Pencarian

Dewi Maut 13

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


begitu Kwi Eng telah tiba dekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat
sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan ketika pedang menyambar,
dia meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya ke
belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara itu.
"Ha-ha-ha, majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!" Bu
Sit mengancam Bun Houw. Bun Houw memandang pucat, tak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan
Dewa itu akan melakukan hal securang itu.
"Serang dia, Houw-ko! Jangan perdulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanem
ini keparat!" Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu.
"Cobalah, majulah dan jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya
akan bereeceran keluar!" Bu Sit menghardik.
Bun Houw masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu
harus berbuat bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng,
menyerang dan membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil
membunuh penjahat keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu.
"Jangan maju, selangkah saja aku akan bunuh dia!" Bu Sit berkata lagi dan
kini dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak
bergerak. Kwi Eng meronta, akan tetapi sia-sia saja. "Houw-koko, kauserang dia,
kaubunuh dia! Aku lebih suka mati daripada diculik dan dibawanya!"
Akan tetapi Bun Houw tetap tidak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya
menegang dan siap untuk menyerang apabila dia diberi kesempatan. Akan tetapi
dengan jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin
dia berani bergerak" Betapapun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat
dengan jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu.
"Ha-ha-ha, sampai bagaimanapun engkau tidak akan mampu menandingi Lima
Bayangan Dewa, ha-ha-ha..." Pada saat itu, tampak sinar hijau menyambar seperti
sinar halilintar dari belakang, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang
karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya.
"... ha-ha-ha... augghhhh...!" Suara ketawa dari Bu Sit disambung pekik
melengking, matanya yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan,
mukanya pucat dan kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam
kepala Kwi Eng! Akan tetapi, kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun
Houw. Kalau tadi jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara itu, dia
tidak berani bergerak. Sekarang, setelah iblis itu menerima serangan sinar hijau
dari belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul
kepala Kwi Eng, cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw. Bagaikan terbang dia
meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat menyambar,
membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain saat Bun
Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dengan telapak tangan
itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan.
Pada saat itu, Bu Sit berdiri limbung, dengan muka pucat sekali. Dalam
keadaan sehat saja tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apalagi
dalam keadaan seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di
punggungnya. "Dessss...!" Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan
tak dapat bergerak lagi karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya
hancur oleh getaran hawa pukulan dahsyat tadi.
Bun Houw memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana
tadi datang sinar hijau, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu. Dengan lengan
kiri masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit
dan tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan
lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna
kehijauan. Dia tahu bahwa Bu Sit terkena serangan senjata rahasia beracun,
agaknya seperti senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-
beng-kauw Bu Sit telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun
Harum), yaitu senjata rahasia khas dari Giok"hong"pang!
Tiba-tiba suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia
peluk pinggangnya. Dia tetkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat
bahwa dia masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka dilepaskannyalah
rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir jatuh, maka cepat Bun Houw memegang
lengannya, menahannya. "Ah, kau... kau terluka, adik Kwi Eng?" Bun Houw bertanya penuh
kekhawatiran. Kwi Eng menggigit bibirnya. "Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang
pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi..." Dia lalu duduk di atas
tanah. Bun Houw cepat berlutut memeriksa. Ternyata benar. Tulang pergelangan kaki
kiri dara itu patah! "Ah, benar saja kakimu yang kiri ini... tulangnya patah.
Harus cepat diobati, Eng-moi. Kautahankan rasa nyeri sedikit..." Dara itu
mengangguk dan Bun Houw lalu menyingkap pipa celana kaki kiri itu. Berdebar juga
hatinya ketika jari-jari tangan meraba kulit kaki yang halus sekali, halus lunak
dan hangat itu, dengan kulit tipis putih, begitu tipis dan halusnya sehingga
seolah-olah dia melihat urat-urat darah di bawahnya. Namun dia mengusir semua
ingatan tentang yang indah-indah itu dan cepat dia menotok jalan darah di dekat
lutut, kemudian dia meraba pergelangan kaki yang tulangnya patah, dengan cekatan
dan tanpa ragu-ragu lagi dia menarik dan membenarkan letak tulang yang patah
itu, kemudian mengambil bungkusan obat penyambung tulang, setelah mencampur obat
dengan air, lalu menaruh o:bat di sekeliling pergelangan kaki itu, dibalutnya
pergelangan kaki itu dengan kain yang dia ambil dari robekan bajunya dan
sebagian sabuknya, dibalut dengan kuat-kuat dan kanan kiri kaki diganjal dengan
kayu sehingga kedudukan tulang yong patah itu tidak akan berobah lagi. Semua ini
dikerjakan oleh Bun Houw tanpa berkata-kata dan dengan cepat sekali. Dia kagum
karena sedikitpun tidak terdengar keluhan dari dara itu dan setelah selesai
membalut, dia mengangkat muka memandang. Dara itu ternyata sedang menatapnya
dengan bulu-bulu mata terhias butiran air mata!
"Sakit...?" Kini Bun Houw bertanya.
Kwi Eng menggeleng kepala. "Sedikit..." bisiknya, akan tetapi dia lalu
menahan tangis, bibirnya yang merah itu tergetar dan akhirnya dia menangis
sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan. Butiran-butiran air mata
mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
Bun Houw menjadi bingung dan dia mengusap pundak dara itu untuk menghibur.
"Bahaya telah lewat, musuh telah tewas. Mengapa kau berduka, Eng-moi" Kau kan
tidak... belum... tertimpa bahaya..."
Tangis itu makin mengguguk. Bun Houw memegang kedua pundak dara itu,
mengguncangnya halus dan berkata, "Eng-moi, kenapakah" Katakan kepadaku, mengapa
kau begini berduka?"
Perlahan-lahan Kwi Eng mengangkat mukanya. Dari tirai air mata dia
memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut ketat den dua pasang sinar saling
melekat, saling menyelami dan perlahan-lahan Kwi Eng berkata dengan suara
menggetar, "Houw-koko, kau... kau telah... menyelamatkan aku... dari malapetaka
yang lebih hebat daripada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas
budimu...?" "Hushhhh... perlukah hal itu dibicarakan lagi, moi-moi" Engkau yang membantu
aku menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa,
dan sekarang kau bicara tentang budi" Sudahlah, mari kita kembali ke tempat
kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang
datang membantu kita" Enciku Cia Giok Keng den suhengku Yap Kun Liong!"
Kwi Eng mengangguk den berusaha untuk berdiri dengan satu kaki. "Ah, jangan
pergunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong." Bun Houw lalu
menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng menyandarkan
kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya ketika
hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu dekat dengan
mukanya. "Houw"koko...!"
Bun Houw melangkah perlahan den menjawab, "Hemmm...?" Jantungnya berdebar
karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan dadanya,
maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata.
"Di dunia ini... hanya ada dua orang pria yang telah melihatku... yang
seorang telah mampus... dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah,
tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku..."
Bun Houw terkejut, juga bingung. "Apa... apa yang kaumaksudkan, moi-moi?"
Tiba-tiba Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular
merayap dan merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-
debar, seluruh tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya. Otomatis pelukan
kedua tangannya makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang
cantik jelita itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini
ditahannya, rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-
olah memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng!
"Koko... engkaulah satu-satunya pria yang melihat aku... seperti tadi... dan
hanya engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku."
"Hemmm... maksudmu?"
"Engkau telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau
telah melihat aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus
dengan penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya..."
Hampir saja pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Kiranya
demikian "mendalam" perasaan hati dara ini. Kiranya Kwi Eng hendak menyatakan
bahwa dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya!
"Maksudmu... kau... kau cinta padaku?" Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi
Eng juga mengangkat muka memandang. Dua muka saling berdekatan. Otomatis langkah
kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba kedua lengan Kwi Eng yang merangkul leher
itu menarik leher Bur Houw makin kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk
dan tak terhindarkan lagi, sukar dikatakan siapa yang lebih dulu bergerak, muka
yang tampan dan cantik itu saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh
gairah hidup saling berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka.
Mereka lupa diri, lupa keadaan, seperti dalam mabok sehingga seolah-olah ciuman
itu takkan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling
mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi. Namun kebutuhan akan
napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan bibir
dengan napas terengah-engah, sejenak mereka saling pandang, pipi mereka menjadi
merah sekali, pandang mata mereka menjadi sungkan dan malu, Kwi Eng menunduk dan
Bun Houw menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena
dada mereka berdekapan. "Eng-moi..." "Koko..." "Jangan... tak benar ini..."
"Mengapa tak benar..." Aku rela..."
"Tidak boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan..."
"Bagiku engkau sudah selamanya kukenal..."
"Sudahlah, harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi.
Kau tahu bahwa tugasku masih jauh daripada selesai, aku... aku tidak mungkin
bisa membagi perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini,
maukah kauberjanji?"
Kembali dua pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng tersenyum. Senyum penuh
kebahagiaan karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda
bahwa pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga
mencintanya. Kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi ciuman seperti tadi!
Terasa benar olehnya menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk
sambil tersenyum. Bukan main manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun
Houw harus mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang
wajah yang demikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah,
sedikit terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan yang diciptakan untuk
dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya! Dan Kwi
Eng kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri
kewanitaannya, yang tahu benar saat seorang pria bertekuk lutut tanpa syarat!
Rangkulannya makin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih basah air
mata itupun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di dada kekasih
pujaan hatinya! Pada saat itu, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang
ke depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia
cepat mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak
di samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api
yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera
mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu.
