Pencarian

Dewi Maut 14

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


keadaan mereka, betapa mereka telah lupa diri, lupa keadaan dan kehilangan
pertimbangen, kehilangan kesadaran, hanya memejamkan mata menulikan telinga
menurut nafsu berahi yang membakar dan yang memperhamba mereka berdua.
Dan pagi hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu
kuning! Setelah dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini
terasalah suatu kelainan pada dirinya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada
dara yang bodoh ini akan perobahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti
munculnya kekasihnya, ia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat
rasanya. Dia telah mengandung!
Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh
Yalima. Betapa banyaknya gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu
berahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih
celaka lagi, betapa banyaknya akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat
terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan
dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!
Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu" Berdosakah mereka" Siapakah
yang bersalah kalau terjadi hal seperi itu" Si gadiskah" Si pemudakah" Atau
keadaan" Pergaulan" Pendidikan"
Tidak ada gunanya menyalahkan siapapun juga, karena kalau diusut, semuanya
salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati
selama ribuan tahun ini salah dan palsu adanya! Kita hidup seperti mesin, kita
hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang telah
ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan
tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku. Kita hidup dituntun,
dibimbing, dikurung dan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan contoh-contoh dan
pola-pola yang telah dibangun oleh "peradaban" sejak ribuan tahun. Peradaban
yang sesungguhnya tidak beradab! Segala sesuatu dalam hidup, baik buruknya
dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya palsu adanya!
Kesopanan dipandang dari pakaian dan sikap yang sesungguhnyapun hanya pakaian
yang tak nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal
kesopanan letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula,
kebenaran, kebajikan, budi dan lain-lain ditukar dari pendapat umum yang hanya
memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan
hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu,
apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura
belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh
aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!
Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar kalau dilakukan
setelah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-
orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian" Kalau
kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan
pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak
benarlah demikian itu. Biarpun sudah disyahkan oleh hukum pernikahan, biarpun
sudah disebut suami isteri oleh umum, kalau hubungan itu dilakukan tanpa adanya
cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan
diri pribadi belaka, maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya!
Sama saja dengan perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut
baik, akan tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan
pamrih, dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa,
maka "pertolongan" macam itupun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi
mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.
Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee Tiong itu
benar! Sama sekali tidak! Hanya hendak mengajak pembaca untuk membuka mata
melihat segala kepalsuan dalam hidup, termasuk kepalsuan dalam urusan hubungan
sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka berdua hanyalah menjadi
akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai sekarang. Mereka berdua belum
mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang muda maupun bagi yang tua, hanya
terdapat kalau kita sudah mengenal diri sendiri setiap saat! Pengenalan diri
sendiri mendatangkan kewaspadaan dan kewaspadaan ini menghentikan segala
perbuatan yang tidak benar!
Kita tidak berhak membenarkan atau menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong! Setiap
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si manusia itu
sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh tangan si penanam
itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan yang dicari-cari,
dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan sementara, sudah pasti
disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan saudara kembar yang tak
terpisahkan! "Yalima...!" Yalima terkejut karena lamunannya yang jauh sekali tadi membuat dia seolah-
olah melayang di angkasa dan ada hasrat aneh di hatinya untuk terjun dari
angkasa itu, sehingga tubuhnya akan hancur lebur dan dia akan terbebas dari
siksa batin yang amat menakutkan itu.
"Koko...!" Dia berlari dan menubruk kekasihnya sambil menangis sesenggukan.
"Tenanglah, Yalima. Apa yang terjadi" Apakah kau dimarahi oleh subo (ibu
guru) lagi?" "Tidak... tidak... akan tetapi kita celaka... aku celaka, koko..."
"Eh, eh, celaka bagaimana" Aku berada di sini dan aku selalu mencintamu,
selalu akan menjaga dan melindungimu, Yalima."
"Koko... aku... telah mengandung..."
"Heiiiiiiii...?" Kwee Tiong terkejut bukan main, matanya terbelalak dan
wajahnya pucat, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia lalu merangkul
Yalima, memeluk pinggangnya dan mengangkat dara itu diputar-putarnya sambil
tertawa-tawa gembira! "Eh, eh, turunkan aku...!" Yalima menjerit dan setelah dia diturunkan, dia
memegang kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata dengan air mata berlinang.
"Koko, apakah engkau sudah gila" Bagaimana engkau bisa bergembira seperti itu
mendengar bahwa aku telah mengandung" Kita berdua, atau setidaknya aku tentu
akan celaka..." "Tentu saja kita berbahagia dan gembira! Kita akan mempunyai anak! Siapa
pula yang akan mencelakakan kita?"
"Cia loya dan nyonya..."
"Hushh! Guruku itu adalah seorang pendekar sakti yang budiman, demikian pula
isterinya. Kau tidak perlu khawatir, akulah yang akan memberi tahu kepada
mereka, dan aku pula yang akan menanggung segala hukumannya kalau memang kita
berdua dipersalahkan!"
Yalima menyandarkan mukanya di dada kekasihnya. Dia merasa agak terhibur
akan tetapi tetap saja dia merasa menyesaL "Ah, koko, mengapa kita melakukan hal
itu" Sekarang kita tertimpa aib dan malu..."
Memang kusengaja, kekasihku. Aku sendiripun tahu bahwa perbuatan kita itu
tidak benar dan akan membawa kita kepada aib, malu dan duka. Akan tetapi, aku
terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menjadi isteri orang lain,
maka aku menempuh jalan nekat itu. Biarlah, kini aku yang akan menanggung.
Sekarang juga aku akan menghadap suhu dan subo, dan kau kembalilah ke tempat
kerjamu, bekerjalah seperti biasa dan jangan takut." Kwee Tiong mencium mulut
kekasihnya, lalu meninggalkannya dengan langkah gagah. Yalima terisak dan dia
lalu berlari kecil kembali ke rumah ketua Cin-ling-pai, hatinya masih terasa
tidak enak sekali dan diam-diam dia merasa amat menyesal mengapa dia telah
melakukan hal itu dengan Kwee Tiong. Rasa takut menerkam hatinya, bukan hanya
takut akan hukuman, melainkan terutama sekali takut akan ketahuan semua orang
sehingga dia, akan merasa malu dan rendah. Bagaimana kalau Bun Houw pulang, dan
tahu akan hal ini" Dia sudah tidak mengharapkan diri Bun Houw lagi, akan tetapi
betapa akan malunya kalau dia bertemu dengan bekas pemuda pujaan hatinya itu.
Demikianlah, derita batin yang menimpa seseorang sungguh tidak sepadan
dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang benar bahwa senang itu
hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka, orang yang sudah
sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri, tidak mudah terjebak dan
terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan bayangan pikiran belaka. Pikiran
yang mengingat-ingat segala kesenangan seolah-olah mengunyah-ngunyahnya sehingga
menimbulkan nafsu keinginan untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang
telah waspada akan hal ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan
pengertian akan kepalsuan inilah yang akan menjadi pengrobah dari seluruh jalan
hidupnya. Wajah Cia Keng Hong menjadi merah bukan main, matanya mengeluarkan sinar
berapi ketika dia mendengar pelaporan Kwee Tiong yang dengan terus terang
menyatakan bahwa dia bersama Yalima telah melanggar dosa dan bahwa kini Yalima
telah mengandung! "Keparat tak tahu malu! Engkau mencemarkan nama baik Cin-ling-pai saja!" Cia
Keng Hong membentak den tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi
secepat kilat Sie Biauw Eng memegang lengannya.
"Tenanglah, dan mari kita pertimbangkan persoalan ini sebaiknya. Kwee Tiong,
kau sudah mengakui kesalahanmu?"
"Sudah, teecu sudah merasa bersalah dan teecu siap menerima segala macam
hukuman, hanya hendaknya adik Yalima tidak dipersalahkan karena teeculah yang
membujuknya," jawab Kwee Tiong dengan suara tegas den sikap tenang.
"Dan kau siap melakukan apa saja sebagai hukumanmu?"
"Teecu siap, biar dihukum matipun teecu akan menerimanya."
"Kalau begitu, kautunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana sampai kami
keluar lagi." Nenek Sie Biauw Eng lalu menggandeng tangan suaminya den diajaknya
masuk ke dalam. Setibanya di dalam, Keng Hong menarik napas panjang dan mengepal tinjunya.
"Bedebah! Berani dia main gila seperti itu" Dan gadis itu adalah kekasih Houw"
ji!" "Aihh, kenapa engkau berpandangan sesingkat itu, suamiku" Kalau Yalima
mencinta Houw-ji, tentu dia tidak akan berbuat itu dengan Kwee Tiong. Jelas
bahwa gadis Tibet itu tidak mencinta Bun Houw, melainkan mencinta Kwee Tiong."
"Hemm, apa kau hendak mengatakan bahwa mereka itu tidak mendatangkan aib
kepada Cin-ling-pai dan aku harus diam saja?"
"Mereka memang bersalah, akan tetapi apakah kita juga tidak bersalah" Kita
kurang memperhatikan Yalima sehingga dia mempunyai kesempatan berbuat seperti
itu. Lupakah kau bahwa kalau ada anak yang menyeleweng, maka orang tuanya yang
bersalah besar karena kurang mendidik dan kurang memperhatikan" Dan karena
Yalima berada di sini, maka kita berdualah yang menjadi wakil orang tuanya."
