Pencarian

Dewi Maut 12

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


perahu itu sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia
tidak berani turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an,
berbeda dengan pantai utara yang sunyi. Setelah perahu besar yang membawa dua
orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada kurang lebih tiga ratus meter lagi
dari pantai, tiba-tiba Tio Sun meloncat ke atas perahu besar dan tanpa banyak
suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng dan Kwi Beng yang duduk di atas dek
terjaga oleh lima orang pengawal.
"Heii, siapa kau...?" Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger.
Para perajurit pengawal meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing. Akan
tetapi pada saat itu, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri, dengan kaki
tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar den menendang roboh
lima orang penjaganya. Tio Sun menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan mereka dengan
cepat dan merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya.
"Cepat menyingkir...!" Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang
sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng.
Perwira pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu
maju mengepung dan mengeroyok.
"Apakah kalian berani hendak memberontak?" Perwira muda itu berseru. "Harap
ji-wi jangan menambah dosa ji-wi."
"Kalian mundurlah!" Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru.
"Kalian tahu bahwa kami bukan pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang bersekutu
dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!"
"Kami hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami
dihukum!" sang perwira membantah dan terus mengepung ketat.
Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun mengamuk dengan pedang mereka. "Jangan
membunuh orang, mereka hanya petugas-petugas biasa," kata Kwi Eng dan tentu saja
hal ini disetujui oleh Tio Sun yqng juga segan untuk memusuhi dan membunuh
perajurit pemerintah. Maka mereka itu hanya menggunakan pedang mereka untuk
menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para pengeroyok
dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja.
Akan tetapi tiga losin orang perajurit pengawal itu yang tentu saja merasa
takut kalau sampai tawanan itu lolos, dengan nekat mengeroyok terus tanpa
memperdulikan keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu
merasa repot juga. Andaikata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut
dan merobohkan para pengeroyoknya, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan
orang itu. Akan tetapi, tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu
saja amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu
dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu.
"Tio-twako, kau pergilah dulu dengan perahumu!" teriak Kwi Eng den mereka
kini mulai bergerak ke pinggir perahu besar.
"Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian!" jawab Tio Sun sambil mengelak
dari sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang
pembokong dari belakang. "Twako, pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air,"
kata Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun. Teringat dia akan penuturan Kwi Eng
betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar ilmu di dalam air dari
nelayan yang dahulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka, maka dia mengangguk
dan mengamuk dengan pedangnya sampai semua pengeroyokdya dipaksa mundur.
Setelah tiba di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada
di dekat perahu besar itu, dia berseru, "Berhati-hatilah kalian! Aku pergi
dulu!" Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu besar,
tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang sungai.
Kwi Beng dan Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk
dan makin mendekati pinggiran perahu, kemudian setelah merobohkan beberapa orang
pengeroyok, merekapun cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun
ke dalam air dengan kedua tangan lebih dulu.
"Cluppp! Cluppp!" Bagaikan dua ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun
tanpa menimbulkan banyak suara dan airpun tidak muncrat banyak, tanda bahwa
keduanya memang ahli bermain di air. Lenyaplah kedua orang muda itu dari
permukaan air dan para pengawal yang bergegas menuju ke pinggir perehu sambil
membawa anak panah, tidak melihat mereka lagi.
Akan tetapi perwira pasukan pengawal itu bersikap tenang-tenang saja. "Cepat
jalankan kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di
sana!" Semua anak buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka bersicepat
meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara. Ketika tiba di tempat
itu, benar saja mereka melihat tiga orang muda tadi sudah dikepung dan dikeroyok
oleh kurang lebih lima puluh orang perajurit yang bersenjata lengkap! Tentu saja
mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong mendarat dan bantu
mengeroyok pula. Ternyata siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak
memperhitungkan kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti akan
kelihaian dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di
air, maka diam-diam dia mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi
rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang
tahanannya itu mencoba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan, mengingat
akan kelihaian mereka bermain di air. Dan memang dugaannya tepat sekali, maka
pembesar di Cin-an telah mempersiapkan pasukan dari lima puluh orang yang
bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu Tio Sun yang telah mendarat
lebih dulu dengan perahunya itu menyambut dua orang temannya yang muncul dari
dalam air seperti dua ekor ikan itu, mereka langsung menyergap dan terjadilah
pengeroyokan hebat di tepi sungai sebelah utara itu.
Tentu saja mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-
matian. Akan tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan
pengeroyokan menjadi makin ketat, mereka benar-benar terdesak hebat dan keadaan
mereka amat berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau
setidaknya terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu.
Mereka tanpa dikomando telah membela diri secara saling melindungi, berdiri
saling membelakangi dan dengan senjata pedang mereka, dibantu oleh joan-pian di
tangan kiri Tio Sun, mereka menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan
dan sekali ini terpaksa mereka menggunakan senjata untuk merobohkan
pengeroyokan, sungguhpun pedang mereka itu hanya ditujukan kepada bagian-bagian
tubuh yang tidak berbahaya. Belasan orang pengeroyok sudah roboh dengan pundak,
lengan atau kaki terluka parah akan tetapi pengeroyokan masih cukup ketat dan
tiga orang itu mulai menjadi lelah sekali, bahkan Kwi Beng telah terluka
pahanya, dan Kwi Eng telah terluka pangkal lengan kirinya. Namun mereka tidak
mau menyerah karena ketiganya maklum bahwa urusan telah menjadi semakin berat
sehingga kalau mereka tertawan kembali, hukuman mereka tentu akan jauh lebih
berat lagi, mungkin akan dihukum mati sebagai pemberontak-pemberontak hina.
"Tio-twako, kau larilah...!" Tiba-tiba Kwi Eng berkata kepada Tio Sun.
Benar, kau pergilah, twako dan jangan mengorbankan diri untuk urusan kami!"
Kwi Beng juga berkata. Hati Tio Sun rasanya seperti ditusuk, dia merasa terharu dan juga kagum akan
kegagahan dua orang kakak beradik ini yang dalam keadaan seperti itu masih ingat
kepadanya dan tidak mau membawa-bawanya mengalami kecelakaan.
"Tidak! Aku akan membela kalian sampai titik darah terakhir!" bentaknya dan
pedang serta joan-pian di tangannya bergerak cepat maka robohlah tiga orang
pengeroyok. Akan tetapi karena dia mencurahkan seluruh perhatian untuk
merobohkan lawan sebanyak mungkin dalam kemarahannya ini, Tio Sun tak dapat
menghindarkan bacokan golok dari samping yang mengenai pundaknya.
"Tio-twako...!" Kwi Eng menjerit ketika melihat darah muncrat dari pundak
pemuda itu. Tio Sun membalikkan pedangnya dan penyerangnya itu menjerit roboh ketika
lengannya terbabat pedang hampir putus.
"Tidak apa-apa, nona." Tio Sun tersenyum dan mereka bertiga terus mengamuk
biarpun mereka telah terluka semua.
"Bunuh saja tiga pemberontak ini!" Tiba-tiba terdengar komandan pasukan Cin-
an berteriak marah. Tadinya perintah atasannya hanyalah untuk membantu para
pengawal dari Yen-tai untuk menangkap kembali tawanan itu jika melarikan diri,
akan tetapi kini melihat betapa tiga orang itu memberontak dan merobohkan banyak
anak buahnya, dia menjadi khawatir dan marah sekali, maka dia mengeluarkan
perintah untuk membunuh mereka. Dengan adanya perintah ini, para perajurit kini
mendesak makin ketat dan senjata mereka datang bagaikan hujan menyerang tiga
orang muda yang membela diri mati-matian itu.
"Twako, kitapun harus membuka jalan darah!" terdengar Kwi Eng berteriak dan
terpaksa Tio Sun tidak membantah. Karena kini para pengeroyok menghendaki nyawa
mereka, tentu saja mereka bertiga harus pula menjaga dan menyelamatkan diri,
kelau perlu dengan jalan membunuh para pengeroyok. Tio Sun menggerakkan pedang
dan joan-piannya secara hebat, demikian pula Kwi Beng dan Kwi Eng mengamuk
dengan pedang mereka dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika beberapa
orang perajurit roboh untuk tidak bangun kembali! Pertandingan menjadi makin
seru dan kini merupakan pertempuran mati-matian, namun karena tiga orang muda
itu sudah terluka dan fihak pengeroyok amat banyaknya, mereka makin terdesak dan
makin terkurung sehingga ruang gerak mereka menjadi makin sempit.
Pada saat yang amat kritis dan berbahaya bagi keselamatan tiga orang muda
itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan keadaan para pengeroyok
di sebelah luar menjadi kacau-balau. Ketika Tio Sun melirik, dia kaget dan juga
kagum sekali melihat seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk, hanya menggunakan
kedua tangan kosong saja melempar-lemparkan para perajurit seperti orang
melempar-lemparkan rumput kering saja, sama sekali tidak memperdulikan hujan
senjata tajam yang menyambar ke tubuhnya. Para perajurit terkejut dan gentar
karena pendatang baru ini benar-benar amat lihai, bacokan-bacokan senjata tajam
hanya ditangkis oleh lengan yang kulitnya seperti baja kerasnya dan setiap kali
tangan kaki pemuda ini bergerak, mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya!
"Hai, pemberontak dari mana berani menentang pasukan pemerintah?" Komandan
pasukan menerjang ke depan, akan tetapi pedangnya ditangkap oleh tangan kiri
pemuda itu dan sekali remas pedang itu patah-patah. Kemudian pemuda itu
menangkap komandan ini pada pinggangnya dan mengangkatnya, tinggi-tinggi.
"Pasukan pemerintah yang hanya menyalahgunakan kedudukannya tiada bedanya
dengan penjahat-penjahat! Pergilah kalian!" Pemuda itu melemparkan komandan itu
sampai jauh dan jatuh terbanting sampai pingsan. Tentu saja semua perajurit
menjadi makin gentar, kurungan mereka melonggar.
"Sam-wi yang terkurung, tidak lekas lari mau tunggu apa lagi?" Pemuda tampan
itu berseru dan mendahulul lari, cepat diikuti oleh Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi
Eng. Karena mereka berempat mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja para
perajurit sudah kehilangan jejak mereka.
Di tengah sebuah hutan, empat orang muda itu berhenti. Ketika pemuda tampan
itu hendak melanjutkan larinya tanpa memperdulikan tiga orang yang telah
ditolongnya, Tio Sun cepat mengejar dan berseru, "Sahabat yang gagah harap suka
berhenti dulu!" Pemuda tampan itu menoleh dan melihat pandang mereka penuh harapan, terpaksa
dia berhenti. "Sam-wi sudah beruntung dapat terbebas dari kepungan para pasukan itu, ada
urusan apalagikah dengan aku?"
Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng cepat menghampiri dan kini mereka berhadapan.
Sepasang mata pemuda tampan itu terbelalak dan jelas dia kelihatan kaget, heran
dan bingung ketika dia memandang kepada Kwi Beng dan Kwi Eng secara bergantian.