"Hong-moi...!" Tak terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan
itu berkelebat, dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai
itu. "Eh, kau memanggil siapa, Houw-koko?" Kwi Eng bertanya dan memandang ke
kanan kiri. Bun Houw mengerutken alisnya. "Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-
moi. Seperti kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin
juga aku salah lihat..." Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya
itulah yang dilihatnya tadi. Dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan
kebencian ditujukan kepada Kwi Eng. Bun Houw mengerutkan alisnya dan makin kuat
dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis itulah yang pernah menyerang Kwi Eng,
dan bahkan yang telah membunuh gadis she Ma itu. Jantungnya berdebar penuh
ketegangan. Andaikata benar demikian, alasannya hanya satu, yaitu cemburu! Gadis
yang bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap orang wanita yang
berdekatan dengan dia! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw
bergidik dan kalau tadinya dia merasa amat tertarik kepada In Hong, kini dia
mulai merasa jijik dan tidak suka. Dicinta oleh seorang wanita yang demikian
besar cemburunya, yang demikian kejamnya, sungguh mengerikan. Biarpun cantik
seperti dewi, akan tetapi selalu melakukan kekejaman seperti setan, Dewi Maut!
Biarpun gadis itu amat cantik, amat tinggi ilmunya, dan sudah pernah
menolongnya, menyelamatkannya dari bahaya maut, akan tetapi kalau sekejam itu
perangainya, dia kelak akan menegurnya kalau dia sempat bertemu lagi dengan Si
Dewi Maut itu. Akan tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang melepas pasir
beracun dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng" Apakah
bukan Si Dewi Maut itu pula"
Memang tidak keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara
pohon-pohon dan yang tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang
memondong Kwi Eng, adalah In Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga
menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Seperti kita ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi
gelanggang pertempuran oleb Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim
si nenek cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda
itupun roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke
dalam hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung. Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok
Lee Kim menyandarken pemuda itu dan dia merayu Kwi Beng. Makin dipandang, makin
tergila-glia Si Kelabang Terbang itu kepada pemuda ini.
Kwi Beng yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok,
memandang marah dan memaki, "Perempuan iblis, setelah aku kalah, kaubunuhlah
aku!" bentaknya dan berusaha menggerakkan kaki dan tangannya, akan tetapi
anggauta badannya itu seperti lumpuh.
Ciok Lee Kim membelai pipi dan leher pemuda itu. "Aihh, sayang kalau orang
seperti engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu.
Kaulayanilah aku dan bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya engkau
akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku."
"Cih, perempuan tak tahu malu!" Kwi Beng memaki. "Kau sudah gila!"
"Hi-hik, memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya
mati sia-sia dalam usia begini muda" Biarpun aku lebih tua darimu, aku adalah
seorang ahli dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan
menikmati hidup dan apapun permintaanmu akan kupenuhi, sayang." Ciok Lee Kim
berlutut, merangkul dan menciumi. Dia benar-benar sudah tergila-gila melihat
mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jari tangannya yang sudah
mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba.
"Bedebah! Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!" Kwi Beng merasa
jijik dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencegah jari-jari
tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa
ngeri dan jijik sekali. Sudah sejak tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa
ini. Bahkan sejak Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang
pingsan, pemilik mata jeli itu sudah membayanginya. In Hong yang melihat
peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian kalinya
dia tercengang, dan setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang gagah
perkasa, kemudian melihat Bun Houw yang lebih baik mati daripada tunduk kepada
rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak mau tunduk


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap rayuan Ciok Lee Kim. Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul dan tentu
saja sekaligus menimbulkan perasaah muak dan marah kepada Si Kelabang Terbang
itu. Memang sadah lama dia merasa benci kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim yang
dianggapnya wanita tak tahu malu, jahat dan keji. Kini, melihat betapa Ciok Lee
Kim secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak
rayuannya itu, dan betapa jari-jari tangan nenek itu mulai membuka kancing baju
Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya.
"Iblis betina cabul tak tahu malu!" bentaknya sambil meloncat dekat
Ciok Lee Kim terkejut bukan main, segera diapun meloncat berdiri sambil
membalikkan tubuhnya. Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan
berkenalan dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim
belum pernah melihatnya, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis
muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan
main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu
pemuda itu ketahuan orang lain. Dengan gerakan galak dan angkuh dia mencabut
keluar sepasang senjatanya, yaitu sepasang saputangan sutera merah dan begitu
kedua tangannya bergerak, terdengar suara bersiutan dan saputangan itu
diputarnya sedemikian cepat sehingga lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua
gulungan sinar merah. Dengan demonstrasi tenaga sin-kang ini agaknya Ciok Lee
Kini hendak menakut-nakuti gadis muda itu. Sungguh menggelikan! Dia tidak tahu
siapa adanya wanita muda ini, dan tentu saja bagi Yap In Hong, murid tunggal
ketua Giok-hong-pang yang telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari bokor pusaka
Panglima The Hoo, permainan nenek itu seperti permainan kanak-kanak saja.
"Bocah yang bosan hidup, siapakah kau mengantar nyawa sia-sia dengan
mencampuri urusanku?" bentak Ciok Lee Kim, karena biarpun dia marah sekali,
timbul pula keinginan tahunya siapa adanya gadis muda yang begini berani
mengganggunya. Padahal banyak orang kang-ouw sudah menggigil baru mendengar
namanya saja. "Hui-giakang Ciok Lee Kim, setelah engkau lari terbirit-birit dari Lembah
Bunga Merah, kiranya engkau bersembunyi di Ngo-sian-chung, hanya untuk
melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu. Tak perlu kau tahu aku siapa,
hanya yang jelas, akulah yang akan mengantar nyawa kelabangmu terbang ke
neraka." Tentu saja Ciok Lee Kim menjadi marah bukan main mendengar ucapan yang
memandang rendah den menghina ini. Sepasang matanya melotot, mulutnya
mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking tinggi nyaring den tahu-tahu
tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti seekor burung terbang saja dan
bayangan tubuhnya yang berkelebat itu didahului oleh sinar merah dari kanan
kiri, yaitu gerakan saputangannya yang di dalam tangannya dapat berobah lemas
atau kaku menurut penyaluran tenaganya. Kini ujung saputangan merah yang kiri
menotok ke arah ubun-ubun kepala In Hong sedangkan yang kanan menotok ke arah
buah dada kiri. Serangan maut yang amat berbahaya dan Kwi Beng yang menyaksikan
ini, menjadi terkejut bukan main dan mengkhawatirkan nasib dara yang agaknya
hendak menolongnya itu. Gerakan Ciok Lee Kim memang hebat. Wanita ini mendapat julukan Si Kelabang
Terbang, mungkin dijuluki kelabang karena jahatnya sehingga pantas menjadi
kelabang yang beracun, dan gerakannya memang amat cepat, gin-kangnya amat tinggi
seolah-olah dia pandai terbang. Maka serangannya yang ditujukan kepada In Hong
dalam keadaan merah itupun hebat bukan main, cepat laksana kilat menyambar.
Akan tetapi, In Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi
daripada Ciok Lee Kim, hanya berdiri dengan tenang den menanti datangnya
serangan lawan itu seperti seorang dewasa memandang lagak seorang kanak-kanak
saja layaknya. Begitu serangan dengan dua helai saputangan itu tiba, In Hong
menggerakkan kedua tangannya, yang satu menyampok saputangan yang menotok ubun-
ubun kepala, sedangkan tangan kedua menangkis saputangan yang menotok dada terus
dilanjutkan dengan dorongan tangannya dengan pengerahan tehaga sakti.
"Desss... brukkkk!" Tubuh Ciok Lee Kim terbanting ke atas tanah dan wajah
nenek itu menjadi luar biasa sekali, kaget, heran, tak percaya, dan juga
kesakitan karena pantatnya yang tepos (tipis) itu terbanting keras ke atas tanah
sehingga seperti remuk rasa ujung bawah tulang pinggulnya! Akan tetapi semua
perasaan ini dilebur menjadi satu, menjadi perasaan kemarahan yang meluap-luap.
Dia melupakan rasa nyeri di pantatnya dan sudah meloncat lagi dengan amat cepat,
terus dia menerjang kalang kabut dengan mengerahkan seluruh tenaga dan
kecepatannya, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh. Amat
indah nampaknya karena bayangan nenek ini lenyap, yang nampak hanya bayangan dan
saputangannya yang seperti dua ekor kupu-kupu merah beterbangan cepat
mengelilingi tubuh In Hong yang masih berdiri tegak dan hanya kadang-kadang saja
kedua tangannya bergerak menangkis. Kwi Beng menonton dengan melongo. Dia
melihat seolah-olah In Hong merupakan seorang dewi yang sedang menari-nari.
Tarian menangkap sepasang kupu-kupu agaknya!
Padahal nenek itu sudah melakukan penyerangan yang amat dahsyat dan mati-
matian, akan tetapi anehnya, dara itu hanya bergerak sedikit saja, kedua kakinya
bahkan jarang melangkah, hanya kedua lengannya saja bergerak-gerak seperti orang
menari dan semua serangan tidak ada yang mengenai sasaran.
"Nenek menjemukan, mampuslah!" Tiba-tiba gadis itu berseru nyaring dan tiba-
tiba nampak sinar yang amat menyilaukan mata, sinar emas yang entah dari mana
datangnya tahu-tahu berada di tangan dara itu dan sekali sinar emas itu
berkelebat, hampak darah memancar dan tubuh nenek itu roboh, lehernya hampir
putus terkena sambaran sebatang pedang yang dengan cepat sekali telah lenyap
menjadi sabuk dara itu! Dengan langkah ringan In Hong menghampiri Kwi Beng, menotoknya dan seketika
Kwi Beng terbebas dari totokan. Dia bangkit dan memandang mayat Ciok Lee Kim
dengan mata terbelalak, kemudian dia memandang gadis itu dengan mata kagum.
Bukan main cantiknya dara ini, cantik jelita dan gagah perkasa, belum pernah dia
melihat seorang gadis seperti ini! Cepat Kwi Beng maju dan menjura dengan hormat
kepada In Hong. "Saya Souw Kwi Beng menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lihiap
yang gagah perkasa. Kalau tidak ada pertolongan lihiap, tentu saat ini saya
telah menjadi mayat."
