Pencarian

Dewi Maut 21

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


sudah-sudah..." "Houw-koko!" In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri
untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya,
memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka
ini!" "Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."
"Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?" bentak Ang-bin
Ciu-kwi dengan marah. "Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," kata pula Bun
Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.
Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari
pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah
melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya
lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku menyerah."
"Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji
sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.
"Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat
Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.
Bun Houw mengangguk. "Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa
kusengaja." Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Blar
kuikat saja dengan ini." Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu
di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali semberangan, melainkan otot dari
harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah
direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleb
apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak
dimasukkan dalam kamar tehanan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"
"Hong-moi...!" Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata
terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu
bukan lain adalah In Hong! Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya
merah den pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan
beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya
mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.
"Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!" Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara
itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan
senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya
rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang. Melihat
betapa gadis itu melawan dengan nekat den gerakannya cepat bukan main, Bouw
Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-
li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.
"Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko
tertawa bergelak den Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong.
Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan
main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini
memiliki kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di
tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia
mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah
terpaksa mundur. "Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar
janji?" Bun Houw membentak den berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia
telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu
membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak
mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus.
"Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji" Nona itu datang sendiri,
dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami
melanggar janji?" Pek-hiat Mo-ko berkata.
Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru.
"Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!"
Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I
Siankouw, In Hong menjawab, "Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan
mengamuk sampai titik darah terakhir!"
Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung
pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar
keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan
sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.
"Hong-moi, pergilah...!" kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong
sudah marah seperti seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata
beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya
yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang
digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan
nenek itu. Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan
tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan
ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In
Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk
bergerak karena ke manapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!
In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas
orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan
kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu.
Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak
lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu
ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang
tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan
sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai
putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi
kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan
jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-
robek! "Mundur!" teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw
dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak
dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu
ke depan. Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat
menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang
tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan didesak
sedemikrian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di
antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa,
apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat
secara istimewa pula. Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia
telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-
hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya
seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong
terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan
sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdentar Bun Houw mengeluh
kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!
Dukk! Dukk!" Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In
Hong, dan kedua orang muda itu mengeluh dan tak bergerak lagi, mata mereka
terpejam karena mereka telah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit
tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu,
diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan
setelah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan
yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh
seorang lihai seperti Bun Houw sekalipun!
"Mengapa mereka dibebaskan" Sungguh berbahaya, locianpwe," Ang-bin Ciu-kwi
mencela Pek-hiat Mo-ko setelah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan
dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.
Pek-hiat Mo-ko tersenyum. "Biarpun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua
ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu,
mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-
sandera yang amat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum
semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima
hukuman." Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman
yang amat hebat. "Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah
mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua
temannya harus dihukum!"
Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat
Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. "Ampun... maafkan kalau saya
salah bicara..." Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat dengan
mukanya. "Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah
seperti manusia lagi" Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!" Dia lalu
mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas
lantai. "Sekarang, engkau dan isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang
tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa
kalian berdua yang menjadi gantinya!"
Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri
dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu
bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu mempunyai tujuan pribadi
masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi
kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja
lebih tunduk dan taat. *** Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana
tadi ia menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang
rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal
kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali
tidak terbelenggu. Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa
keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang
lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya
ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya
melalui lubang-lubang di atas pintu, yang cukup banyak sehingga mereka tidak
akan mati pengap, akan tetapi terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa
enak bernapas. Betapapun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari
lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.
Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar
terdapat sebuah lubang di lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air!
Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh
sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari
luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan
makanan dan lain-lain ke dalam kamar.
Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh
nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw
mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukul. Tak lama kemudian gadis itu
mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit
duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama, "Kita
bebas...!" Bun Houw mengangguk. "Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan
yang kuat sekali." In Hong lalu turun, memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba
dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, "Kita tidak ditotok, tidak dibius
dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya
kita basmi mereka dan lolos dari sini?"
Bun Houw menggeleng kepala dan duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat
dari baja! "Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Merekapun bukan orang-orang bodoh.
Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini.
Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan
mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau
serangan lain." In Hong terkejut. "Aihhh... habis bagaimana?"
"Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, kenapa engkau kembali?" Bun Houw
tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.
In Hong kini berdiri dan memandang wajah pemuda itu dengan angkuh,
mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi
keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di
dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin
menarik. "Kaukira aku ini orang macam apa, Houw-ko" Engkau mengorbankan dirimu
untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan terancam nyawamu.
Aturan mana itu" Mana bisa aku diam saja" Tentu selama hidupku aku akan merasa
tersiksa oleh penyesalan kalau sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang
mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan
kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu."
"Dan kau gagal..."
"Lebih baik gagal dan sama-sama menghadapi kematian daripada mati sedikit
demi sedikit digerogoti penyesalan kelak."
Hening sejenak. "Hong-moi..."
"Hemm...?" "Agaknya engkau ini..."
"Ya...?" "Angkuh bukan main!"
"Maksudmu?" "Sedikitpun engkau tidak sudi menerima budi orang..."
"Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah
tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapapun!"
"Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan..."
"Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!"
"Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi.
Lupakah engkau akan itu" Engkau malah sudah memberi Giok-hong-cu (Burung Hong
Kumala) kepadaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah
terikat oleh persahabatan!"
"Dan pedang itu terampas oleh mereka!" In Hong berkata kecewa.
"Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!" Bun Houw berkata dan
tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut
yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, "Benda ini
selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!"
Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian,
tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua
pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!
"Kita harus mencari akal untuk dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko,
kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan..."
"Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus
bersabar dulu." "Tapi kita akan celaka..."
"Kurasa tidak, Hong-moi. Sebetulnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek
itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita.
Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Kalau mereka hendak membunuh kita, tentu
agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga."
"Ssstt...!" In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-
kata, dan keduanya memandang dengan penuh perhatian kepada lubang kecil yang
tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In
Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa
Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok
didorong masuk ke dalam satu demi satu tanpa memperlihatkan tangan yang
mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman. Panci itu berisi masakan sayur
mayur dan daging, baunya cukup sedap merangsang selera dan nasi itu putih dan
masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.
"Iblis, aku tidak sudi makan dan minum suguhanmu!" In Hong hendak menendang
hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang
lengannya. "Hong-moi, apa gunanya itu?" Ketika gadis itu memandangnya, dia berkedip dan
menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.
"Ha-ha-ha!" Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar. Kiranya suami
isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong cepat mengintai dari lubang-
lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-
li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata, "Memang bocah she Cia itu
pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!"