"Aihh... kiranya kalian bukan... bukan..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya
karena hatinya merasa sangsi. Melihat pakaian dan bentuk tubuhnya, pemuda tampan
dan dara jelita ini jelas orang-orang Han, akan tetapi, mengapa matanya kebiruan
dan rambutnya agak pirang"
Kwi Eng adalah seorang gadis peranakan barat yang tak dapat disamakan dengan
gadis-gadis pribumi yang biasanya bersikap pendiam dan pemalu. Apalagi dia
bersama kakak kembarnya mewakili pekerjaan ayahnya sehingga dia sudah biasa
bergaul dan tidak malu-malu lagi, bersikap polos dan jujur di samping juga
memiliki kecerdasan sehingga dia sudah dapat maklum mengapa pemuda gagah perkasa
yang menolong mereka itu kelihatan begitu kaget, heran dan bingung. Cepat dia
melangkah maju dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum manis
sekali dan berkata, "Harap saudara yang gagah perkasa dan yang telah
menyelamatkan kami tidak menjadi curiga. Biarpun mungkin warna mata dan rambut
kami kakak beradik kembar agak berbeda, namun kami berdua adalah berdarah Han,
kakak kembarku ini bernama Souw Kwi Beng dan aku sendiri bernama Souw Kwi Eng.
Sedangkan dia itu adalah Tio-twako bernama Tio Sun. Kami bertiga telah kena
fitnah dan hendak dibawa ke kota raja sebagai tawanan pemberontak, maka
pertolonganmu merupakan budi yang amat besar bagi kami."
Mendengar ucapan lancar dan tidak kaku, pemuda itu merasa lega. Gadis ini
luar biasa cantiknya, cantik dan aneh, akan tetapi kata-katanya jelas
menunjukkan bahwa dia seorang Han tulen.
Melihat pemuda yang usianya masih amat muda dan sikapnya seperti pemalu itu
namun yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya, Tio Sun yang merasa
kagum sudah maju dan berkata, "Saudara yang muda memiliki kelihaian yang amat
mengagumkan hati kami, dan sudah menyelamatkan kami dari bahaya maut. Bolehkan
kami mengetahui she dan namamu yang mulia?"
Pemuda itu kelihatan meragu. Dia tadi menolong karena melihat tiga orang
muda itu terancam bahaya, sama sekali tidak mempunyai keinginan lainnya. Akan
tetapi menyaksikan keramahan mereka, terutama sekali keramahan dara jelita yang
dengan mata birunya memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum dan terima
kasih, dia merasa tidak enak kalau pergi begitu saja setelah mereka
memperkenalkan nama masing-masing. Akan tetapi diapun tidak ingin memperkenalkan
namanya, maka dia lalu teringat akan nama yang diperkenalkan kepada gadis aneh
bernama "Hong" saja yang baru dijumpainya, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Nama saya Houw, she... Bun."
Pemuda ini bukan lain adalah Cia Bun Houw, putera ketua Cin-ling-pai.
Seperti telah diceritakan di baglan depan, Bun Houw berpisah dengan In Hong,
atau lebih tepat lagi dara itu yang meninggalkannya karena tidak mau melakukan
perjalanan bersama setelah Bun Houw suka mencegahnya membunuh musuh-musuhnya di
perjalanan. Bun Houw merasa kecewa sekali bahwa dara yang telah menjadi
penolongnya itu meninggalkannya, akan tetapi kerena teringat akan tugasnya
mencari dan menyelidiki musuh-musuh besarnya, yaitu Lima Bayangan Dewa, diapun
melanjutkan perjalanannya dan pada hari itu dia menyeberangi Sungai Huang-ho dan
kebetulan melihat tiga orang muda yang terancam bahaya oleh pengeroyokan para
perajurit itu, lalu turun tangan menolong mereka.
Tio Sun merasa makin kagum dan heran. Pemuda tampan ini sikapnya begitu
sederhana, masih amat muda dan agaknya dia belum pernah mendengar nama pemuda
ini di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat kepandaiannya tadi, biarpun hanya
bergebrak dengan para perajurit, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang
sembarangan, tentulah murid seorang yang sakti.
"Bun-enghiong masib begini muda akan tetapi telah memiliki kepandaian luar
biasa, sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Kalau sekiranya tidak
menjadikan halangan dan kalau kiranya kami cukup pentas menjadi sahabatmu, kami
ingin sekeli bersahabat dengan Bun-enghiong," kata Tio Sun.
Souw Kwi Beng yang sejak tedi diam saja kinipun berkata, "Kami kakak beradik
kembarpun akan merasa terhormat sekali kalau bisa menjadi sahabat Bun-taihiap."
Bun Houw merasa kikuk sekali. Tiga orang muda ini jelas merupakan orang-
orang gagah yang sopan dan terpelajar, maka akan keterlaluanlah di fihaknya
kalau dia tidak melayani uluran tangan mereka. Pula, dara bermata biru itu
benar-benar mempesonakan! Selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan
seorang dara yang begitu jelita, matanya bening lebar kebiru-biruan dan
rambutnya agak pirang dan berkilauan halus.
Bun Houw menjura dengan hormat. "Tentu saja saya suka sekali bersahabat
dengan sam-wi (kalian bertiga). Mengapakah kalian tadi dikeroyok perajurit di
tepi sungai dan di mana sam-wi tinggal?"
"Mari kita duduk di tempat yang teduh agar leluasa bicara," kata Tio Sun dan
mereka lalu memilih tempat di bawah pohon yang rindang, duduk di atas batu-batu
di bawah pohon itu. Secara singkat Kwi Eng yang pandai bicara itu lalu menceritakan urusannya,
mula-mula dengan Tokugawa ketika kepala bajak itu menculik kakak kembarnya dan
dia dengan bantuan Tio Sun berhasil menyelamatkan kakaknya. Kemudian betapa dia
difitnah oleh pembesar setempat sebagai pemberontak dan pembunuh kaum nelayan
yang bukan lain hanya bajak-bajak laut. Sampai mereka ditangkap dan akan dikirim
ke kota raja, kemudian mereka berusaha meloloskan diri dan dikeroyok di tepi
Sungai Huang-ho. Bun Houw menarik napas panjang. "Sudah kudengar akan kekacauan yang mulai
terjadi di mana-mana karena lemahnya pemerintah pusat di kota raja. Jadi ji-wi
adalah putera-puteri seorang ayah bangsa barat dan ibu bangsa pribumi" Pantas
saja keadaan ji-wi agak lain."
"Biarpun kedua saudara Souw ini putera orang barat, akan tetapi ayahnya
bukan orang sembarangan, karena ayahnya adalah Yuan de Gama, seorang tokoh


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangsa barat yang disegani dan dihormati. Apalagi ibunya. Ibunya adalah pendekar
wanita terkenal, Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo..."
"Ahhhh...!" Bun Houw kaget bukan main mendengar ini. Tentu saja diapun sudah
pernah mendengar dari ayah dan ibunya tentang Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang
dikabarkan mati tenggelam secara gagah bersama kapalnya.
"Kau pernah mendengar nama ayah dan ibu, Bun-taihiap?" tanya Kwi Eng sambil
memandang tajam. Bun Houw menggeleng kepala. "Saya terkejut mendengar nama mendiang Panglima
Besar The Hoo." Kemudian dia memandang kepada Tio Sun. "Tio-twako agaknya juga
bukan keturunan sembarangan dan ternyata engkau seorang pendekar yang suka
menolong orang lain yang sedang tertimpa malapetaka seperti yang telah
kaulakukan terhadap kedua orang saudara Souw ini."
Merah wajah Tio Sun menerima pujian ini, dan dia menarik napas panjang.
"Persoalan yang kuhadapi tadi benar-benar membuat aku bingung, Bun-hiante. Terus
terang saja, ayahku adalah seorang bekas pengawal kepercayaan Panglima Besar The
Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan..."
"Ban-kin-kwi...?" Bun Houw kelepasan bicara karena tentu saja mengenal baik
nama ini, nama seorang sahabat baik
ayahnya! "Kau sudah mendengar pula julukan ayah" Ayah seorang bekas pengawal yang
setia, tentu saja akupun segan untuk melawan perajurit pemerintah. Akan tetapi
melihat sikap Ciang-tikoan yang sewenang-wenang, terpaksa aku menentangnya.
Sekarang, setelah terjadi peristiwa ini, kedua orang saudara Souw tidak mungkin
lagi kembali ke Yen-tai, dan inilah yang membikin aku menyesal sekali."
"Ah, mengapa menyesal, twako" Kami berdua tidak menyesal. Biarlah kami tidak
dapat kembali ke Yen-tai dan menanti sampai ayah ibu pulang dari barat. Kami
berdua malah telah mengambil keputusan untuk membantu Tio-twako dalam mencari
musuh-musuh Cin-ling-pai itu dan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk
mencari Lima Bayangan Dewa yang menjadi musuh-musuh besar Cin-ling-pai. Ayah dan
ibu tentu akan bangga kalau mendengar akan sikap kami ini," kata Kwi Eng.
Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati Bun Houw mendengar
percakapan mereka itu. Dan sampai bengong memandang mereka tanpa mampu
mengeluarkan kata-kata. Kwi Eng yang kebetulan memandang kepada pemuda itu tiba-
tiba menjadi merah mukanya dan menunduk karena melihat betapa pemuda tampan itu
memandang kepadanya dengan mata terbelalak seolah-olah hendak menelannya bulat-
bulat! "Bun-taihiap, engkau... mengapakah?" Kwi Eng yang tidak pemalu itu menegur
halus. Bun Houw terkejut, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang kepada
mereka bertiga dengan mata bersinar-sinar. "Sungguh mati saya amat terkejut
mendengar betapa sam-wi menyebut-nyebut soal Lima Bayangan Dewa dan hendak
membela Cin-ling-pai. Kalau boleh saya bertanya, apakah hubungan antara sam-wi
dengan Cin-ling-pai?"
Kini Tio Sun dan dua orang saudara kembar itu yang menatap wajah Bun Houw
dengan tajam penuh selidik. "Bun-hiante... tahu soal... Lima Bayangan Dewa dan
Cin-ling-pai?" Tio Sun bertanya.
Bun Houw mengangguk. "Tentu saja, dan saya bahkan tersangkut secara
langsung. Akan tetapi sebelum aku dapat menceritakan hal itu, harap sam-wi lebih
dulu menerangkan apa hubungan sam-wi dengan Cin-ling-pai?"
Tio Sun menghadapi Bun Houw, memandang dengan sinar mata tajam sejenak, lalu
berkata, "Biarpun baru berjumpa pertama kali dan tidak mengenal benar siapa
adanya dirimu, Bun-hiante, akan tetapi aku telah percaya benar kepadamu, maka
biarlah aku mengaku terus terang. Seperti telah kukatakan kepadamu, aku adalah
putera dari bekas pengawal Panglima The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan dan
ayah adalah seorang sahabat baik dari Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-
pai. Agaknya tentu engkau telah mendengar kegemparan di dunia kang-ouw dengan
adanya penyerbuan Lima Bayangan Dewa di Cin-ling-san yang membunuh anak-anak
murid Cin-ling-pai bahkan telah mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Nah,
mengingat akan hubungan persababatan yang amat baik dengan Cin-ling-pai, ayah
lalu mengutus aku untuk mewakili ayah, membantu Cin-ling-pai mencari Lima
Bayangan Dewa dan kalau mungkin merampas kembali pedang pusaka Siang-bhok-kiam.
Demi persahabatan itu, aku melupakan kebodohanku sendiri, melakukan penyelidikan
sampai di Yen-tai di mana aku bertemu dan berkenalan dengan kedua orang saudara
Souw ini yang ternyata adalah cucu murid sendiri dari mendiang Panglima The
Hoo." "Adapun kami berdua, setelah terjadi peristiwa di Yen-tai, kami juga sudah
sepakat untuk membantu Tio-twako mencari Lima Bayangan Dewa, karena ibu kami
pernah bercerita kepada kami tentang kegagahan ketua Cin-ling-pai yang patut
kami bantu pula," kata Kwi Eng.
