukan yang berisi jarum...hm! Hai ln Hoan. ambil kedua
bumbung ini. pesilakan dia mengambil salah satu bumbung ini
untuk memilihnya!" In Hoan kelihatan ragu-ragu. matanya menunjukkan sinar
tajam. Perlahan-lahan ia menghampiri si nyonya tua untuk
mengambil kedua bumbung bambu itu dari tangan si nyonya.
Sesudah itu dia berbalik dan berjalan dengan perlahan sekali,
tapi tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dengan cepat, sambil
berbalik kedua tangannya ia majukan dipakai menyerang ke
arah si nyonya jelek! Terdengar suara dari dua bumbung bambu itu. alatnya
bekerja. Kemudian disusul suara tawa si imam yang tak sedap
didengar, tetapi..... Ternyata dari kedua bumbung itu tak ada jarum yang
keluar. Kiranya kedua bumbung itu kosong tak berisi jarum
beracun! Tak lama terdengar lagi suara tawa In Hoan disusul
suara lawa Un Jie Giok. nadanya mengejek. In Hoan kaget, ia
melompat mundur tiga langkah dan sepasang matanya
mendelong.... Un Jie Giok tertawa lagi. "Salah! Kembali kau salah
selangkah, kau tertipu oleh akalku!" kata Un Jie Giok.
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi, bukan main
herannya mereka. Setelah mengawasi ke arah Un Jie Giok.
mereka menoleh mengawasi ln Hoan. Wajah ln Hoan berubah
pucat bagaikan kertas putih.
"Seumur hidupmu belum pernah kau berbuat kebaikan!"
kata Jie Giok dengan tajam ke arah In Hoan. "Kemampuanmu
hanya mengelabuhi orang saja. Sudah lama aku ingin
menyingkirkanmu. tetapi selalu gagal. Hari ini sebenarnya aku
akan membebaskan jiwamu, asal kau tak memperdayaiku lagi
dan akan kuizinkan kau pulang masih bernyawa!"
Saat Un Jie Giok bicara selangkah demi selangkah ln Hoan
mundur teratur. Tetapi Jie Giok juga tak tinggal diam. ia juga
maju selangkah demi selangkah mengikutinya. Tanpa terasa
In Hoan telah didesak oleh Un Jie Giok.
Sambil melangkah maju kembali Jie Giok mengeluarkan dua
buah bumbung bambu kuning. Setelah In Hoan terdesak
sampat di tembok, baru Jie Giok bicara.
"Jika dulu saat di puncak Sie-sin-hong di gunung Hong-san
tak ada kau." kata Jie Giok. "Suami-isteri itu tentu tak akan
memilih jalan kematian! Begitupun anak Kin. jika bukan
karena kau yang mengoceh yang bukan-bukan, dia tak
akan....." Mendadak Un Jie Giok berhenti bicara, la mengawasi ke
arah Tiang Keng. "Tiang Keng. ke mari kau!" kata Un Jie Giok nyaring.
Tiang Keng kaget tapi ia tetap melompat maju ke arah Jie
Giok. Tanpa menoleh Un Jie Giok menyerahkan kedua bumbung
bambu itu kepada Tiang Keng. Kemudian Un Jie Giok berkata
nyaring. "Kau ambil salah satu bumbung ini. imam ini juga
musuh besarmu yang telah membunuh orang tuamu..."
Tiang Keng bersikap tenang saat ia menyambut salah satu
bumbung itu. lalu bumbung itu ia kembalikan pada Jie Giok.
"Sakit hatiku memang luar biasa, tapi untuk membalas
dendam itu aku tak perlu bantuan orang lain. aku malu
menerimanya... " kata Tiang Keng.
Sebelum Tiang Keng selesai bicara, tiba-tiba ln Hoan
melompat naik ke tembok, ia melompat sejauh tiga tombak.
"Hm! Kau masih berpikir mau kabur?" bentak Jie Giok pada
ln Hoan. Mendadak tubuh Un Jie Giok berbalik dan sebelah
tangannya terayun. Dari sana lima sinar kuning melesat
dengan cepat luar biasa ke arah In Hoan. Menyusul sinar
emas itu terdengar suara benda berat terjatuh ke lantai.
Kiranya Ban-biauw Cin-kun yang ilmu meringan kan tubuhnya
mahir itu ternyata tak mampu menandingi kecepatan senjata
rahasia milik Un Jie Giok hingga ia roboh tak berdaya...
Un Jie Giok tertawa sejenak. Kelihatan dia puas sekali.
Kemudian suasana di pendopo itu sunyi. Un Jie Giok berdiri
diam. Matanya yang sayu mengawasi tubuh In Hoan.
Kemudian dia berjalan perlahan, rambutnya terurai tak teratur
karena sudah dua hari tak diurus. Namun rambut itu
melambai-lambai tertiup angin malam yang dingin.
Sinar pelita di atas altar sembahyang cahayanya redup dan
bergoyang-goyang tertiup angin malam. Detik-detik berlalu
dalam keadaan sunyi. Sampai tiba-tiba si nyonya membalikkan
tubuhnya, ia awasi Tiang Keng dan Un Kin secara bergantian.
Kedua muda-mudi mengawasi dengan mata mendelong.
mungkin mereka terkejut menyaksikan kejadian di depan mata
mereka tadi. Kemudian Jie Giok berkata dingin. "Kalian mau balas
dendam, mengapa kalian diam saja?"
Dua bumbung bambu yang tadi tak diambil Tiang Keng
oleh Jie Giok dilemparkan ke arah mereka berdua.
"Jika kalian mau menggunakan senjata itu. silakan kalian
gunakan!" kata Jie Giok dingin.
Hawa udara sangat dingin saat In Tiong Teng harus
kembali ke tempat yang dijanjikan ayahnya. Ketika Tiong Teng
sampai tempat itu sunyi. Ayahnya belum kelihatan. Tiong
Teng jadi khawatir hingga ia tak tenang. Tadi Tiong Teng
melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan mendengar
sesuatu yang belum pernah didengar. Menurut Tiong Keng
yang paling aneh adalah kata-kata Siu-jin Un Jie Giok
"Aku hanya ingin kau melakukan suatu pekerjaan lagi.
Tunggu sampai aku mati. kau harus berusaha menyampaikan
pesanku. Katakan bahwa Nio Tong Hong ayahnya dan Beng
Jie Kong bukan ibunya!" kata Un Jie Giok ketika itu.
Tiong Teng melihat In Hoan mengangguk, ln Hoan berjanji
akan menyampaikan pesan itu.
"Sungguh Un Kin harus dikasihani. " kata Jie Giok dengan
suara mengharukan sekali. "Dia tak akan menyangka bahwa
musuhnya atau orang yang membunuh ayahnya adalah ibu
kandungnya sendiri. Mana tega aku memberitahu dia. Aku tak
bisa..." Tiong Teng ingat kata-kata itu dengan baik. Tiong Teng
jadi berpikir keras. Ia tak tahu duduk persoalannya, tapi ia
sudah menerka beberapa bagian. Kembali terdengar Un Jie
Giok bicara. "Nio Tong Hong jahat padaku, sama jahatnya seperti kau
padaku." kata Jie Giok pada ln Hoan "Dia membohongiku. Dia
bilang dia mencintaiku, tapi sebenarnya ia hanya mengakali
ilmu silat dan hartaku belaka! Kemudian aku dengar dia sudah
beristeri. maka aku tak mau memaafkannya. Aku memutuskan
akan membunuh mereka berdua. Tetapi saat itu aku sedang
hamil.... Oh. Thian (Tuhan), mengapa aku bisa dipermainkan
begitu...." Tiong Teng masih ingat kata-kata Un Jie Giok ini. hingga ia
jadi simpati kepadanya. "Apa salah dia. Dengan demikian ia wanita yang perlu
dikasihani." pikir Tiong Teng. "Tetapi mengapa dia jadi
semakin kejam?" Dengan pikiran kacau Tiong Teng berjalan hilir-mudik di
tempat itu la harap ayahnya akan segera datang. Ia pikir
mungkin saat itu Tiang Keng dan Un Kin sudah berada di kuil
bersama Jie Giok dan ln Hoan.
Untung tak lama ln Kiam datang, Dia tak menemukan
sesuatu. "Ayah. mari kita ke Thian Sian Sie!"' kata Tiong Teng.
Sambil berjalan! iong Teng memberi keterangan singkat
pada ayahnya Bukan pekerjaan mudah untuk menemukan kuil itu. tetapi
sesudah berusaha dan makan waktu akhirnya mereka sampai
juga di kuil itu. Mereka melihat sinar pelita dan dengan santai
mereka masuk ke pekarangan kuil itu. Tiba-tiba mereka
mendengar suara tangis. To-pie Sin-kiam In Kiam berlari cepat dengan ilmu Pat-poukan-
siam. Begitu sampai di pendopo ia lihat To Tiang Keng
dan Un Kin berdiri melongo. Dua pelayan berpakaian merah
sedang menangis di lantai, di depan kedua pelayan itu rebah
Ang-ie Nio-nio. si hantu wanita jelek.
Mereka tak tahu kedatangan ln Kiam dan Tiong Teng.
mereka juga tak lancang mengganggu.
Di tempat yang sunyi dan suram itu terdengar sebuah
suara. Dari tangan Un Jie Giok yang tiba-tiba menggelinding
sebuah benda berwarna kuning ke dekat Tiong Teng. Segera
Tiong Teng membungkuk untuk mengambil benda itu.
ternyata itu bumbung tempat jarum rahasia yang terkenal itu.
Ketika tutup bumbung itu dibuka, maka keluarlah lima batang
jarum beracun itu. Tiong Teng sadar Un Jie Giok tak
menggunakan senjata itu. jika ia menggunakannya pasti ada
korbannya... Tiang Keng mengawasi tubuh Un Jie Giok. Tubuh
musuhnya dan musuh Un Kin juga. pikir Tiang Keng. Musuh
mereka sekarang telah jadi mayat, tapi aneh mereka kelihatan
tak gembira. Malah hati mereka jadi kurang nyaman. Padahal
mereka telah berhasil membalas dendam...
Di kaki tembok rebah tubuh In Hoan yang jahat. Setelah
sekian lama tiba-tiba tubuh imam itu bergerak. Kiranya dia
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya pingsan dan sekarang ia sadar, la merintih, mencoba
mengangkat kepala nya. Kembali ia merintih.
"Kalian....akhirnya kalian berhasil balas dendam!" kata In
Hoan. "Bagus sekali.
Imam itu tertawa dan Tiang Keng bersama Un Kin
menoleh, la berusaha mengeraskan hati. Kembali In Hoan
merintih. "Apa kalian heran karena aku belum mati" tanya ln Hoan.
"Itu sebab.. aku masih punya rahasia yang belum kuceritakan
pada kalian. Apa... apakah kalian ingin tahu?"
Tiang Keng tercekat. Tanpa diminta ln Hoan mulai bicara.
"Rahasia ini..." kata In Hoan. "Rahasia tentang dirimu dan
hidupmu.... Rahasia ini hanya aku yang tahu. Jika kalian ingin
tahu ayo berusaha mengobatiku....."
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi dan mereka raguragu.
"Hai imam jahat!" teriak Tiong Teng dengan tiba-tiba. "Apa
saat ajalpun kau hendak mencelakai orang lain?"
Tiong Teng melompat dan menendang imam itu. In Hoan
tak berdaya ia menjerit keras sekali. Tubuhnya terpental dari
mulutnya keluar darah segar, la mati seketika. Tiong Teng
mengawasi tubuh ln Hoan ini.
"Biarlah sejak saat ini tak ada yang tahu rahasia yang bisa
merusak keberuntungan orang lain itu!" gerutu Tiong Teng.
ln Kiam heran menyaksikan tindakan puteranya itu.
"Apa katamu. Tiong Teng?" tanya sang ayah.
Tiong Teng menghela nafas panjang.
"Aku mengatakan roh Paman To di alam baka akan
tenang...." kata Tiong Teng.
ln Kiam heran tetapi tak lama air matanya mengalir dari
pipinya. Tiang Keng pun ikut menangis.
Un Kin melongo keheranan, la awasi Siauw Kin dan Siauw
Keng. keduanya juga sedang menangisi Un Jie Giok. Un Kin
pun akhirnya tak dapat menahan gejolak hatinya, ia pun ikut
menangis. "Aneh?" kata Tiong Teng. "Mengapa kau juga menangis?"
Tetapi tangisan itu tangis suci murni sejernih mutiara...
Saat Tiang Keng menangis ia merasakan bahunya ada sang
meraba dan sehelai sapu tangan telah disesapkan ke
tangannya, maka ia bisa menepis air matanya.
Tatkala Tiang Keng menoleh sinar matanya beradu dengan
sinar mata Un Kin yang jernih, ia sedang mengawasi dengan
tajam. Sedang sang fajar di luar sudah menampakkan cahayanya
karena sang malam telah berganti dengan siang....
TAMAT Pangeran Perkasa 6 Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 11
"Benar." jawab si nona. "Ayo kejar dia!"
Keduanya langsung mengejar lagi.
Setelah serangannya gagal orang berpakaian serba hitam
itu yang dikenali Un Kin sebagai Kiauw Cian lari kembali. Di
depan mereka ada hutan lebat, ke sanalah Kiauw Cian kabur.
Melihat ada hutan lebat Tiang Keng penasaran. Karena jika
Kiauw Cian berhasil mencapai rimba itu. berarti ia lolos dari
kejaran mereka. Dengan cepat Tiang Keng menjejak tanah
dan melompat dengan cepat. Saat Tiang Keng melompat
kedua tangannya dipentang. mirip sayap burung yang akan
terbang. Tiang Keng pun berakrobat, kepala di bawah dan
kakinya berada di atas. Begitu cepat lompatan Tiang Keng ini
hingga ia berhasil mengejar lawan dan langsung menyerang
dengan tangannya. Kiauw Cian kaget dan ketakutan, la buru-buru menjatuhkan
diri dan bergulingan di tanah. Dia berguling masuk ke dalam
hutan. Karena berhasil masuk hutan hati Kiauw Cian agak lega
sedikit. Ia yakin di dalam hutan ia bakal selamat.
Betapa kagetnya Kiauw Cian saat ia mendengar bentakan
keras dari Tiang Keng. "Mau lari ke mana. Kau?" kata Tiang Keng.
Saat ia mengawasi ke depan, ia jadi lemas karena Tiang
Keng ada di depannya. Dia kaget setengah mati. buru-buru ia
bergulingan seperti tadi untuk menghindari lawannya itu.
Ilmu bergulingan yang digunakan oleh Kiauw Cian bernama
Ciu-tee-sip-pat-kun (Bergulingan delapan belas kali). Ilmu ini
adalah ilmu silat yang sangat biasa digunakan oleh kaum Kang
Ouw golongan rendah yaitu untuk menyelamatkan diri dengan
tak menghiraukan martabat atau wibawanya. Tubuh Kiauw
Cian kurus, ia bisa bergerak dengan cepat. Tapi lagi-lagi ia
mendengar bentakan Tiang Keng.