Tiba-tiba terdengar suara Hek I Siankouw. "Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakanlah pertikaian antara kita dan kalian
turutilah permintaanku sedikit."
"Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?"
"Biarkah aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk
membalas kematian sahabatku."
"Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka menonton kau melakukan
penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas jaga di sini, tidak
saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus.
Bagaimana mungkin kami berani membiarkan kau memotong lengannya" Tentu lengan
kami akan hilang pula sebagai gantinya!" kata Ang-bin Ciu-kwi.
"Siankouw, harap kau jangan cari-cari perkara. Kau tahu bahwa yang
menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Kalau engkau
hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan
beliau, biar kaubunuh gadis itupun kami tidak mencampuri," kata Coa-tok Sian-li.
Hek I Siankouw menghela napas panjang. Diapun tidak berani melanggar
perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapapun sakitnya hatinya dan
betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara
bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak
lagi melihat atau mendengar mereka.
"Hong-moi, mari kita makan, mumpung masih panas-panas." Bun Houw mengangkati
semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.
"Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka."
"Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan
mengumpulkan tenaga, bukan" Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau
tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat
melawan mereka kalau saatnya tiba?"
Dibujuk demikian, In Hong termenung, lalu dengan cemberut dia duduk pula di
atas pembaringan dan menerima semangkok nasi dan sumpitnya. Akan tetapi ketika
dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga, "Siapa tahu masakan ini
mengandung racun!" Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging lalu memakannya dengan enak.
"Tidak mungkin," katanya. "Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, mengapa
mereka harus meracun kita" Pula banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah
tidak berdaya, mengapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-
orang lemah" Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita."
In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar
saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama
kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan
sehat, dan Bun Houw lalu turun dari pembaringan setelah menaruh semua perabot
makan di depan lubang bagian bawah pintu yang sudah tertutup lagi dari luar itu.
Dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak
dapat melihat Hek I Siankouw maupun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak
mendengar suara mercka maka diapun lalu membiarkan In Hong istirahat dan
mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti. Akan tetapi,
tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tidak mungkin
meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan
yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya
lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai"
Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil
lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas
lantai batu untuk menghimpun tenaga.
Sementara itu, Hek I Siankouw dan dua orang majikan Padang Bangkai itu
berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. "Jangan khawatir
aku akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar
mereka tidak sakit, mati atau lolos" Nah, ketiganya itu tidak akan terjadi. Aku
ingin melihat mereka itu terhina dan rusak nama dan kehormatan mereka sedangkan
kalian dapat menikmati tontonan itu!" Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata
dan membujuk mereka. "Memang menyenangkan sekali!" Coa-tok Sian-li berkata.
"Asyik sekali kalau menonton itu!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.
"Andaikata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tidak akan marah.
Justeru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu dalam satu kamar,
maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?" kita pula Hek I Siankouw.
"Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan
kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!" Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.
Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapatkan suguhan makanan dan
minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan
karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang
angin kecil, maka kamar tahanan itu biarpun tidak gelap sama sekali, akan tetapi
juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja.
Kini In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan diapun minum
arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh
Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang
sesungguhnya, secara aneh sekali kedua orang muda itu tidak merasa khawatir atau
tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang aneh!
Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan
khawatir, dalam keadaan bagaimanapun juga.
Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan
di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring
itu disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara
terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata. "Hi-hi-hik, selamat menikmati
malam pengantin!" Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li
memang tidak perlu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung
sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apalagi ketika lampu penerangan di luar
dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi lebih terang, dan dia
mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang
mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di
tepi pembaringan sambil berbisik, "Hong-moi, hati-hatilah..."
"Ada apakah, Houw-koko?"
"Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu,
entah apa." Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa
disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam. Rasa hangat yang aneh menjalar
dari sentuhan tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari
yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung.
Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka melekat.
Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat
wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik
yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh
semangat hidup, hangat dan begitu dalam seperti lautan yang sukar dijajagi
dalamnya, bibir yang agak terbuka seolah-olah menantangnya, napas yang panjang
halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis,
leher yang panjang dan seperti tangkai bunga. Dia terpesona! Dan sebaliknya, In
Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan
ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.
"Ahhh...!" In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.
"Maaf, Hong-moi...!" Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Napas mereka agak
memburu. In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di
dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Namun mata itu mengerling
dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai! Seperti didorong oleh tenaga yang
tidak kelihatan, Bun Houw melangkah maju lagi, jantungnya berdebar sampai
terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya" Dia melihat gadis
yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu dan tersenyum! Dan dada yang
membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.
"Hong-moi..." Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung
pundak gadis itu. Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi
sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat
seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang
dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan
seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!
"Ada apa... koko...?"
Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini
tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada
apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!
"Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau... kau cantik sekali,
Hong-moi!" Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah
terjadi" Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan
menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.
Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan
senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga! "Terima kasih... Houw-
ko..." suaranya tersendat-sendat. Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak
kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar,
Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul
pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka
saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling
bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka
dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya
dan mengeluh, "Houw-ko..."
"Hong-moi ah, Hong-moi..." Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke
dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan
kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan
takkan terpisah lagi dengan dia!
"Hi-hi-hik!" Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan
setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak
mereka, membuat mereka maklum behwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw
mclepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.
In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan
pipi sendiri, bingung dan terkejut.
"Hong-moi... celaka... kita keracunan...!" Bun Houw berseru dan mengepal
tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati
gadis itu. "Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam
makanan tadi..." "Dalam arak mungkin..."
"Ha-ha-ha!" terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi. "Memang kau pintar,
putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah
meminumnya. Kalian tahu racun apa" Eh, isteriku yang cantik dan cerdik,
kauceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!"
"Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja.
Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam
Pengantin! Bersenanglah kalian!"
"Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!" In Hong membentak marah. "Kalau sekali
aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"
"Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!" Bun Houw juga berteriak, namun
jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam
hatinya. "Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja
tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan
masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai
berjina di dalam kamar tahanan!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.
"Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah
membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah
seperti seorang pelacur!" terdengar suara Hek I Siankouw.
Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan
In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu
berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin,
berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka. Maksud mereka
tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk
menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap
In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!
"Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami
melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!" Bun Houw
membentak marah. "Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!" In Hong juga berteriak. "Akan
kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!"
"Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut" Yang tidak tahu
akan menyangka pengantinnya cekcok!" Coa-tok Sian-li mengejek.
"Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,"
terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara
lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami
isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!
Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga
penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada.
"Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?"
In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan.
"Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali... seolah-olah ada api yang
membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."
"Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun
mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan
hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang
memabokkan." Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk
bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan
hasrat nafsu berahi yang makin kuat.
Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok
Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para
raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di
jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara
banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang
perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan
pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang
belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka
melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk
menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau
manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang
mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat. Obat ini juga sekaligus
merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk
mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh
pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk
raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh
pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan
orang yang bagaimana kuatpun.
Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat
obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya
terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan
ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu
dicampur arak. Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni
orang lain. Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-
kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram
di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang
mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan
otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga
biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan
berahi itu. Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang
pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas,
hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya.
Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya,
akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali! Kini, beberapa kali In
Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali
dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah
terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis,
mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu,
terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-
tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi!


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata,
memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-
geliat seperti cacing terkena abu panas.
"Oohhhh... Houw-ko... ahhhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..." In
Hong merintih-rintih memelas sekali.
"Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan
satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu.
Kita harus mempertahankan... harus ahhh..." Dan Bun Houw cepat memejamkan
matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In
Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin
hebat. "Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ah, panas
sekali tubuhku..." Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu
saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih
mulus! "Hong-moi... jangan, Hong-moi!" Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia
terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In
Hong yang setengah terbuka.
"Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan..." In Hong mengeluh dan setengah
terisak. "Pertahankan, adikku, pertahankan..."
"Ohhh, Houw-ko..." In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu.
Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya
menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di
dada Bun Houw. "Houw-koko..." Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.
"Bagaimana, Hong-moi..."
"Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini...
aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak perduli... kaulakukanlah sekehendak
hatimu..." kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya
dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya
terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.
Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan
tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan
hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.
"Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta
padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"
"Houw-ko..." In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar
pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia
dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada di mana
dan berada dalam keadaan bagaimana "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya
lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."
"Hong-moi, tidak...!" Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan
pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan
dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha
sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak
di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru
sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-
rintih. "Kau benar... Houw-ko, kau benar..."
Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong
yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di
sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju
terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya
morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal
ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan
menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.
Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia
berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva
malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan
dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat
betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua
tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak
tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri
pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu
dengan perasaan kasihan sekali.
"Hong-moi, ah, Hong-moi..." Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali
mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk
In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw
mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan
akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara
itu. Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan
untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun
Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.
"Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!" teriaknya.
"Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi..." Bun Houw kembali hendak
merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga
Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai
seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.
"Houw-ko...!" Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan
berlutut. "Kau... kau tidak apa-apa...?"
Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya.
Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw
hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia
memalingkan muka, "Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik
menjadi lemah" Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat
tenaga..." "Ah, Hong-moi..."
"Maafkan, aku, koko..." In Hong meponta dan melepaskan pelukan pemuda itu,
kemudian dia menjauhkan diri.
Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. "Ah, apa yang kulakukan tadi" Kau
benar, Hong-moi... lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka..."
Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh
naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu
berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak
nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang
menyadarkannya. Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan
kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat
tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini
sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguhpun di waktu mudanya Hek I
Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia
melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami
isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.
Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang ttu sudah mencapai
puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di
tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai.
In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan,
tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya
meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena
mendengar suara rintihan Bun Houw saja.
"Koko..." "Hong-moi..." Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang
mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw
karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat
mungkin. Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali
saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat
merenggut dirinya lepas. "Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku..." Tangannya bergerak
dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja
totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dari itu
terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah
pingsan pula. "Terkutuk!" "Keparat!" Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa.
Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya
karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan
kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka
gagal! Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip dengan
kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki
sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda
tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang
kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu
berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca. Kalau toh ada
yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari
oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan
bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka
itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran,
kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya
dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti
api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik
pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya.
Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.
Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan! Menghadapinya,
mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan
tanpa mencelanya, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian
akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa
suka melihat kecabulan"
Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan
dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama
yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin" Kiranya tidak! Akan tetapi
mengapa kalau melihat binatang yang besar, teruhama manusia, metakukan hubungan
sex, lalu timbul istilah cabul" Barangkali karena melihat binatang besar
terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang yang merangsang
gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul.
Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi dianggap cabul!
Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah
nafsu berahi. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak
merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI!
Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang
mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex
kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu
membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari
orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan
membangkitkan gairah berahi kita sendiri.
Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan
menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kerikmatan tertentu, menjadi
suatu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan
telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.
Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata
mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal
yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan,
kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan segalanya itu tidak
terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita
sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam
bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Pengejaran
kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan hidup yang timbul karena
pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan
PENGEJARAN kesenangan! In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah
pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan
tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan
tak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik
yang bukan lain adalah Liong Si Kwi! Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I
Siankouw ini telah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh
Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa utang budi, juga gadis itu sekaligus
jatuh cinta kepada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu, yang telah dikurung
dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di depan subonya, benar-
benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat
untuk menolong pemuda itu. Kini terbuka matanya betapa demi untuk memuaskan
nafsu dendam dan sakit hatinya, subonya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan
manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Bun Houw, dia harus membebaskan
putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan
nyawanya. Hatinya makin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda
yang gagah perkasa itu telah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In
Hong yang dibebaskan. Kemudian, diapun iri kepada In Hong yang ternyata juga
merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk
membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada
hubungan cinta kasih antara pemuda dan dara itu. Namun, rasa cemburu dan iri
hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apapun
juga. Ketika dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi
dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar
tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat
mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki
kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting
baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat
melarikan diri! Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang ia dapat sebagai tamu Lembah
Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sore-sore dia telah menutup diri di
dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, dan diam-diam dia
telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali
lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan. Dia
bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah
dia berhenti sebentarpun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya,
lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar
itu di waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar
karena saat itu pengaruh racaun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya
yang hampir tak tertahan olehnya. Baiknya In Hong telah menggeletak pingsang,
kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!
Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke kamar itu, ketika melihat Bun Houw
menggeletak seperti orang yang bernyawa lagi, segera meloncat mendekati dan
berlutut di dekat pemuda itu, memeriksa dan legalah hatinya ketika melihat Bun
Houw ternyata masih bernapas, bahkan bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara
lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main,
khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil
membebaskan Bun Houw dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat
itu. Dia tidak tahu akan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang
Bangkai itu, maka dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini
menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia
melihat In Hong pingsan. Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka
berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau
harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah
pingsan dan gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung,
akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja.
Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang
terowongan yang dibuatnya. Biarpun tidak mudah membawa Bun Houw yang
merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium
pipi dan lehernya sepertu orang mabok itu, namun akhirnya berhasil jugalah Si
Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.
"Eh... eh, taihiap...!" Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka
matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya
dengan penuh nafsu. Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi
seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tak lama
kemudian dia balas memeluk dan balas menciumi, tidak kalah hebatnya dengan orang


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lalu terguling di atas pembaringan Si
Kwi dan mereka melupakan segala-galanya. Kalau tadi Bun Houw masih tidak
melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan
dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya,
adalah karena di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun
Houw, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara
yang dicintainya itu. Akan tetapi sekali ini, selagi pengaruh obat perangsang
itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi,
bahkan gadis itu lebih hebat merayunya seperti orang mabok pula, maka tentu
tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin
seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya
bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong,
melainkan dengan murid He I Siankow!
Pada saat itu, Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama
sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu berahinya
yang bernyala-nyala itu. Andaikata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh
In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk
membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya. Akan tetapi kenyataannya
tidak demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum
bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertarubkan
nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk
menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.
Terjadilah hubungan dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api
dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh
racun perangsang itu menipis. Begitu dia sadar dan melihat bahwa dia memeluk
tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan
main, terkejut karena dia tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring
pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan! Penyesalan yang
amat hebat, ditembah rasa kaget yang luar biasa besarnya, dan pemborosan tenaga
yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia
menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, penggerahan tenaga kemauan yong amat
hebat ketika dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya
di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!" Tiba-tiba
terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.
Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang makin
menebal rasa kasih sayangnya kepada pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai
miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walaupun tidak secara sah, kini
seperti disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang telah terjadi. Dia tidak
menyesal, hanya khawatir karena dia telah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw!
Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar
jendela. "Liong Si Kwi, engkau sungguh hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan!
Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku
masuk." Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera
disambamya siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu
menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-
kwi. "Ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang untuk menonton pertunjukan menarik
yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau
membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis dan mari kita bermain-main
sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan
melaporkon apa yang telah terjadi di sini?"
Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut.
Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya,
nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu,
dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apalagi laporan
Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan
hati subonya lagi. Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh
jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih
baik dia mati saja daripada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula,
setelah kini keadaannya sama sekali berubah daripada keadaan asyik-masuk seperti
tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti
itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang
mabok. Kini mengertilah dia halawa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun
yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia. Dia
dapat menduga kini mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir
tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak
menciuminya, dan mengerti pula dia mengapa In Hong juga pingsan. Kiranya mereka
berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak
suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu"
Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin
Ciu-kwi. Diapun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangasang
yang amat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka
rela kepada setan itu! "Aku harus cepat melapor kepada subo!" pikirnya dan dara itu cepat meloncat,
bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat dia
melarikan diri ke kamar subonya. Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia
maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apalagi kalau
harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subonya dan minta
tolong subonya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subonyo akan semua hal
dengan terus terang, subonya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai
mantu! "Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!" katanya sambil mengetuk pintu
itu dengan kuat. Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw telah berdiri di ambang pintu
sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya
berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengen siang-kiam di kedua tangan.
"Si Kwi, apakah yang terjadi?" tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki
kamamya. Dia menjenguk keluar dan karena tidak melihat siapapun juga di luar,
tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.
Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil
menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sahabat,
guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya
hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain
kecuali gurunya ini yang dapat diharapkan untuk menolongnya dan menolong Bun
Houw. "Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu..."
"Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!" gurunya
membentak. "Subo, teecu telah jatuh cinta... semenjak teecu diselamatkan oleh Bun Houw
putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi,
teecu telah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu..."
Gurunya mengerutkan alisnya. "Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?"
Gadis itu mengangkat muka, memandang wajah subonya dengan penuh harapan.
"Jadi... subo... setuju...?"
"Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau
memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju" Sayangnya, dia berada di fihak
lawan." "Ah, terima kasih, subo...!" Si Kwi berseru girang dan memberi hormat.
"Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya..."
Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya
mengeluarkan sinar marah. "Apa" Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-
kwi?" bentak gurunya.
"Ah, tidak...! Tidak, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-
hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan" Akan tetapi malam
tadi..." "Malam tadi mengapa" Hayo katakan!"
"Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya."
"Eh, Apa maksudmu" Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong,
dan mereka..." Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-
tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. "Si Kwi!" Dia membentak, "Ceritakan, apa
yang terjadi!" Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia telah
membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil
menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.
"Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok
atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu
tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw...
kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-
kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu
suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini...
teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo..."
"Desss...!" Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangen gurunya. Muka gurunya
sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena
terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat
mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan
amat mudahnya kepada seorang pria, dan biarpun pria itu adalah seorang pemuda
yang harus dia akui pilihan, akan tetapi pemuda itu betapapun adalah seorang
lawan, atau yang berada di fihak lawan. Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga
terharu karena dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan
sesungguhnya ada pertalian batin yang kuat antara dia den gadis itu. Sekarang
dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, nyawa dara itu berada dalam ancaman
bahaya hebat! "Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!"
"Harap subo sudi mengampuni teecu!" kata pula Si Kwi. "Teecu bersedia untuk
mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi,
teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan
murid, dan sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan
menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta kepadanya, subo, teecu
mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!" Dan murid ini menangis lagi,
menangis dengan penuh kesedihan.
Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah ketika dia mendengar dan melihat
keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa
Hwa Cinjin dan diapun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi
isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu
saja mereka tidak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa
Cinjin amat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja!
Mereka saling setia dan tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi
kakek dan nenek. "Akupun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri..."
"Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo..."
Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. "Teecu rela mati di depan kaki subo,
akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan
selalu membantu subo..."
"Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu" Apa kaukira
kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko" Tentang pemuda itu, tak
perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!"
"Akan tetapi... subo..."
"Tutup mulut! Tidak ada tapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya
jangan kau memperlibatkan muka kepadaku!"
"Subo...!" "Aku tidak mempunyai murid macammu! Pergiiiii...!" Hek I Siankouw membentak
dan mengusir. Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu,
diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.
Tokouw ini sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya
terlibat dalam kesukaran. Dan dia sengaja membayangi muridnya itu agar dapat
keluar dari Lembah Naga dengan selamat.
Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-
hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah
kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa
keduanya tentu telah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri
berdiri dengan tenang dan air mata masih membanjiri pipinya.
"Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa
aku mengusirnya pergi dari sini!" Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang
mencekam hatinya itu. "Hemm... agaknya banyak terjadi hal-hal hebat di sini semalam." Kata Hek-
hiat Mo-li. "Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!"