Mendengar ini, Bun Houw segera bangkit dari atas batu dan dia lalu memberi
hormat kepada tiga orang itu dengan menjura. Hal ini mengejutkan dan
mengherankan mereka yang segera bangkit pula untuk membalas penghormatan itu.
Dengan suara terharu Bun Houw lalu berkata, "Atas nama Cin-ling-pai, saya
menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan sam-wi yang demikian budiman."
"Eh, siapakah sesungguhnya Bun-taihiap?" tanya Tio Sun yang kembali menyebut
taihiap karena dia menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan orang sembarangan.
"Maafkan kalau saya tadi kurang berterus terang. Sebetulnya saya she Cia dan
bernama Bun Houw..."
Aih...! Kiranya Cia-taihiap, putera dari ketua Cin-ling-pai?" Tio Sun
berteriak girang. "Pantas saja demikian lihai, kiranya Cia-taihiap sendiri
orangnya! Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat."
"Putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong...?" Kwi Eng berseru dan memandang
dengan wajah bersinar penuh kekaguman. Juga Kwi Bang memandang kagum dan hal ini
membuat Bun Houw menjadi makin sungkan dan malu.
"Harap sam-wi jangan berlebihan. Marilah kita duduk kembali dan bicara
dengan leluasa." Mereka duduk kembali dan Bun Houw lalu memandang mereka dengan bergantian.
"Tidak kukira bahwa ayah mempunyai demikian banyak sahabat yang diam-diam
membela Cin-ling-pai dan hal ini amat mengharukan hatiku. Akan tetapi sebelum
kita bicara, di antara kita adalah orang segolongan, apalagi sam-wi adalah
penolong-penolong Cin-ling-pai, maka harap tinggalkan saja sebutan taihiap yang
tidak pada tempatnya. Tio-twako, harap kau suka menyebutku adik saja, dan kedua
adik Souw juga hendaknya menyebutku kakak saja. Bukankah sebagai orang-orang
segolongan kita boleh dibilang bersaudara atau bersahabat baik?"
Tiga orang gagah itu menjadi girang melihat sikap putera ketua Cin-ling-pai
yang berilmu tinggi akan tetapi bersikap sederhana dan tidak tinggi hati itu.
"Baiklah, Houw-te (adik Houw)," kata Tio Sun.
"Terima kasih, Houw-ko," kata Kwi Eng dan Kwi Bun hampir berbareng.
Bun Houw menghela napas. "Niat kalian untuk membantu kami amat baik dan
tentu saja saya merasa amat bersyukur. Akan tetapi apakah kalian tahu di mana
tinggalnya Lima Bayangan Dewa dan ke mana kalian hendak mencari mereka?"
"Tadinya kami mendengar bahwa seorang di antara mereka yang bernama Liok-te
Sin-mo Gu Lo It tinggal di pantai Laut Timur, akan tetapi setelah kami selidiki,
ternyata dia sudah pergi ke pedalaman dan kami hendak mencari jejaknya di
pedalaman." "Pedalaman Tiongkok berarti merupakan daerah yang puluhan ribu mil luasnya,
bagaimana kita dapat menyelidiki mereka" Pula, tingkat kepandaian Lima Bayangan
Dewa itu amat tinggi sehingga kalau sam-wi membantu kami, besar bahayanya sam-wi
akan menghadapi malapetaka. Bukan aku tidak tahu terima kasih, akan tetapi
ayahku yang telah menugaskan aku menghadapi mereka tentu akan marah kepadaku
kalau aku membiarkan orang lain menjadi korban kejahatan Lima Bayangan Dewa.
Maka, kuharap sam-wi suka kembali saja," Bun Houw berkata dengan suara sungguh-
sungguh. "Adik Cia Bun Houw mengapa berkata demikian?" Tio Sun membantah dengan suara
keras. "Biarpun kepandaianku masih amat rendah, akan tetapi aku bukan orang yang
takut menghadapi bahaya. Ayah sudah menugaskan kepadaku, bagaimana bisa pulang
sebelum lecet kulitku, sebelum patah tulangku" Demi melaksanakan tugas yang
diperintah ayah, selembar nyawaku menjadi taruhan!"
"Kami berduapun tidak mempunyai tempat tinggal lagi sebelum orang tua kami
pulang, maka harap Houw-ko tidak menolak bantuan kami yang juga tidak takut
bahaya dalam menentang kejahatan!" Kwi Eng berkata, sikapnya gagah sekali dan
Bun Houw menjadi makin kagum saja.
"Kalau begitu besar tekad sam-wi, saya tidak berani mencegah dan saya makin
berterima kasih. Ketahuilah bahwa saya sendiri telah memperoleh jejak mereka,
bahkan telah bertemu dengan dua orang di antara mereka. Sayang saya tidak
berhasil merobohkan mereka dan sekarang mereka telah melarikan diri. Menurut
penyelidikan saya, Lima Bayangan Dewa itu kini agaknya berkumpul di Ngo-sian-
chung, tidak jauh dari sini, di lembah muara Huang-ho."
"Bagus! Kalau begitu mari kita berempat menyerbu ke sana, Houw-te!" Tio Sun
berseru penuh semangat. "Mereka itu selain lihai juga amat curang, maka kita harus berlaku hati-hati
sekali!" Bun Houw menerangkan. "Belum lama ini aku sendiri terjebak dan hampir
tewas oleh mereka, kalau tidak tertolong oleh seorang sahabat. Dan saya minta
kepada sam-wi agar nama saya dirahasiakan sebagai putera Cin-ling-pai, karena
selama ini saya hanya dikenal sebagai seorang she Bun bernama Houw. Sebelum
berhasil meringkus atau membasmi mereka, saya tidak akan menggunakan nama
sendiri, dan hanya kepada sam-wi saja yang saya tahu adalah putera-puteri
sahabat dari ayah maka saya memperkenalkan diri secara sesungguhnya."
Empat orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan sepanjang Sungai Huang-ho
menuju ke timur. Kwi Eng yang berwatak terbuka dan tidak pemalu, dengan terang-
terangan mengatakan sikap kagumnya terhadap putera ketua Cin-ling-pai ini,
selalu berjalan di dekat Bun Houw dan ada saja hal yang dibicarakan, nampaknya
begitu akrab dan sedikitpun Kwi Eng tidak menyembunyikan rasa tertarik dan
sukanya. Di lain fihak, karena memang Kwi Eng amat cantik jelita, memiliki daya
tarik yang keras, tentu saja Bun Houw juga senang sekali berdekatan dan
bercakap-cakap dengan gadis ini. Kwi Beng sebagai saudara kembar memilki
hubungan jiwa yang amat dekat dengan adiknya, maka tentu saja dia segera dapat
merasakan debaran jantung adiknya yang mulai disentuh asmara itu. Sambil
berjalan di dekat Tio Sun, Kwi Beng berbisik kepada pendekar muda itu tentang
adiknya, menunjuk dengan gerakan mukanya ke depan, "Tio-twako, lihat betapa
cocoknya mereka berdua... aihhh, betapa akan senang hatiku kalau saja adikku
bisa menjadi jodohnya kelak..."
Kwi Beng sama sekali tidak mengira bahwa bisikannya itu sebenarnya merupakan
ujung pisau berkarat yang menghujam di ulu hati Tio Sun! Dia sama sekali tidak
pernah menduga bahwa sebetulnya Tio Sun inilah yang sudah bertekuk lutut, jatuh
hati kepada adiknya semenjak saat mereka saling jumpa. Tio Sun sudah jatuh cinta
kepada Kwi Eng, dara jelita yang bermata lebar kebiruan dan berambut hitam agak
pirang keemasan itu! Hanya karena Tio Sun orangnya pendiam dan pemalu, maka sedikitpun tidak
pernah tampak perasaan cinta itu, baik pada pandang matanya, kata-katanya maupun
gerak-geriknya. Hemmm..." Hanya begitulah Tio Sun menjawab sambil menundukkan mukanya, tidak
tahan melihat betapa Kwi Eng sambil tersenyum-senyum bicara kepada Bun Houw yang
jalan berendeng demikian dekatnya sehingga seolah-olah lengan mereka saling
bersentuhan. Dan Bun Houw demikian gagahnya, demikian tampannya, juga memiliki
kepandaian demikian tingginya. Putera ketua Cin-ling-pai pula. Seorang pemuda
gagah perkasa, putera pendekar sakti yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh
semua orang kang-ouw. Sedangkan dia" Hanya putera seorang bekas pengawal miskin
dan tidak terkenal. Tio Sun makin menunduk, berusaha mengusir rasa tidak enak
dan sakit yang berada di rongga dadanya.
Malam itu mereka melewatkan malam di sebuah hutan di tepi sungai karena
menurut nasihat Tio Sun, lebih baik berhati-hati menyelidiki tempat Lima
Bayangan Dewa yang selain lihai tentu juga memiliki banyak anak buah itu. Dia
sendiri lalu membuat api unggun, dan kedua orang saudara Souw pergi menangkap
beberapa ekor kelinci dan ayam hutan. Kwi Eng segera sibuk menguliti dan
memanggang kelinci dan ayam hutan, sedangkan Bun Houw sudah duduk bersama Kwi
Beng dan Tio Sun bercakap, saling menceritakan pengalaman masingmasing di dekat
api unggun. Ketika Tio Sun bercerita tentang pengalamannya menolong seorang
gadis cilik kemudian bertemu dengan Bun Hwat Tosu, Bun Houw dan Kwi Beng merasa
kagum sekali. Terutama Bun Houw yang sudah sering mendengar dari ayahnya bahwa
di jaman itu, Bun Hwat Tosu merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang
jarang muncul di dunia persilatan, yang merupakan seorang manusia setengah dewa.
Tentu saja Bun Houw sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cilik yang
diselamatkan kawannya itu sebetulnya adalah Yap Mei Lan, anak dari Yap Kun Liong
yang masih terhitung suhengnya itu!
"Aku mendengar dari ayah bahwa ilmu kepandaian bekas ketua Hoa-san-pai itu
seperti dewa. Dan Yap Kun Liong suheng juga menerima sebagian dari ilmu-ilmunya
dari kakek dewa itu," kata Bun Houw kagum. "Untung sekali engkau dapat bertemu
dengan beliau, Tio-twako."
"Akan tetapi engkau sendiripun murid seorang manusia dewa, Houw-te. Aku
pernah mendengar dari ayah yang mengenal baik keadaan Cin-ling-pai bahwa engkau
sejak kecil telah menjadi murid Kok Beng Lama di Tibet yang kepandaiannya sukar
dibicarakan saking tingginya."
"Ahhh, engkau terlalu memuji, twako. Memang, suhu Kok Beng Lama seorang
sakti luar biasa, akan tetapi aku yang muda dan bodoh mana bisa mewarisi seluruh
kepandaiannya" Sayang bahwa begitu pulang ke Cin-ling-pai, terdapat malapetaka
itu sehingga aku terus saja berangkat menyelidiki Lima Bayangan Dewa, tidak
sempat mengunjungi enciku yang tinggal di Sin-yang dan mengunjungi Yap-suheng
yang tinggal di Leng-kok. Sungguh menggemaskan sekali Lima Bayangan Dewa itu."
"Mereka itu pengecut kalau berani bergerak selagi ayahmu tidak berada di
Cin-ling-san, Houw-ko," Kwi Beng ikut pula bicara.
"Aiiiihhh...!" Tiga orang pemuda itu terkejut sekali, Bun Houw sudah
mencelat dan diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng. Yang menjerit adalah Kwi Eng dan
kini dara itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan bayangan orang
berkelebat ke barat. Bun Houw yang memiliki gerakan paling ringan dan cepat sudah meloncat
seperti terbang cepatnya, disusul oleh Tio Sun dan Kwi Beng lari paling akhir
karena pemuda peranakan ini biarpun juga memiliki kepandaian cukup tinggi, masih
kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Houw dan kalah setingkat oleh Tio Sun.