Keng Hong meraba-raba jenggotnya dan pikirannya melayang kepada pengalaman
dirinya sendiri ketika masih muda. Pernah pula dia terjebak bujuk rayu seorang
wanita sehingga diapun pernah melakukan hubungan kelamin di luar nikah (baca
cerita Pedang Kayu Harum).
"Hemm... habis apa yang harus kita lakukan dengan mereka?"
"Mereka sudah berbuat, dan Yalima sudah mengandung. Peristiwa itu tidak bisa
dicegah dan diperbaiki lagi, paling-paling kita bisa merusaknya. Akan tetapi apa
gunanya hubungan itu dirusak" Lebih baik disempurnakan, dan mereka dinikahkan.
Bukankah itu jalan terbaik?"
Keng Hong mengangguk-angguk. "Hemm... akan tetapi terlalu enak bagi Kwee
Tiong. Sebagai seorang murid Cin-ling-pai dia harus menerima hukuman atas
perbuatannya." "Jangan, suamiku. Ampunkanlah dia, karena dia sudah melakukan suatu kebaikan
bagi diri anak kita..."
"Eh, apa maksudmu?"
"Bayangkan saja, bagaimana kalau yang berdiri di tempat Kwee Tiong itu Bun
Houw" Untung bahwa belum sejauh itu hubungan anak kita dengan Yalima yang
ternyata adalah seorang dara yang amat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan
godaan nafsu dan merendahkan harga dirinya, dengan mudah menyerahkan
kehormatannya biarpun kepada pria yang dicintanya."
Keng Hong mengangguk-angguk. "Baiklah, akan tetapi aku tetap akan
mencobanya, apakah dia benar-benar seorang yang jantan dan patut menerima Yalima
sebagai isterinya. Hayo kita keluar."
Kwee Tiong masih duduk berlutut di atas lantai ketika suami isteri tua itu
keluar. "Kwee Tiong...!"
Suara Cia Keng Hong mengejutkan karena tegas dan keras, menandakan
kemarahannya. "Suhu...!" "Kaupanggil Yalima menghadap ke sini bersamamu!"
"Ba... baik, suhu... harap suhu dan subo mengampuni dia..." Kwee Tiong lalu
pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi menggandeng tangan
Yalima yang berjalan dengan muka menunduk. Keduanya lalu berlutut di depan suami
isteri itu. Yalima terisak perlahan, tubuhnya gemetaran den mukanya pucat
sekali. Yalima, benarkah engkau telah mengandung akibat hubunganmu dengan Kwee Tiong
ini?" Biauw Eng bertanya, suaranya halus.
Yalima terisak dan mengangguk, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dan tidak
berani mengangkat mukanya.
"Dan kau merasa bersalah?"
Kembali Yalima mengangguk. Dia takut dan malu sekali, dan penyesalannya
makin hebat. Mengapa dia tidak bunuh diri saja tadi" Akan habislah semua derita,
semua rasa malu ini! Biauw Eng memberi isyarat kepada suaminya. Cia Keng Hong lalu membentak Kwee
Tiong, "Kwee Tiong, kau benar-benar mencinta Yalima?"
"Kalau tidak, mana teeeu berani berbuat itu dengan dia" Teecu mencintanya
lahir batin." "Kau berani berkorban nyawa untuknya?"
"Teecu berani dan siap!"
"Nah, karena kau sudah merasa berdosa, maka engkau harus dihukum. Engkau
korbankan lengan kananmu untuk Yalima!"
"Tidak...! Jangan...! Ahhh... loya, bunuh sajalah hamba... jangan hukum
Kwee-koko... karena hamba yang bersalah..." Tiba-tiba Yalima menangis dan
menubruk Kwee Tiong. Nenek dan kakek itu saling lirik dan ada cahaya berseri pada lirikan mata
mereka. "Kwee Tiong, apakah engkau seorang laki-laki sejati?" bentak Cia Keng Hong.
"Yalima, minggirlah. Suhu telah mengampunkan kita... terima kasih atas
kebaikan hati suhu!" Kwee Tiong mendorong tubuh Yalima dengan halus, kemudian
dia meloncat ke belakang, cepat sekali mencabut pedang dengan tangan kiri lalu
menyabetkan pedang itu ke arah pangkal lengan kanannya.
Yalima menjerit. "Trangggg...!" Pedang itu terlepas dan terjatuh dari tangan
kiri Kwee Tiong sebelum menyentuh lengan kanannya. Kiranya ketua Cin-ling-pai
tadi telah menggerakkan tangannya dan angin pukulan dahsyat membuat pedang itu
terlepas dan terjatuh. Kwee Tiong menjatuhkan diri berlutut. "Suhu, apa artinya ini...?" tanyanya.
"Kami hanya ingin melihat apakah benar kalian saling mencinta. Kami ampunkan
kalian, bahkan dalam pekan ini juga kalian akan kami nikahkan. Akan tetapi,
melihat keadaan Cin-ling-pai dalam perkabungan, pernikahan itu akan dilakukan
dengan sederhana saja."
"Suhu...! Subo...! Terima kasih...!" Suara Kwee Tiong tergagap karena pemuda
yang gagah ini sudah menangis saking gembiranya.
"Sudahlah... sudahlah, pergilah kalian dari sini dan bersiap-siaplah untuk
pernikahan itu..." kata Sie Biauw Eng.
Setelah suami isteri tua ini masuk ke dalam, barulah Kwee Tiong bangkit,
memondong tubuh Yalima dan membawanya berlarian keluar dari tempat itu dengan
hati penuh rasa bahagia. Beberapa hari kemudian, dirayakanlah pernikahan itu secara amat sederhana
hanya dihadiri oleh para anak murid Cin-ling-pai saja, tidak ada seorangpun tamu
dari luar. Hal ini adalah mengingat bahwa Cin-ling-pai dalam beberapa bulan ini
mengalami hal-hal yang amat buruk, selain tercurinya pedang pusaka, matinya Cap-
it Ho-han yang tujuh orang itu, disusul pula tewasnya empat orang lagi dari Cap-
it Ho-han dan juga tewasnya Hong Khi Hoatsu dan lenyapnya Lie Seng.
Dua hari setelah pernikahan itu dilangsungkan, muncul Cia Giok Keng. Wanita
ini hanya mengerutkan alis mendengar dari ibunya tentang peristiwa Kwee Tiong
dan Yalima, kemudian dia menceritakan kepada ayah ibunya tentang matinya dua
orang di antara Lima Bayangan Dewa, dan tentang orang-orang berilmu seperti Bouw
Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw yang membantu Lima Bayangan Dewa, dan
bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam belum juga ditemukan.
Wajah Cia Keng Hong yang biasanya selalu tenang itu kini kelihatan marah
sekali. "Hemm... kiranya Lima Datuk Kaum Sesat yang dahulu itu biarpun telah
tewas, roh jahatnya masih saja merajalela dan membujuk kawan-kawannya untuk
mengacau dunia! Kalau para tua bangka itu keluar dan mengacau, dunia tidak akan
menyalahkan aku kalau keluar pula untuk menghadapi mereka!"
"Aku ikut! Aku ingin sekali membagi-bagi pukulan kepada cacing-cacing busuk
itu!" Sie Biauw Eng berseru.
"Dalam keadaan segawat ini, tidak baik kalau Cin-ling-pai ditinggalkan sama


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Karena kita berdua pergi bersama yang lalu, maka dapat terjadi
malapetaka di sini. Kita harus membagi tenaga, isteriku. Kau menjaga Cin-ling-
pai bersama Keng-ji, dan aku akan mencari mereka!"
Sie Biauw Eng terpaksa membenarkan pendapat suaminya ini, maka biarpun
hatinya penasaran, akhirnya dia membiarkan suaminya pergi. Untuk pertama kalinya
sejak belasan tahun hidup tenteram di Cin-ling-pai, kini Pendekar Sakti Cia Keng
Hong meninggalkan tempat kediamannya, turun gunung untuk membantu puteranya
karena dia maklum betapa lihai adanya musuh-musuh itu yang terdiri dari saudara-
saudara dan sahabat-sahabat para datuk kaum sesat yang dahulu telah menjadi
musuh-musuhnya. Giok Keng tidak lama berdiam di Cin-ling-pai. Dia segera pamit untuk mencari
Lie Seng yang lenyap terculik musuh. Ibunya tidak dapat menahannya, maklum
betapa hebat penderitaan batin puterinya itu, dan dia hanya memesan agar supaya
puterinya itu berhati-hati. Dengan penuh keharuan Giok Keng memeluk dan menciumi
Lie Ciauw Si, puterinya yang baru sepuluh tahun usianya itu, yang menangis
hendak ikut dengan ibunya. Setelah menghibur dan memberi nasihat dan pengertian
kepada Ciauw Si, berangkatlah Cia Giok Keng meninggalkan Cin-ling-pai. Di depan
ibunya dia menyatakan hendak mencari Lie Seng, akan tetapi di dalam hatinya, dia
hendak mencari pembunuh Hong Ing dan mencari Mei Lan yang melarikan diri karena
dia. Sedangkan nasib Lie Seng dia serahkan ke tangan Tuhan dan dia percaya bahwa
Kun Liong akan berusaha mencari puteranya itu!
*** Kaisar Ceng Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun,
yaitu sebagai pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Tentu saja
seorang bocah berusia delapan tabun tidak tahu apa-apa, apalagi memegang tampuk
pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar! Maka ketika Kaisar Ceng Tung
diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri. Sebagai
seorang kaisar, yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan
sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak
biasa. Dia hidup di dalam lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan dan
kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing
dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini
membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada
ibu surinya. Setelah dia menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan
kekuasaannya sebagai seorang kaisar yang "maha kuasa" di dalam istana dan
negara. Mulailah terjadi perebutan di antara para thaikam, yaitu bangsawan-
bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat mutlak yang merupakan keharusan bagi para
ponggawa di dalam istana, dan ibu suri untuk menguasai hati kaisar muda itu.