Ucapan lanjutan itu bernada keras.
"Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku,
melainkan gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"
"Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami
dalam persoalan ini" Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan dua orang
tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan
nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh
muridmu ini?" kata Coa-tok Sian-li.
"Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak
membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita
bertigapun bersalah, bukan" Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini,
mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?"
"Hemm... apakah sebetulnya yang telah terjadi dan apa yang kalian bicarakan
ini, Siankouw?" Pek-hiat Mo-ko membentak marah.
"Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-
tok Sian-li telah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin
melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya
ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua sukai, maka kami bertiga telah
bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan
Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu."
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak
kelihatan marah. "Hemm, lalu?" tanya Hek-hiat Mo-li.
"Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama
sekali dia tidak berniat untuk membebaskan tawanan, melainkan dia membuat
terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang
mabok oleh racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya den menyerahkan dirinya
kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang menyangka muridku
hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan
itu ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama
sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia
telah mengajaknya pergi dari sini." Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk
melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi. Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman
Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada
Setan Arak itu den hal ini dilakukan sebagai "pukulan simpanan" kalau-kalau Ang-
bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama melindungi muridnya!
Ang-bin Ciu-kwi bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh
Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa
dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak
melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi!
Dan diapun tahu bahwa Hek I Siankouw sengaja tidak menceritakan niatnya memaksa
Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian
hitam itu. "Keterangan yang diberikan Siankouw itu memang benar, ji-wi locianpwe,"
katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak
mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw. "Memang kami tadinya hanya ingin
main-main karena Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh,
malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada
ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi.
Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu."
"Memang harus kuakui bahwa muridku telah bersalah dan karena cintanya dia
menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Oleh karena itu,
sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid.
Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini,
karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kallan orang-orang tua
cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!"
Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengar keterangan Hek I Siankouw
dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum
bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka
dia masih tetap waspada. Biarpun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan
muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin
atas kesalahan yang dilakukannya.
Benar saja dugaannya, Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring, "Mendengar
semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampunkan
muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Oleh karena itu,
sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda
bahwa dosanya sudah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus
membantu kami sampai selesai."
Hek I Slankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba dia berkata, "Si Kwi, kau
sudah merasa berdosa terhadap aku?"
"Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo."
"Ke sinilah!" Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.
"Singgg...crattt!" Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya
menyambar ke depan. Si Kwi menjerit dan tangan kanannya memegangi lengan kirinya
yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih
berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung
itu. Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, lalu menghampiri
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu. "Mo-ko
dan Mo-li, harap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan
aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai."
"Ha-ha-ha, engkau sungguh mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua
tangannya dibuntungi, akan tetapi karena kau bertindak sendiri dengan suka rela,
biarlah inipun cukup," keta Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit
halus itu. Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan
pundaknya, menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung, lalu
membalutnya dengan saputangannya. Setelah selesai, diapun berkata dengan suara
gemetar, "Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?"
Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subonya dan sebagai
penggantinya, subonya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi,
subonya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti
subonya telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil
menangis dia berlutut dan mencium kaki subonya sambil berkata, "Subo, terima
kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo..."
"Pergilah! Pergilah...!" Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuh,
memalingkan muka tidak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya
menghapus dua butir air matanya.
Si Kwi bangkit lalu pergi dari situ dengan cepat. Air matanya bercucuran di
sepanjang kedua pipinya. *** Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong telah duduk di
tepi pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini lalu teringat akan
semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi
yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia telah bermain cinta dengan
seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.
"Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu
pucat sekali dan tubuhmu lemah." In Hong memegang pundaknya dan dengan halus
menyuruh pemuda itu berbaring kembali.
Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan
itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut. "Hong-moi... apa yang terjadi..."
Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?"
Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata di situ
terdapat bekas galian yang telah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh
penyesalan. Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanya mimpi
belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar
tahanan dan yang telah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman
itu bukan sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan
seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjina!
"Ohhh...!" "Kenapa, Houw-ko?" In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda
itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah hendak mengusir
sesuatu dari depan matanya.
Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw berkata lagi,
"Hong-moi... demi Tuhan... kauceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi
semalam?" "Houw-ko, aku sendiripun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya
kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau
pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, ketika aku
siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan..." Wajah gadis itu menjadi
merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan
ceritanya. Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi
merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak, "Dan
bagaimana, Hong-moi" Ceritakanlah... ceritakanlah...!"
"Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu
bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak
apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku lalu mengenakan
pakaian pada tubuhmu, memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai
kau sadar..." "Dan lubang itu..." Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut
kamar. "Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi
sebetulnya ketike aku sedang pingsan atau pulas?" Kembali In Hong memegang
lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.
"Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius den seperti
orang gila..." Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Akan
tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tak mungkin dapat dia
lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pemberingan, bersama
Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu! Dan mengapa
pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan" Tentu untuk
menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh
obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ah,
ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan
menyesal sekali! "Aku malu... aku malu...!" Tak terasa lagi bibirnya berbisik.
"Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan kalau mengenangkan kembali
peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan
kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan" Kita berdua telah minum arak beracun!
Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu
di antara kita" Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ah, dan
semua ini berkat kekuatan batinmu, koko."
"Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku
berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf..."
"Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat
keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha
untuk membongkar pintu ini..."
"Hemm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku
dahulu, mencarikan obat untukku, engkau bertemu dengan keponakanku, Lie Seng,
putera enciku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat
mainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi,
engkau sumoiku." "Bukan. Suhumu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya segai
guru. Betapapun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu,
maka kitapun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan."
"Hong-moi coba kautampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!"
"Apa maksudmu" Apa gunanya?"
"Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu."
Bun Houw lalu berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan
terlentang. Biarpun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya
oleh pemuda itu, namun karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya,
In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah
telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada tingkatnya.
"Tarrrr...!" Terdengar bunyi seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu
bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.
"Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu,
telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian"
"Baru seperempat bagian?" In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan
kecewa. "Kukira sudah hampir sempurna!"
Bun Houw terganyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara
dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang
mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu. "Hong-moi, engkau belum tahu
benar kehebatan dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang telah
memiliki ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini,
pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat,
Hong-moi." "Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!"
"Ah, mana bisa aku menandingi suhu" Paling-paling aku baru menguasai
setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, biarpun kita menggabungkan tenaga,
tidak akan mungkin dapat menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil
kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latiban khusus."
"Pikiran itu baik sekali, Houw-ko."
Bun Houw lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di depannya, di atas
pembaringan. Mereka berdua duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua
paha, punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan sehingga kedua
telapak tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas.