In Hong balas memandang dan tersenyum. "Belum tentu iblis ini akan
membunuhmu. Betapapun juga, kau seorang laki-laki jantan dan siapapun tentu akan
menentang iblis tak tahu malu ini!" Dengan gemas In Hong menggunakan kakinya
menendang mayat Ciok Lee Kim sehingga diam-diam Kwi Beng bergidik, merasa betapa
dara cantik jelita yang seperti dewa ini amat ganas terhadap musuh! Namun, rasa
kagumnya mengusir kengerian ini dan dia memandang dengan rasa kagum yang tidak
disembunyikannya sehingga In Hong yang menangkap pandang mata itu menjadi agak
merah kedua pipinya yang tentu saja menambah kejelitaannya.
"Lihiap sungguh memiliki kepandaian seperti Dewi Kwan Im! Dia ini adalah
Hui-giakang Ciok Lee Kim, orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Kepandaiannya
amat dahsyat, akan tetapi lihiap dapat membunuhnya hanya dalam waktu singkat,
bahkan kalau saya tidak salah lihat, libiap hanya satu kali saja mempergunakan
pedang! Bukan main! Sungguh kepandaian lihiap seperti dewi..."
"Sudah, saudara Souw, urusan ini tidak perlu dibicarakan lagi dan harap
kaulupakan saja semua ini." Berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya dan
hendak pergi dari situ. "Nanti dulu, lihiap! Betapa mungkin saya melupakan... peristiwa ini,
melupakan lihiap yang sudah melepas budi pertolongan kepada saya" Harap lihiap
sudi memperkenalkan diri."
In Hong mengerutkan alisnya. Pemuda ini tampan dan gagah sekali, akan tetapi
mengapa begitu bertemu lantas menaruh perhatian dan kekaguman yang begitu
berlebihan" Dia teringat kepada Bun Houw dan dia lalu menjawab singkat, "Namaku
Hong, dan pertemuan kita sampai di sini saja. Selamat berpisah."
"Hong-lihiap... harap jangan pergi dulu...! Saya... kalau boleh... saya
ingin berkenalan lebih erat denganmu, karena... saya kagum sekali dan saya ingin
memperkenalkan Hong-lihiap kepada adikku, kepada teman-teman di sana. Lihiap,
percayalah, saya tidak mempunyai niat yang buruk, melainkan terdorong oleh
kekaguman hati dan mudah-mudahan saja saya akan berkesempatan untuk membalas
budi kebaikan lihiap..."
"Cukup!" Tiba-tiba In Hong berkata agak keras dan dengan wajah dingin.
"Saudara Souw Kwi Beng terlalu membesar-besarkan urusan kecil ini. Sudah, aku
mau pergi!" "Nona Hong...!" Kwi Beng memanggil.
Pada seat itu, muncul Tio Sun yang dari jauh sudah berteriak girang melihat
Kwi Beng. Melihat munculnya Tio Sun, In Hong lalu berkelebat dan sekali bergerak
saja dia sudah lenyap dari depan Kwi Beng yang menjadi bingung, mencari-cari
dengan pandang matanya namun tetap saja tidak nampak bayangan nona yang amat
lihai itu. Dia merasa menyesal dan kecewa sekali, merasa kehilangan sesuatu yang
amat berharga den berulang-ulang dia menarik napas panjang.
"Aihhh, kau berhasil membunuhnya" Hebat sekali, Beng-te, hebat sekali kau!"
Tio Sun berteriak girang ketika melihat mayat Ciok Lee Kim yang menggeletak di
situ dengan leher hampir putus.
Kembali Kwi Beng menarik napas panjang dan dia kini malah duduk di atas
rumput, termenung seperti orang kehilangan semangat.
"Eh, apa yang terjadi, adik Beng" Kau kenapakah?"
Kwi Beng mengangkat muka memandang sahabatnya itu. "Hampir saja aku mati di
sini, Tio-twako. Kalau tidak ada dewi yang menolongku, tentu aku sudah mati oleh
iblis betina itu." Dia menuding ke arah mayat Ciok Lee Kim.
"Hehh" Jadi bukan kau yang membunuhnya" Dewi" Dewi siapa?"
"Dewi Maut agaknya..." Kwi Beng berkata karena masih ngeri membayangkan
kehebatan nona cantik tadi.
"Harap jangan main-main, Beng-te. Siapakah yang telah membunuh iblis ini?"
"Aku sendiri tidak mengenalnya dengan baik. Ketika aku terancam maut dan
sudah tidak berdaya, tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik jelita yang amat
lihai. Dia mempermainkan Si Kelabang Terbang seperti mempermainkan anak kecil,
kemudian sekali dia mencabut pedang dan hanya satu kali pedangnya bergerak
dan... mampuslah iblis itu. Kemudian dia pergi..." Kembali pemuda ini termangu-
mangu. "Siapa dia" Siapa gadis yang amat lihai itu?"
Kwi Beng menggeleng kepala. "Aku tidak berhasil menahannya. Setelah membunuh
iblis itu, dia lalu pergi, hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Hong begitu saja?"
Kwi Beng mengangguk dan termenung lagi.
"Kita harus bersyukur bahwa engkau selamat dan iblis betina ini tewas, adik
Kwi Beng. Akan tetapi di mana adik Eng" Aku sedang mencarinya, dan tadipun
terpisah ketika melawan Bu Sit."
Mendengar ini, seketika timbul semangat Kwi Beng. Dia amat mencinta adiknya,
dan mendengar bahwa adiknya lenyap, seketika dia lupa akan urusannya sendiri,
lupa akan kerinduannya terhadap dara penolongnya yang seperti dewi tadi. Dia
meloncat berdiri dan berseru, "Celaka! Kita harus mencarinya, twako!"
Akan tetapi Tio Sun tidak menjawab dan pemuda ini berdiri seperti patung,
mukanya agak pucat, memandang ke depan. Kwi Beng cepat memandang pula dan
wajahnya berseri gembira melihat bahwa yang dipandang itu adalah Bun Houw yang
datang berjalan cepat sambil memondong Kwi Eng!
Tio Sun merasa betapa ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Melihat Kwi Eng
di dalam pondongan Bun Houw, dan gadis itu merangkulkan kedua lengan ke leher
pemuda itu dan menyandarkan muka di dadanya. Begitu mesra! Hanya inilah yang
tampak dan teringat oleh Tio Sun, yang membuat rongga dadanya terasa sesak dan
hatinya terasa panas! Akan tetapi Kwi Beng melihat hal lain. Cepat dia menyongsong dan berteriak,
"Eng-moi, kau terluka...?"
Kwi Eng melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan
mengangkat muka. Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri
dan bibirnya tersenyum. "Hanya tulang kaki kiriku... patah..."
"Tulang kakimu patah?" Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi
juga penuh keheranan. Tulang kakinya patah mengapa masih bisa tersenyum-senyum
dan berseri-seri wajahnya"
Melihat Kwi Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia
menyerahkan Kwi Eng kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya
yang masih berseri dan bercerita kepadanya. "Hampir aku celaka oleh si laknat
muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang berhasil membunuhnya..."
"Ah, Hui-giakang juga sudah tewas" Sungguh sayang..." Tiba-tiba Bun Houw
yang melihat mayat wanita itu berseru.
"Sayang?" Tio Sun bertanya heran. "Mengapa sayang?"
"Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya
lebih dulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku
membutuhkan keterangan mereka tentang Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada
Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!"
"Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu" Engkau ataukah Tio-twako?"
tanya Kwi Eng yang kini dipondong okh kakaknya sendiri.
"Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi."
"Eh" Dewi" Dewi siapakah?"
"Seorang gadis yang amat lihai, dan kalau tidak ada dia yang menolongku,
tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat."
"Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko..."
Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya, "Adik Kwi Beng, siapakah gadis
yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?" Sebetulnya dia sudah dapat
menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.
"Dia seorang yang aneh sekali, setelah membunuh iblis itu lalu pergi dan
hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Aih, dia... ya, tentu saja, siapa lagi..." Bun Houw menggumam.
Kwi Eng mengerutkan alisnya. "Houw-koko, apakah yang kaupanggil nona Hong
tadi?" Bun Houw mengangguk. "Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan
tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang." Berkata demikian, Bun Houw
meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam.
Benar-benar seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah
sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu"
Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti.
Banyak anak buah Ngo-sian-chung malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang
terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa
Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, berhasil melarikan diri.
"Enci Keng...!" Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.
"Bun Houw...!" Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.
Adapun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung
karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apalagi bicara
dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun, Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka
bertiga tidak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu,
dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang
mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka
kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga
orang muda itu sambil tersenyum tenang.
"Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?" Tio Sun
bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua
memberi hormat. Kun Liong menggerakkan tangannya. "Harap kalian jangan terlalu sungkan.
Agaknya kalian bertiga orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw,
dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?"
Tio Sun makin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar
ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar
ini sudah mengenal ilmu ayahnya! "Memang sudah lama ayah menceritakan saya
tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-
taihiap." "Aih, jadi engkau putera Tio-lo-enghiong?" Kun Liong berseru girang,
kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng, alisnya agak berkerut melihat warna
mata dan rambut dua orang kakak beradik yang wajahnya sama"sama tampan dan
cantik itu yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan"peranakan
barat. "Dan siapakah kalian berdua?"
"Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!" Kwi Eng yang lebih lincah
dan berani itu sudah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tidak
berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. "Ayah dan adalah sahabat"
sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa."
Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. "Siapa" Siapakah ayah bundamu?"
Kini Kwi Beng yang menjawab, "Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu..."
"Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kusangka mereka sudah
tidak ada lagi..." Dia makin bingung karena dia sendiri yang membujuk"bujuk
kedua orang itu meninggalkan kapal namun mereka tidak mau, dan dengan matanya
sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama
kapalnya. Ayah dan ibu tidak tewas dengan kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan
pandai dan sampai sekarang masih hidup. Kami berdua adalah putera"puteri mereka,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama
Maria de Gama atau Souw Kwi Eng."
Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar ini dan dia melangkah maju,
memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, menatap wajah keduanya dan dia
mengangguk"angguk. "Engkau persis ibumu, tapi matamu persis mata ayahmu... aih,
betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup..." Suara Kun
Liong tergetar karena terharu.
Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng. "Kami belum
menghadap Cia"lihiap puteri ketua Cin"ling"pai..." kata Tio Sun, akan tetapi
tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan encinya sudah
menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah,
sedangkan Giok Keng jelas habis menangis karena matanya masih merah, dan kedua
pipinya basah. "Yap"suheng...!" begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan
berkata dengan suara keras dan kaku.
"Sudahlah, adikku, sudahlah...!" Giok Keng memegang tangan adiknya dan
berusaha mencegah, akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan
kemarahannya lagi. Tadi dia mendengar penuturan encinya tentang kematian kakak
iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus "dosa" encinya yang
sebetuinya tidak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika
mendengar betapa encinya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama,
dituduh membunuh isteri suhengnya atau puteri gurunya itu.
"Sute, engkau hendak bicara apakah?" Kun Liong bertanya, biarpun dia sudah
dapat menduga akan kemarahan pemuda ini, dia bertanya dengan sikap tenang.
"Yap"suheng, perbuatanmu yang telah menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng
tanpa bukti"bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang
seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie"cihu (kakak
ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah"olah suheng yang membunuhnya dengan
tangan suheng sendiri?"
"Houw"te, jangan... jangan bicara demikian..." Giok Keng merangkul adiknya
dan menangis. "Kau... kau tidak tahu..."
"Biarlah, enci!" Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan encinya. "Aku
tidak bisa mendiamkannya saja, dan kalau Yap"suheng sudah berobah menjadi begitu
kejam, biarlah aku tewas di tangannyapun tidak mengapa!"
"Sute, apakah maksudmu dengan kata"kata itu?" Kun Liong bertanya, memandang
tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw
hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda dan kini sedang dicengkeram oleh
kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.
"Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian
cihu dan membuat hidup enciku menderita. Mari kita selesaikan hal ini antara
kita sebagai laki"laki jantan!" Bun Houw menantang den melompat ke depan, siap
untuk menghadapi suhengnya yang selama ini amat dikaguminya.
"Sute, yang memaksaku menuntut encimu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu
sendiri. Apakah engkaupun akan menantang gurumu kelak?" tanya Kun Liong dengan
suara tenang dan sikap sabar.
"Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!"
Kun Liong menarik napas panjang. "Sute, peristiwa yang telah terjadi itu
sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Kalau engkau menyalahkan aku,
biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melayani
tantanganmu yang mentah itu..."
Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.
"Yap Kun Liong! Berhenti kau...!"
Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.
"Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih mempunyai tugas
yang lebih penting. Pula, Kun Liong tidak bersalah..."
"Tapi, enci..." Bun Houw bersikeras.
"Bun Houw! Kau tidak mentaati encimu?" Melihat encinya marah, Bun Houw
menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan encinya.
"Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu."
"Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa
Kun Liong lebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam."
Wanita itu menghapus air matanya, "Dan kau telah berani menghinanya!"
Bun Houw menunduk. "Maafkan, enci... maafkan..."
"Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biarpun telah dua orang di antara
mereka tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang"orang
yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Aku
akan kembali ke Cin"ling"pai melaporkan hal ini kepada ayah."
"Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka."
"Akan tetapi jangan ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang
aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman"temanmu itu akan terancam bahaya
hebat." Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng lalu
meninggalkan tempat itu. Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng tadi hanya terbelalak
mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan
setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya"tanya kepada
Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya. Penuturan encinya hanya diambil
singkatnya saja, maka dia sendiripun belum tahu benar duduknya persoalan, akan
tetapi hati siapa tidak akan berduka mendengar betapa suhunya kini berhadapan
dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan"
Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat
tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke
tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti
sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar
Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu."
"Akan tetapi, aku ingin membantumu, Houw"koko!" Kwi Eng berkata, suaranya
agak manja dan penuh permohonan.
Bun Houw tersenyum memandang dara itu. "Terima kasih, Eng"moi. Akan tetapi,
tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan baru dapat bersambung kembali, itupun
kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak
musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enciku benar, aku
tidak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau
keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku."
"Aku akan menyertaimu, Houw"te."
Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban"kin"kwi ini
cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang amat baik. "Terima kasih, twako.
Nah, kaubawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Kami berdua
hendak berangkat sekarang juga. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa
kembali." Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.
"Houw-koko...!" Kwi Eng berseru memanggil.
Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!
"Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali," kata Bun Houw.
Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, "Kalau... kalau terlalu... lama kau
tidak datang... aku akan mencarimu..."
Bun Houw hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia
hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng dan sama sekali dia tidak tahu betapa pemuda
yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandang mata kosong,
dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng,
dara yang telah menjatuhkan hatinya itu.
*** Pria itu berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang
tampan dan gagah nampah keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan
mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seolah-olah semangatnya melayang-
layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang lalu dalam
hidupnya. Semenjak kecil, hidupnya yang merupakan sebuah perahu kecil itu selalu
dihantam dan dilanda ombak penghidupan yang membadai, yang mengombang-
ambingkannya, kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih dapat
mengatasi itu semua, biarpun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, namun
masih belum tenggelam. Semenjak peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian
isterinya disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga kehilangan
suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya
berobah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei Lan, dia
lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tidak ada seorangpun
manusia lain mengganggu lamunannya.
Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan
antara susah dan senang, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak
kecewanya daripada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah
mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang
(atau dewi unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita selalu
menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan
namun menghindari kesusahan, mencari"cari kepuasan menolak kekecewaan dan
sebagainya. Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah
terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang mempunyai dua permukaan, yaitu
telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu
dengan yang lain. Sudah menjadi kebiasaan kita sejak kecil, menjadi suatu hal
yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam
segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan,
kepuasan, kesenangan diri pribadi. Dan setiap perbuatan yang didasari pamrih
seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan
kita, dan perbuatan seperti itu, betapapun baik kelihatannya, sudah pasti
menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin. Mari kita tengok diri
sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat
saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita.
Tidakkah kesemuanya itu mengandung kepalsuan belaka" Sikap kita bersopan-santun
kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita
akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban,
melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih
kaya atau lebih pintar, atau bentuk perendahan diri karena takut, dan
sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekalipun, di situ
tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita
kelak menerima balas jasa.
Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan
ini" Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan
diri pribadi" Hal ini hanya mungkin apabila terdapat CINTA KASIH di dalam diri
kita! Dengan cinta kasih, segala apapun yang kita lakukan, yang kita pikirkan,
yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa
cinta kasih, matahari akan kehilangan sinarnya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan
warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan
keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan
karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!
Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci,
yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta
terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak
dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta
kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, untuk mencari
kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan
batiniah yang seaungguhnya hanya morupakan harapan-harapan untuk masa depan
belaka! Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sesungguhnya bukan cinta kasih
melainkan nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta
kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa,
dan karenanya mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan
akibat adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat
menjadi suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itupun dapat menjadi
akibat dari sebab sebelumnya. Celakalah kita kalau mengikatkan diri terjebak
dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri!
Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan
habis sampai di situ saja! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa dalam hidup
kita dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan
menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa
membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan
dan lenyap! Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan
memandang penuh kewaspadaan dan kesadaran terhadep diri sendiri, setiap saat
pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada setiap gerak perbuatan, kata-
kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan. Dengan perhatian setiap saat,
perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandang
mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita
akan bebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-
ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan memungkinkan kita mengenal apa
artinya CINTA KASIH tadi. Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap
semua, yang ada hanya cinta kasih saja. Cinta terhadap seseorang, terhadap semua
orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah
tercakup di dalamnya. Kun Liong, seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan
hidup biarpun dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar
akan hal ini, oleh karena itu, betapapun gagah perkasanya dia, tetap saja dia
terseret dan terjebak di dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga
hidupnya menjadi permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan
penonjolan si aku yang dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau
saja dia mau mengenal diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini
sudah berada di dalam diri!
Kun Liong terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok
Keng dan Bun Houw. Dua orang sumoi dan sutenya itu, putera-puteri ketua Cin-
ling-pai yang boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak
dapat menyalahkan mereka. Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang
menghinanya, karena dia dapat membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati
pemuda itu mendengar bahwa kakak iparnya sampai membunuh diri karena encinya
didakwa membunuh orang. Padahal dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok
Keng yang membunuh isterinya. Sejak peristiwa itu terjadi, dia memang sudah
tidak percaya kalau Giok Keng membunuh isterinya! Dia mengenal benar wanita ini,
seorang wanita yang biarpun keras hati, namun gagah perkasa dan tidak mungkin
mau melakukan perbuatan yang rendah, keji dan curang. Apalagi membunuh isterinya
dalam keadaan pingsan. Tak mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng! Akan tetapi
ayah mertuanya, tak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng dan
menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian
menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus "dosa" isterinya!
Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi
terguncang batinnya dan berobah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ah,
semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan selalu
mendatangkan malapetaka bagi orang lain, sejak dahulu! Mula-mula, di waktu dia
masih kecil, dia telah mendatangkan malapetaka bagi ayah bundanya sendiri (baca
cerita Petualang Asmara), kemudian hubungannya dengan banyak orang, terutama
dengan dara-dara cantik, diapun hanya mendatangkan malapetaka bagi mereka.
Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia
duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama sekali. Dia telah
kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh
orang, sekaligus kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana, kemudian
kehilangan mertuanya yang menjadi gila, kini kehilangan hubungan dengan Cin-
ling-pai sekeluarga. Ketika dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat,
dan perasaan iba memenuhi hatinya. Aihh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan
hidup orang-orang lain. Kalau demikian, apa pula artinya hidup baginya" Tiba-
tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati, agaknya
dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup"
"Perlu mencari pembunuh isteriku!" demikian dia membentak, seperti menjawab
pertanyan hatinya sendiri, "Aku harus dapat mencari pembunuh isteriku, dan harus
dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!" Dengan tekad yang tiba-tiba muncul
seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya yang gelap pekat tadi,
Kun Liong meloncat dan lari secepatnya seperti terbang atau seperti sudah miring
otaknya! Akan tetapi, baru saja dia tiba di tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh
tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang
amat tinggi itu. Dia melihat berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan
itu tiba dekat, dia terkejut sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain
adalah Cia Giok Keng! Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang
kehilangan semangat, sungguhpun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam
perjalanannya, yaitu dia hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada
ayahnya tentang kematian dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang
pandai yang agaknya bergabung dengan mereka.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu melihat Giok Keng, makin mendalam rasa iba hati yang melanda perasaan
Kun Liong. Wanita ini menjadi sengsara hidupnya karena dia! Tanpa disadarinya,
seperti dalam mimpi, Kun Liong lalu bergerak dan membayangi Giok Keng dari jauh
agar jangan sampai wanita itu melihatnya.
Mereka sudah meninggalkan hutan, dan tiba-tiba terdengar teriakan dari arah
kiri, "Nona Giok Keng...!"
Giok Keng terkejut sekali. Siapakah yang menyebutnya nona dan mengenal
namanya" Dia berhenti den menanti datangnya orang yang berlari-lari itu dan
setelah dekat, ternyata orang itu adalah seorang tua yang menjadi pelayan
ayahnya. Pantas saja orang itu menyebutnya "nona" biarpun dia sudah menikah dan
sudah mempunyai anak, karena memang sejak dia kecil A-kiong ini sudah menjadi
pelayan ayahnya. Begitu tiba di depan Giok Keng, A-kiong lalu menjatuhkan
dirinya berlutut dan menangis!
"Eh, A-kiong... apakah yang terjadi?" tanya Giok Keng, wajahnya yang sudah
layu itu menjadi makin pucat.
"Celaka, nona... celaka sekali..."
"Tenanglah dan jangen menangis!" Giok Keng menghardik. dan A-kiong menyusuti
air matanya. "Sekarang ceritakan yang jelas!"
"Saya disuruh oleh taihiap untuk pergi menyusul Lie-kongcu ke Sin-yang..."
A-kiong bereerita dan dia selalu menyebut Cia Keng Hong dengan sebuatan taihiap.
"Lie-kongcu puteramu itu dibawa oleh Hong Khi Hoatsu ke Sin-yang dan saya
disuruh menyusul untuk membantu dan melayani di sana."
Giok Keng mengangguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah sepatutnya
kalau guru suaminya itu membawa Lie Seng ke Sin-yang, selain untuk menghibur
hati orang tua itu, juga tentu orang tua itu hendak mendidik Lie Seng.
"Saya telah tiba di Sin-yang... akan tetapi... ah, celaka sekali, nona...!"
Kembali dia menangis dan tidak dapat melanjutkan ceritanya.
"Diam! Hayo ceritakan! Kayak anak kecil saja kau, A-kiong!" bentak Giok Keng
marah. Sudah kambuh kembali kekerasan hati wanita ini melihat sikap lemah dari
pelayannya. "Setibanya di sana saya mendengar dari para tetangga... bahwa... bahwa...
semua pelayan rumah dari nona, dan Hong Khi Hoatsu... mereka semua telah...
dibunuh orang, sedangkan Lie-kongcu telah diculik oleh pembunuh-pembunuh itu..."
Terdengar jerit melengking tinggi dan A-kiong terguling karena tidak kuat
mendengar pekik yang menggetarkan seluruh isi dadanya itu. "Am... pun...
nona..." ratapnya sambil berlutut.
Giok Keng menutupi mukanya, berdiri menunduk dan terdengar kata-katanya
tergetar hebat, "Kau pulanglah... pergilah ke Cin-ling-pai... ceritakan semua
kepada ayah ibu...!" Setelah berkata demikian, kembali terdengar lengking tinggi
seperti jerit kesakitan seekor burung hong dan tubuh Giok Keng sudah berkelebat
lenyap dari depan A-kiong yang masih berlutut dan menangis sesenggukan seperti
anak kecil. A-kiong mengangkat muka memandang ke kanan kiri, kemudian bangkit
berdiri dan berjalan tersaruk-saruk menuju ke Cin-ling-san. Dalam waktu beberapa
hari saja orang tua yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini menjadi makin
tua tampaknya. Giok Keng lari memasuki hutan. Dia tadi menahan-nahan hatinya di depan A-
kiong, dan kini setelah dia memasuki hutan yang sunyi, dia lalu menjatuhkan diri
di atas an seperti anak kecil sambil menutupi mukanya. Dia menangis mengguguk,
memanggil-manggil nama suaminya dan Lie Seng, dan menangis lagi, air matanya
bercucuran dan diusapinya dengan lengan baju.
Di balik sebatang pohon besar, Kun Liong berdiri dengan muka pucat dan
beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua matanya, dibiarkannya saja
menuruni kedua pipinya. Dia telah mendengar semua dan dia makin merasa kasihan
kepada wanita ini. Betapa hebat penderitaan batin Giok Keng. Suaminya membunuh
diri di depan matanya, dan kini guru suaminya yang seperti ayah mertua sendiri
mati terbunuh orang, anaknya diculik pula. Betapa hampir sama penderitaan wanita
itu dengan penderitaannya sendiri. Isterinya juga mati, anaknya juga hilang dan
ayah mertuanya gila! Seperti disayat pisau rasa hati Kun Liong melihat Giok Keng menangis
bergulingan di atas rumput seperti anak kecil, kemudian dia merintih perlahan
melihat tubuh Giok Keng tak bergerak lagi dan dia tahu bahwa wanita itu roboh
pingsan saking sedihnya. "Aduhh... kasihan sekali kau, Giok Keng..."
Kun Liong menghampiri tubuh wanita itu dan cepat menolongnya, memondongnya
dan merebahkannya di tempat yang kering. Pakaian wanita itu basah dan kotor,
rambutnya kusut dan mukanya pucat sekali. Dia mameriksa nadinya sebentar dan
maklum bahwa kalau dia menyadarkan wanita ini begitu saja, hal itu amat tidak
baik bagi jantungnya. Wanita ini mengalami tekanan batin yang amat hebat dan
tangis tadi, juga pingsannya ini merupakan peringan yang baik malah. Maka dia
hanya merapikan pakaian Giok Keng, merebahkannya terlentang dan mengurut
punggung serta tengkuknya sampai pernapasan wanita itu menjadi rata dan teratur
seperti orang sedang tidur, kemudian dia duduk menjaganya. Melihat wanita ini
rebah terlentang di depannya, memandangi wajah yang cantik dan mengandung sinar
kegagahan itu, Kun Liong menarik napas panjang dan teringatlah dia akan
peristiwa di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu. Dahulu, ayah bunda gadis ini
mempunyai niat untuk menjodohkan Giok Keng dengan dia (baca cerita Petualang
Asmara). Akan tetapi entah bagaimana, semenjak bertemu telah terjadi keributan
antara dia dan Giok Keng yang galak. Dan akhirnya, Giok Keng sendiri yang minta
diputuskannya tali perjodohan yang diikatkan oleh orang tuanya itu karena Giok
Keng terbujuk oleh rayuan seorang pemuda sesat, yaitu Liong Bu Kong putera Kwi
Eng Niocu. Untung bahwa perjodohan antata dia dan pemuda sesat itu belum
berlangsung dan akhirnya Giok Keng maklum akan kesesatan pemuda yang menjatuhkan
hatinya itu. Dan akhirnya, karena dia sendiri telah saling jatuh cinta dengan
Pek Hong Ing, maka Giok Keng lalu berjodoh dengan Lie Kong Tek.
Kini, melihat Giok Keng yang menggeletak dengan wajah pucat seperti mayat,
yang dalam keadaan pingsan saja masih jelas membayangkan penderitaan batin yang
hebat, timbul pertanyaan di hati Kun Liong. Bagaimana andaikata dahulu mereka
itu menjadi suami isteri" Tentu tidak akan timbul peristiwa yang membuat mereka
berdua menderita batin begitu hebat!
Ooohhhhh... Seng-ji (anak Seng)... di mana kau...?"
Giok Keng mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, membuka matanya. Ketika
melihat Kun Liong, dia nampak kaget sekali, dan meloncat bangkit duduk, kemudian
meloncat berdiri dengan mata berapi-api.
"Sumoi, aku melihat kau rebah pingsan maka..."
"Yap Kun Liong, manusia iblis! Engkau yang membunuh suamiku, engkau yang
membunuh mertuaku, engkau yang menculik Lie Seng!" Dan Giok Keng sudah menerjang
maju dan menghantam dada Kun Liong dengan kepalan tangan kanannya.
"Dukkkk!!" Pukulan yang keras itu diterima oleh Kun Liong tanpa melawan
sedikitpun, tanpa mengerahkan tenaganya dan dia terjengkang roboh, lalu bangun
kembali dengan muka pucat.
"Keng-moi, kalau kau menyalahkan aku... biarlah aku menerima salah..."
"Memang kau bersalah! Memang kau yang menjadi biang keladi semuanya! Memang
kau yang merusak hidupku! Kau harus dlhajar!" Giok Keng menerjang lagi, mengamuk
kalang-kabut dan memberikan pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Dessss...!" Kun Liong terpelanting keras oleh pukulan ini. Namun dia tidak
mengeluh dan bangkit lagi.
"Bukkkk!" Tendangan kaki Giok Keng mengenai lambungnya dan dia terlempar.
Giok Keng meloncat, mengejar dan memukulinya, menamparnya, menendangnya sampai
Kun Liong babak belur dan matang biru seluruh muka, leher dan tubuhnya. Akan
tetapi Kun Liong sama sekali tidak mau melawan, bahkan sambil menahan rasa nyeri
dia bangkit lagi dan berdiri.
"Kaubunuhlah aku, Giok Keng... dan aku tidak akan melawan. Aku memang telah
menghancurkan hidupmu, aku salah..."
"Pengecut! Keparat! Hayo kaulawan aku, mari kita selesaikan dengan taruhan
nyawa. Engkau atau aku yang mampus di sini!"
