Dewi Maut 2
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
tubuhnya kekad ran membayangkan kekasaran seorang petani namun pandang matanya
amat halus, bangkit berdiri dan berkata, "Sute (adik seperguruan) sekalian, mari
kita lihat apa yang terjadi di bawah."
Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama
sampai ke empat diutus ke Tibet, maka kini dia menjadi yang tertua di antara
para sutenya. Dia bernama Sun Kiang, seorang diantara yang tinggal hidup
membujang, tidak mau menikah. Setelah membujang, tidak mau menikah. Setelah
berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang
sutenya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring, "Kami sedang turun..."
Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka tidak lagi terdengar
teriakan-teriakan dari bawah yang memanggil-manggil mereka.
Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang
semua kelihatan tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang
lalu bertanya, "Apakah yang terjadi?"
"Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!" Seorang di antara mereka
berkata dengan muka pucat. "Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang
dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelal kain
putih...!" Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?"
"Tidak ada yang melihatnya. Mungkin hal itu dilakukan di waktu malam, dan
tadi kebetulan ada seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan
berteriak keheranan," kata orang yang melapor itu.
"Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng!
Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke
menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga," kata yang ke dua.
Sun Kiang dan enam orang sutenya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun
dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke
menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas
menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan bendera Cin-ling-pai yang
melambai di ujung tiang bendera, melainkan sehelai kain putih yang dari bawah
tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang
itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang
tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.
"Sun-suheng, kalau dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung
mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya." Seorang di antara
Cap-it Ho-han berkata. Sun Kiang mengangguk. "Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku
mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang." Setelah
berkata demikian, Sun Kiang mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke
lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng
pertama, bergantung dan menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik,
sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, menyambar pinggiran loteng lagi,
menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera di
puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia
melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah.
Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan
ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak
terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah. Tepuk sorak bergemuruh
menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-
benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang
mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.
Bersama dengan enam orang sutenya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang
tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya
merupakan sehelai saputangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan
yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta
bak. Tulisannya bergores kuat sungguhpun tidak dapat disebut indah.
LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI
RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA
Hemmm... Lima Bayangan Dewa" Siapakah mereka dan apa maunya?" Sun Kiang
berkata sambil mengerutkan alisnya.
"Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!" kata seorang sutenya.
"Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas dan dia menantang suhu dan
Cap-it Ho-han!" kata yang lain.
Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sutenya. "Mari kita masuk
ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kauperintahkan para murid untuk
bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik
orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan herus diperkuat
apalagi di waktu malam di sekitar menara."
Setelah melakukan pesan suhengnya, Coa Seng Ki, yaitu tokoh termuda dari
Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan
dalam di mana para suhengnya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.
"Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi
karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendirl kurang
mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-
ouw. Betapapun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun ke dunia
ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini
tidak kita kenal, akan tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka
berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong.
Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak
tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang
memutuskan segala perkara kalau suhu tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng
dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh."
"Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!" Coa Seng Ki, orang termuda yang paling
berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. "Mereka hanya lima
orang, dan kita masih ada bertujuh, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi
mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiripun tidak gentar untuk
mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong."
"Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Lupakah engkau akan pesan suhu bahwa
menghadapi apapun juga, kita harus berkepala dingin" Hati yang panas merupakan
bekal yang amat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!" Sun Kiang
menegur sutenya. Coa Seng Ki menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, suheng. Karena ada orang
menghina suhu maka hati saya menjadi panas."
Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, "Kita tidak mengenal mereka
dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita
belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk,
akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu
mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono,
maka kita rundingkan baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak."
Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka, bertujuh
akan berangkat ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena kalau
mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka
bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mempelajari apa
sebetulnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk
memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa biarpun di Cin-ling-pai hanya ada
tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tidak pernah merasa gentar
menghadapi apa dan siapapun juga.
Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya.
"Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang,
apalagi sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita
hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka dan mengetahui apa maksud
dari undangan mereka."
"Saya mengerti, suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan
sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu" Mungkin
mereka itu adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!" Coa Seng Ki
membantah. "Kalau mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka.
Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang."
"Bagaimana kalau mereka menyerang kita" Apakah kita juga harus diam saja?"
Coa Seng Ki membantah. "Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi"
Tentu saja kita harus bergerak untuk
membela diri. Yang dilarang oleh suhu adalah kalau kita menggunakan
kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela
diri." Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. "Mereka itu bukan orang-
orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita."
Setelah meninggalkan pesan kepada para anggauta Cin-ling-pai dan kepada
keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota
Han-tiong yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa
mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal
senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak
ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata
masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar. Tidak semua anak murid
Cin-ling-pai bersenjeta pedang. Sungguhpun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar
Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya,
apalagi kalau dia menggunakan Pedang Pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam
(Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua
murid kepala menjadi ahli pedang. Ketua Cin-ling"pai ini mengajarkan ilmu"ilmu
yang tinggi kepada para murid kepala disesuaikan dengan bakat masing"masing.
Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya
Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, sedangkan dua orang bersenjata golok
sedankan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.
Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di
Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari
sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-
kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota
yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini
banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui
sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur
datang ke kota ini untuk mencari dagengan karena rempah-rempah dari daerah ini
amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.
Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini
besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa
karena sering kali tempat ini dipergunakan sebagai tempat pesta para pembesar,
dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini
mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau
umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah. Biasanya,
ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar
suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar
dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil
memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.
Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika
ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga
oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan babwa tingkat atas
itu telah "diborong" dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik
ke sana. "Gila! Siapa yang main borong begini, hah" Apakah dia orang yang paling
kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?" bentak seorang hartawan yarig hendak
naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu. Hartawan ini adalah seorang
penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu
semua adalah teman-temannya. Juga dia menjadi langganan restoran Koai-lo dan
terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.
"Loya... maafkanlah saya, maafkanlah kami semua... kalau yang menyewa hanya
pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya" Akan tetapi yang
menyewa ini..." Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. "...mereka adalah orang-orang
kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-
han..." Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu
berobah dan dia cepat mengangguk-angguk. Betapapun juga, nama Cin-ling-pai
dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduiduk Han-tiong,
bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau
Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu
dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han
yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.
"Aih, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya
kalau tempat di atas ini tidak diganggu," kata si hartawan berangasan itu sambil
meninggalkan restoran. Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang,
yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira
biarpun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena
semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak seorangpun berani mengganggu ruangan
yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai. Berita ini sebentar saja sudah menjalar
sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran
itu terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa,
mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-
puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para Pelayan juga
sudah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk
menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.
Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi
tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini
entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di
depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa
mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar
biasa. Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima
puluh tahun, namun mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok,
bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi,
rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau
terlalu wangi sehingga tercium sampai jauh, rambut itu dihias oleh emas permata
yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas
pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendeknya, wanita ini adalah
seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus
sepatu baru. Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-
lirik seperti sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang
pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangennya
tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!
Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang
hwesio (pendeta beragama Buddha), kepalanya yang gundul itu, terhias penutup
ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu
hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus
mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari
batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar
hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak perdulian.
Orang ketiga adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermuka seperti monyet
saking kurusnya, matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek
dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir
enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguhpun
tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat
seperti orang yang menderita penyakit berat.
Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang
paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung lebar,
mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah
kepada apapun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah,
kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering, dia tidek
kelihatan membawa senjata apapun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas
dapat diduga behwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang
mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.
"Kenapa harus berjalan naik" Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!"
kata wanita pesolek itu dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia
sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu! Tentu saja perbuatan ini
membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum.
Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, akan tetapi
cara nenek pesolek itu melompat benar-benar amat luar biasa. bukan melompat lagi
melainkan terbang! "Omitobud, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan
barbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita
kenal!" Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri
tembok dekat pintu. Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang
melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu,
melainkan menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk
merayap naik seperti seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel
tembok, telapak tangan itu melekat dan ketika telapak tangan dilepaskan untuk
menempel ke atas lagi, terdengar suara "ceplokk!".
Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang
berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan
hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok
seperti seekor ceeak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat
masuk. "Heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan
arak" Tunggu aku, jangan dihabiskan!" Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti
monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya lenyap dari
tempat itu dan yang nampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan
melalui anak tangga dan tahu-tahu dia telah berada di loteng pula, disambut
dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.
Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. "Aihhh...
anak-anak itu masih suka bermain-main di manapun mereka berada!" Ucapannya ini
cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.
Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena
dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong
menyakeiken ulah semua tamunya yang aneh-anch itu, dan kini dengan senyum lebar
dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, "Kiranya loya (tuan besar) dan
para sahabathya telah tiba. selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya
harus disajikan sekarang?"
Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, "Kami barempat
adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja
arak lebih dulu empat guci besar!"
Pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci
besar" Seguci eukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak
berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-
tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan
naik ke tangga loteng. Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka
terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas
kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai
dan papan itu melesak ke dalam! Setelah kakek itu tiba di loteng, ramailah semua
orang berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu, ada yang
merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat
orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi,
beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-
orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh
Cin-ling-pai. Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangang
melainkan datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih torkenal lagi di antara
golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi den berhidung besar itu bernama Gu
Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam
rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani
oleh teman-temannya. Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat
terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanyalah
seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik
jubah pendeta dan kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, bahkan
memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombonkannya, karena
julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan
Sakti)! Wanita tua yang pesolek itupun bukan orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee
Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) yang terkenal sebagai seorang
maling tunggal dan yang pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia
berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga
sehingga hampir dia tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi.
Adapun orang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka
kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet
Pencabut Nyawa). Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungen Cin-ling-san itu
selalu aman dan semenjak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi
tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu maka orang-
orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat
ini. Sebetulnya, empat orang ini hanya merupakan anggauta-anggauta dari rombongan
yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat
sendiri, yaitu Ngo-sian-eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang adalah
pemimpin mereka dan kehadiren mereka di restoran itu adalah atas perintah orang
pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka, karena Lima
Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang bekerja sama dengan
baik, sehingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti,
baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tidak mudah untuk mengalahkan lima
orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk
sehidup semati! Biarpun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang
berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat
menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu
tinggi, dan karena mereka semua pereaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka
mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai,
mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi
selanjutnya. Kepala pelayan lalu dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala
pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk
menonjolkan diri dan menjadi perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur
pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-
tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.
"Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi
mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani
menentang" Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han,
bukan" Dan kiranya, empat orang itupun adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian amat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!"
Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyaksikan
apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat Cap-it Ho-han. Mereka sudah
mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang
terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan
yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa. Sedangkan empat orang ini
ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan kepandaian
mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja
mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di depan orang banyak dengan sikap amat
sombongnya. Agaknya amat aneh kalau para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu
bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biarpun mereka berempat itu
harus diakui memiliki kepandaian yang amat hebat. Apalagi ketika mendengar
betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan
kasarnya agaknya minum arak sambil bersendau-gurau, lagak mereka sama sekali
tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar
dari Cin-ling-pai itu. Betapapun juga, semua orang tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama
kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat
guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya
sudah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.
Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu dan orang-
orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang
jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang
memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap ketujuh
orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan
mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan
para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.
Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang
dan enam orang sutenya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik
ke loteng melalui anak tangga dan mereka hanya memandang tanpa perduli akan
tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu
naik ke ruangan atas. Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang
pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar
restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng
yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga
mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng.
Ketika tujuh orang pendeker Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka
melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah
empat orang yang sedang minum-minum dan di bagian luar meja terdapat sebelas
buah bangku kosong! Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di
situ dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan
alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan
tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang" Melihat mereka barempat
itu minum-minum dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan kedatangan mereka,
Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata, "Suheng, agaknya
kita salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!"
Sun Kiang melirik kepada sutenya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak
marah karena sutenya tidak langsung menghina orang, sungguhpun dia taju bahwa
sutenya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduga tentu
para pengundang mereka. Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang
tujuh orang petani itu dan memandang dengan penuh selidik. Tidak ada tanda
sedikitpun bahwa tujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa
sikap mereka amat tenang.