"Kau mau lari ke mana?" kata suara itu. Suara itu terdengar
di samping Kiauw Cian. Itu adalah suara halus dari seorang
perempuan. Tentu saja Kiauw Cian bertambah kaget dan
ketakutan, la sadar itu suara Un Kin. murid Ang-ie Nio-nio Un
Jie Giok. Walau ketakutan tetapi ia tak mau menyerah. Ia sudah
tahu apa jadinya jika tertangkap. Setelah dihadang dari
berbagai arah. ia panik akhirnya jadi nekat. Tiba-tiba
tangannya terayun, dari tangan itu tersebar belasan sinar
hitam mengkilat. Un Kin yang diserang tertawa dingin. "Ini yang namanya
temberang di depan kawan sendiri!" kata si nona sambil
tersenyum. Un Kin mengibaskan lengan bajunya dan ia berhasil
merontokkan senjata rahasia lawan. Kiauw Cian melompat ke
samping. Lagi-lagi ia akan masuk ke dalam hutan lebih dalam
lagi. Tapi.... Kiauw Cian mendengar bentakan dari belakang dan tak
lama ia rasakan pinggangnya ngilu dan lemas. Dengan tak
berdaya ia jatuh duduk di tanah. Tiang Keng menggapai ke
arah Un Kin. "Kau jaga jahanam ini. aku akan memeriksa ke sana" kata
Tiang Keng. Tiang Keng berlari kencang ke arah barisan peti mati yang
ada di tepi jalan. Tepat Tiang Keng tiba. dari peti mati itu
bermunculan orang-orang berpakaian serba hitam.
"Berhenti!" teriak Tiang Keng ke arah orang berpakaian
serba hitam itu. Tiang Keng melompat dengan tipu silat Cian-liong-sengthian
(Naga Melompat ke langit), la melompat sebanyak tiga
kali secara beruntun. Orang berpakaian serba hitam itu kaget, mereka berdiri
diam. Mereka lihat Tiang Keng melompat bagaikan terbang di
depan mereka. Saat Tiang Keng mengayunkan tangannya ke
arah peti mati itu. peti itu hancur berantakan.
"Siapa yang berani lari" Dua peti mati itu contohnya!" kata
Tiang Keng mengancam. Orang-orang itu kaget ketakutan.
"Kalian semua berkumpul jadi satu!" perintah Tiang Keng.
Setelah saling mengawasi sejenak mereka menurut dan
berkumpul mengikuti perintah Tiang Keng. Tubuh mereka
hampir semua gemetar ketakutan. Tiang Keng tersenyum
sambil mengawasi mereka. Tak lama Un Kin datang bersama
tawanannya. Kiauw Cian. Tubuh tawanan itu ia lempar di
depan orang-orang berpakaian serba hitam itu.
"Tiang Keng." kata si nona. "Jahanam mi memang Kiauw
Cian. Aku tahu dia jahat, tapi tak kusangka dia akan sejahat
ini! Jelas ia ingin membasmi semua orang gagah yang datang
ke tempat ini. Jika kita bertemu dengannya di malam gelap,
kita bisa celaka di tangannya!"
Sesudah itu Un Kin berjalan ke salah satu peti mati. dari
dalam peti ia mengeluarkan bungkusan makanan kering dan
air minum. "Lihat ini!" kata si nona pada Tiang Keng.
"Hm!" Tiang Keng mengangguk.
"Sungguh luar biasa, serangan senjata rahasia mereka
cepat dan keras, entah darimana Kiauw Cian mendapatkan
orang-orang ini?" kata Un Kin.
Tak lama Un Kin membungkuk memungut sebuah benda
yang ia serahkan pada Tiang Keng. Anak muda ini memeriksa
benda itu dengan teliti. Benda itu kecil berduri, cagaknya
tajam sekali, la langsung mengenali benda itu seperti benda
yang ia lihat di kota Lim-an. Tiang Keng mengerutkan alisnya.
"Tidak mustahil inipun perangkap Un Jie Giok." kata Tiang
Keng. Un Kin mengangguk, ia berduka.
"Ini jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam dan orang lain tak
memiliki serta tak akan mampu menggunakannya." kata Un
Kin. "Kecuali aku. Siauw Tin dan Siauw Keng. tak ada orang
lain lagi. Membuat jarum ini tidak mudah....."
Setelah diam sejenak, tiba-tiba Un Kin melompat ke arah
belakang Kiauw Cian. Dia tendang punggungnya dengan
keras. Ditendang demikian Kiauw Cian yang tubuhnya kurus
kecil itu bergulingan tiga langkah. Dari mulurnya menyembur
ludah kental. Sesudah bergulingan ia duduk dengan mata
tajam mengawasi ke sekitarnya, lalu batuk satu kali dan
kepalanya tunduk. Sekarang ia sadar ia telah tertawan musuh,
tapi otaknya tetap bekerja keras....
"Aku tanya kau. jawab dengan jelas!" kata Un Kin dingin.
Kiauw Cian mengusap dahinya, ia diam saja. Seolah ia tak
mendengar pertanyaan nona Un. Tiang Keng awasi orang itu.
Dia lihat wajah Kiauw Cian kurus dan perok (keriput), tulang
pipinya menonjol. Mukanya seperti tak berdaging, maka Tiang
Keng yakin orang ini licik dan pandai bicara. Tiang Keng benci
sekali, alisnya berkerut.
"Dia licik, jika ia menjawab pertanyaanmu aku tak yakin
jawabannya benar dan bisa dipercaya!" kata Tiang Keng pada
Un Kin. Un Kin tertawa dingin sambil berkata. "Aku pernah bertemu
orang yang sepuluh kali lebih licin dari dia. jika aku tak
mampu membuat dia bicara, hm! Tiang Keng. tahukah kau
bagaimana cara menghadapi orang seperti dia?"
Tiang Keng mengawasi si nona. ia lihat matanya berkedip.
"Baik. akan kutanya dia!" kata Un Kin. "Jika dia diam saja
akan kupotong sebuah jari tangannya! Begitu seterusnya,
setiap kali ia tak menjawab, maka jarinya akan kupotong
sebuah, sampai semua jarinya itu habis! Aku tak yakin ia
benar-benar tangguh sekali. Sesudah jari tangannya habis,
kedua telinganya akan mendapat bagian, baru hidungnya! Jika
tetap tak menjawab, akan kutarik lidahnya, baru kemudian
kukorek kedua biji matanya. Apa kau masih yakin dia tak mau
bicara" Suara Un Kin perlahan, namun kata-katanya menusuk di
telinga Kiauw Cian. la berpikir siksaan itu sungguh hebat.
Kiauw Cian masih duduk diam. Tapi dari dahinya sekarang
mengucur keringat dingin. Un Kin mengawasinya, ia tertawa
dingin. "Kau tak percaya. Tiang Keng?" kata Un Kin pada si anak
muda. "Baik akan kutunjukkan padamu!"
Sesudah berkata begitu Un Kin menghampiri Kiauw Cian. Ia
berhenti tepat di depan orang she Kiauw itu. Tak sampai Un
Kin bertanya. Kiauw Cian sudah langsung bicara.
"Apa yang akan kau tanyakan. Nona?" katanya.
Un Kin tertawa, ia melirik ke arah Tiang Keng.
"Lihat," kata Un Kin. "Bukankah dia ini sangat cerdik?"
Diam-diam Tiang Keng menghela nafas. "Ya. memang
selalu ada caranya untuk mengatur orang jahat. " pikir Tiang
Keng. Ternyata kata-kata Un Kin yang perlahan itu berpengaruh
besar sekali tehadap Kiauw Cian. Dia ngeri jika sampai jari
tangannya satu persatu dipotong oleh si nona. kemudian
menyusul anggota tubuhnya yang lain.
"Pertama-tama aku ingin tahu. dari-mana kau peroleh
jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam ini?" kata Un Kin.
Kiauw Cian membuka matanya.
"Jika kujelaskan semua itu. akan kau apakan aku?" tanya
Kiauw Cian. Alis Un Kin bergerak, suaranya dingin. "Jika kau bicara
jujur," kata si nona. "Aku hanya akan memusnahkan ilmu
silatmu dan akan ku izinkan kau pergi! Ini kulakukan agar
kelak kau tak berbuat jahat lagi!"
Kiauw Cian kaget, keringatnya mengucur deras, ia
menunduk lesu. Tiang Keng mengawasinya, otaknya bekerja.
"Jika ilmu silatku dihilangkan, aku akan lebih memilih mati!
Aku rasa dia akan memilih lebih baik mati daripada bicara..."
Baru berpikir sampai di situ. tiba-tiba Tiang Keng
mendengar suara Kiauw Cian yang nadanya sedih sekali.
"Jika kukatakan semua dan seandainya Nona memberi
ampun padaku pun. aku khawatir....."
Sebelum meneruskan kata-katanya ia melirik ke arah
orang-orang berpakaian serba hitam. Kemudian Kiauw Cian
melanjutkan kata-kaanya. "Sebelum aku sampai di rumah. Pasti tubuhku sudah habis
dicincang!" kata Kiauw Cian.
Mendengar kata-kata itu Un Kin heran juga.
"Lalu apa maumu?" tanya si nona.
Kiauw Cian menunduk. "Aku minta agar ilmu meringankan tubuhku jangan dihabisi,
agar aku bisa tetap hidup..." kata Kiauw Cian sambil menghela nafas
panjang. 0oo0 BAB 46. RAHASIA PEMBUNUHAN DI KOTA LIM-AN
TERBONGKAR Mendengar kata-kata Kiauw Cian, Tiang Keng tersenyum.
Ia heran dan tak mengira sama sekali ada orang seperti Kiauw
Cian. "Tak kusangka dia begitu sayang pada jiwanya, dan tak
menghiraukan nama baik maupun derajat, kepercayaan dan
kemerdekaannya. Bukankah setiap orang tak akan lolos dari
kema-tian" Sungguh luar biasa jika setiap orang gagah saat
mati meninggalkan nama harum...." pikir Tiang Keng.
Entah mengapa Tiang Keng jadi tak mau melihat muka
Kiauw Cian. "Hm! Enak saja kau bicara." kata Un Kin. "Kau berani
tawar-menawar denganku, sesuai kesalahanmu masih bagus
jika kau diberi ampun, sepantasnya kau dibinasakan!"
Di antara orang berpakaian hitam itu ada seorang yang
melangkah maju. Melihat hal itu Un Kin mengerutkan alis.
"Kau siapa" Mau apa kau?" kata Un Kin.
Sesudah maju beberapa langkah lagi ia memberi hormat
pada Un Kin. "Namaku Tong Gie. aku murid tingkat tiga dari keluarga
Tong dari tanah Siok...." kata orang itu.
Un Kin sedikit kaget, ia sadar dan berpikir. "Pantas mereka
lihay-lihay sekali, kiranya mereka murid keluarga Tong yang
terkenal dari tanah Siok."
Tong Gie kembali memberi hormat. "Jika Nona ingin
menanyakan sesuatu, tanyakan saja padaku, aku akan
menjawabnya dengan jujur." kata Tong Gie. "Tetapi kumohon
Nona mengizinkan aku membawa pulang orang she Kiauw ini
ke tanah Siok...." Tiang Keng ikut bicara. "Silakan kau bicara!"
Kembali orang she Tong itu memberi hormat. "Sebenarnya
Kiauw Cian tak punya hubungan erat dengan keluarga Tong.
Beberapa bulan yang lalu. tiba-tiba ia datang ke rumah kami.
Ia membawa sehelai kertas yang ia katakan gambar rahasia.
Dia bilang gambar itu ia peroleh dari Ang-ie Nio-nio. Itu
gambar cara membuat jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam. Ketika
itu ketua kami tak ada di tempat, dia disambut oleh Su-siokcouw
kami yang ketiga..... "Bukankah Su-siok-couw itu yang bergelar Sam-ciu Twiehun
Tong To?" kata Un Kin.
Tong Gie mengiyakan sambil mengangguk. "Su-siok-couw
jarang mengembara, tak heran jika ia bisa dikelabuhi oleh
orang ini." kata Tong Gie melanjutkan. "Gambar itu lalu dikirim
ke bengkel senjata kami di Cit-leng-ciang. Senjata itu akan
dibuat dalam waktu 50 hari. sedang jumlahnya 3000 batang.
Murid-murid tingkat tiga bekerja keras membuat senjata itu
siang dan malam. Baru 45 hari. kami berhasil menyelesaikan
seluruh pesanan itu...."
"Apa mungkin semua senjata itu buatan kalian?" sela Tiang
Keng. Ditanya demikian Tong Gie berpikir. "Tampaknya ia lihay
sekali, tapi pengetahuan dan pengalamanya cetek sekali.
Tentu saja senjata itu buatan keluarga Tong. bahkan kaum
Rimba Persilatan (Bu-lim) mengetahuinya dengan baik.
Mengapa dia malah bertanya begitu?"
Tapi Tong Gie tetap berdiri sambil menjawab pertanyaan
itu "Benar, sudah ratusan tahun bengkel Cit-leng-cian adalah
bengkel yang membuat senjata rahasia keluarga kami. Dan
kali ini yang pertama kami membuatkan senjata rahasia
pesanan orang lain. Setelah selesai pesanan akan kami
serahkan ke Thian-bak-san. Kemudian Kiauw Cian bicara
dengan manis pada ketua kami.Namun... "
Sebelum kata-katanya selesai Tiang Keng memotong
bicaranya. "Siapa ketuamu itu?" kata Tiang Keng.
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tong Gie melengak. kali ini kelihatan ia kurang senang.
Siok Tiong Tong Bun atau Keluarga Tong dari tanah Siok. SuKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
coan ini terkenal di seluruh Tiongkok. Mereka itu dikenal
sebagai Tong Bun Sam Kiat atau Tiga Jago She Tong. Tong
Gie merasa aneh kalau Tiang Keng tak pernah mendengar nama mereka itu.
hingga Tong Gie mengira Tiang Keng hendak menghina
keluarganya itu. la melirik ke arah Tiang Keng dan memberi
hormat seperti biasa, tak kelihatan kalau ia tak puas.
"Ketua kami disebut. " Sebelum Tong Gie selesai bicara, ia
telah dipotong oleh Un Kin.
"Dia adalah Tek-seng Sia-goat Bu-tek-sin Tong Hui!" kata
Un Kin. Tong Gie tersenyum ia memberi hormat kepada Un Kin.
"Setelah ketua kami mendengar ocehan orang she Kiauw.
ketua kami mengurung diri selama tiga hari di kamarnya.
Sesudah itu ia titahkan kami murid dari tingkat tiga sebanyak
70 murid dan aku bersama tujuh paman kami pergi ke Thianbak-
san. Tujuan kami ingin mendapatkan pedang dan obat
seperti yang dikatakan orang she Kiauw itu.. " kata Tong Gie.
Un Kin tersenyum. "Kekayaan Siok Tiong Tong Bun mirip
dengan negara, aku yakin mereka tak butuh harta-benda."
kata Un Kin. Tiang Keng heran, la kira Un Kin sangat menghargai
Keluarga Tong dari Su-coan ini. Nama besar keluarga ini
sudah terkenal tak kalah dari kaum Siauw -lim-pay maupun
Bu-tong-pay. Sekali pun memang benar banyak murid dari
keluarga ini yang menyeleweng dan jahat, namun keluarga ini
tetap terhormat dan dihargai oleh kaum Rimba Persilatan.
Un Kin kemudian berkata lagi. "Nama Tong Tay-hiap
terkenal hingga disebut si Muka Besi. Sungguh heran
mengapa ia mau mendengar kata-kata orang she Kiauw ini.
Apa itu tidak aneh?" kata Un Kin.
Wajah Tong Gie berubah merah.
"Mengenai sikap ketua kami. aku sendiri tak tahu." kata
Tong Gie. "Setahuku memang ada maksud lain dari ketua
kami, konon sepulang dari Thian-san ketua kami bermusuhan
entah dengan siapa, sehingga ia membutuhkan pedang
istimewa dan obat mujarab itu..."