Melihat Giok Keng menghunus pedang yang berkilauan seperti perak, Kun Liong
mengangkat dadanya. "Bagus, kautusuklah. Aku sajalah yang mati untuk menebus
dosaku terhadapmu, Giok Keng. Untuk apa hidup bagiku, hidup yang penuh dengan
derita, duka dan dosa ini" Kautusuklah!"
"Kun Liong, hayo kaulawan aku...!" Giok Keng menjerit.
Kun Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, dari ujung bibirnya mengalir
sedikit darah. Mukanya matang biru oleh bekas tamparan dan pukulan Giok Keng.
Melihat ini, Giok Keng menjadi makin penasaran.
"Kau... kau tidak melawan... kau... menyerahkan nyawa?"
Kun Liong mengangguk. "Kalau begitu kau... mampuslah...!"
Giok Keng melangkah maju, mengangkat pedangnya. Kun Liong memandang dengan
sikap tenang, sama sekali tidak gentar menghadapi kematian yang hanya akan
membuat dia menyusul isterinya.
"Ouhhh...!" Pedang terlepas dari tangan Giok Keng dan wanita ini terkulai
lemas, dan tentu sudah terjatuh kalau tidak cepat dipeluk oleh Kun Liong. Wanita
itu pingsan lagi. Kun Liong kembali merebahkan Giok Keng di atas rumput dan dia duduk sambil
menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia tidak menyesal telah diperlakukan
seperti itu oleh Giok Keng, bahkan agak lega hatinya bahwa setidaknya dia telah
memberi kesempatan kepada Giok Keng untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya, telah memberi kesempatan
kepada wanita itu untuk menghukumnya. Dia akan menanti sampai Giok Keng sadar,
dan kalau hendak dilanjutkan membunuhnya, dia akan bersedia tanpa melawan!
Karena batinya tertindih dan dia menutupi muka dengan kedua tangannya, Kun
Liong tidak tahu bahwa Giok Keng sudah siuman dan membuka matanya. Wanita ini
membuka matanya tanpa bersuara, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka
pucat dan mata sayu. Melihat muka yang bengkak-bengkak, pinggir bibir yang
berdarah, teringatlah dia akan semua yang telah dilakukannya tadi. Dia setelah
kini nafsu amarah yang membuatnya seperti buta tadi lenyap, terbukalah mata
batinnya dan dia melihat jelas kini betapa dia telah berbuat keterlaluan!
Teringat kini dia betapa Kun Liong telah menderita amat hebatnya, setelah
kematian isterinya yang dibunuh oleh orang lain, kehilangan anak tunggalnya.
Melihat Kun Liong yang telah dihajarnya habis-habisan tanpa melawan sedikitpun
juga itu, bahkan yang menyerahkan nyawanya, kini duduk menjaganya dengan kedua
tangem menutupi muka, tak terasa lagi kedua mata Giok Keng menjadi basah.
"Kun Liong..." dia berkata lirih, suaranya seperti orang merintih dan dia
bangkit duduk. Kun Liong terkejut, menurunkan kedua tangannya, memandang. Keduanya duduk
saling berpandangan, dan dari pandang mata ini Kun Liong merasakan sesuatu yang
membuat dia merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pandang mata Giok Keng
penuh rasa iba, penuh rasa penyesalan, penuh permohonan maaf.
"Giok Keng..." Keduanya saling berpegang tangan dan keduanya menangis sesenggukan.
"Kun Liong, kauampunkan aku..."
"Tidak, Giok Keng, tidak... kaulah yang harus mengampunkan aku..."
Giok keng menangis, mengguguk dan menyandarkan dahi di pundak suhengnya itu,
sedangkan Kun Liong mengusap rambut kepala yang kusut itu. Hati mereka seperti
diremas-remas rasanya. Aku telah buta tadi... aku telah gila oleh kemarahan dan kedukaan... Kun
Liong... mengapa justeru engkau... orang yang selamanya kukagumi, kupuja dalam
hati... mengapa justeru engkau yang terlibat dalam malapetaka yang menimpa
keluargaku" Ah, mengapa...?"
"Giok Keng, semenjak semula aku sudah tidak percaya. Aku mengenal siapa
kau... engkau memang keras hati, akan tetapi di balik kekerasan hatimu kau
berbudi mulia, engkau gagah perkasa dan adil. Tidak mungkin engkau memiliki
kekejian membunuh Hong Ing, tapi... tapi mertuaku yang seperti gila karena
duka... ah, suamimu menjadi korban dan... dan..."
"Sudahlah, Kun Liong. Sebenarnya akupun sudah menyadari bahwa semua
peristiwa ini bukan karena kesalahan kita berdua, sungguhpun kuakui bahwa aku
marah-marah kepada isterimu karena sikap adikmu. Aku... aku tahu betapa hebat
penderitaanmu, Kun Liong, aku... aku menyesal sekali dan aku kasihan
kepadamu..." Kun Liong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, memejamkan mata.
"Kau... kasihan kepadaku" Jangan! Aku sudah merusak hidupmu. Akulah yang
amat kasihan kepadamu, Giok Keng, maka aku rela menebus kesalahanku dengan nyawa
sekalipun." Giok Keng juga meloncat berdiri, lari berputar menghadapi Kun Liong. Mereka
berdiri saling pandang dengan mata basah. "Nasib kita mengapa begini buruk, Kun
Liong" Mengapa kita berdua mengalami semua ini?"
Kun Liong tak mampu menjawab, hanya memegang kedua tangan wanita itu. Jari-
jari tangan mereka saling genggam seolah-olah mereka hendak saling minta bantuan
memikul penderitaan batin mereka. Melihat Giok Keng tersedu-sedu, air mata
mengalir pula dari kedua mata Kun Liong.
Giok Keng mengangkat muka memandang wajah Kun Liong. Kedua pipinya bengkak
dan mata kirinya membiru, ujung bibirnya pecah. Dengan tangan gemetar, Giok Keng
menyentuh bengkak-bengkak itu. "Aku... ah, aku telah gila... kautentu tersiksa
lahir batin oleh perbuatanku tadi..."
"Jangan ulangi lagi hal itu, Giok Keng. Malah merupakan obat penawar
bagiku." "Kun Liong, aku bersumpah untuk mencari pembunuh Hong Ing sampai dapat, dan
juga untuk mencari Mei Lan dan mengembalikan kepadamu."
"Dan aku bersumpah untuk membasmi Lima Bayangan Dewa, dan mencari pembunuh
mertuamu sampai dapat, dan mencari Lie Seng untuk kukembalikan kepadamu."
Giok Keng tersedu dengan hati terharu, lalu tiba-tiba melepaskan tangannya
dan berkata, "Kun Liong, sampai... sampai jumpa..." Dia lalu lari secepatnya
meninggalkan tempat itu. Kun Liong berdiri seperti patung di tempat itu, memandang sampai bayangan
Giok Keng lenyap. Apa yang telah terjadi antara mereka" Dia bengong dan kedua
tangannya masih tergetar, masih merasakan getaran jari-jari tangan Giok Keng
tadi. Pipinya masih merasai sentuhan jari-jari tangan yang gemetar dari Giok
Keng. Apa yang terjadi antara mereka" Pertanyaan ini bertubi-tubi menghantam
dinding kalbunya. Mengapa timbul keinginan hatinya untuk menghibur Giok Keng,
untuk mengembalikan Giok Keng ke dalam kehidupan bahagia, untuk membela dan
melindunginya" Mengapa dia merasa amat berkasihan kepada wanita itu, yang dia
tahu mengalami kekosongan batin dan dia mengisi kekosongan itu" Mengapa pula dia
seperti mengharapkan hiburan dari Giok Keng sehingga sentuhan jari tangan
gemetar pada pipinya itu tadi menggores dalam-dalam di hatinya"
"Apakah aku sudah gila" Apakah dia sudah gila?" demikian Kun Liong berbisik-
bisik sambil pergi meninggalkan hutan itu.
Tidak, para pembaca budiman. Kun Liong tidak gila. Giok Kengpun tidak gila.
Dan pengarangpun tidak gila! Memang belas kasihan adalah getaran yang
mendekatkan hati kepada cinta kasih. Di mana ada belas kasihan, berlarianlah
iblis-iblis kemarahan, kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan
terujudnya cinta kasih. Dan hati yang penuh dengan cinta kasih, selalu ada belas
kasihan. Keduanya itu tak terpisahkan.
*** "Koko, bagaimana engkau sampai dapat terbebas dari tangan Si Kelabang
Terbang yang cabul itu" Siapakah sebetulnya wanita yang menolongmu itu?" Kwi Eng
bertanya kepada kakaknya. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di kota
Yen-an, karena mereka belum berani pulang ke Yen-tai di mana mereka tentu
dianggap pelarian dan pemberontak.
"Dia hebat sekali, Eng-moi. Seorang dewi, seorang bidadari yang cantik
jelita dan gagah perkasa. Aihhhh... hebat sekali dia, adikku!"
Kwi Eng tersenyum. "Ihh, kau sudah bertekuk lutut kepadanya, kau jatuh cinta
dan tergila-gila kepadanya, koko!"
Kwi Beng memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak. "Begitukah" Ah,
agaknya benar demikian. Siapa pula orangnya yang tidak jatuh cinta kepada
seorang dara seperti dia" Sayang dia diliputi rahasia dan keanehan, dia tidak
mau memperkenalkan diri dengan jelas, hanya mengaku bernama Hong. Akan tetapi
bagiku, nama itu sudah cukup dan memang mengingatkan aku akan burung dewata itu,
burung hong yang terbang melayang-layang di antara awan-awan di angkasa raya,
sukar dicapai tangan..."
"Idiihhh... kalau orang jatuh cinta memang menjadi pengkhayal dan tiba-tiba
saja menjadi ahli filsafat dan sajak!"
"Jangan main-main, adikku. Aku benar-behar jatuh cinta kepada Hong-moi dan
aku akan mencari dia sampai dapat. Aku akan menceritakan kepada ayah dan ibu
agar mereka suka mengerahkan segala daya upaya untuk menemukan Hong-moi dan
melamarnya menjadi calon isteriku. Amboiii... betapa akan bahagianya hidup di
samping burung dewata itu..."