"Aihhh... apa kau gila...?" Kwi Eng menjerit dan kelihatan terdesak hebat
oleh serangan sesosok bayangan yang bertubuh ramping. Bayangan wanita! Ketika
Bun Houw tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Eng terancam bahaya maut dan cepat
dia menerjang dan sempat menangkis pukulan maut yang sudah mengancam kepala Kwi
Eng. "Dukkkk...! Aihhhh...!" Bayangan wanita itu terkejut ketika pukulannya
tertangkis dan dia terhuyung ke belakang, lalu dia meloncat sambil terkekeh dan
lenyap ditelan kegelapan malam. Bun Houw tidak dapat melihat wajahnya, akan
tetapi melihat bentuk tubuh wanita itu dan melihat caranya bergerak dan
menyerang, jantungnya berdebar tegang karena dia yakin siapa adanya wanita yang
menyerang Kwi Eng tadi. Melihat Kwi Eng terhuyung, cepat dia menyambar,
mendukungnya dan membawanya kembali ke tempat tadi, diikuti oleh Tio Sun dan Kwi
Beng yang menjadi khawatir sekali.
Bun Houw dengan hati-hati merebahkan Kwi Eng di dekat api unggun. Hatinya
lega ketika memeriksa dan ternyata Kwi Eng tidak menderita luka parah, hanya
mengalami tamparan yang membuat pipi dan lehernya terdapat tanda jari tangan
yang merah, tanda bahwa tamparan itu keras sekali. Kwi Eng masih nanar, akan
tetapi dia dapat bangkit duduk dan mukanya merah sekali.
"Keparat, dia entah orang gila entah setan!" dia memaki sambil meraba leher
dan pipinya yang terasa panas.
"Eng-moi, apakah yang terjadi?" Kakaknya bertanya, kelihatan marah melihat
adiknya dipukuli orang. "Aku sendiri tidak tahu dengan jelas. Seperti kalian tahu, aku baru
memanggang daging dan aku hendak membuang isi perut kelinci dan ayam hutan agak
jauh dari sini agar tidak mendatangkan bau tidak enak. Kulihat kalian masih
sibuk bercakap-cakap. Ketika aku tiba di sana..." Dia menuding ke arah
gerombolan pohon tak jauh dan yang gelap, "aku membuang isi perut itu dan tiba-
tiba saja lenganku disambar orang dan aku dibawa lari seperti terbang cepatnya!"
Siapa dia" Bagaimana orangnya?" Tio Sun bertanya dan Bun Houw hanya
mendengarkan, bahkan menundukkan mukanya karena dia sudah mulai menduga siapa
orang yang mengganggu Kwi Eng itu dan sedang menduga-duga mengapa terjadi hal
itu. "Aku tidak dapat melihat mukanya karena gelap, akan tetapi yang jelas dia
adalah seorang wanita, agaaknya masih muda dan cantik karena cahaya api unggun
sebentar menimpa pipinya. Dia kuat sekali karena betapapun aku meronta, aku
tidak dapat melepaskan diri, malah dia lalu menampariku dan berbisik penuh
ancaman. Tentu saja aku melawan, akan tetapi gerakannya lihai bukan main
sehingga betapapun aku mengelak dan menangkis, tetap saja aku kena ditampar
beberapa kali," Kwi Eng kembali meraba leher dan pipinya. "Dan... kalau saja
Houw-koko tidak keburu datang, aku... aku agaknya sudah terpukul mati, aku
merasa betul bahwa iblis itu menghendaki kematianku dan kepandaiannya begitu


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebat!" Kwi Eng bergidik.
"Bagaimana kau tahu kepandaiannya amat hebat?" kakaknya mendesak.
"Kau tahu, koko, ketika dia menarikku, aku sudah mengerahkan tenaga, aku
diam-diam mencabut tusuk kondeku. Kau tahu tusuk kondeku itu adalah pemberian
ibu, terbuat dari baja tulen seperti pedang, diselaputi emas luarnya. Aku
menusuknya di tempat gelap, tepat pada lambungnya dan kaulihatlah ini..." Dara
itu mengeluarkan sebatang tusuk konde yang telah patah menjadi dua!
"Ihhhh...!" Kwi Beng berteriak ngeri. Membayangkan lawan yang lambungnya
ditusuk dengan senjata itu malah senjatanya patah, benar-benar mengerikan
sekali. "Adik Kwi Eng, kau tadi mengatakan bahwa iblis itu berbisik penuh ancaman.
Bisikan apakah yang dikatakan kepadamu?" Tiba-tiba Tio Sun bertanya.
Kwi Beng dan Bun Houw juga memandang dan Kwi Eng kelihatan gugup, bahkan
lalu mengerling den menatap wajah Bun Houw sampai lama. Pemuda ini mengerutkan
alisnya, hatinya menjadi tidak enak dan akhirnya dia menunduk.
"Aku sendiripun merasa heran sekali memikirkan apa yang dibisikkan oleh
iblis betina itu." Kwi Eng akhirnya berkata lirih. "Suaranya halus dan
bisikannya jelas terdengar olehku kelika dia menampariku. Dia berkata, berani
kau mendekati dia" Kubunuh kau kalau kau berani jatuh cinta padanya!"
"Ehhhh...! Gila!" Kwi Beng berkata marah dan memandang ke kanan kiri.
"Hemmm, siapakah yang dimaksudkannya itu?" Tio Sun juga berkata sambil
mengerling ke arah Bun Houw yang makin menundukkan mukanya. Mendengar penuturan
ini, Bun Houw makin yakin siapa wanita yang telah menyerang Kwi Eng itu dan dia
merasa heran, terkejut, bingung dan penasaran. Tentu dara bernama Hong itu! Akan
tetapi mengapa demikian" Mengapa Hong bersikap seperti itu" Apa artinya semua
itu" Cemburu" Ah, mengapa cemburu"
"Houw-koko, apakah kau mengenal iblis itu?" Tiba-tiba Kwi Eng bertanya
kepada Bun Houw dan pemuda ini terkejut, tersentak dari lamunannya.
"Aku tidak tahu..." dia menggeleng ragu. "Aku tidak melihat suatu sebab yang
membuat orang dapat bersikap seperti itu kepadamu. Mungkin dia seorang gila,
atau siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Lima Bayangan Dewa..."
"Atau mungkin juga dia salah melihat orang, kau disangka orang lain, adik
Kwi Eng," kata pula Tio Sun yang merasa tidak enak melihat Bun Houw kelihatan
bingung. "Sudahlah, karena tidak ada akibat yang terlalu hebat, mari kita makan
dan beristirahat. Malam ini kita harus berjaga-jaga, siapa tahu kalau-kalau dia
muncul kembali." Kwi Eng melanjutkan pekerjaannya memanggang daging, kini tidak berani
terlalu jauh dari teman-temannya. Setelah mereka makan daging dan cukup kenyang,
Bun Houw yang masih merasa tidak enak dan menduga bahwa boleh jadi dara bernama
Hong itu yang melakukan perbuatan kasar terhadap Kwi Eng karena orang aneh
seperti dia sukar diduga sebelumnya apa yang akan dilakukannya, mengusulkan
untuk mencari penginapan di dalam dusun di luar hutan saja.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan keluar dari hutan sambil membawa obor.
Maksud Bun Houw mencari penginapan di dusun adalah untuk menghindari gangguan
"iblis" tadi, karena hatinya masih khawatir akan keselamatan Kwi Eng. Ketika dia
menangkis pukulan iblis tadi, dia memperoleh kenyataan betapa kuatnya tenaga
lengan iblis betina itu dan kalau mereka tinggal di dalam hutan yang terbuka,
sukarlah baginya untuk terus melindungi Kwi Eng.
Benar saja, tepat di luar hutan, mereka mendapatkan sebuah dusun kecil yang
dihuni oleh puluhan keluarga petani. Tentu saja di dusun kecil seperti itu tidak
terdapat rumah penginapan, akan tetapi Kwi Eng yang pandai bicara ramah dan juga
mempunyai banyak uaug bekal itu berhasil mendapatkan sebuah rumah besar tempat
tinggal seorang petani yang agak kaya untuk menampung dan memberi kamar kepada
mereka berempat untuk satu malam itu. Petani yang kecukupan ini she Ma dan hidup
bersama seorang istri, dua orang anak gadis yang sudah dewasa dan dua orang
pelayan. Keluarga she Ma ini ternyata ramah sekali dan dengan gembira mereka
menyambut empat orang tamu mereka, bahkan menjamu mereka dengan nasi, lauk pauk
dan minuman, memaksa mereka berempat makan walaupun mereka menyatakan bahwa
mereka sudah makan di hutan. Memang kehidupan di dusun jauh bedanya dengan di
dalam kota. Orang-orang kota biasanya terlalu mementingkan diri sendiri, hidup
memisahkan diri, dan saling tidak mengacuhkan keadaan orang lain, jarang sekali
nampak keakraban dan kegotongroyongan. Berbeda dengan kgbidupan di dusun di mana
mereka lebih saling bergaul dengan akrab, senasib sependeritaan dan selalu
bersikap ramah apabila kedatangan tamu. Demikian pula, keluarga she Ma ini,
ketika mendengar permintaan Kwi Eng untuk dapat bermalam di situ malam itu,
mereka gembira sekali, apalagi ketika melihat bahwa Kwi Eng adalah seorang dara
yang demikian cantik jelita dan mempunyai kecantikan yang khas, sedangkan tiga
orang pemuda itu begitu gagah-gagah dan tampan, terutama sekali Bun Houw dan Kwi
Beng. Diam-diam timbullah keinginan besar di dalam hati suami isteri Ma. Sudah
lama mereka itu ingin sekali memperoleh mantu-mantu yang sesuai dengan keadaan
mereka. Sebagai petani yang paling kaya di dusun itu, tentu saja mereka
menganggap pemuda-pemuda dusun itu kurang memenuhi syarat untuk menjadi mantu-
mantu mereka. Kini muncul pemuda-pemuda kota yang demikian gagah dan tampan,
tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka dan sang ibu segera memberi
nasihat kepada dua orang puterinya untuk keluar dan ikut pula melayani para tamu
makan minum dan bersikap ramah dan manis kepada para tamunya. Tentu saja tidak
lupa mereka itu berhias diri untuk menarik perhatian para pemuda kota itu,
terutama Kwi Beng dan Bun Houw.
Kwi Eng yang dapat mengerti sikap ibu dan dua orang anak gadisnya itu merasa
geli dan juga kasihan. Sikap mereka begitu polos dan kaku sehingga amat menyolok
mata ketika perawan pertama dengan manisnya melayani Bun Houw sedangkan adiknya
dengan sikap memikat melayani Kwi Beng. Beberapa kali Kwi Eng menutup mulutnya
menahan ketawa melihat betapa Kwi Beng dan Bun Houw menjadi merah mukanya
dilayani oleh perawan-perawan dusun yang berbedak tebal dan memakai minyak wangi
semerbak itu. Karena keramahan fihak tuan rumah sekeluarga, mereka berempat merasa tidak
enak untuk menolak dan biarpun mereka sudah kenyang makan daging kelinci dan
ayam hutan tadi, kini mereka makan dan minum lagi sekedarnya hanya untuk
menyenangkan hati keluarga tuan rumah.