Karena pandainya membujuk, maka akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam
kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal
dari utara yang bernama Wang Cin. Wang Gin mempunyai beberapa orang kaki tangan,
yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu suri
tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Gin
inilah. Secara teoritis, Kaiser Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk
pemerintahan, akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa
memutuskan segala macam hal, karena apapun yang hendak diputuskan oleh kaisar,
selalu kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasihat Wang Cin.
Bahkan hampir semua urusan yang melalui tangan kaisar, tanpa diperiksa oleh
kaisar ini terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil
keputusan dan kaisar hanya tinggal menandatangani dan memberi cap saja!
Betapapun juga, semenjak kanak-kanak, Kaisar Ceng Tung telah mempelajari
kesusasteraan dan sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi
seorang penjilat seperti Wang Cin untluk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh
pembesar kebiri itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis. Tidak, untuk
urusan sebesar ini, Thaikam Wang Cin terlalu cerdik. Melihat betapa kaisar telah
mulai dewasa, dia lalu menggunakan seorang gadis muda peranakan Mongol, gadis
cantik jelita yang masih terhitung keponakannya sendiri, untuk memikat hati
kaisar. Untuk siasat ini, memang Wang Cin telah mempersiapkan segala-galanya
untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak kaisar itu naik tahta pada usia
delapan tahun. Pada waktu itu, biarpun dia masih menjadi seorang thaikam
rendahan saja, sudah ada rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah
mendidik keponakannya itu yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha,
dengan amat cermat dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik sehingga
Azisha menjadilah seorang dara yang selain cantik jelita, namun juga ahli dalam
segala macam kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak,
dan bahkan ahli pula dalam membawa diri untuk merayu!
Mula-mula, sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu
saja keluarga kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha
sebagai dayang keraton. Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam
yang licik ini mendekati kaisar yang mulai dewasa, menceritakannya tentang
Azisha dan tentang kepandaian wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria,
segala kecabulan yang membangkitkan berahi diceritakannya, dan akhirnya jatuhlah
kaisar dalam pelukan Azisha yang biarpun masih seorang perawan, namun semenjak
kecil telah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria!
Demikianlah, dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan
hampir tidak pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang
cantik jelita. Dan kepercayaannya terhadap Wang Cin bertambah, tentu saja atas
bujukan Azisha, sehingga dalam tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan
semua kekuasaan kepada Wang Cin! Wang Cin inilah yang menjadi penguasa yang
sesungguhnya, yang memerintah dan mengatur pemerintahan, menerima laporan dan
membagi-bagi perintah. Adapun Kaisar Ceng Tung hanya bersenang-senang dengan
selirnya yang tercinta, mabok kemewahan, kesenangan dan berahi.
Para menteri yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan
kekuasaan di istana ini. Mereka khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-
dongeng seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Keisar
Tiu-ong dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik
jelita yang amat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase!
Mereka ini khawatir kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan Wang Cin
yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya, padahal
menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah keturunan Mongol!
Dan memang benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-
diam dia menganggap dirinya sebagai "darah" keturunan Jenghis Khan yang maha
besar, dan kini diam-diam dia merencanakan agar dialah yang membangkitkan
kembali kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-
tiauw! Sudah banyak menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-
patriot setia yang telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi
kaisar, mohon menghadapi kaisar muda itu untuk kembali memegang sendiri urusan
kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. Akan tetapi,
semua peringatan ini tidak ada gunanya dan Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena
di dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek! Hanya baiknya, kaisar ini sama
sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan jenderal itu agar jangan
khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat pandai mengatur
pemerintahan dan juga amat setia kepadanya. Tentu saja para pembesar itu hanya
menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak memperlihatkan sikap sewenang-
wenang dan merusak, mereka percaya kepada kata-kata junjungan mereka yang mereka
cinta itu. Dan Wang Cin memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan
tidak senang dari para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati
sekali, bahkan bersikap cukup "adil" mengatur pemerintahan secara benar, bahkan
dalam urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri
atau jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasihat mereka. Sikap ini
membuat para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam lalu
menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah
kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu.
Demikianlah, tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke
dalam pelukan Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua
puluh dua tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja
sehingga sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan
hanya mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah
melayaninya, kecuali apabila Azisha sedang berhalangan.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin
karena sampai tujuh tahun lamanya, biarpun dia telah memanggil segala macam ahli
obat, pertapa, peramal dan dukun-dukun, biarpun Azisha berhasil melayani kaisar
selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya
dalam kandungan Azisha! Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang
juga seperti dia mempunyai darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh
seorang putera dari kaisar agar dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha
diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol,
kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya! Akan tetapi, si
tolol Azisha, demikian dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya
tidak "becus", setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak!
Karena itu, diapun tetap menjadi seorang thaikam, betapapun besar kekuasaannya.
Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus diambil cara
lain agar dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau mungkin mengangkat
diri menjadi kaisar! Maka pada suatu hari, setelah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan
seorang datuk kaum sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok agar menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana tarbesar yang
diaturnya itu, Wang Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar
untuk mengadakan pesiar dan sekalian melakukan "pembersihan" atau pemeriksaan ke
daerah perbatasan Mongolia.
"Kekuasaan yang mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita
bahwa di perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang
memperlihatkan sikap menentang dan memberontak kedaulatan kerajaan paduka. Untuk
memperlihatkan kebesaran paduka, hendaknya paduka mengerahkan pasukan dan
menghajar gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat
kota kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota
Huai-lai," demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya.
"Hambapun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia,"
Azisha berkata dengan suara merdu dan sikap manja. "Kalau paduka berkenan
menginjakkan kaki paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu akan
mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba."
Mula-mula Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan
itu, apalagi untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak sebaiknya
diserahkan kepada angkatan perangnya. Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin
membujuk, dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang pandai pula mengucurkan air
matanya kalau perlu, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya. Diam-diam dia
terkesan juga oleh kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha adalah
peranakan Mongol, akan tetapi kini Wang Cin mengusulkan untuk membasmi
pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya Wang Cin
kepadanya. "Baiklah, Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan
utara, tentu engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu,
kami mengangkatmu dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin tertinggi
dari pasukan kita." Keputusan kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi
terkejut bukan main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-
jenderal yang telah puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan
membersihkan musuh-musuh negara, akan tetapi di dalam rombongan pembersihan ke
utara yang diikuti sendiri oleh kaisar, mengapa kaisar mengangkat seorang kebiri
yang lemah dan dalam hal perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang
apalagi mengatur barisan menjadi komandan atau panglima tertinggi" Hal ini
dianggap penghinaan bagi mereka dan hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari
para jenderal, yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan
kaisar! Akan tetapi dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun
mengabdi kepada negara, bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo
yang kemudian menjadi kaisar, mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang
jenderal ini adalah Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus
kecil namun memiliki kegagahan dan wibawa luar biasa dan amat cerdik dan ahli
dalam mengatur siasat perang. Dan kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang
jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun
gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal
inilah yang melerai rekan-rekannya.
"Kita adalah perajurit-perajurit," kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah
berusia enam puluh tahun lebih. "Seorang perajurit tugasnya adalah
mempertahankan negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara
kita dan junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan
kita kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita mengamat-amati saja dan
membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang perajurit
pembela kaisar yang setia daripada hidup mulia sebagai pemberontak."
"Kata-kata Kho-goanswe (Jenderal Kho) tidak meleset seujung rambutpun."
terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur. "Sejak
nenek moyang kami, semua adalah perajurit dan kami tidak akan mencampuri urusan
negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah tugas kami."
Anehnya, dan hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin
yang diangkat menjadi panglima tertinggi justeru memilih para jenderal tua yang
setia ini untuk membantunya memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan
mereka dan lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka.
Maka berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang
berada di dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang
selir lain di samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah
biarpun gerak-geriknya seperti seorang wadam! Wang Cin mempunyai belasan orang
pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada yang mengetahuinya,
terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo
Gu Lo it yang sudah menggabung setelah kekalahannya yang besar di Ngo-sian-
chung, dan Bouw Thaisu! Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw telah berangkat
lebih dulu sebagai utusan rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku
pemberontak Mongol di perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I
Siankouw, berangkat pula Go-bi Sin-kouw!
Kita tinggalkan dulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima
Besar Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan
Jenderal Kho Gwat Leng dan Tan Jeng Koan yaitu sebanyak delapan orang yang
terkenal sebagai Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung
Lo, dan mari kita menengok keadaan di perbatasan Mongol.
Memang keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, di sepanjang
tembok besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, terdapat Suku Bangsa Mongol
yang dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap
kedaulatan Pemerintah Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa
sesungguhnya ketua pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan
yang diam-diam menjadi semacam sekutunya, sungguhpun ketua Suku Mongol ini tidak
pernah bertemu dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka.
Siapakah ketua Suku Bangsa Mongol ini" Dia adalah seorang laki-laki berusia
empat puluh tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti
seekor singa dan dia benar-benar pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa
yang hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu. Kepala suku
ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal Sabutai
dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya menguasai
seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang memiliki
kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek yang jarang
terlihat orang, lebih menyerupai iblis daripada manusia!