"Sekarang kendurkan seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikitpun jangan
melakukan perlawanan dan kauikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus
ikuti sampai kau dapat melakukan latihan ini sendirl." Bun Houw lalu memberi
tahu tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sin-kang Thian-
te Sin-ciang. "Mula-mula gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu
naik ke Koan-goan-hiat, turun lagi ke Tiong-teng-hiat dan akhirnya berhenti dan
dipusatkan di Thian-te-hiat-to," demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil
mengerahkan sin-kangnya melalui telapak tangan gadis itu. In Hong merasakan hawa
yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui telapak tangannya. Perasaan ini
mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman menyelimuti seluruh tubuhnya itu,
apalagi ketika dia teringat bahwa hawa itu datang dari Bun Houw, jantungnya
berdebar keras dan tubuhnya terguncang! Hal ini terasa oleh Bun Houw dan pemuda
ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan dari In Hong, bukan melawan
melainkan "menyambut", akan tetapi hal itu sama saja karena dapat menghalangi
penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya.
"Harap kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus
kosong dan seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti..."
"Maaf, Houw-ko... aku tidak sengaja," In Hong menjawab dan kedua pipinya
merah sekali karena merasa jengah. Melihat sepasang pipi yang begitu kemerahan
dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw memejamkan matanya agar jangan
melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya!
Demikianlah, dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka
hampir tidak perduli akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya
kalau mereka sudah merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan
mengaso. Setelah menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara
berlatih untuk memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In
Hong sudah mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan
itu untuk berlatih, karena diapun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat
digabung dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu.
*** Meriah sekali pesta yang diadakan oleb Raja Sabutai di tempat tinggalnya
yang baru itu, di tepi sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara.
Pesta besar itu dirayakan karena lahirnya sang putera, hal yang amat dinanti-
nantikan dan diidam-idanikan selama bertahun-tahun oleh Sabutai. Isterinya yang
tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok, dan
yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling merdu
bagi telinga Sabutai dan Khamila.
Pesta untuk merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri oleh semua
kepala Suku Nomad yang banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-
suku kelompok kecil sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula
orang-orang Han dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah pedagang-pedagang
yang suka membawa barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan
ditukar dengan barang-barang dari utara. Biarpun perjalanan yang mereka tempuh
amat jauh dan sukar, namun karena keuntungannya cukup baik, maka banyak pula
yang berani menempuhnya. Selain para pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh
persilatan di perbatasan, karena Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja
atau kepala suku yang besar, juga dia terkenal pula di antara tokoh-tokoh kang-
ouw sebagai seorang ahli silat yang lihai.
Selain hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah
yang diselenggerakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan
pertandingan silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini
dilakukan dengan harapan agar kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa,
maka kelahirannya disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu
yang umum di antara mereka adalah silat terutama sekali gulat.
Banyak juga yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan
tetapi, Raja Sabutai kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang
yang memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang
pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat
yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang
ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang
dan tertarik sekali. "Akan kutambah hadiahnya!" dia berseru girang. "Siapa di antara kalian yang
menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan kutambah
dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di antara barang-
barang sumbangan yang kuterima hari ini!" Dia menudingkan telunjuknya ke arah
meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk di situ setelah
dicatatkan satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya. Tentu saja semua orang
menjadi gembira dan tegang. Jarang dipertandingkan seorang ahli silat melawan
seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan di antara mereka.
Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa heran mendengar
betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain mempertaruhkan kuda mereka
yang terbaik, atau ternak mereka, juga ada yang mempertaruhkan anak perempuan
mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan isteri atau selir mereka!
Sabutai memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan
tahu akan ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-
apa, karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan
cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping memiliki tubuh yang kuat
dan kebal seperti gajah. Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah ahli silat
itu. Dia tidak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw perbatasan ini secara dekat, dan
melihat cara jago silat itu memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi
pertandingan yang seru dan menarik. Ahli silat itu mempunyai kuda-kuda yang kuat
dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua lutut ditekuk seperti orang
menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada dengan tangan miring di
depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk dan tangan kirinya miring
di depan pusar. Dengan kuda-kuda seperti itu, maka bagian tubuh atas bawah telah
terjaga rapat dan kedua tanganpun sudah siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu
melakukan penyerangan dari atas atau bawah.
Seorang wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara
panglimanya yang juga merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat maupun
silat, memberi tanda dengan tangannya ke arah pembantunya yang segera
membunyikan canang tanda dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di
sudut dan mulailah dua orang itu bergerak.
Memang menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan
antara dua orang jago gulat yang saling tubruk den saling cengkeram, bprusaha
saling banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerak reflex dibantu oleh
penggunaan tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan
antara dua orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan den
ketepatan pukulan atau tendangan, akan tetapi karena masing-masing menghadapi
lawan yang memiliki kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali.
Si jago gulat berdiri dengan kedua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya,
tangannya siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak
terpentang dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi lawan. Ke manapun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya!
Sedangkan si jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih
sasaran untuk serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-
lahan memutari tubuh si jago gulat dengan perlahan, merobah-robah kedudukan
kedua tangannya sesuai dengan kedudukan kedua kakinya, apakah menghadapi lawan
dengan miring ataukah langsung berhadapan.
"Hyaaaattt...!" Tiba-tibe si jago silat itu menyerang dari samping setelah
dengan cepat dia melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah
lambung. "Hehhh!" Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke
arah rambut kepala lawan. Akan tetapi jago silat itupun sudah cepat melompat ke
belakang menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah
perut lawan. "Dukkk!" Lengan yang besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar,
kembali lawannya dapat menarik kaki sehingga sambaran itu luput.
Kembali ahli silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang,
sama-sama mencari kesempatan. Tiba-tiba, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan,
jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu
dengan kerasnya. Jago gulat itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi
dengan cepat sekali tangan kanan jago silat itu menghantam tengkuknya. Jago
gulat yang melihat kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan
tetapi tetap saja pundaknya terkena pukulan.
"Bukkk!" Dia terhuyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena
tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati telah
dapat menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan bertubi-tubi
dengan gerak cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik. Berkali-kali dia dapat
menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam dan menendang lawan dan
ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk
ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago gulat, akan tetapi pukulan-
pukulan dan tendangan-tendangan itu tidak merobohkan lawan, hanya membuat si
jago gulat terhuyung. Sorak-sorai dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan
terhadap si jago gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu.
