Pencarian

Dewi Maut 15

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


yang luka"luka. Orang yang tertua di antara mereka berkata, "Saya kira tidak ada
gunanya lagi, taihiap. Kedudukan Sabutai terlalu kuat, orang"orangnya terlalu
banyak. Tanpa adanya bantuan pasuka Kerajaan Beng, mana mungkin kita dapa
menyelamatkan kaisar" Setiap penyerbuan hanya merupakan bunuh diri dan kita
sudah kehilangan ratusan orang anak buah."
Cia Keng Hong, kakek pendeker yang gagah perkasa itu, menarik napas panjang,
alisnya berkerut dan dia mengepal tinju. "Sungguh gila! Kenapa dari selatan
tidak datang bala bantuan sedangkan sisa pasukan mereka telah lama kembali ke
selatan minta bala bantuan" Apakah mereka sudah tidak memperdulikan lagi kaisar
mereka yang tertawan musuh?"
Seperti kita ketahui, Cia Keng Hong telah membantu Suku Nomad yang terdiri
dari Bangsa Mongol dan Khitan, yang dipimpin oleh Yalu, ketika rombongan ini
sedang menggiring kuda mereka dan diganggu perampok yang ternyata adalah anak
buah Sabutai juga. Kemudian, Cia Keng Hong memimpin mereka dan teman"teman
mereka yang berhasil dikumpulkan untuk mencoba menolong rombongan kaisar ketika
rombongan kaisar terjebak di Lembah Nan"kouw, di lorong yang sempit. Akan
tetapi, karena jumlah musuh yang jauh lebih banyak, pasukan orang Nomad ini
terpukul mundur dan Cia Keng Hong tidak berhasil menyelamatkan kaisar sehingga
kaisar menjadi tawanan Sabutai. Dengan hati penuh duka dan juga kagum Cia Keng
Hong menyempurnakan jenazah delapan orang jenderal yang gugur secara gagah
perkasa itu, kemudian pendekar ini menyusun kekuatan, bergabung dengan pasukan
pemerintah yang menjaga di tapal batas dan berusaha untuk menyerang benteng
Sabutai dan menolong kaisar yang ditawan. Akan tetapi, usaha yang berkali"kali
dilakukan itu gagal terus, dan dengan sia"sia dia menanti bala bantuan dari
selatan yang tak kunjung datang. Malam hari itu, kembali mereka telah gagal dan
para pemimpin Suku Nomad mulai merasa putus asa dan mulai merasa berat untuk
mengorbankan orang"orang mereka lebih banyak lagi demi kepentingan Kaiser Beng,
sedangkan bala bantuan dari Kerajaan Beng tidak kunjung datang.
Setelah melihat sikap pasukan orang"orang Nomad yang membantunya menentang
Sabutai, dan mendengar pendapat-pendapat, para pemimpin mereka yang mulai merasa
putus asa karena banyaknya korban di kalangan mereka dan gagalnya penyerbuan
mereka terhadap benteng Sabutai yang amat kuat itu, Cia Keng Hong lalu berkata
kepada mereka, ditujukan kepada Yalu, pemimpin suku pedagang kuda yang pernah
dibantunya ketika suku ini diserbu oleh pencuri-pencuri kuda.
"Aku dapat mengerti akan keadaan kita, dan aku ikut prihatin melihat
jatuhnya banyak korban. Akan tetapi, kita telah melangkah jauh, menentang
kemaksiatan dan pemberontakan, sudah banyak pula korban yang jatuh bagaimana
kita dapat mundur begitu saja" Harap kalian tenang dan menanti di sini, aku
besok akan berangkat ke selatan untuk mencari bala bantuan. Percayalah, aku
dahulu sudah banyak membantu kerajaan, bahkan pernah bekerja sama dengan
mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu aku akan berhasil mendatangkan
barisan besar untuk menggempur benteng Sabutai dan menyelamatkan sri baginda
kaisar." Yalu dan teman-temannya tentu saja merasa setuju dan girang. Mereka hanya
merasa jerih kalau harus menyerang benteng yang kuat itu lagi, akan tetapi kalau
hanya menanti, kemudian memperoleh kesempatan membalas kematian teman-teman dan
anak-anak buah mereka, tentu saja mereka merasa girang. Maka berundinglah para
pimpinan itu dengan Cia Keng Hong yang sudah mengambil keputusan untuk berangkat
sendiri ke selatan. Selagi mereka melakukan perundingan dengan serius, tiba-tiba terdengar suara
gaduh, disusul suara suitan-suitan yang menjadi tanda bahwa tempat itu
kedatangan musuh! Tentu saja para pemimpin Suku Bangsa Nomad itu terkejut
sekali, akan tetapi dengan tenang Cia Keng Hong berkata, "Harap jangan gugup.
Kalian perintahkan anak buah masing-masing untuk mundur dan berpencar. Aku akan
lebih dulu pergi memeriksa apa yang terjadi!" Baru saja habis kata-kata ini,
orangnya sudah lenyap dari situ karena pendekar sakti itu telah mempergunakan
ilmu kepandaiannya untuk melesat keluar perkemahan dengan cepat sekali!
Seperti juga dengan lain pemimpin yang cepat berlarian keluar, Cia Keng Hong
merasa lega ketika mendengar bahwa ribut-ribut itu bukan disebabkan oleh serbuan
musuh, melainkan hanya dua orang mata-mata musuh yang telah dikepung!
"Mereka itu lihai bukan main sampai kami kewalahan dan banyak sudah kawan-
kawan yang roboh oleh mereka."
Mendengar laporan ini, Cia Keng Hong menjadi marah dan penasaran, dia lalu
mempercepat larinya menuju ke tempat di mana anak buah Suku Bangsa Nomad itu
sedang berteriak-teriak mengepung dua orang. Ketika tiba dekat, Cia Keng Hong
terkejut bukan main. Dia tidak mengenal kakek dan nenek yang sedang duduk di atas tanah, saling
beradu punggung dan kini mereka berdua menggerak-gerakkan tongkat butut mereka
di atas tangan sambil bernyanyi-nyanyi itu. Nyanyian itu diucapkan dalam bahasa
asing, dan biarpun dia tidak menguasai bahasa itu, Cia Keng Hong yang
berpengalaman luas mengenal Bahasa Sailan. Dua orang kakek dan nenek
berkebangsaan Sailan muncul di tempat itu, sungguh mengherankan. Akan tetapi
yang mengejutkan hati pendekar sakti ini bukan kenyataan bahwa mereka adalah
orang-orang asing dari barat itu, melainkan menyaksikan kelihaian mereka yang
luar biasa. Mereka itu kelihatannya hanya memukul-mukulkan tongkat butut ke atas
tanah di depan mereka, sama sekali tidak memperdulikan pengeroyokan puluhan
orang yang menyerang mereka kalang-kabut dengan senjata mereka. Akan tetapi
kenyataannya, tidak ada sebuahpun senjata para pengeroyok yang mengena tubuh
mereka karena selalu tertangkis oleh tongkat butut dan bayangan tongkat
sedangkan setiap kali tongkat mereka memukul tanah, pasir dan tanah muncrat
meluncur ke depan, mengenai para pengeroyok dan hebatnya, pasir dan tanah ini
sudah sanggup merobohkan banyak sekali orang-orang yang mengeroyok itu! Sekali
pandang saja tahulah Cia Keng Hong bahwa dua orang tua itu adalah orang-orang
yang amat lihai, gerakan tongkat mereka mengeluarkan angin menderu sehingga
semua senjata lawan terhalau, dan tanah dan pasir yang beterbangan merobohkan
para pengeroyok itu adalah akibat pencokelan dengan ujung tongkat dan tentu saja
ada tenaga sin-kang yang amat kuat tersalur di tangan mereka untuk dapat
melakukan serangan balasan itu. Apalagi kalau dia memandang ke arah wajah mereka
yang tertimpa sinar layung matahari senja itu, dia makin kaget karena wajah
putih kapur dari kakek itu, dan wajah hitam hangus dari nenek itu, adalah akibat
dari hawa beracun yang agaknya dilatih oleh dua orang tua itu, seperti yang
kadang-kadang dapat ditemukan di antara tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu
tinggi. "Harap kalian semua mundur!" Cia Keng Hong berseru dan mendengu seruan
pendekar tua yang mereka kagumi itu, semua pengeroyok mundur sambil menyeret
belasan orang yang telah menjadi korban sambaran tanah dan pasir. Ternyata tanah
dan pasir itu menyambar muka dan tubuh mereka demikian kerasnya sehingga
menembus kulit daging, seperti peluru-peluru kecil dari baja saja! Mereka semua
memandang kepada Cia Keng Hong penuh harapan, karena merekapun maklum bahwa dua
orang kakek itu tentu merupakan orang-orang luar biasa yang tidak mungkin dapat
dilawan oleh tenaga biasa, dan agaknya hanya Pendekar Sakti Cia Keng Hong saja
yang akan dapat menghadapi mereka. Maka semua orang segera mundur dan duduk
menonton, membuat lingkaran lebar. Juga Yalu dan teman-temannya yang sudah tiba
di situ memberi isyarat agar orang-orang mereka diam saja jangan mengganggu Cia
Keng Hong, akan tetapi juga harus siap menghadapi segala kemungkinan.
Cia Keng Hong melangkah maju, dan kebetulan saja dia kini berhadepan dengan
kakek bermuka putih yang masih duduk bersila, sedangkan nenek itupun masih duduk
di belakangnya, beradu punggung dan bersila pula. Kakek itu mengangkat muka
memandang dan sejenak mereka beradu pandang dengan penuh selidik. Karena Cia
Keng Hong tidak mengenal mereka, juga tidak tahu apakah maksud kedatangan
mereka, maka dia tidak berani bersikap kasar.
"Ji-wi locianpwe, harap ji-wi suka memaafkan kalau para teman kami bersikap
kasar terhadap ji-wi, karena tidak mengenal ji-wi locianpwe. Kalau boleh kami
bertanya, siapakah ji-wi locianpwe yang terhormat dan apakah maksud kedatangan
ji-wi?" Mendengar suara yang mengandung wibawa dan tenaga khi-kang kuat itu, si
kakek bermuka putih memandang tajam, bahkan nenek muka hitam itupun menoleh dan
kini sekali bergerak, tubuhnya yang tadi bersila membelakangi kakek itu, tahu-
tahu telah pindah ke sebelah si kakek dan ikut memandang tajam.
Kakek itu lalu terkekeh dan tongkatnya bergerak memukul tanah. Kini bukan pasir dan tanah halus yang berhamburan, melainkan
segumpal tanah keras terbang ke arah muka Cia Keng Hong! Pendekar ini
mengerutkan alis, menggerakkan tangannya dan sekali sampok saja gumpalan tanah
itu meluncur ke depan si kakek dan amblas masuk ke dalam tanah saking kerasnya
pendekar ini menyampok. Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut dan memandang
makin tajam penuh selidik.
"Engkau siapa?" Kakek itu bertanya tanpa menjawab pertanyaan Cia Keng Hong
tadi. "Nama saya Cia Keng Hong," jawab pendekar itu dengan sikap tenang.
Akan tetapi mendengar nama ini, kakek dan nenek itu sama sekali tidak
tenang, bahkan terkejut sekali, memandang kepada Cia Keng Hong dengan mata
terbelalak. "Engkau Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" Nenek itu bertanya, suaranya
tinggi mendesis seperti ular marah.
"Benar," Keng Hong mengangguk.