Dahulu, di waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan
keluar daerah, bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar
sampai jauh ke selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua
orang jagoan, laki-laki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat
kepandaian Panglima The Hoo yang amat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka
mengganas itu dapat dikalahkan, dan biarpun dapat melarikan diri, namun diduga
tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The
Hoo. Akan tetapi, orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, biarpun nyaris
mati dan setelah mereka sembuh namun tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun
mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lalu bertapa sampai
puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang
muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka hendak membalas
kepada Beng-tiauw! Kini, mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis
Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam).
Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biarpun dia seorang berilmu tinggi dan yang pandai pula mengatur siasat perang,
namun dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini,
melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu,
dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin
untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia terima dengan baik.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-
citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa
muak terhadap Wang Cin, apalagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang
Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang macam Wang Cin amat
berbahaya dan rendah, dan kalau saja dia tidak melihat kegunaan persekutuan ini
sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa suka sekali membunuh
orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan
dahsyat! Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia mempunyai
seorang isteri yang amat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang
mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini
masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi
isterinya. Namun, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum
juga mengandung. Betapapun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau
mengambil selir. Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa
isterinya itu sesungguhnya tidak cinta kepadanya, dan hanya terpaksa saja
menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya demi kewajiban saja,
dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal inipun
kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka
karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.
Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang
diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada waktu itu sedang berkuasa
dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh utusan Wang
Cin, yaitu tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan
Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar
yang mewah untuk tempat menginap.
Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk termenung dengan surat itu di dalam
tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak ketika
dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang
memancing rajanya sendiri ke utara untuk "diserahkan" kepada Sabutai! Sabutai
adalah seorang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang
pengkhianat besar macam Wang Cin. Akan tetapi, diapun melihat kesempatan baik
sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan
menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat. Menurut surat Wang Cin, orang
kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar dan pasukan-pasukan pengawalnya
agar dihancurkan oleh Sabutai, kaisarnya dan semua pengawal kaisar yang setia
dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja dan diam-diam akan mengatur
dari dalam untuk membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota
raja, kemuthan setelah dapat merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri
menjadi kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai
tentu saja akan menerima bagian yang layak!
"Si keparat...!" Sabutai memaki di dalam hatinya. "Seorang, pengkhianat dan
pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang
kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan
yang besar?" Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk
menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan
muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai
lalu memerintahkan mereka untuk memanggil para pembantunya agar berkumpul di
situ pada malam itu juga karena ada hal yang amat penting untuk dirundingkan.
Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang
merupakan bekas kepala-kepala suku yang telah ditaklukannya dan yang kini
menjadi para pembantunya. Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga
kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan
didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan
itu, Sabutai lalu mengajak para pembantunya untuk berunding dan mengatur siasat
untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu. Akhirnya, sampai
hampir pagi, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan pengkhianatan Wang Cin
itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tidak sudi untuk
selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya amat licik,
curang dan berbahaya itu.
Pada keesokan harinya, setelah menjamu tiga orang utusan itu, Sabutai lalu
menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut
dan menghancurkan kaisar dan pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-
kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan
kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi
Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu. Sabutai lalu
membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian
dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju ke selatan, melalui pegunungan
yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan
bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti
datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin.
*** Di daerah padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan
utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri
dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup
dari peternakan dan mereka menggembala kuda yang baik untuk dijual ke daerah
selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini
menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena
tempat itu amat subur rumputnya sehingga merupakan tempat peristirahatan yang
amat baik. Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini.
Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara
mereka ketika terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan
menggeletak, yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih
dari seratus ekor kuda lenyap di malam itu.
Agaknya orang kedua itupun telah ditinggalkan karena disangka telah mati
oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang bercerita kepada kawan-kawan dan
pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam di waktu keadaan amat
sunyi dan dingin, tiba-tiba muncul belasan orang bertopeng yang langsung
menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi
akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka tewas pula itu
hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus
ekor kuda yang mereka curi itu.
Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati
mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu" Penjagaan dilakukan dengan
ketat di malam-malam berikutnya karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tidak
akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu.
Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan di malam hari.
Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, pada
malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka
diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki
ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga
rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara
teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-
obor dan api unggun. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Maling-maling kuda yang hina!" Dan
muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian
sederhana akan tetapi bersih, berwajah gagah dan sekaligus membayangkan
kelembutan, bahkan bentakannya tadi biarpun nyaring dan menggetarkan jantung,
namun suaranya halus. Akan tetapi, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua
tangannya, empat orang bertopeng jatuh tunggang langgang! Para perampok atau
pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum babwa kakek ini
bukanlah anggauta rombongan peternak atau pedagang kuda itu, melainkan seorang
yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan. Maka pemimpin
perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata
golok besar yang amat berat dan tajam, menggereng dan sekaligus tiga orang ini
menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan,
yaitu depan, kiri dan kanan.
"Singg... singg... wuuuutttt...!" Tiga batang golok itu berdesing dan
menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja
berdiri tegak dan tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam
nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar
dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya dan...
sungguh luar biasa sekali. Sukar diikuti pandang mata apa yang telah dilakukan
oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari
depan mencelat goloknya dan orangnya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan dua
orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula! Kiranya kakek
yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang
dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua
tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat
golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua
orang penyerang kanan kiri. Semua gerakarmya itu dilakukan dengan cepat dan
kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah
orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Apalagi menangkap golok
dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu
adalah seorang yang amat luar biasa!
Melihat betapa dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan
main kagetnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah
mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh
oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga sudah serentak meloncat
bangun dan melarikan diri, akan tetapi peyerang dari depan yang kena tendang
lututnya ketika bangkit berdiri, roboh terguling lagi dan mengeluh.
Para anggauta rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam
sudah digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak
membunuh pemimpin para perampok bertopeng itu.
"Tahan, jangan bunuh dia!" Kakek itu berkata, suaranya halus namun penuh
wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan
memandang kepada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada
orang yang tahu, datang-datang telah memperlihatkan kepandaian membantu mereka
mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya.
Sungguh aneh! Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran, seorang laki-laki tinggi besar bermuka
hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang,
"Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah
kami membunuh kepala perampok ini?"
Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu
tersenyum dan berkata tenang, "Mereka telah dapat diusir dan orang ini tidak
dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya?"
"Locianpwe, harap suka mengampuni saya," tiba-tiba orang itu berkata dan
membuka topengnya. Kiranya dia adalah seorang Han pula yang berusia kurang lebih
tiga puluh tahun. Kakek itu mengerutkan alisnya, nampaknya tidak senang melihat orang Han
sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan
yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin!
"Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?" bentaknya.
"Maaf... kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi,
kami adalah anggauta pasukan Raja Muda
Sabutai yang memerintahkan kami mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-
pasukan kami..." "Ahhhh...!" Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. "Raja Muda
Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah
Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara,
apalagi mencuri kuda kami."
"Maafkan kami, kawan..." orang itu berkata dengan muka merah, "kami telah
bersalah... akan tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan
kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw..." Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.
Lanjutkan ceritamu dan aku akan membebaskan engkau." Kakek itu berkata dan
matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.
"Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu..."
"Engkau sudah terlanjur bicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan
pedagang kuda, kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda
Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw" Apakah keperluannya"
Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu."
Dengan muka pucat ketakutan orang itu berkata, "Barisan kami... akan...
menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang akan lewat di sana..."
"Hemmmm...!" Kakek itu mengangguk-angguk. "Dari mana Raja Muda Sabutai dapat
mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?"
"Hamba... saya mana tahu..." Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan
dari selatan... dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan
untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan..."
"Tiga orang utusan itu, siapa namanya?" Kakek yang aneh itu mendesak terus.
"Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa
Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa..."
"Sudahlah, kau boleh pergi," kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang
pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.
"Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja" Dan
dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap
kaisar!" Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak
setuju. Kakek itu memandang tajam. "Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?"
"Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai
itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-
orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin dilanjutkan.
Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh
barisan Beng?" "Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar.
Dengan demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang
jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat."
Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu
bertanya, "Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar
ini?" Kakek itu berkata sederhana, "Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia
Keng Hong dan sejak dahalu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja
sama dengan mendiang Panglima The Hoo."
Yalu mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya.
"Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo" Ah, kalau begitu kami telah
bersikap kurang hormat." Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri
berlutut. "Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dahulu
pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir,
kami akan mengumpulkan teman-teman dan membantu locianpwe menolong dan
melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak."
Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang.
Seperti kita ketahui, kakek Cia Keng Hong yang mendengar penuturan puterinya,
Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang telah dapat ditewaskan dua di
antaranya itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, lalu turun gunung untuk menghadapi
musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang
hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam. Dalam perjalanannya menyelidik, dia
mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul,
dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan kaisar yang
melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali mendengar
bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan kaisar. Timbullah
kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan
mencurigakan kalau musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal
kaisar. Karena itu, diapun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan
rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang
amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Kini dengan hati penuh
kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam
rombongan kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai den bahwa kaisar
tentu terancam bahaya besar, sungguhpun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal
oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya
adalah Jenderal Kho Gwat Leng den Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan
jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng.
Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung
tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan Suku-suku Bangsa Nomad
di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar
Beng-tiauw yang terancam bahaya.
Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja
menuju ke utara. Perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan-pegunungan yang


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjal, hutan-hutan yang liar den daerah-daerah yang tandus. Dari permulaannya
saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar,
perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang
diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa
perlengkapan terlalu banyak. "Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma
bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa benyak
perbekalan?" demikian bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. "Hal itu
hanya akan menimbulkan ketidaksenangan mereka karena seolah-olah kita tidak
percaya kepada mereka."
Biarpun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah
diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak
dan berusaha agar rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apalagi pada
waktu itu musim panen belum tiba.
Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apalagi yang sejak
dewasa terus dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terseret oleh arus
kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanya merupakan
pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu apa-apa. Di
dalam perjalanan inipun Kaisar Ceng Tung selalu berada dalam pelukan selirnya,
berdua di dalam kereta, dan kadang-kadang ditemani oleh Wang Cin yang pandai
menghibur hati kaisar seolah-olah perjalanan itu merupakan tamasya yang amat
menyenangkan. Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya
menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia
itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan
menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar.
Setelah melalui perjalanan yang amat lama dan amat melelahkan bagi para
anggauta pasukan pengawal, akan tetapi amat meayenangkan bagi kaisar dan
selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya
peristiwa hebat yang selain akan merubah jalannya sejarah juga akan
mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai dengan yang selama ini dicita-
citakannya, rombongan itu tiba di kaki Pegunungan Nan-kouw dan di padang rumput
mereka berkemah untuk melewatkan malam itu di situ dan memberi waktu kepada
pasukan untuk beristirahat.
Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng
dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang sedang mengadakan perundingan
dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa dan
Bouw Thaisu yang lihai. Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan
para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing dan oleh isyarat Wang
Cin mereka itu berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan
muka manis Wang Cin mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam
perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.
"Wang-taijin, kami datang untuk mengajukan usul kepada taijin," Jenderal
Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata.
"Hemm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita
semua tentu saja kami sambut dengan gembira," jawab orang kebiri yang memperoleh
kedudukan tinggi itu. "Wang-taijin, kami semua telah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini
ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari," kata Jenderal Kho Gwat Leng.
"Ah, tidak mungkin!" Wang Cin berseru penasaran. "Kota Huai-lai sudah dekat,
mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?"
"Wang-taijin," kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar,
berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu. "Di depan adalah Lembah Nan-kouw
yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apabila terdapat
fihak musuh yang menghadang kita."
"Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar" Pula,
andaikata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada
pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?"
"Maaf, Wang-taijin," Jenderal Kho Gwat Leng yang lebih halus sikapnya itu
berkata. "Ucapan Tan-goanswe benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula
bahwa andaikata ada musuh menghadang, kami sudah siap menghadapinya. Akan
tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan
kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan
tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya, kita menunda perjalanan selama dua
tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air."
Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya dan berjalan mondar-mandir di ruangan
itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggeleng kepala,
lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu.
"Tidak, tidak! Tidak ada perlunya itu. Sri baginda kaisar tentu akan kesal
hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi,
melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan setelah tiba di Huai-lai, barulah
kita berhenti, mengaso dan makan sepuasnya. Apakah perajurit-perajurit Beng
begitu lemahnya dan mementingkan makan dan minum saja?"
Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir
mendampratnya, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga
jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya.
"Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi
kalau sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah
memberi peringatan," kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa berdebat melawan
orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini akan percuma saja. Para
jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan
sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno,
kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan
apapun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan
dengan pertaruhan nyawa, sungguhpun kesadaran mereka membuat mereka maklum
betapa kelirunya keputusan itu sekalipun! Para jenderal ini tentu saja maklum
akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi
mereka tidak berani membantah keputusan kaisar, dan betapapun juga Wang Cin
telah diangkat oleh kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang
harus mereka patuhi! Diam-diam para jenderal yang sudah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli
perang yang telah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar penyelidik
menyusup ke depan dan menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di
depan. Pada pagi harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik
itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka inipun berada dalam keadaan luka-luka
parah. Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan
barisan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang amat
tersohor keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan
kembali mereka membujuk Wang Cin untuk mencari perbekalan lebih dulu sebelum
melanjutkan perjalanan. Kami sanggup mengawal kaisar sampai ke manapun, dan kita memang tidak perlu
takut menghadapi para pemberontak liar itu," kata Jenderal Tan Jeng Koan dengan
suara nyaring. "Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka
pertempuran akan makan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali
air minum, kedudukan kita dapat berbahaya."
"Aahhhh, laporan para pengecut itu mengapa mengecilkan hati goanswe" Kalau
cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan
menggempur perampok-perampok laknat itu! Justeru di depan kehadiran sri baginda,
mereka berani mengacau, maka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita
harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!" Wang Cin berkata dengan
muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah
menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya
akan gagal. Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding,
kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga menghadapi pasukan
pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw.
Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan
kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga
keselamatan kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar dan selirnya tercinta itu
berada di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri
oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringkan oleh pasukan yang
dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya. Delapan orang jenderal itu sudah
bersepakat untuk melindungi kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang
terakhir tewas, tak mungkin musuh akan dapat mendekati kaisar. Penjagaan yang
mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali.
Hal yang memang sudah diduga-duga dan dikhawatirkanpun terjadilah. Menjelang
tengah hari, mulailah pasukan Sabutai menyerang, mula-mula penyerangan itu
dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang
terjadi, muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh
bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar!
Akan tetapi karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya,
penyerangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini tidak mengacaukan pertahanan
pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik, dan Jenderal Kho Gwat
Leng sendiri yang memimpin pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah
pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya, dan para pelayan kaisar. Dengan kata-
kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan menghiburnya
sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biarpun tahu bahwa ada pasukan
pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang
jenderalnya. Perang terjadi dengan hebatnya dan berkat kemampuan delapan orang jenderal
yang mahir ilmu perang itu, biarpun jumlah musuh jauh lebih banyak, namun
setelah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul
mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu.
Betapapun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak perajurit yang
gugur maupun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal
ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk
kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik
mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Kalau mereka mundur ke
selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-
tiauw yang berjaga di tapal batas.
"Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi
kita telah menang" Musuh telah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur.
Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana
kita akan aman dan karena berada dalam benteng." Wang Cin berkeras melanjutkan
perjalanan itu. "Wang-taijin, biarpun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun
kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah
berbahaya." Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. "Terutama sekali karena
perbekalan kita sudah menipis."
"Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, mengapa harus melarikan
diri dan mundur" Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai
terbasmi habis!" Wang Cin membantah.
Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan
harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota Huai-lai dan
menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui
dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang curam,
kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi.
Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang berpengalaman
itu. Terdengar suara gemuruh dan dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu
yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar! Tentu saja pasukan pengawal menjadi
panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh
pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh
sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah
Nan-kouw itu. Delapan orang jenderal cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan
mengawal sendiri kaisar dan selirnya untuk berlindung ke dalam kemah Jenderal
Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar,
menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat
orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan
musuh yang menyerbu dari depan dan belakang.
Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi karena pasukan pengawal
kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang dinding gunung dan musuh
yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja
mereka terhimpit dan terdesak hebat. Betapapun juga, para jenderal memberi
semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat
gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah. Pakaian perangnya telah
berobah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang
keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan
terjadilah kekacauan di fihak musuh yang menutup jalan keluer di belakang
mereka. Ternyata kemudian bahwa datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu
dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa menyerbu musuh dan
membantu pasukan pengawal kaisar. Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia
Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan
Sabutai dan kini membantu kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong
atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu.
Akan tetapi, biarpun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di
sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlalu banyak sehingga selagi
sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi
terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan
pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh
sehingga mereka mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh
yang menghadang di belakang.
Akhirnya, habislah anggauta pasukan yang mempertahankan diri di depan dan
menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa
Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, terus menerjang maju sampai
akhirnya tidak ada lagi perajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang
jenderal yang tadi mengamuk dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka itu
semua sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa darah dan
nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka.
Ketika akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya,
termasuk pula tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke
dalam tenda besar di mana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat
mengharukan. Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali,
tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang nampak
ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu. Di dekat pintu tenda
nampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh penuh luka! Akan
tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka terakhir yang mereka
terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin! Ketika itu, delapan
jenderal yang melindungi kaisar telah luka-luka parah, namun di bawah pimpinan
Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka delapan orang kakek
itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah kaisar. Tiba-tiba para
pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te
Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, maju dan menyerang
delapan orang jenderal itu dari belakang sehingga tewaslah mereka!
Kaisar terkejut sekali, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi
thaikam ini berkata, "Merekalah yang mencelakakan kita, sri baginda. Sekarang
hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!"