Tong Gie diam sebentar lalu melanjutkan. "Tapi kumohon
pada Nona agar rahasia ini jangan sampai tersiar keluaran,
sebab jika orang tahu aku yang menceritakan rahasia ini.
maka bagianku adalah mati! Aku girang jika Nona bersedia
merahasiakannya....."
kata Tong Gie. Un Kin tertawa. "Jadi maksudmu ingin membawa orang she
Kiauw untuk kau serahkan pada ketuamu" Atau ada maksud
lain?" Tong Gie menahan geram. "Setiba kami di sini. " kata dia dengan sengit. "Dari
mulutnya yang manis, dia minta agar kami membujuk tujuh
orang paman kami serta meminta bantuan bibi-bibi kami di
kota Lim-an untuk mengirimkan undangan ke Ang Kin Hwee
dan Koay Too Hwee. Lalu kami diminta membuat mereka
bingung dan ketakutan, dan malamnya dua perkumpulan itu
ditumpas habis. Dia minta kami bersembunyi di rumah-rumah
tepi jalan dan menyerang mereka dengan jarum beracun milik
kami!" Mendengar kata-kata itu Tiang Keng kaget.
"Jadi inipun perbuatan dia." kata Tiang Keng.
Un Kin tersenyum sejenak, lalu menghela nafas.
"Tak dikira masalah begitu berbelit-belit. " kata Tiang Keng.
"Semula aku kira.... Hai kau mau lari ke mana?"
Begitu Tiang Keng berteriak ia melompat mengejar Kiauw
Cian. Orang ini sejak tadi diam saja. tiba-tiba ia bergulingan
lalu melompat bangun dan kabur.
Un Kin pun ikut melompat, saat kakinya menginjak tanah
kembali ia melompat, kali ini tangannya terayun dan tiga
batang senjata rahasia menyambar, kemudian disusul jeritan
mengerikan dari Kiauw Cian. Dia roboh ke tanah lalu
bergulingan dan diam tak berkutik.
Tiang Keng pun segera sampai di tempat itu."Dia sudah
mampus!" kata Tiang Keng.
Un Kin tersenyum. "Dia mati dengan cara begini sungguh terlalu enak
baginya." kata Un Kin.
Un Kin menyambar tangan Kiauw Cian yang ia seret dan ia
lemparkan ke hadapan Tong Gie.
Tong Gie menghampirinya, ia lihat tubuh Kiauw Cian tidak
bergerak seolah mati. Ketika diperiksa ia terserang jalan darah
cie-tong. di tempat itu menancap jarum Bu-eng-sin-ciam hanya
tak dalam. Jelas akibatnya tak sampai merampas jiwa
orang itu. Tong Gie melirik ke arah Un Kin. Sebagai seorang
ahli senjata rahasia ia kagum pada Un Kin yang mahir melepas
senjata rahasia itu. Setelah diam sejenak Tong Gie berkata
terus terang. "Saat kami menyerang anggota perkumpulan Ang Kin Hwee
dan Koay Too Hwee. kami heran mengapa jarum-jarum kami
bisa luput dari sasaran. Sekarang kami menyaksikan Nona
demikian pandai menggunakan senjata rahasia itu. Kalau
begitu orang yang menggagalkan serangan kami hingga Ang
Kin Hwee maupun orang Koay To Hwee banyak yang selamat
ialah Nona sendiri!" kata Tong Gie.
"Ketika itu aku juga heran, aku mengira itu senjata rahasia
Bwee-hoa-ciam atau Tiat-kie-lee yang lihay. dan perbuatan
Ban Biauw Cin-kun In Hoan atau Hoa-long Pit Ngo. Karena itu
aku berniat menyelidiknya....." kata Un Kin sambil melirik ke
arah Tiang Keng. Kemudian dia melanjutkan. "Tapi ketika itu
aku dikejar olehmu, hingga aku gagal melakukan penyelidikan.
Sama-sekali tak kuduga ternyata serangan itu dilakukan oleh
pihak Keluarga Tong dan tak mengira mereka menggunakan
Bu-eng-sin-ciam... "
Tiang Keng terperanjat ia baru sadar. "Pantas Un Kin
pernah bilang, kalau ia melepas senjata rahasianya untuk
menolong orang." pikir Tiang Keng. "Ternyata dia tak
bersalah. Hampir aku salah duga. ah dunia Kang-ouw memang
sungguh berbahaya!" Ia melirik ke arah Un Kin sambil tersenyum dengan wajah
merasa bersalah dan minta maaf dari si nona. Un Kin tertawa
sambil menunduk, kelihatan ia sangat puas.
"Tak kusangka orang she Kiauw ini jahat sekali!" kata Tiang
Keng. "Bukankah dia tak bermusuhan dengan orang Ang Kin
Hwee dan Koay Too Hwee. mengapa ia tega turun tangan
demikian jahat0!" "Pasti jahanam ini punya maksud maka ia berbuat
demikian." kata Tong Gie. "Pertama ia ingin mengacau orangorang
Dunia Persilatan, setelah kacau dia akan menggunakan
kesempatan itu untuk memungut hasilnya. Kedua ia ingin
menimpakan bencana kepada Ang-ie Nio-nio. supaya kaum
Rimba Persilatan mengira kejahatan itu perbuatan Ang-ie Nionio.
Ketiga, ia memang bermusuhan dengan Koay -to Teng Cit
dan tiga jago Ang Kin Hwee. Dengan cara itu sekaligus ia ingin
melampiaskan dendamnya. Keempat ia dengan senga-ja
melibatkan kami. agar bermusuhan dengan kaum Rimba
Persilatan (Kaum Bu-lim Eng-hiong). Jika dia buka rahasia,
bukan tak mung-kin golongan Ang Kin Hwee dan Koay Too
Hwee akan datang ke Su-coan untuk mencari kami dan
membalas dendam. Kelima, ia ingin agar pihak-pihak lain
lemah sedang pihaknya jadi kuat! Keenam, aku dengar ia
berniat membangun partai baru. maka jika ia berhasil
memusnahkan partai-partai lain. maka ia akan bisa berdiri
kokoh. Nona. dia jahat luar biasa! Dia tak perlu diberi ampun.
Aku sudah mengetahui rahasianya, kami sangat benci
padanya, tetapi aneh paman-paman kami percaya kepadanya.
Aku benci tapi bukan aku saja. saudaraku yang lain juga.
Maka itu aku ingin membawa dia ke Su-coan agar kami bisa
menyerahkan dia pada ketua kami. Sekarang setelah Nona
tangkap, dia akan buka rahasia. Tapi kami tahu pasti dia akan
membusukkan nama kami agar Nona memusuhi kami. Maka
itu kubeberkan rahasianya itu pada Nona. Dia jahat dan
pantas menerima hukuman!"
Tong Gie melengak dan menghela nafas. "Aku menyesal
telah membuka rahasia.'" kata Tong Gie. "'Aku buka rahasia
karena ingin melindungi keluarga kami. Tetapi..."Ia tak
meneruskan kata-katanya. Tiang Keng mengerutkan alis.
"Di mana ketujuh paman gurumu itu. mengapa mereka tak
ada di sini?" kata Tiang Keng.
"Jelas ini termasuk perbuatan licik si jahanam ini." kata
Tong Gie. "Pada malam itu dia ajak kami ke mari. disuruhnya
kami bersembunyi di dalam peti mati. Tetapi paman-paman
guru kami ia ajak menemui tamu-tamu lain. Konon katanya
agar besok mereka bisa menghadiri pertemuan di Thian-baksan.
Pada saat pertemuan besar itu berakhir, pasti semua
orang akan lewat di jalan ini. Kami disuruh menyerang mereka
secara serentak. Ketujuh paman guru kami itu diminta
membantu si jahanam agar bisa bekerja-sama."
Tiang Keng kaget dan berkeringat dingin. "Jika mereka
berhasil membokong pada waktu malam, akibatnya sungguh
hebat sekali!" pikir Tiang Keng. "'Oh, jahatnya orang ini. Dia
ingin membasmi semua jago silat di kalangan Kang-ouw
dengan sekali gebrak saja. Syukurlah rencananya gagal dan
tak kukira kedatanganku ke mari kebetulan sekali hingga kami
bisa menumpas kejahatannya!"
Saat itu Tiang Keng melirik ke arah Un Kin. diam-diam
sekarang timbul rasa saling mengerti di antara mereka..
0oo0 BAB 47. TIANG KENG DAN UN KIN BERTEMU DUA MURID
IN HOAN Dengan bantuan sinar matahari Tiang Keng langsung
melihat jelas. Rambut kedua orang itu kusut. Pakaiannya yang
berwarna kuning melambai-lambai tertiup angin dan acakacakan.
Tiang Keng mengenali mereka adalah Tiat Tat Jin dan
Cio Peng. dua orang murid Ban Biauw Cin-kun. Mereka tak
menghiraukan Tiang Keng tapi langsung menghampiri Un Kin.
Un Kin mengawasinya dengan tajam.
"Sudah beres?" tanya Un Kin dengan suara tawar.
"Sudah." sahut keduanya bersamaan, dada mereka
kelihatan naik turun "Apa yang beres?" tanya Un Km
Dua orang itu kaget, mereka saling mengawasi, mulut
mereka terbuka, mata mereka mendelong.
"Aku.. Aku. " kata Tat Jin. tampaknya ia sulit bicara, la
batuk sekali. '"la sudah. Sudah.. " kata Cio Peng.
Kiranya Cio Peng pun sulit bicara. Mereka berdua ini orangorang
licik dan ganas, namun mereka masih sulit untuk bicara
terus terang bahwa mereka telah membunuh gurunya sendiri.
Un Kin tertawa dingin, ia memutar tubuh dan tak
menghiraukan kedua orang itu. "Tiang Keng. mari!" kata si
nona. "Nona Un." tiba-tiba salah seorang dari kedua orang itu
bicara. Mereka melompat ke sisi Nona Un Kin. "Nona. tunggu
sebentar!" Un Kin menghadapi mereka dengan sikap gagah. "Kita tak
saling kenal, mengapa kau terus mengacau di sini?"' kata Un
Kin. "Apa kau sudah bosan hidup.!"
Un Kin masih terpengaruh didikan Un JieGok. maka itu
suaranya kasar dan bengis.
Tiang Keng memperhatikan kedua orang itu. wajah mereka
berkeringat Menyaksikan hal itu Tiang Keng jadi tak tega.
"Kalian mau apa" Apa kalian mau mencari Un Jie Giok agar
bebas dari Cit Ciat Tiong Ciu?" tanya Tiang Keng.
Kedua orang itu mengawasi Tiang Keng.
"Benar!" jawab mereka hampir bersamaan. "Jika Tuan
bersedia memberi tahu. budi Tuan tak akan kami lupakan!"
Mendapat jawaban itu Tiang Keng mengawasi keduanya
sebentar. Lalu ia menoleh ke lain arah dan berkata.
"Sekarang kami pun tak tahu. di mana Un Jie Giok
berada..." Mendengar jawaban itu Tiat Tat Jin dan Cio Peng jadi
pucat, mata mereka menunjukkan sinar memohon, dengan
tangan gemetar mereka menyeka keringatnya.
"Tuan tak tahu. tapi barang kali Nona Un tahu..." kata Cio
Peng. Alis Un Kin berkerut dan matanya bercahaya.
"Andai kata aku tahupun. aku tak akan memberitahu
kalian." kata Un Kin. "Orang seperti kalian berkurang satu dua
orang semakin baik! Tiang Keng mari kita pergi!"
Sesudah itu ia membalikkan tubuhnya mengajak Tiang
Keng pergi. Tiang Keng menarik nafas, saat ia memperhatikan
kedua orang itu ia lihat mereka berdiri diam. tangan mereka
turun dan dikepal-kepalkan. Rupanya mereka menyesal,
gemas dan ketakutan. Tiba-tiba mereka melompat ke depan
akan menghadang Un Kin dan Tiang Keng.
"Nona Un." kata Tiat Jin. Ia pegang ujung baju Cio Peng.
"Sekalipun kami hina dan busuk, tapi semua kami lakukan atas
perintah guru kami. Kita tidak bermusuhan masakan Nona
tega membiarkan kami berdua..."
Kata-kata Cio Peng gemetar, romannya menunjukkan
mereka sangat memohon bantuan. Mereka berlutut sambil
menangis tanpa malu-malu. Tiang Keng jemu tapi ia pun jadi
tak tega. "Hanya begini harga sebuah jiwa?" kata Tiang Keng.
Kedua orang itu melongo. "Jiwa memang berharga." kata Tiang Keng lagi. "Tapi
kalian berdua seharusnya sadar bahwa di dunia bukan tak ada
yang tak bisa diatasi. Kalian ini laki-laki. mengapa sekarang
sikap kalian jadi begini?"
Tiat Jin melengak kemudian menunduk. "Kami tahu." kata
Tiat Jin. "Tapi kami masih muda dan terpaksa kami
menyayangi jiwa kami..."
"Umur Tuan hampir sama dengan umur kami berdua, jika
Tuan mengalami hal yang kami alami, kami kuatir... " Cio Peng
menunduk dan batuk-batuk, ia tak meneruskan kata-katanya.
Alis Tiang Keng rapat satu sama lain. "Kita mendambakan
hidup dan nama. jika tak bisa meraih keduanya, salah satu
harus diraih. Dan nama baik kurasa lebih penting!" kata Tiang
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keng. Sesudah itu Tiang Keng ingat kedua pemuda itu dididik
sejak masih kecil oleh In Hoan. tak heran jika mereka
ketularan adat gurunya. Maka benar pepatah yang
mengatakan : Sifat manusia asalnya suci. tapi jika tidak dididik
dengan baik. maka sifat itu bisa berubah. Jadi tak semestinya
mereka disalahkan. Tiang Keng menghela nafas lalu
menambahkan kata-katanya.
"Sebenarnya aku dan Nona Un tidak tahu di mana Un Jie
Giok sekarang. Tapi katanya nanti malam ia akan menemui
kami di kuil yang tadi malam. Jika kalian mau kalian boleh
datang ke sana.." "Sebenarnya melihat kelakuan mereka, sebaiknya mereka
dibiarkan mati saja." kata Un Kin sambil tertawa.
Tiang Keng batuk-batuk ia mau bicara tapi tak jadi. la
lambaikan tangannya pada kedua orang itu. "Apa kalian masih
tak mau segera pergi?" ujarnya.
Tiat Tat Jin dan Cio Peng mengawasi ke arah Un Kin. wajah
mereka kelihatan penasaran dan benci sekali pada Un Kin.
Keduanya lalu berpaling ke arah Tiang Keng dan memberi
hormat. "Gunung biru tak berobah. air selalu mengalir!" kata Tiat
Jin. "Sampai bertemu lagi!" Mereka melompat dan pergi.
Un Kin mengawasi kedua orang itu dengan sikap sebal.
"Sepatutnya mereka berdua dibunuh saja. itu lebih baik!" kata
Un Kin. "Semula sifat mereka baik. tapi lingkunganlah yang
membuatnya berubah, lak ada orang yang ingin jadi penjahat.
Alangkah lebih baiknya jika kita bisa mengubah sifat jahat
mereka dibanding membunuhnya! Adik. Kin. sebagai manusia
kita harus welas asih. Kumohon lain kali kau jangan berkata
begitu lagi!" kata Tiang Keng.