"Kau dahulu kaki tangan si keparat The Hoo?" Kakek itupun membentak sehingga
Keng Hong menjadi kaget. Kiranya dua orang ini adalah bekas musuh-musuh mendiang
Panglima Besar The Hoo. "Saya dahulu sahabat mendiang Panglima The Hoo," dia menjawab dan kini balas
memandang penuh selidik. "Dan kau yang memimpin orang-orang ini menyerbu benteng Mongol?" kembali
kakek itu bertanya. Keng Hong mengangguk. "Secara curang, Sabutai telah menawan Kaisar Beng,
maka kami berusaha untuk membebaskan beliau."
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek bermuka putih itu tertawa, sehingga mulutnya terbuka
dan tidak nampak sebuahpun gigi. "Cia Keng Hong manusia sombong! Kau tadi tanya
siapa kami dan apa keperluan kami datang ke sini" Bukalah mata dan telingamu
baik-baik. Kami adalah Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dan calon Kaisar
Sabutai adalah murid kami. Kedatangan kami di sini adalah untuk membunuh engkau
dan membasmi semua anak buahmu!"
Mendengar bahwa dua orang tua itu adalah guru Sabutai, marahlah Yalu. Dia
tadi bersama teman-temannya telah mempersiapkan pasukan anak panah, maka begitu
mendengar siapa adanya dua orang itu yang datang mengacau itu, Yalu sudah
memberi isyarat kepada pasukan panahnya. Belasan batang gendewa dipentang dan
anak-anak panah dilepaskan. Terdengar suara berdesing-desing ketika belasan
batang anak panah menyambar ke arah dua orang tua yang masih duduk bersila
berdampingan itu. Mereka hanya terkekeh, sama sekali tidak mengelak atau
menangkis. "Suuingggg... wirrr... takk-takk-takkk!" Semua anak panah tepat mengenai
sasaran, yaitu tubuh kakek dan nenek itu, akan tetapi betapa kaget hati Yalu dan
kawan-kawannya melibat semua anak panah yang mengenai tubuh mereka itu seperti
mengenai dua buah arca besi dan patah-patah, runtuh ke atas tanah di sekitar
tubuh kedua orang tua itu!
"Serang...!" Yalu berteriak dan bersama tiga orang temannya, yaitu kepala-
kepala Suku Nomad yang bertubuh tinggi besar dan kuat, dia sudah menerjang ke
depan. Terlambat Cia Keng Hong mencegah, karena empat orang tinggi besar itu
sudah menyerbu dengan golok di tangan membacok dengan ganas.
Terdengar dua orang tua itu terkekeh, lalu tiba-tiba mereka meloncat dan
nampak segulungan sinar ketika mereka menggerakkan tongkat.
"Cring-cring-tranggg...!" Empat batang golok yang menyambar itu bertemu
dengan gulungan sinar, seperti dibelit oleh sinar itu dan terdengar teriakan
mengerikan ketika senjata-senjata itu seperti dipaksa membalik dan menghunjam
dada pemegangnya sendiri!
Cia Keng Hong menjadi marah sekali. Cepat dia meloncat ke depan, kedua
tangannya menyerang dengan pukulan tangan terbuka ke arah kakek dan nenek itu.
"Ihhhh...!" Hek-hiat Mo-li memekik.
"Aihh...!" Pek-hiat Mo-ko juga berteriak. Keduanya meloncat ke belakang dan
robohlah empat orang pimpinan Suku Nomad itu, dengan golok menembus dada dan
tewas seketika! Keng Hong memandang dengan penuh penyesalan. Akan tetapi, para
suku Nomad yang melihat pemimpin mereka tewas, menjadi marah sekali. Sambil
berteriak-teriek mereka mendekat dengan sikap mengancam. Keng Hong yang maklum
bahwa kalau mereka maju berarti hanya mengantar nyawa secara sia-sia belaka,
lalu mengangkat tangan dan berseru nyaring penuh wibawa, "Mundur semua! Biarkan
aku menghadapi dua iblis ini!"
Semua orang mentaati dan mengurung tempat itu. Sedangkan Keng Hong yang
maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai sekali, sudah mengeluarkan suara
melengking nyaring dan panjang seperti pekik seekor burung rajawali yang
menantang musuh, kemudian dengan tangan kosong tubuhnya sudah mencelat ke depan
dan menyerang nenek dan kakek itu dengan jurus-jurus maut dari Ilmu Silat San-
in-kun-hoat. Dalam segebrakan saja pendekar ini telah menghantam ke arah ulu
hati Pek-hiat Mo-ko dan sekaligus tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepala
nenek Hek-hiat Mo-li dan sukar dikatakan mana di antara kedua serangan ini yang
lebih berbahaya karena keduanya adalah gerakan maut yang kalau mengenai sasaran
sukar bagi lawan untuk membebaskan diri dari maut. Kedua orang tua yang amat
lihai itu terkejut, akan tetapi ternyata kakek dan nenek tua yang kelihatan
sudah pikun itu masih memiliki kesigapan yang mengagumkan. Mereka berdua tidak
saja dapat meloncat sambil mengelak, malah lompatan mereka itu membuat mereka
berpencar dan mengurung Keng Hong dari depan belakang, kemudian secara langsung
mereka membalas. Mereka berdua mengeluarkan teriakan-teriakan mengerikan dan
Hek-hiat Mo-li sudah menghantamkan tangan kanannya dari belakang ke arah
punggung Keng Hong. Sedangkan Pek-hiat Mo-ko juga menampar dengan telapak tangan
ke arah dada pendekar sakti itu. Dari telapak tangan Hek-hiat Mo-li mengepul
asap hitam, sedangkan dari tangan Pek-hiat Mo-ko mengepul asap atau uap putih!
Itulah bukti betapa hebatnya sin-kang mereka dan tangan beracun mereka.
Cia Keng Hong mengenal lawan tangguh. Secara otomatis kuda-kuda kedua
kakinya bergerak ke kiri seperempat lingkaran sehingga kalau tadi kedua lawan
berada di depan dan belakang, kini yang di depan menjadi di sebelah kanannya
sedangkan yang tadinya di belakang menjadi di sebelah kirinya. Kedua lengannya
dikembangkan ke kanan kiri dan dengan tepat sekali dia telah menyambut pukulan
kedua orang lawannya dari kanan kiri itu dengan dorongan tangannya yang terbuka
sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Plak! Plakk!" Hek-hiat Mo-li terpekik dan terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan
Pek-hiat Mo-ko hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Kedua kaki Cia Keng
Hong sendiri ambles ke tanah sampai beberapa senti dalamnya. Diam-diam pendekar
ini terkejut, maklum bahwa tenaga kedua orang lawan itu hampir setingkat kuatnya
dengan tenaganya sendiri, dan ternyata si kakek itu sedikit lebih kuat daripada
si nenek. "Cia Keng Hong, engkau akan mampus di tanganku!" teriak Pek-hiat Mo-ko.
"Biar kau menyampaikan tantangan kami kepada The Hoo si keparat yang berada
di neraka!" Hek-hiat Mo-li juga berteriak.
Dua orang tua itu lalu menancapkan tongkat masing-masing di atas tanah,
kemudian mereka menggosok-gosok kedua tangan mereka sehingga nampak uap mengepul
makin tebal dan terasa ada hawa panas datang dari tubuh nenek itu, akan tetapi
dari tubuh kakek itu menyambar hawa dingin! Kembali Keng Hong terkejut, namun
dia tidak kehilangan ketenangannya den berdiri di tengah-tengah, kedua kakinya
memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, yaitu kedua kaki terpentang lebar, lutut
ditekuk den tubuh tegak seperti seorang yang menunggang kuda. Memang pasangan
kuda-kuda itu adalah yang disebut "Menunggang Kuda", kokoh kuatnya seperti kedua
kaki telah berakar di bumi, namun ringannya seperti kaki burung yang siap
terbang. Tangan kanan di pinggang kanan, jari-jarinya terbuka dan membentuk
cakar garuda, sedangkan jari-jari tangan kiri lurus di depan dada kiri. Seluruh
tubuhnya sama sekali tidak bergerak, seolah-olah dia telah menjadi patung, dan
hanya sepasang matanya yang masih tajam itu mengerling ke kanan kiri, mengikuti
gerak-gerik kedua orang musuhnya yang lihai itu.
"Yieeeehhh...!" Hek-hiat Mo-li sudah menerjang dari kiri, menggunakan kedua
tangannya yang berobah hitam itu untuk mencengkeram.
"Aarrggghhhh...!" Pek-hiat Mo-ko juga mengeluarkan suara gerengan seperti
biruang, kedua tangannya menyerang pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong
dari kanan. Keng Hong maklum bahwa dengan menancapkan tongkat di tangan lalu menyerang
dengan tangan kosong, tentu kakek dan nenek itu lebih mengandalkan kelihaian
tangan mereka yang jelas mengandung hawa beracun yang jahat. Maka dia tidak
berani memandang rendah dan melihat betapa serangan nenek itu lebih dulu
sedetik, dia cepat menghadapinya dengan memutar tubuh ke kiri tanpa mengalihkan
kedua kakinya yang terpentang lebar. Dengan tangan berputar, jari-jarinya
menuding ke atas dan ke bawah, dia memapaki serangan nenek yang mencengkeramnya.
Pendekar sakti ini menggunakan gerakan "Menyembah Langit dan Bumi", suatu
gerakan yang amat ampuh, apalagi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-
kang yang kuat sehingga dari gerakan kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat. Akan tetapi, pendekar ini hanya menangkis saja karena dari sambaran
angin di sebelah kanannya, dia maklum bahwa serangan Pek-hiat Mo-ko sudah tiba
pula. "Desss! Plakk!" Tubuh nenek itu mencelat ke belakang dan Keng Hong sudah
memutar tubuh ke kanan, melengkungkan tubuh ke kiri dan meluruskan kaki kanan
sehingga tubuh atasnya menjauh. Dia melihat pukulan kedua tangan kakek itu
datang mengancamnya dengan hebat, tangan kanan kakek itu menusuk ke arah matanya
sedangkan tangan kiri digerakkan seperti sebatang golok menusuk ke arah ulu
hatinya! Datangnya serangan amat cepat, didahului uap putih yang mengeluarkan
hawa dingin sekali! Untuk mengelak sudah tidak ada waktu, maka Keng Hong lalu
menyambut serangan ke matanya dengan tangan kiri, sedangkan tusukan ke dadanya
dia terima begitu saja! Dia tidak berani menggunakan tangan kanannya karena
tangan itu perlu dia persiapkan untuk menghadapi serangan nenek dari
belakangnya. "Plakk! Bukk!" Tangan kanan kakek bermuka putih itu bertemu dengan tangan
kiri Cia Keng Hong, sedangkan jari-jari tangan kiri kakek itu menghantam dengan
jari-jari terbuka ke dada pendekar sakti ketua Cin-ling-pai. Akibatnya hebat!
Kakek bermuka putih itu terbelalak, mukanya yang putih itu menjadi makin pucat
dan matanya bergerak liar, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dalam
bahasa asing. Kiranya Cia Keng Hong telah mempergunakan ilmunya yang amat hebat,
yaitu Thi-khi-i-beng, sehingga begitu kedua tangan Pek-hiat Mo-ko bertemu dengan
tangan kiri dan dadanya, kedua tangan kakek muka putih itu melekat dan langsung
saja tenaga sin-kangnya membanjir keluar, tersedot melalui tangan dan dada ketua
Cin-ling-pai! Akan tetapi Keng Hong juga merasa khawatir karena sin-kang yang memasuki
tubuhnya itu mengandung racun yang berhawa dingin, mengendalikan tenaganya agar
tidak menyedot terlampau banyak dan Thi-khi-i-beng itu hanya dipergunakan untuk
menundukkan lawan saja. "Ahhhhh...!" Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik nyaring dan mukanya
menunjukkan kekagetan dan kengerian. Melihat ini, Hek-hiat Mo-li dapat menduga
bahwa temannya itu terancam bahaya, apalagi dia melihat betapa kedua tangan
temannya seperti melekat pada tubuh ketua Cin-ling-pai, maka sambil mengeluarkan
suara melengking nyaring nenek inipun menyerang hebat dengan pukulan tangannya
ke arah tengkuk Keng Hong.