"Omitohud... ha-ha-ha-ha!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa,
kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka
menengadah dan perutnya yang gendut berguncang-guncang. "Ha-ha-ha, pinceng
sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani
lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar
lalu menjadi apa" Ha-ha-ha!"
Mendengar kata"kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan
dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan
suhengnya, dia tidak langsung menjawab, hanya memandang langit-langit loteng
sambil berkata seperti bersajak, "Petani dan pendekar sama saja, keduanya
mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan
kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia
merajalela!" "Sute...!" Sun Kiang menegur sutenya karena ucapan sutenya itu sudah terlalu
pedas. Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tidak mengacuhkan
kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi,
menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan
Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang" Dia khawatir kalau-
kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
para pengundang mereka, maka sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjara
ke arah mereka sambil berkata, "Harap maafkan kami kalau mengganggu, kami
bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang
mengundang kami berjumlah lima orang..."
Gu Lo It, orang tua bertopi dan berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan
perlahan, diturut oleh tiga orang temannya dan kini kedua fihak berdiri saling
berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangan membalas
penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau, "Kami adalah empat orang
di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-
ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han."
"Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas brang Cap-it Ho-han, yang
ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng
kami memenuhi undangan itu," jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.
"Ah, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggauta Cap-it Ho-han.
Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak dari tadi menyambut. Silakan jit-wi
duduk!" Gu Lo It berkata dan dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio
gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan dan pandang
nista dingin laki-laki kurus bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it
Ho-han bahwa empat orang itu sengaja mempermainkan mereka. Akan tetapi Sun Kiang
dengan tenang mengangguk lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang
berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia
menganggap bahwa empat kursi pertama adalah tempat duduk para suhengnya yang
tidak dapat hadir. Para sutenya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai
dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki,
orang termuda dari Cap-it Ho-han.
"Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang telah mengundang kami
dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling berjumpa di sini, kami mewakili Cin-ling-
pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara
tidak sewajarnya itu." Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat,
namun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.
Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka
memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda
dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi mengingat akan
pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar
kepada empat orang itu. "Ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya,
Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk
berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini." Tanpa menanti jawaban, dengan
sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan dan berteriak kepada para
pelayan, "Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!"
Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini
cepat hilir-mudik mengatur hidangan yang memang telah dipersiapkan di dapur,
turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya
di atas meja di depan sebelas orang itu.
"Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!" Gu Lo
It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan
lahapnya. Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling
pandang dengan saudara-saudaranya, agak lega hatinya karena kirinya empat orang
di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang
hanya ingin mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda
kepada para sutenya, dan mereka inipun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk
menerima hidangan dan hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang
tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka
itu. Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-
sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang
makan dengan agak hati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus
oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang
disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah
bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi
makan. Sambil makan dengan lahap, tiada hentinya empat orang itu memerintahkan
kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini den minta itu
sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itupun
muak menyaksikan sikap empat orang ini dan kagum bercampur bangga melihat sikap
jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap
demikian tenang dan juga penuh kesopanan.
Heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-
tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!" Gu Lo It
berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan
dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.
Sun Kiang membungkuk. "Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu
tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari
cu-wi (anda sekalian)."
"Ha-ha-ha, sekarangpun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal
nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!" Tiba-tiba Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.
Gu Lo It memandang kepada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia
memperkenalkan diri dan teman-temannya, "Saya adalah orang kedua dari Lima
Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dia ini adalah orang ketiga, Sin-
ciang Siouw-bin-sian Hok Hosiang, yang keempat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee
Kim, dan kelima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun saudara tertua kami, Pat-pi
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting."
Tujuh orang Cin-ling-pai itu agak terkejut mendengar nama terakhir tadi
sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka sudah mendengar nama Pat-
pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru atau ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-
pi Lo-sian ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular
Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini adalah sekutu Pat-pi
Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat tidak baik terhadap Cin-ling"pai.
Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.
"Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan."
Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil memandang tajam. "Apakah
engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?"
Sun Kiang tersenyum dan menggeleng kepala. "Saya yang bodoh bernama Sun
Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suhengku sedang pergi dari
Cin-ling-san melaksanakan suatu tugas, maka saya dan enam orang suteku datang
mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi."
"Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari
Cin-ling-pai, seperti juga aku merupakan orang pertama di saat ini dari Lima
Bayangan Dewa karena suhengku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa
memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai.
Terimalah!" Setelah berkata demikian, Gu Lo It menuangkan arak di mangkok bekas dia
makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang
dan para pelayan menjadi ketakutan melihat cara penghormatan yang aneh ini,
bahkan seorang pelayan yang sedang mengambilkan tambahan kecap seperti yang
diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.
Mangkok terisi arak itu berputaran di atas dan Gu Lo It tidak menurunkan
tangannya, bahkan meluruskan kedua lengannya ke arah mangkok yang berputaran di
udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun
menyambar ke arah Sun Kiang.
"Hemmm..." Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak
mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sin-kang yang hebat itu. Dengan
tenang diapun mengangkat kedua tangannya dengan lurus ke depan, jari-jari
tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sin-kang melalui kedua lengannya itu
sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mujijat terhembus keluar dari
telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.
Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok
yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oloh tangan
yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar
dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang. Terjadilah adu tenaga sin-kang
yang hanya dimengerti oleh mereka yang duduk mengelilingi meja, yang memandang
dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo den memandang penuh keheranan,
tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di
udara itu dengan bingung.
Kedua fihak terkejut ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-
mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang den nampak betapa Gu Lo It
menggetarkan kedua lengannya den tenaga mujijat yang amat kuatnya mendorong
mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya
menyiram muka lawan! Perlahan-lahan mangkok itu mulai miring ke arah orang
kelima dari Cap-it Ho-han, sehingga para sutenya memandang ke arah Sun Kiang
dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan, mukanya sudah
mulai berpeluh dan terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek-
sin-kang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang
murid kepala ini. "Uhhhhh...!" Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui
tenggorokan, setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi
pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.
Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba kekuatan lawan menjadi hebat
sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat diam enahan
sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya
mulai mengancam untuk menyiram mukanya! Hati para murid Cin-ling-pai menjadi
lega akan tetapi diam-diam merekapun maklum bahwa kakek bertopi itu lihai bukan
main sehingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek-sin-kang, baru
dapat mengimbangi. Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali
Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sin-kang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-
murid kepala Cin-ling-pai, tingkat lima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi,
dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It.
Akan tetapi, sin-kang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek-sin-
kang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada
sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan
sin-kang ini Sun Kiang dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!
Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang
kurang sekali pengalaman mereka di dunia kang-ouw, apalagi menghadapi datuk-
datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai
banyak tipu muslihat busuk itu. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu
bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sin-kang murid
Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram
mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja
dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di
seberang meja. Tiba-tiba diangkatnya kakinya dan dibentakkan tumitnya di atas
lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu
saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapapun, benda hitam itu menyambar
ke perut Sun Kiang! "Uhhhh... hukkkk...!" Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya
menggigil. Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It dan
meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini
sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang
kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.
"Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!"
Akan tetapi enam orang murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu
sebagai kekalahan mengadu sin-kang dari suheng mereka. Mereka terbelalak
memandang ke arah perut Sun Kialig yang kini tampak setelah suheng mereka itu
berdiri. Darah membasahi baju den celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot
memandeng ke arah Gu Lo It.
"Kau... kau...!" Tangannya mencengkeram ke atas meja. "Kroookkkk...!"
Pinggiran meja itu remuk dan Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya
terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang den tewaslah orang kelima dari
Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari
sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang
tidak dapat bertahan lagi.
"Cuatt-cuatt-cuattt...!" Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja
kembali meluncur tiga batang paku beracun. Kini enam orang murid kepala Cin-
ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali den bergerak
meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku
itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dalam jarak yang amat dekat tanpa
dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Roboh pula dua orang murid
Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa dapat melakukan
perlawanan apapun! "Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!" Coa Seng Ki membentak marah den
mencabut pedang dari balik bajunya. Tiga orang suhengnya juga sudah mencabut
senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok den orang
keempat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.
"Ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan
ketua Cin-ling-pai!" Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya
dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu.
Segera terjadi pertempuran yang amat seru den hebat di dalam ruangan atas dari
restoran itu. Para pelayan menjadi kaget den ketakutan. Mereka melempar baki den kain
putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng
itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke
ruangan bawah. Bubarlah semua tamu yang berada di bawah ketika mendengar ribut-
ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlari keluar dan
bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh,
dengan hati penuh kekhawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita
betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh
sebelum terjadi pertempuran.
Pertempuran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala
Cin-ling-pai maklum bahwa empat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa
mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh
musuh untuk membalaskan kematian tiga orang saudara mereka yang menjadi korban
kecurangan fihak musuh itu.
Orang keenam dari Cap-it Ho-han yang bersenjata tongkat, yang tingkatnya
tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han,
sudah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan
kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang menggunakan tasbeh batu
hijau sebagai senjata dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang mainkan sebatang toya
panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan sinar toyanya! Adapun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it
Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai saputangan merah
secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.
"Siluman betina, mampuslah!" Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak
melihat kematian tiga orang suhengnya secara mengerikan dan menjadi korban
serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk
ke arah mata kanan lawannya.
"Singgg... wuuutttt...!" Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur
dari samping oleh benda lembut, yaitu saputangan di tangan kanan wanita yang
tertawa mengejek itu. "Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han.
Haiiit, sayang tidak kena!" Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali,
ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah
melesat ke belakang. Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja
julukan ini diperoleh karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai,
gerakannya ringan dan lincah sekali, kalau meloncat seperti terbang saja.
Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang
saputangan merah yang lebar itu, yang dimainkan seperti seorang penari sedang
beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata
yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya.
Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang
murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah
dalam ilmu gin-kang maupun tenaga sin-kang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak
menolong. Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa
sekali. Dua helai saputangan merah di tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan
keras seperti baja, kadang-kadang melurus seperti tongkat besi, kadang-kadang
juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk, dapat dipergunakan
ujungnya sebagai alat penotok. Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki
menjadi musnah kekuatannya kalau bertemu dengan saputangan yang lunak, dan
beberapa kali ujung saputangan sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang
berbahaya, akan tetapi pada saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu
sambil terkekeh. "Ah, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau kau malam ini menemani dan
menghiburku?" Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah, dia maklum bahwa
lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu
menghendaki, sudah sejak tadi dia roboh, maka sambil menggereng keras dia
mainkan pedangnya makin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan
jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun kecepatan wanita itu membuat semua
serangannya gagal, bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap
kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan
keringat. Apalagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul
robohnya tiga orang suhengnya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali
pandang saja maklumlah dia bahwa tiga orang suhengnya itu, seperti tiga orang
suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali. Enam orang suhengnya
telah tewas semua! Malapetaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini
sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpipun tidak! Betapa enam orang
dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya! Coa Seng Ki
menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia
menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hai-giakang Ciok Lee Kim,
akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-
kadang menangkis dengan saputangan merahnya.
"Omitohud...! Si Genit mengapa main-main dengan dia" Lekas bunuh dia!" Sin-
ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasa menyebut Si Kelabang Terbang itu Si
Genit, berseru melihat nenek itu mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat
membunuhnya. "Hi-hik, Hok Hosiang, aku sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan
menemaniku malam nanti" Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!" Nenek
itu menjawab sambil mengelak dari sebuah tusukan, kemudian menggunakan jari-jari
tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan
dengan nekat menyerang terus.
"Memang dia tidak perlu dibunuh!" Tiba-tiba Gu Lo It berkata. "Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada
ketua Cin-ling-pai" Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi
hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam
sudah tiba!" "Aih, sayang...!" Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani
membantah perintah Si Iblis Bumi. Tiba-tiba dua helai saputangan merahnya
berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang
di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat dan sekali ujung saputangan menotok
pergelangan tangan, pedang itupun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas.
Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan saputangannya yang merampas pedang dan pedang
itu meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, "Hok Hosiang,
kauterimalah pedangnya!"
"Omitohud, kau main-main saja!" dengan ujung lengan baju yang besar, Hok
Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan "crappp!" pedang itu
menancap di dada mayat Sun Kiang.
Melihat betapa pedangnya sendiri menancap dada subengnya, Coa Seng Ki
menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil bertertak keras dia menubruk ke
arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah menyambutnya dengan
dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.