Demikian pula setelah mereka makan, keluarga itu mengajak para tamunya
bercakap-cakap di ruangan depan, dan kembali dalam kesempatan ini, dua orang
anak gadis keluarga itu memperlihatkan sikap manis dan tertarik sekali kepada
Bun Houw den Kwi Beng. Tentu saja dua orang pemuda ini menjadi sungkan dan malu-
malu, dan baru mereka merasa terbebas ketika Tio Sun akhirnya minta perkenan
dari keluarga itu untuk mengaso. Kwi Eng memperoleh kamar sendiri, sedangkan
tiga orang pemuda itu tidur menjadi satu di dalam sebuah kamar besar sederhana
di bagian belakang rumah itu. Menjelang tengah malam, semua orang terkejut
ketika mendengar jerit melengking yang mengerikan. Sebagai orang-orang
berkepandaian tinggi, tentu saja tiga orang pemuda itu cepat meloncat keluar
dari kamar mereka, dan bertemu dengan Kwi Eng yang juga sudah meloncat keluar
kamarnya. Lalu mereka mendengar suara tangis dari kamar dua orang gadis puteri
tuan ruinah. Tentu saja mereka terkejut dan cepat mendatangi kamar itu dan dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa gadis pertama she Me
telah rebah tak bernyawa lagi di atas pembaringannya dan di dahinya terdapat
tanda tiga buah jari tangan menghitam. Jelas bahwa gadis ini tewas terbunuh
orang yang memiliki kepandaian tinggi! Ketika melihat empat orang itu, suami
isteri Ma dan anaknya yang kedua menangis makin riuh rendah.
Tanpa diminta, Tio Sun dan tiga orang temannya sudah menggunakan kepandaian
mereka untuk meloncat dan melakukan pengejaran, mencari di luar belakang dan di
atas genteng rumah, namun tidak nampak bayangan orang lagi. Mereka kembali ke
kamar itu di mana semua keluarga masih menangis.
"Apakah sesungguhnya yang telah terjadi?" Tio Sun bertanya kepada tuan
rumah. "Mengapa puteri ji-wi tahu-tahu meninggal seperti ini?"
Sambil menangis orang she Ma itu menjawab bahwa mereka suami isteri juga
tidak tahu, akan tetapi menurut penuturan gadis mereka yang kedua, anak pertama
mereka itu dibunuh oleh seorang wanita!
"Seorang wanita?" Bun Houw bertanya dengan suara terkejut sekali. Jentunguya
berdebar tegang dan dia langsung bertanya kepada gadis Ma yang muda dan yang
masih menangis itu, "Nona, harap ceritakan, apa yang telah terjadi dan siapa
yang membunuh encimu?"
"Saya... saya terbangun oleh suara dalam kamar kami..." gadis itu bercerita
dengan air mata bercucuran. "Lampu kami bernyala kecil... dan... dan saya
melihat bayangan seorang wanita di kamar... ada bau harum bunga... dan saya
mendengar suara wanita itu berkata kepada enci..." Dia melihat lagi terisak-
isak. Ibunya memeluknya dan berkata, "Kau tenanglah dan ceritakan dengan jelas..."
"Saya... mendengar jelas, wanita itu... bayangan itu berkata, "Kau berani
menggoda pemuda itu, kau harus mati!" Enci menjerit den bayangan itu berkelebat
lenyap... seperti iblis... melalui jendela. Saya menghampiri enci dan... dan..."
gadis itu menangis lagi sesenggukan.
Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun saling pandang dengan mata terbelalak,
sedangkan Bun Houw yang merasa jantungnya berdebar dan tengkuknya meremang
menundukkan mukanya sambil mengepal tinju tangannya. Benarkah" Benarkah wanita
iblis itu adalah wanita yang telah mengancam Kwi Eng dan kini membunuh puteri
tuan rumah ini" Benarkah nona Hong yang cantik jelita, gagah perkasa, penolong
dan penyelamatnya itu, dia itukah iblis betina ini" Agaknya tidak mungkin salah
lagi! Siapa lagi kalau bukan dia yang berkepandaian begitu tinggi sehingga Kwi
Eng sendiripun tidak berdaya" Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu"
Mengapa" Karena cinta kepadanya dan karena cemburu melihat sikap puteri tuan
rumah manis kepadanya" Cemburu" Begitu kejamnya" Dia bergidik.
Tio Sun menyentuh lengannya dan pemuda itu memberi isyarat kepadanya. Bun
Houw mengangkat muka, melihat betapa tiga orang temannya itu memandang kepadanya
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia menghela napas dan keluar dari kamar
itu bersama tiga orang temannya.
Setelah tiba di ruangan depan rumah itu, Tio Sun memandang kepada Bun Houw
dengan tajam lalu berkata, "Houw-te, agaknya pembunuhan ini ada hubungannya
dengan penyerangan atas diri adik Kwi Eng. Apakah engkau dapat monduga siapa
yang melakukannya?" Melihat mereka bertiga memandang penuh selidik, Bun Houw menghela napas dan
menjawab, "Sungguh, aku sendiri menjadi bingung. Ada seorang pendekar wanita
yang kukenal, akan tetapi agaknya tidak mungkin dia berobah menjadi iblis
betina. Aku tidak dapat percaya. Tidak, tentu ada apa-apa yang aneh di balik
semua ini" Bun Houw tetap tidak mau mengaku. Bagaimana mungkin dia menceritakan
tentang nona Hong yang amat dikagumi dan yang telah menyelamatkan nyawanya itu"
Terus terang saja, di sudut hatinya memang ada dugaan bahwa nona itulah yang
melakukan ancaman terhadap Kwi Eng den pembunuhan malam ini, karena betapapun
juga, dia tahu bahwa nona perkasa itu memiliki watak aneh dan hati yang keras,
tidak dapat memberi ampun kepada musuhnya. Akan tetapi mengapa menyatakan
cemburu secana demikian ganas" Dan benarkah perbuatan itu dilakukan karena
cemburu" Apakah nona Hong yang panuh rahasia itu jatuh cinta kepadanya" Semua
pertanyaan ini mengaduk otaknya dan karena belum terdapat bukti-bukti nyata,
biarpun dia mulai menduga demikian, dia tidak mau merusak nama gadis panolongnya
itu. Betapapun juga dia masih tidak mau percaya bahwa dara cantik jelita itu
telah membunuh gadis she Me yang sama sekali tidak berdosa itu. Dia bergidik.
Bagaimana kalau benar nona Hong yang membunuhnya" Betapa kejamnya. Seperti iblis
betina saja! Dia menjadi makin penasaran dan ingin sekali dia bertemu dengan
gadis itu untuk ditanyainya. Teringat dia betapa ganasnya nona itu ketika hendak
membasmi anak buah Lembah Bunga Merah. Seorang gedis yang cantik jelita, berilmu
tinggi dan amat ganas menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi membunuh gadis she
Ma yang tidak berdosa dengan darah dingin begitu saja" Sungguh keterlaluan! Bun
Houw merasa terisksa batinnya di antara keraguan dan rasa penasaran. Benarkah
nona Hong yang membunuhnya" Seorang dara seperti bidadari, seperti seorang dari
kahyangan! Mengapa begitu kejam" Seperti Dewi Maut saja, bidadari yang bertugas
mencabut nyawa sebagai pembantu Giam-lo-ong!
Dapat dibayangkan betapa bingungnya hati pemuda itu. Dia amat kagum kepada
In Hong dan merasa berhutang budi karena harus diakuinya bahwa kalau bukan nona
itu yang menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya, tentu dia sekarang sudah
mati. Akan tetapi peristiwa penyerangan terhadap diri Kwi Eng dan pembunuhan
terhadap gadis she Ma itu menunjukkan seolah-olah gadis yang dikaguminya itu
seorang ibils betina yang kejam. Tangannya sudah merogoh kantong menyentuh
burung hong kumala yang diterimanya dari nona itu. Saking gemas dan bencinya
hampir saja dia meremas benda itu, akan tetapi dia ingat bahwa belum ada bukti
nyata bahwa nona itulah yang melakukan semua kekejian ini. Kelak dia pasti akan
menyelidiki dan membongkar rahasia ini!
Karena hatinya amat terganggu oleh peristiwa itu, dan juga karena tiga orang
temannya agaknya mencurigainya, maka dengan dalih mencari dan mengejar pembunuh
itu, Bun Houw mengajak tiga orang temannya meninggalkan rumah keluarga Ma dan
malam itu juga mereka meninggalkan dusun itu dan berusaha mencari jejak
pembunuh, namun semua usaha mereka sia-sia belaka.
*** Ngo-sian-chung (Kampung Lima Dewa) adalah sebuah dusun kuno yang terletak di
lembah muara sungai Huang-ho. Di dusun itu, di dekat sungai, terdapat bukit
kecil di mana orang dapat melihat adanya lima buah batu gunung besar yang
berjajar dan jika dilihat dari kejauhan mirip lima orang sedang duduk bercakap-
cakap. Karena itulah mungkin maka dusun itu disebut Dusun Lima Dewa. Akan
tetapi, belasan tahun yang lalu ketika seorang datuk kaum sesat datang dan
menetap di dusun itu, lambat-laun para penghuni dusun pindah ke lain tempat dan
akhirnya dusun itu seolah-olah menjadi "milik pribadi" datuk kaum sesat itu yang
bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Dia ini sebetulnya adalah
seorang yang berilmu tinggi peranakah Mongol, ayahnya seorang Han akan tetapi
ibunya seorang wanita Mongol. Ayahnya adalah seorang petualang yang
berkepandaian tinggi dan ketika bertualang di dadrah Mongol ayahnya itu menikah
dengan puteri kepala Suku Bangsa Mongol. Oleh karena itu, biarpun dia memakai
nama keturunan ayahnya dan mempunyai nama Han, akan tetapi wajahnya yang tampan
itu mirip orang Mongol dari seperti juga orang Mongol, dia tidak begitu suka
kepada Bangsa Han, bangsa ayahnya sendiri, dan lebih setia kepada Bangsa Mongol
yang dianggapnya bangsa paling besar dan mulia di dunia.
Phang Tui Lok menerima ilmunya dari seorang sakti, dan dia adalah sute dari
mendiang Ban-tok Coa-ong, seorang datuk kaum sesat yang pada puluhan tahun yang
lalu amat terkenal di dunia persilatan. Seperti kita ketahui, di dalam cerita
Petualang Asmara, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok tewas di tangan Pendekar Sakti Cia
Keng Hong ketua Cin-ling-pai, dan oleh karena ini maka Pat-pi Lo-sian Phang Tui
Lok menaruh dendam kepada Cin-ling-pai dan semenjak dia tinggal di Ngo-sian-
chung, dia selalu mencari kesempatan uatuk membalas sakit hatinya itu. Namun,
dia bukanlah seorang bodoh dan ceroboh. Dia maklum betapa lihainya ketua Cin-
ling-pai, maka dia selalu mencari kesempatan yang baik dan menyusun kekuatan.
Setelah dia dapat mengumpulkan harta dan menjadi "majikan" dusun Ngo-sian-
chung itu, mulailah dia mengumpulkan teman-teman yang dia tahu juga merupakan
musuh-musuh dari ketua Cin-ling-pai sehingga akhirnya dia berhasil menarik empat
orang lihai lainnya dan bahkan mengangkat saudara dengan mereka ini dan mereka
menggunakan julukan Lima Bayangan Dewa, sesuai dengan Ngo-sian-chung yang
menjadi sarang atau pusat pertemuan mereka. Setelah merasa kuat, maka Pat-pi Lo-
sian mengajak empat orang saudara angkatnya itu untuk menyerbu Cin-ling-pai dan
seperti telah dituturkan di bagian depan cerita ini, mereka berhasil membunuh
Cap-it Ho-han murid-murid kepala Cin-ling-pai dan Phang Tui Lok sendiri sebagai
saudara tertua dan yang terpandai, berhasil merampas pedang Siang-bhok-kiam.