"Wuuuuttt... plak! Plak!" Kembali Keng Hong menghadapi musuhnya yang tidak
kalah lihainya daripada kakek itu dengan penggunaan Thi-khi-i-beng yang tersalur
di seluruh tubuhnya. Tangan kanannya menyambut hantaman nenek itu sehingga kedua
tangan mereka bertemu dan saling menempel, sedangkan tamparan tangan kanan nenek
itu ke arah punggungnya dia biarkan saja karena Ilmu Thi-khi-i-beng menyambut
pukulan itu, membuat tangan si nenek melekat di punggungnya.
Aihhhh...!" Hek-hiat Mo-li juga memekik ngeri ketika merasa betapa tenaga
sin-kangnya membanjir keluar tanpa dapat dicegahnya, sedangkan ketika dia hendak
menarik kedua tangannya, ternyata dua tangan itu sudah melekat pada tubuh lawan
dan tidak dapat ditariknya lepas!
Akan tetapi, pada saat dua orang kakek dan nenek itu terkejut dan khawatir
sekali menghadapi ilmu aneh yang selamanya belum pernah mereka hadapi itu, ilmu
yang membuat kedua tangan mereka melekat pada tubuh lawan dan yang membuat
tenaga sakti mereka membanjir keluar, di lain fihak Cia Keng Hong juga terkejut
dan maklum bahwa kalau dia melanjutkan penggunaan Thi-khi-i-beng, dia sendiri
tidak urung akan celaka karena tenaga sin-kang yang membanjir keluar dari tubuh
dua orang lawannya itu mengandung hawa beracun yang amat jahat dan berlawanan
sifatnya, yaitu hawa beracun dari kakek itu amat dingin sebaliknya tubuh nenek
itu mengeluarkan hawa yang amat panas. Di sebelah dalam tubuhnya bisa keracunan
dan rusak oleh dua hawa beracun yang saling berlawanan ini.
Pendekar sakti dari Cin-ling-pai ini tentu saja tidak sudi untuk mengadu
nyawa dengan kedua orang lawannya, maka dia cepat merendahkan tubuh dengan
menekuk kedua lututnya, kemudian dengan berbareng dia melepaskan tenaga sakti
Thi-khi-i-beng dan pada saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan sehingga
terlepaslah dia dari kedua orang lawannya.
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa betapa tenaga mujijat yang
membuat tangan mereka melekat itu tiba-tiba lenyap, kalah cepat dan sebelum
mereka sempat memukul, tubuh lawan yang sakti itu telah meluncur ke depan.
Mereka menjadi marah sekali, akan tetapi juga agak jerih karena mereka maklum
bahwa lawan ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aneh. Dengan hati-
hati dan dengan mata mengandung sinar berapi, nenek dan kakek itu kembali
menerjang Keng Hong dengan pukulan-pukulan yang dikerahkan sekuatnya, mengandung
hawa beracun bergulung-gulung berbentuk uap hitam dan putih. Cia Keng Hong yang
sudah maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan ini tidak banyak
selisihnya dengan tingkatnya sendiri, menghadapi mereka dengan waspada dan hati-
hati, kini bersilat dengan dasar ilmu silat tinggi Thai-kek-sin-kun sehingga
tubuhnya seolah-olah berobah menjadi bayang-bayang saja yang sukar sekali dapat
disentuh oleh kedua orang lawan.
Tiba-tiba Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengeluarkan pekik panjang dan
mereka merobah gerakan mereka. Keng Hong terkejut sekali. Kini dua orang itu
tidak bergerak menyendiri, melainkan mereka bersilat dengan gerakan bergabung!
Pek-hiat Mo-ko berputaran dan kaki tangannya menghujankan serangan dari kanan ke
kiri, sedangkan Hek-hiat Mo-li berputar dari kiri ke kanan. Gerakan mereka
saling membantu dan saling mengisi sehingga Keng Hong menjadi sibuk menghadapi
lawan yang seolah-olah merupakan seorang lawan yang dapat memecah diri menjadi
dua, yang gerakan-gerakannya demikian otomatis sambung-menyambung, saling
melindungi dan saling membantu. Dia terkejut dan kagum sekali karena dia maklum
bahwa dua orang ini telah menciptakan semacam ilmu silat mujijat yang dimainkan
secara berbareng oleh dua orang. Dia percaya bahwa kalau dua orang ini bersilat
seperti itu, mereka kuat sekali dan biar menghadapi pengeroyokan banyak orangpun
akan mampu saling melindungi. Dia sendiri mulai terdesak dan dua kali sudah dia
terkena pukulan pada pundak kirinya dan totokan pada pangkal lengannya. Untung
dia masih sempat melindungi bagian yang terpukul dan tertotok itu dengan sin-
kang, kalau tidak tentu dia sudah terluka keracunan. Betepapun juga, pendekar
sakti ketua Cin-ling-pai ini terdesak hebat dan harus diakuinya bahwa baru
sekarang selama puluhan tahun ini dia bertemu tanding yang demikian lihainya.
Hanya karena Cia Keng Hong mahir ilmu silat sakti Thai-kek-sin-kun sajalah
maka dia masih mampu bertahan, sungguhpun dia terdesak dan tidak mampu melakukan
serangan balasan. Sayang, pikirnya. Kalau Siang-bhok-kiam berada di tangannya,
dia tidak akan gentar menghadapi dua orang ini, den tentu dia tidak akan
terdesak seperti sekarang ini.
"Desss...! Plak-plak...!" Kembali Cia Keng Hong terpaksa menerima dua kali
tamparan Hek-hiat Mo-li yang mengenai punggung den pundaknya setelah dia
menangkis hantaman Pek"hiat Mo"ko. Sekali ini, hebatnya tamparan membuat
kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung dan dadanya sesak. Untung baginya bahwa
tangkisannya yang keras sebelumnya telah membuat tubuh Pek-hiat Mo-ko
terpelanting. Kalau tidak, dalam keadaan terhuyung itu tentu sukar baginya untuk
menyelamatkan diri. Melihat betapa jago mereka terhuyung-huyung, sedangkan pertempuran itu
berjalan lambat sehingga mereka memandang rendah kepada kakek dan nenek itu,
empat orang anggauta pasukan Mancu menyerbu dengan tombak di tangan, langsung
menyerang kakek dan nenek itu.
"Jangan...!" Cia Keng Hang membentak, namun terlambat. Empat orang itu telah
menyerang dan menusukkan tombak mereka.
"Trakk-trakkk... desss!"
Empat batang tombak itu memang mengenai tubuh kakek dan nenek yang
menerimanya sambil tersenyum mengejek dan patah-patahlah empat gagang tombak
itu, kemudian begitu kedua tangan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko bergerak,
empat orang Mancu itu berteriak mengerikan dan tubuh mereka terlempar dengan
kepala pecah dan tewas seketika itu juga!
Keng Hong yang masih merasa pening itu menjadi marah sekali. Dia meloncat ke
depan, kedua tangannya memukul dengan tangan terbuka, sambil mengerahkan sin-
kangnya. Angin pukulan menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-hiat Mo-li dan Pek-
hiat Mo-ko. Akan tetapi dua orang tua itu sudah siap siaga, mereka menekuk
lutut, mengerahkan tenaga dan mendorongkan kedua tangan ke depan, masing-masing
menyambut pukulan Cia Keng Hong.
Desss! Desss...!" Tubuh Cia Keng Hong kembali terjengkang dan terhuyung ke
belakang. Tidak kuat dia menghadapi tenaga yang bergabung itu dan pendekar ini
merasa dadanya sesak dan mencium bau darah, tanda bahwa dia menderita luka yang
biarpun tidak parah dan tidak berbahaya akan tetapi mengurangi daya tempurnya.
Sedangkan tubuh kedua lawannya hanya bergoyang-goyang saja.
"Cia Keng Hong, bersiaplah untuk mampus!" Hek-hiat Mo-li berseru keras dan
bersama temannya dia sudah siap untuk menyerang lagi.
"Ayah, biarkan saya mengambil bagian!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat
dan tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Cia Bun
Houw! Tak lama kemudian muncul pula seorang pemuda lain yang berpakaian
sederhana berwama kuning, pemuda ini adalah Tio Sun yang datang bersama Cia Bun
Houw. Seperti telah dituturkan di bagian depan Cia Bun Houw bersama Tio Sun
berpisah dari encinya, dari Kwi Beng dan Kwi Eng untuk pergi melakukan
penyelidikan terhadap musuh-musuh Cin-ling-pai yang telah melarikan diri ke
utara. Di dalam perjalanan itu, mereka mendengar pula akan peristiwa hebat yang
menimpa kaisar, yang kabarnya tertawan oleh musuh. Juga mereka mendengar berita
angin bahwa para musuhnya kini bekerja kepada Thaikam Wang Cin yang menjadi
biang keladi jatuhnya malapetaka atas diri kaisar yang tertawan gerombolan liar.
Maka dua orang muda perkasa ini lalu mengambil keputusan untuk menyusul ke
utara, kini dengan dua tujuan. Pertama untuk mencari musuh-musuh Cin-ling-pai,
kedua untuk berusaha membantu dan menyelamatkan kaisar. Demikian, pada hari itu
mereka tiba di dalam hutan yang menjadi markas dari pasukan-pasukan Mancu dan
Khitan yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan secara kebetulan sekali melihat
betapa ketua Cin-ling-pai dikeroyok oleh dua orang tua yang amat lihai. Tentu
saja Bun Houw menjadi kaget dan marah, lalu meloncat mendahului Tio Sun untuk
membantu ayahnya. Lega hati Cia Keng Hong melihat munculnya pemuda ini. Dia sudah pernah
menguji kepandaian Bun Houw dan maklum bahwa tingkat kepandaian puteranya yang
telah menerima gemblengan manusia sakti Kok Beng Lama kini telah cukup tinggi
untuk menghadapi seorang lawan seperti kakek dan nenek ini. Dia tahu bahwa
tingkat kepandaian Pek-hiat Mo-ko masih lebih tinggi sedikit daripada tingkat
kepandaian si nenek, maka dia cepat menghadapi kakek itu dan berkata kepada
puteranya, "Houw-ji, (anak Houw), kaulawanlah Hek-hiat Mo-li dan hati-hatilah
terhadap hawa beracun dari tangannya yang mengandung tenaga Yang-kang yang cukup
kuat." "Jangan khawatir, ayah," Bun Houw berkata dan pemuda yang merasa penasaran
dan marah melihat ayahnya tadi terdesak, langsung saja bergerak cepat, menyerang
Hek-hiat Mo-li dengan tamparan tangan kiri ke arah kepala nenek itu.
Hek-hiat Mo-li adalah seorang tokoh tua yang sudah puluhan tahun malang
melintang di dunia persilatan bagian barat, sudah banyak menghadapi lawan-lawan
tangguh. Tentu saja dia memandang rendah kepada seorang pemuda yang menurut
taksirannya tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya itu. Maka, melihat
tamparan yang datang dengan perlahan itu, dia hanya terkekeh dan mengangkat
lengan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan hawa mujijatnya sehingga gerakan
tangan itu didahului oleh uap hitam, lalu disusul tangan kirinya yang menusuk
dengan jari-jari terbuka ke arah lambung lawan sebagai serangan balasan.