"Plakkk!!" Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke
arah Gu Lo It. "Dukk!" Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.
"Huakkkkk!!" Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika
tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.
Desss!! Krek-krekk!" Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua
lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang
terlempar ke arah Ciok Lee Kim.
"He-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!" Nenek
genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar den lima kuku jarinya mencakar muka
Coa Seng Ki sehingga robek-robek kulit mukanya den berdarah. Dia terbanting
roboh dan tak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores
den berdarah, pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam
secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!
Empat orang itu tertawa bergelak lalu turun melalui anak tangga dengan lagak
sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan menggigil den berkumpul
di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil
berkata, "Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh
Cin-ling-pai!" Sambil tertawa-tawa puas, empat orang itu lalu keluar dari restoran dan
sebentar saja mereka menghilang di dalam kegelapan malam. Lama setelah empat
orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan
hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan mereka terkejut den
ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu.
Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan
pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai
di dekat puncak gunung. Akan tetapi pada seat itu juga, tampak lima orang anggauta Cin-ling-pai
datang berlari-lari memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari
ketujuh orang Cap-it Ho-han. Wajah mereka semua pucat den tegang, dan mereka
ingin melaporkan sesuatu kepada para pimpinan mereka. Dapat dibayangkan betapa
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget hati mereka dan serta merta menubruk para suheng mereka yang sudah rebah
malang melintang di ruangan atas restoran itu sambil menangis. Dunia seakan-akan
kiamat bagi mereka. Baru saja mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di
Cin-ling-pai dan kini mereka dibadapkan dengan malapetaka yang lebih hebat pula,
yaitu kematian enam orang Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat.
Apakah yang terjadi di pusat Cin-ling-pai sehingga lima orang anggautanya
itu bergegas pergi ke Han-tiong menyusul ketujuh orang murid kepala yang sedang
memenuhi tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu"
Ternyata malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua
anggauta Cin-ling-pai telah diberi tahu akan tantangan Lima Bayangan Dewa, dan
karena tujuh orang murid kepala itu mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi para
penantang, maka para anggauta Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka melakukan
penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa tegang karena mengerti bahwa para
pimpinan mereka pergi ke Han-tiong menghadapi lawan yang tangguh yang dapat
dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di puncak menara, di
ujung tiang bendera. Keadaan menjadi amat sunyi di markas Cin-ling-pai yang dikurung pagar tembok
itu. Penjagaan ketat dilakukan oleh para anggautanya, di pintu-pintu gerbang dan
terutama sekali di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat penyimpanan
pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang pada saat
itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya secara bergilir
mengelilingi pagar tembok. Sejak senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah
dilarang untuk berada di luar rumah. Semua telah berlindung di dalam rumah dan
para ibu juga siap sedia dengan senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu
yang tidak tersangka-sangka terhadap keluarganya. Pendeknya, semua anggauta Cin-
ling-pai dan keluarga mereka siap sedia dengan hati penuh ketegangan. Mereka
hanya mengharapkan agar para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa
semuanya telah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan.
Biarpun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han
yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka agak gelisah
karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah seperti
sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya.
Lewat senja, ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-
lampu telah dipasang, tiba-tiba sekali terdengar bentakan-bentakan dan keributan
di pintu gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-
senjata den teriakan-teriakan para penjaga. Tentu saja para penjaga segera lari
ke tempat itu den ternyata di tempat itu terjadi pertempuran yang amat aneh.
Belasan orang anggauta Cin-ling-pai mengeroyok seorang laki-laki yang tidak
bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan senjata di tangan para anggauta
Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat menyentuh tubuh orang itu, walaupun
orang itu kelihatannya tenang saja, seolah-olah senjata yang menghampiri
tubuhnya itu tiba-tiba menyeleweng sendiri seperti tertolak oleh hawa yang
melindungi seluruh tubuh orang itu!
Melihat banyak orang lagi datang untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu
tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para
pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, tiba-tiba di
pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya
laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang
bertugas menjaga di tempat itu!
Kembali semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Laki-laki
itu kelihatan muda dan berwajah tampan, rambutnya dikucir panjang, pakaiannya
sederhana serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sukar mengira-ngira
usianya, kelihatannya baru berusia tiga puluh tahun saja. Gerak-geriknya halus,
namun setiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat dahsyat
sehingga lime enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh sambaran
angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata menyeleweng den terpental
begitu kena disambar angin tangkisannya.
Hanya sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan biarpun
belasan orang roboh terpelanting ke kanan kiri oleh sambaran angin pukulan
tangannya, namun tidak ada seorangpun yang terluka hebat atau tewas. Agaknya
orang ini hanya mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat
lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan! Dengan perbuatannya
yang aneh ini, semua anggauta Cin-ling-pai menjadi kacau-balau dan geger. Jelas
bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, namun orang itu memiliki
kepandaian sedemikian tingginya sehingga mampu menggegerkan seluruh anggauta
Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari
mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu.
Ketika untuk kelima kalinya orang itu meloncat dan menghilang, para anak
buah Cin-ling-pai sudah menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari,
akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke manapun tidak
dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau
itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian
banyak orang. Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi
murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han, diam-diam melakukan perondaan
di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka ini adalah
orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di saat itu, dan mereka
berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan
Gunung) yang dahsyat, maka merekapun tidak membawa senjata, karena keistimewaan
mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan
terlatih baik. Mereka berlima berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena menara itu
telah dijaga ketat di sebelah dalamnya. Untuk naik ke puncak menara di mana
tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga
yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah
terlatih. Setengah jam lewat dan biarpun semua anggauta masih mencari-cari, namun hati
mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya
telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa menyeramkan tadi, suara
si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang.
Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari
puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu
ketika mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang dikempit oleh lengan orang itu!
Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!
"Pencuri hina...!"
"Kembalikan Siang-bhok-pokiam!"
Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan
pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia
berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja.
Ketika seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia
langsung mengirim pukulannya yang ampuh, menggunakan jurus yang paling lihai
dari San-in-kun-hoat, yaitu In-keng-hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan),
tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sin-kang yang ampuh.
"Dukkk!" Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi
yang dipukul tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya
seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga
pukulannya seperti tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget,
pencuri itu telah tertawa panjang dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.
"Tangkap pencuri...!"
"Dia mencuri Siang-bhok-pokiam!"
Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat
pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari
bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat
Cin-ling-pai dicuri, mereka menjadi marah sekali. Bagaikan hujan saja senjata-
senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloneat turun
dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya
senjata rahasia dengan cepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi kesemuanya
itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim
salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!" Setelah berkata demikian,
orang itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Pengecut, tinggalkan namamu!" teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan
suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba orang yang berteriak ini roboh terjengkang,
dan ketika teman-temannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh
terdengar suara tertawa. "Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok!"
Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger. Lima orang murid lihai
yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu lalu bergegas meninggalkan Cin-ling-pai
menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan
malapetaka yang menimpa markas Cin-ling-pai sehingga pedang pusaka Siang-bhok-
kiam lenyap dicuri orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang
lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka
melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa malapetaka yang lebih hebat dan
mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo karena enam orang di antara mereka
telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-
luka hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut!
Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat dan Coa Seng Ki yang
terluka parah itu ke Cin-ling-pai di mana mereka disambut oleh jerit-jerit
tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali
dari keluarga mereka yang tewas.
Bermacam-macam sikap anggauta keluarga yang ditinggal mati oleh seseorang
dalam keluarga itu. Namun pada umumnya, mereka itu berduka atau memperlihatkan
wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang
sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi
sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang
tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu, yang
dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangen
ini yang mendatangkan duka. Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun "demi
kesopanan" terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa
oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada
orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak
mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apalagi kalau
disertai keluh-kesah dan ratapan, lebih sukar daripada menahan tawa kalau
melihat banyak orang tertawa gembira. Yang hebat, lucu den aneh, banyak pula
keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung
dengan "menyewa" tukang menangis! "Tukang-tukang menangis" ini dibayar dan
tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling
menyedihkan, untuk "memancing" air mata para keluarga yang sudah hampir
mengering. Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apalagi pada
pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang
menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu,
dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggauta Cin-ling-
pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan
peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu terisi mayat-mayat enam orang
anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena
berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian.
Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan melihat para anggauta
keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka
pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang
luas itu menjadi serem karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi
yang dibakar semenjak malam tadi.
Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biarpun sejak
kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah,
saudara dan suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan
mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak
lagi terdengar suara tangis. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun
wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan
tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah
menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai.
Mereka tidak lagi mencucurkan air mata dan meratap, terutama sekali ini
mereka paksakan kepada perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah
kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberi penghormatan terakhir
kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar
tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk
bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka
nestapa itu. Sejak pagi sampai tengah hari, tiada hentinya para tamu datang,
bersembahyang, memberi sumbangan dan mengucapkan kata-kata yang nadanya
menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han dan mengutuk penjahat-penjahat yang
melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega seperti
orang-orang yang telah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan
komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita
dan dia mengatakan kepada para anggauta Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan
pasukannya untuk mencari dan menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya
Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan
komandan itu tidak dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk
dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat
itu adalah orang-orang lihai sedangkan para petugas keamanan itu biasanya,
sebagian besar hanya galak-galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tak mampu
melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan.
Setelah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang
dan menjelang senja tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-
murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan
tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan
berkabung. Setelah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang,
tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang
tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu sudah enam
puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam
pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang
kakek tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To) yang melangkah
masuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para
penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana
terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.
Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang
murid Cin"ling"pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang,
sedangkan kakek tosu itu dengan suaranya yang halus bertanya tentang mereka yang
mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas
adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai
lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak
senang. Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di
depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi
mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih, "Sayang, sayang...
sungguh penasaran sekali mengapa kalian mati di tangan orang lain...!" Semua
anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan
mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio
atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras.
Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti
mati, seolah-olah papan peti mati yang keras itu hanya terbuat dari agar-agar
saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan dan keheranan, juga
membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali.
Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati,
kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-
nepuk setiap peti dan mulutnya berkata lirih namun cukup keras untuk terdengar
oleh mereka yang berada di ruangan itu. "Memang sayang sekali, akan tetapi
kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup twhormat, karena yang
pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai..."
Semua orang makin kaget, apalagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat
bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk peti mati, tampak tanda
telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir
saja! Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal
ilmu silat maka mereka tentu saja mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya
seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi
karena jelas bahwa mereka itu menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan
mengeroyok! Akan tetapti dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka
seperti pasukan kehilangan komandan, merasa tidak berdaya dan bingung, sehingga
kinipun mereka ragu-ragu dan menanti sampai seorang di antara mereka ada yang
memulai. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali
akan tetapi orangnya tidak nampak!
"Sikap, nama, harta dan kedudukan
bukanlah ukuran jiwa seorang manusia, semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan
nilai isi. Betapa banyaknya berkeliaran
di dunia hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!"
Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang lalu membalikkan
tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang
pertama amat menarik hati karena anehnya. Dia seorang kakek tua yang usianya
tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan
warna pakaiannya amat menyolok mata! Celananya kotak-kotak, bajunya kembang-
kembang, kepalanya yang berambut putih itu tertutup kopyah seperti yang biasanya
dipakai seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar!
Adapun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam
puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah, tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya
sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan.
Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak memperdulikan tosu dan
tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa,
kemudian menaruh hio di tempat dupa depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang
pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas
peti mati pertama tadi sambil berkata, "Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian
begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya" Hayo kalian turun
dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!"
Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada
hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua
orang melongo. Siapa yang tidak akan terkejut dan heran ketika mereka melihat
betapa hio-hio yang tadi ditancapkan secara luar biasa oleh tokouw itu di atas
peti mati yang keras, kini seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah
kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan "berjalan" turun dari peti mati
lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain!
Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang
kedua itu, berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, "Hemm,
mengapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak
tangannya" Biar kuratakan." Diapun mengusap dengan tangannya di atas bekas
telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam
tadi sungguhpun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat
menjadi rata dan halus kembali.
Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang
itu, terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu
itu menjura dari jauh dan berkata, "Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang
bernama Cia Keng Hong?"
Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa, "Pertanyaan aneh! Seorang
tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berduapun hanya tamu, akan
tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di
rumah." Tosu dan tokouw itu saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri
dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan
Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat
tangguh. "Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!" Setelah berkata
demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi. Dua
orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin
bahwa dua orang itu telah pergi jauh, kakek tinggi kurus dan yang lebih muda itu
menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh berbahaya...!"
Kakek berbaju kembang juga menghela napas. "Kita harus memetik buah dari
pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke
(sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali
permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekalipun selalu masih ada
musuh yang mencarinya! Sayang sekali..." Dia menggeleng-geleng kepala.
Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju den murid-murid tertua
segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata
kepada kakek berbaju kembang, "Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi
hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?"
Kakek itu tertawa. "Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat
menang melawan mereka" Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir)
dan berhasil membikin jerih mereka, agaknya kalian sudah harus menyediakan
sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!"
Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek
ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli
dalam ilmu hoatsut (sihir) yang selalu tertawa dan gembira, dan kakek ini sudah
beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua
Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak,
yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini
sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri
yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak
sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini telah
dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-
murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini.
Adapun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang dengan usapan
tangannya dapat meratakan kembali
permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan
seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan,
bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan
Bertenaga Selaksa Kati). Telah seringkali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong
di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Kakek ini
sekarang telah pensiun, dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa
tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia. Pengalaman
orang she Tio ini hebat sekali, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima
The Hoo yang menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak
pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang memiliki
kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu.
Maka dia telah memiliki pandangan yang awas dan diapun maklum bahwa tingkat
kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi dan andaikata terjadi bentrokan
antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia akan keluar
sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua
orang itu pergi, sungguhpun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh
dari sahabatnya, Cia Keng Hong.
Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai,Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan
duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu lalu bertanya
apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai lalu menceritakan tentang semua
melapetaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu. Terkejut juga hati kedua
orang kakek itu mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri orang dan
bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian
tinggi. Ketika mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.
31 "Ahh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu!
Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)
Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-
ling-pai untuk membalas dendam kematian suhengnya. Akan tetapi, siapakah empat
orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?"
Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para murid Cin-ling-pai yang
tahu. "Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di
restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang
seorang lagi luka parah..." murid Cin-ling-pai menerangkan.
"Di mana dia yang terluka itu" Biar kami memeriksanya," Hong Khi Hoatsu
berkata. Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu
mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana
Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan,
matanya terpejam. Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan
muka penuh kekhawatiran karena biarpun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk
mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi
baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya
ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan dapat bertahan sampai
ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar,
masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.
Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki,
akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada
harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tidak
dapat disembuhkan lagi karena di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah
selain darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan
sampai dua tiga hari lagi saja.
"Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?" tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.
Hong Khi Hoatsu menggeleng kepalanya. "Seperti telah kauketahui, dia tidak
dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah."
Tio Hok Gwan menarik napas panjang. "Dan nama-nama empat orang di antara
Lima Bayangan Dewa hanya dia yang mengetahui."
Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya. "Dengan kekuatan sihir mungkin aku
dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat
orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-
lukanya makin parah."
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, "Betapapun juga,
dia tidak dapat disembuhkan dan nama-nama empat orang penjahat itu amat penting
untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian sampai mati, tidak ada gunanya
sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini."
Hong Khi Hoatsu mengangguk. "Memang akupun berpikir demikian. Eh, bagaimana
pendapat kalian?" tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar
itu. Mereka saling pandang. Mereka tadi telah mendengarkan percakapan antara dua
orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian seorang di
antara mereka berkata, "Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili
suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami
semuapun tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja
yang kami percaya sepenuhnya."
"Baik, dan kamipun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas
peruatan kami ini. Nah, mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan
dia. Siapa namanya tadi?"
Seorang murid memberitahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu.
Hong Khi Hoatsu lalu mendekati si sakit, mengurut-urut dan memijit-mijit
kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan kedua tangan terbuka,
menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengar dia berkata,
suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat sehingga semua orang yang
berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh
yang terkandung di dalam suara itu.
"Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang
kuminta...! Aku mewakili suhumu, aku adalah besan suhumu, engkau harus taat
kepadaku. Dengarkah engkau" Jawablah...!"
Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah
yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya
kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi
sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!
"Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu kepada
suhumu dan Cin-ling-pai, jawablah...!" Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya
makin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat. Dia
telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga
sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya untuk
memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang
sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga
mujijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya
menjadi pucat, dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih. Diam-
diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Biarpun dia tidak
mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu mengerahkan sin-
kang sekuatnya, hal yang amat berbahaya, namun dia tidak berani membantu kalau-
kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.
"Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?"
Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu kini bergerak makin lebar dan
terdengar jawaban seperti bisikan, "...teecu (murid) mendengar..."
"Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini.
Amat penting bagi suhumu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang
membunuh enam orang suhengmu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah
Lima Bayangan Dewa itu?"
Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil seperti orang
sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup
dapat dimengerti, "...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian
Siauw-bin-sian Hok Hosiang... Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh..." Suara itu
kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.
"Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?"
Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga
mengeluarkan suara lagi, "...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama
adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!" Kini kepala itu terkulai lemas dan
Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan
meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia
menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.
"Berakhirlah sudah..." katanya.
Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut
yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-
pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!
"Harap kalian tidak terlalu berduka." Hong Khi Hoatsu berkata setelah dia
mengatur kembali pernapasannya. "Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan
kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian
harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat
meninggalkan nama para musuh besar itu."
Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar, dan duduk di ruangan depan,
sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid
Cin-ling-pai tahu sudah siapa nama lima orang musuh besar itu, yang menamakan
diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biarpun orang pertama tidak sempat
disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, namun mereka semua tahu bahwa yang
dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang
Siang-bhok-kiam. "Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andaikata dia ada, tidak
mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini," Tio Hok Gwan berkata. "Aku sudah
terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan malapetaka
yang menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk
membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu untuk
menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu."
Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia berkata, "Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku
sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-
kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng
Hong." Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia
Keng Hong yang kini telah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri
itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san. Maka berangkatlah dua
orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke
utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera
tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah
agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhormat dan terjamin. Sedangkan Hong Khi Hoatau menuju ke timur untuk
mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih
dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu.
*** Seluruh daerah Negara Tibet merupakan pegunungan yang sambung-menyambung,
pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai
benteng yang panjang dan menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau
kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan dan golongan yang
paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama. Karena seperti lajimnya di
dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi dan mulia, maka tentu
saja terjadi perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah
pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang-kadang saling
bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu itu, yang berkuasa di
samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning den kedudukan mereka
sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak.
Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai
yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar.
Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah
memberontak akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh
Pemerintah Beng (baca cerita Petualang Asmara). Kini para Lama Jubah Merah masih
ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai,
bertani dan tekun hidup sebagat pertapa yang saleh.
Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini
adalah seorang yang memiliki kesaktian
luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah
diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri
dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh
tiga tahun namun tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti
raksasa. Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggauta
Lama Jubah Merah juga tidak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan
sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa
Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama
itupun terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi
sehingga kepandaian mereka menjadi makin masak.
Murid tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari
Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas
tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun
Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama
lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang
dulu memberontak kepada Pemerintah Tibet (baca cerita Petualang Asmara). Dengan
amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi, hasil
penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itupun amat suka
akan ilmu silat, maka diapun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya
semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan
mudahnya. Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di
tempat sunyi itu. Namun dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan
secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di
sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara
hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw
sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia
telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat.
Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Karena ayahnya dan ibunya dahulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita
ang cantik sekali, maka tidaklah mengerankan apabila pemuda ini memiliki bentuk
tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan wata encinya,
Cia Giok Keng, yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan
manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan! Agaknya watak
ini terbina karena dia hidup selama lima tahun di tengah-tengah para Lama yang
hidup penuh damai itu, dan pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur,
polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan
segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam
tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit atau matahari terbenam, melihat
keindahan kembang-kembang dan duduk termenung di pinggir sungai melihat air
mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira
Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat
semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos
dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw.
Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali
kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia
lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu. Demikian
cantik dan selelu gembira dara ini sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada
Yalima, dan seringkali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersendau-gurauan,
bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas
permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia
sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu. Mereka masing-masing saling
mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw
pandai bicara dalam Bahasa Tibet dengan lancar sedangkan Yalima, biarpun dapat
juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan
kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatahpun kata cinta keluar dari mulut kedua
orang muda ini, namun tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa
tersiksa dan rindu! Pada suatu senja, ketika Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk
beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari
mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam
ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya. Jauh di balik puncak-
puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning,
biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya
berwarna kehitaman dan putih, kini terbakar oleh cahaya matahari itu menimbulkan
percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini,
terlukiskan di langit yang biru muda. Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan
bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat
diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu berobah. Warna yang
tidak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati.
Keindahan yang baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari
terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama.
Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia.
"Koko...!" Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang memiliki suara merdu jernih
seperti itu, yang menyebut kata "koko" dengan tekanan suara dan nada seperti itu
kalau bukan Yalima" Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika
dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam di waktu matahari terbenam itu
masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya. Akan tetapi,
mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah
yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata bersinar-
sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap
kehidupan, kini tampak layu dan tidak bersinar lagi, biarpun masih seindah
matahari terbenam! "Moi-moi! Ada apakah...?" tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang
tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena
setiap hari harus bekerja berat itu.
Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba Yalima
menangis sesenggukan den menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun
Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu
dekat dengan Yalima, biarpun hampir setiap hari mereka bercanda. Dara ini
merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan
penuh kesedihan. Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang, kini kekhawatiran
menguasai hatinya dan melupakan ketegangan yang aneh itu. Tangannya mengusap
rambut yang hitam halus dan amat panjang, dikuncir menjadi dua itu. Diusapnya
rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.
"Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka
engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah
dan aku pasti akan menolongmu."
Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada
pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya
juga agak merah dan air mata membasahi kedua pipinya, juga baju dalam Bun Houw
menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu
agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung
dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan
mendekap begitu erat. Bun Houw menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang
sering mereka pergunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap
dan bersendau gurau di situ. Bun Houw mengeluarkan sehelai saputangan bersih dan
kering dari sakunya karena dara itu memegang saputangan yang sudah basah semua.
"Keringkanlah air matamu dan hidungmu!" katanya tersenyum menghibur.
Yalima menerima saputangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena
di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan
juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima
menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan saputangan
yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia sudah
menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis, "Biar kucuci
dulu!" "Ahh, mengapa pula kau ini" Tidak usah dicuci juga tidak apa!" Bun Houw
mengambil kembali saputangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
"Terima kasih..." dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.
"Moi-moi, apakah yang terjadi" Kau mengejutkan hatiku benar."
"Koko, benarkah engkau akan menolongku?"
"Tentu saja!" Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Tidak mungkin,
koko. Kau tidak akan bisa menolongku."
"Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan."
Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda
itu, dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang
kecil, diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata, "Koko,
kautolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!"
Bun Houw memandang aneh. "Ah, mengapa engkau minta tolong" Bukankah sudah
sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?"
"Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali kesini
lagi." "Eh" Mengapa begitu?"
"Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran..." Gadis itu kembali
terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. "Koko, kautolonglah aku...
akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?"
Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. "Engkau ini aneh
sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentu akan menceritakan
berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama
setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan agar dapat dihaturkan
kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa" Kau akan berganti pakaian indah
setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas
uang dan perhiasan, terhormat dan senang..."
"Aku tidak mau! Aku tidak suka!"
"Hemm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?"
"Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!"
"Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, selama hidup
menderita kurang makan dan pakaian?"
"Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup..."
"Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani..."
"Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!"
"Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau..."
"Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi
meninggalkan engkau, koko!"
Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang sudah
mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.
"Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?"
"Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tak dapat menolongku... hu-huuh!"
Yalima menangis lagi. "Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui
ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang
telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak
mempersembahkan engkau kepada seorang pangeran?"
Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian setelah
berulang kali menghela napas dia berkata, "Seperti telah kauketahui, koko, aku
mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku
Hina Kelana 11 Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang Eng Djiauw Ong 1
tubuhnya kekad ran membayangkan kekasaran seorang petani namun pandang matanya
amat halus, bangkit berdiri dan berkata, "Sute (adik seperguruan) sekalian, mari
kita lihat apa yang terjadi di bawah."
Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama
sampai ke empat diutus ke Tibet, maka kini dia menjadi yang tertua di antara
para sutenya. Dia bernama Sun Kiang, seorang diantara yang tinggal hidup
membujang, tidak mau menikah. Setelah membujang, tidak mau menikah. Setelah
berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang
sutenya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring, "Kami sedang turun..."
Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka tidak lagi terdengar
teriakan-teriakan dari bawah yang memanggil-manggil mereka.
Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang
semua kelihatan tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang
lalu bertanya, "Apakah yang terjadi?"
"Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!" Seorang di antara mereka
berkata dengan muka pucat. "Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang
dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelal kain
putih...!" Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?"
"Tidak ada yang melihatnya. Mungkin hal itu dilakukan di waktu malam, dan
tadi kebetulan ada seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan
berteriak keheranan," kata orang yang melapor itu.
"Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng!
Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke
menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga," kata yang ke dua.
Sun Kiang dan enam orang sutenya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun
dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke
menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas
menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan bendera Cin-ling-pai yang
melambai di ujung tiang bendera, melainkan sehelai kain putih yang dari bawah
tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang
itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang
tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.
"Sun-suheng, kalau dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung
mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya." Seorang di antara
Cap-it Ho-han berkata. Sun Kiang mengangguk. "Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku
mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang." Setelah
berkata demikian, Sun Kiang mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke
lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng
pertama, bergantung dan menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik,
sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, menyambar pinggiran loteng lagi,
menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera di
puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia
melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah.
Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan
ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak
terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah. Tepuk sorak bergemuruh
menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-
benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang
mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.
Bersama dengan enam orang sutenya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang
tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya
merupakan sehelai saputangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan
yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta
bak. Tulisannya bergores kuat sungguhpun tidak dapat disebut indah.
LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI
RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA
Hemmm... Lima Bayangan Dewa" Siapakah mereka dan apa maunya?" Sun Kiang
berkata sambil mengerutkan alisnya.
"Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!" kata seorang sutenya.
"Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas dan dia menantang suhu dan
Cap-it Ho-han!" kata yang lain.
Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sutenya. "Mari kita masuk
ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kauperintahkan para murid untuk
bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik
orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan herus diperkuat
apalagi di waktu malam di sekitar menara."
Setelah melakukan pesan suhengnya, Coa Seng Ki, yaitu tokoh termuda dari
Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan
dalam di mana para suhengnya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.
"Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi
karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendirl kurang
mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-
ouw. Betapapun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun ke dunia
ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini
tidak kita kenal, akan tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka
berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong.
Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak
tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang
memutuskan segala perkara kalau suhu tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng
dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh."
"Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!" Coa Seng Ki, orang termuda yang paling
berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. "Mereka hanya lima
orang, dan kita masih ada bertujuh, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi
mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiripun tidak gentar untuk
mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong."
"Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Lupakah engkau akan pesan suhu bahwa
menghadapi apapun juga, kita harus berkepala dingin" Hati yang panas merupakan
bekal yang amat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!" Sun Kiang
menegur sutenya. Coa Seng Ki menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, suheng. Karena ada orang
menghina suhu maka hati saya menjadi panas."
Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, "Kita tidak mengenal mereka
dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita
belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk,
akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu
mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono,
maka kita rundingkan baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak."
Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka, bertujuh
akan berangkat ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena kalau
mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka
bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mempelajari apa
sebetulnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk
memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa biarpun di Cin-ling-pai hanya ada
tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tidak pernah merasa gentar
menghadapi apa dan siapapun juga.
Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya.
"Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang,
apalagi sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita
hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka dan mengetahui apa maksud
dari undangan mereka."
"Saya mengerti, suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan
sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu" Mungkin
mereka itu adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!" Coa Seng Ki
membantah. "Kalau mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka.
Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang."
"Bagaimana kalau mereka menyerang kita" Apakah kita juga harus diam saja?"
Coa Seng Ki membantah. "Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi"
Tentu saja kita harus bergerak untuk
membela diri. Yang dilarang oleh suhu adalah kalau kita menggunakan
kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela
diri." Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. "Mereka itu bukan orang-
orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita."
Setelah meninggalkan pesan kepada para anggauta Cin-ling-pai dan kepada
keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota
Han-tiong yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa
mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal
senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak
ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata
masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar. Tidak semua anak murid
Cin-ling-pai bersenjeta pedang. Sungguhpun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar
Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya,
apalagi kalau dia menggunakan Pedang Pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam
(Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua
murid kepala menjadi ahli pedang. Ketua Cin-ling"pai ini mengajarkan ilmu"ilmu
yang tinggi kepada para murid kepala disesuaikan dengan bakat masing"masing.
Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya
Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, sedangkan dua orang bersenjata golok
sedankan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.
Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di
Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari
sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-
kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota
yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini
banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui
sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur
datang ke kota ini untuk mencari dagengan karena rempah-rempah dari daerah ini
amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.
Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini
besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa
karena sering kali tempat ini dipergunakan sebagai tempat pesta para pembesar,
dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini
mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau
umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah. Biasanya,
ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar
suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar
dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil
memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.
Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika
ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga
oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan babwa tingkat atas
itu telah "diborong" dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik
ke sana. "Gila! Siapa yang main borong begini, hah" Apakah dia orang yang paling
kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?" bentak seorang hartawan yarig hendak
naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu. Hartawan ini adalah seorang
penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu
semua adalah teman-temannya. Juga dia menjadi langganan restoran Koai-lo dan
terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.
"Loya... maafkanlah saya, maafkanlah kami semua... kalau yang menyewa hanya
pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya" Akan tetapi yang
menyewa ini..." Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. "...mereka adalah orang-orang
kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-
han..." Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu
berobah dan dia cepat mengangguk-angguk. Betapapun juga, nama Cin-ling-pai
dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduiduk Han-tiong,
bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau
Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu
dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han
yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.
"Aih, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya
kalau tempat di atas ini tidak diganggu," kata si hartawan berangasan itu sambil
meninggalkan restoran. Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang,
yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira
biarpun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena
semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak seorangpun berani mengganggu ruangan
yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai. Berita ini sebentar saja sudah menjalar
sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran
itu terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa,
mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-
puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para Pelayan juga
sudah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk
menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.
Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi
tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini
entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di
depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa
mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar
biasa. Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima
puluh tahun, namun mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok,
bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi,
rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau
terlalu wangi sehingga tercium sampai jauh, rambut itu dihias oleh emas permata
yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas
pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendeknya, wanita ini adalah
seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus
sepatu baru. Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-
lirik seperti sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang
pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangennya
tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!
Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang
hwesio (pendeta beragama Buddha), kepalanya yang gundul itu, terhias penutup
ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu
hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus
mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari
batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar
hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak perdulian.
Orang ketiga adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermuka seperti monyet
saking kurusnya, matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek
dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir
enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguhpun
tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat
seperti orang yang menderita penyakit berat.
Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang
paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung lebar,
mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah
kepada apapun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah,
kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering, dia tidek
kelihatan membawa senjata apapun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas
dapat diduga behwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang
mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.
"Kenapa harus berjalan naik" Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!"
kata wanita pesolek itu dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia
sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu! Tentu saja perbuatan ini
membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum.
Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, akan tetapi
cara nenek pesolek itu melompat benar-benar amat luar biasa. bukan melompat lagi
melainkan terbang! "Omitobud, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan
barbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita
kenal!" Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri
tembok dekat pintu. Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang
melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu,
melainkan menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk
merayap naik seperti seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel
tembok, telapak tangan itu melekat dan ketika telapak tangan dilepaskan untuk
menempel ke atas lagi, terdengar suara "ceplokk!".
Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang
berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan
hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok
seperti seekor ceeak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat
masuk. "Heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan
arak" Tunggu aku, jangan dihabiskan!" Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti
monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya lenyap dari
tempat itu dan yang nampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan
melalui anak tangga dan tahu-tahu dia telah berada di loteng pula, disambut
dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.
Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. "Aihhh...
anak-anak itu masih suka bermain-main di manapun mereka berada!" Ucapannya ini
cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.
Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena
dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong
menyakeiken ulah semua tamunya yang aneh-anch itu, dan kini dengan senyum lebar
dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, "Kiranya loya (tuan besar) dan
para sahabathya telah tiba. selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya
harus disajikan sekarang?"
Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, "Kami barempat
adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja
arak lebih dulu empat guci besar!"
Pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci
besar" Seguci eukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak
berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-
tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan
naik ke tangga loteng. Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka
terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas
kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai
dan papan itu melesak ke dalam! Setelah kakek itu tiba di loteng, ramailah semua
orang berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu, ada yang
merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat
orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi,
beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-
orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh
Cin-ling-pai. Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangang
melainkan datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih torkenal lagi di antara
golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi den berhidung besar itu bernama Gu
Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam
rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani
oleh teman-temannya. Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat
terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanyalah
seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik
jubah pendeta dan kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, bahkan
memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombonkannya, karena
julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan
Sakti)! Wanita tua yang pesolek itupun bukan orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee
Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) yang terkenal sebagai seorang
maling tunggal dan yang pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia
berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga
sehingga hampir dia tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi.
Adapun orang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka
kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet
Pencabut Nyawa). Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungen Cin-ling-san itu
selalu aman dan semenjak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi
tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu maka orang-
orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat
ini. Sebetulnya, empat orang ini hanya merupakan anggauta-anggauta dari rombongan
yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat
sendiri, yaitu Ngo-sian-eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang adalah
pemimpin mereka dan kehadiren mereka di restoran itu adalah atas perintah orang
pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka, karena Lima
Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang bekerja sama dengan
baik, sehingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti,
baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tidak mudah untuk mengalahkan lima
orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk
sehidup semati! Biarpun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang
berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat
menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu
tinggi, dan karena mereka semua pereaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka
mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai,
mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi
selanjutnya. Kepala pelayan lalu dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala
pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk
menonjolkan diri dan menjadi perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur
pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-
tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.
"Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi
mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani
menentang" Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han,
bukan" Dan kiranya, empat orang itupun adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian amat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!"
Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyaksikan
apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat Cap-it Ho-han. Mereka sudah
mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang
terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan
yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa. Sedangkan empat orang ini
ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan kepandaian
mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja
mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di depan orang banyak dengan sikap amat
sombongnya. Agaknya amat aneh kalau para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu
bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biarpun mereka berempat itu
harus diakui memiliki kepandaian yang amat hebat. Apalagi ketika mendengar
betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan
kasarnya agaknya minum arak sambil bersendau-gurau, lagak mereka sama sekali
tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar
dari Cin-ling-pai itu. Betapapun juga, semua orang tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama
kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat
guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya
sudah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.
Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu dan orang-
orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang
jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang
memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap ketujuh
orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan
mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan
para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.
Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang
dan enam orang sutenya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik
ke loteng melalui anak tangga dan mereka hanya memandang tanpa perduli akan
tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu
naik ke ruangan atas. Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang
pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar
restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng
yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga
mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng.
Ketika tujuh orang pendeker Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka
melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah
empat orang yang sedang minum-minum dan di bagian luar meja terdapat sebelas
buah bangku kosong! Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di
situ dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan
alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan
tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang" Melihat mereka barempat
itu minum-minum dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan kedatangan mereka,
Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata, "Suheng, agaknya
kita salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!"
Sun Kiang melirik kepada sutenya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak
marah karena sutenya tidak langsung menghina orang, sungguhpun dia taju bahwa
sutenya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduga tentu
para pengundang mereka. Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang
tujuh orang petani itu dan memandang dengan penuh selidik. Tidak ada tanda
sedikitpun bahwa tujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa
sikap mereka amat tenang.