"Hi-hik, dan engkau akan dibawanya terbang ke angkasa raya di antara
gumpalan-gumpalan awan putih..." adiknya menggoda.
"Hush, jangan main-main. Aku serius. Dan kau sendiri kulihatpun tergila-gila
kepada Bun Houw. Hayo kausangkal kalau berani!"
Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi makin merah. Bukan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan
mesra antara dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris
bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah
di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya
terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!
"Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!"
Kwi Beng terkejut. Kiranya adiknya yang bengal inipun serius sekali! Hatinya
menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya. "Moi-moi, aku doakan semoga
akan terkabul cita-citamu dan menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa
itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi.
Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi"
Kita ini hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku menjangkau burung hong di
angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita
tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?"
Kwi Eng cemberut memandang kakaknya. "Koko, engkau telah terlalu merendahkan
diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku."
"Eh, bagaimana kau bisa tahu" Apakah karena dia telah menolong dan
menyelamatkanmu" Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapapun akan
ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta."
"Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan
cintanya, koko." Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata
bersinar-sinar. "Begitukah" Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil.
Andaikata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia,
maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku."
Kwi Eng memeluk kakaknya. "Tidak, akupun tidak akan berbahagia kalau melihat
engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan."
Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia
mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang mungkin
hanya terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar,
suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua.
Beberapa hari kemudian, dengan girang kedua orang kakak beradik kembar ini
mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat memasuki
kota itu dan seperti biasa, terjadilah "jalan damai" yang sudah lajim terjadi di
seluruh dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalahgunakan
kekuasaannya. Yuan de Gama dan isterinya setelah mendengar urusan anak-anaknya,
cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu
saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting,
melainkan meaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka
setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu
masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan
menambah perbendaharaan mereka.
Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang
telah menjalar di seluruh dunia ini" Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga,
bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya
terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang.
Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu
selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya,
maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan
alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Dipergunakanlah
kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi
terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Padahal, selama manusia
mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya kebutuhan hidupnya. Dan untuk
memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apapun juga sehingga timbullah
pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan pemogokan
yang menjadi akibat dari pemerasan.
Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat
dihentikan oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu
keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar
bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan. Dunia akan menjadi sebuah tempat yang
berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar kebutuhan!
Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia
hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sesungguhnya yang kita kejar-kejar,
yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada
ukurannya lagi akan besar dan banyaknya.
Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan berarti menolak
dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar.
Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar, karena pengejaran ini yang
menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia.
Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukan orang-orang yang suka menyuap
pembesar. Kiranya tidak ada orang, betapapun kayanya dia, yang suka membuang-
buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Hal ini dilakukan dalam
keadaan terpaksa, karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari
kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan.
Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut
musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka
Yuan de Gama cepat-cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk
menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan
dengan kekerasan. Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak
ceroboh dan menanti saja sampai kami pulang," Yuan de Game menegur kedua orang
anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.
"Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam
saja?" Kwi Eng membantah ayahnya.
"Anak-anak kita tidak bersalah," kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya.
"Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum
lebih baik daripada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan
semua pengalaman kita dahulu."
Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang. "Engkau seorang
pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu
menggunakan kekerasan menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan
kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga
kita ke sana." "Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!"
Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja" "Kami lahir di sini dan mencintai
tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat
mengagumkan hati kami."
Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini,
yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya. "Ha-ha-ha,
darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu daripada darahku, Maria. Tentu saja
engkau cinta negara dan bangsa ini."
Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian,
lalu bertanya, "Bertemu dengan pendekar-pendekar" Siapa mereka dan di mana?"
"Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada
ibu dan ayah," jawab Kwi Beng. "Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami
berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa..."
"Keributan di Pulau Hiu melawan anak buah Tokugawa itu?" tanya Yuan de Gama,
diam-diam merasa girang dan kagum bahwa kedua orang anaknya itu mewarisi
keberanian dan kepandaian ibu mereka.
"Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!" kata Kwi Eng.
"Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak buah Tokugawa, kami sudah
bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-
twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia" Dia adalah putera tunggal
dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu..." kata Kwi Beng.
"Ah, putera Ban-kin-kwi?" Souw L Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah
mendengar she orang itu. "Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong
Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu." Dan Kwi Eng lalu
menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun ketika pemuda perkasa ini dikeroyok
oleh orang-orang mabok dan dia yang sedang kebingungan karena kakaknya diculik
Tokugawa, melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya.
Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal
suhunya itu telah menolong menyelamatkan puteranya. "Di mana dia sekarang,
mengapa tidak kalian tahan supaya bertemu dengan kami di sini?"
"Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu den ayah tentu
terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya," kata Kwi Beng.
"Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!" Kwi Eng memotong kata-kata
kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang
merupakan ciri khas dari ayahnya!
"Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan kaget. Kami berdua telah
bertemu dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!"
"Aihhh...!" Souw Li Hwa terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena
tidak menyangka bahwa anak-anaknya akan berjumpa dengan putera Pendekar Sakti
Cia Keng Hong. "Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya seperti dewi
kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan
murid siapa dia itu." Kwi Bang yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan
dara yang menjadi pujaan hatinya.
"Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan
puterinya..." "Apa" Cia Giok Keng?" Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.
"Aihh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?" Yuan de Gama juga
bertanya dengan kagum. "Masih ada lagi, ibu," Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah
dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, "dan ibu pasti tidak dapat
menduga siapa dia." Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang-
kadang menahan napas kalau mendengar bagian-bagian yang menegangkan, apalagi
ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu
Sit. Setelah ada kesempatan bicara, Yuan de Game tertawa. "Ha-ha-ha, ternyata
kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!"
"Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar" Kalau bukan, masa
jauh-jauh dari begian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan
seorang wanita pribumi?" Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya
tertawa. "Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!" tiba-
tiba Kwi Beng berkata. Sebelum ayah dan ibu itu hilang kagetnya, Kwi Eng juga sudah membalas
kakaknya, "Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... eh, nona Hong yang
menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!"
"Eng-moi bilang lebih baik mati kalau tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!"
Kwi Beng kembali membalas.
"Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!" Kwi
Eng membalas. Ayah dan ibu itu saling pandang dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik
napas panjang. "Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!"
"Engkau sih hanya ingat berdagang saja!" Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia
memandang kedua orang anaknya dan berkata, "Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian
main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir
dan tertarik akan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian jatuh
cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan
wajahnya." "Tidak, ibu. Aku dan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta.
Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah
bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti
itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon
suamiku." "Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh
dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana." Kwi Beng juga berkata.
Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar
mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya lalu
tersenyum dan berkelakar, "Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku" Mereka sudah
dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?"
"Apa salahnya" Inilah akibat perbuatanmu, tahu!"
"Eh, eh! Kok jadi aku yang kausalahkan, isteriku yang manis?"
"Yuan de Gama, ini adalah gara-gara engkau mengajarkan Bahasa Portugis
kepada mereka, lalu kausuruh mereka baca buku-buku roman itu!"
"Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku" Kalau memang tidak
ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?"
"Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan
dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku
akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama untuk memberi
hormat kepada Cia-taihiap dan keluarganya, kedua untuk mempererat hubungan.
Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang
hubungan perjodohan itu."
"Kita ke Cin-ling-pai, ibu" Horaaaayyyyy...!" Kwi Eng sudah girang sekali
dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama
sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.
"Dan kita selidiki tentang nona Hong itu," kata pula Kwi Beng dan ibunya
mengangguk. "Memang sebaiknya begitu, pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di
sampingku, isteriku sayang. Padahal dahulu engkau adalah seorang pendekar wanita
yang biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara,
bersama anak-anakmu. Dengan kau di samping mereka, hatiku takkan merasa gelisah.
Aku akan menjaga rumah di sini mengurus pekerjaan."
"Dagang lagi...!" isterinya mencela.
"Bukan hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan
hal-hal yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini,
isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak bisa berpisah dariku, padahal baru
saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke barat?"
Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya karena hal ini
memang biasa bagi mereka.
"Phuahhh...! Siapa yang tidak dapat berpisah?" Li Hwa mencela akan tetapi
setelah membalas ciuman suaminya itu. Kedua orang anaknya tertawa, sudah biasa
mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu bergurau, bercinta, dan kadang-kadang
pura-pura bereckcok, padahal semua itu hanya sebagai tanda kasih sayang satu
sama lain. Ibu dan dua orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai
kaki kiri Kwi Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai
keluarga kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiganya
pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya,
karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan yang
dekat. Daya tarik yang saling mempengaruhi pria den wanita adalah suatu kewajaran
dan pembawaan dalam diri manusia, seperti terdapat pada mahluk apapun di
permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta antara pria
den wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh, saling
belai den saling berkasih mesra, sedekat mungkin sehingga menimbulkan keinginan
untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan sudah
merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah
hal yang kotor, bukanlah suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya
malah, sex merupakan hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri
yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada dalam diri manusia, timbul dari
rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu. Hubungan sex
adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak
dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan
mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN DALAM KEADAAN DIMABOK NAFSU
sehingga menjadi perbuatan membuta den menjadi hamba daripada nafsu berahi
belaka. Kalau sudab begini, maka berobahlah sifatnya hubungan kelamin, menjadi
kotor den najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang membawa kepada jurang
kedukaan den kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan hubungan kelamin adalah suatu kurnia hidup, suatu keindahan
hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah.
Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, bukan pula hal yang diremehkan.
Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, apabila sex sudah merupakan
suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu akan hanya
membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan menghancurkan
kita sendiri. Sia-sia belaka mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi dan
menganggap hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa, atau menyendiri,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan tetapi di dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri!
Nafsu apapun bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya
dipandang, dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu
tidak akan padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula.