"Dess... takkk!"
Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang.
Ketika dia menangkis, dan tusukan tangannya juga tertangkis oleh pemuda itu,
kedua tangannya bertemu dengan tangan pemuda yang memiliki tenaga dahsyat
sekali. Akan tetapi gerakan tangan itu, dan kedahsyatan tenaga yang menggetar-
getar itu, membuat dia terbelalak karena dia mengenal gerakan tangan sakti itu.
Pernah dia dan Pek-hiat Mo-ko hampir celaka oleh gerakan tangan seperti itu,
ketika mereka merantau sampai ke Tibet.
"Apa hubunganmu dengan Kok Beng Lama...?" bentaknya dan mendengar bentakan
ini, Pek-hiat Mo-ko juga menunda gerakannya menyerang Cia Keng Hong dan ikut
memandang ke arah pemuda itu.
Bun Houw tersenyum. "Kok Beng Lama adalah suhuku, mau apa kau tanya-tanya?"
Mendengar ini, kakek dan nenek itu terkejut bukan main, lalu si nenek
mengeluarkan kata-kata dalam bahasa asing, kemudian kakek dan nenek itu
menggerakkan tangan dan segumpal uap putih dan hitam menyambar ke arah Cia Keng
Hong dan Cia Bun Houw. Serangan ini hebat sekali, karena selain uap itu
mengandung racun berbahaya, juga di dalamnya terdapat senjata rahasia berbentuk
jarum-jarum halus yang meluncur ganas dan tersembunyi.
"Houw-ji, awas...!" Keng Hong berseru, maklum akan bahayanya senjata rahasia
itu. Akan tetapi, seperti juga ayahnya, dengan mudah saja Bun Houw menghindarkan
diri dari serangan uap hitam dengan miringkan tubuh dan menggunakan pukulan
tangan yang mengeluarkan angin dahsyat meruntuhkan uap hitam dan jarum-jarum di
dalamnya. "Hendak lari ke mana kalian?" Bun Houw membentak.
"Houw-ji, jangan kejar. Biarkan mereka pergi!" Keng Hong mencegah puteranya
dan Bun Houw tidak melanjutkan pengejarannya.
Keng Hong yang sudah mendengar tentang puteranya ini dari penuturan Cia Giok
Keng yang pulang ke Cin-ling-pai, kini menceritakan kepada pemuda itu tentang
kaisar yang ditawan musuh dan tentang usahanya untuk menyelamatkan kaisar. Dia
merasa girang mendengar bahwa Tio Sun yang gagah perkasa itu adalah putera Tio
Hok Gwan sahabat baiknya.
Mendengar betapa beberapa kali usaha pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu
dalam menyelamatkan kaisar gagal, Bun Houw dan Tio Sun menyatakan hendak
membantu. "Cia-locianpwe, biarlah saya dan adik Bun Houw menyelundup ke benteng musuh
untuk menyelamatkan sri baginda kaisar," kata Tio Sun penuh semangat. Sebagai
putera seorang bekas pengawal kaisar yang setia, tentu saja pemuda ini ingin
sekali membuktikan dharma baktinya terhadap kaisar.
Bun Houw juga menyetujui usul Tio Sun ini, akan tetapi Cia Keng Hong
menggeleng kepalanya. "Berbahaya sekali..." orang tua sakti ini berkata
perlahan. "Ayah, kami tidak takut menghadapi bahaya untuk menyelamatkan kaisar!" Bun
Houw berkata nyaring. "Hemm, aku tahu. Akan tetapi bahayanya bukan hanya mengancam kalian berdua
kalau kalian menyelundup ke sana, melainkan terutama sekali mengancam
keselamatan nyawa kaisar."
"Eh, mengapa begitu?" Bun Houw bertanya kaget.
"Apa maksud locianpwe?" Tio Sun juga bertanya karena merasa heran.
"Menurut penyelidikanku, biarpun menjadi tawanan musuh, kaisar mendapat
pelayanan baik dan selama ini tidak pernah diganggu keselamatannya. Besar
kemungkinan Sabutai hendak mempergunakan kaisar sebagai sandera, atau hendak
membujuk kaisar agar dengan suka rela suka menyerahkan tahta kerajaan kepadanya.
Maka, kalau dia melihat kalian mengancam, bukan tidak mungkin dia akan merobah
sikapnya terhadap kaisar."
Tio Sun dan Bun Houw mengangguk-angguk. "Habis, bagaimana baiknya, ayah"
Tidak mungkin pula kita mendiamkan saja kaisar menjadi tawanan gerombolan liar."
"Satu-satunya jalan hanya menyerbu secara terbuka. Akan tetapi kekuatan
pasukan yang berhasil kukumpulkan tidak betapa besar dan kita masih menanti
datangnya bala tentara kerajaan yang tak kunjung datang. Sementara itu, kembali
kita kehilangan beberapa orang, termasuk Yalu, yang tewas dalam tangan kakek dan
nenek iblis itu. Tak kusangka bahwa Sabutai mempunyai guru-guru yang demikian
lihainya. Pantas dia berani mengadakan pemberontakan dan menawan kaisar."
Dua orang pemuda itu maklum bahwa kalau mereka bertindak secara lancang,
selain mereka sendiri terancam bahaya, juga mereka belum tentu dapat menolong
kaisar, malah mungkin membahayakan nyawa kaisar. Oleh karena itu, mereka
menyerahkan siasat kepada ketua Cin-ling-pai dan menyatakan hendak membantu
sekuat tenaga. Tentu saja Cia Keng Hong merasa girang sekali memperoleh bantuan
puteranya dan Tio Sun, hatinya menjadi besar, semangat dan harapannya timbul
kembali untuk menyelamatkan kaisar.
*** Memang benar seperti dikatakan oleh Cia Keng Hong kepada puteranya dan Tio
Sun bahwa Kaisar Ceng Tung mendapat pelayanan baik sekali oleh Sabutai. Bahkan
lebih dari itu, kaisar memperoleh kebebasan di dalam gedung kecil yang
dikelilingi taman indah, hanya dijaga oleh pasukan penjaga secara ketat di
sekeliling taman itu sehingga tidak ada orang luar yang dapat masuk. Akan
tetapi, kaisar sendiri dapat berjalan-jalan di dalam taman, dan apapun yang
dibutuhkannya dapat segera terlaksana karena banyak terdapat pelayan-pelayan
wanita yang selalu siap melaksanakan perintahnya.
Malam itu bulan purnama gilang-gemilang memenuhi permukaan bumi dengan
sinarnya yang sejuk. Kaisar Ceng Tung nampak duduk seorang diri di dalam taman,
duduk di atas bangku sambil termenung mehghadapi bunga-bunga yang mekar dan
semerbak harum bermandikan sinar bulan purnama. Hatinya merasa lengang, sunyi
dan merana karena malam yang indah dan sunyi ini mengingatkan dia akan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekasihnya, Azisha yang telah tewas. Malam yang seindah itu mengingatkan dia
akan keindahan wajah kekasihnya, kemerduan suaranya dan kehangatan serta
kelembutan tubuhnya, membuat dia merasa rindu sekali. Kaisar yang baru berusia
dua puluh tiga tahun ini, yang masih amat muda, tersiksa oleh kerinduan akan
belaian den kasih sayang wanita. Memang benar bahwa para pelayan yang disediakan
oleh Sabutai untuk melayaninya terdiri wanita-wanita muda yang cantik-cantik,
akan tetapi sebagai seorang kaisar yang berkedudukan tinggi dan mulia, jauh
lebih tinggi daripada kedudukan Sabutai sebagai raja gerombolan liar itu, Kaisar
Ceng Tung tidak sudi merendahkan dirinya dengan para pelayan itu. Pula, setelah
selama ini dia setiap malam terbuai dalam pelukan seorang wanita secantik
Azisha, mana mungkin dia tertarik oleh kecantikan biasa para pelayan itu"
Sinar bulan purnama secara ajaib menyulap keadaan di dalam taman yang setiap
hari telah dilihatnya itu menjadi semacam taman impian yang luar biasa, mandi
cahaya keemasan yang redup den sejuk menghijau, menimbulkan bayang-bayang tipis
yang aneh namun indah mempesonakan. Rasa rindunya terhadap Azisha makin menekan
dan kaisar yang muda ini diam-diam merintih di dalam batinnya. Dia telah
kehilangan segala-galanya. Kehilangan kedudukannya, kehilangan kekasihnya,
bahkan hampir kehilangan harapan karena sampai berbulan lamanya tidak ada usaha
datang dari kota raja untuk membebaskannya. Baru sekarang dia dapat melihat
kenyataan, baru terbuka matanya betapa dia selama ini telah pulas dalam pelukan
Azisha, telah terlena dalam kepalsuan Wang Cin yang kini menjebloskannya.
Menyesallah hati kaisar muda ini dan diam-diam dia bersumpah bahwa andaikata
umumya masih panjang dan dia dapat memperoleh kembali kedudukannya, dia akan
menebus semua kesalahannya terhadap rakyatnya, dia akan menjadi seorang kaisar
yang baik. Azisha...! Biarpun dia mendengar bahwa kekasihnya itu tewas karena hendak
merayu Sabutai, dan biarpun dia sudah sadar bahwa wanita itu adalah kaki tangan
Wang Cin yang sengaja diumpankan oleh Wang Cin untuk menundukkannya, namun tak
mungkin baginya untuk melupakan wanita itu. Nama itu saja sudah mengandung
kemesraan hebat, mengingatkan dia akan saat-saat penuh dengan kebahagiaan dan
cinta kasih, penuh dengan kenikmatan dan harus diakuinya bahwa dia pernah jatuh
cinta mati-matian kepada Azisha.
Tiba-tiba kaisar muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya karena
hidungnya mencium keharuman yang lain daripada keharuman bunga di sekelilingnya.
Keharuman semerbak yang halus dan menyegarkan, yang mengingatkan dia akan
keharuman yang keluar dari tubuh Azisha. Cepat dia menoleh ke kiri dan kaisar
itu menahan napas, jantungnya berdebar dan matanya terbelalak. Di dalam sinar
bulan yang kuning emas kehijauan itu dia melihat sesosok bayangan orang.
Bayangan Azisha! Tak salah lagi! Tubuh yang ramping itu, lenggang yang lemah
gemulai, wajah yang bersinar-sinar itu, siapa lagi kalau bukan Azisha"
Azisha...!" Kaisar berseru lirih dan mengulurkan kedua tangannya, jantungnya
berdebar penuh kerinduan. Sesaat dia lupa bahwa wanita yang bernama Azisha telah
tewas, dan bahwa tidak mungkin Azisha datang kepadanya malam hari ini.
Sosok bayangan wanita itu kini telah tiba di depannya, sejenak wanita ini
berdiri dan memandang dengan sinar mata bercahaya dan bibir manis menahan
senyum, kemudian ketika kaisar mengulangi panggilannya, dia menjatuhkan diri
berlutut. "Azisha...!" Wanita itu menghela napas panjang, lalu terdengar suaranya halus, lembut,
"Harap paduka maafkan, hamba bukanlah Azisha."