Wajah Un Kin berubah merah ia menunduk, la angkuh,
belum pernah ada orang yang berani menegurnya, namun
ketika Tiang Keng memohon padanya dan menasihatinya, ia
tak membantahnya. Angin gunung meniup rambut si nona hingga jadi kusut. Di
lain saat ia merasakan ada tangan yang lembut meraba
rambutnya yang hitam. Hati si nona sedang kusut, namun
sekarang ia merasa lebih lega sedikit. Hatinya agak tenteram.
Lain halnya keadaan di kota Limau, sesudah kejadian yang
mengerikan itu. banyak hati penduduk Lim-an yang goncang
dan bimbang. Mereka juga sedang berpikir tentang pertemuan
di Thian-bak-san yang waktunya semakin dekat saja....
Pertemuan di Thian-bak-san ini mirip besi sembrani yang
bisa menarik perhatian orang banyak bagaikan sebuah tekateki
yang diharap-harap akan segera terbuka tabirnya. .
Orang-orang telah banyak yang berdatangan ke kota Liman.
mereka datang dari berbagai penjuru dengan bermacammacam
tujuan. Ada yang hanya sekadar ingin menonton, tak
sedikit yang ingin ambil bagian dalam pertandingan itu. Tak
heran kalau kota Lim-an saat itu jadi bertambah ramai saja. Di
samping orang yang hati-nya berdebar-debar tak sabar
menunggu tibanya pertemuan, ada juga orang-orang yang
bersenang-senang dengan nona-nona cantik di kota Lim-an.
Begitulah, pagi-pagi sekali bagaikan orang yang hendak
pergi ke pasar, mereka keluar rumah atau penginapan, lalu
berjalan secara rombongan. Berdua-dua atau bertiga bahkan
lebih, mereka berjalan menuju ke satu arah. Mereka sekarang
seperti sudah melupakan kejadian yang mengerikan itu.
Hari itu To-pie Sin-kiam In Kiam telah keluar dari kamar
penginapanny a. ia berjalan bersama puteranya dengan
langkah agak berat menuju ke warung teh langganannya. In
Kiam mengawasi ke sekitarnya, alisnya berkerut, la ingin
menghapus perasaan hatinya, la berjalan dengan diam seolah
tak mendengar sapaan orang kepadanya. Tiong Teng terpaksa
harus mewakili ayahnya menjawab sapaan mereka.
Tak lama tampak seorang perempuan yang rambutnya
kusut keluar dari sebuah gang. Ia berbedak tapi bedak di
pipinya itu telah pudar. Tangan kanannya memegangi
rambutnya dan tangan kirinya memegang ujung baju tangan
kanannya. Ia mengenakan sebuah bakiak bercat keemasan. Ia
berjalan cepat dan langsung masuk ke sebuah toko cita. Tapi
baru saja ia masuk tak lama ia sudah keluar lagi. ia berjalan
cepat sekali, la mengepit sekayu cita kembang di ketiaknya
Sekarang tampak jelas pada wajahnya tersungging sebuah
senyuman puas. la masuk ke gang dan hilang di sana seperti
ditelan bumi. Menyaksikan kelakuan perempuan itu In Kiam
menghela nafas. "Jika kelak kita sudah kembali ke Bu-ouw," kata sang ayah
pada Tiong Teng. ?"Kau temui Kwee Kay Tay (Kepala Polisi)
agar ia menertibkan cara hidup perempuan yang kita lihat
tadi!" Sambil ngintil di belakang ayahnya. Tiong Teng menjawab
dengan sabar. "'Baik, Ayah. akan kulakukan seperti
perintahmu itu!" "Semoga dia berhasil, paras elok yang digunakan secara
sesat sangat ber-bahaya.. .** kata In Kiam lagi.
Tak lama mereka telah sampai di warung teh dan jongos
menyambut kedatangan mereka. Di situ orang sudah ramai
dan suara mereka berisik sekali. Saat duduk santai In Kiam
berulang-ulang mendengar suara gaduh. Lalu ia memanggil
seorang pelayan yang segera menghampirinya.
"Kedengarannya ramai sekali, sedang apa mereka di
belakang?" kata In Kiam pada pelayan.
"Maaf Tuan. suara berisik itu bukan dari warung kami."
kata si pelayan tua. 'Tapi dari tetangga kami yang ada di
belakang warung ini!"
"Oh ya! Tapi apa yang mereka kerjakan sepagi ini?" tanya
In Kiam. Pelayan tua itu melihat ke sekitarnya, lalu berbisik pada In
Kiam. '"Tuan. itu bengkel kayu pembuat peti mati...." jawab
pelayan itu In Kiam kaget. "Biasanya bengkel itu sepi tak ada pembeli.'* bisik si
pelayan. "'Tapi akhir-akhir ini perusahaannya maju pesat
karena banyak pesanan peti mati. Karena banyaknya pesanan
maka mereka harus bekerja siang malam. Tak jauh dari situ
ada bengkel kayu pembuat alat rumah tangga, tapi karena
peti mati sedang laku mereka pun ikut membuat peti mati
juga! Aku pernah bertanya. "Apa peti mati mereka akan laku?"
Mereka menyahut dua tiga hari lagi pasti peti mati mereka
akan laris sekali. Keterlaluan mereka itu. apa mereka berharap
orang yang datang ke Lim-an ini supaya mati semua!"
"Hm!" In Kiam mengeluarkan suara dari hidung, la
memandang ke sekitarnya. Saat jongos melihat mata In Kiam
bersinar, ia jadi ketakutan Untung ada tamu baru hingga ia
bisa segera meninggalkan tamu tua ini....
0oo0 BAB 48. IN KIAM MENGHADANG ROMBONGAN KELUARGA
TONG DARI SIOK Suara para tukang kayu itu semakin riuh terdengar oleh In
Kiam. Karena gangguan suara berisik itu In Kiam jadi dongkol.
In Tiong Teng agak khawatir ayahnya naik darah, lalu ia ajak
ayahnya bicara untuk mengalihkan perhatiannya. Tapi tak
lama ln Kiam sadar pada keadaan luar biasa itu.
Warung minum itu merangkap jadi rumah makan. In Kiam
pun sudah memesan beberapa macam masakan. Tapi
keadaan riuh membuat selera makannya hilang. Ia kelihatan
kurang gembira. Saat In Kiam yang malas-malasan
menjemput sumpit, tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa. In
Kiam menoleh, ia lihat ada tiga orang tamu masuk ke dalam
rumah makan. Mereka berpakaian luar biasa, tubuh mereka
ada yang gemuk dan pendek, ada juga yang jangkung dan
kurus, ln Kiam sangat tertarik pada mereka.
Pakaian tamu-tamu itu seperti seragam, sama modelnya,
sama juga bahannya. Pakaian mereka berwarna dan berkilau
terkena sinar matahari. Pada pinggang mereka masing-masing
tersandang sebilah pedang, sarung pedang mereka bertabur
mutiara dan tampak indah sekali. Mereka berjalan masuk
dengan sikap angkuh. Ini sangat menarik perhatian semua
tamu yang ada di situ. Jongos yang bicara dengan lu Kiam tadi agak jerih, tapi
terpaksa ia harus menyambut ketiga tamu itu. Jelas tiga tamu
itu bukan saja aneh pakaiannya, tapi juga cara mereka bicara.
Kata-katanya sulit dimengerti. Setelah pesanan makanan
mereka siap. tampak ketiganya makan dengan lahap sekali.
Sikap mereka acuh tak acuh. tak menghiraukan tamu-tamu
yang lain. In Kiam sudah berpengalaman, telah banyak melakukan
pengembaraan. Bersama puteranya ia mengawasi ketiga tamu
itu. Bisakah ia menerka siapa mereka in. Tiba-tiba salah
seorang tamu itu berkata dengan nyaring. Tapi kata-katanya
sulit dimengerti hanya tertangkap sepotong-sepotong, ia
menyebut ilmu silat yang lihay. setan dan sebagainya.
Semua orang keheranan hanya In Kiam yang sedikit
mengerti, lalu berkata pada puteranya. "Mereka ini orangorang
Hay-lam (Hai-nan). Mereka bilans mereka telah bertemu
pemuda gagah, untung mereka tahu gelagat, jika tidak pasti
pedang mereka sudah terbang entah ke mana. Kelihatan
mereka ini lihay dan entah siapa pemuda yang gagah itu....."
Seorang temannya memperingatkan agar orang yang
bicara tutup mulut karena banyak orang.
"Apa maksudnya Ayah''" tanya Tiong Teng ingin tahu.
"Dia bilang di tempat ini banyak mata dan telinga, ia minta
agar kawannya tadi sedikit berhati-hati." kata In Kiam.
Tiong Teng mengangguk. Tak lama orang yang ketiga ikut
bicara, ia menyebut-nyebut nama Tiang Keng hingga In Kiam
kaget dan gembira saat mendengar bahwa pemuda gagah itu
To Tiang Keng. "Anakku, pemuda yang mereka temui itu ternyata Tiang
Keng." kata In Kiam pada puteranya. "Entah di mana dia
sekarang'.'" Tak lama orang pertama bicara lagi. tapi Tiong Teng tak
mengerti. Ia akan bertanya lagi pada ayahnya, tapi sang ayah
malah bangun dari kursinya. Setelah meletakkan uang perak
di meja. ia berkata pada puteranya.
"Mari kita pergi!" kata In Kiam. Mereka berdua berjalan
keluar dari rumah makan tersebut.
Sekalipun heran dan penasaran terpaksa Tiong Teng
mengikuti ayahnya pergi. In Kiam berjalan cepat. Di jalan raya
saat menemukan kereta lewat, mereka hentikan, lalu In Kiam
dan Tiong Teng naik .kereta itu. In Kiam meminta agar kusir
segera menjalankan keretanya.
"Mau ke mana Tuan?" tanya si kusir heran.
In Kiam menyelipkan uang perak ke tangan si kusir sambil
berkata. "Ke Thian-bak-san!"
Mendengar kata-kata ayahnya. Tiong Teng heran. Dia juga
melihat wajah ayahnya muram.
"Apa kata ketiga orang itu?" kata Tiong Teng. "Mengapa
kelihatannya Ayah cemas?"
In Kiam menghela nafas panjang. "Tiang Keng telah masuk
ke dalam sarang harimau." jawab ayahnya. "Siapa tahu ia
dalam bahaya! Ayahnya baik. aku berhutang budi kepadany a.
maka itu aku harus melindungi puteranya..."
Tiong Teng kaget dan heran, ia mengerutkan alisnya.
Kereta dilarikan dengan cepat, suara roda kereta serta
derap kaki kuda tedengar sangat riuh. Tiong Teng heran dan
bingung, tapi ia tak mau bertanya pada ayahnya. Karena kesal
ia memandang keluar kereta lewat jendela. Tiba-tiba Tiong
Teng berkata penuh keheranan.
"Pada siang hari bolong begini, mengapa banyak orang
yang biasa berjalan malam berkeliaran di tempat ini?" kata
Tiong Teng. Ketika itu In Kiam menyaksikan orang-orang berpakaian
serba hitam berjalan di tepi jalan, mulut mereka bungkam,
tapi wajah mereka aneh sekali.
"Pasti mereka anggota sebuah partai persilatan." pikir In
Kiam. Karena kereta dilarikan dengan cepat rombongan orang
berpakaian hitam itu sudah mereka lewati. Ketika di perhatian
di tengah rombongan orang berpakaian serba hitam itu.
tampak ada seorang yang rebah di atas sebuah gotongan.
Orang yang rebah itu kurus juga berpakaian hitam. In Kiam
memperhatikan orang yang rebah di atas gotongan, saat
muka orang itu terlihat jelas oleh In Kiam. jago tua itu kaget,
tanpa merasa ia berseru, "Kiauw Cian!"
In Kiam menyingkap tenda kereta dan melompat turun.
Melihat ayahnya lompat dari kereta yang sedang berjalan
Tiong Teng kaget. "Tahan!" kata Tiong Teng pada kusir kereta.
Sebelum kereta berhenti dengan sempurna. Tiong Teng
pun sudah melompat turun menyusul ayahnya.
ln Kiam berlari cepat menyusul orang yang sedang
menggotong Kiauw Cian. saat sudah dekat ia jambret salah
seorang dari orang berpakaian serba hitam itu.
"Hai. sahabat, kau mau apa?" tanya orang yang ditarik
bajunya itu. "Siapa sahabatmu?" bentak In Kiam dengan bengis.
Ia lihat Kiauw Cian yang ada di atas gotongan rebah tak
berdaya, wajahnya pucat sedang tubuhnya diam saja.
Sekalipun orang yang ditarik oleh In Kiam ini bertubuh
tinggi besar, namun ditarik secara mendadak ia kaget hingga
jatuh terlentang. Orang ini menjerit kaget, suaranya terdengar
oleh kawan-kawannya. Dalam sekejap rombongan ini berhenti,
semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka langsung
mengawasi ke arah In Kiam yang mereka tak kenal.
Orang yang jatuh itu buru-buru bangun, karena kesal ia
langsung menonjok ke arah In Kiam. tapi saat tangannya
menyerang, ia mendengar suara bentakan.
"Tikus! Beraninya kau!" bentak orang itu.
Tahu-tahu tubuh penyerang In Kiam itu merasakan
dadanya kesemutan, ia langsung kaku karena sebuah totokan.
Itulah serangan In Tiong Teng untuk menyelamatkan ayahnya
dari serangan lawan. Tapi dalam sekejap Tiong Keng sudah
langsung terkepung oleh orang-orang berpakaian serba hitam
itu. "Tiong Teng!" kata In Kiam. "Kau lihat bagaimana keadaan
Kiauw Cian Toa-ko!"
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah itu In Kiam mengawasi pada semua
pengepungma. "Kalian murid siapa?" kata ln Kiam dengan suara nyaring.
Puluhan orang berpakaian hitam itu kaget, telinga mereka
mendengung karena kerasnya teguran In Kiam itu. Namun
mereka tetap diam dan mengepung In Kiam dan Tiong Teng.
Dengan bengis In Kiam mengavv'asi orang-orang itu. Ia
tampak gagah. Sekali pun ia sudah mundur dari Dunia
Persilatan, namun ln Kiam tak lupa berlatih ilmu silat. Melihat
semua orang itu diam, In Kiam tertawa.
Tiba-tiba dari rombongan orang berpakaian serba hitam itu
muncul seorang yang maju ke depan.
"Kalian murid siapa?" tanya In Kiam lagi. "Apa kau tak
kenal padaku?" Tapi semua orang itu diam saja. hingga In Kiam berkata
lagi. "Bagaimana Kiauw Cian sampai terluka dan siapa yang
melukainya?" tanya In Kiam. "Ayo bicara atau hm!"
In Kiam diam sambil mengawasi dengan tajam. Ia pikir ia
bicara terlalu keras. Kelihatan orang-orang itu tidak takut pada In Kiam. Orang
yang tadi maju berdiri tegak, kemudian ia rangkapkan kedua
tangannya memberi hormat, lalu berkata dengan suara
nyaring. "Aku yang muda bernama Tong Gie." kata orang itu. "She
(marga) dan nama besar Loo-cian-pwee tak berani aku
menyebutkannya. Tapi aku ingin bertanya apa hubungan Loocian-
pwee dengan Kiauw Cian?"
Alis In Kiam berdiri. "Dia menganggap aku sahabat ayahnya," kata In Kiam.
"Maka aku pun menganggap dia keponakanku. Aku lihat dia
terluka parah.." Sebelum meneruskan kata-katanya ln Kiam melengak.
"Bagaimana kau tahu tentang diriku?" kata In Kiam.