Tentu saja di depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melampaui
batas, akan tetapi di dalam kesempatan seperti ini di tempat ini, bukan hal
mustahil kalau gelanggang pertandingan menjadi gelanggang pertempuran antara
para penjudi itu yang tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing!
Pertandingan dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu telah
berhasil memukul beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat
itu membuat bibirnya pecah dan berdarah. Akan tetapi si ahli silat ketika
menendang tulang kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang
besar dan kuat, sehingga biarpun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah,
cukup mendatangkan rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang!
Jago gulat itu menjadi marah sekali. Seperti seekor kerbau yang terluka, dia
kini mulai aktip menyerang. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman
dan tangkapan kedua tangan itu selalu dapat dialakkan oleh si jago silat yang
lincah, selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai
jawabannya, tentu terdengar suara "Tak!" atau "Plak!" karena tangan jago silat
itu berhasil memukul atau menampar. Kini lebih banyak darah lagi keluar ketika
sebuah pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga
muncratlah darah segar dari lubang hidung raksasa itu. Bagaikan serigala-
serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu menjagoi
pilihan masing-masing. Yang menjagoi ahli silat menjadi besar hati karena
melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si ahli
gulat juga tidak putus harapan karena biarpun seringkali dipukul, si jago gulat
yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat sebaliknya malah
kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih banyak bergerak,
sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit sekali.
Setelah beberapa kali menerima hantaman den tendangan berturut-turut, tiba-
tiba si jago gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat
meronta, namun percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena
maklum bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat lalu
menggunakan sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan.
Jago gulat itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk
dan kembali darah mengucur.
"Haarrgghhh...!" Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang.
Dia maklum betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka
sekali dia merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang
lawan, dia telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya.
Terdengar pekik dan sorak-sorai menyambut kemenangan si jago gulat ini ketika
tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu
sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu!
Jago silat itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya terancam bahaya.
Tubuhnya sudah tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru
cepatnya, menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak
sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian
sederhana, berbangsa Han, bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya
yang berwarna kuning itu penuh debu tanda bahwa dia telah melakukan perjalanan
jauh, bangkit berdiri dan dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya den
ketika tubuh si jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan
kirinya dan tahu-tahu tubuh itu mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan
ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu dapat
turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka.
Si jago silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian
kuning sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata
perlahan, "Terima kasih," dan berjalan terhuyung kembali ke tempatnya, disambut
oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa kecewa mengapa ahli silat
yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai dapat terpegang kalah, dan
lain-lain. Sabutai bermata tajam sekali, dan dia mengenal orang pandai ketika melihat
pemuda pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian
mudahnya. Biarpun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, namun dia
sendiri mengerti bahwa orang yang memiliki sin-kang amat kuat saja yang akan
mampu menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian
rupa. Maka Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan pengawal
ini lalu cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui orang lain.
Pengawal itu dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai
bahwa dua orang itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya
tentang suatu urusan penting sekali.
Dua orang pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang
kedatangan mereka di tempat ini adalah untuk bicara dengan Sabutai. Hanya
kebetulan saja ketika mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai
mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran puteranya. Siapakah mereka itu" Tentu
saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan menerima tubuh si jago
silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun, sedangkan pemuda kedua
yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak biru itu bukan lain
adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Tio Sun "ditangisi" oleh Kwi Beng agar pemuda ini suka menolongnya, yaitu
untuk dapat menemaninya mencari In Hong yang dicinta oleh Kwi Beng dan untuk
membantu perjodohannya dengan In Hong karena orang tuanya menyatakan tidak
setuju. Sebetulnya, permintaan seperti ini jauh lebih berat daripada andaikata
pemuda keturunan Portugis itu minta kepadanya membantu menghadapi musuh yang
lihai. Akan tetapi, baru saja Tio Sun sendiri menderita "patah hati" karena
ternyata gadis yang dicintanya, yang diam-diam dicintanya, yaitu Kwi Eng saudara
kembar Kwi Beng, telah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Karena itu, dia merasa
tidak tega kepada Kwi Beng dan dia memenuhi permintaan pemuda itu. Apalagi
karena diapun ingin cepat-cepat menjauhi Kwi Eng sebelum luka di hatinya menjadi
makin parah. Mereka berdua pergi ke kota raja ketika mendengar bahwa Yap In Hong telah
berada di kota raja, bahkan telah menjadi seorang puteri! Akan tetapi, seperti
halnya Bun Houw yang datang ke kota raja, mereka mendengar akan peristiwa
penculikan atas diri In Hong yang dilakukah oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-
li. Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main dan karena Tio Sun pernah
membantu Bun Houw dan Cia Keng Hong, maka dia sudah tahu ke mana harus mencari
Sabutai. Menurut perkiraannya, kakek dan nenek yang menjadi guru Sabutai itu
tentu berada bersama raja itu, maka dia lalu mengajak Kwi Beng untuk langsung
pergi keluar tembok besar di utara dan mencari di mana adanya Sabutai dan kedua
orang gurunya itu. Inilah sebabnya mengapa dua orang muda itu kini berada di tempat pesta itu,
dan secara tidak disengaja Tio Sun dapat menarik perhatian Sabutai sehingga kini
dia dan Kwi Bang dipanggil oleh Sabutai yang tertarik menyaksikan kelihaian Tio
Sun tadi. Pertandingan masih berlangsung terus, akan tetapi Sabutai tidak
memperhatikan lagi karena memang dianggapnya tidak begitu menarik. Dia kini
dihadap oleh dua orang pemuda itu, dan dengan ramah Sabutai lalu menanyakan nama
mereka, juga dia amat memperhatikan Kwi Beng yang matanya agak biru dan
rambutnya agak keemasan itu.
"Nama saya Tio Sun dan sahabat saya ini bernama Souw Kwi Beng," jawab Tio
Sun setelah memberi hormat. "Karena kebetulan kami berdua lewat di sini dan
mendengar akan perayaan yang diadakan oleh paduka di sini, maka kami lalu
memberanikan diri datang menonton keramaian. Atas kelancangan ini, harap paduka
sudi memaafkan kami."