Kaisar Ceng Tung terperanjat, lalu sadar bahwa memang tidak mungkin kalau
wanita ini Azisha. Azisha sudah mati dan tidak mungkin arwahnya yang datang
menggodanya. Biarpun dari tubuh yang berlutut itu keluar keharuman semerbak,
akan tetapi keharuman yang berbeda dengan keharuman yang keluar dari tubuh
Azisha, dan biarpun suara tadi halus merdu, namun logatnya berbeda dengan logat
suara Azisha yang berdarah Mongol. Ah, tentu suasana malam terang bulan purnama
telah membuat dia seperti gila, pikir kaisar itu dengan hati merasa malu. Wanita
ini tentu hanya seorang di antara para pelayan. Kembali dia memandang penuh
perhatian lalu menggeleng kepala, membantah suara hatinya sendiri. Tidak mungkin
kalau pelayan, pikirnya. Pakaiannya bukan seperti pelayan, dan dandanan rambut
yang panjang halus itu, hiasan rambutnya, pakaiannya, gerak-geriknya. Bukan,
pasti bukan pelayan biasa!
"Siapa namamu?" perlahan dia bertanya sambil memandang kepala yang menunduk
sehingga tidak nampak mukanya itu.
"Nama hamba Khamila," jawab wanita itu lirih pula. Suaranya halus dan
mengandung getaran penuh perasaan sehingga mengharukan bagi Kaisar Ceng Tung.
"Engkau seorang pelayan?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya. Tepat, seperti dugaanku, pikir kaisar.
Dia bukan pelayan. Habis, siapa" Dan mau apa"
"Kalau begitu, apa keperluanmu masuk ke taman ini?" Pertanyaan kaisar mulai
mengandung kecurigaan dan penyelidikan.
"Ampunkan hamba, hamba sengaja datang untuk... melayani paduka..." Gemetar
suara itu sekarang. Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya, tidak mengerti. "Melayani aku"
Melayani bagaimana maksudmu?"
"Hamba ingin melayani paduka, apapun juga yang paduka kehendaki dari hamba,
akan hamba lakukan dengan segala kerendahan dan kebahagiaan hati hamba." Kini
suara itu mulai agak lebih berani sehingga timbul keheranan kaisar dan dia ingin
tahu lebih banyak. "Akan tetapi, Sabutai telah menyediakan banyak sekali pelayan dan segala
kebutuhanku telah dicukupi. Sudah ada pelayan begitu banyak, perlu apa engkau
hendak melayani aku?"
"Mereka itu tidak akan mampu merawat paduka dalam kesepian paduka, tidak
akan dapat mengobati kesengsaraan hati paduka yang merana..."
Kaisar Ceng Tung terkejut, menahan kemarahannya dan memandang heran penuh
kecurigaan. "Perempuan muda, kalau engkau mengira bahwa dengan kecantikan engkau
akan dapat menggoda dan menundukkan aku, engkau keliru. Siapa yang menyuruhmu
datang menemuiku di sini?"
Dengan muka masih menunduk wanita itu menjawab, "Yang menyuruh hamba adalah
perasaan hati hamba sendiri, hamba bersumpah bahwa tidak ada siapapun yang
menyuruh hamba, harap paduka tidak menaruh kecurigaan karena niat hamba ini
tulus ikhlas dan tidak menyembunyikan sesuatu."
Kaisar Ceng Tung makin terheran. Kata-kata yang keluar dengan halus dan
tenang itu sama sekali tidak mengandung keraguan dan kebohongan, juga kata-
katanya teratur baik tanda bahwa wanita ini terpelajar, sungguhpun ada logat
asing dalam kata-katanya. Timbullah keinginan tahunya dan dia berkata, "Kalau
begitu, apakah yang mendorongmu menemui aku dan hendak melayaniku?"
"Yang mendorong hamba adalah rasa kagum dan iba. Hamba kagum akan kegagahan
dan kejantanan paduka yang sedikitpun tidak mau menyerah, tidak merasa takut
biarpun telah berada di dalam cengkeraman harimau, dan hamba merasa iba melihat
nasib paduka, maka hamba datang ingin menghibur paduka..."
Jantung kaisar muda itu mulai berdebar, hatinya tertarik sekali karena
menganggap hal ini amat mustahil dan luar biasa anehnya. "Bangkitlah dan ke
sinilah!" perintahnya.
Wanita itu bangkit berdiri dan tegaklah tubuh yang langsing itu, tubuh muda
yang penuh dengan lekuk-lengkung menggairahkan di balik pakaiannya yang terbuat
dari sutera halus. Dengan langkah-langkah lemah-gemulai seperti seorang penari,
wanita itu datang mendekat dan berdiri dekat sekali di depan kaisar yang juga
telah bangkit berdiri, menundukkan kepalanya.
Kaisar memandang rambut kepala yang halus hitam dan panjang itu dan
hidungnya mencium keharuman yang aneh. "Angkat mukamu..." katanya perlahan
Wanita itu mengangkat mukanya perlahan dan bukan main kagetnya kaisar ketika
melihat wajah seorang wanita muda yang amat cantik jelita! Sepasang mata yang
bersinar-sinar, yang tanpa sembunyi-sembunyi memandangnya dengan cinta kasih
yang jelas nampak di dalam sinar matanya, dengan bibir merah tipis tersenyum
malu-malu, raut muka yang amat cantik, sikap yang menantang.
"Kau... kau cantik sekali..." Kaisar Ceng Tung berbisik lirih, suaranya agak
gemetar. Wanita itu tersenyum, jelas bahwa dia kelihatan girang oleh pujian ini.
"Terima kasih, dan hamba... hamba siap dengan segala kerelaan hati untuk
melayani paduka, menghibur paduka..." Suara wanita itu gemetar, tanda bahwa saat
itu diapun merasa tegang dan berdebar jantungnya. Jelas bahwa dia bukanlah
seorang wanita yang sudah biasa merayu pria, bukan seorang wanita yang sudah
biasa bermain gila dengan sembarang pria yang dijumpainya, bukan seorang wanita
cabul penjaja cinta. Makin heranlah hati Kaisar Ceng Tung dan sampai lama dia
yang mulai terpesona itu menatap wajah yang amat cantik itu, wajah seorang
wanita yang usianya masih amat muda, kurang lebih delapan belas tahun!
Bulan purnama bercahaya sepenuhnya memenuhi taman itu. Menurut dongeng, Dewi
Asmara memang bertempat tinggal di bulan, dan setiap bulan purnama, Dewi Asmara
mengirimkan kekuasaan mujijatnya melalui sinar bulan purnama ke permukaan bumi.
Sinar bulan yang sudah mengandung kekuasaan mujijat ini akan mempengaruhi setiap
mahluk di atas bumi, memperkuat daya tarik antara lawan kelamin, mendorong
rangsangan berahi karena memang sudah menjadi tugas Dewi Asmara untuk
memperlancar semua mahluk untuk berkembang biak. Demikianlah dongengnya.
Dongeng itu entah benar atau tidak, terserah. Akan tetapi yang jelas,
melihat wajah cantik jelita tertimpa cahaya bulan purnama yang keemasan, Kaisar
Ceng Tung terpesona. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, masih amat muda dan
sedang dalam keadaan duka merana dan penuh kerinduan karena kehilangan Azisha,
kekasihnya. Kini, menghadapi seorang wanita yang kecantikannya tidak kalah oleh
Azisha, yang datang-datang menyerahkan diri kepadanya, tentu saja dia terpesona
dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya bergerak dan di lain saat wanita itu
telah didekapnya dengan ketat dan dua jantung berdetak keras.
"Kau... kau cantik jelita..." kata Kaisar Ceng Tung setelah dia mencium
wanita itu, yang dibalas oleh wanita itu dengan gerakan malu-malu namun jelas
memperlihatkan bahwa wanita itu benar-benar kagum dan suka kepada kaisar muda
ini. "Akan tetapi... kalau ternyata engkau disuruh oleh Sabutai untuk
merayuku... aku akan berobah benci padamu..."
Wanita itu membalik dan merangkul leher Kaisar Ceng Tung, memandang dengan
sepasang matanya yang bening lembut lalu berkata, "Mengapa peduka masih tidak
percaya" Hamba datang atas kehendak hamba sendiri, hamba berani bersumpah..."
"Khamila, siapakah engkau yang begini berani memasuki taman ini untuk
bertemu dengan aku" Kalau Sabutai mengetahui..."
"Tidak akan ada yang berani mengganggu hamba, apalagi para penjaga itu,
bahkan Sabutai sendiripun tidak akan mengganggu hamba..."
"Bagaimana engkau begitu yakin" Siapakah engkau ini yang begitu besar
kekuasaannya?" "Apakah paduka belum dapat menduga" Hamba adalah isteri Sabutai..."
"Ahhh...!" Kaisar Ceng Tung mendorong dengan kedua tangannya sehingga tubuh
Khamila terhuyung ke belakang dan hampir saja roboh terjengkang. Wanita itu
memandang dengan mata terbelalak den wajah pucat, akan tetapi dia melangkah maju
lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar itu.
"Harap paduka maafkan hamba... sesungguhnya hamba melakukan ini bukan
sebagai penyelewengan melainkan dengan penuh kesadaran dan juga sepengetahuan
suami hamba, Sabutai..."
"Apa...?" Kaisar Ceng Tung makin terkejut dan heran, juga amat tertarik.
Melihat wanita itu berlutut dan memandang kepadanya dengan mata sayu, timbul
rasa iba di hatinya, apalagi ketika dia teringat betapa mesra sikap wanita itu
tadi dalam pelukannya dan betapa dia telah mendorongnya hampir roboh. "Ke
sinilah, Khamila, dan ceritakan sebenarnya."
Khamila bangkit berdiri dan tak lama kemudian dia telah dipangku dan dipeluk
oleh kaisar yang duduk di atas bangku. Dengan suara lembut wanita cantik itu
lalu menceritakan keadaannya, bahwa dia menjadi isteri Sabutai karena dipaksa,
dan bahwa dia sama sekali tidak mencinta suaminya itu.
"Akan tetapi, dia sangat mencinta hamba dan dia menyayangkan bahwa sampai
sekarang hamba belum mempunyai keturunan. Saking cintanya kepada hamba, dia
tidak mau mengambil isteri lain, bahkan dia merencanakan untuk menyuruh hamba
tidur dengan pria lain secara diam-diam, semata-mata agar hamba dapat memperoleh
keturunan." "Ahhh...?" Kaisar Ceng Tung terkejut dan merasa heran sekali mendengar ini.
"Hamba tidak cinta kepadanya, mana mungkin hamba dapat melahirkan
keturunannya" Dan hamba ngeri kalau harus melayani pria lain. Setelah hamba
melihat paduka yang menjadi tawanan, begini gagah perkasa, begini tampan dan
halus, seketika hamba jatuh cinta dan hamba berterus terang kepada Sabutai bahwa
kalau hamba diharuskan melayani pria lain agar memperoleh keturunan, hanya
padukalah orangnya yang hamba pilih. Dia setuju, bahkan merasa terhormat karena
paduka adalah seorang raja yang jauh lebih besar daripada dia."
Kaisar Ceng Tung mengangguk-angguk dan membelai leher yang halus itu.
Gairahnya berkobar ketika wanita ini terang-terangan menyatakan cintanya. Tak
lama kemudian, kaisar memondong tubuh yang ringan itu memasuki gedungnya, dan
Khamila hanya merangkulkan lengan ke leher kaisar itu, menyembunyikan muka di
dadanya dengan jantung berdebar. Dia tidak mau menceritakan bahwa kalau hubungan
di antara mereka tidak menghasilkan keturunan, dia akan dibunuh oleh Sabutai!
Dengan penuh kemesraan, mulai malam hari itu, setiap malam Khamila datang
mengunjungi Kaisar Ceng Tung dan baru kembali ke istana menjelang pagi. Kaisar
Ceng Tung merasa terhibur dan diam-diam dia jatuh cinta kepada isteri Sabutai
ini, demikian pula dengan Khamila yang baru pertama kali itu menyerahkan cinta
kasihnya kepada seorang pria.