"Nama ayah dan anak keluarga In sangat termasyur di Buouw."
kata Tong Gie menjelaskan. "Aku yang masih muda saat
melihat Loo-cian-pwee berdua, langsung mengenalinya!"
"Hm!" In Kiam memperdengarkan suara dari hidungnya.
"Kau murid siapa dan apa she dan namamu?" kata ln Kiam.
"Dasar orang tua..."' pikir Tong Gie. "Aku baru
menyebutkan namaku, dia sudah lupa lagi!"
Tapi Tong Gie dengan sikap hormat menjawab pertanyaan
ln Kiam. "Namaku Tong Gie. murid Keluarga Tong dari tanah Siok!"
kata Tong Gie merendah. In Kiam sedikit kaget dan heran.
"Kau dari Keluarga Tong. jadi kau murid dari Tong Sain
Hoan?" kata ln Kiam. "Tapi seperti yang kuketahui antara
Kiauw Cian dan pihak Keluarga Tong rasanya tidak ada
masalah. Kenapa ia terluka di tangan kalian?"
Tong Gie menunduk ia berpikir sejenak.
"Kami tahu Loo-cian-pwee seorang yang mulia dan jujur,
hingga menganggap orang lain pun seperti Loo-cian-pwee
juga. Tapi aku yang muda mohon maaf. dalam hal Kiauw Cian
rasanya Loo-cian-pwee kurang mengetahui tentang sifat dan
kelakuannya di luaran....."
Kelihatan In Kiam kurang senang, tapi ia menahan sabar.
"Teruskan.. " kata jago tua ini.
Tong Gie diam sejenak lalu meneruskan kata-katanya.
"Jika bukan Loo-cian-pwee yang bertanya, aku tak akan
bicara terus-terang." kata Tong Gie merendah. "Karena Loocian-
pwee yang bertanya, baiklah aku akan berterus terang..
Alis In Kiam bangun. "Apa \ang terjadi sebenarnya?" tanya
ln Kiam. "Sebenarnya ia bukan terluka oleh kami." kata Tong Gie
merendah. "Coba Loo-cian-pwee periksa sendiri lukanya, apa
mungkin aku bisa melukai dia dengan cara demikian?"
"Kalau begitu siapa yang melukainya?" tanya ln Kiam hilang
sabarnya. Tong Gie menarik nafas sambil menengadah ke langit. Saat
itu sudah tengah hari. sang surya sedang panas-panasnya.
"Orang itu bergelar Thay-yang Kun-cu!" kata Tong Gie.
In Kiam tercengang mendengar nama itu disebutkan.
"Thay-yang Kun-cu!" kata In Kiam mengulang ucapan Tong
Gie. "Apa benar ada orang yang bergelar demikian?"
Ia belum pernah mendengar nama itu tak heran ia jadi
tercengang bukan main. "Dia masih muda dan luar biasa." kata Tong Gie. "Hatinya
mulia, sungguh tepat gelarnya itu karena tak ada orang Rimba
Persilatan yang layak memakainya!"
"She apa dan siapa namanya?" kata In Kiam.
"Dia she To, namanya...." tapi sebelum kata-katanya
selesai In Kiam sudah menyelak.
"Tiang Keng!" kata In Kiam.
"Benar sekali. Loo-cian-pwee." kata Tong Gie. "Apa Loocian-
pwee kenal dengan dia?"
To-pie Sin-kiam ln Kiam melengak. dia tertawa terbahakbahak,
tampak ia girang bukan main.
"Thay-yang To Tiang Keng!" kata
ln Kiam sambil tertawa. 0oo0 BAB 49. IN KIAM DAN TIONG TENG TIBA DI THIAN-BAKSAN
Saat In Kiam sedang tertawa, terdengar Tiong Teng
berteriak. "Jarum Bu-eng Sin-ciam!" teriak ln Tiong Teng
kaget. Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng orangnya teliti, setelah
memeriksa luka Kiauw Cian ia menemukan jarum pada luka
itu. ketika itu jarum itu masih tertanam di tubuh Kiauw Cian.
maka ia cabut senjata rahasia itu. Dengan demikian ia yakin
bahwa itu senjata rahasia jarum Bu-eng Sin-ciam
In Kiam kaget ia berpaling ke arah puteranya.
"Jadi Kiauw Cian terluka oleh jarum Bu-eng Sin-ciam"!"
kata In Kiam. "Benar. Ayah!" kata Tiong Teng. Tiba-tiba In
Kiam melompat ke hadapan Tong Gie.
"Anak tak tahu diri kau berani mengelabuhi aku si orang
tua!" kata ln Kiam. Tong Gie sedikit pun tak gentar, ia membusungkan dada
dan maju. "Apa yang kukatakan benar semuanya jika aku berbohong
aku siap menerima dihukum!" kata Tong Gie.
"Tiang Keng putera sahabatku, aku kenal dia dan dia tak
punya Bu-eng Sinciam. Terlalu berani jika kau mau
membohongiku!" kata In Kiam.
"Kiauw Cian tertangkap oleh Tiang Keng. sedang luka yang
diderita oleh Kiauw Cian. perbuatan seorang nona yang ada di
sampingnya. Aku yang muda mana berani berbohong! Harap
Loo-cian-pwee jangan menyalahkan aku!"
In Kiam diam. "Aneh!" kata In Kiam. '"ada seorang nona di samping Tiang
Keng" Siapa dia" Apa she dan siapa namanya" Bagaimana
rupanya?" Begitu In Kiam secara beruntun bertanya pada Tong Gie.
Tong Gie memberi hormat. "Nona itu she Un." kata Tong Gie. karena ia sahabat To
Siauw-hiap. aku tak berani memperhatikan wajahnya, tapi
sekelebatan aku tahu nona itu cantik sekali dan
kepandaiannya lihay sekali."
in Kiam berpikir ia heran bukan kepalang.
"Coba kau ceritakan kejadiannya." kata ln Kiam.
Tong Gie tak menolak, ia mengisah kan semua yang ia
ketahui, juga tentang kejahatan Kiauw Cian, yaitu sejak si
Raja Copet datang ke Su-coan memsan senjata Bu-eng Sinciam.
sampai mereka diajak ke Thian-bak-san, dan
menjalankan perintah Kiauw Cian. Akhirnya, setelah mereka
bertemu dengan Tiang Keng dan Nona Un. baru rahasia Kiauw
Cian itu terbuka. ln Kiam kaget wajahnya merah padam, ia damprat Kiauw
Cian habis-habisan. "Dasar manusia celaka!" kata In Kiam gusar bukan main.
Tiong Teng pun keheranan.
"Mengapa adik Tiang Keng bersama-sama dengan Nona
Un?" kata Tiong Teng perlahan. Aganya dia ragu-ragu
'"Sekarang dia di Thian-bak-san. Benarkah dia dalam bahaya"
Ayah. lebih baik kita...."
"Benar, mari kita susul dia." kata In Kiam lalu mengawasi
ke arah Kiauw Cian. "Jika aku tak ada urusan, akan kuhajar
dulu dia!" Maka tanpa banyak bicara ia naik kereta akan ke Thianbak-
san. la tinggalkan rombongan Tong Gie.
Pada saat matahari sudah condong ke barat, kereta yang
dinaikinya sampai di mulut gunung Thian-bak-san. Karena
ingat pada Tiang Keng. mereka sesudah membayar ongkos
kereta, mereka langsung naik ke atas gunung. Mereka tak
menghiraukan ada bahaya atau tidak, mereka terus saja
mendaki dengan cepat. Mereka harus melalui jalan yang sukar luar biasa, dan tak
berpikir di bagian gunung mana sebenarnya Tiang Keng
berada. Matahari pun mulai terbenam tapi cahaya layung yang
kemerah-merahan masih menampakan diri. Di tempat itu sepi
dan keadaan di sekitarnya sunyi senyap. Jangankan suara
orang suara binatang buaspun tak terdengar saat itu.
Tiba-tiba dalam kesunyian itu. In Kiam dan Tiong Teng
mendengar suara yang sangat perlahan. Mereka mencoba
mencari tahu dari mana suara itu.
"Apa kau sudah lapar, betapa gilanya aku. makanan sudah
sedia tetapi tak kuberikan padamu...." kata suara itu halus. Itu
suara seorang perempuan. Begitu suara itu berhenti, tiba-tiba muncul Un Kin yang
cantik, pada tangan si nona menjinjing sebuah keranjang, la
tersenyum manis, lalu membungkuk dan meletakkan
keranjang itu di atas rumput yang hijau dan empuk, dan
membuka tutup keranjang, ia mengeluarkan sehelai kain hijau
yang dia beberkan di rumput. Ketika itu Un Kin melihat ada
bayangan jangkung mengikutinya. Un Kin tak bangun juga tak
menoleh. "Makanan belum siap kau sudah datang!" kata si nona.
Saat itu bayangan itu mengangkat tangannya menyerang si
nona. Anginnya terasa berkesiur keras.
Un Kin kaget. "Ah tak mungkin dia bukan Tiang Keng!" pikir Un Kin.
Buru-buru Un Kin bangun, tangannya ia gunakan untuk
menangkis serangan itu. Ia membentak dengan nyaring.
"Siapa kau?" kata Un Kin.
Sepasang tangan beradu keras, tapi keduanya tetap berdiri
tegar. Un Kin mengawasi orang yang menyerangnya itu.
Ternyata itu memang benar Tiang Keng.
"Hai siapa yang kau bilang menyebalkan?" kata Tiang Keng.
Keduanya tertawa riang, demikian mereka bergurau.
"Kau mundur agak jauh. kalau tidak aku tak bisa
menyiapkan makanan untukmu!" kata Un Kin.
Dia mendorong tubuh Tiang Keng.
"Baik, baik aku mundur." kata Tiang Keng sambil tertawa.
"Nah, kalau begitu baru kau anak yang manis." kata Un
Kin. Un Kin menoleh sambil tertawa manis. Tiang Keng
mengawasi si nona ia perhatikan Un Kin yang sedang bekerja.
"Sudah siap belum?" tanya Tiang Keng selang sesaat.
"Sudah, tapi tunggu sebentar lagi." kata Un Kin.
"Wah aku sudah lapar nih." kata Tiang Keng. "Aku tak bisa
menunggu lebih lama lagi..."
Un Kin kembali tertawa. "Kalau begitu lekas kemari." kata si nona aleman.
Tiang Keng menghampiri Un Kin yang sibuk menyiapkan
makanan. Tak lama mereka sudah duduk berdampingan lalu mulai
makan. "Bagaimana, enak tidak" tanya si nona.
Tiang Keng mengangkat tangan lalu ia belai-belai rambut si
nona dengan lembut, ia merasa sangat senang.
"Eh. katakan enak tidak?" desak si nona.
Tiang Keng tertawa. "Bagi lagi aku sepotong, sepotong kecil mana cukup." kata
Tiang Keng. "Dasar setan kelaparan." kata Un Kin sambil tertawa manis.
Ia mengambil sepotong daging ayam yang ia suapkan ke
mulut Tiang Keng. "Enaaak, sungguh enak!" kata Tiang Keng. "Cuma..."
"Cuma apa?" tanya si nona.
"Aku kira kau besanan dengan garam, kalau tidak mana
mungkin makanan ini asin!" kata Tiang Keng.
"Setan!" teriak Un Kin. lalu ia jejalkan kaki ayam ke mulut
Tiang Keng. "Aduh! Aduh!" kata Tiang Keng.
"Kenapa?" tanya si nona kaget.
"Asiiin!" teriak Tiang Keng menggoda.
Tiang Keng tertawa si nona pun ikut tertawa riang.
Kedua anak yatim itu tertawa dan begitu gembiranya
mereka, tapi tiba-tiba keduanya diam. mereka saling
mengawasi . Tiba-tiba mereka mendengar suara binatang malam
berbunyi mereka jadi kaget.
"Cuaca semakin gelap..." kata si nona.
Tiang Keng mengelah napas. Memang alam dengan cepat
berubah menjadi gelap. "Ya. kau lihat rembulan sudah muncul!" kata Tiang Keng.
Un Kin menunduk. "Aku tak tahu Un Jie Giok sudah pergi atau belum...." kata
Un Kin perlahan "Mungkin belum...." jawab Tiang Keng. "Karena sekarang
belum bisa dikatakan sudah malam."
Diam-diam Un Kin menangis dan Tiang Keng hanya bisa
mengawasinya saja. Keduanya diam dan lenyaplah kegembiraan yang baru saja
mereka rasakan. Tadi mereka bergembira sejenak, namun
kesulitan yang sedang mereka hadapi belum lenyap, bahkan
barangkali bahaya sedang mengancam mereka.
Di suatu tempat mereka akan bertemu dengan musuh
besanua. mampukah mereka mengalahkannya. Tiba-tiba
Tiang Keng mengusap bahu si nona. hingga Un Kin
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menengadah. "Tiang Keng. bisakah kau menjawab pertanyaanku?" kata si
nona. "Katakan apa?" "Kenapa suatu pertemuan harus selalu ada perpisahan
yang segera datangnya?" kata si nona.
Tiang Keng mengawasi wajah si nona dan dia berpikir
keras. Un Kin menyeka air matanya lalu berkata perlahan. "Jika
besok di saat seperti ini kita bisa berkumpul kembali seperti
ini. waktu itu akan kumasakkan daging ayam dan akan
kukurangi kecapnya, supaya aku tidak dikatakan berbesan
dengan garam... " Ia memaksakan untuk tertawa manis.
Tiang Keng diam saja. "Ketika kau pura-pura menyerang ku. aku kira itu Pit Su."
kata si nona. Tiang Keng tetap membisu dan diam saja.
"Pit Su itu lucu. hingga aku tak bisa tidak tertawa." kata si
nona. Tiang Keng tak menyahut dia tetap diam saja.
Un Kin mengawasi anak muda itu ia heran sekali.
"Kau tak senang bicara denganku" tanya si nona. "apa kau
tak bisa menyingkirkan kesulitanmu?"
Akhirnya Un Kin menangis karena sedih.
0oo0 BAB 50. UN JIE GIOK TAK MAU MELEPASKAN TOTOKAN
PADA DUA MURID IN HOAN In Kiam dan Tiong Teng mencari di sekitar gunung. Mereka
berusaha terus sampai magrib, dan belum juga mereka
menemukan Tiang Keng. Tak lama rembulan mulai
menampakkan diri. Mereka semakin penasaran dan
berkhawatir juga bingung sekali.
"Gunung begini luas tapi kita belum menemukan dia.
Bagaimana kalau kita mencarinya secara terpencar. Kau ke
sana aku ke sini. siapa yang lebih dahulu menemukan dia
harus segera dibawa ke mari. Nanti sekalipun tak bertemu
dengannya, jika rembulan sudah tinggi kita berkumpul lagi di
sini!" kata In Kiam.
"Baik. Ayah." kata Tiong Teng. "Tapi jika berpencar,
bagaimana jika Ayah bertemu dengan musuh?"
Sang ayah mengerutkan alis.
"Tiong Teng. apa kau kira karena aku sudah tua jadi sudah
tak berguna sama sekali?" kata sang ayah.
"Ya. baiklah. Ayah." kata sang putera.
"Sekarang kau ingat-ingat tempat ini. kau berangkat ke
arah Barat, aku ke sebelah Timur!" kata In Kiam.
Tiong Teng kembali mengangguk mengiyakan. Sesudah itu
ln Kiam dengan tak menoleh lagi langsung berlari ke arah
Timur. Tiong Teng menghela nafas. Ia mengawasi ke
sekitarnya. Tiong Teng berbeda dengan ayahnya, ia tak
sabaran, dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.