Setelah berhasil menggegerkan dunia kang-ouw dengan penyerbuan mereka ke
Cin-ling-pai itu, Lima Bayangan Dewa maklum bahwa tentu fihak Cin-ling-pai tidak
akan tinggal diam, maka merekapun lalu mengumpulkan teman-teman segolongan untuk
bersiap-siap menghadapi musuh besar mereka. Bahkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok
sendiri lalu membujuk dua di antara Lima Bayangan Dewa, yaitu Liok-te Sin-mo Gu
Lo It yang tadinya tinggal di pantai timur, dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang
tadinya di selatan untuk tinggal di Ngo-sian-chung. Selain mengumpulkan tokoh-
tokoh besar golongan sesat yang juga memusuhi Cin-ling-pai, juga Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok yang masih terhitung keluarga para bangsawan Mongol, diam-diam
menghubungi seorang pembesar istana yang pada waktu itu sedang berkuasa besar,
yaitu seorang pembesar thaikam (pembesar kebiri) yang berpengaruh di istana
kaisar. Kini dusun Ngo-sian-chung tidaklah seramai dahulu lagi, sebagian besar
penghuni aseli dusun itu, yang sudah tinggal di situ selama beberapa keturunan,
telah pergi dari situ dan pindah ke dusun lain semenjak Lima Bayangan Dewa
menguasai dusun itu. Mereka ini, orang-orang dusun yang lemah, tidak mau
terlibat dengan urusan orang-orang kang-ouw yang mengandalkan kepandaian dan
kekerasan untuk melewati hidup. Mereka yang masih tinggal di situ adalah orang-
orang yang memperoleh keuntungan dengan adanya Lima Bayangan Dewa dan bekerja
menjadi kaki tangan mereka
Pada pagi hari itu, empat orang muda memasuki dusun Ngo-sian-chung dengan
sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Mereka itu adalah Bun Hoow, Tio Sun, Kwi


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng dan Kwi Eng. Setelah mereka pada malam hari itu gagal mencari dan mengejar
pembunuh rahasia yang telah membunuh gadis she Ma, mereka merasa tidak enak
untuk kembali ke dusun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Ngo-sian-
chung. Karena Ngo-sian-chung memang sudah dekat, berada di lembar muara sungai
Huang-ho, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu
dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di
sarang Lima Bayangan Dewa yang mereka cari-cari.
Dugaan mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang amat
berbahaya. Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan
biarpun pagi hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang
sunyi seolah-olah tempat itu aman den kosong, seolah-olah tidak terdapat bahaya
sama sekali, namun sesungguhnya kedatangan mereka sudah sejak malam tadi
diketahui oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini. empat orang itu memang
dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam
jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, telah menanti
segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor domba
itu! Sebetulnya, sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak
setujunya karena dia menganggap perbuatan mereka ini terlalu ceroboh. "Lima
Bayangan Dewa yang telah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu selalu
telah siap menghadapi lawan," katanya kepada Bun Houw. "Kalau kita masuk secara
berterang, bukankah hal itu amat berbahaya" Mereka sudah tahu bahwa kita hanya
berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan mereka."
"Tio-twako," Bun Houw menjawab malam tadi. "Mereka itu adalah orang-orang
dari golongan sesat, ketika mereke menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti
ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka memancing para suheng dari
Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan totapi, kedatanganku adalah untuk
menuntut balas, maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku menyesal sekali
telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini."
"Ah, Houw-koko mengapa berkata demikian?" Kwi Beng membantah. "Kita adalah
keturunan pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela kebenaran bukan
apa-apa bagi kita." Tio Sun menarik napas panjang. "Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama
sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun
itu." Demikianlah, pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi
hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang
memang sudah mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun
mereka seperti dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu.
Pada waktu itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia bersama orang ketiga, yaitu
Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota
raja atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan
mereka. Oleh karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo
It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dan beru saja rombongan Hui-giakang
Ciok Lee Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek
I Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang
yang berilmu tinggi! Di samping tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu
mereka yang bahkan lebih lihai daripada mereka ini, masih terdapat anak buah
Ngo-sian-chung yang hampir tiga puluh orang jumlahnya ditambah lagi beberapa
orang pembantu den kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari
Lembah Bunga Merah. Sebetulnya Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan
rumah, telah memimpin barisan pendam yang telah siap dengan anak panah dan
senjata rahasia mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata
rahasia, kemudian dia bersama para temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya
empat orang muda itu akan menghadapi bahaya yang amat besar. Akan tetapi ketika
mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal Bun
Houw! Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri kelihaian
pemuda ini, dan biarpun mereka telah berhasil menangkap pemuda itu, menyiksanya
secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah sembuh same sekali!
Tiga orang muda lain yang ikut datang bersama Bun Houw, tidak mereka kenal akan
tetapi mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa ini agaknya adalah murid-
murid Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Oleh karena itu, Ciok Lee Kim lalu menahan suhengnya dan menyentuh lengan Liok-
te Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik.
"Pemuda yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai.
Akan tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid
Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu
harus dipaksa mengaku."
"Tepat sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai
keterangan. Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai terjebak oleh
Cin-ling-pai." Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya.
Sebetulnya siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa
ini mengandung niat lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok
Lee Kim melihat wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening
kebiruan dan rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila
dan dia akan merasa sayang sekali kalau pemuda seperti itu dibunuh begitu saja.
Dia sudah membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh
pemuda setampan itu untuk beberapa malam lamanya. Demikian pula Toat-beng-kauw
Bu Sit si wajah monyet, begitu dia melihat Kwi Eng yang cantik jelita, yang
memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik itu, dia sudah
mengilar dan tergila-gila. Betapapun juga, dia harus dapat menguasai gadis yang
demikian cantiknya! Gu Lo It bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sutenya ini, akan tetapi
karena memang usul mereka itu tepat dan diapun ingin sekali mengetahui siapa
sebenarnya pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu
memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan lalu diaturlah
siasat untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan
beraninya memasuki sarang Lima Bayangan Dewa.
Setelah empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan
di antara rumah-rumah yang agaknya kosong, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari
empat penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung.
"Awas dan siap, kita harus saling melindungi!" Bun Houw berbisik dan tiga
orang temannya mengangguk lalu mereka berdiri saling membolakangi, menghadapi
empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang, siap
menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka.
Kini tampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa
terpentang dan anak panah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga
puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah,
muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di
tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu.
Dengan sikap tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan
hanya dapat terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar
sampai jauh di empat penjuru, "Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang
yang tidak berkepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa mengejek, "Heh-heh-hi-hi-hik! Jadi
engkau belum mampus?" Ciok Lee Kim meloncat keluar.
"Dan engkau datang untuk mengantar nyawa" Jangan harap sekarang engkau akan
dapat lolos dari tanganku, pemuda sombong!" Bu Sit juga menyusul sucinya,
meloncat keluar dengan sikap sombong karena dia yakin bahwa dengan bantuan
teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan mudah. Biarpun
dia berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat
kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan
menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu.
Melihat dua orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia
betapa dia disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang
pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya
memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu
muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw,
dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh kokoh
kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Bun Houw menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan seorang di antara
Lima Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi" Dia ingin
bprhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan
secara serentak. "Aku telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua
orang berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa," kata Bun Houw dengan
lantang dan berani, "akan tetapi mana yang tiga lagi" Apakah tiga orang Bayangan
Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan mengajukan
orang-orang lain?" "Hemmm, kalau begitu robah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus
yang penakut dan pengecut!" Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek.
"Bocah she Bun yang sombong!" Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil
melangkah maju. "Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar
sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari Cin-ling-
pai! Sebelum engkau mampus, hayo kauperkenalkan dulu siapa adanya tiga orang
muda yang kauajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga juga murid-
murid Cin-ling-pai?"
Tio Sun memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, "Ketahuilah,
manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami
sekeluarga telah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam
kalian." Semua orang terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.
"Dan kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami
adalah pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo
kalian lekas berlutut dan menyerah daripada terpaksa kami membunuh kalian!" Kwi
Beng juga membentak dengan suara nyaring.
Kembali para tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama
Souw Li Hwa memang tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal
nama The Hoo yang ditakuti lawan disegani kawan" Dan dua prang muda ini adalah
putera-puteri murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan
sinar mata lain dan tidak berani memandang rendah. Akan tetapi, tetap saja mata
Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu Sit seperti akan
keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka berdiri dekat dengan
kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan dan kecantikan yang
benar-benar amat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan nafsu berahi karena
memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka temukan dalam
petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang!
Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan
sutenya, akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan
Hek I Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah
Bunga Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang
rendah empat orang muda itu.
"Bagus!" katanya mengejek. "Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang
pandai, akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat
sembrono, mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun,
kalau engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak
tiga orang temanmu ini?"
"Siapakah engkau?" Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!"
"Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang
kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat
kami yang mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada
urusan keluar, maka kausampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan
kehendakmu." Bun Houw agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak
hadir. Kini dia mengepal tinju dan membentak, "Liok-te Sin-mo, kalian Lima
Bayangan Dewa telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada,
kalian berani menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk
minta kembali pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan
Dewa." "Ha-ha-ha, sungguh sombong kau, keparat!" Liok-te Sin-mo adalah seorang yang
berwatak keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat
menahan kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan
kepada para anak buahnya.
Sambil bersorak riuh, anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah
Bunga Merah maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat
orang muda itu. Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana, mundur
dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dulu untuk menilai siapa di
antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang lebih lemah
agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang menguntungkan.
Akan tetapi, karena sudah maklum dari pelaporan dua orang adik angkatnya akan
kelihaian Bun Houw, maka seperti telah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa
Cinjin, dan Hek I Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti
ini mengurung dan mengeroyok Bun Houw!
Bun Houw sendiri maklum dari pengalamannya di Lembah Bunga Merah, bahwa tiga
orang tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka diapun malah merasa lega
bahwa mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi
pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka diapun cepat
meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan
kanannya. Pedang ini pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik.
Sebetulnya, berkat gemblengan dari suhunya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat
menghadapi lawan yang betapa lihainyapun dengan kedua tangan kosong saja, akan
tetapi karena dia tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroypknya yang
juga mempergunakan senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang
rendah, dan dia sudah mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-
matian. Sementara itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan dua senjatanya yang ampuh,
yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang
dapat dipergunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam
waktu singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya. Kwi Beng dan Kwi
Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat dan
saling membela, telah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling melindungi
dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri
mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau terbang yang mereka lempar dengan
kegapahan seorang ahli sehingga masing-masing juga sudah merobohkan dua orang
pengeroyok dengan hui-to mereka.