Kurang lebih satu bulan kemudian, Khamila tidak muncul lagi! Kaisar Ceng
Tung menjadi gelisah dan sampai tiga malam lamanya dia menanti-nanti di taman
dengan hati penuh kerinduan. Pada malam hari ketiga, ketika dia duduk melamun di
atas bangku, tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh
dengan wajah girang, mengira bahwa Khamila yang muncul. Akan tetapi betapa kaget
hatinya ketika dia melihat bahwa yang datang adalah Sabutai!
Cepat kaisar berdiri dengan sikap angkuh, memandang kepada musuhnya yang
muncul sendirian itu. Sedikitpun Kaisar Ceng Tung tidak merasa takut, hanya
kecewa melihat bahwa yang datang bukanlah Khamila yang ditunggu-tunggui,
melainkan musuhnya ini. Sabutai tersenyum lebar dan menjura dengan hormat. "Saya datang untuk
mengucapkan terima kasih!"
Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu?" tanyanya tenang.
"Karena paduka maka isteri saya kini mengandung dan akan melahirkan seorang
anak, keturunan saya! Dan karena peristiwa ini pula maka isteri saya tidak akan
mati, juga saya merasa makin hormat kepada paduka."
Kaisar Ceng Tung memandang dengan mata terbelalak. "Dia... dia tidak akan
mati" Apa maksudmu?"
Kembali Sabutai tersenyum. "Tidak tahukah paduka bahwa dia mendatangi paduka
dengan taruhan nyawa" Kalau dia tidak berhasil, tidak mengandung dalam waktu
satu bulan, dia akan saya bunuh sebagai seorang isteri yang melakukan jina, dan
mungkin paduka tidak akan terbebas dari hukuman pula. Betapapun juga, syukur dia
telah mengandung. Sekali lagi, terima kesih." Sabutai menjura lagi, kemudian
pergi dari situ dengan langkah lebar dan wajah berseri.
Beberapa saat lamanya Kaisar Ceng Tung berdiri seperti patung, kemudian dia
menjatuhkan diri di atas bangku dengan tubuh lemas. Berkali-kali dia menghela
napas panjang, merasa hatinya kosong den berduka. Rasa cintanya terhadap Khamila
makin mendalam. Wanita itu telah mengandung keturunannya! Betapa mesra dan
lembut perasaan hatinya terhadap wanita itu. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak
ada kemungkinan lagi baginya untuk bertemu dengan wanita itu. Sabutai tentu akan
melarang keras. Dan dia tidak dapat berbuat sesuatu! Memperjuangkan haknya
sebagai ayah kandung dari anak yang berada dalam kandungan Khamila" Tidak
mungkin, karena hal ini hanya akan mencemarkan nama Khamila dan dia sendiri. Tak
terasa lagi, dua tetes air mata membasahi pipi kaisar ini.
*** "Huh, engkau sudah menjadi gila agaknya..." Dia meremas tangannya sendiri.
Suaranya lirih dan mengandung kegemasan. Sejak tadi dia duduk di bawah pohon di
dalam hutan lebat itu, seorang diri saja dan kadang-kadang termenung, kadang-
kadang berbisik-bisik seorang diri seperti orang yang gila.
Dia seorang gadis yang amat cantik jelita. Usianya paling banyak dua puluh
tahun, karena biarpun melihat wajahnya masih kelihatan seperti seorang dara
remaja yang tidak akan lebih dari lima belas tahun, namun di balik sinar matanya
dan lekuk mulutnya terbayang kematangan seorang gadis yang telah dewasa.
Sepasang matanya tajam dan bening, agak lebar dan dihias bulu mata yang panjang
lentik dan yang membentuk bayang-bayang di pipi atasnya. Hidungnya kecil
mancung, amat serasi dengan mulutnya yang indah bentuknya, dengan sepasang bibir
yang tipis merah dan amat lunak, namun bibir yang seperti buah masak itu
membayangkan kekerasan hatip terutama sekali lekuk dagunya. Rambutnya hitam
panjang dan halus, digelung ke atas seperti bentuk bunga teratai dan ujung
rambutnya dibiarkan terurai di belakang punggungnya. Panjang sekali rambut itu,
karena biarpun sudah digelung, sisanya masih mencapai punggung. Agaknya kalau
gelung dilepas, rambut itu akan mencapai bawah pinggul panjangnya. Pakaiannya
sederhana potongannya, juga terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mahal,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahitannyapun kasar, akan tetapi setelah menempel di tubuhnya, menjadi patut dan
manis sekali. Hal ini adalah karena bentuk tubuhnya memang amat indah, padat dan
dengan lekuk lengkung sempurna, bagian atas dan bawah yang padat agaknya
dipisahkan dan dibatasi oleh pinggang yang ramping sekali. Sebatang pedang
panjang tergantung di pinggang kirinya dan pedang ini menambah kegagahan di
samping kecantikannya yang aseli tanpa bantuan bedak dan gincu. Seorang dara
yang cantik jelita, manis, dan gagah perkasa.
Dia adalah Yap In Hong! Pada saat itu, In Hong yang sudah sejak tadi duduk
termenung di bawah pohon, nampak kesal dan beberapa kali mengepal tinju, meremas
tangan sendiri dan bersungut-sungut memaki diri sendiri.
Dia merasa marah kepada diri sendiri karena semenjak pertemuannya dengan Bun
Houw dia merasa tidak sewajarnya, tidak seperti dulu-dulu lagi dan betapapun dia
berusaha untuk melupakan pemuda itu, namun setiap saat dia teringat lagi,
teringat akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pemuda itu, terbayang akan
wajahnya, sinar matanya, senyum dan kata-katanya! Di lubuk hatinya ada perasaan
mesra dan kerinduan untuk berdekatan dengan pemuda itu, dan inilah yang membuat
dia marah kepada diri sendiri sampai dia memaki dirinya sendiri gila. Memang
tanpa disadarinya sendiri, dia telah tergila-gila, telah jatuh cinta kepada
pemuda itu. Pemuda itu merupakan suatu kekecualian. Selama ini, sejak kecil
telah ditanamkan di dalam hatinya akan kepalsuan kaum pria, akan kejahatan dan
kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum wanita sehingga ada dasar tidak suka di
dalam hatinya terhadap kaum pria. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Bun Houw,
melihat sikap pemuda itu yang gagah perkasa, yang jauh daripada mempermainkan
wanita, bahkan menolak bujuk rayu wanita, yang bersikap baik, halus dan sopan
kepadanya, maka jatuhlah hatinya! Akan tetapi dia berusaha menyangkal hal ini
dan selalu melawan perasaan hatinya. Celakanya, makin dilawan, makin beratlah
rasa hatinya, makin kuat dorongan hasratnya untuk selalu berdekatan dengan Bun
Houw. Maka terjadilah perang di dalam hatinya sendiri dan akibatnya membuat gadis
ini seperti orang bingung. Kadang-kadang dia menjauhi, akan tetapi tak lama
kemudian kembali dia mendekati dan diam-diam membayangi perjalanan Bun Houw.
Bahkan dari jauh dia melihat Bun Houw yang bertemu dengan orang-orang gagah,
kemudian dia berkesempatan pula menyelamatkan Souw Kwi Beng dari tangan Hui-
giakang Ciok Lee Kim dan membunuh orang keempat dari Lima Bayangan Dewa itu.
Akan tetapi dia selalu cepat menghindarkan pertemuan dengan Bun Houw, karena dia
merasa malu kalau sampai ketahuan oleh pemuda itu bahwa dia selama ini
membayangi pemuda itu! Apalagi ketika dari jauh dia melihat Cia Giok Keng puteri
ketua Cin-ling-pai, kemudian melihat pula Yap Kun Liong kakak kandungnya, In
Hong terkejut dan cepat menjauhkan diri tidak berani mendekat.
Betapapun juga, perasaan rindunya dan ingin berdekatan dengan Bun Houw
membuat dia mengintai lagi dan akhirnya dia membayangi Bun Houw yang melakukan
perjalanan ke utara bersama Tio Sun. Setelah Bun Houw dan Tio Sun membantu Cia
Keng Hong mengusir dua orang kakek dan nenek yang amat lihai, dua orang pemuda
itu masuk ke dalam perkemahan pasukan orang Mancu dan Khitan itu dan sampai
berhari-hari lamanya tidak meninggalkan tempat itu.
"Bodoh kau!" Kembali In Hong mengomeli dirinya sendiri. Betapa dia tidak
akan merasa jengkel dan gemas terhadap dirinya sendiri yang selama ini selalu
berkeliaran di dalam hutan di sekitar perkemahan itu, menanti-nanti munculnya
Bun Houw! Dia telah membiarkan dirinya tersiksa hidup berhari-hari di dalam
hutan liar dan lebat, tanpa kawan, dengan hati penuh rasa rindu dan kejengkelan.
Beberapa kali dia ingin memasuki perkemahan itu untuk bertemu dengan Bun Houw,
akan tetapi rasa malu membuat dia mundur kembali. Dia telah melakukan
penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi tawanan Sabutai
dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai
itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu terpukul mundur oleh
pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat.
"Kalau begini terus, aku bisa gila benar-benar!" Akhirnya In Hong bangkit
berdiri dan mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun Houw!
Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia akan
membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh!
Akan tetapi In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apalagi
dengan ketua Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia
dengan puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu
kalau kelihatan oleh ketua itu bahwa dan ingin membantu Bun Houw dan merasa
senang kalau berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja!
Kecuali kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu
dengan siapapun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun
Houw untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar.
Dia masih harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong
melihat Bun Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang
dia lalu muncul dari atas pohon, meloncat seperti seekor burung garuda ke depan
Bun Houw yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini
berseri ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya
dari atas pohon itu. "Hong-moi...!" Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran
karena memang selama ini seringkali dia mengenangkan dara itu dengan penuh
kerinduan hatinya, maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-
tiba membuat dia terkejut dan girang bukan main. Hati yang penuh kerinduan
membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang daripada yang
dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum, dan membuat dia
lupa akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang dikenalnya sebagai seorang
gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang mengaku bernama Hong saja.
Hati gadis itupun girang sekali dan melihat wajah Bun Houw, mendengar
suaranya, mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya
berdebar tegang dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat
wajahnya menjadi merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu. "Bun-
twako... sudah berhari-hari aku menanti kesempatan ini... akhirnya kau muncul
sendirian..." katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi segera
diangkatnya kembali mukanya dan dia memandang dengan sinar mata tajam berseri.
"Berhari-hari menanti..." Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan
dan menemui aku?" "Aku tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-
ling-pai, aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako."
"Engkau sudah tahu keadaan kami..." Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya
berkerut, wajahnya yang tadinya berseri itu berobah muram.
"Tentu saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh,
twako." "Hemm... aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi
Eng..." "Aku tidak kenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah
membunub Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng..." kata In Hong
terheran. Bun Houw mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena teringat akan
perbuatan kejam gadis ini. Tentu dia tidak mau mengakui perbuatan keji itu,
pikirnya. "Aku tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan
apakah?" In Hong makin terheran melihat perobahan sikap dan wajah pemuda itu. "Aku
telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau hendak
menolongnya, Bun-twako. Maka aku hendak menawarkan bantuanku, aku ingin
membantumu." "Tidak...! Aku tidak mau...!" Bun Houw menggeleng kepala, suaranya kasar
karena dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam
kamarnya, tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang
berdiri di depannya inilah orangnya!
Saking kaget dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong melangkah maju
mendekat, menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya, "Bun-twako,
engkau kenapakah?" "Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"
Bun Houw makin panas hatinya karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat
tertarik oleh dara perkasa ini, dia amat kagum kepada dara ini, bukan hanya
kagum oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh
kepandaiannya, akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini
yang seperti iblis. "Engkau... engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu
tinggi akan tetapi ganas dan kejam seperti iblis!"