Baru beberapa langkah ia sudah berpaling ke belakang, la
sudah tak melihat ayahnya lagi. Tiong Teng sekarang hanya
mendengar suara angin malam. Keadaan di sekitarnya sunyi.
Tiba-tiba Tiong Teng mendengar suara tawa yang terbawa
angin malam, la heran lalu lari ke arah pepohonan dan
melompat naik ke sebuah pohon untuk bersembuny i di balik
dedaunan, la bersikap waspada dan karena tak ingin
mengandalkan kepandaiannya saja. la berharap orang yang
tertawa itu pemuda yang sedang mereka cari.
Tak lama tampak dua orang sedang berjalan mendatangi.
Wajah mereka kumal. Salah seorang malah terus-menerus
mendumal dan menghela nafas. Pakaian mereka berwarna
kuning. "'Mengapa harus bersusah hati terus." kata yang seorang.
"Itu percuma saja! Aku yakin Un Jie Giok akan membebaskan
totokan kita. Ia tidak akan ingkar janji! Sebentar lagi lebih baik
kita pergi ke kelenteng itu...."
"Seandainya ia membebaskan totokannya. belum tentu jiwa
kita selamat." kata kawannya. "Dosa telah membunuh guru
sendiri, itu dosa tak berampun. Thian tak akan mengampuni
kita, Tat Jin!" "Pendapatmu salah." kata Tat Jin sambil tertawa dingin.
"Aku yakin tak salah. Coba kau ingat Tentang See Sie dan Hu
Cee. Bukankah See Sie telah membunuh suaminya" Apakah ia
tak berdosa besar" Tapi orang tidak menyalahkan
perbuatannya, malah dia dipuji-puji oleh setiap orang. Dia
dikatakan suci bersih! Mengapa bisa begitu, dan tahukah kau
apa sebabnya?" "Tetapi..." kata Cio Peng tak meneruskan kata-katanya.
Mereka berhenti lalu duduk di bawah pohon tua di atas
sebuah batu yang datar. "Aku heran mengapa kau berpikir begitu." kata Tat Jin.
"Bukankah nama guru kita terkenal sangat jahat" Cukup asal
kita bisa memberi alasan yang masuk akal. orang Rimba
Persilatan akan menganggap kita membunuhnya demi
keadilan dan perikemanusiaan. Mereka pasti akan memuji kita!
Siapa yang akan menyalahkan kita"
"Tetapi...." Cio Peng kembali bimbang. Ia awasi
sahabatnya. Tiba-tiba ia tenawa. "Kau benar! Ya, kau benar!"
Tat Jin tersenyum. Hati mereka lega keduanya tertawa
berderai. Di atas pohon Tiong Teng jadi heran. Matanya menyala.
Karena gusar hampir saja ia melompat turun karena sudah tak
sabar. Ia yakin saat itu ia bertemu dua orang murid durhaka,
mereka membunuh guru mereka. Ketika ia akan melompat ia
melihat ada bayangan yang sedang mendatangi.
"Ah, apa itu Un Jie Giok yang datang" pikir Tiong Teng.
Terkaan Tiong Teng benar, memang itu bayangan Un Jie
Giok. Dengan cepat ia telah sampai ke tempat kedua orang
itu. Hati Tiong Teng berdebar-debar.
Begitu sampai Un Jie Giok tertawa dingin.
"Apa kalian sudah melaksanakan perintahku itu?" kata Un
Jie Giok dingin. "Sudah!" jawab Tat Jin dan Cio Peng hampir bersamaan.
"Bagus!" kata Un Jie Giok.
Dengan tak menghiraukan kedua orang itu ia melompat lari
ke sebuah tikungan. "Loo-cian-pwee!" teriak Tat Jin memanggil nyonya tua itu.
Jie Giok berpaling. "Ada apa?" tanya Jie Giok.
"Bagaimana mengenai totokan Cit-ciat-tiong-cit atas diri
kami...." kata Tat Jin cemas bukan main. "Ini sudah hampir
duabelas hari.. ." Sambil tertawa dingin Jie Giok menjawab.
"Masih ada waktu 30 jam." katanya. Bukan main kagetnya
kedua orang itu. Tat Jin berkata dengan lirih.
"Sesuai perintah Loo-cian-pwee. kami telah menaruh racun
pada teh untuk guru kami. Kami juga melihat sendiri, guru
kami meminumnya, maka kami mohon Loo-cian-pwee..."
"Kau taat pada perintahku, itu bagus!" kata Jie Giok.
"Tetapi aku ingin bertanya siapa yang menyuruh kalian
meracuninya?" "Tetapi, Loo-cian-pwee yang .." kata Cio Peng yang kaget
dan gugup. "Coba kalian pikirkan lagi." kata Un Jie Giok. "Apa yang
kukatakan tadi malam" Apa yang aku katakan dan apa yang
kujanjikan pada kalian?"
Dengan tubuh gemetar Cio Peng menjawab.
"Tetapi. . Tapi..." Cio Peng tak bisa meneruskan katakatanya.
Un Jie Giok tertawa. "Bukankah aku hanya melemparkan obat itu ke tanah?"
kata Un Jie Giok. Tat Jin mengangguk. "Tapi Loo-cian-pwee juga berkata...."
"Aku bilang apa?" kata si nyonya.
"Kau bilang obat itu tanpa tanpa rasa, jika dicampur ke
dalam air teh atau arak itu boleh saja. Lagi pula..." Tat Jin
ragu-ragu ia tak meneruskan kata-katanya.
"Kau berbakat dibanding anak-anak yang lain." kata Jie
Giok. "Ingatanmu juga kuat. Semua yang kukatakan, kau
masih ingat dengan baik. Sekarang katakan, apa aku pernah
menyuruh kau mencampur obat itu agar ln Hoan keracunan?"
Kedua pemuda itu saling mengawasi. Tiba-tiba keduanya
berlutut di depan nyonya tua itu. "Karena kami masih muda
kurang periksa, kami harap Loo-cian-pwee menyelamatkan
jiwa kami..." kedua pemuda itu memohon.
Un Jie Giok tertawa dingin.
"Bukankah aku tak menyuruhmu meracuni gurumu?"
"Kau benar, kau tidak langsung memerintahkan kami. Loocian-
pwee. " kata Tat Jin sambil berlutut.
"Karena aku tak menyuruh kalian, lalu kapan aku berjanji
akan membebaskan kalian dari totokan?" kata Jie Giok.
"Sekalipun tidak berjanji, akan tetapi... " kata Tiat Tat Jin.
Tiba-tiba Jie Giok tertawa dingin dan lama. suaranya tajam
dan tak sedap didengar. Mendengar pembicaraan itu Tiong Teng gemetar sendiri.
"Ilmu totok Cit-coat-tiong-ciu yang sudah ratusan tahun itu
sudah hilang. Sedang yang mengerti ilmu itu hama tinggal
seorang. Itu aku! Orang yang bisa membebaskannya juga
hanya tinggal seorang. Tahukah kau siapa orang itu?"
Kedua pemuda itu kaget, tapi setelah berpikir sejenak
mereka menjawab sekenanya.
"Cuma Loo-cian-pwee..." kata Tat Jin.
Jie Giok tertawa lagi. "Bukan. Kau salah, orang itu bukan aku." kata Jie Giok.
Tat Jin kaget tanpa merasa ia bertanya. "Lalu siapa?"
Setelah tertawa dingin nyonya itu berkata dengan suara
perlahan. "Orang itu In Hoan yang kalian racun!" kata Jie Giok.
Kedua pemuda itu kaget tak terkecuali Tiong Teng yang
sedang mendekam di atas pohon. Wajahnya demikian pucat.
"Loo-cian-pwee. tolong kami. kata Tat Jin meratap.
"Hai apa kau kira aku sedang membohongi kalian?" kata Jie
Giok dengan suara dingin.
"Mana berani kami menuduh demikian." kata Tat Jin.
"Dulu saat kudapatkan kitab ilmu totok, itu terdiri dari dua
jilid." kata Jie Giok. "Kitab yang satu tentang teori dan cara
menggunakan ilmu totok itu. sedang yang lain mengenai
memecahkan rahasia ilmu itu dan cara membuat obat
pemunahnya. Ketika itu aku.. Ia menengadah ke langit, sinar
matanya tajam. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya.
"Tatkala itu. aku yakin sekali gurumu itu orang baik. maka
aku tak curiga. Tak dikira..." Sejenak ia berhenti bicara,
wajahnya berubah dingin. "Siapa tahu mukanya saja muka
manusia, tapi hatinya hati binatang! Saat aku sedang semedi
selama 61 hari untuk belajar ilmu totokan itu. dia mencuri
barang-barang berharga milikku dan kitab yang sejilid lagi...."
Baru sekarang Tiong Teng tahu. bagaimana hubungan Un
Jie Giok dengan ln Hoan. Dengan hati berdebar-debar tanpa
merasa ia mandi keringat dingin. Ia sadar, jika ia kepergok.
Terutama ia malu mencuri dengar pembicaraan orang....
Malam merayap semakin gelap dan larut, keadaan di
sekitarnya gelap dan wajah Jie Giok pun tak jelas namun
suaranya jelas sekali. In Tiong Teng mengira, pikiran Jie Giok
sedang terganggu oleh rasa cinta dan benci kepada I n Hoan.
Cio Peng dan Tat Jin masih berlutut di depan Un Jie Giok.
Mereka hanya bisa saling mengawasi dengan perasaan cemas
bukan main Terdengar Jie Giok tenawa dingin, mirip suara burung
hantu yang menyeramkan. "In Hoan! In Hoan! Aku kira aku sudah cukup baik
kepadamu! Kiranya di jalan yang gelap kau tak kesepian,
karena tak lama lagi kedua muridmu yang sangat kau cintai
akan segera menyusul.....*"
Sesudah itu ia kibaskan ujung bajunya, lalu berjalan ke
balik gunung. Cio Peng melompat ia hendak menyerang perempuan iblis
itu. tapi Tat Jin menarik sang kawan. "Kau mau apa?" tanya
Tat Jin. "Apa kau sanggup mengalahkan hantu perempuan
itu?" Mata Cio Peng melotot dan berputar-putar. "Sekalipun aku
bukan lawannya, aku ingin mengadu jiwa dengannya!" kata
Cio Peng. "Buat apa...." Tat Jin mendadak tertawa.
"Apa kita sudah tak punya harapan hidup lagi?" kata Tat
Jin. Cio Peng melengak. "Tak mustahil Tak mustahil..." kata Cio Peng.
Tat Jin menyeka debu di lututnya, wajahnya cerah sekali.
"Coba kau renungkan baik-baik." kata Tat Jin. "Bukan saja
kita masih punya harapan hidup, bahkan kita bakal mendapat
kebaikan...." Cio Peng melengak. Sedang Tiong Teng yang ada di atas pohon keheranan
karena tak bisa menerka jalan pikiran kedua pemuda itu.
Tiat Tat Jin mengeluarkan jari tangannya, jempol dan jari
tengah, ia mengadukan kedua jari itu hingga mengeluarkan
suara cetrek dari tangannya itu.
"Jika kitab itu berisi cara membebaskan totokan. maka
cukup jika kita pulang untuk mencari kitab itu!" kata Tat Jin.
"Maka kita akan tertolong!"
Mendengar hal itu Cio Peng kelihatan girang sekali.
"Kau benar, kau pandai dan cerdik, aku tak bisa melawan
kecerdasanmu!" kata Cio Peng. "Tetapi di mana kitab itu
disimpan oleh Suhu?"
Tiat Tat Jin diam. ia kelihatan kurang puas oleh ucapan
adik seperguruannya itu. Cio Peng heran melihat kakak seperguruannya itu. tapi ia
segera mengerti. "Suheng, maafkan aku." kata Cio Peng.
Tiong Teng di atas pohon merasa kurang senang pada
kedua orang yang ia kira jahat itu
0oo0 BAB 51. CIO PENG DAN TIAT TAT JIN AKHIRNYA TEWAS
MENGENASKAN Tiat Tat Jin mengawasi adik seperguruannya itu. ia
bergumam dengan suara dingin. "Seharusnya, kau tahu di
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana Suhu menyimpan kitab itu!" kata Tat Jin. "Kau salah
karena kau kurang perhatian...."
Ketika kata-kata Tiat Tat Jin baru saja berhenti, tiba-tiba
terdengar suara yang nadanya sangat dingin.
"Ya. kalian seharusnya tahu di mana aku menyimpan kitab
itu!" kata suara yang sangat mereka kenal.
Bukan main terkejutnya Tiat Tat Jin dan Cio Peng ketika
mendengar kata-kata itu. Karena mereka tahu siapa orang
yang berkata itu. Berbeda dengan Tat Jin. Cio Peng begitu
mendengar suara itu. langsung siap untuk kabur. Sedang Tiat
Tat Jin segera berlutut memberi hormat, namun tubuhnya
sangat kemah karena ketakutan.
Tak lama kelihatan berkelebat sebuah bayangan disusul
tawa dinginnya. Tubuh orang itu melayang turun dari atas
pohon besar dan jatuh tepat di hadapan Cio Peng yang
hendak kabur. "Hm! Jahanam, kau masih berpikir hendak kabur?" kata
suara orang itu. Cio Peng mundur sebanyak tujuh langkah dari depan orang
itu. "Suhu!" ia memanggil. Memang benar orang itu adalah In
Hoan. guru mereka. Di atas pohon Tiong Teng melihat
bayangan itu turun dengan gesit, orang itu mengenakan
kopiah tinggi dan tubuh orang itu jangkung. Selangkah demi
selangkah imam itu mendekati Cio Peng yang masih gemetar
karena takut. "Dasar manusia goblok, mana mungkin kau bisa
menghindari gurumu ini! Kau sangat jahat tetapi kau tidak
berdaya, kau memang harus mampus!" kata In Hoan geram
sekali. Sambil mendekam di tanah kepala Cio Peng berulang-ulang
mengangguk ke arah In Hoan. "Memang muridmu ini pantas
mati!" kata Cio Peng.
Mata ln Hoan yang bengis mengawasi muridnya yang
murtad itu. "Memang pada masa sekarang ini sudah lumrah
orang yang kuat menelan yang lemah... Karena saat ini orang
harus bergulat keras saling berebut untuk bisa hidup! Aku
tidak menyalahkan kalian berdua, tetapi kalian semua tolol
sekali! Kalian tak bisa membuat gurumu senang, lebih baik
kalian mati saja semua!" kata In Hoan.
Mendengar kata-kata In Hoan tersebut. Tiong Teng yang
berada di atas pohon jadi ngeri. Dia tak mengira seorang guru
bisa begitu sadis terhadap muridnya.
"Suhu...." Cio Peng memohon. "Seumur hidupku memang
aku tak pernah berbuat baik." kata In Hoan. "Hanya, gurumu
ini saat berbuat jahat selalu menggunakan otaknya dengan
baik. Itu sebabnya hingga sekarang ini gurumu selalu selamat.
Orang-orang tak berdaya terhadap aku. Ketahui olehmu,
berbuat jahat harus dibarengi dengan keberanian dan
kepandaian, jika tidak maka kalian akan gagal. Kakakmu Tat
Jin lumayan dibandingkan dengan kau. Cio Peng!"