Api nafsu itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan,
timbul kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan
merusak. Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana
manusia kehilangan akunya, akan berobah menjadi nafsu berahi yang membakar dan
memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan! Dengan mengingat-
ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu, timbullah
nafsu berahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita menjadi
hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan
itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-
kepentingan hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula
langkah-langkah sesat kita ambil demi untuk memperolehnya!
Maka sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apabila dilakukan oleh
sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak daripada kasih mesra yang
saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apabila hubungan ini
dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanyalah
dorongan nafsu berahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu akan
mengakibatkan duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan.
Di manapun, bilamanapun, siapapun dapat saja mengalami hal-hal yang
berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapapun juga yang belum
sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya,
betapapun cintanya dia, betapapun terpelajarnya dia dapat saja menjadi korban
yang amat lemah dari cengkeraman nafsu berahi.
Gadis yang cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di
bawah sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu
kuning yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang
terdiri dari dua puluh batang lebih. Angin Pegunungan Cin-ling-san bertiup
lembut, namun cukup menggerak-gerakkan daun-daun bambu yang lincah sehingga
menimbulkan desau dan desah gemersik daun yang resah, seresah hati dan pikiran
dara muda belia yang menangis lirih itu. Biarpun suara tangisnya lirih, namun
guncangan pundaknya yang keras menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang
sedang remuk. Gadis ini adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang
oleh In Hong ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus
dijodohkan dengan Cia Bun Houw karena menurut pengakuan Yalima, pemuda putera
Cin-ling-pai itu adalah pacar gadis Tibet itu.
Biarpun ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis
biarpun jarang bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biarpun dia diperlakukan
dengan sikap yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid
Cin-ling-pai karena dia dianggap sebagai seorang "sahabat baik" dari Cia Bun
Houw, namun Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali
karena dia merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu,
dan kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua
atau ibu Bun Houw! Memang sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang
menjadi isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas mendengar bahwa
puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis
Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai menjadi isteri
puteranya, menjadi mantunya! Nenek perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya
yang demikian itu adalah tidak benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah
berdasarkan suka sama suka, bardasarkan kasih sayang, dan segala macam
kedudukan, kepandaian dan harta kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya
dengan itu. Namun, sebagai seorang wanita, sukar baginya untuk merelakan
puteranya yang dianggapnya paling tampan, paling lihai dan paling hebat itu
berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam
pandangan umum merupakan bangsa setengah biadab!
Yalima menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya
kepada para dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak
Pcgunungan Himalaya, yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas
mengatur nasib manusia! Diam-dam dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang
telah tergelincir sehingga kini dia menghadapo malapetaka, menghadapi aib dan
mungkin sekali akan menerima kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai dan
isterinya! Semua yang dialaminya selama dia tinggal di Cin-ling-san empat lima
bulan lamanya, teringat dengan jelas menjadi bayang-bayang di antara linangan
air matanya. Mula-mula terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia telah tinggal hampir
tiga bulan di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw dan menanti-
nanti kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu
tak kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang
manis, bahkan kadang-kadang dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu
para pelayan. Mulailah dia membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak
dia sudah menjadi isteri Bun Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya
tidak suka kepadanya itu! Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi
sikapnya! Teringat dia akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-
mantu yang tidak disuka mertuanya, diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam
daripada budak belian! Mulailah dia merasa bimbang hati, dan mulailah terasa
olehnya betapa jauh perbedaan tingkat antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu
Bun Houw masih ikut dengan gurunya, Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidup
sederhana, perbedaan ini tidak nampak benar. Akan tetapi sekarang, di rumah
ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah keluarga pendekar
dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak murid dan pelayan,
melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itupun rata-rata memiliki
kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia melihat betapa rendah
kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.
Demikianlah, dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua
karena kebodohannya ketika diajar menulis membaca oleh seorang pelayan. Yalima
lari ke tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat
sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu kepada ayah bundanya, akan
tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet" Andaikata dia nekat pulang juga, tidak
urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang bangsawan tua,
menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru dan ditendang
serta disia-siakan kalau sudah bosan!
Selagi dia menangis sedih itu, tiba-tiba terdengar teguran halus, "Yalima,
mengapa engkau menangis seorang diri di sini?"
Yalima terkejut, akan tetapi ketika dia mengangkat muka memandang dan
mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu
bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis makin sedih,
seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas nasibnya.
Kwee Tiong segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di
situ pemuda ini memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara
itu memiliki kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh
namun yang amat menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara
Tibet itu, yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri
Cia Bun Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal. Bun Houw
pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri
bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun
yang segar dan murni itu, lebih pantas menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah
putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, telah berusia dua puluh lima tahun dan
belum menikah. Pemuda ini tidak terlalu tampan, juga tidak buruk, sedang saja
akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia memiliki sifat-sifat
kegagahan. "Yalima, apakah yang menyusahkan hatimu" Percayalah, aku akan suka
menolongmu, Yalima."
Mendengar suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima mengangkat muka
memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. "Tidak ada apa-apa,
kongcu (tuan muda)... aku hanya... hanya tidak kerasan di sini... dan aku rindu
kampung halamanku..."
"Ahh, jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid
di sini, dan mendiang ayahku dahulupun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang
biasa seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kausebut saja
kakak kepadaku." "Terima kasih, Kwee-koko." Mendengar kata-kata yang halus dan sikap yang
ramah ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum
sedikit sungguhpun kedua pipinya masih basah air mata. Melihat wajah yang
demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar dan jeli itu
seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut yang kecil itu
dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang sudah masak dan
berkulit tipis sekali sehingga agaknya kalau tergigit sedikit saja tentu akan
pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee Tiong berdebar keras dan
hatinya dipenuhi keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya saputangannya, dan
dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua pipi yang basah air mata
itu, kemudian saputangan itu dia berikan kepada Yalima sambil tersenyum berkata,
"Nih, kaukeringkanlah mata dan hidungmu."
Yalima terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan,
sehingga air matanya kembali bercucuran. Dia menerima saputangan itu, menyusuti
air matanya dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai saputangan itu menjadi
basah semua! Dia akan mengembalikan saputangan itu, akan tetapi ketika Kwee
Tiong menerimanya, dia menarik kembali saputangan itu sambil berkata, "Akan
kucuci lebih dulu, kongcu... eh, koko, besok setelah bersih kukembalikan."
"Tidak usah..." Kwee Tiong menarik saputangannya akan tetapi dipertahankan
oleh Yalima. "Saputanganmu kotor, koko..."
"Tidak, sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas air
matamu, Yalima." Merah seluruh muka dara itu dan dengan tangan gemetar dia melepaskan
saputangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium
saputangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Kwee... koko... mengapa kaulakukan itu...?" Yalima bertanya, hatinya
tergetar keras. "Mengapa" Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti
bidadari, engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu
kuning itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian."
"Kwee-koko...! Apa artinya ini?" Yalima masih memandang terbelalak, terkejut
bukan main karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik
dan kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa!
"Artinya" Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku.
Akan tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu..." Kwee Tiong
membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh
kedukaan. Wanita juga adalah seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dengan hati
dan perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang
orang lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah
dari Bun Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap
Bun Houw tak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan
Bun Houw. Dahulu, di waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw
dan tentu saja dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan,
akan tetapi karena di perkampungannya, dia melihat pemuda-pemuda Tibet tidak ada
yang segagah Bun Houw. Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan
yang sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan
menonjol dan sekaligus memikat hatinya. Kini, di Cin-ling-pai, dia melihat
banyak sekali pemuda perkasa, biarpun tidak mudah mencari seorang pemuda seperti
Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda di Pegunungan Tibet, para pemuda
Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh lebih unggul dalam segala-
galanya! Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap
sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang sudah menjadi naluri wanita dan segala
jenis mahluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya,
untuk memperkuat daya tariknya terhadap golongan jantan dan akan banggalah
hatinya kalau golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.
Wanita haus akan pujian pria, hal ini wajar sungguhpun kaum wanita suka
menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji,
sungguhpun di dalam hatinyat pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan
peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya. Yalimapun demikian pula.
Apalagi dia, seorang dara remaja yang sedang dewasa, bagaikan bunga sedang mekar
semerbak, mempunyai daya tarik yang tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya
dan keharumannya agar menarik datangnya kumbang jantan. Yalima sedang kesepian
dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang, apalagi pada
saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak disuka. Padahal,
tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita. Tidak disuka
berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini,
apalagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan
"kosong" seperti itu, muncullah Kwee Tiong dalam hidupnya, tentu saja merupakan
embun pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, merupakan curahan hujan bagi
pohon yang kehausan! Mula-mula hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali.
Yalima mulai bergembira hatinya karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan
usianya yang sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee
Tiong bahkan lebih pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau.
Dan Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah
pertahanan Yalima, runtuhlah sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang
hendak dipertahankannya. Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang
wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw masih
belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau cinta
muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh lahir belaka,
belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! Sebaliknya, getaran sayang
Kwee Tiong terasa oleh Yalima, menjatuhkannya dan bujukan-bujukan Kwee Tiong
membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang. Kwee Tiong maklum akan
bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! Akan tetapi,
karena cintanya memang bukan hanya cinta berahi belaka, dia berani menghadapi
segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima sehingga Yalima
akhirnya runtuh dan menyerahkan dirinya dengan suka rela dan dengan gairah yang
menggelora. Terjadilah hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini
disengaja oleh Kwee Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya
jalan agar Yalima menjadi isterinya!
Kwee Tiong lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tak mengenal
mundur lagi. Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain,
karena nafsu berahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar makin
membesar. Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. Demikian pula
halnya dengan Kwee Tiong dan Yalima. Hubungan pertama kali yang hanya disaksikan
oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun bambu kuning membuat pertahanan
mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan terus-menerus setiap kali ada
kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah yang menjadi saksi betapa mesranya
Dewa Lautan Timur 1 Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Terbang Harum Pedang Hujan 4
^