Melihat ini, tiga orang Bayangan Dewa menjadi kaget juga. Akan tetapi begitu
melihat tiga orang mude itu menggerakkan senjata, Liok-te Sin-mo Gu Lo It maklum
bahwa di antara mereka, putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan itulah yang paling
lihai, maka diapun lalu meloncat ke depan, menyerang Tio Sun dengan kedua ujung
lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang istimewa, karena kedua ujung
lengan baju hitam itu dipasangi baja-baja yang kuat dan tersembunyi sehingga
tidak kelihatan oleh lawan, akan tetapi kalau mengenai tubuh lawan sama
bahayanya dengan senjata tajam manapun juga. Melihat gerakan orang kedua dari
Lima Bayangan Dewa ini, Tio Sun cepat menyambut dan di antara mereka segera
terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, akan tetapi atas isyarat Gu Lo
It, beberapa orang anak buahnya sudah turun tangan pula membantu sehingga Tio
Sun kembali dikepung dan sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan
andalannya karena pengepungan itu dipimpin oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang
amat lihai. Sementara itu, Ciok Lee Kim den Bu Sit girang bukan main ketika mendapat
kenyataan bahwa biarpun dua orang kakak beradik kembar itu memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi pula, namun dibandingkan dengan dua orang muda lainnya,
mereka ini paling lunak den kedua brang ini segera terjun ke dalam medan
pertempuran, dan otomatis Bu Sit sudah menggerakkan pecut bajanya menahan pedang
di tangan Kwi Eng, sedangkan Ciok Lee Kim mainkan dua helai saputangan suteranya
menandingi Kwi Beng sambil tersenyum-senyum penuh gairah!
Dengan cara memecah-mecah, pertandingan dibagi menjadi empat dan memang
Liok-te Sin-mo dan kawan-kawannya merupakan orang-orang yang selain berilmu
tinggi, juga pandai bersiasat. Andaikata pertempuran itu dilakukan dengan
pengeroyokan umum, maka dengan gabungan kepandaian mereka, terutama dengan
adanya Bun Houw yang amat lihai dan Tio Sun yang juga bukan orang lemah, maka
fihak para pengeroyok akan mengalami kesukaran dan tentu akan banyak anak buah
mereka yang dirobohkan empat orang muda itu. Akan tetapi, setelah dipecah-pecah
dan setiap orang muda dikepung oleh fihak lawan yang disesuaikan, tentu saja
mereka berempat menjadi repot juga! Terutama sekali Kwi Beng dan Kwi Eng!
Tingkat kepandaian Kwi Beng dan Kwi Eng masih kalah jauh kalau dibandingkan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tingkat kepandaian Ciok Lee Kim dan Bu Sit. Tanpa dikeroyokpun mereka
berdua akan kalah oleh dua orang Bayangan Dewa itu. Apalagi kini mereka
dikeroyok oleh lima orang yang dipimpin oleh dua orang lihai itu!
"Awas! Jangan lukai dia, tangkap hidup-hidup!" Pesan Ciok Lee Kim kepada
lima orang pembantunya yang mengeroyok Kwi Beng dan dia sendiri menujukan
sambaran kedua ujung saputangan suteranya ke arah jalan darah untuk menotok
pemuda itu dan untuk menangkapnya. Kwi Beng repot sekali melindungi dirinya, dan
tidak ada kesempatan menyerang sama sekali.
Hati-hati jangan sampai kulitnya yang putih itu lecet!" Bu Sit tertawa-tawa
memesan lima orang pembantunya pula, dan dia sendiri dengan pecut baja di
tangannya yang meledak-ledak, beberapa kali hampir dapat merampas pedang di
tangan Kwi Eng. Dara ini menjadi semakin marah sekali, mukanya merah dan matanya
berapi-api mendengar kata-kata Bu Sit yang ditujukan kepadanya, kata-kata bujuk
rayu, pujian dan lain-lain ucapan yang menusuk hati dan cabul.
Bun Houw sendiri dikeroyok oleh Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I
Siankouw, masih ditambah oleh sepuluh orang anak buah Ngo-sian-chung yang
menyerangnya dari lingkungan luar. Pemuda ini sama sekali tidak menjadi gentar.
Gerakannya tangkas den cepat laksana kilat menyambar sehingga diam-diam tiga
orang tokoh tua itu terkejut dan kagum bukan main. Sekarang, setelah pemuda itu
dalam keadaan bebas, tidak dirintangi oleh orang seperti ketika di Lembah Bunga
Merah dahulu, ketika dia dipeluk mati-matian oleh murid Ciok Lee Kim, maka baru
ternyata oleh tiga orang tokoh tua ini betapa lihainya pemuda ini. Mereka
terkejut bukan main dan mulai menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda ini.
Mereka tadinya hendak membalas dendam kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai
dan mereka membayangkan bahwa tingkat kepandaian ketua Cin-ling-pai itu tentu
tidak berselisih jauh dengan tingkat mereka sendiri. Akan tetapi sekarang,
seorang pemuda Cin-ling-pai memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat sehingga
Bouw Thaisu sendiri, orang yang terpandai di antara mereka, diam-diam merasa
sangsi apakah dia akan dapat menang melawan pemuda ini kalau pertandingan itu
dilakukan satu lawan satu! Beberapa kali lengannya tergetar kalau ujung lengan
bajunya bertemu dengan jari-jari tangan kiri pemuda itu, tanda bahwa tenaga sin-
kang pemuda itu luar biasa kuatnya, mungkin lebih kuat daripada tenaganya
sendiri! Hal ini dianggapnya luar biasa dan tentu tidak akan dipercayanya kalau
dia tidak mengalaminya sendiri! Maka dengan hati penuh penasaran, Bouw Thaisu,
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mengeluarkan kepandaian mereka sehingga
betapapun lihainya Bun Houw, dia menjadi repot juga dan hatinya mulai merasa
khawatir akan keselamatan teman-temannya. Dia melihat betapa Tio Sun juga
terdesak oleh para pengeroyoknya, sedangkan kedua orang kakak beradik Souw juga
amat repot dan terancam bahaya.
Memang Tio Sun juga mendapatkan tanding yang berat dalam dari orang kedua
dari Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi, dengan ilmunya Ban-kin-kiat, andaikata
Liok-te Sin-mo Gu Lo It tidak dibantu oleh lima orang anak buah Lima Bayangan
Dewa yang memiliki kepandaian lumayan, agaknya pemuda ini masih akan mampu
mengalahkan lawannya. Memang hebat bukan main pertandingan antara Tio Sun dan
Liok-te Sin-mo. Orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini terkenal sebagai seorang
yang memiliki tenaga besar, maka merupakan lawan yang cocok sekali karena Tio
Sun juga mewarisi tenaga mujijat yang amat kuat dari ayahnya. Berkali-kali pecut
baja di tangan pemuda ini bertemu dengan ujung lengan baju yang dipasangi
potongan baja dan akibatnya, terdengar suara nyaring sekali, bunga api berpijar
dan kedua orang itu terbuyung ke belakang. Para pengeroyoknya, seperti juga para
pengeroyok yang membantu tiga orang kakek mengepung Bun Houw, tidak lagi berani
menyerang terlalu dekat karena pedang dan joan-pian di tangan Tio Sun merupakan
tangan-tangan maut yang amat mengerikan. Sudah banyak anak buah yang roboh oleh
Tio Sun dan Bun Houw, maka mereka itu hanya bertugas sebagai pengacau saja agar
memecah-belah perhatian para muda yang perkasa itu.
Yang merasa paling tidak enak dalam pertempuran itu adalah Bun Houw. Diam-
diam dia merasa menyesal mengapa tiga orang muda itu dia perbolehkan membantunya
menyerbu Ngo-sian-chung, karena sebelumnya diapun maklum akan behayanya
pekerjaan ini, bahkan Tio Sun sendiripun sudah menyatakan betapa fihak lawan
amat berbahaya dan lihai. Bagi dirinya sendiri, dia akan rela mengorbankan nyawa
kalau perlu demi untuk mencari Siang-bhok-kiam dan membasmi musuh-musuh Cin-
ling-pai, untuk mencuci penghinaan yang diderita oleh orang tuanya. Akan tetapi,
tiga orang muda itu, terutama Kwi Eng, hanyalah orang-orang muda yang merasa
bersahabat dengan dia dan dengan orang tuanya. Kalau sampai kini mereka menjadi
korban, benar-benar membuat dia merasa tidak enak sekali.
Pikiran ini membuat Bun Houw menjadi marah terhadap para musuhnya. "Tio-
twako...! Adik Kwi Beng dan Kwi Eng...! Larilah kalian bertiga, biar aku sendiri
yang membasmi mereka!" Teriaknya dengan suara nyaring sekali, pedangnya
berkelebat seperti halilintar membabat ke arah tubuh Bouw Thaisu dan Hek I
Siankouw dengan kekuatan yang amat hebat sehingga pedang itu mengeluarkan suara
mengaung seperti ribuan ekor lebah beterbangan. Dua orang sakti ini terkejut,
maklum betapa berbahaya sambaran pedang ini sehingga mereka tidak berani
menangkis, dan cepat mereka meloncat ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi, pedang itu meluncur lepas dari tangan Bun Houw, merupakan sinar
panjang berkelebat dan terbang dengan cepat, menyambar tubuh tiga orang
pengeroyok, merobohkan mereka itu dengan leher hampir putus akan tetapi masih
terus "terbang" seperti seekor naga hidup, membuat gerakan memutar dan kembali
ke arah Bun Houw yang begitu pedang dilepaskan lalu menghantam ke arah kanan
kiri, depan belakang dengan kedua kepalan tangannya sambil mengeluarkan pekik
melengking amat dahsyatnya. Sambaran kedua tangannya yang memukul ini membuat
Hwa Hwa Cinjin yang menggerakkan kebutannya dengan pengerahan tenaga lwee-kang
sebagai seorarig ahli lwee-keh yang kuat, tak dapat menahan dan kakek ini
terhuyung dengan muka pucat, sedangkan empat orang pengeroyok lain roboh pula
seperti pohon-pohon ditebang! Itulah jurus Hong-tian-lo-te (Badai Mengamuk di
Bumi) yang amat hebat, merupakan jurus mujijat dan ampuh yang sekali dari ilmu
pedangnya. Ketika pedang yang telah merobohkan tiga orang pengeroyok itu "terbang"
membalik, Bun Houw sudah menangkapnya kembali dan karena para pengeroyoknya
gentar dan terpaku menghadapi jurus Hong-tian-lo-te yang mujijat tadi, dia cepat
meloncat ke depan, merobohkan dua orang pengeroyok yang sedang mengepung Tio
Sun. Hal ini membuat kepungan yang mendesak Tio Sun menjadi bobol dan Tio Sun
dapat menguasai keadaannya lagi, akan tetapi segera Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin,
Hek I Siankouw dan para pembantu lainnya sudah mengepung Bun Houw lagi dengan
serangan-serangan maut dan kepungan ketat.
Bun Houw gelisah sekali melihat betapa Kwi Beng dan Kwi Eng didesak dan
dipancing sehingga menjauhi tempat dia bertempur. Dan memang demikianlah siasat
yang dijalankan oleh para tokoh kaum sesat itu. Kwi Beng terus didesak oleh Ciok
Lee Kim dan dipaksa menjauhi tempat itu, demikian pula Kwi Eng terus didesak
oleh Bu Sit sampai keluar dari lapangan itu dan tidak kelihatan oleh kawan-
kawanannya. Ketika Kwi Eng dengan kemarahan meluap-luap mencoba untuk membuka
jalan darah, menerobos dari kepungan, dia berhasil melukai dua orang pengeroyok
yang membantu Bu Sit, akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit,
terbelit ujung cambuk baja di tangan Bu Sit. Orang termuda dari Lima Bayangan
Dewa ini tertawa mengejek, sekali dia menarik senjatanya, Kwi Eng menjerit dan
pedangnya terlepas, karena pergelangan tangan kanannya seperti hendak patah
rasanya. Pada saat itu, seorang pengeroyok lain menggunakan gagang tombak
memukul ke arah kakinya dari belakang. Serangan ini tak dapat dihindarkan oleh
Kwi Eng. Terdengar suara tulang patah dan dara ini mengeluh perlahan lalu
terguling, tulang kaki kirinya dekat pergelangan telah patah.