Mendadak kaki In Hoan melayang ke arah Cio Peng dan
sang murid ini tak sempat lagi menghindar dari serangan yang
hebat itu. Maka tak ampun lagi. sambil menjerit keras tubuh
Cio Peng pun terpental, lalu jatuh bergulingan. Saat itu juga
nyawanya melayang.. Tiat Tat Jin terus mendekam di tanah dengan ketakutan. Ia
tak berani mengawasi gurunya. Sedang Tiong Teng yang ada
di atas pohon kaget, tanpa terasa keringat dingin membasahi
tubuhnya. Setelah menendang Cio Peng. ln Hoan berjalan ke arah
muridnya yang lain. Matanya mengawasi si murid dengan
tajam luar biasa. "Apa tadi kau sudah melihat contoh yang kuberikan?" tanya
ln Hoan. "Sudah. Suhu..." jawab Tat Jin.
"Jika kau sudah melihatnya, apa yang ada dalam pikiranmu
sekarang" tanya In Hoan.
"Jika aku gagal mencarikan obat untuk Suhu." kata Tat Jin.
"Maka aku mohon Suhu bersedia menolong jiwaku.... Atau..."
In Hoan tertawa dingin. "Hm! Kau mengira kau ini cerdik, sehingga kau bisa
membohongi aku?" kata In Hoan.
Tat Jin melengak. ia awasi gurunya.
"Tadi malam, saat kalian berdua pulang sudah kuperhatikan
wajah kalian yang bingung dan cemas. " kata In Hoan.
"Terlebih Cio Peng. sikapnya sangat tak wajar! Semua itu tak
lepas dari pengawasanku. Saat aku pura-pura akan buang air
kecil, sayup-sayup kudengar kau menyuruh Cio Peng menaruh
racun di cawanku. Semua kuperhatikan. Tetapi ketika itu aku
belum tahu, siapa yang menyuruh kalian meracuniku. Saat
kalian meninggalkan aku sebentar, maka kuganti cawan
minumku dengan yang baru. Ketika kalian kembali, air di
cawan itu kuminum sehingga kalian mengira aku berhasil
kalian racuni..." Mendengar penuturan itu Tat Jin hanya menunduk. Dia
kagum oleh kecerdikan gurunya
"Pagi-pagi sekali." In Hoan melanjutkan. "'Kalian berdua
lama berdiri di depan kamarku, tetapi kalian tak berani masuk
untuk memeriksa, apakah aku benar-benar sudah mati atau
belum. Kemudian kalian buru-buru pergi. Lalu aku
mengikutimu sampai di sini. Saat kalian bicara dengan Un Jie
Giok tadi. semua telah kudengar dengan jelas..."
Diam-diam Tiong Teng menghela nafas panjang. "In Hoan
ini sangat cerdik! Kecerdikannya itu sangat membantu
kejahatan yang dilakukannya," pikir Tiong Teng. "Peran
seperti dia harus segera disingkirkan! Kejahatannya melebihi
seekor binatang, mana boleh dibiarkan terus..."
Oleh karena berpikir begitu Tiong Teng memutar otaknya
mencari jalan untuk menyingkirkan imam jahat itu. Tetapi,
sebelum Tiong Teng bertindak, tiba-tiba ia mendengar suara
bentakan nyaring dari balik gunung.
"in Hoan! Perbuatan kejimu itu bisa dianggap tak adil... "
kata suara itu. Begitu suara orang itu selesai, tubuh orang itu melayang
turun. Tangan orang itu terangkat dan terayun ke arah Tiat
Tat Jin. disusul oleh suara jeritan pemuda itu yang
mengerikan. Tubuh Tat Jin bergulingan dan berhenti dekat
tubuh Cio Peng. nafasnya langsung berhenti.
Kelihatan ln Hoan kaget bukan main. ia mengenali suara
dan orang yang baru muncul itu.
"Kedua muridmu itu sama jahatnya." kata Un Jie Giok yang
muncul secara tiba-tiba. "Jika yang seorang kau bunuh sedang
yang lain kau biarkan hidup, itu kurang adil. Maka itu tadi aku
telah mewakilimu membunuhnya!"
Wajah In Hoan beberapa kali berubah-ubah. sebentar
merah sebentar pucat. Tiba-tiba ln Hoan tertawa perlahan.
"Bagus! Akupun berpikir demikian!" kata In Hoan sambi
tersenyum pahit. "Dua muridku itu murtad, tak layak mereka
dibiarkan hidup!" "Hm!" Un Jie Giok mengeluarkan suara dari hidungnya.
In Hoan tersenyum, wajahnya kini jadi semakin berseri-seri.
"Jie Giok." kata In Hoan dengan halus. "Sudah lama kita
tidak saling bertemu, tidak kusangka tenyata kau masih
seperti dulu!" Kemudian terdengar In Hoan menghela nafas panjang.
"Selama kita tak saling bertemu." kata In Hoan lagi. "Aku
selalu mengingat dan mengenangmu, tetapi sekarang aku
telah menjadi tua...."
"Hm!" lagi-lagi Jie Giok mengeluarkan suara.
In Hoan mengelus jenggotnya sambil menghela nafas
perlahan. "Ya. tak kukira, bulan dan tahun terus mendesak
manusia. ." kata In Hoan lagi. "Sang waktu pergi untuk tidak
kembali... Setiap kali aku teringat semasa kita pernah hidup
bersama bertahun-tahun lamanya, aku jadi berduka sekali....
Jie Giok. ingatkah kau saat kita duduk berdua memandangi
sang rembulan di puncak gunung" Di sana. ketika itu kita
minum arak bersama-sama. Saat itu kita pun saling
mendoakan agar kita sama-sama panjang umur... Ah. tak
hentinya aku memikirkan dirimu dan aku merasakan kiranya
sang waktu sangat singkat. Memang benar pepatah
mengatakan tidak ada pesta tanpa akhir. Itu yang dikatakan
bahwa lebih baik tidak bertemu daripada harus bertemu.
Bukan benar begitu. Jie Giok?"
Sambil berkata ln Hoan terus mengawasi wajah wanita
jelek di depannya. Dia ingin tahu reaksi wanita jelek itu. Ia
lihat Jie Giok sedang mengawasi ke arahnya dengan mata
yang tajam dan bengis. "Semua itu teringat lagi. tapi sayang itu sudah berlalu..."
kata In Hoan Tiba-tiba Un Jie Giok tertawa dingin. "Jika aku mendengar
kata-katamu itu beberapa tahun yang lalu. aku memang agak
khawatir... Tetapi kini hm! Hm!" kata Un Jie Giok.
"'Memang waktu telah berlalu, hanya keadaannya masih
tetap sama! Dulu dan sekarang apa bedanya?" kata In Hoan.
Un Jie Giok kembali tertawa dingin. "Mungkin orang akan
terperangkap oleh kata-katamu!'" kata Jie Giok. "tapi sayang,
kau mengatakannya hari ini. dan aku sudah bosan
mendengarnya!" Mendengar ucapan itu In Hoan melengak. Matanya
jelalatan. tetapi ia memaksa untuk tertawa. "'Jie Giok. aku
tahu bagaimana persasaanmu saat ini." kata In Hoan. "Aku
kira kau salah mengerti tentang diriku, tetapi aku...."
"'Tutup mulutmu!" kata Jie Giok sengit. Jie Giok
menundukkan kepalanya lalu menghela nafas panjang. Ketika
ia angkat kepalanya, ia berkata lagi. "Seperti katamu tadi.
sang waktu sudah berlalu dan aku sudah terlalu tua.... ya
sudah tua!?" Dia awasi In Hoan dengan tajam, mendadak dia tertawa
nyaring. Sementara itu In Hoan coba bersabar.
"Jie Giok. kau belum tua.?" kata ln Hoan "Cuma kau..."
Un Jie Giok kembali tertawa dingin. "Jika seseorang
menjadi tua dia akan mirip dengan siluman. " kata Jie Giok.
Tidak! Aku tak bisa kau akali lagi. Sampai saat ini kau masih
menganggap dirimu pintar! Kau anggap kau lebih pintar
dariku. Tetapi, sungguh kau tak sadar bahwa aku pandai
melebihimu!" Mendengar kata-kata itu In Hoan batuk sekali. "Itu betul.
Kepandaianmu memang melebihiku." kata ln Hoan.
Pujian ini seolah-olah tak didengar oleh Un Jie Giik.
"Hm! Memang sudah kuduga, kedua muridmu yang tolol itu
tidak akan berhasil meracunimu!" kata Un Jie Giok dingin.
"Aku juga sudah menduga bahwa kau akan datang menyusul
mereka ke mari. Dan ternyata dugaanku itu benar sekali!"
Suara Jie Giok jelas ia sangat girang karena dugaannya
tidak meleset. "Dulu aku selalu jatuh ke dalam tanganmu,
tetapi sekarang telah tiba giliranku." kata Un Jie Giok.
In Hoan menghela nafas lalu menunduk, tetapi matanya ia
permainkan, la berpura-pura lunak, sebenarnya ia sedang
berpikir keras. Sikap ln Hoan ini tak lepas dari perhatian Un Jie
Giok. "Hm! ln Hoan. kau jangan berpikir yang bukan-bukan dan
mencari jalan untuk lolos dariku!" kata Un Jie Giok keras.
"Kuperingatkan padamu, akhir-akhir ini aku tekun mempelajari
ilmu meringankan tubuh. Jika kau kira aku bohong, boleh kau
coba!" Tiba-tiba perasaan In Hoan dingin. "Ah dia bilang dia
berlatih ilmu meringankan tubuh." pikir ln Hoan. "Kalau begitu,
ilmu silat yang lainnya agak ia abaikan. Jika sekarang kulawan
dia dengan mati-matian, belum tentu aku kalah olehnya..."
Hati In Hoan tiba-tiba jadi tenang kembali. Un Jie Giok
mengawasi In Hoan dengan tajam.
"Jangan coba melawanku." kata Jie Giok tajam. "Soal ilmu
silat aku rasa kau tak akan mampu mengalahkanku! Kau
camkan saja. satu di antaranya. Mengenai ilmu silat tangan
kosong Cit-keng-pit-kip saja. tak nanti kau bisa
menghadapinya. Jika kau tak percaya boleh kau coba
sekarang juga!" In Hoan mendongak, kemudian ia menghela nafas panjang.
"Sudah lama aku berpikir ingin menemuimu." kata ln Hoan
kemudian. "Sekaipun hanya untuk sekali saja. Oleh sebab itu
mana mungkin aku berniat pergi dari hadapanmu, apalagi
akan melawanmu" Kau berpikir terlalu jauh. Jie Giok!"
Un Jie Giok tertawa lagi. "Kau bilang aku berpikir terlampau
jauh" Hm! Benarkah itu" Apa yang sedang kau pikirkan, pasti
kau tahu jawabannya!" kata Un Jie Giok sengit.
"Yang sedang kupikirkan ialah tentang Dunia Persilatan
yang kacau-balau." kata ln Hoan. "Kita sudah berusia lanjut,
aku pikir lebih baik kita cari sebuah tempat yang aman dan
tenteram, di sana kita bisa hidup bahagia melewatkan hari tua
kita..." Kata-kata ln Hoan selain halus juga menarik hati. Tiba-tiba
Un Jie Giok menundukkan kepalanya. Jie Giok solah-olah
tertarik oleh rayuan si imam yang cerdik ini.
Mata In Hoan bersinar terang saat melihat Jie Giok
menundukkan kepalanya, maka ia berulang-ulang tersenyum.
"Jie Giok. dengar olehmu." kata In Hoan lembut. '"Kau
telah hidup menjagoi di Dunia Persilatan selama bertahuntahun,
tetapi apa yang kau peroleh sekarang ini. tak lain di
dalam hatimu hanya ada aku! Dan seperti juga di dalam
hatiku, hanya ada kau......"
Suara In Hoan halus, tiba-tiba tangannya mengusap
matanya yang berair karena tangis, ln Hoan sangat
terpengaruh oleh kata-katanya sendiri hingga ia menundukkan
kepalanya. Jie Giok mendadak tertawa keras sekali. "Di hatimu ada
aku. di hatiku ada kau?" ujar Un Jie Giok nyaring.
"Sisa hidup kita. " dia berhenti sejenak. "Dengarkan katakataku,
bagiku aku sudah tak memikirkan lagi untuk hidup
lebih lama lagi! Maukah kau mati bersamaku?"
ln Hoan kaget mendengar pertanyaan itu. ia terpaksa
tertawa. "Mengapa kau berkata begitu. Jie Giok" Bukankah tubuhmu
masih segar-bugar. Aku kira kau masih bisa hidup sepuluh
tahun atau dua puluh tahun lagi.. ." kata In Hoan.
"Jadi kau tak mau menemaniku mati?" kata Un Jie Giok
dingin. "Tidak! Aku tak menyesalimu! Kau boleh berbuat tak
selayaknya terhadapku, aku tak bisa membunuhmu.. Bagiku,
aku hanya ingin kau melakukan sesuatu untukku sekali lagi...."
Suara Un Jie Giok keras, lama-lama berubah menjadi
perlahan ia agaknya menyesal dan penasaran...
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu segumpal awan hitam lewat menutupi sang Puteri
Malam, hingga malam pun semakin larut saja...
0oo0 BAB 52. PENUTUP Di tempat lain masih di sekitar Thian-bak-san. dua mudamudi
Tiang Keng dan Un Kin sekarang hanya berduaan saja.
"Malam semakin larut...." kata Un Kin.
Tiang Keng mengawasi ke sekitar tempat itu.
"Kuil tua itu sudah ada di depan kita. tetapi kita tak tahu
apakah Un Jie Giok sudah ada di sana atau belum?" kata
Tiang Keng. "Dia bilang akan ke sana. pasti ia akan ke sana!" kata si
nona meyakinkan. Ia menarik tangan pemuda itu untuk diajak berjalan
bersama-sama. Mereka berjalan bergandengan hingga sampai
di depan kuil dan mereka langsung masuk ke dalam kuil.
keadaan di sana masih seperti kemarin ketika mereka ada di
situ. Terlihat patung Buddha yang wajahnya lembut, tetapi
hati kedua muda-mudi ini malah berdebar-debar
Kemudian mereka saling mengawasi lalu mereka menunggu
dan duduk berendeng, otak mereka bekerja keras. Saat itu
hati mereka jadi tak tenteram, mereka tak tahu mau bicara
apa. Tak lama terlihat cahaya api dan dua bayangan orang
sedang mendatangi, tubuh keduanya langsing dan mereka
berjalan dengan sangat hati-hati sekali.
"Oh kalian berdua pun sudah datang?" kata Tiang Keng dan
Un Kin. Salah seorang dari nona itu tertawa. Dia adalah Siauw Tin.
Dia meletakkan dua buah pelita di atas altar sembahyang.
Tiba-tiba Siauw Keng berkata. "Sejak tadi kami sudah
menunggu, barangkali Couw-ko pun akan segera tiba!"
Kemudian kedua nona itu berdiri dekat tembok, mereka tak
mau mengawasi ke arah Tiang Keng maupun Un Kin
Tak heran sekalipun di pendopo itu ada empat orang
karena tak ada yang bicara maka keadaan di situ tetap sunyi.
Mungkin hanya hati mereka yang berdebar-debar.....
Angin yang dingin bertiup ke dalam pendopo. Daun-daun
pepohonan pun tertiup angin yang kadang-kadang agak keras
hingga daun-daun itu rontok dan berjatuhan ke tanah. Tibatiba
bersamaan dengan daun yangromtok berjatuhan dan
masuk ke dalam pendopo. melayang sebuah bayangan orang
ikut masuk. Empat orang yang ada di dalam pendopo semua menoleh
ke arah orang itu. Sesudah melihat tegas siapa orang itu.
mereka berteriak kaget. "Kau. .!"' kata mereka hampir bersamaan.