"Omitohud... ha-ha-ha-ha!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa,
kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka
menengadah dan perutnya yang gendut berguncang-guncang. "Ha-ha-ha, pinceng
sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani
lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar
lalu menjadi apa" Ha-ha-ha!"
Mendengar kata"kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan
dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan
suhengnya, dia tidak langsung menjawab, hanya memandang langit-langit loteng
sambil berkata seperti bersajak, "Petani dan pendekar sama saja, keduanya
mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan
kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia
merajalela!" "Sute...!" Sun Kiang menegur sutenya karena ucapan sutenya itu sudah terlalu
pedas. Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tidak mengacuhkan
kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi,
menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan
Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang" Dia khawatir kalau-
kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
para pengundang mereka, maka sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjara
ke arah mereka sambil berkata, "Harap maafkan kami kalau mengganggu, kami
bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang
mengundang kami berjumlah lima orang..."
Gu Lo It, orang tua bertopi dan berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan
perlahan, diturut oleh tiga orang temannya dan kini kedua fihak berdiri saling
berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangan membalas
penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau, "Kami adalah empat orang
di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-
ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han."
"Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas brang Cap-it Ho-han, yang
ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng
kami memenuhi undangan itu," jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.
"Ah, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggauta Cap-it Ho-han.
Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak dari tadi menyambut. Silakan jit-wi
duduk!" Gu Lo It berkata dan dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio
gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan dan pandang
nista dingin laki-laki kurus bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it
Ho-han bahwa empat orang itu sengaja mempermainkan mereka. Akan tetapi Sun Kiang
dengan tenang mengangguk lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang
berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia
menganggap bahwa empat kursi pertama adalah tempat duduk para suhengnya yang
tidak dapat hadir. Para sutenya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai
dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki,
orang termuda dari Cap-it Ho-han.
"Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang telah mengundang kami
dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling berjumpa di sini, kami mewakili Cin-ling-
pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara
tidak sewajarnya itu." Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat,
namun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.
Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka
memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda
dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi mengingat akan
pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar
kepada empat orang itu. "Ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya,
Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk
berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini." Tanpa menanti jawaban, dengan
sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan dan berteriak kepada para
pelayan, "Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!"
Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini
cepat hilir-mudik mengatur hidangan yang memang telah dipersiapkan di dapur,
turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya
di atas meja di depan sebelas orang itu.
"Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!" Gu Lo
It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan
lahapnya. Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling
pandang dengan saudara-saudaranya, agak lega hatinya karena kirinya empat orang
di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang
hanya ingin mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda
kepada para sutenya, dan mereka inipun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk
menerima hidangan dan hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang
tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka
itu. Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-
sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang
makan dengan agak hati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus
oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang
disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah
bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi
makan. Sambil makan dengan lahap, tiada hentinya empat orang itu memerintahkan
kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini den minta itu
sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itupun
muak menyaksikan sikap empat orang ini dan kagum bercampur bangga melihat sikap
jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap
demikian tenang dan juga penuh kesopanan.
Heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-
tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!" Gu Lo It
berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan
dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.
Sun Kiang membungkuk. "Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu
tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari
cu-wi (anda sekalian)."
"Ha-ha-ha, sekarangpun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal
nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!" Tiba-tiba Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.
Gu Lo It memandang kepada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia
memperkenalkan diri dan teman-temannya, "Saya adalah orang kedua dari Lima
Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dia ini adalah orang ketiga, Sin-
ciang Siouw-bin-sian Hok Hosiang, yang keempat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee
Kim, dan kelima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun saudara tertua kami, Pat-pi
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting."
Tujuh orang Cin-ling-pai itu agak terkejut mendengar nama terakhir tadi
sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka sudah mendengar nama Pat-
pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru atau ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-
pi Lo-sian ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular
Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini adalah sekutu Pat-pi
Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat tidak baik terhadap Cin-ling"pai.
Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.
"Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan."
Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil memandang tajam. "Apakah
engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?"
Sun Kiang tersenyum dan menggeleng kepala. "Saya yang bodoh bernama Sun
Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suhengku sedang pergi dari
Cin-ling-san melaksanakan suatu tugas, maka saya dan enam orang suteku datang
mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi."
"Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari
Cin-ling-pai, seperti juga aku merupakan orang pertama di saat ini dari Lima
Bayangan Dewa karena suhengku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa
memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai.
Terimalah!" Setelah berkata demikian, Gu Lo It menuangkan arak di mangkok bekas dia
makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang
dan para pelayan menjadi ketakutan melihat cara penghormatan yang aneh ini,
bahkan seorang pelayan yang sedang mengambilkan tambahan kecap seperti yang
diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.
Mangkok terisi arak itu berputaran di atas dan Gu Lo It tidak menurunkan
tangannya, bahkan meluruskan kedua lengannya ke arah mangkok yang berputaran di
udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun
menyambar ke arah Sun Kiang.
"Hemmm..." Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak
mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sin-kang yang hebat itu. Dengan
tenang diapun mengangkat kedua tangannya dengan lurus ke depan, jari-jari
tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sin-kang melalui kedua lengannya itu
sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mujijat terhembus keluar dari
telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.
Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok
yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oloh tangan
yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar
dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang. Terjadilah adu tenaga sin-kang
yang hanya dimengerti oleh mereka yang duduk mengelilingi meja, yang memandang
dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo den memandang penuh keheranan,
tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di
udara itu dengan bingung.
Kedua fihak terkejut ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-
mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang den nampak betapa Gu Lo It
menggetarkan kedua lengannya den tenaga mujijat yang amat kuatnya mendorong
mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya
menyiram muka lawan! Perlahan-lahan mangkok itu mulai miring ke arah orang
kelima dari Cap-it Ho-han, sehingga para sutenya memandang ke arah Sun Kiang
dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan, mukanya sudah
mulai berpeluh dan terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek-
sin-kang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang
murid kepala ini. "Uhhhhh...!" Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui
tenggorokan, setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi
pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.
Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba kekuatan lawan menjadi hebat
sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat diam enahan
sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya
mulai mengancam untuk menyiram mukanya! Hati para murid Cin-ling-pai menjadi
lega akan tetapi diam-diam merekapun maklum bahwa kakek bertopi itu lihai bukan
main sehingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek-sin-kang, baru
dapat mengimbangi. Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali
Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sin-kang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-
murid kepala Cin-ling-pai, tingkat lima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi,
dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It.
Akan tetapi, sin-kang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek-sin-
kang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada
sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan
sin-kang ini Sun Kiang dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!
Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang
kurang sekali pengalaman mereka di dunia kang-ouw, apalagi menghadapi datuk-
datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai
banyak tipu muslihat busuk itu. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu
bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sin-kang murid
Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram
mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja
dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di
seberang meja. Tiba-tiba diangkatnya kakinya dan dibentakkan tumitnya di atas
lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu
saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapapun, benda hitam itu menyambar
ke perut Sun Kiang! "Uhhhh... hukkkk...!" Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya
menggigil. Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It dan
meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini
sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang
kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.
"Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!"
Akan tetapi enam orang murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu
sebagai kekalahan mengadu sin-kang dari suheng mereka. Mereka terbelalak
memandang ke arah perut Sun Kialig yang kini tampak setelah suheng mereka itu
berdiri. Darah membasahi baju den celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot
memandeng ke arah Gu Lo It.
"Kau... kau...!" Tangannya mencengkeram ke atas meja. "Kroookkkk...!"
Pinggiran meja itu remuk dan Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya
terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang den tewaslah orang kelima dari
Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari
sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang
tidak dapat bertahan lagi.
"Cuatt-cuatt-cuattt...!" Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja
kembali meluncur tiga batang paku beracun. Kini enam orang murid kepala Cin-
ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali den bergerak
meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku
itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dalam jarak yang amat dekat tanpa
dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Roboh pula dua orang murid
Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa dapat melakukan
perlawanan apapun! "Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!" Coa Seng Ki membentak marah den
mencabut pedang dari balik bajunya. Tiga orang suhengnya juga sudah mencabut
senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok den orang
keempat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.
"Ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan
ketua Cin-ling-pai!" Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya
dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu.
Segera terjadi pertempuran yang amat seru den hebat di dalam ruangan atas dari
restoran itu. Para pelayan menjadi kaget den ketakutan. Mereka melempar baki den kain
putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng
itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke
ruangan bawah. Bubarlah semua tamu yang berada di bawah ketika mendengar ribut-
ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlari keluar dan
bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh,
dengan hati penuh kekhawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita
betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh
sebelum terjadi pertempuran.
Pertempuran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala
Cin-ling-pai maklum bahwa empat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa
mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh
musuh untuk membalaskan kematian tiga orang saudara mereka yang menjadi korban
kecurangan fihak musuh itu.
Orang keenam dari Cap-it Ho-han yang bersenjata tongkat, yang tingkatnya
tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han,
sudah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan
kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang menggunakan tasbeh batu
hijau sebagai senjata dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang mainkan sebatang toya
panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan sinar toyanya! Adapun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it
Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai saputangan merah
secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.
"Siluman betina, mampuslah!" Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak
melihat kematian tiga orang suhengnya secara mengerikan dan menjadi korban
serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk
ke arah mata kanan lawannya.
"Singgg... wuuutttt...!" Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur
dari samping oleh benda lembut, yaitu saputangan di tangan kanan wanita yang
tertawa mengejek itu. "Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han.
Haiiit, sayang tidak kena!" Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali,
ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah
melesat ke belakang. Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja
julukan ini diperoleh karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai,
gerakannya ringan dan lincah sekali, kalau meloncat seperti terbang saja.
Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang
saputangan merah yang lebar itu, yang dimainkan seperti seorang penari sedang
beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata
yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya.
Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang
murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah
dalam ilmu gin-kang maupun tenaga sin-kang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak
menolong. Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa
sekali. Dua helai saputangan merah di tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan
keras seperti baja, kadang-kadang melurus seperti tongkat besi, kadang-kadang
juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk, dapat dipergunakan
ujungnya sebagai alat penotok. Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki
menjadi musnah kekuatannya kalau bertemu dengan saputangan yang lunak, dan
beberapa kali ujung saputangan sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang
berbahaya, akan tetapi pada saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu
sambil terkekeh. "Ah, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau kau malam ini menemani dan
menghiburku?" Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah, dia maklum bahwa
lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu
menghendaki, sudah sejak tadi dia roboh, maka sambil menggereng keras dia
mainkan pedangnya makin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan
jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun kecepatan wanita itu membuat semua
serangannya gagal, bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap
kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan
keringat. Apalagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul
robohnya tiga orang suhengnya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali
pandang saja maklumlah dia bahwa tiga orang suhengnya itu, seperti tiga orang
suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali. Enam orang suhengnya
telah tewas semua! Malapetaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini
sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpipun tidak! Betapa enam orang
dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya! Coa Seng Ki
menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia
menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hai-giakang Ciok Lee Kim,
akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-
kadang menangkis dengan saputangan merahnya.
"Omitohud...! Si Genit mengapa main-main dengan dia" Lekas bunuh dia!" Sin-
ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasa menyebut Si Kelabang Terbang itu Si
Genit, berseru melihat nenek itu mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat
membunuhnya. "Hi-hik, Hok Hosiang, aku sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan
menemaniku malam nanti" Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!" Nenek
itu menjawab sambil mengelak dari sebuah tusukan, kemudian menggunakan jari-jari
tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan
dengan nekat menyerang terus.
"Memang dia tidak perlu dibunuh!" Tiba-tiba Gu Lo It berkata. "Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada
ketua Cin-ling-pai" Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi
hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam
sudah tiba!" "Aih, sayang...!" Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani
membantah perintah Si Iblis Bumi. Tiba-tiba dua helai saputangan merahnya
berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang
di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat dan sekali ujung saputangan menotok
pergelangan tangan, pedang itupun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas.
Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan saputangannya yang merampas pedang dan pedang
itu meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, "Hok Hosiang,
kauterimalah pedangnya!"
"Omitohud, kau main-main saja!" dengan ujung lengan baju yang besar, Hok
Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan "crappp!" pedang itu
menancap di dada mayat Sun Kiang.
Melihat betapa pedangnya sendiri menancap dada subengnya, Coa Seng Ki
menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil bertertak keras dia menubruk ke
arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah menyambutnya dengan
dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.