"Twako...!" In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras.
Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun
Houw itu. "Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak berhak
memaki aku seperti itu!" bentaknya.
"Aku tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku
tidak sudi kau bantu!"
"Orang she Bun yang sombong!" In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya
dikepal. "Kau kira aku ini siapa boleh kauhina begitu saja?"
Bun Houw juga marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang
dipujanya, yang diam-diam telah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah
seorang iblis betina, membuat dia marah sekali. "Kau hendak membunuhku juga" Ha-
ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!"
"Keparat...!" In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap
melawan, akan tetapi tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya
pucat dan mulutnya yang berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati
yang terasa sakit. "Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup
sementara untuk membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang
telah menuduhku yang bukan"bukan..."
"Bukan menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu
secara kejam! Selain membunuh gadis dusun yang tak berdosa, engkaupun telah
menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi."
"Hemm, betapa mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk
menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar kau
melihat kenyataan dan kau menyesali fitnah ini, baru aku akan mencabut nyawamu!"
Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon.
Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi cuaca sudah mulai gelap dan dia
berdiri seperti patung di bawah pohon, hatinya masih panas dan dadanya
bergelora, akan tetapi ada penyesalan menyelinap di dalam dadanya. Diam-diam dia
menyesal bukan main. Gadis itu datang menawarkan bantuan, betapa baik niat
hatinya. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menerimanya, bagaimana dia dapat
bekerja sama dengan gadis yang berwatak seperti iblis itu" Hanya karena cemburu,
dan ini sudah jelas sekali, gadis itu hampir saja membunuh Kwi Eng, dan secara
kejam membunuh gadis she Ma yang sama sekali tidak berdosa! Biarpun diam-diam
dia amat kagum kepada gadis itu, namun mengingat akan kenyataan yang mengerikan
ini dia harus mengeraskan hati dan memutuskan hubungan antara mereka!
Jauh di sebelah dalam hutan itu, di antara kegelapan malam yang hampir tiba,
In Hong berdiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar, kedua tangannya
mengepal tinju, matanya terpejam dan pipinya basah oleh beberapa butir air mata.
Akan tetapi, setiap ada butiran air mata turun dari matanya, kepalan tangannya
mengusapnya dengan keras. Dia tidak harus menangis! Ingin dia berteriak untuk
memberi jalan keluar hatinya yang bergelora, yang menindih. Dia telah dihina
orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah laki-laki
yang disangkanya pria yang istimewa, yang mcrupakan kekecualian, yang tidak sama
bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya sakit bukan
main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memakinya sebagai seorang wanita
kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya!
"Si keparat...!" desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya. Orang
macam dia berani menantang" Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus
saja tentu akan dapat dibunuhnya laki-laki itu! Akan tetapi mengapa tidak
dilakukannya hal itu" Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit
saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan
membunuhnya. Tidak, dia tidak akan turun tangan begitu mudah terhadap Bun Houw.
Biar laki-laki itu terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka,
bahwa dia bukanlah iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan baru
setelah laki-laki itu menyesal dan terbuka matanya, dia akan membunuhnya.
Teringat akan itu semua, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan
ingin berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu menghancurkan
hatinya, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan merasa makin sakit. Apalagi kalau
dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong pemuda itu ketika Bun Houw
disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan Dewa. Kalau tidak dia
datang menolong, tentu pemuda itu kini sudah tewas. Dan pemuda itu membalas
kebaikan itu dengan makian dan penghinaan!
"Orang she Bun! Kaulihat saja pembalasanku nanti!" kembali In Hong mengepal
tinju, akan tetapi dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka
bercakap-cakap sambil makan, menukar pedang dengan giok-hong, dan tinjunya
kembali harus menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar.
Terngiang di telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya. Dia
menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng" Dia tidak
mengenal nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih
ada hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang
diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu. Dan kemudian katanya
dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa" Sama sekali dia tidak
mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali
waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhannya
itu kosong. Baru kemudian dia akan membunuhnya.
Hati yang panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu
dengan hanya satu saja niat di hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun
Houw! Dia ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk
membunuhnya, melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau
pemuda itu sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong. Dia tidak mau dibantu"
Baik, kalau pemuda itu tidak mau dibantu dia akan membantu fihak musuhnya!
Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin Sabutai tidak jauh dari tempat itu.
Akan tetapi In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak.
Semenjak kecil dia hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran
dan kekerasan, dan semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak
akan memasuki tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja. Gurunya dahulu
sudah sering memberi peringatan kepadanya agar dia jangan mudah menaruh
kepercayaan kepada siapapun juga, apalagi kepada kaum pria. Dan benteng pasukan
yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya. Betapapun tinggi
kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi kekuatan pasukan yang
ribuan orang banyaknya itu, apalagi kalau di situ terdapat pula banyak orang
pandai. Oleh karena itu, pada pagi hari itu, ketika keadaan masih gelap, In Hong
berhasil menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di
luar benteng, memukulnya roboh pingsan dan menyeretnya ke dalam hutan yang masih
gelap. Kemudian dia mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira
bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu
menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai.
Dari orang inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang
tawanan terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu
yang tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar
bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di
samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw
Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia tahu betapa kuatnya
keadaan di dalam benteng dengan adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, akan
tetapi diapun melihat adanya kesempatan baginya untuk memasuki benteng itu
dengan terang-terangan karena dia telah mengenal mereka, terutama Go-bi Sin-kouw
sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu!
Biarpun dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan
cerdik In Hong melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merobah
suaranya menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang
menculik dan mengajukan semua pertanyaan dan ancaman itu. Kemudian, kesempatan
itupun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru muncul di depan
pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari dengan maksud bahwa
andaikata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tidak mampu mengatasi
begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah menyelamatkan diri daripada
kalau siang hari. "Berhenti! Siapa di situ?" Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan
dengan tombak ditodongkan mereka menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri
tegak di bawah lampu di pintu gerbang. Ketika enam orang penjaga melihat bahwa
yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang gadis yang cantik sekali, mereka
terkejut, terheran, dan juga menjadi lega, bahkan tersenyum gembira karena
penjagaan di tempat sunyi membuat mereka menjadi kesal dan munculnya seorang
wanita yang begini cantik tentu saja merupakan hal yang amat menghibur.
"Heii, nona manis, siapakah engkau malam-malam begini muncul di sini dan apa
kehendakmu?" tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang mata
laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh tubuh In


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong dari kepala sampai ke sepatunya. Teguran itu diucapkan dalam Bahasa Mongol
dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia hanya tersenyum dan menjawab dengan
gelengan kepala saja. Seorang di antara para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu
menjadi juru bahasa, menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang
kaku. "Aku adalah kenalan beik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan
aku ingin bertemu dengan dia dan rombongannya," jawab In Hong terpaksa menahan
kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya ini.
Mendengar keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan
kini sudah berkumpul di situ, saling memandang dengan curiga. Memang semua
pengikut Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu.
Kepala jaga lalu menyuruh seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan
langsung kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Jelaslah bahwa rombongan
pembesar itu sebenarnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan
sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri.
Ketika itu Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum
bersama Khamila untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita
cantik ini dengan Kaisar Ceng Tung! Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati
wanita itu karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang
ditawan itu. Akan tetapi diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat
mengandung keturunan kaisar itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andaikata
tidak ada Kaisar Ceng Tung, dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang pria
lain yang diharuskan bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh
keturunan! Kenyataan ini merupakan hiburan dan Khamila dapat juga berwajah
girang ketika suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya
menggirangkan itu. Adapun Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikitpun dia
tidak merasa cemburu kepada Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu,
kagum akan kegagahannya yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini
dia merasa terhormat untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu!
Kalau pria lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam
kandungan isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu agar rahasia ini tidak
diketahui siapapun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar
Ceng Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa
rahasia itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka
rahasia yang mencemarkan namanya sendiri itu.
Tiba-tiba datang penjaga yang melaporken tentang munculnya seorang gadis
cantik di depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw.
Sabutai menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga. Diam-diam dia
lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan pasukan
pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan berita
kedatangan seorang "sahabat" dari Go-bi Sin-kouw itu dan memerintahkan agar nona
itu dipersilakan masuk. Wang Cin dan para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tidak
enak, terutama Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum bahwa fihak
Raja Sabutai mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak
bertemu dengannya. Tak lama kemudian muncullah In Hong yang diantar oleh belasan orang pengawal
bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang biarpun di dalam hatinya
dia maklum bahwa dia telah berada di tempat yang amat berbahaya. Dia melihat
betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas lalu
ketika dia dipersilakan masuk, dia melihat keadaan penjagaan di sepanjang tembok
benteng dan biarpun dia akan dapat memasuki benteng ini dan keluar lagi melalui
tembok yangg tidak berapa tinggi itu, namun dia akan menghadapi bahaya besar.
Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jerih dan melangkah dengan pandang
mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang pedangnya yang tergantung di
pinggang. Ketika gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup,
semua mata menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan
mata mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan
banyak memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi
baru sekarang dia melihat seorang
gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian gagahnya, memasuki tempat
seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang dan penuh keberanian. Juga
sekali pandang saja dia meragukan apakah benar gadis cantik ini merupakan
sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara kaki tangan pembesar Wang Cin yang
berjiwa khianat. Para tokoh lihai yang menjadi pembantu Wang Cin, terutama sekali Go-bi Sin-
kouw, yang pernah bertemu dengan In Hong, kini memandang dara itu dengan alis
berkerut dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya.
Dia memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang amat lihai dan berwatak
keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu mengaku sebagai
sahabatnya. Jauh daripada itu, bahkan antara dia dan gadis itu terdapat rasa
benci dan saling mencurigai yang besar. Dan sekarang gadis ini datang mengaku
sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa curiga sekali dan sebelum
yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju dan membentak, "Kiranya engkau
yang datang mengaku sahabatku" Sri Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini
tentu mata-mata dari Kerajaan Beng!" Dia menoleh kepada teman-temannya karena
untuk menghadapi gadis lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jerih. "Teman-
teman, mari bantu aku menangkap gadis setan ini!"
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sudah tahu bahwa gadis lihai ini
memang hanya mendatangkan kesulitan saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang
Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian
Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran
mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis
inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.
Melihat gelagat tidak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang
yang amat tabah dan ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan
dan sekali pandang saja dia sudah dapat menduga yang mana adanya Raja Sabutai
yang terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan memang
sejak tadi memandangnya penuh selidik, dan In Hong lalu menjura dengan hormat ke
arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata, "Kedatangan saya untuk menawarkan
bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal,
akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya."
Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai
tersenyum. Raja inipun bukan seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-
hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Maka dia sudah dapat menyelami sikap gadis cantik
itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah. Maka raja
ini lalu bangkit berdiri ketika melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu
Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan
dia berkata nyaring. "Tahan dulu...!" Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw dan teman-
temannya lalu mundur kembali, menoleh dan memandang dengan alis berkerut,
sedangkan Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun
Sabutai tidak memperdulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-
katanya, "Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, haruslah diketahui
lebih dulu dengan jelas maksud kedatangannya baru diambil keputusan sikap apa
yang akan kami ambil. Mengeroyok seorang gadis muda di depanku, sungguh
merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri!"
Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah dan dia cepat memberi hormat kepada raja
itu sambil berkata, "Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini..."