Akan tetapi, begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu,
Wang Cin menyambut kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling
memberi salam, demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para
pengawal musuh! "Hemmm... kiranya engkau seorang pengkhianat!" Kaisar berseru dan membuang
muka tidak mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum
menyeringai itu. Kemudian, setelah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan
berhasil pula mengusir pasukan Cia Keng Hong yang tidak berapa banyak jumlahnya,
Sabutai cepat-cepat menggiring kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang
tidak kelihatan takut lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin
dan para pengawalnya. Diam-diam Sabutai merasa kagum bukan main kepada delapan orang jenderal itu,
dari juga merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan
agung, sedikitpun tidak merasa takut dan biarpun telah menjadi tawanan, namun
memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat diam-diam merasa
tunduk! Sabutai adalah seorang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci
kecurangan dan pengkhianatan. Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia mau
dipersekutu oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia
sangat kagum kepada kaisar muda itu dan amat benci kepada Wang Cin. Hanya karena
dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan, maka dia
menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu. Akan tetapi dengan keras
dia memerintahkan para pembantunya agar melayani kaisar dengan baik dan tidak
boleh seorangpun ada yang bersikap kasar atau mengganggu kaisar muda ini dan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di sebuah bangunan
tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena yang dijaga hanya
sekeliling bangunan itu. Wang Cin berusaha membujuk kaisar untuk membuat dan menandatangani surat
kekuasaan dan pengangkatan kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai
penggantinya, akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya menjawabnya
dengan meludah ke muka thaikam itu! Kalau saja tidak dicegah oleh Sabutai, tentu
Wang Cin sudah membunuh kaisar. Diam-diam Sabutai tertawa di dalam hatinya,
melihat betapa pertemuan antara kaisar dan Wang Cin itu seperti pertemuan antara
seekor burung hong dan seekor tikus! Dia maklum bahwa membujuk atau mengancam
seorang yang demikian gagah perkasa dan berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak
ada gunanya sama sekali, dan kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera.
Sabutai memang cerdik bukan main. Dia tahu benar bahwa selama kaisar itu menjadi
tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya. Dan
kalau dia memperlakukan kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat,
hal ini saja sudah cukup merupakan jaminan bahwa kelak, andaikata cita-citanya
menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan
memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada kaisar. Maka dia
melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan kaisar, selalu di bawah
pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat
disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan
demikian leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu.
*** Beberapa bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah
watak aseli dari Azisha. Memang wanita ini sejak diumpankan kepada kaisar oleh
Wang Cin, hanya melayani kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka.
Sedikitpun dia tidak cinta kepada kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang
dicintanya bukanlah pribadi kaisar melainkan kedudukannya! Kini, kaisar yang
merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagal "utusan Tuhan"
atau "putera Tuhan", telah kehilangan kedudukannya, kehilangan kebesarannya,
bahkan telah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa amat rendah kalau
menjadi selir seorang tawanan!
Mulailah dia bersikap keras dan berani menentang kaisar, bahkan berani mulai
menggunakan kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, kaisar baru terbuka
matanya, dan baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang
tidak secantik wajahnya, dan baru dialah mengerti bahwa Azisha merupakan "alat"
dari Wang Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. Maka diapun
tidak memperdulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca
kitab-kitab yang disediaken oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian
(samadhi). Kaisar yang usianya masih muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini
sadar bahwa hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanyalah
hubungan yang didasari oleh nafsu berahi saja dari fihaknya, dan dari fihak
Azisha hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin.
Dia merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak
memperdulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak
pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki
kamarnya, diapun tidak perduli lagi.
Perhatian Azisha mulai tertuju pada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan
gagah perkasa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan
dengan Kaisar Ceng Tung yang muda da halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-
geriknya, tentu saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa. Akan tetapi, karena
sejak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam ini sudah
sama sekali tidak mengenal cinta lagi dan kalau dia mulai mendekati Sabutai
adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ, bahkan
orang yang mempunyai cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi kaisar dari
seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan Sabutai, darah
Mongol! Seperti telah dkeritakan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik,
usianya baru delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita
dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai amat cinta kepada
isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa
kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya. Padahal
dia mengharapkan scorang keturunan dari isterinya yang tercinta itu dan untuk
mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta Khamila dan
tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain.
Betapapun juga, agaknya Azisha tidak akan berani secara lancang melakukan
pendekatan kepada Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan,
kalau saja hal itu tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. Pembesar kebiri
ini mulai khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan
sungguhpun dia dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, akan tetapi
Sabutai agaknya seperti tidak terlalu mengacuhkannya, bahkan desakannya untuk
segera menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan "belum
waktunya" dan "belum cukup kuat". Juga Sabutai menolak keras ketika Wang Cin
mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan itu dipaksa, kalau perlu
disiksa, agar suka memberi surat kuasa pengangkatan kaisar baru. Semua ini
ditolak oleh Sabutai yang mengatakan bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-
cara yang curang. "Saya adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal
Sabutai yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya melakukan
tindakan yang begitu rendah dan curang" Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba
waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!"
Sikap Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Biarpun dia dianggap
sebagai sekutu dan tamu, akan tetapi tidak ada bedanya dengan tawanan juga,
seperti kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Pulang
kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan
membuat dia celaka, tinggal di utara diapun tidak dapat menguasai Sabutai!
Mulailah dia mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang
matanya cukup tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya
mempunyai seorang isteri itu tentu tidak behagia dengan isterinya yang cantik
den muda. Isterinya itu bersikap dingin den tidak acuh kepada suaminya. Maka dia
melihat kesempatan baik untuk mempergunakan kecantikan dan kepandaian Azisha
yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! Maka, mulailah
dia mengatur siasat dengan Azisha untuk menundukkan hati pemimpin orang Mongol
yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian merayu Azisha.
Pada suatu malam, ketika Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya,
termenung mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia telah
dapat menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu
saja diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah lebih dulu
disuap oleh Wang Cin! Apalagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir kaisar yang
tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja tidak
berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka! Maka, sambil
menikmati hadiah suapan dari Wang Cin, mereka membiarkan Azisha lewat den bahkan
saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi hal-hal mesra
di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka ada yang
berani mendekat ke kamar Sabutai dan memasang telinga untuk mendengarkan
kemesraan itu! Beberapa orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai
mendengar suara Azisha yang merdu, seolah-olah bertanya jawab dengan suara
Sabutai yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan
membayangkan hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu
berahi, seperti nafsu apapun juga, adalah pikiran sendiri.
Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal
yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang telah atau akan menimpa diri kita.
Iri hati, keinginan, ambisi, gairah datang karena pikiran membayangkan hal-hal
yang menyenangkan dan yang telah atau akan kita alami. Segala macam nafsu datang
dari pikiran yang membayang-bayangkan hal-hal yang telah lalu dan yang akan
datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh
kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan
kenyataan dari saat sekarang ini. Oleh karena itu, seorang bijaksana akan selalu
waspada terhadap pikirannya sendiri, karena pikiran yang sesungguhnya amat
penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai alat untuk mengingat dan mencatat,
juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan
untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku. Si aku adalah
pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang
tidak menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa
adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang lain
daripada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan
tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat
kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik
kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!
Karena kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara
Azisha yang merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka
para pengawal itu yang tidak berani terlalu dekat tidak dapat menangkap jelas
sehingga mereka menjadi makin penasaran. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita. Ketika para pengawal
cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari dalam dan nampak Sabutai
dengan muka merah berkata, "Lempar mayat perempuan hina itu keluar!"
Para pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu telah
rebah di atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu
kelihatan mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu
sama sekali tidak menarik lagi, bahkan menakutkan. Baju luar wanita itu telah
terlepas sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam
yang berwarna merah muda. Agaknya wanita muda itu tadi menggunakan rayuan dengan
menanggalkan baju luarnya, akan tetapi dia sama sekali tidak berhasil
membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah membangkitkan
kemarahannya sehingga orang yang gagah perkasa ini dalam marahnya menampar
kepala wanita itu sehingga pecah dan tewas seketika! Sungguh peristiwa yang amat
menyedihkan. Azisha yang sejak kecil dididik sebagai seorang wanita perayu dan
yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, sama sekali tidak mengenal Sabutai dan
menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh oleh rayuan mautnya. Akan
tetapi, Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya memiliki satu saja
cita-cita, yaitu membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang terbesar,
merampas kembali tahta kerajaan deri Dinasti Beng dan membangun kembali Kerajaan
Mongol yang sudah hancur berantakan. Sedikitpun dia tidak terpikat oleh wanita,
apalagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya adalah Khalima, isterinya
yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas cintanya. Maka, melihat rayuan
Azisha, dia menjadi muak, apalagi mengingat bahwa Azisha adalah seorang wanita
Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin telah diperalat
untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang amat dikaguminya karena kaisar yang muda
itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan tak mengenal takut pula,
sungguhpun kaisar yang muda itu agaknya lemah terhadap wanita cantik.
Kemarahannya memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan
baju luarnya untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya, maka dalam kemarahannya
dia menampar, lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini
terlalu lunak sehinga tewaslah Azisha dengan kepala pecah.
Tentu saja hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa
Azisha telah dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya
karena hatinya merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia berunding dengan para
pengawalnya yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin,
Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-
te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang
berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari
kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping itu
juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu, terutama
sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jerih juga atas
pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai. Di samping tujuh orang
berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin yang juga rata-
rata memiliki kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan dengan tiga
belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin lalu pergi
menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu.
Tentu saja Sabutai bukan seorang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu
bahwa peristiwa kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati
Wang Cin, karena dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga
yang langsung tersinggung oleh kematian itu bukannya kaisar Ceng Tung yang
agaknya kini mulai terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan
thaikam itulah. Sebetulnya, menurut suara hatinya yang tidak suka kepada
kepalsuan dan kecurangan Wang Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan
tetapi diapun maklum bahwa Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang
amat lihai, dan juga ratusan orang sisa perajurit pengawal yang kini menakluk
dan menjadi pasukan pengawal Wang Cin merupakan bantuan yang cukup kuat baginya.
Inilah yang membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu.
Setelah dalam kemarahannya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa
kematian wanita palsu itu tentu akan menyusahkan hati kaisar yang kini agaknya
telah terbuka matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini
mempermainkannya, akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin.