"Plakkk!!" Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke
arah Gu Lo It. "Dukk!" Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.
"Huakkkkk!!" Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika
tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.
Desss!! Krek-krekk!" Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua
lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang
terlempar ke arah Ciok Lee Kim.
"He-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!" Nenek
genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar den lima kuku jarinya mencakar muka
Coa Seng Ki sehingga robek-robek kulit mukanya den berdarah. Dia terbanting
roboh dan tak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores
den berdarah, pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam
secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!
Empat orang itu tertawa bergelak lalu turun melalui anak tangga dengan lagak
sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan menggigil den berkumpul
di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil
berkata, "Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh
Cin-ling-pai!" Sambil tertawa-tawa puas, empat orang itu lalu keluar dari restoran dan
sebentar saja mereka menghilang di dalam kegelapan malam. Lama setelah empat
orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan
hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan mereka terkejut den
ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu.
Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan
pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai
di dekat puncak gunung. Akan tetapi pada seat itu juga, tampak lima orang anggauta Cin-ling-pai
datang berlari-lari memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari
ketujuh orang Cap-it Ho-han. Wajah mereka semua pucat den tegang, dan mereka
ingin melaporkan sesuatu kepada para pimpinan mereka. Dapat dibayangkan betapa
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget hati mereka dan serta merta menubruk para suheng mereka yang sudah rebah
malang melintang di ruangan atas restoran itu sambil menangis. Dunia seakan-akan
kiamat bagi mereka. Baru saja mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di
Cin-ling-pai dan kini mereka dibadapkan dengan malapetaka yang lebih hebat pula,
yaitu kematian enam orang Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat.
Apakah yang terjadi di pusat Cin-ling-pai sehingga lima orang anggautanya
itu bergegas pergi ke Han-tiong menyusul ketujuh orang murid kepala yang sedang
memenuhi tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu"
Ternyata malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua
anggauta Cin-ling-pai telah diberi tahu akan tantangan Lima Bayangan Dewa, dan
karena tujuh orang murid kepala itu mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi para
penantang, maka para anggauta Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka melakukan
penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa tegang karena mengerti bahwa para
pimpinan mereka pergi ke Han-tiong menghadapi lawan yang tangguh yang dapat
dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di puncak menara, di
ujung tiang bendera. Keadaan menjadi amat sunyi di markas Cin-ling-pai yang dikurung pagar tembok
itu. Penjagaan ketat dilakukan oleh para anggautanya, di pintu-pintu gerbang dan
terutama sekali di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat penyimpanan
pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang pada saat
itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya secara bergilir
mengelilingi pagar tembok. Sejak senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah
dilarang untuk berada di luar rumah. Semua telah berlindung di dalam rumah dan
para ibu juga siap sedia dengan senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu
yang tidak tersangka-sangka terhadap keluarganya. Pendeknya, semua anggauta Cin-
ling-pai dan keluarga mereka siap sedia dengan hati penuh ketegangan. Mereka
hanya mengharapkan agar para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa
semuanya telah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan.
Biarpun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han
yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka agak gelisah
karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah seperti
sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya.
Lewat senja, ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-
lampu telah dipasang, tiba-tiba sekali terdengar bentakan-bentakan dan keributan
di pintu gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-
senjata den teriakan-teriakan para penjaga. Tentu saja para penjaga segera lari
ke tempat itu den ternyata di tempat itu terjadi pertempuran yang amat aneh.
Belasan orang anggauta Cin-ling-pai mengeroyok seorang laki-laki yang tidak
bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan senjata di tangan para anggauta
Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat menyentuh tubuh orang itu, walaupun
orang itu kelihatannya tenang saja, seolah-olah senjata yang menghampiri
tubuhnya itu tiba-tiba menyeleweng sendiri seperti tertolak oleh hawa yang
melindungi seluruh tubuh orang itu!
Melihat banyak orang lagi datang untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu
tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para
pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, tiba-tiba di
pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya
laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang
bertugas menjaga di tempat itu!
Kembali semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Laki-laki
itu kelihatan muda dan berwajah tampan, rambutnya dikucir panjang, pakaiannya
sederhana serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sukar mengira-ngira
usianya, kelihatannya baru berusia tiga puluh tahun saja. Gerak-geriknya halus,
namun setiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat dahsyat
sehingga lime enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh sambaran
angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata menyeleweng den terpental
begitu kena disambar angin tangkisannya.
Hanya sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan biarpun
belasan orang roboh terpelanting ke kanan kiri oleh sambaran angin pukulan
tangannya, namun tidak ada seorangpun yang terluka hebat atau tewas. Agaknya
orang ini hanya mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat
lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan! Dengan perbuatannya
yang aneh ini, semua anggauta Cin-ling-pai menjadi kacau-balau dan geger. Jelas
bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, namun orang itu memiliki
kepandaian sedemikian tingginya sehingga mampu menggegerkan seluruh anggauta
Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari
mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu.
Ketika untuk kelima kalinya orang itu meloncat dan menghilang, para anak
buah Cin-ling-pai sudah menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari,
akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke manapun tidak
dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau
itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian
banyak orang. Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi
murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han, diam-diam melakukan perondaan
di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka ini adalah
orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di saat itu, dan mereka
berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan
Gunung) yang dahsyat, maka merekapun tidak membawa senjata, karena keistimewaan
mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan
terlatih baik. Mereka berlima berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena menara itu
telah dijaga ketat di sebelah dalamnya. Untuk naik ke puncak menara di mana
tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga
yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah
terlatih. Setengah jam lewat dan biarpun semua anggauta masih mencari-cari, namun hati
mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya
telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa menyeramkan tadi, suara
si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang.
Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari
puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu
ketika mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang dikempit oleh lengan orang itu!
Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!
"Pencuri hina...!"
"Kembalikan Siang-bhok-pokiam!"
Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan
pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia
berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja.
Ketika seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia
langsung mengirim pukulannya yang ampuh, menggunakan jurus yang paling lihai
dari San-in-kun-hoat, yaitu In-keng-hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan),
tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sin-kang yang ampuh.
"Dukkk!" Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi
yang dipukul tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya
seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga
pukulannya seperti tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget,
pencuri itu telah tertawa panjang dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.
"Tangkap pencuri...!"
"Dia mencuri Siang-bhok-pokiam!"
Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat
pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari
bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat
Cin-ling-pai dicuri, mereka menjadi marah sekali. Bagaikan hujan saja senjata-
senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloneat turun
dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya
senjata rahasia dengan cepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi kesemuanya
itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim
salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!" Setelah berkata demikian,
orang itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Pengecut, tinggalkan namamu!" teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan
suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba orang yang berteriak ini roboh terjengkang,
dan ketika teman-temannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh
terdengar suara tertawa. "Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok!"
Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger. Lima orang murid lihai
yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu lalu bergegas meninggalkan Cin-ling-pai
menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan
malapetaka yang menimpa markas Cin-ling-pai sehingga pedang pusaka Siang-bhok-
kiam lenyap dicuri orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang
lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka
melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa malapetaka yang lebih hebat dan
mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo karena enam orang di antara mereka
telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-
luka hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut!
Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat dan Coa Seng Ki yang
terluka parah itu ke Cin-ling-pai di mana mereka disambut oleh jerit-jerit
tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali
dari keluarga mereka yang tewas.
Bermacam-macam sikap anggauta keluarga yang ditinggal mati oleh seseorang
dalam keluarga itu. Namun pada umumnya, mereka itu berduka atau memperlihatkan
wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang
sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi
sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang
tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu, yang
dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangen
ini yang mendatangkan duka. Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun "demi
kesopanan" terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa
oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada
orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak
mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apalagi kalau
disertai keluh-kesah dan ratapan, lebih sukar daripada menahan tawa kalau
melihat banyak orang tertawa gembira. Yang hebat, lucu den aneh, banyak pula
keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung
dengan "menyewa" tukang menangis! "Tukang-tukang menangis" ini dibayar dan
tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling
menyedihkan, untuk "memancing" air mata para keluarga yang sudah hampir
mengering. Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apalagi pada
pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang
menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu,
dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggauta Cin-ling-
pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan
peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu terisi mayat-mayat enam orang
anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena
berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian.
Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan melihat para anggauta
keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka
pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang
luas itu menjadi serem karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi
yang dibakar semenjak malam tadi.
Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biarpun sejak
kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah,
saudara dan suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan
mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak
lagi terdengar suara tangis. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun
wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan
tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah
menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai.
Mereka tidak lagi mencucurkan air mata dan meratap, terutama sekali ini
mereka paksakan kepada perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah
kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberi penghormatan terakhir
kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar
tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk
bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka
nestapa itu. Sejak pagi sampai tengah hari, tiada hentinya para tamu datang,
bersembahyang, memberi sumbangan dan mengucapkan kata-kata yang nadanya
menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han dan mengutuk penjahat-penjahat yang
melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega seperti
orang-orang yang telah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan
komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita
dan dia mengatakan kepada para anggauta Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan
pasukannya untuk mencari dan menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya
Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan
komandan itu tidak dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk
dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat
itu adalah orang-orang lihai sedangkan para petugas keamanan itu biasanya,
sebagian besar hanya galak-galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tak mampu
melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan.
Setelah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang
dan menjelang senja tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-
murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan
tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan
berkabung. Setelah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang,
tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang
tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu sudah enam
puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam
pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang
kakek tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To) yang melangkah
masuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para
penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana
terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.
Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang
murid Cin"ling"pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang,
sedangkan kakek tosu itu dengan suaranya yang halus bertanya tentang mereka yang
mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas
adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai
lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak
senang. Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di
depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi
mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih, "Sayang, sayang...
sungguh penasaran sekali mengapa kalian mati di tangan orang lain...!" Semua
anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan
mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio
atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras.
Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti
mati, seolah-olah papan peti mati yang keras itu hanya terbuat dari agar-agar
saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan dan keheranan, juga
membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali.
Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati,
kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-
nepuk setiap peti dan mulutnya berkata lirih namun cukup keras untuk terdengar
oleh mereka yang berada di ruangan itu. "Memang sayang sekali, akan tetapi
kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup twhormat, karena yang
pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai..."
Semua orang makin kaget, apalagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat
bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk peti mati, tampak tanda
telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir
saja! Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal
ilmu silat maka mereka tentu saja mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya
seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi
karena jelas bahwa mereka itu menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan
mengeroyok! Akan tetapti dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka
seperti pasukan kehilangan komandan, merasa tidak berdaya dan bingung, sehingga
kinipun mereka ragu-ragu dan menanti sampai seorang di antara mereka ada yang
memulai. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali
akan tetapi orangnya tidak nampak!
"Sikap, nama, harta dan kedudukan
bukanlah ukuran jiwa seorang manusia, semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan
nilai isi. Betapa banyaknya berkeliaran
di dunia hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!"
Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang lalu membalikkan
tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang
pertama amat menarik hati karena anehnya. Dia seorang kakek tua yang usianya
tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan
warna pakaiannya amat menyolok mata! Celananya kotak-kotak, bajunya kembang-
kembang, kepalanya yang berambut putih itu tertutup kopyah seperti yang biasanya
dipakai seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar!
Adapun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam
puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah, tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya
sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan.
Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak memperdulikan tosu dan
tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa,
kemudian menaruh hio di tempat dupa depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang
pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas
peti mati pertama tadi sambil berkata, "Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian
begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya" Hayo kalian turun
dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!"
Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada
hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua
orang melongo. Siapa yang tidak akan terkejut dan heran ketika mereka melihat
betapa hio-hio yang tadi ditancapkan secara luar biasa oleh tokouw itu di atas
peti mati yang keras, kini seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah
kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan "berjalan" turun dari peti mati
lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain!
Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang
kedua itu, berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, "Hemm,
mengapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak
tangannya" Biar kuratakan." Diapun mengusap dengan tangannya di atas bekas
telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam
tadi sungguhpun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat
menjadi rata dan halus kembali.
Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang
itu, terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu
itu menjura dari jauh dan berkata, "Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang
bernama Cia Keng Hong?"
Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa, "Pertanyaan aneh! Seorang
tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berduapun hanya tamu, akan
tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di
rumah." Tosu dan tokouw itu saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri
dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan
Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat
tangguh. "Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!" Setelah berkata
demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi. Dua
orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin
bahwa dua orang itu telah pergi jauh, kakek tinggi kurus dan yang lebih muda itu
menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh berbahaya...!"
Kakek berbaju kembang juga menghela napas. "Kita harus memetik buah dari
pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke
(sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali
permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekalipun selalu masih ada
musuh yang mencarinya! Sayang sekali..." Dia menggeleng-geleng kepala.
Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju den murid-murid tertua
segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata
kepada kakek berbaju kembang, "Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi
hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?"
Kakek itu tertawa. "Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat
menang melawan mereka" Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir)
dan berhasil membikin jerih mereka, agaknya kalian sudah harus menyediakan
sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!"
Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek
ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli
dalam ilmu hoatsut (sihir) yang selalu tertawa dan gembira, dan kakek ini sudah
beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua
Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak,
yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini
sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri
yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak
sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini telah
dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-
murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini.
Adapun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang dengan usapan
tangannya dapat meratakan kembali
permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan
seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan,
bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan
Bertenaga Selaksa Kati). Telah seringkali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong
di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Kakek ini
sekarang telah pensiun, dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa
tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia. Pengalaman
orang she Tio ini hebat sekali, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima
The Hoo yang menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak
pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang memiliki
kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu.
Maka dia telah memiliki pandangan yang awas dan diapun maklum bahwa tingkat
kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi dan andaikata terjadi bentrokan
antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia akan keluar
sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua
orang itu pergi, sungguhpun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh
dari sahabatnya, Cia Keng Hong.
Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai,Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan
duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu lalu bertanya
apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai lalu menceritakan tentang semua
melapetaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu. Terkejut juga hati kedua
orang kakek itu mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri orang dan
bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian
tinggi. Ketika mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.
31 "Ahh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu!
Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)
Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-
ling-pai untuk membalas dendam kematian suhengnya. Akan tetapi, siapakah empat
orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?"
Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para murid Cin-ling-pai yang
tahu. "Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di
restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang
seorang lagi luka parah..." murid Cin-ling-pai menerangkan.
"Di mana dia yang terluka itu" Biar kami memeriksanya," Hong Khi Hoatsu
berkata. Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu
mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana
Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan,
matanya terpejam. Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan
muka penuh kekhawatiran karena biarpun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk
mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi
baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya
ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan dapat bertahan sampai
ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar,
masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.
Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki,
akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada
harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tidak
dapat disembuhkan lagi karena di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah
selain darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan
sampai dua tiga hari lagi saja.
"Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?" tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.
Hong Khi Hoatsu menggeleng kepalanya. "Seperti telah kauketahui, dia tidak
dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah."
Tio Hok Gwan menarik napas panjang. "Dan nama-nama empat orang di antara
Lima Bayangan Dewa hanya dia yang mengetahui."
Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya. "Dengan kekuatan sihir mungkin aku
dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat
orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-
lukanya makin parah."
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, "Betapapun juga,
dia tidak dapat disembuhkan dan nama-nama empat orang penjahat itu amat penting
untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian sampai mati, tidak ada gunanya
sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini."
Hong Khi Hoatsu mengangguk. "Memang akupun berpikir demikian. Eh, bagaimana
pendapat kalian?" tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar
itu. Mereka saling pandang. Mereka tadi telah mendengarkan percakapan antara dua
orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian seorang di
antara mereka berkata, "Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili
suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami
semuapun tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja
yang kami percaya sepenuhnya."
"Baik, dan kamipun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas
peruatan kami ini. Nah, mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan
dia. Siapa namanya tadi?"
Seorang murid memberitahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu.
Hong Khi Hoatsu lalu mendekati si sakit, mengurut-urut dan memijit-mijit
kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan kedua tangan terbuka,
menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengar dia berkata,
suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat sehingga semua orang yang
berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh
yang terkandung di dalam suara itu.
"Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang
kuminta...! Aku mewakili suhumu, aku adalah besan suhumu, engkau harus taat
kepadaku. Dengarkah engkau" Jawablah...!"
Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah
yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya
kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi
sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!
"Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu kepada
suhumu dan Cin-ling-pai, jawablah...!" Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya
makin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat. Dia
telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga
sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya untuk
memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang
sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga
mujijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya
menjadi pucat, dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih. Diam-
diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Biarpun dia tidak
mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu mengerahkan sin-
kang sekuatnya, hal yang amat berbahaya, namun dia tidak berani membantu kalau-
kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.
"Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?"
Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu kini bergerak makin lebar dan
terdengar jawaban seperti bisikan, "...teecu (murid) mendengar..."
"Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini.
Amat penting bagi suhumu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang
membunuh enam orang suhengmu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah
Lima Bayangan Dewa itu?"
Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil seperti orang
sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup
dapat dimengerti, "...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian
Siauw-bin-sian Hok Hosiang... Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh..." Suara itu
kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.
"Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?"
Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga
mengeluarkan suara lagi, "...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama
adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!" Kini kepala itu terkulai lemas dan
Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan
meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia
menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.
"Berakhirlah sudah..." katanya.
Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut
yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-
pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!
"Harap kalian tidak terlalu berduka." Hong Khi Hoatsu berkata setelah dia
mengatur kembali pernapasannya. "Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan
kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian
harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat
meninggalkan nama para musuh besar itu."
Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar, dan duduk di ruangan depan,
sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid
Cin-ling-pai tahu sudah siapa nama lima orang musuh besar itu, yang menamakan
diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biarpun orang pertama tidak sempat
disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, namun mereka semua tahu bahwa yang
dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang
Siang-bhok-kiam. "Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andaikata dia ada, tidak
mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini," Tio Hok Gwan berkata. "Aku sudah
terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan malapetaka
yang menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk
membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu untuk
menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu."
Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia berkata, "Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku
sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-
kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng
Hong." Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia
Keng Hong yang kini telah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri
itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san. Maka berangkatlah dua
orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke
utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera
tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah
agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhormat dan terjamin. Sedangkan Hong Khi Hoatau menuju ke timur untuk
mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih
dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu.
*** Seluruh daerah Negara Tibet merupakan pegunungan yang sambung-menyambung,
pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai
benteng yang panjang dan menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau
kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan dan golongan yang
paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama. Karena seperti lajimnya di
dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi dan mulia, maka tentu
saja terjadi perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah
pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang-kadang saling
bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu itu, yang berkuasa di
samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning den kedudukan mereka
sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak.
Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai
yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar.
Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah
memberontak akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh
Pemerintah Beng (baca cerita Petualang Asmara). Kini para Lama Jubah Merah masih
ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai,
bertani dan tekun hidup sebagat pertapa yang saleh.
Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini
adalah seorang yang memiliki kesaktian
luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah
diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri
dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh
tiga tahun namun tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti
raksasa. Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggauta
Lama Jubah Merah juga tidak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan
sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa
Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama
itupun terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi
sehingga kepandaian mereka menjadi makin masak.
Murid tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari
Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas
tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun
Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama
lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang
dulu memberontak kepada Pemerintah Tibet (baca cerita Petualang Asmara). Dengan
amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi, hasil
penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itupun amat suka
akan ilmu silat, maka diapun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya
semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan
mudahnya. Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di
tempat sunyi itu. Namun dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan
secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di
sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara
hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw
sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia
telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat.
Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Karena ayahnya dan ibunya dahulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita
ang cantik sekali, maka tidaklah mengerankan apabila pemuda ini memiliki bentuk
tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan wata encinya,
Cia Giok Keng, yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan
manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan! Agaknya watak
ini terbina karena dia hidup selama lima tahun di tengah-tengah para Lama yang
hidup penuh damai itu, dan pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur,
polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan
segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam
tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit atau matahari terbenam, melihat
keindahan kembang-kembang dan duduk termenung di pinggir sungai melihat air
mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira
Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat
semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos
dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw.
Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali
kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia
lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu. Demikian
cantik dan selelu gembira dara ini sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada
Yalima, dan seringkali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersendau-gurauan,
bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas
permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia
sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu. Mereka masing-masing saling
mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw
pandai bicara dalam Bahasa Tibet dengan lancar sedangkan Yalima, biarpun dapat
juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan
kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatahpun kata cinta keluar dari mulut kedua
orang muda ini, namun tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa
tersiksa dan rindu! Pada suatu senja, ketika Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk
beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari
mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam
ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya. Jauh di balik puncak-
puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning,
biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya
berwarna kehitaman dan putih, kini terbakar oleh cahaya matahari itu menimbulkan
percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini,
terlukiskan di langit yang biru muda. Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan
bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat
diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu berobah. Warna yang
tidak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati.
Keindahan yang baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari
terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama.
Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia.
"Koko...!" Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang memiliki suara merdu jernih
seperti itu, yang menyebut kata "koko" dengan tekanan suara dan nada seperti itu
kalau bukan Yalima" Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika
dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam di waktu matahari terbenam itu
masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya. Akan tetapi,
mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah
yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata bersinar-
sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap
kehidupan, kini tampak layu dan tidak bersinar lagi, biarpun masih seindah
matahari terbenam! "Moi-moi! Ada apakah...?" tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang
tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena
setiap hari harus bekerja berat itu.
Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba Yalima
menangis sesenggukan den menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun
Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu
dekat dengan Yalima, biarpun hampir setiap hari mereka bercanda. Dara ini
merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan
penuh kesedihan. Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang, kini kekhawatiran
menguasai hatinya dan melupakan ketegangan yang aneh itu. Tangannya mengusap
rambut yang hitam halus dan amat panjang, dikuncir menjadi dua itu. Diusapnya
rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.
"Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka
engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah
dan aku pasti akan menolongmu."
Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada
pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya
juga agak merah dan air mata membasahi kedua pipinya, juga baju dalam Bun Houw
menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu
agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung
dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan
mendekap begitu erat. Bun Houw menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang
sering mereka pergunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap
dan bersendau gurau di situ. Bun Houw mengeluarkan sehelai saputangan bersih dan
kering dari sakunya karena dara itu memegang saputangan yang sudah basah semua.
"Keringkanlah air matamu dan hidungmu!" katanya tersenyum menghibur.
Yalima menerima saputangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena
di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan
juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima
menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan saputangan
yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia sudah
menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis, "Biar kucuci
dulu!" "Ahh, mengapa pula kau ini" Tidak usah dicuci juga tidak apa!" Bun Houw
mengambil kembali saputangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
"Terima kasih..." dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.
"Moi-moi, apakah yang terjadi" Kau mengejutkan hatiku benar."
"Koko, benarkah engkau akan menolongku?"
"Tentu saja!" Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Tidak mungkin,
koko. Kau tidak akan bisa menolongku."
"Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan."
Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda
itu, dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang
kecil, diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata, "Koko,
kautolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!"
Bun Houw memandang aneh. "Ah, mengapa engkau minta tolong" Bukankah sudah
sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?"
"Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali kesini
lagi." "Eh" Mengapa begitu?"
"Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran..." Gadis itu kembali
terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. "Koko, kautolonglah aku...
akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?"
Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. "Engkau ini aneh
sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentu akan menceritakan
berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama
setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan agar dapat dihaturkan
kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa" Kau akan berganti pakaian indah
setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas
uang dan perhiasan, terhormat dan senang..."
"Aku tidak mau! Aku tidak suka!"
"Hemm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?"
"Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!"
"Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, selama hidup
menderita kurang makan dan pakaian?"
"Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup..."
"Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani..."
"Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!"
"Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau..."
"Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi
meninggalkan engkau, koko!"
Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang sudah
mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.
"Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?"
"Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tak dapat menolongku... hu-huuh!"
Yalima menangis lagi. "Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui
ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang
telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak
mempersembahkan engkau kepada seorang pangeran?"
Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian setelah
berulang kali menghela napas dia berkata, "Seperti telah kauketahui, koko, aku
mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku
Hina Kelana 11 Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang Eng Djiauw Ong 1