"Desss!" Bu Sit menendang orang yang mematahkan tulang kaki Kwi Eng itu.
"Keparat, kau lukai dia?" bentaknya. Para pengeroyok itu menjadi ketakutan dan
mereka lalu mundur dan membantu teman-teman yang lain, yang masih mengeroyok
tiga orang muda lainnya, sedangkan Bu Sit sudah menubruk Kwi Eng, ditotoknya
pundak dara itu, kemudian dia memondong tubuh Kwi Eng dan dibawa lari keluar
dari dusun menuju ke sebuah hutan kecil di lembah sungai.
"Adik Beng...! Di mana Eng-moi...?" Bun Houw yang dikepung ketat itu masih
sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak
menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim.
Akan tetapi Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab. "Tidak tahu...!" hanya
demikianlah dia mampu menjawab karena
Ciok Lee Kim dengan dua helai saputangan suteranya sudah membuat dia
terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya berkunang.
"Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang..." Ciok Lee Kim
berbisik dan saputangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng. Sudah
sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia
seorang diri mendesak Kwi Beng yang sudah kewalahan. Kwi Beng kini juga
kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk
mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan karena dengan
penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan
kedua saputangan Ciok Lee Kim, apalagi sekarang dia memecah perhatiannya.
"Cus-cus... plakk!" Dua kali ujung saputangan itu menotok jalan darah di
leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang
telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee
Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali
melihat pemuda tampan ini lalu memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan
membawanya pergi dari dusun itu. Andaikata melihat bahwa fihak mereka terancam
bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan
meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapapun mereka tergila-gila kepada
orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu
teman-teman untuk menundukkan fihak musuh. Akan tetapi mereka tadi sudah melihat
jelas bahwa biarpun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu
memiliki kepandaian tinggi, namun merekapun sudah terkurung dan terdesak,
tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu.
Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak
keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw
sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, kini mulai terdesak hebat. Dia
makin marah dan menyesal kalau mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-
orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi.
Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga
orang musuhnya ini. Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia
selalu ingat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan
dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai
contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dehulu terlalu banyak menentang
golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tuapun dia masih dimusuhi orang!
"Tahan...!" bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berobah menjadi
gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. "Sam-wi tiga
orang tua mengapa bersikeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan
Lima Bayangan Dewa" Saya sama sekali bukan takut, hanya saya tidak ingin menanam
bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa."
Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena baru sekarang
selama hidupnya, dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebatnya. "Orang muda, kalau tidak ada alasan kuat
yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali
mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku.
Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri,
yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami
di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar
kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku
harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya."
Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang
tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam.
"Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoat-
su yang biarpun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh
dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Slankouw ini merupakan tangan
kananku, sehidup semati denganku."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu
tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong
yang tidak ada artinya" Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh
Lima Bayangan Dewa?"
"Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!" Hwa Hwa
Cinjin yang biarpun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa
penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biarpun telah
mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang,
sudah menerjang lagi dengan kebutannya.
"Wiir... siuuuuttt...!" Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan
tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu
sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati!
"Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!" Bun Houw
membentak, tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti
digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa
Hwa Cinjin sendiri! "Aihhh...!" Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat dia menggerakkan
tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.
"Singgg... tranggg... aihhhh!" Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang
sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena
disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw, pedang itu tergetar dan selagi
nenek itu terkejut, pedang di tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah
lehernya! "Plakkk...! Hemm, kau hebat, orang muda!" Bouw Thaisu sempat menangkis
pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan
bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu
terobek! Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-
ciang yaitu ilmu sin-kang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah
gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong
yang amat mujijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh
ayahnya sendiri. tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi-
i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni
lawan! Maka tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai
mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya
yang amat lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju
lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan
kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena
mereka maklum bahwa biarpun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan
saling bantu, amatlah berbahaya bagi mereka!
Bun Houw menjadi makin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri,
melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, dan Tio Sun
agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan
kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat
berbahaya ini. Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia
sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa, akan tetapi
kalau sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal,
bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia!
"Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!" Tiba-tiba dia berteriak dan
mengamuk makin hebat, pedangnya merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung
sekaligus sehingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.
"Adikku, jangan putus asa. Encimu datang membantumu!" Tiba-tiba nampak
bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar
kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu!
"Keng-cici (kakak Keng)...!" Bun Houw berteriak, girang bukan main karena
biarpun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, dia sudah mengenal
sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang
putih seperti perak itu. Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itupun tak
boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak dan membalas. Akan tetapi,
Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan
beraninya. Biarpun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat
menandingi, namun sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar
wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.
Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat dan tamparan tangan
kirinya yang penuh dengan tenaga mujijat, Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak
Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.
"Mampuslah...!" Cia Giok Keng melihat tosu itu terhuyung sudah menerjang
dengan sabuk sutera dan pedangnya.
"Hayaaaaa...!" Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama
sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar
kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.
"Plakk!" Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa
separoh tubuhnya seperti lumpuh.
"Sratttt...!" Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa
Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.
"Enci, aku tidak perlu dibantu. Kaubantulah Tio-twako... dia terdesak!" Bun
Houw berkata. Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian
kuning yang didesak oleh seorang kakek dibantu oleh banyak anak buahnya itu.
Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali
meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan
sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang
pengeroyok dalam waktu singkat saja. Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun
menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun
berterima kasih dan girang sekali sedangkan Liok-te Sin-mo yang sudah hampir
depat mengalahkan Tio Sun menjadi marah sekali, cepat dia meneriaki anak buahnya
agar makin ketat mengepung dua orang itu.
Bun Houw masih gelisah memikirkan kedua orang saudara Souw. Tio Sun sudah
mending keadaannya, karena dia tahu bahwa encinya juga bukan orang sembarangan
dan dengan bantuan encinya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.
"Bun Houw, kau terlalu sembrono!" sambil membantu Tio Sun, Giok Keng
berteriak menegur adiknya. "Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan
curang!" Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa,
baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, eh,
masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.
"Cici, maaf!" Teriaknya kembali. "Tapi setelah engkau datang, mari kita
basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!"
Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam dan
kepalanya memakai topi, ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini
adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng terkejut dan kemarahannya
memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api. "Kiranya Si Iblis Kuburan!"
bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya makin cepat lagi mendesak Liok-
te Sin-mo. Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis
Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis
Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Keparat, siapa engkau?" bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk
merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.
"Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!"
bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.
Kini terkejutlah semua tokoh itu. Kiranya wanita ini adalah puteri Cia Keng
Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa
pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!
"Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa
Cinjin...?" Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas
dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.
"Enci, awass...!" Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.
"Plak-plak, cringgg... bresss...!"
Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Biarpun Giok Keng sudah
mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini seperti hidup. Tio Sun sudah
cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping
seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu
seperti mengenai baja tebal saja. Ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu sudah
mengancam ubun-ubun kepala Giok K6hg dengan pukulan maut.
Tiba-tiba saja ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu
bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu
terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat.
Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun,
telah berdiri di situ sambil memandangnya dengan sikap tenang.
"Kau..." Huh...!" Demikian kata Giok Keng, dan wanita ini tidak
memperdulikan lagi laki-laki yang sebenarnya telah menyelamatkan nyawanya itu,
dan dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih
bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum
tua ini telah membuat seluruh tubuhnya seperti digerayangi tenaga mujijat yang
membuat napasnya sesak. Maka ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh
ke belakang. "Yap-suheng...!" Bun Houw berteriak girang. Biarpun sudah lama sekali dia
tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.
"Sute, engkau sekarang hebat sekali!" Yap Kun Liong, pria itu, memujinya
sambil tersenyum, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat
dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw
Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian
tidak mempergunakan senjata karene Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju
sedangkan Kun Liong hanya menggunakan kedua lengannya saja. Terdengar suara dak-
duk-dak-duk ketika lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja
yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terbuyung ke
belakang! Melihat datangnya wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu
Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok
Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah
mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki
perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun
Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sutenya yang
tidak nampak batang hidungnya lagi.
"Maju semua...! Kepung dan keroyok...!" teriaknya dan anak buahnya yang
sesungguhnya juga merasa gentar, apalagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian
ganas mainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. Jumlah
mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi
kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!
Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang
dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri
semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu,
lalu merekapun meloncat ke belakang dan melarikan diri.
"Hemm, aku ingin bertemu dan bertanding sendiri kelak berhadapan dengan
ketua Cin-ling-pai!" Bouw Thaisu berkata dan diapun meninggalkan Kun Liong yang
sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.
"Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua
saudara Souw!" Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat
itu. Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik
napas panjang. Murid ayah mertuanya itu benar-benar amat lihai sekarang. Kini
dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, dan Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua
puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah. Diam-diam Kun
Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa biarpun masih kelihatan amat galak
dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu,
yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-
musuhnya, apalagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu
gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung
sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-
hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya. Akan tetapi sekarang,
biarpun masih ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa
menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum
karena biarpun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian
terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang
dan mendatangkan luka yang ringan saja.
Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-
chung, namun sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita
anggauta keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik, "Hayo cepat katakan
di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!" Sengaja
menempelkan pedangnya di leher wanita yang tentu saja menjadi ketakutan sekali.
"Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah
sana..." Bun Houw melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun
kecil di sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas
lapangan rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit
oleh sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya
terbelalak, mukanya pucat, kemudiah perlahan-lahan menjadi merah sekali. Dia
melihat Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa,
sedangkan di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian
gadis itu tertumpuk di sebelah dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si
muka monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan
tertotok karena tidak mampu bergerak sama sekali!
Saking marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan.
Terdengar suara berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh
dan melihat sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang
membuka baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan,
menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi
pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang.
"Hyaaaaaatttt...!" Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw
sudah meloncat dan seperti seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit
dengan kedua tangan di depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda.
"Heiittt...!" Bu Sit yang sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya,
yaitu joan-pian atau pecut baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar
suara meledak, pecut itu dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang melayang
datang, akan tetapi Bun Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja! Bu
Sit hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal
perbuatan ini lebih berbahaya daripada menangkap pedang telanjang. Dia
mengerahkan tenaga, mendengarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun Houw
pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Namun sia-sia belaka dan tahu-tahu
pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya!
"Augghhkkkk...!" Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri,
menghentikan pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di depannya, maka dia lalu
menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun
Houw. "Bukkk! Dessss...!" Sedikitpun tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi
pergelangan tangan kanan Bu Sit yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya!
"Auukhhh... auukhhhhh...!" Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur
keluar. Mengingat akan penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya, masih belum begitu
memarahkan hati Bun Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi
Kwi Eng dan hampir saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah
sekali. Akan tetapi, terngiang di telinganya segala nasihat orang tuanya, maka
dia terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang
dirampasnya dari tangan Bu Sit.
Begitu dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi leher dengan kedua
tangan, megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-
malu lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut!
"Ampun... ampunkan aku..."
Bun Houw meludah penuh kejijikan. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng,
dia menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah
terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandang matanya
ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng, tanpa
memandangnya lalu melemparkan pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian
dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia membebaskan
totokan tubuh Kwi Eng. Terdengar sedu-sedan dari leher dara itu dan Kwi Eng mengenakan pakaiannya
cepat-cepat, kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke
arah pedang Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-
pincang menghampiri Bu Sit.
Bu Sit bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang
datuk kaum sesat yang amat cerdik. Dia masih berlutut setengah menangis minta-
minta ampun, seolah-olah tidak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi
sekarang terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan! Akan tetapi,
Tengkorak Maut 14 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Renjana Pendekar 6
^