"Cukup!" Sabutai membentak. "Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan
akulah tuan rumahnya dan akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang
datang memasuki bentengku!" Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw
menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.
Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia
menggapai ke arah In Hong sambil berkata, "Majulah ke sini, nona!"
Dengan langkah gagah dan tenang, namun membayangkan keluwesan dan kepadatan
tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lalu menjura dan
berdiri dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang
pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai
melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya,
kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong, "Terimalah bangku ini untuk
tempat dudukmu, nona! Tidak enak bicara sambil berdiri saja!"
Setelah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada saat itu masih diliputi
kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan
kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung
hidup dan tiba-tiba bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong! Dara ini
terkejut juga, tidak mengira bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata
memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar,
bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In
Hong mengerahkan tenaga gin-kangnya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi
tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang
masih melayang turun dan ketika bangku itu tiba di atas lantai, dia masih duduk,
sedikitpun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh
bangku yang telah "dijinakkan" itu.
"Terima kasih atas keramahan paduka." In Hong menjura dari tempat duduknya
ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi memperlihatkan tenaga dalamnya dan
gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan gin-kang yang luar biasa!
"Ha-ha-ha, benar dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona,
siapakah namamu?" "Nama saya... hanya Hong saja." In Hong memperkenalkan dirinya dengan
setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.
"Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?"
"Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pemah mengaku bersababat dengan
dia," jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. "Kepada para penjaga
benteng tadipun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-
kouw dan hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya
saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya."
"Harap paduka jangan percaya!" Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. "Dia tentu
mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!"
Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian
dia bertanya, "Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw itu
bahwa engkau seorang mata-mata Kerajaan Beng?"
"Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata manapun
juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik
dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada
saya." Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, "Bocah setan!
Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu
dengan aku, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang
dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai" Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai,
bukan" Tentu engkau mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya
engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!"
"Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya."
In Hong juga membentak marah.
"Heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuh, juga terhadap
Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah
membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim."
"Benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan keji dan tidak patut
terhadap seorang pemuda."
Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara
menggereng seperti seekor biruang marah. "Kalau begitu, aku harus membalas
kematian sumoi!" Melihat para pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok,
Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, "Urusan pribadi tidak perlu
dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum
melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan
orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin
untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya
urusan pertikaian pribadi kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan
pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka
itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu
silat"' In Hong tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang
luas itu, berdiri tegak den menjawab, "Menghadapi manusia-manusia iblis ini,
jangankan satu lawan satu, biarpun dikeroyok saya tidak akan takut, sri
beginda." Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka,
melainkan dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya memancing kepercayaan dan
kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah dapat berada dalam
benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, juga hendak menentang
pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.
Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, lalu raja ini
bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan
berkatalah raja ini, "Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya
pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu demi satu melawan
nona ini, dan siapa menggunakan kecurangan dan pengeroyokan, akan dihukum. Dua
orang guruku akan menjadi pengawas."
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi
tiba-tiba bangku yang mereka duduki itu "terbang" ke atas dengan tubuh mereka
masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri
ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka.
Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya,
kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-
hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan
pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi
mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jerih.
Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika melihat bahwa dia tidak dapat
mengajak teman-temannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-
pi Lo-sian Phang Tui Lok, "Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoimu, maka
sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalas
kematian sumoimu." Di antara Lima Bayangan Dewa, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang
pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah
bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah
dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang
membunuh sumoinya ini, maka mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok
ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya
itu. Wang Cin mengangguk-angguk. "Sri baginda telah menurunkan perintah, engkau
harus mentaatinya." Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah
Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, menghampiri In
Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun
lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah seperti orang yang usianya
paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam.
Laki-laki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang
Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu
saja ilmu silatnya amat hebat. Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian
(Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan
kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya telah berani melakukan hal
yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan
bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Perbuatan itu, biarpun dia lakukan
selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya
telah mengangkat namanya cukup tinggi dan membuat nama Lima Bayangan Dewa
dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu
saja mendorong kesombongan muncul dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian
sumoinya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.
Kematian dua orang sekutunya itu selain memperlemah kedudukan Lima Bayangan
Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, maka kini dia hendak
menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah
seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di
depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai dan banyak orang lagi dia harus
menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka
dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi
terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya, "Nona muda, siapakah
gurumu?" In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian
dia menjawab, "Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!"
"Hemm, kau sudah mengenal julukanku!"


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan
Dewa yang curang dan pengecut, yang menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah
tidak ada, membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu
saja aku mengenalmu..."
"Eh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai" Kalau begitu benar dugaan Go-bi
Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!"
"Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai,
aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah curang."
"Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu
aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup,
kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa" Lebih baik engkau mengakui agar nanti
tidak mati penasaran."
"Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa."
"Kenapa membunuh sumoiku?"
"Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak
patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang
ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian hendak
menjatuhkan fitnah. Majulah, Pat-pi Lo-sian, kalau memang kau berani dan jangan
banyak mengoceh seperti burung kelaparan."
Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. "Bagus!
Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah
ini!" Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat sekali. Begitu tubuhnya menyerbu, kedua
tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki
Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat
sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan,
pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali dan
merupakan serangan maut. "Heiiiiittttt...!" In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor
burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya
seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja. Semua serangan bertubi
yang dilakukan Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya
menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong
menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-
pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuh ke belakang. Bau ujung sepatu
yang kotor tidak enak membuktikan betapa dekatnya sepatu tadi menghampiri
hidungnya! "Perempuan rendah!" Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki, akan tetapi
diam-diam dia mulai mengerti bahwa biarpun masih amat muda, lawan yang
dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka diapun dapat mengerti mengapa Hui-
giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai
hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam kedua lengannya,
kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung
tenaga sin-kang sepenuhnya.
"Wirrrr... wuuuuuttttt!" Angin dahsyat menyambar mendahului dua kepalan itu,
dan In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.
"Haiiiiitt!" Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya membalik ke kanan
melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga mencengkeram ke
arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.
In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang amat berbahaya dan
mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti
serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Kalau dia menangkis, tentu lawan
akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, maka
untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan
suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman
itu, tubuhnya mencelat ke atas!
Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya
yang sudah siap mengirim pukulan ke anggauta tubuh di bawah dada itu tidak ada
gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia
melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat
menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.
"Plak! Dukkk!" Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian
terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki
tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok
pergelangan tangannya sehingga seluruh tangan menjadi lumpuh, pegangannya
terlepas. Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti
harimau terluka, dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun dan
terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Namun, keunggulan Pat-pi
Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi
oleh In Hong dengan keunggulan gin-kangnya. Tubuhnya ringan seperti kapas, cepat
seperti burung dan biarpun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru
dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali
serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-
sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki
sin-kang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sin-kang menjadi kebal dan
tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.
Setiap kali tamparannya mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai.
Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan
inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian. Kemarahan adalah satu di antara hal yang
sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat di waktu menghadapi
lawan yang pandai, karena kemarahan ini mengurangi kewaspadaan dan berarti
mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang
dan merobohkan lawan belaka. Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari
Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan
bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya,
tingkat In Hong masih lebih tinggi daripada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau
orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak
hanyalah karena dia memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu
muslihat perkelahian. Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan
selagi dia menyerang hampir membabi buta, tiba-tiba ujung sepatu In Hong dapat
mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk
beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik
ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah
tengkuk Pat-pi Lo-sian. "Dukkkk!!" Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang
yang lihai sekali. Biarpun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tak
tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat,
dia depat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali.
Betapapun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya
berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan
sampai jatuh sambil mengumpulkan hawa murni, maka begitu dia meloncat bangun
lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.
"Srattt...!" nampak sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang
pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat daripada emas berukir
indah. Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, "Bocah setan, majulah
untuk menerima kematian!"
In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil
memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencebut pedang di pinggang kirinya.
Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnva tertarik dan
In Hong menggunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarunngya itu
mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis
itu. Pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong kadang-
kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang
ramping itu. Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan
dua kali dengan nyaring dan dia berkata penub wibawa, "Di sini bukan medan
tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua fihak akan
memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata
berarti menentang perintahku!"
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung
ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In
Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa
dua orang kakek dan nenek ini selain menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga
menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala
kehendak raja itu. In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang
mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, maka dengan
senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya, nampak sinar berkelebat
dan tabu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah
melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.
Juga Pat-pi Lo-sian memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia menarik
napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya, hatinya menjadi jerih
karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata
amat lihai. Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan,
menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan
suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, "Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat
kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar.
Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kamipun hendak maju
bersama, dan hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok.
Andaikata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh
mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja kalau sri baginda tidak
berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua."
Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini
melihat majunya kakek dan nenek itu, dia meragu apakah dia harus membiarkan In
Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara
perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu. In Hong juga
mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang
lawan yang amat tangguh, masing-masing tidak kalah lihainya kalau dibandingkan
dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi untuk menolak
tantangan itu, tentu saja pantang baginya, apalagi dia tadi sudah mengatakan
bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.
"Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah,
siapa takut kepada kalian?" kata In Hong dan memandang tajam. Wajah kakek dan
nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini sekaligus menantang dan
merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa kalau mereka maju satu demi satu, belum
tentu mereka dapat menangkan dara yang benar-benar amat hebat kepandaiannya itu,
akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, dengan ilmu silat gabungan yang
mereka ciptakan, mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, "Heiiii... berhenti...! Tahan...
tidak boleh masuk ke situ...!"
Semua orang menoleh dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari
cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan
beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini,
terdengar suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah
meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus seperti dua ekor burung
rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.
Wanita itu cantik sekali, usianya antara tiga puluh lima tahun, pakaiannya
indah dan sikapnya angkuh, sepasang matanya tajam bersinar-sinar. Melihat dua
bayangan yang menerjangnya seperti dua ekor burung menyambar, wanita itu
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya dan kedua tangannya bergerak ke
depan dengan jari tangan terbuka.
"Plak! Plakk!" Tubuh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terdorong ke belakang oleh tangkisan
itu dan mereka harus berjungkir balik dua kali ke belakang agar jangan sampai
terjengkang atau terbanting oleh hawa pukulan yang dahsyat dari tangkisan itu.
Mereka terkejut sekali dan siap menyerang dengan tongkatnya.
"Subo...!" In Hong berseru dan seruan ini membuat Raja Sabutai cepat
mengeluarkan kata-kata mencegah kedua orang gurunya dalam Bahasa Mongol. Kakek
bermuka putih dan nenek bermuka hitam itu lalu kembali ke tempat duduk masing-
masing, akan tetapi pandang mata mereka masih marah dan penuh curiga kepada
wanita cantik yang baru datang itu.
Wanita yang baru datang itu memang Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-
hong-pang di Telaga Setan. Burung batu kumala yang menghias rambutnya amat
indah, membuat dia kelihatan seperti seorang ratu yang memakai mahkota, pedang
panjang tergantung di pinggang dan gagang dua batang pedang pendek tersembul di
pinggangnya. Wanita setengah tua yang masih cantik ini kelihatan gagah dan penuh
wibawa. Raja Sabutai yang merasa tertarik dan kagum kepada In Hong, menjadi terkejut
dan juga kagum melihat wanita cantik yang disebut subo oleh nona itu, apalagi
melihat betapa wanita itu sekali tangkis dapat membuat dua orang gurunya
terdorong ke belakang. Cepat dia berkata kepada Yo Bi Kiok, "Jadi toanio adalah
Kisah Pedang Bersatu Padu 8 Playboy Dari Nanking Karya Batara Pedang Asmara 9
^