Maka diapun telah bersiap-siap.
Ketika Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang
mengunjungi Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan
besar itu bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam
seperti mata harimau. Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya, si kakek
bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang
dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti
terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang sama sekali berlawanan warnanya itu
membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apalagi karena nenek bermuka hitam
hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu
mengenakan pakaian serba hitam! Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar
dikenal terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali.
Di belakang Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh
orang lebih, bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang
Cin tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja
memperlihatkan sikap bermusuh dan memamerkan kekuatan, dan diapun tidak mengenal
siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu.
Di lain fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya
dengan sikap dingin, akan tetapi dia mempersilakan mereka duduk berhadapan
dengan dia terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya,
dan Sabutai lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu.
"Wang-taijin, perkenalkan kedua beliau ini adalah guru-guru saya. Pek-hiat
Moko (Iblis Jantan Berdarah Putih) Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam).
Suhu dan subo, inilah Wang-taijin dan para pengawalnya seperti yang sudah saya
ceritakan kepada suhu dan subo (bapak dan ibu guru)."
Wang Cin sebagai scorang pembesar istana yang tidak mengenal dunia
persilatan, maka tidak pernah mendengar nama dua orang aneh itu dan tentu saja
dia memandang rendah kepada kakek dan nenek yang lebih merupakan orang-orang
terlantar atau jembel-jembel yang bertubuh lemah dan tua. Akan tetapi para
pengawalnya memandang kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian dan terutama
sekali Bouw Thaisu kelihatan terkejut karena kakek ini pernah mendengar nama
mereke sebagai tokoh-tokoh yang selalu menyembunyikan diri akan tetapi yang
kabarnya memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka Bouw Thaisu cepat menjura dan
berkata, "Sudah lama saya mendengar nama besar ji-wi (anda berdua), sungguh
menyenangkan sekali hari ini dapat bertemu."
Nenek itu tidak memperdulikan Bouw Thaisu, melainkan memandang dengan mata
agak menjuling ke arah Hek I Sian-kouw dan Go-bi Sin-kouw, akan tetapi kakek itu
melirik ke arah Bouw Thoisu dan terdengar dia berkata, suaranya jelas
membayangkan lidah asing. "Bouw Thaisu meninggalkan tempat yang sunyi di pantai
Po-hai dan muncul dalam keramaian, tentu ada apa-apa di balik itu. Hemmm...!"
Tiba-tiba terdengar suara nenek itu, tinggi melengking penuh nada mengejek,
"Dewi dari Go-bi yang sudah bongkok, sute Toat-beng Hoatsu dan pasangannya,
semua muncul di sini. Betapa ramainya!" Jelas bahwa nenek itu menujukan kata-
katanya kepada Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sinkouw.
Tentu saja Bouw Thaisu dan teman-temannya menjadi terkejut sekali. Biarpun
tak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek dan nenek itu ternyata dapat mengenal
mereka! Hanya tiga orang dari Lima Bayangan Dewa agak mendongkol karena kakek
dan nenek itu seolah-olah tidak perduli kepada mereka, selain tidak kenal, juga
memandang rendah sekali, agaknya mereka bertiga dianggap pengawal-pengawal biasa
saja, kelas rendahan! Akan tetapi tentu saja merekapun tidak dapat menunjukkan kemangkelan hati
mereka, apalagi ketika itu, Sabutai sudah berkata kepada Wang Cin, "Keperluan
apakah yang membawa Wang-taijin datang kepada saya" Agaknya ada hal yang amat
penting untuk dibicarakan."
Wang Cin menahan gejolak hatinya yang diliputi kemarahan. Biarpun hatinya


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panas karena marah dan duka memikirkan kematian Azisha yang sekarang entah
dibuang ke mana jenazahnya, namun dia memaksa wajahnya tenang dan mulutnya
tersenyum ketika dia menjawab, "Saya telah mendengar berita bahwa telah terjadi
sesuatu antara paduka dengan Azisha. Karena dia adalah selir kaisar dan dia
masih segolongan dengan kita, maka saya menjadi terkejut dan datang menghadap
untuk minta penjelasan mengenai peristiwa itu."
Sabutai tersenyum mengejek, kemudian berkata dengan suara menantang, "Tidak
salah apa yang taijin dengar. Azisha telah saya bunuh malam tadi."
Dengan pandang mata keras, tak kuasa menyembunyikan kemarahannya, Wang Cin
bertanya, "Kenapa?"
"Perempuan tak tahu malu itu berani memasuki kamar saya dan bersikap tidak
senonoh. Dalam kemarahan saya melihat ketidaksopanannya dan usahanya untuk
merayu, saya memukulnya dan dia tewas. Jenazahnya sudah saya suruh kubur."
Wang Cin menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangan ke atas, "Saya
tidak mempersoalkan sebab-sebabnya mengapa dia dibunuh, bengcu." Pembesar
thaikam ini tidak mau menyebut Sabutai sebagai raja muda seperti yang dilakukan
para anak buahnya, melainkan menyebutnya bengcu yang berarti pemimpin. "Akan
tetapi yang terpenting, kenapa membunuh dia yang dapat menjadi pembantu kita
yang amat baik" Bukankah lebih baik membunuh kaisar yang telah menjadi tawanan,
atau mengancamnya dengan siksaan agar dia suka tunduk dan menyerahkan
kedudukannya kepada kita?"
Sabutai menggebrak meja di depannya. Dia marah sekali. "Wang-taijin! Harap
taijin ingat bahwa taijin berada di tempat saya, dan di sini, sayalah yang
berkuasa. Taijin tidak perlu mencampuri urusan saya. Perempuan hina itu sengaja
hendak merayu saya, maka saya bunuh dia. Adapun kaisar yang muda itu, saya kagum
sekali karena dia adalah seorang pemuda yang gagah berani. Saya terus saja
membunuh perempuan itu tnnpa bertanya siapa yang mendalangi perbuatannya, hal
itu karena saya tidak mau memperpanjang urusan."
Merah juga wajah Wang Cin mendengar sindiran ini. Alisnya berkerut dan
diapun mencela, "Sabutai bengcu, hendaknya bengcu ingat bahwa tanpa siasat dari
saya, tidak mungkin bengcu dapat menawan kaisar! Kita bekerja sama, maka saya
berhak bicara dan sudah semestinya kalau bengcu mendengarkan kata-kata saya."
Sabutai makin marah dan dia sudah bangkit berdiri. "Wang-taijin yang
mengajak bersekutu, bukan saya. Biar kita bekerja sama, akan tetapi sayalah yang
menentukan segala langkah kita, dan bukan Wang-taijin!"
Melihat suasana menjadi panes ini, Bouw Thaisu cepat bangkit berdiri dan
berkata dengan suara halus. "Harap ji-wi suka bersabar dan bicara dengan kepala
dingin. Di antara sahabat, akan merugikan sendiri kalau menurutkan hati panas.
Segala sesuatu dapat dirundingkan secera baik-baik."
"Heh-heh-heh, omongan Bouw Thaisu sungguh seperti omongan pelawak di atas
panggung!" Tiba-tiba nenek Hek-hiat Mo-li berkata. "Kalau mengaku sahabat,
mengapa Wang-taijin datang dikawal oleh para jagoannya, seolah-olah hendak
berangkat perang?" "Sungguh sombong!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang berwatak keras dan
kasar, membentak marah. "Wang-taijin adalah seorang pembesar tinggi, sekutu yang
banyak berjasa, juga tamu agung di tempat ini, akan tetapi telah diperlakukan
tidak sepatutnya. Sudah tentu saja ke manapun beliau pergi, kami para
pengawalnya menjaga keselamatannya, kerena siape tahu di mana-mana terdapat
musuh yang bersembunyi! Kalau ada yang tidak setuju melihat kami mengawal
beliau, boleh coba mengusir kami!" Setelah berkata demikian, Gu Lo it yang
bertubuh tinggi besar kokoh kuat, berhidung besar dan berjubah hitam dan bertopi
itu, sekali meloncat telah berdiri di tengah ruangan, matanya melotot ditujukan
kepada nenek bermuka hitam berpakaian serba putih itu dengan sikap menantang.
"Heh-he-he-he, gagah sekali! Siapakah namamu, pengawal yang setia?" Nenek
itu tertawa, bangkit berdiri dan menghampiri Gu Lo It.
"Namaku tidak sedemikian gagah seperti namamu, Hek-hiat Mo-li. Namaku Gu Lo
It." "Heh-he-he, engkau benar-benar seekor kerbau hidung besar!" Nenek itu
terkekeh dan kata-kata itu merupakan ejekan yang amat menghina karena nama
keturunan Gu Lo It, yaitu Gu dapat juga diartikan kerbau, walaupun bukan itu
maksudnya dan hanya bunyi suaranya saja yang sama. Dia dimaki kerbau karena
memang She-nya dapat diartikan kerbau dan berhidung besar karena memang
hidungnya agak terlalu besar untuk ukuran umum. Maka tentu saja Si Iblis Bumi
ini menjadi marah bukan main. Dia adalah Liok-te Sin-mo, orang kedua dari Lima
Bayangan Dewa dan nenek tua renta seperti mayat hidup ini berani menghinanya
seperti itu. "Nenek sombong, engkau belum mengenal lihainya Liok-te Sin-mo. Nah, kaucoba
sambutlah ini!" Tiba-tiba saja Liok-te Sin-mo Gu Lo It sudah menerjang nenek
muka hitam itu dengan gerakan kedua tangannya yang mengandung tenaga besar
sekali, menghantam dari kanan kiri. Serangan ini dilakukan dengan marah dan
dengan tenaga penuh sehingga terdengar angin pukulan menyambar dari kanan kiri,
bersuit suaranya. Baik Wang Cin maupun Sabutai hanya memandang saja. Sabutai
tidak berani menahan subonya, sedangkan Wang Cin memang hendak memperlihatkan
gigi maka diapun membiarkan saja jagoan-jagoannya memberi hajaran kepada fihak
tuan rumah yang amat menyakitkan hatinya. Hanya Bouw Thaisu yang memandang
dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap Gu Lo It itu terlalu lancang.