"Ahh...!" Sabutai makin tertarik karena ternyata bahwa pemuda itu amat
hormat kepadanya dan pandai membawa diri. "Kami malah merasa girang dan
beruntung menerima kedatangan ji-wi sicu yang pandai. Kalau boleh kami
mengetahui, ji-wi hendak ke manakah dan ada keperluan apa sampai jauh-jauh ke
tempat ini?" "Kami berdua hendak mencari kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-
li," kata Tio Sun dengan terang-terangan. Dia sudah mendengar bahwa Raja Sabutai
ini sudah berbaik derigan kaisar, maka dia tidak khawatir memberitahukan maksud
kedatangan mereka kepadanya. Apalagi karena mereka tadi tidak melihat adanya dua
orang guru raja ini, bahkan ketika mereka bertanya-tanya kepada beberapa orang
tamu, merekapun tidak ada yang tahu mengapa guru-guru raja itu tidak muncul di
dalam pesta. Maka, terpaksa dia mengaku terus terang dengan harapan akan
memperoleh keterangan dari raja ini.
"Ha..." Tahukah kalian siapakah dua orang tua yang kausebut tadi, Tio-sicu?"
tanyanya, memandang dengan tertarik.
"Kami telah mendengar bahwa kedua locianpwe itu adalah guru-guru paduka.
Oleh karena itulah maka sekalian kami mohon petunjuk paduka, di mana kami
kiranya akan dapat bertemu dengan mereka."
Sabutai menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. "Tio-sicu dan Souw-
sicu, sungguh aku kagum sekali kepada kalian! Masih begitu muda sudah memiliki
nyali harimau dan hati naga! Kalau tahu bahwa yang kalian cari itu adalah guru-
guruku, akan tetapi kalian terang-terangan menanyakannya kepadaku, seolah-olah
kalian berani menghadapi kami dengan bala tentara kami yang ribuan orang
jumlahnya!" Tio Sun menjura lagi dan berkata, "Adanya kami berdua berani datang ke sini,
karena kami sudah mendengar akan nama paduka yang besar sebagai seorang yang
dapat menghargai kegagahan."
"Ha-ha, jangan kira kami tidak tahu akan maksud kedatangan kalian. Bukankah
kalian mencari kedua orang guruku itu berhubung dengan diculiknya nona Yap In
Hong?" Tio Sun tidak terkejut mendengar ini karena dia sudah menduga akan
kecerdikan Raja Sabutai. Akan tetapi Souw Kwi Beng terkejut sekali dan karena
dia merasa bahwa "rahasia" mereka sudah ketahuan, maka dia segera berkata dengan
gagah dan nyaring, "Benar! Nona Yap In Hong telah diculik dan kami sengaja
datang mencari untuk menolongnya dan kalau perlu kami akan mengadu nyawa dengan
para penculiknya, siapapun adanya mereka itu!"
Tio Sun kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu akan mengeluarkan
kata-kata yang begitu sembrono. Dia khawatir kalau-kalau Raja Sabutai menjadi
marah dan berbahaya kalau begitu, maka dia cepat berkata, "Maafkan, sahabat saya
ini amat mengkhawatirkan nona Yap yang amat dicintanya. Tentu paduka maklum..."
Memang tadinya muka Raja Sabutai sudah memperlihatkan kemarahan ketika
mendengar kata-kata Kwi Beng, akan tetapi begitu mendengar ucapan Tio Sun, dia
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, apa yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang muda
yang mabok cinta! Lautan api akan ditempuhnya, barisan golok akan diterjangnya!
Apakah kalian ini utusan pribadi kaisar untuk menyelamatkan nona Yap In Hong?"
Tio Sun cepat-cepat mendahului Kwi Beng. "Dapat dikata demikianlah, sri
beginda. Ayah saya adalah seorang bekas pengawal yang amat setia dan karenanya,
sayapun seorang yang selalu akan membela kaisar. Karena, nona Yap In Hong telah
menjadi seorang puteri istana yang dipercaya oleh kaisar, maka tentu saja kaisar
amat marah mendengar puteri itu diculik orang. Di antara banyak utusan kaisar
yang mendapat perintah untuk mencari dan menyelamatkan nona Yap, termasuk kami
berdua." Kwi Beng tentu saja merasa heran sekali mendengar ucapan ini. Mereka menjadi
utusan kaisar" Heran dia mengapa Tio Sun harus membohong seperti itu.
Dianggpanya perbuatan ini tidak bijaksana dan tidak gagah! Menunjukkan rasa
takut dan hendak bersembunyi di balik nama kaisar. Akan tetapi dia segera
mengerti ketika mendengar raja itu berkata, Ah, Kaisar Ceng Tung memang seorang
yang mengenal budi! Aku telah memberitahu kepada beliau bahwa urusan culik"
menculik ini sama sekali tidak ada sangkut"pautnya dengan aku, sungguhpun yang
melakukannya adalah guru-guruku. Namun dalam hal ini, mereka berdiri sendiri,
dan nanti kita bicarakan lebih lanjut tentang di mana kalian dapat bertemu
dengan mereka, kalau kupandang kalian memang pantas untuk bertemu dengan
mereka!" Sabutai lalu memerintahkan pelayan untuk menambah tendangan makanan dan
arak, kemudian raja ini menjamu mereka. Ini merupakan suatu kehormatan yang
besar sekali dan banyak pandang mata para tamu diarahkan ke meja itu dan
menduga-duga siapa adanya dua orang muda yang tadinya diundang oleh Raja Sabutai
dan kini mereka dijamu itu.
Setelah dua orang muda itu makan dan minum sampai kenyang, tiba-tiba
terdengar sorak-sorai dan ternyata para tamu menyambut kemenangan seorang
pegulat yang berkulit hitam, bertubuh seperti raksasa dan karena dia hanya
mengenakan cawat saja maka kulit hitam yang berkeringat itu kelihatan berkilauan
mengkilap. Nampak otot-otot membelit-belit seluruh tubuh yang amat kuat itu dan
si pegulat hitam ini dinyatakan sebagai pemenang karena berturut-turut dia telah
menangkan lima pertandingan dan kini dia mengangkat kedua tangan ke atas membuat
isyarat menantang siapa lagi yang berani bertanding melawan dia di atas
panggung! Raja Sabutai memandang kepada pegulat hitam itu dan dia tersenyum. Dia
mengenal pegulat itu yang berjuluk Biruang Hitam, seorang pegulat yang selain
memiliki tenaga yang amat kuat, juga telah menguasai ilmu gulat dengan baiknya
sehingga dalam hal ilmu gulat, dia sendiri akan sukar mengalahkan Biruang Hitam
itu. Maka timbullah pikirannya untuk mempergunakan si Biruang Hitam itu menguji
utusan Kaisar Ceng Tung ini.
"Tio-sicu, seperti kukatakan tadi, tidak sembarang orang dapat bertemu
dengan kedua orang guruku itu. Apalagi menyelamatkan nona Yap In Hong! Hal itu
Pemburu Kepala 2 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Patung Dewi Kwan Im 4
^