Orang itu tersenyum. Dia ternyata ln Hoan.
"Kalian tak menyangka, bukan?" kata ln Hoan sambil
tertawa. Sambil menggendong tangan ln Hoan berjalan hilir-mudik.
Tak lama ia langsung berhadapan dengan Tiang Keng dan
berkata dengan sabar. "Kuucapkan selamat padamu, karena
hari ini sakit hati orang tuamu akan terbalas!"
la melangkah ke arah tembok. Tiang Keng heran, ia jadi
curiga tetapi diam saja. Tidak berapa lama satu bayangan lain melompat masuk ke
dalam pendopo. Siauw Tin dan Siauw Keng berseru. "Couw-ko
tiba!" Hati Tiang Keng dan Un Kin bergolak, darah mereka
mendidih. "Ternyata kalian sudah datang lebih dulu!" kata Un Jie Giok
dingin. Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi. Un Jie Giok
tertawa meringis. "Aku tahu perasaan kalian untuk membalaskan sakit hati
orang tuamu, pasti kalian tak sabar!" kata Jie Giok. "Benarkah
begitu?" "Karena dendam orang tua kami. maka kami tak bersedia
hidup bersama dengan musuh kami!" kata Tiang Keng.
"Sebelum kami balas dendam, sehari pun kami tak bisa tidur
tenang!" Un Jie Giok tertawa dingin. "Sekarang musuh besarmu itu
ada di depanmu! Tetapi aku ingin bertanya, sudah berapa
tinggi ilmu silatmu dan mampukah kau membalas dendam
sekarang?" kata Un Jie Giok.
Alis Tiang Keng berdiri. "Hari ini aku dalang dengan tak menghiraukan jiwaku!"
kata Tiang Keng dengan gagah.
Kembali Un JieGiok tertawa dingin.
"Kau memang bersemangat!" kata Un Jie Giok. "Ketahui
olehmu, seumur hidupku aku belum pernah memberi
kesempatan pada orang lain!"
Mendadak Jie Giok mengeluarkan dua batang bambu yang
bersinar kuning keemasan dari sakunya. Kemudian ia berkata
lagi dengan dingin. "Ini dua buah bumbung jarum Ngo-in-hong-jit-touw-simciam1"
kata Jie Giok "Dua bumbung ini yang satu berisi jarum
itu dan yang satu lagi kosong! Sekarang kau ambil salah satu
bumbung ini. jika kau berhasil mengambil yang berisi jarum,
maka kau akan berhasil membalas dendam Sebaliknya jika
bukan yang berisi jarum...hm! Hai ln Hoan. ambil kedua
bumbung ini. pesilakan dia mengambil salah satu bumbung ini
untuk memilihnya!" In Hoan kelihatan ragu-ragu. matanya menunjukkan sinar
tajam. Perlahan-lahan ia menghampiri si nyonya tua untuk
mengambil kedua bumbung bambu itu dari tangan si nyonya.
Sesudah itu dia berbalik dan berjalan dengan perlahan sekali,
tapi tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dengan cepat, sambil
berbalik kedua tangannya ia majukan dipakai menyerang ke
arah si nyonya jelek! Terdengar suara dari dua bumbung bambu itu. alatnya
bekerja. Kemudian disusul suara tawa si imam yang tak sedap
didengar, tetapi..... Ternyata dari kedua bumbung itu tak ada jarum yang
keluar. Kiranya kedua bumbung itu kosong tak berisi jarum
beracun! Tak lama terdengar lagi suara tawa In Hoan disusul
suara lawa Un Jie Giok. nadanya mengejek. In Hoan kaget, ia
melompat mundur tiga langkah dan sepasang matanya
mendelong.... Un Jie Giok tertawa lagi. "Salah! Kembali kau salah
selangkah, kau tertipu oleh akalku!" kata Un Jie Giok.
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi, bukan main
herannya mereka. Setelah mengawasi ke arah Un Jie Giok.
mereka menoleh mengawasi ln Hoan. Wajah ln Hoan berubah
pucat bagaikan kertas putih.
"Seumur hidupmu belum pernah kau berbuat kebaikan!"
kata Jie Giok dengan tajam ke arah In Hoan. "Kemampuanmu
hanya mengelabuhi orang saja. Sudah lama aku ingin
menyingkirkanmu. tetapi selalu gagal. Hari ini sebenarnya aku
akan membebaskan jiwamu, asal kau tak memperdayaiku lagi
dan akan kuizinkan kau pulang masih bernyawa!"
Saat Un Jie Giok bicara selangkah demi selangkah ln Hoan
mundur teratur. Tetapi Jie Giok juga tak tinggal diam. ia juga
maju selangkah demi selangkah mengikutinya. Tanpa terasa
In Hoan telah didesak oleh Un Jie Giok.
Sambil melangkah maju kembali Jie Giok mengeluarkan dua
buah bumbung bambu kuning. Setelah In Hoan terdesak
sampat di tembok, baru Jie Giok bicara.
"Jika dulu saat di puncak Sie-sin-hong di gunung Hong-san
tak ada kau." kata Jie Giok. "Suami-isteri itu tentu tak akan
memilih jalan kematian! Begitupun anak Kin. jika bukan
karena kau yang mengoceh yang bukan-bukan, dia tak
akan....." Mendadak Un Jie Giok berhenti bicara, la mengawasi ke
arah Tiang Keng. "Tiang Keng. ke mari kau!" kata Un Jie Giok nyaring.
Tiang Keng kaget tapi ia tetap melompat maju ke arah Jie
Giok. Tanpa menoleh Un Jie Giok menyerahkan kedua bumbung
bambu itu kepada Tiang Keng. Kemudian Un Jie Giok berkata
nyaring. "Kau ambil salah satu bumbung ini. imam ini juga
musuh besarmu yang telah membunuh orang tuamu..."
Tiang Keng bersikap tenang saat ia menyambut salah satu
bumbung itu. lalu bumbung itu ia kembalikan pada Jie Giok.
"Sakit hatiku memang luar biasa, tapi untuk membalas
dendam itu aku tak perlu bantuan orang lain. aku malu
menerimanya... " kata Tiang Keng.
Sebelum Tiang Keng selesai bicara, tiba-tiba ln Hoan
melompat naik ke tembok, ia melompat sejauh tiga tombak.
"Hm! Kau masih berpikir mau kabur?" bentak Jie Giok pada
ln Hoan. Mendadak tubuh Un Jie Giok berbalik dan sebelah
tangannya terayun. Dari sana lima sinar kuning melesat
dengan cepat luar biasa ke arah In Hoan. Menyusul sinar
emas itu terdengar suara benda berat terjatuh ke lantai.
Kiranya Ban-biauw Cin-kun yang ilmu meringan kan tubuhnya
mahir itu ternyata tak mampu menandingi kecepatan senjata
rahasia milik Un Jie Giok hingga ia roboh tak berdaya...
Un Jie Giok tertawa sejenak. Kelihatan dia puas sekali.
Kemudian suasana di pendopo itu sunyi. Un Jie Giok berdiri
diam. Matanya yang sayu mengawasi tubuh In Hoan.
Kemudian dia berjalan perlahan, rambutnya terurai tak teratur
karena sudah dua hari tak diurus. Namun rambut itu
melambai-lambai tertiup angin malam yang dingin.
Sinar pelita di atas altar sembahyang cahayanya redup dan
bergoyang-goyang tertiup angin malam. Detik-detik berlalu
dalam keadaan sunyi. Sampai tiba-tiba si nyonya membalikkan
tubuhnya, ia awasi Tiang Keng dan Un Kin secara bergantian.
Kedua muda-mudi mengawasi dengan mata mendelong.
mungkin mereka terkejut menyaksikan kejadian di depan mata
mereka tadi. Kemudian Jie Giok berkata dingin. "Kalian mau balas
dendam, mengapa kalian diam saja?"
Dua bumbung bambu yang tadi tak diambil Tiang Keng
oleh Jie Giok dilemparkan ke arah mereka berdua.
"Jika kalian mau menggunakan senjata itu. silakan kalian
gunakan!" kata Jie Giok dingin.
Hawa udara sangat dingin saat In Tiong Teng harus
kembali ke tempat yang dijanjikan ayahnya. Ketika Tiong Teng
sampai tempat itu sunyi. Ayahnya belum kelihatan. Tiong
Teng jadi khawatir hingga ia tak tenang. Tadi Tiong Teng
melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan mendengar
sesuatu yang belum pernah didengar. Menurut Tiong Keng
yang paling aneh adalah kata-kata Siu-jin Un Jie Giok
"Aku hanya ingin kau melakukan suatu pekerjaan lagi.
Tunggu sampai aku mati. kau harus berusaha menyampaikan
pesanku. Katakan bahwa Nio Tong Hong ayahnya dan Beng
Jie Kong bukan ibunya!" kata Un Jie Giok ketika itu.
Tiong Teng melihat In Hoan mengangguk, ln Hoan berjanji
akan menyampaikan pesan itu.
"Sungguh Un Kin harus dikasihani. " kata Jie Giok dengan
suara mengharukan sekali. "Dia tak akan menyangka bahwa
musuhnya atau orang yang membunuh ayahnya adalah ibu
kandungnya sendiri. Mana tega aku memberitahu dia. Aku tak
bisa..." Tiong Teng ingat kata-kata itu dengan baik. Tiong Teng
jadi berpikir keras. Ia tak tahu duduk persoalannya, tapi ia
sudah menerka beberapa bagian. Kembali terdengar Un Jie
Giok bicara. "Nio Tong Hong jahat padaku, sama jahatnya seperti kau
padaku." kata Jie Giok pada ln Hoan "Dia membohongiku. Dia
bilang dia mencintaiku, tapi sebenarnya ia hanya mengakali
ilmu silat dan hartaku belaka! Kemudian aku dengar dia sudah
beristeri. maka aku tak mau memaafkannya. Aku memutuskan
akan membunuh mereka berdua. Tetapi saat itu aku sedang
hamil.... Oh. Thian (Tuhan), mengapa aku bisa dipermainkan
begitu...." Tiong Teng masih ingat kata-kata Un Jie Giok ini. hingga ia
jadi simpati kepadanya. "Apa salah dia. Dengan demikian ia wanita yang perlu
dikasihani." pikir Tiong Teng. "Tetapi mengapa dia jadi
semakin kejam?" Dengan pikiran kacau Tiong Teng berjalan hilir-mudik di
tempat itu la harap ayahnya akan segera datang. Ia pikir
mungkin saat itu Tiang Keng dan Un Kin sudah berada di kuil
bersama Jie Giok dan ln Hoan.
Untung tak lama ln Kiam datang, Dia tak menemukan
sesuatu. "Ayah. mari kita ke Thian Sian Sie!"' kata Tiong Teng.
Sambil berjalan! iong Teng memberi keterangan singkat
pada ayahnya Bukan pekerjaan mudah untuk menemukan kuil itu. tetapi
sesudah berusaha dan makan waktu akhirnya mereka sampai
juga di kuil itu. Mereka melihat sinar pelita dan dengan santai
mereka masuk ke pekarangan kuil itu. Tiba-tiba mereka
mendengar suara tangis. To-pie Sin-kiam In Kiam berlari cepat dengan ilmu Pat-poukan-
siam. Begitu sampai di pendopo ia lihat To Tiang Keng
dan Un Kin berdiri melongo. Dua pelayan berpakaian merah
sedang menangis di lantai, di depan kedua pelayan itu rebah
Ang-ie Nio-nio. si hantu wanita jelek.
Mereka tak tahu kedatangan ln Kiam dan Tiong Teng.
mereka juga tak lancang mengganggu.
Di tempat yang sunyi dan suram itu terdengar sebuah
suara. Dari tangan Un Jie Giok yang tiba-tiba menggelinding
sebuah benda berwarna kuning ke dekat Tiong Teng. Segera
Tiong Teng membungkuk untuk mengambil benda itu.
ternyata itu bumbung tempat jarum rahasia yang terkenal itu.
Ketika tutup bumbung itu dibuka, maka keluarlah lima batang
jarum beracun itu. Tiong Teng sadar Un Jie Giok tak
menggunakan senjata itu. jika ia menggunakannya pasti ada
korbannya... Tiang Keng mengawasi tubuh Un Jie Giok. Tubuh
musuhnya dan musuh Un Kin juga. pikir Tiang Keng. Musuh
mereka sekarang telah jadi mayat, tapi aneh mereka kelihatan
tak gembira. Malah hati mereka jadi kurang nyaman. Padahal
mereka telah berhasil membalas dendam...
Di kaki tembok rebah tubuh In Hoan yang jahat. Setelah
sekian lama tiba-tiba tubuh imam itu bergerak. Kiranya dia
Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya pingsan dan sekarang ia sadar, la merintih, mencoba
mengangkat kepala nya. Kembali ia merintih.
"Kalian....akhirnya kalian berhasil balas dendam!" kata In
Hoan. "Bagus sekali.
Imam itu tertawa dan Tiang Keng bersama Un Kin
menoleh, la berusaha mengeraskan hati. Kembali In Hoan
merintih. "Apa kalian heran karena aku belum mati" tanya ln Hoan.
"Itu sebab.. aku masih punya rahasia yang belum kuceritakan
pada kalian. Apa... apakah kalian ingin tahu?"
Tiang Keng tercekat. Tanpa diminta ln Hoan mulai bicara.
"Rahasia ini..." kata In Hoan. "Rahasia tentang dirimu dan
hidupmu.... Rahasia ini hanya aku yang tahu. Jika kalian ingin
tahu ayo berusaha mengobatiku....."
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi dan mereka raguragu.
"Hai imam jahat!" teriak Tiong Teng dengan tiba-tiba. "Apa
saat ajalpun kau hendak mencelakai orang lain?"
Tiong Teng melompat dan menendang imam itu. In Hoan
tak berdaya ia menjerit keras sekali. Tubuhnya terpental dari
mulutnya keluar darah segar, la mati seketika. Tiong Teng
mengawasi tubuh ln Hoan ini.
"Biarlah sejak saat ini tak ada yang tahu rahasia yang bisa
merusak keberuntungan orang lain itu!" gerutu Tiong Teng.
ln Kiam heran menyaksikan tindakan puteranya itu.
"Apa katamu. Tiong Teng?" tanya sang ayah.
Tiong Teng menghela nafas panjang.
"Aku mengatakan roh Paman To di alam baka akan
tenang...." kata Tiong Teng.
ln Kiam heran tetapi tak lama air matanya mengalir dari
pipinya. Tiang Keng pun ikut menangis.
Un Kin melongo keheranan, la awasi Siauw Kin dan Siauw
Keng. keduanya juga sedang menangisi Un Jie Giok. Un Kin
pun akhirnya tak dapat menahan gejolak hatinya, ia pun ikut
menangis. "Aneh?" kata Tiong Teng. "Mengapa kau juga menangis?"
Tetapi tangisan itu tangis suci murni sejernih mutiara...
Saat Tiang Keng menangis ia merasakan bahunya ada sang
meraba dan sehelai sapu tangan telah disesapkan ke
tangannya, maka ia bisa menepis air matanya.
Tatkala Tiang Keng menoleh sinar matanya beradu dengan
sinar mata Un Kin yang jernih, ia sedang mengawasi dengan
tajam. Sedang sang fajar di luar sudah menampakkan cahayanya
karena sang malam telah berganti dengan siang....
TAMAT Pangeran Perkasa 6 Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 11