"Heh-heh-heh, si kerbau hidung besar mengamuk dan menyeruduk!" nenek itu
tertawa, kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga kedua lengan yang
terbungkus lengan baju putih itu berobah menjadi bayangan putih dan tahu-tahu
nenek itu telah menangkap kedua pergelangan tangan Gu Lo It yang kini
terbelalak. Hanya Bouw Thaisu yang dalam sekejap mata dapat melihat betapa
secara cepat dan aneh, Gu Lo It telah tertotok setengah lumpuh maka kini tidak
mampu berbuat apa-apa ketika pergelangan kedua tangannya ditangkap.
"Heiii... Mo"ko, kau suka daging kerbau" Nah, terimalah persembahanku ini,
heh"heh!" Dan tiba"tiba Gu Lo It terlempar ke udara, menuju ke arah kakek muka
putih. "Siapa sudi kerbau alot begini?" Kakek itu sekali bergerak sudah meloncat ke
depan, kedua tangannya digerakkan dan tahu"tahu dia telah menangkap batang leher
dan punggung baju Gu Lo It dan sekali ayun tubuh Gu Lo It sudah terlempar lagi
ke arah Hek"hiat Mo"li!
"Ihh, kerbau busuk, aku jijik!" Kini kaki nenek itu bergerak, cepat sekali
dan pada saat itu sebetulnya Gu Lo It sudah terbebas dari totokan dan sudah
mulai meronta dan bergerak hendak melawan, namun ujung sepatu nenek itu kembali
membuatnya setengah lumpuh dan dengan suara berdebuk, pinggulnya kena ditendang
sehingga tubuhnya kembali melayang ke arah Pek"hiat Mo"ko.
Terkejut bukan main semua pengawal Wang Cin, terutama sekali Bouw Thaisu
menyaksikan betapa Gu Lo It yang terkenal lihai itu dipermainkan oleh kakek dan
nenek itu seperti sebuah bola yang sama sekali tidak berdaya!
"Harap ji"wi maafkan dia!" Bouw Thaisu berseru keras ketika melihat tangan
Pek"hiat Mo"ko sudah bergerak untuk menyambut tubuh Gu Lo It dengan sebuah
tamparan ringan yang mengarah kepala Gu Lo It, tamparan yang mungkin akan
merenggut nyawa orang kedua dari Lima Bayangan Dewa itu!
"Plakk!" Bouw Thaisu terhuyung dengan kaget sekali, akan tetapi dia telah
berhasil menyelamatkan Gu Lo It dengan menangkis tamparan itu, sedangkan Gu Lo
It dengan muka sebentar pucat sebentar merah telah berdiri di pinggir, tadi
disambar oleh suhengnya, yaitu Pat"pi Lo"sian Phang Tui Lok, yang kini memegang
lengannya, mencegah sute yang sembrono itu maju lebih lanjut.
"Bagus! Kiranya Bouw Thaisu tidak mengecewakan menjadi tokoh partai Po"hai!"
Pek"hiat Mo"ko memuji ketika merasa betapa kuatnya lengan Bouw Thaisu yang
menangkisnya tadi. "Dan akan menjadi lawan yang menggembirakan pula!"
Akan tetapi, melihat betapa nenek dan kakek itu lihai sekali dan keadaannya
tidak menguntungkan fihaknya, Wang Cin sudah bangkit berdiri. "Cukup semua ini!
Harap Bouw Thaisu dan yang lain"lain suka duduk kembali!" Kemudian dia memandang
Sabutai dan berkata, "Apakah bantuan kami diterima dengan cara begini oleh
bengcu! Apakah semua pengorbanan kami sia"sia belaka?"
Sabutai memberi isyarat kepada suhu dan subonya untuk duduk kembali,
kemudian dia berkata, "Harap maafkan, Wang"taijin. Sebagai orang"orang yang suka
akan ilmu silat, tentu saja suhu dan suboku akan melayani setiap lawan yang
hendak main"main. Kami sama sekali tidak ingin memusuhi taijin, bahkan kami
berterima kasih atas bantuan taijin. Urusan besar masih belum terlaksana,
perlukah taijin meributkan kematian seorang perempuan hina seperti Azisha itu?"
Wang Cin maklum bahwa fihaknya terdesak. Dia berada di guha harimau, maka
dia tidak boleh main"main. Andaikata dia boleh mengandalkan ketangguhan tiga
belas orang pengawalnya dan ratusan orang sisa pasukan, akan tetapi apa dayanya
berada di antara puluhan ribu anak buah Sabutai" Maka dia mengangguk dan mereka
melanjutkan pertemuan yang tadinya menegangkan itu dengan makan minum, dan nama
Azisha sama sekali tidak pernah disinggung lagi dalam percakapan. Bahkan Sabutai
dan Wang Cin membicarakan tentang beberapa kali terjadinya usaha penyerbuan
pasukan Beng"tiauw dibantu oleh beberapa kelompok suku bangsa perantau di utara,
untuk membebaskan kaisar. Namun karena jumlah para penyerbu itu kecil sekali
dibandingkan dengan kekuatan barisan anak buah Sabutai, semua usaha penyerbuan
itu dapat dihancurkan dan para penyerbu dipaksa untuk mundur.
"Para penyelidik kami melaporkan bahwa di kerajaan terjadi pergolakan, akan
tetapi sayang, para sekutu taijin agaknya membelakangi taijin dan saya mendengar
bahwa mereka semua telah mengangkat seorang kaisar baru, yaitu Cing Ti."
Muka Wang Cin menjadi merah mendengar kata"kata ini. "Kalau begitu, mengapa
kita tidak segera menyerbu ke selatan" Bengcu harap percava kepadaku bahwa di
sana masih banyak sekutu yang akan membantu kita dari dalam. Kaisar Cing Ti sama
saja dengan Kaisar Ceng Tung, diapun membenci bangsa kita. Sebelum kita berhasil
merampas tahta kerajaan, bangsa kita akan selalu dianggap sebagai musuh dan
tidak mungkin Kerajaan Goan"tiauw yang jaya dapat bangkit kembali."
Sabutai tersenyum. "Mungkin taijin mahir dalam urusan pemerintahan, akan
tetapi mengenai urusan perang, serahkan saja kepada saya. Kalau sudah tiba
saatnya, tentu saya akan menyerbu ke selatan."
Biarpun hatinya penasaran, namun Wang Cin tidak berani mendesak lagi dan
terpaksa dia dan para pengawalnya harus bersabar menjadi tamu"tamu yang
keadaannya tidak lebih daripada tawanan"tawanan yang selalu diawasi sungguhpun
diperlakukan dengan hormat.
Apa yang dikatakan oleh Sabutai tentang pergolakan di kota raja itu memang
benar. Setelah diterima berita bahwa Kaisar Ceng Tung disergap dan ditawan oleh
pasukan pemberontak Sabutai, kota raja menjadi geger, apalagi ketika mendengar
bahwa delapan orang jenderal tewas dalam melindungi kaisar. Akan tetapi anehnya,
keributan tentang berita ditawannya kaisar segera tenggelam, kalah oleh
keributan tentang siapa yang harus menjabat kedudukan kaisar yang sementara
kosong itu! Memang sudah menjadi watak manusia yang haus akan kesenangan, haus
akan kekuasaan dan kemuliaan duniawi. Untuk mencapai kesenangan"kesenangan yang
dirindukan itu, manusia tidak segan"segan berobah menjadi mahluk sebuas"buasnya,
kalau perlu menyingkirkan, merobohkan dan membunuh manusia"manusia lain yang
menghalang di tengah jalan, yang dianggapnya sebagai perintang tercapainya apa
yang dikejar"kejar, yaitu kesenangan, kekuasaan, dan kemuliaan.
Usaha untuk mencoba menolong dan membebaskan Kaisar Ceng Tung hanya
dilakukan sembarangan saja, seolah"olah hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya
terjadi di kota raja, yaitu perebutan kekuasaan yang akhirnya jatuh ke tangan
Cing Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar pengganti Ceng Tung yang dianggap
sudah tewas! *** Untuk ke sekian kalinya, pasukan kecil itu dipukul mundur oleh barisan
penjaga di benteng Sabutai karena jumlah mereka jauh lebih kecil. Kakek gagah
perkasa yang memimpin penyerangan itu mengamuk, seperti seekor naga, akan tetapi
betapapun gagahnya dia, tidak mungkin dia dapat membobol penjagaan puluhan ribu
orang pasukan Sabutai dan anak buahnya, yaitu pasukan yang terdiri dari orang"
orang Nomad, pedagang dan penggembala kuda, telah terpukul mundur. Mereka
terpaksa melarikan diri memasuki hutan"hutan dan kakek itu berdiri termenung
dengan wajah penasaran. Beberapa orang pimpinan orang Nomad menghadapnya dan di antara mereka ada
Bangau Sakti 12 Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah Mayat Persembahan 1
^